Pencarian

Suling Naga 17

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan ia memang patuh sekali terhadap pe-muda ini. Ia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.
"Crottt....!" Mata kanan Ok Cin Cu ter-tembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan ter-banting keras.
Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan leng-king tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Seng-jin terbabat putus. Kakek inipun menjerit dan melompat jauh ke belakang.
Mereka berdua cepat menotok dan mengurut ja-lan darah masing-masing untuk
menghentikan keluar-nya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi ke-duanya meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, pa-ra penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Pada saat itu Siu Kwi muncul. "Di mana mere-ka?" tanyanya ketika ia tidak melihat adanya dua orang tosu itu.
"Kami sudah memberi hajaran dan mereka melarikan diri," kata Bi Lan, lega bahwa Sim Houw mem-beri peringatan pada saat yang tepat sehingga ia tidak perlu membunuh tosu yang menjadi lawannya tadi.
Lega rasa hati Siu Kwi. Dua orang tosu itu memang jahat, akan tetapi iapun tidak mempunyai nafsu untuk membunuh mereka. "Sudahlah, terima kasih atas bantuan kalian. Tanpa bantuan kalian, tak mungkin aku dapat membebaskan Yo Jin."
"Di mana dia sekarang....?" tanya Bi Lan yang ingin sekali melihat bagaimana macamnya pemuda yang mampu merobohkan hati sucinya yang tadinya dianggap tidak mempunyai hati itu.
"Aku tadi telah membebaskannya dan menyuruhnya pulang ke dusunnya lebih dahulu, baru aku akan menyusulnya.
"Aih, suci, kenapa begitu saja membiarkan dia pergi sendiri" Bagaimana kalau sampai dia tertang-kap musuh lagi?" kata Bi Lan. "Mari kita cepat pergi menyusulnya." Bi Lan hanya mempergunakan dugaan ini agar ia dapat ikut pergi menyusul karena ia sungguh ingin sekali Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
492 bertemu dengan pemuda itu.
"Baik, mari kita pergi," kata Siu Kwi dan mereka bertiga lalu berlari cepat menuju ke dusun selatan Sim Houw diam-diam tersenyum, dapat mengetahui bahwa Bi Lan ingin melihat orang yang mampu me-nundukkan hati seorang wanita seperti Ciong Siu Kwi yang tadinya terkenal sebagai Bi-kwi yang amat kejam dan jahat. Diapun tidak mengeluarkan pendapatnya karena diapun harus membuktikan bahwa semua peristiwa yang diceritakan Siu Kwi itu benar dan hal ini baru terbukti kalau dia sudah bertemu dengan orang yang bernama Yo Jin itu.
Kalau semua ini benar, ti-dak percuma dia membantu Siu Kwi dan menanam permusuhan baru dengan pihak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Bagi seorang pendekar, yang
terpen-ting adalah bahwa setiap tindakannya berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahat-an dan kelaliman. Tidak perduli untuk perbuatannya itu dia akan dibenci atau dimusuhi orang, karena yang jelas, mereka yang memusuhinya tentulah bukan orang baik-baik.
Dengan cepat tiga orang itu telah tiba di dusun selatan dan langsung mereka pergi ke rumah keluarga Yo. Akan tetapi, rumah itu kosong dan Yo Jin tidak berada di situ. Dengan hati khawatir Siu Kwi lalu bertanya kepada tetangga dan mendengar bahwa tadi pemuda itu telah pulang, akan tetapi begitu mende-ngar dari para tetangga bahwa ayannya telah mening-gal dunia, pemuda itu berlari keluar lagi sambil me-nangis.
"Ah, kasihan Jin-koko...." kata Siu Kwi dengan hati terharu. Aku tahu, ia pasti pergi mengunjungi kuburan ayahnya...." Dan merekapun lalu keluar dari dusun itu, menuju ke sebuah tanah kuburan yang amat sunyi karena letaknya di luar kota, di kaki sebuah bukit.
Benar saja, mereka menemukan Yo Jin sedang berlutut dan menangis di depan sebuah kuburan yang masih baru.
"Jin-ko....!" Siu Kwi berseru memanggil. Pemuda itu bangkit, membalikkan tubuh dan dua orang itu saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang karena malam itu hanya diterangi oleh bin-tang-bintang bertaburan di langit hitam.
"Kwi-moi....!" Suara pemuda itu terdengar parau karena lama dia tadi menangis.
"Jin-koko....!" Siu Kwi melangkah maju dan entah siapa yang bergerak lebih dulu, keduanya saling rangkul dan keduanya terisak menangis!
Bi Lan berdiri bengong. Benarkah wanita yang menangis di dadalaki -laki itu sucinya"
Benarkah ia Bi-kwi yang biasanya demikian kejam dan keras ha-ti" Terdengar Sim Houw batuk-batuk untuk me-nyadarkan dua orang yang sedang dilanda keharuan itu bahwa di situ hadir lain orang!
Suara batuk itu menyadarkan mereka dan kedua-nya melepaskan rangkulan. "Kwi-moi, ayah.... ayahku...."
"Tenanglah, Jin-ko. Ayahmu telah meninggal dunia dengan tenang dan dia menghembuskan napas terakhir dalam rangkulanku."
"Ahh, Kwi-moi, apakah yang telah terjadi" Ceritakanlah...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
493 "Mari kita duduk dengan tenang dan aku akan menceritakan semuanya, Jin-ko."
"Kita duduk di dekat makam...."
"Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Jin-ko dan bicara di rumah?"
"Tidak, malam ini aku tidak akan meninggalkan makam ayah."
"Biar aku membuat api unggun," tiba-tiba Bi Lan berkata dan dibantu oleh Sim Houw, ia mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di dekat makam.
Yo Jin agaknya baru sadar bahwa wanita yang dicintanya itu datang bersama dua orang lain.
"Kwi-moi, siapakah mereka ini?"
"Mari kita duduk dekat api unggun dan kuperkenalkan kau kepada mereka, Jin-ko. Tanpa adanya bantuan mereka, sampai sekarangpun kita belum da-pat berkumpul kembali."
Mereka berempat lalu duduk di dekat makam, dan mereka mengelilingi api unggun yang dibuat oleh Bi Lan dan Sim Houw. Yo Jin duduk di dekat Siu Kwi, berhadapan dengan Bi Lan yang duduk di dekat Sim Houw. Mereka sejenak saling berpandangan dan diam-diam Bi Lan harus mengakui bahwa laki-laki pilihan sucinya itu biarpun nampak berpakaian seder-hana, memiliki pandang mata yang jujur dan polos, wajah yang bersih dan cukup ganteng walaupun ke-sederhanaan dan keluguan membayangkan kebodohan. Dan biarpun pemuda ini seorang lemah, dalam arti tidak mengenal ilmu silat, namun bentuk tubuhnya jantan dan kokoh kuat karena terbiasa bekerja berat di ladang. Betapapun juga, Bi Lan masih belum dapat mengerti dan masih terheran-heran memikirkan bagaimana sucinya dapat jatuh cinta kepada seorang pemuda tani sederhana seperti ini. Pada hal kalau ia menghendakinya, sucinya dapat memiliki pemuda"pemuda terbaik dari kota, putera bangsawan atau hartawan atau bahkan putera ahli-ahli silat kenamaan sekalipun. Sucinya cantik jelita, memiliki ilmu kepandaian tinggi, cerdik dan pendeknya, memiliki segala-galanya untuk dapat menarik hati pria manapun.
"Jin-ko, mereka inilah yang telah membantuku untuk membebaskanmu. Gadis ini bernama Can Bi Lan dan ia adalah sumoiku sendiri walaupun tingkat ilmu kepandaiannya jauh melebihiku. Dan pendekar ini adalah Pendekar Pedang Suling Naga bernama Sim Houw, seorang tokoh persilatan yang bernama besar dan terkenal sekali."
Yo Jin dengan secara sederhana, hanya memberi hormat sambil duduk ke arah mereka, berkata lantang, "Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan ji--wi yang mulia, dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan ji-wi."
Diam-diam Sim Houw kagum juga. Seorang pe-muda dusun, petani yang bodoh dan
mungkin buta huruf, namun mengerti akan tata susila dan kesopanan, mengenal budi walaupun pernyataan terima kasihnya itu sederhana saja.
"Saudara Yo Jin, harap jangan sungkan. Tidak ada istilah melepas budi di antara kita," kata Sim Houw. "Engkau sendiri, walaupun tidak mempunyai keahlian silat telah berani membela nona Ciong, bah-kan untuk semua itu selain engkau menderita dan menjadi tawanan, juga ayahmu berkorban nyawa. Di-bandingkan dengan apa yang telah kaulakukan itu, perbuatan kami tidak ada artinya."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
494 Mendengar ucapan Sim Houw, diam-diam hati Siu Kwi merasa kagum sekali. Baru sekarang ia melihat dan mendengar sendiri akan sikap seorang pendekar yang rendah hati. Dahulu, tiga orang gurunya, Sam Kwi, selalu menekankan bahwa para pendekar adalah manusia-manusia sombong yang selalu memusuhi golongan mereka. Juga dia merasa senang bukan main mendengar betapa Yo Jin dipuji-puji. Tanpa disadari duduknya semakin mendekat pemuda dusun itu dan pandang matanya penuh kebanggaan dan cinta kasih ketika ia menatap wajah di sampingnya itu yang diterangi cahaya api unggun.
"Jin-koko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling hebat yang pernah kukenal. Dia sudah mengorbankan dirinya, bahkan kehilangan ayahnya, untuk membelaku.
Berkali-kali dia membelaku mati-matian. Sungguh aku telah berhutang budi padanya, berhutang nyawa. Mulai detik ini, aku tidak akan mau berpisah darinya, sampai mati.... aku akan mendampinginya sebagai isterinya.... karena aku.... aku cinta padanya. Bagi Sim Houw dan Bi Lan yang sudah mengenal Siu Kwi ucapan yang terang-terangan ini tidak
mengherankan akan tetapi wajah Yo Jin menjadi merah padam dan dia merasa malu bukan main. Akan tetapi kejujuran-nya melenyapkan perasaan malu itu, dan diapun hen-dak menumpahkan isi hatinya secara blak-blakan, selagi di situ ada orang-orang lain yang amat berharga untuk menjadi saksi.
"Kwi-moi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku semenjak pertemuan kita yang pertama kali itu, aku takkan merasa lega sebelum hal itu kukemukak-an di sini. Biarlah Can-lihiap dan Sim-taihiap ini menjadi saksi."
Siu Kwi memandang kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata berseri. Sikap yang jujur dan terus te-rang dari pemuda ini merupakan satu di antara watak-wa-tak yang amat dikaguminya. "Bicaralah, Jin-ko."
Yo Jin menarik napas panjang dan agaknya berat baginya untuk mengeluarkan isi hatinya.
"Kwi-moi, terima kasih saya amat mendalam bahwa seorang se-perti saya ini mendapat kehormatan untuk menerima
cinta kasih seorang wanita seperti engkau. Hal ini kuterima dengan hati gembira dan ringan seandainya engkau seorang gadis biasa, karena sesungguh-pun sudah jatuh cinta kepadamu.
Akan tetapi...." Siu Kwi mengerutkan alisnya dan menatap wajah -yang menunduk itu dengan hati khawatir. "Akan tetapi.... apa Jin-ko?"
"Kwi-moi, engkau sudah melihat keadaan saya. Seorang pemuda dusun, pemuda petani yang tidak terpelajar, buta huruf, miskin, bahkan kini setelah ayah tiada, saya hidup sebatangkara, tiada sanak kadang, tiada kemampuan. Akan tetapi engkau...."
"Aku.... kenapa, Jin-koko?" Siu Kwi mendes-ak sambil tersenyum sehingga nampak deretan gigin-ya yang rapi berkilau tertimpa sinar api unggun. Yo Jin memandang wajah Siu Kwi dan pandang mata mereka saling bertemu, dan masing-masing dapat merasakan kasih sayang terpancar dari pandang mata itu, akan tetapi Yo Jin lalu mengalihkan pandang matanya, kini memandang Sim Houw dan kepada Bi Lan seolah-olah minta pertimbangan dari kedua orang saksi itu.
"Kwi-moi.... ah, sesungguhnya menyebutmu moi-moi saja sudah tidak pantas bagiku.
Sepatutnya engkau kusebut lihiap. Engkau adalah seorang wanita kota, terpelajar, kaya, pandai dan bahkan memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Engkau seorang wanita sakti, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
495 seorang pendekar wanita yang...."
