Pencarian

Si Rase Kumala 2

Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Bagian 2


kalangan sian-bun (agama). Bahwasanya dengan berkunjung
kemari mencampuri urusan ini, tentulah toa-hweshio
mempunyai maksud tertentu. Tambahan pula, berita tentang
bertemunya tiga orang datuk di gunung Mosan sini, tentu
akan menjadi buah tutur yang menggemparkan di kalangan
persilatan. Dipercaya toa-hweshio tentu tak mau pelit memberi
pelajaran!" Melihat wajah orang membengis murka, mau tak mau
mengerut juga alis hweshio besar itu, ujarnya: "Sesuai dengan
ajaran kasih sayang dari agama kami, loni selalu
menggunakan jalan damai dalam setiap persengketaan. Cara
kekerasan, pantang ditempuh oleh kaum agama. Namun
karena urusan malam ini rasanya tak mungkin diselesaikan
dengan kata-kata saja, maka loni ikhlas serahkan tubuh loni
untuk menerima sebuah hantaman dari sicu. Semoga hal itu
dapat menjadi cara penyelesaiannya. Apabila loni sampai
rubuh atau terluka dengan pukulan sicu itu, silahkan sicu
sekehendak hati menyelesaikan urusan malam ini, loni takkan
ikut-ikutan. Namun apabila Hud memberkahi loni, harap, sicu
suka tangguhkan urusan ini sampai lain kali apabila sudah
ketahuan terang siapa yang bersalah. Entah apakah sicu dapat
menerima usul loni ini?"
Mendengar itu pecahlah gelak tawa si Rase Kumala.
"Sungguh malam yang berbahagia dapat berjumpa dengan
seorang kojin (sakti). Prinsip kasih sayang yang toa-hweshio
pegang teguh itu, betul-betul Shin-tok Kek amat menjunjung
tinggi dan tak berani membantah. Silahkan toa-hweshio
segera bersedia, agar Shin-tok Kek dapat menunaikan 'jodoh
sebuah pukulan' itu."
Habis berkata, serentak dia menyimpan senjata cui-giok-ji-i
ke dalam lengan baju, kemudian melangkah maju dan berdiri
dengan jumawanya. Sebenarnya Goan Goan Cu sudah hendak
mencegah Bing King Siangjin, namun urusan sudah sampai
sedemikian rupa, dia tak berdaya lagi dan terpaksa diam.
Benar dia mendengar bahwa ilmu Bing King Siangjin telah
mencapai tingkat kesempumaan "Kim-kong-put-huay"
(malaekat yang tak rusak atau kebal), namun si Rase Kumala
adalah bintang cemerlang dari sepuluh Datuk. Betapa dahsyat
pukulannya, dapat dikira-kirakan sendiri. Kalau sampai terjadi
sesuatu, bukankah dia (Goan Goan Cu) seperti mencelakai
sahabatnya itu" Dengan kekuatiran itu, dia melangkah maju, maksudnya
hendak melerai. Tapi dikala sang kaki baru diayun, Bing King
sudah mencegahnya. "Harap toheng jangan kuatir. Kalau loni benar-benar tak
dapat bertahan, kiranya tak terlambat apabila pada saat itu
toheng menghabisi jiwa!"
Mundur teraturlah Goan Goan Cu. Tapi demi mengawasi ke
arah si Rase Kumala, dia menjadi terkesiap. Wajah si Rase
Kumala itu menampilkan hawa pembunuhan yang bernyalanyala,
ubun-ubun kepalanya mengeluarkan asap. Diam-diam
kepala Siang Ceng Kiong itu kucurkan keringat dingin.
Sebaliknya, Bing King Siangjin tetap tenang. Seperti tak
merasa apa-apa dia tampil ke muka dan berdiri kira-kira
setombak jauhnya dari si Rase Kumala. Kemudian dia
mempersilahkan orang segera melancarkan pukulan.
Si Rase Kumala tertawa tawar sambil diam-diam
memusatkan sembilan bagian dari lwekang tay-ceng-kong-gi
ke tangan kanan. "Toa-hweshio, bersiaplah!"
Maju setengah langkah, lengan kanan dilempangkan lurus
ke muka dan sekali telapak tangan digerakkan, dia mendorong
ke arah dada Bing King. Angin menderu, baju berkibar-kibar.
Sepasang alis Bing King mengerut, matanya menunduk ke
bawah. Tubuhnya yang tinggi besar itu, berayun-ayun
menuruntukan deru angin pukulan. Bumi yang dipijaknya,
pelahan demi pelahan turut ambles. Sebuah adegan yang
ngeri penuh maut. Demikian kira-kira sepeminum teh lamanya, tiba-tiba si
Rase Kumala tarik pulang tangannya. Sorot matanya
memancarkan sinar kekaguman yang tak terhingga. Ditiup
desir angin malam, baju Bing King sekonyong-konyong
menghamburkan debu, beterbaran keempat penjuru. Di
bawah leher bayunya, sama rowak berkeping-keping seperti
dicakar dengan lima buah jari.
Kala itu, Bing King mulai membuka mata. Dengan agak
terengah, dia berkata: "Syukur hud-cou memberi berkah dan
terkabullah penyelesaian dengan sebuah pukulan."
Tiba-tiba si Rase Kumala tertawa nyaring, serunya: "Toahweshio
benar-benar sakti, Shin-tok Kek kagum tak terhingga.
Dengan ini selesailah persoalan malam ini, selanjutnya
perkembangan lain harilah yang akan memutuskan. Sekalian
tojin itu, hanya tertutuk jalan darah hun-hiatnya, rasanya
dengan ilmu Hud-hwat toa-hweshio yang tiada terbatas itu,
tentu aku dapat mengembalikan mereka. Hanya dikarenakan
mereka sudah cukup lama tertutup jalan darahnya, jadi
perlulah dirawat seperlunya. Disini tersedia pil ceng-leng-wan,
cukup diaduk dengan air bersih dan diminumkan, tentulah
akan jadi baik." Habis berkata, diambilnya sebuah botol kumala lalu
ditaruhkan di atas tanah. Begitu bersuit panjang, dua orang
anak muncul dengan menggotong sebuah tandu. Secepat si
Rase Kumala loncat ke dalam, kedua anak itu segera
memanggulnya turun gunung .........
Menutur sampai disini, pak tua berhenti. Dia mendongak ke
atas, seolah-olah seperti mengenangkan kejadian pada masa
yang lampau. Pemuda tanggung yang tengah asyik
mendengarkan itu, sudah tentu tak mau tahu.
"Yah, bukankah Siau-sat-sin Li Hun-liong putera dari Pakthian-
san Song-sat pernah mngatakan, tak mau hidup
bersama-sama dengan Siau Hong" Dari ucapan itu, terang
yang menulis surat kaleng itu tentulah dia. Apakah begitu
mudah saja si Rase Kumala melepaskan dia?" tanyanya.
Pak tua merenung sejenak. Kemudian menatap wajah si
anak, dia kedengaran menghela napas, ujarnya: "Dulu ketika
ayah mendengar cerita itu, juga mengajukan pertanyaan
serupa dengan kau ini. Tapi perkembangan kisahnya, ternyata
di luar dugaan orang! Turut kata orang yang membawakan
cerita ini padaku, sepergi dari gunung Mosan, si Rase Kumala
terus langsung menuju ke gunung Pak-thian-san untuk
mencari Song-sat. Ternyata disana Song-sat menyambutnya
dengan tenang dan berterus terang. Dia amat menghormat
sekali kepada si Rase Kumala, kemudian menyuruh puteranya
(Li Hun-liong) keluar mengadakan testing tulisan. Setelah
dipadu, ternyata tulisannya itu tak sama dengan tulisan dalam
surat kaleng itu. Hal itu telah membuat si Rase Kumala yang cerdik jumawa,
bungkam dalam seribu bahasa. Walaupun biasanya dia suka
membawa kemauan sendiri tak menghiraukan segala alasan
orang, namun dalam keadaan seperti itu, tak dapat lagi dia
berkeras kepala menuduh secara membabi buta. Datang
dengan kemarahan menyala-nyala, terpaksa si Rase Kumala
kembali dengan semangat padam lesu. Sejak itu, walaupun
sudah berpuluh tahun lamanya dia tak henti-hentinya
melakukan penyelidikan, namun hingga kini tetap belum
berhasil. Berpuluh tahun lamanya, peristiwa itu tetap
terbungkus kabut ......"
"Yah, siapa si curang yang telah mencelakai dan menulis
surat kaleng itu" Apakah Siau Hong sungguh dicelakai orang
sehingga tak sadar melakukan perbuatan itu?" tanya Ih-ji.
Dihujani pertanyaan, pak tua hanya ganda tertawa,
sahutnya: "Anak tolol, itulah pertanyaan-pertanyaan yang
tetap menjadl rahasia sampai sekarang. Kalau dulu-dulu sudah
terpecahkan, tentu urusan akan sudah selesai!"
Muka si bocah tampak kesal, ujarnya: "Yah, dalam
peristiwa itu, turut penglihatan Ih-ji, kesemua-semuanya
terletak pada Goan Goan Cu yang memberi hukuman menurut
kemauannya sendiri. Seharusnya dia menyelidiki sampai
terang, baru menjalankan keputusan, dengan begitu tentulah
tak sampai terjadi onar besar, yang paling kasihan adalah
Shin-tok Lan, hem ...... kalau aku menjadi si Rase Kumala,
bukan hanya meminta ganti jiwa Goan Goan Cu pun
menjadikan biara Ceng Kiong Kiong sebuah karang arang!"
Menampak bagaimana si Ih-ji dengan wajah murka dan
nada dendam mengucapkan kata-katanya itu, kejut si pak tua
tak terkira. Serentak dicekalnya tangan si bocah itu.
"Betapapun kurang bijaksananya tindakan Goan Goan Cu,
namun tak seharusnya kau berpikir demikian, bagaimanapun
juga dia adalah kau ......"
Baru mengucap sampai disini, seperti terkena stroom listrik,
buru-buru si pak tua berhenti. Dia merasa sudah kelepasan
omong. Namun Ih-ji yang cerdik itu sudah dapat mencium
bau. Loncat dari pelukan sang ayah, dia tegak berdiri
menggagah (memandang dengan bernyala-nyala) ke arah pak
tua, serunya: "Yah, kaukatakan Goan Goan Cu itu apaku"!"
Pak tua menghela napas panjang.
"Apakah yang seharusnya tak boleh dikatakan, terpaksa
kukata kan juga ........" gerutunya.
Bahwa berlainan jawab dengan apa yang ditanyakan, Ih-ji
segera menggoyang-goyang kedua bahu sang ayah, seraya
merengek: "Yah, bilanglah, apa hubunganku dengan Goan
Goan Cu itu?" Sekonyong-konyong sepasang biji mata pak tua membeliak
dan dengan nada berat berkatalah dia: "Dia ....... adalah
sucoumu (kakek guru)!"
Ih-ji menyambut kata-kata ayahnya itu dengan sebuah
teriakan kaget. Setelah termenung sampai sekian saat,
akhirnya dengan nada gentar, dia berkata: "Yah, kalau begitu,
Ih-ji ini adalah Siau ......."
Belum Ih-ji menyelesaikan kata-katanya, pak tua sudah
merangkulnya kedalarn pelukan, katanya dengan rawan:
"Benar, kau adalah putera dari Siau Hong. Ayahmu ini adalah
orang yang mengemban titipan seorang sahabat tapi ternyata
tak dapat menyelesaikan tugas itu, yakni si Dewa Tertawa
......" Bayangan peristiwa yang lampau, menyebabkan dia tak
dapat meneruskan kata-katanya. Alam pegunungan yang
bermandikan cahaya gemilang dari sang surya, terasa diliputi
oleh suasana haru duka. Tokoh terkemuka dunia persilatan
pada zaman itu, tampak membelai-belai rambut Ih-ji dengan
sebentar-sebentar menghela napas panjang pendek. Muka si
anak yang tertelungkup dalam pelukannya itu, diangkatnya
pelahan-lahan, lalu dengan kasih sayangnya diusapinya air
mata yang menggenangi muka anak itu.
"Sebenarnya setelah kau dewasa, baru ayah akan
menuturkan hal itu padamu, tapi ah, apa mau dikata ........."
Tapi Ih-ji segera menukasnya: "Yah, tapi begitu ada lebih
baik. Dengan mengetahui kalau mempunyai tugas besar
membalas dendam orang tua, Ih-ji tentu lebih giat belajar. Ihji
bersumpah akan menuntut balas dan mencuci bersih noda
cemar ayah bunda itu. Musuh besar almarhum ayah bunda itu
akan kucingcang menjadi frikadel, agar arwah ayah bunda
dapat mengasoh dengan tenteram di alam baka!"
Jalan sang waktu seperti anak panah terlepas dari
busurnya. Musim ganti berganti menunaikan tugasnya di
bumi. Tak terasa tiga tahun telah lalu. Jejaka tanggung kini
sudah berusia enambelas tahun. Dalam sesingkat waktu itu,
dia seperti didorong oleh suatu kemauan keras untuk belajar
giat. Maka tak heranlah, dalam segala hal baik ilmu silat
maupun surat, dia telah mencapai prestasi yang gilang
gemilang. Seorang anak yang naik dewasa, bukan melainkan
pertumbuhan tubuhnya saja yang pesat, pun orangnya akan
menjadi lebih cakap dan ganteng. Sifat kekanak-kanakan yang
suka ceriwis itupun hanyut ditelan alam kedewasaannya. Dia
lebih tenang dan anteng. Selama belasan tahun berkumpul
dengan tokoh Dewa Tertawa itu, kecuali dengan ayahangkatnya
itu, jarang benar dia bersuara. Dia seolah-olah
dikejar waktu. Sepanjang hari hanya berlatih keras dan sepanjang malam
hanya mencita-citakan menuntut balas. Walaupun ada kalanya
senggang (tak berlatih), namun dia tak mau nganggur. Ya,
hanya belajar dan berlatih terus!
Kesemuanya itu tak terlepas dari tinjauan si Dewa Tertawa.
Diam-diam tokoh-tokoh itu makin sayang akan anakangkatnya
yang berbakat bagus dan berhati keras.
Ibarat burung bagus hinggap di dahan bagus, begitulah
seorang tunas yang berbakat bagus telah mendapat
bimbingan dari seorang tokoh yang lihay. Dalam waktu tiga
tahun saja, Ih-ji telah menjadi seorang pemuda yang tinggi
ilmu silatnya baik dalam hal gwakang (tenaga luar) maupun
lwekang (tenaga dalam). Pada suatu sore, si Dewa Tertawa memanggil Ih-ji.
"Dalam tiga tahun terakhir ini, kau telah mencapai
kemajuan pesat. Seluruh kepandaian ayah, telah kuturunkan
semua padamu. Kekurangan satu-satunya padamu, hanyalah
berlatih terus sampai sempurna. Asal mau berlatih giat, tentu
akan berhasil. Sekalipun demikian, tingkat kepandaian yang
kaumiliki sekarang ini, tiada sembarang ko-khiu (tokoh kelas
berat) dalam dunia persilatan dapat menandingi kau.
Kini kau sudah berusia enambelas tahun. Sudah tiba
waktunya kau turun ke dunia persilatan, mencari pengalaman
disamping mengembangkan pelajaranmu. Kalau terus-terusan
ikut pada ayah, sekalipun sepuluh tahun lagi, kau akan tetap
menjadi seorang anak kecil. Oleh karena itu, walaupun dengan
berat hati, namun terpaksa ayah hendak menyuruhmu turun
gunung besok pagi. Juga ayah sendiripun akan menuju ke
daerah Lamkiang untuk menyelesaikan suatu urusan lama.
Setahun kemudian, kau harus kembali lagi ke gunung Hoanke-
san sini, pada waktu itu ayah tentu sudah menunggu disini.
