Pencarian

Suling Naga 11

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
306 "Aih, begitu banyak masalah yang kauhadapi, Lan-moi. Biarlah aku akan membantumu kelak men-dapatkan kembali Ban-tok-kiam. Pedang pusaka itu harus kembali kepada pemiliknya, majikan Istana Gurun Pasir."
"Terima kasih, toako. Kau baik sekali!" kata Bi Lan dengan hati girang. Hari itu juga mereka turun dari puncak itu setelah Sim Houw mengajak Bi Lan makan lebih dulu di tempat tinggalnya, sebu-ah gubuk darurat di puncak itu. Dia masih menyim-pan bahan makanan dan Bi Lan dengan girang lalu memasak dan mereka berdua makan dulu sebelum meninggalkan puncak. Sedikit ucapan dari Bi Lan pada waktu mereka makan bersama, membuat hati Sim Houw merasa terharu, akan tetapi anehnya, juga mendatangkan rasa duka walaupun hanya tipis saja perasaan duka ini. Kata-kata itu adalah, "Sim-toako, aku merasa seolah-olah engkau ini benar-benar ka-kakku sendiri! Betapa bahagianya hatiku kalau mempunyai seorang kakak seperti engkau yang selalu akan membimbing dan membantuku!"
Kedukaan tipis yang menyelubungi hati Sim Houw itu timbul karena dia sendiri sudah tahu akan keadaan hati sendiri. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini! Untuk kedua kalinya dalam hidupnya dia jatuh cinta. Pertama kali kepada Kam Bi Eng dan dia gagal karena cintanya bertepuk tangan sebelah. Kam Bi Eng mencinta Suma Ceng Liong yang kini sudah menjadi suaminya. Dan sekarang dia jatuh cinta kepada Bi Lan. Akan tetapi, usianya sudah ti-gapuluh tiga tahun sedangkan Bi Lan baru berusia paling banyak delapanbelas tahun. Sekarang saja ga-dis itu sudah mengatakan bahwa dia dianggap seba-gai kakak! Mungkinkah gadis ini kelak dapat mem-balas cintanya" Ataukah dia harus mengalami nasib seperti cinta pertamanya, mengulang kembali kega-galan cintanya" Dia hanya menarik napas panjang dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan.
*** Ternyata dua orang itu tidak usah mencari terlalu jauh sampai ke kota raja untuk menyerahkan pedang Liong-siauw-kiam kepada Bi-kwi! Ketika mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, berjalan perlahan-lahan menuruni pegunungan itu sambil bercakap-ca-kap gembira karena kelincahan Bi Lan mendatangkan suasana yang amat gembira dalam hati Sim Houw, dan mereka tiba di kaki puncak, di lereng bawah, tiba-tiba saja Bi-kwi muncul di depan mereka bersama Bhok Gun dan duapuluh orang lebih anggauta Ang-i Mo-pang yang berpakaian serba merah!
Kiranya Bi-kwi dan Bhok Gun, setelah yang ter-akhir ini gagal menangkap Bi Lan karena pertolongan Cu Kun Tek, dapat mengikuti jejak Bi Lan yang menuju ke Tai-hang-san dan diam-diam mereka meng-ikuti terus. Ketika dalam penyelidikan mereka kepa-da para penduduk dusun mereka tahu bahwa Pen-dekar Suling Naga berada di puncak yang kini dida-ki oleh Bi Lan, mereka lalu bersembunyi dan hendak menanti kembalinya Bi Lan. Kalau Bi Lan berhasil merampas pedang pusaka itu, mereka tinggal memintanya dan merampas dari tangan Bi Lan kalau gadis ini tidak menyerahkannya. Atau kalau Bi Lan gagal, mereka akan mengajak Bi Lan membantu me-reka menyerbu ke puncak. Bi-kwi yakin bahwa
ba-gaimanapun juga, Bi Lan yang keras hati tidak akan mau melanggar janjinya dan tentu akan mau mem-bantunya merampas pedang pusaka itu.
Karena itu, betapa kaget dan heran akan tetapi juga girang rasa hati mereka ketika pada siang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
307 hari itu, mereka melihat Bi Lan turun dari puncak bersama sang pendekar yang dicari-cari!
Akan tetapi da-lam suasana yang demikian akrab, berjalan berdam-pingan sambil bercakap-cakap.
Bi-kwi dan Bhok Gun tidak khawatir kalau Bi Lan akan membantu Pendekar Suling Naga, karena Bi Lan terikat oleh sumpahnya untuk membantu me-rampas kembali pedang itu! Dan dengan bantuan Bi Lan, bahkan tanpa bantuannyapun, mereka berdua yakin bahwa mereka akan mampu mengalahkan Sim Houw, apa lagi di situ ada duapuluh orang lebih aanak buah mereka.
"Suci....!" Bi Lan berseru heran. "Engkau di sini....?" Dan alisnya berkerut ketika ia me-lihat Bhok Gun dan anak buahnya berada pula di situ.
Bi-kwi tersenyum mengejek. "Aha, sumoiku yang manis. Kaukira aku begitu bodoh,
membiarkan engkau sendirian menemui si Pendekar Suling Naga" Kiranya dia malah telah memikat hatimu sehingga engkau lupa akan tugasmu merampas pusaka itu, malah kini menjadi pacarnya. Hemm, kulihat kau mulai pandai berpacaran...."
"Bi-kwi, tutup mulutmu yang kotor!" Sim Houw membentak marah.
"Ha-ha-ha, siapa yang kotor" Sumoi, agaknya adik kecil kita itu belajar asmara dari Pendekar Su-ling Naga, ha-ha!" Bhok Gun juga tertawa, padahal di dalam hatinya dia merasa panas melihat betapa Bi Lan yang dirindukannya itu nampak demikian akrab dengan Sim Houw.
"Bhok Gun, Sim-toako bukanlah laki-laki hina dina dan rendah kotor macam kamu!" Bi Lan tiba-tiba membentak dan memandang dengan sinar mata berapi-api. "Jangan kalian ini manusia-manusia cabul menuduh orang-orang lain serupa saja dengan kalian yang tak tahu malu!"
"Cukup, Siauw-kwi!" kini Bi-kwi mulai mempergunakan pengaruhnya sebagai pelatih dan suci. "Bagaimana dengan janjimu dahulu ketika aku membebaskanmu dari Sam Kwi" Engkau berjanji akan membantuku sampai berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam dan membantu aku merebut kedukan jagoan nomor satu di dunia persilatan!"
"Aku hanya berjanji akan merampaskan kembali Liong-siauw-kiam, dan tentang merebut kedudukan jagoan nomor satu itu, kalau kebetulan aku menyaksikan tentu aku membantumu.
Aku tidak akan mengingkari janji. Lihat, Liong siauw-kiam sudah berada di tanganku!" Gadis itu menyingkap bajunya dan memang benar, Liong-siauw-kiam dengan sarung pedangnya telah terselip di ikat pinggangnya. Memang pedang ini diserahkan oleh Sim Houw kepadanya ketika mereka hendak berangkat tadi, untuk penjagaan kalau sewaktu-waktu Bi-kwi muncul.
Melihat betapa pedang pusaka itu benar-benar telah berada pada Bi Lan, Bi-kwi dan Bhok Gun saling pandang dan mereka nampak terkejut dan heran akan tetapi Bi-kwi menjadi girang sekali.
"Bagus sekali, sumoi! Kiranya engkau memang telah memenuhi janjimu. Berikan Liong-siauw-kiam itu kepadaku, adikku!" Suaranya menjadi manis sekali, dan ia mengulurkan tangan.
"Nanti dulu, suci. Aku akan menyerahkan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini kepadamu, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
308 akan tetapi dengan demikian berarti aku sudah terbebas dari ikatan janjiku kepadamu! Aku tidak akan hutang budi apa-apa lagi darimu dan kalau pedang ini sudah kuberikan kepadamu, berarti tidak ada ikatan apa-apa lagi antara kita. Berarti bahwa janji dan sumpahku telah kupenuhi dan kelak engkau tidak berhak untuk menekan aku lagi berdasarkan janji sumpah yang sudah kupenuhi dengan penyerahan -pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini. Benarkah begitu?"
"Benar, dan mana pedang itu kesinikan!" kata Bi-kwi tak sabar lagi.
"Katakan dulu bahwa kalau engkau sudah menerima pedang ini dariku, maka aku sudah tidak terikat dengan janji apa-apa lagi!" kata Bi Lan sambil mencabut sarung pedang itu dari ikat pinggangnya, akan tetapi belum mau menyerahkannya. "Baik. kalau pedang itu sudah kuterima, engkau tidak terikat janji apa-apa lagi. Nah, berikan Liong--kiam itu padaku."
Bi Lan menanti dua detik dan seperti telah direncanakan oleh Sim Houw, tidak ada tanda apa-apa dari Sim Houw. Hal ini berarti bahwa ia sudah boleh menyerahkan pedang itu kepada sucinya. Menurut rencana itu, kalau belum tiba saatnya menyerahkan pedang, Sim Houw tentu akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi Sim Houw kini diam saja, hal ini merupakan isyarat dari Sim Houw bahwa pedang itu sudah boleh diberikan kepada Bi-kwi.
"Nah, terimalah ini sebagai pembayar janji dan sumpahku kepadamu dan aku sudah bebas dari ikatan apapun dengan dirimu," katanya sambil mengu-lurkan tangan yang memegang pedang dengan sarungnya itu tanpa melangkah ke depan. Dengan demikian, terpaksa Bi-kwi yang melangkah ke depan dan ia menerima pedang itu dari tangan sumoinya. Sebagai seorang yang cerdik dan ahli silat yang lihai, cara mengambil pedang itu dari tangan sumoinya dilakukan seperti orang merampas. Disambarnya pedang itu dan begitu sudah berada di tangannya, ia melompat ke belakang. Hal ini untuk menghindarkan kalau-kalau sumoinya bertindak curang dan menyerangnya pada saat ia menerima pedang. Akan tetapi ia kalah cepat, atau memang sama sekali tidak mengira bahwa pada saat ia menerima pedang, tubuh Sim Houw sudah meluncur ke depan.
"Sumoi, awas....!" teriak Bhok Gun yang melihat gerakan Sim Houw dan diapun sudah meloncat ke depan.
Bi-kwi terkejut sekali ketika tiba-tiba tubuh Sim Houw, bagaikan seekor garuda terbang menyambar ke bawah, tangan kanan mencengkeram ke atas ubun-ubun kepalanya sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pedang! Serangan itu hebat bukan main dan kalau ia terlambat sedikit saja melindungi tubuhnya, tentu kepalanya menjadi sasaran. Jangankan sampai dicengkeram, terkena totokan satu kali pada ubun-ubun kepalanya, ia akan mati konyol!
Cepat Bi-kwi membuang diri ke belakang sambil menangkis pukulan itu, kakinya sambil membuang diri menendang ke depan. Akan tetapi, betapapun cepat reaksi gerakannya, tetap saja tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan tahu-tahu pedang itu telah terampas oleh Sim Houw.
"Bukkk....!" Pada saat itu, hantaman Bho Gun tiba menimpa punggung Sim Houw. Dalam usa-ha membantu sumoinya tadi, Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga dan memukul
punggung Sim Houw. Sim Houw maklum akan serangan ini, akan tetapi dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada usahanya merampas kembali Liong-siauw-kiam karena kalau sekali serangan itu dia gagal, akan semakin sukarlah untuk mendapatkan kembali pusakanya itu. Ma-ka, sambil melanjutkan usahanya merampas pedang, dia menerima saja hantaman Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
309 pada punggungnya itu sambil menggunakan sebagian dari sin-kangnya saja untuk melindungi punggung.
Terkena hantaman yang amat kuat itu, tubuh Sim Houw terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi pedang Liong-siauw-kiam sudah berada kembali ke tangannya. Dengan marah sekali Bi-kwi dan Bhok Gun mengejar dan mereka berdua sudah menyerang dengan bertubi-tubi untuk merampas kembali pedang itu. Bhok Gun mempergunakan pe-dangnya, dan Bi-kwi sudah mengeluarkan Ilmu Silat Sam Kwi cap-sha-ciang yang hebat itu. Baru saja Sim Houw yang terkena hantaman tadi meloncat ber-diri dan dari mulutnya mengalir darah segar sebagai bukti bahwa pukulan tadi telah melukainya sebelah dalam tubuh atau setidaknya membuat sebelah dalam tubuhnya terguncang, kini dia sudah diserang lagi dengan
dahsyatnya. Dia mengelak dari sambaran pedang Bhok Gun, akan tetapi sebuah tamparan dengan jurus Ilmu silat Cap-sha-ciang yang ampuh itu kembali membuatnya terpaksa melempar diri dan bergulingan. Akan tetapi sambil bergulingan dia mencabut pedang Liong-siauw-kiam dan begitu dia meloncat bangun dan memutar pedangnya, terdengar suara berkerintingan dan beberapa belas buah paku beracun yang disambitkan Bhok Gun berjatuhan tertangkis oleh sinar pedang.
Setelah pedang Liong-siauw-kiam berada di tangannya, kini Sim Houw menghadapi mereka berdua dan terdengarlah bunyi senjatanya itu yang melengking-lengking seperti suling ditiup, akan tetapi mengandung ketajaman pedang pusaka yang sakti, bah-kan sinar pedang itu saja bersama suaranya sudah mampu membuat lawan menjadi repot. Terjadilah perkelahian mati-matian.
Tanpa diperinah lagi, duapuluh lebih anak buah Bhok Gun itu sudah mengurung arena perkelahian itu dengan senjata golok atau pedang di tangan. Me-lihat ini, sejak tadi Bi Lan sudah memperhatikan.
"Siauw-kwi, hayo kaubantu kami!" bentak Bi-kwi dengan suara penuh wibawa kepada adik seper-guruannya itu.
