Pendekar Pendekar Negeri Tayli 12
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 12
Tentang kedudukan, engkau adalah Hou-kok-hoat-ong negeri Turfan, ilmu silatmupun sudah sekian tingginja. Tapi mengapa engkau tidak mau hidup aman tenteram dirumah dengan kedudukanmu jang agung itu, sebaliknja malah datang kesini untuk menipu orang" Kupikir lebih baik engkau lekas pulang sadja."
"Sudahlah, tak perlu banjak omong, pabila Kongtju tidak sudi undjukan Lak-meh-sin-kiam, djanganlah menjalahkan bila Siautjeng berlaku kasar,"
kata Tjiumoti dongkol.
"Kasar" Memangnja engkau djuga sudah kasar padaku, masakan masih ada pula jang lebih kasar?" sahut Toan Ki dengan gusar, "Ja, paling2 engkau sekali batjok mematikan aku, kenapa aku mesti takut?"
"Kongtju mau menurut kata2 Siautjeng apa tidak?" Tjiumoti menegas pula."ja, boleh," sahut Toan Ki.
Tjiumoti mendjadi girang, katanja: "Djika begitu, silahkan undjukan ilmu pedangmu jang sakti itu."
"Ilmu pedang sakti" Apa engkau membawa pedang" Boleh djuga dipindjamkan padaku," sahut Toan Ki.
Sungguh dongkol Tjiumoti tidak kepalang. Serunja tidak sabar lagi:
"Rupanja Kongtjuya sengadja hendak menghina Siautjeng, ja" Awas serangan!" ~ Berbareng telapak tangan kirinja terangkat miring terus memotong kemukanja Toan Ki dengan tenaga jang kuat.
Namun Toan Ki sudah ambil keputusan bandel. Ia tahu ilmu silat orang teramat tinggi, bertempur atau tidak tetap dirinja tak bisa menang.
Maksud paderi itu jalah ingin dirinja memainkan Lak-meh-sin-kam untuk membuktikan omongannja bukan bualan belaka, maka ia djusteru tidak sudi memenuhi keinginan orang. Ketika serangan Tjiumoti itu tiba, dengan nekad Toan Ki sama sekali tidak menghindar djuga tidak menangkis.
Keruan Tjiumoti jang mendjadi kaget malah. Sudah pasti ia akan membakar Toan Ki didepan kuburan Bujung-siansing, maka ia tidak ingin membunuhnja sejarang djuga dengan tenaga dalam serangannja itu. Tjepat ia angkat tangannja keatas sedikit, "sret" serangkum angin tadjam menjambar lewat diatas kepala Toan Ki hingga setjomot rambutnja terkupas.
Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji dengan terperandjat.
Begitu pula A Pik dan A Tju tidak kurang kedjutan menjaksikan ilmu sakti paderi itu.
"Apakah Toan-kongtju lebih suka korbankan djiwa daripada memenuhi permintaan Siautjeng?" tanja Tjiumoti dengan menjesal.
Toan Ki memang sudah tidak pikirkan mati atau hidup, maka sahutnja dengan tertawa: "Haha. Toahweshio sama sekali masih belum hilang daripada segala matjam pikiran keduniawian, mengada ada harganja disebut paderi saleh, huh, benar2 nama kosong belaka."
Tjiumoti tidak meladeni otjehan Toan Ki lagi, tapi mendadak serangannja ditudjukan kepada A Pik sambil berkata: "Maaf, terpaksa kukorbankan dulu seorang budak dari keluarga Bujung ini!"
Sungguh kaget A Pik tak terkatakan oleh serangan mendadak itu, tjepat ia berkelit, "brak", kursi dibelakangnja seketika hantjur ber-keping2
oleh tenaga pukulan Tjiumoti. Bahkan golok tangan kanan Tjiumoti jang lain menjusul memotong pula, sjukurlah A Pik sempat djatuhkan diri kelantai dan menggelundung kesamping dgn tjepat, namun begitu keadaannjapun sangat mengenaskan.
Pada saat lain, mendadak Tjiumoti menggertak sekali, golok tangan ketiga kembali dibatjokan pula.
Saking takutnja sampai muka A Pik mendjadi putjat, meski gerak-geriknja sangat tjepat, tapi ia mendjadi bingung djuga menghadapi batjokan tenaga dalam jang tak kelihatan itu.
Hubungan A Tju dengan A Pik bagai saudara sejandung, melihat kawannja terantjam bahaja, tanpa pikir lagi A Tju terus angkat tongkatnja dan menghantam kepunggung Tjiumoti.
Dalam samarannja baik djalannja maupun bitjaranja, lagak-lagunja A Tju memang mirip benar seorang nenek rejot. Tapi kini dalam keadaan gugup dan buru2, gerak tubuhnja mendjadi sangat gesit dan tjepat sekali.
Maka sekilas pandang sadja Tjiumoti sudah dapat melihat rahasianja A Tju itu, katanja dengan tertawa: "Haha, masakah didunia ini ada lah seorang nenek2 berumur tjuma belasan tahun" Emangnja kau sangka Hwesio dapat engkau bohongi terus?" ~ Berbareng telapak tangannja membalik dan menghantam, "krak", tongkat A Tju itu kontan tergetar patah mendjadi tiga potong. Menjusul serangan Tjiumoti dilontarkan pula kearah A Pik.
Dalam gugup dan kuatirnja, terus sadja A Pik sambar medja disampingnja untuk memapak serangan orang. "Prak-prak: dua kali, medja jang terbuatdari kaju gaharu seketika petjah berantakan, tinggal dua kaki medja jang masih terpegang ditangannja A Pik.
Melihat A Pik sudah terdesak mendempel dinding, untuk mundur lagi sudah buntu, hendak laripun susah, sementara itu serangan Tjiumoti telah dilantjarkan pula. Toan Ki takbisa tinggal diam lagi, jang dia pikir hanja lekas2 menolong sigadis, tak terpikir lagi olehnja bahwa dirinja sekali2 bukan tandingan Tjiumoti. Maka tjepat djari tengah kanan terus menuding kedepan, tenaga dalamnja lantas memantjar keluar melalui "Tiong-tjiong-hiat" diudjung djari dengan suara mentjitjit, itulah Tiong-tjiong-kiam-hoat dari Lak-meh-sin-kiam jang lihay.
Sebenarnja Tjiumoti tiada maksud membunuh A Pik, tudjuannja tjuma hendak memantjing Toan Ki ikut turun tangan. Bila dia hendak benar2
membunuh, mana A Pik mampu menghindari "Hwe-yam-to-hoat" jang tanpa wudjut dan lihay luar biasa itu"
Melihat Toan Ki telah tertipu olehnja dan turun tangan, segera Tjiumoti membaliki tangannja berganti menjerang A Tju. Begitu hebat tenaganja, dimana angin tabasannja tiba, tampaklah A Tju ter-hujung2, badju bagian pundaknja terus sobek djuga, gadis itu mendjerit kaget sekali.
Tjepat Toan Ki menolong pula, djari ketjil tangan kiri terus menusuk kedepan dengan "Siau-tik-kiam" untuk menangkis "Hwe-yam-to" musuh.
Dengan demikian, A Tju dan A Pik terhindar dari bahaja, tapi sebaliknja Toan Ki jang harus melajani serangan2 Hwe-yam-to-hoat si Tjiumoti dengan Lak-meh-sin-kiam.Pertama Tjiumoti sengadja hendak pamer kepandaiannja, kedua ingin orang lain menjaksikan bahwa Toan Ki benar2 mahir "Lak-meh-sin-kiam" jang dikatakan tadi. Maka ia sengadja mengeluarkan lwekangnja untuk saling bentrok dengan tenaga dalam Toan Ki hingga menerbitkan suara mentjitjit.
Dengan menghimpun tenaga dalam dari berbagai tokoh kelas wahid jang pernah disedotnja dengan Tju-hop-sin-kang, sebenarnja tenaga Toan Ki sekarang sudah lebih kuat daripada Tjiumoti, Tjelakanja dia sama sekali tidak mengerti ilmu silat, Kiam-hoat jang dipahaminja di Thian-liong-si itu djuga tjuma diapalkannja setjara mati dan kaku, sedikitpun takbisa digunakan dengan hidup. Maka dengan mudah sadja Tjiumoti dalam mempermainkannja dan ber-ulang2 memantjing tusukan djarinja itu hingga papan2 pintu dan djendela ber-lulang2 oleh tenaga dalam Toan Ki jang hebat, berbareng ia terus mengotjeh: "Wah, sungguh hebat Lak-meh-sin-kiam ini, pantas mendiang Bujung-siansing memudjinja setinggi langit."
Tjui Pek-khe djuga ternganga heran, pikirnja: "Kukira Toan-kongtju ini sama sekali tidak mengarti ilmu silat, siapa tahu ia memiliki ilmu sehebat ini. Toan-si dari Tayli benar2 tidak bernama kosong. Untung ketika meneduh di Tin-lam-ong-hu dahulu aku, tidak pernah berbuat sesuatu jang djahat, kalau tidak, masalah aku dapat keluar dari istana itu dengan hidup?" ~ Makin dipikir ia makin merinding sampai djidatnja penuh berkeringat dingin.
Setelah menempur Toan Ki sebentar, kalau mau, sebenarnja setiap djurus dan setiap waktu Tjiumoti dapat mematikan pemuda itu, tapi seperti kutjing memain tikus sadja, ia sengadja menggoda Toan Ki agar mengeluarkan djurus2 Lak-meh-sin-kiam. Tapi sesudah lama, lambat laun hilanglah rasa memandang rendah Tjiumoti, ia merasa Kiam-hoat jang dimainkan pemuda itu sesungguhnja lain dari jang lain, tjuma entah mengapa, dimana letak kelihayannja sama sekali takdapat digunakan oleh Toan Ki. Djadi seperti seorang anak ketjil meski dibekali harta ber-djuta2 toh tidak tahu tjara bagaimana menggunakannja.
jilid 9 Setelah bergebrak beberapa djurus lagi, tiba2 pikiran Tjiumoti tergerak: "Pabila kelak timbul ilhamnja dan mendadak ia sadar serta memahami kuntji kemudjidjatan ilmu silatnja ini, ditambah lagi tenaga dalamnja dan Kiam-hoat jang bagus ini, pastilah akan merupakan satu lawan tangguh paling lihay bagiku!"
Toan Ki sendiri djuga sudah sadar bahwa mati-hidupnja sekarang tergantung dibawah tangan Tjiumoti, tjepat ia berseru: "A Tju dan A Pik berdua Tjitji, lekaslah kalian melarikan diri, kalau terlambat mungkin tidak keburu lagi."
"Mengapa engkau bersedia menolong kami, Toan-kongtju?" tanja A Tju.
"Hwesio ini mengagulkan ilmu silatnja jang tinggi, maka suka malang-melintang menghina orang lain. Tjuma sajang aku tidak paham ilmu silat, susah untuk melawannja, lekaslah kalian melarikan diri!"
"Tapi sudah terlambat!" seru Tjiumoti tiba2 dengan tertawa. Ia melangkah madju setindak, djari tangan kiri terus mendjulur hendak menutuk Toan Ki.
Toan Ki mendjerit kaget dan bermaksud menghindari namun sudah terlambat.
Tiga Hiat-to penting diatas tubuhnja sekaligus telah tertutuk, seketika kakinja terasa lemas terus roboh kelantai. Akan tetapi ia masih ber-teriak2 pula: "A Tju, A Pik, lekas kalian lari, lekas!"
"Hm, djiwamu sendiri tak terdjamin masih ada pikiran untuk mengurusi orang lain?" djengek Tjiumoti sambil kembali ketempat duduknja. Lalu katanja kepada A Tju: "Nona inipun tidak perlu lagi main sandiwara segala. Sebenarnja siapa jang berkuasa dirumah ini, lekas katakan" Toan-kongtju ini telah apal Lak-meh-kiam-boh dengan lengkap, tjuma ia tidak mengarti ilmu silat, maka takdapat menggunakannja. Besok djuga aku akan membakarnja dihadapan kuburan Bujung-siansing, pabila Bujung-siansing mengetahui dialam baka, tentu beliau akan dapat memahami pula bahwa sobat lamanja ini telah memenuhi djandji dengan baik".
A Tju tahu dipondok Khim-im-tjing-sik ini tiada seorangpun jang mampu menandingi sihwesio. Tapi segera ia mendapat akal, katanja dengan tertawa: "Baiklah, Toahwesio. Sekarang kami sudah pertjaja, kami akan membawa engkau kemakam Loya, tapi perdjalanan kesana memerlukan waktu satu hari, harini sudah tidak keburu lagi, besok pagi2 biarlah kami berdua menghantar sendiri bersama Toahwesio dan Toan-kongtju berziarah kemakam Loya. Kini kalian berempat silahkan mengaso, sebentar harap makan malam seadanja."
Habis berkata, ia gandeng tangannja A Pik terus masuk keruangan belakang. Memandangi bajangan kedua gadis djelita itu, Toan Ki tjuma dapat tersenjum getir sadja.
Selang satu djam kemudian, seorang budak laki2 keluar memberitahu: "Nona A Pik mengundang tuan2 berempat menghadiri perdjamuan sederhana di Thing-uh-ki!"
Tjiumoti menjatakan terima kasih, segera ia pegang tangannja Toan Ki dan mengikuti hamba itu kebelakang dengan disusul oleh Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji.
Setelah menjusur sebuah djalanan ketjil jang berlika-liku dengan batu2
ketjil jang berserakan, achirnja sampailah ditepi sebuah danau. Dibawah pohon Liu tampak tertambat sebuah perahu ketjil.
"ltu, disana!" kata hamba tadi sambil menuding kearah sebuah rumah ketjil jang dikelilingi air danau.
Segera Tjiumoti, Toan Ki, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji berempat melangkah kedalam perahu, lalu hamba itu mendajung perahunja kedjurusan rumah ketjil itu.
Sesudah dekat, kiranja ,Thing-ah-ki' atau villa mendengarkan hudjan jang dimaksudkan itu dibangun dengan pohon2 Siong jang tak terkupas kulitnja, mungil dan indah seperti buatan alam.
Setelah mendarat, Toan Ki melihat A Pik sudah berdiri didepan rumah menantikan kedatangan tamu2nja, Kini gadis itu memakai badju hidjau pupus, berbedak tipis dengan yantji jang ke-merah2-an. Disampingnja berdiri pula seorang gadis tjilik lain berusia sebaja dengan A Pik, berbadju merah dadu, dengan sikapnja jang lintjah dan nakal sedang memandang Toan Ki dengan tersenjum-simpul. Kalau raut muka A Pik berbentuk bulat telur, adalah gadis djelita ini berbentuk bundar bagai bulan purnama, bidji matanja hitam lekat dengan kerlingannja jang tadjam hingga mendjadikan ketjantikannja mempunjai daja penarik jang tersendiri.
Begitu Toan Ki menghampiri, segera tertjium olehnja bau harum jang halus. Tanpa pikir lagi terus sadja ia menegur dengan tertawa: "Entji A Tju, sungguh tidak njana gadis tjilik jang tjantik seperti engkau ini ternjata djuga pandai memainkan peranan
sebagai nenek2!"
Gadis djelita disamping A Pik itu memang benar A Tju adanja. Ia melirik Toan Ki sekedjap, lalu sahutnja dengan tersenjum: "Engkau telah mendjura tiga kali padaku, sekarang engkau menjesal bukan?"
"Tidak, tidak!" sahut Toan Ki sambil menggeleng kepala. "Aku djusteru merasa perbuatanku itu tjukup berharga. Tjuma terkaanku sadja jang agak meleset."
"Terkaan apa jang meleset?" tanja A Tju.
"Sedjak mula aku sudah menduga bahwa Entji sendiri pasti serupa Entji A Pik, sama2 gadis tjantik jang djarang terdapat didunia ini." udjar Toan Ki. "Tjuma dalam anggapanku, kujakin Entji akan tidak banjak berbeda daripada Entji A Pik. Siapa tahu sesudah bertemu muka, ternjata.........
ternjata............"
"Ternjata djauh kalah dibandingkan A Pik, bukan?" sela A Tju dengan tjepat.
Sebaliknja A Pik ikut menjeletuk djuga: "Ternjata berpuluh kali lebih tjantik dariku hingga engkau terpesona, bukan?"
"Bukan, bukan! Salah semua!" sahut Toan Ki. "Kupikir Tuhan ini memang maha adil, sudah mentjiptakan gadis tjantik seperti entji A Pik, siapa duga mentjiptakan pula gadis tjantik jang lain seperti entji A Tju. Raut muka keduanja sama sekali berbeda, tapi sama2 bagusnja, sama2 menariknja, hatiku ingin mengutjapkan pudjian2 kepadamu, tapi mulutku djusteru susah mengutjapkannja sepatahkatapun."
"Tjis!" semprot A Tju dengan tertawa. "Engkau sudah mentjerotjos sepandjang lebar ini, tapi mengatakan susah mengutjapkan sepatahkatapun?"
Kalau A Tju bitjara dengan lintjah dan terus mentjomel, adalah A Pik lantas berkata dengan lemah lembut: "Atas kundjungan tuan2 ketempat kami jang sunji ini, tiada sesuatu jang dapat kami persembahkan, hanja tersedia sedikit arak tawar dan sekedar makanan jang terdapat didaerah Kanglam sini."
Lalu iapun mempersilahkan tetamunja mengambil tempat duduk masing2, ia bersama A Pik mengiringinja semedja. Melihat tjangkir, mangkok dan alat2
perkakas jang disediakan itu terdiri dari benda halus semua, diam2 Toan Ki sudah lantas memudji. Ketika kemudian pelajan laki2 menjuguhkan penganan penghantar, menjusul lantas masakan2 panas seperti "Leng-pek-he-djin" atau udang goreng sawi putih, "Ho-yap-tang-sun-theng" atau rebung muda masak daun teratai kuah, "Eng-tho-hwe-tui" atau buah tho masak ham,
"Hwe-hoa-keh-ting" atau bunga Bwe masak ajam, dan matjam2 lagi, setiap masakannja sangat istimewa dan lain daripada jang lain, ditengah udang, ikan, daging dan lain2 ditjampur dengan buah2an dan bunga2an, warnanja indah daun rasanja lezat, dengan sendirinja membawa sematjam bau harum dan rasa jang sedap.
Keruan jang tidak habis2 memberi pudjian adalah Toan Ki, katanja sambil tidak lupa melangsir makanan dihadapannja kedalam mulut: "Adatempat seindah ini, barulah ada manusia sepandai ini.Ada orang sepandai ini barulah dapat menjuguhkan makanan seenak ini."
"Eh, tjoba engkau terka, makanan ini adalah masakanku atau masakan A Pik?" tanja A Tju dengan tertawa.
"Eng-tho-hwe-tui dan Bwe-hoa-keh-ting itu kujakin adalah entji jang memasaknja," sahut Toan Ki tanpa pikir. "Dan Ho-yap-tang-sun-theng, Leng-pek-he-djin dan lainnja tentulah entji A Pik jang membuatnja."
"Ehm, engkau memang pintar," seru A Tju dengan tertawa. "Hai, A Pik, tjara bagaimana kita harus memberi hadiah kepada kepandaiannja ini?"
Dengan tersenjum A Pik menjahut: "Toan-kongtju ingin apa, sudah tentu kita akan menurut sadja, masakah pakai memberi hadiah apa segala, kaum hamba seperti kita masak ada harganja untuk bitjara demikian?"
"Aduh, dasar mulutmu ini memang pandai memikat hati orang, pantas setiap orang memudji kebaikanmu dan mengatakan aku djahat," kata A Tju.
"Jang satu lembah lembut, jang lain lintjah gembira, keduanja sama2
baik." udjar Toan Ki dengan tertawa. "Entji A Pik, didalam perahu siang tadi engkau telah memetik sebuah lagu dengan sendjata rujung milik Ko-toaya, suara tetabuhan itu sampai saat ini se-akan2 masih mengiang ditelingaku. Pabila nona tidak keberatan, kumohon sudilah engkau memperdengarkan beberapa lagu pula dengan alat tetabuhan jang sungguh2, untuk mana andalkan besok aku harus mendjadi abu dibakar oleh Toahwesio ini, rasaku takkan ketjewalah selama hidup ini."
"Djika Kongtju sudi mendengarkan, sudah tentu aku akan memainkannja sekedar menghibur tuan2 tamu," sahut A Pik terus berbangkit menudju keruangan belakang. Waktu keluar pula, ia membawa sebuah Khim atau harpa.
Toan Ki heran melihat Khim jang djauh lebih ketjil daripada Khim umumnja, bahkan senarnja djuga tidak tudjuh, tapi ada sembilan senar dengan warna2 jang ber-beda2.
A Pik mengambil tempat duduk disuatu bangku ketjil, ia taruh harpa itu diatas pangkuannja, lalu katanja kepada Tjiumoti: "Harap Toasuhu memberi petundjuk nanti!"
"Ah, djangan sungkan2", sahut Tjiumoti. Dalam hati ia mendjadi tjuriga:
"Mengapa dia menjatakan hendak minta petundjuk padaku?"
Dalam pada itu kedua tangan A Pik jang putih bersih bagai saldju itu telah mulai beraksi, kelima djari kirinja menekan pelahan2 diatas senar, sekali djari tangan kanan memetik, terdengarlah suara "tjrang-tjreng"
jang njaring merdu.
Meski Toan Ki sama sekali tidak paham ilmu silat, tapi dalam hal "Su-wah-khim-ki" atau seni tulis, seni lukis, seni musik (khim) dan seni tjatur, semuanja ia mahir Maka begitu mendengar suara pembukaan jang dipetik A Pik itu, segera ia mengetahui bahwa kesembilan senar khim itu terbuat dari bahan2 jang ber-beda2.Ada senar badja, ada pula senar tembaga, ada djuga senar benang biasa. Jang keras teramat keras, jang lemas sangat lemas. Hanja beberapa kali A Pik memetik pelahan, suara harpa itu sudah mulai mengalun dengan lambat, makin lama makin ulem, hingga keempat pendengarnja itu merasa kelopak matanja mendjadi berat, rasanja mendjadi kantuk dan ingin terus tidur.
Tjui Pek-khe adalah tokoh jang luas pengalamannja dan tjerdik, ia kenal betapa litjiknja orang Kangouw. Maka begitu memasuki perkampungan keluarga Bujung, setiap saat ia selalu waspada. Waktu matanja merasa sepat dan lajap2 akan pulas, mendadak ia tersadar: "Tjelaka! Kiranja budak setan ini sedang merantjangkan sesuatu untuk menggasak kami." "
Segera ia berseru: ,.Awas, Ko-Hiantit, banjak orang Kangouw jang berdjiwa kedji dan banjak tipu muslihatnja jang serba aneh, engkau harus hati2 dan waspada."
Ko Gan-tji meng-angguk2 dan menjahut dengan samar-samar: "Benar ! Sampai ketemu besok pagi!" " Habis berkata, ia terus menguap.
Kuapan Ko Gan-tji ini ternjata mempunjai daja menular, seketika Tjui Pek-khe dan Toan Ki ikut menguap dengan pikiran sudah mulai me-lajap2, jang terdengar hanja suara khim jang ulem merdu, sekelilingnja terasa sunji senjap, setiap orang merasakan tubuh sudah penat dan ingin tidur, kalau bisa tubuh hendak terus selondjor dan terpulas segera.
Pada saat itulah, se-konjong2 terdengar "tjring" sekali, dada Toan Ki serasa diketok sekali dan "Thian-ti-hiat" disamping ketiak seketika lantjar kembali dari tutukan Tjiumoti tadi.
Sungguh girang dan kedjut Toan Ki tak terkatakan, ia masih menjangka kalau tutukan Tjiumoti tadi kurang keras hingga Hiat-to jang tertutuk itu tidak buntu seluruhnja, maka sesudah lewat sekian lamanja, djalan darahnja lantas lantjar dengan sendirinja.
Tak terduga senar harpa A Pik kembali dipetik sekali pula, "tjring", lagi2 "Pek-hou-hiat" dipunggungnja telah lantjar pula dengan sendirinja.
Ketika Toan Ki mentjoba mengerahkan tenaga dalamnja, ia merasa separoh tubuhnja bagian atas sudah dapat bergerak dengan bebas, djalan darahnjapun lantjar tanpa suatu rintangan apa-apa lagi. Baru sekarang ia tahu suara harpa A Pik itu dapat mengadakan kontak dengan hawa murni dalam tubuh orang dan mampu melantjarkan djalan darah.
Selang sebentar, Hiat-to dikaki jang tertutuk djuga terbuka semua mengikuti bunji harpa. Dengan ter-mangu2 Toan Ki memandangi A Pik, hatinja merasa terima kasih tak terhingga. Ia lihat A Pik masih terus memetik harpanja dengan penuh perhatian, disampingsana terdengar suara orang mendengkur dengan keras, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sudah tertidur njenjak. Sebaliknja Tjiumoti masih tetap duduk dengan tenang, tampak djelas sedang mengerahkan Lwekang untuk melawan suara harpa si A Pik.
Tidak lama kemudian, Toan Ki melihat djidat A Pik mulai berkeringat, diatas kepalanja lapat2 mulai menguap. Sebaliknja Tjiumoti masih tetap tenang dengan wadjah mengulum senjum dan muka berseri-seri. Diam2 Toan Ki mendjadi kuatir: "Pabila suara harpa si A Pik tak dapat mengatasi kekuatan sihwesio ini hingga malah kena dilukai olehnja, lantas bagaimana baiknja nanti ?"
Pada saat jang genting itulah, tiba2 terdengar A Tju menjanji dengan suaranja jang merdu, lagunja : "Angin men-desir2 dingin disungai Ih, sekali pergi sang pahlawan tak kembali lagi!"
Suara harpanja sangat ulem dan halus, sebaliknja suara njanjian gagah penuh semangat, keduanja sama sekali tidak seirama. Toan Ki mendjadi heran.
Tapi ber-ulang2 A Tju terus membolak-balik menjanjikan lagu "Angin men-desir2........." hingga tiga kali. Toan Ki melihat tangkai bunga jang tersunting diatas sanggul A Pik tiada hentinja bergemetar, bibir sigadis jang tadinja merah dadu kinipun mulai putjat. Hati Toan Ki tergerak, mendadak ia sadar : "Ah, tahulah aku. Sebabnja A Tju menjanjikan kedua kalimat lagunja itu. maksudnja minta aku menirukan perbuatan Keng Ko membunuh radja Tjin didjaman Tjiankok. Ja, tenaga dalam A Pik sudah terang bukan tandingan sihwesio, kalau bertahan lebih lama lagi mungkin akan terluka dalam jang parah."
Diam2 Toan Ki mulai mengapalkan kembali Lak-meh-sin-kiam, ia tjoba mendjalankan tenaga dalamnja dan terasa lantjar tanpa sesuatu rintangan.
Tjuma sedjak ketjil ia telah mendapat peladjaran paham Khongtju dan Budha jang menjuruh setiap manusia harus berlaku badjik dan welas-asih kepada sesamanja, karena itu ia mendjadi ragu2 untuk menjerang, ia pikir seorang laki2 harus bertindak setjara terang-terangan, kalau menjerang orang setjara mendadak dan diluar pendjagaan, rasanja terlalu kotor dan rendah.
Tengah Toan Ki ragu2 itulah, se-konjong2 "tjreng" sekali, seutas senar harpa si A Pik telah putus, tubuh gadis itupun tergeliat sedikit, suara njanjian A Tju djuga berhenti mendadak, sepasang sumpit jang terpegang ditangannja segera siap hendak ditusukkan kearah Tjiumoti.
Menjusul terdengar pula suara "tjring" sekali, kembali seutas senar harpa A Pik putus. Berbareng Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji telah berseru kaget, keduanja sama2 terdjaga bangun. Toan Ki insaf keadaan sudah sangat mendesak, diam2 ia menggumam: "Demi menolong orang, terpaksa aku harus berlaku pengetjut sebentar". " Terus sadja ia angkat tangan kanan, dengan djari telundjuk dan djari tengah ia atjungkan kearah Tjiumoti, "tjus-tjus", seketika dua arus kekuatan jang tak kelihatan menusuk dengan tjepat. Itulah dua djurus serangan dari "Siang-yang-kiam" dan "Tiong-tjiong-kiam" jang lihay.
Apabila Tjiumoti lagi bertanding berhadapan dengan Toan Ki, betapapun tjepatnja serangan itu pasti akan dapat dipatahkan olehnja. Tapi kini Tjiumoti menjangka Hiat-to pemuda jang telah ditutuknja itu masih bekerdja, untuk sementara ini pemuda itu terang tak dapat berbuat apa-apa, maka antero perhatiannja telah ditjurahkan untuk menempur suara harpa si A Pik.
Tatkala itu Tjiumoti sudah mulai diatas angin dan A Pik sudah terdesak, ia sudah berusaha mengatjaukan suara harpa untuk membingungkan pemusatan pikiran A Pik, kemudian suara harpa segera akan diperalat olehnja untuk melukai A Tju sekalian. Sama sekali tak terduga olehnja bahwa Toan Ki bisa mendadak menjerang dengan Lak-meh-sin-kiam. Dalam kagetnja Tjiumoti bersuit pandjang Sembari melontjat keatas, "brak", sekaligus senar harpa si A Pik djuga putus lima utas Menjusul tertampaklah darah mengutjur dibadan Tjiumoti, Bu-heng-sin-kiam atau pedang sakti tak berwudjut jang dilontarkan Toan Ki ternjata berhasil menusuk dibahu kanannja.
Tjepat sekali A Pik terus tarik A Tju dan tangan lain menggandeng Toan Ki, sekali kakinja mengendjot, ketiga orang sudah melajang keluar melalui djendela pondok diatas air itu dan tepat turun kedalam perahu jang tertambat ditepi gili2. Segera A Tju menjuruh Toan Ki mendekam kedalam perahu, ia sendiri sambar penggajuh perahu terus didajung tjepat ketengah danau.
Maka terdengarlah suara "plang-plung" jang keras, perahu ketjil itu sampai terombang-ambing bagai didampar ombak raksasa ditengah samudera, air danau mentjiprat kedalam perahu hingga Toan Ki basah kujup. Waktu ia mendongak, ia melihat Tjiumoti berdiri ditepi gili2 sedang menimpukan medja batu, bangku batu dan sebagainja, untung A Tju tjukup tjekat dan dapat mendajung dengan tjepat, pula Tjiumoti telah terkena pedang tanpa wudjut dari Toan Ki tadi hingga lukanja tjukup parah, tenaganja banjak berkurang, maka timpukan2nja tiada satupun jang tepat mengenai perahu itu.
Namun begitu A Tju terkedjut djuga oleh ketangkasan sihwesio itu, Diam2
ia bersjukur dapat terlolos dari bahaja. Sekuatnja ia mendajung lebih djauh pula hingga dapat diduga Tjiumoti tidak dapat mentjandak mereka lagi.
"Toan-kongtju," kata A Pik kemudian, "terima kasih atas pertolonganmu tadi, kalau tidak, saat ini tentu aku sudah terbinasa ditangan sihwesio itu."
"Akulah jang harus berterima kasih kepadamu," sahut Toan Ki. "Hwesio itu berani berkata berani berbuat, bukan mustahil aku benar2 akan dibakar hidup2 olehnja."
"Sudahlah, tidak perlu lagi terima kasih kesini dan terima kasih kesana, apakah kita dapat lolos dari kekedjaman paderi itu saat ini masih belum dapat dipastikan," udjar A Tju.
Pada saat itu djuga Toan Ki mendengar ada suara tersiahnja air, ada perahu sedang didajung kearah sini, segera katanja: "Benar djuga, Hwesio itu sedang mengedjar kemari!"
