Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 24

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 24


Pinggiran hutan. Atau tanpa menyebutkan pun, Gendhuk Tri mengetahui apa yang dimaksudkan Upasara Wulung. Meskipun sesungguhnya dalam hatinya masih bertanya-tanya, apakah kesimpulan yang diambil Upasara Wulung tidak mengada-ada.
Upasara merasa bahwa apa yang dikatakan adalah kejujuran dan ketulusan isi hatinya. Tidak untuk memperlihatkan atau membuat emosinya mendidih.
Upasara baru melihat jelas apa yang dulu menjadi tanda tanya dalam hatinya.
Apa yang dulu dilakukan begitu saja, seolah ada kekuatan yang mendorong untuk berbuat. Saat di mana Gendhuk Tri terkena racun di sekujur tubuhnya, sehingga burung dan binatang menjauh, sehingga semua tubuh yang disentuh bisa menyalurkan racun. Ketika itulah Upasara Wulung mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengusir racun dalam tubuh Gendhuk Tri.
Dengan akibat yang jelas, tenaga dalamnya sendiri musnah!
Itu semua terjadi ketika Upasara Wulung merasa buntu dengan Kitab Bumi yang diselami secara habis-habisan. Ketika merasa tak menemukan kemajuan sedikit pun.
Banyak hal sebenarnya bisa dilakukan saat itu. Tetapi pada kenyataannya, Upasara justru memindahkan tenaga dalamnya.
Menghantam racun, mengeluarkan dan menggantikan dengan tenaga dalamnya. Sehingga setelah itu, Upasara Wulung tak ubahnya seperti kerangka berdaging yang tak mempunyai tenaga apa-apa.
Dorongan utama tersebut baru jelas saat ini bagi Upasara. Tenaga dalamnya yang menggelombang, yang berdesakan, menemukan tempat untuk menebus kesalahan yang dulu dilakukan Eyang Sepuh pada Eyang Putri Pulangsih!
Saat itu Upasara hanya merasakan dorongan untuk berbuat suatu kebaikan bagi Gendhuk Tri. Seperti yang juga dilakukan di atas benteng Keraton saat membebaskan Gayatri.
Saat itu Upasara merasa tergetar untuk menyelamatkan Gayatri yang disandera di tempat itu. Dorongan itu begitu menggelora, dibakar daya asmara yang menggeliat, yang membakar dan menghanguskan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Barulah sekarang ini, setelah melewati masa puluhan tahun, Upasara menyadari bahwa itu semua dilakukan karena desakan, karena daya tarik tenaga dalam dan batin Gendhuk Tri!
Daya tarik yang belum sepenuhnya bisa dipahami, karena rasa dan kemampuan Upasara belum sampai ke tingkat sekarang ini.
Hal yang sama, yang kemudian dialami ketika Upasara harus berpisah dari Permaisuri Rajapatni. Yang selama ini diakui begitu menghunjam dalam impian dan kesadarannya. Baginya, dulu dan sekarang, Permaisuri Rajapatni adalah Gayatri, adalah daya asmara yang sesungguhnya. Dan sesungguhnya begitu, sampai kemudian Upasara merelakan secara pasrah ketika Permaisuri Rajapatni menyatakan diri akan melepas semua keduniawian dan bertapa.
Benarkah semua begitu"
Upasara mengangguk perlahan.
Kalau benar ada yang dipasangkan oleh Dewa Yang Mahadewa bahwa Gayatri harus dengan Raden Sanggrama Wijaya agar keturunannya menjadi raja yang tak tertandingi di seluruh jagat, kekuatan dalam dirinya sejak semula sudah dipasangkan pula kepada Gendhuk Tri.
Benarkah semua seperti itu"
Upasara menggeleng perlahan.
Karena tidak mengetahui bahwa pada saat mengerahkan tenaga untuk memusnahkan racun dalam tubuh Gendhuk Tri, sudah terjadi semacam penolakan. Penolakan tenaga dalam yang berakibat seluruh tenaga dalam Upasara Wulung akan terkuras habis. Akan musnah tanpa sisa!
Karena sesungguhnya, pada kejadian yang wajar, Upasara tak perlu terampas semua kemampuannya. Biar bagaimanapun, racun dalam tubuh Gendhuk Tri bisa terbasmi tanpa perlu pengorbanan sebesar itu.
"Adik Tri, Kakang menerima kekalahan ini. Semestinya sejak dulu Kakang menyadari telah mengalami..."
"Kekalahan atau kemenangan sesungguhnya hanya hati kita yang tak mau memberi arti lebih jujur.
"Kemenangan dan kekalahan asmara sesungguhnya tidak ada."
Upasara tersenyum. "Saya berbicara tentang kita berdua. Bukan tentang Eyang Sepuh atau Eyang Putri Pulangsih."
Imbang Asmara KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
GENDHUK TRI memandang Upasara dengan sorot mata mengasihi.
Suatu perasaan yang selama ini tak pernah bisa dirasakan. Selama ini hatinya selalu memuja, mengagumi, mencela. Akan tetapi tak pernah mengasihi seperti sekarang ini.
"Ya, Kakang, saya berbicara tentang kita. Tentang Kakang Upasara dan saya."
Upasara terbatuk. Kesadarannya terpukul.
"Dasar batinku masih enggan menerima penolakanmu, Adik Tri.
"Bolehkah aku mengetahui apa yang menyebabkan Adik Tri tak menerima lamaran Kakang?"
"Apakah ada bedanya antara menerima dan tidak menerima" Selama ini hubungan kita baik-baik saja. Saya sudah bahagia dengan keadaan seperti ini. Saya tak mau lebih ruwet atau lebih buruk lagi."
"Atau juga lebih baik dan lebih bahagia?"
"Kakang, saya merasa keadaan sekarang ini sudah imbang. Sudah selaras."
"Hanya itu?" "Rasanya iya." "Adik Tri, saya dilahirkan sebagai orang yang tinggi hati dan keras kepala. Sejak kecil saya dibesarkan di Ksatria Pingitan, tanpa mengenal tata krama bergaul sebagaimana lazimnya lelaki dan perempuan.
"Saya tumbuh sebagai lelaki yang besar kepala...."
"Saya tahu, Kakang. "Saya merasakan."
"Saya tak pernah berlutut memohon kepada orang lain."
"Saya tahu, Kakang. "Saya ikut mengalami."
"Sekarang saya memohon.
"Saya memintamu, Adik Tri."
"Kakang telah mengetahui jawaban saya."
"Kenapa" "Kenapa Adik Tri menolak?"
"Itu yang saya rasakan lebih bahagia, lebih baik bagi kita berdua, Kakang. Saya dibesarkan Bibi Jagaddhita yang tak kenal asmara. Saya mewarisi semua ilmu yang diciptakan Eyang Putri Pulangsih yang pegat
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
asmara, yang patah hati. Saya menjadi satu dengan dunia semacam itu."
"Kenapa ketika Maha Singanada melamarmu kamu menerima?"
"Saya merasa akan lebih baik kalau bisa bersamanya sebagai suami-istri. Dan perasaan itu tidak saya rasakan sekarang.
"Maaf, Kakang memaksa saya menjawab sejujurnya."
"Saya tak habis mengerti.
"Menurut Adik Tri bagaimana hubungan kita selanjutnya?"
"Seperti sekarang ini."
"Apakah mungkin, setelah saya melamar dan Adik Tri menolak?"
"Saya sendiri tidak tahu.
"Tapi rasanya bisa."
Upasara menggeleng perlahan.
"Ada yang berubah. Ada yang menjadi kikuk, kaku, dan akan terus berlanjut. Akan menjadi hubungan yang kurang enak.
"Saya bisa merasakan getaran yang dirasakan Eyang Sepuh, saya bisa merasakan kekakuan Eyang Putri Pulangsih, sehingga berkelanjutan dalam sikap batin menciptakan ilmunya. Yang kita warisi."
Kali ini Gendhuk Tri yang terbatuk.
"Kenapa Kakang menganggap kita berdua menanggung beban, menanggung karma dari hubungan Eyang Sepuh dengan Eyang Putri Pulangsih?"
"Eyang Sepuh yang sakti mandraguna, yang moksa, perlu turun kembali menyeimbangkan diri dengan Adik Tri. Eyang Sepuh juga merasakan hal yang sama.
"Paling tidak ragu bahwa jejak yang ditinggalkan membias ke kita."
"Ya. "Tetapi juga tidak."
Upasara mengangguk. "Terima kasih, Adik Tri.
"Bagi saya sekarang jelas semuanya. Saya menghendaki kejelasan seperti ini, agar tak ada yang mengganjal lagi.
"Saya merasa kita berdua mempunyai daya asmara yang sama kuat tarik-menariknya. Saya tahu kita berdua sama-sama mau. Barangkali itulah halangannya.
"Saya menerimanya, Adik Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya merasa terjawab.
"Kita pernah bersama-sama dengan baik dan gembira, dan kita bisa berpisah dengan baik dan gembira."
Gendhuk Tri menghela napas.
Berat. "Kalau itu kemauan Kakang...."
Upasara tersenyum getir. "Adik Tri..." "Ya, Kakang...."
"Bolehkah Kakang memberi nasihat?"
Gendhuk Tri merasa sedih.
Betul yang dikatakan Upasara. Jarak itu terasa ada. Kekikukan, kekakuan itu ada dan menyakitkan. Sebelum ini, tak pernah mengutarakan sesuatu dengan "bolehkah" atau sejenis tata krama yang menandai ketidak-akraban.
"Kalau sikap Adik Tri seperti ini, Adik Tri tak akan pernah menemukan pasangan. Setiap kali akan mandek dalam pikiran, dalam rasa, dalam batin. Setiap kali keseimbangan itu terjadi tidak ketika kaki menginjak bumi."
"Mungkin begitu, Kakang."
"Rasanya pasti akan terulang seperti itu."
"Seperti juga Kakang.
"Tak akan pernah bisa menerima keunggulan dan kekalahan asmara.
Kakang selalu mencari keunggulan. Mencari pengakuan. Mencari-cari.
"Dan tak akan menemukan apa-apa."
"Mungkin begitu, Adik Tri."
"Rasanya pasti akan terulang seperti itu."
"Inilah jalan yang kita pilih.
"Inilah jalan yang kita tapaki. Saya tahu ini sangat berat bagi Adik Tri.
Juga bagi saya. "Saya tidak tahu ini lebih baik atau sebaliknya, tetapi agaknya tak bisa lain."
Kedua tangan Upasara mengusap wajah.
Seakan berusaha menghapus semua yang pernah dilihat, dibaui, dirasa, didengar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Baru kemudian melihat sekeliling, dan tidak menemukan bayangan Nyai Demang serta Pangeran Hiang.
"Siapa tahu mereka sedang repot dengan hal yang sama seperti kita,"
kata Gendhuk Tri berusaha mencairkan kekakuan.
"Ya, walau tidak sehebat kita."
"Itulah rasa unggul Kakang. Merasa seolah Kakang selalu mengalami yang paling hebat, yang paling berat. Itulah sifat bumi."
"Bukan. "Itu sifat buruk saya.
"Dalam ajaran Kitab Bumi tak pernah disebut kata-kata itu. Tak pernah tersirat sedikit pun rasa unggul Eyang Sepuh. Tumbal sebagai sikap pasrah, bukan sebagai sikap unggul.
"Ini perjalanan sikap yang ganjil, Adik Tri. Ketika rumasuk dalam ajaran mahamanusia, dengan kemampuan ngrogoh sukma sejati, saya bisa melihat bahwa saya mempunyai dasar untuk keras kepala, untuk tinggi hati.
"Bukan dari Kitab Bumi."
"Saya tidak..."
"Sudah. "Penolakan Adik Tri adalah bagian dari itu."
Gendhuk Tri menggeleng. Upasara Wulung mengangguk.
"Ya, Adik Tri. "Sewaktu Pangeran Anom datang bersama dua pangeran lainnya dan menceritakan mengenai Halayudha, saya menemukan gema jawaban dari bukan pertanyaan. Itulah muara yang dicapai Halayudha dari sikapnya selama ini, dari penyelaman yang mendasar pada ajaran mahamanusia.
"Seperti saya sekarang ini.
"Seperti Adik Tri sekarang ini."
"Apa yang dicapai Halayudha?"
"Apa yang dikehendaki."
"Menjadi raja?"
"Menjadi raja."
"Dan Kakang akan membiarkan saja?"
"Pertanyaan dibalik: Apa yang akan Adik Tri lakukan?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagi saya jelas, Kakang.
"Memeranginya."
"Pun andai Adik tak bisa mengalahkannya?"
"Itu bukan pengandaian.
"Saya akan memerangi. Sebagaimana air mengalir ke tempat yang lebih rendah, mengairi tanah yang kering. Tanpa memedulikan apakah ia akan habis atau kering."
"Sekarang juga?"
"Sekarang juga."
Batas Asmara JAWABAN Gendhuk Tri mantap.
"Rasanya tak perlu lagi.
"Kecuali kalau Halayudha yang mencari kita. Dan barangkali bukan dalam waktu sekarang ini."
Upasara mengelus rambutnya. Mengelus dari ubun-ubun hingga ke ujung bawah, dan kemudian menggelung ketat.
Gendhuk Tri belum bisa menangkap sepenuhnya arah kalimat Upasara. Akan tetapi merasa bahwa untuk kesekian kalinya sukma sejati yang berbicara.
Yang menerobos, meretas dalam lesatan yang melampaui keadaan raganya saat ini.
Bagi Upasara jelas tergambar, bagaimana kedudukan Halayudha saat ini. Keberadaannya dalam Keraton, bahkan tingkahnya bisa terlihat. Ini semua terjadi dengan sendirinya sewaktu gagasannya diarahkan untuk mengetahui keadaan Halayudha. Bukan sesuatu yang aneh kalau dirinya bisa mengetahui secara runtut. Juga keadaan jiwa Halayudha yang guncang.
Hal yang sama terjadi ketika Upasara mencoba memusatkan perhatian kepada Gayatri. Ketika daya asmaranya kepada Gendhuk Tri makin disadari, pikiran Upasara melesat ke arah Gayatri. Yang tampak dalam pandangan batinnya adalah seorang perempuan yang mengurai rambut sepanjang tubuh yang terbalut kain putih. Yang wajahnya cerah, sempurna, tak bergerak, tak menginjak tanah.
Upasara menjadi sangat lega.
Menerima. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pasrah. Ikhlas. Pancaran yang sama dari batinnya.
Itu sebabnya Upasara merasa tidak ada beban lagi ketika melamar Gendhuk Tri. Adalah di luar segala kemampuan daya sukmanya kalau kemudian ternyata Gendhuk Tri menggeleng.
Bagi Upasara penolakan itu menjadikan tanda tanya. Bukannya karena Upasara merasa tak ada kemungkinan semacam itu, melainkan karena tidak pernah menemukan alasan Gendhuk Tri untuk mengemohi. Adalah benar penilaian Gendhuk Tri bahwa selama ini dirinya tidak pernah merasa kalah, tidak pernah mengakui kegagalan.
Sekarang Gendhuk Tri bisa membuktikan itu.
Keunggulan dengan menyeimbangkan.
Kesunyian sesaat pecah oleh suara Nyai Demang yang wajahnya tampak sangat gembira. Berjalan bersama diiringi Pangeran Hiang.