Akan tetapi dengan tenang Bi Lan menjawab, "Bi-kwi, ingat bahwa sejak kau terima pedang itu, di antara kita sudah tidak terdapat ikatan apa-apa!" Berkata demikian, gadis ini lalu menerjang maju dan menyerang duapuluh lebih anak buah Bhok Gun itu!
"Kau pengkhianat....!" Bhok Gun berte-riak marah melihat betapa dua orang anak buahnya roboh terguling oleh serangan Bi Lan yang segera dikeroyok oleh semua anak buah itu.
"Bukan pengkhianat macam engkau yang cu-rang!" balas Bi Lan dan gadis ini dengan enaknya membagi-bagi pukulan dan tendangan kepada duapu-luh lebih pengeroyok yang bukan merupakan tanding-an yang berat baginya.
"Celaka! Kita tertipu....!" Tiba-tiba Bi--kwi berseru. "Mereka sudah merencanakan ini....!"
Menghadapi lawan seperti Sim Houw, walaupun mengeroyok dua, sama sekali tidak boleh membagi perhatian. Begitu Bi-kwi berteriak demikian sambil melirik ke arah sumoinya, sinar pedang Suling Naga menyambar dibarengi lengkingan mengerikan. Ia me-nangkis dengan lengannya, akan, tetapi ternyata ujung suling pedang itu berkelebat ke atas dan terdengar kain robek disusul jerit tertahan Bi-kwi yang terluka pada pundaknya! Melihat betapa Bi-kwi terluka dan anak buahnya kocar-kacir diamuk Bi Lan, Bhok Gun menjadi gugup dan diapun Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
310 berseru nyaring "Mari kita pergi....!"
Betapa dongkol rasa hatinya, terpaksa Bi-kwi menuruti nasihat suhengnya itu dan bersama Bhok Gun, iapun meloncat dan melarikan diri, diikuti terpincang-pincang oleh duapuluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang saling menopang kawan yang terluka. Bi Lan berdiri sambil bertolak pinggang, tertawa ter-bahak-bahak melihat mereka. Sim Houw juga terse-nyum, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan cepat dia duduk bersila, sambil memejamkan kedua ma-tanya.
Melihat kawannya itu diam saja dengan tiba-tiba lalu duduk bersila, Bi Lan teringat bahwa Sim Houw tadi terkena pukulan Bhok Gun pada punggungnya sampai mulutnya
mengeluarkan darah. Ia cepat men-dekati pemuda itu dan melihat betapa Sim Houw mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni mengobati lukanya sendiri, iapun lalu duduk agak menjauh. Ingin sekali ia membantu pemuda itu dengan penyaluran tenaganya, akan tetapi ia tidak berani melakukannya dan tidak mau mengganggu Sim Houw yang
sedangsamadhi. Ia kagum bukan main kepada pemuda itu. Tadi ia melihat cara Sim Houw merampas kembali pedang pusaka dan karena itu iapun melihat bahwa Sim Houw sengaja membi-arkan punggungnya terpukul karena dia memaksa diri harus dapat merampas pedang itu dalam satu se-rangan, dan ternyata usahanya itupun berhasil de-ngan baik! Ia percaya bahwa pendekar itu sudah membuat perhitungan dengan masak sehingga pukul-an yang mengenai punggung itu, biarpun mengguncang hebat dan menimbulkan luka dalam sampai mun-tahkan sedikit darah, namun tentu tidak berbahaya. Buktinya, dalam keadaan terluka tadi Sim Houw te-lah mampu mendesak dan melukai pundak Bi-kwi, biarpun sucinya tadi
mempergunakan Ilmu Cap-sha--kun dan Bhok Gun yang tingkat kepandaiannya sama dengan Bi-kwi mempergunakan pedangnya. Bahkan membuat kedua orang itu kemudian terpaksa melari-kan diri!
Sambil menunggui Sim Houw yang sedang meng-obati luka dalam di tubuhnya, Bi Lan kini mulai memperhatikan pria itu. Bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang laki-laki, seorang jantan yang ber-watak lemah lembut dan sederhana, tak pernah tinggi hati dan tidak suka berlagak walaupun jelas bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan namanya terke-nal sebagai seorang pendekar sakti. Seorang yang pada wajahnya membayangkan bekas kedukaan yang membuatnya menjadi pendiam dan lebih suka me-nyendiri di tempat-tempat sunyi. Dan tiba-tiba saja hatinya merasa kasihan sekali. Laki-laki yang baik budi ini, agaknya juga tidak mempunyai siapapun di dunia ini, seperti dirinya.
Ah, mengapa ia mendadak saja termenung" Mengapa membiarkan pikiran dikelabukan awan yang hanya akan membuatnya bersedih" Wataknya yang gembira dan jenaka sudah sejak lama terlatih untuk mengatasi segala duka. Bahkan ketika ia men-derita sakit keracunan yang membuatnya seperti orang gila, hanya sebentar saja ia menangis, kemudian ia sudah bergembira kembali, dengan alam, dengan sekitarnya. Iapun sudah melenyapkan kesedihan yang tadi terseret oleh rasa kasihan yang timbul terhadap Sim Houw dan kini wajahnya sudah berseri kembali. Tugas pertama sudah dilaksanakannya de-ngan baik. Ia sudah berhasil menemukan kembali Liong-siauw-kiam dan membebaskan dirinya dari ikatan janjinya terhadap Bi-kwi. Budi kebaikan Sam Kwi telah lunas ketika Sam Kwi hampir saja
mem-perkosa dirinya. Budi kebaikan itu telah ditebus dengan perbuatan mereka yang hina itu.
Ia tidak akan mendendam sakit hati atas perbuatan Sam Kwi yang terakhir terhadap dirinya, biarlah perbuatan itu se-bagai pembayar semua budi mereka terhadap dirinya sejak ia bertemu dengan mereka. Kemudian, iapun tidak lagi berhutang budi kepada Bi-kwi karena sudah ditebusnya dengan menyerahkan Liong-siauw-kiam tadi. Soal ia tidak mampu
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
311 mempertahankan pusaka itu ketika dirampas kembali oleh Sim Houw, itu ada-lah masalah Bi-kwi sendiri dan ia tidak perlu mencampurinya.
Kini tinggal satu tugas lagi. Mencari Ban-tok-kiam! Dan Sim Houw telah berjanji untuk mem-bantunya. Ia percaya kepada priaini. Ia merasa aman, merasa begitu pasti akan berhasil karena ada Sim Houw di sampingnya. Bahkan ia hampir merasa yakin, begitu besar
percayanya kepada sahabat baru ini, bahwa ia akan mampu mendapatkan kembali Ban-tok-kiam untuk dikembalikan kepada subonya di Istana Gurun Pasir. Setelah berhasil, ia akan me-ngunjungi suhu dan subonya itu di sana!
"Lan moi, kau sedang melamun apa?" tiba-tiba Bi Lan menoleh dan ia melihat Sim Houw sedang memandang kepadanya dan wajah Sim Houw sudan nampak segar, tanda bahwa pria itu sudah sehat kembali. "Kau tersenyum-senyum seorang diri."
"Sim-toako, bagaimana dengan lukamu" Sudah sembuhkah?" Ia cepat menghampiri ketika Sim Houw bangkit berdiri.
Sim Houw meraba-raba dadanya dan mengang-guk. "Pukulan orang itu amat kuat, hal yang sama sekali tidak kusangka. Dia amat lihai. Dia itukah yang bernama Bhok Gun itu, cucu murid dari mendi-ang Pek-bin Lo-sian?"
"Benar, akan tetapi jangan kau memuji-mujinya. Buktinya, dia dan suci yang mengeroyok engkau da-lam keadaan sudah terlukapun tidak mampu menang, malah mereka lari seperti dua ekor tikus dipotong ekornya."
Sim Houw tersenyum. Dia sudah sering mende-ngar orang mengambil perumpamaan "anjing dipu-kul", akan tetapi baru sekarang mendengar orang membuat perumpamaan dua orang lari seperti tikus-tikus dipotong ekornya. "Adik Lan, apakah engkau pernah melihat tikus dipotong ekornya lalu melari-kan diri?"
"Belum, akan tetapi bisa kubayangkan. Kalau tidak percaya, coba saja tangkap tikus, potong ekor-nya lalu dilepaskan. Lihat apakah dia tidak akan lari secepatnya karena ketakutan!"
Setelah keduanya ketawa, Sim Houw lalu berta-nya, "Lan-moi, orang she Bhok itu murid siapakah?" Biarpun aku pernah bertemu dan menerima pusaka dari mendiang Pek-bin Losian, akan tetapi aku tidak tahu siapa muridnya. Apakah engkau pernah mendengar dari sucimu siapa gurunya itu?"
Bi Lan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sim-twako, akupun tidak pernah tahu atau mendengar siapa gurunya. Hanya dari percakapan antara mereka aku tahu bahwa Bhok Gun mengajak anak buahnya untuk pergi ke kota raja, bergabung dengan gurunya untuk mengabdi kepada pembesar yang bernama Hou Seng itu."
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan menu-ju ke kota raja, karena seperti yang pernah dijanjikan oleh Sim Houw, mereka akan menyelidiki tentang Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam di kota raja. Setelah terjadi peristiwa pengeroyokan itu di antara kedua orang ini terjadi hubungan yang sema-kin akrab. Biarpun ketika dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, Sim Houw tidak membutuhkan bantuan Bi Lan, akan tetapi maju dan mengamuknya Bi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
312 Lan terhadap duapuluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang mengepung tempat itu
menimbulkan semacam kepercayaan baru dalam hati Sim Houw terhadap Bi Lan. Ternyata dan terbuktilah dari pertempuran ini bahwa Bi Lan berwatak baik dan bersih, berjiwa pen-dekar dan menentang kejahatan walaupun ia mengaku murid Sam Kwi.
Sebaliknya, Bi Lan semakin suka dan percaya ke-pada Sim Houw karena di sepanjang perjalanan, Sim Houw tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar. Selalu sopan, ramah, bahkan memandang kepa-danya dengan sinar mata yang begitu lembut. Ia me-rasa suka bercakap-cakap dengan pria yang dari percakapannya saja sudah diketahui mempunyai pengetahuan luas itu. Dan kalau ada waktu, Sim Houw selalu memberi petunjuk-petunjuk kepadanya tentang cara-cara menghimpun tenaga sin-kang, mengumpul-kan hawa murni dengan cara yangbenar. Ia yang hanya mendapat tuntunan selama setahun dari suami isteri Istana Gurun Pasir, kini dapat melihat dengan lebih jelas perbedaan antara latihan yang benar dan latihan-latihan dari kaum sesat sehingga perlahan-lahan ia kini dapat mengusir sisa-sisa tenaga sesat yang didapatnya ketika ia berlatih di bawah ajaran Sam Kwi dan Bi-kwi.
Sudah dua pekan lebih mereka meninggalkan Tai-hang-san dan pada suatu sore, di luar kota Thian-cin, tiba-tiba hujan lebat turun dari atas yang sejak siang tadi telah dipenuhi awan mendung. Terpaksa Sim Houw mengajak Bi Lan untuk berlari dan mencari tempat yang baik untuk berlindung dari serang-an air hujan. Sim Houw ingat bahwa tak jauh dari situ, di luar sebuah hutan, terdapat sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Biarpun kuil itu sudah tua dan rusak, namun atapnya masih ada dan dapat dipakai untuk meneduh. Di dalam perantauannya, pernah dia beberapa kali bermalam di kuil tua itu, maka kini dia mengajak Bi Lan lari ke tempat itu.
Mereka akhirnya tiba di kuil itu dan berlarian masuk dengan tubuh basah. Betapapun pandainya kedua orang ini, mereka tetap saja basah kuyup keti-ka berlari-larian tadi, tak mungkin dapat menghin-dar dari siraman air hujan. Akan tetapi keduanya merasa gembira, tertawa-tawa ketika memasuki kuil, seperti dua orang anak kecil yang habis bermain di bawah siraman air hujan. Berbahagialah orang-orang yang masih bisa bergembira ria sehabis kehujanan, karena itu merupakan pertanda bahwa tubuh dan ba-tinnya masih sehat.
Sebaliknya, orang yang tertimpa air hujan sedikit saja lalu sakit, dia seorang yang le-mah dan mereka yang mengeluh dan jengkel karena kehujanan, berarti batin mereka yang lemah.
Orang yang dapat merasakan kembali kegembiraan kanak-kanak, dia seorang beruntung.
Sambil tertawa-tawa Bi Lan memeras rambutnya yang panjang, yang basah kuyup. Sim Houw juga melakukan hal yang sama. Memang, hal yang paling mengganggu kalau
kehujanan kalau rambut panjang basah kuyup. Air akan terus mengalir dan menetes dari kumpulan air hujan yang diserap oleh rambut. Setelah memeras rambut dan ujung-ujung pakaiannya, Sim Houw lalu mengumpulkan kayu kering yang banyak terdapat di dalam kuil itu, sisa dari mereka yang pernah bermalam di situ dan dibantu oleh Bi Lan, dia membuat api unggun. Buntalan berisi pakaian yang basah lalu diperas dan dipanaskan dekat api unggun agar cepat kering.
