Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 19

Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong Bagian 19


Ci-koh. Tahu bahwa Shin Ci-koh itu suhu Tiau-ing, sebenarnya Yak-bwe tak punya kesan baik.
Tapi karena tadi Shin Ci-koh telah memberi peringatan sehingga ia dapat terlepas dari sergapan
Ceng-ceng-ji, Yak-bwe pun menghaturkan terima kasih kepada wanita itu.
"Muridku berbuat curang kepadamu, walaupun kau tak memaki aku, tapi aku sudah merasa malu
sendiri," Shin Ci-koh menghela napas.
Sesaat Yak-bwe heran, pikirnya: "Wanita ini biasanya ganas dan sombong, mengapa sekarang
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
mendadak sontak berubah perangainya?"
Baru In-nio hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar derap kaki orang datang. Ternyata yang
datangitu dua orang thau-to (imam). Yang seorang tua dan yang satu muda. Wajah mereka
mengunjukkan sebagai orang suku Oh. Thau-to yang muda itu tinggi kurus perawakannya,
mengenakan jubah warna hijau, matanya berkilat-kilat tajam sekali. In-nio segera mengenali thau-
to itu sebagai Ceng-bing-cu murid ahli waris dari partai Leng-ciu-pay yang telah memimpin anak
buahnya mengepung Shin Ci-koh. Thau-to tua itu tak dikenalnya. Tetapi dari wajahnya yang
merah kemilau dan sepasang matanya yang berapi-api serta perawakannya yang luar biasa
tingginya, tentulah juga seorang kosen yang tinggi lwekangnya. kemunginan lebih sakti dari Ceng-
bing-cu. Wajah Shin Ci-koh berubah seketika. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: "Oh, kiranya
Leng Ciu siangjin datang, maaf, aku lalai menyambut. Aku merasa beruntung karena hari ini dapat
bertemu dengan dua angkatan dari partaimu!"
Munculnya Ceng-bing-cu saja cukup membuat In-nio terkejut apalagi mendengar bahwa thau-to tua
itu ternyata Leng Ciu siangjin, suhu dari Ceng-bing-cu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati. Baru
pihaknya tambah dua tenaga (Khik-sia dan Yak-bwe), kini pihak lawan datang juga dua tokoh kuat.
Sebaliknya kini giliran Ceng-ceng-ji yang girang setengah mati, serunya tergopoh-gopoh: "Ceng-
bing toheng, sebenarnya aku sudah akan menangkap wanita siluman itu untuk kuserahkan padamu,
tetapi sute-ku yang kurang ajar ini selalu merintangi aku. Ah, aku merasa malu!"
Ceng-ceng-ji belum kenal leng Ciu siangjin. Tetapi dengan Ceng-bing-cu ia sudah bersahabat karib
ialah ketika sama-sama membantu Su Tiau-gi tempo hari. Iapun mengetahui juga tentang
permusuhan antara Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Sebaliknya, Ceng-bing-cu tidak tahu kalau
Ceng-ceng-ji pun mendendam pada Shin Ci-koh. Ia kira Ceng-ceng-ji itu benar-benar hendak
membantunya menangkap Shin Ci-koh. Sudah tentu ia berterima kasih.
Khik-sia tak menghiraukan sama sekali akan kedatangan kedua tokoh Leng-ciu-pay itu. Memang
Khik-sia itu bagaikan anak kambing yang tak takut pada harimau. Melihat kesempatan dimana
Ceng-ceng-ji terpencar pikirannya karena bicara tadi, Khik-sia perhebat serangannya. Bunuh dulu
Ceng-ceng-ji baru nanti menggempur benggolan Leng-ciu-pau, demikian pikirnya.
Cret, Ceng-ceng-ji termakan sebuah tusukan. Tetapi tusukan Khik-sia itu bukan dimaksud untuk
mengambil jiwa, melainkan untuk menusuk jalan darah saja. Ceng-ceng-ji sudah banyak
pengalaman. Waktu merasa hawa pedang menyusup ke dalam urat, buru-buru ia empos semangat
dan kempiskan dadanya. Tusukan Khik-sia tidak tepat mengenai jalan drahnya melainkan di
sebelah jalan darah Yang-koh-hiat lambung kiri. Hanya sedikit kulitnya yang terluka.
Berbareng saat itu Ceng-bing-cu berkata: "Memberi buah tho akan dibalas dengan buah li. Terima
kasih atas bantuanmu. Akupun akan membantumu membersihkan pengacamu!"
Khik-sia baru berganti gerak hendak menusuk jalan darah Ceng-ceng-ji, tahu-tahu Ceng-bing-cu
sudah berada di belakang dan menampar punggungnya dengan Toa-chiu-in, sebuah pukulan
beracun. Apabila kena urat punggung Khik-sia pasti terluka kena racun.
Tampaknya Khik-sia seperti tak berjaga-jaga, tetapi sebenarnya ia selalu memperhatikan keadaan di
sekeliling situ. Waktu tangan Ceng-bing-cu sudah akan 'in' (mencap) punggungnya, tanpa menoleh
Khik-sia sabatkan pedangnya ke belakang. Ceng-bing-cu terkejut bukan kepalang. Ia mengira tadi
tentu berhasil mencuri kesempatan karena terang Khik-sia sedang gerakkan pedangnya menusuk
Ceng-ceng-ji. Siapa tahu ternyata permainan Khik-sia mencapai tingkat sedemikian rupa, hingga
dapat merubah gerakan tangannya pada setiap waktu dan keadaan yang bagaimanapun jua.
"Tahan!" pada saat dimana tangan Ceng-bingcu pasti kutung, tiba-tiba Leng Ciu siangjin berteriak
sembari kebutkan lengan bajunya. Sedemikian hebat kebutan ketua Leng-ciu-pay, sehingga pedang
Khik-sia yang tajamnya luar biasa tak mampu menusuk lengan baju thau-to tua itu, bahkan
orangnya (Khik-sia) sendiri tersurut tiga langkah. Setelah berputar-putar tubuh, baru ia dapat
berdiri tegak. Bukan main kejut Khik-sia. Ilmu lwekang bagian 'sia' (hapus atau memindah), Khik-sia dapat juga
menggunakan. Tetapi apa yang dipertunjukkan Leng Ciu siangjin tadi hebatnya bukan tertara.
Khik-sia belum pernah mendengar dan menyaksikan. Jika tidak mengalami sendiri, tentu ia tak
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
percaya hal itu. Di lain pihak, Leng Ciu siangjin sendiri juga tak kurang kagetnya. Kebutannya hanya dapat
mengundurkan si anak muda sampai tiga langkah, sungguh di luar dugaan. Pikirnya: "Bocah ini
paling banyak baru 20-an tahun umurnya, mengapa begitu lihay" Jika tadi ia menusuk tiga kali
berturut-turut, aku tentu tak mampu gunakan lwekang 'sia', terpaksa aku harus melawannya."
"Urusanku dengan partaimu, tiada sangkut pautnya dengan lain orang," kedengaran Shin Ci-koh
mendengus dingin, "muridmu kesatu Ceng-bing-cu telah tak mengindahkan aku kemudian
kuberinya hajaran. Setelah itu dua kali anak muridmua menyerang aku. Ada dua puluh tiga orang
yang meninggal. Mereka semua akulah yang membunuhnya. Jika kau hendak menuntut balas,
harap pada aku saja!"
Leng Ciu siangjin mendengus, ia tertawa dingin: "Shin Ci-koh, kau juga tak memandang mata
padaku. Kau anggap aku ini orang bagaimana?"
"Benar, siangjin memang golongan cianpwe persilatan, mana mau mencelakai orang yang sedang
terluka?" buru-buru In-nio mengumpaknya. Menyaksikan kepandaian Leng Ciu siangjin tadi, In-nio
insyaf bahwa sekalipun ia bertiga dengan Khik-sia dan Yak-bwe maju berbareng, pun takkan
menang. Maka cepat ia gunakan ucapan Leng Ciu siangjin untuk memukulnya.
Shin Ci-koh tetap masih duduk bersila. Sedikitpun tiada perubahan pada seri mukanya. Ia
menyeletuk: "Leng Ciu siangjin, kunasehatikan jika hendak membikin permbalasan, lebih baik
sekarang juga. Inilah saat yang paling tepat untuk melakukan permbalasan. Kalau selewatnya hari
ini, dikuatirkan tak mudah kau hendak mengalahkan aku!"
Seru Ceng-bing-cu: "Wanita siluman itu sudah terluka. Suhu, jika kau enggan turun tangan, biarlah
aku saja yang menindaknya!"
"Ngaco, mundur!" bentak Leng Ciu siangjin. Sekonyong-konyong ia tertawa gelak-gelak.
Terpaksa Ceng-bing-cu mundur sambil meringis.
"Shin Ci-koh, apakah kau kira aku tak tahu isi hatimu" Kau paling takut kalah di tanganku dan
ditertawai orang. Maka kau sengaja mendesak aku supaya bertindak sekarang. Sekarang kau
sedang luka parah, jika kubunuhmu tentu orang tak menyohorkan kepandaianku!"
Habis berkata ia merogoh keluar dua buah pil, ditaruhkan di telapak tangan lalu dihembusnya
dengan mulut. Dua butir pil itu 'terbang' ke pangkuan Shin Ci-koh.
"Dua butir pil itu, satu untuk memunahkan racun, satunya untuk mengobati luka. Setelah kau
sembuh betul, baru aku bertanding padamu agar kau mati tidak penasaran!" seru Leng Ciu siangjin
dingin. "Kau kira aku tak sanggup mengobati lukaku sendiri" Aku tak sudi menerima budimu!" sahut Shin
Ci-koh. Kembali Leng Ciu tertawa keras: "Gelranmu Bu-ceng-kiam, akupun tak mau melepas budi
padamu! Karena lukamu masih belum sembuh, aku enggan membunuhmu maka kuberimu obat.
