Pencarian

Si Kumbang Merah 12

Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


"Han Siong......! tiba Hay Hay memegang kedua tangan sahatnya itu dan hatinya merasa terharu sekali. Juga kagum. Pemuda ini memang pantas menjadi sahabatnya, pantas menjadi seorang pendekar budiman. Penuh tanggung jawab atas semua perbuatannya! "Han Siong, tenangkan hatimu, kawan! Terpaksa aku akan memberi tahu kepadamu akan hal yang amat menyedihkan, yang telah menimpa diri Ci Goat....."
Han Siong terkejut. "Apa" Apa maksudmu?"
"Ia........Ouw Ci Goat.......ia telah tewas, Han Siong."
Han Siong terkejut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. "Apa" Bagaimana" Hay Hay, ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
Hay Hay menghela napas, penuh iba karena teringat akan keadaan gadis manis itu. "Ketika aku membayangimu, sampai ke kuil tua di mana tiga orang pendeta Lama itu berada, aku masuk melalui pintu belakang. Dan aku menemukan tubuh nona Ouw Ci Goat di bagian belakang kuil itu, sudah menjadi mayat, tentu terbunuh oleh mereka......."
Han Siong melompat dan mengepal tinju. "Keparat jahanam para pendeta Lama itu.......
"Sudahlah, Han Siong. Mereka bertiga itupun sudah mati. Sudah dikehendaki Tuhan agaknya bahwa sampai sekian saja riwayat nona Ouw Ci Goat. Aku telah mengubur jenazahnya di dekat kuil itu, baru aku melakukan pengejaran ketika engkau dibawa oleh tiga orang Lama itu. Nah, engkau tahu sekarang, dan tidak perlu menyedihi yang sudah mati." Hay Hay menghibur dan sengaja dia mengambil sikap gembira lagi. "Dan itu berarti engkau telah bebas, Han Siong, engkau dapat menikah dengan nona Mayang!"
Dengan sikap masih penuh kedukaan, Han Siong berkata lirih, "Hay Hay, bagaimanapun juga, nona Ouw Ci Goat tewas karena aku! Bagaimana aku tidak akan berduka dan menyesal" Aku seorang yang bertanggung jawab, Hay Hay. Andaikata nona Ouw Ci Goat tidak tewas, aku akan dengan sungguh hati menikahinya! Dan kuharap engkaupun memiliki cukup kegagahan untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap nona Mayang. Karena kalau tidak, tentu aku akan membencimu dan aku tidak akan memandangmu sahabat lagi, Hay Hay. Mungkin akan kupandang engkau sebagai seorang laki-laki pengecut dan sebagai musuhku!"
Hay Hay memandang kawannya itu dengan mata terbelalak dan lenyap semua sikap main-main dari wajahnya. "Han Siong, apa maksudmu" Engkau mengatakan aku harus bertanggung jawab terhadap Mayang" Apa artinya ini" Kalau kaukira aku telah......telah engkau keliru sekali!"
Han Siong yang masih tenggelam ke dalam kegetiran dan kedukaan itu, memandang wajah temannya dan suaranya terdengar bersungguh-sungguh. "Aku percaya, Hay Hay, bahwa engkau belum bertindak sejauh itu. Akan tetapi, engkau telah melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!"
"Heiii! Apa salahnya dengan itu, Han Siong" Memangnya aku yang menelanjangi nya" Aku hanya menyelamatkannya dari tangan Pat Hoa Lama yang hampir saja memperkosanya!"
"Benar, akan tetapi bagaimanapun juga, engkaulah satu-satunya pria hidup yang pernah meljhatnya dalam keadaan seperti itu. Dan engkaupun sudah bermesraan dengan nona Mayang, saling peluk dan saling cium! Apakah engkau hendak menyangkal bahwa nona Mayang amat mencintaimu?"
Hay Hay sekali ini memandang bodoh dan menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu akan isi hatinya, Han Siong."
"Dan engkau berani menyangkal bahwa engkau mencintanya?"
"Itu......itu akupun tidak tahu benar. Aku suka, kagum dan sayang kepadanya, akan tetapi cjnta" Ah, aku tidak pernah merasa jatuh cinta....."
"Mata keranjang! Perayu wanita! Engkau sudah mendekapnya dan menciuminya dan engkau bilang tidak tahu apakah mencintanya" Hay Hay, apakah engkau hendak menjadi seorang jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga atau penjahat pemerkosa wanita)?"
Wajah Hay Hay berubah merah sekali karena saat Han Siong mengeluarkan ucapan itu, diapun teringat akan ayah kandungnya! Ucapan itu seperti mengingatkannya bahwa dia adalah putera kandung Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hoa-cat yang amat keji dan jahat!
"Pek Han Siong!" katanya dengan ketus. "Apakah engkau hendak mengatakan bahwa karena ayahku seorang jai-hoa-cat, maka akupun menjadi seorang penjahat cabul?"
"Benar! Kalau engkau tidak mau bertanggung jawab dan menikah dengan nona Mayang lalu apa bedanya engkau dengan Ang-hong-cu?" Han Siong berkata marah.
"Engkau hendak menghinaku?" Hay Hay bangkit dan mengepal tinju.
Han Siong juga bangkit dan mengepal tinju. "Sesukamu kalau engkau berpendapat begitu! Pendeknya, kalau engkau tidak mau menikah dengan nona Mayang, engkau akan menghadapi tiga hal!"
"Huh! Engkau mengancam" Apa yang kaumaksudkan dengan tiga hal itu?" Hay Hay mengambil sikap menantang pula.
"Dengar baik-baik! Pertama, engkau akan menghadapi aku sebagai seorang musuh! Aku akan menganggapmu seorang yang merusak kehidupan seorang gadis, mendatangkan aib baginya dan tidak bertanggung jawab. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam dan menantangmu!"
"Hemmm, itu hanya anggapanmu. Dan aku tidak mungkin dapat kaupaksa menikah hanya dengan ancaman itu"
"Ke dua," kata Han Siong tidak memperdulikan jawaban Hay Hay. "Engkau akan berhadapan dengan Kim Mo Siankouw yang akan menantangmu karena ia tidak mau membiarkan engkau menghina muridnya, merayu muridnya kemudian setelah muridnya jatuh cinta, engkau tidak bertanggung jawab."
"Ehhh" Kenapa Kim Mo Siankouw juga berpemandangan sesempit itu, seperti juga engkau" Sungguh aku tidak mengerti!" Hay Hay sekali ini mengeluh.
"Masih ada yang ke tiga!" kata pula Han Siong penuh kemarahan dan suaranya meninggi. "Kalau engkau menolak untuk menikah dengan nona Mayang, maka nona Mayang akan membunuh diri!"
"Bohong......!!" Hay Hay berseru, kaget bukan main, matanya terbelalak memandang wajah Han Siong karena biarpun mulutnya meneriakkan pemuda itu bohong, namun hatinya maklum bahwa Han Siong tidak akan berbohong. Dan ancaman ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling hebat. Menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw, biarpun amat berat baginya, masih dapat dia hadapi. Akan tetapi ancaman Mayang untuk membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding!
Tidak mungkin ia......ia......sebodoh itu!"
"Hemm, dasar laki-laki mata keranjang, mau enaknya sendiri saja, mau mengambil bunganya tidak mau terkena durinya! Engkau mengatakan ia bodoh, ya" Bayangkan saja! Ia telah mengalami aib, tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat dilihat seorang pria, kemudian pria itu dicintanya dan ternyata pria itu tidak mau menjadi suaminya! Hanya ada dua pilihan bagi seorang gadis yang menjaga baik nama dan kehormatannya, yaitu membunuh pria itu atau membunuh diri. Karena nona Mayang mencintamu, engkau laki-laki yang tidak patut mendapat cinta seorang wanita, maka ia tidak akan membunuhmu dan akan membunuh diri. Hal ini dikatakan oleh ibu nona Mayang dan aku mendengarnya sendiri! Nah, katakanlah aku membohong!"
Sekali ini Hay Hay jatuh terduduk dan bengong seperti patung. Dia tidak mampu bicara lagi, hanya memandang kosong seperti orang kehilangan semangat, dan mulutnya berkemak-kemik, "..... menikah....." Menikah......" Ya ampuuunn.......menikah?"
Melihat ini, diam-diam Han Siong merasa girang. Rasakan engkau sekarang, orang mata keranjang, pikirnya. Kalau sudah menjadi suami Mayang, tentu gadis itu akan mampu memasangi kendali pada hidungnya sehingga dia tidak akan liar lagi! Dia tidak merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Mengapa kasihan" Hay Hay akan menikah dengan seorang gadis yang hebat! Cantik jelita, manis, pandai, kaya raya. Mau apa lagi" Dia masih tenggelam dalam duka teringat akan kematian Ci Goat, maka dia lalu berkata dengan suara lembut.
"Hay Hay, pikirkan baik-baik semalam ini. Besok pagi-pagi, mereka sudah mengharapkan jawabanmu yang pasti. Selamat malam!" Han Siong meninggalkan Hay Hay yang masih duduk di atas kursinya seperti boneka hidup itu.
* * * "Kiong-hi (selamat), kiong-hi!" kata Wakil Dalai Lama ketika pada keesokan harinya dia mendengar bahwa Hay Hay dipertunangkan dengan Mayang. "Aih, sungguh tepat sekali. Pinceng (aku) mengenal baik siapa Kim Mo Siankouw, maka muridnya tentu hebat dan merupakan seorang gadis pilihan! Dan saudara ini, biarpun masih muda namun sudah memiliki kepandaian hebat! Tentu dia akan menjadi seorang yang amat berguna bagi negara dan bangsanya!"
Mereka semua berkumpul di ruangan tamu. Hay Hay pada hari itu terpaksa memberi jawaban dan tidak ada lain jalan baginya kecuali menerima usul perjodohan itu. Yang paling berat adalah kenekatan Mayang. Gadis itu akan membunuh diri kalau dia menolak ikatan jodoh itu! Dan tentu saja dia tidak ingin gadis itu mati karena dia! dan bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa Mayang seorang gadis hebat!
Demikianlah ketika pada pagi hari itu Kim Mo Siankouw mengundangnya, dan dia memasuki ruangan tamu, di situ Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang telah menunggu! Dan dengan sikap halus namun serius, Kim Mo Siankouw bertanya.
"Bagaimana, Hay Hay, apakah engkau telah mendengar dari sahabatmu Pek taihap itu akan niat hati kami menjodohkan Mayang denganmu" Dan bagaimana jawabmu?"
Ditanya secara terbuka dan jujur itu, Hay Hay juga menjawab sejujurnya. "Sesungguhnya, belum ada keinginan di dalam hati saya untuk menikah, Siankouw. Akan tetapi, sayapun tidak dapat menolak kehormatan yang diberikan kepada saya."
"Jadi, bagaimana keputusanmu?" tanya ibu Mayang.
Hay Hay menundukkan mukanya. "Saya terima ikatan jodoh itu dengan rasa haru dan terima kasih."
"Siancai...... ! Giranglah rasa hatiku, Hay Hay." kata Kim Mo Siankouw.
"Terima kasih Hay Hay! Sungguh engkau telah membahagiakan kami semua," kata pula ibu Mayang dengan suara bercampur isak karena terharu. "Semoga Tuhan memberi bimbingan kepada anakku untuk menjadi isterimu yang setia dan membahagiakanmu kelak."
Hay Hay memberi hormat. "Saya yang merasa berterima kasih. Akan tetapi, karena masih ada tugas penting bagi saya, yaitu urusan pribadi yang harus saya selesaikan lebih dahulu, maka saya mohon agar pernikahan dilaksanakan setelah saya menyelesaikan tugas pribadi itu."
Dua orang wanita itu mengangguk setuju. Diterimanya usul ikatan jodoh itu saja sudah amat membahagiakan hati mereka. Maka, mereka lalu mengumumkan ikatan perjodohan itu sehingga Wakil Dalai Lama yang masih berada di situ segera datang memberi selamat. Kini diruangan itu mereka semua berkumpul. Bahkan Mayang dipanggil ibunya. Gadis yang biasanya tabah dan lincah ini nampak jinak dan malu-malu. Akan tetapi ketika ibunya menyuruh ia memberi hormat kepada calon suaminya, dengan cepat tanpa ragu ia lalu memberi hormat kepada Hay Hay yang dibalas oleh pemuda itu dengan muka kemerahan pula.
"Kiong-hi, sekali lagi kiong-hi kuucapkan kepadamu, Hay Hay, dan kepadamu, Mayang. Akulah orang pertama yang merasa paling berbahagia dengan terikatnya kalian menjadi calon suami isteri!" kata Han Siong. Akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegirangan hati, karena pemuda ini yang semalam tidak tidur masih terus teringat akan kematian Ouw Ci Goat.