"Cukup, Jin-ko, cukup....!" Siu Kwi memotong sambil menyentuh lengan pemuda itu. "Aku
-sudah mengenalmu lahir batin, akan tetapi engkau sungguh belum tahu banyak tentang diriku! Engkaulah yang terlalu berharga untukku, Jin-ko. Engkau seorang pemuda yang bersih, jujur, setia, kuat lahir batin, gagah perkasa, sedangkan aku.... aku hanya...."
"Wanita perkasa, pendekar yang sakti...."
"Tidak, tidak....! Engkau hanya tahu satu tidak mengenal dua tiga dan selanjutnya. Biarlah dari mengaku kesemuanya, Jin-ko. Keadaanku yang lalu juga akan selalu menjadi ganjalan di hatiku kalau -belum kuceritakan kepadamu...."
"Suci! Perlukah itu....?" Bi Lan menegur, khawatir melihat sucinya akan menceritakan keadaan masa lalunya.
Siu Kwi tersenyum dan mengangguk kepada sumoinya. "Mutlak perlu, sumoi. Aku tidak tega membiarkan Jin-koko menggambarkan aku sebagai seorang dewi dari langit, pada hal dalam kehidupanku yang lalu aku adalah seorang iblis. Di dalam cinta harus ada kejujuran, kita harus dapat melihat orang yang kita cintai seperti apa adanya, melihat segala cacat dan keburukannya, bukan sekedar melihat kebagusannya saja."
Sim Houw yang sejak tadi mendengarkan semua itu, menggeleng-geleng kepala dan
memandang kagum. "Kalian adalah orang-orang luar biasa, hebat.... hebat...."
Yo Jin memandang bingung. "Kwi-moi, aku tidak ingin mendengar tentang keburukanmu...."
Dengarlah baik-baik, Jin-ko, agar engkau tidak merasa rendah diri terhadap aku. Engkau hanya mengenal namaku, yaitu Ciong Siu Kwi, akan tetapi kau tidak men hal-hal lain mengenai diriku. Seperti juga engkau, aku tidak mempunyai keluarga. Sejak kecil aku ikut bersama tiga orang guruku yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis), tokoh-tokoh golongan sesat, penahat-penjahat yang kejam dan ganas. Dan jangan mengira bahwa aku seorang pendekar wanita, sama sekali tidak! Aku bahkan dimusuhi para pendekar karena aku memang jahat dan kejam, aku seorang di antara tokoh-tokoh sesat yang dijuluki Bi-kwi (Iblis Cantik)."
"Aku tidak percaya....!" Yo Jin berseru, kaget bukan main mendengar pengakuan yang diang-gap mengerikan itu.
"Kenyataannya begitu, Jin-ko. Aku kejam dan jahat, entah telah berapa banyaknya orang, baik yang bersalah maupun yang tidak, tewas di tanganku. Aku telah membunuh banyak orang, aku pendukung keja-hatan dan penentang kebaikan. Bukan itu saja, aku juga bukan seorang wanita baik-baik, bukan seorang wanita bersih. Sejak remaja aku sudah menjadi keka-sih tiga orang guruku dan sejak dewasa, entah sudah berapa banyak pria yang kujadikan kekasihku, baik dengan suka rela maupun dengan paksa! Aku mem-permainkan pria-pria itu seperti barang mainan, kalau sudah bosan kucampakkan, atau kubunuh."
"Tidak.... tidaaaakk....! " Yo Jin berteriak dengan mata terbelalak karena merasa ngeri, dan juga tidak percaya. "Engkau seorang wanita ga-gah perkasa, halus budi dan sopan!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
496 "Itu menurut penglihatanmu, dan memang sejak berjumpa denganmu, aku mengambil
keputusan untuk meninggalkan dunia sesat, untuk merobah kehidupan menjadi seorang baik-baik. Akan tetapi, engkau harus mengenal masa laluku, Jin-ko, agar kalau engkau masih mau memasuki hidup baru bersamaku, engkau masuk dengan mata terbuka, bukan dengan mata terpejam, dengan suka rela, bukan paksaan. Nah, sekarang ku-lanjutkan, Jin-ko. Baru-baru ini, baru kemarin dulu malam, aku terpaksa menyerahkan tubuhku ini kepa-da Ok Cin Cu, tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw yang menangkapmu, aku tidur dengan dia dan melayaninya selama satu malam...."
"Ahhhh, tidaaaakk.... ah, Kwi-moi, kenapa engkau menyiksa hatiku seperti ini....?" Yo Jin menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti hendak mengusir gambaran yang diceritakan Siu Kwi kepadanya itu.
"Yo-toako, suci hanya menceritakan hal-hal yang memang benar terjadi. Akan tetapi ketahuilah bahwa suci terpaksa melakukan hal itu demi untuk membe-baskanmu. Ia tidak berdaya menghadapi dua orang tosu itu, maka ia dapat ditipu oleh mereka yang menjanjikan untuk membebaskanmu."
Yo Jin menurunkan kedua tangannya. Wajahnya agak pucat dan kedua matanya merah ketika dia menatap wajah wanita yang dicintanya. "Kwi-moi, apa-kah masih ada lagi ceritamu tentang dirimu" Kalau masih ada, tuangkanlah semua, jangan disimpan-sim-pan agar kelak engkau tidak akan merasa penasaran dan menceritakannya kembali kepadaku."
Siu Kwi terbelalak. "Jin-koko, masih-belum cukupkah itu" Masih belum cukupkah kotoran yang menodaiku sehingga engkau dapat melihat bahwa aku-lah yang sesungguhnya tidak berharga bagimu?"
Yo Jin tersenyum dan menggeleng kepala. "Kwi-moi, kejujuranmu ini bahkan menambah cintaku ke-padamu. Aku mencinta engkau sekarang ini, seperti keadaanmu sekarang ini. Aku tidak perduli akan kea-daanmu yang lampau, apa lagi engkau sudah mengam-bil keputusan dan untuk merobah jalan hidupmu. Engkau telah melakukan penyelewengan, biarlah aku akan membantumu sekuat tenaga untuk kembali ke jalan benar, Kwi Moi."
"Jin-koko....!" Siu Kwi menubruk dan hendak mencium kaki Yo Jin sambil menangis saking terharu hatinya. Akan tetapi Yo Jin menangkapnya dan menariknya sehingga kini wanita itu menangis dengan kepala di atas pangkuannya, menangis seseng-gukan seperti anak kecil dan rambutnya dibelai sayang oleh Yo Jin.
Melihat peristiwa ini, Bi Lan tak dapat menahan keharuan hatinya dan iapun memandangi dengan ke-dua mata lebar akan tetapi air matanya berlinang-li-nang, kemudian perlahan-lahan menetes turun melalui sepasang pipinya. Hatinya dipenuhi rasa haru, kasih-an, akan tetapi juga ikut gembira bahwa sucinya telah menemukan seorang pria yang sungguh-sungguh mencintanya lahir batin. Ia tidak tahu betapa dari sam-ping, Sim Houw memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kasih sayang.
Setelah tangisnya mereda, Siu Kwi mengangkat kepalanya dari pangkuan Yo Jin dan bangkit duduk. Tangisnya terhenti dan dengan muka -yang basah air mata, rambut yang kusut, ia memandang kepada Yo Jin dengan malu-malu, kemudian -tersenyum dan berkata lirih, "Aihh, aku seperti anak kecil saja...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
497 "Aku cinta dan kasihan kepadamu, Kwi-moi, kata Yo Jin yang kini memandang kepada wanita itu dengan sinar mata lain, mengandung rasa iba. Betapa sengsara kehidupan wanita ini di masa yang lalu dan dia berjanji kepada diri sendiri untuk mencoba membahagiakan Siu Kwi dalam kehidupan mendatang.
"Sudahlah, kita hentikan percakapan tentang ma-sa lalu dan kita bicara saja tentang hal-hal yang ber-ada di depan kita, meninggalkan segala yang sudah terlewat di belakang kita." kata Bi Lan dan Sim Houw mengangguk-angguk setuju.
"Kalian memang bijaksana sekali," kata Siu Kwi, "dan aku merasa girang bahwa kalian telah menjadi saksi pengakuanku kepada Jin-ko. Baiklah, sekarang kita bicara tentang masa depan.
Sumoi, engkau dan Sim-taihiap hendak pergi ke manakah dan bagaimana bisa kebetulan bertemu dengan aku sehingga kalian dapat menolong aku dan Jin-koko?" Sikap Siu Kwi sudah biasa lagi dan biarpun mukanya masih merah dan basah, rambutnya masih kusut, namun ia sudah dapat menguasai hatinya, bahkan kini setelah ia mem-buat pengakuan di depan Yo jin yang diterima de-ngan baiknya oleh pria itu, ada sinar kehahagiaan yang cerah pada wajahnya, terutama pada sinar mata-nya. Tadinya, ada perasaan gelisah kalau ia mengingat akan masa lalunya dan membayangkan betapa Yo Jin akan berbalik membencinya kalau mendengar akan masa lalunya. Kalau hal seperti itu terjadi, kiranya akan sukar baginya untuk dapat merobah hidupnya!
Kebaikan tidak dapat dinamakan baik lagi kalau dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu baik. Keinginan hati untuk berbuat baik membuat perbuatan itu sendiri menjadi tidak baik, palsu dan munafik. Kebaikan tidak dapat diperbuat dengan sengaja. Ke-baikan tidak mungkin dapat dipelajari atau dilatih. Yang dapat dilatih itu hanyalah kepura-puraan saja.
Kebaikan adalah wajar seperti sinar matahari, seperti harumnya bunga. Kebaikan adalah suatu sifat yang terpencar dari suatu kepribadian yang bersih. Kebaikan adalah suatu tindakan yang timbul dari batin yang penuh kasih.
Keinginan untuk menjadi sesuatu, biarpun sesuatu itu kelihatan agung seperti menjadi orang baik, mengotorkan kebaikan itu sendiri. Keinginan menjadi sesuatu selalu mendatangkan kepalsuan, karena pa-mrih atau keinginan yang menyembunyikan keuntungan bagi diri sendiri itu selalu mempunyai tujuan. Ke-inginan akan memperoleh buahnya atau hasilnya ini menjadi terpenting, sedangkan perbuatan baik itu sendiri hanya dijadikan alat untuk mencapai hasil yang menguntungkan atau menyenangkan itu!
Hal ini akan nampak jelas kalau kita mau mengamati diri sendiri setiap saat, pada saat keinginan tim-bul, keinginan yang dianggap suci dan luhur sekalipun. Kita buka mata batin, kita amati dan akan nampaklah bahwa ada setan bersembunyi di sudut belakang ke-inginan luhur itu, yang menanti datangnya hasil baik untuk diterkamnya.
Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan sadar akan keburukan-keburukan dalam perbuatan kita. Kesadaran akan kekotoran ini timbul dalam pengamatan kita secara serius terhadap diri sendiri lahir batin. Kesadaran akan perbuatan-perbuatan buruk kita akan menghentikan perbuatan buruk itu, bukan dengan maksud agar menjadi baik! Kare-na kalau menghentikan perbuatan buruk itu menyembunyikan pamrih agar menjadi baik, maka yang men-jadi baik juga masih keburukan itu sendiri yang ber-ganti baju atau bersalin warna belaka.
Cinta kasih dan kebaikan selalu ada, karena cinta kasih dan kebaikan adalah suatu kewajaran Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
498 yang ti-dak dibuat-buat, bukan hasil latihan, tanpa teori-teori muluk. Akan tetapi, cinta kasih dan kebaikan tidak nampak sinarnya karena batin kita penuh dengan de-bu kotoran yang diciptakan pikiran yang membentuk si-aku yang selalu dipenuhi keinginan-keinginan.
Sing-kirkan semua debu kotoran itu, dan cinta kasih dan- kebaikan akan memancarkan sinarnya dengan terang dan wajar.
Sejak kecil kita diajar untuk melakukan hal-hal baik sehingga dengan otomatis kita selalu berusaha untuk berbuat baik karena ada pahala di ujung perbu-atan baik. Pahala itu dijanjikan kepada kita oleh kebudayaan kita, melalui tradisi dan agama. Pahala itu -dapat dinamakan kehidupan tenteram, kebahagiaan, sorga, nirwana dan sebagainya lagi, juga nama baik atau keuntungan materi yang lebih jelas nampak. Ma-ka berlumba-lumbalah kita untuk melakukan perbuat-an baik, yang pada hakekatnya hanya berlumba untuk mendapatkan pahala itulah!