Karena pertarungan Lwekang tadi, keadaan A Pik sudah sangat lelah, seketika tenaganja belum dapat dipulihkan, ia tjuma bersandar didinding perahu, katanja: "A Tju Tjitji, marilah kita menjingkir sementara ketempat Liok-toaya sadja."
"Ja, terpaksa begitulah," sahut A Tju dengan mendongkol, "sungguh sial dangkalan, tentu kita akan ditertawai Liok-toaya lagi bahwa ilmu silat kita tak berguna, baru ketemukan musuh sudah lantas lari berlindung kerumahnja. Hidup kita selandjutnja pasti akan selalu dibuat buah tertawa olehnja."
Toan Ki sendiri sedjak tenaga dalamnja bertambah kuat, daja pendengarannja mendjadi sangat tadjam pula. Ia dapat mendengar perahu jang sedang mengedjar mereka itu sudah makin mendekat. Tjepat sadja iapun sambar penggajuh lain dan bantu mendajung. Bertambah tenaga seorang, meluntjur perahu mereka mendjadi seperti anak panah terlepas dari busurnja, djarak dengan perahu pengedjar itupun makin lama semakin mendjauh.
"Kepandaian Hwesio itu sesungguhnja luar biasa, kalau kedua Tjitji jang masih muda belia dikalahkan olehnja, kenapa mesti di buat pikiran, apa jang mesti dimainkan?" udjar Toan Ki kemudian.
Hlm 11. Gambar "Tjelaka! Hwesio itu sedang mengedjar kemari!" seru Toan Ki dengan kuatir. Tjepat ia sambar penggajuh
lain dan bantu mendajung sekuatnja.
Tiba2 dari djauhsana terdengar suara seruan orang: "Wahai, A Tju dan A Pik! Kembalilah kalian, lekas! Hwesio adalah sobat baik Kongtju kalian, pasti takkan bikin susah kalian!" " terang itulah suaranja Tjiumoti, utjapannja itu kedengaran sangat lemah lembut dan bersahabat hingga menimbulkan daja penarik jang susah ditahan orang, rasanja segera akan menurut apa jang dikatakan itu.
A Tju tertegun djuga oleh seruan itu, katanja: "Dia menjerukan kita kembali kesana dan menjatakan takkan membikin susah kita." " Sembari berkata, ia memberhentikan dajungnja dengan pikiran tergerak dan bermaksud memenuhi permintaan Tjiumoti itu.
Bahkan A Pik lantas ikut menjokong pula: "Djika begitu, marilah kita kembali kesana!"
Sjukur tenaga dalam Toan Ki sangat kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh seruan Tjiumoti jang membawa daja penarik itu, tjepat ia berkata:
"Djangan kalian pertjaja, ia sengadja hendak menipu kalian!"
Namun suara Tjiumoti jang halus dan enak didengar itu kembali berkumandang pula: "Kedua nona tjilik A Tju dan A Pik. Kongtju kalian telah pulang dan sedang mentjari kalian, maka lekaslah mendajung kembali, lekaslah kembali!"
"Baiklah!" kata A Tju tiba2 terus angkat penggajuhnja untuk membilukan arah perahu.
Toan Ki mendjadi kuatir. Diam2 ia memikir : "Djika benar Bujung-kongtju sudah pulang. ia sendiri tentu akan memanggil A Tju dan A Pik, kenapa mesti sihwesio jang memanggilkan " Tentu suaranja itu adalah sematjam ilmu penggoda sukma orang jang sangat lihay."
Tjepat Toan Ki menjobek dua potong udjung badjunja untuk menjumbat telinga A Tju, lalu menjumbat pula telinganja A Pik. Setelah tenangkan diri sedjenak, segera A Tju berseru kaget, katanja: "Wah, hampir sadja kita terdjebak!"
"Ja, Hwesio itu dapat menggunakan Liap-hun-tay-hoat (ilmu sakti mentjabut sukma, sebangsa hipnotis). hampir kita masuk perangkapnja", seru A Pik.
Segera A Tju mendajung sekuatnja lagi, katanja : "Toan-kongtju, lekaslah mendajung, tjepat!"
Kedua orang terus mendajung dengan gotong-rojong hingga dalam sekedjap suaranja Tjiumoti sudah tak terdengar pula. Toan Ki lalu memberi tanda agar sumbat telinga kedua nona itu dibuka.
Sambil menepuk dada sendiri A Tju berkata sambil menarik napas lega :
"Selamatlah sekarang. Tapi lantas bagaimana selandjutnja ?"
"Entji A Tju", kata A Pik, "djika kita berlindung ketempat Liok-toaya di Siau-thian-djun, bila nanti sihwesio djuga menguber kesana, tentu ia akan bergebrak dengan Liok-toaya dengan sengit."
Benar, dan bila terdjadi begitu, tentu runjam," sahut A Tju. "Meski ilmu silat Liok-toaya tjukup tinggi, tapi tampaknja masih kalah dengan kepandaian sihwesio jang aneh dan litjin itu. Marilah begini sadja, biarlah kita terus main kutjing2-an didanau jang luas ini, kita terus berputar menghindari pengedjarannja. Kalau kita lapar, kita bisa petik Lengkak dan ubi teratai untuk tangsal perut, meski harus bertahan sampai 10 hari atau setengah bulan dengan dia djuga kita sanggup."
"Baiklah, terserah kepada keinginanmu," udjar A Pik dengan tersenjum.
"Tjuma entah bagaimana dengan pendapat Toan-kongtju ?"
"Haha, djusteru itulah melebihi harapanku," sahut Toan Ki sambil bertepuk tangan kegirangan." Pemandangan danau ini indah permai, ditambah ada kawan dua nona tjantik, djangankan tjuma pesiar untuk setengah bulan.
sekalipun untuk selamanja djuga aku akur, hidup demikian biarpun malaikat dewata djuga tidak sebahagia ini!"
A Pik tersenjum geli oleh banjolan pemuda itu, katanja pula : "Dari sini menudju kearah tenggara banjak sekali terdapat muara sungai dan teluk, ketjuali nelajan setempat djarang jang apal perdjalanan disekitar sini.
Pabila kita sudah dapat memasuki Pek-kiok-ou' (danau beratus muara) itu, betapapun sihwesio itu takkan dapat menemukan kita lagi."
Dengan girang terus sadja Toan Ki mendajung lebih giat, tidak lama sampailah mereka ditengah danau jang banjak terdapat muara sungainja.
Pabila ketemukan simpang djalan begitu, terkadang A Tju dan A Pik djuga perlu berunding lebih dulu barulah dapat menemukan arah mana jang harus ditempuh.
Dengan begitulah perahu mereka telah meluntjur hingga satu dua djam lamanja. Tiba2 hidung Toan Ki mengendus sematjam bau harum bunga jang aneh, waktu mentjium mula2 kepalanja merasa pening, tapi lantas terasa sangat enak dan segar pula. Semakin kedepan perahu mereka, harum bunga itu semakin keras.
"Kedua Tjitji, bunga apakah jang harum itu " Kenapa aku tidak pernah mentjium bau harum begini dinegeri Tayli kami?" tanja Toan Ki.
Tiba-tiba A Pik membisikinja; "Djangan engkau tanja, kita harus lekas2
meninggalkan tempat ini."
Toan Ki mendjadi heran oleh suara sinona jang rada gugup dan kuatir itu.
Dalam pada itu didengarnja A Tju djuga sedang berkata dengan lirih:
"Akulah jang tersesat. Tapi engkau berpendapat lebih tepat membiluk kearah kiri, tapi aku berkeras menjatakan kearah kanan, dan njatanja aku telah salah djalan. A Pik, engkau sudah jakin arahmu jang tepat, mengapa engkau menuruti arahku ?"
"Waktu itu aku sendiripun ragu2, kupikir djangan2 arahmu jang benar,"
sahut A Pik dengan gegetun.
Kini semangat A Pik sudah pulih kembali, ia ambil penggajuh dari tangan A Tju dan menggantikannja mendajung.
Mendengar pertjakapan kedua nona itu, Toan Ki menduga dibalik bau harum bunga jang aneh itu tentu terdapat sesuatu jang membahajakan. Sebenarnja ia ingin menanja, namun A Tju telah menggojangkan tangannja untuk mentjegahnja supaja djangan bersuara.
Dalam kegelapan Toan Ki tak djelas melihat bagaimana sikap wadjah kedua nona itu. Tapi dapat diduganja keadaan pasti gawat melebihi bahaja waktu terantjam pengedjaran Tjiumoti tadi.
Tiba2 A Tju mendekatkan mulutnja kepinggir telinga Toan Ki dan membisikinja : "Toan-kongtju, aku dan A Pik akan berbitjara dengan suara keras, tapi engkau djangan ikut tjampur sepatah katapun, paling baik engkau berbaring sadja didalam perahu".
Toan Ki bingung karena tidak paham apa maksud sigadis itu. Namun ia manggut2 djuga dan menurut, ia menjerahkan penggajuh kepada A Tju dan merebahkan diri diatas geladak perahu. Ia melihat bintang2 ber-kelip2
ditengah tjakrawala, hatinja merasakan sematjam keheranan jang tak terkatakan.
"Adik A Pik," demikian terdengar A Tju sedang berkata, "djalanan disini susah dibeda2kan, kita harus hati2, djangan sampai kesasar."
,,Ja," sahut A Pik, "Hwesio jang mengedjar kita itu tentu tidak bermaksud baik. Sebaliknja kalau kita sampai tersesat djalan, orang akan menjalahkan kita sengadja datang pula kesini dan akan banjak membawa kesukaran bagi Kongtju."
Suara pertjakapan A Pik dan A Tju itu dilakukan dengan keras se-akan2
sengadja diperdengarkan kepada seseorang. Tapi ketika Toan Ki melirik djauh kedepan, jang terlihat olehnja tjuma daun Lengkak melulu jang menghidjau terapung rapat dipermukaan air. Ketjuali suara gesekan antara badan perahu dengan daun tetumbuhan itu, keadaan toh sunji senjap tiada sesuatupun jang mentjurigakan, hanja bau harum bunga jang aneh itu makin lama makin semerbak. Dan harum bunga itu bukan mawar bukan melati, tapi sematjam harum jang susah dilukiskan dan susah diterka.
Tiba2 A Pik bernjanji pelahan2, dari suara njanjiannja itu terang mengandung rasa takut. Njata ia menjanji hanja untuk menutupi perasaan takutnja itu.
"Apakah sihwesio itu telah mengedjar kemari?" demikian Toan Ki menanja.
"Ssssst!" tjepat A Tju menekap mulut pemuda itu agar djangan bersuara.
Ia tjelingukan kian kemari, setelah sekitarnja sunji senjap, kemudian barulah dia membisiki telinga Toan Ki: "Djangan engkau bersuara. Kita telah kesasar ketempat jang berbahaja, tuan rumah disini djauh lebih lihay daripada sihwesio itu."
"Sungguh tjelaka 13," demikian pikir Toan Ki, "belum terhindar dari bahaja jang satu, bahaja jang lain sudah mengantjam pula." " Tapi segera terpikir pula olehnja: "Ah, kedua nona tjilik ini belum kenal betapa lihaynja Tjiumoti, didunia ini masakah masih ada djago jang lebih lihay dari Hwesio itu" Apalagi disini adalah tempat bertjokolnja orang she Bujung, mana dia suka membiarkan seorang tokoh lain hidup berdampingan dengan dirinja"
Habis njanji, A Pik tidak bitjara pula, ia sedang menengadah memandang bintang2 dilangit. Ia sedang berusaha membedakan arah dari kedudukan bintang2 jang bertaburan ditjakrawala itu dan sambil mendajung bersama A Tju.
Toan Ki tjoba memandang sekitarnja, keadaan hening sepi, ditengah danau seluas itu melulu perahu mereka sadja jang menjiah air hingga menerbitkan suara gemerisik jang pelahan. Ia merasa heran mengapa kedua gadis itu begitu ketakutan menghadapi suasana jang tjuma sepi itu"
Setelah perahu meluntjur lagi agak djauh, tiba pula sampai disuatu muara sungai, A Tju dan A Pik bertukar pikiran pula kemana perahu mereka harus menudju. Padahal dalam pandanganToan Ki,ia merasa djalanan2 air disitu serupa semua tanpa sesuatu perbedaan, ia mendjadi heran berdasarkan tanda apa hingga kedua nona itu mengadakan perbedaan"
Sesudah mendajung sekian lamanja, Toan Ki mendengar napas kedua gadis itu telah ter-sengal2. Segera ia mengambil penggajuh dari tangannja A Tju dan menggantikannja mendajung.
Tidak lama kemudian, tiba2 A Pik berseru kaget: ,,Hai, kita............... kita telah kembali lagi ketempat tadi!"
Benar djuga segera Toan Ki mengendus bau harum bunga jang aneh seperti tadi. Ia mendjadi lemas dan ketjewa, tampaknja mereka tjuma ber-putar2
sadja ditengah danau itu, pertjumalah mereka mendajung dengan susah-pajah selama setengah malam disitu.
Sementara itu sudah mendjelang fadjar, ufuk timur sudah mulai remang2
memutih. Wadjah A Pik tampak sedih. Tiba2 ia membuang penggajuhnja keatas perahu dan menangis ter-guguk2 sambil menutupi mukanja.
Segera A Tju merangkul A Pik dan menghiburnja: "Kita toh tidak sengadja datang kemari. Sebentar bila bertemu dengan Ong-hudjin, kita katakan sadja terus terang, djangan engkau kuatir." - Walaupun ia menghibur kawannja. sebenarnja perasaan sendiri djuga katjau dan kuatir.
Pada saat itulah tiba2 diangkasa terdengar suara bunji burung jang mentjitjit, dari arah baratsana terbang mendatangi seekor burung putih jang mirip bangau. Burung itu terbang mengitari perahu beberapa kali, kemudian terbang kearah barat pula dengan pelahan.
A Tju mengangkat penggajuh pula dengan menghela napas, katanja: "Sudah diketahui, terpaksa mesti kesana, marilah kita pergi kesana!'' " Segera ia mendajung perahunja mengikuti arah burung putih tadi.
"Kiranja burung itu adalah penundjuk djalan jang diutus madjikannja,"
udjar Toan Ki dengan tertawa.
"Toan-kongtju,'' kata A Pik tiba2, "engkau adalah orang luar dan tidak mengetahui banjak peraturan2 ditempat kami ini. Sebentar bila sudah sampai di 'Man-to-san-tjheng', tak peduli apa jang terdjadi, hendaklah engkau menurut perintah sadja, biarpun mesti dihina djuga engkau djangan membangkang."
"Sebab apa?" tanja Toan Ki. "Apakah tuan rumahnja begitu, kasar dan sewenang-wenang " Kita hanja sesat djalan, kalau perlu kita bersedia pergi dari sini, dosa apakah kalau tjuma kesasar sadja ?"
Tiba2 mata A Pik memberambang, katanja: "Toan-kongtju, didalam persoalan itu banjak hal-hal jang susah kudjelaskan. Mereka berani berlaku kasar, mereka mempunjai alasannja sendiri. Pendek kata semuanja gara-gara Hwesio djahat itu hingga kita di-uber2 sampai kesasar kemari. Kalau tidak, masakah kita bisa masuk lagi kesini ?"
Rupanja sifat A Tju lebih periang, dengan tertawa ia berkata: "Orang baik tentu diberkahi dengan redjeki besar. Kalau kita berdua jang datang kemari, tentulah baka; tjelaka, tapi Toan-kongtju adalah seorang beruntung, seorang jang membawa berkah, siapa tahu kalau kita djuga akan ikut diberkahi dengan keselamatan."
"Aku djusteru berkuatir bagi Toan-kongtju, soal kita berdua malah tidak kupikirkan", udjar A Pik. "Ong-hudjin, telah menjatakan bila ada lagi orang laki2 berani mengindjak ke Man-to-san-tjheng, maka kedua kaki orang itu akan ditabasnja dari kedua matanja akan dikorek. Entji A Tju, sifat Ong-hudjin toh sudah dikenal engkau, sekali dia sudah omong. pasti didjalankannja. Kini kita membawa Toan-kongtju kesini, bukankah kita jang membikin susah padanja......" " berkata sampai disini, tak tertahan lagi air matanja kembali bertjutjuran.
"A Pik," kata A Tju, "siapa tahu kalau mendadak timbul rasa welas-asih orang, boleh djadi Toan-kongtju ini pandai omong dan pintar berdebat hingga dapat mematahkan perasaan badja orang, lalu kita bertiga dilepas pergi."
Sebenarnja tokoh matjam apakah Ong-hudjin itu ?" tanja Toan Ki.
A Pik memandang sekedjap kepada A Tju, hendak mendjawab, tapi urung.
Sebaliknja A Tju lantas memberi tanda beberapa kali dengan tangannja, lalu tjelingukan kesekitarnja, kemudian barulah berkata: "Tentang diri Ong-hudjin " Wah, betapa tinggi ilmu silatnja boleh dikata sudah mentjapai tingkatan jang susah diukur, didunia persilatan sekarang tiada seorangpun jang dapat menandinginja. Kongtju kami biasanja tidak mau tunduk kepada siapapun, hanja Ong-hudjin sadja jang paling dikagumi olehnja." " Meski begitu mulutnja berkata, tapi mimik wadjahnja djusteru mengundjuk beberapa tanda2 jang aneh, mulut merot2 dan mata ber-pitjing2
sambil mengangkat pundak pula. Pendek kata tanda2 jang menjatakan bahwa apa jang dikatakan itu sama sekali tidak dapat dipertjaja. tapi bualan belaka sekadar menjenangkan hati orang.
Keruan Toan Ki mendjadi heran, pikirnja : "Masakah bitjara ditengah perahu jang sekelilingnja tjuma air belaka kuatir didengar oleh orang "
Apakah Ong-hudjin itu begitu sakti hingga memiliki telinga jang mampu mendengarkan dari tempat djauh?"
Ia lihat burung putih tadi telah terbang kembali dan mengitar pula diatas perahu mereka seperti tidak sabar menunggu lagi. Setelah berputar lagi dua kali, kembali burung itu mendahului terbang kedepan. Setelah perahu didajung lagi mengikuti burung putih itu. kini djalanan air itu penuh dengan teluk dan muara sungai jang berlika-liku.
Achirnja perahu mereka tiba sampai didepan selarik pagar bambu. Pagar bambu itu djarang2 anjamannja sebagaimana umumnja dipakai kaum nelajan untuk mengurung ikan.
Sesudah dekat dengan pagar bambu itu, tampaknja perahu mereka terhalang dan takdapat meluntjur madju lagi. Tak terduga begitu haluan perahu membentur pagar bambu itu, seketika pagarnja ambruk kebawah air hingga perahu dapat meluntjur terus, Kiranja pagar bambu itu dipasang dengan alat rahasia jang bisa dibuka-tutupkan. Setelah melintasi beberapa rintangan pagar bambu lagi, achirnja tertampaklah didepansana pohon Liu melambai-lambai ditepi pantai, dari djauh kelihatan pula ditepi pantai penuh tumbuh bunga kamelia jang ke-merah2-an bertjerminkan air danau.
Melihat itu, tak tertahan lagi Toan Ki berseru heran sekali dengan pelahan.
"Adaapa?" tanja A Tju.
"Itu adalah San-teh-hoa (bunga kamelia) dinegeri Tayli kami, mengapa ditengah danau ini tumbuh djuga djenis bunga ini ?" sahut Toan Ki sambil menundjuk pohon2 kembang itu.
"O, ja " Tapi mungkin San-teh-hoa di Tayli tidak dapat menandingi San-teh-hoa ditempat kami ini," kata A Tju. "Tempat ini bernama Man-to-san-tjheng, bunga Mantolo disini terhitung nomor satu didunia ini, betapapun bunga keluaran Tayli kalian djuga takkan mampu menandinginja".
Kiranja nama lain dari San-teh-hoa atau bunga kamelia adalah kembang Mantolo, jaitu berasal dari kata2 Mandala dalam basa Sangsekarta. Dan kembang Mantolo jang paling terkenal adalah keluaran Hunlam, orang menjebutnja sebagai "Tin-teh" atau bunga kamelia dari Hunlam.
Oleh karena itulah Toan Ki tidak dapat menerima pendapat A Tju tadi bahwa kembang kamelia Tayli takdapat menandingi bunga jang tumbuh di Manto-san-tjheng atau perkampungan bunga Mantolo. Pikirnja: ..Pemandangan alam didaerah Kanglam memang harus diakui indah permai, dan susah ditandingi Tayli. Tapi kalau bitjara tentang kembang kamelia jang merupakan bunga pusaka negeri kami, aku jakin tiada tempat lain jang dapat melebihinja."
Sebenarnja ia bermaksud menjanggah utjapan A Tju tadi, tapi dilihatnja gadis itu sedang memitjingkan mata dan memerotkan mulut pula sebagai tanda djangan banjak bitjara, maka Toan Ki mendjadi urung buka suara. Ia pikir Man-to-san-tjheng itu sudah didepan mata, lebih baik djanganlah sembarangan bitjara.
Dalam pada itu A Tju telah mendajung perahunja menudju ke semak pohon kembang kamelia itu. Sampai ditepi pantai, Toan Ki melihat sepandjang mata memandang disitu hanja bunga kamelia belaka jang berwarna merah dan putih, sebuah rumahpun tidak tertampak.
Ia dibesarkan dinegeri Tayli jang terkenal sebagai negeri kembang kamelia, maka ia mendjadi tidak heran oleh bunga2 San-teh jang berserakan itu. Bahkan ia merasa bunga kamelia sebanjak itu tiada satupun terdiri dari djenis jang berharga.
Setelah merapatkan perahunja ke-gili2, segera A Tju berseru dengan suara njaring dan penuh hormat: "Hamba A Tju dan A Pik dari keluarga Bujung dalam menghindari kedjaran musuh setjara tidak sengadja telah tersesat kesini, sungguh dosa kami pantas dihukum mati, maka mohon kemurahan hati Ong-hudjin sudilah mengingat ketidaksengadjaan kami dan memberi ampun, untuk mana hamba berdua akan sangat berterima kasih."
Akan tetapi biar A Tju sudah bergembar-gembor sendiri, dibalik semak2
pohonsana toh tiada sesuatu sahutan orang. Tapi nona itu kembali berseru lagi: ,,Dan orang jang datang bersama ini adalah Toan-kongtju jang tak kami kenal, ia adalah tamu asing dan djuga tidak kenal-mengenal dengan Kongtju kami, maka tiada sangkut-paut apa2 dengan urusan kesasar kami ini."
Segera terdengar A Pik ikut berkata djuga: "Kedatangan orang she Toan ini ketempat kami sebenarnja tidak punja maksud baik, tapi hendak membikin onar dengan Kongtju kami. Tak terduga setjara kebetulan ia telah ikut kesasar kemari."
Toan Ki mendjadi heran, pikirnja: "Kenapa mereka menegaskan aku adalah musuh Bujung-kongtju, apa barangkali tuan rumah disini sangat bentji kepada Bujung-kongtju, asal aku mengaku sebagai musuhnja orang she Bujung itu, lantas aku takkan dipersulit disini?"
Tidak seberapa lama, tiba2 ditengah rimba pohon kembang kamelia itu terdengar ada suara tindakan orang, kemudian muntjul seorang pelajan ketjil berbadju hidjau, tangannja membawa segebung karangan bunga, usianja lebih tua satu-dua tahun daripada A Tju dan A Pik. Sampai ditepi pantai, dengan tertawa dajang itu lantas berkata dengan tersenjum: "A Tju dan A Pik, kalian benar2 bernjali besar sekali dan berani ngelajap lagi kesini" Karena itu Hudjin memerintahkan muka kalian masing2 harus disilang dengan pisau agar wadjah kalian jang tjantik aju terusak."
Namun A Tju mendjadi lega demi nampak sikap dajang jang bitjara itu.
Sahutnja dengan tertawa: ,,Entji Yu Tjhau, tentunja Hudjin tidak berada dirumah, bukan?"
"Hm, Hudjin djusteru mengatakan pula bahwa kalian berani membawa laki2
asing kesini, maka kedua kaki orang itu harus segera dipotong pula,"
demikian sahut sidajang jang dipanggil dengan nama Yu Tjhau itu. Tapi belum Selesai ia omong, ia sudah lantas menutup mulutnja dengan tangan dan tertawa tjekikikan.
"Entji Yu Tjhau," A Pik ikut bitjara sambil tepuk2 dada sendiri,
"djangan engkau me-nakut2i orang. Sebenarnja sungguh2 atau tidak utjapanmu itu?"
"A Pik," udjar A Tju dengan tertawa, "djangan gampang digertak olehnja.
Kalau Hudjin ada dirumah masakah budak ini berani main gila seperti ini"
Adik Yu Tjhau, katakanlah, kemanakah Hudjin telah pergi?"
"Huh, berapakah umurmu sekarang, berani kau menjebut aku sebagai adik?"
sahut Yu Tjhau dengan tertawa, "Kau memang siluman tjerdik tjilik, dengan tepat engkau dapat menerka Hudjin tidak berada dirumah." " Ia merandek sedjenak, tiba2 ia menghela napas, lalu meneruskan: "A Tju dan A Pik, Sjukurlah kalian dapat berkundjung kemari pula, sungguh aku ingin menahan kalian agar supaja dapat tinggal barang beberapa hari disini, tjuma..............."
"]a, sudah tentu kamipun suka untuk tinggal sementara dengan engkau disini," sahut A Pik. "Entji Yu Tjhau. sebaiknja kalau engkau dapat datang ketempat kami sadja. Untuk mana kami bersedia tiga-hari-tiga-malam tidak tidur untuk menemani engkau!"
Tengah mereka bitjara, tiba2 dari semak2 kembangsana terdengar suara berkeresekan, kemudian muntjul pula seorang dajang tjilik, dengan ketawa2
dajang inipun lantas berseru girang: "Hai, A Tju dan A Pik, nona kami mengundang kalian ketempatnjasana ."
"He. kiranja adik Hong Le," sahut A Tju dengan tertawa. "Terima kasihlah atas kebaikan nona kalian itu. Sampaikanlah bahwa Kongtju kami sedang bepergian. kedatangan kami kesini sungguh2 karena sesat djalan. Harap diberi maaf."
"Bagus," kata Hong Le setengah mengomel, "nona kami mengundang kalian, tapi kalian menolak. Baiklah, dan kalian djuga djangan mengharapkan Pek-ih-sutjia (perintis djalan berbadju putih. Maksudnja burung putih itu) akan membawa kalian keluar dari sini."
A Tju saling pandang sekedjap dengan A Pik, sikap mereka tampak serba salah. Kemudian A Pik membuka suara: ,,Entji Hong Le, engkau sendiri tentu tahu, mana kami berani menolak undangan nonamu itu" Akan tetapi bila nanti kebetulan Hudjin pulang, lantas...............
bagaimana............"
"Hudjin sedang pergi ketempat jang djauh, baru kemarin beliau berangkat, tidak mungkin pulang dengan begitu tjepat," sahut Hong Le atau siburung kenari kuning "Hajolah ikut kesana, masakan kalian tidak tahu isi hati nona kami?"
"Baiklah, marilah A Pik, terpaksa kita menempuh bahaja lagi." udjar A Tju.
Kedua gadis itu lantas melangkah ke-gili2. Kata A Pik kepada Toan Ki:
"Toan-kongtju, silahkan engkau menunggu sebentar disini, kami pergi menemui tuan rumahnja, segera kami akan kembali."
Toan Ki mengia dan menjaksikan kepergian empat gadis tjilik jang lintjah dan riang gembira itu.
Sesudah sekian lamanja duduk didalam perahu, Toan Ki mendjadi iseng, pikirnja: "Biarlah aku mendarat untuk melihat kembang Mantolo jang ditanam disini, ingin kulihat apakah ada djenis jang bagus atau tidak?"
Terus sadja ia melangkah kepantai dan menikmati pemandangan disepandjang djalan. Ia lihat diantara tetumbuhan bunga2 selebat itu, ketjuali kembang kamelia, sama sekali tiada djenis bunga lain lagi. Akan tetapi bunga kamelia itu djuga terdiri dari djenis2 jang umum dan tiada sesuatu jang bernilai tinggi, satu2nja keistimewaan jalah dalam hal djumlah. Memang djumlahnja sangat banjak.
Tengah Toan Ki memandang kian kemari, tiba2 hidungnja mengendus bau harum pula. Harum bunga itu sebentar keras sebentar halus hingga susah diraba darimana datangnja bau harum itu. Jang terang bau harum itu serupa seperti bau harum jang aneh jang ditjiumnja semalam didalam perahu itu.
Diam2 Toan Ki heran, pikirnja: "Disini toh tidak tampak ada djenis bunga lain lagi ketjuali kembang kamelia, apakah mungkin diantara kamelia sebanjak ini terdapat sedjenis jang dapat menguarkan bau harum jang aneh ini?"
Tertarik oleh rasa ingin tahu, terus sadja Toan Ki mengusut lebih djauh mengikuti arah datangnja bau harum itu. Setelah berpuluh meter djauhnja, ia lihat djenis2 kamelia jang mekar bertambah banjak, terkadang djuga terdapat satu-dua djenis jang bernilai lumajan.
Tidak lama pula, sedang Toan Ki asjik memperhatikan kembang kamelia jang luar biasa djumlahnja itu, mendadak bau harum jang aneh itu lenjap sama sekali. Meski Toan Ki sudah menjusur kesana dan kesini toh bau harum itu tetap tak terendus lagi. Ia pikir: "Sudahlah, aku harus lekas kembali, sebentar kalau A Tju dan A Pik kembali dan melihat aku tiada berada disana, tentu mereka akan kuatir."
Segera iapun berputar tubuh hendak kembali kearah datangnja tadi. Akan tetapi tjelaka, ia mengeluh. Kiranja sudah sekian djauhnja ia menjusur kian-kemari diantara hutan bunga itu, ia telah lupa memberi tanda pada djalanan jang telah dilaluinja itu. Kini hendak kembali ketempat dimana perahunja berlabuh. terang mendjadi agak sulit.
Ia tjoba membedakan arah menurut kejakinannja sendiri, pikirnja asal dapat mentjapai tepi danau. urusan tentu akan mendjadi mudah.
Tak tersangka makin djauh ia berdjalan, makin tak keruan djurusan jang dipilihnja itu. Mendadak didengarnja ada suara bitjara orang disisi kiri hutan bungasana , segera dapat dikenal bahwa itulah suaranja A Tju. Pikir Toan Ki dengan girang: "Biarlah kutunggu sebentar disini, bila mereka sudah Selesai bitjara, tentu dapatlah aku ikut kembali ketempat tadi bersama mereka."
Ia dengar A Tju sedang berkata: "Kesehatan Kongtju sangat baik, napsu makannja djuga bertambah. Selama dua bulan ini beliau tekun mempeladjari
'Pak-kau-pang-hoat' (ilmu pentung penggebuk andjing) dari Kay-pang, mungkin karena sedang menjiapkan diri untuk mengukur kepandaian dengan tokoh Kay-pang."
Toan Ki mendjadi ragu2 mendengar pertjakapan itu, pikirnja: "A Tju sedang membitjarakan urusan Kongtju mereka, tidaklah pantas kalau diam2
aku mendengarkan disini. Aku harus menjingkir jang djauh. Tapi djuga tidak boleh terlalu djauh, sebab sebentar kalau mereka sudah selesai bitjara, djangan2 aku malah tidak tahu."
Dan pada saat itulah, tiba2 Toan Ki mendengar suara seorang wanita menghela napas sekali dengan pelahan. Begitu mendengar suara helaan napas itu, seketika tubuh Toan Ki serasa terguntjang, hatinja ber-debar2 dan mukanja merah. Pikirnja: "Suara orang menghela napas itu sungguh enak sekali untuk didengar, mengapa didunia ini terdapat suara semerdu itu?"
