Pencarian

Si Kumbang Merah 13

Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


Pemuda yang bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, lalu menarik napas panjang.
"Nona, bagaimana mungkin menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda itu?" katanya. Tentu saja Bi Lian maklum akan ketidakmungkinan ini, maka ia justeru mengajukan pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali menandinginya!
"Hemmm, kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, engkau harus menandingiku!" Lalu ia menambahkan. "Tentu saja kalau engkau bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!" Biarpun pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun ia menerima gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan ia dapat bersikap keras mau menang sendiri!
Tan Hok Seng menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya di dalam hati bahwa gadis yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa gadis itu sudah matang dan dewasa, kulitnya putih mulus dan kulit muka dan lehernya demikian halus, tangannya demikian kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang. Rambutnya panjang di kuncir dan melilit leher sampai pinggang. Sepasang mata yang demikian jeli dan tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir yang basah kemerahan, ditambah manisnya dengan tahi lalat kecil di dagu. Bukan main!
"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apa lagi berkelahi. Akan tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi...... "
"Sudahlah, sambut seranganku ini!" bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan karena marah, melainkan karena ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda yang gagah dan tampan ini. Hok Seng cepat mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin pukulan yang amat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, diapun membalas dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan melihat kecantikan gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan.
Bi Lian melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik, kalau ia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai, maka iapun cepat menangkis untuk mengukur sampai di mana besarnya tenaga pemuda itu.
"Dukkk!" Lengan Hok Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tak disangkanya bahwa lengan yang kecil gadis itu mengandung tenaga yang demikin kuatnya sehingga dia merasa lengannya bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus.
"Huh, jangan pandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua kepandaian silatmu!" Bi Lian mengejek, tahu bahwa pemuda itu tadi tidak mengerahkan semua tenaganya. Hok Seng terkejut ketika kembali Bi Lian menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh gadis itu bergerak seperti bayangan saja, dan memang Bi Lian mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang ia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si ahli gin-kang. Dan iapun mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek Kwi, mengandalkan sin-kang dan dengan ilmu silat ini ia dapat membuat lengannya mulur hampir setengah lengan panjangnya!
Hok Seng berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Namun, sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuh mengikuti gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet. Ternyata pemuda itu, biarpun cukup gesit dan bertenaga besar, namun dalam hal ilmu silat, dia masih kalah jauh dibandingkan Bi Lian. Padahal, Bi Lian belum memainkan ilmu silat yang baru saja ia pelajari dari ayah ibunya! Bi Lian pun maklum akan hal ini, maka iapun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau ia menghendaki, tentu pemuda itu tidak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus!
Tiba-tiba nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar seruan nyaring berwibawa, "Hentikan perkelahian!"
Mendengar suara ayahnya, Bi Lian meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka. "Ayah dan ibu, orang ini telah membunuh kudanya yang jatuh terluka dan membuang bangkainya ke dalam jurang."
Bi Lian melapor karena tidak ingin dipersalahkan. "Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang dan baunya akan mengotorkan udara di sini. Maka kutantang dia!"
"Aih, engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian." tegur ibunya.
Melihat gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali.
"Mohon maaf kepada paman dan bibi yang terhormat bahwa saya telah lancang melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sesungguhnya nona ini tidak bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan, terpeleset dan jatuh di sini. Kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk mengakhiri penderitaannya, maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang bangkainya ke dalam jurang dengan maksud agar tidak mengganggu orang yang lewat di sini. Akan tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa saya sadari saya telah membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara di sini?".. "
Suami isteri itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu.
"Orang muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Biarpun kami tinggal di daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu ke dalam jurang. Anak kami telah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka menyudahi saja urusan ini."
"Dengan segala senang hati, paman. Pula, apa daya saya seorang yang bodoh dan lelah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya" Tadinyapun saya sudah segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa saya...."
"Sudahlah!" kata Bi Lian. "Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi saja" Ataukah engkau masih merasa penasaran?" karena tidak ingin terus dipersalahkan, gadis itu membentak.
"Bi Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!" kata ibunya.
"Orang muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka kami persilakan untuk berkunjung ke rumah kami di sana!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang.
Tan Hok Seng memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding, dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki Jimu silat yang amat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya! Maka, ketika ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu saja amat sakti itu. Mendengar undangan itu, tentu saja Hok Seng menjadi girang bukan main, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab.
"Ah, saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada paman dan bibi yang terhormat....... "
"Ah, jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami kalau engkau memang mau memaafkan anak kami." kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk ramah. Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan Heng-tuan-san, dia sudah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang dikenal oleh para penduduk sebagai sepasang pendekar yang sakti dan yang suka menolong para penduduk. Tertariklah hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini, sepasang pendekar itu kedatangan seorang gadis cantik jelita yang kabarnya adalah puteri mereka. Kini, begitu melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main. Apa lagi ketika ayah ibunya muncul. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap, lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa. Adapun isterinya juga merupakan tokoh yang tidak kalah menariknya. Seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik dan dengan raut wajah yang agung, juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah seperti seorang gadis saja. Kiranya mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para penduduk dusun itu. Dan biarpun dia belum pernah melihat mereka menggunakan kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, dia sudah dapat membayangkan betapa saktinya suami isteri itu.
Dengan sikap hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke sebuah rumah yang berdiri di lembah, di bagian yang datar dan subur. Rumah itu nampak mungil terpelihara rapi, dengan taman bunga yang penuh dengan bunga beraneka warna.
Biarpun di dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat pemuda itu masih amat rendah dibandingkan ia sendiri. Maka, begitu pemuda itu diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, ia lalu mengundurkan diri dengan dalih membantu pelayan di belakang.
"Orang muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke lembah ini?" Siangkoan Ci Kang bertanya, akan tetapi suaranya yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu.
Pemuda itu nampak berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya amat buruk.
"Paman, saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan yang tertimpa malapetaka dan penasaran besar," dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Karena dia sudah mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya. "Saya seorang yatim piatu dan dengan susah payah melalui kerja keras akhirnya saya berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi, sungguh malang nasib saya, saya difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan, saya ditolong seorang pendekar yang tidak memperkenalkan dirinya sehingga saya dapat bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya sampai ke tempat ini."
"Hemm, begitukah?" Siangkoan Ci Kang memandang tajam untuk menyelidiki apakah cerita itu dapat dipercaya. Pemuda itu membalas tatapan matanya dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa ceritanya memang benar. "Siapakah namamu, orang muda?"
"Nama saya Tan Hok Seng, paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri paman dan bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apabila kiranya paman dan bibi sudi menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada paman dan bibi di sini. Biarlah saya bekerja apa saja di sini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh. Apa saja asal paman dan bibi sudi menerima saya sebagai murid." Setelah berkata demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu.
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu saling pandang. Suami isteri yang sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing hanya dengan melalui pandang mata saja itu saling kedip dan dengan lembut Toan Hui Cu mengangguk. Suami isteri ini sebetulnya sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid baru. Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, apa lagi masih ada puteri mereka yang mewarisi ilmu-ilmu mereka. Akan tetapi, apa yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal dan mereka merasa kecewa bukan main. Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan mempunyai cucu. Maka, kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru. Biarpun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya amat sopan, baik dan nampaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlalu rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tidak terlalu lama dia tentu akan memperoleh kemajuan pesat.
"Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan setelah engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka tentu kamipun tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid." kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan.
"Orang muda, apakah selain yatim piatu, engkau tidak mempunyai seorangpun anggauta keluarga" Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan." Pertanyaan ini sambil lalu dan tidak kentara, namun Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam diapun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi mantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan!
"Saya hidup sebatang kara, bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga."
Mendengar ini, kembali suami isteri itu saling pandang dan mereka sungguh mengharapkan sekali ini puteri mereka akan menemukan jodohnya. Atas pertanyaan kedua orang itu, Tan Hok Seng lalu menceritakan pengalamannya, sampai dia difitnah dan selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, dia bahkan dihukum buang oleh pemerintah.
"Sejak kecil saya kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak memiliki kepandaian, saya sejak kecil bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari manapun. Setelah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan dan kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal."
Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana!
Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng ini memang seorang pemuda yang penuh semangat.
"Kemudian, bagaiaman tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati
tertarik. Hok Seng menghela napas panjang. "Itulah, suhu....." Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)...."
Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk, "Tidak mengapa, boleh engkau menyebut guru kepadaku."
Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan main dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut "Suhu" dan "Subo". Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Memang mereka tidak ragu lagi, dan tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang ditolak oleh puteri mereka.
"Bangkit dan duduklah, Hok Seng, dan lanjutkan ceritamu kepada kami," kata Siangkoan Ci Kahg.
"Suhu, agaknya kemajuan dan keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri
hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena ada di antara mereka yang sudah bertahun-tahun menjadi perajurit pengawal tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari, istana ribut-ribut karena kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan dalam kamar teecu!"
"Hemm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" tanya Toan Hui Cu sambil memandang tajam.
"Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri" Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Pula, bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri" Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri Itu jelas fitnah."
"Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam
kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya.
"Itulah yang mencelakakan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu dapat berada di dalam kamar teecu, tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak dapat banyak membela diri. Teecu dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar mengingat akan jasa-jasa teecu sehingga teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncul seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya."
"Ah, kalau orang benar ada saja penolong datang." kata Toan Hui Cu dengan girang.
Akan tetapi Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya dan bertanya kepada pemuda itu. "Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?"
"Teccu dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati teecu adalah karena setelah teecu dihukum, dia mendapat kedudukan, menggantikan teecu."
"Dan engkau mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu.
Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia banyak membaca dan tahu bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tidak mudah dikuasai nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak membiarkan nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu, dengan tegas dan mantap diapun menjawab, "Sama sekali tidak, suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu."
"Hemm, apa bedanya itu dengan mendendam" Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya, lalu apa yang akan kaulakukan?"
Kalau saja Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja, kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya.
"Teecu akan melaporkan ke pengadilan agar ditangkap dan hal itu dapat membersihkan nama teecu yang telah difitnah."
Jawaban ini melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi, "Kalau namamu sudah bersih, engkau menginginkan kembali jabatan dan kedudukan itu?"
"Tidak sama sekali, suhu. Teecu sudah bosan dengan kedudukan itu karena di sana terjadi banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan pementingan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan itu."
Bukan main girang hati suami isteri itu. "Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini, engkau menjadi murid kami dan kami mengharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang pernah kaupelajari."
Mereka pergi ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya.
Ketika ia bertanya, ia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya, "Bi Lian, Tan Hok Seng ini kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang, dia adalah sutemu, akan tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini."
"Sumoi......!" Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tidak segan memberi hormat lebih dahulu walaupun dia mendapatkan kehormatan untuk menjadi saudara tua. Diam-diam Bi Lian tidak puas. Bagaimanapun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah ibunya, dan dalam ilmu silat, jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas menjadi suhengnya" Akan tetapi tidak enak juga kalau disebut su-ci (kakak seperguruan) oleh seorang pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua dalam hatinya. Maka iapun tidak membantah dan ia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih.
"Selamat menjadi murid ayah dan ibu, suheng."
Demikianlah, sejak hari itu, Tan Hok Seng menerima gemblengan dari kedua orang gurunya setelah mendemonstrasikan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Ternyata menurut penilaian Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dasar ilmu silat pemuda ini sudah lumayan. Dia mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sin-kangnya yang kurang. Maka, Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun tenaga sin-kang, sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan kedua suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka Kim-ke Sin-kun.
Tentu saja suami isteri yang selamavbelasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tidak bermimpi bahwa mereka menerima murid seorang yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan!
Mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, tidak sukar menduga siapa dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran Tang Gun! Telah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang hendak mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar! Tentu saja kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan, dia diselamatkan dan dibebaskan seorang yang lihai sekali dan yang mengenakan kedok, bahkan bukan saja dia dibebaskan, juga dia diberi bekal sekantung uang emas. Sama sekali dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa adanya orang berkedok yang membebaskannya itu.
Tang Gun, atau sebaiknya kita kini menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu saja tidak berani menggunakan nama lama karena betapapun juga dia adalah seorang pelarian dan buronan. Juga, kalau dia memperkenalkan nama lama kepada suami isteri yang menjadi gurunya itu dan kemudian mereka itu mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua orang gurunya itu tidak akan sudi menerimanya sebagai murid. Dan dia mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walaupun yang dia anggap sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan "fitnah" adalah orang yang telah menangkapnya itu.
Tan Hok Seng, dengan pengalamannya yang banyak, karena sejak remaja dia sudah
merantau dan mengalami banyak penderitaan, dapat membawa diri, dapat bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Bahkan setelah sebulan lewat dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar itu, Bi Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada "suheng" itu. Siapapun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng. Dia amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik, Hok Seng bekerja tak mengenal lelah, dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau rendah. Biarpun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat dia hidup mewah dan terhormat, kini dia tidak segan untuk menyapu pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar lainnya. Dan ketekunannya mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan main. Diapun cepat memperoleh kemajuan. Semua sikap yang baik inilah yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu, akan dapat menjadi mantu mereka!
Setengah tahun kurang lebih lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di Kim-ke-kok menjadi murid ayah ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya semakin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab, dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada suatu sore, mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Keduanya berlatih ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi tegap, tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertanaga, sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah. Dan dari latihan ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini, dia sama sekali tidak terdesak oleh sumoinya! Juga dalam hal tenaga sin-kang, dia telah memperoleh kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walaupun dibanding Bi Lian tentu saja dia masih kalah.
Setetah selesai latihan, mereka beristirahat di luar lian-bu-thia, berjalan-jalan di taman bunga sambil menghapus keringat dengan kain. Lalu keduanya duduk berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bahgku batu.
"Aih, sumoi. Sampai kapanpun aku tidak akan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat burung walet." Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoinya dengan sinar mata kagum. Bi Lian sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena ia tidak melihat adanya pandang mata yang kurang ajar, maka iapun selalu bahkan merasa bangga dan gembira kalau suhengnya memandang seperti itu. Andaikata Hok Seng tidak pandai menahan diri dan pandang matanya mengandung pencerminan keadaan hatinya yang penuh berahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya dan tentu ia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali.
"Suheng, jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau engkau tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sin-kang seperti diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku."
Hok Seng menghela napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi mendung. Melihat ini, Bi Lian merasa heran. Belum pernah selama ini ia melihat suhengnya bermuram seperti itu.
"Suheng, engkau kenapakah" Apa yang kaupikirkan?"
Kembali Hok Seng menarik napas panjang. "Ah, sumoi, betapa inginku memiliki ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami."
"Suheng, aku pernah mendengar ibuku berkata bahwa engkau pernah menjadi seorang perwira di istana akan tetapi difitnah orang dan kehilangan kedudukanmu. Benarkah itu. Ceritakanlah kepadaku, suheng. Aku ingin mendengarnya."
"Memang benar demikian, sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha dengan tekun sehingga dari seorang perajurit pengawal aku berhasi1 menduduki jabatan perwira, dipercaya oleh istana. Akan tetapi, terjadi pencurian perhiasan milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di bawah pembaringan dalam kamarku. Jelas aku difitnah. Karena itu, aku tekun berlatih silat agar memperoleh kepandaian yang cukup untuk melakukan penyelidikan."
"Engkau hendak membalas dendam?"
"Tidak, hanya aku akan membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang salah akan dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku."
"Kenapa kalau engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, dahulu engkau tidak mengambil tindakan, suheng?"
Hok Seng menggeleng kepala dengan sedih dan terbayanglah di dalam ingatannya penghinaan yang terjadi atas dirinya ketika dia ditangkap dan diseret ke kota raja oleh penangkapnya itu.
"Aku difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sumoi. Ketika itupun aku sudah melawan, namun aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum aku tinggal di sini, orang yang melakukan fitnah itu telah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup, aku akan membongkar rahasianya itu, sumoi. Sebelum kepandaianku cukup, tidak akan ada artinya, bahkan aku mungkin akan ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia amat lihai, sumoi."
Hati Bi Lian tertarik. Ada perasaan setiakawan terhadap suhengnya yang difitnah orang itu. Juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah itu jelas orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya.
"Suheng, siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?"
"Menurut penyelidikanku, namanya Tang Bun An."
Berkerut alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat ia akan Hay Hay yang juga she Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang. Akan tetapi ia menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja. Ia tidak ingin suhengnya mendengar tentang Ang-hong-cu, tidak ingin orang lain mendengar bahwa adik kandung suhengnya yang juga pernah ditunangkan dengannya pernah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu. Pek Eng, adik Pek Han Siong itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Juga seorang pendekar wanita lain, Cia ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, menjadi korban Ang-hong-cu itu, akan tetapi kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun Hok. Kalau ia bercerita tentang Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan kedua orang pendekar wanita iu dan ia tidak ingin melakukan hal ini. Peristiwa aib yang menimpa mereka itu harus dikubur dan dilupakan. Karena itulah, Bi Lian tidak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh Hok Seng seorang she Tang yang mengingatkan ia kepada Si Kumbang Merah Ang-hong-cu.
"Tang Bun An" Hemmm, orang macam apakah dia dan sampai di mana kelihaiannya?".
"Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dahulu aku seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja aku sudah roboh."
"Apakah dia memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya. Ia teringat akan Ang-hong-cu yang pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih, tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi.
"Dia memang bermata tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus bersih, tidak berkumis maupun berjenggot. Mengapa engkau bertanya demikian, sumoi?"
"Ah, tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu. Suheng, kenapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota raja dan membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu" Lebih cepat namamu dibersihkan, lebih baik, bukan?"
"Mana mungkin, sumoi" Aku merasa belum manlpu menandinginya dan kalau kembali aku tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat, juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum aku yakin telah menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi."
Suheng, aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk ditangkap."
Wajah Hok Seng berseri. Kalau sumoinya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoinya ini hebat, memiliki ilmu kepandajan tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya itu.
"Akan tetapi, aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani berterang memasuki kota raja, sumoi."
"Itu mudah saja, suheng. Engkau masuk dengan menyamar, menyelundup. Kemudian diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa sukarnya?"
"Akan tetapi hati-hati, sumoi. Dia itu selain lihai juga tukang fitnah, tentu dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!"
"Jangan khawatir, suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan membekuknya."
Ketika mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu dan menyatakan hendak pergi bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah dan akan membersihkan nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar,kedua orang suami isteri itu sebetulnya merasa tidak setuju. Akan tetapi, mereka melihat kesempatan bagi puteri mereka untuk bergaul dengan lebih akrab dengan Hok Seng yang diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka merekapun membeeri persetujuan mereka.
"Akan tetapi engkau tentu ingat akan pengakuanmu dahulu, Hok Seng, bahwa engkau tidak menaruh dendam kepada orang yang melempar fitnah kepadamu!" kata Siangkoan Ci Kang.
"Dan kalian jangan sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi menentang petugas pemerintah." pesan pula Toan Hui Cu.
"Harap suhu dan subo tenangkan hati," Jawab Hok Seng tenang. "Teecu bukan mendendam, melainkan karena dorongan sumoi, teecu hendak mencuci nama baik teecu yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi karena teecu masih menjadi seorang pelarian sebelum nama teecu dibersihkan kembali."
Tentu saja di dalam hatinya, pemuda ini sama sekali bukan bermaksud "membersihkan nama" karena bagaimanapun juga, namanya yang aseli tidak mungkin dapat dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin dibersihkan lagi" Yang jelas, dia mendendam kepada Tang Bun An yang kini menurut penyelidikannya telah menjadi seorang perwira tinggi, kedudukannya yang bahkan lebih tinggi dari kedudukannya karena telah berjasa menemukan kembali selir yang minggat dan menghadapkan dia sebagai pembawa pergi selir itu. Dan dia merasa yakin akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Sebetulnya hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang lain dia tidak perduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan lebih tekun belajar silat, kemudian kalau memungkinkan keadaannya, dia akan mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya!
*** Tidak sukar bagi seorang menteri negara yang demikian besar kekuasaannya seperti Menteri Cang Ku Ceng, untuk minta bantuan seorang perwira pengawal thai-kam (kebiri) sehingga Kui Hong dengan mudah dapat diselundupkan ke dalam istana! Karena maksud Kui Hong menyelundup ke dalam istana hanya untuk melakukan pengintaian dan sedapat mungkin menangkap basah pria yang kabarnya menurut desas-desus menggauli hampir semua selir, dayang dan puteri istana, maka iapun hanya minta waktu seminggu saja untuk melakukan penyelidikan. Dan waktu baginya untuk mengintai hanya malam hari. Oleh karena itu, untuk membebaskan gadis perkasa itu dari perhatian dan kecurigaan, Kui Hong selalu sembunyi di siang hari, disembunyikan oleh perwira thai-kam itu ke dalam kamar seorang wanita setengah tua yang bekerja sebagai tukang cuci dan yang dipercaya penuh oleh perwira thai-kam itu. Setelah hari menjadi gelap, barulah Kui Hong keluar dari dalam kamar itu dan melakukan perondaan secara rahasia.
Memang tidak mudah bagi perwira Thai-kam itu untuk mempercaya seorangpun di dalam istana kecuali tukang cuci yang masih terhitung saudara misan ibunya dari dusun itu. Hampir semua wanita di dalam istana itu, terutama yang masih muda dan cantik, agaknya mempunyai hubungan dengan pria misterius yang tak pernah diJihat orang memasuki istana itu. Kalaupun ada yang melapor, mereka itu hanya melihat berkelebatnya bayangan seorang pria, namun belum pernah melihat orangnya. Agaknya, tidak mungkin ada orang yang kelihatan bayangannya tidak kelihatan orangnya. Hanya setan saja yang demikian itu. Anehnya, Sang Permaisuri sendiri agaknya acuh atau tidak menaruh perhatian, bahkan nampak tidak percaya kalau diberi laporan bahwa ada pria memsuki istana bagian puteri. Maka, terpaksa Kui Hong diselundupkan secara tersembunyi, tidak seperti seorang dayang baru atau peJayan baru. Karena kalau diJakukan demikian, Kui Hong khawatir kalau kehadirannya akan mencurigakan hati orang dan akan membuat laki-laki yang suka berkeliaran di dalam istana bagian puteri itu berhati-hati dan tidak muncul lagi. Kehadirannya di dalam istana harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui umum. Hal ini ia kemukakan kepada Menteri Cang Ku Ceng dan menteri yang bijaksana ini mempergunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi permintaan Kui Hong.