"Adimas Upasara, anakku Tri, tebak apa yang baru kami temukan?"
Gendhuk Tri menggeleng. Seakan tidak percaya apa yang dilihatnya.
Nyai Demang seakan berubah menjadi gadis tanggung yang tersenyum malu-malu, yang terangkat oleh kegembiraan.
"Kami baru menemukan rangkaian jurus-jurus baru. Pangeran Hiang berhasil memecahkan langkah-langkah karawitan. Saya menamai Enam dan Tujuh Langkah Karawitan. Memakai irama dasar karawitan yang kita mainkan tadi ketika meloloskan diri.
"Pangeran Hiang, kenapa tidak diperlihatkan sekarang?"
Pangeran Hiang mengangguk malu-malu.
Kemudian bersoja. Dan menunjukkan gerakan yang aneh. Kakinya bergerak perlahan, dalam batas-batas yang pendek, dengan irama yang mengalir.
Dalam pandangan Gendhuk Tri, gerakan Pangeran Hiang sangat dikenali. Karena memakai irama karawitan atau gendhing yang sejak kecil akrab dengan kehidupan Gendhuk Tri sebagai calon penari Keraton.
Meskipun masih kaku, Pangeran Hiang bisa menangkap inti iramanya. Inti irama yang akan diubah setiap enam atau tujuh langkah.
"Bukankah itu hebat"
"Aha, kalian berdua tak tertarik?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagus, sangat bagus," jawab Gendhuk Tri cepat. "Saya tak pernah mengira bahwa langkah dalam tarian bisa seirama dengan pukulan dalam gendhing, dan disatukan sebagai jurus ilmu silat."
"Kami sendiri juga tidak mengira," jawab Nyai Demang tanpa memedulikan reaksi Upasara atau Pangeran Hiang. "Ketika Pangeran Hiang meminta saya memainkan langkah seirama gendhing, kami berdua menemukan ada tenaga yang bisa mengikuti gerakan ini."
"Sangat bagus. "Sangat bagus sebagai oleh-oleh ke negeri Tartar."
Suara Upasara Wulung membuat wajah Nyai Demang merah.
"Adimas Upasara, eh, Anakmas Upasara, dari mana kamu mengetahui kami akan ke negeri Tartar?"
"Karena saya juga ingin ke sana."
Jawaban Upasara terdengar bagai sambaran geledek di telinga Gendhuk Tri. Akan tetapi wajahnya dan sikapnya berusaha tetap tenang.
Memang sejak tadi Upasara telah mengisyaratkan akan adanya hubungan khusus yang terbangun antara Nyai Demang dan Pangeran Hiang. Gendhuk Tri pun bisa merasakan. Akan tetapi tak menduga bahwa prosesnya bisa begitu cepat. Nyai Demang begitu cepat menyetujui ajakan Pangeran Hiang. Pergi ke negeri Tartar!
Lebih tak menduga lagi bahwa Upasara mengatakan kesediaannya untuk mengikuti perjalanan itu!
"Benar, kalian berdua akan ke sana?"
Nyai Demang benar-benar terlontar ke langit kegembiraan.
Upasara mengangguk. Gendhuk Tri menggeleng. "Saya belum tahu."
Pangeran Hiang berdeham kecil. Matanya yang sipit dengan cepat menangkap sesuatu yang masih mengganjal.
"Tartar atau bukan Tartar, hanya dibedakan dengan batas tempat yang kita namai sendiri. Sekarang atau nanti, hanya dibedakan dengan batas waktu yang kita buat sendiri.
"Untuk apa kita risaukan sekarang?"
"Pangeran memang bijak," puji Upasara Wulung. "Saya perlu belajar banyak."
"Pangeran Upasara terlalu merendah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apalah artinya menemukan langkah-langkah yang sudah diciptakan para empu tari dan empu gendhing yang kesohor?"
Nyata sekali Pangeran Hiang berusaha membelokkan perhatian kepada jurus-jurus yang baru saja diciptakan. Dan bukan kepada masalah keberangkatan ke negeri Tartar.
Akan tetapi Nyai Demang tidak terlalu pikun untuk mengetahui hal tersebut. Kalau biasanya berdiam diri, sekarang tak bisa menahan diri.
"Anakmas Upasara serta anakku Tri, kalian berdua sudah lebih dari dewasa. Sudah tahu dan mengerti segala apa yang berkaitan dengan jalan yang kalian pilih.
"Saya hanya meminta, janganlah ini memperburuk dan menghancurkan kalian berdua. Atau menghalangi apa yang ingin kalian lakukan.
"Saya meminta itu."
"Baik, Nyai." "Baik, Ibu Nyai."
Nyai Demang menepukkan tangannya.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan"
"Kalau kalian bertiga tidak berkeberatan, saya akan mengajak ke Perguruan Awan. Saya sudah kangen bertemu Jaghana...."
Gendhuk Tri mengangguk, akan tetapi...
"Saya akan segera menyusul.
"Rasanya masih ada yang ingin saya lakukan."
"Kamu ingin melakukan sendiri?"
"Ya, Pangeran Hiang."
"Maaf, saya tak ingin mencampuri urusan pribadi."
Nyai Demang mengentakkan kakinya karena kesal dengan dirinya.
Kalau tadi mengusulkan pergi ke Perguruan Awan, semata-mata hanya sebagai alasan agar mereka bisa selalu bersama-sama. Tidak tahunya Gendhuk Tri justru memisahkan diri!
Dasar masih tetap tolol, cela Nyai Demang pada dirinya. Bagaimana mungkin aku mengerti perasaan mereka yang jauh lebih muda"
Yang sedikit menghibur hati Nyai Demang hanyalah bahwa Upasara Wulung tampak wajar-wajar saja sikapnya. Mengangguk ketika Gendhuk Tri pamit, dan kemudian berjalan bersama Nyai Demang dan Pangeran Hiang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Wajar dalam artian tidak berusaha menghindari pembicaraan mengenai Gendhuk Tri, bahkan hanya hal itu yang dibicarakan.
Ketangguhan yang sedikit-banyak mengagumkan Nyai Demang.
"Bagaimana mungkin Anakmas Upasara mengontrol perasaan semacam itu?"
"Tidak berusaha mengontrol, tidak berusaha membatasi. Itu yang saya rasakan. Saya berusaha hanyut, ngeli."
"Anakmas, dengan kemampuan Anakmas ngrogoh sukma sejati, bukankah Anakmas bisa mengetahui apa yang dirasakan anakku?"
"Dalam batas-batas tertentu, ya."
Pangeran Hiang mengerutkan keningnya.
"Pangeran Upasara, ajaran mahamanusia yang tanpa batas itu akhirnya mengenai batas-batas juga" Sejauh saya tahu, bukankah apa yang tertulis dalam Kidung Paminggir menyingkirkan segala batas, menyapu segala tabu?"
"Agaknya memang demikian.
"Akan tetapi kita tidak tahu, apakah kebebasan mutlak yang dikidungkan Eyang Sepuh saat itu justru tatkala beliau sedang berada dalam keterbatasan batin."
Upasara menceritakan bahwa ketika bercakap-cakap dengan Gendhuk Tri tadi, Eyang Sepuh hadir dan turut berbicara.
Bagi Upasara Wulung, ini merupakan gugatan mendasar.
Tumbal Asmara BAIK Nyai Demang maupun Pangeran Hiang merasa bahwa Upasara Wulung sudah menganggap mereka berdua sebagai sahabat sejati.
Sebagai sesama saudara, karena tak ada lagi yang ditutupi, atau dirahasiakan.
Lebih jauh Upasara menceritakan jalan pikirannya dengan pemunculan kembali Eyang Sepuh yang kali ini sungguh berbeda dengan dua pemunculan yang terdahulu.
Seperti diketahui, Upasara Wulung tak mengenal secara langsung, belum pernah berhadapan langsung dengan Eyang Sepuh. Di saat jaya-jayanya, di zaman Eyang Sepuh malang-melintang menguasai dunia persilatan, Upasara masih belum terjun ke dunia persilatan. Perkenalan pertama dengan Perguruan Awan selepas dari godokan dalam Ksatria Pingitan, juga tak mempertemukan, bahkan dengan bayangannya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sekalipun. Kabar mengenai Tamu dari Seberang yang mengundang seluruh tokoh persilatan ke Perguruan Awan, tetap tak bisa memaksa pemunculan Eyang Sepuh. Tak ada tokoh lain yang mengetahui di mana serta apa yang dilakukan Eyang Sepuh. Semua peristiwa menyebut kehadiran Eyang Sepuh, akan tetapi raganya tak pernah tampak.
Pemunculan yang pertama pun hanya suara. Itu saat para prajurit Keraton Singasari berhadapan langsung dengan pasukan Tartar, setelah menaklukkan penguasaan Raja Muda Gelang-Gelang. Pada waktu itu seperti ada bisikan, bahwa sesungguhnya Tamu dari Seberang itu bisa diartikan pasukan Tartar, yang bisa menjadi sarana mencapai tujuan.
Itu antara lain dukungan kuat, Raden Sanggrama Wijaya mengambil risiko menghantam balik pasukan Tartar, menerjang hingga batas lautan.
Tidak banyak yang mendengar bisikan itu, akan tetapi terasakan bahwa wangsit atau petunjuk itu berasal dari Eyang Sepuh.
Pemunculan yang kedua terjadi saat pertarungan mati-hidup di Trowulan. Ketika itu bahkan Eyang Sepuh terjun langsung ke gelanggang, turut terlibat dalam pertarungan. Meskipun yang terlihat hanya bayangan, kesiuran angin, atau kelebatan sosok. Baru kemudian menjadi jelas sewaktu Kiai Sambartaka mencurangi. Yang tampak hanyalah bayangan serba putih yang terluka. Jelas terlihat darah yang membasah.
Pemunculan yang lain terasakan, akan tetapi tidak secara langsung.
Upasara Wulung merasakan kehadiran beliau ketika di Perguruan Awan tatkala Paman Jaghana mengangkatnya sebagai pemimpin perguruan itu. Saat itu Paman Jaghana mengucapkan syukur, karena petunjuk Eyang Sepuh-lah yang berlaku, sehingga Upasara Wulung menerima petunjuknya.
Pemunculan-pemunculan itu bagi Upasara Wulung mempunyai alasan yang sangat kuat. Ketika mempertimbangkan menggempur pasukan Tartar yang kuat dan menguasai, Eyang Sepuh membisikkan sesuatu yang memperkuat batin dan semangat perang. Saat yang paling kritis, karena yang dihadapi adalah pasukan Tartar yang menguasai jagat dan saat itu sedang merayakan pesta kemenangan menghancurkan penguasa di Keraton Singasari.
Pertarungan di Trowulan tidak kalah pentingnya. Saat itu berkumpul seluruh jago jagat yang datang karena undangan Eyang Sepuh lima puluh tahun yang lalu. Paman Sepuh Dodot Bintulu memerlukan datang meskipun sebenarnya sudah lama tidak muncul. Secara pribadi, Eyang Sepuh perlu muncul untuk memberikan pertanggungjawaban.
Alasan kuat yang memaksa pemunculan beliau kembali kali ini bisa dimengerti Upasara Wulung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Walaupun juga terasa sungguh janggal, kalau kemudian Eyang Sepuh yang sudah mencapai tingkat moksa muncul kembali hanya untuk menanyakan masalah asmara pada Gendhuk Tri.
Ini gugatan mendasar bagi Upasara Wulung.
Yang segera terlintas adalah berbagai pertanyaan: Apa arti pemunculan ini" Penyesalan yang tiada kunjung habis sikap Eyang Sepuh menolak Eyang Putri Pulangsih"
Sebab jika benar begitu, Delapan Jurus Penolak Bumi yang diciptakan itu tidak sepenuhnya benar. Tidak tulus, tidak mulus.
Karena ilmu yang diciptakan berdasarkan sikap pasrah diri menjadi tumbal, kemudian ternyata disesali sendiri.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau cara berpikir ini benar, berarti selama ini Tumbal Bantala Parwa perlu dipahami dengan cara lain. Meskipun sudah menunjukkan kehebatannya, bukan tidak mungkin bukan itu sebenarnya yang seharusnya dimunculkan.
"Anakmas, suasana batin apa yang Anakmas maksudkan?"
"Maaf, Nyai. "Saya teramat lancang mengatakan itu."
"Pangeran Upasara, apakah tidak hormat jika kita mempersoalkan hal itu?"
"Saya tidak tahu. "Rasanya sangat kurang menghormati Eyang Sepuh dengan mempertanyakan hal itu."
Pangeran Hiang mengangguk mantap.
"Saya bisa memahami. Menghormati leluhur, orang yang lebih tua, di mana pun kita berada. Juga di negeri asal saya.
"Akan tetapi saya berpikir lain, Pangeran Upasara.
"Maaf kalau saya lancang.
"Kalau tadi Pangeran Upasara mengatakan Eyang Sepuh memunculkan diri lewat bisikan, bukankah itu pertanda bahwa bagi Eyang Sepuh pribadi masih ada ganjalan" Bukankah akan lebih sempurna lagi jika Pangeran Upasara bisa memahami dan kemudian mengubahnya?"
Wajah Upasara berubah beku.
Keras. Kaku. "Maaf, kalau saya salah bicara."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang merapatkan kedua tangannya. "Pangeran Hiang tidak salah bicara, dan Anakmas Upasara tidak salah menerima. Rasa-rasanya kita harus melihat kembali dengan hati lebih bening, lebih bersih dan tenang, apa yang diajarkan Eyang Sepuh.
"Kalau tadi saya bertanya mengenai suasana batin Eyang Sepuh, karena sesungguhnya tadi terbersit suatu pertanyaan yang diucapkan Pangeran Hiang. Kenapa ajaran ngrogoh sukma yang tanpa batas itu justru macet pada wilayah tertentu" Dalam hal ini mencoba memahami daya asmara Gendhuk Tri.
"Apakah itu kamu rasakan ketika kamu mencoba memahami isi hati Permaisuri Rajapatni?"
Upasara menggeleng. "Sekali lagi saya minta maaf, kalau ini menyinggung masalah pribadi."
Upasara Wulung menggeleng lagi.
"Jangan merasa sungkan, rikuh, untuk membicarakan hal ini, Pangeran Hiang."
"Saya minta maaf karena dua hal.
"Pertama, karena ini masalah pribadi Eyang Putri Pulangsih dan Eyang Sepuh, dan kedua, karena kemampuan saya memahami tidak sepenuhnya benar.
"Ketika saya berusaha memahami berbagai kitab pusaka di tanah Jawa ini, saya merasakan betapa sesungguhnya tumbal menjadi sikap yang terutama. Ini yang kemudian mendasari dan terlihat pada bagian akhir Kitab Bumi yang kesohor, yang kemudian dianggap sebagai Jalan Buddha yang paling murni.
"Siapa pun yang menciptakan, di tangan Eyang Sepuh-lah Kitab Bumi menemukan bentuknya. Beberapa saat setelah itu, Eyang Sepuh juga menciptakan Kidungan Paminggir, Kitab Paminggir yang menggegerkan.
Sehingga Sri Baginda Raja loncat dari singgasana dan menciptakan Kidungan Para Raja, dan kemudian disempurnakan atau dipertemukan oleh Mpu Raganata dengan Kidungan Pamungkas."
