Pencarian

Suling Naga 13

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


"Locianpwe, aku mohon agar locianpwe suka membimbingku de-ngan ilmu silat tinggi agar kelak aku dapat membalas kematian kedua orang tuaku dan mencari pembunuh itu!"
Kakek itu menggelengkan kepalanya. "Aihh, cita-cita itu buruk sekali, nona Pouw.
Ketahuilah, dan ini sebagai pelajaran pertama, bahwa dengan adanya dendam kebencian di dalam hatimu, maka hal itu sudah membuat keruh batin, menjadi racun dalam darahmu dan dalam keadaan seperti itu, mana mung-kin engkau akan dapat belajar ilmu yang tinggi"
Hanya batin yang tenang sajalah yang akan mampu menghimpun tenaga yang kuat. Orang tuamu memang sengaja melibatkan diri dalam urusan besar dan kalau dia sekeluarga kini tertimpa bencana seba-gai akibatnya, hal itu wajar, bukan" Siapa bermain dengan air menjadi basah, bermain dengan api mung-kin saja terbakar. Nona Pouw, kalau engkau dapat melihat kenyataan itu, engkau tentu akan terbebas dari racun dendam kebencian"
Li Sian yang pendiam itu terlalu cerdik untuk membantah. Iapun mengangguk-angguk dan untuk mengalihkan percakapan, ia berkata, "Harap locian-pwe mulai sekarang tidak lagi menyebutku dengan nona Pouw, melainkan memanggil namaku saja seperti enci Lian."
"Baiklah, Li Sian. Dan kita tidak akan kem-bali ke kota raja. Kita cari tempat yang aman di luar kota raja dan jangan sampai didapatkan oleh pasukan yang tentu akan disebarkan untuk mencari kita. Mereka tentu akan menangkap kita dengan tu-duhan bahwa aku telah
membunuh keluarga Pouw dan melarikanmu."
"Ah, ini fitnah!" teriak Suma Lian. "Kita dapat melaporkan hal yang sebenarnya terjadi, kek!
Akulah saksi hidup bahwa mereka dibunuh oleh Sai-cu Lama, dan Li Sian tentu akan menjadi saksi hidup bahwa kakek sama sekali tidak menculiknya melain-kan menyelamatkannya malah."
Kakek tua itu tersenyum. "Aih, engkau belum tahu betapa curang dan liciknya mereka yang sudah main perebutan kekuasaan di dalam pemerintahan, Lian. Biarlah, kita menjauhi keributan dan untuk sementara ini kita bersembunyi saja di tempat yang aman." Dan kakek itu lalu mengajak dua orang anak perempuan itu untuk melanjutkan perjalanan.
*** Pao-teng merupakan kota yang cukup besar dan ramai, terletak di sebelah selatan kota raja.
Kemelut yang terjadi di kota raja karena persaingan antara Hou Seng dan para pembesar yang menentangnya, tentu saja menjadi sumber berita dan berita itu sudah tiba di Pao-teng. Apa lagi akhir-akhir ini, di kota dikabarkan bahwa Pouw Taijin dan keluarganya ber-sekutu dengan orang-orang kang-ouw, bahkan kemu-dian Pouw Taijin dan isterinya dikabarkan terbunuh oleh orang kang-ouw, sedangkan keluarganya ditang-kap pemerintah dengan tuduhan pemberontak! Se-menjak terjadinya peristiwa itu, seringkali di kota ra-ja, di pasar-pasar, di rumah-rumah makan dan di ho-tel-hotel, juga di pintu-pintu gerbang, diadakan pem-bersihan dan penangkapan-penangkapan bagi mereka yang dicurigai.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
368 Yang amat ditakuti oleh orang-orang yang merasa pernah belajar silat adalah munculnya pasukan berpakaian preman yang dipimpin oleh orang-orang pandai. Banyak sudah orang-orang kang-ouw ditangkap dan diperiksa. Mereka yang bersikap anti pemerintah atau anti pembesar Hou Seng, segera dijebloskan pen-jara dan bahkan banyak pula yang terbunuh dalam pembersihan dan penangkapan-penangkapan itu. Du-nia kang-ouw menjadi gelisah.
Orang-orang yang tinggal di kota Pao-teng mendengar pula akan kemelut itu dan mereka khawatir bahwa pembersihan-pembersihan dan penangkapan-penangkapan yang dilakukan pasukan itu akan menjalar sampai ke Pao-teng. Apa lagi melihat betapa ba-nyak keluarga orang kang-ouw meninggalkan kota raja dan lari mengungsi ke selatan. Tentu saja setiba-nya di Pao-teng mereka itu menyebar berita yang simpang-siur dan membuat penduduk menjadi sema-kin gelisah.
Berita seperti itu, yang menyangkut keamanan rakyat dan pergolakan di kalangan atas, tentu saja menarik perhatian Kao Cin Liong yang di waktu mudanya pernah menjabat sebagai seorang panglima muda. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kao Cin Liong bersama keluarganya tinggal di kota Pao-teng dan berdagang rempa-rempa. Sejak itu dia sama sekali tidak pernah mencampuri urusan peme-rintahan, bahkan jarang-jarang menonjolkan diri di dunia kang-ouw. Bekas jenderal yang juga seorang pendekar perkasa itu kini berusia kurang lebih lima puluh tahun, tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dengan isterinya yang tercinta, yaitu Suma Hui yang sekarang juga sudah berusia empatpuluh tahun, dan puteri mereka yang merupakan anak tunggal, ber-nama Kao Hong Li, berusia tigabelas tahun.
Apa lagi ketika terdengar berita yang mengatakan bahwa keluarga Pouw Tong Ki yang masih menjadi seorang menteri telah terbunuh, bahkan keluarganya ditangkap dengan tuduhan mengusahakan pemberon-takan dengan mengadakan persekutuan dengan orang-orang jahat yang berilmu tinggi, Kao Cin Liong ter-kejut dan berduka sekali. Dia mengenal sahabatnya itu, sebagai orang yang setia aan jujur terkadap ka-isar, seorang yang bijaksana dan tidak mau mengguna-kan kedudukannya untuk mencari keuntungan diri sendiri. Sukar dia dapat percaya bahwa seorang yang begitu setia seperti Pouw Tong Ki berusaha menga-dakan
pemberontakan! Kecuali kalau keadaan sudah terpaksa sekali dan di istana terjadj hal-hal yang luar biasa. Tentu ada sebabnya, atau kalau tidak, tentu sahabatnya ini hanya kena fitnah saja. Dia menge-mukakan rasa penasaran di hatinya itu di depan is-terinya.
"Ingin sekali aku menyelidiki kematian sahabatku itu. Tentu ada rahasia di balik peristiwa itu. Dia dan isterinya terbunuh, puterinya diculik orang dan putera-puteranya ditangkap pemerintah dan dihukum!
"Tak mungkin nssibnya seburuk itu. Dia orang baik sekali!"
"Aihh!" Isterinya yang bernama Suma Hui, se-orang cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengerutkan alisnya. "Sudah belasan tahun kita hi-dup dengan tenteram tanpa mencampuri urusan pemerintah maupun dunia kang-ouw. Kalau sekali kita terjun, kita tentu akan terlibat dan kesulitan-kesulit-an, pertentangan dan permusuhan tentu akan datang bertubi-tubi menghancurkan ketenteraman kehidupan kita. Engkau sudah mengundurkan diri, mengapa sekarang hendak mencari penyakit" Biarkanlah me-reka yang masih haus akan kekuasaan itu bekerja. Aku yakin bahwa urusan yang terjadi di kota raja itu tidak lain hanyalah masalah perebutan kekuasaan belaka. Perlukah kita mencampurinya?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
369 Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan menyen-tuh lengan isterinya. "Engkau benar, benar sekali. Kadang-kadang rasa penasaran membuat batinku memberontak! Akan tetapi apakah kalau aku ber-campur tangan lalu keadaan akan menjadi baik" Apa-kah aku akan mampu mengatasi semua kemelut yang sedang terjadi di kota raja" Ah, aku yakin tidak mungkin bisa.
Jangan-jangan pencampurtanganan dariku bahkan menambah besarnya kemelut. Engkau benar. Urusan pemerintahan bukan urusanku, dan sahabatku Pouw Tong Ki itu menjadi korban karena dia masih menjabat menteri. Andaikata dia tidak menjadi pembesar dan hidup seperti kita, kurasa dia pun tidak akan mengalami nasib sedemikian buruknya."
Pada saat itu, seorang anak perempuan yang ber-mata lebar dan berwajah manis berlari masuk. Anak perempuan berusia tigabelas tahun yang lincah ini adalah Kao Hong Li, puteri dan anak tunggal suami isteri pendekar itu.
"Ayah, ada seorang tamu ingin bertemu dengan ayah. Seorang pemuda berpakaian serba biru, berna-ma Gu Hong Beng."
"Hemm, ada keperluan apakah orang muda itu datang?" tanya Kao Cin Liong, merasa terganggu karena dia sedang membicarakan urusan yang penting dan serius dengan isterinya.
"Dia tidak mengatakan keperluannya. Orangnya pendiam dan kelihatan malu-malu. Mungkin dia da-tang untuk minta pekerjaan, ayah."
Dengan gerakan tangan tidak sabar karena merasa terganggu, Kao Cin Liong berkata kepada Hong Li, "Kautanya apa keperluannya, kalau benar dia datang minta pekerjaan, katakan saja bahwa pada waktu ini aku belum memerlukan bantuan tenaga baru."
Hong Li lalu berlari ke luar. Gadis cilik yang lincah ini melihat betapa sikap ayah ibunya kaku dan wajah mereka keruh. Tentu ada sesuatu yang meng-ganggu ayah ibunya dan hatinya ikut merasa tidak senang. Ia menganggap kemunculan pemuda itu hanya menggangu saja!
Ia kini berhadapan dengan Hong Beng yang ma-sih berdiri di luar pintu depan. Melihat betapa anak perempuan itu kini muncul lagi dan tidak nampak orang lain, Hong Beng memandang dengan heran. Akan tetapi, Hong Li dengan nada suara kesal segera berkata,
"Ayah dan ibu sedang sibuk, tidak dapat menerima tamu!"
Hong Beng mengerutkan alisnya. Menurut penuturan suhunya, Kao Cin Liong adalah
seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman. Kenapa keluarga ini sekarang bersikap begitu angkuh" Apakah ada sesuatu yang terjadi" Dia merasa penasaran. Anak perempuan ini kelihatan galak dan pandang mata yang tajam itu mengandung kenakalan. Jangan-jangan ulah anak perempuan ini saja yang hendak mempermainkannya.
"Akan tetapi, penting sekali bagiku untuk berte-mu dengan Kao-locianpwe!"
"Hemm, mungkin penting bagimu, akan tetapi tidak ada artinya bagi kami. Ada keperluan apakah engkau hendak menghadap ayah dan ibu?"
Hong Beng menganggap bahwa sikap anak pe-rempuan ini tinggi hati sekali, maka diapun menja-wab singkat, "Keperluan banyak. Aku singgah di sini dan ingin menghadap adalah untuk memenuhi pesan guruku."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
370 "Siapa sih gurumu?" tanya Hong Li sambil memandang pemuda itu dengan teliti, dari kepala sampai ke kaki.
"Guruku bernama Suma Ciang Bun....!"
"Bohong!" Hong Li membentak keras sampai Hong Beng menjadi kaget. "Enak saja engkau meng-aku murid pamanku. Kalau benar muridnya, tentu engkau dapat menyambut
seranganku ini!" Tanpa banyak cakap lagi gadis cilik yang galak dan lincah itu sudah menerjang maju, memukul ke arah dada Hong Beng.
Tentu saja Hong Beng mengenal sebuah jurus dari Ilmu Cui-beng Pat-ciang itu, maka diapun meng-elak dengan mudahnya. Bahkan karena mendongkol dan menganggap anak perempuan ini terlalu galak, ketika Hong Li menyerang lagi dengan tendangan kilat, dia mengelak sambil memutar langkahnya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menampar ke arah pinggul anak perempuan itu, dengan maksud untuk menghajarnya agar tidak terlalu nakal dan bersikap sopan kepada tamu.
"Plakk!" Pinggul itu kena ditampar, cukup keras sehingga mendatangkan rasa panas dan nyeri.
Marahlah Hong Li. Sepasang matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking
marahnya. "Haiiiittt....!" Ia berteriak dan kini ia meng-hujankan pukulan-pukulan ke arah tubuh Hong Beng, mempergunakan ilmu-ilmu silat yang pernah dipela-jarinya dari ayah ibunya. Kalau tadi ia sengaja me-nyerang dengan jurus dari Cui-beng Pat-ciang yang dilatihnya dari ibunya, kini ia menggunakan ilmu yang didapat dari ayahnya yang tentu tidak akan di-kenal oleh seorang murid pamannya karena kalau ibu-nya merupakan keturunan keluarga Pulau Es, ayah-nya adalah keturunan majikan Istana Gurun Pasir!
Akan tetapi, Hong Li yang baru berusia tigabelas tahun ini, tentu saja belum menguasai ilmu-ilmu silat tinggi itu dengan matang dan bukan merupakan la-wan berat bagi Hong Beng.
Kalau pemuda ini meng-hendaki, tentu dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi Hong Beng dapat menduga siapa adanya gadis cilik ini. Puteri dari Pendekar Kao Cin Liong. Maka diapun hanya mengalah dan terus main mundur, mengelak dan menangkis, tidak pernah membalas.
Pada saat Hong Li menyerang sambil mengeluar-kan bentakan nyaring itu, tentu saja Kao Cin Liong dan Suma Hui yang berada di dalam rumah terkejut sekali dan mereka berdua bergegas keluar untuk me-lihat apa yang terjadi. Ketika mereka melihat anak mereka berkelahi dengan seorang pemuda baju biru, Cin Liong sudah hendak melerai, akan tetapi lengan-nya dipegang isterinya yang berbisik, "Lihat, bukan-kah dia menggunakan gerakan ilmu silat keluargaku?"
Cin Liong memperhatikan dan harus mengakui kebenaran isterinya. Pemuda yang selalu mengelak atau menangkis, yang terus mengalah itu, bersilat dengan gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Sete-lah mereka melihat jelas, dan juga tahu bahwa pemu-da itu lihai sekali dan sengaja mengalah, Suma Hui lalu meloncat ke depan.
"Hong Li, hentikan serangan-seranganmu itu!" bentaknya. Mendengar bentakan ibunya, Hong Li meloncat ke belakang. Peluh membasahi dahi dan lehernya, ia merasa penasaran sekali tadi karena se-mua serangannya luput atau tertangkis, akan tetapi setelah ayah ibunya Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
371 muncul, iapun kini sadar bahwa ialah yang lebih dulu menyerang pemuda itu. Maka sebelum pemuda itu ditanyai, ia lebih dulu berkata kepada ibunya.