Sementara itu didengarnja suara jang halus dan. merdu tadi sedang menanja pula: "Kepergiannja sekali ini menudju kemanakah?" Ketika mendengar suara helaan napas tadi perasaan Toan Ki sudah terguntjang, kini mendengar pula utjapan itu. darah seluruh tubuhnja serasa bergolak, tapi hatinja merasakan sematjam rasa getir dan ketjut, rasa kagum dan iri jang tak terkatakan. Pikirnja : "Jang ditanjakan itu sudah terang adalah Bujung-kongtju. Ternjata sedemikian besar perhatiannja kepada Bujung-kongtju hingga selalu dirindukan olehnja. Wahai, Bujung-kongtju betapa bahagianja hidupmu ini!"
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka terdengar A Tju sedang menjahut: "Waktu Kongtju hendak berangkat, beliau mengatakan hendak pergi ke Lokyang untuk mendjumpai djago2 Kay-pang. Malahan Lu-toako dan Pau-siansing djuga ikut pergi, maka harap nona djangan kuatir."
"Diwaktu Kongtju kalian melatih Pak-kau-pang-hoat apa kalian melihat ada sesuatu kesukaran atau rintangan ?" tanja suara wanita itu.
"Tidak." sahut A Pik. "Kongtju dapat memainkan Pak-kau-pang-hoat itu dengan sangat lantjar dan tjepat sekali......
"Hai, salah besar!" tiba2 wanita itu berseru, "apa betul dia memainkannja dengan sangat tjepat ?"
"Ja, kenapa dikatakan salah malah ?" sahut A Pik heran.
"Sudah tentu salah," kata siwanita itu. "Pak-kau-pang-hoat itu mengutamakan keuletan, makin lambat makin baik, bila perlu dapat dipertjepat dan segera diperlambat lagi. Tapi kalau terus-menerus dimainkan dengan tjepat, tentu susah mengerahkan kelihayan ilmu pentung itu. Ai, apakah...... apakah kalian dapat menjampaikan sedikit berita kepada Kongtju?"
Tapi sekarang Kongtju berada dimana, kami sama sekali tidak tahu, bukan mustahil saat ini beliau sudah selesai pula bertemu dengan tokoh2 Kay-pang," demikian sahut A Tju. "Kohnio, apakah terlalu tjepat memainkan Pak-kau-pang-hoat itu benar2 tidak boleh ?"
"Sudah tentu tidak boleh, masakah perlu kudjelaskan lagi ?" sahut sinona. "Mengapa...... mengapa waktu akan berangkat dia tidak...... tidak datang menemui aku dahulu?" " sembari berkata iapun mem-banting2 kaki dengan rasa kuatir dan tjemas.
Toan Ki mendjadi heran, pikirnja: "Biasanja nama Koh-soh Bujung sangat dihormati dan disegani, tapi dari utjapan sinona ini, agaknja ilmu silat Bujung-kongtju itu seakan-akan memerlukan petundjuknja. Apa mungkin seorang nona muda belia seperti ini mempunjai kepandaian setinggi langit?"
Ia dengar sinona sedang berdjalan mondar-mandir, suatu tanda betapa gopoh perasaannja waktu itu. Tiba2 kedengaran nona itu berkata lagi dengan pelahan: "Tempo hari, aku minta dia mempeladjari ilmu gerak langkah itu, tapi ia djusteru tidak mau beladjar, tjoba kalau dia sudah paham 'Leng-po-wi-poh' itu......"
Mendadak mendengar kalimat "Leng-po-wi-poh" atau langkah indah sidewi tjantik, Toan Ki mendjadi kaget dan tanpa merasa berseru sekali, tjepat ia tekap mulut sendiri, namun sudah terlambat.
"Siapa itu?" segera terdengar nona itu telah menegur.
Tahu kalau takbisa menjembunjikan diri pula, terpaksa Toan Ki berdehem lebih dulu, lain mendjawab: "Tjayhe bernama Toan Ki, karena terpesona oleh keindahan bunga kamelia sekitar sini hingga tanpa sengadja kesasar kemari, mohon diberi maaf."
"A Tju, apakah dia adalah Siangkong jang datang bersama kalian itu?"
tanja nona itu kepada A Tju dengan pelahan.
"Benar, Kohnio", sahut A Tju tjepat. "Orang ini adalah Sutaytju (peladjar tolol), djangan nona mengurusinja. Biarlah sekarang djuga kami mohon diri sadja."
"Nanti dulu," kata nona tadi, "tunggu aku menuliskan seputjuksurat untuk menerangkan tanda2 rahasia Pak-kau-pang-koat itu dan harap kalian segera berusaha untuk menjampaikannja kepada Kongtju."
"Hal ini............... Hudjin pernah menjatakan..............." sahut A Tju dengan ragu2.
"Menjatakan apa" Djadi kalian tjuma menurut kata2 Hudjin dan tidak mau menurut perintahku?" kata nona itu dengan nada marah.
Tjepat A Tju mendjawab: "Mana kami berani membangkang perintah nona.
Asal sadja tidak diketahui Hudjin, sudah tentu kami akan menurut. Apalagi kalau ada paedahnja bagi Kongtju kami."
"Baiklah, mari kalian ikut aku kekamar," kata nona itu.
Terpaksa A Tju mengia.
Dalam pada itu Toan Ki mendjadi lebih kesemsem sedjak mendengar suara helaan napas jang penuh daja penarik itu. Kini mendengar sinona segera akan pergi, ia pikir sekali sinona sudah pergi, mungkin untuk selamanja takkan dapat melihatnja lagi, hal itu bukankah akan dibuat penjesalan selama hidup" Meski nanti akan dikatai orang karena kelakuannja jang semberono, paling2 djuga tjuma didamperat sadja, betapapun aku harus melihat muka aslinja.
Karena pikiran itu, segera Toan Ki berseru sambil melangkah keluar:
"Entji A Pik, harap engkau tinggal disinilah untuk menemani aku, ja?"
Mendengar Toan Ki berdjalan keluar, nona itu berseru kedjut dan tjepat membelakangi tubuhnja. Waktu Toan Ki menerobos keluar dari semak2 pohon, jang terlibat olehnja tjuma seorang wanita berbadju putih mulus dan berdiri mungkur, perawakannja ramping, rambutnja pandjang terurai sampai dipunggung dan hanja diikat oleh seutas benang sutera warna perak. Tjukup melihat bajangan sigadis sadja Toan Ki sudah jakin pasti gadis itu sangat tjantik laksana dewi kajangan dan menimbulkan sematjam hawa keangkeran.
Segera ia membungkuk memberi hormat dari djauh sambil berkata: "Terimalah hormat Tjayhe, nona!"
"A Tju," tiba2 gadis itu membanting kaki, "gara2mu membawa segala orang kesini. Aku tidak ingin bertemu dengan laki2 luar jang tiada sesuatu hubungan." " Habis berkata, terus sadja ia berdjalan tjepat kedepan, hanja sekedjap sadja bajangan gadis itu sudah menghilang dibalik semak2
bungasana . Dengan tersenjum A Pik lantas menoleh dan berkata kepada Toan Ki: "Toan-kongtju, tabiat nona ini memang sangat angkuh, kini kebetulan malah, marilah kita pergi dari sini."
Hlm. 25 Gambar SelagiA Tju hendak mulai mendajung perahunja,
tiba2 terdengar suara suitan njaring bagai naga merintih dari djauh. Hanja sekedjap sadja sebuah kapal berbentuk kepala naga sudah mendekat dan dari dalam
kapal berdjalan keluar seorang wanita setengah
umur dengan dandanan keraton.
"Ja, berkat pertolongan Toan-kongtju jang telah melepaskan kami dari kesukaran," A Tju ikut berkata djuga dengan tertawa. "Kalau Toan-kongtju tidak muntjul, tentu Ong-kohnio akan suruh kami hantarsurat segala dan djiwa kami ini mendjadi berbahaja akibatnja."
Semula sebenarnja Toan Ki merasa kuatir dan tentu akan diomeli A Tju dan A Pik karena dia setjara semberono telah heran undjuk diri hingga membikin nona Ong kurang senang. Tak tersangka kedua dajang tjilik itu malah memberi pudjian padanja, keruan Toan Ki mendjadi bingung malah.
Segera mereka bertiga kembali keperahu mereka. A Tju angkat penggajuh hendak mulai mendajung lagi. Tapi belum sampai perahu meluntjur, tiba2 A Pik berkata: ,.Entji A Tju. tanpa diberi petundjuk djalannja oleh Pek-ih-sutjia, betapapun kita susah keluar dari tempat ini. Terpaksa kita harus menunggu dulu suratnja Ong-koh-nio. Kita tjuma terdesak oleh keadaan, toh bukan sengadja datang kesini, andaikan diketahui Ong-hudjin djuga takdapat menjaksikan kita."
"Ja, semuanja gara2 sihwesio busuk itu.................." demikian sahut A Tju dengan gegetun. Tapi belum Selesai utjapannja. tiba2 dari djauh terdengar suara suitan njaring jang pandjang bagai naga merintih.
Demi mendengar suara suitan aneh itu, seketika wadjah A Tju dan A Pik berubah putjat. Begitu pula Toan Ki djuga terkedjut Pikirnja: "He, suara suitan ini sudah kukenal dengan baik. Wah tjelaka. itulah dia muridku Lam-hay-gok-sin jang telah datang. Tetapi, ah, salah, bukan dia, bukan dia!"
Sebagaimana diketahui, ketika mula2 Toan Ki bertemu dengan Lam-hay-gok-sin, ia pernah mendengar suara rintihan naga seperti tadi itu. Tapi kemudian waktu Lam-hay-gok-sin sudah berada dihadapannja, kembali suara suitan njaring itu terdengar pula, karena itu, Lam-hay-gok-sin lantas buru2 menjusul kearah datangnja suara itu. Maka dapat dipastikan suara suitan itu bukan dikeluarkan oleh Lam-hay-gok-sin, tapi masih ada seorang lain lagi.
Biasanja sifat A Tju sangat lintjah dan periang, tapi kini demi mendengar suara suitan itu, seketika badannja gemetar dengan ketakutan.
"Toan-kongtju," kata A Pik dengan bisik2, "Ong-hudjin telah pulang, terpaksa kita terserah pada nasib rnasing2. Tapi sebaiknja engkau berlaku kasar kepada kami, lebih kasar dan lebih kurang sopan kepada kami akan lebih baik bagimu."
Akan tetapi bagi Toan Ki tidak mungkin disuruh berlaku kasar terhadap kedua dara tjilik itu. Sedjak dia meninggalkan rumah, sudah banjak pengalaman dan bahaja jang dihadapinja. Ia pikir bila memang aku sudah ditakdirkan harus mati, biarlah terima nasib sadja masakah aku diharuskan berbuat tidak sopan kepada dua nona tjilik" Karena itu, segera ia mendjawab: "Lebih baik mati setjara sopan daripada hidup dengan kurangadjar. Entji A Tju engkau menjebut aku sebagai Sutaytju, dan memang beginilah sifat ketolol2an seorang Sutaytju seperti aku ini."
A Tju hanja melototinja sambil menghela napas gegetun.
Pada saat itulah dari djauh tertampak sebuah perahu sedang meluntjur tiba setjepat terbang, hanja sekedjap sadja sudah mendekat. Tampak djelas perahu itu sangat besar dengan udjung berbentuk kepala naga jang mulutnja terpentang lebar dengan rupa sangat menakutkan.
Sesudah kapal itu lebih dekat lagi, mendadak Toan Ki mendjerit kaget. Ia melihat diudjung tanduk kepala naga dari kapal itu tergantung tiga buah kepala manusia jang darahnja masih berketes2, njata kepala manusia itu baru sadja dipenggalnja.
"Rupanja ditengah djalan Ong-hudjin telah pergoki musuh dan lantas dibunuhnja, makanja pulang lebih tjepat daripada rentjananja. Ai, dasar nasib kita jang djelek," demikian udjar A Tju pelahan.
Sementara itu kapal tjepat berkepala naga itu sudah merapat dengan gili2, A Tju dan A Pik telah berbangkit berdiri dengan kepala menunduk, sikapnja sangat menghormat. Ber-ulang2 A Pik memberi tanda kepada Toan Ki dengan maksud menjuruh pemuda itupun ikut berdiri.
Namun Toan Ki menggeleng kepala, katanja dengan tertawa: "Biarlah tuan rumahnja muntjul dulu, tentu aku akan berbangkit untuk menghormatinja.
Seorang laki2 masakah mesti terlalu merendahkan deradjat sendiri?"
Tiba2 suara seorang wanita berkata dari dalam kapal itu: "Lelaki darimanakah berani sembarangan masuk ke Man-to-san-tjheng sini" Apakah tidak pernah mendengar bahwa setiap laki2 jang berani masuk kesini pasti akan ditabas kedua kakinja?" " Suara wanita itu sangat kereng, tapi sangat njaring dan merdu pula dan enak didengar.
Segera Toan Ki mendjawab: "Tjayhe bernama Toan Ki, Tjayhe tersesat kemari dan bukan disengadja, harap suka memberi maaf." Wanita itu tjuma mendengus lagi sekali dan tidak menggubrisnja.
Sesudah kapal itu berlabuh, dari dalam kamar kapal lantas muntjul dua dajang muda berbadju hidjau, jang seorang lantas melompat menjambar ketiga kepala manusia jang tergantung ditanduk kepala naga itu, dengan enteng sadja ia turun kembali kegeladak kapal sambil mendjindjing ketiga buah kepala manusia itu. Gerakannja tjepat dan gajanja indah.
Melihat kedua dajang itu menghunus pedang semua, diam2 Toan Ki membatin:
"Kaum hambanja sadja sudah begini lihay, apalagi madjikannja" Biarlah, toh kepalaku tjuma sebuah sadja, kalau mau boleh mereka penggal sekalian."
Dalam pada itu terdengar wanita didalam kapal itu berkata pula: "Hm, A Tju dan A Pik ini memang kepala batu dan berani sembarangan datang kemari lagi, dasar madjikanmu sibotjah Bujung Hok itu djuga tidak pernah berbuat baik, selalu main gila dan berbuat hal2 jang djahat."
"Lapor Hudjin," sahut A Pik tiba2, "hamba tidak sengadja datang kemari, tapi karena kesasar waktu diuber musuh dan tanpa sengadja masuk kesini lagi. Kongtju kami sedang bepergian, maka tiada sangkut-pautnja dengan beliau." " Karena urusan sudah kadung begini, dara jang tampaknja lemah-lembut itu mendjadi berani mendebat dengan tegas.
Kemudian dari dalam kapal itu muntjul ber-pasang2 gadis berbadju hidjau jang lain, semuanja berdandan dajang, tapi menghunus pedang. Seluruhnja jang keluar itu ada delapan pasang, ditambah dengan kedua dajang jang pertama tadi, djumlah seluruh mendjadi 18 orang Mereka berbaris mendjadi dua larik dengan sikap kereng, habis itu, barulah dari dalam kapal berdjalan keluar seorang wanita berpakaian keraton.
Begitu melihat wadjah wanita itu, terus sadja Toan Ki berseru kaget, seketika ia melongo dan merasa seperti didalam mimpi.
Kiranja wanita itu berpakaian sutera putih mulus, dandanannja ternjata mirip benar dengan patung Dewi jang telah dilihatnja didalam gua di Tayli itu. Bedanja tjuma wanita ini sudah setengah umur, sebaliknja patung Dewi itu adalah seorang gadis djelita berusia belasan tahun. Dalam kedjutnja Toan Ki tjoba mengamat-amati wanita tjantik itu pula. Ia melihat wadjahnja benar2 seperti patung Dewi didalam gua itu, ketjuali perbedaan dalam umur, wadjahnja djuga sudah mulai berkerut, tapi makin dipandang makin mirip se-akan2 saudara kembar dengan patung tjantik didalam gua itu.
A Tju dan A Pik mendjadi kuatir melihat Toan Ki memandangi Ong-hudjin itu dengan mata tanpa berkesip, kelakuannja benar2 sangat kurangadjar, tiada ubahnja seperti seorang pemuda jang mata kerandjang. Ber-ulang2
mereka memberi isjarat agar Toan Ki djangan menatap begitu rupa kepada Ong-hudjin itu, tapi sepasang mata Toan Ki itu se-akan2 sudah tak berkuasa dan terpaku pada wadjah Ong-hudjin.
Segera Ong-hudjin itu mendjadi gusar djuga, katanja kepada kaum hambanja: "Orang ini begini kurangadjar, sebentar sesudah potong kedua kakinja, harus korek pula kedua matanja dan iris lidahnja."
Salah seorang dajangnja jang berbadan lentjir dan berkulit badan hitam manis lantas mengiakan.
Diam2 Toan Ki gelisah djuga. Pikirnja: "Kalau aku akan dibunuh, paling2
djuga mati achirnja. Tapi kalau kedua kakiku dipotong lebih dulu, mataku dikorek dan lidahku diiris hingga mati tidak hidup tjelaka, wah, rasa derita ini tentulah berat."
Dan baru sekarang timbul rasa takutnja. Ia tjoba berpaling memandang A Tju dan A Pik, ia lihat wadjah dara itupun putjat pasi seperti majat dan berdiri terpaku bagai patung.
Setelah Ong-hudjin itu mendarat, menjusul dari dalam kapalnja berdjalan keluar pula dua dajang berbadju hidjau jang lain, tangan mereka memegangi udjung seutas tali sutera, dan menjeret keluar dua orang laki2.
Toan Ki melihat salah seorang laki2 jang terikat tali dan diseret keluar itu bermuka putih bersih dan tjakap seperti putera keluarga hartawan.
Seorang lagi segera dapat dikenalinja sebagai Tjin Goan-tjun jang bergelar "No-kang-ong" atau siradja pengamuk sungai itu.
Waktu mengerojok Bok Wan-djing dahulu, lagak Goan-tjun itu luar biasa garangnja. Tapi kini kedua tangannja terikat oleh tali sutera, kepala menunduk dengan lesu seperti orang sudah pasrah nasib.
Toan Ki mendjadi heran, orang ini selamanja tinggal di Hunlam, mengapa sekarang kena ditangkap kesini oleh Ong-hudjin.
Sementara itu terdengar Ong-hudjin sedang bertanja kepada Tjin Goan-tjun: ,,Sudah terang kau adalah orang Tayli, mengapa tidak mengaku?"
"Aku adalah orang Hunlam, tapi kampung halamanku tidak dibawah kekuasaan negeri Tayli", sahut Tjin Goan-tjun.
"Hm, berapa djauh djarak tempat tinggalmu dengan Tayli?" tanja Ong-hudjin pula.
"Lebih dari empatratus li djauhnja," sahut Goan-tjun.
"Belum ada limaratus li, engkau termasuk pula orang Tayli," kata Ong-hudjin "Harus dipendam hidup2 dibawah bunga Mantolo sebagai rabuk."
"Aku bersalah apa?" teriak Tjin Goan-tjun penasaran. "Silahkan engkau memberi pendjelasan, kalau tidak, matipun aku tidak rela".
"Hm," djengek Ong-hudjin. "Aku tidak peduli kau salah apa! Asal engkau orang Tayli atau orang she Toan, sekali kebentur ditanganku, tentu akan kupendam hidup2. Meski engkau bukan Orang Tayli, tapi adalah tetangga Tayli, bukankah sama djuga?"
Sungguh2 dongkol Toan Ki tak terkatakan, pikirnja: ,,Aha, kiranja akulah jang engkau maksudkan, mengapa mesti main sandiwara segala" Biarlah aku mengaku lebih dulu dan tidak perlu engkau menanja padaku." " Karena itu, segera ia berteriak keras2: "Ini dia orangnja, aku adalah orang Tayli dan she Toan pula. Kalau engkau mau kubur aku hidup2. silahkan lekas kerdjakan!"
"Dari tadi engkau sudah mengaku, katanja Toan Ki namamu," demikian djengek Ong-hudjin "Hm, orang she Toan dari Tayli tidak nanti boleh mati setjara begitu mudah".
Habis berkata, ia memberi tanda dan sidajang tadi lantas menjeret pergi Tjin Goan-tjun jang tak berdaja itu, entah karena Hiat-to tertutuk atau karena terluka dalam jang parah, jang terang sama sekali Tjin Goan-tjun tidak dapat membangkang sedikitpun. Ia tjuma dapat ber-teriak2 sadja:
,,Didunia ini masakah ada per-aturan begini" Orang Tayli ada ber-djuta2
djumlahnja, apakah engkau dapat membunuhnja habis?"
Akan tetapi ia sudah lantas diseret ketengah rimba pohon bunga itu, makin lama makin djauh dan semakin pelahan suaranja hingga achirnja tak kedengaran lagi.
Kemudian Ong-hudjin berpaling kearah tawanannja jang lain jang bermuka putih bersih itu, lalu tanjanja: .,Dan apa jang hendak kau katakan?"
Mendadak orang itu tekuk lutut dihadapan sinjonja dan ber-ulang2 memberi sembah, katanja: "Ajahku adalah pembesar dipemerintah pusat, beliau melulu mempunjai seorang putera seperti diriku ini, maka mohonlah Hudjin memberi ampun. Untuk mana, apa sadja permintaan Hudjin, pasti ajah akan memenuhinja."
"Hm, ajahmu adalah pembesar negeri, apa kau sangka aku tidak tahu?"
djengek Ong-hudjin dengan dingin. "Untuk mengampuni djiwamu tidaklah sukar, asal sesudah kau pulang, segera isterimu dirumah itu kau bunuh dan besoknja lantas menikah dengan nona Biau jang berhubungan gelap dengan engkau diluar kawin itu, tapi harus dengan upatjara resmi dan lengkap memakai emas kawin. Nah, dapat tidak engkau laksanakan sjarat ini?".
Keruan pemuda bangsawan itu serba susah, sahutnja dengan gemetar:
"Su.................. suruh aku membunuh isteri-kawin sendiri, itulah aku............ aku tidak tega. Menikah setjara resmi dengan nona Biau, orang-tuaku tentu............... tentu melarang pula Bukanlah aku............ aku.........".
"Seret pergi dia dan kubur hidup2", bentak Ong-hudjin segera. Dajang jang menuntun tali pengikat pemuda itu mengia sekali, lalu diseretnja pergi.
Dengan ketakutan pemuda itu berseru pula dengan gemetar "Ba............
baiklah, aku terima sjaratmu!"
"Nah, Siau Djui, kau giring dia kembali kekota Sohtjiu dan menjaksikan sendiri dia membunuh isterinja dan kemudian menikah dengan nona Biau, habis itu barulah kau boleh pulang," pesan Ong-hudjin kepada dajang jang menuntun pemuda itu. Siau Djui mengia lagi dan menarik pemuda bangsawan itu melangkah kedalam perahu jang tadi ditumpangi Toan Ki itu.
"Harap Hudjin menaruh belas-kasihan," demikian pemuda bangsawan itu memohon pula. "Isteriku toh tiada sakit hati apa-apa dengan engkau dan engkaupun tidak kenal nona Biau, buat apa engkau mesti membantunja dan memaksa aku membunuh isteriku sendiri untuk menikah lagi padanja"
Biasa............... biasanja aku pun tidak kenal engkau, apalagi djuga tidak berbuat salah apa2 kepadamu."
"Aku tidak peduli kau kenal aku atau tidak,'' sahut Ong-hudjin dengan gusar. "Djika engkau sudah punja isteri, mengapa mesti menggoda anak gadis orang lain lagi" Dan sekali engkau sudah berani main gila dengan gadis lain, engkau harus kawin padanja. Hal ini sekali sudah kuketahui pasti akan kuselesaikan seperti ini, apalagi perbuatanmu ini bukanlah jang pertama kalinja, apa jang masih kau sesalkan" Siau Djui, tjoba katakan, perbuatan keberapakah kedjahatannja ini?"
"Hamba telah menjelidiki di-kota2 Busik, Kahin dan tempat2 lain, semuanja terdjadi tudjuh kali perbuatannja jang tidak senonoh, belum lagi Siau Lan dan Siau Si jang mengusut kekota lain2," sahut sidajang itu.
Mendengar sudah begitu ketetapan hukuman jang biasa didjatuhkan oleh Ong-hudjin, pemuda itu tjuma dapat mengeluh sadja dan tidak berani membantah pula. Segera Siau Djui mendajung perahunja dan membawanja pergi.
Toan Ki mendjadi melongo kesima menjaksikan tindak-tanduk Ong-hudjin jang aneh dan tidak masuk diakal itu. Jang terpikir dalam benaknja waktu itu melulu "masakah ada peraturan begitu" atas keputusan sinjonja. Saking penasarannja sampai achirnja tanpa merasa iapun berseru: "Masakah ada peraturan begitu! Masakah ada peraturan begitu?"
"Hm, mengapa tidak ada?" djengek Ong-hudjin. "Didunia ini masih terlalu banjak peraturan jang begini?"
Sungguh ketjewa dan tjemas Toan Ki oleh tindakan Ong-hudjin itu. Tempo hari waktu dia melihat patung dewi tjantik didalam gua ditepi sungai wilajah Tayli itu, ia begitu kagum dan begitu kesemsem kepada patung jang tjantik itu. Wanita jang berada dihadapannja ini wadjahnja mirip benar dengan patung Dewi itu, sebaliknja tindak-tanduknja ternjata lebih mirip setan iblis jang tak kenal ampun.
Untuk sedjenak Toan Ki hanja menunduk dengan ter-mangu2 sadja. Kemudian dilihatnja empat dajang Ong-hudjin itu telah masuk lagi kedalam kapalnja untuk membawa keluar empat pot besar bunga jang indah. Melihat itu, seketika semangat Toan Ki terbangkit.
Kiranja empat pot bunga itu semuanja adalah bunga kamelia dan terdiri dari djenis2 jang terpilih.
Dalam hal kembang kamelia, diseluruh dunia ini tiada jang bisa melawan kamelia keluaran Tayli, lebih2 jang tertanam didalam Tin-lam-onghu.
Karena itu sedjak ketjil Toan Ki sudah biasa dengan bunga2 kamelia disekitarnja itu, diwaktu iseng iapun sering mendengarkan pertjakapan belasan orang tukang kebun bunga membitjarakan djenis2 bunga kamelia, dari itu tanpa beladjar iapun sangat paham akan pengetahuan bunga itu.
Tadi ia sudah djauh menjusur kebun Man-to-san-tjheng itu dan melihat tiada satu djenis bunga Mantolo jang tumbuh disitu jang ada harganja untuk dinikmati. Maka kesannja kepada perkampungan jang bernama "Man-tosan-tjheng" itu rada ketjewa, sebab dianggapnja nama tidak sesuai dengan kenjataannja.
Ia dengar Ong-hudjin sedang pesan kepada dajang2 jang membawakan pot bunga tadi: "Siau Teh. Keempat pot kamelia 'Moa gwe' (bulan purnama) itu tidak mudah mendapatkannja, maka kalian harus merawatnja baik2".
Sidajang jang dipanggil Siau Teh itu lantas mengia.
Toan Ki mendjadi tertawa geli oleh utjapan Ong-hudjin jang dianggapnja masih hidjau itu.
Namun Ong-hudjin tidak gubris padanja, kembali ia pesan si dajang:
,,Angin danau terlalu keras, bunga2 itupun sudah tersimpan beberapa hari didalam kapal dan tidak pernah terkena sinar matahari, maka lekas kalian menaruhnja ditempat terbuka, biar didjemur sebentar dan tambahi sedikit rabuk."
Kembali Siau Teh mengiakan.
Mendengar itu, Toan Ki bertambah geli hingga saking tak tahannja terus sadja ia ter-bahak2: "Hahahaha!''
Karena heran oleh suara tawa sipemuda jang agak aneh itu, dengan mendongkol Ong-hudjin lantas menegur: "Apa jang kau tertawakan?"
"Aku tertawa karena engkau tidak paham tentang kembang kamelia, tapi djusteru senang tanam bunga itu," sahut Toan Ki "Bunga sebagus itu kalau djatuh kedalam tanganmu, itu sama dengan membakar sangkar untuk memasak burung kenari, benar2 runjam.
Ong-hudjin mendjadi gusar, damperatnja: "Hm, aku tidak paham kamelia, apakah kau jang pintar?" " Tapi segera pikirannja tergerak, bukankah barusan pemuda itu mengaku she Toan dan berasal dari Tayli, djika begitu bukan mustahil memang pemuda itu paham tentang bunga kamelia. Walaupun begitu pikirannja, namun dimulut tetap ia tidak mau undjuk lemah: "Tempat ini bernama Man-to-san-tjheng (perkampungan bunga Mantolo atau kembang kamelia), di-mana2 penuh tumbuh bunga Mantolo dengan subur dan indah permai bukan?"
"Ja, barang kasaran sudah tentu dapat ditanam setjara kasar dan hidup kasar pula", sahut Toan Ki dengan tersenjum. "Tetapi bila keempat pot kamelia putih ini dapat engkau tanam hingga hidup subur, biarlah aku tidak mau she Toan lagi."
"Wah, tjelaka!" demikian pikir A Tju dan A Pik, bahaja sudah didepan mata, pemuda itu masih berani meng-olok2 Ong-hudjin tidak pandai tanam bunga, apa barangkali pemuda itu minta mati lebih tjepat"
Kiranja sifat Ong-hudjin itu sangat suka kepada bunga kamelia untuk mana ia tidak sajang membuang biaja jang besar untuk mengumpulkan djenis2 jang baik. Akan tetapi bila djenis pilihan itu sudah ditanam ke Man-to-san-tjheng, selalu bunga itu mati kering, paling lama djuga tjuma tahan setengah atau satu tahun sadja. Karena itulah Ong-hudjin sangat kesal oleh kegagalannja menanam bunga itu. Kini mendengar utjapan Toan Ki, bukannja dia marah, bahkan mendjadi girang malah. Segera ia melangkah madju dan menanja: "Menurut kau, keempat pot bunga kameliaku ini ada kesalahan apa" Tjara bagaimana untuk bisa menanamnja dengan baik?"
"Djika maksudmu hendak minta petundjuk padaku, seharusnja ada tata tjaranja orang minta petundjuk," demikian sahut Toan Ki. "Tapi kalau engkau ingin pakai kekerasan untuk memaksa aku mengaku, itulah djangan kau harap dan bila perlu boleh engkau tabas dulu kedua kakiku."
Ong-hudjin mendjadi gusar, serunja: "Untuk menabas kakinja apa susahnja"
Siau Si, kau tabas kaki kirinja dahulu."
Pelajan jang dipanggil Siau Si itu mengia dan segera melangkah madju dengan pedang terhunus.
"Djangan, Hudjin!" tjepat A Pik mentjegah. "Sifat orang ini sangat kepala batu. Pabila engkau melukainja, biarpun mati tentu ia takkan mengatakan lagi."
Memangnja maksud Ong-hudjin djuga tjuma untuk menggertak. Maka ia lantas memberi tanda suruh Siau Si urungkan maksudnja.
"Haha, paling baik kalau engkau memotong kedua kakiku untuk ditanam disamping keempat pot bunga, tentu akan merupakan rabuk paling subur dan kelak kamelia putih ini pasti akan mekar dengan indah dan sebesar njiru.
Wah, tentu akan sangat tjantik dan bagus, ia baguuuus sekali!" demikian Toan Ki meng-olok2.
"Tidak perlu kau membual," sahut Ong-hudjin dengan mendongkol. "Dimana letak kebaikan dan kedjelekan empat djenis bunga kameliaku ini, tjoba kau katakan lebih dulu. Bila uraianmu beralasan dan dapat diterima, mungkin aku akan dapat menerima engkau dengan hormat."