Dalam setahun ini, kau bebas bergerak kemana saja, pesiar
menikmati pemandangan di berbagai daerah, sekalian mencari
jejak musuhmu. Tapi ingatlah senantiasa! Jangan agulkan karena sudah
memiliki kepandaian tinggi, karena dunia persilatan itu sebuah
gelanggang yang penuh bahaya. Gunakanlah kecerdasan otak
dan kesaktian ilmu untuk menghadapi segala sesuatu!"
Sewaktu si Dewa Tertawa mengakhiri pesannya, Ih-ji
tampak termangu-mangu. Benar menuntut balas senantiasa


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi idam-idamannya, tapi serambutpun dia tak
menyangka bahwa waktunya bakal datang secara begitu
singkat. Juga untuk berpisah dengan ayah angkatnya yang
telah mengasuhnya selama belasan tahun itu, terasa amat
berat dalam hatinya. Tanpa dikuasai lagi, air matanya
bercucuran membasahi kedua belah pipinya. Terkejut, girang
atau sedihkah dia" Entah tak tahu dia merasakannya.
Demikian perasaan Ih-ji, demikian perasaan Siau-sian-ong.
Jago tua itupun seperti disayat-sayat hatinya. Namun
mengingat bahwa harapan selama belasan tahun itu sudah
terlaksana, hatinya terhibur juga.
Dengan sedih-sedih girang, diusapinya air mata Ih-ji, lalu
dengan sikap amat menyayang dielus-elusnya bahu pemuda
itu. "Hari sudah malam, karena besok kau akan berangkat, baik
lekas beristirahat sana!"
Begitulah malam itu tak terjadi suatu apa dan pada
keesokan harinya, si Dewa Tertawa memanggil anak
angkatnya. "Ayah tak mempunyai suatu barang berharga sebagai
bingkisan perjalananmu, kecuali beberapa patah kata ini:
"Hati tak boleh melamun kosong, tubuh tak boleh
sembarangan bergerak, mulut tak boleh semau-maunya
bicara. Ini artinya cermin dari kesungguhan hati yang bersih.
Ke dalam tak menipu diri sendiri, keluar tak menghina orang,
ke atas tak menyalahi Tuhan, ini namanya dapat bertindak
secara hati-hati dan bijaksana.
Harap camkan baik-baik!".
Habis memberi pesan itu, diambilnya sebuah bungkusan
kecil dan sebilah pedang, katanya pula: "Dalam bungkusan ini
terdapat seratus tail mas, berpuluh tail perak hancur dan
beberapa potong pakaian yang baru yang khusus kubuat
untukmu." Berkata sampai disini, mendadak wajah si Dewa Tertawa
berobah keren. Memandang ke arah pedang yang dicekal
dalam tangannya itu, dia berkata dengan nada berat: "Pedang
ini bernama Thian-coat-kiam. Benar bukan rajanya sekalian
pedang, namun dapat juga mengutungkan tebaran rambut
dan memapas segala logam. Dia pernah mengikut aku selama
berpuluh-puluh tahun, menjelajah negeri menyelam laut.
Entah sudah berapa banyak kepala bangsa durjana yang
kutung, entah berapa banyak darah orang jahat yang
diminumnya. Saat ini ayah, hendak serahkan pedang itu
padamu, dengan harapan agar kau dapat menyintai dan
menggunakannya seperti dahulu ayah memperlakukannya.
Ingat, sejak dahulu kala hingga sekarang, pusaka itu
mempunyai khasiat gawat. Barang siapa yang menjalankan
dharma kebajikan, dia tentu kuat memiliki. Tapi bagi siapa
yang memiliki pusaka dan berbuat jahat, dia tentu menerima
kutukan kemusnahan. Sekali lagi kuharap kau suka mengukir
baik-baik dalam hatimu, kalau tidak ayahpun berdaya untuk
melindungimu Sewaktu mengucapkan dua patah kata-kata yang terakhir.
wajah si Dewa Tertawa mengerut keren. Ih-ji bercekat dan
dengan hormatnya dia tersipu-sipu menyambutinya. Ketika
menjentik dengan jari, pedang itu berdering nyaring laksana
aum seekor naga. Panjang pedang itu hanya tak sampai satu
meter, bentuknya seperti ekor burung seriti.
Begitu Ih-ji melolosnya, serangkum cahaya berkilauan yang
dingin segera memancar. Pedang dilintangkan ke muka dada,
kemudian berlutut ke tanah dia mengucapkan sebuah
sumpah: "Kalau Ih-ji sampai menyeleweng dari petuah ajaran ayah,
biarlah Tuhan memusnahkan diriku!"
Kerut wajah si Dewa Tertawa pulih tenang, lalu tersenyum:
"Bagus, bangunlah, ayah masih ada pesan lagi!"
Ih-ji menurut perintah. Dari dalam baju, si Dewa Tertawa
merogoh keluar sepucuk sampul dan sebuah mainan kumala.
"Begitu turun gunung, kau, harus segera menyambangi
kuburan ayah bundamu. Bundamu dimakamkan di selat Liuhun-
hiap gunung Tiam-jong-san, sementara jenazah ayahmu
yang kala itu teruruk runtuhan puing, konon kabarnya
dipindah Goan Goan Cu untuk di kubur di belakang biara Siang
Ceng Kiong. Entah benar entah tidak. Lebih dahulu kau boleh
menuju ke Mosan, tapi ingat, jangan sekali-kali bentrok
dengan para tojin Siang Ceng Kiong, lebih-lebih terhadap
Goan Goan Cu tak boleh mendendam rasa permusuhan.
Percayalah, bahwa meskipun dia keras adatnya, tapi tak nanti
mencelakai anak-anak angkatan muda.
Jangan tinggal lama-lama di Mosan, begitu sudah
menyambangi kuburan ayahmu, harus lekas pergi ke Tiamjong-
san untuk menghadap gwakong-mu (kakek), disitu
sekalian menyambangi makam ibumu. Gwakongmu itu aneh
wataknya, tak dapat kubayangkan bagaimana sikapnya
apabila bertemu denganmu nanti. Tapi ingatlah, apapun
pelayanan yang kau terima, harus tetap menghormatinya
jangan sekali-kali unjuk kekurang-ajaran. Sampul surat ini,
boleh kau terimakan pada gwakongmu. Dan mustika kumala
ini adalah milik almarhum ayahmu yang diberikan pada ibumu
selaku panjar kawin. Ini dapat dijadikan barang bukti. Nah,
sekian pesan ayah dan sekali lagi harap kau selalu berhati-hati
dalam perjalanan!" Bicara sampai disini, hidung si Dewa Tertawa tampak
berkembang kempis karena menahan air mata. Demikianpun
Ih-ji Suatu perpisahan yang dirasakan amat berat sekali.
Dengan menahan kucuran air mata, sampul dan mustika
kumala disambuti dan dimasukkan ke dalam dada bayunya,
kemudian menyanggulkan bungkusan dan pedang di belakang
bahunya. Sejenak menyapukan matanya ke sekeliling gubuk
kayu yang menjadi tempat tinggalnya selama belasan tahun,
dia terlongong seperti berat meninggalkan. Akhirnya setelah
puas merenung, barulah dia bersama sang ayah angkat turun
gunung. Tiba dimulut gunung, kembali si Dewa Tertawa memberi
nasehat panjang lebar, bagaimana seharusnya membawa diri
dalam masyarakat dunia persilatan yang penuh golak bahaya
itu. Menjelang tengah hari, barulah kedua sama berpisah
dengan berat hati. ---ooo0dw0ooo- 6. Oh, Ayah ...... Pada zaman ahala Han, adalah seorang bernama Mo Ing
dan kedua adiknya Mo Ko dan Mo Ay, bertapa di gunung
Mosan dan berhasil mencapai kesempurnaan menjadi sian
(dewa). Demikian cerita orang-orang tua dari zaman ke
zaman. Untuk mengabadikan peristiwa itu, maka sampai
sekarang gunung itu dinamakan Mosan. Goa tempat bertapa
ketiga saudara itu, sampai kinipun masih ada, disebut goa
keramat Hoa-yang-tong. Gunung Mosan terletak di sebelah tenggara kabupaten Kiyong-
hian propinsi Kiangsu. Alam pemandangan disitu amat
indah dan tenang. Disana sini terdapat biara-biara suci.
Diantaranya yang terbesar ialah biara Siang Ceng Kiong. Biara
yang dibangun dengan membelakangi gunung itu, amat besar
dan megah sekali. Kalau itu adalah permulaan musim rontok. Baru saja sang
surya mengintip di ufuk timur, sinamya keemasan segera
menembus kabut yang membungkus alam pegunungan itu.
Laksana sang dewi baru terjaga dari peraduannya (tidur),
alam pemandangan gunung Mosan makin tampak indah
dengan permainya. Adalah baru saja biara Siang Ceng Kiong selesai dengan
pelajaran pagi, tiba-tiba di muka biara muncul seorang
pemuda cakap berusia diantara 16-17 tahun. Walaupun
pakaiannya warna biru itu terbuat dari kain kasar, namun
kesederhanaan itu tak mengurangkan perbawa pemuda itu.
Dia menjinjing sebuah bungkusan kecil dan berjalan mondar
mandir di muka biara itu. Sejenak tertegun merenung, sejenak
memandang ke biara dengan sangsi-sangsi dan sejenak
mondar mandir seperti orang mencari pikiran. Beberapa saat
kemudian. akhirnya dia seperti sudah mengambil ketetapan
lalu melangkah masuk ke dalam pintu.
Baru saja kakinya melangkah di pintu, seorang tojin
pertengahan umur sudah muncul menyongsongnya.
"Bu-liang-siu-hud, sicu dari mana?" tegurnya memberi
salam keagamaan. Pemuda itu cepat memberi hormat seraya menyahut:
"Cayhe sedang pesiar ke gunung sini, karena mendengar
kemasyhuran kui-kwan (biara saudara), ingin sekali
berkunjung menunaikan hormat, entah apakah
diperbolehkan?" "Ah, silahkan sicu masuk!" jawab si tojin.
Setelah menghaturkan terima kasih, pemuda itu masuk ke
dalam biara. Membiluk sebuah ruangan luas, tibalah dia di
muka sebuah sin-tian (ruangan pemujaan dewa). Mendongak
ke atas, pemuda itu melihat ada sebuah papan besar
bertuliskan tiga buah huruf "Lu-cou-tian". Tahu dia, bahwa
ruangan itu adalah tempat pemujaan dewa Lu Tun-yang atau
Lu Tong-pin. Dan memang waktu melangkah masuk, disitu terdapat
sebuah arca besar dari dewa Lu Tong-pin yang memegang
hud-tim (kebut pertapaan) dan memanggul sebatang pedang
pusaka. Arca itu tampaknya seperti hidup. Api pedupaan
bergulung-gulung menyiarkan asap wangi.
Tengah pemuda itu menikmati pemandangan di ruangan
itu, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah suara
berkumandang nyaring: "Bu-liang-siu-hud! Sicu tentu
menunggu lama, maafkan!"
Berpaling ke belakang, pemuda itu menampak di luar pintu
ruangan ada seorang tojin berjubah kuning, tengah memberi
hormat kepadanya. "Totiang keliwat sungkan, adalah sebaliknya cayhe yang
hendak merepotkan Totiang untuk melihat-lihat kui-kwan,"
tersipu-sipu pemuda itu balas memberi hormat.
Tojin itu menyatakan kesediaannya, karena hal itu sudah
menjadi tugas kewajibannya. Kemudian atas pertanyaan si
pemuda, tojin itu menerangkan bahwa nama gelarannya ialah
Hian Long. Setelah saling mengucap beberapa patah kata
merendah, si pemuda lalu ikut Hian Long tojin keluar dari Lucou-
tian untuk melihat-lihat ke dalam biara.
Ternyata bangunan biara itu amat luas sekali, ruanganruangannya
pun besar-besar. Walaupun memuat ratusan
paderi, tapi keadaan biara itu tampak sunyi tenteram.
Disiplin para tojin disitu pun baik sekali. Setiap kali si
pemuda masuk ke dalam ruangan pemujaan, tojin penjaga
disitu tentu menyambutnya dengan hormat. Diam-diam
pemuda itu menduga, tentulah Hian Long itu menempati
kedudukan tinggi dalam biara itu sehingga mendapat
penghormatan sedemikian rupa oleh para tojin. Juga dalam
perkenalan sesingkat itu, tahulah pemuda itu bahwa bukan
melainkan dalam ilmu keagamaan Hian Long itu amat dalam,
pun ilmu silatnya juga tinggi.
Setelah mengunjungi habis seluruh ruangan-ruangan
pemujaan, rupanya anak muda itu masih belum puas. Sembari
tertawa dia menanyakan: "Maaf, Totiang. Apakah masih ada
lainnya yang sekiranya Totiang berkenan membawa cayhe
melihat-lihat?" Dalam perkenalan singkat itu, Hian Long dapatkan bahwa
tetamunya muda itu selain cakap dan gagah, pun tingkah
lakunya amat sopan rendah. Sungguh seorang pemuda yang
tak tercela. Hanya sayang sedikit pada kedua alisnya itu
menampilkan sifat-sifat hawa membunuh. Dan sebagai
seorang paderi yang berilmu, menilik dari pancaran matanya
yang berkilat-kilat, dia yakin pemuda itu tentu ahli dalam ilmu
lwekang. Bebarapa kali dia coba mengorek keterangan,
namun setiap kali pemuda itu selalu menyimpangkan
pertanyaan atau hanya ganda tertawa saja.
Walaupun menginsyafi bahwa tetamunya itu bukan tetamu
biasa, tojin itu tetap tak mengetahui apa maksud
kedatangannya. Apalagi pemuda itu selalu membawa sikap
yang hormat, ini lebih membingungkan. Kini mendengar
pertanyaan si anak muda tadi dia merenungkan sejenak.
Kemudian setelah mengawasi wajah sang tetamu itu
dirangsang dengan rasa ingin tahu, dia menyahut: "Rupanya
sicu amat gemar menikmati segala sesuatu, untuk itu
sebenarnya pinto tak layak membikin kecewa. Tapi memang
tempat-tempat yang pantas dilihat dalam biara ini sudah pinto
unjukkan tadi. Yang masih belum dilihat hanyalah sebuah
taman tak terurus di belakang biara. Disitu tumbuh berpuluhpuluh
batang pohon bambu merah. Kalau sicu ingin melihat,
pintopun suka mengunjukinya".
Girang sekali pemuda itu mendengarnya.
"Ada sebuah taman yang begitu bagus, mengapa tak
Totiang katakan tadi-tadi. Bambu merah, adalah bambu
istimewa keluaran Thian Tiok (India). Lama benar kepingin
melihatnya, maka sudilah Totiang membawa cayhe kesana."
Namun Hian Long masih bersangsi dan mengatakan bahwa
taman itu sudah lama tak terawat. Pemuda itu tetap
memintanya, maka terpaksa Hiang Long menuruti.
Sepeminum teh lamanya berjalan melalui ruangan demi
ruangan, akhirnya tibalah mereka di belakang biara. Disitu
terdapat sebuah jalan panjang yang menuju ke sebuah pintu
besar terbuat dari kayu. Pintu itu tertutup rapat dengan
sebuah gembok besar yang sudah karatan. Menandakan
bahwa sudah beberapa tahun, pintu itu tak pernah dibuka.
Tiba di muka pintu, Hian Long tertegun, tapi pada lain saat
dia tertawa sendiri, ujarnya: "Karena bergegas-gegas
membawa sicu ke mari, pinto sampai lupa kalau pintu itu
dikunci. Kalau balik mengambil anak kunci, tentu akan makan
tempo, maka terpaksa pinto hendak merusakkan gemboknya
saja." Si pemuda menghaturkan terima kasih atas kesediaan si
tojin. Sesaat Hian Long lalu gunakan ibu jari dan jari telunjuk
kanan, memijat pelahan-lahan pada gembok besar itu. Ajaib,
gembok yang tak kurang dari berpuluh kati beratnya itu,
seketika menjadi putus. "Sakti nian Totiang," seru si pemuda memuji.
