Pencarian

Suling Naga 14

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


"Aihh, untung kedua orang muda gagah ini da-tang menolong kita, Lan-moi," kata Sim Houw. "Kalau kita berusaha meloloskan diri sendiri dan ha-rus menghadapi mereka semua itu tentu akan repot juga!" Sim Houw lalu memandang kepada dua orang pemuda itu. "Terima kasih kuhaturkan kepada pa-man Cu Kun Tek dan juga saudara Hong Beng yang telah menolong kami tadi."
"Bagaimana kalian berdua dapat mengetahui bah-wa kami berdua menjadi tawanan di sana?"
tanya Bi Lan. Hong Beng lalu bercerita, betapa dia dan Kun Tek berjumpa di sebuah restoran dan mereka berdua sama-sama menghadapi pengeroyokan Bhok Gun dan Bi-kwi bersama anak buah
mereka. Mereka melari-kan diri dan mulailah mereka melakukan penyelidik-an tentang Hou Taijin, dan dengan jalan melakukan pengintaian, mereka melihat betapa Sim Houw dan Bi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
399 Lan digiring sebagai tawanan.
"Karena kami dapat menduga betapa bahayanya menjadi tawanan para iblis itu, maka kami segera mengambil keputusan untuk pada malam ini menyelundup ke gedung itu dan berusaha membebaskan kalian."
"Untung kalian datang tepat pada saatnya," kata Sim Houw. Mendengar betapa Pendekar Suling Naga itu memuji-muji dua orang pemuda itu, Bi Lan merasa tidak senang.
"Hendaknya kalian ketahui bahwa sebelum kalian datang, Sim-toako sudah berhasil membebaskan kami berdua dari pengaruh totokan dan belenggu kaki tangan. Kami memang sudah siap untuk melarikan diri dan tepat ketika terjadi keributan, kalian muncul."
"Dan memudahkan kami meloloskan diri, kata Sim Houw pula yang ingin menyembunyikan jasa sendiri akan tetapi hendak mengangkat jasa dua orang muda itu. "Akan tetapi, kami masih belum selesai dengan mereka. Aku harus merampas kembali Liong-siauw-kiam, sedangkan Lan-moi harus merampas kembali Ban-tok-kiam."
"Akan tetapi itu berbahaya sekali," kata Hong Beng sambil memandang wajah gadis yang pernah menolak cintanya itu. "Ban-tok-kiam dikuasai oleh Sai-cu Lama yang lihai sedangkan Liong-siauw-kiam telah dirampas Kim Hwa Nio-nio, apa lagi di sana kini terdapat Sam Kwi, kedudukan mereka menjadi semakin kuat."
"Betapapun besar bahayanya, aku harus mendapatkan kembali Ban-tok-kiam dan aku akan pergi bersama Sim-toako." kata Bi Lan
"Biar aku membantu kalian!" kata Hong Beng
"Aku juga!" kata Kun Tek.
"Paman Kun Tek dan saudara Hong Beng terimakasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, menyusup ke tempat seperti ini lebih baik berpencar, kata Sim Houw. Tiba-tiba dia berhenti bicara dan memberi isyarat kepada tiga orang temannya untuk diam. Mereka semua tak bergerak mencurahkan ketajaman pendengaran mereka. Lapat-lapat terdengar suara lirih di luar kuil itu.
"Omitohud...., harap sam-wi tidak mencurigai pinceng. Katakan saja pada nona yang kehilangan Ban-tok-kiam bahwa pinceng datang untuk membicarakan tentang pedang itu."
Mendengar suara itu, Bi Lan bangkit berdiri. "Ssttt, kalau tak salah....itu sura hwesio yang dulu mengejar Sai-cu Lama...."
"Benar.... dia seperti suara Tiong Khi Hwesio...." kata Hong Beng, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama Bi Lan dan pedang itu terampas oleh Sai-cu Lama kemudian muncul hwesio tua renta itu.
"Kalian masih mengenal suara pinceng" Bagus!" terdengar suara dari luar itu dan Sim Houw sendiri terkejut. Hwesio diluar itu sungguh memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya!"
Maka mereka berempat lalu menyambut keluar. Dan memang benar dugaan Bi Lan dan Hong Beng, diluar berdiri seorang hwesio tua yang berjubah kuning. Itulah Tiong Khi Hwesio, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
400 nama baru dari Wan Tek Hoat.
"Locianpwe hendak bicara dengan saya?" tanya Bi Lan sambil memandang tajam penuh perhatian. Bagaimanapun juga, ia belum mengenal orang ini dan tidak tahu hwesio ini seorang kawan ataukah seorang lawan.
"Locianpwe, silahkan masuk dan kita bicara didalam," kata Sim Houw yang tidak ragu-ragu lagi bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti.
Mereka lalu masuk ke ruangan belakang itu setelah tiga orang hwesio penjaga kuil dapat diyakinkan bahwa hwesio tua yang baru tiba ini memang mengenal para pendekar muda itu.
Setelah mengambil tempat duduk, hwesio tua itu berkata mendahului mereka.
"Pinceng sudah mendengar semua akan peristiwa yang terjadi di gedung markas Kim Hwa Nio-nio itu. Kalian adalah orang-orang muda yang berani dan pinceng merasa kagum sekali.
Pinceng sudah menge-nal dua orang di antara kalian." Dia menunjuk kepa-da Bi Lan.
"Engkau adalah murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng, para majikan Istana Gurun Pasir, dan engkau telah kehilangan Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu Lama. Dan engkau," dia menunjuk kepada Hong Beng, "engkau murid keluarga Pulau Es. Akan tetapi pinceng belum mengenal kalian dua orang muda yang lain. Murid-murid siapakah kalian?"
"Locianpwe, saya bernama Sim Houw dan guru-guru saya adalah mendiang ayah saya
sendiri yang bernama Sim Hong Bu dan suhu yang bernama Kam Hong," kata Sim Houw dengan sikap merendah.
"Wah, apakah Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas itu" Kalau begitu bukan orang lain, masih segolongan sendiri."
"Dan saya bernama Cu Kun Tek, guru saya adalah ayah saya sendiri yang bernama Cu Kang Bu. Sim Houw ini masih terhitung keponakan saya, dan kami tinggal di Lembah Naga Siluman."
"Kakek itu mengangguk-angguk. "Keluarga Cu memiliki nama besar. Sungguh pinceng girang sekali bahwa pinceng berkesempatan bertemu dengan orang-orang muda perkasa, yang mengingatkan pinceng akan masa muda pinceng dahulu. Orang-orang muda, pinceng sudah mendengar bahwa selain Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu Lama, juga pedang pusaka milik seorang diantara kalian telah dirampas Kim Hwa Nio-nio."
"Pedang Sim-toako ini yang dirampas, pedang itu adalah Liong-siauw-kiam dan oleh Sim-toako diserahkan begitu saja karena mereka mengancam akan membunuh saya yang sudah ditangkap lebih dahulu," kata Bi Lan
Hwesio itu mengangguk-angguk. "Tadi pinceng mendengar bahwa kalian hendak memasuki sarang itu untuk merampas pedang. Hal itu sama sekali tidak boleh dilakukan. Untuk menangkap harimau, orang harus memancing harimau-harimau itu keluar dari sarangnya, bukan memasuki sarang. Itu berbahaya sekali.
"Saya mengerti maksud locianpwe. Lalu bagai-mana baiknya" Saya harus merampas kembali Ban-tok-kiam," kata Bi Lan.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
401 "Ha-ha, andaikata engkau tidak ingin merampas kembali, aku tentu akan berusaha untuk mengambil kembali dari tangan pendeta palsu itu untuk dikembalikan kepada Wan Ceng,"
kata Tiong Ki Hwesio. "Pihak lawan amat kuat. Kalian tentu sudah tahu betapa lihainya Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio. Dan ditambah lagi dengan Sam Kwi, maka kekuatan di pihak mereka sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Itu semua masih ditambah lagi dengan pasukan pemerintah. Kalau sampai pasukan pemerintah dikerahkan, mana mungkin kita melawan pemerintah" Kita bisa dicap sebagai pemberontak dan akan berhadapan dengan balatentara pemerintah. Kita harus memakai akal dan membagi-bagi tugas. Aku akan memancing keluar mereka dari dalam sarang sehingga kita tidak mudah terkepung."
Empat orang muda itu serentak tunduk terhadap kakek ini yang kelihatan demikian tegas dan mantap dalam semua rencananya. Akan tetapi di tengah-tengah percakapan mereka, Bi Lan yang selalu ingin tahu dengan jelas memotong percakapan itu dan bertanya, "Maafkan dulu, locianpwe. Kini di antara kita telah terdapat suatu persekutuan untuk melawan musuh dan terus terang saja, kami orang-orang muda tunduk dan dapat menerima semua akal dan rencana locianpwe. Locianpwe telah mengenal kami semua, akan tetapi kami sebaliknya belum tahu benar siapa sesungguhnya locianpwe ini. Bukankah sudah waktu-nya bagi kami untuk mengenal siapa sebenarnya diri locianpwe?"
Mendengar ucapan gadis itu, tiga orang muda itu mengangguk-angguk membenarkan.
Memang mereka semua juga sudah menduga-duga siapa sesungguhnya kakek ini, akan tetapi mereka tidak seberani Bi Lan untuk menanyakannya. Mendengar ucapan gadis itu, Tiong Khi Hwesio tertawa. "Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu, kaum wanita lebih teliti dan lebih ingin tahu.
Akan tetapi memang sebaiknya demikianlah, karena kerja sama harus didasari saling percaya yang sepe-nuhnya. Bi Lan, kalau engkau ini murid dari nenek Wan Ceng, engkau harus menyebut aku susiok (pa-man guru) karena antara kami ada pertalian persau-daraan. Namun, sudah puluhan tahun aku memisah-kan diri ke barat sehingga antara kami tidak ada hu-bungan lagi."
"Ah, kalau begitu, mungkin saya dapat menebak siapa adanya locianpwe ini!" Hong Beng berseru dengan sepasang mata bersinar gembira. Murid ini di waktu senggang banyak mendengar cerita dari gu-runya tentang keluarga para pendekar Pulau Es, maka mendengar bahwa antara nenek Wan Ceng dan hwe-sio itu terdapat pertalian persaudaraan, diapun dapat menduga siapa orangnya.
"Benarkah kau dapat menebaknya siapa, Hong Beng?" Kun Tek bertanya, ikut gembira.
"Omitohud, agaknya murid keluarga Pulau Es banyak mendengar tentang diri pinceng.
Cobalah, barangkali tebakanmu tepat, orang muda." Hwesio itupun membujuknya.
"Sebelumnya harap locianpwe sudi memaafkan saya, akan tetapi bukankah locianpwe, seperti juga nenek Wan Ceng, masih terhitung keluarga Pulau Fs pula?"
Hwesio itu mengangguk sambil tersenyum. "Bo-leh dibilang begitulah, walaupun sebagai keluarga luar." "Kalau begitu, agaknya tidak keliru lagi bahwa locianpwe dahulu di waktu muda adalah pendekar yang berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat. yang
kemudian menikah dengan seorang puteri dari Bhutan dan...."
Cukuplah, anak baik. Tak pinceng sangkal, memang dahulu pinceng bernama Wan Tek Hoat, akan tetapi kini pinceng adalah Tiong Khi Hwesio, tidak punya apa-apa lagi, sudah habis Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
402 semua yang pernah pinceng miliki. Nah, tentu sekarang engkau lebih percaya kepadaku, bukan?" tanyanya kepada Bi Lan. Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan.
"Sejak tadipun aku sudah percaya kepada locianpwe, hanya ingin tahu saja. Kiranya locianpwe.... eh, susiok malah masih saudara dari subo."
"Nah, sekarang kalian semua perhatikan dengan baik-baik. Kita harus mengatur siasat yang sudah dircanakan baik-baik. Ketahuilah bahwa sebelum menghubungi kalian, pinceng sudah bertemu dengan keluarga Pulau Es yang kini telah berada di kota raja, yaitu Kao Cin Liong dan isterinya, juga Suma Ceng Liong dan isterinya."
Mendengar ini, empat orang muda itu menjadi girang dan mereka mendengarkan siasat yang direncanakan oleh kakek sakti itu dengan penuh perhatian. Dan mereka menganggap siasat itu baik sekali, untuk mempertemukan golongan sesat itu dengan para pen-dekar dan
mengadakan pertandingan perkelahian tan-pa campur tangan pemerintah.
*** Para penjaga gedung yang menjadi sarang Kim Hwa Nio-nio menjadi gempar ketika pada suatu pagi, mereka melihat sebatang pisau menancap di daun pin-tu gerbang dan pisau itu membawa sebuah sampul putih dengan tulisan berwarna merah, ditujukan ke pada Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio! Bergegas komandan jaga mengambil pisau dan sampul itu dan berlari-lari masuk menghadap Kim Hwa Nio-nio.
Nenek itu sudah duduk menghadapi hidangan makan pagi, lengkap dengan para temannya.
Di sini hadir Sai-cu Lama, ketiga Sam Kwi, Bhok Gun, Bi--kwi dan mereka kelihatan gembira. Malam tadi, ber-kat kelihaian Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, mereka telah berhasil menyingkirkan dua orang selir yang juga menjadi dua orang pengawal pribadi Hou Seng. Dua orang selir ini dianggap sebagai saingan oleh Kim Hwa Nio-nio, karena dua orang ini sering-kali mempengaruhi Hou Taijin dengan bisikan-bisik-an mereka. Ketika Suma Lian diserahkan sebagai hadiah oleh Sai-cu Lama kepada Hou Seng, dua orang selir ini yang membisikkan agar pembesar itu mene-rima saja, akan tetapi memperlakukan anak itu dengan baik-baik dan jangan diganggu, memperingatkan Hou Taijin bahwa Pendekar Pulau Es masih ada hubung-an keluarga dengan kaisar. Dan masih banyak nasi-hat-nasihat yang diberikan oleh dua orang selir itu, yang selalu diturut oleh Hou Seng. Oleh karena itu, Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama merasa bahwa mereka berdua itu merupakan saingan yang
mengkha-watirkan. Bagaimana kalau sekali waktu dua orang selir itu membisikkan agar Hou Taijin tidak mempercaya Kim Hwa Nio-nio dan teman-temannya lagi"
Dan kesempatan baik mereka peroleh ketika mereka memperkenalkan Sam Kwi kepada
pembesar itu. Malam itu, Hou Taijin berkenan menerima mereka bersama Sam Kwi untuk datang menghadap dan seperti biasa, Hou Taijin menyambut pembantu-pembantu baru yang berilmu tinggi itu dengan perjamuan makan. Dan seperti biasa pula, dua orang selir yang pandai ilmu siiat itu tak pernah meninggalkan Hou Taijin, seolah-olah menjadi bayangannya.