"Ong-hudjin," segera Toan Ki berkata, "engkau bilang keempat djenis kamelia ini bernama 'Moa-gwe', sebenarnja engkau telah salah besar. Satu diantaranja djusteru bernama 'Ang-tjeng-soh-kwe' (berdandan sederhana dengan pupur merah) dan satu djenis lagi bernama Tjoa-boa-bi-djin-bin'
(mentjakar luka muka orang tjantik)."
"Tjoa-boa-bi-djin-bin" Kenapa begitu aneh namanja" Djenis jang manakah?"
tanja Ong-hudjin dengan heran.
"Haha, engkau ingin minta petundjuk padaku, engkau harus pakai aturan sebagaimana mestinja," sahut Toan Ki dengan tertawa.
Ong-hudjin mendjadi kewalahan. Tapi demi mendengar diantara bunga jang dapat dikumpulkannja itu satu diantaranja terdapat nama jang aneh menarik, ia mendjadi sangat girang. Dengan tersenjum katanja kemudian:
"Baiklah! Nah, Siau Si, perintahkan kepada koki suruh menjiapkan perdjamuan di 'Hun-kim-lau' untuk menghormati Toan-siansing ini."
Siau Si mengia terus bertindak pergi.
Untuk sedjenak A Tju dan A Pik hanja saling pandang dengan melongo.
Sungguh mimpipun tak mereka pikirkan bahwa Toan Ki bisa lolos dari kematian, bahkan Ong-hudjin malah akan mendjamunja sebagai tamu terhormat.
Dalam pada itu Ong-hudjin telah memberi perintah pula kepada pelajan jang mendjindjing tiga buah kepala manusia itu agar ditanam ditepi kamelia merah didepan rumah 'Ang-he-lau', Segera pelajan itupun mengia dan pergi.
Habis itu, barulah Ong-hudjin berkata kepada Toan Ki: "Marilah silahkan datang kekediamanku, Toan-kongtju!"
"Untuk mana tentu akan mengganggu ketenteraman Hudjin, harap suka dimaafkan," sahut Toan Ki.
"Atas kundjungan Toan-kongtju jang serba pandai, sungguh Man-to-san-tjheng kami bertambah tjerlang-tjemerlang," kata Ong-hudjin pula.
Begitulah diantara njonja rumah dan tetamunja itu saling mengutjapkan kata2 merendah sambil berdjalan kedepan. Suasananja sama sekali sudah berubah, kalau tadi A Tju dan A Pik kebat-kebit menguatirkan keselamatan Toan Ki, adalah sekarang mereka mendjadi lega dan mengikut dari belakang.
Tapi mereka kenal watak Ong-hudjin jang susah diraba, sekarang sikapnja ramah-tamah, tapi sebentar lagi bisa berubah mendjadi gusar dan kasar.
Maka mereka tetap berkuatir bagi Toan Ki entah bagaimana djadinja nanti.
Sesudah menjusur rimba pohon bunga jang lebat, achirnja Ong-hudjin membawa Toan Ki sampai didepan sebuah gedung bertingkat jang ketjil mungil. Pada papan dibawah emper rumah itu Toan Ki melihat tertulis tiga huruf "Hun-kim-lau". Disekitar rumah itupun penuh tertanam pohon kembang kamelia. Tapi bunga sebanjak itu kalau dibandingkan kamelia jang terpelihara di Tayli, maka nilainja boleh dikata tidak berarti, paling2
djuga tjuma kelas tiga atau empat sadja. Dibandingkan gedung indah itu sesungguhnja tidak serasi.
Sebaliknja Ong-hudjin merasa sangat bangga, katanja: "Toan-kongtju, kamelia dinegerimu Tayli sangat banjak, tapi kalau dibandingkan dengan tanamanku ini mungkin masih djauh ketinggalan."
Toan Ki mengangguk, sahutnja: "Kamelia seperti ini memang tiada seorangpun jang menanam di Tayli kami."
"O, ja?" semakin Ong-hudjin baugga dan ber-seri2.
"Memang," Toan Ki menegas. "Seorang desa jang paling bodoh sekalipun di Tayli kami djuga tahu bila menanam bibit bunga jang djelek seperti ini akan merosotkan harga diri".
"Apa katamu?" seru Ong-hudjin tjepat dengan wadjah berubah. "Djadi kau maksudkan Teh-hoa jang kutanam ini semuanja bernilai rendah" Ah, engkau ini berkata ke............... keterlaluan".
"Djika engkau tidak pertjaja, terserahlah!" sahut Toan Ki. Ia tuding setangkai Teh-hoa atau kamelia jang berwarna pantjawarna didepan rumah itu dan berkata pula: "Ini, seperti djenis ini tentu kau pandang paling berharga bukan" Ehm, pagar kemala jang mengelilingi bunga itu memang benar2 barang berharga dan sangat indah."
Ia hanja mengagumi kebagusan pagar kemala jang mengelilingi bunga dan tidak memudji bunganja, hal ini sama seperti memudji keindahan badju seorang wanita, tapi tidak memudji akan ketjantikan orangnja. Keruan Ong-hudjin rada mendongkol, padahal kamelia pantjawarna itu djusteru dipandangnja sebagai djenis jang djarang terdapat, masakan sekarang ditjela oleh pemuda itu.
Tapi Toan Ki lantas menanja pula: "Numpang tanja Hudjin, bunga ini didaerah Kanglam sini disebut dengan nama apa?" "Kami tidak tahu apa namanja jang asli, maka kami lantas menjebutnja Ngo-sik-teh-hoa (kamelia pantjawarna)," sahut Ong-hudjin.
"Tapi di Tayli kami terkenal suatu namanja jang hebat, jalah 'Lho-te-siutjay' (Siutjay (sastrawan) jang masuk kotak),' kata Toan Ki.
"Huh, begitu djelek namanja, tentu sengadja engkau bikin2 sendiri,''
udjar Ong-hudjin "Bunga itu indah dan megah, dimana mirip seorang Lho-te-siutjay?"
"Silahkan Hudjin mentjoba hitung, warna bunga itu seluruhnja ada berapa banjak?" tanja Toan Ki.
"Sudah lama kuhitung, paling sedikit djuga ada belasan warna," sahut Ong-hudjin.
"Tepatnja ada 17 warna djumlahnja," kata Toan Ki. "Di Tayli kami ada sedjenis jang disebut Tjap-pek-haksu" (delapanbelas sardjana). Itulah djenis jang tiada bandingannja didunia ini. Satu pohon dapat mekar 18
tangkai bunga dan setiap tangkai warnanja ber-beda2, kalau merah ja merah mulus, bila ungu ja ungu seluruhnja, pasti tidak tertjampur warna lain sedikitpun. Bahkan ke-18 tangkai bunga itu bentuknja berbeda2 pula dan masing2 mempunjai keindahannja sendiri2. diwaktu mekar serentak mekar semua. kalau laju, seluruhnja laju. Apakah Hudjin pernah melihat djenis bunga itu."
Dengan terkesima Ong-hudjin mendengarkan tjerita Toan Ki itu, sungguh ia sangat ketarik. Maka sahutnja dengan menggeleng kepala: "Apa betul didunia ini ada Teh-hoa sebagus itu" Dengar sadja baru sekarang, apalagi melihatnja!"
"Djenis lain jang kwalitetnja dibawah Tjap-pek-haksu itu djuga masih ada seperti 'Pat-sian-kwe-hay" (delapan dewa menjeberang laut), djenis itu adalah delapan tangkai bunga dengan warna jang berlainan tumbuh disatu pohon; Tjhit-sian-li' (tudjuh bidadari djumlahnja 7 tangkai); 'Hong-tim-sam-hiap' (tiga pendekar pengembara) adalah tiga tangkai dan 'Dji Kiau'
(dua wanita aju didjaman Sam Kok) terdiri dari dua tangkai berwarna merah dan putih. Warna kamelia2 itu harus mulus dan murni, bila umpama diantara warna merah terdapat warna putih, maka itu adalah djenis jang rendah."
Ong-hudjin mengangguk dengan kesemsem, sungguh selama hidupnja belum pernah didengarnja bahwa diantara bunga kamelia terdapat djenis2 sebanjak dan sebagus itu.
Maka Toan Ki meneruskan: "Umpama kita bitjara tentang 'Hong-tim-sam-hiap' djenis ini lebih istimewa lagi, ada jang Tjiamik (tulen) dan ada jang Humik (djiplakan). Kalau barang Tjiamik, diantara ketiga tangkainja itu harus warna ungu jang paling besar, kemudian warna putih dan jang paling ketjil adalah warna merah. Bila umpama bunga merah lebih besar daripada bunga ungu dan bunga putih, maka itu adalah djenis jang rendah, nilainja mendjadi djauh berkurang."
Ong-hudjin benar2 terpesona oleh tjerita Toan Ki itu, katanja dengan gegetun: "Djenis jang rendahan sadja aku tidak pernah melihat, apalagi djenis jang Tjiamik."
Sampai disini, Ong-hudjin sudah pertjaja benar2 dan kagum kepada kepandaian Toan Ki jang paham tentang Teh-hoa atau bunga kamelia itu.
Terus sadja ia mengadjak pemuda itu keatas loteng dan tidak lama perdjamuanpun dimulai dengan matjam2 masakan jang enak dan mahal. Sedang A Tju dan A Pik ada kawan pelajan jang mengawani makan-minum diruangan lain.
Sekarang Ong-hudjin sudah sangat menghormat kepadaToan Ki,ia duduk mengiringi makan-minum didepan pemuda itu. Sesudah tiga tjawan arak dihabiskan, lalu Ong-hudjin menanja pula: "Tadi aku telah mendengarkan uraian Kongtju jang pandjang lebar tentang djenis2 Teh-hoa, aku mendjadi seperti orang bodoh jang mendadak mendjadi pintar. Tapi dari tukang bunga dikota Sohtjiu jang kubeli keempat pot kamelia itu, katanja bunga2 itu bernama 'Moa-gwe', sebaliknja Kongtju mengatakan satu diantaranja bernama
'Ang-tjeng-soh-kwe' dan jang lain bernama 'Tjoa-boa-bi-djin-bin', entah tjara bagaimana mem-beda2kan djenis bunga itu, dapatlah Kongtju memberi pendjelasan?"
"Mudah sekali membedakannja," sahut Toan Ki. "Diatas daun bunga putih jang terdapat bintik2 merah, itulah jang bernama 'Ang-tjeng-soh-kwe' dan daun bunga putih diatasnja terdapat garis2 merah jang ketjil, itu jang bernama 'Tjoa-boa-bi-djin-bin'. Sebaliknja kalau garis2 merahnja terlalu banjak dan kasar, namanja mendjadi 'Bi-djin-tjoa-boa-bin' (muka sitjantik babak-bonjok). Sebabnja, tjoba pikirkan, seorang wanita tjantik seharusnja lemah-lembut dan sopan-santun, djika kebetulan mukanja tertjakar luka sedikit, itulah tiada mendjadi soal. Tetapi kalau mukanja selalu bonjok main tjakar2an dengan orang, terang wanita tjantik itu suka berkelahi, lantas ketjantikan apa jang dapat dikagumi?"
Sebenarnja Ong-hudjin mendengarkan uraiannja itu dengan penuh perhatian, tapi mendadak ia lantas menarik muka dan membentak: "Kurangadjar! Kau berani menjindir aku?"
Toan Ki terkedjut, sahutnja gugup: "Mana Tjayhe berani, entah dimanakah Tjayhe menjinggung perasaan Hudjin?"
"Sebenarnja kau disuruh siapa kesini untuk sengadja omong jang tak keruan untuk menghina diriku?" damperat Ong-hudjin. ,,Siapa bilang seorang wanita akan tidak tjantik bila beladjar ilmu silat" Kalau lemah-lembut apanja jang baik?"
Toan Ki tertegun sedjenak, sahutnja kemudian: "Tapi apa jang Tjayhe katakan tadi tjuma berdasarkan kedjadian jang umum, diantara wanita jang mahir ilmu silat memangnja djuga banjak jang tjantik dan sopan-santun?"
Tak terduga utjapannja itu bagi pendengaran Ong-hudjin tetap menjinggung perasaan, tanjanja segera dengan gusar: "Dan engkau maksudkan aku tidak sopan-santun ja?"
"Sopan atau tidak Hudjin sendiri lebih tahu, Tjayhe mana berani sembarangan menarik kesimpulan," sahut Toan Ki tegas, achirnja ia mendjadi marah djuga hingga tidak sungkan2 lagi. ,,Tapi seperti memaksa orang membunuh isteri untuk menikah lagi, tindakan demikian betapapun tidak mungkin dilakukan oleh orang jang beradab."
Ong-hudjin tidak berkata lagi, ia tepuk tangannja pelahan, segera tiga pelajan berlari keatas loteng dan berdiri disitu menunggu perintah.
"Gusur orang ini kebawah, suruh dia pikul air dan menjirami bunga,"
pesan Ong-hudjin.
Ketiga pelajan itu serentak mengiakan.
"Toan Ki," kata Ong-hudjin pula. "Kau she Toan dan orang berasal Tayli pula, seharusnja sedjak tadi2 sudah mesti kubunuh. Tetapi bila engkau benar2 paham sifat kehidupan Teh-hoa, biarlah sementara ini djiwamu kuampuni dan hanja menghukum engkau harus menanam dan merawat Teh-hoa jang tumbuh dikebunku ini, lebih2 terhadap keempat kamelia putih jang baru kubeli ini, engkau harus merawatnja dengan baik2. Ingin kukatakan padamu. pabila satu diantara keempat pot kamelia putih ini mati sebagai hukumannja sebelah tanganmu akan kutabas, kalau mati dua kamelia, dua tanganmu ditabas semua, empat mati semuanja empat anggota badanmu djuga putus semua."
"Dan kalau keempat pohon bunga itu hidup semua?" tanja Toan Ki dengan tertawa.
"Kalau keempat pohon itu hidup semua, kau harus menanam dan merawat bunga jang lain, terutama djenis2 pilihan seperti Tjap-pek-haksu, Pat-sian-kwe-hay, Tjhit-sian-li, Dji Kiau dan lain2, setiap djenisnja harus engkau tanamkan beberapa pohon. Kalau tidak dapat kau laksanakan, kedua matamu akan kukorek keluar."
"Lebih tepat kalau engkau sekarang djuga membunuh aku sadja," sahut Toan Ki. "Aku tidak sudi terima hukuman sehari dipotong tangannja, lain hari ditabas kakinja, bahkan mata akan dikorek pula!"
"Dasar engkau sudah bosan hidup, ja" Dihadapanku engkau berani mengotjeh?" damperat Ong-hudjin. "Gusur pergi!"
Ketiga pelajan tadi mengia terus melangkah madju, jang dua memegangi lengan Toan Ki dan jang lain mendorongnja dari belakang terus diseret kebawah loteng. Ketiga pelajan itu mahir ilmu silat semua, Toan Ki mendjadi tak bisa berkutik, ia tjuma dapat mengeluh sadja didalam hati.
Sesudah menjeret Toan Ki kesuatu tempat didalam taman, segera salah seorang pelajan itu mengambilkan sebatang patjul dan pelajan jang lain menjodorkan sebuah ember kepadanja sambil berkata: "Turutlah perintah Hudjin dan tanamlah bunga dengan baik2, dengan demikian djiwamu mungkin masih ada harapan buat hidup terus. Engkau tergolong orang jang beruntung djuga, padahal tiada seorang laki2 jang dapat hidup keluar dari sini bila sudah mengindjak tanah Man-to-san-tjheng ini."
Selain menjiram dan merawat tanaman, djangan sekali2 engkau berkeliaran didalam taman ini," kata pelajan jang satunja. "Pabila engkau berani sembarangan mendatangi tempat terlarang, itu berarti engkau mentjari mampus sendiri dan tiada seorangpun jang dapat menolong engkau."
Begitulah pelajan2 itu memberi pesan dengan wanti2 kepada Toan Ki, habis itu barulah mereka tinggal pergi. Untuk sedjenak Toan Ki hanja berdiri mendjublek disitu dengan serba runjam rasanja.
Dinegeri Tayli kedudukan Toan Ki hanja dibawah paman-baginda, Po-ting-te, dan ajahnja, Tin-lam-ong. Kelak kalau sang ajah menggantikan paman naik tachta, itu berarti dengan sendirinja ia mendjadi putera mahkota.
Siapa tahu sampai didaerah Kanglam ia mesti mengalami nasib begitu djelek, mula2 hendak dibunuh orang, anggota badannja akan dipotong dan matanja akan dikorek, bahkan sekarang dipaksa orang untuk mendjadi tukang kebun.
Sjukurlah watak pembawaan Toan Ki memang peramah, waktu hidup didalam keraton djuga sikapnja sangat ramah-tamah terhadap kaum bawahan, sering pula ia bergaul dengan, tukang kebun dan ikut menanam bunga dan mematjul segala. Ketjuali itu sifatnja djuga periang dan dapat berpikir pandjang, tidak peduli mengalami kegagalan apa sadja, paling2 ia tjuma lesu setengah hari sadja untuk kemudian lantas gembira pula. Kini iapun tjoba menghibur diri sendiri: "Ketika didalam gua tempo hari aku sudah menjembah beratus kali kepada patung Dewi itu sebagai guru, sekarang Ong-hudjin ini wadjahnja serupa dengan entji Dewi itu, hanja usianja lebih landjut sedikit, biarlah aku tetap menganggapnja sebagai Suhuku. Dan kalau Suhu ada perintah, sudah sepantasnja anak murid mesti melaksanakannja Apalagi menanam bunga memangnja djuga pekerdjaan iseng kaum peladjar, djauh lebih baik daripada mesti main silat dan beradu sendjata. Lebih2 kalau dibandingkan daripada ditawan Tjiumoti dan akan dibakar hidup2 didepan kuburan Bujung-siansing, masih lebih enak mendjadi tukang kebun bunga. Tjuma sajang djenis bunga jang terdapat disini djenisnja terlalu djelek hingga rasanja tidak sesuai kalau mesti dirawat oleh seorang putera pangeran dari Tayli."
Dengan ber-njanji2 ketjil sambil memanggul patjul dan mendjindjing ember, kemudian Toan Ki berdjalan kedepan sembari berpikir: "Ong-hudjin suruh aku menanam hidup keempat pot kamelia jang baru dibelinja itu. Ehm, betapapun keempat djenis ini terhitung lumajan djuga, aku harus mentjari suatu tempat jang baik untuk menanamnja agar bunga dan tempatnja tjotjok satu sama lain."
Sambil berdjalan ia terus mengawasi kesekitarnja. Mendadak ia ter-bahak2
geli melihat pemandangan disitu, pikirnja dalam hati: "Dalam hal menanam Teh-hoa sebenarnja Ong-hudjin sama sekali tidak paham, tapi ia djusteru sangat suka menanam Teh-hoa disini dan menjebut kediamannja ini sebagai Man-to-san-tjheng apa segala. Njata ia tidak tahu bahwa Teh-hoa suka tempat jang lembab dan takut tjahaja matahari. Kalau ditanam ditempat terbuka, meski tidak mati oleh sinar matahari, tentu djuga susah mekar bunganja, ditambah lagi memberi rabuk se-banjak2nja, keruan bunga dari djenis paling bagus djuga akan mati oleh karenanja. Sajang, sungguh sajang!"
Segera ia pilih tempat jang rindang dan terus menudju kesana. Sesudah melintasi sebuah gunung2an ketjil, ia dengar suara gemertjiknja air sungai jang ketjil. Disisi kiri penuh pohon bambu jang rindang, sekitarnja sunji senjap.
Tempat itu lembab dan tidak tertjapai oleh sinar matahari, maka Ong-hudjin menjangka tidak tjotjok untuk ditanami Teh-hoa. Namun kini Toan Ki mendjadi girang, katanja sendiri: "Inilah dia tempatnja jang tjotjok sekali!" " Tjepat ia berlari ketempat tadi dan mengusung keempat pot bunga mendjadi dua kali kebawah pohon bambu jang rindang itu. Ia remuk pot2 bunga itu, lalu pohon bunga bersama tanah jang masih lengket diakar pohon itu ditanamnja keliang jang telah digalinja.
Meski Toan Ki selamanja tidak pernah bekerdja menanam bunga, tapi diwaktu ketjilnja sudah sering menjaksikan pekerdjaan tukang kebun, maka sekarang iapun menirukan tjaranja hingga tjukup memenuhi sjarat sebagai tukang kebun. Tiada setengah djam lamanja, keempat pot kamelia putih itu sudah selesai ditanamnja semua. Lalu ia berdiri mendjauh dan menikmatinja dari kanan dan kiri, dari sudutsana dan dari sudut sini. Sesudah merasa puas, barulah ia tepuk2 tangannja jang kotor itu dan pergi mentjutji tangan ketepi sungai.
Selesai tjutji tangan, ia kembali kedepan bunga2 jang ditanamnja itu untuk menikmati pula hasil karjanja itu.
Tengah Toan Ki merasa senang menjaksikan buah tangannja jang berhasil itu. Tiba2 terdengar suara tindakan orang, ada dua wanita sedang berdjalan mendatangi. Terdengar satu diantaranja sedang berkata: "Disini keadaan sangat sunji, tak mungkin didatangi orang lain lagi..............."
Mendengar suara itu, seketika hati Toan Ki ber-debar2. Kiranja itulah suaranja sinona berbadju putih jang tjuma dilihat halangan belakangnja siang tadi. Segera Toan Ki menahan napas, sedikitpun tidak berani bersuara. Pikirnja: "Dia telah menjatakan tidak mau menemui laki2 jang tiada sangkut-paut dengan dia, dan aku Toan Ki dengan sendirinja adalah seorang laki2 tiada sangkut-paut apa2 dengan dia. Tapi aku ingin mendengarkan beberapa patahkata utjapannja, asal dapat kudengar suaranja jang merdu bagai musik malaikat dewata itu, rasaku sudah seperti mendapat redjeki besar. Maka djangan sckali2 aku diketahui olehnja".
Dalam pada itu terdengar sinona itu sedang berkata pula: ,,Siau Si, kabar apa jang kau dengar tentang dia?"
Ketjut rasa hati Toan Ki seketika. Ia tahu si "dia" jang dimaksudkan nona itu tentulah Bujung-kongtju jang nama lengkapnja menurut utjapan Ong-hudjin adalah Bujung Hok. Suara sigadis tadi penuh nada rindu dan penuh perhatian. Diam2 Toan Ki memikir: "Pabila nona ini sedemikian perhatian dan rindunja kepadaku, biarpun aku Toan Ki harus mati seketika djuga rela rasanja."
Pikiran Toan Ki itu memang sungguh2, sedikitpun tidak bergurau. Tapi selamanja toh wadjah sinona badju putih belum pernah dilihatnja, entah tjantik entah djelek, namanja djuga, tidak diketahui, tentang tabiatnja badjik atau djahat, sifatnja halus atau kasar, sama sekali ia tidak tahu.
Namun sedjak ia mendengar beberapa patahkata utjapan sinona badju putih ditepi danau, aneh djuga, ia mendjadi djatuh tjinta padanja dan merasa matipun rela untuknja Sebab apa bisa begitu dan mengapa timbul perasaan demikian, ia sendiripun tidak dapat memberi pendjelasan. Dan oleh karena itulah, ketika didengarnja sedemikian perhatian sinona kepada Bujung-kongtju itu, tak tertahan lagi rasa tjemburu dan penjesalannja.
Sementara itu terdengar Siau Si ter-gagap2 seperti tidak berani mendjawab setjara terus terang. Maka sinona badju putih telah berkata pula: "Hajolah, katakanlah kepadaku! Pendek kata aku pasti takkan melupakan kebaikanmu."
"Hamba takut............ takut didamperat Hudjin," sahut Siau Si achirnja.
"Budak tolol," omel sinona, "asalkan aku tidak katakan kepada Hudjin bahwa engkau jang memberitahu kepadaku,kan beres" Pabila kau tidak mau berkata, sebentar aku akan tanja Siau Teh dan Siau Djui, dan kelak kalau ditanja Hudjin, tentu aku katakan engkau jang memberitahukan padaku."
"Siotjia, djang............ djangan engkau bikin susah padaku," seru Siau Si dengan gugup.
"Habis bagaimana?" udjar sinona. "Siapa jang mendjadi orang kepertjajaanku, tentu aku membelanja dan siapa jang tidak menurut keinginanku, apa salahnja aku bikin susah dia?"
Siau Si memikir sedjenak, achirnja ia berkata pula: "Baiklah, akan kutjeritakan kepadamu, tapi djangan sekali2 Siotjia mengatakan aku jang membotjorkan rahasia ini."
"Sudahlah. Siau Si, djangan engkau omong setjara ber-tele2 sadja, lekas katakan jang benar, aku tanggung takkan terdjadi apa2 atas dirimu," udjar sinona badju putih.
Siau Si menghela napas dulu, kemudian katanja: "Kabarnja Piausiauya telah pergi ke Siau-lim-si."
"Siau-lim-si" Kenapa A Tju dan A Pik mengatakan dia pergi ke Lokyang tempat orang Kay-pang?" sinona menegas.
Diam2 Toan Ki heran mengapa Bujung-kongtju disebut "Piausiauya" atau tuan muda misan. Pikirnja: ,,Djadi Bujung-kongtju itu adalah Piauko (kaka misan) sinona. Dengan sendirinja mereka adalah kawan memain sedjak ketjil, pantas mak..................maka ..............."
Dalam pada itu terdengar Siau Si sedang berkata pula: "Kepergian Hudjin kali ini, ditengah djalan telah ketemu Hong-siya dari Yan-tju-oh jang katanja sedang menudju ke Siau-lim-si di Kosan untuk memberi bantuan kepada Piausiauya".
"Untuk apa mereka pergi ke Siau-lim-si?" tanja sinona.
"Menurut Hong-siya, katanja Piausiauya telah mengirim berita padanja bahwa, kali ini ada banjak orang Kangouw dan djago dari berbagai golongan sedang menghadiri apa jang disebut Enghiong-tay-hwe di Siau-lim-si untuk merundingkan tjara bagaimana melawan Bujung-si dari Koh-soh. Karena buru2, sebelum sempat memberikan orang lain, Piausiauya lantas berangkat lebih dulu seorang diri. Kabarnja Yan-tju-oh sudah kirim orang lain lagi pergi memberi bantuan".
"Djika Hudjin sudah mendapat kabar itu, mengapa ia malah balik pulang dan tidak pergi membantu kesukaran Piausiauya," tanja sinona.
"Tentang ini hamba............ hamba tidak tahu." sahut Siau Si.
"Mungkin disebabkan Hudjin tidak suka kepada Piausiauya."
"Hm, suka atau tidak suka, betapapun adalah orang sendiri kata sinona dengan kurang senang. "Kalau Bujung-si dari Koh-soh terdjungkal diluaran, apakah keluarga Ong kita tidak ikut malu?"
,.Ja, Siotjia," sahut Siau Si.
"Ja apa?" bentak sigadis dengan gusar.
Siau Si mendjadi kaget, sahutnja gelagapan: ..Aku.........aku maksudkan kita tentu ikut merasa malu."
Lalu gadis itu berdjalan mondar-mandir dibawah pohon2 bambu itu seperti sedang memikirkan sesuatu akal. Tiba2 ia melihat pohon kamelia putih jang ditanam Toan Ki serta remukan pot bunga jang baru sadja dipetjahkan itu.
Ia bersuara heran, segera ia tanja kepada Siau Si: "Siapakah jang tanam Teh-hoa ini disini?"
Tanpa ajal lagi Toan Ki terus menjelinap keluar dari tempat sembunjinja, ia memberi hormat dan berkata: "Tjayhe diperintahkan oleh Hudjin agar menanam Teh-hoa disini dan bila hal mana mengganggu Siotjia harap dimaafkan."
Meski ia membungkuk memberi hormat, tapi matanja tetap menatap kedepan, sebab kuatir kalau sinona berkata "tidak sudi bertemu dengan laki2
asing", lalu putar tubuh dan tinggal pergi hingga kesempatan untuk melihat muka sidjelita ter-sia2 lagi.
Tak terduga olehnja, begitu sinar matanja kontak dengan sinar mata sinona, seketika telinganja serasa mendengung dan matanja se-akan2 gelap.
kakinja mendjadi lemas pula dan tanpa merasa tekuk lutut sendiri dihadapan sidjelita. bahkan kalau ia tidak bertahan sekuatnja, hampir2
iapun menjembah, namun begitu toh tertjetus djuga kata2 dari mulutnja:
"O, Entji Dewi, betapa...... betapa aku merindukan dikau selama ini!"
Ternjata sinona badju putih jang berada didepan matanja ini sama sekali mirip benar dengan patung Dewi jang telah dilihatnja didalam gua di daerah Tayli itu. Ong-hudjin jang telah dilihatnja itu sudah mirip patung tjantik itu, tjuma usianja jang berbeda. Tapi sidjelita badju putih ini, ketjuali dandanannja agak berbeda sedikit, namun baik raut muka, mata, hidung, bibir, telinga, kulit badan, perawakan, kaki dan tangan, semuanja mirip, semuanja persis hingga seperti patung Dewi itu telah hidup kembali. Sungguh Toan Ki merasa dirinja se-akan2 didalam mimpi. Entah sudah beratus kali atau beribu kali ia merindukan patung dewi itu, kini dengan mata kepala sendiri telah dilihatnja pula. bukan lagi patung, tapi duplikatnja dalam keadaan hidup, sungguh ia tidak tahu dirinja sebenarnja berada dimana, dialam baka atau disorga"
Ketika mendengar suara seruan Toan Ki tadi, ditambah lagi kelakuan pemuda itu jang aneh, sigadis berseru kaget djuga dan mengira sedang berhadapan dengan seorang gendeng, tjepat melangkah mundur dan menegur:
,,Engkau.........engkau........."
Namun Toan Ki sudah lantas menjela sambil berbangkit: "Tempo hari Toan Ki sudah diberi kesempatan menjembah dihadapan patung Entji Dewi, hal mana kuanggap sebagai sesuatu kurnia jang maha bahagia, tak terduga harini dengan mata kepala sendiri dapat melihat wadjah asli Entji Dewi, njata didunia ini memang benar2 terdapat bidadari dan bukanlah omong kosong belaka!
,,Apa......... apa jang dia maksudkan, Siau Si" Sia......Siapakah dia?"
tanja sidjelita kepada Siau Si.
"Dia adalah sipeladjar tolol jang dibawa kemari oleh A Tju dan A Pik itu," sahut Siau Si. "Katanja ia pandai menanam berbagai matjam Teh-hoa.
Hudjin mendjadi pertjaja kepada obrolannja dan suruh dia tanam bunga disini."
"Hai, sitolol, djadi pertjakapan kami tadi telah kau dengar semua, ja?"
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanja sigadis kepada Toan Ki.
"Tjayhe bernama Toan Ki, orang berasal dari negeri Tayli dan bukanlah sitolol," sahut Toan Ki dengan tertawa. "Pertjakapan Entji Dewi dengan entji Siau Si tadi memang telah kudengar dengan tidak sengadja. Tapi Entji Dewi boleh tidak usah kuatir, Tjayhe pasti takkan membotjorkannja barang sepatahpun dan tanggung entji Siau Si takkan didamperat oleh Hudjin. Tiba2 sigadis menarik muka, ia menjemprot: "Siapa sudi mengaku2
Entji segala dengan engkau" Kau tidak mau dikatakan sebagai peladjar tolol, bilakah engkau pernah melihat diriku?"
"Habis, kalau aku tidak memanggil engkau Entji Dewi, lalu memanggil apa?" sahut Toan Ki.
