Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 23

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 23


Kalau sekarang ini gagal, entah sampai kapan mereka mungkin bisa membicarakan lagi. Bisa-bisa seumur hidup hanya saling berdiam diri tak bertegur sapa.
Atau mengulangi kisah Eyang Putri Pulangsih dengan Eyang Sepuh, atau dengan yang lainnya!
"Tak ada yang perlu dicemaskan," kata Pangeran Hiang perlahan, dalam bahasa yang bisa dimengerti Nyai Demang. "Mega di atas akan bertemu dan berpisah, karena begitulah alam ini, mempertemukan dan memisahkan."
Nyai Demang memandang Pangeran Hiang.
"Akan tetapi..."
"Kita bisa menyayangkan, bisa berharap, akan tetapi segala apa bisa terjadi, Nyai.
"Belum tentu perpisahan awan sekejap berarti selamanya."
"Rupanya Pangeran mengetahui."
"Saya sudah tua, Nyai.
"Sedikit-banyak mengetahui yang pernah saya alami."
"Maaf, Pangeran Sang Hiang.
"Saya tidak bermaksud membuka luka Pangeran."
Pangeran Hiang meluruskan rambutnya dengan kedua tangannya.
"Tidak ada luka. Tak ada yang terbuka.
"Semuanya hanya perasaan. Semuanya hanya hidup dalam bayangan.
Begitu hebat keinginan untuk mengetahui apa yang terjadi pada istri saya, Putri Koreyea. Begitu ingin mencari jawaban, kenapa itu terjadi.
"Tetapi jawaban itu tak akan memuaskan. Bahkan kenapa istri saya menderita, saya tak akan tahu, karena istri saya tidak memberitahu.
"Dan saya akan menerima itu, sebagai bagian untuk menenteramkan hati saya."
"Pangeran Hiang sungguh bijak.
"Saya mengalami..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tanpa terasa Nyai Demang menceritakan sebagian kisah hidupnya.
Yang meluncur begitu saja. Baru kemudian dihentikan karena merasa membuka diri.
"Asmara dan takhta, dan juga harta.
"Itulah yang membuat kita sengsara dan bahagia. Memperoleh atau tidak memperoleh.
"Nyai, saya adalah pangeran pewaris takhta yang sah. Yang bisa memperoleh apa yang hilang kembali. Begitu seharusnya. Nyatanya tidak segampang itu.
"Ada yang saya temukan di tanah Jawa ini.
"Rasa, seperti yang Nyai katakan.
"Tarian perdamaian ini adalah tarian yang berasal dari rasa. Irama, cara bergerak, perwujudan langkah, menyadarkan saya bahwa tak akan pernah mengetahui tanpa menyatukan rasa.
"Mungkin sekali inilah kekalahan Keraton Tartar.
"Bahkan juga apa yang dialami Gemuka karena ini. Saudara Tua Gemuka yang gagah dan lihai tak terkalahkan menyadari unsur rasa sebagai unsur permainan-perasaan-pikiran, akan tetapi tidak larut di dalamnya.
"Sehingga dalam saat-saat terakhir terbentur.
"Karena dalam pertarungan ini, ternyata tidak selalu harus diakhiri dengan kekalahan dan kemenangan. Ada kemenangan tanpa mengalahkan, ada kekalahan untuk kemenangan.
"Ini yang saya peroleh dari tanah Jawa ini.
"Ini yang membuat saya ingin masuk lebih dalam."
"Pangeran Sang Hiang tak pernah menjadi manusia Jawa."
"Tidak seketika. "Tidak kalau saya hanya berganti nama menjadi Kiai Sang Hiang Tartar. Tidak kalau hanya menetap di sini. Tidak kalau hanya menikahi wanita di sini. Tidak kalau hanya mempelajari dan memperdalam ilmu silat di sini.
"Tapi tanpa itu semuanya juga bisa.
"Paling tidak, bukan tidak mungkin.
"Ini yang pelik, tapi ini yang menarik.
"Ketika Nyai mengajak saya menjauh, saya tahu maksud Nyai. Seperti juga Pangeran Upasara dan Adik Jagattri tahu. Ketika kita sekarang ini
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berbicara dalam bahasa yang mereka berdua tak mengerti, mereka berdua tetap tahu apa yang kita bicarakan.
"Inilah yang luar biasa, Nyai.
"Inilah yang oleh Pangeran Upasara dipertunjukkan dengan nama Ngrogoh Sukma Sejati. Memunculkan Sukma Sejati, roh yang sesungguhnya, batin yang kudus.
"Dalam perwujudannya, Pangeran Upasara bisa muncul dalam tiga atau empat bayangan. Yang penuh. Ketika kita bertanya mana Pangeran Upasara yang sebenarnya, kita akan terjebak. Karena keempatnya adalah Pangeran Upasara, dan keempatnya sekaligus bukan Pangeran Upasara."
Nyai Demang mengangguk-angguk.
"Aneh. Pangeran Hiang bisa menjelaskan apa yang saya geluti tiap saat dengan lebih terang."
"Tidak juga, Nyai. "Saya hanya meraba-raba.
"Sebab dalam pertarungan yang baru saja terjadi, saya berhasil memukul pergelangan tangan Pangeran Upasara. Berhasil menotok tangan Pangeran Upasara. Kena! Dan dalam gerakannya yang kemudian, terasa sekali bahwa akibat sodokan kipas itu, bayangan Pangeran Upasara menjadi oleng, terpengaruh."
"Ya, saya ingat."
"Saat itu saya berpikir bahwa saya menemukan titik lemah dari kekuatan Sukma Sejati. Biar bagaimanapun, dengan menindih salah satu bayangan tubuh, akan berakibat sama dengan bayangan tubuh yang lain.
"Nyatanya tidak begitu.
"Kalau saya mendesak kuat ke arah itu, saya akan kecele, karena yang bergoyang, yang tertindih hanyalah bayangan tubuhnya.
Sedangkan Pangeran Upasara sendiri tak bergerak. Saat itu saya masuk perangkap. Perangkap dari rasa saya yang tidak sesuai dengan rasa yang dimiliki Pangeran Upasara."
"Saya bisa menangkap apa yang Pangeran Sang Hiang katakan.
"Apakah hal yang sama juga berlaku pada Gendhuk Tri?"
"Bisa dikatakan ya dan tidak.
"Adik Jagattri menggunakan kekuatan Sukma Sejati yang murni.
Ketika Gemuka meluap dendamnya sampai membakar dirinya, perlawanan dengan tidak melawan justru melemahkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bisa dikatakan tidak, karena perwujudan kekuatan Sukma Sejati itu berbeda dari apa yang ditampilkan Pangeran Upasara."
"Wah, wah, saya perlu belajar dari Pangeran Sang Hiang.
"Dengan kata lain, Gendhuk Tri juga menggunakan kekuatan Sukma Sejati?"
"Sejauh pendapat saya, jawabannya adalah ya."
"Di mana ia mempelajari" Apakah Kitab Pamungkas juga telah diserap habis?"
"Saya tidak tahu pasti, Nyai.
"Akan tetapi kekuatan Sukma Sejati, merogoh dan mengeluarkan Sukma Sejati tidak harus melalui satu kitab tertentu. Bisa jadi ada ajaran yang menyebutkan secara jelas seperti Kitab atau Kidungan Pamungkas.
"Akan tetapi dalam pikiran saya, Kidungan Pamungkas tidak berdiri sendiri. Tidak tercipta begitu saja, tanpa kidungan-kidungan sebelumnya.
"Baik rangkaian dari Kitab Bumi, Kitab Penolak Bumi, Kitab Paminggir, Kitab Para Raja, atau lebih jauh dari itu. Bahkan Kitab Bumi pun tak diciptakan begitu saja." Suara Pangeran Hiang berangsur rendah nadanya.
Manusia Mahadewa SEAKAN menemukan irama yang sesuai antara irama hati dan irama yang akan dikatakan.
"Begitu banyak persamaan dengan kitab sebelumnya, baik yang ada di Tartar, Jepun, Koreyea, Hindia, ataupun bahkan sampai negeri Turkana.
"Semuanya seperti mempunyai sumber yang sama.
"Semuanya bersumber pada Yang Mahadewa. Pada manusia yang menjadi Mahadewa. Satu kata tersusun, satu langkah tersusun, sehingga akhirnya mendekati Mahadewa.
"Semuanya seperti menemukan jalan sendiri.
"Sehingga Eyang Sepuh mampu mengundang untuk mempertandingkan Jalan yang Sesungguhnya.
"Nyai, harus saya akui lahir dan batin saat ini, jalan yang ditempuh manusia Jawa, lewat Eyang Sepuh ataupun Pangeran Upasara, adalah
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
jalan yang paling mengagumkan. Tidak berarti jalan yang paling benar, akan tetapi jalan yang membuka mata.
"Saya telah berkelana di padang pasir, telah berkeliaran di Keraton, menjelajah sampai Jepun dan Koreyea, akan tetapi belum pernah menemukan apa yang saya temukan seperti di tanah Jawa ini.
"Ajaran di mana manusia menjadi sumber utama pencarian untuk menemukan Mahadewa. Di mana Mahadewa yang menjadi tujuan utama adalah manusia juga.
"Di mana kematian dan keabadian menjadi satu. Di mana kekalahan dan kemenangan menyatu.
"Saya menunduk dan menaruh hormat."
"Terima kasih atas pujian Pangeran Sang Hiang.
"Itu yang kita sebut mahamanusia..."
"Mahamanusia, atau Mahadewa yang manusia, pada akhirnya sama.
Menyatukan manusia dengan Mahadewa dalam satu wujud, dalam satu pengertian."
"Apakah itu berarti ilmu di tanah Jawa ini tak terkalahkan?"
"Ya. "Saat ini." "Saat ini?" "Ya, Nyai. "Saat ini, dalam jangka separuh usia manusia kurang, tanah Jawa akan mencapai puncak keluhuran yang tiada taranya. Seperti juga prajurit Tartar yang mampu menguasai jagat."
"Dan kemudian, dan kemudian..."
Pangeran Hiang menghela napas berat.
Mendasar. "Keraton Tartar yang berdiri di atas segala keraton di jagat ini, siapa yang membayangkan bisa diungguli" Awan dan langit akan merendah bila Khan yang Tak Terkalahkan menaikkan atap bangunan. Tak ada pedang lain yang dilepas dari sarungnya jika prajurit Tartar mengitari jagat.
"Tapi siapa sangka semuanya runtuh dan terobrak-abrik di tanah Jawa ini"
"Tanah becek yang banyak airnya, yang anginnya lembap, sedang menemukan bentuk kekuatannya yang sejati. Kekuatan yang sesungguhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sampai kemudian, ajaran manusia Mahadewa menemukan perpecahan."
"Pangeran Sang Hiang, apakah Pangeran bisa meramal?"
Bibir Pangeran Hiang tergigit.
"Saya hanya memperhitungkan unsur-unsur yang menyatukan yang membuat kuat. Unsur itu pula yang akan memecah dan menghancurkan. Apa yang saya katakan ini semuanya hanyalah omong kosong, hanya pembicaraan belaka.
"Kenyataannya bisa berbeda."
"Terima kasih atas semua penjelasan Pangeran Sang Hiang.
"Terima kasih...."
Nyai Demang menunduk hormat.
Lalu, "Kalau Pangeran Sang Hiang tidak terganggu, saya ingin bertanya, apa rencana Pangeran selanjutnya?"
"Saya akan kembali ke Tartar, Nyai.
"Menyampaikan semua yang saya ketahui, saya alami."
"Itu berarti akan ada utusan yang datang lagi?"
"Ya. "Selama Tartar masih ada, selama tanah Jawa masih ada, akan selalu terjadi kunjung-mengunjungi. Akan terjadi pertarungan, juga dengan tanah Hindia, Koreyea, Jepun, Turkana, Syangka, dan tempat-tempat yang lain."
"Pangeran masih menaruh dendam?"
"Dendam sudah saya kuburkan, Nyai.
"Tapi pertemuan lain lagi tak terhindarkan.
"Tidak selalu dalam pengertian prajurit bertemu prajurit. Karena saya bisa kembali tanpa kemenangan tanpa kekalahan.
"Besar harapan saya mengajak serta Pangeran Upasara Wulung...."
Suaranya meninggi. Juga pada kalimat berikutnya.
"...bersama Adik Jagattri.
"Dan akan lebih sempurna kalau Nyai Demang juga bersedia."
"Saya?" Pangeran Hiang mengangguk.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mantap. "Saya... saya untuk apa?"
"Untuk saya, Nyai. "Untuk kita berdua."
Kali ini Nyai Demang melongo. Bibirnya membuka.
Darahnya berdebar kencang.
Kena! Kena sendiri. Kalau tadi masih bisa memikirkan kekikukan Upasara dan kekerasan sikap Gendhuk Tri, sekarang dirasakan sendiri.
Nyai Demang berusaha menguasai perasaannya.
Barangkali pikirannya yang melancong terlalu jauh.
Barangkali... Tapi tidak. Kalimat Pangeran Hiang sangat jelas.
"Salah satu bentuk kemenangan dan kekalahan yang tidak dibuktikan dengan darah dan kematian adalah perkawinan.
"Tetapi bukan itu alasan utama saya mengajak Nyai.
"Alasannya, karena saya menginginkan Nyai."
"Maaf, Pangeran Sang Hiang..."
"Saya akan mengerti apa yang akan Nyai ucapkan.
"Saya siap mendengarkan."
"Maaf, saya, saya, saya tak tahu harus menjawab apa.
"Pangeran Sang Hiang jangan salah mengerti. Saya ini sudah tua, sudah berkeluarga, sudah tidak pantas memikirkan pernikahan atau bahkan sudah lupa apa itu daya asmara."
Pangeran Hiang menarik tegak tubuhnya.
Punggungnya sedikit melengkung ke belakang.
"Asmara, daya asmara juga soal rasa.
"Tak ada yang pantas atau tak pantas.
"Tak ada Permaisuri Praba yang pantas atau tak pantas. Awan di langit bisa mirip siapa, bisa tidak mirip siapa. Bisa pantas, bisa tak pantas. Itu hanya rasa.
"Awan tetap awan."
"Maaf, Pangeran Sang Hiang.
"Tidak perlu secepat ini."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang sekarang merasa jengah. Tidak enak di hati. Malu menatap Pangeran Sang Hiang. Risi berada di dekatnya.
Setitik pun tak pernah terpikirkan. Sekelebat pun tak terbayangkan.
Bahkan beberapa kejap sebelum Pangeran Hiang mengutarakan, Nyai Demang sama sekali tak menduga.
Inilah aneh. Aneh" Selama ini tidak sedikit lelaki yang mengharapkan dirinya. Bukan hanya Galih Kaliki yang begitu tergila-gila hanya tak ketahuan juntrungannya. Bukan hanya Upasara yang saat itu masih belia. Bukan hanya Baginda yang khusus mengundangnya.
Tetapi lamaran Pangeran Hiang tetap terasa ganjil.
Ganjil" Atau karena dirinya selama ini tak menduga"
Bukankah, bukankah sangat wajar"
Mata Nyai Demang berkejap-kejap. Ada perasaan bahagia yang membuatnya bersyukur luar biasa. Hati kecilnya sebagai wanita merasa sangat termuliakan. Pada usia seperti sekarang ini, masih ada lelaki yang meminangnya. Dan lelaki itu adalah Pangeran Sang Hiang, putra mahkota Tartar!
