Pencarian

Si Rase Kumala 3

Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Bagian 3


dada Teng Hiong masih menancap sebatang pedang. Dingin
sekalipun hati Siau Ih, namun demi menyaksikan
pemandangan ngeri semacam itu, tak urung dia merasa seram
juga. Ketika memeriksa, Siau Ih dapatkan orang itu bertubuh
kurus kecil. Tengkurep di tanah, kepalanya disusupkan
kebahu, sedang tangannya masih memegangi erat-erat
tangkai pedang. Dengan hati-hati Siau Ih membalikkan tubuh
orang itu, ai, sebuah muka yang cantik sekali. Hanya karena
menderita luka berat, wajah orang itu pucat seperti kertas,
napasnya berangsur lemah.
Cepat-cepat Siau Ih memberi pertolongan dengan menutuk
pada tiga buah jalan darahnya bagian ki-hay, ciang-bun dan
peh-hwe. Setelah itu, tubuhnya lalu diangkat. Waktu hendak
dipondong, ternyata kain kepala orang.itu terlepas dan seikal
rambut yang indah memanjang segera berhamburan menjulai
pada bahu Siau Ih. "Ha, kiranya dia seorang gadis, makanya bertubuh kecil.
Tapi ah, ini kurang sopan namanya ......... Dia terluka parah,
kalau tak lekas-lekas ditolong tentu membahayakan jiwanya.
Ah, peduli apa dengan kesusilaan, menolong jiwa orang
adalah lebih penting!"
Dengan pikiran itu, tak lagi dia ragu-ragu. Sekali enjot sang
kaki, dia angkat tubuh nona itu ke tempat Liong Go.
Ternyata pemuda ini masih duduk sembari pejamkan mata.
Dahinya berketes-ketes keringat, wajahnya mulai terang
bercahaya. Tahu bahwa sang toako tengah menyalurkan
tenaga dalam, Siau Ih tak mau mengganggu hanya
meletakkan pelahan-lahan gadis itu ke tanah.
Suasana di muka halaman makam Gak-ong itu kembali
dalam kesunyiannya. Siau Ih tampak mondar mandir mencari
pikiran bagaimana hendak mengurus keempat mayat itu, pula
bagaimana nantinya akan menolong gadis yang terluka itu.
Lama nian belum juga dia mendapat daya, sampai akhirnya
tiba-tiba dia teringat akan si penjahat yang melepaskan
senjata rahasia beracun tadi. Kalau senjata itu sampai ditemu
orang, tentu akan mencelakai entah berapa banyak jiwa lagi.
Terus saja dia menghampiri ke arah orang yang ditabas kepala
dan dihantamnya dengan biat-gong-ciang tadi itu.
Sejenak memeriksa dilihatnya disamping mayat orang. itu
terdapat sebuah bumbung warna hitam. Buru-buru bumbung
itu dipungutnya. Ternyata benda itu cukup berat, terbuat dari
baja. Panjangnya antara tujuh dim, bentuknya oval seperti
telur itik, atas pecah seperti kuntum teratai dan diberi lubang
kecil-kecil sebanyak sembilan buah yang disusun seperti segi
tiga. Ujung bawahnya, diberi tali halus.
Benda itu disimpan, lalu dia balik ke tempat Liong Go lagi.
Ternyata sang toako itu sudah terjaga (bangun) Buru-buru dia
menanyakan keadaan luka toakonya itu.
Liong Go unjuk senyuman getir, sahutnya: "Pil dari hiante
itu sungguh manjur sekali. Kini aku sudah banyak baikan,
hanya masih merasa kedinginan, hawa dalam belum lancar.
Iblis itu sakti benar-benar, namun jiwaku tak sampai terancam
berkat pertolongan hiante ......."
"Ah, janganlah toako mengadakan pikiran begitu. Kita toh
sudah mengikat persaudaraan, jadi sudah jamaknya. Nantinya
siaote masih akan berusaha lagi untuk mengobati racun dingin
dalam tubuh toako itu," tukas Siau Ih.
Liong Go sejenak memandang ke sekeliling kuburan itu dan
demi menampak beberapa tubuh terkapar malang melintang
di tanah, alisnya berjungkat: "Hiante, sekalipun membasmi
kejahatan itu merupakan suatu tugas mulia, namun
membunuhnya secara begitu kejam itu, rasanya juga
melanggar nurani." Siau Ih merah mukanya, lalu menuturkan bagaimana tadi
salah seorang anak buah Teng Hiong telah melepaskan
senjata rahasia yang amat beracun. Habis itu dia segera
mengeluarkan benda hitam untuk diberikan kepada Liong Go,
ujarnya: "Tadi siaote hampir tercelaka dengan benda itu.
Siaote hanya tahu bahwa benda itu adalah sebuah senjata
rahasia yang dilarang digunakan dalam dunia persilatan,
namun tak jelas akan asal usulnya. Dapatkah kira toako
memberi penjelasan?"
Menyambuti benda hitam itu, Liong Go terkesiap kaget,
serunya: "Ini disebut Kiu-tiam-ting-seng-ciam (jarum
berbentuk sembilan ujung paku). Dengan senjata ngo-hunpang-
jit-sip-hun-ting (paku lima awan menutup matahari),
merupakan dua serangkai senjata rahasia beracun yang amat
ganas. Senjata ganas itu adalah buah ciptaan dari Ngo-toksin-
kun Ih Bun-ki. Turut penuturan engkongku, karena melihat
kejahatan Ngo-tok-Sin-kian sudah meliwati takaran maka
seluruh partai dalam dunia persilatan telah menantang tokoh
itu untuk bertanding dipuntiak gunung Ko-san. Disitulah tokoh
jahat itu mati konyol dikerubuti jago-jago dari segala aliran.
Sejak itu senjata rahasia kiu-tiam-seng-ciam turut lenyap
bersama kematian penciptanya. Sungguh tak terduga bahwa
senjata ganas itu kini muncul pula di dunia persilatan. Lebih
baik hiante menyimpannya baik-baik agar jangan sampai
terjatuh ke tangan orang jahat hingga menimbulkan onar
besar." Habis memberi keterangan, Liong Go serahkan kembali
benda itu kepada Siau Ih, siapa lalu menyimpannya dengan
hati-hati. Menuding ke arah si nona, Siau Ih menuturkan
bagaimana tadi Teng Hiong menemui ajalnya.
"Toako, karena dia perlu harus lekas-lekas ditolong
jiwanya, maka terpaksa siaote tak menghiraukan lagi batasbatas
pantangan pergaulan pria wanita. Untuk itu, bagaimana
pendapat toako?" tanyanya.
Memandang ke arah yang ditunjuk Siau Ih, Liong Go
tampak terperanjat. Buru-buru dia minta agar sang adik
angkat menceritakan lagi yang jelas. Setelah Siau Ih menutur
lagi dari awal sampai munculnya nona itu, Liong Go tampak
menunduk. Rupanya tengah memutar otak. Sesaat kemudian, barulah
dia mendongak lagi dan berkata: "Nona itu tentu mempunyai
dendam kesumat terhadap Teng Hiong. Kita harus
menolongnya lekas-lekas, lukanya memang parah betul. Tapi
adakah nanti berhasil dapat mengobatinya, aku sendiripun tak
berani memastikan. Kini kita sudah mengikat permusuhan
dengan pihak Thiat-sian-pang. Tak boleh kita lama-lama
tinggal disini atau balik ke hotel lagi. Iblis Kiau Hoan itu
berada di kota Hangciu, meskipun hiante tak jeri padanya, tapi
pada saat ini aku seperti invalid masih ketambahan lagi
dengan nona yang parah keadaannya.
Maka turut pendapatku, mumpung hari belum fajar, kita
lekas mencari rumah penduduk desa di dekat sini untuk
bermalam disitu. Setelah nona itu dapat diobati, barulah kita
melanjutkan perjalanan lagi. Kalau kita lanjutkan perjalanan
dengan membawa seorang nona yang terluka, pasti akan
menarik perhatian orang. Entah bagaimana pendapat hiante?"
Siau Ih mengiakan, namun dia menyatakan sesalnya
karena tak dapat berhadapan dengan si Manusia Iblis itu.
Tiba-tiba dia teringat akan keempat mayat Teng Hiong dan
kawan-kawan, lalu buru-buru menanyakan pikiran Liong Go
bagaimana jalan yang baik untuk mengurusnya.
"Ai, memang sukarlah," sahut Liong Go. Namun pada lain
kilas dia teringat bahwa biasanya seorang tokoh persilatan
jahat itu tentu membekal semacam obat yang dinamakan hoakut-
san atau puder pelenyap tulang. Buru-buru dia suruh Siau
Ih menggeledah tubuh keempat korban itu.
Siau Ih menurut perintah. Ketika memeriksa tubuh korban
yang menimpuk senjata rahasia kiu-tiam-ting-seng-ciam itu,
ternyata terdapat sebuah kotak baja kecil panjang.
Waktu dibuka, ternyata disitu terdapat tigapuluh enam
batang jarum kecil. Dari warnanya yang kebiru-biruan, tahulah
Siau Ih bahwa jarum itu tentu dilumuri racun yang jahat.
Didekat jarum itu, masih ada pula dua buah botol gepeng
yang dilekati dengan kertas bertuliskan "obat penawar" dan
yong-kut-tan" atau pil peleleh tulang.
"Dugaan toako kiranya tepat sekali, penjahat ini
menyimpan obat itu!" serunya dengan girang. Setelah jarum
dan obat penawar disimpannya, dengan menjinjing botol pil
yong-kut-tan itu, dia menghampiri Liong Go dan menanyakan
bagaimana cara menggunakannya.
"Cukup dengan delapan butir pil saja, sisanya harap hiante
simpan lagi, mungkin lain hari kita masih memerlukannya",
kata Liong Go. Karena hari sudah hampir terang tanah, dia
minta supaya Siau Ih lekas-lekas memberesi mayat-mayat itu.
Siau Ih dapat bekerja cepat. Kedelapan butir pil itu
diremasnya menjadi bubukan lalu ditaburkan di atas tubuh
keempat sosok mayat itu. --0dw0" 10. "Tiga Tidak", Pesan Engkong
Liong Go menerangkan bahwa dalam beberapa detik saja,
mayat-mayat itu tentu akan meleleh jadi cair dan merembes
ke dalam tanah. Habis itu dia segera ajak Siau Ih berangkat.
"Luka toako masih belum sembuh betul, apakah dapat
berjalan?" tanya Siau Ih.
"Harap hiante jangan kuatir, rasanya masih dapat tahan
berjalan beberapa waktu. Hanya nona itulah yang terpaksa
harus hiante dukung lagi," sahut Liong Go.
Tanpa berayal lagi, Siau Ih terus pondong nona itu. Ditiup
angin malam nan halus, hidung Siau Ih tersampok dengan
hawa harum-harum sedap. Pemuda itu buru-buru menguasai
panca inderanya, terus ayunkan langkah, diikuti dari belakang
oleh Liong Go. Tapi oleh karena kuatir tubuh nona itu
mengalami kegoncangan dan mengingat Liong Go masih
belum sembuh betul, terpaksa Siau Ih tak berani berjalan
cepat-cepat. Maka ketika terang tanah, barulah mereka
berjalan beberapa li jauhnya.
Kala itu dijalanan masih sepi dengan orang, tetapi
disekeliling penjuru dimana terbentang luas sawah-sawah dan
ladang-ladang, para petani sudah mulai bekerja. Berpaling ke
belakang. Siau Ih melihat dahi Liong Go penuh bercucuran
keringat, napasnya terengah-engah. Buru-buru Siau Ih
kendorkan langkahnya. "Kita sekarang sudah terpisah belasan li dari Hangciu, tapi
rasanya masih belum keluar dari jaringan pengaruh Thit-sianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pang. Untuk saat ini, kita dapat meneduh untuk sementara
waktu ditempat seorang dusun. Entah bagaimana pendapat
toako?" katanya. Adalah karena berkat khasiat pil dari Siau Ih tadi, Liong Go
dapat bertahan dari serangan hawa racun dingin. Tapi karena
berjalan cepat itu, ya sekalipun jauh lebih pelahan kalau
dibandingkan dengan biasanya, racun dingin itu mulai terasa
merangsang lagi. Sebenarnya sakitnya bukan kepalang, tapi
sekuat mungkin dia bertahan juga. Atas Pertanyaan Siau Ih
tadi, dia hanya bersenyum getir mengiakan.
Keadaan toakonya itu tak terluput dari perhatian Siau Ih.
Buru-buru dia menghampiri dan mengatakan supaya Liong Go
berjalan pelahan-lahan saja, biar dia (Siau Ih) yang berjalan di
muka untuk mencari rumah penduduk.
Begitulah setelah melalui tiga buah semak-semak
pepohonan, tak jauh disebelah muka sana tampak ada tiga
buah rumah yang meskipun bangunannya jelek tapi cukup
bersih. Di- sekelilingnya ditumbuhi dengan pohon-pohon
bambu yang rindang. Siau Ih yang berjalan lebih dulu sudah tiba di muka pintu
rumah itu dan tampak tengah bicara dengan tuan rumah yang
dandanannya seperti seorang petani. Ketika Liong Go
menyusul tiba, Siau Ih menerangkan bahwa pemilik rumah
gubuk itu bersedia memberi tempat pada mereka.
"Saudara Li pemilik pondok ini, demi mendengar toako dan
sam-moay (adik perempuan ketiga) terluka oleh orang jahat,
rela menyerahkan kamarnya untuk kami bertiga. Siaote
suungguh berterima kasih sekali kepadanya!"
Mendengar disebutnya sam-moay itu, Liong Go terkesiap.
Tapi lain saat dia tersadar akan maksud Siau Ih membohong
itu, agar jangan menimbulkan kecurigaan orang. Buru-buru
dia menjurah untuk menghaturkan terima kasih kepada
pemilik pondok itu. Melihat Liong Go itu berdandan sebagai seorang terpelajar
dan sopan santun pula sikapnya, orang she Li itu cepat-cepat
membalas hormat, sahutnya: "Harap kongcu jangan pakai
banyak peradatan. Walaupun aku Li Seng seorang dusun, tapi
semasa kecil pernah belajar sekolah sampai 2 tahun.
Menolong orang adalah kegemaranku. Terhadap urusan kecil
kali ini, asal kongcu tak buat celaan, aku senang sekali
menerima kedatangan kongcu bertiga. Ah, kongcu tentulah
lelah, silahkan masuk mengaso di dalam."
Li Seng segera mengajak tetamunya masuk ke dalam.
Ternyata halaman rumah cukup luas, penuh dengan alat-alat
pertanian dan beberapa binatang ternak, namun karena
caranya mengatur rapih, jadi keadaannya cukup bersih. Saat
itu dari sebuah gubuk, muncullah seorang wanita. "Lekas
kenalkanlah diri pada kedua tuan muda ini," seru Li Seng
kepada wanita yang bukan lain isterinya itu.
"Kami berdua saudara, memberi hormat kepada toa-soh,"
Liong Go sudah mendahului memberi hormat karena menduga
si wanita itu tentulah isteri Li Seng.
Wanita itu tersipu-sipu balas memberi hormat. Sementara
Li Seng yang melihat Liong Go begitu sungkannya, mereka tak
enak sendiri lalu buru-buru ajak sang tetamu masuk ke dalam
rumah. Sebenarnya Liong Go sudah tak kuat lagi menahan
sakitnya. Makin lama makin terasa bagaimana racun dingin itu
bagaikan laksaan semut mengigiti ulu hatinya. Namun dia
tetap kertak gigi kepalkan tangan untuk menahannya dan
memaksa bersenyum, senyum pahit dari penderitaan yang
sukar dilukis. Keadaan toakonya itu tak luput dari tinjauan Siau Ih. Dia
kuatir kalau berlangsung sedikit lama lagi, keadaan Liong Go
tentu sudah payah. Dicarinya akal untuk menghindar.
