Pencarian

Rajawali Lembah Huai 8

Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


Diserang seperti itu, Lauw In Hwesio tertegun. Dia menghela napas panjang dan berkata dengan suara mengeluh, "Omitohud...! Engkau tahu bahwa pinceng bicara demi kebaikanmu sendiri, suheng. Suheng pernah menjadi tokoh besar Siauw-lim-pai sehingga setiap sepak terjang suheng akan menjadi perhatian dunia persilatan. Adapun Cu Goan Ciang, dia seorang pemuda, tentu lebih berhak untuk mengejar cita-citanya. Engkau sudah tua, suheng, apakah juga masih ingin mengejar kedudukan dan kehormatan sebagai Beng-cu" Akan tetapi, kalau engkau nekat, pinceng juga tidak dapat menghalangimu, pinceng hanya dapat berdoa semoga engkau tidak terseret ke dalam kesesatan dan kehormatan." Setelah berkata demikian, Lauw In Hwesio duduk kembali di bangkunya dan wajahnya nampak kecewa dan berduka. Bouw In juga duduk dna mukanya agak kemerahan dan dia duduk termenung.
Kini tiba giliran Jang-kiang Sianli Liu Bi, wanita yang cantik dan mewah pesolek itu. Biarpun tidak ada peserta yang mengajukan keberatan terhadap dirinya, namun wanita ini bangkit dari tempat duduknya dan sambil memandang ke arah Cu Goan Ciang, iapun berkata dengan suara tinggi nyaring, "Aku Jang-kiang Sianli Liu Bi bukan orang yang haus akan kedudukan. Aku sudah cukup senang dengan kedudukanku sebagai ketua Jang-kiang-pang dan selama ini dikenal sebagai perkumpulan orang gagah. Kalau sekarang aku mencalonkan diri, hanyalah semata untuk menyaingi dan menantang Cu Goan Ciang! Dia seorang laki-laki yang palsu, tidak bertanggung jawab dan tidak pantas untuk menjadi Beng-cu. Lihat, lengan kiriku buntung karena dia! Dia telah menjadi suamiku, akan tetapi dia tega untuk membuntungi tanganku hanya karena dia cemburu melihat adikku perempuan tidur dengan pria lain!"
Terdengar seruan-seruan mengejek ke arah Cu Goan Ciang yang mukanya berubah merah karena kemarahannya. Ingin dia membantah, ingin dia membongkar rahasia, busuk wanita itu yang telah mengorbankan sumoinya sendiri kepada Khabuli, akan tetapi dia anggap tidak perlu lagi. Biarkan saja perempuan itu bicara sesuka hatinya.
"Perempuan hina tak tahu malu!" katanya dengan lantang. "Tidak perlu kuceritakan dan kubongkar semua rahasia busukmu, semua orang sudah tahu belaka perempuan macam apa engkau ini!" kata Cu Goan Ciang dengan suara dingin.
"Aku tidak haus kedudukan, akan tetapi kalau Cu Goan Ciang yang terpilih, aku akan menentang mati-matian!" teriak Liu Bi.
Terdengar suara tawa yang lembut, namun mengandung getaran kuat sehingga mengejutkan semua orang yang menengok dan melihat ke arah Pek Mau Lokai yang tertawa.
"Ha-ha-ha, ketua Jang-kiang-pang muncul ke sini bukan untuk ikut pemilihan Beng-cu, melainkan untuk urusan dendam pribadi! Kita semua adalah orang-orang dunia persilatan yang menghargai kegagahan dan juga yang berani bertanggung jawab atas perbuatan kita. Kalau Cu Goan Ciang menang dalam pemilihan ini, mendapatkan suara terbanyak, maka tak seorangpun boleh menentangnya. Yang menentangnya akan berhadapan dengan aku, heh-heh! Aku sendiri, biarpun dicalonkan, tidak akan ikut memperebutkan kedudukan Beng-cu, melainkan kuberikan kepada Cu Goan Ciang yang lebih berhak dan lebih pantas menjadi Beng-cu!" Ucapan ini jelas menunjukkan bahwa kakek ini berdiri di belakang Cu Goan Ciang dan akan membelanya.
Terdengar berisik sekali karena semua orang saling bicara menyambut ucapan Pek Mau Lokai itu dan dari kelompok anak buah Hek I Kaipang terdengar teriakan-teriakan, "Jangan pilih pemberontak! Dia akan menyeret kita ke dalam pemberontakan melawan pemerintah! Biar pemberontak mampus!" Teriakan ini mendapat sambutan dari mereka yang memang tidak ingin terlibat dalam pemberontakan, apa lagi mereka yang berbaik dengan para pejabat, seperti para anggota Jang-kiang-pang.
"Jangan pilih penjilat penjajah!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari pihak Hwa I Kaipang.
"Lebih baik gugur sebagai harimau dari pada hidup sebagai babi! Pejuang yang tewas jauh lebih terhormat dari pada penjilat yang gendut! Hidup pejuang, pahlawan nusa bangsa dan mampuslah penjilat dan antek penjajah!"
Suasana menjadi riuh rendah dan gaduh karena terjadi perang mulut antara kedua pihak. Kini mereka tidak merahasiakan lagi isi hati mereka, yaitu sepihak anti pemerintah Mongol dan pihak lain mendukung pemerintah penjajah itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa bergelak. Suara itu kuat sekali, mengaung dan mengalahkan suara gaduh sehingga semua orang memandang dan suasana dengan sendirinya menjadi tenang. Yang tertawa itu adalah Tay-lek Kwi-ong, yaitu raksasa yang juga terpilih sebagai calon Beng-cu. Raksasa tinggi besar ini sudah bangkit berdiri dengan gagahnya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri mengelus brewoknya dan setelah dia tertawa dan suasana tidak segaduh tadi, terdengar dia bicara, suaranya menggeledek dan lantang.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali! Kalian semua telah mendengarnya. Kalian akan keliru kalau memilih satu di antara keduanya. Seperti menunggang harimau saja. Turun salah tidak turun juga berbahaya. Memilih yang anti pemerintah berbahaya, memilih yang mendukung pemerintah juga tidak tepat. Paling tepat dan aman adalah memilih aku, Tay-lek Kwi-ong! Aku akan memimpin dunia kang-ouw menjadi golongan yang bebas, bukan penjilat pemerintah bukan pula pemberontak! Hidup kita akan aman dan tenteram, dan makmur. Kita sejak kecil mempelajari ilmu bukan untuk berperang, bukan untuk menyeret diri ke dalam bahaya, melainkan untuk dapat hidup senang, bukan" Nah, kalau kalian semua memilih aku, aku akan memimpin kalian untuk menuju kepada hidup bahagia itu, dan persetan dengan perjuangan!"
Banyak di antara mereka yang hadir menyambut ucapan si raksasa ini dengan gembira pula, menunjukkan bahwa ucapannya tadi banyak yang menyetujuinya. Sementara itu, Coa Kun dan puterinya ketika mendengar ucapan raksasa itu, otomatis menoleh ke arah dua orang yang duduk di dekat mereka, di kursi kehormatan pula. Mereka adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik. Pemudanya tampan gagah, dan gadis itu cantik jelita. Melihat pakaian mereka, kedua orang ini seperti orang-orang muda hartawan dan terpelajar. Mereka bukan lain adalah Bouw Kongcu atau Bouw Ku Cin dan adiknya, Bouw Mimi atau biasa dipanggil Bouw Siocia. Putera dan puteri Menteri Bayan ini sengaja datang sendiri menonton pemilihan Beng-cu. Biarpun keduanya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan tangguh untuk melindungi diri sendiri, namun tentu saja Yauw-Ciangkun mengkhawatirkan kehadiran mereka di antara tokoh-tokoh kang-ouw itu, maka diam-diam Yauw-Ciangkun mengirim belasan orang jagoan yang secara diam-diam melindungi dua orang muda bangsawan itu. Coa Kun dan puterinya telah diperkenalkan kepada mereka dan kini ayah dan anak itu ingin melihat bagaimana tanggapan dua orang muda bangsawan itu terhadap semua percakapan yang tentu terdengar tidak enak bagi kakak beradik itu. Akan tetapi, Bouw Kongcu yang juga memandang kepada mereka, tersenyum dan mengangguk-angguk.
Coa Kun lalu memberi isarat kepada anak buahnya untuk bersiap-siap. Dari Yauw-Ciangkun, dia telah memperoleh pesan akan siasat yang telah mereka rencanakan dalam pemilihan Beng-cu ini, sesuai dengan pesan Menteri Bayan yang dibawa oleh Bouw Kongcu. Siasat itu adalah bahwa di dalam pemilihan Beng-cu itu, hanya ada dua pilihan. Pertama, Beng-cu yang dipilih haruslah orang yang mau bekerja sama dengan pemerintah. Kalau tidak berhasil, dari pada Beng-cu dipegang oleh yang anti pemerintah, lebih baik pemilihan digagalkan sehingga dunia kang-ouw akan tetap terpecah belah. Pendeknya, kalau mungkin, dengan Beng-cu pilihan, pemerintah ingin mengulurkan tangan mengajak dunia persilatan bekerja sama. Kalau hal itu tidak terlaksana, maka pemerintah ingin melihat dunia kang-ouw terpecah belah dan terjadi pertentangan dan permusuhan di antara golongan-golongan itu sendiri, karena kalau dunia kang-ouw sampai bersatu dan menentang pemerintah, hal itu dapat berbahaya.
Setelah suara gaduh agak mereda, Coa kun kembali bangkit dan mengangkat kedua lengan ke atas memberi isarat agar semua orang diam dan tidak membuat gaduh. "Saudara sekalian telah mendengarkan pendapat dan penilaian terhadap para calon. Kita semua mengetahui bahwa biarpun kita adalah orang-orang dunia persilatan yang menghargai kegagahan, namun di antara kita terdapat ketidak cocokan dalam hal sikap kita terhadap pemerintah. Ada pihak yang ingin bekerja sama dengan pemerintah memakmurkan kehidupan rakyat, ada pula pihak yang menentang pemerintah, dan ada pula pihak yang tidak pro maupun anti pemerintah. Pihak pertama diwakili oleh kami dan calon-calon kami adalah lo-cian-pwe Bouw In, dan kedua lo-cian-pwe Huang-ho Siang Lomo. Pihak kedua yang menentang pemerintah diwakili oleh Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang, adapun pihak yang ke tiga adalah Jang-kiang Sianli dan Tay-lek Kwi-ong. Sekarang kita tiba pada saat penentuan siapa yang paling tepat menjadi Beng-cu. Seorang Beng-cu haruslah memiliki ilmu silat yang paling tangguh, dan para calon diharapkan untuk dapat membuktikan bahwa dirinya paling lihai."
Para pemilih bersorak menyambut pengumuman ini karena memang inilah yang menarik perhatian mereka untuk datang, yaitu menonton pertandingan silat antara orang-orang yang berilmu tinggi!
Pek Mau Lokai bangkit berdiri dan menggerakkan tongkatnya ke atas sehingga terdengar suara mengaung dan membuat semua orang terdiam. Kakek rambut putih itu tersenyum. "Heh-heh, pendapat yang dikemukakan Coa-pangcu tadi menggelikan hatiku. Kalau untuk memilih seorang Beng-cu dipilih orang yang paling kuat dan lihai ilmu silatnya saja, lalu apa bedanya seorang Beng-cu dengan seorang kepala gerombolan penjahat" Kita orang-orang kang-ouw bukanlah sekumpulan penjahat atau tukang pukul yang membutuhkan seorang pemimpin yang hanya pandai ilmu silat saja! Untuk dapat memimpin dunia kang-ouw, memimpin rakyat, dibutuhkan orang yang selain pandai ilmu silat, juga bijaksana, baik budi, adil dan tidak mementingkan diri sendiri, orang yang benar-benar memiliki bakat kepemimpinan. Dan di antara kita semua, hanya Cu Goan Ciang seorang yang memiliki bakat itu. Akan tetapi kalau Coa-pangcu ingin menguji ilmu silat kami, silahkan!"
Mendengar tantangan Pek Mau Lokai, tentu saja Coa Kun tidak berani menyambut. Dia tahu betapa lihainya kakek itu. Baru melawan Cu Goan Ciang saja, murid Lauw In Hwesio yang menjadi calon ke dua dari Hwa I Kaipang, dia tidak mampu menandinginya. Diapun menoleh kepada para jagoannya, yaitu Bouw In dan Huang-ho Siang Lomo, minta bantuan.
Thian Moko yang tinggi kurus, loyo dan bertumpu pada tongkatnya, bangkit dan terdengar suaranya yang kecil menggetar, "Benar sekali ucapan murid kami Coa Kun tadi. Seorang Beng-cu memang harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau Beng-cunya lemah, bagaimana mungkin orang-orang kang-ouw mau taat kepadanya" Sebaiknya pertandingan untuk menguji ilmu kepandaian dimulai saja. Biar aku menguji yang muda-muda lebih dulu. Tay-lek Kwi-ong, majulah sudah lama aku mendengar nama besarmu dan ingin sekali aku melihat sampai di mana kehebatanmu sehingga engkau ingin menjadi Beng-cu!"
Ucapan ini disusul ucapan Tee Moli, isterinya yang pendek gendut dan yang suaranya menjadi kebalikan dari suara suaminya, yaitu parau dan besar.
"Biar aku yang menguji kepandaian ketua Jang-kiang-pang!" Nenek itu berdiri di depan suaminya, keduanya bertemu pada tongkat mereka, nampaknya suami isteri yang usianya sudah delapan puluh tahun ini lemah. Tay-lek Kwi-ong yang ditantang kakek itu agaknya memandang rendah. Biarpun dia sudah mendengar akan kelihaian Thian Moko, akan tetapi tokoh itu kini sudah tua renta, bagaimana mungkin mampu menandingi kekuatannya yang dahsyat" Biar dia kalahkan kakek ini lebih dulu agar mendapat kesan baik. Diapun bangkit dan melangkah ke tengah panggung.
"Akupun ingin sekali menerima pelajaran dari lo-cian-pwe Thian Moko yang namanya sudah lama kukagumi!" katanya dengan suara lantang.
Akan tetapi Jang-kiang Sianli Liu Bi bersungut-sungut tidak berdiri dari bangkunya. "Aku hanya ingin bertanding melawan Cu Goan Ciang!" teriaknya. "Hayo, Cu Goan Ciang, aku menantangmu untuk menentukan siapa yang lebih pantas menjadi Beng-cu, aku atau engkau!"
