Pencarian

Tangan Geledek 1

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


(PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Ji li d I LULIANG-SAN Nama Pegunungan Luliang-san ini amat terkenal. Bagi
rakyat jelata hanya terkenal sebagai pegunungan yang indah
dan panjang, yang mempunyai banyak puncak tinggi
menembus awan dan sukar didatangi orang. Akan tetapi
bagi orang-orang di dunia kang-ouw, nama Pegunungan
Luliang-san lebih terkenal lagi. Di pegunungan ini terjadi
banyak hal-hal hebat yang takkan dapat mudah terlupa oleh
tokoh-tokoh dunia persilatan. Di sebuah puncak
pegunungan ini pula terdapat makam dari dua orang datuk
persilatan, dua orang kakak-beradik seperguruan yang tinggi
ilmu silatnya, yang pada saat terakhir sebagai dua orang
kakek tua renta saling bunuh.
Di pegunungan ini pula menjadi perebutan kaum rimba
persilatan kitab dan pedang warisan kakek sakti itu. Akhir-
akhir ini Luliang-san menjadi makin terkenal karena bengcu
baru yang memimpin semua partai persilatan bertempat di
puncak pegunungan itu. Bengcu itu adalah Wan Sin Hong.
seorang pendekar gagah perkasa yang tinggi ilmu silatnya.
1 Pegunungan Luliang-san berderet-deret di sepanjang
perbatasan Propisi Shensi sebelah timur, memisahkan
Propinsi Shensi dari Propinsi Sansi. terus ke utara sampal di perbatasan Mongol. Bukit-bukit indah berjajar di sepanjang
Sungai Huangho atau Sungai Kuning yang terkenal itu.
Karena pegunungan ini berada di lembah Sungai Huangho,
maka tanahnya amat subur penuh tetumbuhan dan pohon
besar. Diantara puncak-puncak yang tinggi terdapat sebuah
puncak yang menjulang menembus awan, puncak inilah
yang amat terkenal karena di situlah adanya dua buah
makam yang terkenal itu, makam dari dua orang kakek sakti
kakak beradik seperguruan yang bernama Pak Hong Siansu
dan suhengnya Pak Kek Siansu. Di puncak ini pula dahulu
menjadi tempat pertapaan kakek sakti Pak Kek Siansu dan di
sini terdapat bagian puncak yang disebut Jeng-in-thia
(Ruang-an Awan Hijau). Indah sekali tempat ini dan jarang
terinjak kaki manusia biasa.
Agak ke bawah terdapat tiga makam dari Luliang Sam-
lojin (Tiga Orang Tua dari Luliang-san). Mereka ini adalah
murid-murid Pak Kek Siansu yang tewas ketika orang-orang
gagah memperebutkan kitab dan pedang wasiat peninggalan
Pak Kek Siansu dan kesemuanya terjatuh ke dalam tangan
Pendekar Besar Wan Sin Hong yang sekarang menjadi
bengcu dan dipuja serta ditaati oleh seluruh dunia kangouw.
(Baca PEDANG PENAKLUK IBLIS).
Waktu itu musim dingin telah tiba. Puncak Luliang-san
diliputi hawa dingin yang luar biasa sekali. Orang-orang
biasa takkan kuat menahan serangan hawa dingin ini dan
awan dingin merupakan tangan-tangan maut yang
menjangkau mencari korban. Matahari tak dapat menembus
halimun yang amat tebalnya, hanya setelah matahari naik
tinggi kabut itu mulai menipis dan orang akan dapat melihat
ke depan. Setelah matahari naik tinggi barulah burung-
burung dan binatang hutan berani ke luar.
2 Tanpa lindungan matahari, biarpun tubuh para binatang
ini diselimuti oleh bulu tebal, tetap saja kabut dingin akan
menembus dan membunuh mereka. Apalagi di bagian
puncak Jeng-in-thia itu! Dalam musim panas sekalipun
puncak ini selalu diliputi awan kehijauan yang dingin.
Dalam musim dingin seperti itu, tak tertahankan lagi, baik
oleh orang-orang yang sudah terlatih dan memiliki hawa
dalam tubuh yung kuat sekalipun.
Akan tetapi, pada saat sedingin itu, seorang laki-laki
muda belum tiga puluh tahun usianya, duduk berslla di
depan gua Jeng-in--thia begitu asyik dia dalam semadhinya
dan hawa yang perlahan-lahan ke luar dari lubang
hidungnya merupakan uap putih, menimbulkan
pemandangan yang menyeramkan karena ia kelihatan
seperti bukan rnanusia melainkan seorang penjaga gunung
itu. Apalagi setelah dari ubun-ubun kepalanya juga
mengepul uap putih ke atas!
Orang ini bukan lain adalah Wan Sin Hong, bengcu
daripada sekalian partai persilatan, semuda ini sudah
menjadi bencu dan dianggap sebagai pemimpin oleh tokoh-
tokoh seluruh dunia persilatan benar-benar merupakan hal
luar biasa sekali dan menjadi bukti betapa tingginya ilmu
kepandaian laki-iaki muda ini. Pada saat seperti itu, bengcu
ini ternyata sedang berlatih lweekang! Semenjak pedang
pusaka Pak-kek Sin-kiam terjatuh di dalam tangannya dari
seorang yang jahat seperti iblis bernama Liok Kong Ji (baca
Pedang Penakluk Iblis), Wan Sin Hong memperdalam ilmu
kepandaiannya berdasarkan pelajaran dalam kitab
peninggalan Pak Kek Siansu yang telah dibakarnya namun
yang isinya telah pindah dalam ingatannya. Kitab wasiat itu
memang mengandung sari pelajaran ilmu silat yang hebat.
Juga di situ terdapat pelajaran ilmu Lweekang dan lain ilmu
kesaktian tinggi. Wan Sin Hong sudah menamatkan pelajaran ilmu pedang
dan dalam hal ilmu pedang, kiranya sukar dicari keduanya
3 yang memiliki tingkat setinggi tingkatnya pada masa itu.
