Dendam Empu Bharada 14
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 14
ksatrya, dia telah menetapi kewajibannya. Sebagai seorang ksatrya,
ia dapat menaruh rasa kagum dan hormat kepada seorang ksatrya
lain. "Aku putera Lembu Tal, rama Lembu Tal adalah putera Mahesa
Campaka atau Batara Narasingamurti. Eyang Batara Narasingamurti adalah putera Mahisa Wonga Teleng. Mahisa
Wonga Teleng adalah putera dari Ken Arok atau baginda Rajasa
sang Amurwabhumi dengan eyang buyut puteri Ken Dedes "
"O" desuh Pasirian "dan siapa baginda Wisnuwardana dan
bagaimana silsilah keturunannya" "
"Baginda Kertanagara yang sekarang ini adalah putera baginda
Wisnuwardana. Sebelum dinobatkan sebagai raja baginda
Wisnuwardana bernama Rangga Wuni dan putera dari Anusapati.
Dan Anusapati adalah putera eyang buyut puteri Ken Dedes
dengan Tunggul Ametung "
"Hm, jika demikian," kata Pasirian "rama dan eyang-eyangmu itu
dari keturunan Ken Dedes "
"Benar " "Engkau dengan raja Kertanagara masih kemanakan dari garis
keturunan Ken Dedes "
"Ya" "Sesungguhnya engkaulah keturunan dari Ken Arok dan raja
Kertanagara itu keturunan dari Tunggul Ametung "
"Demikianlah " "Mengapa engkau begitu mati-matian membelanya" "
"Raden Pasirian" kata Nararya. dengan tenang "yang kubela
adalah Singasari karena kerajaan itu didirikan oleh eyang buyut sri
Rajasa. Bahwa ketentuan kodrat saat ini kerajaan Singasari
diperintahkan oleh raja keturunan dari Tunggul Ametung dan
eyang buyut puteri Ken Dedes, hal itu rupanya memang sudah
garis kehendak dewata. Eyang Batara Narasingamurti tentu sudah
menyadari hal itu dan merelakannya."
"Engkau salah raden Nararya. Seharusnya engkau berusaha
untuk merebut warisan dari sri Rajasa. Engkau lebih berhak."
"Dewata Agung telah menentukan garis hidup pada kita.
Kuserahkan saja kesemuanya itu kepada kehendak Dewata
Agung. Yang penting, perjuanganku saat ini adalah menjaga dan
membela kerajaan Singasari dari setiap gangguan dari manapun
datangnya " "Hm" desuh Pasirian "apakah yang engkau harapkan dari aku" "
"Aku tak berani mengharap terlalu banyak kecuali hanya sebuah
harapan yang tak berarti bagi raden tetapi mempunyai arti besar
bagi perjuanganku." "O, apakah itu" "
"Aku dapat memaklumi tujuan perjuangan raden. Tetapi kitapun
harus mau menerima kenyataan yang telah diberikan oleh Hyang
Batara Agung." "Tetapi kita manusia harus berusaha"
"Benar" sambut Nararya "karena Hyang Batara Agung hanya
merestui pada manusia yang berusaha. Karena manusia yang
berusaha adalah manusia yang menetapi dharma kemanusiaannya. Tetapi hendaknya kita dapat meningkatkan
kecerdasan dan indera kemanusiaan kita pada kenyataan yang
diberikan Hyang Batara Agung itu."
Pasirian merenung. "Baiklah" sesaat kemudian ia berkata "aku dapat menerima
harapanmu itu. Marilah kita tempuh jalan perjuangan kita masing2.
Silahkan engkau melanjutkan perjalananmu "
"O, raden berkenan menghabiskan pertempuran ini" "
"Kurasa demikian" jawab Pasirian "karena tiada membawa
pengaruh besar pada tujuan perjuanganku."
"Baik, terima kasih" kata Nararya "sampai jumpa, raden," dia
terus menghampiri Nambi dan menghaturkan terima kasih atas
bantuannya. Setelah itu dia terus ayunkan langkah menuruni
gunung. "Raden Nararya " tiba2 Pasirian berseru.
"O, apakah raden hendak memberi pesan lagi kepadaku?"
Nararya hentikan langkah berpaling menghadap ke arah Pasirian.
"Mengapa engkau tak menagih janji kepadaku ?" tegur Pasirian.
"Janji" " "Bukankah aku telah berjanji, apabila engkau dapat mengalahkan aku, aku bersedia memberitahu tempat penyimpanan gong Prada kepadamu" "
"O" desuh Nararya "tetapi raden tidak kalah, bagaimana aku
mempunyai muka untuk menagih janji" "
"Aku memang terlongong karena teringat sesuatu. Akibatnya
engkau dapat menendang jatuh senjataku. Tetapi itu bukan alasan
untuk meniadakan kemenanganmu. Dan hal itu merupakan
kesalahanku sendiri. Menurut penilaian, engkau telah memenangkan pertempuran itu ... . "
"Tetapi aku mendapatkannya karena raden sedang termenung
bukan karena gerak pertempuran yang sewajarnya "
"Penilaian pada pertempuran diberikan atas kenyataan dari
kesudahannya. Bukan karena alasannya dari kekalahan itu. Kalah
adalah kalah dan menang tetap menang. Tanpa alasan "
"Ah, raden terlalu merendah diri "
"Bukan merendah diri melainkan mengakui kenyataan. Bukankah
engkau meminta kepadaku supaya melihat kenyataan" Jika
engkau menyangkal hal itu berarti engkau mengingkari
permintaanmu sendiri."
Nararya menghela napas. "Lalu bagaimana kehendak raden?" tanyanya.
"Sudah tentu aku harus menepati janji."
"Ah" Nararya mendesah kejut.
"Akan kuberitahu kepadamu dimana sesungguhnya gong
pusaka itu berada," kata Pasirian seraya memberi isyarat agar
Nararya mendekat. Nararya terkejut, Nambipun kaget. Tetapi agak beda perasaan
kedua pemuda itu. Nararya terkejut karena tak menyangka akan
sikap Pasirian. Dia tahu bahwa rahasia itu amat penting dan hanya
diperuntukkan kepadanya. Ia tentu akan membisiki sepelahan
mungkin agar supaya Nambi jangan sampai mendengarnya. Tiada
setitikpun ia menaruh kecurigaan.
Sedangkan rasa kejut Nambi agak diliputi oleh rasa kecurigaan
dan kecemasan. Menilik betapa sikap Pasirian beberapa saat tadi,
ia cenderung untuk menduga bahwa Pasirian akan melakukan
sesuatu yang membawa akibat menguatirkan terhadap Nararya.
"Raden ...." cepat ia berseru.
Tetapi Nararya berpaling dan mengangguk sebuah senyuman
kepadanya. Pandang matanya memberi isyarat bahwa Nambi tak
perlu menguatirkan keselamatannya.
Nararya maju kedekat Pasirian dan Pasirian dengan nada bisik2
berkata "Raden Nararya, sesungguhnya gong pusaka itu memang
berada ditanganku. Tetapi aku berjanji kepadamu, akan
kukembalikan lagi ke tempat semula di Lodoyo "
Nararya kerutkan dahi. "Dapatkah engkau mempercayai janjiku?" seru Pasirian.
Tanpa ragu3 Nararya mengangguk "Ya. Aku percaya penuh atas
janji raden" "Nararya" kata Pasirian "aku merasa malu dalam hati menerima
kepercayaanmu. Aku berjanji, demi Batara Agung, tentu akan
mengembalikan gong itu."
"Terima kasih, raden" kata Nararya. Kemudian ia menanyakan
lebih lanjut apakah Pasirian masih punya lain2 persoalan yang
hendak disampaikan kepadanya.
"Selamat jalan, raden Nararya" Pasirian menyudahi pembicaraan
itu seraya masuk pula kedalam kuil.
Nararyapun segera hendak lanjutkan perjalanan. Tiba2 ia merasa
sesosok bayangan mengikuti dibelakangnya.
Ia cepat dapat menduga siapa orang itu.
"Ki Nambi" serunya "hendak kemanakah tuan?"
"Aku hendak mengikuti raden ?"
"Ah" Nararya hentikan langkah dan berpaling "mengapa hendak
mengikuti langkahku" "
Sementara itu mereka sudah jauh dari candi tempat Pasirian
tadi. Nambi menawarkan kepada Nararya untuk duduk beristirahat
dibawah sebatang pohon yang tumbuh ditepi jalan "Hari masih
gelap dan raden tentu lelah, marilah kita beristirahat sambil ber-
cakap2." Heran akan sikap orang, diam2 Nararya ingin mengetahui
siapakah sesungguhnya pemuda yang bernama Nambi itu. Dia
mendapat kesan baik terhadap pemuda itu. Bukan karena gembira
mendapat bantuan melainkan karena menghargai tindakan Nambi
tadi. Hanya pemuda yang berjiwa ksatrya, berani bertindak melerai
sebuah pertempuran yang berbahaya.
"Baiklah" kata Nararya lalu menghampiri ke arah sebatang pohon
yang dimaksud Nambi. "Raden" mulailah Nambi membuka percakapan sesaat keduanya
duduk dibawah pohon "mungkin raden tentu heran dan ber-tanya2
dalam hati, mengapa aku tiba2 muncul pada saat raden sedang
melangsungkan pertempuran dengan Pasirian tadi. Dan mengapa
pula aku hendak mengikuti perjalanan raden."
Nararya mengangguk "Benar katamu, ki Nambi. Apabila engkau
tak keberatan, sukalah engkau memberi penjelasan kepadaku "
"Memang demikianlah maksudku, raden," kata Nambi "ayahku
bernama Pranaraja, pernah bekerja sebagai narapraja kerajaan
Singasari ketika masih di perintah rahyang ramuhun Wisnuwardana. Tetapi pada waktu baginda Kertanagara naik tahta,
banyaklah mentri-mentri tua yang dilepas dan dipindah. Ayahpun
di pindah ke Lumajang. Aku tak mau tinggal di Lumajang lalu aku
mengembara. Walau rama tak bilang apa2, tetapi aku ikut perihatin
dan malu atas kepindahan rama itu.
Berhenti sejenak, Nambi melanjutkan pula.
"Suatu pemindahan ke daerah, sama dengan suatu pelorotan
kedudukan .... " "Ah, jangan terlalu mengadakan suatu penafsiran yang keliwat
tajam " seru Nararya "di manapun, di pura kerajaan, di daerah
maupun di puncak gunung, tiadalah berbeda. Karena masih
menjadi kawasan kerajaan Singasari dan masih tetap mengabdi
kepada Singasari." "Benar raden " sabut Nambi "apabila memang demikian tentulah
tiada hal2 yang patut disesalkan. Sebagai contoh, patih sepuh
empu Raganata, dipindah sebagai adhyaksa di Tumapel,
tumenggung Wirakreti dijadikan mentri angabaya, demang
Wiraraja dipindah ke Sumenep. Jelas mentri tua yang setya itu
telah disingkiikan dari pura kerajaan "
"Tetapi bukankah pemindahan2 itu atas titah baginda" " kata
Nararya. "Titah memang baginda yang melimpahkan tetapi rencana patih
Aragani yang merancang. Pembersihan beberapa mentri tua itu,
akan memberi peluang pada patih Aragani untuk merebut
pengaruh di pura kerajaan. Demikian yang dialami rama."
Nararya mengangguk. Memang peristiwa itu diapun sudah
mendengar. "Nambi, demikian pesan rama kepadaku "Nambi melanjutkan
penuturannya pula "memang sukarlah menjadi narapraja yang
jujur. Lihatlah betapa menyedihkan keakhiran nasib dari empu
Raganata, patih sepuh yang amat setya pengabdiannya kepada
kerajaan Singasari itu. Hanya karena tak setuju akan tindakan
baginda Kertanagara yang hendak meluaskan pengaruh ke tanah
seberang, mengirim pasukan Singasari ke Melayu, maka patih
empu Raganata telah dilorot dan dipindah ke Tumapel. Rama
sudah terlanjur mengabdi sebagai narapraja tetapi engkau Nambi,
janganlah engkau mengikuti jejak rama "
Nararya kerutkan dahi. "Bagaimana mungkin seorang narapraja kerajaan akan menasehati puteranya agar jangan menjadi narapraja kerajaan"
Bukankah hal itu dapat mengingkari pengabdiaannya" "
"Benar raden" kata Nambi "tetapi rama tidak mengingkari rasa
pengabdian kepada negara. Rama mengatakan, untuk mengabdi
kepada negara dan kerajaan, terdapat banyak sekali jalannya.
Tidaklah selalu pengabdian itu harus diwujutkan sebagai seorang
narapraja" Nararya terkesiap lalu mengangguk. Ucapan rama Nambi itu
memang benar. Rama dari Nararya sendiri juga tak mau menjadi
narapraja melainkah hidup di pertapaan yang sunyi.
"Aku dapat menghayati makna dari ucapan rama itu" kata Nambi
pula "akupun lalu mengembara dengan tujuan hendak menuntut
ilmu yang berguna dan kelak dapat kupersembahkan kepada
negara. Setelah bertahun2 mengembara, akhirnya aku berguru
pada begawan Maya Lejar di puncak gunung Lejar"
"O" desuh Nararya.
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tiba2 kemarin sang begawan memanggil aku menghadap. Dia
mengatakan bahwa dalam semedhinya semalam dia melihat
sebuah sinar gemilang meluncur dari langit dan tiba di candi lereng
gunung ini. Guru menitahkan aku supaya lekas turun gunung."
Nararya terkesiap. "Cahaya yang bundar sebesar buah kelapa dan bersinar terang
itu, hanya dua macam. Apabila bukan suatu ndaru atau sinar gaib
yang memperlambangkan kebahagiaan atau peristiwa yang besar,
tentulah lambang dari seorang yang menjadi kekasih dewata,
seorang manusia yang mempunyai sejarah besar. Lekaslah
engkau turun gunung, Nambi "
"Setelah aku berkemas dan menghadap untuk mohon diri, sang
begawanpun menyerahkan pedang kepadaku dengan pesan
supaya digunakan dalam keadaan yang penting"
Nararya diam. "Pada saat aku turun dari puncak dan menuju ke candi, aku
terkejut ketika melihat sinar yang menyilaukan, memancar dari
candi itu," kata Nambi pula "bergegas aku lari menghampiri. Dan
pada saat itu yang kulihat raden sedang menghadapi serangan
Pasirian. Betapa kejut hatiku ketika melihat raden hendak dihantam
besi kuning oleh Pasirian. Sambil berlari akupun meneriakinya
supaya menghentikan tindakannya yang ganas itu. Demikianlah
raden asal mula mengapa aku tiba2 muncul di candi dan
menyentakkan bahu Pasirian "
Nararya terkejut. "Dimanakah sinar gemilang itu?" tanyanya. Ia teringat akan
pesan gurunya untuk mencari wahyu gaib yang akan diturunkan
oleh dewata. Dengan penuh harap ia menantikan keterangan
Nambi. Dalam alam pikirannya, benda gemilang yang dilihat oleh
begawan Maya Lejar dalam impian dan dilihat dengan mata kepala
sendiri oleh Nambi, tentulah benda yang gaib. Mungkin wahyu
yang hendak dicarinya itu.
"Sinar terang itu hilang manakala aku melihat raden sedang
bertempur dengan Pasirian"
"Ah" Nararya menghela napas. Ketegangan ha tinya melonggar
tetapi perasaannya masih kecewa seperti kehilangan sesuatu yang
belum pernah dimilikinya "mungkin sinar itu adalah diri Pasirian
yang sedang bertapa" akhirnya ia mencetuskan uneg2 dalam
hatinya. Nambi kerutkan dahi. "Berapa lamakah raden tiba di candi itu ?" tiba2 ia bertanya.
"Baru malam itu juga "
"Oh" tiba2 Nambi berteriak "jika demikian, benda bercahaya itu
jelas bukan dari diri Pasirian"
"Bagaimana engkau mengatakan begitu" "
"Karena guru baru dua hari ini mendapat wangsit gaib itu dan
baru kemarin menitahkan aku turun ke candi. Bukankah Pasirian
sudah beberapa hari bertapa di candi itu" "
Nararya terbeliak "Lalu" "
"Raden " seru Nambi agak tergetar "sinar cahaya itu tentulah
pada diri raden sendiri "
"Nambi ! " Nararya melonjak dari duduknya, "jangan engkau
berkata begitu! " Nambi terkejut melihat sikap dan nada ucapan Nararya yang
begitu keras. Hal itu sungguh diluar dugaan nya. Cahaya sinar gaib
pada diri orang, merupakan pancaran kewibawan, keagungan dan
kebesaran dari peribadi orang itu. Tiada sembarang orang akan
memancarkan cahaya sedemikian. Hanya calon raja, orang besar
dan priagung yang berdarah luhur. Tidakkah seharusnya Nararya
berbangga hati karena memiliki sinar luhuritu" Tetapi mengapa dia
bahkan tampak kurang senang"
"Raden " seru Nambi "tidakkah hal itu menyatakan bahwa raden
kelak....." "Nambi! " bentak Nararya makin membengis, "jangan
mengatakan hal itu lagi! "
Nambi makin terkejut " Maaf, raden, apabila kata-kataku itu
menyinggung perasaan raden. Tetapi benar2 aku hanya
mengatakan apa yang kulihat tanpa memiliki maksud hendak
menyinggung perasaan raden "
"Ya " sahut Nararya " tetapi kata-katamu tak layak apabila engkau
tujukan kepadaku. Apakah diriku ini" Aku hanya seorang pemuda
desa, seorang insan biasa. Bagaimana mungkin mempunyai hal2
yang engkau katakan tadi" Nambi " nada Nararya berobah sarat
"silahkan engkau melanjutkan perjalananmu. Demikianpun aku.
Budi pertolonganmu, kelak tentu akan kubalas."
"Raden " Nambi gopoh berkata "apa yang kukatakan tadi, hanya
suatu kesimpulan itu tak selamanya benar. Baiklah, apabila raden
menolak untuk kesimpulan yang kukatakan tadi, akupun takkan
mengucapkan lagi. Namun hal itu tetap akan menjadi sesuatu yang
membayang dalam keherananku. Apakah sesungguhnya sinar
yang bercahaya terang itu " "
"Hanya dua kemungkinan," kata Nararya "mungkin sesuatu yang
kebetulan memancar pada pandang pikiranmu. Atau, dalam candi
itu tersimpan suatu pusaka yang ampuh sekali "
"O"." Nambi mendesuh kaget "mungkin ulasan raden itu benar. Mengapa Pasirian bertapa
dalam candi itu jika tiada sesuatu yang akan diarahnya " "
"Raden" seru Nambi pula "jika demikian kita harus, berusaha
untuk menyelidiki hal itu. Siapa tahu pusaka itu benar2 ampuh
tiada taranya" Nararya gelengkan kepala "Aku masih mempunyai lain urusan
yang perlu harus kulakukan. Maaf. Silahkan engkau melakukan ha!
itu sendiri " "Tetapi raden, bukankah berbahaya apabila Pasirian berhasil
mendapatkan pusaka yang ampuh" Bukankah dia bertujuan
hendak memusuhi kerajaan Singasari" "
Nararya terkesiap. Apa yang dikatakan Nambi memang perlu
mendapat perhatian. Jika seorang seperti Pasirian mendapatkan
pusaka yang benar2 ampuh, bukah hal itu akan mendorongnya
lebih memperkeras perjuangannya"
Lepas dari rasa hormat atas perjuangan Pasirian sebagai
seorang putera yang hendak menuntut balas ke-matian ramanya,
Nararya merasa cemas dan menentang tujuan perjuangan pemuda
itu. "Bagaimana raden" " Nambi mendesak pula manakala melihat
Nararya termenung. "Nambi " kata Nararya "memang persoalan itu patut mendapat
perhatian. Tetapi apa yang kukemukakan tadi, pun baru tafsiran,
belum suatu kenyataan. Kita hanya menduga bahwa dalam candi
itu mungkin terdapat pusaka yang keramat. Tetapi belum pasti
kebenarannya. Sedang aku saat ini masih-harus melaksanakan
perintah dari rama dan guruku. Betapapun aku terpaksa tak dapat
tinggal di gunung Lejar ini lebih lama. Soal Pasirian mungkin akan
mendapat sesuatu yang penting, yah, kuserahkan saja kepada
kehendak Batara Agung .... "
"Tidak raden " bantah Nambi "salah apabila kita tahu tetapi tak
bertindak. Walaupun ramaku menderita perlakuan yang tak adil
dari baginda Kertanegara tetapi aku tetap akan mengabdi dengan
caraku sendiri kepada Singasari. Jika raden masih mempunyai lain
kepentingan, silahkan. Biarlah aku sendiri yang tinggal di gunung
ini untuk menyelidiki gerak gerik Pasirian "
"Nambi " teriak Nararya dengan penuh haru. Ia memeluk pemuda
itu "tiada terlukiskan betapa terima kasih dan hormatku atas
keputusanmu itu. Engkau benar2 seorang ksatrya yang benar2
layak menjadi kawan seperjuanganku "
"Ah, janganlah raden menjunjung diriku setinggi itu," jawab
Nambi "Nambi hanya melakukan kewajiban sebagai seorang
kawula negara Singasari "
Nararya, mengangguk. "Raden " kata Nambi pula "jika raden besar-benar menganggap
Nambi sebagai seorang sahabat, dapatkah Nambi memohon
keterangan tentang langkah yang hendak raden tuju "
"Aku hendak ke candi di Kagenengan "
"O " seru Nambi " kemudian" "
"Tergantung dari keadaan. Karena akupun sedang lelanabrata
tanpa suatu tempat tujuan tertentu "
Nambi merenung diam. "Raden " katanya sesaat kemudian "sesungguhnya ingin sekali
saat ini aku mengikuti raden. Aku pun mendapat titah guru untuk
melakukan lelanabrata. Tetapi karena aku berjanji akan tinggal
disini untuk mengawasi gerak gertk Pasilian, terpaksa aku belum
dapat mengikuti raden. Sudah tentu tugas kita akan berakhir dan
pada waktu itu bila dan dimanakah kita dapat berjumpa kembali " "
Nararya terhening sejenak kemudian menghela napas " Ah,
sukar untuk memastikan. Namun selama surya masih menyinari
bumi Singasari, kita pasti akan berjumpa lagi "
"Baiklah raden " akhirnya dengan berat hati Nambi melepas
"akupun mempunyai firasat bahwa kelak kita pasti akan jumpa lagi
" Setelah terang tanah Nararyapun berpisah dengan Nambi. la
menuruni gunung dan melanjutkan perjalanan pula.
Ia tak melanjutkan langkah untuk menyusuri jejak perjalanan Ken
Arok dahulu. Diketahuinya setelah menampakkan diri dari
timbunan sampah, para dewa yang sedang bermusyawarah di
gunung Lejar merestui Kea Arok sebaga insan yang dipercayakan
tugas untuk memerintah Jawadwipa oleh para dewa. Dan
selanjutnya datanglah seorang pandita sakti bernama Lohgawe dari
Jambudwipa, yang mengayuh dan memberi petunjuk Ken Aiok
supaya bekerja pada Akuwa Tunggul Ametung hingga menjadi raja
Singasari. Dalam perjalanan, Nararya masih merenungkan peristiwa2 yang
dialaminya selama di gunung Lejar. Dan setiap peristiwa tentu
melahirkan kesan. Diantaranya yang paling berkesan adalah soal diri Pasirian.
Secara tak sengaja ia telah berjumpa dengan pemimpin
gerombolan gunung Butak. Hal itu menandakan bahwa
gerombolan gunung Butak yang selama ini selalu mengacau
keamanan negara, telah berantakan. Suatu kebahagiaan bagi,
rakyat Singasari. Sedangkan gong prada yang selama ini menghebohkan ternyata
berada di tangan Pasirian. Kemungkinan orang yang melarikan
gong ketika terjadi perebutan di gua Polaman itu adalah utusan
Pasirian. Dengan demikian terkecohlah pangeran Ardaraja yang
mengirim Suramenggala dan patih Aragani yang mengirim
orangnya. Bahwa Pasirian berjanji akan mengembalikan gong pusaka itu ke
Lodoyo, sungguh suatu hal yang tak pernah disangka-sangkanya.
Kelak ia akan menyempatkan waktu untuk meninjau ke Lodoyo.
Apabila Pasirian benar2 menetapi janji, ia segera akan memanggil
demang Kaloka yang tentu masih berada di Daha agar kembali ke
Lodoyo. Iapun akan meminta kepada demang itu agar peristiwa
kembalinya gong Prada ke Lodoyo dirahasiakan. Karena jelas gong
pusaka itu diincar oleh fihak tertentu untuk dijadikan alat mencapai
kepentingannya. Kemudian peristiwa kedua yang amat berkesan dalam benak
Nararya adalah soal sinar aneh yang gemilang itu. Walaupun
dihadapan Nambi dengan tegas ia menolak anggapan bahwa sinar
ajaib itu berasal dari tubuhnya tetapi sesungguhnya dia tak dapat
menolak suatu kenyataan yang diperoleh begawan Maya Lejar dari
semedhi dan yang dilihat Nambi dengan mata kepala sendiri.
Ia mengatakan bahwa sinar gemilang itu tentu berasal dari
sebuah pusaka yang amat keramat. Tetapi benarkah itu" Apabila
memang di candi itu tersimpan sebuah pusaka keramat, mengapa
ia tidak melihat sama sekali, juga tidak Pasirian" Pada hal sebuah
benda keramat yang memancarkan sinar gemilang tentu dapat
diketahui dan dilihat oleh setiap orang. Tetapi mengapa yang
mengetahui hanya sang begawan dan Nambi"
Nararya terkesiap. Ia menimang lebih lanjut. Mengapa baru
sehari sebelum ia datang ke gunung Lejar, begawan Maya Lejar
mendapat wangsit dalam semedhinya" Pada hal begawan itu
sudah lama menetap di puncak gunung Lejar. Apabila dalam candi
itu benar tersimpan pusaka yang keramat tentulah sudah dari dulu
begawan itu akan memperoleh ilham.
Kemudian ia teringat akan sikap Pasirian saat bertempur. Ia telah
dapat dikuasai Pasirian dan Pasirianpun sudah mengeluarkan
senjata besi kuning untuk menghantam kepalanya. Tetapi
mengapa tiba2 Pasirian terhenti. Saat itu ia sempat melihat betapa
tegang dan kejut wajah Pasirian. Seolah orang itu telah melihat
sesuatu yang mengguncangkan perasaannya.
Mengapa " Mengapa begawan Maya Lejar baru mendapat wangsit sehari
sebelum ia tiba di gunung Lejar" Mengapa Pasirian terkejut
ketakutan ketika mengayunkan besi kuning ke ubun2 kepalanya"
Nararya berusaha untuk menghindarkan diri dari lingkaran
peristiwa aneh itu. Namun ia tak berhasil menemukan sasaran lain
kecuali harus berpaling pada dirinya sendiri.
"Aku " " akhirnya keluar tuntutan kepada dirinya "akulah yang ....
ah " ia menghela napas dan tak berani melanjutkan kata-katanya.
Ia berusaha mengendapkan pikiran yang hendak melibatkan
dirinya kedalam persoalan itu. Ia berhasil tetapi pada dasar dalam
endapan hatinya itu ia bertemu pula dengan sebuah lapisan
endapan lain yang berupa suatu peristiwa lama. Peristiwa yang
hampir terlupakan tetapi tak pernah terhapus.
Kala itu ia sudah berguru di pertapaan Kawi. Dalam rangka
membuat ramuan obat, gurunya menitahkan dia mencari binatang
trenggiling. Berhari-hari dia harus menyusup ke daerah pedalaman
hutan belantara. Akhirnya di sebuah lembah ia berhasil
menemukan jejak binatang itu. Binatang itu teramat gesit sehingga
dia menunggu pada malam hari. Dia harus bermalam sampai
beberapa malam disebuah gua.
Pada suatu malam menjelang pagi, dia dikejutkan oleh suara
hiruk pikuk yang gemuruh diluar gua. Dan ketika ia melongok
keluar, kejutnya makin besar. Pada malam2 yang lalu, suasana
disekitar tempat itu sunyi dan gelap. Tetapi mengapa saat itu
tampak terang benderang. Ia segera beranjak dan melangkah keluar. Apa yang disaksikan,
benar2 mengejutkan sekali. Dihalaman luar gua, kira2 terpisah
sepuluhan tombak jauhnya, tampak belasan lelaki tegak berjajar
sambil membawa obor. Mereka memandang dengan wajah ngeri
ke muka gua. Ketika Nararya beralih ke arah tempat yang menjadi
sasaran orang2 itu, diapun makin terbelalak.
Di muka gua, tampak segerombolan binatang yang mengerikan.
Ular, babi hutan, harimau, musang, anjing hutan, kera, tupai, selira
dan beberapa jenis binatang kecil, tengah mendekam menghadap
kearah gua. Kini tahulah Nararya, mengapa orang2 pembawa obor
itu tak berani mendekati gua.
Nararya tahu apa yang terjadi di sekeliling gua tempat ia
bermalam tetapi dia tak tahu apa artinya semua itu.
Orang2 itu riuh bergemuruh ketika melihat Nararya muncul.
Tetapi binatang2 itu masih mendekam tak bergerak.
"Hai, siapakah ki sanak sekalian ini" " seru Nararya.
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiada terdengar jawaban. Orang2 itu saling berbisik dengan
kawannya. Ketika Nararya mengulangi tegurannya barulah salah
seorang diantara mereka menjawab dengan bertanya, siapakah diri
Nararya itu. Nararya-pun memberi jawaban yang sebenarnya.
"Kami datang kemari karena melihat cahaya yang memancar
terang di tempat ini " orang itu menerangkan.
"Lalu apa yang kalian dapatkan " "
"Ketika tiba di gua ini cahaya itu lenyap dan kami melihat
berjenis-jenis binatang tengah mendekam di muka gua ini lalu tuan
muncul," kata orang itu.
"O, binatang2 ini bukan peliharaan kalian" "
"Bukan," sahut orang itu "bagaimana mungkin kami memelihara
sekian banyak dan sekian jenis binatang2 itu."
Nararya heran. Sampai saat itu binatang2 di muka gua itu masih
mendekam diam. Ia memperhatikan beberapa binatang itu masih
bergerak, jelas belum mati. Ia heran apa sebab binatang2 itu
mendekam di muka gua dan apa pula sebabnya binatang2 yang
buas itu tidak menyerang masuk ke dalam gua.
Nararyapun mendapat ilmu dari gurunya untuk menundukkan
binatang. Betapapun buas binatang itu apabila ia mengucapkan
mantra tentulah binatang itu akan menyingkir. Maka saat itu
Nararyapun segera mengucapkan mantra.
Satu demi satu binatang-binatang itupun mulai beringsut
mundur lalu meninggalkan tempat itu. Kembali orang2 itu hingar
bingar karena heran tercampur cemas.
Dengan sumpah orang2 itu mengatakan bahwa mereka memang
benar melihat cahaya yang memancar terang di lembah itu dan
ternyata ketika beramai-ramai mereka mencarinya, cahaya
gemilang itu berasal dari dalam gua.
Peristiwa aneh itu Nararya ceritakan juga kepada resi Sinamaya.
Resi tua itu menghela napas "Kodrat dewata sudah menentukan
jalan hidupmu. Gencarkan tapabrata dan tuntutlah ilmu sedalam-
dalamnya untuk mempersiapkan dirimu dalam suatu tugas berat
yang dipercayakan dewata kepadamu."
