Pencarian

Si Rase Kumala 1

Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Bagian 1


"Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Saduran SD Liong 1. Fitnah Berdarah Hoasan di sebelah barat, Hengsan di sebelah timur,
Hengsan di sebelah selatan dan Hengsan di sebelah tengah,
merupakan Ngo-gak atau lima buah gunung yang termasyhur
di Tiongkok, (note: Hengsan-Hengsan itu ejaan sama, huruf
berlainan). "Di dunia ada tiga puncak yang sukar didaki", demikian
seorang penyair ahala Tong menulis. Kiranya yang
dimaksudkan itu ialah Tiau-yang-nia, Lian-hoa-nia dan Lokgan-
nia, tiga buah puncak dari pegunungan Hoasan yang
teramat curam serta berbahaya.
Cerita ini terjadi pada musim rontok, dimana daerah-daerah
di propinsi Tiongkok utara, sudah dilanda hawa dingin. Pohonpohon
layu, daun-daun berguguran. Angin barat mulai
menyanyi gemuruh. Suasana malam di pertengahan bulan
sembilan itu, gelap pekat sekali. Hanya beberapa bintang yang
menghias cakrawala pada malam nan panjang itu .........
Tak jauh dari kaki puncak Lok-gan-nia, terdapat sebuah
biara tua, walaupun karena tuanya, bangunan itu sudah
banyak yang rusak namun dari kejauhan wajah biara itu masih
memantulkan perbawa kemegahannya pada masa yang
lampau. Dalam malam nan pekat itu, suasana di biara itu
makin sunyi kelam, yang terdengar hanya desiran daun
pohon-pohon pek yang di sekeliling biara yang berguguran
ditiup sang angin. Suasana disitu makin menyeramkan.
Tiba-tiba dari kejauhan tampak ada sesosok bayangan
hitam lari seperti terbang menuju ke biara tua itu. Dalam
beberapa kejap saja, bayangan hitam itu sudah tiba di luar
tembok biara. Kiranya dia itu seorang pemuda berusia lebih
kurang duapuluh tujuh tahun, mengenakan pakaian ringkas
warna hitam, menyanggul sebatang pedang di belakang
bahunya. Perawakannya tegap besar.
Dia berhenti di muka biara dan memandang ke dalam.
Demi tampak dalam biara itu gelap gulita tiada penerangannya
sama sekali, hatinya tercekat. Merenungkan sejenak, dia
membungkukkan tubuh menghadap pintu, lalu berseru: "Tecu
Siau Hong yang berdosa, menerima titah untuk menghadap
insu." Tecu artinya murid, in-su ialah guru yang berbudi.
Baru seruan itu diucapkan, sekonyong-konyong lampu
lentera dalam biara itu dinyalakan. Menyusul dari dalam biara
itu terdengar seorang tua berseru nyaring: "Kiranya kau masih
taat pada perguruan, masuklah!"
Siau Hong benarkan dugaannya bahwa sang suhu sudah
disitu. Buru-buru dia menyahut dengan hormatnya: "Tecu
menurut perintah!" Setelah membetulkan pakaian, dia melangkah masuk.
Ruangan dalam biara itu ternyata penuh daun-daun kering
berserakan di lantai. Disana sini menunjukkan suasana tak
terpelihara dan banyak kerusakan. Satu-satunya yang masih
baik keadaannya ialah di bagian ruangan tengah. Disitu
terdapat sepetik penerangan yang remang-remang.
Tampak oleh Siau Hong, di ruangan tengah itu terdapat
sebuah meja sembahyangan yang besar. Meja itu, catnya
sudah banyak yang tetel (hilang). Di atas meja ditaruh sebuah
pelita minyak. Tertiup oleh angin malam, api pelita itu padampadam
menyala. Suasana disitu terasa menyeramkan sekali.
Di depan meja tampak duduk bersila seorang tojin tua yang
bertubuh kurus dan pendek. Sepasang matanya dikatupkan ke
bawah. Melihat sang suhu, Siau Hong bergegas-gegas masuk
lalu berlutut. Dengan kepala menunduk, dia berdatang
sembah: "Dengan hormat tecu datang menghadap insu."
Sepasang alis tojin itu agak dijungkatkan, sepasang
matanya berkilat dan kedengaran mulutnya berkata pelahan:
"Jadi kau masih mengakui insumu ini?"
"Insu .....," tersipu-sipu Siu Hong menjawab dengan nada
getar. "Siau Hong, angkatlah kepalamu!" kata tojin tua itu.
Siau Hong menurut. Baru dia gerakkan kepala, "trang" ......
sebuah badik dan sepucuk sampul surat, melayang jatuh
dihadapannya. Melihat itu wajah pemuda itu berobah seketika.
Kembali dia tundukkan kepala.
"Kau tahu kedosaanmu?" seru tojin itu dengan tertawa
dingin. Siau Hong mendongak, menatap wajah suhunya yang
keren. Sahutnya dengan nada tergetar: "Sejak tecu
menjalankan titah insu untuk berkelana di dunia persilatan
selama lima tahun, rasanya tecu tak melakukan sesuatu hal
yang melanggar larangan perguruan. Bulan yang lalu setelah
menerima ceng-hu-leng ("Pertandaan kupu hijau", untuk
meminta pertanggungan jawab sesuatu kesalahan), tecu
renungkan bolak balik tanpa mengerti apa kesalahan tecu itu.
Kini insu menjatuhkan dakwaan "dosa tak berampun' kepada
diri tecu, makin kacaulah perasaan tecu. Mohon insu sudi
menjelaskannya." Tojin tua itu mendengus, tukasnya: "Hem, benar-benar tak
menginsyafi. Jawablah pertanyaanku ini, setiap anak murid
kita yang berbuat zinah, apakah hukumannya?"
"Berharakiri membelek dada, selaku menghaturkan terima
kasih kepada perguruan," sahut Siau Hong.
"Bagus! Lebih dahulu bacalah surat itu!" kata si tojin.
Siau Hong memungut sampul surat itu, lalu membacanya.
Habis membaca, dia kucurkan keringat dingin.
"Siapakah yang melakukan fitnah sedemikian kejinya ini.
Memutar balikkan kenyataan dan mendakwa aku sebagai
seorang yang berlumuran dosa tak berampun?" diam-diam
Siau Hong membatin. Teringat dia akan watak pribadi suhunya
yang keras terhadap setiap kejahatan. Menilik suhunya begitu
cenderung percaya pada fitnahan itu, bergidiklah Siau Hong.
Tapi baru dia hendak buka mulut membela diri, suhunya
sudah mendahului: "Sekarang apa kau sudah mengetahui
kedosaanmu?" "Insu, surat itu sengaya hendak memfitnah tecu, memutar
balikkan kenyataan, putih dikatakan hitam. Dan lagi surat itu
tentu bukan Shin-tok locianpwe yang menulis, karena ........."
"Diam! Bagaimana kau dapat memastikan surat ini bukan
ditulis Shin-tok Kek, hem, dalam keadaan begitu rupa, kau
masih hendak membersihkan diri. Benar dengan Giok-hou
Shin-tok Kek aku digolongkan dalam daftar sepuluh Datuk
persilatan, tapi selama ini aku tak pernah berhubungan
dengan dia. Jika harus menunggu sampai dia datang sendiri
meminta pertanggungan jawab ke biara Siang Ceng Kiong sini,
dimanakah mukaku hendak kusembunyikan?"
Tojin tua itu berhenti sejenak, lalu berseru pula: "Siau
Hong, pantangan dari Siang Ceng Kiong kita sangat keras.
Terhadap siapapun murid yang melanggar, tiada
pengecualiannya. Meskipun kau adalah murid kesayanganku
yang kuwarisi seluruh kepandaianku, tapi dalam hal ini,
akupun tak dapat memberi ampun padamu. Oleh karena kau
sudah mengetahui sendiri apa hukuman menurut perguruan
kita, rasanya tentu tahulah sudah bagaimana kau harus
bertindak. Nah, kau habisi jiwamu sendirilah!"
Melihat suhunya dirangsang hawa amarah, Siau Hong
insyaf segala pembelaan tentu tak berguna. Akhirnya
berkatalah dia dengan rawan: "Sejak tecu tinggalkan
perguruan selama lima tahun, tecu merasa yakin tak pernah
berbuat sesuatu hal pelanggaran besar. Sekalipun ada
kesalahan, tapi bukan dosa tak berampun. Dua bulan yang
lampau, dua kali tecu naik gunung tetapi insu kebetulan
sedang berkelana, jadi tak dapat menjumpai .........."
"Kini insu ternyata percaya penuh bunyi surat itu, walaupun
tecu tak berani membantah, tapi dalam sanubari, tecu tetap
menolak tuduhan itu. Tecu telah menerima budi besar dari
insu, apa yang insu titahkan, tecu tak berani ingkar. Tecu
sedia bunuh diri, hanya saja tecu berharap semoga
dikemudian hari, dosa yang dituduhkan kepada tecu itu dapat
dibersihkan, sehingga nama tecu dapat direhabilitasi
(dikembalikan) pula. Dengan begitu, dapatlah tecu meram di
alam baka. Untuk budi besar yang insu limpahkan itu, kelak
dipenjelmaan lagi, barulah tecu dapat membalasnya!"
Ucapan itu ditutup dengan menyambarnya badik di atas
lantai dan secepat kilat, "cret ......." badik itu tertanam di dada
Siau Hong. Darah menyembur, tubuh terkapar!
Berbareng dengan rubuhnya tubuh pemuda itu, si tojin tua
berputar tubuh. Rupanya diapun tak tega melihat murid
kesayangannya mengakhiri hidupnya secara begitu
mengenaskan! Tiba-tiba dari jauh di luar biara sana, terdengar kumandang
tertawa memanjang macam naga meringkik. Mendengar itu, si
tojin tua berobah wajahnya, ya, hanya dalam berapa kejapan
mata saja, suara tertawa itu sudah berada di luar biara. Dan
pada lain kejap lagi, seorang tua bertubuh gemuk pendek dan
berwajah merah muncul di ruangan tengah itu bersama
seorang nona yang mengenakan baju warna merah.
Demi melihat tubuh Siau Hong terkapar di lantai,
menjeritlah nona itu, terus lari menubruknya. Si orang tua
gemuk pendek banting-banting kaki menghela napas:
"Terlambat setindak ........."
Sewaktu tojin kate itu terkejut melihat kedatangan tamutamu
yang tak diundang itu, si orang tua gemuk tertawa keras
dan menegurnya: "Ay-kui, sudah beberapa tahun kita tak
berjumpa, tak kunyana temperaturmu (hawa panas), masih
seperti dulu. Mengapa kau tinggalkan biara Siang Ceng Kiong
yang megah dan mengadakan persidangan di biara rusak
semacam ini" Sebenamya, kesemuanya itu omong kosong
belaka. Aku hanya hendak bertanya sepatah padamu,
bukankah anak itu kau yang mendesaknya supaya bunuh
diri?" Sepasang alis si tojin kate berjungkat. Ujarnya: "Bok loji,
aku tengah menjalankan peraturan kaumku, mengadakan
pembersihan perguruanku, apa sangkut pautnya dengan kau"
Akupun hendak balas bertanya padamu, siapakah anak
perempuan itu?" Si orang tua gemuk tertawa terbahak-bahak, sahutnya
dengan sinis: "Hebat sekali rasanya peraturan dan
pembersihan yang kau lakukan itu, ha" Aku Siau-sian-ong Bok
Tong memang suka usil, ini diketahui oleh orang sejagat. Coba
katakan, apa dosa anak itu hingga kau paksa supaya bunuh
diri!" Tojin tua yang dipanggil Ay-kui (setan cebol) oleh si orang
tua gemuk yang bergelar Siau-sian-ong atau Dewa Tertawa
itu, menyahut dengan dingin: "Dia melakukan zinah, tidakkah
selayaknya dihukum mati!"
Si Dewa Tertawa Bok Tong tersenyum: "Hem, kiranya
begitu!" Secepat itu, wajahnya berobah sungguh-sungguh,
katanya pula: "Apa kau mempunyai bukti?"
Si tojin pendekpun tak kurang marahnya, lantang-lantang
dia menghardik: "Aku mengurus anak perguruanku sendiri,
apa sangkutannya denganmu" Datang-datang kau lantas
marah-marah, aturan mana itu" Kalau tak mengingat kita
bersama dijajarkan dalam sepuluh Datuk, malam ini aku tentu
minta keadilan padamu?"
Kemudian menunjuk ke arah si nona baju merah yang
menelungkupi tubuh Siau Hong dengan menangis terlara-lara,
bertanya pula dia: "Bok loji, siapakah budak perempuan itu?"
Si Dewa Tertawa tertawa: "Sudah tentu aku tak berhak
mencampuri urusan rumah tangga perguruanmu. Jangankan
kau bunuh seorang, sekalipun kau sembelih sepuluh-duapuluh
anak muridmu, akupun tak peduli. Tentang pernyataanmu
untuk minta keadilan padaku, memang aku sudah jemu hidup
begini lama, maka alangkah bahagianya kalau aku dapat
bertemu dengan seorang tojin berilmu yang dapat
menyempurnakan jiwaku, hanya saja ......"
Berkata sampai disini, dia terhenti sejenak, lalu kembali
tertawa keras: "Ay-kui, sudahlah jangan omongkan yang
tidak-tidak. Bukankah kautanyakan anak perempuan itu" Dia
adalah anak pungutku puteri si Rase Kumala (Giok-hou) Shintok
Kek yang bernama Shin-tok Lan. Karena dialah maka
kudatang dari ribuan li akan meminta keadilan padamu. Nah,
kini janganlah salahkan lohu kalau usilan!"
Mendengar itu si tojin pendek terkejut dan marah. Namun
si Dewa Tertawa tak menghiraukannya, dia melangkah
menghampiri kedekat si Lan. Dibelai-belainya rambut nona
baju merah itu, katanya: "A Lan, orang yang sudah mati
takkan hidup lagi, menangispun tiada berguna. Malam ini aku
si tua bangka ini tentu akan minta peradilan pada setan
pendek itu." Sampai pada saat itu, si tojin pendek tak dapat menguasai
dirinya lagi. Tertawalah dia dengan sinis: "Bok loji, apa kau
kira akupun tak layak minta keadilan padamu?"
Memandang ke arah si nona baju merah dengan perasaan
menghina, tojin pendek itu berkata pula: "Ia puterinya si Rase
Kumala, itu sungguh kebenaran sekali. Jangan membabi buta
lemparkan tuduhan padaku dulu, tapi lihatlah surat ini,
kemudian baru nanti akan kuminta pertanggungan jawabnya
Shin-tok Lan yang telah memikat muridku!"
Sekarang giliran si Dewa Tertawa Bok Tong yang terkesiap.
Melihat kesungguhan wajah tojin pendek itu, tentulah ada
bukti yang kuat. Benar ketua Siang Ceng Kiong itu pemarah
dan berhati tinggi (angkuh), tapi pribadinya amat keras
terhadap kejahatan, baginya putih tetap dikatakan putih,
hitam ya hitam. Kalau tiada memegang bukti, tak nanti dia
seyakin itu. Berpaling ke belakang, Bok Tong melihat si Lan
masih menangisi jenazah Siau Hong, tanpa mempedulikan
percakapan kedua tokoh itu.
"Shin-tok Lan lurus perangai dan Siau Hong seorang murid
terkemuka dari perguruan terkenal. Sepintas tinjau, keduanya
tentu tak mungkin berbuat sesuatu yang melanggar
kesusilaan. Tapi apabila seorang pemuda itu galang-gulung
dengan seorang pemudi, kemungkinan pelanggaran itu
memang mungkin terjadi. Menilik anak perempuan itu begitu
mendukai kematian Siau Hong, kecenderungan tuduhan itu
bukan tak mungkin. Ah, kalau benar demikian halnya,
bagaimana tindakanku nanti .........?"