Bi Lan sendiri lalu memeriksa tempat itu, selagi Sim Houw sibuk mengeringkan pakaian di dekat api unggun. Kuil itu dahulunya merupakan sebuah kuil yang cukup besar dan agaknya bekas terbakar sehingga sebagian besar bangunan samping dan belakang, tempat dulu merupakan kamar-kamar para pendeta, juga dapur dan lain-lain bagian, sudah runtuh. Kini yang tinggal hanya ruangan sembahyang di luar dan beberapa ruangan sebelah dalam, yang masih tertu-tup atap walaupun bocor di sana-sini. Lantainya cu-kup bersih karena di tempat Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
313 ini sering ada juga orang-orang yang kemalaman di jalan atau mungkin kehujanan seperti yang mereka alami sore hari ini. Ada pula jerami-jerami kering bertumpuk di sudut, tentu untuk alas tidur di lantai karena lantainya tentu dingin sekali kalau malam, apa lagi malam hujan. Setelah memeriksa tempat itu dan ternyata hanya me-reka berdua yang sore hari itu meneduh di tempat itu dari serangan hujan, Bi Lan kembali ke depan dan duduk pula dekat api unggun agar pakaian dan rambutnya lekas kering.
Setelah ada pakaian yang dibentangkan dekat api dan sudah kering lebih dulu, Bi Lan lalu membawa satu stel pakaiannya ke bagian belakang dalam kuil itu yang gelap, terhalang dinding dan iapun berganti pakaian. Setelah ia selesai, lalu Sim Houw juga ber-ganti pakaian, kemudian mereka berdua duduk kembali dekat api. Enak setelah berganti pakaian kering dan terkena hawa panas api unggun, membuat tubuh terasa hangat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lan tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
"Hi-hik, apakah kau tidak mendengar apa yang kudengar?"
"Apa itu?" "Engkau memang terlalu sopan. Kokok ayam dalam perut kita!"
Sim Houw tersenyum. Gadis ini sungguh polos. Akan tetapi, tidak seharusnyakah kita semua bersikap demikian, pikirnya. Segala peraturan sopan santun yang kita buat sendiri demi
"kehormatan" sudah sedemikian berlebih-lebihan sehingga mencetak kita menjadi manusia-manusia palsu, munafik-munafik besar yang selalu berbeda lahir dengan batinnya, kepura-puraan yang hanya menguntungkan perasaan si aku yang menganggap diri agung dan
terhormat, akan tetapi kadang-kadang merugikan bagi diri sen-diri maupun orang lain. Betapa seringkali kita lebih mengutamakan si aku yang hanya angan-angan bela-ka ini, demi nama baik dan demi kehormatan si-aku, biarlah badan ini menderita! Aneh memang, bodoh memang, akan tetapi kenyataannya demikianlah.
Sampai di jaman inipun kita semua menjadi ham-ba dari pada pengagungan si aku ini. Lihat saja di kanan kiri, lihat saja pada diri kita sendiri. Sepasang kaki kita menjerit dan mengeluh oleh sempitnya sepatu yang menekan demi untuk kehormatan! Peluh kita bercucuran oleh gerah dan panasnya pakaian "sopan" demi untuk kehormatan! Perut kita kalau perlu kita tekan dan kelaparan demi untuk kehor-matan. Mulut kita dipaksa senyum-senyum walau hati sedang berduka demi untuk kehormatan dan masih banyak lagi contoh-contoh yang membuat kita kadang-kadang menjadi heran sendiri karena kelaku-an kita, demi kehormatan itu, seperti tidak normal lagi. Si aku yang gila kehormatan ini membuat kita menjadi manusia-manusia yang gila atau tidak normal lagi! Sopan santun dan tata-susila memang perlu bagi kita manusia yang hidup bermasyarakat, namun tata-susila dan sopan-santun ini kita adakan bersama demi menjaga perasaan orang lain, agar tidak menyinggung dan untuk pelaksanaan dari pengertian kita tentang kesopanan dengan menggunakan akal budi. Akan tetapi kalau sudah menjurus ke arah kecondongan mencari pujian, lalu menjadi berlebih-le-bihan bahkan tidak praktis lagi!
"Sayang roti keringku yang tinggal sedikit sudah habis karena terkena air hujan." kata Sim Houw. "Akan tetapi kalau hujan berhenti, kita dapat pergi ke kota Thian-cin, dan kita membeli makanan di sa-na."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
314 Akan tetapi hujan tak juga mau berhenti sampai malam tiba! Sim Houw melihat betapa gadis itu, walaupun tidak bicara lagi tentang lapar dan makanan, namun semakin menderita karena menahan lapar. Hawa yang nyaman karena dingin dilawan kehangatan api unggun memang membuat perut menjadi lapar sekali, lebih lagi karena baru saja mereka tadi menge-luarkan banyak tenaga untuk berkelahi. Perut me-reka membutuhkan isi, akan tetapi dari mana bisa didapatkan makanan" Kuil itu berada di ujung hu-tan dan tempat itu sunyi, jauh dari rumah orang.
Tiba-tiba Sim Houw bangkit dari tempat duduknya dekat api unggun. "Kau di sini sebentar, Lan-moi, aku akan pergi mencari bahan makan untuk kita."
"Tapi, hujan masih begitu lebat di luar dan gelap pula!" Bi Lan membantah. "Kau akan kehujanan dan basah kuyup lagi. Pula, ke mana mencari bahan makanan malam-malam hujan begini?"
Sim Houw tersenyum. "Kautunggu sajalah. Pa-kaianku sudah kering semua, nanti dapat berganti lagi. Pula, bukankah sejak jaman nenek moyang kita dahulu, kaum pria yang bertugas mencari bahan ma-kanan untuk kita yang kelaparan" Nah, aku pergi sebentar!" Sim Houw berkelebat dan lenyap dari situ.
Bi Lan tidak mau menganggur. Ia menambahkan kayu pada api unggun, kemudian dengan teliti ia mencari-cari di sekitar kuil yang bocor di sana-sini itu dan menemukan dua buah panci butut, akan te-tapi belum bocor. Lumayan, pikirnya dan dengan dua panci itu, ia menadah air hujan yang langsung turun dari langit sehingga dua panci itu dapat me-nampung air yang jernih. Siapa tahu kalau-kalau Sim--toako benar-benar bisa mendapatkan bahan makanan, pikirnya. Tanpa panci tempat masak, lalu bagaima-na" Dan mereka juga
membutuhkan air minum, dan air hujan itu cukup bersih.
Tak lama kemudian muncullah Sim Houw dari luar kuil, menggendong seekor kijang muda yang su-dah mati! Tubuh dan rambutnya basah kuyup, juga pakaiannya kotor terkena lumpur, akan tetapi dia ter-senyum lebar dengan wajah gembira sekali. Dia me-nurunkan kijang itu dari pundaknya dan memeras rambutnya.
"Wah, bagaimana kau bisa mendapatkan....eh, lekas kau tukar pakaian dulu, toa-ko, kau basah se-mua dan pakaianmu kotor. Jangan-jangan kau bisa masuk angin!" kata Bi Lan dengan girang akan tetapi juga khawatir, lupa bahwa orang yang memliki ke-pandaian seperti Sim Houw tentu memiliki pula ke-sehatan yang baik dan daya tahan yang jauh lebih ku-at dari pada orang-orang biasa.
Akan tetapi Sim Houw menurut, menyambar satu stel pakaian kering dan berlari ke belakang.
Ketika dia kembali dengan pakaian yang kering dan rambut-nya sudah diperas dari air hujan, dia melihatbahwa Bi Lan sudah mulai menguliti kijang itu dengan menggunakan kedua tangannya, menarik dan mero-beknya begitu saja!
"Lan-moi, kita pergunakan alat, jangan hanya dengan tangan begitu. Bagaimana kau akan memo-tong-motong dagingnya?"
"Aku tidak punya pisau...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
315 "Suling ini dapat dipakai sebagai pedang dan...."
"Hushh, jangan pandang rendah benda pusaka, toako. Sudahlah, kita kuliti binatang ini, kita patahkan saja keempat kakinya dan kita panggang pahanya. Kita tidak mungkin dapat memasaknya karena tidak ada bumbu."
"Wah, sayang, bumbu-bumbuku juga habis dalam buntalan pakaian oleh air hujan. Tapi tunggu, dahulu aku pernah menyimpan sisa garam di ujung sana. Tanpa garam, akan seperti apa rasanya?" Diapun mencari-cari dan akhirnya dengan girang menemukan garam itu yang berada dalam sebuah poci kecil se-hingga masih bersih dan utuh. Sibuklah kedua orang itu kini memanggang empat buah paha kijang yang sudah digarami dan tak lama kemudian, terciumlah bau sedap yang membuat perut mereka terasa sema-kin lapar!
Habislah daging paha kijang yang empat buah banyaknya itu oleh mereka, ditambah minum air hujan yang sudah dimasak sampai mendidih. Dan perut kenyang mendatangkan kantuk!
Mulailah mereka bekerja untuk membuat tempat tidur dengan menumpuk jerami kering di lantai.
"Kautidurlah, Lan-moi, biar aku duduk di sini. Engkau terlalu lelah dan malam ini kita tidak mungkin dapat mencari tempat bermalam lain lagi. Hujan masih terus turun. Kautidurlah."
"Dan kau, Sim-toako?"
"Aku sudah biasa beristirahat sambil duduk, dan aku perlu mengulang kembali pengobatan dalam tubuhku."
Kepercayaan Bi Lan terhadap Sim Houw sudah demikian mendalam sehingga biarpun
mereka hanya berdua saja malam itu di satu ruangan, di tempat yang gelap dan sunyi, namun tidak ada sedikitpun kekhawatiran di dalam hatinya. Bahkan memba-yangkan yang bukan-bukan saja sama sekali tidak pernah memasuki benaknya, maka segera ia dapat tidur dengan pulasnya, rebah miring meringkuk ka-rena terasa hawa dingin yang dihembus angin dari luar.
Diam-diam Sim Houw yang duduk dekat api ung-gun memandang kepadanya. Ada rasa haru yang besar sekali dan mendalam di dasar hatinya melihat gadis itu tidur meringkuk dengan bibir tersenyum, begitu pasrah, begitu lemah dan tak berdaya. Seorang gadis yatim piatu, seperti dia, seorang gadis yang secara aneh muncul dalam kehidupannya. Sama sekali tak pernah dia menyangka bahwa dalam hidupnya, dia akan berduaan dengan seorang gadis seperti pada ma-lam hari ini. Melakukan perjalanan bersama, kehujan-an bersama, makan berdua dan kini dia memandangi gadis yang tidur pulas itu. Timbul rasa kasihan di hatinya melihat Bi Lan meringkuk, menekuk kaki dan menjepit tangan di antara pahanya. Dia mem-punyai sebuah baju mantel yang lebar dan yang kini sudah kering. Diambilnya mantelnya itu dan diseli-mutkannya pada tubuh Bi Lan, menutupi tubuh dari leher sampai ke kaki. Dia melakukannya begitu hati-hati dan perlahan-lahan agar tidak membangunkan Bi Lan dari tidurnya yang nyenyak.
Akan tetapi, tubuh yang terlatih sejak kecil itu amat peka terhadap sentuhan dari luar dan urat syaraf tubuh itu selalu dalam keadaan siap terhadap bahaya dari luar sehingga dalam tidur sekalipun, agak-nya syaraf-syaraf itu tetap bersiap siaga. Maka begitu merasa tubuhnya tersentuh kain, walaupun tadinya tidak berprasangka yang bukan-bukan, sentuhan ini cukup membuat Bi Lan sadar dari tidurnya. Akan tetapi, ia segera memejamkan matanya kembali Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
316 dan pura-pura masih pulas ketika ia melihat bahwa yang menyentuh tubuhnya itu adalah hamparan baju man-tel yang diselimutkan oleh Sim Houw di atas tubuh-nya. Diam-diam gadis ini merasa berterima kasih dan senyumnya bertambah manis ketika ia terseret penuh oleh kepulasan.
Di jaman para kaisar masih berkuasa, para pembesar yang bertugas mencatat sejarah, selalu hanya mencatat yang baik-baik saja tentang kaisar dan keluarganya. Kalau ada catatan sejarah yang memburukkan seorang penguasa, maka catatan itu sudah pasti dilakukan oleh pihak yang membenci-nya. Oleh karena itu, maka sukarlah dipercaya ke-benaran catatan sejarah di dunia ini. Seperti catatan sejarah tentang pembangunan dan tentang kebesaran kerajaan Mancu yang semakin berkembang. Akan te-tapi sejarah tidak mencatat betapa banyaknya korban jatuh dari pihak mereka yang menentang kaisar, baik karena urusan pribadi maupun karena kebangkitan mereka yang merasa dijajah dan hendak menumbang-kan kekuasaan Mancu. Setiap orang manusia, baik dia kaisar sekalipun, tentu memiliki dua macam sifat yang bertentangan kalau dia sudah dinilai, yaitu baik dan buruk, kelebihan dan kekurangannya, tentu saja bergantung kepada pendapat si penilai berdasarkan rasa suka atau tidak suka dari si penilai sendiri. De-mikian pula Kaisar Kian Liong. Pada masa itu, dialah orang yang paling tinggi kedudukannya, yang pa-ling berkuasa sehingga memburukkan namanya merupakan suatu pemberontakan dan dosa besar, dan orang yang berani melakukannya dapat saja dipeng-gal lehernya sebagai hukumannya. Oleh karena itu, catatan riwayat dan sejarahnya hanya yang baik-baik saja.
Betapapun juga, orang tak mungkin menyimpan rahasia untuk selamanya. Akhirnya
membocor keluar juga dari istana segala perilaku kaisar itu yang diang-gap tidak patut. Di antaranya adalah hubungan kaisar di masa tuanya itu dengan Hou Seng yang tampan, yang kini semakin tinggi saja kedudukannya dan se-makin besar kekuasaannya. Bahkan di luar sudah terdengar bisik-bisik bahwa Hou Seng inilah orangnya yang akan diangkat menjadi Perdana Menteri dalam waktu dekat.
Dan bisik bisik atau desas-desus ini memang tidak merupakan kabar bohong begitu saja.
Bukan saja Hou Seng menjadi "kekasih" kaisar. akan tetapi bahkan dia telah dapat mempengaruhi kaisar sehingga semua urusan dalam istana sudah dipercayakan kepadanya.