Hanya itu yang dikatakan resi Sinamaya. Ia tahu bahwa gurunya
itu selalu berhati-hati dalam menerangkan sesuatu rahasia alam.
lapun tak mau mendesak lebih lanjut.
Teringat akan peristiwa itu, tersibak pula endapan yang sudah
berada didasar hatinya "Aneh, mengapa dua kali ini aku mengalami
peristiwa tentang cahaya terang ?"
Ia mulai bertanya-tanya tetapi tak dapat menemukan jawaban.
Jauh dari pikirannya untuk mengaitkan dirinya dalam peristiwa itu
namun dua buah peristiwa itu makin berkesan dalam hatinya.
Diam2 Nararya merasa bahagia karena tak dapat menemukan
jawaban sehingga iapun tak dapat menarik kesimpulan. Dengan
demikian hati pikirannya masih kosong dari segala rasa bangga
dan khayal yang berke-larutan.
"Berbahaya," diam2 ia berteriak dalam hati "tak boleh pemikiran2
semacam itu menghuni dalam hatiku. Hal itu akan menimbulkan
rasa ke-akuan yang tinggi pada diriku. Pada hal semua itu baru
bersifat dugaan dan anggapan. Kenyataannya hanyalah kuasa
Hyang Widdhi Agung. Wajib manusia hanya berusaha, bukan
merasa dan menduga-duga "
Selama dalam perjalanan menuju ke candi makam Kagenengan
yang terletak dilingkungan Singasari, banyak pula ia melihat dan
mendengar keadaan kehidupan rakyat. Di berbagai tempat orang
giat membangun candi, vihara dan rumah2 sudharma. Seolah
pemerintah kerajaan Singasari sedang giat mengembangkan
agama. Diam2 timbul pertanyaan dalam hati Nararya. Adakah negara
Singasari itu benar2 sudah aman sejahtera sehingga tampaknya
bidang2 pembangunan lain2 tiada perlu dipergiat lagi" Pada hal ia
mendapat kesan bahwa dibatas belahan barat, Daha sedang giat
mengumpulkan dan memperbesar kekuatan pasukannya.
Tetapi kecemasannya itu segera terhibur ketika di daerah2 yang
makin dekat dengan pura kerajaan, orang ramai mempercakapkan
tentang wara-wara yang disebarkan oleh bentara kerajaan
Singasari. Menurut keterangan dari beberapa penduduk, wara-wara itu
berisikan suatu seruan kepada seluruh rakyat khusus kaum muda,
agar ikut serta sayembara yang akan diadakan oleh kerajaan.
"Sayembara" Sayembara apakah yang akan diselenggarakan
kerajaan Singasari" ia bertanya lebih lanjut.
"Sayembara memilih senopati, perwira, bintara dan prajurit "
jawab orang itu. Nararya terkejut. Ia meminta penjelasan lebih jauh.
"Akan diadakan sayembara adu kedigdayaan. Yang menang
akan diangkat sebagai senopati. Demikian pula yang tidak
beruntung memenangkan sayembara, pun akan diterima dalam
pasukan kerajaan " "Tetapi apakah maksud kerajaan membuka sayembara
demikian" " "Ah, anakmuda" kata orang itu, seorang lelaki tua "bagaimana
engkau tak tahu akan keadaan pura kerajaan Singasari" Bukankah
baginda telah mengutus senopati Kebo Anabrang membawa
pasukan Singasari ke tanah Malayu" Dengan demikian kekuatan
dalam kerajaan tentu berkurang."
Nararya mengangguk. Diam2 ia gembira. Mudah2an bukan
hanya paman itu saja yang mengikuti perkembangan keadaan pura
kerajaan tetapi setiap kawula Singasaripun demikian. Jika keadaan
negara diikuti oleh segenap lapisan kawula maka hal itu akan
memberi pertanda, rakyat mempunyai rasa tanggung jawab akan
keadaan negara. Bahkan rasa itu tentu akan meningkat pada suatu
ikatan batin dan dicetuskan dalam sikap dan langkah bertanggung
jawab. Kerajaan adalah raja dan kawula atau negara dan rakyat.
Kerajaan yang mendapat perhatian rakyat tentu akan mendapat
dukungan rakyat. Hanya kerajaan yang mendapat dukungan rakyat
akan dicintai rakyat dan akan berkembang menjadi kerajaan yang
besar dan kuat. Oleh karena itu suatu wajib bagi para narapraja
yang duduk dalam pemerintahan kerajaan untuk membangkitkan
rakyat akan rasa cinta kepada negara dan ikut merasa memiliki
kerajaan. Hanya dengan rasa cinta dan rasa ikut memiliki itu maka
rasa ikut bertanggung jawab akan berkembang dan rasa
pengabdian akan dihayati.
Dibalik kesannya terhadap pembicaraan dengan orang itu,
beralihlah pikiran Nararya ke pura kerajaan Singasari. Benarkah
dalam pemerintahan Singasari telah terjadi perobahan haluan dan
pendirian" Bukankah pendirian supaya memperkokoh keadaan
dalam negeri, telah dipelopori oleh bekas patih sepuh empu
Raganata dan beberapa mentri, telah menimbulkan kemurkaan
baginda sehingga mentri2 sepuh itu dilorot dan dipindah dari pura
Singasari" Bukankah kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan masih
direnggut patih Aragani " Dan bukankah patih itu menentang
pendirian bekas patih Raganata sehingga ia diangkat sebagai
penggantinya oleh baginda" Mengapa sekarang kerajaan hendak
mengadakan sayembara" Adakah patih Aragani sudah berobah
haluan ataukah dalam pusat pemerintahan di Singasari muncul
pula seorang tokoh yang kuat pengaruhnya"
"Ah" Nararya akhirnya menghela napas dalam hati. Ia bukan
seorang narapraja tetapi seorang kelana yang sedang melakukan
lelana-brata untuk melaksanakan titah gurunya. Ia selalu jauh dari
pura Singasari yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan.
Bagaimana mungkin ia tahu apa yang terjadi dalam tubuh
pemerintahan di pusat"
Tetapi betapapun halnya, diam2 ia merasa girang juga
mendengar pengumuman dalam wara- wara itu. Hal itu berarti satu
langkah perobahan yang baik dari kerajaan.
"Bilakah sayembara itu akan dilangsungkan, paman " " tanyanya
kepada orangtua itu. "Nanti pada awal bulan Caitra, masih kurang tiga bulan dari
sekarang " "Dimana sayembara itu akan diselenggarakan" " tanya Nararya
pula. "Di alun-alun pura Singasari "
"Apakah banyak pemuda2 di daerah yang akan ikut serta" "
"Entahlah " sahut orang itu "kurasa hal itu tergantung pada
daerah masing2. Bagaimana kebijaksanaan kepala daerah
masing2 memimpin daerahnya "
Nararya dapat menyetujui ucapan orangtua itu.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ II Brehaspati Kuning atau hari Kamis Pon, waktu senjakala setelah
surya terbenam, ketika orang telah memasang lampu maka sang
Amurwabhumi sedang bersantap malam. Tiba2 masuklah seorang
pengalasan berasal dari desa Batil dengan membawa keris empu
Gandring yang amat bertuah. Serentak orang Batil itu menusuk
sang Amurwabhumi .... Gegerlah seluruh istana. Orang Batil itupun lari mencari
perlindungan kepada Anusapati, putera Ken Dedes dari Tunggul
Ametung atau putera tiri dari sang Amurwabhumi.
"Sudah wafatlah ayahanda baginda oleh hamba," orang Batil itu
menghaturkan laporan dengan cemas2 gembira. Pandang
matanya mengharap puji dan ganjaran.
"Benar" " Anusapati menegas.
"Benar, gusti " pengatasan itu menghaturkan sembah.
"Bagus, terimalah ini penghianat!" Anusapati terus menusuk
orang Batil itu. Demikian peristiwa pembunuhan yang terjadi pada diri Sri Rajasa
sang Amurwabhumi, seperti yang dituturkan ramanya kepada
Nararya. "Rama, betapa mungkin seorang pengalasan masuk kedalam
keraton apabila dia bukan orang dalam, abdi atau bhayangkara " "
saat itu Nararya memberi sanggahan.
Lembu Tal mengangguk. "Benar, Nararya," kata pangeran yang mengundurkan diri dari
dunia keramaian "tetapi pengalasan itu adalah pengalasan dari
pangeran Anusapati."
"Rama " Nararya terkejut "jika demikian ... jika demikian, apakah
bukan pangeran Anusapati yang .... "
"Sst " Lembu Tal memberi peringatan "jangan keras2 engkau
bicara, puteraku. Soal itu menjadi rahasia keraton," kemudian
dengan nada berbisik bisik Lembu Tal berkata "sang Amurwabhumi telah ditusuk dengan keris buatan empu Gandring
yang amat bertuah " "Ah " desah Nararya. Kemudian ia mengerut dahi "tetapi
bagaimana pengalasan itu dapat memperoleh keris bertuah itu "
Bukankan keris itu milik sang Amurwabhumi, rama" "
"Benar, anakku" kata Lembu Tal tetap tenang "Anusapati telah
berhasil mendapatkan keris itu dari ibunya."
"Eyang buyut puteri Ken Dedes" " seru Nararya.
"Ya " "Adakah eyang buyut puteri sengaja hendak menyuruh
puteranya membunuh sang Amurwabhumi" "
Dengan tenang Lembu Tal lalu bercerita.
Anusapati merasa bahwa sikap dan perlakuan ayahanda sang
Amurwabhumi sangat berbeda terhadap dirinya dengan adinda-
adindanya yang lain. Keluhan itu disampaikan Anusapati kepida
ibundanya Ken Dedes. Sebagai seorang ibu, sudah tentu Ken
Dedes tersinggung dan sedih atas nasib puteranya. Ken Dedes
menghela napas duka. "Ibu, benarkah hamba ini bukan putera dari ayahanda sang
Amurwabhumi?" tiba2 Anusapati mengajukan pertanyaan.
Serasa tertikamlah hati Ken Dedes menerima pertanyaan itu
"Anusapati, siapakah yang mengatakan demikian?" serunya
dengan napas terengah. "Inang pengasuh hamba, ibu," kata Anusapati "tetapi benarkah
demikian, ibu " "
Ken Dedes tersayat hatinya mendengar keterangan Anusapati
tadi bahwa sang Amurwabhumi pilih-kasih dan membeda-bedakan
perlakuannya terhadap Anusapati dengan saudara-saudaranya
yang lain. Walaupun kini Ken Dedes sudah menjadi permaisuri dari
sang Amurwabhumi dan sudah mendapat beberapa putera, tetapi
sebagai seorang ibu, tentu dia tak mengadakan pilihan kasih
terhadap putera-puteranya semua.
"Tak kusangka bahwa sang Amurwabhumi akan bersikap
sedemikian tak adil " pikir Ken Dedes "bukankah sebelum
memperisteri aku, dia sudah tahu bahwa aku sedang mengandung
calon putera dari Tunggul Ametung" Bukankah dia sudah berjanji
akan memperlakukan puteraku dari Tunggul Ametung itu sama
seperti putera kandungnya sendiri" Ah, pria memang sukar
dipegang janjinya. Setelah mendapatkan putera keturunan sendiri,
berobahlah sikap sang Amurwabhumi terhadap Anusapati. Oh,
Anusapati, betapa malang nasibmu, puteraku .... " Ken Dedes
menangis dalam dalam hati.
"Ibu, bukankah hamba ini putera kandung ibu" " kata Anusapati.
Ken Dedes terkesiap "Anusapati, engkau adalah puteraku sejati.
Tubuhmu berasal dari dagingku, napasmu dari darahku .... "
"Jika demikian mengapa ibu sampai hati menyiksa hati hamba"
Tidakkah lebih baik ibu titahkan supaya hamba dibunuh saja agar
jangan berkepanjangan jua kiranya derita yang hamba sandang" "
"Duh, puteraku Anusapati " rintih Ken Dedes jangan dikau
mengucapkan kata2 itu. Kata2mu itu lebih tajam dari ujung keris
yang menikam uluhati ibu "
"Terima kasih ibu," sahut Anusapati "dengan demikian ibu tak
merelakan nyawa hamba merana" "
"Anusapati" seru Ken Dedes seraya memeluk dan mengecup
ubun2 kepala Anusapati "kasih seorang ibu kepada puteranya lebih
dari pada nyawanya sendiri. Kelahiranmu di mayapada ini kusertai
dengan pertaruhan nyawaku, angger. Kelak apabila engkau sudah
beristeri, engkau baru menghayati betapa maha berat perjuangan
isterimu itu dikala melahirkan puteramu. Nyawa taruhannya,
angger." "Jika ibu tak merelakan kematian jiwa hamba, mengapa ibu tak
berkenan melindungi raga hamba" "
"Apa maksudmu, Anusapati."
"Raga adalah wadah sang nyawa. Raga tersiksa, nyawapun akan
merana. Bila ibu menginginkan nyawa hamba tetap hidup, hamba
mohon ibu berkenan menyelamatkan raga hamba."
"Apakah yang engkau inginkan, angger" "
"Suatu hal yang wajar sekali, bukan hal yang berkelebihan dan
takkan memberatkan pikiran ibu. Hamba hanya mohon jawaban
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibu, benarkah hamba ini bukan putera kandung dari sang
Amurwabhumi" " Ken Dedes mengangguk pelahan.
"Duh bunda sesembahan hamba, lalu siapakah ayahanda
hamba itu" Bukankah akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Dedes mengangguk pula.
"Ah " Anusapati mendesah "hamba dengar rama hamba itu telah
dibunuh sang Amurwabhumi. Benarkah" "
Ken Dedes mengangguk. "Kemudian sang Amurwabhumi menikahi ibu dan merebut tahta
Singasari, benarkah itu " "
Ken Dedes mengangguk. "Dan ibu menerima sang Amurwabhumi" " Ken Dedes terkesiap.
"Mengapa" Apakah ibu tidak mencintai ramaku" " Ken Dedes
terbeliak. "Tetapi ramamu sudah wafat, Anusapati " kali ini dia memberi
pernyataan dengan kata-kata.
"Tetapi kematian rama karena dibunuh sang Amurwabhumi .... "
"Bukan sang Amurwabhumi tetapi Kebo Ijo " cepat Ken Dedes
menukas. "Waktu hamba masih kecil, memang setiap dayang pengasuh
mengatakan demikian. Tetapi setelah hamba dewasa dan mengerti
persoalan dunia ini, barulah hamba dapat menggali keterangan
bahwa kematian ratna hamba itu sebenarnya sang Amurwabhumi
yang membunuh. Kebo Ijo tertipu dan dijadikan alat belaka "
"Anusapati .... "
"Ibu belum menjawab pertanyaan hamba," tukas Anusapati
"mengapa ibu merelakan kematian rama dan berkenan menerima
pinangan sang Amurwabhumi" Apakah ibu tidak setya kepada
rama hamba" " Pucat wajah Ken Dedes menderita dakwa puteranya. Namun
karena hal itu sudah merupakan kenyataan yang telah dimiliki
Anusapati maka Ken Dedespun harus memberi keterangan. Dan ia
menganggap, sudah tiba saatnya untuk mencurahkan kandung
hatinya kepada sang putera yang kini sudah akil dewasa. Ia
menyadari bahwa kenyataan itu tak mungkin dapat ditutupi.
Kenyataan harus dihadapi dan dicairkan dengan penjelasan.
"Anusapati " katanya dengan nada tenang. Wajahnyapun tampak
menggayut kemantapan "mungkin sekarang walaupun belum
mengalami tetapi engkau sudah dapat menghayati soal2 hidup dan
peristiwa dalam dunia ini, terutama yang menyangkut soal2
hubungan pria dan wanita. Anusapati, kiranya engkau pasti
menolak apabila ibu pilihkan seorang puteri sebagai isterimu tetapi
engkau tak suka pada gadis itu, bukan" "
Ken Dedes berhenti sejenak.
"Jika engkau seorang pria dibenarkan untuk melakukan sesuatu
yang tak sesuai dengan suara hatimu, tentulah kaum wanita juga
demikian. Walaupun karena tata kehidupan dan adat tak
membenarkan wanita menyatakan dan melakukan hal2 seperti
pria, namun dalam hati kecilnya, mereka tetap mempunyai
perasaan sedemikian pula "
"Nah. itulah yang taajadi pada diriku" kata Ken Dedes lebih lanjut
"akuwu Tunggul Ametung jauh lebih tua dari aku dan sebenarnya
tak sesuai menjadi pasanganku .... "
"Tetapi bukankah hal itu sudah terjadi" Bukankah ibu telah
menikah dengan rama " " seru Anusapati.
"Anusapati " cepat Ken Dedes menanggapi "andaikata engkau
jatuh hati pada seorang gadis, entah dia itu puteri siapa,
berpangkat atau tidak, pokok asal kawula Singasari, beranikah
orang itu tak memberikan puterinya kepadamu ?"
Anusapati tetap diam. Hanya dahinya agak melipat segurat
lipatan. "Peristiwa itulah yang ibu alami. Akuwu Tunggul Ametung yang
memerintah dan berkuasa di Tumapel. Ketika sedang berburu,
beliau melihat aku dan terus jatuh hati. Aku tinggal di desa
Panawijen sebelah timur gunung Kawi bersama ramaku, mpu
Parwa. Karena tak dapat menahan nafsunya, akuwu terus
membawa aku ke Tumapel dan di peristerinya. Aku takut akan
kekuasaan akuwu dan terpaksa menuruti kehendaknya. Tetapi
rama mpu Parwa murka sekali akan tindakan akuwu yang berbuat
sewenang-wenang karena mengandalkan kekuasaan itu. Rama
menjatuhkan kutuk agar yang melarikan aku itu tidak selamat
hidupnya dan mati tertikam keris .... "
Anusapati terkesiap. "Kutuk seorang empu sakti seperti rama Parwa itu amat bertuah
sekali. Akhirnya akuwupun mati terbunuh oleh Kebo Ijo .... "
"Atas perintah sang Amurwabhumi! " cepat Anusapati menukas.
Ken Dedes menghela napas "siapapun yang membunuh akuwu
dengan keris, itu bukan soal. Yang penting karena dia hanya
menjadi alat dari terlaksananya kutuk empu Parwa."
Anusapati tenang2. "Demikianlah keteranganku, semoga dapat engkau simpulkan
sebagai jawaban atas pertanyaanmu tadi," kata Ken Dedes "yang
jelas, pernikahanku dengan akuwu itu terjadi karena akuwu
memaksa secara kekerasan dan aku takut akan kekuasaannya."
"Karena itukah ibu merelakan kematian rama hamba?" tiba2
Anusapati melancarkan pertanyaan tajam.
"Telah kukatakan Anusapati " sahut Ken Dedes "segala sesuatu
dalam hidup itu timbul dari Sebab dan tenggelam dalam Akibat.
Engkau berhak dan layak untuk marah karena menganggap ibumu
tidak setya. Pun rama empu Parwa wajib dan layak untuk marah
dan menjatuhkan kutuk kepada akuwu karena menganggap akuwu
seorang penguasa yang se-wenang2. Aku sendiri tetap
menganggap, semua peristiwa itu hanyalah suatu lingkaran Sebab
dan Akibat yang telah digariskan oleh kodrat Prakitri. Karena
engkau menuduh aku tak setya dan rela menerima pinangan sang
Amurwabhumi, maka akupun terpaksa membuka suatu rahasia
kepadamu." Anusapati merentang mata, mempertajam telinga dan memusatkan perhatiannya. "Pertama, aku seorang titah dewata. Tak mungkin aku dapat
menolak ketentuan yang diberikan Dewata Agung. Dewata telah
melimpahkan amanat gaib melalui sebuah wangsit, bahwa jika aku
ingin menerima wahyu agung sebagai wanita yang kelak akan
menurunkan raja2 besar di Singasari dan Jawadwipa, aku harus
menerima pinangan sang Amurwabhumi."
"Kedua, bukan se-mata2 begitu saja aku menerima pinangannya, tetapi akupun tetap memikirkan engkau. Aku hanya
mau diperisteri sang Amurwabhumi apabila kelak yang mengganti
duduk di tahta kerajaan itu engkau, angger. Dan demi cintanya
yang tulus, sang Amurwabhumi telah menyanggupi."
Anusapati terkejut. Ia merasa cemas dan malu dalam hati karena
mengandung anggapan yang tak benar terhadap ibunya. Namun
pada saat keluhan itu hampir terjadi dalam hatinya, tiba2 ia teringat
bahwa dirinya adalah putera akuwu Tunggul Ametung yang
dibunuh oleh sang Amurwabhumi. sebagai seorang putera, dia
wajib menuntut batas. Kemudian diapun merasa bahwa dialah
yang berhak atas Singasari. Adakah janji sang Amurwabhumi
kepada ibunya, Ken Dedes, dapat dipercaya" Ah, apabila menilik
sikap dan perlakuan sang Amurwabhumi terhadap dirinya, rasanya
tiada harapan bahwa sang Amurwabhumi betul2 akan menetapi
janjinya. "Ah, jika ingin memakan buah mangga, harus berusaha
mengambilnya dari pohon. Apabila menunggu sampai buah itu
jatuh, tentu sudah busuk, mungkin tak dapat dimakan. Hanya
mangga yang sudah busuk, luluh dagingnya dan mungkin
mengandung ulat, baru jatuh dari pohon," Anusapati menimang.
Menunggu sampai sang Amurwabhumi wafat baru menerima
tahta, sama dengan mengharap sesuatu yang belum tentu. Hati
manusia mudah berobah, janji mudah berganti. Jelas sang
Amurwabhumi tentu lebih senang menyerahkan tahta kerajaan
kepada puteranya sendiri daripada putera tirinya. Demikian
Anusapati membolak-balikkan alas hatinya. Permukaan hitam,
dibaliknyapun hitam. Hitam semua.
Akhirnya tergodalah hati Anusapati untuk mengambil keputusan.
Keputusan itu berpijak pada tiga landasan yang kokoh. Sebagai
seorang putera, ia wajib menuntut balas atas kematian
ayahandanya. Sebagai seorang pewaris tahta, dia harus merebut
tahta itu dari genggaman orang. Dan sebagai seorang anak tiri, ia
akan menghapus perlakuan yang tak adil dari ayah tirinya.
"Bunda yang hamba hormati " seru Anusapati "hamba mohon
bunda perkenankan menghaturkan sebuah permohonan kebawah
duli bunda " "O, tentu akan ibu kabulkan. Katakanlah apa permohonanmu,
angger. Apakah engkau ingin meminang seorang puteri juwita " "
Anusapati menghela napas "Ah, bukan itu maksud hamba, ibu "
"Tetapi engkau sudah dewasa. Sudah layak memangku seorang
wanita. Ibunda sudah merindukan menimang seorang cucu,
angger." Anusapati gelengkan kepala. Ia menjawab dalam batin. "Engkau
telah memberi beban derita kepada puteramu. Mengapa engkau
masih hendak menimbun derita kepada cucumu" Mengapa
engkau tak mengharapkan cucu dari puteramu dengan sang
Amurwabhumi" Bukankah cucu dari puteramu yang lain itu akan
lebih disayang sang Amurwabhumi" "
"Anusapati, katakanlah angger, mengapa engkau diam saja,"
melihat Anusapati termenung, Ken Dsdes puri menegurnya.
"Hamba takut, ibu. Takut ibu akan marah kepada hamba"
"Marah" Mengapa angger" Aku takkan marah kepadamu,
Anusapati. Karena engkau adalah puteraku."
Setelah didesak beberapa kali akhirnya Anusapati berkata
"Baiklah, ibu, akan hamba katakan permohonan hamba itu. Hamba
tak memohon puteri ataupun harta pusaka, melainkan hendak
mohon melihat keris empu Gandring yang termasyhur bertuah itu."
Ken Dedes terkejut. "Maksudmu, keris empu Gandring yang pernah digunakaa Kebo
Ijo untuk membunuh ramamu" "
"Hamba dengar, rama akuwu itu juga seorang pria yaig sakti
mandraguna tetapi mengapa sampai terlena dengan tusukan Kebo
Ijo" Karenanya hamba ingin tahu betapa bentuk keris empu
Gandring yang termasyhur itu" "
Wajah Ken Dedes tampak bergayut kelesian "Anusapati, apakah
engkau .... engkau hendak membunuh sang Amurwabhumi" "
"Membunuh sang Amurwabhumi" Ah, tidak, ibu. Hamba tiada
mengandung maksud begitu. Bukankah apabila sang Amurwabhumi wafat, hamba akan berduka karena kehilangan
seorang ayah tiri" Bukankah bunda akan kehilangan seorang
suami" Dan bukankah saudara- saudara hamba akan kehilangan
seorang ayah " Rakyat Singasari kehilangan junjungan yang gagah
perkasa " Cobalah ibu renungkan, prabu Kertajaya dari Daha yang
begitu digdaya, mati juga oleh sang Amurwabhumi. bagaimana
mungkin aku Anusapati, mampu melecetkan kulit kakinya saja "
Tidak, ibu, aku hanya ingin melihat keris pusaka itu "
Setelah mendengar berbanyak- banyak uraian Anusapati, Ken
Dedes mengakui bahwa apa yang dikemuka kan Anusapati itu
memang benar. Sekalipun bersenjata keris empu Gandring,
Anusapati tentu tak mampu membunuh sang Amurwabhumi yang
sakti digdaya. "Baiklah, angger " dengan pertimbangan agar jangan dipandang
puteranya ia mencurigainya dan lebih menaruh perhatian besar
kepada sang Amurwabhumi. Agar pula untuk menghibur hati
Anusapati yang merasa kecewa atas lingkungan hidupnya di
keraton, maka Ken Dedespun beranjak dari tempat duduk dan
masuk kedalam bilik peraduan.
Tak berapa lama Ken Dades keluar pula dengan membawa
sebuah benda yang tertutup kain sutera "Inilah keris yang ingin
engkau lihat itu, puteraku." Ken Dedes terus hendak membuka
selubung kain penutup keris.
"Jangan ibu," cegah Anusapati "rasanya sudah cukup lama
hamba menghadap ibu. Hamba kuatir apabila sang Amurwabhumi
datang. Beliau tentu murka apabila mengetahui peristiwa ini."
Ken Dedes kerutkan alis. "Lalu bagaimana maksudmu" " serunya.
"Perkenankanlah hamba membawanya ke bilik hamba barang
semalam saja. Agar puas hati hamba meneliti keris pusaka itu.
Besok malam pada saat seperti ini, akan hamba haturkan kembali
kehadapan bunda. Dan hamba mohon hendaknya jangan ibu
menyampaikan hal ini kepada sang Amurwabhumi, agar hamba tak
tertimpa kemurkaan beliau."
Ken Dedes menganggap hal itu tak membahayakan jiwa sang
Amurwabhumi dan disamping itu dapatlah ia menyenangkan hati
Anusapati. "Baiklah, Anusapati. Tetapi ingat, besok malam engkau
harus mengembalikan kepada ibu agar jangan sampai diketahui
sang Amurwabhumi." Dalam ruang tempat tinggalnya, semalam itu Anusapati
memeriksa keris buatan empu Gandring yang termasyhur itu.
Kemudian ia duduk bersila menghadap keris itu dan bersemedhi
memohon doa. Ia pernah mendengar keterangan dari seorang
dayang keraton bahwa tatkala sang Amurwabhumi yang saat itu
masih bernama Ken Arok marah lalu menikam empu Gandring
maka empu Gandring pun menghembuskan napas. Pada detik2
jiwanya melayang, empu itu masih sempat menurunkan kutuk
"Engkau Ken Arok, tanpa sebab telah membunuh aku .... Kelak
keris itu akan meminta jiwa tujuh orang keturunanmu!"
Maka Anusapatipun berdoa dalam semedhinya "Duh sang empu
Gandring yang mulia, hamba Anusapati, putera akuwu Tunggul
Ametung yang dibunuh Kebo Ijo dengan keris buatan paduka.
Kebo Ijo telah membayar dengan jiwanya juga karena ditusuk sang
Amurwabhumi. Tetapi sang Amurwabhumi sendiri saat ini masih
selamat tak kurang suatu apa. Paduka empu Gandring, Kebo Ijo
dan rama hamba Tunggul Ametung telah mati menjadi korban
keganasan Ken Arok. Relalah paduka, duh empu Gandring yang
bijaksana, membiarkan orang yang telah membunuh paduka itu
menikmati kebahagiaan diatas jenasah paduka" Jika paduka
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkenan, berilah hamba restu dan keberanian untuk menuntut
balas .... " Lama sekali Anusapati terbenam dalam persembahan doa dan
permohonan, tiba2 ia mendengar bunyi yang mula2 pelahan tetapi
makin lama makin riuh, macam orang sedang menumbuk sirih
dalam tabung. Anusapati terkejut dan membuka mata. Ia segera melihat benda
yang berkelotekan itu tak lain adalah keris pusaka yang
dihadapannya. Batang keris itu tertarik keatas, ber- guncang2
dalam kerangkanya. Anusapati terkejut. Mengapa keris itu dapat
melolos sendiri ke atas dan ber-gerak2 "
Serentak Anusapati tersentak ketika menarik suatu kesimpulan
bahwa kemungkinan arwah empu Gandring-lah yang melakukan
itu sebagai suatu isyarat bahwa permohonan Anusapati
dikabulkan. Demikian tafsiran Anusapati.
Memang setiap orang yang sedang mengharap, memohon dan
men-cita2kan sesuatu dengan sepenuh hati, akan memberi tafsiran
kepada sesuatu yang didengar, dilihat dan diketahuinya. Pada
umumnya, tafsiran itu selalu diarahkan pada tanda2 atau alamat2
yang baik, disesuaikan cita seleranya.
Setelah merasa mendapat restu, seketika timbul pula rencana
untuk melaksanakan maksud hatinya. Keesokan harinya Anusapati
memanggil seorang pengalasan yang menjadi orang kepercayaannya. Orang itu terkejut dan pucat seketika pada saat mendengar
perintah Anusapati "Raden .... hamba, hamba .... takut .... "
"Babi! " hardik Anusapati "pilih, engkau mau mati atau mukti! "
Pengalasan itu ternganga dengan pandang bertanya.
"Jika engkau tak mau melakukan perintahku, engkau kubunuh,"
kata Anusapati "tetapi kalau engkau menurut perintahku, setelah
aku jadi raja, engkau akan kuangkat sebagai buyut Batil dan
kuhadiahi uang serta isteri cantik."
Pengalasan itu berasal dari daerah Batil. Ia menuju ke pura
Singasari dengan membawa dua macam ke-patahan hati.
Pertama, keluarganya telah difitnah oleh buyut Batil sehingga
ayahnya dihukum dan akhirnya mati. Akibatnya keluarganya
berantakan hidupnya. Kedua, gadis yang dicintai dan sudah
memadu janji akan menjadi isterinya, telah direbut oleh putera
buyut yang dengan menggunakan kekuasaan ayahnya, berhasil
memfitnah keluarga dan merebut gadisnya.
Waktu meninggalkan Batil, dia bersumpah. Kelak pada suatu
hari pasti akan menuntut balas pada buyut dan puteranya itu.
Sesaat mendengar janji Anusapati, orang itu tampak menyala
matanya. Ia teringat akan keadaan ayahnya yang mati dibunuh,
ibunya yang mati bersedih dan saudara-saudaranya yang
melarikan diri entah kemana.