Jadi, apa artinya melakukan perbuatan baik, atau menjadi orang baik, kalau dibaliknya tersembunyi pa-mrih mengejar pahala" Apa artinya kita menolong orang dan memberi sesuatu, kalau dalam perbuatan itu kita mengharapkan balas jasa dari orang yang kita tolong, atau kita mengharapkan pujian, nama baik dan sebagainya" Kalau begini, jauh lebih benar kalau kita tidak melakukan perbuatan baik dari pada melakukan perbuatan baik yang semu, palsu dan berpamrih! Lebih baik kalau kita mengamati diri sendiri dan melihat adanya kepalsuan-kepalsuan dalam keba-ikan kita ini. Karena hanya dengan pengamatan yang mendalam dan menyeluruh maka terjadi perobahan, terjadi penghentian segala yang palsu itu.
Dan kalau sudah tidak ada keinginan untuk memperoleh pahala, kalau sudah tidak ada keinginan menjadi orang baik, maka semua perbuatan kita adalah wajar! Bukan baik buruk lagi, melainkan wajar. Dan tentu saja kewajar-an ini merupakan pencerminan dari pada kepribadian kita. Kalau pribadi sudah bersih dari pada segala ma-cam debu kekotoran berbentuk keinginan-keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, maka yang tinggal hanya kewajaran di mana sinar cinta ka-sih dan kebaikan akan menerangi semua perbuatan itu.
Karena itu, bukankah jauh lebih baik kalau pelajaran berupa keinginan menjadi orang baik ini dirobah dalam kehidupan anak-anak kita, dirobah menja-di pengamatan terhadap kepalsuan-kepalsuan diri sen-diri setiap saat" Agar kebaikan dan cinta kasih me-nyinarkan cahayanya secara wajar dengan pembersih-an diri dari dalam"
Ketika Siu Kwi mengajukan pertanyaan itu kepa-da Bi Lan, gadis ini lalu menjawab dengan wajah gembira. "Memang hanya karena kebetulan saja ka-mi bertemu denganmu, suci. Aku sedang melakukan perjalanan ke utara, ke gurun pasir untuk mencari suhu dan subo."
"Perdekar Naga Sakti Gurun Pasir ?" tanya! Siu Kwi dan suaranya mengandung kekaguman.
Per-nah ia sebagai Bi-kwi, bertemu dengan mereka dan merasakan sendiri kesaktian mereka yang menggiriskan.
"Benar, suci. Aku hendak mengembalikan pedang. Ban-tok-kiam milik subo ini. Dan Sim-toako ini ber-baik hati untuk mengantarku ke sana. Di dalam perjalanan, ketika kami tiba di hutan itu, kami mende-ngar tangismu dan sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sana."
Siu Kwi menarik napas panjang. "Memang, di du-nia ini terjadi banyak sekali peristiwa secara kebetulan saja. Baru sekarang aku dapat menyadarinya betapa besar kekuasaan Thian yang seolah-olah sudah mengatur segala yang nampak dan tidak nampak da-lam alam semesta Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
499 ini. Pertemuan dengan jin-ko juga hal yang kebetulan saja."
Sim Houw mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ciong-
lihiap. Nampak-nya saja kebetulan karena tadinya kita tidak tahu sa-ma sekali, akan tetapi sesungguhnya sudah ada garis-nya sendiri-sendiri. Baik buruknya garis itu sepenuh-nya berada dalam tangan kita masing-masing, karena hal-hal yang nampaknya tidak ada huhungan sama se-kali itu sesungguhnya masih merupakan suatu rangkaian yang tergantung dari keadaan kehidupan kita sendiri, yang ditentukan oleh kita sendiri dengan se-gala ulah kita."
Siu Kwi menghela napas panjang. "Ah, betapa menariknya mempelajari soal kehidupan.
Dulu, aku sama sekali tidak perduli akan sebab akibat, tidak perduli akan isi kehidupanku...."
"Sudahlah, suci, kita tadi berjanji akan meninggalkan masa lalu. Sekarang, apa yang akan kalian la-kukan dan ke mana kalian hendak pergi?"
Siu Kwi memandang kepada Yo Jin yang juga se-dang menatap wajahnya di bawah sinar api unggun. Wajah Siu Kwi nampak luar biasa cantik dan manis-nya dalam pandangan mata Yo Jin. Dua pasang mata itu bertemu dan biarpun mulut mereka diam saja, na-mun mereka seperti saling mengenal isi hati masing-masing dan sudah mengadakan persetujuan dengan pandang mata mereka.
"Aahh, kami.... akan memulai suatu kehi-dupan baru, sumoi. Aku akan meninggalkan seluruh kehidupan lama yang pernah kulalui dengan segala kekerasannya, melupakan segala-galanya dan belajar menjadi seorang isteri yang baik dan setia, dan kalau Thian menaruh kasihan kepada seorang seperti aku, aku ingin menjadi seorang ibu yang bijaksana bagi anak-anak kami. Kami akan pergi dan tinggal di sebuah dusun yang jauh dan baru, dan aku.... ah, maaf jin-ko, aku lupa belum minta persetujuanmu dalam hal ini...."
Yo jin tersenyum dan memandang dengan sinar mata mengandung penuh kasih sayang dan pengerti-an. "Aku setuju saja dengan rencanamu, Kwi-moi. Memang sebaiknya kita pergi jauh dari sini untuk me-lupakan hal-hal lalu dan agar jangan terjadi lagi hal-hal yang buruk."
Malam itu dilewatkan oleh empat orang muda ini dengan bercakap-cakap dan baik Bi Lan maupun Sim Houw diam-diam merasa heran, kagum dan juga gi-rang sekali melihat betapa sikap Siu Kwi yang dulu terkenal dengan julukan Bi-kwi (Setan Cantik) ber-ubah sama sekali! Baik sinar matanya yang menjadi lembut penuh kasih sayang, terutama kalau ditujukan kepada Yo Jin, suaranya yang menjadi halus merdu bebas dari kebencian, gerak-geriknya, pendeknya orang akan pangling dan tidak mengenalnya lagi seba-gai Siu Kwi beberapa bulan yang lalu!
Sudah lajim di antara kita manusia, perbuatan sesat mendatangkan akibat yang buruk bagi kita sendiri ,dan kalau sudah demikian, timbul penyesalan dan janji bertaubat di mulut atau di hati. Akan tetapi, bertaubat seperti ini seringkali tidak ada hasilnya sa-ma sekali dan tak lama kemudian kita akan terjerumus lagi ke dalam kesesatan yang sama! Kesesatan dilakukan orang karena orang ingin meneguk kese-nangan dari perbuatan itu dan bertaubat karena penyesalan setelah timbul akibat buruk bagi diri sendiri bukanlah bertaubat yang sesungguhnya lagi. Taubat macam ini tidak akan bertahan lama, dan setelah pe-nyesalan sebagai akibat buruk itu menipis. rasa ber-taubatpun ikut pula menipis dan tak lama kemudian, daya tarik untuk meneguk kesenangan kembali mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang sama. Seperti orang minum arak. Kalau kemudian mabok dan sakit-sakit Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
500 seluruh badan, mulut dan hati menyatakan bertaubat tidak akan minum arak lagi. Akan tetapi, setelah rasa sakit-sakit itu hilang, kita akan lupa karena membayangkan enak dan nikmatnya mi-num arak, dan kitapun minum lagi. Demikian seterus-nya seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus.
Yang penting bukanlah bertaubat karena menye-sal menerima akibat buruk, melainkan pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat. Pengamatan ini akan mendatangkan kesadaran dan kebijaksanaan, dan pengamatan ini akan merobah diri seketika, saat demi saat, sehingga tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Kebaikan bukanlah suatu yang menjadi kebiasaan, melainkan harus dihayati detik demi detik dengan pengamatan terhadap diri sendiri. Yang penting itu membersihkan diri dari kotoran, bukan keinginan untuk bersih. Keinginan untuk bersih saja tidak mem-buat kotoran menjadi lenyap. Dan kalau kotoran su-dah lenyap, untuk apa ingin menjadi bersih" Sesal dan taubatpun tidak ada kalau segala perbuatan kita didasari cinta kasih, bukan lagi menjadi pelaksanaan dari pada keinginan untuk mengejar dan memperoleh kesenangan, karena perbuatan didasari cinta kasih ini tanpa pamrih sehingga apapun yang menjadi akibat dari perbuatan ini tidak akan menimbulkan penyesal-an apapun.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Bi Lan dan Sim Houw berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka. Siu Kwi menggandeng tangan Bi Lan dan diajaknya sumoinya itu agak menjauh dari Sim Houw dan Yo Jin karena ia ingin bicara empat mata dengan sumoinya itu.
Setelah berada cukup jauh sehingga percakapan mereka tidak akan terdengar orang lain, Siu Kwi lalu merangkul adik seperguruannya.
"Sumoi, aku mengucapkan selamat kepadamu!"
"Eh, untuk apa, suci?"
"Engkau telah memperoleh seorang pacar yang pilihan! Aku ikut merasa girang, adikku.
Sim-taihiap adalah seorang pria pilihan yang amat mengagumkan hatiku. Engkau tentu beruntung sekali!"
Wajah Bi Lan berubah merah. Heran ia mengapa sucinya dapat menduga dengan tepat bahwa ia me-mang diam-diam jatuh cinta sampai ke ujung rambutnya kepada Sim Houw! Akan tetapi, mengingat si-kap Sim Houw yang tidak pernah menyatakan cinta-nya. ia menjadi sedih dan menarik napas panjang.
"Aihh, aku tidak seberuntung engkau, suci."
"Eh" Salahkah rabaanku bahwa engkau mencinta Sim-taihiap?"
Siu Kwi tertawa dan merangkul sumoinya. "Anak bodoh! Tanpa pengakuan mulutpun,
apakah engkau tidak dapat mengerti dan melihatnya" Aku sudah melihat dengan jelas sekali betapa Sim-taihiap amat mencintamu!"
"Ehhh....?" Bi Lan terbelalak memandang wajah sucinya penuh selidik.
"Percayalah, sumoi. Dia amat mencintamu, dan mungkin dia terlalu rendah hati untuk membuat pengakuan. Akan tetapi aku yakin bahwa dia cinta padamu, jelas nampak dalam pandang matanya kepadamu, suaranya, dan sikapnya. Hanya wanita yang buta sa-ja yang tidak akan dapat melihat cintanya kepadamu, sumoi!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
501 Wajah Bi Lan menjadi semakin merah akan teta-pi kini wajah itu berseri dan mulutnya tersenyum ma-nis sekali. Ia percaya akan keterangan sucinya, kare-na ia tahu benar bahwa encinya adalah orang yang sudah memiliki pengalaman luas dalam menilai pria.
"Terima kasih suci!" Bi Lan merangkul dan Bi Lan mengangguk dan mencium pipi sucinya.
Kini wajahnya yang manis nampak berseri penuh kebahagiaan. "Keteranganmu itu sunggh amat berharga, mendatangkan cahaya yang menerangi seluruh hati dan perasaanku. Terima kasih!"
Ketika mereka berangkulan ini, terasa oleh masing-masing betapa keduanya saling mengasihi dan menyayang seperti kakak beradik sendiri saja. Dan Siu Kwi tidak dapat menahan air mata yang membasahi kedua matanya ketika melihat Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Akan tetapi, ketika ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya dengan lembut, iapun membalik dan merangkul Yo Jin, menyembunyikan mukanya di dada pria yang dicintanya itu. Cinta as-mara memang hebat, kuasanya terhadap perasaan manusia amat besarnya sehingga cinta asmara mampu mendatangkan sorga ataupun neraka di dalam kehidupan seseorang.
*** Mereka menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit itu.
Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dani Yo Jin dan kini mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang nam-paknya tak pernah habis itu, gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di sepanjang perbatasan sebe-lah utara.
Tembok Besar nampak bagaikan seekor -naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum melewati Tembok Besar yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan malam.
Setelah makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan yang cukup lezat walaupun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging kering bersama air jernih karena pe-rut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu. Ruangan itu merupakan bagian yang masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah runtuh. Mereka sore tadi sudah membersihkan tem-pat itu sehingga enak untuk dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diam-bilnya dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk di-pakai malam nanti, pengusir nyamuk dan hawa dingin.
Setelah menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja ruangan itu yang tadinya sudah mulai gelap menjadi terang kemerahan dan hawanya yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di hati Bi Lan. Ia memandang wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun, di depannya.
Me-mandang sampai lama jarang berkedip, mulutnya ter-senyum seperti orang mengejek.
Tadinya Sim Houw tidak menyangka sesuatu karena selama melakukan perjalanan bersama dara ini, hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya. Akan tetapi ketika melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, diapun merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan pandang mata, merasa sayang karena pada sa-at itu wajah Bi Lan nampak cantik jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
502 sopan. Dicobanya mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangan-nya terjilat api.
"Uhhh....!" Dia menarik tangannya. Un-tung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya ha-nya terjilat dan terasa panas saja, belum sampai me-lepuh.