"Dihadapan saudara Li yang jujur, kiranya tak layaklah
kalau toako berlaku sungkan-sungkanan. Toako amat lelah
dan sam-moay luka parah, lebih baik lekas-lekas berobat,
jangan sampai terlambat. Nanti saja apabila sudah sembuh,
kita dapat mengobrol panjang lebar lagi dengan saudara Li.


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maaf, saudara, Li, atas bicaraku yang kurang hormat ini,"
katanya. Liong Go diam-diam memuji atas kecerdikan sang adik
angkat itu. Dan diplomasinya itu ternyata berhasil karena Li
Seng segera berkata: "Ah, memang kongcu benar, yang
penting ialah Lekas-lekas mengobati luka. Menilik nona Siau
tak sadarkan diri, tentu lukanya parah sekali. Harap kongcu
berdua jangan sungkan-sungkan lagi, jika memerlukan apa
saja harap lekas-lekas memberitahukan."
Karena selain memikirkan lukanya juga memikirkan luka
nona yang tak dikenalnya itu, Liong Go tak mau bersungkan
lagi. Dengan tertawa dia mengangguk, lalu ikut Siau Ih masuk
ke dalam kamar di sebelah timur. Li Seng dan isterinyapun
segera pergi. Kamar itu walaupun sederhana namun cukup bersih. Selain
sebuah pembaringan kayu, pun terdapat alat-alat keperluan
cuci muka serta meja kursi lengkap dengan peralatan minum.
Nona itu dibaringkan di atas pembaringan, kedua matanya
masih tertutup, wajahnya pucat lesi.
Sejenak memandang, tampak alis Liong Go menjungkat,
ujarnya dengan tertawa tawar: "Walaupun luka nona itu amat
parah, tapi karena hiante sudah menutuk jalan darahnya,
untuk sementara rasanya tiada menguatirkan. Kalau dalam
keadaan biasa, dengan gunakan kipas tui-hun-san dapatlah ku
memberi pengobatan dengan menutuk jalan darahnya.
Setelah darahnya menyalur normal, lalu kuberi obat. Dalam
beberapa hari tentu ia akan sembuh. Tapi karena diriku sendiri
belum ada ketentuannya, maka kuserahkan saja bagaimana
hiante akan berbuat".
"Turut penglihatan toako, apakah dalam berapa jam ini
keadaannya tak menguatirkan?" tanya Siau Ih.
"Rasanya untuk satu dua jam, tak nanti dia mengalami apaapa,"
sahut Liong Go. "Bagus," seru Siau Ih, "setelah melukai toako, iblis Kian
Hoan sumbar-sumbar memberitahukan cara pengobatannya.
Kebetulan sekali, lwekang yang Siaute pelajari itu termasuk
jenis kong-tun-yang, jadi merupakan penakluk dari ilmu
lwekang jahat macam thou-kut-im-hong-ciang itu. Kini harap
toako suka membuka baju, agar siaote dapat gunakan
lwekang untuk mengusir racun dingin itu. Walaupun lwekang
siaote belum sempurna, tapi berkat bantuan pil buatan
engkong itu, rasanya sembilanpuluh persen tentu akan dapat
disembuhkan. Setelah itu kita cari lain daya lagi. Tentang diri
nona itu, begitu nanti toako sudah sembuh, dapatlah kiranya
toako mengobatinya."
Walaupun sangsi-sangsi percaya, namun kenyataan pil tadi
amat mujarab, Liong Go mau coba-coba juga. Apalagi demi
menampak kesungguhan sikap Siau Ih, tanpa ragu-ragu lagi
segera dia membuka bajunya, lalu duduk bersila di lantai.
Lebih dahulu Siau Ih menuang lagi sebutir pil dari botol,
diberikan kepada Liong Go supaya diminum. Setelah itu,
diapun duduk bersila, kedua tangannya dilekatkan di pinggang
belakang pada jalan darah beng-bun-hiat Liong Go. Dengan
itu dia salurkan lwekang kian-goan-sin-kong.
Buru-buru Liong Go meramkan mata, sambil berusaha
keras untuk menyalurkan tenaga-dalam. Setelah tenaga dalam
itu berjumpa dengan lwekang kian-goan-sin-kong yang panas,
terus akan disalurkan keseluruh tubuh.
Setengah jam kemudian, dari lubang pori tubuh Liong Go
seperti mengeluarkan uap putih. Dan sepeminum teh
lamanya, tiba-tiba Siau Ih tarik pulang tangannya, lalu
pelahan-lahan menepuk jalan darah beng-bun-hiat itu.
Liong Go tergetar dan membuka mata. Tampak olehnya
wajah Siau Ih amat lelah sekali, keringat sebesar butir-butir
kedele tampak berketetesan turun dari dahinya.
"Hiante, kau amat letih," kata Liong Go dengan perasaan
terima kasih yang tak terhingga.
"Ah, janganlah toako mengatakan begitu. Karena
kepandaian siaote masih dangkal, jadi menggunakan waktu
lama. Untunglah berkat khasiat pil engkong, dan yang
terutama lwekang toako sangat tinggi, barulah kita dapat
berhasil dengan memuaskan. Terus terang saja, bermula
siaote tak menduga kalau bakal dapat menghalau habis racun
dingin itu. Kini asal toako beristirahat mengadakan latihan
napas, tentu akan sembuh betul-betul. Kalau tak percaya,
cobalah toako salurkan hawa murni, bagaimana rasanya."
Liong Go menurut dan benarlah apa yang dikatakan Siau Ih
itu. Kecuali masih merasa lemah, tanda-tanda racun dingin itu
sudah tak terasa lagi. Girangnya bukan kepalang.
"Bukannya aku hendak banyak mulut, tapi rasanya dikolong
jagad ini hanya ada dua orang yang memiliki lwekang kongtun-
yang-sin-kang itu. Yang satu ialah Gan Li Cinjin, salah
seorang tokoh dalam sepuluh Datuk. Hanya sayang, lwekang
yang diyakinkannya itu termasuk lwekang jahat. Sedangkan
tokoh yang satunya, menurut kata si Manusia Iblis tadi, ialah
si Dewa Tertawa Bok lo-cianpwe yang sudah berpuluh tahun
lenyap jejaknya itu. Ilmu silat hiante mirip dengan tokoh Bok
locianpwe itu. Pil yang kumakan tadi, begitu hebat khasiatnya,
mirip benar dengan pil mujijat yang diceritakan kaum
persilatan yakni kiu-caon-kian-goan-tan. Tapi anehnya hian-te
mengatakan bahwa kepandaian hiante itu berasal dari ajaran
engkongmu. Telah kuputar otak menggali ingatan, namun tak
berhasil juga menebak-nebak siapakah engkongmu yang sakti
itu," kata Liong Go.
Siau Ih diam sampai sekian jenak, baru menyahut:
"Dengan sudah angkat persaudaraan, sebenarnya siaote harus
menerangkan dengan sejujurnya. Namun siaote telah
menyanggupi, jadi terpaksa ini waktu belum dapat
mengatakan. Harap toako memaafkanlah!"
"Ah, tak apalah," kata Liong Go, "karena sekarang aku
sudah baik, seyogyanya kita lekas-lekas menolong nona itu."
Tapi Siau Ih mencegahnya karena baru saja sembuh tak
bolehlah Liong Go menghamburkan tenaga murninya. Dia
minta agar sang toako itu beristirahat lagi untuk mengatur
pernapasannya. Liong Go mengiakan tapi dalam pada itu dia
pun suruh Siau Ih melepaskan lelah juga. Memang baru kali
itu sepanjang hidupnya, Siau Ih merasa amat letih. Maka
tanpa sungkan lagi, dia segera bersila berhadapan dengan
Liong Go untuk bersemadhi.
Kira-kira sejam kemudian, keduanya sama membuka mata,
lalu sama-sama, tertawa riang. Dilihatnya wajah masingmasing
sudah tampak segar lagi. Liong Go berbangkit,
memberesi pakaian lalu memungut kipasnya.
"Baru saja tertolong jiwa lantas mau menolong lain jiwa,
ah, benar-benar suatu kejadian yang aneh," katanya dengan
tertawa. "Mudah-mudahan kita jangan sering berjumpa dengan
kejadian langka semacam ini," Siau Ih memberi komentar.
Liong Go tertawa lebar, lalu menghampiri ke dekat
pembaringan. Sekonyong-konyong dia kerutkan alis,
gerutunya: "Kalau mau memeriksa lukanya, tentu harus
membuka bajunya. Tapi dia seorang gadis ......"
"Memang kalau menurut adat, kita tak leluasa turun
tangan. Namun mengingat keadaannya, harus lekas-lekas
ditolong. Ketika turun gunung, engkong pernah memberi
pesanan. Dalam mengerjakan sesuatu haruslah berpegang
pada tiga hal yakni tidak boleh menipu diri, tidak boleh
membohongi orang dan tak boleh berlaku curang pada Tuhan.
Rasanya tiga "tidak" itu, tepat digunakan dalam urusan saat ini.
Asal kita bersih hati menolong orang, usah kiranya ragu-ragu.
Bukankah begitu, toako?"
Liong Go mengangguk dan menyetujui pendapat Siau Ih.
Habis itu, segera dia membuka baju si gadis. Ternyata luka
dirusuknya sudah berwarna hijau kehitam-hitaman Liong Go
menghela napas, ujarnya: "Nona ini untung sekali, coba luka
itu terdapat dua dim di atasnya, tentu tepat dijalan darah kibun-
hiat. Dia pasti takkan ketolongan lagi jiwanya. Sekalipun
begitu, coba Teng Hiong tak kehabisan tenaga karena terluka
dengan tusukan pedang, hantamannya itupun cukup
memutuskan jiwa nona ini ......."
Tiba-tiba dia berhenti karena matanya melihat pada leher
nona itu terdapat sebuah kalung kumala. Ketika dipandang
dengan seksama, kumala itu berukirkan sembilan ekor burung
hong (cenderawasih). Sedemikian halus ukirannya itu
sehingga nampaknya seperti hidup.
"Dengan memiliki giok-hu (cap kumala) sembilan ekor
cenderawasih, tentu nona ini anak murid dari Peh-hoa-kiong
Hun-si sam-sian. Ah, ini amat berabe!" pada lain saat Liong Go
berseru kaget. Peh-hoa-kiong artinya Istana Seratus Bunga, Hun-si samsian
artinya Tiga Dewi she Hun.
"Apakah toako mempunyai permusuhan dengan Hun-si
sam-sian?" tanya Siau Ih.
Liong Go menggeleng, ujarnya: "Bukannya begitu,
melainkan Hun-si sam-sian itu aneh tabiatnya. Mereka
membenci kaum pria. Kecuali diri mereka tetap membujang,
pun sembilan orang muridnya ketika masuk ke dalam
perguruan, telah mengucapkan sumpah berat takkan
berhubungan dengan kaum Adam. Istana Peh-hoa-kiong
itupun merupakan daerah terlarang bagi orang lelaki. Benar
dengan pertolongan ini kita tak mengharap balasan, namun
mengingat watak-watak mereka yang aneh itu, kelak kita
tentu akan dibalas dengan air tuba. Dari itu lebih baik aku
menghemat tangan saja."
"Toako, kita dengan hati jujur memberi pertolongan,
mengapa menghiraukan yang bukan-bukan. Menolong
setengah jalan, berarti menyalahi dharma kita. Kelak apabila
terjadi sesuatu, biarlah siaote yang menanggungnya," Siau Ih
menyanggah. "Ucapan hiante itu membuat aku malu diri. Bukannya aku
takut urusan, tapi akan mencari siasat yang sempurna," kata
Liong Go. "Waktu sudah keliwat mendesak, harap toako suka
menolong lebih dahulu setelah itu baru mencari akalan lagi
demi untuk kebaikan kedua pihak," Siau Ih mendesaknya.
Merenung sebentar, Liong Go mengiakan. Dikeluarkannya
sebuah kantong kecil, dari situ diambilnya tiga butir pil wangi
yang hijau bening warnanya, lalu dimasukkan ke dalam mulut
si nona. Setelah dikancingkan bajunya, barulah Liong Go
gunakan kipasnya untuk menutuki ke seratus delapan jalan
darah tubuh nona itu. Tutukannya itu dilakukan dengan amat
tangkas dan cepatnya. Kemudian menyanggah pinggang si
gadis supaya dapat duduk bersila, dia minta agar Siau Ih suka
menjagai tubuh si nona. Setelah Siau Ih mencekali kedua lengan si gadis, Liong Go
naik ke atas pembaringan dan duduk di belakang gadis itu,
serunya: "Sekarang harap hiante buka bajunya dan gunakan
tanganmu untuk menyaluri tun-yang-kang ke jalan darah tanthian-
hiatnya". Siau Ih bersangsi sejenak, lalu melakukan perintah
toakonya itu. Lwekang kian-goan-sin-kong disalurkan ke arah
tangan kanan ditempelkan kebagian jalan darah tan-thian-hiat
si nona. Serentak lwekang tun-yang-kang itu menyalurkan
keseluruh tubuh si nona. Dalam pada itu, dengan gagahnya
Liong Go mulai mengurutnya.
Lewat sepeminum teh lamanya, kedengaran gadis itu
merintih. Dalam saat-saat yang segenting itu, Siau Ih melirik
ke arah Liong Go. Dilihatnya kepala sang toako sudah mandi
keringat, napasnya tersengal-sengal. Diam-diam Siau Ih
terkejut. Sang toako baru saja sembuh dari lukanya, kalau
keliwat mengeluarkan tenaga, tentu akan celaka. Buru-buru
dia tambahkan lwekangnya sampai sepuluh kali besarnya.
Si nona mengeluh pelahan dan membuka mata. Demi
melihat dihadapannya duduk seorang pemuda cakap yang
beralis tebal tengah menempelkan tangannya ke tubuhnya, ia
menjadi terkejut. Wajahnya kemerah-merahan.
Kuatir si nona salah mengerti hingga menggagalkan
usahanya terakhir, buru-buru Siau Ih membisiki: "Semalam
nona telah kena terhantam oleh Teng Hiong sampai terluka
parah. Kami berdua saudara tengah melakukan penyembuhan
terhadap nona, sekali-kali jauh dari maksud tak senonoh.
Harap nona jangan berkata-kata maupun bergerak, agar
memudahkan usaha kami berdua."
Si nona tampak terkesiap, namun demi melihat wajah
pemuda itu merah membara bercucuran keringat, tahulah ia
bahwa ucapan pemuda itu memang sungguh-sungguh. Malu
dan bersyukur memenuhi rongga hati si nona. Ia
menggangguk selaku tanda menerima kasih lalu pejamkan lagi
kedua matanya. Ketika beberapa saat Siau Ih dan Liong Go sama tarik
pulang tangannya, nona itupun terjaga. Liong Go basah kuyup
dengan keringat, tenaganya habis, napas senin kemis. Cepatcepat
dia loncat turun dari pembaringan lalu berpaling
membelakangi si nona. Siau Ihpun meniru perbuatan toakonya
itu. Setelah si nona membereskan bajunya lagi, dia segera
turun dari pembaringan, ujarnya: "Harap saudara berdua
berpaling kemari untuk menerima hormatku."
Liong Go dan Siau Ih tersipu-sipu membalas hormat si
nona. Siau Ih menatap tajam-tajam ke arah si nona. Alis
melengkung bagai barisan pegunungan, mata bersorot bening
laksana air telaga, walaupun wajahnya yang agak pucat tak
memakai bedak, namun kecantikannya yang agung tetap
menonjol. Melihat dirinya diawasi begitu rupa, nona itu tundukkan
kepalanya dengan kemalu-maluan. Ai, memang begitulah sifat
anak perempuan itu, demikian Siau Ih geli dalam hatinya.