"Benarkah raden akan memegang janji" " tanyanya menegas.
Terangsang oleh nafsu hedak melaksanakan rencana pembunuhan itu, tanpa banyak pikir, serentak Anusapati menjawab
"Jika aku ingkar janji, biarlah aku mati ditikam keris .... "
Orang Batil itu menerima perintah. Ia memilih waktu senja dikala
lampu2 telah disulut. Menurut rencana, Anusapati akan berada di
keraton dan ia akan pura2 memberi keterangan kepada penjaga2
keraton, hendak mencari pangeran Anusapati. Dan memang para
penjaga keraton tahu bahwa dia adalah pengalasan dari pangeran
Anusapati. Demikian semuanya telah berjalan sesuai dengan
rencana. Sang Amurwabhumi tewas ditusuk dengan keris dari
empu Gandring. Tetapi ketika orang Batil itu lari kepada Anusapati untuk
mengabarkan tugasnya yang telah berhasil maka Anusapatipun
segera membunuhnya. Dengan demikian gemparlah seisi keraton
dan seluruh kerajaan Singasari atas berita kematian sang
Amurwabhumi. Rakyat berkabung atas wafatnya sang Amurwabhumi. Merekapun menyanjung Anusapati sebagai
pangeran yang gagah berani dan setya kepada ayahanda baginda.
Atas jasa itulah maka Anusapati lalu naik tahta mengganti sang
Amurwabhumi sebagai raja Singasari.
Anusapati telah mencontoh dan melaksanakan rencana Ken
Arok ketika membunuh Tunggul Ametung. Ken Arok meminjam
tangan Kebo Ijo, Anusapati tangan orang Batil. Namun tangan2 itu
hanyalah pelaksana dari keris keramat yang telah dinafasi dengan
kutuk sang pembuatnya, Empu Gandring.
Demikian renungan Nararya akan cerita yang pernah dibawakan
ramanya beberapa tahun yang lalu.
"Lalu bagaimana kelanjutan dari pangeran Anusapati, rama"
Apakah sumpah seseorang itu tak bertuah?" pada waktu itu, ia
bertanya pula kepada ramanya.
"Sumpah adalah janji, harus dipenuhi karena telah terdengar
oleh dewata. Oleh karena itu angger, janganlah engkau mudah
menjatuhkan sumpah. Terlebih2 pula engkau tergolong kasta
ksatrya " kata Lembu Tal. "Anusapati berhasil mengelabuhi seisi
keraton bahkan seluruh rakyat Singasari bahwa orang Batil telah
membunuh sang Amurwabhumi, bahwa pangeran Anusapati telah
membalas membunuh orang Batil itu. Tetapi dewata telah menjadi
saksi akan sumpah Anusapati kepada orang Batil itu. Akhirnya
Anusapatipun tewas ditikam oleh pangeran Tohjaya, putera sang
Amurwabhumi dengan Ken Umang .... "
"Juga dengan keris Empu Gandring, rama" " tukas Nararya.
"Kutuk seorang empu sakti, takkan luput dari sasarannya,
angger," sahut Lembu Tal "Pangeran Tohjaya mengajak kakanda
prabunya menyabung ayam, kemudian meminjam keris Empu
Gandring dan terus ditikamkan kepada sang prabu Anusapati."
Kala itu Nararya masih seorang jejaka tanggung. Ia tertarik sekali
mendengar cerita ramanya. Ia menanyakan apakah pangeran
Tohjaya juga tewas oleh keris Empu Grandring itu.
"Tohjaya memerintah tak lama. Raden Rangga Wuni putera
Anusapati dan Mahisa Gampaka putera Mahisa Wonga Teleng ....
" "Eyang Mahisa Gampaka" " tiba2 Nararya menukas.
Lembu Tal mengangguk "Ya, eyangmu Mahisa Campaka
bersekutu dengan raden Rangga Wuni untuk melawan Tohjaya.
Akhirnya kedua pemuda itu berhasil mengalahkan Tohjaya."
"Apakah raja Tohjaya juga terbunuh dengan keris Empu
Gandring?" tanya Nararya.
"Tidak, beliau tertusuk tombak, lolos dari keraton dan akhirnya
meninggal di desa Katang Lumbang."
"Lalu, dimanakah keris Empu Gandring itu" " tanya Nararya.
Pemuda itu memang beiotak cerdas. Pertanyaan yang diajukan,
menyibukkan ramanya. "Keris itu memang menimbulkan keanehan. Setelah Rangga
Wuni dan Mahisa Campaka berhasil merebut keraton dan setelah
suasana negara aman kembali maka keris itupun tiada kabar
beritanya." "Mengapa rama " Apakah eyang Mahisa Campaka tak pernah
menceritakan tentang keris itu " "
Lembu Tal gelengkan kepala.
"Eyangmu Mahesa Campaka pernah menghadapi pertanyaanku
seperti yang engkau ajukan tetapi eyangmu hanya mengatakan
bahwa kemungkinan keris itu tentu dibawa lari oleh pangeran
Tohjaya atau mungkin disimpan oleh Rangga Wuni yang kemudian
dinobatkan sebagai raja Wisnuwardarja. Eyangmu enggan untuk
bertanya soal keris itu kepada baginda Wisnuwardana, karena
dalam hati ejangmu lebih senang apabila keris itu dilenyapkan.
Eyangmupun pesan wanti-wanti agar anak cucunya jangan sekali-
kali memiliki keinginan untuk mendapatkan keris itu."
"Mengapa rama" "
"Karena keris itu berisi kutuk empu Gandring terhadap Ken Arok
dan anak cucunya. Kita ini, angger, adalah berasal dari darah
keturunan eyang buyut sang Amurwabhumi dan kita tentu
dilingkupi oleh bahaya dari kutuk empu Gandring itu."
"Apakah baginda Wisnuwardana tidak" "
"Seperti engkau ketahui, baginda Wisnuwardana itu adalah
putera dari Ranga Wuni dan Rangga Wuni itu putera Anusapati.
Sedang Anusapati adalah putera Ken Dedes dengan Tunggul
Ametung maka mungkin anak keturunan mereka terbebas dari
kutukan itu." Nararya mengangguk. Kesemuarya terbayang pula dalam renungan Nararya ketika
langkahnya menuju ke candi Kagenengan. Candi yang menjadi
tempat makam jenasah sri Rajasa sang Amurwabhumi.
Terlintas pula akan hal yang dialaminya ketika bertapa di candi
makam Wengker. Di makam eyang Batara Narasinga. ia telah
mendapat wangsit gaib berupa percakapan dengan segumpal
bayangan putih yang mengatakan tentang sang Amurwabhumi
menyuruh Rangga Wuni dan Mahesa Campaka memilih buah
maja. "Jika demikian ada beberapa soal yang hendak kumohonkan
penjelasan andaikata aku berhasil bertemu dengan arwah eyang
buyut sang Amurwabhumi nanti. Tentang buah maja dan tentang
keris empu Gandring " demikian percakapan yang berlangsung
dalam hatinya. Ketika pertama kakinya menginjak tanah dalam lingkungan candi
di desa Kagenengan, Nararya merasakan sesuatu suasana yang
atis atau terpencil. Pohon2 yang tumbuh di sekeliling halaman
candi itu, mekar dengan bebas seolah-olah tak pernah bertuan.
Semak belukar meranggas subur, bahkan ada pula yang menjalari
batang2 pohon. Suasana terasa lengang.
Kemudian ketika melangkah ke halaman dan tiba dimuka candi,
ia berdiri tegak. Sejenak ia memandang candi itu. Ada pula suatu
perasaan yang timbul dalam pikirannya. Candi di Kagenengan itu
merupakan makam dari Sri Rajasa sang Amurwabhumi, rajakula
dari kerajaan Singasari. Memang candi itu besar dan megah
bangunannya. Karena, pikir Nararya, demi mengambil hati
saudara-saudara tiri atau putera2 dari Ken Dedes dengan sang
Amurwabhumi, Anusapati tentu menitahkan pembuatan suatu
candi yang mewah dan megah untuk persemayaman arwah sang
Amurwabhumi. Tetapi kini, setelah terjadi beberapa pergantian dalam tahta
kerajaan Singasari, tampaknya candimakam itu kurang mendapat
perhatian. Dinding candi yang semula terbuat daripada batu warna
kelabu dan merah, kini hampir berwarna hitam2 hijau. Hitam
karena kotoran2 yang tertampung bertahun-tahun dan warna hijau
dari pakis yang makin merajalela tumbuhnya.
"Adakah baginda Kertanagara tak pernah menitahkan untuk
membersihkan candi ini" Pernahkah baginda mengunjungi candi
ini" " demikian pertanyaan yang timbul dalam hati Nararya.
Saat itu ia sudah melangkah diambang pintu dan melihat
keadaan didalam. Serta merta ia berjongkok memberi sembah
kepada arca Syiwa yang berada dalam candi itu. Arca itu sebagai
lambang untuk mengabadikan kebesaran sang Amurwabhumi.
Setelah itu ia mengelilingkan pandang memeriksa kesekeliling
ruang. Ternyata keadaan dalam ruang candi itu bersih dan
memancarkan suasana yang khidmat. Dilihatnya pula didepan altar
patung Syiwa itu, tebaran bunga2 yang sudah layu, dan tempat
perapian untuk membakar wewangian dikala menghaturkan sesaji.
"Kiranya masih ada yang menghaturkan sesaji dan membakar
wewangian di candi ini " diam2 Nararya mendapat kesan.
Saat itu surya sudah suram. Rembangpun menjelang petang.
Nararya bersiap hendak memulai semedhi. Untuk mencapai ke
alam kekosongan dalam pengheningan cipta semedhinya itu,
kadang memerlukan waktu yang lama. Dan apabila sudah berhasil
memanunggal atau menyatukan kesatuan diri dengan alam hampa
maka haruslah dipelihara adanya suatu suasana yang tenang.
Setiap gangguan, betapapun kecilnya, akan menimbulkan
kerisauan pikiran. Mungkin hanya semalam tetapi mungkin juga sampai dua
malam, tiga, empat dan entah berapa malam. Hal itu tergantung
dari apa yang dialaminya dalam alam kegaiban itu nanti. Dan
apabila hal itu berlangsung sampai beberapa hari, bukankah patut
dicemaskan tentang kemungkinan gangguan yang antara lain
berasal dari orang yang datang hendak menghaturkan sesaji "
Nararya memutuskan untuk mencari tempat yang terlindung,
demi mengamankan diri dari setiap gangguan yang tak diinginkan.
Akhirnya ia memilih sebuah tempat di belakang patung Syiwa.
Malampun makin merayap gelap. Saat itu dia belum berhasil
menghampakan pikiran. Masih banyak peristiwa2 yang melalu
lalang dalam benaknya. Dan dia-pun tak mau memaksa diri untuk
menghapusnya. Bahkan setiap peristiwa yang membayang, dia
curahkan pikiran untuk menafsirkan, menelaah dan kemudian
menarik kesimpulan bahkan kalau perlu memecahkannya.
Setiap selesai menarik kesimpulan atau memecahkan maka
tanpa memaksa diri untuk melupakan, peristiwa itupun lenyap
sendiri. Dia merasa suatu pemaksaan hanya berhasil mengendapkan
saja. Dan sesuatu yang mengendap itu bukan berarti hilang tetapi
masih. Dan sesuatu yang masih tentu mewarnai alam hati
pikirannya. Setiap warna, belum mencapai pada alam kehampaan
yang kosong. Ia hendak mencapai pada alam kehampaan itu
dengan kekosongan yang bulat. Kekosongan itu harus melalui
kewajaran, bukan pemaksaan.
Berjam- jamnya ia bersemedhi mengheningkan cipta. Walaupun
belum mencapai alam kehampaan yang kosong, namun suasana
keheningan tempat disekeiiling, banyak menciptakan pembentukan
iklim yang menyerap kerisauan.
Entah berapa lama, ia merasa indera2 penyerapannya mulai
menajam. Desir angin lembut, layang daun2 gugur dan bahkan
gerak gerik serangga yang meningkah tanah disekeiiling, mulai
dapat tertangkap. Dari yang dekat, makin lama makin dapat
mencapai agak jauh, jauh diluar candi dan di sekeliling rimba
belukar. Tiba ada sesuatu yang terserap dalam indera pendengarannya.
Sayup2 ia seperti mendengar derap langkah kaki manusia
mendebur tanah. Bermula berasal dari gerumbul pohon kemudian
makin mendekat, menapak di halaman candi. Makin lama makin
menghampiri pintu candi dan kemudian melangkah masuk.
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dua orang " pikiran Nararya menyeloteh "siapa gerangan
mereka" Apa tujuan mereka datang ke candi ini?"
Pertanyaan itu memang wajar memercik dalam benak Nararya
karena bukan suatu hal yang wajar apabila tengah malam orang
datang ke candi untuk menghaturkan sesaji "Apakah mereka juga
setujuan dengan aku, hendak bersemedhi dalam candi ini?"
berbisik pula pikiran Nararya.
"Bantar," tiba2 terdengar salah seorang berkata. Walaupun
hanya pelahan tetapi dalam keheningan malam yang lengang,
suaranya menggema keras. Jantung Nararya terasa seperti didebur
"sebelum kita bertindak lebih lanjut, aku hendak meminta
penegasanmu. Benarkah ceritamu itu" "
"Benar kakang" sahut yang ditanya "sebelum eyang meninggal,
aku pernah mendapat ceritanya bahwa keris empu Gandring itu
telah ditanam bersama abu jenasah sang Amurwabhumi "
"Mengapa begitu" Pernah engkau bertanya kepada eyangmu?"
kata kawannya pula. "Eyang buyutku bernama Kebo Randi, putera dari eyang Kebo
Ijo, telah diangkat sebagai pekatik oleh sang Amurwabhumi. Maka
eyang buyut Kebo-Randi tahu juga akan beberapa rahasia dalam
keraton Singasari." Mendengar itu mau tak mau, penyatuan cipta Nararya yang
hampir mencapai pengendapan, bertebaran bagai daun kering
tertiup badai. "Hm, eyangmu Kebo Randi memang seorang yang paserah dan
bodoh. Ayahnya, Kebo Ijo, dibunuh Ken Arok tetapi kemudian dia
masih mau mengabdi kepada baginda sri Rajasa sebagai pekatik.
Jarang sekali orang yang mempunyai pendirian seperti dia."
"Ah, mungkin eyang buyut Kebo Randi menyadari akan keadaan
masa itu. Sri Rajasa sang Amurwabhumi adalah titah yang telah
direstui dewa sebagai wadah dari Batara Wisnu yang akan
mengejawantah di dunia, mengukuhkan kerajaan di Jawadwipa ini.
Melawan garis kepastian dewa, sama dengan menentang surya."
"Suatu pembelaan yang baik, Bantaran," seru orang yang kedua
itu pula "yang sudah mati memang mati. Kebo Ijo, sang
Amurwabhumi, Anusapati dan Panji Tohjaya, mati karena keris
empu Gandring. Jika eyangmu Kebo Randi merelakan ayahnya,
Kebo Ijo, mati ditikam keris bertuah itu, itu urusan eyangmu Kebo
Randi. Tetapi ramaku selalu memberi pesan kepada puteranya
supaya selalu ingat akan kematian Panji Tohjaya yang dibunuh
Rangga Wuni, anak Anusapati itu."
"Tetapi bukankah Panji Tohjaya juga telah membunuh Anusapati,
ayah Rangga Wuni " "Benar, karena Panji Tohjaya tak merelakan kematian sang
Amurwabhumi yang dibunuh oleh pengalasan dari Anusapati "
"Tetapi sang Amurwabhumipun telah menitahkan eyang buyut
Kebo Ijo untuk membunuh akuwu Tunggul Ametung, ayah dari
Anusapati " "Yang membunuh Tunggul Ametung adalah Kebo Ijo " bantah
orang itu. "Atas perintah sang Amurwabhumi " sahut yang bernama
Bantaran "dan Ken Arok atau sang Amurwabhumi itu telah
membunuh empu Gandring yang membuatkan keris untuknya
maka empu Gandring lalu menjatuhkan kutuk"
"Berapa jiwa yang harus mati oleh keris itu" "
"Tujuh orang " "Dan sudah berapa yang mati" "
"Empu Gandring, Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Ken Arok,
Anusapati, lima orang "
"Bukankah yang dimaksud kutuk itu, anak keturunan Ken Arok?"
"Jika demikian baru Ken Arok seorang. Bisa juga ditambah
dengan Anusapati." "Jika demikian masih kurang banyak."
"Ya " sahut Bantaran " itulah sebabnya maka Panji Tohjaya telah
memberi perintah rahasia agar keris itu ditanam dicandi makam
sang Amurwabhumi ini "
"Tetapi mengapa rama tak tahu " "
"Rama siapa" Apakah ramamu" " cepat Bantaran menanggapi
karena heran mendengar pernyataan kawannya.
Rupanya orang itu merasa telah kelepasan omong. Ia merenung
sejenak kemudian mengangguk "Ya, ramaku"
"Ramamu" Siapa" " Bantaran terbeliak.
"Putera Panji Tohjaya."
"Hai !" Bantaran berteriak sehingga kumandangnya bagai
dengung gong yang menggetarkan ruang candi itu "menurut eyang
buyut, Panji Tohjaya tak berputera "
"Memang dari isteri pertama, Panji Tohjaya belum berputera.
Tetapi dari garwa ampil, ketika keraton diserang oleh Rangga Wuni
dan Mahisa Gampaka yang membawa lasykar orang2 Rajasa dan
Sindir, Panji Tohjaya lolos dari keraton. Dia terluka parah. Saat itu
dia menitahkan supaya seorang hamba yang dipercaya
menyelamatkan jiwa garwa ampil yang sedang mengandung itu,
ketempat yang tak mungkin dikejar oleh musuh. Ketika tiba
saatnya, garwa ampil itupun melahirkan seorang putera."
"O " Bantaran mendesah.
"Untuk mengenal keturunan Panji Tohjaya maka semua anak
cucunya memakai nama Toh. Putera yang lahir dari ibu garwa
ampil itu bernama Tohnyawa, kemudian dia berputera Tohpati."
"Kakang Katang, bagaimana engkau tahu sejelas itu" Seolah
engkau mengalami sendiri hal itu "
"Memang benar "
"Apa katamu, kakang Katang" Engkau mengalami sendiri"
Apakah engkau putera dari Tohnyawa" "
"Hm " sahut Katang "engkau pandai menduga "
"Engkau puteranya" Engkau Tohpati" " teriak Bantaran terkejut
sekali. "Ya " "Tetapi bukankah engkau bernama Katang Lumbang " "
Bantaran menegas. "Itupun benar " sahut Tohpati "aku memang menggunakan nama
itu dikala masuk menjadi prajurit Singasari dahulu"
"O " desuh Bantaran.
"Engkau tahu apa sebab kupakai nama itu" "
"Untuk menyamar agar jangan diketahui orang siapa dirimu "
"Ya, itu juga benar " sahut Tohpati "tetapi yang penting nama itu
mempunyai arti yang besar kepadaku."
Bantaran membelalak dengan pandang heran.
"Katang Lumbang adalah nama desa dimana dahulu Panji
Tohjaya karena luka-lukanya telah meninggal. Maka kupakai nama
itu agar aku selalu teringat akan peristiwa itu."
"O " Bantaran mendesuh pula.
"Sudahlah, Bantaran " kata Tohpati "jangan membuka rahasia itu
kepada siapapun juga. Tetap panggil, namaku Katang Lumbang
sajalah." Bantaran mengiakan.
"Telah kukatakan kepadamu, Bantaran," kata Katang Lumbang
yang tak mau memakai nama Tohpati, "bahwa kita berdua ini
keturunan orang yang terlibat dalam peristiwa bunuh membunuh di
Singasari akibat kutuk empu Gandring. Kita senasib."
Bantaran mengangguk pula.
"Maka apabila rahasia yang engkau ketahui tentang keris empu
Gandring itu benar dan kita dapat menemukannya di candi ini,
maka sejarah kerajaan Singasari akan berobah."
"Maksud kakang" "
"Bila kudapatkan keris bertuah itu, akan kubunuh baginda
Kertanagara." "Kakang Katang! " Bantaran berteriak kaget, "mengapa engkau
mengandung cita2 itu" "
"Yang membunuh Panji Tohjaya adalah Rangga Wuni. baginda
Kertanagara sekarang ini adalah putera dari Rangga Wuni. Aku
akan menuntut balas atas kematian eyangku Panji Tohjaya "
"O " desuh Bantaran untuk yang kesekian kali, "bukankah baru2
ini kakang diangkat menjadi bhayangkara keraton. Mengapa tak
kakang laksanakan maksud kakang itu " Mengapa harus
menunggu sampai berhasil mendapatkan keris empu Gandring " "
Katang Lumbang tertawa pelahan.
"Ketahuilah Bantaran," katanya "baginda Kertanagara itu seorang
raja yang sakti mandraguna. Mungkinkah aku mampu membunuhnya" Tidak, Bantaran, aku tak mau mempertaruhkan
nyawaku untuk suatu hal yang aku tak yakin akan berhasil. Aku
harus mendapatkan keris empu Gandring itu. Hanya keris bertuah
itulah yang pasti mampu melenyapkan jiwa baginda! "
"Ah " desah Bantaran "tidakkah kakang akan ditangkap dan
dibunuh " Tidakkah pura Singasari akan kacau" Tidakkah kerajaan
Singasari akan goncang" "
Katang Lumbang mendengus "Hm, jika memikirkan soal2 dalam
pertanyaanmu itu, lebih baik aku tidur dan membuat impian
bercengkerama di taman loka yang indah dengan puteri2 yang
cantik. Bukankah hati kita akan terhibur dengan khayal2 dalam
impian itu walaupun sesungguhnya tidak nyata" Engkaupun
demikian, Bantaran. Engkau boleh menciptakan impian menjadi
raja yang dikelilingi oleh puteri-puteri cantik. Atau kalau ingin lebih
hebat lagi, engkau boleh membuat impian menjadi dewa yang
bersenang-senang di kahyangan."
"Ah, kakang Katang," sela Bantaran "bukan maksudku begitu
tetapi aku memikirkan nasib kakang karena akibat pembunuhan
itu." "Setiap tindakan tentu akan menimbulkan akibat, baik atau
buruk," jawab Katang Lumbang "tetapi aku merasa mempunyai
tugas batin yang selalu menuntut perasaanku. Hutang jiwa harus
bayar jiwa. Jika tidak demikian aku berani menuduh bahwa dewata
itu tidak adil. Betapapun aku harus menagih hutang jiwa eyangku
kepada baginda Kertanagara."
"Kakang " seru Bantaran "percayalah, Hyang Batara Agung itu
adil dan maha kuasa. Tetapi adakah harus kakang yang menagih
hutang jiwa itu" Bukankah tanpa kakang bertindak, nanti tentu tiba
masanya hutang itu akan terhimpas oleh kodrat hidup" "
"Bantaran," seru Katang Lumbang "ramaku gagal melaksanakan
pembalasan itu. Dimana rama gagal, aku harus berhasil. Apakah
aku harus mengharapkan anakku yang melaksanakan pembalasan
itu" Kemudian anakku, mengharapkan puteranya dan puteranya
mengharapkan puteranya lagi, sehingga tak berkeputusan harap
itu berlangsung dari anak, cucu sampai ke buyut. Tidak, Bantaran,
sekarang juga aku harus melaksanakan. Semua akibat telah
kupikirkan dan nyawaku taruhannya."
"Jika demikian kehendak kakang, akupun tak dapat berkata apa2
lagi." "Tetapi engkau harus berkata lagi Bantaran." Bantaran terkesiap.
"Engkau harus berkata kepadaku, bersediakah engkau membantu aku" Lebih tandas lagi, sanggupkah engkau bekerja-
sama dengan aku untuk melaksanakan karya besar ini " "
Bantaran berobah cahaya mukanya. Ia tampak pucat dan agak
gemetar. "Bagaimana Bantaran ?" desak Katang Lumbang.
"Ya, baiklah " jawab Bantaran. Tetapi Katang Lumbang tahu
bahwa Bantaran ragu2 karena takut. Wajahnya yang pucat dan
suaranya yang tergetar, memancirkan isi hatinya.
"Ya, baiklah " Katang Lumbang mengiakan tetapi dalan hati dia
timbul rencana lain terhadap Bantaran. Dia menganggap sikap
Bantaran yang yang ragu2 dan ketakutan itu berbahaya. Ia harus
bertindak menumpas bahaya itu sebelum bahaya itu menghancurkan dirinya. Kemudian Katang Lumbang mengajak Bantaran mulai bekerja.
Keduanya mencari letak tempat penanaman abu jenajah. Tiba2
Katang Lumbang menyulut api untuk menyuluhi persada batu yang
berada didepan patung Syiwa.
Dari sinar api yang dinyalakan Katang Lumbang itu, Nararya
berhasil mengintai melalui celah2 kaki patung Syiwa bagaimana
raut wajib kedua orang itu. Namun sebelum sempat melihat jelas,
apipun sudah padam. "Bantaran, lekas engkau gali persada ini. Mungkin disinilah
tempatnya," seru Katang Lumbang.
Rupanya Bantaran menurut karena sesaat kemudian terdengar
suara batu persada di depan patung Syiwa itu dihunjam dengan
senjata tajam. Bantaran mulai bekerja.
Ditempat persembunyiannya, Nararya berpikir keras mencari akal
untuk menggagalkan tindakan kedua orang yang tak bertanggung
jawab itu. Pertama, kedua orang itu merupakan persekutuan jahat
yang hendak melenyapkan jiwa baginda Kertanagara. Bahwa
Katang Lumbang ingin menuntut balas atas kematian eyangnya,
Panji Tohjaya, itu persoalan dia. Tetapi yang jelas, tindakan itu
tentu akan menimbulkan geger dan malapetaka besar kepada
kerajaan Singasari. Tahta kerajaan goncang, daerah2 akan timbul
pembangkangan. Dan yang jelas, Daha akan menggunakan
kesempatan itu untuk melaksanakan rencananya.
"Berbahaya " tersentak pikiran Nararya manakala membayangkan
akibat2 itu. Dan makin keras ia mencari akal untuk memberantas
perbuatan kedua orang itu.
Suasana dalam ruang candi itu gelap dan hal itu menguntungkan Nararya untuk melaksanakan rencana yang sudah
diperolehnya. Ia tak membekal senjata apa2 kecuali hanya sebilah
pisau yang sebenarnya diperuntukkan memotong dan mengupas
buah-buahan manakala dia harus mencari makanan di hutan.
Segera diambilnya pisau itu lalu dengan hati2 agar jangan
menimbulkan suara, ia berbangkit. Setelah menentukan arah
tempat Katang Lumbang yang saat itu membelakangi Bantaran
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena sedang memeriksa tempat sekitar persada patung maka
Nararya lalu menaburkan pisaunya diarahkan ke punggung.
"Aah .... " Katang Lambang menjerit, meliuk- liuk tubuh dan
meringis kesakitan karena punggungnya terobek pisau. Darahpun
bercucuran mengalirkan rasa sakit yang nyeri.
"Keparat, engkau berani menghianati aku, Bantaran! " teriak
Katang Lumbang seraya menerkam Bantaran, mencekik lehernya
dan membenturkan kepalanya pada batu persada, prak .... Jidad
Bantaran pecah, tubuh menggelepar dan orangnyapun tak dapat
berkuiik lagi. Rupanya Katang Lumbang atau Tohpati mewarisi perangai
eyangnya, Panji Tohjaya, yang berangasan dan banyak curiga.
Kesan buruk terhadap Bantaran yang dianggapnya ragu2 dan
takut, melahirkan pula kesimpulan bahwa tentulah Bantaran yang
manikamnya dari belakang. Adalah karena ketakutan atau mungkin
tak setuju maka Bantaran hendak membunuhnya. Demikian
anggapan yang memenuhi benak Katang Lumbang. Ia
merencanakan, setelah berhasil mendapatkan keris empu
Gandring, akan melenyapkan Bantaran maka ia menilai
Bantaranpun memiliki rencana begitu juga. Demikian alam pikiran
seorang yang penuh prasangka apabila merencanakan perbuatan
jahat. Katang Lumbang dengan cepat segera menuduh Bantaran yang
menikamnya. Maka tanpa memberi kesempatan bicara lagi kepada
Bantaran, dia terus menerkam, mencekik dan membenturkan
muka Bantaran ke batu persada. Dahi Bantaran pecah, darah
berlumuran dan terus tak dapat bergerak, entah mati entah hidup.
Katang Lumbang beristirahat sejenak untuk mengusap darah
dipunggungnya. Ia mencari sawang atau sarang galagasi untuk
melumuri lukanya agar berhenti dari pendarahan.
Sesaat selesai mengenakan baju lagi, tiba2 ia mendengar kokok
ayam di kejauhan. Ia terkejut. Jika ia tetap berada di candi itu,
dikuatirkan penjaga atau mungkin penduduk di sekeliling tempat
itu akan mengetahui tentang pembunuhan yang dilakukannya.
Kemarahan dapat menimbulkan kegelapan pikiran, dapat
melakukan perbuatan apa saja pun yang dapat melonggarkan luap
amarah itu. Tetapi setelah hawa amarah reda, kejernihan hatipun
mulai memancar maka timbullah rasa takut, sesal akan apa yang
telah dilakukannya. Demikian Katang Lumbang. Saat itu ia
menyadari kalau membunuh kawannya dan kesadaran itu
membangkitkan rasa takut apabila perbuatannya diketahui orang.
"Lebih baik kukubur saja agar tiada yang tahu jejaknya," serentak
timbul pikirannya. Lalu diangkatnya tubuh Bantaran, dibawa keluar.
Dibawah sebatang pohon weru, dia segera menggali lubang. Tetapi
menggali liang dengan senjata pedang, memang memakan waktu
lama. Dan baru lebih kurang selengan dalamnya, ayam hutanpun
berkokok makin gencar. Cuaca mulai meremang terang.
"Ah, hari makin mendekat pagi. Apabila ada orang yang melihat
apa yang kulakukan, pasti celakalah aku," ia makin cemas.
Akhirnya ia menyeret tubuh Bantaran kedalam liang yang masih
dangkal lalu ditimbuni dengan tanah dan daun. Asal tertutup
sajalah, tak sempat lagi untuk menimbuni secara padat. Setelah itu
bergegas ia meninggalkan tempat itu. Ia harus cepat2 mencapai
asrama agar tiada diketahui kawan2 yang lain bahwa malam itu dia
pergi. Saat itu juga muncul sesosok tubuh yang langsung menuju ke
timbunan tanah lalu mulai membongkar tanah dan timbunan daun.
Dia bekerja cekatan sekali. Tak lama tubuh Bantaranpun segera
dikeluarkan dari liang. Orang memeriksa dada Bantaran, ternyata masih terasa hangat
dan jantungnya masih mendebur pelahan. "Untung aku keburu
mengeluarkannya sehingga dia tak sampai dikubur hidup-
hidupan," gumam orang itu.
Setelah diurut-urut beberapa waktu, Bantaran dapat menggeliat
dan merintih. Orang itu segera mencari daun kemlanding, dilumat
lalu dilumurkan pada dahi orang yang telah pecah. Kemudian
diapun mencari air dan diminumkan orang itu.
Setengah jam kemudian, orang itu dapat sadar. Dia memang
belum mati tetapi hanya pingsan.
"Siapa engkau ..... " serunya lemah kepada penolongnya.