Demikian Bok Tong menimang-nimang dalam hati. Tapi
pada lain kilas, dia berpikir: "Ah, sekalipun benar begitu, toh


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shin-tok si rase tua itu sebelumnya sudah merestui
perkawinan itu. Jadi kalau terjadi pelanggaran itu, sekalipun
Siau Hong harus mendapat hukuman tapi tak seharusnya
dihukum mati. Ah, mengapa perlu jeri terhadap setan cebol
ini!" Dengan kesimpulan itu, si Dewa Tertawa menjemput surat
dari sisi tubuh Siau Hong, lalu dibacanya:
Dihaturkan kepada yth., Goan Goan Totiang di biara Siang Ceng Kiong
Dengan hormat, Lama nian aku mengagumi kebesaran nama totiang dan
kediaman totiang di gunung Mosan yang terkenal keindahan
alamnya. Sayang sang waktu belum mengizinkan.
Ada suatu hal yang perlu kumohon perhatian dari totiang.
Pada musim semi yang lalu ketika siao-li (anak perempuanku)
Shin-tok Lan berkelana di dunia persilatan, secara tak terduga
telah berkenalan dengan murid totiang yang bernama Siau
Hong. Lekas sekali keduanya makin erat hubungannya, saling
membantu saling tukar menukar ilmu silat. Tapi ternyata Siau
Hong itu berhati culas. Menggunai kesempatan yang tak
terduga, dia telah berani berbuat sesuatu yang hina, sehingga
kesucian siao-li tercemar. Ini suatu perbuatan zinah yang
membangkitkan kemarahan umum.
Demi menjaga nama baik perguruan totiang, maka telah
kukirim seorang anak murid untuk menghukum siao-li. Dalam
pada itu, mengingat totiang seorang ulama yang memegang
teguh kesucian dan peraturan perguruan, maka dengan ini
mengharap dengan hormat agar menjatuhkan hukuman
kepada Siau Hong. Kubersedia menantikan kabar baik totiang dalam waktu tiga
bulan. Apabila belum menerima kabar apa-apa, maaf, aku
terpaksa akan membikin kunjungan pribadi kepada totiang,
untuk mohon keadilan. Sekian terhiring doa selamat dan hormat.
Pemilik gubuk Kiam-jui-suan dari lembah Liu-hun-kiap
gunung Tiam-jong-san. Waktu membaca jantung Bok Tong serasa mendebur keras
bahna saking kejutnya. Akhirnya dia menghela napas longgar.
Surat disimpan ke dalam baju, lalu katanya: "Kukira sebuah
bukti apa, sehingga telah menggoncangkan seorang datuk
persilatan seperti Goan Goan totiang yang dengan tak
menghiraukan jarak ribuan telah perlukan datang ke biara tua
sini untuk mengadakan persidangan. Ay-kui, kecuali surat ini,
apakah masih ada bukti lain?"
"It-ceng, ji-to, sam-siancu, Giok-hou, Song-sat, Siau-sianong''.
Demikian orang persilatan menggelari nama dari ke
sepuluh Datuk itu. Artinya ialah: seorang paderi, dua orang
tojin (imam), tiga dewa, si Rase Kumala, sepasang iblis dan si
Dewa Tertawa. Goan Goan totiang yang digolongkan dari ji-to (2 orang
tojin) itu, tampak membesi wajahnya demi ditertawai oleh si
Dewa Tertawa. "Apakah surat itu belum cukup menjadi bukti?" serunya
dengan nada berat. Tertawa si Dewa Tertawa atau Siau-sian-ong: "Fui!
Kecewalah kau seorang setan pendek yang tak kenal malu.
Siapakah yang mengatakan kau seorang alim ulama yang taat
bersembahyang dan tak pernah limbung pikiranmu" Tidakkah
kau pernah melihat seekor babi berjalan" Walaupun tak
pernah berhubungan dengan setan tua she Shin-tok itu,
sedikitnya kau mempunyai telinga untuk sekurang-kurangnya
mendengar juga akan wataknya yang serba sederhana, aneh
dan tenang sabar. Tidak seperti dirimu, seorang yang mudah
marah-marah. Kecewa kiranya kau hidup sampai sekian tua,
tapi ternyata mudah percaya akan sebuah surat palsu
sehingga mengorbankan seorang murid. Sudah begitu, kau
masih berani jual lagak mau memarahi orang. Huh, kalau
malam ini kau tak memberi keadilan padaku, jangan harap
dapat keluar dari biara rusak ini!"
Mendengar itu bukan kepalang kejut Goan Goan totiang.
Tersipu-sipu dia menegas: "Bok loji, benarkah ucapanmu itu?"
"Masakan lohu sudi membohongimu!" sahut Bok Tong.
"Kalau begitu, coba kau terangkan ciri-ciri kepalsuan surat
itu!" Si Dewa Tertawa sejenak sapukan matanya ke arah Goan
Goan totiang, kemudian dengan wajah keren dia berkata:
"Ketahuilah, sepanjang hidupnya Shin-tok si lokoay itu,
seorang pemuja seni keindahan. Dia seorang ahli penyair, ahli
musik, main catur, menulis dan melukis. Dalam bidang-bidang
kesenian itu, dia mahir semuanya. Baik ilmu sastera dan ilmu
silat, dia seorang gene (bakat) yang cemerlang.
Pengetahuannya amat luas, otaknya sangat tajam. Oleh
karena itulah maka kaum persilatan menggelarinya dengan
julukan Giok-hou (Rase Kumala). Sebuah julukan yang
mengunjukkan kekaguman dan pemujaan. Berpuluh tahun
lamanya dia begitu gandrung dengan gelaran itu. Baik menulis
surat maupun meninggalkan alamat nama dimanapun, selalu
dia memberi sebuah simbol yang berupa lukisan seekor rase
terbang berwarna putih perak."
"Tapi coba kauperiksa surat tadi. Disitu hanya dibubuhi tiga
buah huruf nama Shin-tok Kek. Ini berlawanan dengan
kebiasaannya. Demikian alasanku yang pertama. Dan yang
kedua kalinya. Selama menulis, Shin-tok lokoay tentu
menggunakan huruf bentuk aliran ahala Song, kurus namun
kuat. Tetapi huruf-huruf dalam surat ini, menggunakan bentuk
aliran ahala Gui. Benar guratannya cukup gagah, tapi yang
terang, bukanlah buah tangan si lokoay she Shin-tok itu."
"Pribadi lokoay itu dingin, tinggi hati. Angkuhnya bukan
kepalang. Kalau benar Siau Hong gunakan tipu muslihat
mencemarkan anak gadisnya yang tunggal itu, masakan dia
begitu sungkan mau memberi tempo tiga bulan padamu"
Mungkin siang-siang Siang Ceng Kiong sudah akan ludas
sampai ayam dan anjingnya semua. Inilah alasan yang
ketiga." "Nah, dengan tiga faktor itu, cukuplah membuktikan surat
itu palsu adanya. Disamping itu, seorang jumawa macam si
lokoay Shin-tok, ternyata penuju kepada murid kesayanganmu
itu. Terhadap pribadi dan ilmu silat Siau Hong, dia memberi
pujian tinggi dan menilainya sebagai seorang tunas muda
yang berbakat. Tiga bulan yang lalu, dia memberi restu
puterinya diperisteri Siau Hong, Sebuah mainan kumala milik
Siau Hong, diambilnya selaku panjar pertunangan, kemudian
disuruhnya kedua calon pasangan itu menuju ke Mosan guna
meminta persetujuanmu. Turut keterangan si Lan, dua kali
Siau Hong pulang ke Mosan, tapi tak berhasil menemuimu
karena kau sedang keluar pintu. Jadi tak dapatlah dia
memberi laporan kepadamu."
"Duapuluh hari yang lalu, secara kebetulan dari mulut
seorang penjahat aku memperoleh keterangan, bahwa ada
seseorang hendak mencelakai kedua anak muda itu secara
menggelap. Walaupun lika-likunya belum jelas, tapi pertama,
budak perempuan itu adalah anak pungutku, kedua, memang
aku si tua bangka ini suka usilan mengurus perkara. Maka
akupun tak segan-segan lagi mencari mereka. Tiga hari
kemudian, baru kujumpai mereka diperbatasan Kansu. Tapi
kala itu karena menerima lencana Ceng-hu-leng, Siau Hong
sudah bergegas menuju ke Hoasan sini. Mendengar itu,
segera kuajak si Lan menyusul. Tapi cialat ....... ternyata
sudah terlambatlah. Kaulah seorang setan cebol yang
senantiasa menuruti nafsu sendiri, sehingga menghancurkan
sebuah mahligai perjodohhan yang bahagia!"
Bok Tong mengakhiri penuturan dan dampratannya itu
dengan sebuah helaan napas panjang ...... Goan Goan Cu
tegak membisu, rupanya sang nurani berkabut sesal. Namun
wataknya yang keras itu, melarang mulutnya mengakui
kesalahannya. Dengan wajah muram, dia mondar-mandir
sembari tundukkan kepala. Sejenak kemudian .........
Tiba-tiba dilihatnya Siau-sian-ong Bok Tong yang berdiri di
pinggir itu, memandangnya dengan senyum sinis, seolah-olah
mengejeknya. Seketika bangkitlah hawa amarahnya!
"Bok loji, taruh kata apa yang kau beberkan tadi benar
semuanya, tapi masih hendak kutanya padamu, apakah
mereka berdua itu, seperti apa yang dikatakan surat itu, sudah
melakukan perbuatan yang terlarang?" serentak dia ajukan
pertanyaan. Suatu pertanyaan yang membuat si Dewa
Tertawa pusing tujuh keliling.
"Ah, bagaimana harus kujawab pertanyaan itu," dia
mengeluh dalam hati. Tanpa terasa, dia melirik ke arah Shintok
Lan, lalu menundukkan kepala.
"Bok loji, kiranya kau tak dapat menjawab hal itu!" Goan
Goan Cu tertawa dingin. Seketika wajah seperti bulan purnama dari Dewa Tertawa
itu, merah padam. Tiba-tiba dia mendongak dan tertawa
keras. Serunya: "Ay-kui, kalau kau mengira aku bungkam
dalam seribu bahasa, itu salah besar. Seorang anak muda
yang sudah mendapat izin pernikahan dari orang tuanya,
mungkin ada kalanya tak dapat mengendalikan diri. Tapi hal
itu hanyalah soal formalitas (peresmian) belaka, sekali-kali tak
dapat dikatakan melanggar susila, lebih tak dapat dituduh
berzinah pula. Apalagi mereka tidak ..........."
"Bagaimana kauyakin kalau tidak" Hem, dengan mengingat
pertunangan tanpa meminta persetujuan pihak guru, dalam
perguruan kami sudah berarti dosa. Kalau bukan kawanan tua
bangka yang enggan mati seperti kamu yang berdiri di
belakangnya, dia tentu tak sebesar itu nyalinya!"
Goan Goan berhenti sejenak, lalu menyambungnya lagi:
"Bok loji, kau telah mencampuri urusan dalam Siang Ceng
Kiong, apa katamu selanyutnya?"
Amarah Goan Goan makin membara, nadanya makin keras.
Mukanya yang kurus berobah-robah wamanya. Kuning
menjadi putih, lalu kereng gelap.
Diam-diam Bok Tong mengeluh. Melihat naga-naganya,
sukarlah urusan malam ini diselesaikan secara damai. Tapi
diapun seorang jago tua yang masih suka turuti hawa nafsu.
Sekalipun suasana menjadi genting, namun sedapat mungkin
dia tetap berlaku tenang.
Menatap ke arah wajah Goan Goan Cu, dia tertawa
mengikik: "Ay-kui, untuk minta aku membayar keadilan,
mudah sekali. Kecuali terhadap diri Siau Hong calon anak
menantuku yang gagal itu, akupun berhak mencampuri urusan
orang-orang yang suka jual kejumawaan."
Bahwa setelah sadar dirinya tertipu surat kaleng sehingga
keliru membunuh murid kesayangannya, Goan Goan Cu sudah
penuh sesal. Kini tambahan lagi didamprat dengan tertawa
oleh si Dewa Tertawa, darahnya naik. Untuk ejekan yang
terakhir dari Bok Tong itu, tak dapat dia kendalikan diri.
---ooo0dw0ooo--- 2. Pertempuran Dua Datuk Persilatan
"Bok loji, kau keliwat menghina!" bentaknya dengan
menggerung. "Wut," dia jotos dada Bok Tong.
Tahu karena malu orang lantas marah-marah, si Dewa
Tertawa gerakan tangan menangkis, seraya berseru setengah
mengejek: "Bagus!"
Begitu angin pukulan lawan hampir mengenai tubuh, Bok
Tong angkat kaki kirinya ke atas. Dengan berdiri pada kakinya
kanan, dia berputar-putar macam daun teratai tertiup angin.
Secepat pukulan orang lalu di sisinya, dia kibaskan lengan
baju kiri dalam gerak hun-hoa-hud-liu (bunga berhamburan,
batang liu bergoyang). Cepat laksana kilat, dia sambar jalan
darah meh-bun-hiat lawan.
Sebelum Goan Goan Cu sempat merobah serangannya,
laksana burung elang menyambar anak ayam, tangan kanan
merangkul pinggang Shin-tok Lan. Sekali tubuh bergerak,
Dewa Tertawa itu sudah menerbangkan anak dara itu keluar
ruangan. Shin-tok Lan ternyata sudah seperti patung tanpa jiwa. Ia
tak tahu sama sekali akan kegentingan kedua tokoh datuk itu.
"Ah, cinta itu memang dapat membutakan orang."
Demikian pikir Bok Tong. Ditepuknya pelahan-lahan bahu nona itu, katanya "Lan,
setan kate itu sukar dihadapi. Kuatkanlah semangatmu dan
bersembunyi di belakang, agar jangan sampai kesasar
terluka!" Dengan berlinang-linang air mata, Shin-tok Lan mengawasi
si Dewa Tertawa sembari mengangguk-angguk. Tapi entah dia
mendengar tidak kata-kata Bok Tong itu.
Saat itu Goan Goan Cu sudah mengejar keluar. Wajahnya
membesi, rambut janggutnya menjulai tegak, pertanda
kemarahannya yang meluap-luap. Berdiri di atas tangga
ruangan, dia menatap Bok Tong dan tertawa dingin beberapa
kali. "Bok loji, kau kira dapat melarikan diri, hem, tidaklah
semudah itu?" Siau-sian-ong tertawa gelak-gelak, sahutnya: "seumur
hidup, lohu tak dapat menulis kata-kata "lari". Mari, marilah,
ruangan dalam amat sempit, lohu akan menemanimu
bermain-main disini, agar kau si setan kate ini dapat mati
dengan meram." Tanpa menyahut, Goan Goan Cu melambung setombak
tingginya, dua buah lengan dipentang ke atas, dalam gerak
kim-tiau-can-ki (burung alap-alap pentang sayap), dia
menyerang ke bawah. Serangkum angin keras, menyerbu atas
kepala Bok Tong. Kuatir kalau Shin-tok Lan terluka, buru-buru dia dorong
nona itu mundur, kemudian dengan gerak oh-gan-kiau-hun
atau rebah melihat awan, setengah mendongak ke atas, dia
miringkan tubuhnya ke samping. Sebuah jurus yang indah,
dan lihay, hingga dengan mudahnya serangan Goan Goan Cu
tadi dapat dielakkan. Dua kali serangannya dapat dihindari, marah Goan Goan Cu
meluap-luap. Begitu turun ke bumi, sepasang lengan
dijulurkan lurus ke muka dalam jurus keng-thau-liat-an
(ombak dahsyat mendampar tepi). Angin yang mengandung
tenaga macam barisan gunung rubuh ke laut, menyambar ke
arah Siau-sian-ong. Dewa Tertawa ini tetap berseri wajahnya. Kaki kiri agak
dilintang dalam kuda-kuda to-jay-chit-sing-poh, lengan baju
dikibaskan terbalik, dua buah tangannya gemuk kemerahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merahan, didorongkan ke muka dada. Nyata dia hendak
menyambut kekerasan dengan kekerasan juga.