"Aku Liong Go dan ini adik angkatku Siau Ih," Liong Go
segera perkenalkan diri, "Waktu nona pingsan, Siau hiante
sudah menutup jalan darah nona dan dibawa kemari untuk
diobati. Atas kelancangan itu, harap nona suka maafkan."
"Terkena pukulan Teng Hiong itu, sebenarnya aku tentu
mati. Syukurlah jiwi telah sudi menolongku. Atas budi besar
itu, kelak tentu kubalas," kata si nona.
"Semalam ketika nona terluka, aku sendiripun terkena
pukulan jahat tho-kut-im-hong-ciang dari Jin-mo Kiau Hoan.
Baru setelah racun dingin dalam tubuhku itu dapat diobati
oleh Siau hiante, dapatlah aku berusaha menolong nona.
Karena itu telah memakan waktu lama, hingga hawa cin-goan
nona sampai terluka. Oleh karena kepandaianku dangkal,


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka walaupun mendapat bantuan pil bik-hun-tan buatan
engkongku, pula mendapat bantuan lwekang sin-kang dari
Siau Ih, tetap belum dapat menyembuhkan luka nona sama
sekali. Syukurlah kenalan baik dari engkongku yakni Hwatyok-
ong To Kong-ong, To-cianpwe tinggal di puncak Ki-he-nia
yang tak berapa jauh dari sini. Asal bisa bertemu dengan tabib
sakti To locianpwe itu, luka nona pasti akan akan segera
sembuh," kata Liong Go.
Si nona terkesiap ujarnya: "Tokoh aneh itu sudah lama
melenyapkan diri, konon kabarnya sudah bertekun akan
mencapai kedewaan. Bahwa ternyata beliau bersembunyi tak
berapa jauh dari sini, ingin benar aku menghaturkan hormat
kepada beliau. Atas budi pertolongan jiwi, tak terhinggalah
rasa terima kasihku. Adakah pengobatan jiwi tadi akan
berhasil atau tidak, biarlah kita serahkan kepada Tuhan."
"Ai, kini sudah hampir tengah hari, perutku merintih-rintih.
Sudikah kiranya jiwi bermurah hati mengganggu tuan rumah
supaya menyiapkan hidangan?" Siau Ih menyelutuk.
Kata-katanya yang melucu itu, telah membuat Liong Go
dan si nona tertawa. "Karena tak ada lain usul, usulku itu berarti diterima. Hanya
ada sedikit tambahan. Tadi karena menjaga jangan sampai
menerbitkan kecurigaan tuan rumah, aku telah mengatakan
kalau kita bertiga ini adalah kakak beradik. Jika bertemu
dengan tuan rumah, harap nona tetap pegang teguh rahasia
itu," Siau Ih lanjutkan pula kata-katanya sembari menjurah
dihadapan si nona, sembari menirukan nada ucapan nona itu
tadi: "Atas budi pertolongan jiwi, tak terhinggalah rasa terima
kasihku." Tingkah membanyol dari anak muda itu, telah
menyebabkan si nona tertawa cekikikan. Sesaat terhiburlah
hatinya. Pikirnya: "Walapun dari sikap dan budi bahasanya,
kedua pemuda itu tentu anak murid dari tokoh ternama,
namun apabila peristiwa tadi (pertolongan dengan lwekang
tadi) sampai teruwar tentu akan menjadi buah cerita orang.
Apalagi hal itu melanggar peraturan suhunya. Ah, lebih baik
aku mengangkat saudara dengan mereka, kalau tidak
bagaimana aku dapat membalas budi mereka."
Setelah mengambil keputusan, segera ia berkata dengan
nada bersungguh: "Siaumoay bernama Lo Hui-yan, sejak kecil
sudah sebatang kara dan dipelihara oleh Sam-sian suhu di
gunung Lo-hu-san. Jika sekiranya tak memandang hina diri
Siaumoay, ingin sekali Siaumoay mengangkat saudara."
Liong Go tertawa: "Mendapat adik seperti Yan-moay,
alangkah berbahagianya, hanya ........"
"Kalau begitu, harap toako dan jiko suka terima hormatku,"
tukas Hui-yan sembari terus memberi hormat dengan berlutut.
Buru-buru Liong Go dan Siau Ih membalas hormat dan
menyilakan Hui-yan berbangkit. Berkata Siau Ih dengan
gembira: "seharusnya kita rayakan hari gembira ini, sayang
tak ada persiapan, maka terpaksa melanjutkan rencana
bermula tadi, menggerecoki tuan rumah. Tapi rasanya bagi
kita kaum persilatan ini, sudah biasa mengisi perut dengan
nasi kasar dan lauk pauk murah. Tapi entah bagaimana
pendapat toako dan Yan-moay berdua?"
Liong Go tertawa mengiakan dan Siau Ih pun terus
membuka pintu kamar memanggil tuan rumah.
Li Seng tergopoh-gopoh keluar dari kamar dan berseru:
"Kini sudah hampir lohor, sebenarnya tadi aku hendak
mengundang kongcu berdua dahar, tapi karena kuatir
mengganggu usaha kongcu berdua menolong nona, jadi
terpaksa kupertangguhkan. Harap maafkan."
Siau Ih memberi hormat dan mengatakan bahwa adiknya
perempuan kini sudah sembuh dan kalau sekiranya tak
merepotkan hendak minta makan pada tuan rumah.
"Syukur nona sudah cepat sembuh. Hidangan sudah dari
tadi tersedia. Kuatir karena Siau toa-kongcu dan nona Siau tak
dapat makan hidangan keras karena baru sembuh, maka tadi
aku telah memasak bubur. Nah, biarlah kubawanya kemari."
Kata Li Seng sembari terus lari masuk.
Tak berselang berapa lama, petani yang baik hati itu sudah
muncul dengan senampan bakpao hangat serta empat macam
sayur. Disilahkannya ketiga tetamunya itu makan seadanya.
Liong Go dan Siau Ih tak henti-hentinya mengucapkan
terima kasihnya. Walaupun sayurnya sederhana, namun
karena lapar, mereka makan dengan lahapnya. Sembari
makan itu, Siau Ih tanyakan hal ikhwal permusuhan Lo HuiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
yan dengan Thiat-sian-pang. Dengan sayu, nona itu
menuturkan kisah hidupnya.
"Sejak masih orok, Siaumoay sudah ditinggal mati ayah dan
bunda dan dipelihara oleh pamanku di gunung Hong-hongsan.
Ketika umur lima tahun, baru diterima menjadi murid
suhuku, dibawa ke gunung Lo-hu-san. Disana kutinggal
sampai sebelas tahun. Beberapa hari yang lalu ketika
diperbolehkan turun gunung, aku coba-coba menengok
kampung halaman. Di luar dugaan, ternyata rumah paman,
telah hancur berantakan. Turut keterangan yang kuperoleh, taci misanku hendak
dijadikan gundik oleh Teng Hiong, tapi ditolak keras oleh
paman. Tahu-tahu pada suatu tengah malam, seluruh rumah
tangga paman telah dibinasakan orang jahat. Siapa lagi kalau
bukan perbuatan si Teng Hiong. Dalam gusar, kemaren malam
aku terus ngeluruk ke Hanciu untuk membikin perhitungan
dengan si jahanam itu. Tapi tiba di kota itu aku berpapasan
dengan seorang tua yang kurus kering.
Orang tua itu amat lihaynya, kalau tak waspada, mungkin
aku akan kepergok. Orang tua itu mengatakan kepada dua
orang anak buah Thiat-sian-pang, bahwa Teng Hiong tengah
menunggu seorang musuh ditempat makam Gak-ong.
Begitu tiba dimakam itu, Teng Hiong tampak lari ke arah
tempat persembunyianku. Untuk memastikan lebih dahulu
kutegur, baru kemudian kuserangnya. Ah, kalau tiada kalian
yang melancarkan pukulan biat-gong-ciang, tak nanti jahanam
itu mudah dibinasakan. Kini sakit hatiku, sudah terbalas.
Setelah lukaku sembuh, aku terpaksa harus pulang ke gunung
lagi!" Berkata sampai disini, nada Hui-yan menjadi sember,
matanya mengembang air mata. Teringat akan dirinya yang
masih mempunyai sakit hati besar, Siau Ih melayang-layang
pikirannya. Liong Go pun terhening, sehingga suasana makan
itu tampak sayu. Akhirnya terlintas sesuatu pada pikiran Siau Ih, ujarnya:
"Dengan hilangnya Teng Hiong dan ketiga anak buahnya itu,
walaupun kita sudah gunakan obat yong-kut-tan untuk
melenyapkan jejaknya, namun orang-orang Thiat-sian-pang
tentu akan mencium bau juga. Dan apabila sampai mereka
mengetahui kita berada disini, tentu akan membikin repot
saudara Li Seng juga. Lebih baik kita minta tolong saudara Li
itu membelikan sebuah kereta dengan empat kuda, untuk kita
berangkat malam ini juga!"
Liong Go menyetujui. Memang tak baik untuk merembetrembet
seorang berbudi macam Li Seng itu.
Sebaliknya Hui-Yan heran mengapa mesti membeli serakit
kereta itu. Liong Go menerangkan bahwa luka nona itu masih belum
sembuh betul, jadi tak boleh banyak bergerak mengeluarkan
tenaga. "Ah, sungguh tak kira ini aku menjadi seorang invalid," Huiyan
menghela napas, setelah ia coba mengambil napas tadi
ternyata memang masih terasa agak sakit.
Siau Ih terus menghibur dan membesarkan hati nona itu.
Saat itu Li Seng kembali muncul dengan membawa minuman
teh hangat. Datang-datang dia lantas minta ketiga tetamunya
itu mencicipinya. Untuk itu serta merta Liong Go haturkan
terima kasih. "Ai, aku si orang dusun ini tak biasa berlaku sungkan,
kongcu perlu apa, silahkan ........."
"Kebetulan memang aku hendak minta tolong pada
saudara. Li," tukas Siau Ih. Lalu menerangkan maksudnya
untuk minta tuan rumah itu membeli serakit kereta dengan
kudanya. "Ai, itu mudah sekali ....... ha, apa kongcu hendak
berangkat malam ini juga?" tanya Li Seng dengan terkesiap.
Siau Ih menerangkan bahwa luka sam-moaynya itu amat
berat, kalau tak lekas-lekas mendapat pertolongan tentu akan
membahayakan jiwanya. Sementara itu Liong Go segera
serahkan segenggam perak hancur kepada Li Seng, siapa
segera pergi untuk melakukan permintaan tetamunya.
Karena hari masih sore, maka Siau Ih ajak kedua kawannya
beristirahat memulangkan semangat.
Malamnya Li Seng pun sudah berhasil membeli sebuah
kereta lengkap dengan empat ekor kuda yang tegar. Setelah
menghaturkan terima kasih kepada suami isteri petani yang
baik hati itu, maka naiklah ketiga anak muda itu ke dalam
kereta. Menjelang berangkat, tiba-tiba Siau Ih berkata dengan
nada bersungguh: "Saudara Li, hampir lupa saja mengatakan
sesuatu hal yang penting. Malam nanti apabila ada seorang
tua baju kuning datang kemari mencari kami bertiga, tolong
kasih tahu padanya, karena ada keperluan penting kami
bertiga saudara berangkat lebih dahulu dan menantinya
disebelah muka. Harap saudara, Li jangan lupa menyampaikan
ucapanku ini kepadanya!"
Li Seng mengiakan dan bergeraklah roda kereta itu
meluncur ke muka. Sembari mengiring dengan pandangan
mata, diam-diam mulut Li Seng berkata-kata:
"Mengapa terburu-buru pergi ....... orang tua baju kuning
....... siapakah gerangan dianya?"
Tapi ketika dia teringat akan menanyakan, ternyata kereta
itu sudah jauh! --0dw0-- 11. Manusia Iblis Sipat Kuping.
Malam belum larut, namun rembulan sudah purnama.
Sekalipun begitu, desa kediaman Li Seng itu sudah sepi
dengan orang. Sekonyong-konyong dari sebuah tegalan, muncul tiga sosok
bayangan. Bagaikan bintang jatuh, ketiga bayangan itu
meluncur dengan pesatnya ke arah pondok Li Seng. Sekejap
saja, mereka sudah berhenti diantara pagar pohon bambu
yang mengelilingi pondok Li Seng.
Di bawah cahaya bulan remang, jelas kelihatan yang
menjadi pemimpinnya itu bukan lain ialah si Manusia Iblis Kiau
Hoan itu, ho-hwat atau pelaksana undang-undang dari Thiatsian-
pang. Dia tetap mengenakan baju warna kuning. Di
belakang pundaknya menggamblok sepasang oh-kim-songcatnya.
Sejenak mengawasi ke muka, dengan nada dingin yang
mengandung kebengisan, dia tegur kedua orang pengikutnya:
"Apakah sudah kalian selidiki benar, ketiga bocah itu
bersembunyi dipondok itu?"
Kedua pengikutnya itu membungkukkan tubuh seraya
menyahut: "Tecu sudah menyelidiki dengan sungguhsungguh,
kalau tidak masakah berani melapor pada ho-hwat?"
Kiau Hoan menyengir dingin.
"Ketiga budak itu, yang dua sudah dekat ajal. Tinggal satu,
tak perlu dikuatirkan. Malam ini kalau tak dapat mencincang
mereka, aku jangan dipanggil Manusia Iblis!" demikian dia
sumbar-sumbar. Mereka bertiga sahut menyahut seenaknya sendiri, seolaholah
tak menghiraukan penghuni dalam pondok itu. Karena
berisiknya, lebih-lebih suara si Manusia Iblis yang melengking
kering itu tak sedap didengar, maka tiba-tiba dari dalam
pondok itu, lampunya dinyalakan. Menyusul terdengarlah
seorang lelaki berseru: "Siapakah yang ramai-ramai di luar
itu?" Kiau Hoan tak menyahut. Wajahnya menampil senyum iblis,
mata berkilat-kilat buas dan sekali tubuh bergerak, dia loncat
melalui pagar pohon bambu, melayang masuk ke dalam
halaman rumah. Kedua pengikutnyapun meniru.
Berbareng pada saat itu, penerangan dinyalakan amat
terangnya dan muncullah seorang lelaki bercelana pendek. Dia
bukan lain Li Seng adanya.
Bahwa tahu-tahu dihalaman rumah terdapat seorang tua
kurus kecil berwajah pucat dan membekal senjata bersama
dua orang pengikut yang bertubuh tegap, telah membuat Li
Seng terbeliak kaget. Sikap kedua orang pengikut itu yang
bercekak pinggang sambil memandang dengan sorot mata
buas, telah membuat tubuh tuan rumah gemetar.
"Tuan bertiga ......... hendak ..... cari ......"
"Jangan banyak omong, lekas suruh ketiga anak itu
keluar!" bentaknya Kiau Hoan dengan aseran.
Mendengar kata-kata "ketiga anak" itu, Li Seng menduga
tentu ketiga pemuda she Siau itu yang dimaksudkan. Seketika
teringatlah dia akan pesan Siau Ih tempo hendak berlalu itu.
Ketika diawasi, memang benar orang itu memakai baju warna
kuning. "Oh, kiranya lo-jinke (orangtua) hendak mencari kongcu
Siau bertiga itu. Ah, sayang, kalau lo-jinke datang kemari tiga
jam lebih pagi, mereka belum pergi ........."
"Apa" Mereka sudah pergi"!" tukas Kiau Hoan dengan
nyaring. Li Seng mengiakan, sahutnya: "Tapi sebelum pergi, jikongcu
pesan padaku, apabila ada seorang tua yang
dandanannya mirip dengan lo-jinke ini, boleh memberitahukan
bahwa karena ada urusan, dia terpaksa berangkat lebih
dahulu dan akan menanti ditengah jalan saja. Walaupun
sudah berangkat, tapi karena mereka hendak menunggu,
tentunya juga tak berjalan cepat-cepat. Jika sekarang lo-jinke
lekas mengejarnya, tentu akan berjumpalah!"