Sebaliknya Hian Long diam-diam menjadi terkesiap. Nyata
melihat demonstrasi tenaga hebat begitu, si pemuda hanya
memuji dengan nada yang wajar, sedikitpun tak menyatakan
kekagetannya. Kalau begitu, nyata kepandaian pemuda itu


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sukar diukur. Malah pada saat itu si pemuda menyusuli kata-kata:
"Meskipun cayhe seorang bunsu (sekolahan), tapi banyak
bergaul dengan kaum hiapsu (orang gagah). Baik tokoh-tokoh
ternama maupun tokoh-tokoh pemimpin partai persilatan,
cayhe banyak yang kenal. Kui-kwancu Goan Goan Totiang
adalah seorang ketua cabang persilatan yang termasyhur,
entah apakah cayhe diperkenankan menghadap untuk
menyampaikan hormat?"
Bahwa pemuda yang sikapnya menjadi teka teki itu kini
menanyakan ketua Siang Ceng Kiong, makin membuat
keheranan Hian Long menjadi-jadi. Dia menduga, tentu ada
sebabnya. Namun hati berpikir begitu, wajahnya tetap tenang
lalu dengan masih ramah tertawa dia menyahut: "Lebih dari
sepuluh tahun yang lalu, Goan Goan Totiang belum kembali
dari perkelanaannya. Kemana beliau menuju, tiada
seorangpun yang mengetahui. Oleh karenanya terpaksa sejak
enam tahun yang lampau, pejabat kuancu dipegang oleh Hian
Cin Totiang." Mendengar itu, si pemuda tampak kecewa. Dengan nada
sesal, dia minta agar kelak apabila Goan Goan Totiang sudah
pulang, sudilah Hian Long tojin menyampaikan hormatnya
kepada pemimpin biara itu. Untuk itu Hian Long
menyanggupinya. Pada lain saat, sekali Hian Long mendorong pelahan-lahan,
kedua daun pintu yang berat itu terpentang lebar. Mengikuti di
belakang si tojin, pemuda itu melangkah masuk lalu
memandang keadaan taman itu.
Benar seperti yang dikatakan Hian Long, taman biara itu
tampaknya terbengkelai tak terurus. Tanahnya sih luas sekali,
tapi penuh ditumbuhi rumput alang-alang dan rotan. Sebuah
bungalow kecil yang berada di kebun itu, sudah hampir rubuh
karena reyotnya. Satu-satunya pemandangan yang
menyedapkan mata, hanyalah bunga-bunga seruni hutan yang
merajalela semau-maunya memain dalam tiupuan sang angin.
Tepat ditengah-tengah taman itu, berbaris berpuluh-puluh
batang bambu besar yang berwarna merah. Itulah yang
disebut cu-tiok atau bambu merah dari Thian Tiok.
Memeriksa ke dekat tanaman bambu itu, si pemuda
dapatkan batang bambu itu amat besar lagi kokoh, wamanya
merah seperti api. Ketika dijentik dengan jari, bambu istimewa
itu mengeluarkan suara kumandang nyaring macam
genderang berbunyi. "Alam semesta ini penuh dengan keanehan, memang benar
kiranya ....." demikian baru saja mulut pemuda itu
mengeluarkan pujian, matanya segera tertumbuk akan suatu
benda yang menggoncangkan hatinya. Di ujung taman
sebelah barat laut sana, tampak ada serumpun rimba kecil
dari pohon hong. Di tengah-tengah rimba kecil itu, berkilatkilat
cahaya dari sebuah batu nisan .......
"Belum pernah cayhe melihat rumpunan pohon hong yang
tumbuh sedemikian suburnya seperti itu, kini cayhe hendak
memuaskan mata kesana!" berpaling ke arah Hian Long,
pemuda itu tersenyum berkata.
Hendak Hian Long mencegahnya, tapi seperti tak mau
melihatnya lagi, pemuda itu terus saja melangkah kesana.
Terpaksa Hian Long cepat-cepat mengikuti dan sebentar saja
mereka sudah berada dalam hutan pohon hong itu. Ternyata
memang di tengah rimba kecil itu, terdapat sebuah gundukan
tanah yang menonjol ke atas dan di mukanya terpasang
sebuah batu nisan besar. Pada batu nisan itu terukir 13 huruf
yang berbunyi: "Tempat kuburan tulang Siau Hong anak murid yang
berdosa dari Siang Ceng Kiong."
Aneh. pemuda itu tampak tegak di muka nisan,
pemandangannya dengan termangu-mangu. Wajahnya
menampil haru kerawanan. Hian Long tojin karena berdiri di
belakangnya jadi tak melihat perobahan air muka pemuda itu.
Beberapa jurus kemudian, tiba-tiba pemuda itu berputar
tubuh, lalu tertawa kepada Hian Long, ujarnya: "Turut
penglihatan cayhe, adanya taman ini sampai dibiarkan tak
terawat, adalah karena berhubungan dengan almarhum orang
yang berada dalam kuburan ini."
"Ai, siao-sicu benar-benar cerdas!" Hian Long balas
tertawa. "Cayhe memang gemar mengetahui apa-apa. Apakah
kiranya Totiang tak keberatan menceritakan kedosaan dari
orang itu?" kata si pemuda.
Menurut tata peraturan persilatan, menanyakan sesuatu
rahasia atau urusan intern dari sebuah perguruan atau partai,
adalah suatu kesalahan besar. Juga tak nanti ada seorang
persilatan yang mau membocorkan rahasia urusan intern
perguruannya. Pemuda itu sudah melanggar pantangan,
semestinya Hian Long tentu marah.
Tapi di luar dugaan, sedikitpun tojin itu tak mengambil
dihati. Apakah dia itu seorang tokoh tolol atau naif" Bukan,
Hian Long bukan seorang goblok, melainkan seorang yang
cerdik. Sedikit demi sedikit dia sudah mulai jelas akan maksud
kunjungan anak muda itu kesitu. Kalau tak berada-ada,
masakan burung tempua terbang rendah. Demikian kata
sebuah pepatah yang artinya, kalau tiada sesuatu maksud,
masakan orang berjeri payah datang menyelidikinya.
"Mengibiri siasat", artinya menurutkan siasat lawan untuk
mencari tahu keadaannya (lawan). Dengan keputusan itu,
tanpa tedeng aling-aling lagi, Hian Long memberi keterangan.
"Orang yang beristirahat dalam kuburan itu, turut silsilah
masih suheng pinto, ialah satu-satunya murid orang luar
(bukan kaum paderi) dari Siang Ceng Kiong. Dalam hal
kepandaian, dia sudah memiliki seluruh ilmu kepandaian
supeh pinto Goan Goan Totiang. Tapi sungguh lacur, beberapa
belas tahun yang lalu karena tergoda oleh seorang wanita, dia
mendapat hukuman perguruan. Dan adalah karena peristiwa
itu, hampir saja biara ini mengalami kemusnahan. Dalam
kedukaannya, Goan Goan Totiang biarkan saja taman ini tak
terurus, kemudian beliau sendiri lalu berkelana tak ketahuan
rimbanya. Gelombang reaksi dari peristiwa itu, sampai sekarang masih
tetap belum reda. Benar tampaknya tenang, tapi tetap
mengandung unsur-unsur yang eksplosif (mudah meledak).
Adakah nantinya peristiwa itu akan berbuntut mengakibatkan
banjir darah di dunia persilatan, tak seorang pun dapat
memastikan. Karena yang nyata, kematian Siau-suheng itu
masih tetap menjadi teka teki besar. Adakah layak dia
menerima hukuman seberat itu, masih belum dapat diketahui
persoalannya yang jelas. Pinto sendiri tak begitu jelas, jadi tak
dapat menerangkan sejelasnya pada Siau-sicu."
Sembari memberi keterangan itu, Hian Long tak berkesip
memperhatikan wajah si anak muda. Bahwa mimik wajah
pemuda itu tampak bersungguh-sungguh, membuktikan makin
benarnya dugaannya (Hian Long) tadi.
Selesai mendengar penuturan, kembali wajah pemuda itu
menjadi tenang. Dengan menghela napas berkatalah dia:
"Walaupun Totiang tak dapat menjelaskan, namun dapatlah
sudah cayhe mengadakan kesimpulan. Segala urusan di dunia
ini, memang tak mudah menentukan hitam putihnya. Hanya
saja asal segala itu disertai kebijaksanaan yang adil, artinya
tak mudah dipengaruhi rangsangan hati dan membawa
rnaunya sendiri, sekurang-kurangnya penilaian akan salah
atau benar itu tentu mendekati yang seadil-adilnya. Turut
pikiran cayhe yang picik, dalam urusan suheng totiang itu,
walaupun ada sebab-sebabnya, namun keputusan Goan Goan
Totiang itupun rasanya amat keburu nafsu. Entah bagaimana
pendapat Totiang?" Berobahlah wajah Hian Long tojin saat itu. Sampai sekian
jenak dia tak dapat mengeluarkan kata-kata. Mengapa" Ini tak
lain karena disebabkan kelancangan pemuda itu. Orang
persilatan paling menjunjung tinggi paras suhunya. Bahwa
pemuda itu sudah berani memberi keritik terhadap Goan Goan
Totiang, itu sama artinya dengan menghina.
Dengan wajah murka, Hian Long segera akan
mendampratnya tapi pemuda itu yang rupanya insyaf akan
kelancangannya, buru-buru mendahuluinya: "Rasanya sudah
terlalu lama membikin repot Totiang, maka dengan ini cayhe
hendak minta diri." Hiang Long terpaksa menahan diri. Begitulah keduanya
kembali masuk lagi ke dalam biara. Setiba di ruang Lu-coutian,
pemuda itu berhenti lalu mengeluarkan sekeping perak
hancur lebih kurang sepuluhan tail, lalu menyerahkannya pada
Hian Long, ujarnya: "Karena terburu-buru datang kemari,
cayhe tak membekal banyak uang. Uang yang tak berarti ini
mohon Totiang suka menerima selaku tanda hormat cayhe
kepada para Hud di sini."
Sejak dari taman tadi, sebenarnya Hian Long sudah kurang
senang. Tapi untuk jangan dikata kurang hormat, terpaksa dia
sambuti pemberian tetamunya itu juga.
"Bu-liang-siu-hud, mohon Siau-sicu suka memberitahukan
nama yang mulia, agar pinto dapat mencatatnya dalam buku
sumbangan "Atas budi kebaikan totiang, sudah selayaknya dihaturkan
terima kasih. Dengan ini Siau Ih mohon diri!" sahut si pemuda
sembari memberi hormat. Mendengar dua patah kata "Siau Ih", kejut Hian Long
bukan kepalang. Tapi pada saat dia terbeliak kaget itu, si anak
muda sudah melangkah keluar pintu biara terus berjalan pergi
...... JJJ Jauh malam, kentongan terdengar dipukul tiga kali. Cahaya
dewi malam nan lemah sejuk seolah-olah tengah membuaibuai
(membuat tidur) alam dan hutan di sekeliling biara Siang
Ceng Kiong. Sunyi senyap, damai di seluruh dunia.
Sekonyong-konyong di bawah kaki gunung Mosan itu,
muncul sesosok bayangan hitam. Bagaikan asap bergulunggulung,
bayangan itu "terbang" mendaki ke atas menuju ke
biara Siang Ceng Kiong. Tiba di muka pintu biara, bayangan
itu berhenti. Kiranya dia adalah seorang yang mengenakan
pakaian ringkas wama biru, mukanya ditutupi kain selubung
warna hitam, di belakang bahunya menyanggul sebatang
pedang pandak, sementara tangannya menjinjing sebuah
bungkusan kecil. Sejenak tertegun di muka pintu biara, dia lalu berputar
tubuh terus mengitar tembok menuju ke taman di belakang
biara. Tiba di belakang tembok taman, dengan sebuah gerak
ciam-liong-seng-thian atau naga silam melambung ke udara,
dia loncati tembok yang dua tombak tingginya itu.
Menginjak di dalam lingkungan taman, sejenak dia
memandang ke sekeliling penjuru. Setelah mendapatkan tiada
barang sesosok bayangan orang, barulah hatinya legah.
Pelahan-lahan dia ayunkan langkah menghampiri rimba kecil
pohon hong yang berada di ujung barat laut dari taman itu.
Begitu tiba disitu, langsung dia berhenti di muka kuburan
yang ada batu nisannya itu. Setelah beberapa saat diam
tertegak disitu, bungkusan yang dijinjingnya itu diletakkan di
atas tanah. Kemudian dengan khidmatnya, dia
membungkukkan tubuh, mengulurkan tangan kanan merabah
batu nisan. Sekali mengusap, maka tulisan yang terpahat pada
batu nisan itu, hancur musna. Hanya dalam beberapa detik
saja, dia dapat membuat rata lagi permukaan batu nisan itu,
hanya saja kini makin tipis.
Selesai bekerja, mulutnya kedengaran menghela napas
longgar. Pada lain saat, dia segera gunakan dua buah jari
telunjuk dan tengah, menggurat kepermukaan batu nisan.
Pada batu itu kini tampak melekuk delapan buah huruf
berbunyi: "Peristirahat Siau Hong yang belum jelas penasaran
dosanya." Habis menggurat, orang berpakaian hitam itu membuka
bungkusannya dan mengeluarkan sebuah benda, diletakkan di
muka, batu nisan. Disulutnya lilin dan dupa, lalu berlututlah
dia dihadapan kuburan itu dengan khidmatnya. Ditengah
rimba kecil pada malam nan pekat sunyi itu, sang angin
berkesiur meniup api lilin. Sang tenggoret meringkik nyaring,
burung-burung kukkubeluk merintih-rintih, menambahkan
kerawanan suasana. Tengah orang berkerudung itu bersembahyang, tiba-tiba
dari sebelah luar rimba terdengar berkesiurnya pakaian orang.
Rupanya orang berkerudung itu mencium bau. Sekali
rangkum, api lilin dipadamkan. Baru dia hendak berputar
tubuh, terdengarlah sudah sebuah suara nyaring: "Bu-liangsiu-
hud! Apa yang pinto duga kiranya benar, karena Siau-sicu
berkunjung pula kemari!"
Terpisah setombak jauhnya dari rimba pohon hong itu,
berdirilah sesosok tubuh berpakaian warna kuning yang bukan
lain ialah Hian Long tojin adanya! Serta merta orang
berkerudung itu menghampiri dan berdiri menghadapinya.
Kiranya Hian Long sudah menduga bahwa anak muda yang
datang ke biara itu, tentu akan kembali lagi pada malamnya.
Rupanya anak itu mempunyai hubungan rapat dengan
mendiang Siau Hong. Maka dari itu, Hian Long lalu siapkan
empat orang anak murid Siang Ceng Kiong angkatan ke tiga,
untuk pada tengah malam meronda ke taman belakang.
Pertama-tama yang dilihatnya, ialah sinar api yang kelap
kelip ditengah rimba pohon hong. Makin cenderunglah dia
bahwa memang anak itu masih ada hubungan darah dengan
suhengnya (Siau Hong). Benar tindakan masuk secara diamdiam
ke dalam taman itu, termasuk pelanggaran, tapi Hian
Long anggap bersembahyang dikuburan orang tua adalah
suatu kebaktian yang utama. Oleh karenanya, diapun tak mau
membikin kaget dan hanya berseru dari luar rimba.
Baru saja dia berseru, atau orang berkerudung yang diduga
keras tentu si pemuda she Siau siang tadi, sudah
menyongsong keluar. Hian Long tak puas dengan tindakan
anak muda itu. Tambahan lagi, ketika melirik ke arah kuburan
didapatinya tulisan semula pada batu nisan itu sudah berobah
bunyinya. Suatu tulisan yang benar-benar membangkitkan
amarah Hian Long. Namun diam-diam dia terperanjat juga
melihat kelihayan ilmu pemuda itu.