Keduanya adalah dua datuk dari zaman itu. Mereka samasama
tergolong dalam sepuluh Datuk. Jadi bagaimana
kesaktian mereka, kiranya tak perlu komentar panjang lebar
lagi. Cukuplah dikatakan hebat, dahsyat, menggemparkan!
Sewaktu rumput-rumput yang kena terbabat sambaran
angin pukulan mereka itu sama berhamburan terbang
kemana-mana, dua-duanya ternyata sama mundur dua
langkah. Si Dewa Tertawa wajahnya memerah darah, rambut
kepalanya yang sudah putih, sama menjingkrak.
Sedang wajah Goan Goan Cu berwarna kelabu besi,
sikapnya keren sekali. Mereka berdua terpisah dua tombak,
tegak membisu saling berpandangan. Dua-duanya sama
menginsyafi, bahwa lawannya ternyata memang tak bernama
kosong. . Sejenak kemudian, tiba-tiba Siau-sian-ong tertawa keras,
serunya: "Ay-kui, kalau belum menguji kepandaian tentu
belum ada penyelesaian. Nah, kaupun harus menerima
pukulan satu kali!" Mulut berkata, tangan menghantam. Serangkum angin
panas segera menyerang Goan Goan Cu.
Tojin inipun tak mau unjuk kelemahan. Kaki kiri agak
mundur setengah langkah, kedua tangan dibalikkan ke muka
untuk mengadu kekerasan. Kembali terdengar suara tamparan
yang dahsyat. Kedua bahu Siau-sian-ong bergoyang-goyang, tubuhnya
menyurut ke belakang sampai dua langkah.
Sedangkan Goan Goan Cu, ternyata tersurut sampai tiga
langkah. Dalam suatu pertandingan para tokoh ternama, terpaut
seinci dua saja, sudah dapat diketahui menang kalahnya. Jadi
menurut ukuran, Goan Goan Cu harus mengaku kalah unggul.
Saat itu wajahnya yang kurus tirus, menjadi merah padam.
Sepasang matanya memancarkan sinar api. Sekonyongkonyong
tojin ini menggerung keras. Melangkah maju,
sepasang tangan dipecah, dengan gerak song-yang-hing-chiu
(sepasang matahari memencar tangan), dia merangsang jalan
darah ki-bun-hiat Bok Tong.
Walaupun sudah unggul, namun Bok Tong cukup
menginsyafi bahwa serangan Goan Goan Cu yang dilancarkan
dengan penuh kemarahan itu, hebatnya bukan kepalang.
Serangan kalap yang dilakukan oleh seorang tokoh dari
sepuluh Datuk, dapat dibayangkan kedahsyatannya. Diapun
tak berani lengah. Begitu tubuh setengah diputar ke belakang,
lebih dahulu dia kirim dorongan tangan kiri ke arah Shin-tok
Lan. Begitu nona itu terdorong mundur sampai dua tombak
lebih, baru dia berjumpalitan mundur untuk menghindari
serangan lawan. Goan Goan Cu tertawa dingin. Bagaikan bayangan dia
membayangi maju. "Mau lari kemana kau!" bentaknya dengan keren. Tangan
kanan dihantamkan ke muka, sambaran anginnya dibuat
mencegat Bok Tong yang hendak lari mundur. Dalam pada itu,
tangan kiri digerakkan dalam jurus oh-liong-tham-cu (naga
hitam merebut mustika), mencengkeram jalan darah yu-kianhiat.
Terperanjat juga Bok Tong melihat gaya serangan Goan
Goan Cu yang sedemikian dahsyatnya itu. Kalau tak berusaha,
tentu dia akan mati berdiri. Secepat otaknya bekerja, tiba-tiba
dia berhenti tegak. Dengan begitu dapatlah secara indah dan
mengagumkan, dia biarkan rangsangan lawan lewat di sisi
bahunya. Bagi tokoh persilatan kelas berat, menang kalahnya
bertanding, hanya berlangsung dalam beberapa detik saja.
Cara menghindar dari Siau-sian-ong Bok Tong itu, luar biasa
berbahayanya. Serambut saja dia kurang tepat bergerak kalau
tak binasa tentu akan terluka berat. Benar-benar ajaib dan
mengherankan, sehingga seorang tokoh Goan Goan Cu
sampai terkesiap dibuatnya.
Adalah diwaktu lawan tertegun, bukannya mundur
sebaliknya si Dewa Tertawa malah maju. kedua lengan
disorongkan ke muka, jari dan kepalan digunakan menyerang.
Sekali gus dia lancarkan tiga buah serangan.
Dirangsang secara begitu, Goan Goan Cu terpaksa mundur
dua langkah. Mendapat hati, Bok Tong tak mau sia-siakan kesempatan,
cepat dia gunakan ilmu simpanannya tun-yang-cap-pwe-ciap
(delapanbelas buah pembuka hawa yang murni) untuk
memburu Goan Goan Cu. Goan Goan Cu pun segera gunakan ilmunya yang sudah
termasyhur di kolong persilatan yakni sam-im-coat-hu-ciang,
untuk menghadapi lawan. Sam-im-coat-hu-ciang artinya ilmu
pukulan "tiga pukulan hawa negatif pemusna". Keduanya
sama meyakinkan ilmunya selama berpuluh tahun. Tun-yangcap-
pwe-ciap, sifatnya keras macam hawa positif. Sedang
sam-im-coat-hu-ciang berkadar lunak lemas macam kapas.
Dua-duanya dapat menguasai permainannya sedemikian
rupa, hingga seolah-olah orang dan gerakannya menunggal
jadi satu. Yang tampak hanya berkelebat bayangan kelabu
dan kuning dengan sebentar-sebentar kedengaran suara
tamparan keras yang memecah telinga. Setiap gerak, setiap
jurus, mengandung angin hawa kong-gi. Ruangan depan yang
sekian besamya itu, seolah-olah dilingkungi oleh sambaran
angin pukulan mereka. Dalam biara tua di atas pegunungan Hoa-san yang sunyi
senyap itu, terjadi pertempuran dahsyat yang jarang terjadi di
dunia persilatan. Dalam sesingkat waktu saja, pertempuran itu
sudah berlangsung lebih dari seratus jurus.
Selagi kedua datuk itu bertempur mati-matian saling
keluarkan keyakinannya selama berpuluh tahun itu,
sekonyong-konyong terdengar tembok rubuh yang gempar.
Api muncrat, disusul dengan sebuah jeritan yang
menyeramkan. Kedua tokoh yang sedang bertempur itu kaget tak terkira.
Tanpa ajak-ajakan, mereka sama loncat keluar jendela:
Ternyata mereka dapatkan bahwa ruangan dalam tempat
Goan Goan Cu mengadili muridnya tadi, karena temboknya
sudah banyak yang pecah, tak kuat menahan deru sambaran
angin yang terbit dari hantaman kedua tokoh itu. Ruangan itu
kini ambruk seluruhnya, dan mayat Siau Hong pun teruruk di
bawahnya. Jeritan seram tadi, keluar dari mulut Shin-tok Lan.
Saat itu Shin-tok Lan laksana seorang gila, tangisnya
mengiang-ngiang "engkoh Hong, engkoh Hong". Luapan
hatinya yang hancur berkeping-keping, membuat tubuhnya
gemetar terhuyung-huyung. Tanpa menghiraukan segala apa,
nona yang bemasib malang itu segera lari menuju
ketumpukan puing, lalu jatuhkan diri, menelungkupi dan
menangis tersedu-sedan. Suasana yang penuh hawa pembunuhan tadi, seketika sirap
berganti dengan suasana sayu yang merawankan. Tiada tahan
lagi si Dewa Tertawa menahan haru napasnya.
"Mengapa nasib yang menyedihkan, menimpa diri nona
yang baik itu" Mana ia dapat menahan kedukaan yang
sehebat itu, ah, lohu tak boleh membawa kemauan sendiri!"
pikirnya. Kuatir Shin-tok Lan akan menderita goncangan bathin yang
hebat, maka Bok Tong segera loncat menghampiri. Masih
terpisah beberapa meter jauhnya, dia gerakkan jarinya
menusuk. Tenaga tusukan dari jauh itu, cukup membuat si
nona rubuh. Setelah itu Siau-sian-ong berputar tubuh menghadap ke
arah Goan Goan Cu, serunya: "Ay-kui, rupanya perhitungan
malam ini belum dapat dibereskan. Si Lan menanggung derita
hebat, agar jangan melukai hawa murninya, perlulah harus
lekas-lekas ditolong. Dalam hal ini karena aku si tua bangka
sudah campur tangan, jadi tentu akan bertanggung jawab
penuh. Tentang soal apakah kesalahan Siau Hong layak
mendapat hukuman sekejam itu, dan siapakah yang mengirim
surat fitnah berdarah itu, kelak aku tentu menyelidiki sampai
terang. Dengan begitu kiranya tentu dapat membuat seorang
setan kate seperti kau ini akan mengakui ketololanmu.
Matahari tetap akan bersinar, kalau kita berdua tua bangka ini
masih sama hidup, lohu tentu akan mengunyungi Siang Ceng
Kiong untuk membereskan semua persoalan ini!"
Tanpa menunggu jawaban Goan Goan Cu, tubuh Shin-tok
Lan dikepitnya. Sekali bergerak tubuh orang tua gemuk itu
sudah melambung dua tombak tingginya, disitu dia
berputaran, lalu bagaikan seekor burung garuda terbang, dia
sudah melayang keluar dari biara rusak itu. Suara tertawa
keras macam naga mengaum, terdengar dari arah luar, makin
lama makin jauh dan pada lain saat sirap lenyap.
Kini yang tertinggal hanya si tojin pendek Goan Goan Cu.
Ditabur oleh angin malam nan dingin, matanya terpaku
memandang ke arah tumpukan puing yang menguruk jenazah
Siau Hong. Pikiran melayang, hati berkabut sesal ..........
Dinihari di awal musim panas. Bulan dan bintang di
cakrawala mulai menjuram. Barisan gunung yang merupakan
tapal batas antara propinsi Siamsay selatan - Kansu - Suchan,
mulai menampilkan puncak-puncaknya dari selimut awan
malam. Awan yang beterbaran itu, dihias dengan latar
belakang langit yang berwarna keperak-perakan, membuat
pemandangan alam pegunungan dikala menjelang pagi itu,
sebuah panorama yang indah menyengsamkan.
Permukaan puncaknya yang mulai menghijau, bergariskan
saluran-saluran air dan bertaburkan karang-karang yang
beraneka bentuknya. Hari makin terang, fajar mulai
menyingsing. Di dataran luas pada sebuah puncak yang
menjulang tinggi, tampak ada seorang anak lelaki berumur
tigabelas-empatbelas tahun, sedang bergerak kian kemari.
Rupanya dia tengah berlatih suatu ilmu silat yang tinggi.
Jejaka tanggung itu berwajah putih, gigi rata bertutupkan
sepasang bibir yang merah segar. Menurut ukuran, dia
tergolong seorang pemuda yang cakap. Hanya sayang ada
cirinya sedikit, yakni sepasang alisnya yang tebal jengat itu,
memancarkan hawa pembunuhan.
Setelah sekian lama berputar-putar, dia berhenti merenung,
sebentar mengerut, sebentar berseri girang. Seolah-olah
pelajarannya itu amat tinggi dan sulit, hingga dia harus peras
otak memecahkannya. Pada lain saat, sekonyong-konyong dia
bergerak lagi, kali ini bahkan lebih cepat dari tadi. Yang
kelihatan hanyalah sesosok bayangan warna hijau berputarputar
mengelilingi tanah seluas dua tombak.
Berbareng itu, wajahnyapun berseri kegirang-girangan.
Kiranya sudah berhari-hari dan bermalam-malam dia putar
otak memecahkan pelajaran itu, namun belum dapat
menyingkap rahasia dari gerakan ajaib itu. Bahwa pada saat
itu, akhirnya dapat juga dia menembus tabir rahasia itu, sudah
tentu dia girang setengah mati.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang ketawa.
Cepat si pemuda kecil itu hentikan gerakannya dan berpaling
ke belakang. Pada dahan sebuah pohon sepuluhan tombak
jauhnya, berbaring seorang tua bertubuh gemuk pendek,
wajah merah rambut putih menguban. Orang tua itu
mengulum senyum, mengangguk-angguk kepada pemuda
kecil itu. Rupanya dia memuji hasil anak itu.
Melihat orang tua itu berlaku begitu, merahlah muka si
anak. Serentak mulutnya berteriak: "Yah, kau ......." dan secepat
itu dia sudah loncat ke tempat si orang tua.
Pak tua gemuk mendongak tertawa terkial-kial. Desis
anginnya sampai merontokkan daun-daun di sekitarnya,
burung-burung sama terkejut beterbangan. Sesaat kemudian
tiba-tiba lengan baju orang tua itu dikebutkan dan
"terbanglah" dia ke arah pohon lain. Caranya dia bergerak, tak
ubah seperti seekor burung.
"Yah, kau mau lari" Akan kukejar sampai dapat!" seru si
jejaka tanggung sembari ayun tubuh loncat ke dahan tempat
si orang tua tidur tadi. Dari itu, dengan gunakan gerak it-hojong-
thian atau burung bangau menobros langit, dia
melambung sampai tiga tombak lalu melayang turun di
tengah-tengah rimba itu. Suatu loncat indah yang
mengagumkan dan jatuhnyapun tak mengeluarkan suara
sedikitpun juga. Kini keduanya saling kejar, menyusup rimba pohon yang
lebat, daun dan dahan yang malang melintang, ada kalanya
loncat naik ada kalanya melayang turun, kejar mengejar matimatian.
Sampai sepenanak nasi lamanya, sekalipun sudah
tumplek seluruh kepandaiannya namun anak itu tetap tak
dapat mencandak. Jarak mereka senantiasa tetap pada tigaempat
langkah. Selagi anak itu gemas-gemas bingung, tiba-tiba dilihatnya
gerakan pak tua itu agak diperlambat. Wah, girangnya bukan
kepalang. Sekali tancap gas, dia loncat berlari dan "plak",
dipeluknyalah erat-erat pinggang pak tua gemuk itu.
"Yah, aku dapat menangkapmu!" serunya.
Tapi di luar dugaan, ketika tangan anak itu hampir dapat
memeluk pinggang, tiba-tiba semak-semak daun yang diinjak
kaki pak tua itu, entah apa sebabnya, merekah sendiri dan
meluncurlah tubuhnya ke bawah. Kembali anak itu menangkap
angin! Masih anak itu tak terima. Dilihatnya "lubang" pada
semak daun yang diterbitkan oleh semburan napas pak tua
tadi, masih belum menutup. "Wut", loncatlah anak itu ke
bawah menyusulnya! Jatuh ke dalam hutan, dilihatnya sekeliling itu sunyi senyap.
Bayangan si pak tua, seolah-olah ditelan hilang. Mau tak mau,
anak itu kewalahan juga. "Yah, yah, kau berada dimana" Aku tak mengejarmu
lagilah!" Baru seruan itu dicanangkan, tiba-tiba terdengar suara
tertawa mengekeh dari seorang tua: "Buyung, ayahmu kan di
sini!" Menurut arah suara itu, astaga, kiranya pak tua itu berdiri
di sebelah luar hutan dan tengah bersenyum melambaikan
tangan. Bagai anak kijang menyongsong induknya, sekali dua
berloncat, anak itu memburu keluar dan jatuhkan diri ke
dalam pelukan si pak tua.
Dengan mesranya pak tua itu memeluk si bocah. Dilihatnya
baju hijau anak itu banyak yang robek berlubang kecantol
ranting.

Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebuah baju utuh, kau bikin berlubang seribu ya!" ujarnya.
Anak itu kusap-kusapkan kepalanya ke dada pak tua.