Pedang Ular Mas 2 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 17
Tentang kedudukan, engkau adalah Hou-kok-hoat-ong negeri Turfan, ilmu silatmupun sudah sekian tingginja. Tapi mengapa engkau tidak mau hidup aman tenteram dirumah dengan kedudukanmu jang agung itu, sebaliknja malah datang kesini untuk menipu orang" Kupikir lebih baik engkau lekas pulang sadja."
"Sudahlah, tak perlu banjak omong, pabila Kongtju tidak sudi undjukan Lak-meh-sin-kiam, djanganlah menjalahkan bila Siautjeng berlaku kasar,"
kata Tjiumoti dongkol.
"Kasar" Memangnja engkau djuga sudah kasar padaku, masakan masih ada pula jang lebih kasar?" sahut Toan Ki dengan gusar, "Ja, paling2 engkau sekali batjok mematikan aku, kenapa aku mesti takut?"
"Kongtju mau menurut kata2 Siautjeng apa tidak?" Tjiumoti menegas pula."ja, boleh," sahut Toan Ki.
Tjiumoti mendjadi girang, katanja: "Djika begitu, silahkan undjukan ilmu pedangmu jang sakti itu."
"Ilmu pedang sakti" Apa engkau membawa pedang" Boleh djuga dipindjamkan padaku," sahut Toan Ki.
Sungguh dongkol Tjiumoti tidak kepalang. Serunja tidak sabar lagi:
"Rupanja Kongtjuya sengadja hendak menghina Siautjeng, ja" Awas serangan!" ~ Berbareng telapak tangan kirinja terangkat miring terus memotong kemukanja Toan Ki dengan tenaga jang kuat.
Namun Toan Ki sudah ambil keputusan bandel. Ia tahu ilmu silat orang teramat tinggi, bertempur atau tidak tetap dirinja tak bisa menang.
Maksud paderi itu jalah ingin dirinja memainkan Lak-meh-sin-kam untuk membuktikan omongannja bukan bualan belaka, maka ia djusteru tidak sudi memenuhi keinginan orang. Ketika serangan Tjiumoti itu tiba, dengan nekad Toan Ki sama sekali tidak menghindar djuga tidak menangkis.
Keruan Tjiumoti jang mendjadi kaget malah. Sudah pasti ia akan membakar Toan Ki didepan kuburan Bujung-siansing, maka ia tidak ingin membunuhnja sejarang djuga dengan tenaga dalam serangannja itu. Tjepat ia angkat tangannja keatas sedikit, "sret" serangkum angin tadjam menjambar lewat diatas kepala Toan Ki hingga setjomot rambutnja terkupas.
Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji dengan terperandjat.
Begitu pula A Pik dan A Tju tidak kurang kedjutan menjaksikan ilmu sakti paderi itu.
"Apakah Toan-kongtju lebih suka korbankan djiwa daripada memenuhi permintaan Siautjeng?" tanja Tjiumoti dengan menjesal.
Toan Ki memang sudah tidak pikirkan mati atau hidup, maka sahutnja dengan tertawa: "Haha. Toahweshio sama sekali masih belum hilang daripada segala matjam pikiran keduniawian, mengada ada harganja disebut paderi saleh, huh, benar2 nama kosong belaka."
Tjiumoti tidak meladeni otjehan Toan Ki lagi, tapi mendadak serangannja ditudjukan kepada A Pik sambil berkata: "Maaf, terpaksa kukorbankan dulu seorang budak dari keluarga Bujung ini!"
Sungguh kaget A Pik tak terkatakan oleh serangan mendadak itu, tjepat ia berkelit, "brak", kursi dibelakangnja seketika hantjur ber-keping2
oleh tenaga pukulan Tjiumoti. Bahkan golok tangan kanan Tjiumoti jang lain menjusul memotong pula, sjukurlah A Pik sempat djatuhkan diri kelantai dan menggelundung kesamping dgn tjepat, namun begitu keadaannjapun sangat mengenaskan.
Pada saat lain, mendadak Tjiumoti menggertak sekali, golok tangan ketiga kembali dibatjokan pula.
Saking takutnja sampai muka A Pik mendjadi putjat, meski gerak-geriknja sangat tjepat, tapi ia mendjadi bingung djuga menghadapi batjokan tenaga dalam jang tak kelihatan itu.
Hubungan A Tju dengan A Pik bagai saudara sejandung, melihat kawannja terantjam bahaja, tanpa pikir lagi A Tju terus angkat tongkatnja dan menghantam kepunggung Tjiumoti.
Dalam samarannja baik djalannja maupun bitjaranja, lagak-lagunja A Tju memang mirip benar seorang nenek rejot. Tapi kini dalam keadaan gugup dan buru2, gerak tubuhnja mendjadi sangat gesit dan tjepat sekali.
Maka sekilas pandang sadja Tjiumoti sudah dapat melihat rahasianja A Tju itu, katanja dengan tertawa: "Haha, masakah didunia ini ada lah seorang nenek2 berumur tjuma belasan tahun" Emangnja kau sangka Hwesio dapat engkau bohongi terus?" ~ Berbareng telapak tangannja membalik dan menghantam, "krak", tongkat A Tju itu kontan tergetar patah mendjadi tiga potong. Menjusul serangan Tjiumoti dilontarkan pula kearah A Pik.
Dalam gugup dan kuatirnja, terus sadja A Pik sambar medja disampingnja untuk memapak serangan orang. "Prak-prak: dua kali, medja jang terbuatdari kaju gaharu seketika petjah berantakan, tinggal dua kaki medja jang masih terpegang ditangannja A Pik.
Melihat A Pik sudah terdesak mendempel dinding, untuk mundur lagi sudah buntu, hendak laripun susah, sementara itu serangan Tjiumoti telah dilantjarkan pula. Toan Ki takbisa tinggal diam lagi, jang dia pikir hanja lekas2 menolong sigadis, tak terpikir lagi olehnja bahwa dirinja sekali2 bukan tandingan Tjiumoti. Maka tjepat djari tengah kanan terus menuding kedepan, tenaga dalamnja lantas memantjar keluar melalui "Tiong-tjiong-hiat" diudjung djari dengan suara mentjitjit, itulah Tiong-tjiong-kiam-hoat dari Lak-meh-sin-kiam jang lihay.
Sebenarnja Tjiumoti tiada maksud membunuh A Pik, tudjuannja tjuma hendak memantjing Toan Ki ikut turun tangan. Bila dia hendak benar2
membunuh, mana A Pik mampu menghindari "Hwe-yam-to-hoat" jang tanpa wudjut dan lihay luar biasa itu"
Melihat Toan Ki telah tertipu olehnja dan turun tangan, segera Tjiumoti membaliki tangannja berganti menjerang A Tju. Begitu hebat tenaganja, dimana angin tabasannja tiba, tampaklah A Tju ter-hujung2, badju bagian pundaknja terus sobek djuga, gadis itu mendjerit kaget sekali.
Tjepat Toan Ki menolong pula, djari ketjil tangan kiri terus menusuk kedepan dengan "Siau-tik-kiam" untuk menangkis "Hwe-yam-to" musuh.
Dengan demikian, A Tju dan A Pik terhindar dari bahaja, tapi sebaliknja Toan Ki jang harus melajani serangan2 Hwe-yam-to-hoat si Tjiumoti dengan Lak-meh-sin-kiam.Pertama Tjiumoti sengadja hendak pamer kepandaiannja, kedua ingin orang lain menjaksikan bahwa Toan Ki benar2 mahir "Lak-meh-sin-kiam" jang dikatakan tadi. Maka ia sengadja mengeluarkan lwekangnja untuk saling bentrok dengan tenaga dalam Toan Ki hingga menerbitkan suara mentjitjit.
Dengan menghimpun tenaga dalam dari berbagai tokoh kelas wahid jang pernah disedotnja dengan Tju-hop-sin-kang, sebenarnja tenaga Toan Ki sekarang sudah lebih kuat daripada Tjiumoti, Tjelakanja dia sama sekali tidak mengerti ilmu silat, Kiam-hoat jang dipahaminja di Thian-liong-si itu djuga tjuma diapalkannja setjara mati dan kaku, sedikitpun takbisa digunakan dengan hidup. Maka dengan mudah sadja Tjiumoti dalam mempermainkannja dan ber-ulang2 memantjing tusukan djarinja itu hingga papan2 pintu dan djendela ber-lulang2 oleh tenaga dalam Toan Ki jang hebat, berbareng ia terus mengotjeh: "Wah, sungguh hebat Lak-meh-sin-kiam ini, pantas mendiang Bujung-siansing memudjinja setinggi langit."
Tjui Pek-khe djuga ternganga heran, pikirnja: "Kukira Toan-kongtju ini sama sekali tidak mengarti ilmu silat, siapa tahu ia memiliki ilmu sehebat ini. Toan-si dari Tayli benar2 tidak bernama kosong. Untung ketika meneduh di Tin-lam-ong-hu dahulu aku, tidak pernah berbuat sesuatu jang djahat, kalau tidak, masalah aku dapat keluar dari istana itu dengan hidup?" ~ Makin dipikir ia makin merinding sampai djidatnja penuh berkeringat dingin.
Setelah menempur Toan Ki sebentar, kalau mau, sebenarnja setiap djurus dan setiap waktu Tjiumoti dapat mematikan pemuda itu, tapi seperti kutjing memain tikus sadja, ia sengadja menggoda Toan Ki agar mengeluarkan djurus2 Lak-meh-sin-kiam. Tapi sesudah lama, lambat laun hilanglah rasa memandang rendah Tjiumoti, ia merasa Kiam-hoat jang dimainkan pemuda itu sesungguhnja lain dari jang lain, tjuma entah mengapa, dimana letak kelihayannja sama sekali takdapat digunakan oleh Toan Ki. Djadi seperti seorang anak ketjil meski dibekali harta ber-djuta2 toh tidak tahu tjara bagaimana menggunakannja.
jilid 9 Setelah bergebrak beberapa djurus lagi, tiba2 pikiran Tjiumoti tergerak: "Pabila kelak timbul ilhamnja dan mendadak ia sadar serta memahami kuntji kemudjidjatan ilmu silatnja ini, ditambah lagi tenaga dalamnja dan Kiam-hoat jang bagus ini, pastilah akan merupakan satu lawan tangguh paling lihay bagiku!"
Toan Ki sendiri djuga sudah sadar bahwa mati-hidupnja sekarang tergantung dibawah tangan Tjiumoti, tjepat ia berseru: "A Tju dan A Pik berdua Tjitji, lekaslah kalian melarikan diri, kalau terlambat mungkin tidak keburu lagi."
"Mengapa engkau bersedia menolong kami, Toan-kongtju?" tanja A Tju.
"Hwesio ini mengagulkan ilmu silatnja jang tinggi, maka suka malang-melintang menghina orang lain. Tjuma sajang aku tidak paham ilmu silat, susah untuk melawannja, lekaslah kalian melarikan diri!"
"Tapi sudah terlambat!" seru Tjiumoti tiba2 dengan tertawa. Ia melangkah madju setindak, djari tangan kiri terus mendjulur hendak menutuk Toan Ki.
Toan Ki mendjerit kaget dan bermaksud menghindari namun sudah terlambat.
Tiga Hiat-to penting diatas tubuhnja sekaligus telah tertutuk, seketika kakinja terasa lemas terus roboh kelantai. Akan tetapi ia masih ber-teriak2 pula: "A Tju, A Pik, lekas kalian lari, lekas!"
"Hm, djiwamu sendiri tak terdjamin masih ada pikiran untuk mengurusi orang lain?" djengek Tjiumoti sambil kembali ketempat duduknja. Lalu katanja kepada A Tju: "Nona inipun tidak perlu lagi main sandiwara segala. Sebenarnja siapa jang berkuasa dirumah ini, lekas katakan" Toan-kongtju ini telah apal Lak-meh-kiam-boh dengan lengkap, tjuma ia tidak mengarti ilmu silat, maka takdapat menggunakannja. Besok djuga aku akan membakarnja dihadapan kuburan Bujung-siansing, pabila Bujung-siansing mengetahui dialam baka, tentu beliau akan dapat memahami pula bahwa sobat lamanja ini telah memenuhi djandji dengan baik".
A Tju tahu dipondok Khim-im-tjing-sik ini tiada seorangpun jang mampu menandingi sihwesio. Tapi segera ia mendapat akal, katanja dengan tertawa: "Baiklah, Toahwesio. Sekarang kami sudah pertjaja, kami akan membawa engkau kemakam Loya, tapi perdjalanan kesana memerlukan waktu satu hari, harini sudah tidak keburu lagi, besok pagi2 biarlah kami berdua menghantar sendiri bersama Toahwesio dan Toan-kongtju berziarah kemakam Loya. Kini kalian berempat silahkan mengaso, sebentar harap makan malam seadanja."
Habis berkata, ia gandeng tangannja A Pik terus masuk keruangan belakang. Memandangi bajangan kedua gadis djelita itu, Toan Ki tjuma dapat tersenjum getir sadja.
Selang satu djam kemudian, seorang budak laki2 keluar memberitahu: "Nona A Pik mengundang tuan2 berempat menghadiri perdjamuan sederhana di Thing-uh-ki!"
Tjiumoti menjatakan terima kasih, segera ia pegang tangannja Toan Ki dan mengikuti hamba itu kebelakang dengan disusul oleh Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji.
Setelah menjusur sebuah djalanan ketjil jang berlika-liku dengan batu2
ketjil jang berserakan, achirnja sampailah ditepi sebuah danau. Dibawah pohon Liu tampak tertambat sebuah perahu ketjil.
"ltu, disana!" kata hamba tadi sambil menuding kearah sebuah rumah ketjil jang dikelilingi air danau.
Segera Tjiumoti, Toan Ki, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji berempat melangkah kedalam perahu, lalu hamba itu mendajung perahunja kedjurusan rumah ketjil itu.
Sesudah dekat, kiranja ,Thing-ah-ki' atau villa mendengarkan hudjan jang dimaksudkan itu dibangun dengan pohon2 Siong jang tak terkupas kulitnja, mungil dan indah seperti buatan alam.
Setelah mendarat, Toan Ki melihat A Pik sudah berdiri didepan rumah menantikan kedatangan tamu2nja, Kini gadis itu memakai badju hidjau pupus, berbedak tipis dengan yantji jang ke-merah2-an. Disampingnja berdiri pula seorang gadis tjilik lain berusia sebaja dengan A Pik, berbadju merah dadu, dengan sikapnja jang lintjah dan nakal sedang memandang Toan Ki dengan tersenjum-simpul. Kalau raut muka A Pik berbentuk bulat telur, adalah gadis djelita ini berbentuk bundar bagai bulan purnama, bidji matanja hitam lekat dengan kerlingannja jang tadjam hingga mendjadikan ketjantikannja mempunjai daja penarik jang tersendiri.
Begitu Toan Ki menghampiri, segera tertjium olehnja bau harum jang halus. Tanpa pikir lagi terus sadja ia menegur dengan tertawa: "Entji A Tju, sungguh tidak njana gadis tjilik jang tjantik seperti engkau ini ternjata djuga pandai memainkan peranan
sebagai nenek2!"
Gadis djelita disamping A Pik itu memang benar A Tju adanja. Ia melirik Toan Ki sekedjap, lalu sahutnja dengan tersenjum: "Engkau telah mendjura tiga kali padaku, sekarang engkau menjesal bukan?"
"Tidak, tidak!" sahut Toan Ki sambil menggeleng kepala. "Aku djusteru merasa perbuatanku itu tjukup berharga. Tjuma terkaanku sadja jang agak meleset."
"Terkaan apa jang meleset?" tanja A Tju.
"Sedjak mula aku sudah menduga bahwa Entji sendiri pasti serupa Entji A Pik, sama2 gadis tjantik jang djarang terdapat didunia ini." udjar Toan Ki. "Tjuma dalam anggapanku, kujakin Entji akan tidak banjak berbeda daripada Entji A Pik. Siapa tahu sesudah bertemu muka, ternjata.........
ternjata............"
"Ternjata djauh kalah dibandingkan A Pik, bukan?" sela A Tju dengan tjepat.
Sebaliknja A Pik ikut menjeletuk djuga: "Ternjata berpuluh kali lebih tjantik dariku hingga engkau terpesona, bukan?"
"Bukan, bukan! Salah semua!" sahut Toan Ki. "Kupikir Tuhan ini memang maha adil, sudah mentjiptakan gadis tjantik seperti entji A Pik, siapa duga mentjiptakan pula gadis tjantik jang lain seperti entji A Tju. Raut muka keduanja sama sekali berbeda, tapi sama2 bagusnja, sama2 menariknja, hatiku ingin mengutjapkan pudjian2 kepadamu, tapi mulutku djusteru susah mengutjapkannja sepatahkatapun."
"Tjis!" semprot A Tju dengan tertawa. "Engkau sudah mentjerotjos sepandjang lebar ini, tapi mengatakan susah mengutjapkan sepatahkatapun?"
Kalau A Tju bitjara dengan lintjah dan terus mentjomel, adalah A Pik lantas berkata dengan lemah lembut: "Atas kundjungan tuan2 ketempat kami jang sunji ini, tiada sesuatu jang dapat kami persembahkan, hanja tersedia sedikit arak tawar dan sekedar makanan jang terdapat didaerah Kanglam sini."
Lalu iapun mempersilahkan tetamunja mengambil tempat duduk masing2, ia bersama A Pik mengiringinja semedja. Melihat tjangkir, mangkok dan alat2
perkakas jang disediakan itu terdiri dari benda halus semua, diam2 Toan Ki sudah lantas memudji. Ketika kemudian pelajan laki2 menjuguhkan penganan penghantar, menjusul lantas masakan2 panas seperti "Leng-pek-he-djin" atau udang goreng sawi putih, "Ho-yap-tang-sun-theng" atau rebung muda masak daun teratai kuah, "Eng-tho-hwe-tui" atau buah tho masak ham,
"Hwe-hoa-keh-ting" atau bunga Bwe masak ajam, dan matjam2 lagi, setiap masakannja sangat istimewa dan lain daripada jang lain, ditengah udang, ikan, daging dan lain2 ditjampur dengan buah2an dan bunga2an, warnanja indah daun rasanja lezat, dengan sendirinja membawa sematjam bau harum dan rasa jang sedap.
Keruan jang tidak habis2 memberi pudjian adalah Toan Ki, katanja sambil tidak lupa melangsir makanan dihadapannja kedalam mulut: "Adatempat seindah ini, barulah ada manusia sepandai ini.Ada orang sepandai ini barulah dapat menjuguhkan makanan seenak ini."
"Eh, tjoba engkau terka, makanan ini adalah masakanku atau masakan A Pik?" tanja A Tju dengan tertawa.
"Eng-tho-hwe-tui dan Bwe-hoa-keh-ting itu kujakin adalah entji jang memasaknja," sahut Toan Ki tanpa pikir. "Dan Ho-yap-tang-sun-theng, Leng-pek-he-djin dan lainnja tentulah entji A Pik jang membuatnja."
"Ehm, engkau memang pintar," seru A Tju dengan tertawa. "Hai, A Pik, tjara bagaimana kita harus memberi hadiah kepada kepandaiannja ini?"
Dengan tersenjum A Pik menjahut: "Toan-kongtju ingin apa, sudah tentu kita akan menurut sadja, masakah pakai memberi hadiah apa segala, kaum hamba seperti kita masak ada harganja untuk bitjara demikian?"
"Aduh, dasar mulutmu ini memang pandai memikat hati orang, pantas setiap orang memudji kebaikanmu dan mengatakan aku djahat," kata A Tju.
"Jang satu lembah lembut, jang lain lintjah gembira, keduanja sama2
baik." udjar Toan Ki dengan tertawa. "Entji A Pik, didalam perahu siang tadi engkau telah memetik sebuah lagu dengan sendjata rujung milik Ko-toaya, suara tetabuhan itu sampai saat ini se-akan2 masih mengiang ditelingaku. Pabila nona tidak keberatan, kumohon sudilah engkau memperdengarkan beberapa lagu pula dengan alat tetabuhan jang sungguh2, untuk mana andalkan besok aku harus mendjadi abu dibakar oleh Toahwesio ini, rasaku takkan ketjewalah selama hidup ini."
"Djika Kongtju sudi mendengarkan, sudah tentu aku akan memainkannja sekedar menghibur tuan2 tamu," sahut A Pik terus berbangkit menudju keruangan belakang. Waktu keluar pula, ia membawa sebuah Khim atau harpa.
Toan Ki heran melihat Khim jang djauh lebih ketjil daripada Khim umumnja, bahkan senarnja djuga tidak tudjuh, tapi ada sembilan senar dengan warna2 jang ber-beda2.
A Pik mengambil tempat duduk disuatu bangku ketjil, ia taruh harpa itu diatas pangkuannja, lalu katanja kepada Tjiumoti: "Harap Toasuhu memberi petundjuk nanti!"
"Ah, djangan sungkan2", sahut Tjiumoti. Dalam hati ia mendjadi tjuriga:
"Mengapa dia menjatakan hendak minta petundjuk padaku?"
Dalam pada itu kedua tangan A Pik jang putih bersih bagai saldju itu telah mulai beraksi, kelima djari kirinja menekan pelahan2 diatas senar, sekali djari tangan kanan memetik, terdengarlah suara "tjrang-tjreng"
jang njaring merdu.
Meski Toan Ki sama sekali tidak paham ilmu silat, tapi dalam hal "Su-wah-khim-ki" atau seni tulis, seni lukis, seni musik (khim) dan seni tjatur, semuanja ia mahir Maka begitu mendengar suara pembukaan jang dipetik A Pik itu, segera ia mengetahui bahwa kesembilan senar khim itu terbuat dari bahan2 jang ber-beda2.Ada senar badja, ada pula senar tembaga, ada djuga senar benang biasa. Jang keras teramat keras, jang lemas sangat lemas. Hanja beberapa kali A Pik memetik pelahan, suara harpa itu sudah mulai mengalun dengan lambat, makin lama makin ulem, hingga keempat pendengarnja itu merasa kelopak matanja mendjadi berat, rasanja mendjadi kantuk dan ingin terus tidur.
Tjui Pek-khe adalah tokoh jang luas pengalamannja dan tjerdik, ia kenal betapa litjiknja orang Kangouw. Maka begitu memasuki perkampungan keluarga Bujung, setiap saat ia selalu waspada. Waktu matanja merasa sepat dan lajap2 akan pulas, mendadak ia tersadar: "Tjelaka! Kiranja budak setan ini sedang merantjangkan sesuatu untuk menggasak kami." "
Segera ia berseru: ,.Awas, Ko-Hiantit, banjak orang Kangouw jang berdjiwa kedji dan banjak tipu muslihatnja jang serba aneh, engkau harus hati2 dan waspada."
Ko Gan-tji meng-angguk2 dan menjahut dengan samar-samar: "Benar ! Sampai ketemu besok pagi!" " Habis berkata, ia terus menguap.
Kuapan Ko Gan-tji ini ternjata mempunjai daja menular, seketika Tjui Pek-khe dan Toan Ki ikut menguap dengan pikiran sudah mulai me-lajap2, jang terdengar hanja suara khim jang ulem merdu, sekelilingnja terasa sunji senjap, setiap orang merasakan tubuh sudah penat dan ingin tidur, kalau bisa tubuh hendak terus selondjor dan terpulas segera.
Pada saat itulah, se-konjong2 terdengar "tjring" sekali, dada Toan Ki serasa diketok sekali dan "Thian-ti-hiat" disamping ketiak seketika lantjar kembali dari tutukan Tjiumoti tadi.
Sungguh girang dan kedjut Toan Ki tak terkatakan, ia masih menjangka kalau tutukan Tjiumoti tadi kurang keras hingga Hiat-to jang tertutuk itu tidak buntu seluruhnja, maka sesudah lewat sekian lamanja, djalan darahnja lantas lantjar dengan sendirinja.
Tak terduga senar harpa A Pik kembali dipetik sekali pula, "tjring", lagi2 "Pek-hou-hiat" dipunggungnja telah lantjar pula dengan sendirinja.
Ketika Toan Ki mentjoba mengerahkan tenaga dalamnja, ia merasa separoh tubuhnja bagian atas sudah dapat bergerak dengan bebas, djalan darahnjapun lantjar tanpa suatu rintangan apa-apa lagi. Baru sekarang ia tahu suara harpa A Pik itu dapat mengadakan kontak dengan hawa murni dalam tubuh orang dan mampu melantjarkan djalan darah.
Selang sebentar, Hiat-to dikaki jang tertutuk djuga terbuka semua mengikuti bunji harpa. Dengan ter-mangu2 Toan Ki memandangi A Pik, hatinja merasa terima kasih tak terhingga. Ia lihat A Pik masih terus memetik harpanja dengan penuh perhatian, disampingsana terdengar suara orang mendengkur dengan keras, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sudah tertidur njenjak. Sebaliknja Tjiumoti masih tetap duduk dengan tenang, tampak djelas sedang mengerahkan Lwekang untuk melawan suara harpa si A Pik.
Tidak lama kemudian, Toan Ki melihat djidat A Pik mulai berkeringat, diatas kepalanja lapat2 mulai menguap. Sebaliknja Tjiumoti masih tetap tenang dengan wadjah mengulum senjum dan muka berseri-seri. Diam2 Toan Ki mendjadi kuatir: "Pabila suara harpa si A Pik tak dapat mengatasi kekuatan sihwesio ini hingga malah kena dilukai olehnja, lantas bagaimana baiknja nanti ?"
Pada saat jang genting itulah, tiba2 terdengar A Tju menjanji dengan suaranja jang merdu, lagunja : "Angin men-desir2 dingin disungai Ih, sekali pergi sang pahlawan tak kembali lagi!"
Suara harpanja sangat ulem dan halus, sebaliknja suara njanjian gagah penuh semangat, keduanja sama sekali tidak seirama. Toan Ki mendjadi heran.
Tapi ber-ulang2 A Tju terus membolak-balik menjanjikan lagu "Angin men-desir2........." hingga tiga kali. Toan Ki melihat tangkai bunga jang tersunting diatas sanggul A Pik tiada hentinja bergemetar, bibir sigadis jang tadinja merah dadu kinipun mulai putjat. Hati Toan Ki tergerak, mendadak ia sadar : "Ah, tahulah aku. Sebabnja A Tju menjanjikan kedua kalimat lagunja itu. maksudnja minta aku menirukan perbuatan Keng Ko membunuh radja Tjin didjaman Tjiankok. Ja, tenaga dalam A Pik sudah terang bukan tandingan sihwesio, kalau bertahan lebih lama lagi mungkin akan terluka dalam jang parah."
Diam2 Toan Ki mulai mengapalkan kembali Lak-meh-sin-kiam, ia tjoba mendjalankan tenaga dalamnja dan terasa lantjar tanpa sesuatu rintangan.
Tjuma sedjak ketjil ia telah mendapat peladjaran paham Khongtju dan Budha jang menjuruh setiap manusia harus berlaku badjik dan welas-asih kepada sesamanja, karena itu ia mendjadi ragu2 untuk menjerang, ia pikir seorang laki2 harus bertindak setjara terang-terangan, kalau menjerang orang setjara mendadak dan diluar pendjagaan, rasanja terlalu kotor dan rendah.
Tengah Toan Ki ragu2 itulah, se-konjong2 "tjreng" sekali, seutas senar harpa si A Pik telah putus, tubuh gadis itupun tergeliat sedikit, suara njanjian A Tju djuga berhenti mendadak, sepasang sumpit jang terpegang ditangannja segera siap hendak ditusukkan kearah Tjiumoti.
Menjusul terdengar pula suara "tjring" sekali, kembali seutas senar harpa A Pik putus. Berbareng Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji telah berseru kaget, keduanja sama2 terdjaga bangun. Toan Ki insaf keadaan sudah sangat mendesak, diam2 ia menggumam: "Demi menolong orang, terpaksa aku harus berlaku pengetjut sebentar". " Terus sadja ia angkat tangan kanan, dengan djari telundjuk dan djari tengah ia atjungkan kearah Tjiumoti, "tjus-tjus", seketika dua arus kekuatan jang tak kelihatan menusuk dengan tjepat. Itulah dua djurus serangan dari "Siang-yang-kiam" dan "Tiong-tjiong-kiam" jang lihay.
Apabila Tjiumoti lagi bertanding berhadapan dengan Toan Ki, betapapun tjepatnja serangan itu pasti akan dapat dipatahkan olehnja. Tapi kini Tjiumoti menjangka Hiat-to pemuda jang telah ditutuknja itu masih bekerdja, untuk sementara ini pemuda itu terang tak dapat berbuat apa-apa, maka antero perhatiannja telah ditjurahkan untuk menempur suara harpa si A Pik.
Tatkala itu Tjiumoti sudah mulai diatas angin dan A Pik sudah terdesak, ia sudah berusaha mengatjaukan suara harpa untuk membingungkan pemusatan pikiran A Pik, kemudian suara harpa segera akan diperalat olehnja untuk melukai A Tju sekalian. Sama sekali tak terduga olehnja bahwa Toan Ki bisa mendadak menjerang dengan Lak-meh-sin-kiam. Dalam kagetnja Tjiumoti bersuit pandjang Sembari melontjat keatas, "brak", sekaligus senar harpa si A Pik djuga putus lima utas Menjusul tertampaklah darah mengutjur dibadan Tjiumoti, Bu-heng-sin-kiam atau pedang sakti tak berwudjut jang dilontarkan Toan Ki ternjata berhasil menusuk dibahu kanannja.
Tjepat sekali A Pik terus tarik A Tju dan tangan lain menggandeng Toan Ki, sekali kakinja mengendjot, ketiga orang sudah melajang keluar melalui djendela pondok diatas air itu dan tepat turun kedalam perahu jang tertambat ditepi gili2. Segera A Tju menjuruh Toan Ki mendekam kedalam perahu, ia sendiri sambar penggajuh perahu terus didajung tjepat ketengah danau.
Maka terdengarlah suara "plang-plung" jang keras, perahu ketjil itu sampai terombang-ambing bagai didampar ombak raksasa ditengah samudera, air danau mentjiprat kedalam perahu hingga Toan Ki basah kujup. Waktu ia mendongak, ia melihat Tjiumoti berdiri ditepi gili2 sedang menimpukan medja batu, bangku batu dan sebagainja, untung A Tju tjukup tjekat dan dapat mendajung dengan tjepat, pula Tjiumoti telah terkena pedang tanpa wudjut dari Toan Ki tadi hingga lukanja tjukup parah, tenaganja banjak berkurang, maka timpukan2nja tiada satupun jang tepat mengenai perahu itu.
Namun begitu A Tju terkedjut djuga oleh ketangkasan sihwesio itu, Diam2
ia bersjukur dapat terlolos dari bahaja. Sekuatnja ia mendajung lebih djauh pula hingga dapat diduga Tjiumoti tidak dapat mentjandak mereka lagi.
"Toan-kongtju," kata A Pik kemudian, "terima kasih atas pertolonganmu tadi, kalau tidak, saat ini tentu aku sudah terbinasa ditangan sihwesio itu."
"Akulah jang harus berterima kasih kepadamu," sahut Toan Ki. "Hwesio itu berani berkata berani berbuat, bukan mustahil aku benar2 akan dibakar hidup2 olehnja."
"Sudahlah, tidak perlu lagi terima kasih kesini dan terima kasih kesana, apakah kita dapat lolos dari kekedjaman paderi itu saat ini masih belum dapat dipastikan," udjar A Tju.
Pada saat itu djuga Toan Ki mendengar ada suara tersiahnja air, ada perahu sedang didajung kearah sini, segera katanja: "Benar djuga, Hwesio itu sedang mengedjar kemari!"
