Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 9

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 9


"Apa yang terjadi di dalam?"
Nyai Demang memandang dengan sorot mata kosong.
"Semuanya benar...."
Gendhuk Tri berdeham keras.
"Jadi Gayatri yang memerintahkan?"
Nyai Demang mengangguk. "Apa maunya wanita tua tak berbudi itu?"
Suara Gendhuk Tri sangat keras.
Dengan gagah ia bersiap melangkah ke dalam.
Akan tetapi pada saat yang bersamaan, dari dalam muncul rombongan yang mendapat pengawalan ketat. Gendhuk Tri bersiap-siap.
Rombongan Baginda yang agaknya terburu-buru meninggalkan tempat. Seluruh prajurit disiagakan seketika, dan tanpa menunggu persiapan sempurna segera meninggalkan tempat.
Hanya satu yang menahan langkah Gendhuk Tri. Pemunculan Ratu Ayu yang melangkah gontai ke dekatnya.
"Ratu biarkan mereka pergi begitu saja?"
"Baginda pergi bersama ketiga permaisurinya. Rajapatni ditinggal di dalam."
"Apa maunya Baginda"
"Hanya satu kalimat: Selama Rajapatni masih memikirkan Upasara, selama itu tak berhak meladeni Baginda."
"Apa yang akan Ratu lakukan?"
"Kita semua bisa menjatuhkan hukuman apa saja. Rajapatni siap menerimanya. Ia sedang menunggu di dalam."
Gendhuk Tri ragu. Apa yang akan dilakukan" Hukuman apa yang akan dijatuhkan"
Setelah membakar dan menghanguskan kemarahan, keinginan murka meranggas dengan sendirinya. Tadinya ia berharap Permaisuri Gayatri akan menolak, dan Baginda serta para senopati akan melindungi.
Dengan demikian akan terjadi pertarungan untuk melampiaskan dendam.
Tapi keadaannya sekarang lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Rajapatni mengakui, dan menerima hukuman.
Terbersit rasa iba dalam hati Gendhuk Tri. Alangkah buruk nasib Rajapatni. Putri sekar kedaton Keraton Singasari ini menyimpan daya asmara terhadap Upasara. Lebih hebat lagi, sesungguhnyalah Upasara juga menyimpan daya asmara yang sama. Akan tetapi perjalanan asmara tak bisa sempurna, karena Rajapatni ditakdirkan melahirkan keturunan dari Baginda, yang kelak akan memimpin kebesaran Keraton!
Sejak saat itu daya asmara menjadi bungkam dan tersumbat.
Namun justru berkobar, membakar hati dan perasaan. Baik Upasara Wulung maupun Rajapatni. Dua-duanya seperti hidup dalam alam impian.
Upasara bahkan memutuskan tidak mau menemui, memutuskan untuk surut dari gelanggang. Semua ini pasti memberati rasa batin Rajapatni yang masih merasakan getar dan gema hati Upasara.
Kemudian terjadi pertemuan yang masih misteri bagi Gendhuk Tri.
Upasara dalam keadaan luka parah. Dan Rajapatni mengambil keputusan hukuman.
Untuk memotong tubuh Upasara.
Karena ingin memperlihatkan rasa bekti dan setia kepada Baginda"
Kalau benar begitu, kenapa sekarang menyesali dan siap menerima hukuman"
Sesungguhnya rasa iba Gendhuk Tri karena menyadari bahwa Permaisuri Rajapatni sekarang ini sudah menjalani hukuman yang paling berat. Hukuman dikebonake, hukuman ditinggalkan, hukuman dibuang!
Hukuman yang paling hina bagi seorang istri. Bagi seorang permaisuri!
Sementara yang sekarang merayapi batin Rajapatni adalah perasan berdosa yang besar. Telah melakukan sesuatu yang sangat tidak pantas.
Ataukah ketika itu Rajapatni berada dalam pengaruh Manmathaba"
Pertanyaan dan jawaban silih berganti memenuhi isi kepala Gendhuk Tri. Ratu Ayu masih tetap memandangi, menunggu.
"Mari kita ke dalam...."
"Ratu..." "Ya...." "Apa yang akan Ratu lakukan?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sambil masih memanggul Nyai Demang, Gendhuk Tri melangkah perlahan di samping Ratu Ayu. Para prajurit yang menjaga menyibak dengan hormat.
"Menunggu sampai pencandian Raja Turkana...."
"Maksud saya, hukuman apa yang akan dijatuhkan untuk Rajapatni?"
"Aku kasihan padanya. Tetapi karena ia memotong tubuh Raja Turkana ia akan mengalami nasib yang sama. Tubuhnya akan dipotong, dijadikan tumbal bagi Candi Senopaten Pamungkas."
"Ratu akan melakukan sendiri?"
"Ya. "Gendhuk Tri, aku tahu bagaimana perasaanmu. Sebagai sesama wanita, kita dipersatukan karena Raja Turkana. Demikian juga Rajapatni. Akan tetapi tetap harus bisa dipisahkan mana yang berhubungan dengan keadilan.
"Sekarang ini kita berjalan bersama. Akan tetapi kalau suatu hari kelak aku mengetahui kamu berbuat jahat kepada Raja Turkana, aku akan membalas sakit hati dan dendam ini."
"Saya bisa mengerti, Ratu...."
"Gendhuk Tri, bukankah kamu juga akan melakukan hal yang sama?"
"Bisa jadi. "Saya agak berbeda hubungannya dengan Kakang Upasara. Demikian juga Nyai Demang. Yang paling berkepentingan adalah Ratu. Karena Ratu secara resmi adalah istri Kakang...."
Wajah Ratu Ayu berubah. Ada kilasan warna tertentu yang meronai pipinya.
"Itulah yang paling membahagiakan dalam hidupku yang singkat ini.
Sangat indah seperti di kayangan, tempat para dewa dan dewi....
"Walau kami tak pernah bersentuhan, tak pernah berpegangan tangan sekali pun. Ini semua tak mengurangi kebahagiaan yang ada, yang telah kuhirup sampai ke tulang sumsum...."
Keduanya melewati bagian utama di ruang tengah.
"Bagaimana kabar Singanada?"
"Sampai sekarang saya belum tahu."
"Pangeran Anom?"
Gendhuk Tri membuat gerakan menggeleng kecil.
"Apakah Nyai Demang telah menceritakan semuanya?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sesama wanita selalu mempunyai waktu untuk saling bercerita.
Seperti ketika kalian sedang berdua, aku akan menjadi bahan cerita.
"Kamu sudah pantas bersuami, Gendhuk...."
"Saya tak ingin membicarakan itu."
"Maaf." Keduanya terdiam. Nyai Demang mengerang kecil sebelum minta diturunkan. Saat itu muncul seorang lelaki yang gemuk, yang berkeringat luar biasa dari dalam ruangan.
Sodagar Galgendu berhenti, menyambut dengan hormat.
"Duh Ratu dan para ksatria sejati, silakan beristirahat.... Saya akan menyelesaikan persiapan pelaksanaan pembuatan candi. Kebetulan sekarang ini ada utusan dari Keraton, utusan khusus Raja Jayanegara...."
"Apa lagi" Minta upeti lebih besar?"
Galgendu tersenyum tipis.
Tubuhnya yang gemuk berusaha membungkuk lebih dalam.
"Tidak. Menurut yang disampaikan kepada saya, utusan khusus Raja datang untuk memberikan gelar Wong Agung Galgendu. Saya tak bisa tidak menyambutnya.
"Ratu dan para pendekar sejati, saya akan merasa sangat bahagia, bila kalian semua masih berkenan tinggal satu-dua malam sampai upacara peresmian candi...."
"Di mana Permaisuri Rajapatni?"
"Di dalam kamar, sedang menenteramkan diri, mandi keramas dan membersihkan tubuh, sehingga siap sewaktu-waktu menerima hukuman."
Wayang, Warisan Sukma Di luar terjadi upacara yang megah. Utusan dari Keraton diterima dengan segala kebesaran dan perjamuan yang sangat istimewa. Utusan Raja menyampaikan lempengan emas yang bertuliskan bahwa karena jasa-jasanya kepada Keraton, Galgendu berhak memakai gelar Wong Agung, sehingga sejak sekarang bisa memakai nama Wong Agung Galgendu, dan bukan lagi Sodagar Galgendu.
"Maha terima kasih atas kemurahan hati Raja."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semoga Wong Agung Galgendu bisa menjalani hidup lebih baik atas perkenan Raja...."
"Sembah kagem Sinuwun..."
Bersamaan dengan penyerahan, gendang ditabuh bertalu-talu.
Suaranya menggema ke seluruh bagian, merambah seluruh Desa Kedung Dawa.
Menjelang larut, suasana makin meriah.
Pesta merayakan pemberian gelar disusul dengan dimulainya pembangunan Candi Senopaten Pamungkas.
Malam itu Gendhuk Tri meninggalkan kamarnya, menuju ke arah lapangan, di mana kegembiraan berlangsung. Untuk pertama kalinya, hatinya merasa sunyi.
Di tengah segala kegalauan, perasaannya kosong. Apa lagi yang akan dilakukan kini" Rasanya tak ada pegangan.
Singanada tak jelas di mana berada. Tak jelas nanti bagaimana meneruskan hidup bersamanya. Pangeran Anom tak jelas di mana. Juga tak tahu, apa yang terjadi nanti. Upasara sudah tak ada. Betapapun menyakitkan dan sulit diterima, akan tetapi itulah kenyataannya.
Di masa-masa terakhir, Gendhuk Tri tidak bersama dengan Upasara.
Akan tetapi sekarang ini terasa betul kehilangan. Makin terasakan betapa tak mungkin lagi bertemu dengan Kakang, sampai ia menyusul ke alam yang berbeda.
Begitu gampangkah kematian"
Apakah sebenarnya kematian itu"
"Kematian itu tak ada kalau kita percaya hidup yang diberkati Dewa.
Kematian tak berbeda dengan orang tidur. Tak perlu dirisaukan."
Gendhuk Tri baru menyadari bahwa suara itu berasal dari Ki Dalang yang sedang memainkan wayang kulit.
"Tetapi kenapa orang yang saya sayangi yang meninggal, dan bukan orang lain" Bukan saya?"
"Hoho kamu merasa owel, merasa sayang karena mempunyai pengharapan besar karena kamu mementingkan dirimu sendiri. Itu cara berpikir yang angkuh, deksiya, mau menang dan enaknya sendiri...."
Gendhuk Tri tak bisa mendesak maju karena lautan manusia memenuhi lapangan. Hanya dari kejauhan, Gendhuk Tri bisa melihat jelas wayang kulit yang sedang dimainkan. Percakapan antara dua tokoh yang rasanya sangat dikenal.
Gendhuk Tri merasa ganjil karena apa yang dikatakan Ki Dalang Memeling seperti secara langsung ditujukan ke arahnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Relakan kematian, jangan ditangisi. Apalagi yang kamu tangisi adalah ksatria luhur, pembela Keraton yang tidak meminta pamrih.
Banyak contoh ksatria agung yang tak meminta apa-apa semasa hidupnya. Baik Raden Gatutkaca maupun Upasara Wulung yang luhur...."
Terdengar tepuk tangan yang keras, bersamaan.
Gendhuk Tri mengangkat alisnya.
Sudah lama ia mendengar bahwa Dalang Memeling dalang wayang kulit yang sangat terkenal, baik dalam memainkan wayang maupun dalam mengatur kalimat-kalimatnya. Itu pula sebabnya, semasa Baginda berkuasa tak mendapat restu.
Kali ini disaksikannya sendiri, bagaimana Ki Dalang memasukkan nama Upasara dalam lakonnya.
"Siapa itu Upasara, rasanya saya tak mengenal. Tak ada dalam pakem, tak ada dalam buku pewayangan...."
"Hoho, kamu tak mengetahui. Wayang itu bukan hanya Ramayana dan Mahabharata saja. Itu kan yang dibawa-bawa orang hitam dari tlatah Hindia. Kita telah mempunyai tokoh, telah mempunyai cerita sendiri, yang dianggit, dikarang para empu dan pujangga negeri ini, negeri Jawa yang menjadi pusat alam semesta."
"Mana mungkin?"
"Kenapa tidak" Dalam bahasa wayang kulit ini, semua perlengkapan, semua nama tabuhan, nama gamelan, tidak ada yang berasal dari bahasa Hindia.
"Semua milik kita sendiri."
"Benarkah wayang kulit milik kita?"
"Sejak zaman Raja Airlangga, sudah begitu. Di zaman Sri Baginda Raja Kertanegara yang menjadi pamor segala pamor, cahaya dari semua cahaya, hal itu sudah jelas.
"Kalau tadi saya katakan Upasara Wulung itu ksatria, siapa yang mendidik" Zaman apa yang melahirkan pahlawan perkasa seperti Upasara Wulung kang kinurmatan, yang terhormat itu"
"Apa zaman sekarang ini"
"Zaman di mana gua emas menjadi sumber kekuatan" Zaman di mana raja bisa begitu saja memberi gelar terhormat" Kok murah amat.
"Hoho, ketahuilah, bahwa gelar itu hanya sandang. Seperti kain yang tersampir di pundak. Yang menentukan adalah pundak siapa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa artinya gelar Wong Agung" Kenapa masih ragu dengan menyebut wong yang artinya manusia biasa-biasa, rakyat biasa, kalau memang mau memakai kata agung, di belakangnya"
"Ini bisa berarti pemberian gelar itu tidak rela, atau pujangga di Keraton sudah tak mengerti tata krama berbahasa...."
Suasana menjadi sunyi. Penonton berpandangan dengan wajah waswas.
Gendhuk Tri yang mulai mengikuti pembicaraan tokoh wayang juga merasa bahwa apa yang dikatakan Ki Dalang bukan hanya melenceng jauh tetapi mulai menyinggung Keraton.
"Ketahuilah, bahwa wayang yang sekarang ini diadakan untuk melengkapi pencandian ksatria titisan Dewa, Upasara Wulung. Tapi titisan Dewa atau lebih dari itu, mana pernah ada kuburan bagi senopati"
"Seumur-umur saya belum pernah tahu.
"Makam pepujan untuk raja dan keluarganya. Tapi kenapa sekarang ini Upasara Wulung mendapat kehormatan yang sangat besar" Karena jasa-jasanya yang tak tertandingi, bahkan oleh semua senopati yang ada dikumpulkan menjadi satu!
"Upasara Wulung yang terhormat, sangat pantas menerima kehormatan ini.
"Lebih pantas lagi saat masih hidup."
Ketokan di kotak wayang yang menggeretak, menjadikan suasana menjadi panas. Seolah menggaris bawahi apa yang diucapkan.
"Saya tanya padamu, apa yang kamu berikan kepada Upasara Wulung" Apa"
"Apa gelar agung"
"Tidak. "Apa wanita yang dikehendaki"
"Tidak. "Apa rumah, apa tanah, apa sawah, apa berkah"
"Tidak. "Apa harta, apa pusaka, apa banda"
"Tidak. "Tak ada. Tak ada. Kalau sekarang ini begitu dihormati, disanjung tinggi, tak ada gunanya lagi. Sukma Upasara Wulung tidak perlu yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
serba kebendaan. Sukma Upasara Wulung memerlukan doa, memerlukan ketulusan hati.
"Itulah wejanganku. "Demikian juga wayang ini. Ini sukma budaya yang tak terhingga.