Itu sekali-kali bukan suatu kebaikan melainkan supaya lekas-lekas dapat kuambil jiwamu. Memang
kutahu kau dapat mengobati sendiri, tapi palging tidak harus makan waktu sampai 7-8 hari. Mana
aku mempunyai tempo menunggumu" Setelah makan pilku itu, paling lambat besok pagi siang,
kau tentu sudah sembuh. Besok malam pada waktu begini, kita bertemu lagi di sini. Kita keluarkan
kepandaian masing-masing untuk menentukan kejantanan. Hm, hm, pada waktu itu, sekali
bertanding jangan harap aku suka mengampunimu! Bagaimana, apa kau tetap tak mau minum pil
itu" Atau apakah kau sudah tahu dan merasa kepandaianmu tak menang dari aku" Begitu lukamu
sembuh, kau tentu mati di tanganku. Kalah tetap kalah, mati tetap mati. Tak perlu cari alasan apa-
apalagi!" Saking marahnya Shin Ci-koh terus sekali telan kedua pil itu. Serunya: "Besok malam aku tentu
menunggumu di sini. Surat undangan dari Raja Akhirat, entah akan diberikan kepada siapa nanti?"
Leng Ciu siangjin tertawa keras: "Waktumu hanya sehari saja, harap kau bereskan semua pesanmu,
maaf aku tak dapat mengawani lebih lama." -- Ketua Leng-ciu-pay itu lantas memimpin Ceng-
bing-cu pergi. Ceng-ceng-ji pun gunakan kesempatan itu untuk ngintil mereka.
Perubahan yang datangnya secara mendadak itu, sungguh di luar dugaan. Pikir Khik-sia: "Leng
Ciu siangjin sungguh seorang benggolan yang sakti, meskipun jahat, dia tak mau mencelakai orang
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
yang terluka. Sungguh tak mengecewakan gengsinya sebagai ketua sebuah partai persilatan."
Tiba-tiba wajah Shin Ci-koh berubah gelap dan mendekap perut merintih-rintih. Yak-bwe terkejut
sekali, serunya: "Jangan-jangan siluman tua itu menipumu dengan obat racun" Ai, Shin lo-
cianpwe, kau kelewat percaya padanya!"
Tiba-tiba Shin Ci-koh muntahkan segumpal darah kental. Katanya dengan wajah bersungguh:
"Leng Ciu lo-koay tidak bohong, obat pilnya itu manjur sekali. Darah kental yang kusemburkan
ini, adalah racun yang berada di tubuhku. Rupanya tak usah sampai besok pagi, aku sudah sembuh
sama sekali!" "Shin lo-cianpwe, apakah kau yakin dapat menangkan dia?" In-nio merasa cemas.
Dengan angkuh Shin Ci-koh menyahut: "Siluman tua itu juga belum tentu dapat menangkan aku!"
Namun sekali mulutnya mengatakan begitu, tapi terang kata-katanya itu bernada kurang yakin
untuk menangkan pertempuran besok malam. Memandang kepada Khik-sia, berkatalah ia: "Besok
kalau aku bertempur melawan Leng Ciu lokoay, dia membunuh aku atau aku membunuhnya,
bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika aku yang tak beruntung, harap kau sampaikan pada toa-
suhengmu." "Aku telah membunuh dua puluh tiga murid Leng-ciu-pay. Sekalipun aku nanti mati di tangan
Leng Ciu siangjin, tetap aku masih untung. Gong-gong-ji tentu membalaskan sakit hatiku. Khik-
sia, tolong kau wakili aku menasihati dia, jangan sampai dia menuntut balas! Dia harus menurut
nasihatku. Nasihat yang merupakan permintaanku kepadanya yangterakhir," kata Shin Ci-koh pula.
Heran In-nio mendengarnya. Pertama ia berjumpa denganShin Ci-koh, iamasih merupakan seorang
wanita yang ganas tak kenal kasihan, bermulut tajam dan minta padanya (In-nio) menyampaikan
surat kepada gong-gong-ji supaya Gong-gong-ji membunuh habis semua orang Leng-ciu-pay. Apa
yang didengarnya kini, jauh sekali bedanya. Shin Ci-koh minta Khik-sia supaya menasihati Gong-
gong-ji jangan menuntut balas. Hanya terpaut satu jam saja, ternyata wanita itu telah mengalami
perubahan batin yang luar biasa besarnya.
Shin Ci-koh kini alihkan pandangannya kepada In-nio dan berkata dengan lembut: "Nona Sip, aku
terkena pengaruhmu. Aku pernah mencelakai kau, kebalikannya kau berkorban untuk menolong
aku. Sungguh aku mersa malu sendiri. Dahulu aku selalu membalas setiap sakit hati, menumpas
setiap penghinaan. Tetapi balas membalas itu, ternyata tiada baik akibatnya. Sesakti-saktinya
kepandaian seseorang, toh pada suatu hari ia akan jatuh juga. Diriku ini menjadi sebuah contoh.
Aku tak ingin Gong-gong-ji terjerumus dalam perjalanan hidupku yang lampau. Memang aku
pernah menginginkan supaya Gong-gong-ji membalaskan sakit hatiku, tetapi itu keluar dari
pikiranku yang terlalu mementingkan diriku sendiri."
Diam-diam hati In-nio girang, pikirnya: "Terhadap siapa harus membalas, terhadapa siapa harus tak
menuntut balas. Sebenarnya tak boleh dicampur-adukkan. Tak nyana Shin Ci-koh dapat
mengeluarkan kta-kata yang begitu berharga. Rupanya ia sudah memperoleh kesadaran batin."
lalu Ci-koh berplaing dan berkata kepada Khik-sia: "Suhengmu itu berwatak berandalan, tidak suka
dikekang. Jauh lebih jelek dari aku. Aku sungguh tak tega. Kasih tahu padanya, dalam hatiku
hanya da dia seorang .... tetapi akupun tak menghendaki karena diriku dia lantas tak kawin seumur
hidup. Dia terlalu tak pedulikan dirinya sendiri. Harus ada seorang isteri bijaksana yang
membantunya." Mendengar uraian kata-kata Shin Ci-koh yang penuh mengandung petuah itu, ketiga anak muda itu
sama menghela napas terharu. Mereka tak kira bahwa seorang wanita yang terkenal ganas, ternyata
penuh dengan budi kehalusan seorang wanita.
"Harap cianpwe jangan kuatir. Belum tentu kau kalah dengan Leng Ciu lokoay. Dan kitapun tak
mau tinggal diam melihati saja," kata Khik-sia.
Shin Ci-koh tertawa rawan. Baru ia mau bicara, Yak-bwe sudah mendahului: "Shin lo-cianpwe,
bukankah sekarang kau sudah sembuh, mengapa tak tinggalkan tempat ini saja" Kupersembahkan
kudaku untukmu. Kuda yang sehari dapat menempuh seribu li. Tak nanti Leng Ciu lokoay mampu
mengejarmu. Setelah mendapatkan Gong-gong-ji, siapa yang berani mengganggumu?"
Alis Shin Ci-koh menjengkit, ujarnya: "Walaupun aku tak ingin mengikat permusuhan dengan Leng
Ciu lokoay, namun akuun tak mau unjuk kelemahan. Aku sudah berjanji padanya, mana dapat
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
mengingkari" Dia memberi obat padaku, berarti dia mempercayai aku. Jika aku tak pegang
kepercayaan, mana aku masih punya muka hidup di dunia persilatan lagi" Melarikan diri, tak usah
dikemukakan lagi! Bukan saja begitu, pun besok malam dalam pertempuran itu, kalian sekali-kali
tak boleh memberi bantuan!"
Yak-bwe menjadi malu sendiri. Namun diam-diam ia mengagumi Shin Ci-koh, pikirnya: "Sungguh
tak kecewa ia menjadi tokoh ternama. Dalam keadaan yang berbahaya sekalipun, ia tetap tak
berubah pendiriannya."
"Terima kasih atas perhatianmu semua. Tetapi kuharap tak usah meresahkan diriku. Maaf,
sekarang aku masih perlu bersemedhi sebentar. Silahkan kalian bercakap-cakap dengan kawan
lama." Khik-sia tundukkan kepala merenung. Yak-bwe menarik In-nio ke samping dan menanyakan
tentang diri Bik-hu. Selama sibuk merawati Shin Ci-koh, In-nio memang tak sempat lagi
memikirkan diri sutenya itu. Mendengar pertanyaan Yak-bwe, ia mendongak ke langit. Dilihatnya
rembulan sudah tinggi. Sudah tengah malam.
"Akupun justeru sedang menunggu!" kata In-nio.
"Dia berada di mana" Mengapa kau seorang diri ke Yu-ciu" Dan bagaimana kau bisa berjumpa
dengan Shin lo-cianpwe" Apakah kau berjanji dengan Pui suheng untuk bertemu di sini?" demikian
Yak-bwe berturut-turut mengajukan pertanyaan. Ia mengira Bik-hu masih dalam ketentaraan.
In-nio menghela napas: "Ceritanya amat panjang. Tapi lebih dulu aku hendak bertanya, bagaimana
kalian berdua bisa datang kemari?"
"Pertama, hendak mencarimu. Kedua, karena Khik-sia disuruh Thiat-mo-lek mengantarkan surat
kepada Se-kiat." "Apakah di tengah jalan tadi kamu berjumpa tentara-tentara yang kalah?" tanya In-nio.