"Aku Nararya " jawab orang yang menolong itu "jangan banyak
bergerak dulu. Lukamu masih belum merapat."
Orang itu mengangguk lalu pejamkan mata lagi. Lewat tengah
hari beristirahat, Bantaran makin kuat. Ia membuka mata dan
memandang Nararya. "Apakah yang telah terjadi pada diriku" " tanyanya kepada
Nararya. Nararya terpaksa berbohong. Ia mengatakan bahwa ia
sebenarnya hendak berkunjung ke candi untuk memanjatkan doa.
Tetapi ia terkejut ketika melihat dua orang sedang menabas batu
persada patung Syiwa. "Itulah aku dan Katang Lumbang " kata Bantaran.
"O " desuh Nararya "sebenarnya aku hendak masuk dan
menegur perbuatan kalian. Tetapi tiba2 kudengar kawanmu
menjerit kesakitan sembari mendekap punggungnya. Dan entah
bagaimana tiba2 dia menerkam engkau lalu membenturkan
mukamu pada batu persada. Kemudian dia membawamu keluar
dan menanam tubuhmu dalam liang ini."
"Oh, dimana dia sekarang" " seru Bantaran.
"Sudah pergi," sahut Nararya "sebenarnya aku hendak
mengejarnya tetapi kurasa lebih perlu menolongmu "
"Terima kasih, ki sanak," kata Bantaran "budi pertolonganmu
pasti kuingat selamanya."
"Ki Bantaran" kata Nararya "bagaimanakah rencanamu sekarang" Apakah engkau hendak pulang dan mengadukan
perbuatan kawanmu itu."
Bantaran terdiam. "Bagaimana baiknya kalau menurut ki sanak." Bantaran meminta
pendapat "nyawaku engkau yang menghidupkan maka akupun
menurut apa yang engkau perintahkan."
Nararya meminta keterangan apa maksud kedatangan Bantaran
dan kawannya ke candi situ. Sebenarnya dia sudah tahu tetapi
agar jangan diketahui bahwa sebenarnya dia bersembunyi di
belakang patung Syiwa, maka sengaja ia bertanya keterangan.
Dengan jujur Bantaran menceritakan semua yang terjadi. Diam2
Nararya menaruh kepercayaan bahwa Bantaran seorang jujur.
"Bantaran," kata Nararya "aku hendak bertanya kepadamu
dengan sejujurnya. Benarkah keris empu Gandring itu tertanam
dalam candimakam sang Amurwabhumi?"
"Aku sendiri juga belum yakin sungguh2. Hanya ayah yang
mengatakan hal itu dan ayahpun mendengar keterangan dari
eyang " "Ki Bantaran," kata Nararya dengan nada sarat "adakah keris itu
berada di candi ini, masih belum pasti. Dan dengan bekal yang
belum pasti itu, engkau hendak merusak sebuah candi makam dari
seorang raja besar yang mendirikan kerajaan Singasari. Apakah
engkau tak takut akan kemarahan rakyat bila perbuatanmu itu
diketahui mereka" Kedua, apakah kau tak takut akan tulah keramat
dari arwah sang Amurwabhumi yang menjadi titisan Hyang Wisnu"
Ketiga, apakah engkau tak berdosa karena akan memunculkan
kembali sebuah keris yang berisikan kutuk Empu Gandring "
Walaupun eyang buyutmu ki Kebo Ijo telah terbunuh, tetapi sang
Amurwabhumi telah membalas jasanya dengan mengangkat
puteranya, Kebo Randi menjadi pengalasan keraton dan
selanjutnya anak keturunannya tetap diberi pangkat sebagai
pekatik. Tindakan budi yang telah dilimpahkan oleh sang
Amurwabhumi dan kerajaan Singasari kepada kakek moyangmu
sudah cukup untuk menghimpas peristiwa itu" Tidakkah dengan
membantu Katang Lumbang untuk mendapatkan keris itu, berarti
engkau ikut serta dalam perbuatan jahat untuk membunuh baginda
Kertanagara yang berarti juga engkau akan mengacaukan
keamanan dan ketenteraman pura Singasari" Kakek, ayah dan
engkau adalah rakyat Singasari. Tidakkah sudah layak bagi
seorang kawula untuk mengabdikan diri dengan pengorbanan jiwa
seperti yang dilakukan oleh eyangmu Kebo Ijo itu" Tidakkah
engkau berarti akan membantu lain kerajaan untuk menyerang
Singasari apabila kerajaan itu geger akibat baginda Kertanagara
terbunuh" " Dihujani dengan pertanyaan yang menggebu-gebu itu, Bantaran
terlongong-longong tak dapat menjawab.
"Aku hanya menurut apapun yang hendak engkau perintahkan,
ki Nararya," akhirnya dia hanya memaserahkan diri.
"Baik, Bantaran " kata Nararya "sebenarnya pantang bagiku
untuk mengungkai- ungkat saal budi dan pertolongan. Karena
pertolongan yang kuberikan kepadamu ini, kuanggap sebagai wajib
dari dharma hidupku. Tetapi apabila engkau bermaksud hendak
membalas budi pertolonganku itu. Aku merasa berterima kasih dan
menganggap engkau benar2 sudah membalas budi kepadaku
apabila engkau tak melanjutkan rencana untuk mencari keris empu
Gandring itu. Lepaskanlah tanganmu dari pusaka yang berlumuran
darah. Maukah engkau Bantaran" "
Bantaran merasa bahwa ia telah menerima budi pertolongan
yang tiada taranya dari pemuda itu. Dia menyadari bahwa Katang
Lumbang seorang kawan yang berbahaya. Apa yang diuraikan
Nararya memang benar. Sebagai seorang kawula Singasari, dia
harus dapat memisahkan kepentingan keluarga dengan negara.
Apalagi peristiwa itu terjadi antara eyangnya, Kebo Ijo, dengan
sang Amurwabhumi. Sedang baginda Kertanagara yang sekarang
adalah keturunan dari Tunggul Ametung.
"Baik ki Nararya," akhirnya ia memberi pernyataan "kurasa keris
itu memang mengandung tulah yang berbahaya. Biarlah dia lenyap
dari muka bumi agar jangan menimbulkan malapetaka."
"Terima kasih, Bantaran," kata Nararya "lalu bagaimana
rencanamu sekarang " "
"Inilah ki Nararya " kata Bantaran "yang meresahkan hatiku. Aku
memang masih bingung menentukan langkah, kembali ke
Singasari atau menyembunyikan diri. Bagaimanakah pendapat
tuan" " "Jika tahu engkau masih hidup, Katang Lumbang tentu terkejut,"
kata Nararya "dan ketakutan pula. Oieh karena itu dia tentu
berusaha untuk membunuhmu lagi agar rahasianya jangan sampai
terdengar orang." "Hm, benar " "Maka lebih baik jangan engkau kembali ke pura dulu. Tetapi
apakah engkau mempunyai tempat meneduh" "
Bantaran mengatakan bahwa ia mempunyai seorang paman
yang tinggal didesa. Kesanalah dia akan menetap.
Nararya menyetujui dan Bantaranpun segera berpisah untuk
menuju ke tempat pamannya. Sementara Nararya kembali masuk
kedalam candi. Peristiwa Katang Lumbang dan Bantaran itu menyerap waktu
yang lama dalam renungannya. Makin mengenang kembali ke
masa lampau, makin banyak peristiwa yang menimbulkan
renungan. Berdirinya kerajaan Singasari tak lepas dari sejarah
kehidupan seorang manusia bernama Ken Arok. Baik sejarah asal
keturunan maupun kissah sepanjang masa mudanya, penuh
dengan hal2 yang luar biasa.
Seorang bayi yang tak diakui ibunya dan dibuang di kuburan,
seorang pemuda yang terjerumus dalam kehidupan di lembah
hitam. Judi, mencuri, menyamun, mengganggu wanita dan lain2.
Tetapi yang jelas pemuda itu memiliki kecerdasan dan keberanian,
kesaktian dan keperibadian yang menonjol.
Mungkin Ken Arok memang seorang manusia yang dikasihi
dewa dan mendapat wahyu agung untuk mengemban tugas besar
memerintah kerajaan Singasari. Tetapi yang jelas, dia tentu
menempuh perjalanan panjang itu dengan penuh penderitaan dan
ketabahan. Untuk mencapai kejenjang puncak yang gemilang
bukanlah suatu perjalanan diatas alas beludru yang lunak,
melainkan disepanjang jalan yang penuh dengan kerikil tajam,
bahkan bertabur duri dan onak, berpagar tombak dan pedang.
"Lepas dari segala perbuatannya semasa masih muda, sang
Amurwabhumi memang seorang manusia besar. Jika tidak tak
mungkin seorang pemuda yang berasal dari keturunan bawah,
mampu menjadi seorang raja besar yang menguasai kerajaan
Singasari," bagai lapisan awan yang berarak di angkasa, maka
berarak-arak pula lapisan kesan dalam hati Nararya. Makin lama
makin tebal, makin cerah. Dia makin menghayati hakekat dari
perjuangan. Jer basuki mawa bea. Tiada kebahagiaan tanpa penderitaan.
Sekali pun Ken Arok itu benar menjadi kekasih dewa, menjadi
insan yang telah dipilih dewa untuk menenteramkan kerajaan
dijawadwipa, tetapi tidaklah begitu saja dewa menganugerahkan
kebesaran hidup kepadanya. Dia masih harus berusaha dan
berjuang keras, masih harus membuktikan bahwa dialah insan
pilihan dewa yang tepat. Dengan renungan2 itu mulai mantap, mulai menyatu dan mulai
mengarahlah pikiran Nararya kedalam suatu jalur pemusatan.
Lambat tetapi tertentu mulai mengalir kearah suatu muara laut,
makin lama makin luas dan luas. Tiada ujung tiada tepi, tiada lagi
batas antara air dan bumi, bumi dan langit. Semua telah bersatu
dalam suatu kekosongan yang penuh tetapi hampa, hampa tetapi
penuh..... Nararya telah kehilangan diri. Dia tak tahu berada di mana,
karena dia telah kehilangan daya pengetahuan, daya pengenal dan
daya pemikir. Dia tak merasakan dirinya itu masih atau hilang,
karena dia tak mempunyai daya rasa itu. Dia tahu dalam tak-tahu.
Dia tak tahu dalam tahu. Diapun merasa dalam tak-merasa. Diapun
tak merasa dalam merasa. Dia hanya merasa berada dalam suatu
kehampaan alam raya tetapi dia tak tahu dirinya berada dimana
dalam alam kosong raya itu.....
Sayup2 ia seperti mendengar suara isak tangis seorang gadis,
yang menebarkan bau harum dan tangannya yang halus
mengguncang-guncang kakinya "Raden .... raden bagus ....
tolonglah hamba raden . . . . hamba dikejar orang jahat....."
Namun Nararya sudah hilang ditelan kehampaan. Semua indera
perasa, pemikir, telah hilang. Bahkan dirinya, isi dirinya atau yang
bisa disebut aku dalam dirinya, pun sudah tiada lagi padanya. Dia
laksana sebuah patung dalam sila semedhi ....
Suara perawan ayu merintih-rintih pertolongan itupun hilang
lenyap. Beberapa saat2 kemudian ia merasa seperti dipegang oleh
sebuah tangan yang berbulu, jari2 kasar sebesar pisang, meraba-
raba leher seperti hendak mencekiknya.
Tetapi kehilangan yang diberikan Nararya adalah suatu
penyerahan, suatu pemaserahan bulat. Sehingga tiada lagi indera2
dalam dirinya itu dapat memancarkan daya. Dia sudah kehilangan
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daya penyerap, pemikir dan perasa. Maka sia2 pula gangguan
tangan berbulu dan jari besar yang mengerikan itu kepadanya.
"Ho, inilah manusia yang menjadi gara2 candi ini seperti dibakar
api. Hayo, kita bunuh dia! "
Serentak terdengar bunyi yang aneh, macam benda berat
merayap di tanah dan bau yang luar biasa anyir, menghampiri
Nararya. ~dewiKZ~ismoyo~mch~ Jilid 13 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor: MCH I Nararya telah mendapat pelajaran Hatha-yoga dari gurunya, resi Sinamaya di gunung Kawi.
Tujuan daripada ilmu pelajaran itu satu tepi mempunyai landasan yang luas dan tinggi.
Satu, yani untuk mencapai alam bahagia, nirwana dan moksa, mencapai in hakekat kebenaran,
menjelang manunggalnya jiwa kepada kebenaran atau para-murtha. Disitulah tujuan utama dari
hubungan jiwa dengan Sanghyang Widdhi.
Landasan yang luas dan nggi karena sarana2 yang wajib ditempuh melalui ngkat2 la han
melepaskan pengaruh nafsu dasendriya atau sepuluh indera dan panca tanmatra atau bayangan
nafsu dalam linggasarira, dari alat2 lapis badan manusia. Sehingga pengaruh nafsu dari alat2
lapisan badan itu terlepas dan tidak berpengaruh lagi terhadap gerakan jiwa.
Sesungguhnya samadhi itu merupakan ngkat terakhir dimana telah dapat mencapai alam
bahagia, nirwana dan moksa, manunggal dengan Sang Hyang Widdhi dalam alam Anandasarira.
Hatha-yoga yang dipelajari Nararya, belumlah mencapai ngkat yang ter nggi. Namun berkat
kemauan dan tekad yang keras, ia telah mampu mencapai Dharana, ngkat kelima dari ngkat2
yang berjumlah delapan buah.
Demikian yang dilakukan di candi-makam Kagenangan. Ia telah mulai dapat mengalahkan rayas
dan telah dapat menguasai semangat bathin serta memusatkan kepada suatu tempat atau tujuan
tertentu. Tujuannya tak lain hendak mohon wangsit dari eyang buyut sang Rajasa Amurwabhumi.
Sedemikian teguh dan paserah semangat bathin Nararya, sehingga ia telah berhasil keluar dari
Lingga-sarira, tempat rayas berkuasa mereka-reka sifat kama.
Pikiran, bathin dan perasaannya sudah 'ma ' dari segala daya-reka sehingga apapun yang
bertubi-tubi mengganggunya, tiada bersambut dalam perasaan.
Setelah tangis gadis ayu yang merin h-rih h minta tolong, membujuk rayu dengan bisikan-
bisikan yang syahdu, kemudian tangan berbulu dan jari2 kasar yang meraba-raba leher seper
hendak mencekik, suara2 beraneka nada yang seram, mengancam, tak bersambut, maka muncul
mahluk yang merayap menghampirinya dengan membiaskan hawa yang luar biasa anyirnya.
Mahluk itu berwujut sebagai seekor ular besar yang terus melilit tubuh dan leher Nararya.
Bahkan terasa seolah mulut ular besar itu menganga hendak mencaplok kepala.
Namun pemaserahan Nararya sudah bulat. Pikiran, bathin, jiwa dan kesepuluh indera, telah
dileburkan dalam kekosongan yang hampa. Sehingga semua godaan itu berguguran lenyap.
Nararya telah membebaskan diri dari rayas2 Lingga-sarira, mematikan daya-reka kama.
Dalam keadaan alam kehampaan yang suwung itu, sayup2 seper terdengar suara halus yang
menyusup ketelinga "Kulup, mengapa engkau mengganggu aku . . ."
Nararya seolah tersentuh oleh suara itu. Dan sesaat itu sebuah benda kecil mulai memercik di
alam yang suwung. Makin lama percik benda itu makin membesar, membesar dan akhirnya
meletus, membaurkan gulung asap pu h. Pelahan-lahan asap itu mulai mengumpul, menggunduk,
makin tebal, tebal, dan akhirnya menjadi suatu perwujutan dari seorang lelaki yang perkasa,
mengenakan sebuah mahkota.
"Kulup ... " seru orang itu, "hentikan semedhimu"
Nararya seperti terperangah.
"Siapa engkau kulup " " seru orang itu.
"Hamba Nararya pukulun ... " Nararya seper menyahut. Tidak dengan mulut melainkan dengan
rasa batin. "Nararya" Siapa Nararya" Menilik wajahmu yang bercahaya terang, engkau tentu berasal dari
keturunan satrya" "Hamba hanya putera dari rama Lembu Tal. Dan Lembu Tal adalah putera dari Batara
Narasingamur atau Mahesa Campaka. Mahesa Campaka putera dari Mahesa Wonga Teleng dan
Mahesa ..." "Cukup" seru lelaki itu "kutahu siapa Mahesa Wonga Teleng. Jadi engkau ini keturunan
Mahesa Wonga Teleng"
"Demikian, pukulun."
"Aku bukan dewa, tak perlu engkau menyebut pukulun kepadaku ..."
"Oh, maafkan. Lalu siapakah paduka ini ?"
"Engkau tak kenal kepadaku ?"
"Tidak." "Tidakkah ramamu pernah berceritera tentang leluhurnya?" .
"Rama hamba sering bercerita begitu "
"Siapakah cikal bakal leluhurnya?"
"Eyang buyut Ken Arok yang kemudian menjadi raja Kula Singasari bergelar sri Rajasa sang
Amurwabhumi" "Pernahkah engkau melihat wajah sang Amurwabhumi" "'
"Hamba pernah melihat patung sang Amurwabhumi yang terdapat di beberapa candi."
"Cobalah engkau pandang diriku ..." Nararya memang serasa melayang-layang dalam alam
kesemuan. Antara kosong dan isi, nyata dan semu. Mendengar tah itu, serentak ia mencurahkan
pandang mata dan menatap wajah orang itu dengan sepenuh perhatian.
"Duh, eyang buyut sang Amurwabhumi, ..." serta merta Nararya menghadap, menghaturkan
sembah sekhidmat-khidmatnya "ampunilah hamba yang tak tahu adat."
"Jadi engkau sudah tahu diriku?"
"Demikian, eyang baginda yang mulia"
"Dan apa maksudmu bersemedhi memantek aji Panuwun untuk menemui aku" Ketahuilah,
bahwa tempatku bersemayam, di alam kelanggengan yang amat jauh sekali. Bukan suatu
perjalanan yang mudah untuk kembali kesana. Hanya karena pancaran semedhiimi yang keras
laksana sinar surya menembus bumi itu, maka panaslah tempat persemayamanku itu. Adakah
engkau mempunyai keperluan yang amat pen ng sekali sehingga engkau berani mengusik
ketenanganku?" Kembali Nararya tersipu-sipu menghaturkan sembah sujut sedalam-dalamnya "Eyang baginda
yang hamba junjung dialas segala kemuliaan hamba. Hamba mohon ampun atas tindakan
hamba yang kurang beradap terhadap paduka. Hamba hanya menyerahkan jiwa dan raga
hamba kebawah duli paduka apabila paduka hendak mencabut nyawa hamba ".."
"Hm" desuh bayang2 yang menurut pengakuan yang tak dinyatakannya, adalah arwah sri Rajasa
sang Amurwabhumi "soal itu tergantung dari keteranganmu nan . Adakah soal yang hendak
engkau haturkan itu sesuai dengan tindakanmu mengusik ketenangaaku"
"Jika paduka idinkan" kata Nararya "hamba akan mempersembahkan peris wa2 yang
menyangkut kedatangan hamba kemari"
"Katakanlah" Nararya lalu mulai menuturkan sejak ia mendapat anjuran dari kedua orang yang paling
dihorma nya yani ramanya Lembu Tal dan gurunya, resi Sinamaya. Menurut wawasan gaib yang
terasa pada sentuhan syahdu dalam kesuwungan semedhi purna, ada petunjuk gaib bahwa pada
waktu yang tak lama lagi, Hyang Jagadnata akan menurunkan wahyu agung, wahyu yang akan
menyinari persada bumi Jawadwipa sebagai tempat yang akan melindungi, mengembangkan dan
menyuarkan cahaya purnama raya, bagi para
tah dewata, kesejahteraan kehidupan dan
kemakmuran negara. Demikian pula akan menjadi penampung dan pengemban tugas kehendak
dewata untuk menyiarkan agama.
"Atas anjuran guru sang resi Sinamaya, hamba-pun bertapa di candimakam eyang Batara
Narasingamur di Wengker. Berkat kemurahan dewata, hamba-pun diperkenankan berjumpa
dengan eyang Batara Nara-singamurti ".. ."
Kemudian Nararya lalu menuturkan percakapan yang terjadi antara Batara Narasingamur
dengan dirinya. "Eyang Batara Narasingamur yang waktu itu masih bernama Mahisa Campaka mengatakan
bihwa beliau pernah bersemedhi di makam paduka sini dan paduka berkenan menemui eyang . .." '
"Pada kesempatan bercakap-cakap, eyang Batara Narasingamur mohon kehadapan paduka
untuk bersama eyang Rangga Wuni melawan eyang Tohjaya"
"Hm" "Paduka melimpahkan sabda bahwa eyang Tohjaya tak lama menduduki tahta Singasari, karena
menurut kodrat yang telah digaris Hyang Batara Agung, bukanlah eyang Tohjaya yang layak menjadi
raja Singasari" "Hm" "Kemudian padukapun telah menitah eyang Narasingamur untuk memilih lima bu r buah maja.
Yang ga untuk eyang Narasingamur dan yang dua untuk eyang Rangga Wuni. Buah maja yang
manis rasanya, lambang wahyu kerajaan. Akhirnya, dari ga bu r maja, eyang Narasingamur
hanya mendapat sebu r yang manis. Yang dua pahit rasanya. Sedang dua bu r maja untuk eyang
Rangga Wuni ternyata manis semua. Dengan demikian keturunan eyang Rangga Wunilah yang
berhak menduduki tahta kerajaan lebih dahulu"
"Hm" "Namun menurut eyang Narasinga, dua bu r maja manis yang jatuh pada eyang Rangga Wuni itu
adalah berar eyang Rangga Wuni sendiri dan putera-nya. Setelah itu, jika memang petunjuk
parduka itu benar, maka keturunan, eyang Narasingamur lah yang akan menggan di tahta
Singasari" "Hm" "Demikianlah apa yang hamba terima dari pesan gaib di makam eyang Narasingamurti"
"Adakah engkau meragukan pesan Eyangmu itu " " kali ini bertanyalah bayang2 itu.
"Duh, eyang prabu yang hamba muliakan " kata Nararya "bukan soal keraguan ataupun percaya
atau tak percaya yang mendorong hamba menghadap paduka, melainkan keinginan itu mbul dari
hati sanubari hamba sendiri, hendak mohon menghadap paduka."
Dengan jawaban itu Nararya menghindarkan diri dari kesan bahwa dia masih ragu2 akan
keterangan arwah Batara Narasingamur . Karena apabila mengunjukkan kesan ke dak- percayaan
terhadap pesan gaib itu, mungkin arwah sri Rajasa sang Amurwabhumi ini akan merasa kurang
puas. Ke dak-puasan itu mbul dari penilaian bahwa pemuda itu tak mempercayai percakapan
gaib dengan arwah seseorang yang telah ada. Entah itu eyangnya Batara Narasingamur , entah
sri Rajasa sendiri. Apabila tercipta lingkungan alam kesimpulan begitu, niscaya sang Amurwabhumi
tak mau memberi petunjuk apa-apa."
"Apa yang engkau kehendaki?" seru arwah sang Amurwabhumi.
"Duh, eyang prabu, tak lain hamba hanya akan mohon petunjuk kepada paduka agar diri hamba
dalam menempatkan diri di dalam masyarakat ramai, di negara dan di alam kehidupan sebagai
pelaksanaan dari dharma-hidup hamba itu, dapatlah hamba mempunyai pegangan. Agar
terhindarlah diri hamba dari keadaan seperti perahu lepas kemudi di tengah samudera raya ...."
"Hm" tampak bayangan arwah sang Amurwabhumi mengangguk-angguk "engkau
s dalam mengarah tujuan, tatas dalam merangkai kata dan
s dalam melaksanakan kewajiban. Siapakah
namamu yang lengkap?"
"Nararya Sanggramawijaya"
"Nama yang baik" kata arwah sang Amurwabhumi "akan kukabulkan permohonanmu. Karena
daklah mudah dewata akan meluluskan permohonan cipta-semedhi seseorang, terutama apabila
cipta itu diarahkan kepada arwah yang sudah moksa dalam alam kelanggengan. Hanya insan yang
memiliki rejeki besar dan dikasihi dewata, baru dapat diterima persembahan ciptanya itu ?".."
Diam2 Nararya terkejut mendengar ucapan arwah sang Amurwabhumi. Namun ia tak mau
mengikat diri kedalam pengaruh sesuatu yang walaupun luar biasa tetapi masih belum
meyakinkan. Ia kua r pengikatan diri pada hal itu akan menimbulkan gejala yang kurang
bermanfaat kepada dirinya dalam menempuh perjalanan hidupnya. Karena hal itu dapat
menimbulkan rasa besar diri, rasa bangga dan segala rasa ke-aku-an yang tak selayaknya.
"Memang benar apa yang dikatakan eyangmu Mahisa Campaka dalam percakapan melalui
pertemuan gaib dengan engkau itu," kata arwah sang Amurwabhumi pula "telah kuberikan lima
bu r buah maja kepadanya. Dan karena dia keturunanku sendiri maka kuberikan ga bu r
kepadanya sedang Rangga Wuni hanya dua bu r. Tetapi kodrat dewata tak dapat ditolak lagi. Dia
mendapat ga bu r tetapi yang manis hanya sebu r. Sedang Rangga Wunilah yang direstui dewata
menjadi raja Singasari. Setelah itu lalu puteranya"
"Maaf, eyang prabu" kata Nararya "bukankah yang dimaksud putera dari eyang Rangga Wuni itu
adalah baginda Kertanagara yang sekarang ini?"
"Hm, benar," sahut arwah sang Amurwabhumi "Kertanagara yang sekarang ini adalah kelanjutan
dari buah maja manis yang kedua untuk Rangga Wuni itu"
"Setelah itu ?"
"Karena terbatas hanya dua bu r maja, maka kemulyaan keturunan Rangga Wunipun akan usai
dan akan tiba giliran keturunan Mahisa Campaka?"
"Demikianlah, eyang prabu. Dan eyang Mahisa Campaka itu adalah keturunan paduka juga"
"Hm" desuh arwah sang Amurwabhumi "aku memikirkan keturunanku, tetapi bukanlah itu yang
menjadi landasan utama dari hidupku dahulu. Yang pen ng adalah negara Singasari karena
kepercayaan dewa2 kepadaku dahulu, seper yang kudengar ke ka dewa2 mengadakan
musyawarah di gunung Lejar, adalah hendak memelihara, mengembangkan dan memperkokoh
suatu tempat atau negara untuk memelihara kesejahteraan tah dan kelestarian agama sebagai
tujuan hidup manusia."
"Bisa saja para dewa2 memilih putera akuwu Tumapel Tunggul Ametung atau putera dari raja2 di
lain kerajaan. Tetapi mengapa menjatuhkan pilihan atas diriku. Bukankah mereka menganggap
bahwa diriku ini layak menjadi wadah dari pengejawantahan sang Hyang Wisnu" Dan ketahuilah,
bahwa manusia yang dipilih menjadi wadah dari penjelmaan Hyang Wisnu itu tentu telah dinilai
memiliki kelebihan dan kelainan dari tah lain. Oleh karena itu, haruslah manusia yang terpilih itu
membuktikan diri benar2 bahwa dia memang layak untuk pilihan itu"
"Jadi jelas bukan soal keturunan, melainkan diri peribadi manusia itu yang akan dinilai oleh
dewata," kata arwah sang Amurwabhumi "kutahu kemana arah tujuan ucapanmu itu. Jika Mahisa
Campaka i|u keturunanku, engkaupun juga keturunanku karena engkau cucu dari Mahisa
Campaka" Tersipu- sipu dalam hati Nararya mendengar pengungkapan itu.
"Keturunan itu memang pen ng tetapi bukan mutlak utama," kata arwah sang Amurwabhumi
pula "Hyang Wisnu takkan meni s dalam suatu tempat yang sama. Pernahkah eyangmu atau
ramamu bercerita tentang prabu Batara Kresna yang termasyhur itu ?"
"Pernah," sahut Nararya "tetapi entah bagian mana yarg paduka maksudkan"
"Sri Batara Kresna adalah san dari Hyang Wisnu, seharusnya wahyu agung yang diturunkan
dewata, diberikan kepada puteranya yang bernama raden Somba. Walaupun Sri Kresna telah
menetapi peraturan yang telah digariskan dewata, dengan menyuruh puteranya ikut berkecimpung
dalam usaha untuk mengarah turunnya wahyu agung dari dewata, namun selelah berhasil
mendapatkannya, tetap wahyu itu hilang dari tangannya. Karena apa" Karena raden Somba tak
kuat menahan goda rayuan dari seorang wanita can k. Dengan begitu jelas sudah, bahwa bukan
keturunan seorang raja agung seper Sri Kresna yang layak dan harus menerima wahyu agung juga,
melainkan atas dasar diri peribadi dan sifat batinnya. Jelaskah engkau?"
"Terima kasih, eyang prabu" Nararya menghaturkan sembah.
"Demikian pula berlaku pada anak cucu keturunanku. Walaupun eyangmu Mahisa Campaka
memiliki sebu r buah maja yang manis, tetapi kemanisan itu bukan ba dari langit dm sekali-kali
jangan yakin pas akan mendapatkannya. Melainkan harus ditebus dengan usaha keras yang
berlandaskan keluhuran budi dan kesucian batin"
Kembali Nararya menghaturkan sembah.
"Entah siapa diantara kalian yang masih hidup akan memperoleh wahyu itu. Yang pen ng
eyangmu Mahisa Campaka telah memperoleh sebu r buah maja yang manis, maka berusahalah
kalian termasuk engkau, kulup, untuk mewujutkan anugerah yang telah dijanjikan dewa kepada
lingkungan keturunanmu. Dan yang paling benar pula, janganlah engkau mengarah dan
menggantungkan buah maja manis yang diterima Mahisa Campaka itu. Lebih seyogya kalau engkau
tak memiliki pengetahuan tentang hal itu. Kosongkan pikiranmu dengan segala sesuatu rasa pas .
Tetapi bersihkan ba nmu untuk memperjuangkan yang belum pas itu akan menjadi pas . Jangan
engkau mengandalkan dirimu ini anak Lembu Tal cucu Narasingamur . Jangan pula engkau
menyandarkan perjuangan itu hanya pada asal keturunanmu. Tetapi lepaskan, kosongkan dirimu
dari segala kecenderungan yang bersifat mengandalkan itu. Engkau adalah engkau. Hadapkan dan
arahkan sembah harapan dan sujud permohonanmu ke duli Hyang Widdhi Tunggal. Sertakan
sembah sujudmu dengan ha yang suci, nafaskan kesungguhan dan kesetyaan kepada
perjuanganmu. Jangan mencemarkan semangat dan jiwa perjuanganmu itu dengan suatu rasa milik
akan hasilnya. Karena se ap perjuangan yang dicemari rasa milik akan hasilnya itu, pas akan
kecewa. Kecewa apabila dak berhasil dan kecewa pula kalau berhasil, kecewa yang dipancarkan
dari sifat rasa milik yang tak kenal puas. Serahkan kesemuanya itu kepada Hyang Widdhi karena
hanya Dialah yang kuasa menentukan"
"Duh eyang prabu, rasanya ada ilmu apapun yang dapat menjadikan kekuatan diri hamba, serta
ada harta benda yang lebih menggirangkan ha hamba, kecuali wejangan paduka ini. Hamba
Kasih Diantara Remaja 5 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 4
ksatrya, dia telah menetapi kewajibannya. Sebagai seorang ksatrya,
ia dapat menaruh rasa kagum dan hormat kepada seorang ksatrya
lain. "Aku putera Lembu Tal, rama Lembu Tal adalah putera Mahesa
Campaka atau Batara Narasingamurti. Eyang Batara Narasingamurti adalah putera Mahisa Wonga Teleng. Mahisa
Wonga Teleng adalah putera dari Ken Arok atau baginda Rajasa
sang Amurwabhumi dengan eyang buyut puteri Ken Dedes "
"O" desuh Pasirian "dan siapa baginda Wisnuwardana dan
bagaimana silsilah keturunannya" "
"Baginda Kertanagara yang sekarang ini adalah putera baginda
Wisnuwardana. Sebelum dinobatkan sebagai raja baginda
Wisnuwardana bernama Rangga Wuni dan putera dari Anusapati.