"Bahwa Siau-sicu tengah malam buta berkerudung muka
datang kemari sudah mengabaikan peraturan. Tambahan pula
merusak nisan dan mengganti tulisannya, apakah maksud sicu
itu?" tegur Han Long dengan nada berat.


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang orang yang mengenakan kerudung muka itu, ialah
Siau Ih. Adanya dia berbuat begitu, karena terpaksa. Pertama
karena hendak mengindahkan pesan ayah angkatnya supaya
jangan cari setori dengan kawanan paderi Siang Ceng Kiong.
Kedua kalinya, selama dendam penasaran almarhum ayahnya
itu masih belum tercuci, hatinya tetap tak rela.
Oleh sebab itulah dia terpaksa menyaru dan memakai
kerudung muka tengah malam menyambang kuburan
ayahnya. Tak terduga, rencananya itu sudah di tangan Hian
Long semua. Kini dia berada dalam posisi serta salah.
Teguran tajam dari Hian Long tadi, sampai tak terjawabnya
untuk beberapa saat. Sampai sekian lama merenung cari
alasan, tetap otaknya buntu, jadi dia diam membisu saja.
Sudah tentu hal itu diartikan lain oleh Hian Long yang
tampak makin meradang. Diiring dengan sebuah tertawa
dingin, berkatalah penilik biara itu: "Menilik kepandaian Siausicu
yang luar biasa itu, tentulah Siau-sicu ini anak murid dari
perguruan yang terkenal. Tapi dengan perbuatan Siau-sicu kali
ini, amatlah memalukan. Kalau benar Siau-sicu mempunyai
hubungan darah dengan mendiang Siau-suheng, asal Siau-sicu
bersumpah dihadapan para sin (malaekat) di biara sini untuk
mengakui kesalahan, demi melihat muka sesama saudara
seperguruan, pinto rela menghabiskan urusan ini sampai disini
saja. Harap Siau-sicu suka mempertimbangkannya!"
Siau Ih yang tengah mencari pikiran tadi, menjadi marah.
Lebih-lebih kalau mengingat nasib ayah bundanya yang belum
tentu hilir mudiknya (kesalahannya) itu.
"Hem," dia mendengus lalu menyahut: "Pantaskah kau
mengucapkan begitu" Kalau tak mengindahkan pesan ayahku
dan servis (pelayananmu) siang tadi, tentu sudah kubikin
cacad tubuhmu!" Betapa gusarnya Hian Long dapat dibayangkan. Namun
sebagai seorang paderi yang sudah dalam ilmunya, dia tetap
berusaha mengendalikan diri, serunya: "Siau-sicu, pernah apa
kau dengan Siau-suheng" Kalau memang masih ada hubungan
darah, masih pinto suka mengalah kali ini, tapi kalau tidak .....
"Kalau tidak, mau apa kau?" tukas Siau Ih tertawa dingin.
"Pinto terpaksa akan ambil tindakan!"
"Ha, ha ..... Siau Ih tertawa lebar, serunya: "yang baik
tentu tak datang. Kata orang macam itu, belum tentu benar!"
Habis berkata, dia mundur beberapa tindak dan secepat itu
pula tangannya sudah siap dengan pedang Thian-coat-kiam
Pedang dipalangkan di dada, dengan nada jumawa, dia
menantang : ''Siau Ih, dengan hormat menanti pengajaran!"
Ingin menang, adalah perasaan yang pada umumnya tentu
dimiliki orang. Kaum paderipun tak terkecuali. Provokasi itu,
telah membuat Hian Long seperti dibakar.
"Kata orang bahwa pahlawan itu sudah kentara sewaktu
kecilnya, memang tak salah. Karena demikian yang sicu
kehendaki, terpaksa aku akan melayani dengan kebut hun-ciu
ini!" sahut Hian Long dengan keren. Segera dia memberi
isyarat kepada keempat tojin kawannya, supaya menyingkir ke
samping. Siau Ih mendengus dan berbareng tangan kiri bergerak,
pedang di tangan kanan membabat perut lawan dalam gerak
hong-soh-lok-hoa atau angin meniup jatuh daun.
Melihat serangan si anak muda yang luar biasa dan penuh
berisi lwekang itu, bukan kepalang kejut Hian Long. Pikirnya:
"Oh, makanya dia begitu congkak. Serangannya ini, tak
sembarang orang persilatan dapat menyambuti!"
Dia tak berani menyambuti, lalu loncat menghindar
beberapa langkah. Bersuit nyaring, Siau Ih mengikuti laksana
bayangan. Pedang Thian-coat-kiam membolang-baling dalam
tiga rangkaian serangan kilat, kian-gwat-cay-hun
(menggunting rembulan memotong bintang), tiang-hongkoan-
jit (bianglala menutup matahari) dan to-sia-sing-ho (air
sungai mengalir terbalik). Ribuan sinar bertaburan seluas satu
tombak, bagaikan sebuah hujan sinar yang mencurah dari
langit. Dalam serangan serupa itu, Hian Long hanya dapat main
mundur, sedikitpun dia tak mampu membalas.
Tiba-tiba Siau Ih tarik pulang serangannya. Tertawa
memanjang, dia berseru: "Totiang, bukankah tadi kau hendak
menindak cayhe" Tapi mengapa kini tak mau membalas"
Bukankah itu memberi kemurahan pada cayhe?"
Terperanjat, kagum dan marah adalah perasaan yang
mengaduk dibenak Hian Long. Benar-benar dia tak
menyangka bahwa ilmu pedang pemuda itu sedemikian
dahsyatnya. Rasa memandang rendah, kini bagai tertiup
angin. "Siau-sicu, kata-kata tajam tak usah dilancarkan. Dalam
seratus jurus, kalau pinto kalah, bagaimana nanti keputusan
kwan-cu, pintolah yang menanggungnya semua!" akhirnya dia
mengeluarkan gengsi. Siau Ih tertawa, sahutnya: ''Totiang cekat bertindak cekat
ucapan. Dalam seratus jurus kalau cayhe tak dapat menang,
terserah bagaimana Totiang hendak memberi hukuman!"
Hian Long tak mau adu lidah. Pikiran dipusatkan, lwekang
dikerahkan. Sekali kebutan hun-ciu, dia gunakan jurus Sianjin-
chit-loh (dewa menunjuk jalan) menusuk dada Siau Ih.
Baru ujung hun-ciu sampai di tengah jalan, tiba-tiba dibalik,
ujungnya disabatkan ke arah jalan darah kian-king-hiat si anak
muda. "Bagus!" teriak Siau Ih. Bahu digoyangkan untuk
menghindari serangan, pedang dibabatkan ke lambung kanan
lawan. Pertempuran saat itu, memasuki babak baru. Tidak seperti
tadi, kini keduanya balas membalas menyerang. Sebatang
kebut hun-ciu yang digunakan Hian Long itu, sudah diyakinkan
selama duapuluhan tahun lebih. Waktu dimainkan, hanya
lingkaran sinar putih yang kelihatan berputar-putar dan
menderu-deru. Setiap serangannya tentu jalan darah yang
diarah. Sebaliknya Siau Ihpun sudah mewarisi kepandaian si Dewa
Tertawa. Ilmu pedangnya itu disebut lui-im-kiam-hwat atau
ilmu pedang suara halilintar. Sinar berkilat-kilat diiring angin
menderu-deru, dapat mengoyakkan semangat orang. Dan
yang lebih hebat lagi, dia berbareng gunakan juga apa yang
disebut ceng-hoan-kiu-kiong-leng-long-poh atau gerak lincah
kiu-kiong-poh (bentuk kuda-kuda kaki) bolak-balik. Jadi hanya
slnar berkelebatnya pedang saja yang menyambar-nyambar,
sedang orangnya seperti bayangan setan yang, berkelebatan
kian kemari Saking hebat deru sambaran anginnya, pohonpohon
disekeliling itu sama bergoyang-goyang, daun-daunnya
berhamburan jatuh .........
Benar-benar Hian Long puyeng dibuatnya. Gerakan tubuh
yang aneh dan ilmu pedang si anak muda yang luar biasa itu,
belum pernah dia melihat selama ini. Lewat jurus yang ke
sembilanpuluh, Hian Long sudah kelabakan. Kebut hun-ciunya
dimainkan makin gencar, saluran lwekangnya pun makin
ditambah. Bayangan putih yang mengandung sambaran
tenaga kong-gi, ditaburkan ke arah si anak muda. Hanya
kurang sepuluh jurus lagi, biar bagaimana dia harus dapat
bertahan. Sekejap lagi akan sudah cukuplah seratus jurus yang
dijanjikan itu. Sekonyong-konyong terdengar Siau Ih bersuit
nyaring. Jari kiri dipentang dan dalam jurus heng-tui-pat-bhe
(melintang dorong delapan kuda), tangan kiri memancarkan
semacam hawa serangan yang amat panas, sementara
pedang di tangan kanan berhamburan menabur ke atas kepala
Hian Long. Hian Long terpaksa mundur selangkah, namun hawa dingin
dari sinar pedang lawan terasa sudah tiba di atas kepalanya.
Jalan satu-satunya hanyalah loncat ke samping. Tapi justeru
itulah yang dimaukan Siau Ih Begitu Hian Long loncat,
sekonyong-konyong pedang Thian-coat-kiam ditarik, menyusul
jari tangan kirinya laksana kilat sudah menekan batok kepala
orang. Kali ini benar-benar Hian Long mati kutu. Mimpipun tidak ia
duga kalau dirinya bakal diburu dengan terkaman macam
begitu. Bagaimana pun juga, dia tak sempat lagi akan
menghindar. Sesaat terasa kepalanya dingin, kopiah
pertapaannya sudah dijambret oleh Siau Ih. Kini berdirilah
anak muda itu dengan tenangnya disebelah sana, tangan
kanan mencekal pedang, tangan kiri memegang koplah.
Selebar muka penilik biara Siang Ceng Kiong itu seperti
kepiting direbus. Rasanya dia tak dapat menyembunyikan
muka lagi. "Cayhe menghaturkan terima kasih atas pelajaran Totiang
tadi. Mohon akan membawa kopiah ini sebagai tanda mata,
sekian cayhe akan mohon diri!
Habis berkata, anak muda itu sudah enjot tubuhnya loncat
melalui pagar tembok. ---oo0dw0ooo--- 7. Mendapat Kawan dan Lawan
Lepas dari kepungan. Siau Ih amat kegirangan.
Ditimangnya, bagaimana akan dilakukan dengan kopiah itu.
Sekilas dia mendapat pikiran. Cepat dia lari ke muka biara.
Begitu tiba di muka pintu, dia enjot tubuhnya ke atas
wuwungan serambi. Kopiah pertapaan milik Hian -Long tojin
itu, digantungkan di atas papan nama "Ki Kian Siang Ceng
Kiong". Kemudian setelah melayang turun, kain kerudung mukanya
dilepas. Memandang ke arah kopiah di atas papan itu, dia
tertawa kebangga-banggaan. Sejenak kemudian, barulah dia
turun ke bawah gunung. Hari pun sudah mulai terang tanah. Oleh karena sudah
banyak orang jalan jadi dia terpaksa tak mau gunakan ginkang
(ilmu berlari cepat). Namun sekalipun berjalan pelahanlahan,
masih dia lebih cepat dari orang biasa.
Menjelang tengah hari, tibalah dia di kota Li-yang. Kota ini
walaupun kecil, tapi merupakan sebuah kota yang penting
dimana perdagangan anak negeri amat ramainya. Karena
justeru hari pasaran, bukan kepalang ramainya orang hilir
mudik. Karena semalam suntuk tak tidur, Siau Ih merasa lelah dan
lapar. Mendongak ke muka, dilihatnya tak jauh dari itu ada
sebuah papan nama menonjol dengan empat buah huruf emas
yang berbunyi "Cui-hoa-ciu-lou". Kesanalah sang kaki segera
diayun. Ternyata rumah makan itu amat mentereng sekali. Bagian
dapurnya berisik dengan suara orang mencacah daging dan
menggoreng masakah. Nyata rumah makan itu laris sekali.
Baru Siau Ih tengah melihat-lihat, seorang jongos sudah
menyilahkannya: "Rumah makan ini bersih dan selalu sedia
segala macam hidangan yang lezat-lezat. Silahkan tuan duduk
di atas loteng, tentu akan puas!"
Dengan tertawa, Siau Ih melangkah masuk. Naik ke atas
loteng, disitu ternyata sudah ada belasan tamu duduk. Dia
memilih sebuah meja yang dekat jendela.
Jongos segera menanyai akan pesan hidangan apa.
"Apa saja asal enak dan cepat selesai!" sahutnya.
Ketika jongos berlalu, Siau Ih merasa kalau para tetamu
yang berada disitu tengah memandang kepadanya. Diam-diam
dia kebingungan sendiri, jangan-jangan ada sesuatu yang tak
beres pada dirinya. Memandang ke arah pakaiannya sendiri, mau tak mau dia
tertawa urung, pikirnya: "Ai, makanya mereka sama
memandang aku dengan keheranan, kiranya aku masih
mengenakan pakaian ringkas dan memanggul pedang!"
Buru-buru pedang diambil dan ditaruhkan di sisi meja.
Tepat pada saat itu terdengarlah suara berisik dan munculnya
seorang anak sekolah muda. Wajahnya berseri bersih, bibir
merah segar melapis dua baris gigi yang putih, hidung
mancung, sepasang alis lengkung menaungi dua buah mata
yang memancarkan sinar berkilat-kilat.
Kopiah pelajar yang membungkus kepalanya, dihias dengan
mutiara berkilau. Pakaian sutera warna biru muda disulam
dengan bunga-bungaan tho. Tangannya mencekal sebuah
kipas dari kerangka tulang hitam. Sepintas pandang, Siau Ih
dapatkan seorang pribadi yang penuh wibawa pada diri anak
muda sekolahan itu. "Inilah baru boleh dikatakan seorang pria cantik di dunia!"
diam-diam Siau Ih memuji dalam hati.
Tanpa disengaja, pelajar cantik itu mengambil tempat
duduk persis disebelah muka Siau Ih. Mau tak mau mata Siau
Ih memandang beberapa kali kepada pria cantik itu, tapi di
luar dugaan, pemuda itupun memandangnya juga.
Ketika mata saling berpandangan, muka Siau Ih terasa
panas. Sebaliknya pria cantik itu hanya ganda tersenyum saja.
Siau Ih menjadi likat sendiri, mau tak mau dia unjuk tertawa
juga. Syukur saat itu jongos sudah datang membawa
pesanannya. Inilah suatu kesempatan baik untuk menghindar
dari "bentrokan" mata itu. Buru-buru dia tundukkan kepala
memandang hidangan. Oleh karena sang perut sudah me-rintih-rintih, seperti
seekor harimau kelaparan mendapat anak kambing, Siau Ih
segera gasak hidangannya itu. Dalam sekejap saja, bersihlah
sudah hidangan itu disapunya.
Setelah puas makan dan minum, jongos dipanggilnya untuk
menghitung rekening, karena dia hendak lekas-lekas
berangkat lagi. Tapi ketika meraba baju, astaga ....
sepeserpun tiada terdapat! Saat itu barulah dia teringat bahwa
bungkusannya kecil masih ketinggalan dalam taman belakang
biara Siang Ceng Kiong. "Ai, celaka ini. Kalau tahu tak bawa uang, tak nanti aku
masuk kesini. Sekarang kecuali mustika kumala, tiada lain
bekal berharga, mustika itu akan kuserahkan pada gwakong
selaku barang bukti, tak boleh dijadikan barang, cekalan disini
...... Thian-coat-kiam" Ai, itu lebih tak boleh lagi ......"
Demikian Siau Ih menjadi kelabakan. Muka merah,
sebentar duduk sebentar berdiri.
Gerak geriknya itu tak luput dari pandangan si jongos yang
rupanya sudah kenyang pengalaman akan hal-hal begituan.