"Karena ada dua pihak, yang bermusuhan saling bertempur. Kami tak mau terlibat dalam urusan
mereka, maka menghindari dan memilih jalan kecil saja. Mengapa mereka itu?" Yak-bwe balas
bertanya. "Su Tiau-gi dan adiknya bertempur sendiri. Raja Ki mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, maka
terjadi perang tanding yang gempar. Bik-hu dan aku tercerai berai," In-nio menerangkan singkat.
"Oh, kiranya kau datang bersama Pui suheng" Aku tak tahu bilakah Beng Kong sudah menyambut
Liang Hong?" Yak-bwe berseru girang. Beng Kong dan Liang Hong adalah sepasang suami isteri
yang terkenal dalam sejarah. Mereka sependirian dan seperjuangan.
Merahlah muka In-nio, dampratnya: "Aku berkata tentang urusan serius, sebaliknya kau menggoda
semaunya." Yak-bwe membisiki ke dekat telinga In-nio: "Jejaka kawin perawan menikah, adalah urusan serius
nomor satu di dunia. Emas seribu kati mudah didapat, tetapi kawan yang sehati sukar ditemukan.
Dengan sudah mendapatkan kawan sehati, apakah kau tak layak bergirang" Bagus, bagus, ah,
supaya kau tidak menjadi marah, silahkan kau katakan urusanmu yang serius itu. Aku tak mau
menanyakan urusanmu pribadi."
"Berbicara tentang urusan serius itu, artinya sia-sia saja Khik-sia memberikan surat Thiat-mo-lek
itu kepada Se-kiat," kata In-nio.
"Lho, mengapa" Apakah aku boleh turut mendengarkan?" Khik-sia menghampiri.
"Justeru memang hendak kudengarkan padamu," sahut In-nio yang lalu memulai keterangannya.
"Akulah yang lebih dulu datang ke Yu-ciu, kemudian Bik-hu baru menyusul. Benar memang aku
sudah berjumpa dengan Se-kiat tetapi dalam statusku sebagai tawanan Tiau-ing."
"Hai, kau menjadi tawanan Su Tiau-ing?" Khik-sia berseru kaget. Yak-bwe meliriknya dan
mendengus: "Huh, herankah" Apa yang tak dilakukan wanita siluman itu?"
In-nio menuturkan semua yang dialaminya. Waktu mendengar sampai pada hal Se-kiat hendak
membujuk In-nio tapi kemudian ditolak tegas-tegas sehingga sampai bertempur, Khik-sia tak dapat
menahan kemarahannya lagi: "Tak nyana Se-kiat berubah menjadi manusia begitu!"
"Eh, kau jadi menemuinya, tidak?" tegur Yak-bwe.
"Mengingat persahabatan yang dulu, Thiat piauko hendak menasihatinya lagi untuk yang
penghabisan kali. Karena piauko sudah mempercayakan surat itu kepadaku, berhasil atau tidak aku
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
harus tetap menyampaikan surat ini kepadanya," sahut Khik-sia.
In-nio mengangguk: "Benar, tiada jeleknya mencoba sekali lagi. Ah, diharap setelah tentaranya
mengalami kekalahan, ia mau mendengar nasihat Thiat cecu."
Yak-bwe paling mengetahui pribadi In-nio. Waktu In-nio menceritakan bagaimana Bik-hu
menempuh bahaya menolong dirinya tadi, samar-samar Yak-bwe sudah dapat melihat adanya setitik
kasih dalam hati In-nio kepada pemuda itu. Maka iapun tak begitu curiga akan kata-kata In-nio
yang terakhir mengenai diri Se-kiat. Tapi ia berkata kepada diri sendiri, andaikata dirinya yang
diperlakukan begitu oleh Se-kiat, tentu ia tak sudi lagi mengenalnya.
"Khik-sia, pergi pun baik. Menyerahkan surat itu nomor dua, yang penting kau harus menyirapi di
mana Bik-hu itu dan ajaklah kemari! Karena tak melihat cici In, dia tentu gelisah juga," katanya.
Sengaja ia kemukakan diri Bik-hu pada saat In-nio membicarakan Se-kiat. Untuk mencegah supaya
In-nio jangan melantur lebih jauh.
Siapa tahu In-nio pun justeru mempunyai maksud begitu. Namun ia masih meragu, ujarnya:
"Walaupun memang baik juga Khik-sia pergi itu, tetapi bagaimana Shin lo-cianpwe ...."
Tiba-tiba Shin Ci-koh kedengaran tertawa: "Nona Sip, kau berpisah dengan sutemu dalam
pertempuran itu, akupun turut memikiri juga. Kalian tak perlu meresahkan diriku. Leng Ciu
lokoay mengatakan besok malam baru datang tentu besok malam. Tak nanti dia mencelakai aku
sebelum lukaku sembuh. Tentang Ceng-ceng-ji, tanpa beserta Leng Ciu lokoay, tak nanti ia berani
datang kemari! Kini tenagaku sudah pulih lima puluh persen, taruh kata ia (Ceng-ceng-ji) datang,
akupun dapat mengatasinya. Pasukan Se-kiat kemarin malam baru menerobos keluar dari
kepungan. Sute nona Sip itu mungkin berada di muka pasukan. Karena tak melihat nona Sip, ia
tentu masih mencarinya, tentu belum pergi jauh. Urusan tak boleh ayal-ayalan. Toan siauhiap, jika
hendak mencari mereka, sekarang juga kau harus berangkat."
"Baik, berhasil menemukan mereka atau tidak, besok malam aku tentu balik kemari. Malam hari
tak leluasa naik kuda, kutinggalkan untuk Shin lo-cianpwe, siapa tahu lo-cianpwe memerlukannya,"
kata Khik-sia. Karena tahu gin-kang Khik-sia itu tak kalah cepat dengan lari kuda, Shin Ci-kohpun membiarkan
saja. Katanya: "Terima kasih atas kebaikanmu. Kau tak keburu balik kemari pun tak mengapa.
Toh aku tetap akan bertempur seorang diri dengan lokoay itu."
Waktu In-nio dan Yak-bwe mengantar Khik-sia sampai keluar pintu, Yak-bwe tiba-tiba tertawa:


Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam memberikan surat kepada Se-kiat nanti, siapa tahu kau akan berkesempatan menjumpai
nona Su-mu itu. Sayang sekarang ia sudah menjadi pengantin Se-kiat."
"Bah, siapa yang masih mengenangkan nona siluman itu?" Khik-sia mendengus.
Sekalipun mulut mengatakan begitu tapi tak urung dalam perjalanan, Khik-sia juga teringat akan
Tiau-ing. Teringat selama berjalan ribuan li bersama nona itu. Ini bukan karena ia masih ada 'apa-
apa' dengan nona itu, melainkan karena Tiau-ing dengan gaya yang lincah merangsang itu,
meninggalkan banyak kesan padanya.
"Keris dan kerangka, adalah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Tiau-ing dan Se-kiat itu benar-
benar sejoli yang paling tepat!" pikirnya. Terkenang akan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan
Tiau-ing tempo hari, diam-diam Khik-sia mendongkol tapi pun geli. "Sekarang kalau bertemu aku
tak kuatir dirayu lagi. Tapi ah, lebih baik jangan berjumpa saja."
Tiba di kaki gunung dan masuk ke dalam sebuah lembah, hari pun sudah menejelang terang tanah.
Melalui tepi sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang berisik. Khik-sia menghampiri
dan tampak tiga lelaki beralis tebal serta berpakaian opsir kerajaan Wi-yan (Su Tiau-gi) tengah
bertengkar. Karena kepingin tahu, Khik-sia diam-diam mencuri dengar. Dengan gin-kangnya yang
lihay, gerakannya tak mengeluarkan suara sama sekali hingga ketiga opsir itu tak mengetahui.
Salah seorang berkata: "Ia musuh dari cukong (junjungan) kita. Jika kita serahkan kepada cukong,
tentu kita mendapat hadiah besar."
kata yang seorang: "Keadaan cukong dalam bahaya, mana kau masih mengharap hadiah dari dia"
Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan pada Bo Se-kiat saja. Bo Se-kiat baik terhadap orang."
Orang yang kesatu berkata pula: "Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan orang
dengan baik" Apakah bukan pura-pura saja" Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil itu.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia
tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi
saja mungkin kau sekar mendapat."
Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang
berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. "Mereka menyebut-nyebut
'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita" Ha, apakah bukan ...."
Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak. Yang
dua bertanya: "Toako, apa yang kau tertawakan?"
Opsir ketiga itu menyahut: "Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada di
mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus!"
"Kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" tanya kedua orang tadi.
"Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti 'patung
Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi seperti
'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka" Turut
pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita jadikan
isteri cecu (pemimping begal)."
"Bagus, tetapi jadi isteri siapa" Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan kita
retak hanya karena siluman kecil itu," kata kedua orang kawannya.
Kata opsir tadi: "Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya.
Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek.
Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah."
Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan ranting.
Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia membacok
kedua kawannya tadi. "Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri dengan
aku, terpaksa aku bertindak!"
Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba sesosok
tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: "Siapa yang hendak kau ambil isteri itu" Wanita
itukah?" Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita kedengaran
berteriak: "Khik-sia, tolonglah aku!"
Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang pohon
siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang perjumpaannya
dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu, membuat Khik-sia
terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok Khik-sia.
Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat, dalam
saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar. Begitupun dalam
saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri. Brat, bajunya terpapas
rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga hantaman golok si
opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali gerakan golok itu,
tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis.
Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu kepandaiannya
tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk mengjaga keseimbangan badannya yang
condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan sekaligus ia
lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khik-sia. Itulah
yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to. Indahnya bukan
buatan. Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu.