Dengan malu dan aleman dia menyahut: "Biarlah, siapa suruh
ayah mencuri lihat aku berlatih tadi. Nah, ayah ku denda
mengganti sebuah baju baru dan mendongengkan sebuah
cerita!" "Ini kan namanya dunia terbalik. Belum lagi
kumenghukummu, kau sudah mendenda ayah!" damprat pak
tua sembari tertawa. Si anak menarik baju ayahnya, sikapnya amat manja sekali.
Pak tua hanya ganda tertawa, serunya: "Sudah begini besar,
masih aleman, ai, semua-semuanya adalah salahku sendiri
terlalu memanjakanmu!'' Mendengar itu si anak terus angkat kepala yang disusupkan
dalam dada pak tua tadi, serunya dengan girang: "Kalau
begitu ayah harus dihukum. Siapa suruh kau memanjakan
sampai merusak diriku ini?"
Dibantah begitu, pak tua makin mengikik tertawa.
"Setan cilik seperti kau ini memang tajam benar lidahmu,
sampai yang menjadi bapak tak menang berbantah!"
"Jadi kau meluluskan bukan" Mengganti baju baru dan
bercerita!" seru si anak sambil tertawa riang.
"Ya, ayah meluluskan!"
Si bocah bertepuk tangan, serunya menegas: "Apa
sungguh, tidak bohong?"
"Selamanya belum pernah ayah membohongi kau. Tapi,
tahukah kau apa sebabnya hari ini ayah begini gembira?"
Pemuda kecil itu menggeleng.
"Ayah gembira karena melihat kau memperoleh kemajuan
pesat itu," menerangkan pak tua sembari tertawa, "ketahuilah,
apa yang kuajarkan padamu sepuluh hari yang lalu itu ialah
ilmu 'ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh', sebuah ilmu sakti
yang lama lenyap dari dunia persilatan. Memang tampaknya
sederhana sekali, tetapi apabila sudah diyakinkan mendalam,
keindahannya sukar dijajaki, perobahannya tiada batasnya.
Kalau sudah dapat mempelajari inti rahasianya, sekalipun
bertanding dengan jago lihay, tetap takkan sampai kalah.
Apalagi kalau dapat mengimbangkan gerakan itu dengan
permainan pukulan dan pedang, tentu akan lebih dahsyat lagi.
Benar-benar tak kusangka, dalam waktu sesingkat itu,
ternyata kau dapat menyingkap tabir rahasia ilmu itu. Ini
menandakan kau seorang anak yang berbakat dan cerdas
.........." Tiba-tiba nada pak tua berobah sungguh-sungguh, katanya
pula: "Ih-ji, ingatlah, memang hal yang menggembirakan
bahwa seseorang itu memiliki kecerdasan cemerlang, tapi
kalau kemauannya tak keras, pun tentu mudah menyeleweng
dan kesasar kelumpur kejahatan. Dengan begitu, kecerdasan
itu bahkan akan menjadi alat pendorong untuk
menjerumuskan kau ke dalam jurang kemusnaan. Mengertikah
kau akan maksud ucapanku ini?"
Pemuda kecil yang dipanggil Ih-ji itu terkesiap. Wajahnya
yang berseri girang tadi, berobah keren seketika.
"Yah, aku mengerti. Tapi kuminta kau legakan hatimu,
kelak tentu Ih-ji takkan mengecewakan harapanmu!" sahutnya
dengan lantang. "Bagus, sepatah katamu itu, cukup menggembirakan hatiku
selama beberapa hari ini," kata pak tua dengan tertawa.
Memang boleh dikata, pak tua gemuk itu selalu tak pernah
lupa untuk tertawa. Dalam pada bercakap-cakap itu, mereka berdua sudah
mengitari hutan dan berjalan menuju kesebuah rumah kayu.
Rumah itu seluruhnya terbuat dari bahan kayu. Sekalipun
sederhana dan kasar, namun cukup kuat dan bersih.
Tiba di muka rumah, pak tua hentikan langkahnya.
Mengawasi kepada anaknya, berkatalah dia: "Sebelum
kubercerita nanti, lebih dahulu aku hendak mengujimu, berapa
jauhkah kemajuanmu dalam ilmu lwekang. Kalau hasilnya
memuaskan hatiku, nanti ayah akan menuturkan sebuah
cerita menurut permintaanmu!"
"Yah, aku ingin mendengar cerita dalam dunia persilatan
yang paling menarik sendiri," kata Ih-ji.
Pak tua mengiakan: "Baik, kululuskan. Nah, sekarang
gunakanlah kian-gun-sin-kang, tangan kiri memukul dengan
tenaga lunak dan tangan kanan menghantam dengan tenaga
keras. Yang harus kau pukul ialah batu besar yang terpisah
sepuluh langkah dari sini itu!"
Ih-ji menghampiri batu dan berhenti pada jarak sepuluh
langkah. Sejenak mengerahkan semangatnya, tangannya yang
kiri segera memukul pelahan-lahan, kemudian tangan kanan
dibalikkan mendatar ke muka dada dan "wut",
menghantamlah dia sekuat-kuatnya. Hasilnya, sebelah kiri
batu itu "dicap" sebuah telapak tangan sementara beberapa
tonjolan di sebelah kanan batu itu, hancur lebur beterbangan.
Pak tua tersenyum dan angguk-anggukkan kepalanya.
"Benar tenaga pukulan itu masih belum sempurna, tapi
tujuh bagian sudah berhasil. Mengingat baru dalam beberapa
tahun saja mempelajari, hasil yang kau capai itu sudah
bolehlah. Nah, kau lulus ' dalam ujian kali ini, sekarang aku
hendak bercerita!" Saking girangnya, Ih-ji sampai lompat berjingkrak-jingkrak
seperti anak kecil. Cepat-cepat dia lari ke muka jendela.
Sebuah papan batu, diangkatnya untuk duduk pak tua, sedang
dia sendiri mandah duduk di tanah menelungkupi haribaan
(pangkuan) ayahnya itu, Sepasang matanya yang besar dan
bercahaya, menatap kewajah pak tua.
Melihat wajah yang cakap dan sikap wajar kekanak-anakan
itu, makin besar rasa sayang pak tua itu kepada sang putera.
Dengan mesranya dibelai-belai rambut anak itu. Kemudian
mulailah dia bercerita. "Berpuluh tahun yang lampau, semua perguruan dan partai
dunia persilatan, rukun dan damai. Masing-masing ayem
tenteram tinggal di tempatnya untuk meyakinkan ilmu
silatnya. Pada suatu ketika, diadakanlah pertemuan besar
dalam kalangan mereka. Benar dalam pertemuan itu dapat
lebih mengeratkan persahabatan dan berlangsung dengan
ramah tamah, tapi tak urung disitu timbullah suatu urusan
kecil yang tak menyenangkan. Tapi karena urusan itu sepele
saja, jadi ibarat suatu alun kecil beriak dalam samudera besar,
sebentar saja siraplah sudah.
Demikian sampai berpuluh tahun, dunia persilatan aman
tenteram. Kala itu, di samping beberapa partai besar seperti
Go-bi-pay, Siao-lim-pay, Kun-lun-Pay dan Kong-tong-pay serta
Bu-tong-pay, masih ada lagi sepuluh orang sakti yang aneh
tabiatnya. Bukan hanya dalam perangai saja kesepuluh tokoh
itu aneh, pun dalam ilmu silat, mereka amat sakti dan masingmasing
mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Kesaktian
kesepuluh tokoh itu, konon katanya di atas dari pemimpinpemimpin
partai besar itu ............"
Ih-ji menyelutuk: "Yah, siapakah kesepuluh tokoh aneh
itu?" Melihat nafsu ingin buru-buru tahu dari anak itu, tertawalah
pak. tua itu, dampratnya: "Kunjuk kecil, jangan keburu nafsu,
masakan ayah tak mau menceritakan padamu nanti!"
"Yah, lekas katakanlah!" seru Ih-ji. Pak tua mengangguk.
"Kesepuluh tokoh aneh itu ialah seorang paderi, dua tosu
tua, tiga saudara perawan tua, sepasang suami isteri, seorang
pelajar, dan seorang tua sebatang kara," katanya pula.
"Mereka ialah Beng Keng Siangjin dari gunung Thian-boksan
timur, Kho Goan-thong dari biara Li Cu Kiong di pulau
Peng-to laut Tang-hay; Goan Goan Cinjin dari biara Siang
Ceng Kiong di gunung Mosan; Tiga taci beradik dari biara Peh
Hoa Kiong di gunung Lou-hu-san, suami isteri Li Hau bergelar
Sat-sin-kun dari lembah Ceng-lin-ko, Shin-tok Kek, gelar Rase
Kumala dari lembah Liu-hun-hiap gunung Tiam-jong-san, dan
si Dewa Tertawa yang lupa akan she dan namanya yang aseli.
Kesepuluh tokoh itu, diagungkan sebagai sepuluh Datuk
Persilatan. Mulut orang iseng, merangkai nama mereka
menjadi: it-ceng, ji-to, sam-siancu, giok hou, song sat, Siausian-
ong. Enambelas tahun yang lalu, tokoh-tokoh partai persilatan
sama menganggap bahwa peyakinan ilmu mereka sudah
matang. Untuk mengetahui sampai dimana tinggi rendah
ilmunya itu, mereka menyuruh anak muridnya keluar
mengembara untuk mencari pengalaman dan pengetahuan.
Maksud sih baik, tapi kenyataan malah menimbulkan onar
yang berlarut-larut sampai duapuluhan tahun belum saja
selesai." --ooo0dw0ooo- 3. Orang Baik, Nasib Mengenaskan
Siau-sian-ong berhenti sejenak untuk memandang anak
yang tengkurep di dalam pangkuannya itu, lalu menghela
napas. Pikiran pak tua itu melayang jauh kekejadian yang
lampau. Sejenak kemudian baru dia dapat melanyutkan
penuturannya. "Peristiwa itu bukan menimpah kalangan partai-partai, tapi
terjadi dalam lingkungan sepuluh Datuk, makapun bukan
urusan biasa. Dalam kalangan sepuluh Datuk itu, hanyalah itceng
Beng Keng Siangjin dengan ilmu silat kalangan gerejanya
yang sakti dan si Rase Kumala Shin-tok Kek, yang
berkepandaian setingkat lebih tinggi dari kedelapan rekanrekannya.
Cerita ini berkisar pada diri si Rase Kumala itu. Dia
memilik kecerdasan yang cemerlang, tapi berhati dingin dan
tinggi, sombong tak suka bergaul. Sejak isterinya yang
tercinta menutup mata, dia mengasingkan diri di lembah Liuhun-
hiap di gunung Tiam-jong-san dan tinggal di gubuk
pertapaan Kiu-jui-suan. Disitulah dia menghibur diri berkawan
dengan arak dan syair. Kecuali dengan Siau-sian-ong, dia
sudah putuskan hubungan dengan dunia persilatan."
"Adalah mungkin sudah jalannya nasib, maka berita
tentang partai-partai menyuruh masing-masing anak muridnya
keluar mengembara mencari pengalaman itu, sampai juga ke
tempat pertapaannya yang terasing itu. Seorang tokoh
cemerlang dalam angkasa persilatan macam Shin-tok Kek itu,
ternyata masih belum dapat melepaskan diri dari nafsu ingin
menang. Diutusnya Shin-tok Lan, puteri tunggal yang menjadi
biji matanya itu, untuk turun gunung. Bukan melainkan cantik
saja Shin-tok Lan itu, pun kepandaiannya telah menerima
warisan dari ayahnya. Hanya satu hal yang berlainan, ialah
perangai gadis itu amat peramah dan baik budi, jauh bedanya
dengan sang ayah. Sekalipun begitu, ternyata si Rase Kumala
itu masih belum tega betul-betul akan puterinya, maka
dimintanya sang sahabat Siau-sian-ong untuk diam-diam
mengikuti perjalanan nona itu."
Selain menjadi sahabat kental Shin-tok Kek, pun si Dewa
Tertawa itu memungut Shin-tok Lan sebagai puteri angkatnya.
Jadi tiada alasan lagi, baginya untuk menolak permintaan
menjadi pelindung. Bermula setelah turun dari Tiam-jong-san
itu, Shin-tok Lan tak mengalami suatu apa. Tapi dikarenakan
sejak kecil hidup di tengah pegunungan yang sepi, jadi begitu
berada dimasyarakat ramai, Shin-tok Lan tak ubah seperti
seorang nenek tua yang masuk kota. Apa saja dia kepingin
tahu. Ada kalanya, ia turun tangan juga untuk membantu
yang lemah membasmi si jahat. Nona cantik yang berilmu
tinggi dan gagah budiman itu, dalam sesingkat waktu saja
telah menjadi buah bibir setiap orang persilatan. Juga jagojago
muda dari partai-partai yang sedang bertugas
mengembara itu, tertarik akan sepak terjang Shin-tok Lan.
Mereka beramai-ramai menyanjungnya dengan sebuah
julukan "San-hoa sian-cu" atau Dewi penabur bunga.
Dalam sesingkat waktu itu, banyak sudah Shin-tok Lan
mengikat persahabatan dengan jago-jago muda dari berbagai
partai persilatan. Salah seorang yang paling akrab, ialah anak
murid Ay-tojin Goan Goan Cu yang bemama Siau Hong
bergelar Giok-sian-thong si Anak Dewa. Seorang pemuda dan
pemudi yang bergaul lama, sukar terhindar dari kasih asmara.
Juga Shin-tok Lan dan Siau Hong tak terkecuali. Dengan
berjalannya sang hari, sepasang muda mudi itu makin kelebuh
dalam lautan asmara. Hal ini sudah tentu menimbulkan dengki
sirik para jago muda lainnya terhadap Siau Hong.
Diantara yang paling kentara kemarahannya, ialah anak
murid Pak-thian-san Song Sat, (juga tokoh sepuluh Datuk)
bernama Li Hun-liong bergelar Siau-sat-sin (Iblis kecil). Di
depan umum, dia sumbar-sumbar tak mau hidup bersama di
bawah kolong langit dengan Siau Hong. Mendengar itu, Shintok
Lan dan Siau Hong terperanjat, namun dasar watak anak
muda, dalam tempo tak berapa lama saja, mereka melupakan
hal itu. Menilik sang ayah amat mengasihinya, Shin-tok Lan ajak
Siau Hong menghadap ke Tiam-jong-san. Memang walaupun
si Rase Kumala itu aneh wataknya, tetapi terhadap puterinya
dia amat memanjakan sekali. Dengan alasan menghaturkan
sembah kepada Shin-tok Kek yang sangat dikaguminya itu,
akhirnya mau juga Siau Hong mengikut ke Tiam-jong-san.
Tapi bagi si Rase Kumala yang bermata tajam, hal itu tak
dapat mengelabuhinya bahwa sang puteri dan anak muda itu
sama saling menyinta. Melalui penilaian beberapa hari, Shin-tok Kek mengetahui
bahwa Siau Hong bukan saja seorang murid dari tokoh
termasyhur, pun pribadinya juga luhur berbudi. Diam-diam
orang tua itu bersyukur dalam hati. Harapan kepada puteri
satu-satunya itu, ternyata bakal tak tersia-sia. Pada hari
kesepuluh dari kedatangan Siau Hong di. Tiam-jong-san, si
Rase Kumala menyatakan bahwa dia memberi persetujuan
puterinya diperisteri Siau Hong.
Walaupun girang, namun Siau Hong tak berani
meninggalkan gurunya. Sebelum "mendapat izin suhunya dia
tak berani mengambil keputusan sendiri. Si Rase Kumala
tertawa sinis dan menyatakan dengan jumawa, bahwa dengan
kemasyhuran gengsinya dan kecantikan puterinya itu, tak
nanti Goan Goan Cu menolak. Dia berkeras minta Siau Hong
tinggalkan mainan permata yang dipakainya selaku panjar
pertunangan. Setelah itu dia suruh kedua anak muda itu
menuju ke Mosan untuk menghadap Goan Goan Cu.