Perasaan lain yang menggumuli, bagaimana keadaan di Tartar nanti, usianya merambat, kekejian yang pernah dilontarkan kepada Gemuka, akan tetapi tak semerisaukan lamaran ini.
Mata Nyai Demang berkejap-kejap.
Terasa basah. Butiran air bening menggelinding, melewati pipinya. Kini, giliran Gendhuk Tri yang melihat. Dan merasa kaget bercampur heran. Apa yang tengah terjadi, setelah keduanya menjauh dan berbicara dalam bahasa Tartar"
Selendang Gendhuk Tri tak lagi dipegangi Upasara Wulung. Akan tetapi kakinya terasa berat meninggalkan.
"Kakang..." Kalimat Gendhuk Tri terhenti.
Upasara tampak pucat sekali. Tangannya berusaha mengurut kakinya.
Gendhuk Tri mendekat. "Sakit sekali, Kakang?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Barangkali memang harus dipotong."
"Kakang..." "Agar Adik Tri mau menerimaku."
Gendhuk Tri berdiri tegak.
Meninggalkan Upasara yang dirasa amat sangat tidak lucu.
Menerka Angin Asmara DI tempat yang berbeda pada waktu yang hampir bersamaan, Pangeran Muda Wengker merasa bahwa sejak tadi Pangeran Angon Kertawardhana memperhatikan dengan saksama.
Sebagai orang yang lebih muda usianya, Pangeran Muda hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Tanpa terlihat sedikit pun.
Sewaktu rombongan beriringan dan bergerak cepat menuju Keraton, Pangeran Angon tidak segera beranjak. Bahkan kemudian berada di barisan belakang. Paling belakang di antara para pembesar.
Beberapa kali Pangeran Angon seperti ingin membuka pembicaraan, akan tetapi kemudian urung. Hanya kudanya yang diperlambat langkahnya. Pangeran Muda mengikuti irama langkah kaki kudanya.
Pangeran Muda merasa diperhatikan dengan saksama, karena memang tidak biasanya Pangeran Angon melirik dan mengamati.
Keduanya sama-sama menyadari posisi dan boleh dikatakan mengadakan hubungan satu sama lain. Pangeran Angon yang berasal dari Cakradaran ini sering mengunjunginya ke Wengker. Adakalanya juga meminta Pangeran Muda datang.
Sering keduanya berbicara hanya berdua. Melewati hari-hari dengan membicarakan apa yang terjadi di Keraton. Tukar pandangan, rerasan, tentang Keraton.
Keduanya menyadari bahwa sebagian wibawa dan keluhuran Keraton berada dalam tangan mereka. Sebagian kecil atau besar akan menjadi tanggung jawab mereka. Karena kedudukan mereka berdua adalah
"pangeran muda", yang pada situasi yang diperlukan keduanya memiliki kemungkinan itu. Andai terjadi sesuatu dengan Raja.
Secara tidak langsung, hal seperti itu juga menjadi bahan pembicaraan. Terutama ketika menerima pembicaraan Raja secara resmi untuk menjadikan Praba Raga Karana sebagai permaisuri. Ini berarti tidak lain bahwa keturunan Permaisuri Praba yang kelak akan meneruskan takhta. Dan bukan yang lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu pula sebabnya Pangeran Muda heran, karena masalah peka dan pelik saja bisa diutarakan, sekarang ini justru berdiam diri.
Tanpa perlu mengamati, Pangeran Muda bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tersimpan dalam diri Pangeran Angon. Terasa adanya perbedaan dengan hari-hari biasanya. Kalau sekarang ini tidak segera pulang ke Cakradaran, itu masih bisa dimengerti. Karena di Keraton ada duka yang menyayat.
Adalah sangat tidak hormat untuk segera kembali, tanpa melayat Permaisuri Praba Raga Karana. Walau kedudukannya secara resmi belum dinobatkan, akan tetapi tata krama Keraton mengharuskan siapa pun menganggap bahwa Praba Raga Karana adalah permaisuri yang sah.
Pangeran Muda hanya bisa menunggu.
Menunggu isyarat. "Yayi Pangeran, apakah ada sesuatu yang melintas dalam pikiranmu?"
"Tidak ada yang istimewa, Kakang Pangeran."
"Kamu akan menjawab dengan jujur jika aku menanyakan sesuatu?"
"Sumangga, Kakang Pangeran...."
Hati Pangeran Muda bercekat.
Sama sekali tidak menduga bahwa Pangeran Angon menjadi sangat kaku bicaranya.
"Aku perlu membicarakan sebelum terlalu jauh.
"Karena aku tak ingin melihat kita berdua memperpanjang penderitaan para prajurit dan penduduk."
Pangeran Muda makin merasa tidak enak.
Para prajurit yang mengiring berjalan lebih lambat.
"Kita belajar dari para leluhur.
"Selama ini kita berdua, juga Pangeran Anom, sebagai garis keturunan yang paling dekat dengan Keraton, berjanji dalam hati untuk tidak iri, untuk tidak mempersoalkan warisan Keraton."
"Maaf, Kakang. "Saya tak menangkap maksud Kakang."
"Apakah Yayi Pangeran ingin mengajak kita berdua pergi ke kaputren?"
Wajah Pangeran Muda yang gagah, gasah, tampak kikuk. Senyumnya terlihat kaku.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku bisa menjadi perantara kalau Yayi menghendaki."
Pangeran Muda berdeham kecil.
"Kakang, kaputren memang bagus, indah, asri, dan elok.
"Saya akan mengiringkan Kakang Pangeran Angon.
"Sumangga, Kakang...."
Kini ganti wajah Pangeran Angon yang berubah.
Kaku. Keras. Tangannya terasa dingin. Memang itu yang dirasakan. Dipikirkan. Sejak melihat pemunculan Putri Tunggadewi, sukmanya tergetar hebat sekali. Terguncang, seakan belum pernah mengalami perasaan seperti itu sebelumnya.
Sewaktu menerima undangan dari Raja, Pangeran Angon tak sedikit pun membayangkan bakal mengalami perasaan seperti ini. Nama harum Putri Tunggadewi telah tersebar ke seluruh penjuru Keraton. Akan tetapi getaran itu baru terasakan mengguncang hebat ketika di pendapa.
Ketika bisa menatap secara sempurna.
Kalau ia pernah bermimpi, pernah mengharapkan sesuatu dalam angan-angannya tentang kemuliaan wanita, Putri Tunggadewi-lah orangnya.
Itu yang membuatnya serbasalah dan dengan nekat maju ke pertempuran. Seperti juga Pangeran Muda.
Hanya karena perhatiannya yang begitu besar, tercipta rekaan dalam pikirannya sendiri, bahwa Pangeran Muda juga tersambar daya asmara.
Sehingga Pangeran Angon perlu menjelaskan.
Percakapan yang tidak langsung. Akan tetapi kini keduanya tak perlu menerka ke arah mana angin asmara bertiup.
"Maaf, Yayi...."
"Sumangga, Kakang....
"Saya menyadari jadi orang lebih muda. Tak nanti berani lancang di depan Kakang...."
Pangeran Angon mengangguk.
Wajahnya terlihat cerah. Lega.
"Hanya Yayi yang bisa memberitahukan kalau aku lupa.
"Hanya Yayi yang berani dan kuharapkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ini pelajaran berharga buat kita berdua. Sekurangnya buat diriku sendiri.
"Bantu aku, Yayi...."
"Sumangga...." Pangeran Angon menggeprak kudanya.
Meloncat ke depan dan bergegas. Kedua tangannya terangkat ke atas, seakan melambaikan kemenangan.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesuatu yang tak mengherankan Pangeran Muda. Sesuatu yang membuat Pangeran Muda lebih memahami bahwa Raja pun bisa menjadi lebih lain dari biasanya.
Sesuatu yang tak diduga ketika mempersoalkan masalah Praba Raga Karana. Pangeran Angon mengutarakan dengan panjang-lebar, dengan kalimat-kalimat keras dan meyakinkan. Bahwa sebagai seorang yang ditakdirkan menjadi bangsawan tinggi, harus bisa menjaga diri, menjaga derajat, dalam keadaan apa pun.
Akan tetapi sekarang mengalami sendiri.
Bahwa angin asmara yang bertiup di tubuhnya bisa menyeret. Bisa membuatnya lupa bahwa dirinya pangeran yang mempunyai derajat dan pangkat.
Pangeran Muda menjepit perut kudanya, mengikuti loncatan.
Keduanya seakan berpacu berebut cepat menuju Keraton. Bahkan melewati pintu gerbang utama masih dengan kecepatan tinggi.
Hanya saja di depan Keraton Pangeran Angon menahan kudanya kuat-kuat. Hingga kedua kaki depannya terangkat.
Mahapatih Halayudha menghadang.
"Maaf, Paman Mahapatih...."
Pangeran Muda bergegas turun.
Meskipun mereka berdua adalah pangeran muda yang dekat hubungannya dengan pemegang kekuasaan utama, akan tetapi tetap memberi hormat juga kepada Mahapatih. Begitu juga sebaliknya.
Akan tetapi sikap Mahapatih Halayudha tampak keras.
"Maaf, Pangeran Angon serta Pangeran Muda Wengker.
"Raja tidak berkenan ada suara-suara yang mengganggu. Maka sebaiknya Pangeran berdua menempati kamandungan, atau kembali ke Cakradaran dan Keraton Tua...."
Kamandungan berada di sebelah barat bangunan utama Keraton.
Termasuk tempat terhormat kedua sesudah bangunan utama. Bahwa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
selama ini mereka berdua ditempatkan di sana, itu tidak mengurangi kehormatan yang diberikan.
Hanya saja cara Halayudha memberitahukan sungguh di luar dugaan.
Kalaupun harus begitu, tidak selayaknya dikatakan di depan Keraton.
"Maaf, Mahapatih...."
"Ini perintah Raja."
"Kami berdua justru akan sowan, untuk berdoa di dalam."
"Tidak saat ini. "Maaf, saya hanya menjalankan dawuh Dalem...."
Halayudha berbalik. Memerintahkan para prajurit yang berada di kamandungan dan di ksatrian supaya bersiap siaga. Semua berada di bawah perintahnya. Tak ada senopati lain yang berhak mengeluarkan perintah apa pun.
Mengabadikan Asmara PANGERAN ANGON serta Pangeran Muda lebih heran lagi, karena para prajurit pengiringnya juga disatukan di ksatrian. Di dalam kamandungan, Pangeran Anom juga tidak disertai prajurit. Demikian juga para tetamu utama yang diundang Raja.
Rasa heran yang meninggi, kecurigaan yang besar tetap tak akan bermuara pada apa yang direncanakan Halayudha.
Yang ingin menyelesaikan semua rencananya hari ini juga. Esok jika matahari bersinar, dirinya sudah duduk di dampar kencana, kursi emas, dan mengenakan mahkota.
Hari ini akan diselesaikan semua.
Diselesaikan sendiri. Dengan tangannya. Itu sebabnya para prajurit kawal Keraton diperintahkan bersiaga di luar Keraton. Sementara ia sendiri masuk. Menghadap Raja.
Keningnya sedikit berkerut ketika mendapat laporan bahwa Senopati Jabung Krewes sudah lebih dulu dipanggil menghadap.
Halayudha menyembah, duduk bersila di sebelah agak depan Jabung Krewes.
"Paman Mahapatih. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ingsun telah memerintahkan Tujuh Senopati Utama seleh pangkat dan derajat. Akan tetapi hari ini saya membutuhkan Tanca dan istrinya.
"Ingsun ingin agar tubuh Permaisuri Praba tetap awet seperti ketika masih hidup, tanpa luka sedikit pun.
"Bagaimana caranya"
"Apakah kamu juga akan matur seperti yang dikatakan Krewes?"
Halayudha menyembah. "Kalau Raja menghendaki, hamba yang akan memerintahkan Mpu Tanca serta istrinya, Nyai Makacaru, untuk mengawetkan, untuk mengabadikan Permaisuri Praba."
"Ingsun menarik kembali...."
"Hamba yang memegang perintah, Sinuwun.
"Hamba yang mengatur semuanya, sehingga Sinuwun tak terganggu kewibawaan, keluhuran, nama besar, dan keabadian menyanding Permaisuri Praba Raga Karana."
Senopati Jabung Krewes berdeham keras.
Karena darahnya mendidih hingga melalui batas kesabarannya.
Seolah daun telinganya menjadi panas dan mengeluarkan uap kedongkolan.
"Hamba berjanji tak akan mengurangi kesenangan Sinuwun sedikit pun, tidak akan mengganggu seujung rambut dan setitik bayangan Raja."
Senopati Jabung Krewes mencabut kerisnya.
Meletakkan di depan kakinya.
"Aku tahu, kamu akan meloncat dari tempatmu, Jabung Krewes.
"Aku sudah memperhitungkan itu.
"Tinggal kamu yang akan begitu. Tak ada yang lainnya. Tak ada siapa-siapa selain kita sekarang ini."
Raja berdiri. "Kamu tidak main-main, Halayudha."
"Hamba mengatakan yang sebenarnya.
"Sumangga, Ingkang Sinuwun, apakah dengan cara yang baik atau dengan cara mengadu kesaktian, membuktikan tulang siapa yang keras."
Senopati Jabung Krewes mencabut kerisnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kekasaran yang tak bisa didengar lagi. Penghinaan yang paling tidak bisa dimaafkan.
Akan tetapi Halayudha dengan gesit meloncat. Kakinya menginjak warangka keris, dan siku kirinya menyodok jidat Senopati Jabung Krewes. Jabung Krewes masih berusaha menghindar, akan tetapi tangan kanan Halayudha bergerak cepat.
Dua jarinya menekan jakun Jabung Krewes.
"Satu sentakan, matamu tak bisa tertutup selamanya."
Hebat gerakan Halayudha. Dalam kondisi yang lebih dari separuh pulih, Jabung Krewes bukan tandingan Halayudha. Pada tingkat sekarang ini, Halayudha memang tak akan menemukan tandingan dalam Keraton. Jarak ilmu terlalu tinggi.
Kalau Jabung Krewes terdiam beku, bukan karena takut jakunnya pecah kena pencet Halayudha. Apa pun akan dipertaruhkan untuk membela Raja.
Hanya saja sekarang ini memang tak bisa bergerak.
"Halayudha!" Halayudha melepaskan Jabung Krewes yang jatuh melongsor ke lantai bersih mengilat.
"Duduk!" Halayudha menggeleng. Tersenyum tipis. "Tidak, sebelum Raja menjelaskan apa yang akan diperintahkan.
"Hanya ada dua pilihan.
"Mengikuti apa yang hamba katakan dengan baik-baik, atau memilih jalan kekerasan."
"Kamu tahu apa makna kata-katamu?"
"Sangat tahu, Sinuwun..."
Ada nada menghormat yang telah menjadi tradisi hidupnya, tetapi juga kekerasan yang kurang ajar.
"Jadi kamu menghendaki takhta?"
"Maaf, Sinuwun, kata-kata penjelasan tidak diperlukan lagi.
"Hamba hanya menyilakan Sinuwun menentukan pilihan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yang terbaik dan terhormat adalah penyerahan kekuasaan.
Mengumumkan kepada seluruh rakyat. Dan hamba tak akan mengganggu sedikit pun.
"Cukup penat, letih, dan menyakitkan pengabdian hamba selama ini.