Sukma batin para empu, para pujangga yang linuwih, yang memiliki pancaindria lebih. Yang wajib kita tengkarkan, kita kembangkan terus.
Bukan malah takut-takut. "Memangnya para prajurit Keraton itu yang lebih berhak atas sukma budaya" Memangnya kekeliruan dan keterlambatan menghormati Upasara Wulung diselesaikan dengan cara begini?"
Suasana bertambah panas. Beberapa prajurit mulai bergerak maju.
"Saya ini dalang. Kerjanya juga mendalang. Bisa ngomong yang enak dan baik. Bayaran saya sama. Tapi kalau saya hanya bisa menjilat yang di atas dan menyumbat yang di bawah, apa bedanya Ki Dalang dengan kodok"
"Kalau saya mau ditangkap, silakan.
"Saya mau lihat apakah mereka berani menangkap saya."
Suasana berubah gaduh. Para prajurit yang mencoba bergerak maju mendapat hambatan dari penonton yang tak mau minggir sedikit pun.
Akan tetapi karena para prajurit terus mendesak, yang terjadi adalah keributan.
Gendhuk Tri tak tahu harus berpihak ke mana.
Akan tetapi sebelum keributan memuncak, mendadak semua perhatian tertuju ke geber, layar tempat Ki Dalang Memeling memainkan wayang.
Tepat di tengah geber, terlihat wayang kulit yang bergerak-gerak dengan sendirinya!
Biasanya wayang digerakkan oleh tangan Ki Dalang. Tapi sekarang ternyata bisa berada di tengah udara, menempel di geber, bergerak tanpa digerakkan langsung.
Inilah yang menyerap seluruh perhatian.
"Ini hanya kulit binatang, tetapi mempunyai sukma. Siapa yang mengganggu pertunjukan, akan kutancapi batok kepalanya."
Gendhuk Tri mengakui kehebatan Dalang Memeling. Terutama dari caranya menghentikan keributan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena wayang kulit yang menempel di geber, bisa bergerak ke tengah, ke arah penonton, sebelum akhirnya kembali ke tengah, dan turun perlahan menancap pada debog, batang pisang.
Lakon Upasara Krama APA yang diperlihatkan Dalang Memeling memang menarik perhatian.
Bagi Gendhuk Tri sendiri merupakan pameran tenaga dalam yang cukup berarti. Kalau itu memakai tenaga dalam yang murni. Akan tetapi, bagi para dalang, kekuatan yang diperlihatkan sering berasal dari tenaga dalam yang dilatih secara khusus. Untuk menghadapi dalang lain yang akan mengganggu jalannya pertunjukan.
Bisa jadi semacam ilmu hitam yang dipakai untuk menangkis gangguan.
Tapi, biar bagaimanapun, Dalang Memeling berhasil memperlihatkan keunggulannya. Memainkan wayang di tengah udara, perlu pemusatan kekuatan yang tak bisa diperoleh dari latihan satu atau dua tahun.
"Dalang gombal," mendadak terdengar teriakan keras. Seorang prajurit berdiri di atas dua pundak prajurit yang lain. "Kalau mau memberontak jangan menghasut rakyat kecil yang tak tahu apa-apa.
"Apa maksudmu mengecam pemberian gelar Wong Agung Galgendu"
Apakah kamu mau menyangsikan Raja?"
"Jangan menghalangi pandangan orang lain," teriak Dalang Memeling tak kalah keras.
Mendadak dari kaki Dalang Memeling melayang cempala atau alat pemukul kotak yang biasa dijepit dengan kaki kanan. Bungkah kayu berukir itu menghantam keras.
Sebelum prajurit yang berteriak bisa menghindar, cempala itu telah menghantam. Dan melayang kembali, ke arah kaki.
Kali ini Gendhuk Tri mengejapkan matanya.
Ini jelas bukan karena keahlian. Ini penggunaan tenaga dalam yang kuat. Menyambit dengan menggunakan kaki bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa cempala itu bisa melayang kembali, jelas penguasaan yang sempurna.
Karena cempala termasuk benda yang berat, dan bentuknya tidak ramping. "Mari kita lanjutkan tontonan ini.
"Kita masih berbicara tentang sukma wayang kulit. Wayang yang diukir, dihias dari kulit binatang. Tak beda dengan kulit lain, berbau dan harganya bisa dinilai dengan uang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Akan tetapi setelah dimainkan, ia mempunyai sukma. Mempunyai roh. Memiliki kelanggengan, keabadian.
"Lakon Upasara Wulung bisa diciptakan untuk mengabadikan, selain membuatkan candi.
"Sebagai dalang saya bisa memainkan lakon Upasara Krama, kawinnya Upasara.
"Kecap kacarita, adalah seorang ksatria yang sakti mandraguna, tidak mempan ditusuk senjata apa pun, gagah perkasa melewati Dewa, yang sedang gundah gulana. Karena sedang risau hatinya, ksatria yang tiada lain bernama Upasara Wulung berangkat ke tengah hutan.
"Di tempat itu Upasara bersemadi, memohon petunjuk Dewa yang Maha Mengetahui.
"Upasara bertanya. Siapakah sebenarnya wanita yang akan menjadi pasangan hidupnya"
"Apakah Permaisuri yang keturunan murni Keraton Singasari yang ayu dan jelita bak bidadari"
"Ataukah seorang gadis yang tumbuh dewasa mempunyai jiwa ksatria yang manis bak bidadari"
"Ataukah seorang nyai yang bisa mengetahui apa keinginannya, yang juga menawan bak bidadari"
"Ataukah ratu yang keayuannya mengguncangkan jagat, yang mempunyai takhta di negeri seberang"
"Ataukah putri Pak Toikromo yang belum dikenalnya"
"Kerisauan Upasara Wulung adalah kerisauan ksatria sejati. Yang tidak menghendaki adanya pilihan satu dan menyebabkan penderitaan bagi yang lain.
"Sebagai dalang, saya bisa membuat wayang Upasara Wulung. Tak ada yang berani melarang. Tidak juga para pujangga dan pendeta dari tlatah Hindia, yang merasa lebih unggul dan merasa lebih kampiun.
"Karena ini wayang kita, sukma kita sendiri."
Gendhuk Tri mengeluarkan suara tertahan.
Kini hatinya makin yakin bahwa Ki Dalang Memeling bukan tokoh sembarangan. Agaknya memiliki pengetahuan yang luar biasa mengenai Upasara, sampai ke hal yang paling kecil.
Bahwa Upasara telah menjadi tokoh di hati masyarakat, tidak berarti bahwa nama wanita yang berhubungan dengannya diketahui secara jelas. Termasuk putri Pak Toikromo.
Gendhuk Tri berbalik langkah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kembali ke dalam rumah untuk menemui Wong Agung Galgendu.
"Siapa sebenarnya Dalang Memeling?"
"Saya bertemu dengannya di tempat ini, ketika ayah saya mengusahakan penambangan emas di Gua Kencana. Kenapa tiba-tiba hal itu ditanyakan?"
"Wong Agung..."
"Maaf, marilah kita memakai sebutan yang selama ini kita pergunakan. Saya pun tetap memanggil Gendhuk Tri...."
"Baik, baik, Paman Galgendu.
"Apakah ada alasan lain Paman meminta dan memilih Dalang Memeling?"
"Ia sendiri yang minta main.
"Yang saya tahu ia dalang yang aneh. Belum tentu mau main, dibayar berapa pun. Akan tetapi kalau lagi mau, tidak dibayar pun bersedia."
"Apakah ia sangat berarti bagi Paman?"
"Sangat. "Di seluruh jagat ini, hanya saya dan Ki Dalang yang bisa keluar-masuk Gua Kencana. Selebihnya, hanya atas persetujuan kami berdua."
"Kenapa?" "Maaf, saya tak bisa mengatakan. Tetapi tak ada hubungannya dengan para ksatria atau maksud jahat."
"Kenapa orang lain tidak diperbolehkan masuk?"
"Gua Kencana adalah gua emas. Segalanya berkilau di sana. Yang berkilau bisa membuat mata menjadi silau.
"Saya tak ingin memancing huru-hara.
"Anakmas Tri, kalau berniat ke sana, sekarang ini pun akan saya antarkan...."
Gendhuk Tri menunjukkan rasa terima kasih dengan senyum lebar.
"Tidak sekarang ini, Paman.
"Saya hanya ingin mengetahui mengenai Ki Dalang...."
"Segera setelah pertunjukan selesai, fajar nanti, bisa ditemui...."
Gendhuk Tri minta pamit. Melangkah kembali menuju kamarnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak terlalu heran melihat Nyai Demang masih duduk di luar, menengadah ke arah bulan.
"Alangkah bagusnya jika ada lakon Upasara Krama..."
"Rupanya Mbakyu Demang nonton juga...."
"Saya bisa mendengar dengan jelas dari tempat ini.
"Aneh, akan tetapi tenaga dalam saya berubah. Sekarang baru saya sadari bahwa yang membuat saya repot karena bisa mendengarkan suara dari kejauhan. Bahkan kalau saya tidak menghendaki pun, suara itu terdengar jelas."
Gendhuk Tri duduk di sebelahnya.
Memandang ke arah bulan. "Kenapa Mbakyu cemas" Bukankah Mbakyu bisa mempelajari kelebihan tenaga dalam Eyang Berune" Bukankah Mbakyu bisa memahami berbagai bahasa?"
"Untuk apa?" Suaranya mengandung kegetiran yang dalam.
"Untuk apa lagi sekarang ini"
"Adikku seumur hidup mbakyumu hanya pernah bercerita satu kali, dan itu kepadamu, adikku.
"Saya mendapat semangat hidup untuk membalas dendam keluarga dan suami saya pak Demang yang malang. Ketika semuanya boleh dikatakan berdamai dengan hati saya, pegangan itu lenyap.
"Syukurlah, berkat pertemuan dengan saudara-saudara dari Perguruan Awan, semangat itu muncul lagi.
"Akan tetapi, sekarang ini setelah..."
Kalimatnya tak selesai. Tak perlu diselesaikan, karena Gendhuk Tri sudah menangkap bagian akhir. Setelah Upasara tak ada....
"Kepercayaan, pada sesama manusia hilang. Kepercayaan saya kepada Dewa berkurang karenanya.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kepercayaan bahwa hidup ini hanya kesia-siaan dan duka makin kuat.
"Kenapa Pak Demang yang baik dan berbakti harus mengalami nasib yang malang" Kenapa anak-anakku yang tak berdosa ikut menanggung beban"
"Kenapa Adimas Upasara harus meninggal dengan cara seperti itu"
"Adikku... KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mbakyumu ini sudah tua. Mungkin tak perlu lagi mendengar jawaban itu. Baru saja saya katakan alangkah baiknya kalau bisa menonton lakon Upasara Krama. Tapi sebenarnya itu tipuan, hiburan yang tidak menenteramkan untuk waktu yang lama. Karena saya sadar itu semu.
"Adikku, besok pagi saya akan kembali ke Perguruan Awan.
Barangkali di sana masih ada secuil tempat untuk menenteramkan hati.
Entah untuk sementara atau selamanya.
"Tolong pamitkan kepada Wong Agung, Ratu Ayu, dan kepada Adimas Upasara...."
Air Tenang Mengendapkan GENDHUK TRI tidak menghela napas. Tidak merapatkan bibirnya.
Wajahnya bahkan tidak menunjukkan perubahan. Juga nada suaranya.
"Kalau memang itu kemauan Mbakyu Demang, siapa lagi yang bisa menahan" Kalau menahan, siapa yang bisa"
"Seekor kuda bisa dihela, tapi kemauan akan menerobos terus-menerus. Akan meloncati penghalang dari luar.
"Saya bisa menyayangkan, akan tetapi mangga...."
Nyai Demang mengangguk. "Sebenarnya..."
"Sebenarnya justru mengherankan. Sewaktu Kakang Upasara hilang semua tenaga dalamnya karena membantu saya, orang yang bisa menghidupkan kembali semangatnya adalah Mbakyu. Yang bertindak secara luar biasa menerjang, sehingga Kakang Upasara berkelana, sehingga akhirnya bisa bertemu Paman Sepuh Dodot Bintulu, yang menyebabkan tenaga dalamnya pulih kembali.
"Entah apa yang terjadi kalau saat itu Mbakyu Demang tidak melakukan hal tersebut."
"Barangkali Adimas Upasara malah menjadi orang biasa, tanpa harus mengalami kematian yang sia-sia...."
"Mungkin sekali, Mbakyu.
"Tapi mungkin tak ada lelananging jagat, mungkin pertumpahan darah lebih membanjir...."
"Apa ada bedanya"
"Apa ada bedanya bagi Adimas Upasara"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Marilah sekarang bicara terus terang. Apa yang diperoleh Adimas Upasara dengan pengabdian ini semua" Nama besar" Nama peninggalan yang harum" Candi"
"Apa itu semua artinya?"
"Memang tak ada. "Kalau kita hanya memikirkan diri kita sendiri. Mbakyu Demang, kita ini nasibnya kurang-lebih sama. Malah mungkin Mbakyu Demang pernah merasakan bahagianya hidup berkeluarga. Mengenal suami, mengenal anak, mertua, tetangga, kakek-nenek, atau malah cucu"
"Saya dan Kakang Upasara, bahkan orangtua pun kami tak kenal.
Adik atau kakak juga tidak. "Nasib kita sama sekarang ini. Kalau hanya memikirkan diri sendiri, alangkah enaknya kita ini. Seperti juga Eyang Raganata. Yang merasa tak perlu melarikan Jagaddhita, tak perlu menyembunyikan saya.
"Tetapi selalu ada dorongan untuk berbuat sesuatu yang lebih baik, apa pun keadaannya saat itu."
Nyai Demang tersenyum tipis, wajahnya sedikit merah.
"Omonganmu lebih tajam kala kamu bersungguh-sungguh. Kamu ingin mengatakan aku tak memiliki tanggung jawab lagi" Aku hanya memikirkan diriku?"
Di luar dugaan Nyai Demang, Gendhuk Tri mengangguk.
"Ya. "Tetapi tak akan ada yang menyalahkan Mbakyu.
"Bahkan Keraton pun akan berterima kasih atas jasa Mbakyu selama ini.
"Kamu akan menyalahkan aku?"
"Tidak." "Lalu kenapa kamu bicara seolah orang yang sudah tua dan memegang pangkat?"
"Karena saya tak berhak menyalahkan Mbakyu. Tak ada yang berhak menyalahkan, selain Mbakyu sendiri.
"Seperti juga saya tak akan menyalahkan Ratu Ayu yang akan menghukum Permaisuri Rajapatni. Seperti Baginda yang kecewa atas perlakuan permaisurinya, seperti Wong Agung Galgendu yang ingin memiliki Ratu Ayu...."
"Gendhuk Tri... apa sebenarnya yang akan kamu katakan?"
"Sederhana sekali, Mbakyu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau Mbakyu ingin kembali ke Perguruan Awan, mangga mawon, silakan. Tak ada yang menghalangi. Bukankah kita juga tak menghalangi niatan Dewa Maut yang sampai sekarang mengurung diri dalam gua bawah tanah"
''Kita para ksatria disatukan oleh keinginan, oleh tautan Perguruan Awan. Kalau kemudian satu demi satu memilih jalannya sendiri, tak bisa disalahkan. Tak akan disalahkan."
"Ada yang berubah dalam dirimu...."