Dialah yang menjadi orang ke dua sete-lah kaisar di istana itu, bahkan semua pelaksanaan peraturan dan lain-lain berada di tangannya dan kaisar hanya mendengar dan percaya akan laporan kekasih ini saja.
Ambisi merupakan racun yang sekali menceng-keram batin kita, tidak mudah untuk
dilepaskan lagi. Ambisi merupakan kemurkaan, seperti binatang babi, makin diberi makan, semakin
kelaparan saja. Makin banyak yang didapat, semakin bertambah keinginan hati yang dicengkeram ambisi. Demikian pula dengan Hou Seng. Dia tadinya hanya seorang tukang pikul tandu kaisar, setelah dia diangkat menjadi kekasih kaisar dan menjadi "penasihat"
kaisar, berarti dia sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Na-mun, dia masih jauh dari pada puas karena dia meli-hat kemungkinan-kemungkinan bahwa dia akan lebih besar lagi.
Dan untuk mencapai ambisi atau cita-cita-nya itu, dia tidak hanya dapat mengandalkan keper-cayaan kaisar kepadanya. Terlalu banyak musuhnya yang ingin melihat dia jatuh kembali ke bawah. Ba-nyak menteri-menteri yang tidak suka kepadanya, bahkan ada yang secara halus berani memperingatkan kaisar tentang bahayanya kalau terlalu percaya kepada seseorang dan menyerahkan segala kekuasaan di ta-ngan Hou Seng mengenai urusan dalam Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
317 istana. Hou Seng semakin cerdik dan mulai memperkuat diri. Bukan hanya dengan cara makin menempel kaisar, akan tetapi juga diam-diam dia mengumpulkan tenaga-tenaga yang boleh diandalkan, selain untuk mengawal dan melindungi dirinya, juga untuk melak-sanakan perintah-perintah dalam menghadapi musuh-musuhnya. Beberapa orang musuhnya sudah dile-nyapkan, tewas secara aneh. Tentu saja tidak aneh bagi Hou Seng. Dia telah memelihara orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kekejaman seperti iblis. Tentu saja dengan bayaran yang amat tinggi, memberi kemewahan dan memenuhi permin-taan apa saja dari orang-orang sakti itu. juga mem-beri janji bahwa kalau dia dapat menjadi Perdana Menteri, apa lagi kalau kelak dapat menjadi kaisar, dia tidak akan melupakan para pembantu itu dan tentu akan memberi kedudukan tinggi kepada me-reka!
Pada suatu malam, dengan pengawalan ketat, Hou Seng keluar dari istana menuju ke sebuah rumah tak jauh dari kompleks istana. Rumah ini merupakan sebuah gedung yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan nampak terjaga oleh penjaga-penjaga yang berpa-kaian seragam.
Rumah ini adalah milik Hou Seng, merupakan rumah peristirahatan, satu di antara ba-nyak rumah yang dimilikinya. Dia sendiri tinggal di sebuah gedung seperti istana saja mewahnya, bersa-ma isterinya!
Benar, Hou Seng telah bersteri. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong merasa risi juga karena banyaknya menteri yang menyindirkan hubungannya dengan Hou Seng dan untuk menutupi atau sekedar mengurangi santernya desas-desus, dia memerintah-kan kepada Hou Seng untuk menikah dengan seorang wanita dayang pilihan dari istana. Tentu saja Huo Seng menerima perintah ini dengan hati senang. Ba-yangkan saja, selain memperoleh kekayaan dan ke-hormatan, juga dia memperoleh seorang isteri yang cantik "hadiah" dari kaisar sendiri.
Dengan adanya isteri, tentu dia dapat memelihara banyak selir dan kini tak perlu lagi dia bersembunyi-sembunyi kalau dia menginginkan seorang wanita. Pernikahannya itu telah berlangsung tiga tahun yang lalu dan kini dia telah mendapatkan beberapa orang anak dari isteri-nya dan selir-selirnya.
Kereta yang ditumpangi Hou Seng itu memasuki halaman rumah setelah pintu gerbangnya dibuka oleh para penjaga. Pintu gerbang lalu ditutup kembali dan nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga-puluh lima tahun, berwajah tampan dan cerdik, ber-muka halus seperti muka perempuan. Itulah Hou Seng, dengan pakaiannya yang gemerlapan. Dia se-orang laki-laki pesolek, mukanya dirias dan pakaian-nya mewah!
Kiranya di dalam keretanya itu bersembunyi dua orang wanita berusia kurang lebih tigapuluhan tahun, cantik dan bertubuh ramping dan gesit. Mereka ini adalah dua orang pengawal pribadi yang dapat menjadi apanyapun juga. Menjadi selir, juga pelayan atau pengawal yang melindungi keselamatannya. Dua orang wanita ini adalah ahli-ahli silat yang pandai dan sengaja dipilih oleh Hou Seng, bukan hanya ka-rena kecantikan mereka, akan tetapi terutama sekali karena ketangguhan mereka melindungi keselamatan-nya. Karena itu, dua orang pengawal pribadi ini ti-dak pernah meninggalkannya, ke manapun dia pergi. Ketika Hou Seng turun dari kereta, dua orang wani-ta ini turun sebelum dan sesudahnya, menjaga dari depan belakang atau kanan kiri penuh kewaspadaan.
Dari pintu depan yang terbuka dari rumah gedung itu muncullah seorang nenek yang kalau orang meli-hatnya di tempat yang tidak begitu terang tentu akan mengiranya seorang wanita yang masih belum tua benar. Padahal nenek ini usianya sudah kurang lebih tujuhpuluh tahun!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
318 Selain gerak-geriknya masih gesit dan sikapnya yang genit, juga mukanya memakai la-pisan bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi, di samping penghitam alisnya yang sudah habis bulunya itu. Pakaiannya juga mewah dan nenek pesolek ini me-megang sebatang kebutan yang gagangnya, terbuat da-ri emas dan bulunya yang putih lemas itu tidak boleh dipandang ringan. Itu bukan kebutan biasa pengusir lalat, melainkan sebuah senjata yang amat ampuh ka-rena bulu-bulu kebutan itu terbuat dari bulu seekor monyet putih yang hanya terdapat di daerah Himalaya bagian barat. Menurut dongeng, monyet putih di daerah itu memiliki bulu yang amat kuat sehingga ta-han bacokan, membuat monyet itu kebal! Entah benar tidaknya dongeng itu, akan tetapi yang jelas, kebutan di tangan nenek inipun selain mampu untuk membu-nuh orang, juga dapat menangkis segala macam senjata tajam yang bagaimana ampuhpun tanpa putus sedikitpun.
Begitu bertemu dengan nenek yang masih nampak ramping tubuhnya dan cantik wajahnya karena dirias itu, Hou Seng memberi hormat berbareng dengan ne-nek itu yang juga menjura dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil memegangi kebutannya yang bulunya menjuntai ke bawah dengan lemasnya. Nampaknya seorang nenek-nenek yang tidak berda-ya saja. Akan tetapi, Hou Seng yangmerupakan orang kedua setelah kaisar di dalam istana, kelihatan begitu menghormatnya, apa lagi dua orang pengawal pribadinya itu jelas memperlihatkan sikap jerih sekali ketika mereka memandang kepada nenek itu dan
me-ngerling ke arah kebutan berbulu putih bergagang emas itu. Dalam hati mereka selalu timbul pertanya-an berapa ribu nyawa sudah yang dipaksa meninggalkan badannya oleh kebutan nenek itu, setiap kali me-reka bertemu dengan Kim Hwa Nio-nio, demikian nama nenek itu.
Kim Hwa Nio-nio telah menjadi pembantu uta-ma dari Hou Taijin (Pembesar Hou) dan memper-oleh kepercayaan dari kekasih kaisar ini karena Kim Hwa Nio-nio telah berulang kali membuktikan kesetiaannya. Sudah ada enam orang pembesar rendahan dan dua orang
pembesar tingkat menteri yang tiba-tiba saja tewas begitu pada kemarin harinya Kim Hwa Nio-nio yang menerima perintah dari Hou Taijin untuk melenyapkannya!. Selain itu, juga Kim Hwa Nio-nio yang mengatur penjagaan atau pengawal-pengawal rahasia dari Hou Taijin.
Pengawal-pe-ngawal ini adalah orang-orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Nio-nio untuk melakukan penjagaan secara rahasia. Dan kini Kim Hwa Nio-nio menerima tugas yang lebih penting lagi, yalah mengumpulkan dan mengundang tenaga-tenaga yang tangguh dari para tokoh dunia hitam untuk memperkuat kedudukan Hou Taijin.
Siapakah Kim Hwa Nio-nio" Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar
kesenangan me-lalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan teta-pi setelah ia berhasil menguras-semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nio-nio lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang dipilih dan disukainya. Dengan kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk melayaninya.
Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh menyambarnya bulu-bulu kebut-an itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang melayaninya juga ditebus dengan nyawanya.
Dalam hal kejahatan dan kekejamannya, Kim Hwa Nio-nio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih bersum-ber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi.
Setelah usianya mulai tua, Kim Hwa Nio-nio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan ha-nya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya. Akan tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuhpuluh tahun, ia sudah kehilangan kesenang-an-kesenangan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
319 masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan yang dikejarnya adalah kedudukan dari kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia berha-sil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.
"Selamat malam, Taijin," nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus, "dan silahkan masuk."
Pembesar yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdikannya itu
mengangguk dan langsung bertanya, "Benarkah yang datang Lama itu?" Dia mencari-cari dengan pandang matanya. "Begitu mendengar berita yang dikirim oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan sendiri."
Kim Hwa Nio-nio mengangguk. "Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan menim-bulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada Taijin.
Sekarangpun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah Tai-jin."
"Baik, locianpwe, minta kepada lo-suhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu." Hou Taijin lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa Nio-nio lalu mengun-durkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya. Ketika Kim Hwa Nio-nio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin ber-sama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya, dua orang wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di belakang tubuh pembesar itu. Para pengawal, tidak kurang dari duabelas orang, berjaga di dalam ruang-an itu pula, berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi mondar-mandir di luar ruangan ini, mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi kemanapun Hou Seng pergi. Pengawal-pengawal inilah anak buah Kim Hwa Nio-nio dan ka-rena mereka semua yang berpakaian preman itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri, maka para penjaga tempat-tempat yang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang di-lakukan untuk menjaga keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri kaisar sendiri.
Hou Taijin adalah seorang yang cerdik dan pan-dai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu yang datang bersama Kim Hwa Nio-nio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah enampuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepala-nya gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna kuning, mukanya begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan oleh Kim Hwa Nio-nio kepadanya. Dia tahu siapa kakek ini, yalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang ini bisa menjadi pembantunya, ber-sama Kim Hwa Nio-nio, pikirnya. Dan agaknya makin mudah pula
memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan sebagai penasihat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya, seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nio-nio yang juga olehnya diperkenalkan kepada kaisar seba-gai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Hima-laya yang sakti.
Setelah pendeta Lama dan Kim Hwa Nio-nio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu segera Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
320 memberi hormat, merang-kapkan kedua tangan depan dada sambil berkata de-ngan suara seperti berdoa, "Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah usia panjang dan re-jeki yang berlimpah-limpah!"
Hou Seng tersenyum. "Selamat datang, lo-suhu dan silahkan duduk. Silahkan, locianpwe."
Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio mengam-bil tempat duduk setelah nenek itu dengan isarat ta-ngannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruangan itu. Para pengawal segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang berada diruang tamu kini hanyalah Hou Tai-jin bersama dua orang selir yang mengawalnya, Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama.
"Hou Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet dan saya memenuhi undangan Kim Hwa Nio-nio yang sudah pinceng kenal baik untuk meng-hadap taijin. Harap maafkan kelancangan pinceng."
Siapakah Kim Hwa Nio-nio" Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar
kesenangan me-lalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan teta-pi setelah ia berhasil menguras-semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nio-nio lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang dipilih dan disukainya. Dengan kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk melayaninya.
Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh menyambarnya bulu-bulu kebut-an itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang melayaninya juga ditebus dengan nyawanya.
Dalam hal kejahatan dan kekejamannya, Kim Hwa Nio-nio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih bersum-ber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi.
Setelah usianya mulai tua, Kim Hwa Nio-nio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan ha-nya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya. Akan tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuhpuluh tahun, ia sudah kehilangan kesenang-an-kesenangan masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan yang dikejarnya adalah kedudukan dari kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia berha-sil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.
"Selamat malam, Taijin," nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus, "dan silahkan masuk."
Pembesar yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdikannya itu
mengangguk dan langsung bertanya, "Benarkah yang datang Lama itu?" Dia mencari-cari dengan pandang matanya. "Begitu mendengar berita yang dikirim oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan sendiri."
Kim Hwa Nio-nio mengangguk. "Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan menim-bulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada Taijin.
Sekarangpun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah Tai-jin."
"Baik, locianpwe, minta kepada lo-suhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu." Hou Taijin lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
321 Nio-nio lalu mengun-durkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya. Ketika Kim Hwa Nio-nio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin ber-sama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya, dua orang wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di belakang tubuh pembesar itu. Para pengawal, tidak kurang dari duabelas orang, berjaga di dalam ruang-an itu pula, berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi mondar-mandir di luar ruangan ini, mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi kemanapun Hou Seng pergi. Pengawal-pengawal inilah anak buah Kim Hwa Nio-nio dan ka-rena mereka semua yang berpakaian preman itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri, maka para penjaga tempat-tempat yang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang di-lakukan untuk menjaga keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri kaisar sendiri.
