Pencarian

Si Rase Kumala 4

Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Bagian 4


Menjelang petang hari, tibalah sudah Siau Ih di kota
kabupaten Goan-ciang-koan. Walaupun letih menempuh
perjalanan beberapa hari, namun pemandangan alam disitu
dapat melipur jerih payahnya. Cepat-cepat dia mencari sebuah
hotel. Setelah menitipkan kuda, tanpa bersabar lagi dia terus
membeli sayur dan arak, menyewa perahu lalu meluncur ke
tengah telaga. Kala itu telaga tengah bermandikan cahaya keemasemasan
dari sinar matahari tenggelam. Diantara kerut riak
gelombang permukaan air, penuh berhiaskan lajar putih dari
perahu-perahu yang mondar mandir. Pemandangan yang
indah itu, telah membuat Siau Ih tak habis-habis memuji.
Selagi dia terbenam dalam kekaguman, sekonyongkonyong
dari arah belakang meluncur pesat sebuah perahu.
Penumpangnya ada lima orang lelaki. Perahu itu juga akan
menuju ke gunung Kun-san, tapi saking cepatnya sampai
menimbulkan gelombang yang hampir saja membuat perahu
Siau Ih oleng keras. Dalam sekejap saja, perahu itu sudah
jauh disebelah muka. Siau Ih berusaha menahan kemarahannya. Didengarnya
beberapa perahu yang berada disekelilingnya itu juga oleng
tak keruan. Disana sini terdengar gumam makian dari orangorang.
Sambil mengusap air yang menciprat ke mukanya, Siau Ih
berpaling pada si tukang perahu yang berada di belakangnya.
Tampak tukang perahu itu menatap ke arah perahu yang
meluncur cepat tadi, dengan wajah terkejut cemas.
"Siapakah orang-orang yang begitu ugal-ugalan itu?"
tanyanya. Si tukang perahu terbeliak. Menggoyang-goyangkan
tangannya, dia menyahut dengan berbisik: "Harap tuan
jangan tanyakan hal itu. Kalau sampai terdengar mereka,
tentu akan runyam." Sebaliknya Siau Ih yang sudah menduga sesuatu, malahtertawa:
"Di bawah langit yang terang benderang ini, masakah
ada orang yang tak kenal aturan. Kejar mereka, hendak
kutanyai apakah mereka itu mengerti peraturan lalu lintas di
air, tidak?" Wajah si tukang perahu berobah pucat, ujarnya setengah
merintih: "Tuankan hendak pesiar ditelaga sini, perlu apa cari
urusan." Namun Siau Ih tetap minta tukang perahu itu lakukan
perintahnya dengan dijanjikan ongkos ekstra.
"Sekalipun tuan menambah berapa saja, aku tetap tak
berani. Dan lagi kuanggap tuan tentu lebih menghargai jiwa
daripada cari perkara pada orang-orang begitu," jawab si
tukang perahu. Makin keras dugaan Siau Ih terhadap kawanan orang tadi.
Namun karena tukang perahu begitu ketakutan, diapun tak
enak untuk memaksanya. Nanti saja bila terjadi sesuatu yang
melanggar peri keadilan, dia tentu akan campur tangan.
"Ah, aku tak percaya omonganmu itu. Masakah orangorang
itu tak takut pada undang-undang negeri?" tanyanya.
Si tukang perahu gelengkan kepala: "Tuan, lebih baik tuan
jangan bertanya lebih lanjut. Bagi mereka, undang-undang itu
tiada artinya." "Ai, benarkah" Coba kauceritakan," Siau Ih sengaja unjuk
kekagetan. Lebih dahulu mata si tukang perahu itu berkeliaran, setelah
didapatinya disekeliling itu sepi, ada sebuah dua perahu tapi
jaraknya amat jauh, barulah kendor kerut mukanya. Diiring
dengan sebuah elahan napas, mulailah dia bercerita.
"Setahun yang lalu, di Gak-ciu telah muncul sebuah partai
yang menamakan dirinya sebagai Thiat-sian-pang cabang
Tong-thing. Tongcunya (kepala cabang) orang she Tham
nama Liong, bergelar Hun-san-tiau (rajawali dari gunung Hunsan).
Bermula mereka hanya bersekongkol dengan kaum
pembesar negeri untuk melakukan perdagangan garam gelap.
Kemudian mereka makin berani, membeli delapanratusan
buah perahu nelayan di telaga Tong-thing sini. Kalau tidak
boleh dibeli, tentu akan dibawa dan dibunuh di gunung Kunsan.
Maka kini apabila orang mendengar nama Thiat-sianpang
disebut, tentu akan pucatlah wajahnya.
Pun setengah tahun belakangan ini, para rombongan piaukiok
(kantor mengirim barang) yang lalu di daerah Oulam sini,
seringkali dirampas dan orangnya dibunuh-bunuhi. Turut
pengiraan orang, perbuatan itu tentulah orang-orang Thiatsian-
pang yang melakukan. Terhadap kawanan orang yang
membunuh jiwa orang seperti ayam itu, siapakah yang berani
cari perkara. Oleh karena itu maka segera kucegah waktu tuan
menanyakan tadi. Perahu yang melampaui kita tadi, adalah kepunyaan Thiatsian-
pang, mereka menuju ke Kun-san. Melihat mereka begitu
terburu-buru dan perahu itu oleng, tentulah di dalamnya ada
orang tawanan yang coba meronta-ronta. Terang mereka
hendak melakukan kekejaman lagi di Kun-san".
Siau Ih yang benci akan perbuatan tidak adil, apalagi Thiatsian-
pang yang mengadu biru, amarahnya meluap-luap.
Serentak menampar pedang yang dibungkusnya, dia tertawa
dingin: "Kawanan manusia yang suka mengumbar kelaliman,
tuan mudamu ini tentu takkan membiarkan lebih lanjut. Demi
kepentingan rakyat, membasmi kejahatan adalah tugas yang
mulia. Lopek, ayuh.... dayunglah kesana!"
Masih si tukang perahu tak mengerti sikap si anak muda
yang dikiranya terlalu idealistis (bercita-cita muluk). Buru-buru
dia mencegahnya: "Bukan aku usil mulut, tapi seandainya tuan
sudah belajar silat empat-lima tahun saja, lebih baik jangan
menempur mereka. Kita serahkan saja pada Allah yang tentu
menghukum orang jahat."
"Kalau aku sudah berani berkata, tentu aku sudah punya
pegangan, janganlah kau takut!"
Tetapi bagaimanapun juga, tetap si tukang perahu itu
menggelengkan kepala. Siau Ih bo-hwat (kewalahan) juga.
Kala itu malam mulai menebarkan kegelapan, rembulan
sudah mengintip di lereng gunung. Perahu-perahu nelayan
yang tersebar di telaga itu, sudah sama menyalakan lampu,
hingga permukaan telaga itu menjadi terang benderang.
Sekalipun begitu, Siau Ih tak dapat menikmati pemandangan
seindah itu, dia tengah memutar otak cara bagaimana dapat
menyuruh tukang perahu mendayung ke Kun-san.
Beberapa kali membujuknya, tetap tukang perahu itu
menggeleng. Dia makin cemas. Kalau kelewat lama, tentu
anak buah Thiat-sian-pang itu sempat melakukan
keganasannya nanti. Akhirnya dia duduk menghadapi tukang perahu itu seraya
berkata: "Beberapa kali kuminta, tetap kau tak mau saja. Apa
yang hendak kulakukan itu tetap tak dapat dirobah. Oleh
karena kau menolak, terpaksa aku mencari daya sendiri."
Habis berkata itu, diam-diam dia kerahkan lwekang, begitu
kedua tangan dipentang, dia berbareng menghantam kekanan
kiri. Angin pukulan itu menampar keras air telaga dan perahu
pun seperti dilontarkan ke muka beberapa meter. Karena tak
bersiap, tukang perahu itu hampir saja kejungkal ke dalam air.
"Tuan, jangan sekali-kali!" serunya tukang perahu dengan
terkejut. Namun Siau Ih hanya ganda tertawa, sepasang lengannya
tetap dihantam-hantamkan kepermukaan air. Dengan cara
mendayung istimewa itu, perahu dengan pesatnya dapat
meluncur menuju ke Kun-san. Tak berselang berada lama,
tampaklah sudah bukit Kun-san di depan mata.
Kuatir kalau perahu nanti terdampar keras ketepi pantai
kaki gunung hingga hancur dan penumpangnya terbanting,
buru-buru Siau Ih hantamkan tangannya ke udara dan
bagaikan tertindih tenaga berat, perahu itu berhenti tepat
dipinggir pantai. Demonstrasi itu, telah membuat si tukang
perahu ketakutan setengah mati.
Berdiri memandang keempat penjuru, tiba-tiba Siau Ih
melihat ada serumpun lebat pohon-pohon siong yang di
bawahnya terdapat sebuah perahu. Itulah perahu kawanan
anak buah Thiat-sian-pang tadi. Jadi keterangan si tukang
perahu tadi ternyata benar. Kiranya dia tak terlambat kesini.
Baru dia hendak loncat turun, tiba-tiba teringat sesuatu.
"Menilik tukang perahu ini begitu ketakutan terhadap
kawanan Thiat-sian-pang, kalau disuruh tunggu, tentu tak
mau. Tapi kalau dia pergi, diapun (Siau Ih) tentu repot kalau
hendak pulang. Ah, terpaksa aku harus gunakan cara begini
......" berkata sampai disini dia cepat berputar tubuh dan
menutuk iga si tukang perahu. Seperti batang pisang
ditebang, tubuh si tukang perahu rubuh ke belakang, untung
Siau Ih cepat-cepat menarik leher bajunya untuk menahan.
"Lopek, terpaksa kututuk jalan darah peniduranmu. Kau
boleh mengasoh dulu disini sebentar, begitu nanti sudah
selesai, aku tentu memberimu ekstra upah," kata Siau Ih
sembari membaringkan si tukang perahu ke dalam perahu
sementara dia sendiri lantas loncat turun menuju ke arah
gunung. Rimba pohon siong di gunung itu, amatlah rindangnya.
Disana sini terdapat batu-batu gunung yang aneh bentuknya,
menambah keindahan alam gunung itu. Hanya yang
membuatnya heran, mengapa keadaan disekitar gunung itu
sunyi-sunyi saja. "Ai, siapa bilang Kun-san tidak luas. Kalau begini cara
mencarinya, repot jugalah. Dimanakah letaknya tempat
penjagalan kawanan Thiat-sian-pang itu?" pikirnya dengan
gelisah. Tiba-tiba di luar dugaan, terdengar angin membawa suara
makian dan bentakan diseling dengan teriakan seram.
Diperhatikannya, suara itu berasal dari tempat yang tak
berapa jauh. Girangnya bukan kepalang, lalu cepat-cepat
menurutkan datangnya suara itu. Benar juga tak berapa lama,
suara makian itu makin jelas berasal dari balik sebuah
tikungan gunung. Jeritan seram itupun makin nyata, malah
sebentar-sebentar terdengar juga bunyi cambuk berderai. Ah,
tentulah orang-orang Thiat-sian-pang itu tengah melakukan
keganasannya. Siau Ih cepat mengitari tikungan itu dan kira-kira lima
tombak disebelah muka terdapat sebuah hutan pohon siong
yang lebat. Jerit makian dan rintihan tadi berasal dari sebelah
hutan itu. Maju mendekat sampai dua tombak. Siau Ih segera
melihat ada seorang pemuda telanjang bulat digantung secara
jungkir balik pada sebuah pohon siong tua yang tinggi.
Disebelah mukanya, terdapat seorang lelaki tengah
menghajarnya dengan cambuk. Sementara empat orang
kawannya, melihat disamping sembari memaki-maki.
Punggung pemuda itu sudah habis berlumuran darah, jerit
ritihannya makin lemah. Melihat pemandangan yang kejam
itu, kemarahan Siau Ih tak dapat dikendalikan lagi. Tanpa
disadari, dia mendengus benci. Adalah karena keadaan
disekitar tempat itu sunyi, jadi dengusan itu terdengar jelas
juga. "Siapa itu?" serempak kelima orang itu berputar tubuh
berseru. "Setan pencabut nyawa," sahut Siau Ih sembari tertawa
dingin. Saking kejutnya, kelima orang itu sampai terpaku di tanah.
Tapi demi dilihatnya yang muncul itu hanya seorang pemuda
sekolahan, bukan kepalang marah mereka.
"Anak haram, kau berani mengadu biru?" teriak mereka.
"Ha, ha," Siau Ih tertawa, serunya: "Orang yang berhati
bersih tentu tak jeri akan segala hantu iblis. Tuanmu melihatlihat,
apa salahnya?" "Kau cari mampus, ya!" terdengar seorang berteriak dan si
orang yang mencekal cambuk tadi sudah lantas loncat
menghajarkan cambuknya. Siau Ih tertawa dingin. Begitu cambuk sudah hampir
mengenai, dia hanya berkisar sedikit dan cambuk dari kulit
kerbau yang besarnya hampir sama dengan telur itik itu,
sudah menyabet angin. Siau Ih memang sudah mendendam
terhadap kaum Thiat-sian-pang, apalagi dia menyaksikan
sendiri betapa ganasnya kawanan itu. Belum cambuk keburu
ditarik, dia sudah ayun tubuhnya ke atas untuk menyambar
batang cambuk itu. Kejut orang itu tak terkira. Dengan sekuat-kuat hendak
menariknya, mulut membentak: "Ayuh, lepaskan tanganmu
tidak!" Sangkanya, masakah seorang anak sekolahan yang lemah
dapat kuasa menahan betotannya itu. Maka dapatlah
dibayangkan betapa rasa kagetnya demi didapatinya pemuda
itu sedikitpun tak bergeming.
"Celaka ......" belum lagi dia sempat meneruskan katakatanya,
Siau Ih sudah balas menghardik: "Lebih baik kau
sendiri yang lepaskan!"
Sesaat itu pemilik cambuk itu rasakan cambuknya ditarik
oleh suatu tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena dia
mencekalnya erat-erat, maka tak ampun lagi tubuhnya kena
ditarik sempoyongan ke muka dan tahu-tahu cambuknya
sudah berpindah tangan. Insaf menghadapi seorang pemuda
lihay, orang itu buru-buru hendak meneriaki kawan-kawannya,
tapi pada detik itu Siau Ih kedengaran tertawa panjang.
"Bangsat, raja akhirat sudah menantimu!" demikian Siau Ih
berseru, orangnya tiba cambuknya pun melayang.
Cambuk kulit kerbau itu bagaikan ular melilit-lilit pinggang
orang itu dan sekali menggentak "naiklah", maka tubuh orang
itupun bagaikan layang-layang putus, terlempar ke udara.
Keempat kawannya bergegas-gegas datang menolong, tapi
"bluk", orang itu sudah jatuh terbanting dibatu, kepala hancur
otaknya berhamburan. Melihat sang kawan binasa, keempat orang itu cepat
meloloskan belati terus menyerbu Siau Ih dengan kalapnya.
Tapi pemuda itu sudah dapat menaksir kekuatan mereka.
Keempat orang itu hanyalah bangsa kerucuk saja, namun
sudah sedemikian jahatnya, apalagi kaum atasannya. Orangorang
begitu, tak boleh dibiarkan hidup di dunia.
Mundur setengah langkah, Siau Ih tertawa dingin: "Bagus,
kalian sudah datang mencari mati sendiri. Ayuh, majulah
berbareng agar kawanmu yang tadi tidak menjadi setan yang
kesepihan!" Kemarahan keempat orang itu makin menyala-nyala. Belati
serentak diserangkan mati-matian. Adalah ketika empat buah
belati itu hampir mengenai sasarannya, tubuh Siau Ih


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergeliatan kekanan kiri. Melihat serangannya menusuk angin,
keempat orang itu cepat pecahkan diri menjadi dua
rombongan. Dari situ, mereka kembali menyerang.