Dan Anusapati adalah putera eyang buyut puteri Ken Dedes
dengan Tunggul Ametung "
"Hm, jika demikian," kata Pasirian "rama dan eyang-eyangmu itu
dari keturunan Ken Dedes "
"Benar " "Engkau dengan raja Kertanagara masih kemanakan dari garis
keturunan Ken Dedes "
"Ya" "Sesungguhnya engkaulah keturunan dari Ken Arok dan raja
Kertanagara itu keturunan dari Tunggul Ametung "
"Demikianlah " "Mengapa engkau begitu mati-matian membelanya" "
"Raden Pasirian" kata Nararya. dengan tenang "yang kubela
adalah Singasari karena kerajaan itu didirikan oleh eyang buyut sri
Rajasa. Bahwa ketentuan kodrat saat ini kerajaan Singasari
diperintahkan oleh raja keturunan dari Tunggul Ametung dan
eyang buyut puteri Ken Dedes, hal itu rupanya memang sudah
garis kehendak dewata. Eyang Batara Narasingamurti tentu sudah
menyadari hal itu dan merelakannya."
"Engkau salah raden Nararya. Seharusnya engkau berusaha
untuk merebut warisan dari sri Rajasa. Engkau lebih berhak."
"Dewata Agung telah menentukan garis hidup pada kita.
Kuserahkan saja kesemuanya itu kepada kehendak Dewata
Agung. Yang penting, perjuanganku saat ini adalah menjaga dan
membela kerajaan Singasari dari setiap gangguan dari manapun
datangnya " "Hm" desuh Pasirian "apakah yang engkau harapkan dari aku" "
"Aku tak berani mengharap terlalu banyak kecuali hanya sebuah
harapan yang tak berarti bagi raden tetapi mempunyai arti besar
bagi perjuanganku." "O, apakah itu" "
"Aku dapat memaklumi tujuan perjuangan raden. Tetapi kitapun
harus mau menerima kenyataan yang telah diberikan oleh Hyang
Batara Agung." "Tetapi kita manusia harus berusaha"
"Benar" sambut Nararya "karena Hyang Batara Agung hanya
merestui pada manusia yang berusaha. Karena manusia yang
berusaha adalah manusia yang menetapi dharma kemanusiaannya. Tetapi hendaknya kita dapat meningkatkan
kecerdasan dan indera kemanusiaan kita pada kenyataan yang
diberikan Hyang Batara Agung itu."
Pasirian merenung. "Baiklah" sesaat kemudian ia berkata "aku dapat menerima
harapanmu itu. Marilah kita tempuh jalan perjuangan kita masing2.
Silahkan engkau melanjutkan perjalananmu "
"O, raden berkenan menghabiskan pertempuran ini" "
"Kurasa demikian" jawab Pasirian "karena tiada membawa
pengaruh besar pada tujuan perjuanganku."
"Baik, terima kasih" kata Nararya "sampai jumpa, raden," dia
terus menghampiri Nambi dan menghaturkan terima kasih atas
bantuannya. Setelah itu dia terus ayunkan langkah menuruni
gunung. "Raden Nararya " tiba2 Pasirian berseru.
"O, apakah raden hendak memberi pesan lagi kepadaku?"
Nararya hentikan langkah berpaling menghadap ke arah Pasirian.
"Mengapa engkau tak menagih janji kepadaku ?" tegur Pasirian.
"Janji" " "Bukankah aku telah berjanji, apabila engkau dapat mengalahkan aku, aku bersedia memberitahu tempat penyimpanan gong Prada kepadamu" "
"O" desuh Nararya "tetapi raden tidak kalah, bagaimana aku
mempunyai muka untuk menagih janji" "
"Aku memang terlongong karena teringat sesuatu. Akibatnya
engkau dapat menendang jatuh senjataku. Tetapi itu bukan alasan
untuk meniadakan kemenanganmu. Dan hal itu merupakan
kesalahanku sendiri. Menurut penilaian, engkau telah memenangkan pertempuran itu ... . "
"Tetapi aku mendapatkannya karena raden sedang termenung
bukan karena gerak pertempuran yang sewajarnya "
"Penilaian pada pertempuran diberikan atas kenyataan dari
kesudahannya. Bukan karena alasannya dari kekalahan itu. Kalah
adalah kalah dan menang tetap menang. Tanpa alasan "
"Ah, raden terlalu merendah diri "
"Bukan merendah diri melainkan mengakui kenyataan. Bukankah
engkau meminta kepadaku supaya melihat kenyataan" Jika
engkau menyangkal hal itu berarti engkau mengingkari
permintaanmu sendiri."
Nararya menghela napas. "Lalu bagaimana kehendak raden?" tanyanya.
"Sudah tentu aku harus menepati janji."
"Ah" Nararya mendesah kejut.
"Akan kuberitahu kepadamu dimana sesungguhnya gong
pusaka itu berada," kata Pasirian seraya memberi isyarat agar
Nararya mendekat. Nararya terkejut, Nambipun kaget. Tetapi agak beda perasaan
kedua pemuda itu. Nararya terkejut karena tak menyangka akan
sikap Pasirian. Dia tahu bahwa rahasia itu amat penting dan hanya
diperuntukkan kepadanya. Ia tentu akan membisiki sepelahan
mungkin agar supaya Nambi jangan sampai mendengarnya. Tiada
setitikpun ia menaruh kecurigaan.
Sedangkan rasa kejut Nambi agak diliputi oleh rasa kecurigaan
dan kecemasan. Menilik betapa sikap Pasirian beberapa saat tadi,
ia cenderung untuk menduga bahwa Pasirian akan melakukan
sesuatu yang membawa akibat menguatirkan terhadap Nararya.
"Raden ...." cepat ia berseru.
Tetapi Nararya berpaling dan mengangguk sebuah senyuman
kepadanya. Pandang matanya memberi isyarat bahwa Nambi tak
perlu menguatirkan keselamatannya.
Nararya maju kedekat Pasirian dan Pasirian dengan nada bisik2
berkata "Raden Nararya, sesungguhnya gong pusaka itu memang
berada ditanganku. Tetapi aku berjanji kepadamu, akan
kukembalikan lagi ke tempat semula di Lodoyo "
Nararya kerutkan dahi. "Dapatkah engkau mempercayai janjiku?" seru Pasirian.
Tanpa ragu3 Nararya mengangguk "Ya. Aku percaya penuh atas
janji raden" "Nararya" kata Pasirian "aku merasa malu dalam hati menerima
kepercayaanmu. Aku berjanji, demi Batara Agung, tentu akan
mengembalikan gong itu."
"Terima kasih, raden" kata Nararya. Kemudian ia menanyakan
lebih lanjut apakah Pasirian masih punya lain2 persoalan yang
hendak disampaikan kepadanya.
"Selamat jalan, raden Nararya" Pasirian menyudahi pembicaraan
itu seraya masuk pula kedalam kuil.
Nararyapun segera hendak lanjutkan perjalanan. Tiba2 ia merasa
sesosok bayangan mengikuti dibelakangnya.
Ia cepat dapat menduga siapa orang itu.
"Ki Nambi" serunya "hendak kemanakah tuan?"
"Aku hendak mengikuti raden ?"
"Ah" Nararya hentikan langkah dan berpaling "mengapa hendak
mengikuti langkahku" "
Sementara itu mereka sudah jauh dari candi tempat Pasirian
tadi. Nambi menawarkan kepada Nararya untuk duduk beristirahat
dibawah sebatang pohon yang tumbuh ditepi jalan "Hari masih
gelap dan raden tentu lelah, marilah kita beristirahat sambil ber-
cakap2." Heran akan sikap orang, diam2 Nararya ingin mengetahui
siapakah sesungguhnya pemuda yang bernama Nambi itu. Dia
mendapat kesan baik terhadap pemuda itu. Bukan karena gembira
mendapat bantuan melainkan karena menghargai tindakan Nambi
tadi. Hanya pemuda yang berjiwa ksatrya, berani bertindak melerai
sebuah pertempuran yang berbahaya.
"Baiklah" kata Nararya lalu menghampiri ke arah sebatang pohon
yang dimaksud Nambi. "Raden" mulailah Nambi membuka percakapan sesaat keduanya
duduk dibawah pohon "mungkin raden tentu heran dan ber-tanya2
dalam hati, mengapa aku tiba2 muncul pada saat raden sedang
melangsungkan pertempuran dengan Pasirian tadi. Dan mengapa
pula aku hendak mengikuti perjalanan raden."
Nararya mengangguk "Benar katamu, ki Nambi. Apabila engkau
tak keberatan, sukalah engkau memberi penjelasan kepadaku "
"Memang demikianlah maksudku, raden," kata Nambi "ayahku
bernama Pranaraja, pernah bekerja sebagai narapraja kerajaan
Singasari ketika masih di perintah rahyang ramuhun Wisnuwardana. Tetapi pada waktu baginda Kertanagara naik tahta,
banyaklah mentri-mentri tua yang dilepas dan dipindah. Ayahpun
di pindah ke Lumajang. Aku tak mau tinggal di Lumajang lalu aku
mengembara. Walau rama tak bilang apa2, tetapi aku ikut perihatin
dan malu atas kepindahan rama itu.
Berhenti sejenak, Nambi melanjutkan pula.
"Suatu pemindahan ke daerah, sama dengan suatu pelorotan
kedudukan .... " "Ah, jangan terlalu mengadakan suatu penafsiran yang keliwat
tajam " seru Nararya "di manapun, di pura kerajaan, di daerah
maupun di puncak gunung, tiadalah berbeda. Karena masih
menjadi kawasan kerajaan Singasari dan masih tetap mengabdi
kepada Singasari." "Benar raden " sabut Nambi "apabila memang demikian tentulah
tiada hal2 yang patut disesalkan. Sebagai contoh, patih sepuh
empu Raganata, dipindah sebagai adhyaksa di Tumapel,
tumenggung Wirakreti dijadikan mentri angabaya, demang
Wiraraja dipindah ke Sumenep. Jelas mentri tua yang setya itu
telah disingkiikan dari pura kerajaan "
"Tetapi bukankah pemindahan2 itu atas titah baginda" " kata
Nararya. "Titah memang baginda yang melimpahkan tetapi rencana patih
Aragani yang merancang. Pembersihan beberapa mentri tua itu,
akan memberi peluang pada patih Aragani untuk merebut
pengaruh di pura kerajaan. Demikian yang dialami rama."
Nararya mengangguk. Memang peristiwa itu diapun sudah
mendengar. "Nambi, demikian pesan rama kepadaku "Nambi melanjutkan
penuturannya pula "memang sukarlah menjadi narapraja yang
jujur. Lihatlah betapa menyedihkan keakhiran nasib dari empu
Raganata, patih sepuh yang amat setya pengabdiannya kepada
kerajaan Singasari itu. Hanya karena tak setuju akan tindakan
baginda Kertanagara yang hendak meluaskan pengaruh ke tanah
seberang, mengirim pasukan Singasari ke Melayu, maka patih
empu Raganata telah dilorot dan dipindah ke Tumapel. Rama
sudah terlanjur mengabdi sebagai narapraja tetapi engkau Nambi,
janganlah engkau mengikuti jejak rama "
Nararya kerutkan dahi. "Bagaimana mungkin seorang narapraja kerajaan akan menasehati puteranya agar jangan menjadi narapraja kerajaan"
Bukankah hal itu dapat mengingkari pengabdiaannya" "
"Benar raden" kata Nambi "tetapi rama tidak mengingkari rasa
pengabdian kepada negara. Rama mengatakan, untuk mengabdi
kepada negara dan kerajaan, terdapat banyak sekali jalannya.
Tidaklah selalu pengabdian itu harus diwujutkan sebagai seorang
narapraja" Nararya terkesiap lalu mengangguk. Ucapan rama Nambi itu
memang benar. Rama dari Nararya sendiri juga tak mau menjadi
narapraja melainkah hidup di pertapaan yang sunyi.
"Aku dapat menghayati makna dari ucapan rama itu" kata Nambi
pula "akupun lalu mengembara dengan tujuan hendak menuntut
ilmu yang berguna dan kelak dapat kupersembahkan kepada
negara. Setelah bertahun2 mengembara, akhirnya aku berguru
pada begawan Maya Lejar di puncak gunung Lejar"
"O" desuh Nararya.
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tiba2 kemarin sang begawan memanggil aku menghadap. Dia
mengatakan bahwa dalam semedhinya semalam dia melihat
sebuah sinar gemilang meluncur dari langit dan tiba di candi lereng
gunung ini. Guru menitahkan aku supaya lekas turun gunung."
Nararya terkesiap. "Cahaya yang bundar sebesar buah kelapa dan bersinar terang
itu, hanya dua macam. Apabila bukan suatu ndaru atau sinar gaib
yang memperlambangkan kebahagiaan atau peristiwa yang besar,
tentulah lambang dari seorang yang menjadi kekasih dewata,
seorang manusia yang mempunyai sejarah besar. Lekaslah
engkau turun gunung, Nambi "
"Setelah aku berkemas dan menghadap untuk mohon diri, sang
begawanpun menyerahkan pedang kepadaku dengan pesan
supaya digunakan dalam keadaan yang penting"
Nararya diam. "Pada saat aku turun dari puncak dan menuju ke candi, aku
terkejut ketika melihat sinar yang menyilaukan, memancar dari
candi itu," kata Nambi pula "bergegas aku lari menghampiri. Dan
pada saat itu yang kulihat raden sedang menghadapi serangan
Pasirian. Betapa kejut hatiku ketika melihat raden hendak dihantam
besi kuning oleh Pasirian. Sambil berlari akupun meneriakinya
supaya menghentikan tindakannya yang ganas itu. Demikianlah
raden asal mula mengapa aku tiba2 muncul di candi dan
menyentakkan bahu Pasirian "
Nararya terkejut. "Dimanakah sinar gemilang itu?" tanyanya. Ia teringat akan
pesan gurunya untuk mencari wahyu gaib yang akan diturunkan
oleh dewata. Dengan penuh harap ia menantikan keterangan
Nambi. Dalam alam pikirannya, benda gemilang yang dilihat oleh
begawan Maya Lejar dalam impian dan dilihat dengan mata kepala
sendiri oleh Nambi, tentulah benda yang gaib. Mungkin wahyu
yang hendak dicarinya itu.
"Sinar terang itu hilang manakala aku melihat raden sedang
bertempur dengan Pasirian"
"Ah" Nararya menghela napas. Ketegangan ha tinya melonggar
tetapi perasaannya masih kecewa seperti kehilangan sesuatu yang
belum pernah dimilikinya "mungkin sinar itu adalah diri Pasirian
yang sedang bertapa" akhirnya ia mencetuskan uneg2 dalam
hatinya. Nambi kerutkan dahi. "Berapa lamakah raden tiba di candi itu ?" tiba2 ia bertanya.
"Baru malam itu juga "
"Oh" tiba2 Nambi berteriak "jika demikian, benda bercahaya itu
jelas bukan dari diri Pasirian"
"Bagaimana engkau mengatakan begitu" "
"Karena guru baru dua hari ini mendapat wangsit gaib itu dan
baru kemarin menitahkan aku turun ke candi. Bukankah Pasirian
sudah beberapa hari bertapa di candi itu" "
Nararya terbeliak "Lalu" "
"Raden " seru Nambi agak tergetar "sinar cahaya itu tentulah
pada diri raden sendiri "
"Nambi ! " Nararya melonjak dari duduknya, "jangan engkau
berkata begitu! " Nambi terkejut melihat sikap dan nada ucapan Nararya yang
begitu keras. Hal itu sungguh diluar dugaan nya. Cahaya sinar gaib
pada diri orang, merupakan pancaran kewibawan, keagungan dan
kebesaran dari peribadi orang itu. Tiada sembarang orang akan
memancarkan cahaya sedemikian. Hanya calon raja, orang besar
dan priagung yang berdarah luhur. Tidakkah seharusnya Nararya
berbangga hati karena memiliki sinar luhuritu" Tetapi mengapa dia
bahkan tampak kurang senang"
"Raden " seru Nambi "tidakkah hal itu menyatakan bahwa raden
kelak....." "Nambi! " bentak Nararya makin membengis, "jangan
mengatakan hal itu lagi! "
Nambi makin terkejut " Maaf, raden, apabila kata-kataku itu
menyinggung perasaan raden. Tetapi benar2 aku hanya
mengatakan apa yang kulihat tanpa memiliki maksud hendak
menyinggung perasaan raden "
"Ya " sahut Nararya " tetapi kata-katamu tak layak apabila engkau
tujukan kepadaku. Apakah diriku ini" Aku hanya seorang pemuda
desa, seorang insan biasa. Bagaimana mungkin mempunyai hal2
yang engkau katakan tadi" Nambi " nada Nararya berobah sarat
"silahkan engkau melanjutkan perjalananmu. Demikianpun aku.
Budi pertolonganmu, kelak tentu akan kubalas."
"Raden " Nambi gopoh berkata "apa yang kukatakan tadi, hanya
suatu kesimpulan itu tak selamanya benar. Baiklah, apabila raden
menolak untuk kesimpulan yang kukatakan tadi, akupun takkan
mengucapkan lagi. Namun hal itu tetap akan menjadi sesuatu yang
membayang dalam keherananku. Apakah sesungguhnya sinar
yang bercahaya terang itu " "
"Hanya dua kemungkinan," kata Nararya "mungkin sesuatu yang
kebetulan memancar pada pandang pikiranmu. Atau, dalam candi
itu tersimpan suatu pusaka yang ampuh sekali "
"O"." Nambi mendesuh kaget "mungkin ulasan raden itu benar. Mengapa Pasirian bertapa
dalam candi itu jika tiada sesuatu yang akan diarahnya " "
"Raden" seru Nambi pula "jika demikian kita harus, berusaha
untuk menyelidiki hal itu. Siapa tahu pusaka itu benar2 ampuh
tiada taranya" Nararya gelengkan kepala "Aku masih mempunyai lain urusan
yang perlu harus kulakukan. Maaf. Silahkan engkau melakukan ha!
itu sendiri " "Tetapi raden, bukankah berbahaya apabila Pasirian berhasil
mendapatkan pusaka yang ampuh" Bukankah dia bertujuan
hendak memusuhi kerajaan Singasari" "
Nararya terkesiap. Apa yang dikatakan Nambi memang perlu
mendapat perhatian. Jika seorang seperti Pasirian mendapatkan
pusaka yang benar2 ampuh, bukah hal itu akan mendorongnya
lebih memperkeras perjuangannya"
Lepas dari rasa hormat atas perjuangan Pasirian sebagai
seorang putera yang hendak menuntut balas ke-matian ramanya,
Nararya merasa cemas dan menentang tujuan perjuangan pemuda
itu. "Bagaimana raden" " Nambi mendesak pula manakala melihat
Nararya termenung. "Nambi " kata Nararya "memang persoalan itu patut mendapat
perhatian. Tetapi apa yang kukemukakan tadi, pun baru tafsiran,
belum suatu kenyataan. Kita hanya menduga bahwa dalam candi
itu mungkin terdapat pusaka yang keramat. Tetapi belum pasti
kebenarannya. Sedang aku saat ini masih-harus melaksanakan
perintah dari rama dan guruku. Betapapun aku terpaksa tak dapat
tinggal di gunung Lejar ini lebih lama. Soal Pasirian mungkin akan
mendapat sesuatu yang penting, yah, kuserahkan saja kepada
kehendak Batara Agung .... "
"Tidak raden " bantah Nambi "salah apabila kita tahu tetapi tak
bertindak. Walaupun ramaku menderita perlakuan yang tak adil
dari baginda Kertanegara tetapi aku tetap akan mengabdi dengan
caraku sendiri kepada Singasari. Jika raden masih mempunyai lain
kepentingan, silahkan. Biarlah aku sendiri yang tinggal di gunung
ini untuk menyelidiki gerak gerik Pasirian "
"Nambi " teriak Nararya dengan penuh haru. Ia memeluk pemuda
itu "tiada terlukiskan betapa terima kasih dan hormatku atas
keputusanmu itu. Engkau benar2 seorang ksatrya yang benar2
layak menjadi kawan seperjuanganku "
"Ah, janganlah raden menjunjung diriku setinggi itu," jawab
Nambi "Nambi hanya melakukan kewajiban sebagai seorang
kawula negara Singasari "
Nararya, mengangguk. "Raden " kata Nambi pula "jika raden besar-benar menganggap
Nambi sebagai seorang sahabat, dapatkah Nambi memohon
keterangan tentang langkah yang hendak raden tuju "
"Aku hendak ke candi di Kagenengan "
"O " seru Nambi " kemudian" "
"Tergantung dari keadaan. Karena akupun sedang lelanabrata
tanpa suatu tempat tujuan tertentu "
Nambi merenung diam. "Raden " katanya sesaat kemudian "sesungguhnya ingin sekali
saat ini aku mengikuti raden. Aku pun mendapat titah guru untuk
melakukan lelanabrata. Tetapi karena aku berjanji akan tinggal
disini untuk mengawasi gerak gertk Pasilian, terpaksa aku belum
dapat mengikuti raden. Sudah tentu tugas kita akan berakhir dan
pada waktu itu bila dan dimanakah kita dapat berjumpa kembali " "
Nararya terhening sejenak kemudian menghela napas " Ah,
sukar untuk memastikan. Namun selama surya masih menyinari
bumi Singasari, kita pasti akan berjumpa lagi "
"Baiklah raden " akhirnya dengan berat hati Nambi melepas
"akupun mempunyai firasat bahwa kelak kita pasti akan jumpa lagi
" Setelah terang tanah Nararyapun berpisah dengan Nambi. la
menuruni gunung dan melanjutkan perjalanan pula.
Ia tak melanjutkan langkah untuk menyusuri jejak perjalanan Ken
Arok dahulu. Diketahuinya setelah menampakkan diri dari
timbunan sampah, para dewa yang sedang bermusyawarah di
gunung Lejar merestui Kea Arok sebaga insan yang dipercayakan
tugas untuk memerintah Jawadwipa oleh para dewa. Dan
selanjutnya datanglah seorang pandita sakti bernama Lohgawe dari
Jambudwipa, yang mengayuh dan memberi petunjuk Ken Aiok
supaya bekerja pada Akuwa Tunggul Ametung hingga menjadi raja
Singasari. Dalam perjalanan, Nararya masih merenungkan peristiwa2 yang
dialaminya selama di gunung Lejar. Dan setiap peristiwa tentu
melahirkan kesan. Diantaranya yang paling berkesan adalah soal diri Pasirian.
Secara tak sengaja ia telah berjumpa dengan pemimpin
gerombolan gunung Butak. Hal itu menandakan bahwa
gerombolan gunung Butak yang selama ini selalu mengacau
keamanan negara, telah berantakan. Suatu kebahagiaan bagi,
rakyat Singasari. Sedangkan gong prada yang selama ini menghebohkan ternyata
berada di tangan Pasirian. Kemungkinan orang yang melarikan
gong ketika terjadi perebutan di gua Polaman itu adalah utusan
Pasirian. Dengan demikian terkecohlah pangeran Ardaraja yang
mengirim Suramenggala dan patih Aragani yang mengirim
orangnya. Bahwa Pasirian berjanji akan mengembalikan gong pusaka itu ke
Lodoyo, sungguh suatu hal yang tak pernah disangka-sangkanya.
Kelak ia akan menyempatkan waktu untuk meninjau ke Lodoyo.
Apabila Pasirian benar2 menetapi janji, ia segera akan memanggil
demang Kaloka yang tentu masih berada di Daha agar kembali ke
Lodoyo. Iapun akan meminta kepada demang itu agar peristiwa
kembalinya gong Prada ke Lodoyo dirahasiakan. Karena jelas gong
pusaka itu diincar oleh fihak tertentu untuk dijadikan alat mencapai
kepentingannya. Kemudian peristiwa kedua yang amat berkesan dalam benak
Nararya adalah soal sinar aneh yang gemilang itu. Walaupun
dihadapan Nambi dengan tegas ia menolak anggapan bahwa sinar
ajaib itu berasal dari tubuhnya tetapi sesungguhnya dia tak dapat
menolak suatu kenyataan yang diperoleh begawan Maya Lejar dari
semedhi dan yang dilihat Nambi dengan mata kepala sendiri.
Ia mengatakan bahwa sinar gemilang itu tentu berasal dari
sebuah pusaka yang amat keramat. Tetapi benarkah itu" Apabila
memang di candi itu tersimpan sebuah pusaka keramat, mengapa
ia tidak melihat sama sekali, juga tidak Pasirian" Pada hal sebuah
benda keramat yang memancarkan sinar gemilang tentu dapat
diketahui dan dilihat oleh setiap orang. Tetapi mengapa yang
mengetahui hanya sang begawan dan Nambi"
Nararya terkesiap. Ia menimang lebih lanjut. Mengapa baru
sehari sebelum ia datang ke gunung Lejar, begawan Maya Lejar
mendapat wangsit dalam semedhinya" Pada hal begawan itu
sudah lama menetap di puncak gunung Lejar. Apabila dalam candi
itu benar tersimpan pusaka yang keramat tentulah sudah dari dulu
begawan itu akan memperoleh ilham.
Kemudian ia teringat akan sikap Pasirian saat bertempur. Ia telah
dapat dikuasai Pasirian dan Pasirianpun sudah mengeluarkan
senjata besi kuning untuk menghantam kepalanya. Tetapi
mengapa tiba2 Pasirian terhenti. Saat itu ia sempat melihat betapa
tegang dan kejut wajah Pasirian. Seolah orang itu telah melihat
sesuatu yang mengguncangkan perasaannya.
Mengapa " Mengapa begawan Maya Lejar baru mendapat wangsit sehari
sebelum ia tiba di gunung Lejar" Mengapa Pasirian terkejut
ketakutan ketika mengayunkan besi kuning ke ubun2 kepalanya"
Nararya berusaha untuk menghindarkan diri dari lingkaran
peristiwa aneh itu. Namun ia tak berhasil menemukan sasaran lain
kecuali harus berpaling pada dirinya sendiri.
"Aku " " akhirnya keluar tuntutan kepada dirinya "akulah yang ....
ah " ia menghela napas dan tak berani melanjutkan kata-katanya.
Ia berusaha mengendapkan pikiran yang hendak melibatkan
dirinya kedalam persoalan itu. Ia berhasil tetapi pada dasar dalam
endapan hatinya itu ia bertemu pula dengan sebuah lapisan
endapan lain yang berupa suatu peristiwa lama. Peristiwa yang
hampir terlupakan tetapi tak pernah terhapus.
Kala itu ia sudah berguru di pertapaan Kawi. Dalam rangka
membuat ramuan obat, gurunya menitahkan dia mencari binatang
trenggiling. Berhari-hari dia harus menyusup ke daerah pedalaman
hutan belantara. Akhirnya di sebuah lembah ia berhasil
menemukan jejak binatang itu. Binatang itu teramat gesit sehingga
dia menunggu pada malam hari. Dia harus bermalam sampai
beberapa malam disebuah gua.
Pada suatu malam menjelang pagi, dia dikejutkan oleh suara
hiruk pikuk yang gemuruh diluar gua. Dan ketika ia melongok
keluar, kejutnya makin besar. Pada malam2 yang lalu, suasana
disekitar tempat itu sunyi dan gelap. Tetapi mengapa saat itu
tampak terang benderang. Ia segera beranjak dan melangkah keluar. Apa yang disaksikan,
benar2 mengejutkan sekali. Dihalaman luar gua, kira2 terpisah
sepuluhan tombak jauhnya, tampak belasan lelaki tegak berjajar
sambil membawa obor. Mereka memandang dengan wajah ngeri
ke muka gua. Ketika Nararya beralih ke arah tempat yang menjadi
sasaran orang2 itu, diapun makin terbelalak.
Di muka gua, tampak segerombolan binatang yang mengerikan.
Ular, babi hutan, harimau, musang, anjing hutan, kera, tupai, selira
dan beberapa jenis binatang kecil, tengah mendekam menghadap
kearah gua. Kini tahulah Nararya, mengapa orang2 pembawa obor
itu tak berani mendekati gua.
Nararya tahu apa yang terjadi di sekeliling gua tempat ia
bermalam tetapi dia tak tahu apa artinya semua itu.
Orang2 itu riuh bergemuruh ketika melihat Nararya muncul.
Tetapi binatang2 itu masih mendekam tak bergerak.
"Hai, siapakah ki sanak sekalian ini" " seru Nararya.
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiada terdengar jawaban. Orang2 itu saling berbisik dengan
kawannya. Ketika Nararya mengulangi tegurannya barulah salah
seorang diantara mereka menjawab dengan bertanya, siapakah diri
Nararya itu. Nararya-pun memberi jawaban yang sebenarnya.
"Kami datang kemari karena melihat cahaya yang memancar
terang di tempat ini " orang itu menerangkan.
"Lalu apa yang kalian dapatkan " "
"Ketika tiba di gua ini cahaya itu lenyap dan kami melihat
berjenis-jenis binatang tengah mendekam di muka gua ini lalu tuan
muncul," kata orang itu.
"O, binatang2 ini bukan peliharaan kalian" "
"Bukan," sahut orang itu "bagaimana mungkin kami memelihara
sekian banyak dan sekian jenis binatang2 itu."
Nararya heran. Sampai saat itu binatang2 di muka gua itu masih
mendekam diam. Ia memperhatikan beberapa binatang itu masih
bergerak, jelas belum mati. Ia heran apa sebab binatang2 itu
mendekam di muka gua dan apa pula sebabnya binatang2 yang
buas itu tidak menyerang masuk ke dalam gua.
Nararyapun mendapat ilmu dari gurunya untuk menundukkan
binatang. Betapapun buas binatang itu apabila ia mengucapkan
mantra tentulah binatang itu akan menyingkir. Maka saat itu
Nararyapun segera mengucapkan mantra.
Satu demi satu binatang-binatang itupun mulai beringsut
mundur lalu meninggalkan tempat itu. Kembali orang2 itu hingar
bingar karena heran tercampur cemas.
Dengan sumpah orang2 itu mengatakan bahwa mereka memang
benar melihat cahaya yang memancar terang di lembah itu dan
ternyata ketika beramai-ramai mereka mencarinya, cahaya
gemilang itu berasal dari dalam gua.
Peristiwa aneh itu Nararya ceritakan juga kepada resi Sinamaya.
Resi tua itu menghela napas "Kodrat dewata sudah menentukan
jalan hidupmu. Gencarkan tapabrata dan tuntutlah ilmu sedalam-
dalamnya untuk mempersiapkan dirimu dalam suatu tugas berat
yang dipercayakan dewata kepadamu."