"Kalau kelak diadakan upacara pernikahan, jangan lupa mengundang pinceng, Siankouw! Engkau memperoleh seorang mantu yang amat hebat, dan pinceng juga menghaturkan selamat kepadamu!" Han Siong yang diam-diam merasa betapa dia juga telah ikut memaksa Hay Hay untuk menerima usul ikatan jodoh itu, kini melihat betapa Hay Hay nampak tersipu dan kehilangan kejenakaannya, berusaha menghiburnya dengan memuji-mujinya di depan orang banyak.
"Losuhu mungkin belum mengenal benar siapa adanya calon mempelai pria ini! Sahabatku ini pernah menjadi seorang pahlawan, membantu kedua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng, membasmi pemberontakan di Yunan yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Gim-lo!"
"Omitohud....." Wakil Dalai Lama berseru kagum. "Kiranya begitukah" Kami sudah mengenal kedua orang Yang Tai-jin dan Cang Tai-jin, dua orang menteri yang bijaksana. Bahkan pernah Yang Tai-jin mengirim pasukan untuk membantu kami membasmi pemberontak. Kalau begitu, kami hendak menitipkan sepucuk surat untuk dihaturkan kepada kedua orang menteri bijaksana itu. Maukah engkau membawa surat kami ke kota raja dan menyerahkannya kepada mereka, Tai-hiap?" Ucapan ini ditujukan kepada Hay Hay.
Tentu saja Hay Hay tidak berani menolak. "Dengan senang hati, Losuhu. Akan tetapi hendaknya cu-wi (kalian semua) tidak mendengarkan bualan Pek Han Siong! Yang membasmi pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu bukanlah saya sendiri, melainkan banyak pendekar ikut membantu pemerintah, termasuk Pek Han Siong sendiri!"
Wakil Dalai Lama memuji. "Omitohud......ji-wi (kalian berdua) adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Sungguh beruntung sekali sebuah negara yang memiliki orang-orang muda seperti ji-Wi!"
Setelah menerima hidangan makan pagi yang disuguhkan nyonya rumah, Wakil Dalai Lama lalu minta diri untuk kembali ke Lasha, dan dia menyerahkan sesampul surat kepada Hay Hay untuk disampaikan kepada kedua orang menteri itu.
Setelah Wakil DalaI Lama dan rombongannya pergi, yang tinggal di rumah Kim Mo Siankouw sebagai tamu hanya tinggal Hay Hay dan Han Siong berdua.
Siang hari itu, Hay Hay mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan Mayang. Mereka duduk di taman belakang rumah. Mayang nampak cantik sekali dengan pakaian baru yang bersih. Potongan pakaiannya itu ketat dan mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan dada membusung dan pinggul yang padat membukit. Rambutnya dikuncir menjadi dua dan rambut yang lebat dan panjang itu bergantungan manis di kanan kiri, kadang-kadang di depan, kadang-kadang di belakang, ujungnya diikat sutera merah. Pakaiannya itu merupakan kombinasi warna hitam dan kuning, sehingga kulit yang nampak pada leher dan tangannya semakin putih, putih mulus dan kemerahan seperti kulit anak-anak bayi.
Mau tidak mau Hay Hay merasa bangga juga. Gadis ini memang seorang wanita hebat dan dia akan selalu merasa bangga memandang wanita ini sebagai isterinya. Biasanya gadis ini bersikap lincah jenaka dan tak mengenal rasa takut atau malu-malu. Akan tetapi sekarang ia hanya banyak menundukkan muka dan setiap kali mengangkat muka bertemu pandang dengan Hay Hay, wajahnya yang manis itu berubah kemerahan.
"Mayang, aku sengaja mencarimu karena aku ingin bicara denganmu." Kata Hay hay dan dia sendiri merasa heran mengapa suaranya tidak seperti biasa, agak gemetar dan mengapa jantungnya berdebar demikian keras! Belum pernah dia menjadi begini gugup berhadapan dengan seorang wanita. Seolah lenyap semua ketabahannya. Biasanya, mudah saja kata-kata manis meluncur dari mulutnya kalau memuji-muji wanita, akan tetapi sekarang, dia selalu khawatir kalau-kalau membikin hati gadis ini menjadi tak senang!
Mayang mengangkat mukanya dan sejenak dua pasang mata itu bertemu. "Bicaralah, Hay Hay." Kata Mayang lirih lalu ia menunduk kembali.
"Mayang, tentu Siankouw dan ibumu sudah memberi tahu tentang keputusanku. Aku masih mempunyai suatu tugas pribadi yang amat penting. Aku harus menyelesaikan tugas itu lebih dahulu dan untuk sementara aku akan meninggalkanmu. Setelah tugas itu selesai, aku akan kembali ke sini dan melangsungkan pernikahan kita."
Sejenak Mayang tidak mampu bicara karena kepalanya semakin menunduk. Ia tersipu dan merasa rikuh sekali mendengar pria yang dicintanya itu bicara tentang pernikahan. Akan tetapi, karena perasaan duka dan khawatir mendengar bahwa kekasihnya itu hendak meninggalkannya, akhirnya ia mengangkat mukanya dan kembali dua pasang mata bertemu dan bertaut. Indahnya mata itu, pikir Hay Hay dengan bangga. Memang sipit, akan tetapi bentuknya amat indah dan di kedua ujungnya seperti ditambahi garis hitam memanjang ke atas. Dan dari balik belahan pelupuk mata yang sipit itu memancar dua pasang mata yang amat jeli dan tajam.
"Hay Hay, engkau hendak ke manakah?" Suaranya lirih, tidak malu-malu lagi akan tetapi kini suara itu mengandung penuh kekhawatiran.
Aku hendak pergi ke kota raja, Mayang. Mengantar surat titipan Wakil Dalai Lama kepada YangTai-jin dan Cang Tai-jin." Dia tidak ingin bercerita tentang usahanya mencari jejak Ang-hong-cu di kota raja dengan menyelidiki perwira she Tang di kota raja yang kabarnya mengaku sebagai putera Ang-hong-cu.
"Dan tugas pribadimu itu, tugas apakah" Atau.....engkau tidak mau menceritakannya kepadaku?"
Hay Hay tersipu, Mayang adalah calon isterinya, tentu saja berhak mengetahui urusan pribadinya. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan mengaku bahwa dia adalah putera kandung seorang jai-hoa-cat, seorang penjahat besar yang tersohor di dunia kang-ouw"
"Aku akan mencari musuh besarku!"
Mayang kelihatan terkejut dan kini ia mengangkat muka, memandang sepenuhnya kepada wajah kekasih hatinya, sepasang matanya penuh selidik. "Apa yang telah dilakukan musuh besarmu itu!"
Hay Hay mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang membicarakan urusan itu, akan tetapi dia harus menjawab. "Dia telah membunuh ibuku! Sudahlah, Mayang, kuharap engkau tidak bertanya tentang urusan ini. Aku selalu merasa berduka, kesal dan marah kalau membicarakan musuh besar itu."
Ketika tangan gadis itu memegang sebuah kuncir rambutnya dan memindahkannya ke belakang punggung, tangan itu gemetar dan wajahnya agak berubah pucat.
"Aku tidak akan bertanya lagi, Hay Hay. Akan tetapi......orang yang menjadi musuh besarmu tentu lihai bukan main. Karena itu aku harus menemanimu! Aku harus ikut denganmu ke kota raja. Aku akan membantumu menghadapi musuh besarmu itu, Hay Hay!"
Hay Hay terkejut. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. "Ah, jangan, Mayang! Musuh besarku itu lihai bukan main. Aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya!"
Di lubuk hatinya, Mayang merasa girang bahwa calon suaminya itu mengkhawatirkan keselamatannya. Akan tetapi iapun tidak ingin ditinggal, apalagi ditinggal menempuh bahaya. "Hay Hay, biarpun ilmu kepandaianku tidak ada artinya bagimu, namun aku dapat membantumu sekuat tenagaku. Setidaknya, aku akan dapat menyaksikan bagaimana keadaanmu setelah engkau berhadapan dengan musuh besarmu itu, Hay Hay. Kalau engkau pergi menempuh bahaya dan aku diharuskan menanti di sini, aku akan dapat mati karena gelisah selalu."
"Tapi, Mayang......"
"Tidak ada tapi, Hay Hay. Bukan aku bermaksud untuk memaksakan kehendakku kepadamu. Sama sekali bukan. Engkau adalah calon suamiku, engkau satu-satunya orang yang mulai sekarang harus kutaati. Akan tetapi, bukankah setelah kita terikat perjodohan, berarti nasib kita menjadi satu" Bukankah mati hidup kita harus selalu bersama-sama menghadapinya" Aku harus ikut denganmu, Hay Hay. Kalau engkau memaksaku tinggal, kalau engkau menolak aku ikut serta, kalau engkau meninggalkan aku, akupun tidak berani memaksamu, akan tetapi tak lama setelah engkau pergi, akupun akan menyusulmu, mencarimu ke kota raja. Apakah engkau menghendaki kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri, menghadapi ancaman bahaya dalam keadaan saling terpisah?"
Hay Hay menghela napas panjang. Sudah mulai dia merasakan akibat ikatan perjodohan itu. Sudah terasa betapa dia terikat, tidak bebas lagi, tidak seperti sebelum ada ikatan perjodohan. Dan apa yang dikemukakan Mayang itu memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Kalau Mayang seorang wanita biasa, tidak memiliki kepandaian silat, maka tentu apa yang dikatakan itu tidak benar. Akan tetapi Mayang adalah seorang gadis yang pandai, yang bukan saja mampu menjaga dan melindungi diri sendiri, akan tetapi bahkan dapat pula membantunya dalam menghadapi lawan tangguh!
"Tentu saja aku tidak menghendaki demikian, Mayang. Akan tetapi, kita baru bertunangan, belum menikah, bagaimana mungkin engkau pergi berdua saja bersamaku" Tentu gurumu dan ibumu tidak akan memperkenankan."
"Sekarang juga aku akan memberitahu ibu dan subo, dan meminta ijin mereka!" kata gadis itu. Akan tetapi pada saat itu, kebetulan sekali Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang berjalan keluar dari dalam rumah menuju ke taman. Melihat ini, dengan girang Mayang lalu berlari menyambut mereka.
"Subo, ibu, kebetulan sekali, aku hendak mencari kalian untuk membicarakan hal yang teramat penting."
Melihat puterinya demikian bersungguh -sungguh dan kelihatan risau dan tegang, ibunya menegurnya. "Tenanglah, Mayang. Segala hal dapat dibicarakan dengan tenang. Biarkan subomu duduk dulu, baru engkau bicara."
Hay Hay juga cepat memberi hormat kepada Kim Mo Siankouw dan calon ibu mertuanya. Mereka berdua duduk di atas bangku panjang, sedangkan Mayang dan Hay Hay lalu duduk di bawah, di atas batu-batu hiasan taman itu.
"Nah, muridku. Katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu." kata Kim Mo Slankouw.
"Subo, Hay Hay mengatakan bahwa dia hendak pergi menunaikan tugas pribadinya dan ketika teecu (murid) tanyakan apa tugas itu, dia mengaku bahwa dia harus mencari musuh besarnya. Dapat subo bayangkan bahwa yang menjadi musuh besar seorang yang berkepandaian tinggi seperti dia, tentulah orang yang lihai dan berbahaya sekali. oleh karena itu, teecu ingin ikut bersamanya, subo! Teecu mohon perkenan subo dan ibu agar diperbolehkan menemani Hay Hay untuk membantu dia menghadapi musuh besarnya. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang.......calon isteri" Kalau teecu ditinggalkan, mengetahui bahwa tunangan teecu menempuh bahaya seorang diri, hati teecu akan merasa tersiksa sekali. Mohon subo dan ibu sudi memberi ijin."
Kedua orang wanita itu saling pandang, kemudian Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay, bertanya lembut. "Benarkah apa yang dikatakan calon isterimu itu, Hay Hay?"
"Memang benar, Siankouw. Akan tetapi, sebenarnya saya sudah merasa keberatan untuk membawa Mayang menghadapi ancaman bahaya. Musuh besar saya itu lihai bukan main. Saya akan lebih merasa lega kalau ia tinggal saja di rumah. Akah tetapi saya tidak dapat mencegah kehendaknya yang kuat."
Kembali kedua orang wanita itu saling pandang dan Kim Mo Siankouw lalu berkata kepada Mayang. "Muridku, dalam hal melepaskan dirimu ikut dengan Hay Hay, karena ada ibumu di sini, maka ialah yang berhak menentukan. Aku sih setuju saja atas keputusan yang diambil ibumu."