Mendengar rencana pengejarannya itu sudah diketahui
lawan, apalagi ketiga anak muda itu tak gentar dan
menyatakan akan menunggunya, marah Kiau Hoan bukan
kepalang. "Sombong benar bocah itu. Kalau kau dapat lolos dari
tangan si Manusia Iblis ini, aku bersumpah tak mau hidup!"
dampratnya dengan gusar. Habis memaki, dia mulai memikirmikir
kemanakah gerangan lari ketiga pemuda itu. Akhirnya
dia ambil putusan hendak mengorek keterangan dari tuan
rumah itu. "Ho, kiranya begitu. Apa kau tahu kemana mereka


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju?" tanyanya dengan senyum meringis yang dibuatbuat.
"Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi yang nyata mereka
itu menuju ke arah utara!" menerangkan Li Seng.
Kiau Hoan mendengus, lalu mengerutu seorang diri:
"Keutara ..... itulah arah ke gunung Ki-he-nia, baik ......."
Sesaat wajahnya membengis, berkatalah dia dengan
garangnya: "Turut kedosaanmu memberi tempat perlindungan
pada ketiga budak itu, seharusnya menerima hukuman mati.
Tapi menilik kau tak mengerti persoalannya, serta mau
memberitahu dengan terus terang, maka kau mendapat
pengampunan jiwamu. Dihukum mati sih tidak, tapi juga tak
bebas dari hukuman sama sekali ......"
Berkata sampai disini, tangan kiri si Manusia Iblis mengebut
pelahan-lahan dan segera terdengarlah jeritan Li Seng yang
seram. "Bluk," tubuh petani yang tak berdosa itu terpental sampai
beberapa meter dan terus rubuh tak sadarkan diri.
Bersuit nyaring, si Manusia Iblis enjot tubuhnya loncat
melalui pagar bambu, terus lari sekencang-kencangnya ke
arah utara. --0dw0-- Pada sebuah jalan di luar kota Hangciu, tampak meluncur
sebuah kereta dengan cepatnya. Kala itu malam hari. Tak
usah kami terangkan lagi, tentulah pembaca akan maklum
sudah siapa yang berada dalam kereta itu. Ya, benar memang
di dalamnya terisi Liong Go, Siau Ih dan Lo Hui-yan.
Ketika Siau Ih mendongak ke atas, didapatinya rembulan
memancarkan sinarnya dengan gilang gemilang. Cuaca cerah,
bumi bagaikan bermandikan cahaya sang dewi malam.
Pemandangan yang indah permai itu telah berkesan sekali
dalam hati anak muda itu.
"Toako, alangkah bahagianya orang-orang dulu yang suka
pesiar menikmati keindahan malam purnama sidi. Tidak
seperti kita yang buru-buru berjalan seperti dikejar setan ini.
Jangan-jangan kita mirip dengan manusia yang buta akan seni
keindahan," katanya.
Liong Go tertawa: "Ini kan hiante sendiri yang
mengaturnya, jadi tak dapat menyalahkan lain orang. Nanti
apabila musuh tiada mengejar, bolehlah kita menikmati
rembulan dengan sepuas-puasnya!"
Siau Ih tertawa dingin: "Kalau iblis tua itu tak datang, itu
sih baik. Tapi kalau dia berani datang, ingin benar Siaute
menjajal pukulannya thou-kut-im-hong-ciang yang lihay itu!"
Melihat Siautenya itu hendak mengagulkan diri, dengan
wajah bersungguh berkatalah Liong Go: "Bukannya aku
bermaksud akan mengagungkan pihak lawan dan
meremehkan kekuatan diri sendiri. Benar ilmu sakti yang
hiante pelajari itu adalah penumpasnya ilmu jahat macam imham-
tok-kang itu, namun peyakinan iblis tua itu memang
sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Kalau nanti sampai
bertempur, harap hiante berlaku hati-hati!"
Siau Ih dapat menerima peringatan sang toako itu, namun
disamping itu dia cenderung kalau toakonya itu agak jeri
dengan si iblis. "Mungkin setelah mendapat pukulan dari iblis itu, toako
menjadi agak jeri. Adik Yan, bagaimana pendapatmu?"
katanya sembari berpaling ke dalam ruang kereta.
Tapi ternyata Hui-yan tak menyahut karena tidur dengan
nyenyaknya. "Menilik keadaannya begitu letih, terang kalau ia terluka
parah. Mudah-mudahan kita lekas berhasil mendapatkan
Hwat-yok-ong Toh Kong locianpwe itu ......."
Baru dia merenung begitu, sekonyong-konyong dari arah
belakang terdengar sebuah suitan nyaring melengking,
bernada seram membikin sakit anak telinga. Suitan itu
mengalun tinggi rendah, jauh-jauh dekat, kumandangnya
lama terdengar mengarungi angkasa.
"Cepat benar iblis itu menyusul kita!" seru Liong Go dengan
terkejut. Siau Ih pun tak urung tergetar juga. Dia segera minta Liong
Go tetap tinggal didalam kereta untuk melindungi Hui-yan,
sedang dia sendiri hendak keluar menyongsong kedatangan
iblis itu. "Hiante, bukannya aku takut, tapi sebaiknia hiante jangan
sampai meninggalkan kewaspadaan!" kata Liong Go.
Siau Ih mengiakan dan memberi jaminan kepada sang
toako. Saat itu suara suitan makin dekat. Sekali enjot, Siau Ih
melambung ke udara. Setelah berjumpalitan satu kali, kakinya
menjejak ke udara, lalu meluncur turun terus "terbang" ke
muka. Liong Go pun melarikan keretanya cepat-cepat. Sedang
begitu lari sampai sepuluhan tombak jauhnya, Siau Ih segera
melihat ada tiga sosok bayangan berlarian mendatangi. Dia
menduga yang lari paling depan itu tentulah si Manusia iblis.
Dilihatnya saat itu kereta Liong Go sudah jauh, maka sengaja
dia hentikan langkah dan berdiri di tengah jalan.
Begitu ketiga bayangan itu tiba, Siau Ih segera
membentaknya: "Berhenti!"
Orang yang terdepan mendengus dan berhenti.
"Siapa yang berani menghadang ini!" serunya dengan
bengis. Siau Ih menatap tajam-tajam dan memang benar seperti
yang diduga, orang itu ialah si Manusia Iblis Kiau Hoan.
"Iblis tua, hanya semalam berpisah masakah kau tak dapat
mengenali aku lagi"!" sahutnya dengan tertawa dingin.
Mata si iblis berjelilitan. Demi mengetahui yang berdiri
dihadapannya pemuda satunya yang semalam bertempur
dimakam Gak-ong, tertawalah dia dengan congkaknya.
"Mengapa kedua kawanmu itu tak muncul" Jangan-jangan
mereka sudah menghadap raja akhirat, he?" serunya
menyindir. Siau Ih tertawa sinis, sahutnya: "Mati hidup itu sudah
suratan nasib. Hanya karena agak lengah maka toakoku itu
telah terkena pukulanmu gelap, apanya yang dibuat bangga
itu" Kini dia tengah pesiar menikmati rembulan purnama.
Karena tak mau diganggu, dia lantas suruh aku kemari
mengusirmu!" Betapa kejut Kiau Hoan demi mendengar bahwa yang
menjadi korban pukulannya itu ternyata tak kurang suatu apa.
Dan kekagetannya itu berobah menjadi kemarahan besar
karena melihat sikap Siau Ih yang jumawa itu. Dengan
berjingkrak-jingkrak seperti orang kebakaran janggut, dia
segera perintah kedua pengikut: "Hai tolol, mengapa hanya
melihati saja" Ayuh lekas kejar, aku masih harus memberesi
dulu budak kurang ajar ini, baru nanti menyusul!"
Seperti anjing digebuk, kedua pengikut itu terbirit-birit lari
mengejar kereta Liong Go.
Siau Ih biarkan saja mereka lewat. Asal sang benggolan
sudah diremuk atau dihalau, tentulah kedua kerucuk itu dapat
diberesi Liong Go sendiri. Maka tenang-tenang saja dia
melihati. Sebaliknya sikap itu, telah membuat Kiau Hoan kelabakan.
"Tenang-tenang saja dia biarkan orang mengejar, janganjangan
dia sudah mengatur persiapan?" pikirnya. Dengan
dugaan itu, dia mundur selangkah.
Melihat kesibukan orang, tertawalah Siau Ih, ujarnya: "Iblis
tua, kalau dengar nasehatku, lebih baik kau lekas pulang saja.
Kalau sampai membuat siaoyamu marah, Teng Hiong dan
kawan-kawan itulah contohnya!"
"Jadi Teng-tongcu bersama empat orangnya itu kaulah
yang membunuhnya?" seru Kiau Hoan dengan terbeliak.
"Benarlah! Terhadap tindakan siaoyamu menumpas orang
jahat begitu, puas tidak kau?" Siau Ih balas bertanya dengan
tertawa. "Anjing buduk, kalau hari ini tak kuhancur leburkan
tulangmu, hatiku sungguh tak puas!" teriak Kiau Hoan dengan
geramnya. Sebaliknya tak kurang jitunya Siau Ih membalas: "Justru
siaoyamu hendak menjajal sampai dimanakah kelihayan ilmu
tho-kut-im-hong-ciang yang kau bangga-banggakan itu!"
Kala itu kebencian Kiau Hoan terhadap Siau Ih sudah
menyusup sampai kesumsum. Berbareng dengan tertawa
melengking, tangannya segera menghantam ke muka. Ketika
Siau Ih menghindar, dia susuli pula dengan menggerakkan
sepasang tangan. Sekali gus, enam buah serangan
dilancarkan. Begitu rupa Manusia Iblis itu mengumbar
kemarahannya, sampai pasir dan batu-batu sama
berhamburan. Setiap jurus serangannya, selalu mengarah
tempat-tempat maut. Melihat lawan begitu kalap dan menyerangnya dengan
hebat, Siau Ih pun tak berani mengabaikan. Segera dia
keluarkan ilmu ginkang ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-pohhwat.
Berlincahan dia diantara samberan angin pukulan
musuh. Walaupun diam-diam dia terkejut akan tenaga
pukulan si iblis yang luar biasa hebatnya itu, namun dia
percaya ginkang ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh-hwat itu
tentu dapat menghadapinya.
Ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh-hwat atau gerakan
kaki dari kiu-kiong terbalik arahnya itu, adalah sebuah ilmu
yang sakti dalam dunia persilatan. Keindahan dan
perobahannya sukar diduga, lincahnya bukan kepalang.
"Iblis tua, mengingat umurmu lebih tua, maka siaoya suka
mengalah sampai seratus jurus. Setelah itu, jangan kau
sesalkan siaoya berlaku kejam, ya!" seru Siau Ih sembari
berlincahan. Seumur hidup, kecuali tempo dahulu pernah dijatuhkan
Thiat-san-sian Liong Bu-ki, belum pernah dia mendapat hinaan
semacam ini. Apalagi setelah muncul untuk yang kedua
kalinya di dunia persilatan, dia telah diangkat menjadi ho-hwat
dari partai Thiat-sian-pang, sebuah partai yang amat besar
pengaruhnya. Ilmu kebanggaannya yakni thou-kut-im-hongciang
itu, belum pernah mendapat tandingannya.
Bahwa seorang anak muda berani sumbar-sumbar mau
mengalah sampai seratus jurus tanpa membalas menyerang,
telah membuat Kiau Hoan hampir mati kaku saking marahnya.
Rambutnya yang sudah bertabur uban sama menjingrak,
sepasang tangannya bergerak laksana angin pujuh, wajahnya
merah padam seperti kepiting direbus. Keadaan orang tua she
Kiau itu, benar-benar mirip dengan sesosok iblis yang haus
darah. Dengan cepatnya limapuluh jurus telah berlalu. Betapapun
si Manusia Iblis tumpahkan seluruh kepandaiannya untuk
menyerang, namun jangankan dapat melukai sedangkan
menyentuh baju lawan saja dia tak mampu. Setiap serangan
bermulai tampaknya tentu akan tepat mengenai sasarannya,
tetapi ketika hampir terpisah beberapa dim saja, entah
bagaimana dengan mudah dan indahnya Siau Ih tentu dapat
menghindarinya. Aneh tapi nyata.
Akhirnya mau tak mau, bercekatlah hati Kiau Hoan,
pikirnya: "Bocah ini masih begini mudanya, namun
kepandaiannya melebihi cucu Liong Bu-ki itu. Yang istimewa,
ialah gerakan kakinya itu, mengapa sedemikian aneh luar
biasanya. Kalau terus menerus begini, tentu malam ini aku tak
dapat merebut kemenangan. Apabila seratus jurus sudah
habis, kemana hendak kusembunyikan mukaku, ah lebih baik
........." Dia mengambil putusan hendak gunakan jurus yang ganas.
Dengan tertawa seram, dia mundur selangkah. Dua buah
tangannya yang kurus panjang macam cakar burung, diangkat
ke muka dada. Membarengi dengan gerakan mundurnya tadi,
dia menghantam ke arah lawan.
Siau Ih tak kurang waspadanya. Bahwa si iblis
perdengarkan tertawa seram itu, dia sudah menduga kalau
hendak gunakan pukulan maut thou-kut-im-hong-ciang yang
termasyhur itu. Anak muda tetap suka segala avontuur
(petualangan). Tahu bahwa thou-kut-im-hong-ciang itu
termasyhur ganas, namun masih dia ingin mencobanya
dengan kian-goan-sin-kong. Begitulah diam-diam dia segera
salurkan lwekang kian-goan-sin-kong itu keseluruh tubuh, lalu
tertawa mengejek. "Iblis tua, mau lari kemana kau" Hari masih begini sore!"
serunya sembari julurkan sang tubuh. Dengan gerak ji-hongsi-
pit, dia siap menyambut pukulan lawan.
Begitu angin pukulan saling berbentur, Kiau Hoan segera
rasakan ada sambaran hawa panas yang keras sekali. Bukan
saja hawa dingin dari pukulannya thou-kut-im-hong-ciang itu
punah gayanya, pun hawa panas itu masih kuat pula
menyerangnya. Bagaimana kejut si Manusia Iblis, sukar
dibayangkan. Tanpa malu-malu lagi, dia gerakkan dua buah
pukulan untuk menangkis dan dengan meminjam tenaga
pukulan itu, tubuhnyapun segera melesat mundur dua
tombak. Disana tampak Siau Ih seperti tak terjadi suatu apa, tegak
berdiri tersenyum bangga.
Dengan mulut komat kamit dan mata dipentang lebarlebar,
Kiau Hoan menatap pemuda lawannya itu tajam-tajam.
"Buyung, pernah apa kau dengan si Dewa Tertawa "!"
serunya. "Peduli apa kau!" sahut Siau Ih dengan tertawa dingin.
Berbareng itu, sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar
beberapa kali jeritan seram. Karena terkejut, Siau Ih dan Kiau
Hoan pada berputar tubuh lalu memburu ke arah datangnya
jeritan itu. Kiau Hoan di depan dan Siau Ih mengikuti dari belakang.
Tanpa disengaja, kedua lawan itu saling adu kecepatan lari.
Ternyata keduanya sama lihaynya. Hanya dalam beberapa
kejap saja, mereka sudah tiba ditempat tujuannya.
Ditepi jalan terdapat sebuah kereta, di sisinya berdiri
seorang muda tengah mencekal sebuah kipas. Di bawah
cahaya bulan terang, di atas jalanan yang lebar itu,
terkaparlah dua sosok tubuh yang sudah menjadi mayat.
Sekali lihat tahulah Kiau Hoan apa yang terjadi.
Saat itu mata si Manusia Iblis bagai memancar api. Dengan
menggerung keras, dia cepat cabut sepasang oh-kim-cat, lalu
menyerang Liong Go. Pemuda itu cepat menghindar sembari
mainkan kipasnya untuk menyampok senjata lawan.