Dan tidak menghasilkan apa-apa.
"Sekarang tak ada Dewa, tak ada ksatria, tak ada prajurit yang mampu menandingi hamba.
"Sekarang, Sinuwun...."
Raja tertawa. "Kamu menduga aku begitu bodoh mau menyerahkan takhta.
"Jawabannya tidak."
Halayudha mengangguk. "Baik, Sinuwun. "Jangan salahkan hamba kalau ada daging terobek atau tulang patah."
"Jangan sesali jika prajurit-prajurit akan mencincangmu."
Halayudha tertawa. Nadanya sama tinggi dengan Raja.
"Tak ada. "Tak akan ada. "Kematian Sinuwun akan diterima, kalau melalui gering total seperti yang dialami Permaisuri Praba.
"Pewaris takhta Pangeran Anom, Pangeran Muda, Pangeran Angon hanya akan mengalami nasib yang sama jika menentang hamba.
"Telah hamba perhitungkan masak-masak.
"Hamba telah menunggu sejak Baginda memegang takhta.
"Dewa memberi kesempatan sekarang ini.
"Apa lagi yang akan hamba katakan selain restu dan menjalani perintah Dewa Yang Mahadewa"
"Sinuwun, tak ada yang akan melesat datang dan tiba-tiba bisa mengalahkan hamba.
"Upasara terlalu jauh, telah terluka, dan tak melihat Sinuwun lagi.
"Semua juga kekeliruan Sinuwun sendiri."
Halayudha maju setindak. Raja tetap berdiri. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bergeming. "Apa yang kamu inginkan?"
"Sinuwun memerintahkan, memberi sabda bahwa mulai sekarang ini Mahapatih Halayudha, dan hanya Mahapatih Halayudha, yang memegang pucuk pimpinan tertinggi.
"Setelah itu Sinuwun akan terus-menerus berada di dalam dalem kamandungan. Dalam pengawalan yang hamba perintahkan."
"Ingsun..." "Bagaimana nasib Sinuwun selanjutnya, tergantung apakah hamba merasa terancam atau tidak.
"Rasanya cukup jelas."
Mendadak Halayudha menghentikan kalimatnya.
Tubuhnya membalik bagai lingkaran. Kedua tangannya mengeluarkan tenaga penuh ke arah belakang.
Terdengar pekik ngeri. Tiga prajurit kawal Keraton terdorong keras ke arah dinding, dan seketika itu juga lengket. Tubuhnya menempel ke dinding.
Sekali lagi tangannya bergerak, dua prajurit yang lain menempel di pintu masuk.
Hanya Mada yang berhasil meloloskan diri.
Namun tak urung tubuhnya bergoyangan, sebelum ndeprok, melongsor di lantai. Dari pinggir bibirnya mengalir darah segar.
Mada memang selalu menyertai Senopati Jabung Krewes. Ketika dipanggil menghadap, Mada juga mengikuti. Hanya sampai di luar.
Makanya masih bisa mendengar suara-suara yang ganjil.
Mada nekat dan memerintahkan para prajurit untuk masuk.
Meskipun mengetahui bahwa sesuatu yang hebat tengah terjadi di dalam, Mada dan para prajurit kawal Keraton tak menduga akan digempur begitu dahsyat. Disambut dengan pukulan yang keras, ganas, dan mematikan.
Karena penguasaan tenaga dalamnya lebih dari yang lain, Mada tidak menjadi lengket dengan dinding. Meskipun untuk itu harus ndeprok tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya.
Bukan perhitungan Mada yang keliru. Kalaupun mereka semua bersiaga sepenuhnya, tetap tak akan bisa menandingi Halayudha.
"Ba..." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
HALAYUDHA unggul segalanya.
Dari sisi ilmu silat, jelas para prajurit kawal Keraton tak mampu melukai ujung kukunya. Dari segi perhitungan strategi, juga jauh lebih unggul.
Sepuluh lipat prajurit yang menyerbu masuk, tetap tak mengubah keadaan. Bahkan jika saat itu Tujuh Senopati Utama ada di dalam, Halayudha bisa membekuk mereka semua.
Raja mundur tiga tindak. Halayudha berdiri di tengah.
"Sinuwun, hamba tak akan bertindak setengah-setengah.
"Sekarang saatnya hamba memaksa.
"Semua bangkai di sini tak akan diketahui tempat pembuangannya."
Mada merintih. Bibirnya bergerak, dan darah menetes.
"Ba..." Halayudha menggeleng. Mantap. "Aku tahu, kamu paling istimewa, Mada.
"Kamu bakal menjadi prajurit besar. Tapi tidak selama masih ada Mahapatih Halayudha. Aku melihat ketegasanmu mengambil keputusan menyelamatkan Raja. Mataku tidak buta. Aku melihat ilmumu dua kelas di atas para prajurit. Hatiku tidak bisu.
"Aku tahu kamu menyimpan dendam yang berkobaran sejak aku membunuh saudara seperguruan mu. Kamu bisa menyembunyikan perasaan itu. Rasanya tidak beku. Aku tahu itu semua.
"Dalam saat-saat terakhir ini pun kamu ingin melakukan penjegalan.
"Kuakui kamu hebat, Mada.
"Tapi aku sudah berkata, selama masih ada Halayudha, tak ada yang kelihatan hebat.
"Kamu mempunyai bakat hebat, mempunyai mulut besar, mempunyai kandungan yang kokoh menyimpan perasaanmu. Di belakang hari akan menjadi prajurit pinunjul. Tapi garis tangan tak bisa diubah.
"Mada, Mada... "Nasibmu jelek. Seperti Bango Tontong. Seperti Tujuh Senopati Utama. Seperti semua yang menahan langkahku."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalimat Halayudha seperti menguap dari perasaan yang terendam sekian lama.
"Sinuwun akan melihat sendiri sekarang.
"Mada akan saya jadikan contoh, bagaimana nasib yang diderita Permaisuri Praba bisa diulangi."
"Kamu... kamu yang melakukan?"
"Hamba tak perlu berlindung.
"Tak perlu menutupi diri.
"Beban itu terlalu berat."
Halayudha menyedot suara hidungnya dengan keras.
"Mada, kamu dengar aku?"
Kepala Mada mengangguk oleng.
Matanya mulai mengatup. Pandangannya sayu. "Aku perlu belajar dari ilmumu yang menonjol. Akal licikmu yang mengilat.
"Baik. Sekarang aku mau lihat apa yang akan kamu katakan sebagai senjata pamungkasmu.
"Katakan, Mada."
"Ba..." "Kamu minta aku mendekat, dan kamu ingin mati bersamaku"
"Cara yang baik, tetapi tak mengena.
"Kamu akan mati sebelum memelukku. Dan aku tak akan mendekat."
Mada menggerakkan tangannya. Kaku, lambat.
Jarinya masuk ke mulutnya. Dengan darah tangannya menulis di lantai.
Halayudha mengawasi, sambil tetap memperhatikan keadaan sekeliling.
Bapa. Bapa, itulah tulisan Mada.
Tangannya gemetar. Tak bisa berlanjut. "Untuk apa berteka-teki seperti itu"
"Kalau aku jengkel, aku lumatkan kamu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bapa, Tunggula Seta... Telapak tangan Halayudha memancarkan tenaga panas, ketika Raja bergerak dari tempatnya. Dada Raja terasa sesak seketika, sehingga menarik atau mengeluarkan napas menjadi sulit.
Halayudha sepenuhnya menguasai keadaan.
Kalau kelonggaran diberikan kepada Mada, tidak berarti yang lain bisa mempergunakan kesempatan itu. Muslihat semacam itu terlalu ringan dan merupakan hafalan hidup Halayudha sehari-hari. Maka begitu ada angin bergerak dari arah Raja, tangannya langsung bergerak.
Kalau kelonggaran diberikan kepada Mada, karena Halayudha tak bisa membendung rasa ingin tahunya. Bahwa di balik batok kepala prajurit yang tampak biasa-biasa ini tersimpan kekuatan yang besar, yang tak terduga.
Boleh dikatakan, tinggal Mada yang mempunyai dendam tertinggi padanya. Karena saudara seperguruannya boleh dikatakan semua tewas di tangannya.
Boleh dikatakan, tinggal Mada yang harus dibasmi. Tanpa peristiwa ini pun, Mada akan dihabisi. Karena hanya tinggal Mada yang tahu ketika dirinya telanjang!
Yang mengetahui bahwa dirinya tak memiliki kejantanan lagi. Aib itu hanya bisa dibongkar oleh Mada.
Halayudha tidak kuatir sedikit pun bahwa Mada bisa mengeluarkan muslihat yang membalik jalannya situasi. Halayudha percaya diri sepenuh-penuhnya, ia telah menguasai semuanya.
Maka perhatiannya cukup besar mengenai apa yang dikatakan Mada.
Kalau sejak tadi Mada hanya mengulang "Ba... Ba..." lalu menuliskan Bapa, Tunggula Seta..., hati dan pikiran Halayudha membuat perhitungan sendiri.
Tunggula Seta, bisa berarti puncak, ujung, yang berwarna putih.
Dengan kata lain, menurut pemikiran Halayudha, Mada ingin melampiaskan dendamnya yang terakhir dengan membuka rahasia yang bisa membuatnya malu sepanjang hidupnya.
Ujung, puncak, bisa berarti juga kejantanan. Halayudha tersenyum penuh kemenangan.
Lampiasan dendam semacam ini malah membuatnya lebih berhasil.
Hanya Halayudha yang bisa menikmati penderitaan orang yang sekarat karena ulahnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seperti sekarang ini. Tapi senyum itu hilang dengan sendirinya.
Pemikiran yang berikutnya berkembang. Ia mengenai Mada. Yang pasti tak akan melakukan makian dendam di saat terakhirnya. Lagi pula, kalau hanya memaki, kenapa memakai pembukaan Bapa...
Kenapa harus menghormat"
"Mada, katakan, atau..."
Tubuh Mada jatuh berdebam. Tersungkur. Napasnya tinggal satu-satu.
Tangan Halayudha yang sudah terangkat, berubah menunjuk ke arah Senopati Jabung Krewes.
"Mahapatih mengetahui maksud Mada."
Suara Senopati Jabung Krewes terdengar serak, tidak jelas.
Tenaga dalam yang dikerahkan untuk melawan jepitan Halayudha tak berhasil banyak. Meskipun cukup mengagumkan juga.
"Tahu?" "Ba..." "Apa?" "Mahapatih mengetahui, siapa yang meneriakkan kata Ba... sebelum pergi untuk selamanya."
"Ba?" Ganti kini Senopati Jabung Krewes yang tersengal-sengal. Air matanya mengalir. Pengeluaran tenaga yang berlebihan, menguras seluruh kemampuannya.
"Ba?" Halayudha mengulang lagi.
Satu kata yang tak selesai. Ba, yang ternyata kependekan dari Bapa.
Siapa yang meneriakkan kata itu"
Suara itu memang terdengar olehnya.
Terasa aneh, terasa menyelinap ke urat nadi. Tapi terlupakan karena tak mempunyai gema dalam hatinya.
Ba... Kwowogen yang mengucapkan kata itu. Itu terucapkan saat Halayudha memakai tubuh Kwowogen untuk menangkis serangan Pangeran Hiang. Ya, itu yang teringat. Ba...
Apakah berarti Kwowogen akan mengucapkan bapa.."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apa artinya" Apa kaitannya dengan Tunggula Seta"
Tangan Halayudha terkepal. Keringat dingin menetes.
Wajahnya mendongak ke atas.
Tawanya sangat keras, menggeletarkan atap Keraton.
Pengerahan tenaga sepenuhnya.
Hingga terbatuk-batuk. Matanya tajam menikam sekeliling.
"Jabung Krewes, kamu mau mempermainkan aku"
"Aku bisa menebak caramu yang licik. Kamu bisa meniru Nyai Demang yang menjebak Pangeran Hiang, dengan mengatakan penyebab penderitaan Putri Koreyea.
"Tapi aku bukan Pangeran Sang Hiang.
"Ingsun Raja Gung Binatara, Halayudha!"
Kutukan Dewi Renuka TAWA Halayudha menggelegar, bersambungan, bagai gelombang menggempur atap, dinding, tiang utama. Gemanya terbalik lagi, bergulung di gendang telinga.
Tenaga dalam simpanan seolah muncrat bersemburan.
Pecah tersodet seperti ketika Gemuka tersayat Kangkam Galih.
Perbandingan yang tidak berlebihan. Karena sesungguhnya, baik Gemuka maupun Halayudha sama-sama terluka. Dan masih sama-sama bahaya.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu yang teringat oleh Senopati Jabung Krewes. Getaran tawa Halayudha keras menggempur, akan tetapi tidak membahayakan gendang telinga. Karena tidak digunakan untuk menyerang. Namun getarannya terasa ngilu memedihkan.
Jabung Krewes bisa membayangkan bahwa Halayudha sangat terpukul dan terguncang kesadarannya. Seluruh akar kesadarannya sebagai manusia, sebagai ayah, terbetot paksa.
Jabung Krewes sendiri setengah tidak percaya apa yang dituturkan oleh Mada.
Itu terjadi ketika rombongan kembali ke Keraton.
Jabung Krewes sengaja memanggil Mada agar bisa berjalan bersama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kaget aku memanggilmu, Mada?"
"Hamba siap menerima segala hukuman atas kebusukan hamba."
"Bagus, kalau kamu tahu itu.
"Apakah kamu mengetahui sebelum bertindak?"
"Eyang Puspamurti pasti kecewa, karena beliau telah mengajari tata krama prajurit."
"Aku hanya ingin mengatakan, saat ini Dewa masih mengasihimu, Mada.
"Barangkali kebetulan, dan itu jarang bisa diulang."
Mada terdiam. "Sekarang kamu boleh pergi."
Mada menyembah. Tapi tak bergerak. "Apa lagi, Mada?"
"Keraton saat ini sedang kosong, Senopati yang mulia."
"Hmmm." "Hamba pernah mendengar dongengan lama Sri Baginda Raja Kertanegara yang mengosongkan Keraton, sehingga seorang yang jahat bisa menyusup."
"Hmmm." "Mohon perhatian Senopati."
"Hmmm. "Pikiranmu aneh. Tak bisa disamakan begitu saja. Raja Muda Gelang-Gelang memang putra tak berbudi."
"Seseorang yang tak berbudi jika menemukan kesempatan dan pada dasarnya mempunyai nafsu serakah."
"Hmmm. "Hanya ada seorang sekarang ini yang bisa melakukan itu.
"Tapi rasanya terlalu jauh. Tak ada kemungkinan itu."
"Maaf, Senopati yang mulia.
"Yang seperti tak terduga, yang seperti tidak mungkin, bisa terjadi.
Maaf, Senopati... Siapa yang mengira Raja Muda Jayakatwang yang dibesarkan, diberi pangkat dan derajat oleh Sri Baginda Raja, bakal melakukan kraman?"
"Hmmm. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku tahu kamu mempelajari ajaran Mahamanusia. Manusia yang bisa apa saja, tega apa saja, bisa naik ke langit. Tapi Mahamanusia tak akan merebut takhta."
"Siapa yang tega berbuat apa saja, bisa berbuat apa saja tanpa penyesalan?"
Mada menceritakan secara singkat, bahwa Kwowogen, prajurit Keraton yang secara sengaja dikorbankan oleh Halayudha, yang menjadi atasannya. Kwowogen yang besar kemungkinannya adalah putra satu-satunya Mahapatih Halayudha.