Setelah Sam Kwi diperkenalkan, Hou-Taijin me-rasa gembira sekali. Tiga orang dengan bentuk tubuh dan muka seperti itu, demikian menyeramkan, bah-kan mengerikan, tanpa diuji lagi dia sudah percaya bahwa mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Maka, Hou Taijin lalu berkata sambil tersenyum lebar, "Kedatangan sam-wi amat
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
403 meng-gembirakan hatiku dan kami ingin menyambut keda-tangan sam-wi dengan secawan arak!" Mendengar ucapan ini, seorang di antara dua selir merangkap pengawal pribadi itu lalu melayani majikan mereka dengan menuangkan secawan arak dari guci yang ter-sedia, ke dalam cawan pembesar itu yang sudah tersedia pula di atas meja. Juga Sam Kwi sambil ter-tawa mengisi cawan mereka dengan arak sampai penuh, kemudian mereka semua
mengangkat cawan arak masing-masing. Akan tetapi, sebelum cawan itu menempel di bibir Hou Taijin, Kim Hwa Nio-nio berseru, "Taijin, tahan!"
Secepat kilat, iapun menyambar cawan itu dari tangan Hou Seng, kemudian terdengar suara gaduh dan dua orang selir itu telah roboh dan tewas seketika karena mereka telah terkena pukulan maut dari Sai-cu Lama. Pukulan kedua tangan kakek itu tadi me-nyambar ganas dan tepat mengenai dada mereka, membuat mereka roboh tanpa dapat menjerit lagi, muka mereka menjadi agak kehitaman karena pukul-an tadi adalah pukulan beracun!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hou Taijin, Dia terbelalak. "Apa.... apa artinya ini....!"
Dia membentak, khawatir bahwa jangan-jangan para pembantunya ini mengadakan
pengkhianatan dan pemberontakan.
Akan tetapi hatinya lega karena sikap mereka ti-dak demikian. Kim Hwa Nio-nio berkata halus, "Harap paduka maafkan kelancangan kami, akan te-tapi kami telah menyelamatkan nyawa paduka dari pengkhianatan yang dilakukan oleh dua orang penga-wal pribadi paduka ini," kata Kim Hwa Nio-nio dan cawan arak tadi masih berada di tangannya.
"Apa" Mereka ini hendak berkhianat" Ah, hal itu tidak mungkin! Kalian tentu keliru. Mereka ada-lah selir-selirku yang setia!"
"Kim Hwa Nio-nio berkata benar, Taijin. Kami berdua melihat betapa tadi mereka
memasukkan bu-bukan putih ke dalam cawan paduka. Itu tentu racun yang amat jahat!" kata Sai-cu Lama. "Karena itu, selagi Kim Hwa Nio-nio mencegah paduka minum, saya
mendahului mereka dan membunuhnya agar ti-dak sempat menyerang paduka,"
Hou Taijin masih ragu-ragu dan ketika dia memandang kepada tiga orang tamu baru, Sam Kwi yang sudah tahu akan rencana teman-temannya, mengang-guk-angguk. "Kamipun
melihatnya," kata mereka. "Begini saja, Taijin. Tuduhan kami itu perlu
dibuktikan agar Taijin dapat percaya." Melihat pem-besar yang masih memandang mayat dua orang selir-nya dengan muka pucat, Kim Hwa Nio-nio lalu ber-teriak menyuruh dua orang pengawal cepat memba-wa dua ekor kucing ke situ.
Sebelum kucing yang diminta itu datang, Kim Hwa Nio-nio berkata, "Taijin, kalau taijin tidak percaya, boleh taijin periksa di saku atau ikat pinggang mereka, tentu mereka membawa sebotol kecil bu-bukan putih."
Dengan jari-jari tangan gemetar, pembesar itu memeriksa dan benar saja, di tubuh dua orang selirnya, masing-masing terdapat sebuah botol kecil berisi bubukan putih, yang
disembunyikan di dalam ikat pinggang mereka. Dia mengambil botol-botol itu dan
meletakkannya di atas meja. "Apakah ini?" tanya-nya, suaranya masih agak gemetar karena hatinya ma-sih diliputi ketegangan.
"Racun yang jahat sekali, taijin. Dan sebagian dari racun itu tadi ditaburkan ke dalam cawan taijin ini," kata pula Kim Hwa Nio-nio.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
404 Dua ekor kucing yang diminta itu datang. Kim Hwa Nio-nio membuka dengan paksa mulut kucing itu dan menuangkan arak dari cawan Hou Seng ke da-lam mulut kucing. Biarpun kucing itu meronta, percuma saja, arak itu telah memasuki perutnya. Dan seketika kucing itu berkelojotan dan tewas, tubuhnya berubah menghitam!
"Nah, apa akan jadinya kalau saya tadi tidak mencegah paduka minum arak dari cawan itu?"
kata Kim Hwa Nio-nio dan Hou Seng bergidik, kembali memandang kepada dua orang
selirnya, kini pandang matanya mulai mengandung kemarahan dan kebenci-an. "Mereka..
mereka nampaknya begitu baik, mencinta dan setia.... dan aku telah memberi segala-galanya, tapi.... tapi mengapa...."
"Tidak aneh, taijin. Musuh taijin banyak sekali dan agaknya mereka itu mampu merobah pendirian dua orang ini. Karena itu, taijin harus berhati-hati dan percayalah, selama ada kami, kami akan selalu melindungi taijin dari ancaman bahaya," kata Sai-cu Lama dengan suaranya yang halus.
Kini dari dua botol itu dituangkan bubuk putih ke dalam arak, lalu dituangkan dengan paksa ke da-lam mulut kucing ke dua dan akibatnya, kucing ini-pun kejang-kejang berkelojotan dan tewas seketika. Percayalah Hou Taijin dan dua mayat dan bangkai kucing itu lalu disingkirkan, dan perjamuan itu di-lanjutkan, walaupun Hou Taijin sudah kehilangan seleranya.
Demikianlah, peristiwa semalam itu tentu saja sudah diatur oleh komplotan Kim Hwa Nio-nio yang cerdik. Melalui para pelayan, mereka berdua mem-peroleh keterangan bahwa dua orang selir itu selalu membawa sebotol kecil racun. Racun ini selalu me-reka bawa karena mereka ingin membunuh diri de-ngan cepat kalau sekali waktu mereka itu terjatuh ke tangan musuh-musuh Hou Seng, sehingga mereka tidak usah menderita siksaan dan juga tidak ada ba-hayanya mereka akan membocorkan rahasia suami dan juga majikan mereka itu. Demikian besarnya kesetiaan mereka kepada Hou Seng. Akan tetapi jus-teru keterangan inilah yang memudahkan Kim Hwa Nio-nio mengatur siasat keji itu. Ketika Hou Seng hendak minum araknya, tentu saja di dalam arak itu tidak ada apa-apanya. Ia sengaja merampasnya untuk membuat suasana menjadi kalut dan memberi kesem-patan kepada Sai-cu Lama untuk
membunuh dua orang selir itu. Walaupun memiliki kepandaian silat yang lumayan, tentu saja dua orang selir itu sama sekali bukan tandingan Sai-cu Lama dan sama sekali tidak mampu menghindar ketika pukulan maut da-tang menyambar. Dan dalam kegaduhan ini, dengan mudah Kim Hwa Nio-nio memasukkan bubuk racun ke dalam cawan arak itu. Tentu saja ketika dimi-numkan kepada kucing, kucing itu tewas seketika. Dan botol bubuk racun itu benar saja ditemukan dan karena memang benda itu racun, ketika diminumkan kucing ke dua, binatang itupun mati!
Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya meng-anggap siasat itu berhasil dengan amat
baiknya. Dua orang selir yang mereka anggap saingan yang berba-haya itu, telah dapat mereka singkirkan, dan yang terpenting, Hou Seng agaknya percaya akan peng-khianatan selir-selirnya sehingga dengan demikian, semua kepercayaan pembesar itu tentu akan terjatuh ke tangan mereka! Untuk kemenangan ini, pada ke-esokan harinya, pagi-pagi mereka sudah merayakan kemenangan itu dengan sarapan pagi yang mewah.
Akan tetapi, kegembiraan mereka itu tergang-gu oleh datangnya pengawal yang dengan muka pucat menyerahkan pisau dan sampul. "Kami tidak tahu si-apa yang menancapkan pisau Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
405 itu di pintu gerbang, karena tahu-tahu ketika kami membuka pintu ger-bang, pisau itu sudah menancap di daun pintu, mem-bawa sampul itu." Demikian laporan pengawal itu.
Karena surat itu ditujukan kepada Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, nenek yang dianggap sebagai pimpinan kelompok pembantu Hou Taijin itu, segera membuka sampulnya dan mengeluarkan suratnya yang bertuliskan dengan tinta merah. Ternyata surat itu adalah tantangan untuk pi-bu (mengadu ilmu silat), seperti yang biasa dilakukan di dunia persilatan.
Yang menantang adalah Tiong Khi Hwesio yang me-nantang Sai-cu Lama, dan Sim Houw menantang Kim Hwa Nio-nio. Pada hari itu lewat tengah hari, dua orang penantang itu menunggu di tepi hutan di se-belah utara pintu gerbang kota raja!
"Heemmm.... keparat!" Kim Hwa Nio-nio memaki dengan muka merah dan melemparkan
surat itu kepada Sai-cu Lama. Pendeta ini membacanya dan diapun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Tiong Khi Hwesio sudah mengejarku sampai di sini" Ha-ha-ha, dia memang sudah bosan hidup. Dengan Ban-tok-kiam di tangan, dia pasti akan mampus di tanganku sekali ini!" Sambil tertawa-tawa, Sai-cu Lama menyerahkan surat itu kepada Iblis Mayat Hidup yang duduk di sebelahnya. Sam Kwi membaca surat itu bergantian, kemudian Bhok Gun dan Bi-kwi juga membacanya. Ketika surat itu kembali ke tangan Kim Hwa Nio-nio, Iblis Akhirat, si cebol dari Sam Kwi, yang melihat betapa Kim Hwa Nio-nio tidak gembira, berkata, dan suaranya lantang membuyarkan ketegangan yang timbul oleh surat itu.
"Suci, tak usah takut menghadapi Sim Houw itu. Bukankah Liong-siauw-kiam sudah berada di tangan-mu" Dan kamipun akan membantumu."
Kim Hwa Nio-nio mengerutkan alisnya. "Siapa bilang aku takut menghadapi orang muda itu" Akan tetapi, aku khawatir kalau-kalau surat tantangan ini hanya suatu perangkap belaka untuk memancing ha-rimau keluar dari sarang!"
"Ha-ha-ha!" Sai-cu Lama tertawa gembira. "Harimau tetap harimau, di dalam maupun di luar sarang, kita tetap berani dan menang!"
"Apakah engkau akan mengabaikan saja tantang-an pi-bu ini, suci?" tanya Iblis Akhirat dengan kha-watir, karena mengabaikan tantangan pi-bu amat mencemarkan nama seorang datuk persilatan.
"Pinceng pasti datang memenuhi tantangan Tiong Khi Hwesio, ha-ha!" Sai-cu Lama masih tertawa-ta-wa memandang rendah lawannya. Dan diapun memi-liki alasannya untuk
memandang rendah. Bukankah dia dahulu kalah oleh Tiong Khi Hwesio dalam per-kelahian yang seimbang dan setelah berjalan lama baru akhirnya dia kalah" Kalau kini dia mengguna-kan pedang Ban-tok-kiam, dia merasa yakin akan dapat mengalahkan lawannya itu.
"Mengabaikan tantangan pibu tidak mungkin, akan tetapi...." Kim Hwa Nio-nio masih kelihatan ragu-ragu.
"Kalau kita semua pergi bertujuh, walau andaika-ta mereka itu membawa teman-teman, kita tidak per-lu takut," kata pula Iblis Akhirat membesarkan hati sucinya.
"Aku mengerti akan kekhawatiran subo," tiba-tiba Bhok Gun berkata. "Dan memang
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
406 kekhawatiran itu beralasan. Penantang kita adalah musuh-musuh dan bisa saja mereka menggunakan pi-bu ini sebagai pancingan untuk menjebak kita. Akan tetapi, subo, justeru kita harus dapat memanfaatkan keadaan dan mengambil keuntungan dari perangkap yang mereka pasang ini."
"Eh" Maksudmu bagaimana?" tanya Kim Hwa Nio-nio kepada muridnya yang cerdik itu.
"Mereka menggunakan muslihat memancing hari-mau keluar sarang" Baik, kita keluar! Akan tetapi diam-diam aku akan menghubungi Coa-ciangkun agar dikerahkan pasukan sebanyak seratus orang untuk mengepung tempat itu dan begitu lawan berkumpul dan kita hendak dijebak, kita kerahkan pasukan un-tuk menangkap mereka semua. Dengan demikian berarti perangkap kita menghancurkan perangkap mereka."
Sai-cu Lama mengangguk-angguk. "Wah, Nio-nio, muridmu ini boleh juga!"
Semua orang menyatakan kagum dan Kim Hwa Nio-nio dapat menerima usul itu. Mereka melanjut-kan makan minum sambil menyusun rencana untuk menghadapi pihak lawan yang mengajukan tantangan.
Tempat yang dipilih dalam surat tantangan pi-bu itu memang sunyi sekali. Di luar kota raja sebelah utara terdapat sebuah hutan yang lebat, dan di luar hutan ini terdapat lapangan rumput. Kalau musim semi tiba dan rumput di situ gemuk sekali, banyak penggembala ternak membawa ternaknya ke situ un-tuk makan rumput. Akan tetapi pada waktu itu, rum-put di situ gundul dan kering maka tidak ada seo-rangpun pengembala mau membawa ternaknya ke tempat itu dan keadaan di situ amat sunyi.
Matahari amat cerahnya dan cahayanya yang pa-nas menimpa segala yang nampak di
permukaan bu-mi, memberi kehidupan yang segar. Kita adalah mah-luk-mahluk yang sama sekali tidak dapat menikmati berkah yang berlimpahan dalam kehidupan ini. Satu di antara berkah-berkah yang berlimpahan adalah si-nar matahari! Tanpa sinar matahari, kita dan segala sesuatu di permukaan bumi ini akan mati! Sinar ma-tahari menyehatkan,
menghidupkan, dan memberi segala yang menjadi kebutuhan mutlak kita. Memberi panas, kehangatan, penerangan, kenikmatan yang tiada habis-habisnya. Namun, hanya sedikit di antara kita dapat menikmatinya. Segala keindahan yang ter-bentang di depan kita hidup karena sinar matahari. Bahkan pandang mata kita takkan ada artinya tanpa sinar matahari.