Tiga bulan berlalu dan dua kali sudah mereka mengunjungi
Mosan, namun tak dapat berjumpa dengan suhunya, karena
kala itu Goan Goan Cu belum pulang dari kelananya, Siau
Hongpun sungkan untuk memberitahukan hal itu kepada
saudara-saudara seperguruannya, terpaksa dia ajak sang
tunangan turun gunung mengembara lagi untuk beberapa


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu, baru nanti pergi ke Mosan untuk yang ketiga kalinya.
Awan dan angin di langit sukar diduga datangnya, untung
dan kesialan orang sukar ditentukan tibanya. Dikala kedua
sejoli itu pesiar menikmati alam pemandangan yang permai,
halilintar-malapetaka menyambar mereka. Kala itu mereka
berada diperbatasan Kansu dan Se-liang dan menginap di
sebuah hotel. Malam hari selagi tengah bercakap-cakap, tiba-tiba hidung
mereka mencium serangkum asap wangi yang datang dari
arah jendela. Tanpa disadari, keduanya menyedot-nyedot
bebauan harum itu, dari hidung terus menyalur ke seluruh
tubuh. Ketika Siau Hong sadar dan curiga, ternyata sudah
kasip. Darah dalam tubuhnya serasa membakar, nafsunya
bergolak-golak. Dalam pandangannya, Shin-tok Lan yang
berbaring di tempat tidur itu, laksana bidadari cantiknya.
Siau Hong masih sadar pikirannya. Dia tahu bahwa mereka
berdua dibokong orang. Dia berusaha keras untuk
menghadapi keadaan yang genting itu, namun bagaimanapun
juga ternyata hawa jahat dari bebauan wangi itu, lebih
berkuasa. Baru setelah keduanya tersadar, ternyata ibarat
"bunga sudah terhisap sarinya oleh sang kumbang". Shin-tok
Lan menangis tersedu-sedu. Siau Hong kerak keruk
menyumpahi dirinya. Namun nasi sudah menjadi bubur.
Akhirnya kedua pasangan itu mengambil putusan,
walaupun perbuatan itu kurang layak, tapi pertama sudah
mendapat persetujuan Shin-tok Kek, kedua kalinya, dipedayai
orang. Maka meskipun menurut susila kurang layak, tapi
karena sudah terlanjur jadi lebih baik itu, bulat tekad mereka
untuk menuntut balas kepada orang yang mencelakainya itu.
Mereka bersumpah akan mencarinya sampai ketemu.
Pada kala itu si Dewa Tertawapun mendapat berita, bahwa
ada seseorang yang bermaksud mencelakai Shin-tok Lan "
Siau Hong. Sebagai orang yang sanggup menjadi pelindung
nona itu, buru-buru dia mencari kedua anak muda itu. Pada
waktu dia berhasil menemukan mereka di daerah Se-liang,
ternyata Siau Hong sudah sejak 3 hari yang lalu menerima
amanat Ceng-hu-leng dari suhunya dan sudah menuju ke
biara tua di puncak Loh-gan-nia gunung Hoasan.
Kaget Siau-sian-ong bukan kepalang. Siau Hong pasti akan
celaka. Bergegas-gegas dia ajak Shin-tok Lan menyusul ke
Hoasan. Walaupun perjalanan itu dilakukan siang malam,
namun tiba disana ternyata sudah terlambat selangkah. Siau
Hong sudah berlumuran darah tak bernyawa lagi.
Setelah terjadi perdebatan, dimana Siau-sian-ong dapat
membuktikan bahwa surat pengaduan yang diterima Goan
Goan Cu itu palsu belaka, dari malu Goan Goan Cu berobah
menjadi murka. Dimana sang mulut tak kuasa mencari
penyelesaian, pukulan segera berbicara. Dikala kedua datuk
itu bertempur mati-matian biara tua yang sudah rusak itu
saking tak kuat menahan deru angin pukulan mereka, menjadi
rubuh dan menguruki mayat Siau Hong. Memang amat
mengenaskan sekali nasib pemuda itu, sudah jatuh dihimpit
tangga pula. Terkejut oleh peristiwa itu, kedua tokoh itu sama berhenti
bertempur. Siau-sian-ong kuatir jangan-jangan Shin-tok Lan
yang menderita kedukaan hebat itu sampai terluka dalam
pada hawa murninya. Nona itu harus ditolong dahulu.
Begitulah setelah menangguhkan pertempuran itu pada lain
waktu. Siau-sian-ong lalu membawa nona yang malang itu
pergi ......... Mendengar sampai disini, Ih-ji menghela napas: "Yah,
mengapa orang baik sebagai kedua anak muda itu, sampai
mengalami nasib yang begitu mengenaskan, ah, sungguh
kasihan sekali!" Orang tua itu dapatkan anak dipangkuannya itu berlinanglinang
air mata. Dengan terharu diapun mengiakan: "Ah,
benar katamu itu. Mengapa orang baik mendapat balasan
yang begitu mengenaskan" Memang kalau dirasa, Allah tidak
adil!" "Yah lalu bagaimana kelanjutannya?" tiba-tiba si anak
mendesaknya lagi. Sampai sekian saat pak tua itu belum membuka mulut. Dia
hanya memandang ke arah wajah anak itu dengan rasa haru.
Berselang beberapa lama, barulah dia mulai lagi,
"Siau-sian-ong ternyata membawa Shin-tok Lan ke suatu
tempat yang sepi untuk mengobatinya. Adalah dikala itu, dia
baru mengetahui bahwa nona itu sudah mengandung. Sudah
tentu dia menjadi kaget sekali. Setelah Shin-tok Lan sadar,
barulah dia menanyainya. Dengan kemalu-maluan Shin-tok
Lan menceritakan peristiwa fitnah yang dialaminya di hotel itu.
Siau-sian-ong banting-banting kaki dan menghela napas
panjang pendek. Sebagai orang yang telah menyanggupi
permintaan seorang sahabatnya, dia merasa turut
bertanggung jawab juga. Tapi karena nasi sudah menjadi
bubur, jadi yang penting ialah harus berusaha untuk menolong
nona itu. Akhirnya dia bawa Shin-tok Lan ke tempat tinggalnya di
sebuah tempat yang terpencil. Selama itu tak jemu-jemunya
dia memberi nasehat dan menghibur hati Shin-tok Lan, namun
rupanya nona itu tak dapat melupakan peristiwa yang
menggoncangkan seluruh jiwa raganya itu.
Setelah tiba waktunya, maka Shin-tok Lan melahirkan
seorang bayi lelaki. Tiga hari setelah kelahiran itu, karena tak
kuat menanggung derita kedukaannya, Shin-tok Lan pun
menutup mata menyusul arwah sang kekasih. Si Dewa
Tertawa yang diwarisi seorang orok itu, menjadi kelabakan,
tak tahu bagaimana hendak merawatnya.
Akhirnya dia mengambil putusan, menitipkan dahulu bayi
itu pada seorang keluarga petani yang tinggal di dekat itu,
kemudian dia bawa jenazah Shin-tok Lan ke Tiam-jong-san
untuk diserahkan pada Shin-tok Kek. Disitu dia akan
menjelaskan duduknya perkara sekalian menghaturkan maaf
sebesar-besamya kepada sang sahabat. Dia bersedia
menerima tegur makian dari si Rase Kumala. Dia tak berani
membayangkan bagaimana perasaan Shin-tok Kek dikala
menerima kedatangan puteri kesayangannya itu sudah
menjadi mayat. Tapi di luar dugaan, sikap si Rase Kumala dingin-dingin
saja, seolah-olah kematian puteri biji hatinya itu, bukan
perkara apa-apa. Sikap itu membuat si Dewa Tertawa
kelabakan setengah mati. Beberapa kali dia hendak
menceritakan, tapi mulut serasa terkancing demi melihat sikap
yang melebihi es dinginnya dari si Rase Kumala pada saat itu.
Siau-sian-ong menginap sampai tiga hari lamanya disitu, untuk
menunggu kesempatan menjelaskan duduk perkaranya,
namun kesempatan itu tak kunjung tiba. Si Rase Kumala tetap
bersikap aneh. Akhirnya si Dewa Tertawa pamitan pulang dan
si Rase Kumalapun tak mau banyak kata untuk menahannya.
Sepeninggalnya dari Tiam-jong-san, diam-diam si Dewa
Tertawa bersumpah dalam hati, akan menggembleng putera
Siau Hong - Shin-tok Lan, agar dapat mencuci penasaran
orang tuanya dan dapat diterima kembali dalam lingkungan
keluarganya (Shin-tok Kek).
Sejak itulah maka si Dewa Tertawa lenyap dari pergaulan
ramai. Banyak nian desas-desus yang tersiar di kalangan
persilatan tentang jago sakti itu, namun tiada seorangpun
yang mengetahui bahwa sebenamya dia mengasingkan diri di
pedalaman gunung yang sunyi, merawati dan mendidik putera
calon suami isteri yang bemasib malang itu."
Sampai disini, tak kuasa lagi Ih-ji menahan kucuran air
matanya. Memandang si pak tua, bertanyalah dia: "Yah,
apakah benar-benar si Rase Kumala Shin-tok Kek itu tak
menghiraukan sama sekali atas kematian puterinya itu"
Bukankah tadi ayah mengatakan bahwa dia amat cinta sekali
kepada puteri tunggalnya itu?"
Wajah pak tua yang keren, tiba-tiba mengulum senyum
getir, sahutnya: "Si Rase Kumala memang menyintai sekali
kepada puterinya itu. Hanya karena dia seorang pribadi yang
kuat dalam menahan getar perasaan duka atau gembira, jadi
sukarlah orang untuk menyelami hatinya.
Adalah berselang dua tahun kemudian sejak si Dewa
Tertawa menyepi di gunung, pada suatu hari dia turun gunung
untuk mencari daun obat-obatan dan bahan keperluan seharihari,
tak terduga dari mulut seorang persilatan, didengarnya
sebuah berita yang membuat jago tua itu sedih-sedih girang.
Kiranya dukacita si Rase Kumala tak terperikan besamya.
Beberapa hari setelah si Dewa Tertawa meninggalkan Tiamjong-
san, si Rase Kumala pun juga turun gunung. Kecuali
tentang menghilangnya si Dewa Tertawa dan Shin-tok Lan
melahirkan putera, semua yang terjadi di luar telah
diselidikinya. Setelah diketahui duduk perkaranya yang benar,
kini dia tumpahkan seluruh kemarahannya kepada Goan Goan
Cu! Pada suatu petang, kawanan paderi dari biara Siang Ceng
Kiong sama mengambil angin di luar, karena habis
menyelesaikan pelajaran malam. Tiba-tiba dari kaki gunung,
tampak ada dua orang anak memanggul sebuah tandu.
Walaupun mendaki namun kedua anak itu dapat berjalan
dengan cepat, ya begitu amat cepatnya, hingga dalam
beberapa menit saja sudah tiba di muka biara Siang Ceng
Kiong. Tandu itu berisi seorang sekolahan yang berparas cakap,
kira-kira berumur 35-36 tahun. Pada kain kepalanya, melekat
sebuah zamrud yang berkilau-kilauan, tubuhnya yang tinggi
kurus itu tertutup dengan pakaian orang sekolahan dari bahan
sutera berwarna kelabu perak. Sungguh seorang pribadi yang
berwibawa. Sedikit cacadnya, ialah wajahnya menampilkan
sifat-sifat jumawa. Dengan tenang, turunlah dia dari tandu. Begitu tangannya
dikipaskan pelahan-lahan, maka kedua anak tadi segera cepatcepat
turun gunung lagi. Setelah itu barulah orang terpelajar
itu ayunkan langkah. Kira-kira terpisah satu tombak dari biara,
dia berhenti. Dia mendongak mengawasi biara itu dengan
pandangan yang dingin, lalu perdengarkan tertawa sinis.
Kawanan anak murid Siang Ceng Kiong yang tengah mencari
angin di luar halaman itu, seolah-olah tak diacuhkan sama
sekali. Setelah tegak berdiri beberapa lama, sekonyong-konyong
kedua tangannya dirangkapkan ke dada. Gerakan itu telah
membuat lengan bajunya bergoncangan dan tiba-tiba "brak,
bum" terdengarlah suara benda berat jatuh berkerontangan ke
tangga. Papan bertuliskan huruf emas "Ki Kian Siang Ceng
Kiong" (Siang Ceng Kiong yang didirikan atas titah raja) telah
jatuh dari tempatnya di atas pintu. Papan itu panjangnya
hampir dua tombak, lebar setombak. Begitu jatuh di tangga,
pecahlah papan besar itu menjadi berkeping-keping
Seperti disamber petirlah kaget kawanan paderi tadi. Buruburu
mereka mengepung pendatang yang mengacau itu.
Orang terpelajar itu hanya acuh tak acuh kedipkan mata
melirik kawanan pengepungnya itu. Sinar matanya yang amat
berpengaruh, telah membuat kawanan paderi itu sama
bercekat dan menyurut mundur beberapa langkah lagi.
Pada saat itu tiba-tiba dari dalam biara terdengar suara
sebuah giok-ceng (alat tetabuhan dari batu kumala) yang
amat nyaring. Kawanan paderi itu serempak sama menyingkir
ke samping. Si orang terpelajar lirikkan matanya dan dapatkan dari
dalam biara itu muncul tigapuluhan tosu lengkap dengan
pakaian keagamaannya berwarna kuning. Yang agak istimewa,
kawanan tosu itu sama menyanggul pedang di punggung.
Begitu terpisah dua tombak dari orang sekolahan tadi, mereka
cepat pecah diri dalam formasi barisan kipas.
Suasana di biara itu menjadi hening lelap, tapi penuh
dengan kegentingan meruncing. Sekalipun begitu orang
sekolahan tadi, tetap tenang-tenang saja sikapnya. Pada lain
saat, seorang tojin yang bertubuh tinggi besar, tampil ke
muka dan berkata kepada si orang sekolahan: "Bu-liang-siuhud,
tolong tanya, apa sebabnya sicu menggempur papan
biara kami ini?" Si orang sekolahan sapukan matanya memandang tojin itu
dengan seksama, wajahnya bagai bulan pudar, alis panjang
menjulai lima kepang janggutnya menjulai berkibaran di muka
dada, matanya berkilat-kilat, tubuhnya tinggi tegar, walaupun
tojin itu usianya ditaksir hampir limapuluhan, namun sikapnya
masih gagah. Terang kalau dia memiliki ilmu lwekang yang
tinggi. "Kau tak layak menanya aku, panggil Goan Goan Cu
keluar!" sejenak habis menaksir diri orang, orang sekolahan
itu menyahut dengan angkuh.
Sepasang alis tojin tua itu menyungkat.
"Pinto Kat Hian Cin, kamsi (penilik) biara Siang Ceng Kiong
ini. Karena menyangkut kewajibanku, maka pinto berhak
untuk bertanya." Mendengar itu, tampillah kerut amarah wajah si orang
sekolahan, serunya: "Cukup sebuah pertanyaan padamu,
apakah Goan Goan Cu ada di dalam biara?"
"Kwan-cu sedang keluar, dua hari lagi baru pulang," sahut
Kat Hian Cin. "Kalau begitu, akupun takkan membikin susah kalian, nanti
dua hari lagi aku datang pula kemari," ujar si orang sekolahan.
Sikap yang tak memandang orang itu, membuat Kat Hian
Cin tak dapat menahan sabar lagi, serunya: "Bu-liang-siu-hud!
Si-cu hendak begini saja berlalu, lalu bagaimana dengan
urusan papan biara itu?"
Si orang sekolahan yang sebenamya sudah ayunkan
langkah itu, tertegun mendengarnya. Diiring tertawa dingin,
dia menantang: "Habis bagaimana kehendakmu?"
Sedari kecil Kat Hian Cin sudah masuk ke dunia gereja.