"Siapa yang tidak mendongkol" Orang ini meng-aku-aku sebagai murid paman Suma Ciang Bun!"
"Anak bodoh! Apa engkau sudah tidak mengenal lagi gerakan-gerakannya yang jelas membuktikan ke-benaran pengakuannya?" kata Suma Hui dan de-ngan girang ia memandang kepada pemuda itu yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan ia dan sua-minya.
"Harap bibi guru dan paman tidak menyalahkan adik ini. Saya yang bersalah dan maafkan kelancangan saya," kata Hong Beng yang diam-diam teringat betapa dia tadi sudah
"menghajar" gadis cilik itu dengan menampar pinggulnya! Ia menjadi khawatir kalau-kalau si kecil itu mengadu kepada orang tuanya.
"Engkau murid adikku Suma Ciang Bun" Suma Hui bertanya. Dan siapa namamu tadi" Hong Li sudah memberitahukan kepada kami akan tetapi kami lupa......."
"Namanya Gu Hong Beng dan kalau dia tak berhati-hati menjaga kelancangan tangan dan mulutnya, tentu akan kuhajar lagi!" kata Hong Li dan ucapan ini saja sudah membuat Hong Beng semakin gelisah. Kiranya anak ini telah menyindirkan bahwa kalau ia tidak bersikap baik, tentu gadis cilik itu akan menghajarnya dengan mengadu kepada ayah dan ibunya
"Adik yang baik, harap maafkan aku."
Kao Cin Liong tidak senang melihat kemanjaan puterinya. Jelas tadi bahwa yang terus-menerus melakukan penyerangan adalah Hong Li, akan tetapi ki-ni sikap puterinya itu seolah-olah pemuda itu yang bersalah. "Sudahlah, mari kita masuk dan bicara di dalam."
Mereka masuk ke dalam rumah dan kemudian duduk di ruangan dalam. Suma Hui bertanya tentang adik laki-lakinya yang sudah lama tak pernah dijum-painya itu. Hong Beng menceritakan keadaan diri-nya, betapa dia diselamatkan oleh Suma Ciang Bun pada tujuh tahun yang lalu, kemudian menjadi murid-nya.
"Teecu diutus oleh suhu untuk melakukan penyelidikan tentang seorang pembesar bernama Hou Seng karena suhu mendengar betapa pembesar itu mengu-asai kaisar dan merajalela di kota raja."
Suami isteri itu saling pandang. "Ah, jadi berita tentang orang she Hou itu sudah sampai sejauh itu?" Kao Cin Liong berseru heran.
"Tidak aneh. Berita tentang kebaikan seseorang tidak akan melewati ambang pintu gerbang, sebalik-nya berita tentang kebusukan seseorang akan terbawa angin dan meluas dengan cepatnya."
"Lalu apa yang telah kaulakukan, Hong Beng?" tanya Kao Cin Liong sambil memandang wajah tam-pan sederhana itu.
Hong Beng lalu menceritakan betapa dia sudah pergi ke kota raja. "Teecu pergi ke kota raja bukan hanya untuk memenuhi perintah suhu, akan tetapi juga untuk mencari jejak seorang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
372 pendeta Lama dari Tibet yang telah melarikan adik Suma Lian puteri dari susiok (paman guru) Suma Ceng Liong."
Suami isteri itu terkejut sekali. "Aih! Apa yang telah terjadi dengan anak itu?" teriak Suma Hui. Tentu saja ia mengenal Suma Lian karena beberapa kali sudah ia bertemu dengan puteri tunggal Suma Ceng Liong itu.
Hong Ben, menceritakan tentang kunjungannya ke dusun Hong-cun dan kebetulan sekali dia sempat membantu nenek Teng Siang In yang berkelahi me-lawan Sai-cu Lama
memperebutkan Suma Lian yang diculik oleh kakek itu, sampai akhirnya nenek Teng Siang In tewas dan Suma Lian dilarikan oleh Sai-cu Lama. Mendengar cerita ini, kedua suami isteri itu menjadi semakin terkejut.
"Bibi Teng Siang In sampai tewas" Aihhh.... kami sama sekaii tidak mendengar!"
"Mungkin susiok Suma Ceng Liong tidak sempat memberi kabar karena tentu dia dan isterinya cepat-cepat melakukan penyelidikan dan hendak mencari puteri mereka," kata Hong Beng.
"Adik Lian diculik orang" Wah, siapa penculik-nya itu! Ayah dan ibu, mari kita pergi mencari dan menyelamatkannya!" teriak Hong Li marah mende-ngar betapa adik misannya itu diculik orang jahat.
Kao Cin Liong memberi isyarat agar puterinya itu tidak membuat gaduh, lalu dia bertanya kepada Hong Beng, "Kalau sampai bibi Teng Siang In tewas di tangan orang itu, tentu orang itu lihai sekali. Orang macam apakah yang bernama Sai-cu Lama itu?"
"Sai-cu Lama memang lihai sekali, sudah tua bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kepalanya gundul, mengenakan pakaian jubah pendeta Lama dari Tibet. Nenek Teng Siang In terluka oleh Ban--tok-kiam sehingga akhirnya tewas...."
"Ban-tok-kiam....?" Kao Cin Liong dan Suma Hui berteriak hampir berbareng.
Hong Beng teringat bahwa pedang pusaka itu adalah milik subo (ibu guru) dari Bi Lan, yaitu nenek Wan Ceng atau ibu kandung Kao Cin Liong ini. "Benar, pedang pusaka itu adalah milik locianpwe Wan Ceng dan oleh Sai-cu Lama pedang itu dirampas dari tangan nona Can Bi Lan."
"Eh, bagaimana pula ini" Siapa itu Can Bi Lan dan bagaimana pedang Ban-tok-kiam milik ibuku berada di tangannya?" Kao Cin Liong bertanya tak sabar lagi. Tak disangkanya bahwa pemuda yang datang ini membawa banyak sekali berita yang amat penting dan mengejutkan.
"Nona Can Bi Lan pernah menerima latihan ilmu dari locianpwe Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan nona itu menerima pedang pusaka Ban-tok-kiam yang dipinjamkan oleh subonya untuk melindungi di-ri. Akan tetapi ternyata, di depan teecu sendiri, kakek Sai-cu Lama merampasnya. Kami berdua sudah berusaha untuk merampasnya kembali, namun
kakek itu amat lihai dan dapat meloloskan diri. Dan kemu-dian, teecu bertemu pula dengan kakek itu ketika kakek itu bertempur melawan locianpwe Teng Siang In, melukainya dengan Ban-tok-kiam dan menculik adik Suma Lian puteri dari susiok Suma Ceng Liong."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
373 Suami isteri itu terkejut dan terheran-heran. "Ah! Ban-tok-kiam terampas orang dan dipakai membunuh bibi Teng Siang In, dan puteri adik Suma Ceng Liong juga diculik oleh perampas Ban-tok-kiam itu! Ah, kita tidak boleh tinggal diam saja!" kata Suma Hui sambil mengepal tinju.
Kao Cin Liong yang lebih tenang sikapnya itu hanya mengangguk, lalu memandang wajah Hong Beng. "Orang muda, berita yang kaubawa ini sung-guh amat penting sekali bagi kami dan kamiberterima kasih sekali kepadamu. Karena kamipun mende-ngar kabar-kabar angin yang buruk sekali mengenai kota raja, maka dapatkah kau menceritakan bagaima-na sebenarnya keadaan di sana?"
"Teecu sudah melakukan penyelidikan di kota raja, akan tetapi tidak menemukan jejak Sai-cu Lama yang melarikan Ban-tok-kiam dan adik Suma Lian Teecu mendengar bahwa pembesar yang bernama Hou Seng itu amat berkuasa di istana dan kini dia dibantu oleh banyak orang sakti. Juga teecu mende-ngar akan pertentangan-pertentangan dan pembunuh-an-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota raja, di antara orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, Karena teecu tidak tahu apa yang harus teecu lakukan, maka teecu teringat akan pesan suhu agar me-nemui bibi guru di sini dan minta nasihat dari locian-pwe yang lebih tahu akan seluk-beluk para pembesar di kota raja."
Kao Cin Liong menarik napas panjang. "Sudah belasan tahun aku sendiri tidak pernah mencampuri urusan pemerintah dan dunia kang-ouw sehingga aku sendiri tidak dapat banyak memberi nasihat. Tadinya kami sama sekali tidak menaruh minat dan tidak ingin terlibat karena semua kemelut itu terjadi aki-bat para pembesar yang saling memperebutkan keku-asaan. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Suma Lian diculik orang, juga pusaka ibuku yang dipinjam-kan kepada gadis bernama Can Bi Lan itu dirampas orang pula, dan orang itu agaknya menuju ke kota raja, maka kami tidak akan tinggal diam saja. Sete-lah melihat sendiri keadaan di kota raja, barulah aku akan dapat menentukan apa yang sebaiknya harus dilakukan."
"Ayah, aku ikut ke kota raja. Aku harus mem-bantu agar adik Lian dapat segera diselamatkan dan kita hajar penculiknya!" kata Hong Li dengan ge-mas. Hong Beng memandang gadis cilik itu dan me-rasa kagum. Gadis cilik ini biarpun galak, akan te-tapi penuh semangat dan keberanian, jiwa seorang pendekar sejati.
"Hong Li, ayah ibumu bukan ingin pergi ke kota raja untuk pelesir. Engkau harus tahu bahwa kita berhadapan dengan orang pandai sekali. Lihat, ini suhengmu yang demikian pandaipun tidak mampu menandingi penculik itu! Engkau harus menjaga rumah dan kami akan pergi melakukan penyelidikan. Kami harus dapat menolong adikmu Suma Lian," ka-ta Suma Hui kepada anaknya.
Setelah bercakap-cakap menceritakan pula keada-an gurunya, Hong Beng lalu berpamit untuk melan-jutkan penyelidikannya di kota raja. Suami isteri itu tidak menahannya dan berjanji akan segera berangkat juga ke sana. "Mudah-mudahan kita dapat saling bertemu dan bergabung di sana," kata Kao Cin Liong.
Setelah pemuda itu pergi dan bicara berdua saja, Kao Cin Liong dan Suma Hui memuji pemuda murid Suma Ciang Bun itu.
"Dia masih muda sekali, kepandaiannya sudah cu-kup tinggi dan melihat sikapnya, apa lagi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
374 ketika melayani kerewelan Hong Li, dia itu orangnya sabar dan bijaksana. Sungguh seorang pemuda yang baik sekali," kata Kao Cin Liong.
Isterinya mengangguk dan memandang wajah suaminya, seperti ingin menjenguk isi hatinya.
"Kaupi-kir cukup baik untuk anak kita?"
Kao Cin Liong mengangguk-angguk. "Kalau saja anak kita yang hanya satu-satunya itu kelak bisa berjodoh dengan seorang pemuda seperti Gu Hong Beng itu, aku akan merasa bersyukur sekali. Akan tetapi, tentu saja semua itu terserah kepada Hong Li sendiri."
"Benar," kata isterinya. "Memang pemuda itu baik, akan tetapi itu menurut pandangan dan penda-pat kami. Dalam hal perjodohan, pandangan dan pendapat anak yang bersangkutanlah yang penting, bukan pandangan orang tua."
Cin Liong mengangguk. "Engkau benar, isteriku. Tidak ada contoh yang lebih baik dari pada perjodohan antara kita sendiri. Anak kita yang harus menentukan kelak, siapa yang akan menjadi suaminya, betapapun condongnya hati kita untuk bermenantukan seo-rang pemuda seperti Hong Beng itu."
"Benar, dan pula, biarpun Ciang Bun itu adik kandungku sendiri, kita sudah tahu akan kelainan pada dirinya. Hal ini yang menimbulkan keraguan. Siapa tahu Hong Beng yang menjadi muridnya itupun memiliki kelainan yang sama. Ah, sudahlah. Biar kelak Hong Li memilih sendiri dan kita sebagai orang tua hanya ikut mengamati saja agar pilihannya tidak keliru."
"Pendapat seperti yang diucapkan oleh Suma Hui inilah yang seringkali menjadi pokok dasar pertentangan antara orang tua dan anaknya dalam pemilih-an jodoh. Orang tua bilang tidak akan memilihkan, dan membiarkan si anak memilih dan menentukan sendiri jodohnya, dengan embel-embel agar anaknya tidak KELIRU memilih! Ini sama saja dengan keha-rusan menurut pilihan orang tua! Tentu saja kalau orang tua tidak suka dengan calon suami pilihan anak-nya, dengan mudah mereka melontarkan kata-kata KELIRU memilih itulah! Kalau orang merasa tidak suka, mudah saja mencari cacat cela orang yang tidak disukainya itu, sebaliknya kalau orang merasa suka, juga mudah pula mencari segi-segi kebaikannya untuk ditonjolkan. Memang kalau sudah ada penilaian, tidak ada orang yang hanya baik saja tanpa cacat, juga tidak ada orang yang sama sekali busuk tanpa kebaikan sedikitpun. Kalau si anak memilih orang yang disuka, maka dikatakan bahwa pilihannya itu sudah benar, akan tetapi kalau sebaliknya yang dipilih itu tidak disukai, tentu dikatakan bahwa pilihannya keliru dan terjadilah pertentangan.
Ini bukan berarti bahwa orang tua harus membebaskan anaknya sebegitu rupa sehingga si anak boleh melakukan apa saja sesuka hatinya! Bebas bukan berarti "semau gua". Bebas dalam arti kata tidak tertekan oleh kekuasaan orang lain, akan tetapi di dalam kebebasan itu terdapat disiplin diri yang tidak terlepas dari pada tata cara pergaulan dalam masyarakat.
Karena itu, orang tua yang bijaksana, di samping memberi kebebasan yang seluasnya kepada si anak, juga sepenuh perhatian memberi bimbingan dan pendidikan kepada si anak, sehingga si anak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berakal budi, dan bu-kan hanya menjadi seorang hamba nafsu belaka. Per-jodohan baru benar kalau berdasarkan cinta kasih, dan cinta adalah urusan batin yang bersangkutan, yang hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh orang yang bersangkutan saja. Pilihan orang tua tak mung-kin berdasarkan cinta kasih ini karena mereka tidak ikut merasakan. Pilihan orang tua tentu hanya ber-dasarkan keadaan si calon Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
375 yang dipilih, wajah dan watak yang baik, dari keturunan keluarga yang baik, kedudukan yang baik dan sebagainya, yang kesemua-nya diukur dari keadaan umum atau dari selera me-reka sendiri. Sebaliknya, pilihan orang yang bersang-kutan biasanya berdasarkan cinta. Sayang bahwa kebanyakan cinta di antara mereka ini sebenarnya hanyalah nafsu belaka, tertarik karena wajah elok, kepandaian, kedudukan dan sebagainya sehingga ke-lak mereka akan menemui kegagalan.
*** Ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pintu gerbang kota raja, nampaknya semua berjalan biasa saja dan keadaan di kota raja juga tetap ramai dan tenang. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka sudah diintai dau dibayangi sejak mereka tiba di pin-tu gerbang! Bhok Gun dan Bi-kwi, dua orang yang kini bertugas memimpin pasukan berpakaian preman yang melakukan pembersihan sampai di mana-mana, bagaikan dua orang yang hendak menjala ikan, meli-hat dari jauh betapa Sim Houw dan Bi Lan mema-suki kota raja seperti ikan-ikan kakap memasuki ja-ring yang mereka pasang! Mereka tidak mau turun tangan ketika melihat dua orang muda ini, khawatir kalau sampai dua orang itu dapat meloloskan diri. Maka, mereka hanya menyuruh anak buah memba-yangi dari jauh segala gerak-gerik dua orang itu, se-dangkan mereka sendiri membuat laporan kepada Kim Hwa Nio-nio dan membuat
persiapan. Kim Hwa Nio-nio menjadi girang sekali mendengar bahwa orang yang kini menguasai Liong-siauw-kiam telah datang ke kota raja. Ia harus merampas kembali pu-saka yang dulu menjadi milik gurunya itu. Ialah yang berhak memiliki pusaka itu, bukan orang lain.
Sim Houw dan Bi Lan melihat bahwa keadaan di kota raja nampak tenang saja, masih ramai dan biarpun hari telah senja, masih banyak toko yang bu-ka dan banyak pula orang yang berlalu lalang meme-nuhi jalan-jalan raya. Demikian banyaknya orang di kota raja sehingga diam-diam Bi Lan yang selamanya baru sekali itu berkunjung ke kota besar yang ramai itu, menjadi bingung ke mana ia harus mencari Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam itu.
"Wah, ke mana kita harus mencari dia di tempat sebesar dan seramai ini?" katanya lirih ketika me-reka berjalan-jalan di sepanjang toko-toko itu.
"Hari telah hampir malam. Kita perlu beristirahat dulu. Besok kita melakukan penyelidikan, ke kuil-kuil karena barang kali ada hwesio yang mengenal pendeta Lama itu. Atau ke pasar-pasar, ke tempat--tempat umum. Mari kita mencari rumah peng-inapan."
Bi Lan yang belum berpengalaman dalam hal ini, hanya menurut saja dan mengikuti kawannya. Mere-ka memasuki sebuah rumah penginapan dan Sim Houw minta disediakan dua buah kamar. Setelah me-reka diantar ke kamar masing-masing, Bi Lan segera
menyatakan keheranannya. "Sim-toako, selama dalam perjalanan kita bersa-ma, kita bermalam di dalam kuil-kuil tua, di dalam hutan bawah pohon-pohon, selalu kita berada dalam satu ruangan, tidur dalam satu ruangan. Akan tetapi sekarang, di tempat ini, kenapa mendadak engkau minta disediakan dua kamar dan kita tiduk terpisah" Mengapa?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
376 Sim Houw tersenyum, terharu melihat kepolosan hati gadis ini. Dia tahu bahwa sejak kecil Bi Lan hidup seperti liar, jauh dari masyarakat umum, jauh dari apa yang oleh masyarakat disebut sebagai keso-panan atau tata-susila. Karena itu maka Bi Lan dapat mengajukan pertanyaan dan demikian terbuka dan polos.
"Lan-moi, agaknya masih banyak yang tidak kau- ketahui tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan yang sudah penuh dengan peraturan-peraturan umum, dengan kesopanan dan tata-susila, dengan kebudayaan dan peradaban. Ada garis pemisah antara pria dan wanita di semua bidang, terutama kamar tidur. Hanya suami isteri saja yang tidur di satu ruangan, Lan-moi. Di dalam kehidupan ramai ini, segalanya ada aturannya. Berpakaiaupun harus diatur, bahkan cara makan, cara kita bicara, apa lagi bagi wanita, ditentukan oleh peraturan-peraturan.
Contohnya, ka-lau makan kita tidak boleh nongkrong seenaknya, harus duduk dengan sopan dan bahkan ketika kita mengunyah makananpun ada aturannya. Tidak boleh tergesa-gesa memperlihatkan kelahapan, dan tidak boleh sampai mengeluarkan bunyi, sedikit demi sedi-kit, terutama wanita. Tertawapun bagi wanita ada aturannya, mulut harus ditutup tangan, dan sedapat mungkin jangan sampai terdengar gelak tawa."
"Hayaaa.... repot benar kalau begitu!"
"Memang merepotkan sekali. Akan tetapi umum sudah menentukun demikian dan siapa melanggar ke-tentuan umum ini dianggap tidak sopan, tidak tahu aturan, bahkan bisa saja dianggap gila!"
"Wah, merekalah yang gila kalau begitu
"Memang. Akan tetapi betapa gilapun, kalau umum, menjadi baik, Lan-moi. Kehidupan di ma-syarakat ramai memang sudah menjadi tidak wajar lagi, penuh dengan kepalsuan. Dan kita, kalau sudah hidup di dalam masyarakat ramai, mau tidak mau ha-rus ikut-ikutan karena kalau tidak kita dicap sebagai orang yang tidak tahu aturan, tidak sopan, atau bah-kan gila!"
Apa yang dikatakan oleh Sim Houw itu, betapa-pun pahitnya, adalah suatu kenyataan yang tak dapat kita bantah lagi kalau kita mau membuka mata. Akan tetapi kita harus waspada dan membuka mata penuh perhatian, karena kalau tidak, kita tidak akan dapat melihat itu semua, karena sejak kecil kita sudah ha-nyut di dalamnnya. Kita sudah menjadi bagian dari tata-cara yang palsu itu, kitalah yang membentuk kepalsuan-kepalsuan itu, yang menjadikan kita ini orang-orang munafik. Betapapun janggalnya, kalau sudah menjadi kebiasaan, nampaknya wajar dan nor-mal saja karena kebiasaan ini membentuk watak kita.
Peraturan-peraturan dan pandangan-pandangan umum, termasuk kita sendiri, sudah menjadi sifat kehidupan kita. Kita hidup tidak menurutkan kata hati lagi, tidak menurutkan kebutuhan badan lagi, melainkan kita harus menyesuaikan hidup kita de-ngan peraturan-peraturan dan pandangan-pandangan umum. Bahkan agar dianggap "umum" kalau perlu kita menyiksa hati dan badan. Kita berlumba untuk memperoleh penghormatan dan penghargaan umum, kalau perlu dengan tindakan-tindakan yang tidak se-suai dengan hati dan badan kita sendiri, bahkan ka-lau perlu menyiksa diri sendiri. Banyak sekali nam-pak kenyataan-kenyataan ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara kita berpakaian, yang didahulukan adalah kesopanan menurut pendapat dan peraturan umum. Kalau umum menghendaki bahwa yang diang-gap sopan
adalah berjas dan dasi, maka kita akan memakainya, walaupun badan merasa tersiksa karena panas dan gerahnya. Akan tetapi peraturan umum ini berubah-ubah, dan selalu kita Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
377 mengikutinya de-ngan membuta. Biarpun hati kita sedang menangis, mulut kita senyum-senyum, hanya untuk menuruti kesopanan umum itulah. Cara kita menghormat dan
menghargai orang sudah ditentukan oleh keadaan lahir belaka. Penghormatan dan
penghargaan bukan lagi menjadi urusan hati, melainkan urusan lahir, un-tuk pameran belaka.
Kita sudah tak mungkin hidup wajar lagi di masyarakat ramai ini, karena kewajaran seperti yang diperlihatkan Bi Lan, berarti pelanggar-an norma-norma susila yang sudah kita tentukan, kita yang dalam hal ini berarti umum.
Setelah mendapat penjelasan dari Sim Houw Bi Lan dapat mengerti terpaksa iapun tidur dalam kamar sendiri. Setelah makan malam di restoran se-belah, mereka berdua lalu beristirahat di kamar ma-sing-masing. Justeru karena tidur terpisah inilah ma-ka malapetaka terjadi! Biasanya, kalau mereka tidur di kuil-kuil kosong atau di dalam hutan, mereka ber-jaga dengan bergilir. Kini, setelah tidur dalam kamar masing-masing, dengan jendela dan pintu terkunci, mereka merasa aman dan keduanya melepas-kan lelah dan tidur.
Hujan yang turun rintik-rintik malam itu membu-at Bi Lan tidur nyenyak. Tubuhnya yang lelah mem-buat ia tidur enak sekali sehingga ia tidak tahu bah-wa ada beberapa orang mendekati kamarnya ke arah jendela. Ketika itu menjelang tengah malam, semua tamu sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi sekali. Hanya rintik hujan di atas genteng yang terdengar seperti musik yang aneh namun mengasyikkan.
Ketika daun jendela kamar dijebol orang dan beberapa bayangan berloncatan masuk, barulah Bi Lan terkejut. Sebagai seorang gadis yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, begitu terbangun, semua urat syaraf dan otot di dalam tubuhnya sudah siap siaga dan begitu ada orang menubruk ke arah diri-nya di atas tempat tidur, disambutnya tubrukan orang itu dengan sebuah tendangan kilat.
"Brukkk....!" Orang yang menubruknya itu, seorang laki-laki tinggi tegap, terkena tendangan pada dadanya sehingga terlempar dan terbanting ja-tuh di atas lantai. Bi Lan cepat meloncat bangun dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa selain beberapa orang yang tidak dikenalnya, di dalam kamar itu te-lah dikenalnya dengan baik, yaitu Bi-kwi dan Bhok Gun! Marahlah Bi Lan karena ia maklum bahwa dua orang itu muncul tentu dengan niat hati yang buruk dan kotor.
"Manusia-manusia jahat, pergilah!" Ia memben-tak dan ia sudah menerjang ke depan, menyerang Bhok Gun. Orang ini meloncat ke samping sambil menangkis dan mengejek,
"Nona manis, lebih baik menyerah sajalah!"
Akan tetapi, dengan marah Bi Lan menyerang terus, dan sekali ini serangannya ditujukan kepada Bi-kwi yang sudah menghadang di depannya. Bi-kwi menangkis dan Bhok Gun sudah menubruk dari sam-ping, bermaksud untuk menotok pundak Bi Lan. Na-mun gadis ini dapat miringkan tubuh mengelak sam-bil mencuatkan kakinya menendang ke arah pusar laki-laki itu. Cepat dan kuat tendangannya itu, dan hampir saja mengenai sasaran. Akan tetapi Bhok Gun melempar tubuh ke belakang sehingga lolos dari tendangan yang berbahava itu. Pada saat itu, muncul Kim Hwa Nio-nio. Ketika tangannya bergerak, bulu-bulu kebutan di tangannya itu menyambar-nyambar. Pada saat itu, Bi Lan sedang sibuk mengha-dapi serangan Bi-kwi dan Bhok Gun yang mengero-yoknya. Maka ketika nenek itu menerjang dengan kebutannya, ia tidak mampu menghindarkan diri lagi. Jalan darah di punggung dan pundaknya tertotok dan iapun roboh dengan tubuh lemas. Semua ini ber-jalan dengan amat cepatnya sehingga kedatangan Sim Houw sudah terlambat.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
378 "Brakkkk....!" Daun pintu kamar Bi Lan itu jebol ketika diterjang Sim Houw dari luar.
Pemu-da ini tadi mendengar ribut-ribut di kamar sebelah, kamar Bi Lan! Diapun cepat mengenakan sepatu, berlari dan menerjang daun pintu kamar temannya itu. Dan Sim Houw berdiri tertegun ketika melihat dan mengenal Bi-kwi dan Bhok Gun, apa lagi melihat betapa Bi Lan telah diringkus dan seorang nenek yang memegang sebatang kebutan memegang lengan gadis itu dan mengancam kepala gadis itu dengan ga-gang kebutannya.
"Hemm, apa artinya ini" Kenapa kalian meng-ganggu kami?" Sim Houw berkata dengan sikap tenang, matanya berganti-ganti memandang kepada Bi-kwi, Bhok Gun, dan nenek itu.
"Artinya, orang she Sim, bahwa engkau harus mengembalikan Liong-siauw-kiam kepadaku, karena akulah yang berhak atas pusaka itu," kata si nenek.
"Hemm, siapakah engkau?" Sim Houw bertanya, alisnya berkerut dan dia membuat
perhitungan dengan pandang matanya. Nenek ini tentu lihai sekali dan ancamannya terhadap Bi Lan membuat dia tidak berdaya. Kalau saja Bi Lan tidak diancam seperti itu, tentu dia dapat menerjang dan mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan. Akan tetapi gadis itu telah ditodong, kalau dia bergerak, tentu nenek itu lebih cepat untuk lebih dulu membunuh Bi Lan.
"Aku adalah Kim Hwa Nio-nio, murid tunggal dari mendiang Pek-bin Lo-sian...."
"Hemmm....!" Pernyataan ini sungguh mengejutkan hati Sim Houw karena tak pernah disang-kanya bahwa dia akan berhadapan dengan murid kakek itu yang dulu memperingatkan dia agar berhati-hati terhadap Sam Kwi, tiga orang murid keponakan kakek itu.
"Hi-hik, kau nampak terkejut, orang muda" Aku adalah muridnya, murid tunggal. Maka engkau tentu mengerti bahwa pedang suling pusaka itu ada-lah hakku untuk mewarisinya dari suhu, bukan eng-kau seorang luar. Nah, serahkan pedang pusaka itu kepadaku atau....
kebutanku akan menghabiskan nyawa anak perempuan ini!"
"Sim-toako, jangan layani ia! Jangan serahkan pedang pusakamu kepadanya. Biar ia membunuhku, huh, ia takkan berani!"
"Orang she Sim, majulah dan gadis ini akan mampus!" Kim Hwa Nio-nio menempelkan gagang kebutannya pada ubun-ubun kepala Bi Lan. Sekali tekan saja cukup baginya untuk membunuh gadis itu dan hal ini dimaklumi oleh Sim Houw.
"Baiklah, Kim Hwa Nio-nio. Bebaskan gadis itu dan aku akan memberikan Liong-siauw-kiam kepa-damu."
"Jangan, sukouw (bibi guru)! Aku pernah diti-punya. Kalau Siauw-kwi dibebaskan, dia akan me-nyerahkan pedang akan tetapi segera akan merampas-nya kembali! Jangan bebaskan dulu bocah setan itu!" teriak Bi-kwi dan iapun kini mendekati Bi Lan dan mengancam dengan menempelkan pedang-nya di punggung Bi Lan.
"Bi-kwi, engkau memang orang yang jahat seka-li!" Bi Lan membentak marah.