Akan tetapi ia masih muda dan dalam hal ilmu lweekang dan
kesaktian lainnya, memerlukan latihan yang tekun dan lama
di samping pelajaran yang tepat dan baik. Pelajaran ilmu
lweekang yang terdapat dalam kitab warisan Pak Kek Siansu
bukan hanya luar biasa, bahkan ajaib sehingga dalam usia
muda Sin Hong sudah memiliki sinkang (hawa sakti dalam
tubuh) yang luar biasa. Apalagi selama empat lima tahun ini Wan Sin Hong
melatih diri di Jeng-in-thia, puncak dari Luliang-san.
lweekang yang ia pelajari terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian Yang (panas/aktip). Melatih-nya harus di bawah
panas terik matahari, atau di dekat api unggun, di tempat
yang sepanas-panasnya. Untuk melatih ini Sin Hong sengaja
pergi ke daerah Mongol di utara dan berlatih di tengah gurun
pasir yang panas luar biasa. Dan sekarang bengcu ini tengah
berlatih lweekang bagian ke dua, yaitu bagian Im (dingin/
pasip) yang biasanya dilatih di tengah malam di puncak
gunung pada saat 'hawa sedingin-dinginnya. Sekarang
musim dingin telah tiba, maka puncak Jeng-in-thia itu
merupakan tempat yang amat baik sekali untuk melatih Im-
kang (tenaga Im). Setelah matahari naik tinggi dan uap putih dari kepala
dan hidungnya menipis tanda bahwa di luar tidak begitu
dingin lagi, Sin Hong menyudahi latihannya. Selagi ia
menggerakkan tubuh hendak bangkit, telinganya yang tajam
itu mendengar sesuatu dan matanya berkilat ke arah suara.
Dilihatnya bayangan, orang sedang mendatangi dari bawah
puncak. Setelah tiba di puncak, sekali menggerakkan kaki
bayangan itu telah tiba di hadapannya. Jarak yang dicapai
oleh sekali lompatan ini tidak kurang dari lima tombak.
Melihat betapa kaki dan tangan orang itu hampir tidak
kelihatan bergerak, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu
ginkang (meringankan tubuh) dari orang itu.
4 Sin Hong memandang tajam dan melihat seorang wanita
muda dan cantik jelita berdiri di depannya. Wanita ini
merias wajahnya secara sederhana sekali. Rambut yang
hitam dan panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan
sehelai kain sutera kecil. Akan tetapi pakaiannya cukup
indah dan mewah. Bajunya berkembang, di dadanya
terdapat lukisan burung garuda. Celananya terbuat dari-pada
sutera halus berkembang pula. Pakaian yang ringkas ini
mencetak tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya yang
bagus nampak nyata. Di pinggangnya tergantung pedang yang indah gagangnya,
membuat ia kelihatan gagah sekali. Wajahnya yang cantik
nampak kemerahan, bibirnya tersenyum akan tetapi
sepasang alis di atas mata bintang itu terangkat tanda
bahwa ia sedang tak senang hati.
"Wan Sin Hong, kau manusia sombong...!" inilah kata-kata pertama yang keluar dari bibir merah itu membuat Wan Sin
Hong tersenyum. "Hui-eng Niocu, kau masih belum berubah. Sama benar
dengan beberapa tahun yang lalu!"
Wanita itu adalah Siok Li Hwa yang berjuluk Hui-eng
Niocu (Nona Garuda Terbang) dan menjadi ketua dari
Perkumpulan Hui-eng-pai yang berada di Go-bi-san. Dia
masih gadis, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Li
Hwa adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi
karena dia adalah ahli waris tunggal dari Put-jiu Nio-nio,
seorang nenek tokoh kang-ouw yang namanya pernah
menggemparkan empat penjuru jagat.
Bibir yang merah dan indah bentuknya itu tersenyum
mengejek. ''Orang gagah memang tidak seharusnya berubah-ubah,
tanda bahwa kulit sama dengan isi. Tidak seperti engkau,
setelah menjadi bengcu, kau berubah sama sekali. Hai, Wan-
5 bengcu (Ketua Wan), apa namanya orang yang tidak
memegang teguh janjinya?"
Melihat gadis itu makin naik darah. Sin Hong
memperlebar senyumnya. "Namanya tentu saja orang pelupa
atau seorang yang tidak boleh dipercaya."
"Sin Hong, kau termasuk golongan pertama atau ke dua?"
kata-kata gadis ini dikeluarkan dengan suara penuh
penjelasan. "Ini ...... hemmmm, entahlah, Niocu, Mungkin kedua-
duanya." "Kau memang berubah banyak sekali semenjak menjadi
bengcu. Kau pertapa muda yang pikun, mengapa menyebut
Niocu kepadaku" Apa kau sudah lupa lagi siapa namaku"
Kalau lupa, kuingatkan. Namaku Siok Li Hwa dan dahulu
kau menyebutku cukup memanggil namaku saja. Atau kau
sengaja mengubah sikap!"
"Aaah, aku lupa. Maafkahlah, karena sudah lama, aku
lupa dan tentu saja aku tadi tidak berani sembarangan
menyebut namamu. Sekarang aku ingat, maafkan aku, Li
Hwa." "Sedikitnya kau masih mau mengubah kesalahan," Li Hwa mengomel dan tampak agak senang. "Kau tadi mengaku
mungkin kau pelupa dan tak boleh dipercaya. Memang kau
pelupa dan pikun ini sudah terang. Akan tetapi apakah kau
tak boleh dipercaya?"
"Agaknya begitulah, Li Hwa. Orang pelupa mana boleh
dipercaya?" Li Hwa membanting-banting kakinya.
"Sin Hong, apakah kau sengaja hendak mempermainkan
aku" Lupakah akan janjimu dahulu bahwa kau pasti datang
ke Go-bi -san mengunjungi aku" Mengapa sampai sekarang
kau belum pernah datang" Dahulu aku memberi waktu
setahun, dan aku telah menanti-nanti sampai bertahun-
tahun. Sin Hong, kau benar-benar tak punya hati dan
6 menyiksa aku secara kejam sekali ...... " Gadis ini tiba-tiba menjadi merah matanya, tanda bahwa air matanya sudah
memenuhi pelupuk matanya.