"Sejak saya menelusuri dan melatih pernapasan dari Kitab Air, saya merasa lebih tenang. Merasa bahwa semua pergolakan hanya terjadi di atas. Di bagian bawah, akan mengendap."
"Selamat. "Kamu telah maju pesat."
"Seperti Mbakyu Demang yang sekarang mampu mendengar jarak jauh. Kemajuan yang tak bisa disamai, pun oleh Kakang Upasara...."
"Cukup. "Aku telah mendengar semuanya. Aku telah mengetahui. Tapi aku sudah sampai kepada keputusan untuk kembali ke Perguruan Awan.. "
Keduanya bertatapan. Mengangguk bersamaan. Menoleh bersamaan, ke arah dua bayangan yang mendekat.
Ratu Ayu yang datang bersama Permaisuri Rajapatni.
"Kalau semua yang kecewa harus mengundurkan diri dan tak mau melihat langit, siapa lagi yang tinggal di bumi ini?"
Suara Permaisuri Rajapatni sepenuhnya mampu mengontrol emosi.
"Kalau ada yang bisa dikenang dari Kakang Upasara Wulung, adalah pengabdian kepada Keraton, kepada raja, kepada sesama manusia.
Saat-saat terakhir dalam hidup Kakang, tidak mengubah sikapnya sebagai ksatria.
"Itulah sesungguhnya keunggulan Kakangmas Upasara Wulung."
Nyai Demang mencibirkan bibirnya.
"Apa yang mau Permaisuri katakan?"
"Keraton Majapahit sekarang ini sedang kosong. Sepi dari kekuasaan dan kekuatan. Baginda telah jengkar, menyingkir ke Simping. Raja Jayanegara tenggelam dalam belaian daya asmara.
"Senopati Halayudha sedang pergi ke Lumajang.
"Tak ada yang tersisa...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aha, Permaisuri mau mengatakan bahwa kami mempunyai kewajiban untuk menjaga Keraton"
"Sejak kapan Permaisuri memikirkan hal itu" Sejak memerintahkan hukum poteng Adimas Upasara?"
"Ya, Mbakyu Demang. "Kalau saya bisa memainkan keris, saya akan menjaga. Kalau saya bisa berbuat sesuatu, akan saya lakukan sekarang."
"Kalau harus menerima hukuman?"
"Akan saya lakukan sekarang."
Pandangan matanya keras. "Saya minta Ratu Ayu melakukan sekarang juga, akan tetapi ia lebih suka minta pendapat kalian. Bagaimana cara menghukum saya. Apa susahnya menjalankan hukum poteng yang sama"
"Mbakyu Demang, Gendhuk Tri, Ratu Ayu... Bukankah kalian datang untuk mendapat kepastian tentang kematian Kakangmas Upasara"
"Kenapa sekarang ragu?"
Ratu Ayu mengambil cundrik dari pinggang Permaisuri.
Gendhuk Tri memandang tak berkedip.
Nyai Demang memandang ke arah lain.
Permaisuri Rajapatni menutupkan matanya, menunduk.
"Satu permintaanku, setelah aku selesai menghukum Permaisuri, salah satu di antara kalian berdua melakukan cara yang sama padaku."
Permintaan Ratu Ayu disuarakan dengan nada memohon yang lebih merupakan rintihan.
"Saya...saya...tak bisa...."
"Saya bisa." Suara Gendhuk Tri terdengar mantap. Selendangnya dikibaskan.
Kedua kakinya sedikit merenggang.
"Karena kalian berdua yang menghendaki, biarlah aku yang melakukan. Yang satu permaisuri, yang satu ratu. Semua memilih jalannya sendiri.
"Mbakyu Demang, apakah Mbakyu juga akan mati bela?"
Tantangan Gendhuk Tri membuat Permaisuri menarik napas lega.
Juga Ratu Ayu. "Silakan, Ratu...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ratu Ayu melepaskan cundrik dari sarungnya. Tangan kanannya bergerak cepat. Gendhuk Tri mengawasi dengan sorot mata tajam.
Mendadak, Nyai Demang bergerak cepat. Tangan kanan mendorong Permaisuri, tangan kiri mendorong Ratu Ayu. Keduanya terdorong cukup jauh.
Bahkan Permaisuri sampai terguling.
"Jangan lakukan sekarang, Ratu. Nanti setelah saya pergi...."
Gendhuk Tri mendesis. "Kalau begitu, silakan pergi, Mbakyu...."
Sebaliknya dari meninggalkan tempat, Nyai Demang malah berdiri kaku, mematung.
"Apa sebenarnya yang berada dalam dirimu, Gendhuk" Apakah masih ada sisa racun jahat dalam tubuhmu?"
"Saya akan melakukan apa yang diminta seseorang yang datang kepada saya. Tanpa harus mengetahui apakah itu beracun atau tidak.
"Seperti dulu Eyang Putri Pulangsih menerima perpisahan dari Eyang Sepuh.
"Saya tahu bahwa di sebalik kematian Kakang Upasara masih ada yang disembunyikan. Karena kalian berdua menginginkan membawa rahasia ke alam lain, saya tak akan menghalangi."
Nyai Demang tertegun. Ada sesuatu yang melintas di otaknya.
Empat Wanita, Empat Rasa SESUATU yang melintas itu sebenarnya sederhana.
Gendhuk Tri bukanlah tokoh yang bodoh. Bahkan kecerdikannya, caranya berpikir, di atas dirinya. Apalagi dengan pengalaman mati-hidup yang dialami berulang kali, membuatnya lebih bijak dan terang serta jernih dalam menimbang persoalan. Ditambah lagi, kini jauh lebih matang setelah sedikit-banyak menguasai Kitab Air secara teratur.
Kalau sampai menduga "ada sesuatu yang disembunyikan", pastilah ia tengah menduga sesuatu yang terjadi di balik penyerahan Permaisuri.
Dugaan itu cukup beralasan.
Hanya saja, sekarang ini, Nyai Demang tak bisa menduga apa, dan alasan apa.
Tetapi bukannya tak bisa dikira-kira.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kematian Upasara selama ini masih merupakan teka-teki. Apa betul segampang itu Upasara yang gagah dan sakti mati" Taruh kata memang ia terluka parah, sangat parah. Tangan kiri yang menjadi pusat kekuatan, tertembus keris di bahu. Besar kemungkinan sebagian tenaga dalamnya lenyap. Sementara tangan kanannya belum pulih, ini merupakan hambatan yang besar. Bisa juga Upasara cacat seumur hidup.
Tapi mati" Rasanya tak semudah itu. Apalagi seorang Upasara, apakah mungkin di saat menderita tak tahan dan minta dihabisi begitu saja"
Itu yang tidak masuk akal.
Namun, Nyai Demang mengakui bahwa dasar berpikirnya sangat rapuh. Dirinya mengandaikan itu semua karena jauh dalam hatinya berharap bahwa Upasara belum meninggal. Upasara masih hidup, segar bugar, di suatu tempat yang untuk sementara belum diketahui di mana.
Kerapuhan itu juga diakui oleh Gendhuk Tri. Ia merasa bahwa kalimatnya yang menyentak mengenai "suatu rahasia" karena lebih berdasarkan keinginannya sendiri. Bahwa ada yang dirahasiakan mengenai kematian Upasara.
Bahwa Upasara belum mati, apalagi dipotong-potong anggota tubuhnya!
Banyak kemungkinan bisa terjadi, tapi bukan kematian.
Apalagi terjadi pada Upasara.
Titik tolak inilah yang membuatnya berpikir bahwa Permaisuri dan Ratu Ayu menyembunyikan rahasia yang hanya diketahui mereka berdua.
Padahal pada saat yang sama Ratu Ayu merasa bahwa Permaisuri tak akan setega itu melakukan hukuman kepada Upasara. Dasar lubuk hatinya mengatakan itu, tak lagi mau mempercayai telinganya. Desakan demi desakan hanya membuat Permaisuri bersedia menerima pembalasan.
Maka di saat semua pegangan luntur, hatinya tak kuat lagi. Cundrik disebut dan dengan sepenuh tenaga ditusukkan ke arah Permaisuri.
Yang menunduk tak mengelak sedikit pun!
Kalau benar Permaisuri tidak melakukan, bagaimana mungkin ia menerima hukuman kematian setenang itu" Apakah ini bukan pertanda penyesalan yang berat atas apa yang sudah dilakukan"
"Kita berempat berada di sini, dengan rasa dan suara batin masing-masing. Barangkali tak bisa dikatakan ini cara yang baik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bukan cara yang baik karena kita saling menumpangkan kekuatan kepada lamunan yang kita susun sendiri.
"Kekuatan Ratu belum pulih sepertiganya. Masih teramat lemah.
Mbakyu Demang juga masih belum bisa memusatkan tenaga dalamnya.
Sementara Permaisuri sendiri seperti tak waras.
"Saya sendiri, meskipun bisa bicara seperti ini merasa bahwa semua pertimbangan yang ada menjadi kacau-balau. Bisa ngoceh sendiri.
"Kalau saya boleh mengajak, marilah kita bersama-sama mengendapkan semua rasa, mengembalikan kepada sumber kegelisahan ke permukaan, dan memulai dengan ketenangan."
Nyai Demang sadar sepenuhnya bahwa sejak mereka mendengar kematian Upasara, segalanya seperti berjalan dengan kacau. Jalan pikiran bolak-balik tidak menentu.
Ajakan Gendhuk Tri sangat tepat.
Maka ia tak mau menunggu lama. Segera duduk bersila dengan gerakan lembut, kedua tangannya terkulai. Satu tangan kiri terangkat, dan Ratu Ayu segera menempelkan telapak tangannya, melakukan gerakan semadi yang sama. Gendhuk Tri, dengan caranya sendiri, juga menyatukan telapak tangannya. Permaisuri Rajapatni mengikuti dengan menempelkan telapak tangannya ke arah Gendhuk Tri, dan menyatukan dalam lingkaran.
Segera terasa udara panas menyusup ke dalam tubuhnya. Terasa terbakar. Mendadak saja seluruh tubuhnya mengalirkan keringat.
"Tahan, Permaisuri...."
Suara Gendhuk Tri yang lembut menuntun pikirannya.
Permaisuri membiarkan tubuhnya dialiri tenaga dalam yang seperti menerobos masuk, berguncang dan kembali lagi, mengalir ke arah Ratu Ayu.
Keempatnya mencoba menyatukan pikiran, perasaan, dan semua kekuatan melarut dalam keheningan.
Gendhuk Tri, meskipun bukan yang paling kuat tenaga dalamnya, mampu menyatukan dan menuntun.
Hanya Rajapatni yang paling dangkal penguasaan tenaga dalamnya tampak bergoyang-goyang. Kini seluruh tubuhnya kuyup oleh keringat tubuh. Dari ujung rambut hingga ujung telapak kaki.
"Ya, Kakangmas Upasara mengusir pagebluk dengan cara ini.... Saya menjadi berkeringat...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Permaisuri, kosongkan pikiran. Jangan membayangkan Kakang Upasara jangan merasakan udara panas. Biar saja melalui tubuh Permaisuri, ke arah Ratu Ayu...."
Ratu Ayu yang bisa mengerti arah pembicaraan Gendhuk Tri segera menampung tenaga dalam yang tercurah ke tubuhnya. Dibarengi dengan tenaga dalamnya sendiri, seakan semua panas mengumpul di tubuhnya. Dalam kejapan berikutnya, tubuhnya benar-benar basah dan tenggelam dalam cairan keringat. Karena keringat yang mengucur dari tubuhnya sangat deras.
Jauh dalam hatinya terbersit rasa kagum kepada Gendhuk Tri.
Gadis hitam manis ini ternyata mempunyai kemampuan menyatukan tenaga dalam yang luar biasa. Walaupun keempatnya mempunyai dasar ilmu silat yang saling berbeda, tetap bisa disatukan.
Inilah luar biasa. Dasar tenaga dalam Ratu Ayu sumbernya sama sekali berbeda dengan yang lain. Cara melatih dan mengerahkan tenaga sangat berbeda.
Apalagi dibandingkan dengan Nyai Demang yang agaknya masih menyimpan satu gumpalan tenaga dalam yang sepenuhnya belum bisa dikerahkan dengan baik. Kadang gumpalan dingin itu membuatnya menggigil kedinginan, kadang malah membeku, menyumbat tenaga yang masuk.
Demikian juga Permaisuri yang mencoba menjadi pengantar tenaga dalam.
Tubuhnya kosong. Akan tetapi kekuatan Gendhuk Tri mampu menggiring satu demi satu, mengalirkan ke arah Ratu Ayu. Yang kini bahkan tak mampu membuka mata karena air deras terus mengalir.
Pada saat yang tepat pula, Gendhuk Tri menarik kembali tenaga dalamnya, dan mengembalikan ke tempat asalnya.
"Hebat, hebat sekali.
"Selamat," kata Nyai Demang terengah-engah. "Tak kusangka kamu sudah sedemikian majunya. Hebat sekali. Eyang Putri Pulangsih betul-betul mahasakti mandraguna.
"Aku mengakui dengan tulus."
Suara Nyai Demang seperti mengisyaratkan adanya kekuatan lain yang mempengaruhi.
Suara pengakuan Kakek Berune.
Bukan sesuatu yang luar biasa. Beberapa waktu lamanya, Nyai Demang terkulai secara sempurna oleh kekuatan Eyang Kebo Berune.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sehingga kalaupun Secara wadag, lahiriah, dirinya telah terbebaskan dari menggendong mayat, akan tetapi pengaruh itu masih ada.
Hanya saja, kini, pengaruh itu dalam pengertian yang baik.
Yang bisa diterima dengan lega oleh Gendhuk Tri. Senyuman tipis menandai rasa bangga. Sesuatu yang tak pernah diduga akan sedemikian besar pengaruhnya.
Kemampuannya mengalirkan tenaga dalam yang berbeda, dan mengarahkan benar-benar seperti perwujudan tenaga air yang bisa terkuasai.
Sebaliknya Ratu Ayu merasa tubuhnya lebih segar, walau seakan seluruh cairan dalam tubuhnya mengucur keluar. Barulah dimengerti bahwa bubuk pagebluk yang masuk ke tubuhnya, ikut terpompa keluar bersama cucuran keringat.
Cara pengobatan yang luar biasa.
Yang dilakukan Raja Turkana pada Permaisuri"
Ratu Ayu segera membuang kecurigaan jauh-jauh.
"Terima kasih, Gendhuk Tri... Nyai Demang, dan Permaisuri... Saya merasa lebih baik."
"Saya tidak..."
"Tanpa bantuan Permaisuri, kita semua belum tentu berhasil."
Kalimat Gendhuk Tri seperti menggurui, berbeda dari biasanya.
Baik Nyai Demang maupun Ratu Ayu mengakui bahwa apa yang dikatakan Gendhuk Tri benar adanya. Tanpa bantuan Permaisuri, akan sulit bisa menyatukan tenaga dingin Nyai Demang, tenaga lompat Ratu Ayu, dan tenaga air Gendhuk Tri.
Harus ada perantaranya. Dan itu yang dilakukan Permaisuri.
Rahasia Asmara Diam PAGI terasa. Suara Dalang Memeling tak terdengar lagi, digantikan gending penutup dan kicauan burung pagi.
Keempatnya masih duduk melingkar.