"Tring," letikan bunga api muncrat dan kedua orang itupun
sama mundur selangkah. Kuatir sang toako yang baru saja sembuh dari lukanya itu
akan kehabisan tenaga, buru-buru Siau Ih loncat maju.


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sinarnya yang berbentuk macam ekor burung walet,
pedang thian-coat-kiam segera diserangkan si iblis.
Melihat sinar pedang yang luar biasa itu, Kiau Hoan tak
berani adu kekerasan. Tubuh agak didongakkan, dia enjot
sang kaki melesat ke belakang. Betapapun hebat dendam
kebenciannya, namun dia tetap memakai perhitungan juga.
Satu saja sudah sukar, apalagi dua maju berbareng, tentu
akan kalahlah dia nanti. "Selama masih ada gunung, masakah kuatir tak dapat kayu
bakar," demikian dia menimang, lalu tertawa dingin: "Budak,
hari ini biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas batang
lehermu. Kalau kalian dapat lolos dari tanganku, jangan
panggil aku si Manusia Iblis!"
Habis berkata, dia loncat ke samping. Dengan beberapa
loncatan lagi, Manusia Iblis itu sudah menghilang di dalam
kegelapan. Hal itu telah membuat kedua anak muda terlongonglongong
heran. Waktu Siau Ih hendak berseru mengejek
lawan, tiba-tiba dilihatnya Hui-yan bersandar dipintu kereta,
wajahnya pucat lesi, dadanya berombak keras.
"Adik Yan, kau ......," seru Siau Ih sembari loncat
menghampiri. Liong Go pun terkejut dan ikut menghampiri. Didapatinya
Hui-yan memejamkan mata, dadanya berkembang kempis
memburu napas, wajahnya pucat seperti kertas.
"Toako, mengapa tiba-tiba adik Yan menjadi begini?" tanya
Siau Ih. Liong Go kerutkan alis dan menggelengkan kepala: "Tak
lama setelah hiante pergi tadi, kulihat ada orang mengejar
kemari, maka segera kupinggirkan kereta untuk
menyambutnya. Siapa kira ternyata kedua pengikut Kiau Hoan
itu berkepandaian tinggi. Dikarenakan aku baru sembuh dan
pula membantu pengobatan lwekang pada adik Yan, maka
dalam menghadapi serangan kedua orang itu hampir saja aku
kewalahan. Entah bagaimana, pada saat-saat berbahaya, tiba-tiba
kedua orang itu sekonyong-konyong tutupi mukanya dengan
kedua tangan, darah mengucur tak henti-hentinya Rupanya
mereka kena dibokong orang. Dengan mudah dapatlah
kuhabisi jiwa mereka. Kemudian baru diketahui, kalau mata
kedua orang itu tertancap jarum halus.
Terang kalau adik Yan yang melepaskannya. Mungkin
karena menampak aku terdesak, adik Yan lalu taburkan jarum
san-hoa-ciam. Hanya dikarenakan timpukan jarum itu harus
menggunakan tenaga lwekang, maka luka dalamnya yang
belum sembuh betul itu menjadi kambuh lagi.
Tadi karena melihat hiante berlarian datang bersama Kiau
Hoan, aku sampai tak memikirkan keadaan adik Yan lagi. Kini
nyata kalau luka dalamnya parah lagi, kita tak boleh
mempertangguhkannya lagi. Kita minumi dulu dengan pil bikhun-
tan untuk menahan sementara, habis itu harus lekaslekas
menuju ke Ki-he-nia."
Bagi Siau Ih tak ada lain daya kecuali menurut saja. Liong
Go mengeluarkan dua biji pil bik-hun-tan lalu dimasukkan ke
dalam mulut Hui-yan. Setelah menutup jalan darah
penidurnya, tubuh Hui-yan dibaringkan di dalam kereta.
Kemudian bertanyalah Liong Go kepada Siau Ih, akan
diapakan kedua mayat orang Thiat-sian-pang itu.
"Ai, mengapa toako lupa" Kita toh masih punya pil yongkut-
tan " Pil itu dapat melenyapkan segala jejak," sahut Siau
Ih. Dikeluarkannya tiga biji pil yong-kut-tan, setelah diremas
hancur lalu ditaburkan di atas mayat kedua orang itu.
"Toako, karena urusan sudah beres, sebaiknya kita lekaslekas
berangkat menuju ke Ki-he-nia, rasanya lebih cepat lebih
baik bagi adik Yan," kata Siau Ih.
Melihat anak muda itu sangat memperhatikan sekali kepada
si nona, Liong Go menggodanya : "Ai, benarlah, lebih lekas
lebih baik!" --0dw0-- 12. Tabib Kukoay, Hwat-yok-ong
Begitulah kereta segera dijalankan pula dengan cepatnya.
Namun walaupun sudah mencapai kecepatan maksimal,
namun Siau Ih masih kurang puas. Kalau dapat, sekali
melangkah bisalah sudah dia tiba di Ki-he-nia.
Sepanjang jalan, pikirannya selalu dibayangi dengan
kegelisahan, jangan-jangan nanti setiba di Ki-he-nia tak dapat
berjumpa dengan Hwat-yok-ong atau si Raja Obat To Kongong
itu. Diam-diam dia tak mengerti sendiri, mengapa dia
mempunyai pikiran semacam itu. Sepanjang hidup, baru
pertama kali itu dia dihinggapi oleh suatu perasaan aneh
seperti itu. Diam-diam Liong Go pun memperhatikan sikap adik
angkatnya itu. Dia menduga sesuatu, namun Siau Ih tak
terasa. Begitulah dalam perjalanan itu, mereka berdiam hanya
cambuk yang sering terdengar memecah kesunyian malam.
Menjelang fajar, puncak Ki-he-nia pun sudah tampak dari
kejauhan. Siau Ih seperti orang yang mendapat semangat baru.
Diiring helaan napas longgar, dia tertawa: "Toako, bagaimana
dengan kepandaianku mengendarai kereta itu?"
"Bagus juga, tapi yang menderita kuda itu," sahut Liong
Go. Siau Ih mengusap keringat didahi, lalu menjawab:
"Bukannya siaote tak mengetahui hal itu, namun apa boleh
buat karena keadaan memaksa."
Liong Go mengangguk, sembari mengulum senyum dia
menggoda: "Siaote, dapatkah kau menjawab pertanyaan ini
'dari mana datangnya lintah' itu ?"
Siau Ih tahu kemana jatuhnya perkataan sang toako itu.
Selebar mukanya menjadi merah.
"Kita bertigakan sudah mengangkat persaudaraan,
mengapa pikirkan yang tidak-tidak" Pula Toako juga
mengobati adik Yan, apakah itu dianggap yang bukan-bukan"
Pantun kiasan toako itu, salah alamat!" ujarnya.
"Ha, ha, demikian Liong Go tertawa terbahak-bahak.
"Debatan yang jitu, aku tak dapat membuat replik (debat
balasan), aku terima salahlah!" katanya.
Biasanya Siau Ih itu pandai sekali merangkai kata-kata,
lebih-lebih kalau adu perdebatan, musuh tentu dikocok habishabisan.
Tapi pada saat itu, dia seperti kehabisan kata-kata.
Melihat itu, Liong Go memandangnya dengan senyum simpul
Siau Ih makin kemalu-maluan dibuatnya.
Tak berapa lama, tibalah kereta di bawah gunung Ki-henia.
Ki-he-nia adalah sebuah gunung ternama dari propinsi
Ciatkang, letaknya disebelah barat dari gunung Kat-nia. Setiap
musim semi tiba, sepasang gunung itu merupakan dua buah
raksasa yang berhias bunga, laksana bersunting pelangi warna
warni. Dari zaman ke zaman, kedua gunung itu merupakan
tempat berziarah bagi kaum pujangga dan penyair yang
memuja seni keindahan alam.
Kala itu ditengah musim rontok. Walaupun pohon-pohon
tho sudah banyak yang layu, namun kepermaian alam
pemandangan di gunung itu, masih tetap membekas.
Menghentikan keretanya, berkatalah Siau Ih: "Toako,
jalanan gunung ini berkelok-kelok, kalau tetap naik kereta,
tentu sukar menempuhnya. Lebih baik mumpung sekarang
masih sepi orang, biarlah siaote panggul adik Yan untuk
mendaki ke atas. Selain cepat pun aman rasanya, entah
bagimana pikiran toako?"
Merenung sejenak, Liong Go menyahut: "Aku setuju juga,
tapi bagaimana dengan kereta dan kuda kita ini?"
"Bukankah tadi toako mengatakan aku berlaku kejam
terhadap kuda itu" Ai, lepaskan saja mereka biar bebas
semalam ini," kata Siau Ih tertawa.
Liong Go mengiakan. Begitulah setelah kereta dipinggirkan,
kudanyapun dilepas. Menyingkap kerai kereta, Siau Ih lalu
mendukung tubuh Hui-yan, setelah itu dia minta agar Liong
Go berjalan disebelah muka mencari jalan.
Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, kedua anak muda itu
mulai mendaki ke atas. Tak berapa lamanya, tibalah mereka
dilamping gunung. Kala itu matahari sudah mulai menyingsing
di atas puncak. Cahaya keemasan yang gilang gemilang
menabur di seluruh hutan-hutan pegunungan itu. Burungburung
berkicau, angin sepoi-sepoi mengembus, daun-daun
bergontai, pohon-pohon menggeliat. Rupanya mereka
menyambut dengan riang akan kedatangan sang pagi.
Tiba-tiba, dari daerah pedalaman di atas puncak, terdengar
suara khim (harpa). Alun suaranya begitu tinggi melengking,
laksana air mengalir di gunung tinggi, bagaikan burung
cenderawasih bersiul nyanyi. Sebuah irama yang biasa
diperdengarkan untuk menyambut kedatangan para dewa.
Halus merdu melayang-layang .......
Liong Go berhenti sejenak untuk mendengari. Serentak
berserulah dia dengan girangnya: "Hiante, perjalanan kita tak
sia-sia, To locianpwe ada di rumah!"
"Bagaimana toako mengetahui?"
"Meskipun sudah mengasingkan diri, namun setempotempo
To locianpwe suka pergi ke gunung-gunung dan
lembah-lembah untuk mencari daun-daunan obat. Dulu
pernah aku mengikut engkong beberapa kali mengunjungi
beliau. Turut keterangan engkong, tokoh dunia pengobatan
yang luar biasa itu mempunyai perangai aneh juga. Setiap
perbuatannya, seringkali di luar dugaan orang, tidak umum.
Misalnya, kebiasaannya bangun pagi-pagi dan memetik khim,
sangatlah mengherankan orang. Saat ini baru saja terang
tanah dan dengan adanya bunyi khim itu, bukankah pertanda
kalau beliau berada dirumah?"
Siau Ih tertawa: "Apa yang siaote ketahui, orang bermain
musik untuk menyambut kedatangan rembulan, tapi tak
pernah mendengar ada orang menabuh musik karena hendak
menyongsong kedatangan matahari. Memang aneh juga tabib
Hwat-yok-ong itu!" "Irama khim itu menandakan sang pemain sedang riang
hatinya, ayuh, kita lekas-lekas kesana," ajak Liong Go.
Begitulah keduanya teruskan langkah, menyusur kelok
tikungan gunung yang curam. Akhirnya tibalah mereka di
sebuah batu besar hampir setombak tingginya. Batu itu
terletak dipinggir jalan dan di sisinya terdapat sebuah
terowongan yang hanya pas untuk dimasuki tubuh seseorang.
Suara khim itu jelas terdengar dari balik batu itu.
Berhenti di muka batu, Liong Go menunjuk pada lubang
terowongan, lalu masuk ke dalamnya. Siau Ihpun ikut masuk.
Ternyata terowongan itu merupakan sebuah jalanan kecil
yang hanya untuk seorang saja berliku-liku naik turun. Pada
kedua samping jalan itu, tumbuh jajaran pohon pik yang
rindang daunnya. Dihembus angin lembut, maka terasalah
suatu bau harum yang menyegarkan semangat.
Lebih kurang sepuluh tombak jauhnya, tiba-tiba ada sebuah
batu yang aneh bentuknya, menghadang ditengah jalan. Di
atas batu itu terdapat ukiran yang berbunyi
"Piat yu tong thian"
sebuah tempat lain yang menyambung kelangit. Keempat
huruf itu ditulis dengan huruf kuno yang besar-besar.
Menduga sudah tiba ditempat tujuan, Siau Ih hendak
bertanya, tapi tiba-tiba terdengar suara "krak" dari snaar khim
yang putus. Menyusul dengan itu, terdengar suara seseorang
yang nyaring bening: "Tetamu yang terhormat dari mana yang
sudi berkunjung kepondok jelek sini?"
Siau Ih menduga kalau yang berseru itu tentulah Hwat-yokong
To Kong-ong sendiri. Sementara itu Liong Go segera
memberi hormat, sahutnya: "Wanpwe Liong Go mohon
menghadap!" "Oh, kiranya putera kenalan lama. Dan siapakah yang
satunya?" seru To Kong-ong dengan tertawa.
Pertanyaan itu membikin Siau Ih terbeliak. Belum melihat,
mengapa sudah mengetahui ada lain orang lagi" Demikian
pikirnya. Liong Gopun terkejut, namun dia memberi isyarat kepala
agar Siau Ih jangan buka suara.
"Gi-te Siau Ih dan gi-moay Lo Hui-yan ikut menghadap,"
sahut Liong Go. "Sekalian tetamu ini memang berjodoh, hanya saja karena
Piat-yu-tong-thian ini tiada berpintu, harap samwi masuk
dengan meloncati batu itu," kembali To Kong-ong tertawa.
Demi melihat batu yang aneh bentuknya itu tak kurang dari
delapan tombak tingginya Liong Go berpikir: "Aneh benar
orang tua ini, meskipun batu itu tak begitu tinggi, tapi jite
mendukung adik Yan, mungkin agak sulit.
Liong Go kerutkan alis. Sebaliknya Siau Ih yang melihat
sikap toakonya itu segera mengerti apa yang dipikirkan. Cepat
dia menggelengkan kepala sambil tersenyum, pertanda dia
sanggup mengatasi percobaan itu. Sudah tentu Liong Go lega
hatinya. "Kalau begitu, maafkan, wanpwe tak tahu adat," serunya
sembari terus enjot kakinya meloncati batu itu.
Siau Ih pun bersiap. Setelah menghimpun tenaga, dengan
gerak tit-siang-ceng-hun atau lurus menjulang ke awan, tanpa
tubuh bergerak, tahu-tahu dia sudah melambung sampai
empat tombak tingginya. Di udara, ujung kaki kanan
dipijakkan kepunggung kaki kiri, dengan meminjam tenaga
injakan itu, kembali dia melambung sampai lima tombak lagi.
Sembari mengepit tubuh Hui-yan di tangan kiri, lengan
bajunya dikebutkan, indah dan tepat sekali dia melampaui
batu tinggi itu, terus melayang turun.
Baru saja kakinya menginjak bumi, atau terdengar To
Kong-ong berseru memuji: "Gerakan yang indah sekali!"
Mendongak ke muka, Siau Ih dapatkan sebuah dataran
seluas satu hektar. Sekelilingnya dilingkungi puncak-puncak
kecil yang hijau, penuh dengan berbagai pohon dan bungabungaan.
Sebuah air terjun kecil, mencurah dari lamping
puncak, menghamburkan ribuan permata titik air. Panorama
disitu benar-benar seperti dalam lukisan.
Tak jauh dari air terjun itu, diantara bayang-bayang pohon
bambu, tampak menonjol sebuah pondok. Diserambi pondok
itu ada sebuah batu besar yang bening seperti kaca. Di
atasnya duduklah seorang orang tua berbaju putih, tengah
memangku sebuah khim. Sebuah api perdupaan berada di sisi
orang tua itu, asapnya bergulung-gulung ke angkasa .........