"Putranya?" "Pengakuan Kwowogen demikian bunyinya, Senopati yang mulia."
"Dari mana kamu menduga begitu"
"Apakah sebelumnya Kwowogen bercerita padamu?"
Mada menggeleng dan menyembah.
"Hamba berlima telah menjadi saudara tanpa memedulikan asal-usul, tanpa membedakan pangkat dan derajat. Keempatnya kini telah tiada.
Tinggal hamba. Tak ada bukti lain."
"Kwowogen sendiri mengakui?"
"Seruan Ba yang tak selesai terucapkan adalah panggilan untuk Bapa..."
Ketika itulah utusan Raja datang. Senopati Jabung Krewes diperintahkan menghadap sendirian. Mada diperintahkan berjaga di luar bersama para prajurit.
"Aku tak berjanji mengatakan kepada Raja.
"Tidak juga kalau ditanya.
"Kamu kecewa, Mada?"
"Hamba menyampaikan apa yang hamba pikir baik.
"Tanggung jawab sepenuhnya pada kebijaksanaan Senopati yang mulia, satu-satunya senopati Keraton yang masih dipercaya Raja."
"Hmmm, kamu cerdik. "Tetapi aku tak bisa menghaturkan."
Itu merupakan keyakinan Senopati Jabung Krewes. Nyatanya, Raja tidak menyinggung sedikit pun. Malah meminta pendapat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekuatiran perlawanan paksa Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Barulah ketika Halayudha bertolak pinggang, Senopati Jabung Krewes menyadari apa yang dikisikkan Mada. Tapi terlambat dan Halayudha kelewat tangguh.
Pastilah Mada sejak tadi mengamati dari luar. Mengetahui bahwa Halayudha juga masuk ke kamar Raja. Dan begitu mendengar ada sesuatu yang tak beres, segera menyerbu masuk.
Sekarang ini, gelegar tawa Halayudha pasti terdengar di seluruh Keraton. Karena gelombang suaranya yang bergulung dan bersambung.
Akan tetapi setelah sekian lama, tak ada tanda-tanda prajurit atau senopati yang menyeruak masuk.
Gempuran Mada tepat pada saatnya.
Namun Senopati Jabung Krewes masih sangsi. Apakah ada artinya bagi seorang seperti Halayudha.
Itulah sumber kecemasannya. Karena kini segalanya tergantung seberapa lama Halayudha tertawa. Setelah tawanya selesai, segala sesuatu bisa terjadi. Dan itu menyangkut Raja, Keraton, serta isinya.
Berpikir begitu, Jabung Krewes makin ngeri. Dan karena jalan pikirannya kacau, pemusatan tenaga dalamnya juga berbenturan tak beraturan. Sulit ditebak perasaan apa yang bergolak dalam diri Halayudha. Juga oleh orang yang bersangkutan.
Halayudha sendiri merasa terbuai sekaligus tenggelam, perkasa sekaligus runtuh, tertawa sekaligus menjerit tangis.
Baginya dalam hidup ini hanya dorongan menjadi prajurit, menjadi senopati, menjadi ksatria tak terkalahkan yang bisa membuatnya bahagia atau berduka. Segala kebanggaan dan kekecewaan berawal dan berakhir di situ.
Kalau ada bagian yang menyelinap kecil, adalah hubungannya dengan seorang wanita yang disebut-sebut sebagai Dewi Renuka. Disebut-sebut karena Halayudha sendiri tidak mengetahui siapa nama sesungguhnya, dari mana asal-usulnya, dan bagaimana hubungannya dengan gurunya, Paman Sepuh Dodot Bintulu.
Sebutan Dewi Renuka untuk memperjelas bahwa suatu hari nanti, wanita itu akan mengalami nasib yang paling memilukan. Dibunuh oleh anaknya sendiri!
Hubungan dengan Dewi Renuka disesali sebagai kutukan yang sepenuhnya disandang. Secara wadak itu berakibat sabetan yang memotong kejantanannya. Secara batin, penderitaan yang terus berkepanjangan. Karena selalu digoda rasa bersalah, dikutuk, dan tak tahu harus bersikap bagaimana. Bagaimana bersikap terhadap yang disebut Dewi Renuka. Ikut mengutuk, atau menebus dosa. Halayudha
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tak tahu tindakan apa yang akan diambil, dan tak pernah mendengar kabar.
Maka betapa kejamnya Dewa menghukum karena dirinya menjadi takdir pembunuh anaknya sendiri.
Adakah yang lebih kejam dari itu"
Dalam benak Halayudha sekarang ini sedang terjadi tikam-menikam antara kesangsian dan rasa bersalah yang maha berat.
Kesangsian apakah benar Kwowogen itu putranya.
Tak ada bukti apa-apa. Tapi kalau bukan, bagaimana mungkin Mada bisa menyebutkan"
Bagaimana mungkin Mada mengetahui rahasia masa lalunya" Rasanya di jagat ini hanya tiga orang yang mengetahui. Dua pelakunya yaitu dirinya dan yang disebut Dewi Renuka, serta Paman Sepuh.
Halayudha mencoba mengingat kisah-kisah pertemuan dengan Kwowogen.
Tak ada yang luar biasa. Hanya saja, hanya saja...
Kesangsian dan keyakinan bertarung kembali. Saling menindih, saling mengimpit, saling mencakar dan merobek-robek paksa batin Halayudha.
Hanya saja memang ada perubahan sifat Kwowogen, sejak dirinya berhasil ditelanjangi Eyang Puspamurti. Sejak itu, sorot mata Kwowogen menjadi lain.
Dengan kata lain, sejak itu Kwowogen mengenali dirinya. Halayudha membentuk sendiri rangkaian yang mendukung jalan pikirannya.
Bahwa setelah dirinya dihukum Paman Sepuh, yang disebut Dewi Renuka mendapat hukuman yang sama. Atau disebrat, dibuang.
Saat itu benih dalam tubuhnya makin membesar. Pastilah penuh penderitaan yang sarat ketika melahirkan, ketika membesarkan.
Waspa Ludira TERGAMBAR dalam bayangan kelebatan demi kelebatan. Betapa seorang wanita ayu, yang barangkali tak bersalah benar, harus menanggung beban sendirian.
Saat menyembunyikan diri karena hamil.
Saat melahirkan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Semua ditanggung sendiri. Tanpa ada yang bisa diajak berbagi. Tidak juga Paman Sepuh, atau Halayudha.
Tikaman yang pedih. Penderitaan yang berkepanjangan, karena membesarkan, dan pastilah suatu ketika si anak menanyakan siapa dan bagaimana ayahnya, serta di mana berada. Tak ada petunjuk, tak ada apa-apa, selain penjelasan bahwa ayahnya adalah lelaki yang tak memiliki kelelakian lagi.
Betapa mengerikan, ketika akhirnya Kwowogen menyadari bahwa ayahnya adalah Halayudha! Yang ditemui secara tak sengaja, karena dipecundangi Eyang Puspamurti.
Halayudha ingat dengan jelas.
Dalam pertarungan besar yang baru saja terjadi, jelas sekali bahwa Kwowogen sangat melindungi dirinya. Padahal dirinya justru mencelakai dengan cara hina. Membuat kerisnya terbang ke arah Pangeran Hiang dan akhirnya, akhirnya, tubuhnya dipakai sebagai perisai oleh Halayudha.
Betapa menggeletarkan, pada saat terakhir masih meneriakkan ucapan Ba...
Masih mengakui bapaknya! Rasanya belum pernah Halayudha mengalami guncangan seperti sekarang ini. Karena yakin bahwa Kwowogen memang putranya.
Sebutan terakhir itu yang membuktikan. Tak mungkin Mada mengarang cerita panjang, tanpa mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Dan bisa dimengerti bahwa hanya kepada Mada, atau sahabatnya seperguruan yang lain, Kwowogen menceritakan dirinya.
Jadi benar Kwowogen adalah putranya.
Yang dikorbankan. Tubuh Halayudha masih berdiri tegak. Keringatnya membasah.
Sebagian berwarna merah, juga yang mengembeng di sudut matanya.
Air mata darah, waspa ludira. Itu hanya terjadi pada seorang ahli tenaga dalam yang mengalami guncangan paling hebat yang tak bisa dikuasai.
Akan tetapi kalau Senopati Jabung Krewes berpikir bahwa dalam keadaan terguncang hebat Halayudha bisa dikuasai, jalan pikiran itu keliru!
Darah masih menetes, membasahi.
Akan tetapi Halayudha masih gagah perkasa.
Kelebatan pikirannya masih bertarung.
Membenarkan bahwa Kwowogen adalah putra tunggalnya. Mengakui sebagai tindakan yang tak bisa diampuni.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu bukan satu-satunya jalan pikiran. Karena tikaman tangkisan juga muncul dalam benaknya. Bahwa apa pun yang terjadi, tak akan mengganggu, tak akan menghalangi langkah-langkahnya. Perjalanan yang jauh, yang dirintis sebagai prajurit, yang menjadikan dirinya alas kaki, menempuh segala kehinaan di mata orang lain, pengorbanan yang tiada habisnya, tak akan dimentahkan begitu saja.
Apalagi sekarang ini. Di saat takhta sudah dalam genggamannya.
Takhta! Takhta! Di seluruh tanah Jawa hanya ada satu maharaja. Dan itu adalah Ingkang Sinuwun Halayudha. Yang memiliki dan menguasai semuanya.
Langit, bumi, dan isinya.
Pertarungan antara menerima kutukan dan pangkat serta derajat yang tak tertandingi itu tercermin dalam gejolak tawa yang masih terus berkumandang. Sebentar tinggi nadanya, menyayat, lalu berubah menjadi rendah, menyayat.
Baru kemudian sekali iramanya menjadi datar, dan lenyap.
Halayudha masih berdiri gagah. Mengucurkan darah.
"Jabung Krewes, kalau perlu kita mati bersama. Sampyuh di tempat ini bersama Sinuwun.
"Kutukan ini harus kulampiaskan kepada semua saja.
"Bukan kutanggung sendiri."
Tangan Halayudha bergerak, mencipratkan darah ke segala penjuru.
Raja melangkah mundur sambil menyipitkan mata.
"Halayudha, kutukan itu sesuai dengan apa yang kamu lakukan."
Halayudha meringis. "Sinuwun tahu apa"
"Tahu apa tentang kutukan dan penderitaan" Sinuwun yang seharusnya menerima lebih dari yang hamba derita. Tapi Dewa takut melakukan.
"Hamba yang akan melakukan."
Halayudha menggosok telapak tangannya. Yang sepenuhnya berwarna merah.
Jabung Krewes berusaha membebaskan diri sekuatnya. Napasnya tersengal-sengal, akan tetapi kakinya mulai bisa digerakkan. Tanpa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berpikir panjang, Jabung Krewes menggelindingkan tubuh ke arah Halayudha. Tangannya terentang lebar.
Halayudha hanya menggerakkan kakinya, seolah menendang dengan sepersepuluh bagian tenaganya. Jabung Krewes tersentak dan tubuhnya menggeliat, sebelum akhirnya rebah.
Tak bergerak. "Sinuwun bisa membela diri.
"Hamba siap melayani. Dengan senjata apa saja."
"Halayudha! "Apakah takhta tak berarti lagi bagimu?"
"Berarti sekali, Sinuwun.
"Sama berartinya nama Tunggula Seta. Ujung yang putih. Senopati juga nama hamba. Halayudha, ujung bajak. Sama berartinya. Diubah menjadi Kwowogen atau yang lainnya sama saja. Derajat dan pangkat mahapatih, atau maharaja, atau maha takhta, akhirnya sama.
"Langit di atas atau di bawah, apa bedanya"
"Bumi diinjak atau dijunjung, apa bedanya"
"Jagat lahir sungsang. Tanpa tata krama, tanpa aturan. Membunuh Raja atau Mada atau menghidupi atau mengampuni, tak ada bedanya.
"Itulah Mahamanusia, Sinuwun.
"Itulah hamba. "Bersiaplah...."
Raja Itu Disembah TAWA yang mirip jeritan, atau jeritan yang mirip tawa dari Halayudha menyisir udara sekelilingnya.
Kini bukan hanya sekitar Keraton saja yang bisa mendengar, melainkan seluruh bagian Keraton. Termasuk kamandungan, tempat ketiga pangeran muda berkumpul. Sampai di dalem baluwerti.
Sebenarnya tak akan menggerakkan rasa ingin tahu, kalau bukan nada tawa yang melengking. Karena selama ini, dalam keadaan yang bagaimanapun, tak nanti akan ada tawa yang menggelegar atau jeritan yang tinggi. Cara mengucapkan kalimat saja, bila berada dalam Keraton, boleh dikata kalah keras dengan suara selembar daun kering yang jatuh. Maka lengkingan tawa itu cukup mengherankan juga.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Angon serta Pangeran Wengker yang lebih dulu bersiaga.
Keduanya hanya cukup melempar pandang untuk kemudian segera berlalu. Disusul Pangeran Anom. Ketiganya serentak merasa terpanggil karena tanggung jawab, dan juga karena daya tarik yang lain. Terutama Pangeran Angon yang sejak pertama kali menatap Putri Tunggadewi serasa bagai disambar petir. Daya asmara yang sangat kuat mengenyakkan diri, tak memungkinkan untuk memusatkan pikiran kepada yang lain. Jangan kata teriakan dari Keraton, tak ada alasan pun Pangeran Angon bisa segera berangkat ke Keraton.
Jarak antara kamandungan dan kaputren sebenarnya tidak terlalu jauh. Tak lebih dari dua ratus tombak. Yang memisahkan hanyalah bangunan tembok yang tinggi. Yang sekali loncat pun akan bisa dilalui.
Akan tetapi dinding tembok itu hanyalah simbol perbedaan yang memisahkan secara nyata apa yang menjadi bagian dalam Keraton, dan apa yang di luarnya. Walaupun bangunan baluwerti dan kamandungan masih di dalam tembok Keraton, yang membedakan dengan seluruh bagian di luar Keraton, akan tetapi di dalamnya sendiri ada perbedaan yang tak bisa begitu saja dilewati.
Kini saatnya. Pangeran Angon bergegas masuk. Langsung menuju bagian dalam, tanpa menghiraukan para prajurit yang bersiaga dan berjaga-jaga.
Pangeran Anom memberi tanda agar berhati-hati sebelum masuk ke Keraton. Bahkan Pangeran Anom yang lebih dulu mendorong pintu masuk.
Sebenarnya ini memang menyangkut tata krama. Karena Pangeran Anom memang menang awu, atau dituakan di antara dua pangeran yang lain. Maka Pangeran Anom-lah yang melangkah lebih dulu.
Begitu melangkah masuk, pandangannya segera nanar.
Seakan tak percaya terhadap apa yang dilihatnya.
Raja Jayanegara berjongkok di dekat kursi emas, sementara Halayudha justru berdiri bertolak pinggang, dengan dada dan punggung yang basah oleh keringat serta darah. Di lantai dekat pintu berserakan mayat para prajurit. Senopati Jabung Krewes masih mengerang, dan Prajurit Mada tampak berusaha bangun.
"Siapa kalian" "Siapa yang memerintahkan kalian sowan tanpa tinimbalan" Siapa yang memerintahkan menghadap tanpa dipanggil?"
Suara Halayudha sangat tegar, telunjuknya menuding, memerintah, dan merendahkan.