Hou Taijin adalah seorang yang cerdik dan pan-dai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu yang datang bersama Kim Hwa Nio-nio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah enampuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepala-nya gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna kuning, mukanya begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan oleh Kim Hwa Nio-nio kepadanya. Dia tahu siapa kakek ini, yalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang ini bisa menjadi pembantunya, ber-sama Kim Hwa Nio-nio, pikirnya. Dan agaknya makin mudah pula
memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan sebagai penasihat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya, seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nio-nio yang juga olehnya diperkenalkan kepada kaisar seba-gai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Hima-laya yang sakti.
Setelah pendeta Lama dan Kim Hwa Nio-nio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu segera memberi hormat, merang-kapkan kedua tangan depan dada sambil berkata de-ngan suara seperti berdoa, "Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah usia panjang dan re-jeki yang berlimpah-limpah!"
Hou Seng tersenyum. "Selamat datang, lo-suhu dan silahkan duduk. Silahkan, locianpwe."
Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio mengam-bil tempat duduk setelah nenek itu dengan isarat ta-ngannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruangan itu. Para pengawal segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang berada diruang tamu kini hanyalah Hou Tai-jin bersama dua orang selir yang mengawalnya, Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama.
"Hou Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet dan saya memenuhi undangan Kim Hwa Nio-nio yang sudah pinceng kenal baik untuk meng-hadap taijin. Harap maafkan kelancangan pinceng."
Hou Seng tertawa bergelak, hatinya senang sekali mendengar seorang kakek yang menurut Kim Hwa Nio-nio amat sakti ini merendahkan diri. "Ah, tidak ada yang perlu dimaafkan karena memang saya yang minta kepada locianpwe Kim hiwa Nio-nio untuk mengundang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
322 losuhu. Losuhu telah melakukan perja-lanan yang amat jauh dan melelahkan. Untuk me-nyambut kedatangan losuhu, saya akan mengadakan perjamuan kecil sebagai ucapan selamat datang." Hou Taijin mengangguk kepada Kim Hwa Nio-nio untuk memberi tanda bahwa perjamuan itu boleh di-mulai. "Kita dapat bercakap-cakap setelah makan minum."
"Maafkan pinceng, taijin. Sebelum itu, pinceng juga ingin mempersembahkan sesuatu kepada taijin. Seorang gadis remaja berusia duabelas tahun yang cantik jelita sekali, yang kebetulan pinceng temukan di dalam perjalanan pinceng."
Hou Seng mengerutkan alisnya. Betapapun juga pernyataan pendeta Lama itu agak
menyinggung kehormatannya. Pendeta ini berani mengatakan akan mempersembahkan
seorang gadis remaja yang ditemukannya begitu saja di tengah perjalanan" Per-sembahan seperti itu merendahkan martabatnya, be-tapa cantikpun gadis itu, dan tidak patut untuk di ketengahkan dalam pertemuan dan perkenalan per-tama sebagai suatu persembahan
kehormatan. Agaknya Kim Hwa Nio-nio melihat ketidakse-nangan hati majikannya. Iapun cepat-cepat berkata, "Hendaknya paduka maklumi bahwa gadis remaja yang dibawa oleh rekan saya Sai-cu Lama itu bukan gadis biasa, melainkan derajatnya jauh lebih tinggi dari pada seluruh wanita yang telah paduka miliki. Ia itu adalah keturunan keluarga para pendekar Pu-lau Es yang terkenal itu!"
"Ahh....!" Wajah pembesar itu berseri bangga dan matanya terbelalak. "Bukan main kalau begitu! Lekas bawa ke sini, saya ingin melihatnya!
Kim Hwa Nio-nio memberi isyarat dengan tepuk tangan lima kali. Tak lama kemudian pintu sebelah kanan ruangan tamu itu terbuka dan masuklah dua orang pengawal bertubuh tinggi besar. Di antara me-reka terdapat Suma Lian, yang mereka pegang pada pangkal lengannya dari kanan kiri dan mereka jinjing. Kaki dan tangan gadis cilik itu terbelenggu!
Jelaslah bahwa Suma Lian tak mampu mengge-rakkan kaki tangannya, akan tetapi sepasang matanya hidup, bersinar penuh keangkuhan dan kemarahan, berdiri tegak ia ketika dilepas oleh kedua orang yang segera memberi hormat lalu meninggalkan lagi ruangan itu dan menutupkan pintunya dari luar. Pan-dang mata gadis cilik itu ditujukan kepada Sai-cu Lama dengan sinar mata penuh kemarahan dan ke-bencian.
Seperti kita ketahui, ketika Sai-cu Lama kewalah-an juga karena sambil menggendong gadis cilik itu dia menghadapi pengeroyokan nenek Teng Siang In yang masih nekat walaupun sudah terluka dan Hong Beng, pemuda ini berhasil membebaskan totokan dari tubuh Sama Lian dengan sambitan kerikil. Dan setelah terbebas dari totokan, diam-diam Suma Lian mengambil tusuk konde atau hiasan rambutnya yang runcing dan menancapkan benda kecil itu di tengkuk Sai-cu Lama. Kalau saja ia tidak merasa ngeri meli-hat muncratnya darah dari tengkuk itu sehingga mengakibatkan tangannya lemas, tentu tusukannya itu akan lebih dalam lagi dan andaikata tidak sampai menewaskan kakek itupun tentu akan mengakibatkan luka yang cukup berat.
Sai-cu Lama terkejut, kesakitan dan berhasil menampar gadis itu pingsan, lalu melarikan diri sambil tetap membawa tubuh Suma Lian dan tengkuk yang bercucuran darah! Dia tahu bahwa kalau sampai keluarga Suma mengetahui tentu dia akan dikejar dan -beratlah rasanya menghadapi mereka tanpa ban-tuan. Dia berlari terus dengan cepatnya, akan tetapi dia cerdik.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
323 Setelah keluar dari pintu gerbang utama, dia lalu mengitari tembok dusun menuju ke selatan, kemudian-membelok ke timur memasuki hutan lebat.
Jejaknya hilang dan suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng melakukan pengejaran ke utara te-rus karena ada yang melihat pendeta itu lari keluar dari pintu gerbang utara.
Luka di tengkuknya hanya mengeluarkan darah, namun tidak berbahaya. Ketika dia
memeriksa benda yang menancap di tengkuknya, dia terkejut. Benda itu tentu akan dapat menancap lebih dalam lagi, pi-kirnya. Akan tetapi kenapa tidak" Padahal, seorang gadis biarpun baru berusia duabelas tahun seperti anak ini, tentu mampu menusuk lebih kuat.
Mengapa gadis cilik ini tidak menusuknya lebih kuat" Pikiran ini membuat kemarahannya berkurang terhadap Su-ma Lian.
Dia menurunkan tubuh Suma Lian, lalu demi keamanan, membelenggu kaki tangan gadis itu de-ngan tali pengikat yang kuat. Baru dia menotoknya beberapa kali dan membuatnya sadar kembali. Begitu sadar, Suma Lian meronta, akan tetapi tak mampu melepaskan ikatan kaki tangannya dan ia hanya me-mandang dengan mata melotot.
"Kau manusia busuk, manusia jahat!" bentaknya.
Sai-cu Lama tertawa. "Ha-ha-ha, anak baik. Ka-lau aku manusia busuk dan jahat, kenapa engkau tidak jadi membunuhku" Kenapa tusukanmu kepada tengkukku itu hanya setengah tenaga saja, tidak sungguh-sungguh?" katanya sambil mengeluarkan obat bubuk dan menempelkan obat itu kepada luka kecil di tengkuknya yang segera mengering. "Pada-hal, benda ini runcing dan keras, dengan sedikit te-naga saja tengkukku dapat ditembus!" katanya dan sekali menggerakkan tangan, perlahan-lahan dia menusukkan tusuk sanggul itu ke dalam sebatang pohon. Benda kecil itu amblas sampai tidak nampak lagi!
"Huh, sayang aku menjadi tidak sampai hati me-lihat darah muncrat, dan aku merasa malu harus ber-buat curang. Kalau tidak, engkau tentu sudah mati dan aku terbebas!" kata Suma Lian, kini baru me-rasa menyesal mengapa ia tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya dan mengeraskan hatinya saja.
"Ha-ha, sudah kuduga! Engkau seorang gadis manis yang baik hati. Ha-ha-ha, dan karena itulah engkau sampai sekarang masih hidup. Kalau engkau menusuk lebih keras, sebelum mati tentu tamparan-ku akan meremukkan kepalamu tadi. Dan sekarang-pun, karena kebaikan hatimu itu, aku tidak akan membunuhmu, tidak, aku malah membuat engkau hidup mulia.
Mari....! Dengan tangan kirinya dia menyambar tubuh gadis cilik itu dan dipanggul-nya lalu dibawa lari.
"Lepaskan aku! Lepaskan....!" Suma Lian meronta dan menjerit, akan tetapi pendeta Lama itu menggunakan jari tangan menekan tengkuknya dan iapun tidak mampu mengeluarkan suara lagi.
Demikianlah, Sai-cu Lama membawa Suma Lian ke kota raja. Di dalam perjalanan itu, dia menyembunyikan tubuh yang sudah dibelenggu dan ditotoknya itu ke dalam sebuah kantung kain yang diberi lubang-lubang untuk pernapasan gadis itu, dan sekali-sekali, dia harus memaksa gadis itu untuk makan, dengan membuka mulut gadis itu dan menuangkan bubur ke dalam perutnya. Tanpa paksaan, Suma Lian yang keras hati itu tidak mau makan atau minum!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
324 Setelah tiba di gedung tempat tinggal Hou Taijin yang menjadi sarang Kim Hwa Nio-nio yang menghubunginya, Sai-cu Lama disambut dengan girang oleh Kim Hwa Nio-nio, apa lagi ketika temannya itu memberitahukan bahwa gadis cilik yang ditawannya adalah keturunan para pendekar Pulau Es. Para da-tuk sesat memang selalu memusuhi para pendekar, terutama sekali keturunan keluarga Pulau Es sejak dahulu, sejak nenek moyang mereka, telah menjadi musuh besar yang harus selalu ditentang.
"Bagus, tentu Hou Taijin akan suka sekali!" serunya. "Atau kalau tidak, hemmm.... anak ini bertulang baik, bagaimana kalau ia menjadi murid-ku saja?"
"Ha-ha-ha, sungguh serupa benar jalan pikiran kita," kata Sai-cu Lama. "Akupun mempunyai pi-kiran demikian. Amat bangga kalau kita dapat mem-punyai murid keturunan para pendekar Pulau Es, kita didik sedemikian rupa sehingga kelak ia menjadi tokoh dari golongan kita yang memusuhi para pendekar. Ha-ha-ha!"
"Bagus! Akupun ingin terbawa namaku dalam jasa itu. Bagaimana kalau kita didik anak itu bersa-ma-sama?"
"Omitohud, usia tuamu tidak menghilangkan kecerdikanmu, seperti tidak pula melenyapkan kecantikanmu, Kim Hwa Nio-nio!" Sai-cu Lama memuji dan keduanya lalu membuat
persiapan untuk memberi laporan kepada Hou Taijin bahwa tamu dari Tibet yang diundang telah tiba. Dan seperti kita ketahui, Hou Taijin demikian girang mendengar ini sehingga dia datang sendiri untuk menemui tamu itu dan mengenalnya sendiri karena oleh Kim Hwa Nio-nio su-dah diceritakan bahwa tamu yang berjuluk Sai-cu Lama dari Tibet ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan tidak kalah oleh Kim Hwa Nio-nio sendiri, demikian kata nenek itu.
"Omitohud...., anak baik, engkau mengh-adap Hou Taijin, harus berlutut memberi hormat!"
kata Sai-cu Lama. Akan tetapi Suma Lian tetap ber-diri dengan mata melotot, sedikitpun tidak takut dan ketika ia memandang kepada orang berpakaian me-wah yang dujuk di depan pendeta Lama itu, mata-nya memandang penuh selidik. Mata anak ini demi-kian tajam sehingga hati pembesar itu merasa kecut juga. Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara dua orang selir yang menjadi pengawalnya itu ber-bisik dekat telinganya.
"Taijin harus bersikap baik kepadanya, dan su-ruh membebaskan ikatan kaki tanganya, agar mudah ia dijinakkan."
Hou Taijin mengangguk-angguk, lalu sambil memandang kepada gadis cilik itu, dia berkata,
"Lo-suhu, kasihan sekali puteri kecil ini dibelenggu. Ha-rap lepaskan belenggu kaki tangannya!"
"Taijin, biarpun masih kecil, ia sudah lihai dan berbahaya, juga liar seperti seekor kuda binal!"
"Sai-cu Lama, perintah Taijin harus kita laksanakan tanpa membantah." Tiba-tiba Kim Hwa Nio-nio memperingatkan temannya yang belum tahu akan watak Hou Taijin yang tidak mau dibantah. Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk dan cepat dia menghampiri Suma Lian yang berdiri tegak. Untuk mendemonstrasikan kelihaiannya, dengan jari-jari tangan ringan sekali gerakannya, dia mem-bikin putus semua tali, seolah-olah tali-tali itu hanya sehelai benang saja!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
325 "Adik yang baik, ke sinilah dan jangan takut. Kami tidak akan menyusahkanmu lagi,"
berkata Hou Seng. Memang orang ini pandai sekali bersandiwara dan mendengar suaranya yang lemah lembut, melihat wajahnya yang kini memperlihatkan kesungguhan dan
keramahan, Suma Lian mulai percaya bahwa orang itu tentu memiliki niat yang baik terhadap dirinya. Ia memang tidak mendengarkan apa yang diperca-kapkan okh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio bahwa dirinya akan diberikan kepada pembesar Hou Seng untuk dijadikan selir!