Nyai Demang mendengarkan tanpa berkedip. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya gelisah. Cara bertutur Pangeran Hiang sangat jelas, jernih, memperlihatkan penguasaan yang tinggi. Ini yang tidak pernah diduga semula, bahwa Pangeran Hiang bisa menyelam sedalam itu.
Ini yang membuatnya gelisah tanpa mengetahui dengan pasti apa sebabnya ia harus gelisah.
"Nyai Demang, Pangeran Upasara pasti lebih memahami. Bahwa jarak sikap batin pada Kitab Bumi sangat jauh berbeda dari Kitab Paminggir.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yang pertama berintikan penyerahan total, pasrah, kesediaan mengorbankan diri menjadi tumbal, sementara ajaran Kitab Paminggir justru bermuarakan pada ajaran mahamanusia."
"Yang kembali dibumikan oleh Mpu Raganata dengan Kitab Pamungkas, kitab yang terakhir mengenai perbedaan pandang ini."
"Benar, Nyai. "Akan tetapi dari segi ajaran Eyang Sepuh, dari sikap batin Eyang Sepuh, kita menemukan dua inti yang berbeda. Atau bahkan berlawanan.
"Satu pihak mengajarkan menjadi tumbal.
"Pihak lain mengajarkan menjadi mahamanusia.
"Ini membingungkan saya. Kitab Paminggir lebih belakangan diciptakan, dan rasanya selama ini belum pernah ada penyesalan atau perbaikan dari Eyang Sepuh sendiri. Bahkan dengan mengundurkan diri dari segala kegiatan duniawi dan Keraton, membuktikan bahwa Eyang Sepuh tetap berpegang teguh pada Kitab Paminggir."
Nyai Demang menebak-nebak. "Itu yang saya pertanyakan, Pangeran Hiang. Apakah ada suasana batin yang mempengaruhi Eyang Sepuh kala itu"
"Apakah itu bukan daya asmara yang masih belum terselesaikan terhadap diri Eyang Putri Pulangsih?"
Suasana hening. Perangkap Asmara SUASANA hening masih terus berlanjut hingga beberapa langkah.
Semua terseret jalan pikiran masing-masing.
Nyai Demang merasakan kegelisahannya.
Pangeran Hiang menatap langit.
Upasara mengangguk. "Kalau Pangeran Hiang susah menerima mana yang lebih inti, tumbal atau mahamanusia, itulah kebesaran Eyang Sepuh. Itulah inti ajaran tanah Jawa yang susah dipahami dengan satu pengertian.
"Itulah daya asmara."
"Apakah soal asmara sedemikian pentingnya?"
"Apakah tidak?" Nyai Demang balik bertanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya kira tidak perlu menumbuhkan keruwetan seperti yang dialami Eyang Sepuh. Menurut pendapat saya, yang bisa salah, Eyang Sepuh justru terjebak di dalam lingkaran yang menjeratnya untuk mencapai tingkatan tertinggi. Itu kalau benar beliau perlu menampakkan diri kembali, setelah mencapai tingkat moksa.
"Maaf, saya mengatakan apa yang ada dalam pikiran tanpa menutupi."
"Apakah Pangeran Hiang menilai asmara sebagai pelengkap belaka?"
"Tidak juga, Nyai Demang.
"Akan tetapi yang jelas tidak untuk membebani. Tidak untuk bertiarap dalam perangkap. Saya sangat sedih, sangat kecewa terhadap Putri Koreyea. Tetapi saya tak akan menenggelamkan diri dalam kepedihan itu.
"Tak ada gunanya untuk saya.
"Tak ada gunanya untuk Putri Koreyea.
"Saya tidak menyinggung perasaan Nyai, akan tetapi mencoba memberikan gambaran pandangan saya secara pribadi. Saya katakan secara pribadi karena pengalaman dan perjalanan hidup saya berbeda dari Nyai Demang maupun Pangeran Upasara.
"Saya dibesarkan dalam tradisi seperti itu. Seperti juga Barisan Api.
Seperti juga Gemuka, yang memilih tidak melibatkan diri dengan daya asmara."
"Pembicaraan yang menarik karena terbuka. Tapi rasanya tidak perlu diumbar sebanyak ini," suara Nyai Demang sedikit meninggi.
Akhirnya mereka meneruskan perjalanan dengan berdiam. Juga ketika Pangeran Hiang memutuskan bermalam di rumah penduduk, hanya dijawab anggukan.
Nyai Demang, yang merasa sedikit terganggu, hatinya masih bertanya-tanya. Kenapa agak mendadak Pangeran Hiang mengatakan itu"
Namun Nyai Demang tak berpikir banyak. Kelelahan dan ketegangan sangat cepat menyeret tidurnya dalam kelelapan. Sampai dini hari.
Meskipun tenaga dalamnya tidak sekuat Upasara Wulung, jalan pikiran Nyai Demang lebih teliti. Ketika bangun, Nyai Demang merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya. Karena betapapun lelahnya, tak nanti bisa begitu saja terlelap. Sehingga terbersit keraguan, adakah sebab lain yang mempengaruhi.
Sewaktu mencoba pernapasannya, Nyai Demang tidak menemukan sesuatu yang luar biasa. Jalan napas, jalan darahnya normal, tak ada gangguan suatu apa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, sikapnya menjadi waspada.
Itu pula sebabnya ketika mencapai pinggiran Perguruan Awan, Nyai Demang memusatkan perhatian pada diri sendiri. Berbaring di bawah sebatang pohon, dan sekuat tenaga memusatkan kekuatannya.
Sampai jauh malam tak terjadi sesuatu.
Memang saat itu pikiran Nyai Demang masih terganggu. Baik karena mendengar pendapat Pangeran Hiang, maupun menduga-duga apa yang tengah terjadi dengan Gendhuk Tri. Karena Nyai Demang mengetahui pasti bagaimana reaksi Gendhuk Tri menghadapi situasi yang tidak betul. Gendhuk Tri tak akan minggir. Halayudha sekalipun akan dihadapi.
Dengan beban pikiran seperti itu, Nyai Demang heran akan ketidak-mampuannya menahan kantuk yang menyelinap. Makin dikuatkan tenaga dalamnya untuk melawan, makin terasa berat matanya. Antara sadar dan tidak, Nyai Demang menggenggam tangannya untuk meyakinkan kesadarannya. Hanya saja tubuhnya tak mampu menahan.
Dalam perjalanan terlelap, Nyai Demang melihat tangan yang mengusap wajahnya.
Nyai Demang memberontak sekuat tenaga.
Tapi kelelapan yang lebih kuasa menyeretnya.
Ketika terbangun esok harinya, Nyai Demang menjajal tenaga dalamnya kembali. Tak ada sesuatu yang ganjil. Semuanya berjalan normal.
Apakah yang dialami hanya mimpi" Rasanya tak mungkin. Tangan yang bergerak di depan wajahnya itu begitu jelas terlihat dan sentuhannya terasakan.
Siapa yang melakukan"
Sebelum berangkat tidur, yang ada di dekatnya hanya Upasara Wulung yang tengah bersemadi. Bersebelahan dengan Pangeran Hiang yang juga melakukan hal yang sama. Hanya Pangeran Hiang memang bergerak-gerak, tangan dan kakinya seperti memainkan Enam atau Tujuh Langkah Karawitan.
Jadi siapa yang melakukan"
Kalau tokoh lain, rasanya tidak mungkin. Tidak mungkin tanpa diketahui Upasara maupun Pangeran Hiang. Kecuali kalau memang masih ada tokoh yang sangat sakti mandraguna, yang setingkat atau malah di atas Upasara. Rasanya tak ada lagi. Lagi pula kalau benar ada tokoh sesakti itu, apa maunya" Kenapa membuatnya terlelap"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang menyimpan teka-teki dalam hatinya. Menyimpannya sendiri, meskipun Pangeran Hiang seperti bisa menerka apa yang terjadi.
"Kenapa, Nyai?"
"Tidak ada apa-apa, Pangeran Hiang.
"Kenapa Pangeran Hiang bertanya seperti itu?"
"Dua pagi ini Nyai menggerakkan tenaga dalam secara menyeluruh, seolah ada sesuatu yang sakit."
"Ah, kenapa Pangeran Hiang begitu memperhatikan"
"Hanya pegal-pegal yang biasa terjadi pada wanita setua saya."
Pangeran Hiang mengangkat alisnya.
"Saya bisa membantu, bila Nyai tidak berkeberatan."
"Dengan senang hati jika saya memerlukan Pangeran.
"Marilah kita bersiap. Rasanya kita harus bergegas agar sebelum matahari tenggelam sudah bertemu Paman Jaghana."
Kalaupun dalam perjalanan terjadi percakapan, Upasara Wulung lebih banyak menjawab apa yang ditanyakan Pangeran Hiang. Terutama mengenai unsur-unsur irama dalam karawitan. Selebihnya berdiam, menghela napas.
"Anakmas..." Pangeran Hiang mencekal tangan Nyai Demang.
"Pangeran Upasara tengah memikirkan sesuatu yang besar baginya.
Sesuatu yang bisa dirasakan oleh semua jago silat, oleh semua pendekar. Ada yang bergolak dalam batinnya dan menunggu saat yang tepat untuk diartikan."
"Sesuatu..." "Sesuatu yang juga saya rasakan selama ini, ketika irama karawitan itu merasuk ke dalam kesadaran.
"Barangkali saja Pangeran Upasara tengah menciptakan jurus-jurus yang luar biasa nantinya."
Nyai Demang mengerutkan keningnya.
"Pada saat seperti ini?"
"Justru pada saat seperti ini."
"Dari mana Pangeran mempunyai dugaan seperti itu?"
"Saya juga merasakan, dan saya telah mengatakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ada dua pengertian mendasar yang sedang dipahami Pangeran Upasara. Pengertian tumbal dan pengertian mahamanusia. Dua pengertian yang berbeda, yang bertentangan. Pada daya asmara hal itu bisa diterangkan sebagai perbedaan yang tak terpahami. Siapa tahu dari dasar ini Pangeran Upasara bisa menciptakan sesuatu yang besar."
Dari pembicaraan yang terjadi, Nyai Demang merasa bahwa Pangeran Hiang tidak menyembunyikan sesuatu. Mengatakan semuanya dengan jujur. Dan Nyai Demang bisa menerima.
Bukankah Tumbal Bantala Parwa juga tercipta ketika Eyang Sepuh menolak Putri Pulangsih" Bukankah Kidungan Paminggir juga lahir ketika bibit-bibit pertentangan dengan Sri Baginda Raja meninggi"
Tapi entah kenapa Nyai Demang curiga pada Pangeran Hiang.
Caranya melatih Langkah Karawitan sangat aneh. Beberapa kali diulang, beberapa kali dilakukan dengan tenaga yang cukup besar.
Sehingga seakan meninggalkan bekas pada tanah yang diinjak atau pepohonan sekeliling. Apalagi itu dilakukan pada jarak-jarak tertentu.
Dalam hal semacam ini, otak Nyai Demang bisa melejit cepat dari kemampuan ilmu silatnya. Kecurigaannya makin kuat, karena bekas injakan kaki Pangeran Hiang seakan membentuk huruf yang bisa diartikan sebagai siung atau taring.
Nyai Demang mengerahkan seluruh kemampuannya. Mempertajam pendengarannya, memperhatikan segala gerakan angin. Akan tetapi sampai di Perguruan Awan tak ada sesuatu yang aneh.
Upasara menghela napas. "Paman Jaghana, hari ini saya berkunjung kembali ke Perguruan Awan...."
Apa yang dilakukan Upasara Wulung sebenarnya hanya mengucapkan uluk salam, mengatakan kehadirannya. Karena belum tentu didengar Jaghana, yang tidak ketahuan pasti di mana ia berada.
Persiapan Telah Selesai PANGERAN HIANG ikut bersoja.
"Perguruan Awan memang terbuka seperti ini, Pangeran.
"Barangkali kita memerlukan waktu untuk bisa bertemu Paman Jaghana atau yang lainnya."
"Saya pernah mendengarnya, Nyai."
"Barangkali sebaiknya kita sekarang berpencar, dan bisa saling memberi tanda jika bertemu Paman Jaghana."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pastilah Paman Jaghana akan merasa mengetahui bahwa kita tiba di sini," jawab Upasara tenang. "Lebih baik kita tunggu di sini."
"Kalau begitu, saya akan mencari buah-buahan...."
Pangeran Hiang mengangguk.
Nyai Demang segera bergerak cepat. Tubuhnya melayang, lenyap dari pandangan.
Upasara duduk bersila, berhadapan dengan Pangeran Hiang.
"Pangeran Upasara," kata Pangeran Hiang perlahan. "Katakan dengan jujur, apakah kata-kata saya terlalu kasar sehingga melukai perasaan Nyai Demang?"
"Saya tak sepenuhnya paham hati dan perasaan wanita, Pangeran."
"Sejak saya mengatakan perihal daya asmara, Nyai Demang kelihatan banyak termenung."
"Hal yang wajar. "Itulah daya asmara."
Pangeran Hiang tersenyum.
Dadanya membusung. "Pangeran Upasara, nasib mempertemukan kita. Nasib menyatukan kita sebagai saudara. Berbagi pengalaman yang berat menguji kita berdua, akan tetapi tali persaudaraan kita tak goyah.
"Apakah saya tidak salah kalau tadi mengatakan Pangeran sedang memikirkan suatu jurus ilmu silat yang baru?"
Upasara tersenyum. Dagunya tertekuk. Mengangguk.
"Tidak sepenuhnya langsung seperti itu.
"Barangkali bisa menjadi jurus-jurus ilmu, barangkali hanya menjadi beban pikiran.
"Kehadiran kembali Eyang Sepuh, bagi saya merupakan pertanyaan besar. Apa sebenarnya pencapaian moksa itu" Apa yang lebih dahsyat dari kekuatan moksa itu sendiri?"
"Daya asmara." Angin mendesis dari bibir Upasara.
"Tepat sekali, Pangeran.
"Daya asmara itulah kekuatan yang lebih dahsyat. Hanya bagaimana memahaminya, agaknya pengetahuan saya masih sangat terbatas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena di satu pihak menjadi beban-seperti yang Pangeran katakan, seperti yang saya alami."
"Maaf, Pangeran, saya makin tidak bisa memahami.
"Apakah itu berarti kekuatan yang menciptakan kesempurnaan atau malah menghancurkan?"
"Seperti juga semua tenaga dalam, bisa berarti kedua-duanya. Bisa menghancurkan dan bisa menguatkan."
"Ini pembicaraan menarik, Pangeran.
"Dalam ilmu silat kita sama-sama mengenal unsur kekuatan bumi, air, api, angin, binatang, matahari, atau rembulan. Dasar kekuatan yang bertentangan, saling berbeda, saling mengalahkan.
"Sejauh yang saya tahu, kekuatan bumi yang dilahirkan Eyang Sepuh adalah segalanya."
Kalimat Pangeran Hiang terhenti karena reaksi Upasara Wulung.
"Apakah kalimat saya keliru?"
"Saya rasa tidak sepenuhnya kekuatan bumi mengalahkan air, api, binatang...."
Upasara mendesis. Bersila hormat dan menyembah. Tangan kirinya bergerak perlahan bagai gelombang, sementara tangan kanannya bergerak dari bawah ke atas. Mulai dari tanah tertarik ke atas, sikunya tertekuk ke dalam dan perlahan naik ke atas, sebelum dientakkan ke depan!