Ajaran keagamaan yang diterimanya sejak berpuluh-puluh
tahun itu, telah membuatnya seorang alim ulama yang saleh,
penuh kesabaran. Namun menghadapi sikap yang congkak
dari tetamu tak dikenal itu, tak urung darahnya bergolak juga.
"Tiada lain permohonan, kecuali mengembalikan papan itu
di tempatnya!" Kontan si orang sekolahan menyahut dengan tawar: "Kalau
tak dapat?" "Terpaksa akan minta keadilan pada sicu," jawab Kat Hian
Cin. "Ha, ha, ha ....." tiba-tiba pecahlah mulut si orang
sekolahan tertawa nyaring. Nadanya sedemikian


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggetarkan sehingga kawanan tosu tadi sama bercekat.
Kat Hian Cin sendiripun tak kurang kagetnya. Lwekang
murni dalam nada ketawa itu, belum pernah didengarnya.
Sekalipun suhu mereka, Goan Goan Cu, juga masih kalah
setingkat kepandaiannya. Habis tertawa, wajah orang sekolahan itu berobah keren,
serunya: "Sudah hampir duapuluhan tahun aku si orang tua
itu tak menginjak dunia persilatan, tak kusangka kalian berani
jual kesombongan begitu rupa. Kalau kini tak kuberi keadilan,
kalian tentu tak tahu siapakah aku si orang tua ini!"
Sekonyong-konyong dari belakang Kat Hian Cin, tampil
maju seorang imam muda. Setelah memberi hormat kepada
Kat Hian Cin, dia berputar menghadapi si orang sekolahan.
"Tinggi nian sikap sicu sampai menonjol langit, tentulah
karena memiliki kepandaian sakti. Pinto ingin benar mendapat
pelajaran barang sejurus dua saja!"
Kembali orang sekolahan itu terbahak-bahak, serunya:
"Buyung, nyalimu besar juga! Kalau tak kupenuhi
permintaanmu, aku si orang tua ini tentu akan membikin
kecewa hatimu. Nah, cabutlah pedangmu!"
Mundur dua langkah, tojin muda itu mencabut pedang,
kemudian dengan mengambil sikap dalam gerak hoay-tiongpo-
gwat (dalam dada memeluk rembulan), dia memberi
hormat. "Mohon sicu suka memberitahukan nama gelaran sicu yang
mulia, agar pinto lebih mantep!"
Serempak menyahutlah si orang sekolahan itu dengan nada
berat: "Aku si orang tua ini orang she Shin-tok, bernama
tunggal Kek. Buyung, ayuh kau mulailah menyerang!"
Demi mendengar ucapan itu, hiruk berisiklah ratusan tojin
yang berada dalam gelanggang itu. Kat Hian Cin sampai
berhenti denyut jantungnya untuk sesaat. Mimpipun tidak dia,
bahwa si orang sekolahan yang jumawa itu, bukan lain
ternyata bintang cemerlang dari sepuluh Datuk, seorang tokoh
berwatak aneh, seorang datuk yang menggetarkan seluruh
dunia persilatan, si Rase Kumala Shin-tok Kek.
Kecuali memiliki kepandaian yang sakti, dia mempunyai
perangai yang luar biasa. Setiap kali muncul digelanggang
pertempuran, belum mau sudah kalau lawan belum jatuh
bangun sungsang sumbal. Kalau pertempuran sampai berkorbar, Siang Ceng Kiong
pasti akan berantakan karena kwan-cu (kepala biara) Goan
Goan Cu sedang tak ada. Namun karena keadaan sudah ibarat
anak panah terpentang pada busurnya, jadi terpaksa harus
gunakan dua siasat, sembari bertahan sedapat mungkin,
sembari kirim orang lekas-lekas minta kwan-cu pulang.
Demikian Kat Hian Cin mendapat pikiran begitu, demikian dia
diam-diam segera menyuruh orang memberitahu pada Goan
Goan Cu. Kesemuanya itu tak lepas dari mata si Rase Kumala yang
tajam, namun acuh tak acuh tokoh itu kicupkan ekor matanya
memandang kian kemari. Melihat kesibukan Kat Hian Cin dan
kegelisahan tojin muda tadi, dia tertawa nyaring.
"Hai, buyung, takutkah kau?"
Memang siapa orangnya yang tak jeri berhadapan dengan
datuk pemimpin ke sepuluh Datuk itu" Tapi dasar darah
muda, tojin itupun naik pitam (marah). Lantang-lantang dia
menyahut: "Anak murid Siang Ceng Kiong haram akan katakata
'takut'. Sekalipun nama besar sicu laksana halilintar di
angkasa, tapi perbuatan merusakkan papan nama itu, tetap
menyatakan permusuhan pada Siang Ceng Kiong. Sebagai
anak murid Siang Ceng Kiong, pinto mempunyai tanggung
jawab untuk melindungi. Kesampingkan lain-lain kata yang tak
berguna dan marilah sicu memberi pelajaran!"
Si Rase Kumala tertawa: "Melihat keberanianmu, kusuka
memberi kelonggaran. Silahkan menyerang sepuas-puasmu,
aku si orang tua akan mengalah sampai tiga jurus!"
Tanpa menyahut lagi, si tojin muda melangkah maju.
Pedang diangkat, dia tusuk pundak kanan Shin-tok Kek dalam
jurus sian-jin-ci-lo (dewa menunjuk jalan). Tanpa sang kaki
bergerak, bahu si Rase Kumala agak dimiringkan dan ini sudah
cukup untuk menghindari serangan itu.
"Buyung, jurus yang pertama!" serunya.
Si tojin muda tetap membisu. Tanpa merobah kudakudanya,
tubuhnya diacungkan maju, pedang dibabatkan ke
perut orang dengan jurus hong-sao-loh-yap (angin meniup
daun). Kali ini si Rase Kumala unjukkan kegesitan. Seperti kilat
menyambar, tahu-tahu tubuhnya melesat ke samping kanan.
Sabetan pedang lewat di sisi tubuhnya.
Tojin muda susuli lagi serangannya dengan jurus li-liong-hicu
atau naga memain mustika. Pedang maju menusuk
tenggorokan. Kembali si Rase Kumala unjukkan demonstrasi. Tubuh
didongakkan ke belakang dan lewatlah ujung pedang
beberapa senti di atas tenggorokannya. Jurus ketiga, tetap tak
berhasil. Si tojin muda mengertak gigi. Membarengi lawan belum
sempat bergerak dia hendak tabaskan pedangnya ke bawah,
mengarah kepala si Rase Kumala. Keadaan si Rase Kumala
tertimpa mara bahaya. Tapi suatu kejadian istimewa terjadi. Gelak tertawa keras
berderai-derai dari mulut tokoh aneh itu, tubuh diangkat dan
kedua lengan baju dibalikkan ke atas dan tahu-tahu
tangannya si tojin muda sakit seperti dipatahkan dan saking
tak kuatnya maka terlemparlah pedangnya ke udara. Kebutan
lengan baju si Rase Kumala tadi ternyata menerbitkan angin
kong-hong (angin tenaga dalam) yang luar biasa dahsyatnya.
Wajah si tojin muda berobah pucat. Baru dia hendak
mundur, tahu-tahu separoh tubuhnya serasa mati rasa dan
tanpa dapat di tahan lagi, mendumprahlah dia ke tanah. Dua
orang to-thong kecil buru-buru maju menggotongnya.
Melihat tojin muda itu pucat kelabu wajahnya dan tak
sadarkan diri, tahulah Kat Hian Cin bahwa kawannya itu kena
tertutuk jalan darahnya. Dia segera coba untuk menolongnya
membuka, tapi tak mampu. Gagal menolong, dengan alis
mengerut, dia memandang ke arah si Rase Kumala.
"Bahwa sicu memiliki kepandaian yang menggetarkan
dunia, ternyata memang nyata, namun tak selayaknyalah
menurunkan tangan keliwat ganas''.
Si Rase Kumala tertawa dingin, sahutnya: "Dia sendiri yang
tak tahu diri, jangan salahkan orang lain. Aku si orang tua kan
sudah keliwat bermurah hati, masakan kau masih belum
terima?" Dalam keadaan begitu, betapapun toleransinya Kat Hian
Cu. namun tak kuasa lagi untuk mengendalikan diri. Sepasang
alisnya menjungkat, dia berkata dengan keras: "Sungguhpun
sicu teramat sakti, tapi Siang Ceng Kiong pun bukan tempat
orang pengecut. Hari ini ........."
"Harap penilik mengizinkan, tecu berempat siap sedia
menempur lawan!" sekonyong-konyong empat orang tojin
datang dan menukas kata-kata Kai Hian Cin tadi.
Alis panjang dari Kat Hian Cin menggontai, hendak dia
mencegah, tapi disana si Rase Kumala sudah mendengus dan
menyahut: "Asal tak takut mati, aku si orang tua ini tetap tak
menolak setiap pendatang!"
Apa boleh buat, Kat Hian Cin tak dapat mencegahnya. Dia
hanya membisiki keempat tojin itu supaya berhati-hati.
Setelah mengiakan, keempat orang tojin itu berputar diri dan
berpencaran dalam empat penjuru. Pedang dilolos, tanpa
pendahuluan kata-kata lagi, mereka berbareng maju menusuk
si Rase Kumala. Gerakan keempat tojin itu memang rapi dan cepat, tapi
bagi mata seorang datuk macam si Rase Rumala, cepat dapat
mengetahui isi serangan musuh, Dari keempat pedang itu,
ternyata tiga serangan kosong dan satu serangan isi
(sungguh). Diantar oleh tertawa dingin, tubuh si Rase Kumala
berputar, lengan baju kanan dikebutkan pelahan-lahan. Angin
kong-hong, segera mendorong dua serangan dari arah timur
dan selatan. ---ooo0dw0ooo- 4. Pertempuran Di Biara Empat sekawan itu, lihay juga. Melihat kedua kawannya
terbuka, tojin yang menyerang dari barat dan utara, lalu robah
serangannya, dari kosong menjadi sesungguhnya. Si Rase
Kumala tak bergerak menghindar, seolah-olah dia biarkan saja
kedua pedang, itu menyentuh tubuhnya. Tapi sewaktu hampir
mengenal, tiba-tiba tubuhnya menghindar, jari tangan ditekuk
macam cakar terus dikebutkan ke atas.
"Tring, tring," dua buah suara gemerincing terdengar dan
dua buah benda berwarna perak melayang ke udara.
Menyusul, terdengar jeritan kaget dan sesosok bayangan
kelabu melesat-lesat. "Ak, uk, ak, uk," berturut-turut
terdengar suara mengerang dan rubuhlah keempat tojin itu ke
tanah .......... Kesemuanya itu hanya berlangsung dalam beberapa detik
saja. Sebelum orang tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka
(kawanan tojin lainnya) sudah melihat keempat kawannya itu
tersungkur, tiada berkutik lagi. Rasa kagum dan jeri
membayangi wajah sekalian tojin itu.
Tegak tak acuh disana, tampak si Rase Kumala sejenak
mengicupkan mata ke arah keempat tojin yang telah ditutuk
jalan darahnya itu, sembari tangannya mengebut-kebut debu
di pakaiannya. Setelah itu, dia memandang Kat Hian Cin.
"Nah, siapa lagi yang tak takut mati, silahkan maju!"
serunya. Melihat kesaktian si Rase Kumala tadi, Kat Hian Cin kagum
dan marah. Pikirnya: "menilik gelagatnya, kalau tak
menggunakan siasat bertahan sampai kwan-cu datang,
keadaan tentu runyam, ini ........."
Sampai disini, tiba-tiba dia mendapat pikiran bagus.
Menentang ke arah si Rase Kumala, dia berseru: "Pihak biara
kami mempunyai sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang tak
berarti. Bagai seorang kojin yang termasyhur di kolong dunia,
dipercaya sicu tentu suka memberi petunjuk!"
Si Rase Kumala tertawa gelak-gelak, balasnya: "Kat Hian
Cin, seorang pengabdi gereja tak mau bohong. Barisan ngoheng-
pat-kwa-kiam-tin dari Siang Ceng Kiong, jauh tersiar
kemasyhurannya. Bukankah kau mempunyai rencana begini,
akan gunakan barisan itu untuk mengepung diriku. Menang ya
syukur, kalau tidak, sekurang-kurangnya akan dapat
mengulurkan waktu sampai Goan Goan Cu sudah dapat
datang! Tapi biarlah aku seorang tua ini, menuruti permintaan itu.
Dalam seratus jurus, kalau sampai tak .dapat menjebolkan
barisanmu itu, aku Shin-tok Kek akan mengirim surat
undangan pada para tokoh-tokoh persilatan, untuk
menyaksikan upacara aku menghaturkan maaf dan memasang
papan biara Siang Ceng Kiong disini. Pula, hutang Goan Goan
Cu. padaku, akan kuhapuskan dan sejak itu juga nama Rase
Kumala itu, biar dicoret dalam daftar persilatan.
Masih aku si orang tua hendak memberi keringanan
padamu. Habis membobolkan barisanmu itu, aku takkan
mengapa-apakan dirimu dan kawan-kawan, tetap akan
menantikan kedatangan Goan Goan Cu untuk membikin beres
perhitungan. Nah, kau anggap bagaimana?"
Memang demikian yang dimaukan Kat Hian Cin. Jadi nyata
si Rase Kumala dapat meneropong isi hatinya. Dengan
kesaktiannya itu, Kat Hian Cin yakin tiada seorangpun dari
pihaknya yang sanggup menandingi. Dengan barisan kiam-tin
itu, sekalipun tak dapat merebut kemenangan, tapi sekurangkurangnya
dapat juga mengulur waktu sampai Goan Goan Cu
datang. Memang si Rase Kumala bintang cemerlang dari
angkasa persilatan itu, tinggi ilmunya sastera, sakti ilmunya
silat. Barisan-barisan ngo-heng-tin, kiu-kiong-pat-kwa, tentulah
amat mahir. Tapi ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin itu adalah
pusaka pelajaran dari biara Siang Ceng Kiong, kedasyatannya
bukan olah-olah. Mungkin dengan barisan itu. siapa tahu
gengsi Siang Ceng Kiong akan direhabilitir (dikembalikan
semula). Demikian angan-angan yang memenuhi benak Kat
Hian Cin. "Bu-liang-siu-hud, sicu amat cekat dalam segala hal. Pinto
tak berani membantah lagi," serunya dengan bersemangat.
Tangannya diangkat dan empat orang tojin yang usianya agak
tua dari tadi, tampil ke muka. Mereka bantu Kat Hian Cin
mengatur barisan ngo-heng.
Baru kelima orang itu mengambil posisi masing-masing, lalu
ada enambelas tojin berjajar-jajar melingkari mereka, seolaholah
dinding yang melapisi di luar. Sebenamya itulah
dimaksudkan dengan delapan pintu yang disebut pintu kian,
gan, tin, kin, sun li, gun dan tui, atau yang disebut pat-kwa.
Berbareng, dengan selesainya barisan itu, maka ratusan
kawanan tojin lainnya, segera menyingkir dan terbukalah di
tengah gelanggang itu sebuah lapangan seluas sepuluh
tombak persegi. Kini ke duapuluh satu tojin (lima di dalam enambelas di
luar), sama menghunus pedang. Setelah memberi hormat
kepada si Rase Kumala, Kat Hian Cin memberi isyarat tangan
dan bergeraklah barisan pedang ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin
itu ...... Si Rase Kumala mengawasi dengan tajam. Dilihatnya
kelima tojin yang berada disebelah dalam, tegak berdiri
dengan pedang di dada. Sedang ke enambelas tojin yang
memagari di luarnya, hilir mudik bergantian posisi. Isi mengisi,
tutup menutup, rapat kokoh sampaipun hujan tak dapat
menetes masuk. Sedemikian hebat perbawanya, sampaipun
pribadi jumawa seperti si Rase Kumala. menjadi terkejut juga.
"Melihat gelagatnya, kalau tak mengeluarkan kesaktian,
tentu sukar memenangkan, apalagi terbatas dalam seratus
jurus," diam-diam dia berpikir.
