Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 22

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 22


Kalian tidak boleh menentang perintah dan petunjuk mereka"
Kedua adiknya itupun mengangguk-angguk.
Demikianlah, sejenak kemudian Paksipun telah berpacu
meninggalkan rumahnya. Di hadapannya terbentang jalan
panjang menuju ke Hutan Jabung, sementara matahari telah
bersembunyi di balik bukit. Tetapi gelap malam tidak
menghambat perjalanan Paksi, sehingga anak muda itu
dengan selamat telah memasuki baraknya.
Kedua orang gurunya serta kawan-kawannya terkejut
melihat kedatangannya. Mereka mengira bahwa Paksi akan
bermalam di rumahnya. "Kau tidak jadi bermalam di rumah, Paksi?" bertanya Ki
Waskita. Sambil tersenyum Paksi menjawab, "Tidak, Guru. Sedang
ada tamu di rumahku"
"Berapa orang tamu yang datang ke rumahmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seorang, Guru"
"Hanya seorang" Bukankah rumahmu cukup besar untuk
menampung sepuluh orang tamu sekalipun?"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
bergumam seolah-olah kepada dirinya sendiri, "Tetapi yang
seorang ini adalah tamu yang khusus"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat
iapun kemudian menceriterakan apa yang terjadi di rumahnya
kepada kedua orang gurunya.
Ki Panengah dan Ki Waskita mendengarkan ceritera Paksi
dengan bersungguh-sungguh. Ternyata ceritera Paksi itu
sangat menarik perhatian keduanya. Demikian Paksi selesai
berceritera, Ki Panengahpun bertanya, "Apakah sebelumnya
kau pernah melihat Ki Semburwangi itu datang ke rumahmu
dan bertemu dengan ayahmu?"
"Belum, Guru" jawab Paksi.
"Nama yang bagus, Semburwangi" desis Ki Waskita.
"Sayang, hanya namanya saja yang bagus" sahut Ki
Panengah. "Ki Panengah tidak usah ikut-ikutan mencari nama yang
bagus seperti nama itu" berkata Ki Waskita kemudian.
Ki Panengah tertawa. Paksipun tersenyum pula. Sementara
itu Ki Panengah berdesis, "Kenapa Ki Waskita pernah
memperkenalkan diri dengan nama Marta Brewok?"
Ki Waskitapun tertawa pula. Namun iapun menjawab,
"Bukankah ada bedanya penampilan Marta Brewok dan
Waskita?" Paksipun akhirnya tertawa pula.
Namun Paksipun kemudian berkata, "Tetapi Ki
Semburwangi bukan orang pertama di padepokannya, Guru"
"Jadi siapakah pemimpin padepokan itu?"
"Ki Ajar Wisesa Tunggal" jawab Paksi.
Ki Panengah dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak.
Dengan nada dalam, Ki Waskitapun kemudian berkata, "Jadi Ki
Semburwangi itu salah seorang pembantu orang yang
menyebut dirinya Ki Ajar Wisesa Tunggal?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, Guru. Apakah Guru mengenal Ki Ajar Wisesa
Tunggal?" "Ya. Aku pernah mendengarnya. Seorang yang berilmu
tinggi yang telah memisahkan diri dari perguruan serta
mengingkari tatanan kehidupan yang berlaku"
"Maksud Guru?" "Ia merasa dirinya bukan bagian dari pergaulan sesamanya
dengan segala macam tatanan, paugeran dan ikatan-ikatan
yang dirasanya sangat membelenggunya. Ia ingin memiliki
kebebasan sebagai seorang yang memiliki akal budi. Karena
itu, dilakukannya apa yang ingin dilakukan tanpa
menghiraukan sikap dan pendapat banyak orang. Dengan
demikian tingkah lakunya kadang-kadang nampak aneh dan
tidak dapat dimengerti"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Panengahpun bertanya, "Paksi, kenapa ayahmu berhubungan
dengan Ki Ajar Wisesa Tunggal?"
Paksi menggeleng sambil menjawab, "Aku tidak mengerti,
Guru. Ketika aku pulang tadi, Ki Semburwangi telah berada di
rumahku. Namun nampaknya ayah juga tidak begitu akrab
dengan orang itu" "Jadi malam ini Ki Semburwangi bermalam di rumahmu?"
"Ya, Guru. Ia dalam keadaan lemah"
"Kau nampaknya bersungguh-sungguh"
"Aku hanya ingin memaksanya mengakui kekalahannya.
Jika tidak demikian, maka ia tidak mau melihat kenyataan itu,
sehingga pada kesempatan lain, ia akan mengulanginya atau
melakukannya dengan cara lain"
Ki Panengah dan Ki Waskita tersenyum. Namun Ki
Panengahpun kemudian berkata, "Mungkin Semburwangi
benar-benar telah menjadi jera. Jika ia bertemu denganmu,
maka ia akan menyimpang. Tetapi kau harus berhati-hati jika
pada suatu saat kau bertemu dengan Ki Ajar Wisesa Tunggal,
ia seorang yang berilmu tinggi dan tidak terikat oleh tatanan
apapun juga" Paksipun mengangguk sambil berdesis, "Ya, Guru"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Ajar Wisesa Tunggal dapat tersinggung oleh kekalahan
kepercayaannya itu" Paksipun mengangguk pula, "Ya, Guru"
"Sudahlah. Kau tidak usah terlalu memikirkannya.
Sementara ini kau harus berlatih semakin keras. Kau sudah
berada di batas tertinggi dari penguasaan ilmu yang dapat
kami wariskan. Kau tinggal mengembangkannya dan
menyesuaikan dengan dunia yang akan kau hadapi"
"Ya, Guru" "Sudahlah. Beristirahatlah" desis Ki Panengah.
Ketika Paksi kemudian berpaling kepada Ki Waskita, maka
Ki Waskitapun mengangguk sambil berkata, "Ya. Kau tentu
letih" Paksipun kemudian meninggalkan gurunya. Setelah pergi
ke pakiwan, maka Paksipun segera berada di dalam baraknya
bersama-sama dengan kawan-kawannya. Pangeran Benawa
dan Raden Sutawijayapun berada pula di antara mereka.
"Siapa lagi orang yang akan meramaikan permainan kita ini
sehingga akan menjadi semakin meriah" desis Pangeran
Benawa. "Ki Ajar Wisesa Tunggal adalah orang yang aneh menurut
Ki Panengah dan Ki Waskita" berkata Paksi kemudian.
"Apa yang aneh?"
"Orang itu merasa tidak terikat segala macam tatanan dan
paugeran pergaulan" Tiba-tiba saja Pangeran Benawapun menyahut dengan
serta-merta, "Bagus"
"Apa yang bagus?" bertanya Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawa tiba-tiba tertawa sendiri. Agaknya ada
yang lucu yang ingin dikatakannya. Tetapi sebelum
diucapkannya, Pangeran Benawa itu sudah lebih dahulu
tertawa. "Apa yang bagus?" Raden Sutawijaya mengulang.
Pangeran Benawa menahan tertawanya. Katanya patah-
patah, "Kita hadapi orang itu dengan cara yang sama"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang kita hadapi" Apakah kita akan berkelahi dengan
orang itu?" Pangeran Benawa masih menahan tertawanya. Katanya,
"Kita berlaku sebagaimana dilakukannya di padepokan Ki Ajar
Wisesa Tunggal. Kita berbuat sesuka hati kita tanpa
menghiraukan tatanan dan unggah-ungguh. Jika Ki Ajar itu
berkeberatan, kita berkelahi. Bukankah begitu?"
"Kau masih saja seperti seorang cantrik yang turun
gunung" Pangeran Benawa masih saja tertawa. Katanya, "Sudah
lama aku ingin bertemu dengan orang yang tidak lagi
mengenal tatanan. Sebenarnyalah aku ingin melakukannya.
Tetapi tidak di tengah-tengah orang yang masih menghargai
tatanan itu" "Ada-ada saja kau, Dimas"
Tetapi para cantrik yang lainpun tertawa pula. Bahkan
seorang di antara mereka berkata, "Apakah kita akan
mencoba?" "Guru tentu tidak akan mengijinkan" sahut Raden
Sutawijaya. "Kecuali jika mereka mendahului"
Pangeran Benawa tidak menyahut lagi. Tetapi iapun segera
membaringkan dirinya di amben bambu yang berjajar di dalam
barak itu. Amben bambu yang sama seperti yang dipakai oleh
para cantrik yang lain. Sementara itu, di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki
Semburwangi duduk di serambi samping bersama Ki
Tumenggung. Beberapa kali Ki Semburwangi masih berdesah
karena dadanya terasa nyeri. Tulang punggungnya bagaikan
telah retak. "Yang akan menyesal bukan hanya anakmu, Ki
Tumenggung" berkata Ki Semburwangi. "Seluruh
perguruannya akan menyesal"
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Ki Tumenggung.
"Jika Ki Ajar Wisesa Tunggal berniat untuk datang ke
padepokan Ki Panengah, maka habislah padepokan itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Semburwangi, padepokan itu mempunyai pelindung
yang kuat. Para pekerja yang setiap hari membantu
membangun padepokan itu adalah prajurit-prajurit Pajang.
Ketika padepokan itu diserang oleh beberapa perguruan yang
termasuk dalam kelompok hitam, kekuatan di padepokan itu
bersama para prajurit berhasil menghalau, bahkan
menghancurkan pasukan gabungan yang menyerang itu"
"Kau tidak dapat menakut-nakuti aku"
"Aku tidak menakut-nakuti Ki Semburwangi. Bahkan
kemudian pasukan Harya Wisakapun telah dihancurkan pula.
Sedangkan Harya Wisaka sendiri telah tertangkap"
"Kami tidak sebodoh mereka, Ki Tumenggung. Kelakuan
anakmu itu tidak dapat dimaafkan. Aku menyesal bahwa aku
tidak bersungguh-sungguh. Ketika aku sadari kekalahanku,
aku sudah terlambat"
"Aku mohon maaf, Ki Semburwangi"
"Kau minta aku melupakan penghinaan ini?"
"Tidak. Bukan itu. Segala sesuatunya terserah kepada Ki
Semburwangi. Aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat
mencegahnya" Ki Semburwangi mengerutkan dahinya. Katanya, "Aku tentu
akan membuat perhitungan. Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak
akan membiarkan nama perguruannya dicemarkan"
Ki Tumenggung justru berkata, "Segala sesuatunya
terserah kepada Ki Semburwangi dan Ki Ajar Wisesa Tunggal.
Aku tidak akan melindungi anakku, karena ia telah melakukan
kesalahan" "Bukan hanya anakmu. Tetapi perguruannya akan
dihancurkan" "Aku tidak akan turut campur"
"Juga jika anakmu mati?"
"Kita sudah pernah berbicara tentang anak itu"
Ki Semburwangi menarik nafas dalam-dalam. "Jika aku
bertemu anak itu sekali lagi, aku tidak akan mengekang diri.
Aku akan menyelesaikannya tanpa ampun lagi"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
tidak menyahut lagi. Malam itu, Ki Semburwangi bermalam di rumah Ki
Tumenggung. Di keesokan harinya, Ki Semburwangi akan
kembali ke padepokannya dengan membawa dendam di
dalam hati. Sementara itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak pernah
berusaha untuk melindungi Paksi dari kemungkinan
pembalasan dendam bukan saja oleh Ki Semburwangi, tetapi
oleh seluruh padepokannya di bawah pimpinan Ki Ajar Wisesa
Tunggal. Ketika di keesokan harinya Ki Semburwangi meninggalkan
rumah Ki Tumenggung, maka para cantrik di perguruan yang
dipimpin oleh Ki Panengah sudah berada di sanggar. Mereka
sempat berlatih beberapa lama sebelum mereka beristirahat
dan menggabungkan diri dengan para prajurit yang bekerja
membangun padepokan bagi perguruan Ki Panengah itu.
Nampaknya pembangunan itu menjadi lebih cepat dari yang
direncanakan. Ki Kriyadama benar-benar telah bekerja keras
agar padepokan itu segera dapat terwujud.
Sementara itu, sebagian prajurit telah membangun
pelataran yang cukup luas di sekitar padepokan itu. Yang lain
menggelar sawah di pinggir hutan dan mengatur saluran air.
Dengan membuat parit yang disalurkan ke sungai, maka rawa-
rawa di hutan itupun mulai mengering. Dengan demikian,
padepokan serta bagian-bagian yang mendukungnya
bersama-sama telah dikerjakan dengan bantuan para prajurit.
Namun dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita yang
mengikuti hubungan yang kurang serasi antara Paksi dengan
ayahnya sempat berpesan kepada Paksi, agar ia tetap berhati-
hati. "Kekalahan Ki Semburwangi tidak akan berhenti sampai
sekian. Sedangkan kita tidak tahu pasti, bagaimana sikap
ayahmu terhadap peristiwa itu" berkata Ki Waskita.
"Ayah menyalahkan aku" sahut Paksi.
"Jika demikian, kau harus berhati-hati"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia
menyahut, "Ya, Guru"
Sebenarnyalah hari-hari yang kemudian berjalan, dilewati
dengan tidak meninggalkan kewaspadaan oleh Paksi. Tetapi ia
tidak merasa cemas sama sekali. Apalagi ia yakin, bahwa
keluarga dari padepokan itu tidak akan membiarkannya
dihantui oleh dendam yang menyala di hati Ki Semburwangi.
Namun Paksi terkejut ketika pada beberapa hari kemudian,
seorang telah datang ke padepokannya untuk menemuinya.
"Kau siapa?" bertanya Paksi.
"Satu sikap yang sombong. Apakah kau tidak dapat berlaku
lebih baik dengan unggah-ungguh yang lengkap"
"Maaf, Ki Sanak. Inilah aku. Senang atau tidak senang, aku


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dapat berbuat lain dari sikapku ini. Kecuali jika aku
berpura-pura" Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya kemudian, "Baik.
Aku terima perlakuan ini"
"Apakah kau mempunyai keperluan dengan aku?" bertanya
Paksi. "Jika tidak, aku tidak akan menemuimu disini" jawab orang
itu. Paksi memandang wajah orang itu dengan tajamnya.
Tetapi orang itu hanya tersenyum-senyum saja.
"Katakan, apakah kepentinganmu datang menemuiku
disini" berkata Paksi kemudian.
Orang itu justru tertawa.
Paksi menyadari, bahwa orang itu tentu mempunyai niat
yang tidak sewajarnya. Sikapnya semakin menjengkelkan.
Tetapi Paksi harus mengekang diri.
"Paksi" berkata orang itu, "kau sudah membuat satu
kesalahan yang sangat besar. Kau telah menyakiti hati Ki
Semburwangi, salah seorang utusan Ki Ajar Wisesa Tunggal"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka
ia sudah mendapat jawaban dari teka-teki tentang orang yang
datang itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jadi kau salah seorang pengikut Ki Ajar Wisesa Tunggal
sebagaimana Ki Semburwangi?"
"Ya" "Kau akan menyampaikan pesan Ki Ajar itu?"
"Dengar anak muda" berkata orang itu, "kau harus
menebus kesalahanmu itu dengan mempertaruhkan
perguruanmu" "Persoalanku dengan Ki Semburwangi tidak ada
hubungannya dengan perguruanku"
"Kami tidak peduli. Apalagi kau beberapa kali menyebut,
bahwa kau adalah murid Ki Panengah dan Ki Waskita. Nah,
sekarang pertemukan aku dengan Ki Panengah dan Ki
Waskita" "Untuk apa?" "Biarlah mereka meratapi perguruan mereka yang baru
akan bangkit ini. Tetapi perguruan ini akan hancur sebelum
sempat menghuni padepokan yang dibuat dengan banyak
tenaga dan biaya ini"
"Apa maksudmu?"