Mendengar ucapan subonya itu, berseri wajah Mayang dan iapun mendekati ibunya dan merangkul ibunya dengan sikap manja. "Ibu tentu mengijinkan aku pergi bersama Hay Hay, bukan?"
Selama ini, hampir selalu ibu yang amat menyayang puterinya itu memenuhi segala permintaan puterinya yang pantas, maka Mayang juga hampir yakin bahwa ibunya tentu akan mengangguk. Akan tetapi, sekali ini wanita setengah tua yang masih cantik itu mengerutkan alisnya, kemudian dengan perlahan menggelengkan kepalanya.
"Ibu.....!" Mayang berseru, penuh kekecewaan dan keheranan. "Akan tetapi, mengapa, ibu....?"
"Mayang, sungguh tidak bijaksana kalau aku membiarkan engkau pergi berdua saja dengan Hay Hay. Ingat, nak, dia itu baru calon suamimu, belum suami yang sah! Andaikata kalian sudah menikah, tentu saja akuakan menyetujui sepenuhnya."
Mendengar ini, Mayang merajuk. Mulutnya cemberut dan matanya semakin sipit seperti akan menangis. "Aih, ibu......., apakah ibu takut akan anggapan orang-orang lain" Yang penting, aku dapat menjaga diri, ibu, dan juga aku percaya bahwa Hay Hay akan dapat menjaga diri."
Akan tetapi ibubya masih mengerutkan alisnya. Ia teringat akan keadaannya sendiri. Ia membayangkan hal yang buruk-buruk. Bagaimana kalau mereka, dua orang muda yang sedang dewasa, lupa diri dan melakukan pelanggaran" Bagaimana kalau kemudian Hay Hay meninggalkan puterinya dan tidak jadi menikahinya" Segala malapetaka akibat hubungan di luar nikah itu selalu akan menimpa diri wanita.
"Ibu, kalau ibu melarang dan Hay Hay meninggalkan aku, tentu aku akan menjadi kurus, akan jatuh sakit karena selalu gelisah dan khawatir memikirkan dia. Aku......aku akan minggat dan mencarinya....."
Mayang, tidak baik engkau mengancam ibumu seperti itu!" tiba-tiba Kim Mo Siankouw membentak muridnya. Mendengar bentakan marah ini, Mayang menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya.
"Akan tetapi, subo. Bagaimana mungkin teecu membiarkan Hay Hay pergi menempuh bahaya tanpa membantunya sama sekali" Teecu akan selalu merasa gelisah dan takut. Subo, teecu takut Kalau....... Kalau Kehiangan dia.......dia satu-satunya......."
Kim Mo Siankouw tersenyum. "Siancai........, baru saja mendapatkan seorang tunangan, engkau sudah lupa bahwa di dunia ini masih ada aku dan ibumu, bukan hanya ada Hay Hay seorang!"
Mayang tersipu dan baru ingat, maka ia hanya menundukkan mukanya. "Mohon belas kasihan dan pertimbangan subo dan ibu....." katanya memelas.
Ibu Mayang kembali saling pandang dengan Kim Mo Siankouw, kemudian ibu Mayang menghela napas panjang. "Aku baru dapat memberi ijin engkau pergi bersama Hay Hay kalau kalian sudah menikah. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak pergi mengikuti Hay Hay, kalian harus menikah sekarang juga. Bagaimana pendapatmu, Hay Hay?"
Hay Hay tertegun dan sejenak dia bengong. Menikah" Sekarang juga" Hal ini sungguh tak pernah dipikirkan dan kini dia tidak mampu menjawab. Bagaimana dia dapat melakukan pernikahan kalau dia hanya hidup sebatang kara didunia ini, tidak memiliki apa-apa kecuali beberapa potong baju" Dia merasa bingung, perasaan yang belum pernah mengganggunya selama hidupnya.
"Ini....ini.....saya.....saya bingung, tidak tahu......"
Melihat sikap pendekar muda yang dikaguminya itu, diam-diam Kim Mo Siankouw merasa iba juga. Hay Hay adalah seorang pemuda dan sekarang baru nampak bahwa dia sesungguhnya masih hijau dalam hal memasuki rumah tangga. Maka iapun berkata, "Biarlah kita memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membicarakan hal ini dengan Pek Taihiap, satu-satunya sahabat atau keluarganya yang dapat mewakilinya dan memberinya nasihat. Nah, engkau bicarakanlah hal pernikahan itu dengan Pek Tai-hiap, Hay Hay, dan nanti malam kami mengharap jawaban dan kepastian darimu."
Pemuda itu mengangguk, memberi hormat kepada mereka lalu mengundurkan diri, meninggalkan taman itu memasuki rumah untuk mencari Han Siong. Setelah pemuda itu pergi, Kim Mo Sian-kouw menegur Mayang dan ibunya.
"Aih, kalian ini sungguh membuat seorang pemuda menjadi tersipu dan tidak tahu harus berkata bagaimana. Kalian seperti mendesaknya saja. Mudah-mudahan dia dapat menerimanya dan dapat melangsungkan pernikahan yang tiba-tiba ini."
Mendengar teguran itu, ibu Mayang menjawab lembut, "Anak inilah yang memaksa saya!"
Mayang menubruk dan merangkul ibunya. "Subo, ibu, aku aku terlalu cinta kepadanya, dan tidak ingin berpisah darinya".."
Dua orang wanita itu saling pandang dan tersenyum. Diam-diam mereka hanya mengharap agar Hay Hay suka menerima usul baru itu, yaitu melangsungkan pernikahan sekarang juga agar dia dapat pergi membawa isterinya yang rewel ini!
Sementara itu, Han Siong yang sedang duduk bersila dan berlatih sambil bersamadhi di dalam kamarnya,terkejut ketika Hay Hay memasuki kamarnya seperti orang dikejar setan.
"Pek Han Siong, sekarang engkau harus menolong aku?"..!" kata Hay Hay begitu dia mendorong daun pintu kamar itu terbuka.
Han Siong membuka matanya. Dia tidak heran melihat sepak terjang sahabatnya ini karena sudah sering melihat Hay Hay ugal-ugalan dan kadang-kadang aneh. "Hem, Hay Hay, apakah engkau mabok" Engkau mengejutkan orang saja. Ada apa sih" Mungkin hanya kalau dunia kiamat saja engkau kebingungan seperti sekarang ini!"
Hay Hay menjatuhkan diri di atas kursi, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya. "Lebih dari kiamat, Han siong. Engkau harus menolongku sekarang! Aku sungguh bingung, tidak tahu harus berbuat apa!"
"Ha-ha, tenanglah sahabatku. Ada peristiwa apakah yang membuat engkau menjadi seperti ini" Ceritakanlah, tentu saja aku setiap saat siap sedia untuk membantumu."
"Aih, Han Siong, apa yang harus kukatakan sekarang" Ketahuilah, mereka itu, Mayang, ibunya dan gurunya, mereka mengusulkan agar pernikahan itu dilangsungkan sekarang juga!"
"Ehhh?". ?"" Han Siong terkejut dan heran juga. Mengapa mereka begitu tergesa-gesa" "Tapi?" kenapa begitu" Tentu ada alasannya yang kuat."
Hay Hay menarik napas panjang, lalu dia menceritakan betapa Mayang berkeras hendak ikut dengan dia, untuk membantunya menghadapi musuh besarnya. Kalau dia menolak, maka gadis itu akan minggat dan kelak mencari dan menyusulnya. Ketika mereka minta ijin kepada ibu Mayang, maka ibu dan guru Mayang lalu mengajukan saran agar kami menikah dulu, sekarang juga. Mayang berkeras hendak ikut, dan ibunya berkeras agar kami menikah dulu. Nah, aku terjepit di tengah-tengah. Bagaimana ini, Han Siong?"
Pek Han Siong tertawa terpingkal-pingkal karena dia merasa bc;tapa lucunya keadaan Hay Hay. Rasakan kau sekarang, kata hatinya. Ini pembalasan watakmu yang mata keranjang. Akan tetapi setelah berhenti tertawa, diapun berkata.
"Hay Hay, terjepit begitu bukankah enak buat engkau" Apa lagi masalahnya" Engkau disuruh menikah, kemudian isterimu ikut bersamamu, melakukan perjalanan bersama, seperti berbulan madu! Kurang enak bagaimana.Kenapa engkau masih bingung dan mengomel lagi" Dasar tidak tahu terima kasih!"
"Han Siong, jangan engkau main-main! Berilah jalan keluar, berilah nasihat bagaimana aku harus menghadapi perkembangan baru ini!"
"Siapa main-main, Hay Hay. Apa sih yang perlu dirisaukan" Menikah hari ini atau bulan depan atau tahun depan, apa sih bedanya?"
"Han Siong, jangan bergurau! Engkau tahu bahwa aku menerima ikatan jodoh dengan Mayang karena tiga hal, yaitu pertama aku tidak ingin bermusuhan denganmu, ke dua aku tidak ingin berkelahi dengan Kim Mo Siankouw, dan ke tiga aku tidak ingin Mayang membunuh diri?"."
"Masih ada yang ke empat dan tidak boleh engkau melupakan itu, ialah kenyaaan bahwa Mayang cinta padamu dan engkaupun cinta padanya!"
"Takkusangkal, aku suka dan kagum, kepada Mayang, akan tetapi cinta" Aku tidak tahu. Tapi sudahlah, aku sudah menerima ikatan jodoh, akan tetapi pernikahan sekarang" Aku belum siap!"
Han Siong tertawa. "Ha-ha, apanya, lagi yang belum siap" Engkau sudah cukup dewasa, belum siap apanya?"
"Ih, jangan main-main, Han Siong. Aku sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa, rumahpun tidak punya. Bagaimana aku dapat menikahi anak orang. Apakah isteriku lalu kuajak mengembara tanpa tempat tinggal" Apakah ia bisa kuberi makan rumput dan daun saja?"
"Hemm, kukira Mayang tidak membutuhkan itu semua! Dan hal itupun merupakan urusan nanti, dapat kalian rundingkan bersama. Sekarang, yang penting engkau terima saja usul mereka. Engkau menikah sekarang juga dengan Mayang dan itu berarti engkau telah membuat jasa besar bagi manusia dan dunia!"
Hay Hay memandang terbelalak, bengong. "Eh" Kau jangan membikin aku menjadi semakin bingung, Han Siong. Apa maksudmu mengatakan bahwa kalau aku menikah sekarang dengan Mayang, aku berjasa terhadap manusia dan dunia?"
"Betapa tidak" Kalau engkau menikah dengan Mayang sekarang, berarti engkau membikin senang hati Mayang, membikin lega hati ibunya dan gurunya membikin gembira hatiku, dan membikin gembira para tamu yang akan menghadiri perayaan pernikahan itu. Nah, berarti engkau menyenangkan banyak manusia, juga menyenangkan dirimu sendiri. Betapa senangnya melakukan perjalanan ditemani seorang isteri sehebat Mayang. Selain itu, engkau mendatangkan kebaikan kepada dunia karena dengan adanya seorang isteri yang selalu menemani, maka bahaya bagi para gadis lain tidak ada lagi!"
"Bahaya bagi para gadis lain?" Hay Hay mengerutkan alisnya, tidak mengerti.
"Tentu saja, karena engkau tentu tidak lagi berani mengumbar mata keranjang kalau ada isterimu di sisimu!"
"Ahhh"..!" Hay Hay cemberut. "Engkau tidak memberi obat, malah membikin penyakit ini menjadi lebih parah!"
Han Siong bangkit dari pmebaringan, menghampiri Hay Hay yang duduk di atas kursi, lalu memegang pundaknya. "Sahabatku, pergunakanlah akal sehatmu dan jangan murung. Syukurilah berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadamu! Engkau tahu, untuk melakukan kebaikan kepada orang lain, seseorang biasanya harus berani mengorbankan sesuatu, meniadakan kepentingan diri sendiri. Akan tetapi sekarang ini, engkau dapat melakukan banyak kebaikan kepada banyak orang, tanpa berkorban apa-apa, bahkan engkau menerima pula nikmat dan kebahagiaan. Pria mana yang takkan berbahagia memetik setangkai bunga yang demikian indah dan harumnya seperti calon isterimu itu" Nah, hadapilah kenyataan dan berterima kasihlah kepada Tuhan!"
Hay Hay menghela napas, lalu bangkit dengan malas. "Sudahlah, akan kupertim bangkan semalam ini."
"Besok pagi aku akan membawa keputusanmu yang menggembirakan kepada mereka!" kata Han Siong sambil tersenyum memandang sahabatnya yang meninggalkan kamarnya dengan langkah gontai.