Tentu saja Wan Sin Hong ingat akan semua itu, ingat
bahwa dahulu memang ia berjanji hendak mengunjungi
gadis itu di Go-bi-san. Masih ingat ia betapa empat lima
tahun yang lalu berjumpa untuk pertama kalinya dengan
Hui-eng Niocu Siok Li Hwa ini di puncak Ngo-heng-san di
mana sedang diadakan perebutan bengcu (baca Pedang
Penakluk Iblis). Di puncak itu Li Hwa selain menyatakan
hendak menanti kunjungannya dan hendak mencari kalau
selama setahun dia tidak juga datang mengunjungi, juga
gadis ini dengan terus terang menyatakan cinta kasihnya!
Inilah sebetulnya yang memberatkan hatinya. Kalau dahulu
Li Hwa tidak menyatakan cinta kasihnya, agaknya ia sudah
mengunjungi gadis itu di Go-bi-san. Akan tetapi perasaan
gadis itu terhadapnya membuat Sin Hong merasa bingung
dan serba salah. "Jangan kau marah, Li Hwa. Selama ini aku sibuk, banyak
terjadi kekacauan di dunia kang-ouw dan aku sebagai
bengcu tentu saja berkewajiban untuk membereskan semua
ini." "Aku pun tahu akan hal itu, Sin Hong, kau kira aku tidak tahu akan segala gerak-gerikmu selama ini" Kau telah
meredakan pertikaian yang timbul antara Teng-sanpai dan
Kong-thong-pai di An-wei, kau telah membantu Siauw-lim-pai
menangkap muridnya yang murtad di daerah Shantung, kau
telah memulihkan keamanan di sekitar Ta-pa-san, dan kau
telah membantu membereskan keributan di Kun-lun-pai
karena pemilihan Ketua. Akan tetapi aku juga tahu bahwa
kau telah berjasa besar dalam menindih penyelewengan
kaum liok-lim yang berpusat di kaki Go-bi-san. Kau sudah
sampai da sana, sudah dekat tempat tinggalku, mengapa
tidak juga berkunjung" Pendeknya, kau ini menjadi
sombong, atau memang sudah lupa kepadaku, atau barang
7 kali sengaja kau menjauhkan diri karena kau ...... benci
kepadaku!" Sekarang air mata itu tak dapat ditahan lagi, menitik turun ke pipi bertitik-titik.
Sin Hong melongo. Bagaimana gadis ini benar-benar
mengetahui segala sepak terjangnya selama ini" Behar-benar
seorang gadis luar biasa sekali!
"Bukan itu saja, Li Hwa. Terus terang saja, selebihnya
waktu selama ini kupergunakan untuk melatih Lweekang
dan ...... " "Tak perlu menjual omongan seperti tukang obat! Kau kira aku pun tidak tahu" Kau pergi ke daerah Mongol, berjemur di
tengah gurun pasir. Ah, kukira kau sudah gila, tidak tahunya
kau melatih Yang-kang yang luar biasa. Kau ingat untuk
melakukan hal-hal baik, akan tetapi lupa untuk
mengunjungi aku. Sin Hong, kau tahu bahwa aku cinta
kepadamu. Di dunia ini hanya kau seorang yang kucinta,
dan hanya satu kali saja dalam hidupku aku mencinta orang.
Akan tetapi kau betul-betul tidak mempunyai hati, kau


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejam." Kembali Sin Hong melengak. Kalau gadis itu mengetahui
akan semua yang ia lakukan selama ini, tidak bisa lain tentu
gadis ini melakukan pengintaian, atau mungkin juga
anggauta-anggauta Hui-eng-pai yang melakukan. Demikian
besar perhatian gadis ini terhadap dirinya sampai bertahun-
tahun masih saja ingat dan mengejar-ngejar, membuktikan
bahwa cinta kasihnya bukan main-main!
Selagi Sin Hong berpikir-pikir untuk mencari alasan dan
untuk memberi jawaban yang tepat dan tidak menyakitkan
hati, tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki orang mendatangi
dari bawah puncak. Biarpun yang berjalan itu memiliki
kepandaian tinggi, namun Sin Hong yang sudah terlatih baik
itu dapat mendengar datangnya tiga orang yang naik ke
puncak, Sin Hong menjadi bingung. Biasanya yang datang
mengunjungi tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama.
Kalau sampai mereka melihat dia sedang bercakap-cakap
8 dengan Li Hwa, seorang gadis muda yang cantik, tentu
mereka akan salah sangka dan mengira yang bukan-bukan.
"Li Hwa, ada orang datang. Harap kau masuk ke gua
dulu." "Aku tahu ada orang datang. Biar saja, aku tidak takut
kepada mereka!" katanya gagah sambil meraba gagang
pedangnya. "Kalau yang datang orang jahat masih tidak mengapa,
akan tetapi kalau mereka itu sahabat-sahabat kang-ouw,
bukankah akan ...... akan tidak baik ...... ?"
"Sin Hong, orang muda canggung seperti engkau ini
masih menjadi bengcu" Hemm, sungguh lucu. Kau takut
apakah" Seorang gagah tidak akan rnundur setapak, tidak
akan takut menghadapi apa pun juga asal dia berdiri di atas
ke benaran, Kita berdua tidak melakukan pelanggaran apa-
apa mengapa kau takut-takut dan malu-malu?"
Sin Hong terpukul. Memang ucapan gadis ini tepat sekali.