Sejak tadi Cu Goan Ciang sudah menjadi panas hatinya melihat wanita itu. Teringatlah dia akan kekasihnya, Kim Lee Siang, yang tewas membunuh diri setelah dikorbankan sucinya, diberikan kepada mendiang Khabuli-Ciangkun yang telah dibunuhnya. Mendengar tantangan itu, diapun berkata kepada Pek Mau Lokai, "Lo-cian-pwe, perkenankan saya melayani perempuan jahat itu." Kini, setelah dia diangkat menjadi ketua Hwa I Kaipang, Cu Goan Ciang tidak lagi menyebut pangcu (ketua) kepada Pek Mau Lokai, melainkan menyebutnya lo-cian-pwe. Mendengar ucapan itu, Pek Mau Lokai mengelus jenggotnya dan mengangguk. Dia tahu bahwa Cu Goan Ciang masih selalu terkenang kepada kekasihnya yang tewas karena ulah ketua Jang-kiang-pang itu.
"Twako, hati-hatilah, ia amat jahat dan curang," bisik Yen Yen kepada pemuda yang menjadi calon jodohnya dan yang amat dicintanya. Goan Ciang mengangguk, lalu bangkit berdiri dan menuju ke tengah panggung menghadapi ketua Jang-kiang-pang.
Coa Kun segera berseru, "Harap pertandingan diatur agar satu lawan satu. Kami minta agar nona Liu Bi dan Cu Goan Ciang mundur dulu menanti giliran, karena lebih dahulu akan diuji kepandaian antara lo-cian-pwe Thian Moko melawan Tay-lek Kwi-ong. Semua yang hadir menyetujui dan berteriak-teriak minta kepada dua orang muda itu untuk mundur. Terpaksa Cu Goan Ciang dan Liu Bi mundur kembali ke bangku masing-masing.
Kini, semua mata ditujukan kepada kakek loyo yang berhadapan dengan raksasa Tay-lek Kwi-ong. Dilihat begitu saja, tentu kakek itu tidak akan dapat bertahan lebih dari lima jurus! Dia sudah begitu tua sehingga tertiup angin yang agak keras saja sudah dapat terpelanting. Bagaimana mungkin melawan seorang bertubuh raksasa seperti Tay-lek Kwi-ong"
Tay-lek Kwi-ong agaknya dapat merasakan apa yang dipikirkan semua orang, maka diapun merasa agak malu harus menandingi seorang kakek loyo seperti itu, maka setelah berhadapan satu lawan satu, diapun menjura dan berkata dengan nada mengejek, "Lo-cian-pwe, apakah tidak sebaiknya kalau lo-cian-pwe mundur saja" Lo-cian-pwe sudah terlalu tua untuk menjadi Beng-cu, sebaiknya kalau menghabiskan sisa waktu yang tak berapa lama lagi di rumah saja, menerima pelayanan anak cucu, dan mengalah kepada aku yang lebih muda." Ucapan itu seperti membujuk, pada hal mengandung ejekan yang menyakitkan hati.
"Eh-heh-heh, Tay-lek Kwi-ong, kaukira engkau mampu mengalahkan aku" Kekuatanmu seperti angin kosong belaka. Betapapun kuatnya angin, mana mampu merobohkan sebatang pohon cemara yang nampak lemas dan lemah" Heh-heh, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu!"
"Hemm, orang tua renta, engkau sendiri yang mencari penyakit. Nah, sambutlah seranganku ini!" Tay-lek Kwi-ong membentak, kini tidak sungkan lagi karena kakek tua renta itu tadi telah memandang rendah kepadanya dan semua orang mendengar kata-katanya. Maka, dengan niat merobohkan kakek itu dengan sekali pukul, dia mengerahkan tenaga dan tangannya yang lebar itu dengan jari-jari terbuka menyambar dan menampar ke arah kepala lawan. Angin bersiut keras ketika tangan kanan itu menyambar ke arah telinga Thian Moko, dan agaknya sebelum telapak tangan itu sendiri mengenai sasaran, lebih dahulu angin pukulan yang keras membuat tubuh kakek itu mendoyong! Akan tetapi, justeru karena tubuhnya mendoyong itulah maka lemparan tangan Tay-lek Kwi-ong luput! Nampaknya saja demikian, akan tetapi sesungguhnya, kakek yang berpengalaman dan lihai itu memang mempergunakan kelembutan untuk mengalahkan kekasaran. Seperti juga sebuah penggada besar yang kokoh kuat tidak mungkin dapat memukul sehelai bulu yang ringan melayang-layang, demikian pula serangan-serangan yang dilancarkan raksasa itu tak pernah dapat menyentuh Thian Moko yang terkekeh-kekeh dengan suaranya yang tinggi. Dan setelah belasan kali serangan lawan tidak mampu menyentuhnya, mulailah Thian Moko sambil mengelaj menggerakkan tongkatnya. Dan begitu kakek itu membalas serangan lawan dengan tongkat, Tay-lek Kwi-ong menjadi repot bukan main! Ujung tongkat butut itu seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya dan setiap ujung tongkat mengancam dengan totokan maut ke arah jalan darah di tubuhnya.
"Heh-heh-heh!" kakek itu terkekeh dan ujung tongkatnya menyambar ke arah mata kanan Tay-lek Kwi-ong. Raksasa ini terkejut sekali dan nyaris matanya menjadi korban dicongkel ujung tongkat. Dia melempar tubuh ke belakang dan terjengkang, lalu bergulingan dan begitu dia meloncat bangkit, tangannya sudah mencabut sebatang golok besar. Wajahnya yang tertutup brewok itu kemerahan dan matanya yang lebar membikin melotot, kemudian dengan gerengan seperti seekor harimau terluka, diapun menerjang ke depan sambil memutar golok besarnya.
Namun, bantuan senjata berat dan besar itu sama sekali tidak mampu menolongnya. Seperti juga serangan kedua tangannya tadi, serangan goloknya tidak ada yang menyentuh tubuh lawan. Kakek itu seolah terdorong lebih dahulu oleh angin sambaran golok, seperti sehelai bulu melayang yang tak pernah terkena hujan bacokan, dan sebaliknya, ujung tongkat itu terus menerus mengancam jalan darahnya.
"Tukk!" Akhirnya ujung tongkat itu menotok jalan darah dekat siku kanan dan Tay-lek Kwi-ong berteriak, lengan kanannya lumpuh dan golok besar itupun terlepas dari tangannya. Pada saat itu, ujung tongkat sudah bergerak cepat menotok ke arah pinggir lutut kirinya dan sekali lagi Tay-lek Kwi-ong berteriak lalu roboh terguling, dan terus bergulingan sampai akhirnya dia terjatuh ke bawah panggung! Tepuk sorak menyambut kemenangan Thian Moko yang amat mudah ini. Tay-lek Kwi-ong dengan susah payah bangkit, lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu, tidak berani menoleh lagi karena dia merasa malu bukan main. Dikalahkan oleh seorang kakek tua renta yang sudah loyo. Bayangkan saja!
Thian Moko tertatih-tatih kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Coa Kun dengan gembira. "Suhu telah mengalahkan tanpa membunuhnya, tepat seperti pesan Yauw-Ciangkun. Terima kasih, suhu," katanya.
"Heh-heh-heh, kalau hanya melawan raksasa sombong tadi, apa sukarnya" Akan tetapi kalau harus bertanding melawan Pek Mau Lokai, agaknya sukar sekali menang tanpa membunuhnya atau melukai berat. Kalau terlalu mengalah terhadap lawan seperti dia, salah-salah nyawa kita yang melayang," kata Thian Mokko sambil menoleh dan memandang ke arah Pek Mau Lokai.
"Cu Goan Ciang, majulah! Kini tiba giliran kita!" teriak Jang-kiang Sianli Liu Bi yang sudah meloncat ke tengah panggung dan tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Wanita cantik ini kelihatan marah, matanya mencorong dan mulutnya cemberut, sinar matanya mengandung kebencian.
Goan Ciang bangkit dan menghampiri wanita itu di tengah panggung. Dia masih bersikap tenang walaupun pandang matanya berkilat. "Liu Bi, ketika itu aku masih mengampunimu dan hanya menghajarmu dengan membuntungi lengan saja. Akan tetapi sekali ini, kalau engkau memaksaku, aku pasti akan membunuhmu. Engkau terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Sebaiknya, sebelum terlambat, pergilah dan jangan ganggu aku lagi." Ucapannya bersungguh-sungguh dan lirih sehingga hanya dapat terdengar oleh Liu Bi dan para tamu yang duduknya di atas panggung, tidak terdengar oleh para tamu di bawah panggung yang saling bicara sendiri. Agaknya pertandingan antara kedua orang itu dinanti dengan hati tegang dan gembira oleh mereka yang haus akan pertandingan yang seru.
"Cu Goan Ciang, engkau ingin aku tidak melanjutkan perkelahian ini" Mudah saja, berlututlah minta ampun kepadaku dan biarkan aku membuntungi tangan kirimu, dan aku tidak akan membunuhmu!"
Cu Goan Ciang tersenyum mengejek. "Liu Bi, engkau memang tak tahu diri! Dengan kedua tanganmu masih lengkap saja engkau tidak akan mampu mengalahkan aku. Apa lagi tanganmu hilang sebelah. Bagaimana engkau akan mampu menandingi aku" Kalau saja Cu Goan Ciang belum menerima gemblengan dariPek Mau Lokai, yang melatihnya dengan tekun dan sungguh-sungguh mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, kiranya Goan Ciang tidak akan berani memandang rendah lawannya. Dia tahu bahwa wanita ini lihai bukan main. Dulupun tingkat kepandaian mereka hanya berselisih sedikit saja dan kalau dia dapat membuntungi dengan mudah tangan Liu Bi, hal itu adalah karena dia menyerang Liu Bi secara tiba-tiba saking marahnya melihat kekasihnya, Kim Lee Siang, tewas membunuh dirim dan Liu Bi menangkis dengan tangan kirinya. Akan tetapi sekarang dia merasa yakin bahwa dia akan mampu mengatasi wanita ini dengan mudah.
Kemarahan Liu Bi memuncak mendengar ejekan itu. Semenjak tangannya buntung, wanita ini telah melatih diri, memperdalam ilmu pedangnya dan selama ini ia telah memperoleh kemajuan yang cukup sehingga ia menganggap bahwa ia akan mampu menandingi Cu Goan Ciang.
"Jahanam busuk, lihat pedangku!" bentaknya karena ia sudah tidak sanggup bicara lebih banyak lagi saking marahnya. Tubuhnya bergerak cepat dan pedangnya menjadi sinar berkilat yang menyambar ke arah dada Goan Ciang!
Cu Goan Ciang cepat mengelak dan dia menggunakan Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti) untuk menghadapi amukan lawan yang memutar pedang itu. Diam-diam ada beberapa orang memperhatikan gerakannya. Pertama adalah Lauw In Hwesio yang diam-diam merasa bangga bahwa muridnya itu kini telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat simpanannya itu. Kedua adalah Bouw In dan muridnya, Coa Leng Si. Kedua orang guru dan murid ini juga kagum dan mereka harus mengakui bahwa ilmu silat Cu Goan Ciang memang hebat. Sin-tiauw ciang-hoat dapat dimainkannya dengan baik sekali, dan melihat gerakannya, pemuda itu jauh lebih tangguh dibandingkan Leng Si dan hanya Bouw In sajalah yang mampu menandingi dan mengalahkannya.
Melihat betapa tunangannya menghadapi pedang yang amat dahsyat itu dengan tangan kosong saja, Tang Hui Yen melemparkan tongkatnya kepada Goan Ciang sambil berseru. "Toako, pakai tongkatku ini!"
Cu Goan Ciang menangkap tongkat itu dan sekali dia memutar tongkat, dia telah memainkan Hok-mo-tung-hoat yang baru saja dia pelajari dari Pek Mau Lokai.
"Aihhh...!!" Jang-kiang Sianli menjerit ketika tiba-tiba tongkat itu membuat gerakan berputar dan pedangnya ikut pula terbawa berputar dan tongkat itu, seperti sebuah ular hidup, sudah meluncur melalui tepi pedangnya dan menotok ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Untung ia masih dapat menarik lengannya dan meloncat ke belakang. Wajahnya pucat lalu merah kembali. Hampir saja dalam segebrakan ia kehilangan pedang!
Goan Ciang mengamang-amangkan tongkatnya. "Liu Bi, bertaubatlah dan bubarkan perkumpulan jahatmu, lalu pergilah ke kuil menjadi biarawati, aku akan mengampunimu." Ucapan ini bukan dimaksudkan untuk menghina, melainkan membujuk dan memberi kesempatan terakhir kepada wanita jahat itu. Akan tetapi, Liu Bi menganggapnya sebagai penghinaan dan sambil mengeluarkan suara melengking panjang, iapun menyerang lagi dengan penuh kemarahan.
Andai kata Goan Ciang tidak memegang tongkat sekalipun, dengan ilmu Sin-tiauw ciang-hoat, dia akan mampu menghadapi pedang Liu Bi dan akan amat sukar bagi wanita itu untuk mengalahkannya. Apa lagi kini ada tongkat di tangannya, dan diapun sudah mahir memainkan Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis), maka gulungan sinar pedang itu makin lama semakin menyempit tertindih oleh gulungan sinar tongkat. Begitu cepat gerakan kedua orang ini sehingga mereka hanya nampak seperti dua bayangan berkelebatan, di antara gulungan sinar pedang dan tongkat.
"Cringg... dukk!" Liu Bi menjerit karena ketika pedangnya tertangkis tongkat dan pedang itu melekat pada tongkat, kaki Goan Ciang telah berhasil menendang dan mengenai pahanya, membuat ia terpelanting roboh. Goan Ciang memandang kepada wanita itu. Bagaimanapun juga, wanita ini pernah jatuh cinta kepadanya dan menariknya menjadu suami. Melihat wanita itu telah roboh dan menyeringai kesakitan, hatinya tidak tega dan diapun membalikkan tubuh membelakanginya. "Pergilah kau!" katanya, menahan kemarahan yang timbul karena kembali dia teringat akan kematian Kim Lee Siang.
Liu Bi bangkit berdiri sambil merintih. Tulang pahanya yang terkena tendangan terasa nyeri bukan main, mungkin tulangnya retak. Sambil meringis ia bangkit berdiri di belakang Goan Ciang, mukanya menunduk dan suaranya gemetar ketika berkata, "Aku... aku..." Tiba-tiba Hui Yen menjerit.
"Toako, awas...!!" Namun agaknya terlambat karena pada saat itu, sama sekali tidak diduga-duga oleh Goan Ciang, Liu Bi menggerakkan pedangnya dan menusuk pedang itu ke punggung Goan Ciang. Jarak antara mereka sangat dekat dan pedang meluncur dengan kecepatan kilat karena ditusukkan dengan pengerahan seluruh sisa tenaganya.
Andai kata Yen Yen tidak berteriak sekalipun, Goan Ciang sudah dapat menangkap suara angin gerakan itu dan secepat kilat dia mengelak ke samping sambil memutar tubuhnya dan tongkatnya menyambar. Pedang itu menusuk lewat dekat lambungnya, sempat merobek bajunya, akan tetapi ujung tongkatnya dengan tepat sekali menotok pelipis kiri Liu Bi.