Berdiri disamping, dia awasi kelakuan anak muda itu dengan
senyum ewah. Siau Ih muring-muring dan sibuk seorang diri, namun tetap
dia tak dapat berdaya apa-apa. Saking bingung dan malu,
dahinya sampai basah kujup dengan keringat.


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bung pelajan, rekening hidangan tuan itu, boleh hitung
padaku!" sekonyong-konyong pelajar "cantik" itu berseru
kepada jongos. Malah dengan kontan, dia sudah merogoh
keluar uang lima tail lalu dilemparkan di atas meja, serunya:
"Ni, sisanya boleh kau ambil!"
Kerut wajah si jongos yang sudah menampil kekuatiran
tadi, segera berobah terang. Dia kerak keruk menghaturkan
terima kasih atas keroyalan orang. Rupanya pelajar itu jemu
akan tingkah laku dibuat-buat dari si jongos itu, cepat-cepat
dia menyuruhnya pergi. Dengan wajah kemerah-merahan, Siau Ih menghaturkan
penyesalan karena sudah menyibuki pelajar itu.
Namun pelajar cantik itu, cepat-cepat menanggapi: "Empat
penjuru lautan, semua adalah saudara. Usah dipikirkan,
apalagi diantara kaum perantau, tentu harus tolong
menolong!" Siau Ih yang biasanya pandai bicara, kala itu benar-benar
kehabisan kata-kata. "Siaute bernama Liong Go, mohon tanya siapakah nama
terhormat dari hengtay?" kata pelajar cantik itu pula.
Siau Ih pun memperkenalkan dirinya.
Berkata lagi pelajar Liong Go itu: "Menilik membekal
pedang, tentulah Siau-heng ini juga kaum persilatan."
Siau Ih menyahut dengan merendah, bahwa pedangnya itu
adalah warisan keluarganya untuk sekedar menjaga diri saja.
"Ah, Siau-heng keliwat merendah. Sejak kecil Siaute pun
gemar belajar silat. Pedang Siau-heng itu tentulah bukan
senjata sembarangan, apakah Siaute boleh meminjam lihat
barang sebentar saja?"
Siau Ih menjadi kewalahan. Hati menolak namun mulut
berat menyatakan. Sejenak merenung, akhirnya dia
menyahut: "Sudah tentu boleh, mari silahkan Liong-heng
melihatnya." Thian-coat-kiam segera diangsurkan.
Liong Go menyambuti dengan kedua tangan. Sekali
menjentik pelahan-lahan, batang pedang itu berdering nyaring
laksana aum naga. Demi dilolos dari kerangkanya, pedang itu
memancarkan cahaya bening berkilau-kilauan. Wajah Liong Go
mengerut kejut. "Sudah lama sekali pedang Thian-coat-kiam itu menghilang.
Benar tak menyamai kesaktian pedang-pedang Kan-ciang,
Bok-ya, Ki-kwat dan Liong-cwan, namun juga sebuah pusaka
persilatan yang jarang terdapat. Dengan memiliki pedang
pusaka macam begini, ilmu kepandaian saudara tentu amat
tinggi. Entah siapakah suhu terhormat dari hengtay itu?"
Ditanya begitu, kembali wajah Siau Ih menjadi merah.
Tersipu-sipu dia menyahut: "kepandaian Siaute hanya berasal
dari engkong, mana dapat mencapai tingkat tinggi."
Setelah memasukkan pedang ke dalam sarung dan
menyerahkan kembali, berkatalah Liong Go: "Kalau begitu,
seperti halnya dengan Siaute, pun sejak kecil hanya mendapat
pelajaran silat dari engkongku. Dahulu sewaktu engkong
masih aktif, kaum persilatan telah memberi gelaran Thiat-sansian
(si Dewa Kipas Besi)."
Siau Ih terbeliak kaget, serunya: "Oh, kiranya Liong-heng
ini adalah cucu dari Liong Bu-ki locianpwe, tokoh dari sepuluh
Datuk yang bergelar Tui-hun-cap-sa-san (Tigabelas kipas
perengut jiwa). Kipas yang Liong-heng bawa itu, tentulah
pusaka milik Liong locianpwe dahulu, maaf, Siaute sudah
berlaku kurang hormat tadi!"
"Memang benar yang Siau-heng katakan, benda yang
Siaute bawa ini adalah kipas tui-hun-san kepunyaan engkong.
Dengan dapat mengenal kipas ini, leng-cou (engkongmu)
tentulah bukan tokoh sembarangan, tapi entah siapakah
namanya yang terhormat?"
Jawab Siau Ih dengan minta maaf: "Waktu turun gunung,
engkong pesan agar untuk sementara ini jangan
menguwarkan namanya, harap Liong-heng maafkan keadaan
Siaute itu." "Kalau begitu, baiklah, Siaute tak menanyakan lagilah.
Hanya saja apakah kiranya Siau-heng sudi mengikat
persahabatan dengan orang-orang yang lebih rendah?" kata
Liong-Go. "Alangkah bahagia Siaute tadi, pada waktu pertama-tama
terjun dalam masyarakat ramai, dapat berjumpa dengan
seorang sahabat baik. Kalau tiada Liong-heng, Siaute mungkin
akan mendapat malu besar. Untuk itu, lebih dahulu Siaute
hendak menghaturkan terima kasih," kata Siau Ih sembari
berbangkit lalu membungkuk di hadapan Liong Go.
Sudah tentu Liong Go menjadi tersipu-sipu dan balas
memberi hormat. Katanya pula: "Kalau Siau-heng berlaku
demikian, Siaute merasa tak enak. Kalau kita berdua memang
benar-benar hendak mengikat persahabatan, mengapa tak
mengangkat saudara saja, bukanlah hal itu akan lebih
merapatkan perhubungan lagi?"
Siau Ih serta merta menyetujui. Menurut perhitungan Liong
Go berusia delapanbelas tahun. dan Siau Ih enambelas tahun,
jadi Liong Go lah yang menjadi kakak. Hubungan mereka
menjadi lebih akrab. Dari pertukaran percakapan, panjang
lebar mereka mempersoalkan kesusasteraan dan ilmu silat
serta kaum gagah dari dunia persilatan.
Rupanya Liong Go lebih banyak pengalamannya. Boleh
dikata seluruh pembicaraan itu diborong olehnya. Siau Ih
hanya mendengari saja dengan rasa kesengsam. Saking
asyiknya, tahu-tahu hari sudah petang.
"Hiante, karena kelebuh dalam percakapan, sampai lupa
diri. Malam ini terpaksa kita makan malam lagi dirumah makan
sini," kata Liong Go.
Siau Ih hanya tertawa saja. Begitulah setelah memesan
hidangan lagi, keduanya lanjutkan mengobrol. Atas
pertanyaan Liong Go, Siau Ih menerangkan kalau belum
mendapat penginapan untuk malam itu.
Liong Go usulkan lebih baik menginap dihotel sebelah muka
sana itu, karena tempatnya bersih. Siau Ihpun tak menolak.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi, Liong Go
menanyakan kemanakah gerangan Siau Ih hendak pergi.
"Sebenarnya Siaute mendapat perintah pergi ke Tiam-jongsan,
tapi karena waktunya masih jauh, jadi lebih dahulu
hendak menikmati alam pemandangan di daerah Kanglam,"
sahut Siau Ih. "Aku justeru hendak pesiar ke Hangciu, mengapa hiante tak
mau ikut kesana, melihat-lihat pemandangan nan indah
permai dari telaga Se-ouw, dari itu menuju ke Kiangse lalu
Suchwan terus membelok ke Hunlam. Suatu tamasya yang
menyengsamkan bukan?"
"Di atas langit terdapat sorgaloka, di atas bumi terdapat
Sociu dan Hangciu". Demikian rangkaikan kata-kata para
penyair untuk melukiskan keindahan alam daerah Kanglam itu.
Sudah tentu Siau Ih ketarik juga.
Setelah membayar rekening hotel, Liong Go membeli dua
ekor kuda lalu ajak Siau Ih berangkat. Tak sampai sehari,
tibalah mereka di kota Hangciu yang termasyhur.
Hangciu Pernah menjadi ibukota dari baginda-baginda Go-ong,
Gwat-ong, Khi-ong, Bu-ong, Siok-ong dan kerajaan Lam Song.
Letaknya disepanjang sungai yang mengalir kelaut, banyak
terdapat rawa dan telaga serta bendungan-bendungan air.
Tata tenteram kerta raharjo atau rakyat aman sentausa,
perdagangan makmur. Itulah maka mendapat julukan sebagai ''sorga"
dipermukaan bumi Disebelah barat kota, terbentanglah telaga
Se-ouw yang termasyhur di seluruh negeri. Telaga itu
dikelilingi oleh barisan gunung. Alam pemandangannya indah
permai. Dari zaman ke zaman merupakan tempat para ulama saleh
mencari ketenteraman batin, para pujangga menggali ilham
dan tempat rakyat negeri berkreasi (cari hiburan). Hangciu
benar-benar merupakan tempat yang romantik.
Liong Go dan Siau Ih lambatkan kudanya. Walaupun
matahari musim rontok amat teriknya, namun jalanan-jalanan
besar maupun kecil dalam kota itu, rumah-rumah makan dan
kedai-kedai minum, penuh sesak orang berhilir mudik. Mereka
berdua segera mencari sebuah penginapan.
Setelah membersihkan diri, mereka keluar pesiar. Liong Go
ajak Siau Ih ketelaga Se-ouw. Disitu mereka menyewa sebuah
perahu. Ternyata ditengah telaga itu penuh berkeliaran perahuperahu
pesiar. Riang canda gelak tawa, selalu terdengar dari
setiap perahu yang diturapangi. Siau Ih yang berhari-hari naik
kuda, kini merasa luang bebas. "
Selagi kedua anak muda itu minum-minum sembari
menikmati pemandangan telaga, tiba-tiba dari tepi sebelah
sana terdengar suara hiruk pikuk. Letakkan cawan arak yang
sedianya akan diminum, Siau Ih melongok keluar.
Jauh ditepi telaga sana, tampak ada beberapa lelaki gagah
sedang mengepung seorang tua bersama seorang gadis. Di
bawah jerit makian orang-orang itu, si pak tua berlutut
sembari mengangguk-anggukkan kepala. Sedang gadis itu
melindungi ayahnya, dari kemungkinan serangan orang-orang
lelaki kasar itu. Siau Ih menduga tentulah segerombolan kawanan durjana
tengah unjuk aksi tengik menganiaya orang, Serentak
bangunlah nuraninya. Kala itu Liong Go pun keluar ke geladak.
Demi melihat wajah Siau Ih menampil kegusaran, dia buruburu
menanyakan halnya. "Toako, coba lihat tu!" seru Siau Ih sembari menuding ke
tepi telaga. Demi memandang, Liong Go pun mengerutkan alis,
ujarnya: "Di bawah sinar matahari yang terang benderang,
kawanan bangsat mau jual ketengikannya. Hiante, ayuh kita
pergi kesana!" Tapi ketika diperintah, si tukang perahu tampak pucat dan
geleng-gelengkan kepala sembari komat kamit berbicara
bahasa daerah itu. Siau Ih tak mengerti tapi ditilik dari gerak
geriknya nyata kalau tukang perahu itu jeri terhadap kawanan
tukang kepruk itu. "Jangan kuatir, kita tentu dapat memberesi mereka," kata
Siau Ih menenangkan si tukang perahu, sembari menjanjikan
tarnbahan upah. Akhirnya mau juga si tukang perahu itu. Tiba di tepi telaga,
setelah membayar sewa perahu, Liong Go dan Siau Ih cepat
menuju ke tempat ramai-ramai itu.
Seorang lelaki tinggi kurus, tampak mencaci si orang tua
yang berlutut itu: "Orang tua she Ih, kau punya muka tidak"
Karena berhutang pada Teng tongcu, kau seharusnya
menerima apa keputusannya. Kini Teng-tongcu tak mau
menerima pembayaran uang, melainkan menghendaki anak
perempuanmu sebagai gundik. Disamping itu kau akan
mendapat hadiah duapuluh bahu sawah. Turut nalar, itu
sudah terlampau murah hati, mengapa kau masih main tolak
saja" Hari ini adalah hari jatuhnya waktu pembayaran, dari
membayar kau malah hendak membawa lari gadismu kelain
tempat. Kedosaanmu itu pantas dihukum mati, nah,
katakanlah bagaimana kehendakmu?"
Pak tua she Ih itu anggukkan kepala sampai mengenai
tanah, lalu meratap: "Anakku itu telah ditundangkan pada lain
orang. Untuk kebaikan hati Teng-tongcu, nanti pada lain
penjelmaan si tua yang rendah ini baru dapat membalasnya.
Tentang hutangku itu, sudilah kiranya para toaya sekalian
menyampaikan pada Teng-tongcu agar bermurah hati untuk
memberi kelonggaran beberapa hari lagi .........."
"Heh, heh," tukas si kurus jangkung, "enak saja kau
bermain lidah. Sudah jangan banyak kata, kalau benar-benar
arak-kebahagiaan tak mau minum dan minta arak-hukuman,
jangan salahkan toayamu berhati kejam ya!"
Selagi kawanan tukang kepruk itu berisik menambah
keangkeran ancaman si tinggi kurus, Siau Ih sudah lantas
melangkah maju. Dengan dua buah jari, dia tepuk bahu si
tinggi kurus itu pelahan-lahan, serunya berbisik: "Bunuh orang
ganti jiwa, hutang uang bayar uang. Di bawah gemilang
matahari, berani mengancam orang sewenang-wenang,
aturan mana itu?" Si tinggi kurus itu terkejut berpaling. Demi dilihatnya hanya
seorang pemuda berumur 16-17 tahun, kecongkakan timbul.
Dengan galak, dia memaki: "Bangsat kecil, kau berani usilan,
apa mau cari .........."
Belum sempat dia lanjutkan kata "mati", plak, pipinya kiri
telah ditampar si anak muda. Begitu keras tarnparan itu,
sampai dia terhuyung mundur beberapa langkah, mata
berkunang kepala pusing tujuh keliling. Separoh pipi kirinya
menjadi begap biru dan tergurat dengan 5 buah jari tangan.
Melihat itu, kawan-kawan si tinggi kurus segera menyerbu
Siau Ih dan Liong Go. "Toako, rupanya kawanan anjing ini biasa bikin onar. Hari
ini Siaute hendak membasminya, supaya rakyat terhindar dari
bahaya!" seru Siau Ih.
Belum sempat Liong Go menyahut, kawanan tukang kepruk
itu sudah menyerangnya dengan senjata tajam.
"Toako, tolong lindungi ayah dan gadisnya itu, biar Siaute
yang menghajar kawanan budak ini!" seru Siau Ih pula.
Liong Go menurut. Dia ajak si pak tua dan gadis untuk
minggir disamping, menyaksikan Siau Ih beraksi. Terhadap
kawanan tukang kepruk kelas kambing, Siau Ih tak banyak
keluarkan tenaga. Dalam beberapa gerakan saja, dapatlah dia menutuk rebah
enam orang musuh yang bengis-bengis itu. Setelah itu, dia
menghampiri ke tempat orang tua she Ih tadi.
"Kawanan budak hina itu telah cayhe beri sedikit ajaran.
Tapi bagaimanapun rasanya lo-jinke (pak tua) tak akan tinggal
di kota Hangciu sini. Lebih baik lekas-lekas pergi, sementara
waktu mengungsi ke tempat famili dulu ........"
Baru berkata sampai disini, Siau Ih berputar ke arah Liong
Go dan berseru: "Toako ......"
Liong Go sudah dapat menangkap apa yang hendak
dikatakan saudaranya angkat itu. Cepat-cepat dia sudah
mengambil serangkum perak hancur untuk diberikan kepada
orang tua itu, katanya: "Sedikit uang yang sempat kubawa ini,
harap Iojinke suka menerimanya untuk ongkos perjalanan!"