Diam-diam ia pun merasa aneh. Kalau dia sudah tidak ambil
pusing tentang gadis ini, tidak mempunyai perasaan apa-apa
terhadap gadis ini, mengapa kehadirannya membikin dia
merasa malu kepada orang lain"
Sementara itu, dari bawah puncak berkelebat tiga
bayangan orang dan di lain saat, tiga orang aneh telah
berdiri menghadapi Sin Hong dan Li Hwa. Sin Hong kaget
bukan main melihat orang-orang ini. Melihat cara mereka
naik ke puncak membuktikan kelihaian mereka. Akan tetapi
bukan ini yang mengejutkan Sin Hong, melainkan wajah dan
keadaan tubuh mereka itu. Orang pertama bertubuh
jangkung kurus dengan jari-jari tangan panjang berkuku
seperti cakar setan, nampaknya kuat bukan main. Kepalanya
gundul pelontos tidak kelihatan akar rambut sehelai pun,
agaknya kulit kepala itu sudah mati. Tidak saja gundul
bahkan kepala itu potongannya lonjong ke atas pletat-pletot
seperti buah waluh. 9 Orang ke tiga lebih lucu lagi. Tubuhnya kurus kering
seperti cecak mati, apalagi sepasang lengannya hanya kulit,
membungkus tulang seperti rangka jerangkong. Dilihat dari
depan, kepalanya seperti gundul akan tetapi kalau orang
melihat dari samping atau belakang, kepalanya ada
rambutnya lurus ke belakang seperti duri binatang landak.
Matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya lebar.
Potongan mukanya tajam hingga kalau dilihat dari
samping, persis kepala burung siluman! Seperti juga si
kepala gundul, si botak ini potongannya tidak karuan ma-
camnya. Bedanya kalau si gundul itu memakai selendang
pada dadanya yang mengalungi pundaknya, adalah si botak
ini setengah telanjang karena bajunya terbuka dan awut-
awutan! Orang ke tiga paling menyeramkan. Tubuhnya besar dan
kuat. Mukanya seperti singa dan rambutnya memenuhi
kepala, kasar dan panjang riap-riapan, pakaiannya seperti
yang biasa dipakai oleh pertapa, longgar dan sederhana.
"Iiihh, kalian ini manusia atau silu... man?" Li Hwa bertanya sambil melangkah mundur dan mencabut
pedangnya. Akan tetapi Sin Hong menegurnya dengan
pandangan mata, kemudian ia melangkah maju dan menjura
dengan penuh hormat. "Kedatangan Sam-wi Locianpwe yang
terhormat, di puncak Jeng-in-thia dari Luliang-san ini, aku
yang muda mengucapkan selamat datang. Tidak tahu Sam-
wi Locianpwe datang dari mana dan ada keperluan apakah?"
Tiga orang itu saling pandang, kemudian bagaikan
mendapat komando, ketiganya tertawa terbahak-bahak.
Suara ketawa mereka nyaring, aneh dan menyeramkan
sehingga terdengar seperti ringkik kuda dan suara burung
hantu. Mendengar suara ketawa ini, bulu tengkuk Li Hwa
sampai meremang semua. Gadis ini maklum bahwa di dalam
suara ketawa ini terkandung pengerahan khi-kang yang kuat,
maka cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi
10 bagian-bagian lemah dari tubuhnya agar jangan terpengaruh
oleh suara ketawa itu. Si Jangkung Gundul melangkan maju. "Apakah kau Wan-
bengcu?" Suaranya serak dan kasar seperti burung gagak.
"Aku yang muda memang betul Wan Sin Hong yang
mendapat kehormatan dipilih sebagai bengcu."
Kembali tiga orang itu saling pandang dan tertawa
bergelak. Kakek ketiga yang rambutnya riap-riapan dan
mukanya seperti Singa itu menoleh ke arah Li Hwa sambil
menyeringai, kemudian tanyanya dengan suara yang besar
dan dalam sekali, "Si manis itu binimu?"
Sebelum Sin Hong menjawab, Li Hwa sudah membentak
marah. "Siluman busuk jangan asal buka mulut saja! Aku
Hui-eng Niocu Siok Li Hwa kalau sudah merasa terhina, tidak
akan menjanin kepalamu tinggal utuh lagi!"
"Aduh galaknya'" kata Si Jangkung Gundul yang
menyambut kata-katanya dengan suaranya yang parau
menyakitkan telinga. "Wan-bengcu, ketahuilah bahwa aku
bernama Ci Kui, mereka berdua ini adalah sute-suteku."
"Aku Ang Bouw," kata Si Botak.
"Aku Ang Louw," kata Si Rambut Riap-riapan.
Li Hwa mengeluarkan suara menyindir lalu berkata
nyaring. "Sudah lama aku mendengar bahwa raja besar di
utara makin berkuasa dan pemerintahnya makin maju
berkat bantuan orang-orang pandai dari barat dan dari utara.
Di antara mereka itu ada yang disebut Pak-kek Sam-kui
(Tiga Siluman dari Kutub Utara) tidak tahu apakah kalian ini
yang disebut Pak-kek Sam-kui?"
Tiga orang kakek aneh itu saling pandang, kemudian
tertawa besar. "Tidak kusangka Nona mengenal nama besar
kami. Memang betul, kami bertiga yang dimaksudkan
dengan sebutan Pak-kek Sam-kui itu. Aku berjuluk Giam-lo-
ong (Raja Maut), Sute Ang Bouw ini Liok-te Mo-ko (Iblis
11 Bumi), Sute Ang Louw disebut Sinsai-kong (Pendeta Singa
Sakti)." "Setelah kami mengenal Sam-wi, apakah selanjutnya
yang Sam-wi kehendaki dengan kunjungan ini?" tanya Sin
Hong yang merasa tidak senang mendengar bahwa mereka
ini adalah pembantu-pembantu dari Temu Cin, raja baru di
Mongol yang makin lama makin berkuasa dan merupakan
ancaman bagi pedalaman Tiongkok.