Maka, mengingat bahwa ia berhadapan dengan seorang pembesar di kota ra-ja, seperti yang didengarnya tadi dari para pengawal bahwa ia akan dihadapkan kepada seorang pembesar istana kota raja, ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
Memang selain ilmu silat tinggi, Suma Lian diajar tentang ilmu baca tulis, juga tentang kesopanan sehingga ia mampu bersikap semestinya ketika berha-dapan dengan seorang pembesar, apa lagi kalau mengingat baahwa pembesar ini bersikap baik, bahkan telah menolongnya dari belenggu.
"Taijin, harap paduka suka mengirim saya kem-bali ke rumah orang tua saya, atau membiarkan saya pergi dari sini. Untuk budi ini saya Suma Lian tidak akan melupakanmu."


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali terdengar bisik-bisik dari seorang selir di bdakangnya itu. Hou Seng mengangguk-angguk lagi. "Nona Suma Lian, membiarkan engkau pergi seorang diri sungguh amat berbahaya. bagaimana kalau sam-pat terjadi apa-apa atas dirimu" Berarti aku ikut bertanggung jawab. Sai-cu Lama telah menyerahkan engkau kepadaku, berarti akulah yang kini melin-dungimu. Jangan khawatir, sekali waktu pasti aku akan mengantar engkau kembali ke tempat tinggalmu, akan tetapi sementara ini, selagi aku masih sibuk, biarlah engkau tinggal di sini bersama Kim Hwa Nio-nio. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan memberontak atau mencoba untuk melarikan diri."
Suma Lian adalah seorang anak yang cerdik. Kalau tadi ia memperlihatkan sikap marah, itu adalah karena Sai-cu Lama selalu bersikap keras kepadanya dan ia membenci pendeta yang menculiknya itu. Ki-ni ia melihat bahwa tidak ada pilihan lain baginya kecuali mentaati perintah pembesar ini, kalau ia tidak ingin diperlakukan kasar lagi. Ia mengerti bahwa ia menjadi semacam tahanan, akan tetapi jauh lebih baik tertahan dalam keadaan bebas dari pada dibelenggu terus atau disekap terus dalam kamar tahanan. Dalam keadaan bebas, tentu banyak kesempatan terbuka baginya untuk melarikan diri!
"Baiklah Taijin, saya berjanji takkan memberon-tak dan terima kasih atas kebaikan Taijin"
"Locianpwe," kata Hou Taijin dengan suara ha-lus kepada Kim Hwa Nio-nio, "harap locianpwe atur dan serahkan adik ini kepada para pengasuh lebih dulu, sediakan kamar yang baik, pakaian yang cukup dan makan yang enak, setelah itu kami masih menan-ti locianpwe di sini untuk mengadakan perundingan lebih lanjut."
"Baik, Taijin." Kim Hwa Nio-nio lalu menggan-deng tangan Suma Lian. "Nah, kalau sejak kemarin engkau tidak memberontak, tentu kami sudah mem-perlakukan engkau dengan baik.
Marilah, anak ma-nis."
Kalau saja Sai-cu Lama yang menggandengnya, biarpun kini ia tidak memberontak lagi, Suma Lian tentu tidak akan mau. Akan tetapi ia tidak membenci nenek ini walaupun ia juga tidak menyukainya, dan iapun menurut saja ketika digandeng dan hendak di-ajak keluar dari Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
326 ruangan itu. Setelah menyerahkan Suma Lian kepada para pembantunya agar anak itu memperoleh
rawatan yang baik dan sekali-kali tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi diam-diam Kim Hwa Nio-nio memerin-tahkan anak buahnya untuk mengamati anak itu baik-baik dan
menjaganya agar ia tidak sampai melarikan diri dari situ, nenek itu lalu kembali ke ruangan tamu.
"Locianpwe berdua, kami menerima dengan gem-bira anak keluarga Suma itu, akan tetapi untuk se-mentara saya titipkan dulu ia di sini. Terutama locian-pwe Kim Hwa Nio-nio harap menjaganya baik-baik karena sekali waktu tentu ia akan kubawa ke istana. Jangan sampai ia kekurangan sesuatu dan jangan sampai melarikan diri. Akan tetapi, harap rahasiakan tempat persembunyiannya dari orang luar. Mengerti-kah, locianpwe?"
Kim Hwa Nio-nio mengangguk-angguk. "Baik Taijin. Saya sendiri yang akan menjaganya."
Wajah pembesar itu nampak lega dan diapun ber-kata gembira. "Sekarang, harap keluarkan hidangan dan hiburan untuk menjamu Lo-suhu dari Tibet se-bagai sambutan selamat datang dari kami."
Kim Hwa Nio-nio bertepuk tangan beberapa kali sebagai perintah dan pintupun terbuka.
Beberapa orang pelayan, laki-laki dan wanita, kesemuanya mu-da-muda dan berpakaian bersih, yang pria tampan dan wanita cantik masuk dengan sikap gesit dan terlatih baik.
Mereka lalu mengatur masakan-masakan di atas meja dan bagaikan sekumpulan burung dara de-lapan orang pelayan ini pulang pergi mengambil ma-sakan-masakan dari dapur dan ruangan itupun menja-di sedap baunya oleh uap masakan-masakan yang ma-sih panas itu.
Rombongan ini disusul oleh rombongan tari dan nyanyi yang terdiri dari dua orang wanita dan empat orang laki-laki. Mereka mengenakan pakaian seniman yang beraneka warna sambil membawa alat-alat musik mereka. Muka mereka, baik yang laki-laki maupun yang
perempuan, dirias dengan bedak tebal dan gincu sehingga hampir menyerupai kedok-kedok.
"Taijin, rombongan ini sengaja saya undang dari kota raja," kata Kim Hwa Nio-nio memperkenalkan enam orang itu.
Hou Sen mengangguk-angguk. "Bagus, bagus, kalau permainan kalian malam ini
memuaskan, tentu kami akan memberi hadiah yang besar."
Enam orang itu berlutut menghadap pembesar itu, akan tetapi sebelunm mereka menjawab, dari pin-tu yang terbuka itu menerobos masuk sepuluh orang pengawal anak buah Kim Hwa Nio-nio dan muka mereka memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang he-bat telah terjadi.
Melihat mereka masuk begitu saja tanpa dipanggil, berkerut sepasang alis Kim Hwa Nio -nio.
"Kalian ada laporan apa!" bentaknya marah.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan menjadi komandan regu itu, melangkah maju dan dengan sikap gugup dia menuding ke arah enam orang seniman yang masih berlutut di situ. "Mereka.... mereka ini.... palsu! Mereka membunuh enam orang rombongan seniman dari kota raja dan mereka menyamar...."
"Apa....?" Hou Taijin membentak dengan wajah berubah pucat memandang kepada enam Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
327 orang seniman palsu itu. "Siapa kalian dan mau apa datang ke sini?"
"Mau membunuh kau laki-laki cabul!" Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak dan serentak dua orang wanita dan empat orang laki-laki itu sudah mencabut keluar pedang masing-masing yang tadi disembunyikan bersama alat-alat musik dan pakaian! Akan tetapi, belasan orang pengawal sudah mengepung mereka itu sehingga mereka tidak dapat
me-nyerang Hou Seng yang oleh Kim Hwa Nio-nio lalu dibawa ke pinggir dan dilindunginya.
Sedangkan Sai-cu Lama hanya memandang dengan sikap tenang saja, malah dia menyambar seguci arak dan mulai minum-minum melihat betapa belasan orang penga-wal itu mulai mengeroyok enam orang musuh untuk menangkap mereka, hidup atau mati. Akan tetapi, ternyata enam orang itu lihai sekali ilmu pedang me-reka sehingga dalam beberapa gebrakan saja, enam orang pengawal sudah roboh tertusuk atau terbacok pedang! Hal ini membuat Hou Taijin menjadi keta-kutan, akan tetapi Kim Hwa Nio-nio menenangkan-nya.
"Jangan khawatir, Taijin, ada saya di sini," kemudian ia berkata kepada Sai-cu Lama. "Lama, apa-kah engkau masih mau enak-enak minum arak saja sekarang" Taijin sudah tak sabar lagi untuk melihat kemampuanmu!"
Sai-cu Lama bangkit dan menghampiri arena perkelahian, lalu dari mulutnya menyemburkan arak yang menderas bagaikan hujan, akan tetapi yang membuat semua orang yang sedang bertempur itu, baik para pengawal maupun para penyerbu, terpaksa mundur karena mereka tidak dapat membuka mata terhadap serangan percikan arak yang begitu kuat dan seperti dapat menusuk kulit muka!
"Para pengawal, mundurlah dan bawa pergi te-man-temanmu yang terluka keluar dari sini, agar gerakan pinceng tidak terhalang!" kata kakek gen-dut itu tenang-tenang saja. Para pengawal lalu me-nolong enam orang kawan mereka yang terluka, membawa mereka keluar dari ruangan tamu yang amat luas itu. Kini kakek itu menghampiri enam orang seniman yang ternyata adalah orang-orang yang datang untuk membunuh Hou Taijin.
"Kalian sudah bosan hidup dan datang untuk mengantar nyawa. Hayo berlutut agar pinceng dapat membunuh kalian tanpa menyiksa lagi."
Tentu saja enam orang itu menjadi marah. De-ngan semburan arak tadipun mereka sudah tahu bahwa pendeta gendut ini lihai sekali, akan tetapi karena mereka berenam dan mereka juga berada di dalam sarang musuh, mereka menjadi nekat dan se-rentak mereka maju menyerang Sai-cu Lama yang berdiri menantang. Enam batang pedang dengan gerakan cepat sekali meluncur atau melayang ke arah tubuh gendut itu dari segala jurusan.
Enam orang itu jelas bukan orang sembarangan karena sekali bentrok saja mereka masing-masing telah merobohkan seorang pengeroyok dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka cukup cepat dan kuat. Akan tetapi, yang mereka serang saat itu ada-iah Sai-cu Lama, orang yang memiliki tingkat kepan-daian jauh lebih tinggi dari mereka. Dari gerakan mereka saja Sai-cu Lama sudah tahu bahwa dia, enam orang itu bukan merupakan lawan yang terlalukuat . Kalau dia menghendaki, dalam beberapa gebrakan saja dia mampu untuk merobohkan enam orang la-wannya. Akan tetapi, di situ terdapat Hou Seng, pembesar yang berkuasa di istana itu dan dia ingin memperlihatkan kepandaiannya. Maka, begitu meli-hat datangnya tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan, dia sengaja memperlihatkan kekebalannya.
Dengan kedua lengan tangan telanjang, dia menangkisi semua serangan itu, bahkan tusukan sebatang pedang dari belakang dan bacokan pedang dari kiri yang mengenai punggung dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
328 lehernya, dia sengaja diamkan saja tanpa ditangkis. Terdengar suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental begitu terkena tangkisan lengannya maupun yang mengenai punggung dan le-hernya, tanpa sedikitpun melukai kulitnya, kecuali merobek bajunya di bagian punggung!
Tentu saja Hou Seng kagum bukan main, sebalik-nya enam orang penyerang itu terkejut setengah ma-ti. Tak mereka sangka bahwa di situ hadir seoran-g pendeta Lama yang demikian lihainya. Akan tetapi, untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin ka-rena tempat itu dijaga oleh banyak sekali pengawal. Mereka menjadi nekat dan kini menyerang kembali dengan pedang mereka, hanya kini menujukan se-rangan mereka ke arah bagian-bagian tubuh yang kiranya tidak dapat dilindungi kekebalan, terutama di bagian mata.
Menghadapi serangan ini, Sai-cu Lama tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ini tikus-tikus kecil berani bermain gila di depan seekor harimau!" Kaki tangannya bergerak dengan aneh dibarengi bentakan--bentakannya yang melumpuhkan dan dalam waktu singkat saja lima dari enam orang penyerbu itu telah roboh tewas dan yang ke enam, yang wanita dan usianya sekitar tigapuluh tahun, berwajah cantik, sudah ditangkapnya! Wanita itu terpaksa melepaskan pedangnya dan kini tertotok roboh tak mampu ber-gerak lagi karena kaki tangannya lumpuh.
"Ha-ha-ha, apakah Hou Taijin ingin melihat bagaimana macamnya orang ini di balik pakaiannya?" Dan sekali tangannya bergerak, terdengar kain robek dan pakaian bagian depan dari wanita itu telah diro-bek lepas! Nampak tubuhnya yang lumayan mulus-nya, dan wanita itu hanya mampu merintih namun tidak mampu bergerak untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bagian depannya- itu.
"Nanti dulu, jangan bunuh orang ini. Kita harus tahu siapa yaag menyuruh mereka!" Tiba-tiba Hou Taijin berseru keras. Dalam keadaan seperti itu, ma-na dia tertarik melihat tubuh wanita telanjang" Pula, wanita itu sudah terlalu tua untuknya. Bagi pembesar istana ini, usia wanita lewat limabelas ta-hun sudah terlalu tua!
Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk-angguk dan tertawa, maklum apa yang
dikehendaki oleh Hou Taijin. "Heh-heh, tikus betina, kau sudah men-dengar sendiri ucapan Hou Taijin. Hayo katakan, siapa yang mengutus kalian berusaha membunuh Hou Taijin"
Hayo katakan, kalau tidak aku akan menge-rat tubuhmu sepotong demi sepotong, tidak sampai kau mati, akan tetapi akan membuat engkau hidup sebagai seorang yang tanpa batang hidung, tanpa da-un telinga, tanpa jari tangan dan kaki!"
Wanita itu memang maklum bahwa ia sudah ti-dak berdaya. Mendengar ancaman itu, ia bergidik. Tak dapat ia membayangkan betapa ngeri dan seng-saranya dibiarkan hidup dalam keadaan cacad seperti itu. Lebih baik dibunuh saja! Dan iapun tahu bah-wa seorang sakti dan kejam seperti pendeta Lama ini tentu akan memenuhi gertakannya tadi. Maka, de-ngan lirih dan suara gemetar iapun membuat peng-akuan.