"Tukkk!" Tubuh wanita itu terkulai dan ia roboh tewas seketika karena pelipis itu retak dan otaknya terguncang dan terluka parah! Suasana menjadi gaduh ketika orang-orang saling bicara sendiri.
"Omitohud! Cu Goan Ciang, di depan pinceng, engkau berani melakukan pembunuhan kejam seperti itu" seru Lauw In Hwesio sambil bangkit berdiri.
Goan Ciang menoleh ke arah hwesio itu dan menjura dengan sikap hormat sambil berkata, "Harap suhu memaafkan teecu (murid)."
"Losuhu!" tiba-tiba Yen Yen berseru marah. Sepatutnya losuhu melindungi murid losuhu yang diserang secara curang seperti itu, bukan malah memarahi Cu-twako! Kalau Cu-twako tidak dapat bergerak cepat dengan tongkatnya, tentu dia yang sekarang mati oleh serangan curang itu. Apa losuhu lebih senang melihat dia yang mati dari pada perempuan iblis itu"
Melihat dirinya diserang gencar oleh gadis yang membela Cu Goan Ciang itu, Lauw In Hwesio tertegun, merangkap kedua tangan depan dada dan berkata lirih, "Omitohud... Omitohud...!"
Terdengar suara tawa lembut dan Pek Mau Lokai yang tertawa. "Heh-heh-heh, Lauw In Hwesio, orang tua selalu mengandalkan peraturan lama dan peradatan yang kaku, tanpa melihat duduknya persoalan yang sebenarnya. Kita yang tua-tua ini kalah oleh yang muda-muda, karena kita tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Orang-orang muda lebih praktis dan pendapat mereka masuk akal dan luwes. Jang-kiang Sianlu terkenal jahat sehingga sudah sesuai dengan keadilanlah kalau ia menebus semua kelakuan jahatnya dengan kematian. Pula, jelas bahwa ia yang tadi melakukan kecurangan, hal yang amat dipantang oleh orang gagah. Mati dalam pibu (adu silat) adalah hal yang wajar, kenapa engkau seperti kebakaran jenggot pada hal tidak memelihara jenggot" Ha-ha-ha-ha!" Pengemis tua itu tertawa bergelak.
"Omitohud...!" Lauw In Hwesio menghela napas panjang, dan dia merangkap kedua tangan ke depan dada. "Mulai detik ini, pinceng menyatakan bahwa pinceng tidak mempunyai hubungan apapun dengan Cu Goan Ciang, dan pinceng tidak akan mencampuri urusannya. Pinceng juga tidak akan mencampuri urusan pemilihan Beng-cu, hanya pinceng akan mencegah suheng Bouw In menjadi Beng-cu karena hal itu akan mencemarkan kebersihan nama Siauw-lim-pai. Pinceng telah bicara disaksikan banyak orang dan tidak akan pinceng ubah lagi."
Ketika perdebatan terjadi, Coa Kun sudah berunding dengan Huang-ho Siang Lomo. Kini dia menyuruh anak buahnya membawa mayat Jang-kiang Sianli turun dari atas panggung dan mayat itu diterima oleh anak buah Jang-kiang-pang, lalu dibawa pergi. Suasana menjadi tenang akan tetapi tegang kembali setelah mayat itu dibawa pergi.
Menurut perhitungan Coa Kun, pihaknya tentu akan menang. Andai kata benar guru puterinya atau iparnya, Bouw In, dihadang dan dikalahkan Lauw In Hwesio, hal yang kiranya tidak mungkin mengingat bahwa Bouw In adalah suheng dari hwesio Siauw-lim-pai itu, yang pasti hal itu merupakan urusan pribadi antara mereka, dan Lauw In Hwesio tentu tidak akan mencampuri pemilihan Beng-cu. Di pihak lawan, yang tinggal hanyalah Cu Goan Ciang dan Pek Mau Lokai. Mereka itu dapat dihadapi dua orang gurunya, Huang-ho Siang Lomo. Besar harapan pihaknya akan menang. Andai kata sebaliknya sekalipun dan kedudukan Beng-cu tidak dapat diraih oleh pihak yang pro pemerintah, sudah direncanakan untuk menimbulkan kekacauan dan menggagalkan pemilihan itu sehingga secara resmi tetap saja tidak ada Beng-cu yang dipilih dan dunia kang-ouw belum menemukan Beng-cu dan karenanya akan mudah diadu domba. Pesan Menteri Bayan melalui kedua anaknya adalah satu antara dua. Rebut kedudukan Beng-cu atau gagalkan pemilihan itu. Pemerintah ingin mengulurkan tangan menjinakkan para tokoh dunia kang-ouw agar membantu pemerintah, kalau hal ini tidak berhasil, dunia kang-ouw harus diadu domba agar timbul perpecahan di kalangan mereka sendiri sehingga mereka menjadi lemah.
Coa Kun sudah berdiri di panggung dan berkata lantang, "Dua orang calon telah dinyatakan kalah dalam pertandingan adu kepandaian. Sekarang diminta agar calon berikutnya maju. Lo-cian-pwe Bouw In dipersilahkan maju dan diharapkan ada calon lain yang berani menguji kepandaiannya!"
Sambil tersenyum Bouw In bangkit dari tempat duduknya dan dengan langkah tenang diapun maju ke tengah panggung. Para penonton menduga-duga sampai di mana tingkat kepandaian laki-laki tinggi besar botak yang selalu tersenyum ini. Akan tetapi pada saat itu, Lauw In Hwesio juga sudah maju ke tengah panggung dan merangkap kedua tangan depan dada.
"Omitohud, agaknya suheng Bouw In hendak melanjutkan langkahnya yang menyimpang dari kebenaran!" kata Lauw In Hwesio dan kini, tidak seperti biasanya, dia mengangkat muka dan menatap wajah suhengnya itu dengan pandang mata tajam bersinar-sinar, penuh rasa penasaran.
"Hemm, Lauw In Hwesio, kenapa engkau berkepala batu dan hendak menentangku" Sudah kukatakan bahwa aku bukan hwesio Siauw-lim-pai, dan kalau mulai saat ini aku kauanggap bukan orang Siauw-lim-pai seperti sikapmu terhadap Cu Goan Ciang tadi, akupun tidak akan membantah. Nah, aku bukan hwesio Siauw-lim-pai, bukan pula murid Siauw-lim-pai. Apakah engkau juga masih hendak menghalangiku" Aku bukan menjadi penjahat, melainkan menjadi calon Beng-cu. Apa salahnya memimpin dunia kang-ouw, membawa mereka ke jalan benar"
"Bouw In Suheng, biar engkau mengaku bukan hwesio dan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi dalam setiap gerakan silatmu, engkau adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Dan kalau dalam sepak terjangmu engkau menyimpang dari garis yang ditentukan Siauw-lim-pai, berarti engkau akan mencemarkan nama baik perguruan kita. Pemilihan Beng-cu dalam masa pergolakan seperti ini, hanya akan mendatangkan permusuhan! Baik engkau berada di pihak yang bekerja sama dengan pemerintah, atau di pihak yang menentang pemerintah, bahkan di pihak yang tidak mencampuri politik sekalipun, tetap saja dalam jaman pergolakan seperti ini, engkau hanya akan menghadapi permusuhan dan pertentangan! Suheng, orang seperti kita, sungguh tidak layak untuk membiarkan diri terseret ke dalam kubangan lumpur itu!"
Pada saat itu terdengar suara merdu dan lantang. Coa Leng Si yang melihat gurunya diserang dengan kata-kata oleh hwesio itu, menjadi penasaran sekali dan iapun berkata, "Suhu, teecu kita pendapat losuhu itu ngawur dan kuno! Kalau memang jaman ini bergolak, sudah selayaknya kalau kita yang menyingsingkan lengan baju untuk menanggulangi dan mengatasinya. Yang penting bekerja, bukan bicara! Apakah jaman bergolak itu akan menjadi tenang kalau kita semua hanya bersamadhi di dalam kamar, duduk bersila dan merangkap tangan depan dada, memejamkan mata sampai berhari-hari" Suhu akan terjun langsung ke medan, memimpin dunia kang-ouw, menenteramkan kehidupan rakyat. Itu jauh lebih bermanfaat dari pada sekedar berdoa dan membaca liam-keng (kitab doa) di dalam kuil!"
Ucapan yang berapi-api dan bersemangat dari gadis cantik itu memancing tepuk tangan banyak penonton, terutama kaum mudanya. Bahkan Tang Hui Yen dan Cu Goan Ciang sendiri merasa setuju dan kagum. Akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan pendapat dan pandangan tentang cara pelaksanaan untuk menyumbangkan tenaga demi tercapainya ketenteraman kehidupan rakyat itu. Namun jelas tujuannya sama, hanya caranya yang berbeda! Mungkin pihak Coa Leng Si, menenteramkan rakyat paling baik dengan cara membantu pemerintah, meniadakan pemberontakan dan pengacauan agar kehidupan menjadi tenteram dan damai. Sebaliknya, pihak Cu Goan Ciang beranggapan bahwa yang menjadi sumber atau biang keladi pergolakan jaman adalah adanya pemerintahan penjajah Mongol, oleh karena itu, satu-satunya cara adalah menumbangkan kekuasaan penjajah.
Kita semua selalu tersilaukan oleh gemilangnya tujuan atau cita-cita. Semua cita-cita nampak indah gemilang, membuat kita berebut dan berlomba untuk mendapatkannya. Cita-cita bagaikan nyala api lilin yang indah menarik, membuat banyak binatang malam tertarik dan mereka beterbangan, berlomba mencapai sinar yang terang itu untuk jatuh terbakar dan mati. Kitapun sering terpukau oleh keindahan cita-cita sehingga kita menjadi mabok dan lupa, kita tidak segan menggunakan segala macam cara untuk mencapai cita-cita itu. Kita lupa bahwa tujuan atau cita-cita hanyalah suatu khayalan, suatu gambaran dari keadaan yang belum ada, sedangkan cara untuk mencapainya inilah yang nyata, yang berhubungan langsung dengan kehidupan kita. Cara inilah yang paling penting bukan tujuannya! Bagaimana mungkin cara yang salah dapat membawa kita kepada tujuan yang benar" Bagaimana mungkin kita dapat mencapai sesuatu yang baik kalau kita mengejarnya dengan cara yang jahat"
Kita seperti telah dibikin buta karena silau oleh cemerlang dan indahnya cita-cita. Bahkan banyak terjadi dalam sejarah betapa manusia mengadakan perang dengan tujuan untuk mencapai perdamaian! Betapa aneh, gila dan suatu lelucon yang tidak lucu! Perang terjadi karena satu pihak hendak memaksakan kehendaknya, karena kedua pihak hendak mencari kemenangan. Bagaimana mungkin terjadi kedamaian antara yang menang dan yang kalah" Bagaimana mungkin kita dapat berdamai dengan orang lain yang baru saja kita pukul hidungnya, atau dengan orang yang baru saja menghajar kita sampai babak belur" Perdamaian yang timbul antara yang kalah dan yang menang merupakan perdamaian paksaan, karena yang kalah terpaksa menaati kehendak yang menang. Mungkin karena merasa kalah, pada lahirnya dia terpaksa mau mengulurkan tangan untuk bersalaman akan tetapi jelas bahwa dalam batinnya, dendam dan penasaran yang ada!
Tujuan menghalalkan segala cara, demikianlah kalau kita terbuai dan tersilaukan cemerlangnya tujuan. Cita-cita menimbulkan pengejaran dan justeru pengejaran inilah yang menjadi sarang dari kekuasaan dan pengaruh daya-daya rendah yang menciptakan nafsu. Kalau kita tidak waspada, nafsu menguasai batin dan kitapun menjadi lupa diri, lupa bahwa diri ini majikan nafsu, bukan nafsu majikan diri. Banyak sekali contohnya dalam kehidupan ini, di mana kita silau oleh tujuan sehingga membiarkan diri diperhamba nafsu, mengejar tujuan dengan cara apapun. Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup memang mutlak perlu, kalau kita mau hidup sebagai orang normal. Akan tetapi, tujuan mencari uang dapat mengobarkan nafsu sehingga kita menggunakan cara apa saja dalam pengejaran kita terhadap uang. Terjadilah penipuan, pencurian atau perampokan, korupsi dan sebagainya. Hubungan sex merupakan suatu kewajaran, bahkan mutlak perlu bagi kehidupan dan kelangsungan perkembang biakan manusia. Akan tetapi, kalau kita sudah mengejar-ngejarnya sebagai suatu tujuan, kita dapat lupa diri dan segala carapun kita lakukan demi memperolehnya. Terjadilah pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Demikian pula, orang memperebutkan kedudukan, nama besar dengan saling hantam, saling jegal, saling bunuh. Bahkan demikian gilanya kita sudah, sehingga untuk tujuan terakhir yang suci dan luhur, seperti keinginan kembali kepada Tuhan, keinginan masuk Sorga sekalipun, kadang diperebutkan dan dipertentangkan! Kalau sudah begitu, tanpa kita sadari akan kemunafikan kita sendiri, kita bahkan tidak malu untuk memperebutkan Tuhan! Semua berkah Tuhan untukku, bukan untukmu dan bukan untuk mereka. Tuhanku sendirilah yang benar, Tuhan kalian dan mereka adalah palsu, dan sebagainya lagi. Dan perang saling membunuh antara manusiapun terjadilah, saling bunuh dengan nama Tuhan, seolah mereka itu masing-masing merasa sebagai suruhan Tuhan untuk membunuh orang lain. Kita tidak menyadari akan hal ini. Akan tetapi kalau kita mau berhenti sejenak, merenungkan semuanya, orang seperti itu terjadi setiap hari, setiap saat dalam hati kita. Bukan hanya perang antar negara, bukan hanya perang antar kelompok dan antar agama, melainkan perang di dalam batin kita sendiri. Konflik terjadi setiap saat, bentrokan kepentingan daya-daya rendah yang saling berebutan untuk menguasai diri kita sebagai manusia. Daya-daya rendah yang membonceng kita itu memang ingin mencari kesempurnaan dan kenikmatan melalui jasmani kita, dan kita tidak sadar bahwa pembonceng-pembonceng itu berebutan untuk menjadi maling dan bahkan menjadi majikan, merajalela dalam batin kita, menguasai kita sepenuhnya!
Apakah kalau begitu kita tidak perlu mempunyai cita-cita dan membuang cita-cita" Pendapat ini sempit sekali. Namun, kalau kita sudah dapat mengerti benar apa sebenarnya cita-cita itu, maka pertanyaan itu tidak akan timbul. Apakah seorang murid akan berhasil menjadi sarjana hanya karena dia memiliki cita-cita untuk menjadi sarjana" Bukankah yang mengantarkan dia menjadi seorang sarjana itu adalah CARA-nya, yaitu ketekunan dan kesungguhannya untuk belajar" Dapatkah seseorang menjadi pedagang yang sukses hanya karena cita-citanya" Ataukah yang membuat dia berhasil itu karena ketekunan dan kesungguhan dalam pekerjaan itu" Jadi, yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya. Kalau kita menjadi pelajar, kita belajar dengan tekun dan rajin, bersungguh-sungguh, dan tanpa kita cita-citakan sekalipun, kita pasti akan berhasil lulus dalam pelajaran itu. Demikian pula dengan pekerjaan dan sebagainya lagi.