Sedikit saja di antara kita yang dapat menghirup berkah melimpah ini dengan sepuasnya mereguknya dan menikmatinya. Dan yang sedikit itu pun hanya dapat menikmatinya jarang sekali, di waktu mereka teringat saja. Dan di samping sinar matahari, masih banyak sekali berkah itu, seperti hawa udara, air, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Namun otak ini sudah terlalu penuh dengan persoalan-persoalan, dengan masalah-masalah yang kita buat sendiri sehingga hidup di dunia yang begini indah penuh berkah ini tak terasa lagi sebagai suatu keindahan melainkan berubah menjadi neraka karena kita terbenam ke dalam duka dan sengsara oleh problema-problema buatan kita sendiri itu.
Bayangan makin memendek mendekati kaki, tanda bahwa matahari sudah naik semakin tinggi. Tengaharipun terlewat dan tak lama kemudian, tempat yang sunyi itu berubah dengan munculnya beberapa orang di lapangan rumput itu. Yang muncul adalah seorang kakek tua renta yang berjubah pendeta hwesio dan berkepala gundul, bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sederhana. Mereka ini adalah Tiong Khi Hwesio dan Sim Houw, dua orang penantang pi-bu itu!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
407 Belum lama kedua orang penantang ini muncul di lapangan rumput yang luas, nampak bermunculan Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, diiringkan oleh Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi! Kim Hwa Nio-nio tersenyum mengejek, hatinya girang sekali karena kini nenek itu tidak khawatir akan terjebak pihak musuh. Ada seratus duapuluh orang pasukan sejak pagi tadi bersembunyi di dalam hutan itu, siap untuk menyer-bu setiap saat mereka dibutuhkan!
Bahkan Coa-ciangkun sendiri, perwira tinggi yang menjadi sekutu Hou Seng Taijin, memimpin pasukan itu. Tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan. Dan tentang pi-bu itu sendiri, iapun tidak takut. Andaikata kemu-dian ternyata bahwa ia tidak mampu menandingi orang muda she Sim itu, di sebelahnya masih ada Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi yang tentu tidak akan tinggal diam. Apa lagi ketika melihat bahwa yang muncul hanya dua orang penantang itu, Kim Hwa Nio-nio tersenyum mengejek.
"Ha-ha-ha-ha!" Sai-cu Lama tertawa bergelak setelah berhadapan dengan Tiong Khi Hwesio.
"Ki-ranya engkau sampai juga ke sini. Tiong Khi Hwesio, mau apakah engkau jauh-jauh menyusulku dari Tibet, kemudian mengajukan tantangan pi-bu itu?"
Tiong Khi Hwesio memandang tajam kepada la-wannya. "Sai-cu Lama, pinceng
berkewajiban untuk menangkapmu karena engkau telah membunuh dua orang pimpinan
Lama. Dahulu pinceng merasa kasih-an dan membebaskanmu, akan tetapi engkau tidak mengubah kelakuan yang buruk, bahkan menimbul-kan kekacauan di mana-mana."
"Menangkap aku" Ha-ha-ha, jangan sesombong itu, Tiong Khi Hwesio. Dahulupun, setelah berkelahi mati-matian sampai ribuan jurus, baru engkau dapat sedikit mengungguli aku. Akan tetapi sekarang, ja-ngan harap lagi! Aku bahkan akan membunuhmu di sini, ha-ha!" Berkata demikian, Sai-cu Lama meng-gerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar ber-kelebat dan berkilat ketika sebatang pedang yang mengandung hawa menyeramkan telah dicabutnya.
Itulah Ban-tok-kiam! "Omitohud, kejahatanmu semakin meningkat saja, Sai-cu Lama. Engkau menggunakan
pedang yang kau-rampas dari orang lain. Dan justeru karena pedang itulah maka pinceng semakin bersemangat untuk me-ngejarmu. Selama ini pinceng pantang memperguna-kan senjata, akan tetapi sekali ini terpaksa, omitohud,....! " Dan ketika tangan Tiong Khi Hwesio bergerak ke bawah jubahnya, dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengandung hawa sedemikian menyeramkan sehingga semua orang merasakan ini. Bahkan Sam Kwi sendiri bergidik ketika melihat pedang itu. Tidak mengherankan karena kini Tiong Khi Hwesio mengeluarkan senjata pusakanya yang selama ini disembunyikannya saja, yaitu pedang pu-saka yang bernama Cui-beng-kiam (Pedang Pencabut Nyawa)! Pedang pusaka ini dahulu milik seorang datuk sesat seperti iblis yang menjadi penghuni Pulau Neraka bernama Cui-beng Koai-ong (Raja Setan Pe-ngejar Nyawa), sebatang pedang yang luar biasa am-puhnya dan menjadi lawan yang kuat sekali dari Ban-tok-kiam.
Sementara itu, Kim Hwa Nio-nio sudah berhadap-an dengan Sim Houw. "Hemm, orang
muda, engkau berhasil meloloskan diri dan sekarang datang meng-antar nyawa, sungguh lucu sekali. Dengan Liong-siauw-kiam di tanganku, bagaimana engkau akan mampu menandingi aku?" Nenek itu mencabut Liong-siauw-kiam yang dipegangnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kebutannya. Sepasang senjata ini memang membuat Kim Hwa Nio-nio menjadi semakin lihai bukan main.
"Senjata pusaka itu milikku dan engkau merampasnya dengan cara licik. Akan tetapi, jangan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
408 mengi-ra aku takut menghadapimu, Kim Hwa Nio-nio." Berkata demikian, kedua tangan Sim Houw bergerak dan dia telah mengeluarkan sepasang senjata, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang yang juga memiliki sinar yang menyeramkan sekali. Pedang di tangan kanannya itu bukan lain adalah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman). Mudah saja diduga dari mana Sim Houw memperoleh sepasang senjata ini. Cu Kun Tek telah menyerahkan dan me-minjamkan sepasang senjata, yang tadinya memang menjadi milik Sim Houw dan dikembalikannya kepa-da keluarga Cu itu, kepada pendekar ini, meminjam-kannya agar Sim Houw dapat menandingi nenek yang memegang Liong-siauw-kiam.
Seperti juga Sai-cu Lama yang terkejut melihat betapa lawannya mempunyai sebatang pedang pusaka yang kelihataanya ampuh itu, Kim Hwa Nio-nio tercengang melihat lawannya kini memegang sepasang senjata suling emas dan pedang pusaka berkilauan dan memiliki hawa yang demikian menyeramkan. Diam-diam ia merasa jerih dan mengerling ke arah Sam Kwi, sebagai tanda kepada tiga orang sutenya itu agar bersiap-siap membantunya.
"Heh-heh, sudah lama aku mendengar nama Pen-dekar Suling Naga, dan kesempatan ini takkan kusia-siakan!" kata Iblis Akhirat dan tiba-tiba saja tangan-nya bergerak. Sinar terang berkelebat meluncur dari tangannya, menyambar ke arah Sim Houw. Itulah Toat-beng Hui-to (Golok Terbang Pencabut Nyawa), yang secara curang telah dipergunakan oleh Im-kan Kwi, orang pertama dari Sam Kwi itu. Akan tetapi, Sim Houw telah mendengar banyak tertang kelihaian dan kecurangan tiga orang yang dia dapat menduga adalah Sam Kwi ini, maka dia telah bersikap waspa-da sejak tadi. Dia dapat menundukkan kepala meng-elak dan golok itu terbang di atas kepalanya, lalu kembali kepada pemiliknya! Diam-diam Sim Houw terkejut.
Ilmu melempar golok yang hebat, pikirnya, dan berbahaya sekali. Golok yang dapat terbang kem-bali seperti itu dapat dipergunakan berkali-kali. Dia sudah sering mendengar cerita Bi Lan tentang kehe-batan tiga orang iblis ini.
"Hemm, kiranya Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama hanya berani menerima tantangan
karena mengandalkan banyak lawan," kata Sim Houw mengejek.
"Omitohud, sudah pinceng duga bahwa kalian akan bertindak curang. Kalian datang bertujuh, maka sudah sepatutnya kalau kamipun keluar bertujuh!" Dan kakek ini tiba-tiba saja mengeluarkan suara me-lengking panjang dan dari balik batu-batu besar bermunculan lima orang yang dengan cepatnya berlari menuju ke padang rumput itu.
Kim Hwa Nio-nio dan teman-temannya cepat memandang. Yang muncul itu lima orang, akan tetapi mereka hanya mengenal seorang di antara mereka, yaitu Bi Lan. Adapun empat orang lainnya adalah Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng! Dua pasang suami isteri inilah yang telah bertemu dengan Tiong Khi Hwesio dan mereka segera diajak berun-ding untuk bersama-sama menghadapi gerombolan datuk sesat yang menjadi kaki tangan Hou Seng.
Seperti telah kita ketahui, Suma Ceng Liong dan isterinya. Kam Bi Eng yang kematian nenek Teng Siang In dan kehilangan puteri mereka, Suma Lian, tidak sempat mendengar dari Hong Beng, siapa ada-nya kakek yang menculik puteri mereka ini. Akan tetapi mereka mengenal luka yang diakibatkan oleh pedang Ban-tok-kiam, maka mereka lalu melakukan perjalanan cepat pergi mengunjungi keluarga Kao, yaitu penghuni Istana Gurun Pasir di luar Tembok Besar. Dari nenek Wan Ceng, mereka mendengar bahwa pedang itu tadinya oleh nenek Wan Ceng dipinjamkan kepada muridnya, yang juga menjadi murid Sam Kwi. Akan tetapi nenek Wan Ceng memperkuat keyakinannya bahwa muridnya itu tidak mung-kin melakukan
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
409 kejahatan, dan ia mengkhawatirkan bahwa pedang itu telah terampas oleh orang jahat dari tangan muridnya. Setelah mendengar penuturan ne-nek Wan Ceng tentang pedang Ban-tok-kiam, suami isteri itu kembali ke selatan dan sampai di kota raja. Mereka hendak mengunjungi Kao Cin Liong untuk minta bantuannya, akan tetapi kebetulan sekali Kao Cin Liong dan Suma Hui juga baru saja tiba di kota raja dan mereka bertemu di perjalanan.
Pertemuan mereka yang mengharukan di tengah jalan itu menarik perhatian seorang kakek hwesio yang bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio. Wajah Suma Ceng Liong yang mirip dengan wajah Suma Kian Bu di waktu muda, menarik perhatiannya dan melihat sikap dan gerakan mereka, Tiong Khi Hwesio dapat mengetahui bahwa empat orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka diapun segera meng-hubungi mereka dan memperkenalkan diri sebagai Tiong Khi Hwesio yang dahulu pernah bernama Wan Tek Hoat. Tentu saja nama ini amat dikenal oleh Suma Ceng Liong dan Suma Hui, dan mereka lalu mengadakan
perundingan. Girang hati Suma Ceng ketika mendengar dari kakek ini bahwa yang
mempergunakan pedang Ban-tok-kiam adalah seorang pendeta Lama bernama Sai-cu Lama.
Apa lagi setelah mereka berempat itu dipertemukan dengan Hong Beng, Kun Tek dan terutama Bi Lan. Mereka dapat mendengar secara jelas segala hal mengenai Sam Kwi -dan Sai-cu Lama. Dan mereka bersama-sama lalu mengadakan perundingan, dipimpin oleh Tiong Khi Hwesio yang mengatur siasat. Mereka itu merupakan sekelompok kecil anggauta keluarga para pendekar Pulau Es, kecuali Cu Kun Tek dan mereka membagi-bagi tugas.
Melihat munculnya lima orang itu, Sam Kwi, Bi-kwi dan Bhok Gun cepat menyambut
mereka. Se-suai dengan tugas mereka, Kao Cin Liong menghadapi Iblis Akhirat, Suma Ceng Liong menghadapi Raja Iblis Hitam, Kam Bi Eng yang sudah siap dengan suling emasnya menghadapi Iblis Mayat Hidup, Bhok Gun dihampiri oleh Suma Hui sedangkan Bi-kwi di-hadapi Bi Lan! Kini mereka benar-benar melakukan pi-bu satu lawan satu dan semua ini sudah diperhitungkan oleh keluarga Pulau Es itu!
Sam Kwi yang tidak mengenal lawannya, meman-dang rendah. Terutama sekali Im-kan Kwi (Iblis Akhirat), orang pertama dari Sam Kwi, ketika melihat majunya seorang laki-laki setengah tua yang tidak- begitu mengesankan, memandang rendah. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah Kao Cin Liong, bekas panglima yang amat terkenal di kota raja, putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! "Ha-ha-ha, kalian ini semua sudah bosan hi-dup, mengantar nyawa untuk mati konyol!" Berkata demikian, Ibiis Akhirat ini membuka perkelahian satu lawan satu itu dengan serangannya yang ganas, yaitu dengan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang) menubruk ke arah Cin Liong. Melihat lawan maju dan menyerang sembarangan dengan tangan kanan dibarengi pengerahan tenaga sinkang yang membuat tangan itu berdesing seperti senjata tajam, Cin Liong yang sudah mendengar tentang si cebol ini dari Bi Lan, menyambut dengan tangkisan dan un-tuk mengadu tenaga, diapun mengerahkan sin-kangnya yang istimewa, pelajaran dari Istana Guruu Pasir.
"Desss....!" Dan Iblis Akhirat mengeluarkan pekik kaget karena tangkisan itu bukan saja mampu menangkis serangan Kiam-ciang, akan tetapi bahkan dia merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat seperti bertemu dengan baja yang le-mas namun kuat sekali.
Dan ternyata Iblis Akhirat tidak menyendiri da-lam kekagetannya. Raja Iblis Hitam yang menyerang Ceng Liong, membuka serangan dengan memperguna-kan jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, tangan kirinya mencengkeram dan lengannya mulur panjang mele-wati kepala lawan, lalu dari belakang tubuh lawan, lengan itu membalik dan tangannya mencengkeram ke Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
410 arah kepala Ceng Liong! Cucu Pendekar Super Sakti ini sudah mendengar pula dari Bi Lan tentang ilmu kepandaian si Raja Iblis Hitam, bahkan Bi Lan sudah mendemonstrasikan semua ilmu tiga orang gu-runya, maka diapun tidak terkejut melihat lengan yang dapat mulur memanjang itu. Dia membalik dan menangkis, mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang.
"Dukk....!" Dan seperti juga rekannya, Raja Iblis Hitam yang tinggi besar ini mengeluarkan teriak-an kaget dan cepat menarik kembali lengan kirinya yang mulur tadi karena tangkisan lawan itu bukan saja membuat pukulannya membalik dan tangannya terpental, akan tetapi seluruh lengannya merasa di-ngin seperti dimasuki air es! Dia terkejut dan mak-lum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar Pulau Es, maka diapun tidak berani main-main lagi.