Sudah tiga hari tiga malam Kui Hong berada di dalam istana, hanya diketahui oleh Menteri Cang, perwira Thaikam, dan pelayan wanita tukang cuci di istana. Setiap malam ia melakukan pengintaian dan perondaan, dan dari pagi sampai sore ia bersembunyi saja di dalam kamar. Namun, belum pernah ia menemukan sesuatu yang mencurigakan, belum pernah bertemu seorang pria yang berkeliaran di istana bagian puteri itu. Yang kelihatan hanyalah para pengawal istana, orang-orang Thaikam yang melakukan perondaan
Kui Hong membuka kedua matanya. Yang pertama nampak adalah langit-langit bercat putih, lalu dinding berwarna merah muda. Ia menggerakkan kaki tangannya. Terbelenggu! Ia terbelenggu pada kaki tangannya dan rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar! Bukan kamar di mana ia terjebak tadi. Ia terjatuh ke tangan Tang Bun An, si penjahat cabul! Akan tetapi hatinya lega ketika merasa bahwa pakaiannya masih menutupi tubuhnya dan tidak dirasakan sesuatu pada dirinya. Jahanam itu belum mengganggunya. Belum! Kemungkinan besar ia akan di ganggu, dan hatinya di cekam kengerian membayangkan betapa dalam keadaan terbelenggu dan tidak berdaya itu ia dipermainkan dan diperkosa oleh perwira cabul itu! Jantungnya berdebar tegang dan hatinya dilanda kengerian dan ketakutan. Akan tetapi, ia mengatur pernapasannya dan rasa cemaspun menghilang. Kini ia bersikap tenang, tidak mau membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin mengancamnya. Ia menyibukkan pikirannya untuk mencari akal bagaimana agar dapat lolos dari bahaya. Dengan menyibukkan pikiran mencari ikhtiar, maka tidak ada kesempatan lagi bagi pikiran untuk membayangkan hal-hal yang mengerikan. Jelas bahwa membebaskan diri dengan kekerasan, tidak rnungkin pada waktu itu. Belenggu pada kaki tangannya amat kuat, dan ketika ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya, tenaga sin-kang, belenggu itu tidak putus, melar seperti karet. Kalau mengharapkan bantuan, siapa yang akan dapat menolongnya" Tidak ada orang mengetahui ketika ia membayangi penjahat itu, dan ia berada di tangan perwira cabul itu, di dalam hutan di puncak sebuah bukit yang amat sunyi. Andaikata ia menjerit sekalipun, tidak mungkin dapat terdengar orang yang tinggal jauh di bawah bukit. Dan menjerit minta tolong bukan cara yang patut ia lakukan, bahkan merupakan suatu pantangan bagi seorang pendekar seperti ia, tidak akan minta tolong dan menjerit bahkan iapun tidak sudi minta ampun. Ia akan mencari akal yang baik, dan sampai mati sekalipun ia tidak boleh memperlihatkan rasa takut.
Tiba-tiba jantungnya berdebar. Ia mendengar langkah kaki yang amat berat menghampiri kamarnya dari luar. Daun pintu kamar itu didorong orang dari luar sehingga terbuka dan muncullah perwira Tang memasuki kamar sambil menggotong sebuah tong kayu besar dan tebal. Dia meletakkan tong itu di tengah kamar, tak jauh dari tempat tidur di mana Kui Hong rebah telentang dalam keadaan terbelenggu. Setelah menurunkan bak atau tong kayu itu, Tang Bun An menoleh ke arah pembaringan. Melihat gadis itu telah siuman dan kini menengadah, sama sekali tidak melirik kepadanya, dia tertawa.
"Heh-heh-heh, nona manis. Engkau sungguh lihai bukan main, akan tetapi menghadapi aku, engkau akhirnya roboh juga. Baru engkau mengakui kehebatanku, ya?"
Kui Hong menoleh dan memandang pria itu dengan mata mencorong penuh kemarahan. "Cih, laki-laki pengecut curang tak tahu malu! Engkau menggunakan perangkap, engkau curang dan licik, menandakan bahwa engkau hanyalah seorang yang pengecut dan keji. Kalau memang engkau merasa jantan, lepaskan belenggu ini dan mari kita bertanding seperti o rang gagah sampai titik darah terakhir!"
"Ha-ha-ha-heh-heh, engkau memang gagah, nona. Gagah dan cantik sekali. Betapa ingin hatiku untuk bertanding denganmu! Bukan bertanding untuk saling membunuh, melainkan saling menyenangkan. Ha-ha-ha! Akan tetapi sayang, semalam aku telah bertanding melawan lima orang harimau betina kelaparan. Aku lelah sekali dan perlu mandi untuk memulihkan tenaga. Engkau tunggulah. Setelah mandi, aku akan melayanimu bertanding, ha-ha-ha!" Dan perwira itu keluar meninggalkan kamar.
Celaka, pikir Kui Hong. Ia tadi sengaja mengeluarkan ucapan untuk menghina dan memanaskan hati orang itu. Akan tetapi ternyata selain pengecut dan curang, orang itupun tebal muka, sama sekali tidak malu oleh ucapannya. Bahkan mengeluarkan jawaban dengan ucapan yang mengandung maksud cabul yang menusuk perasaan kewanitaannya. Ia harus mencari akal lain. Melukai kejanntannya dengan kata-kata tidak ada gunanya bagi orang yang bermuka tebal itu.
Biarpun tadinya ia tidak ingin menoleh dan memandang, hatinya tertarik juga ketika mendengar perwira itu masuk lagi ke dalam kamar dan menuangkan air ke dalam tong yang digotongnya masuk tadi. Ia melirik dan melihat betapa Tang Ciangkun tadi menggotong dua ember besar penuh air dan menuangkannya ke dalam tong. Orang itu tidaK mengeluarkan suara apapun, hanya tersenyum-senyum. Dia keluar lagi dan tak lama kemudian, terdengar suaranya bernyanyi! Nyanyian lagu rakyat dari daerah selatan dengan lidah selatan pula. Terdengar lucu dan harus diakui oleh Kui Hong bahwa suara orang itu cukup merdu. Dia masuk membawa dua ember air lagi dan menuangkan air ke dalam tong sambil tetap bersenandung. Setelah tiga kali menuangkan dua ember besar air, barulah dia merasa cukup.
"Heh-heh, nona manis. Aku hendak mandi dulu, ya" Setelah itu, baru kita bicara tentang pertandingan antara kita, ha-ha-ha!" Dan tanpa sungkan lagi, tanpa kesopanan sedikitpun, dia mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu di depan Kui Hong! Tentu saja Kui Hong cepat membuang muka, tidak sudi memandang dan melihat sikap ini, Tang Bun An tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, nona manis, kenapa engkau membuang muka" Pandanglah aku, amatilah baik-baik. Lihat, setiap orang wanita mengagumi tubuhku ini. Lihatlah dan engkau akan merasa suka dan kagum, nona!"
Tanpa menoleh Kui Hong berkata ketus, "Engkau manusia yang jahat, kejam, curang, tidak sopan. Manusia berwatak iblis! Biar kau mampus dibakar api neraka!"
Tang Bu An yang sudah telanjang bulat itu memasuki tong berisi air sambil membawa
sebuah bungkusan dan tertawa-tawa. Dia membuka bungkusan yang berisi bubuk berwarna kuning, lalu menaburkan bubuk itu ke dalam tong air. Segera tercium bau yang amat harum.
"Ha-ha-ha, dan engkau seorang gadis yang sombong, kepala besar, tinggi hati! Kaukira aku tidak mengenal wanita" Hanya pada lahirnya saja tinggi hati dan menjual mahal, padahal, pada dasarnya, amat rendah dan murah! Perempuan selalu beracun, palsu. Kecantikannya hanya ditujukan untuk menjatuhkan hati laki-laki dan setelah itu memperdayainya, menipunya! Di balik senyummu yang manis menarik itu terkandung kepahitan yang beracun! Terkutuklah perempuan! Dan engkau masih berani mengatakan aku jahat dan kejam" Ha-ha-ha-ha, tidak ada yang lebih jahat dari pada perempuan, akan tetapi tidak ada yang lebih mengasyikkan, lebih menggairahkan."
Kui Hong tidak menjawab karena ia sudah terbelalak memandang kepada laki-laki yang berendam di daJam tong penuh air itu. Ia berani memandang karena laki-laki itu kini berada di dalam tong yang menyembunyikan ketelanjangannya. Ia terpaksa memandang ketika tadi hidungnya mencium bau yang amat harum. Bau harum cendana! Bau ini membuat ia terkejut sekali dan memaksanya menoleh dan memandang. Ia bahkan hanya mendengar sebagian saja ucapan laki-laki itu yang mengandung kebencjan besar terhadap wanita.
"Kau?" kau?".. Ang-hong-cu !" Akhirnya ia berkata.
Tang Bun An yang masih tertawa, tiba-tiba menghentikan suara ketawanya ketika dia mendengar seruan Kui Hong itu. Matanya terbelalak memandang gadis itu, alisnya berkerut. Gadis ini tahu bahwa dia Ang-hong-cu!
"Bagaimana engkau bisa tahu?" tanyanya dengan suara membentak karena dia menganggap bahwa hal ini amat berbahaya baginya.
"Sekarang aku mengerti mengapa mereka mengatakan bahwa engkau berbau cendana. Kiranya engkau merendam diri dalam air bercampur bubuk cendana! Ang-hong-cu, engkau iblis busuk! Engkau jahanam kotor dan hina! Kelak engkau akan mampus di tanganku!" teriak Kui Hong marah bukan main karena ia teringat akan aib yang menimpa diri Pek Eng dan terutama sekali Cia Ling yang masih terhitung keponakannya karena diperkosa oleh pria ini.
Akan tetapi Ang-hong-cu Tang Bun An menyambut ancaman itu dengan suara ketawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha, engkau ini gadis remaja berani mengancam aku" Bagus, engkau sudah mengetahui bahwa aku Ang-hong-cu. Memang, aku Ang-hong-cu, akulah Si Kumbang Merah penghisap kembang! Dan engkau bagaikan setangkai bunga yang baru mekar penuh madu. Karena engkau sudah mengetahui rahasiaku, tunggu sampai aku selesai mandi, nona manis. Aku akan menghisap madumu sampai habis dan sesudah itu, engkau harus mati agar rahasia diriku tidak terdengar orang lain. Tenanglah, nona, engkau akan mati dalam keadaan bahagia, mati dalam keadaan mesra dan mabok cintaku, ha-ha-ha!"
Kini, diam-diam Kui Hong merasa ngeri. Ia adalah seorang gadis perkasa, seorang gadis gemblengan yang tidak takut akan ancaman maut. Ia adalah ketua Cin-ling-pai yang akan menghadapi maut dengan senyum dan dengan mata terbuka. Akan tetapi, ancaman yang dilontarkan Ang-hong-cu itu sungguh amat mengerikan baginya. Kalau ia diancam mati saja, ia masih akan tenang saja. Akan tetapi ancaman tadi lebih mengerikan dari pada maut! Membayangkan dirinya diperkosa, dipermainkan oleh penjahat cabul yang tersohor itu, sungguh merupakan bayangan yang mengerikan hatinya. Ingin rasanya Kui Hong menjerit dan menangis, minta agar ia dibunuh saja dan jangan diperhina dengan perkosaan keji. Akan tetapi, ia pantang menjerit dan menangis, dan otaknya bekerja cepat.
Biarpun hatinya merasa ngeri dan takut menghadapi ancaman bahaya yang baginya lebih hebat dari pada maut, Kui Hong menguatkan perasaannya dan iapun tersenyum mengejek.
"Ang-hong-cu, engkau boleh mengancamku sesuka hatimu karena engkau telah bertindak secara pengecut, menangkapku melalui perangkap asap pembius dan kamar jebakan. Bahkan engkau boleh menyiksaku, membunuhku. Aku tidak takut karena aku yakin bahwa kalau aku terhina dan tewas di tanganmu, maka pembalasan yang akan menimpa dirimu seribu kali lebih hebat lagi! Mereka tentu akan tahu bahwa engkau telah membunuhku, dan mereka semua akan mencarimu sampai dapat, membalas kekejamanmu berlipat gahda sehingga engkau akan menyesal telah dijelmakan sebagai manusia!" Ancaman Kui Hong itu hebat sekali, akan tetapi Ang-hong-cu menerimanya sebagai gertak kosong belaka.