Tidak mungkin mencapai perdamaian atau ketenteraman dengan jalan berperang. Justeru perang itu meniadakan kedamaian. Kalau kita ingin damai" Mudah saja, jangan berperang! Jangan bermusuhan! Kalau tidak berperang otomatis perdamaian ada. Tentu akan timbul bantahan dan sanggahan. Bagaimana kalau pihak sana yang menyerang" Pihak sana yang memulai. Pihak sana yang salah, dan sebagainya lagi. Selalu "pihak sana" yang salah, dan "pihak kita" yang benar. Justeru di sini letaknya pertentangan yang menimbulkan permusuhan. Pertentangan pendapat. Bentrokan kepentingan, bentrokan kebutuhan. Pada hal, yang menjadi kuncinya bukanlah mengubah pihak sana, melainkan mengubah pihak sini. Keluhan dan pertanyaan yang setiap saat mengusik hati dan pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan, "kenapa engkau begitu tidak begini, kenapa engkau dan dia, begini tidak seperti yang kuharapkan dan kukehendaki" seyogyanya diubah sedemikian rupa sehingga pertanyaan itu menjadi, "kenapa aku selalu begini, mau menang sendiri, pemarah, pencemburu, pengiri, penakut" dan dengan demikian kita dapat melihat kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Kita yang harus berubah! Dan perubahan ini, kalau terjadi dengan sungguh-sungguh, bukan dibuat-buat, bukan palsu, pasti akan mendatangkan perubahan pula kepada orang lain yang kita hadapi! Bukan kosong belaka petuah yang mengatakan, "hadapi kebencian orang kepada kita dengan kasih sayang kepada orang itu." Kalau kasih sayang kita sungguh-sungguh, maka kebencian yang berkobar di hati orang itu pasti akan padam!
Berusaha, berikhtiar sebaiknya dan semampu kita, merupakan wajib. Bagaimana akhir usaha itu" Kita serahkan saja kepada Tuhan Maha Pengasih! Tuhan Maha Adil! Kalau bibit yang ditanam itu baik, cara menanamnya dan memeliharanya juga baik, besar sekali harapannya akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan bunga dan buah yang baik pula. Tujuan memperoleh hasil panen yang baik tanpa bekerja keras dan tekun, tidak ada gunanya sama sekali, sebaliknya dengan bekerja keras dan tekun hampir dapat dipastikan mendatangkan hasil panen yang baik.
Mendengar ucapan muridnya itu, Bouw In tertawa gembira. "Ha-ha-ha, kaulihat, sute. Kita memang ketinggalan jaman, walaupun yang ketinggalan jaman atau dianggap kuno ini belum tentu salah dan yang menamakan dirinya maju itu belum tentu benar. Nah, mari kita selesaikan urusan di antara kita. Kalau aku kalah olehmu, sudahlah, aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan Beng-cu ini seperti juga engkau. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, harap jangan menghalangiku lagi."
"Omitohud, pinceng tahu bahwa pinceng tidak akan menang melawanmu, suheng. Akan tetapi, pinceng siap mengorbankan nyawa demi menjaga nama baik Siauw-lim-pai dan menarikmu kembali ke jalan benar."
Dua orang kakak beradik seperguruan itu kini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Mereka memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lutunya, dan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian keduanya menggerakkan kedua kaki, ditarik merapat lalu tumit diangkat, berdiri di atas jari-jari kaki, kedua tangan dipentang di atas kanan kiri membentuk sayap burung. Mereka seperti dua ekor burung rajawali yang hendak terbang dan berhadapan! Kelihatan lucu dan indah, akan tetapi Cu Goan Ciang dan Coa Leng Si yang mengenal pembukaan jurus ilmu silat Rajawali Sakti itu memandang dengan hati berdebar tegang. Mereka tahu bahwa ilmu silat itu dirangkai oleh kedua orang kakek itu! Dan kini mereka hendak mempergunakan ilmu yang dirangkai bersama-sama itu untuk saling serang! Dua orang ini maklum betapa hebat dan dahsyatnya ilmu itu, apalagi kalau dimainkan oleh dua orang penemunya!
Bagaikan dua ekor rajawali, dua orang kakek itu mulai bergerak dan saling serang. Gerakan mereka sama. Sepasang tangan digerakkan seperti sepasang sayap yang menampar dari kanan kiri, dan sepasang kaki bergerak menendang-nendang seperti sepasang cakar burung rajawali mencakar dan menendang. Gerakan mereka kadang cepat kadang lambat, namun yang hebat adalah hawa pukulan mereka yang menyambar-nyambar dahsyat, sehingga angin pukulannya terasa oleh semua yang hadir, bahkan oleh mereka yang berada di bawah panggung. Panggung itu sendiri bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara gemeretak, seolah dapat ambruk sewaktu-waktu!
Bahkan Pek Mau Lokai dan juga sepasang Huang-ho Siang Lomo sendiri memandang kagum karena mereka maklum betapa lihai kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Yang dapat mengikuti pertandingan itu dengan cermat adalah Cu Goan Ciang dan Coa Leng Si karena mereka telah menguasai ilmu itu, akan tetapi mereka kini maklum bahwa belum sepenuhnya mereka menguasai Sin-tiauw ciang-hoat itu.
Dapat dibayangkan betapa sukarnya keluar sebagai pemenang dalam pertandingan antara dua orang kakak beradik seperguruan itu. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang, apa lagi ilmu silat Rajawali Sakti itu merupakan hasil rangkaian mereka berdua! Setiap gerakan lawan telah mereka kenal dan mereka ketahui perkembangannya sehingga tentu saja mereka selalu dapat menghindarkan diri dengan tangkisan maupun elakan. Akhirnya, karena mengandalkan ilmu silat mereka tidak mungkin keluar sebagai pemenang, untuk menentukan siapa yang lebih kuat, kini mereka lebih mengandalkan kekuatan tenaga sakti mereka!
"Dess...!!" Untuk ke lima kalinya, mereka mengadu tenaga dengan menyalurkan sin-kang melalui sepasang tangan yang didorongkan ke depan, kedua pasang telapak tangan itu bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Lauw In Hwesio hampir terpelanting sehingga terpaksa dia meloncat ke samping dan merangkap kedua tangan depan dada sambil memuji, "Omitohud...!!" Diam-diam dia maklum bahwa dalam mengadu tenaga sin-kang dia masih kalah setingkat dibandingkan suhengnya. Walaupun mungkin tidak diketahui orang lain, akan tetapi dia harus mengakui bahwa dia berada di pihak yang kalah.
"Uhhh...!!" Bouw In terbatuk dan muntahkan sedikit darah segar dan diapun terhuyung-huyung.
"Suhu...!!" Coa Leng Si berseru dan meloncat ke dekat gurunya dan memegang lengan gurunya agar tidak sampai gurunya terjatuh. Bouw In tersenyum, mengusap darah dari bibirnya dan mengangguk-angguk.
"Hemmm, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, Lauw In Sute. Aku mengaku kalah!" Kemudian, kakek itu memutar tubuhnya menghadapi Coa Kun dan berkata, "Coa-pangcu, aku sudah kalah oleh suteku, maka terpaksa aku memenuhi janji dan tidak mencampuri lagi urusan pemilihan Beng-cu ini." Setelah berkata demikian, dia lalu turun dari panggung dan meninggalkan tempat itu.
Diam-diam Lauw In Hwesio merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa sebetulnya dia yang kalah, dan suhengnya itu telah mengaku kalah dan dengan ilmunya telah mengeluarkan darah dari mulut. Hal ini menunjukkan bahwa suhengnya telah menyadari kekeliruannya dan tidak mau lagi diperalat orang lain untuk menjadi Beng-cu. Tentu saja Lauw In Hwesio merasa girang bukan main.
"Terima kasih, suheng!" katanya sambil merangkap kedua tangan depan dada menghadap ke arah perginya Bouw In. Ucapan itu dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga tentu saja dapat terdengar oleh suhengnya. Diapun menghadap ke arah kedua pimpinan tuan rumah. "Omitohud... pinceng telah menyelesaikan tugas pinceng dan akan meninggalkan pertemuan ini. Terserah kepada cu-wi (anda sekalian) tentang siapa yang akan dipilih menjadi Beng-cu. Hanya pinceng pesan agar jangan cu-wi meninggalkan kerukunan di antara orang segolongan, tidak lupa untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Selamat tinggal."
"Suhu...!!" Cu Goan Ciang sudah mendekati gurunya dan memberi hormat. "Suhu tentu mengetahui bahwa teecu melakukan semua ini demi negara dan bangsa, mohon suhu sudi memaafkan teecu."
"Omitohud, semoga Yang Maha Kuasa memberkahimu, Siauw Cu. Lupakah engkau akan riwayat dahulu, ketika beberapa orang murid Siauw-lim-pai melibatkan diri dengan urusan politik, akibatnya kuil Siauw-lim-si dibakar dan banyak murid Siauw-lim-pai dibunuh" Tugas kami menyebar pelajaran agama untuk menyadarkan manusia dari kesesatannya dan kembali ke jalan yang benar, bukan mencampuri urusan pemerintahan. Oleh karena itu, tak seorangpun murid Siauw-lim-pai boleh melibatkan diri dalam urusan politik sehingga akan menyeret nama baik Siauw-lim-pai. Kini, semua yang hadir menjadi saksi bahwa kami tidak lagi mengakui engkau sebagai murid dan sejak ini, semua sepak terjangmu tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai. Selamat tinggal!" Hwesio itu lalu melompat turun dari panggung, diikuti pandang mata Cu Goan Ciang. Ia tidak merasa bersedih karena maklum bahwa gurunya itu tidak melarangnya, hanya ingin agar Siauw-lim-pai tidak terbawa-bawa dalam perjuangannya. Gurunya benar. Pada hal dia tahu benar bahwa di lubuk hati para pendeta Siauw-lim-pai, mereka tidak senang melihat nusa bangsa dijajah orang Mongol. Namun, demi keamanan dan kelancaran tugas mereka menyebar luaskan agama, mereka tidak ingin terlibat urusan pemberontakan.
Selagi dia berdiri termangu, nampak bayangan berkelebat dan kini sepasang kakek dan nenek Huang-ho Siang Lomo telah berdiri di hadapannya. "Cu Goan Ciang, engkau ini orang muda yang bahkan tidak diakui oleh gurumu sendiri, dan engkau berani mengajukan diri sebagai calon Beng-cu" teriak Tee Moli dengan suaranya yang parau.
"Hi-hi-hik!" Suaminya tertawa dengan suaranya yang tinggi. "Kami, Huang-ho Siang Lomo maju sebagai pasangan suami isteri, dan kami yang akan menjadi Beng-cu, kami berdua. Beranikah engkau melawan kami, Cu Goan Ciang" tantang laki-laki tua renta yang nampak loyo akan tetapi yang tadi dengan mudahnya mengalahkan Tay-lek Kwi-ong itu.
Sebelum Cu Goan Ciang menjawab, Pek Mau Lokai sudah berada di situ dan tertawa, "Ha-ha-ha, agaknya saking sudah terlalu tua, kalian menjadi pikun, Huang-ho Siang Lomo! Selain Cu Goan Ciang, masih ada aku di sini yang tadipun dipilih menjadi calon Beng-cu. Akan tetapi, kalaupun aku yang menang, kedudukan itu akan kuserahkan kepada Cu Goan Ciang. Dialah yang paling cocok untuk menjadi pemimpin dunia kang-ouw. Dia masih muda, penuh semangat, gagah perkasa, berjiwa pahlawan tidak seperti kalian yang menjadi penjilath penguasa. Juga kalian hendak main curang, maju berdua menantang Cu Goan Ciang. Aku masih ada di sini, dan kalau kalian maju berdua, Cu Goan Ciang dan aku yang akan menghadapi kalian. Jadi dua lawan dua. Bukankah hal ini adil sekali, saudara sekalian"
Teriakan Pek Mau Lokai ini disambut oleh sorakan yang riuh karena semua orang menyetujuinya. Mereka semua adalah orang-orang dari dunia persilatan yang rata-rata menghargai kegagahan. Kecurangan sikap sepasang kakek dan nenek tadi membuat mereka penasaran dan kini di dalam hati mereka mendukung Cu Goan Ciang!
Huang-ho Siang Lomo menjadi marah. "Jembel tua bangka busuk, kaukira aku takut melawanmu" bentak Tee Moli. Nenek ini memang lebih galak dari suaminya dan iapun sudah menggunakan tongkatnya untuk menyerang Pek Mau Lokai dengan dahsyat. Pek Mau Lokai maklum akan kelihaian nenek loyo itu, maka diapun cepat mengelak dan memutar tongkatnya. Mereka sudah saling serang dengan cepat.
"Cu Goan Ciang, bersiaplah untuk mampus di tanganku!" Thian Moko berseru dan kakek inipun menggerakkan tongkatnya menyerang. Cu Goan Ciang menyambar tongkat yang dilontarkan Yen Yen untuk kedua kalinya kepadanya dan diapun menyambut serangan kakek itu dengan tongkatnya. Terjadilah pertandingan yang hebat di atas panggung antara dua pasangan. Mereka semua menggunakan tongkat, dan baik Goan Ciang maupun Pek Mau Lokai memainkan ilmu tongkat Hom-mo-tung menghadapi sepasang kakek dan nenek yang lihai itu.
Para penonton merasa tegang sekali melihat perkelahian yang benar-benar amat hebat itu. Biarpun sudah tua renta, namun kakek dan nenek itu ternyata masih memiliki tenaga yang kuat dan gerakan merekapun masih cepat. Bahkan Cu Goan Ciang yang memiliki dua ilmu yang ampuh, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat dan Hok-mo-pang, harus mengakui bahwa belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan yang begini ulet dan lihai. Serangan-serangan tongkat kakek itu yang menotok ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya, menunjukkan bahwa kakek itu seorang ahli totok yang lihai sekali. Satu kali saja tubuhnya terkena totokan itu, tentu akan berakibat celaka baginya. Diapun mengerahkan tenaganya dan berusaha membalas serangan lawan, namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh kakek tua renta yang kelihatan loyo namun ternyata lihai bukan main itu. Setiap kali tongkatnya beradu dengan tongkat Thian Moko, dia merasa betapa tangannya tergetar dan panas. Ternyata Thian Moko yang tua renta itu masih tangkas dan kuat sekali.