Sama saja kekejutan yang dialami oleh Iblis Ma-yat Hidup. Kakek yang seperti tengkorak hidup ini-pun tadinya memandang ringan kepada Kam Bi Eng, wanita yang masih nampak cantik jelita dalam usianya yang tigapuluh dua tahun itu. Seorang wanita yang hanya bersenjatakan sebatang suling emas! Maka dia ingin menangkap wanita ini hidup-hidup, dan sudah menubruk dengan Ilmu Hun-kin Tok-ciang untuk membikin putus otot kedua pundak lawan dan sekali-gus membekuknya. Seperti juga suaminya, Kam Bi Eng sudah mempelajari lebih dahulu ilmu-ilmu dari calon lawannya. Diketahuinya sudah bahwa lawannya ini selain memiliki Sam Kwi Cap-sha-ciang seperti yang lain, juga paling ahli dalam penggunaan Kiam Ciang, dan memiliki ilmu silat yang berbahaya, yaitu Hun-kin Tok ciang. Kini, melihat datangnya serangan, ia mengenai jurus Hun-kin Tok-ciang dan cepat ia sudah memutar sulingnya. Terdengar suara melengking-lengking dan tahu-tahu lengan kanan Iblis Ma-yat Hidup sudah tertangkis, sedangkan lengan kirinya tiba-tiba menjadi kejang karena serangannya disambut -oleh totokan yang cepat sekali datangnya dari suling yang menangkis lengan kanan tadi, mengenai tepat pada pergelangan tangannya dan membuat lengan itu menjadi kejang. Dia menahan pekiknya akan tetapi melangkah mundur untuk mengurut lengan kirinya, lalu maju lagi menyerang dengan Kiam-ciang, bertubi--tubi dan dengan marah sekali.
Bhok Gun yang dihadapi Suma Hui terkejut bu-kan main dan segera dia mengerti bahwa wanita ini bukan lawannya! Wanita ini memiliki pukulan-pu-kulan yang mengandung hawa panas sekali ,sepert-i api, dan ketika menangkis mengenai lengan kirinya ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam lengannya! Hampir saja dia melepaskan pe-dangnya, dan dia cepat melompat mundur dengan mata terbelalak. Suma Hui tersenyum mengejek dan ialah yang kini menerjang mendesak lawannya cepat memutar pedangnya melindungi tubuh.
Bi-kwi seoranglah yang agaknya menemukan tandingan yang seimbang. Akan tetapi ia menjadi sema-kin penasaran saja karena semua serangannya terha-dap Bi Lan atau Siauw-kwi yang ketika kecil menjadi -muridnya ini, dapat dihindarkan oleh Bi Lan, bahkan Bi Lan membalas dengan tidak kalah sengitnya! Dua orang ini, ketika mempergunakan ilmu silat dari Sam Kwi, nampaknya seperti orang berlatih saja karena gerakan mereka sama, dan kelincahan mereka berim-bang. Bi-kwi menjadi semakin penasaran dan sambil mencoba untuk mendesak sumoinya, ia berteriak-teriak memaki dan menghina, disambut oleh Bi Lan sambil tersenyum saja. Memang ialah yang minta kepada Tiong Khi Hwesio agar diperbolehkan mengha-dapi sucinya, karena ia sudah hafal akan semua ilmu sucinya, dan iapun tahu bagaimana caranya untuk menghadapi dan melawannya. Ada sedikit kelebihan pada diri Bi-kwi, yaitu ia lebih matang dalam hal ilmu-ilmu dari Sam Kwi dibandingkan sumoinya. Akan tetapi kekurangan Bi Lan ini tertutup oleh ilmu-ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang pernah dila-tihnya, bahkan ilmu-ilmu ini akan membuat Bi-kwi bingung kalau dikeluarkan oleh Bi Lan.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
411 Sementara itu, Kim Hwa Nio-nio sudah terlibat dalam perkelahian yang amat hebat dan seru melawan Sim Houw. Liong-siauw-kiam di tangan nenek itu memang membuatnya semakin lihai. Kebutan di ta-ngan kirinya itu sudah berbahaya sekali, ujung bulu kebutan yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku seperti batangan-batangan baja itu menyambar-nyambar ganas dan setiap ujung bulu kebutan itu da-pat menghancurkan otot atau jalan darah dapat ditotoknya. Ini semua masih ditambah lagi dengan pe-dang suling yang menyambar-nyambar seperti seekor naga. Akan tetapi, dalam hal penggunaan Liong-siauw-kiam ini, nenek Kim Hwa Nio-nio hanya dapat memanfaatkan ketajamannya saja, dan lubang-lubang pada pedang itu hanya mengeluarkan suara mende-ngung panjang, tidak seperti kalau Sim Houw yang memainkannya. Biarpun demikian, karena pedang suling itu bekerja sama dengan kebutan, nenek itu benar-benar merupakan lawan yang berbahaya dan kuat sekali. Namun, Sim Houw telah memperguna-kan sepasang senjata yang memang menjadi senjata istimewanya sebelum dia memiliki pedang suling. Ki-ni pedang di tangan kanannya berkelebatan dan mengaung-ngaung seperti seekor naga mengamuk, se-dangkan suling emas di tangan kiri mengeluarkan suara melengking-lengking, lebih kuat malah dari pa-da lengking suara suling yang keluar dari suling emas di tangan Kam Bi Eng, sumoinya yang menghadapi Iblis Mayat Hidup, seorang di antara Sam Kwi. Dan dengan sepasang senjata yang ampuh ini, Sim Houw dapat menandingi dan mengimbangi permainan sepa-sang senjata Kim Hwa Nio-nio sehingga mereka terlibat dalam pertandingan yang amat seru.
Perkelahian antara Sai-cu Lama dan Tiong Khi Hwesio agaknya merupakan perkelahian yang paling hebat di antara mereka. Dua orang kakek ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, dan keduanya memiliki tenaga sin-kang yang sudah matang, juga pengalaman berkelahi puluhan tahun lamanya. Lebih lagi, kini keduanya mempergunakan pedang pusaka yang amat ampuh dan baru sinar pedangnya saja su-dah cukup untuk menggentarkan hati lawan. Kalau tadinya Sai-cu Lama mengandalkan keampuhan Ban-tok-kiam sehingga dengan senjata ampuh itu dia da-pat menebus kekalahannya yang sedikit dari Tiong Khi Hwesio, kini harapannya itu kandas. Ternyata pedang pusaka di tangan lawan itu tidak kalah am-puhnya, bahkan kini Tiong Khi Hwesio memainkan ilmu pedang yang amat aneh dari Pulau Neraka, mem-buat Sai-cu Lama repot dan harus melindungi diri kuat-kuat. Dengan demikian, dia mulai terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Berat-lah melawan kakek yang menggunakan pedang Cui-beng-kiam dengan Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan
didasari dengan tenaga Inti Bumi, semacam sin-kang yang hebat dari Pulau Neraka.
Hebat bukan main perkelahian yang terjadi di luar hutan, di padang rumput yang sunyi itu.
Yang terde-ngar adalah sambaran-sambaran senjata yang berde-singan, bentrokan-bentrokan senjata dan teriakan-teriakan yang mengiringi suatu serangan. Akan tetapi lebih-lebih dari itu semua, dua suara suling meleng-king-lengking seperti ditiup terdengar, yaitu dari su-ling emas yang digerakkan oleh Kam Bi Eng dan yang digerakkan oleh Sim Houw. Biarpun Kam Bi Eng adalah puteri Pendekar Suling Emas Kam Hong, na-mun dalam hal memainkan suling emas, ia masih ka-lah matang dibandingkan suhengnya, Sim Houw. Dua batang suling yang berkelebatan seperti naga itu sela-in mengeluarkan hawa pukulan yang hebat, mengintai nyawa lawan, juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup dan dimainkan saja.
Yang paling repot di antara gerombolan datuk sesat itu adalah Bhok Gun. Dia diserang dan didesak oleh Suma Hui yang kini sudah mengeluarkan senja-tanya pula, yaitu sepasang pedang! Padahal tadi, de-ngan kedua tangan kosong saja ia masih mampu mengatasi pedang lawan. Karena jengkel tak dapat segera mengalahkan lawan, Suma Hui telah mencabut sepasang pedangnya dan kini ia mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
412 yang luar biasa ganasnya. Bhok Gun terkejut dan dia terus didesak mundur oleh lawan. Hal ini sungguh sama sekali di luar perhitungan Bhok Gun. Ketika berang-kat, Kim Hwa Nio-nio begitu yakin bahwa mereka bertujuh akan mampu mengalahkan lawan tanpa perlu bantuan pasukan. Akan tetapi sekarang, ternyata mereka menghadapi tujuh orang lawan yang demikian tangguhnya sehingga mereka semua terdesak. Maka, Bhok Gun segera
mengeluarkan suara teriakan tiga kali. Mendengar ini, Kim Hwa Nio-nio yang juga terdesak dan maklum bahwa dari teman-temannya ia tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka sendiripun terdesak, segera bersuit tiga kali.
Teriakan Bhok Gun dan suitan gurunya itu me-rupakan isyarat bagi pasukan yang
bersembunyi di dalam hutan untuk bergerak. Terdengar sorak-sorai dan seratus duapuluh orang perajurit keluar dari dalam hutan menuju ke padang rumput. Akan tetapi, pada saat itu, nampak seorang laki-laki tinggi besar berlari-lari mendahului para perajurit ke arah padang rumput dan di belakangnya ikut berlari Hong Beng dan Kun Tek! Ketika tiba di dekat padang rumput, panglima itu dibawa meloncat oleh Hong Beng ke atas sebuah batu besar. Panglima itu mengeluarkan se-buah sempritan dari saku bajunya dan meniup alat ini berkali-kali.
Mendengar itu, para perajurit menahan langkah mereka dan hanya mengurung tempat perkelahian itu, dan semua perajurit itu memandang ke arah orang berpakaian panglima itu dengan bingung.
"Berhenti di tempat! Dilarang bergerak mencam-puri perkelahian!
Mendengar teriakan ini, tentu saja para perajurit tidak berani bergerak. Yang mengeluarkan perintah itu adalah Coa-ciangkun, komandan mereka sendiri! Ketika tadi mereka membuat persiapan di dalam hu-tan, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok dari masing-masing kelompok mempunyai seorang perwira atau kepala kelompok. Dan kini, para kepala
kelom-pok itu sendiri menjadi bingung dan cepat memberi aba-aba agar anak buahnya jangan bergerak. Mereka terkejut dan merasa heran akan perintah dari koman-dan mereka itu.
Tentu saja Kim Hwa Nio-nio menjadi lebih kaget lagi. "Coa-ciangkun, cepat bergerak menangkap pemberontak-pemberontak ini!" teriaknya sambil terus memutar sepasang senjatanya melindungi tubuhnya dari desakan Sim Houw.
"Kim Hwa Nio-nio, kami tidak melihat adanya seorangpun pemberontak. Mereka adalah para pen-dekar, keluarga dari para pendekar Pulau Es! Karena perkelahian ini adalah urusan pribadi dan tidak menyangkut pemerintah, kami tidak mau campur tangan. Seluruh pasukan mundur....!" Sempritan itu ditiupnya beberapa kali sebagai isyarat agar pasukan-nya mundur.
Para perwira juga cepat memberi aba--aba dan pasukan itupun mundur kembali ke dalam hutan!
Semua ini adalah hasil rencana yang matang dari Tiong Khi Hwesio. Dia dapat menduga bahwa orang-orang licik seperti Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu La-ma, untuk mencari kemenangan, tentu bukan hanya membawa semua temannya, melainkan juga mengan-dalkan bantuan pasukan pemerintah. Perhitungannya itu tepat ketika pagi hari itu, para pendekar melihat masuknya pasukan yang seratus orang lebih besarnya ke dalam hutan dengan cara sembunyi. Mereka itu agaknya keluar dari pintu gerbang timur, lalu meng-ambil jalan memutar ke utara dan memasuki hutan itu dari timur. Melihat ini, Hong Beng dan Kun Tek segera melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Tiong Khi Hwesio kepada mereka berdua.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
413 Dua orang pendekar muda ini menyusup ke da-lam hutan, mendekati tempat persembunyian para perajurit. Ketika mereka melihat betapa Coa-cianq-kun sedang memberi perintah dan keterangan dan perintah kepada para pembantunya, mereka hanya mengintai saja. Sampai Coa-ciangkun selesai memberi perintah pasu-kan itu dibagi menjadi enam kelompok, masing-ma-sing dikepalai oleh seorang perwira, dan panglima itu mengundurkan diri beristirahat ke dalam sebuah pondok darurat yang dibuat oleh anak buahnya, barulah mereka berdua turun tangan. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mudah saja bagi Hong Beng dan Kun Tek untuk menyergap dan membuat para pera-jurit yang berjaga di belakang pondok tiba-tiba saja roboh pingsan tanpa mengetahui apa yang menimpa diri mereka. Totokan-totokan yang dilakukan dua orang pendekar itu membuat enam orang perajurit roboh terkulai dan seperti orang tidur saja. Mereka lalu membongkar dinding belakang pondok darurat itu dan masuk ke dalam.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Coa-ciangkun ketika tiba-tiba ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan pembaringannya selagi dia beristirahat. Se-belum dia sempat berteriak, Kun Tek sudah meno-dongkan sebatang pisau belati ke arah dada pembesar militer itu dan Hong Beng cepat menotok urat gagu-nya dan membuat tubuh pembesar itu lemas.
Kemu-dian, dua orang pemuda itu membawa tubuh Coa-ciangkun keluar pondok melalui pintu belakang, dan terus membawanya jauh ke dalam hutan, tempat yang memang sudah mereka persiapkan. Di tempat sunyi ini, Hong Beng membebaskan totokannya sehingga panglima itu dapat bergerak dan bicara kembali.
"Maafkan kami, Coa-ciangkun, akan tetapi kami terpaksa melakukan hal ini terhadap ciangkun, karena kami sedang menghadapi fitnah yang dilakukan oleh Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama bersama kawan-kawan mereka!"
Setelah merasa dirinya bebas dan dua orang pe-muda itu tidak menodongnya lagi, Panglima Coa marah sekali. Dia bukan orang lemah, bahkan orang yang memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup ting-gi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada Hong Beng. Pemuda ini tidak mengelak, melainkan menerima pu-kulan itu begitu saja.