"Eh, kau kenapa, Sim-koko" Tanganmu terba-kar"' tanya Bi Lan kaget dan cepat ia menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa.
Ah, hanya terjilat sedikit, tidak terluka...."
Bi Lan merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit.
"Sakitkah, koko?"
Melihat kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan mengkhawatirkan
tangannya itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Akan tetapi dia menggeleng kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena merasa malu di-perlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan. "Tidak, Lan-moi, hanya panas sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati."
Hening sampai agak lama. Sim Houw kini me-nunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu terus- memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu menatapnya.
"Sim-koko, ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku mendengar jawabannya secara terus terang darimu."
Sim Houw mengangkat mukanya memandang de-ngan penuh keheranan, dan sinar matanya menyeli-diki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi ha-tinya. "Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?"
"Sim-ko, perjalanan menuju ke Istana Gurun Pa-sir merupakan perjalanan yang amat jauh, sukar dan berbahaya, bukankah begitu?"
Sim Houw mengangguk-angguk. "Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya."
"Nah, inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habis kupikirkan. Kenapa engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko" Perja-lanan ini mengandung resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani mengambil resiko dan mengantarkan aku" Kenapa, Sim-ko?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat betapa si-nar mata dara itu memandang kepadanya dengan amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan diapun
menundukkan muka memandangi api unggun, seolah-olah hendak mencari jawabannya dari nyala api itu.
"Bagaimana, Sim-ko" Jawablah dengan terus terang." kata Bi Lan dan gadis ini yang sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta ke-padanya, memandang dengan hati Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
503 tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw yang seperti orang kebingungan dan canggung.
Akhirnya Sim Houw menarik napas panjang. "Ke-napa hal itu saja kautanyakan, Lan-moi"
Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik" Kita sudah banyak mengalami hal-hal yang berbahaya ber-sama, bahkan sudah bersama-sama terancam bahava maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan engkau seorang diri saja mencari Istana Gurun Pasir yang demikian jauhnya, mela-kukan perjalanan yang demikian berbahayanya seorang diri saja. Karena itulah aku mengantarmu, Lan-moi."
"Akan tetapi,.... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu mem-punyai banyak sahabat, apakah terhadap semua saha-batmu engkau akan melakukan hal yang sama" Aku-pun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk mengantar aku. Alas-an bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!"
"Akan tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik!
Melebihi sau-dara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat eng-kau terancam bahaya dan aku.... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu...."
Bukan main girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum puas.
Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya" Bagaima-napun juga, tidak baik kalau ia terlalu mendesak, dan iapun tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bah-wa senyumnya menciptakan lesung pipit yang tidak pernah gagal
mendatangkan sinar kagum dalam sepa-sang mata pendekar itu. Ia tidak menyadari bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa, membuat Sim Houw
terpesona dan pende-kar ini terpaksa menundukkan pandang matanya un-tuk menenangkan hatinya yang terguncang oleh ke-kaguman.
"Kalau begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu. Sim-ko."
Hening lagi sejenak. Sim Houw termenung me-mandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung, kadang-kadang mengangkat muka memandang wajah orang muda itu. Bukan
seorang pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukan seorang kakek tua, melainkan wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, denqan wajah memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.
"Sim-ko...." "Hemmm....?" Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan. Sesaat pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang matanya,
merenung ke arah nyala api.
"Sim-ko," katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada api.
"Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena ia mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?"
Sim Houw menatap wajah itu penuh selidik namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menja-wab dengan tegas.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
504 "Sakit hati" Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati" Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbaha-gia. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati."
"Maksudku bukan sakit hati dan menaruh den-dam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam di-rimu?"
Sim Houw tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia mendengar pertanyaan itu dan diapun menggeleng kepala dengan pasti. "Tidak, Lan-moi.
Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang lemah. Apapun yang terjadi di dalam hidup, suka maupun duka hanyalah bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gam-baran iba hati yang berlebihan. Segala macam peris-tiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa keluhan."
"Tapi.... tapi.... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?"
"Jera bagaimana maksudmu?"
"Jera dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali."
"Cinta tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi cinta"
Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi."
Bi Lan memandang bingung, tidak mengerti. "Akan tetapi.... apakah semenjak engkau gagal.... eh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan seorang gadis lain?"
Sim Houw tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi untuk mengakui cintanya, dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung pera-saan Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan gadis ini.
"Aku sudah tua sekarang, Lan-moi siapa-kah yang mau menaruh hati kepadaku?"
jawabnya menyimpang. Tiba-tiba Bi Lan tertawa, menutupi mulutnya.
"Hi-hi-hik," Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada api itu "coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menye-sali kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia....!"
"Lan-moi, sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja...."
"Aku justeru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko."
Sim Houw menarik napas panjang dan dia sungguh tidak mengerti akan sikap dan watak gadis ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bu-kan-bukan! "Sesukamulah, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
505 Lan-moi." "Kau marah....?"
Sim Houw tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia dapat marah kepada dara ini, dara yang dicintanya" Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan satu di antara keisti-mewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah hidup. "Tidak, Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu."
"Kenapa?" Tiba-tiba dara itu mendesak.
"Karena.... karena engkau tidak pernah ber-salah, engkau wajar dan lincah gembira...."
Kem-bali Bi Lan mengerutkan alisnya. Sukar benar pria ini mengakui cintanya, pikirnya penasaran.
"Jadi selama ini, sejak engkau berpisah dan gagal dalam hubunganmu yang pertama dengan wanita yang kaucinta, engkau tidak pernah jatuh cinta lagi, Sim-ko?"
Sim Houw tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, dan tiba-tiba dia memegang tangan Bi Lan, menariknya dengan sentakan keras sehingga dara itu terlempar ke arahnya dan melalui atas api unggun. Tentu saja Bi Lan terkejut bukan main, akan tetapi Sim Houw segera memberi isyarat dengan tangannya. Kiranya seekor ular sebesar kelingking, akan tetapi panjangnya lebih dari dua kaki, telah berada di atas lantai di mana Bi Lan duduk. Ular itu adalah seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Dengan sekali menggerakkan tangannya, jari tangan Sim Houw me-ngetuk ke arah kepala ular yang diangkat tegak. Ular tu terlempar ke dalam api unggun dan berkelojotan.
"Mari....!" kata Sim Houw sambil menyam-bar tangan Bi Lan dan juga buntalan mereka dan mengajak gadis itu meloncat ke luar kuil dengan ge-rakan cepat. Kembali Bi Lan terkejut, akan tetapi hi-langlah rasa kagetnya ketika mereka tiba di luar dan ia melihat bahwa di luar kuil telah berdiri belasan oranq! Tahulah kini Bi Lan bahwa munculnya ular berbisa tadipun tidak wajar, melainkan dimunculkan dengan sengaja oleh seorang di antara belasan orang ini untuk menyerangnya. Dan melihat bahwa di an-tara mereka terdapat orang-orang berpakaian seperti pendeta, iapun dapat menduga bahwa tentu mereka ini orang-orang Pek-lian-kauw atau Pat-kwa-kauw.
Dugaannya memang tidak keliru. Di bawah pe-nerangan empat buah obor besar yang
dipegang oleh empat orang di antara mereka, ia dapat melihat gam-bar teratai putih dan segi delapan di dada baju para pendeta itu. Jelaslah bahwa kedatangan mereka ini tentu ada hubungannya dengan dua orang pendeta, yaitu Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang telah ia kalahkan bersama Sim Houw.
"Kalian ini tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa kauw dan Pek-lian-kauw!" Bi Lan membentak ma-rah. "Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular berbisa?"
Seorang di antara tigabelas orang itu adalaah seo yang kakek bongkok yang mukanya buruk sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya juga amat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
506 lucu dan tida lumrah seperti tubuhnya karena yang terdengar hanya suara "kek-kek-kek-kek!"
seperti leher dicekik dan tubuhnya terguncang-guncang semua.
"Heh-heh-heh!" Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek dan diapun menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu da-pat menjadi kaku seperti ketika ekornya digutat-gu-ratkan pada tanah tadi. "Akulah yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona."
"Kakek iblis jahanam!" bentak Bi Lan dan iapun sudah menerjang ke depan, mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bong-kokitu. Ia marah sekali karena dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin membunuh-nya secara keji sekali. Maka, kini iapun langsung sa-ja menyerang dengan tamparan yang dilakukan de-ngan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena ia teringat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka iapun menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun)! Pukulan dengan ilmu ini memang amat dahsyat.
Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat kuat, juga me-ngandung hawa beracun yang berbahaya sekali.
Kakek bongkok itu berjuluk Coa-ong Seng-jin, berusia enampuluh lima tahun dan dia masih terhi-tung sute dari Thian Kek Seng-jin. Biarpun dalam hal ilmu silat dan ilmu sihir, tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Seng-jin, namun kakek ini me-miliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong (Raja Ular), dia adalah seorang pa-wang ular yang pandai. Maka, ketika belasan orang ini, atas pemberitahuan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu, Coa-ong Seng-jin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi Lan. Pada hal, andaikata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berba-haya jika ia sampai digigit ular berbisa. Ia telah me-warisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia telah meneri-ma pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan beracun tentu tidak akan mencelakainya.
Melihat betapa gadis itu dapat lolos dari "kiriman" ular, Coa-ong Seng-jin maklum bahwa gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang lawan yang tangguh. Apalagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu me-nyerangnya dengan tamparan yang cepat dan kuat, Coa-ong Seng-jin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!
"Dukkk!" Dua tangan itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Seng-jin tergetar hebat. Dia terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangan-nya dengan ular di tangan kanan.
Melihat ular yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali ti-dak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular, untuk di-cengkeram hancur. Untungnya kalau memiliki tong-kat hidup, ular itu agaknya memiliki indriya yang ta-jam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun. Biarpun ia tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa se-tidaknya, kalau kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka iapun meloncat ke belakang. Coa-ong Seng-jin tidak berani memandang rendah setelah tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
507 terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!
Sementara itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang ba-nyak jumlahnya dan dia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap te-nang dia lalu melangkah maju.
"Cu-wi totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua ini?"
"Siancai!" Seorang tosu yang kelihatan-nya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuhpuluh tahun, memegang sebatangtongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya, menge-lus jenggotnya yang putih panjang ketika dia menge-luarkan seruan itu dan dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw. Sejenak mereka berdiri sa-ling pandang dan Sim Houw juga
mengamati kakek atu penuh perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah, namun melihat sikapnya yang ber-wibawa, pandang matanya yang mencorong, diapun dapat
menduga bahwa tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini adalah seorang dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi. Dugaannya juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkum-pulan Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cin-jin dan sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepan-daian yang tinggi.
"Orang muda, apakah engkau yang berjuluk Pen-dekar Suling Naga, yang dengan semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?" Agaknya kakek ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak memperdulikan ga-dis itu, walaupun tadi dia melihat sendiri betapa ga-dis itu mampu menandingi serangan balasan dari Coa-ong Seng-jin.
"Sim-ko, jelas bahwa mereka ini adalah siluman-siluman yang hendak membalaskan
kekalahan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu si-luman itu!" Bi Lan berseru.
"Benar, totiang," jawab Sim Houw. "Saya ber-nama Sim Houw dan nona ini adalah Can Bi Lan."
Kakek yang sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk. "Benarkah kalian telah melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?"
Sim Houw mengetutkan alisnya. "Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo Jin de-ngan sewenang-wenang ditangkap, ayahnya dibunuh, karena itu kami membantu tunangannya untuk mem-bebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang memaafkan ka-rena kami sesungguhnya sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak manapun juga."
"Hemm, enak saja, heh-heh!" kata Coa-ong Seng-jin. "Sudah melukai orang sampai
menderita lu-ka parah, minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara kalian yang membunuh Kim Hwa Nio-nio!"


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
508 Ditanya demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nio-nio, mungkin kenalan baik karena mereka sea-liran.
"Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya mem-bantu pembesar durna, maka aku membantu para pendekar untuk membersihkan kota raja dari penga-ruh mereka. Dalam pertempuran itu, Kim Hwa Nio-nio memang terbunuh olehku," jawabnya tenang.
Mendengar ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw, menjadi ma-rah. Bahkan Thian Kong Cin-jin yang memimpin rombongan itu nampak marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya me-rah dan matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nio-nio di waktu mudanya amat populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.
"Hemm, kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga,
sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan ka-mi yang telah terbunuh atau terluka olehmu!"
"Tidak kelirulah jalan pikiran totiang?" Sim -Houw berkata dengan sikap masih tenang sekali-. "Semua yang kulakukan itu bukan berdasarkan per-musuhan atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang se-sat. Kalau sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai seorang pendeta?"