Hanya itu yang dikatakan resi Sinamaya. Ia tahu bahwa gurunya
itu selalu berhati-hati dalam menerangkan sesuatu rahasia alam.
lapun tak mau mendesak lebih lanjut.
Teringat akan peristiwa itu, tersibak pula endapan yang sudah
berada didasar hatinya "Aneh, mengapa dua kali ini aku mengalami
peristiwa tentang cahaya terang ?"
Ia mulai bertanya-tanya tetapi tak dapat menemukan jawaban.
Jauh dari pikirannya untuk mengaitkan dirinya dalam peristiwa itu
namun dua buah peristiwa itu makin berkesan dalam hatinya.
Diam2 Nararya merasa bahagia karena tak dapat menemukan
jawaban sehingga iapun tak dapat menarik kesimpulan. Dengan
demikian hati pikirannya masih kosong dari segala rasa bangga
dan khayal yang berke-larutan.
"Berbahaya," diam2 ia berteriak dalam hati "tak boleh pemikiran2
semacam itu menghuni dalam hatiku. Hal itu akan menimbulkan
rasa ke-akuan yang tinggi pada diriku. Pada hal semua itu baru
bersifat dugaan dan anggapan. Kenyataannya hanyalah kuasa
Hyang Widdhi Agung. Wajib manusia hanya berusaha, bukan
merasa dan menduga-duga "
Selama dalam perjalanan menuju ke candi makam Kagenengan
yang terletak dilingkungan Singasari, banyak pula ia melihat dan
mendengar keadaan kehidupan rakyat. Di berbagai tempat orang
giat membangun candi, vihara dan rumah2 sudharma. Seolah
pemerintah kerajaan Singasari sedang giat mengembangkan
agama. Diam2 timbul pertanyaan dalam hati Nararya. Adakah negara
Singasari itu benar2 sudah aman sejahtera sehingga tampaknya
bidang2 pembangunan lain2 tiada perlu dipergiat lagi" Pada hal ia
mendapat kesan bahwa dibatas belahan barat, Daha sedang giat
mengumpulkan dan memperbesar kekuatan pasukannya.
Tetapi kecemasannya itu segera terhibur ketika di daerah2 yang
makin dekat dengan pura kerajaan, orang ramai mempercakapkan
tentang wara-wara yang disebarkan oleh bentara kerajaan
Singasari. Menurut keterangan dari beberapa penduduk, wara-wara itu
berisikan suatu seruan kepada seluruh rakyat khusus kaum muda,
agar ikut serta sayembara yang akan diadakan oleh kerajaan.
"Sayembara" Sayembara apakah yang akan diselenggarakan
kerajaan Singasari" ia bertanya lebih lanjut.
"Sayembara memilih senopati, perwira, bintara dan prajurit "
jawab orang itu. Nararya terkejut. Ia meminta penjelasan lebih jauh.
"Akan diadakan sayembara adu kedigdayaan. Yang menang
akan diangkat sebagai senopati. Demikian pula yang tidak
beruntung memenangkan sayembara, pun akan diterima dalam
pasukan kerajaan " "Tetapi apakah maksud kerajaan membuka sayembara
demikian" " "Ah, anakmuda" kata orang itu, seorang lelaki tua "bagaimana
engkau tak tahu akan keadaan pura kerajaan Singasari" Bukankah
baginda telah mengutus senopati Kebo Anabrang membawa
pasukan Singasari ke tanah Malayu" Dengan demikian kekuatan
dalam kerajaan tentu berkurang."
Nararya mengangguk. Diam2 ia gembira. Mudah2an bukan
hanya paman itu saja yang mengikuti perkembangan keadaan pura
kerajaan tetapi setiap kawula Singasaripun demikian. Jika keadaan
negara diikuti oleh segenap lapisan kawula maka hal itu akan
memberi pertanda, rakyat mempunyai rasa tanggung jawab akan
keadaan negara. Bahkan rasa itu tentu akan meningkat pada suatu
ikatan batin dan dicetuskan dalam sikap dan langkah bertanggung
jawab. Kerajaan adalah raja dan kawula atau negara dan rakyat.
Kerajaan yang mendapat perhatian rakyat tentu akan mendapat
dukungan rakyat. Hanya kerajaan yang mendapat dukungan rakyat
akan dicintai rakyat dan akan berkembang menjadi kerajaan yang
besar dan kuat. Oleh karena itu suatu wajib bagi para narapraja
yang duduk dalam pemerintahan kerajaan untuk membangkitkan
rakyat akan rasa cinta kepada negara dan ikut merasa memiliki
kerajaan. Hanya dengan rasa cinta dan rasa ikut memiliki itu maka
rasa ikut bertanggung jawab akan berkembang dan rasa
pengabdian akan dihayati.
Dibalik kesannya terhadap pembicaraan dengan orang itu,
beralihlah pikiran Nararya ke pura kerajaan Singasari. Benarkah
dalam pemerintahan Singasari telah terjadi perobahan haluan dan
pendirian" Bukankah pendirian supaya memperkokoh keadaan
dalam negeri, telah dipelopori oleh bekas patih sepuh empu
Raganata dan beberapa mentri, telah menimbulkan kemurkaan
baginda sehingga mentri2 sepuh itu dilorot dan dipindah dari pura
Singasari" Bukankah kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan masih
direnggut patih Aragani " Dan bukankah patih itu menentang
pendirian bekas patih Raganata sehingga ia diangkat sebagai
penggantinya oleh baginda" Mengapa sekarang kerajaan hendak
mengadakan sayembara" Adakah patih Aragani sudah berobah
haluan ataukah dalam pusat pemerintahan di Singasari muncul
pula seorang tokoh yang kuat pengaruhnya"
"Ah" Nararya akhirnya menghela napas dalam hati. Ia bukan
seorang narapraja tetapi seorang kelana yang sedang melakukan
lelana-brata untuk melaksanakan titah gurunya. Ia selalu jauh dari
pura Singasari yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan.
Bagaimana mungkin ia tahu apa yang terjadi dalam tubuh
pemerintahan di pusat"
Tetapi betapapun halnya, diam2 ia merasa girang juga
mendengar pengumuman dalam wara- wara itu. Hal itu berarti satu
langkah perobahan yang baik dari kerajaan.
"Bilakah sayembara itu akan dilangsungkan, paman " " tanyanya
kepada orangtua itu. "Nanti pada awal bulan Caitra, masih kurang tiga bulan dari
sekarang " "Dimana sayembara itu akan diselenggarakan" " tanya Nararya
pula. "Di alun-alun pura Singasari "
"Apakah banyak pemuda2 di daerah yang akan ikut serta" "
"Entahlah " sahut orang itu "kurasa hal itu tergantung pada
daerah masing2. Bagaimana kebijaksanaan kepala daerah
masing2 memimpin daerahnya "
Nararya dapat menyetujui ucapan orangtua itu.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ II Brehaspati Kuning atau hari Kamis Pon, waktu senjakala setelah
surya terbenam, ketika orang telah memasang lampu maka sang
Amurwabhumi sedang bersantap malam. Tiba2 masuklah seorang
pengalasan berasal dari desa Batil dengan membawa keris empu
Gandring yang amat bertuah. Serentak orang Batil itu menusuk
sang Amurwabhumi .... Gegerlah seluruh istana. Orang Batil itupun lari mencari
perlindungan kepada Anusapati, putera Ken Dedes dari Tunggul
Ametung atau putera tiri dari sang Amurwabhumi.
"Sudah wafatlah ayahanda baginda oleh hamba," orang Batil itu
menghaturkan laporan dengan cemas2 gembira. Pandang
matanya mengharap puji dan ganjaran.
"Benar" " Anusapati menegas.
"Benar, gusti " pengatasan itu menghaturkan sembah.
"Bagus, terimalah ini penghianat!" Anusapati terus menusuk
orang Batil itu. Demikian peristiwa pembunuhan yang terjadi pada diri Sri Rajasa
sang Amurwabhumi, seperti yang dituturkan ramanya kepada
Nararya. "Rama, betapa mungkin seorang pengalasan masuk kedalam
keraton apabila dia bukan orang dalam, abdi atau bhayangkara " "
saat itu Nararya memberi sanggahan.
Lembu Tal mengangguk. "Benar, Nararya," kata pangeran yang mengundurkan diri dari
dunia keramaian "tetapi pengalasan itu adalah pengalasan dari
pangeran Anusapati."
"Rama " Nararya terkejut "jika demikian ... jika demikian, apakah
bukan pangeran Anusapati yang .... "
"Sst " Lembu Tal memberi peringatan "jangan keras2 engkau
bicara, puteraku. Soal itu menjadi rahasia keraton," kemudian
dengan nada berbisik bisik Lembu Tal berkata "sang Amurwabhumi telah ditusuk dengan keris buatan empu Gandring
yang amat bertuah " "Ah " desah Nararya. Kemudian ia mengerut dahi "tetapi
bagaimana pengalasan itu dapat memperoleh keris bertuah itu "
Bukankan keris itu milik sang Amurwabhumi, rama" "
"Benar, anakku" kata Lembu Tal tetap tenang "Anusapati telah
berhasil mendapatkan keris itu dari ibunya."
"Eyang buyut puteri Ken Dedes" " seru Nararya.
"Ya " "Adakah eyang buyut puteri sengaja hendak menyuruh
puteranya membunuh sang Amurwabhumi" "
Dengan tenang Lembu Tal lalu bercerita.
Anusapati merasa bahwa sikap dan perlakuan ayahanda sang
Amurwabhumi sangat berbeda terhadap dirinya dengan adinda-
adindanya yang lain. Keluhan itu disampaikan Anusapati kepida
ibundanya Ken Dedes. Sebagai seorang ibu, sudah tentu Ken
Dedes tersinggung dan sedih atas nasib puteranya. Ken Dedes
menghela napas duka. "Ibu, benarkah hamba ini bukan putera dari ayahanda sang
Amurwabhumi?" tiba2 Anusapati mengajukan pertanyaan.
Serasa tertikamlah hati Ken Dedes menerima pertanyaan itu
"Anusapati, siapakah yang mengatakan demikian?" serunya
dengan napas terengah. "Inang pengasuh hamba, ibu," kata Anusapati "tetapi benarkah
demikian, ibu " "
Ken Dedes tersayat hatinya mendengar keterangan Anusapati
tadi bahwa sang Amurwabhumi pilih-kasih dan membeda-bedakan
perlakuannya terhadap Anusapati dengan saudara-saudaranya
yang lain. Walaupun kini Ken Dedes sudah menjadi permaisuri dari
sang Amurwabhumi dan sudah mendapat beberapa putera, tetapi
sebagai seorang ibu, tentu dia tak mengadakan pilihan kasih
terhadap putera-puteranya semua.
"Tak kusangka bahwa sang Amurwabhumi akan bersikap
sedemikian tak adil " pikir Ken Dedes "bukankah sebelum
memperisteri aku, dia sudah tahu bahwa aku sedang mengandung
calon putera dari Tunggul Ametung" Bukankah dia sudah berjanji
akan memperlakukan puteraku dari Tunggul Ametung itu sama
seperti putera kandungnya sendiri" Ah, pria memang sukar
dipegang janjinya. Setelah mendapatkan putera keturunan sendiri,
berobahlah sikap sang Amurwabhumi terhadap Anusapati. Oh,
Anusapati, betapa malang nasibmu, puteraku .... " Ken Dedes
menangis dalam dalam hati.
"Ibu, bukankah hamba ini putera kandung ibu" " kata Anusapati.
Ken Dedes terkesiap "Anusapati, engkau adalah puteraku sejati.
Tubuhmu berasal dari dagingku, napasmu dari darahku .... "
"Jika demikian mengapa ibu sampai hati menyiksa hati hamba"
Tidakkah lebih baik ibu titahkan supaya hamba dibunuh saja agar
jangan berkepanjangan jua kiranya derita yang hamba sandang" "
"Duh, puteraku Anusapati " rintih Ken Dedes jangan dikau
mengucapkan kata2 itu. Kata2mu itu lebih tajam dari ujung keris
yang menikam uluhati ibu "
"Terima kasih ibu," sahut Anusapati "dengan demikian ibu tak
merelakan nyawa hamba merana" "
"Anusapati" seru Ken Dedes seraya memeluk dan mengecup
ubun2 kepala Anusapati "kasih seorang ibu kepada puteranya lebih
dari pada nyawanya sendiri. Kelahiranmu di mayapada ini kusertai
dengan pertaruhan nyawaku, angger. Kelak apabila engkau sudah
beristeri, engkau baru menghayati betapa maha berat perjuangan
isterimu itu dikala melahirkan puteramu. Nyawa taruhannya,
angger." "Jika ibu tak merelakan kematian jiwa hamba, mengapa ibu tak
berkenan melindungi raga hamba" "
"Apa maksudmu, Anusapati."
"Raga adalah wadah sang nyawa. Raga tersiksa, nyawapun akan
merana. Bila ibu menginginkan nyawa hamba tetap hidup, hamba
mohon ibu berkenan menyelamatkan raga hamba."
"Apakah yang engkau inginkan, angger" "
"Suatu hal yang wajar sekali, bukan hal yang berkelebihan dan
takkan memberatkan pikiran ibu. Hamba hanya mohon jawaban
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibu, benarkah hamba ini bukan putera kandung dari sang
Amurwabhumi" " Ken Dedes mengangguk pelahan.
"Duh bunda sesembahan hamba, lalu siapakah ayahanda
hamba itu" Bukankah akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Dedes mengangguk pula.
"Ah " Anusapati mendesah "hamba dengar rama hamba itu telah
dibunuh sang Amurwabhumi. Benarkah" "
Ken Dedes mengangguk. "Kemudian sang Amurwabhumi menikahi ibu dan merebut tahta
Singasari, benarkah itu " "
Ken Dedes mengangguk. "Dan ibu menerima sang Amurwabhumi" " Ken Dedes terkesiap.
"Mengapa" Apakah ibu tidak mencintai ramaku" " Ken Dedes
terbeliak. "Tetapi ramamu sudah wafat, Anusapati " kali ini dia memberi
pernyataan dengan kata-kata.
"Tetapi kematian rama karena dibunuh sang Amurwabhumi .... "
"Bukan sang Amurwabhumi tetapi Kebo Ijo " cepat Ken Dedes
menukas. "Waktu hamba masih kecil, memang setiap dayang pengasuh
mengatakan demikian. Tetapi setelah hamba dewasa dan mengerti
persoalan dunia ini, barulah hamba dapat menggali keterangan
bahwa kematian ratna hamba itu sebenarnya sang Amurwabhumi
yang membunuh. Kebo Ijo tertipu dan dijadikan alat belaka "
"Anusapati .... "
"Ibu belum menjawab pertanyaan hamba," tukas Anusapati
"mengapa ibu merelakan kematian rama dan berkenan menerima
pinangan sang Amurwabhumi" Apakah ibu tidak setya kepada
rama hamba" " Pucat wajah Ken Dedes menderita dakwa puteranya. Namun
karena hal itu sudah merupakan kenyataan yang telah dimiliki
Anusapati maka Ken Dedespun harus memberi keterangan. Dan ia
menganggap, sudah tiba saatnya untuk mencurahkan kandung
hatinya kepada sang putera yang kini sudah akil dewasa. Ia
menyadari bahwa kenyataan itu tak mungkin dapat ditutupi.
Kenyataan harus dihadapi dan dicairkan dengan penjelasan.
"Anusapati " katanya dengan nada tenang. Wajahnyapun tampak
menggayut kemantapan "mungkin sekarang walaupun belum
mengalami tetapi engkau sudah dapat menghayati soal2 hidup dan
peristiwa dalam dunia ini, terutama yang menyangkut soal2
hubungan pria dan wanita. Anusapati, kiranya engkau pasti
menolak apabila ibu pilihkan seorang puteri sebagai isterimu tetapi
engkau tak suka pada gadis itu, bukan" "
Ken Dedes berhenti sejenak.
"Jika engkau seorang pria dibenarkan untuk melakukan sesuatu
yang tak sesuai dengan suara hatimu, tentulah kaum wanita juga
demikian. Walaupun karena tata kehidupan dan adat tak
membenarkan wanita menyatakan dan melakukan hal2 seperti
pria, namun dalam hati kecilnya, mereka tetap mempunyai
perasaan sedemikian pula "
"Nah. itulah yang taajadi pada diriku" kata Ken Dedes lebih lanjut
"akuwu Tunggul Ametung jauh lebih tua dari aku dan sebenarnya
tak sesuai menjadi pasanganku .... "
"Tetapi bukankah hal itu sudah terjadi" Bukankah ibu telah
menikah dengan rama " " seru Anusapati.
"Anusapati " cepat Ken Dedes menanggapi "andaikata engkau
jatuh hati pada seorang gadis, entah dia itu puteri siapa,
berpangkat atau tidak, pokok asal kawula Singasari, beranikah
orang itu tak memberikan puterinya kepadamu ?"
Anusapati tetap diam. Hanya dahinya agak melipat segurat
lipatan. "Peristiwa itulah yang ibu alami. Akuwu Tunggul Ametung yang
memerintah dan berkuasa di Tumapel. Ketika sedang berburu,
beliau melihat aku dan terus jatuh hati. Aku tinggal di desa
Panawijen sebelah timur gunung Kawi bersama ramaku, mpu
Parwa. Karena tak dapat menahan nafsunya, akuwu terus
membawa aku ke Tumapel dan di peristerinya. Aku takut akan
kekuasaan akuwu dan terpaksa menuruti kehendaknya. Tetapi
rama mpu Parwa murka sekali akan tindakan akuwu yang berbuat
sewenang-wenang karena mengandalkan kekuasaan itu. Rama
menjatuhkan kutuk agar yang melarikan aku itu tidak selamat
hidupnya dan mati tertikam keris .... "
Anusapati terkesiap. "Kutuk seorang empu sakti seperti rama Parwa itu amat bertuah
sekali. Akhirnya akuwupun mati terbunuh oleh Kebo Ijo .... "
"Atas perintah sang Amurwabhumi! " cepat Anusapati menukas.
Ken Dedes menghela napas "siapapun yang membunuh akuwu
dengan keris, itu bukan soal. Yang penting karena dia hanya
menjadi alat dari terlaksananya kutuk empu Parwa."
Anusapati tenang2. "Demikianlah keteranganku, semoga dapat engkau simpulkan
sebagai jawaban atas pertanyaanmu tadi," kata Ken Dedes "yang
jelas, pernikahanku dengan akuwu itu terjadi karena akuwu
memaksa secara kekerasan dan aku takut akan kekuasaannya."
"Karena itukah ibu merelakan kematian rama hamba?" tiba2
Anusapati melancarkan pertanyaan tajam.
"Telah kukatakan Anusapati " sahut Ken Dedes "segala sesuatu
dalam hidup itu timbul dari Sebab dan tenggelam dalam Akibat.
Engkau berhak dan layak untuk marah karena menganggap ibumu
tidak setya. Pun rama empu Parwa wajib dan layak untuk marah
dan menjatuhkan kutuk kepada akuwu karena menganggap akuwu
seorang penguasa yang se-wenang2. Aku sendiri tetap
menganggap, semua peristiwa itu hanyalah suatu lingkaran Sebab
dan Akibat yang telah digariskan oleh kodrat Prakitri. Karena
engkau menuduh aku tak setya dan rela menerima pinangan sang
Amurwabhumi, maka akupun terpaksa membuka suatu rahasia
kepadamu." Anusapati merentang mata, mempertajam telinga dan memusatkan perhatiannya. "Pertama, aku seorang titah dewata. Tak mungkin aku dapat
menolak ketentuan yang diberikan Dewata Agung. Dewata telah
melimpahkan amanat gaib melalui sebuah wangsit, bahwa jika aku
ingin menerima wahyu agung sebagai wanita yang kelak akan
menurunkan raja2 besar di Singasari dan Jawadwipa, aku harus
menerima pinangan sang Amurwabhumi."
"Kedua, bukan se-mata2 begitu saja aku menerima pinangannya, tetapi akupun tetap memikirkan engkau. Aku hanya
mau diperisteri sang Amurwabhumi apabila kelak yang mengganti
duduk di tahta kerajaan itu engkau, angger. Dan demi cintanya
yang tulus, sang Amurwabhumi telah menyanggupi."
Anusapati terkejut. Ia merasa cemas dan malu dalam hati karena
mengandung anggapan yang tak benar terhadap ibunya. Namun
pada saat keluhan itu hampir terjadi dalam hatinya, tiba2 ia teringat
bahwa dirinya adalah putera akuwu Tunggul Ametung yang
dibunuh oleh sang Amurwabhumi. sebagai seorang putera, dia
wajib menuntut batas. Kemudian diapun merasa bahwa dialah
yang berhak atas Singasari. Adakah janji sang Amurwabhumi
kepada ibunya, Ken Dedes, dapat dipercaya" Ah, apabila menilik
sikap dan perlakuan sang Amurwabhumi terhadap dirinya, rasanya
tiada harapan bahwa sang Amurwabhumi betul2 akan menetapi
janjinya. "Ah, jika ingin memakan buah mangga, harus berusaha
mengambilnya dari pohon. Apabila menunggu sampai buah itu
jatuh, tentu sudah busuk, mungkin tak dapat dimakan. Hanya
mangga yang sudah busuk, luluh dagingnya dan mungkin
mengandung ulat, baru jatuh dari pohon," Anusapati menimang.
Menunggu sampai sang Amurwabhumi wafat baru menerima
tahta, sama dengan mengharap sesuatu yang belum tentu. Hati
manusia mudah berobah, janji mudah berganti. Jelas sang
Amurwabhumi tentu lebih senang menyerahkan tahta kerajaan
kepada puteranya sendiri daripada putera tirinya. Demikian
Anusapati membolak-balikkan alas hatinya. Permukaan hitam,
dibaliknyapun hitam. Hitam semua.
Akhirnya tergodalah hati Anusapati untuk mengambil keputusan.
Keputusan itu berpijak pada tiga landasan yang kokoh. Sebagai
seorang putera, ia wajib menuntut balas atas kematian
ayahandanya. Sebagai seorang pewaris tahta, dia harus merebut
tahta itu dari genggaman orang. Dan sebagai seorang anak tiri, ia
akan menghapus perlakuan yang tak adil dari ayah tirinya.
"Bunda yang hamba hormati " seru Anusapati "hamba mohon
bunda perkenankan menghaturkan sebuah permohonan kebawah
duli bunda " "O, tentu akan ibu kabulkan. Katakanlah apa permohonanmu,
angger. Apakah engkau ingin meminang seorang puteri juwita " "
Anusapati menghela napas "Ah, bukan itu maksud hamba, ibu "
"Tetapi engkau sudah dewasa. Sudah layak memangku seorang
wanita. Ibunda sudah merindukan menimang seorang cucu,
angger." Anusapati gelengkan kepala. Ia menjawab dalam batin. "Engkau
telah memberi beban derita kepada puteramu. Mengapa engkau
masih hendak menimbun derita kepada cucumu" Mengapa
engkau tak mengharapkan cucu dari puteramu dengan sang
Amurwabhumi" Bukankah cucu dari puteramu yang lain itu akan
lebih disayang sang Amurwabhumi" "
"Anusapati, katakanlah angger, mengapa engkau diam saja,"
melihat Anusapati termenung, Ken Dsdes puri menegurnya.
"Hamba takut, ibu. Takut ibu akan marah kepada hamba"
"Marah" Mengapa angger" Aku takkan marah kepadamu,
Anusapati. Karena engkau adalah puteraku."
Setelah didesak beberapa kali akhirnya Anusapati berkata
"Baiklah, ibu, akan hamba katakan permohonan hamba itu. Hamba
tak memohon puteri ataupun harta pusaka, melainkan hendak
mohon melihat keris empu Gandring yang termasyhur bertuah itu."
Ken Dedes terkejut. "Maksudmu, keris empu Gandring yang pernah digunakaa Kebo
Ijo untuk membunuh ramamu" "
"Hamba dengar, rama akuwu itu juga seorang pria yaig sakti
mandraguna tetapi mengapa sampai terlena dengan tusukan Kebo
Ijo" Karenanya hamba ingin tahu betapa bentuk keris empu
Gandring yang termasyhur itu" "
Wajah Ken Dedes tampak bergayut kelesian "Anusapati, apakah
engkau .... engkau hendak membunuh sang Amurwabhumi" "
"Membunuh sang Amurwabhumi" Ah, tidak, ibu. Hamba tiada
mengandung maksud begitu. Bukankah apabila sang Amurwabhumi wafat, hamba akan berduka karena kehilangan
seorang ayah tiri" Bukankah bunda akan kehilangan seorang
suami" Dan bukankah saudara- saudara hamba akan kehilangan
seorang ayah " Rakyat Singasari kehilangan junjungan yang gagah
perkasa " Cobalah ibu renungkan, prabu Kertajaya dari Daha yang
begitu digdaya, mati juga oleh sang Amurwabhumi. bagaimana
mungkin aku Anusapati, mampu melecetkan kulit kakinya saja "
Tidak, ibu, aku hanya ingin melihat keris pusaka itu "
Setelah mendengar berbanyak- banyak uraian Anusapati, Ken
Dedes mengakui bahwa apa yang dikemuka kan Anusapati itu
memang benar. Sekalipun bersenjata keris empu Gandring,
Anusapati tentu tak mampu membunuh sang Amurwabhumi yang
sakti digdaya. "Baiklah, angger " dengan pertimbangan agar jangan dipandang
puteranya ia mencurigainya dan lebih menaruh perhatian besar
kepada sang Amurwabhumi. Agar pula untuk menghibur hati
Anusapati yang merasa kecewa atas lingkungan hidupnya di
keraton, maka Ken Dedespun beranjak dari tempat duduk dan
masuk kedalam bilik peraduan.
Tak berapa lama Ken Dades keluar pula dengan membawa
sebuah benda yang tertutup kain sutera "Inilah keris yang ingin
engkau lihat itu, puteraku." Ken Dedes terus hendak membuka
selubung kain penutup keris.
"Jangan ibu," cegah Anusapati "rasanya sudah cukup lama
hamba menghadap ibu. Hamba kuatir apabila sang Amurwabhumi
datang. Beliau tentu murka apabila mengetahui peristiwa ini."
Ken Dedes kerutkan alis. "Lalu bagaimana maksudmu" " serunya.
"Perkenankanlah hamba membawanya ke bilik hamba barang
semalam saja. Agar puas hati hamba meneliti keris pusaka itu.
Besok malam pada saat seperti ini, akan hamba haturkan kembali
kehadapan bunda. Dan hamba mohon hendaknya jangan ibu
menyampaikan hal ini kepada sang Amurwabhumi, agar hamba tak
tertimpa kemurkaan beliau."
Ken Dedes menganggap hal itu tak membahayakan jiwa sang
Amurwabhumi dan disamping itu dapatlah ia menyenangkan hati
Anusapati. "Baiklah, Anusapati. Tetapi ingat, besok malam engkau
harus mengembalikan kepada ibu agar jangan sampai diketahui
sang Amurwabhumi." Dalam ruang tempat tinggalnya, semalam itu Anusapati
memeriksa keris buatan empu Gandring yang termasyhur itu.
Kemudian ia duduk bersila menghadap keris itu dan bersemedhi
memohon doa. Ia pernah mendengar keterangan dari seorang
dayang keraton bahwa tatkala sang Amurwabhumi yang saat itu
masih bernama Ken Arok marah lalu menikam empu Gandring
maka empu Gandring pun menghembuskan napas. Pada detik2
jiwanya melayang, empu itu masih sempat menurunkan kutuk
"Engkau Ken Arok, tanpa sebab telah membunuh aku .... Kelak
keris itu akan meminta jiwa tujuh orang keturunanmu!"
Maka Anusapatipun berdoa dalam semedhinya "Duh sang empu
Gandring yang mulia, hamba Anusapati, putera akuwu Tunggul
Ametung yang dibunuh Kebo Ijo dengan keris buatan paduka.
Kebo Ijo telah membayar dengan jiwanya juga karena ditusuk sang
Amurwabhumi. Tetapi sang Amurwabhumi sendiri saat ini masih
selamat tak kurang suatu apa. Paduka empu Gandring, Kebo Ijo
dan rama hamba Tunggul Ametung telah mati menjadi korban
keganasan Ken Arok. Relalah paduka, duh empu Gandring yang
bijaksana, membiarkan orang yang telah membunuh paduka itu
menikmati kebahagiaan diatas jenasah paduka" Jika paduka
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkenan, berilah hamba restu dan keberanian untuk menuntut
balas .... " Lama sekali Anusapati terbenam dalam persembahan doa dan
permohonan, tiba2 ia mendengar bunyi yang mula2 pelahan tetapi
makin lama makin riuh, macam orang sedang menumbuk sirih
dalam tabung. Anusapati terkejut dan membuka mata. Ia segera melihat benda
yang berkelotekan itu tak lain adalah keris pusaka yang
dihadapannya. Batang keris itu tertarik keatas, ber- guncang2
dalam kerangkanya. Anusapati terkejut. Mengapa keris itu dapat
melolos sendiri ke atas dan ber-gerak2 "
Serentak Anusapati tersentak ketika menarik suatu kesimpulan
bahwa kemungkinan arwah empu Gandring-lah yang melakukan
itu sebagai suatu isyarat bahwa permohonan Anusapati
dikabulkan. Demikian tafsiran Anusapati.
Memang setiap orang yang sedang mengharap, memohon dan
men-cita2kan sesuatu dengan sepenuh hati, akan memberi tafsiran
kepada sesuatu yang didengar, dilihat dan diketahuinya. Pada
umumnya, tafsiran itu selalu diarahkan pada tanda2 atau alamat2
yang baik, disesuaikan cita seleranya.
Setelah merasa mendapat restu, seketika timbul pula rencana
untuk melaksanakan maksud hatinya. Keesokan harinya Anusapati
memanggil seorang pengalasan yang menjadi orang kepercayaannya. Orang itu terkejut dan pucat seketika pada saat mendengar
perintah Anusapati "Raden .... hamba, hamba .... takut .... "
"Babi! " hardik Anusapati "pilih, engkau mau mati atau mukti! "
Pengalasan itu ternganga dengan pandang bertanya.
"Jika engkau tak mau melakukan perintahku, engkau kubunuh,"
kata Anusapati "tetapi kalau engkau menurut perintahku, setelah
aku jadi raja, engkau akan kuangkat sebagai buyut Batil dan
kuhadiahi uang serta isteri cantik."
Pengalasan itu berasal dari daerah Batil. Ia menuju ke pura
Singasari dengan membawa dua macam ke-patahan hati.
Pertama, keluarganya telah difitnah oleh buyut Batil sehingga
ayahnya dihukum dan akhirnya mati. Akibatnya keluarganya
berantakan hidupnya. Kedua, gadis yang dicintai dan sudah
memadu janji akan menjadi isterinya, telah direbut oleh putera
buyut yang dengan menggunakan kekuasaan ayahnya, berhasil
memfitnah keluarga dan merebut gadisnya.
Waktu meninggalkan Batil, dia bersumpah. Kelak pada suatu
hari pasti akan menuntut balas pada buyut dan puteranya itu.
Sesaat mendengar janji Anusapati, orang itu tampak menyala
matanya. Ia teringat akan keadaan ayahnya yang mati dibunuh,
ibunya yang mati bersedih dan saudara-saudaranya yang
melarikan diri entah kemana.