Memang serangan pertama tadi, tak keruan macamnya.
Tapi serangan yang kedua ini, tampak genah caranya. Selagi
Siau Ih menganggap bahwa orang-orang Thiat-sian-pang itu
ternyata tak boleh dipandang remeh, keempat belati itu sudah
melayang tiba. Tanpa berayal, dia cepat kisarkan kuda-kuda
kakinya. Begitu dapat menghindari serangan dua orang dari sebelah
kiri, dia segera menghantam dengan jurus chui-jong-bonggwat
(buka jendela melihat rembulan) kepada dua orang dari
sebelah kanan. Karena pukulan Siau Ih berwibawa keras,
kedua orang ini tak berani menangkis dan buru-buru
menghindar mundur. Dua kawannya yang menyerang dari
sebelah kiri tadi, kala itu sudah mengitar ke belakang dan
terus menusuk lambung si anak muda.
Melihat gerak serangan mereka teratur juga, diam-diam
Siau Ih mengeluh jangan-jangan pertandingan itu akan
memakan waktu lama. Merenung sejenak, dia segera
mendapat siasat. Tanpa merobah kedudukan kaki, tubuhnya
agak dicondongkan kemuka, sehingga serangan belati dari
belakang tadi hanya terpisah satu dim jaraknya dari lambung.
Dan dengan membarengi gerakan mencondong ke muka itu,
jari tangan kanan menutuk dalam gerak jong-eng-ki-yan
(burung alap-alap menerkam seriti), pedang di tangan kiri
ditusukkan dalam jurus sian-jin-ci-loh (dewan menunjuk
jalan). Serambutpun tak mengira kedua orang yang di muka itu,
bahwa si anak muda ternyata dapat merobah kedudukan
bertahan menjadi menyerang. Bahkan serangannya itu luar
biasa cepatnya. Yang terasa, mata mereka berkunang dan
tahu-tahu jalan darah Ki-bun-hiat di dada, kena tertusuk
keras. "Auk," mulut menguak dan jiwanya pun putus.
Kedua orang yang menusuk dari belakang tadi, mengira
lawan tentu sudah seperti ikan dalam jaring, tak dapat
terlepas dari tusukannya. Maka betapalah terperanjat mereka,
demi kedua kawannya yang menyerang dari muka itu malah
kena dicabut nyawanya. Kini barulah mereka tersadar bahwa
anak muda lawannya itu ternyata jauh lebih lihay dari mereka,
pula amat ganas sekali. Betapapun kejam mereka itu
biasanya, tapi mau tak mau nyali menjadi copot juga. Dari
tigapuluh dua jurus, lari adalah yang paling baik sendiri. Tanpa
ajak-ajakan lagi, keduanya cepat berputar diri lalu sipat
kuping. Siau Ih tertawa panjang, aum ketawanya seperti membelah
batu pegunungan itu. Dan selagi kumandang tertawanya
masih bergelora, tubuhnyapun sudah melambung beberapa
tombak ke udara. Bagai seekor burung rajawali, dia melayang
turun ke atas kepala kedua orang itu.
"Datang bersama, pergipun harus bersama. Bagi seorang
kesatria, raga kalah jiwapun menyerah, masakah kalian tak
mengerti adat kebiasaan orang persilatan!"
Habis mengucapkan kata-kata itu, Siau Ih pun sudah lantas
gunakan rangka pedangnya untuk menutuk belakang batok
kepala orang yang berada disebelah kiri sedang tangan kanan
dijulurkan untuk menghantam lawan yang lari disebelah
kanan. Dalam kejutnya kedua orang itu hendak menghindar, tapi
sudah kasip. Hanya dua buah jeritan seram yang terdengar
dan menyusul dua sosok tubuh bergedebukan tersungkur di
tanah tiada bernapas lagi.
Sewaktu turun ke bumi, Siau Ih melihat mayat kelima
orang Thiat-sian-pang itu berserakan di empat penjuru.
Bermula dia hendak gunakan pil yong-kut-tan untuk
melenyapkan mayat-mayat itu, tapi pada lain kilas dia
berpendapat lain. Lebih baik mayat-mayat itu dibiarkan begitu
saja dan diberi secarik tulisan untuk alamat Thiat-sian-pang.
Pertama pihak Thiat-sian-pang menjadi jeri dan kedua supaya
penduduk disitu tak menjadi korban kemarahan partai itu.
Dipungutnya salah sebuah belati, lalu menggurat beberapa
huruf pada sebuah batang pohon yang didekat itu.
"Mengirim mayat selaku hormat. Siau Ih"
demikian bunyi tulisan itu.
Habis itu dia lantas melangkah ke dalam hutan.
Diperiksanya si anak muda yang digantung di atas pohon tadi.
Kiranya pemuda itu baru berumur delapanbelasan tahun,
berperawakan kokoh tegar. Walaupun keadaannya begitu
mengenaskan, telanjang bulat tak sadarkan diri, namun tak
memudarkan sikapnya yang gagah. Punggungnya yang lebar
itu sudah habis dengan gurat-gurat bekas cambuk. Dia tentu
terluka parah. Dengan dua buah jari, dijepitnya tali gantungan yang
terbuat dari urat kerbau itu. Setelah putus, tubuh pemuda itu
diletakkan di atas tanah lalu diminumi sebutir pil kiu-coankian-
wan-tan. Setelah menutuk jalan darah penidurnya, Siau
Ih mengambil pakaian si anak muda yang masih berada di sisi
pohon siong itu untuk ditutupkan ketubuhnya. Kemudian
dipanggulnya anak itu untuk dibawa ketepi pantai.
Perahu yang disewanya tadi masih berada disitu, tapi si
tukang perahu masih menggeros pingsan. Pertama
dibaringkan pemuda itu ke dalam ruang perahu, kemudian
baru membuka jalan darah si tukang perahu yang ditutuknya
tadi. Mengucek-ngucek kedua matanya, si tukang perahu itu tak
percaya bahwa tuan muda yang menyewa perahunya tadi
berada dihadapannya mengulum senyum. Sedang ketika
memandang ke lantai perahu, disitu tambah pula seorang
penumpang baru ialah seorang pemuda yang berlumuran
darah dan tak ingat diri.
"Tuan .......... kau ........."
"Jangan takut, lopek, aku bukan bangsa siluman," tukas
Siau Ih, "segala urusan aku yang tanggung sendiri. Kini aku
hendak pulang, ayuh kayuhlah secepat mungkin!"
Tanpa banyak bertanya lagi, si tukang perahu terus
bergegas-gegas mendayung perahunya. Kira-kira sejam lebih
sedikit, tibalah mereka sudah dipantai Tong-thing.
Mengeluarkan beberapa keping perak, Siau Ih berkata:
"Sepuluh tail perak ini untuk ongkos jerih payahmu selama
setengah malam ini, lopek. Apa yang terjadi tadi jangan
sekali-kali kaukatakan pada lain orang, atau jiwamu nanti
bakal terancam bahaya, ingatlah baik-baik!"
Memanggul tubuh si anak muda, Siau Ih loncat turun dan
dengan gunakan ilmu lari cepat, terus menuju ke kota Goankiang.
Tiba di kota itu sudah menjelang pukul empat pagi.
Dengan diam-diam, dia menyelinap masuk ke dalam
hotelnya dan letakkan pemuda itu di atas pembaringan. Dia
nyalakan lampu dan mulai memeriksa luka pemuda itu.
Punggung anak muda itu sama pecah belah berlumuran
darah. Benar tulang tak sampai putus, tapi berat juga lukanya.
"Dia terluka begini parah, dalam empat-lima hari tentu
belum sembuh sama sekali. Tempat ini menjadi daerah
kekuasaan cabang Thiat-san-pang. Aku sih tak jeri, tapi dia
...... tapi ah, paling perlu menolong dulu luka-lukanya itu. Ai,
kecuali pil kin-coan-kian-wan-tan itu aku tak mempunyai obat
untuk luka luar apa-apa, bagaimana ni ......."
Tengah dia kebingungan, tiba-tiba teringatlah dia akan
kitab Peh-co-ki pemberian tabib sakti To Kong-ong itu. Dengan
girang, cepat-cepat diambilnya kitab itu lalu diperiksanya
dengan teliti. Benar juga pada bagian belakang, terdapat
beberapa resep untuk luka luar. Dihafalkannya salah sebuah
resep yang paling sederhana racikan dan penggunaannya.
Tapi ah, lagi-lagi dia kebentur dengan kenyataan bahwa
rumah obat baru besok pagi bukanya. Kuatir kalau sampai
kasip, terpaksa dia memberinya lagi sebuah pil untuk
menahan sakit. Habis itu baru dia duduk memulangkan
semangat. Tak berapa lama, haripun sudah terang tanah. Siau Ih
panggil jongos, katanya: "Semalam pulang dari pesiar
ketelaga, aku membawa seorang sahabat yang terluka parah.
Tolong pinjam alat tulis untuk menulis resep."
Mata si jongos melirik ke atas ranjang dan didapatinya
disitu ada seorang pemuda menggeletak berlumuran darah.
Baru dia hendak bertanya, sudah buru-buru tak jadi demi
dilihatnya Siau Ih dengan wajah membesi tengah
memandangnya dengan berkilat-kilat. Anak muda itu
mencekal sebatang pedang pendek, sikapnya menakutkan
sekali. Tersipu-sipu jongos itu mengiakan dan tinggalkan kamar
itu. Tak lama kemudian dia kembali pula dengan seperangkat
alat tulis. Selesai menulis resep dari kitab Peh-co-ki, Siau Ih
memberikannya kepada jongos dengan disertai sekeping
perak. "Belikan ini dan lekas-lekas kembali. Sisanya boleh kau
ambil!" Pertama tak mau banyak urusan dan kedua melihat sang
tetamu itu royal sekali, jongos itupun tak banyak bertanya lagi
terus pergi. Belum setengah jam, dia sudah kembali dengan
membawa obat Siau Ih meminta air bersih dan kain putih.
Lebih dahulu dicucinya luka pemuda itu baru dilumuri obat.
Ternyata resep kitab Peh-co-ki itu amat manjur sekali. Apalagi
diberi pil kiu-coan-kian-goan-tan, dalam sehari saja luka
pemuda itu sudah kering. Melihat perobahan itu, barulah Siau Ih membuka jalan
darahnya. Demi terjaga, serta merta pemuda itu
menghaturkan terima kasih kepada anak muda cakap gagah
yang sudah menolong jiwanya itu. Ternyata usia mereka
hampir sebaya dan melalui percakapan singkat, keduanya
merasa cocok satu sama lain.
Pemuda itu bernama Tan Wan, murid tunggal dari begal
budiman Kiau Bo bergelar Sin-heng-bu-ing atau si Kelana sakti
tanpa bayangan. Karena pemuda itu mempunyai kelebihan
satu jari (si wil), maka orang persilatan menggelarinya sebagai
Liok-ci-sin-bi (si Kera berjari enam).
Semasa masih hidup, Sin-heng-hu-ing Kiau Bo pernah
bentrok dengan partai Thiat-sian-pang cabang Tong-thing
mengenai sebuah "urusan dagang" (rampasan). Karena
lengah, Kiau Bo telah masuk dalam perangkap "harimau
tinggalkan gunung" (kena dipancing). Dia kena dilukai berat
oleh Tham Liong sehingga menyebabkan kematiannya.
Sebagai murid yang telah menerima budi besar dari
suhunya, Tan Wan mengumumkan akan menuntut balas
kematian suhunya itu. Tapi orang Thiat-sian-pang sudah
memasang jaring. Begitu anak muda itu menginjak tapal batas
Oulam, begitu dia disergap dan ditawan.
Akhirnya, pihak Thiat-sian-pang memutuskan hendak
melenyapkan sekali anak muda itu. Ditetapkan bukit Kun-san
sebagai tempat pelaksanaan hukumannya mati. Kalau tiada
kebetulan Siau Ih pesiar di telaga Tong-thing itu, tentu jiwa
Tan Wan sudah melayang. Waktu mengutarakan dendam hatinya, biji mata Tan Wan
seperti mau melotot keluar. Dia mempunyai kesan yang baik
sekali terhadap Siau Ih. Pertama dilihatnya sang penolong itu
sikapnya gagah dan perwira, kedua kali dia merasa berhutang
jiwa, maka dia nyatakan mulai hari itu akan tinggalkan
lapangan pekerjaannya yang lama (menjadi begal haguna)
untuk ikut pada Siau Ih. Sekalipun menjadi pelayan, diapun
puas karena dapat membalas budi dan sekalian akan
memperdalam peyakinannya silat untuk kelak menuntut balas
lagi. Siau Ih hanya tertawa saja mendengarnya. Dia nasehati
supaya pemuda itu baik-baik merawat, lukanya dulu, kelak
kalau sudah sembuh akan dirundingkan lagi.
Begitulah tiga hari telah lewat dengan tak terjadi suatu apa.
Luka Tan Wan sudah sembuh sama sekali, hanya berjalan dia
masih kurang leluasa. Ketenteraman suasana itu, sebaliknya
dianggap berbahaya oleh Siau Ih. Makin tenteram, makin
cepat datangnya bencana itu. Hanya saja, Siau Ih tak
menyatakan apa-apa melainkan bersikap tenang.
15. Buronan Kiau Hu-Hwat ......
Benar juga apa yang diduganya itu. Waktunya terjadi pada
hari keempat sekira tengah malam. Kala itu tetamu-tetamu
lain sudah pada tidur. Setelah mengganti obat pada luka Tan
Wan, Siau Ih duduk bersama-sama dengan anak itu.
Sekonyong-konyong terdengarlah sebuah suara yang
melengking halus. Menyusul, di atas wuwungan serambi luar,
terdengar seseorang berseru dengan nada yang besar.
"Orang she Siau, lekas keluar terima kematianmu!"
Siau Ih segera tahu siapa yang berbuat itu. Namun dengan
tertawa mengejek dia menyahut: "Hidup bertempat tinggal,
mati berliang kubur. Karena hendak mengantar jiwa, tuanmu
inipun takkan mengecewakan permintaanmu itu!"
Secepat mengalungkan pedang Thian-coat-kiam ke atas
bahu, Siau Ih cepat mendorong pintu dan melangkah keluar.
Tapi baru sang kaki tiba disamping pintu, tiba-tiba dia teringat
sesuatu: "Menurut gelagat, musuh datang dalam jumlah
banyak. Kalau aku pergi, Tan Wan yang masih belum leluasa
bergerak itu, pasti tak mampu membela diri. Kalau sampai
terjadi sesuatu padanya, bukankah akan sia-sia pertolonganku
itu ........." Merenung sejenak, dia mendapat suatu keputusan:
"Membasmi kejahatan adalah perbuatan mulia.
Menghancurkan tindakan jahat untuk mengobati orangnya
adalah yang paling tepat!"
Secepat keputusan itu terkilas, secepat itu juga dia
menyurut mundur dan mengeluarkan senjata rahasia kiu-goting-
seng-ciam yang diambilnya dari mayat seorang penjahat
yang bertempur di makam Gak-ong tempo hari itu. Dengan
cekatnya, dia masukkan jarum-jarum yang berbentuk seperti
paku ke dalam bumbung, lalu diberikan kepada Tan Wan.
"Kalau menghadapi apa-apa, harus berlaku tenang. Begitu
ada orang masuk kedalam kamar sini, sambutlah dengan ini,"
katanya dengan berbisik. "Orang she Siau, kalau tetap tak mau keluar, sekalian tuan
besarmu ini terpaksa akan mengobrak-abrik ke dalam
sarangmu!" tiba-tiba terdengar lagi sebuah seruan.