** * Memang tidak ada pilihan lain bagi Hay Hay kecuali menerima usul baru agar pernikahan dilangsungkan dulu sebelum dia pergi meninngalkan puncak Awan Kelabu tempat tinggal Kim Mo Siankouw itu. Pernikahan yang mendadak ini dirayakan dengan sederhana. Bahkan tidak sempat lagi mengundang tamu jauh, juga Wakil Dalai Lama tidak mungkin dapat diundang. Yang diundang hanya penduduk dusun di sekitar Pegunungan Ning-jing-san saja dan perayaan dilaksanakan secara sederhana namun cukup meriah. Yang menemani Hay Hay hanyalah Han Siong, Pek Han Siong inilah yang menjadi semacam hiburan bagi Hay Hay, yang menganggap sahabat ini seperti saudara sendiri. Dan Han Siong juga menemani Hay Hay dengan kesungguhan hati karena dalam hati Han Siong memang amat kagum dan sayang kepada Hay Hay.
Para tamu yang terdiri dari penduduk dusun di pegunungan itu tentu saja bergembira ria dijamu masakan yang lezat dan arak wangi sehingga belum sampai tengah malam, para tamu sudah banyak yang mabok dan merekapun berpamit meninggalkan tempat pesta setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai dan kepada Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang, Han Siong juga mewakili pengantin pria untuk membalas pemberian selamat itu. Akhirnya, semua tamu sudah meninggalkan tempat pesta dan sepasang pengantin diarak memasuki kamar pengantin.
Dalam kesempatan terakhir ini, Han Siong memberi selamat kepada Hay Hay dan Mayang. "Kionghi, kionghi (selamat, selamat) sekali lagi," katanya gembira. "Semoga Tuhan memberkahi kalian de ngan kebahagiaan abadi!"
Mayang hanya menunduk tersipu malu, akan tetapi Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan sinar mata haru. "Han Siong, engkau sahabatku yang paling baik. Terima kasih untuk segalanya!"
Sepasang pengantin itu didorong masuk kamar yang segera ditutup dan semua orang meninggalkan kamar itu. Para pelayan sibuk membersihkan bekas pesta. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang juga merasa lelah sekali setelah tadi menerima tamu dan mereka segera beristirahat di kamar masing-masing, juga untuk menyembunyikan keharuan mereka karena begitu tiba di kamar masing-masing, kedua orang wanita ini menangis terharu mengingat betapa kini gadis yang mereka sayang itu telah menjadi isteri orang dan memulai suatu kehidupan baru. Rasa haru dan bahagla membuat mereka dlam-diam mencucurkan air mata!
Sepasang mempelai itu telah berganti pakaian. Mayang, bersembunyi di balik tirai, melepaskan pakaian pengantin dan mengenakan pakalan tidur yang tipis, sedangkan Hay Hay juga sudah mengenakan pakaian biasa. Kini, mereka duduk bersanding di tepi pembaringan. Mayang menunduk, tersipu malu. Gadis yang biasanya lincah jenaka dan tabah itu, kini tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, bahkan tidak berani mengangkat muka memandang wajah suaminya. Dan Hay Hay juga duduk dengan muka kemerahan karena agak terlalu banyak minum arak menerima penghormatan dan ucapan selamat tadi, akan, tetapi diapun tersipu, kehilangan akal, salah tingkah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayang semua pengalamannya dengan para wanita di masa lalu. Baru satu kali hubungannya dengan wanita benar-benar hampir melanggar batas, yaitu dengan Kok Hui Lan, janda muda yang tubuhnya semerbak harum seperti bunga itu! Juga ketika dia hampir "diperkosa" wanita cabul Ji Sun Bi. selain dua kali pengalaman itu, belum pernah dia berhubungan dengan wanita sampai ke hubungan badan, kecuali hanya bermesraan luar saja.
Kini, menghadapi seorang gadis yang mulai saat itu telah menjadi isterinya, yang akan menyerah sebulatnya kepadanya dan dapat dia gauli tanpa ada yang akan melarang, tanpa ada pelanggaran susuila atau hukum apapun, dia berdebar penuh ketegangan dan juga kebingungan. Dia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal itu!
Karena sukar membuka mulut, hanya duduk bersanding di tepi pembaringan, Hay Hay berdehem dua kali dan mengeluarkan suara ketawa kecil untuk menarik perhatian "isterinya". Dan usahanya berhasil. Mendengar suaminya berdehem lalu mengeluarkan suara ketawa kecil, Mayang khawatir kalau ada sesuatu pada dirinya yang tidak beres sehingga memancing tawa suaminya. Ia cepat memandangi pakaiannya kalau-kalau ada yang tidak beres, kemudian karena tidak menemukan sesuatu yang salah, ia mengangkat mukanya memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan akhirnya Mayang menundukkan kembali mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya menahan senyum. Manisnya!
"Mayang?". " suara Hay Hay gemetar dan hal ini terasa benar olehnya sehingga diapun tidak berani melanjutkan!
Mayang kembali menoleh dan kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut.
"Hay Hay...." Mayang berbisik, lalu cepat dibenarkannya. "Hay-koko (kanda Hay)!" Ia cepat menunduk lalu dan mukanya semakin merah.
Begitu merdu dan manisnya sebutan Hay-koko itu sehingga perasaan bahagia menyelinap di dalam kalbu Hay Hay. Tanpa disadarinya, tangan kirinya bergerak dan memegang pundak itu dengan sentuhan lembut.
"Mayang, engkau?". Engkau?".. sungguh cantik jelita dan manis bukan main?"."
Mayang kembali menoleh dan kini ia tersenyum. "Engkau perayu!" katanya manja dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, tahu-tahu keduanya saling rangkul dan saling dekap. Ketika Hay Hay menciumnya, Mayang menyambut denganrintihan lirih. Mereka kini rebah dengan saling rangkul.
Tiba-tiba Mayang bangkit duduk dan matanya yang sipit itu dibuka lebar memandang ke arah leher Hay Hay dan tak terasa ia mengeluarkan seruan lirih namun mengejutkan.
"Ihhhh.......!"
Hay Hay juga bangkit duduk. "Ada apakah, Mayang....?"
Tangan kanan Mayang bergerak menangkap benda yang tergantung di leher Hay Hay, yaitu mainan berbentuk kumbang merah yang tadi berjuntai keluar dari balik baju Hay Hay.
"Ang..... hong..... cu..... !" Mayang berbisik dan tangan kirinyapun mengeluarkan benda yang sama dari balik bajunya!
Kini giliran Hay Hay yang tersentak kaget dan sekali tangannya bergerak dia sudah merampas dua buah benda itu dari kedua tangan Mayang, lalu dia membandingkan dua buah benda itu. Presis sama!
"Mayang......" suaranya gemetar dan wajahnya pucat, "dari mana...... engkau mendapatkan benda ini...... ?"
"Dari ibuku, baru tadi ibu memberikannya kepadaku sebagai hadiah pernikahan. Benda...... benda itu.... ibu menyebut Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah),kata ibu itu peninggalan ayah kandungku...... "
"Ayah..... ayah kandungmu..... ya Tuhan...... !!!" Wajah Hay Hay menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil.
Mayang terkejut bukan main melihat keadaan Hay Hay itu. "Kenapa, Hay-koko" Kenapa" Dan dari mana engkau mendapatkan benda yang serupa benar dengan peninggalan ayahku" Dari mana engkau dapat memiliki Ang-hong-cu?"
"Mayang......," Hay Hay menggeserduduknya menjauh agar tubuhnya tidak menyentuh tubuh Mayang, "Mayang....... kita ?" kita........ kau....... Ang-hong-cu..... dia ayah kandungku pula......"
Sepasang mata yang sipit itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi sepucat mayat dan terdengarlah suara melengking tinggi dan nyaring dari mulut itu, lengkingan yang keluar sebagai jeritan dari dalam. Kedua tangan itu merenggut dua buah benda itu dari tangan Hay Hay, kemudian tubuh itu bergerak melompat turun dari atas pembaringan, lari menerjang pintu kamar sehingga terbuka dan Mayang berlari keluar.
"Mayang......! Mayanggg.....!!" Dengan tubuh masih menggigil Hay Hay juga melompat turun.
"Ang-hong-cu....... ah, Ang-hong-cu......, hu-hu-huuuhhh.......!" sambil menangis sesenggukan Mayang berlari keluar dan hampir saja ia bertabrakan dengan gurunya dan ibunya yang sedang berlarian menuju ke kamarnya. Dua orang tua itu terkejut ketika mendengar pekik melengking tadi dan keduanya sudah berlari keluar kamar masing-masing menuju ke kamar pengantin.
"Mayang, ya Tuhan, ada apakah, Mayang?" ibunya segera merangkul puterinya dengan wajah penuh kekhawatiran. Juga Kim Mo Siankouw memandang muridnya dengan alis berkerut dan sepasang mata tajam penuh selidik. Dan pada saat itu, Kim Mo Siankouw juga melihat bayangan Han Siong berkelebat. Pemuda ini juga sudah keluar dari kamarnya dan terkejut oleh jeritan Mayang tadi, kini melihat Mayang menangis dalam rangkulan ibunya Han Siong cepat melompat dan lari ke arah kamar pengantin untuk melihat Hay Hay.
"Mayang, berhentilah menangis dan katakan ada apa?" Ibunya menggoyang-goyang tubuh puterinya yang masih tersedu-sedu menangis sambil merangkulnya.
"Tenanglah, Mayang. Apakah engkau tidak malu. menjadi cengeng seperti ini" Mana kegagahanmu?" kata pula Kim Mo Siankouw.
Mayang melepaskan rangkulan pada ibunya, lalu menoleh dan memandang subonya dengan air mata bercucuran.
"Subo?".!" Ia kini menubruk subonya dan menangis di pundak Kim Mo Siankouw. Gurunya terheran-heran, juga terkejut melihat sikap muridnya seperti kanak-kanak itu.
"Mayang, engkau kenapakah" Mayang anakku". !" Ibunya berkata dengan bingung dan khawatir sekali.
Mayang kembali melepaskan rangkulan pada gurunya dan kini menangis dalam rangkulan ibunya. "Ibu?" hu-hu-huuuhhh?".. ibu"., subo?". bunuh saja aku, ibu?".. hu-hu-huuuhhh?". "
"Eh" Engkau kenapa, Mayang" Ada apakah" Ibunya semakin khawatir. Mayang menjulurkan kedua tangannya yang sejak tadi menggenggam dua buah benda kecil itu.
"Ang-hong-cu?"" dia?". dia?"" Ang-hong-cu?". " katanya dengan suara terputus-putus oleh isak.
Kini ibunya terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Ang-hong-cu?"" Apa maksudmu" Dan kenapa menjadi dua benda itu" Dari mana yang sebuah lagi?"
"Dia..... dia..... putera Ang-hong-cu.....!" Dan kini Mayang terkulai, pingsan dalam rangkulan ibunya. Dua buah benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke atas lantai. Kim Mo Siankouw cepat mengambil dua buah benda itu. Ketika para pelayan berdatangan, Kim Mo Siankouw memberi isarat dengan tangan agar mereka pergi dan kembali ke kamar mereka. Para pelayan tidak berani membantah walaupun mereka menjadi terheran-heran melihat nona mereka menangis, menjerit-jerit dan kemudian pingsan itu. Mereka tidak dapat mengerti mengapa nona mereka yang menjadi pengantin bersikap seperti itu.
Sementara itu, ketika Han Siong memasuki kamar pengantin yang pintunya terbuka lebar, dia melihat Hay Hay duduk di tepi pembaringan seperti sebuah arca. Pemuda itu duduk dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penglihatannya kosong. Han Siong cepat memegang kedua pundak Hay Hay.
"Hay Hay, sadarlah! Apa yang telah terjadi" Ada apa dengan Mayang isterimu?" Tanpa disengaja Han Siong memandang ke atas pembaringan dan jelas bahwa tempat itu belum pernah dipergunakan, bantal, selimut dan tilam sutera itu masih rapi, belum kusut seperti kalau sudah dipakai tidur.
Karena pundaknya diguncang keras oleh Han Siong, Hay Hay seperti baru sadar. Dia menghela napas panjang, lalu dia memegang kedua lengan sahabatnya. Kedua matanya basah!
"Eh" Engkau menangis?" Han Siong hampir tidak percaya. Akan tetapi dia melihat kedua mata itu basah, basah dan berlinang air mata!
Hay Hay mengusapkan mukanya pada kedua pangkal lengan, lalu berkata dengan suara seperti orang dalam rnimpi.
"Untung?" sungguh Tuhan masih melindungi kami?" aiiih, Han Siong, mengapa nasibku sekarang seperti ini" Atuakah ini dosa orang tuaku?"