Bentaknya: "Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini!"
Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia pinjam
tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si opsir.
Cret, bluk ..... kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang rubuh
ke tanah. KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan
terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu.
"Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka?" tegur Tiau-ing.
"Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu ...." Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga pakaian
Khik-siapun kelumuran juga.
Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin pasukan
suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah pertempuran di
malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek) dan kuda
tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya.
Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan
mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga
tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu dan
tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga
loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ, setelah
pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya.
Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing.
Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti berunding
lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu
silatnya. Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua
kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia.
Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah, tak
sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya.
"Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari sorot
matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu" Kalau sudah
membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!"
"Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi!" Khik-sia mendengus
dingin. Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: "Khik-sia, aku merasa salah
kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat
kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu.
Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau ...."
"Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan kau
di sini!" bentak Khik-sia.
Tiau-ing menyeringai: "Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu, menurut
putusanmu!" "Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku
menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu, baik
jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu,"
kata Khik-sia. Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat pertolongan,
mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong, tapi ia merasa
dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak menolong.
Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu dilumuri obat.
Tiau-ing mendapat itga buah luka. Lengan, perut dan punggungnya. Untuk melumurkan obat,
Khik-sia harus membuka pakaian nona itu. Sudah tentu ia bersangsi. Tapi pada lain saat tampillah
kesatriannya: "Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah
meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu?"
Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka dan
melumurinya obat. Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau-ing.
Obat Khik-sia manjur sekali. Begitu dilumurkan, darahpun berhenti. Khik-sia segera membuka
jalan darahnya. Ujarnya: "Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta."
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Kata Tiau-ing: "Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk mendapatkan
kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi jangan harap bisa
mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti apabila ada musuh
datang?" Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga
nona itu. Pikirnya: "Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian mengantar
isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu
berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku."
Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar. Tak
berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah Tomulun
dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian.
Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing. Melihat
sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara. Pertempuran di daerah Tho-
ko-poh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya. Karena bentrok
dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan
peperangan. Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing. Saat itu mereka menertawakan dan
mendampratnya: "Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat" Baru kemarin ia menikah,
sekarang sudah lari ikut lain lelaki."
"Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya," kata seorang lain.
Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru: "Ai, apa bocah lai itu bukannya yang
tempo hari sudah melarikannya" Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana dituduh
menyerobot" Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali!"
Ada pula yang menyelutuk: "Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri
dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat
bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini
namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'."
Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing. Mereka sama
mendekap mulut tertawa mengejek. Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa mereka
itu lebih menyakitkan telinga.
Khik-sia berdada lapang. Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak. Ia tak menyangka
kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang. Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan
mereka itu. Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil. Ia tak mau meladeni mulut mereka
yang iseng itu dan terus cepatkan larinya. Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila
anak tentara hendak mengganggunya.
Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak: "Hai, bocah
laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu" Tidakkah kau melihat bentuk
pakaiannya" Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat
seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal
selatan!" Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia: "Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas kudanya!"
Thian-sian tak kenal Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang diri
Thian-sian. Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima wanita
berwajah jelek tapi berhati baik. Tak mau ia menempurnya. Begitu Thian-sian menerjang, Khik-sia
segera melesat dari samping kuda si nona. Karena serangannya luput, Thian-sian tak keburu
menarik pulang tangannya. Orang dan kudanya menerjang ke muka.
"Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi!"
bentak Tomulun seraya putar tombaknya.
Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia. Anak raja itu mengagumi kepandaian Khik-
sia, itulah maka ia suka melepaskannya. Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap seperti yang
sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun bahwa Khik-
sia tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing.
Thian-sian putar kudanya dan berseru: "Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan lepaskan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
dia!" Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak: "Jika tak menyerahkan
orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai
kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap!"
Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru. Tring, tring, tring, tanah
penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah Tomulun
yang terluka. Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang.
Tomulun mengejar, teriaknya: "Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu?"
"Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap saja
perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu," seru Thian-sian.
Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun lantas
mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang baik itu.
Tomulun kertek gigi dan membentak: "Lihat tombak!" - Ia kaburkan kudanya dan menombak Khik-
sia. Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras.
Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung tombak
hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun menurun
ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia. Inilah yang
ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan meminjam tenaga
congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa tombak
jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan menddekap tubuh Tiau-ing supaya jangan sampai jatuh,
Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh). Dalam
posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda meyambar. Jatuhnya
tept ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah, kemudian ia
hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari.
Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum pernah
mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai setengah li,
barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan anak panah.
Tetapi mana dapat mengenai" Memang ada beberapa batang panah yang hendak menyusup ke
punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda.
Tomulun menghela napas: "Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah menjadi
isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa untuknya.
Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi tak usah
dikejar." Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat, kuda
itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin Siang.
"Tiau-ing, apa kau sudah agak baik" Akan kurampaskan seekor kuda untukmu," kata Khik-sia.
Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya
kencang-kencang karena ia tak kuat duduk. Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya
berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri. Tetapi karena nona itu
bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat. Terpaksa ia
dudukkan nona itu di muka. Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan
memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya.
Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di
belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya, mukanya
merah padam. Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak. Ialah walaupun darah pada
luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah. Bau
wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung. Khik-sia
muak tapi kasihan juga. "Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji
menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati." Diam-diam Khik-sia
mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak. Meskipun dengan naik kuda secara
boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja.
"Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari?" kata Tiau-ing
dengan suara masih tersengal-sengal.
Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh Sip
Hong dalam penyerangannya nanti. Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu. Merupakan lini
yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti. Itulah maka Tiau-ing dapat
menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu. Khik-sia buru-buru
hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang. Makin lama makin
lambat jalannya. Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan. Mereka adalah
tentara-tentara yang kalah perang. Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi. Ada juga anak buah
Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya. Di samping itu terdapat juga laskar rakyat
suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya terjadi
pertempuran. Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu. Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk berganti


Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tunggangan. Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda. Tak kurang dari belasan ekor kuda
yang ia rampas. Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah hari). Khik-sia
gelisah. Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam nanti. Ia sudah
berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik.
"Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini" Aku tak dapat menelantarkan Tiau-
ing begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In tentu
gelisah memikirkan diriku," pikirnya.
Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia. Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu, tentu
akan marah-marah. Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara padanya
(Khik-sia). Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu. Nantipun ia akan menceritakan terus
terang. Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul. Jauh
di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak. Khik-sia girang dan cepat
keprak kudanya. "Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat?" teriaknya. Ia gunakan lwekang suara Coan-im-jip-
bi. Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya. Ia tak mau memanggil 'Bo
toako' lagi. Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'. Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat.
Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar. Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus ia
kembali ke biara rusak. Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat selesainya.
Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan diri dulu bila
hendak bertemu pada seorang pembesar.
Ia larikan kudanya terus. Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo Se-
kiat diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang. Buru-buru Khik-sia turunkan Tiau-
ing. Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya. Demi melihat pakaian
Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap.
Khik-sia tercengang. Pikirnya: "Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah .... kurang ajar,
apakah dia curiga padaku?"
Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari
kepada Se-kiat. "Ing-moay, ini, ini, bagaimana?" tanya Se-kiat dengan getar.
Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu: "Dia, dia, dia menghina aku!"
Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat
mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari. Kejutnya
bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya.
"Nona Su, aku, kau kata apa?" tergopoh-gopoh ia menegur.
Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah ia
dalam pelukan Se-kiat. Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari Khik-sia.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya. Ia
anggap itu suatu penghinaan. Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika bekas-
bekas cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu. Ia hendak 'menghangatkan'
api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia. Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur
terhadap seorang wanita yang sudah bersuami. Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan
Tiau-ing. Akibatnya, budi dibalas dengan badi. Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak
diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala. Ia memutar balik urusan
dan mengadu pada suaminya.
Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura. Selama dalam perjalanan naik kuda dengan
mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit. Ditambah pula dengan kemarahan
dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia. Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka
di tubuhnya. Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi.
Wajah Se-kiat makin gelap. Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas
mencabut pedang. Bentaknya: "Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku!" - Sang
kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia.
Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan
menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga.
Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian
keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan terus
menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya.
Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak
begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi
pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu.
Setelah menghindar, berserulah ia: "Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di
tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari!"
Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya: "Untung ia belum mati dan masih dapat bicara membuka
kebohonganmu!" Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas. Sekali tabas hendak mengambil jiwa orang.
Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya mencabut
pedang. Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya. Dengan sebat Khik-sia
menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya. Terlambat sedikit saja, walaupun gin-
kangnya lihay, tapi tentu akan kena juga.
Marahlah Khik-sia: "Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan
keteranganku!" Se-kiat tertawa mengejek: "Siapa percaya obrolanmu" Apakah isteriku sudi merayumu?"
Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya: "Bo Se-kiat, kau
betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau kemari"
Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku?"
Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya: "Bangsat, jangan ngoceh tak
keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu!"
Se-kiat seorang yang cerdas. Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi" Tapi justeru
makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan Khik-sia yang
mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih belum dapat
melupakan Khik-sia. Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah berbalik mendakwa
Khik-sia. Se-kiat tahu juga hal itu. Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau-ing, untuk
menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia.
Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia.
Serunya: "Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara lagi!
Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu
kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani!"
Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang
tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang. Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat. Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat
bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru) dan
surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin.
"Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak
memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau
bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu!" Se-kiat tertawa dingin.
Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya: "Se-kiat, kau tahu malu atau tidak"
Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri!"
"Apa kau masih akan bertanding lawan aku" Baik, terimalah kematianmu!"
Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk. Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat
membuat Khik-sia terhuyung-huyung. Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat.