Ratu Ayu memusatkan semangatnya, melatih untuk mengalirkan tenaga dalamnya sekali lagi. Seperti juga Nyai Demang dan Gendhuk Tri, sementara Permaisuri beristirahat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pagi mengantarkan bau tanah. Gendhuk Tri membuka matanya.
"Setelah kita merasa lebih segar, rasanya tak ada masalah yang perlu dirisaukan lagi, apa yang akan kita lakukan.
"Mbakyu Demang masih akan kembali ke Perguruan Awan?"
"Tidak sekarang ini."
"Ratu Ayu masih..."
"Tidak sekarang ini."
"Permaisuri..."
"Saya tak mempunyai tujuan apa-apa. Saya hanya nyuwita, mengabdi, kepada Baginda. Kini Baginda sudah jengkar, meninggalkan saya. Kalau salah satu dari kalian mau saya ikuti, saya akan terus mengikuti."
"Bagaimana rencana Permaisuri kembali ke Keraton?"
Permaisuri Rajapatni menunduk.
"Itu mungkin yang terbaik.
"Selama ini jasad Kakangmas Upasara masih di sana. Sebelum Wong Agung Galgendu memindahkan, rasanya saya ingin melihat untuk yang terakhir kali."
"Bagaimana dengan keamanan Keraton yang Permaisuri kuatirkan?"
"Saya hanya berpikir selintas. Bahwa Keraton sekarang ini sedang sepi, sedang kosong, sehingga memancing bersemainya bibit kraman, bibit pemberontakan.
"Kalau saya bisa berbuat sesuatu untuk mencegah, saya akan merasa beban dosa ini berkurang."
"Kalau memang begitu, mari kita pamit bersama.
"Tak ada salahnya kita kembali ke Keraton."
Jalan ketegasan yang dipilih Gendhuk Tri menghemat pemikiran yang berlarut. Ketiganya menyetujui berangkat bersama ke Keraton. Untuk melihat pemindahan jasad Upasara Wulung dan melihat suasana.
Wong Agung Galgendu yang kelihatannya tak bisa menerima keputusan. Berulang kali ia membungkukkan badan, memohon dengan suara meratap.
"Duh, Permaisuri yang mulia.
"Duh, Ratu Ayu. "Para pendekar yang mulia.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa lagi kekurangan saya ini" Gua Kencana pun saya buka buat Paduka semua. Kenapa saya ditinggalkan" Apa kesalahan saya" Saya sudah berjanji akan melaksanakan upacara pencandian...."
"Wong Agung..." Suara Ratu Ayu terdengar sangat lembut. "Ini semua tak ada hubungannya dengan keramahan Wong Agung yang hangat dan semanak. Kami semua merasakan persahabatan ini.
"Akan tetapi kali ini, kami ingin berangkat lebih dulu. Karena itu yang terbaik bagi perasaan kami."
"Ratu akan kembali kemari?"
"Saya tak pernah bisa berjanji, Wong Agung...."
Wajah duka menggores dalam, tatapan mata yang kosong mengantarkan keberangkatan keempat wanita yang pernah ditalikan oleh daya yang sama.
Ratu Ayu sendiri memerintahkan agar Senopati Sariq tidak berada dalam perjalanan yang sama.
Dua hari pertama perjalanan dilakukan dengan berdiam diri. Tak ada yang membuka pembicaraan. Dua hari perjalanan yang tak bisa tergesa, karena Permaisuri memang tak bisa berjalan cepat.
Dua hari yang menyadarkan keempatnya secara bersamaan.
Bahwa yang tiga mau menunggu kesanggupan salah satu.
Yang satu memaksakan diri, dan merasa diperhatikan oleh ketiga yang lain.
Permaisuri sendiri masih mendapat hormat, sungkem dari Gendhuk Tri maupun Nyai Demang, namun secara halus selalu menolak.
"Saya bisa membayangkan bahwa Kakangmas akan tersenyum bahagia bila melihat kita berempat jalan bersama."
"Apa yang Permaisuri katakan sangat tepat. Saya tahu Adimas merasa berat hati dan tak bisa memberati orang lain karena mengutamakan salah seorang."
"Raja Turkana bisa menyatukan kita, mempererat perasaan, tanpa pernah menghancurkan atau melukai perasaan kita."
"Sudahlah, untuk apa kita selalu mengenang dan membicarakan Kakang"
"Biarlah Kakang merasakan istirahat dengan tenang, dengan bahagia sepanjang zaman. Sesuatu yang tidak Kakang rasakan sebelumnya...."
Keempatnya terdiam. Sesaat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa Mbakyu Demang tersenyum-senyum?"
"Tidak. Tak ada apa-apa."
"Apakah kita masih perlu saling menyembunyikan rasa?"
"Gendhuk Tri, barangkali kamu yang paling bahagia saat ini. Tak ada lagi beban penyesalan pada Adimas. Dan Adimas juga merestui hubunganmu dengan Singanada."
Gendhuk Tri menarik sepasang alisnya.
"Apa yang dikatakan Kakang?"
"Adimas menyetujui. Merasa bahwa itu pilihan terbaik. Mendoakan supaya bahagia." "Ngawur.
"Dari mana Mbakyu tahu" Bukankah selama ini Mbakyu terkuasai Kakek Berune?"
Nyai Demang tersenyum. "Saya sempat beberapa saat bersama Adimas...
"Ah, sudahlah itu. "Aneh juga Maha Singanada itu. Kenapa ia begitu mendendam kepada Senopati Agung Brahma, hanya karena menanyakan sesuatu tentang ayahnya"
"Saya sendiri tak mengetahui.
"Nanti kita tanyakan."
Permaisuri terhenti. Menghapus sudut matanya yang basah.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga yang lain tertegun.
"Kisah yang memilukan.
"Sejauh saya mengetahui...."
Dengan suara masih diseling sedu sedan, Permaisuri menuturkan.
Bahwa sesungguhnya Senopati Agung Brahma pada masa dulu menjalin hubungan asmara dengan Dyah Ayu Tapasi, putri Sri Baginda Raja Kertanegara. Yang berarti masih saudara seayah dengan Permaisuri, meskipun perbedaan usianya sangat jauh.
Akan tetapi hubungan mereka terpisahkan, karena Senopati Agung Brahma menunaikan tugas ke negeri seberang. Itu sebabnya Dyah Ayu Tapasi memutuskan berangkat ke negeri seberang, menjadi putri yang diserahkan ke Keraton di tanah Campa.
"Mungkin bingung karena merasa putus asmara?"
"Bisa juga begitu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Akan tetapi, sesungguhnya hati Dyah Ayu Tapasi sudah menyatu dengan Senopati Agung Brahma. Sehingga sebelum diserahkan ke Raja Campa, Dyah Ayu melakukan sesuatu yang sangat hina, yang bisa menyebabkan hancurnya semua kehormatan.
"Dyah Ayu menyerahkan kehormatannya kepada Senopati Mapanji Paksa yang menjadi pemimpin utusan...."
Terdengar suara "ah" bersamaan dari Gendhuk Tri, Nyai Demang, maupun Ratu Ayu.
"Lalu?" "Mapanji Paksa sendiri merasa bersalah...."
"Apakah Singanada itu putra Mapanji?"
Permaisuri mengangguk. Kini sepenuhnya tubuhnya menggigil karena sedu sedan.
Dada Gendhuk Tri serasa pepat.
Matanya dipandangkan ke langit. Merasa kurang enak diketahui bahwa air matanya menggenang.
Bisa dimengerti kalau Singanada merasa memanggul beban noda yang tak terpikul, setiap kali diingatkan sesuatu yang nista terjadi pada ayahandanya.
Dalam keadaan selalu tersudut, perangainya menjadi sangat aneh.
"Singanada sesungguhnya cucu Sri Baginda Raja...."
Nyai Demang menggigit bibirnya.
Ada kilas lain yang membetik dalam pikirannya. Kalau benar demikian, Maha Singanada adalah putra Dyah Ayu Tapasi. Kalau dilihat wajah dan perawakannya sangat mirip Upasara Wulung, bukan tidak mungkin Upasara Wulung pun... dengan kata lain, sebenarnya juga berhak untuk menyanding Permaisuri!
Apakah itu yang membuat Permaisuri sangat berduka"
Ratu Ayu paling tidak mengenal dengan baik, akan tetapi ikut larut dalam duka yang sama.
Hanya karena ia merasa dirinya orang luar, sempat terucap olehnya,
"Permaisuri... Kalau Senopati Agung Brahma ksatria dari Keraton dan Tapasi putri Baginda Raja, kenapa harus terjadi perpisahan?"
"Ratu..." "Apakah Baginda Raja tidak merestui?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semua ini baru diketahui setelah peristiwa itu terjadi. Sebelumnya tak ada yang memahami dengan jelas, bahwa ada daya asmara yang bersemi di dada Dyah Ayu dan Senopati Agung.
"Daya asmara yang hanya dirasakan mereka berdua.
"Dalam diam. Dengan diam."
Rerasan Empat Wanita SUARA Permaisuri Rajapatni perlahan. Sebagian malah tertelan keharuan.
Nyai Demang juga merasakan sepenuhnya apa yang terjadi di balik hubungan Dyah Tapasi dengan Senopati Brahma. Suatu perjalanan asmara yang tak pernah muncul ke permukaan, yang ditutupi.
Apakah bukan itu yang juga terjadi antara dirinya dan Upasara, yang dipanggil dengan sebutan Adimas" Bukankah sebutan itu untuk menjaga jarak, agar tak muncul daya asmara"
Nyai Demang sepenuhnya mengakui, seperti secara tidak langsung Upasara pun mengakui, bahwa wanita pertama yang menggetarkan hati kelelakian Upasara adalah dirinya. Dengan alasan apa pun, baik karena tertarik bentuk tubuhnya atau bentuk yang lain.
Ini termasuk istimewa karena sesungguhnya Upasara jarang sekali tertarik kepada wanita.
Tapi sejak awal, Nyai Demang menenggelamkan perasaan itu.
Perasaan kemungkinan tumbuhnya daya asmara. Karena satu dan lain pertimbangan. Di antaranya ia merasa tak pantas mempermainkan anak muda yang begitu tulus, jujur, dan penuh sikap ksatria. Akan terasa janggal bila dibandingkan dengan dirinya yang telah mengenal asam-garamnya dunia asmara.
Hal lain, juga terasakan oleh Nyai Demang, berkembangnya perasaan yang sama pada diri Gendhuk Tri. Gadis kecil itu mulai tumbuh dewasa, dan menemukan getaran yang sesungguhnya pada diri Upasara. Akan tetapi, seperti dirinya, Gendhuk Tri juga menindas daya asmara itu jauh-jauh. Gendhuk Tri menempatkan dirinya sebagai adik.
Apakah ini semua juga bukan asmara diam"
Asmara yang sengaja dipendam"
Bukankah Permaisuri sesungguhnya juga mengalami hal yang kurang-lebih sama"
Penjelasan Permaisuri mengenai lelakon asmara Dyah Tapasi-Senopati Brahma seperti menjelaskan lelakon asmara mereka sendiri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagaimana kabarnya Dyah Tapasi kemudian?" Suara Nyai Demang memecah kesunyian yang menenggelamkan jalan pikiran masing-masing.
"Raja Campa menerima dengan segala kehormatan. Raja Campa sangat mencintainya...."
"Dan Mapanji Paksa"
"Hilang tak ada kabar beritanya.
"Sejak Singanada masih berada dalam kandungan, Senopati Paksa telah kembali dari tanah Campa. Keris pusakanya dikembalikan kepada Sri Baginda Raja, sebagai tanda menjadi manusia biasa, bukan prajurit Keraton lagi. Bukan ksatria lagi."
"Saya bisa mengerti kemelut hati Senopati Paksa.
"Ksatria yang hatinya terluka dua kali. Pertama, karena melukai keluarganya sendiri. Kedua, karena daya kasih sayang dan asmara yang dimiliki Dyah Tapasi ternyata daya asmara gadungan. Daya asmara yang sesungguhnya berada dalam diri Senopati Brahma...."
Gendhuk Tri yang sejak tadi terdiam, bersuara perlahan.
"Permaisuri, apakah selama ini Senopati Agung Brahma tak pernah bertemu lagi dengan Dyah Tapasi?"
"Rasanya tidak. "Sejak berangkat sampai kembali, tak pernah bertemu lagi.
Pertemuannya hanya dengan Singanada yang berakibat lain."
"Itulah aneh. "Sekian puluh tahun, ternyata tak bisa menghapus kenangan dan makna asmara. Tidak bagi Eyang Putri Pulangsih, tidak juga bagi Kebo Berune, atau Dyah Tapasi.
"Permaisuri, bolehkah saya menanyakan sesuatu?"
"Saya tahu apa yang akan kamu tanyakan, gadis manis.
"Kamu ingin menanyakan bagaimana kenangan dan makna asmara itu bagiku?"
"Ya...." Gendhuk Tri menunduk tersipu.
"Kamu bisa menjawab sendiri."
"Tidak. Saya tak tahu...."
"Kamu sudah bisa mengerti, gadis manis.
"Sejak pertemuan sebelum Kakangmas Upasara Wulung menjadi Senopati Pamungkas, kamu telah melihat sendiri. Kamu masih kecil,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
masih berlepotan ingus, tapi saat itu pun aku tahu pandangan matamu yang bersinar keras.
"Apa bedanya?" "Kalau benar Permaisuri menyimpan daya asmara terhadap Kakang, kenapa Permaisuri bisa bersenang-senang dengan Baginda" Bisa meladeni Baginda, dan memberikan putri-putri mungil?"
Nyai Demang mengangkat tangannya, memberi tanda agar Gendhuk Tri tidak berbuat lancang. Akan tetapi Permaisuri Rajapatni juga menggerakkan tangan ke arah Nyai.
"Biar, Nyai.... "Sangat jarang, sangat langka, kesempatan kita kaum wanita membuka perasaan hati seperti sekarang ini. Betapa sesungguhnya selama ini kita selalu memendam rasa, menyembunyikan jauh-jauh di dalam mimpi.
"Pertanyaan gadis manis Gendhuk Tri adalah pertanyaanku juga.
Wanita seperti apa aku ini sebenarnya" Yang meratapi Kakangmas Upasara akan tetapi bersanding dan melayani lelaki lain"
"Gadis manis... "Adalah sangat gampang bagiku untuk menemukan alasan. Aku putri Keraton yang harus berbakti kepada Sri Baginda Raja. Aku permaisuri yang harus berbakti kepada Baginda. Aku harus menjaga kewibawaan Keraton, nilai, harga diri.
"Akan tetapi tetap saja pertanyaan itu terdengar.
"Sama dengan yang dialami Pamanda Senopati Agung Brahma.
Seperti Mbakyu Ayu Tapasi yang kini berada di Campa.
"Kadang aku merasa lebih memiliki Kakangmas Upasara, kalau ia masih selalu sendirian. Tapi itu ketololan dan mau mencari menang sendiri.
"Tak ada bedanya apakah Kakangmas sendirian atau beristri...."
Ratu Ayu menggeleng. "Memang ganjil. "Kalian membicarakan Raja Turkana yang telah memiliki dan dimiliki orang lain.
"Aku. "Aku yang paling berhak membicarakan.
"Aku sadar bahwa aku memiliki secara resmi. Tetapi aku tak pernah betul-betul mengenalnya. Tak pernah melihat punggungnya, kakinya, secara utuh.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bahkan mungkin, aku... aku... tak percaya kalau Raja Turkana telah hafal dengan wajahku...."