Betapa rasa terima kasih orang tua kepada kedua anak
muda itu, sukar dilukis. Lengan bercucuran air mata, dia
berkata: "Mohon tanya siapa nama inkong berdua ini, agar


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku si orang tua dapat ........"
"Usah lo-jinke mengatakan begitu. Menolong yang lemah
menin das yang lalim, adalah kewajiban setiap orang.
Mumpung hari masih terang, lebih baik Lekas-lekas
berangkatlah!" Bersama anak gadisnya, pak tua itu beberapa kali menjura,
kemudian berkata dengan nada gemetar: "Karena inkong
berdua tak mau memberitahukan nama, aku si orang tuapun
tak berani mendesak. Hanya mengenai kawanan tukang
kepruk itu, adalah anak buah dari ketua partai Thiat-sian-pang
cabang Hangciu yang bernama To-thau-thayswe Teng Hiong.
Dia banyak kenalannya dengan kaum pembesar, kejahatannya
keliwat takeran. Semua penduduk Hangciu tahu siapa 'raja'
yang punya banyak jagoan kepruk itu. Memang Thiat-sianpang
besar sekali pengaruhnya, harap inkong berdua berhatihati."
--0dw0-- 8. Benggolan Thiat-sian-pang
Siau Ih menyatakan terima kasih atas peringatan orang tua
itu. Setelah didesak Liong Go, barulah orang tua itu
menghaturkan terima kasih lalu ajak gadisnya pergi.
"Toako, rasanya masih enak kalau kawanan budak itu
hanya diberi hajaran begitu, Siaute hendak menambahnya
lagi." kata Siau Ih. Dan sebelum Liong Go sempat mencegah,
dia sudah menghampiri ke enam orang tadi.
"Blak, blak," demikian kakinya memberi persen dupakan
untuk membuka jalan darah yang tertutuk, maka bangunlah
ke enam jagoan itu. Namun baru saja mereka hendak
melarikan diri, Siau Ih sudah membentaknya "berhenti!".
Tidak begitu keras bentakan Siau Ih itu, namun semangat
mereka sudah copot dan berhentilah mereka terpaku di tanah.
"Mau ngacir" Hem, mana di dunia ada barang yang begitu
enak. Turut kejahatanmu tadi, hukuman sudah jauh dari
murah. Tapi karena hari ini Siauya sedang bermurah hati,
maka tak mau menjatuhkan hukuman berat. Yang kuminta
hanya kalian berenam harus motong kuping kirimu sendiri,
selanjutnya harus bersumpah takkan melakukan kejahatan
lagi, barulah boleh pergi. Kalau tidak, hem, jangan salahkan
aku berlaku kejam!" Biasanya keenam jagoan itu amat galak, berlagak tuan
besar sudah menjadi air mandinya (kebiasaan buruk).
Mendengar perintah anak muda itu, mata mereka mendelik
gusar. "Hoo, apakah sauya perlu turun tangan sendiri?" Siau Ih
tertawa dingin. Sepasang alisnya yang luar biasa itu,
mengerut sehingga membuat keenam orang itu mengkirik.
Menolak tidak dapat, menurutpun berat. Keenam orang itu
seperti orang gagu yang menelan getah, menderita tapi sukar
mengatakan. Akhirnya salah seorang yang rupanya menjadi pemimpin,
menyahut dengan suara keras: "Benar toaya hari ini kalah,
tapi Thiat-sian-pang pun bukan sebuah partai yang gampang
dihina. Saudara-saudara, ayuh kita potong kuping sendiri!"
Habis berseru, dia segera memungut badiknya yang jatuh
di tanah. lalu "cris," diperungnyalah (dipotong) telinganya kiri
sendiri. Kelima kawannya juga lantas meniru. Saat itu
berserakanlah enam buah daun telinga dengan darahnya
memerah di tanah. Walaupun wajah pucat, keringat dingin
mengucur, namun keenam orang itu tetap tak mau sesambat.
Diam-diam Siau Ih terkejut melihat kekerasan, hati mereka,
namun pada lahirnya dia tetap bersikap dingin. ujarnya:
"Kalau tak terima, boleh cari padaku, ayuh lekas enyah!"
Memandang sejenak dengan dendamnya, sembari
mendekap telinga keenam jagoan itu ngelojor pergi. Tak
kurang dari duaratusan orang yang melihat kejadian itu dari
kejauhan, sama bersorak memuji.
Siau Ih menanyakan Liong Go bagaimana dengan caranya
dia memberi pelajaran pada keenam jagoan tadi.
,,Benar dapat menggembirakan hati orang-orang, tapi agak
terlalu kejam!" sahut Liong Go.
"Dahulu sewaktu Tui-hun-cap-sa-san malang melintang di
dunia persilatan, rasanya tak semurah hati seperti toako
sekarang. Turut pendapat Siau-te, hukuman itu sudah terlalu
murah bagi mereka!" bantah Siau Ih dengan tertawa.
Liong Go hanya menggeleng. Karena gangguan itu,
kegembiraan pesiar merekapun agak berkurang, maka mereka
lalu pulang ke hotel. "Mungkin karena baru-baru terjun di dunia persilatan,
hiante tentu tak begitu jelas akan keadaannya. Thiat-sianpang
itu adalah sebuah partai yang baru beberapa tahun ini
mengangkat diri. Pangcunya bernama Sut Cu-bing gelar Sengsi-
poan (hakim yang memutuskan mati hidup). Kecuali
memiliki ilmu tinggi, diapun mempunyai kecerdasan yang
cemerlang, orangnya amat ambisius (kemaruk). Dengan
bayaran dan hadiah bagaimana pun besarnya, dia tak sayang
mengeluarkan asal dapat membeli tenaga-naga kosen. Maka
banyaklah benggolan-benggolan dan durjana-durjana yang
sudah lama mengasingkan diri, semua masuk ke dalam
partainya. Oleh karena itu, Thiat-sian-pang mempunyai
jagoan-jagoan yang sakti. Tindakan hiante tadi, berarti sudah
mengikat permusuhan dengan mereka, dan untuk itu tentu
bakal menjumpai beberapa kesukaran," kata Liong Go
sewaktu berada di hotel. Siau Ih hanya ganda tertawa, sanggahnya: "Turut ucapan
toako itu, habis siapakah yang berani membasmi perbuatan
jahat semacam itu?" "Bukannya aku takut urusan, tapi karena mereka itu gemar
melakukan pembalasan dendam, baik secara terang maupun
gelap, maka selanjutnya, kita harus selalu berhati-hati," kata
Liong Go. Baru mereka tengah bercakap-cakap itu, masuklah jongos
dengan wajah ketakutan sembari memberikan sepucuk surat
kepada Siau Ih. Setelah diongos pergi dan Siau Ih
membukanya, ternyata surat itu berbunyi seperti berikut:
"Atas pengajaran tadi siang, kami membilang banyak
terima kasih. Tengah malam nanti, kami nantikan kedatangan
saudara di makam Gak-ong.
Sekian maaf dan sampai ketemu."
"Ini sungguh kebetulan sekali. Harap toako suka membantu
Siaute membasmi malapetaka rakyat," kata Siau Ih sembari
serahkan surat itu kepada Liong Go.
Habis membaca, Liong Go memberi nasehat: "Benar
kemungkinan besar kita tentu menang tapi janganlah kita
dimabuk kegirangan."
Sore itu setelah makan, mereka sama duduk bersemadhi
memelihara semangat. Begitu kentongan dipukul duabelas
kali, Siau Ih dengan membekal pedangnya dan Liong Go
masih dalam dandanan seperti siang tadi, segera keluar
menuju ke belakang. Setelah melompati tembok belakang,
mereka lalu gunakan ilmu berlari cepat menuju kemakam Gakong.
Dalam tengah malam seperti kala itu, jalan-jalan pun sudah
sepi orang. Dengan "terbang" di atas rumah demi rumah, tak
berapa lama kemudian tibalah sudah keduanya dimakam itu.
Makam itu adalah tempat kuburan dari Gak Hui, seorang
jenderal besar dari kerajaan Lam Song. Letaknya di puncak Kihe-
nia, bangunannya amat megah sekali. Di depan makam
ditanami pohon-pohon siong-pik. Oleh orang-orang zaman
belakangan, pohon-pohon itu disebut khing-tiong-pik atau
pohon pik patriot. Pohonnya menjulang tinggi, daunnya amat
rindang. Di muka makam Gak-ong yang sunyi senyap itu, muncullah
empat orang dengan pakaian ringkas. Mereka tengah
berunding. Kata salah seorang: "Sekarang sudah pukul
duabelas, jangan-jangan bangsat kecil itu diam-diam
melarikan diri, ah, tentu berabe untuk mencarinya!"
"Kami berdua sudah lama berada disini, sesalilah dirimu
sendiri yang punya mata tapi tak dapat melihat!" serempak
terdengar sebuah suara menyahut dengan tiba-tiba.
Kejut ke empat orang tadi tak terkira. Memandang ke arah
suara tadi, sekonyong-konyong terdengar suara "bret," dan
dari sebatang pohon pek tua yang tinggi, melayanglah dua
sosok tubuh turun kehadapan mereka.
Berbareng pada saat itu, di bagian belakang makam yang
berbentuk oval itu, muncul sebuah bayangan. Dengan hatihati
orang itu menyembunyikan diri dan mengawasi kesebelah
muka dengan penuh perhatian.
Dua sosok tubuh yang melayang dari atas pohon pek itu
ialah Siau Ih dan Liong Go. Gerak melayang turun keduanya
yang begitu indah dan tenang, belum-belum sudah membuat
bercekat ke empat orang tadi. Kini mereka sudah saling
berhadapan. Keadaan hening sejenak.
Sekonyong-konyong pecahlah sebuah ketawa yang nyaring
memanjang. Salah seorang dari keempat orang tadi, tampak
tampil ke muka Siau Ih berdua. Orang itu bertubuh kekar,
mata bundar beralis tebal, pada dahinya tumbuh sebuah tahilalat.
Usianya lebih kurang empatpuluh tahun.
"Kalian berdua bukankah bocah yang mengadu biru cari
urusan siang tadi?" tegurnya dengan suara menggeledek.
Melihat sikapnya yang garang, Siau Ih menduga tentulah
orang itu si To-thau-thayswe Teng Hiong, itu tongcu Thiatsian-
pang (partai kawat besi) cabang Hangciu. Anak muda itu
hanya tertawa dingin, sahutnya: "Tentunya kau ialah To-thauthay-
swe Teng Hiong itu. Tengah malam mengundang sauya
kemari, mau ada urusan apa?"
Memang orang itu bukan lain Teng Hiong adanya. Demi
melihat sikap jumawa dari Siau Ih, amarahnya meluap-luap.
Bentaknya dengan murka: "Kau dan aku tiada saling
bermusuhan, tapi mengapa kau berlaku kejam kepada anak
murid partai kami?" Kembali Siau Ih tertawa mengejek.
"Umat dunia mengurus urusan dunia, adalah sudah jamak.
Untuk perbuatanmu dan kawan-kawan itu, mati adalah
hukuman yang setimpal. Apa yang kulakukan siang tadi
hanyalah hukuman enteng, sudah keliwat murah, masakah
kau tak terima?" Karena marahnya, Teng Hiong berjingkrak-jingkrak seperti
katak loncat. Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang
melengking nyaring: "Teng-tongcu, banyak bicara buang
waktu saja. Masakah dua anak yang masih berbau tetek itu
dapat berbuat apa, ringkus dulu baru didamprat lagi!"
Nadanya seperti anak bayi, tapi mengandung keseraman.
Kumandangnya sampai lama masih terdengar di udara. Semua
orang yang berada dihalaman makam itu, menjadi merinding
(berdiri bulu tengkuknya).
Liong Go yang sejak tiba di lapangan itu belum buka suara,
kini memandang ke arah suara itu. Ternyata orang yang
bersuara seram itu, hanyalah seorang tua yang berwajah
pucat, kurus kering dan mengenakan baju kuning.
Di belakang pundaknya menggantung sepasang senjata
yang berkilau-kilauan hitam. Bentuknya aneh, gaetan bukan
gaetan, pedang bukan pedang. Tegak berdiri di tempat, orang
tua itu tersenyum dingin, wajahnya menampil hawa
pembunuhan. Melihat dia, Liong Go terperanjat. Sekilas teringatlah dia
akan seseorang, pikirnya: "Apakah dia benar-benar muncul
lagi di dunia persilatan, kalau benar dianya ........."
Melangkah ke muka, dia memberi hormat, serunya:
"Apakah yang berseru tadi bukannya Jin-mo Kiau Hoan?"
Sepasang mata si orang tua kurus yang setengah dibuka
setengah meram itu, tiba-tiba dibeliakkan. Dengan sinar
berkilat-kilat dia menatap Liong Go. Hanya bahunya saja yang
tampak agak bergerak dan tahu-tahu dia sudah "terbang".
melalui Teng Hiong. "Buyung, mengapa kau ketahui nama lohu?" serunya
dengan lantang. Bahwa perkiraannya betul, telah membuat Liong Go
terkesiap. Menyahut dia dengan tertawa: "Kiau Hoan, masih
kenalkan kau pada benda ini"'' Berbareng itu, Liong Go sudah
mengeluarkan kipasnya. Menatap sejenak, wajah Kiau Hoan berobah, kakinyapun
mundur selangkah. "Pernah apakah kau dengan Liong Bu-ki?"
"Itulah engkongku!" sahut Liong Go.
Wajah perok (pucat kurus) Kiau Hoan, menunduk.
Kemudian tertawa dengan seramnya: "Penasaran harus
dilampiaskan pada biangkeladinya. Namun sejak lohu
menerima 'hadiah' sebuah kipasan dari engkongmu pada
duapuluh tahun berselang, sedetikpun lohu tak pernah
melupakan. Meskipun tak beruntung mencari dapat Liong Buki,
tetapi dengan cucunya, boleh jugalah lohu melampiaskan
dendam itu!" Liong Go balas tertawa, sahutnya: "Dengan kejahatanmu
pada masa itu, mati adalah bagianmu yang pantas. Tapi
karena sayang akan bakatmu, engkong hanya membikin cacad
dirimu saja menjadi seorang yang ludas kepandaian.
Bahwasanya kau beruntung mendapat jodoh orang sakti
sehingga dapat berlatih silat lagi, seharusnya kau harus
perbarui cara hidupmu, dari kegelapan menuju ke jalan
terang. Tapi ternyata kau masih belum insyaf dan mau
menjadi kaki tangan Thiat-sian-pang. Perbuatanmu itu pantas
dikutuk dan jangan kira aku tak dapat menggoreng dirimu
seperti yang dilakukan engkong tempo dulu!"
Mendengar itu, si Jin-mo atau Manusia Iblis Kiau Hoan
menjadi merah padam. Dia tertawa melengking: "Buyung, kau
sungguh berlidah tajam, tapi biarlah lohu tak mengurusi hal
itu. Kini kalau kau sanggup menerima sepuluh jurus
seranganku, lohu akan lepas tangan dari urusan ini. Tapi kalau
tidak, hutang lama itu terpaksa kaupun harus ikut
membayarnya!" "Ha, ha ......" Liong Go terbahak-bahak: "Jangankan
sepuluh, seratus juruspun aku bersedia menyambutnya!"
Jin-mopun tertawa iblis, katanya kepada Teng Hiong:
"Malam ini justeru kebetulan sekali dapat kesempatan untuk
melampiaskan dendam lama. Tapi entah apakah Teng-tongcu
suka memberi ketika lebih dahulu pada lohu?"
Teng Hiong ter-sipu-sipu memberi hormat, jawabnya.
"Peraturan dari Hok-siu-tong mengatakan, apabila pangcu
datang berkunjung, tecu harus menurut perintah." Habis
berkata, dengan hormat sekali Teng Hiong mundur.