"Hay Hay, katakan apakah yang telah terjadi?"
Melihat Hay Hay sudah tenang, Han Siong melepaskan tangannya dan dia kini mundur, memandang wajah sahabatnya yang masih pucat itu.
"Han Siong, ia adalah adikku! Kami seayah berlainan ibu!"
"Ahhh"..?" Mayang puteri Ang Ang-hong-cu"..?" Kini Han Siong yang melongo keheranan.
Hay Hay mengangguk, kembali menghela napas. "Ia juga memiliki benda perhiasan itu, seekor kumbang merah, presis yang kupunyai. Ia baru hari ini menerima dari ibunya, sebagai hadiah pernikahan, peninggalan ayah kandungnya".."
Han Siong jatuh terduduk di atas kursi. Bengong. Mengertilah dia mengapa gadis itu menjerit-jerit dan Hay Hay seperti arca tadi. Dan diapun mengerti maksud kata-kata Hay Hay yang mengatakan masih untung, bahwa mereka masih dilindungi Tuhan. Jelas bahwa mereka belum melakukan hubungan suami isteri! Kalau sudah, berarti kiamat dunia ini bagi mereka!
Dia menghela napas.'"Aihh, engkau masih untung, Hay Hay. Aku ikut merasa girang bahwa kalian masih belum terjatuh ke dalam aib dan dosa. Kasihan engkau, Hay Hay?"."
"Kasihan Mayang, bukan aku, Han Siong. Tentu hancur hatinya".. ah, mari kita keluar. Aku harus menghiburnya, menghibur adikku?" " Mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Ketika melihat Mayang terkulai pingsan dalam pondongan ibunya, Hay Hay terkejut.
"Mayang"..!"
Kim Mo Siankouw berkata dengan suara lembut namun tegas, "Mari kita bicara di ruang dalam. Engkau juga, Pek Tai-hiap!"
Ibu Mayang masih memondong tubuh Mayang. Gadis itu pingsan, dan mereka semua memasuki ruangan dalam. Kim Mo Siankouw sendiri menutupkan dua buah pintu tembusan pada ruangan itu. Ibu Mayang merebahkan puterinya di sebuah kursi panjang.
"Kalian duduklah!" kata Kim Mo Sian-kouw kepada Hay Hay dan Han Siong. Dua orang pemuda itu duduk dan Hay Hay menundukkan mukanya, menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Dia merasa bingung dan kenyataan yang teramat pahit itu merupakan pukulan yang mengguncang batinnya dengan hebat. Nyaris dia menjadi suami isteri dengan adiknya sendiri!
Kim Mo Siankouw menghampiri Mayang, mengurut beberapa bagian punggung dan tengkuknya. Gadis itu mengeluh, membuka matanya, melihat ibu dan subonya, lalu teringat dan iapun merintih dan menangis.
"Sudahlah, Mayang. Tenangkan hatimu dan mari kita bicara. Hay Hay juga sudah berada di sini." kata ibunya.
Mendengar ini, Mayang bangkit duduk menengok dan begitu melihat Hay Hay,
mulutnya bergerak-gerak, bibirnya menggigil dan iapun menangis lagi. Akan tetapi ditahannya sehingga ia menangis tanpa suara, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia merasa iba sekali melihat Mayang, adiknya yang hampir menjadi isterinya tadi.
"Mayang, maafkan aku. Kita telah menjadi permainan nasib". " katanya lirih dan ucapannya ini hanya disambut suara sesenggukan dari Mayang.
"Hay Hay, sekarang kuminta engkau suka bicara terus terang. Dari manakah engkau mendapatkan benda ini?" tanya ibu Mayang sambil menunjuk dua buah benda perhiasan kumbang merah yang diletakkan di atas meja oleh Kim Mo Siankouw.
"Benda itu adalah peninggalan dari ayah kandung saya, yang diberikan kepada mendiang ibu saya."
"Hay Hay, kita berada di antara orang sendiri. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebaiknya kalau engkau menceritakan riwayat ibu dan ayahmu, setelah itu akan kuceritakan tentang diriku dan ayah Mayang. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara engkau dan Mayang." kata pula ibu Mayang dengan sikapnya yang lembut dan halus. Kini Mayang juga amat tertarik dan ia sudah mampu menenangkan dirinya. Ia duduk dekat ibunya, memandang kepada Hay Hay dengan wajah pucat dan mata merah.
Hay Hay menarik napas panjang. Kalau tidak ada urusan yang begini ruwet dengan Mayang, tentu dia tidak akan pernah menceritakan riwayat hidup ibunya kepada siapapun juga. Sekarang dia terpaksa, demi untuk menjernihkan kekeruhan antara dia dan Mayang.
"Terus terang saja, bibi. Saya sendiri tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya ibu saya. Ketika saya masih bayi, ibu saya membawa saya terjun ke laut untuk membunuh diri! Pada waktu itu, lo-cian-pwe Pek Khun, yaitu kakek buyut saudara Pek Han Siong ini, melihatnya dan cepat menolong ibu dan saya. Akan tetapi ibu tidak tertolong dan tewas, lalu saya yang masih bayi dibawa oleh lo-cian-pwe Pek Khun ke Pek-sim-pang. Kebetulan pada waktu itu, saudara Pek Han Siong yang juga sebaya dengan saya, perlu diungsikan dan disembunyikan karena dia dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama yang hendak merampasnya karena dia dianggap sebagai calon Dalai Lama. Nah, saudara Han Siohg ini disembunyikan, dan saya dijadikan penggantinya. Ketika lo-cian-pwe Pek Khun menyelamatkan saya, maka ada benda itu yang diberikan ibu untuk saya. Dalam saat terakhirnya ibu saya bercerita kepada lo-cian-pwe Pek Khun bahwa ibu adalah seorang korban jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan yang memberikan tanda perhiasan kumbang merah itu. Demikianlah riwayat ibu saya, bibi. Saya sendiri tidak mengenal siapa ibu saya. Setelah dewasa, saya baru mengetahui bahwa saya adalah putera Ang-hong-cu, dan saya bahkan pernah melihat kejahatannya! Dia bukan saja penyebab kematian ibu saya, melainkan juga saya rnelihat sendiri betapa dia telah menodai beberapa orang gadis pendekar. Dia jahat dan keji!"
"Hemmm, jadi kalau begitu, ketika engkau mengatakan kepada Mayang bahwa engkau akan mencari musuh besarmu yang membunuh ibumu, maka musuh besarmu adalah Ang-hong-cu, juga ayah kandungmu?" tanya pula ibu Mayang.
"Benar bibi. Tadinya, semua itu akan saya rahasiakan dan hanya beberapa orang saja
yang mengetahui, termasuk saudara Pek Han Siong ini."
Han Siong mengangguk-angguk. "Ang-hong-cu itu memang amat jahat dan keji, akan
tetapi dja lihai dan juga cerdik dan licik sekali!"
"Hay Hay, tahukah engkau siapa nama ayahmu itu?" tanya pula ibu Mayang.
Hay Hay menggeleng kepalanya. "Dalam pesan terakhir ibu saya, ia hanya mengatakan bahwa ayah itu memiliki nama keluarga Tang."
"Dan dalam penyamarannya, dia memakai nama Han Lojin." sambung Han Siong.
Ibu Mayang mengangguk-angguk. "Aih, ini juga kesalahanku sendiri. Ketika engkau datang bersama Mayang, dan mendengar engkau she Tang, lalu meljhat wajah dan bentuk tubuhmu, aku sudah terkejut dan terheran. Engkau she Tang, sama dengan she ayah Mayang, dan wajahmu mirip. Akan tetapi, aku tidak manyangka sejauh itu. Kalau begitu, engkau memang benar puteranya, Hay Hay. Engkau putera Ang-hong-cu, orang yang ku kenal sebagai Tang Kongcu (Tuan Muda Tang), yaitu ayah kandung Mayang. Kalau begitu tidak salah lagi, engkau memang masih kakak beradik dengan Mayang, satu ayah berlainan ibu."
Hay Hay saling pandang dengan Mayang. "Engkau.... adikku....." kata Hay Hay
perlahan, akan tetapi Mayang tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan linangan air mata.
"Sekarang dengarkan riwayatku, Hay Hay. Seperti juga engkau, hanya karena timbul peristiwa antara engkau dengan Mayang ini sajalah yang memaksa aku untuk menceritakan riwayat hidupku yang mirip dengan riwayat ibu kandungmu. Tadinya aku sama sekali tidak mengira bahwa pemuda yang tampan dan terpejar itu, yang lemah lembut dan halus sikapnya, yang oleh penduduk dusun kami di kenal sebagai Tang Kongcu yang pandai silat dan pandai mengobati orang sakit, sebetulnya adalah seorang penjahat cabul yang berjuluk Ang-hong-cu yang kejam. Aku yang ketika itu masih seorang gadis berriama Sauli, terpikat oleh ketampanan dan rayuan Tang Kongcu sehingga aku secara tidak tahu malu menyerahkan diri dengan harapan akan dikawininya. Akan tetapi, setelah aku mengandung, dia pergi begitu saja, hanya meninggalkan perhiasan kumbang merah itu. Orang tuaku marah kepadaku, dan dalam keadaan mengandung aku diusir dari dusun, tidak diakui lagi. Aku hidup terlunta-lunta, melahirkan Mayang dalam keadaan sengsara sekali. Dan agaknya akupun, seperti ibumu, akan mati kalau saja tidak ada subo Kim Mo Siankouw ini yang telah menolong kami." Wanita itu menangis dan Mayang merangkul ibunya.
Hay Hay mengepal tinju. "Akan saya cari sampai dapat Ang-hong-cu, dan dia harus menebus semua dosanya! Bukan saja terhadap ibuku dan terhadap bibi akan tetapi juga terhadap entah berapa ratus orang wanita yang telah dirusak kehidupan mereka oleh kejahatannya!"
"Hay koko, aku ikut denganmu!" Tiba-tiba Mayang berkata, suaranya lantang dan penuh kemarahan. Agaknya ia sudah dapat memulihkan kekuatan batinnya dan kini nampak garang.
Semua orang terkejut. Akan tetapi Hay Hay memandang dan wajahnya mulai cerah. Dia girang melihat gadis itu telah pulih kembali, tidak tenggelam ke dalam kedukaan seperti tadi.
"Adikku Mayang, kenapa engkau hendak ikut dengan aku?" tanyanya.
"Mayang, engkau baru saja mengalami guncangan batin, sebaiknya beristirahat di rumah." kata ibunya.
"Benar ibumu, Mayang. Menurut kakaku Ang-hong-cu itu lihai sekali, dan untuk dapat menandinginya, agaknya engkau perlu berlatih keras. Biar kuajarkan engkau jurus-jurus simpanan agar dapat menandingi Ang-hong-cu." kata Kim Mo Siankouw.
"Tidak, Hay-koko, ibu dan subo! Aku harus ikut! Pertama, orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu, biarpun dia ayah kandungku, akan tetapi dia juga orang yang telah merusak hidup ibu, hidupku, bahkan kini mendatangkan malapetaka kepada aku dan Hay-ko. Dia harus mati di tanganku! Aku akan membantu Hay-ko menghadapinya! Selain itu, ibu dan subo, setelah terjadi peristiwa ini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini lagi" Semua orang di sekitar daerah ini telah datang menjadi tamu, menyaksikan aku menjadi pengantin, minum arak pengantin dan memberi selamat. Kemana aku akan menaruh mukaku ini kalau mereka mendengar bahwa pernikahan ini dibatalkan, bahkan aku nyaris menikah dengan kakak sendiri?" Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, kembali Mayang menangis.
Hay Hay merasa kasihan sekali kepada adiknya itu. Dia dapat merasakan hal itu memang. Sebagai seorang pria, tentu dia bebas dari aib. Akan tetapi, keadaan hidup seorang wanita mengenai hal yang menyangkut nama, kehormatan yang berhubungan dengan kesusilaan memang amat gawat. Begitu mudahnya orang tmelemparkan aib kepada diri seorang gadis. Wanita akan selalu menjadi sasaran celoteh.
"Kalau subomu dan ibumu mengijinkan aku sekarang tidak merasa berkeberatan untuk mengajakmu, Mayang."
"Terima kasih, Hay-ko, aku memang harus ikut denganmu. Kalau tidak diperkenankan, aku akan minggat dan mencari sendiri Ang-hong-cu!" kata gadis itu.
Kim Mo Siankouw dan ibu Mayangsaling pandang. Mereka tahu bahwa sekarang ini
mereka tidak mungkin dapat membujuk atau berkeras. Pula, mereka juga merasa kasihan kepada Mayang. Melihat ibu Mayang mengangguk kepalanya, Kim Mo Siankouw lalu berkata.