Karena pertarungan Lwekang tadi, keadaan A Pik sudah sangat lelah, seketika tenaganja belum dapat dipulihkan, ia tjuma bersandar didinding perahu, katanja: "A Tju Tjitji, marilah kita menjingkir sementara ketempat Liok-toaya sadja."
"Ja, terpaksa begitulah," sahut A Tju dengan mendongkol, "sungguh sial dangkalan, tentu kita akan ditertawai Liok-toaya lagi bahwa ilmu silat kita tak berguna, baru ketemukan musuh sudah lantas lari berlindung kerumahnja. Hidup kita selandjutnja pasti akan selalu dibuat buah tertawa olehnja."
Toan Ki sendiri sedjak tenaga dalamnja bertambah kuat, daja pendengarannja mendjadi sangat tadjam pula. Ia dapat mendengar perahu jang sedang mengedjar mereka itu sudah makin mendekat. Tjepat sadja iapun sambar penggajuh lain dan bantu mendajung. Bertambah tenaga seorang, meluntjur perahu mereka mendjadi seperti anak panah terlepas dari busurnja, djarak dengan perahu pengedjar itupun makin lama semakin mendjauh.
"Kepandaian Hwesio itu sesungguhnja luar biasa, kalau kedua Tjitji jang masih muda belia dikalahkan olehnja, kenapa mesti di buat pikiran, apa jang mesti dimainkan?" udjar Toan Ki kemudian.
Hlm 11. Gambar "Tjelaka! Hwesio itu sedang mengedjar kemari!" seru Toan Ki dengan kuatir. Tjepat ia sambar penggajuh
lain dan bantu mendajung sekuatnja.
Tiba2 dari djauhsana terdengar suara seruan orang: "Wahai, A Tju dan A Pik! Kembalilah kalian, lekas! Hwesio adalah sobat baik Kongtju kalian, pasti takkan bikin susah kalian!" " terang itulah suaranja Tjiumoti, utjapannja itu kedengaran sangat lemah lembut dan bersahabat hingga menimbulkan daja penarik jang susah ditahan orang, rasanja segera akan menurut apa jang dikatakan itu.
A Tju tertegun djuga oleh seruan itu, katanja: "Dia menjerukan kita kembali kesana dan menjatakan takkan membikin susah kita." " Sembari berkata, ia memberhentikan dajungnja dengan pikiran tergerak dan bermaksud memenuhi permintaan Tjiumoti itu.
Bahkan A Pik lantas ikut menjokong pula: "Djika begitu, marilah kita kembali kesana!"
Sjukur tenaga dalam Toan Ki sangat kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh seruan Tjiumoti jang membawa daja penarik itu, tjepat ia berkata:
"Djangan kalian pertjaja, ia sengadja hendak menipu kalian!"
Namun suara Tjiumoti jang halus dan enak didengar itu kembali berkumandang pula: "Kedua nona tjilik A Tju dan A Pik. Kongtju kalian telah pulang dan sedang mentjari kalian, maka lekaslah mendajung kembali, lekaslah kembali!"
"Baiklah!" kata A Tju tiba2 terus angkat penggajuhnja untuk membilukan arah perahu.
Toan Ki mendjadi kuatir. Diam2 ia memikir : "Djika benar Bujung-kongtju sudah pulang. ia sendiri tentu akan memanggil A Tju dan A Pik, kenapa mesti sihwesio jang memanggilkan " Tentu suaranja itu adalah sematjam ilmu penggoda sukma orang jang sangat lihay."
Tjepat Toan Ki menjobek dua potong udjung badjunja untuk menjumbat telinga A Tju, lalu menjumbat pula telinganja A Pik. Setelah tenangkan diri sedjenak, segera A Tju berseru kaget, katanja: "Wah, hampir sadja kita terdjebak!"
"Ja, Hwesio itu dapat menggunakan Liap-hun-tay-hoat (ilmu sakti mentjabut sukma, sebangsa hipnotis). hampir kita masuk perangkapnja", seru A Pik.
Segera A Tju mendajung sekuatnja lagi, katanja : "Toan-kongtju, lekaslah mendajung, tjepat!"
Kedua orang terus mendajung dengan gotong-rojong hingga dalam sekedjap suaranja Tjiumoti sudah tak terdengar pula. Toan Ki lalu memberi tanda agar sumbat telinga kedua nona itu dibuka.
Sambil menepuk dada sendiri A Tju berkata sambil menarik napas lega :
"Selamatlah sekarang. Tapi lantas bagaimana selandjutnja ?"
"Entji A Tju", kata A Pik, "djika kita berlindung ketempat Liok-toaya di Siau-thian-djun, bila nanti sihwesio djuga menguber kesana, tentu ia akan bergebrak dengan Liok-toaya dengan sengit."
Benar, dan bila terdjadi begitu, tentu runjam," sahut A Tju. "Meski ilmu silat Liok-toaya tjukup tinggi, tapi tampaknja masih kalah dengan kepandaian sihwesio jang aneh dan litjin itu. Marilah begini sadja, biarlah kita terus main kutjing2-an didanau jang luas ini, kita terus berputar menghindari pengedjarannja. Kalau kita lapar, kita bisa petik Lengkak dan ubi teratai untuk tangsal perut, meski harus bertahan sampai 10 hari atau setengah bulan dengan dia djuga kita sanggup."
"Baiklah, terserah kepada keinginanmu," udjar A Pik dengan tersenjum.
"Tjuma entah bagaimana dengan pendapat Toan-kongtju ?"
"Haha, djusteru itulah melebihi harapanku," sahut Toan Ki sambil bertepuk tangan kegirangan." Pemandangan danau ini indah permai, ditambah ada kawan dua nona tjantik, djangankan tjuma pesiar untuk setengah bulan.
sekalipun untuk selamanja djuga aku akur, hidup demikian biarpun malaikat dewata djuga tidak sebahagia ini!"
A Pik tersenjum geli oleh banjolan pemuda itu, katanja pula : "Dari sini menudju kearah tenggara banjak sekali terdapat muara sungai dan teluk, ketjuali nelajan setempat djarang jang apal perdjalanan disekitar sini.
Pabila kita sudah dapat memasuki Pek-kiok-ou' (danau beratus muara) itu, betapapun sihwesio itu takkan dapat menemukan kita lagi."
Dengan girang terus sadja Toan Ki mendajung lebih giat, tidak lama sampailah mereka ditengah danau jang banjak terdapat muara sungainja.
Pabila ketemukan simpang djalan begitu, terkadang A Tju dan A Pik djuga perlu berunding lebih dulu barulah dapat menemukan arah mana jang harus ditempuh.
Dengan begitulah perahu mereka telah meluntjur hingga satu dua djam lamanja. Tiba2 hidung Toan Ki mengendus sematjam bau harum bunga jang aneh, waktu mentjium mula2 kepalanja merasa pening, tapi lantas terasa sangat enak dan segar pula. Semakin kedepan perahu mereka, harum bunga itu semakin keras.
"Kedua Tjitji, bunga apakah jang harum itu " Kenapa aku tidak pernah mentjium bau harum begini dinegeri Tayli kami?" tanja Toan Ki.
Tiba-tiba A Pik membisikinja; "Djangan engkau tanja, kita harus lekas2
meninggalkan tempat ini."
Toan Ki mendjadi heran oleh suara sinona jang rada gugup dan kuatir itu.
Dalam pada itu didengarnja A Tju djuga sedang berkata dengan lirih:
"Akulah jang tersesat. Tapi engkau berpendapat lebih tepat membiluk kearah kiri, tapi aku berkeras menjatakan kearah kanan, dan njatanja aku telah salah djalan. A Pik, engkau sudah jakin arahmu jang tepat, mengapa engkau menuruti arahku ?"
"Waktu itu aku sendiripun ragu2, kupikir djangan2 arahmu jang benar,"
sahut A Pik dengan gegetun.
Kini semangat A Pik sudah pulih kembali, ia ambil penggajuh dari tangan A Tju dan menggantikannja mendajung.
Mendengar pertjakapan kedua nona itu, Toan Ki menduga dibalik bau harum bunga jang aneh itu tentu terdapat sesuatu jang membahajakan. Sebenarnja ia ingin menanja, namun A Tju telah menggojangkan tangannja untuk mentjegahnja supaja djangan bersuara.
Dalam kegelapan Toan Ki tak djelas melihat bagaimana sikap wadjah kedua nona itu. Tapi dapat diduganja keadaan pasti gawat melebihi bahaja waktu terantjam pengedjaran Tjiumoti tadi.
Tiba2 A Tju mendekatkan mulutnja kepinggir telinga Toan Ki dan membisikinja : "Toan-kongtju, aku dan A Pik akan berbitjara dengan suara keras, tapi engkau djangan ikut tjampur sepatah katapun, paling baik engkau berbaring sadja didalam perahu".
Toan Ki bingung karena tidak paham apa maksud sigadis itu. Namun ia manggut2 djuga dan menurut, ia menjerahkan penggajuh kepada A Tju dan merebahkan diri diatas geladak perahu. Ia melihat bintang2 ber-kelip2
ditengah tjakrawala, hatinja merasakan sematjam keheranan jang tak terkatakan.
"Adik A Pik," demikian terdengar A Tju sedang berkata, "djalanan disini susah dibeda2kan, kita harus hati2, djangan sampai kesasar."
,,Ja," sahut A Pik, "Hwesio jang mengedjar kita itu tentu tidak bermaksud baik. Sebaliknja kalau kita sampai tersesat djalan, orang akan menjalahkan kita sengadja datang pula kesini dan akan banjak membawa kesukaran bagi Kongtju."
Suara pertjakapan A Pik dan A Tju itu dilakukan dengan keras se-akan2
sengadja diperdengarkan kepada seseorang. Tapi ketika Toan Ki melirik djauh kedepan, jang terlihat olehnja tjuma daun Lengkak melulu jang menghidjau terapung rapat dipermukaan air. Ketjuali suara gesekan antara badan perahu dengan daun tetumbuhan itu, keadaan toh sunji senjap tiada sesuatupun jang mentjurigakan, hanja bau harum bunga jang aneh itu makin lama makin semerbak. Dan harum bunga itu bukan mawar bukan melati, tapi sematjam harum jang susah dilukiskan dan susah diterka.
Tiba2 A Pik bernjanji pelahan2, dari suara njanjiannja itu terang mengandung rasa takut. Njata ia menjanji hanja untuk menutupi perasaan takutnja itu.
"Apakah sihwesio itu telah mengedjar kemari?" demikian Toan Ki menanja.
"Ssssst!" tjepat A Tju menekap mulut pemuda itu agar djangan bersuara.
Ia tjelingukan kian kemari, setelah sekitarnja sunji senjap, kemudian barulah dia membisiki telinga Toan Ki: "Djangan engkau bersuara. Kita telah kesasar ketempat jang berbahaja, tuan rumah disini djauh lebih lihay daripada sihwesio itu."
"Sungguh tjelaka 13," demikian pikir Toan Ki, "belum terhindar dari bahaja jang satu, bahaja jang lain sudah mengantjam pula." " Tapi segera terpikir pula olehnja: "Ah, kedua nona tjilik ini belum kenal betapa lihaynja Tjiumoti, didunia ini masakah masih ada djago jang lebih lihay dari Hwesio itu" Apalagi disini adalah tempat bertjokolnja orang she Bujung, mana dia suka membiarkan seorang tokoh lain hidup berdampingan dengan dirinja"
Habis njanji, A Pik tidak bitjara pula, ia sedang menengadah memandang bintang2 dilangit. Ia sedang berusaha membedakan arah dari kedudukan bintang2 jang bertaburan ditjakrawala itu dan sambil mendajung bersama A Tju.
Toan Ki tjoba memandang sekitarnja, keadaan hening sepi, ditengah danau seluas itu melulu perahu mereka sadja jang menjiah air hingga menerbitkan suara gemerisik jang pelahan. Ia merasa heran mengapa kedua gadis itu begitu ketakutan menghadapi suasana jang tjuma sepi itu"
Setelah perahu meluntjur lagi agak djauh, tiba pula sampai disuatu muara sungai, A Tju dan A Pik bertukar pikiran pula kemana perahu mereka harus menudju. Padahal dalam pandanganToan Ki,ia merasa djalanan2 air disitu serupa semua tanpa sesuatu perbedaan, ia mendjadi heran berdasarkan tanda apa hingga kedua nona itu mengadakan perbedaan"
Sesudah mendajung sekian lamanja, Toan Ki mendengar napas kedua gadis itu telah ter-sengal2. Segera ia mengambil penggajuh dari tangannja A Tju dan menggantikannja mendajung.
Tidak lama kemudian, tiba2 A Pik berseru kaget: ,,Hai, kita............... kita telah kembali lagi ketempat tadi!"
Benar djuga segera Toan Ki mengendus bau harum bunga jang aneh seperti tadi. Ia mendjadi lemas dan ketjewa, tampaknja mereka tjuma ber-putar2
sadja ditengah danau itu, pertjumalah mereka mendajung dengan susah-pajah selama setengah malam disitu.
Sementara itu sudah mendjelang fadjar, ufuk timur sudah mulai remang2
memutih. Wadjah A Pik tampak sedih. Tiba2 ia membuang penggajuhnja keatas perahu dan menangis ter-guguk2 sambil menutupi mukanja.
Segera A Tju merangkul A Pik dan menghiburnja: "Kita toh tidak sengadja datang kemari. Sebentar bila bertemu dengan Ong-hudjin, kita katakan sadja terus terang, djangan engkau kuatir." - Walaupun ia menghibur kawannja. sebenarnja perasaan sendiri djuga katjau dan kuatir.
Pada saat itulah tiba2 diangkasa terdengar suara bunji burung jang mentjitjit, dari arah baratsana terbang mendatangi seekor burung putih jang mirip bangau. Burung itu terbang mengitari perahu beberapa kali, kemudian terbang kearah barat pula dengan pelahan.
A Tju mengangkat penggajuh pula dengan menghela napas, katanja: "Sudah diketahui, terpaksa mesti kesana, marilah kita pergi kesana!'' " Segera ia mendajung perahunja mengikuti arah burung putih tadi.
"Kiranja burung itu adalah penundjuk djalan jang diutus madjikannja,"
udjar Toan Ki dengan tertawa.
"Toan-kongtju,'' kata A Pik tiba2, "engkau adalah orang luar dan tidak mengetahui banjak peraturan2 ditempat kami ini. Sebentar bila sudah sampai di 'Man-to-san-tjheng', tak peduli apa jang terdjadi, hendaklah engkau menurut perintah sadja, biarpun mesti dihina djuga engkau djangan membangkang."
"Sebab apa?" tanja Toan Ki. "Apakah tuan rumahnja begitu, kasar dan sewenang-wenang " Kita hanja sesat djalan, kalau perlu kita bersedia pergi dari sini, dosa apakah kalau tjuma kesasar sadja ?"
Tiba2 mata A Pik memberambang, katanja: "Toan-kongtju, didalam persoalan itu banjak hal-hal jang susah kudjelaskan. Mereka berani berlaku kasar, mereka mempunjai alasannja sendiri. Pendek kata semuanja gara-gara Hwesio djahat itu hingga kita di-uber2 sampai kesasar kemari. Kalau tidak, masakah kita bisa masuk lagi kesini ?"
Rupanja sifat A Tju lebih periang, dengan tertawa ia berkata: "Orang baik tentu diberkahi dengan redjeki besar. Kalau kita berdua jang datang kemari, tentulah baka; tjelaka, tapi Toan-kongtju adalah seorang beruntung, seorang jang membawa berkah, siapa tahu kalau kita djuga akan ikut diberkahi dengan keselamatan."
"Aku djusteru berkuatir bagi Toan-kongtju, soal kita berdua malah tidak kupikirkan", udjar A Pik. "Ong-hudjin, telah menjatakan bila ada lagi orang laki2 berani mengindjak ke Man-to-san-tjheng, maka kedua kaki orang itu akan ditabasnja dari kedua matanja akan dikorek. Entji A Tju, sifat Ong-hudjin toh sudah dikenal engkau, sekali dia sudah omong. pasti didjalankannja. Kini kita membawa Toan-kongtju kesini, bukankah kita jang membikin susah padanja......" " berkata sampai disini, tak tertahan lagi air matanja kembali bertjutjuran.
"A Pik," kata A Tju, "siapa tahu kalau mendadak timbul rasa welas-asih orang, boleh djadi Toan-kongtju ini pandai omong dan pintar berdebat hingga dapat mematahkan perasaan badja orang, lalu kita bertiga dilepas pergi."
Sebenarnja tokoh matjam apakah Ong-hudjin itu ?" tanja Toan Ki.
A Pik memandang sekedjap kepada A Tju, hendak mendjawab, tapi urung.
Sebaliknja A Tju lantas memberi tanda beberapa kali dengan tangannja, lalu tjelingukan kesekitarnja, kemudian barulah berkata: "Tentang diri Ong-hudjin " Wah, betapa tinggi ilmu silatnja boleh dikata sudah mentjapai tingkatan jang susah diukur, didunia persilatan sekarang tiada seorangpun jang dapat menandinginja. Kongtju kami biasanja tidak mau tunduk kepada siapapun, hanja Ong-hudjin sadja jang paling dikagumi olehnja." " Meski begitu mulutnja berkata, tapi mimik wadjahnja djusteru mengundjuk beberapa tanda2 jang aneh, mulut merot2 dan mata ber-pitjing2
sambil mengangkat pundak pula. Pendek kata tanda2 jang menjatakan bahwa apa jang dikatakan itu sama sekali tidak dapat dipertjaja. tapi bualan belaka sekadar menjenangkan hati orang.
Keruan Toan Ki mendjadi heran, pikirnja : "Masakah bitjara ditengah perahu jang sekelilingnja tjuma air belaka kuatir didengar oleh orang "
Apakah Ong-hudjin itu begitu sakti hingga memiliki telinga jang mampu mendengarkan dari tempat djauh?"
Ia lihat burung putih tadi telah terbang kembali dan mengitar pula diatas perahu mereka seperti tidak sabar menunggu lagi. Setelah berputar lagi dua kali, kembali burung itu mendahului terbang kedepan. Setelah perahu didajung lagi mengikuti burung putih itu. kini djalanan air itu penuh dengan teluk dan muara sungai jang berlika-liku.
Achirnja perahu mereka tiba sampai didepan selarik pagar bambu. Pagar bambu itu djarang2 anjamannja sebagaimana umumnja dipakai kaum nelajan untuk mengurung ikan.
Sesudah dekat dengan pagar bambu itu, tampaknja perahu mereka terhalang dan takdapat meluntjur madju lagi. Tak terduga begitu haluan perahu membentur pagar bambu itu, seketika pagarnja ambruk kebawah air hingga perahu dapat meluntjur terus, Kiranja pagar bambu itu dipasang dengan alat rahasia jang bisa dibuka-tutupkan. Setelah melintasi beberapa rintangan pagar bambu lagi, achirnja tertampaklah didepansana pohon Liu melambai-lambai ditepi pantai, dari djauh kelihatan pula ditepi pantai penuh tumbuh bunga kamelia jang ke-merah2-an bertjerminkan air danau.
Melihat itu, tak tertahan lagi Toan Ki berseru heran sekali dengan pelahan.
"Adaapa?" tanja A Tju.
"Itu adalah San-teh-hoa (bunga kamelia) dinegeri Tayli kami, mengapa ditengah danau ini tumbuh djuga djenis bunga ini ?" sahut Toan Ki sambil menundjuk pohon2 kembang itu.
"O, ja " Tapi mungkin San-teh-hoa di Tayli tidak dapat menandingi San-teh-hoa ditempat kami ini," kata A Tju. "Tempat ini bernama Man-to-san-tjheng, bunga Mantolo disini terhitung nomor satu didunia ini, betapapun bunga keluaran Tayli kalian djuga takkan mampu menandinginja".
Kiranja nama lain dari San-teh-hoa atau bunga kamelia adalah kembang Mantolo, jaitu berasal dari kata2 Mandala dalam basa Sangsekarta. Dan kembang Mantolo jang paling terkenal adalah keluaran Hunlam, orang menjebutnja sebagai "Tin-teh" atau bunga kamelia dari Hunlam.
Oleh karena itulah Toan Ki tidak dapat menerima pendapat A Tju tadi bahwa kembang kamelia Tayli takdapat menandingi bunga jang tumbuh di Manto-san-tjheng atau perkampungan bunga Mantolo. Pikirnja: ..Pemandangan alam didaerah Kanglam memang harus diakui indah permai, dan susah ditandingi Tayli. Tapi kalau bitjara tentang kembang kamelia jang merupakan bunga pusaka negeri kami, aku jakin tiada tempat lain jang dapat melebihinja."
Sebenarnja ia bermaksud menjanggah utjapan A Tju tadi, tapi dilihatnja gadis itu sedang memitjingkan mata dan memerotkan mulut pula sebagai tanda djangan banjak bitjara, maka Toan Ki mendjadi urung buka suara. Ia pikir Man-to-san-tjheng itu sudah didepan mata, lebih baik djanganlah sembarangan bitjara.
Dalam pada itu A Tju telah mendajung perahunja menudju ke semak pohon kembang kamelia itu. Sampai ditepi pantai, Toan Ki melihat sepandjang mata memandang disitu hanja bunga kamelia belaka jang berwarna merah dan putih, sebuah rumahpun tidak tertampak.
Ia dibesarkan dinegeri Tayli jang terkenal sebagai negeri kembang kamelia, maka ia mendjadi tidak heran oleh bunga2 San-teh jang berserakan itu. Bahkan ia merasa bunga kamelia sebanjak itu tiada satupun terdiri dari djenis jang berharga.
Setelah merapatkan perahunja ke-gili2, segera A Tju berseru dengan suara njaring dan penuh hormat: "Hamba A Tju dan A Pik dari keluarga Bujung dalam menghindari kedjaran musuh setjara tidak sengadja telah tersesat kesini, sungguh dosa kami pantas dihukum mati, maka mohon kemurahan hati Ong-hudjin sudilah mengingat ketidaksengadjaan kami dan memberi ampun, untuk mana hamba berdua akan sangat berterima kasih."
Akan tetapi biar A Tju sudah bergembar-gembor sendiri, dibalik semak2
pohonsana toh tiada sesuatu sahutan orang. Tapi nona itu kembali berseru lagi: ,,Dan orang jang datang bersama ini adalah Toan-kongtju jang tak kami kenal, ia adalah tamu asing dan djuga tidak kenal-mengenal dengan Kongtju kami, maka tiada sangkut-paut apa2 dengan urusan kesasar kami ini."
Segera terdengar A Pik ikut berkata djuga: "Kedatangan orang she Toan ini ketempat kami sebenarnja tidak punja maksud baik, tapi hendak membikin onar dengan Kongtju kami. Tak terduga setjara kebetulan ia telah ikut kesasar kemari."
Toan Ki mendjadi heran, pikirnja: "Kenapa mereka menegaskan aku adalah musuh Bujung-kongtju, apa barangkali tuan rumah disini sangat bentji kepada Bujung-kongtju, asal aku mengaku sebagai musuhnja orang she Bujung itu, lantas aku takkan dipersulit disini?"
Tidak seberapa lama, tiba2 ditengah rimba pohon kembang kamelia itu terdengar ada suara tindakan orang, kemudian muntjul seorang pelajan ketjil berbadju hidjau, tangannja membawa segebung karangan bunga, usianja lebih tua satu-dua tahun daripada A Tju dan A Pik. Sampai ditepi pantai, dengan tertawa dajang itu lantas berkata dengan tersenjum: "A Tju dan A Pik, kalian benar2 bernjali besar sekali dan berani ngelajap lagi kesini" Karena itu Hudjin memerintahkan muka kalian masing2 harus disilang dengan pisau agar wadjah kalian jang tjantik aju terusak."
Namun A Tju mendjadi lega demi nampak sikap dajang jang bitjara itu.
Sahutnja dengan tertawa: ,,Entji Yu Tjhau, tentunja Hudjin tidak berada dirumah, bukan?"
"Hm, Hudjin djusteru mengatakan pula bahwa kalian berani membawa laki2
asing kesini, maka kedua kaki orang itu harus segera dipotong pula,"
demikian sahut sidajang jang dipanggil dengan nama Yu Tjhau itu. Tapi belum Selesai ia omong, ia sudah lantas menutup mulutnja dengan tangan dan tertawa tjekikikan.
"Entji Yu Tjhau," A Pik ikut bitjara sambil tepuk2 dada sendiri,
"djangan engkau me-nakut2i orang. Sebenarnja sungguh2 atau tidak utjapanmu itu?"
"A Pik," udjar A Tju dengan tertawa, "djangan gampang digertak olehnja.
Kalau Hudjin ada dirumah masakah budak ini berani main gila seperti ini"
Adik Yu Tjhau, katakanlah, kemanakah Hudjin telah pergi?"
"Huh, berapakah umurmu sekarang, berani kau menjebut aku sebagai adik?"
sahut Yu Tjhau dengan tertawa, "Kau memang siluman tjerdik tjilik, dengan tepat engkau dapat menerka Hudjin tidak berada dirumah." " Ia merandek sedjenak, tiba2 ia menghela napas, lalu meneruskan: "A Tju dan A Pik, Sjukurlah kalian dapat berkundjung kemari pula, sungguh aku ingin menahan kalian agar supaja dapat tinggal barang beberapa hari disini, tjuma..............."
"]a, sudah tentu kamipun suka untuk tinggal sementara dengan engkau disini," sahut A Pik. "Entji Yu Tjhau. sebaiknja kalau engkau dapat datang ketempat kami sadja. Untuk mana kami bersedia tiga-hari-tiga-malam tidak tidur untuk menemani engkau!"
Tengah mereka bitjara, tiba2 dari semak2 kembangsana terdengar suara berkeresekan, kemudian muntjul pula seorang dajang tjilik, dengan ketawa2
dajang inipun lantas berseru girang: "Hai, A Tju dan A Pik, nona kami mengundang kalian ketempatnjasana ."
"He. kiranja adik Hong Le," sahut A Tju dengan tertawa. "Terima kasihlah atas kebaikan nona kalian itu. Sampaikanlah bahwa Kongtju kami sedang bepergian. kedatangan kami kesini sungguh2 karena sesat djalan. Harap diberi maaf."
"Bagus," kata Hong Le setengah mengomel, "nona kami mengundang kalian, tapi kalian menolak. Baiklah, dan kalian djuga djangan mengharapkan Pek-ih-sutjia (perintis djalan berbadju putih. Maksudnja burung putih itu) akan membawa kalian keluar dari sini."
A Tju saling pandang sekedjap dengan A Pik, sikap mereka tampak serba salah. Kemudian A Pik membuka suara: ,,Entji Hong Le, engkau sendiri tentu tahu, mana kami berani menolak undangan nonamu itu" Akan tetapi bila nanti kebetulan Hudjin pulang, lantas...............
bagaimana............"
"Hudjin sedang pergi ketempat jang djauh, baru kemarin beliau berangkat, tidak mungkin pulang dengan begitu tjepat," sahut Hong Le atau siburung kenari kuning "Hajolah ikut kesana, masakan kalian tidak tahu isi hati nona kami?"
"Baiklah, marilah A Pik, terpaksa kita menempuh bahaja lagi." udjar A Tju.
Kedua gadis itu lantas melangkah ke-gili2. Kata A Pik kepada Toan Ki:
"Toan-kongtju, silahkan engkau menunggu sebentar disini, kami pergi menemui tuan rumahnja, segera kami akan kembali."
Toan Ki mengia dan menjaksikan kepergian empat gadis tjilik jang lintjah dan riang gembira itu.
Sesudah sekian lamanja duduk didalam perahu, Toan Ki mendjadi iseng, pikirnja: "Biarlah aku mendarat untuk melihat kembang Mantolo jang ditanam disini, ingin kulihat apakah ada djenis jang bagus atau tidak?"
Terus sadja ia melangkah kepantai dan menikmati pemandangan disepandjang djalan. Ia lihat diantara tetumbuhan bunga2 selebat itu, ketjuali kembang kamelia, sama sekali tiada djenis bunga lain lagi. Akan tetapi bunga kamelia itu djuga terdiri dari djenis2 jang umum dan tiada sesuatu jang bernilai tinggi, satu2nja keistimewaan jalah dalam hal djumlah. Memang djumlahnja sangat banjak.
Tengah Toan Ki memandang kian kemari, tiba2 hidungnja mengendus bau harum pula. Harum bunga itu sebentar keras sebentar halus hingga susah diraba darimana datangnja bau harum itu. Jang terang bau harum itu serupa seperti bau harum jang aneh jang ditjiumnja semalam didalam perahu itu.
Diam2 Toan Ki heran, pikirnja: "Disini toh tidak tampak ada djenis bunga lain lagi ketjuali kembang kamelia, apakah mungkin diantara kamelia sebanjak ini terdapat sedjenis jang dapat menguarkan bau harum jang aneh ini?"
Tertarik oleh rasa ingin tahu, terus sadja Toan Ki mengusut lebih djauh mengikuti arah datangnja bau harum itu. Setelah berpuluh meter djauhnja, ia lihat djenis2 kamelia jang mekar bertambah banjak, terkadang djuga terdapat satu-dua djenis jang bernilai lumajan.
Tidak lama pula, sedang Toan Ki asjik memperhatikan kembang kamelia jang luar biasa djumlahnja itu, mendadak bau harum jang aneh itu lenjap sama sekali. Meski Toan Ki sudah menjusur kesana dan kesini toh bau harum itu tetap tak terendus lagi. Ia pikir: "Sudahlah, aku harus lekas kembali, sebentar kalau A Tju dan A Pik kembali dan melihat aku tiada berada disana, tentu mereka akan kuatir."
Segera iapun berputar tubuh hendak kembali kearah datangnja tadi. Akan tetapi tjelaka, ia mengeluh. Kiranja sudah sekian djauhnja ia menjusur kian-kemari diantara hutan bunga itu, ia telah lupa memberi tanda pada djalanan jang telah dilaluinja itu. Kini hendak kembali ketempat dimana perahunja berlabuh. terang mendjadi agak sulit.
Ia tjoba membedakan arah menurut kejakinannja sendiri, pikirnja asal dapat mentjapai tepi danau. urusan tentu akan mendjadi mudah.
Tak tersangka makin djauh ia berdjalan, makin tak keruan djurusan jang dipilihnja itu. Mendadak didengarnja ada suara bitjara orang disisi kiri hutan bungasana , segera dapat dikenal bahwa itulah suaranja A Tju. Pikir Toan Ki dengan girang: "Biarlah kutunggu sebentar disini, bila mereka sudah Selesai bitjara, tentu dapatlah aku ikut kembali ketempat tadi bersama mereka."
Ia dengar A Tju sedang berkata: "Kesehatan Kongtju sangat baik, napsu makannja djuga bertambah. Selama dua bulan ini beliau tekun mempeladjari
'Pak-kau-pang-hoat' (ilmu pentung penggebuk andjing) dari Kay-pang, mungkin karena sedang menjiapkan diri untuk mengukur kepandaian dengan tokoh Kay-pang."
Toan Ki mendjadi ragu2 mendengar pertjakapan itu, pikirnja: "A Tju sedang membitjarakan urusan Kongtju mereka, tidaklah pantas kalau diam2
aku mendengarkan disini. Aku harus menjingkir jang djauh. Tapi djuga tidak boleh terlalu djauh, sebab sebentar kalau mereka sudah selesai bitjara, djangan2 aku malah tidak tahu."
Dan pada saat itulah, tiba2 Toan Ki mendengar suara seorang wanita menghela napas sekali dengan pelahan. Begitu mendengar suara helaan napas itu, seketika tubuh Toan Ki serasa terguntjang, hatinja ber-debar2 dan mukanja merah. Pikirnja: "Suara orang menghela napas itu sungguh enak sekali untuk didengar, mengapa didunia ini terdapat suara semerdu itu?"