Lebih dahulu Siau Ih salurkan lwekang kian-goan-sin-kong
untuk melindungi tubuh, kemudian baru tertawa dingin
menyahut: "Sebetulnya kamu sekalian harus mengucap


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syukur, karena saat kematianmu diperpanjang beberapa
menit. Mengapa merengek-rengek begitu terburu-buru mau
mampus?" Sekali tangan menekan pintu, tubuh Siau Ih sudah lantas
mencelat keluar. Sejenak menyapukan mata, dilihatnya di luar
dan di belakang ruangan itu terdapat tujuh-delapan sosok
bayangan. Seluruh kamar-kamar dalam hotel yang cukup besar itu,
penerangannya sudah padam semua. Dalam kesunyian tengah
malam yang gelap gulita itu, hanya terdengar suara pakaian
bergontaian dihembus angin malam.
Dengan bersimpul tangan, Siau Ih berdiri di depan pintu.
Tampaknya tenang tapi sebenarnya dia kuatir juga. Pertama,
Tan Wan masih belum dapat bergerak leluasa, kedua, kalau
bertempur di dalam hotel itu tentu pembesar negeri akan turut
campur tangan. Ah, lebih baik dia pancing musuh ke tempat
lain dan menghancurkan mereka disana.
Belum lagi dia bertindak, tiba-tiba terdengar suara gelak
tertawa: "Orang she Siau, kau benar-benar berhati jantan!"
Sesosok tubuh melayang turun ditengah halaman serambi
itu. Seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, mata
berkeliaran, hidung kakaktua, tangannya mencekal sepasang
senjata macam cakar ayam. Dengan jumawa, dia memandang
Siau Ih. "Kau ialah Hun-san-tiau Tham Liong, bukan?" tegur Siau Ih.
Orang itu tertawa sinis: "Sudah kenal kemasyhuran
namaku, mengapa tak lekas-lekas serahkan jiwamu!"
Nada suaranya amat parau, macam tambur pecah. Siau Ih
muak melihatnya. Diam-diam dia ambil putusan untuk
melenyapkan manusia itu. "Tham Liong, tuanmu ini meyakinkan ilmu melihat tampang
muka. Menilik air mukamu bersemu gelap, tandanya kau
sudah dekat ajal. Orang dahulu mengatakan 'barang siapa
pernah berjumpa itu tandanya berjodoh'. Nah, akupun hendak
memberi amal kebaikan, ialah hendak memilihkan tempat
yang bagus untuk tempat tinggalmu selama-lamanya. Sewaktu
hidup dapat mengetahui bakal tempat peristirahatan abadinya
itu, adalah suatu keberuntungan. Maukah kau turut padaku
menjenguk tempatmu itu?"
Siau Ih menutup olok-oloknya dengan tertawa nyaring dan
sekali sang tubuh bergerak, dia sudah loncat berjumpalitan ke
atas atap rumah. Seorang anak buah Tham Liong yang menjaga di atas,
sudah lantas menyerangkan golok kui-thau-to dalam jurus
poan-hoa-kay-ting atau bunga melingkar menutup wuwungan.
Siau Ih tertawa dingin. Tanpa menghindar, kakinya
menginjak ke atas genteng dan dengan gaya hong-pay-jan-ho
(angin menggoyang bunga teratai), dia melompat sampai
setengah meter. Golok kui-thau-to lewat di sisi bahu
menghantam angin. Karena terlalu banyak menggunakan tenaga, tubuh orang
itu menjorok ke muka. Sudah begitu, masih Siau Ih
membarengi dengan sebuah hantaman. Tubuh terlempar dan
mulut menjerit seram, orang itu jatuh ke bawah halaman.
Kepala pecah terbentur lantai dan jiwanya melayang.
Seorang kawannya yang melihat kejadian itu dengan kalap
segera maju menusuk dengan sepasang senjata tiam-hiatkwat
(supit penutuk jalan darah) yang terbuat dari baja murni.
Tapi bukan mundur, sebaliknya Siau Ih malah
menyongsong maju. Tubuh bergoyang untuk menghindar
tusukan tiam-hiat-kwat dari sebelah kiri, sementara cepat luar
biasa, tangan kirinya sudah mencengkeram lengan kanan
lawan. Sekali ditarik, tangannya kanan membarengi dengan
sebuah tamparan, "plak" ......batok kepala orang itu hancur
mumur, otaknya berhamburan.
"Tham Liong, inilah contohmu!" seru Siau Ih sembari
lemparkan mayat orang itu ke arah Tham Liong.
Betapa kaget dan gusarnya kepala cabang Thiat-sian-pang
itu, dapat dibayangkan. Tapi dia terpaksa sibuk menghindar
dulu dari timpukan "senjata" istimewa lawan itu. Ketika
memandang ke atas, ternyata anak muda lawannya itu sudah
loncat turun terus melompati pagar tembok.
"Mana Ong Sim-tek?" serunya seperti orang kebakaran
jenggot. "Disinilah!" seru seorang dari sebelah kiri wuwungan
rumah. "Budak dalam kamar itu, kaulah yang mengurus. Selesai
itu, segera kembali ke dalam markas hun-tong. Yang lainnya,
semua ikut aku mengejar!"
Dengan membawa empat orang anak buah, Tham Liong
segera melakukan pengejaran. Orang yang disuruh
"mengerjai" Tan Wan itu, bernama Ong Sim-tek gelar Te-ci
atau tikus tanah. Sebelumnya menggabung dalam Thiat-sian-pang, dia itu
adalah seorang pencuri yang mengadakan operasinya pada
malam hari. Benar ilmu silatnya tak berapa tinggi, tapi dia
amat kaya akan akal-akal busuk. Berbagai kejahatan yang
dilakukan Thiat-sian-pang selama ini, sebagian besar adalah
tercipta dari buah pikirannya. Sebagai manusia dia senang
menjilat pantat, karena itu amat dikasihi oleh Tham Liong.
Ikut dalam penyergapan itu, bermula dia hendak unjuk
kegarangan, tapi demi menyaksikan betapa lihay dan
ganasnya anak muda itu, siang-siang dia sudah copot
nyalinya. Sebagai ahli pikir, segera dia dapat menentukan
bahwa sekalipun pihaknya berjumlah banyak, tapi tak nanti
dapat mengalahkan lawan. Diam-diam dia sudah
merencanakan siasat untuk mundur saja. Bahwa tiba-tiba
Tham Liong memberi perintah begitu kepadanya, telah
membuatnya kegirangan. "Sama-sama bakal berbuat jasa, tapi bagianku ini tidak
mengandung bahaya. Terhadap seorang bocah yang sudah
setengah mati dirangket cambuk, masakah tak dapat
membekuknya," demikian pikirannya.
Dengan menghunus senjata, dia menghampiri ke dalam
kamar. Senjatanya itu istimewa juga, yakni chit-sing-kian-cu
atau cempuling bintang tujuh. Pintu kamar didorong, namun
sebagai seorang yang licin, dia tak mau lekas-lekas masuk,
melainkan menunggu dulu sampai sekian jenak. Setelah tak
terdengar sesuatu yang mencurigakan, barulah dia julurkan
tubuh melongok ke dalam. Ai, kamar itu gulita. Samar-samar tampak ada sesosok
tubuh berbaring di atas ranjang. Dia tentulah si anak muda
yang ditolong Siau Ih siang tadi. Nyata dia terluka parah, jadi
mudahlah diberesi. Demikian melamun si Tikus tanah Ong
Sim-tek dengan girangnya. Tanpa banyak berpikir lagi, segera
dia menerobos masuk dan terus angkat cempulingnya ..........
"Bangsat serahkan nyawamu!" tiba-tiba terdengar sebuah
seruan dan "wut", sembilan bintik benda berkilat melayang
menyambar ke mukanya. Serambutpun si Tikus tanah tak mengira bahwa dia bakal
diselomoti mentah-mentah oleh si anak muda. Ini namanya
"sepandai-pandai tupai melornpat, sekali jatuh juga". Otak
gerombolan Thiat-sian-pang yang telah merencanakan
berpuluh-puluh perbuatan jahat, akhirnya harus menerima.
ganjarannya. Jarak keduanya begitu dekat seka!i, sedang serangan itu
datangnya secara mendadak.
"Ce ........" hanya begitu saja mulut si Tikus tanah sempat
berseru, karena pada lain saat seluruh mukanya serasa nyeri
kesemutan, menusuk sampai ke hulu hati. Sembilan mata
jarum beracun telah menyusup ke dalam mata, pipi dan
janggut. Senjata terlepas, tubuh terkulai di lantai dan tujuh
lubang pada mukanya mengalirkan darah. Demikian tamat
riwajat seorang yang berlumuran dosa.
Sekarang mari kita ikuti keadaan Siau Ih yang memancing
Tham Liong berempat ke sebuah tempat sepi di luar kota.
Bermula, sekeluarnya dari hotel itu, dia berpaling ke belakang.
Tham Liong dan kawan-kawan tak tampak mengejar.
"Celaka, musuh lebih pintar dan Tan Wan tentu terancam
ni," demikian dia mengeluh.
Tapi baru dia hendak berputar tubuh untuk kembali, tibatiba
dari tembok hotel itu terlihat ada beberapa sosok
bayangan loncat keluar. Diam-diam dia memperhitungkan:
"Yang dua tadi sudah dibunuh, kini muncul lima orang, jadi
yang tertinggal dihotel hanya seorang saja. Rasanya Tan Wan
tentu dapat layani dan dengan demikian dapatlah dia
tinggalkan kota ini."
"Tham Liong, tempat kuburan berada disebelah muka itu,"
segera ia berteriak ke arah pengejarnya, lalu tanpa menunggu
penyahutan lagi, dia loncat ke atas rumah penduduk disitu dan
lari keluar kota. Hun-san-tiau Tham Liong biasanya bersikap jumawa dan
garang, belum pernah dia mendapat hinaan hebat seperti itu.
Jadi belum bertempur, rasanya sudah setengah mati sakitnya.
"Kejar!" serunya sambil memberi isyarat dengan sepasang
arit kepada anak buahnya.
Demikian terjadi kejar mengejar antara enam orang. Orang
yang dikejar itu pesat sekali larinya. Untuk menggambarkan
kecepatannya itu, dapatlah diumpamakan seperti sebuah
bintang jatuh. Kepandaian dari Hun-san-tiau Tham Liong sebenarnya
sudah tergolong jago kelas satu dari dunia persilatan. Itulah
sebabnya dia menjabat sebagai pemimpin Thiat-sian-pang
cabang Tong-thing. Sebagai pemimpin gerombolan, dia amat
congkak, tiada memandang sama sekali kepada lain orang.
Tapi apa yang dia alami pada malam itu, benar-benar
membuatnya kelabakan. Dalam adu lari itu, dia sudah keluarkan seluruh
kepandaiannya, namun tetap tak dapat mencandak si anak
muda. Dan yang lebih menjengkelkan lagi, ialah sikap si anak
muda yang seolah-olah sengaja mempermainkannya itu. Kalau
dia lari keras, anak muda itupun cepatkan larinya. Tapi begitu
dia agak kendorkan langkah, anak muda itupun perlambat
larinya. Jarak keduanya tetap terpisah tiga tombak jauhnya.
"Ilmu mengentengi tubuh anak itu benar lihay sekali,"
akhirnya mau tak mau dia memuji sang lawan. Memang tak
kecewa si Tham Liong itu menjadi benggolan pemimpin,
karena walaupun hatinya panas, namun kepalanya tetap
dingin. Sekilas tersadar dia bahwa anak muda itu akan
menggunakan siasat 'pancing harimau tinggalkan sarang". Tapi
pada lain saat, dia tetap hatinya lagi. Te-ci Ong Sim-tek masih
disana, masakah bocah itu dapat lolos. Demikian
perhitungannya, suatu perhitungan yang ternyata jauh sekali
kenyataannya. Mimpipun tidak dia, bahwa pada saat itu si
Tikus tanah sudah menjadi badan halus.
Setelah melompati tembok kota, Tham Liong kehilangan
jejak pemuda yang dikejarnya. Dia celingukan dan hai, kiranya
pemuda itu tengah tegak berdiri di muka sebuah hutan yang
terpisah kira-kira duapuluhan tombak disebelah depan sana.
Bergegas-gegas dia ajak sekalian anak buahnya menuju
kesana. "Bocah she Siau, sekarang coba kau mau lari kemana lagi?"
serunya demi berhadapan dengan anak muda itu. Dan segera
dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya untuk
mengepung pemuda itu dari empat penjuru.
Tenang-tenang saja Siau Ih berputar tubuh, lalu mengolok:
"Tham Liong, mengapa kau terlambat" Tuanmu ini sudah
menunggu lama sekali. Tu lihatlah ........."
Menunjuk kesekeliling tempat itu, dengan tenang Siau Ih
berkata pula: "Dimuka menghadapi sungai, disebelah
belakang berlatar hutan, sungguh suatu tempat peristirahatan
yang bagus sekali. Telah kupilihkan tempat untukmu,
seharusnya kau mengucap syukur!"
Hati Tham Liong seperti ditusuki jarum rasanya. Masa
seorang pemimpin cabang sebuah partai yang sangat ditakuti,
dikocok semau-maunya oleh seorang anak muda. Untuk
melampiaskan kemarahannya, dia tertawa keras.
"Ai, Tham Liong, menilik kau begitu kegirangan, rasanya
jerih payahku itu tak sia-sia juga ........."
"Bocah edan, jangan mengicau tak keruan!" tukas Tham
Liong mengerat kata-kata Siau Ih, "kalau ada pesanan apaapa,
lekas katakan sekarang. Kalau terlambat, kau tentu
menyesal!" Wajah Siau Ih tiba-tiba berobah membesi dan dengan nada
dalam, berserulah dia: "Mendapat tempat sebagus ini,
masakah kau belum puas. Dibanding dengan Teng Hiong, kau
sudah jauh lebih beruntung!"
Mendengar itu, Tham Liong tersurut selangkah.
"Apa" Jadi Teng-tongcu itu binasa di tanganmu?"
"Mengapa tidak! Pembesar korup, bangsa penjahat, setiap
orang berhak memberantasnya!" Siau Ih tertawa dingin.
Saking marahnya, rambut Tham Liong sampai menjingrak
semua. Dengan suara mengguntur, berteriaklah dia: "Dicari
tiada dapat, jebul ketemu datang sendiri. Bocah, apa kau
masih mengangkangi jiwamu?"
Ke-jiao-lian atau arit cakar ajam ditangan kiri, bergerak
dalam jurus swat-koa-gin-kau (menyanggul miring kait perak)
menyerang pundak lawan, berbareng ke-jiao-lian di tangan
kanannya, membabat perut dalam gerak to-thih-kim-teng atau
menjinjing terbalik lampu emas.
Melihat serangan itu. masih Siau Ih tertawa dengan
tenangnya: "Ai, karena kau minta buru-buru mati, tuanmu pun
terpaksa akan mempersingkat waktu."
Kedua bahu bergerak dan orangnya pun sudah melesat
beberapa meter. Baru Tham Liong hendak mengejar, dari arah
belakang terdengar sebuah seruan: "Bunuh ayam tak perlu
pakai golok kerbau. Tongcu, silahkan mundur, biar kami
berempat maju memberesi bocah edan itu!"
Yang berkata itu ternyata ialah keempat anak buahnya
yang sudah tegak berdiri di empat jurusan sembari siap
dengan senjatanya. "Bocah itu adalah yang dimaui oleh Kiau hu-hwat. Dapat
meringkusnya mati atau hidup, tetap akan mendapat hadiah
besar. Saudara-saudara, hati-hatilah!" kata Tham Liong seraya
mundur. Siau Ih tegak dengan tenangnya. Sepasang alisnya yang
tebal, tampak menjungkat sedikit dan sambil tertawa sinis, dia
berseru: "Tempat ini cukup luas. Jangan kata hanya empat
orang, sekalipun empatpuluh mayatpun tetap bisa masuk!"


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu, orang yang mengepung disebelah kiri dengan
bersenjata pedang song-bun-kiam dan kawannya yang
mengepung dari sebelah kanan dengan kapak baja, sudah
lantas maju menyerang. Satu menabas kepala, satu
membabat perut. Tapi hanya dengan gerakan menyurut yang
diiring tertawa dingin, dapatlah sudah Siau Ih menghindarinya.