"Biarlah aku berbicara dengan gurumu"
"Siapa namamu?"
"Aku akan berbicara dengan gurumu"
"Jika kau tidak mau menyebut namamu, aku tidak akan
mempertemukan kau dengan kedua orang guruku"
"Kau memang anak setan, Paksi"
"Sebut namamu" Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Panggil aku Ki Surakanda. Salah seorang
kepercayaan Ki Ajar Wisesa Tunggal"
"Jadi kedudukanmu selapis dengan Ki Semburwangi?"
"Pertanyaanmu sangat tidak pantas. Tetapi baiklah aku
beritahukan kepadamu, bahwa Semburwangi adalah adik
seperguruanku" "Kalian murid Ki Ajar Wisesa Tunggal?"
"Sekarang katakan kepada gurumu, bahwa aku akan
berbicara dengan gurumu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menjadi sangat
ingin tahu, apa yang akan dikatakan oleh orang yang
menyebut dirinya Ki Surakanda itu. Karena itu, maka katanya,
"Tunggulah disini. Aku akan memanggil guru"
Sejenak kemudian, Paksipun telah menemui kedua orang
gurunya dan menceriterakan maksud kedatangan orang yang
bernama Ki Surakanda itu.
"Jadi dugaan kita benar" berkata Ki Panengah.
"Marilah, kita temui orang itu" desis Ki Waskita kemudian.
Paksipun kemudian bersama Ki Panengah dan Ki Waskita
menemui Ki Surakanda, pengikut Ki Ajar Wisesa Tunggal.
"Selamat datang di padepokan kami yang belum jadi ini, Ki
Surakanda" berkata Ki Panengah demikian ia duduk menemui
orang yang agaknya diutus oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal itu.
"Padepokanmu akan menjadi padepokan yang besar, Ki
Sanak" sahut Ki Surakanda.
"Mudah-mudahan isinya kelak tidak mengecewakan"
Ki Surakanda mengangguk-angguk. Katanya, "Sayang,
kalian mulai dengan langkah yang salah"
"Apa yang salah?" bertanya Ki Panengah.
Ki Surakanda itupun memandang Ki Panengah dan Ki
Waskita berganti-ganti. Dengan agak ragu iapun berkata,
"Apakah aku berhadapan dengan Ki Panengah dan Ki
Waskita?" "Ya" "Terima kasih atas kesediaan kalian menerima
kedatanganku. Aku tahu pasti bahwa yang berewok itu adalah
Ki Waskita" Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Aku hanya malas
memotongnya, Ki Sanak"
"Baiklah" Ki Surakanda itu mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Kedatanganku kemari bukan atas kehendakku
sendiri, Ki Sanak. Aku datang atas perintah pimpinan kami,
mahaguru di perguruan kami, Ki Ajar Wisesa Tunggal"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Panengah dan Ki Waskita mengangguk-angguk.
Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Seperti yang aku
katakan tadi, kalian mulai dengan langkah yang salah"
"Apa yang salah, Ki Surakanda?" bertanya Ki Panengah.
"Salah seorang muridmu yang bernama Paksi telah berbuat
licik terhadap adik seperguruanku, Semburwangi"
"Apa yang aku lakukan?" potong Paksi.
"Apakah kau tidak berceritera kepada gurumu tentang apa
yang kau lakukan terhadap Ki Semburwangi?"
"Aku telah menceriterakannya. Tetapi tidak ada yang licik
sama sekali" "Kau tentu telah menyembunyikannya. Kau tidak akan
berani mengatakan kepada gurumu. Mungkin kau takut bahwa
gurumu akan marah kepadamu. Tetapi jika gurumu tidak
berdiri tegak di atas paugeran perguruan sehingga ia tidak
akan marah kepadamu, kau tentu juga merasa malu"
Telinga Paksi menjadi panas. Tetapi dengan sareh, Ki
Panengah bertanya, "Ki Surakanda, apakah yang lelah
dilakukan oleh muridku?"
"Anak itu menangis-nangis untuk berguru kepada Ki Ajar
Wisesa Tunggal. Karena Ki Ajar merasa belas kasihan
kepadanya, maka diperintahkannya Ki Semburwangi untuk
menjajagi kemampuan dasar anak muda itu. Tetapi Ki
Semburwangi sama sekali tidak tahu, bahwa ada niat buruk
terkandung di dalam hati muridmu itu. Ketika Ki Semburwangi
dan Paksi berada di sanggar, disaksikan oleh Ki Tumenggung
Sarpa Biwada, maka Paksi dengan serta-merta tanpa
peringatan lebih dahulu, langsung menyerang Ki Semburwangi
yang tidak menyangka bahwa hal seperti itu akan terjadi"
Ki Panengah dan Ki Waskita mendengarkannya sambil
mengangguk-angguk. Sementara Paksi justru tidak
memotongnya. Ceritera Ki Surakanda itu demikian berlebihan.
Ki Panengah dan Ki Waskita tidak akan mempercayainya.
Sementara itu Ki Surakandapun berkata lebih lanjut,
"Perbuatan Paksi yang licik itu telah membuat Ki Semburwangi
terluka di bagian dalam tubuhnya, karena Ki Semburwangi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak mau menghadapi anak itu dengan bersungguh-sungguh.
Jika saja Ki Semburwangi tidak mengendalikan dirinya, maka
Paksi tentu sudah mati. Tetapi Ki Semburwangi masih juga
menghormati Ki Tumenggung Sarpa Biwada"
Ki Panengahpun mengangguk hormat sambil menjawab,
"Kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Ki
Semburwangi sehingga muridku dapat kembali ke perguruan
ini dengan selamat" "Semula kami mengira bahwa Paksi benar-benar ingin
meninggalkan perguruan ini dan mencari perguruan lain yang
lebih baik dan berbobot. Tetapi yang terjadi adalah perbuatan
licik yang jahat itu. Ki Panengah dan Ki Waskita, apakah kalian memang memerintahkan Paksi untuk menjajagi tataran ilmu
dari perguruan kami?"
"Tidak, Ki Surakanda, sama sekali tidak"
"Jadi apa maksud Paksi sebenarnya dengan permainan
kotornya itu?" "Sudahlah, Ki Surakanda" sahut Ki Waskita, "sebaiknya kita
berkata berterus-terang saja. Apakah maksud kedatangan Ki
Surakanda. Ki Surakanda tidak perlu mengarang ceritera yang
begitu panjang untuk menjelek-jelekkan Paksi di hadapan
kami, karena kami lebih percaya kepada Paksi daripada
kepadamu" "Kesalahan yang biasa dilakukan oleh seseorang guru"
berkata Ki Surakanda. "Apalagi guru-guru yang memanjakan
murid-muridnya. Mereka tidak mau melihat kenyataan. Tetapi
mereka langsung mempercayai apa yang dikatakan oleh
muridnya. Meskipun muridnya itu mengada-ada dan bahkan
berbohong" Ki Panengah mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian
menjawab, "Kesalahan yang sama telah dilakukan pula oleh Ki
Ajar Wisesa Tunggal. Ia langsung mempercayai Ki
Semburwangi, kepercayaannya, meskipun Ki Semburwangi itu
berbohong" Wajah Ki Surakanda menegang. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Jadi kau menuduh Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melihat kenyataan yang terjadi di sanggar Ki Tumenggung
Sarpa Biwada?" "Ya" jawab Ki Panengah.
"Kau telah berani menghina mahaguru di perguruan kami.
Ki Panengah, tanpa ada yang memberikan laporan, Ki Ajar
Wisesa Tunggal dapat melihat tanpa dibatasi oleh ruang.
Bahkan Ki Wisesa Tunggal dapat melihat menembus batasan
waktu. Ki Ajar tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, jangan
mencoba menghinanya"
Tetapi Ki Waskita menyahut, "Ki Surakanda. Mungkin Ki
Ajar dapat melihat menembus jarak dan batasan ruang. Tetapi
Paksi adalah orang yang mengalami. Ia berada di ruang dan
waktu kejadian. Betapapun tajamnya penglihatan Ki Ajar
Wisesa Tunggal, namun yang mengalami dalam waktu dan
ruang itu tentu lebih pasti terhadap peristiwa yang terjadi itu"
"Tetapi Paksi telah berbohong. Yang dialaminya tidak
seperti yang dikatakannya"
"Bukan Paksi yang berbohong. Tetapi Ki Ajar Wisesa
Tunggal. Yang dikatakannya tidak seperti yang dilihatnya
dengan ketajaman mata batinnya" namun kemudian Ki
Panengah telah meneruskannya, "Itu jika kita percaya bahwa
Ki Ajar dapat melihat menembus batasan ruang dan waktu"
"Cukup" bentak Ki Surakanda. "Kalian benar-benar telah
merendahkan derajat mahaguru kami. Kalian akan
menyesalinya sepanjang hidup kalian"
"Bukan maksud kami, Ki Surakanda. Tetapi biarlah kami
berbicara sewajarnya saja"
"Aku berbicara wajar"
"Sukurlah. Tetapi apa maksud kedatanganmu selain untuk
memamerkan kelebihan Ki Ajar Wisesa Tunggal?"
Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian iapun
berkata, "Baik. Dengarkan Ki Panengah dan Ki Waskita. Aku
datang untuk minta agar Paksi diserahkan kepadaku. Aku akan
membawanya menghadap Ki Ajar Wisesa Tunggal. Paksi harus
mempertanggung-jawabkan perbuatannya terhadap Ki
Semburwangi" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Ki Panengah dan Ki Waskita justru tertawa. Dengan
nada tinggi Ki Panengah itupun berkata, "Kenapa Ki
Semburwangi menjadi cengeng dan tumbak cucukan. Seperti
kanak-kanak yang kalah berkelahi dengan kawannya ia
langsung menangis dan melaporkan kepada ayahnya.
Kemudian ayahnyalah yang menantang kanak-kanak
kawannya bermain itu untuk berkelahi"
"Cukup. Cukup" Ki Surakanda berteriak. "Kenapa kalian
menjadi demikian sombongnya sehingga kalian berani
menghina perguruan kami?"
"Kami tidak bermaksud menghina, Ki Surakanda. Tetapi itu
tidak wajar sama sekali. Kau tentu sudah mengetahui jawaban
kami. Kami tidak akan menyerahkan Paksi"
"Jadi kalian akan mengorbankan perguruan serta
padepokan yang masih sedang dipersiapkan ini hanya untuk
seorang murid yang keras kepala?"
"Kenapa kau berkata begitu, Ki Surakanda?"
"Jika kalian tidak menyerahkan Paksi, maka kami akan
datang ke padepokan ini"
"Baiklah, kami berterus-terang sebelum kalian menyesal.
Jangan mencoba mengganggu padepokan ini. Jika kalian
memaksanya, kalian akan hancur sendiri"
"Kau jangan mengandalkan prajurit yang sedang bekerja
membantu membangun padepokanmu. Tetapi kau harus
berlandaskan pada kekuatan dan kemampuan padepokanmu
sendiri" "Itu tidak adil, Ki Surakanda. Kami tidak tahu berapa
banyak murid di perguruanmu" Jika muridmu jauh lebih
banyak dari jumlah murid di perguruan ini, maka pertempuran
akan menjadi tidak seimbang"
"Jika kalian merasa bahwa perguruan kalian hanya
perguruan kecil dan tidak mungkin melawan perguruan kami,
serahkan Paksi" "Tidak" jawab Ki Panengah tegas. "Jika kalian memang
berniat untuk menyelesaikan persoalannya, marilah kita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berbuat adil. Biarlah Paksi dan Ki Semburwangi menyelesaikan
persoalan mereka" "Persoalannya sudah diangkat menjadi persoalan antar
perguruan" "Baik. Jika itu yang kau kehendaki" jawab Ki Panengah.
"Jika kalian mau datang, datanglah"
"Kau libatkan para prajurit itu?"
"Sebagian dari mereka adalah murid-muridku"
"Bohong, licik, pengecut"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa bedanya" Mereka berguru kepadaku selama mereka
membangun padepokan ini"
"Tidak. Mereka tidak pernah berguru kepadamu"
Ki Panengah tertawa. Katanya, "Terserahlah kepadamu.
Tetapi aku akan memanggil mereka untuk mempertahankan
perguruan mereka" Ki Surakanda itupun termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan menempuh jalan yang
paling adil" "Katakan, Ki Surakanda" sahut Ki Panengah.
"Kita akan menentukan, padepokan manakah yang lebih
baik di antara padepokan kita. Kita akan menampilkan lima
orang terbaik dari padepokan kita masing masing"
"Perang tanding?"
"Tidak. Sekedar untuk meyakinkan kita, padepokan
siapakah yang terbaik di antara kita"
Ki Panengah menarik nafas panjang. Katanya, "Apakah
kami yang tua-tua ini harus tampil di gelanggang permainan
seperti itu?" "Jika kalian memang tidak memiliki keyakinan untuk dapat
mengimbangi perguruan kami, katakanlah. Kami tidak akan
memaksakan cara ini. Tetapi serahkan Paksi kepada kami"
"Baiklah" Ki Panengah mengangguk angguk, "kami akan
menerima lima orang tamu yang akan melakukan penjajagan
di perguruan kami" "Bagus. Tetapi dengan taruhan"
"Masih ada tetapinya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Jika kalian kalah, kalian akan menyerahkan Paksi
kepada kami" "Jika kami menang?"
"Kami tidak akan mengambil Paksi"
"Serahkan Semburwangi kepada kami"
"Itu tidak termasuk dalam perjanjian"
Akhirnya Ki Panengahpun mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kami tidak menuntut apa-apa. Kami setuju dengan
menurunkan lima orang terbaik dari padepokan ini, tentu
termasuk guru dan para pembantunya"
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Siapapun
boleh turun ke arena. Tidak terbatas pada murid-muridnya
saja" "Baiklah. Kami akan menunggu kedatangan kalian"
"Beri kesempatan Paksi minta diri kepada kedua orang
tuanya, atau biarkan ia melarikan diri. Tetapi kemanapun ia
lari, kami akan dapat menangkapnya"
"Tidak. Paksi tidak akan lari. Paksi tidak akan minta diri
kepada orang tuanya. Tetapi Paksi akan menjadi seorang dari
lima orang yang akan turun ke permainan itu"
"Baik. Aku akan pulang. Pada kesempatan lain, kami akan
datang dengan kawan-kawan kami yang akan turun ke
gelanggang untuk menghancurkan kesombongan orang-orang
dari perguruan ini" "Silahkan, Ki Surakanda. Kami akan menunggu"
Demikianlah, maka Ki Surakandapun meninggalkan
padepokan yang masih sedang dikerjakan itu. Ia sempat
melihat para prajurit yang sedang sibuk bekerja. Ki
Surakandapun menyadari, bahwa kekuatan padepokannya
tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap kekuatan yang
ada di padepokan itu. Para pekerja yang terdiri dari para prajurit itu tentu tidak
akan berdiam diri jika padepokan itu diserang. Seperti yang
pernah terjadi, pasukan Harya Wisaka yang kuatpun tidak
mampu memecahkan perlawanan para prajurit, para cantrik
dan para pemimpin padepokan itu. Apalagi padepokannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi justru karena tantangannya diterima, maka
padepokannya akan dapat mempermalukan padepokan yang
nampaknya didukung sepenuhnya oleh kalangan istana
Pajang. "Jika padepokan kami dapat mengungguli padepokan Ki
Panengah, maka perhatian para pemimpin Pajang akan
berpaling kepada kami" berkata Ki Surakanda kepada diri
sendiri. Sementara itu, Ki Panengah dan Ki Waskita telah
memberitahukan tantangan itu kepada Pangeran Benawa dan
Raden Sutawijaya serta taruhannya.