Mata Pangeran Hiang membelalak.
Menandakan rasa terkejutnya.
Selama ini belum pernah melihat gerakan seperti yang dilakukan Upasara sekarang ini.
Upasara menghela napas. Lalu memulai lagi dari awal. Tapi kini berganti. Tangan kanannya yang berada di atas, setingkat dengan bahu dan bergetar. Kelima jarinya menjulur tapi rapat, seperti tergerakkan oleh desiran gelombang angin di bawahnya. Dan tangan kirinya melakukan gerakan seperti yang tadi dilakukan tangan kanan. Yaitu tengadah, tertekuk hingga pergelangan, lalu ditarik ke atas, siku tertekuk ke dalam, sebelum naik setingkat dengan dada, sebelum dientakkan ke depan.
Pangeran Hiang mendesis. Meloncat dari tempat duduknya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mengawasi Upasara yang masih memusatkan pikirannya. Kejadian ini memang sangat luar biasa di mata Pangeran Hiang. Tak terbayangkan sebelumnya.
Sesuatu yang luar biasa kalau diingat bahwa Pangeran Hiang mempunyai ilmu yang sangat tinggi, pengalaman yang sangat luas.
Boleh dikatakan semua kitab pusaka yang ada sudah dimamah habis.
Semua gerakan dan cara pengerahan tenaga bisa dikuasai dengan sangat baik.
Apalagi gerakan mengerahkan tenaga dalam yang dilakukan Upasara sebenarnya tak berbeda jauh dari apa yang dilakukan di Tartar. Hanya bedanya, gerakan itu selalu dilakukan dua tangan. Kalau Upasara biasa mengerahkan dengan satu tangan, itu pun sudah luar biasa. Akan tetapi Pangeran Hiang masih bisa memahami apa yang disebutkan sebagai Tepukan Satu Tangan, di mana tangan kanan dibiarkan terkulai sebagaimana tangan Buddha. Pangeran Hiang mengagumi kehebatan tepukan satu tangan yang menimbulkan bunyi lebih nyaring dari dua tangan.
Yang dianggap puncak kehebatan ajaran Kitab Bumi sehingga berani dikatakan sebagai Jalan Buddha yang sesungguhnya. Akan tetapi ternyata itu belum puncak.
Upasara bisa melakukan dengan sempurna, sementara tangan kanan melakukan gerakan lain. Dan bisa dibalikkan, di mana tangan kiri melakukan gerakan itu.
Empasan tenaga dalam Upasara memang tidak terlalu kuat. Tak cukup membuat Pangeran Hiang meloncat. Akan tetapi sebagai sesama pendekar, Pangeran Hiang menyadari bahwa Upasara menemukan pendekatan dan penghayatan baru dari ilmunya. Yang jika dilatih keras, benar-benar bisa luar biasa.
Karena sesungguhnya gerakan-gerakan dasar itulah yang nantinya dikembangkan, disempurnakan. Semakin sempurna gerakan yang diciptakan semakin cepat pengerahan tenaga dalam, dan semakin kuat perkasa.
Seseorang yang sakti bisa menciptakan ilmu mautnya hanya dengan melihat burung bertarung melawan harimau. Inti kekuatan yang tercermin itulah yang diangkat sebagai inti kekuatan ilmunya. Melihat semut yang mampu mengangkat beban yang sekian kali berat tubuhnya, melihat belalang yang mampu meloncat puluhan kali tinggi tubuhnya, melihat akar bambu yang mampu menyangga batang yang tinggi, merupakan petunjuk-petunjuk alam. Kemampuan memahami inti kekuatan itu, yang bila diubah dalam diri seorang pendekar, benar-benar luar biasa.
Upasara sekarang sampai di tingkat itu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tangan kanan melakukan gerakan bumi, tangan kiri melakukan gerakan air. Dan bisa sekaligus dibalik. Kiri menjadi tenaga bumi, dan kanan mengerahkan tenaga air.
Upasara masih berlatih ketika Jaghana muncul dan bersila di dekat Pangeran Hiang yang beberapa kali menggeleng.
"Selamat, Pangeran Upasara. Kemurahan Dewa Yang Mahadewa telah tercurah sepenuhnya. Selamat!"
Pangeran Hiang berjongkok, menyembah dengan menjatuhkan kedua tangan di depan dan ubun-ubun menyentuh rumput sebanyak tiga kali.
Upasara menggeleng lembut.
"Tidak, Pangeran Hiang.
"Rasanya masih jauh...."
Jaghana mengangguk. "Tempat ini memang tempat kemurahan Dewa. Saya yang tak bisa mensyukuri."
Senyum tipis dan bahagia mengembang di wajah Jaghana.
"Rasanya mati pun puas setelah melihat sendiri...."
"Paman..." "Jangan terlalu sungkan.
"Marilah bersama-sama mengucapkan syukur kepada Dewa Yang Mahakuasa...."
Ketiganya bersemadi bersamaan.
Hal yang bertentangan tengah terjadi pada diri Nyai Demang. Sewaktu pamit mencari buah, Nyai Demang sengaja meniti jalan dari arah dirinya datang.
Untuk memastikan apakah matanya tidak salah melihat tanda tulisan siung yang ditinggalkan Pangeran Hiang. Sambil memetik buah-buahan Nyai Demang melirik ke tempat tanda goresan kaki Pangeran Hiang tertinggal.
Rasanya jantung Nyai Demang terlepas dari dadanya ketika tulisan itu berubah menjadi: persiapan telah selesai.
Menunggu Perintah Takhta KALI ini Nyai Demang yakin dengan penemuannya. Jejak yang dibuat Pangeran Hiang pasti ditujukan kepada orang lain. Tak mungkin tidak.
Dan orang yang dihubungi itu telah menjawab.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak perlu ragu lagi. Biarpun tidak sepenuhnya menguasai, Nyai Demang bisa membaca huruf-huruf dari Jepun maupun Tartar. Dan sedikit-banyak bisa mengartikan.
Kali ini tak mungkin keliru.
Pangeran Hiang diam-diam telah berhubungan dengan seseorang atau banyak orang. Nyai Demang lebih yakin lagi karena kini berada di Perguruan Awan. Di mana daun jatuh atau rumput tak pernah berubah sejak pertama kali tumbuh.
Bukan tidak mungkin selama ini Pangeran Hiang sudah berhubungan secara rahasia. Hanya saja tak pernah bisa diketahui. Dan tetap akan tak diketahui jika tanda-tanda itu tidak ditinggalkan di Perguruan Awan.
Tak salah lagi. Tak mungkin salah lagi. Kalau benar begitu, apa sebenarnya yang direncanakan Pangeran Hiang" Apa arti jawaban persiapan telah selesai" Persiapan apa"
Persiapan peperangan untuk membalas dendam"
Sangat mungkin mengingat selama ini gelombang dari negeri Tartar tak pernah berhenti. Selalu datang silih berganti. Sangat mungkin sekali rombongan yang sama atau rombongan berikutnya menyusul. Mana mungkin seorang putra mahkota dibiarkan pergi sendiri tanpa diketahui kabar beritanya"
Kalau ini semua benar, berarti Pangeran Hiang selama ini melakukan sesuatu yang sangat rahasia, bermain sandiwara secara sempurna.
Sudah sejak Tiga Naga dipukul mundur, prajurit dan mahapatih dari Tartar selalu berusaha menerobos masuk lewat penyamaran dan sayembara.
Sudah sejak semula ada yang datang secara terang-terangan tetapi juga ada yang tak diketahui.
Tubuh Nyai Demang gemetar.
Untuk sesaat tak tahu apa yang harus dikerjakan.
Baru kemudian melangkah limbung kembali ke tempat semula.
Dengan pikiran yang sarat memenuhi kepalanya. Rasanya dirinya belum pernah menerima beban yang melewati batas kemampuannya.
Pangeran Hiang! Pangeran Hiang yang melamarnya, yang mengajak ke takhta Tartar, ternyata diam-diam sedang menyusun kekuatan yang tak diketahui siapa pun. Tidak juga Upasara yang polos.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Hiang! Pangeran Hiang yang kelihatan polos, mengangkat saudara, ternyata sedang memainkan kartu utamanya dengan dingin. Nyai Demang makin sadar bahwa rasa kantuknya dulu itu karena gerakan usapan tangan.
Berarti sudah sejak lama.
Apa yang akan dilakukan"
Menyimpan semuanya dan menanyakan secara pribadi kepada Pangeran Hiang" Apakah bukan seperti memasukkan kepala ke dalam kobaran api yang terpendam dalam sekam" Dengan berbagai cara, bisa saja Pangeran Hiang melenyapkan dirinya, tanpa ada yang mencurigai.
Ilmunya sedemikian tinggi!
Atau menyimpan pengertian ini untuk dirinya sambil menunggu gerakan yang dilakukan Pangeran Hiang" Kalau jalan ini yang dipilih, apakah tidak berarti terlambat"
Kalau diperhitungkan bahwa penyusupan pasukan Tartar sejak semula begitu teliti dan cermat, sedikit terlambat bisa berarti habis punah.
Bagi Nyai Demang semuanya ini menjadi beban yang menindih hebat.
Juga karena Pangeran Hiang telah melamarnya. Dan dirinya telah mengatakan menerima. Betapa hancur hatinya kalau kemudian mengetahui, ini semua merupakan bagian dari rencana Pangeran Hiang.
Nyai Demang, Nyai Demang...! teriaknya dalam hati dengan suara tersayat. Kenapa kamu tidak pernah bercermin di air sungai" Di situ akan kamu temukan wajah wanita yang tua, yang tidak menarik. Di situ akan mudah kamu temukan kejanggalan, seorang putra mahkota Tartar yang bagai Dewa sungguh tak pantas bersanding denganmu. Mana mungkin kamu masih menyimpan impian yang ngayawara, yang bukan-bukan.
Sedemikian berat tindihan hati Nyai Demang sehingga lututnya bergetar. Tubuhnya perlahan merosot ke tanah dan buah-buahan yang dikumpulkan jatuh tercerai-berai.
Rintihan dari bibirnya mengisyaratkan kepedihan yang tak tertanggungkan.
"Jagattri, anakku... Anak Tri... Jagattri, anakku...."
Nama Gendhuk Tri meluncur begitu saja dari bibirnya. Bawah sadarnya mengatakan bahwa pada saat seperti sekarang ini hanya Gendhuk Tri yang bisa mendengar kalimatnya. Hanya Gendhuk Tri seorang yang mampu menerima muntahan kandungan keruwetan batinnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pada saat yang sama, Gendhuk Tri memantapkan langkah masuk ke dalam Keraton.
Tak berbeda dengan perhitungan Nyai Demang. Bahwa akhirnya Gendhuk Tri akan menghadapi Halayudha.
Sewaktu meninggalkan rombongan, Gendhuk Tri memang bermaksud kembali ke Keraton. Untuk mengetahui keadaan yang dikatakan Pangeran Anom. Hanya kali ini Gendhuk Tri tidak bertindak begitu saja.
Melainkan mempersiapkan dengan sangat hati-hati.
Pertama kali yang dicari adalah Pangeran Anom.
Yang diketemukan hanyalah kabar. Bahwa Pangeran Anom tidak kembali ke Keraton, melainkan langsung menuju Pamalayu, menyusul kedua orangtuanya. Dari sini Gendhuk Tri merasa sedikit bersalah.
Bagaimanapun, tindakan Pangeran Anom yang demikian tergesa dan tidak memedulikan segalanya, karena tak mendapat tanggapan darinya.
Gendhuk Tri merasa bersalah, karena belum bisa menjelaskan secara langsung kepada Pangeran Anom.
Yang ditemui hanya Pangeran Angon, yang hanya mengulang apa yang sudah diketahui mengenai keadaan dalam Keraton. Gendhuk Tri berusaha menemui Tujuh Senopati Utama. Yang justru menemuinya pertama adalah Senopati Tanca.
"Kami mengerti sepenuhnya jiwa luhur jiwa ksatria sejati, Anakmas Jagattri. Tetapi saat ini kami tak bisa berbuat suatu apa, karena kami adalah senopati tanpa daya. Kami tak mempunyai hak, tak mempunyai kewajiban, tak mempunyai keberanian masuk ke Keraton, sejak kami dilengser dengan tidak hormat."


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman Senopati Utama Tanca..."
"Anakmas Jagattri, kami semua ini prajurit.
"Perintah Raja adalah segalanya. Kalau takhta bersabda, kami akan mengikuti perintah sampai ke tulang, sampai ke dalam tanah. Selama ini kami bukan apa-apa, bukan siapa-siapa...."
"Paman, apakah Paman Tanca akan membiarkan Keraton dirusak Mahapatih Halayudha?"
Wajah Senopati Tanca seperti terbakar.
"Anakmas Jagattri. "Bunuhlah kami jika itu perintah takhta. Akan kami jalani dengan senang, ikhlas, dan bahagia. Kami hanya prajurit, dan selamanya prajurit!"
"Maaf, Paman. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Paman adalah senopati utama, dharmaputra yang tidak tertandingi untuk menerima anugerah kehormatan besar. Di seluruh Keraton hanya ada tujuh senopati yang mendapat kebesaran gelar tersebut.
"Maaf, Paman. "Saya sengaja membakar hati Paman, agar menghilangkan rasa tak berharga. Keraton sedang dalam bahaya."
"Anakmas Jagattri. "Kita tak tahu apakah Raja sengaja memilih kejadian seperti ini atau tidak."
"Bagaimana mungkin Paman Senopati Tanca bisa mengambil kesimpulan seperti itu" Apakah keterangan ketiga pangeran anom kurang jelas?"
"Jelas, sangat terang.
"Tetapi Raja serba tak terduga oleh prajurit kecil seperti kami. Dan hanya perintah Raja yang kami patuhi."
Gendhuk Tri menggigit bibirnya.
"Maaf, Paman Tanca, maaf.
"Saya kecewa besar atas sikap Paman."
"Kami bisa memahami."
"Saya bisa menduga Paman sekalian sengaja membiarkan kejadian ini. Meskipun ada juga kemungkinan Paman mematuhi ajaran keprajuritan yang sekarang sedang direndahkan karena Paman dilengser, dipecat, Raja.
"Saya tidak marah. "Saya tidak dendam. "Saya hanya kecewa besar.
"Tetapi saya akan tetap masuk ke Keraton."
Senopati Tanca menyembah Gendhuk Tri.
Bagi Gendhuk Tri itu penghormatan yang dalam. Akan tetapi saat itu hatinya beku. Kekecewaannya sangat melukai perasaannya. Karena bagi Gendhuk Tri sungguh tidak masuk akal bila seorang senopati utama bisa berdiam diri ketika Keraton terancam, betapapun pedihnya penderitaan yang dialami.
Itu berarti Gendhuk Tri akan menghadapi seorang diri.
Itu yang dilakukan kini. Masuk ke Keraton, berhadapan langsung dengan Halayudha yang menguasai takhta!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Siaga Bendera GENDHUK TRI menyaksikan pemandangan yang sulit dipercaya.
Ketika ia memutuskan masuk ke Keraton seorang diri, tak terbayangkan bahwa sebenarnya ia tidak sendirian. Ketika Senopati Tanca menolak ajakannya, sebenarnya tidak sepenuhnya melepaskan sendiri.