Suaranya menjadi parau. "Tapi itu tak mengurangi kebahagiaanku...."
Ketiga wanita yang mendengarkan mengangguk bersamaan. Seakan membenarkan kata hatinya masing-masing, bahwa mereka pun tak berkurang rasa bahagianya.
"Karena sebentar lagi kita akan memasuki gerbang Keraton, ada baiknya kita bersiap-siap lebih dulu. Siapa tahu tenaga dan pikiran kita masih akan diperlukan...."
Gendhuk Tri memimpin ketiga wanita itu beristirahat dan mengumpulkan kembali tenaga dalam mereka. Ratu Ayu yang memang dasar-dasar ilmunya kuat, kini tanpa bantuan pun bisa mengerahkan kekuatannya untuk mengusir racun pagebluk dalam tubuhnya.
Gendhuk Tri sendiri menemukan rasa lega yang lapang setiap kali selesai melakukan latihan.
Yang tampaknya masih belum menguasai sepenuhnya adalah Nyai Demang.
Beberapa kali mencoba, bisa dimulai dengan baik, akan tetapi di bagian tengah selalu menjadi tersengal-sengal. Sehingga terpaksa menghentikan latihan di tengah jalan.
''Aku tidak paham dengan kekuatan dingin yang ada dalam tubuh Nyai," kata Ratu Ayu. "Sewaktu tenaga dalam tersalur ke arahku, bisa sepenuhnya aku mengerti. Tetapi ketika Nyai berlatih, tampaknya ada sesuatu yang tak bisa dikendalikan."
"Apa mungkin memang latihan pernapasan itu sesat, seperti yang dikatakan Kakek Berune?"
"Tak mungkin, Mbakyu.
"Bagaimanapun, rasanya Eyang Sepuh atau Mpu Raganata tidak secara sengaja memberi salinan Kitab Bumi yang dibuat keliru."
"Mungkin aku sendiri yang tolol."
"Itu bisa jadi," kata Gendhuk Tri tersenyum lebar. "Mbakyu sejak dulu memang tolol. Ditaksir Baginda saja..."
"Jangan omong sembarangan...."
Gendhuk Tri tertawa. "Apakah itu termasuk rahasia?"
"Bagaimana mungkin kamu masih ngomong sembarangan, di saat kita begini sedih karena..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri berdiri. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan.
"Sedih atau tidak, apakah Kakang bisa hidup lagi" Apakah kalau hidup juga akan bisa lebih bahagia"
"Apa kita juga bisa rerasan seperti sekarang" Begitu nanti melihat tulang Kakang, barangkali kita akan saling berebut, saling merasa berhak.
"Bukankah itu semua hanya membuat Kakang lebih menderita?"
Tetap pedas, agak sembrono.
Itulah Gendhuk Tri. Yang sedikit membedakan hanyalah bahwa kini ia bisa memimpin, bisa menjadi orang pertama yang menentukan perjalanan dan pertama melangkah.
Kidung Pambagya MENJELANG memasuki gerbang, Gendhuk Tri merasa heran karena ada serombongan lelaki yang menjemput. Yang segera menyembah, seolah rata dengan tanah.
"Silakan, Tuan Putri yang terhormat...."
Gendhuk Tri pasti sudah berteriak dan tertawa jika ini terjadi saat lalu. Kini ia hanya mengangguk, mengikuti ketua rombongan, dengan tetap waspada.
Ternyata mereka dibawa ke rumah yang agaknya telah dipersiapkan secara istimewa. Lengkap dengan dayang-dayang yang jumlahnya mencapai empat puluh orang. Siap melayani mandi, keramas, menyisir, menggunting kuku, sampai makan.
"Siapa yang menyuruh kalian?"
"Adalah kehormatan bagi kami bisa melayani Paduka Putri...."
Nyai Demang menarik tangan Gendhuk Tri.
"Jangan paksa mereka, agaknya mereka sendiri tak tahu."
"Lalu, menurut perkiraan Mbakyu, siapa yang melakukan ini semua?"
"Rasa-rasanya orang yang tahu keinginan kita. Barangkali saja kalau kita melewati jalan utama, sudah sejak lama ada penyambutan seperti ini.
"Tapi dilihat selintas mereka bukan jago silat. Beberapa bahkan tak pernah belajar silat sama sekali."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah mungkin Wong Agung Galgendu yang menyiapkan ini semua?"
"Rasa-rasanya begitu.
"Tetapi saya tak yakin ia berani melanggar permintaan Ratu Ayu.
Bahkan Senopati Sariq saja sejak pertama kita tak melihat bayangannya."
"Bagaimana rencana kita, Mbakyu"
"Apakah kita langsung masuk ke kebun kaputren dan membongkar kuburan Kakang, atau minta restu Raja?"
"Sebaiknya kita menyelidiki lebih dulu."
"Mbakyu tunggu saja di sini, menjaga Permaisuri. Saya akan menerobos masuk dengan Ratu Ayu."
Nyai Demang tersenyum tipis.
"Aku tahu..." "Hanya Mbakyu Demang yang bisa melayani Permaisuri dengan baik."
Tanpa menunggu pertimbangan lebih jauh. Gendhuk Tri segera berangkat bersama Ratu Ayu. Tak terlalu sulit bagi keduanya untuk bisa menyusup masuk.
Gendhuk Tri sangat hafal dengan lekuk-liku Keraton dan bisa dengan mudah langsung menuju kaputren. Dengan ilmu yang tinggi, bagi Ratu Ayu tak ada persoalan yang berarti.
Hanya saja ketika mendekat ke arah tempat yang ditunjukkan Permaisuri, mereka menjadi tertegun.
Di salah satu pohon yang mengelilingi makam, ada guratan-guratan yang agaknya baru dibuat beberapa saat sebelumnya. Karena terlihat bahwa sebagian kulit pohon masih meneteskan getah.
Salam pambagya selamat datang terima kasih atas perhatian
salam pambagya salam bahagia... KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ratu Ayu menyentuh pundak Gendhuk Tri.
"Apa maksudnya?"
"Belum jelas ditujukan kepada siapa. Rasanya tak ada sesuatu yang luar biasa. Kata-kata itu sendiri tak menyembunyikan sesuatu selain semacam ucapan selamat datang."
Keduanya berjongkok. Kemudian bersila. Menyembah ke arah tanah di bawah pohon.
Agak lama. Kemudian secara bersamaan pula berdiri, saling pandang dan segera meloncat Ke luar. Tak ada siapa-siapa. Gendhuk Tri agak sangsi melihat bahwa suasana dalam Keraton tampak sangat lengang.
Baru di bagian depan kelihatan beberapa prajurit jaga hilir-mudik.
Gendhuk Tri segera menyelinap dan kembali ke tempat beristirahat.
Ada bersitan rasa kuatir.
Jangan-jangan ada sesuatu yang menimpa Nyai Demang atau Permaisuri. Perasaan waswas hilang dengan sendirinya ketika Nyai Demang menyambut dengan wajah tenang.
Gendhuk Tri menceritakan apa yang dilihatnya.
"Kalau begitu, jelas itu ditujukan kepada kita. Lihat saja...."
Nyai Demang menunjuk ke arah tiang utama.
Baru Gendhuk Tri sadar bahwa di tiang juga ada tulisan yang sama.
"Mbakyu Demang paling pintar mengenai tata bahasa. Apa maksud salam bahagia itu?"
"Tak ada arti apa-apa selain mengucapkan salam bahagia. Sejauh saya tahu seperti itu agak lumrah di zaman Sri Baginda Raja."
"Mungkinkah seseorang yang menaruh simpati kepada kita?"
"Kalau benar begitu, untuk apa menyembunyikan diri?"
Ratu Ayu memotong pembicaraan.
"Sudah, biar saja. "Maksud kita sejak semula ingin memindahkan kerangka Raja Turkana. Kalau memang maksudnya mengucapkan selamat datang, ya kita terima. Kalau nanti merepotkan, kita semua siap menghadapi."
"Baik juga. "Bagaimana rencana Ratu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kita langsung ke Keraton. Mengutarakan maksud kita dengan baik.
Kalau ditolak, kita bisa memaksa."
"Kalau itu sudah menjadi kesepakatan, mari kita kerjakan sekarang."
Merasa bahwa semua persiapan telah dilakukan, segera Gendhuk Tri memimpin rombongan menuju Keraton. Di gerbang tak ada yang menyambut. Baru ketika di depan pintu utama, beberapa prajurit jaga menghadang.
"Sampaikan kepada yang berwenang mengatur, kami datang untuk mengambil Kakang Upasara...."
"Siapa kalian?"
"Buka mata yang lebar. Kalau melihat bayangan Permaisuri Rajapatni kalian tidak menyembah sampai dagu kalian menempel tanah, itu namanya keterlaluan.
"Mana Senopati Utama atau Mahapatih?"
"Maaf, kami hanya menjalankan perintah...."
Agak lama mereka berunding. Lalu salah seorang pemimpin maju, memberi sembah hormat, dan dengan suara lembut menyilakan keempatnya masuk.
"Hati-hati...," bisik Gendhuk Tri.
Tanpa pemberitahuan itu pun semua sudah berjaga-jaga. Di luar dugaan keempatnya bahwa mereka akan diizinkan dengan mudah.
Dalam bayangan semula, pasti akan repot. Bahkan bisa-bisa harus menunggu dawuh dari Raja.
Atau ini jebakan" Apa pun juga, Gendhuk Tri memang tak akan mundur lagi. Dalam pengawalan sederhana, keempatnya menuju kaputren.
Baru saja tiba di halaman bagian luar, tubuh Permaisuri Rajapatni terjatuh. Lunglai.
Terpaksa Nyai Demang yang menggotong dan membawa ke pinggir.
"Paman prajurit, apakah benar di sini dikuburkan Kakang Upasara?"
"Demikian adanya...."
Gendhuk Tri merasa bahwa jawaban yang didengar bukan keluar dari hati yang mantap yakin.
"Silakan...." "Apa Paman bersedia membantu kami membongkar?"
"Kalau diperintahkan...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ratu Ayu tak sabar. Setelah memejamkan matanya sekejap, kedua tangannya terulur ke depan. Meraup tanah dan dengan gerakan sangat cepat, kedua tangannya mengeduk tanah. Bagai tikus yang sedang menggangsir. Cepat sekali. Sehingga para prajurit yang mengawal terbengong melihatnya.
Gendhuk Tri juga melakukan hal yang sama.
Cepat kedua tangannya menggali dengan mempergunakan tombak yang dibawa para prajurit. Dalam waktu singkat, keduanya sudah membuat lubang sedalam lutut.
Nyai Demang kemudian turun membantu. Sehingga pekerjaan menggali bisa berjalan lebih cepat. Apalagi Nyai Demang bisa mengarahkan ke bagian tanah yang lebih lunak dari biasanya.
Sepenanak nasi, sebuah lubang sebesar kolam telah tergali.
Gundukan tanah sekitarnya meninggi. Gendhuk Tri terus bekerja bagai kesetanan, sementara sejak semula Ratu Ayu seakan memamerkan kemampuannya yang luar biasa. Kedua tangannya bergerak bagai baling-baling.
"Tahan...!" Suara Permaisuri terdengar bagai rintihan memelas.
Tubuhnya bergoyang, sambil berlutut terus berusaha maju ke arah lubang, dengan merangkak.
"Hati-hati... ada Kakangmas...."
Permaisuri melorot ke bawah. Tangannya mengibas, melepaskan lapisan kainnya bagian luar. Tubuhnya tergetar keras.
"Kakangmas...."
Selamat Beristirahat Selamanya
TANGISAN yang memilukan. Gendhuk Tri mencium bau tak enak dan salah satu sudut yang didatangi Permaisuri.
Benar saja. Dengan satu sentuhan perlahan, tangannya menyentuh sesuatu yang lunak. Tubuh manusia!
Gendhuk Tri tersentak. Ia pernah terkubur hidup-hidup dalam Gua Lawang Sewu, alias Pintu Seribu. Pernah mengalami saat-saat bersama mayat yang telah
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
membeku dan kemudian membusuk. Sekarang semua ingatan kembali menyeruak.
Nyai Demang menunduk lemas.
Ratu Ayu melepaskan kainnya bagian luar, juga selendangnya.
Demikian juga Gendhuk Tri, yang akhirnya melakukan sendiri.
Mengambil bagian-bagian tubuh yang sebagian masih ada sisa daging.
Hanya di bagian tertentu telah berubah menjadi tulang. Dengan segala rasa hormat dan getaran hati, Gendhuk Tri mengumpulkan semuanya dalam kain, dan membungkusnya hati-hati.
Bersemadi sebentar. Menghela napas berat. Lalu membawa kembali ke atas tanah dengan sekali lompat.
Tangannya terulur ke bawah. Nyai Demang menyusul sambil membopong tubuh Permaisuri, disusul oleh Ratu Ayu.
"Paman prajurit, terima kasih atas semua bantuan Paman...."
"Kami hanya melakukan tugas."
"Sekarang kami akan kembali ke Kedung Dawa untuk memberi tempat istirahat yang layak dan selamanya bagi Kakang...."
Gendhuk Tri bersiaga kalau-kalau terjadi sesuatu.
Ternyata bahkan sampai gerbang Keraton bagian luar, tak ada yang mengganggu, bahkan tak ada yang menegur sapa. Para prajurit yang mengawal juga berhenti dan segera meninggalkan.
Yang kemudian menyambut ialah mereka yang tadi melayani Gendhuk Tri. Yang malah lebih siap dengan peti dan kain putih, dan segera merukti, merawat, dengan sangat hormat. Dengan memberi wangi-wangian dari bunga serta dupa.
Bahkan kemudian menyediakan kereta sapi.
"Kami siap mengantarkan sampai ke Kedung Dawa...."
"Terima kasih. "Sampaikan rasa terima kasih yang dalam dari kami, kepada siapa pun telah berbuat begitu baik. Karena kami tak mau menunggu lama, sebaiknya berangkat sekarang juga."
"Sesuai dengan perintah Putri...."
Yang agak merepotkan hanyalah Permaisuri yang tidak pernah sadar sejak keluar dari Keraton. Berkali-kali dan berganti-ganti Nyai Demang dan Ratu Ayu berusaha menyadarkan, akan tetapi hasilnya sia-sia.
Gendhuk Tri lebih memusatkan perhatian di depan, untuk memimpin perjalanan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sampai matahari tenggelam, tak ada gangguan apa-apa. Ketika rombongan mengusulkan beristirahat, Gendhuk Tri mengatakan bahwa ia akan terus melanjutkan perjalanan.
"Saya tak mau menahan Kakang dalam perjalanan.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian cukup mengantar sampai di sini. Selanjutnya saya bisa mengawal sendiri...."
"Kami berkewajiban mengantar sampai selesai...."
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan...."
Tekad Gendhuk Tri sudah tak terbantah oleh siapa pun. Ratu Ayu sendiri tak memberi reaksi apa-apa. Demikian juga Nyai Demang yang merasa bahwa Gendhuk Tri mampu memutuskan secara tegas dan jelas.
Hari kedua rombongan pengantar benar-benar tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Namun Gendhuk Tri tetap berkeras melanjutkan perjalanan.