Khik-sia terkejut. Cepat ia tenangkan diri. Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada Khik-
sia. Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se-kiat pun
gempil sedikit. Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya.
Se-kiat terkejut, pikirnya: "Kepandaiannya maju pesat sekali." - Dahulu ketika diadakan
pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah
bertempur. Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa
pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran kali
ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang
pusaka. Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah
belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia.
Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia.
Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat: "Harap bengcu jangan umbar
kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan
Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber."
Dan ada juga yang menasihati Khik-sia: "Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu. Entah
kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik. Setelah kau
minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan."
Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita. Sedikit banyak
mereka dapat menerka apa yang terjadi. Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang
merupakan pantangan yang paling besar. Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu. Tetapi orang-orang
itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus. Walaupun menilik keadaan Tiau-ing tadi,
Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi. Sebagian yang tahu akan mentalitet
Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia. Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu
seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo-lek)
yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai.
Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf" Ujarnya: "Se-kiat yang salah! Perempuan siluman
itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh aku saja.
Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu."
Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi. Tiau-ing dicacinya sebagai
'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul. Sudah
tentu Se-kiat marah sekali.
"Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari Hu-
song-to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak boleh
keluar kemah tanpa ijin," Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu. Diam-diam ia sudah
merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro
Khik-sia itu. Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak sadar kalau menyalahi
perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu. Dan karena melihat Khik-sia tetap
membangkang, mereka anggap percuma saja melerai. Maka merekapun segera tinggalkan tempat
itu. Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to).
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia.
Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah. Ia berganti dengan ilmu pedang Loan-bi-
hong-kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus). Ujung pedang selalu mengarah jalan darah berbahaya
dari tiga bagian tubuh Khik-sia. Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia yang tinggi,
maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa melarikan
diri. Khik-sia unggul dalam senjatanya. Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian. Jika ko-
chiu bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar. Yang
bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak. Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan
kemenangan. Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang
tak pernah diajarkan pada orang luar. Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin.
Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan. Dalam
beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait. Seklaipun Se-kiat
tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan.
Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam marahlah
Khik-sia. Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa. Namun keduanya sama-sama mempunyai
keistimewaan sendiri. Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap
belum ada yang kalah atau menang.
Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat. Ia terkejut, pikirnya:
"Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan
begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe?"
Pikirnya lebih lanjut: "Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi dari
sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun
mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat
lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa
aku melibatkan diri dalam pertempuran."
Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang. Mau lolospun tak mudah. Khik-sia
tenangkan dirinya. Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui.
Sekonyong-konyong ia rubah permainannya. Pedang diputar melingkar seperti orang main golok.
Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali. Sekali
gerak dua serangan. Dahsyatnya bukan kepalang. Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai dua
langkah. Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya,
melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis
mengeram). Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng-cu
tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah. Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru
penunduk dari ilmu pedang Se-kiat. Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan lebih
lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia. Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu
mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang. Tetapi pun ada syaratnya
ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi. Jika lwekangnya kalah dengan
lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan.
Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang yang
dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu. Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah dengan Se-
kiat, namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya. Akhirnya ia ambil
putusan untuk mencobanya juga.
Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan. Tetapipun membahayakan
juga. Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang pernah dimainkan
Thiat-mo-lek dahulu. Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia pula karena
teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan itu, tergetarlah
hati Se-kiat. Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua langkah.
Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan
padanya. Karena itu permainannyapun kurang sempurna. Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya,
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
belum tentu Khik-sia dapat menang.
Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran pedang
Se-kait. Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah menghadangnya:
"Bangsat kecil, hendak lari kemana kau?" - Secepat kilat pedang merekapun sudah lantas menusuk.
Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan
dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan
menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka saja.
Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar.
Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah
seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam jurus
Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia. Jurus ini adalah serangan untuk menolong
diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang
yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk
lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi
pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba.
"Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih ada
berapa lagi orangmu" Mengapa tak suruh mereka maju semua?" Khik-sia tertawa mengejek.
Se-kiat balas mengejek tertawa: "Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian
padaku" Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit" Mereka
hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita
bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan."
Kedua baju kunging itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling
silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka: "Harap Toan siauhiap
suka tinggal!" Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya kepada
Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda. "Ya, ya.
Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan dengan
musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat!" pikirnya.
Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain, serunya:
"Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana!"
"Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat?" Se-kiat menertawakan. Dan berbareng
itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia: "Harap tinggal di sini saja!"
Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak
menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak berdaya
menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi.
"Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku!" Khik-sia mengejek serta menabas. Kedua orang
baju kuning acungkan pedangnya. Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor keras dan
maju dua langkah. Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap bertahan mati-
matian. Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu. Jika lwekang Khik-sia tak mampu
menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat mengutungkan
pedang orang. Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to. Mereka sudah
mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long. Meskipun tidak selihay lwekang Bo Se-
kiat dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat Khik-siapun
sukar mengalahkan. Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya. Tiba-tiba
kedua orang itu tertawa mengejek: 'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu
lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka
dengan To-cu kami?" Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang ilmu
lwekang mereka. Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu. Karena terburu-buru hendak meloloskan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/


Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang yang paling
mudah untuk memecahkan lwekang lawan. Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru merupakan
lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to.
Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya. Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu
ternyata merajai sekali. Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja
yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah.
Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang. Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk
membunuhnya. Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu jiwa
juga. Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah
Se-kiat saja. Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka. Buru-buru Khik-sia
menarik kembali pedangnya. Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat
disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati. Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu.
Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia. Karena lwekang mereka masih
tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian. Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan hampir-
hampir rubuh. Sret, Se-kiat datangn dengan menusuk: 'Oho, tak nanti kau mampu lolos. Lebih baik bertempur
lagi. Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua. Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo
Jong-long), akupun takkan mengejekmu."
"Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu!" Khik-sia berseru marah. Sekali putar
pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat.
Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri. Ia bersikap bertahan tak mau menyerang. Pedang
keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali. Tapi karena cepatnya
gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun tak sampai
putus. "Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau berhadapan
dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu!" kembali Se-kiat tertawa mengejek.
Khik-sia terubur-buru dan marah. Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang dengan
kedua baju kuning. Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari Se-kiat. Ia
menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya.
Tiba-tiba Se-kiat membentak: "Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau!"
Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat. Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak kuat
menangkis. Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang, lengannya
tergurat luka sepanjang tiga dim.
Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang memaki
dengan melengking: "Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku!"
Se-kiat terperanjat. Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali. Walaupun belum melihat
jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi kalau bukan
Gong-gong-ji. Karena bar pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau Hu-
song-to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menerobos dari jurusan barat-laut,
ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi. Penjaganya juga kedua baju kuning yang
adu lwekang dengan Khik-sia itu. Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup jalan.
Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia.
Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua. Itu
bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia. Tapi soalnya, Gong-gong-ji
bergerak lebih cepat. Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum
menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji.
"Jelas tidak" Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to!" Gong-gong-ji
menertawakan. Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit. Tiba-tiba mereka
rasakan kepalanya silir sekali. Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar. Mereka berpaling dan
legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar. Saat itu baru mereka berani
meraba kepala .... astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong-ji
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
tertawa terbahak-bahak. Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya: "Kau berani mengejek
ilmu pedang kaumku?" - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah Se-
kiat. Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti
petir menyambar-nyambar. Se-kiat menutup tubuhnya dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to
mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala.
Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda
tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai
sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan
darah lawannya. Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya
merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung.
Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba
menampar dengan sebelah tangannya. "Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah sebuah
tamparanku!" Khik-sia geli dalam hati: "Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga
ketularan." - Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan
minggir ke samping. Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gong-ji
terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia
menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia
tadi. Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji.
Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan
Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan
kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan.
Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung
pedang kedua orang baju kuning hnaya kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat
Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental.
Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya
masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong-ji
rapat-rapat. Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau Khik-
sia terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam kemarahan,
pikirannya masih terang. Pikirnya: "Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak
leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai
sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos."
Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan Pat-
tin-tho. Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli
strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok. Jika barisan itu sudah selesai disusun,
betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka.
Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan. Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali. Segera ia
meneriaki Khik-sia: "Sute, ikutlah aku!" - Ia melesat memburu Se-kiat.
Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke
dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah
menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan
pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya Gong-
gong-ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia
tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti
suhengnya. Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja, mereka
sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun sudah
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan luka Khik-
sia. Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak
membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti.
"Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang kepala
Bo Se-kiat," kata Gong-gong-ji.
"Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting yang
memerlukan tenaga suheng," sahut Khik-sia.
Gong-gong-ji kerutkan alis: "Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo Se-
kiat?" "Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu."
"Oh, Shin Ci-koh?" tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa, "Ya, aku telah bertunangan dengan Ci-
koh. Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu
dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya kalau
tidak masa tahu ia menunggu aku" Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah
berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu
sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega."
Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan. Khik-sia adalah orang pertama
yang mendengar berita girang itu. Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang
tapipun malu dalam hati. Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute. Maka ia
berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya.
Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata: "Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin .... susoh saat ini
sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa, tetapi
untuk menolongnya!" Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru: "Ia mendapatkan kesulitan apa" Siapa yang berani
mengganggunya" Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri?"
"Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak yang
terletak di gunung itu," sahut Khik-sia.
"Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya.
Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia?"
oooooOOOOOooooo Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang. Tentang
terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan kepada Gong-
gong-ji. Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong. Ia akan menghadapi sendiri
musuh-musuhnya itu. Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji. Ini dapat ditertawakan
orang. "Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Ceng-bing-cu
memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ... susoh,"
kata Khik-sia. Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika: "Ya, kutahu. Ceng-
bing-cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang ajar
terhadap susohmu!" Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul. "Celaka, kukuatir saat ini
mereka sudah mulai bertempur!" serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera
berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat
yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia.
"Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling tidak
ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus!"
Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu
sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka. Waktu mendengar penuturan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji: "Kali ini
aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya!"
Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh,
Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh: "Celaka! Celaka!"
Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji: "Bagaimana keras kepala
Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia pun tentu
tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut peraturan kaum
persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi."
"Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu!" bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri.
Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan: "Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana."
Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau dicemoohkan
orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji.
Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah.
"Apakah pertempuran mereka sudah dimulai?" tanya Gong-gong-ji.
Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang pada
jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar. "Ah, kalau begitu, pertempuran baru
berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah."
Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan. Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong. Ya,
meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan tunangannya.
Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan
berseru: "Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang!"
Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah. Tampak
berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan batu-batu
kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji.
"Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku?" Gong-gong-ji marah
sekali. Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki. Memang tiada sebuah batupun
yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya
pun jadi panjang. Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh.
Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh. Batu yang tak mungkin
dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju.
Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak: "Datang
tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini!"
Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat. Dari atas puncak
segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan. Dan yang tak
kena, pun segera lari menyingkir. Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun bubar,
Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya. Dalam beberapa
kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak. Diantara kawanan penyerang yang
serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok
punggungnya: "Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu!"
Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay yang
dipimpin Ceng-bing-cu. Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak murid
Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu. Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya. Meskipun
tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ.
Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia pada
pagi itu. Ia segera mengadakan analisa. Hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Khik-sia jeri
terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu. Tetapi dari keterangan
Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe. Kalau si nona tetap
tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri. Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat
keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin).
Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua. Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak mencari
bala bantuan. Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk menunggu.
Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau tidak, tetap harus
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
dibunuh mati. Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji. Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak
membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia
merubah niatannya dan tak ikut serta. Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak
mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak. Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana
jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin.
Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat membinasakan
Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay gin-kangnya seperti
Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan pendam dari
Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri.
Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan saja
ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu
siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas
ke belakang. Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gong-gong-
ji. Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang menggunakan
gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah dapat merebut
pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya.
"Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku," semangat Ceng-bing-cu serasa terbang dan
dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: "Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah partai
persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau" Aku paling benci kepada
manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku bahkan akan
membunuhmu!" - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuik-kuik seperti
babi hendak disembelih. Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: "Melihat kau
begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut kata-kataku.
Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. "Baik, kalau
begitu ayo ikut aku," kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang
menjinjing ayam saja. Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada rintangan
barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah malam.
Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan Shin Ci-
koh yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin.
Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya gagal.
Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya sama
sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah bertemu
dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu berupa hinaan
moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah melanggar
pesan Yak-bwe.

Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima
penjelasanku atau tidak?" ia mengeluh dalam hati.
Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa
yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah
mengharap-harap kedatangan Khik-sia.
Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin Ci-
koh sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba dan
Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan In-nio
lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga.
Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis wanita
yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya saat
itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang tua:
"Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini."
"Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat
tadi," Shin Ci-koh berseru angkuh.
Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong Leng-
ciu-pay itu tertawa: "Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu kau tak
dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau mati tiada
penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi."
"Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu?" tanya Shin Ci-koh.
Leng Ciu siangjin kesima, serunya: "Cara apa yang hendak kau lakukan itu" Silahkan bilang!"
Jilid 18 Tamat Tetapi Se-kiat sendiri juga gentar. Memang Thiat-mo-lek selalu mundur, tetapi tetap memiliki
kekuatan untuk balas menyerang. Serangan gencar dari Se-kiat seperti membentur tembok yang tak
kelihatan dan tak mungkin diterobos. Rencana Se-kiat sebenarnya hanya akan bertahan saja. Ini
untuk mengulur waktu hingga pamannya datang. Tetapi ia rubah rencananya itu setelah melihat
Thiat-mo-lek memberi pengobatan lwekang pada Tian Goan-siu tadi. Ia berganti dengan siasat
menyerang secara kilat. Memang setelah bertempur tiga jurus, Se-kiat dapatkan tenaga lawan berkurang sekali. Tetapi
masih memiliki tenaga pertahanan yang kuat. Dengan begitu siasatnya menyerang kilat, sukar
terlaksana. Tapi Se-kiat sudah terlanjur bergerak menyerang, dia sendiri tak tahu bagaimana nanti
jadinya. Kalau pertempuran berjalan lama, dikuatirkan tenaga Thiat-mo-lek akan pulih. Ini berarti
kekalahan baginya (Se-kiat). Maka ia tak mempunyai pilihan lagi kecuali melanjutkan siasatnya
menyerang secara kilat. Se-kiat mainkan pedangnya dengan gencar. Thiat-mo-lek selalu main mundur saja. Setiap kali
mundur, ia dapat mengurangi kekuatan menyerang dari lawan. Tapi karena Se-kiat masih muda,
tenaganyapun tak lekas habis. Oleh karena itu semua hadirin, kecuali ayah mertua Thiat-mo-lek,
sama merasa cemas. Mereka tak tahu bahwa sebenarnya pemunduran Thiat-mo-lek mempunyai
arti. Makin lama Se-kiat makin ganas. Jurus-jurus serangannya makin menghebat. Dan Thiat-mo-
lek hanya mainkan goloknya dalam ilmu golok warisan keluarganya. Se-kiat tampak sebagai pihak
penyerang tetapi anehnya serangannya yang bagaimana aneh tetap kena ditangkis golok Thiat-mo-
lek. Hadirin yang berada di lapangan situ, kecuali Han Soan (ayah mertua Thiat-mo-lek), yang
berilmu tinggi hanya Tian Goan-siu.
Setelah tersadar, ia tak mau pulang mengobati lukanya tetapi tetap berada di situ untuk
menyaksikan pertandingan. Ia menghela nafas: "Aku telah belajar tujuh belas macam ilmu pedang,
tapi baru sekarang kuketahui kalau kesemuanya itu hanya ilmu picisan. Luar biasa sekali ilmu
pedang Se-kiat itu, namun tak mampu menandingi ketenangan Thiat-mo-lek. Untuk mencapai
keistimewaan, asal orang mempunyai otak cerdas tentu dapat. Tapi untuk mencapai ketenangan,
orang harus berlatih dengan tekun. Ketenangan dan kemahiran jauh lebih unggul dari
kedahsyatan." Pada saat Tian Goan-siu membuat penilaian begitu, Thiat-mo-lek sudah mundur lagi sampai 7-8
langkah. Tampaknya ia terkurung sinar pedang Se-kiat. Keadaannya makin buruk. Malah Ong
Yan-ik sudah menyatakan kekuatirannya kepada suaminya: "Goan-siu, dikuatirkan Thiat toako akan
kehabisan tenaga dan tak mampu mempertahankan kemenangannya."
Memang Goan-siu mengetahui bahwa ketenangan Thiat-mo-lek itu pasti dapat mengatasi lawan.
Tapi ia tak mengerti tentang keindahan-keindahan yang tersembunyi dalam permainan Thiat-mo-lek
itu. Apa yang dikatakan isterinya, sesuai dengan perasaannya. "Celaka, kalau Thiat-mo-lek sampai
kalah, akulah yang menjadi gara-garanya," ia mengeluh dalam hati namun tak diutarakan pada
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
isterinya. Ia tetap memperhatikan jalannya pertempuran dengan penuh perhatian.
Han Ci-hun, isteri Thiat-mo-lek, pun berada di situ. Mendengar pembicaraan Tian Goan-siu
suami isteri itu, iapun merasa cemas. Waktu ia hendak menanyakan pendapat ayahnya, tampak saat
itu Han Soan menyungging senyuman.
"Eh, Mo-lek mundur terus-terusan, mengapa ayah malah gembira?" ia heran.
Baru saja ia berpikir begitu, di sana Se-kiat kiblatkan pedangnya dengan istimewa. Menyabat
ke kiri dengan jurus Ban-li-hui-soang, memapas ke kanan dengan jurus Cian-sam-lok-yap. Bret,
lengan baju Thiat-mo-lek kena terpapas rompal.
"Ayah...." belum Han Ci-hun melanjutkan kata-katanya, ayahnya (Han Soan) sudah menukas
tertawa: "Serangan Se-kiat sudah tamat. Lihatlah, sekarang Thiat-mo-lek berganti giliran yang
menyerang!" Han Ci-hun menengok kemuka. Ah, kiranya benar. Thiat-mo-lek kini merubah pertempuran
dari bertahan menjadi penyerang. Meskipun belum dapat memaksa lawan mundur, tapi kini
posisinya sudah kokoh. Kiranya setelah bertempur puluhan jurus itu, tenaga Thiat-mo-lek sudah
hampir pulih dan melebihi tenaga lawan.
"Se-kiat, mengaku kalah sajalah," seru Thiat-mo-lek dengan nada berat.
Sebenarnya sukar bagi seorang ko-chiu untuk mengalah. Seperti tempo dalam pertandingan
rapat pemilihan bengcu yang pertama dulu, karena mengalah itu Thiat-mo-lek hampir saja terluka
sendiri. Itu saja ilmu pedang Se-kiat tak begitu ganas seperti sekarang. Tidak demikian dengan
keadaan sekarang. Kalau Thiat-mo-lek mengalah, Se-kiat tentu tak mau memberi ampun. Oleh
karena itu Thiat-mo-lek mencari jalan, mengalahkan Se-kiat tanpa melukainya. Itulah sebabnya ia
menyerukan orang supaya menyerah saja.