Pemandangan disitu tak ubah seperti tempat keinderaan


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(dewa), sehingga Siau Ih menjadi terlongong-longong
dibuatnya. Tapi pada lain kilas serta diketahuinya orang tua itu
memandang dirinya dengan berseri senyum, dia (Siau Ih)
menjadi likat. Buru-buru dia tenangkan pikiran, membungkuk
lalu berkata dengan hormatnya: "Wanpwe Siau Ih memberi
hormat!" Orang tua itu bukan lain adalah Hwat-yok-ong To Kongong,
tokoh sakti dalam dunia persilatan dan tabib mujizat
dalam dunia pengobatan. Berpuluh tahun namanya harum
memasyhur di dunia persilatan.
"Sudah sekian lama losiu mengasingkan diri, lupa sudah
akan segala peradatan, maka harap lo-tethay jangan banyak
peradatan lagi," si orang tua lambaikan tangan dengan
tersenyum. Sepasang matanya berkilat mengawasi ke arah Lo
Hui-yan, lalu berpaling kepada Liong Go.
"Hai, buyung, kalau tak ada urusan masakah kau sudi
datang kemari" Kedatanganmu kemari bukankah karena untuk
nona itu?" tegurnya.
Wajah Liong Go menjadi merah, ujarnya: "Lo-jinke benar,
wanpwe memang hendak mohon pertolongan guna gi-moay
Lo Hui-yan ini." Merenung sejenak, tokoh aneh itu memberi isyarat kepada
Siau Ih: "Harap lo-tethay membawa nona Lo kemari, losiu
hendak memeriksanya."
Setelah Siau Ih meletakkan tubuh Hui-yan di atas batu
altar, maka tabib sakti itu lalu memeriksa pergelangan
tangannya. Lewat sejenak kemudian, kedengaran dia berkata:
"Coba kalian ceritakan bagaimana nona Lo ini sampai terluka."
Melihat wajah To Kong-ong mengerut dalam-dalam,
tahulah Liong Go bahwa luka adik angkat perempuan itu berat
sekali. Segera dia tuturkan semua apa yang terjadi.
Mendengar itu, To Kong-ong mengangguk.
"Oh, kiranya begitu. Mendapat pukulan dari Teng Hiong,
sebenarnya nona Lo sudah terluka-dalam yang parah,
walaupun telah kaugunakan kipas tui-hun-san untuk menutuki
jalan darah kemudian kausaluri lwekang, namun lukanya itu
masih belum sembuh sama sekali. Bahwa ketika di dalam
kereta ia sudah gunakan lwekang untuk menaburkan jarum
kepada musuh, telah menyebabkan lukanya merekah lagi.
Untung segera kauberi makan pil bik-hun-tan kalau tidak,
tentu sudah takkan ketolongan lagi.
Sekalipun begitu, keadaannya sekarang amat berbahaya
sekali. Terlambat sejam lagi kau datang kemari, walaupun ada
pil dewa, juga takkan dapat menolong jiwanya lagi. Menolong
jiwa orang adalah kegemaran losiu, apalagi telah kukatakan
tadi bahwa kedatangan kalian ini memang berjodoh. Biar
bagaimana aku tentu akan berusaha untuk menolongnya."
Mendengar keterangan dari tabib aneh itu, hati Siau Ih
sudah kebat kebit. Buru-buru dia memberi hormat dan
memohon: "Sudilah kiranya locianpwe bermurah hati
menolongnya." To Kong-ong tertawa, ujarnya: "Harap lo-tethay legakan
pikiran. Karena sudah berada di Piat-yu-tong sini, apabila
sampai terjadi apa-apa, bukankah ilmu ketabibanku akan
ditertawai orang. Apalagi rupanya nona Lo itu mempunyai
rejeki besar. Setahun yang lalu, secara tak terduga losiu telah berhasil
mendapat ho-siu-oh (semacam tanaman yang hidup beratus
tahun hingga seperti berjiwa). Losiu gunakan waktu delapan
bulan lamanya, menjelajah gunung dan hutan untuk mencari
128 ramuan daun obat. Dan setelah memakan tempo 49 hari,
berhasillah losiu membuat semacam pil yang dinamakan siokbeng-
cek-soh-tan (pil perebut jiwa). Semua itu terjadi pada
beberapa hari yang lalu. Siok-beng-cek-soh-tan walaupun bukan pil dewa, tapi untuk
mengobati segala luka dalam, tak nanti sampai gagal. Asal
korban masih ada setitik napasnya, tentu akan dapat
disembuhkannya. Tapi ada satu hal yang patut disayangkan.
Setelah makan pil mujijat itu, walaupun nantinya nona Lo
akan sembuh, tapi ilmu kepandaiannyapun akan berkurang
sampai separoh." To Kong-ong berhenti sejurus, lalu berkata pula dengan
tertawa: "Losiu hanya membuat siok-beng-cek-soh-tan itu
sebanyak 34 butir saja. Walaupun pil itu merupakan obat
berharga yang jarang ada, namun mengingat kita saling
berjodoh, jadi losiu pun takkan berlaku pelit."
Bahwa tabib sakti itu ternyata mau bersungguh-sungguh
menolong, telah membuat Siau Ih kegirangan. Pikirnya:
"Orang menyohorkan Hwat-yok-ong itu beradat aneh sukar
diduga hatinya. Tapi apa yang kulihat sekarang, ternyata jauh
dengan desas desus itu."
Memang disitulah letak keanehan To Kong-ong itu, suatu
hal yang tak mudah dipahami oleh Siau Ih. Seperti telah
dikatakan berulang kali, bahwa kedatangan ketiga muda-mudi
itu dikatakan ada jodoh padanya, dari itulah dengan mudah
saja ia telah bersedia menolong dan memberi obat pil yang
dibuatnya dengan susah payah itu.
To Kong-ong kembali berkata kepada Liong Go: "Walaupun
sudah mendapat pertolongan pil siok-beng-cek-soh-tan,
namun luka nona Lo tak dapat disembuhkan dalam waktu
sehari dua. Losiu sudah puluhan tahun menghuni dipondok ini
seorang diri. Disini hanya terdapat tiga buah kamar. Setelah
kupikirkan, kamar sebelah barat yang biasanya losiu gunakan
sebagai kamar tulis itu, akan kuberikan untuk tempat tinggal
sementara kepada nona Lo. Kau buyung dan Siau lote, untuk
sementara tinggal di ruangan tengah sajalah."
Liong Go mengiakan dan menghaturkan terima kasih.
Kemudian berbangkit pelahan-lahan dari atas batu,
berkatalah tokoh aneh itu dengan kurang senang: "Seumur
hidup, losiu tak suka akan segala aturan dunia, lebih-lebih
kalau yang melakukan kaum muda yang pada hakekatnya
hanya suka main etiket-etiketan palsu saja. Maka kalau kau
masih mempertahankan sikap etiketmu itu, losiu pasti tak
ambil mumet lagi!" Mendengar itu buru-buru Siau Ih menyanggapi: "Toako,
karena lo-jinke tak suka segala peradatan, kitapun harus
mengindahkan!" "Ha, itu baru mencocoki selera. Nah, sekarang mari ikut
aku masuk," kata To Kong-ong sambil tertawa.
Dengan memondong Hui-yan, Siau Ih mengikuti Liong Go
turut masuk dengan To Kong-ong.
Ternyata hutan bambu disitu, luas sekali. Di tengahtengahnya
terdapat tiga buah pondok terbuat dari bambu. Di
muka pintu tergantung tirai bambu yang tinggi, di bawah
serambinya terdapat sebuah tiang baja. Di atas tiang itu,
terikat seekor burung kakaktua yang besar. Bulunya yang
merah tercampur hijau itu, amatlah indahnya. Sementara di
muka jendelanya, dihias dengan empat buah vaas kembang
yang harum baunya. To Kong-ong berhenti di muka pintu, dia tampak tersenyum
dan memberi isyarat tangan. Ketika Liong Go dan Siau Ih naik
ke atas dan masuk ke dalam pondok, ternyata keadaan dalam
pondok itu sangat bersih sekali. Boleh dikata tiada setitik
debupun yang melekat pada semua pekakas. Di tengah
ruangan, terdapat tempat perapiannya, sedang disebelahnya
dibentangi dampar permadani. Kitab-kitab yang terletak di
atas meja, diatur dengan rapi sekali.
Ruangan sebelah barat, adalah kamar tulis To Kong-ong.
Boleh dikata, ruangan itu berdindingkan buku, karena
keempat dindingnya penuh dengan jajaran buku-buku.
Beberapa lukisan dan ukiran-ukiran gading yang terdapat
disitu, amat menarik sekali. Sebuah pembaringan yang diberi
alas rami sebagai kasurnya, terletak didekat dinding.
"Harap letakkan nona Lo dipembaringan ini, "kata To Kongong.
Siau Ih segera melakukan perintah.
Setelah menengok sebentar ke arah Hui-yan, maka To
Kong-ong pun tinggalkan ruangan itu. Tak lama kemudian, dia
sudah kembali dengan membawa sebuah peti obat dari batu
kumala hijau dan sebuah botol kecil juga dari batu kumala.
Diletakkan peti itu di atas meja lalu dibukanya. Peti itu berisi
berpuluh-puluh pil terbungkus malam (paraffin). Dijemputnya
tiga buah pil, lalu ditutupnya pula peti obat itu.
"Peti ini berisi 34 butir pil siok-beng-cek-soh-tan, obat yang
telah menghabiskan waktuku selama satu tahun," kata tabib
itu. Setelah pembungkusnya diremas, maka keluarlah sebutir pil
warna ungu sebesar biji mata naga. Serangkum hawa wangi
segera semerbak memenuhi ruangan. Sekali pijat, pil besar itu
hancur menjadi sepuluh pil kecil lalu dimasukkan ke dalam
botol kumala. Begitulah dalam sekejap saja, To Kong-ong telah meremas
tiga pil besar menjadi tigapuluh pil kecil-kecil dan dimasukkan
ke dalam botol. Hanya ada sebutir yang ditinggalkan di dalam
tangan, katanya: "Sekarang losiu hendak mulai mengobati
nona Lo!" Secepat itu, dia sudah menutuk buka jalan darah penidur
Lo Hui-yan. Demi membuka mata dan melihat ada seorang tua
berpakaian serba putih tengah memandangnya dengan
mengulum senyum, kejut Hui-yan bukan kepalang.
Tapi baru ia hendak membuka mulut, Siau Ih sudah
mendahului: "Adik Yan, ini adalah Piat-yu-tong-thian di puncak
Ki-he-nia, ialah tempat kediaman To locianpwe. Semalam
karena kau gunakan lwekang, lukamu kambuh kembali. Kini
To locianpwe sudah bermurah hati hendak memberimu pil
mujizat untuk mengobati lukamu
Belum selesai Siau Ih berkata, Hui-yan tampak akan
berusaha bangun, tapi buru-buru dicegah To Kong-ong,
ujarnya: "Nona, selamanya losiu tak suka akan segala
peradatan kosong. Kalau nona ada pembicaraan apa-apa,
harap tunggu nanti saja apabila sudah sembuh."
Habis itu, To Kong-ong minta Siau Ih mengangkat si nona
supaya duduk. Liong Go dan Siau Ih segera sama menyangga
tubuh Hui-yan. Setelah memasukkan pil ke dalam mulut si
nona, To Kong-ong lalu duduk bersila, katanya: "Nona,
ulurkan kedua tanganmu!"
Tahu orang hendak menyalurkan pengobatan lwekang,
buru-buru Hui-yan julurkan kedua tangannya ke muka.
Setelah saling berapatan tangan, maka mulailah To Kong-ong
salurkan hawa-murninya ketubuh si nona Seketika itu Hui-yan
rasakan ada aliran hawa panas merangsang tubuhnya. Buruburu
ia jalankan lwekangnya. Bahwa tokoh yang pandai ilmu silat dan ketabiban itu
disamping memberi obat pun mau juga menyumbangkan
lwekangnya untuk mengobati si nona, tak terkira rasa terima
kasih Siau Ih dan Liong Go.
Saat itu ubun-ubun kepala To Kong-ong mengeluarkan uap
panas, butir-butir keringat mengucur pada dahinya. Lewat
beberapa saat kemudian, barulah tokoh itu menarik pulang
tangannya. Serunya: "Harap nona jangan membuat gerakan
dahulu, tapi jalankan penyaluran hawa, agar obat dapat
bekerja untuk menyembuhkan luka dalam."
Lo Hui-yan tersenyum mengangguk selaku pernyataan
terima kasih, kemudian ia meramkan mata mulai menjalankan
penyaluran hawa. Mengusap keringatnya, To Kong-ong berkata pula: "Tenaga
dalam nona Lo cukup kokoh, kalau tiap hari minum obat ini
tiga kali, dalam sepuluh hari tentu akan sembuh sama sekali!"
Botol kumala yang berisi 29 butir pil siok-beng-cek-soh-tan
itu berikut resep penggunaannya diberikan kepada Siau Ih,
lalu katanya: "Dalam dapur sana tersedia lengkap segala alatalat
perkakas. Sewaktu-waktu kalian lapar, boleh masak
sendiri. Losiu tak tentu makannya, boleh tak usah tunggu
aku!" Mengetahui watak-watak yang aneh dari tabib itu, kedua
pemuda itupun hanya mengiakannya saja. Karena merasa
lelah, To Kong-ong lalu tinggalkan ruangan itu. Siau Ih dan
Liong Go mengantar sampai keluar pintu baru balik.
Kala itu didapatinya Hui-yan masih duduk bersila meramkan
mata, tampak berseri merah wajahnya. Suatu hal yang
membuat kedua pemuda itu lega. Karena semalam penuh tak
tidur dan kemasukan nasi, Siau Ih dan Liong Go merasa lapar.
Siau Ih nyatakan hendak menyiapkan hidangan. Begitulah ke
duanya menuju kedapur. Siau Ih singsingkan lengan baju menanak nasi memasak
sayur. Sebaliknya karena tak biasa masak Liong Go menjadi
canggung. Tak tahu dia bagaimana harus membantu. Melihat
itu Siau Ih tertawa dan mempersilahkan toakonya itu menjaga
Hui-yan saja, apabila nona itu memerlukan sesuatu.
Bermula Liong Go menyatakan enggan, tapi setelah didesak
Siau Ih terpaksa dia menurut juga. Benar juga, dengan
bekerja sendiri, Siau Ih malah lebih lekas. Tak berapa lama,
hidanganpun telah siap. Karena Hui-yan belum terjaga,
mereka berdua makan lebih dahulu. Tengah makan Liong Go
teringat bagaimana nanti kalau Hui-yan bangun dan
makanannya habis. "Harap toako tak usah pikiri, siaote sudah menyediakan
bubur untuknya, ' kata Siau Ih.
"Ai, hiante sungguh memikirkan sekali," Liong Go
menggodanya. Wajah Siau Ih bersemu merah, ujarnya: "Ah, janganlah
toako menggoda begitu, kalau didengar adik Yan, malu sih!"
---ooo0dw0ooo--- 13. Hasrat Hati dan Aturan Perguruan
Habis makan, Hui-yan tetap belum bangun. Walaupun
semalam tak tidur, tapi karena memiliki lwekang tinggi, maka
dengan beristirahat sebentar saja kedua pemuda itupun sudah
pulih lagi kesegarannya. Waktu berbangkit, keduanya dapatkan matahari sudah
condong kebarat, namun anehnya Hui-yan masih tetap belum
tersadar. Sudah tentu mereka menjadi heran.
Syukur pada saat itu To Kong-ong datang. Baru Siau Ih
hendak menanyakan, tuan rumah itu sudah menerangkan
kalau nona itu tak kena suatu apa hanya karena disebabkan
obat tengah bekerja saja.
Tepat dia berkata, Hui-yan tiba-tiba bangun. To Kong-ong
memberi isyarat supaya ia jangan bicara, kemudian dia
memeriksa pergelangan tangan nona itu.