"Baiklah, Mayang. Aku dan ibumu setuju engkau pergi bersama Hay Hay akan tetapi
mengingat bahwa engkau akan menghadapi lawan yang amat lihai maka lebih dulu aku akan mengajarkan jurus-jurus pilihan selama sepuluh hari. Engkau dapat melatihnya dalam perjalanan setelah engkau hafal akan semua gerakannya. Tanpa bekal itu, aku tetap akan merasa khawatir kalau engkau pergi."
Mayang memandang kepada Hay Hay dan suaranya mengandung permohonan ketika ia bertanya. "Hay-ko, maukah engkau menanti sampai sepuluh hari baru kita berangkat?"
Hay Hay tersenyum. Dia telah memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraannya setelah urusannya dengan Mayang itu dapat diselesaikan tanpa akibat yang menyedihkan. Dia tahu bahwa mulai saat ini, dia mendapatkan seorang adik perempuan yang manja sekali! Dia mengangguk menyetujui.
Han Siong ikut merasa gembira dan ini dia nyatakan dengan ucapan yang disertai senyum dan wajah yang cerah."Saya merasa bergembira sekali bahwa urusan yang tadinya membuat saya merasa amat khawatir ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Dan sayapun berterima kasih kepada Tuhan yang masih melindungi Hay Hay dan nona Mayang sehingga walaupun mereka telah melaksanakan upacara pernikahan, namun mereka masih belum menjadi suami isteri dan kini dapat menjadi kakak dan adik secara wajar. Karena, bagaimanapun juga, saya akan ikut memikul dosanya kalau sampai pelanggaran terjadi, karena saya ikut pula membujuk Hay Hay untuk menerima usul perjodohan itu. Setelah sekarang semuanya heres, sayapun hendak mohon diri, dan saya menghaturkan terima kasih kepada Kim Mo Siankouw atas semua kebaikannya selama saya berada di sini."
"Han Siong, kenapa engkau tergesa-gesa pergi" Hendak ke manakah engkau?" tanya Hay Hay.
"Engkau tahu bahwa akupun mempuai perhitungan dengan Ang-hong-cu. Akan tetapi aku akan pulang dulu ke Kong-goan, ke Pek-sim-pang untuk menemui keluargaku. Mari kita berlumba, siapa yang akan lebih dulu berhasil menangkap Ang-h6ng-cu, Hay Hay!"
"Bagus!" Hay Hay yang sudah mendapatkan kembali kegembiraannya itu menerima tantangan itu. "Kita lihat saja nanti. Yang kalah harus menjamu makanan apa saja yang diminta si pemenang dalam rumah makan besar!"
"Baik, Hay Hay. Nah, sekarang aku harus pergi." Han Siong memberi hormat kepada mereka semua dan pergilah dia meninggalkan tempat itu. Hatinya merasa gembira bukan main. Dia kini merasa bebas seolah-olah semua ikatan pada dirinya telah putus, seolah beban yang selama ini menghimpit hatinya telah tanggal. Pertama, Wakil Dalai Lama sendiri sudah menjanjikan bahwa mulai sekarang, tidak akan ada lagi pendeta Lama yang mengganggunya, yang hendak memaksanya ikut ke Tibet menjadi Dalai Lama! Dan ke dua, urusan Hay Hay dengan Mayang telah dapat diselesaikan dengan baik, karena dia ikut pula bertanggung jawab, ikut pula membujuk Hay Hay, bahkan mengancam akan memusuhinya kalau Hay Hay tidak mau berjodoh dengan Mayang! Dia bergidik membayangkan. Kalau sampai terlanjur terjadi pelanggaran dan hubungan suami isteri antara kedua orang yang masih sedarah itu, tentu dia sendiri merasa berdosa, menyesal bukan main. Dan Hay Hay tentu akan mendapatkan alasan yang kuat untuk melampiaskan kemarahan kepadanya tanpa dia mampu membela diri. Hay Hay tentu akan menganggapnya jahat dan mengatakan bahwa dia telah mendorong Pendekar Mata Keranjang itu terjerumus ke dalam lembah kehinaan! Untung juga keduanya memakai perhiasan kumbang merah itu sebagai kalung!
Kini semua telah lewat dan Han Siong dapat melakukan perjalanan dengan wajah berseri dan hati lapang. Ada lagi suatu hal yang menggembirakan hatinya. Kegagalan cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian tidak menimpa dirinya sendiri! Kepahitan karena cinta gagal baru saja juga menimpa Hay Hay. Bahkan lebih parah daripada dia. Berarti dia mempunyai teman sependeritaan! Hal ini membuat dia merasa semakin dekat dengan Hay Hay! Pemuda gemblengan ini dalam kegembiraannya lupa bahwa dia telah menjadi hamba dari pada ke-akuan yang menghinggapi hampir seluruh manusia di permukaan bumi ini. Orang yang sedang tertimpa malapetaka, yang sedang merasa sengsara, sedang berduka, akan merasa terhibur dan berkurang kedukaannya kalau ia melihat orang lain, apa lagi yang dekat dengan dia, tertimpa kemalangan yang lebih besar dari pada kemalangan yang menimpa dirinya sendiri! Dan orang yang sudah diperbudak ke-akuannya sendiri itu yang merasa terhibur dan berkurang kedukaannya kalau melihat orang lain tertimpa kedukaan yang lebih besar, tentu akan merasa tak senang dan iri hati kalau melihat orang lain memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya sendiri. Seperti inilah kelemahan manusia yang tercengkeram nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu selalu mendorong kita untuk menjadi yang paling baik, paling besar, paling penting dan tidak kalah oleh orang lain! Berbahagialah orang yang dapat melihat, merasakan, dan menyadari kelemahan yang ada pada dirinya ini. Karena hanya mereka yang waspada dan sadar sajalah dapat melihat ulah nafsu yang ada pada diri sendiri.
** * Mereka bertiga berjalan-jalan di puncak bukit yang penuh dengan pohon cemara itu. Pagi itu cerah dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi sudah tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara kesejukan semilir angin gunung. Bau rumput dan daun cemara yang khas sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut, membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang sudah sibuk sejak matahari timbul tadi, seperti ribuan karyawan yang siap melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari di pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang merdu dan gembira, menjadi santapan pagi yang amat sehat bagi telinga. Betapa nikmatnya hidup kalau pada suatu saat, tiga di antara alat panca indriya kita, yaitu mata hidung dan telinga, menikmati keindahan bersama-sama. Mata menikmati pemandangan alam yang mentakjubkan, penuh pesona dan penuh kegaiban. Hidung menghirup udara yang amat sejuk segar, jernih bersih, dengan keharuman yang khas alami, membuat napas yang dihisap itu penuh tenaga mujijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus sampai ke bawah pusar, menyehatkan dan membahagiakan. Telinga pada saat yang sama mendengarkan suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup! Dalam keadaan seperti itu, hati dan akal pikiran berhenti berceloteh dan segala sesuatu nampak indah. Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga! Bau tanah bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-kupu berwarna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat embun sebutir bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah merupakan penglihatan yang indahnya sukar dilukiskan!
Sayang, sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali kesenangan-kesenangan pemuas nafsu sehingga kita menjadi mabuk. Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu menghirup segala kesedapan yang segar. Kita terbuai oleh kesenangan tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan urusan pengejaran kesenangan nafsu. Kalaupun kadang-kadang kita dapat merasakan keagungan dan keindahan itu, segera hati dan akal pikiran datang mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin telah disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari pelampiasan nafsu keinginan!
Demikian pula dengan tiga orang yang berjalan-jalan di pagi hari itu. Tadinya mereka tidak berkata-kata, seperti tenggelam ke dalam keindahan itu, bahkan mereka merasa bersatu dengan semua keindahan itu, tidak terpisah-pisah. Rasa aman teneram bahagia, bukan senang, menyelubungi mereka sehingga pada saat seperti itu, mereka tidak ber-aku, mereka bersatu dengan alam, dengan kekuasaan Tuhan, dengan Tuhan! Mereka berada dalam keadaan samadhi yang sejati, bukan pengosongan diri karena dikehedaki hati dan akal pikiran! Kekosongan batin yang DIKOSONGKAN oleh hati dan akal pikiran, merupakan kekosongan palsu, karena kekosongan itu penuh dengan usaha dari keinginan. Kekosongan berpamrih.
Tiga orang itu bukanlah orang-orang biasa, bukan penghuni pegunungan biasa. Mereka adalah ayah, ibu dan anak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan dapat disejajarkan dengan orang-orang sakti! Pria itu berusia empat puluh tiga tahun kurang lebih. Lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga lengan baju yang kiri itu ujungnya terkulai lemas tanpa isi. Tubuhnya tinggi tegap. Kepalanya tidak gundul, melainkan memiliki rambut yang hitam tebal dan panjang, yang digelung ke atas seperti gelung rambut tosu (pendeta To), akan tetapi pakaiannya yang longgar itu mengingatkan orang akan pakaian hwesio (pendeta Buddha) yang berwarna kuning. Wajahnya tampan dan jantan, dengan alis tebal dan sepasang matanya mencorong. Sikapnya pendiam dan bahkan dingin. Pria ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, pria ini adalah putera mendiang Siangkoan Lojin atau yang di (junia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si lblis Buta. Biarpun kedua matanya buta, namun Siangkoan Lojin ditakuti semua orang, karena lihainya, juga karena kejamnya. Seorang datuk sesat yang namanya tersohor. Akan tetapi, sungguh aneh, puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, walaupun juga berhati sekeras baja, namun tidak mewarisi watak kejam dan jahat seperti ayahnya. Bahka sejak muda dia menentang kejahatan, sehingga membuat dia menjadi penentang ayahnya sendiri!
Wanita berusia empat puluh dua tahun itu isterinya, Toan Hui Cu dan ia masih nampak cantik sekali. Walaupun mukanya agak pucat, akan tetapi bukan pucat karena sakit. Dan riwayat wanita ini bahkan lebih hebat dari pada riwayat suaminya. Seperti juga suaminya, Toan Hui Cu juga keturunan datuk sesat. Bukan datuk biasa malah, melainkan rajanya datuk sesat! Biarpun ayah kandungnya masih keluarga kerajaan, berdarah bangsawan tinggi, namun ayahnya ketika masih hidup terkenal dengan julukan Raja Iblis, dan ibunya Ratu Iblis! Ayah dan ibunya memiliki kepandaian yang membuat mereka itu sakti dan mengenai kekejaman dan kejahatan, tidak ada datuk sesat yang lebih mengerikan dari pada mereka! Anehnya, Toan Hui Cu yang merupakan anak tunggal, seperti juga halnya Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi watak jahat ayah ibunya. Bahkan ia condong berwatak pendekar!
Dua orang dari keturunan tokoh sesat ini saling mencinta dan akhirnya, nasib membuat mereka berdua itu menjadi murid di kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga menjadi dua orang hukuman karena oleh ketua Siauw-lim-si dianggap melakukan dosa, melanggar kesusilaan karena mereka berdua telah menjadi suami isteri tanpa nikah! Selama duapuluh tahun mereka harus menjalani hukuman di kuil itu, bertapa, akan tetapi justeru dalam hukuman itulah mereka berdua menemukan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan orang-orang sakti yang termasuk Delapan Dewa! Dan mereka, biarpun terhukum dalam ruangan berbeda, dengan ilmu mereka yang tinggi, dan keduanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu sehingga keduanya menjadi semakin sakti! Dan dari hubungan mereka, terlahirlah seorang anak perempuan! Karena mereka dalam keadaan sebagai terhukum, maka terpaksa anak perempuan itu mereka titipkan didusun. Nasib membuat anak itu terculik lenyap, dan setelah anak itu dewasa, barulah anak itu kembali kepada mereka.
Orang ke tiga yang sedang berjalan-jalan di pagi hari itulah anak mereka, puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian! Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, bertubuh ramping dengan pinggang yang kecil sekali, dengan kulit yang putih mulus. Rambutnya panjang sampai ke pinggul, hitam mengkilap dan tebal, dan pagi hari ini rambut itu dikuncir menjadi dua, dibiarkan tergantung dan kedua ujungnya diikat pita sutera biru. Bi Lian memiliki mata ayahnya, mencorong tajam. Hidungnya kecil mancung seperti hidung ibunya, mulutnya berbentuk seperti mulut ibunya, hanya bedanya, kalau bibir ibunya selalu nampak agak pucat seperti wajahnya, bibir Bi Lian selalu nampak merah membasah. Bentuk mukanya bulat telur dan sebutir tahi lalat di dagunya menjadi pemanis yang menarik. Biarpun ayah dan ibunya amat lihai, namun gadis ini yang sejak kecil terpisah dari mereka, menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dua orang datuk iblis yang amat linai, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang di antara Empat Setan.