Sementara itu didengarnja suara jang halus dan. merdu tadi sedang menanja pula: "Kepergiannja sekali ini menudju kemanakah?" Ketika mendengar suara helaan napas tadi perasaan Toan Ki sudah terguntjang, kini mendengar pula utjapan itu. darah seluruh tubuhnja serasa bergolak, tapi hatinja merasakan sematjam rasa getir dan ketjut, rasa kagum dan iri jang tak terkatakan. Pikirnja : "Jang ditanjakan itu sudah terang adalah Bujung-kongtju. Ternjata sedemikian besar perhatiannja kepada Bujung-kongtju hingga selalu dirindukan olehnja. Wahai, Bujung-kongtju betapa bahagianja hidupmu ini!"
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka terdengar A Tju sedang menjahut: "Waktu Kongtju hendak berangkat, beliau mengatakan hendak pergi ke Lokyang untuk mendjumpai djago2 Kay-pang. Malahan Lu-toako dan Pau-siansing djuga ikut pergi, maka harap nona djangan kuatir."
"Diwaktu Kongtju kalian melatih Pak-kau-pang-hoat apa kalian melihat ada sesuatu kesukaran atau rintangan ?" tanja suara wanita itu.
"Tidak." sahut A Pik. "Kongtju dapat memainkan Pak-kau-pang-hoat itu dengan sangat lantjar dan tjepat sekali......
"Hai, salah besar!" tiba2 wanita itu berseru, "apa betul dia memainkannja dengan sangat tjepat ?"
"Ja, kenapa dikatakan salah malah ?" sahut A Pik heran.
"Sudah tentu salah," kata siwanita itu. "Pak-kau-pang-hoat itu mengutamakan keuletan, makin lambat makin baik, bila perlu dapat dipertjepat dan segera diperlambat lagi. Tapi kalau terus-menerus dimainkan dengan tjepat, tentu susah mengerahkan kelihayan ilmu pentung itu. Ai, apakah...... apakah kalian dapat menjampaikan sedikit berita kepada Kongtju?"
Tapi sekarang Kongtju berada dimana, kami sama sekali tidak tahu, bukan mustahil saat ini beliau sudah selesai pula bertemu dengan tokoh2 Kay-pang," demikian sahut A Tju. "Kohnio, apakah terlalu tjepat memainkan Pak-kau-pang-hoat itu benar2 tidak boleh ?"
"Sudah tentu tidak boleh, masakah perlu kudjelaskan lagi ?" sahut sinona. "Mengapa...... mengapa waktu akan berangkat dia tidak...... tidak datang menemui aku dahulu?" " sembari berkata iapun mem-banting2 kaki dengan rasa kuatir dan tjemas.
Toan Ki mendjadi heran, pikirnja: "Biasanja nama Koh-soh Bujung sangat dihormati dan disegani, tapi dari utjapan sinona ini, agaknja ilmu silat Bujung-kongtju itu seakan-akan memerlukan petundjuknja. Apa mungkin seorang nona muda belia seperti ini mempunjai kepandaian setinggi langit?"
Ia dengar sinona sedang berdjalan mondar-mandir, suatu tanda betapa gopoh perasaannja waktu itu. Tiba2 kedengaran nona itu berkata lagi dengan pelahan: "Tempo hari, aku minta dia mempeladjari ilmu gerak langkah itu, tapi ia djusteru tidak mau beladjar, tjoba kalau dia sudah paham 'Leng-po-wi-poh' itu......"
Mendadak mendengar kalimat "Leng-po-wi-poh" atau langkah indah sidewi tjantik, Toan Ki mendjadi kaget dan tanpa merasa berseru sekali, tjepat ia tekap mulut sendiri, namun sudah terlambat.
"Siapa itu?" segera terdengar nona itu telah menegur.
Tahu kalau takbisa menjembunjikan diri pula, terpaksa Toan Ki berdehem lebih dulu, lain mendjawab: "Tjayhe bernama Toan Ki, karena terpesona oleh keindahan bunga kamelia sekitar sini hingga tanpa sengadja kesasar kemari, mohon diberi maaf."
"A Tju, apakah dia adalah Siangkong jang datang bersama kalian itu?"
tanja nona itu kepada A Tju dengan pelahan.
"Benar, Kohnio", sahut A Tju tjepat. "Orang ini adalah Sutaytju (peladjar tolol), djangan nona mengurusinja. Biarlah sekarang djuga kami mohon diri sadja."
"Nanti dulu," kata nona tadi, "tunggu aku menuliskan seputjuksurat untuk menerangkan tanda2 rahasia Pak-kau-pang-koat itu dan harap kalian segera berusaha untuk menjampaikannja kepada Kongtju."
"Hal ini............... Hudjin pernah menjatakan..............." sahut A Tju dengan ragu2.
"Menjatakan apa" Djadi kalian tjuma menurut kata2 Hudjin dan tidak mau menurut perintahku?" kata nona itu dengan nada marah.
Tjepat A Tju mendjawab: "Mana kami berani membangkang perintah nona.
Asal sadja tidak diketahui Hudjin, sudah tentu kami akan menurut. Apalagi kalau ada paedahnja bagi Kongtju kami."
"Baiklah, mari kalian ikut aku kekamar," kata nona itu.
Terpaksa A Tju mengia.
Dalam pada itu Toan Ki mendjadi lebih kesemsem sedjak mendengar suara helaan napas jang penuh daja penarik itu. Kini mendengar sinona segera akan pergi, ia pikir sekali sinona sudah pergi, mungkin untuk selamanja takkan dapat melihatnja lagi, hal itu bukankah akan dibuat penjesalan selama hidup" Meski nanti akan dikatai orang karena kelakuannja jang semberono, paling2 djuga tjuma didamperat sadja, betapapun aku harus melihat muka aslinja.
Karena pikiran itu, segera Toan Ki berseru sambil melangkah keluar:
"Entji A Pik, harap engkau tinggal disinilah untuk menemani aku, ja?"
Mendengar Toan Ki berdjalan keluar, nona itu berseru kedjut dan tjepat membelakangi tubuhnja. Waktu Toan Ki menerobos keluar dari semak2 pohon, jang terlibat olehnja tjuma seorang wanita berbadju putih mulus dan berdiri mungkur, perawakannja ramping, rambutnja pandjang terurai sampai dipunggung dan hanja diikat oleh seutas benang sutera warna perak. Tjukup melihat bajangan sigadis sadja Toan Ki sudah jakin pasti gadis itu sangat tjantik laksana dewi kajangan dan menimbulkan sematjam hawa keangkeran.
Segera ia membungkuk memberi hormat dari djauh sambil berkata: "Terimalah hormat Tjayhe, nona!"
"A Tju," tiba2 gadis itu membanting kaki, "gara2mu membawa segala orang kesini. Aku tidak ingin bertemu dengan laki2 luar jang tiada sesuatu hubungan." " Habis berkata, terus sadja ia berdjalan tjepat kedepan, hanja sekedjap sadja bajangan gadis itu sudah menghilang dibalik semak2
bungasana . Dengan tersenjum A Pik lantas menoleh dan berkata kepada Toan Ki: "Toan-kongtju, tabiat nona ini memang sangat angkuh, kini kebetulan malah, marilah kita pergi dari sini."
Hlm. 25 Gambar SelagiA Tju hendak mulai mendajung perahunja,
tiba2 terdengar suara suitan njaring bagai naga merintih dari djauh. Hanja sekedjap sadja sebuah kapal berbentuk kepala naga sudah mendekat dan dari dalam
kapal berdjalan keluar seorang wanita setengah
umur dengan dandanan keraton.
"Ja, berkat pertolongan Toan-kongtju jang telah melepaskan kami dari kesukaran," A Tju ikut berkata djuga dengan tertawa. "Kalau Toan-kongtju tidak muntjul, tentu Ong-kohnio akan suruh kami hantarsurat segala dan djiwa kami ini mendjadi berbahaja akibatnja."
Semula sebenarnja Toan Ki merasa kuatir dan tentu akan diomeli A Tju dan A Pik karena dia setjara semberono telah heran undjuk diri hingga membikin nona Ong kurang senang. Tak tersangka kedua dajang tjilik itu malah memberi pudjian padanja, keruan Toan Ki mendjadi bingung malah.
Segera mereka bertiga kembali keperahu mereka. A Tju angkat penggajuh hendak mulai mendajung lagi. Tapi belum sampai perahu meluntjur, tiba2 A Pik berkata: ,.Entji A Tju. tanpa diberi petundjuk djalannja oleh Pek-ih-sutjia, betapapun kita susah keluar dari tempat ini. Terpaksa kita harus menunggu dulu suratnja Ong-koh-nio. Kita tjuma terdesak oleh keadaan, toh bukan sengadja datang kesini, andaikan diketahui Ong-hudjin djuga takdapat menjaksikan kita."
"Ja, semuanja gara2 sihwesio busuk itu.................." demikian sahut A Tju dengan gegetun. Tapi belum Selesai utjapannja. tiba2 dari djauh terdengar suara suitan njaring jang pandjang bagai naga merintih.
Demi mendengar suara suitan aneh itu, seketika wadjah A Tju dan A Pik berubah putjat. Begitu pula Toan Ki djuga terkedjut Pikirnja: "He, suara suitan ini sudah kukenal dengan baik. Wah tjelaka. itulah dia muridku Lam-hay-gok-sin jang telah datang. Tetapi, ah, salah, bukan dia, bukan dia!"
Sebagaimana diketahui, ketika mula2 Toan Ki bertemu dengan Lam-hay-gok-sin, ia pernah mendengar suara rintihan naga seperti tadi itu. Tapi kemudian waktu Lam-hay-gok-sin sudah berada dihadapannja, kembali suara suitan njaring itu terdengar pula, karena itu, Lam-hay-gok-sin lantas buru2 menjusul kearah datangnja suara itu. Maka dapat dipastikan suara suitan itu bukan dikeluarkan oleh Lam-hay-gok-sin, tapi masih ada seorang lain lagi.
Biasanja sifat A Tju sangat lintjah dan periang, tapi kini demi mendengar suara suitan itu, seketika badannja gemetar dengan ketakutan.
"Toan-kongtju," kata A Pik dengan bisik2, "Ong-hudjin telah pulang, terpaksa kita terserah pada nasib rnasing2. Tapi sebaiknja engkau berlaku kasar kepada kami, lebih kasar dan lebih kurang sopan kepada kami akan lebih baik bagimu."
Akan tetapi bagi Toan Ki tidak mungkin disuruh berlaku kasar terhadap kedua dara tjilik itu. Sedjak dia meninggalkan rumah, sudah banjak pengalaman dan bahaja jang dihadapinja. Ia pikir bila memang aku sudah ditakdirkan harus mati, biarlah terima nasib sadja masakah aku diharuskan berbuat tidak sopan kepada dua nona tjilik" Karena itu, segera ia mendjawab: "Lebih baik mati setjara sopan daripada hidup dengan kurangadjar. Entji A Tju engkau menjebut aku sebagai Sutaytju, dan memang beginilah sifat ketolol2an seorang Sutaytju seperti aku ini."
A Tju hanja melototinja sambil menghela napas gegetun.
Pada saat itulah dari djauh tertampak sebuah perahu sedang meluntjur tiba setjepat terbang, hanja sekedjap sadja sudah mendekat. Tampak djelas perahu itu sangat besar dengan udjung berbentuk kepala naga jang mulutnja terpentang lebar dengan rupa sangat menakutkan.
Sesudah kapal itu lebih dekat lagi, mendadak Toan Ki mendjerit kaget. Ia melihat diudjung tanduk kepala naga dari kapal itu tergantung tiga buah kepala manusia jang darahnja masih berketes2, njata kepala manusia itu baru sadja dipenggalnja.
"Rupanja ditengah djalan Ong-hudjin telah pergoki musuh dan lantas dibunuhnja, makanja pulang lebih tjepat daripada rentjananja. Ai, dasar nasib kita jang djelek," demikian udjar A Tju pelahan.
Sementara itu kapal tjepat berkepala naga itu sudah merapat dengan gili2, A Tju dan A Pik telah berbangkit berdiri dengan kepala menunduk, sikapnja sangat menghormat. Ber-ulang2 A Pik memberi tanda kepada Toan Ki dengan maksud menjuruh pemuda itupun ikut berdiri.
Namun Toan Ki menggeleng kepala, katanja dengan tertawa: "Biarlah tuan rumahnja muntjul dulu, tentu aku akan berbangkit untuk menghormatinja.
Seorang laki2 masakah mesti terlalu merendahkan deradjat sendiri?"
Tiba2 suara seorang wanita berkata dari dalam kapal itu: "Lelaki darimanakah berani sembarangan masuk ke Man-to-san-tjheng sini" Apakah tidak pernah mendengar bahwa setiap laki2 jang berani masuk kesini pasti akan ditabas kedua kakinja?" " Suara wanita itu sangat kereng, tapi sangat njaring dan merdu pula dan enak didengar.
Segera Toan Ki mendjawab: "Tjayhe bernama Toan Ki, Tjayhe tersesat kemari dan bukan disengadja, harap suka memberi maaf." Wanita itu tjuma mendengus lagi sekali dan tidak menggubrisnja.
Sesudah kapal itu berlabuh, dari dalam kamar kapal lantas muntjul dua dajang muda berbadju hidjau, jang seorang lantas melompat menjambar ketiga kepala manusia jang tergantung ditanduk kepala naga itu, dengan enteng sadja ia turun kembali kegeladak kapal sambil mendjindjing ketiga buah kepala manusia itu. Gerakannja tjepat dan gajanja indah.
Melihat kedua dajang itu menghunus pedang semua, diam2 Toan Ki membatin:
"Kaum hambanja sadja sudah begini lihay, apalagi madjikannja" Biarlah, toh kepalaku tjuma sebuah sadja, kalau mau boleh mereka penggal sekalian."
Dalam pada itu terdengar wanita didalam kapal itu berkata pula: "Hm, A Tju dan A Pik ini memang kepala batu dan berani sembarangan datang kemari lagi, dasar madjikanmu sibotjah Bujung Hok itu djuga tidak pernah berbuat baik, selalu main gila dan berbuat hal2 jang djahat."
"Lapor Hudjin," sahut A Pik tiba2, "hamba tidak sengadja datang kemari, tapi karena kesasar waktu diuber musuh dan tanpa sengadja masuk kesini lagi. Kongtju kami sedang bepergian, maka tiada sangkut-pautnja dengan beliau." " Karena urusan sudah kadung begini, dara jang tampaknja lemah-lembut itu mendjadi berani mendebat dengan tegas.
Kemudian dari dalam kapal itu muntjul ber-pasang2 gadis berbadju hidjau jang lain, semuanja berdandan dajang, tapi menghunus pedang. Seluruhnja jang keluar itu ada delapan pasang, ditambah dengan kedua dajang jang pertama tadi, djumlah seluruh mendjadi 18 orang Mereka berbaris mendjadi dua larik dengan sikap kereng, habis itu, barulah dari dalam kapal berdjalan keluar seorang wanita berpakaian keraton.
Begitu melihat wadjah wanita itu, terus sadja Toan Ki berseru kaget, seketika ia melongo dan merasa seperti didalam mimpi.
Kiranja wanita itu berpakaian sutera putih mulus, dandanannja ternjata mirip benar dengan patung Dewi jang telah dilihatnja didalam gua di Tayli itu. Bedanja tjuma wanita ini sudah setengah umur, sebaliknja patung Dewi itu adalah seorang gadis djelita berusia belasan tahun. Dalam kedjutnja Toan Ki tjoba mengamat-amati wanita tjantik itu pula. Ia melihat wadjahnja benar2 seperti patung Dewi didalam gua itu, ketjuali perbedaan dalam umur, wadjahnja djuga sudah mulai berkerut, tapi makin dipandang makin mirip se-akan2 saudara kembar dengan patung tjantik didalam gua itu.
A Tju dan A Pik mendjadi kuatir melihat Toan Ki memandangi Ong-hudjin itu dengan mata tanpa berkesip, kelakuannja benar2 sangat kurangadjar, tiada ubahnja seperti seorang pemuda jang mata kerandjang. Ber-ulang2
mereka memberi isjarat agar Toan Ki djangan menatap begitu rupa kepada Ong-hudjin itu, tapi sepasang mata Toan Ki itu se-akan2 sudah tak berkuasa dan terpaku pada wadjah Ong-hudjin.
Segera Ong-hudjin itu mendjadi gusar djuga, katanja kepada kaum hambanja: "Orang ini begini kurangadjar, sebentar sesudah potong kedua kakinja, harus korek pula kedua matanja dan iris lidahnja."
Salah seorang dajangnja jang berbadan lentjir dan berkulit badan hitam manis lantas mengiakan.
Diam2 Toan Ki gelisah djuga. Pikirnja: "Kalau aku akan dibunuh, paling2
djuga mati achirnja. Tapi kalau kedua kakiku dipotong lebih dulu, mataku dikorek dan lidahku diiris hingga mati tidak hidup tjelaka, wah, rasa derita ini tentulah berat."
Dan baru sekarang timbul rasa takutnja. Ia tjoba berpaling memandang A Tju dan A Pik, ia lihat wadjah dara itupun putjat pasi seperti majat dan berdiri terpaku bagai patung.
Setelah Ong-hudjin itu mendarat, menjusul dari dalam kapalnja berdjalan keluar pula dua dajang berbadju hidjau jang lain, tangan mereka memegangi udjung seutas tali sutera, dan menjeret keluar dua orang laki2.
Toan Ki melihat salah seorang laki2 jang terikat tali dan diseret keluar itu bermuka putih bersih dan tjakap seperti putera keluarga hartawan.
Seorang lagi segera dapat dikenalinja sebagai Tjin Goan-tjun jang bergelar "No-kang-ong" atau siradja pengamuk sungai itu.
Waktu mengerojok Bok Wan-djing dahulu, lagak Goan-tjun itu luar biasa garangnja. Tapi kini kedua tangannja terikat oleh tali sutera, kepala menunduk dengan lesu seperti orang sudah pasrah nasib.
Toan Ki mendjadi heran, orang ini selamanja tinggal di Hunlam, mengapa sekarang kena ditangkap kesini oleh Ong-hudjin.
Sementara itu terdengar Ong-hudjin sedang bertanja kepada Tjin Goan-tjun: ,,Sudah terang kau adalah orang Tayli, mengapa tidak mengaku?"
"Aku adalah orang Hunlam, tapi kampung halamanku tidak dibawah kekuasaan negeri Tayli", sahut Tjin Goan-tjun.
"Hm, berapa djauh djarak tempat tinggalmu dengan Tayli?" tanja Ong-hudjin pula.
"Lebih dari empatratus li djauhnja," sahut Goan-tjun.
"Belum ada limaratus li, engkau termasuk pula orang Tayli," kata Ong-hudjin "Harus dipendam hidup2 dibawah bunga Mantolo sebagai rabuk."
"Aku bersalah apa?" teriak Tjin Goan-tjun penasaran. "Silahkan engkau memberi pendjelasan, kalau tidak, matipun aku tidak rela".
"Hm," djengek Ong-hudjin. "Aku tidak peduli kau salah apa! Asal engkau orang Tayli atau orang she Toan, sekali kebentur ditanganku, tentu akan kupendam hidup2. Meski engkau bukan Orang Tayli, tapi adalah tetangga Tayli, bukankah sama djuga?"
Sungguh2 dongkol Toan Ki tak terkatakan, pikirnja: ,,Aha, kiranja akulah jang engkau maksudkan, mengapa mesti main sandiwara segala" Biarlah aku mengaku lebih dulu dan tidak perlu engkau menanja padaku." " Karena itu, segera ia berteriak keras2: "Ini dia orangnja, aku adalah orang Tayli dan she Toan pula. Kalau engkau mau kubur aku hidup2. silahkan lekas kerdjakan!"
"Dari tadi engkau sudah mengaku, katanja Toan Ki namamu," demikian djengek Ong-hudjin "Hm, orang she Toan dari Tayli tidak nanti boleh mati setjara begitu mudah".
Habis berkata, ia memberi tanda dan sidajang tadi lantas menjeret pergi Tjin Goan-tjun jang tak berdaja itu, entah karena Hiat-to tertutuk atau karena terluka dalam jang parah, jang terang sama sekali Tjin Goan-tjun tidak dapat membangkang sedikitpun. Ia tjuma dapat ber-teriak2 sadja:
,,Didunia ini masakah ada per-aturan begini" Orang Tayli ada ber-djuta2
djumlahnja, apakah engkau dapat membunuhnja habis?"
Akan tetapi ia sudah lantas diseret ketengah rimba pohon bunga itu, makin lama makin djauh dan semakin pelahan suaranja hingga achirnja tak kedengaran lagi.
Kemudian Ong-hudjin berpaling kearah tawanannja jang lain jang bermuka putih bersih itu, lalu tanjanja: .,Dan apa jang hendak kau katakan?"
Mendadak orang itu tekuk lutut dihadapan sinjonja dan ber-ulang2 memberi sembah, katanja: "Ajahku adalah pembesar dipemerintah pusat, beliau melulu mempunjai seorang putera seperti diriku ini, maka mohonlah Hudjin memberi ampun. Untuk mana, apa sadja permintaan Hudjin, pasti ajah akan memenuhinja."
"Hm, ajahmu adalah pembesar negeri, apa kau sangka aku tidak tahu?"
djengek Ong-hudjin dengan dingin. "Untuk mengampuni djiwamu tidaklah sukar, asal sesudah kau pulang, segera isterimu dirumah itu kau bunuh dan besoknja lantas menikah dengan nona Biau jang berhubungan gelap dengan engkau diluar kawin itu, tapi harus dengan upatjara resmi dan lengkap memakai emas kawin. Nah, dapat tidak engkau laksanakan sjarat ini?".
Keruan pemuda bangsawan itu serba susah, sahutnja dengan gemetar:
"Su.................. suruh aku membunuh isteri-kawin sendiri, itulah aku............ aku tidak tega. Menikah setjara resmi dengan nona Biau, orang-tuaku tentu............... tentu melarang pula Bukanlah aku............ aku.........".
"Seret pergi dia dan kubur hidup2", bentak Ong-hudjin segera. Dajang jang menuntun tali pengikat pemuda itu mengia sekali, lalu diseretnja pergi.
Dengan ketakutan pemuda itu berseru pula dengan gemetar "Ba............
baiklah, aku terima sjaratmu!"
"Nah, Siau Djui, kau giring dia kembali kekota Sohtjiu dan menjaksikan sendiri dia membunuh isterinja dan kemudian menikah dengan nona Biau, habis itu barulah kau boleh pulang," pesan Ong-hudjin kepada dajang jang menuntun pemuda itu. Siau Djui mengia lagi dan menarik pemuda bangsawan itu melangkah kedalam perahu jang tadi ditumpangi Toan Ki itu.
"Harap Hudjin menaruh belas-kasihan," demikian pemuda bangsawan itu memohon pula. "Isteriku toh tiada sakit hati apa-apa dengan engkau dan engkaupun tidak kenal nona Biau, buat apa engkau mesti membantunja dan memaksa aku membunuh isteriku sendiri untuk menikah lagi padanja"
Biasa............... biasanja aku pun tidak kenal engkau, apalagi djuga tidak berbuat salah apa2 kepadamu."
"Aku tidak peduli kau kenal aku atau tidak,'' sahut Ong-hudjin dengan gusar. "Djika engkau sudah punja isteri, mengapa mesti menggoda anak gadis orang lain lagi" Dan sekali engkau sudah berani main gila dengan gadis lain, engkau harus kawin padanja. Hal ini sekali sudah kuketahui pasti akan kuselesaikan seperti ini, apalagi perbuatanmu ini bukanlah jang pertama kalinja, apa jang masih kau sesalkan" Siau Djui, tjoba katakan, perbuatan keberapakah kedjahatannja ini?"
"Hamba telah menjelidiki di-kota2 Busik, Kahin dan tempat2 lain, semuanja terdjadi tudjuh kali perbuatannja jang tidak senonoh, belum lagi Siau Lan dan Siau Si jang mengusut kekota lain2," sahut sidajang itu.
Mendengar sudah begitu ketetapan hukuman jang biasa didjatuhkan oleh Ong-hudjin, pemuda itu tjuma dapat mengeluh sadja dan tidak berani membantah pula. Segera Siau Djui mendajung perahunja dan membawanja pergi.
Toan Ki mendjadi melongo kesima menjaksikan tindak-tanduk Ong-hudjin jang aneh dan tidak masuk diakal itu. Jang terpikir dalam benaknja waktu itu melulu "masakah ada peraturan begitu" atas keputusan sinjonja. Saking penasarannja sampai achirnja tanpa merasa iapun berseru: "Masakah ada peraturan begitu! Masakah ada peraturan begitu?"
"Hm, mengapa tidak ada?" djengek Ong-hudjin. "Didunia ini masih terlalu banjak peraturan jang begini?"
Sungguh ketjewa dan tjemas Toan Ki oleh tindakan Ong-hudjin itu. Tempo hari waktu dia melihat patung dewi tjantik didalam gua ditepi sungai wilajah Tayli itu, ia begitu kagum dan begitu kesemsem kepada patung jang tjantik itu. Wanita jang berada dihadapannja ini wadjahnja mirip benar dengan patung Dewi itu, sebaliknja tindak-tanduknja ternjata lebih mirip setan iblis jang tak kenal ampun.
Untuk sedjenak Toan Ki hanja menunduk dengan ter-mangu2 sadja. Kemudian dilihatnja empat dajang Ong-hudjin itu telah masuk lagi kedalam kapalnja untuk membawa keluar empat pot besar bunga jang indah. Melihat itu, seketika semangat Toan Ki terbangkit.
Kiranja empat pot bunga itu semuanja adalah bunga kamelia dan terdiri dari djenis2 jang terpilih.
Dalam hal kembang kamelia, diseluruh dunia ini tiada jang bisa melawan kamelia keluaran Tayli, lebih2 jang tertanam didalam Tin-lam-onghu.
Karena itu sedjak ketjil Toan Ki sudah biasa dengan bunga2 kamelia disekitarnja itu, diwaktu iseng iapun sering mendengarkan pertjakapan belasan orang tukang kebun bunga membitjarakan djenis2 bunga kamelia, dari itu tanpa beladjar iapun sangat paham akan pengetahuan bunga itu.
Tadi ia sudah djauh menjusur kebun Man-to-san-tjheng itu dan melihat tiada satu djenis bunga Mantolo jang tumbuh disitu jang ada harganja untuk dinikmati. Maka kesannja kepada perkampungan jang bernama "Man-tosan-tjheng" itu rada ketjewa, sebab dianggapnja nama tidak sesuai dengan kenjataannja.
Ia dengar Ong-hudjin sedang pesan kepada dajang2 jang membawakan pot bunga tadi: "Siau Teh. Keempat pot kamelia 'Moa gwe' (bulan purnama) itu tidak mudah mendapatkannja, maka kalian harus merawatnja baik2".
Sidajang jang dipanggil Siau Teh itu lantas mengia.
Toan Ki mendjadi tertawa geli oleh utjapan Ong-hudjin jang dianggapnja masih hidjau itu.
Namun Ong-hudjin tidak gubris padanja, kembali ia pesan si dajang:
,,Angin danau terlalu keras, bunga2 itupun sudah tersimpan beberapa hari didalam kapal dan tidak pernah terkena sinar matahari, maka lekas kalian menaruhnja ditempat terbuka, biar didjemur sebentar dan tambahi sedikit rabuk."
Kembali Siau Teh mengiakan.
Mendengar itu, Toan Ki bertambah geli hingga saking tak tahannja terus sadja ia ter-bahak2: "Hahahaha!''
Karena heran oleh suara tawa sipemuda jang agak aneh itu, dengan mendongkol Ong-hudjin lantas menegur: "Apa jang kau tertawakan?"
"Aku tertawa karena engkau tidak paham tentang kembang kamelia, tapi djusteru senang tanam bunga itu," sahut Toan Ki "Bunga sebagus itu kalau djatuh kedalam tanganmu, itu sama dengan membakar sangkar untuk memasak burung kenari, benar2 runjam.
Ong-hudjin mendjadi gusar, damperatnja: "Hm, aku tidak paham kamelia, apakah kau jang pintar?" " Tapi segera pikirannja tergerak, bukankah barusan pemuda itu mengaku she Toan dan berasal dari Tayli, djika begitu bukan mustahil memang pemuda itu paham tentang bunga kamelia. Walaupun begitu pikirannja, namun dimulut tetap ia tidak mau undjuk lemah: "Tempat ini bernama Man-to-san-tjheng (perkampungan bunga Mantolo atau kembang kamelia), di-mana2 penuh tumbuh bunga Mantolo dengan subur dan indah permai bukan?"
"Ja, barang kasaran sudah tentu dapat ditanam setjara kasar dan hidup kasar pula", sahut Toan Ki dengan tersenjum. "Tetapi bila keempat pot kamelia putih ini dapat engkau tanam hingga hidup subur, biarlah aku tidak mau she Toan lagi."
"Wah, tjelaka!" demikian pikir A Tju dan A Pik, bahaja sudah didepan mata, pemuda itu masih berani meng-olok2 Ong-hudjin tidak pandai tanam bunga, apa barangkali pemuda itu minta mati lebih tjepat"
Kiranja sifat Ong-hudjin itu sangat suka kepada bunga kamelia untuk mana ia tidak sajang membuang biaja jang besar untuk mengumpulkan djenis2 jang baik. Akan tetapi bila djenis pilihan itu sudah ditanam ke Man-to-san-tjheng, selalu bunga itu mati kering, paling lama djuga tjuma tahan setengah atau satu tahun sadja. Karena itulah Ong-hudjin sangat kesal oleh kegagalannja menanam bunga itu. Kini mendengar utjapan Toan Ki, bukannja dia marah, bahkan mendjadi girang malah. Segera ia melangkah madju dan menanja: "Menurut kau, keempat pot bunga kameliaku ini ada kesalahan apa" Tjara bagaimana untuk bisa menanamnja dengan baik?"
"Djika maksudmu hendak minta petundjuk padaku, seharusnja ada tata tjaranja orang minta petundjuk," demikian sahut Toan Ki. "Tapi kalau engkau ingin pakai kekerasan untuk memaksa aku mengaku, itulah djangan kau harap dan bila perlu boleh engkau tabas dulu kedua kakiku."
Ong-hudjin mendjadi gusar, serunja: "Untuk menabas kakinja apa susahnja"
Siau Si, kau tabas kaki kirinja dahulu."
Pelajan jang dipanggil Siau Si itu mengia dan segera melangkah madju dengan pedang terhunus.
"Djangan, Hudjin!" tjepat A Pik mentjegah. "Sifat orang ini sangat kepala batu. Pabila engkau melukainja, biarpun mati tentu ia takkan mengatakan lagi."
Memangnja maksud Ong-hudjin djuga tjuma untuk menggertak. Maka ia lantas memberi tanda suruh Siau Si urungkan maksudnja.
"Haha, paling baik kalau engkau memotong kedua kakiku untuk ditanam disamping keempat pot bunga, tentu akan merupakan rabuk paling subur dan kelak kamelia putih ini pasti akan mekar dengan indah dan sebesar njiru.
Wah, tentu akan sangat tjantik dan bagus, ia baguuuus sekali!" demikian Toan Ki meng-olok2.
"Tidak perlu kau membual," sahut Ong-hudjin dengan mendongkol. "Dimana letak kebaikan dan kedjelekan empat djenis bunga kameliaku ini, tjoba kau katakan lebih dulu. Bila uraianmu beralasan dan dapat diterima, mungkin aku akan dapat menerima engkau dengan hormat."