Dengan mulut terkekeh Giam-lo-ong Ci Kui Si Kepala
Gundul menjawab, "Wan-bengcu, kami datang bukan dengan
maksud buruk. Kami adalah utusan raja besar kami, disuruh
mencarimu mengundangmu ke Mongol. Khan (Raja) kami
ingin berjumpa dengan Wan-bengcu, oleh karena itu Wan-
bengcu diperintahkan untuk segera menghadap ke sana
bersama kami." Terang bahwa tiga orang kakek aneh yang menjadi
utusan Raja Mongol itu memandang rendah kepada bengcu
yang masih muda ini, buktinya undangan itu mereka ubah
menjadi perintah menghadap. Akan tetapi Sin Hong masih
bersikap sabar. Dengan senyum lebar ia berkata.
"Apakah Sam-wi tidak salah" Mungkin bukan aku yang
diperintahkan menghadap oleh karena selama hidupku
belum pernah aku bertemu dengan rajamu. Aku dan dia
tidak pernah berkenalan, bagaimana bisa tahu tentang
diriku dan minta menghadap?"
"Wan-bengcu jangan salah mengerti. Sudah tentu Khan
kami mendengar tentang diri bengcu maka bengcu dipanggil
menghadap. Khan kami mengenal bengcu dari keterangan
Thian-te Bu-tek Taihiap."
Sin Hong dan Li Hwa heran mendengar sebutan ini.
Thian-te Bu-tek Tai-hiap berarti Pendekar Besar Tanpa
Tandingan di Seluruh Dunia! Siapa orangnya yang sudah
begitu nekad dan berani mati menggunakan julukan macam
itu" 12 "Harap Sam-wi sampaikan terima kasihku kepada rajamu
atas undangan itu, juga maafkan bahwa aku terpaksa tidak
dapat memenuhi permintaannya. Aku pun tidak pernah
kenal dengan orang yang mengaku sebagai Thian-te Bu-tek
Taihiap itu. Kalau rajamu ada kepentingan sesuatu boleh
disampaikan melalui utusan saja, tak usah. aku datang
menghadap kesana." "Wan-bengcu, jangan sekali-kali kau berani memandang
rendah kepada tai-hiap!" kata Sin-sai-kong Ang Louw dengan suaranya seperti singa mengaum.
"Wan-bengcu harap jangan menolak. Raja kami sudah
berlaku sabar dan baik terhadapmu sehingga tahun lalu
ketika bengcu melanggar wilayah Mongol di gurun pasir,
kami tidak berbuat sesuatu " kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw.
Kaget hati Sin Hong mendengar ini. Jelas bahwa Temu Cin
Raja Mongol itu benar-benar mempunyai pembantu-
pembantu yang hebat sehingga ketika ia berlatih lweekang di
gurun pasir, mereka juga mengetahui
"Maafkan, terpaksa aku membikin kecewa Sam-wi
Locianpwe. Sungguh aku tidak dapat memenuhi kehendak
rajamu untuk menghadap."
Tiga orang kakek itu nampak marah. Sayang," kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw dengan suaranya yang tinggi kecil, "sayang sekali tai-hiap melarang kita turun tangan. Kalau tidak ingin aku mencoba-coba kelihaian bengcu yang muda ini. Hi hi hi
...". Kalau Wan Sin Hong mendengarkan dengan sabar dan
tenang, adalah Li Hwa yang menjadi panas hatinya. Digerak-
gerakkan pedangnya di depan dada dan ia membentak.
"Kalian ini tiga siluman macam apakah" Bukan begitu
menjadi utusan raja. Kalian sudah menyampaikan
undangan, yang diundang sudah menolaknya, kau tinggal
melapor kepada yang mengutus. Habis perkara. Mengapa
banyak cerewet dan ngoceh di sini" Mau coba-coba mengapa
13 mesti ada perkenan dari segala macam taihiap" Kalau sudah
bosan hidup dan mau coba-coba, majulah. Tak usah dengan
bengcu, dengan aku pun kalian bertiga siluman-siluman
jelek boleh maju terima binasa!"
"Li Hwa, jangan kasar terhadap tamu ...... " Sin Hong mencegah.
Sin-sai-kong Ang Louw yang wataknya mata keranjang,
mendengar tantangan Li Hwa ini, segera melompat maju dan
berkata kepada suhengnya.
"Suheng, kita belum boleh mengganggu Wan-bengcu,
akan tetapi tiada jeleknya main-main sebentar dengan Nona
manis ini." Sebelum Giam-lo-ong Ci Kui menjawab, Li Hwa dengan
pedang hijaunya menyerang Ang Louw. Pedang di tangan
nona ini lenyap berubah menjadi sinar hijau yang
menyilaukan mata. Ini tidak mengherankan oleh karena
yang dipegangnya itu adalah Cheng-liong-kiam (Pedang Naga
Hijau), pedang pusaka peninggalan mendiang Pat-jiu Nio-nio
gurunya. Apalagi yang memainkan adalah Li Hwa yang
memiliki kiamsut (ilmu pedang) tinggi dan gerakannya cepat
bagaikan kilat menyambar.
"Pedang bagus!" Pendeta bermuka singa itu menggeram.
Suaranya menggetar seperti auman singa. Kalau Li Hwa
tidak memiliki sinkang yang tinggi tentu akan lumpuh
mendengar geraman. Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga,
tetap saja jantungnya berdebar dan kedua kakinya agak
gemetar karena pengaruh geraman ini sehingga ia terkejut
bukan main dan menyerang dengan sungguh-sungguh.
Pedangnya membuat gerakan memutar, lalu meluncur maju
dengan gerakan berlenggok seperti ular merayap, mengarah
tubuh lawan bagian dada, sukar diketahui lebih dulu ke
mana pedang hendak menusuk, ke tenggorokan atau ke ulu
hati. Inilah gerak tipu ilmu pedangnya yang disebut Hui-eng-
tok-cia (Garuda Terbang Mematuk Ular), sebuah )urus lihai
dari ilmu pedangnya Hui-eng-kiam-sut.