Ketika itulah rombongan lain datang dan siap membantu melanjutkan perjalanan. Gendhuk Tri tak mempertanyakan siapa yang menyuruh dan bagaimana urusan di belakang hari. Ia hanya mengangguk sebagai isyarat dilanjutkannya perjalanan ke Kedung Dawa.
Ternyata perjalanan yang terus-menerus tak mengubah kesadarannya sedikit pun. Gendhuk Tri tetap bersemangat, tetap berada di depan, dengan pandangan mata nyalang.
Hanya menjelang memasuki perkampungan Gua Kencana, Gendhuk Tri memerintahkan rombongan berhenti. Nyai Demang turun dari kereta.
"Kamu jaga di sini. Sekarang giliran saya menyelinap ke dalam.
Agaknya ada yang tak beres."
"Hati-hati, Mbakyu....
"Saya, akan segera menyusul ke sana."
"Hati-hati juga. Jaga dirimu, dan Adimas Upasara...."
Gendhuk Tri mengangguk. Nyai Demang menepuk pundak Gendhuk Tri, lalu segera bergegas pergi. Langkahnya tidak terlalu ringan, akan tetapi dengan mengerahkan tenaga terus-menerus, tak berapa lama bisa sampai di lapangan terbuka.
Benar dugaannya. Tempat yang ramai belum sepuluh hari lalu, kini tampak berubah sunyi. Hanya ada beberapa orang yang masih tinggal.
Ketika Nyai Demang berusaha masuk ke rumah Wong Agung Galgendu hanya ada empat prajurit yang mengawal.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Siapa yang datang?"
"Namaku Nyai Demang. Aku sahabat Wong Agung. Izinkan aku masuk dan menemui beliau...."
"Ada urusan apa?"
Tangan Nyai Demang terulur, mendorong keempat prajurit yang tidak siap. Dengan sekali menggertak, Nyai Demang melangkah masuk.
"Maaf, aku tergesa...."
Dengan sekali membalik, tangan dan kaki Nyai Demang bergerak bersamaan. Keempat prajurit, semuanya, menerima tendangan dan pukulan. Tanpa bisa mengelak.
Nyai Demang serasa terbang masuk ke rumah.
Sepi. Hatinya bercekat. Begitu masuk ke ruangan dalam, hatinya lebih bercekat lagi. Karena ruangan utama yang mewah itu sekarang porak-poranda. Hanya ada satu ranjang, dan di atasnya berbaring tubuh yang mengerang.
Sementara beberapa orang yang mengelilingi memandang takut kepada Nyai Demang.
"Wong Agung..."
Nyai Demang segera mendekat. Tangannya memegang nadi Wong Agung yang terbujur tak bergerak. Terasakan bahwa Wong Agung sangat menderita. Segera Nyai Demang mematikan sementara saraf yang menyebabkan rasa sakit. Wong Agung mengerang satu kali, setelah itu terlelap.
Mereka yang mengelilingi memandang hormat.
"Ceritakan apa yang terjadi...."
Baru kemudian keadaannya menjadi jelas. Bahwa setelah keberangkatan rombongan Ratu Ayu, Kedung Dawa kedatangan tamu lain, yang jumlahnya tak lebih dari lima orang. Para tamu ini memaksa masuk ke Gua Kencana. Terjadilah pertarungan yang tak seimbang.
Semua prajurit kawal dibunuh tanpa kecuali. Bahkan seluruh isi rumah diobrak-abrik, semua barang yang ada dijungkirbalikkan.
"Apa yang mereka cari?"
"Kami kurang mengetahui. Hanya Wong Agung yang mulia yang mengetahui....
"Saat itu Wong Agung yang mulia sedang menyiapkan pencandian Ksatria Pa..."
"Cukup. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalian rawat baik-baik. Sampai esok, Wong Agung masih akan terlelap. Saya akan segera kembali kemari. Kalau ada apa-apa, hadapi sebisanya."
Nyai Demang tidak membuang waktu.
Segera kembali ke tempat Gendhuk Tri, yang ternyata tak menunggu.
Sehingga mereka bisa bertemu di separuh perjalanan.
Gendhuk Tri mendengarkan dengan pandangan tak berubah sedikit pun.
"Mbakyu Demang, rencana kita tak boleh berubah. Kita adakan upacara untuk Kakang...."
"Rasa-rasanya harus dalam bentuk lain.
"Kini tak ada lagi pendeta, tak ada lagi..."
"Dalam bentuk yang bagaimanapun.
"Mbakyu melihat keanehan apa?"
"Sulit dikatakan sekarang. Rombongan yang datang mengacau, jelas dari kalangan yang mengerti ilmu silat dan bertindak bengis. Semua prajurit dibunuh tanpa peduli. Tak ada yang bersisa lagi."
"Sasaran mereka adalah Gua Kencana, untuk merampok emas...."
"Tidak juga. "Kalau hanya itu, agaknya tak perlu menghancurleburkan. Dan agak susah juga, karena prajurit Keraton pun ada di situ. Pastilah bukan orang biasa."
"Mbakyu, kita membagi tugas.
"Mulai sekarang ini agaknya hanya kita yang masih bisa waras. Kita mempersiapkan pencandian Kakang, dan melihat kemungkinan yang terjadi.
"Mulai sekarang ini, siapa pun yang menghalangi, akan kita hadapi bersama."
Untuk pertama kalinya sejak mengenal Gendhuk Tri, Nyai Demang merasa gentar. Kalimat Gendhuk Tri seakan membeset dari luka hati yang dalam. Tekad yang meniadakan kemungkinan lain.
Gendhuk Tri yang tadinya dianggap paling jernih, kini telah berubah.
Gendhuk Tri saat ini memancarkan sorot mata ganas dan telengas.
Dalang Kurang Sesaji KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
APA yang dilakukan Gendhuk Tri seperti apa yang biasa dilakukan oleh lima orang sekaligus. Dengan wajah dingin ia memerintahkan persiapan upacara pencandian Upasara Wulung.
Pada saat yang sama ia ikut mengumpulkan kayu bakar, menyiapkan dupa, mengatur letak pemasangan batu utama, dan mencari tujuh ekor sapi yang tanduknya gagah untuk dikorbankan. Rambutnya sengaja dibiarkan tergerai. Kain yang dipakai adalah kain yang digunakan untuk mengangkat tulang Upasara.
Nyai Demang merasa ngeri, akan tetapi tak bisa berbuat sesuatu untuk menahan. Juga tak ada alasan.
Hanya sekali Gendhuk Tri kembali ke ruang dalam, memeriksa nadi Wong Agung Galgendu.
Lalu menggeleng. "Tak ada harapan lagi. Bagian dalamnya luka parah, hancur...." Suara Ratu Ayu seperti bergema di ruang kosong.
"Siapa lagi yang tega berbuat seperti ini"
"Rasanya tak ada lagi tokoh yang bisa berkeliaran tanpa kita kenal.
Mungkinkah Kiai Sambartaka muncul kembali?"
Gendhuk Tri tak menjawab. Meskipun dalam hatinya setengah membenarkan dugaan Ratu Ayu. Tokoh sakti yang bisa berbuat telengas sekarang ini boleh dikatakan tinggal Kiai Sambartaka. Yang bisa berbuat jahat menghabisi semua prajurit atau ksatria yang menghalangi jalannya.
Satu per satu dihabisi. Dan dilihat dari rontoknya bagian dalam tubuh Wong Agung Galgendu, hanya mungkin dilakukan oleh tokoh setingkat Kiai Sambartaka. Apalagi bekas luka dalam yang diakibatkan jelas menunjukkan pengaruh itu.
"Agak aneh juga. Untuk apa ia menghancurkan ini semua?"
Pertanyaan yang sama bukannya tidak menggoda Gendhuk Tri.
Hanya saja ia lebih suka memusatkan perhatian kepada hal lain. Karena siapa pun
Yang begitu ganas melakukan hal itu, tak akan mengubah kenyataan yang ada. Sehingga akan lebih baik memikirkan langkah apa yang akan dihadapi.
"Tunggui Wong Agung, Ratu....
"Biarkan di saat-saat terakhir dalam hidupnya Wong Agung merasa bahagia karena berada di dekat orang yang dicintainya."
Tanpa terasa Ratu Ayu meneteskan air mata.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Gendhuk manis, sekarang ini aku tahu bahwa Wong Agung lebih bahagia Raja Turkana. Yang di saat terakhir tak ada yang menunggui...."
Suara keharuan yang terulang.
Seakan setiap kali, setiap saat, setiap peristiwa bisa ditarik perbandingannya dengan Upasara. Dan itu berarti membeset luka lama yang belum bisa pulih.
Sebenarnya baik Ratu Ayu, Gendhuk Tri, maupun Nyai Demang sadar bahwa usaha mendampingi Wong Agung sia-sia belaka. Mereka bertiga sadar bahwa keadaan Wong Agung lebih buruk dari yang diperkirakan.
Kalau sekarang masih terbaring dan bernapas satu-satu, hanya jasmaninya saja yang bertahan. Selebihnya tak bisa merasakan apa-apa, tak bisa bereaksi. Pun kelopak matanya.
Namun Ratu Ayu melakukan apa yang dikatakan Gendhuk Tri.
Bersila di samping Wong Agung, memanjatkan doa mengantarkan kepergian untuk selamanya.
Ketika itu dari ruang tengah terdengar jeritan ketakutan. Gendhuk Tri baru saja akan melangkah ketika dari pintu berhamburan beberapa orang yang tadi menjaga peti Upasara. Mereka menabrak begitu saja.
Apa yang terjadi di ruang tengah memang bisa membuat rasa takut setengah hidup.
Peti yang berada di tengah ruangan, mendadak bergerak sendiri.
Bergoyang-goyang. Sesaat ada bersitan dalam pikiran Gendhuk Tri bahwa suatu keajaiban telah terjadi.
Tapi Gendhuk Tri bisa menenangkan diri pada bersitan pikiran berikutnya. Adalah tak mungkin sama sekali potongan tubuh yang sebagian sudah menjadi tulang, sebagian sudah membusuk, bisa utuh kembali.
Selendangnya bergerak, suaranya mengguntur.
"Dalang gendheng, jangan main-main...."
Dari langit-langit rumah melayang turun tubuh yang sedikit bongkok, wajah yang keruh tapi keras. Ki Dalang Memeling! Hanya Ki Dalang yang mampu menggerakkan benda dari jarak jauh.
Sebutan dalang gendheng, atau dalang kurang waras, merupakan tebakan yang sangat tepat. Dengan sekali melihat Gendhuk Tri bisa mengetahui siapa yang membuat ulah.
"Bagaimana kamu tahu aku ini dalang gendheng" Aku adalah dalang paling hebat dari Desa Memeling yang tanpa tanding. Yang bisa memainkan wayang kulit sambil berbaring."
"Hari ini aku tidak butuh ucapan kotor semacam itu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Di jagat ini tak ada ucapan kotor, tak ada ungkapan kotor. Kalau ada yang bocor, itu memang kehendak alam."
"Menyingkirlah dari sini...."
"Lho, kenapa kamu lebih galak dari enam ekor anjing yang sedang beranak" Tubuhmu tegak, matamu membelalak, tapi tak nanti aku bisa kamu gertak.
"Di jagat ini tak ada gertak.
"Kamu bilang aku harus menyingkir, justru aku mau berada di sini Mau terus hadir. Kamu larang aku mempermainkan peti, aku justru mau mengambil...."
Apa yang dikatakan benar-benar dilakukan.
Dari tubuhnya, Ki Dalang mengeluarkan tali kampar, tali yang dibuat dari sabut kelapa pilihan. Besarnya separuh kepalan, dan cukup panjang karena sekali disentakkan bisa langsung menggulung peti.
Gendhuk Tri tak membuang waktu sedikit pun. Begitu tali bergerak ujung selendangnya lebih dulu berkibar. Desiran angin menyampok keras, membelokkan ujung tali.
Akan tetapi ternyata Ki Dalang cukup lihai memainkan talinya. Bagai ular hidup, ujung tali satunya justru melenggok ke dalam, menyusup, dan menggulung peti. Sementara ujung yang tak tertolak sapuan selendang, kini dipegang.
Pada saat itu tubuh Gendhuk Tri sudah berada di sampingnya.
Sehingga sebelum Ki Dalang sempat menarik, pinggangnya disodok dengan siku, bersamaan dengan guntingan dua kaki sekaligus.
"Lepas...." Ki Dalang mengeluarkan seruan tertahan.
Serangan Gendhuk Tri mengguyur bagai siraman air hujan. Tak ada peluang sedikit pun untuk menghindar, kalau ingin tetap di tempat.
Bahwa Gendhuk Tri lebih mengisyaratkan "lepas", karena tidak ingin petinya terganggu.
Jalan yang terbaik memang melepaskan ujung tali.
Di luar dugaan Gendhuk Tri, Ki Dalang meloncat mundur sambil berjumpalitan, dengan tangan tetap memegang tali.
Ini berarti peti yang tadi tergulung bisa melayang bagai disentakkan!
Nyatanya tidak. Gulungan tali itu lepas dengan manis, tanpa membuat getaran.
Sungguh kemampuan mengendalikan tenaga yang luar biasa. Kalau itu yang terjadi, bisa dibayangkan betapa murka Gendhuk Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kini sambil berdiri tegak, Ki Dalang memainkan tali di bagian tengah.
Sehingga dua ujungnya bisa digunakan untuk menyerang. Mematuk, menyelinap, melibat tubuh Gendhuk Tri. Yang tidak membiarkan dirinya dilibat begitu saja. Rentetan serangan dari Kitab Air mengalir dalam tubuh Gendhuk Tri.
Kelihatan tetap tenang, gerakan Gendhuk Tri yang serba perlahan justru bisa mementahkan ikatan. Setiap kali ujung tali mematuk, setiap kali pula Gendhuk Tri bisa menerobos maju.
Dua kali mencoba menangkap bagian tengah tak, akan tetapi setiap kali bisa lolos.
Ini termasuk mengherankan juga.
Tali kampar yang dipilin dari sabut kelapa bukan barang yang licin.
Malah boleh dikatakan sangat kasar. Akan tetapi toh di tangan Ki Dalang bisa menjadi licin!
Lima jurus berlalu. Gendhuk Tri mulai mengubah gerakannya. Kini tak lagi mengikuti arus sungai yang tenang, akan tetapi menambah getaran di tangan, dan terutama kaki. Pertarungan berkembang tajam, karena empat selendang Gendhuk Tri secara langsung mengarah ke wajah lawan, menyingkirkan tali, di samping guntingan kaki yang mau tak mau membuat Ki Dalang berloncatan, seakan menghindari rembesan air.
"Aku tahu jalan pikiranmu.
"Kamu heran kenapa aku ingin peti itu. Karena itu milikku. Akulah yang harus merawatnya dan memperlakukan seperti tubuhku. Kalian tak punya hak untuk mencampuriku.
"Aku tahu jalan pikiranmu.
"Kamu heran kenapa aku tak mau mengurusi Galgendu. Tubuhnya sudah mulai bau, sudah kaku, dan tak ada apa-apanya yang berharga, bahkan juga kukunya."
Nyai Demang yang berada di pinggir, merasakan betapa tajam ungkapan Ki Dalang.
Bisa mengutarakan secara pas apa yang dipikirkan orang lain.