"Ong-hudjin," segera Toan Ki berkata, "engkau bilang keempat djenis kamelia ini bernama 'Moa-gwe', sebenarnja engkau telah salah besar. Satu diantaranja djusteru bernama 'Ang-tjeng-soh-kwe' (berdandan sederhana dengan pupur merah) dan satu djenis lagi bernama Tjoa-boa-bi-djin-bin'
(mentjakar luka muka orang tjantik)."
"Tjoa-boa-bi-djin-bin" Kenapa begitu aneh namanja" Djenis jang manakah?"
tanja Ong-hudjin dengan heran.
"Haha, engkau ingin minta petundjuk padaku, engkau harus pakai aturan sebagaimana mestinja," sahut Toan Ki dengan tertawa.
Ong-hudjin mendjadi kewalahan. Tapi demi mendengar diantara bunga jang dapat dikumpulkannja itu satu diantaranja terdapat nama jang aneh menarik, ia mendjadi sangat girang. Dengan tersenjum katanja kemudian:
"Baiklah! Nah, Siau Si, perintahkan kepada koki suruh menjiapkan perdjamuan di 'Hun-kim-lau' untuk menghormati Toan-siansing ini."
Siau Si mengia terus bertindak pergi.
Untuk sedjenak A Tju dan A Pik hanja saling pandang dengan melongo.
Sungguh mimpipun tak mereka pikirkan bahwa Toan Ki bisa lolos dari kematian, bahkan Ong-hudjin malah akan mendjamunja sebagai tamu terhormat.
Dalam pada itu Ong-hudjin telah memberi perintah pula kepada pelajan jang mendjindjing tiga buah kepala manusia itu agar ditanam ditepi kamelia merah didepan rumah 'Ang-he-lau', Segera pelajan itupun mengia dan pergi.
Habis itu, barulah Ong-hudjin berkata kepada Toan Ki: "Marilah silahkan datang kekediamanku, Toan-kongtju!"
"Untuk mana tentu akan mengganggu ketenteraman Hudjin, harap suka dimaafkan," sahut Toan Ki.
"Atas kundjungan Toan-kongtju jang serba pandai, sungguh Man-to-san-tjheng kami bertambah tjerlang-tjemerlang," kata Ong-hudjin pula.
Begitulah diantara njonja rumah dan tetamunja itu saling mengutjapkan kata2 merendah sambil berdjalan kedepan. Suasananja sama sekali sudah berubah, kalau tadi A Tju dan A Pik kebat-kebit menguatirkan keselamatan Toan Ki, adalah sekarang mereka mendjadi lega dan mengikut dari belakang.
Tapi mereka kenal watak Ong-hudjin jang susah diraba, sekarang sikapnja ramah-tamah, tapi sebentar lagi bisa berubah mendjadi gusar dan kasar.
Maka mereka tetap berkuatir bagi Toan Ki entah bagaimana djadinja nanti.
Sesudah menjusur rimba pohon bunga jang lebat, achirnja Ong-hudjin membawa Toan Ki sampai didepan sebuah gedung bertingkat jang ketjil mungil. Pada papan dibawah emper rumah itu Toan Ki melihat tertulis tiga huruf "Hun-kim-lau". Disekitar rumah itupun penuh tertanam pohon kembang kamelia. Tapi bunga sebanjak itu kalau dibandingkan kamelia jang terpelihara di Tayli, maka nilainja boleh dikata tidak berarti, paling2
djuga tjuma kelas tiga atau empat sadja. Dibandingkan gedung indah itu sesungguhnja tidak serasi.
Sebaliknja Ong-hudjin merasa sangat bangga, katanja: "Toan-kongtju, kamelia dinegerimu Tayli sangat banjak, tapi kalau dibandingkan dengan tanamanku ini mungkin masih djauh ketinggalan."
Toan Ki mengangguk, sahutnja: "Kamelia seperti ini memang tiada seorangpun jang menanam di Tayli kami."
"O, ja?" semakin Ong-hudjin baugga dan ber-seri2.
"Memang," Toan Ki menegas. "Seorang desa jang paling bodoh sekalipun di Tayli kami djuga tahu bila menanam bibit bunga jang djelek seperti ini akan merosotkan harga diri".
"Apa katamu?" seru Ong-hudjin tjepat dengan wadjah berubah. "Djadi kau maksudkan Teh-hoa jang kutanam ini semuanja bernilai rendah" Ah, engkau ini berkata ke............... keterlaluan".
"Djika engkau tidak pertjaja, terserahlah!" sahut Toan Ki. Ia tuding setangkai Teh-hoa atau kamelia jang berwarna pantjawarna didepan rumah itu dan berkata pula: "Ini, seperti djenis ini tentu kau pandang paling berharga bukan" Ehm, pagar kemala jang mengelilingi bunga itu memang benar2 barang berharga dan sangat indah."
Ia hanja mengagumi kebagusan pagar kemala jang mengelilingi bunga dan tidak memudji bunganja, hal ini sama seperti memudji keindahan badju seorang wanita, tapi tidak memudji akan ketjantikan orangnja. Keruan Ong-hudjin rada mendongkol, padahal kamelia pantjawarna itu djusteru dipandangnja sebagai djenis jang djarang terdapat, masakan sekarang ditjela oleh pemuda itu.
Tapi Toan Ki lantas menanja pula: "Numpang tanja Hudjin, bunga ini didaerah Kanglam sini disebut dengan nama apa?" "Kami tidak tahu apa namanja jang asli, maka kami lantas menjebutnja Ngo-sik-teh-hoa (kamelia pantjawarna)," sahut Ong-hudjin.
"Tapi di Tayli kami terkenal suatu namanja jang hebat, jalah 'Lho-te-siutjay' (Siutjay (sastrawan) jang masuk kotak),' kata Toan Ki.
"Huh, begitu djelek namanja, tentu sengadja engkau bikin2 sendiri,''
udjar Ong-hudjin "Bunga itu indah dan megah, dimana mirip seorang Lho-te-siutjay?"
"Silahkan Hudjin mentjoba hitung, warna bunga itu seluruhnja ada berapa banjak?" tanja Toan Ki.
"Sudah lama kuhitung, paling sedikit djuga ada belasan warna," sahut Ong-hudjin.
"Tepatnja ada 17 warna djumlahnja," kata Toan Ki. "Di Tayli kami ada sedjenis jang disebut Tjap-pek-haksu" (delapanbelas sardjana). Itulah djenis jang tiada bandingannja didunia ini. Satu pohon dapat mekar 18
tangkai bunga dan setiap tangkai warnanja ber-beda2, kalau merah ja merah mulus, bila ungu ja ungu seluruhnja, pasti tidak tertjampur warna lain sedikitpun. Bahkan ke-18 tangkai bunga itu bentuknja berbeda2 pula dan masing2 mempunjai keindahannja sendiri2. diwaktu mekar serentak mekar semua. kalau laju, seluruhnja laju. Apakah Hudjin pernah melihat djenis bunga itu."
Dengan terkesima Ong-hudjin mendengarkan tjerita Toan Ki itu, sungguh ia sangat ketarik. Maka sahutnja dengan menggeleng kepala: "Apa betul didunia ini ada Teh-hoa sebagus itu" Dengar sadja baru sekarang, apalagi melihatnja!"
"Djenis lain jang kwalitetnja dibawah Tjap-pek-haksu itu djuga masih ada seperti 'Pat-sian-kwe-hay" (delapan dewa menjeberang laut), djenis itu adalah delapan tangkai bunga dengan warna jang berlainan tumbuh disatu pohon; Tjhit-sian-li' (tudjuh bidadari djumlahnja 7 tangkai); 'Hong-tim-sam-hiap' (tiga pendekar pengembara) adalah tiga tangkai dan 'Dji Kiau'
(dua wanita aju didjaman Sam Kok) terdiri dari dua tangkai berwarna merah dan putih. Warna kamelia2 itu harus mulus dan murni, bila umpama diantara warna merah terdapat warna putih, maka itu adalah djenis jang rendah."
Ong-hudjin mengangguk dengan kesemsem, sungguh selama hidupnja belum pernah didengarnja bahwa diantara bunga kamelia terdapat djenis2 sebanjak dan sebagus itu.
Maka Toan Ki meneruskan: "Umpama kita bitjara tentang 'Hong-tim-sam-hiap' djenis ini lebih istimewa lagi, ada jang Tjiamik (tulen) dan ada jang Humik (djiplakan). Kalau barang Tjiamik, diantara ketiga tangkainja itu harus warna ungu jang paling besar, kemudian warna putih dan jang paling ketjil adalah warna merah. Bila umpama bunga merah lebih besar daripada bunga ungu dan bunga putih, maka itu adalah djenis jang rendah, nilainja mendjadi djauh berkurang."
Ong-hudjin benar2 terpesona oleh tjerita Toan Ki itu, katanja dengan gegetun: "Djenis jang rendahan sadja aku tidak pernah melihat, apalagi djenis jang Tjiamik."
Sampai disini, Ong-hudjin sudah pertjaja benar2 dan kagum kepada kepandaian Toan Ki jang paham tentang Teh-hoa atau bunga kamelia itu.
Terus sadja ia mengadjak pemuda itu keatas loteng dan tidak lama perdjamuanpun dimulai dengan matjam2 masakan jang enak dan mahal. Sedang A Tju dan A Pik ada kawan pelajan jang mengawani makan-minum diruangan lain.
Sekarang Ong-hudjin sudah sangat menghormat kepadaToan Ki,ia duduk mengiringi makan-minum didepan pemuda itu. Sesudah tiga tjawan arak dihabiskan, lalu Ong-hudjin menanja pula: "Tadi aku telah mendengarkan uraian Kongtju jang pandjang lebar tentang djenis2 Teh-hoa, aku mendjadi seperti orang bodoh jang mendadak mendjadi pintar. Tapi dari tukang bunga dikota Sohtjiu jang kubeli keempat pot kamelia itu, katanja bunga2 itu bernama 'Moa-gwe', sebaliknja Kongtju mengatakan satu diantaranja bernama
'Ang-tjeng-soh-kwe' dan jang lain bernama 'Tjoa-boa-bi-djin-bin', entah tjara bagaimana mem-beda2kan djenis bunga itu, dapatlah Kongtju memberi pendjelasan?"
"Mudah sekali membedakannja," sahut Toan Ki. "Diatas daun bunga putih jang terdapat bintik2 merah, itulah jang bernama 'Ang-tjeng-soh-kwe' dan daun bunga putih diatasnja terdapat garis2 merah jang ketjil, itu jang bernama 'Tjoa-boa-bi-djin-bin'. Sebaliknja kalau garis2 merahnja terlalu banjak dan kasar, namanja mendjadi 'Bi-djin-tjoa-boa-bin' (muka sitjantik babak-bonjok). Sebabnja, tjoba pikirkan, seorang wanita tjantik seharusnja lemah-lembut dan sopan-santun, djika kebetulan mukanja tertjakar luka sedikit, itulah tiada mendjadi soal. Tetapi kalau mukanja selalu bonjok main tjakar2an dengan orang, terang wanita tjantik itu suka berkelahi, lantas ketjantikan apa jang dapat dikagumi?"
Sebenarnja Ong-hudjin mendengarkan uraiannja itu dengan penuh perhatian, tapi mendadak ia lantas menarik muka dan membentak: "Kurangadjar! Kau berani menjindir aku?"
Toan Ki terkedjut, sahutnja gugup: "Mana Tjayhe berani, entah dimanakah Tjayhe menjinggung perasaan Hudjin?"
"Sebenarnja kau disuruh siapa kesini untuk sengadja omong jang tak keruan untuk menghina diriku?" damperat Ong-hudjin. ,,Siapa bilang seorang wanita akan tidak tjantik bila beladjar ilmu silat" Kalau lemah-lembut apanja jang baik?"
Toan Ki tertegun sedjenak, sahutnja kemudian: "Tapi apa jang Tjayhe katakan tadi tjuma berdasarkan kedjadian jang umum, diantara wanita jang mahir ilmu silat memangnja djuga banjak jang tjantik dan sopan-santun?"
Tak terduga utjapannja itu bagi pendengaran Ong-hudjin tetap menjinggung perasaan, tanjanja segera dengan gusar: "Dan engkau maksudkan aku tidak sopan-santun ja?"
"Sopan atau tidak Hudjin sendiri lebih tahu, Tjayhe mana berani sembarangan menarik kesimpulan," sahut Toan Ki tegas, achirnja ia mendjadi marah djuga hingga tidak sungkan2 lagi. ,,Tapi seperti memaksa orang membunuh isteri untuk menikah lagi, tindakan demikian betapapun tidak mungkin dilakukan oleh orang jang beradab."
Ong-hudjin tidak berkata lagi, ia tepuk tangannja pelahan, segera tiga pelajan berlari keatas loteng dan berdiri disitu menunggu perintah.
"Gusur orang ini kebawah, suruh dia pikul air dan menjirami bunga,"
pesan Ong-hudjin.
Ketiga pelajan itu serentak mengiakan.
"Toan Ki," kata Ong-hudjin pula. "Kau she Toan dan orang berasal Tayli pula, seharusnja sedjak tadi2 sudah mesti kubunuh. Tetapi bila engkau benar2 paham sifat kehidupan Teh-hoa, biarlah sementara ini djiwamu kuampuni dan hanja menghukum engkau harus menanam dan merawat Teh-hoa jang tumbuh dikebunku ini, lebih2 terhadap keempat kamelia putih jang baru kubeli ini, engkau harus merawatnja dengan baik2. Ingin kukatakan padamu. pabila satu diantara keempat pot kamelia putih ini mati sebagai hukumannja sebelah tanganmu akan kutabas, kalau mati dua kamelia, dua tanganmu ditabas semua, empat mati semuanja empat anggota badanmu djuga putus semua."
"Dan kalau keempat pohon bunga itu hidup semua?" tanja Toan Ki dengan tertawa.
"Kalau keempat pohon itu hidup semua, kau harus menanam dan merawat bunga jang lain, terutama djenis2 pilihan seperti Tjap-pek-haksu, Pat-sian-kwe-hay, Tjhit-sian-li, Dji Kiau dan lain2, setiap djenisnja harus engkau tanamkan beberapa pohon. Kalau tidak dapat kau laksanakan, kedua matamu akan kukorek keluar."
"Lebih tepat kalau engkau sekarang djuga membunuh aku sadja," sahut Toan Ki. "Aku tidak sudi terima hukuman sehari dipotong tangannja, lain hari ditabas kakinja, bahkan mata akan dikorek pula!"
"Dasar engkau sudah bosan hidup, ja" Dihadapanku engkau berani mengotjeh?" damperat Ong-hudjin. "Gusur pergi!"
Ketiga pelajan tadi mengia terus melangkah madju, jang dua memegangi lengan Toan Ki dan jang lain mendorongnja dari belakang terus diseret kebawah loteng. Ketiga pelajan itu mahir ilmu silat semua, Toan Ki mendjadi tak bisa berkutik, ia tjuma dapat mengeluh sadja didalam hati.
Sesudah menjeret Toan Ki kesuatu tempat didalam taman, segera salah seorang pelajan itu mengambilkan sebatang patjul dan pelajan jang lain menjodorkan sebuah ember kepadanja sambil berkata: "Turutlah perintah Hudjin dan tanamlah bunga dengan baik2, dengan demikian djiwamu mungkin masih ada harapan buat hidup terus. Engkau tergolong orang jang beruntung djuga, padahal tiada seorang laki2 jang dapat hidup keluar dari sini bila sudah mengindjak tanah Man-to-san-tjheng ini."
Selain menjiram dan merawat tanaman, djangan sekali2 engkau berkeliaran didalam taman ini," kata pelajan jang satunja. "Pabila engkau berani sembarangan mendatangi tempat terlarang, itu berarti engkau mentjari mampus sendiri dan tiada seorangpun jang dapat menolong engkau."
Begitulah pelajan2 itu memberi pesan dengan wanti2 kepada Toan Ki, habis itu barulah mereka tinggal pergi. Untuk sedjenak Toan Ki hanja berdiri mendjublek disitu dengan serba runjam rasanja.
Dinegeri Tayli kedudukan Toan Ki hanja dibawah paman-baginda, Po-ting-te, dan ajahnja, Tin-lam-ong. Kelak kalau sang ajah menggantikan paman naik tachta, itu berarti dengan sendirinja ia mendjadi putera mahkota.
Siapa tahu sampai didaerah Kanglam ia mesti mengalami nasib begitu djelek, mula2 hendak dibunuh orang, anggota badannja akan dipotong dan matanja akan dikorek, bahkan sekarang dipaksa orang untuk mendjadi tukang kebun.
Sjukurlah watak pembawaan Toan Ki memang peramah, waktu hidup didalam keraton djuga sikapnja sangat ramah-tamah terhadap kaum bawahan, sering pula ia bergaul dengan, tukang kebun dan ikut menanam bunga dan mematjul segala. Ketjuali itu sifatnja djuga periang dan dapat berpikir pandjang, tidak peduli mengalami kegagalan apa sadja, paling2 ia tjuma lesu setengah hari sadja untuk kemudian lantas gembira pula. Kini iapun tjoba menghibur diri sendiri: "Ketika didalam gua tempo hari aku sudah menjembah beratus kali kepada patung Dewi itu sebagai guru, sekarang Ong-hudjin ini wadjahnja serupa dengan entji Dewi itu, hanja usianja lebih landjut sedikit, biarlah aku tetap menganggapnja sebagai Suhuku. Dan kalau Suhu ada perintah, sudah sepantasnja anak murid mesti melaksanakannja Apalagi menanam bunga memangnja djuga pekerdjaan iseng kaum peladjar, djauh lebih baik daripada mesti main silat dan beradu sendjata. Lebih2 kalau dibandingkan daripada ditawan Tjiumoti dan akan dibakar hidup2 didepan kuburan Bujung-siansing, masih lebih enak mendjadi tukang kebun bunga. Tjuma sajang djenis bunga jang terdapat disini djenisnja terlalu djelek hingga rasanja tidak sesuai kalau mesti dirawat oleh seorang putera pangeran dari Tayli."
Dengan ber-njanji2 ketjil sambil memanggul patjul dan mendjindjing ember, kemudian Toan Ki berdjalan kedepan sembari berpikir: "Ong-hudjin suruh aku menanam hidup keempat pot kamelia jang baru dibelinja itu. Ehm, betapapun keempat djenis ini terhitung lumajan djuga, aku harus mentjari suatu tempat jang baik untuk menanamnja agar bunga dan tempatnja tjotjok satu sama lain."
Sambil berdjalan ia terus mengawasi kesekitarnja. Mendadak ia ter-bahak2
geli melihat pemandangan disitu, pikirnja dalam hati: "Dalam hal menanam Teh-hoa sebenarnja Ong-hudjin sama sekali tidak paham, tapi ia djusteru sangat suka menanam Teh-hoa disini dan menjebut kediamannja ini sebagai Man-to-san-tjheng apa segala. Njata ia tidak tahu bahwa Teh-hoa suka tempat jang lembab dan takut tjahaja matahari. Kalau ditanam ditempat terbuka, meski tidak mati oleh sinar matahari, tentu djuga susah mekar bunganja, ditambah lagi memberi rabuk se-banjak2nja, keruan bunga dari djenis paling bagus djuga akan mati oleh karenanja. Sajang, sungguh sajang!"
Segera ia pilih tempat jang rindang dan terus menudju kesana. Sesudah melintasi sebuah gunung2an ketjil, ia dengar suara gemertjiknja air sungai jang ketjil. Disisi kiri penuh pohon bambu jang rindang, sekitarnja sunji senjap.
Tempat itu lembab dan tidak tertjapai oleh sinar matahari, maka Ong-hudjin menjangka tidak tjotjok untuk ditanami Teh-hoa. Namun kini Toan Ki mendjadi girang, katanja sendiri: "Inilah dia tempatnja jang tjotjok sekali!" " Tjepat ia berlari ketempat tadi dan mengusung keempat pot bunga mendjadi dua kali kebawah pohon bambu jang rindang itu. Ia remuk pot2 bunga itu, lalu pohon bunga bersama tanah jang masih lengket diakar pohon itu ditanamnja keliang jang telah digalinja.
Meski Toan Ki selamanja tidak pernah bekerdja menanam bunga, tapi diwaktu ketjilnja sudah sering menjaksikan pekerdjaan tukang kebun, maka sekarang iapun menirukan tjaranja hingga tjukup memenuhi sjarat sebagai tukang kebun. Tiada setengah djam lamanja, keempat pot kamelia putih itu sudah selesai ditanamnja semua. Lalu ia berdiri mendjauh dan menikmatinja dari kanan dan kiri, dari sudutsana dan dari sudut sini. Sesudah merasa puas, barulah ia tepuk2 tangannja jang kotor itu dan pergi mentjutji tangan ketepi sungai.
Selesai tjutji tangan, ia kembali kedepan bunga2 jang ditanamnja itu untuk menikmati pula hasil karjanja itu.
Tengah Toan Ki merasa senang menjaksikan buah tangannja jang berhasil itu. Tiba2 terdengar suara tindakan orang, ada dua wanita sedang berdjalan mendatangi. Terdengar satu diantaranja sedang berkata: "Disini keadaan sangat sunji, tak mungkin didatangi orang lain lagi..............."
Mendengar suara itu, seketika hati Toan Ki ber-debar2. Kiranja itulah suaranja sinona berbadju putih jang tjuma dilihat halangan belakangnja siang tadi. Segera Toan Ki menahan napas, sedikitpun tidak berani bersuara. Pikirnja: "Dia telah menjatakan tidak mau menemui laki2 jang tiada sangkut-paut dengan dia, dan aku Toan Ki dengan sendirinja adalah seorang laki2 tiada sangkut-paut apa2 dengan dia. Tapi aku ingin mendengarkan beberapa patahkata utjapannja, asal dapat kudengar suaranja jang merdu bagai musik malaikat dewata itu, rasaku sudah seperti mendapat redjeki besar. Maka djangan sckali2 aku diketahui olehnja".
Dalam pada itu terdengar sinona itu sedang berkata pula: ,,Siau Si, kabar apa jang kau dengar tentang dia?"
Ketjut rasa hati Toan Ki seketika. Ia tahu si "dia" jang dimaksudkan nona itu tentulah Bujung-kongtju jang nama lengkapnja menurut utjapan Ong-hudjin adalah Bujung Hok. Suara sigadis tadi penuh nada rindu dan penuh perhatian. Diam2 Toan Ki memikir: "Pabila nona ini sedemikian perhatian dan rindunja kepadaku, biarpun aku Toan Ki harus mati seketika djuga rela rasanja."
Pikiran Toan Ki itu memang sungguh2, sedikitpun tidak bergurau. Tapi selamanja toh wadjah sinona badju putih belum pernah dilihatnja, entah tjantik entah djelek, namanja djuga, tidak diketahui, tentang tabiatnja badjik atau djahat, sifatnja halus atau kasar, sama sekali ia tidak tahu.
Namun sedjak ia mendengar beberapa patahkata utjapan sinona badju putih ditepi danau, aneh djuga, ia mendjadi djatuh tjinta padanja dan merasa matipun rela untuknja Sebab apa bisa begitu dan mengapa timbul perasaan demikian, ia sendiripun tidak dapat memberi pendjelasan. Dan oleh karena itulah, ketika didengarnja sedemikian perhatian sinona kepada Bujung-kongtju itu, tak tertahan lagi rasa tjemburu dan penjesalannja.
Sementara itu terdengar Siau Si ter-gagap2 seperti tidak berani mendjawab setjara terus terang. Maka sinona badju putih telah berkata pula: "Hajolah, katakanlah kepadaku! Pendek kata aku pasti takkan melupakan kebaikanmu."
"Hamba takut............ takut didamperat Hudjin," sahut Siau Si achirnja.
"Budak tolol," omel sinona, "asalkan aku tidak katakan kepada Hudjin bahwa engkau jang memberitahu kepadaku,kan beres" Pabila kau tidak mau berkata, sebentar aku akan tanja Siau Teh dan Siau Djui, dan kelak kalau ditanja Hudjin, tentu aku katakan engkau jang memberitahukan padaku."
"Siotjia, djang............ djangan engkau bikin susah padaku," seru Siau Si dengan gugup.
"Habis bagaimana?" udjar sinona. "Siapa jang mendjadi orang kepertjajaanku, tentu aku membelanja dan siapa jang tidak menurut keinginanku, apa salahnja aku bikin susah dia?"
Siau Si memikir sedjenak, achirnja ia berkata pula: "Baiklah, akan kutjeritakan kepadamu, tapi djangan sekali2 Siotjia mengatakan aku jang membotjorkan rahasia ini."
"Sudahlah. Siau Si, djangan engkau omong setjara ber-tele2 sadja, lekas katakan jang benar, aku tanggung takkan terdjadi apa2 atas dirimu," udjar sinona badju putih.
Siau Si menghela napas dulu, kemudian katanja: "Kabarnja Piausiauya telah pergi ke Siau-lim-si."
"Siau-lim-si" Kenapa A Tju dan A Pik mengatakan dia pergi ke Lokyang tempat orang Kay-pang?" sinona menegas.
Diam2 Toan Ki heran mengapa Bujung-kongtju disebut "Piausiauya" atau tuan muda misan. Pikirnja: ,,Djadi Bujung-kongtju itu adalah Piauko (kaka misan) sinona. Dengan sendirinja mereka adalah kawan memain sedjak ketjil, pantas mak..................maka ..............."
Dalam pada itu terdengar Siau Si sedang berkata pula: "Kepergian Hudjin kali ini, ditengah djalan telah ketemu Hong-siya dari Yan-tju-oh jang katanja sedang menudju ke Siau-lim-si di Kosan untuk memberi bantuan kepada Piausiauya".
"Untuk apa mereka pergi ke Siau-lim-si?" tanja sinona.
"Menurut Hong-siya, katanja Piausiauya telah mengirim berita padanja bahwa, kali ini ada banjak orang Kangouw dan djago dari berbagai golongan sedang menghadiri apa jang disebut Enghiong-tay-hwe di Siau-lim-si untuk merundingkan tjara bagaimana melawan Bujung-si dari Koh-soh. Karena buru2, sebelum sempat memberikan orang lain, Piausiauya lantas berangkat lebih dulu seorang diri. Kabarnja Yan-tju-oh sudah kirim orang lain lagi pergi memberi bantuan".
"Djika Hudjin sudah mendapat kabar itu, mengapa ia malah balik pulang dan tidak pergi membantu kesukaran Piausiauya," tanja sinona.
"Tentang ini hamba............ hamba tidak tahu." sahut Siau Si.
"Mungkin disebabkan Hudjin tidak suka kepada Piausiauya."
"Hm, suka atau tidak suka, betapapun adalah orang sendiri kata sinona dengan kurang senang. "Kalau Bujung-si dari Koh-soh terdjungkal diluaran, apakah keluarga Ong kita tidak ikut malu?"
,.Ja, Siotjia," sahut Siau Si.
"Ja apa?" bentak sigadis dengan gusar.
Siau Si mendjadi kaget, sahutnja gelagapan: ..Aku.........aku maksudkan kita tentu ikut merasa malu."
Lalu gadis itu berdjalan mondar-mandir dibawah pohon2 bambu itu seperti sedang memikirkan sesuatu akal. Tiba2 ia melihat pohon kamelia putih jang ditanam Toan Ki serta remukan pot bunga jang baru sadja dipetjahkan itu.
Ia bersuara heran, segera ia tanja kepada Siau Si: "Siapakah jang tanam Teh-hoa ini disini?"
Tanpa ajal lagi Toan Ki terus menjelinap keluar dari tempat sembunjinja, ia memberi hormat dan berkata: "Tjayhe diperintahkan oleh Hudjin agar menanam Teh-hoa disini dan bila hal mana mengganggu Siotjia harap dimaafkan."
Meski ia membungkuk memberi hormat, tapi matanja tetap menatap kedepan, sebab kuatir kalau sinona berkata "tidak sudi bertemu dengan laki2
asing", lalu putar tubuh dan tinggal pergi hingga kesempatan untuk melihat muka sidjelita ter-sia2 lagi.
Tak terduga olehnja, begitu sinar matanja kontak dengan sinar mata sinona, seketika telinganja serasa mendengung dan matanja se-akan2 gelap.
kakinja mendjadi lemas pula dan tanpa merasa tekuk lutut sendiri dihadapan sidjelita. bahkan kalau ia tidak bertahan sekuatnja, hampir2
iapun menjembah, namun begitu toh tertjetus djuga kata2 dari mulutnja:
"O, Entji Dewi, betapa...... betapa aku merindukan dikau selama ini!"
Ternjata sinona badju putih jang berada didepan matanja ini sama sekali mirip benar dengan patung Dewi jang telah dilihatnja didalam gua di daerah Tayli itu. Ong-hudjin jang telah dilihatnja itu sudah mirip patung tjantik itu, tjuma usianja jang berbeda. Tapi sidjelita badju putih ini, ketjuali dandanannja agak berbeda sedikit, namun baik raut muka, mata, hidung, bibir, telinga, kulit badan, perawakan, kaki dan tangan, semuanja mirip, semuanja persis hingga seperti patung Dewi itu telah hidup kembali. Sungguh Toan Ki merasa dirinja se-akan2 didalam mimpi. Entah sudah beratus kali atau beribu kali ia merindukan patung dewi itu, kini dengan mata kepala sendiri telah dilihatnja pula. bukan lagi patung, tapi duplikatnja dalam keadaan hidup, sungguh ia tidak tahu dirinja sebenarnja berada dimana, dialam baka atau disorga"
Ketika mendengar suara seruan Toan Ki tadi, ditambah lagi kelakuan pemuda itu jang aneh, sigadis berseru kaget djuga dan mengira sedang berhadapan dengan seorang gendeng, tjepat melangkah mundur dan menegur:
,,Engkau.........engkau........."
Namun Toan Ki sudah lantas menjela sambil berbangkit: "Tempo hari Toan Ki sudah diberi kesempatan menjembah dihadapan patung Entji Dewi, hal mana kuanggap sebagai sesuatu kurnia jang maha bahagia, tak terduga harini dengan mata kepala sendiri dapat melihat wadjah asli Entji Dewi, njata didunia ini memang benar2 terdapat bidadari dan bukanlah omong kosong belaka!
,,Apa......... apa jang dia maksudkan, Siau Si" Sia......Siapakah dia?"
tanja sidjelita kepada Siau Si.
"Dia adalah sipeladjar tolol jang dibawa kemari oleh A Tju dan A Pik itu," sahut Siau Si. "Katanja ia pandai menanam berbagai matjam Teh-hoa.
Hudjin mendjadi pertjaja kepada obrolannja dan suruh dia tanam bunga disini."
"Hai, sitolol, djadi pertjakapan kami tadi telah kau dengar semua, ja?"
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanja sigadis kepada Toan Ki.
"Tjayhe bernama Toan Ki, orang berasal dari negeri Tayli dan bukanlah sitolol," sahut Toan Ki dengan tertawa. "Pertjakapan Entji Dewi dengan entji Siau Si tadi memang telah kudengar dengan tidak sengadja. Tapi Entji Dewi boleh tidak usah kuatir, Tjayhe pasti takkan membotjorkannja barang sepatahpun dan tanggung entji Siau Si takkan didamperat oleh Hudjin. Tiba2 sigadis menarik muka, ia menjemprot: "Siapa sudi mengaku2
Entji segala dengan engkau" Kau tidak mau dikatakan sebagai peladjar tolol, bilakah engkau pernah melihat diriku?"
"Habis, kalau aku tidak memanggil engkau Entji Dewi, lalu memanggil apa?" sahut Toan Ki.
Pedang Ular Mas 2 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 17