"Luka nona sudah banyak sembuhnya. Dasar lwekang nona
ternyata di luar dugaan losiu. Dengan begini tak sampai
sepuluh hari, tentu akan sembuh" kata si tabib To itu.


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian dia mengatakan nona itu boleh makan, setengah
jam kemudian baru minum obat lagi.
Siau Ih buru-buru lari kedapur dan membawa sepiring
bubur panas serta dua mangkok sayur. Melihat perhatian
orang, Hui-yan tergerak hatinya.
To Kong-ong minta dari Siau Ih dua butir pil siok-beng-tan
diberikan pada Hui-yan. Habis makan obat, nona itu disuruh
menyalurkan hawa dalam lagi.
Dalam pada Hui-yan duduk pula menyalurkan lwekang,
berkata lah To Kong-ong pada Liong Go: "Dahulu engkongmu
adalah kawanku bermain catur, tentunya kaupun pandai
permainan itu. Untuk mengisi kesenggangan, mau tidak kau
menemani aku bermain catur?"
Liong Go serta merta mengiakan.
Siau Ih mengatakan sama sekali tak dapat, tapi suka juga
melihatnya. Mendengar itu To Kong-ong tertawa dan segera
ajak mereka ke ruang belajar. Setelah mengambil papan dan
biji-biji catur, dia menuju ke batu altar yang terletak di luar
halaman. Selama Liong Go bermain catur dengan tuan rumah, Siau
Ih duduk melihat di sebelahnya. Rembulan menjulang tinggi,
barulah permainan itu selesai, dengan kesudahan Liong Go
kalah. Tampaknya To Kong-ong gembira benar. Siau Ih sibuk
mengambil arak dan sayuran.
Begitulah semalam itu dilewati dengan main catur, minum
arak dan mengobrol kebarat ketimur. Berturut-turut tiga
malam, mereka berbuat begitu. Dalam pada itu, keadaan Huiyan
makin bertambah baik. Malam itu selagi Hui-yan duduk menyalurkan lwekang,
kembali To Kong-ong ajak Liong Go bermain catur lagi. Siau Ih
tetap menemani disamping. Ronde pertama berakhir, To
Kong-ong tertawa: "Ai, buyung, kau ini benar-benar tak
berguna, seranganmu kurang agressip. Siau lote, kau saja
yang maju ya?" Selama tiga hari menonton, Siau Ih sudah tahu-tahu cara
jalan-jalannya. Diajak tuan rumah, tanpa sungkan lagi dia
terus menerimanya. Dengan kecerdasan otaknya, walaupun
kalah tapi Siau Ih dapat memberi perlawanan yang gigih.
"Siau lote, selama tiga hari baru inilah yang paling
menggembirakan, ai, kau benar-benar lihay!" To Kong-ong
sampai-sampai memujinya. Siau Ih pun tambah bersemangat. Begitulah sampai pada
hari ke lima, disamping Hui-yan sudah banyak sembuh dan
boleh turun pembaringan, permainan catur Siau Ih tambah
maju pesat. Dari kalah enam biji catur, kini dia hanya kalah
dua biji saja. Semakin anak muda itu lihay, makin besar kegembiraan To
Kong-ong. Boleh dikata kecuali hanya berhenti makan dan
tidur, dia tentu ajak anak muda itu bermain catur.
Kebalikannya kini Liong Go malah menjadi penontonnya.
Siau Ih bo-hwat (tobat) benar-benar. Disamping masak dan
meladeni Hui-yan. dia harus menemani tuan rumah bermain
catur. Sebenarnya dapat juga Liong Go mengerjakan, tapi selalu
Siau Ih mencari alasan ini itu, tinggalkan To Kong-ong dan
melayani keperluan Hui-yan sendiri. Karena itu, walaupun
hanya beberapa hari bergaul, Siau Ih dan Hui-yan sama
menaruh hati. Inilah yang dibilang "begitu melihat, begitu
jatuh cinta". Pada suatu malam, seperti biasanya Siau Ih dan Liong Go
menemani To Kong-ong main catur.
Karena iseng, Hui-yan jalan-jalan ke bawah air terjun.
Kolam di bawah air terjun itu, bening sekali airnya hingga
ikan-ikan yang berkeliaran di dalamnya dapat kelihatan.
Sekeliling alam amat sunyi, hanya debur air tumpah itu saja
yang kedengaran amat berisik.
Memandang ke arah ribuan titik air yang bagaikan mutiara
lepas dari untaiannya itu, pikiran Hui-yan melayang-layang.
Terbayanglah wajah yang cakap dari Siau Ih serta sikapnya
yang begitu memperhatikan itu. Itulah yang disebut cinta" Ah,
bayang-bayang itu memenuhi ruang kalbu si nona.
Sekilas teringatlah ia akan peraturan perguruannya yang
keras itu. Tapi suara hatinya tetap merintih-rintih ditingkah
pancaran kalbu. Rasa asmara, pancaran bahagia, cemas dan
gangguan urat syaraf, bagaikan ombak pasang surut
mengamuk dalam hati Hui-yan.
Tiba-tiba tampak olehnya sebuah bayangan wajah cakap
dalam permukaan kolam itu. Wajahnya segera bersemu merah
dan dengan cepat berpaling ke belakang. Amboi! Disana
tampak Siau Ih berdiri dengan tegaknya. Betapa ia itu seorang
gadis persilatan, namun sifat kegadisannya tetap ada.
Bagaimana ia tak menjadi jengah diawasi begitu rupa oleh
seorang pemuda! "Engkoh Ih!" serunya sembari menunduk.
"Begini malam mengapa adik Yan berada disini, nanti bisa
kena hawa dingin," sahut Siau Ih tertawa.
"Aku toh bukan gadis pingitan, tak nanti gampang masuk
angin!" "Ya, sekalipun begitu, karena baru saja sembuh, lebih baik
adik Yan berhati-hati menjaga diri," kata Siau Ih.
Benar dengan ucapan itu, Hui-yan tahu kalau dirinya
diperhatikan, tapi umumlah kalau seorang nona itu bersifat
aleman membandel, ia balas bertanya: "Engkoh Ih, bilamana
kau belajar merangkai kata-kata seperti orang tua begitu?".
Siau Ih kemerah-merahan tak dapat menyahut. Hui-yan tak
menggodanya lebih jauh dan menanyakan Liong Go.
"Toako sedang bermain catur dengan To locianpwe ......"
"Maka kau lantas menyelinap kemari ya?" tukas Hui-yan.
Setelah termangu beberapa jenak, barulah Siau Ih dapat
membuka mulut: "Benar, tadi karena melihat adik Yan keluar,
begitu selesai sebabak buru-buru kusuruh toako menggantikan
bermain, karena ....... karena ...........
Sampai disitu, Siau Ih tak dapat melanjutkan kata-katanya,
wajahnya makin merah. Jantung Hui-yan pun mendebur
keras. Ia tahu pemuda itu tentu akan berkata-kata banyak
sekali, kata-kata yang sebenarnya ia kepingin sekali
mendengarnya tapipun paling takut mendengarnya. Kembali
benaknya penuh dibayangi berbagai perasaan, rasa cinta,
terima kasih, peraturan perguruan dan sumpahnya ketika
memasuki perguruan. Dengan menundukkan kepala dan
tangannya memainkan ujung baju, Hui-yan terdiam sampai
sekian lama, terbit pertentangan dalam batinnya.
Akhirnya berkatalah ia dengan nada gemetar: "Engkoh Ih,
lukaku rasanya sudah sembuh, karena itu besok pagi kupikir
hendak minta diri pada To-locianpwe untuk pulang ke Lo-husan."
Seperti disedot magnit, hati Siau Ih melangkah setindak,
dan mulut berseru dengan suara sember: "Adik Yan, kau......."
Tanpa tunggu si anak muda lanjutkan kata-katanya, Huiyan
sudah berbangkit dan lambaikan tangannya: "Engkoh Ih,
apa yang hendak kaukatakan aku sudah tahu dan apa isi
hatimu pun aku sudah mengetahui, hanya .........."
Belum si nona menghabisi ucapannya, Siau Ih sudah
melangkah maju dan memeluknya.
"Adik Yan semoga kita dapat mengarungi samudera
penghidupan bersama-sama," bisik Siau Ih.
Sampai pada saat itu, tenggelamlah Hui-yan dalam lautan
asmara. Hilang tak berbekas lagi segala pantangan dari
perguruannya. Lewat beberapa jenak, tiba-tiba terdengar
gelak tawa To Kong-ong. Tertawa itu telah membuat sejoli
muda- mudi yang sedang belebuh dalam buaian asmara,
menjadi tersadar. "Engkoh Ih," seru Hui-yan dengan terkejut sembari
mendorong tubuh si pemuda. Sudah tentu Siau Ih menjadi
gelagapan dan menanyakan.
"Engkoh Ih, kini baru kuakui bahwa manusia itu
mempunyai hati perasaan," kata Hui-yan setelah melepaskan
diri. Siau Ih mengiakan. Hui-yan memandang ke angkasa yang bertaburkan bintang,
ujarnya dengan rawan: "Sebenarnya atas budi pertolongan
itu, aku harus membalasnya dengan segenap jiwa ragaku.
Tapi dikarenakan peraturan perguruanku tak mengizinkan
sesuatu perjodohan, maka ketika itu akupun lantas
mengangkat saudara padamu. Itulah satu-satunya jalan untuk
menolong diriku dari cerca hinaan orang dan hubungan
perguruan. Tapi sedikitpun tak kusangka, bahwa dalam
sesingkat waktu berada di Ki-he-nia sini hubungan kita makin
erat. Bahwa setiap insan wanita itu harus berjodoh dengan
pria, belum pernah terlintas dalam pikiranku dan memang aku
tak berani memikirkannya. Keadaanlah yang menjadikan aku
seorang gadis macam begitu, akupun tak menyesal. Tapi kini
keadaan berobah sama sekali, namun diriku tetap terpancang
dengan pantangan-pantangan itu. Inilah yang menyiksa
perasaanku. Kalau kita tetap berkumpul bersama-sama,
dikuatirkan tentu terjadi sesuatu yang tak diinginkan ........."
"Adik Yan, janganlah kau ........."
Hui-yan menggeleng minta Siau Ih jangan memotong
bicaranya, kemudian dengan berlinang-linang air mata ia
melanjutkan: "Oleh karena itu, kupikir lebih baik aku lekaslekas
menyingkir dari sini. Makilah aku sebagai seorang
manusia yang tak berperasaan, biarlah kuterimanya dalam
derita batinku. Engkoh Ih, dapatkah kau memahami
kesulitanku, aku ........."
Siau Ih mengusap air mata si nona, dia menghiburnya:
"Adik Yan, kupercaya bahwa manusia itu tentu berhati
perasaan, dan kuyakin kita tentu dapat merobah nasib ......."
Cepat-cepat Hui-yan menutup mulut Siau Ih dengan
jarinya, tukasnya dengan tertawa getir. "Benar kau belum
mengatakan asal usul perguruanmu, tapi ditilik dari
kepandaianmu yang setinggi itu, terang kalau anak murid dari
perguruan yang ternama, oleh karena itu tentunya kau dapat
memaklumi apa artinya budi seorang guru itu. Kuberpendapat
bagaimanapun juga, tak selayaknya karena urusan muda
mudi, kita lantas membelakangi peraturan perguruan."
Ia berhenti sejenak untuk menenangkan perasaannya,
kemudian dengan nada tetap, ia melanjutkan: "Engkoh Ih, kita
adalah pemuda persilatan, seharusnya memiliki semangat
yang lebih unggul dari orang biasa. Dalam memilih antara
suara hati dan budi suhu, kita harus berani mengambil
tindakan tegas memberatkan yang tersebut belakangan itu.
Ini barulah sikap yang utama. Lain dari pada itu, seorang
pemuda gagah seperti kau, masakah takut tak bakal
mendapat jodoh. Jangan kau sudah berpatah hati yang
menyebabkan semangatmu pudar. Besok aku tetap
mengambil putusan pulang ke Lo-hu-san, tapi ini bukan
merupakan perpisahan kita selama-lamanya. Pada suatu hari
kita tentu bakal berjumpa lagi!
Lencana kiu-hong-giok-hu ini adalah pemberian suhuku.
Hendak kuberikan padamu untuk kenangan. Kelak apabila kau
terkenang padaku dan ingin berkunjung ke Lo-hu-san, carilah
seorang petani disekeliling daerah itu, dia tentu akan
menolongmu memanggilkan aku. Jangan sekali berani masuk
ke dalam Peh-hoa-kiong, nanti kita tentu mengalami banyak
kesulitan. Tentang hubungan kita yang terjalin dalam waktu
sesingkat ini, tetap akan kuukir dalam lubuk hatiku. Nah,
karena waktunya sudah larut, sampai sekian saja ucapanku!"
Habis itu, sekali melesat Hui-yan tinggalkan si anak muda
yang masih termangu-mangu seperti orang kehilangan
semangat. Keesokan harinya, benar juga Lo Hui-yan membenahi
pakaiannya dan minta diri pada To Kong-ong. Putusannya
yang tergesa-gesa itu telah membuat tuan rumah dan Liong
Go keheran-heranan. Demi melihat Siau Ih bermuram durja,
tahulah Liong Go persoalannya.
To Kong-ong coba menahannya lagi, tapi nona itu tetap
pada putusannya. Apa boleh buat, To Kong-ong pun tak
berani mencegahnya lagi. Memberikan botol yang masih berisi
dengan pil siok-beng-cek-soh-tan itu, dia berkata: "Losiu
hanya dapat memberikan bekal pil ini kepada nona. Mungkin
dikemudian hari nona masih memerlukannya lagi. Tolong
sampaikan hormatku pada suhumu!"
Sekali lagi menghaturkan rasa terima kasihnya yang tak
terhingga. Hui-yan pun segera berangkat.
Siau Ih dan Liong Go mengantar sampai di luar terowongan
batu. "Ribuan li mengantarkan, toh akhirnya tetap akan berpisah.
Toako, engkoh Ih, sudah sampai disini sajalah, lain hari
semoga kita dapat berjumpa pula," kata Lo Hui-yan dengan
nada rawan. Dengan kuatkan hati, nona itu segara berputar tubuh terus
lari menyusur sepanjang jalanan gunung. Siau Ih
mengantarkan bayangan nona itu dengan mata yang sayu.
Setelah Hui-yan menghilang di antara lebatan rimba, barulah
kedua kembali. Ternyata To Kong-ong menyongsong mereka
di muka halaman sembari bersimpul tangan.
"Siau lote, menilik wajahmu yang sayu, benar-benar bibit
cinta sudah bersemi dalam hatimu," menggoda tabib itu
dengan senyum tawa. Wajah Siau Ih merah lalu tersipu-sipu menyahut: "Ah. locianpwe
menggoda saja." Namun dengan wajah bersungguh To Kong-ong berkata:
"Losiu memang suka berkata blak-blakan saja. Menyinta,
itulah sudah wajar. Tapi janganlah kena dipengaruhinya
hingga melesukan semangat, memutuskan asa dengan akibat
merusak hari depan. Benarkah begitu, lote?"
Siau Ih tundukkan kepala mengiakan.
"Janganlah lote malu-malu. Orang muda dirundung cinta,
itu sudah jamak. Yang penting, janganlah karena hal itu akan
merusak jiwa," kembali tabib itu berkata.
Mendongak ke atas, dia tertawa, ujarnya: "Dalam beberapa
hari ini, permainan catur lote maju pesat sekali sampai aku
sukar menghadapi. Ayuh, kita main satu set lagi!"
"Ai, locianpwe ini benar-benar beradat aneh. Senja pagi
bermain khim, tengah hari menantang main catur. Tapi
dengan bermain catur rasanya kedukaan Siau hiante dapat
terhibur," diam-diam Liong Go membatin. Belum Siau Ih
menyahut, dia sudah mendahului menyetujui ajakan si tabib.