Mendengar tantangan itu Pangeran Benawa justru tertawa.
Katanya, "Nah, keinginanku akan dapat terpenuhi. Kita akan
berhubungan dengan orang yang tidak mau menghiraukan
paugeran dan tatanan kehidupan orang banyak. Ki Ajar
Wisesa Tunggal adalah orang yang hanya mau menuruti
kemauannya sendiri" "Apa keinginanmu, Adimas?" bertanya Raden Sutawijaya
"Berbuat serupa" jawab Pangeran Benawa. "Tetapi hanya
terhadap Ki Ajar Wisesa Tunggal"
"Orang itu tentu sangat berbahaya, Pangeran. Orang yang
disebut mahaguru oleh para pengikutnya itu tentu orang yang
berilmu sangat tinggi" sahut Ki Panengah.
"Bukankah menyenangkan sekali?" desis Pangeran Benawa
"Sebaiknya Pangeran mencari permainan yang lain saja"
minta Ki Panengah. Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Namun Raden
Sutawijayapun berkata, "Kita masih belum tahu, kapan
mereka datang. Kita pun masih belum yakin, bahwa mereka
bersungguh-sungguh atau sekedar mencoba menggertak kita"
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
berharap bahwa mereka benar-benar datang. Aku ingin tahu
wajah orang yang menyebut dirinya Ajar Wisesa Tunggal itu"
Ki Waskitapun berkata, "Sebaiknya kita tidak usah terlalu
memikirkan mereka. Bukannya kita menjadi lengah. Tetapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita tidak akan menjadi sangat terikat dengan tantangan
utusan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu"
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak berkata apa-apa lagi. Namun bagaimanapun juga, orang-
orang dari perguruan Ki Panengah itu harus mempersiapkan
diri. Jika benar mereka datang berlima, maka yang harus
bersiap-siap menghadapi mereka adalah Ki Panengah sendiri,
Ki Waskita, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi.
Namun untuk menurunkan Pangeran Benawa dan Raden
Sutawijaya, Ki Panengah harus mendapat ijin dari Ki Gede
Pemanahan. Karena itu, maka di hari berikutnya, Ki Panengah dan
Raden Sutawijaya telah pergi ke Pajang untuk menghadap Ki
Gede Pemanahan. Mendengar tantangan dari Ki Ajar Wisesa Tunggal lewat Ki
Surakanda, Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya, "Ada
baiknya untuk menguji kemampuan murid-murid dari
perguruan Ki Panengah"
"Sebenarnya kami tidak perlu menguji lagi, Ki Gede. Kami
sudah meyakini kemampuannya. Tetapi kami tidak berani
melakukannya tanpa ijin Ki Gede. Apalagi Pangeran Benawa.
Tetapi agaknya Pangeran Benawa sulit untuk dicegah selain
kami memang tidak mempunyai orang lain yang memiliki
kemampuan setinggi Pangeran Benawa, karena perguruan
kami masih sangat muda"
"Memang sulit untuk mencegah Pangeran Benawa jika ia
sudah menyatakan satu keinginan. Aku akan menghadap
Sultan. Jika Sultan berkeberatan, aku akan memberitahukan
kepada Ki Panengah" "Kami menunggu, Ki Gede"
"Jika besok aku tidak datang, atau tidak ada utusanku
menemui Ki Panengah, berarti tidak ada keberatan apa apa"
"Baik, Ki Gede. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan apa-
apa" "Usahakan agar Pangeran Benawa tidak ingin langsung
bertemu dengan Ki Ajar Wisesa Tunggal"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, Ki Gede" "Ki Ajarpun tentu akan mempunyai perhitungan yang lebih
baik setelah Paksi mampu mengalahkan salah seorang
kepercayaannya yang bernama Semburwangi itu"
"Ya, Ki Gede" "Baiklah. Aku pun minta Sutawijaya berhati-hati. Jangan
merendahkan orang lain. Mungkin di padepokan itu tidak
terdapat orang berilmu sangat tinggi. Tetapi Ki Ajar Wisesa
Tunggal akan dapat minta bantuan kepada sahabat-
sahabatnya" "Baik, Ayah. Aku akan berhati-hati. Aku pun akan berusaha
agar Adimas Pangeran Benawa tidak menganggap kehadiran
Ki Ajar Wisesa Tunggal itu sebagai satu permainan. Tetapi ia
harus bersungguh-sungguh"
"Usahakan agar Pangeran Benawa tidak langsung
berhadapan dengan Ki Ajar itu sendiri jika Ki Ajar itu langsung terjun di arena"
"Baik, Ayah. Aku akan mencoba mengekangnya"
Setelah mendapat beberapa pesan dari Ki Gede, maka Ki
Panengah dan Raden Sutawijayapun telah minta diri.
"Nanti aku akan menghadap Kangjeng Sultan" berkata Ki
Gede kemudian. Sepeninggal Ki Panengah dan Raden Sutawijaya, maka Ki
Gede Pemanahanpun telah berbenah diri untuk menghadap
Kangjeng Sultan Pajang, untuk menyampaikan sikap Pangeran
Benawa yang ingin ikut turun menghadapi tantangan Ki Ajar
Wisesa Tunggal. Namun ketika Ki Gede sampai di istana, maka seorang
pelayan dalam memberitahukan agar Ki Gede menunggu
sebentar. "Ada apa?" bertanya Ki Gede agak heran. Jika tidak ada
keperluan yang sangat penting atau jika Sultan tidak sedang
mandi, jarang sekali Ki Gede harus menunggu jika ia akan
menghadap Sultan pada saat apapun juga. Bahkan di malam
hari. "Kangjeng Sultan baru menerima tamu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa?" "Seorang perempuan"
"Perempuan?" jantung Ki Gede menjadi berdebar-debar.
Tentu ada yang tidak sewajarnya telah terjadi. Namun
beberapa saat kemudian, seorang pelayan dalam telah datang
mengemban perintah Kangjeng Sultan bahwa Ki Gede
dipersilahkan untuk masuk ke ruang samping.
Ki Gedepun segera masuk ke ruang samping. Demikian ia
melangkahi pintu, maka iapun terkejut, yang sudah
menghadap Sultan adalah Sekarsari, isteri Harya Wisaka.
"Terlambat" berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hatinya.
Sebenarnyalah sebelum Ki Gede Pemanahan mengatakan
sesuatu, Kangjeng Sultanlah yang berkata lebih dahulu,
"Kakang Pemanahan, Sekarsari hanya mohon ijin untuk dapat
bertemu dengan suaminya"
"Apakah Kangjeng Sultan mengijinkannya?"
"Bukankah wajar jika seorang isteri mengunjungi suaminya
yang sedang dipenjara" Tetapi dengan janji, bahwa setiap kali
Sekarsari akan mengunjungi suaminya ia harus minta ijin"
"Apakah ada orang lain yang dapat memberinya ijin selain
Kangjeng Sultan?" "Tidak" Kangjeng Sultan menggeleng. "Harya Wisaka
adalah seorang tahanan yang sangat berbahaya. Ia sudah
berusaha untuk melakukan pemberontakan. Bahkan ingin
membunuh puteraku, Pangeran Benawa. Karena itu, hanya
akulah yang dapat memberinya ijin untuk menengok
suaminya" "Hamba mengucapkan beribu terima kasih, Sinuhun" desis
Sekarsari sambil tersenyum.
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
di dalam hati, "Tentu senyumnya itulah yang membuat
Kangjeng Sultan memberinya ijin untuk menengok suaminya.
Tetapi setiap orang pun akan mengerti, bahwa tentu tidak
hanya tersangkut pada senyuman itu saja"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Gede Pemanahan itupun kemudian bertanya, "Apakah
Kangjeng Sultan memberikan batasan kapan saja Harya
Wisaka dapat dijenguk oleh isterinya?"
"Kapan saja Sekarsari menginginkan. Tetapi sekali lagi,
Sekarsari harus mendapat ijin langsung dari aku sendiri"
"Hamba Kangjeng Sultan" desis Ki Gede Pemanahan.
Sementara itu Kangjeng Sultanpun kemudian berkata
kepada Sekarsari, "Kau boleh pulang Sekarsari. Datanglah
kapan saja kau perlukan. Tetapi kau tidak dapat langsung
mengunjungi suamimu"
"Hamba, Kangjeng Sultan. Hamba tentu akan menghadap
Kangjeng Sultan lebih dahulu. Karena hamba tahu, bahwa
hanya Kangjeng Sultanlah yang mempunyai kekuasaan untuk
mengijinkan hamba menengok Kakangmas Harya Wisaka.
Meskipun sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban seorang
isteri, karena sebenarnyalah hamba tidak lagi merasa terikat
kepadanya sejak hamba tahu, bahwa Kakangmas Harya
Wisaka telah berani melawan Kangjeng Sultan"
"Sukurlah. Jika kau dapat menilai sikap suamimu yang
salah itu. Kau memang seorang isteri yang baik. Tetapi
sayang, bahwa kau jatuh ke tangan seorang laki-laki yang
jahat" "Hamba memang menyesal, Kangjeng Sultan. Tetapi segala
sesuatunya sudah terlanjur"
"Baiklah. Pulanglah"
"Hamba mohon diri, Kangjeng Sultan. Hamba mohon diri,
Ki Gede" Ki Gede tidak beringsut dari tempatnya, meskipun Kangjeng
Sultan sendiri bangkit berdiri ketika Sekarsari berjalan sambil berjongkok meninggalkan ruangan itu setelah menyembah.
Ketika Sekarsari sampai di pintu iapun sekali lagi
menyembah sambil tersenyum. Baru kemudian Sekarsari
bangkit berdiri meninggalkan pintu, sementara Kangjeng
Sultan berdiri termangu-mangu.
Baru sejenak kemudian Kangjeng Sultan itu teringat bahwa
Ki Gede Pemanahan sedang menghadap. Sambil berpaling
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepada Ki Gede, Kangjeng Sultan itupun berkata, "Sayang
sekali. Seorang perempuan secantik itu menjadi isteri Harya
Wisaka yang jahat. Bukankah begitu, Kakang Pemanahan?"
"Hamba, Kangjeng Sultan" sahut Ki Gede Pemanahan.
Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengangguk-angguk. Namun


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian iapun bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting
akan kau sampaikan, Kakang?"
"Hamba, Kangjeng Sultan"
"Tentang apa?" Ki Gede Pemanahanpun mencoba menjelaskan, apa yang
telah disampaikan kepadanya oleh Ki Panengah. Tetapi
nampaknya Kangjeng Sultan tidak begitu memperhatikannya.
Setiap kali Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu merenung dan
menerawang ke dalam angan-angannya.
"Ampun Kangjeng Sultan" berkata Ki Gede Pemanahan
kemudian, "hamba ingin mohon titah Kangjeng Sultan tentang
putera Kangjeng Sultan, Pangeran Benawa yang berada di
padepokan itu. Apakah Kangjeng Sultan mengijinkan jika
Pangeran Benawa ingin turun ke gelanggang untuk ikut serta
bertanding melawan orang-orang dari padepokan Ki Ajar
Wisesa Tunggal" Tetapi jawab Kangjeng Sultan Hadiwijaya agak
mengecewakan Ki Gede. Katanya, "Terserah kau saja, Kakang.
Kau tentu cukup bijaksana untuk menilai, apakah Benawa
pantas turun ke gelanggang atau tidak"
"Hamba mohon pertimbangan Paduka"
"Terserah saja kepada Kakang"
Ki Gede Pemanahan tahu pasti, apa yang sedang
bergejolak di dada Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Karena itu,
tidak ada gunanya jika ia berusaha mendesak agar Kangjeng
Sultan itu sedikit bersungguh-sungguh menghadapi persoalan
yang dibawanya. Karena itu, maka Ki Gedepun segera minta
diri meninggalkan Kangjeng Sultan yang kemudian lebih
banyak merenung itu. "Tentu Sekarsari yang telah menyebabkan Kangjeng Sultan
tenggelam dalam dunia angan-angannya" berkata Ki Gede
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemanahan di dalam hatinya. "Perempuan itu selicin
suaminya. Tetapi aku terlambat mencegahnya. Siapakah yang
telah membawanya menghadap Kangjeng Sultan?"
Tetapi titah Sultan sudah terlanjur dijatuhkan. Sekarsari
dapat mengunjungi suaminya di dalam bilik tahanannya asal
mendapat ijin langsung dari Kangjeng Sultan sendiri.
"Tidak ada yang dapat merubah keputusan itu kecuali
Kangjeng Sultan sendiri" berkata Ki Gede kepada diri sendiri.
Sebenarnyalah keputusan itu diambil ketika hati Kangjeng
Sultan sedang kabur melihat kecantikan Sekarsari.
Sebelumnya Kangjeng Sultan memang pernah melihat dan
bertemu dengan perempuan itu. Tetapi Sekarsari tidak
menunjukkan sikap seperti yang baru saja dilakukan. Iapun
tidak tersenyum-senyum selain menundukkan kepalanya dan
bahkan agak lebih banyak berusaha menyembunyikan
wajahnya. Tetapi dalam satu kepentingan yang khusus, Sekarsari
sengaja menengadahkan wajahnya yang cantik, meredupkan
matanya dan menghiasi bibirnya yang kemerah-merahan
dengan senyuman yang sangat manis.
Ki Gede Pemanahan memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Tetapi Ki Gede Pemanahan bukannya tidak berusaha sama
sekali. Ia telah mendatangi para petugas yang menjaga bilik
tahanan Harya Wisaka dan memperingatkan agar mereka
berhati-hati. "Akan ada perintah, bahwa isteri Harya Wisaka
diperkenankan menemui suaminya langsung dari Kangjeng
Sultan" berkata Ki Gede Pemanahan. "Karena itu berhati-
hatilah" "Baik, Ki Gede" jawab pemimpin prajurit yang bertugas
jaga. "Sampaikan peringatan ini kepada prajurit yang bertugas
kemudian" "Baik, Ki Gede" jawab pemimpin prajurit itu.
Di hari berikutnya, Ki Gede justru telah memerlukan pergi
ke Hutan Jabung dengan beberapa orang pengawal.
Kedatangannya agak mengejutkan Ki Panengah. Agaknya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kangjeng Sultan berkeberatan jika Pangeran Benawa turun ke
gelanggang. Jika demikian, maka Ki Panengah akan
mengalami kesulitan untuk mencegahnya.
"Biarlah Ki Gede berbicara langsung dengan Pangeran
Benawa" berkata Ki Panengah di dalam hatinya.
Tetapi ternyata Ki Gede tidak membawa perintah untuk
membatalkan keinginan Pangeran Benawa untuk ikut
bertanding melawan orang-orang dari perguruan yang
dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal. Tetapi khusus kepada Ki
Panengah dan Ki Waskita, Ki Gede Pemanahan telah
menceriterakan keputusan Kangjeng Sultan tentang ijin yang
diberikan kepada Sekarsari untuk menengok suaminya.