Keluar dari bangunan sasanamulya, tempat para pangeran anom diinapkan, dalam perjalanan ke arah timur menuju Keraton, para prajurit tampak bersiaga penuh. Berjajar rapi di kiri-kanan jalan, dengan umbul-umbul, bendera yang menjadi lambang pasukannya.
Suasana meriah penuh warna-warni.
Di sebelah kiri, deretan umbul-umbul bercirikan gula klapa atjiri cakra, atau bendera merah-putih dengan gambar cakra di tengahnya yang merupakan ciri pasukan tamtama. Semuanya dalam keadaan siaga perang. Lengkap dengan persenjataan dan menunggu dengan gagah.
Sebelah lagi barisan pare anom, yang berumbul-umbul warna hijau-kuning dengan cakra di bagian tengah, menandakan prajurit carangan.
Barisan prajurit yang membantu tugas sewaktu-waktu diperlukan. Ini berarti para pimpinan prajurit sudah menyadari situasi untuk bergerak cepat pada saat yang diperlukan. Hanya tinggal menunggu komando.
Itu yang belum ada. Gendhuk Tri melangkah perlahan.
Sebelah kanan umbul-umbul berwarna merah dengan pinggir hitam, pasukan geniroga, berdampingan dengan pasukan alas kobong, atau hutan terbakar. Umbul-umbul ini tanpa simbol apa-apa di bagian tengah, yang melambangkan bahwa mereka bukan dari kesatuan prajurit perang, melainkan bagian yang membantu segala keperluan perang dengan menyiapkan senjata ataupun kuda dan atau keperluan lain.
Yang sedikit mengherankan Gendhuk Tri ialah bahwa di depan Keraton juga terlihat bendera dengan dasar warna hitam dan di bagian pinggir warna putih-biru-merah, yang merupakan ciri pasukan kepatihan. Ini termasuk agak ganjil mengingat bahwa kepatihan adalah prajurit-prajurit yang selama ini komandonya berada di bawah tangan mahapatih. Kalau sekarang ini ikut bersiaga, susah ditebak apakah bersiaga untuk membantu Mahapatih Halayudha atau justru sebaliknya.
Kalau diperhitungkan dari tata krama keprajuritan, jelas sekali untuk membantu Mahapatih. Akan tetapi kalau dilihat berbaris bersama
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
barisan prajurit yang membawa bendera bango tulak, warna burung bangau tulak- pinggir hitam dasar putih, yang menandai prajurit kanayakan, prajurit Keraton umum, berarti mereka bersiaga untuk menjaga Keraton. Tanpa memperhitungkan apakah mereka prajurit kepatihan atau bukan.
Gendhuk Tri masih terus melangkah.
Ratusan prajurit yang siaga dengan bendera berjajar rapi memandang penuh hormat padanya. Sorot mata para prajurit sekilas seperti menumpahkan seluruh harapan pada langkah-langkah kaki Gendhuk Tri.
Selama ini Gendhuk Tri boleh dikatakan sudah malang-melintang di dalam Keraton. Baik sebagai lawan maupun sebagai kawan. Baik diterima dengan hormat maupun diusir dengan kekerasan. Sangat mungkin sekali para prajurit yang siaga sekarang ini sebagian pernah ikut mengejar dan menyergapnya. Akan tetapi, kini seluruhnya memandang hormat, dan seolah menunggu perintah darinya.
Tiba-tiba Gendhuk Tri merasa dirinya mempunyai arti. Merasa bahwa langkahnya menjadi tumpuan dari kemelut yang terjadi di Keraton.
Selama ini, sejak upacara penobatan Praba Raga Karana menjadi prameswari utama yang berakhir dengan pertarungan berdarah, suasana menjadi tidak menentu.
Apa yang terjadi di balik dinding Keraton tak sepenuhnya bisa dimengerti. Kabar mengenai penguasaan oleh Mahapatih Halayudha sudah jelas santer terdengar, akan tetapi tidak ada perintah dari para pemimpin di bawahnya.
Seperti diketahui, para senopati yang membawahkan para prajurit secara langsung tidak segera mengambil tindakan. Demikian juga halnya para senopati utama, yang secara resmi telah dicopoti pangkat dan kekuasaannya. Sehingga di lapisan menengah ke bawah, benar-benar tak ada komando.
Pemunculan Gendhuk Tri sangat tepat.
Di saat para prajurit menunggu-nunggu dan gelisah, Gendhuk Tri melangkah. Benar atau tidak dugaan Gendhuk Tri masih harus dibuktikan kemudian. Akan tetapi bukti bahwa semua prajurit Keraton bersiaga, sudah menunjukkan persahabatan. Dirinya tidak datang untuk dimusuhi. Dirinya datang dan diakui.
Kalau Tujuh Senopati Utama tidak terjun secara langsung, itu tidak berarti menghalangi. Karena para prajurit yang sekarang bersiaga penuh ini tak mungkin berani bergerak kalau pemimpinnya melarang.
Gendhuk Tri bisa mengambil kesimpulan, bahwa para prajurit tetap dalam keadaan siaga, menunggu komando untuk berbuat sesuatu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Komando Raja akan merupakan perintah mati-hidup. Komando Mahapatih juga bisa berarti sama. Akan tetapi, saat itu dua-duanya tak memberi perintah apa-apa.
Gendhuk Tri melangkah sampai depan Keraton. Melangkah masuk, melewati pintu utama yang dibukakan khusus untuknya.
Di bagian dalam tak jauh berbeda.
Para prajurit kawal Keraton, para prajurit kawal pribadi Raja bersiaga.
Lengkap dengan persenjataan.
Gendhuk Tri terus melangkah ke dalam, melewati pendopo utama, yang selama ini dipakai untuk pertemuan besar.
Turun dari pendopo utama, melalui bagian kosong sekitar tiga tombak, sampailah di gerbang dalam.
Melewati bagian itu, berarti sudah masuk ke bangunan inti.
Dan dengan langkah pasti, Gendhuk Tri melangkah ke dalam. Ia sendiri yang mendorong pintu dan melangkah masuk.
Hawa dingin terasakan dari berbagai arah. Hawa dingin yang menyakitkan. Gendhuk Tri tidak jongkok sebagaimana biasanya bila memasuki ruangan itu, tidak juga laku ndodok, berjalan setengah merangkak.
Langkahnya tetap lebar. "Masuk saja, masuk saja.
"Ingsun memang memanggilmu."
Suara yang ia hafal, yang sangat dikenal, berasal dari ruangan Raja.
Gendhuk Tri terus melangkah. Para prajurit kawal Raja-satu-satunya pasukan yang boleh berada di tempat itu, bersila siaga di depan pintu.
Sampai di sini Gendhuk Tri tak bisa menahan diri untuk tidak bersila, menyembah ke arah pintu sebelum masuk dengan tangan menyentuh lantai.
"Ingsun bilang apa. "Kalau memanggil tak perlu kata-kata. Ingsun ini raja yang tak perlu berkata."
Sejenak Gendhuk Tri mengejapkan matanya.
Benar yang berada di tengah ruangan, yang duduk di kursi kebesaran adalah Halayudha. Cara duduknya kurang ajar karena salah satu kakinya ditekuk ke atas.
Di sebelah kiri, sedikit ke belakang, Raja Jayanegara. Sedangkan di bawah, bersila Senopati Jabung Krewes dan Mada.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ruangan yang biasanya selalu suci, sepi, kini boleh dikatakan tak lebih dari sebuah pasar. Di seluruh bagian, di setiap sudut, ada bekas-bekas makanan yang belum disingkirkan, ada bau minuman keras yang menyengat dan sisanya masih basah, di samping tumpukan kitab-kitab berserakan, senjata, dan perabot lain yang selama ini tak pernah ada di situ.
Gendhuk Tri kikuk. Apakah tetap bersila di bawah, ataukah berdiri.
Dengan bersila di bawah, rasanya seperti menghormati secara berlebihan pada Halayudha. Sesuatu yang tak akan pernah dilakukan Gendhuk Tri sepanjang hidupnya. Akan tetapi dengan berdiri, Gendhuk Tri seperti bertindak kurang ajar kepada Raja. Sesuatu yang tak mungkin dilakukannya. Rasa hormat yang berawal dari sikap batin tak bisa dihilangkan. Tak akan pernah bisa dihilangkan.
"Jagattri, kamu pasti tak tahu kedatanganmu kemari karena panggilan Ingsun. Sekarang ini bahkan Dewa pun bisa kusuruh datang kemari."
"Halayudha, kalau kamu memanggilku, apa maumu?"
Halayudha bergelak. "Jabung Krewes, Mada, biarlah Jagattri ini tidak menyembah Ingsun, karena ksatria sejati tidak suka basa-basi. Maksudku, Ingsun-lah ksatria sejati yang tidak terlalu memerlukan sembahan kehormatan.
"Gerakanmu makin halus.
"Kamu masih ingat ketika kita sama-sama mempelajari Kitab Air, Jagattri?"
"Saya datang tidak untuk urusan itu."
"Ingsun sudah bermurah hati memanggilmu, Jagattri. Ternyata kamu masih gendhuk juga. Masih gadis kecil yang keras kepala dan tak becus menghapus ingus.
"Tapi tak apa. "Tak apa. "Bagiku sama saja. "Kamu tahu, Jagattri, bahwa Ingsun-lah yang memegang pucuk pimpinan kekuatan, kekuasaan.
"Akulah Raja Majapahit, sembahan seluruh makhluk hidup dan mati seluruhnya."
Garuda Mahambira KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
GENDHUK TRI mendongak. "Pengakuan apa lagi yang kamu butuhkan, Halayudha" Apakah dengan menyebut dirimu dengan Ingsun, dengan duduk seenaknya di kursi kebesaran, dengan menguasai Keraton, kamu menganggap dirimu sampai di tingkatan mahamanusia?"
"Bagus, kamu cerdas seperti dulu.
"Aku tak pernah mempunyai pertanyaan seperti yang kamu ajukan.
Juga Krewes di sini, beberapa hari ini tak mengerti apa-apa. Juga Mada yang kukira tadinya menyimpan kekuatan hebat.
"Pertanyaanmu mendasar, Jagattri.
"Apa yang kucari" Pengakuan apa lagi yang akan kulengkapi" Aku tak pernah tahu. Aku mengikuti apa yang sebaiknya kulakukan. Dan inilah akhirnya. Sebuah kekuasaan tertinggi.
"Bukankah itu yang dikatakan Upasara?"
"Yang dikatakan Kakang, Mahapatih Halayudha sudah sampai ke muara yang tak akan bisa kembali lagi. Jalan pikirannya tidak akan bisa kembali sehat."
Halayudha tertawa. "Memang, itu yang paling bisa dikatakan.
"Aku akan dikatakan gila. Justru setelah merebut, memiliki, menguasai kekuasaan tanpa tanding, aku dikatakan gila. Mungkin aku gila, tetapi masih lebih waras dari raja sebelumnya.
"Jagattri, akulah satu-satunya raja yang tak perlu memerintah. Aku duduk di singgasana ini, tetapi aku tidak mengeluarkan perintah apa-apa.
"Karena pemerintahan bisa tetap berjalan.
"Aku hanya minta Krewes dan Mada menemani di sini. Makan makanan yang paling enak, tuak yang paling tua, mempelajari gerakan ilmu silat, berlatih pernapasan, dan bebas berbuat apa saja.
"Kalau iseng seperti tadi, aku memanggilmu.
"Nanti mungkin yang lainnya.
"Jagattri, apakah ada raja yang sebijak aku" Memerintah dengan tidak memerintah" Bukankah ini menghindari tindak durhaka" Kalau kamu tak mau kupanggil, kamu bisa pergi sesukamu. Seperti juga Krewes dan Mada.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah yang kukatakan keliru, Krewes?"
"Sama sekali tidak."
"Nah, kamu dengar sendiri.
"Bagaimana, Mada?"
"Benar, Yang Mulia."
Halayudha berdiri dari kursinya.
Kedua tangannya terkepal.
"Upasara Wulung ada benarnya. Ksatria bernasib abdi dalem yang diperbudak oleh ketaatan kaku itu mengatakan yang sebenarnya. Aku telah sampai pada muara.
"Aku mempunyai pikiran bahwa menjadi raja bukan sesuatu yang istimewa. Menjadi raja juga bisa tanpa bisa memerintah.
"Kamu mengenal yang duduk di dekatku tadi"
"Itulah Raja. Yang lahir dengan takhta di masa depannya. Yang sekarang kurampas. Paling-paling dia hanya bingung sebentar. Lalu menikmati hari-harinya di sisiku.
"Ah, kamu tidak tertarik mendengarkan hal ini.
"Sekarang aku balik bertanya, apa maumu?"
Gendhuk Tri berdiri. "Halayudha, kamu membawa Keraton ke dalam kekeruhan, menjerumuskan ajaran-ajaran secara sesat."
"Tidak juga. "Belum tentu aku lebih buruk dari Raja."
"Kamu tidak berhak berada di tempat ini."
"Baik, baik. "Aku memang tak ingin berlama-lama di sini. Tak membuatku menjadi gagah. Tak membuat aku menjadi berarti. Aku hanya membuktikan bahwa aku bisa.
"Meskipun untuk itu, begitu banyak yang dihantamkan kepadaku.
Begitu banyak cara yang dipakai untuk menjatuhkanku.
"Di antaranya yang dilakukan Mada.
"Ia mengatakan bahwa aku membunuh satu-satunya anak kandungku. Jagat Dewa Batara! Dengan menggoyang kesadaran itu, dikiranya aku akan gila.
"Aku terlalu kuat untuk itu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku mahamanusia, aku bisa mengepakkan sayap dan angin akan mengikuti apa mauku."
"Kalau benar begitu, aku ingin menjajal Garuda Mahambira."
Halayudha bergelak gembira.
"Tidak, tak mungkin kamu menang.
"Kamu hanyalah air. Angin saja bisa kuubah arahnya. Aku tak perlu menghadapi sendiri.
"Mada, bersiaplah. "Kini saatnya kamu memperlihatkan apa yang kukatakan."
Mada mengangguk. Gerakannya belum leluasa karena luka dalam, akan tetapi tampak siaga. Langsung memasang kuda-kuda.
Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya.
"Jangan salahkan kalau angin mencabuti bulu-bulumu."
Kata-kata Gendhuk Tri menunjukkan bahwa dirinya mengerti arti pertarungan yang akan terjadi.
Dengan menyebutkan Garuda Mahambira, Gendhuk Tri menunjuk kepada kekuatan burung garuda yang selama ini menjadi dongengan.
Garuda Mahambira adalah burung garuda yang demikian saktinya sehingga mampu mengubah dan mengatur arah bertiupnya angin.
Kepakan sayapnya mampu memutar balik arah angin sesuai dengan kehendaknya.
Ini yang dijadikan perlambang Halayudha sekarang. Yang mampu mengubah segalanya.
Dengan menyebutkan Garuda Mahambira, Gendhuk Tri sadar lawan yang dihadapi sangat hebat.
Ternyata masih lebih mencengangkan lagi karena Halayudha tidak akan menghadapi langsung. Melainkan melalui Mada.
Itu sebabnya Gendhuk tri mengatakan kalau sampai terjadi sesuatu sampai "bulu-bulu garuda tercabut", atau Mada terluka atau bahkan mati, di luar keinginan Gendhuk Tri.
Tidak berarti Gendhuk Tri memandang remeh Mada.