"Buyung, lebih baik urusan kita ini lekas-lekas dibereskan!"
seru Kiau Hoan. Dari sang engkong, Liong Go pernah diceritakan tentang


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesaktian Kiau Hoan itu dan keganasannya malang melintang
di dunia persilatan. Oleh sebab itulah maka dia mendapat
julukan Jin-mo si Manusia Iblis. Duapuluh tahun berselang
kalangan persilatan geger dengan kekejaman Manusia Iblis
itu. Disitulah dirangsang kemarahan, Tui-hun-san Liong Bu Ki
melumpuhkannya menjadi seorang invalid. Tak nyana durjana
itu dapat meyakinkan ilmu silat lagi dan begitu muncul di
dunia persilatan lantas menggabung dalam Thiat-san-pang
dengan menduduki pangkat sebagai hu-hwat atau pelaksana
undang-undang. Jin-mo itu seorang manusia yang licik dengan kejamnya.
Bahwa seorang manusia iblis itu sumbar-sumbar hanya akan
mengujinya (Liong Go) dalam sepuluh jurus terang tentu
memiliki kepandaian yang sakti.
Diam-diam Liong Go sangsi, apakah dia dapat bertahan
nanti. Karena sangsi, dia menjadi agak tegang. Namun karena
urusan sudah sampai sedemikian rupa, tiada lain jalan kecuali
harus menghadapinya dengan seluruh kepandaian.
Sambil merapikan pakaiannya, berkatalah Liong Go kepada
Siau Ih: "Harap hiante melihat disamping saja, biar kulayani
sepuluh jurus serangan iblis tua itu!"
Mendengar nada Liong Go agak gentar, tahulah Siau Ih apa
yang dikandung dalam hati saudara angkatnya itu. Dengan
tertawa dia menyahut: "Sejak dahulu, golongan iblis itu tentu
tak dapat memenangkan golongan suci. Harap toako
lapangkan dada, Siaute akan mengawasi disamping."
Liong Go hanya tersenyum, mengipas-ngipaskan Tui-hunsan,
dengan tenang dia melangkah ke dalam gelanggang.
Melihat ketenangan anak muda itu, terutama sinar matanya
yang berapi-api, tak urung Kiau Hoan terperanjat juga. Apalagi
dia pernah merasakan betapa kehebatan kipas tui-hun-cap-sasan
itu, maka diapun tak berani memandang rendah lagi
kepada si anak muda. Begitu tubuh agak dimiringkan, maka
senjata aneh yang menggemblok di belakang punggungnya itu
sudah beralih ke dalam tangan.
Melihat itu, tertawalah Liong Go dengan jumawa: "Malam
ini Tui-hun-san akan bertemu kembali dengan oh-kim-cat,
sungguh suatu pertemuan yang menggembirakan. Setan tua,
lekaslah menyerang lebih dulu!"
Diiring dengan tertawa dingin, tanpa tampak mengadakan
gerakan apa-apa, tahu-tahu tubuh si Manusia Iblis sudah
maju. Tangan kiri menampar ke atas sampai menerbitkan
suara keras, lalu oh-kim-cat berputar-putar menusuk.
Untuk itu Liong Go gunakan gerak ing-loh-han-tong
(bayangan jatuh diempang dingin), miring ke samping. Begitu
menghindar tusukan, tubuhnya memanjang memuka, dengan
gerak khong-jiok-thi-leng (burung gereja kibaskan sayap), dia
balas menutuk ulu hati orang dengan kipasnya.
Kiau Hoan mundur sembari tertawa iblis dan tahu-tahu
sudah merobah kuda-kuda kakinya. Lalu dalam gerak
setengah menutuk setengah menabas, oh-kim-cat menyerang
pula dengan tenaga kong-gi penuh. Sederhana saja
tampaknya serangan itu, namun gerak perobahannya sukar
diduga. Liong Go seolah-olah dikepung dalam sinar oh-kimcat.
Kemana dia hendak menyingkir, senjata cat yang terbuat
dari emas hitam itu selalu membayanginya.
Tapi sebagai ahliwaris dari Tui-hun-cap-sa-san Liong Bu-ki
yang pernah menggegerkan dunia persilatan, Liong Go pun
ketahui akan serangan itu. Tak mau dia menghindar kemanamana,
cukup hanya mendongakkan separoh tubuhnya ke
belakang, lalu dengan menurutkan posisi tubuhnya itu kipas
dikebutkan terbuka, untuk dalam gerak hui-oh-bu-hwat (anai
terbang ke arah api) menampar oh-kim-cat dari samping.
Di dunia persilatan terdapat sebuah pepatah: "Kalau
seorang ahli bergerak, segera dapat diketahui isi kosongnya".
Begitulah berlaku pada pertempuran Liong Go - Kiau Hoan.
Walaupun hanya dua gebrak saja, tahulah si Manusia Iblis
Kiau Hoan bahwa anak muda lawannya itu benar-benar sudah
mewarisi seluruh kepandaian engkongnya. Disamping dapat
mengambil putusan secara cepat tepat, pun permainan kipas
pemuda itu sudah mencapai kesempurnaan. Diam-diam Kiau
Hoan gelisah. "Sudah terlanjur kukatakan, dalam sepuluh jurus tentu
dapat mengalahkannya. Kalau sampai meleset, kemana
hendak kutaruh mukaku dihadapan Teng Hiong dan kawankawan
itu?" pikirnya. Dirangsang oleh nafsu menjaga
gengsinya, nafsu-bunuhnya berkobar-kobar. Sekonyongkonyong
bersuit keras, dia loncat mundur setombak jauhnya.
Melihat itu, Liong Go hanya ganda tertawa saja: "Setan tua.
bukannya maju menyerang malah loncat mundur itu
bagaimana" Takutkah?"
Kata-katanya itu dibarengi dengan gerak liong-heng-it-si
atau naga bergerak melempeng lurus, tubuhnya maju
menutukkan kipasnya ke arah tenggorokan lawan.
"Buyung, ini kau cari mati namanya!" Kiau Hoan
menyambutnya dengan lengking tertawa tajam. Sepasang cat
dipindah ke tangan kiri, begitu sepasang lutut ditekuk, dia
melambung ke atas. Sebelum Liong Go sempat menangkis,
jari kanan Kiau Hoan laksana cakar besi sudah menampar
kipas, sementara sepasang kim-cat di tangan kiri dibabatkan
ke pinggang orang. Mimpipun tidak Liong Go, bahwa gerakan lawan sedemikian
luar biasanya. Ketika insaf ada ancaman, ternyata sudah
kasip. Batang kipas yang dicekal di tangan kanan serasa
tergentar keras, sehingga hampir saja kipas itu terlepas jatuh,
dalam pada itu pinggangnya terasa disambar angin keras.
Dalam kejutnya, dia cepat tarik pulang kipasnya, kemudian
dengan tangan kiri dia tolak sepasang kim-cat. Menyusul sang
kaki berputar dalam gerak liu-si-ing-hong dan dia menyurut
mundur beberapa langkah. Gesit sekalipun Liong Go berusaha menghindar, namun tak
urung pakaian suteranya terpapas rowak sampai beberapa
centi panjangnya. Keringat dingin mengucur, wajah merah
padam. Siau Ih yang berdiri mengawasi disamping jantungnya
sudah serasa mau loncat keluar .........
Sebaliknya disana Kiau Hoan pun menampilkan rasa kejutkejut
kagum yang tak tertara. Pada lain saat, dia kedengaran
tertawa seram lalu berseru dengan nyaring lengking: "Buyung,
dengan dapat lolos dari seranganku tadi, bolehlah dianggap
lihay juga kau ini. Nah, sekarang sambutilah seranganku yang
nomor empat ini!" Suara masih berkumandang, orangnyapun sudah melesat
tiba. Tinju kanan mendorong lurus ke muka membawa tenaga
tekanan laksana gunung roboh menindih dada, sepasang kimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
cat dilayangkan ke bawah dalam gerak to-ceng-kim-ciong
(menghantamkan jungkir lonceng emas), mengancam keperut
Liong Go ......... --0dw0-- 9. Satu Di Luar Lautan Satu Menghilang
Kini tak berani lagi Liong Go meremehkan, kaki melangkah
mengayun tubuh, dia hindari sepasang cat. Kemudian dengan
mengundang seluruh tenaga, dia tangkis pukulan Kiau Hoan.
Adu kekerasan itu memberi penilaian jelas, Kiau Hoan
terhuyung sedikit, sedangkan Liong Go matanya berkunangkunang,
kakinya menyurut mundur lima tindak baru dapat
berdiri jejak. Kini tahulah sebabnya Liong Go, mengapa si Manusia Iblis
itu dapat malang melintang di dunia persilatan. Memang
ternyata dia masih kalah setingkat tenaganya. Kalau adu
kekerasan, berarti cari penyakit. Lebih baik dia gunakan ilmu
ajaib permainan tui-hun-cap-sa-san ajaran sang engkong,
agar dapat bertempur penuh sampai sepuluh jurus yang
dijanjikan. Tidak menang asalpun jangan kalah. Demikian dia
mengambil putusan. Pada saat itu, si Manusia Iblispun sudah maju menyerang
lagi. Pertempuran kali ini, berbeda dari tadi. Kalau Liong Go
menggunakan siasat defensif (bertahan), adalah si Manusia
Iblis sangat agresif (menyerang) sekali. Iblis ini sangat
bernafsu sekali untuk lekas-lekas dapat memukul roboh anak
muda itu agar dapat menghimpaskan dendamnya pada
duapuluh tahun yang lampau.
Tubuh Kiau Hoan berputar-putar mengepung rapat-rapat
sang lawan. Berkelebatan laksana petir menyambar, dia terus
mencari lubang kesempatan untuk memberi pukulan maut.
Setiap gerak dan jurus serangannya adalah fatal (mematikan).
Sebaliknya Liong Go telah keluarkan seluruh permainan
kipas tui-hun-cap-sa-san, ilmu permainan yang pernah
menggemparkan dunia persilatan pada masa yang lampau.
Kipas tui-hun-san melayang-layang bagai tebaran awan
membungkus dirinya. Tiga buah serangan maut dari si
Manusia Iblis, meskipun amat dahsyat, namun dapat
dibuyarkan oleh permainan kipas tui-hun-san yang istimewa
anehnya. Saking gusarnya, si Manusia Iblis sampai
berjingkrak-jingkrak dan bersuit-suit.
Sebuah serangan dalam jurus peng-tee-hong-lui atau
halilintar menyambar di tanah datar, kembali dilancarkan si
Manusia Iblis. Bermula mengancam pinggang, tapi sekonyongkonyong
sepasang oh-catnya yang berada di tangan kiri,
dibalikkan ke atas untuk menghantam kepala lawan.
Terhadap serangan tangan kanan yang keras itu, tak berani
Liong Go menyambutinya. Begitu menghindar, dengan gerak
Loan-tiam-gan-yang (menutuk burung belibis), kipasnya
menampar serangan sepasang oh-cat. Tertutuk sedikit oleh
kipas tui-hun-san, cepat-cepat si Manusia Iblis menarik ohcatnya.
Adalah sesaat tubuh Liong Go agak terhuyung, iblis itu
melengking tertawa. "Buyung, sambutilah seranganku yang terakhir!" serunya
sembari enjot tubuh sampai satu setengah tombak ke udara.
Dari itu dia berjumpalitan, dengan kaki di atas kepala di
bawah, sepasang oh-cat dihantamkan ke batok kepala lawan
dalam gerak tiang-coa-jip-tong atau ular panjang masuk ke
goa. Dalam posisi sang tubuh agak mendongak, Liong Go robah
gerakan kipas dari menampar menjadi menghantam.
Maksudnya ialah hendak menangkis dari samping. Tapi dalam
pada itu, diam-diam dia merasa heran sendiri mengapa
serangan terakhir si iblis itu hanya begitu biasa sekali.
Tapi sekonyong-konyong terdengar si Manusia Iblis
tertawa. Kedua oh-kim-cat agak dikesampingkan, berbareng
itu tangan kanan bergerak menyusup ketubuh orang yang tak
terjaga itu. Seketika itu Liong Go rasakan tubuhnya tersambar oleh
serangkum angin halus yang amat dingin menggigil. Ya,
begitu dingin sekali, hingga tubuhnya serasa membeku.
Sampai disini barulah dia insyaf kalau kena dibokong si iblis.
"Celaka!" serunya sambil loncat keluar. Tapi begitu kakinya
menginjak tanah, tubuhnya segera akan terkapar jatuh.
Bukan kepalang kejut Siau Ih. Secepat kilat dia loncat
memapah tubuh Liong Go. Astaga, kiranya tubuh sang kawan
itu gemetar, wajah pucat dan giginya berkeretekan menahan
kesakitan yang hebat ........
"Buyung, selamanya lohu tentu melakukan apa yang
kukatakan. Tapi bahwasanya kau telah dapat menerima
sepuluh seranganku, itu sudah cukup lihay. Untuk urusan
selanjutnya, lohu tak mau campur tangan lagi. Tapi karena
kau telah terkena pukulanku thou-kut-im-hong-ciang (angin
Jahat yang merembes ketulang) maka dalam sepuluh hari,
tulang belulangmu akan membeku dan jiwamu pasti
melayang. Satu-satunya obat, ialah apabila kau berjumpa
dengan orang yang paham akan ilmu lwekang kong-tun-yangsin-
kang. Tapi pada masa ini, hanya ada dua orang tokoh
yang mahir akan ilmu sakti itu. Yang satu berada di luar negeri
dan yang lain sudah tak pernah muncul di dunia ramai lagi,
mungkin sudah mati. Maka biar lohu memberitahukan cara
pengobatannya, juga tiada dapat menolongmu. Dengan
tersiksa mati secara pelahan itu, dapatlah kiranya lohu
melampiaskan hutang dendam itu!" seru si Manusia Iblis
sembari tertawa seram. Pada saat itu, Teng Hiong dengan pemimpin dua orang
anak buah, sudah menghampiri. Serta merta dengan
hormatnya, dia memberi pujian: "Kesaktian cianpwe sungguh
merajai dunia ......"
"Teng-tongcu!" Kiau Hoan cepat menukasnya, "tak dapat
disangsikan lagi buyung itu pasti akan mati. Tapi karena lohu
tak pernah mengingkari janji, maka setelah dapat menahan
sepuluh serangan, lohupun tak mau campur tangan lagi
dengan urusan ini. Untung hanya tinggal seorang budak kecil,
rasanya kau tentu dapat mengurusi sendiri. Lohu akan kembali
dulu menanti kabar!"
Dan sebelum Teng Hiong menyahut, Manusia Iblis itu
sudah berputar diri terus loncat menghilang.
Mendengar betapa ganasnya pukulan thou-kut-im-hongciang
itu, bergidik juga Siau Ih. Dengan begitu, dia tak sempat
menghadang si Manusia Iblis. Sewaktu melihati Liong Go,
didapatinya wajah anak muda itu makin menyatakan
kesakitan. Diam-diam Siau Ih menjadi gelisah. Sekonyong-konyong
dia mendapat pikiran: "Jin-mo tadi mengatakan bahwa kecuali
dengan kong-tun-yang-sin-kang, luka toako tentu tak dapat
sembuh. Dikolong jagad ini hanya ada dua orang yang
memiliki ilmu lwekang itu, satu di luar lautan satu menghilang
...... ha, jangan-jangan tokoh yang sudah lama tak muncul itu
ayah sendiri ......."
Memikir sampai disini, girangnya meluap. Cepat dikeluarkan
sebuah botol kumala lalu dituangnya sebiji pil warna merah,
yang harum sekali baunya. Pil itu dimasukkan ke dalam mulut
Liong Go, bisiknya: "Engkong telah gunakan waktu sepuluh
tahun untuk membuat pil ini. Dicipta dengan sari lwekang tunyang
(hawa positif murni). Harap toako salurkan tenaga dalam
agar pil itu bekerja. Nanti siaote mempunyai daya bagus untuk
mengobati luka toako."