"Harya Wisaka akan menjadi semakin keras kepala" berkata
Ki Gede. "Jika demikian, biar saja Harya Wisaka berada dalam
tahanan sampai seumur hidupnya jika ia masih tetap dalam
pendiriannya" "Tetapi permintaan isterinya akan merambat dari sedikit ke
sedikit lagi, dan selanjutnya. Jika Kangjeng Sultan sudah
hanyut dan larut dalam kehangatan sikap Sekarsari yang
nampaknya akan mengorbankan apa saja bagi suaminya,
maka segala permintaan Sekarsari akan dipenuhinya"
"Tetapi tentu tidak dengan kebebasan Harya Wisaka"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudah-
mudahan Kangjeng Sultan masih ingat, bahwa Harya Wisaka
itu seorang yang sangat berbahaya"
"Tetapi Harya Wisaka itu akan berbahaya bagi Kangjeng
Sultan sendiri" Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian,
"Tetapi Kangjeng Sultan sudah mulai tidak menghiraukan
puteranya. Ketika aku memberitahukan niat Pangeran Benawa
untuk turun ke medan, Kangjeng Sultan menyerahkan
keputusannya kepadaku. Seakan-akan Kangjeng Sultan tidak
sempat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi atas puteranya itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Panengah dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak.
Namun kemudian Ki Waskitalah yang bertanya, "Menurut
pendapat Ki Gede?" "Aku akan minta Pangeran Benawa berhati-hati. Aku akan
menyarankan kepada Ki Panengah dan Ki Waskita, jika ingin
menurunkan lima orang di gelanggang, maka kelima orang itu
tidak dibatasi dengan lawan masing-masing. Yang terjadi
adalah lima orang melawan lima orang. Itu saja"
"Aku mengerti, Ki Gede"
"Pertarungan ini penting bagi kelangsungan padepokan ini.
Jika kalian tidak berhasil, maka setiap orang akan segera
berpaling dari padepokan yang kita harapkan akan dapat
tumbuh subur di kemudian hari ini. Mereka akan segera
memilih padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal. Meskipun
sebenarnya ukuran keberhasilan sebuah padepokan tidak
hanya pada kemampuan olah kanuragan para pemimpinnya.
Tetapi banyak sekali ilmu yang penting bagi sisi-sisi kehidupan yang lain daripada beradu kekerasan"
"Ya. Ki Gede" "Nah, beritahu aku jika benar Ki Ajar Wisesa Tunggal
datang, jika ada kesempatan. Kecuali jika mereka datang
langsung menantang memasuki arena. Tetapi mereka tentu
membawa saksi. Mereka ingin kemenangan mereka segera
tersebar di seluruh Pajang. Ki Ajar Wisesa Tunggalpun akan
segera membangun padepokannya menjadi lebih besar lagi"
"Ya, Ki Gede" "Tetapi aku tidak yakin, bahwa Ki Ajar akan jujur.
Maksudku, apakah ia tidak akan minta bantuan dari perguruan
lain?" "Kami sudah mempertimbangkan kemungkinan itu"
"Baiklah. Berhati-hatilah. Aku percaya kepada Ki Panengah
dan Ki Waskita. Tetapi sekali lagi aku berpesan, agar kalian
berlima terjun dalam satu kesatuan"
"Baik, Ki Gede. Kami akan menyaratkannya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Karena kekuatan sebuah perguruan itu juga dinilai dari
keutuhannya. Bukan seorang-seorang"
"Baik, Ki Gede"
Ki Gedepun tidak terlalu lama berada di Hutan Jabung.
Tetapi Ki Gede juga memerlukan melihat-lihat para prajurit
yang bekerja membantu membangun padepokan itu. Ki Gede
juga menyediakan waktu untuk berbicara dengan para cantrik
dan para prajurit sebelum meninggalkan Hutan Jabung.
"Ki Kriyadama telah bekerja keras" berkata Ki Gede ketika
ia siap meninggalkan Hutan Jabung.
"Sejauh dapat aku lakukan, Ki Gede"
Ki Gede tertawa. Katanya, "Pembangunan ini mudah-
mudahan memberikan pengalaman tersendiri kepada para
cantrik. Kelak mereka akan dapat mengembangkannya sendiri
padepokannya, meskipun masih harus selalu diawasi dan
dituntun" "Mereka cepat tanggap, Ki Gede. Beberapa orang telah
mampu menangani kayu. Bahkan ada di antara mereka yang
sudah sanggup menangani pekerjaan yang terhitung rumit"
"Sukurlah. Aku minta Ki Kriyadama menuntun mereka di
bidang yang Ki Kriyadama kuasai"
Namun Ki Waskitapun menyahut, "Ki Kriyadama juga
menguasai ilmu kanuragan, tidak kalah dari kami berdua"
"Ah, tentu tidak, Ki Gede. Aku memang pernah belajar.
Tetapi guruku hanya menganjurkan agar aku memperhatikan
tingkah laku binatang. Dari kancil sampai ke binatang buas.
Tetapi yang lebih banyak aku perhatikan adalah seekor kera,
karena masa remajaku, tetanggaku memelihara seekor kera
yang terhitung besar"
Ki Gede tertawa. Katanya, "Salah satu cabang perguruan
yang akan dapat menghasilkan seorang yang berilmu tinggi
dengan berbagai macam kemampuan olah tubuh"
"Yang kemudian dengan lancar aku tirukan, bukan tata
gerak tubuhnya" "Jadi apanya?" "Suaranya" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yang mendengarkan tertawa. Sementara Ki Kriyadama
berkata selanjutnya, "Karena itu, aku pandai menirukan
bermacam suara binatang"
Tetapi Ki Panengah cepat-cepat menyahut, "Tidak hanya
suaranya, Ki Gede. Ketika aku sempat memperhatikan Ki
Kriyadama bertempur, ia mampu bergerak secepat kijang,
setangkas kera dan segarang seekor harimau kumbang, tetapi
sekuat dan setenang seekor banteng"
Tetapi dengan serta-merta Ki Kriyadamapun menyahut,
"Katakan saja bahwa aku merupakan bagian dari Hutan
Jabung" Orang-orang yang mendengarkan kelakar itupun tertawa
semakin berkepanjangan. Namun kemudian, Ki Gedepun telah minta diri untuk
kembali ke Pajang. "Mudah-mudahan cepat selesai. Padepokan ini harus
segera berkembang menjadi padepokan yang besar. Hutan
Jabung yang luas itu masih akan dapat memberikan sebagian
dari tubuhnya bagi padepokan kalian"
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Gedepun telah
naik ke punggung kudanya. Ada beberapa pesan khusus bagi
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, khususnya
menghadapi orang-orang dari padepokan yang dipimpin oleh
Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Jangan berbuat menurut kehendakmu sendiri. Kalian harus
tunduk kepada perintah Ki Panengah dan Ki Waskita"
"Tetapi menurut pendengaranku, Ki Ajar Wisesa Tunggal
itu seorang yang hanya mau menuruti kemauannya sendiri
saja, Paman" "Ya. Agaknya memang demikian"
"Kenapa kita tidak dapat berbuat hal yang sama?"
"Bukankah kita bukan Ki Ajar Wisesa Tunggal?"
Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Tetapi iapun
terdiam. Sejenak kemudian, maka Ki Gede Pemanahan dan
pengawalnya minta kepada Ki Panengah dan Ki Waskita agar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka tidak membicarakan lebih dahulu tentang ijin yang
diberikan oleh Kangjeng Sultan kepada Sekarsari untuk
menengok suaminya di dalam bilik tahanannya.
Dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita telah minta
kepada Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi untuk
berlatih lebih keras dari sebelumnya. Ki Panengah, Ki Waskita
dan Ki Kriyadama telah memberikan ijin kepada mereka untuk
lebih banyak berada di dalam sanggar daripada di tempat
kerja mereka. Para cantrikpun telah mendengar tantangan
dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal
untuk membuat perbandingan ilmu, khususnya ilmu
kanuragan. Dalam pada itu, secara khusus Paksipun telah menemui Ki
Panengah dan Ki Waskita bahwa menurut pengenalannya,
salah seorang dari padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal telah
bersikap tidak jujur. Meskipun Ki Semburwangi semula hanya
ingin menjajagi kemampuan Paksi, namun akhirnya, jika ia
mampu maka ia tentu sudah membunuh Paksi atau
membuatnya cacat seumur hidupnya.
"Aku mengerti maksudmu, Paksi" berkata Ki Panengah.
"Meskipun semula yang dimaksud oleh Ki Ajar Wisesa
Tunggal hanya sekedar penjajagan dan perbandingan ilmu
dari kedua perguruan, namun yang terjadi akan dapat
berbeda" "Ya, Guru" "Baiklah. Kita semua memang harus berhati-hati. Kita pun
harus meningkatkan persiapan kita untuk menghadapinya"
"Ya, Guru" Namun dalam pada itu, maka Ki Panengah dan Ki
Waskitapun kemudian telah sepakat untuk mengangkat
sampai kepada puncak kemampuan bagi Paksi. Keduanya
menyadari bahwa di antara kelima orang yang mungkin akan
turun ke gelanggang, Paksilah yang paling lemah. Karena itu,
maka agar tidak terjadi sesuatu atas Paksi, ia harus mendapat
peningkatan seperlunya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mudah-mudahan kita mempunyai waktu lebih dari tiga hari
tiga malam" berkata Ki Panengah.
"Ya. Sedikitnya kita memerlukan waktu sepanjang itu untuk
menempa Paksi sampai ke puncak"
"Untunglah bahwa tubuh dan jiwanya telah dipersiapkan
dengan baik, sehingga pewarisan ilmu puncak itu tidak akan
mengejutkannya" "Baiklah, kita akan mencobanya"
"Jika dalam waktu tiga hari tiga malam orang-orang Ki Ajar
itu datang?" "Kita minta Ki Kriyadama untuk menggantikannya"
"Tetapi Ki Kriyadama bukan keluarga perguruan kita"
"Apaboleh buat. Tetapi sekarang ia merupakan keluarga
besar kita disini" Akhirnya Ki Panengah dan Ki Waskita memutuskan untuk
mewariskan ilmu yang memiliki kekuatan yang sulit diimbangi.
Hanya orang-orang berilmu sangat tinggi sajalah yang akan
dapat menahan ilmu itu. Ilmu yang telah diolah dan
dimatangkan oleh Ki Waskita dan Panengah khusus bagi Paksi
Pamekas. Demikianlah, setelah berbicara dengan Paksi, dengan
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, maka Paksipun
mulai memasuki sanggar dalam tempaan yang khusus. Selama
tiga hari tiga malam, Paksi akan berlatih dengan mengerahkan
segenap nalar budinya. Tubuh dan jiwanya.
Selama itu, maka Ki Panengah dan Ki Waskita telah
menyerahkan pimpinan padepokan kepada Raden Sutawijaya
dan Pangeran Benawa didampingi oleh Ki Kriyadama.
"Kau sudah mempelajarinya, Paksi" berkata Ki Panengah
setelah mereka berada di dalam sanggar. "Kau telah
menguasai semua unsur-unsurnya. Yang harus dilakukan
sekarang tinggal memadukannya menjadi satu kesatuan yang
utuh dan mempunyai kemampuan yang tinggi"
"Ya, Guru" "Bukankah kau telah mempersiapkan lahir dan batinmu?"
"Sudah, Guru" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah. Kita akan segera mulai. Pusatkan segala nalar
budimu. Jangan hiraukan apapun yang terjadi di luar sanggar.
Jika kau gagal, maka kau harus mengulanginya lagi. Tiga hari
tiga malam" "Ya, Guru" "Lupakan Ki Ajar Wisesa Tunggal"
"Ya, Guru" "Lupakan sikap ayahmu"
"Ya, Guru" "Lupakan apa saja"
"Ya, Guru" "Lakukan dengan keutuhan jiwa dan ragamu, serta
kebulatan tekadmu. Panjatkan doamu, agar usahamu untuk
mewarisi ilmu ini dapat berlangsung dengan selamat dan
berhasil baik" "Ya, Guru" Demikianlah, maka Paksipun mulai dengan penempaan diri
selama tiga hari tiga malam untuk menguasai puncak ilmunya,
yang sebenarnya unsur-unsurnya telah dimilikinya.
Demikianlah, Ki Panengah dan Ki Waskita telah menuntun
Paksi sehingga Paksi menemukan keutuhan ilmu yang
disadapnya dari kedua orang gurunya.
Sejak hari pertama, Paksi seakan-akan telah dihadapkan
kembali pada unsur-unsur yang benar-benar telah
dikuasainya. Namun seolah-olah Paksi telah bergerak dalam
sebuah lingkaran yang berputar pada satu pusaran. Setiap kali
ia bertemu kembali dengan apa yang telah dikenalnya. Namun
Paksi seakan-akan bergerak semakin lama semakin tinggi.
Unsurunsur yang ujud wadagnya sama itu ternyata memiliki
sifat dan makna yang semakin dalam dan semakin tinggi,
sehingga akhirnya Paksi seakan-akan telah berputar di puncak
sebuah pusaran. Tiga hari tiga malam, Paksi terpisah dari dunia luar. Ia
terpisah dari kawan-kawannya, dari padepokan yang sedang
dibangun, dari Hutan Jabung, dari tantangan Ki Ajar Wisesa
Tunggal dan dari sikap ayahnya yang tidak dimengertinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiga hari Paksi ditempa lahir dan batinnya. Ia makan apa
yang diberikan kepadanya oleh gurunya. Ia berhenti menempa
diri jika gurunya memberinya isyarat kepadanya. Tetapi iapun
harus melakukan apa yang harus dilakukan sesuai dengan
perintah guru-gurunya. Paksi yang sebelumnya telah diberitahu oleh gurunya,
bahwa ia sudah tuntas dengan dasar ilmunya, kini Paksi telah
menemukan kedalamannya. Karena itu, maka unsur-unsur
gerak yang dikuasainya bobotnya seakan-akan telah berubah.
Kedua gurunya yang menuntunnya tidak ragu-ragu lagi,
bahwa kesiapan wadag dan batin Paksi telah cukup mapan.
Karena itu, maka Paksipun kemudian telah sampai pada
saatnya untuk sampai pada puncak penguasaan ilmunya.
Demikianlah, pada hari yang ketiga, sejak ia menapak di
tengah-tengah sanggar, maka Paksi sudah diarahkan untuk
mencapai puncak penguasaan ilmunya.
Haripun berjalan dengan lamban. Udara di sanggar terasa
panas. Paksi dalam olah lakunya, telah mengerahkan segenap
tenaga dan kemampuannya. Setapak demi setapak Paksi bagaikan memanjat tebing.
Tangan dan kakinya harus mencengkam batu-batu padas yang
tajam, sehingga terasa menjadi pedih. Keringatnya mengalir
dari seluruh lubang-lubang kulit di tubuhnya, mengalir menitik membasahi lantai sanggar.
Pada saat matahari mencapai puncak langit, maka Paksipun
telah sampai pada puncak lakunya. Dihentakkannya segenap
tenaganya yang masih tersisa. Ia tidak boleh gagal justru
pada saat-saat terakhir. Sehingga pada saatnya, Paksi terasa kembali berada dalam
pusaran yang mengangkatnya semakin tinggi. Kembali ia pada
unsur-unsur gerak yang sudah dikenalinya dengan baik, tetapi
dalam sifat dan makna yang lebih dalam, sehingga akhirnya,
Paksi benar-benar telah berada di puncak.