"Wut", kedua senjata itu saling bersimpangan.
Habis mundur, Siau Ih cepat miringkan tubuh sembari
dorongkan sepasang tangannya kekanan kiri. Belum kedua
pengepung dari sebelah muka dan belakang sempat bergerak,
tahu-tahu sudah tersambar angin pukulan yang keras hingga
terdorong mundur sampai setengah meter. Gebrak pertama,
keempat orang itu sudah terdesak.
Sekalipun begitu, mereka bukan kerucuk yang lemah.
Dengan senjata terhunus, kembali mereka maju menyerang.
Karena bergabung jadi satu, jadi serangan keempat orang
itupun berganda hebatnya. Pedang song-bun-kiam, golok ganleng-
to, kapak baja dan rujung kiu-ciat-kong-pian,
berseliweran laksana badai meniup salju.
Setiap serangan, tentu mengarah jalan yang mematikan.
Baik maju menyerang maupun mundur menghindar, mereka
berempat itu teratur dalam gaya yang rapi indah. Begitulah
dalam beberapa detik saja, pertempuran sudah berjalan
tigapuluhan jurus. Keempat orang itu makin lama, makin
garang. "Kalau tak mengeluarkan pukulan sakti, entah sampai
berapa lama pertempuran ini akan selesai," demikian Siau Ih
berpikir, secepat itu pula dia segera merobah gerakannya, dari
bertahan menjadi menyerang. Ilmu permainan tun-yang-cappeh-
ciat dikeluarkannya. Tun-yang-cap-peh-ciat itu adalah ilmu pedang ciptaan dari
si Dewa Tertawa Bok Tong. Bertahun-tahun tokoh itu
memutar otak menciptakan ilmu pedang itu yang digabung
dengan gerakan kaki ceng-hoan-kiong-leng-liong-poh. Jadi
sampai dimana kelihayannya, tak perlu diberi komentar lagi.
Yang tampak kini hanyalah sesosok bayangan warna hijau.
Dalam radius dua tombak persegi, terbitlah angin badai yang
menderu-deru, sehingga batu-batu dan pasir sama
berhamburan kemana-mana. Hanya sekejap peralihan itu
berganti, dan kini Siau Ih lah yang memegang inisiatip
menyerang. Keempat anak buah Tham Liong itu, bukan
melainkan tak dapat menyerang lagi, pun malah terkendali.
Gerakan ilmu silat yang aneh dan lihay luar biasa dari anak
muda itu, telah membuat pandangan keempat orang itu
menjadi kabur. Berkali-kali mereka saling tubruk dan gasak
sendiri. Lewat limapuluh jurus lagi, keempat orang itu sudah tak
berdaya lagi. Mereka seolah-olah terlibat dalam lingkaran
angin pukulan Siau Ih. Bukan melain keempat orang itu saja
yang kini serasa terbang semangatnya, pun Hun-san-tiau
Tham Liong yang berdiri di sebelah sana, menjadi terkejut
setengah mati. Dia insyaf, beberapa saat lagi tentulah
keempat orangnya itu akan celaka. Buru-buru dia hendak
meneriaki mereka, tapi pada saat itu keadaan dalam
gelanggang sudah terjadi perobahan.
Tanpa menghiraukan tekanan angin keras, keempat orang
itu serentak maju menyerang dengan berbareng. Melihat
kekalapan mereka itu, Siau Ih terpaksa tertawa sinis "Kalau
memang hendak serahkan jiwa, itulah mudah!"
Dalam berseru itu, orangnyapun sudah melambung ke
udara. Kira-kira berada empat tombak di atas, diam-diam Siau
Ih sudah kerahkan lwekang kian-goan-sin-kong ke arah
tangannya. Ditengah udara, dia segera berjumpalitan, kepala
di bawah kaki di atas. Kemudian dengan jurus song-liong-pocu
atau sepasang naga melibat tiang, dia gerakan kedua
tangannya. Bagaikan terhampar angin puyuh, keempat orang
itu segera terjorok ke muka. "Trang, tring", senjata mereka
saling beradu satu sama lain.
Siau Ih sudah mempunyai rencana. Begitu keempat orang
itu saling menumpuk jadi satu, dia lantas gunakan pukulan buciang-
kan-lim menghantam ke bawah.
Melihat ancaman itu, Tham Liong tak mau tinggal diam lagi.
Sekali enjot, dia loncat ke atas menghantam dengan sepasang
aritnya. Karena tengah meluncur turun, jadi Siau Ih tak dapat
menghindar. Namun itu bukan halangan baginya. Dengan
bergeliatan macam badan ular, dia dapat mengegos serangan
arit itu dengan indahnya. Dan sewaktu kakinya menginjak
bumi di depan hutan itu, disana terdengarlah empat buah
jeritan yang menyeramkan.
Pukulan bu-ciang-kan-lim yang dilancarkan dengan lwekang
kian-goan-sin-kong tadi, telah meremukkan batok kepala
keempat orang itu. Tulang kepala remuk, benak berhamburan,
darah muncrat dan tubuhnya terkapar malang melintang
Tham Liong tercengang mendelu. Serangannya luput,
keempat anak buahnya binasa, sedang disebelah sana si anak
muda tegak berdiri, menyeringai ejek.
"Tham Liong, dengan jurus bu-ciang-kan-lim, telah
kuantarkan anak buahmu pulang keakhirat. Mereka tentu
sudah tertawa girang disana!"
Sebenarnya jeri juga Tham Liong akan kelihayan anak
muda itu. Namun teringat bahwa dalam beberapa jam saja,
pemuda itu telah membinasakan enam orang anak buahnya,
kemarahannya tak dapat dikendalikan lagi. Dengan suara
parau macam tambur pecah, dia berseru: "Malam ini kalau aku
tak dapat membeset kulitmu, biarlah aku pakai rok dan
berbedak pupur saja ....."
"Kau kan sudah berpakaian ringkas, perlu apa pakai rok
lagi. Tentang bedak pupur, kalau kau memang gemar, nanti
akan kukirim satu doos," tukas Siau Ih dengan tertawa gelakgelak.
Luapan amarah telah membuat Tham Liong menggerung
seperti macan. Maju ke muka dia menabas pundak lawan
dengan gerak song-liong-jut-cui atau sepasang naga muncul
di air. Tampak orang menyerang dengan kalap. Siau Ih kisarkan
tubuh menghindar. Dan sekali geliatkan bahu, maka pedang
Thian-coat-kiam yang menyelip dibahunya itu sudah terhunus
di tangannya. Justeru kala itu Tham Liong sudah menyerang
lagi. Lebih dahulu, dia menghindar ke samping, kemudian
baru balas menusuk dada orang dengan gerak kim-ciam-thanhay
atau jarum emas menyusup ke laut.
Melihat gemerlap pedang si anak muda yang memancarkan
sinar kehijau-hijauan menyilaukan, Tham Liong sudah
terkejut. Dan demi menampak serangan lawan yang walaupun
lambat tapi ternyata cepat penuh dengan perobahan, dia tak
berani menangkis, melainkan buru-buru menyurut mundur.
Tapi belum lagi sang kaki berdiri jejak, dengan tertawa dingin
lawan sudah melambung ke udara dan menusukkan ujung
pedangnya dalam jurus liong-sing-it-si.
Mimpipun tidak dia bahwa anak yang begitu mudanya,
memiliki gerakan yang sedemikian tangkasnya. Seketika
pecahlah nyalinya dan belum lagi dia sempat memikir daya
untuk memecahkan serangan lawan, tahu-tahu ujung pedang
sudah tiba di dadanya, untuk menghindar terang sudah
terlambat. Sudah jamaklah kiranya, bahwa manusia itu tentu sayang
sekali akan jiwanya. Lebih-lebih kalau berada dalam bahaya
yang menentukan hidup matinya.
Demikianpun Tham Liong. Dalam saat-saat yang genting
itu, timbullah pikirannya. Kaki memaku tanah, tubuh condong
ke belakang. Secepat dia menggunakan gerak gan-loh-pingsat
atau burung belibis jatuh di pasir itu, secepat itu pula dia
teruskan dengan gerak le-hi-to-joan-boh atau ikan lehi
membalik badan menyusup ke dalam ombak.
Dalam posisi miring, dia teruskan buang tubuhnya ke
samping sampai tiga tombak. Sekalipun begitu, tak urung baju
bagian dadanya tergurat lubang beberapa dim.
Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mendongak ke muka,
didapatinya anak muda lawannya itu tegak berdiri
melintangkan pedang di dada. Mulutnya mengulum senyum
getir. Benci sekalipun Tham Liong kepada anak muda itu,
namun karena insyaf bukan tandingannya, dia pikir kalau tak
lekas-lekas angkat kaki tentu akan menjadi seperti keempat
anak buahnya tadi. Selama gunung masih menghijau, masakah takut tak
mendapat kayu bakar. Demikian peribahasa mengatakan yang
berarti, selama hayat masih dikandung badan, tentulah masih
dapat melakukan pembalasan lagi.
"Malam ini aku ada urusan penting, lain hari akan
kuselesaikan hutangmu itu!" seru Tham Liong dan secepat
kilat berputar tubuh, dia lantas loncat kabur.
Benar Siau Ih cerdas, tapi karena kurang pengalaman jadi
dia tak menyangka sama sekali bahwa lawan akan lari begitu
tiba-tiba. Selagi dia masih terkesiap, Tham Liong sudah dua
tombak lebih jauhnya. "Hai, hendak lari kemana kau, bangsat?" serunya. Tapi
baru dia hendak mengejar, dilihatnya hari sudah mulai fajar.
Dia teringat akan Tan Wan yang berada di dalam hotel
seorang diri serta kedua penjahat yang telah dibunuhnya itu.
Terpaksa dia hentikan langkah.
"Bangsat, kalau tuanmu ini tiada punya urusan penting, tak
nanti kau dapat lolos semudah itu," serunya sembari memetik
serangkum dahan pohon, lalu diayunkan.
"Dahan-dahan ini kuhadiahkan untuk bekal perjalananmu!"
16. Wanita Tiga Dimensi Dahan dan ranting pohon, sebenarnya lemas saja. Tapi di
tangan Siau Ih benda itu berobah menjadi seperti senjata
panah yang tajam, berhamburan mengaung di udara.
Sekalipun jaraknya amat jauh sehingga tenaga timpukan itu
berkurang dayanya, namun jauh disebelah muka tampak
Tham Liong terhuyung-huyung. Rupanya dia terkena juga,
namun dengan kuatkan diri, benggolan itu tetap kencangkan
langkah. Pada lain saat, dia sudah menghilang di dalam
keremangan malam. Lebih dahulu Siau Ih gunakan obat yon-kut-san untuk
melenyapkan mayat keempat orang itu, baru kemudian dia
kembali ke hotel. Baru tiba di luar hotel, sudah didengarnya
suara orang ribut-ribut mempercakapkan sesuatu. Ternyata
pemilik hotel, jongos-jongos dan tetamu-tetamu tengah
mengerumuni kamar yang disewanya. Mereka sedang
membicarakan, sesosok mayat yang menggeletak disitu.
Kebanyakan mereka merasa syukur penjahat itu dapat
dibunuh. Ada pula yang mengusulkan supaya orang gagah
yang membunuhnya itu, lekas-lekas menyingkirkan diri supaya
tak berurusan dengan pembesar negeri.
Siau Ih pun menginsyafi bahwa kalau keburu terang tanah
tentu bakal mengalami kerepotan. Maka melangkah masuk,
segera dia berseru: "Kawanan Thiat-sian-pang terkenal jahat,
sudah selayaknya kalau dibasmi. Karena kebetulan singgah
disini, terpaksa aku turun tangan. Kini kawanan penjahat itu
sudah kabur, harap saudara-saudara sekalian jangan kuatir
apa-apa. Tentang permusuhanku dengan kaum Thiat-sianpang,
itulah menjadi tanggung jawabku sendiri, saudarasaudara
tak ada sangkut pautnya ......."
Belum selesai bicara, sekalian orang itu sudah sama
berpaling dengan kagetnya. Lebih terkejut lagi mereka itu,
demi dilihatnya yang berseru itu bukan lain, si anak muda
yang menyewa kamar itu. Serta melihat anak muda itu tegak
berdiri menghunus pedang dan beringas sikapnya, orangorang
itu sama mundur ketakutan.
"Aku bukan penjahat, harap saudara-saudara jangan
takut!" Siau Ih tertawa, lalu melangkah masuk ke dalam
kamarnya. Beberapa langkah di muka pembaringan, menggeletak
sesosok tubuh yang sudah tak dapat berkutik. Sebuah
bumbung jarum kiu-tiam-ting-sing-ciam terhampar di depan
ranjang itu, di sisinya terdapat Tan Wan yang menelungkupi
tepi ranjang. Buru-buru Siau Ih memeriksanya, dan dapatkan punggung
anak itu berlumuran darah lagi. Ketika diraba hidungnya,
ternyata masih mengeluarkan hawa. Dia duga, karena keliwat
pakai tenaga untuk menempur si penjahat, Tan Wan menjadi
pingsan. Bumbung jarum lekas-lekas disimpan, kemudian baru
menepuk pelahan-lahan pinggang belakang anak itu.
"Kawanan penjahat yang kurang ajar, aku hendak
mengadu jiwa dengan kamu!" seru Tan Wan demi membuka
mata dan melihat ada seseorang berdiri dihadapannya.
Dengan kuatkan diri, dia duduk lalu ayunkan tangan
menghantam. "Akulah!" seru Siau Ih cepat-cepat menyambar lengan
anak. itu. "Ai, kongcu, kau ........"
"Ya, kecuali si Tham Liong yang berhasil lolos, lain-lain
sudah beres semua. Tempat ini terlalu panas buat kita, ayuh
lekas pergi saja!" tukas Siau Ih yang mengetahui apa yang
hendak ditanyakan anak itu. Diambilnya sebuah pil kiu-coantian-
goan-tan, lalu disuruhnya telan Tan Wan.
"Saudara Tan, lukamu dipunggung itu merekah lagi. Tapi
karena untuk memburu waktu, biarlah kugendongmu. Asal
sudah tinggalkan kota ini, nanti kita cari tempat lain lagi,
untuk mengobati lukamu itu."
Dan tanpa menunggu penyahutan, Siau Ih segera
mengambil selimut untuk ditutupkan pada Tan Wan. Setelah
mengemasi barang-barang yang perlu, Siau Ih lalu
memanggul Tan Wan, tinggalkan kamar itu. Orang-orang tadi
ternyata belum bubaran, demi menampak si anak muda
memanggul kawannya keluar, kembali mereka terkejut
gempar. Kepada pemilik hotel, Siau Ih menerangkan bahwa
bukannya dia hendak melarikan diri dari peristiwa
pembunuhan itu, tetapi melainkan karena hendak menolong
kawannya yang terluka berat itu. Dia berikan duapuluh tail
perak kepada pemilik hotel itu selaku uang sewa dan ongkos
penguburan mayat si penjahat itu.
Habis itu, baru dia melangkah keluar, terus menuju ke
pintu kota. Ternyata pintu kota masih tertutup. Terpaksa dia
melompat tembok kota, dari itu terus gunakan ilmu
mengentengi tubuh lari ke arah selatan. Menjelang fajar, dia
sudah lari beberapa puluh li jauhnya.
Menurut perhitungan, semestinya dia akan tiba di kota Ikyang-


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

koan. Tapi dikarenakan dalam keadaan begitu, dia
merasa tak leluasa masuk kota. Ah, lebih baik cari sebuah kuil
atau biara dipinggiran kota saja, dimana dia dapat meneduh
sementara untuk mengobati luka Tan Wan. Dilihatnya
walaupun anak itu cukup kuat, namun karena lukanya amat
parah, jadi dalam perjalanan itu mukanya tampak pucat,
tubuh mulai lemas. "Tentunya saudara Tan tak kuat, lebih baik kita berhenti
dulu," kata Siau Ih. Namun anak itu, tetap kuatkan diri
mengatakan masih dapat bertahan.