"Dan engkau seorang murid yang murtad!" Bi-kwi balas memaki.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
379 "Serahkan dulu pedang itu dan kami akan membebaskan gadis ini," kata pula Kim Hwa Nio-nio dengan penuh gairah karena ia membayangkan bahwa pusaka itu akhirnya akan jatuh ke tangannya. "Ce-pat, atau aku akan kehabisan sabar dan membunuh anak ini!"
Sim Houw maklum bahwa dengan tertawannya Bi Lan, berarti dia telah kalah. "Baiklah,"
katanya sambil melepaskan tali pengikat sarung pedang itu di pinggangnya.
"Jangan, Sim-toako, engkau akan ditipunya Mere-ka ini adalah orang-orang yang jahat sekali, yang ti-dak pantang melakukan segala macam kecurangan. Jangan perdulikan aku, lawan saja dan jangan serah-kan pedang!" teriak Bi Lan.
"Diam kau!" bentak Bi-kwi. "Apa kau ingin mampus?"
"Bi-kwi, kau tahu bahwa aku tidak takut mampus!" Bi Lan balas membentak, matanya melotot, sedikitpun ia tidak merasa takut walaupun ia sudah tidak berdaya.
"Kim Hwa Nio-nio, berjanjilah bahwa engkau akan membebaskan nona Can Bi Lan setelah aku menyerahkan Liong-siauw-kiam kepadamu."
Bagi seorang datuk sesat seperti Kim Hwa Nio-nio, berjanji merupakan suatu silat lidah atau tipu muslihat saja, maka tanpa ragu-ragu ia pun berjanji, "Baik, aku berjanji akan membebaskan gadis ini sete-lah Liong-siauw-kiam kauserahkan kepadaku."
Biarpun dia belum percaya benar kepada nenek itu, akan tetapi karena keadaan memaksa untuk me-nyelamatkan Bi Lan, terpaksa Sim Houw melolos pe-dang dan sarungnya dan menyerahkannya kepada si nenek.
Melihat nenek itu hendak menyambut, cepat Bi-kwi berseru, "Jangan, sukouw. Suruh seorang anak buah menerimanya." Dan iapun cepat menyuruh seorang pengawal menerima pedang itu dari tangan Sim Houw. Memang cerdik sekali Bi-kwi ini. Karena yang
menerimanya hanya seorang pengawal biasa, Sim Houw tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa menyerahkan pedang itu. Pengawal itupun membawa-nya kepada Kim Hwa Nio-nio yang menerimanya, lalu mencabut pedang itu, tertawa-tawa dan mencium pedang suling naga itu.
"Liong-siauw-kiam...., akhirnya engkau kem-bali ke pangkuan majikan lama...." dan nenek itu tertawa-tawa, akan tetapi kedua matanya basah. Ternyata nenek itu sampai mengeluarkan air mata saking girangnya.
"Kim Hwa Nio-nio, sekarang bebaskan nona itu," kata Sim Houw, sikapnya masih tenang walaupun pedang pusakanya telah dirampas orang.
"Bukan aku yang menangkapnya, mintalah kepada mereka yang menangkapnya untuk
membebaskan-nya," kata nenek itu dengan sikap acuh.
Hal ini memang sudah dikhawatirkan oleh Sim Houw. Dia memandang dengan muka merah dan membentak, "Nenek iblis, sungguh bermuka tebal dan tak tahu malu melanggar janji sendiri!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
380 "Srattt...." Pedang suling naga itu sudah tercabut oleh Kim Hwa Nio-nio. "Tutupu mulutmu yang lancang, orang muda! Yang menawan nona ini bukan aku. Kalau aku yang menawannya sekarang, tentu kubebaskan. Lihat, siapa yang menawannya sekarang?"
Bi-kwi tersenyum mengejek. "Akulah yang mena-wannya dan aku tidak berjanji apa-apa kepada orang she Sim ini!"
"Subo, orang ini merupakan bahaya bagi kita. Sebaiknya diapun dibasmi atau ditawan saja!"
kata Bhok Gun. "Sinngg....!" Tiba-tiba pedang kayu yang berbentuk naga itu menyambar ke arah Bi Lan. Dan berhamburanlah rambut kepada Bi Lan. Tidak kurang dari satu dim panjangnya ujung rambut itu sudah putus oleh sinar Liong-siauw-kiam yang tadi me-nyambar, diiringi suara ketawa nenek itu, dan dipan-dang dengan penuh kagum oleh Bi-kwi dan Bhok Gun. Mereka tak pernah mengira bahwa pedang kayu itu sedemikian hebatnya, dan juga Sim Houw diam-diam terkejut. Dia tahu bahwa nenek itu sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya, dan cara nenek itu mempergunakan pedang suling naga me-mang luar biasa. Jelas bahwa nenek itu, seperti Pek-bin Lo-sian gurunya, telah mempelajari semacam ilmu tersendiri untuk mempergunakan pedang itu.
"Kalau aku menghendaki, bukan rambutnya me-lainkan lehernya yang putus, heh-heh!"
nenek itu tertawa girang.
Sim Houw maklum bahwa dia telah tertipu. Dia menjadi marah bukan main. "Keparat, kalian me-mang orang-orang jahat dan curang!" Dan diapun menerjang maju dengan tangan kosong saja, menye-rang ke arah nenek Kim Hwa Nio-nio! Biarpun ha-nya bertangan kosong, namun dari kedua tangan pe-muda itu menyambar hawa pukulan yang amat hebat, mendatangkan angin yang menyambar dahsyat.
Kim Hwa Nio-nio terkejut, cepat ia menggerak-kan kebutannya untuk menangkis kedua serangan dengan dua tangan itu. Bulu-bulu kebutannya yang menjadi kaku karena disaluri tenaga sinkang itu ter-pental ketika bertemu dengan kedua tangan Sim Houw, akan tetapi pada saat itu, nenek yang lihai ini juga membalas dengan tusukan pedang Liong- siauw-kiam yang sudah berada di tangannya, menu-suk ke arah leher lawan.
Tusukan ini berbahaya sekali, namun Sim Houw yang memang memancing agar nenek itu mengguna-kan Liong-siauw-kiam, sudah miringkan tubuh dan tangannya diputar untuk menangkap dan merampas pedangnya!
Pada saat itu, Bhok Gun sudah memyerangnya dari belakang dengan tusukan pedang.
Serangan ini mengganggu pencurahan tenaga dan kecepatan Sim Houw untuk merampas pedang karena dia harus mengelak dari tusukan yang dilakukan Bhok Gun, maka nenek itu dapat menarik kembali Liong-siauw--kiam. Wajah nenek itu agak pucat karena ia tahu bahwa ia telah terpancing mempergunakan pedang itu dan sekiranya muridnya tidak membantu, besar sekali kemungkinannya pusaka itu akan dapat dirampas kembali oleh Pendekar Suling Naga yang memang li-hai bukan main ini! Cepat nenek itu melangkah mundur, menyimpan pedang pusaka di balik jubah-nya dan kini iapun maju lagi menyerang dengan menggunakan kebutannya, membantu Bhok Gun yang sudah terdesak hebat oleh Sim Houw. Ketika
ke-butan itu meledak dan menyerang ke arah kepala, Sim Houw mengakhiri desakannya dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Bhok Gun. Bhok Gun sudah mengerahkan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
381 sin-kang melindungi lam-bungnya, akan tetapi saking kerasnya tendangan, tubuhnya terlempar dan terbanting keras ke atas me-ja kamar itu, membuatnya nanar!
Kim Hwa Nio-nio berkelahi dengan hebatnya me-lawan Sim Houw. Pendekar ini merasa betapa kamar itu terlalu sempit, maka diapun meloncat keluar me-lalui pintu yang tadi diterjangnya. Setelah tiba di ru-angan luar kamar, dia telah dikepung oleh para pe-rajurit dan kini Kim Hwa Nio-nio maju lagi bersama Bhak Gun yang sudah dapat memulihkan
keadaan-nya. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan agak na-nar saja oleh tendangan tadi. Dan terjadilah pengeroyokan yang amat seru. Biarpun Pendekar Suling Naga sudah kehilangan senjata pusakanya, namun sepak terjangnya masih amat hebat sehingga biarpun dikeroyok dua oleh Kim Hwa Nio-nio dan Bhok Gun, masih dikepung oleh duapuluh lebih perajurit, dia sama sekali tidak nampak terdesak. Bahkan setiap kali ada perajurit berani mencoba-coba untuk membantu nenek itu, perajurit ini tentu roboh oleh tam-paran atau tendangan kakinya.
Bhok Gun sendiri agak jerih dan hanya menyerang dari jarak jauh mengambil keuntungan dari pedangnya menghadapi lawan bertangan kosong itu. Hanya Kim Hwa Nio-nio yang berani menyerang pemuda itu dari jarak dekat dan secara bertubi-tubi, dan nenek itu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaianrya, karena kalau tidak, keselamatannyapun terancam. Sim Houw memang menujukan serangan-serangannya kepada nenek ini, untuk merobohkannya dan untuk merampas senjata pusakanya.
Hebat memang sepak terjang Sim Houw, Si Pen-dekar Suling Naga itu. Lawannya, nenek Kim Nwa Nio-nio adalah seorang yang sakti, mewarisi hampir seluruh kepandaian mendiang Pek-bin Lo-sian, dan dibantu pula oleh muridnya, Bhok Gun yang juga li-hai sekali. Guru dan murid itu memegang senjata, akan tetapi Sim Houw yang bertangan kosong dan dikeroyok dua itu sama sekali tidak menjadi terde-sak. Pemuda ini mengamuk seperti seekor naga ber-main-main di antara awan hitam di angkasa. Gerak-an-gerakannya mantap dan
mengandung tenaga yang amat kuat sehingga beberapa kali Bhok Gun terpaksa harus agak menjauh karena angin pukulan lawan teramat kuat.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dari Bi-kwi. "Ha-ha, Sim Houw, lihat. Apakah engkau belum juga mau menyerah" Aku akan membunuh Can Bi Lan, menggorok lehernya kalau kau tidak mau menyerah."
Dengan sudut matanya Sim Houw memandang sambil melayani serangan dua orang
pengeroyoknya dan jantunguya hampir berhenti ketika dia melihat betapa Bi-kwi benar-benar telah menempelkan pe-dangnya yang tajam itu di leher Bi Lan! Pedang yang tajam itu sudah ditekankan dan nampak betapa kulit leher yang putih mulus dan halus itu tertekan mata pedang. Dia tahu bahwa Bi Lan tertotok, tak mam-pu mengerahkan tenaga dan sedikit saja pedang itu ditekan, maka kulit dan daging leher itu akan koyak dan tersayat, urat-urat leher akan putus dan nyawa Bi Lan takkan dapat tertolong lagi. Dan diapun tidak berdaya dalam keadaan seperti itu untuk membebas-kan Bi Lan dari ancaman pedang Bi-kwi. Tanpa berpikir panjang lagi diapun meloncat jauh ke bela-kang.
"Tahan dulu!" bentaknya. Kim Hwa Nio-nio cepat mendekati Bi-kwi. Nenek yang cerdik ini mak-lum bahwa tentu perhatian lawan kini ditujuknn ke-pada Bi-kwi yang menodong gadis itu, maka Bi-kwi yang harus dijaganya dan diperkuat kedudukannya.
"Nah, begitu lebih baik, Sim Houw. Menyerah-lah, karena engkau telah melawan pasukan pemerin-tah, berarti bahwa engkau telah melakukan pembe-rontakan terhadap pemerintah!
Kalau engkau me-nyerah dengan baik-baik, mungkin kami masih akan mempertimbangkan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
382 agar hukuman kalian ringan sa-ja," kata pula Bi-kwi dengan sikap seperti seorang pembesar yang baik hati.
Dalam keadaan negara kalut, memang amat mu-dah bagi seseorang untuk menjatuhkan fitnah. Apa lagi mereka yang berada dalam kedudukan menang dan berkuasa, dengan mudahnya menjatuhkan fitnah "memberontak" kepada orang-orang yang menjadi musuhnya atau yang tidak disukainya.
"Sim Houw, jangan perdulikan mereka! Serang terus atau kau loloskan diri! Jangan kauperdulikan diriku. Mereka boleh siksa, boleh bunuh, aku tidak takut mati!" teriak Bi Lan dengan marah sekali.
Akan tetapi, mana mungkin Sim Houw meninggalkan gadis itu begitu saja menjadi tawanan orang-orang yang jahat ini" "Baiklah, aku menyerah dan jangan ganggu nona Can Bi Lan."
Diapun berdiri dengan lemas.
Bi-kwi lalu menyuruh anak buahnya untuk mengikat kaki tangan Sim Houw dengan rantai baja yang kuat, lalu beramai-ramai mereka membawa Sim Houw dan Bi Lan menuju ke gedung yang menjadi markas Kim Hwa Nio-nio dan para pembantunya.
Para tamu, bahkan pengurus penginapan yang tadi mendengar ribut-ribut dan keluar dari dalam ka-mar, segera bersembunyi lagi ke kamar masing-ma-sing dengan tubuh gemetar ketika mereka tahu bah-wa keributan itu terjadi karena pasukan keamanan kota raja sedang mengadakan "pembersihan" di rumah penginapan itu. Mereka hanya berdoa bahwa pasukan itu tidak akan memasuki kamar mereka untuk melakukan penggeledahan. Karena kalau hal itu terjadi, andaikata mereka tidak ditangkappun, seti-daknya mereka akan kehilangan barang berharga dan uang yang berada di dalam kamar mereka! Hal ini sudah diketahui oleh semua orang. Setiap kali anak buah pasukan keamanan itu melakukan penggeledah-an, tentu kesempatan itu mereka pergunakan untuk mengambil barang-barang berharga dan uang orang yang sedang digeledah tanpa orang itu mampu mem-protes. Tidak ditahanpun sudah untung, maka orang-orang yang diambil barang-barangnya itu merasa lebih aman tutup mulut saja.
Bukan hanya barang berharga yang diganggu, juga kalau ada wanita muda dan ber-sih, tentu tidak akan terbebas dari gangguan tangan-tangan jail para anak buah pasukan itu. Karena itu, setiap kali ada pembersihan, rakyat sudah gemetar ketakutan.
Akan tetapi sekali ini, agaknya para pimpinan itu sudah puas ketika dapat menangkap Sim Houw dan Bi Lan. Terutama sekali Kim Hwa Nio-nio sudah puas dan girang karena berhasil mendapatkan kembali pusaka yang pernah oleh gurunya diberikan kepada orang lain. Pergilah pasukan itu membawa dua orang lawanannya ke gedung besar itu dan kedua orang tawanan ini dijebloskan ke dalam kamar tahanan yang kuat dan terjaga ketat, dan kaki tangan mereka masih dibelenggu, tubuh mereka ditotok pula!