"Ha-ha-ha, gadis sombong! Kaukira aku gentar mendengar gertakanmu" Ha-ha-ha, tak seorangpun tahu bahwa engkau berada di sini, dan takkan pernah ada yang mengetahui bahwa engkau pernah berada di sini. Ha-ha-ha! Apakah nyawamu kelak akan mampu memberitahu mereka?"
"Huh, engkau kejam akan tetapi juga tolol! Aku datang sebagai utusan Menteri Cang Ku Ceng untuk menyelidikimu! Kalau aku hilang dalam tugas ini, sudah pasti beliau akan menyangkamu! Dan kalau mereka mendengar akan hal ini, sudah pasti mendengar kelak dari Menteri Cang, siaplah engkau untuk mengha dapi siksaan yang melebihi siksaan di neraka!"
Ucapan ini membuat Tang Bun An mulai berpikir. Gadis ini bukan hanya membual atau menggertak saja. Ucapannya ada isinya! Kalau benar gadis ini utusan Menteri Cang, tentu menteri keparat itu akan mencurigainya. Akan tetapi dia masih tertawa mengejek.
"Kaukira aku takut" Siapapun mereka, aku tidak takut. Huh, siapa yang kaumaksudkan dengan mereka itu?" Ang-hong-cu Tang Bun An menggosok-gosok tubuhnya dengan sebuah handuk kecil yang sudah dibenamkan ke dalam air. Handuk itupun diberi bubuk cendana, seolah dia hendak memasukkan sari keharuman cendana ke dalam tubuhnya dan memang dia telah berhasil karena tubuh dan keringatnya berbau cendana! Kebiasaan ini sudah puluhan tahun dia lakukan.
"Siapa lagi kalau bukan anak buahku" Mereka adalah seluruh anggauta dan pimpinan Cin-ling-pai."
"Ha.-ha, engkau menggertak saja! Apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai" Jangan menggunakan nama besar perkumpulan silat itu untuk menakut-nakuti aku, nona."
"Siapa menggertak" Memang matamu buta dan telingamu tuli" Aku adalah Cia Kui Hong ketua Cin-ling-pai!"
Terpaksa Kui Hong membuang muka lagi karena pria itu bangkit berdiri saking kagetnya mendengar pengakuannya itu sehingga tubuhnya yang telanjang nampak dari pusar ke atas. Ang-hong-cu Tang Bun An memang kaget bukan main mendengar pengakuan itu. Akan tetapi dia lalu tertawa bergelak, mentertawakan gadis itu.
"Ha-ha-ha, nona manis. Seorang dara remaja seperti engkau ini ketua Cin-ling-pai" Jangan mencoba untuk membohongiku, nona. Aku mendengar bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar orang-orang gagah bagaimana mungkin ketuanya seorang gadis remaja yang cantik jelita?" Biarpun mulutnya berkata demikian, namun hatinya mulai menaruh perhatian dan diapun mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar, kemudian dalam keadaan telanjang bulat dia keluar dari tong itu, setelah mengeringkan tubuh lalu dia mengenakan kembali pakaiannya. Hal ini saja menunjukkan bahwa dia mulai memperhatikan gadis itu dan tidak segera rnelakukan hal yang tadi diancamkannya.
"Engkau ini seorang jai-hwaa-cat (penjahat pemetik bunga) mana tahu tentang perkumpulan kami" Ayahku, pendekar Cia Hui Song, mengundurkan diri sebagai ketua Cin-ling-pai, dan di dalam pemilihan ketua baru, akulah yang dipilih. Aku ketua Cin-ling-pai, oleh karena itu, dapat kau bayangkan sendiri, bagaimana sikap mereka kalau mendengar ketuanya dihina dan dibunuh oleh Ang-hong-cu! Kaukira akan mampu meloloskan diri dari jangkauan tangan-tangan tokoh Cin-ling-pai" Biar bersembunyi di dalam nerakapun, mereka akhirnya akan dapat mencengkerammu!"
"Ha-ha, engkau hanya menggertakku! Aku tidak takut, aku akan mengusahakan agar mereka tidak menemukan mayatmu! Ya, aku akan menikmati kecantikanmu sepuasku, setelah itu kau akan kubunuh dan mayatmu akan kukubur di tempat rahasia. Tak seorangpun melihatmu masuk rumah ini, dan tak seorangpun akan tahu apa yang telah kulakukan terhadap dirimu!"
Agar pengaruh gertakan itu tidak membuatnya lemas, Kui Hong menjawab secepatnya. "Huh, engkau yang tolol! Aku boleh saja kaubunuh, akan tetapi Menteri Cang Ku Ceng akan menggerahkan seluruh pasukan untuk mencariku, dan kemanapun engkau menyembunyikan diriku, mereka pasti akan menemukan. Dan Menteri Cang tentu akan melakukan segala daya upaya untuk memaksamu mengaku! Engkau akan menghadapi kemarahan Menteri Cang, juga menghadapi dendam Cin-ling-pai!"
"Aku tidak takut! Huh, aku tidak takut! Tidak akan ada bukti bahwa engkau tewas dan lenyap di tanganku,!" Ang-hong-cu Tang Bun An berteriak, akan tetapi nyalinya semakin mengecil. Siapa orangnya yang tidak tahu akan kekuasaan Menteri Cang Ku Ceng" Menteri itu akan mampu menjungkirbalikkan seluruh kota raja untuk mencari gadis ini! Dan seluruh pasukan tentu akan mentaati perintahnya dengan bangga! Dinilai dari kedudukannya, kalau dia melawan Menteri Cang, sama dengan sebutir telur melawan batu. Dan Cin-ling-pai juga merupakan ancaman yang membuat jantungnya berdebar. Mulai timbul keraguan di dalam hatinya. Kalau tadi dia timbul gairah terhadap gadis itu, adalah karena gadis itu cantik manis dan memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan. Gairah yang sama dirasakannya setiap kali dia melihat wanita cantik. Namun bukan cinta, bahkan nafsunya itu hanya merupakan luapan kebenciannya terhadap wanita! Kini, semua gairah lenyap dan diam-diam dia merasa takut membayangkan segala akibatnya kalau dia memperkosa lalu membunuh gadis ini.
Kui Hong adalah seorang gadis yang selain tabah, juga cerdik. Ia dapat melihat sikap Ang-hong-cu yang kini sudah berpakaian lengkap. Melihat penjahat itu mengenakan pakaiannya kembali saja sudah merupakan suatu pertanda bahwa gertakan-gertakannya tadi mengenai sasaran. Kalau gertakannya tidak berhasil menyudutkan dan menimbulkan rasa takut di hati penjahat itu, tentu Ang-hong-cu tidak perlu mengenakan pakaian selengkapnya seperti itu, melainkan langsung saja melaksanakan ancamannya yang dikeluarkan ketika mandi tadi. Seperti seorang yang sedang bertanding silat, saat lawan terdesak merupakan kesempatan paling baik untuk merobohkannya dengan jurus-jurus serangan yang lebih ampuh. Maka, iapun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh.
"Itu baru dua pihak yang akan kau hadapi, Ang-hong-cu. Belum lagi kalau Pendekar Sadis dan isterinya keluar dari Pulau Teratai Merah untuk mencarimu! Engkau tentu sudah mendengar bagaimana nasib seorang musuh yang terjatuh ke tangan Pendekar Sadis! Hemmm?".!"
Wajah Ang-hong-cu yang biasanya berseri dan mulutnya selalu tersenyum mengejek itu tiba-tiba berubah agak pucat ketika mendengar disebutnya juluk an Pendekar Sadis. Sebagai seorang tokoh kang-ouw, tentu saja dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, majikan Pulau Teratai Merah di laut selatan. Bahkan isteri pendekar itupun seorang yang amat terkenal sekali, pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Pendekar Sadis sendiri selain terkenal sebagai seorang sakti, juga lebih terkenal karena kekejamannya yang melewati segala ukuran terhadap musuhnya, yaitu para penjahat. Pendekar itu dapat menyiksa lawan dengan siksaan yang melebihi segala siksaan yang digambarkan di neraka! Karena itulah maka pendekar itu dijuluki Pendekar Sadis dan setiap orang penjahat di dunia kang-ouw, selalu berjaga-jaga agar langkah mereka jangan berpapasan dengan langkah Pendekar Sadis, bahkan mereka pantang bertemu dengan bayangan pendekar itu! Dan kini, gadis bernama Cia Kui Hong ini mengancamnya dengan nama Pendekar Sadis!
"Bocah sombong! Apa pula urusannya Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah dengan kita."
"Apa urusannya" Nah, itulah buktinya bahwa engkau ini hanya seorang penjahat cilik yang tidak tahu apa-apa di dunia kang-ouw, Ang-hong-cu. Ayahku turun-temurun adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibuku bernama Ceng Sui Cin adalah puteri Pendekar Sadis! Aku adalah cucu Pendekar Sadis, dan engkau masih tanya urusannya" Lihat pedangku yang kaugantung di dinding itu. Itu adalah sepasang Hok-mo Siang-kiam yang amat terkenal, dahulu milik nenekku Lam-sin Toan Kim Hong yang telah memberikannya kepadaku."
Kini wajah Ang-hong-cu Tang Bun An benar-benar pucat. Celaka, pikirnya gelisah. Sekali ini dia benar-benar telah salah tangkap! Agaknya gadis itu bukan menggertak kosong belaka. Gadis ini bukan hanya utusan Menteri Cang, akan tetapi juga ketua Cin-ling-pai merangkap cucu Pendekar Sadis! Dia harus mempertimbangkan seribu kali sebelum mengganggu selembar rambut gadis ini. Akan tetapi, keadaannya serba repot baginya. Kalau gadis ini dibiarkan hidup dan dibebaskannya, berarti ia akan celaka, kehilangan kedudukan dan tentu akan menjadi buruan pemerintah. Sebaliknya kalau gadis ini sampai tewas di tangannya, dia akan menghadapi ancaman dari tiga pihak. Dari Menteri Cang, dari Cin-ling-pai dan terutama sekali dari Pendekar Sadis! Dan itu berarti bahwa hidupnya akan selalu dicekam ketakutan.
Tang Bun An juga bukan seorang bodoh. Dia tahu apakah gertakan gadis itu kosong belaka ataukah memang merupakan kenyataan. Dan diapun cepat memutar otak untuk mencari jalan keluar terbaik baginya. Dan kecerdikannya membuat dia segera menemukan jawabannya.
"Cia Kui Hong, semua keteranganmu itu dapat kuterima dan aku percaya padamu. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau bukan seorang gadis bodoh. Maka tentu engkau melihat kenyataan bahwa bukan hanya aku yang terancam bahaya, melainkan engkau pula. Bahkan, bahaya yang mengancammu sudah di depan mata. Kalau aku menghendaki, sekarang juga dapat kuperkosa engkau dan kusiksa sampai mati. Sebaliknya, semua ancamanmu tadi, walaupun dapat terjadi, namun masih jauh dan aku masih dapat berusaha untuk rneloloskan diri."
"Hemm, boleh kaucoba!" kata Kui Hong yang sudah melihat kemenangan karena gertakannya yang diperhitungkan tadi. "Kalau engkau membunuhku sekarang, maka habislah sudah penderitaanku. Akan tetapi engkau masih hidup dan setiap detik engkau dibayangi ketakutan! Aku tidak takut mati, dan terserah kepadamu!"