"Siancai....! Engkau sungguh terlalu som-bong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke arah Sim Houw.
Pemuda itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai diri-nya, akan tetapi anginnya membuat pakaian dan ram-butnya berkibar-kibar. Dia maklum akan kelihaian lawan, maka tanpa ragu-ragu lagi diapun cepat meng-hunus pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.
Melihat ini, Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan iapun menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang merasa ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu. "Pedang iblis.... pedang iblis....!" katanya berkali-kali sambil berloncatan ke sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang mem-ulai serangan. Tiga orang tosu lain sudah mempergu-nakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Seorang
membantu Coa-ong Seng-jin dan dua orang membantu Thian Kong Cin-jin.
Tingkat kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, hanya tingkat Thian Kong Cin-jin yang pa-ling tinggi. Kakek tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga sin-kang yang kuat.
Kekuatannya itu ditambah dengan kekuat-an ilmu hitam sehingga kadang-kadang tongkatnya se-perti hidup dan dapat bergerak sendiri! Menghadapi kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apa lagi kakek itu dibantu oleh dua orang tosu lain yang juga lihai, maka Sim Houw harus mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Untung bahwa di tangannya terdapat suling Liong-siauw-kiam. Kehebatan permainan pedang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
509 suling yang mengeluarkan suara seperti orang memainkan lagu dengan suling, membuat tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.
Di lain pihak, Bi Lan juga mengamuk dengan pedangnya. Sebetulnya, tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang lawannya juga gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.
Thian Kong Cin-jin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih ter-dapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan ka-wan-kawannya menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya sebelum mereka menyerbu. Melihat kegagahan dua orang muda itu diapun lalu mengeluarkan suara
melengking, yaitu aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja dipadamkan! Ke-adaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima! Mereka dapat bergerak di dalam gelap karena memang sudah mereka rencana-kan lebih dulu.
Sim Houw dan Bi Lan terkejut bukan main keti-ka dari keadaan yang terang kini berubah menjadi ge-lap dan di dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sam-baran-sambaran senjata dari lima penjuru! Mereka terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya meng-andalkan
pendengaran mereka saja. Akan tetapi ka-rena sambaran senjata-senjata itu datang derigan gencar, dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena pukulan tongkat, se-dangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yapg cukup keras.
Mereka tidak terluka pa-rah namun pukulan-pukulan itu cukup mendatangkan rasa ryeri. Sim Houw maklum bahwa kalau dilanjut-kan, dia dan Bi Lan mungkin terluka berat karena dia tahu bahwa lima orang pengeroyok itu sudah menga-tur siasat untuk bergerak di dalam gelap, gerakan yang sudah diatur semacam barisan. Belum lagi kalau delapan orang yang lain ikut maju mengeroyok!
Diapun mendapatkan akal, dan dengan mengan-dalkan pendengarannya, dia cepat mendekati dan mengadu punggung dengan Bi Lan, sambil keduanya memutar pedang di depan mereka.
Dengan rabaan dan sentuhan lengan kiri, Sim Houw memberi isyarat dan memegang tangan kiri dara itu sambil berteriak, "Lan-moi, kita bobol kepungan di kiri!"
Sambil berkata demikian, dia menarik gadis itu ke kanan dan bersama gadis itu memutar pedang di arah kanan. Ketika dia berteriak, lima orang itu ten-tu saja memusatkan pertahanan di kiri untuk mence-gah mereka melarikan diri. Siapa kira, dua orang yang mereka kepung itu malah menyerbu ke kanan, di mana Coa-ong Seng-jin berada. Kakek bongkok ini berusaha nmenvutar tongkat ular hijaunya, akan tetapi ular itu terpotong menjadi lima potong disambar Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam dan ia sendiri cepat melompat mundur kalau tidak ingin terbabat oleh si-nar pedang yang berkilauan itu. Sim Houw terus me-narik tangan Bi Lan dan keduanya melarikan diri se-cepanya setelah berhasil terlepas dari kepungan.
"Kejar mereka!" Thian Kong Cin-jin membentak marah.
"Nyalakan obor!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
510 "Mereka lari ke arah hutan!"
Obor-obor lalu dinyalakan dan tigabelas orang itu melakukan pengejaran. Namun bayangan dua orang buruan itu telah lenyap. Thian Kong Cin-jin tidak ke-hilangan akal. Dia lalu memecah-mecah rombongan-nya menjadi tiga. Dia sendiri pergi bersama dua orang, Coa-ong Seng-jin bersama empat orang, dan lima orang sisanya menjadi satu bagian. Tiga rombongan ini lalu melakukan pengejaran dan pencarian dengan berpencar, memasuki hutan sambil membawa obor.
Melakukan pengejaran sambil membawa obor me-rupakan suatu kebodohan. Sim Houw dan Bi Lan yang melarikan diri ke dalam hutan, tentu saja dapat melihat obor mereka dan dua orang ini dapat menga-rahkan pelarian mereka menjauhi obor. Bi Lan agak terpincang dan Sim Houw juga merasa nyeri pada punggungnya. Setelah mereka keluar dari dalam hu-tan, mereka melalui sebuah bukit dan menjelang pagi, keduanya mengaso. Para pengejar tidak nampak lagi. Mereka berhenti di bukit yang berbatu-batu, bersembunyi di antara batu-batu besar untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga sambil mengobati bagian yang memar karena pukulan tongkat.
"Sim-ko, kita belum kalah mengapa engkau me-maksa aku melarikan diri" Kalau
dilanjutkan, bukan tidak mungkin kita akan dapat merobohkan dan mem-bunuh seorang dua orang di antara lima ekor mo-nyet itu," Bi Lan yang merasa penasaran mengeluh karena merasa tidak puas. Pahanya terasa nyeri dau ia belum membalas kepada musuh-musuhnya!
"Justeru itulah yang tidak kukehendaki, Lan-moi. Kalau keadaan terang, aku masih mampu menahan dan memperingatkanmu agar tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi setelah gelap, berba-haya sekali bagi kita, juga berbahaya bagi mere-ka karena kalau engkau mengamuk, aku tidak dapat menanggung keselamatan nyawa mereka pula.
"Akan tetapi, Sim-ko. Mereka itu berusaha mati-matian untuk membunuh kita! Kenapa engkau masih tidak setuju kalau kita membunuh mereka" Bukan-kah mereka itu orang-orang yang jahat?"
"Belum tentu, Lan-moi. Mereka memusuhi Ciong-lihiap, sucimu itu dan tentu saja mereka masih mengi-ra bahwa sucimu itu seorang yang jahat dan sesat. Kiranya hanya kita berdua sajalah yang yakin benar bahwa sucimu kini telah berubah sama sekali. Akan tetapi, orang lain belum tentu dapat percaya. Dari pada kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa sehingga tertanam benih permusuhan yang ti-ada kunjung habis, lebih baik kalau kita meloloskan diri."
"Akan tetapi kita melarikan diri! Tentu mereka mentertawakan kita dan menganggap kita pengecut!" Bi Lan membantah dengan penasaran.
"Mereka tidak akan dapat mentertawakan kita, Lan-moi. Mereka sendiri yang telah memperlihatkan sikap pengecut, dengan pengeroyokan dan pemadam-an obor."
Bi Lan lalu teringat akan percakapan mereka tentang cinta sebelum orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu datang menyerbu. Hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Pria ini boleh jadi mencintanya, seperti yang dikatakan oleh sucinya. Dan me-mang, melihat setiap gerak-gerik Sim Houw, caranya melindunginya, pandang matanya, kata-katanya, iapun percaya bahwa Sim Houw mencintanya. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah mengakuinya"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
511 Sudah di-pancing-pancing dalam percakapan itu, tetap saja Sim Houw pandai mengelak dan mengalihkannya. Tiba-tiba ia memperoleh akal.
"Aduhhhh....!" Ia berteriak dan menggigit bibir, merintih dan kedua tangannya memegang paha kirinya, memijit-mijitnya perlahan, mukanya berkeri-put menahan nyeri.
Sim Houw terkejut bukan main dan cepat dia menghampiri. "Kenapa, Lan-moi" Ada apakah de-ngan kakimu....?" tanyanya penuh was-was.
"Aduhh.... Sim-ko, pahaku ini....ah, tadi tidak begitu nyeri, akan tetapi sekarang...."
"Sekarang bagaimana, Lan-moi....?" Sim Houw bertanya tanpa disadarinya, saking khawatir, dia meraba paha kiri yang dipijit-pijit Bi Lan itu.
"Nyeri sekali.... auuhhh, tak tertahankan nyerinya...."
"Lan-moi, biar aku memeriksanya, jangan-jangan ada tulang yang patah atau urat yang terkilir...."
"Ya.... cepatlah.... aduhhh, pukulan mo-nyet tua bongkok itu keras sekali...."
Sim Houw terpaksa merobek celana di bagian pa-ha kiri dan nampaklah kulit paha yang putih mulus. Dia menggunakan kedua tangannya meraba dan memi-jit-mijit, memeriksa apakah ada tulang yang patah. Akan tetapi, selain tanda agak biru bekas gebukan, paha itu tidak ada apa-apa, tidak ada tulang yang pa-tah atau urat yang terkilir. Hatinya merasa lega sekali.
"Tidak ada tulang patah dan tidak ada urat terkilir, Lan-moi," katanya.
"Akan tetapi, nyerinya sampai menusuk ke jantung....!" Bi Lan mengaduh.
"Hanya luka memar saja, Lan-moi, akan tetapi mungkin saking kerasnya pukulan, maka menimbul-kan rasa nyeri. Biar kuurut sebentar biar jalan darah-nya pulih dan luka di bawah kulitnya cepat sem-buh." Mulailah Sim Houw memijit-mijit paha itu. Tadi hatinya gelisah karena mengkhawatirkan gadis itu. Sekarang, setelah dia yakin bahwa paha itu tidak apa-apa, hanya luka memar saja yang biarpun nyeri akan tetapi tidak terlalu berbahaya, barulah dia me-lihat betapa indahnya paha yang nampak ka-rena kain celananya dirobek itu. Dia adalah seorang pria yang normal dan sehat. Usianyapun sudah cukup dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Maka wajar-lah kalau gairahnya bangkit ketika dia melihat mulus-nya paha Bi Lan, apa lagi kedua tangannya meraba dan memijit bagian tubuh yang nampak indah itu, merasakan kelembutannya, kekenyalannya dan kehangatannya. Mukanya berubah merah, napasnya agak terengah dan sepuluh jari tangannya yang meraba dan memijit itu mulai gemetar.
Bi Lan yang sejak tadi mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan keadaan pria itu, tentu saja dapat mengetahui perubahan ini. Dan diam-diam ha-tinya merasa gembira sekali dan senyumnya memba-yang di bibir. Tentu saja paha kirinya terasa nyeri, akan tetapi tidaklah separah yang diperlihatkannya. Melihat keadaan Sim Houw, jantungnya berdebar dan kini pijitan jari-jari tangan Sim Houw itu terasa lain, membuatnya berdebar dan terangsang.
"Ahh, enak sekali, Sim-ko, nyerinya hilang. Teri-ma kasih...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
512 "Tak perlu berterima kasih, Lan-moi. Syukurlah kalau pijitanku menolong," kata Sim Houw yang berusaha keras untuk menekan gejolak perasaannya.
"Sim-ko, aku melanjutkan percakapan kita malam tadi. Apakah sampai sekarang engkau masih belum jatuh cinta kepada seorang wanita" Apakah engkau masih belum berani mengaku cinta kepada wanita lain setelah pengalamanmu yang pahit itu?"
Ditanya begini, kedua tangan Sim Houw semakin gemetar dan dia menghentikan pijitannya.
Sudah ber-ada di ujung bibirnya untuk mengaku cinta kepada Bi Lan, namun ditahannya.
"Aku.... aku...." aku saking bingungnya, tak tahu harus berkata apa, dia kembali menggunakan sepuluh jari tangannya memijati paha yang nyeri itu.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring "Tak tahu malu....!"
Baik Sim Houw maupun Bi Lan terkejut bukan main. Sim Houw menarik kedua tangannya.