Akhirnya semuanyapun lenyap. Paksi telah terhempas
berdiri di lantai sanggarnya. Disilangkannya tangannya di
dadanya. Kaki kanannya ditariknya mundur setengah langkah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil merendah pada lututnya. Namun kemudian Paksipun
meloncat maju sambil mengayunkan tangan kanannya
menghantam sasaran. Ki Panengah dan Ki Waskita memang telah meletakkan
sebongkah batu padas sebesar anak sapi di dalam sanggar itu
sebelum Paksi memasuki sanggar itu tiga hari yang lalu.
Sebongkah batu padas itulah yang kemudian menjadi
sasaran ayunan tangannya.
Akibatnya mengejutkan. Batu padas itupun bagaikan meledak,
pecah berserakan. Setelah pecahan-pecahan kecil yang menghambur itu runtuh
dan terserak di lantai sanggar, Paksipun menarik nafas dalam-
dalam. Laku yang dijalaninya rasa-rasanya merupakan tataran
yang berlanjut dari yang pernah dilakukan di dalam goa di
balik air terjun bersama Ki Marta Brewok. Saat mata batinnya
melihat dirinya sendiri menjalani laku, sehingga sampai pada
puncak laku yang dijalaninya, saat Paksi melihat dirinya sendiri mengungkapkan inti kekuatan yang terangkum di dalam diri
dan mengangkatnya ke permukaan.
Kini segala sesuatunya telah ternyata. Ilmunya yang telah
luluh di dalam dirinya, menyatu dengan ujud kewadagannya,
sehingga menjadi satu kekuatan yang jarang ada duanya.
Ketika Paksi menyadari sepenuhnya akan keberadaannya di
dalam sanggar, maka ia melihat kedua orang gurunya berdiri
di hadapannya sampai tersenyum. Dengan nada lembut Ki
Waskita yang pernah dikenalnya dengan nama Ki Marta
Brewok itu berkata, "Aku yakin bahwa kau akan dapat melakukannya
pada waktunya. Bahkan kau masih mempunyai waktu hampir
setengah hari tersisa. Apa yang pernah kau lakukan di balik air terjun itu merupakan rintisan jalanmu ke puncak ilmu
sekarang ini. Tetapi hati-hati dengan ilmumu ini. Ilmumu harus berarti
bagi banyak orang. Bukan sebaliknya. Kau pun harus bersukur
bahwa kau mendapat kemampuan untuk mengungkapkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kekuatan dan tenaga yang ada di dalam dirimu dengan laku
yang berat" Paksi menundukkan kepalanya. Ia mulai merasa bahwa
tubuhnya sangat letih dan bahkan kekuatannya seakan-akan
telah terkuras habis. Agaknya kedua gurunya menyadari akan keadaan itu.
Karena itu, maka katanya, "Beristirahatlah. Lepaskan segala
ketegangan. Kemudian duduklah di lincak bambu itu"
Paksipun masih melakukan beberapa gerak lagi untuk
melepaskan ketegangan dengan mengendorkannya. Kemudian
iapun melangkah gontai ke lincak bambu panjang di pinggir
sanggar itu. "Kau telah selesai menjalani laku, Paksi. Sudah lama kau
dipersiapkan untuk melakukannya. Agaknya hubungan yang
buruk dengan perguruan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa
Tunggal telah mendorong agar kau lebih cepat melakukannya"
"Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Guru"
suaranya terdengar dalam sekali.
"Kau telah menguasai ilmu yang kami sebut Guntur Geni"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia berkata,
"Terima kasih, Guru"
"Semoga ilmumu berguna bagi banyak orang"
Paksi tidak menyahut. Namun sekali-sekali ia menarik nafas
dalam-dalam untuk melonggarkan nafasnya.
"Bersiaplah. Kita akan keluar dari sanggar ini. Selama tiga
hari tiga malam kita berada di dalam sanggar tanpa gangguan
apapun juga. Agaknya Ki Ajar Tunggal Wisesa memang masih
belum datang" Paksi mengerutkan dahinya. Dengan nada berat iapun
berdesis, "Bagaimana jika ia sudah datang dan kita masih
terkungkung di sanggar ini?"
"Aku sudah berpesan, jika Ki Ajar Wisesa Tunggal datang,
Raden Sutawijaya akan memanggil aku dan Ki Waskita. Kau
memang akan tetap berada di sanggar agar kau tidak gagal
dalam laku yang sedang kau jalani"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu siapakah orang kelima yang akan turun ke
gelanggang?" "Bukankah ada Ki Kriyadama?"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi menurut
pertimbangannya, Ki Kriyadama bukanlah orang
perguruannya. Namun pada saat itu Ki Kriyadama memang
sedang sibuk bekerja untuk membangun sebuah padepokan
bagi perguruannya. Bahkan ketika Ki Panengah dan Ki Waskita
akan memasuki sanggar, Ki Kriyadama diminta untuk
mengamati kepemimpinan Raden Sutawijaya.
Beberapa saat kemudian, Ki Panengah, Ki Waskita dan
Paksipun keluar dari sanggar. Orang-orang yang pertama-
tama melihat mereka, segera mendekat. Mereka melihat Paksi
yang pucat dan lemah. Tetapi nampak wajahnya berseri.
"Apakah Paksi berhasil?" bertanya seorang di antara para
cantrik. "Ya" Ki Panengahlah yang menjawab, "Paksi telah berhasil"
"Kapan giliran kami, Guru?" bertanya seorang yang
berambut keriting. Ki Panengah tersenyum. Katanya, "Baru berapa bulan kau
berguru" Jika kau sudah berguru berbilang tahun
sebagaimana Paksi, serta wadag dan jiwamu sudah benar-
benar siap, maka kau akan segera menjalani laku
sebagaimana dijalani oleh Paksi"
Cantrik itupun tertawa. Ia sadar, bahwa sebelumnya ia
memang tidak bersungguh-sungguh sebagaimana banyak
kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia telah bersungguh-
sungguh berguru kepada Ki Panengah dan Ki Waskita.
"Pada satu saat, akupun akan menjalani laku seperti Paksi"
berkata cantrik itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka Paksipun segera dikerumuni oleh
kawan-kawannya, para cantrik yang meninggalkan pekerjaan
mereka. Yang terjadi pada Paksi telah mendorong mereka
untuk berbuat sebagaimana yang telah dilakukan oleh Paksi.
Mereka harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan dan menguasai ilmu. Karena yang penting bagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka adalah pewarisan ilmu itu. Bukan keberadaan mereka
di padepokan. Di sisa hari itu, Paksipun kemudian telah mandi keramas
dengan abu merang. Ternyata bukan saja tubuhnya, tetapi
rambutnya pun menjadi kotor. Sedangkan kedua gurunyapun
mengatakan, bahwa mandi keramas yang dilakukan itu adalah
lambang tekad Paksi untuk membersihkan dirinya dari kotoran
yang melekat di semua bagian tubuh dan jiwanya.
Di hari berikutnya, tubuh Paksi telah menjadi segar
kembali. Kekuatannya bukan saja terasa pulih, namun dalam
keadaan khusus kekuatannya memang seakan-akan menjadi
berlipat-lipat. Seperti yang dikatakan oleh gurunya, maka
Paksipun merasa dibebani tanggung jawab yang lebih besar
bukan saja untuk membangun padepokannya, tetapi juga
tatanan kehidupan. Namun dengan demikian, Paksi merasakan satu kehidupan
yang lebih hangat di bawah perlindungan dari Maha
Penciptanya. Tetapi dengan demikian, Paksipun juga harus
untuk melindungi kehidupan yang lebih kecil lagi dari
kekecilannya. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya
menanggapi keberhasilan Paksi dengan gembira. Tetapi
seperti biasanya Pangeran Benawa sering mempunyai gagasan
yang lain dari kawan-kawannya.
Ketika Paksi sudah nampak segar kembali, maka tiba-tiba
saja Pangeran Benawa itupun berkata, "Paksi, kau dengar
gurauan Ki Kriyadama itu?"
"Ya" "Sangat menarik, kan?"
"Maksud Pangeran?"
"Jika ada waktu luang, kita pergi ke hutan. Kita melihat
tingkah laku binatang-binatang liar di hutan. Dari tikus, kancil, kera, harimau yang berjenis-jenis, banteng dan apa saja"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu?" Yang menyahut adalah Raden Sutawijaya, "Lalu kitapun
dapat menyebut diri kita bagian dari Hutan Jabung seperti Ki
Kriyadama, begitu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Benawa tertawa. Paksipun tertawa pula. Namun
Paksipun kemudian berdesis, "Bukankah Raden Sutawijaya
pernah menjalani laku di tengah-tengah hutan sampai selapan
hari?" "Darimana kau tahu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ki Panengah yang mengatakannya. Raden Sutawijaya
menjalani laku bersama seorang anak muda yang Ki Panengah
tidak tahu namanya" "Aku tahu, tetapi Kakangmas tidak pernah mengajak aku"
Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, "Baiklah. Aku akan ikut
kalian jika kalian akan mempergunakan waktu luang untuk
melihat-lihat isi dari jantung Hutan Jabung"
"Kita akan berbicara dengan Ki Panengah"
"Jika Ki Ajar Wisesa Tunggal datang?"
"Bukankah kita tidak akan tinggal di hutan sampai berhari-
hari. Jika kita pergi ke hutan, setiap kali tidak akan lebih dari satu hari. Tetapi tentu saja tidak hanya sekali"
Raden Sutawijaya tertawa. Tetapi ia tahu, bahwa gagasan
itu tidak lebih dari satu permainan untuk melewatkan
kejenuhan Pangeran Benawa dengan kesibukan sehari-hari yang
hampir sama. Tidur, bangun, meningkatkan daya tahan tubuh
dan latihan-latihan khusus, bekerja, beristirahat, makan,
latihan lagi dan seterusnya. Agaknya Pangeran Benawa yang
terbiasa tidak terkungkung dalam satu putaran kerja yang
senada menjadi jenuh. Ternyata Ki Panengah dan Ki Waskita tidak berkeberatan.
Tetapi dengan pesan, bahwa mereka tidak berburu binatang
hutan. "Binatang-binatang itu kelak akan menjadi tetangga kita.
Jangan sakiti hati mereka" pesan Ki Panengah.
"Tidak, Guru. Kami datang tidak untuk bermusuhan dengan
isi hutan itu" "Jaga diri dari patukan ular. Binatang yang sulit untuk
diajak bersahabat serta pendendam. Jangan lupa telan butiran
obat untuk melawan bisa sebelum kalian memasuki hutan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukan saja ular, tetapi kakek laba-laba, dan beberapa jenis
kumbang berbisa" "Kenapa kakek laba-laba, Guru?" bertanya Pangeran
Benawa. Raden Sutawijaya tertawa. Pertanyaan itu memang wajar
sekali. Sementara Ki Panengahpun menjawab, "Laba-laba
yang bulunya agak aneh. Sebagian bulu-bulunya berwarna
putih seperti uban, sedang yang lain coklat gelap"
"Seperti berewok Ki Waskita" sahut Raden Sutawijaya.
Ki Waskita tertawa. Namun Pangeran Benawa berkata,
"Uban Ki Waskita tumbuh terlalu cepat. Di lereng Gunung
Merapi berewoknya masih hitam legam"
Ki Waskita masih saja tertawa. Tetapi tidak menjawab.
Sambil menunggu kedatangan Ki Ajar Wisesa Tunggal, maka
Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksipun sering
memasuki Hutan Jabung yang lebat. Ketika ada di antara para
cantrik yang ingin ikut bersama mereka, Ki Panengah dan Ki
Waskita menyatakan keberatannya.
"Sangat berbahaya bagi kalian" berkata Ki Panengah.
Para cantrik itupun tidak memaksa. Mereka merasa bahwa
kemampuan dan ketrampilan mereka masih sangat terbatas.
Hari-haripun telah dijalani dengan kerja dan belajar di Hutan
Jabung. Sementara itu, di istana Pajang, Sekarsari menjadi semakin
sering menghadap Kangjeng Sultan. Bahkan kemudian
meskipun Sekarsari tidak akan pergi menengok Harya Wisaka,
iapun telah menghadap pula, sekedar memberitahukan bahwa
hari itu ia tidak ingin pergi ke bilik tahanan suaminya.
"Jangan terlalu sering" berkata Kangjeng Sultan.
"Hamba, Kangjeng Sultan. Rasa-rasanya hamba sudah
menjadi jenuh pergi ke bilik tahanan Kakangmas Harya
Wisaka" "Karena itu, kau tidak perlu membuang-buang waktumu
untuk menengoknya" "Dengan demikian, hamba juga tidak terlalu sering
mengganggu paduka" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak. Aku tidak merasa terganggu. Kau boleh datang
kapan saja menghadap. Bahkan daripada kau pergi ke bilik
tahanan, lebih baik berada disini"
"Tetapi bukankah paduka terlalu sibuk dengan urusan
pemerintahan?" Kangjeng Sultan tertawa. Katanya, "Aku adalah seorang
raja. Banyak orang yang membantuku menjalankan
pemerintahan" "Tetapi bukankah segala kebijaksanaan dari paduka pula
asalnya. Para pembantu paduka tidak akan dapat melakukan
tugas mereka sekehendak hati mereka sendiri"
"Ya. Tetapi bukankah menggariskan kebijaksanaan tidak
harus dilakukan setiap hari" Hanya para pembantu yang
bodoh sajalah yang setiap hari" Hanya para pembantu yang
bodoh sajalah yang setiap hari menunggu perintah"
"Tetapi para pembantu yang cerdik akan memanfaatkan
tugas-tugasnya untuk kepentingan diri sendiri"
Kangjeng Sultan tertawa. Katanya, "Tidak. Tidak ada
seorangpun dari para pembantuku yang berbuat seperti itu.
Memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri"
Tetapi Sekarsari tersenyum. Katanya, "Paduka yakin,
Kangjeng Sultan?" "Jika ada satu dua orang yang menyalah-gunakan
kedudukannya, bukankah itu wajar. Satu atau dua orang dari
puluhan bahkan ratusan orang yang setia kepadaku"
"Bagaimana jika angka itu terbalik?"
"Maksudmu?" "Puluhan bahkan ratusan orang itulah yang telah
menyalahgunakan kedudukan dan jabatannya, sedangkan
hanya dua atau tiga orang sajalah yang setia kepada paduka
dan tidak menyalah-gunakan kedudukannya?"
Kangjeng Sultan bahkan tertawa. Katanya, "Kau pandai
juga bergurau Sekarsari"
Sekarsaripun tertawa. Tetapi iapun kemudian berkata,
"Kangjeng Sultan, hamba ingin bertanya, apakah para petugas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di penjara itu dapat disebut menyalahgunakan kedudukannya
atau tidak" "Maksudmu?" wajah Kangjeng Sultan berkerut.