"Cia Kui Hong, orang yang tidak ingin hidup lagi hanyalah orang yang sudah miring otaknya. Aku tidak gila dan aku masih ingin hidup dengan tenang di hari tuaku ini. Oleh karena itu, aku ingin mengajukan bertukar nyawa. Bagaimana pendapatmu, pang-cu (ketua)?"
Kiu Hong yakin bahwa ia telah menang, akan tetapi ia tetap berhati-hati karena ia tahu bahwa ia menghadapi seorang yang selain amat keji dan jahat, juga pandai dan licik bukan main. Mendengar ia disebut pangcu (ketua) itu saja sudah menunjukkan bahwa bekas lawan ini hendak membicarakan sesuatu dengan ia sebagai Cin-ling Pang-cu (ketua Cin-ling-pai), bukan dengan ia sebagai seorang gadis biasa!
"Ang-hong-cu, apa yang kaumaksudkan dengan bertukar nyawa" Jelaskan dan akan kupertimbangkan!" katanya berwibawa.
"Pang-cu, bagiku hanya ada dua pilihan, dan aku akan memilih yang paling aman bagiku. Aku akan membebaskanmu sekarang juga, tanpa mengganggumu akan tetapi hanya dengan syarat bahwa setelah bebas, engkau tidak akan membuka rahasiaku kepada siapapun juga! Engkau tidak akan bercerita kepada orang lain bahwa perwira pengawal Tang Bun An adalah Ang-hong-cu, dan tidak akan bercerita bahwa aku yang menggauli para wanita di dalam istana bagian puteri. Pendeknya, engkau tidak akan memusuhiku, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan. Bagaimana pendapatmu?"
Biarpun di dalam hatinya Kui Hong merasa lega bahwa ia kini mendapatkan kesempatan dan harapan untuk terhindar dari aib dan maut, namun hatinya tidak senang mendengar syarat itu. Tak disangkanya bahwa orang ini amat cerdik dan juga liciknya sehingga hendak mengikatnya dengan janji seperti itu! Akan tetapi iapun tahu dengan pasti bahwa seorang seperti Ang-hong-cu ini pasti akan melakukan gertakannya, karena tidak ada kejahatan yang dipantangnya.
"Bagaimana kalau aku menolak syarat seperti itu?" pancingnya untuk mengetahui lebih jelas isi perut Ang-hong-cu.
Ang-hong-cu Tang Bun An tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak seperti tadi lagi. Kini senyumnya masam dan paksaan.
"Aku akan terpaksa melakukan keinginanku semula, yaitu memperkosamu dengan cara yang belum pernah kulakukan terhadap perempuan lain yang manapun. Sampai aku menjadi bosan padamu dan engkau akan kusiksa sampai mati dan mayatmu akan kubiarkan dalam hutan agar dimakan binatang buas sampai tidak ada sisanya lagi. Dan akan kuhadapi dengan segala kekuatanku semua akibat yang akan timbul dari perbuatanku itu."
"Ang-homh-cu, bagaimana kalau setelah engkau membebaskan aku, kemudian aku tetap memusuhimu dan menyerangmu?"
"Hemm, aku tidak percaya! Kalau engkau memang melakukan itu, maka seluruh dunia kang-ouw akan mengetahui belaka bahwa ketua Cin-ling-pai, juga cucu Pendekar Sadis, gadis yang bernama Kui hong itu hanya seorang pendekar gadungan, dan bukan lain hanyalah seorang rendah yang suka melanggar janji sendiri, suka menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut!"
"Ang-hong-cu, bukan karena aku takut mati, kalau aku menerima usulmu bertukar nyawa. Ini usulmu, bukan aku yang meminta dibiarkan hidup. Nah, lepaskan belenggu-belenggu ini."
"Nanti dulu, pang-cu. Engkau belum mengucapkan janjimu. Bersumpahlah seperti yang kukehendaki tadi lebih dahulu."
"Janji seorang pendekar lebih berharga daripada segala macam sumpah. Janji seorang pendekar lebih berharga dari pada nyawa." kata Kui Hong dengan nada suara gemas, kemudian melanjutkan. "Aku Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai, berjanji bahwa kalau Ang-hong-cu membebaskan aku, maka aku selanjutnya tidak akan memusuhinya lagi, tidak akan membuka rahasianya kepada siapapun juga."
Wajah Ang-hong-cu kembali berseri. Legalah hatinya. Bagi dia, yang terpenting adalah keselamatan dirinya dan keuntungannya. Tidaklah begitu penting bagonya untuk memperkosa dan membunuh gadis ini, akan tetapi sungguh amat menguntungkan kalau gadis ini menutup mulut dan tidak membocorkan rahasia dirinya. Dia lalu menggunakan pedang membikin putus tali-tali belenggu kaki tangan gadis itu.
Kui Hong bangkit dan menggosok-gosok pergelangan kaki dan tangannya. Lalu dia meloncat turun dan menyambar sepasang pedangnya yang tergantung di dinding. Betapa inginnya untuk mencabut sepasang pedang itu dan membunuh Ang- hong-cu, akan tetapi ia hanya memasang pedang itu di punggung, memandang kepada Ang-hong-cu dengan penuh kebencian. Mukanya terasa panas dan ingin ia menangis karena ia merasa begitu tak berdaya dan marah. Apa lagi ketika pria itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum, ia merasa seperti ditertawakan! Ia menekan perasaannya sendiri, lalu melangkah ke pintu kamar itu. Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, ia membalik dan sejenak mereka berdua saling pandang bagaikan dua ekor ayam jantan hendak bertarung.
"Ang-hong-cu, aku akan memegang teguh janjiku, akan tetapi aku bersumpah tidak akan menikah sebelum mendengar engkau mampus!" Setelah berkata demikian, Kui Hong lalu meloncat keluar dan berlari cepat meninggalkan rumah itu agar Ang-hong-cu tidak mendengar isaknya. Ia berlari cepat menuruni bukit itu sambil menangis! Biarpun ia bebas dari perkosaan dan kematian, namun ia merasa amat tidak berdaya dan rendah, seolah ia menjadi seorang penakut yang begitu menyayang diri membiarkan seorang laki-laki sedemikian jahatnya hidup bebas hanya karena ia ingin dirinya selamat. Sungguh bukan seorang yang pantas disebut pendekar! Hal ini membuatnya sedemikian sedih dan bencinya sehingga terlontar sumpahnya bahwa ia tidak akan mau menikah sebelum Ang-hong- cu mati!
Ang-hong-cu Tang Bun An berdiri terpukau seperti patung. Hatinya yang tadi merasa mendapatkan untung besar, terguncang dan dia merasa gelisah. Dia tahu betapa hebatnya kemarahan dan kebencian gadis tadi terhadap dirinya. Sumpah yang dilakukan tadi sungguh merupakan sumpah yang berat bagi seorang gadis seperti ketua Cin-ling-pai itu! Dia tidak akan cepat mati! Kalau rahasianya yang diketahui oleh gadis itu tersimpan rapat, takkan ada seorangpun mengetahui bahwa dialah yang menjadi penggoda para wanita istana itu, juga tidak ada yang tahu bahwa dia adalah Ang-hong-cu. Semua orang mengenal dia seorang perwira pasukan pengawal yang setia dan berjasa besar terhadap kaisar. Dan mulai sekarang, dia harus berhati-hati menjaga tindakannya, terutama sekali terhadap Menteri Cang.
Setelah tiba di kaki bukit itu, Kui Hong berhenti di bawah sebatang pohon dan ia menangis sepuasnya sambil bersandar pada batang pohon itu. Ia adalah seorang gadis yang tabah, bahkan biasanya ia seperti pantang menangis. Akan tetapi sekali ini, ia merasa begitu gemas, begitu marah, namun begitu tidak berdaya! Ia tidak ingin ada orang lain melihat tangisnya, maka ia sengaja melepas tangisnya di tempat sunyi itu. Ada setengah jam lamanya ia termenung dan menangis, menyesalkan diri sendiri, menyesalkan nasibnya. Ia tidak mempunyai pilihan lain! Ia masih waras, belum gila untuk membiarkan dirinya diperkosa dan dipermainkan tanpa dapat melawan sama sekali, kemudian membiarkan dirinya mati konyol. Ia terpaksa mengucapkan janji itu. Ia tidak merasa bersalah kepada siapapun juga, akan tetapi merasa berkhianat terhadap jiwa kependekarannya. Ia harus membiarkan saja manusia iblis itu berkeliaran.
Setelah perasaannya mereda dan tidak menangis lagi, barulah Kui Hong melanjutkan perjalanannya. Ia mencuci bekas air mata dari mukanya ketika melihat sumber air yang jernih, kemudian ia melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke istana melainkan langsung ke gedung tempat tinggal Menteri Cang Ku Ceng.
Tentu saja Cang Tai-jin menerima gadis itu dengan penuh harapan karena tentu gadis itu memperoleh hasil baik maka sudah keluar dari istana untuk memberi laporan kepadanya. Kui Hong disambut dengan ramah di ruangan tamu dan di situ ia diterima oleh Menteri Cang sendiri dan dapat bicara empat mata.
"Selamat datang, lihiap. Tak kusangka engkau sudah secepat ini keluar dari istana. Apakah sudah memperoleh hasil baik?" tanya pembesar itu dengan sikap ramah.
Kui Hong menghela napas panjang. Hatinya terasa semakin penuh sesal melihat betapa baiknya sikap pejabat tinggi ini kepadanya. Begitu ramah dan seperti berhadapan dengan keluarga sendiri. Melihat gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya yang jelita itu seperti penuh penyesalan, Menteri Cang segera berkata, "Apakah berum ada hasilnya" Kui Hong, kalau memang belum berhasil, katakan saja, tidak perlu sungkan. Kami tidak akan menyesal karena memang kami sudah mengetahui betapa lihainya penjahat itu sehingga semua usaha untuk menangkapnya yang pernah kami lakukan selalu gagal. Bagaimanapun, ceritakan hasil penyelidikanmu."
Agak lega hati Kui Hong mendengar ini. Pembesar itu demikian ramah kepadanya sehingga kadang memanggil namanya begitu saja, seperti seorang paman kepada keponakannya. Hanya kalau ada orang lain dia selalu menyebut li-hiap.
"Paman, harap paman maafkan saya karena terus terang saja, penyelidikan saya telah gagal." Kui Hong juga tidak lagi menyebut tai-jin kepada pembesar itu karena Cang Tai-jin berkali-kali minta agar ia menyebutnya paman saja.
"Hemmm, sudah kuduga sebelumnya. Memang penjahat itu lihai bukan main dan tentu dia sudah tahu akan penyelundupanmu ke dalam istana maka dia tidak berani muncul. Apakah engkau tidak menemukan tanda-tanda lain?"
Kui Hong ingin sekali meneriakkan segala-galanya, namun tentu saja ia tidak mau melanggar janji. Seolah-olah lehernya dicekik dan iapun hanya dapat menggelengkan kepala dan menundukkan mukanya. Bahkan ketika bicara, ia tidak berani mengangkat pandang mata untuk bertemu pandang dengan pembersar itu.
Cang Ku Ceng adalah seorang pejabat tinggi yang amat bijaksana dan cerdik. Juga dia memiliki banyak pengalaman, maka melihat sikap gadis perkasa itu, diam-diam dia merasa curiga sekali. Ini bukan sikap Cia Kui Hong yang wajar, pikirnya. Gadis itu kelihatan seperti berduka dan juga seperti orang yang sungkan dan malu-malu, seolah bersikap seperti orang yang menyembunyikan dosanya. Apakah yang telah terjadi" Akan tetapi, sebagai seorang yang bijaksana, dia telah dapat mengenal watak gagah dari gadis itu. Kalau Kui Hong mengambil keputusan untuk menyembunyikan sesuatu, maka hal itu tentu dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Dan memaksa seorang gadis seperti Kui Hong ini untuk merobah sikap, akan sia-sia belaka.