Di bagian depan cerita ini telah diceritakan betapa Bi Lian berjumpa dengan murid ayah ibunya, yaitu Pek Han Siong yang juga oleh ayah ibunya telah diangkat menjadi tunangannya. Han Siong yang membuka rahasianya bahwa ia puteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dan Han Siong pula yang membawanya ke kuil Siauw-li-si, kemudian menyusul ke tempat tinggal suami isteri itu, yaitu Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) di pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur. Setelah bertemu, pertemuan yang penuh keharuan dan kebahagiaan, ayah ibu gadis itu memberitahu tentang ikatan jodoh antara Bi Lian dan Han Siong. Gadis itu menolak! Ia menolak bukan karena ia membenci Han Siong. Sebaliknya malah ia amat mengagumi Han Siong, juga amat menyukainya, akan tetapi ia menganggap Han Siong sebagai suheng (kakak seperguruan) sehingga perubahan yang mendadak itu membuat Bi Lian merasa canggung dan salah tingkah. Maka ia menyatakan tidak setuju. Mendengar ini, Han Siong tersinggung dan diapun mohon kepada kedua orang gurunya untuk membatalkan ikatan jodoh itu, dan diapun mengembalikan pedang pusaka Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya sebagai tanda perjodohan.
Demikianlah, setelah Han Siong pergi, Bi Lian tinggal bersama ayah ibunya. Dan dari kedua orang tuanya itu, iapun menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Ia memilih jurus -jurus simpanan saja sehingga ia yang sudah lihai sebagai murid Pak-kwi-ong (Raja Iblis Utara) dal) Tung-hek-kwi (Iblis Hitam Timur) kini menjadi semakin lihai. Dan pada pagi hari itu, ayah ibu dan anak ini berjalan-jalan di puncak menikmati keindahan suasana pagi hari yang cerah itu.
Sejenak mereka bertiga tenggelam ke dalam keheningan yang indah itu. Bukan hening
yang berarti sepi. Puncak-puncak cemara bergoyang, bunyi daun gemersik ditimpa dendang air dan meriahnya suara burung, keharuman yang meriah. Sama sekai tidak sepi. Namun keheningan yang tercipta apa bila hati dan akal pikiran berhenti berceloteh. Sayang sekali, keheningan itu segera dikacaukan oleh pikiran. Melihat burung terbang berpasangan, Siangkoan Ci Kang menghela napas panjang dan melirik kepada puterinya. Lenyaplah sudah keindahan itu, terganti oleh kegelisahan dan kedukaan karena kini batinnya terpenuhi permasalahan mengenai diri puterinya. Sudah hampir dua bulan puterinya tinggal bersama mereka di Kim-ke-kok, dan selama dua bulan itu, dia dan isterinya mengajarkan jurus-jurus rahasia simpanan mereka kepada Bi Lian. Akan tetapi, di waktu malam, kalau dia berada berdua saja dengan isterinya dalam kamar mereka, mereka tiada hentinya membicarakan puteri mereka dengan hati yang kecewa dan berduka. Puteri mereka telah menggagalkan dan bahkan membikin putus ikatan perjodohan antara puteri mereka dan murid mereka, Pek Han Siong. Mereka tidak melihat adanya pemuda lain yang lebih baik dari pada murid mereka itu. Inilah yang pada saat itu menyelinap dalam pikiran Siangkoan Ci Kang ketika dia melihat burung-burung beterbangan dengan berpasangan.
Lian-ji (anak Lian), tahukah engkau, berapa usiamu sekarang"'
Bi Lian dan ibunya yang masih tenggelam dalam keheningan, seperti baru terbangun dan Bi Lian menoleh, memandang ayahnya dengan heran. Pertanyaan itu sungguh tak pernah diduganya akan diajukan ayahnya di pagi hari ini. Sejak mendaki puncak itu, mereka bertiga tidak pernah bicara dan mereka menikmati suasana yang amat indah itu. Dan tiba-tiba ayahnya bertanya tentang usianya!
"Mengapa, ayah" Katau tidak salah, sudah hampir dua puluh satu tahun." jawabnya sambil memandang wajah ayahnya dengan sinar mata bertanya. Ayahnya juga memandang kepadanya dan dua pasang mata yang sama mencorongnya saling pandang seperti hendak menembusi hati masing-masing.
"Tidak mengapa, hanya?"". kukira usia sedemikian itu bagi seorang wanita sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang isteri yang baik.
"Bahkan sudah cukup untuk menjadi seorang ibu yang baik. Aih, betapa inginku menimang seorang bayi, seorang cucuku?".. !" kata pula Toan Hui Cu sambil menarik napas panjang karena ia sudah membayangkan kesenangan itu.
Bi Lian mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak marah. Ia cukup mengerti akan


Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaan hati ayah ibunya yang ingin melihat ia menikah dan mempunyai anak!
"Aihhh, ayah dan ibu selama dua bulan ini hampir setiap hari bicara tentang pernikahan untukku!" ia hanya mengeluh, lalu berhenti melangkah. Ayah ibunya juga berhenti. Mereka berada di puncak dan di bawah kaki mereka, di sekeliling puncak itu, nampak hutan dan pohon-pohon kelihatan begitu kecil dan pendek.
"Terus terang saja, anakku, ayah dan ibumu hanya mempunyai satu keinginan, yaitu melihat engkau berumah tangga. Anak kami hanya engkau seorang dan kelirukah kalau ayah dan ibumu ingin melihat anaknya berumah tangga?" kata pula ibu Bi Lian.
Bi Lian mendekati ibunya dan merangkul pinggang ibunya. Ibunya masih cantik sekali, bahkan patut kalau menjadi kakaknya.
"Ibu, aku tahu dan aku tidak menyalahkan kalian, hanya saja, urusan perjodohan bukanlah urusan yang sedemikian mudahnya. Tak mungkin kalau aku memungut begitu saja seorang calon suami dari pinggir jalan!"
"Ha-ha-ha!" Siangkoan Ci Kang tertawa. "Tentu saja tidak mungkin! Engkau harus memperoleh seorang suami yang terbaik, anakku! Dan menurut penglihatan kami, kiranya tjdak ada pemuda yang lebih bajk dari pada suhengmu sendiri. Pek Han Siong! Sayang sekali engkau membencinya, Lian-ji."
"Ayah, aku sama sekali tidak membencinya! Bahkan aku kagum dan suka padanya!" Bi Lian membantah cepat.
"Hemm, kalau benar demikian, mengapa engkau begitu tega untuk menghancurkan hatinya, memutuskan ikatan perjodohan itu" Dari mana kita akan bisa mendapatkan seorang pemuda yang melebihi Han Siong, baik kepandaiannya maupun wataknya" Dia seorang pendekar sejati, anakku!"
Bi Lian menahan senyumnya dan entah bagaimana, pada saat itu terbayanglah wajah Hay Hay yang tersenyum-senyum nakal itu! Iapun menghela napas.
"Ayah dan ibu, aku tahu bahwa kalian masih menyesali kegagalan perjodohan antara aku dengan suheng itu. Maafkan aku. Terus terang saja, akupun kagum dan suka kepada suheng Pek Han Siong, akan tetapi rasa sukaku itu hanya perasaan terhadap seorang suheng. Aku tidak tahu apakah ada cinta dalam hatiku terhadap suheng. Akan tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa aku tidak yakin akan cintanya kepadaku."
"Ehhh" Bukankah dia secara terus terang telah menyatakan cintanya kepadamu, di depan aku dan ibumu" Lian-ji, Han Siong mencintaimu, itu sudah jelas!" kata pula Siangkoan Ci Kang.
"Benar ayahmu, Bi Lian. Han Siong cinta padamu dan dia akan menjadi seorang suami yang amat baik, juga ayah yang baik untuk anak-anakmu." kata ibunya.
"Bagaimana ayah dan ibu dapat begitu yakin" Ingatlah, ketika suheng mengaku cinta, dia sudah terikat perjodohan dengan aku! Maka, tentu saja dia mengaku cinta, karena kalau tidak, berarti dia akan menghina ayah dan ibu dan juga aku! Dia telah terikat jodoh denganku sebelum dia melihat aku, ayah dan ibu. Hal ini harap dipertimbangkan. Andaikata saat dia mengaku cinta kepadaku itu dia belum terikat dengan perjodohan, mungkin sekali aku akan percaya, bahkan yakin. Akan tetapi keadaannya tidak demikian. Aku tidak puas, ayah dan ibu. Maafkan aku, akan tetapi aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang aku yakin benar-benar mencintaku, dan tentu saja kalau aku mencintanya."
Suami isteri itu saling pandang. Alasan puteri mereka itu memang kuat dan tepat. Kinipun mereka dapat merasakan. Memang mereka percaya bahwa Han Siong benar-benar mencinta Bi Lian. Akan tetapi, andaikata tidak demikian halnya, beranikah Han Siong mengatakan bahwa dia tidak mencintai gadis itu" Gadis yang telah ditetapkan menjadi calon isterinya" Tentu tidak akan berani!
"Hemm, kalau begitu, Lian-ji. Andaikata engkau kelak yakin bahwa Han Siong benar-benar mencintamu, apakah masih ada harapan untuk".. eh, menyambung kembali tali yang telah putus itu?" tanya Siangkoan Ci Kang.
Bi Lian termenung. Bagaimanapun juga, hanya ada dua orang pria yang selama ini menarik hatinya dan dikaguminya. Yang pertama adalah Hay Hay, dan yang ke dua adalah Pek Han Siong! Tentu saja Hay Hay memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi setiap orang wanita, karena pemuda itu pandai sekali mengambil hati secara wajar, bukan menjilat. Hidup di samping Hay Hay tentu merupakan suatu keadaan yang selalu menggembirakan dan dunia akan selalu nampak cerah. Sebaliknya, Han Siong seorang pemuda yang jantan, pendiam dan halus tenang, mendatangkan suasana damai yang tenang. Keduanya memang tampan dan gagah, dengan ilmu kepandaian yang seimbang, bahkan keduanya menguasai ilmu sihir yang ampuh. Akan tetapi, ia merasa kecewa terhadap Han Siong karena pemuda itu menerima ikatan jodoh begitu saja, pada hal selama hidupnya belum pernah berjumpa dengannya! Hal inilah yang mengganjal di hatinya, seolah-olah ia merasa bahwa Han Siong ingin berjodoh kepadanya bukan karena dirinya, melainkan karena hendak mentaati ayah ibunya! Hal ini membuat ia merasa dirinya kurang penting dan kurang berharga!
"Tentu saja hal itu mungkin sekali, ayah. Kita lihat saja perkembangannya kelak. Kalau memang dia benar mencintaku dengan tulus dan kalau kemudian aku melihat kenyataan bahwa akupun mencintanya, maka tidak ada halangannya bagi kami untuk berjodoh. Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?"
Mendengar ucapan puteri mereka, suami isteri itu saling pandang dan ada sinar harapan baru terpencar dalam pandang mata mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar kokok ayam hutan jantan dan seketika berubah sikap Siangkoan Ci King dan isterinya. Mereka segera menyelinap ke balik semak-semak dan Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada Bi Lian untuk bersembunyi pula.
Bi Lian terkejut dan terheran, lalu cepat ia menyelinap ke dekat mereka.
"Ada apakah?" tanyanya dengan bisikan lirih.
"Ssttt?"". inilah yang kami nanti-nanti selama berbulan-bulan. Agaknya dia menghadapi lawan. Kita harus mendekat dengan hati-hati agar jangan mengejutkan mereka dan jangan mengganggu perkelahian mereka. Mari, ikuti aku dan hati-hati, jangan berisik!" kata Siangkoan Ci Kang. Isterinya mengikuti di belakangnya, dan Bi Lian yang masih terheran-heran mengikuti di belakang ibunya. Siapakah yang berkelahi, pikir Bi Lian. Tentu orang-orang yang sakti, kalau tidak begitu, tidak mungkin ayah ibunya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu begitu berhati-hati menghampiri tempat perkelahian itu. Dan siapakah yang berkelahi deng8a mengeluarkan kokok ayam hutan jantan itu" Sungguh aneh.
Mereka bertiga dengan cepat namun dengan pengerahan gin-kang agar gerakan mereka ringan tak bersuara, menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara di sebelah kiri. Akhirnya, Siangkoan Ci Kang berhenti dan bersembunyi di balik semak-semak, memberi isarat kepada isteri dan puterinya untuk bersembunyi di situ pula. Kemudian suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri. Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan ia terbelalak karena yang diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat sedang bertanding, melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu.