Mulut membantah, tapi nada suaranya gemetar. Siau Ih
merasa kasihan dan kendorkan larinya. Beberapa li lagi,
haripun makin terang. Untuk kegirangannya, demi mendongak
ke muka Siau Ih melihat sebuah wuwungan rumah beratap
merah menonjol diantara lebatan hutan. Buru-buru dia
kencangkan langkah dan beberapa kejap saja sudah tiba di
muka pintu sebuah kuil. Tapi sepasang daun pintunya yang
sudah kusam catnya, ternyata terbuka sedikit. Sekali dorong,
Siau Ih melangkah masuk. Kuil itu ternyata tak berapa besar. Hanya terdiri dari sebuah
ruangan tengah dan sepasang ruangan samping.
Keadaannyapun sudah tak terawat, disana sini penuh dengan
gelagasi dan jaring laba-laba. Sebuah halaman kecil yang
terdapat di luar ruangan itu, penuh ditumbuhi rumput.
Walaupun kala itu sudah agak siang, namun suasana kuil itu
terasa menyeramkan. Melintasi ruang tengah, terdapat sebuah loteng
penggantung lonceng. Juga tempat lonceng itu rusak tak
keruan, tapi cukup buat tempat meneduh. Diam-diam Siau Ih
menjadi heran, mengapa ditempat yang belum termasuk
pedalaman yang sunyi itu, tiada orang yang mau merawat kuil
itu. Namun rusak sekalipun kuil itu, rasanya baik juga untuk
tempat beristirahat sementara waktu.
Sekali enjot sang kaki, Siau Ih loncat ke atas loteng dan
membaringkan Tan Wan di lantai. Memeriksa disekeliling
tempat itu, Siau Ih dapatkan loteng itu kurang lebih hanya
dua tombak persegi luasnya. Pada tempat gantungan, yang
ada hanyalah tali rantai besi, sementara loncengnya entah
kemana. "Bagian belakang dan muka kuil ini rusak tak keruan. Tapi
anehnya mengapa loteng ini cukup bersih keadaannya?" Siau
Ih terheran sehabis memeriksa itu.
Berpaling ke arah tembok, dilihatnya disitu terdapat
beberapa tu?lang ayam. Kembali dia merasa heran.
"Menilik keadaan ini, terang ada orang yang lebih dulu
tinggal disini. Entah siapakah dia itu?" pikirnya.
Selagi dia dalam keheranan, tiba-tiba dilihatnya wajah Tan
Wan makin pucat, sepasang alisnya mengerut dan napasnya
tersengal-sengal. Buru-buru dihampiri dan dipanggilnya
berulang-ulang. "Tak apalah ........" akhimja dengan paksakan diri Tan Wan
menyahut sember. Dan sehabis itu, kembali sepasang
matanya menutup. Siau Ih kasihan melihat keadaan anak itu. Diberinya sebuah
pil lagi, lalu dilumurinya luka-luka dipunggung anak itu,
kemudian ditutuk jalan darah penidurnya. Lewat beberapa
menit kemudian, Siau Ihpun merasa letih lalu duduk disebelah
Tan Wan untuk bersemadhi.
Waktu terjaga, haripun sudah menjelang magrib. Saat itu
Siau Ih rasakan perutnya lapar dan timbul pikirannya untuk
pergi ke tempat didekat itu membeli makanan. Berpaling ke
arah Tan Wan, dilihatnya anak itu masih tidur nyenyak. Buruburu
Siau Ih rapihkan pakaian, menyelipkan pedang terus
loncat ke bawah. Maksud Siau Ih sebenarnya hendak pergi sebentar untuk
membeli makanan. Tapi ternyata lima li jauhnya, dia baru
berhasil membeli sebungkus bakpao dan dua ikat ayam
panggang. Apa boleh buat, terpaksa dia bergegas-gegas
kembali ke kuil. Tapi setiba dikuil, ternyata rembulanpun
sudah mulai muncul dilamping gunung.
Baru sang kaki melangkah masuk dan melintasi ruang
besar, tiba-tiba dilihatnya ada sesosok bayangan hijau
berkelebat di atas loteng. Sudah tentu dia menjadi terkejut
dan terus loncat ke atas, seraya berseru tegas: "Siapa itu?"
Sebagai penyahutan, sesosok tubuh dalam pakaian warna
hijau melayang turun di atas lantai loteng itu. Hebat nian
ilmunya mengentengi tubuh. Lantai yang dipijaknya itu,
sedikitpun tak mengepulkan debu.
Siau Ih mengawasi tajam-tajam. Ternyata ia itu seorang
nona sekira berumur 27-28 tahun, mengenakan pakaian
warna hijau. Sampaipun kain kepala, mantel dan
sepatunyapun hijau semua. Wajahnya cantik, hidung
mancung, gigi laksana butir mutiara, namun sayang senyum
simpulnya mengandung romantis, sinar matanya nakal-nakal
cabul. Memandang si anak muda habis-habisan, mulutnya
mengikik tawa. "Seumur hidup, baru pertama ini aku melihat seorang yang
tak tahu peraturan seperti kau. Sekalipun dalam kuil rusak
ditempat sunyi, juga ada yang datang dulu dan datang
belakangan. Belum aku bertanya siapa kau ini, kau sudah
menanyakan diriku dulu!" katanya sambil tertawa lagi.
Sejak turun dari gunung, wanita yang pertama Siau Ih
jumpai ialah Lo Hui-yan, si cantik yang lemah lembut itu. Maka
begitu berhadapan dengan seorang nona yang sikapnya amat
centil begitu, reaksi pertama ialah jemu.
Mundur setengah langkah, berkatalah dia dengn wajah
bersungguh: "Oleh karena nona yang lebih dahulu datang,
sudah seharusnya aku pindah, harap nona tunggu sebentar!"
Habis berkata, dia terus hendak loncat ke atas loteng, tapi
sekali bergerak, nona itu sudah cepat menghadang.
"Tunggu dulu!" ujarnya.
Kalau tak cepat-cepat mundur, tentulah Siau Ih akan
berbenturan dengan nona itu. Membelalakkan mata,
bertanyalah dia: "Apakah nona masih hendak mengatakan
sesuatu lagi?" Nona baju hijau itu tertawa genit, serunya. "Aku toh tak
mengusir, mengapa kau terburu-buru."
Sampai disitu, Siau Ih sudah tak dapat bersabar lagi. Keraskeras
dia berseru: "Dikuil ini hanyalah loteng tempat lonceng
itu yang kena dibuat meneduh. Kalau aku tak pindah, nona
akan tinggal di mana?"
Kembali nona itu tertawa dibuat-buat.
"Tampaknya kau ini cerdik, tapi ternyata tolol. Menilik kau
membekal pedang, tentulah kau ini pemuda persilatan,
seharusnya tak main etiket-etiketan (tata kesopanan). Orang
yang berkelana, harus dapat menyesuaikan diri. Bukankah di
empat penjuru lautan ini kita semua bersaudara" Taruh kata
tinggal dalam satu kamar, apa halangannya" Apalagi lima li
disekeliling tempat sini, tiada perumahan orang sama sekali.
Apakah kau tak memikirkan yang terluka setengah mati itu?"
Siau Ih terkesiap, pikirnya: "Ucapannya itu benar beralasan,
tapi menilik sikapnya yang genit, terang ia pasti bukan wanita
baik. Tapi karena Tan Wan belum sembuh, lebih baik jangan
cari perkaralah," pikirnya.
Habis itu, berkatalah dia dengan nada bersungguh: "Atas
kebaikan nona, aku mengucap terima kasih. Meskipun kaum
persilatan itu tak menghiraukan etiket, namun antara pria dan
wanita tetap ada batas perbedaan, amatlah tak leluasanya."
Mendengar pemuda itu tak terpikat oleh sikap dan katakatanya
tadi, nona baju hijau itu agak tertegun. Namun
dengan masih lengkingkan tertawa romantis, ia berseru: "Ai,
kau ini ternyata masih begitu kolot ........"
Berhenti sejenak, ia mainkan ekor matanya mengerling ke
wajah si anak muda, kemudian dengan nada memikat rayu, ia
bertanya: "Engkoh kecil, berapakah usiamu tahun ini .....?"
Dan sehabis itu, dengan lemah gemulai, ia melangkah maju
dan aduh mak ..... sebuah lengannya yang halus putih itu
sudah dijamahkan ke bahu Siau Ih.
Serentak anak muda itu tersampok dengan bau yang
harum, hatinya bergoncang. Dia terkejut dan buru-buru
tenangkan semangatnya. Bahu dikisarkan, dia menyurut
kebelakang dan dengan gusarnya dia mendamprat: "Benar
disekeliling tempat ini tiada lain orang, tapi perbuatan nona itu
rasanya kurang pantas."
Tangannya merabah angin, wajah nona baju hijau itu,
berobah seketika. Kecantikannya yang berseri tadi, lenyap
berganti dengan kerut pembunuhan.
"Anjing mau menggigit dewa Lu Tong-ping, sungguh
seorang yang tak tahu kebaikan orang. Nonamu sudah
penuju, tapi kau berani membangkang. Kalau hari ini kau
sampai terlepas dari cengkeramku, jangan panggil aku Kauhun-
sam-nio-cu!" serunya lantang-lantang.
Mendengar itu, sekilas teringatlah Siau Ih akan
pembicaraannya dengan Liong Go sewaktu berada di gunung
Ki-he-nia tempo hari. Liong Go menerangkan bahwa Pakthian-
san Song-sat mempunyai seorang keponakan
perempuan yang bernama Li Thing-thing. Nona itu cantik
laksana kuntum bunga, tapi ganas bagai ular berbisa,
cabulnya bukan kepalang. Ia mendapat warisan kepandaian
dari ayah bundanya, suami isteri Li Ho.
Meskipun umurnya sudah mendekati empatpuluhan, tapi
tampaknya masih secantik anak perawan. Entah sudah berapa
jumlahnya, pemuda-pemuda anak murid berbagai partai
persilatan yang kena terpikat dan dibinasakan olehnya. Karena
ia memiliki tiga sifat: cantik, culas, cabul, maka kaum
persilatan menjulukinya dengan gelar "Kau-hun-sam-nio-cu
atau si Wanita 3 sifat pemikat jiwa atau istilah populer: Wanita
3 dimensi. Waktu Siau Ih mengeluh karena kesamplokan dengan
wanita cabul itu, tiba-tiba terkilas dalam ingatannya bahwa
turut dugaan ayah angkatnya (si Dewa Tertawa), kematian
ayah bundanya itu, kebanyakan adalah perbuatan putera dari
Pak-thian-san Song-sat yang bernama Li Hun-liong. Teringat
akan hal itu, kebenciannya ditumpahkan pada si wanita cabul
yang juga kaum kerabat orang she Li itu.
"Benarkah kau ini si Li Thing-thing itu?" serunya dengan
keras. Menyahut Kau-hun-sam-nio-cu sambil tertawa dingin:
"Kalau toh sudah mendengar akan kebesaran namaku,
mengapa masih membangkang?"
"Ha, ha," Siau Ih tertawa nyaring, serunya: "Wanita busuk,
kematianmu sudah di depan mata, masakah masih berani
......" Belum sampai dia lanjutkan makiannya, Kau-hun-sam-niocu
sudah menutukkan sepasang jarinya ke dada Siau Ih.
Karena tangannya mencekal bakpao dan ayam panggang, jadi
Siau Ih tak dapat menangkis. Begitu jari lawan tiba, kakinya
mengisar ke samping, dari itu terus enjot tubuhnya melayang
melampaui kepala Li Thing-thing. Tiba di muka loteng,
bawaannya disongsongkan ke lantai loteng.
Kau-hun-sam-nio-cu ternyata tangkas sekali. Tutukannya
luput dan si anak muda lenyap, tanpa berputar ke belakang
lagi, ia terus hantamkan tangannya ke belakang.
Saat itu Siau Ih belum sempat berputar badan, atau tibatiba
dia merasa ada tenaga keras menyambar dari arah
belakang. Terpaksa dia maju terus ke muka sembari diamdiam
kerahkan lwekang kian-goan-sin-kong. Mendadak dia
berbalik diri dalam gerak hong-kek-hoan-sim atau merpati
kuning membalik badan. Menyusul kedua tangannya pun berbareng digerakkan.
Tangan kanan, menyambut serangan dengan jurus heng-thuipik-
ma atau mendorong delapan ekor kuda. Sementara tangan
kiri dalam jurus seng-liong-in-hong (naik naga memikat
burung hong), balas menyerang dengan tenaga lwekang yang
lemah halus. Bermula Kau-hun-sam-nio-cu tak memandang samasekali
terhadap anak muda itu. Pikirnya, sekali gebrak tentu akan
berhasil meringkusnya. Maka dapatlah dibayangkan betapa
kagetnya ia, demi anak muda itu melancarkan dua buah
serangan lwekang keras dan lemah. Angin pukulannya tadi,
menjadi sirna dayanya. Namun tak kecewa ia dimalui oleh kaum persilatan. Dalam
gugupnya, masih ia dapat gunakan jurus-jurus hu-yan-kui-soh
dan hun-liong-san-sian, untuk berjumpalitan beberapa kali
sehingga mencapai kedekat dinding. Dengan begitu dapatlah
ia terhindar dari serangan si anak muda yang lihay itu.
Sebaliknya melihat wanita itu pontang panting begitu rupa,
Siau Ih tertawa dingin, serunya mengejek: "Ilmu kepandaian
kaum Song-sat, kiranya hanya begitu saja!"
Saat itu wajah Li Thing-thing sudah gelap membesi, hawa
pembunuhan memancar-mancar. Dengan geramnya ia
berseru: "Anak liar, jangan kira nonamu tak dapat memikat
jiwamu, merampas ragamu. Coba kau rasakan ini lagi!"
Sekali tangan merabah ke pinggang, ia sudah lantas
menarik ikat pinggangnya. Ikat pinggang itu terbuat dari kain
sutera berwarna pelangi: merah, oranye, kuning, biru laut,
hijau, biru, dan ungu. Lebarnya antara tiga jari dan
panjangnya ada dua tombak lebih. Sabuk atau ikat pinggang
itu bukan benda sembarangan, melainkan senjata istimewa
yang telah mengangkat nama dari bibinya (isterinya Hiat-sat)
tempo dahulu. Itulah yang disebut chit-po-to-hun-tay atau
sabuk tujuh mustika perampas jiwa.
Siau Ih tak mengetahui akan senjata itu. Namun menilik
kepandaian lawan itu cukup tinggi, diapun tak berani
meremehkan. Untuk mengimbangi, diapun melolos pedang
pusaka Thian-coat-kiam. Melintangkannya ke dada, berserulah
dia dengan tertawa dingin: "Lain orang mungkin jeri terhadap
kaum Song-sat, tapi hal itu tak berlaku padaku!"
Api kemarahan Li Thing-thing makin seperti disiram minyak.
Di iring dengan suitan melengking nyaring, ia kebutkan ikat
pinggang itu ke arah kepala si anak muda. Melihat
perbawanya amat dahsyat, Siau Ih cepat-cepat salurkan
lwekang lalu dengan jurus hun-jum-mu-soh (awan bergerak
embun menutup), pedang diputar deras untuk melindungi
dirinya. Sejak kecil Kau-hun-sam-nio-cu Li Thing-thing itu telah
digembleng oleh ayah dan pamannya yang bergelar Song-sat
atau sepasang iblis itu. Bahwa kedua Song-sat itu tergolong
dalam sepuluh Datuk, maka dapat dibayangkan kalau Li


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thing-thing itu bukan alang-alang lihaynya. Gebrak permulaan
tadi, ia segera mengetahui bahwa kepandaian anak muda itu
lebih tinggi sedikit dari dia. Kalau tak menggunakan otak dan
kelincahan, ia pasti kalah.