"Bukk....!" Bukan pemuda itu yang roboh, melainkan panglima itu terkejut dan berseru keras sambil meloncat ke belakang. Ketika tangannya ber-temu dada pemuda itu, dia merasa tangannya sakit dan ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam tubuhnya melalui tangan yang memukul!
"Siapa.... siapa kalian....?" bentaknya, "dan.... apa maksud kalian berbuat kurang ajar seperti ini terhadap aku?"
"Maaf, ciangkun. Harap suka dengarkan dulu baik--baik. Kami tujuh orang adalah pendekar-pendekar yang melihat betapa ada sekelompok datuk kaum sesat kini merajalela di kota raja.
Mereka adalah Kim Hwa Nio-nio, Sai-cu Lama, Sam Kwi dan yang lain-lain. Kami harus menentang mereka dan hari ini kami me-nantang mereka mengadakan pi-bu di luar hutan ini.
Akan tetapi kami tahu bahwa tentu orang-orang sesat itu mengunakan akal jahat, menarik pasukan peme-rintah untuk campur tangan dengan tuduhan bahwa kami pemberontak-pemberontak. Karena itu terpaksa kami mendahului, mendatangi ciangkun untuk
mem-perkenalkan diri dan menceritakan hal yang sebenar-nya."
Coa-ciangkun adalah seorang pembesar militer yang korup dan ambisius, dan karena inilah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
414 maka mudah saja dia diperalat oleh Hou Seng. Tentu saja dia mengerti bahwa Hou Seng mempergunakan da-tuk-datuk kaum sesat untuk memperkuat kedudukan. Hal itu tidak dia perdulikan karena dianggap bukan urusannya. Yang penting baginya, dia memperoleh banyak hadiah dan janji bahwa kelak kedudukannya akan dinaikkan kalau dia membantu Hou Taijin yang sedang berkembang kekuasaannya itu. Oleh karena itu, mendengar ucapan Hong Beng, dia tidak merasa heran, bahkan memandang dengan sikap tidak perduli, bahkan dia mencurigai Hong Beng.
"Orang muda, mana aku tahu bahwa engkau dan kawan-kawanmu bukan pemberontak-
pemberontak. Aku hanya mendengar laporan bahwa ada pemberontak-pemberontak sedang hendak ditangkap oleh Kim Hwa Nio-nio dan teman-temannya, maka aku hendak menangkap mereka dengan kekuatan pasukanku."
"Tentu saja ciangkun juga sudah kena dikelabuhi. Tahukah ciangkun bahwa kami bertujuh dipimpin oleh seorang hwesio tua?"
"Ya, menurut laporan, para pemberontak ini dipimpin oleh seorang hwesio tua yang bernama Tiong Khi Hwesio"
"Hemmm, ciangkun adalah seorang panglima yang sudah lama bertugas, tentu mengenal pula catatan sejarah dan riwayat para panglima besar di kota raja yang setia kepada kaisar dan pemerintah. Tentu ciang-kun pernah pula mendengar nama Puteri Milana, bu-kan" Apakah ciangkun mau berpura-pura tidak me-ngenal puteri dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu" Dan kenalkah akan nama Puteri Nirahai?"
Coa-ciangkun menelan ludah dan mukanya ber-ubah ketika dia menatap wajah pemuda itu.
"Tentu.... tentu aku mengenal nama Puteri Nirahai dan.... ketika masih muda sekali pernah aku melihat Puteri Milana memimpin pasukan. Gagah sekali akan tetapi apa hubungannya dengan ini semua?"
"Sabarlah, ciangkun dan dengarkan ceritaku. Ciangkun tahu bahwa yang memimpin kami bertujuh adalah Tiong Khi Hwesio dan hwesio tua itu bukan lain adalah Pendekar Tangan Maut Wan Tek Hoat, cucu tiri Pendekar Supert Sakti, suami Puteri Syanti Dewi dari Bhutan."
"Ahh....!" panglima itu terkejut.
"Nah, apakah ciangkun masih percaya bahwa tu-juh orang yang dipimpin oleh pendekar Wan Tek Hoat yang kini telah menjadi seorang pendeta itu, para pendekar budiman dan gagah perkasa itu benar-benar hendak memberontak" Tujuh orang membe-rontak" Apakah itu masuk di akal?"
Panglima itu mulai merasa bimbang. "Aku.... aku tidak tahu...."
"Dan ketahuilah pula, bahwa di antara kami yang dianggap pemberontak ini, terdapat pula bekas Pa-nglima Kao Cin Liong! Tentu ciangkun belum lupa akan nama besarnya....!"
Panglima Coa menjadi semakin gelisah. Tentu saja dia mengenal Kao Cin Liong yang sudah lama mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pa-nglima. Akan tetapi Panglima Kao itu terkenal jujur dan bersih sehingga tidak disuka di antara rekan-re-kannya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
415 "Dan mereka semua, ketujuh orang yang akan mengadakan pi-bu dengan Kim Hwa Nio-nio dan ka-wan-kawannya, semua adalah anggauta keluarga Pulau Es."
"Hemm, engkau sendiri agaknya seorang di antara mereka dari Pulau Es, bukan?" Panglima itu berta-nya. Hong Beng mengangguk. Memang tadi dia se-ngaja menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kekuatan Soat-im Sin-kang dari Pulau Es.
"Guru saya adalah cucu dari Pendekar Pulau Es, ciangkun."
"Hemm, kalau begitu, apa yang kalian kehen-daki?"
"Kami mengharap kebijaksanaan Coa-ciangkun agar menarik mundur pasukan, agar tidak mencampuri pi-bu antara kami dan para datuk sesat itu."
Coa-ciangkun mengerutkan alisnya. Mana mungkin hal ini dilakukan" Kalau dia melakukan hal itu, tentu Hou Seng akan marah kepadanya. Bukankah Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya itu merupa-kan para pembantu yang amat dipercaya oleh Hou Taijin" Dia
menggeleng kepala beberapa kali. "Ti-dak mungkin aku melakukan hal itu. Sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi pemberontak. Kalau aku tidak setia kepada kewajibanku, berarti aku berdosa besar dan mendapat hukuman."
Hong Beng mengerutkan alisnya dan mencoba membantah. "Akan tetapi, ciangkun sama sekali ti-dak dapat melihat bukti bahwa kami memberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang para datuk kaum sesat yang merajalela di kota raja!"
"Aku tidak tahu akan hal itu. Mereka itu adalah pembantu-pembantu Hou Taijin...."
Tahulah Hong Beng bahwa panglima ini sudah menjadi antek Hou Taijin, maka dia segera berkata dengan nada suara tegas. "Kalau ciangkun tidak mau memenuhi permintaan kami dengan baik, terpaksa kami akan membunuh ciangkun!
"Hong Beng, bunuh saja dia ini! Dia tentu antek Hou Seng dan merencanakan
pemberontakan terhadap kaisar!" Kun Tek juga berkata dengan sikap meng-ancam.
Orang seperti Panglima Coa ini hanya galak terhadap bawahannya atau terhadap rakyat jelata yang tidak mampu melawan saja. Kalau dia sendiri meng-hadapi ancaman dan berada dalam keadaan tak berdaya, kekuasaan dan anak buahnya tidak lagi mampu melindunginya, dia berubah menjadi seorang penakut dan pengecut. Orang yang paling kejam sebetulnya adalah orang yang menyembunyikan rasa takut yang besar sekali di dalam batinnya. Melihat betapa dua orang pemuda yang dia tahu amat lihai ini bersikap hendak membunuhnya, Coa-ciangkun menjadi keta-kutan. Wajahnya berubah pucat dan tubuhnya ge-metar.
"Jangan kira kami akan kalah kalau kau tidak mau memenuhi permintaan kami!" bentak Hong Beng. "Kami dapat membunuhmu, kemudian kami masih mempunyai waktu cukup
untuk membunuh enam orang perwira pembantu itu, baru kami akan mengamuk membunuhi pasukan yang tentu akan ka-cau karena kehilangan pimpinan itu. Kami tidak me-lakukan hal itu, justeru karena kami bukan pemberontak dan kami tidak mau menyusahkan pasukan pemerintah. Nah, cepat kaupilih sekarang juga!"
Ucapan itu merupakan desakan yang membuat Coa-ciangkun tidak berdaya lagi. Dia tahu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
416 bahwa orang-orang kang-ouw ini berbahaya sekali. Membu-nuh atau dibunuh bagi mereka tidak ada artinya, seperti para perajurit yang maju perang.
"Baiklah." Akhirnya dia berkata sambil menundukkan muka, seperti tunduknya hati yang su-dah tidak mampu mencari jalan keluar lagi. Dia terpaksa melakukan ini, dan tentang akibatnya dengan -Hou Taijin, itu urusan nanti dan dia baru akan mencari jalan keluarnya kalau saatnya sudah tiba.
Demikianlah, Hong Beng dan Kun Tek lalu mem-bawa pembesar militer itu mendekati padang rumput, sambil bersembunyi. Ternyata perkelahian pibu itu sudah dimulai dan ketika Bhok Gun dan Kim Hwa Nio-nio memberi isyarat kepada pasukan yang bergerak maju, dua orang pendekar muda itu lalu membawa Coa-ciangkun keluar. Karena terpaksa, Coa-ciangkun meneriakkan perintahnya agar pasukannya itu tidak bergerak lalu mengundurkan diri.


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja peristiwa ini sama sekali tidak pernah disangka-sangka oleh Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Mereka terkejut bukan main dan sekaligus menjadi gelisah. Pasukan itu mundur ke dalam hutan dan mereka tidak terlindung pasukan lagi! Pada hal, mereka semua terdesak dengan hebat oleh pihak la-wan.
"Coa-ciangkun, engkau akan dihukum gantung oleh Hou Taijin atas perbuatanmu ini....!"
Kim Hwa Nio-nio berteriak marah, akan tetapi kemarahannya yang ditujukan kepada Coa-ciangkun inilah yang mencelakakannya. Ia sudah terdesak he-bat oleh suling dan pedang di tangan Sim Houw, dan karena ia marah-marah dan meneriakkan kata-kata itu kepada Coa-ciangkun sambil menoleh ke arah batu besar di mana panglima itu berdiri, berarti dia mem-bagi perhatiannya, dan kelengahan sedikit saja mem-buat Sim Houw melihat lowongan yang baik sekali.
"Singgg.... srattt....!" Darah muncrat dan Kim Hwa Nio-nio terpekik, Liong-siauw-kiam terlepas dari tangan kanannya dan Sim Houw sudah cepat menyambar pedang pusaka itu dengan suling emasnya. Pedang pusaka itu dapat ditempel suling dan ditariknya, lalu dipegangnya dengan tangan kiri sambil menyimpan suling emas.
Kim Hwa Nio-nio terbelalak melihat lengan kanannya. Ujung pedang Koai-liong Po-kiam tadi de-ngan kecepatan seperti kilat melihat lowongan dan sudah menyambar ke arah lengan kanan, membuat putus urat nadi lengan kanannya sehingga darahnya muncrat-muncrat keluar.
Kim Hwa Nio-nio menotok lengan kanannya un-tuk menghentikan jalan darah, kemudian sambil me-ngeluarkan teriakan melengking saking marahnya, ia menggunakan kebutan di tangan kiri untuk menyerang Sim Houw dengan membabi-buta. Akan tetapi, kalau tadi saja ketika ia masih menggunakan dua sen-jata, ia selalu terdesak oleh Sim Houw, apa lagi se-karang setelah lengan kanannya tak dapat diperguna-kan lagi untuk menyerang! Dengan mudah saja Sim Houw mengelak, lalu nampak sinar berkelebat me-nyilaukan mata ketika Koai-liong Po-kiam meluncur dan membabat. Nampak bulu-bulu kebutan itu ber-hamburan karena terbabat putus dan selagi nenek itu terhuyung, Liong-siauw-kiam sudah bergerak di ta-ngan kiri Sim Houw.
"Tukk....! Nampaknya ujung Liong-siauw-kiam itu hanya menyentuh sedikit saja belakang kepala nenek itu sebelah kiri, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Nenek Kim Hwa Nio-nio mengeluarkan jeritan mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
417 tubuh itu diam tak bergerak lagi. Kiranya ujung pedang pusaka Suling Naga itu telah membikin retak bagian kepala itu dan merusak isi kepala sehingga nenek itupun tewas seketika setelah mengeluarkan jeritan itu. Kebutan buntungnya masih tergenggam di tangan kirinya. Nenek ini, bagaimanapun juga tewas sebagai seorang gagah, tak pernah menyerah sampai maut merenggut nyawanya.
Jeritan nenek yang mengantar nyawanya itu disusul pekik yang keluar dari mulut Bhok Gun.
Sejak tadi, diantara tujuh orang di masing-masing pihak, Bhok gun yang paling repot keadaannya. Tingkat kepandaian lawan, yaitu Suma Hui, masih lebih tinggi dengan selisih yang lumayan, maka sejak bentrok pertama kali, Bhok Gun selalu terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Ketika mendengar teriakan Coa-ciangkun yang
memerintahkan pasukannya mundur, wajahnya menjadi pucat sekali dan jeritan gurunya benar-benar merupakan pukulan hebat baginya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan dia tak mampu lagi menghindarkan benturan pedangnya dengan pedang kii Suma Hui yang membuat pedangnya menyeleweng dan terpental, kemudian tahu-tahu pedang kanan lawan telah menembus dadanya. Dengan teriakan panjang diapun roboh dan nyawanya melayang,
menyusul nyawa subonya. Kematian dua orang ini tentu saja mendatangkan perasaan tidak tenang dan gelisah dalam dada Bi Kwi, Sam Kwi dan bahkan Sai-cu Lama sendiri. Diantara mereka, hanya Sai-cu Lama dan Bi Kwi yang dapat mengimbangi permainan lawan, sedangkan tiga orang Sam Kwi itu harus mengakui bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang sakti dan mereka merasakan betapa beratnya menandingi mereka.
"Sai-cu Lama, kembalikan Ban-tok-kiam milik keluarga Gurun Pasir itu!" Sim Houw yang sudah mengembalikan pedang dan suling kepada Kun Tek kini maju menerjang Sai-cu Lama dengan Liong-siauw-kiam, membantu Tiong Khi Hwesio. Diserang oleh senjata pusaka itu dari samping, Sai-cu Lama terkejut karena serangan dengan pedang pusaka itu selain mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, juga mengeluarkan suara lengkingan nyaring seolah-olah ada suling ditiup dekat telinganya an mengguncang jantungnya. Suara itupun mengandung khi-kang yang amat hebat! Dia cepat menggerakkan Ban-tok-kiam menangkis.
"Cringgg....!" Nampak bunga api berhamburan ketika Ban-tok-kiam bertemu dengan Liong-siauw-kiam.