"Kenapa kalian yang memakai pakaian pangeran muda begitu tak tahu tata krama, datang tanpa menyembah"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah jalan pikiran kalian sudah jungkir-balik, hingga raja dianggap bukan raja"
"Raja adalah manusia yang disembah.
"Berlutut, bersilalah, haturkan sembah dengan baik."
Tangan kanan Halayudha menuding, sementara tangan kiri terangkat ke atas. Tenaga dalam meluncur dari tangan kanannya, sementara tangan kirinya menyimpan satu pukulan yang setiap saat bisa diempaskan.
Pangeran Anom tak bisa berbuat lain. Paksaan tenaga Halayudha kuat menekan pundaknya untuk bersila. Pangeran Angon juga tak kuasa membendung. Pangeran Muda Wengker berusaha mengelak dengan terhuyung-huyung.
"Lakukan apa yang dikatakan," suara Raja Jayanegara terdengar menggeletar.
"Tutup mulutmu. Ingsun yang memerintah, bukan kamu."
Pangeran Muda Wengker segera menyadari bahwa situasi yang terjadi memang sangat gawat. Kalau sampai Raja sendiri memerintahkan memberi sembahan kepada Halayudha, itu bukan hanya luar biasa.
Tetapi sudah tak masuk akal sama sekali, dan ada sesuatu yang sangat luar biasa.
Tak ayal lagi Pangeran Muda Wengker memberi sembah.
"Begitu sebaiknya. "Baik, baik, sekarang pasowanan bisa dimulai."
Halayudha duduk di atas singgasana. Kedua kakinya diangkat di kursi.
"Jabung Krewes, bangun kamu."
Kaki Halayudha bergerak, dan Senopati Jabung Krewes merasa impitan di dadanya berkurang. Sungguh permainan tenaga dalam yang sempurna. Kalau selama ini dirinya berkutetan dan memaksa diri sepenuhnya untuk membuka pertahanan tubuhnya dan mengembalikan kekuatannya tapi sia-sia, Halayudha hanya cukup menggunakan tenaga dalam yang dikirimkan lewat dua jempol kakinya.
Walaupun kemampuan Halayudha sebenarnya lebih berakar mengenai bagian mana yang dibuka, Jabung Krewes tetap mengakui bahwa dari semua yang ada di dalam Keraton, tak ada satu pun yang bisa mengungguli Halayudha. Kalau tadi masih berpikir untuk mencuri kesempatan berbalik menghajar Halayudha, kini pikiran itu dibuang jauh-jauh.
"Sembah aku..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jabung Krewes adalah senopati Keraton. Tokoh yang mempunyai derajat dan pangkat yang tinggi, yang dibuktikan dengan pengabdian.
Pastilah akan memilih mati daripada harus menyembah Halayudha.
Atau siapa pun selain Raja.
Ini jalan pikiran Pangeran Anom.
Bahkan dipaksa dengan tenaga dalam Halayudha yang menyiksa pun, tak nanti Jabung Krewes akan mengikuti. Ia akan melawan sepenuhnya, meskipun hasilnya sia-sia atau mengorbankan nyawanya.
Ini jalan pikiran Pangeran Anom.
Ini juga jalan pikiran Jabung Krewes.
Karena posisinya sangat berbeda dengan Pangeran Anom, Pangeran Angon, atau Pangeran Muda Wengker-yang terakhir ini malah mendapat perintah resmi dari Raja.
"Hamba Senopati Jabung Krewes, menghaturkan sungkem pangabekti kepada Raja sesembahan...."
Suaranya lembut, nadanya menghormat dan tulus.
Halayudha tertawa terbahak.
Pangeran Anom memuji keunggulan Jabung Krewes dalam menempatkan diri. Ia memang menyembah hormat, menekuk tubuhnya separuh, suaranya mengandung nada hormat yang sesungguhnya, akan tetapi sebenarnya ditujukan kepada Raja Jayanegara.
Bukan kepada Halayudha. Hanya arahnya yang sama. Keluwesan semacam inilah yang merupakan inti kekuatan para senopati, pikir Pangeran Anom.
"Baik, baik. "Hari ini Ingsun akan medar sabda. Ingin pidato resmi, mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan keluhuran Keraton dan para Dewa.
"Kalian semua dengarkan baik-baik.
"Ingsun ini sesungguhnya yang disebut mahamanusia yang paling sempurna.
Belum pernah ada sebelumnya, dan tak akan pernah ada lagi, mahamanusia seperti Ingsun.
"Pertama, Ingsun ini prajurit biasa, diangkat sebagai senopati, dan kemudian mahapatih, setelah itu raja. Dewa pun menyembah padaku.
"Kedua, Ingsun akan segera mengambil permaisuri, selir-selir, gundik-gundik, membuat taman, dan menyatakan perang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ketiga, apakah tidak sebaiknya Ingsun memakai gelar yang baru"
Bukan wangsa Sri Baginda Raja, bukan nama Syangka, bukan nama siapa-siapa. Tapi dari nama asal-usul Ingsun sendiri.
"Mada, kenapa kamu?"
Mada menunduk, tanpa berusaha menghapus darah yang mengalir dari sela-sela bibirnya.
Hanya karena tenaga dalamnya yang kuat Prajurit Mada masih bisa bertahan, masih mampu berkata dengan suara perlahan.
"Kenapa tidak memakai gelar Tenggala Seta?"
Jabung Krewes menggigit bibirnya.
Untuk kesekian kalinya Jabung Krewes memuji prajurit pilihannya setinggi langit, sekaligus menguatirkan.
Memuji setinggi langit, karena Mada tetap mendesakkan kekuatan yang bisa merontokkan Halayudha. Satu-satunya peluang yang mampu menerjang benteng kekuatan utama Halayudha.
Dengan menyebutkan nama Tenggala Seta yang artinya bajak atau wluku putih, Mada masuk ke pembicaraan kembali. Pembicaraan yang bisa mengguncang Halayudha di saat ia siap membasmi seluruh isi Keraton sekarang ini.
Tenggala berarti bajak atau wluku, yaitu peranti untuk mengolah tanah yang selalu dipakai para petani. Namun hala juga bisa berarti bajak. Sedangkan tambahan kata seta yang berarti putih, menggenjot kembali jalan pikiran Halayudha kepada putranya yang tewas di tangannya sendiri secara sengaja dan menjijikkan.
Pengertian putih di sini, bisa diartikan bajak putih, bisa pula diartikan kelelakian yang putih!
Yang hanya dimiliki Halayudha!
Inilah yang menghantam pertahanan dan kekuatan Halayudha, sehingga batinnya guncang. Sehingga keringat dan tubuhnya menyatu.
Yang meskipun tertawa-tawa meremehkan, batinnya tersiksa sempurna.
Yang membuatnya seolah tidak waras.
Jabung Krewes juga kuatir, karena setiap saat Halayudha bisa murka, dan sekali alis matanya terangkat, telunjuknya menuding, habislah Mada. Atau bahkan seisi ruangan!
Tongkat Tak Takut Lumpur KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
HALAYUDHA berdeham keras. Kepalanya bergoyang. Mahkota di kepalanya berayun, jatuh di lutut kakinya.
"Lihatlah baik-baik.
"Mahkota bersusun ini dipakai lututku.
"Hanya mahamanusia yang bisa melakukan itu. Kamu, Jayanegara tak pernah berani melakukan.
"Mana yang lebih keramat, lututku atau mahkota ini?"
Halayudha bergelak lagi. Keringat dan darah kembali menetes.
"Usulmu tidak jelek, Mada.
"Meskipun tampangmu buruk sekali.
"Kukira Tenggala Seta nama yang bagus. Tapi kurang berwibawa.
Hanya saja alasannya bisa kuterima. Memakai nama gelaran anaknya, keturunannya, dan bukan leluhurnya.
"Itu baru tata krama yang menarik.
"Sesuai dengan Ingsun.
"Tapi tunggu dulu, Mada. Segala apa harus bisa dibuktikan. Segala yang tidak ada bukti nyata, dialami dan diakui semua orang, bukan kasunyatan, bukan kenyataan.
"Hanya lamunan. "Kenyataan itu hakikat aku ini.
"Nyata menjadi raja, nyata memainkan mahkota, nyata kalian sembah.
"Sekarang pertanyaanku, benarkah Tenggala Seta atau siapa pun namanya itu putraku" Bukankah aku harus melihat sendiri bahwa kemaluannya, kelelakiannya, memang berwarna putih" Bagaimana kamu bisa membuktikan itu" Mana mayatnya?"
Mada berusaha menjawab, akan tetapi kembali tenaga dalamnya yang masih belum sepenuhnya dikuasai berbenturan sendiri, sehingga tubuhnya rebah.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesempatan emas yang terlepaskan.
Sungguh sayang. Sangat sayang, pikir Jabung Krewes.
Mada berhasil membangun serangan yang langsung menghunjam ke titik pikiran Halayudha. Tinggal menyelesaikan dengan baik. Tapi tak mampu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dibandingkan para prajurit pilihan umumnya, Mada dua atau tiga tingkat lebih tinggi. Tenaga dalamnya boleh dikatakan bisa disejajarkan dengan Senopati Jabung Krewes. Sesuatu yang bisa dimengerti. Karena Mada satu-satunya prajurit yang mempelajari ajaran pengerahan tenaga dari mahamanusia, tanpa melewati ajaran Kitab Bumi. Bukan hanya itu.
Masih ditambah lagi sumber utama yang mengajarinya adalah Jaghana, pendekar dari Perguruan Awan yang merupakan murid langsung Eyang Sepuh. Dan ditempa siang-malam tanpa henti oleh Eyang Puspamurti.
Gemblengan yang luar biasa, yang membedakannya dari prajurit lainnya.
Hanya saja karena penguasaannya belum sempurna, atau karena terdorong nafsu besar untuk segera menyodokkan keunggulan, Mada tak bisa menguasai dirinya.
Hanya bisa mengejang dan ditimbuni rasa penasaran.
Senopati Jabung Krewes tak menyia-nyiakan kesempatan.
"Sekarang sedang diruwat oleh ksatria lelananging jagat sebagai cara membuktikan keunggulan...."
Halayudha terbatuk. Mahkota di lututnya terjatuh.
Menggeletak di lantai. Simbol sakti seluruh negeri tanpa kecuali, yang dihormati, dan disembah itu tergeletak seakan tak mempunyai arti.
"Apa maunya Upasara Wulung itu?"
Kalau Raja Jayanegara masih menebak-nebak arah serangan kata-kata Jabung Krewes, bagi Pangeran Anom segalanya telah jelas.
Jabung Krewes meneruskan tembakan yang gagal dilakukan Mada dengan cara yang halus, manis, tapi menikam langsung.
Halus dan manis yang dipujikan Pangeran Anom sebenarnya hanya karena Jabung Krewes tak mengerti apa yang terjadi dengan mayat Tenggala Seta atau siapa pun namanya sekarang ini. Bisa-bisa sudah disingkirkan atau dibakar. Kalaupun diketemukan, belum tentu bisa meyakinkan Halayudha bahwa warnanya benar-benar putih, karena setelah menjadi mayat seluruh tubuh warnanya cenderung sama.
Makanya Jabung Krewes mengatakan sedang diruwat, sedang dirawat, sedang dibebaskan oleh Upasara. Kalaupun bertemu mayat yang diduga Tenggala Seta, masih bisa dialihkan bahwa Upasara Wulung telah memotong kelelakiannya.
Menjawab pertanyaan Halayudha, akan lebih mudah. Karena bisa saja dijawab bahwa Upasara Wulung akan menjadikannya sebagai jimat, sebagai kekuatan lain melawan Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam keadaan yang normal sekalipun, Halayudha bisa mempercayai hal itu. Bukan karena dirinya memakai berbagai jimat, akan tetapi segala jenis dan segala tata cara memakai dan memperolehnya sangat dikuasai.
Sesungguhnya dengan menyeret nama Upasara Wulung, Jabung Krewes melakukan taktik Teken Mangsa Wedi ing Blethokan, atau siasat Tongkat Tak Akan Takut Lumpur.
Cara yang sangat dipuji Pangeran Anom dan disebutkan sebagai menikam langsung.
Tongkat Tak Akan Takut Lumpur adalah kiasan dalam dunia persilatan. Dalam pengertian sebenarnya, sebatang tongkat tak akan takut terkena lumpur. Dalam arti persilatan, bisa menjadi sebuah tantangan. Kalau memang dirinya tongkat, untuk apa takut kepada lumpur.
Dengan strategi ini, Jabung Krewes mengangkat dan sekaligus menyudutkan Halayudha. Mengangkat Halayudha sebagai tongkat dan merendahkan Upasara sebagai lumpur, tapi sekaligus juga menjebak dalam situasi di mana Halayudha tak bisa mundur.
Jalan pikiran Jabung Krewes menyeretkan nama Upasara Wulung, karena memang tak ada pilihan lain. Sekarang ini hanya Upasara Wulung yang dianggap mampu mengimbangi Halayudha. Dan hanya Upasara Wulung yang menjadi satu-satunya harapan.
"Apa Upasara Wulung kira kelelakian itu suatu kekuatan istimewa" Ia tak begitu bodoh, tapi bisa juga untuk memancing aku.
"Jabung Krewes!"
"Sendika dawuh Dalem..."
Kalau sekarang Jabung Krewes benar-benar memanggil dengan hormat, karena merasa telah memasuki satu langkah penting.
"Apa hebatnya Upasara Wulung?"
Jabung Krewes tak bisa menjawab sembarangan. Karena meskipun pikiran Halayudha seolah kurang waras, kejelian dalam menilai permainan ilmu silat tetap jernih.
Tak bisa sekadar melebihkan atau merendahkan.
"Sebagai ksatria, Upasara Wulung satu-satunya yang bergelar lelananging jagat. Penguasaan Kitab Bumi-nya. boleh dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, dan mampu mengerahkan tenaga Ngrogoh Sukma Sejati."
"Satu gelar yang cukup hebat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tapi Upasara Wulung, lepas dari segalanya, pantas menjadi ksatria lelananging jagat. Gelar yang bahkan Eyang Sepuh saja tak pantas menyandangnya, dan Gajah Mahakrura tak bisa menyentuh...."
Dengan menyebut Gajah Mahakrura, atau Gajah Mahabengis, Halayudha memaksudkan gurunya, Paman Sepuh Dodot Bintulu. Yang meskipun diakui sebagai pencipta Kitab Bumi pada awalnya, namanya tenggelam di bawah bayangan Eyang Sepuh.
"Satu gelar yang hebat.
"Aku tergetar. "Tetapi aku atau Upasara Wulung sama-sama mempunyai kelebihan.
Dalam ilmu silat masih harus dibuktikan siapa yang lebih sakti.
Penguasaan kekuatan Ngrogoh Sukma Sejati memang serba tak terduga, akan tetapi rasa-rasanya, kalau mengawali dari kekuatan ajaran mahamanusia, aku bisa sampai ke sana, dan selangkah lebih depan.
"Dan aku lebih banyak lagi kelebihannya.
"Upasara tak pernah beranjak dari derajat senopati. Gelar Senopati Pamungkas yang dianugerahkan Baginda tak menyebabkan pangkatnya naik. Aku mendengar kabar ia bakal diangkat sebagai mahapatih.
"Tetapi ia tak mempunyai telih untuk pangkat itu. Perutnya tak bisa mewadahi pangkat itu.