Bi Lan cepat menutupkan bagian celana yang terbuka di paha dan keduanya meloncat bangun dan membalikkan tu-buh. Kiranya di situ telah berdiri dua orang laki-laki dan melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Gu Hong Beng yang berdiri terbelalak dengan mata berapi dan bertolak pinggang, Bi LAN teringat akan penglihatan tadi dan mukanya menjadi merah sekali. Terbayang kembali peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pernah ia terluka dan Cu Kun Tek mengobati pinggangnya, hampir sama seperti yang dilakukan Sim Houw tadi, hanya bedanya kalau Kun Tek meraba pinggannnya, Sim Houw meraba pahanya. Ketika itu, Hong Beng muncul dan pemuda yang cemburu ini langsung saja menyerang Kun Tek karena
menyangka mereka berbuat cabul! Dan kini, tiba-tiba Hong Beng muncul dan mendengar seruannya tadi yang mengatakan mereka tidak tahu malu iapun tahu bahwa kembali Hong Beng cemburu dan salah sangka! Maka, iapun menjadi marah. Dengan muka merah dan mata berapi-api, iapun melangkah maju.
"Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang tak ta-hu malu!" ia membentak dengan marah sekali. "Selalu mencampuri urusan orang dan menjatuhkan fit-nah, menuduh orang yang bukan-bukan karena cem-buru. Sungguh tak tahu malu, cinta tak dibalas ber-ubah cemburu gila!"
Wajah Hong Beng menjadi merah, bukan hanya karena marah akan tetapi juga karena malu.
Ucapan itu memang tepat sekali, seperti ujung pedang yang menusuk dan menembus
jantungnya. Karena tepat itulah maka mendatangan rasa nyeri yang lebih hebat lagi. Memang dia cemburu, dia iri terhadap Sim Houw. Kenapa Bi Lan demikian akrab dengan Sim Houw.
Mungkinkah dara itu, yang menolak cintanya, kini jatuh cinta kepada Sim Houw" Aneh, pikirnya. Dalam segala hal, kecuali barangkali dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah oleh Sim Houw. Dia lebih mu-da, sebaya dengan Bi Lan, juga cukup tampan! Sim Houw terlalu tua untuk Bi Lan. Hal ini membuat dia menjadi semakin penasaran.
Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab lagi. Sim Houw yang sudah mengenal Hong Beng sebagai seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa, bahkan dia mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es, cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Hong Beng dan pria yang usianya kurang dari empatpuluh tahun dan nampak pendiam dan serius itu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
513 "Saudara Gu Hong Beng, harap jangan salah sangka terhadap nona Can Bi Lan. Kami semalam berkelahi melawan musuh-musuh yang lihai dan nona Can terkena pukulan pada paha kirinya. Kami beristirahat di sini dan aku hanya berusaha menghilangkan rasa yeri yang dideritanya karena luka memar di pah-anya."
"Aku tidak mempersoalkan itu!" Gu Hong Beng juga membentak dengan suara tetap ketus.
"Akan teta-pi kalian sungguh tidak tahu malu telah mengambil jalan sesat dan membantu, juga melindungi iblis beti-na Bi-kwi murid Sam Kwi! Sekarang kami datang untuk minta agar kalian memberi tahu kepada kami di mana tempat persembunyian Bi-kwi agar kami da-pat membasminya!"
Bi Lan marah sekali mendengar ini. "Hong Beng, tutup mulutmu yang kotor! Kami berdua memang membela dan melindungi suci Ciong Siu Kwi dari gangguan orang-orang jahat. Dan suci sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik-baik, jangan kau memakinya sebagai iblis betina."
"Hemmm, bohong besar Bi Lan, aku tidak me-nyangka bahwa engkau sekarang telah
berbalik pikir dan mencontoh kehidupan sucimu yang bejat ahlak-nya itu. Siapa sudi percaya kebohonganmu bahwa orang macam Bi-kwi dapat berubah menjadi wanita baik-baik" Dan buktinyapun tidak begitu. Baru-baru ini ia bahkan membantu orang-orang jahat untuk me-musuhi suhuku ini." Berkata demikian, Hong Beng menunjuk kepada laki-laki berusia tigapuluh delapan tahun itu yang sejak tadi memandang tajam tanpa me-ngeluarkan sebuah katapun.
"Ahhh....!" Sim Houw dan Bi Lan berseru kaget. Kiranya pria yang datang bersama Gu Hong Beng ini adalah guru pemuda itu, berarti bahwa pria ini adalah pendekar Suma Ciang Bun, keturunan ke-luarga Pulau Es! Sim Houw memandang penuh per-hatian dan merasa terkejut sekali. Para pembaca tentu akan terheran pula bagaimana Suma Ciang Bun da-pat muncul bersama Gu Hong Beng di tempat itu.
Seperti telah kita ketahui, Suma Ciang Bun yang sedang bersamadhi diganggu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang minta bantuan Ciong Siu Kwi. Wanita ini terpaksa memenuhi permintaan me-reka untuk menyelamatkan Yo Jin yang mereka jadi-kan tawanan dan semacam sandera untuk memeras Siu Kwi. Dan dalam perkelahian dikeroyok tiga ini, terpaksa Suma Ciang Bun melarikan diri dengan mem-bawa luka.
Belum jauh dia melarikan diri, dia terpaksa beristirahat dan berusaha mengobati lukanya.
Dalam keadaan demikianlah dia bertemu dengan Hong Beng, muridnya yang memang sedang mencarinya. Melihat gurunya terluka, Hong Beng lalu membantu suhunya untuk mengobati luka itu dan bertanya bagaimana su-hunya sampai menderita luka.
Ditanya oleh muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. "Dua orang dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menyerangku, dan memang dua per-kumpulan itu selalu memusuhi keluarga Pulau Es. Aku herhasil mengalahkan dan mengusir mereka ber-dua. Akan tetapi, beberapa hari kemudian mereka datang lagi, kini dibantu oleh seorang wanita cantik yang masih muda dan lihai sekali. Dan sekali ini, pe-ngeroyokan mereka bertiga membuat aku terluka dan terpaksa melarikan diri."
Hong Beng marah sekali. "Hemm, siapakah wa-nita itu, suhu" Seperti bagaimana rupanya?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
514 Ketika Suma Ciang Bun menggambarkan keadaan Siu Kwi, Hong Beng menepuk pahanya.
"Ah, tidak salah lagi! Tentu iblis wanita itu yang membantu para tosu Pek-lian-kauw!"
"Kaukenal wanita itu?"
"Ia tentu Bi-kwi, murid Sam Kwi. Ia memang jahat bukan main, suhu, keji dan pantas untuk dibas-mi dari permukaan bumi!" Hong Beng lalu menceri-takan semua pengalamannya sejak dia meninggalkan suhunya. Girang hati Suma Ciang Bun mendengar bahwa muridnya telah melakukan banyak hal gagah, bahkan muridnya telah bertemu dan bekerja sama dengan para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir.
Dengan perawatan Hong Beng, Suma Ciang Bun cepat sembuh kembali dari luka-lukanya.
Pada suatu hari, Gu Hong Beng meninggalkan gurunya di dalam guha di bukit yang berbatu-batu itu untuk mencari-kan makanan bagi suhunya. Ketika dia sedang berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, menuju ke sebuah dusun, tiba-tiba di sebuah tikungan dia melihat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu, sedang du-duk mengaso di tepi jalan. Agaknya dua orang kakek itu kelelahan, atau sedang sakit. Hong Beng yang menaruh curiga karena teringat akan cerita gurunya yang diganggu oleh tosu tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, cepat menghampiri dua orang kakek itu. Mereka memakai pakaian pendeta, akan tetapi bagian luarnya memakai jubah yang tebal karena hawa me-mang dingin dan agaknya mereka
menderita luka ketika melihat mereka seperti bukan orang jahat, Hong Beng menjura dengan penuh hormat. "Kenapa-kah ji-wi totiang berada di sini dan kelihatannya se-perti sedang menderita" Siapakah ji-wi totiang?"
Melihat seorang pemuda yang gagah dan bersikap sopan, dua orang tosu itu sejenak memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan berperut gendut, segera berkata, "Siancai, siancai.... terima kasih atas perhatianmu, orang mu-da yang baik. Penglihatanmu tajam sekali, karena ka-mi memang sedang sakit, menderita luka-luka dalam yang cukup berat."
Hong Beng terkejut. "Ahh" Apakah ji-wi totiang baru saja berkelahi dengan orang lain?"
Kakek yang kurus kering mengangguk-angguk. "Memang penglihatanmu tajam sekali, dan tentu eng-kau seorang yang gagah perkasa, orang muda. Sebelum kita bicara lebih jauh, bolehkah pinto mengetahai siapa namamu dan dari perguruan manakah?"
Melihat sikap dua orang tosu itu seperti bukan orang jahat, dan memang kebanyakan pendeta dan pertapa tentulah orang-orang yang baik, maka diapun mengaku terus terang. "Saya bernama Gu Hong Beng, guru saya adalah pendekar Suma Ciang Bun...."
"Aihhh!" Si kakek gendut berseru. "Pendekar Suma dari Pulau Es?"
Hong Beng tersenyum, agak bangga. "Memang suhu adalah keturunan keluarga Pulau Es dan siapa-kah ji-wi totiang?"
Sebelum kakek gendut menjawab, kakek kurus sudah mendahului. "Kami adalah dua orang pertapa yang sudah lama mengasingkan diri dan kadang-kadang saja melakukan perjalanan ke gunung-gunung dan dusun-dusun. Pinto Pek-san Lo jin dan ini adalah sute Hek-san Lo-jin.
Dalam perjalanan kami, di balik bukit ini, di sebuah dusun kami mendengar bahwa ada seorang siluman betina yang membikin kacau dusun dengan menculik dan membunuhi
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
515 pemuda-pemuda tampan. Sebagai seorang yang selalu menentang kejahatan, kami berdua lalu melakukan penelitian dan mendapat kenyataan bahwa siluman betina itu adalah Bi-kwi, murid dari mendiang Sam Kwi...."
"Ah, aku tahu siluman itu!" Hong Beng berseru "Apakah ji-wi kalah olehnya sehingga terluka?"
"Sayang sekali, sebenarnya kami berdua dapat menundukkan siluman itu. Akan tetapi muncul dua orang yang membantunya sehingga kami terluka. Pembantunya itu bukan lain adalah seorang pemuda bernama Sim Houw, dan pacarnya bernama Can Bi Lan sumoi dari siluman betina itu...."
"Ahhhh....! Pacarnya....?" Hong Beng menegaskan dengan hati panas. Panas karena Bi Lan dan Sim Houw membantu Bi-kwi, juga panas karena mendengar bahwa Bi Lan menjadi pacar Sim Houw.
"Ya, pacarnya. Mereka demikian akrab, dan mereka lihai sekali. Kami kalah dan terluka. Ah, kalau taihiap adalah murid dari keluarga Pulau Es, kami harap taihiap suka menghadapi mereka, untuk menyelamatkan para pemuda di dusun-dusun wilayah ini."
"Jangan khawatir, ji-wi totiang, saya dan suhu pasti akan dapat membasmi siluman itu dan kaki tangannya!"
Setelah kembali ke tempat di mana gurunya beristirahat, Hong Beng lalu bercerita tentang dua orang pertapa itu. Mendengar ini, Suma Ciang Bun menjadi marah. "Hemmm, mula-mula ia membantu para to-koh Pek-lian-kauw dan kini menculik pemuda-pemuda dusun. Hong Beng, mari kita pergi mencari mereka!"
"Akan tetapi suhu baru saja sembuh...."
"Aku sudah sembuh sama sekali. Mereka itu lihai, kalau engkau yang maju sendiri, aku khawatir engkau akan celaka. Kalau kita maju berdua, tentu mereka akan dapat kita basmi."
Demikianlah, guru dan murid itu meninggalkan guha dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw. Dan pagi hari itu, kebetulan sekali mereka melihat Bi Lan dan Sim Houw dan melihat betapa Sim Houw memijit-mijit paha kiri Bi Lan, tentu saja cemburu, iri hati dan ke-marahan membuat Hong Beng tak dapat menahan diri dan segera maju menegur dengan sikap marah.
Mendengar tuduhan Hong Beng terhadap Siu Kwi, Bi Lan segera menpambil sikap membela sucinya. "Ia juga menceritakan hal itu kepadaku!" bantah-nya. "Memang benar ia telah membantu tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw untuk memusuhi Suma-locianpwe, akan tetapi ia melakukannya dengan ter-paksa karena pemuda tunangannya ditawan oleh para tosu itu."
Mendengar mereka berbantahan, Suma Ciang Bun segera melangkah maju. "Sudahlah, tidak perlu berbantahan. Yang penting, harap kalian suka memberi tahu di mana adanya siluman betina itu karena kami ingin membunuhnya."
Bi Lan marah sekali, juga Sim Houw mengerut-kan alisnya. Sikap pendekar keturunan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
516 keluarga Pu-lau Es ini sungguh tidak menyenangkan, dan terlalu terburu nafsu hendak membunuh orang. Tidak dapat diajak berunding dengan baik-baik, dan sikap itu agaknya didorong oleh ketinggian hati yang tidak memandang kepada orang lain.