"Bagus! Kalian ini pendekar macam apa" Main keroyok!" bentak Sai-cu Lama dengan sikap congkak, untuk menutupi kegelisahannya, matanya sudah liar mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri.
"Ingat, Sai-cu Lama. Yang melakukan tantangan adalah aku dan locianpwe Tiong Khi Hwesio terhadap Kim Hwa Nio-nio dan engkau, jadi boleh saja aku maju melawanmu dan membantu locianpwe ini karena lawanku sudah tewas." Dan Sim Houw melanjutkan
serangannya. "Omitohud...., memang sudah tiba saatnya engkau harus menyerah Sai-cu Lama. Ucapan Pendekar Suling Naga itu benar, dan pinceng tidak malu harus mengeroyokmu agar engkau cepat takluk!" Tiong Khi Hwesio juga menyerang dengan pedang pusakanya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu. Hwesio tua ini maklum bahwa andaikata dia akan menangpun, akan makan waktu banyak sekali untuk menundukkan Lama yang menyerang Ban-tok-kiam. Akan tetapi, kalau seorang pendekar muda sakti seperti Sim Houw itu maju membantunya, pihak lawan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
418 tentu takkan dapat bertahan lama.
Sai-cu Lama tidak melihat adanya lowongan untuk melarikan diri. Melarikan diri dari dua orang lawan yang sakti itu berarti bunuh diri, maka diapun mengamuk dan melawan mati-matian dan sekuat tenaga. Tentu saja dia harus bergerak lebih cepat dan mengalurkan tenaga lebih banyak dari pada dua orang yang mengeroyoknya dan karena itu, sebentar saja tubuhnya sudah penuh keringat, napasnya memburu dan dari kepalanya yang gundul itu keluar uap tebal!
Setelah merobohkan lawannya, Suma Hui membalikkan tubuh dan melihat betapa suaminya, Kao Cin Liong masih terlibat dalam perkelahian yang amat seru melawan kakek cebol Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat, wanita yang gagah ini mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia pun menerjang ke dalam perkelahian itu.
"Haiiiittt....!" Sepasang pedang di tangannya sudah berubah menjadi dua sinar bergulung-gulung yang menyambar-nyambar ke arah kepala dan tubuh Iblis Akhirat. Tentu saja orang pertama dari Sam Kwi ini terkejut bukan main. Menghadapi Kao Cin Liong saja dia sudah merasa repot dan terdesak terus, makin lama dia merasa tubuhnya semakin lemah dan lelah sedangkan lawannya nampak masih segar. Kini, isteri lawannya yang memainkan sepasang pedang dengan amat ganasnya, ikut maju mengeroyok! Tentu saja diamenjadi panik dan gerakannya kacau. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kao Cin Liong utuk mengirim sebuah tendangan ke arah perut kakek cebol itu.
"Dukkk....!" Iblis Akhirat yang juga seorang ahli tendang Pat-hong-twi, berhasil menangkis tendangan itu dengan kakinya, akan tetapi pada detik yang sama, pedang di tangan kiri Suma Hui "masuk" dan menyayat paha kakinya.
"Srattt....!" Darah mengucur deras dari celana dan kulit paha yang robek. Iblis Akhirat ter-kejut, golok Toat-beng Hui-to yang hanya dapat di-pergunakan dalam jarak jauh, kini dibabatkan ke arah perut Suma Hui, sedangkan tangan kirinya menceng-keram ke arah selangkang Kao Cin Liong. Hebat memang orang pertama dari Sam Kwi ini. Dalam keadaan terluka itu, dia masih mampu sekaligus mem-bagi serangan kepada dua orang lawannya. Dan se-rangan berganda inipun sama sekali tak boleh dipan-dang ringan karena kalau mengenai sasaran, tentu dua orang lawannya itu akan roboh tewas! Akan tetapi, tentu saja suami isteri keturunan Gurun Pasir dan Pulau Es itu tidak mudah dirobohkan oleh lawan yang sudah terdesak.
"Tranggg....!" Golok itu dibabat oleh pe-dang sedemikian kerasnya sehingga patah, dan ta-ngan yang mencengkeram itupun dapat ditangkis oleh Cin Liong yang menyusulkan tamparan ke arah kepa-la. Pada saat yang sama, sepasang pedang di tangan Suma Hui telah melakukan gerakan menggunting, sa-tu ke arah kaki dan satu ke arah pinggang! Dalam satu detik, tubuh Iblis Akhirat menghadapi serangan ke arah kepala, pinggang dan kakinya. Dia terkejut dan dengan gugup berusaha meloncat ke belakang. Namun kurang cepat.
"Prokk!" Iblis Akhirat tidak sempat mengeluh karena kepalanya retak terkena tamparan tangan Cin Liong dan tubuhnya terlempar lalu terbanting jatuh tanpa dapat bergerak kembali!
Suma Hui yang seperti seekor naga betina haus darah, begitu lawan ke dua ini tewas, ia sudah menerjang lagi memasuki perkelahian antara Iblis Mayat Hidup dan Kam Bi Eng. Sepasang pedangnya bergu-lung-gulung mengurung tubuh Iblis Mayat Hidup yang menjadi terkejut Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
419 karena sejak tadi diapun sudah repot menghadapi suara suling emas yang melengking-lengking dan yang membawa sinar-sinar maut itu dari lawannya, Kam Bi Eng. Melihat betapa Suma Hui menerjang maju membantunya, Kam Bi Eng lalu berseru, "Enci Hui, kuserahkan tengkorak ini kepa-da enci dan cihu (kakak ipar), aku mau membantu suamiku!" Berkata demikian, Kam Bi Eng meloncat keluar dari perkelahian itu dan langsung menubruk ke arah Raja Iblis Hitam yang sedang berkelahi me-lawan suaminya, Suma Ceng Liong.
Sebenarnya, kalau dia menghendaki, Suma Ceng Liong sudah akan dapat merobohkan
lawannya sejak tadi. Tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari lawannya. Akan tetapi pendekar ini memang sengaja mempermainkan lawannya. Betapa-pun juga, tidak ada niat membunuh lawan dalam ha-tinya. Akan tetapi tiba-tiba isterinya masuk dan me-ngirim serangan dahsyat ke arah Raja Iblis Hitam yang menjadi kaget dan terhuyung ke belakang.
Ma-ka diapun menerjang maju lagi membantu isterinya yang tentu saja membuat Hek-kwi-ong si Raja Iblis Hitam menjadi semakin repot dan terdesak.
Kao Cin Liong juga tidak membiarkan isterinya maju sendiri melawan Iblis Mayat Hidup.
Diapun membantu isterinya sehingga dua orang Sam Kwi yang masih tinggal itu menjadi repot bukan main mengha-dapi pengeroyokan suami isteri pendekar itu. Baik Raja Iblis Hitam maupun Iblis Mayat Hidup sama sekali bukan lawan suami isteri yang maju bersama itu.
Dalam waktu belasan jurus saja, Raja Iblis Hi-tam roboh oleh pukulan suling di tangan Kam Bi Eng, sedangkan Iblis Mayat Hidup roboh oleh tusukan pedang Suma Hui!
Sam Kwi tewas dan kini tinggal Bi-kwi dan Sai-cu Lama saja yang masih mempertahankan diri. Ke-tika Hong Beng hendak membantunya, Bi Lan berse-ru nyaring, "Jangan bantu aku, biarkan aku sendiri yang membuat perhitungan dengan Bi-kwi!" Karena teriakan ini maka para pendekar hanya nonton saja, dan biarpun mereka tidak ada yang membantu karena teriakan itu, namun mereka bersiap-siap untuk me-lindungi Bi Lan kalau sampai terancam.
Betapapun juga, Bi-kwi merupakan lawan yang berat bagi Bi Lan karena mereka berdua itu memiliki tingkat yang seimbang.
Sementara itu, Sai-cu Lama menjadi semakin lemah. Beberapa kali dia terhuyung dan Sim Houw yang ingin merampas Ban-tok-kiam, menggunakan ke-sempatan itu untuk menerjang dengan Liong-siauw-kiam di tangannya. Senjata pusaka ini mengancam kepala lawan dan pada saat yang sama, tangan Tiong Khi Hwesio mencengkeram ke arah pusar. Sai-cu Lama yang sudah kerepotan itu menangkis cengke-raman dengan tangan kiri sedangkan pedang Ban-tok-kiam menyambut serangan Liong-siauw-kiam.
"Cringgg.... tukk....! Pertemuan pedang pusaka itu disusul totokan yang dilakukan cepat sekali oleh Sim Houw, tepat mengenai pundak kanan Sai-cu Lama. Biarpun tubuh Sai-cu Lama ke-bal dan totokan itu hanya membuat lengan kanannya kesemutan sebentar, namun ini cukup bagi Sim Houw untuk merenggut dan merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan yang dalam beberapa detik kesemutan dan kehilangan tenaga itu! Pada saat Ban-tok-kiam terampas, kaki Tiong Khi Hwesio menen-dang, tepat mengenai lutut Sai-cu Lama dan pendeta inipun roboh!
"Ha-ha-ha, Tiong Khi Hwesio, engkau menang dengan keroyokan. Sekarang apa yang
hendak kaulakukan kepadaku?" Sai-cu Lama yang sudah tak berdaya itu masih tertawa mengejek.
"Pinceng akan membawamu ke Tibet agar diadili oleh para pimpinan Dalai Lama," jawab Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
420 Tiong Khi Hwesio. "Ha-ha-ha. kauhanya akan dapat membawa ma-yatku!" Dan tiba-tiba saja sebelum ada orang mam-pu mencegahnya, tangan kanan pendeta Lama itu bergerak ke arah kepalanya sendiri dan jari-jari tangannya sudah mencengkeram dan amblas ke dalam kepalanya. Dia
mengeluarkan pekik dahsyat dan te-was seketika dengan kelima jari tangan masih terbe-nam ke dalam kepalanya. Darah dan otak mengalir keluar dari jari jari tangan yang masih menancap itu. Mengerikan!
"Lan-moi, terimalah kembali pedangmu!" Sim Houw berkata sambil menyusup masuk dalam perke-lahian antara Bi Lan dan Bi-kwi. Bi Lan menyambut pedang Ban-tok-kiam dengan girang dan kini ia se-perti seekor harimau betina tumbuh sayap. Begitu pedang berada di tangannya dan diputarnya, Bi-kwi nampak terkejut dan jerih. Akan tetapi tiba-tiba saja Bi-kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan Bi Lan! Wanita ini melihat betapa enam orang yang lain telah tewas. Melanjutkan perkelahian tidak ada gunanya lagi. Menghadapi Bi Lan saja sejak tadi ia tidak mampu menang. Setiap kali gadis itu mengelu-arkan ilmu yang didapatnya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, Bi-kwi selalu menjadi bingung dan ter-desak. Maka, ketika Bi Lan menerima Ban-tok-kiam dari Sim Houw, Bi-kwi maklum bahwa kalau ia me-lanjutkan perkelahian, ia tentu akan roboh di tangan bekas sumoinya sendiri. Maka iapun mempergunakan siasat, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut.
"Sumoi, kalau kau mau melupakan hubungan lama dan hendak membunuhku, bunuhlah!"
katanya. Wanita ini sudah mengenal betul watak sumoinya. ini balik kekerasan hati dan keberanian Bi Lan, ter-sembunyi watak yang halus dan mengenal budi. Me-lihat bekas sucinya berlutut di depan kakinya, Bi Lan menjadi bengong. Iapun teringat betapa bagaimana-pun juga, selama bertahun-tahun wanita inilah yang mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadanya, mewa-kili Sam Kwi. Biarpun kemudian Bi-kwi menyelewengkan ajaran-ajaran itu, namun harus diakuinya bahwa ia mempelajari banyak dari Bi-kwi. Apa lagi kalau diingat bahwa ketika ia berada di ambang ke-hancuran, tertawan oleh Sam Kwi dan hendak dijadi-kan mangsa mereka, Bi-kwilah yang menyelamatkannya dan membebaskannya. Semua ini terbayang di dalam ingatannya dan Bi Lan menjadi lemas.
"Bangkit dan pergilah dari sini. Selamanya jangan sampai jumpa dengan aku lagi," kata Bi Lan.
Bi-kwi bangkit, hampir tidak percaya. Ia me-mandang kepada Bi Lan dengan bibir
mengulum se-nyum, hatinya mengejek, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi, dengan muka tunduk ia lalu pergi dari situ. Para pendekar memandang saja, tidak ada yang berani mencampuri, walaupun diam-diam merasa he-ran bagaimana Bi Lan membiarkan seorang wanita sejahat itu bebas.
"Omitohud.... suatu tindakan yang bijaksa-na," tiba-tiba terdengar Tiong Khi Hwesio berseru kagum. "Sudah terlalu banyak orang mati terbunuh, mengerikan sekali!" Dia memandang kepada enam mayat yang berserakan di situ dan semua orangpun ikut memandang. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para pendekar itu yang merasa menyesal. Orang-orang seperti Sam Kwi, Sai-cu Lama, Kim Hwa Nio-nio dan muridnya itu, kalau tidak dising-kirkan dari dunia, tentu hanya akan memperbanyak jumlah perbuatan jahat saja dan membikin banyak orang tak berdosa menderita oleh perbuatan mereka.
Hanya dua orang yang kelihatan menyesal dan bingung. Mereka adalah Suma Ceng Liong Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
421 dan Kam Bi Eng. "Mereka telah tewas, akan tetapi.... di mana adanya anak kami yang diculik oleh Sai-cu Lama?"
Tiba-tiba terdengar suara yang besar dan tegas, "Jangan khawatir, anak kalian selamat, berada di sini bersamaku!"
Semua orang menengok dan dari dalam hutan keluarlah seorang kakek tua renta yang menggandeng dua orang anak perempuan di kanan kirinya. Seo-rang di antara dua anak perempuan itu adalah Suma Lian.
"Ayah....! Ibu....!" Suma Lian ber-lari menghampiri orang tuanya yang menyambutnya dengan rangkulan dan ciuman penuh kegembiraan dan keharuan.
"Ayah, tahukah ayah siapa kakek yang menyela-matkan aku ini?" Suma Lian berlari dan menggan-deng tangan kakek tua renta yang menghampiri sam-bil menuntun anak perempuan kedua sambil terse-nyum.
Suma Ceng Liong dan isterinya memandang, juga semua orang memandang. "Omitohud!"
Tiong Khi Hwesio berseru paling dulu. "Locianpwe telah me-ninggalkan Beng-san dan hidup merantau dalam pa-kaian pengemis" Sungguh aneh sekali dan amat mengherankan!"
Kakek yang kini memakai nama julukan Bu-beng Lo-kai itu tersenyum. "Tidak begitu mengherankan seperti melihat engkau, mantu raja ini, sekarang men-jadi seorang hwesio!"