"Jika aku datang menengok Kakangmas Harya Wisaka,
wajah-wajah mereka jadi nampak lain. Mereka tertawa-tawa
tanpa sebab. Mereka bertanya-tanya dengan kata-kata miring
yang tidak pantas. Bahkan ada yang telah berani menyentuh
tubuh hamba" Tanggapan Kangjeng Sultan adalah di luar dugaan
Sekarsari. Sambil menghentakkan tangannya Kangjeng Sultan
Hadiwijaya menggeram, "Tunjukkan kepadaku prajurit yang
telah berani menyentuh tubuhmu. Aku akan memerintahkan
hari ini juga memancung kepalanya di alun-alun. Sedangkan
yang lain harus dihukum betek seperti binatang juga di alun-
alun agar orang-orang Pajang dapat melihat prajurit-prajurit
Pajang yang bertabiat seperti binatang"
Sejenak wajah Sekarsari menegang. Namun kemudian
bibirnya mulai tersenyum sambil berkata, "Tidak, Kangjeng
Sultan. Itu tidak perlu"
"Mereka bersalah"
"Bukankah seorang raja itu juga seorang yang bijaksana.
Pengampun dan berbudi. Kangjeng Sultan, jika saja Kangjeng
Sultan mau mendengar pendapat hamba, para prajurit itu
tidak usah dihukum. Apalagi hamba pun sudah lupa, prajurit
yang manakah yang telah berani mengganggu hamba"
"Jadi?" "Hamba hanya mohon, para prajurit yang bertugas itu
diganti saja. Bukan hanya sekelompok petugas pada saat
tertentu. Tetapi kesatuannyapun harus diganti"
Kangjeng Sultan menarik nafas panjang. Katanya,
"Beruntunglah mereka, karena kau seorang perempuan yang
baik hati" "Kenapa mereka yang ditugaskan untuk menjaga para
tawanan itu tidak diserahkan saja kepada para pelayan dalam"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka juga prajurit. Mereka harus bertanggung jawab
langsung kepada Baginda"
"Apakah sebaiknya demikian menurut pendapatmu?"
"Hamba, Sinuhun"
"Baiklah. Aku akan memikirkannya"
"Terima kasih, Kangjeng Sultan. Hamba akan merasa lebih
aman dengan para pelayan dalam daripada para prajurit yang
terbiasa berada di peperangan. Perlakuan terhadap
Kakangmas Harya Wisaka pun tentu akan berbeda. Meskipun
hamba tidak lagi merasa terikat dengan Kakangmas Harya
Wisaka, tetapi hamba merasa kasihan juga bila melihat
perlakuan yang semena-mena terhadap Kakangmas Harya
Wisaka" "Memang para tawanan dalam jenis kesalahan apapun
tidak boleh diperlakukan semena-mena, Sekarsari. Karena itu,
aku setuju dengan pendapatmu. Aku akan segera
memerintahkan untuk mengganti para petugas itu"
Sekarsari tersenyum. Sambil menyembah iapun kemudian
menundukkan kepalanya dan berdesis, "Hamba mengucapkan
terima kasih, Paduka"
Kangjeng Sultanpun justru telah turun dari tempat
duduknya. Mendekati Sekarsari. Sambil menengadahkan
wajah perempuan cantik itu Kangjeng Sultanpun berkata,
"Sekarsari. Kau tidak pantas menjadi isteri Harya Wisaka"
"Apa yang pantas bagi hamba, Paduka?"
Kangjeng Sultan tidak menjawab. Tetapi diangkatnya kedua
lengan Sekarsari untuk bangkit berdiri.
Di hari-hari berikutnya, Sekarsari menjadi semakin bebas
berada di istana. Bahkan tidak hanya di siang hari. Tetapi juga di malam hari. Kangjeng Sultan Hadiwijaya benar-benar telah
tenggelam di dalam mimpi indahnya bersama perempuan
yang bernama Sekarsari Seperti biasanya, tidak seorang pun di dalam istana Pajang
yang dapat mencegahnya. Ki Gede Pemanahan yang
mempunyai pengaruh yang besar terhadap Kangjeng Sultan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pun tidak dapat. Yang sangat mengejutkan adalah perintah
Kangjeng Sultan untuk menggantikan para prajurit yang
bertugas menjaga Harya Wisaka. Yang kemudian mendapat
perintah untuk bertugas adalah sekelompok para pelayan
dalam yang memang memiliki kemampuan sebagaimana para
prajurit. Namun demikian, ada juga perbedaan watak dari
kesatuan yang berbeda itu.
Ketika hal itu ditanyakan oleh Ki Gede Pemanahan, maka
Kangjeng Sultanpun menjawab, "Para penjaga itu harus
langsung bertanggung jawab kepadaku. Harya Wisaka adalah
seorang tawanan yang sangat berbahaya"
"Harya Wisaka adalah seorang pemberontak, Paduka"
"Ya, itulah sebabnya, ia harus mendapat penjagaan yang
sangat ketat" Ki Gede Pemanahan memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Bahkan Ki Gede tidak dapat menelusuri kenapa Kangjeng
Sultan telah menjatuhkan perintah itu. Namun Ki Gede itu
menjadi semakin curiga, ketika seorang kepercayaannya
memberikan laporan kepadanya, bahwa ia melihat Sekarsari
sedang berjalan tergesa-gesa berdua dengan seorang lurah
pelayan dalam. Seorang lurah yang masih muda.
"Apakah ada hubungannya dengan Harya Wisaka?"
"Arah pikiranku tidak kesana, Ki Gede"
"Lalu apa?" "Mereka nampak sangat mesra. Lurah pelayan dalam itu
memang seorang lurah muda yang gagah dan tampan"
"Jika Kangjeng Sultan mengetahuinya, lurah yang berwajah
tampan itu akan dapat digantung atau dipancung di alun-alun"
"Apakah yang harus aku lakukan, Ki Gede?"
"Tidak apa-apa. Tetapi awasi tempat tahanan Harya Wisaka
itu. Jangan terlalu dekat. Jika para pelayan dalam itu
mengetahuinya, mereka akan tersinggung. Aku juga akan
berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradilaga, pemimpin
pelayan dalam Pajang. Aku akan memperingatkannya, bahwa
Harya Wisaka adalah tawanan yang sangat berbahaya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prajurit itu mengangguk dalam-dalam sambil berkata,
"Baiklah, Ki Gede. Aku akan selalu mengawasinya. Aku
sekarang mohon diri"
Hari itu juga Ki Gede Pemanahan telah menemui Ki
Tumenggung Wiradilaga. Dengan hati-hati Ki Gede
memperingatkan, bahwa Harya Wisaka adalah tawanan yang
sangat penting dan berbahaya.
"Ya, Ki Gede" Ki Tumenggung Wiradilaga mengangguk
hormat. "Satu tanggung jawab yang berat. Tetapi aku sudah
menempatkan orang-orang yang baik di sekitar bilik tawanan
Harya Wisaka" "Sukurlah" sahut Ki Gede. "Jika orang-orangmu gagal
dalam tugas itu, maka kau akan mendapat hukuman yang
sangat berat" "Aku akan berhati-hati, Ki Gede"
"Setiap kali kau sendiri harus melihat keadaan medan.
Jangan terlalu percaya kepada orang-orangmu saja"
"Ya, Ki Gede. Aku akan melakukannya"
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa Ki
Tumenggung Wiradilaga adalah seorang prajurit yang baik,
yang bertugas sebagai pemimpin pelayan dalam. Karena itu,
maka Ki Gedepun dapat sedikit mengurangi ketegangan
jantungnya. Meskipun Ki Gede merasa sedikit terganggu ketenangannya
karena beberapa peristiwa yang terjadi di istana, namun ia
menaruh perhatian pula ketika dua orang datang dari Hutan
Jabung untuk menemuinya. "Ada apa?" bertanya Ki Gede kepada kedua orang prajurit


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Kami mendapat perintah dari Ki Panengah untuk
menghadap Ki Gede" "Apakah ada persoalan yang penting?"
"Ki Gede, besok Ki Ajar Wisesa Tunggal akan datang
bersama beberapa orang pengikutnya"
Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berdesis,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah. Besok aku akan datang ke Hutan Jabung. Aku ingin
menjadi saksi dari permainan yang diusulkan oleh utusan Ki
Ajar Wisesa Tunggal itu"
"Ki Panengah dan Ki Waskita memang berharap, jika Ki
Gede sempat dan tidak ada halangan apapun untuk datang ke
Hutan Jabung. Ki Panengah dan Ki Waskita mohon ijin untuk
menyiagakan para prajurit jika Ki Ajar Wisesa Tunggal
melanggar persetujuan kesepakatan"
"Aku tidak berkeberatan" jawab Ki Gede. "Besok pagi-pagi
sekali aku akan berangkat ke Hutan Jabung"
Kedua orang prajurit itupun kemudian segera minta diri.
Sementara Ki Gedepun berpesan, "Lakukan pengamatan di
sekitar lingkungan. Siapkan pasukanmu sejak malam nanti"
"Ya, Ki Gede" "Kita tidak mempercayai Ki Ajar Wisesa Tunggal itu
sepenuhnya, ia adalah orang yang tidak mempunyai
keterikatan dengan apa saja. Juga dengan janji dan kata-
katanya sendiri" "Baik, Ki Gede. Nanti akan kami sampaikan kepada Ki
Lurah" Demikianlah, sepeninggal kedua orang prajurit itu, Ki
Gedepun telah memanggil seorang lurah prajurit
kepercayaannya. Diperintahkannya untuk memilih lima orang
terbaiknya yang besok akan diajaknya pergi ke Hutan Jabung.
"Ki Gede akan pergi ke Hutan Jabung?"
"Ya. Ada sedikit permainan yang memerlukan saksi. Kita
akan menjadi saksi besok"
Malam itu, Ki Gede telah mendapat ijin dari Kangjeng
Sultan, bahwa besok Ki Gede akan pergi ke Hutan Jabung.
Sekali lagi Ki Gede mengutarakan niat Pangeran Benawa untuk
turun ke gelanggang. "Jika Kangjeng Sultan berkenan"
Tetapi tanggapan Kangjeng Sultan masih sama saja.
Rasara-sanya Kangjeng Sultan tidak menaruh perhatian
terhadap puteranya itu. Perhatian Kangjeng Sultan
sepenuhnya sedang tertuju kepada seorang perempuan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti ketika Ki Gede memberitahukan hal itu sebelumnya,
maka Kangjeng Sultanpun berkata, "Terserah kepada Kakang
Pemanahan. Kakang tentu mempunyai pertimbangan-
pertimbangan yang matang bagi Benawa"
"Hamba ingin mendengar titah Paduka"
"Terserah sajalah, Kakang"
Ki Gede Pemanahan hanya dapat menarik nafas dalam-
dalam. Kangjeng Sultan nampaknya enggan berpikir. Karena itu
dibebankannya tanggung jawab sepenuhnya kepada Ki Gede
Pemanahan. "Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka leherkulah
taruhannya" berkata Ki Gede di dalam hati.
Tetapi Ki Gede Pemanahan memang tidak dapat mendesak
Kangjeng Sultan untuk menentukan sikapnya terhadap
Pangeran Benawa. Dengan kecewa Ki Gede Pemanahanpun
minta diri. Namun Kangjeng Sultan itu masih berpesan, "Berhati-
hatilah, Kakang" "Hamba akan berhati-hati, Kangjeng Sultan. Mohon restu"
"Aku percaya kepada Kakang"
Malam itu Ki Gede Pemanahan telah berkemas.
Pengenalannya yang tidak terlalu banyak tentang Ki Ajar
Wisesa Tunggal memaksanya harus berhati-hati. Tetapi di
Hutan Jabung telah ada sepasukan prajurit yang jika
diperlukan siap untuk bertempur.
Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, Ki Gede
Pemanahan sudah berangkat ke Hutan Jabung. Ia ingin
sampai di hutan itu mendahului kedatangan Ki Ajar Wisesa
Tunggal dan orang-orangnya. Lima orang prajurit pilihan telah
ikut bersamanya. Ketika mereka sampai di Hutan Jabung, matahari masih
rendah di timur. Ki Ajar Wisesa Tunggal memang belum
datang sebagaimana diharapkan. Sejenak Ki Gede sempat
mengamati kesiagaan para prajurit. Meskipun mereka masih
tidak mengenakan pakaian keprajuritan mereka, karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka akan tetap berada di pekerjaan mereka, namun
mereka berada dalam kesiagaan penuh untuk bertempur
setiap saat diperlukan. Tempat mereka bekerjapun telah
mereka atur sesuai dengan kemungkinan yang dapat terjadi di
Hutan Jabung itu. Untuk beberapa saat Ki Gede masih menunggu. Bahkan
ketika matahari sepenggalah Ki Gede berkata kepada Ki
Panengah dan Ki Waskita, "Orang itu dapat saja tidak datang
hari ini. Tetapi esok atau lusa sesuai dengan wataknya.
Keputusannya dapat berubah setiap saat menurut
keinginannya yang berubah-ubah"
"Terpaksa kita yang harus menyesuaikan diri"
"Tidak. Kita dapat juga berbuat sekehendak kita. Jika
mereka datang, kita tidak perlu menghiraukannya" sahut
Pangeran Benawa. "Kita minta mereka menunggu sampai
esok" "Jika mereka tidak mau?" bertanya Ki Gede Pemanahan.
"Ada dua kemungkinan. Kita biarkan mereka pergi, atau
kita lumatkan mereka hari ini disini"
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, "Kita tidak perlu
menjadi seperti mereka"
Pangeran Benawa tidak menjawab. Tetapi dibaca pada
wajahnya, nampak bahwa Pangeran Benawa benar-benar
ingin mencoba mengetrapkan sikap itu terhadap Ki Ajar
Wisesa Tunggal. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, menjelang puncak
langit, barulah sekelompok orang-orang mendatangi
padepokan yang masih bersifat sementara itu, sedang
padepokan yang sesungguhnya masih dalam pembangunan.
Ki Panengah, Ki Waskita, Raden Sutawijaya, Pangeran
Benawa, Paksi dan beberapa orang cantrik yang lain telah
turun menyongsong sekelompok orang-orang berkuda itu.
Tetapi Ki Gede Pemanahan tetap duduk di pendapa bangunan
induk padepokan sementara itu. Ternyata sikap Ki Gede itu
adalah sikap yang tepat sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika iring-iringan orang berkuda itu memasuki regol
halaman, mereka telah berloncatan turun dari kuda mereka.
Tetapi seorang di antara mereka masih tetap duduk di atas
punggung kudanya. "Orang yang di punggung kuda itulah Ki Ajar Wisesa
Tunggal" desis Ki Panengah.
Para muridnya mengangguk-angguk. Namun Pangeran
Benawapun berkata, "Orang itu memang gila" Ketika mereka
mendekati orang-orang yang menyambut
kedatangannya, yang diucapkan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu
justru sebuah pertanyaan, "Kaliankah yang membuat
peraturan bahwa orang yang naik kuda harus turun di
halaman padepokan burukmu ini?"
Ki Panengah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia justru
bertanya, "Kau kenal aku, Ki Ajar?"
Ki Ajar itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya Ki
Panengah dengan saksama. Kemudian katanya, "Namamu
bukan Panengah. Juga bukan Waskita"
"Inilah yang bernama Ki Waskita" berkata Ki Panengah
sambil menunjuk Ki Waskita.
"Jadi kau siapa?"
"Aku Ki Panengah"
"Kau senang nama itu?"