Pertandingan antara Pek Mau Lokai melawan Tee Moli juga terjadi dengan seru dan seimbang. Tee Moli yang sudah tua itupun ternyata amat tangguh seperti suaminya. Sungguh mengherankan sekali kakek dan nenek tua renta ini, walaupun kalau berjalan biasa saja harus dibantu tongkat, kini begitu bertanding, seolah mereka itu memperoleh tenaga baru dan mereka dapat bergerak dengan tangkas dan kuat seperti orang-orang muda saja.
Akan tetapi, berbeda dengan Cu Goan Ciang yang membalas serangan lawannya dengan dahsyat, Pek Mau Lokai yang menghadapi Tee Moli itu seperti orang bermain-main saja! Pada hal, tingkat kepandaian merekapun seimbang. Kakek pengemis itu lebih banyak mengelak, bahkan berlari-lari dan berputaran di atas panggung sambil mengejek lawan.
"Heiiit, luput lagi, Moli! Ha-ha, engkau kurang cepat, kurang kuat dan sudah loyo, heh-heh-heh!"
Dipermainkan dan diejek seperti itu, nenek itu menjadi semakin marah dan ia mengejar ke mana saja Pek Mau Lokai berlari, dan terus menyerang bertubi-tubi dengan tongkatnya.
"Wuuttt!" Tongkatnya menyambar-nyambar, mendatangkan angin pukulan yang membuat rambut putih pengemis tua yang riap-riapan itu berkibar-kibar, dan terdengar suara berdesingan ketika tongkat menyambar. Agaknya, nenek yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan seluruh tenaganya, namun gerakan si pengemis tua memang lincah dan ringan sehingga semua serangannya dapat dihindarkan dengan elakan dan kadang juga dengan tangkisan tongkatnya.
"Hayyaaaa, hampir kena, tapi luput! Moli, apakah hanya begini kepandaianmu" Hayo cepat keluarkan semua simpananmu, jangan membikin malu saja. Orang seloyo engkau ini hendak menjadi Beng-cu" Memalukan dan menyedihkan!" Kembali Pek Mau Lokai mengejak sambil tertawa-tawa.
Mula-mula Cu Goan Ciang khawatir sekali mendengar ucapan pengemis tua itu yang dianggapnya terlalu memandang rendah lawan. Pada hal dia tahu bahwa kakek pengemis itu belum tentu menang. Akan tetapi, ketika dia mendengar pernapasan nenek itu mulai terengah, mengertilah dia akan maksud Pek Mau Lokai. Sepasang Iblis Tua Sungai Kuning yang sudah tua renta itu memang lihai bukan main dan kalau hanya mengandalkan ilmu silat dan kekerasan, tentu akan sukar sekali mengalahkan mereka. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dipergunakan Pek Mau Lokai adalah mengambil keuntungan dari ketuaan lawan, yaitu daya tahan dan pernapasannya. Diapun segera mencontoh pengemis tua itu dan mulailah Cu Goan Ciang mengelak dan menghindar dengan berlari-lari menjauhkan diri dan membiarkan kakek itu terus menyerang dan mengejarnya. Dengan cara ini dia menyimpan tenaga dan menguras tenaga lawan. Biarpun dia tidak sepandai Pek Mau Lokai dalam hal menggoda dan mengejek, namun Cu Goan Ciang berusaha memanaskan hati lawan dengan mentertawainya, setiap kali serangan kakek itu luput.
"Ha-ha, luput, kek. Masih ada lagi seranganmu yang lebih keras" Jangan segala macam serangan tahu kaukeluarkan!" Dia mengejek.
Huang-ho Siang Lomo adalah dua orang datuk tua yang terlalu tinggi hati dan memandang rendah semua lawannya. Kinipun mereka berdua tidak tahu akan siasat yang dipergunakan Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang. Mereka mengira bahwa lawan mereka itu mulai gentar, maka hanya mengelak dan berputaran, bahkan berlarian. Hal ini membuat mereka semakin besar hati dan penuh semangat untuk segera merobohkan lawan dan mereka makin mengerahkan tenaga dan terus mengejar dan menghujankan serangan maut. Justeru inilah yang dikehendaki Pek Mau Lokai dan yang dicontoh oleh Goan Ciang.
Setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah kelihatan hasilnya. Sepasang kakek nenek itu mulai kehabisan napas. Tubuh mereka basah oleh peluh, dari ubun-ubun kepala mereka mengepul uap dan napas mereka terengah-engah, tenaga mereka mulai menurun cepat sehingga gerakan mereka tidak lagi sekuat dan secepat tadi. Sungguhpun semangat mereka masih besar, namun menyedihkan dan menggelikan melihat mereka kini terpincang-pincang dan terengah-engah melanjutkan penyerangan mereka dengan napas yang empas-empis. Kalau Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk merobohkan dua orang lawan yang sudah kehabisan tenaga dan napas itu. Akan tetapi Pek Mau Lokai agaknya tidak mau melakukan hal ini dan Cu Goan Ciang juga mengikuti jejaknya, tidak mau merobohkan kedua orang itu. Akhirnya, karena kehabisan tenaga, Thian Moko dan Tee Moli tidak kuat berdiri lagi dan seperti kain basah, tubuh mereka terkulai roboh sendiri di atas panggung!
Sorak-sorai menyambut kemenangan Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang, dan Pek Mau Lokai yang berdiri di atas panggung berseru dengan suara yang lantang nyaring karena dia mengerahkan khi-kang, "Saudara sekalian! Jelas bahwa yang menjadi pemenang adalah Cu Goan Ciang dan dia yang berhak menjadi Beng-cu!"
Para tokoh yang berada di situ mengangguk-angguk dan terdengar sorak-sorai menyetujui pengangkatan Cu Goan Ciang sebagai Beng-cu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara gegap gempita dan pasukan pemerintah yang secara diam-diam telah mengepung tempat itu, kini maju menyerbu!
Para pimpinan Hwa I Kaipang tidak terkejut melihat penyerbuan ini, Cu Goan Ciang memang sudah mendapat berita dari Shu Ta tentang siasat pemerintah yang hendak menggunakan dua cara, yaitu pertama, merebut kedudukan Beng-cu agar terjatuh ke tangan orang-orang yang pro pemerintah dan kalau hal ini gagal, pasukan akan menyergap dan menangkapi pihak pemenang kedudukan Beng-cu yang tidak mendukung pemerintah Mongol. Kalau Pek Mau Lokai melanjutkan pemilihan Beng-cu, hal itu hanya untuk mencapai satu sasaran, yaitu agar dunia kang-ouw lebih dahulu mengakui Cu Goan Ciang sebagai pemimpin karena hal ini kelak akan memudahkan pemuda itu bergerak mengumpulkan dan menghimpun kekuatan untuk menentang penjajah.
Seperti yang telah mereka rencanakan, begitu pasukan menyerbu, Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang memimpin anak buah mereka untuk melarikan diri, melalui lereng bukit yang sudah mereka rencanakan. Mereka bertemu pasukan yang menghadang di tempat itu dan terjadi pertempuran mati-matian. Para anggota Hwa I Kaipang yang dipimpin tiga orang ketua daerah, yaitu Lee Ti ketua daerah barat, Pouw Sen ketua daerah timur, dan Kauw Bok ketua daerah selatan, dengan anak buah sebanyak kurang lebih seratus orang, mengamuk.
Pek Mau Lokai, Tang Hui Yen dan Cu Goan Ciang sendiri dikeroyok belasan orang perwira Mongol yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh sehingga terjadi perkelahian yang seru.
"Goan Ciang, Yen Yen, cepat kalian pergi!" berulang-ulang kakek Pek Mau Lokai berteriak, menyuruh kedua orang muda itu pergi.
"Tidak, aku harus menemanimu melawan anjing-anjing busuk ini!" bantah Yen Yen penuh semangat dan tongkat merobohkan seorang pengeroyok.
"Kita harus lari bersama atau mati bersama!" kata pula Goan Ciang dengan gagah.
Pek Mau Lokai mengeluarkan teriakan melengking panjang dan dua orang perwira roboh. "Bodoh kalian!" bentaknya kepada cucunya dan Goan Ciang. "Goan Ciang, apakah cita-citamu harus berhenti sampai di sini saja" Yen Yen, engkau harus menemani Goan Ciang sampai dia berhasil dengan perjuangannya. Aku sudah tua, aku yang harus mencegah mereka mengejar kalian. Cepat pergi!" suaranya mengandung wibawa dan Cu Goan Ciang mengerti. Dia tahu bahwa kalau pasukan bantuan tiba, mereka semua pasti akan mati konyol. Dia menyambar tangan Yen Yen dan menariknya lari dari situ.
"Pangcu, selamat tinggal!" teriak Goan Ciang.
"Kong-kong, jaga dirimu baik-baik," kata pula Yen Yen dengan suara sedih.
Akan tetapi Pek Mau Lokai tidak sempat menjawab karena dia sudah mengamuk untuk mencegah para perwira melakukan pengejaran terhadap Cu Goan Ciang dan Yen Yen. Gerakan kakek ini amat dahsyat dan siapa yang berani melewatinya untuk mengejar, tentu roboh. Akan tetapi, muncullah Coa Kun dan sepasang kakek nenek yang tadi kehabisan napas. Mereka telah agak pulih dan kini mereka ikut mengeroyok Pek Mau Lokai.
Betapapun lihainya Pek Mau Lokai, dikeroyok demikian banyaknya lawan tangguh, dia menderita luka-luka dan roboh, akan tetapi anak buah Hwa I Kaipang mencoba untuk menolong dan melindunginya. Kakek perkasa, tokoh utama Hwa I Kaipang itu seperti tenggelam dalam tumpukan mayat yang berserakan.
Anak buah Hwa I Kaipang kocar-kacir. Banyak yang tewas, sebagin melarikan diri. Cu Goan Ciang dan Yen Yen berhasil menyelamatkan diri dengan perahu yang sudah dipersiapkan sebelumnya sehingga para pengejar hanya dapat melihat dari tepi sungai dan mencoba untuk menyerang dengan anak panah. Namun perahu sudah terlalu jauh dan tidak terjangkau anak panah. Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen selamat.
Di tempat persembunyian mereka, di sebuah bukit kecil di lembah Yang-ce, mereka mendengar berita tentang kematian Pek Mau Lokai dan para anggota Hwa I Kaipang, dari mereka yang berhasil lolos dari sergapan pasukan pemerintah. Mendengar akan tewasnya kakeknya, walaupun hal itu sudah dikhawatirkannya dan juga tidak ada yang menyaksikan sendiri tewasnya kakek yang gagah perkasa itu, Yen Yen menangis sesenggukan dengan hati penuh duka. Kematian kakeknya itu membuat ia merasa kehilangan segalanya. Kehilangan kakek, guru, pengganti orang tuanya. Sejak kecil ia ditinggal mati ayah ibunya dan dirawat oleh kakeknya penuh kasih sayang. Kini kakeknya tewas tanpa ia ketahui, bahkan jenazah kakeknyapun tidak dapat ia urus. Kenangan terakhir tentang kakeknya adalah ketika kakeknya dikeroyok banyak orang dan terpaksa ia meninggalkan kakeknya yang terancam bahaya.
"Ahh, kenapa aku harus meninggalkannya" Aku seharusnya membantunya dan mati bersamanya..." ia meratap.
"Yen-moi, tenanglah," Goan Ciang menghibur. "Engkau tahu benar bahwa kita meninggalkan kakek di sana bukan karena kita takut mati. Aku mengerti kakek benar. Kalau kita berdua nekat dan mati bersama, lalu bagaimana dengan perjuangan" Kita disuruh tetap hidup agar kita dapat melanjutkan perjuangan ini, menghancurkan penjajah. Mengertikah engkau, Yen-moi"
"Tapi... toako, kong-kong telah tewas... berarti aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, aku sekarang sebatang kara... aku tidak punya siapa-siapa lagi..."
"Hemm, lupakah engkau bahwa engkau masih mempunyai aku, Yen-moi" Ucapan Goan Ciang itu disertai pandang mata yang penuh kasih sayang, mendatangkan rasa haru dalam hati Hui Yen dan iapun menubruk pemuda itu sambil menangis. Cu Goan Ciang merangkulnya dan pemuda ini maklum bahwa dia telah menemukan pengganti mendiang Kim Lee Siang.
"Aku sudah berjanji kepada kong-kong," bisiknya, "kita menikah setelah aku berhasil membunuh Khabuli, dan engkau malah yang membantuku sehingga dendam itu dapat terbalas."


Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Koko... ah, koko... terima kasih..." Yen Yen terisak.
Tiba-tiba keduanya tersentak kaget mendengar suara tawa yang amat mereka kenal. Yen Yen melepaskan diri dari rangkulan Goan Ciang dan keduanya meloncat berdiri, terbelalak memandang kepada kakek yang sudah berdiri di depan mereka, bersandar kepada tongkatnya. Pakaiannya robek-robek, masih ada bekas darah di bajunya.
"Kong-kong...!" Yen Yen menjerit dan menubruk kaki orang tua itu.
"Pangcu! Kabarnya kau... kau..." Goan Ciang juga berkata bingung.
Pek Mau Lokai tersenyum lemah. "Memang aku nyaris tewas. Musuh terlalu banyak. Aku sudah luka-luka, akan tetapi anak buah kita sungguh setia. Mereka melindungiku, dan aku dapat meloloskan diri di antara tumpukan mayat. Tak seorangpun melihatnya dan aku disangka mati... heh-heh, akan tetapi agaknya Thian belum menghendaki riwayatku tamat, heh-heh-heh!"
Tentu saja Goan Ciang dan Yen Yen merasa girang bukan main dan mereka cepat menolong kakek itu dan mengundang ahli pengobatan yang pandai sehingga dalam waktu sebulan saja kesehatan kakek itu telah pulih kembali.
Biarpun pemilihan Beng-cu berlangsung kacau, bahkan diakhiri dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap orang-orang Hwa I Kaipang, namun dunia kang-ouw telah mengakui Cu Goan Ciang sebagai seorang Beng-cu atau pemimpin dunia kang-ouw yang disegani dan dihormati.
Mulailah Cu Goan Ciang menghimpun kekuatan dan mendatangkan para tokoh kang-ouw yang sehaluan, yaitu untuk menentang pemerintah penjajah Mongol. Dalam usaha ini, dia dibantu oleh Tang Hui Yen yang setia, kekasihnya yang telah diakuinya sebagai calon isterinya, dan juga Pek Mau Lokai membantunya sebagai penasihat. Dia mulai menghimpun kekuatan itu di Lembah Sungai Huai, menjadi dusun kelahirannya, yaitu dusun Cang-cin, sebagai pusat. Kedua orang kakak beradik Koa, yaitu Koa Hok dan Koa Sek, dengan penuh semangata membantunya, juga Ji Kui Hwa yang kini telah menjadi isteri Koa Hok.