"Sayang sekali," kata pembesar itu. "Akan tetapi tidak mengapalah, Kui Hong. Aku tetap yakin bahvva pada suatu hari aku akan berhasil membongkar rahasia penjahat itu dan menghukumnya! Dia telah mencemarkan nama baik istana dengan perbuatannya itu."
Mendadak gadis itu mengangkat mukanya dan sinar matanya penuh harap ketika ia berkata, "Sayapun mengharapkan begitu, paman! Kalau perlu saya akan menghadap kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah agar mereka suka membantumu."
"Apa" Kaumaksudkan kakekmu pendekar Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis itu" Ah, tidak perlu, Kui Hong. Ini adalah urusan dan tugas kami para petugas negara. Aku tidak berani membikin repot lo-cian-pwe (orang tua gagah) itu. Kami masih mempunyai banyak orang yang cukup pandai dan akan kami kerahkan mereka agar menangkap penjahat licik itu."
Tentu saja Kui Hong tidak berani memaksa. Kalau ia membujuk kakeknya untuk membantu Menteri Cang, hal itu bukan berarti ia melanggar janjinya kepada Ang-hong-cu. Janjinya adalah bahwa ia sendiri tidak akan memusuhinya, tidak akan membongkar rahasianya. Dan ia sama sekali tidak melakukan hal itu. Karena merasa gagal dan malu kepada keluarga Menteri Cang, Kui Hong sekalian berpamit mohon diri untuk meninggalkan kota raja. Mendengar ini Menteri Cang terkejut sekali.
"Eh, kenapa engkau tergesa-gesa hendak pergi, Kui Hong" Tidak, engkau tidak boleh pergi begitu saja. Kalau bibimu dan kakakmu Cang Sun mengetahui, tentu mereka akan menyesal sekali. Engkau harus tinggal dulu beberapa lamanya di rumah kami, Kui Hong. Selain itu, apakah engkau sudah lupa akan tugasmu mencari dua orang itu?"
"Dua orang?" Kui Hong memandang bingung. Pada saat itu, seluruh hati dan pikirannya terganggu dan dipenuhi persoalannya dengan Ang-hong-cu, maka ia sudah kurang memperhatikan persoalan lain.
"Eh" Apa engkau lupa" Bukankah engkau sedang mencari dua orang musuh besar yang bernama Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek yang melarikan pusaka Pulau Teratai Merah dan Cin-ling-pai itu?"
Kui Hong terkejut. Aih, bagaimana ia dapat melupakan mereka" "Ahhh, mereka" Tentu saja saya tidak melupakan mereka, paman. Justeru saya berpamit untuk dapat segera melanjutkan perjalanan saya mencari dan menyelidiki mereka."
"Tenanglah, Kui Hong. Aku sedang menyebar para penyelidik ke mana-mana untuk mencari mereka. Bahkan kemarin aku mendengar berita tentang kedua orang itu."
Kui Hong mengangkat mukanya, memandang dengan sinar mata gembira ketika mendengar ucapan itu. "Ah, benarkah, paman" Di mana dua orang keparat itu?"
"Tenanglah, dan dengarkan keteranganku. Baru kemarin, dua orang diantara para penyelidikku datang memberi laporan bahwa Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek diketahui berada di Kim-lian-san dan di sana mereka mendirikan gerombolan penjahat yang merajalela. Akan tetapi, baru-baru ini gerombolan mereka diserbu dan dikeroyok oleh para anggauta perkumpulan lain sehingga gerombolan Kim-lian-pang itu dapat dibasmi. Akan tetapi, kedua orang itu kabarnya dapat meloloskan diri. Sekarang, para penyelidikku sedang mencari mereka. Percayalah, para penyelidik itu berpengalaman dan mereka tentu akan dapat menemukan kembali kedua orang musuhmu itu. Engkau tinggallah dulu menanti di sini, Kui Hong. Mari, mari kuantar menemui bibimu dan kakakmu. Mereka selalu bertanya tentang dirimu."
Ketika mereka memasuki ruangan dalam, isteri Menteri Cang dan puteranya, Cang Sun, menyambut Kui Hong dengan wajah berseri. "Adik Kui Hong! Ah, engkau sudah kembali" Lega dansenang hatiku melihat engkau selamat!"
Wajah Kui Hong berabah agak kemerahan melihat sikap pemuda itu, apa lagi mendengar panggilan yang akrab itu seolah-olah mereka telah menjadi kenalan baik.
"Cang Kongcu !" katanya memberi hormat.
" Aih, Hong -moi (adik Hong), kenapa menyebut kongcu (tuan muda) kepadaku" Sungguh tidak enak didengarnya. Sebut saja toako (kakak), bukankah kami sudah menganggap engkau seperti anggauta keluarga sendiri?"
"Benar ucapan puteraku, Kui Hong." kata Nyonya Cang sambil melangkah maju dan memegang tangan gadis itu, diajaknya duduk. "Sebut saja dia Sun-toako (kakak Sun), karena dia sudah berusia dua puluh tujuh, lebih tua darimu. Akupun girang engkau sudah kembali dengan selamat."
"Terima kasih, bibi?"," kata Kui Hong, merasa tidak enak melihat keramahan keluarga pejabat tinggi itu. Akan tetapi ia tidak menjadi rikuh. Ia seorang gadis yang sudah banyak merantau, tidak pemalu lagi, dan walaupun ia berada di antara keluarga bangsawan tinggi, akan tetapi ia sendiri adalah seorang ketua perkumpulan besar, ketua Cin-ling-pai! Bagaimanapun juga, kedudukan atau tingkatnya tidaklah rendah, maka iapun tidak merasa rendah diri, hanya merasa sungkan menghadapi keramahan rnereka, padahal, walaupun hanya ia sendiri yang tahu, ia telah membuat kapiran tugas yang diberikan kepadanya. Ia sudah dapat membongkar rahasia busuk yang terjadi di istana, akan tetapi ia tidak dapat menceritakannya kepada keluarga itu, bahkan mengaku bahwa tugasnya telah gagal! Diam-diam ia merasa bersalah.
"Tadinya Kui Hong berpamit hendak meninggalkan kota raja. Aku menahannya, karena selain kita masih rindu, juga para penyelidik sedang melakukan tugas menyelidiki dua orang penjahat yang dicarinya." Menteri Cang Ku Ceng berkata kepada isteri dan puteranya. Mendengar ini, ibu dan anak itu nampak terkejut.
"Ah, Hong-moi, kenapa begitu tergesa hendak pergi?" Cang Sun berkata, nadanya khawatir dan kaget.
"Kui Hong, tinggallah di sini dulu dan jangan tergesa pergi meninggalkan kami. Kami sudah menganggapmu sebagai anggauta keluarga sendiri. Bukan hanya karena ehgkau pernah menyelamatkan pamanmu, akan tetapi juga karena kami merasa suka sekali kepadamu. Bahkan, terus terang saja, Kui Hong, paman dan bibimu ini telah bersepakat dan akan merasa senang sekali kalau engkau suka menjadi mantu kami! Sun-ji (anak Sun) juga sudah setuju!"
Cang Sun tersenyum dan ayahnya juga tertawa. Tentu saja Kui Hong tersipu malu. Keluarga bangsawan ini sungguh memiliki watak dan sikap yang terbuka, watak yang tentu saja amat cocok dan dihargainya. Akan tetapi karena yang dibicarakan adalah masalah perjodohannya, tentu saja ia tersipu.
"Ha-ha-ha, maafkan keluarga kami, Kui Hong." kata Menteri Cang sambil tertawa. "Bukan kami tidak menghargaimu, akan tetapi kami memang suka berterus terang, apa lagi mengingat bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita, dari keluarga para pendekar besar, maka tidak perlu kami berbasa-basi dan langsung saja menanyakan pendapatmu tentang maksud hati kami itu. Kalau engkau sudah setuju, barulah secara resmi kami akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu!'
Kui Hong dapat menghargai keterbukaan ini, maka biarpun ia merasa rikuh sekali dan tidak berani menentang pandang mata mereka bertiga secara langsung, ia menjawab, "Terima kasih atas perhatian dan penghargaan yang diberikan oleh paman sekeluarga kepada saya. Akan tetapi tentang perjodohan, bukan berarti saya menolak kehormatan yang paman berikan kepada saya. Akan tetapi terus terang saja, pada waktu sekarang ini saya masih belum mempunyai niat sama sekali. Harap paman bertiga suka memaafkan saya."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Hong. Kami lebih senang kalau engkau berterus terang seperti ini. Baiklah, kami tidak akan mengungkit kembali soal per jodohan ini, kelak masih ada waktu untuk membicarakan lagi, seandainya engkau mulai berminat. Cang Sun, lupakan saja untuk sementara niat hatimu itu dan anggap Kui Hong sebagar adik saja."
Biarpun kecewa, Cang Sun dan ibunya dapat menerima alasan itu dan sikap mereka masih biasa, akrab dan ramah dan mereka tidak pernah menyinggung tentang usul ikatan jodoh itu. Hal ini membuat Kui Hong merasa bersukur dan berterima kasih sekali. Ia tahu bahwa ia telah ditawari suatu kedudukan yang amat mulia. Ia tahu bahwa kalau ia menjadi isteri Cang Sun, ia akan memperoleh seorang suami yang walaupun lemah karena tidak menguasai ilmu silat, namun tampan, pandai dan terpelajar, dan seorang calon pejabat tinggi yang baik. Selain itu, juga ia akan menjadi mantu tunggal dari seorang menteri yang bijaksana, akan memiliki sepasang orang tua sebagai mertua yang baik. Juga akan memperoleh kedudukan tinggi yang terhormat, dan hidup serba kecukupan dan terhormat. Mau apa lagi bagi seorang gadis" Namun, ada satu hal yang kurang, dan justeru ini penting sekali. Di dalam hatinya tidak ada perasaan cinta seorang calon isteri terhadap Cang Sun! Ia mengharapkan agar menteri itu akan dapat cepat memperoleh keterangan tentang di mana adanya Sim Ki Liong dan Tang Cun sek.
Tang Bun An pulang ke rumahnya dengan wajah muram. Baru saja dia terlepas dari ancaman bahaya yang akan menghancurkan kehidupannya. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa semua rahasianya telah berada di tangan gadis she Cia itu, ketua Cin-ling-pai, dan lebih lagi, cucu Pendekar sadis! Dia bergidik kalau membayangkan betapa dia akan dimusuhi Cin-ling-pai dan dicari-cari Pendekar Sadis. Hidupnya akan berubah seperti dalam neraka. Setiap saat dia akan dicekam rasa takut dan khawatir, dan hidupnya takkan pernah tenang dan tentram lagi. Dia akan selalu merasa tidak aman.
Untung dia bertindak cerdik dan mampu menjebak gadis perkasa itu. Kini dia sudah terbebas dari ancaman bahaya. Dia percaya sepenuhnya bahwa seorang gadis pendekar seperti itu, apa lagi dengan kedudukan ketua Cin-ling-pai, tidak akan menjilat ludah sendiri, tidak akan melanggar janjinya sendiri. Betapapun juga, hanya kini tetap akan merasa kurang tenteram karena dia mengetahui bahwa Menteri Cang Ku Ceng menaruh kecurigaan kepadanya! Dia kini harus waspada, dan berhati-hati, tidak boleh terlalu menuruti nafsunya dan mengurangi atau bahkan menghentikan petualangannya di istana bagian puteri.