"Ya" "Pakailah. Aku tidak berkeberatan"
Pangeran Benawa mulai terbakar jantungnya. Namun di
sebelahnya berdiri Raden Sutawijaya yang setiap kali
menggamitnya. "Aku ingin mempersilahkan kalian duduk di pendapa"
Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun akhirnya turun pula dari
kudanya. Katanya, "Aku ingin naik dan duduk di pendapa itu"
"Silahkan, Ki Ajar"
Namun Ki Ajar itupun tertegun sejenak. Dilihatnya seorang
yang sudah duduk di pendapa. Dengan serta-merta iapun
bertanya, "Siapakah yang sudah duduk di pendapa itu?"
"Ki Gede Pemanahan"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Gede Pemanahan?" Ki Ajar itu mengulangi.
"Bukankah kau mengenalnya atau setidak-tidaknya pernah
mendengar namanya?" "Ya. Tentu. Setiap orang Pajang tentu pernah mendengar
namanya" Tanpa dipersilahkan lagi, Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun
segera naik ke pendapa. Tanpa memberikan hormat sama
sekali kepada Ki Gede Pemanahan ia melangkah mendekat.
Sambil berdiri tegak Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun bertanya,
"Kaukah yang bernama Ki Gede Pemanahan?"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan nada
rendah ia menjawab, "Ya, Ki Sanak. Akulah Pemanahan. Kau
siapa?" "Kau tentu sudah mengenal aku atau mendengar namaku
disebut-sebut. Aku adalah Ki Ajar Wisesa Tunggal"
"Silahkan duduk, Ki Ajar" Ki Gede Pemanahan
mempersilahkannya tanpa bangkit berdiri di tempat duduknya.
Ki Ajar itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Rasa-
rasanya aku ingin duduk disitu"
Ki Ajar itupun kemudian duduk di pendapa itu. Tetapi ia
tidak duduk di atas tikar yang sudah terbentang. Ditariknya
sehelai dari tikar-tikar yang terbentang itu untuk duduk di
tengah-tengah pendapa. "Suruh mereka duduk disini. Masing-masing membawa tikar
sendiri" Ki Panengah dan Ki Waskita memang menjadi agak
canggung. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa menarik
mereka berdua dan dengan sedikit memaksa agar mereka
duduk bersama Ki Gede Pemanahan.
"Suruh mereka duduk disini" terdengar sekali lagi suara
berat Ki Ajar Wisesa Tunggal.
Raden Sutawijayalah yang kemudian duduk di hadapan Ki
Ajar Wisesa Tunggal itu bersama Paksi. Tetapi Pangeran
Benawa telah menahan agar Ki Panengah dan Ki Waskita tidak
mendekati. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun kemudian berkata lebih
keras lagi. Suaranya bagaikan guntur yang menggetarkan
langit. Pendapa itu telah terguncang dan nyaris runtuh. "Suruh mereka duduk disini"
Ternyata Ki Wisesa Tunggal itu telah memamerkan
kemampuan Aji Gelap Ngampar yang dimilikinya. Tetapi
kekuatan Aji Gelap Ngampar itu tidak mengejutkan sama
sekali. Orang-orang berilmu tinggi dari perguruan Ki Panengah
tidak terpengaruh sama sekali dengan getar Aji Gelap
Ngampar, meskipun mereka harus meningkatkan daya tahan
mereka. Terutama bagi bagian dalam tubuh mereka.
Karena itu, mereka seakan-akan tidak mendengar dan tidak
mengetahui bahwa pendapa yang mereka pergunakan
sementara itu terguncang. Mereka masih saja duduk di tempat
mereka masing-masing. Bahkan Raden Sutawijaya dan Paksi
yang duduk di hadapan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu masih saja
duduk sambil tersenyum-senyum.
Wajah Ki Ajar itu nampak berkeringat. Tidak ada seorang
pun dari mereka yang duduk bersama-sama Ki Gede
Pemanahan berpindah tempat. Aji Gelap Ngampar yang
dilontarkan itu sama sekali tidak berpengaruh atas orang-
orang dari padepokan Ki Panengah.
Ki Gede Pemanahan masih tetap duduk di tempatnya. Ki
Panengah dan Ki Waskita duduk beberapa jengkal dari Ki
Gede. Di sebelahnya lagi adalah Pangeran Benawa.
Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu bangkit berdiri.
Ki Panengah dan Ki Waskita tidak sempat menangkap
pergelangan tangannya. "Mau apa anak itu" desis Ki Gede Pemanahan.
Pangeran Benawapun kemudian menarik sehelai tikar lagi.
Tetapi tidak dibawa mendekati Ki Ajar Wisesa Tunggal. Tetapi
ditariknya tikar itu ke sudut. Tiba-tiba saja Pangeran Benawa
itu berbaring di atas tikar itu. Bahkan Pangeran Benawa itupun telah memejamkan matanya.
"Aku mengantuk" berkata Pangeran Benawa. "Jika saat
berkelahi itu tiba, bangunkan aku"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi merah. Dengan
garang ia berkata, "He, siapa kau" Murid Ki Panengah"
Pantas, kau tidak tahu aturan sama sekali. Aku tamu
padepokan ini masih berada disini, kau tidur disitu"
Tetapi Pangeran Benawa itupun bertanya, "Siapakah yang
telah membuat aturan itu" Kau" Atau siapa" Aku tidak terikat
pada peraturan apapun juga, kecuali peraturan dan paugeran
yang ditetapkan oleh Kangjeng Sultan"
"Persetan dengan Kangjeng Sultan"
"Persetan dengan peraturanmu. Aku mau tidur. Peliharalah
mulutmu baik-baik, Ki Ajar Wisesa Tunggal"
Kemarahan Ki Ajar sampai ke ubun-ubun. Tiba-tiba saja ia
meloncat bangkit. Namun bersamaan dengan itu, Raden Sutawijaya dan Paksi
yang duduk di hadapannya telah bangkit pula dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Sementara Pangeran
Benawa masih tetap berbaring. Bahkan dengan lantang
Pangeran Benawa itupun berkata, "Kau tidak boleh marah, Ki
Ajar, sebagaimana Ki Panengah juga tidak marah ketika kau
tidak mau turun dari kudamu saat kau memasuki halaman
padepokan ini, karena kau merasa tidak terikat pada
peraturan yang ada. Sekarang, biar saja aku berbuat sesuka
hatiku tanpa menghiraukan peraturan, sopan-santun dan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

unggah-ungguh" "Setan kau, aku ingin melumatkan mulutmu"
"Aku masih memerlukan mulutku, Ki Ajar"
Kemarahan Ki Ajar tidak terbendung lagi. Tiba-tiba saja
iapun berteriak, "Kita turun ke halaman. Kita mulai
pertarungan itu. Lima orang dari perguruanku dan lima orang
dari perguruan Ki Panengah. Selebihnya orang-orangku akan
menjadi saksi, bahwa nama besar perguruan Ki Panengah
akan runtuh. Pajang akan segera berpaling dari perguruan ini
kepada perguruanku, sehingga semua bantuan, uang dan
kelengkapan akan mengalir ke padepokanku"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Istana Pajang hanya akan menghargai orang yang tahu
dan patuh kepada peraturan dan paugeran. Kecuali jika kau
yang menjadi raja di Pajang"
"Itu tidak mustahil" sahut Ki Ajar Wisesa Tunggal.
Tetapi Pangeran Benawa yang masih berbaring itu tertawa
berkepanjangan. Ki Ajar itupun sekali lagi berteriak, "Kita akan segera mulai.
Makin cepat makin baik"
Ki Ajar tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah
turun ke halaman. Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Gede Pemanahanpun telah
bangkit pula. Merekapun segera turun pula ke halaman,
sementara Raden Sutawijaya menghampiri Pangeran Benawa
sambil berkata, "Marilah. Kita turun ke halaman. Bukankah
kau menunggu saat seperti ini?"
Pangeran Benawa bangkit berdiri. Katanya, "Ajar edan itu
harus dipaksa untuk mengerti paugeran sebagai tatanan
kehidupan yang harus dianut dan dipatuhi oleh masyarakat"
"Kita akan mendapat kesempatan nanti"
Pangeran Benawa tidak berkata apa-apa lagi. Tapi iapun
segera turun pula ke halaman.
Dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun berkata,
"Kita akan memperbandingkan ilmu dari lima orang dari
padepokanku dan lima orang dari padepokan Ki Panengah.
Kita tidak akan menentukan siapa melawan siapa. Tetapi lima
orang melawan lima orang"
Ki Panengah dan Ki Waskita menarik nafas panjang. Justru
sebelum mereka mengusulkan, Ki Ajar Wisesa Tunggal sudah
menyebutnya. Ketika mereka berpaling kepada Ki Gede
Pemanahan, maka Ki Gede itupun menganggukkan kepalanya
sambil tersenyum. Karena itu, maka Ki Panengahpun berkata, "Baiklah, Ki
Ajar. Kita masing-masing akan turun bersama lima orang yang
akan berhadapan dengan lima orang. Ini adalah satu
kesepakatan" "Apa artinya kesepakatan?" bertanya Ki Ajar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita masing-masing harus tunduk pada kesepakatan itu"
"Jika tiba-tiba timbul niat yang lain, kenapa kita harus
terbelenggu dengan kesepakatan?"
"Baik" yang menjawab adalah Pangeran Benawa yang juga
sudah turun ke halaman. Kemudian iapun berkata lantang, "Ki
Lurah, siapkan para prajurit. Semuanya. Jika nanti tiba-tiba
aku bermimpi buruk, aku ingin kalian semuanya turun ke
arena untuk membantai orang-orang yang berani datang
memasuki padepokan kita"
Ki Ajar mengerutkan dahinya. Katanya, "Itu pikiran gila"
"Bukan pikiran gila. Hanya kalau tiba-tiba timbul niat yang
lain" "Tetapi itu bukan sifat laki-laki"
"Apa arti sifat seseorang dihadapkan kepada kesepakatan"
Sifat laki-laki adalah berpegang pada kesepakatan, tanpa tiba-
tiba timbul niat yang lain" jawab Pangeran Benawa.
Ki Ajar Wisesa Tunggal menggeram. Ia belum pernah
berhadapan dengan orang yang bersikap demikian keras
terhadapnya. Namun tiba-tiba saja Ki Ajar itu membentak,
"He, siapa namamu?"
"Itu tidak penting. Kenapa kita harus terikat pada sebuah
nama?" "Gila. Anak iblis" teriak Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Bersiaplah.
Kita akan membuat arena"
Para cantrik dari padepokan Ki Panengah dan para
pengiringnya telah membentuk satu lingkaran bersama para
prajurit yang bekerja di padepokan itu. Mereka telah
menghentikan kerja mereka dan ikut menyaksikan
perbandingan ilmu yang diinginkan oleh Ki Ajar Wisesa
Tunggal yang ingin merebut kepercayaan istana Pajang dari
padepokan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu.
Dalam pada itu, lima orang dari padepokan Ki Panengah
telah berada di lingkaran arena. Ki Panengah dan Ki Waskita
sendiri, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi.
Sementara itu, dari kubu Ki Ajar Wisesa Tunggal telah turun
lima orang pula. Tidak termasuk Ki Ajar Wisesa Tunggal.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Setan tua itu tidak turun ke arena" desis Pangeran
Benawa. Raden Sutawijaya termangu-mangu pula. Namun
ketika ia memandang Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gede
itupun mengangguk. "Ayah akan mengawasinya" desis Raden Sutawijaya
kemudian. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki
Kriyadama justru berdiri hanya beberapa langkah saja dari Ki
Ajar Wisesa Tunggal. "Mereka tidak akan berani berbuat gila disini" desis Raden
Sutawijaya. "Mereka dikelilingi oleh prajurit Pajang. Ki Ajar
Wisesa Tunggalpun tahu, bahwa Ki Gede Pemanahan ada
disini pula" Pangeran Benawa masih mengangguk-angguk. Sementara
itu, Ki Panengah yang berdiri di sebelah Paksipun berdesis,
"Berhati-hatilah, Paksi. Kau akan menjadi taruhan"
"Ya, Guru" "Apakah orang yang bernama Semburwangi itu ada di
antara mereka?" "Tidak, Guru. Tetapi Ki Surakanda ada di antara lima orang
itu" "Ya. Nampaknya orang itu sangat yakin akan dapat
mengalahkan kita dan membawamu kepada Ki Semburwangi"
"Tetapi bukankah Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak menyebut-
nyebut namaku?" "Tetapi jika mereka benar-benar menang, Surakanda tidak
akan melupakan perjanjian itu, meskipun seperti sikap
Pangeran Benawa, tiba-tiba saja dapat timbul niat yang lain"
Paksi tersenyum. Sementara Ki Waskitapun berkata, "Itu
hanya satu cara untuk menutupi kelicikan-kelicikan yang selalu dilakukan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal. Ia sengaja berbuat
agar dirinya dianggap tidak mau terikat kepada segala bentuk
peraturan dan paugeran"
"Tepat" sahut Ki Panengah.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggalpun telah
berteriak, "Bersiap-siaplah. Kalian masing-masing lima orang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekali lagi aku katakan, bahwa kalian lima orang berhadapan
dengan lima orang" Namun tiba-tiba seperti yang dikatakan oleh Ki Panengah,
Surakanda itupun berteriak, "Jika kami menang, kami akan
membawa Paksi bersama kami. Paksi tidak dapat menolak"
Tetapi seperti sudah diduga pula, Pangeran Benawapun
menyahut, "Persetan dengan kesepakatan. Jika tiba-tiba aku
mempunyai keinginan lain, terserah kepadaku"
"Itu perbuatan licik"
"He, apa artinya licik" Aku tidak pernah mendengar kata-
kata itu sehingga aku tidak tahu artinya" jawab Pangeran
Benawa. Bahkan sekali lagi Pangeran Benawa itu berteriak, "Ki
Lurah, siapkan prajuritmu. Aku dapat saja mengigau menurut
selera mulutku" Betapapun ketegangan mencengkam arena itu, tetapi
beberapa orang sempat tersenyum melihat sikap Pangeran
Benawa. Ki Gede Pemanahanpun tersenyum pula. Sementara
wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal justru menjadi kemerah-
merahan. Ia tidak mengira bahwa pada suatu saat ia akan
bertemu dengan seseorang yang telah membenturkan
kebiasaannya itu dengan tingkah laku yang sangat
menjengkelkan, sehingga Ki Ajar Wisesa Tunggal itu telah
termakan oleh kebiasaannya sendiri.
Dengan suara yang menggelegar Ki Ajar Wisesa Tunggal
itupun berteriak, "Kita akan segera mulai"
Beberapa orang prajurit yang berdiri di sekitar arena
merasakan getar suara itu seakan-akan menghentak di dada
mereka. Tetapi suara yang dilontarkan dengan kekuatan Aji
Gelap Ngampar itu sama sekali tidak mempengaruhi kelima
orang yang telah berdiri di arena.
Kelima orang yang sudah berada di dalam lingkaran itupun
segera mempersiapkan diri. Agaknya orang-orang Ki Ajar
Wisesa Tunggal yang berada di dalam lingkaran itu dipimpin
oleh Ki Surakanda. Beberapa kali ia melambaikan tangannya
untuk memberikan isyarat kepada keempat orang kawannya.
Seorang di antara kelima orang pengikut Ki Ajar Wisesa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggal itu adalah seorang yang bertubuh tinggi dan besar.
Kepalanya botak dan sengaja tidak memakai ikat kepala.
Tetapi kumisnya tumbuh lebat di bawah hidungnya,
terpelihara rapi menyilang hampir sampai ke telinga meskipun
sudah bercampur putih. Seorang lagi tubuhnya terhitung kecil. Tetapi sejak
memasuki arena, tubuhnya selalu bergerak dengan lincahnya.