14 Akan tetapi, Sin-sai-kong Ang Louw ternyata bukan
orang sembarangan. Melihat hebatnya tusukan pedang yang
mengarah dua jurusan ini, ia berlaku tenang dan otomatis
kedua lengannya diangkat, sepuluh jari tangannya yang
berkuku singa menjaga di depan dada, yang kini menjaga ulu
hati, yang kanan menjaga dekat leher. Pedang sinar hijau
datang menusuk, secepat kilat menerobos hendak menusuk
ulu hati. "Cringgg ...... !" Pedang terpental akan tetapi terus meluncur agak ke atas, kini menusuk tenggorokan. Kembali
Ang Louw menggerakkan tangan dan sekarang jari tangan
kiri melakukan gerakan menyentil.
Sin Hong kagum sekali. Menangkis pedang setajam
pedang pusaka Cheng-liongkiam hanya dengan sentilan
kuku jari, benar-benar hanya mampu dilakukan oleh orang-
orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Ia maklum
bahwa kakek bermuka singa ini merupakan lawan berbahaya
dan tangguh sekali bagi Ll Hwa, maka ia segera berseru.
"Li Hwa, cukuplah main-main ini'"
Akan tetapi gadis seperti Siok Li Hwa ini mana mau
mengalah dan puas begitu saja" Ia memang berwatak aneh
dan tidak pernah kenal apa artinya takut.
"Aku harus memberi hajaran kepada singa kaki dua ini!"
serunya dengan penasaran karena pedangnya ditangkis
lawan dua kali hanya dengan sentilan kuku jari. Cepat ia
mengerahkan tenaga pada dua kakinya dan tahu-tahu
tubuh yang langsing itu melesat ke atas bagaikan seekor
burung garuda dan ketika lawannya memandang ke atas,
secepat garuda menyarnbar Li Hwa melayang turun dengan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang bergulung merupakan sinar hijau menyambar-
nyambar ke arah lawannya dari atas. Serangan ini lebih
hebat dari tadi dan inilah ilmu serangan yang di-sebut Hui-
eng-lothian (Garuda Terbang Mengacau Langit).
15 "Lihai sekali ...... !" Sin-sai-kong Ang Louw berseru kaget.
Ia tidak dapat menangkis seperti tadi karena kini pedang
pusaka itu bukan menusuk, melainkan menyambar dengan
bacokan hebat. Juga untuk mengelak sukar sekali karena
serangan datang dari atas secara bertubi-tubi. Terpaksa Si
Muka Singa ini menggulingkan dirinya ke atas tanah. Sambil
bergulingan kedua tangannya bergerak-gerak ke atas
melindungi tubuh sehingga ketika Li Hwa turun
menusuknya berkali-kali, kembali terdengar suara nyaring
"cring, cring, cring ...... !" dan kini pertemuan antara pedang pusaka dan kuku jari tangan itu bahkan menimbulkan
bunga api berpijar! "Hebat ...... !" Sin Hong berkata perlahan menahan napas menyaksikan kelihaian Si Muka Singa ini.
Li Hwa menjadi marah, dan ketika melihat kesempatan
baik, kaki kirinya bergerak dan sebuah tendangan tepat
mengenai pundak lawannya yang masih bergulingan
sehingga tubuh lawannya itu terlempar tiga tombak lebih!
Hebatnya begitu tiba di tanah, si Muka Singa melompat
berdiri, sama sekali tidak kelihatan sakit atau terluka,
padahal tendangan Li Hwa tadi dapat membunuh lawan lain
dengan mudah. "Hui-eng Niocu lihai sekali!" kata Sin-sai-kong Ang Louw sambil menyeringai dengan muka mengandung ejekan.
"Cukup, Sute. Jangan-jangan kita mendapat marah dari.
taihiap kalau sampai salah tangan," kata Giam-lo-ong Ci Kui.
"Kita sudah menguji kelihaian ilmu silat dari Hui-eng
Niocu, juga kelihaian ilmu pengobatan dari Wan-bengcu.
Nah, Wan-bengcu, sampai jumpa kembaii dalam waktu
dekat." Setelah berkata demikian, Giam-lo-ong Ci Kui
melompat sambil menyambar tangan Liok-te Mo-ko Ang
Bouw, di lain fihak Ang Bouw juga menyambar tangan Sin-
sai-Kong Ang Louw adiknya dan di lain saat tiga orang kakek
itu sambil bergandengan tangan melayang turun dari
puncak Jeng-in-thia. 16 "Sungguh mereka itu lihai ...... " kata Sin Hong sambil menghela napas. "Kalau orang-orang seperti itu datang
memusuhi dunia kang-ouw, tugasku makin berat saja."
"Sin Hong, mengapa kaupusingkan semua itu" Lihat,
jauh-jauh dari Mongol orang datang mencari kau yang
menjadi bengcu. Mari kautinggalkan tempat ini dan ikut aku
ke Go-bi-san saja, di mana kita bisa hidup tenteram. Aku
yang menjamin bahwa hidupmu akan bahagia dan tidak
terganggu, Sin Hong." Kata-kata ini diucapkan penuh
perasaan oleh Li Hwa sehingga suaranya menggetar. Tangan
kanan yang memegang pedang tergantung di samping, ujung
pedangnya menyentuh tanah.
Sin Hong tersenyum. "Terima kasih, Li Hwa. Kau baik
sekali. Akan tetapi aku tak dapat memenuhi ajakanmu itu.
Tak mungkin aku meninggalkan kawan-kawan, apalagi
kalau keadaan mereka terancam oleh orang-orang Mongol
itu." "Sin Hong, mengapa kau begitu keras hati" Kau tahu aku
mencintaimu, dan hasrat hidupku satu-satunya hanya ingin
membahagiakan kau, ingin hidup di sampingmu
menghabiskan usia yang tidak berapa banyak lagi ini. Sin
Hong, kita sudah sama-sama bertambah tua, mau tunggu
kapan lagi kalau kita tidak lekas-lekas berumah tangga" Sin
Hong, apakah sedikit pun kau tidak dapat membalas cinta
kasihku yang setulusnya?" Suara gadis itu kini merayu
penuh keharuan. Sin Hong merasa susah sekali. Dengan bingung ia
menggosok-sosok dagunya dan kemudian ia mengeraskan
hati mengambil keputusan untuk memberi jawaban yang
sebenamya. "Li Hwa, kau tadi bilang bahwa kau hanya dapat mencinta
seorang saja di dunia ini. Demikian pun aku, Li Hwa. Aku
pernah mencintai seorang gadis dan biarpun aku gagal
dalam percintaan itu, akan tetap setia kepadanya dan tidak
mungkin aku menerima cinta kasih gadis lain."