Selama ini, Tang Bun An yang dikenal sebagai Tang Ciang-kun, orang yang sudah berjasa terhadap kaisar, diam-diam memang telah mengumpulkan puluhan orang yang dipilihnya dari para perajurit anak buahnya. Dia tidak pernah membuka rahasia pribadinya kepada siapapun, juga tidak kepada sekelompok perajurit pengawal yang menjadi orang-orang kepercayaannya. Akan tetapi dia menimbuni mereka dengan hadiah, bahkan mengajarkan beberapa jurus pukulan kepada mereka sehingga dia percaya bahwa mereka adalah orang-orang yang boleh dipercaya, bukan sebagai atasan saja melainkan juga secara pribadi.
Begitu tiba di rumah, dia segera memanggil anak buahnya dan memerintahkan mereka untuk menyebar anggauta mereka ke seluruh kota raja. "Ketahuilah bahwa aku mempunyai banyak musuh di dunia kang-ouw dan mereka itu tentu saja merasa iri kepadaku yang telah memperoleh kedudukan baik di sini. Aku mendengar bahwa di antara mereka, ada yang menyusup ke kota raja, tentu dengan niat buruk terhadap diriku. Oleh karena itu, kalian harus melakukan penyelidikan dan pengamatan di seluruh kota raja. Kalau ada orang-orang yang mencurigakan, apa lagi yang mencari aku atau mencari orang she Tang, cepat laporkan kepadaku." Demikian pesannya kepada tigapuluh orang lebih yang dia tugaskan untuk menjadi mata-matanya. Dia mengerti bahwa para pendekar, seperti Cia Kui Hong dan yang lain, sudah tahu bahwa Ang-hong-cu adalah seorang she Tang. Rahasia ini bocor karena Tang Hay yang mengatakan diri sebagai puteranya, juga karena ulah Tang Gun yang membanggakan diri sebagai putera Ang-hong-cu. Karena itulah, maka kepada anak buahnya dia berpesan agar melaporkan kalau ada orang mencarinya atau mencari orang she Tang.
Usahanya ini segera memperlihatkan hasil. Belum sepekan dia menyebar mata-mata, pada suatu sore seorang anak buahnya melaporkan bahwa ada tiga orang muncul di kota raja dan mereka itu bertanya-tanya tentang perwira Tang Gun yang kini menjadi orang pelarian. Mendengar ini, Tang Bun An mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak enak. Biarpun yang ditanyakan mereka itu Tang Gun, namun ada hubungan dekat sekali antara dia dan Tang Gun. Tang Gun pernah membual di kota raja bahwa dia putera Ang-hong-cu, dan kalau kini ada tiga orang mencarinya, besar kemungkinan ada hubungannya pula dengan Ang-hong-cu, seperti juga yang dilakukan Cia Kui Hong.
"Bagaimana rupanya tiga orang itu" Pria ataukah wanita?" tanyanya penuh perhatian.
"Mereka adalah seorang wanita dan dua orang pria?"."
"Bagaimana wajah wanita itu" Dan berapa usianya" Siapa pula namanya, hayo cepat beri penjelasan!" Tang Bun An agak panik karena dia mengira wanita itu adalah Cia Kui Hong!
"Ia seorang wanita yang cantik sekali dengan pakaian yang indah, Ciangkun. Usianya tiga puluh tahun lebih. Di punggungnya terlihat gagang sepasang pedang."
Lega rasa dada Tang Bun An mendengar ini. Usianya sudah tiga puluh tahun! Jelas bukan Cia Kui Hong.
"Dan bagaimana yang dua orang laki-laki itu?"
"Mereka adalah dua orang muda yang tampan dan gagah, yang seorang berusia dua puluh tahun lebih dan yang ke dua kurang lebih tiga puluh tahun."
"Siapa nama mereka?"
"Saya tidak tahu, Ciangkun. Sudah saya cari keterangan, akan tetapi tidak ada yang tahu. Mereka hanya bertanya-tanya tentang perwira Tang Gun kepada para pelayan rumah penginapan."
"Mereka di rumah penginapan?"
"Benar, Ciangkun. Di rumah penginapan Ban-lok-likoan."
Tang Bun An mengangguk-angguk. Jelas bukan Cia Kui Hong. Akan tetapi tetap saja mencurigakan. Dia harus lebih dulu bertindak sebelum terlambat. Siapa tahu mereka itu para pendekar kawan Cia Kui Hong. Gadis ketua Cin-ling-pai itu memang sudah berjanji tidak akan mengganggunya, akan tetapi siapa tahu ia mengundang teman-temannya! Walaupun ia tidak berani membuka rahasia karena sudah berjanji, akan tetapi mungkin saja ia menyerahkan tugas penyelidikan itu kepada teman-temannya. Dan dia harus waspada dan mendahului setiap orang yang akan mendatangkan bahaya baginya. Dia lalu membuat surat singkat dan rnemasukkannya dalam sampul.
Dikumpulkannya semua pembantunya dan diapun mengatur siasat untuk menghadapi tiga orang yang mencurigakan dan yang dikatakannya kepada para pembantunya mungkin saja mereka itu musuh-musuhnya. Setelah itu, dia lalu mengutus seorang pembantu untuk menyerahkan sampul suratnya kepada tiga orang itu.
Tiga orang muda yang menjadi perhatian Tang Bun An itu sebetulnya adalah Sim Ki
Liong, Tang Cun Sek, dan Ji Sun Bi! Tiga orang muda ini bukanlah orang-orang sembarangan. Ji Sun Bi yang usianya sudah tiga puluh satu tahun akan tetapi masih nampak cantik manis dan genit itu, berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun), seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai dan juga amat jahat. Adapun dua orang pemuda yang kini bersamanya, sesungguhnya merupakan murid-murid orang-orang pandai dan pendekar besar. Yang pertama adalah Sim Ki Liong yang pernah menjadi murid yang disayang dari Pendekar Sadis dan isterinya. Namun, putera mendiang Sim Thian Bu ini memang memiliki dasar watak yang jahat. Dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, dan mencuri pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari keluarga Pendekar Sadis. Adapun pemuda yang ke dua adalah Tang Cun Sek, pernah menjadi murid terkemuka di Cin-ling-pai. Namun putera kandung Ang-hong-cu inipun memiliki dasar watak yang jahat. Dia melarikan diri dari Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Hong-cu-kiam!
Tiga orang muda yang lihai akan tetapi jahat ini bertemu dan bersatu bahkan mereka sempat bersama-sama memperkuat sebuah perkumpulan yang disebut Kim-lian-pang, bersarang di Pegunungan Kim-lian-san. Sim Ki Liong yang paling lihai di antara mereka menjadi ketuanya dan mereka berdua menjadi pembantu-pembantu utama. Akan tetapi tindakan sewenang-wehang dari Kim-lian-pang ini memancing permusuhan dengan para perkumpulan tainnya dan akhirnya, Kim-lian-pang diserbu oleh orang-orang perkumpulan lain. Mereka tidak akan kalah kalau saja tidak muncul Pek Han Siong dan Tang Hayyang akhirnya mengalahkan mereka. Bahkan Hay Hay berhasil merampas pedang Gin-hwa-kiam dan pedang Hong-cu-kiam dari tangan Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek
Biarpun menderita kekalahan dan perkumpulan Kim-lian-pang yang jahat itu dibasmi, tiga orang pimpinan ini berhasil meloloskan diri mereka. Mereka, terutama sekali Sim Ki Liong, merasa kehilangan. Kehilangan kedudukan dan kekuasaan, kehilangan harta benda, kehilangan segalanya dan dia merasa sakit hati sekali kepada Han Siong dan Hay Hay yang telah menghancurkan kedudukan dan kekuasaannya yang mulai dipupuk dan mulai bertumbuh itu. Dia kehilangan segalanya, akan tetapi merasa terhibur juga karena dua orang pembantunya yang juga menjadi sahabat baiknya, yaitu Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek. Ji Sun Bi adalah pembantunya, sahabatnya, juga kekasihnya. Tang Cun Sek merupakan pembantu dan sahabatnya yang cocok, dan kedua orang itu memiliki ilmu silat yang boleh diandalkan. Maka, biarpun sudah kehilangan kedudukan tinggi dan kekuasaan besar sebagai ketua Kim-lian-pang, dia masih terhibur dan berbesar hati karena masih bersama dua orang pembantunya itu.
"Aku harus membalas semua ini! Sekali waktu, aku harus dapat mencincang hancur tubuh Tang Hay dan Pek Han siong!" kata sim Ki Liong dengan geram sambil mengepal tinju ketika ketiganya duduk mengaso di bawah pohon dalam hutan di mana mereka melarikan diri. Ji Sun Bi dan Tang Cun sek juga duduk menyusut keringat, wajah mereka masih pucat karena baru saja mereka lolos dari cengkeraman maut.
"Mereka adalah musuhku sejak dahulu," kata Ji Sun Bi. "Dan memang tidak ada yang akan lebih menyenangkan hati dari pada melihat mereka itu dapat kubinasakan. Akan tetapi, kita harus berhati-hati sekali, karena dua pemuda itu memang sakti. Bukan saja mereka berdua memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi yang paling berbahaya lagi, mereka memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan sukar dilawan. Untuk menghadapi mereka, kita bertiga belum cukup kuat. Kita harus berusaha mencari orang-orang pandai untuk membantu kita."
"Pendapatmu itu memang benar, enci Sun Bi. Akan tetapi, ke mana kita dapat mencari orang-orang pandai yang mau membantu kita?" tanya Sim Ki Liong. Dia sendiri baru keluar dari Pulau Teratai Merah dan dia belum banyak pengalaman, belum mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.
Ji Sun Bi tersenyum. Tok-sim Mo-li ini tentu saja berbeda dengan kedua orang muda itu. Ia adalah seorang tokoh sesat yang kenamaan dan tentu saja ia mengenal banyak tokoh sesat lain di dunia kang-ouw. "Untuk mencari kawanikawan baru yang pandai, serahkan saja kepadaku!"
"Kalau saja aku dapat bertemu dengan ayah kandungku, tentu dia akan suka membantu kita. Dan aku mendengar bahwa ayah kandungku itu, Ang-hong- cu, adalah seorang yang sakti." kata Tang Cun Sek.
"Akan tetapi, di mana kita dapat mencari dia" Memang, aku sendiri sudah lama mendengar akan nama besarnya. Dia sedemikian lihainya sehingga tak seorangpun dari dunia kang-ouw mampu mengenal siapa sesungguhnya tokoh yang amat terkenal dengan julukan Ang-hong-cu itu," kata Ji Sun Bi.
Sim Ki Liong memandang kepada sahabatnya dan juga pembantunya itu dengan alis berkerut. "Tang toako, apa artinya ayahmu itu sakti dan akan suka membantu kita kalau kita tidak dapat mengetahui di mana dia berada"
"Jangan khawatir. Dalam penyelidikanku, aku yakin bahwa dia berada di kota raja. Ada berita bahwa di kota raja terdapat seorang perwira muda she Tang yang mengaku bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu. Nah, kalau kita mencari perwira Tang itu di kota raja, tentu kita akan dapat mengetahui di mana adanya ayahku itu. Kalau benar perwira itu putera Ang-hong-cu, berarti dia masih saudaraku seayah."
Demikianlah, karena dalam keadaan bingung dan mengharapkan bantuan dari orang pandai yang dapat dipercaya, Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi menyetujui dan mereka bertiga dengan hati-hati lalu memasuki kota raja untuk menyelidiki tentang Perwira Tang yang kabarnya menjadi perwira pasukan pengawal istana di kota raja.