"Apalagi menjadi raja.
"Seperti Ingsun."
Halayudha seakan tenggelam dalam perhitungannya sendiri.
Jabung Krewes menyadarkannya kembali.
"Sebaiknya jangan dibiarkan seorang ksatria, meskipun bergelar ksatria lelananging jagat, merendahkan raja...."
Lagi Jabung Krewes memakai kalimat yang umum, yang tidak semata-mata tertujukan kepada Halayudha sebagai raja. Tanpa menunjuk ke arah itu.
"Aku akan menemuinya.
"Akulah raja yang bisa bersilat, mampu perang tanding di depan.
"Tapi aku masih ingin menikmati di sini.
"Pangeran-pangeran muda yang membisu, apa lagi yang kamu lakukan di sini" Pulanglah!"
Kaki Halayudha bergerak mengusir.
Dan tertawa bergelak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jayanegara, aku sudah berjanji tak akan membunuh atau menyia-nyiakan mu.
"Selama ini kamu bebas berseliweran, bebas mengambil gundik siapa saja. Aku ingin menjadikan kamu gundikku. Agar kamu tahu rasa.
"Itulah wolak-waliking zaman, perubahan zaman, dan hanya mahamanusia yang bisa melakukan itu."
Pergilah, Pangeran Tundung
MAKIAN Halayudha bukan hanya tajam, akan tetapi sangat menyakitkan. Seakan menempelkan getah yang sangat lengket dan menjijikkan.
Tiga pangeran muda yang jelas-jelas masih sangat dekat hubungannya dengan raja diusir dengan kasar lewat jempol kakinya.
Lebih dari itu Raja Jayanegara sendiri dihina dengan cara yang rendah.
Bukan hanya dipermainkan, tetapi betul-betul direndahkan lumat dengan alas kaki. Karena akan dijadikan gundik atau selir oleh Halayudha. Dewa pun tak mungkin memperlakukan seperti itu.
Akan tetapi Halayudha tidak merasa gelisah atau merasa bersalah.
"Pangeran telah diusir. Sebagai pangeran tundung, untuk apa menunggu lebih lama?"
Pangeran Anom mencekal hulu kerisnya. Sebutan pangeran tundung, atau pangeran yang diusir dengan tidak hormat, yang diucapkan Jabung Krewes membuat darahnya panas.
"Untuk apa Pangeran menunggu di sini" Di luar tembok Keraton masih ada tempat untuk berteduh."
Halayudha mengentakkan kakinya.
Tubuhnya meloncat ke arah pintu.
Tawanya menggelegar. "Kamu pintar, Jabung Krewes. Senopati yang memakai otak, walau sedikit. Dengan mengusir ketiga pangeran ini, dengan menyebutkan tempat teduh di luar tembok Keraton, bukankah itu isyarat agar mereka memanggil Upasara Wulung?"
Inilah celaka! Ketiga pangeran muda tidak menangkap maksud Jabung Krewes, sementara Halayudha justru mengerti dengan baik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau sudah disembah, kenapa begitu takut hanya dengan nama Upasara Wulung?"
"Mada, kamu belum mati juga"
"Hebat, tenaga dalammu benar-benar hebat."
Halayudha meloncat maju ke arah Mada. Satu tangan mencekal. Dan tubuh Mada benar-benar terangkat dari lantai. Tinggal membanting sekali jadi.
Tubuh Mada akan rontok berikut pecahan tulangnya.
Tapi tidak. Halayudha mengerutkan keningnya.
Memang aneh. Detak nadi, denyut kehidupan dari tubuh Mada dirasa sangat ganjil. Tidak dengan irama seperti biasanya terjadi pada manusia. Tidak deg-deg-deg. Melainkan dredeg-deg, dredeg-deg. Ini yang membuat Halayudha mengerutkan kening.
"Ilmu apa yang kaupelajari?"
"Mana mungkin ada ilmu yang tidak Paduka ketahui?"
"Aneh sedikit. "Getar nadi dan denyut kehidupanmu, dengus napasmu kedengarannya tidak mengikuti irama yang biasa. Apakah tenaga dalam mahamanusia sudah merasukimu" Apakah kamu sudah mengenal Ngrogoh Sukma Sejati?"
Mada sendiri tidak menyangka bahwa tubuhnya berbeda dari yang lainnya. Karena selama ini tak pernah menyadari. Tak ada yang mengatakan hal itu padanya. Bahkan Eyang Puspamurti juga tidak.
Halayudha menurunkannya perlahan.
"Mada, katakan bagaimana caramu mengatur pernapasan?"
"Kekuatan bumi."
"Itu aku tahu. "Tapi kenapa tenagamu berhenti di bawah pusar" Bukankah kamu bisa menarik ke atas dan menjadikan tenaga pusar?"
"Paduka bisa melakukan, hamba hanyalah prajurit rucah, prajurit asor, prajurit jajar yang tiada arti."
Apa yang dikatakan Mada sebenarnya apa adanya. Sebutan prajurit rucah, jajar, asor adalah pangkat dan derajatnya yang sesungguhnya.
Prajurit yang pangkatnya paling rendah.
Apa adanya karena sesungguhnya Mada memang prajurit yang belum memiliki pangkat. Ketika ditarik Senopati Jabung Krewes sebagai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
prajurit kawal Keraton, itu semua hanyalah tugas yang dijalankan.
Bukan pangkat yang disandang.
"Apa bedanya kalau kamu prajurit rucah atau prajurit bhayangkara?"
"Tentu saja berbeda, Paduka lebih mengetahui.
"Prajurit bhayangkara mempunyai wewenang menjalankan tugas untuk langsung menjaga Raja. Sehingga hamba tak mungkin mengerahkan tenaga dalam...."
"Bagaimana mungkin mahamanusia terbatasi derajat dan pangkat?"
Pertanyaan ini agak sulit dijawab Halayudha.
Yang pernah mempertengkarkan persoalan ini hanyalah Jaghana dan Eyang Puspamurti. Jaghana ketika memahami ajaran mahamanusia menemukan bahwa betapapun tak terbatasnya manusia, dalam soal derajat dan kepangkatan ada batasnya. Yaitu tidak bisa mencapai tingkat mahkota, tak bisa begitu saja menjadi raja.
Sementara Eyang Puspamurti murni berpegang pada ajaran mahamanusia dan betul-betul maha.
Dalam pertarungan tenaga dalam yang terjadi, Eyang Puspamurti mengakui keunggulan pandangan dan sikap pendekatan Jaghana.
Sehingga dengan sendirinya, ajarannya pun mengalami banyak perubahan.
Halayudha tentu saja tak menangkap hal ini.
Terutama juga karena kini sedang berada di puncak kekuasaan.
"Bagaimana kamu menerangkan hal ini?"
"Hamba tak ingin orang lain mendengar."
Halayudha mengibaskan tangannya.
"Kalian tak kuperlukan, minggat sajalah!"
Ketiga pangeran muda menyembah ke arah Raja Jayanegara, dan segera berlalu. Jabung Krewes berharap mereka bertiga benar-benar mencari dan menemui Upasara Wulung!
"Paduka sudah mengalami semua tata pangkat dan derajat di dalam Keraton. Pastilah Paduka bisa membedakan kekuatan yang ada dalam diri Paduka.
"Paduka pernah menjadi gandek tunggal, pernah menjadi nayaka, pernah menjabat sebagai panekar..."
Kali ini Jabung Krewes tidak bisa menduga. Apakah Mada sekadar mengulur waktu ataukah mengatakan yang sebenarnya. Akan tetapi bisa jadi dalam pengertian dua-duanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena dengan mengulur waktu bisa memberi kesempatan bagi ketiga pangeran muda, sementara yang diucapkan Mada perlu direnungkan.
Dengan menyebut gandek tunggal sebenarnya Mada sedang mempermainkan perasaan Halayudha. Gandek adalah jabatan dalam tata kepangkatan Keraton, di mana pelakunya hanya mempunyai satu tugas yaitu menjalankan perintah raja. Untuk memanggil atau memberitahukan sesuatu. Dalam tata pemerintahan Keraton, yang menyandang gandek tidak pernah satu orang. Karena dikuatirkan kurang bisa mendengar sabda raja.
Tapi kenyataannya, Halayudha pernah menjabat itu sendirian.
Halayudha tidak mempunyai bawahan untuk menyampaikan. Ia juga menjabat sebagai nayaka, atau menteri yang menjadi pembantu raja.
Sekaligus juga menjabat panekar, menteri Keraton yang tidak mempunyai anak buah secara langsung. Menteri yang menjadi rerenggan, semacam hiasan karena tak membawahkan bagian tertentu.
"Apakah aku mempunyai perasaan yang berbeda?" Halayudha bertanya kepada dirinya sendiri. "Rasanya tidak."
"Paduka telah melupakan."
"Baik, kalau begitu.
"Mulai sekarang kamu kuangkat sebagai bhayangkara, sekaligus prajurit tamtama, prajurit pilihan dan memimpin prajurit jayengsekar.
Kerahkan tenagamu." Mada mengumpulkan kekuatannya. Matanya tertutup, dan tangannya bergerak naik-turun. Satu tangan menengadah, satu tangan lagi terkulai di bawah.
Ketika udara ditarik lewat hidungnya dan dikumpulkan di pusar, Halayudha segera bisa merasakan getarannya.
Merangsang hawa panas. Dengan pangkat sebagai bhayangkara atau kawal raja, kekuasaannya memang sangat tinggi. Pangkat bisa masih rendah, akan tetapi kekuasaannya langsung mendapat perintah dari raja. Dengan pangkat sebagai pemimpin jayengsekar, sekaligus berarti memimpin seluruh prajurit berkuda.
"Bagus, itu menarik.
"Mada, apakah kalau kuturunkan pangkatmu, tenagamu bisa macet?"
"Ajarannya begitu. "Tetapi sebagai prajurit, hamba adalah pertapa di gunung api."
Halayudha mengangguk-angguk.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jabung Krewes yakin kini bahwa Mada mengatakan sejujur-jujurnya.
Tidak berusaha mengulur waktu atau menyesatkan pembicaraan.
Jabung Krewes makin kagum mengakui kesetiaan Mada sebagai prajurit. Seluruh jiwa-raganya diabdikan untuk menjadi pengabdi Keraton.
Ajaran yang sudah luluh, sudah mendarah daging dalam dirinya.
Dengan mengatakan bahwa "prajurit bertapa di gunung api", Mada memakai perumpamaan yang selalu digunakan sebagai tugas dasar prajurit. Bahwa sesungguhnya prajurit itu mempunyai jiwa dan tanggung jawab lebih besar dari pertapa. Karena prajurit tidak bertapa di dalam gua yang sunyi. Melainkan di atas api.
Eyang Puspamurti tidak kepalang tanggung menjejalkan ajaran dasar ini.
Derajat dan Pangkat HALAYUDHA masih mengangguk-angguk. Hatinya terketuk suara Mada yang lirih tapi seolah menjenguk ke dalam kesadarannya.
Sederhana kata-kata Mada, dengan penjelasan seadanya yang sudah dan mudah dimengerti, akan tetapi pada Halayudha mempunyai gema yang mengandung makna.
"Mada, aku tahu betul siapa kamu. Anak kampung yang berkelana, yang mencari guru, yang ingin menjadi prajurit. Bagaimana mungkin kamu bisa memperoleh ilmu sedemikian cepat?"
"Maaf, apakah arti cepat atau lambat bagi ilmu?"
"Bagus, bagus sekali.
"Kamu mengerti. Mada, kenapa aku mampu menguasai banyak ilmu sekaligus?"
"Karena Paduka mengalami semuanya. Paduka adalah mahapatih yang diangkat oleh Raja. Tangan kanan, pemegang roda pemerintahan sehari-hari. Paduka melakukan semua derajat dan pangkat mahapatih, baik sebagai nindyamantri, mantrimuka, mantringayun, warangkapraja, sebagai mantri utama, sebagai sarung keris bagi Raja. Paduka juga menjadi panekar, menteri yang hanya menjadi hiasan. Paduka mengalami derajat dan pangkat bupati, yang mempunyai sifat seorang raja, seorang pati. Paduka pernah sekaligus juga menjabat purohita.
Sebagai pemegang jabatan wadana, camat tetapi juga guru di Keraton, sebagaimana pendekar utama dari Gelang-Gelang, Bapa Ugrawe.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Paduka menjabat jeksa tapi sekaligus juga pengulu, dan juga jaga bela alias singanagara. Yang memegang keadilan, sekaligus ketua agama, tetapi juga sekaligus menjadi pelaksana hukuman, dengan tangan sendiri melaksanakan hukuman mati.
"Apakah Paduka masih menyangsikan bahwa ada yang tak bisa Paduka lakukan?"
Mata Halayudha berkejap-kejap.
Bibirnya mengilat. Darah telah mengering dari bibir dan tubuhnya.
"Apa bedanya derajat dengan pangkat?"
"Dalam hal ini atau hal lain, sama. Derajat atau drajat sama dengan pangkat. Dalam hal ini atau hal lain, bisa berbeda. Pangkat bisa menjulang ke angkasa atau nyungsep ke bumi, akan tetapi derajat bisa sama.
"Manusia memiliki derajat sejak lahir.
"Manusia memakai pangkat sejak lahir.
"Pangkat bisa hilang dan datang, tergantung derajat. Derajat bisa tinggi dan rendah, tak tergantung pangkat."
"Siapa yang mengajarimu?"
"Hamba membaca petunjuk Eyang Puspamurti mengenai mahamanusia."
"Siapa Eyang Puspamurti?"
Sampai di sini, Mada pun mengetahui bahwa jalan pikiran Halayudha tidak sepenuhnya beres. Kalau pertanyaan-pertanyaan sebelumnya menunjukkan seakan Halayudha baru sadar tentang pangkat dan perjalanannya, kini menunjukkan pikirannya tidak waras.
Bagaimana mungkin Halayudha tak mengenali Eyang Puspamurti"
"Kamu ternyata masih cubluk, masih sangat bodoh. Kalau aku bertanya siapa Eyang Puspamurti, bukannya aku tak tahu ia manusia wandu, tidak lelaki tidak perempuan, yang menjadi gurumu. Aku bertanya siapa sesungguhnya dia."
"Hamba tidak mengetahui.
"Rasanya hamba tidak pantas menyebutnya sebagai mahamanusia."
Halayudha menggeleng. Berulang kali. Lalu kembali duduk di kursi kebesaran. Dengan masih menggeleng.
"Tidak. Tidak. Itu pikiran tersesat.
"Itu kekeliruan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Eyang Puspamurti mempelajari kitab yang menceritakan mahamanusia, akan tetapi si tua itu tak mengerti dan tak mencapai.
Tidak juga guruku, Paman Sepuh. Tidak juga Kebo Berune. Mereka ini tidak mempunyai derajat menjadi mahamanusia. Mereka justru orang-orang yang gagal, kalah, dan tertindih oleh gagasannya.
"Tidak. Tidak. "Di seluruh jagat ini, anehnya, hanya ada tiga orang yang mampu menguasai ajaran itu. Sejak ajaran itu belum dilahirkan sekalipun.
Sampai kapan pun. "Mada, otakmu lebih tumpul dari lututku tapi masih lebih segar dibandingkan dengan orang lain di seisi ruangan ini. Ada kejujuran yang dungu, yang bisa membuatmu sebagai bagian dari mahamanusia. Itu kalau kamu mempunyai nasib baik dan aku memberi kesempatan.