Pertanyaan pertama tentunya: Kenapa Ki Dalang mau mengurusi peti Upasara, sementara Wong Agung Galgendu dibiarkan begitu saja"
Bukankah sejauh ini hanya dua orang yang bebas keluar-masuk Gua Kencana, yaitu Ki Dalang dan Wong Agung" Bukankah itu pertanda hubungan yang sangat dekat dan istimewa"
"Aku tahu semuanya, meskipun dibilang dalang kurang sesaji, dalang kurang persembahan.
"Aku lebih waras dari kalian."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tangisan Masa Lalu SAMBIL terus mengoceh, Ki Dalang berusaha membebaskan diri dari serangan Gendhuk Tri.
Yang terakhir ini menjadi tidak sabar. Dengan mengertakkan gigi, Gendhuk Tri merangsek lebih dalam. Gerakannya menjadi makin tajam, menyuruk masuk. Bentrokan tenaga tak dihindari, sabetan dan gulungan tali yang jelas-jelas mengarah ke leher tak dipedulikan.
Gendhuk Tri terus mengurung dengan tebaran selendangnya. Ia memainkan bagian yang disebut ngelebi, menggenangi.
Sifat dasar permainan silat Gendhuk Tri ialah sifat air. Yang tenang, mengalir ke tempat rendah. Sekarang pun pola itu yang dipakai, hanya saja bukan ketenangan yang digunakan, melainkan tenaga keras.
Sehingga bukan tenaga air mengalir ke tempat rendah, melainkan tenaga air yang ngelebi yang mengurung dan menggenangi, untuk membenamkan.
Tanpa memedulikan hambatan yang ada.
Semua serangan yang datang disampok keras.
Kibaran selendangnya benar-benar mengurung habis, sehingga Ki Dalang tampak tak bisa menghindarkan diri. Satu gulungan tubuh disertai tebaran selendang, membuat Gendhuk Tri dua tindak maju.
Tangan kirinya memapak serangan keras tangan kanan, kedua kakinya siap menjebol kuda-kuda Ki Dalang.
Kena! Seruan dalam hati ini tertahan.
Karena meskipun selendang Gendhuk Tri berhasil menutup wajah Ki Dalang, kedua ujung tali Ki Dalang berhasil menggulung peti.
Sehingga kalau Gendhuk Tri berbuat sesuatu, peti itu yang rontok lebih dulu.
"Aku yang menang. "Aku yang bisa membaca dengan tenang. Saat kamu menguasaiku, sebetulnya aku yang menguasaimu.
"Masih akan kamu teruskan melumatkan wajahku?"
Gendhuk Tri menarik selendangnya dengan kesal.
Ki Dalang juga melepaskan ikatan pada peti. Sekali lagi tanpa membuat peti itu bergoyang sedikit pun.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya saja yang tidak diperhitungkan oleh Ki Dalang bisa terjadi!
Begitu terlepas dari belitan peti, Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya ke bawah merosot ke arah depan. Kedua kakinya terangkat ke atas, menggunting tubuh Ki Dalang.
"Apa ini?" Seruan keras dibarengi dengan loncatan tubuh ke atas, melengkung dengan punggung ke dalam. Loncatan yang memesona, karena Ki Dalang mempergunakan tenaga yang berada di tulang belakang.
Sehingga bisa jatuh secara jungkir balik dan menarik untuk ditonton.
Nyai Demang memuji cara Ki Dalang meloloskan diri dari serangan mendadak. Cara mempergunakan tenaga di bagian punggung adalah sesuatu yang luar biasa.
Tapi Gendhuk Tri jauh lebih siap.
Begitu kedua tangan Ki Dalang menyentuh tanah, langsung kena serimpung kedua kakinya.
Tanpa bisa menghindar lagi, Ki Dalang terbanting.
"Apa hebatnya Siasat Sembilan Bintang yang sudah ketinggalan zaman?"
Ki Dalang meringis. "Siapa kamu?" "Namaku Gendhuk Tri."
"Bagaimana mungkin kamu tahu apa yang aku tidak tahu?"
Wajah Gendhuk Tri sedikit berubah.
Tak ada lagi perasaan gelisah.
"Ilmu silatmu cukup bagus, Paman.
"Sejak Paman bisa memainkan wayang dari jarak jauh, saya sudah bisa menduga dari mana asal-usul ilmu silat yang merupakan tetiron ajaran Kitab Bumi.
"Begitu Paman membalikkan tubuh dengan tenaga bagian belakang, semua anak juga tahu itu jurus Nawagraha, sehingga sekali tebas, Paman akan meraung kesakitan."
Dalam pendengaran Nyai Demang, gaya penyebutan Gendhuk Tri yang memanggil "Paman", merupakan tanda hormat. Bisa dimengerti karena kemudian Gendhuk Tri menjelaskan dengan menyebut Siasat Sembilan Bintang. Rangkaian jurus pelipatan tenaga sembilan kali yang selama ini dimainkan oleh Maha Singanada!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri bukan hanya mengetahui, akan tetapi bahkan pernah memainkan.
Lebih dari itu semua, Gendhuk Tri pernah memainkan bersama-sama Maha Singanada.
Bisa dimengerti kalau ketika Ki Dalang memainkan jurus itu, sekali lihat langsung tahu titik lemahnya. Yaitu dengan menyerimpung tangan Ki Dalang.
Bukan sesuatu yang luar biasa.
Bukan sesuatu yang luar biasa kalau Gendhuk Tri bisa mematahkan serangan lawan seketika.
Yang luar biasa adalah bahwa bisa dengan cepat mengenali gerakan lawan, dan memastikan langkah penangkalnya. Bahkan ia mengenali ilmu silat Nawagraha, tidak berarti segera mengenali hanya dari satu jurus.
Dalam hal ini, Nyai Demang mengakui Gendhuk Tri bisa maju pesat ilmunya, karena memiliki naluri yang sangat tajam. Naluri mengenali lawan, dan dengan sama cepatnya berani mengambil keputusan.
Nyai Demang merasa, unsur inilah yang membuat Gendhuk Tri bisa melebihi sesama pendekar. Termasuk dirinya. Yang dalam situasi seperti yang dialami Gendhuk Tri, tak berani menghadapi risiko dengan memotong gerakan tangan lawan.
Gendhuk Tri memang berbeda dan Nyai Demang.
Kalau yang terakhir ini mempelajari dari berbagai kitab dan mengolah dalam pikiran, sebaliknya Gendhuk Tri terjun ke lapangan, jauh sebelum mengenal kitab. Semua yang dilakukan mengalir dengan sendirinya, sebagaimana orang yang melatih reaksi secara langsung.
"Paman Senopati Mapanji, tak perlu berpura-pura menjadi dalang gila..."
Mendadak Ki Dalang meraung keras.
Tubuhnya berkelojotan. Tangannya memukul lantai ruangan sehingga batunya retak.
Tangannya sendiri berdarah.
"Itu tidak betul. "Senopati Mapanji Paksa sudah lama menyerahkan keris Keraton. Ia sudah tak ada lagi. Itu tidak betul. Kamu kena kibul."
"Apa pun yang Paman katakan, Paman tak bisa menyembunyikan diri terus-menerus...."
"Lihat, aku hampir menangis.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hatiku teriris, karena dituduh yang bukan-bukan. Apa yang kamu omongkan?"
Gendhuk Tri mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Kemudian meluruskan rambutnya, dan menggelung dengan rapi.
Sorot matanya berubah iba.
"Baik, kalau begitu kemauan Paman.
"Sebagai Ki Dalang Memeling, apa yang Paman inginkan sekarang ini?"
Nyai Demang mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali, disertai helaan napas yang dalam. Sangat dalam.
Sekali lagi tak bisa dipungkiri, ia memuji kemajuan Gendhuk Tri.
Bukan hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dalam kedewasaan berpikir dan bertindak.
Dalam sekejap bisa menduga jurus lawan, dan kemudian mematahkan.
Dalam sekejap bisa menebak siapa lawan, dan kemudian membiarkan saja.
Ini luar biasa. Justru setelah Gendhuk Tri mengetahui bahwa Ki Dalang adalah Senopati Mapanji Paksa, pada saat yang sama Gendhuk Tri menyadari tak perlu mendesakkan kenyataan itu kepada yang bersangkutan.
Karena Ki Dalang sudah menolak mengakui dirinya sebagai Senopati Mapanji Paksa, senopati utusan Keraton Singasari ke Negeri Campa.
Menolak keras, karena peristiwa yang dialami dengan Dyah Ayu Tapasi.
Duka lama yang ditelan untuk dihancurluluhkan.
Berubah menjadi Ki Dalang yang dipaksakan, menjadi dirinya yang baru pribadinya yang baru, sehingga semua jalan pikiran benar ditolak.
Ada tepatnya sebutan dalang gendheng, karena secara total ingin mengubah sosoknya.
Dan Gendhuk Tri cukup arif untuk tidak menelanjangi kenyataan yang sesungguhnya.
"Aku mau peti itu. Karena yang berada di dalam itu milikku."
Ki Dalang berdiri kembali. Suaranya lantang.
"Kamu bisa mengalahkanku satu kali. Tanganku keduanya sakit sekali. Tapi aku tetap akan merebut."
"Ki Dalang keliru. Yang Ki Dalang inginkan adalah Sodagar Galgendu...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Orang itu hanya gemuk tubuhnya.
"Tak lebih. "Aku sedih. Karena selama ini Galgendu hanya mau membuat semua dari emas, menggali emas. Itu juga aku yang mengajari. Tidak, Galgendu tak pantas dirawat dan dicandikan. Orang dalam peti itu yang pantas."
"Kita akan merawat bersama-sama, Paman."
"Tidak bisa. Jangan coba."
Permaisuri Pengayom KI DALANG MEMELING yang tak lain adalah Senopati Mapanji Paksa menggerakkan tali kamparnya. Seketika menjadi lurus mengarah ke peti.
Bahwa orang yang mempelajari tenaga dalam bisa menyalurkan lewat seutas tambang bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa Ki Dalang mampu menyalurkan secara penuh pada tambang yang panjangnya hampir dua setengah tombak secara lurus, boleh dikatakan termasuk luar biasa.
Kali ini Nyai Demang yang bergerak cepat. Begitu ujung tali hampir menyentuh peti, Nyai Demang mengibaskan keras. Akibatnya agak di luar dugaan Nyai Demang.
Ujung tali tambang mematuk tangan Nyai Demang.
"Aduh!" Teriakan yang mengagetkan.
Gendhuk Tri sendiri tidak menduga bahwa Nyai Demang bisa kena diserang dalam satu jurus yang dimainkan secara lurus. Lempeng saja gerakan tali mengeras itu. Nyatanya Nyai Demang tak sempat menghindar.
Kibasan berikutnya, Ratu Ayu yang berada di tengah ruangan. Di tangannya tergenggam Kangkam Galih.
Tanpa memberi pembukaan, Ratu Ayu menebaskan pedangnya yang tipis hitam panjang. Ki Dalang menarik pulang tambangnya, mengganti dengan ujung yang lain untuk menyerang. Tapi Ratu Ayu sempat dengan mudah menggerakkan batang pedangnya untuk menangkis, mengusir, dan sekaligus balas menyerang. Satu lompatan panjang, Ratu Ayu sudah bisa berdiri dekat sekali. Ketika Ki Dalang melibatkan talinya, hanya dengan sekali sentak tali itu putus jadi beberapa potongan kecil.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ratu, kita tak perlu membuat permusuhan dan pertumpahan darah di depan Kakang...."
Suara Gendhuk Tri menghentikan pertarungan, untuk sesaat.
Gendhuk Tri memang merasa kurang enak membiarkan Ratu Ayumelukai Ki Dalang. Baik karena Ki Dalang ayah kandung Maha Singanada maupun sebab yang diutarakan.
"Biar bagaimanapun, aku yang merawat peti. Aku yang memiliki.
Suara hatiku mengatakan, persis yang kukatakan sekarang ini."
"Kalau begitu kita rawat bersama, Paman."


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitu juga boleh."
"Nah sekarang Paman mencari pendeta yang bijak untuk memimpin upacara."
"Bisa saja. Apa susahnya.
"Dengan emas segede kepala, apa saja bisa."
Ratu Ayu menangkap maksud Gendhuk Tri. Yang memperlakukan Ki Dalang sebagai orang yang kurang waras. Agaknya itu jalan keluar yang lebih baik.
Untuk sesaat mereka semua malah bisa berbagi tugas. Dan ternyata Ki Dalang mempunyai wawasan yang luas. Pandangan yang selama ini tak dimengerti Gendhuk Tri.
Meskipun saat itu sebenarnya Gendhuk Tri tak mempunyai minat mendengarkan.
"Kamu tahu apa, gadis manis"
"Kulit manusia itu tipis. Mudah tergores, apalagi oleh emas dan oleh keris.
"Emas dianggap sangat luar biasa berharga. Seakan jagat dan isinya bisa dibeli semua. Memang benar begitu. Aku dan Galgendu menemukan tempat penambangan emas di sini. Itu biasa-biasa.
"Sampai kemudian aku menemukan cara yang baik untuk mengelabui sesama mata.
"Aku bisa melapis. Aku bisa membuat tali tambang ini seakan seluruhnya dari emas. Padahal hanya dilapis saja. Semua orang percaya. Termasuk Raja, termasuk orang seberang.
"Jadilah kami berdua sangat kaya raya.
"Mampu membangun pohon kelapa dari emas.
"Memang bisa. Tapi sebenarnya hanya lapisan luar. Hanya kulitnya yang bisa terbakar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Gadis manis, kapan-kapan kamu akan kuajari bagaimana membuat lapisan seperti itu. Peti itu kita lapis, dan semua orang mengira seluruhnya emas.
"Bukankah itu menarik?"
"Saya kurang mengerti, Paman."
"Lebih banyak yang tidak mengerti makin baik. Jadi setiap orang tetap tertarik, matanya melirik."
"Saya kurang mengerti kenapa Paman tertarik menjadi dalang."
Agaknya ini pertanyaan yang keliru dilontarkan. Karena dengan sangat bersemangat Ki Dalang bercerita sejak awal bagaimana wayang kulit yang hanya terbuat dari kulit bisa membuat orang menangis, tertawa, mati, dan hidup lagi. Bagaimana memindahkan sukma ke dalam kulit, dan menggerakkannya. Tidak menggerakkan dengan tangan secara langsung, akan tetapi dengan rasa.
Itulah sesungguhnya ilmu yang paling sejati.
Kalau hanya mewarisi bagaimana memainkan wayang, semua orang asal tidak buntung tangannya dan tidak kutung pikirannya, pasti bisa.
Akan tetapi menerima nilai yang benar, yaitu menerima sukmanya, tak bisa ditangkap sembarang orang.
Itu sebabnya Ki Dalang memilih menjadi dalang. Karena dengan menjadi dalang...
Makin panjang cerita Ki Dalang, Gendhuk Tri makin tak betah mendengarkan.
"Bagaimana kalau Paman mencari pendeta sekarang ini?"
"Itu gampang. "Asal ada uang, semua pendeta bakal datang. Doa sangat mudah melayang, dan biasanya menjadi panjang.
"Jangan kuatir, jangan terlalu banyak mikir.
"Tunggulah sesaat. Tak akan terlambat. Aku segera berangkat."
Yang tertinggal dalam ingatan Gendhuk Tri hanyalah setitik pengertian. Bahwa Ki Dalang ataupun Singanada menjadi tidak waras kalau disinggung mengenai Dyah Tapasi.