Setelah mendapatkan sebuah rumah penginapan yang kecil agar kehadiran mereka tidak menyolok dan menarik perhatian, mereka mulai bertanya-tanya tentang perwira Tang itu, kepada para pelayan rumah penginapan dan pelayan rumah makan di mana mereka makan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sikap mereka bertanya-tanya tentang perwira Tang itu menimbulkan kecurigaan seorang mata-mata pembantu Perwira Tang Bun An yang segera melaporkan hal itu kepada majikannya. Dan dari hasil keterangan yang mereka peroleh, terdapat berita mengejutkan bahwa Perwira Tang yang mereka cari-cari itu telah ditangkap dan dihukum buang!
Berita ini bukan mengejutkan, akan tetapi juga amat mengecewakan hati Tang Cun Sek. Jejak satu-satunya yang dapat membawanya kepada ayah kandungnya telah lenyap! Kalau bukan perwira she Tang itu, lalu siapa lagi yang dapat memberi keterangan kepadanya tentang Ang-hong-cu"
Selagi mereka bertiga kebingungan mendengar berita itu dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba pelayan rumah penginapan menyerahkan sesampul surat kepada mereka sambil berkata, "Ini ada sepucuk surat untuk sam-wi."
Tentu saja Sim Ki Liong yang menganggap dirinya sebagai pimpinan, menerima surat itu dan bertanya heran, "Siapakah orang yang menyerahkan surat ini kepadamu?"
Pelayan itu menggelengkan kepala. "Ketika saya sedang bertugas di luar, orang itu datang dan menyerahkan surat ini kepada saya dengan pesan agar disampaikan kepada sam-wi. Mula-mula dia bertanya apakah ada dua orang pemuda dan seorang wanita yang bermalam di sini, yang bertanya-tanya tentang Perwira Tang. Ketika saya membenarkan, dia lalu mengeluarkan surat ini dengan pesan agar saya serahkan kepada sam-wi."
Sim Ki Liong mengangguk dan pelayan itu lalu pergi. Dengan heran dan ingin tahu Sim Ki Liong membuka sampul surat itu dan membaca isi surat yang singkat saja.
"Kalau kalian bertiga ingin tahu
tentang Perwira Tang, keluarlah dari


Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kota raja melalui pintu gerbang utara
dan ikuti seorang yang akan menjadi
penunjuk jalan." Surat itu tanpa nama pengirim, tanpa tanda tangan, ditulis dengan huruf indah dan gagah. Membaca ini, mereka bertiga saling pandang dan Tang Cun Sek menjadi gembira sekali.
"Ah, jejak yang menghilang itu kini timbul kembali!" serunya. "Kita harus cepat menuruti petunjuk surat ini. Kalau kita dapat menemukan Perwira Tang, tentu akan mudah mencari Ang-hong-cu ayahku."
Ji Sun Bi yang pengalamannya jauh lebih luas dibandingkan dua orang muda itu, mengerutkan alisnya. "Kita harus berhati-hati dan waspada. Adanya surat ini, berarti pengirimnya sudah tahu akan kedatangan dan gerak-gerik kita. Sebaliknya, kita tidak tahu siapa dia atau mereka, dan tidak tahu pula mereka itu kawan ataukah lawan. Undangan ini dapat saja beriktikad baik, akan tetapi juga dapat merupakan suatu perangkap."
"Hemm, andaikata merupakan suatu perangkap, apakah kita perlu takut" Kita hajar mereka!" kata Sim Kj Liong. Ini bukan merupakan suatu kesombongan atau bualan belaka. Mereka bertiga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingannya, maka tentu saja mereka bertiga tidak takut akan ancaman pihak lawan yang belum mereka ketahui siapa.
"Benar, kita tidak perlu takut. Pula, kalau pengirim surat ini mempunyai niat buruk terhadap kita, perlu apa dia mengirim surat" Tentu mereka akan terus saja mengepung dan menyerang kita." kata pula Tang Cun Sek.
"Betapapun juga, kita harus berhati-hati dan tetap waspada." kata Ji Sun Bi.
"Mari, sekarang juga kita pergi sebelum hari menjadi gelap." kata Sim Ki Liong. Mereka lalu meninggalkan rumah penginapan, menuju ke pintu gerbang utara dan keluar dari kota raja. Setelah tiba di luar pintu gerbang, dan berjalan terus sampai ke jalan yang sunyi, mereka dihadang seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang pemburu. Laki-laki itu menjura dan berkata dengan suara lirih.
"Sam-wi yang mencari Perwira Tang?"
Tiga orang itu memandang penuh perhatian dan mengangguk. Laki-laki itu nampak gagah dan bertubuh tegap, namun mereka tahu bahwa dia ini hanyalah seorang anak buah atau utusan saja.
"Silakan sam-wi ikut dengan saya." orang itu berkata pula.
Tiba-tiba, secepat kilat, Ji Sun Bi menggerakkan tubuhnya ke arah orang itu, tangan kirinya mencengkerarn ke arah kepala. Orang itu terkejut, akan tetapi jelas bahwa dia bukan orang lemah karena melihat serangan itu, dia cepat miringkan tubuh dan menggerakkan tangan kanan untuk rnenangkis. Akan tetapi, cengkeraman tangan kiri itu hanya gertakan saja, yang bergerak sungguh-sungguh adalah tangan kanannya, dengan dua jari rnenotok pundak. Gerakan Ji Sun Bi terlalu cepat bagi orang itu sehingga tidak sempat mengelak lagi. Pundaknya tertotok dan diapun terguling roboh, tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi!
"Nah, kaulihat. Kalau engkau menipu dan menjebak kami, nyawamu akan melayang!" kata Ji Sun Bi dan diapun menepuk pundak orang itu untuk membuka kembali jalan darah yang tertotok. Orang itu bangkit dan memandang dengan wajah membayangkan perasaan jerih. Tak disangkanya bahwa wanita cantik itu sedemikian lihainya! Dia mengangguk dan berkata.
"Saya hanyalah utusan untuk menyambut sam-wi. Kenapa saya diganggu?"
"Tak perlu banyak cakap!" kata Sim Ki Liong. "Hayo antarkan aku dan teman-temanku ini kepada si pengirim surat!"
Dengan sikap ketakutan, orang itu lalu berjalan menuju ke arah sebuah bukit, diikuti oleh tiga orang itu. Matahari mulai condong ke barat ketika mereka menyusup-nyusup hutan akhirnya mereka tiba di depan sebuah pondok di puncak bukit, tengah hutan dan yang tersembunyi itu. Tempat itu amat sunyi, dan pondok itu sama sekali tidak nampak ketika mereka mendaki bukit itu, karena tersembunyi di dalam hutan yang lebat. Setelah tiba di depan pondok, orang itu berkata kepada mereka, "kita telah tiba, harap sam-wi masuk ke pondok. Pengirim surat itu telah menanti sam-wi di dalam pondok!"
"Hemm, kaukira kami anak-anak kemarin sore yang masih bodoh?" Ji Sun Bi berseru dengan suara mengejek. "Hayo cepat kausuruh dia keluar pondok, atau akan kubunuh kau lebih dulu!"
Tentu saja orang itu menjadi ketakutan, akan tetapi pada saat itu, pintu pondok terbuka dari dalam dan muncullah Tang Bun An. Dia melangkah keluar sambil tertawa bergelak, akan tetapi sepasang matanya yang tajam itu memandang kepada mereka bertiga penuh perhatian.
"Ha-ha-ha, tiga orang muda yang sungguh sombong. Kalian masih berani berlagak dan mengancam" Lihat ke sekeliling kalian!" Tang Bun An melangkah keluar dengan sikap tenang sekali. Tiga orang muda itu memandang dengan waspada, dan ketika mendengar ucapan itu mereka membalikkan tubuh. Kiranya mereka kini telah terkepung oleh dua puluh orang lebih yang siap dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang memegang pedang, golok, toya, tombak atau ruyung dan melihat cara mereka memegang senjata dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang terlatih dan memiliki kepandaian silat.
Tentu saja Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi sama sekali tidak gentar menghadapi pengepungan kurang lebih dua losin orang itu, akan tetapi mereka merasa penasaran sekali.
"Hemm, kalau engkau memaki kami sebagai tiga orang muda yang sombong, maka jelas bahwa engkau adalah seorang tua yang curang dan pengecut! Siapakah engkau dan mengapa pula engkau menjebak kami di sini dan ingin mengeroyok kami" Apa kesalahan kami terhadapmu, dan ada urusan apakah yang membuat engkau bersikap curang seperti ini?"
Wajah Tang Bun An menjadi kemerahan dan sinar matanya mencorong. Pemuda yang tampan dan gagah ini sungguh berani mati! "Bocah sombong jangan kira bahwa aku tidak berani melawan kalian bertiga. Akan tetapi, sebelum kita bicara, aku ingin melihat lebih dulu apakah kepandaian kalian juga sebesar sikap kesombongan kalian!" Dia memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera bergerak, mengepung dan mulai menyerang!
Ji Sun Bi mencabut sepasang pedangnya dan begitu ia memutar pedang-pedang itu, nampak dua gulungan sinar dan beberapa orang penyerang rnengeluarkan seruan kaget karena senjata rnereka membalik, bahkan ada sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sim Ki Liong sudah kehilangan Gin-hwa-kiam yang terampas oleh Hay Hay, juga Tang Cun Sek kehilangan Hong-cu-kiam yang juga di rampas Hay Hay. Kedua orang pernuda ini belum memiliki senjata akan tetapi keduanya memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga dengan tangan kosong saja mereka menyambut serangan para pengeroyok itu. Kedua tangan rnereka menampar-nampar, kaki mereka menendang-nendang dan dalam waktu beberapa rnenit saja, dua losin orang yang mengeroyok itu kocar-kacir dan terlempar ke sana-sini !
Melihat itu, diam-diam Tang Bun An terkejut dan kagum bukan main. Kalau mereka ini pendekar-pendekar seperti Cia Kui Hong, celakalah dia.
"Tahan !" Dia berseru dan anak buahnya yang sudah terdesak hebat itu berloncatan mundur. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, dan Ji Sun Bi berdiri sambil berdiri tersenyum mengejek.
"Nah, apakah sekarang engkau hendak memperkenalkan diri dan bicara apa maksudmu mengundang kami?" tanya Sim Ki Liong, sikapnya mengejek dan penuh tantangan.
Tang Bun An masih merasa penasaran, ingin sekali menguji sendiri ilmu kepandaian mereka atau seorang di antara mereka. Maka diapun berkata, "Kalian hebat! Akan tetapi aku masih penasaran. Sebelum bicara, kuingin merasakan sendiri kelihaian kalian. Nah, di antara kalian yang paling pandai, majulah, mari kita bertanding untuk melihat sampai di mana tingkat kepandaian masing-masing."
Sim Ki Liong yang merasa paling pandai, bahkan memang tadinya dia yang menjadi ketua, segera maju. "Akulah yang akan menandingimu!"
"Tidak perlu engkau yang maju sendiri, pangcu. Urusan ini adalah urusan pribadiku, biarlah aku yang menandinginya!" kata Tang Cun Sek dan diapun sudah melompat ke depan, menghadapi Tang Bun An. Dia masih menyebut pangcu kepada Sim Ki Liong walaupun kini pemuda itu bukan lagi seorang ketua perkumpulan dan sudah tidak memiliki anak buah lagi .
Sejenak Tang Bun An menatap wajah pemuda tinggi besar itu dan diapun kagum. Pemuda itu selain tinggi besar dan tubuh kokoh kuat, juga wajahnya yang berkulit putih itu menarik sekali, tampan dan gagah. Matanya mencorong dan jelas bahwa dla seorang pemuda yang "berisi". Dan diapun heran mendengar pemuda tinggi besar ini menyebut "pangcu" kepada pemuda yang tampan halus dan jauh lebih muda itu.
Pendekar Laknat 12 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Putera Sang Naga Langit 5
^