"Barangkali memang manusia macam kamu ini yang membuat Jaghana atau Eyang Puspamurti tertarik karena gregetan, karena gemas melihat kedunguanmu betul-betul murni."
Halayudha menyandarkan punggungnya. Napasnya naik-turun perlahan. Pandangannya yang tajam berubah lunak, bersahabat, tetapi juga sekaligus bisa mematikan.
"Kamu telah membuat aku ingin berbicara.
"Tadi kukatakan, barangkali hanya ada tiga orang yang bisa memahami dan menjadi mahamanusia.
"Anehnya, orang yang pertama bukan Mpu Raganata yang menciptakan Kidungan Pamungkas. Juga bukan Sri Baginda Raja Kertanegara yang begitu dihormati dan disembah melebihi Dewa yang menciptakan Kidungan Para Raja.
"Justru ternyata orang itu pertama adalah Eyang Sepuh. Tokoh buruk yang bahkan bayangannya pun tak pernah dilihat orang. Ia sudah musnah entah sejak kapan, akan tetapi masih seakan berada di sini, dan mengalahkan serta menindih nama yang lain. Padahal justru Eyang Sepuh yang menciptakan Kidungan Paminggir yang edan-edanan.
"Kenapa bukan Mpu Raganata"
"Karena beliau yang mulia, yang lembut dan bijak bestari sebagai mahapatih, masih mengalami kematian di ujung senjata. Tragedi yang tak akan terpahami seumur hidup. Seorang mahapatih yang bijak, luhur, berpandangan seluas lautan setinggi gunung, yang mampu mengimbangi Sri Baginda Raja, yang sesungguhnyalah seorang warangka dalem, mahapatih yang paling hebat. Mpu Raganata yang paling setuju dengan tindakan Sri Baginda Raja disingkirkan, digeser pangkatnya. Tapi derajatnya tetap sebagai abdi Keraton. Titik darah dan napas penghabisan diberikan sepenuhnya kepada Keraton. Membela Sri
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Baginda Raja yang menyingkirkan, memberikan kehormatan utamanya sebagai prajurit, sebagai ksatria, dan terutama sebagai orang suci, yang mengamankan ajaran dalam Kidungan Para Raja, yang mengatakan bahwa mahamanusia tak akan mencapai takhta.
"Tapi Mpu Raganata gagal.
"Ia mati. "Dengan tubuh bersimbah darah.
"Mati tak berbeda dengan prajurit atau kuda.
"Eyang Sepuh lebih unggul, lebih hebat, dan edannya juga lebih benar. Ajarannya yang utama ternyata yang benar, seperti yang ada dalam Kidungan Paminggir. Bahwa sesungguhnya orang-orang pinggiran, seperti kamu, yang tak punya pangkat dan keturunan, bisa naik ke jenjang yang paling tinggi.
"Eyang Sepuh dikenal luas sebagai pencipta Kitab Bumi. Padahal itu ciptaan guruku. Eyang Sepuh hanya menambahi bagian Tumbal Bantala Parwa yang delapan jurus itu. Tapi seluruh jagat dengan isinya, mulai dari Dewa, mulai dari Sri Baginda Raja hingga ke tanah seberang mengakui sebagai pencipta.
"Dan hanya Eyang Sepuh yang lenyap secara moksa, lenyap berikut badan wadaknya, tetapi masih selalu terasa kehadirannya.
"Siapa dua orang lagi"
"Yang kedua, sudah kamu jawab sendiri, Mada" Aku. Ingsun. Akulah mahamanusia yang sesungguhnya. Aku tidak moksa, aku ada, dengan duduk di singgasana ini, dengan mahkota tergeletak di ujung kakiku.
Aku, Mada. Aku yang tak punya darah keturunan apa-apa dan bisa berada di atas takhta. Bisa membalik kodrat Dewa Yang Paling Dewa.
"Siapa orang yang ketiga"
"Kamu pasti menduga Upasara Wulung.
"Hmmm. Dengan senang hati aku mengakui.
"Dengan kemampuannya yang berawal dari ilmu yang bernama Banteng Ketaton Terluka, ia masuk ke ajaran Kitab Bumi yang sesungguhnya. Dengan penguasaan yang sempurna, ia menggebrak maju dan menjadikannya seorang, dan satu-satunya, yang bergelar lelananging jagat. Ia memiliki derajat, tetapi tak memiliki pangkat. Ia diangkat menjadi senopati pamungkas oleh Baginda sewaktu mengusir pasukan Tartar, tetapi ia tak pernah menikmati pangkat itu. Ia disodori pangkat dan derajat mahapatih, tetapi ia menolak menggunakan haknya. Penolakan yang berasal dari sumbernya, dari sikapnya sebagai tumbal.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sikap pasrah yang mendalam, yang menyebabkannya menguasai ngelmu yang disebut Ngrogoh Sukma Sejati. Eyang Puspamurti, Dewa Maut mampu mencicipi tapi tak akan seperti Upasara Wulung. Seperti juga semua ksatria bisa melatih, akan tetapi hanya Upasara Wulung yang menguasai secara lebih, secara unggul, yang benar.
"Aku pun mengakui berbeda dengannya dalam mengambil bentuk kesempurnaan mahamanusia, yaitu dengan menduduki takhta.
"Mada, kini kamu mengerti kenapa aku mengatakan ini semua dengan lega. Kami bertiga menjadi mahamanusia dengan muara yang berbeda. Eyang Sepuh moksa, Upasara Wulung hanya sukmanya yang dibuat moksa, sedangkan aku menjadi raja.
"Mada, kamu mengerti kini, bahwa Eyang Sepuh ataupun Upasara tak akan mengganggu gugat aku. Itu sebabnya ketiga pangeran kecil aku biarkan menemuinya.
"Mungkin mereka bertiga sedang kecewa dan tak mengerti.
"Aku bisa tertawa, di sini."
Percakapan Asmara APA yang dikatakan Halayudha sepenuhnya bisa dimengerti. Bukan hanya oleh Mada, melainkan juga Jabung Krewes, dan Raja.
Uraian Halayudha tak terlalu sulit diterima. Bahwa kini, sesungguhnya, tak ada lagi yang mampu menghalangi atau mengubah apa yang telah dilakukan Halayudha.
Semua orang bisa memperhitungkan bahwa lawan utama Halayudha hanya tinggal seorang yang bernama Upasara Wulung. Tapi semua orang tidak menyadari kemungkinan bahwa Upasara Wulung bisa menolak memerangi Halayudha.
Dalam perhitungan Jabung Krewes, ini berarti bahwa Halayudha masih cukup lama, sampai tak bisa diperkirakan, menduduki takhta dan mempermainkan derajat serta pangkat yang tak tertandingi dan terungguli. Kecuali dengan jalan kekerasan atau kelicikan. Tapi Jabung Krewes sendiri menyangsikan, apakah jalan seperti itu masih mungkin, mengingat Halayudha juga menguasai cara-cara seperti itu. Bahkan boleh dikatakan semua strategi dan perhitungan matang berasal darinya!
Satu-satunya harapan hanyalah Halayudha keliru menilai Upasara Wulung.
Itu bukan tidak mungkin mengingat selama ini Upasara Wulung lebih memperlihatkan dirinya sebagai prajurit dan ksatria, yang lebih
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mendekati sifat Mpu Raganata dibandingkan sikap dan sifat Eyang Sepuh, yang memilih menyingkir dari Keraton dan berdiam di Perguruan Awan ataupun moksa!
Betapapun kejam dan nista perlakuan Keraton selama ini kepada Upasara Wulung!
Tetapi ada perasaan samar bahwa apa yang diperhitungkan Halayudha lebih mendekati kebenaran dan kenyataan. Karena nyatanya sampai sekarang Upasara belum kelihatan bayangannya. Dan bukan sikap Upasara untuk berlindung dan mengintai keadaan. Juga kecil kemungkinannya ketiga pangeran muda tak bisa menemukan Upasara.
Itu yang terlintas di benak Jabung Krewes.
Juga Mada. Juga dalam pikiran Raja. Juga Halayudha. Sesungguhnya itulah yang terjadi!
Karena Pangeran Anom dengan sangat cepat segera bisa mengetahui di mana Upasara Wulung berada. Dengan kembali ke medan pertarungan, dan menelusuri bekas-bekas yang tersibak, Pangeran Anom lebih dulu sampai di tempat Upasara Wulung, Gendhuk Tri, Pangeran Hiang, maupun
Nyai Demang. Apalagi keempatnya tidak meninggalkan tempat sejak berada di situ.
Pangeran Anom seakan terbang dari punggung kuda, meninggalkan dua pangeran muda yang lain, begitu melihat bayangan Nyai Demang.
Tanpa ragu sedikit pun, Pangeran Anom bersila di tanah, menghaturkan sembah.
"Nyai Demang, sungguh bahagia sekali bisa menjumpai Nyai.
Izinkanlah saya menghadap Nyai dan Paman Upasara Wulung."
Nyai Demang yang masih berdebat dengan batinnya mengenai lamaran Pangeran Hiang, mencoba tersenyum. Sedikit atau banyak, Nyai Demang mengetahui siapa sesungguhnya pangeran yang menaruh hati kepada Gendhuk Tri.
Dalam keadaan biasa, Nyai Demang akan merasa heran kenapa Pangeran Anom merasa perlu bersila dan menyembah, akan tetapi sekarang ini karena pikirannya sedang kacau, sikap penghormatan itu tak terlalu dihiraukan.
"Kenapa Pangeran tidak menjumpai langsung?"
Pangeran Anom berdeham keras.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sejak tadi ia bukannya tidak melihat Upasara Wulung yang berada di tempat yang tak begitu jauh. Hanya saja hatinya merasa kurang enak, karena Upasara Wulung sedang berduaan dengan Gendhuk Tri.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kurang enak sekali. Pertama, karena merasa mengganggu mereka yang tengah berduaan.
Kedua, dan ini yang sangat menggelisahkan, karena orang yang diganggu itu adalah Gendhuk Tri. Wanita yang berhasil membetot sukmanya, yang membuat daya asmara menggila bagai gelombang tinggi, tetapi sekaligus mengempas-kandaskan!
Bagi Pangeran Anom, Gendhuk Tri selalu menyisakan percakapan asmara
yang tak ada selesainya! Sejak pertama mengenai rasa asmara!
Adalah Gendhuk Tri pula yang menyebabkan Pangeran Anom meloncat dari perahu yang membawa kedua orangtuanya. Kembali ke tanah Jawa. Dengan segala risiko dan kehormatan yang dipertaruhkan.
Untuk bisa bersama-sama mendampingi Gendhuk Tri. Meskipun kemudian Pangeran Anom sadar bahwa Gendhuk Tri menganggapnya tak lebih dari pangeran muda yang baik hati. Menganggapnya tak lebih dari adik.
Daya asmaranya tidak melemah karena penolakan halus itu. Juga tidak kala mengetahui bahwa Gendhuk Tri telah menentukan pilihan untuk mendampingi Maha Singanada.
Daya asmara itu kandas dan cures habis ketika menyadari ada nama Upasara Wulung. Ada nama ksatria gagah yang sangat dihormati lahir-batin dalam hati wanita pujaannya.
Seperti yang dilihatnya sekarang ini.
Nyai Demang bukannya tidak menangkap gelagat yang ruwet dalam benak Pangeran Anom. Di satu pihak Pangeran Anom sangat menghormat dan kagum kepada Upasara Wulung, di lain pihak juga tak bisa sepenuhnya rela menerima keunggulan asmara Upasara Wulung.
Nyai Demang mengetahui sampai titik dan koma perasaan Pangeran Anom. Tapi ia sendiri sedang tidak bisa segera mengambil sikap karena sedang gamang, seakan tak bisa berdiri tegak. Lamaran Pangeran Hiang sesuatu yang sama sekali tak disangka, sama sekali tak diperhitungkan, tetapi juga sesuatu yang membuatnya bahagia.
Bahagia yang menggeletarkan.
Bahagia karena dirinya, sebagai wanita, masih ada yang menginginkan dengan tulus. Dan yang menginginkan itu adalah pangeran Tartar yang sekaligus juga putra mahkota.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Menggeletarkan karena Nyai Demang tak menyangka masih harus mengalami kejadian seperti ini. Pada saat usianya sudah melewati senja.
Yang dilakukan Nyai Demang hanya termangu.
Seperti juga Pangeran Anom yang menunggu.
Sehingga Pangeran Anom serta Pangeran Muda Wengker saling lirik dengan ragu.
Pangeran Anom menghela napas berat. Apa pun beban yang menghambat dan memberati, tekadnya dibulat-bulatkan. Menemui Upasara Wulung, demi keselamatan Keraton dan Raja.
Benarkah demi Keraton dan Raja"
Ataukah demi Gendhuk Tri"
Itulah jangkar yang menghambat kaki Pangeran Anom bergerak.
Karena yang terakhir ini tergema keras dalam hatinya.
Sekali lagi dengan menggertakkan kemauan keras, dengan menahan napas, Pangeran Anom menyembah, lalu bangkit perlahan.
Menuju ke dekat Upasara Wulung.
Yang saat itu masih berdiri termangu, dengan tangan terkepal keras.
Seolah tak mau melepaskan sisa selendang Gendhuk Tri yang tergenggam dan lepas ditarik pemiliknya.
Pangeran Anom serasa berjalan di awan. Menindak ke kiri, ke kanan, langkahnya tidak lurus. Hanya karena Gendhuk Tri memandang ke arahnya,
Pangeran Anom bisa menelan ludahnya yang seakan menyumbat tenggorokannya.
Tangannya sepenuhnya basah oleh keringat.
"Maaf, Adik Tri...."
Sebaliknya, Gendhuk Tri bersikap sangat wajar. Senyuman yang tersungging tetap lembut seperti biasanya.
"Silakan, silakan...."
"Saya sengaja datang kemari untuk menemui Paman Upasara Wulung. Untuk meminta pertolongan.
"Sekaligus menemui Adik Tri, untuk mohon pamit, karena saya akan mengikuti Rama ke tanah seberang."
Kalimat Pangeran Anom tak keruan ujung-pangkalnya.
Tetapi Gendhuk Tri bersikap tetap wajar.
"Sampaikan hormat saya kepada Senopati Agung Brahma, dan mohon maaf atas segala kelancangan saya selama ini...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya... saya... akan saya sampaikan."
"Kenapa Pangeran ingin menemui Kakang Upasara?"
"Keraton... Raja, sedang berada dalam bahaya. Halayudha, Mahapatih Halayudha menguasai takhta dan menawan Raja...."
Nyai Demang memiringkan wajahnya.
Pangeran Hiang menyipitkan matanya, kepalanya miring.
Perbendaharaan kalimatnya cukup untuk menangkap maksud Pangeran Anom. Akan tetapi isinya sulit dipercaya, sehingga Pangeran Hiang merasa seakan salah dengar. Mencoba mendengarkan lebih jelas.
Bahkan setelah melirik, meminta pertolongan Nyai Demang untuk menjelaskan.
Upasara tetap tak bergerak.
Hanya suaranya yang terdengar, bagai angin menyapu ombak.
"Apa yang ditempuh Halayudha telah sampai pada tujuannya.
Halayudha sudah mencapai apa yang seharusnya dicapai, apa yang ingin dicapai."
Pangeran Anom maju setindak.