Sebagai ahli silat, iapun cepat dapat mengetahui bahwa
pedang pemuda lawannya itu, bukan sembarang pedang,
sekurang-kurangnya pasti sebuah pedang pusaka yang dapat
menabas putus tebaran rambut. Kuatir kalau ikat pinggangnya
terpapas kutung, ia turunkan gerakannya. Kini dari atas, ikat
pinggang itu berombang-ambing turun menyapu perut si anak
muda. "Bagus!" Siau Ih tertawa dingin, ujung kaki ditekan pada
lantai terus melambung dalam gerak cek-siang-ceng-hun
(langsung melonjak ke awan), sembari putar pedangnya
dalam jurus pian-say-thian-hoa Sepuyuh angin dahsyat
menyambar-nyambar. Ternyata Kau-hun-sam-nio-cu tak kecewa menjadi momok
perempuan. Waktu pedang menyambar, pinggangnya yang
kecil ramping bergeliatan laksana seekor ular, mengisar
kesebelah kiri. Begitu pundak hampir mendatar kelantai,
tangan kanan mengibaskan jurus to-thoan-cu-lian. Ikat
pinggang chit-po-toh-hun-tay, melilit-lilit ke atas. Syukur Siau
Ih yang serangannya gagal tadi, buru-buru pijakkan kaki kiri
ke atas punggung kaki kanan dan dengan meminjam tenaga
pijakan itu, dia melayang ke samping beberapa meter.
Walaupun baru bergebrak dalam tiga jurus, namun kedua
seteru itu sudah menginsyafi bahwa kepandaian lawan
memang luar biasa. Bagi Siau Ih, sejak keluar dari perguruan,
belum pernah dia mendapat lawan setangguh Kau-hun-samnio-
cu itu. Oleh karenanya, dalam setiap gerak dan jurus, dia
selalu amat berhati-hati.
Sedang Kau-hun-sam-nio-cu pun demikian juga. Melihat
pedang dan ilmu permainan anak muda itu lain dari yang lain,
iapun tak berani lengah. Dalam beberapa kejap saja, duaratus jurus telah
berlangsung, suatu pertempuran yang benar-benar memeras
tenaga. Li Thing-thing adalah seorang wanita, tambahan pula
ia gemar pelesir. Makin pertempuran berjalan lama, makin
payah baginya. Napasnya tersengal-sengal, dahinya
bercucuran keringat dan gerakannyapun makin kurang
kecepatannya. Sedang celakanya, anak muda lawannya itu adalah
sebaliknya. Pertama, dia hendak menuntut balas atas
kematian sang ayah bunda dan kedua kali, dia masih seorang
taruna yang masih sedang kuat-kuatnya. Lebih-lebih dia
merasa muak terhadap gerak gerik wanita cabul itu. Dia tak
mau sungkan-sungkan lagi.
Thui-jong-ong-gwat atau mendorong jendela melihat
rembulan, adalah jurus yang saat itu dilancarkan dengan
sekuat tenaga. Dan karena Kau-hun-sam-nio-cu sudah kurang
tenaganya, maka ikat pinggang chit-po-toh-hun-tay nya pun
kena ditampar ke atas udara. Dan kesempatan itu segera
digunakan Siau Ih untuk meneruskan dengan sebuah tusukan
ke mukanya. Li Thing-thing menjerit kaget, namun betapa cepatnya ia
coba menyurutkan kepalanya, tak urung beberapa tali kain
pembungkus kepalanya telah kena terpapas.
Wajah wanita cabul itu pucat lesi, semangatnya serasa
terbang. Diam-diam dia mengeluh, bahwa kali ini terang ia tak
bakal menang. Sebagai seorang persilatan yang kaya
pengalaman, walaupun menghadapi bahaya, tetap ia berlaku
tenang. Secepat tangan kiri dibalikkan, dua buah jarinya ditusukkan
kepergelangan tangan si anak muda. Dan ketika lawan
menarik pulang tangannya, ia sudah enjot tubuhnya melayang
ke atas tembok. Untuk mencegah pengejaran lawan, ia
timpukkan sebuah obat pasang yang menghamburkan awan
hijau. Siau Ih mundur tiga langkah sembari putar pedangnya
untuk melindungi diri. Tapi ketika awan hijau itu sudah
menipis, ternyata Li Thing-thing sudah tak tampak
bayangannya lagi. Cepat dia loncat ke atas tembok untuk
mengejar, tapi sekilas dia teringat sesuatu: "Ah, wanita jahat
itu amat licin, jangan-jangan dia hendak memikat aku, lalu
balik kemari mencelakai Tan Wan ........."
Terpaksa dia batalkan langkah dan kembali ke atas loteng
lagi. 17. Lolos Dari Lubang Jarum
Tan Wan masih tidur, tapi kuatir kalau Li Thing-thing telah
melakukan sesuatu padanya, dia cepat-cepat memeriksa
tubuh anak itu. Setelah ternyata tak kurang suatu apa, barulah lega
hatinya. Dia duduk menyandar pada tembok. Lebih dulu
diambilnya bakpao dan ayam panggang tadi, baru kemudian
membuka jalan darah Tan Wan yang tertutuk tadi.
Melihat Siau Ih duduk didekatnya dengan mengulum
senyum, Tan Wan bersyukur tak terhingga. Dia coba bergeliat
bangun, lalu berkata: "Karena seorang Tan Wan, kongcu telah
mendapat banyak kesulitan ..........."
"Memberi pertolongan pada orang yang mendapat
kecelakaan, adalah sudah menjadi tugas kaum persilatan
seperti kita. Kalau saudara Tan masih mengungkat yang tidaktidak,
pertanda pikiranmu itu berlainan!" tukas Siau Ih.
Diambilnya sebiji bakpao dan separoh ayam panggang, lalu
diberikan pada kawannya itu.
"Manusia bukan mesin, jadi tak dapat hidup tanpa makan.
Lebih-lebih saudara Tan baru sembuh betul, jadi tak boleh
berkosong perut. Ayuh, kita makan bakpao dan ayam
panggang ini!" Terhadap pribadi dan kepandaian Siau Ih, Tan Wan kagum
tak terhingga. Apalagi pemuda itu amat memperhatikan sekali
padanya, ini membuatnya makin menggores dalam-dalam rasa
patuhnya. "Terhadap pribadi kongcu yang gagah budiman itu, Tan
Wan amat mengindahkan sekali. Kongcu telah menolong
jiwaku, entah bagaimana aku dapat membalasnya. Asal Tan
Wan masih bernyawa sekalipun kongcu menyuruh aku
menerjang lautan api rimba golok, Tan Wan tak nanti
menolak." Sejak berada dibukit Kun-san, Tan Wan selalu
membahasakan "kongcu" (tuan muda) pada Siau Ih.
Sebaliknya untuk menyatakan sikapnya yang terbuka, Siau Ih
memanggilnya "saudara".
Dulupun Tan Wan pernah mengutarakan maksudnya untuk
mengikut Siau Ih, agar dengan demikian dapatlah dia
menunaikan dua macam tugasnya. Pertama, membalas budi
Siau Ih dan kedua membalas budi suhunya dalam menuntut
balas kepada orang-orang Thiat-san-pang.
Tapi Siau Ih hanya ganda tertawa saja dan belum
menyatakan sesuatu. Kini setelah beberapa hari bergaul, keduanya makin lebih
mengetahui pribadi masing-masing. Tan Wan dapatkan bukan
saja Siau Ih seorang pemuda yang cerdas, pun juga berbudi
terbuka tangannya. Sebaliknya Siau Ih pun menganggap bahwa sekalipun Tan
Wan itu berasal dari kaum persilatan penyamun, tapi
mempunyai rasa setia dan tahu membalas budi. Apa yang
diucapkan anak muda itu tadi, tentulah benar-benar keluar
dari setulus hatinya. "Nilai dari orang bersahabat, ialah kenal hati masingmasing.
Apabila setiap kali mengucapkan terima kasih untuk
suatu urusan kecil saja, tandanya dia itu berhati palsu. Semisal
bunga teratai merah dan putih, pun semua aliran persilatan
itu, serumpun asalnya. Saling bantu membantu, adalah sudah
menjadi kewajiban bagi kaum persilatan. Entah bagaimana
pendapat saudara Tan tentang kata-kataku," kata Siau Ih.
Karena dipandang lekat-lekat, muka Tan Wan menjadi
merah dan dengan kemalu-maluan menundukkan kepala dia
mengiakan. "Kalau saudara Tan menganggap benar, maka mulai saat
ini janganlah memanggil aku dengan sebutan "kongcu" lagi!"
Tergerak hati Tan Wan akan pernyataan terbuka dari
pemuda gagah itu. Dengan suara nyaring, dia berseru: "Tan
Wan merasa bersyukur sekali, bahwa seorang yang berasal
dari kalangan begal macam aku ini, dapat diterima menjadi
seorang sahabat ....."
"Ai, batas antara baik dan jahat itu, amatlah tipis sekali.
Penghidupan ini bagaikan sebuah bahtera melayari lautan.
Sedikit kita nyeleweng mengayuh, tentu akan membiluk ke
jalan yang hina. Tapi asal kita sadar dan buru-buru
memperbaiki kesesatan itu, itupun sudah cukup. Sesama
kaum persilatan, rasanya tiada perbedaan siapa golongan lioklim
(begal), siapa golongan ceng-pay (baik)."
Mendengar itu, Tan Wan menghela napas, ujarnya:
"Mendengar petuah seorang bijaksana, jauh lebih bermanfaat
dari membaca buku sepuluhan tahun. Tan Wan akan
berterima kasih sekali apabila sering-sering mendapat nasehat
berharga." Siau Ih peringatkan bahwa pemuda she Tan itu masih
belum sembuh betul, sebaiknya lekas makan dan beristirahat
lagi. Begitulah keduanya segera menggasak habis-habisan
beberapa bakpao dan dua ekor ayam panggang itu.
Habis makan, kembali Siau Ih suruh kawannya menelan
sebuah pil. Kuatir kalau membikin kaget, Siau Ih sengaja tak
mau menceritakan tentang peristiwa Li Thing-thing tadi.
Singkatnya saja, malam itu mereka tidur dengan tiada terjadi
suatu apa. Keesokan harinya, sesudah memberi obat lagi, Siau Ih
mengeluarkan bumbung yang berisi sembilan butir jarum
beracun itu. Dia mengatakan hendak membeli rangsum kering
dan memesan pada Tan Wan, apabila ada musuh datang
mengganggu, boleh disambut dengan jarum itu.
Menyambuti bumbung jarum itu, bertanyalah Tan Wan
dengan heran: "Kalau tak salah inilah jarum beracun kiu-tiamting-
sing-ciam yang dilarang dipergunakan oleh kaum
persilatan. Maaf, dari mana saudara Siau mendapatkannya?"
Untuk menghilangkan salah paham, terpaksa Siau Ih
menuturkan apa yang terjadi dihalaman muka makam Gakong
tempo hari. Tan Wan makin terkejut dan menyatakan akan menjaga
senjata rahasia itu baik-baik, agar jangan sampai jatuh
ketangan sesuatu orang persilatan.
Siau Ih yang masih kuatir terhadap Kau-hun-sam-niocu,
sebenarnya hendak menceritakan peristiwa itu kepada Tan
Wan, tapi pada lain kilas dia merasa tak leluasa. Akhirnya dia
hanya memesan supaya sang kawan itu berlaku hati-hati saja.
Demikianlah Siau Ih segera pergi keluar untuk membeli
rangsum dan dua guci arak, lalu kembali ke kuil rusak lagi.
Oleh karena beberapa hari kemudian tak terjadi suatu apa,
Siau Ih pun sudah mengesampingkan peristiwa Li Thing-thing
itu. Dalam pada itu, luka-luka hajaran cambuk dipunggung
Tan Wan pun sudah sembuh sama sekali.
Kembali Tan Wan utarakan maksudnya untuk mengikut
anak muda itu. Kali ini terpaksa Siau Ih menerima perbaik. Pertama,
karena melihat kesungguhan hati anak itu dan kedua kali
dengan mempunyai seorang kawan, rasanya dia takkan
kesepian dalam perjalanan. Sudah tentu Tan Wan kegirangan
setengah mati. Mereka tinggalkan kuil itu menuju ke dalam kota Ik-yangseng.
Disitu Siau Ih membeli dua ekor kuda dan beberapa stel
pakaian, baru meneruskan perjalanan lagi.
Kira-kira sepuluhan hari, tibalah mereka di propinsi Kwiciu.
Oleh karenanya senjata toja kiu-hap-kim-si-pang telah hilang
di Gak-ciu, maka Tan Wan segera mencari tukang besi untuk
membuatnya lagi sebatang.
Selesai itu, mereka lanjutkan pula perjalanan. Setelah
memasuki daerah pegunungan mereka siap melintasi sebuah
gunung, masuk ke propinsi Oulam terus ke Tiang-jong-sam.
Keadaan gunung itu, ternyata penuh dengan tebing karang
yang curam, puncak-puncak yang menjulang menyusup awan
dan jalanan-jalanan yang berliku-liku amat berbahayanya.
Meskipun kala itu baru bulan sepuluh, namun matahari
dimusim rontok masih terik.
Belum tengah hari, keduanya sudah masuk sampai
seratusan li. Tiba-tiba Siau Ih tarik kendalinya. Menunjuk ke
arah sebuah pohon besar. Dia ajak Tan Wan beristirahat
mengisi perut. Selagi mereka duduk di bawah pohon besar, sembari
menikmati ransum kering, tiba-tiba terdengar angin
membawakan suara kelinting kuda. Mendongak ke muka, Siau
Ih tampak ada dua ekor kuda tegar tengah mendatangi
dengan pesat. Yang dimuka, seorang lelaki tegap bermuka brewok,
mengenakan pakaian ringkas warna merah. Usianya kurang
lebih empatpuluhan tahun.
Sedang yang di belakangnya, ialah seorang wanita
berkerudung muka dan mengenakan pa?kaian ringkas warna
hijau. Dalam sekejap mata saja, kedua penunggang kuda itu
sudah tiba di muka pohon besar.
Wanita pakaian hijau itu tiba-tiba gunakan tangan kiri
untuk menjambret kerudung mukanya. Dua biji mata yang
memancarkan sinar mendendam benci, segera memandang
lekat-lekat ke arah Siau Ih. Mulut mendengus, tangannya
bergerak mengantarkan sang tubuh loncat dari atas kuda,
terus berlari melewati tempat Siau Ih dengan cepatnya.
"Dia lagi!" diam-diam Siau Ih mengeluh kaget.
Memang wanita itu bukan lain ialah si Kau-hun-sam-niocu
Li Thing-thing, itu wanita cabul yang coba hendak memikat
Siau Ih dikuil rusak. Munculnya wanita itu ditempat yang
sesunyi seperti daerah pedalaman gunung Tay-lou-san, telah
membuat Siau Ih terkejut bukan kepalang.
"Siau-heng, mengapa wanita itu mengawasi begitu
membenci kepadamu?" tanya Tan Wan yang tak mengerti
duduk perkaranya. Sejenak merenung, Siau Ih gelengkan kepalanya: "Dalam
perjalanan nanti, kita mungkin menghadapi beberapa
peristiwa. Tapi apapun yang akan terjadi, harap saudara Tan
jangan ikut campur tangan."
Masih Tan Wan bersitegang leher: "Meskipun Siau-heng tak


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan, tapi kiranya sudah jelaslah. Wanita baju hijau itu
tentu mempunyai dengki asmara terhadap Siau-heng, kalau
tidak masakah sorot matanya begitu buas?"
Menyandarkan kepalanya ke batang pohon, Tan Wan
melirik ke arah Siau Ih lalu kembali tertawa: "Seorang anak
muda seperti Siau-heng itu, tentu sukar menghindarkan diri
dari libatan-libatan macam itu. Tapi biar bagaimana juga,
kalau suruh siaote berpeluk tangan, sungguh sukar sekali.