Dan dua orang kakek itupun tertawa.
Mendengar bahwa kakek berpakaian jembel itu datang dari Beng-san, Suma Ceng Liong terkejut. "Dari Beng-san....?" Serunya. "Apakah.... locianpwe ini.... paman.... paman...." Dia masih ragu-ragu untuk menyebutkan nama orang itu.
"Ayah, kakek ini adalah suami nenek Milana!"
"Benar, dia paman Gak Bun Beng!" Seru Suma Hui dan ia bersama Suma Ceng Liong segera membe-ri hormat kepada kakek berpakaian jembel itu.
Kakek itu tertawa dan memandang kepada Tiong Khi Hwesio. "Agaknya keadaanku tidak jauh beda-nya dengan dia yang kini telah menjadi hwesio itu. Nama lama itu sudah hampir kulupa, namaku sekarang adalah Bu-beng Lo-kai, nama yang diberikan oleh Suma Lian kepadaku, ha-ha-ha. Dan engkau, hwesio yang baik, siapakah namamu?"
Tiong Khi Hwesio menjura dengan hormat. "Na-ma pinceng adalah Tiong Khi Hwesio."
Kakek jembel itu kini memandang kepada Suma Lian. "Nah, Suma Lian, engkau sudah bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana sekarang" Aku akan segera pergi bersama Li Sian."
"Enci Lian, mari kita pergi!" kata Li Sian.
Suma Lian memandang kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, bolehkah aku ikut dengan kakek un-tuk belajar ilmu silat?"
Suami isteri itu saling pandang. Tentu saja me-reka merasa berat untuk berpisah dari anak Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
422 satu-satu-nya ini. Akan tetapi merekapun merasa sungkan ter-hadap kakek itu kalau hanya melarang begitu saja. Ceng Liong lalu bertanya kepada Bu-beng Lo-kai. "Benarkah bahwa paman ingin mengajak Suma Lian untuk dibimbing dalam ilmu silat?"
Bu-beng Lo-kai tersenyum. "Usiaku tidak bera-pa banyak lagi dan memang aku ingin meninggalkan semua ilmu yang pernah kupelajari kepada Suma Lian dan Li Sian, kalau saja kalian tidak menaruh kebe-ratan."
Makin tidak enak rasa hati Suma Ceng Liong ka-lau harus melarang, maka dia mengharapkan bantuan anaknya. "Lian-ji, di rumah engkau dapat belajar ilmu silat dari ayah ibumu. Kenapa engkau ingin ikut paman Gak?"
"Ayah, aku suka sekali kepada kakek Bu-beng Lo-kai, juga aku suka sekali kepada Li Sian.
Aku ingin ikut dia merantau, menjelajahi dunia sambil berlatih silat bersama adik Li Sian.
Ayah, aku tidak akan melupakan ayah dan ibu, dan setelah selesai belajar, tentu aku akan pulang lagi."
Suami isteri itu saling pandang. Kakek itu menghendakinya, bahkan tadi dengan suara memohon menyatakan keinginannya untuk mewariskan ilmu-ilmu-nya kepada Suma Lian, dan anak itu sendiripun menginginkannya. Tentu akan janggal sekali rasanya kalau mereka melarang. Mereka adalah pendekar-pendekar dan di waktu masih kecil dan masih muda, itulah saatnya bagi seorang pendekar untuk menerima gemblengan-gemblengan dalam kehidupan, menderita kesukaran-kesukaran dan pengalaman-pengalaman berbahaya. Semua itu telah mereka alami dahulu di waktu mereka masih muda. Tentu saja mereka tidak ingin puteri mereka menjadi lemah dan luput dari pengalaman-pengalaman yang amat diperlukan itu. Maka merekapun menyetujui dan Kam Bi Eng me-nahan air matanya ketika ia dan suaminya mengikuti bayangan anak mereka yang digandeng pergi oleh kakek tua renta itu, bersama seorang anak perempuan lain, puteri keluarga Pouw yang juga menderita mu-sibah yang amat hebat.
Para pendekar yang tadi terlibat dalam perkelahian, kini di bawah pimpinan Tiong Khi Hwesio, sibuk melakukan penguburan atas semua mayat bekas lawan. Kemudian merekapun bubar dan meninggalkan tempat itu yang kembali menjadi sunyi-senyap seperti biasa.
Peristiwa hebat itu, perkelahian antara datuk-datuk sesat dan para pendekar, hanya ditandai dengan adanya sebuah makam baru di tepi hutan itu.
*** Peristiwa hebat yang mengakibatkan terbasminya semua pembantu Hou Seng, bukan tidak ada penga-ruhnya bagi pergolakan yang terjadi di kota raja ka-rena ulah pembesar Hou Seng.
Perubahan besar ter-jadi dengan sendirinya. Ketika mendengar betapa se-mua pembantunya dibasmi oleh para pendekar, teru-tama keturunan para pendekar Pulau Es, Hou Seng menjadi tarkejut bukan main. Berita itu tersiar luas sampai kaisar sendiri mendengarnya dan bertanya kepadanya, ada hubungan apa antara para datuk sesat itu dengan dirinya!
Akan tetapi Hou Seng memang cerdik. Sambil menangis dia mengadu kepada kaisar betapa limpahan kasih sayang dari kaisar itu menimbulkan iri hati yang membuat dia dimusuhi oleh banyak pejabat. Karena merasa dirinya terancam, terpaksa dia mem-pergunakan tenaga luar untuk melindungi keselamat-annya, dan dia sama sekali tidak tahu bahwa tenaga luar itu kemasukan tokoh-tokoh dari dunia sesat. Sebagai contohnya dia menceritakan tentang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
423 dibunuh-nya dua orang pengawal pribadinya merangkap selir-nya oleh para datuk sesat.
Panjang lebar dia bercerita dan mengemukakan alasan-alasan sampai akhirnya kaisar merasa kasihan dan berpihak kepadanya! Dan sejak itu, urusan para datuk yang menyelundup ke ko-ta raja itu tidak dibicarakan lagi, kesalahan Hou Seng dimaafkan. Akan tetapi, Hou Seng sendiri tidak be-rani banyak tingkah semenjak peristiwa itu dan dia tidak lagi mau mencari gara-gara. Kedudukannya su-dah cukup baik dan dia harus tahu diri dan tidak mengadakan tindakan-tindakan yang menimbulkan kecurigaan kaisar.
Hou Seng tidak begitu membela kematian para datuk itu karena dia telah mengetahui bahwa dua orang selir yang menjadi pengawal pribadi itu sesung-guhnya difitnah oleh Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Hal ini diketahuinya sebelum terjadi pembunuhan atas diri para datuk sesat oleh para pen-dekar. Diketahuinya karena dia merasa curiga meli-hat betapa kematian kedua kucing itu tidak sama ke-adaannya. Kucing pertama mati dengan muka kehi-taman, akan tetapi kucing ke dua tidak demikian. Hal itu menunjukkan bahwa racun pertama yang diminumkan kucing dari cawan araknya itu tidak sama dengan racun yang diambil dari tubuh selir-selirnya yang diminumkan kucing ke dua. Racun-racun yang dibawa dua orang selirnya itu membuat kucing mati tanpa hitam pada mukanya, sedangkan racun yang berada dalam cawan araknya itu merupakan ra-cun yang lain lagi, berarti racun itu berada dalam ca-wan araknya bukan dari kedua orang selirnya melain-kan dari luar! Apa lagi ketika dia mendengar dari para selirnya bahwa dua orang selir merangkap pengawal pribadi itu memang selalu membawa racun di tubuh-nya, untuk membunuh diri kalau sampai mereka ter-tangkap musuh agar mereka tidak perlu disiksa untuk mengakui dan membuka rahasia Hou Seng! Mende-ngar ini, Hou Seng merasa menyesal sekali dan kepercayaannya terhadap para datuk sudah goyah, itu-lah sebabnya, ketika mendengar betapa para datuk itu tewas oleh para pendekar, dia pura-pura tidak ta-hu saja. Bahkan Coa-ciangkun tidak ditegurnya sama sekali! Diam-diam dia malah bersyukur akan tindakan Coa-ciangkun. Bayangkan saja kalau pasukan itu mencampuri dan kemudian terdengar berita bahwa pasukan itu bekerja sama dengan para datuk sesat atas perintahnya! Mungkin kaisar sendiri tidak akan memaafkannya kalau sampai terjadi hal seperti itu.
Betapapun juga, usaha para pendekar menentang Kim Hwa Nio-nio dan akhirnya berhasil membasmi komplotan itu, amat berhasil dan keadaan kota raja menjadi tenteram kembali.
Diam-diam para pembesar yang setia kepada kaisar bersyukur dan memuji-muji para pendekar. Mereka maklum akan kelemahan kaisar dan mereka tidak akan mengadakan reaksi ter-hadap Hou Seng sebagai kekasih dan kepercayaan kaisar kalau saja Hou Seng tidak mengadakan tindak-an yang bukan-bukan. Dan kini, dibasminya komplot-an kaki tangan Hou Seng, membuat pembesar itu menjadi jerih dan tidak begitu menonjol lagi.
Sementara itu, para pendekar sudah kembali ke tempat masing-masing. Suma Ceng Liong dan isteri-nya, Kam Bi Eng, yang kehilangan puteri mereka dengan suka rela, hanya bercakap-cakap sebentar, karena adanya Sim Houw di situ membuat suami is-teri ini merasa kurang enak hatinya. Seperti diketa-hui, Kam Bi Eng tadinya adalah tunangan dari Sim Houw menurut ikatan orang tua mereka, akan tetapi kemudian tunangan itu terputus karena Bi Eng tidak mencinta Sim Houw, melainkan mencinta Suma Ceng Liong. Setelah suami isteri itu pergi, Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui juga berpamit setelah Cin Liong
meningggalkan pesan kepada Bi Lan.
"Sumoi, biarpun engkau baru setahun belajar dari ayah ibuku, engkau tetap seorang sumoi (adik seperguruan) dariku. Dan ibu telah meminjamkan Ban-tok-kiam, hal itu berarti bahwa ibu sayang dan percaya kepadamu. Dan aku sendiri, dalam pergaulan bebe-rapa saat ini, tahu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
424 bahwa pilihan ayah ibu terhadap dirimu tidak keliru. Nah, engkau berhati-hatilah menjaga Ban-tok-kiam dan bawa pusaka itu kembali kepada ibuku."
Tiong Khi Hwesio juga meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Bhutan, karena semua pengalaman-nya setelah bertemu dengan para pendekar itu, mem-buka matanya bahwa dia telah terlalu menurutkan kedukaan hati sehingga dia lupa bahwa dia telah me-lupakan puterinya sendiri, Wan Hong Bwee atau Puteri Gangga Dewi yang hidup bersama suaminya di Bhutan. Dia ingin kembali dan tiba-tiba merasa rindu kepada puterinya itu, dan ingin menghabiskan sisa usianya di dekat keluarga puterinya dan dekat pula dengan makam isterinya.
Setelah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek juga pergi, melanjutkan perjalanan masing-masing, tinggal-lah Bi Lan dan Sim Houw berdua. Mereka saling pandang dan akhirnya Sim Houw yang bertanya lebih dahulu, "Lan-moi, sekarang engkau hendak ke mana-kah?"
Sampai lama Bi Lan tidak mampu menjawab. Gadis ini sedang merasakan sesuatu yang amat aneh terjadi di dalam hatinya. Ia melihat Sam Kwi, tiga orang gurunya, tewas dan tidak merasa kehilangan. Juga kepergian Bi-kwi yang disusul kepergian semua pendekar, termasuk Hong Beng dan Kun Tek, tidak sedikitpun membekas di dalam hatinya. Ia tidak me-rasa kehilangan dan kesepian. Akan tetapi mengapa sekarang, setelah berada di ambang perpisahannya dengan Sim Houw, tiba-tiba saja ia merasa bahwa tak mungkin dia dapat berpisah dari orang ini" Ia sea-kan-akan sudah seharusnya berada di samping Sim Houw, menghadapi kehidupan yang penuh dengan kesulitan ini bersama Sim Houw! Ia merasa bahwa begitu berpisah, ia akan kehilangan segala-galanya. Apa pula gejala seperti ini" Apa artinya" Apakah ia jatuh cinta kepada Sim Houw" Tidak mungkin! Selama dalam perjalanan berdua, Sim Houw bersikap seperti seorang kakak, begitu penuh perhatian dan sayang, akan tetapi kesayangan seorang saudara. Sedikitpun Sim Houw tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia cinta kepadanya. Berbeda dengan sikap Hong Beng atau Kun Tek ketika berdua bersamanya. Dan ia sendiri" Tiba-tiba Bi Lan mera-sa nelangsa. Bagaimana kalau ia benar-benar mencinta orang ini akan tetapi di lain pihak Sim Houw tidak cinta kepadanya"
Tiba-tiba ia menjadi panik, takut kehilangan Sim Houw!
"Eh, Lan-moi, kenapa kau kelihatan melamun dan tidak menjawab pertanyaanku?" Sim Houw berta-nya, suaranya mengandung perasaan iba. Dia tahu bahwa sejak kecil, gadis ini bergaul dengan Sam Kwi sebagai guru- guru dan penolongnya, juga dengan Bi-kwi sebagai sucinya yang pernah mendidiknya seperti diceritakan gadis itu kepadanya. Dan kini tiba-tiba saja ia kehilangan semua orang itu! Tentu Bi Lan berduka, walaupun tidak diperlihatkannya, demikian Sim Houw berpikir.
Bi Lan menjadi kaget dan kedua pipinya berubah merah. "Aku.... aku.... ah, aku tidak men-dengar pertanyaanmu, toako. Engkau bertanya apa-kah tadi?"
"Aku bertanya, ke mana engkau hendak pergi sekarang, Lan-moi."
"Ke mana...." Ah, tadi aku bingung, toako. Yang jelas, aku harus mengembalikan pedang Ban-tok-kiam ini kepada subo."
"Itu benar, Lan-moi. Dan mengapa engkau men-jadi bingung?"
"Entahlah, toako Setelah semua orang pergi, setelah semua tujuan perjalananku tercapai, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
425 semua masalah yang tadinya kujadikan tujuan dan kewajib-an terpenuhi, aku merasa kosong, sunyi dan bingung. Baru terasa olehku betapa hampanya hidup ini, toako. Aku tadinya mempunyai guru-guru, mempunyai suci, mempunyai mereka sebagai musuh-musuhku juga.
Sekarang mereka telah tidak ada. Dan aku seperti berada seorang diri saja di dunia ini, kosong dan su-nyi, tidak ada gunanya lagi...."