Tapi selebihnya biasa-biasa saja. Walau masing-masing mempunyai pembawaan yang berbeda.
Setitik pengertian yang tertinggal itu adalah kenyataan betapa sesungguhnya hati manusia sangat rawan. Peristiwa yang hanya terjadi satu kali, satu saat, bisa berakibat begitu panjang. Sepanjang perjalanan hidup mereka masing-masing.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahkan kadang melebihi. Seperti yang terjadi pada Eyang Berune, yang bahkan setelah meninggal masih penasaran karena daya asmara yang terpendam terhadap Eyang Putri Pulangsih.
Contoh yang juga terjadi pada diri Ki Dalang.
Dyah Tapasi memutuskan untuk menghancurkan dirinya, menghancurkan daya asmaranya. Hal itu membuat Senopati Agung Brahma mengucilkan diri dan Ki Dalang melepaskan semua derajat dan pangkat, menanggalkan kewarasan pikiran, sehingga mengubah dirinya.
Bukankah itu pula yang dialami Dewa Maut"
Yang memutuskan hidup sebatang kara di atas perahu, setelah kekasihnya lepas dari genggamannya" Sehingga melarikan diri untuk hidup bersama sesama kaum lelaki"
Kalau benar begitu, apa sesungguhnya daya asmara itu" Yang mampu membuat manusia jungkir balik"
Bagaimana dengan dirinya sendiri"
Gendhuk Tri tercenung. Daya asmara yang bersemi dalam dirinya terhadap Kakang Upasara dipendam. Yang muncul ke permukaan kemudian adalah penerimaan pada Singanada Pada saat itu pula muncul Pangeran Anom, yang dengan tulus, yang dengan segala kepolosannya menyatakan daya asmaranya.
Kenapa dirinya tidak bertemu dengan Pangeran Anom saja lebih dulu" Kenapa justru sesaat setelah hatinya menerima Singanada, muncul Pangeran Anom"
Gendhuk Tri membuang pikiran mengenai Pangeran Anom. Akan tetapi menjadi kejutan yang tak dimengerti sendiri ketika Ki Dalang kembali dan bercerita tentang Pangeran Anom.
Tak masuk akal! "Betul, gadis manis, perawan manis.
"Ini aku membawa serombongan prajurit Keraton yang datang untuk menjemputmu, menjemput Permaisuri Rajapatni. Mereka mengetahui kamu di sini dari Pangeran Anom, putra Senopati Agung Brahma yang tak ikut ke seberang."
"Apa hubungannya, Paman"
"Bukankah Paman mencari pendeta?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku memang mencari pendeta, tapi ketemu mereka. Jadi aku antar saja. Lagi pula mereka menginginkan Permaisuri untuk menjadi pengayom, untuk menjadi pelindung di Keraton.
"Permaisuri dan kalian semua harus berada di Keraton. Agar Keraton tidak sepi, agar... agar... apa tadi?"
Nyai Demang yang datang kemudian mengerutkan dahinya.
Pandangannya bertatapan dengan Gendhuk Tri.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Nyai Demang mengetahui sesuatu telah terjadi di Keraton. Sesuatu yang sangat menentukan jalannya tata pemerintahan.
Tanda pertama ialah ketika beberapa hari lalu mereka masuk ke halaman kaputren, dan hanya dikawal para prajurit biasa. Suasana Keraton boleh dikatakan sangat sepi. Tak ada yang secara resmi menguasai dan memutuskan sesuatu.
Bahkan sampai mereka selesai membawa balik jenazah Upasara, boleh dikata tak ada halangan yang berarti.
Kalau dihubung-hubungkan dengan cerita Gendhuk Tri, adanya kidung pambagya di kulit pohon juga menunjukkan keleluasaan bagi orang luar.
Seakan Keraton tak ada wibawanya lagi.
Takhta Tanpa Raja TAK ada yang bisa menduga apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Tidak yang sekarang berada di Kedung Dawa, atau juga di Simping.
Karena yang mengambil prakasa utama adalah Senopati Tantra.
Senopati yang masih berdarah muda penuh gelegak merasa bahwa para Senopati Utama yang terdiri atas tujuh dharmaputra selama ini hanya berbisik-bisik dan tak jelas apa yang diinginkan. Setiap kali mau mengambil keputusan, selalu dibayangi keraguan.
Senopati Tantra tak sabar.
Dengan prajurit seadanya yang setia kepadanya, senopati muda ini mengambil langkah gawat. Ia memimpin para prajurit utama, dan langsung menyergap ke dalam Keraton.
Hampir tak ada pertumpahan darah. Senopati Tantra melucuti prajurit kawal di bagian dalam. Lalu dengan gagah perkasa menemui Raja di tempat peraduannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mengatakan bahwa mulai sekarang, semua perintah dan tata penyelenggaraan Keraton berada di tangannya. Tak ada yang berhak memberikan perintah apa pun juga.
Semua terjadi tanpa deru angin lebih keras.
Tanpa debu terbang. Tanpa pohon bergoyang. Senopati Tantra menemukan apa yang selama ini dicari-cari. Apa yang ditakuti oleh Tujuh Senopati Utama yang selama ini dikagumi. Ia bisa melakukan.
Baru setelah itu, Senopati Tantra mengirim utusan menuju Simping.
Memberitahukan bahwa Keraton kini sudah dikuasai secara penuh, dan mohon agar Baginda bersedia duduk kembali di singgasana.
Apa yang menjadi tujuan utama Senopati Tantra bukanlah jabatan dan pangkat mahapatih yang akan diberikan sebagai ganjaran, sebagai hadiah. Melainkan dorongan untuk melakukan langkah besar.
Yang tak berani dilakukan oleh mereka yang dikagumi. Mereka yang pernah menjadi senopati perang.
Dengan sama girangnya, Senopati Tantra mengirim utusan ke Lumajang, untuk memanggil kembali Mahapatih Nambi, untuk kembali mengabdi kepada Baginda. Mengirim utusan ke Kedung Dawa untuk menjemput Permaisuri Rajapatni.
Karena menurut pandangannya, Permaisuri Rajapatni lah yang pantas menjadi permaisuri utama.
Dari Pangeran Anom yang berada dalam tawanan, Senopati Tantra mengetahui bahwa Permaisuri Rajapatni bersama rombongan Gendhuk Tri berada di Kedung Dawa, dan bahwa mereka berhasil membawa kembali tubuh Upasara.
Senopati Tantra merasa di puncak awang-awang, kakinya tak menyentuh tanah, tangannya bisa menyentuh awan di langit ketika itu.
Maka adalah di luar semua perkiraannya ketika Senopati Kuti datang dengan murka.
"Bocah ingusan, apa yang kaulakukan, hah?"
"Paman Senopati Kuti, harap sabar."
"Perbuatan terburuk apa yang sedang kaulakukan ini?"
Senopati Tantra mengertakkan giginya.
"Paman, sayalah sekarang yang menguasai Keraton. Takhta sedang kosong, karena tak ada raja. Saya meminta, memohon agar Baginda kembali memerintah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sesuai dengan keinginan Paman semua.
"Apa saya keliru?"
"Jagat Dewa! "Demi Dewa! "Langit murka! "Kamu bocah ingusan, tak pernah mengerti dunia. Tantra, perbuatanmu sangat berbahaya. Kamu tak tahu apa-apa."
"Paman, saya tak tahu apa-apa.
"Baik, tapi sekarang Paman tahu, bahwa saya tak suka dimarahi seperti itu. Sekarang ini Paman Kuti tak bisa mengatakan hal seperti itu kepada saya.
"Tinggal pilih. "Paman ingin menempuh jalan yang mana."
Senopati Kuti menepuk jidatnya keras sekali.
"Tantra! Kamu menantangku?"
"Saya menantang keraguan. Karena setiap keraguan hanya menghasilkan gerutuan.
"Silakan, Paman Kuti."
Senopati Kuti menunduk ketika beberapa prajurit bersiaga dengan tombak. Sebagian adalah prajurit-prajuritnya sendiri!
Tak masuk akal. "Tantra! Tantra! "Dagelan apa yang kaumainkan sekarang ini" Mimpi apa yang membuatmu mabuk seperti ini?"
Senopati Tantra berdiri. "Sekarang Paman mengatakan ingin memilih jalan yang mana"
Mengecam saya dan berarti berhadapan, atau menyampaikan apa yang sebenarnya merupakan keinginan Paman sendiri?"
"Haha, kamu mau menawanku?"
Senopati Kuti tak bereaksi ketika para prajurit menyembah ke arahnya, akan tetapi kemudian mengikat kedua tangannya. Di bilik tempat penahanan, Senopati Kuti menangis.
Menangis bagai anak-anak.
Matanya masih sembap ketika Senopati Tanca masuk dengan tangan yang terikat pula.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kisanak Tanca, senopati yang bijak dalam soal pengobatan dan jiwa manusia, sesungguhnya ini semua lelakon apa?"
Senopati Tanca mengangkat alisnya.
"Sebentar lagi bilik ini akan penuh diisi para dharmaputra yang selama ini diagungkan, akan tetapi tak mampu berbuat apa-apa selain menggerutu...."
Senopati Kuti terbatuk keras.
Darah segar tersembur. Membasahi dada yang telanjang.
"Tenangkan dirimu, Senopati Kuti yang gagah berani.
"Tantra sudah melakukan. Berani melakukan. Itu yang lebih hebat.
Dengan perhitungan yang sangat berani. Di saat Keraton sepi dari segala kekuatan, ia bergerak maju.
"Tak ada Mahapatih Nambi sekarang ini.
"Tak ada Halayudha. "Tak ada pergolakan para ksatria.
"Bukankah itu sederhana sekali" Tapi justru yang sederhana ini tak kita mengerti."
"Senopati... Tanca..."
"Saya bisa mengerti apa yang dilakukan Tantra.
"Tidak berarti setuju atau tidak.
"Kita lihat saja nanti.
"Hmmmmm, saya bisa mengerti kerisauan Senopati yang gagah berani. Dengan tindakan ini, Tantra mengguncang sendi-sendi yang kita bangun dengan susah payah. Rintisan yang kita lakukan secara perlahan jadi buyar karenanya.
"Tapi apa bedanya"
"Sekarang sudah berhasil.
"Senopati yang gagah berani, maafkan kalau saya banyak bicara sekali
Marilah kita kurangi ingsun kita, perasaan menang, perasaan sebagai senopati perang yang selalu menyelesaikan persoalan.
"Apakah ketidaksetujuan kita dengan tindakan Tantra karena kita iri, karena bukan kita yang melakukan?"
Senopati Kuti memuntahkan darah segar untuk kedua kalinya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Senopati Tanca memanggil penjaga, dan mengatakan bahwa sebaiknya diberikan perawatan. Kalau ia diberi izin, ia bisa meramu jejamuan.
Ketika keleluasaan itu diberikan, Senopati Tanca menelan ludahnya dengan lega.
"Sampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kamardikan yang diberikan ini.
"Rasanya dalam zaman mana pun, belum pernah ada kelonggaran yang begini sempurna."
Senopati Tanca meminta bahan ramuan, dan ia menggilas sendiri serta meminumkan cairan secara paksa ke mulut Senopati Kuti.
"Saya mengobati, akan tetapi saya ingin bicara yang mungkin bisa melukai hati Senopati.
"Hmmm, bukankah lebih baik kita membantu Tantra"
"Bukankah Tantra perlu persiapan jika Mahapatih Nambi kembali nanti" Atau juga Halayudha"
"Bagaimana pendapatmu, Senopati?"
Senopati Kuti menggeleng berkali-kali. Cairan jamu yang sudah masuk ke mulut dimuntahkan kembali.
"Tantra kraman kepada kita, meludahi kita, menginjak wajah kita dengan kaki yang kotor!
"Bukan memberontak kepada Raja."
Senopati Tanca menjilat bibirnya.
"Satu hal selalu akan saya ingat. Bahwa keraguan tak pernah memberikan hasil apa-apa...
"Juga kalau kita sendiri ragu menilai apa yang dilakukan oleh Tantra.
"Hmmm, Senopati yang gagah berani...
"Maaf, mulai sekarang ini kita memilih jalan sendiri-sendiri. Apa yang baik bagi Senopati, silakan lakukan. Apa yang baik bagi saya, akan saya lakukan.
"Kita bertujuh diikat oleh kebersamaan dalam peperangan. Tapi ternyata tidak dalam hati.
"Maaf, Senopati...."
Senopati Sumlirih KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
YANG paling terpana sebenarnya Halayudha.
Sehingga rencana perjalanan ke Lumajang tak diteruskan. Begitu mendengar kabar perubahan yang terjadi di Keraton dengan naiknya Senopati Tantra sebagai pemegang kekuasaan sehari-hari, Halayudha memutuskan kembali secepatnya. Dalam perjalanan, Halayudha berusaha keras menenangkan hatinya. Beberapa kali ia mengucak-ngucak matanya, seakan meyakinkan din bahwa apa yang didengarnya bukanlah mimpi yang berkepanjangan.
Ia yang bergulat terus-menerus di dalam Keraton tak pernah menyangka sama sekali bahwa dengan satu gerakan sederhana, Tantra bisa mengubah jalannya tata pemerintahan.
Selama ini Halayudha menyiapkan diri dengan segala kemampuan akalnya untuk merayap naik atau setidaknya bisa bertahan. Dengan cara apa pun. Kalau perlu menjadikan dirinya sebagai keset atau pembersih alas kaki, dan memang benar-benar rata dengan tanah.
Semua keinginan dan pandangannya diratakan hingga runduk benar.
Sebutan sebagai gedibal atau pembantu yang paling tidak berarti pun diterima dengan lapang dada. Hanya untuk mempertahankan dirinya dari gelombang perubahan naik dan turunnya pangkat serta derajat.
Boleh dikatakan sepenuh kemampuan yang ada dikerahkan untuk itu.
Tanpa menikmati hal-hal kecil yang bersifat duniawi.
Sungguh tak masuk akal sama sekali. Bahwa ternyata hanya dengan satu langkah saja, Tantra berhasil merebut segalanya.
Sepanjang perjalanan kembali, Halayudha menghitung langkah apa yang akan diambil. Menghadap Tantra" Melaporkan hasil kunjungannya"
Ada rasa risi untuk menemui senopati muda usia. Kalau yang naik Senopati Kuti atau Semi, Halayudha masih bisa menindih rasa sungkannya. Akan tetapi kalau yang disowani anak kemarin sore yang tak bisa menangkap kekang kudanya, itu soal harga diri.
Akan tetapi jika ia tidak melapor, ia akan dimusuhi seluruh Keraton Yang setia kepada Senopati Tantra. Lagi pula kini dirinya secara resmi adalah utusan Raja, yang mengenakan cincin pemberian Raja.
Halayudha terus berhitung.
Yang juga masih menjadi teka-teki bagi Halayudha ialah bagaimana kelanjutan gerakan Tantra. Satu hal pasti: Tantra menunggu restu dari Baginda. Hal ini yang belum jelas benar. Apakah Baginda berkenan memegang takhta kembali atau tidak. Jika ada restu, tak menjadi masalah. Jika tidak, Keraton akan benar-benar menjadi karang abang, menjadi lautan api. Kembali berdarah.
Halayudha merasa tak bisa menentukan sikap secepatnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pendekar Muka Buruk 5 Playboy Dari Nanking Karya Batara Playboy Dari Nanking 15
^