*** Pemuda yang memasuki rumah makan dengan langkah yang tegap dan tenang itu usianya paling banyak duapuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, ku-lit mukanya agak kehitaman seperti muka yang sering kali tertimpa panas matahari. Namun wajah itu gagah dan bentuknya tampan, sepasang matanya meman-dang lurus dan tajam, penuh keberanian dan kejujuran, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
383 akan tetapi juga mengandung bayangan hati keras. Pemuda ini membawa sebuah buntalan pakaian dan jubahnya yang lebar panjang menutupi apa yang tersembunyi di ikat
pinggangnya. Dia segera meng-hampiri sebuah meja yang masih kosong di sudut dan dari situ dia dapat memandang ke seluruh ruangan rumah makan itu yang telah diisi oleh belasan orang tamu yang makan siang di tempat itu.
Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, pendekar muda dari Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya itu. Seperti kita ketahui, pemuda ini menderita ke-cewa karena cintanya ditolak oleh Bi Lan, bahkan dia dicemooh. Salahnya sendiri. Dia telah bersikap tolol sekali terhadap Bi Lan, sikap yang tentu menyakitkan hati gadis itu. Dan dia menyalahkan dirinya sendiri menghadapi penolakan Bi Lan. Hatinya terasa sakit dan kesepian setelah dia melakukan perjalanan seo-rang diri, tanpa gadis itu. Dia pergi meninggalkan lembah untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Siapa kira, di tempat itu dia malah jatuh cinta dan sekaligus patah hati karena cinta gagal!
Tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda masuk ke dalam restoran itu dan jantungnya berdebar keras ketika dia menpenal pemuda itu. Pemuda yang per-nah menyerangnya mati-matian karena cemburu meli-hat hubungannya dengan Bi Lan! Pemuda yang ga-gah perkasa dan lihai bernama Gu Hong Beng, yang agaknya juga jatuh cinta kepada Bi Lan dan ditolak oleh gadis itu. Diam-diam Kun Tek tersenyum dalam hati. Senyum pahit. Pemuda yang baru masuk ini mengalami nasib yang sama dengan dia. Sama-sama ditolak cintanya oleh Bi Lan, sama-sama patah hati.
Di lain pihak, Hong Beng juga melihat dan me-ngenal Kun Tek. Hatinya berdebar dan diapun mera-sa tidak enak sekali. Bukan hanya karena dia meng-anggap Kun Tek sebagai seorang saingan, akan tetapi karena dia pernah menyerang pemuda itu secara mem-babi buta karena cemburu. Peristiwa itulah yang membuat dia merasa malu sekali dan dia pura-pura tidak melihat Kun Tek, menghampiri meja di sudut lain yang menghadap ke luar sehingga meja Kun Tek berada di seberang kirinya. Dengan demikian, dia tidak usah berhadapan langsung dengan pemuda itu yang agaknya saling mencinta dengan Bi Lan!
Melihat sikap Hong Beng, Kun Tek juga diam saja. Diapun merasa tidak enak hati. Kini dia dapat membayangkan betapa sakit rasa hati Hong Beng ketika itu, ketika melihat gadis yang dicintanya itu diraba-raba kulit pinggangnya oleh seorang pemuda lain! Dia dapat mengerti akan kemarahan Hong Beng yang langsung menyerangnya seperti orang ma-bok itu. Dan kini, dia sendiri dapat merasakan betapa sakitnya hati menderita cinta yang gagal, cinta yang hanya bertepuk tangan sebelah. Dan perasaan sena-sib sependeritaan membuat Kun Tek memandang ke arah Hong Ben dengan sinar mata akrab dan bersa-hahat, berbeda dengan sikap Hong Beng yang merasa tidak enak dan biarpun hanya bersisa sedikit, masih ada perasaan iri terhadap pemuda yang dianggapnya menjadi pilihan hati Bi Lan itu.
Kebetulan sekali, kedua orang pemuda itu, tanpa disengaja, memesan makanan yang sama, yaitu bakmi goreng, bebek panggang dan arak! Hong Beng se-bagai orang yang berasal dari selatan, lebih biasa ma-kan nasi dan memesan nasi, sedangkan Kun Tek ti-dak, cukup dengan bakmi.
Mereka berdua makan tanpa saling tegur atau lirik dan makanan mereka hampir habis ketika tiba-tiba restoran itu ramai dikunjungi banyak orang. Akan tetapi, dua orang pemuda itu melihat betapa para pengurus rumah makan itu menjadi pucat keta-kutan dan mereka itu berkelompok di belakang meja pemilik restoran dengan tubuh gemetar. Juga para tamu lain Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
384 memandang dengan ketakutan ke arah orang-orang yang baru saja tiba itu.
Ketika Kun Tek dan Hong Beng memandang ke luar, mereka berduapun terkejut. Mereka mengenal siapa adanya wanita cantik dan pemuda tampan yang memimpin rombongan orang itu. Hong Beng sudah mengenal Bhok Gun dan Bi-kwi, pernah ben-trok dengan mereka ketika dia menolong Bi Lan. Juga Kun Tek pernah menolong Bi Lan dari tangan Bhok Gun, maka kedua orang pemuda itu diam-diam bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Bhok Gun dan Bi-kwi menyapu ruangan rumah makan itu dengan pandang mata mereka
penuh selidik. Akhirnya mereka melihat Hong Beng dan Kun Tek.
Tentu saja mereka terkejut dan sekali melihat Kun Tek yang pernah menolong Bi Lan dari tangannya, Bhok Gun sudah marah. Sambil menunjuk ke arah pemuda itu, dia memerintahkan anak buahnya yang berjumlah duapuluh empat orang.
"Tangkap bocah itu. Dan kalau dia melawan, keroyok dan bunuh saja!"
Bagaikan anjing-anjing pemburu yang sudah terla-tih baik, duapuluh orang lebih itu menyerbu ke dalam ruangan itu. Meja kursi yang menghalang di tengah jalan mereka tendang dan singkirkan sehingga seben-tar saja tempat itu menjadi porak poranda. Para tamu lain sudah bangkit berdiri dan dengan wajah ketakut-an menyingkir ke pinggir, berkelompok bersama de-ngan pemilik dan para pelayan restoran. Yang masih tetap duduk hanya Hong Beng dan Kun Tek. Kun Tek kelihatan tenang saja ketika banyak orang itu menghampiri dan mengepungnya.
"Orang muda, menyerahlah untuk kami tawan, dari pada kami harus mempergunakan
kekerasan!" bentak seorang pengawal yang bermuka kasar penuh bopeng (cacar).
Kun Tek menghirup arak yang masih tertinggal di dalam cawannya, lalu bangkit berdiri dan melempar cawan kosong ke atas meja. "Aku tidak bersalah, maka aku tidak sudi menyerah kepada anjing-anjing serigala!" bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya dan dengan sikap tenang dia mengikatkan buntalan pakaian itu di punggung, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, seolah-olah dia tidak sedang diancam dan dikepung oleh banyak lawan.
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap pemuda yang amat memandang rendah mereka, para perajurit keamanan itu menjadi marah sekali. Mereka ini men-jadi semakin tinggi hati saja setelah menjadi anak buah yang dipimpin oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, ka-rena mereka maklum betapa saktinya dua orang pim-pinan mereka dan betapa mereka tidak pernah gagal menangkap orang. Dalam setiap pembersihan, selalu mereka berhasil baik dan mereka pulang dengan se-mua kantung di baju mereka penuh barang berharga. Si muka bopeng yang memandang rendah pemuda di depannya itu, memberi isyarat dan bersama tiga orang kawan lain, mereka menubruk maju hendak menangkep Kun Tek. Akan tetapi, pemuda ini
meng-geser kakinya, kedua tangannya menyambar mangkok dan cawan, kakinya menendang meja. Meja itu ter-lempar dan menghantam dua orang di antara empat pengeroyok itu, sedangkan yang dua orang lagi, ter-masuk si muka bopeng, kena dihantam mangkok dan cawan muka mereka. Empat orang itu mengaduh-aduh dan terjengkang, si muka bopeng yang disambar mangkok mukanya itu berdarah dan membuat mukanya semakin buruk lagi. Kalau sudah sembuh luka karena tertusuk pecahan mangkok itu, tentu cacat mukanya yang bopeng itu bertambah!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
385 Melihat ini, kawan-kawan empat orang itu menjadi marah dan merekapun menerjang maju mengero-yok Kun Tek. Tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu-tahu Hong Beng sudah menerjang masuk ke dalam arena perkelahian itu.
"Maafkan, aku terpaksa mencampuri, sobat. Mari kita basmi anjing-anjing busuk ini!"
Mendengar ucapan Hong Beng, Kun Tek merasa girang sekali. Dia tidak membutuhkan bantuan, akan tetapi bantuan dari Hong Beng ini menunjukkan bah-wa Hong Beng sudah melupakan semua hal yang pernah terjadi dan tidak lagi marah kepadanya. "Te-rima kasih, bantuanmu kuhargai sekali!" katanya dan dengan gembira diapun mengamuk dengan kedua ta-ngan telanjang saja.
Tentu saja duapuluh lebih orang-orang ini bukan lawan tangguh dan mereka segera kocar-kacir oleh pengamukan kedua orang pemuda perkasa. Bhok Gun dan Bi-kwi segera memasuki gelanggang perke-lahian dan keduanya sudah menggunakan pedang me-reka, menerjang Kun Tek dan Hong Beng.
Kun Tek dan Hong Beng melayani mereka de-ngan kelincahan gerakan mereka. Hanya
dengan ta-ngan kosong, kadang-kadang menyambar pecahan meja atau kaki kursi, mereka berdua bukan hanya mampu menangkis semua serangan lawan, bahkan mampu membalas


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tidak kalah berbahayanya. Kun Tek yang menghadapi Bhok Gun bahkan tidak merasa perlu mengeluarkan pedangnya, pedang pusa-ka Koai-liong Po-kiam yang oleh ayahnya sudah dipe-san agar tidak sembarangan dikeluarkan kalau tidak terpaksa sekali.
Hong Beng yang sudah melakukan penyelidikan di kota raja dan maklum bahwa dia dan pemuda ting-gi besar itu menghadapi pasukan yang melakukan pembersihan, pasukan pemerintah yang entah bagai-mana kini bisa dikuasai oleh orang-orang macam Bi--kwi dan Bhok Gun lalu cepat berkata kepada Kun Tek, "Sobat, mari kita pergi!"
"Kenapa harus pergi" Aku tidak takut akan pengeroyokan mereka!" Kun Tek membantah, merasa penasaran karena mereka berdua sama sekali tidak terdesak.
"Orang-orang ini adalah pasukan pemerintah, ti-dak baik melawan mereka. Nanti
kuceritakan. Per-cayalah, mari kita pergi!" kata pula Hong Beng dan diapun meloncat keluar dari arena pertempuran. Kun Tek meloncat ke kiri, merobohkan seorang perajurit dan diapun lari mengikuti Hong Beng. Dengan cepat kedua orang pemuda itu melarikan diri, dikejar oleh pasukan itu. Karena anak buah pasukan mengejar dengan kacau balau, maka gerakan Bi-kwi dan Bhok Gun yang hendak melakukan pengejaran malah ter-halang oleh anak buah mereka sendiri. Bi-kwi dau Bhok Gun merasa mendongkol dan marah sekali, juga kecewa. Mereka segera melapor kepada Kim Hwa Nio-nio dan itulah sebabnya mengapa kini mereka bergerak lebih hati-hati. Mereka tahu bahwa banyak orang pandai memasuki kota raja dan mereka tidak berani bertindak secara sembrono. Dan itulah pula sebabnya ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki kota raja beberapa hari kemudian, mereka tidak ter-gesa-gesa turun tangan dan menarik bantuan Kim Hwa Nio-nio sendiri untuk turun tangan, dan lebih menggunakan akal licik dari pada kepandaian mereka.
Hong Beng terus melarikan diri diikuti oleh Kun Tek sampai mereka merasa aman, berbaur dengan orang-orang yang memenuhi jalan raya dan berlalu lalang. Hong Beng lalu mengajak Kun Tek menuju ke sebuah kuil tua. Semenjak kembali dari Pao-teng mengunjungi Kao Cin Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
386 Liong, oleh bekas panglima itu dia diberi tahu agar kalau berada di kota raja, dia bermalam atau bersembunyi di kuil itu. Ketua kuil itu, seorang hwesio yang usianya sudah enampuluh tahun lebih dan kini tinggal di situ bersama dua orang hwesio tua lainnya, adalah seorang, sahabat dari pen-dekar Kao Cin Liong. Dan kini Hong Beng berma-lam di situ, diterima baik oleh tiga orang hwesio itu ketika dia menyebutkan nama Kao Cin Liong sebagai paman gurunya. Dengan aman kini kedua orang mu-da itu memasuki kuil dan Hong Beng langsung membawa kawannya itu ke dalam ruangan yang kecil di belakang kuil.
"Nah, di sini kita boleh bicara dengan aman," kata Hong Beng-sambil memandang wajah Kun Tek.
Kun Tek sejak tadi memperhatikan tempat itu dan mengangguk. "Engkau pandai memilih tempat sembunyi, kawan,"
"Sebelum kita bicara, ingin aku lebih dulu mengeluarkan perasaan tidak enak di dalam hatiku. Aku ingin.... minta maaf kepadamu atas peristiwa yang terjadi dalam pertemuan kita yang lalu. Maaf-kan atas kebodohanku, karena cemburu merupakan suatu kebodohan besar, bukan" Maafkan aku."
Kun Tek tersenyum. "Sudah lama aku memaaf-kanmu, sobat. Dan kalau dulu aku masih merasa penasaran, karena belum tahu, kini aku memaklumi perbuatanmu itu. Aku tahu apa artinya patah hati, betapa pahitnya cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan."
Hong Beng memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah Kun Tek.
"Kaumaksudkan.... kau.... dan Bi Lan....?"
Kun Tek mengangguk. "Kita senasib, kawan. Agar kauketahui saja dan agar engkau tidak menyimpan iri atau cemburu kepadaku. Seperti juga engkau, cintaku ditolak. Nah, kita berdua ini sama-sama dua ekor keledai jantan yang tolol, bukan?"
Hong Beng melebarkan matanya, kemudian dia memegang lengan Kun Tek. "Ah, maafkan aku! Engkau seorang laki-laki sejati. Nah, aku Gu Hong Beng sudah lama kagum kepadamu, sobat."
"Dan akupun kagum kepadamu. Namaku Cu Kun Tek."
"Ketika kita bertempur, engkau menggunakan sebatang pedang yang hebat. Kenapa tadi tidak kau pergunakan?"
Kun Tek menepuk pinggangnya di mana pedang itu tergantung, terlindung oleh jubahnya yang pan-jang. "Ayahku berpesan agar kalau tidak terpaksa sekali, aku tidak boleh mempergunakan pusaka kelu-arga kami ini. Dulu ketika melawanmu, aku terpaksa. Engkau lihai bukan main dan agaknya engkau memi-liki ilmu-ilmu dari Pulau Es."