Sebaliknya To Kong-ong dengan tertawa lantas
mendampratnya: "Hai buyung, apa kau juga ketagihan main
catur" Tapi ah, enggan aku menghadapi permainanmu yang


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak begitu lihay!" Liong Go hanya ganda tertawa dan menyatakan, asal dapat
nemani tuan rumah bermain catur, itu sudah cukup. Menang
kalah tak dihiraukannya. "Ai, kasihan juga kau. Ayuh, lekas ambilkan catur sana!"
seru To Kong-ong. Liong Go buru-buru melakukan perintah. Sebenarnya hati
Siau Ih tak tenteram, namun dia tak dapat menolak ajakan
tuan rumah. Begitulah mereka kembali adu otak memainkan
biji-biji catur. Sehari penuh mereka bermain dan baru berhenti
setelah rembulan naik tinggi.
Keesokan harinya, Siau Ih mengutarakan maksudnya
berangkat ke Tiam-jong-san pada Liong Go. Karena sekian
lama bergaul, jadi Liong Go sudah mengenal baik watak adik
angkatnya itu. Untuk menghibur hati Siau Ih yang dirundung
rindu itu, membuat perjalanan menikmati pemandangan alam
adalah jalan satu-satunya yang terbaik. Disamping itu, diapun
merasa perlu untuk lekas-lekas memberitahukan kepada
engkongnya tentang peristiwa Thiat-sian-pang itu.
"Karena hiante perlu lekas-lekas ke Tiam-jong-san, akupun
juga akan pulang ke Po-gwat-san untuk memberitahukan
engkong tentang peristiwa bentrokan kita dengan orang-orang
Thiat-sian-pang di Hangciu itu," akhirnya dia berkata.
Siau Ih menyetujui dan ajak sang toako untuk pamitan
pada To Kong-ong. Begitulah setelah berkemas, mereka lalu
menuju keluar. Di bawah gerombolan pohon yang merupakan garis-garis
halaman rumah itu, tampak To Kong-ong sedang duduk di
atas batu altar seraya memandang ke arah air terjun. Setelah
memberi salam, Liong Go lalu mengutarakan maksudnya.
"Tak usah kalian menghaturkan terima kasih untuk apa
yang kulakukan kepada nona Lo. Sebenarnya aku masih ingin
menahan kalian untuk beberapa hari lagi, tapi karena kalian
mempunyai urusan penting, jadi akupun tak berani
mencegahnya. Hanya saja aku hendak minta tolong pada Siau
lote untuk melakukan sedikit urusan ......."
"Asal wanpwe dapat melakukan, tentu dengan senang hati
menerima perintah locianpwe," buru-buru Siau Ih menyahut.
Sejenak merenung, tabib itu tertawa, katanya: "Yang paling
tak kusukai sepanjang hidup, ialah hutang budi pada orang.
Begini sajalah, karena kita berjodoh dalam catur, maka
dengan caturlah kita putuskan soal itu. Sebelum berpisah, kita
main lagi satu set. Kalau lote menang, aku hendak
memberikan sebuah barang. Tapi jika kalah, permintaan
tolongku pada lote, jangan dianggap hutang budi. Nah,
bagaimana?" "Ah, kukoay benar orang ini. Minta tolong, tapi tidak mau
dianggap hutang budi, ya, biar bagaimana juga aku harus
mengerjakan permintaannya itu, maka dalam set nanti aku
akan mengalah" kata Siau Ih dalam hati. Lalu dia pun
menerima baik syarat si tuan rumah itu.
To Kong-ong berseri girang. Menunjuk ke arah biji-biji catur
yang belum dikemasinya tadi, dia berkata: "Kita tetapkan
waktunya bertanding dalam tiga jam. Begitu habis waktunya,
kita putuskan siapa kalah dan menang. Setujukah lote?"
Siau Ih tetap menyetujuinya. Begitulah mereka segera
mengatur biji-biji catur dan mulai bermain. Oleh karena Siau
Ih sudah mengambil putusan untuk kalah, maka diapun tak
mau banyak berpikir lagi. Biji catur dijalankan dengan cepat.
Benar juga tak berapa lama, posisinya kelihatan dipihak kalah.
Dan tak sampai dua jam saja, To Kong-ong sudah dapat
menundukkan barisan lawan.
Melirik ke arah Liong Go, Siau Ih berbangkit, katanya:
"Hebat benar permainan lociapwe, wanpwe menyerah!"
To Kong-ong menghela napas, ujarnya: "Sudahlah,
bagaimana pun aku tetap tak dapat terhindar dari hutang
budi. Walaupun pada alis lote itu mengandung sifat-sifat suka
membunuh, tapi ternyata nurani lote tetap baik. Peribahasa
mengatakan, "Barang siapa menanam, tentu akan memetik,
hasilnya'. Melepas budi, tentu akan mendapat balasan budi
juga. Karena tadi lote mengalah, itu berarti melepas budi".
To Kong-ong berhenti sejenak untuk memasukkan tangan
ke dalam baju. Dikeluarkannya sebuah buku kecil lalu
diberikan kepada Siau Ih, ujarnya: "Buku Peh-co-ki ini memuat
ilmu mengobati luka-luka, kena racun dan lain-lain. Benar
bukan sebuah buku yang luar biasa, namun itulah hasil
penyelidikanku seumur hidup. Kuberikan buku itu kepada lote,
selaku membalas budi lote tadi."
Mendengar itu bukan kepalang kejut dan girangnya Siau Ih,
tapi dia sungkan juga: "Untuk main catur yang tak berarti tadi,
masakah locianpwe menghadiahkan buku yang begitu
berkhasiat, sungguh wanpwe tak berani menerimanya ......."
"Lote, apa kau takut kalau aku akan menyusahkan dirimu?"
tukas To Kong-ong. "Buru-buru Siau Ih menyatakan kerendahan hatinya.
"Ah, losiu hanya main-main saja," sahut To Kong-ong.
Tapi pada lain kilas, wajahnya berobah bersungguhsungguh,
katanya: "Buku Peh-co-ki itu, losiu pandang sebagai
nyawa sendiri. Dengan buku itu, losiu bercita-cita hendak
menolong umat manusia, tapi karena percaya pada jodoh
(takdir), jadi betapapun muluk cita-cita losiu itu, namun
prakteknya tetap tak bisa. Sungguh losiu kecewa dan
menyesal sepanjang hidup. Oleh karena sekarang telah
mendapatkan "orangnya', maka buku itupun akan
kupersembahkan kepadanya. Kuharap lote dapat
melaksanakan cita-cita untuk menolong umat manusia itu,
sehingga dengan begitu dapatlah tercapai harapanku. Losiu
sendiri sudah tua, sebelum masuk liang kubur, tak mau losiu
tersangkut lagi dalam hutang piutang budi. Mungkin lote
menganggap diriku To Kong-ong ini seorang manusia yang tak
kenal budi perasaan, tapi seperti pepatah mengatakan 'sungai
gunung dapat dipindah, tapi watak orang sukar dirobah'."
Siau Ih pun segera memberikan janjinya: "Wanpwe akan
selalu mengukir dalam hati nasehat locianpwe itu. Wanpwe,
Siau Ih, pasti akan berusaha keras untuk melaksanakan citacita
locianpwe. Sekarang harap locianpwe katakan urusan
apakah yang hendak locianpwe titahkan pada wanpwe itu!"
Sejenak To Kong-ong merenung, lalu berkata: "Urusan itu
dikata mudah, tapi sukar juga. Beginilah, dahulu losiu
mempunyai seorang sahabat karib ialah salah satu tokoh dari
sepuluh Datuk, si Dewa Tertawa Bok Tong. Kira-kira tigapuluh
tahun yang lalu, losiu pernah tertimpa bahaya besar, kalau
tiada Bok Tong yang menolongnya, entah bagaimana jadinya
losiu sekarang. Losiu hendak membalas budinya, tapi sejak
berpisah waktu itu, sampai sekarang tak pernah dengar kabar
ceritanya lagi. Lewat sepuluh tahun dari peristiwa itu, kembali losiu turun
gunung untuk menyirapi kabar beritanya, tapi tetap sia-sia
juga. Duapuluh tahun telah lampau, kini di dunia persilatan
tersiar desas desus tentang si Dewa Tertawa itu lagi, namun
belum ada bukti-bukti kebenarannya. Kupikir, dalam dunia
persilatan hanya ada seorang tokoh yang mungkin
mengetahui tempat beradanya Bok Tong itu, jaitu si Rase
Kumala Shin-tok Kek yang sudah sejak lama mengasing diri di
gunung Tiam-jong-san. Sayang losiu tak kenal padanya, jadi
tak dapat menanyakan. Karena kudengar tadi lote hendak menuju ke gunung Tiamjong-
san, maka losiu hendak minta tolong agar lote suka
sekalian mampir di lembah Lin-hun-hiap tempat kediaman
tokoh she Shin-tok itu. Tapi watak perangai Shin-tok Kek itu
lebih kukoay lagi dari losiu. Itulah sebabnya tadi losiu katakan
bahwa urusan ini dibilang mudah ya mudah, tapi sukar juga
sukar. Entah apakah lote tak keberatan dengan permintaanku
itu?" Bermula Siau Ih tak mengerti permintaan apa yang hendak
diajukan To Kong-ong kepadanya itu. Serta didengarnya
sudah, hatinya serentak lapang. Kalau lain orang mungkin
sukar, tapi baginya hal itu mudah seperti orang membalikkan
telapak tangan saja. Mendengar disebut-sebutkannya nama sang ayah angkat,
Siau Ih pun segera terkenang akan orang tua yang amat
berbudi itu. Dimanakah saat ini ayahnya itu berada" Apakah
ayahnya juga terkenang padanya" Pikiran Siau Ih, jauh
melayang-layang .........
Melihat anak muda itu tiba-tiba terdiam, wajahnya sebentar
girang sebentar gelisah, To Kong-ong menduga kalau dia
(Siau Ih) tentu merasa berat dengan permintaannya tadi, tapi
sungkan mengatakan. Perkiraan itu telah membuat si tabib
berobah wajahnya. Melihat sikap kedua orang itu. Liong Go menjadi bingung.
Buru-buru dia mengutik lengan baju Siau Ih, hendak
diperingatkan. Tiba-tiba sepasang alis putih dari To Kong-ong
menjungkat, lalu memandang kepada Siau Ih.
"Lote, jika kau merasa tak leluasa, losiu pun tak memaksa,"
katanya. Teguran itu telah membuat Siau Ih gelagapan. Dengan
wajah kemerah-merahan buru-buru dia menyahut: "Harap
locianpwe legahkan hati. Lain orang mungkin merasa sukar,
tapi bagi wanpwe amatlah mudahnya. Percayalah, selamanya
wanpwe tak suka berbohong, lebih-lebih kalau terhadap orang
golongan tua." Betapa girangnya To Kong-ong sukar dikata. Pujinya
dengan tertawa: "Lote benar-benar seorang pemuda yang
bercita-cita luhur, tadi losiu terlalu banyak curiga. Hanya saja
lembah Lin-hun-hiap itu bukan tempat sembarangan. Si Rase
Kumala terkenal sebagai orang yang sukar diajak berembuk.
Kalau sampai terjadi suatu apa padamu, sungguh losiu tak
enak sekali. Harap lote suka menjaga diri baik-baik".
"Untuk budi besar yang locianpwe limpahkan pada hari ini,
Wanpwe merasa menyesal sekali kalau tak dapat membalas.
Dua tahun kemudian, wanpwe tentu akan menghadap lagi
kemari untuk memberi keterangan," kata Siau Ih.
"Perbuatan lote itu sungguh mengharukan, asal losiu masih
bernyawa tentu akan membalasmu pula," kata To Kong-ong
seraya menjabat tangan Siau Ih.
Liong Go yang selama itu seolah-olah tak diajak bicara,
sudah membuat dugaan sendiri: "Terang Siau hiante itu
meyakinkan ilmu lwekang kian-goan-sin-kong yang hanya
dimiliki oleh Dewa Tertawa Bok Tong. Namun dia selalu main
merahasiakan nama suhunya. Kini dengan yakin dia berani
menyanggupi permintaan To-locianpwe. Ditilik naga-naganya,
dia tentu mempunyai hubungan dengan Dewa Tertawa yang
sudah menghilang bertahun-tahun itu Aneh, mengapa dia
main sembunyi saja ............."
Tanpa merasa Liong Go menatap tajam-tajam ke arah
hiantenya. Seketika itu Siau Ih merasa, bahwa pembicaraannya tadi
secara tak langsung telah membocorkan rahasianya. Tapi
selama dendam penasaran ayah bundanya belum terhimpas,
dia tetap tak mau memberitahukan asal usul dirinya. Teringat
peristiwa orang tuanya, amarahnya mendidih. Tapi agar
jangan kentara, terpaksa dia menguasai perasaannya itu.
"Ah, kiranya sudah waktunya wanpwe mohon diri," katanya
kepada tuan rumah. "Buyung, kalau tiba di Po-gwat-san, sampaikan pada
engkongmu bahwa sahabatnya si orang she To sangat
merindukannya dan mengharap sebelum menutup mata
dapatlah berjumpa pula," kata To Kong-ong kepada Liong Go.
Anak muda itu mengiakan dan terus ajak Siau Ih memberi
hormat kepada tuan rumah, lalu tinggalkan tempat itu. Kirakira
lewat tengah hari, barulah mereka turun dari daerah
gunung Ki-he-nia itu. 14. Keganasan Thiat-sian-pang
Setelah beristirahat sebentar mengisi perut, mereka
menuju ke kota kabupaten dari daerah gunung itu. Dari situ
mereka lalu berpisah. Liong Go menuju ke Hokkian terus ke
Kwitang, sedang Siau Ih mengarah ke Kiangse terus ke Oulam
dan Tiam-jong-san. Sebelum berpisah mereka menetapkan hari bertemunya
lagi dan Liong Go segera menyerahkan empat biji uang mas
serta dua butir mutiara kepada Siau Ih untuk bekal perjalanan.
Siau Ih tak banyak ini itu lagi menyambutinya, katanya:
"Walaupun perjalanan yang siaote tempuh itu amat jauh, tapi
tak memerlukan ongkos banyak, maka mutiara berharga ini
harap toako simpan saja ........"
Tapi Liong Go berkeras mendesaknya, maka terpaksa Siau
Ih pun menerimanya dan menghaturkan terima kasih.
Begitulah dengan hati berat, keduanya saling berpisah.
*** Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Siau Ih lebih dahulu.
Pertama yang dikerjakan ialah membeli seekor kuda bagus
lalu menuju ke Kiangse. Selama melintasi propinsi itu, tidak
terjadi suatu apa dalam perjalanan. Begitulah pada hari itu,
dia sudah tiba di derah pegunungan Kiu-ling-san yang menjadi
tapal batas propinsi Kiangse dengan Oulam. Dihitunghitungnya
bahwa janjinya untuk bertemu pula dengan sang
ayah angkat itu masih lama sekali, maka dia ingat hendak
pesiar dahulu ke telaga Tong-thing-hu yang termasyhur
permai alam pemandangannya itu. Secepat mengambil
putusan, secepat itu pula dia segera mencongklang ke kota
Goan-kian-koan. Tong-thing-hu termasuk yang terbesar sendiri diantara lima
telaga besar di Tiongkok. Luas telaga itu ada ratusan li. Maka
setiap air meluap pada musim-musim panas dan rontok, tentu
telaga itu tampak makin luas. Ditengah telaga itu banyak
terdapat bukit-bukit. Diantaranya yang paling termasyhur ialah
gunung Kun-san yang indah. Banyak sudah penyair-penyair
dari zaman ke zaman mengubah rangkaian syair pujaan untuk
telaga tong-thing-hu dan gunung Kun-sannya.
Kisah Pedang Bersatu Padu 9 Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Kilas Balik Merah Salju 1
^