Merenung beberapa jenak, segera dia dapat meneropong
inti rahasia barisan itu. "Lawan diam, akupun diam. Tapi kalau
lawan hendak bergerak, aku harus mendahului bergerak."
Demikian resepnya. Si cerdas Rase Kumala itu, cepat dapat
mereka siasat. Dia hendak gunakan siasat "berjalan
menyungsang, kemudian baru menghancurkan". Kaki kiri
menekan tanah, tangan kanan mengibas dan tubuh berputar
mendorong kiam-tin. Barisan pedang yang terdiri dari duapuluh satu tojin itu,
segera menurutkan gerakan orang. Mereka berputar-putar


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu serangan lawan, untuk segera membuat reaksi
balasan. Tapi ditunggu-tunggu, si Rase Kumala tak juga
menyerang. Begitulah mereka berputar-putar sampai sekian lama tanpa
mulai serang menyerang, hanya lebih banyak mirip dengan
perang urat syaraf saja. Terlintas dalam pikiran Kat Hian Cin:
"Kalau begini naga-naganya, sekalipun berputar-putar sampai
tiga hari tiga malam, tetap tiada kesudahannya. Sakti
sekalipun dia itu, namun ngo-heng-pat-kwa-tin juga bukan
barisan biasa, apalagi dia sudah sumbar-sumbar hanya
bertempur dalam seratus jurus saja. Ah, lebih baik
menyerempet bahaya sedikit. dari bertahan berganti
menyerang. Asal seratus jurus sudah lampau, masakan dia
berani menelan ludahnya!"
Secepat berpikir, secepat itu juga dia mengeluarkan
komando rahasia kepada keempat tojin, siapapun dapat
menangkap maksudnya. Melihat itu, diam-diam si Rase Kumala bergirang hati.
Sengaya dia perlambat tindakan kaki untuk akhirnya hentikan
seluruh gerakannya. Keempat tojin yang menerima isyarat dari Kat Hian Cin tadi,
segera merapat satu sama lain. Serempak mereka berbareng
menusuk punggung si Rase Kumala. Gerakannya amat cepat
dan jitu. Dikala mereka mengira serangannya akan berhasil, di
luar persangkaan. si Rase Kumala loncat ke muka sembari
kebutkan lengan kiri ke belakang dalam gerak to-cwan-tianghong
(membalik lingkarkan bianglala). Lengan bayunya yang
panjang gerombyongan itu, telah menampar batang pedang
lawan. "Tring," tahu-tahu keempat batang pedang itu terbang ke
udara dan melayang jatuh ke arah kawanan tojin yang
menonton di pinggir sana.
Mendapat hasil, si Rase Kumala tak mau berhenti. Tubuh
berputar, jarinya berturut-turut bekerja menutuki darah
keempat tojin .itu. Tanpa sempat menghindar lagi, keempat
tojin itu rubuh mendumprah di tanah. Kejadian itu hanya
berlangsung dalam sekejapan mata saja. Dalam kagetnya, Kat
Hian Cin menusuk punggung si Rase Kumala dalam jurus Siauci-
thian-lam (tertawa menunjuk Thian-lam).
Untuk serangan dari belakang itu. si Rase Kumala sedikit
condongkan tubuh ke muka, berbareng itu dia sambar dua
orang tojin yang tertutuk rubuh di tanah tadi, terus
dilemparkan keluar gelanggang. Barisan menjadi panik dan si
Rase Kumala bergerak-gerak seperti kupu menyusup bunga.
Kedua lengan bayunya dikebut-kebutkan. Sekejap saja, disana
sini ke duapuluh tojin sama rubuh tumpang tindih.
Habis "menyelesaikan", tenang-tenang si Rase Kumala
menghampiri ke muka Kat Hian, ujarnya: "Ngo-heng-pat-kwakiam-
tin yang begitu disohorkan, ternyata hanya bernama
kosong, Kat Hian Cin, apa katamu sekarang?"
Kecewa dan dendam perasaan Kat Hian Cin saat itu.
Mimpipun tidak dia, bahwa ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin yang
tiada tandingan di dunia persilatan selama ini, ternyata dapat
dipukul hancur berantakan oleh si Rase Kumala. Hanya karena
sedikit salah perhitungan saja, maka dia sampai menderita
kekalahan yang begitu menyedihkan ...........
Saking dendam dan malunya, timbul pikiran nekad dari
pemilik Siang Ceng Kiong itu untuk bunuh diri. Tapi demi
matanya tertumbuk akan kawanan tojin yang menggeletak di
tanah itu sama pucat wajahnya seperti tak bernyawa, dia
menghela napas. Pedangnya yang sedianya hendak
ditabaskan kebatang lehernya sendiri, dilemparkan. Serunya:
"Jenderal yang kalah perang, tak berani temberang
(sombong). Silahkan sicu menghukum diri pinto, hanya saja
.......... Tertawa gelak-gelak si Rase Kamala, tukasnya
"Tenteramkanlah hatimu, Kat Hian Cin. Penasaran ada
awalnya, hutang ada yang menanggungnya. Setelah
kuselesaikan rekening lama dengan Goan Goan Cu, tentu akan
kukembalikan padamu lagi duapuluh orang hidup. Tapi untuk
sekarang, biarlah mereka tenang-tenang berbaring disitu dulu.
Kalau terlalu mengurusi soal itu, dikuatirkan akan merusak
kemurahan hatiku si orang tua ini!"
Kawanan tojin yang menonton di sekeliling tempat itu,
sama belum bubaran. Melihat itu, alis si Rase Kumala agak
menjungkat. Tiba-tiba dia melangkah setindak ke muka,.
tangan kiri menyambar lambung kanan Kat Hian, Seperti
sesosok tubuh yang tak punya tenaga lagi, tubuh Kat Hian
dibawa loncat oleh si Rase Kumala, melayang ke arah
rombongan tojin sana. Seperti kumbang dijolok sarangnya, maka berserabutanlah
kawanan tojin itu lari tunggang langgang keempat penjuru. Si
Rase Kumala tertawa keras, sembari kebut-kebutkan lengan
baju kian kemari. Serasa ditiup angin taufan rombongan tojin
yang tak kurang dari seratusan orang jumlahnya itu, sama
tersungkur ke tanah. "Kalau berdiri disana tadi, mereka menjadi penghalang,
maka biarlah mereka tiduran mengasoh saja untuk menemani
kawannya yang ke duapuluh orang tadi," kata si Rase Kumala
dengan jumawa kepada Kat Hian Cin.
Keadaan Kat Hian Cin, lebih menderita dari orang disiksa.
Melihat anak murid Siang Ceng Kiong didera orang, dia tak
dapat berbuat suatu apa, karena dirinya sendiripun berada
dalam kekuasaan orang. Dia terdiam tak dapat bicara.
"Lama sudah nama biara Siang Ceng Kiong termasyhur di
seluruh jagad, sayang kwancu belum pulang. Tapi apakah
kian-wan (penilik) suka mengantarkan aku melihat-lihat
dalamnya?" tanya si Rase Kumala dengan tertawa.
Pertanyaan sederhana yang mengandung olok tajam itu,
membuat darah Kat Hian bergolak. Dia mendongak, lalu
menyahut dengan geram, "Seorang kesatria boleh dibunuh,
tak boleh dihina. Janganlah sicu keterlaluan!"
"Kamu pihak Siang Ceng Kiong sendiri yang tak genah,
mengapa salahkan lain orang. Dengan sejujurnya aku minta
kautemani melihat-lihat, tapi kau sendiri yang cari penyakit
....." tukas si Rase Kumala sembari pijatkan kelima jari
kanannya. Serangkum hawa panas mengalir ke tubuh Kat Hian dan
segera dia merasa ulu hatinya seperti digigiti ribuan semut.
Bermula masih dapat dia bertahan, tapi sejenak kemudian,
dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar kedele.
Mulutnya menggereng sakit, namun sang geraham
mengancingkan gigi rapat-rapat untuk bertahan sampai mati.
Si Rase Kumala mendengus.
"Kat Hian Cin, sepatah kau berani membangkang,
seratusan kawanmu itu, akan menjadi bangkai semua!"
serunya. Belum pernah sepanjang hidup Kat Hian mengalami dera
derita yang segetir seperti kala itu. Dirinya disiksa, kini
mendengar lagi ancaman yang mengerikan. Dia yakin, tokoh
aneh yang sakti itu selalu mengerjakan apa yang diucapkan.
"Aku ..... menurut ...... permintaanmu", akhirnya mulutnya
menggetar kata. "Telah kuduga bahwa kau tentu tak mau membangkang,"
sahut si Rase Kumala sembari kendorkan jepitannya.
Begitulah seperti sepasang sahabat karib, keduanya masuk
ke dalam Siang Ceng Kiong untuk melihat-lihat. Adalah selagi
mereka berdua mulai keliling, di bawah kaki gunung Mosan
sana, tampak sesosok bayangan kecil pendek melesat naik ke
atas gunung. Laksana bintang meluncur, dalam sekejap saja
tibalah orang itu ke muka Siang Ceng Kiong.
Pemandangan pertama yang disuguhkan kepadanya telah
membuat sang jantung mendebar keras. Seratusan lebih anak
murid Siang Ceng Kiong berserakan tersungkur di halaman
muka dengan wajah pucat lesi. Mendongak ke atas. papan
nama ''Siang Ceng Kiong" yang tergantung di atas pintu biara,
sudah tiada tampak lagi. Dia banting-banting kaki.
"Shin-tok Kek, perbuatanmu serendah itu, sungguh
keliwatan sekali. Goan Goan Cu menunggu disini!" serunya
dengan lantang. Tepat kumandang seruan itu berhenti. dari dalam biara
terdengar suara ketawa keras, menyusul dua sosok bayangan
kelabu dan kuning melesat keluar muka pintu. Sejenak
memandang, Goan Goan Cu dapatkan kedua bayangan itu
adalah seorang pelajar setengah umur yang bertubuh tinggi
kurus sedang menggandeng Kat Hian Cu, sutitnya (keponakan
murid Goan Goan Cu). Orang sekolahan itu mengulum senyum
memandang kepadanya. Diam-diam Goan Goan Cu terkesiap, pikirnya: "Menurut
perhitungan si Rase Kumala itu sudah hampir tujuhpuluhan
umurnya, mengapa tampaknya dia masih begitu muda"
Jangan-jangan dia sudah dapat mencapai tingkat peyakinan
yang sempurna, atau .........."
"Ah, jangan hiraukan hal itu." Demikian dia mengambil
ketetapan, terus menegur dengan geramnya: "Adakah yang
datang ini Shin-tok Kek?"
"Ha, ha," demikian si Rase Kumala menertawainya, lalu
menyahut: "Kau mempunyai mata tapi tak dapat melihat
gunung Thaysan. Lohu sudah lama menantimu disini!"
Mimik muka Goan Goan Cu berobah.
"Shin-tok Kek, selama ini kau dan aku tak pernah
berhubungan, ibarat air sumur tak melanggar air sungai.
Sekarang kau datang ke Siang Ceng Kiong, merusakkan papan
biara dan melukai orang, apakah maksudmu ?" bentaknya.
Dengan wajah membeku, menyahutlah si Rase Kumala:
"Masih ingatkah kau akan peristiwa Siau Hong ?"
Atas kerusakan yang diderita biara Siang Ceng Kiong, Goan
Goan Cu sudah naik darah. Kini mendengar diungkatnya
peristiwa Siau Hong, darahnya makin panas.
"Terhadap murid murtad, tak perlu diingat lagi. Dan lagi itu
adalah urusan intern kaum kami, orang luar tak berhak turut
campur!" sahutnya dengan tertawa dingin.
"Sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan, membabi
buta tak dapat membedakan salah dari yang benar, aturan
partai apakah itu" Benar urusan intern Siang Ceng Kiong tiada
sangkut pautnya dengan diriku, tapi bagaimanakah kau
hendak mempertanggung jawabkan kematian puteriku karena
disebabkan "kebijaksanaanmu" itu!" balas si Rase Kumala
dengan tajam. "Setiap perbuatan harus ditanggung sendiri, mengapa
ditimpahkan pada lain orang ?" Goan Goan Cu mendebat.
"Heh, heh," tertawa si Rase Kumala dengan nada sedingin
es. "Berdasarkan 'falsafatmu' itu, menjelang usia mendekati
liang kubur ini, lohu hendak berbuat jahat sekali lagi. Pada
hari dan detik ini, kalau tak dapat minta kembali keadilan
padamu, tiga huruf "Shin-tok Kek' itu, sejak ini akan kuhapus
selama-lamanya!" Habis berkata itu, tangannya kanan yang masih menguasai
jalan darah Kat Hian, segera dilepaskan. Diiring dengan
sebuah jentikan jari, menjeritlah Kat Hian terus rubuh
tersungkur. Kasihan tojin itu. Dia menjadi korban kemarahan
bintang cemerlang dari sepuluh Datuk.
Tahu bahwa sang sutit menderita luka hebat dalam hawa
cin-gi nya, amarah Goan Goan Cu makin meluap.
"Shin-tok Kek, tidakkah kau malu berbuat seganas itu
terhadap seorang angkatan muda ?" jengeknya.
Namun si Rase Kumala tokoh yang aneh itu. tetap tak
mengacuhkan kemarahan lawan Dingin-dingin dia menyahut:
"Cara lohu menyelesaikan urusan, memang berbeda-beda
menurut terhadap siapa orangnya. Terhadap seorang yang tak
kenal rasa kemanusian seperti kau ini, apa perlunya lohu pakai
aturan ini itu!" Sungguh mata Goan Goan Cu hendak melotot keluar bahna
marahnya, namun berhadapan dengan seorang lawan yang
kuat, dia tak berani gegabah. Sekali salah urus, akan jatuhlah
namanya yang agung selama ini.
Selagi ketua Siang Ceng Kiong memutar otak mencari
siasat perlawanan, si Rase Kumala sudah menantangnya:
"Goan Goan Cu, urusan hari ini, tiada lain jalan kecuali harus
diputuskan dengan adu kepandaian, siapa kuat siapa lemah.
Kalau lohu kalah, kecuali akan menghaturkan maaf pada
dewa-dewa penunggu biaramu serta memasang kembali
papan nama Siang Ceng Kiong, pun urusan anak
perempuanku, tak kutarik panjang lagi. Dan sejak itu, aku
akan menutup diri di Tiam-jong-san, takkan menginjak di
dunia persilatan untuk selama-lamanya lagi. Tapi ..........."
Sampai disini, dia berhenti sejenak. Dengan mata berkilatkilat
ditatapnya Goan Goan Cu, baru melanyutkan pula: "Jika
kau tak mampu menangkan lohu, apakah katamu ?"
Dirangsang oleh kemarahan, tanpa berpikir lagi
menyahutlah Goan Goan Cu: "Kalau pinto kalah, pedang akan
mengakhiri hidupku!"
"Bagus!" seru si Rase Kumala dengan jumawanya,
"Seorang yang mati di tempat tinggalnya, juga takkan
mengecewakan. Hanya saja aku si Shin-tok Kek ini, selamanya
tak mau minta kemurahan. Pertandingan kali ini, kuminta
hanya dalam tiga macam babak saja. Bagaimana caranya,
terserah padamu!" Sejenak kesadarannya pulih, menyesal juga Goan Goan Cu.
Namun kata sudah terlanjur diucapkan, malu juga dia hendak
menariknya. "Adu tajamnya lidah, adalah perbuatan seorang rendah.
Lama nian kemasyhuran ilmumu lwekang tay-ceng-kong-gi,
sungguhpun pinto tidak becus, namun ingin sekali menerima
pelajaranmu itu!" sahutnya dengan geram.
Si Rase Kumala mengangguk: "Tak nanti lohu mensiasiakan
harapanmu itu. Tapi entah bagaimana caranya
bertanding". Goan Goan Cu menerangkan: "Dalam lingkaran tanah
seluas satu tombak persegi, kita berdua berdiri di dalamnya
dan bertanding ilmu lwekang. Siapa yang terlempar keluar dari
lingkaran itu, dialahyang kalah!"