Hong Beng mengangguk, tanpa merasa bangga. "Aku hanya menguasai sedikit saja dari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es walaupun suhuku adalah seorang anggauta keluarga para pendekar Pulau Es. Akan tetapi ilmu pedangmu hebat bukan main."
"Ah, ilmu keluarga kami belum apa-apa kalau dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari Pulau Es.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
387 Nah, setelah kita menjadi sahahat, ceritakanlah mengapa engkau mengajak aku melarikan diri tadi, padahal kita belum tentu kalah kalau pertempuran itu dilanjut-kan."
"Ketahuilah, Kun Tek, bahwa wanita tadi adalah Bi-kwi murid dari Sam Kwi...."
"Aku pernah mendengar nama Sam Kwi...."
"Ia masih suci dari.... eh, Bi Lan. Kau tahu, Bi Lan adalah murid Sam Kwi, akan tetapi ia mengambil jalan lain dari pada jalan sesat guru-guru-nya, bahkan Bi Lan telah diambil murid oleh Pende-kar Naga Sakti Gurun Pasir...."
"Hemmm.... kenapa kau membawa-bawa nama nona Can dalam percakapan ini?" Kun Tek mencela, nampak tak senang karena nama itu meng-ingatkan dia akan pengalamannya yang amat pahit.
Hong Beng tersenyum pahit pula. "Tidak apa-apa, hanya karena memang ada hubungannya.
Bi-kwi itu, bernama pria tadi yang bernama Bhok Gun, kini te-lah berhasil menjadi dua orang di antara kaki tangan pembesar yang bernama Hou Seng, pembesar yang merajalela di dalam istana. Banyak pembunuhan dilakukannya, membunuhi pembesar-pembesar yang menjadi saingannya dan agaknya dia berhasil pula menggandeng panglima pasukan keamanan.
Bukti-nya, kini pasukan-pasukan itu berkeliaran di kota dan melakukan pembersihan di mana-mana, dipimpin oleh Bhok Gun dan Bi-kwi yang jahat itu. Kita ti-dak seharusnya menentang pasukan keamanan, karena hal itu dapat membuat kita dicap pemberontak. Yang kita tentang hanyalah kaum sesat yang kini menjadi kaki tangan pejabat-pejabat tinggi. Di antara datuk sesat itu, aku sedang mencari seorang yang bernama Sai-cu Lama...."
"Hemm, akupun pernah mendengar nama Sai-cu Lama itu, dari ayahku. Menurut ayah, Sai-cu Lama adalah seorang tokoh di antara para pendeta Lama yang sakti di Tibet, dan kabarnya Sai-cu Lama adalah seorang pendekar Lama yang menyeleweng dari pada ajaran agamanya."
"Memang benar keterangan ayahmu itu. Dia amat jahat dan aku tadinya menerima tugas dari suhuku untuk melakukan penyelidikan atas diri pembesar bernama Hou Seng itu. Akan tetapi di dalam perjalanan, aku bertemu dengan Sai-cu Lama, melihat sepak terjangnya yang jahat.
Dia telah merampas pe-dang milik Bi Lan, bahkan kemudian aku melihat dia menculik anak perempuan, puteri dari bibi guruku. Karena itu, aku kini sedang menyeli-diki di mana adanya Sai-cu Lama itu, dan siapa-siapa pula yang menjadi kaki tangan pembesar bernama Hou Seng itu."
Hong Beng terus melarikan diri diikuti oleh Kun Tek sampai mereka merasa aman, berbaur dengan orang-orang yang memenuhi jalan raya dan berlalu lalang. Hong Beng lalu mengajak Kun Tek menuju ke sebuah kuil tua. Semenjak kembali dari Pao-teng mengunjungi Kao Cin Liong, oleh bekas panglima itu dia diberi tahu agar kalau berada di kota raja, dia bermalam atau bersembunyi di kuil itu. Ketua kuil itu, seorang hwesio yang usianya sudah enampuluh tahun lebih dan kini tinggal di situ bersama dua orang hwesio tua lainnya, adalah seorang, sahabat dari pen-dekar Kao Cin Liong. Dan kini Hong Beng berma-lam di situ, diterima baik oleh tiga orang hwesio itu ketika dia menyebutkan nama Kao Cin Liong sebagai paman gurunya. Dengan aman kini kedua orang mu-da itu memasuki kuil dan Hong Beng langsung membawa kawannya itu ke dalam ruangan yang kecil di belakang kuil.
"Nah, di sini kita boleh bicara dengan aman," kata Hong Beng-sambil memandang wajah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
388 Kun Tek. Kun Tek sejak tadi memperhatikan tempat itu dan mengangguk. "Engkau pandai memilih tempat sembunyi, kawan,"
"Sebelum kita bicara, ingin aku lebih dulu mengeluarkan perasaan tidak enak di dalam hatiku. Aku ingin.... minta maaf kepadamu atas peristiwa yang terjadi dalam pertemuan kita yang lalu. Maaf-kan atas kebodohanku, karena cemburu merupakan suatu kebodohan besar, bukan" Maafkan aku."
Kun Tek tersenyum. "Sudah lama aku memaaf-kanmu, sobat. Dan kalau dulu aku masih merasa penasaran, karena belum tahu, kini aku memaklumi perbuatanmu itu. Aku tahu apa artinya patah hati, betapa pahitnya cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan."
Hong Beng memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah Kun Tek.
"Kaumaksudkan.... kau.... dan Bi Lan....?"
Kun Tek mengangguk. "Kita senasib, kawan. Agar kauketahui saja dan agar engkau tidak menyimpan iri atau cemburu kepadaku. Seperti juga engkau, cintaku ditolak. Nah, kita berdua ini sama-sama dua ekor keledai jantan yang tolol, bukan?"
Hong Beng melebarkan matanya, kemudian dia memegang lengan Kun Tek. "Ah, maafkan aku! Engkau seorang laki-laki sejati. Nah, aku Gu Hong Beng sudah lama kagum kepadamu, sobat."
"Dan akupun kagum kepadamu. Namaku Cu Kun Tek."
"Ketika kita bertempur, engkau menggunakan sebatang pedang yang hebat. Kenapa tadi tidak kau pergunakan?"
Kun Tek menepuk pinggangnya di mana pedang itu tergantung, terlindung oleh jubahnya yang pan-jang. "Ayahku berpesan agar kalau tidak terpaksa sekali, aku tidak boleh mempergunakan pusaka kelu-arga kami ini. Dulu ketika melawanmu, aku terpaksa. Engkau lihai bukan main dan agaknya engkau memi-liki ilmu-ilmu dari Pulau Es."
Hong Beng mengangguk, tanpa merasa bangga. "Aku hanya menguasai sedikit saja dari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es walaupun suhuku adalah seorang anggauta keluarga para pendekar Pulau Es. Akan tetapi ilmu pedangmu hebat bukan main."
"Ah, ilmu keluarga kami belum apa-apa kalau dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari Pulau Es.
Nah, setelah kita menjadi sahahat, ceritakanlah mengapa engkau mengajak aku melarikan diri tadi, padahal kita belum tentu kalah kalau pertempuran itu dilanjut-kan."
"Ketahuilah, Kun Tek, bahwa wanita tadi adalah Bi-kwi murid dari Sam Kwi...."
"Aku pernah mendengar nama Sam Kwi...."
"Ia masih suci dari.... eh, Bi Lan. Kau tahu, Bi Lan adalah murid Sam Kwi, akan tetapi ia mengambil jalan lain dari pada jalan sesat guru-guru-nya, bahkan Bi Lan telah diambil murid Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
389 oleh Pende-kar Naga Sakti Gurun Pasir...."
"Hemmm.... kenapa kau membawa-bawa nama nona Can dalam percakapan ini?" Kun Tek mencela, nampak tak senang karena nama itu meng-ingatkan dia akan pengalamannya yang amat pahit.
Hong Beng tersenyum pahit pula. "Tidak apa-apa, hanya karena memang ada hubungannya.
Bi-kwi itu, bernama pria tadi yang bernama Bhok Gun, kini te-lah berhasil menjadi dua orang di antara kaki tangan pembesar yang bernama Hou Seng, pembesar yang merajalela di dalam istana. Banyak pembunuhan dilakukannya, membunuhi pembesar-pembesar yang menjadi saingannya dan agaknya dia berhasil pula menggandeng panglima pasukan keamanan.
Bukti-nya, kini pasukan-pasukan itu berkeliaran di kota dan melakukan pembersihan di mana-mana, dipimpin oleh Bhok Gun dan Bi-kwi yang jahat itu. Kita ti-dak seharusnya menentang pasukan keamanan, karena hal itu dapat membuat kita dicap pemberontak. Yang kita tentang hanyalah kaum sesat yang kini menjadi kaki tangan pejabat-pejabat tinggi. Di antara datuk sesat itu, aku sedang mencari seorang yang bernama Sai-cu Lama...."
"Hemm, akupun pernah mendengar nama Sai-cu Lama itu, dari ayahku. Menurut ayah, Sai-cu Lama adalah seorang tokoh di antara para pendeta Lama yang sakti di Tibet, dan kabarnya Sai-cu Lama adalah seorang pendekar Lama yang menyeleweng dari pada ajaran agamanya."
"Memang benar keterangan ayahmu itu. Dia amat jahat dan aku tadinya menerima tugas dari suhuku untuk melakukan penyelidikan atas diri pembesar bernama Hou Seng itu. Akan tetapi di dalam perjalanan, aku bertemu dengan Sai-cu Lama, melihat sepak terjangnya yang jahat.
Dia telah merampas pe-dang milik Bi Lan, bahkan kemudian aku melihat dia menculik anak perempuan, puteri dari bibi guruku. Karena itu, aku kini sedang menyeli-diki di mana adanya Sai-cu Lama itu, dan siapa-siapa pula yang menjadi kaki tangan pembesar bernama Hou Seng itu."
Dengan panjang lebar Hong Beng bercerita ten-tang keadaan di kota raja seperti yang sudah diseli-dikinya sehingya akhirnya Kun Tek mengerti dan pemuda inipun tertarik sekali. "Kalau begitu. pem-besar she Hou itu jahat sekali, dan perlu dibasmi!"
Hong Beng menggeleng kepala. "Tidak semudah itu, sobat. Dia sedang berkuasa di istana, dipercaya oleh kaisar. Sedangkan peringatan para pembesar yang tua dan setia saja diabaikan oleh kaisar. Dan usaha mereka untuk menyingkirkan pembesar bernama Hou Seng ini ditebus dengan kehancuran mereka, dengan pembunuhan-pembunuhan gelap yang menim-pa diri mereka yang menentangpembesa r itu. Apa yang mampu kita lakukan" Dia dikelilingi oleh pa-sukan pengawal, keamanan yang amat kuat, bahkan dilindungi pula oleh datuk-datuk sesat.
Yang dapat kita lakukan hanyalah menggempur datuk-datuk se-sat itu, dan itulah kewajiban para pendekar."
"Kalau begitu, mengapa tidak kita bayangi saja orang-orang itu" Pasukan berpakaian preman yang melakukan pembersihan di mana-mana itu" Kalau kita bayangi mereka dan kita mengetahui di mana sarang mereka, laiu kita menyelundup ke dalam, ten-tu kita dapat melakukan penyelidikan."
"Ah, benar juga pendapatmu itu!" Hong Beng berseru girang dan kedua orang pemuda ini lalu mengadakan perundingan untuk berusaha melakukan penyelidikan dengan cara
membayangi pasukan yang melakukan pembersihan hampir setiap hari itu. Pa-da suatu hari, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
390 dengan membayangi pasukan yang dipimpin oleh Bhok Gun dari jauh, secara sembunyi, mereka diam-diam mengikuti pasukan dan akhirnya mereka dapat menemukan markas Kim Hwa Nio-nio.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati dua orang itu ketika mereka membayangi pasukan itu, mereka melihat bahwa pasukan itu, dipimpin oleh Bi-kwi, Bhok Gun dan seorang nenek yang membawa kebutan, memasuki markas itu sambil membawa dua orang tawanan yang mereka kenal dengan baik. Tawanan itu, seorang di antaranya, adalah Bi Lan! Dan Kun Tek juga terkejut melihat tawanan ke dua, karena orang itu bukan lain adalah Sim Houw!
Hampir saja Kun Tek turun tangan pada saat pasukan itu masih menggiring dua orang tawanan itu di tengah jalan. Akan tetapi Hong Beng mencegah-nya, berbisik bahwa pasukan itu berjumlah besar, dan di situ terdapat nenek itu yang agaknya lihai sekali. Akhirnya Kun Tek dapat menerima pendapat ini.
"Kau benar. Kalau Sim Houw sampai dapat tertawan oleh mereka, hal itu membuktikan bahwa ne-nek itu amat lihai, bukan lawan kita. Kalau Sim Houw kalah, apa lagi aku!"
"Siapakah laki-laki yang kusebut Sim Houw itu?"
"Dia" Ah, dia itu masih keponakanku sendiri...."
"Mana mungkin" Nampaknya dia jauh lebih tua darimu."
"Memang, akan tetapi sesungguhnya dia masih keponakanku. Ibunya adalah keponakan dari ayahku. Akan tetapi ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Bahkan dia telah mengalahkan kakek Pek-bin Lo-sian yang gila itu dan menerima hadiah Liong-siauw-kiam dari kakek itu."
"Ahh....?" Hong Beng terbelalak, teringat akan cerita Bi Lan. "Jadi dia itu yang berjuluk Pen-dekar Suling Naga?"
Kun Tek mengangguk. "Agaknya begitu, karena setelah pusaka itu jatuh ke tangannya lalu muncul julukan itu. Tentu dia, siapa lagi?"
"Sungguh aneh! Dan Bi Lan mencari orang itu untuk merampas kembali Pedang Suling Naga, seperti yang ditugaskan oleh Sam Kwi kepadanya. Berarti bahwa orang bernama Sim Houw itu musuhnya, akan tetapi bagaimana mereka berdua kini bisa berbareng menjadi tawanan pasukan itu?"
"Sudahlah, yang penting kini bagaimana kita dapat menolong mereka. Kita harus dapat menolong dan membebaskan mereka. Nona.... Can Bi Lan adalah.... eh, kenalan-kenalan kita, dan Sim Houw adalah keponakanku. Kita harus tolong mereka."