"Benarkah raden akan memegang janji" " tanyanya menegas.
Terangsang oleh nafsu hedak melaksanakan rencana pembunuhan itu, tanpa banyak pikir, serentak Anusapati menjawab
"Jika aku ingkar janji, biarlah aku mati ditikam keris .... "
Orang Batil itu menerima perintah. Ia memilih waktu senja dikala
lampu2 telah disulut. Menurut rencana, Anusapati akan berada di
keraton dan ia akan pura2 memberi keterangan kepada penjaga2
keraton, hendak mencari pangeran Anusapati. Dan memang para
penjaga keraton tahu bahwa dia adalah pengalasan dari pangeran
Anusapati. Demikian semuanya telah berjalan sesuai dengan
rencana. Sang Amurwabhumi tewas ditusuk dengan keris dari
empu Gandring. Tetapi ketika orang Batil itu lari kepada Anusapati untuk
mengabarkan tugasnya yang telah berhasil maka Anusapatipun
segera membunuhnya. Dengan demikian gemparlah seisi keraton
dan seluruh kerajaan Singasari atas berita kematian sang
Amurwabhumi. Rakyat berkabung atas wafatnya sang Amurwabhumi. Merekapun menyanjung Anusapati sebagai
pangeran yang gagah berani dan setya kepada ayahanda baginda.
Atas jasa itulah maka Anusapati lalu naik tahta mengganti sang
Amurwabhumi sebagai raja Singasari.
Anusapati telah mencontoh dan melaksanakan rencana Ken
Arok ketika membunuh Tunggul Ametung. Ken Arok meminjam
tangan Kebo Ijo, Anusapati tangan orang Batil. Namun tangan2 itu
hanyalah pelaksana dari keris keramat yang telah dinafasi dengan
kutuk sang pembuatnya, Empu Gandring.
Demikian renungan Nararya akan cerita yang pernah dibawakan
ramanya beberapa tahun yang lalu.
"Lalu bagaimana kelanjutan dari pangeran Anusapati, rama"
Apakah sumpah seseorang itu tak bertuah?" pada waktu itu, ia
bertanya pula kepada ramanya.
"Sumpah adalah janji, harus dipenuhi karena telah terdengar
oleh dewata. Oleh karena itu angger, janganlah engkau mudah
menjatuhkan sumpah. Terlebih2 pula engkau tergolong kasta
ksatrya " kata Lembu Tal. "Anusapati berhasil mengelabuhi seisi
keraton bahkan seluruh rakyat Singasari bahwa orang Batil telah
membunuh sang Amurwabhumi, bahwa pangeran Anusapati telah
membalas membunuh orang Batil itu. Tetapi dewata telah menjadi
saksi akan sumpah Anusapati kepada orang Batil itu. Akhirnya
Anusapatipun tewas ditikam oleh pangeran Tohjaya, putera sang
Amurwabhumi dengan Ken Umang .... "
"Juga dengan keris Empu Gandring, rama" " tukas Nararya.
"Kutuk seorang empu sakti, takkan luput dari sasarannya,
angger," sahut Lembu Tal "Pangeran Tohjaya mengajak kakanda
prabunya menyabung ayam, kemudian meminjam keris Empu
Gandring dan terus ditikamkan kepada sang prabu Anusapati."
Kala itu Nararya masih seorang jejaka tanggung. Ia tertarik sekali
mendengar cerita ramanya. Ia menanyakan apakah pangeran
Tohjaya juga tewas oleh keris Empu Grandring itu.
"Tohjaya memerintah tak lama. Raden Rangga Wuni putera
Anusapati dan Mahisa Gampaka putera Mahisa Wonga Teleng ....
" "Eyang Mahisa Gampaka" " tiba2 Nararya menukas.
Lembu Tal mengangguk "Ya, eyangmu Mahisa Campaka
bersekutu dengan raden Rangga Wuni untuk melawan Tohjaya.
Akhirnya kedua pemuda itu berhasil mengalahkan Tohjaya."
"Apakah raja Tohjaya juga terbunuh dengan keris Empu
Gandring?" tanya Nararya.
"Tidak, beliau tertusuk tombak, lolos dari keraton dan akhirnya
meninggal di desa Katang Lumbang."
"Lalu, dimanakah keris Empu Gandring itu" " tanya Nararya.
Pemuda itu memang beiotak cerdas. Pertanyaan yang diajukan,
menyibukkan ramanya. "Keris itu memang menimbulkan keanehan. Setelah Rangga
Wuni dan Mahisa Campaka berhasil merebut keraton dan setelah
suasana negara aman kembali maka keris itupun tiada kabar
beritanya." "Mengapa rama " Apakah eyang Mahisa Campaka tak pernah
menceritakan tentang keris itu " "
Lembu Tal gelengkan kepala.
"Eyangmu Mahesa Campaka pernah menghadapi pertanyaanku
seperti yang engkau ajukan tetapi eyangmu hanya mengatakan
bahwa kemungkinan keris itu tentu dibawa lari oleh pangeran
Tohjaya atau mungkin disimpan oleh Rangga Wuni yang kemudian
dinobatkan sebagai raja Wisnuwardarja. Eyangmu enggan untuk
bertanya soal keris itu kepada baginda Wisnuwardana, karena
dalam hati ejangmu lebih senang apabila keris itu dilenyapkan.
Eyangmupun pesan wanti-wanti agar anak cucunya jangan sekali-
kali memiliki keinginan untuk mendapatkan keris itu."
"Mengapa rama" "
"Karena keris itu berisi kutuk empu Gandring terhadap Ken Arok
dan anak cucunya. Kita ini, angger, adalah berasal dari darah
keturunan eyang buyut sang Amurwabhumi dan kita tentu
dilingkupi oleh bahaya dari kutuk empu Gandring itu."
"Apakah baginda Wisnuwardana tidak" "
"Seperti engkau ketahui, baginda Wisnuwardana itu adalah
putera dari Ranga Wuni dan Rangga Wuni itu putera Anusapati.
Sedang Anusapati adalah putera Ken Dedes dengan Tunggul
Ametung maka mungkin anak keturunan mereka terbebas dari
kutukan itu." Nararya mengangguk. Kesemuarya terbayang pula dalam renungan Nararya ketika
langkahnya menuju ke candi Kagenengan. Candi yang menjadi
tempat makam jenasah sri Rajasa sang Amurwabhumi.
Terlintas pula akan hal yang dialaminya ketika bertapa di candi
makam Wengker. Di makam eyang Batara Narasinga. ia telah
mendapat wangsit gaib berupa percakapan dengan segumpal
bayangan putih yang mengatakan tentang sang Amurwabhumi
menyuruh Rangga Wuni dan Mahesa Campaka memilih buah
maja. "Jika demikian ada beberapa soal yang hendak kumohonkan
penjelasan andaikata aku berhasil bertemu dengan arwah eyang
buyut sang Amurwabhumi nanti. Tentang buah maja dan tentang
keris empu Gandring " demikian percakapan yang berlangsung
dalam hatinya. Ketika pertama kakinya menginjak tanah dalam lingkungan candi
di desa Kagenengan, Nararya merasakan sesuatu suasana yang
atis atau terpencil. Pohon2 yang tumbuh di sekeliling halaman
candi itu, mekar dengan bebas seolah-olah tak pernah bertuan.
Semak belukar meranggas subur, bahkan ada pula yang menjalari
batang2 pohon. Suasana terasa lengang.
Kemudian ketika melangkah ke halaman dan tiba dimuka candi,
ia berdiri tegak. Sejenak ia memandang candi itu. Ada pula suatu
perasaan yang timbul dalam pikirannya. Candi di Kagenengan itu
merupakan makam dari Sri Rajasa sang Amurwabhumi, rajakula
dari kerajaan Singasari. Memang candi itu besar dan megah
bangunannya. Karena, pikir Nararya, demi mengambil hati
saudara-saudara tiri atau putera2 dari Ken Dedes dengan sang
Amurwabhumi, Anusapati tentu menitahkan pembuatan suatu
candi yang mewah dan megah untuk persemayaman arwah sang
Amurwabhumi. Tetapi kini, setelah terjadi beberapa pergantian dalam tahta
kerajaan Singasari, tampaknya candimakam itu kurang mendapat
perhatian. Dinding candi yang semula terbuat daripada batu warna
kelabu dan merah, kini hampir berwarna hitam2 hijau. Hitam
karena kotoran2 yang tertampung bertahun-tahun dan warna hijau
dari pakis yang makin merajalela tumbuhnya.
"Adakah baginda Kertanagara tak pernah menitahkan untuk
membersihkan candi ini" Pernahkah baginda mengunjungi candi
ini" " demikian pertanyaan yang timbul dalam hati Nararya.
Saat itu ia sudah melangkah diambang pintu dan melihat
keadaan didalam. Serta merta ia berjongkok memberi sembah
kepada arca Syiwa yang berada dalam candi itu. Arca itu sebagai
lambang untuk mengabadikan kebesaran sang Amurwabhumi.
Setelah itu ia mengelilingkan pandang memeriksa kesekeliling
ruang. Ternyata keadaan dalam ruang candi itu bersih dan
memancarkan suasana yang khidmat. Dilihatnya pula didepan altar
patung Syiwa itu, tebaran bunga2 yang sudah layu, dan tempat
perapian untuk membakar wewangian dikala menghaturkan sesaji.
"Kiranya masih ada yang menghaturkan sesaji dan membakar
wewangian di candi ini " diam2 Nararya mendapat kesan.
Saat itu surya sudah suram. Rembangpun menjelang petang.
Nararya bersiap hendak memulai semedhi. Untuk mencapai ke
alam kekosongan dalam pengheningan cipta semedhinya itu,
kadang memerlukan waktu yang lama. Dan apabila sudah berhasil
memanunggal atau menyatukan kesatuan diri dengan alam hampa
maka haruslah dipelihara adanya suatu suasana yang tenang.
Setiap gangguan, betapapun kecilnya, akan menimbulkan
kerisauan pikiran. Mungkin hanya semalam tetapi mungkin juga sampai dua
malam, tiga, empat dan entah berapa malam. Hal itu tergantung
dari apa yang dialaminya dalam alam kegaiban itu nanti. Dan
apabila hal itu berlangsung sampai beberapa hari, bukankah patut
dicemaskan tentang kemungkinan gangguan yang antara lain
berasal dari orang yang datang hendak menghaturkan sesaji "
Nararya memutuskan untuk mencari tempat yang terlindung,
demi mengamankan diri dari setiap gangguan yang tak diinginkan.
Akhirnya ia memilih sebuah tempat di belakang patung Syiwa.
Malampun makin merayap gelap. Saat itu dia belum berhasil
menghampakan pikiran. Masih banyak peristiwa2 yang melalu
lalang dalam benaknya. Dan dia-pun tak mau memaksa diri untuk
menghapusnya. Bahkan setiap peristiwa yang membayang, dia
curahkan pikiran untuk menafsirkan, menelaah dan kemudian
menarik kesimpulan bahkan kalau perlu memecahkannya.
Setiap selesai menarik kesimpulan atau memecahkan maka
tanpa memaksa diri untuk melupakan, peristiwa itupun lenyap
sendiri. Dia merasa suatu pemaksaan hanya berhasil mengendapkan
saja. Dan sesuatu yang mengendap itu bukan berarti hilang tetapi
masih. Dan sesuatu yang masih tentu mewarnai alam hati
pikirannya. Setiap warna, belum mencapai pada alam kehampaan
yang kosong. Ia hendak mencapai pada alam kehampaan itu
dengan kekosongan yang bulat. Kekosongan itu harus melalui
kewajaran, bukan pemaksaan.
Berjam- jamnya ia bersemedhi mengheningkan cipta. Walaupun
belum mencapai alam kehampaan yang kosong, namun suasana
keheningan tempat disekeiiling, banyak menciptakan pembentukan
iklim yang menyerap kerisauan.
Entah berapa lama, ia merasa indera2 penyerapannya mulai
menajam. Desir angin lembut, layang daun2 gugur dan bahkan
gerak gerik serangga yang meningkah tanah disekeiiling, mulai
dapat tertangkap. Dari yang dekat, makin lama makin dapat
mencapai agak jauh, jauh diluar candi dan di sekeliling rimba
belukar. Tiba ada sesuatu yang terserap dalam indera pendengarannya.
Sayup2 ia seperti mendengar derap langkah kaki manusia
mendebur tanah. Bermula berasal dari gerumbul pohon kemudian
makin mendekat, menapak di halaman candi. Makin lama makin
menghampiri pintu candi dan kemudian melangkah masuk.
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dua orang " pikiran Nararya menyeloteh "siapa gerangan
mereka" Apa tujuan mereka datang ke candi ini?"
Pertanyaan itu memang wajar memercik dalam benak Nararya
karena bukan suatu hal yang wajar apabila tengah malam orang
datang ke candi untuk menghaturkan sesaji "Apakah mereka juga
setujuan dengan aku, hendak bersemedhi dalam candi ini?"
berbisik pula pikiran Nararya.
"Bantar," tiba2 terdengar salah seorang berkata. Walaupun
hanya pelahan tetapi dalam keheningan malam yang lengang,
suaranya menggema keras. Jantung Nararya terasa seperti didebur
"sebelum kita bertindak lebih lanjut, aku hendak meminta
penegasanmu. Benarkah ceritamu itu" "
"Benar kakang" sahut yang ditanya "sebelum eyang meninggal,
aku pernah mendapat ceritanya bahwa keris empu Gandring itu
telah ditanam bersama abu jenasah sang Amurwabhumi "
"Mengapa begitu" Pernah engkau bertanya kepada eyangmu?"
kata kawannya pula. "Eyang buyutku bernama Kebo Randi, putera dari eyang Kebo
Ijo, telah diangkat sebagai pekatik oleh sang Amurwabhumi. Maka
eyang buyut Kebo-Randi tahu juga akan beberapa rahasia dalam
keraton Singasari." Mendengar itu mau tak mau, penyatuan cipta Nararya yang
hampir mencapai pengendapan, bertebaran bagai daun kering
tertiup badai. "Hm, eyangmu Kebo Randi memang seorang yang paserah dan
bodoh. Ayahnya, Kebo Ijo, dibunuh Ken Arok tetapi kemudian dia
masih mau mengabdi kepada baginda sri Rajasa sebagai pekatik.
Jarang sekali orang yang mempunyai pendirian seperti dia."
"Ah, mungkin eyang buyut Kebo Randi menyadari akan keadaan
masa itu. Sri Rajasa sang Amurwabhumi adalah titah yang telah
direstui dewa sebagai wadah dari Batara Wisnu yang akan
mengejawantah di dunia, mengukuhkan kerajaan di Jawadwipa ini.
Melawan garis kepastian dewa, sama dengan menentang surya."
"Suatu pembelaan yang baik, Bantaran," seru orang yang kedua
itu pula "yang sudah mati memang mati. Kebo Ijo, sang
Amurwabhumi, Anusapati dan Panji Tohjaya, mati karena keris
empu Gandring. Jika eyangmu Kebo Randi merelakan ayahnya,
Kebo Ijo, mati ditikam keris bertuah itu, itu urusan eyangmu Kebo
Randi. Tetapi ramaku selalu memberi pesan kepada puteranya
supaya selalu ingat akan kematian Panji Tohjaya yang dibunuh
Rangga Wuni, anak Anusapati itu."
"Tetapi bukankah Panji Tohjaya juga telah membunuh Anusapati,
ayah Rangga Wuni " "Benar, karena Panji Tohjaya tak merelakan kematian sang
Amurwabhumi yang dibunuh oleh pengalasan dari Anusapati "
"Tetapi sang Amurwabhumipun telah menitahkan eyang buyut
Kebo Ijo untuk membunuh akuwu Tunggul Ametung, ayah dari
Anusapati " "Yang membunuh Tunggul Ametung adalah Kebo Ijo " bantah
orang itu. "Atas perintah sang Amurwabhumi " sahut yang bernama
Bantaran "dan Ken Arok atau sang Amurwabhumi itu telah
membunuh empu Gandring yang membuatkan keris untuknya
maka empu Gandring lalu menjatuhkan kutuk"
"Berapa jiwa yang harus mati oleh keris itu" "
"Tujuh orang " "Dan sudah berapa yang mati" "
"Empu Gandring, Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Ken Arok,
Anusapati, lima orang "
"Bukankah yang dimaksud kutuk itu, anak keturunan Ken Arok?"
"Jika demikian baru Ken Arok seorang. Bisa juga ditambah
dengan Anusapati." "Jika demikian masih kurang banyak."
"Ya " sahut Bantaran " itulah sebabnya maka Panji Tohjaya telah
memberi perintah rahasia agar keris itu ditanam dicandi makam
sang Amurwabhumi ini "
"Tetapi mengapa rama tak tahu " "
"Rama siapa" Apakah ramamu" " cepat Bantaran menanggapi
karena heran mendengar pernyataan kawannya.
Rupanya orang itu merasa telah kelepasan omong. Ia merenung
sejenak kemudian mengangguk "Ya, ramaku"
"Ramamu" Siapa" " Bantaran terbeliak.
"Putera Panji Tohjaya."
"Hai !" Bantaran berteriak sehingga kumandangnya bagai
dengung gong yang menggetarkan ruang candi itu "menurut eyang
buyut, Panji Tohjaya tak berputera "
"Memang dari isteri pertama, Panji Tohjaya belum berputera.
Tetapi dari garwa ampil, ketika keraton diserang oleh Rangga Wuni
dan Mahisa Gampaka yang membawa lasykar orang2 Rajasa dan
Sindir, Panji Tohjaya lolos dari keraton. Dia terluka parah. Saat itu
dia menitahkan supaya seorang hamba yang dipercaya
menyelamatkan jiwa garwa ampil yang sedang mengandung itu,
ketempat yang tak mungkin dikejar oleh musuh. Ketika tiba
saatnya, garwa ampil itupun melahirkan seorang putera."
"O " Bantaran mendesah.
"Untuk mengenal keturunan Panji Tohjaya maka semua anak
cucunya memakai nama Toh. Putera yang lahir dari ibu garwa
ampil itu bernama Tohnyawa, kemudian dia berputera Tohpati."
"Kakang Katang, bagaimana engkau tahu sejelas itu" Seolah
engkau mengalami sendiri hal itu "
"Memang benar "
"Apa katamu, kakang Katang" Engkau mengalami sendiri"
Apakah engkau putera dari Tohnyawa" "
"Hm " sahut Katang "engkau pandai menduga "
"Engkau puteranya" Engkau Tohpati" " teriak Bantaran terkejut
sekali. "Ya " "Tetapi bukankah engkau bernama Katang Lumbang " "
Bantaran menegas. "Itupun benar " sahut Tohpati "aku memang menggunakan nama
itu dikala masuk menjadi prajurit Singasari dahulu"
"O " desuh Bantaran.
"Engkau tahu apa sebab kupakai nama itu" "
"Untuk menyamar agar jangan diketahui orang siapa dirimu "
"Ya, itu juga benar " sahut Tohpati "tetapi yang penting nama itu
mempunyai arti yang besar kepadaku."
Bantaran membelalak dengan pandang heran.
"Katang Lumbang adalah nama desa dimana dahulu Panji
Tohjaya karena luka-lukanya telah meninggal. Maka kupakai nama
itu agar aku selalu teringat akan peristiwa itu."
"O " Bantaran mendesuh pula.
"Sudahlah, Bantaran " kata Tohpati "jangan membuka rahasia itu
kepada siapapun juga. Tetap panggil, namaku Katang Lumbang
sajalah." Bantaran mengiakan.
"Telah kukatakan kepadamu, Bantaran," kata Katang Lumbang
yang tak mau memakai nama Tohpati, "bahwa kita berdua ini
keturunan orang yang terlibat dalam peristiwa bunuh membunuh di
Singasari akibat kutuk empu Gandring. Kita senasib."
Bantaran mengangguk pula.
"Maka apabila rahasia yang engkau ketahui tentang keris empu
Gandring itu benar dan kita dapat menemukannya di candi ini,
maka sejarah kerajaan Singasari akan berobah."
"Maksud kakang" "
"Bila kudapatkan keris bertuah itu, akan kubunuh baginda
Kertanagara." "Kakang Katang! " Bantaran berteriak kaget, "mengapa engkau
mengandung cita2 itu" "
"Yang membunuh Panji Tohjaya adalah Rangga Wuni. baginda
Kertanagara sekarang ini adalah putera dari Rangga Wuni. Aku
akan menuntut balas atas kematian eyangku Panji Tohjaya "
"O " desuh Bantaran untuk yang kesekian kali, "bukankah baru2
ini kakang diangkat menjadi bhayangkara keraton. Mengapa tak
kakang laksanakan maksud kakang itu " Mengapa harus
menunggu sampai berhasil mendapatkan keris empu Gandring " "
Katang Lumbang tertawa pelahan.
"Ketahuilah Bantaran," katanya "baginda Kertanagara itu seorang
raja yang sakti mandraguna. Mungkinkah aku mampu membunuhnya" Tidak, Bantaran, aku tak mau mempertaruhkan
nyawaku untuk suatu hal yang aku tak yakin akan berhasil. Aku
harus mendapatkan keris empu Gandring itu. Hanya keris bertuah
itulah yang pasti mampu melenyapkan jiwa baginda! "
"Ah " desah Bantaran "tidakkah kakang akan ditangkap dan
dibunuh " Tidakkah pura Singasari akan kacau" Tidakkah kerajaan
Singasari akan goncang" "
Katang Lumbang mendengus "Hm, jika memikirkan soal2 dalam
pertanyaanmu itu, lebih baik aku tidur dan membuat impian
bercengkerama di taman loka yang indah dengan puteri2 yang
cantik. Bukankah hati kita akan terhibur dengan khayal2 dalam
impian itu walaupun sesungguhnya tidak nyata" Engkaupun
demikian, Bantaran. Engkau boleh menciptakan impian menjadi
raja yang dikelilingi oleh puteri-puteri cantik. Atau kalau ingin lebih
hebat lagi, engkau boleh membuat impian menjadi dewa yang
bersenang-senang di kahyangan."
"Ah, kakang Katang," sela Bantaran "bukan maksudku begitu
tetapi aku memikirkan nasib kakang karena akibat pembunuhan
itu." "Setiap tindakan tentu akan menimbulkan akibat, baik atau
buruk," jawab Katang Lumbang "tetapi aku merasa mempunyai
tugas batin yang selalu menuntut perasaanku. Hutang jiwa harus
bayar jiwa. Jika tidak demikian aku berani menuduh bahwa dewata
itu tidak adil. Betapapun aku harus menagih hutang jiwa eyangku
kepada baginda Kertanagara."
"Kakang " seru Bantaran "percayalah, Hyang Batara Agung itu
adil dan maha kuasa. Tetapi adakah harus kakang yang menagih
hutang jiwa itu" Bukankah tanpa kakang bertindak, nanti tentu tiba
masanya hutang itu akan terhimpas oleh kodrat hidup" "
"Bantaran," seru Katang Lumbang "ramaku gagal melaksanakan
pembalasan itu. Dimana rama gagal, aku harus berhasil. Apakah
aku harus mengharapkan anakku yang melaksanakan pembalasan
itu" Kemudian anakku, mengharapkan puteranya dan puteranya
mengharapkan puteranya lagi, sehingga tak berkeputusan harap
itu berlangsung dari anak, cucu sampai ke buyut. Tidak, Bantaran,
sekarang juga aku harus melaksanakan. Semua akibat telah
kupikirkan dan nyawaku taruhannya."
"Jika demikian kehendak kakang, akupun tak dapat berkata apa2
lagi." "Tetapi engkau harus berkata lagi Bantaran." Bantaran terkesiap.
"Engkau harus berkata kepadaku, bersediakah engkau membantu aku" Lebih tandas lagi, sanggupkah engkau bekerja-
sama dengan aku untuk melaksanakan karya besar ini " "
Bantaran berobah cahaya mukanya. Ia tampak pucat dan agak
gemetar. "Bagaimana Bantaran ?" desak Katang Lumbang.
"Ya, baiklah " jawab Bantaran. Tetapi Katang Lumbang tahu
bahwa Bantaran ragu2 karena takut. Wajahnya yang pucat dan
suaranya yang tergetar, memancirkan isi hatinya.
"Ya, baiklah " Katang Lumbang mengiakan tetapi dalan hati dia
timbul rencana lain terhadap Bantaran. Dia menganggap sikap
Bantaran yang yang ragu2 dan ketakutan itu berbahaya. Ia harus
bertindak menumpas bahaya itu sebelum bahaya itu menghancurkan dirinya. Kemudian Katang Lumbang mengajak Bantaran mulai bekerja.
Keduanya mencari letak tempat penanaman abu jenajah. Tiba2
Katang Lumbang menyulut api untuk menyuluhi persada batu yang
berada didepan patung Syiwa.
Dari sinar api yang dinyalakan Katang Lumbang itu, Nararya
berhasil mengintai melalui celah2 kaki patung Syiwa bagaimana
raut wajib kedua orang itu. Namun sebelum sempat melihat jelas,
apipun sudah padam. "Bantaran, lekas engkau gali persada ini. Mungkin disinilah
tempatnya," seru Katang Lumbang.
Rupanya Bantaran menurut karena sesaat kemudian terdengar
suara batu persada di depan patung Syiwa itu dihunjam dengan
senjata tajam. Bantaran mulai bekerja.
Ditempat persembunyiannya, Nararya berpikir keras mencari akal
untuk menggagalkan tindakan kedua orang yang tak bertanggung
jawab itu. Pertama, kedua orang itu merupakan persekutuan jahat
yang hendak melenyapkan jiwa baginda Kertanagara. Bahwa
Katang Lumbang ingin menuntut balas atas kematian eyangnya,
Panji Tohjaya, itu persoalan dia. Tetapi yang jelas, tindakan itu
tentu akan menimbulkan geger dan malapetaka besar kepada
kerajaan Singasari. Tahta kerajaan goncang, daerah2 akan timbul
pembangkangan. Dan yang jelas, Daha akan menggunakan
kesempatan itu untuk melaksanakan rencananya.
"Berbahaya " tersentak pikiran Nararya manakala membayangkan
akibat2 itu. Dan makin keras ia mencari akal untuk memberantas
perbuatan kedua orang itu.
Suasana dalam ruang candi itu gelap dan hal itu menguntungkan Nararya untuk melaksanakan rencana yang sudah
diperolehnya. Ia tak membekal senjata apa2 kecuali hanya sebilah
pisau yang sebenarnya diperuntukkan memotong dan mengupas
buah-buahan manakala dia harus mencari makanan di hutan.
Segera diambilnya pisau itu lalu dengan hati2 agar jangan
menimbulkan suara, ia berbangkit. Setelah menentukan arah
tempat Katang Lumbang yang saat itu membelakangi Bantaran
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena sedang memeriksa tempat sekitar persada patung maka
Nararya lalu menaburkan pisaunya diarahkan ke punggung.
"Aah .... " Katang Lambang menjerit, meliuk- liuk tubuh dan
meringis kesakitan karena punggungnya terobek pisau. Darahpun
bercucuran mengalirkan rasa sakit yang nyeri.
"Keparat, engkau berani menghianati aku, Bantaran! " teriak
Katang Lumbang seraya menerkam Bantaran, mencekik lehernya
dan membenturkan kepalanya pada batu persada, prak .... Jidad
Bantaran pecah, tubuh menggelepar dan orangnyapun tak dapat
berkuiik lagi. Rupanya Katang Lumbang atau Tohpati mewarisi perangai
eyangnya, Panji Tohjaya, yang berangasan dan banyak curiga.
Kesan buruk terhadap Bantaran yang dianggapnya ragu2 dan
takut, melahirkan pula kesimpulan bahwa tentulah Bantaran yang
manikamnya dari belakang. Adalah karena ketakutan atau mungkin
tak setuju maka Bantaran hendak membunuhnya. Demikian
anggapan yang memenuhi benak Katang Lumbang. Ia
merencanakan, setelah berhasil mendapatkan keris empu
Gandring, akan melenyapkan Bantaran maka ia menilai
Bantaranpun memiliki rencana begitu juga. Demikian alam pikiran
seorang yang penuh prasangka apabila merencanakan perbuatan
jahat. Katang Lumbang dengan cepat segera menuduh Bantaran yang
menikamnya. Maka tanpa memberi kesempatan bicara lagi kepada
Bantaran, dia terus menerkam, mencekik dan membenturkan
muka Bantaran ke batu persada. Dahi Bantaran pecah, darah
berlumuran dan terus tak dapat bergerak, entah mati entah hidup.
Katang Lumbang beristirahat sejenak untuk mengusap darah
dipunggungnya. Ia mencari sawang atau sarang galagasi untuk
melumuri lukanya agar berhenti dari pendarahan.
Sesaat selesai mengenakan baju lagi, tiba2 ia mendengar kokok
ayam di kejauhan. Ia terkejut. Jika ia tetap berada di candi itu,
dikuatirkan penjaga atau mungkin penduduk di sekeliling tempat
itu akan mengetahui tentang pembunuhan yang dilakukannya.
Kemarahan dapat menimbulkan kegelapan pikiran, dapat
melakukan perbuatan apa saja pun yang dapat melonggarkan luap
amarah itu. Tetapi setelah hawa amarah reda, kejernihan hatipun
mulai memancar maka timbullah rasa takut, sesal akan apa yang
telah dilakukannya. Demikian Katang Lumbang. Saat itu ia
menyadari kalau membunuh kawannya dan kesadaran itu
membangkitkan rasa takut apabila perbuatannya diketahui orang.
"Lebih baik kukubur saja agar tiada yang tahu jejaknya," serentak
timbul pikirannya. Lalu diangkatnya tubuh Bantaran, dibawa keluar.
Dibawah sebatang pohon weru, dia segera menggali lubang. Tetapi
menggali liang dengan senjata pedang, memang memakan waktu
lama. Dan baru lebih kurang selengan dalamnya, ayam hutanpun
berkokok makin gencar. Cuaca mulai meremang terang.
"Ah, hari makin mendekat pagi. Apabila ada orang yang melihat
apa yang kulakukan, pasti celakalah aku," ia makin cemas.
Akhirnya ia menyeret tubuh Bantaran kedalam liang yang masih
dangkal lalu ditimbuni dengan tanah dan daun. Asal tertutup
sajalah, tak sempat lagi untuk menimbuni secara padat. Setelah itu
bergegas ia meninggalkan tempat itu. Ia harus cepat2 mencapai
asrama agar tiada diketahui kawan2 yang lain bahwa malam itu dia
pergi. Saat itu juga muncul sesosok tubuh yang langsung menuju ke
timbunan tanah lalu mulai membongkar tanah dan timbunan daun.
Dia bekerja cekatan sekali. Tak lama tubuh Bantaranpun segera
dikeluarkan dari liang. Orang memeriksa dada Bantaran, ternyata masih terasa hangat
dan jantungnya masih mendebur pelahan. "Untung aku keburu
mengeluarkannya sehingga dia tak sampai dikubur hidup-
hidupan," gumam orang itu.
Setelah diurut-urut beberapa waktu, Bantaran dapat menggeliat
dan merintih. Orang itu segera mencari daun kemlanding, dilumat
lalu dilumurkan pada dahi orang yang telah pecah. Kemudian
diapun mencari air dan diminumkan orang itu.
Setengah jam kemudian, orang itu dapat sadar. Dia memang
belum mati tetapi hanya pingsan.
"Siapa engkau ..... " serunya lemah kepada penolongnya.