"Yang mengutus kami adalah.... adalah.... Pangeran Cui...."
"Apa" Pangeran Cui yang mana" Yang tua atau yang muda?"
"Pangeran.... Cui muda...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
329 "Keparat!" bentak Hou Seng sambil memukul-kan kepalan tangan kanan ke atas telapak tangan ki-rinya sendiri. Wajahnya berubah merah dan dia ma-rah sekali. Pangeran Cui muda itu adalah seorang pangeran yang menjadi keponakan kaisar, termasuk seorang di antara mereka yang tidak suka kepadanya. Biarpun di dalam sebuah pesta yang diadakan pernah pangeran muda Cui itu menghinanya dengan sindiran dengan bercerita tentang kehidupannya sebagai selir pria kaisar, namun dia menahan dirinya. Pangeran muda Cui itu bukan merupakan seorang lawan yang membahayakan kedudukannya, oleh karena itu mem-perbesar permusuhan dengannya tidak ada artinya, tidak menguntungkan. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa agaknya pangeran muda itu demikian benci kepadanya sehingga diam-diam mengutus enam orang jagoan untuk membunuhnya!
"Lo-suhu, kalau lo-suhu dapat membawa kepala pangeran Cui muda kepadaku, barulah aku percaya akan kesetiaan lo-suhu kepadaku!" Setelah berkata demikian, dengan tergesa-gesa Hou Seng meninggal-kan rumah itu, pulang ke rumah sendiri dengan kere-tanya, dikawal dengan ketat oleh anak buah Kim Hwa Nio-nio.
"Celaka, di mana anak setan itu?" Tiba-tiba Kim Hwa Nio-nio berteriak. Ia telah kehilangan Suma Lian! Tadi, ketika ia melindungi Hou Taijin, ia lupa kepada anak perempuan itu. Kini, setelah Hou Seng pergi, baru ia teringat akan Suma Lian dan setelah mengatur anak buahnya untuk mengawal Hou Seng dengan ketat, ia lalu mencari dan memaki-maki karena kehilangan anak, perempuan itu.
"Ia, takkan mampu lari jauh, Nio-nio. Sebaiknya engkau membantuku, apa yang harus kulakukan dengan perempuan ini dan bagaimana aku dapat me-menuhi permintaan Hou Taijin tadi!" kata Sai-cu Lama sambil memandang kepada wanita yang masih terlentang di atas lantai itu. "Kubunuh saja ia ini?" Dia menuding ke arah tubuh wanita itu.
"Enam orang anak buahku terluka oleh mereka. Lemparkan ia untuk enam orang anak buahku yang terluka. Kemudian kita rundingkan tentang perintah tadi. Biar kubawa sendiri perempuan ini!" Kim Hwa Nio-nio lalu menjambak rambut yang terlepas dari sanggulnya itu, sekali renggut saja tubuh yang lemas itu bangkit berdiri dan Kim Hwa Nio-nio membentak penuh ancaman, "Hayo katakan siapa nama pemimpin rombongan kalian dan yang mana dia"
Perempuan yang sudah ketakutan itu hanya dapat memandang dengan sepasang matanya yang terbelalak ketakutan ke arah seorang di antara mereka yang berjenggot panjang dan bertubuh tinggi kurus dan yang sudah menggeletak dengan nyawa putus. "Dia.... dialah pemimpin dan toako kami, bernama....Ban Leng...."
"Nah, Sai-cu Lama, kauambil kepalanya dan bawa dalam bungkusan. Aku akan mengantar dulu perem-puan ini!"
Kim Hwa Nio-nio pergi menyeret perempuan itu dan menengok enam orang anak buahnya yang tadi terluka oleh pedang dan ia melemparkan perempuan itu di antara mereka yang masih rebah. "Nih, untuk obat jerih payah kalian!" Kemudian ia meninggal-kan perempuan itu di dalam kamar. Telinganya masih menangkap jerit rintih perempuan itu di antara suara ketawa orang-orangnya dan ia pun tersenyum sadis.
Ketika ia kembali ke ruangan tamu, Sai-cu Lama telah membungkus kepala si jenggot panjang dengan kain, setelah memenggal leher mayat itu dengan pe-dang rampasan. Kim Hwa Nio-nio memerintahkan orang-orangnya untuk membawa pergi mayat-mayat itu dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
330 membersihkan ruangan tamu, sedangkan ia sendiri mengajak Sai-cu Lama berunding di kamarnya.
Dan malam itu juga, keduanya pergi meninggal-kan rumah besar itu. Sai-cu Lama pergi membawa buntalan tebal, sedangkan Kim Hwa Nio-nio pergi mencari Suma Lian bersama lima orang pembantu pilihan. Ia percaya bahwa tak mungkin Suma Lian dapat meninggalkan kota raja pada malam hari itu. Anak itu tentu masih berada di kota raja, bersembu-nyi di suatu tempat.
Malam sudah menjelang pagi ketika sesosok tubuh yang tinggi besar berperut gendut memasuki halaman sebuah rumah mungil bercat merah. Dua orang penjaga segera keluar dari pintu gerbang dan menghadang pendeta yang berperut gendut dan mem-bawa buntalan besar itu. Rumah itu adalah rumah pelesir, tidak mungkin seorang pendeta datang ke situ untuk mencari perempuan! Apa lagi pada saat seper-ti itu!
"Heiii, tahan dulu. Siapa kau dan mau mencari siapa" Kami rasa engkau telah keliru masuk rumah orang!"
Pendeta itu menggeleng kepala. "Salah masuk" Bukankah ini rumah pelesir Pintu Merah"
Dan bu-kankah Pangeran Cui Muda berada di sini?"
Dua orang itu adalah pengawal-pengawal pange-ran itu yang bertugas jaga di luar, sedangkan kawan-kawan mereka bertugas jaga di dalam. Mereka se-dang kesepian, mengantuk dan kedinginan. Kini me-reka merasa beruntung ada suatu yang penting dapat mereka sampaikan paling dulu kepada sang pangeran.
"Eh" Bagaimana kau menyangka seorang pa-ngeran berada di tempat ini" Jangan bicara semba-rangan, lo-suhu!" kata seorang di antara mereka ketika kini Sai-cu Lama berdiri di bawah sinar lampu sehingga mereka berdua dapat melihat jelas bahwa dia adalah seorang pendeta.
"Dari siapa engkau bisa mengatakan bahwa Pangeran Cui Muda berada di sini?" tanya seorang ke dua. "Jangan mencurigai pinceng, kawan-kawan. Pinceng adalah sahabat baik dari Ban Leng, dan pinceng datang ke sini karena diutus oleh Ban Leng. Dia sen-diri bersama kawan-kawannya tak mungkin datang karena harus bersembunyi dan mereka tidak ingin diketahui orang lain datang menghadap sang pange-ran, oleh karena itu mengutus pinceng agar tidak menimbulkan kecurigaan. Siapa akan mencurigai seorang pendeta" Ha-ha-ha!
Tolong laporkan ke-pada Pangeran Cui Muda bahwa pinceng Tiong Hwesio utusan Ban Leng, datang mohon menghadap untuk menyampaikan berita tentang enam orang se-niman yang menyerbu musuh!"
Tentu saja dua orang pengawal itu mengenal baik siapa Ban Leng itu. Kepala dari enam jagoan yang dipercaya oleh pangeran. Oleh karena itu, seorang di antara mereka lalu cepat melapor ke dalam dan para kepala pengawal yang mengerti akan pentingnya urusan, lalu memberanikian diri menggugah sang pangeran dari tiduinya.
Pangeran Cui Muda, seperti para bangsawan pada waktu itu, juga merupakan seorang bangsawan muda yang suka pelesir. Isteri dan selir-selirnya yang ber-jumlah lebih dari duabelas orang di rumah itu agak-nya mulai membosankannya dan kadang-kadang dia pergi mengunjungi rumah-rumah pelesir untuk menikmati pengalaman-pengalaman baru dengan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
331 pelacur--pelacur yang tentu saja lebih pandai dalam hal melayani kaum pria dibandingkan dengan selir-selirnya. Dan malam itu memang dia sengaja memilih Pintu Merah, rumah pelesir kaum bangsawan, untuk men-jadi tempat dia menantikan Ban Leng dan kawan-ka-wannya yang diutusnya untuk membunuh Hou Seng! Begitu para penyelidiknya memberi kabar bahwa ma-lam itu Hou Seng memanggil serombongan seniman untuk menghihur tamu, dia lalu cepat menyuruh Ban Leng dan saudara-saudaranya untuk bertindak. Ban Leng dan lima orang saudara seperguruannya memang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan pembunuh-pembu-nuh bayaran kelas tinggi yang sudah dipercaya dan diperalat oleh Pangeran Cui Muda.
Mereka lalu mencegat rombangan seniman itu, membunuh dan menyamar menggantikan
kedudukan mereka sampai mereka berhasil berhadapan dengan Hou Seng! Akan tetapi mereka salah perhitungan, sama sekali tidak tahu bahwa di rumah itu terdapat orang-orang sakti seperti Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama!
Karena sudah berjanji untuk menanti Ban Leng dan kawan-kawannya di tempat itu, ketika dia digu-gah dan diberi tahu bahwa seorang yang diutus oleh Ban Leng mohon menghadap, sang pangeran menjadi girang dan cepat menyuruh para pengawalnya yang berjumlah tujuh orang itu untuk membawa utusan Ban Leng itu segera menghadap kepadanya.
Ketika peadeta Lama yang tinggi besar berperut gendut itu menghadap Pangeran Cui Muda, mereka saling pandang penuh selidik dan sang pangeran me-rasa agak heran, sama sekali tidak mengira bahwa utusan Ban Leng itu adalah seorang pendeta hwesio Lama yang belum pernah dilihatnya.
"Siapakah lo-suhu ini" Benarkah engkau disuruh oleh Ban Leng?" tanya pangeran itu dengan alis berkerut dan memandang ke arah buntalan yang ber-ada di atas pundak pendeta itu.
"Pinceng adalah hwesio Tiong yang diutus Ban Leng menyerahkan kepala.... eh, sebelum pinceng melanjutkan, benarkah pinceng berhadapan de-ngan Pangeran Cui Muda?"
"Akulah Pangeran Cui Muda! Ban Leng mengutusmu menyerahkan sebuah kepala" Apakah mereka telah berhasil?" tanya pangeran itu dengan wajah gembira bercampur tegang. Juga para pengawal yang mendengar percakapan itu merasa tegang dan mereka semua mendekat, mengepung hwesio itu untuk meli-hat kepala siapa yang akan di haturkan itu.
Sai-cu Lama tertawa. "Mereka selamat.... -ha-ha, inilah kiriman dari Ban Leng untuk paduka, Pangeran Cui!" Dan diapun membuka buntalan itu perlahan-lahan di depan sang pangeran dan anak buah pengawal. Perlahan-lahan, sebuah kepala nam-pak dan ketika buntalan itu sudah terbuka semua, nampak sebuah kepala yang tengadah dan terdengar pangeran itu berteriak kaget karena dia segera menge-nal bahwa kepala itu adalah kepala dari Ban Leng sendiri!
Juga para pengawal berteriak kaget. "Pegang orang ini!" Sang pangeran berseru keras dan para pengawal sudah mengepung Sai-cu Lama yang kini tertawa bergelak. Ketika tujuh orang itu dibarengi oleh jerit ketakutan beberapa orang wanita pelacur yang mencoba untuk mengintai dan mereka melihat kepala yang berlumuran darah, menyerang ganas, Sai-cu Lama lalu menggerakkan kaki tangannya dan tujuh orang pengawal itu seperti daun-daun kering tertiup angin saja, berpelantingan ke sana-sini!
"Heh-heh, perlahan dulu, pangeran!" Sai-cu La-ma menggerak-gerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pangeran itu seperti orang melambai dan me-manggil dan..... tubuh pangeran Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
332 yang sudah sam-pai ke pintu itu terjengkang dan bergulingan sampai ke depan kaki Sai-cu Lama! Pada saat itu, seorang pengawal yang dapat bangkit kembali dan melihat majikannya terancam, sudah menggerakkan goloknya menyerang dengan bacokan ke arah leher pendeta La-ma itu. Akan tetapi, gerakan golok itu terhenti di tengah udara ketika tiba-tiba kaki Sai-cu Lama me-luncur ke depan, mengenai lambungnya. Orang itu memekik, goloknya terlempar ke atas dan ketika me-luncur turun, sudah disambut oleh tangan kiri Sai-cu Lama.
"Ampun.... ampunkan aku...." ratap sang Pangeran Cui, akan tetapi ketika nampak sinar golok itu berkelebat, leher pengeran itu sudah putus dan kepalanya sudah terangkat ke atas dengan dijambak rambutnya oleh Sai-cu Lama. Dan pendeta Lama itupun tidak mau bekerja kepalang tanggung. Dia membawa kepala yang masih bertetesan darah itu sambil mengamuk dan tanpa ampun lagi dibunuhnya tujuh orang pengawal itu, suami isteri tua pemilik rumah pelacuran itu dan tidak ketinggalan pula lima orang pelacur yang berada di situ dan dua orang pe-layan! Habislah seluruh penghuni Pintu Merah itu, dibantai oleh Sai-cu Lama
menggunakan golok ram-pasannya. Kemudian, sekali berkelebat diapun sudah meninggalkan rumah itu sambil membawa sebuah ke-pala, kepala yang dibuntalnya pula dengan kain be-kas pembungkus kepala Ban Leng tadi!