Pantas saja mereka harus berindap-indap karena kalau mereka mengeluarkan suara berisik, tentu dua ekor ayam hutan itu akan terbang pergi. Ayam hutan merupakan binatang yang liar sekali, tidak dapat didekati manusia. Akan tetapi, mengapa ayah ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu" Bi Lian juga memandang, dengan penuh perhatian. Akan tetapi baginya, dua ekor binatang itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar, tidak sebesar ayam jago biasa, sedang bertanding. Akan tetapi setelah ia memperhatikan, ia melihat bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja. Semua serangan si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan kakinya juga tak pernah mengenai sasaran. Sibulu emas jarang menyerang, akan tetapi setiap kali menyerang, pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga beberapa kali si kelabu tertendang dan terjengkang!
Biarpun demikian, bagi Bi Lian semua itu tidak ada artinya. Akan tetapi kalau ia menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tak pernah berkedip, seolah hendak menelan dengan pandang mata mereka setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu, dan beberapa kali ia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah gembira sekali.
Perkelahian mati-matian itu tidak berlangsung lama. Ketika si kelabu yang sudah mulai lemah itu, dan yang mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah, untuk ke sekian kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang.
"Bressss..... ! Keok..... !" Si kelabu hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala dengan tepatnya, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam sekarat! Dan si bulu emas, dengan lagak yang gagak sekali, mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan!
Biarpun pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isarat kepada isteri dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari semak-semak di seberang, berloncatan keluar dua ekor binatang musang. Tidak begitu besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat dengan cekatan sekali. Yang seekor telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas yang tadi menang bertanding. Lompatannya amat cepat dan gesit, dan agaknya sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri. Akan tetapi pada detik terakhir, ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau, dengan mudah saja dapat terbang meloloskan diri dari Musang itu. Akan tetapi ternyata tidak! Ayam itu kini berdiri dengan kepala menunduk, sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung!
"Tolol!" pikir Bi Lian dalam hatinya. "Mana kamu akan mampu menandingi seekor musang?" Ayam berbulu emas itu terlalu sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan Siapa lawannya. Mungkin karena kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi, dia menjadi kepala besar ddn tidak takut melawan siapapun juga!
Musang itu agaknya juga tercengang. Tubrukannya sudah luput dan menurut pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu sudah terbang pergi. Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak terbang melarikan diri malah menantang untuk berkelahi! Kalau saja wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa mengejek ayam kecil itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih di situ, dia sudah menerkam lagi dengan ganasnya. Musangpun seekor binatang liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil, maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar di hutan.
"Wuuuttt....... bresss.....!" Bi Lian hampir bersorak. Ketika musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu menerjang dari atas mematuk dan menendang kepala musang.
Musang itu terkejut. Patukan dan tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri walaupun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia membalik dan kembali menerkam. Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan kembali sudah menerjang dari atas. Berkali-kali hal ini terjadi dan Bi Lian menonton dengan hati tegang. Biarpun sambarannya dapat mengenai kepala musang dengan tepat, namun tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala musang yang terlindung bulu, apa lagi merobohkannya. Sedangkan sebaliknya, sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu. Ketika ia menengok ke arah ayah ibunya, ia melihat kedua orang itu seperti tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira.
Musang itu agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke atas, musang itu tiba-tiba berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki depannya mencoba untUk menangkap ke atas. Akan tetapi, dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput karena dia naik ke atas, kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas dengan patukan dan cakaran, tidak lagi menendang melainkan mencakar. Kedua kaki dengan kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, runcing melengkung karena setiap hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga runcing melengkung dan keras itu mematuk ke arah mata kiri.
"Bresss...... !" Musang itu mengeluarkan suara seperti tikus terjepit dan dari hidung dan matanya mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah. Diapun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ. Ayam hutan itupun terbang ke atas, hinggap di sebuah dahan pohon cemara dan diapun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher memanjang! Bi Lian menjadi demikian gembiranya sehingga iapun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Mendengar tepuk tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu terbang dan melarikan diri ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik!
Akan tetapi, kembali Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Ia melihat ibunya menyerang dengan jurus-jurus hebat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang ia pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat. Dari kedua tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun ia tahu bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih yang terkenal lembut dan murah hati, namun di balik kelembutan itu terkandung kesaktian yang tidak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan iblis!
Melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu, ia tidak merasa heran. Tentu saja serangan-serangan ibunya hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat ia bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya. Gerakan ayahnya itu mirip gerakan ayam jantan hutan bulu emas tadi! Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepala kedepan belakang, betapa kepala itu kadang-kadang mengelak ke bawah dan kebelakang dengan gerakan melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu, berloncatan seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi. Ketika ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah, lengan baju kiri yang tidak berisi lengan itu meluncur ke arah mata sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah hidung mulut, dan kedua kaki masih menendang ke arah dada. Teringatlah Bi Lian akan "jurus" yang dipergunakan ayam jago bulu emas tadi terhadap lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si musang berdarah pada mata dan hidungnya, dan membuat musang itu lari ketakutan.
"Ihhh....... bagus sekali......!" Ibunya melempar tubuh ke belakang dan terhuyung. Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah. Bi Lian adalah seorang gadis yang cerdik. Biarpun tadi ia terheran-heran dan juga geli, kini setelah ia mengerti, ia memandang kagum kepada mereka.
"Aih, kiranya ayah dan ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru" Pantas tadi kita harus berhati-hati agar jangan mengejutkannya!"
Ayah dan ibunya mengangguk. "Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang hebat bukan main," kata ibunya. "Kami pernah melihat dia mengalahkan seekor ular, bahkan menghajar sampai mati seekor tikus hutan yang amat besar. Dan sekali ini, engkau melihat sendiri, bukan saja dia menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia berhasil mengalahkan seekor musang! "
"Gerakannya memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang memang hebat," sambung ayahnya. "Sudah beberapa tahun kami mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku dapat menyempurnakan beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari."
"Hebat sekali!" seru Bi Lian. "Lalu apa namanya ilmu silat yang ayah ibu cipatakan itu?"
"Kami beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu merupakan dasarnya, dan dicampur dengan ilmu silat kami. Kau yang telah mempelajari gerakan ilmu silat kami, akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun."
Mendengar ucapan ayahnya itu, Bi Lian girang sekali dan mulai hari itu juga, iapun mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan ayah ibunya itu. Seperti juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah dan kecerdikan yang disertai pula keliaran. Disamping itu, karena ilmu itu dicampur dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung pula kehalusan dan kelembutan, didorong oleh sin-kang (tenaga sakti) yang amat dahsyat
Selama tiga bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekun, juga memperdalam ilmu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiamsut. Pada suatu pagi ketika ia sedang berlatih di puncak yang sunyi, di mana ia bersama ayah ibunya pernah melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya. Pagi hari itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiamsut. Sebelumnya ia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru ciptaan orang tuanya itu.
Bi Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang dan pandang matanya ditujukan ke bawah. Ia melihat seorang penunggang kuda membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya penunggangnya juga pandai sekali. Akan tetapi, Bi Lian mengerutkan alisnya. Jalan menuju ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya kalau dicapai dengan menunggang kuda yang dilarikan demikian cepatnya. Ada bagian berbatu-batu kecil yang licin sekali pada jalan mendaki. Seekor kuda yang berlari cepat dapat jatuh kalau menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu.
Bi Lian khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang akan terjadi dengan penunggang kuda itu kalau melewati jalan yang berbahaya itu. Sebaiknya kalau ia dapat datang lebih dulu dan memperingatkan penunggang kuda itu. Maka, Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu.
Akan tetapi, kuda itu berlari cepat dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas ketika kuda itu sudah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau ia bertriak memperingatkan juga, karena selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan dan isaratnya. Maka, iapun hanya memandang saja dengan hati khawatir. Kalau hanya bahaya kuda itu tergelincir dan jatuh saja, masih tidak mengkhawatirkan. Paling hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja. Akan tetapi, di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar dan amat dalam. Kalau sampai penunggang kuda itu terlempar ke dalam jurang, akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya.
Penunggang kuda itu kini nampak jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya menjadi satu dengan kuda, gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda.
Kini kuda memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, ketika empat kaki kuda itu menginjak batu-batu kecil, kuda itu tergelincir! Agaknya kuda itu telah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan empat kakinya. Akan tetapi, setiap kali menginjak tanah dengan kuat, kaki nya menginjak batu kerikil dan tergelincir pula sehingga akhirnya, kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan. Bi Lian melihat kuda itu terjatuh, dan pada saat itu, iapun terbelalak kagum melihat penunggang kuda itu tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas, berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh seorang pria yang jantan dan gagah Sekali.
Pemuda itu dengan sikap amat tenang menghampiri kudanya yang tidak mampu bangkit kembali. Kuda itu tadi terjatuh lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan itu mendaki, dan baru tubuhnya berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, kalau tidak tentu tubuhnya akah terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu.
Ketika pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya mampu menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tidak mampu bangkit. Agaknya dua kaki depannya patah tulang, juga kepalanya terluka dan berdarah. Pemuda itu memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas punggung kuda. Diikatnya buntalan itu di punggungnya dan pemuda itu memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke dalam jurang di balik batu.
"Kuda yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri penderitaanmu. Selamat berpisah!" Tiba-tiba, tangan kanannya bergerak ke arah kepala kuda itu.
"Prakkk! Kuda itu terkulai, tidak lagi nampak kakinya bergerak-gerak. Kemudian, pemuda itu menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda itu ke dalam jurang!
Bi Lian terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan diapun melompat keluar dari tempat pengintaiannya.
"Engkau manusia berhati iblis!" bentaknya marah sekali.
Pemuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di depannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir balik dan dia jatuh hati!
" Apa..... " Mengapa..... " Aih, nona, kenapa nona marah dan memaki aku" Siapakah nona dan apa kesalahanku maka nona memaki aku berhati iblis?" tanyanya dengan gugup karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari langit!
"Manusia busuk! Kaukira tidak ada yang melihat perbuatanmu" Kaukira aku tidak tahu apa yang kaulakukan tadi" Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi, engkau bahkan membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Selain kejam, juga engkau telah merusak tempat ini dan aku tak dapat membiarkan saja!"
"Ah, itukah gerangan yang membuat engkau menjadi marah, nona?" Pemuda itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum. Harus diakui oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan kokoh, juga ketika tersenyum wajah itu memiliki daya tarik yang amat kuat. Akan tetapi, mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa penasaran dan marah sekali. "Akan tetapi, nona. Aku tidak merugikan siapapun, juga tidak merugikanmu. Kuda itu adalah kudaku sendiri, dan kubuang bangkainya di dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa engkau marah-marah, nona?"
"Masih bertanya kenapa aku marah" Pertama, melihat kekejamanmu itu, engkau patut dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk. Dan engkau masih bertanya kenapa aku marah?"
Pemuda itu tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu. "Ah, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, nona" Kalau begitu, maafkanlah aku, nona. Karena aku tidak mengerti dan......"
"Sudahlah! Engkau seorang kejam dan melihat bahwa engkau tadi telah mengeluarkan kepandaianmu, aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!"
Ditantang begitu, pemuda itu kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu cantik jelita dan lemah, walaupun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu!
"Nona, aku tidak ingin berkelahi denganmu, bahkan kalau engkau suka, aku ingin berkenalan denganmu. Namaku Tan Hok Seng dan aku".. "
"Aku tidak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu tadi. Majulah!" Bi Lian sudah siap.
Pemuda yang mengaku bernama Tan Hok Seng itu kini tersenyum. "Nona, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi denganmu. Akan tetapi, mengapa engkau mendesak dan menantangku" Ketahuilah, nona, aku sama sekali tidak kejam terhadap kuda itu. Aku seorang penyayang kuda, dan kuda itu selama ini menjadi sahabat baikku. Akan tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa, kedua kaki depan patah tulang, kepalanya juga retak. Dia tidak ada harapan hidup lagi. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita terlalu lama" Lebih baik dibunuh untuk mengakhiri penderitaannya."
Bi Lian bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya, ia seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang pendekar wanita yang tentu saja berpikir panjang dan berpemandangan luas. Mendengar alasan yang dikemuka kan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, ia dapat menerimanya dan ia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang di sayangnya itu. Ia dapat menerima alasan itu dan ia tidak marah. Akan tetapi diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai dimana kehebatan pemuda gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda itu.
"Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita. Engkau sudah mengotori tempat tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang. Sekarang hanya ada dua pilihan. Engkau ambil bangkai kuda itu dan kau kuburkan baik-baik agar tidak menimbulkan bau busuk atau engkau harus menghadapi seranganku!"
Lambang Naga Panji Naga Sakti 9 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 7
^