"Ah, engkau dilanda perasaan kesepian, Lan-moi. Pernah aku mengalaminya...." Sim Houw menghentikan kata-katanya, merasa bahwa dia telah terlanjur bicara. Akan tetapi, ucapannya itu rupanya menarik perhatian Bi Lan karena gadis itu cepat men-desaknya.
"Pernah kau mengalami kesepian seperti aku ini, toako" Kapankah engkau mengalaminya"
Dan mengapa" Orang seperti engkau ini, yang memiliki kepandaian tinggi, pengetahuan luas, banyak kawan-kawan baik, bagaimana bisa kesepian seperti aku?"
Belum pernah selamanya Sim Houw menceritakan keadaan dirinya kepada siapapun juga.
Biarpun dia pernah menderita sengsara karena kesepian, namun hal itu selama ini menjadi rahasia hatinya. Akan te-tapi, entah bagaimana, kini mendengar desakan Bi Lan, dia ingin membuka rahasia hatinya! Dia ingin sekali nampak oleh gadis itu sebagaimana adanya, tanpa rahasia dan biarlah segala keburukan dan cacatnya nampak, kalau ada!
"Baru-baru ini perasaan itu berakhir, Lan-moi, akan tetapi selama bertahun-tahun, aku seperti hidup di alam mimpi, setiap hari aku melamun dan merasa kesepian yang selalu menghantui diriku. Dan semua itu timbul karena.... putus cinta, Lan-moi."
Bi Lan tertarik sekali. "Ceritakanlah, toako, ceritakanlah. Aku ingin sekali mendengar tentang cinta itu!"
Melihat betapa gadis itu kini nampak bersema-ngat, Sim Houw tersenyum. "Mari kita tinggalkan dulu tempat ini," dia melirik ke arah gundukan tanah di mana terkubur enam mayat itu. "Di dalam hutan sana itu aman kita bicara."
Mereka lalu memasuki hutan dan di bawah sebu-ah pohon besar, di mana terdapat batu-batu yang kering dan bersih, mereka duduk berhadapan. "Ke-tahuilah, Lan-moi. Ketika aku berusia belasan tahun, oleh orang tuaku aku telah ditunangkan dengan seo-rang gadis yang kemudian menjadi sumoiku sendiri karena gadis itu adalah puteri tunggal dari suhu. Akan tetapi, kalau aku yang telah menerima ikatan perjodohan itu dengan taat mulai memperhatikan gadis itu dan sudah mempunyai perasaan cinta, seba-liknya gadis itu tidak cinta kepadaku, melainkan cin-ta kepada orang lain! Melihat kenyataan ini, maka aku mengalah, akulah yang memutuskan tali perjo-dohan itu sehingga gadis itu dapat menikah dengan pria yang dicintanya." Sampai di sini, Sim Houw berhenti dan termenung.
"Dan kau....?" Bi Lan bertanya, hatinya merasa terharu. Ia dapat membayangkan betapa se-dihnya hati pemuda itu, dan betapa luhur budinya, mengalah karena ingin membahagiakan gadis yang dicintanya.
"Aku....?" Sim Houw tersenyum pahit.
"Aku lalu merantau.... sampai sekarang ini."
"Sumoimu...." Ahhh, bukankah wanita cantik yang sakti itu, yang memegang suling emas, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
426 isteri dari pendekar Suma Ceng Liong, ia itulah su-moimu" Jadi iakah orangnya gadis....
yang pernah menjadi tunanganmu itu?"
Sim Houw sudah menguasai kembali hatinya dan dia mengangguk sambil tersenyum. "Ia hebat dan lihai, bukan" Dan suaminya juga hebat. Mereka memang pasangan yang sepadan dan cocok, aku ikut gembira melihat ia berbahagia dengan suaminya dan mereka telah mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manis."
Bi Lan memandang dengan sinar mata kasihan. "Dan engkau sekarang masih merasa
kesepian, toako?" "Tidak, tidak lagi! Penderitaan itu sudah lewat bagiku." Dan diam-diam Sim Houw maklum bahwa yang melenyapkan perasaan kesepian itu adalah sete-lah dia berjumpa dengan Bi Lan!
Dia mencinta gadis ini, akan tetapi cintanya sekali ini bukan sekedar cinta nafsu yang dibangkitkan oleh gairah karena ter-tarik oleh pribadi dan kecantikan Bi Lan. Tidak! Ia mencinta Bi Lan, merasa kasihan kepada Bi Lan dan dia ingin melihat orang yang dicintanya ini berb-ahagia. Bukan hanya ingin memperoleh gadis ini sebagai isterinya agar selamanya tidak berpisah dari-nya, Dia tidak akan menderita lagi walaupun dia tidak menjadi suami Bi Lan, asal gadis ini hidup bahagia.
"Dan sejak itu kau.... kau tak pernah jatuh cinta lagi?"
Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan hati Sim Houw. Akan tetapi dia tenang sekali sehingga kekagetannya tidak sampai nampak di wajahnya. Dia hanya menggeleng kepalanya.
Apa lagi yang dapat dilakukannya" Mengaku bahwa kini dia jatuh cinta kepada Bi Lan"
Tidak! Biarpun dia sungguh men-cinta gadis ini, dia tidak akan membuat pengakuan, tidak akan memberi kesempatan gadis ini menterta-wakannya. Putus cinta merupakan suatu kegagalan yang pernah dialami dan ditertawakan cintanya akan merupakan hal yang lebih menyakitkan lagi. Biarlah cintanya kepada Bi Lan menjadi suatu rahasia saja bagi dirinya sendiri.
Tiba-tiba ada suatu keinginan menyelinap di hati Bi Lan. Ia ingin menghapus kedukaan Sim Houw karena penderitaan putus cinta itu. Ia ingin membahagiakan orang ini. Ia ingin orang ini dapat jatuh cinta lagi dan bukan kepada orang lain, kecuali kepada dirinya! Betapa akan bahagianya dicinta oleh seorang pendekar yang memiliki cinta kasih sedemikian besar dan tulusnya. Seorang pria yang sudah matang, tidak dan bukan pemuda mentah seperti Hong Beng dan Kun Tek, cinta yang penuh cemburu, dan cinta yang membanding-bandingkan seperti Kun Tek. Hong Beng dan Kun Tek! Dua orang pemuda itu dapat membantunya.
Setidaknya, nama mereka. "Cinta memang membuat orang menjadi bingung, ya, toako" Aku sendiripun bingung
menghadapinya!" Tiba-tiba Bi Lan berkata dan wajahnya mem-bayangkan kedukaan.
Rasa kaget yang lebih besar melanda hati Sim Houw. Tidak lagi! Begitu kejamkah nasib sehingga baru saja bertemu dan jatuh cinta, dia sudah harus mendengar bahwa Bi Lan juga sudah mencinta pe-muda lain" Terlalu cepat datangnya, terlalu kejam walaupun dia sudah siap dengan kekuatan batin yang sudah mengalami luka patah cinta. Dia tetap tenang ketika bertanya.
"Hemm.... apakah hatimu juga dilanda cinta, Lan-moi?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
427 "Aku tidak tahu. Akan tetapi ada dua orang pemuda yang sama-sama menyatakan cinta kepadaku. Mereka adalah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek...."
"Ahh!" Sim Houw tercengang karena hal ini sama sekali tak pernah dibayangkannya. Paman cilik itu telah jatuh cinta! Hampir dia tertawa, akan te-tapi lalu teringat bahwa sekarang Kun Tek bukan seorang anak kecil lagi, melainkan seorang pemuda yang telah dewasa!
"Mula-mula Hong Beng yang lebih dahulu meng-aku cinta. Kemudian Kun Tek juga
menyatakan cinta kepadaku. Hong Beng pernah merasa cemburu dan berkelahi dengan Kun Tek. Akan tetapi sekarang agaknya mereka sudah dapat mengatasi rasa cemburu itu dan keduanya nampak sudah rukun dan akrab. Aku menjadi bingung, Sim-toako."
"Kenapa bingung" Pilih saja salah satu, mana yang berkenan di hatimu."
"Kalau menurut pandanganmu, siapa di antara kedua pemuda itu yang lebih baik, Sim-toako?" Bertanya demikian, Bi Lan menatap wajah itu dengan penuh perhatian dan sinar matanya yang tajam itu seolah-olah hendak menembus ke dalam dan menjenguk isi hati Pendekar Suling Naga.
Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia berpikir dengan sungguh-sungguh karena dia
menanggapi per-mintaan gadis itu dengan sungguh hati pula. "Lan-moi, sungguh
pertanyaanmu ini aneh sekali. Perjo-dohan hanya benar kalau berdasarkan cinta kasih, dan hanya engkau sendiri yang mengetahui siapa di antara kedua orang pemuda itu yang kaucinta."
"Justeru itu yang tidak aku ketahui, toako. Sela-ma hidupku, belum pernah aku jatuh cinta.
Aku tidak tahu yang mana di antara mereka yang kucinta. Akan tetapi terus terang saja, aku suka keduanya karena mereka berdua adalah murid-murid orang sakti, me-miliki ilmu kepandaian tinggi, keduanya adalah pen-dekar-pendekar sejati, dan keduanya sudah pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Oleh karena itu, sukar bagiku untuk memilih seorang di antara mereka. Tolonglah, toako, tolong bantu aku. Menu-rut engkau, siapa di antara mereka yang lebih baik?" Ia berhenti sebentar lalu menyambung, "Terus terang sajalah, Sim-toako, apakah aku harus memilih salah satu dan yang mana, ataukah aku harus menolak dua-duanya?"
Tentu saja kalau menurut kata hatinya, Sim Houw akan mengatakan agar gadis itu menolak ke-duanya! Akan tetapi Sim Houw tidak melakukan hal ini, tidak mau melakukan begitu karena dia tidak mau mempengaruhi pilihan hati Bi Lan. Betapapun juga, dia harus membantu gadis itu agar jangan salah pilih.
"Aku tidak ingin mempengaruhimu, Lan-moi. Engkau tahu bahwa Cu Kun Tek adalah
pamanku, walaupun usianya jauh lebih muda dariku. Akan teta-pi hubungan keluarga itu sama sekali tidak kumasuk-kan dalam penilaianku. Mari kita nilai mereka itu seorang demi seorang. Pertama kita menilai Gu Hong Beng. Dia murid pendekar Sakti Suma Ciang Bun, seorang anggauta keluarga Pulau Es, akan tetapi aku tidak tahu siapa orang tuanya. Dan menurut cerita-mu, dia berwatak pencemburu, sedangkan sifat-sifat-nya tentu engkau yang lebih tahu karena engkau per-nah bergaul dengannya. Sekarang Cu Kun Tek. Dia keturunan penghuni Lembah Naga Siluman dan keturunan keluarga Cu yang terkenal sebagai keluarga yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan luar biasa, dan tentu dia telah mewarisi ilmu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
428 dari keluarga itu. Sepanjang pengetahuanku, dia jujur dan keras akan tetapi sifat-sifat itu memang merupakan sifat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Adapun sifat-sifat lainnya, engkau pula yang lebih mengenalnya. Nah, sekarang terserah kepadamu untuk memilih yang mana."
Diam-diam sejak tadi Bi Lan memperhatikan Sim Houw dan mendengar ucapan dan melihat sikap yang sungguh-sungguh itu, tiba-tiba saja Bi Lan merasa kecewa. Agaknya pendekar ini sama sekali tidak peduli ia akan berjodoh dengan pria mana! Pende-kar ini sama sekali tidak menaruh perhatian kepada dirinya! Tiba-tiba saja Bi Lan merasa nelangsa sekali. Ia merasa betapa kini, satu-satunya orang yang dekat dirinya, dekat pula dengan hatinya, hanyalah Sim Houw. Kalau Sim Houw begitu acuh terhadap pilih-annya akan seorang calon suami, berarti pendekar ini tidak menaruh hati kepadanya. Ia menarik napas panjang.
"Sudahlah, Sim-toako. Aku sendiri sudah meno-lak cinta mereka. Hong Beng kuanggap kekanak-kanakan dan pencemburu besar, sedangkan Kun Tek hanyalah seorang laki-laki yang tinggi hati mengenai wanita. Aku sudah menolak cinta mereka berdua karena aku tidak cinta kepada mereka! Sekarang aku mau pergi saja, mencari subo.... selamat tinggal!" Dan gadis itu sudah meloncat dan lari dengan cepat meninggalkan Sim Houw.
"Heiii! Nanti dulu, Lan-moi....!" Sim Houw mengejar, akan tetapi gadis itu mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berlari seperti terbang saja. Sim Houw harus mengerahkan tenaga pula untuk dapat menyusul dan setelah mereka berlari berkejaran sampai jauh meninggalkan hutan itu, ba-rulah Bi Lan dapat tersusul oleh Sim Houw.
"Lan-moi, berhentilah sebentar, aku mau bicara!" kata Sim Houw setelah berhasil mendahului lalu menghadang di depan gadis itu. Dia melihat betapa selain terengah-engah kelelahan, juga ada bekas-bekas air mata di kedua pipi Bi Lan. Mudah dilihat bahwa ketika berlari-larian, Bi Lan telah menangis!
"Sim-toako, kenapa engkau mengejarku?" Bi Lan bertanya, dan suaranya yang agak parau juga membayangkan bekas tangis. Akan tetapi karena gadis itu berusaha menyembunyikan tangisnya, biarpun Sim Houw merasa heran sekali, dia pura-pura tidak meli-hat tangis itu.
"Lan-moi, engkau begitu tergesa-gesa pergi. Eng-kau hendak mencari keluarga Istana Gurun Pasir, apakah engkau sudah tahu di mana tempat itu?"
Bi Lan menggeleng kepala. "Aku belum pernah ke sana, akan tetapi subo pernah memberi keterangan tentang arah dan tanda-tandanya menuju ke sana sete-lah melewati Tembok Besar di utara."
"Aih, perjalanan itu begitu jauhnya! Lewat Tem-bok Besar" Sungguh merupakan daerah yang asing dan berbahaya sekali, Lan-moi. Karena itu, aku akan mengantarmu sampai engkau tiba di Istana Gurun Pasir."
Sinar kegembiraan yang cerah menerangi wajah yang tadinya kusut dan keruh itu. Dengan sepasang mata terbelalak gadis itu menatap wajah Sim Houw. Melihat betapa sepasang mata yang masih basah itu kini terbelalak lebar dan indah memandangnya, dan bayangan senyum didahului lesung pipit di kanan kiri pipi, Sim Houw memejamkan kedua matanya. Kagum dan haru memenuhi hatinya, akan tetapi dia meme-jamkan mata agar tidak terpesona oleh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
Duri Bunga Ju 8 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Kampung Setan 6
^