Banyak pula para tokoh kang-ouw yang masih belum mau menerima Cu Goan Ciang sebagai Beng-cu. Mereka menganggap tidak sepantasnya kalau dunia persilatan dipimpin seorang pemuda. Maka di sana sini bermunculan kelompok orang kang-ouw yang tidak mau mengakuinya sebagai Beng-cu. Banyak pula kelompok yang menjadi kelompok tandingan, bergerak sendiri untuk menentang pemerintah penjajah. Dan mulailah Cu Goan Ciang memimpin anak buahnya untuk menaklukkan mereka satu demi satu.
Mula-mula, karena mengingat kekuatan sendiri yang kecil dan tidak mungkin mampu menandingi kekuatan pasukan pemerintah, gerakan perkumpulan kang-ouw yang dipimpin Cu Goan Ciang ini hanya membuat kekacauan dengan menghukum pejabat daerah yang sewenang-wenang, bahkan juga hartawan dan tuan tanah yang mencekik leher rakyat. Di samping itu, juga dia menaklukkan kelompok yang bergerak sendiri dan menarik mereka sebagai kawan seperjuangan. Ketika melihat bahwa banyak tokoh-tokoh kang-ouw tidak setuju kalau mereka harus berada di bawah kekuasaan Hwa I Kaipang, perkumpulan pengemis, Cu Goan Ciang mengundang para pimpinan di dunia kang-ouw untuk berunding dan akhirnya diputuskan oleh Cu Goan Ciang dan disetujui semua orang bahwa mulai saat itu, semua nama perkumpulan atau kelompok yang bergabung dihapus dan dipilih sebuah nama saja untuk gerakan mereka, yaitu Beng-pai (Partai Terang). Bendera-bendera yang mereka bawa hanya memuat huruf, yaitu huruf BENG (Terang) dan mulailah Cu Goan Ciang menguasai dusun-dusun dan merampas tanah-tanah para hartawan.
Berbeda dengan gerombolan biasa yang kalau menyerbu dusun lalu melakukan perampokan dan pembunuhan, penculikan terhadap wanita-wanita, Beng-pai merupakan perkumpulan pemberontak yang menduduki dusun itu, tidak mengganggu penduduknya kecuali mereka yang melawan, merampas tanah yang berlebihan, minta sumbangan yang pantas, bukan merampok seluruh milik orang dan menjadi dusun yang telah diduduki itu sebagai markasnya.
Melihat betapa banyaknya gangguan gerombolan perampok yang memakai kedok pejuang, dan melihat pula kekuatan Beng-pai yang semakin kuat, para pedagang dan tuan tanah lalu mendekati Cu Goan Ciang dan menyatakan ingin bekerja sama! Mereka menyediakan dana untuk biaya pasukan Beng-pai, dan persekutuan ini membuat Beng-pai menjadi semakin besar dan kuat. Dan merekapun kini mengalihkan arah gerakan mereka. Setelah kelompok-kelompok kecil melihat kekuatan Beng-pai dan bergabung, maka Beng-pai menjadi kekuatan besar dan mulailah perkumpulan ini bergerak dan mencurahkan seluruh kekuatan untuk menentang pemerintah penjajah Mongol!
Dalam waktu setahun saja, Cu Goan Ciang telah berhasil menghimpun kekuatan yang ratusan ribu orang banyaknya dan telah berhasil menduduki dan menguasai seluruh daerah di lembah Huai. Mulailah pasukan itu bergerak menuju ke Nan-king!
Menteri Bayan atau dengan nama Cina Bouw Yan, meloncat turun dari keretanya di pekarangan rumah dan memasuki rumahnya dengan langkah lebar. Wajahnya muram dan dia mengepal tinju. Penghormatan prajurit pengawal yang melakukan penjagaan di pendopo rumahnya tidak dihiraukannya. Dia membuka pintu depan lalu masuk dan membanting pintu itu menutup kembali.
"Sialan!" gerutunya marah. "Tak tahu diuntung! Lemah dan picik, mabok kesenangan!" Menteri yang usianya sudah setengah abad ini nampak marah sekali. Wajahnya yang gagah kemerahan. Dia adalah pejabat tertinggi yang paling diandalkan dan dipercaya oleh kaisar Togan Timur, yaitu kaisar yang pada waktu itu memimpin kerajaan Goan (Mongol).
Seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih namun masih nampak cantik dan lembut, menyambutnya. Ia adalah isteri menteri itu, seorang wanita peranakan Han yang lembut.
"Aih, kenapa engkau datang-datang kelihatan marah sekali, suamiku" Apakah yang terjadi di istana maka engkau begini marah-marah" tanya sang isteri dengan ramah.
Menteri Bayan menjatuhkan diri di atas sebuah kursi besar di ruangan dalam itu. Isterinya memberi isarat kepada dua orang pelayan wanita untuk meninggalkan ruangan itu dan ia sendiri menuangkan air teh hangat untuk suaminya. Ia tahu bahwa suaminya sedang risau dan tidak ada yang lebih menghibur dari pada sikap lunak dan ramah serta minuman air teh hangat.
"Aihhhhh...!!" berulang-ulang pejabat tinggi itu menghela napas tanpa menjawab pertanyaan isterinya, dan wanita yang penuh pengertian itupun tidak mendesak, menanti dengan tenang dan sabar sampai suaminya menceritakan apa yang sedang dirisaukannya.
Minuman segar hangat dan suasana hening dan tenteram di ruangan itu, ditunggui isterinya yang tenang dan sabar, akhirnya dapat meredakan kerisauan hati pria setengah tua itu. Dia menghela napas panjang.
"Betapa menjengkelkan melihat keadaan yang tidak baik akan tetapi diri tidak kuasa untuk memperbaikinya. Betapa menyedihkan melihat kerajaan yang tadinya jaya ini perlahan-lahan menghadapi keruntuhannya."
Mendengar keluhan suaminya itu, sang isteri maklum bahwa kebekuan itu telah mencair dan sudah tiba saatnya baginya untuk bicara, siap membantu suaminya memikul beban tekanan batin yang menyusahkan hati suaminya itu,
"Suamiku, biasanya sehabis menghadap kaisar, engkau pulang dengan sikap gembira. Akan tetapi sekali ini sungguh amat berbeda, engkau pulang dan kelihatan murung. Kemudian ucapanmu tadi, sungguh aku tidak mengerti akan maksudnya. Kalau engkau tidak merasa keberatan, maukah engkau menceritakannya kepadaku"
Menteri Bouw Yan mengepal tinju. "Sungguh membuat orang dapat mati penasaran. Aku, yang hanya seorang menteri, amat mengkhawatirkan keadaan kerajaan, amat prihatin. Akan tetapi dia, yang menjadi kaisar, bahkan acuh saja dan tenggelam ke dalam kesenangan. Setiap hari berpesta pora, sama sekali tidak mengacuhkan ketika ada laporan tentang pergolakan di selatan. Dan yang memuakkan, sebagian besar pejabat bahkan ikut-ikutan bersenang-senang. Mereka semua itu telah buta!"
"Harap tenang, suamiku. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di selatan yang amat menggelisahkan hatimu"
"Apa yang terjadi di selatan" Semua orang mengetahui. Di selatan timbul perserikatan orang-orang yang menentang kerajaan Goan. Dahulu, mereka hanya merupakan gerombolan-gerombolan kecil yang tidak berarti. Akan tetapi sekarang, mereka telah bersatu, dipimpin oleh seorang pemuda yang bersemangat tinggi, yang baru saja memenangkan kedudukan Beng-cu di dunia kang-ouw. Sungguh aku merasa khawatir sekali dan kekhawatiran ini kukemukakan kepada Sribaginda. Akan tetapi aku malah dianggap mengganggu kesenangan beliau dan dianggap penakut."
"Suamiku, kenapa merisaukan segala macam pemberontakan di selatan" Bukankah sejak dahulu selalu ada saja gerombolan pemberontak yang mengacau dan selalu pasukan pemerintah dapat membasminya" Kalau sekarang ada pemberontakan di selatan, kirim saja pasukan untuk membasmi dan engkau tidak akan merasa risau lagi."
"Pemberontakan silih berganti, hal ini saja sudah menunjukkan betapa lemahnya pemerintahan. Akan tetapi sekali ini bukanlah pemberontakan biasa, bukan sekedar gerombolan pemberontak yang mudah ditumpas! Aku mendengar kabar bahwa pemuda yang bernama Cu Goan Ciang, yang terpilih sebagai Beng-cu dan dijuluki Rajawali Lembah Huai, telah berhasil menghimpun banyak sekali pemuda dari dusun-dusun, dan banyak tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi, membentuk sebuah pasukan yang kuat. Pasukan ini menamakan diri Beng-pai, dengan panji bertuliskan huruf Beng. Mereka bukan perampok-perampok, dan mereka sudah mulai menduduki daerah sekitar lembah Huai, dan menurut kabar, rakyat jelata mendukungnya, bahkan para hartawan dan tuan tanah menyumbangkan harta untuk membiayai pasukan mereka. Ini sungguh berbahaya sekali!!"
"Aih, kalau begitu, tidak semestinya pemerintah mendiamkannya saja. Sudah semestinya panglima membawa pasukan besar untukl menumpasnya," kata sang isteri yang ikut merasa terkejut mendengar itu.
"Itulah yang membuat aku merasa jengkel. Sudah kulaporkan semua itu, akan tetapi kaisar yang haus kesenangan itu malah merasa terganggu kesenangannya dan menyuruh aku memadamkan api pemberontakan di selatan itu. Pada hal, kota raja inipun tak pernah bebas dari ancaman pemberontakan yang terjadi di sekitarnya. Biarpun pemberontakan di sekitar kota raja hanya terdiri dari gerombolan kecil yang mengadakan kekacauan dan perampokan, namun cukup memusingkan. Yang menyebalkan, para menteri juga ikut mencelaku yang katanya merasa iri karena tidak suka ikut berfoya-foya seperti mereka. Menyebalkan sekali!"
"Lalu, apa yang akan kaulakukan sekarang" tanya isterinya khawatir.
"Aku melihat awan gelap datang dari selatan dan kalau aku bersikap seperti para penjilat itu, terjun ke dalam kesenangan dan foya-foya bersama Sribaginda, sudah pasti kerajaan ini akan segera hancur. Aku yang sejak muda mengabdikan diriku kepada kerajaan, tidak mungkin tinggal diam saja. Aku sendiri akan pergi ke Nan-king dan memimpin penumpasan Beng-pai yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang!"
"Ku Cin dan Mimi juga masih berada di sana!" kata isterinya. "Sebaiknya kalau mereka itu kausuruh kembali ke kota raja. Berbahaya sekali bagi mereka kalau sampai terjadi pergolakan dan perang di selatan."
"Justeru tenaga mereka itu kubutuhkan. Mereka sudah beberapa lamanya tinggal di Nan-king, tentu lebih banyak mengetahui keadaan di sana. Aku membutuhkan bantuan orang-orang yang dapat dipercaya."
Pada hari itu juga, Menteri Bouw Yan atau Bayan, mengumpulkan dua ratus orang prajurit pilihan dan bersama beberapa orang panglima yang membantunya, diapun berangkat dengan kereta menuju ke selatan. Kaisar yang dipamiti hanya menyetujui saja, dan para menteri yang lain menertawakan Bayan yang mereka anggap seperti anak kecil yang takut bayangan sendiri. Bagaimana mungkin segerombolan rakyat petani dapat merupakan ancaman bagi kerajaan Goan yang besar dan jaya"
Dua orang pemuda itu berjalan menyusuri sungai Huai. Keduanya berwajah tampan walaupun pakaian mereka seperti orang-orang muda, petani dusun yang sederhana. Yang seorang bertubuh tampan dan tegap, berusia sekitar dua puluh tiga tahun, dan yang kedua tentu adiknya karena wajah mereka mirip, akan tetapi adik ini lebih tampan dan tidak setegap kakaknya, dan usianya sekitar sembilan belas tahun. Mereka ini memang nampak sederhana, dengan caping petani, dengan kulit muka, leher dan tangan kecoklatan terbakar sinar matahari, dan pakaian mereka dari kain kasar. Namun, gerak-gerik mereka tidak seperi petani kasar, dan memang sesungguhnya mereka adalah dua orang muda bangsawan yang menyamar.
Mereka adalah Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi, dua orang putera dan puteri Menteri Bayan! Sudah lama mereka berada di Nan-king, selain membawa pesan ayah mereka kepada para pejabat di Nan-king, juga mereka melihat perkembangan keadaan di daerah selatan itu. Mereka berdua mendengar pula akan hasil pemilihan Beng-cu yang jatuh ke tangan Cu Goan Ciang, pemberontak yang terkenal sebagai buruan pemerintah itu. Memang sejak pemilihan Beng-cu, Nan-king tidak pernah diganggu penjahat atau pemberontak dan hal ini berkat penjagaan ketat yang dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh panglima Shu Ta.
Kakak beradik bangsawan ini telah menjadi sahabat baik Shu Ta dan pergaulan mereka akrab. Biarpun di lubuk hatinya, Shu Ta adalah seorang yang berjiwa patriot dan membenci penjajah Mongol, akan tetapi dia harus mengakui bahwa kakak beradik itu adalah orang-orang yang berwatak baik dan gagah. Terutama sekali Mimi. Baginya, tidak ada gadis lain sehebat Bouw Mimi dan sejak pertemuan pertama kali, hatinya sudah tertarik sekali. Setelah mereka bergaul dan dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu berwatak baik dan gagah, bahkan dalam percakapan seringkali mencela politik bangsa Mongol yang melakukan penekanan terhadap rakyat, maka Shu Ta diam-diam sudah jatuh cinta kepada Mimi.
Ketika kakak beradik itu menyatakan hendak melakukan penyelidikan sendiri di daerah selatan Nan-king, di sepanjang sungai Huai yang kabarnya dijadikan pusat gerakan pemberontak, tentu saja Shu Ta merasa khawatir sekali.
"Kenapa engkau merasa khawatir, Shu-Ciangkun" bantah Bouw Ku Cin ketika panglima itu membujuk agar mereka tidak pergi. "Bukankah berkat pembersihan yang kaulakukan dengan pasukanmu, selama ini Nan-king dalam keadaan aman dan tenteram, tidak ada penjahat atau pemberontak yang berani membikin kacau"
"Dan lagi siapa yang akan mengetahui bahwa kami berdua adalah putera dan puteri menteri" Kami akan menyamar sebagai dua orang dusun, dan aku akan menyamar sebagai seorang pemuda. Aku ahli dalam penyamaran, Ciangkun. Kami berdua mampu berjaga diri," kata pula Mimi sambil tersenyum.
"Akan tetapi, kongcu dan siocia, sungguh perjalanan itu amat berbahaya. Biarpun di kota kelihatan tenang, akan tetapi siapa tahu keadaan di luar sana" Menurut kabar, terjadi pergolakan di sepanjang lembah Huai. Kalau ji-wi (anda berdua) ingin melakukan penyelidikan, sebaiknya disertai serombongan pengawal yang berkepandaian tinggi untuk menjamin keamanan ji-wi."