Sudah tentu siaote tak mau ikut campur dalam urusan pribadi
Siau-heng." Ai, anak itu! Dia sudah salah taksir, siapa Siau Ih dan, siapa
wanita Li Thing-thing itu. Suatu hal yang membuat Siau Ih
tertawa meringis. Apa boleh buat, terpaksa dia tuturkan apa yang telah
terjadi ketika berada dalam kuil rusak tempo hari itu. Tapi
yang diceritakan hanyalah pertempurannya dengan wanita itu,
sedang perbuatan tak senonoh dari Li Thing-thing tiada
disinggung-singgungnya. "Mengapa Siau-heng tak siang-siang memberitahukan
siaote?" tanya Tan Wan dengan heran-heran menyesal.
Siau Ih hanya tertawa dan menerangkan bahwa mengingat
Tan Wan masih dalam keadaan sakit, sebaiknya tak usah
memikirkan urusan-urusan tetek bengek semacam itu.
Li Thing-thing seorang durjana perempuan yang
termasyhur jahat dalam dunia persilatan, maka lebih baik Tan
Wan jangan turut terlibat dalam peristiwa itu.
"Kalau toh wanita itu sedemikian jahatnya, tak perlu kita
takut. Apalagi demi untuk "kepentingan sahabat", sekalipun
tubuh berhias luka, juga harus memberi bantuan. Lebih-lebih
Siau-heng adalah penolong jiwaku," kata Tan Wan.
Sejenak kemudian, dia berkata pula: "Tapi kalau Siau-heng
menganggap Tan Wan ini seorang yang berkepandaian rendah
dan tiada berguna, sampai disini saja aku hendak minta diri."
Mengetahui orang sudah salah paham dan menilik sikap
Tan Wan begitu sungguh, Siau Ih tergerak hatinya.
Berbangkit bangun, dia cekal sepasang tangan anak itu,
katanya: "Sedikitpun tiada aku mengandung hati begitu, harap
saudara Tan jangan salah mengerti. Seorang yang mempunyai
sahabat sejati, meskipun hanya seorang saja, tapi itu sudah
cukup membahagiakan."
Kini baru Tan Wan dapat tertawa lebar dan menyatakan
agar Siau Ih basmi saja wanita sejahat itu.
"Ah, aku tak berani mengharap terlalu banyak. Seorang
yang masih muda dan kurang pengalaman seperti aku ini,
harus tahu diri. Li Thing-thing seorang jagoan wanita yang
termasyhur. Terhadap dia, paling banyak aku hanya dapat
menghancurkan kegarangannya tapi tak dapat
membunuhnya.'' "Itu sudah cukup menggembirakan," Tan Wan memberi
komentar. Kedua saling tertawa dan karena matahari sudah condong
ke sebelah barat, buru-buru mereka mengemasi ransum dan
guci arak. "Kalau tiada terjadi suatu apa, malam ini kita tentu dapat
melintasi gunung ini. Tapi menurut perasaan siaote, rasanya
tidak seperti apa yang kita harapkan," kata Tan Wan sembari
mengusap-usap senjatanya kiu-hap-kim-si-pang".
Mereka mencongklangkan kudanya menyusur jalanan yang
melingkar-lingkar di antara lamping dan puncak gunung.
Sekonyong-konyong dari tempat yang tak berapa jauh,
terdengarlah sebuah suitan nyaring. Ya, sedemikian
nyaringnya hingga seperti memekakkan telinga dan menyusup
ke dalam angkasa. Siau Ih yang memiliki lwekang tinggi, tampak biasa saja.
Sebaliknya Tan Wan sudah kaget seperti terbang
semangatnya. Sampaipun kedua ekor kuda tunggangan
mereka itupun, saking kagetnya sampai meringkik-ringkik dan
melonjak ke atas. Siau Ih jepitkan kakinya kencang-kencang ke perut kuda.
Dengan tangan kiri menekan kepala kudanya, tangan kanan
menyambar kepala kuda Tan Wan terus ditekan ke bawah,
katanya: "Tenangkan hatimu, jangan takut!"
Mendongak ke atas, Siau Ih lepaskan sebuah tertawa
panjang. Nadanyapun tak kurang hebatnya, bergema jauh
sampai ke atas awan. Seperti tertekan tenaga kuat, lengking
tertawa yang pertama tadi, segera cep-kelalep (sirap).
"Ah, sungguh berbahaya. Kalau Siau-heng tak hebat
lwekangnya, entah bagaimana akibatnya tadi. Menilik semuda
itu usianya dia sudah memiliki kepandaian yang sedemikian
saktinya, sungguh aku harus merasa malu," diam-diam Tan
Wan berkata dalam hati. Dalam pada itu, Siau Ih pun sudah berhenti tertawa,
katanya: "Memang tepat dugaan saudara Tan itu. Wanita
jahat itu benar akan memegat kita, mari kita saksikan
bagaimana nanti." Mencongklang lagi ke muka, mereka mengitari sebuah
tikungan dan kini tibalah mereka pada sebuah tanah terbuka.
Karena di empat penjuru dikelilingi puncak-puncak gunung,
jadi daerah itu mirip dengan sebuah lembah cekung. Siau Ih
hentikan kudanya dan mengawasi ke sekeliling itu.
Sayup-sayup di atas sebuah batu besar yang terletak
ditengah karang, tampak berdiri sesosok tubuh langsing
berwarna hijau. Meskipun masih jauh, tapi dapatlah diduga
bahwa orang itu tentulah si Kau-hun-sam-niocu Li Thing-thing.
Siau Ih heran juga mengapa tadi ada dua orang tapi
sekarang hanya ada seorang saja. Buru-buru dia berpaling ke
belakang dan memperingatkan agar Tan Wan berlaku
waspada. Oleh karena sejak kecil sudah biasa ikut pada suhunya Sinheng
bu-ing Kiau Bo berkelana di dunia persilatan, jadi
pengalaman Tan Wan pun sudah cukup banyak. Diapun heran
juga mengapa tak melihat si lelaki brewok yang berpakaian
warna merah tadi. Sembari mengiakan peringatan Siau Ih,
diapun lekas-lekas mempersiapkan senjatanya.
Pada saat itu, tiba-tiba tampak Li Thing-thing gerakkan
kedua lengannya dan bagaikan kapas terbang, ia melayang ke
bawah. Siau Ihpun cepat-cepat loncat turun dari kudanya.
Sewaktu menurun, wanita itu cepat sudah tamparkan
tangannya ke bawah. Siau Ih bersuit keras, kedua lengan bajunya agak
dikebutkan, tubuhnya loncat ke atas sampai satu tombak.
Sesudah berhasil menghindari angin pukulan lwekang lawan,
dia berjumpalitan di atas udara dengan kaki di atas dan kepala
di bawah, dia balas menghantam lawan.
"Plak," terdengarlah suara benturan keras, ketika Kau-hunsam-
niocu balikkan tangan menangkis. Dan apa yang terdjadi"
Sekali berjumpalitan, Siau Ih turun dengan tenangnya ke
bumi. Sebaliknya Li Thing-thing terhuyung-huyung sampai tujuhdelapan
tindak. baru dapat berdiri jejak.
"Li Thing-thing, malam itu aku telah memberi ampun
padamu, seharusnya kau tahu diri dan angkat kaki jauh-jauh.
Tapi mengapa kau masih berani menghadang aku lagi"
Apakah kau sudah tak mempunyai rasa malu lagi!" seru Siau
Ih tenang-tenang. Oleh karena sudah melepaskan kain kerudung, jadi jelaslah
bagaimana wajah Li Thing-thing saat itu berwarna gelap,
sepasang matanya memancarkan api pembunuhan.
Menatap si anak muda, ia tertawa iblis: "Aku selalu
membayar setiap hutang. Oleh karena kebetulan bertemu di
selat gunung sini, maka akupun hendak melunaskan rekening
lama. Beritahukan nama, agar mudah nanti aku melapor pada
raja akhirat!" Siau Ih mendongak tertawa lepas.
"Masih menepuk dada bermulut besar hem, sungguh tak
malu. Tuanmu ini bernama Siau Ih, ayuh, kau mau apa?"
"Hendak kurenggut jiwamu kuganyang dagingmu ?""
"Hem, enaknya," tukas Siau Ih sejenak tertawa lalu berseru
lagi dengan wajah keren: "Li Thing-thing, tanganmu
berlepotan darah, tubuhmu berlumuran dosa. Bertahun-tahun
kau malang melintang mengumbar keganasan. Pepatah
mengatakan 'membasmi seorang jahat itu, jasanya tak
ternilai'. Malam ini aku hendak melakukan amanat bertuah itu,
melenyapkan seorang siluman jahat!''
Dengan kata-kata itu, Siau Ih sudah menumpahkan seluruh
isi dendamnya atas kematian sang ayah bunda. Dari seorang
pemuda yang cakap, saat itu Siau Ih berobah menjadi
harimau buas yang haus darah. Pedang Thian-coat-kiam cepat
disiapkan dan dengan mata berkilat-kilat dia siap menanti
lawan. Tan Wan yang mengawasi dari samping, hanya mengetahui
bahwa sang kawan itu amat marah sekali terhadap wanita
cabul yang jahat itu. Tapi dia tak tahu sama sekali akan
libatan urusannya lebih jauh.
Kau-hun-sam-niocu Li Thing-ting balas tertawa melengking
nyaring. Dalam tertawa itu, tubuhnya menyurut mundur dan
secara tak terduga-duga sebuah kain pelangi sudah
menyambar ke arah Siau Ih.
Waktu Siau Ih gunakan pedang untuk memapas, Kau-hunsam-
niocu perdengarkan tertawa dingin. Kakinya bergerak
mundur lalu maju pula. Tangan kanan menyambar bagian
tengah kain ikat pinggang itu, terus dikebutkan ke muka.
Selembar ikat pinggang chit-po-toh-hun-tay yang
panjangnya dua tombak, dalam permainan Li Thing-thing, kini
berobah menjadi dua. Siau Ih tunggu sampai ujung senjata lawan itu hampir
mengenai bahunya, baru dia agak turunkan tubuhnya ke
bawah. Setelah menghindar itu, dengan tangkas dia kirim
sebuah tusukan ke arah tenggorokan lawan.
Kembali kedua seteru itu, lanjutkan pertempuran dahulu
yang belum selesai. Hanya saja dalam gebrak permulaan itu,
keduanya gunakan jurus-jurus baru.
Sedetikpun Kau-hun-sam-niocu tak pernah melupakan
kekalahannya di kuil rusak itu. Sekali gebrak, ia sudah lantas
gunakan ilmu pusaka ajaran Song-sat yang disebut im-yangtoh-
hun-cap-jit-si atau tujuhbelas jurus lwekang im-yang
perampas jiwa. Sementara melampiaskan kebenciannya, Siau Ihpun tak
segan-segan mengeluarkan kepandaian simpanannya. Dibantu
oleh gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dia
mainkan ilmu pedang lui-im-kiam-hwat atau ilmu pedang
suara halilintar. Dahulu dengan ilmu pedang itulah, si Dewa Tertawa Bok
Tong menggemparkan dunia persilatan.
Di tengah lembah dari pegunungan yang sunyi senyap,
pada saat itu terdengar gemuruh angin menyambar-nyambar,
sinar pedang berkilat-kilat dan warna pelangi berkibar-kibar.
Sesaat diseling dengan benturan pukulan tangan dan sesaat
pula dengan gemerincing senjata beradu.
Tan Wan yang melihatnya sampai melongo, karena seumur
hidup belum pernah dia menyaksikan suatu per?tempuran
yang segempar itu. Dalam beberapa detik kemudian, pertempuran sudah
berjalan sampai seratusan jurus.
Tampaknya Kau-hun-sam-niocu men?jadi tak sabaran lagi.
Bersuit keras, ia merangsek maju. Tangan kanan membalikkan
toh-hun-tay menabas pundak, dua buah jari tangan kirinya,
secepat kilat menusuk ke arah mata lawan!
Siau Ih menarik ke belakang tubuhnya, lalu menusuk ke
arah lengan Li Thing-thing. Kemudian sang pundak digeliatkan
memutar tubuh, dia hindari sabetan toh-hun-tay, lalu tangan
kiri menghantam dada lawan dengan jurus hun-toan-bu-san
(awan menutup gunung Busan).
Li Thing-thing tarik pulang tangannya sembari kempiskan
dada. Ujung tumitnya diinjakkan ke tanah, lalu gunakan ginkang
istimewa hong-ji-liu-si (angin meniup tangkai pohon liu).
Bagaikan segumpal kapas, tubuhnya seperti tak bertulang,
ikut sambaran angin pukulan lawan melayang sampai
setombak jauhnya. Begitu sang kaki menginjak tanah, ia terus
ngacir pergi. Perbuatan itu telah menyebabkan Siau Ih melongo tak
habis mengerti. Tapi berkat kecerdasan otaknya, sekilas dia
teringat akan si lelaki brewok yang belum munculkan diri itu.
Pikirnya: "Menilik perangai Li Thing-thing yang begitu
temberang ganas, tentu tak nanti ia mau menyudahi urusan
pembalasan sakit hati yang belum selesai itu. Namun karena
ia ngacir, terang tentu akan menggunakan siasat."
Hanya sayangnya, sekalipun sudah mempunyai dugaan
begitu, namun Siau Ih tak dapat lepaskan diri dari pengaruh
kesombongannya. Menganggap sepi gerak gerik musuh, dia
tertawa mengejek: "Bukankah kau hendak meregut jiwaku
tadi" Mengapa belum ketahuan kalah menang, kau sudah
lantas mau angkat kaki?"
Habis berkata, dia terus hendak ayunkan kaki mengejar.
Melihat itu Tan Wan yang sudah banyak pengalamannya,
buru-buru meneriaki dengan gugup: "Siau-heng, hati-hatilah
akan tipu muslihat wanita busuk itu!"
"Harap saudara jangan kuatir. Raja kera Sun Go-kong
mempunyai ilmu merobah diri menjadi tujuhpuluh dua macam,
tapi toh akhirnya tak dapat lolos dari tangan Ji Lay Hud!"
sahut Siau Ih dengan tertawa sembari cepatkan
pengejarannya. Tapi karena kuatir akan keselamatan sang kawan. Tan Wan
cepat-cepat turun dari kudanya, lalu ikut menyusul.
Begitulah ketiga orang itu, kejar mengejar dengan pesatnya
dan tahu-tahu sudah melintasi dua buah lamping puncak.
Tiba-tiba disebelah muka, tampak sebuah hutan yang lebat.
Tiba di muka hutan itu, Li Thing-thing berhenti sebentar untuk
berpaling ke belakang dan perdengarkan sebuah tertawa
dingin. Habis itu, ia menyelinap ke dalam hutan.
Siau Ih tertawa mengejeknya.
"Li Thing-thing, masakah kau dapat menembus langit.
Menyusup kebumi?" Bagaikan seekor burung garuda, dia kibaskan lengan baju
dan melayang ke arah hutan. Tiga tombak di atas udara,
tangan kirinya menghantam ke bawah. Pohon-pohon dalam
hutan itu tersiak daunnya dan masuklah Siau Ih menurun ke
dalam hutan. "Celaka!" Tan Wan yang berada jauh di belakang sana,


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluh terkejut. Dengan gerak yan-cu-sam-jo-cui atau
Burung Walet Tiga Kali Menyiak Air, dia berloncatan beberapa
kali. Tiba di muka hutan, dia lintangkan toya kiu-hap-kim-sipang
untuk melindungi diri dan menerobos masuk.