Bersila di tanah. Sehingga Gendhuk Tri merasa kurang enak. Ikut bersila.
Menunggu. Upasara Wulung malah merangkapkan kedua tangannya di dada. Tak bergerak tak berpaling.
Kalah Asmara PANGERAN ANOM masih menunggu. Seperti yang lainnya. Cukup lama. Yang terngiang hanyalah kalimat Upasara yang seakan diucapkan kembali.
"Apa yang ditempuh Halayudha telah sampai pada tujuannya.
Halayudha sudah mencapai apa yang seharusnya dicapai. Apa yang ingin dicapai."
Apakah ini jawaban" Apa arti sesungguhnya" Bahwa Halayudha telah mencapai keinginannya untuk merebut takhta, dan itu merupakan hal yang seharusnya terjadi" Apakah dengan demikian Upasara Wulung rela takhta dikenakan Halayudha"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau itu jawaban Upasara, sia-sialah selama ini ia mengagumi. Hati Pangeran Anom menjadi sangat kecewa, bahkan seperti terluka dalam.
Setelah menahan perasaannya beberapa saat, Pangeran Anom memadatkan udara dalam dadanya.
"Baiklah, kalau itu jalan yang Paman Upasara tempuh. Saya telah datang bersimpuh, memohon. Saya kecewa atas sikap Paman Upasara lahir-batin, luar-dalam.
"Tetapi saya tidak menyalahkan siapa-siapa."
Pangeran Anom menyembah. Lalu berdiri. "Adik Tri, sekali lagi saya mohon pamit.
"Sangat cerewet kedengarannya, akan tetapi saya ingin mengatakan sesuatu. Yang harus saya katakan, kalau saya tak ingin menyesal di belakang hari.
"Selama ini saya mengharapkan Adik Tri. Selama ini saya hanya akan mundur kalau ternyata pilihan Adik Tri adalah ksatria yang bernama Upasara Wulung. Akan tetapi hari ini saya mengatakan pilihan Adik Tri keliru.
"Saya mengatakan semua ini, sebab inilah akhir pertemuan kita. Saya akan kembali ke Keraton, menyelesaikan urusan. Mati atau hidup tak ada bedanya. Setelah itu, mayat atau hidup saya akan berada jauh dari tanah Jawa.
"Adik Tri, ini suara lelaki yang kalah. Kalah segalanya. Kalah kelelakian dan kalah asmara. Tetapi ini sesungguhnya suara yang murni. Karena sejak kecil, sejak lahir pertama ke jagat ini karena kekalahan asmara.
"Saya terbiasa dengan hidup seperti itu.
"Maaf, Adik Tri...."
Pangeran Anom mengangguk sekali lagi, dan segera berlalu. Diikuti kedua pangeran yang lain. Walau hatinya galau dan langkahnya kacau, tetapi tujuannya tetap. Kembali ke Keraton.
Pada saat itulah Gendhuk Tri meneteskan air matanya.
Desakan kebuntuan dan ketidakjelasan selama ini hanya bisa terwujud dalam tetesan satu air mata. Pergolakan batin selama ini tetap menggeliat dalam batinnya, mengendap dan bergolak.
Berulang kembali dengan pertanyaan sederhana. Hatinya begitu memuja Upasara Wulung, begitu lekat dan begitu berharap, akan tetapi di saat Upasara meminangnya, Gendhuk Tri justru menjawab dengan gelengan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Setetes air mata. Air. Air yang menjadi kekuatan utama Eyang Putri Pulangsih ketika menuliskan Kitab Air. Eyang Putri Pulangsih yang menurut cerita begitu mengasihi Eyang Sepuh, yang mengorbankan segalanya bagi Eyang Sepuh, akan tetapi pada titik terakhir justru Eyang Sepuh mengemohi.
Menolak. Air. Tetesan air mata inikah pertanda berlakunya hukum karma" Di mana dulu Eyang Sepuh menolak Eyang Putri Pulangsih. Dan kini, murid-murid kesayangannya membalikkan sejarah"
Tak ada alasan bagi Gendhuk Tri untuk menolak.
Ia tak mempunyai beban apa pun untuk mewujudkan impiannya bersama dengan Kakang Upasara yang dikagumi sejak kecil. Yang dijadikan pedoman dalam hidupnya. Tak ada beban yang mengganjal lagi. Baik karena Maha Singanada telah beristirahat dengan tenang, ataupun beban kecemburuan.
Bagi wanita mana pun, Upasara Wulung adalah pilihan utama.
Sesungguhnya Upasara adalah lelananging jagat dalam pilihan. Bukan hanya sebagai ksatria tanpa tanding dalam persilatan, tetapi juga keunggulan dalam daya asmara.
Upasara memiliki, menyimpan, memancarkan daya asmara yang membuat impian menjadi berwarna indah, melambungkan daya cipta ke langit tingkat
tujuh. Gendhuk Tri tidak mengingkari semuanya itu. Sedikit pun tidak.
Bahkan itu semua telah dibuktikan Upasara Wulung, sejak keluar dari Ksatria Pingitan. Daya asmara pertama yang menyambarnya adalah pertemuan dengan daya asmara Gayatri, putri sekar kedaton, bunga Keraton Singasari. Putri yang menggetarkan dada setiap pangeran muda, yang memesona, yang juga dipilih oleh Raden Sanggrama Wijaya yang kemudian naik takhta.
Dalam soal daya asmara, Upasara Wulung telah memenangkan pertarungan dan persaingan batin. Adalah Upasara yang menolak, memilih jalan lain. Adalah Upasara yang unggul, karena dalam kisah cerita semacam ini, sangat tidak mungkin Upasara bisa berhubungan dengan putri raja, andai tidak ada sambutan darinya.
Boleh dikatakan Upasara-lah yang dipinang, yang didekati, yang didatangi. Seperti juga dengan Ratu Ayu Bawah Langit, Azeri Baijani.
Ratu Ayu dari tlatah Turkana yang bisa menggoyangkan perhatian Raja
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jayanegara hingga mengikuti sayembara secara langsung, adalah Ratu Ayu yang menyembah di kaki Upasara Wulung. Yang memberikan kehormatan, jiwa-raga, kepada Upasara Wulung.
Sampai kejap terakhir, Upasara belum pernah kalah. Baik dalam medan laga ataupun dalam pertarungan asmara. Dua wanita yang paling didambakan, menyerah dan pasrah kepada Upasara.
Akan tetapi, justru ketika Upasara mengutarakan rasa hatinya, Gendhuk Tri memalingkan wajah.
Gendhuk Tri bertanya-tanya dalam hati, kenapa penolakan itu ada dalam hatinya" Bukankah hati kecilnya, keinginannya yang besar, menghendaki"
"Apa yang kamu kehendaki, Gendhuk Tri" Apa yang kamu takutkan?"
Suara lirih berbisik di tepi daun telinganya, di tepi pinggiran hatinya.
Suara Eyang Putri Pulangsih"
Suara hatinya sendiri"
"Kenapa, Gendhuk Tri?"
Suara Upasara Wulung yang ngrogoh sukma"
"Apa yang kamu takutkan?"
"Tak ada." "Kenapa" Kecemburuan pada masa lampau?"
"Bukan." "Ketakutan pada masa lampaumu?"
"Bukan." "Lalu apakah tidak ada jawaban"'
"Ada. "Apakah ada bedanya menerima Kakang Upasara Wulung sebagai suami" Apakah ada artinya menerima Kakang Upasara Wulung dan membuat diriku sebagai istri" Apakah ada arti dan bedanya dengan sekarang ini?"
"Apakah tidak ada bedanya?"
"Aku tidak melihat perbedaan itu."
"Apakah perbedaan itu harus ada?"
"Tak tahu." "Apakah perbedaan itu harus memberi arti?"
"Entahlah." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Gendhuk Tri, sembahlah, menunduklah. Kamu pasti mengenaliku.
Pasti tahu karena aku berada dalam dirimu."
"Eyang Sepuh..."
"Bejujag." "Eyang Sepuh..."
Gendhuk Tri mendengar helaan napas yang berat.
Seperti ada angin membeku, terjatuh dan menindih angin lain. Samar sekali tergetarkan bahwa bisikan di tepi daun telinga dan di pinggir hatinya lenyap kembali.
Benarkah yang berbisik tadi Eyang Sepuh"
Lalu apa maunya" Kalau benar Eyang Sepuh yang mulia, yang paling terhormat, apakah Eyang Sepuh yang mampu moksa perlu turun kembali ke bumi untuk menanyakan hal yang berkaitan dengan daya asmara" Kalau benar, apa hubungannya"
Gendhuk Tri menjawab dengan jalan pikirannya sendiri. Eyang Sepuh yang telah mencapai tingkat kasampurnan, tidak sepenuhnya sempurna jiwa-raga seperti yang diduga. Masih ada ganjalan untuk kembali ke bumi, walau hanya lewat bisikan. Walau hanya lewat sentuhan hati.
Eyang Sepuh membumi, bukan karena soal Upasara Wulung, bukan soal dirinya. Eyang Sepuh tumurun, turun kembali, karena masih ada ganjalan penyesalan dengan Eyang Putri Pulangsih! Eyang Sepuh, barangkali saja, mencoba rumasuk ke dalam dirinya, untuk mengetahui apakah penolakannya ini dikarenakan dirinya ketitisan Eyang Putri Pulangsih.
Gendhuk Tri merasa ini satu-satunya yang bisa dijelaskan pada dirinya sendiri. Karena itulah Eyang Sepuh menghela napas berat ketika dirinya menjawab dengan sebutan Eyang Sepuh, dan bukan Bejujag atau sebutan lain yang biasa digunakan Eyang Putri Pulangsih.
Rasa-rasanya inilah penjelasan yang masuk akal dan bisa diterima rasa yang dimiliki. Sebab Gendhuk Tri yakin sekali tak ada yang membisiki dirinya, tapi telinganya bisa mendengar jelas, hatinya menerima bisikan dengan jernih.
Semuanya terjadi dalam kesadaran yang penuh.
Bukan dalam mimpi. Bukan dalam lamunan.
Karena dirinya sempat berpikir, bertanya-tanya siapa yang berbisik padanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Menang Asmara KALAU benar begitu, inilah kehebatan lain yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Bahwa sesuatu yang tadinya sayup-sayup didengar sebagai dongengan, ternyata masih ada bekasnya. Ternyata penolakan asmara yang dilakukan Eyang Sepuh lebih dari lima puluh tahun yang lalu masih tergema hingga sekarang ini.
Ternyata Eyang Sepuh masih risau, gelisah, karena apa yang dilakukan sekian puluh tahun lalu!
Betapa dahsyat. Betapa menyayat. Betapa tipis batas antara kemenangan dan kekalahan dalam soal asmara. Puluhan, atau ratusan tahun tak bisa menghapus guratan yang tak terlihat. Bahkan kematian juga tak mengurangi daya asmara.
Eyang Kebo Berune yang telah berubah diri menjadi mayat hidup pun masih tergetar sukmanya ketika diberitahu bahwa yang dipegang adalah tengkorak Eyang Putri Pulangsih.
Betapa nyata. Betapa tak bisa diterima.
Oleh nalar, oleh akal, oleh rasa.
Gendhuk Tri bisa mengerti kalau dirinya dianggap titisan Eyang Putri Pulangsih. Secara tidak sadar dirinya mempelajari ajaran yang ada dalam Kitab Air. Tanpa diketahui, karena gurunya, Jagaddhita, tak pernah mengatakan suatu apa tentang hal ini. Bukan hal yang tidak mungkin Bibi Guru Jagaddhita juga tak pernah mengetahui semasa hidupnya, karena Mpu Raganata tak memberitahu. Hal yang sama anehnya, karena Mpu Raganata memilih ajaran dari Kitab Air untuk diturunkan. Bukan yang berasal dari Kitab Bumi, bukan kidungan dari ciptaannya sendiri. Apakah ini juga bisa diterjemahkan karena Mpu Raganata juga memiliki dan menyimpan daya asmara bagi Eyang Putri Pulangsih seperti dongeng yang ada"
Sangat mungkin sekali. Karena pada tingkatan Mpu Raganata, bisa memilih mengajarkan ajaran yang mana saja. Bisa memilih kidungan yang mana saja untuk diturunkan. Dan ternyata ajaran dari Kitab Air!
Barangkali inilah nasib. Guratan tangan yang membawa pada perjalanan hidupnya, yang terbawa tanpa diminta.
Dirinya menjadi pewaris utama ajaran Kitab Air, dan menjadi penerus kandungan batin Eyang Putri Pulangsih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nasib yang sama pula dijalankan oleh Upasara Wulung. Yang berangkat dari ilmu Keraton, yang kemudian menemukan penjelmaan kekuatan utama ketika ajaran Kitab Bumi merasuk. Dan serentak menyeruak ke permukaan dunia persilatan ketika Upasara mampu menyelami bagian Tumbal Bumi. Upasara muncul sebagai ksatria gagah perkasa yang mampu malang-melintang, yang mampu mengungguli mereka yang juga mempelajari kitab yang sama. Lebih dari yang lainnya, Upasara berhasil menyatu dengan sikap pasrah, sikap manumbal, menjadi tumbal, memilih bentuk pengorbanan.
Sesuatu yang bibitnya terungkap ketika menghadapi Tiga Naga dari Tartar, ketika menyambung nyawa habis-habisan di benteng Keraton.
Hanya dengan sikap menyediakan diri sebagai korban, Upasara bisa memukul balik lawan-lawannya yang justru saat itu telah unggul.
Akan tetapi keunggulan yang utama ialah ketika Upasara menerima itu sebagai kesadaran, sebagai sikap yang utuh, dan karena kebetulan terdesak. Dengan penyerahan diri secara total dan sekaligus ikhlas, Upasara Wulung berubah menjadi ksatria tanpa tanding, ksatria yang bergelar lelananging jagat. Satu-satunya gelar tertinggi dalam dunia persilatan.
Gendhuk Tri bisa men-candra, bisa mengamati dengan jelas apa yang terjadi pada Upasara Wulung, karena hal yang sama bisa dilihat untuk dirinya sendiri.
Itu terasakan ketika terjadi pertarungan yang menentukan. Ketika Gemuka yang perkasa dan seolah tak bisa mati serta dikalahkan, Gendhuk Tri bisa menghadapi dengan ketenangan yang sempurna. Bisa mengalahkan Gemuka tanpa menggerakkan satu jurus pun!
Itu yang kini dirasakan Gendhuk Tri sebagai akibat langsung dari penyelaman ikhlas pada ajaran Kitab Air.
Upasara Wulung terdengar menghela napas.
Seolah itulah helaan napas berat yang tadi dilakukan oleh Eyang Sepuh.
Ketika Gendhuk Tri menatap, sekujur tubuh Upasara Wulung basah oleh keringat. Keringat yang benar-benar mengucur dari leher dan dadanya.
"Maafkan Kakang, Adik Tri...."
"Saya juga minta maaf, Kakang...."
"Saya terlalu keras kepala untuk menerima kekalahan. Seharusnya sejak semula saya sadar bahwa Adik Tri tidak mau menerima Kakang...."
"Kakang..." "Sejak di pinggiran hutan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sejak saya seharusnya sudah tak perlu melanjutkan perjalanan hidup."
Gendhuk Tri mengelap jidatnya yang berkeringat. Juga lehernya yang basah. Dadanya yang merembeskan air keringat hingga berbekas.
Rahasia Peti Wasiat 12 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 8
^