"Ah, kami tidak suka!" kata Bouw Ku Cin. "Kami akan merasa canggung dan tidak bebas. Pula, kalau kami menyamar sebagai dua orang pemuda dusun, bagaimana mungkin mempunyai pasukan pengawal" Sudahlah, Ciangkun, jangan terlalu mengkhawatirkan diri kami."
"Akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat membiarkan ji-wi pergi" Kalau sampai terjadi sesuatu dengan ji-wi, tentu aku akan ditegur dan bahkan mendapat kesalahan besar dari atasanku."
"Kalau begitu, biar kami melapor dulu kepada paman Yatucin!" kata kakak beradik itu dan mereka segera menemui Yauw-Ciangkun. Panglima komandan pasukan di Nan-king inipun mencoba untuk membujuk kakak beradik itu agar mengurungkan niat mereka, akan tetapi, mereka nekat dan akhirnya panglima itupun tidak dapat mencegah. Hanya setelah mereka berdua pergi, Yauw-Ciangkun cepat memanggil panglima Shu Ta dan memerintahkan agar Shu-Ciangkun diam-diam menyuruh orang membayangi dan melindungi kakak beradik bangsawan yang nekat itu.
Demikianlah, pada pagi hari itu, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi menyamar sebagai dua orang pemuda dusun yang berjalan santai menyusuri sungai Huai. Untuk melengkapi penyamaran mereka, Bouw Ku Cin membawa segulung jala sedangkan Mimi membawa tangkai pancing. Mereka sama sekali tidak mencurigakan karena hampir semua orang muda yang tinggal di lembah sungai Huao hanya mempunyai pekerjaan bersawah ladang dan mencari ikan sebagai nelayan. Mereka itu petani dan juga nelayan.
Sudah sepekan lamanya mereka berkeliaran melakukan penyelidikan di sepanjang lembah Huai. Beberapa kali mereka dicurigai dan ditahan kelompok prajurit yang meronda atau melakukan penjagaan, namun Bouw Ku Cin dan adiknya segera dibebaskan kembali ketika mereka memperlihatkan sebuah surat kuasa yang dibuat dan ditanda tangani sendiri oleh Yauw-Ciangkun. Dan mereka tidak pernah bertemu dengan para pemberontak, apa lagi mendapat gangguan mereka. Suasana di dusun sekitar lembah itu nampak tenteram dan tenang, para petani dan nelayan bekerja dengan santai. Dari keterangan para penduduk dusun, kakak beradik ini mendapatkan berita yang membuat mereka merasa penasaran dan juga marah. Ternyata bahwa yang suka mengacau dan mengganggu penduduk sama sekali bukan para pemberontak yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang, bahkan sebaliknya, yang suka mengganggu adalah anak buah pasukan pemerintah! Setiap kali ada rombongan prajurit pemerintah melakukan perondaan di sebuah dusun, tentu terjadi hal-hal yang memuakkan. Pasukan itu tidak segan-segan, dengan dalih melakukan pembersihan dan mencari pemberontak, untuk menggeledah setiap rumah rakyat dusun dan dalam pelaksanaan penggeledahan inilah terjadi hal-hal yang amat memalukan kakak beradik ini. Seringkali para prajurit pasukan Mongol itu merampas barang-barang berharga, juga memperkosa wanita-wanita, dan mereka meninggalkan sebuah dusun sambil menuntun kerbau atau sapi untuk mereka santap dalam berpesta malam nanti!
"Bedebah mereka itu!" kata Bouw Ku Cin marah. "Kalau macam itu kelakuan pasukan kita, tentu saja rakyat berpihak kepada pemberontak! Aihhh, kelakuan para prajurit itulah yang akan menghancurkan kerajaan, dan pemberontakan yang terjadi di mana-mana adalah akibat dari pada kejahatan pasukan kita sendiri!"
"Tapi, kukira tidak semua prajurit kita seperti itu, koko," bantah Mimi yang juga marah melihat ulah prajurit kerajaan. "Yang bertanggung jawab tentu saja komandan mereka, dan kurasa masih banyak komandan yang baik, misalnya paman Yatucin sendiri, atau Shu-Ciangkun..."
"Akan tetapi mereka tidak mungkin mengawasi seluruh pasukan! Dan biasanya, kesalahan yang dilakukan oleh seorang anggota saja dari sebuah pasukan, akan menodai nama baik seluruh pasukan itu. Tidak mengherankan kalau rakyat mulai bangkit memberontak karena mereka tentu saja menganggap bahwa kebusukan belasan orang prajurit itu merupakan cermin dari kebusukan pemerintah. Sungguh celaka!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang" tanya adiknya.
"Mari kita kembali ke Nan-king. Kita harus melaporkan ini kepada paman Yatucin dan Shu-Ciangkun. Mereka harus mengadakan pengamatan dan pembersihan di kalangan pasukan sendiri. Kalau keadaan seperti ini berkelanjutan, dan rakyat membencu pasukan pemerintah sebaliknya mendukung pemberontak, keadaan kita akan menjadi lemah sebaliknya pihak pemberontak semakin kuat."
"Akan tetapi, koko. Kita hanya mendengar saja keterangan itu dari penduduk dusun. Bagaimana kita dapat melapor kalau kita tidak membuktikannya sendiri" Laporan kita harus berdasarkan kenyataan yang meyakinkan. Bagaimana kalau semua keterangan itu hanya fitnah belaka"
"Aih, engkau benar juga, adikku! Kita harus mencari bukti walaupun aku tidak percaya kalau para penghuni dusun itu berbohong. Ketika mereka bercerita, mereka menganggap kita adalah pemuda-pemuda dari dusun lain. Perlu apa mereka berbohong kepada sesama rakyat dusun" Bagaimanapun juga, memang kita harus membuktikan kebenaran laporan kita. Kabarnya, para prajurit penjaga itu suka membuat kekacauan di dusun sebelah barat sana yang tidak jauh dari pos penjagaan. Mari kita ke sana."
Setelah melakukan pengintaian tak jauh dari pos penjagaan pasukan penjaga keamanan, akhirnya pada suatu siang kakak beradik itu membayangi selosin prajurit yang melakukan perondaan. Dua belas orang itu agaknya sudah setengah mabok dan percakapan yang mereka lakukan ketika mereka meninggalkan pos penjagaan dalam barisan yang tidak rapi itu yang menarik perhatian Bouw Ku Cin dan Mimi untuk membayangi mereka.
Dua belas orang prajurit itu terdiri dari orang-orang berusia antara dua puluh lima sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian seragam dan di pinggang mereka tergantung golok. Pemimpin regu kecil ini seorang prajurit yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dari obrolan mereka yang diselingi tawa, mudah diketahui bahwa selosin orang prajurit ini dalam keadaan setengah mabok.
"Ha-ha, pesta pernikahan puteri lurah So itu tentu meriah sekali!"
"Arak dan daging berlimpahan!"
"Gadis-gadis cantik dari semua dusun tentu berkumpul di sana."
"Lurah jahanam, kita tidak diundang!"
"Ha-ha, biar tidak diundang, kitalah yang akan berpesta pora nanti. Makan daging sekenyangnya, minum arak sepuasnya, dan memilih gadis tercantik."
"Aku ingin membawa dua orang gadis!"
Mendengar obrolan mereka yang dilakukan sambil tertawa-tawa itu, Mimi merasa muak dan marah sekali. Tidak disangkanya sama sekali bahwa di antara para prajurit kerajaan terdapat orang-orang semacam itu, yang tiada ubahnya gerombolan perampok saja. Kalau menuruti panasnya hati, ingin ia menyusul mereka dan menghajar mereka sepuas hatinya. Akan tetapi, Bouw Ku Cin melarangnya.
"Bukankah kau menghendaki bukti" Kalau hanya obrolan mereka itu, bukan bukti namanya. Apa lagi mereka dalam keadaan setengah mabok, mana omongan mereka dapat dipercaya" Kita lihat saja perkembangannya. Kalau mereka benar melaksanakan apa yang mereka ucapkan tadi, baru kita turun tangan."
Mimi mengangguk karena ia dapat melihat kebenaran ucapan kakanya. Mereka membayangi terus dan tak lama kemudian rombongan itu telah tiba di luar sebuah dusun yang berada di Lembah Sungai Huai. Dari luar dusun saja sudah dapat terdengar suara musik yang menandakan bahwa di dalam dusun itu memang benar sedang diadakan sebuah pesta. Rombongan prajurit itu semakin gembira dan mereka memasuki dusun dengan barisan yang tidak teratur lagi. Ku Cin dan Mimi juga memasuki dusun, berbaur dengan penduduk yang agaknya datang dari dusun lain dan ingin menonton keramaian.
Yang mempunyai kerja memang Lurah So, kepala dusun Lam-kiang yang cukup ramai karena daerah itu memang makmur, tanahnya subur dan perairannya mengandung banyak ikan. Sejak pagi tadi, rumah kepala dusun itu telah dihias dan sepasang mempelai telah duduk bersanding. Biarpun yang menikah adalah puterinya, namun karena dia kepala dusun, maka pengantin puteri belum dibawa pergi karena kepala dusun mengadakan penyambutan pengantin pria dengan pesta yang meriah.
Ruangan tamu di depan rumah, sebuah panggung bangunan darurat, telah penuh dengan tamu, bahkan di luar pekarangan juga terdapat banyak penduduk dusun yang menonton keramaian itu, mendengarkan musik dan nyanyian, dan menonton tarian. Bahkan mereka ini kebagian kue yang dibagikan oleh pelayan sehingga suasana menjadi gembira bukan main.
Akan tetapi selagi orang berpesta, muncul seorang laki-laki tinggi besar yang melangkah memasuki tempat pesta. Laki-laki ini usianya empat puluh tahun lebih, mukanya penuh brewok dan tubuhnya sungguh menakutkan, tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya. Melihat orang ini, pihak tuan rumah mengira bahwa ada tamu yang datang terlambat, maka wakil tuan rumah cepat maju menyambut.
Tamu itu seperti tidak memperdulikan dua orang wakil tuan rumah yang menyambut. Dia celingukan memandang ke sana sini lalu berkata dengan senyum menyeringai, "Bagus! Perutku sang lapar, mulutku sedang haus, dan di sini terdapat arak dan makanan berlimpahan. Aku harus mendapatkan sebuah meja di tepi sana, di tengah terlalu banyak orang!"
Tentu saja dua orang yang menyambut itu menjadi tertegun. Seorang di antara mereka berkata, "Harap saudara memperkenalkan nama dan lebih dahulu memberi selamat kepada Lurah So."
Akan tetapi orang tinggi besar itu hanya berkata, "Aku mau makan minum, bukan menemui Lurah So!" dan dengan langkah lebar dia menuju ke tepi ruangan itu dan menghampiri sebuah meja di mana duduk enam orang tamu.
"Heii, kalian semua pindah ke lain tempat. Meja ini untukku seorang!" katanya.
Tentu saja enam orang tamu itu menjadi marah. "Engkau ini manusia kurang ajar dari mana berani datang mengusir kami. Tuan rumah So telah menerima kami sebagai tamu, dan kau..."
Raksasa itu melotot. "Cerewet! Pergilah dan jangan banyak cakap atau kalian sudah bosan hidup" Berkata demikian, orang itu menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan enam orang tamu itupun terpelanting ke kanan kiri! Raksasa itu terkekeh, lalu duduk menghadapi meja yang masih penuh hidangan, kemudian berseru sambil menoleh ke arah pihak tuan rumah.
"Heii, makanannya cukup, akan tetapi araknya kurang. Tambahkan arak!" Dan diapun mulai menggunakan sepasang sumpit, melahap makanan yang berada di atas meja, mulutnya mengeluarkan suara seperti seekor babi sedang makan. Enam orang tamu itu tentu saja terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, Lurah So sendiri sudah maju dan dengan sikap ramah minta kepada enam orang itu untuk berpindah ke meja lain yang sengaja dipersiapkan untuk mereka. Dia sendiri lalau menghampiri raksasa yang duduk makan minum, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.
"Harap lo-cian-pwe sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kunjungan lo-cian-pwe maka terlambat menyambut. Bolehkan kami mengetahui siapa nama lo-cian-pwe"
Kakek raksasa itu menunda sumpitnya, menoleh dan memandang kepada Lurah So, "Siapakah engkau"
"Saya adalah Lurah So yang merayakan pernikahan puteri kami..."
"Hemm, tuan rumah ya" Aku datang tidak diundang olehmu, melainkan diundang oleh bau arak dan masakan. Perutku sedang lapar maka aku ikut makan. Dan karena engkau sedang mempunyai kerja, kusumbangkan ini untuk pengantinnya!" Raksasa itu mengeluarkan sebongkah emas dari sakunya dan menyerahkannya kepada Lurah So. Lurah itu menerimanya dengan terbelalak. Sumbangan itu sungguh royal bukan main. Tidak ada di antara semua tamu yang memberi sumbangan yang lebih berharga dari pada sebongkah emas itu.
"Terima kasih, akan kami catat sumbangan berharga dari lo-cian-pwe, akan tetapi atas nama siapakah"
"Tulis saja dari Tay-lek Kwi-ong," kata si raksasa dan diapun melanjutkan makan minum. Lurah So terkejut, bahkan para tamu yang mendengar disebutnya Tay-lek Kwi-ong (Raja Iblis Tenaga Besar) itu menjadi terbelalak dan jerih. Itu adalah nama julukan seorang tokoh sesat yang diketahui semua orang. Lurah So cepat menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri. Pesta dilanjutkan dan berguci-guci arak disuguhkan ke meja Tay-lek Kwi-ong yang minum arak seperti orang minum air putih saja. Karena raksasa itu makan minum sendiri dan tidak membuat ulah, maka pesta berjalan terus dengan lancar dan para tamu tidak lagi memperhatikannya. Juga pihak tuan rumah sudah merasa tenang kembali karena orang yang ditakuti itu ternyata tidak mengganggu, hanya ingin ikut makan minum dan memberi sumbangan yang puluhan kali lebih berharga dari pada hidangan yang disuguhkan kepadanya.
Akan tetapi, tiba-tiba para tamu yang duduk di bagian luar ruangan itu menjadi panik, bahkan para penonton yang berada di luar pagar pekarangan juga banyak yang berlarian menjauhkan diri. Ketika Lurah So dan keluarganya bangkit dan melihat, ternyata yang muncul adalah dua belas orang berpakaian prajurit! Tentu saja mereka semua menjadi pucat karena mereka sudah tahu bahwa setiap kali pasukan keamanan pemerintah memasuki sebuah dusun, tentu mereka akan bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi, karena dia seorang lurah yang merupakan ponggawa terendah dari kerajaan, diapun tergopoh menyambut, rombongan prajurit itu.