Si Rase Kumala menyatakan setuju. Tanpa buang waktu
lagi, Goan Goan Cu lantas gunakan dua buah jarinya
berputaran menuding ke tanah. Batu dan pasir seluas satu
tombak di sekelilingnya, sama berserakan. Dan disitu
terdapatlah sebuah garis lingkaran sedalam tiga inci. Setelah
itu, dia mundur beberapa langkah, siap sedia menanti musuh.
Si Rase Kumala hanya tertawa dingin, lalu tenang-tenang


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah masuk. Kira-kira terpisah dua meter dari Goan
Goan Cu, dia berdiri tegak sembari julurkan tangan kanan ke
muka. Melihat ketenangan orang, Goan Goan Cupun tak
berani berayal. Peyakinan ilmu lwekang sam-im-sin-kang
(tenaga sakti hawa negatif) yang dipelajari berpuluh tahun,
dikerahkan di tangan kiri, lalu dijulurkan ke muka menghadapi
tangan lawan. Sekalipun lahirnya tenang jumawa, namun dalam batin si
Rase Kumala tak berani memandang enteng pada lawan.
Bahwa orang sudah digolongkan dalam daftar sepuluh Datuk,
tentulah menguasai ilmu kepandaian yang sakti.
Bagaimanapun Goan Goan Cu juga anggauta ke sepuluh
Datuk zaman itu. Hanya saja, pribadi si Rase Kumala itu dapat
menguasai mimik pada wajahnya.
Benar thay-ceng-kong-gi merajai dunia lwekang, tapi samim-
sin-kang pun juga luar biasa. Apalagi kedua lwekang itu
tergolong lwekang im (gaya lemah), jadi serumpun. Memang
dikala kedua hawa lwekang itu saling memancar, kedua tokoh
itu sama merasakan hawa dingin bergaya lunak, merasuk ke
dalam ulu hati. Beberapa detik adu lwekang itu berlangsung, masingmasing
sudah sama dapat mengadakan penilaian. Goan Goan
Cu merasa, walaupun tenaga thay-ceng-kong-gi itu laksana
gunung menindih, tapi perbawanya tak sedahsyat yang
disohorkan orang. Sekalipun tak menang, kemungkinan
kalahpun tak nanti terjadi Rupanya isi hati Goan Goan Cu itu
dapat juga diteropong oleh si Rase Kumala yang tajam panca
inderanya. Dengan mengeram pelahan, dia perlipat gandakan
kekuatan thay-ceng-kong-gi nya.
Dalam suatu pertempuran antara tokoh sakti, lebih-lebih
kalau adu lwekang, terpaut sedikit saja tingkatannya. akan
sudah kentara. Demikianlah keadaan Goan Goan Cu yang
memang kalah setingkat dengan si Rase Kumala. Baru dia
memperhitungkan kekuatan lawan, tahu-tahu tenaga tekanan
si Rase Kumala menjadi lipat dua kali kerasnya. Dalam
kejutnya, buru-buru kerahkan seluruh lwekangnya untuk
mempergandakan kekuatan sam-im-sin-kangnya sampai
sepuluh kali. Sekalipun begitu, namun sudah terlambat setindak. Tanpa
dapat ditahan lagi, tubuhnya terdorong mundur. Dia mundur
selangkah, si Rase Kumala maju setindak. Adegan satu
mundur satu maju itu berlangsung pelahan sekali. Tanah yang
bekas diinjaknya itu, meninggalkan bekas telapak kaki yang
dalam. Pada saat itu dahi Goan Goan Cu sudah berketetesan
keringat. Ketika terdorong mundur sampai di tepi garis
lingkaran, hilanglah sudah harapannya. Dalam detik-detik
kekalahan itu, dia nekad. Dikerahkannya seluruh tenaga untuk
memberi perlawanan terakhir. Tapi sekonyong-konyong
desakan si Rase Kumala itu ditarik, lalu orangnyapun loncat
keluar lingkaran. Merah padam selebar muka ketua Siang Ceng Kiong itu.
Mau tak mau dia harus mengakui kekalahannya. Belum
sempat dia membuka mulut, si Rase Kumala sudah
mendahului: "Batas waktu pertandingan tadi sudah tiba. Oleh
karena kedua pihak belum terdorong keluar garis, jadi
pertandingan ini boleh dianggap seri. Nah, katakanlah cara
pertandingan yang kedua!"
Lapang dan gamblang kata-kata itu diucapkan, namun bagi
telinga Goan Goan Cu dirasakan seperti sebilah pisau yang
menyayat-nyayat hati. Memandang ke arah lawan, berkatalah
dia dengan geramnya: "Pinto mengaku kalah, usah kau
berlaku ramah. Acara yang kedua tetap dijiwai dengan mati
hidupnya biara Siang Ceng Kiong. Lama sudah dunia
persilatan mengagungkan permainan, seratusdelapan jurus
dari senjata ji-i-san-chiu itu amat gaibnya. Ingin pinto dengan
sebilah pedang, menerima lagi pelajaran!"
Melihat kejujuran lawan mengakui kekalahan, terbit rasa
kagum pada si Rase Kumala. Diam-diam dia menghargai sifat
kesatria lawan. "Sifat kesatria totiang itu, pantas dikagumi. Ilmu pedang
totiang cap-sa-kiam itu, mengguntur di angkasa persilatan.
Shin-tok Kek akan mengiringkan kehendak totiang," ujarnya,
lalu mundur tiga langkah. Dari bajunya, dia merogoh keluar
sebuah senjata aneh bentuknya. Benda itu berkilat-kilat
kebiru-biruan cahanya. Itulah senjata ji-i (menurut kehendak
orang) yang terbuat dari cui-giok (kumala biru).
Melihat orang sudah mengeluarkan senjata cui-giok-ji-i
yang berpuluh tahun tak pernah digunakan. Goan Goan Cu
pun segera menyiapkan sebatang pedang di tangan kiri.
Tubuh tegak lurus, pedang siap di dada, diimbangi dengan
gerakan tangan kanan. Sikapnya amat perkasa.
Ilmu pedang adalah rajanya ilmu senjata, lebih-lebih kalau
permainan itu dilakukan dengan tangan kiri. Sukarlah orang
menduga gerak perobahannya. Demikian Goan Goan Cu
dengan ilmu pedangnya ki-bun-cap-sa-kiam (tigabelas pedang
sakot) yang menggetarkan dunia persilatan itu. Namun
sedikitpun si Rase Kumala tak gentar.
Ilmu permainannya senjata ji-i-san-chiu yang terdiri dari
seratusdelapan jurus itu, adalah mencangkum semua inti sari
dari berbagai jenis permainan ilmu senjata. Kebagusan dari
pelbagai ilmu senjata itu dilebur menjadi satu kreasi (ciptaan)
ilmu ji-i-san-chiu. Jadi dapat dibayangkan betapa
kesaktiannya. Disamping itu senjata ji-i-san-chiu terbuat dari
mustika kumala kuno. Sebuah senjata pusaka yang tak
terkutungkan dengan senjata apapun juga.
Kalau Goan Goan Cu tersirap kaget dengan lawan yang
mengeluarkan senjata ampuh itu, adalah si Rase Kumala juga
tak kurang kejutnya. Dalam keadaan segenting itu, kedua
tokoh dari sepuluh Datuk itu, sama tak berani meninggalkan
kewaspadaannya. Goan Goan Cu sangat prihatin, si Rase
Kumalapun tak lagi bersikap jumawa.
Setelah masing-masing mempersilahkan lawan, keduanya
sama bergerak putaran sejenak. Pada lain saat, mulailah
pertandingan di dunia. Diiringkan keseimbangan gerakan
tangan kanan, pedang di tangan kiri Goan Goan Cu menusuk
dada lawan dengan jurus Siau-cin-thing-lam. Begitu ujung
pedang hampir mengenai, harus lah si Rase Kumala miringkan
tubuh sedikit, senjata diputar dalam jurus kiau-hi-liom-hoan
untuk balas menutuk jalan darah di-bun-hiat di tetek lawan.
Gebrak pertama yang dilakukan oleh dua orang datuk
persilatan itu, perbawanya menerbitkan desus angin yang
santer laksana naga bertempur dengan harimau. Sinar putih
dari pedang deras bagai hujan mencurah, sinar hijau dari
senjata cui-giok-ji-i memagut-magut bianglala mengarungi
angkasa. Setiap jurus dan gerak, adalah ilmu sakti yang jarang
tertampak dalam dunia persilatan.
Goan Goan Cu gunakan ilmu pedang hoan-ki-bun-kiamhwat
yang seumur hidup belum pemah dikeluarkan dalam
pertempuran. Hoan-ki-bun-kiam-hwat atau ilmu pedang
sungsang balik, setingkat lebih dahsyat dari ilmu pedang
biasa. Dikata sungsang balik, karena arah serangannya,
berlawanan dengan serangan ilmu pedang biasa. Lain dari itu,
seluruh tenaga lwekang dicurahkan ke batang pedang, jadi
setiap jurus serangannya tentu menderu-deru laksana
halilintar menyambar. Bagaimana dengan si Rase Kumala" Si Rase dengan senjata
kumalanya itu tak kurang hebatnya. Dalam sambaran pedang
yang deras, dia berlincahan menghindar, menangkis,
menutuk, membabat, mengait, menyodok, memapas, delapan
inti sari ilmu cui-giok-ji-i. Senjata kumala yang berkeredipan
laksana kunang-kunang di malam hari itu, bertebaran dengan
gerakan yang serba aneh. Begitulah dalam sekejap saja, pertempuran telah berjalan
lebih dari duaratus jurus. Sesaat Goan Goan Cu lancarkan tiga
buah serangan berantai, liong-siang-hong-bu (naga melayang
burung hong menari), to-kwa-thian-sin (menggantung terbalik
malaekat langit) dan ban-hwat-kui-cong atau selaksa ilmu
kembali pada pusatnya. Udara penuh dengan suara deru
halilintar menyambar, ribuan sinar pedang berhamburan ke
bawah. Si Rase Kumala mendongak bersuit nyaring, lalu
sekonyong-konyong melambung ke udara. Laksana biangkala
melayang ke angkasa, dia terbang menyusup ke dalam hujan
sinar pedang. "Tring, tring, tring...." berbareng dengan
buyarnya hujan sinar berhamburan keempat penjuru, dua
sosok bayangan loncat keluar dari gelanggang. Apa yang
terjadi" Kedua bayangan itu adalah si Rase Kumala dan Goan Goan
Cu yang sama loncat keluar. Ketika memeriksa pedangnya,
Goan Goan Cu dapatkan senjatanya itu ujungnya gempil dan
kutung beberapa centi. Kala itu hampir menjelang jam 4 pagi.
Rembulan sudah condong kebarat. Di bawah cahaya bulan
remang itu, tampak wajah Goan Goan Cu pucat seperti kertas.
Pedang kutung dibuangnya dan berserulah ketua Siang
Ceng Kiong itu dengan geram: "Ilmu ji-i-san-chiu, nyata tak
bernama kosong. Dua kali pinto menderita kekalahan, tak ada
lain kata lagi kecuali hendak menurutkan janji membunuh
diri!" Si Rase Kumala adalah seorang tokoh yang jumawa berhati
dingin. Hanya ada satu hal yang dia paling indahkan, yakni
kepribadian. Melihat Goan Goan Cu seorang tokoh yang
berkepribadian kesatria, dia menaruh perindahan juga. Tiada
lagi dia bersikap jumawa, dengan bersungguh-sungguh
berkatalah dia: "Shin-tok Kek menaruh respek (perindahan)
besar atas sikap totiang. Semua dendam penasaran berakhir
sampai disini saja dan aku hendak minta diri!"
Ucapan itu ditutup dengan sebuah bungkukan menghormat
kepada Goan Goan Cu. Namun ketua Siang Ceng Kiong itu
tidak balas menghormat. Wajahnya menampil senyum getir.
Memandang sejenak ke arah kawanan tojin yang
menggeletak di muka halaman Siang Ceng Kiong, sekonyongkonyong
dia angkat tangannya menghantam ke atas batok
kepalanya sendiri ..........
---ooo0dw0ooo--- 5. Banteng Lawan Harimau Tepat pada saat tinju Goan Goan Cu melayang ke batok
kepalanya, sekonyong-konyong dari udara terdengar sebuah
doa keagamaan melengking nyaring. Menyusul, serangkum
angin lembut yang berbau harum, meniup lemah ke bahunya.
Tangan yang akan membawa maut tadipun terpental.
Dalam kejutnya, Goan Goan Cu membuka mata dan
dapatkan seorang paderi tua bertubuh tinggi besar berdiri
dihadapannya. Wajah berseri paderi itu mengulum senyum,
sebuah senyum yang membuat Goan Goan Cu sesal kemalumaluan.
Melihat kepala Siang Ceng Kiong menundukkan kepala
kemalu-maluan, berserulah hwesio tua itu dengan nada
ramah. "Urusan toheng, telah kuketahui semua. Untuk
sahabat lama, aku bersedia mengulurkan bantuan."
Dan belum lagi Goan Goan Cu menyahut, paderi tua itu
sudah berputar tubuh menghadapi si Rase Kumala. Sambil
memberi hormat berkatalah dia: "Loni Bing King ........"
"Taysu adalah seorang saleh sakti yang termasyhur.
Kedatangan taysu secara tiba-tiba kemari ini, bukankah
karena hendak memberi pengajaran pada Shin-tok Kek?"
Paderi tua yang bukan lain memang Bing King Siangjin, itu
tokoh nomor satu dalam sepuluh Datuk, tersenyum menyahut.
"Kedatangan loni kemari ini hanya secara kebetulan saja
karena hendak menyambangi seorang sahabat lama. Tapi
urusan Shin-tok sicu dengan Goan Goan toheng itu, telah loni
ketahui. Sungguhpun cara Goan Goan toheng menghukum
muridnya Siau Hong itu terlampau keras, namun layak
tidaknya anak itu menerima hukuman begitu serta benar
tidaknya dia dicelakai orang, pada waktu ini masih belum
ketahuan jelas. Oleh sebab itu, apa yang sicu lakukan malam
ini, turut keadilan yang jujur, juga tak terluput dari kurang
pertimbangan yang mendalam."
Tertawalah si Rase Kumala nyaring-nyaring, bantahnya:
"Shin-tok Kek amat mengagumi ketajaman lidah tay-hweshio.
Hanya apakah kematian puteriku itu juga cukup sampai disini
saja?" Hweshio tua yang telah mencapai kesempurnaan ajaran
agama itu, tak tersinggung dengan ucapan si Rase Kumala
yang sinis itu. Dengan wajah tetap berseri ramah, dia
kembalikan bantahan: "Membalas dendam, tetap menggelora
dalam dada manusia sepanjang masa. Kematian leng-ay
(anakmu perempuan), disebabkan musabab lain. Mengapa
sicu tak mencarinya kesitu" Setelah sebab musababnya
diketemukan, barulah dapat dijatuhkan putusan mana yang
salah dan benar. Entah bagaimana pendapat sicu?"
Si Rase Kumala tertawa. "Peribahasa mengatakan: 'obat takkan mematikan
penyakit, mengabdi agama itu memang ada jodohnya".
Sayang Shin-tok Kek tak berjodoh dengan Buddha, jadi
betapapun taysu cape-cape putar lidah, sukar untuk
menyadarkan pikiran yang sudah kalut. Dalam melakukan
sepak terjang, Shin-tok Kek mengutamakan leganya sang hati.
Oleh karena itu dalam soal jiwa siao-li, Shin-tok Kek baru akan
merasa puas kalau sudah mendapat ganti jiwa orang yang
tersangkut. Ah, lama nian toa-hwesio memiliki ilmu kesaktian
Pendekar Kembar 2 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Rahasia Istana Terlarang 12
^