Karena sejak pertama Gendhuk Tri mengenal bahwa Mada adalah murid langsung Eyang Puspamurti, yang secara murni mempelajari ajaran mahamanusia. Mada pula yang pertama kali mendapat gemblengan dari Jaghana. Sehingga dasar-dasar ilmunya kuat.
Akan tetapi untuk pertarungan di mana Gendhuk Tri akan mengerahkan seluruh kemampuannya, bukan tidak mungkin bisa membawa akibat yang berat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang kembali bercekat adalah Senopati Jabung Krewes. Mada, prajurit pilihan bagi Jabung Krewes, adalah bibit unggul yang istimewa.
Dalam keadaan yang paling tersudut, selalu bisa menemukan jalan keluar yang gemilang.
Sejak berada di dalam ruangan, Halayudha secara luar biasa melatih dan menggempur keras. Boleh dikatakan seluruh waktu Halayudha hanya untuk memaksa Mada.
Dengan pembicaraan, dengan latihan, dengan serangan.
Jabung Krewes tidak terlalu paham, bahwa sebenarnya hal itu bagian dari penggodokan yang luar biasa, yang terjadi dengan sendirinya.
Karena dasar-dasar ilmu Mada adalah ajaran mahamanusia, yang saat itu justru tengah digandrungi Halayudha. Dan karena Halayudha mempelajari dari ilmu-ilmu lain terlebih dulu, pencapaiannya memang berbeda. Itu yang menarik hati Halayudha, sehingga memaksa Mada mengeluarkan semua ilmunya untuk dibandingkan dengan yang diketahui.
Mada sendiri seperti mendapat didikan secara langsung dan penuh.
Ini juga sesuatu yang tidak luar biasa bagi Mada. Karena selama mengikuti Eyang Puspamurti, Mada selalu mendapat jejalan dengan cara keras.
Halayudha mengangkat tangan kirinya, tubuhnya tak bergerak.
Kakinya setengah mengangkang. Seluruh kekuatannya dipusatkan kepada Mada.
Mada menggebrak maju, dengan sapuan kaki. Gendhuk Tri merasakan tenaga dorongan sapuan yang cukup besar. Akan tetapi bukannya menghindar, Gendhuk Tri malah memapak maju. Tulang keringnya diadu dengan tulang kering Mada.
Dari gerakan pertama, Jabung Krewes menyadari bahwa Gendhuk Tri tak mau membuang kesempatan sedikit pun.
Kalau saja Jabung Krewes mengenali dasar-dasar ilmu silat Gendhuk Tri, bisa mengerti kenapa Gendhuk Tri langsung menyambut dengan tenaga keras.
Sebab gerakan Mada menyapu lawan adalah gerakan yang tepat untuk menghalau tenaga air, yang merupakan inti ilmu silat Gendhuk Tri.
Sebenarnya Gendhuk Tri bisa memancing gerakan lawan untuk mengetahui siasat yang lebih jauh. Namun Gendhuk Tri maklum bahwa tak perlu pembukaan seperti itu. Karena sadar sepenuhnya yang dihadapi adalah Halayudha yang telah mempelajari ilmu yang ada dalam Kitab Air.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sebat gerakan Mada, akan tetapi Gendhuk Tri lebih sebat lagi. Kaki beradu, dua ujung selendang Gendhuk Tri langsung menyambar leher Mada.
Raja Jayanegara yang sejak tadi berdiam diri mengeluarkan teriakan kaget. Karena menyadari bahwa dua ujung selendang itu berubah menjadi jerat yang tak memungkinkan Mada lolos. Kalaupun bisa melepaskan diri dengan membuang tubuh, sudah terlambat karena kakinya kena patok kaki Gendhuk Tri. Kalaupun bisa mundur, masih tetap dalam jangkauan selendang.
Kalau menahan dengan dua tangan, hasilnya kurang-lebih sama.
Selendang akan menggulung kedua tangan Mada, dan dengan sekali sentak, tubuh Mada akan terpuntir. Apalagi Gendhuk Tri berputar!
Garuda Binarat GAWAT. Ganas serangan Gendhuk Tri. Seakan menghadapi lawan yang setanding dengannya.
Dengan memutar tubuh sambil melayang ke angkasa, daya pelintir makin kencang. Dugaan Jabung Krewes bahwa bila selendang itu melibat leher, Mada akan habis, belum seluruhnya benar. Karena dua pelintiran yang berbeda arah putaran itu bukan hanya mematahkan setiap tulang dan urat, akan tetapi bukan berlebihan kalau sampai kepala itu tanggal.
Pun andai kedua tangan Mada yang menggantikan, kekuatan daya tahan tetap tak seimbang. Tangan kanan akan terpuntir ke depan dan tangan kiri terpuntir ke belakang, dan akan berakhir sama. Lunglai tanpa bisa digerakkan kembali.
Akibatnya, Senopati Tanca pun belum tentu bisa memulihkan kembali.
Ganas memang. Gendhuk Tri barangkali tidak akan memainkan jurus berputar pada gebrakan pertama, kalau saja Mada tidak menyerang langsung dengan cara yang sama.
Kekuatan utama Gendhuk Tri ialah permainan air. Merendah, mencari tempat yang rendah. Bagian bawah merupakan inti kekuatannya. Dan selama ini sudah terbukti bahwa Gendhuk Tri mampu meloloskan diri dalam saat kepepet dengan menggelosor ke bawah. Yaitu melalui selangkangan lawan, dan muncul di belakang lawan sambil melancarkan serangan balasan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Maka bisa dimengerti kalau Mada langsung mematikan keunggulan gerakan Gendhuk Tri. Lebih bisa dimengerti lagi karena Halayudha sangat mengetahui keunggulan ini, dan berusaha mematikan langkah Gendhuk Tri sedini mungkin.
Dengan gerakan yang sama ganasnya.
Karena dalam gerakan yang sederhana, Mada sudah masuk ke dalam pertarungan ganas. Sabetan kakinya akan membuat Gendhuk Tri melangkah mundur atau meloncat, dan pada saat itu Mada akan melancarkan serangan ganas dan habis-habisan. Dengan segala gerakan yang memungkinkan.
Untuk memotong semua kemungkinan.
Nyatanya Gendhuk Tri membaca kemauan Halayudha dengan cermat.
Bukannya menghindar, akan tetapi malah balas menendang sama kerasnya, dan pada saat yang sama menggetarkan selendangnya!
Libatan selendang Gendhuk Tri memang delapan dari sepuluh tenaga dalam yang dikerahkan. Tak bisa lain karena tenaga dalam Mada lewat bentrokan kaki membuatnya tergetar hingga ke ulu hati. Sungguh tenaga dalam yang hebat untuk ukuran Mada yang belum lama terjun ke dunia persilatan. Apalagi gelombang tenaga dalam yang membentur seakan bergema.
Bukan hanya menghantam duk. Melainkan menghantam duk, dan duk lagi. Hantaman kedua ini yang membuat Gendhuk Tri merasa nyeri.
Kalau saja tidak segera meloloskan diri, gelombang yang ketiga bisa menghantam kembali.
Dengan kakinya yang tertahan kaki Gendhuk Tri, tubuh Mada miring ke belakang. Kedua tangannya tidak menangkis datangnya serangan, akan tetapi melindungi kepala. Kepalanya ditarik ke dalam, seakan mengkeret.
Selendang Gendhuk Tri berbenturan, menimbulkan bunyi keras.
Disusul tubuh Mada yang jatuh berdebam.
Jabung Krewes menahan napas.
Masih juga menahan napas, meskipun melihat Mada bangkit kembali tak kurang suatu apa. Hanya gerakannya agak limbung. Tapi jelas bukan karena serangan Gendhuk Tri yang mengena tepat, melainkan karena sejak awalnya Mada masih belum pulih tenaga dalamnya.
Berputar di angkasa, Gendhuk Tri turun kembali menyambar Mada.
Kedua ujung selendangnya melibat Mada pada bagian bawah. Gerakan yang manis dan mengundang maut.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tangan Halayudha ditarik ke dalam, tubuhnya menggeliat bagai dikilik-kilik. Mada mengikuti gerakan Halayudha, dengan terhuyung-huyung mundur ke arah Halayudha.
Jurus pertama belum selesai, akan tetapi baik Halayudha maupun Gendhuk Tri serta Mada mengakui pertarungan akan berlangsung sangat keras.
Halayudha mengakui bahwa Gendhuk Tri yang sekarang ini bukan hanya cerdas membaca serangan dan membalas dengan serangan tiba-tiba, akan tetapi jauh lebih terarah. Ketika dua putaran selendangnya siap memuntir leher Mada, Halayudha mengakui bahwa itulah serangan yang paling tepat. Dengan tenaga memuntir sambil melemparkan diri, kemungkinan serangan tetap ganas akan tetapi dirinya bisa terbebas dari serangan balasan.
Serangan dengan putaran tubuh merupakan serangan yang berbahaya. Karena pengerahan tenaganya tak bisa tanggung, dan karena masuk ke dalam pertarungan mati-hidup. Dalam ajaran Kitab Bumi, serangan semacam ini hanya dilakukan pada saat-saat yang menentukan. Mulai dari Jaghana sampai Upasara Wulung yang dengan gemilang bisa memainkan gerakan berputar lebih cepat dari gerakan putaran bumi, belum pernah memainkan sebagaimana Gendhuk Tri. Di sinilah bedanya Kitab Bumi dan Kitab Air.
Halayudha mengakui keganasan Gendhuk Tri yang membalas sama kerasnya.
Mada mengakui bahwa pada saat itu tak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menggulung diri dengan merebahkan tubuh ke belakang. Ketika ganjalan di bawah dilepaskan karena Gendhuk Tri melayang, tubuhnya terbanting ke belakang.
Sebaliknya, Gendhuk Tri mengakui bahwa Halayudha makin sakti dan tak terkirakan lagi betapa tinggi ilmu yang dikuasai. Dalam saat kritis yang hanya sepersekian kejap, Halayudha mampu mendiktekan kemauannya atas diri Mada.
Yaitu dengan memayungi diri, dalam gerakan Garuda Binarat. Yaitu gerakan burung garuda yang mengubah diri menjadi payung. Gerakan menutup diri yang tak mudah dilakukan, karena serangan Gendhuk Tri bukanlah serangan menghunjam, sebagaimana kisah mengenai terpanahnya Garuda Binarat. Yang berubah menjadi payung karena terkena anak panah.
Namun demikian, serangan yang melebar ternyata juga mampu dilawan dengan gerakan Garuda Binarat. Ujung-ujung selendang Gendhuk Tri berbenturan sendiri sehingga berbunyi keras. Kalau saat itu Gendhuk Tri tak mampu menguasai diri, dua selendangnya bisa saling terpuntir sendiri. Akibatnya pinggang Gendhuk Tri bisa rontok.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kini dalam gebrakan ketiga, masih dalam jurus pertama, Mada tak mampu menahan goyangan tubuhnya sehingga ambruk di dekat Halayudha. Yang mau tak mau menggantikan peran Mada.
Berhadapan langsung dengan Gendhuk Tri.
Seperti yang diharapkan Gendhuk Tri. Meskipun sebenarnya Gendhuk Tri lebih enteng jika menghadapi Mada. Betapapun juga Mada tidak setangguh Halayudha, dan Halayudha belum cukup sempurna memainkan kekuatannya, seperti yang pernah dipamerkan Eyang Kebo Berune.
Kalau dalam tiga gebrakan ini dibuatkan perhitungan mana yang unggul, sebenarnya masih imbang. Gendhuk Tri maupun memaksa Halayudha turun tangan sendiri, tetapi sekaligus menghadapi bahaya yang lebih besar. Mada sendiri tak terhitung kalah sepenuhnya, andai tenaga dalamnya yang terserang Halayudha bisa segera pulih.
Dalam pertarungan langsung, segera terasakan betapa kerasnya tekanan Halayudha. Di saat sedang kehausan hasrat untuk mempraktekkan semua ilmunya, Halayudha merasa menemukan lawan tanding yang bisa mengimbangi.
Dua tangan Halayudha langsung mencekal pergelangan tangan Gendhuk Tri; dan berbareng dengan itu, kaki Halayudha kembali menyapu. Jenis gerakan yang sama dengan yang dimainkan Mada. Yang berbeda hanya pengerahan tenaga dalam dan penguasaan yang berlipat ganda.
Gendhuk Tri menyambut, sementara dua selendangnya kembali menggulung dalam puntiran.
Benar-benar sama-sama keras kepala!
Meskipun bagi Gendhuk Tri bisa merugikan. Karena tenaga dalam Halayudha dua tingkat di atasnya. Maka bentrokan kaki mengguncang tubuh Gendhuk Tri. Akibatnya puntiran selendangnya menjadi tidak berarti lagi. Pada saat itu kedua tangan Halayudha meraup pundak Gendhuk Tri dan membanting keras sambil mengeluarkan teriakan.
Masih dalam jurus pertama.
Mada membelalak terpana. "Sangat berbahaya."
Ini memang pameran keunggulan, pameran kesombongan yang sama-sama ketemu batunya. Dengan nekat Gendhuk Tri mengulang jurus tangkisan, walau tahu kekuatan Halayudha lebih besar. Pada saat lawan menguasai dan balik menggempur, Gendhuk Tri membalik diri.
Kepalanya tertekuk ke dalam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tangan Halayudha mengelus punggung Gendhuk Tri, yang ketika berbalik sebat, selendangnya menampar pipi Halayudha. Meninggalkan bekas warna merah-hitam.
"Boleh juga." Halayudha masih sempat memuji karena kekagumannya tak tersembunyikan lagi. Gendhuk Tri memamerkan jurus yang tadi dipakai Mada. Kalau Mada memakai gerakan memayung, menjadi payung, Gendhuk Tri meloloskan diri dengan gerakan Garuda Mungkur atau Garuda Berbalik Punggung. Dengan memakai akar gerakan yang sama seperti yang dipakai Mada untuk meloloskan diri. Bedanya, tubuh Gendhuk Tri tak perlu jatuh, dan karena kehebatannya bisa langsung membalas.
Gerakan Ikan HALAYUDHA satu langkah tertinggal.
Bukan berdasarkan perhitungan siapa mengalahkan siapa. Melainkan dari perhitungan siapa memainkan jurus mana yang ternyata lebih sakti dari lawannya. Sejak saling menggebrak pertama, Gendhuk Tri memainkan jurus-jurus yang menjadi kekuatan Halayudha, meskipun saat itu melalui Mada.
Dalam memainkan jurus-jurus garuda, Halayudha justru kecolongan.
Sabetan kecil yang tidak cukup berarti untuk menentukan kemenangan, akan tetapi cukup membuat panas. Dan karena panas hatinya dan tak mau diungguli kesombongannya, Halayudha segera mengubah gerakannya.
Tubuhnya menggeliat, memainkan jurus-jurus andalan Gendhuk Tri.
Tubuh Halayudha menikung di tengah, membelit ke arah Gendhuk Tri, sementara tangan dan kakinya mengunci jalan keluar. Dengan gerakan seksi ngiwak-iwak, Halayudha memancing Gendhuk Tri mengeluarkan semua ilmunya. Tiga serangan yang dilakukan serentak, atas-tengah-dan-bawah, bisa merupakan serangan sebenarnya, bisa merupakan pancingan.