"Silahkan duduk, cu-wi (anda sekalian) yang mulia. Kebetulan kami sedang mengadakan pesta, mari silahkan cu-wi ikut menikmati hidangan," kata Lurah So tergopoh-gopoh dan para pembantunya cepat menyiapkan sebuah meja besar untuk dua belas orang prajurit itu.
Para prajurit itu tersenyum mengangguk-angguk, memandang ke sekeliling. Para tamu wanita sudah ketakutan dan berusaha menyembunyikan diri. Kepala regu yang tinggi besar bermuka hitam segera memandang ke arah pengantin wanita dan dia tertawa bergelk.
"Ha-ha-ha, kiranya Lurah So sedang merayakan pernikahan anak perempuannya yang cantik. Mari, nona pengantin, sebelum engkau ikut dengan suamimu, mari menerima kehormatan dariku dan makan bersamaku!" Dia lalu melangkah lebar ke arah sepasang mempelai yang duduk bersanding dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah memegang lengan pengantin wanita lalu menariknya. Pengantin pria berusaha mencegah, namun sebuah tendangan membuatnya terjengkang. Sementara itu, sebelas orang anak buah komandang itupun sudah memilih wanita masing-masing, menyeret wanita pilihan mereka dari ruangan bagian wanita sehingga terdengar jerit dan tangis mereka.
Melihat ini, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah marah bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa ada serombongan prajurit yang demikiian jahatnya. Mereka sudah hendak turun tangan menghajar para prajurit itu, akan tetapi mereka didahului oleh Tay-lek Kwi-ong. Kakak beradik yang berdiri di antara para penonton yang berada di luar pagar pekarangan itu menahan diri ketika melihat raksasa itu menggebrak meha dan berteriak dengan marah.
"Dari mana datangnya selosin monyet busuk yang berani mengacau di sini dan mengurangi selera makanku" Hayo kalian cepat menggelinding pergi dari sini kalau tidak ingin kupatahkan leher kalian satu demi satu!"
Tentu saja para prajurit itu marah sekali dan maklum bahwa merekalah yag dimaki sebagai monyet busuk. Komandan yang itu melotot dan melepaskan nona pengantin yang diseretnya tadi. Nona pengantin itu terisak lari kembali menghampiri suami dan ayahnya. Si komandan tidak memperdulikannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri meja di mana Tay-lek Kwi-ong duduk sambil minum araknya.
"Keparat busuk! Engkau pemberontak, ya" bentak si komandan sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek brewok itu.
"Phuuuhhh....!" Tiba-tiba Tay-lek Kwi-ong menyemburkan arak dari mulutnya. Biarpun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan kekuatan sin-kang, maka ketika mengenai muka si komandan, rasanya muka yang hitam itu seperti diserang ratusan batang jarum! Dia berteriak kesakitan dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya yang pedih. Pada saat itu, Tay-lek Kwi-ong sudah menggerakkan kakinya dan komandan itu kena tendangan di perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan dia mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi perut, tangan kanan menutupi muka. Entah mana yang lebih nyeri, mukanya yang pedih atau perutnya yang mulas.
Sebelas orang prajurit menjadi marah. Mereka melepaskan wanita-wanita yang tadinya mereka paksa untuk menemani mereka makan minum dan dengan golok di tangan, mereka sudah mengurung dan menyerang Tay-lek Kwi-ong! Tentu saja semua tamu menjadi ketakutan dan mereka lari berserabutan meninggalkan tempat pesta yang kini berubah menjadi tempat perkelahian itu. Bahkan mereka yang menjadi penonton di luar pekarangan juga melarikan diri ketakutan. Hanya ada beberapa orang saja yang tinggal, yaitu mereka yang memiliki keberanian, termasuk tentu saja Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi. Bahkan kakak beradik itu kini memasuki pekarangan untuk menonton perkelahian dari jarak lebih dekat. Dan mereka kagum melihat sepak terjang kakek brewok raksasa tadi. Kakek itu menghadapi pengeroyokan sebelas orang prajurit yang memegang golok itu dengan tangan kosong saja. Jelas bahwa dia memandang rendah karena dia sama sekali tidak menyentuh golok besar yang berada di punggungnya. Akan tetapi, bacokan yang dilakukan bertubi-tubi itu tidak ada yang mengenai tubuhnya. Kaki tangannya bergerak, angin menyambar-nyambar dan sebelas orang itu bergelimpangan seperti daun-daun kering ditiup angin badai! Melihat ini, komandan muka hitam tadi yang kini sudah tidak begitu menderita karena nyeri di muka dan perutnya merasa jerih dan cepat dia memberi aba-aba, mendahului anak buahnya melarikan diri dari tempat itu. Tay-lek Kwi-ong mengejar mereka dengan suara tawanya, dan dia duduk lagi makan minum.
Lurah So menghampiri dan bersama sepasang pengantin, mereka memberi hormat dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi, melihat pengantin wanita, timbul gairah di hati Tay-lek Kwi-ong. Lengannya yang panjang terjulur dan tahu-tahu tangannya sudah menangkap pinggang pengantin itu dan sekali tarik saja wanita yang menjadi ketakutan itu telah didudukkan di sampingnya! Semua orang terkejut dan Lurah So, juga mantunya, dengan sura ketakutan mohon agar pengantin wanita dibebaskan.
"Ha-ha-ha, baru saja aku menyelamatkan nyawa kalian sekeluarga dari tangan selosin monyet busuk tadi, apakah kalian begitu pelit untuk menyenangkan hatiku" Aku hanya ingin mengajak nona pengantin makan minum. Nah, kalian pergilah dan sediakan lagi arak untukku!" Dengan sumpitnya, Tay-lek Kwi-ong menjepit sepotong daging dan menyuguhkannya ke depan mulut kecil pengantin wanita itu. "Manis, makanlah ini."
Pengantin wanita itu adalah seorang gadis yang usianya baru enam belas tahun, ia sudah ketakutan, mukanya pucat dan tubuhnya gemetar bagaimana mungkin ia dapat menerima daging yang hendak disuapkan ke mulutnya itu. Ia menggeleng kepalanya dan menangis.
"Ha-ha-ha, jangan takut, manis!" kata Tay-lek Kwi-ong dan tangan kirinya memegang dagu gadis itu. Gadis itu tidak dapat menahan mulutnya yang terbuka dan daging itu dijejalkan ke mulutnya!
"Ha-ha-ha, begitu baru manis!" kata Tay-lek Kwi-ong dan kini dia mendekatkan cawan penuh arak ke mulut yang mungil itu. "Sekarang minumlah, hayo kita minum bersama, kita bergembira hari ini!"
"Tay-lek Kwi-ong, engkau iblis jahat!" tiba-tiba Mimi yang tidak dapat menahan kemarahan hatinya, sudah berlari dan meloncat masuk ke dalam ruangan pesta yang kini telah ditinggal pergi sebagian besar dari para tamunya. Melihat adiknya sudah berlari, Bouw Ku Cin tentu saja tidak mau tinggal diam mengkhawatirkan adiknya dan diapun lari mengejar. Kini, kakak beradik itu telah tiba di depan kakek yang didampingin pengantin wanita yang menggigil ketakutan dan kakek berewok itu memandang mereka dengan alis berkerut.
"Hemm, kalian ini dua orang muda mau apa" bentaknya.
Mimi yang sudah marah sekali menudingkan telunjuknya ke arah muka brewok itu. "Tadinya engkau kukira seorang gagah yang menentang perbuatan gerombolan pasukan yang jahat tadi, tidak tahunya engkaupun sama saja dengan mereka, suka menghina orang mengandalkan kepandaianmu."
"Tay-lek Kwi-ong, bebaskan nona pengantin itu, biarkan ia kembali kepada keluarganya!" Bouw Ku Cin juga membentak dan pemuda ini sudah mencabut pedangnya.
Melihat ini, Tay-lek Kwi-ong tertawa. "Ha-ha-ha, kalian ini dua bocah sombong, berani menentang Tay-lek Kwi-ong. Apakah kalian iri melihat aku makan minum bersama nona pengantin"
"Jahanam busuk, kalau tidak cepat kaulepaskan gadis itu, terpaksa kami akan menghajarmu!" bentak pula Mimi. Ucapan ini membuat Tay-lek Kwi-ong menjadi marah. Dia menyambar sebuah mangkok kosong dan melemparkan mangkok itu ke arah Mimi.
"Singgg...!!" Mangkok menyambar dengan cepat ke arah kepala Mimi. Akan tetapi, dengan sigap Mimi miringkan kepalanya dan mangkok itu meluncur lewat, tidak mengenai mukanya. Melihat ini, Tay-lek Kwi-ong menjadi semakin penasaran dan marah.
"Ha-ha-ha, kiranya kalian mempunyai sedikit kepandaian. Bagus, mari kita main-main sebentar!" katanya dan sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menotok pengantin wanita sehingga gadis ini terduduk lemas di kursinya, "Kau tunggu aku membereskan dua orang muda lancang ini sebentar, sayang!"
Tay-lek Kwi-ong masih memandang rendah dua orang calon lawan, yang sudah mencabut pedang. "Kalian berani mengganggu aku, berarti kalian telah bosan hidup!" bentaknya dan dia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau, kemudian kedua lengannya yang panjang itu bergerak dari kanan-kiri, mencengkeram ke arah kakak beradik itu. Namun, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi bukanlah orang-orang muda yang lemah. Mereka mengelak sambil menggerakkan pedang. Dua batang pedang kini menyambar ke arah lengan raksasa itu, membacok dari samping. Tentu saja Tay-lek Kwi-ong terkejut dan cepat menarik kembali kedua lengannya, dan kini kedua kakinya secara beruntun mengirim tendangan. Biasanya, seperti terbukti ketika dia menghajar para prajurit tadi, tendangannya tidak pernah gagal. Akan tetapi sekali ini, ketika kakak beradik itu mengelak, tendangannya hanya mengenai angin, bahkan sebaliknya kakak beradik itu sudah menyerangnya lagi dengan dahsyat. Tay-lek Kwi-ong terpaksa meloncat ke belakang dan kini dia tahu bahwa dua orang pemuda tani itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
"Singg...!!" Dia mencabut golok besarnya dan semua orang menjadi silau ketika memandang golok yang tajam berkilauan itu. Tay-lek Kwi-ong lalu mengamuk dan menyerang kakak beradik itu dengan golok besarnya. Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah siap dan merekapun melakukan perlawanan dengan gigih. Meja kursi beterbangan ketika diterjang oleh Tay-lek Kwi-ong dan segera terjadi perkelahian yang seru di dalam ruangan itu.
Karena khawatir kalau-kalau pengantin wanita yang masih duduk tak dapat bergerak di situ terkena sambaran senjata, Mimi menggunakan kesempatan selagi kakaknya mendesak lawan, ia cepat membebaskan totokan pengantin wanita itu dan mendorongnya pergi. Pengantin wanita itu dengan terisak dan ketakutan, lari dan disambut suami dan ayahnya.
Tay-lek Kwi-ong marah bukan main. Dengan tenaganya yang amat kuat, goloknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan kakak beradik itu segera terdesak. Setiap kali senjata pedang mereka bertemu golok hampir saja pedang itu terlepas dari pegangan karena telapak tangan mereka tergetar dan terasa panas.
Biarpun Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah mengerahkan seluruh tenagan dan mengerahkan jurus-jurus terampuh yang mereka kuasai, tetap saja mereka berdua bukan tandingan Tay-lek Kwi-ong dan makin lama mereka semakin terdesak oleh gulungan sinar itu. Tay-lek Kwi-ong sudah tertawa berelak karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu tak lama lagi dia akan mampu merobohkan dua orang yang berani melawannya itu.
Akan tetapi pada saat itu, nampak berkelebat empat bayangan orang dan di situ muncul empat orang pria yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tanpa banyak cakap lagi, mereka menggerakkan pedang dan mengeroyok Tay-lek Kwi-ong! Melihat empat orang ini, kakak beradik Bouw menjadi girang bukan main karena mereka mengenal bahwa empat orang ini adalah jagoan-jagoan di Nan-king yang berkepandaian tinggi. Mereka adalah empat orang yang diam-diam mendapat tugas dari Yauw-Ciangkun untuk mengawasi dan melindungi kakak beradik bangsawan itu. Ketika tadi terjadi keributan di tempat Lurah So mengadakan pesta pernikahan puterinya, empat orang itupun mengamati dari jauh karena mereka tahu bahwa dua orang muda bangsawan yang harus mereka lindungi berada di antara para penonton di luar pekarangan. Mereka tidak mau mencampuri keributan itu. Akan tetapi ketika dua orang bangsawan itu berlari masuk, merekapun cepat mendekat dan melihat kakak beradik itu terdesak oleh Tay-lek Kwi-ong, tentu saja mereka tidak mungkin dapat tinggal diam lagi. Andai kata kakak beradik itu berada di pihak yang unggul, tentu mereka akan diam saja dan tidak berani mencampuri, akan tetapi Bouw Kongcu dan Bouw Siocia terancam, mereka tidak boleh tinggal diam.
Melihat empat orang laki-laki yang melihat gerakannya amat tangguh itu ikut mengeroyok, Tay-lek Kwi-ong terkejut dan tokoh sesat yang cerdik ini segera menubruk ke arah Mimi. Sejak tadi dia tahu bahwa "pemuda" ini adalah seorang gadis yang menyamar pria, maka dengan cepat dia menubruk, memukul pedang Mimi dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sehingga gadis itu terhuyung dan pedangnya terlepas dan di lain saat, dia sudah menangkapnya dengan tangan kiri, menelikung kedua tangan gadis itu ke belakang dan menempelkan goloknya ke lehernya.
"Semua mundur atau kusembelih gadis ini!" bentaknya dengan nada suara mengancam. Melihat in, Bouw Kongcu terkejut dan berteriak agar empat orang jagoan itu mundur.
Tay-lek Kwi-ong lalu memanggul tubuh Mimi yang sudah ditotoknya, dan dengan langkah lebar dia pergi meninggalkan tempat itu.
"Lepaskan adikku!" Bouw Kongcu meloncat dan melakukan pengejaran, diikuti oleh empat orang perwira pengawal.
Tay-lek Kwi-ong yang sudah tiba di luar dusun, berhenti dan tetap menempelkan goloknya di leher gadis yang masih dipanggulnya, "Kalau kalian mengejar, terpaksa akan kubunuh dulu gadis ini!"
"Tay-lek Kwi-ong, sebaiknya kau lepaskan gadis itu. Ia adalah Bouw Siocia, puteri Perdana Menteri Bayan dari kota raja!"
Mendengar ini, Tay-lek Kwi-ong terbelalak. Sama sekali tidak disangkanya bahwa gadis yang menyamar pria, yang kini telah menjadi tawanannya, adalah puteri Menteri Bayan yang terkenal itu! Dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa.
Geger Dunia Persilatan 17 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Pendekar Guntur 7
^