Tubuhnya yang kecil itu agaknya memang terlalu sulit untuk
disentuh. Rambutnya yang sudah putih, terjurai di bawah ikat
kepalanya yang dipakainya sekenanya saja.
Yang lain adalah seorang yang umurnya separo baya.
Seorang yang berwajah tampan. Kumisnya yang tipis
terpelihara rapi. Pakaiannya nampak tertata dengan tertib dan
berwarna cerah. Seorang lagi justru sangat menarik perhatian. Seorang tua
yang bertubuh kurus dan tidak mengenakan baju, sehingga
tulang-tulang iganya nampak mengambang di dadanya.
Sepasang matanya yang cekung memancarkan kilatan-kilatan
kemampuannya yang tinggi.
Ki Panengah memperhatikan orang itu sejenak. Kemudian
iapun berdesis, "Orang inilah yang harus mendapat perhatian
utama" Raden Sutawijaya yang memiliki ilmu seakan-akan tidak
terbatas itupun berkata, "Lintang Wora-wari"
Ki Panengah dan Ki Waskita mengerutkan dahinya.
Perlahan Ki Waskita berdesis, "Raden yakin?"
"Ya. Serahkan orang itu kepadaku meskipun kita akhirnya
akan bekerja bersama"
Tetapi Pangeran Benawa justru tertawa. Namun sebelum ia
mengatakan sesuatu, Raden Sutawijaya berdesis, "Sst. Mereka
sudah siap" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan
malas ia melangkah menjauhi Raden Sutawijaya. Ketika ia
lewat di depan Paksi, iapun berdesis, "Jangan terlalu jauh dari Kakangmas Sutawijaya. Mata orang yang tidak berbaju itu
sangat berbahaya. Ia memiliki ilmu Lintang Wora-wari"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata ada juga jenis ilmu yang belum diketahuinya.
Tanpa ditentukan sebelumnya, Ki Ajar Wisesa Tunggal itu
telah menempatkan diri untuk memimpin perbandingan ilmu
antara dua padepokan itu. Sepuluh orang yang berada di
dalam arena itu sama sekali tidak bersenjata. Sementara itu,
Ki Gede Pemanahanpun mengerutkan dahinya ketika ia
melihat orang yang tidak berbaju itu.
Di sisi lain, Ki Kriyadamapun menjadi tegang. Ternyata Ki
Ajar Wisesa Tunggal tidak bermain-main dengan acaranya itu.
Ki Kriyadamapun menaruh perhatian terbesar kepada orang
tua kurus yang tidak berbaju itu.
Dalam pada itu, para prajurit yang berada di sekitar arena
itupun menyadari, bahwa orang-orang yang berada di dalam
arena itu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Namun seperti dikatakan oleh Pangeran Benawa, merekapun
harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang sudah
berada di arena itupun telah menyebar. Kedua belah pihak
tidak ingin bertempur dalam kelompok yang menyatu,
meskipun mereka akan berhadapan dalam keutuhan.
Ternyata bukan hanya Pangeran Benawa yang
memperingatkan Paksi, tetapi Raden Sutawijayapun berdesis
di telinga Paksi sambil lalu, "Hindari orang tidak berbaju itu.
Jangan terlalu jauh dari aku"
Paksi mengangguk kecil. Tetapi dengan demikian ia
menyadari betapa berbahayanya orang kurus yang tidak
berbaju itu. Dalam pada itu, terdengar suara Ki Ajar Wisesa Tunggal
berteriak nyaring. Suaranya meninggi menggetarkan arena itu,
"Kenapa kalian tidak segera mulai?"
Ki Surakandalah yang pertama-tama meloncat menyerang.
Dendamnya benar-benar tertuju kepada Paksi. Namun dengan
demikian, kedua orang guru Paksi, Raden Sutawijaya dan
Pangeran Benawa justru tidak terlalu mencemaskannya lagi.
Serangan Ki Surakanda berarti bahwa untuk sementara Paksi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak akan berhadapan langsung dengan orang yang tidak
berbaju itu. Dalam pada itu, Raden Sutawijayalah yang melangkah
mendekati orang yang tidak berbaju itu. Sambil tersenyum
Raden Sutawijayapun berdesis, "Kita belum saling mengenal,
Ki Sanak" Tetapi di luar dugaan Sutawijaya, ternyata orang itu terlalu
garang. Yang pertama-tama diucapkan adalah umpatan kasar.
Kemudian katanya, "Kau mau apa tikus kecil?"
"Ah, jangan begitu, Ki Sanak. Mungkin dalam pertemuan ini
kita akan dapat saling menimba ilmu"
"Aku cekik kau sampai mati. Dan itu bukan salahku"
"Kenapa kau menjadi begitu garang?"
Orang itu tidak menjawab. Namun Sutawijaya benar-benar
harus berhati-hati. Ia melihat pada matanya yang cekung itu
bayangan yang kelam, sehingga kedua mata orang itu seakan-
akan membenam. Namun justru matanya itulah yang harus
mendapat perhatian, meskipun tidak harus ditatap.
Sejenak kemudian orang bertubuh kurus itu melangkah


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maju sambil berdesis, "Berjongkoklah, supaya kau tidak
mengalami perlakuan buruk. Biarlah empat orang kawanmu
saja yang ikut bermain"
"Apakah kita akan berjongkok bersama-sama?" bertanya
Raden Sutawijaya. "Persetan dengan kau"
Tiba-tiba tangan orang itu terayun mendatar menyambar
ke arah wajah Raden Sutawijaya. Tetapi Raden Sutawijaya
yang sudah siap telah memiringkan wajahnya, sehingga
tangan orang kurus itu tidak menyentuhnya.
Namun serangannya tidak terhenti. Iapun segera
mengayunkan tangannya yang lain menyambar ke arah
kening. Namun sekali lagi Raden Sutawijaya sempat
menghindar. "Tikus kecil. Ternyata kau tangkas juga"
Raden Sutawijaya tidak menjawab. Sementara itu, orang
kurus itu mendesak terus sambil mengayunkan kedua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangannya berganti-ganti. Tetapi Raden Sutawijaya tidak
membiarkan orang itu terus-menerus menyerangnya dengan
tangannya sambil melangkah maju, seakan-akan tidak akan
pernah terjadi perlawanan sama sekali. Karena itu, maka tiba-
tiba saja Raden Sutawijaya telah menyerang orang itu dengan
kakinya. Dengan mudah serangan itu dilakukan. Orang itu
sama sekali tidak melindungi dirinya. Tidak berusaha menghindar dan
membiarkan kaki Raden Sutawijaya mengenai perutnya.
Raden Sutawijaya yang menyadari bahwa orang itu berilmu
sangat tinggi, telah mengerahkan sebagian besar dari
kekuatan tenaga dalamnya. Raden Sutawijaya tidak ingin
bahwa serangan kakinya itu justru akan menyakiti dirinya
sendiri. Jika saja kekuatannya memantul oleh daya tahan
tubuh lawannya, maka serangan kakinya itu akan dapat
menyakiti diri sendiri. Yang menjadi sangat terkejut adalah orang yang kurus itu.
Ia tidak mengira bahwa lawannya yang masih terhitung muda
itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Lawannya yang
menyerang tubuhnya dengan kakinya itu tidak terpental dan
jatuh berguling serta menyeringai menahan sakit. Tetapi
serangan kakinya itu mampu menggoyahkan keseimbangannya. Bahkan orang tua
yang tidak berbaju itu terdorong dua langkah surut.
"Gila" geram orang itu, "ini adalah satu kegilaan"
"Kenapa?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Kau mempunyai kekuatan yang demikian besarnya"
"Aku lebih muda darimu, Kek. Bukankah wajar jika
wadagku masih lebih kuat dari wadagmu"
"Tetapi kekuatan seseorang tidak tergantung kepada
kemampuan kewadagan saja"
"Aku percaya. Seandainya ilmu kita seimbang, maka
kemudaanku adalah satu kelebihan di antara kita"
"Ilmu kita seimbang?" bertanya orang tua itu.
"Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang tua itu tertawa berkepanjangan sehingga perutnya
yang tipis itu terguncang-guncang. "Kau membuat perutku
sakit, Ki Sanak" Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia sempat
memandang orang-orang di seputar arena. Hampir semua
orang memandang orang kurus yang sedang tertawa itu.
Bahkan, orang-orang yang sedang berada di arenapun telah
berpaling kepadanya. Sedangkan Ki Ajar Wisesa Tunggal, tanpa
mengetahui persoalannya telah ikut tertawa pula.
"Kau lucu, Ki Sanak" berkata orang itu sambil tertawa.
"Ya, kawan-kawanku juga mengatakan aku lucu" jawab
Raden Sutawijaya. "Tutup mulutmu" tiba-tiba orang tua kurus itu membentak.
Raden Sutawijayapun terdiam. Sementara orang tua itu
berkata, "Ternyata kau tidak menyadari dengan siapa kau
berhadapan" "Bukankah sudah aku katakan, kita belum saling
mengenal?" "Akulah yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng
Carangcendana" "Wah" "Kenapa?" "Tidak apa-apa. Aku senang mendengar nama Ki Ageng"
-ooo00dw00ooo- Jilid 21 WAJAH orang yang menyebut dirinya Ki Ageng
Carangcendana itu menggeram. Dipandanginya Raden
Sutawijaya dengan tajamnya.
Terasa angin semilir menyentuh tubuh Raden Sutawijaya.
Demikian segarnya menyapu wajahnya, seakan-akan Raden
Sutawijaya berada di sejuknya bayangan pohon yang rindang,
di saat matahari menjadi terik. Raden Sutawijaya menarik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa orang yang menyebut
dirinya Ki Ageng Carangcendana itu menjadi sangat marah.
Orang itu sudah mulai menyerangnya. Angin yang segar itu
dapat membuat seseorang menjadi sangat mengantuk,
sehingga kehilangan pemusatan nalar budi meskipun di medan
pertempuran. Tetapi Raden Sutawijaya adalah seorang yang memiliki ilmu
seakan-akan tidak terbatas. Karena itu, maka dengan penuh
kesadaran, ia telah meredam lapisan pertama ilmu Lintang
Wora-wari yang tersimpan di dalam diri orang tidak berbaju
itu. Lewat pandangan matanya ia mampu membuat lawannya
menjadi lemah dengan seribu macam cara.
Raden Sutawijaya tiba-tiba menguap. Matanya menjadi
redup. Namun sebenarnyalah bahwa ia sama sekali tidak
terpengaruh oleh lapisan pertama ilmu lawannya itu.
"Aku sudah menyebut namaku. Siapakah namamu?"
bertanya Ki Ageng Carangcendana.
Raden Sutawijaya mengusap matanya. Dengan nada dalam
iapun menjawab, "Namaku Sasangka. Aku adalah murid
sulung perguruan Ki Panengah"
Ki Ageng Carangcendana menarik nafas panjang. Katanya,
"Namamu bagus. Jika kau murid sulung Ki Panengah, maka
kau merasa bahwa di antara murid-muridnya yang lain, kau
adalah murid yang memiliki ilmu tertinggi"
Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, "Tidak. Ada dua
orang saudaraku yang memiliki ilmu seimbang dengan aku.
Murid kedua dan ketiga. Namanya Wijang dan Paksi. Ia juga
berada di arena ini"
Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Iapun
kemudian memandang berkeliling. Orang-orang di sekitarnya
sudah mulai bergeser dan bahkan saling menjajagi
kemampuan lawan. "Kalian akan sangat menyesal dengan melayani tantangan
Ki Ajar Wisesa Tunggal"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Sutawijaya menggeleng. Katanya, "Tidak. Kami tidak menyesal. Perbandingan ilmu ini akan dapat menambah
luasnya wawasan kami terhadap ilmu kanuragan"
"Kau salah, Sasangka. Setelah perbandingan ilmu ini, kalian tidak akan pernah mampu menyimpan ilmu yang paling dasar
sekalipun. Meskipun tubuh kalian tidak cacat, tetapi urat nadi dan simpul-simpul syaraf kalian akan rusak, sehingga kalian
akan menjadi orang-orang yang dungu. Lemah ingatan dan
kehilangan pribadi" "Bukankah tujuan perbandingan ilmu itu bukan begitu" Kita hanya akan melihat siapakah yang lebih unggul di antara kita.
Itu saja" Orang yang mengaku bernama Carangcendana itu tertawa.
Katanya, "Kau mulai menyesal" Tidak ada gunanya sekarang.
Semuanya harus berjalan menurut rencana. Kalian semuanya
akan mengalami nasib yang sama, kecuali anak yang bernama
Paksi itu. Ia akan kami bawa ke padepokan kami. Ia akan
menyesali nasibnya untuk waktu yang sangat panjang. Bahkan
sepanjang hidupnya. Ia akan merintih setiap hari, tetapi ia
tidak akan cepat mati meskipun ia menghendaki. Paksi telah
mempermalukan salah seorang kepercayaan Ki Ajar Wisesa
Tunggal yang justru bermaksud baik untuk menjemputnya
atas permintaan ayahnya"
"Ternyata kalian tidak jujur" desis Raden Sutawijaya.
"Sebagaimana kau lihat, disini sepasukan prajurit siap untuk bertempur. Satu kata saja meluncur dari mulut Ki Gede
Pemanahan, maka kalian akan menjadi debu. Apalagi jika Ki
Gede Pemanahan dan Ki Kriyadama turun ke arena setelah
mereka mengetahui kecurangan kalian. Niat kalian yang
curang" "Bukankah dalam perkelahian dapat saja terjadi kecelakaan sehingga kalian akan menjadi orang yang tidak waras seumur
hidup kalian?" "Jika itu terjadi tiba-tiba, memang tidak akan dapat
dipersalahkan. Tetapi kali ini kau sudah merencanakannya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tinggal kejantananmu dan kawan-kawanmu termasuk
gurumu. Apakah kalian pengecut atau bukan"
"Baiklah. Jika demikian, jelas bagiku, apa yang harus aku lakukan"
Ki Ageng Carangcendana itupun tertawa. Kembali terasa
angin berhembus semilir mengusap wajah Raden Sutawijaya.
Pada saat yang demikian, Raden Sutawijaya sengaja
memandang ke pusat mata Ki Ageng Carangcendana yang
seakan-akan tersembunyi di dalam lubang yang sangat dalam.
Pada mata itu, Raden Sutawijaya seakan-akan melihat kabut
tipis yang mengepul, berhembus bersama semilirnya angin itu
ke wajahnya. Raden Sutawijaya itupun menguap. Sementara itu
terdengar suara Ki Ageng Carangcendana, "Jangan
mengantuk, anak manis. Kita berada di tengah-tengah
gelanggang pertarungan"
Raden Sutawijaya tidak menjawab. Namun angin lembut
itupun masih saja terasa. Tidak henti-hentinya. Sementara itu
sekali lagi Raden Sutawijaya menguap.
"Jika udara panas bagaikan mencekik, aku senang dapat
berbicara dengan kau, Ki Ageng Carangcendana"
"Kenapa?" "Terasa kesejukan berhembus mengusap tubuhku. Aku
memang mengantuk. Tetapi jangan takut bahwa aku akan
tertidur, karena aku sadar, kita berada di arena"
Kesatria Berandalan 1 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Peristiwa Bulu Merak 1
^