17 Muka Li Hwa menjadi pucat sekali kemudian berubah
merah. Matanya memancarkan cahaya berapi penuh
cemburu dan kecewa. "Kau mencinta Gak Soan Li?" tanyanya sambil
melintangkan pedangnya di dada, tangan kirinya menuding
ke dada Sin Hong. Disebutnya nama Gak Soan Li mengingatkan Sin Hong
akan semua pengalamannya yang dulu. Pengalaman yang
menyedihkan. Gak Soan Li adalah seorang gadis cantik jelita
dan gagah perkasa, murid Hwa I Enghiong yang masih
terhitung suhengnya sendiri. Gak Soan Li mencinta
kepadanya, cinta kasih yang murni dan suci, mencinta
kepadanya dengan sepenuh jiwa biarpun gadis itu mengira
dia seorang pemuda tani biasa saja, karena dalam
pertemuannya dengan Gak Soan Li dia mengaku sebagai
seorang pemuda dusun. Sampai gadis itu menjadi gila oleh
karena perbuatan keji dari manusia iblis Liok Kong Ji, gadis
itu masih terus mencintanya sepenuh hati. Sekarang gadis
itu telah menjadi isteri muda dari Pangeran Wanyen Ci Lun
yang wajahnya sama benar dengan dia karena memang
Wanyen Ci Lun itu masih terhitung saudara misannya dan
dia sendiri adalah keturunan Pangeran Wanyen juga. Semua
ini terbayang kembali di depan matanya membuat ia
termenung (baca Pedang Penakluk Iblis).
"Sin Hong, kau betul-betul mencinta Gak Soan Li yang
sudah menjadi isteri Pangeran Wanyen Ci Lun?" tanya lagi Li Hwa dengan suara sayu.
Sin Hong menggeleng kepalanya dengan ragu-ragu.
Memang sejak dahulu ia pun ragu-ragu, entah Soan Li entah
Hui Lian yang telah merampas hati dan cinta kasihnya.
Terhadap dua orang wanita ini ia mempunyai kenangan
mesra. "Kalau begitu, tak salah lagi, kau tentu mencinta Go Hui Lian'" kata pula Li Hwa yang mulai menangis. "Cih laki-laki tak tahu malu. Sin Hong, di manakah kegagahanmu" Ke
18 mana perginya semangatmu" Go Hui Lian sudah menjadi
isteri orang, mungkin sekali sudah menjadi ibu, dan kau
masih setia dan tetap mencinta kepadanya" Bukankah
perasaan yang demikian itu rendah dan hina?"
Sin Hong hanya menundukkan kepala, keningnya
berkerut, pandang matanya muram, nampaknya bersedih
sekali. Melihat ini, Li Hwa menjadi kasihan lagi. la melangkah maju, ditariknya lengan Sin Hong.
"Sin Hong, lupakanlah kenangan lama. Marilah kau ikut
aku ke Go-bi-san. Biarpun kau tidak menyintaku, biarlah.
Aku cukup bahagia kalau melihat kau hidup tenteram dan
aku dapat melayanimu, dapat selalu berada di sampingmu
...... " Sin Hong memandang kepada gadis itu, hatinya terharu.
Alangkah akan bahagianya hidup bersama seorang isteri
seperti Li Hwa ini. Kalau saja ia dulu bertemu dengan Li Hwa
sebelum ia berjumpa dengan Soan Li dan Hui Lian. Kini tak
dapat ia berlaku rendah, tak mau ia menuruti maksud gadis
itu hanya untuk menghibur hatinya. Tidak tega ia
mempermainkan cinta kasih yang begitu mendalam dari
gadis ini. "Tidak, Li Hwa. Aku akan berbuat keliru dan berdosa
kalau aku ikut dengan engkau. Aku tidak berharga
untukmu. Pula, tugasku masih berat, dan aku harus
memenuhi tugas dan kewajibanku sebagai bengcu yang
sudah mendapat kepercayaan semua saudara di dunia kang-
ouw." Li Hwa menjadi lemas. "Kau ...... kau dulu berjanji
hendak datang ke Go-bi san ...... aku selama ini menanti-
nanti ...... ternyata sia-sia ...... Sin Hong, kau menyakiti
hatiku. Kalau aku bersaing dalam cinta kasih dengan
seorang gadis lain, aku akan mengalah. Akan tetapi,
sainganku adalah isteri orang, mungkin ibu anak-anak. Kau
terlalu ...... menghinaku!"
19 Li Hwa membanting- banting kakinya. Tiba- tiba ia menjerit dan roboh
pingsan. Tubuhnya tentu akan terbanting di atas tanah kalau saja Sin Hong
tidak cepat-cepat memeluknya. Wajah gadis itu menjadi kebiruan, matanya mendelik dan mulutnya berbusa. Sin Hong kaget sekali. Dia adalah ahli waris dari
Tabib Dewa Kwa Siucai, sekali pandang saja tahulah ia bahwa gadis itu telah menjadi korban racun yang amat berbahaya. Ia tidak melihat datangnya senjata gelap dan tidak melihat seekor pun binatang berbisa
yang menggi git gadis itu. Mengapa begitu membanting-
banting kaki kirinya gadis itu lalu menjerit roboh pingsan"
Sin Hong membaringkan Li Hwa di atas rumput, lalu ia cepat
melepaskan sepatu kiri gadis itu dan memeriksa. Ternyata di
dekat ibu jari di telapak kaki kiri itu terdapat sebuah bisul merah kecil sekali.