Dalam keadaan ditentang massa dan dibaliki muka oleh kawan, Se-kiat sudah kehilangan
kesadaran pikirannya. Persetan dengan anjuran Thiat-mo-lek. Ia mendengus, menggunai
kesempatan selagi Thiat-mo-lek bicara, ia lancarkan tiga buah serangan berturut-turut.
"Hari sudah begini tinggi, mengapa paman belum kelihatan" Sekalipun dalam babak kedua ini
aku kalah, tapi nanti dalam babak terakhir paman tentu menang. Dengan begitu kedudukan bengcu
tetap dapat kupertahankan," pikirnya. Adalah karena masih mengandung cita-cita itu maka
serangan yang dilancarkan Se-kiat itu selalu ganas. Serangan berantai tiga kali itu, luar biasa
hebatnya. Yang diarah selalu jalan darah-jalan darah maut.
Thiat-mo-lek menghela napas, ujarnya: "Untung celaka, diri sendiri yang membuat. Baik,
karena kau berkeras hendak menentang kehendak para saudara-saudara loklim dan tetap mau
mengangkangi kedudukan bengcu, terpaksa aku bertindak."
Dalam sehelaan napas, Se-kiat sudah melancarkan 49 jurus. Namun Thiat-mo-lek tegak kokoh
laksana gunung. Ia tetap tenang untuk menangkis setiap serangan. Waktu mengakhiri jurusnya,
ketika Se-kiat mau berganti jurus lagi, tiba-tiba Thiat-mo-lek bersuit nyaring. Pedang diputar
sebagai main golok. Dia keluarkan ilmu pedang ciptaannya sendiri. Dahulu di lapangan kotaraja,
ia gunakan ilmu pedang itu untuk membunuh Yo Bok-lo.
"Jika bukan kau akulah yang mati!" bentak Se-kiat dengan nada dalam. Tapi diam-diam, ia
mengeluh mengapa pamannya tak muncul juga. Iapun lantas keluarkan ilmu bertempur secara
gerilya, yakni ilmu permainan yang sudah disiapkan untuk menghadapi Thiat-mo-lek. Dengan
permainan itu ia mengharap dapat mengulur waktu. Tapipun ia mempunyai harapan juga supaya
menang. Tetapi ternyata ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu, luar biasa kerasnya. Betapa aneh jurus-
jurus permainan Se-kiat, namun sia-sia saja. Tidak setitik lubang yang bagaimana kecilnyapun
terdapat dalam permainan Thiat-mo-lek.
Selagi pertempuran berlangsung seru, sekonyong-konyong anak buah Se-kiat berteriak gempar:
"Tocu datang!" Thiat-mo-lek yang selalu pasang mata dan telinga, pun mengetahui juga kedatangan Bo Jong-
long bersama-sama Gong-gong-ji, Shin Ci-koh dan Mo Kia Lojin. Dia terkesiap kaget-kaget
girang. Memang yang paling menjadikan perhatiannya ialah tentang Bo Jong-long yang khilaf
pikiran itu. Jika tokoh itu berkeras kepala, tentu akan terjadi pertempuran darah besar-besaran.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Dan Gong-gong-ji serta Shin Ci-koh yang berangasan itupun menjadi pemikirannya juga. Bahwa
sekarang Bo Jong-long datang bersama-sama Gong-gong-ji dan kawan-kawan, sungguh tak
terduga-duga oleh Thiat-mo-lek.
"Menilik gelagatnya, mereka sudah menghapus permusuhan," pikirnya. Dugaan Thiat-mo-lek
itu sebagian memang tepat. Benar mereka kini sudah bersahabat setelah mengalami pertempuran
mati-matian. Ko-chiu kalau sedang bertempur, tak boleh bercabang pikiran. Girang dengan kedatangan Bo
Jong-long beramai-ramai yang tentu dapat mendamaikan urusan itu, penjagaan Thiat-mo-lek
terhadap serangan Se-kiatpun agak kendor. Sebaliknya Se-kiat menggunakan kesempatan itu untuk
menyerang dengan tiba-tiba. Pedangnya menusuk dada.
Serangan itu merupakan serangan nekad dimana kedua pihak tentu sama-sama terluka. Thiat-
mo-lek miringkan tubuh menghindar tapi tak urung pundaknya termakan pedang.
Masih gerakan Se-kiat itu belum selesai. Ujung pedang diputar mengarah tenggorokan orang.
Dalam saat-saat jiwanya terancam itu, Thiat-mo-lek terpaksa mengeluarkan jurus istimewa
untuk menyelamatkan jiwanya. Sekali ayunkan pedangnya, ia menabas pedang Se-kiat.
"Thiat tayhiap, harap memberi kemurahan!" terdengar Bo Jong-long berteriak tertahan.
Trang, pedang Se-kiat kutung menjadi dua terbabat pedang Thiat-mo-lek. Masih gerakan Thiat-
mo-lek itu meluncur terus.
Seketika Se-kiat rasakan kulit kepalanya dingin dan diam-diam menjeritlah ia: "Habis jiwaku
sekarang!" Tapi begitu angin dingin menyambar mukanya, ia tak merasa apa lagi. Ketika memandang
kemuka ternyata Thiat-mo-lek sudah berada beberapa langkah di sebelah sana, sedang
menyarungkan pedangnya. Thiat-mo-lek sekali-kali bukan karena mendengar seruan Bo Jong-long tadi, tetapi memang ia
tak bermaksud untuk mengambil jiwa Se-kiat. Maka dengan tepat sekali ia mengakhiri
serangannya tanpa menyentuh selembar rambut orang. Karena kalau mendengar seruan Bo Jong-
long itu baru menarik pedang, tentu sudah kasip.
Baik Se-kiat maupun Thiat-mo-lek sama-sama memakai pedang biasa. Tetapi setelah terluka
Thiat-mo-lek masih dapat mengutungkan pedang Se-kiat, menunjukkan betapa lihay tenaganya.
Entah berapa kali lebih unggul dari lawan. Pertandingan itu terang dimenangkan Thiat-mo-lek.
Kekalahan yand diderita Se-kiat betul-betul meludaskan mukanya. Tapi diam-diam ia masih
bergirang karena pamannya datang. Saat itu tampak Bo Jong-long menghampiri. Se-kiat hendak
bicara tapi didahului pamannya: "Anak jahanam, sampai saat ini apa kau masih tak mau mengaku
kalah?" Karena lukanya belum sembuh sama sekali, nada suara Bo Jong-long tak begitu nyaring. Tapi
dalam pendengaran Se-kiat, hal itu seperti halilintar menyambar. Satu-satunya tiang yang
diandalkan ternyata suruh dia mengaku kalah!
"Paman, apa katamu?" masih ia tak percaya akan pendengarannya.
Wajah Bo Jong-long membeku, mulutnya mendengus: "Kusuruh kau minta maaf kepada
sekalian orang gagah di sini dan terus ikut aku pulang. Sejak saat ini, kau tak boleh datang ke
Tiong-goan lagi!" Kejut Se-kiat bukan alang-kepalang, serunya: "Paman, kepandaianmu tiada yang melawan,
mengapa gampang-gampang menyerah kalah?"
"Semua gerak-gerikmu telah kuketahui semua. Jangan harap dapat mengelabuhi aku lagi,
jangan pula coba memprovokasi aku. Di dunia ini yang mempunyai moral baiklah yang dipuja.
Sekali-kali jangan banggakan kepandaian tinggi hendak menundukkan orang. Tentang ilmu
kepandaian, sucou kita Cek-si-keh entah berapa puluh kali lebih tinggi dari kita, tetapi toh ia tak
menentang Li Si-bin yang sudah diterima rakyat. Itulah baru perbuatan yang mulia dan perwira.
Memang aku bersalah mengutus kau ke Tiong-goan. Ini karena aku kelewat memandang rendah
pada golongan kaum gagah di negeri ini. Li Tong memang berhak menjadi raja, tapi tidak orang
seperti kau. Berbicara tentang ilmu kepandaian, kemuliaan hati, coba kau tanya pada dirimu sendiri
apakah kau mampu menandingi Thiat tayhiap" Turutlah perintahku, lekas minta maaf pada sekalian
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
orang gagah di sini!"
Sewaktu mengucapkan kata-katanya itu, beberapa kali Bo Jong-long harus berbatuk. Tahulah
Se-kiat kalau pamannya itu terluka dalam yang parah. Sekarang ludaslah semua harapan Se-kiat.
Batinnya mengeluh: "Sedang paman sendiri juga memaksa aku harus minta maaf, ah, Tuhan yang
maha murah. Kiranya hanya Tiau-ing seorang yang tahu tentang isi hatiku."
Tiba-tiba terdengar lari kuda mendatangi. Yang datang ialah dayang pelayan Tiau-ing. Buru-
buru Se-kiat menanyakan keterangan tentang Tiau-ing. Dengan terbata-bata budak itu menjawab:
"Nyonya telah merampas kudaku. Kukira ia sudah datang kemari, yang kunaiki ini kuda orang lain
...." "Lekas cari, lekas cari sana ...." Baru Se-kiat gugup menyuruh bujang itu, kembali seorang
dayang Tiau-ing muncul. Dayang itu terus berseru: "Tak usah mencari, aku sudah tahu dimana
nyonya." Se-kiat buru-buru mendesak bujang itu supaya menerangkan tapi bujang itu mengatakan tak
leluasa mengatakan di situ. Ia minta Se-kiat masuk ke dalam kemah.
"Bilang sekarang, dengar tidak"!" bentak Se-kiat dengan murka. Saat itu pikiran Se-kiat sudah
kalut. Dia seperti orang kalap. "Keadaanku toh sudah begini, aku tak peduli segala berita buruk,"
pikirnya. Karena ketakutan, bujang itu terpaksa bilang. "Aku tadi bertemu dengan nyonya. Ia, ia naik
kuda bersama Toan Khik-sia, melarikan diri!"