"Aku Nararya " jawab orang yang menolong itu "jangan banyak
bergerak dulu. Lukamu masih belum merapat."
Orang itu mengangguk lalu pejamkan mata lagi. Lewat tengah
hari beristirahat, Bantaran makin kuat. Ia membuka mata dan
memandang Nararya. "Apakah yang telah terjadi pada diriku" " tanyanya kepada
Nararya. Nararya terpaksa berbohong. Ia mengatakan bahwa ia
sebenarnya hendak berkunjung ke candi untuk memanjatkan doa.
Tetapi ia terkejut ketika melihat dua orang sedang menabas batu
persada patung Syiwa. "Itulah aku dan Katang Lumbang " kata Bantaran.
"O " desuh Nararya "sebenarnya aku hendak masuk dan
menegur perbuatan kalian. Tetapi tiba2 kudengar kawanmu
menjerit kesakitan sembari mendekap punggungnya. Dan entah
bagaimana tiba2 dia menerkam engkau lalu membenturkan
mukamu pada batu persada. Kemudian dia membawamu keluar
dan menanam tubuhmu dalam liang ini."
"Oh, dimana dia sekarang" " seru Bantaran.
"Sudah pergi," sahut Nararya "sebenarnya aku hendak
mengejarnya tetapi kurasa lebih perlu menolongmu "
"Terima kasih, ki sanak," kata Bantaran "budi pertolonganmu
pasti kuingat selamanya."
"Ki Bantaran" kata Nararya "bagaimanakah rencanamu sekarang" Apakah engkau hendak pulang dan mengadukan
perbuatan kawanmu itu."
Bantaran terdiam. "Bagaimana baiknya kalau menurut ki sanak." Bantaran meminta
pendapat "nyawaku engkau yang menghidupkan maka akupun
menurut apa yang engkau perintahkan."
Nararya meminta keterangan apa maksud kedatangan Bantaran
dan kawannya ke candi situ. Sebenarnya dia sudah tahu tetapi
agar jangan diketahui bahwa sebenarnya dia bersembunyi di
belakang patung Syiwa, maka sengaja ia bertanya keterangan.
Dengan jujur Bantaran menceritakan semua yang terjadi. Diam2
Nararya menaruh kepercayaan bahwa Bantaran seorang jujur.
"Bantaran," kata Nararya "aku hendak bertanya kepadamu
dengan sejujurnya. Benarkah keris empu Gandring itu tertanam
dalam candimakam sang Amurwabhumi?"
"Aku sendiri juga belum yakin sungguh2. Hanya ayah yang
mengatakan hal itu dan ayahpun mendengar keterangan dari
eyang " "Ki Bantaran," kata Nararya dengan nada sarat "adakah keris itu
berada di candi ini, masih belum pasti. Dan dengan bekal yang
belum pasti itu, engkau hendak merusak sebuah candi makam dari
seorang raja besar yang mendirikan kerajaan Singasari. Apakah
engkau tak takut akan kemarahan rakyat bila perbuatanmu itu
diketahui mereka" Kedua, apakah kau tak takut akan tulah keramat
dari arwah sang Amurwabhumi yang menjadi titisan Hyang Wisnu"
Ketiga, apakah engkau tak berdosa karena akan memunculkan
kembali sebuah keris yang berisikan kutuk Empu Gandring "
Walaupun eyang buyutmu ki Kebo Ijo telah terbunuh, tetapi sang
Amurwabhumi telah membalas jasanya dengan mengangkat
puteranya, Kebo Randi menjadi pengalasan keraton dan
selanjutnya anak keturunannya tetap diberi pangkat sebagai
pekatik. Tindakan budi yang telah dilimpahkan oleh sang
Amurwabhumi dan kerajaan Singasari kepada kakek moyangmu
sudah cukup untuk menghimpas peristiwa itu" Tidakkah dengan
membantu Katang Lumbang untuk mendapatkan keris itu, berarti
engkau ikut serta dalam perbuatan jahat untuk membunuh baginda
Kertanagara yang berarti juga engkau akan mengacaukan
keamanan dan ketenteraman pura Singasari" Kakek, ayah dan
engkau adalah rakyat Singasari. Tidakkah sudah layak bagi
seorang kawula untuk mengabdikan diri dengan pengorbanan jiwa
seperti yang dilakukan oleh eyangmu Kebo Ijo itu" Tidakkah
engkau berarti akan membantu lain kerajaan untuk menyerang
Singasari apabila kerajaan itu geger akibat baginda Kertanagara
terbunuh" " Dihujani dengan pertanyaan yang menggebu-gebu itu, Bantaran
terlongong-longong tak dapat menjawab.
"Aku hanya menurut apapun yang hendak engkau perintahkan,
ki Nararya," akhirnya dia hanya memaserahkan diri.
"Baik, Bantaran " kata Nararya "sebenarnya pantang bagiku
untuk mengungkai- ungkat saal budi dan pertolongan. Karena
pertolongan yang kuberikan kepadamu ini, kuanggap sebagai wajib
dari dharma hidupku. Tetapi apabila engkau bermaksud hendak
membalas budi pertolonganku itu. Aku merasa berterima kasih dan
menganggap engkau benar2 sudah membalas budi kepadaku
apabila engkau tak melanjutkan rencana untuk mencari keris empu
Gandring itu. Lepaskanlah tanganmu dari pusaka yang berlumuran
darah. Maukah engkau Bantaran" "
Bantaran merasa bahwa ia telah menerima budi pertolongan
yang tiada taranya dari pemuda itu. Dia menyadari bahwa Katang
Lumbang seorang kawan yang berbahaya. Apa yang diuraikan
Nararya memang benar. Sebagai seorang kawula Singasari, dia
harus dapat memisahkan kepentingan keluarga dengan negara.
Apalagi peristiwa itu terjadi antara eyangnya, Kebo Ijo, dengan
sang Amurwabhumi. Sedang baginda Kertanagara yang sekarang
adalah keturunan dari Tunggul Ametung.
"Baik ki Nararya," akhirnya ia memberi pernyataan "kurasa keris
itu memang mengandung tulah yang berbahaya. Biarlah dia lenyap
dari muka bumi agar jangan menimbulkan malapetaka."
"Terima kasih, Bantaran," kata Nararya "lalu bagaimana
rencanamu sekarang " "
"Inilah ki Nararya " kata Bantaran "yang meresahkan hatiku. Aku
memang masih bingung menentukan langkah, kembali ke
Singasari atau menyembunyikan diri. Bagaimanakah pendapat
tuan" " "Jika tahu engkau masih hidup, Katang Lumbang tentu terkejut,"
kata Nararya "dan ketakutan pula. Oieh karena itu dia tentu
berusaha untuk membunuhmu lagi agar rahasianya jangan sampai
terdengar orang." "Hm, benar " "Maka lebih baik jangan engkau kembali ke pura dulu. Tetapi
apakah engkau mempunyai tempat meneduh" "
Bantaran mengatakan bahwa ia mempunyai seorang paman
yang tinggal didesa. Kesanalah dia akan menetap.
Nararya menyetujui dan Bantaranpun segera berpisah untuk
menuju ke tempat pamannya. Sementara Nararya kembali masuk
kedalam candi. Peristiwa Katang Lumbang dan Bantaran itu menyerap waktu
yang lama dalam renungannya. Makin mengenang kembali ke
masa lampau, makin banyak peristiwa yang menimbulkan
renungan. Berdirinya kerajaan Singasari tak lepas dari sejarah
kehidupan seorang manusia bernama Ken Arok. Baik sejarah asal
keturunan maupun kissah sepanjang masa mudanya, penuh
dengan hal2 yang luar biasa.
Seorang bayi yang tak diakui ibunya dan dibuang di kuburan,
seorang pemuda yang terjerumus dalam kehidupan di lembah
hitam. Judi, mencuri, menyamun, mengganggu wanita dan lain2.
Tetapi yang jelas pemuda itu memiliki kecerdasan dan keberanian,
kesaktian dan keperibadian yang menonjol.
Mungkin Ken Arok memang seorang manusia yang dikasihi
dewa dan mendapat wahyu agung untuk mengemban tugas besar
memerintah kerajaan Singasari. Tetapi yang jelas, dia tentu
menempuh perjalanan panjang itu dengan penuh penderitaan dan
ketabahan. Untuk mencapai kejenjang puncak yang gemilang
bukanlah suatu perjalanan diatas alas beludru yang lunak,
melainkan disepanjang jalan yang penuh dengan kerikil tajam,
bahkan bertabur duri dan onak, berpagar tombak dan pedang.
"Lepas dari segala perbuatannya semasa masih muda, sang
Amurwabhumi memang seorang manusia besar. Jika tidak tak
mungkin seorang pemuda yang berasal dari keturunan bawah,
mampu menjadi seorang raja besar yang menguasai kerajaan
Singasari," bagai lapisan awan yang berarak di angkasa, maka
berarak-arak pula lapisan kesan dalam hati Nararya. Makin lama
makin tebal, makin cerah. Dia makin menghayati hakekat dari
perjuangan. Jer basuki mawa bea. Tiada kebahagiaan tanpa penderitaan.
Sekali pun Ken Arok itu benar menjadi kekasih dewa, menjadi
insan yang telah dipilih dewa untuk menenteramkan kerajaan
dijawadwipa, tetapi tidaklah begitu saja dewa menganugerahkan
kebesaran hidup kepadanya. Dia masih harus berusaha dan
berjuang keras, masih harus membuktikan bahwa dialah insan
pilihan dewa yang tepat. Dengan renungan2 itu mulai mantap, mulai menyatu dan mulai
mengarahlah pikiran Nararya kedalam suatu jalur pemusatan.
Lambat tetapi tertentu mulai mengalir kearah suatu muara laut,
makin lama makin luas dan luas. Tiada ujung tiada tepi, tiada lagi
batas antara air dan bumi, bumi dan langit. Semua telah bersatu
dalam suatu kekosongan yang penuh tetapi hampa, hampa tetapi
penuh..... Nararya telah kehilangan diri. Dia tak tahu berada di mana,
karena dia telah kehilangan daya pengetahuan, daya pengenal dan
daya pemikir. Dia tak merasakan dirinya itu masih atau hilang,
karena dia tak mempunyai daya rasa itu. Dia tahu dalam tak-tahu.
Dia tak tahu dalam tahu. Diapun merasa dalam tak-merasa. Diapun
tak merasa dalam merasa. Dia hanya merasa berada dalam suatu
kehampaan alam raya tetapi dia tak tahu dirinya berada dimana
dalam alam kosong raya itu.....
Sayup2 ia seperti mendengar suara isak tangis seorang gadis,
yang menebarkan bau harum dan tangannya yang halus
mengguncang-guncang kakinya "Raden .... raden bagus ....
tolonglah hamba raden . . . . hamba dikejar orang jahat....."
Namun Nararya sudah hilang ditelan kehampaan. Semua indera
perasa, pemikir, telah hilang. Bahkan dirinya, isi dirinya atau yang
bisa disebut aku dalam dirinya, pun sudah tiada lagi padanya. Dia
laksana sebuah patung dalam sila semedhi ....
Suara perawan ayu merintih-rintih pertolongan itupun hilang
lenyap. Beberapa saat2 kemudian ia merasa seperti dipegang oleh
sebuah tangan yang berbulu, jari2 kasar sebesar pisang, meraba-
raba leher seperti hendak mencekiknya.
Tetapi kehilangan yang diberikan Nararya adalah suatu
penyerahan, suatu pemaserahan bulat. Sehingga tiada lagi indera2
dalam dirinya itu dapat memancarkan daya. Dia sudah kehilangan
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daya penyerap, pemikir dan perasa. Maka sia2 pula gangguan
tangan berbulu dan jari besar yang mengerikan itu kepadanya.
"Ho, inilah manusia yang menjadi gara2 candi ini seperti dibakar
api. Hayo, kita bunuh dia! "
Serentak terdengar bunyi yang aneh, macam benda berat
merayap di tanah dan bau yang luar biasa anyir, menghampiri
Nararya. ~dewiKZ~ismoyo~mch~ Jilid 13 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor: MCH I Nararya telah mendapat pelajaran Hatha-yoga dari gurunya, resi Sinamaya di gunung Kawi.
Tujuan daripada ilmu pelajaran itu satu tepi mempunyai landasan yang luas dan tinggi.
Satu, yani untuk mencapai alam bahagia, nirwana dan moksa, mencapai in hakekat kebenaran,
menjelang manunggalnya jiwa kepada kebenaran atau para-murtha. Disitulah tujuan utama dari
hubungan jiwa dengan Sanghyang Widdhi.
Landasan yang luas dan nggi karena sarana2 yang wajib ditempuh melalui ngkat2 la han
melepaskan pengaruh nafsu dasendriya atau sepuluh indera dan panca tanmatra atau bayangan
nafsu dalam linggasarira, dari alat2 lapis badan manusia. Sehingga pengaruh nafsu dari alat2
lapisan badan itu terlepas dan tidak berpengaruh lagi terhadap gerakan jiwa.
Sesungguhnya samadhi itu merupakan ngkat terakhir dimana telah dapat mencapai alam
bahagia, nirwana dan moksa, manunggal dengan Sang Hyang Widdhi dalam alam Anandasarira.
Hatha-yoga yang dipelajari Nararya, belumlah mencapai ngkat yang ter nggi. Namun berkat
kemauan dan tekad yang keras, ia telah mampu mencapai Dharana, ngkat kelima dari ngkat2
yang berjumlah delapan buah.
Demikian yang dilakukan di candi-makam Kagenangan. Ia telah mulai dapat mengalahkan rayas
dan telah dapat menguasai semangat bathin serta memusatkan kepada suatu tempat atau tujuan
tertentu. Tujuannya tak lain hendak mohon wangsit dari eyang buyut sang Rajasa Amurwabhumi.
Sedemikian teguh dan paserah semangat bathin Nararya, sehingga ia telah berhasil keluar dari
Lingga-sarira, tempat rayas berkuasa mereka-reka sifat kama.
Pikiran, bathin dan perasaannya sudah 'ma ' dari segala daya-reka sehingga apapun yang
bertubi-tubi mengganggunya, tiada bersambut dalam perasaan.
Setelah tangis gadis ayu yang merin h-rih h minta tolong, membujuk rayu dengan bisikan-
bisikan yang syahdu, kemudian tangan berbulu dan jari2 kasar yang meraba-raba leher seper
hendak mencekik, suara2 beraneka nada yang seram, mengancam, tak bersambut, maka muncul
mahluk yang merayap menghampirinya dengan membiaskan hawa yang luar biasa anyirnya.
Mahluk itu berwujut sebagai seekor ular besar yang terus melilit tubuh dan leher Nararya.
Bahkan terasa seolah mulut ular besar itu menganga hendak mencaplok kepala.
Namun pemaserahan Nararya sudah bulat. Pikiran, bathin, jiwa dan kesepuluh indera, telah
dileburkan dalam kekosongan yang hampa. Sehingga semua godaan itu berguguran lenyap.
Nararya telah membebaskan diri dari rayas2 Lingga-sarira, mematikan daya-reka kama.
Dalam keadaan alam kehampaan yang suwung itu, sayup2 seper terdengar suara halus yang
menyusup ketelinga "Kulup, mengapa engkau mengganggu aku . . ."
Nararya seolah tersentuh oleh suara itu. Dan sesaat itu sebuah benda kecil mulai memercik di
alam yang suwung. Makin lama percik benda itu makin membesar, membesar dan akhirnya
meletus, membaurkan gulung asap pu h. Pelahan-lahan asap itu mulai mengumpul, menggunduk,
makin tebal, tebal, dan akhirnya menjadi suatu perwujutan dari seorang lelaki yang perkasa,
mengenakan sebuah mahkota.
"Kulup ... " seru orang itu, "hentikan semedhimu"
Nararya seperti terperangah.
"Siapa engkau kulup " " seru orang itu.
"Hamba Nararya pukulun ... " Nararya seper menyahut. Tidak dengan mulut melainkan dengan
rasa batin. "Nararya" Siapa Nararya" Menilik wajahmu yang bercahaya terang, engkau tentu berasal dari
keturunan satrya" "Hamba hanya putera dari rama Lembu Tal. Dan Lembu Tal adalah putera dari Batara
Narasingamur atau Mahesa Campaka. Mahesa Campaka putera dari Mahesa Wonga Teleng dan
Mahesa ..." "Cukup" seru lelaki itu "kutahu siapa Mahesa Wonga Teleng. Jadi engkau ini keturunan
Mahesa Wonga Teleng"
"Demikian, pukulun."
"Aku bukan dewa, tak perlu engkau menyebut pukulun kepadaku ..."
"Oh, maafkan. Lalu siapakah paduka ini ?"
"Engkau tak kenal kepadaku ?"
"Tidak." "Tidakkah ramamu pernah berceritera tentang leluhurnya?" .
"Rama hamba sering bercerita begitu "
"Siapakah cikal bakal leluhurnya?"
"Eyang buyut Ken Arok yang kemudian menjadi raja Kula Singasari bergelar sri Rajasa sang
Amurwabhumi" "Pernahkah engkau melihat wajah sang Amurwabhumi" "'
"Hamba pernah melihat patung sang Amurwabhumi yang terdapat di beberapa candi."
"Cobalah engkau pandang diriku ..." Nararya memang serasa melayang-layang dalam alam
kesemuan. Antara kosong dan isi, nyata dan semu. Mendengar tah itu, serentak ia mencurahkan
pandang mata dan menatap wajah orang itu dengan sepenuh perhatian.
"Duh, eyang buyut sang Amurwabhumi, ..." serta merta Nararya menghadap, menghaturkan
sembah sekhidmat-khidmatnya "ampunilah hamba yang tak tahu adat."
"Jadi engkau sudah tahu diriku?"
"Demikian, eyang baginda yang mulia"
"Dan apa maksudmu bersemedhi memantek aji Panuwun untuk menemui aku" Ketahuilah,
bahwa tempatku bersemayam, di alam kelanggengan yang amat jauh sekali. Bukan suatu
perjalanan yang mudah untuk kembali kesana. Hanya karena pancaran semedhiimi yang keras
laksana sinar surya menembus bumi itu, maka panaslah tempat persemayamanku itu. Adakah
engkau mempunyai keperluan yang amat pen ng sekali sehingga engkau berani mengusik
ketenanganku?" Kembali Nararya tersipu-sipu menghaturkan sembah sujut sedalam-dalamnya "Eyang baginda
yang hamba junjung dialas segala kemuliaan hamba. Hamba mohon ampun atas tindakan
hamba yang kurang beradap terhadap paduka. Hamba hanya menyerahkan jiwa dan raga
hamba kebawah duli paduka apabila paduka hendak mencabut nyawa hamba ".."
"Hm" desuh bayang2 yang menurut pengakuan yang tak dinyatakannya, adalah arwah sri Rajasa
sang Amurwabhumi "soal itu tergantung dari keteranganmu nan . Adakah soal yang hendak
engkau haturkan itu sesuai dengan tindakanmu mengusik ketenangaaku"
"Jika paduka idinkan" kata Nararya "hamba akan mempersembahkan peris wa2 yang
menyangkut kedatangan hamba kemari"
"Katakanlah" Nararya lalu mulai menuturkan sejak ia mendapat anjuran dari kedua orang yang paling
dihorma nya yani ramanya Lembu Tal dan gurunya, resi Sinamaya. Menurut wawasan gaib yang
terasa pada sentuhan syahdu dalam kesuwungan semedhi purna, ada petunjuk gaib bahwa pada
waktu yang tak lama lagi, Hyang Jagadnata akan menurunkan wahyu agung, wahyu yang akan
menyinari persada bumi Jawadwipa sebagai tempat yang akan melindungi, mengembangkan dan
menyuarkan cahaya purnama raya, bagi para
tah dewata, kesejahteraan kehidupan dan
kemakmuran negara. Demikian pula akan menjadi penampung dan pengemban tugas kehendak
dewata untuk menyiarkan agama.
"Atas anjuran guru sang resi Sinamaya, hamba-pun bertapa di candimakam eyang Batara
Narasingamur di Wengker. Berkat kemurahan dewata, hamba-pun diperkenankan berjumpa
dengan eyang Batara Nara-singamurti ".. ."
Kemudian Nararya lalu menuturkan percakapan yang terjadi antara Batara Narasingamur
dengan dirinya. "Eyang Batara Narasingamur yang waktu itu masih bernama Mahisa Campaka mengatakan
bihwa beliau pernah bersemedhi di makam paduka sini dan paduka berkenan menemui eyang . .." '
"Pada kesempatan bercakap-cakap, eyang Batara Narasingamur mohon kehadapan paduka
untuk bersama eyang Rangga Wuni melawan eyang Tohjaya"
"Hm" "Paduka melimpahkan sabda bahwa eyang Tohjaya tak lama menduduki tahta Singasari, karena
menurut kodrat yang telah digaris Hyang Batara Agung, bukanlah eyang Tohjaya yang layak menjadi
raja Singasari" "Hm" "Kemudian padukapun telah menitah eyang Narasingamur untuk memilih lima bu r buah maja.
Yang ga untuk eyang Narasingamur dan yang dua untuk eyang Rangga Wuni. Buah maja yang
manis rasanya, lambang wahyu kerajaan. Akhirnya, dari ga bu r maja, eyang Narasingamur
hanya mendapat sebu r yang manis. Yang dua pahit rasanya. Sedang dua bu r maja untuk eyang
Rangga Wuni ternyata manis semua. Dengan demikian keturunan eyang Rangga Wunilah yang
berhak menduduki tahta kerajaan lebih dahulu"
"Hm" "Namun menurut eyang Narasinga, dua bu r maja manis yang jatuh pada eyang Rangga Wuni itu
adalah berar eyang Rangga Wuni sendiri dan putera-nya. Setelah itu, jika memang petunjuk
parduka itu benar, maka keturunan, eyang Narasingamur lah yang akan menggan di tahta
Singasari" "Hm" "Demikianlah apa yang hamba terima dari pesan gaib di makam eyang Narasingamurti"
"Adakah engkau meragukan pesan Eyangmu itu " " kali ini bertanyalah bayang2 itu.
"Duh, eyang prabu yang hamba muliakan " kata Nararya "bukan soal keraguan ataupun percaya
atau tak percaya yang mendorong hamba menghadap paduka, melainkan keinginan itu mbul dari
hati sanubari hamba sendiri, hendak mohon menghadap paduka."
Dengan jawaban itu Nararya menghindarkan diri dari kesan bahwa dia masih ragu2 akan
keterangan arwah Batara Narasingamur . Karena apabila mengunjukkan kesan ke dak- percayaan
terhadap pesan gaib itu, mungkin arwah sri Rajasa sang Amurwabhumi ini akan merasa kurang
puas. Ke dak-puasan itu mbul dari penilaian bahwa pemuda itu tak mempercayai percakapan
gaib dengan arwah seseorang yang telah ada. Entah itu eyangnya Batara Narasingamur , entah
sri Rajasa sendiri. Apabila tercipta lingkungan alam kesimpulan begitu, niscaya sang Amurwabhumi
tak mau memberi petunjuk apa-apa."
"Apa yang engkau kehendaki?" seru arwah sang Amurwabhumi.
"Duh, eyang prabu, tak lain hamba hanya akan mohon petunjuk kepada paduka agar diri hamba
dalam menempatkan diri di dalam masyarakat ramai, di negara dan di alam kehidupan sebagai
pelaksanaan dari dharma-hidup hamba itu, dapatlah hamba mempunyai pegangan. Agar
terhindarlah diri hamba dari keadaan seperti perahu lepas kemudi di tengah samudera raya ...."
"Hm" tampak bayangan arwah sang Amurwabhumi mengangguk-angguk "engkau
s dalam mengarah tujuan, tatas dalam merangkai kata dan
s dalam melaksanakan kewajiban. Siapakah
namamu yang lengkap?"
"Nararya Sanggramawijaya"
"Nama yang baik" kata arwah sang Amurwabhumi "akan kukabulkan permohonanmu. Karena
daklah mudah dewata akan meluluskan permohonan cipta-semedhi seseorang, terutama apabila
cipta itu diarahkan kepada arwah yang sudah moksa dalam alam kelanggengan. Hanya insan yang
memiliki rejeki besar dan dikasihi dewata, baru dapat diterima persembahan ciptanya itu ?".."
Diam2 Nararya terkejut mendengar ucapan arwah sang Amurwabhumi. Namun ia tak mau
mengikat diri kedalam pengaruh sesuatu yang walaupun luar biasa tetapi masih belum
meyakinkan. Ia kua r pengikatan diri pada hal itu akan menimbulkan gejala yang kurang
bermanfaat kepada dirinya dalam menempuh perjalanan hidupnya. Karena hal itu dapat
menimbulkan rasa besar diri, rasa bangga dan segala rasa ke-aku-an yang tak selayaknya.
"Memang benar apa yang dikatakan eyangmu Mahisa Campaka dalam percakapan melalui
pertemuan gaib dengan engkau itu," kata arwah sang Amurwabhumi pula "telah kuberikan lima
bu r buah maja kepadanya. Dan karena dia keturunanku sendiri maka kuberikan ga bu r
kepadanya sedang Rangga Wuni hanya dua bu r. Tetapi kodrat dewata tak dapat ditolak lagi. Dia
mendapat ga bu r tetapi yang manis hanya sebu r. Sedang Rangga Wunilah yang direstui dewata
menjadi raja Singasari. Setelah itu lalu puteranya"
"Maaf, eyang prabu" kata Nararya "bukankah yang dimaksud putera dari eyang Rangga Wuni itu
adalah baginda Kertanagara yang sekarang ini?"
"Hm, benar," sahut arwah sang Amurwabhumi "Kertanagara yang sekarang ini adalah kelanjutan
dari buah maja manis yang kedua untuk Rangga Wuni itu"
"Setelah itu ?"
"Karena terbatas hanya dua bu r maja, maka kemulyaan keturunan Rangga Wunipun akan usai
dan akan tiba giliran keturunan Mahisa Campaka?"
"Demikianlah, eyang prabu. Dan eyang Mahisa Campaka itu adalah keturunan paduka juga"
"Hm" desuh arwah sang Amurwabhumi "aku memikirkan keturunanku, tetapi bukanlah itu yang
menjadi landasan utama dari hidupku dahulu. Yang pen ng adalah negara Singasari karena
kepercayaan dewa2 kepadaku dahulu, seper yang kudengar ke ka dewa2 mengadakan
musyawarah di gunung Lejar, adalah hendak memelihara, mengembangkan dan memperkokoh
suatu tempat atau negara untuk memelihara kesejahteraan tah dan kelestarian agama sebagai
tujuan hidup manusia."
"Bisa saja para dewa2 memilih putera akuwu Tumapel Tunggul Ametung atau putera dari raja2 di
lain kerajaan. Tetapi mengapa menjatuhkan pilihan atas diriku. Bukankah mereka menganggap
bahwa diriku ini layak menjadi wadah dari pengejawantahan sang Hyang Wisnu" Dan ketahuilah,
bahwa manusia yang dipilih menjadi wadah dari penjelmaan Hyang Wisnu itu tentu telah dinilai
memiliki kelebihan dan kelainan dari tah lain. Oleh karena itu, haruslah manusia yang terpilih itu
membuktikan diri benar2 bahwa dia memang layak untuk pilihan itu"
"Jadi jelas bukan soal keturunan, melainkan diri peribadi manusia itu yang akan dinilai oleh
dewata," kata arwah sang Amurwabhumi "kutahu kemana arah tujuan ucapanmu itu. Jika Mahisa
Campaka i|u keturunanku, engkaupun juga keturunanku karena engkau cucu dari Mahisa
Campaka" Tersipu- sipu dalam hati Nararya mendengar pengungkapan itu.
"Keturunan itu memang pen ng tetapi bukan mutlak utama," kata arwah sang Amurwabhumi
pula "Hyang Wisnu takkan meni s dalam suatu tempat yang sama. Pernahkah eyangmu atau
ramamu bercerita tentang prabu Batara Kresna yang termasyhur itu ?"
"Pernah," sahut Nararya "tetapi entah bagian mana yarg paduka maksudkan"
"Sri Batara Kresna adalah san dari Hyang Wisnu, seharusnya wahyu agung yang diturunkan
dewata, diberikan kepada puteranya yang bernama raden Somba. Walaupun Sri Kresna telah
menetapi peraturan yang telah digariskan dewata, dengan menyuruh puteranya ikut berkecimpung
dalam usaha untuk mengarah turunnya wahyu agung dari dewata, namun selelah berhasil
mendapatkannya, tetap wahyu itu hilang dari tangannya. Karena apa" Karena raden Somba tak
kuat menahan goda rayuan dari seorang wanita can k. Dengan begitu jelas sudah, bahwa bukan
keturunan seorang raja agung seper Sri Kresna yang layak dan harus menerima wahyu agung juga,
melainkan atas dasar diri peribadi dan sifat batinnya. Jelaskah engkau?"
"Terima kasih, eyang prabu" Nararya menghaturkan sembah.
"Demikian pula berlaku pada anak cucu keturunanku. Walaupun eyangmu Mahisa Campaka
memiliki sebu r buah maja yang manis, tetapi kemanisan itu bukan ba dari langit dm sekali-kali
jangan yakin pas akan mendapatkannya. Melainkan harus ditebus dengan usaha keras yang
berlandaskan keluhuran budi dan kesucian batin"
Kembali Nararya menghaturkan sembah.
"Entah siapa diantara kalian yang masih hidup akan memperoleh wahyu itu. Yang pen ng
eyangmu Mahisa Campaka telah memperoleh sebu r buah maja yang manis, maka berusahalah
kalian termasuk engkau, kulup, untuk mewujutkan anugerah yang telah dijanjikan dewa kepada
lingkungan keturunanmu. Dan yang paling benar pula, janganlah engkau mengarah dan
menggantungkan buah maja manis yang diterima Mahisa Campaka itu. Lebih seyogya kalau engkau
tak memiliki pengetahuan tentang hal itu. Kosongkan pikiranmu dengan segala sesuatu rasa pas .
Tetapi bersihkan ba nmu untuk memperjuangkan yang belum pas itu akan menjadi pas . Jangan
engkau mengandalkan dirimu ini anak Lembu Tal cucu Narasingamur . Jangan pula engkau
menyandarkan perjuangan itu hanya pada asal keturunanmu. Tetapi lepaskan, kosongkan dirimu
dari segala kecenderungan yang bersifat mengandalkan itu. Engkau adalah engkau. Hadapkan dan
arahkan sembah harapan dan sujud permohonanmu ke duli Hyang Widdhi Tunggal. Sertakan
sembah sujudmu dengan ha yang suci, nafaskan kesungguhan dan kesetyaan kepada
perjuanganmu. Jangan mencemarkan semangat dan jiwa perjuanganmu itu dengan suatu rasa milik
akan hasilnya. Karena se ap perjuangan yang dicemari rasa milik akan hasilnya itu, pas akan
kecewa. Kecewa apabila dak berhasil dan kecewa pula kalau berhasil, kecewa yang dipancarkan
dari sifat rasa milik yang tak kenal puas. Serahkan kesemuanya itu kepada Hyang Widdhi karena
hanya Dialah yang kuasa menentukan"
"Duh eyang prabu, rasanya ada ilmu apapun yang dapat menjadikan kekuatan diri hamba, serta
ada harta benda yang lebih menggirangkan ha hamba, kecuali wejangan paduka ini. Hamba
Kasih Diantara Remaja 5 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 4