Pengaturan tenaga Kitab Air sepenuhnya adalah memakai irama air.
Dan Halayudha memainkan dengan gerakan ikan, gerakan iwak.
Dengan menjebak lawan pada gerakan seksi ngiwak-iwak, Gendhuk Tri akan terseret menebak mana serangan yang pancingan, mana serangan yang sebenarnya.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arti harfiah seksi ngiwak-iwak adalah kesaksian yang berdasarkan suara, tidak melihat sendiri kenyataan yang ada. Dalam hal ini pukulan,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tendangan, dan belitan tubuh Halayudha ketiganya mengeluarkan suara dengan tenaga yang sama. Kalau tidak cerdik, bisa terjebak.
Satu hal yang dilupakan Halayudha adalah bahwa Gendhuk Tri sepenuhnya menyukai pertarungan semacam ini. Justru ketika Halayudha memainkan jurus-jurus gerakan garuda, Gendhuk Tri bertambah semangatnya. Kini ketika lawan mengubah dengan gerakan yang menjadi miliknya, Gendhuk Tri menyambut gembira.
Gendhuk Tri bergeming. Ia menunggu sampai ketiga serangan Halayudha membungkusnya.
Kedua tangan Gendhuk Tri bersiaga. Tangan kiri di pundak kiri, dan tangan kanan juga berada di pundak kiri. Yang dilindungi adalah dada.
Berarti serangan ke arah kaki, ke arah tubuh, ataupun ke arah kepala dibiarkan leluasa.
"Aku tidak sebodoh itu."
Bersamaan dengan ucapannya, Halayudha membatalkan serangannya dengan mengubah menjadi pukulan ke arah pundak kiri Gendhuk Tri yang justru terjaga.
Jabung Krewes bisa mengikuti jalannya pertarungan akan tetapi masih harus menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi. Mada beberapa kali menghela napas. Adalah hal yang terjadi dengan sendirinya, dirinya ikut larut dalam setiap pertarungan yang diikuti.
Ajaran dan cara mengajar Eyang Puspamurti memang menempuh pendekatan semacam ini.
Sehingga tubuh Mada ikut bergoyangan, tenaga dalamnya turun-naik.
Kalau mengikuti terus-menerus bisa-bisa Mada yang lebih dulu jatuh.
Halayudha mendesis. Sewaktu menggempur dengan tiga serangan, Gendhuk Tri tidak memberikan perlawanan. Gendhuk Tri memberi kesan iwak kalebu ing wuwu, atau gerakan ikan masuk ke dalam bubu. Tak berdaya sama sekali. Daripada menggempur salah satu, Gendhuk Tri melepaskan semuanya.
Ini yang justru membuat Halayudha ragu sepersekian kejap. Karena tahu bahwa Gendhuk Tri sangat mahir dengan gerakan tiba-tiba. Ia menarik gerakannya dan mengubahnya menjadi gerakan menyerang yang lunak. Yang mengarah ke arah pundak yang justru terjaga.
Gerakan serangan yang disebut bacin-bacin iwak, ala-ala sanak, yang berarti "bau busuk ikan dan bau busuk sanak keluarga" meskipun sama-sama busuknya, tetap memperlakukan saudara dengan lebih baik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini yang dibuktikan dengan serangan ke arah yang terjaga. Meskipun demikian, tidak berarti Halayudha mengurangi tenaga serangannya.
Justru sebaliknya, ia bahkan mengarahkan seluruh kemampuannya.
Apalagi kini mengetahui bahwa serangan balik Gendhuk Tri tak akan bergeser jauh dari posisi kuda-kudanya.
Untuk kedua kalinya Halayudha benar-benar kecele.
Kepalanya menggeleng seakan tak percaya apa yang dilihat.
Gendhuk Tri justru menerobos masuk. Menyelinap di samping tubuh Halayudha dan untuk kedua kalinya selendangnya mampu menampar pipi Halayudha.
"Kena lagi!" teriak Mada tidak sadar.
Tidak sadar bahwa teriakannya bisa memancing kemurkaan Halayudha. Nyatanya begitu. Pukulan Gendhuk Tri menerobos masuk, mematahkan serangan Halayudha, karena Gendhuk Tri menguasai gerakan secara sempurna.
Seakan tubuh dan pukulannya seperti belut dilengani, atau belut diminyaki. Licin menerobos.
Dua kali terkena curian serangan, Halayudha tak bisa menahan diri lagi. Disertai erangan yang keras, tangan dan kaki Halayudha menjadi lurus kaku. Mencegat arah gerakan Gendhuk Tri.
"Permainan kayu!" Teriakan Mada mendapat jawaban Halayudha sama kerasnya.
"Tutup mulutmu!"
"Mahapatih, bukankah itu gerakan berdasarkan kekuatan kayu"
Bukan lagi gerakan binatang dalam air, tetapi sudah berubah sifatnya"
Rasanya saya tak keliru, Mahapatih. Karena Mahapatih sendiri yang baru saja mengajari."
"Apa pun isi pikiranmu, jangan berteriak.
"Lagi pula siapa yang Mahapatih?"
Sebenarnya tanpa diberitahu Mada, Gendhuk Tri sudah mengetahui bahwa Halayudha mengubah gerakannya menjadi lebih keras. Setelah gagal mencoba dengan gerakan air, atau binatang yang hidup di air, Halayudha memainkan gerakan kayu. Gebrakan pertamanya adalah gerakan kayu apu, atau gerakan rumput laut yang seakan mengikuti irama gelombang. Seakan mengikuti arah pukulan Gendhuk Tri, akan tetapi pada titik tertentu bisa membalik. Yaitu pada jurus-jurus yang diberikan Mada.
"Nah, begitu kena sekali, Mahapatih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Lawan akan mengira kita masih memainkan jurus yang sama, sehingga akan mengira, atau tidak mengira, apa yang kita mainkan.
Dengan memasukkan diri pada situasi senden kayu aking, selesailah sudah rangkaian ini."
"Aku sudah bilang tutup mulutmu!"
Kini berbalik. Halayudha seakan melawan dua orang sekaligus.
Gendhuk Tri tidak merasa terbantu, akan tetapi Halayudha terpengaruh karena menjadi sangat murka.
Gerakan senden kayu aking, atau bersandar ke kayu mati, adalah jebakan yang berikut. Ketika lawan mengira, atau tidak mengira jurus yang dimainkan berbeda, ia seperti bersandar ke kayu yang sudah mati.
Dengan sendirinya akan jatuh.
Kalau Gendhuk Tri menduga lawan memainkan jurus tertentu dan mencoba mengantisipasi, ia akan terjebak.
Tapi kalau dikatakan oleh Mada, jadinya Halayudha kelabakan sendiri.
"Mahapatih, jangan mengubah gerakan terlalu banyak.
"Kalau memang tidak memainkan jebakan senden kayu aking, kenapa justru mengubah dengan nggugat kayu aking, menggugat kekuatan yang telah tiada. Kekuatan Bibi Jagattri masih utuh. Rasanya lebih kena dengan sodokan kayu bong, atau tusukan kayu bakar, tapi kenapa diubah lagi?"
Tentu saja berubah karena sudah dikatakan oleh Mada.
Sehingga makin lama gerakan Halayudha makin cepat, seakan berlomba dengan apa yang diucapkan Mada. Kedua tangan, kedua kaki, tubuhnya bergerak bagai angin puyuh. Menerjang, menarik ulang, mengemplang, dan mengurung.
Diserang dengan kecepatan penuh, Gendhuk Tri mulai terengah-engah. Kalaupun serangan lawan belum berarti karena selalu silih berganti sebelum menyentuh, Gendhuk Tri tak bisa mengembangkan pola permainannya. Juga tak bisa memusatkan pikiran untuk menerobos dengan serangan baru. Karena kemampuannya terbetot oleh gaya tarik balik Halayudha.
"Mada, kenapa kamu diam?"
"Saya tak tahu lagi, Mahapatih."
"Alangkah tololnya kamu ini.
"Dengan serangan yang kamu tebak, aku bisa cepat mengubah. Lebih cepat dari mulutmu. Aku bisa mengimbangi kecepatan lidahmu dengan gerakan tangan dan kaki.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dengan cara seperti ini, dengan ngawur begini saja Jagattri sudah empot-empotan.
"Dalam jangka langka Jagattri akan menang karena aku kehabisan tenaga. Tetapi perhitungan ini keliru.
"Bukankah begitu?"
"Rasanya Mahapatih benar.
"Tetapi menurut Eyang Puspamurti, kalau irama tangan dan kaki tak dibedakan, sebenarnya arti serangan itu tumpul. Satu menyerang, dan satunya kembangan belaka."
"Eyang genitmu sudah mati."
"Tapi ada benarnya, Mahapatih.
"Pukulan tangan kanan Mahapatih tidak menyimpan kekuatan, tidak mempunyai daya pukulan sama sekali."
Halayudha melonjak sendiri.
"Dari mana kamu tahu?"
Pathet Pati SELENDANG Gendhuk Tri menyambar ketat.
Bret. Bret. Sampokan angin menepis kembali karena terjangan Halayudha makin lama justru makin cepat. Setiap langkah mengandung serangan beruntun.
"Kamu belum menjawabku, Mada.
"Dari mana kamu tahu?"
"Saya hanya mendengar apa yang dikatakan Eyang Puspamurti, apa yang Mahapatih sendiri katakan."
"Apa yang kukatakan?"
"Pengerahan tenaga tanpa batas, artinya bukan tenaga besar, bukan tenaga sedang, bukan tenaga kecil. Melainkan tenaga yang tepat mengenai sasaran. Pengerahan tenaga asal besar dalam bahasa kasar disebut tenaga godok, asal pukul saja. Itu tidak menunjukkan kehebatan. Karena pada saat ngawur, saat godok, tidak dibarengi dengan kecermatan. Saya melihat tangan kanan Mahapatih menyimpan kelemahan."
"Bagaimana mungkin bisa terjadi begitu?"
"Hasilnya sudah terlihat jelas. Mahapatih tetap tak bisa meringkus Bibi Jagattri, meskipun unggul."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa bisa begitu"
"Aku tahu sebabnya, bukan akibatnya."
Terpengaruh atau tidak, Gendhuk Tri memang terseret dalam tekanan Halayudha. Pukulannya yang berubah serba cepat memaksa permainan menjadi tajam. Dan Gendhuk Tri berangsur-angsur merasa di bawah angin. Halayudha memang unggul dua kelas di atasnya dan menjadi sangat ganas.
Meskipun sekarang ini terlihat seperti main-main dengan memecah perhatian, sementara bertarung bercakap dengan Mada, akan tetapi sesungguhnya tetap mengandung dan mengundang ancaman maut.
Pada tingkatan di mana darah Halayudha sudah bisa menjadi bagian keringat dan nyatanya tidak mempengaruhi penampilannya, Gendhuk Tri tetap sulit meloloskan diri.
"Mana saya tahu, Mahapatih?"
"Benar juga kalau Eyang Puspamurti selalu memanggilmu dengan sebutan tolol. Percuma kamu saya ajak bicara, saya latih keras, kalau soal kecil begini saja tidak mampu memecahkan.
"Pertanyaannya sederhana, kenapa pukulan kanan kosong."
"Tidak kosong benar.
"Karena masih bisa mematikan."
"Jelas karena aku sakti.
"Pertanyaannya, kenapa pukulan kanan tidak semematikan kiri."
"Bisa diubah, Mahapatih.
"Kanan jadi kiri, kiri jadi kanan."
"Apakah tidak mungkin jadi kiri semua atau kanan semua?"
Mada mengangguk-angguk. Tubuhnya bergerak. Menggeliat berdiri, mencoba melakukan pukulan.
Memainkan satu-dua jurus, mendadak terbanting ke belakang, dan kembali memuntahkan darah segar.
Halayudha terkejut sehingga perhatiannya bercabang. Saat mana digunakan Gendhuk Tri dengan cepat sekali. Pukulan tangan kiri menerobos maju ke ulu hati Halayudha!
Duk. Tubuh Halayudha bergerak miring, terbanting. Raupan tangannya mengarah pinggang Gendhuk Tri.
Duk. Tubuh Halayudha bagai disentak keras. Melengkung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Duk. Suara perlahan yang terdengar adalah sentuhan pukulan Halayudha mengenai pinggang Gendhuk Tri. Yang seketika merasa ngilu, panas-dingin. Seluruh uratnya tergetar, pandangannya serasa lenyap.
Tubuhnya limbung. Halayudha mengerahkan tenaga melalui kedua tangannya. Dua pukulan serentak menerjang ke tubuh Gendhuk Tri. Yang menyambut dengan kedua tangannya.
Duk. Drugg. Gelombang getaran yang kuat menyengat Gendhuk Tri tanpa kuasa ditahan lagi. Bibirnya mengeluarkan jeritan kecil, sebelum ndeprok, jatuh terduduk tanpa bangun lagi.
Wajahnya sangat pucat, bibirnya gemetar, dan kedua tangannya menyangga di lantai seakan tak kuat menahan tubuhnya. Gendhuk Tri masih berusaha bangkit, akan tetapi hanya membuatnya terjengkang tak sadarkan diri.
Sebaliknya, Halayudha masih berdiri tegak.
Hanya dahinya yang berkerut, berlipat-lipat. Satu-satunya luka yang terlihat adalah bekas pukulan Gendhuk Tri yang mengenai dadanya.
Ada dua bekas kepalan putih, yang membedakan dari warna kulit di sekelilingnya.
Ketika Halayudha menyentuhnya, bagian itu tidak memberikan reaksi rasa. Beku seperti daging mati.
Tetapi selebihnya, Halayudha berdiri tegar.
Matanya berkejap-kejap, tangannya menggaruki kepala ketika mendekat ke arah Mada.
"Apa yang terjadi denganmu?"
Napas Mada naik-turun. Ketika Halayudha memeriksa nadi di pergelangan tangan dan di leher bawah rahang, kerutan di jidatnya bertambah lagi. Sungguh luar biasa.
Tenaga dalam Mada bergolakan seperti berbenturan sendiri.
"Barangkali perlu ditolong...."
"Jabung Krewes, kamu diam saja.
"Kamu tidak mengerti. Di jagat ini aku lebih memerlukan Mada darimu. Kamu tenang-tenang saja. Kita akan tetap di ruangan ini, sampai satu demi satu mati."
Halayudha meloncat ke arah Gendhuk Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Makin heran karena mengetahui denyut nadi Gendhuk Tri memperlihatkan tanda yang sama.
"Ini aneh, ini sangat aneh dan kelewat mengherankan.
"Sudah jelas Mada dan Jagattri memiliki dasar yang sangat berbeda, kenapa bisa berakibat sama.
"Mada sebenarnya luar biasa. Ia mengajukan pemikiran mengenai kekosongan pukulan. Jarang ada yang bisa berpikir ke arah itu. Bukan itu saja. Ia juga melakukan sendiri. Hanya karena masih rendah kemampuannya, ia terkena sendiri.
"Hal yang sama terjadi pada Jagattri.
"Wanita ini kecerdikannya sepuluh lipat dariku, keberaniannya seratus kali Jabung Krewes. Jagattri juga melihat kemungkinan yang sama untuk menjajal kekuatan mengisi pukulan kosong. Akibatnya jadi sama.
"Aku tak bisa disebut pemenang karena Jagattri jatuh oleh benturan tenaga dalamnya sendiri.