"Apa" Ia melarikan diri dengan Khik-sia?" Se-kiat menjerit. Ia yang sudah siap menerima
kabar buruk toh terkejut sekali mendengar keterangan itu. Lebih kaget kalau andaikata menerima
kabar Tiau-ing meninggal. Silih berganti ia mendapat kegoncangan hati. Dan rupanya berita
tentang larinya Tiau-ing itu merupakan pukulan yang maha berat. Seketika ia seperti kehilangan
semangat. Juga sekalian orang terkejut dengar berita itu. Lebih-lebih Yak-bwe. Hanya kalau Se-kiat
menerimanya dengan rasa putus asa, Yak-bwe dengan perasaan cemas. Ia menjerit dan tubuhnya
terhuyung-huyung. Untung In-nio dan Bik-hu cepat memapahnya.
"Khik-sia, mengapa dia, dia ...."
"Jangan mencurigai Khik-sia, tentulah ia, tentu ...." kata In-nio.
"Kutahu, tentu perbuatan siluman perempuan itu. Ah, entah dia diberi obat penyesat pikiran
apa?" kata Yak-bwe. Ia tidak percaya bahwa Khik-sia dapat dikalahkan Tiau-ing, kecuali dengan
diberi minum obat pemunah tenaga.
Karena hadirin gempar dengan berita itu sampai-sampai diri Se-kiat tak mendapat perhatian.
"Se-kiat, bagus sekali isteri yang kau ambil itu! Hm, seorang isteri demikian tak usah kau
pedulikan lagi! Selesaikanlah urusanmu di sini, baru kita nanti membuat pembersihan," kata Bo
Jong-long berkata dengan hati pedih.
Benak Se-kiat kosong melompong. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Kegemparan hadirin
dan kata-kata pamannya tadi, tak didengarnya lagi.
"Bo Se-kiat, urusan busuk perempuanmu itu, uruslah sendiri. Itu tak ada sangkut pautnya
dengan kami. Sekarang semua saudara menanti sepatah perkataanmu. Apakah kau masih punya
muka menjadi bengcu lagi" Kau mau menghaturkan maaf atau tidak?" tiba-tiba Shin Thian-hiong
berseru. Perlahan-lahan Se-kiat berjalan ke tengah lapangan. Dalam hatinya ia tertawa pahit: "Seutas
benang mengikat dua ekor semut. Melihat akhirnya aku bangkrut, ia lantas minggat dengan lain
lelaki." Langkah Se-kiat itu diikuti mata segenap hadirin. Mereka kira Se-kiat tentu akan mengakui
kesalahan. Tiba-tiba Se-kiat berhenti. Di sebelah tempat ia berhenti tampak In-nio berdiri di
samping Bik-hu. Kedua anak muda itu tengah berbisik-bisik dengan mesranya. Hati Se-kiat seperti
diiris sembilu. "Jika tempo hari aku tak salah langkah, bukantah aku dengan In-nio merupakan pasangan yang
ideal dalam dunia persilatan" Hm, aku yang memperalat Tiau-ing atau Tiau-ing yang memperalat
diriku" Saat ini mungkin sudah tak ada tempat bagiku di dalam hati In-nio. Hatinya sudah terisi
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Bik-hu," keluhnya dalam batin. Ia coba memandang lekat tapi In-nio dan Bik-hu makin merapatkan
diri. Sekonyong-konyong berserulah ia dengan keras: "Set yang kujalankan ternyata salah. Satu set
salah, semua-semuanya hancur. Apalagi yang kuharap!" - Ia cabut pedang dan ditusukkan sekuat-
kuatnya ke dadanya sendiri ....
Kejadian itu sungguh tak tersangka-sangka. Bo Jong-long terbeliak kaget, tapi tak keburu
mencegah. Paling-paling ia hanya menghampiri, menutuk darah Se-kiat supaya berhenti. Tapi
untuk menyelamatkan jiwa keponakannya itu terang tak mungkin. Pedang telah masuk separuh ke
dalam dadanya. Memang kalau menimbang kesalahannya, Se-kiat pantas menerima hukuman itu.
Tapi biar bagaimana, ikatan batin antara paman dengan keponakan itu masih ada. Bo Jong-long
sedih sekali. "Sejak kecil anak ini sudah ditinggal ayah bundanya, untung ia berotak cerdas dan
berbakat bagus. Ah, tak nyana ia harus mengakhiri hidupnya secara begini rupa. Kesemuanya itu
karena aku tak mampu mendidiknya dengan sempurna," batinnya berkata sendiri.
Dengan menelan air matanya, Bo Jong-long membisiki ke dekat telinga Se-kiat: "Apa
pesanmu?" Adalah karena ditutuk oleh pamannya itu, Se-kiat masih dapat bertahan hidup untuk beberapa
saat. Ia gunakan saat-saat terakhir itu untuk meninggalkan pesan: "Begitu anak itu lahir, ambillah
anaknya, buang ibunya ... paman, kau ... aduh, aku merasa sakit sekali, tolonglah paman mem ...."
"Baik, nak. Aku tahu maksudmu. Berangkatlah dengan tenang," sekali menutuk jalan darah
kematiannya, Bo Jong-long mencabut pedang di dadanya dan seketika itu melayanglah arwah Se-
kiat..... Bo Jong-long menyeka air matanya, kemudian perintahkan anak buahnya supaya jenasah Se-
kiat diperabukan. Abunya supaya dibawa pulang ke Hu-song-to.
Pun mengingat persahabatannya di masa lampau, Thiat-mo-lek turut berduka dengan kejadian
itu. Tapi tak tahu ia bagaimana hendak menghibur kedukaan Bo Jong-long.
Saat itu muncul dua pengawal baju kuning ke tengah lapangan. Mereka ialah pengawal yang
ditugaskan Bo Jong-long untuk membawa Khik-sia dan Ping-gwan. Mereka terkesiap kaget demi
melihat kawan-kawannya tengah menggotong jenasah Se-kiat.


Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa kalian tak mengindahkan perintahku" Mana Khik-sia?" tegur Bo Jong-long dengan
nada berat. "Nyonya muda mengatakan kalau ia disuruh tocu membawa kedua tawanan itu. Kami tak tahu
kalau nyonya membohong," kata kedua pengawal itu.
"Kuberi waktu kalian dalam tiga tahun harus menemukan nyonya muda. Jika ia sudah
melahirkan anak, bawalah anak itu saja, tak usah pedulikan nyonya muda lagi. Biar suhunya yang
memberi hukuman padanya."
Kedua pengawal itu heran. Tapi mereka tak berani membantah. Bo Jong-long bersuit rawan.
Kepada ke-42 kepala pulau ia berseru tandas: "Kamu sekalian harus ikut aku pulang dan sejak ini
tak boleh datang ke Tiong-goan lagi."
Thiat-mo-lek dan Gong-gong-ji menghampiri untuk mengantar keberangkatan pemimpin Hu-
song-to itu. Kata Thiat-mo-lek: "Bo-locianpwe, aku sungguh menyesal sekali ...."
"Thiat-tayhiap, kau sudah melakukan segala apa yang kau dapat lakukan terhadap Se-kiat. Aku
merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti kau. Tapi sejak saat ini mungkin aku takkan
menginjak tanah Tiong-goan lagi. Gong-gong-ji maafkan. Arak kegirangan kalian berdua, terpaksa
aku tak dapat turut minum."
Bo Jong-long berlalu, ke-42 kepala pulau itupun mengikuti. Hasil dari rapat besar kaum loklim
hari itu sungguh tak dinyana-nyana. Sudah dapat dipastikan bahwa Thiat-mo-lek bakal diangkat
menjadi bengcu yang baru.
Anehnya sampai saat itu Khik-sia belum kelihatan muncul. Sudah tentu sekalian orang merasa
gelisah. "Hai, bukantah itu Ping-gwan" Dia sudah datang!" Tiba-tiba Goan-siu berseru.
Ping-gwan memang berjalan ke lapangan. Pakaiannya compang-camping, badannya luka-luka
dan jalannya sempoyongan. Thiat-mo-lek tergopoh-gopoh membawanya ke dalam kemah dan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
mengobati lukanya. "Lukaku ini tak mengapa. Yang penting kejarlah lekas siluman perempuan itu. Ia melarikan
Khik-sia!" kata Ping-gwan.
Walaupun ia dan Khik-sia sama-sama ditutuk jalan darahnya oleh Bo Jong-long, tapi caranya
mengerjakanpun berbeda. Untuk Khik-sia yang lwekangnya lebih tinggi, Bo Jong-long gunakan
cara menutuk Ciong-chiu-hwat (tutukan berat). Kalau digunakan terhadap orang yang lwekangnya
lemah, Ciong-chiu-hwat itu akan mengakibatkan luka berat.
Sebenarnya lwekang Ping-gwan berimbang dengan Khik-sia. Tetapi Bo Jong-long belum
pernah mengetahui kepandaiannya. Dan memang Bo Jong-long pun tak bermaksud mencelakai
kedua anak muda itu. Kuatir Ping-gwan tak kuat menahan, Bo Jong-long hanya gunakan ilmu
tutukan biasa. Waktu diseret sampai ke kaki puncak Thiat-li-hong oleh kedua pengawal baju kuning,
sebenarnya Ping-gwan sudah dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Rupanya si
pengawal yang memanggulnya, tinggi kepandaiannya. Mendengar jalannya napas Ping-gwan
berbeda, pengawal itu lantas meletakkan tubuh Ping-gwan untuk diperiksannya.
Kemelut Di Majapahit 13 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Pendekar Pendekar Negeri Tayli 12
^