"Benar, Kun Tek. Kita harus dapat menyusup ke dalam gedung itu dan melakukan
penyelidikan. Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali. Nenek itu kelihatan lihai dan di dalam gedung itu tentu ber-kumpul orang-orang pandai yang katanya menjadi para pembantu dari Hou Seng." Mereka lalu berun-ding lagi sambil menanti saat baik, yaitu datangnya malam yang akan memudahkan mereka menyusup ke dalam gedung besar itu,
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
391 *** "Ha-ha-ha, heh-heh, akhirnya engkau kembali ju-ga kepadaku, Liong-siauw-kiam!" nenek itu terta-wa-tawa dan menciumi sarung pedang itu dengan ha-ti yang amat girang. Ia duduk menghadapi meja pe-nuh hidangan dan memang ia merayakan kemenangan dan hasil baik telah berhasil merampas kembali pe-dang pusaka yang tadinya menjadi milik nenek mo-yang perguruannya itu.
Sai-cu Lama mengangkat cawan araknya. "Sela-mat, Nio-nio, selamat! Pinceng ikut merasa girang sekali. Memang agaknya bintang dari Hou Taijin amat terang cemerlang, sehingga orang-orang yang ikut membantunya mendapat nasib yang baik. Buk-tinya, pinceng sendiri berhasil mendapatkan Ban-tok--kiam. Padahal pedang pusaka ini dahulu pernah
menggegerkan dunia persilatan dan menjadi milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Apa-kah tidak hebat?" Dia menepuk-nepuk sarang pe-dang di punggungnya.
Kim Hwa Nio-nio menerima ucapan selamat itu dan meneguk arak dari cawannya. "Semua ini adalah berkat bintang terang Hou Taijin, dan agaknya se-mua cita-citanya akan tercapai dan kita yang menjadi para pembantunya, tentu akan ikut pula menikmati hasil baik yang dicapainya."
"Aih, tiada hasil baik dapat dicapai tanpa rintangan-rintangan dan tanpa susah payah, Nio-nio. Kita masih harus menghadapi perjalanan yang pan-jang. Beberapa hal mendatangkan kegelisahan di hati pinceng. Terutama sekali hilangnya Suma Lian tentu akan membuat Hou Taijin kecewa sekali."
"Hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Sai-cu Lama. Sejak pertama kali kau menyerahkan anak perempuan yang kautawan itu, aku sudah menduga bahwa Hou Taijin agak ragu-ragu untuk mengambil anak itu se-cara paksa. Agaknya Hou Taijin masih jerih akan nama besar keluarga Pulau Es, dan dua orang selirnya itulah yang membisikkan kekhawatiran itu. Aku se-dang berpikir-pikir bagaimana harus memyingkirkan dua orang selir itu, karena Hou Taijin terlalu percaya kepada mereka. Lama-lama mereka dapat menjadi penghalang kemajuan kita sendiri.
Tidak, Lama, kurasa tentang hilangnya Suma Lian itu tidak akan mendatangkan kekecewaan terlalu besar bagi Hou Taijin.
"Mudah-mudahan begitu," kata pendeta gendut itu sambil mengunyah daging yang agak alot.
Mereka bercakap-cakap sambil makan minum merayakan ke-menangan. Kini Hwa Nio-nio yang berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam. "Akan tetapi, yang membuat pinceng merasa penasaran adalah muncul-nya kakek jembel gila itu! Dia berhasil melarikan Suma Lian dan kakek itu lihai luar biasa!"
"Hemm, aku tidak khawatir. Sampai di mana sih kelihaian seorang tua bangka jembel?" kata Kim Hwa Nio-nio sambil mengelus Liong-siauw-kiam, se-olah-olah hendak memamerkan senjata pusaka itu dan menunjukkan bahwa dengan adanya senjata pu-saka itu, ia tidak takut melawan siapapun juga.
"Sungguh, Nio-nio. Kau harus percaya kepada omongan pinceng. Kakek itu memang sudah tua se-kali, akan tetapi dia benar-benar sakti! Dan dia menjadi tamu di rumah keluarga Pouw.
Bahkan se-lain melarikan Suma Lian, diapun melarikan anak pe-rempuan keluarga Pouw itu.
Dia yang mengetahui semua rahasia pembunuhan itu. Hemm, pinceng akan selalu merasa Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
392 khawatir dan tidak enak sebelum dapat memenggal kepalanya!"
"Jangan khawatir, kalau dia berani muncul lagi, aku akan membantumu memenggal
kepalanya, Lama." "Aih, engkau terlalu memandang rendah pihak lawan, Nio-nio, dan hal itu juga
menggelisahkan hatiku. Ketahuilah bahwa orang-orang seperti kakek jembel itu amat berhahaya."
"Subo, ucapan locianpwe Sai-cu Lama memang patut diperhatikan," tiba-tiba Bhok Gun berkata ke-pada gurunya." Memang kini di kota raja bermunculan orang-orang pandai. Bukan saja Sim Houw dan Can Bi Lan yang berhasil kita bekuk, akan tetapi be-berapa hari yang lalu muncul pula dua orang pemuda itu yang sudah kami laporkan kepada subo. Mereka-pun lihai sekali dan merupakan lawan yang tidak bo-leh dipandang ringan." Yang dimaksudkan oleh Bhok Gun adalah Cu Kun Tek dan Gu Hong Beng yang belum lama ini mereka serbu di dalam restoran na-mun mereka gagal karena dua orang pemuda perkasa itu dapat meloloskan diri meninggalkan beberapa orang anak buah mereka yang luka-luka.
"Karena itulah maka aku telah minta kepada Bi-kwi. Ke mana saja sih tiga orang kakek gila yang menjadi gurumu itu, Bi-kwi" Kenapa sampai seka-rang belum juga muncul?"
"Suhu bertiga sudah berjanji akan datang, mereka pasti akan datang, sukouw. Harap jangan khawatir," jawab Bi-kwi. "Dan apa yang dikatakan oleh Bhok suheng ada benarnya. Agaknya kini para pendekar bermunculan di kota raja dan mereka itu agaknya sengaja hendak menentang kita. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan kewaspadaan dan sama se-kali tidak boleh memandang ringan kepada mereka."
"Ah, sudalah, Kita nanti sama-sama hadapi saja mereka itu. Kini yang penting, bagaimana dengan Sim Houw dan Can Bi Lan yang telah kita tawan itu" Sebaiknya, mereka itu diapakan?"
"Orang she Sim itu terlalu berbahaya sekali, sukouw, menurut pendapatku sebaiknya dibunuh saja. Kalau dibiarkan hidup lebih lama lagi, akan berbahaya bagi kita."
"Aku setuju sekali!" kata Bhok Gun. Memang orang she Sim itu harus dibunuh. Ilmunya tinggi, se-lagi dia berada dalam kekuasaan kita, sebaiknya se-gera dibunuh saja. Akan tetapi nona itu jangan dibu-nuh dulu. serahkan kepadaku, subo. Biar aku yang akan
menjinakkannya. Bukankah ia masih sumoi dari Bi-kwi, murid dari para susiok Sam Kwi, berarti orang sendiri" Kalau ia sudah dapat dijinakkan, ten-tu akan mau membantu kita dan berarti kedudukan kita menjadi lebih kuat."
"Omitohud....!" kata Sai-cu Lama. "Ingat, nona itu sudah menjadi murid dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Bukan lagi orang segolongan dengan kita." Tentu saja kakek yang merampas Ban-tok-kiam ini khawatir sekali kalau gadis itu dibiarkan hidup. Kalau gadis itu mati, dia boleh bernapas lega dan Ban-tok-kiam sepenuhnya menjadi miliknya.
"Memang sebaiknya kalau Can Bi Lan itu dibunuh saja, dan sebelum itu, biarlah kalau Bhok Gun hendak menikmatinya dulu," kata Kim Hwa Nio-nio sambil tersenyum ke arah murid yang disayangnya itu. Bhok Gun menyeringai girang.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
393 "Hemmm, manusia mana yang hendak membunuh murid kami?" Tiba-tiba terdengar seruan keras dan bagaikan setan-setan saja, nampak tiga bayangan orang menyelonong masuk ke dalam ruangan itu. Beberapa orang penjaga yang berusaha mencegahnya, sudah terlempar ke kanan kiri oleh dorongan mereka.
"Suhu!" teriak Bi-kwi dengan girang melihat bahwa yang muncul itu adalah tiga orang gurunya.
"Aih, akhirnya kalian muncul juga, Sam Kwi!" Kim Hwa Nio-nio juga menyambut dengan wajah girang.
"Aku ingin bertanya, siapa berani mencoba untuk membunuh murid kami Siauw-kwi" Hayo maju dan boleh coba-coba dengan kami yang menjadi gurunya!" kata pula Im-kan Kwi, Si Iblis Akhirat yang biarpun bertubuh kate pendek, namun suaranya besar dan cerewet. "Enak saja membicarakan mati hidupnya murid kami. Hayo siapa berani?" Si kate itu, ber-sama dua orang saudaranya, berdiri dengan marah dan mereka memandang kepada semua orang, satu demi satu dengan sikap menantang.
"Omitohud....! Hebat sekali! Inikah Thai-san Sam Kwi yang amat terkenal itu?"
Tiga orang kakek yang baru tiba itu menoleh ke arah Sai-cu Lama.
"Siapakah Lama ini?" tanya Hek-kwi Ong yang tinggi besar.
"Duduklah, sam-wi sute (tiga orang adik seperguruan), duduklah yang baik. Kita berada di antara orang sendiri. Pendeta ini adalah Sai-cu Lama, seorang rekan kita yang amat baik dan tangguh."
"Hemmm, kami sudah mendengar namanya. Mu-dah-mudahan kepandaiannya sebesar
namanya," kata pula Iblis Akhirat yang pendek.
"Suci Kim Hwa Nio-nio. Siapa yang mau mem-bunuh murid kami Siauw-kwi tanpa perkenan kami tadi?" kini Iblis Mayat Hidup yang tak banyak bicara itu bersuara.
Melihat sikap tiga orang gurunya yang jelas memperlihatkan ketidaksenaangan, Bi-kwi cepat berkata, "Suhu bertiga harap jangan salah mengerti. Kami memang sedang membicarakan tentang diri Siauw-kwi, dan kebetulan sekali suhu bertiga sudah datang sehingga dapat memberi keputusan yang tepat ten-tang apa yang harus kami lakukan terhadap murid suhu yang murtad itu."
"Bik-kwi, kau mengatakan bahwa Siauw-kwi murtad. Dalam hal bagaimanakah ia murtad dan mengapa pula sekarang ia menjadi tahanan" Kami tahu bahwa sejak dahulu engkau tidak menyukainya, akan tetapi hal itu belum dapat menjadi alasan bahwa engk-au boleh membunuh murid kami begitu saja tanpa ijin kami!" kata Iblis Akhirat dengan sikap mar-ah.
"Begini, suhu. Karena aku merasa menjadi suci-nya, maka tadinya aku menganggap diriku cukup un-tuk mewakili suhu bertiga karena suhu bertiga tidak hadir. Siauw-kwi telah murtad dan menjadi pengkhia-nat dengan bersekutu dengan Sim Houw yang merampas pedang
Liong-siauw-kiam. Ia bersekutu dengan orang she Sim itu untuk menentang kita! Apakah pengkhianaran seperti itu tidak patut untuk men-dapat hukuman yang keras?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
394 "Keterangan Bi-kwi itu benar, sam-wi sute. Muridmu Bi-kwi telah gagal merampas Liong-siauw-kiam dan Siauw-kwi telah bersekutu dengan musuh. Akan tetapi akhirnya, aku dapat menangkap mereka berdua dan karena aku yang berhasil merampas kembali Liong-siauw-kiam, maka pedang pusaka ini sekarang menjadi hak milikku!"
Tiga orang kakek itu saling pandang dan Iblis Akhirat yang seperti biasa menjadi juru bicara mereka bertiga, berkata, "Hemm, kalau sudah terjatuh ke tanganmu sama saja, suci. Pokoknya pusaka itu tidak jatuh ke tangan golongan lain. Akan tetapi kami masih merasa penasaran dan ingin membuktikan sendiri apakah benar Siauw-kwi telah mengkhianati kami. Bawa mereka berdua itu menghadap!"
Akan tetapi. seolah-olah sebagai jawaban dari ucapan Iblis Akhirat itu, mendadak terdengar suara ribut-ribut dan kegaduhan itu datang dari bagian belakang gedung. Makin lama makin gaduh dan muncullah seorang komandan jaga dengan muka pucat dan napas memburu.
"Celaka, Nio-nio.... celaka...., orang tawanan itu lolos .
Mendengar ucapan ini, tanpa banyak cakap lagi Kim Hwa Nio-nio, Sai-cu Lama, Bhok Gun dan Bi--kwi berloncatan keluar dari ruangan itu. Sam Kwi saling pandang, lalu menyerbu meja makanan, meneguk arak dari guci dan memilih masakan-masakan yang dianggap paling enak. Mereka bersikap seolah-olah mereka tidak ada hubungannya dengan urusan yang menimbulkan keributan itu.
Apakah yang telah terjadi" Ketika Sim Houw dan Bi Lan, dengan tubuh tertotok dan kaki tangan terbelenggu, dijebloskan ke dalam sebuah kamar tah-anan yang kokoh kuat dan terjaga ketat di luar kamar tahanan, Bi Lan yang terkulai lemas itu merasa menyesal sekali.
"Sim-toako, kenapa engkau tidak memenuhi permintaanku" Kenapa kau tidak mau
mempertahankan pusaka itu" Dan kemudian, kenapa engkau tidak melarikan diri saja melainkan menyerahkan diri untuk menjadi tawanan" Ahhh, kalau engkau menuruti
permintaanku, tentu sekarang engkau masih bebas di luar dan pusaka itu masih tetap berada padamu, toako. Sungguh aku menyesal sekali. Karena kebodohan dan kelemahanku, engkau menjadi korban!"
Sim Houw kembali memandang kepada ga-dis itu dengan pandang mata yang aneh tadi, pandang mata yang membuat Bi Lan merasa bingung dan canggung, "Lan-moi, untuk
melindungimu dari bahaya, jangankan hanya pedang pusaka, biar nyawakupun
kupertaruhkan." Bi Lan membelalakkan kedua matanya dan seje-nak menatap wajah pemuda itu, mencoba untuk me-neliti wajah itu di dalam cahaya remang-remang, ingin mengetahui mengapa Sim Houw bersikap seperti itu kepadanya. "Akan tetapi.... kenapa, toako" Kita baru saja berjumpa dan berkenalan, akan tetapi kenapa kau.... kau begitu baik kepadaku" Ke-napa kau membelaku mati-matian, mengorbankan pusaka, padahal bagi seorang pendekar, bukankah senjata pusaka itu merupakan nyawa kedua" Dan engkaupun mempertaruhkan nyawa untuk melin-dungiku. Kenapa....?"