"Tapi ini penemuan yang hebat.
"Jika berhasil akibatnya sungguh luar biasa. Benar, benar sekali. Bisa jadi Upasara Wulung sudah sampai ke tingkat ini. Ada dua kemungkinan baginya.
"Satu ia sudah berhasil.
"Dua, ia menderita yang sama.
"Apa pun yang dilakukan, aku masih belum melihat titik untuk memulai. Celakanya aku masih harus menunggu sampai mereka sadar.
Kalau berlangsung terlalu lama, bisa celaka."
Kalau Halayudha masih mencari-cari, jawaban pertanyaan yang sama sudah tersungging dalam senyuman Jaghana yang ikhlas.
"Pencapaian yang mengagumkan.
"Selama ini saya merasa bisa menjelaskan banyak hal warisan Eyang Sepuh, akan tetapi tak pernah bisa mencapai tingkatan ini."
"Paman Jaghana selalu membuat saya sungkan."
"Tidak. "Saya mengatakan yang sebenarnya. Saya tak pernah menduga Anakmas Upasara mampu melihat kebersamaan antara tenaga air dengan tenaga bumi.
"Apakah Anakmas memakai pathet pati?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Wajah Upasara berubah pucat. Tampak sangat sedih, seperti getun, menyesal sekali.
"Inilah ketololan saya, Paman."
Pangeran Hiang yang mengikuti pembicaraan tak bisa menemukan arti yang lebih luas dari yang didengar. Meskipun mengetahui bahwa keduanya sedang memperbincangkan titik awal keunggulan penemuan jurus-jurus yang dimainkan Upasara.
Memang tidak bisa diterangkan dengan satu-dua kata.
Helaan napas Jaghana atau wajah getun Upasara menandakan bahwa penemuannya seperti juga mengandung penyesalan atau beban yang berat.
Jaghana merasa dadanya sangat sesak. Dirinya adalah pewaris utama ajaran Perguruan Awan, dalam bentuknya yang murni. Dalam kehidupan sehari-hari pun, Jaghana tak mengenakan penutup tubuh secara sempurna, mencukur rambutnya hingga gundul. Penghayatan total dari cara hidup yang diajarkan Eyang Sepuh.
Dalam perjalanan hidupnya, hanya sekali Jaghana menempuh cara lain ketika menyamar menjadi Pendeta Truwilun. Dalam pengembaraan itu, Jaghana mampu menangkap kisikan ajaran dalam Kidung Pamungkas, yang disatukan intinya dengan Kidung Paminggir. Dalam artian yang luar, Jaghana pernah melenceng sebentar dari ajaran murni, sebelum kembali lagi ke jalan semula.
Hal yang sama sebenarnya ditempuh oleh Upasara. Ketika merasakan bahwa Eyang Sepuh muncul kembali dan menanyai Gendhuk Tri, kesadaran Upasara seperti dibongkar dari awal lagi.
Dalam kegelisahannya, Upasara menempuh jalan seperti yang dipertanyakan Jaghana. Yaitu melalui pathet pati.
Pathet berarti kunci dasar untuk menentukan tinggi atau rendahnya nada. Dalam hal ini menentukan tinggi-rendahnya kekuatan.
Sedangkan pati berarti mati, maut.
Percakapan Pati SESUNGGUHNYA apa yang dikatakan Upasara merupakan jawaban dari pertanyaan Halayudha yang tak diketahui Mada. Jawaban yang belum dikuasai Gendhuk Tri.
Pertarungan batin Upasara telah mencapai puncak daya tahannya, ketika batinnya yang ening, yang pasrah dengan bening, menemukan kilatan pencerahan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mencoba memadukan Kitab Bumi dengan Kitab Air, atau dalam bentuk wadak menyatukan Eyang Sepuh dengan Eyang Putri Pulangsih.
Beberapa kali sudah terbukti bahwa ajaran dengan sumber sama itu pada titik-titik yang menentukan menjadi berbenturan atau berlawanan.
Dalam perwujudan lahiriah adalah penolakan Gendhuk Tri.
Pada saat menemukan jalan buntu, Upasara merasa semuanya muspra, semuanya tak ada artinya lagi. Tak ada lagi garis pemisah antara berhasil dan gagal, antara hidup dan mati.
Pati menjadi kunci dasar memahami kehidupan. Tak berbeda dari sikap pasrah sebagai tumbal. Hanya bedanya, kepasrahan yang total dalam pati lebih tajam. Karena Upasara sadar untuk melewati jalan kematian.
Yaitu dengan memadukan ajaran Kitab Air dengan Kitab Bumi.
Selama ini jurus-jurus dalam Kitab Bumi dan Kitab Air bisa dimainkan secara berpasangan. Dan hasilnya boleh dikatakan luar biasa, dilihat dari sudut pandang Kitab Air maupun Kitab Bumi. Lebih luar biasa lagi keampuhan Kitab Air menjadi lebih menonjol. Dari pemahaman ini, Upasara merasa bahwa Kitab Air sebenarnya lebih bisa menerima Kitab Bumi dibandingkan sebaliknya.
Namun justru di sini masalah yang sebenarnya.
Kitab Air tampak unggul, akan tetapi terutama karena keberadaan Kitab Bumi. Keunggulan Gendhuk Tri menggebrak lawan-lawannya karena berpasangan dengan Maha Singanada.
Ini berarti sesungguhnya Kitab Bumi yang lebih unggul menerima ajaran Kitab Air.
Rebutan mana yang lebih unggul inilah yang ditempuh Upasara Wulung dengan usaha menyatukan. Memainkan jurus-jurus dan pernapasan Kitab Air di tangan kiri, memainkan Kitab Bumi di tangan kanan.
Tubuhnya seakan terdiri atas dua bagian.
Memang sangat besar risikonya.
Bisa berarti kematian. Itulah sebabnya dinamai jalan pati. Karena pertentangan bisa menghancurkan atau bertabrakan. Bagi orang yang telah menguasai ilmu dasar begitu tinggi, kemungkinan rontok sama sekali cukup besar.
Bahaya itu tetap tak berkurang meskipun Upasara bisa melakukan pecah raga, atau memisahkan tubuhnya seakan menjadi dua atau tiga orang. Berkat ajaran sukma sejati hal itu bisa dilakukan dengan baik.
Akan tetapi dalam mecah raga, memecah tubuh, Upasara tetap memainkan dirinya sendiri. Tidak memasukkan unsur lain. Yang dalam
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
hal ini mempunyai pertentangan dasar. Yaitu pertentangan yang dipahami sebagai pertentangan asmara.
Ternyata pada tahap awal, Upasara mampu menjajal!
Langkah awal yang merupakan penemuan penting untuk terobosan bagi perkembangan dunia persilatan.
Jaghana tak habis mengagumi. Dalam pandangannya, Upasara seakan ditakdirkan untuk menjadi pamungkas! Dididik menjadi ksatria pingitan oleh seorang guru Keraton, Ngabehi Pandu, begitu terjun ke dunia persilatan sudah langsung memahami Kitab Bumi. Dengan pencerahan yang luar biasa, dengan pikiran dan batin yang jernih, Upasara di kala usianya masih muda mampu memahami sifat dasar tumbal yang diajarkan dalam bagian Bantala Parwa. Perjalanannya yang kemudian juga menentukan kemenangannya dalam pertarungan di Trowulan.
Tidak keliru jika Eyang Sepuh menunjuknya sebagai pewaris tunggal untuk memimpin Perguruan Awan.
Jaghana mengakui pandangan Eyang Sepuh yang mampu menembus ke masa yang akan datang. Pilihan yang paling tepat.
Tidak sedikit pun Jaghana merasa iri atau mempertanyakan kepada Eyang Sepuh mengapa memilih Upasara dan bukan dirinya. Pertanyaan semacam itu tak pernah muncul pada murid-murid Perguruan Awan.
Yang ada hanya penerimaan.
Dan rasa bersyukur. Dan terbukti ajaran itu benar.
Selama ini Jaghana merasa berusaha mendekatkan diri dengan ajaran-ajaran Eyang Sepuh. Sampai pada titik di mana pertentangan antara Kidungan Paminggir dan Kidungan Para Raja disatukan oleh Mpu Raganata melalui buah tangannya, Kidungan Pamungkas. Jaghana bisa memahami penyatuan itu.
Akan tetapi apa yang dilakukan Upasara lebih jauh dari itu. Upasara justru memahami dan mampu menyatukan dalam bentuk ilmu silat.
Dalam jurus-jurus yang dimainkan. Bukan hanya dalam pemahaman.
Satu langkah yang sangat menentukan telah dicapai. Tinggal penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya.
Sebenarnya pencerahan ini tidak membuat Jaghana menghela napas.
Yang membuatnya tadi menghela napas berat adalah bahwa kemungkinan yang sama juga bisa ditempuh oleh Halayudha.
Kalau itu terjadi, entah apa jadinya jagat ini.
Seorang yang bisa culas, licik, licin, ganas tetapi sekaligus sakti mandraguna dan menggenggam kekuasaan serta memiliki kekuatan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebagai langkah awal, Halayudha bukannya tidak akan sampai ke titik ini, Paman."
"Sama mudahnya dengan Anakmas jika berada pada tempatnya sekarang ini."
Kali ini Upasara yang menghela napas.
Kalimat pendek Jaghana menunjukkan ke arah titik di kejauhan yang tak pernah bisa diramalkan sebelumnya. Ajaran mahamanusia yang merajalela sekarang ini tidak pernah jelas di mana muaranya. Akankah seperti yang ditempuh Eyang Sepuh, Eyang Kebo Berune, Praba Raga Karana, Halayudha, Eyang Puspamurti, atau sesuatu yang masih tak bisa diperkirakan.
Semuanya serba mungkin. "Sebab bagi mahamanusia, pati bukan akhir. Kematian bisa menjadi awal, tengah, atau akhir. Dan kita tak bisa menarik mundur. Kita tak bisa mengandaikan masa mahamanusia itu tidak ada."
Sementara Jaghana dan Upasara terlibat dalam pembicaraan, Pangeran Hiang memainkan sebatang kayu kering, menggores tanah.
Keningnya berkerut dan beberapa kali menelan ludahnya.
"Maaf, Paman Jaghana, bolehkah saya mengganggu sebentar?"
"Silakan, Pangeran Hiang...."
"Apakah pathet juga ada hubungannya dengan karawitan?"
Jaghana tersenyum lembut.
"Pandangan Pangeran Hiang sangat tajam.
"Saya mendengar entah kabar dari mana, bahwa Pangeran Hiang mampu memecahkan irama Enam atau Tujuh Langkah Karawitan.
"Saya tak tahu banyak mengenai hal itu. Akan tetapi bisa saya katakan bahwa pathet atau ukuran nada, sangat menentukan dalam karawitan. Setiap gendhing, semua gamelan, mempunyai pathet untuk menentukan ukuran nada. Sehingga kita menyesuaikan dengan irama yang ada."
"Ada berapa jenis pathet, Paman?"
"Ada tiga jenis. "Pathet Enam jatuh pada gerakan leher, Pathet Sembilan jatuh pada gerakan lima, sedangkan Pathet Manyura jatuh pada gerakan enam.
"Berarti Enam atau Tujuh Langkah itu bisa juga dikatakan Tiga Belas Langkah, karena dibedakan gerakan besar, yang berarti nada rendah, dan gerakan alit, kecil, yang berarti nada tinggi."
Pangeran Hiang bersujud. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Terima kasih, Paman."
Pangeran Hiang menghapus coretannya, dengan gerakan sekenanya.
Sehingga tidak sepenuhnya hilang tanda-tanda yang dibuatnya.
Saat itulah Nyai Demang muncul.
Setelah bisa sadar dengan sendirinya, Nyai Demang menguatkan hatinya. Kembali ke tempat semula. Itulah saat Pangeran Hiang menghapus tanda-tanda secara tidak sempurna.
Dan sisa tanda itu ialah "siung naga bermahkota" atau tanda takhta.
Nyai Demang kembali tergetar.
Jaghana segera mendekat dan membimbing.
"Maaf, Nyai.... "Tempatnya seperti ini, tetapi kita masih bisa mencari tempat untuk istirahat...."
Nyai Demang memasrahkan tubuhnya dalam gendongan Jaghana.
Yang segera membimbing ke suatu tempat yang lebih terlindungi.
Hatinya berdesir manakala mengetahui nadi Nyai Demang sangat cepat iramanya.
"Nyai Demang, tenang saja sebentar...."
"Uh... Uh..." Dalam kemelut pikiran, Nyai Demang kehilangan suaranya. Pangeran Hiang yang turut memeriksa hanya mengerutkan keningnya ketika merasakan bahwa bagian-bagian tubuh Nyai Demang menjadi dingin, terutama di ujung kaki, tangan, dan bagian bawah leher.
"Apa... apa Nyai pernah terkena penyakit?"
Upasara menggeleng. Sepanjang yang diketahuinya, Nyai Demang tidak pernah menderita penyakit tertentu atau keracunan. Bahkan rasanya terluka cukup berat saja tidak pernah.
Kecuali serangan yang berasal dari Perahu Naga.
Pemisahan dan Penyatuan JAGHANA mengangguk cepat dan suaranya agak keras.
"Biarlah saya yang merawat, Anakmas."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Meskipun ucapannya tertuju kepada Upasara, akan tetapi sekaligus juga meminta secara halus agar Pangeran Hiang tidak melakukan sesuatu.
Bagi Jaghana masalahnya bukan karena Pangeran Hiang akan memegang dan memeriksa tubuh Nyai Demang, akan tetapi sorot mata Nyai Demang menjadi ganjil setiap kali didekati Pangeran Hiang.
"Tinggalkan kami sebentar, Anakmas...."
"Baik, Paman...."
Upasara segera keluar dari tempat itu diiringi Pangeran Hiang yang mengerutkan keningnya. Kelihatan sekali tangannya sangat gelisah, menyapu bibirnya.
Ditinggal berduaan saja, napas Nyai Demang berangsur-angsur tenang kembali. Jaghana memeriksa seluruh tubuh Nyai Demang.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Telapak tangannya mengurut dari ubun-ubun ke dahi, hidung, belakang telinga, leher, dada, perut, tangan hingga ujung jari, punggung, pinggang, paha, kaki, ujung kuku, kembali lagi ke ubun-ubun.
"Apa yang ingin Nyai katakan?"
"Uhuh." Jaghana memberikan sebatang ranting kecil.
"Tuliskan." Nyai Demang bersemangat. Tangannya memegang ranting, bergerak perlahan. Akan tetapi kemudian terhenti. Jaghana menggertak keras, tubuhnya melayang ke luar tempat terlindung itu. Kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan ke arah sekitar.
Cukup keras dan bertenaga.
Sehingga Upasara dan Pangeran Hiang hampir bersamaan meloncat.
"Paman..." Jaghana menggeleng. "Saya sudah pikun. "Saya mengira ada angin berkesiur. Apakah Anakmas melihat sesuatu yang ganjil?"
"Tidak, Paman."
"Pangeran Hiang?"
"Tidak, Paman. "Barangkali saya tak cukup mendengar, karena pikiran saya masih tertuju pada Enam atau Tujuh Langkah. Tetapi kalau diperlukan, dengan senang hati akan saya lakukan penyelidikan."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Alap Alap Laut Kidul 15 Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Pendekar Pengejar Nyawa 24
^