Tapi untuk kekagetannya, ternyata di dalam hutan itu
sunyi-sunyi saja keadaannya. Dengan gugup, dia menerjang
ke muka. Di luar hutan yang disebelah sana, adalah sebuah
karang yang menjulang tinggi, ditengah-tengahnya terdapat
sebuah jalanan kecil yang amat sempit, kira-kiranya hanya
setombak lebarnya. Siau Ih ternyata tengah berdiri tegak disitu, sembari
lintangkan pedang di dada dia memandang tak berkesiap ke
atas dinding karang. Bergegas-gegas Tan Wan menghampiri dan berseru
perlahan-lahan: "Siau-heng ?"?"
Siau Ih berpaling, sahutnya: "Wanita busuk itu memikat
aku kemari, tentulah memasang tipu muslihat."
Menyapukan pandangan keempat penjuru, dia tertawa
jumawa, serunya: "Sekalipun memasang gunung golok pohon
pedang, tak nanti dapat mengapa-apakan diriku."
Dengan langkah tegap, dia perlahan-lahan maju ke muka.
Sampai pada saat itu, Tan Wan sudah mengetahui bahwa
sahabatnya itu memiliki sifat congkak, jadi mencegah tiada
berguna. Apa boleh buat, terpaksa dia mengikutinya.
Kira-kira beberapa puluh tombak jauhnya, tibalah mereka
ditengah-tengah jalanan sempit itu.
Tiba-tiba di ujung sana, tampak ada sesosok bayangan
hijau berkelebat. Itulah si Kau-hun-sam-niocu Li Thing-thing.
Nyatanya ia siap memegat si anak muda.
Siau Ih berhenti, tegurnya: "Apa maksudmu main
bersembunyi macam begini itu?"
Tertawalah Kau-hun-sam-niocu dengan sinis, sahutnya:
"Siau Ih, tempat inilah bakal menjadi tempat kuburmu!"
Habis berkata, jarinya dimasukkan ke dalam mulut dan
bersuitlah ia dengan lengking yang memecahkan telinga
membelah bumi. Sebuah suitan lain, terdengar menyambut
dari arah gunung disebelah kanan.
Siau Ih mendongak. Ha, itulah lelaki brewok berpakaian
merah. Dengan tiba-tiba kini dia muncul ditepi karang.
Tangannya mengayun dan lima buah sinar merah melayang di
belakang Siau Ih. "Bum," terdengarlah letusan dahsyat. Hutan lebat yang
penuh dengan pohon-pohon itu, segera berobah menjadi
lautan api. Sudah tentu Siau Ih terkejut sekali. Cepat-cepat dia
menarik Tan Wan maju menyerang ke muka.
Tapi baru kedua pemuda itu loncat maju, Kau-hun-samniocu
sudah kedengaran tertawa dingin.
"Kembali!" mulut berteriak, tangan menimpukkan dua buah
gulung asap hijau. Tahu bahwa asap hijau itu mengandung pasir beracun,
Siau Ih tak berani membenturnya. Memperingatkan Tan Wan,
dia menyurut ke belakang sembari putar pedang untuk
membuyarkan asap itu. Kemudian memasukkan pedang ke
dalam sarungnya, dia dorongkan sepasang tangannya ke
muka melancarkan angin lwekang.
Memang dalam keadaan terjepit, di belakang ada lautan api
di muka diserang pasir beracun, tiada lain jalan lagi baginya
kecuali harus lekas-lekas menerjang. Dengan keputusan itu,
diam-diam dia sudah kerahkan lwekang kian-goan-sin-kong ke
seluruh tubuh. Selagi kedua anak muda itu bahu membahu siap-siap
hendak menerjang dari jebakan musuh, tiba-tiba dari atas
karang berpuluh-puluh biji senjata rahasia thiat-yan (seriti
besi) melayang berhamburan. Tersambar angin, mulut thiatyan
itu menyemburkan letikan api. Thiat-yan-thiat-yan itu
berputar-putar di udara, lalu meluncur turun.
Thiat-yan atau burung-burungan seriti yang terbuat dari
besi itu, tampaknya seperti hidup. Bukan melainkan dapat
terbang seperti burung hidup, pun api yang disemburkan dari
mulutnya itu, benar-benar seperti burung seriti yang
menyemburkan ludah. Dinding karang yang menjulang tinggi itu, pun berkilat-kilat
membara. Hanya dalam sekejap mata saja, dan kedua buah
batu besar yang terletak di atasnya itu, berobah menjadi
tembok api. Untuk memperlengkapi kedahsyatannya, Kau-hun-samniocu
Li Thing-thing ayunkan kedua tangannya, beberapa kali
menimpukkan asap hijau. Saat itu, keadaan lembah situ
seperti berobah menjadi sebuah neraka. Asap membubung
tinggi, api berkobar menjilat-jilat.
Beberapa kali Siau Ih dan Tan Wan, coba menerjang
keluar. tapi selalu terhadang dengan taburan asap hijau yang
membawa angin lwekang. Apalagi mereka harus menjaga dari
serangan thiat-yan. Dengan terlindung oleh lwekang kian-goan-sin-kong, Siau
Ih kerjakan kedua tangannya untuk menghantam kian kemari.
Benar, setiap kali kawanan thiat-yan itu dapat dihancurkan,
namun kelompok pertama belum habis dihancurkan,
gelombang kedua sudah datang lagi.
Menghancurkan thiat-yan, menolak asap beracun dan
memperhatikan keselamatan Tan Wan, benar-benar telah
membuat Siau Ih kalang kabut.
"Bocah liar, kini baru kau tahu bagaimana kelihayan
nonamu," teriak Kau-hun-sam-niocu dengan lengking
kegirangan. Benar Siau Ih telah menduga bahwa wanita jahat itu tentu
akan menggunakan tipu muslihat untuk menjebaknya ke
tempat itu, namun setitikpun Siau Ih tak mengira bahwa
muslihat itu ternyata sedemikian ganasnya. Seketika
amarahnya, meluap-luap. "Perempuan busuk, jika tubuhmu belum kucingcang,
rasanya belum puas hatiku," serunya dengan kalap.
"Coba saja kalau kau masih dapat hidup nanti!" sahut Kauhun-
sam-niocu tertawa mengejek. Dan kembali dia timpukkan
asap hijau. Siau Ih menggerung keras. Tangan kiri didorongkan ke
muka menghalau taburan asap hijau, tangan kanan bergerak
menghantam untuk menghancurkan serbuan thiat-yan.
Dan menggunakan sejenak keluangan itu, secepat kilat dia
merogoh keluar bumbung jarum kiu-tiap-ting-seng-ciam. Dia
siap sedia akan menggunakan setiap kesempatan untuk
menghancurkan Kau-hun-sam-niocu.
Melihat Siau Ih bergerak maju beberapa langkah, dengan
tertawa dingin, kembali si lelaki muka brewok lepaskan
berpuluh-puluh thiat-yan.
Siau Ih dan Tan Wan, saling merapat satu sama lain.
Walaupun pada saat itu, Tan Wan sudah mandi keringat,
namun dia terpaksa tak berani mengasoh. Toya kiu-hap-kimsi-
pang diputarnya dengan gencar.
Sekonyong-konyong terdengarlah sebuah jeritan seram dan
entah apa sebabnya, lelaki brewok yang melepaskan thiat-yan
dari atas karang itu, melayang ke bawah.
Siau Ih yang sudah benci sekali kepada orang itu, cepat
hantamkan tangan kiri. Beberapa biji thiat-yan yang melayang
tiba, segera hancur berantakan keempat penjuru. Menyusul
tangan kanan diangkat ke atas, serangkum jarum kiu-tiam
menyambar ke arah lelaki brewok itu.
18. Penyelamat Tak Terduga
"Auuuuh," mulut orang itu menjerit keras dan "bum" ?"
kepalanya jatuh membentur karang, batok kepala hancur,
benak berhamburan dan putuslah jiwanya. Sembilan batang
jarum yang dilepas Siau Ih tadi, semua tepat mengenai
sasarannya. Berbareng pada saat itu, dari atas karang sama terdengar
sebuah suitan nyaring. Menyusul sesosok tubuh warna kelabu
melayang turun. Begitu menginjak bumi, orang itu kebutkan lengan bajunya
yang gerombyongan. Berpuluh-puluh thiat-yan yang
memenuhi udara itu, seketika menjadi hancur berantakan.
Siau Ih terkesiap dan mengawasi orang itu. Ternyata dia itu
adalah iman tua yang bertubuh kecil kurus. Sebatang pedang
menyelip di belakang bahunya.
"Menilik kesaktian orang ini, nyata setingkat dengan ayah,"
diam-diam Siau Ih membatin. Tapi baru dia memikir begitu,
didengarnya imam tua itu berseru pelahan: "Mengapa tak
lekas ikut aku keluar!"
Tanpa berayal lagi, Siau Ih segera tarik lengan Tan Wan
dan ikut imam yang "turun dari langit" itu menerobos keluar ke
mulut lembah. Melihat perobahan secara mendadak itu, bukan main kejut
Kau-hun-sam-niocu. Cepat dia kerjakan kedua tangannya
untuk menghamburkan asap beracun ke arah ketiga orang itu.
"Bangsa kurcaci yang tak tahu diri!" seru imam tua itu
dengan tertawa dingin. Lengan jubahnya dikebutkan perlahanlahan
dan seketika itu serangkum angin halus yang
mengandung tenaga lwekang kuat, menyambar ke udara.
Amboi! Asap hijau yang membawa pasir beracun itu, baru
sampai ditengah jalan sudah bergulung-gulung balik kepada
alamat pengirimnya. Sudah tentu kejut dan takut Kau-hun-sam-niocu tak terkira.
Kaki menekan tubuh loncat ke samping sampai dua tombak.
Dengan cara begitu, barulah ia dapat terhindar dari
gelombang serangan asap beracun.
Dalam pada itu, si imam tua teruskan langkahnya
memimpin Siau Ih dan Tan Wan keluar ke mulut lembah.
Kaget dan ketakutan setengah mati sekalipun Li Thingthing
menyaksikan kesaktian si imam tua itu, namun ia tetap
seorang hantu perempuan yang ganas. Sudah tentu ia tak
mau begitu gampang saja melepaskan korbannya.
"Dahulu kita belum pernah mendendam, sekarangpun tidak
bermusuhan. Tapi mengapa kau mengadu biru urusanku?"
teriaknya dengan geram kepada imam tak dikenal itu.
Sepasang biji mata yang aneh dari imam itu, sejenak
mengicup, kemudian tertawa dingin.
"Dendam permusuhan apa kau kandung terhadap kedua
anak muda itu, hingga kau sampai perlu pinjam senjata huithian-
hwat-yan dari murid Gan-li Cinjin Kho Goan-thang dan
menggunakan ceng-lin-tok-sat dari pihak Song-sat untuk
membinasakannya" Kalau pinto tak mengingat prikasih
kemanusiaan, terhadap manusia yang suka berbuat jahat dan
ganas tak mengindahkan kaum angkatan tua seperti dirimu
itu, tentu tadi-tadi sudah kubelah tubuhmu!"
Hui-thian-hwat-yan artinya senjata rahasia Burungburungan
seriti dari baja yang dapat beterbangan di udara
dan menyemburkan api. Sedang Gan-li Cinjin Kho Goan-thang
adalah salah seorang tokoh yang termasuk dalam golongan
sepuluh Datuk. Ceng-lin-tok-sat ialah senjata rahasia pasir
beracun yang mengandung phosporus. Senjata rahasia ini
menjadi milik kedua Song-sat.
Bahwa si imam tua itu dapat mengetahui asal usul dirinya
dan kawannya si lelaki brewok itu, telah membuat Kau-hunsam-
niocu terkejut bukan kepalang. Matanya berkilat-kilat,
memandang si imam tua itu dari ujung kaki sampai ke atas
kepala. "Turut perkataanmu yang begitu besar, rasanya kau tentu
berani memberitahukan nama. Nonamu kepingin minta
pengajaran nanti." Li Thing-thing tertawa dingin.
Tertawalah si imam tua dengan lebarnya.
"Huh, sungguh seorang budak yang tak kenal tingginya
langit dalamnya laut. Jangankan kau, sedangkan sepasang
suami isteri Li Ho itupun kalau bertemu dengan pinto, tentu
juga menaruh perindahan!"
Berkata sampai disini, wajah imam itu tiba-tiba berobah
gelap dan dengan nada berat, berkatalah dia: "Mengingat
dirimu tergolong angkatan lebih muda, kali ini pinto tak mau
membikin susah. Nanti bila kau pulang ke gunungmu,
sampaikan saja pada suhumu bahwa Goan Goan Cu dari biara
Siang-ceng-kiong di gunung Mosan, masih tetap teringat akan
hutangnya dahulu. Dalam lima tahun nanti, tentu akan datang
menagih hutang ke Thian-san. Cukup sampai sekian saja,
ayuh, enyah sana!" Berbareng dengan kata-kata "enyah" diucapkan, sepasang
lengan bajunya tampak dikebutkan ke arah Kau-hun-samniocu.
Lambat sekalipun tampaknya gerakan itu, namun bagi
Li Thing-thing serasa sudah didorong oleh sebuah tenaga
halus yang sedahsyat gunung roboh.
Sewaktu mendengarkan si imam memperkenalkan diri,
Kau-hun-sam-niocu sudah serasa copot nyalinya. Ia insaf,
sekalipun menumplak seluruh kepandaiannya, tak nanti ia
dapat melawan imam itu. Kalau masih bersitegang leher ia
tentu akan mendapat malu saja.
Maka begitu angin kebutan itu baru menyentuh tubuh,
secepat agak membungkukkan tubuh, sepasang kakinya
menjejak bumi dan serentak mencelatlah ia ke samping
beberapa meter. "Goan Goan Cu, meskipun namamu tercantum dalam
sepuluh Datuk, namun selama hayat masih dikandung badan,
nonamu ini tentu akan mengadakan pembalasan untuk hinaan
hari ini," serunya dengan lengking suara yang tajam menusuk
telinga. Wajah Goan Goan Cu serentak berobah. Sepasang alis
menyungkat menambah keangkeran mimiknya. Sepasang
lengan perlahan-lahan di angkat ke atas, begitu tiba di muka
dada, tiba-tiba mulutnya menghela napas panjang.
Entah apa sebabnya, sepasang tangannya itu diturunkan
kembali. Dalam pada itu, dengan beberapa ayunan tubuh,
Kau-hun-sam-niocu sudah menghilang diantara hutan lebat.
Kejadian yang tak tersangka-sangka itu, telah membuat
Siau Ih bukan kepalang kejutnya. Serambut dibelah tujuhpun
dia tak mengira, bahwa orang yang telah membebaskannya
dari kesukaran itu bukan lain ialah Ay-to-jin Goan Goan Cu, itu
kepala biara Siang Cing Kiong yang sudah menghilang hampir
duapuluhan tahun lamanya.
Tokoh yang mempunyai ikatan dengannya dan untuk
menyelesaikan itu dia (Siau Ih) siang malam mengharap-harap
dapat menjumpahi, kini secara tak disangka-sangka telah
muncul dihadapannya. Begitu goncang perasaan Siau Ih, hingga sampai sekian
jenak dia tak dapat mengucap apa-apa. Kalbunya penuh


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan beraneka ragam perasaan, budi, dendam, penasaran
?". Adalah Tan Wan yang memperhatikan kerut wajah Siau Ih
kala itu, juga merasa heran. Pikirnya: "Aneh, dia itu. Terlepas
dari bahaya, seharusnya bergirang, tapi mengapa dia tampak
bergolak-golak warna mukanya ?""
Saat itu Goan Goan Cu sudah berputar tubuh. Wajahnya
yang kurus perok tapi mengandung perbawa itu, menampilkan
senyum ke arah kedua anak muda itu.
"Siapakah nama kalian ini dan menjadi anak murid siapa"
Mengapa sampai mengikat permusuhan dengan anak murid si
Li Ho!" tegurnya dengan nada ramah.
Berhadapan dengan seorang koay-hiap (tokoh aneh) yang
mempunyai kedudukan tinggi dalam dunia persilatan, saat itu
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 15 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Kisah Si Rase Terbang 11
^