Di dalam pertanyaan itu terkandung perasaan ingin tahu yang mendalam sekali sehingga wajah Sim Houw berubah kemerahan. Untung cahaya remang--remang menyembunyikan
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
395 perubahan air mukanya itu sehingga tidak nampak oleh Bi Lan. Gadis itu hanya melihat Sim Houw menarik napas panjang lalu ter-senyum, senyum penuh kesabaran dan pengertian se-perti yang dikenalnya dengan baik selama ini. Tentu saja hati Sim Houw ingin meneriakkan bahwa dia melakukan semua itu karena dia mencinta gadis ini! Ya, dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan, seperti yang belum pernah dialaminya semenjak cintanya gagal terhadap Kam Bi Eng. Di dalam diri Bi Lan, dia se-perti menemukan Bi Eng ke dua dan dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi, tak mungkin dia berani menyatakannya. Dia merasa malu kepada Bi Lan dan kepada diri sendiri. Pertama, dia jauh lebih tua dari gadis ini, tidak sepadan. Dia pantas menjadi paman gadis ini! Dan ke dua, dia tidak mau mende-rita untuk kedua kalinya, derita yang timbul karena cinta gagal, cinta yang bertepuk tangan sebelah pihak seperti cintanya kepada Kam Bi Eng. Tidak, dia tidak mau menjadi buah tertawaan Bi Lan dan orang lain dengan pengakuan cintanya, dan dia merasa ngeri menghadapi kegagalan lagi. Lebih baik dia menyim-pan rahasia itu di dalam hatinya sendiri, membawa rahasia itu di dalam sisa hidupnya sampai dia mati. Akan tetapi pertanyaan Bi Lan demikian mendesak, menuntut keterangan.
Setelah menarik napas panjang sekali lagi untuk menenangkan hatinya yang berdebar, dia berkata, "Kenapa, Lan-moi" Ah, perlukah hal itu kautanya-kan lagi" Kita melakukan perjalanan bersama, kita sudah menjadi sahabat, sudah sepatutnya kalau aku melindungimu."
"Akan tetapi, antara sahabat tidak mungkin sam-pai orang harus mengorbankan pusakanya dan bahkan nyawanya, toako."
"Begini, Lan-moi. Engkau sebatangkara di dunia ini, engkau tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Dan akupun hidup sebatangkara. Nasib kita sama. Nah, kalau bukan aku yang melindungi dirimu, habis siapa lagi" Bagaimana aku selanjutnya dapat hidup dengan perasaan tenang kalau aku membiarkan dirimu seo-rang diri menempuh bahaya besar ini" Tidak, aku tentu takkan pernah dapat mengampuni diriku sendiri. Hidup atau mati, aku harus menemanimu dalam menghadapi ancaman bahaya, Lan-moi."
Sejenak Bi Lan diam saja seolah-olah kecewa mendengar keterangan itu. Dia seperti merasakan bahwa alasan Sim Houw mempertaruhkan nyawanya tentu karena sebab yang lebih mendalam, bukan se-kedar setia kawan seorang sahabat baru! Ia seolah-olah mengharapkan pengakuan yang lain!
"Akan tetapi, toako. Pengorbananmu ini akan sia-sia saja. Engkau tertawan, terbelenggu dan ter-totok, tidak berdaya seperti juga aku. Engkau tidak dapat menolongku dan tidak dapat menyelamatkan dirimu sendiri. Bukankah perbuatanmu ini sama saja seperti bunuh diri?"
Sim Houw menggeleng kepala dan senyumnya nampak aneh. "Jangan khawatir, Lan-moi.
Aku ti-dak melakukan tindakan membabi buta, melainkan ingat sebelum kulakukan sudah kuperhitungkan masak-masak. Satu-satunya jalan untuk menolongmu hanyalah menyerahkan pusaka dan menyerahkan diri. Kalau sudah terbebas dari ancaman mereka, barulah aku akan mampu menolongmu. Totokan ini bukan apa-apa bagiku. Dengan Ilmu I-kiong-hoan-hiat (Ilmu -Memindahkan Jalan Darah) aku dapat mengelak dari tototokan itu dan pura-pura lumpuh. Dan belenggu inipun tak ada artinya." Dan tiba-tiba saja, di bawah pandang mata Bi Lan yang terbelalak, Sim Houw menggerakkan kedua tangannya dan belenggu di pergelangan tangannya itupun patah-patah tanpa mengeluarkan banyak suara! Kemudian, dengan hati-hati Sim IIouw menotok jalan darah di pundak dan punggung Bi Lan untuk membebaskan gadis itu, dan juga mematahkan belenggu kaki tangannya-Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
396 "Jangan bergerak, bersikap pura-pura masih tertotok dan terbelenggu," bisik Sim Houw yang memasangkan kembali belenggu kaki tangannya yang diturut oleh Bi Lan. "Pihak musuh terlalu banyak dan mereka kuat sekali. Kita harus menanti saat baik. Kalau orang-orang tangguh itu sudah tidur, barulah kita akan meloloskan diri dari sini. Untuk membuka ruangan ini membutuhkan banyak tenaga dan aku khawatir sebelum kita sempat lolos, mereka sudah datang dan kita akan menghadapi kesukaran lagi. Ingat kita berada dalam sarang musuh."
Bi Lan merasa kagum bukan main atas kehebatan ilmu kepandaian Sim Houw, mengangguk dan mentaati petunjuk Sim Houw. Ia tahu bahwa Sim Houw pasti berhasil mengajaknya keluar dari tempat ini, lolos dan bebas!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara berkerotokan ketika pintu baja yang berat dan tebal itu dibuka dari luar. Rantai baja yang besar, yang mengikat pintu, dibuka dan kuncinya juga dibuka. Daun pintu itu terbuka dan masuklah seorang kepala jaga yang bermuka hitam dan kasar, bermata lebar dan mata itu sejak dia masuk sudah memandang ke arah Bi Lan dengan sinar mata yang memuakkan gadis itu.
"Aduh, sayang kalau nona manis semulus harus dibunuh. Nona, berilah aku cium satu kali saja dan aku akan minta kepada Nio-nio agar engkau jangan dibunuh, melainkan diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku. Cium sekali saja, ya?" Dan muka yang hitam kasar itu mendekat, hendak mencium bibir Bi Lan. Gadis ini menahan diri, akan tetapi mencium bau yang busuk dari mulut orang itu yang semakin mendekat, ia tidak tahan lagi dan tangannya yang memang sudah terbebas dari belenggu itu tiba-tiba menyambar.
"Prakkk....!" Terdengar tulang patah ketika tangan Bi Lan dengan kerasnya menampar pipi orang itu. Agaknya tulang rahang yang patah-patah dan giginya juga rontok semua. Orang itu mengaduh dan bergulingan di atas lantai seperti cacing terkena abu panas, mengaduh dan memegangi mulutnya yang pe-nuh darah.
Tiba-tiba pada saat para penjaga menjadi kaget dan mereka menyerbu ke depan pintu kamar tahanan, nampak berkelebat dua bayangan dari tempat gelap dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan ketika bebe-rapa orang penjaga terguling oleh amukan dua orang itu. Kiranya yang datang itu adalah Hong Beng dan Kun Tek!
"Nona Can, cepat keluarlah!" kata Hong Beng sambil menendang roboh seorang penjaga.
"Sim Houw, aku datang menolongmu, cepatlah keluar!" kata Kun Tek yang masih terhitung paman dari Sim Houw dan diapun merobohkan seorang penjaga lain dengan tamparan tangan kirinya. Dengan pedang Koai-liong-kiam di tangan, Kun Tek meloncat ke dekat pintu kamar tahanan. Maksudnya untuk membuka pintu itu menggunakan pedang pusakanya Akan tetapi dia merasa heran dan juga girang melihat bahwa pintu yang amat kuat itu sudah terbuka dan nampaklah Sim Houw dan Bi Lan sudah menerobos keluar dari pintu yang terbuka itu.
Melihat bahwa yang menolongnya adalah pamannya yang dulu masih kecil ketika dia berkunjung ke Lembah Naga Silmuan, Sim Houw menjadi girang sekali. Hampir dia tidak mengenal pemuda tinggi besar itu kalau saja tadi tidak menyebut namanya begitu saja. Dan Bi Lan juga merasa girang disamping merasa heran mengapa dua orang pemuda yang per-nah saling gempur itu kini datang bersama untuk menyelamatkan ia dan Sim Houw. Akan tetapi tidak ada waktu bagi mereka untuk bereakap-cakap dan empat orang itu lalu mengamuk, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
397 merobohkan setiap penghadang dan sebentar saja mereka sudah dapat menerobos keluar dari kepungan dan berloncatan ke-luar dari tembok belakang yang mengurung gedung itu.
Ketika Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya mengejar ke tempat tahanan, mereka tidak menemu-kan lagi dua orang tawanan itu. Dengan marah dan mendongkol sekali Kim Hwa Nio-nio hanya dapat mendengar laporan anak buahnya betapa komandan jaga memasuki kamar tahanan dan tahu-tahu telah remuk tulang rahangnya, dan betapa dua orang pe-muda yang pernah lolos dari tangkapan mereka tadi telah datang dan membantu lolosnya dua orang tawanan. Dengan tangannya sendiri Kim Hwa Nio-nio menampar kepala dari komandan jaga itu sehing-ga orang itu roboh dengan kepala retak-retak dan tewas seketika.
"Sam-wi sute, kini percaya betapa baiknya murid-mu yang bernama Bi Lan itu?" Kim Hwa Nio-nio mengomel ketika ia kembali ke ruangan dalam dan melihat tiga orang sutenya itu masih enak-enak saja duduk makan minum. "Ia telah melarikan diri ber-sama Sim Houw dan dibantu oleh pemberontak-pem-berontak."
"Hemm, tidak kusangka anak itu menyeleweng," kata Iblis Akhirat. "Akan tetapi kami ingin bertemu dengannya, dan kalau ia tidak menyerah, kami sendiri yang akan memberi hukuman kepadanya!"
*** "Cepat, kita bersembunyi ke dalam kuil ini," kata Hong Beng kepada Sim Houw dan Bi Lan yang mengikuti dia dan Kun Tek melarikan diri dari ge-dung yang menjadi markas besar para pembantu Hou Taijin. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di ruangan dalam kuil itu, aman dan mereka segera duduk menghadapi meja, minum air teh panas yang disediakan oleh para hwesio kuil.
Bi Lan lalu memperkenalkan Hong Beng kepada Sim Houw. "Sim-toako, saudara Gu Hong Beng ini adalah seorang murid dari keluarga para pendekar Pulau Es, ilmu kepandaiannya hebat. Dan Hong Beng, Sim-toako ini adalah Pendekar Suling Naga. Kiranya aku tidak perlu memperkenalkan Sim-toako dengan Kun Tek karena agaknya malah ada hubungan keluarga antara kalian."
Sim Houw dan Hong Beng saling memberi hor-mat dan Kun Tek berkata, "Sim Houw adalah kepo-nakanku sendiri, biarpun usianya lebih tua dariku. Dan dia telah berjasa besar untuk keluarga kami, bahkan dialah yang mengembalikan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang kubawa ini kepada kami."
Mendengar disebutnya pedang pusaka, Bi Lan memandang dengan muka sedih. "Sungguh celaka, pe-dang pusaka milik subo, Ban-tok-kiam masih belum bisa kudapatkan kembali, kini malah pedang pusaka milik Sim-toako terjatuh ke tangan nenek iblis itu!"
"Hemm, mereka itu sudah bersatu semua. Sai-cu Lama yang merampas pedangmu itu sudah berada di sana pula, nona Bi Lan. Juga kami tadi ada melihat tiga orang kakek yang menyeramkan, agaknya mereka baru saja tiba di gedung itu. Melihat keadaan tubuh dan wajah mereka yang amat menyeramkan, aku da-pat menduga bahwa mereka tentu memiliki ilmu ke-pandaian yang tinggi."
"Melihat mereka, kurasa merekalah yang berjuluk Sam Kwi...." kata Kun Tek.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
398 Tentu saja Bi Lan menjadi terkejut mendengar disebutnya nama itu. "Benarkah?" tanyanya.
"Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan Sam Kwi sebelumnya, akan tetapi pernah mendengar gam-baran tentang diri mereka. Yang seorang tinggi besar, berpakaian hitam, tingginya satu setengah orang. Yang ke dua amat pendek, gendut, tingginya tiga perempat orang biasa. Sedangkan yang ke tiga ada-lah seorang yang seperti tengkorak hidup saja, kurus hanya kulit membungkus tulang, mengerikan!"
"Ah, benar, mereka adalah Sam Kwi, tiga orang guruku," kata Bi Lan dan gadis inipun termenung. Bagaimanapun juga jahatnya, tiga orang kakek itu adalah orang-orang pertama di dalam hidupnya yang pernah menyelamatkan dan yang bersikap baik terha-dap dirinya. "Dan mereka memang lihai sekali," sambungnya ketika melihat betapa tiga orang pria itu semua memandang kepadanya. "Yang tinggi sekali itu adalah suhu Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) yang memiliki Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang yang tang-guh. Lengannya dapat mulur sampai dua setengah kali lebih panjang. Yang amat pendek itu adalah Iblis Akhirat, biarpun pendek akan tetapi tubuhnya kebal dan tendangan Pat-hong-twi yang dikuasainya amat berbahaya, di samping sin-kangnya yang kuat dan senjata Toat-beng Hui-to (Golok Terbang Pencabut Nyawa) juga tak boleh dipandang ringan. Yang ke tiga, seperti tengkorak itu adalah Iblis Mayat Hidup. Ilmunya Hun-kin Tok-ciang amat berbahaya, juga di antara mereka bertiga, Iblis Mayat Hidup inilah yang memiliki Kiam-ciang paling kuat. Harus diingat bahwa dalam usia mereka yang sudah tujuhpu-luh tahun lebih itu, mereka bertiga telah mencipta-kan ilmu baru, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun yang amat lihai."
"Dan engkau telah menguasai semua ilmu itu, nona Bi Lan" Sungguh hebat!" kata Kun Tek.
Bi Lan mengerutkan alisnya. Hong Beng dan Kun Tek kini tiba-tiba saja menyebut "nona"
kepadanya. Mengapa ada perubahan sikap mereka itu setelah ia menolak cinta mereka"
Nampak kaku, berkurang keakraban mereka, bahkan begitu canggung.
"Memang aku telah mempelajari itu semua, akan tetapi ilmu yang kupelajari masih mentah, saudara Kun Tek, sama sekali tidak boleh dibandingkan de-ngan mereka." Iapun
menambahkan sebutan "sau-dara", mengubah kebiasaannya yang dulu menyebut dua orang pemuda itu begitu saja memanggil nama mereka. Diam-diam gadis ini merasa heran mengapa penolakan cinta itu seolah-olah menciptakan suatu jurang pemisah di antara ia dan dua orang pemuda itu!
Pendekar Pemetik Harpa 31 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Pendekar Aneh Dari Kanglam 6
^