"Suci Ciong Siu Kwi tidak bersalah dan kami ti-dak tahu ia berada di mana. Andaikata kami tahu se-kalipun, tidak akan kami beritahukan kepada orang-orang yang berniat untuk mengganggunya!" kata Bi Lan dengan suara ketus.
Hong Beng meloncat ke depan. "Bi Lan!" kata-nya, suaranya keren. Antara kita sudah terjalin per-sahabatan sejak lama sekali, dan kita sama mengenal masing-masing sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan ke-jahatan.
Apakah engkau lupa akan hal itu" Ketika kita semua menyerbu para pembantu pembesar lalim Hou Seng. engkau melepaskan Bi-kwi dan kukira hal itu hanya karena engkau mengingat hubungan pergu-ruan dan menaruh hati kasihan kepadanya. Akan te-tapi siapa tahu, kini agaknya engkau malah tersesat dan hendak mengikuti jejaknya! Engkau melindungi seorang iblis betina, biarpun iblis itu pernah menjadi sucimu. Ingatlah, Bi Lan dan sadarlah sebelum ter-lambat." Dia lalu memandang kepada Sim Houw. "Sim-taihiap selama ini kuanggap sebagai Pendekar Suling Naga yang terkenal. Kenapa setelah dekat de-ngan Bi Lan, tidak mau membimbing gadis ini ke arah jalan yang benar?"
"Hong Beng, tutup mulutmu! Engkau tidak ber-lak mengurus kehidupanku! Aku yakin akan kebenaran suciku yang ingin menjadi orang baik, dan kalau engkau tidak setuju, terserah.
Tidak perlu mem-beri kuliah kosong kepadaku!" Bi Lan kini juga sudah marah sekali.
"Bi Lan, engkau tahu bahwa aku sayang kepada-mu. Akan tetapi kalau engkau berpihak kepada iblis betina Bi-kwi, terpaksa aku menganggapmu sebagai orang yang akan
menyeleweng dan patut dihajar."
"Keparat, majulah! Siapa takut kepadamu?" Bi Lan juga membentak marah. Hong Beng maju dan mengirim tamparan yang dielakkan oleh Bi Lan dan gadis inipun membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula dielakkan oleh Hong Beng. Mereka segera terlibat dalam suatu perkelahian sengit, karena kedua-ya sudah menjadi panas hati dan marah sekali.
Cemburu memang merupakan suatu penyakit yang amat berbahaya. Anggapan bahwa cinta harus dihiasi cemburu adalah anggapan yang menyesatkan.
Cemburu timbul dari pementingan diri pribadi, cemburu adalah iri hati karena keinginannya untuk menguasai sesuatu atau seseorang secara mutlak, terganggu. Cemburu mendatangkan kemarahan dan bahkan kebencian, menimbulkan permusuhan. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci murni, dan hanya dengan peniadaan kepentingan diri pribadi maka cinta kasih dapat bersinar. Cemburu adalah kembangnya nafsu, bukan kembangnya cinta.
Hong Beng tadi menganggap bahwa dia mencinta Bi Lan. Akan tetapi karena Bi Lan
menolak cinta-nya, datanglah cemburu dan dia merasa iri hati ter-hadap setiap orang pria yang akrab dengan gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Dan dari kenya-taan ini saja mudah dinilai bahwa cintanya terhadap Bi Lan adalah cinta nafsu, cinta karena tertarik oleh kecantikan dan pribadi gadis itu. Cintanya mudah berubah menjadi cemburu dan kebencian sehingga kini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk berkelahi dengan gadis yang kata-nya pernah dia cinta itu! Berkelahi mati-matian berarti berusaha untuk mencelakai, melukai atau bah-kan membunuh! Mungkinkah cinta kasih yang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
517 suci berubah menjadi nafsu ingin membunuh" Kalau cin-ta nafsu memang mungkin, karena antara cinta berahi dan nafsu membunuh terdapat pertalian yang kuat, yaitu keduanya timbul dari pementingan diri sendiri, merupakan nafsu yang selalu menguasai batin ma-nusia.
Melihat betapa gadis itu dapat bergerak dengan lincah, Hong Beng lalu mengeluarkan tenaga sakti yang dilatihnya dengan tekun, yaitu tenaga Hwi-yang Sin-kang dari keluarga Pulau Es.
"Dukk!" Bi Lan menahan seruannya ketika ta-ngannya bertemu dengan tangan Hong Beng karena dari tangan pemuda itu keluar hawa panas yang luar biasa sekali, seperti hendak membakar tangannya" Marahlah gadis ini. Ia maklum betapa lihainya mu-rid keluarga Pulau Es ini, maka iapun cepat meraba gagang pedangnya.
"Singgg....!" Nampak sinar berkilauan ke-tika Ban-tok-kiam dicabut. Melihat ini, Suma Ciang Bun terkejut bukan main. Dia jarang melihat pedang Ban-tok-kiam milik nenek Wan Ceng sehingga dia tidak mengenal pedang itu. Akan tetapi dia tahu be-nar bahwa pedang di tangan gadis itu tentulah seba-tang pedang pusaka yang amat ampuh, maka dia me-ngeluarkan seruan kaget. Juga Hong Beng terkejut. Tentu saja dia mengenal pedang ini dan maklum be-tapa ampuhnya Ban-tok-kiam, maka diapun melompat ke belakang.
"Bi Lan, engkau mempergunakan pusaka itu apa-kah benar-benar hendak membunuh aku?"
Bi Lan tersenyum mengejek. "Hong Beng, kalau engkau menyerangku dengan pukulan-
pukulan ampuh itu, apakah bukan untuk membunuhku melainkan untuk bersamaku menari-nari?"
Mendengar ejekan ini, Hong Beng maju lagi. "Baiklah, kalau engkau hendak membunuhku, aku-pun tidak takut mati!" Dan diapun menyerang lagi, akan tetapi terpaksa meloncat ke samping ketika di sambut tusukan pedang yang mengeluarkan sinar yang menggiriskan.
"Gadis kejam menggunakan senjata yang keji!" Tiba-tiba Suma Ciang Bun meloncat ke depan. "Biar-kan aku menghadapinya, Hong Beng!"
Akan tetapi, Sim Houw sudah menghadang ke depan pendekar itu. "Locianpwe, maafkan saya. Bi-arkan mereka menyelesaikan urusan mereka dan harap locianpwe tidak
mencampuri." Suma Ciang Bun kini menatap wajah Sim Houw. Sudah pernah aku mendengar berita tentang munculnya pendekar muda, yang berjuluk Pendekar Suling Naga. "Kalau engkau membela siluman betina, biarlah aku mencoba kelihaianmu." Berkata demikian. Suma Ciang Bun sudah maju menampar dan tamparannya mendatangkan angin yang amat kuat. Sim Houw ce-pat mengelak dan diapun maklum bahwa pendekar itu memiliki tenaga sakti dari keluarga Pulau Es yang amat berbahaya, maka diapun lalu mengeluarkan Liong-siauw-kiam, yaitu suling pedangnya yang am-puh. Melihat senjata itu, Suma Ciang Bun memandang kagum.
"Itukah Liong-siauw-kiam yang terkenal itu" Bagus, hendak kucoba keampuhannya!" Dan diapun mencabut keluar sepasang pedangnya. Siang-kiam (se-pasang pedang) itu indah sekali, ketika dicabut me-ngeluarkan sinar putih dan gagangnya dihias ronce-ronce biru dan ketika digerakkan, maka sepasang pe-dang itu saling berpapasan dan mengeluarkon suara
berdencing dan muncratlah bunga api. Dia telah me-mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat hebat dari Pulau Es.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
518 Sim Houw tentu saja maklum akan kelihaian la-wan dan diapun memutar senjatanya yang istimewa. Akan tetapi, pendekar ini tidak berniat untuk mence-lakai lawan. Dia tahu benar bahwa Suma Ciang Bun adalah keturunan keluarga Pulau Es, seorang pendekar tulen dan kalau sekarang berkelahi dengannya, ti-dak lain hanya karena salah paham gara-gara Siu Kwi.
Tentu saja pendekar ini bersama muridnya emngenal Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi karena sejak dahulu me-mang Siu Kwi dimusuhi para pendekar bahkan sudah beberapa kali bentrok dengan Hong Beng. Tentu saja Hong Beng dan guru nya sama sekali tidak tahu, bah-kan tidak akan mau percaya bahwa Ciong Siu Kwi kini sudah bukan Bi-kwi lagi, bukan Setan Cantik, bukan manusia iblis yang jahat, melainkan seorang wanita yang jatuh cinta dan yang sedang berusaha untuk merobah jalan hidupnya, ingin menjadi seorang isteri yang baik dan setia, ingin menjadi seorang ibu yang baik dan bijaksana! Sim Houw tidak mungkin dapat memusuhi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun dan Hong Beng. Kalau dia sekarang terpaksa maju, hanyalah karena dia tidak ingin pendekar itu melawan Bi Lan.
Suma Ciang Bun adalah seorang pendekar yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Tentu saja ge-rakan-gerakan Sim Houw yang tidak sungguh-sungguh itu segera dapat diketahuinya dan diapun mulai me-ragu apakah Pendekar Suling Naga ini pantas menjadi musuhnya!
Jangan-jangan pendekar ini dan gadis itu membela siluman betina itu karena memang ada dasar-nya yang kuat! Diapun meragu dan tidak sungguh-sungguh pula mendesak dengan siang-kiamnya, karena tentu saja dia segan untuk mendesak lawan yang tidak bersungguh-sungguh menyerangnya.
Berbeda dengan perkelahian yang terjadi antara Bi Lan dan Hong Beng. Dua orang muda itu agaknya sudah dikuasai oleh kemarahan dan keduanya berkelahi dengan mati-matian! Akan tetapi, Hong Beng terdesak hebat karena pemuda ini jerih menghadapi Ban-tok-kiam. Dia banyak mengelak dan hanya kadang-kadang saja membalas dengan pukulan jarak ja-uh, mengandalkan sin-kang yang hebat dari keluarga Pulau Es yang sudah dikuasainya. Dan agaknya Bi Lan juga merasa betapa ia telah mendapatkan kemenangan karena pedangnya, maka pedangnya itu hanya dipergunakan untuk mengancam saja, dengan kelebat-an sinarnya yang bergulung-gulung, sedangkan dara ini lebih condong menyerang dengan tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Agaknya ia ingin menang dengan serangan kaki atau tangannya, bukan dengan pedangnya.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dari jauh, suara desis yang makin lama semakin keras dan terciumlah bau amis binatang buas! Semua orang yang sedang berkelahi itu cepat meloncat untuk meng-hentikan perkelahian sementara, dan nampaklah oleh mereka seorang laki-laki kecil kurus bongkok sedang mengeluarkan suara mendesis tinggi sambil kedua tangannya diacung-acungkan ke atas dan di depannyw merayap ratusan ekor ular besar kecil seperti sekumpulan bebek yang sedang digembalakan oleh orang kurus bongkok itu. Ratusan ekor ular itu me-ngeluarkan suara mendesis-desis dan binatang-bina-tang inilah yang mengeluarkan bau amis. Suara men-desis semakin keras karena ular-ular itu kini merayap dengan cepat ke arah mereka yang tadi berkelahi, agaknya diberi semangat oleh kakek bongkok yang menjadi gembalanya. Di belakang kakek bongkok itu nampak lima orang lain lagi yang kesemuanya bersen-jata tongkat.
Melihat kakek bongkok itu, tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa dia adalah Coa-ong Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw yang semalam mengeroyok mereka. Terkejutlah Sim Houw.
"Lan-moi, mari kita pergi!" katanya dan diapun menangkap tangan Bi Lan dan meloncat jauh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
519 lalu mengajak gadis itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Hendak lari ke mana kau?" bentak Hong Beng yang hendak mengejar, akan tetapi suhunya berseru. "Hong Beng, jangan kejar!"
Hong Beng tidak melanjutkan pengejarannya dan menghampiri suhunya yang masih
memandang ke arah kakek bongkok yang menggiring ratusan ular itu. Ki-ni ular-ular itu seperti binatang-binatang sirkus terla-tih saja, mengepung tempat itu seperti barisan mengepung musuh. Melihat betapa penggembala ular itu memakai tanda anggauta Pek-lian-kauw di dadanya, diam-diam Suma Ciang Bun menjadi marah. Jelaslah bahwa dua orang muda tadi benar-benar telah ber-sekongkol dengan siluman betina yang menjadi saha-bat orang-orang Pek-lian-kauw, pikirnya. Dia pernah dikeroyok tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw bersama siluman betina bernama Bi-kwi itu, dan dua orang muda tadi menbela Bi-kwi. Kini terbukti bahwa kakek Pek-lian-kauw dan ular-ularnya ini datang untuk membantu Sim Houw dan Bi Lan, dan mengepung dia dan muridnya.