Dan pada pagi hari itu juga, tanpa diketahui seorangpun, diam-diam Sai-cu Lama mengirim kepala itu ke rumah Hou Taijin! Ketika Hou Taijin ter-bangun dari tidurnya, tahu-tahu di meja kamarnya telah terdapat buntalan itu yang ketika dibuka ternyata berisi kepala Pangeran Ciu Muda! Tentu saja Hou Seng menjadi girang akan tetapi juga ngeri, ce-pat dia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengubur kepala itu secara rahasia. Kini dia baru percaya benar akan kelihaian dan kesetiaan Sai-cu La-ma dan hatinya merasa girang bukan main. Di sam-ping Kim Hwa Nio-nio, dia memperoleh tenaga ban-tuan seorang yang boleh diandalkan, yang tentu saja akan memperkuat kedudukannya dalam persaingan dengan para pembesar yang tidak suka kepadanya.
Sementara itu, Suma Lian yang tadi mengikuti keributan yang terjadi di rumah itu karena penyerbuan enam orang musuh Hou Taijin yang menya-mar sebagai seniman-seniman,
mempergunakan ke-sempatan selagi terjadi keributan dan tak seorang pun memperhatikan dirinya, untuk menyelinap keluar dari rumah. Para pengawal dan penjaga yang menge-rahkan seluruh perhatiannya terhadap enam orang yang sedang digempur oleh Sai-cu Lama, ten-tu saja tidak menaruh perhatian terhadap Suma Lian, apa lagi tidak ada perintah apapun dari Kim Hwa Nio-nio.
Suma Lian lari ke dalam kegelapan malam, berlindung dari bagian-bagian gelap, menyelinap di antara rumah-rumah orang dan ia merasa agak lega bahwa tidak terdengar ada orang mengejarnya. Akan tetapi setelah berjalan berputar-putar di kota raja yang besar itu, tidak tahu ke mana harus melarikan diri, tahu-tahu malam mulai berganti pagi dan kegelapan mulai terusir oleh sinar matahari. Hatinyapun mulai gelisah.
Kegelisahannya berubah kekhawatiran dan keta-kutan ketika tiba-tiba, dari balik sebuah rumah, ia melihat Kim Hwa Nio-nio dan lima orang pengawal. di depan dan berhenti di simpang empat. Ia cepat menyelinap dan bersembunya di balik rumah itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kalau mereka itu berpencar mencarinya, tentu ia akan terpegang!
Ia menoleh ke belakang. Ada sebuah jembatan besar di jalan itu. Kalau saja ia dapat melewati jemba-tan itu tanpa terlihat, tentu ia akan dapat lari men-jauh, dan mencari tempat sembunyi yang aman! Di seberang jembatan nampak banyak pohon-pohon dan semak-semak, ia dapat bersembunyi di balik pohon-pohon atau di balik semak-semak itu!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
333 Dengan nekat Suma Lian lalu lari, agak membongkok-bongkok, melalui bagian gelap dari jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya seper-ti diangkat ke atas dan tahu-tahu tubuh itu sudah terlempar keluar dari jembatan! Kalau saja bukan Suma Lian, gadis cilik yang memiliki ketabahan luar biasa, tentu sudah menjerit. Akan tetapi Suma Lian menahan rasa ngerinya dan tidak menjerit, bah-kan tidak sempat menjerit karena tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan tidak lagi mampu mengeluarkan suara karena ia sudah tertotok!
Suma Lian mengejap-ngejapkan matanya untuk membiasakan mata itu dalam cuaca yang agak gelap itu. Ternyata ia sudah berada di bawah jembatan dan ketika ia dapat melihat lebih jelas, ia telah terduduk dan tak mampu bergerak, sedangkan di dekatnya du-duk seorang kakek tua yang berpakaian jembel butut! Wajah kakek itu penuh rambut yang sudah putih se-mua, rambutnya awut-awutan menutupi muka, ber-campur dengan jenggot dan kumisnya yang juga su-dah putih semua. Seorang kakek tua renta yang ber-pakaian jembel, seorang pengemis yang kotor! Dan apa yang selanjutnya dilakukan oleh kakek itu membuat Suma Lian demikian kaget dan takutnya sehing-ga ia merasa jantungnya hampir copot. Kakek itu merenggut semua pakaiannya, merobek-robek pakai-an itu dan melemparnya ke bawah, setelah membun-tal sepotong batu dengan pakaian itu. Tentu saja pa-kaian itu tenggelam ke dalam air sungai! Dan kini, kakek itu tanpa banyak cakap lagi, memercik-mercik-kan air kotor berlumpur ke seluruh tubuh Suma Lian. Air berlumpur itu dicampur dengan bungkusan obat yang dikeluarkan dari saku jubahnya yang butut. Seluruh tubuh anak itu berlumur campuran ini yang membuat seluruh kulitnya, dari tumit sampai ke kulit kepala bawah rambut, menjadi kecoklatan. Dan rambut anak itu diawut-awut secara kasar! Kemu-dian, dia mengeluarkan sehelai kain yang butut dan penuh tambalan, dan memaksa Suma Lian mengenakan pakaian ini dan berubahlah Suma Lian menjadi seorang anak pengemis yang amat buruk, kotor dan berbau busuk pula!
"Hemmm, sudah agak patut, akan tetapi rambutmu terlalu bersih, tidak ada kutunya seekorpun. Ini tidak mungkin bukan?" Entah kepada siapa dia bi-cara, kepada diri sendiri atau kepada Suma Lian atau kepada seseorang yang tidak nampak. Kemudian, de-ngan hati-hati, di dalam cuaca yang masih agak ge-lap di bawah jembatan itu, dia mulai mencari kutu-kutu dari rambutnya yang putih awut-awutan dan setiap kali mendapatkan seekor, lalu kutu rambut itu dia letakkan ke dalam rambut Suma Lian. Tentu sa-ja anak ini merasa jijik, takut dan ngeri sehingga ka-lau saja ia mampu mengeluarkan suara, tentu ia akan menjerit-jerit! Diam-diam ia memperhatikan kakek itu dan memandang dengan sepasang mata terbelalak penuh
kemarahan dan kebencian. Celaka, pikir Suma Lian. Ini namanya dari sumur terjerumus ke dalam lubang! Terlepas dari tangan orang-orang macam Sai-cu Lama, kini terjatuh ke tangan seorang kakek yang selain lebih sadis, lebih jahat, juga masih ditambah kenyataan yang mengerikan, yaitu gila! Sepuluh kali lebih baik menjadi tawanan Sai-cu La-ma atau nenek yang bernama Kim Hwa Nio-nio itu dari pada ditawan oleh kakek gilaini. Ia tidak mam-pu bergerak dan tidak mampu bersuara karena ditotok, juga tidak tahu nasib apa yang akan dihadapinya. Akan tetapi jelas amat mengerikan karena kakek ini memang orang gila. Baru mencium bau pakaian kakek itu daripakaian yang dipaksakan menutupi tubuhnya saja, ia sudah muak dan hampir muntah.
Tiba-tiba terdengar suara panggilan lembut, sua-ra lembut akan tetapi nyaring menusuk telinga, su-ara Kim Hwa Nio-nio! "Anak baik, keluarlah dari tempat sembunyimu! Jangan membikin marahku, nanti kujewer telingamu!"
Beberapa kali suara itu terdengar dan Suma Lian mengerahkan tenaga untuk membebaskan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
334 totokan yang membuat suaranya tak dapat dikeluarkan. Agak-nya kakek tadi menotok sembarangan sehingga dengan pengerahan tenaga sin-kangnya, akhirnya ia mampu
mengeluarkan suara,".... aku....!" Akan tetapi baru mengeluarkan kata itu yang dimaksudkan untuk memberi tahu Kim Hwa Nio-nio bahwa ia ber-ada di bawah jembatan, kakek jembel itu nampak terkejut dan sudah menotoknya lagi!
"Sialan kau anak gila!" bisik kakek itu. Huh, kakek jembel, engkau yang gila, malah memaki aku gila, balas Suma Lian memaki dalam hatinya. "Kalau mereka mendengar dan minta kita keluar, engkau harus keluar dengan kaki terpincang-pincang. Mengerti?"
Suma Lian nenentang pandang mata kakek itu dengan penuh kemarahan dan sengaja
menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak mau menurut! "Kau ha-rus terpincang-pincang!"
kakek itu berbisik lagi, nada suaranya memaksa. Akan tetapi tetap saja Suma Lian menggeleng kepala dan tersenyum mengejek. Ada rasa girang di hatinya bahwa ia mampu melawan dan membuat kakek itu kecewa, walaupun hanya de-ngan tidak mentaati perintah gila dan aneh itu!
Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang di atas jembatan! Lalu terdengar bentakan suara Kim Hwa Nio-nio dengan nyaring, "Siapa berada di bawah jembatan" Hayo keluar!"
Kakek itiu tidak menjawab. Tiba-tiba nampak kepala Kim Hwa Nio-nio menjenguk ke bawah jem-batan. "Heiii, kalian! Hayo keluar, cepat!" ben-taknya.
Kakek itu kini membebaskan totokan pada kaki tangan Suma Lian, akan tetapi tetap tidak membe-baskan totokan yang membuatnya tak mampu ber-suara, lalu dia menggerakkan jari telunjuknya menge-tuk tulang kering kaki kiri Suma Lian.
"Tukk....!" Bukan main nyeri rasa kaki yang diketuk itu. Suma Lian tentu menjerit kesakitan kalau saja ia tidak tertotok dan ia hanya mampu memegangi dan mengurut-urut kaki itu yang rasanya seperti patah-patah tulang keringnya. Akan tetapi kakek itu menariknya keluar dari jembatan itu. Tan-pa diperintah lagi, Suma Lian yang ditarik itu terpicang-pincang.
Tangannya tak pernah terlepas dari pegangan si kakek, begitu kerasnya pegangan itu, seolah-olah merupakan ancaman bahwa kalau ia memberi tanda-tanda, tentu tangannya itu akan dicengkeram sampai hancur!
Kim Hwa Nio-nio dan lima orang temannya menghampiri kakek jembel itu. "Siapa anak ini bentak?" Kim Hwa Nio-nio.
"Heh-heh, anak sialan ini" Ia cucuku, akan te-tapi ia timpang dan gagu. Huh, tidak ada harapan untuk menampung hari tuaku. Eh, kalian mau mem-belinya" Akan kujual murah, asal kalian mempu-nyai seguci arak saja dan beberapa keping uang un-tukku, kuberikan anak ini, heh-heh-heh!"
Bukan main marahnya Suma Lian! Ia dikatakan timpang dan gagu, dan mau dijual, bukan malah hanya ditukar dengan seguci arak! Kakek gila ini benar-benar jahat sekali, lebih jahat dari pada Sai-cu Lama! Akan tetapi karena genggaman pada tangan-nya itu keras sekali dan ia tidak mau tangannya re-muk, apa lagi ia tahu bahwa kakek ini amat lihai dan belum tentu kalah oleh Kim Hwa Nio-nio, iapun di-am saja hanya menundukkan mukanya.
Kim Hwa Nio-nio sudah putus harapan melihat anak perempuan jembel itu. Sama sekali Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
335 bukan Suma Lian, bumi dan langit jauh bedanya. Anak ini hitam, kotor, berbau, timpang dan gagu lagi. Tiba-tiba ia menggunakan kebutannya untuk menyingkap pakaian yang
membungkus tubuh anak itu. Nampak kulit tubuhnya yang kotor kecoklatan, maka ditutupnya lagi dengan menarik kembali kebutannya. Nenek ini memang cerdik. Kalau tadi nampak tubuh itu putih mulus, tentu akan timbul kecurigaannya. Akan tetapi anak perempuan itu memang kotor luar dalam!
"Maukah kalian beli" Mau" Murah saja...."
"Huh, mampuslah kau tua bangka pemabuk gila. Mari kita pergi!" Kim Hwa Nio-nio
mendengus dan mengajak anak buahnya pergi dari situ. Kakek itu menggerutu panjang pendek.
"Sialan! Terkutuk! Dijual murahpun tidak laku.... hayaaaa....!" Dan diapun menyeret tubuh Suma Lian dan gadis cilik ini terpaksa mengikutinya dengan kaki terpincang-pincang karena rasa nyeri di kakinya belum juga sembuh.
Kakek itu terus menyeret tubuh Suma Lian sam-pai ke pintu gerbang. Pintu gerbang itu sudah dibu-ka dan orang-orang mulai keluar masuk. Para penja-ga pintu gerbang tentu saja tidak mencurigai kakek jembel itu, walaupun pada pagi hari itu terjadi geger- dan penjagaan di situ amat ketat dan pengawasan terhadap orang-orang yang keluar masuk lebih teliti. Berita tentang peristiwa pembunuhan yang hebat di rumah pelesir Pintu Merah itu sudah tersiar dan ter-dengar oleh mereka pula. Dikabarkan orang betapa Pangeran Cui Muda telah tewas di tempat itu dan kepalanya hilang entah ke mana. Semua pengawal dan penghuni rumah itupun tewas, dan ada pula se-buah kepala yang dikenal sebagai kepala orang yang bernama Ban Leng, seorang jagoan di kota raja. Tentu saja hal ini mengejutkan dan menggegerkan, karena tak seorangpun dapat menduga siapa pembu-nuh semua orang itu.
Baru setelah tiba di luar kota, jauh dari tembok kota raja, di tempat yang sunyi, kakek tua renta itu mengajak Suma Lian berhenti, lalu sekali saja dia mengurut kaki yang diketuk tadi, rasa nyeripun le-nyap. Setelah itu, dia membebaskan totokan yan membuat Suma Lian tadi gagu. Begitu bisa bicara dan dilepaskan pegangan tangannya, Suma Lian me-maki-maki.
"Kau kakek gila, kakek jembel busuk yang bau! Hemm, kalau aku ada kemampuan, tentu akan kubu-nuh kau! Aku benci padamu! Kau telah menghina-ku, menyakiti aku, ahhh....
Dendam Empu Bharada 14 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Perjodohan Busur Kumala 19
^