Setelah terkena pukulan thou-kut-im-hong-ciang, Liong Go
rasakan suatu derita hawa dingin yang luar biasa sakitnya.
Tapi begitu menelan pil itu, serasa ada hawa panas masuk ke
dalam tubuh. Cepat-cepat dia duduk bersila, lalu salurkan
lwekang. Sungguh ajaib, tak berapa lama kemudian, hawa
yang istimewa dinginnya itu, terasa berkurang.
Melihat wajah sang toako makin mulai merah, Siau Ih amat


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

girang. Dia yakin pasti akan dapat mengobati Liong Go.
Berpaling ke belakang, dilihatnya Teng Hiong bertiga masih
berdiri kira-kira dua tombak disebelah sana. Wajah mereka
bersenyum dingin, seolah-olah jenderal yang menang perang.
Seketika marahlah Siau Ih. Dia terus berbangkit menghampiri.
"Hm", Teng Hiong denguskan hidung, berkata: "Bocah
kawanmu itu sudah meregang jiwanya, masakah kau masih
berani jual lagak?" Bahwa dirinya dan sang toako dianggap sebagai anak
kambing, makin meluaplah hawa pembunuhan dalam hati Siau
Ih, sahutnya dengan tawar: "Memang aku hendak membikin
perhitungan padamu!"
"Bocah yang tak kenal tingginya langit, ayuh serahkan
jiwamulah!" teriak Teng Hiong sembari loncat menerkam dada
Siau Ih dalam gerak kim-pa-lo-jiao atau macan tutul ulurkan
cakar. Sambil tertawa dingin, Siau Ih menyelinap ke samping.
Anak buah Teng Hiong yang berada disitu, cepat menghadang
dengan goloknya. "Bocah kurang ajar, hendak lari kemana kau!" serunya
sembari menabas dengan gerak poan-hoa-kay-ting atau
bunga bertebaran ke atas atap.
Namun dengan miringkan tubuh, dapatlah Siau Ih
menghindar. Menyusul tangan kiri menghantam batang golok,
tangan kanan menutuk sepasang mata lawan dalam gerak
song-liong-hi-cu atau sepasang naga berebut mustika. Waktu
musuh buang kepalanya ke belakang, Siau lh tertawa: "Tolol,
kau tertipu!" "Plak," tahu-tahu pipi kiri orang itu tertampar. Karena Siau
Ih gunakan separoh bagian dari tenaganya, maka beberapa
gigi dari orang itu sampai putus. Sambil menyemburkan
darah, dia terhuyung-huyung ke belakang terus jatuh
terduduk. Saat itu Teng Hiong bersama anak buahnya yang bertubuh
tinggi kurus, sudah menyerbu datang. Mereka gunakan
pedang song-bun-kiam dan sepasang tangan besi
menghantam punggung Siau Ih.
Tanpa menoleh lagi, Siau Ih ajukan tubuh ke muka,
sehingga serangan itu tak mengenai.
Si kurus yang bersenjata song-bun-kiam itu ajukan ujung
pedangnya ke muka untuk menusuk lagi.
Tapi untuk kekagetannya, begitu tangan Siau Ih menjamah
tanah, dengan gerak hi-yau-liong-bun, tubuhnya mencelat ke
udara sampai satu tombak lebih. Setelah berjumpalitan
sebentar, dia meluncur lagi ke bawah tepat di muka kedua
lawannya. "Datang-datang terus menyerang, itu tak punya aturan
namanya. Nah, terimalah ini," serunya sembari kerjakan sang
tangan. "Plak, plak," pipi kiri Teng Hiong dan pipi kanan si kurus,
tahu-tahu menerima "persenan" istimewa. Dengan mata berkunang-
kunang kedua orang itu terhuyung mundur.
Siau Ih tak mau mendesak, melainkan tegak berdiri
sembari rangkapkan kedua tangan. Dia awasi kedua lawan itu
dengan senyum menghina. Kaget, murka, malu dan muring-muring adalah si Teng
Hiong. "Tring," cepat dia melolos senjata gelang kiu-ciat-konghoan
(gelang baja sembilan buku).
"Toh hu-tongcu, Li hu-tongcu, majulah!" serunya
menggerung. Si kurus dan orang yang pertama kali ditampar pipinya
sampai giginya rompal tadi, segera menyerbu. Kini tiga orang
dengan tiga macam senjata, menghujani serangan pada Siau
Ih. Mundur selangkah, Siau Ih gunakan gerak hu-yan-tho-lim
(burung walet menobros hutan). Bagaikan seekor kupu-kupu
beterbangan di antara kuntum bunga, dia berlincahan di
bawah hujan senjata ketiga lawannya.
Betapapun bernafsunya Teng Hiong untuk lekas-lekas
dapat menggebuk "si bocah", namun dia selalu mendapat
hidung panjang. Setiap kali dengan gerak yang luar biasa,
dapatlah Siau Ih menghindar atau membuyarkan serangannya
itu. Sebenarnya kalau mau, dapatlah Siau Ih segera
menjengkelit roboh ketiga musuhnya itu. Namun dia tak mau
lekas-lekas berbuat begitu, karena hendak mengocok mereka
lebih dahulu. Ada kalanya menjiwir telinga, atau menampar
pipi atau menjelentik hidung, suatu hal yang membuat Teng
Hiong bertiga makin kalap seperti orang kerangsokan setan.
Mereka menjerit-jerit dan menggerung-gerung, namun tak
dapat berbuat apa-apa. Kira-kira sepeminum teh lamanya, Teng Hiong bertiga
sudah bersimbah peluh, napasnya senin kemis. Karena kala itu
rembulan sudah condong, Siau Ih tak mau memperpanjang
waktu lagi. Saat itu si orang tinggi besar menyabat dengan
goloknya. Secepat menghindar, Siau Ih segera menyambar
sang lawan, terus dipijat pada jalan meh-bun-hiatnya.
"Trang," jatuhlah golok dari tangan orang itu. Si kurus
cepat menusuk dengan song-bun-kiam, namun dengan
tertawa dingin, Siau Ih segera gelandang orang tinggi besar
tadi untuk menangkis serangan pedang. Sudah tentu si kurus
tersipu-sipu menarik pulang pedangnya.
Berbareng pada saat itu, Teng Hiong menyapu dengan kiuciat-
kong-hoannya. Siau Ih lepaskan lawannya, terus loncat ke
udara. Begitu terhindar dari kiu-ciat-kong-hoan, dia gerakkan
tangan menghantam "tawanannya" tadi.
Tak ampun lagi, orang tinggi besar yang tubuhnya sudah
menjorok ke muka itu, makin seperti didorong maju. "Auuk,"
sebuah jeritan seram terdengar dan orang itu pun
terpanggang ujung pedang song-bun-kiam si kurus. Dalam
pada itu, Siau Ih menggeliat turun di luar gelanggang.
Bahwa sang kawan telah tertusuk pedangnya, telah
membuat si kurus serasa terbang semangatnya. Cepat-cepat
dia tarik Song-bun-kiam keluar, namun sang kawan yang
bertubuh tinggi besar itu sudah terkulai tak bernyawa lagi.
Melihat itu Teng Hiong mengeretek gigi. Betapa inginnya dia
dapat mengganyang anak muda itu!
"Bangsat kecil, mau ngacir kemana kau?" serunya sembari
loncat menyerbu kepada Siau Ih.
"Bangsat, tak usah buru-buru minta mati, tunggu saja
giliranmu nanti!" seru Siau Ih sembari mundur.
Hantaman pertama luput, Teng Hiong teruskan dengan
gerak oh-liong-joan-tha atau naga hitam menyusup pagoda,
Kiu-ciat-kong-hoan ditebarkan lurus ke muka untuk menyodok
dada Siau lh. Juga berbareng itu, si kurus pun datang
memapas bahu Siau Ih dalam jurus lat-biat-hoa-hu.
Siau Ih tenang-tenang menunggu sampai kedua senjata itu
datang, baru dia sedot dadanya ke belakang, lalu gerakkan
sepasang tangannya menangkis. Karena kiu-ciat-kong-hoan
yang tiba dulu, maka senjata gelang itulah yang terpental
lebih dulu dan menghantam song-bun-kiam si kurus-sendiri.
Karena tak menyangka sama sekali, si kurus tak keburu
menarik pedangnya, "trang" ....... kiu-ciat-kong-hoan dan
song-bun-kiam saling beradu.
Membarengi selagi si kurus gelagapan dan tubuhnya tak
terlindung, dengan tertawa nyaring, Siau Ih menghantam
dengan tangan kiri ke arah Teng Hiong dan jari tangan
kanannya menutuk dada si kurus.
"Hek" ...... hanya sekali mulut dapat bersuara, atau
putuslah sudah jiwa si kurus itu.
Melihat kedua wakilnya binasa, Teng Hiong naik pitam.
Tahu bahwa kepandaian anak muda itu jauh lebih lihay dari
dirinya, namun karena dirangsang oleh hawa amarah, lupalah
sudah Teng Hiong. Dengan kalap, dia terus maju menyerang
lagi. Mundur sampal tiga langkah, kedengaran Siau Ih tertawa
dingin: "Bangsat, sekarang tiba giliranmu!"
"Cring," pedang pusaka Thian-coat-kiam dilolos. Sesaat
tubuh Siau Ih melambung ke udara, maka berhamburan hujan
sinar perak yang memancarkan hawa seram-seram dingin.
Teng Hiong dikurung rapat oleh taburan sinar pedang itu.
Kini barulah benggolan itu menjadi kelabakan. Pedang
istimewa, ilmu permainan luar biasa. Dalam keripuhan mencari
jalan lolos, akhirnya Teng Hiong berlaku nekad: "Kalau tak
nekad adu kekerasan, aku bisa mati konyol. Benar dia
memegang pedang pusaka, tapi kiu-ciat-kong-hoan ini juga
amat berat, mungkin tak ada halangan.
Baru dia memikir sampai disini, hawa pedang yang dingin
seram itu sudah terasa menabur dikepalanya. Setelah
pusatkan seluruh pikiran, dengan menggerung keras, dia
hantamkan kiu-ciat-kong-hoan ke atas untuk menangkis.
Menyusul dengan itu, kakinya menyurut ke belakang.
"Trang," kiu-ciat-kong-hoan yang panjangnya hampir
setengah tombak itu terpapas kutung oleh sabetan Thian-coat
kiam. Kali ini si Teng Hiong jagoan yang menguasai kota Hangciu,
si raja kecil yang suka berbuat sewenang-wenang itu, kini
betul-betul pecah nyalinya. Tanpa malu-malu lagi, dia segera
enjot tubuhnya loncat ke balik makam Gak-ong.
"Wut," separoh bagian kiu-ciat-kong-hoan yang masih
berada di tangannya itu, ditimpukkan sekuat-kuatnya ke arah
Siau Ih. Dengan tenangnya, anak muda itu tangkiskan
pedangnya. "Bangsat, tak mudah kiranya kau hendak melarikan diri!"
seru Siau Ih sembari sudah enjot sang kaki loncat memburu.
Ketika pedang Thian-coat-kiam yang bentuknya seperti
ekor burung seriti itu melayang akan menusuk punggung Teng
Hiong, sekonyong-konyong dari belakang makam Gak-ong itu
muncul sesosok tubuh hitam terus ayunkan kedua tangannya.
Sembilan butir sinar, melayang ke muka Siau Ih. Karena masih
melayang di udara dan jaraknya amat dekat, Siau Ih tak
keburu menghindar lagi. Dalam gugupnya dia cepat-cepat tarik pulang pedangnya
sembari lontarkan sebuah hantaman tangan kiri dalam
lwekang Kun-goan-sin-kang. Menyusul dengan itu, dalam
gerak lo-wan-sui-ci atau orang-utan jatuh dari dahan, dia
melayang ke samping beberapa meter jauhnya.
Bahwa ternyata orang-orang Thiat-sian-pang sudah
mempersiapkan barisan gelap dan menggunakan senjata
rahasia yang ganas sekali, telah membuat Siau Ih meluap
hawa pembunuhannya. Begitu sang kaki menginjak bumi, dia
enjot lagi dirinya ke udara. Jong-eng-hu-tho atau alap-alap
menangkap kelinci, adalah jurus yang dia gunakan ketika
menghantarkan sebuah hantaman lwekang ke arah
pembokong dibalik makam itu.
Ketika timpukannya gagal, si bayangan hitam itu terkejut
sekali dan terus hendak melarikan diri, namun pedang Thiancoat-
kiam sudah mengaum di atas kepalanya. Sebuah jeritan
seram dan terpisahlah kepala orang itu dari tubuhnya.
Tapi karena keayalan itu, Teng Hiong sudah jauh lari
sepuluhan tombak jauhnya.
"Bangsat Teng Hiong. kalau kau sampai terlolos, aku
bersumpah tak mau menjadi orang!" seru Siau Ih sembari
terus gunakan ilmu pat-poh-kam-sian (delapan tindak
mengejar tenggoret) untuk mengejar. Pat-poh-kam-sian
adalah sebuah ilmu mengentengi tubuh yang amat lihay.
Melihat dirinya dikejar, semangat Teng Hiong seperti kabur.
Diapun segera tambah gas, berlari secepat-cepatnya. Tiba-tiba
tampak olehnya bahwa disebelah muka sana ada sebuah
hutan. "Asal dapat masuk kehutan itu, tentu selamatlah jiwaku!"
diam-diam dia bergirang dalam hati.
Berbareng pada saat itu muncullah sesosok bayangan kecil
dari dalam hutan itu, terus lari menyongsong kedatangan
Teng Hiong. Kira-kira terpisah pada jarak satu tombak,
berserulah orang itu: "Adakah yang datang ini Teng-tongcu?"
"Benar, orang she Teng lah ini!" sahut Teng Hiong dengan
terkesiap. Selagi dia hentikan langkah untuk mengawasi lawan
atau kawankah kiranya orang itu, segera terdengar orang itu
melengking nyaring: "Bangsat Teng, serahkan jiwamu!"
Mulut berseru, orangnya datang, pedangnyapun sudah
menyerang ke dada Teng Hiong.
Justeru pada saat itu Siau Ih pun tiba serta melontarkan
sebuah pukulan biat-gong-ciang dari belakang.
Diserang dari muka belakang, Teng Hiong mati kutunya.
Belum lagi dia sempat memikir daya menghindari, "bum,"
punggungnya sudah terhantam keras. Matanya berkunangkunang,
mulutnya mengulum ludah amis-amis asin. Belum lagi
sang mulut sempat menyemburkan darah, atau dadanya
sudah merasa kesakitan hebat.
"Habislah jiwaku!" dia berteriak keras. Namun tak kecewa
kiranya dia menjadi benggolan besar. Walaupun dalam detikdetik
direnggut maut, tetap dia hendak mengadu jiwa sampai
saat yang terakhir. Mata membeliak, berserulah dia keraskeras:
"Aku hendak mengadu jiwa padamu!"
Karena seruan itu, mulutnya segera menyemburkan
segumpal darah segar. Setelah seluruh sisa tenaganya
dipusatkan ke arah tangan, tiba-tiba dia menjotos ke muka.
Orang yang baru muncul itu sama sekali tak menyangka
bahwa sang korban yang sudah mendekati ajalnya itu masih
dapat memberi hantaman. Dia tak sempat menghindar dan
termakanlah iganya dengan pukulan kalap itu.
Namun dia pun tak kurang kalapnya. Sambil mengerang
kesakitan, pedang ditimpukkan sekuat-kuatnya ke arah Teng
Hiong. Darah muncrat, usus berodol dan menjeritlah Teng
Hiong terkapar ke tanah .........
Adegan maut itu hanya berlangsung dalam sekejapan mata
saja, hingga ketika Siau Ih tiba, orang yang baru muncul
tadipun sudah roboh ke tanah karena terluka parah. Pada
Hong Lui Bun 15 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 4
^