Tiba-tiba Suma Ciang Bun mengeluarkan bunyi melengking tinggi sekali, suara yang keluar dari mulutnya seperti bukan suara orang, seperti suara suling melengking. Hong Beng yang pernah mendengar dari suhunya bahwa suhunya juga memiliki ilmu pawang ular, yaitu ilmu untuk menguasai ular-ular yang per-nah dipelajari dari ibu suhunya, memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian. Dia sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu dan dia tidak gentar menghadapi pengepungan ular-ular itu walaupun merasa jijik. Dia melihat betapa kini semua ular yang berada di situ mengangkat kepala seperti mendengarkan suara melengking itu dan menghadap ke arah Su-ma Ciang Bun. Pendekar itu menggerak-gerakkan ke-dua tangannya yang diangkat ke atas dan lengannya, membentuk ular yang mematuk-matuk, hampir sama dengan gerakan Coa-ong Seng-jin yang menggembala ular-ular itu. Dan kini ular-ular itu berhenti mendesis-desis dan nampak gelisah, bahkan sudah ada yang merayap pergi ketakutan!
Coa-ong Seng-jin terkejut bukan main melihat betapa ular-ularnya dapat dikuasai orang lain.
Diapan cepat mengeluarkan suara mendesis tinggi dan meng-gerak-gerakkan kedua lengannya yang juga memben-tuk tubuh ular yang mengangkat kepalanya, dengan tangan menjadi kepala ular. Dia mengerahkan selu-ruh kepandaian pawangnya untuk menguasai kembali ular-ularnya. Namun, Suma Ciang Bun juga terus mengeluarkan suara melengking dan
menggerak-ge-rakkan kedua lengannya. Ular-ular itu menjadi panik dan bingung sekali, tidak tahu harus mentaati perin-tah yang mana di antara keduanya itu karena kedua-nya memiliki daya tekan yang sama kuatnya. Karena panik, ular-ular itu lari simpang-siur, saling bertabrak-an dan kemudian menjadi ganas dan saling gigit!
"Hooo-hoooo, anak-anak bodoh.... dengar-kan aku, majulah.... maju dan serang musuhku....!"
Coa-ong Seng-jin berteriak-teriak marah.
Akan tetapi karena dia berteriak-teriak, dengan sen-dirinya desisnya terhenti dan pengaruhnya atas ular ular itupun membuyar sehingga pengaruh lengkingan Suma Ciang Bun menjadi kuat sekali, membuat ular-ular itu mentaati dan segera mereka merayap dan lari cerai-berai meninggalkan tempat itu seperti sekelompok anjing yang disiram air atau diancam gebukan!
Coa-ong Seng-jin menjadi marah bukan main. De-ngan sepasang mata berubah merah, dia lalu meloncat ke depan, menangkap seekor ular yang besar dan pan-jang, dan ular itu segera Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
520 menjadi jinak di tangannya. Dengan senjata baru berupa ular yang ternyata ada-lah seekor ular senduk yang amat berbisa itu, dia melangkah maju menghampiri Suma Ciang Bun.
"Setan, siapakah engkau?" bentaknya. Coa-ong Seng-jin tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat dan akal busuk yang dipergunakan oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin untuk mengadu domba antara pendekar keluarga Pulau Es ini bersama muridnya de-ngan Sim Houw dan Bi Lan. Dia bersama teman-te-mannya sedang mencari-cari kedua orang muda itu setelah rombongannya yang terdiri dari tigabelas orang dipecah menjadi tiga rombongan kecil oleh Thian Kong Cin-jin. Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu sedang berkelahi melawan dua orang lain dia cepat memanggil ular-ular ita untuk mengepung agar, dia dapat segera turun tangan merobohkan Sim Houw dan Bi Lan. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu sudah lebih dahulu melarikan diri dan kini ular-ularnya malah dibikin kacau oleh laki-laki tam-pan yang pakaiannya indah ini!
Suma Ciang Bun sudah mengenal Coa-ong Seng-jin sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw dari lukisan teratai putih di jubah kakek itu, maka diapun terus terang menjawab dengan tenang. "Tosu Pek-lian-kauw, aku bernama Suma Ciang Bun dan ini muridku Gu Hong Beng."
"Suma...." Keluarga Pulau Es....?" Coa-ong Seng-jin membentak dan empat orang teman-nya juga terkejut mendengar nama keluarga itu.
Suma Ciang Bun mengangguk sambil menahan senyumnya. "Celaka, kiranya keparat dari keluarga Pulau Es! Bunuh dia dan muridnya!" Dan diapun sudah menggerakkan tangannya dan ular cobra itu sudah dilemparkannya ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar ini dengan tenang saja mengulur tangan menangkap ular itu yang segera menjadi jinak pula, kemudian dia melemparkan ular itu kembali ke arah lawan! Coa-ong Seng-jin menerima ularnya kembali, akan tetapi ular itu segera dibantingnya karena di-anggap tidak ada gunanya dipakai menyerang seorang yang memiliki ilmu pawang ular seperti lawannya. Dengan menggereng keras dia lalu mengeluarkan se-batang rantai dari pinggangnya, dan meluncurlah rantai itu menghantam ke arah Suma Ciang Bun. Ki-ranya kakek bongkok ini memang ahli
mempergunakan senjata rantai dan tidak aneh kalau dia suka mempergunakan ular sebagai senjata, pengganti rantainya.
Suma Ciang Bun menyambut dengan sepasang pedangnya yang tadi sudah disimpannya. Dua gulung-an sinar putih berkelebat dan bergulung-gulung ketika dia menghadapi serangan rantai lawannya. Empat orang teman Coa-ong Seng-jin yang terdiri dari tiga orang anggauta Pek-lian-kauw dan seorang anggauta Pat-kwa-kauw maju pula mengeroyok. Hong Beng tidak tinggal diam, cepat dia maju menghadapi dan membantu gurunya.
Kembali di tempat itu terjadi perkelahian yang lebih sengit dari pada tadi. Akan tetapi sekali ini, guru dan murid itulah yang menjadi pemenang de-ngan mendesak lima orang lawannya.
Empat orang pembantu Coa-ong Seng-jin itu adalah murid-murid kepala, maka rata-rata mereka sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Namun, menghadapi Hong Beng dan gurunya, mereka repot sekali. Belum sam-pai tigapuluh jurus, dua orang murid kepala roboh, seorang terkena tamparan Hong Beng dan yang kedua terserempet pedang di tangan Suma Ciang Bun. Melihat ini, tiga orang tosu lainnya cepat menyam-bar tubuh kawan yang roboh dan melarikan diri.
Kembali Suma Ciang Bun melarang muridnya untuk melakukan pengejaran. "Tidak perlu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
521 mengejar musuh yang melarikan diri," katanya. "Kecali kalau musuh lari membawa pergi sesuatu."
Hong Beng menarik napas panjang. Kemarahannya yang timbul karena cemburu tadi masih belum lenyap dan dia merasa hatinya mengkal dan tidak enak sekali. "Sayang sekali tosu-tosu bedebah itu datang mengganggu, suhu, sehingga Sim Houw dan Bi Lan dapat melarikan diri."
Suma Ciang Bun tersenyum dan memandang wa-jah muridnya dengan tajam, kemudian tiba-tiba dia bertanya, "Hong Beng, apakah engkau mencinta ga-dis itu?"
"Gadis.... gadis mana.... apa maksud suhu?" Hong Beng terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan biarpun dia maklum siapa yang dimaksudkan suhunya, saking kagetnya dia menjadi gugup.
"Engkau mencinta atau pernah mencinta Can Bi Lan, bukan?"
Hong Beng menundukkan mukanya yang berubah merah dan dia mencoba tersenyum,
senyum pahit, lalu dia mengangguk. "Teecu tidak dapat berbo-hong kepada suhu. Memang sesungguhnyalah, teecu mencinta.... atau lebih tepat lagi pernah mencinta Bi Lan."
"Dan menurut ucapan gadis tadi, hubungan kali-an putus karena gadis itu menolak cintamu karena ia sudah mencinta Sim Houw?"
"Ia memang menolak cinta teecu, suhu, akan te-tapi ketika itu ia belum mencinta siapapun juga. Baru sekarang teecu melihat ia akrab dengan Sim Houw, keakraban yang tidak sopan dan tidak tahu malu!"
Hatinya menjadi semakin panas ketika ia teringat dan membayangkan adegan mesra antara Bi Lan dan Sim Houw tadi.
"Engkau tidak sungguh-sungguh mencintanya, Hong Beng, karena itu lupakan saja gadis itu.
Bodoh sekali kalau menyiksa diri dan membenamkan diri dalam kebencian dan kedukaan karena cintanya dito-lak."
Wajah Hong Beng menjadi merah. "Teecu juga sudah melupakannya, suhu. Hanya teecu merasa tak senang dan panas sekali melihat betapa Bi Lan yang dahulunya seorang pendekar wanita yang lihai dan menentang kejahatan, kini setelah bergaul dengan Sim Houw lalu berbalik menjadi sesat dan membela wa-nita iblis seperti Bi-kwi yang bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-kauw.
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Aku masih merasa heran dengan sikap mereka, Hong Beng. Pendekar Suling Naga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak berkelahi sungguh-sungguh tadi ketika mela-wanku."
"Ah, akan tetapi Bi Lan menyerang teecu dengan mati-matian, sehingga nyaris teecu tewas oleh Ban-tok-kiam di tangannya!" kata Hong Beng penasaran.
"Ban-tok-kiam....?" tanya Suma Ciang Bun karena dia merasa pernah mendengar nama pe-dang itu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
522 "Benar, suhu. Pedang yang mengerikan itu ada-lah Ban-tok-kiam, pedang milik isteri dari locianpwe Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."
"Apa....?" Suma Ciang Bun terkejut sekali, memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak.
"Kaumaksudkan pedang milik.... bibi Wan Ceng...." Apa hubungannya gadis itu dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"
"Mereka adalah guru-guru Bi Lan, suhu."
"Eh" Bukankah kaubilang bahwa Can Bi Lan itu sumoi dari Bi-kwi, dengan demikian murid dari Sam Kwi?"
"Benar, suhu, akan tetapi Bi Lan pernah bertemu dengan Kao-locianpwe dan isterinya, dan menerima gemblengan mereka, bahkan diberi pinjam pedang Ban-tok-kiam. Bi Lan sendiri menceritakan semua ini kepada teecu."
Ciang Bun menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Sungguh aneh sekali.
Bagaima-na mungkin paman Kao Kok Cu dan bibi Wan Ceng mau mengambil murid seorang gadis yang telah men-adi murid Sam Kwi?"
"Dan sekarang agaknya watak Sam Kwi dan Bi-wi telah menular kepada Bi Lan sehingga ia menjadi eorang wanita sesat."
"Jangan menuduh sembarangan lebih dulu, Hong Beng. Bagaimanapun juga, aku masih merasa sangsi. Kalau mereka bersekutu dengan pihak Pek-lian-kauw, tentu mereka tadi tidak melarikan diri dan bersama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw itu mengeroyok kita. Kalau demikian halnya, mungkin kita berdua takkan kuat bertahan."
Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya me-ninggalkan tempat itu. Dia bermaksud
mengunjungi encinya, yaitu Suma Hui yang telah menjadi isteri Kao Cin Liong, selain untuk menjenguk kakaknya itu,juga untuk bicara dengan kakak iparnya, Kao Cin Liong, tentang keanehan orang tua pendekar itu yang mengambil gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi sebagai murid pula, bahkan meminjamkan pedang pusaka sehingga Bi Lan mempergunakan pedang pu-saka itu untuk bertindak sesat.
"Sim koko, kenapa sih engkau selalu mengajak aku melarikan diri" Lama kelamaan aku bisa merasa sebagai seorang pengecut besar. Sudah beberapa kali, di tengah pertandingan engkau memak-sa aku untuk melarikan diri. Untuk yang sudah-su-dah engkau selalu mempunyai alasan. dan sekarang apa lagi alasanmu, Sim-ko" Aku tidak kalah meng-hadapi Hong Beng yang sombong itu, dan engkaupun belum tentu kalah oleh gurunya. Kemunculan para tosu Pek-lian-kauw itupun tidak membuat aku men-jadi jerih. Kenapa kita harus melarikan diri seperti dikejar setan?" tanya Bi Lan dengan suara mengan-dung penasaran dan matanya yang jeli itu menatap wajah Sim Houw dengan tajam penuh selidik.
Golok Naga Kembar 1 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Kemelut Di Cakrabuana 5
^