"Kurang ajar, ini tentulah perbuatan Sin-saikong Ang
Louw." gerutunya dan tahulah ia kini apa artinya kata-kata Giam-lo-ong Ci Kui yang menyatakan bahwa mereka telah
menguji ilmu pengobatan dari Wan-bengcu. Tidak ia sangka
sama sekali bahwa di waktu Li Hwa menendang tubuh Sin-
sai-ong Ang Louw sampai terguling-guling tadi, Si Muka
Singa ini telah berhasil melukai kaki gadis itu, luka yang
dilakukan dengan sebuah jarum halus berbisa!
20 "Benar-benar mereka lihai. Berbahaya sekali orang-orang
seperti itu menjadi lawan," katanya sambil memeriksa luka di kaki Li Hwa yang membengkak.
Dengan jarum peraknya, Sin Hong menusuk beberapa
jalan darah di kaki kiri, kemudian membelek sedikit kulit
kaki dekat luka itu, mengeluarkan jarum yang halus berbisa,
mengeluarkan pula darah kehijauan yang berada di sekitar
luka. Setelah itu, ia menempelkan telapak tangannya di
pinggang gadis itu, mengerahkan hawa sinkang untuk
memunahkan racun di tubuh Li Hwa. Perlahan-lahan muka
yang kebiruan itu mulai menjadi merah lagi.
Setelah yakin bahwa gadis ini telah terhindar dari
pengaruh racun, Sin Hong menarik kembali tangannya,
mengatur pernapasannya supaya pulih kembali, kemudian ia
mengobati luka bekas belekan dengan obat tempel yang luar
biasa manjurnya sehingga dalam sekejap saja, kulit yang
dibelek telah rapat kembali.
Setelah bahaya lewat dan hati pemuda ini merasa
tenteram, baru ternyata olehnya betapa mungil dan bagus
bentuknya kaki kiri Li Hwa yang dipegang-pegangnya itu.
Teringatlah ia akan pengalamannya dahulu ketika ia
menolong Gak Soan Li dan menyambung tulang tulang
kedua paha gadis itu yang remuk dipukul oleh seorang
penjahat keji bernama Giok Seng Cu (baca Pedang Penakluk
Iblis). Wajahnya menjadi merah dan hatinya berdebar. Cepat-
cepat ia mengenakan kembali kaus kaki dan sepatu di kaki
gadis itu. Li Hwa membuka matanya. Cepat ia meloncat berdiri dan
menyambar pedang Cheng-liong-kiam yang tadi terletak di
atas tanah. Ia memandang kepada Sin Hong dan mulutnya
meringis sedikit menahan sakit ketika kaki kirinya dipakai
berdiri. Ada rasa perih sedikit karena luka bekas belekan
belum sembuh benar. "Li Hwa, kau tadi pingsan karena pengaruh racun jarum
gelap yang dilepaskan oleh Sin-sai-kong Ang Louw pada
21 kakimu ketika kau menendangnya tadi. Aku telah
melepaskannya dan mengobatinya, kau akan sembuh ...... "
Li Hwa nampak tercengang. Hal ini tidak pernah
diduganya dan kini ia ber-kata dengan suara cemas.
"Sin Hong, mereka begitu lihai ...... ! Kalau mereka
datang lagi dan mengeroyokmu ...... Marilah kau ikut aku
saja ke Go-bi-san, di sana aman dan mereka tak mungkin
dapat memasuki daerahku."
Sin Hong terharu. Gadis ini yang baru saja terlepas dari
bahaya maut, tidak memikirkan keadaan diri sendiri,
sebaliknya begitu siuman dan mendengar tentang kelihaian
musuh, malah merasa cemas untuk keselamatannya. Dari
sini saja dapat dilihat nyata betapa besar cinta kasih gadis
ini terhadap dirinya. "Aku akan melawan mereka, Li Hwa. Kau pulanglah dan
rawat dirimu bai k-baik." Air mata bercucuran dari sepasang mata yang jelita itu. Dengan terisak-isak gadis ini berkata.
"Merawat diri baik-baik" Untuk apakah" Kau ...... kau
menolak dan mencinta seorang wanita yang sudah menjadi
isteri orang lain. Kau terlalu menyakiti hati-ku, kau terlalu menghinaku ...... " Dengan isak tertahan gadis ini melompat, tidak mempedulikan lagi telapak kaki kirinya yang sakit, lalu lari cepat turun dari puncak Jeng-in-thia.
Sin Wong menahan napas, menyilang-kan lengan di depan
dada dan menundukkan kepala, kedua matanya dipejamkan.
Sampai lama ia berada dalam keadaan demikian, kemudian
terdengar ia menarik napas panjang berkali-kali.
-oo0mch0oo- Kim-bun-to (Pulau Pintu Emas) adalah sebuah pulau
kecil yang indah di dekat pantai timur. Pulau ini dekat saja
dengan pantai, hanya terpisah oleh air laut sejauh dua li.
Rumah-rumah di atas pu-lau itu kelihatan jelas dari pantai.
22 Oleh karena air laut yang memisahkan pulau dan daratan
Tiongkok ini airnya selalu tenang, jernih, dan banyak
ikannya, maka tempat ini menjadi tempat pesiar dan
terkenal di seluruh Tiongkok. Selain menjadi tempat
menghibur hati, juga pantainya menjadi pusat perdagangan
yang ramai. Rumah di Kim-bun-to bagus-bagus dan kelihatan semua
masih baru. Memang, lima tahun yang lalu, rumah-rumah di
atas pulau ini telah dibakar habis oleh barisan Pemerintah
Kin yang ditipu oleh penjahat siluman Liok Kong Ji.
Akhirnya, berkat bantuan Pangeran Wanyen Ci Lun, kaisar
insyaf akan kekeliruannya dan memerintahkan supaya


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua rumah yang terbakar diganti dengan rumah baru!
Pulau ini menjadi makin tersohor semenjak terjadi
peristiwa serbuan oleh tentara Pemerintah Kin itu. Di atas
pulau itu terjadi geger besar yang mengguncangkan dunia
kang-ouw. Terjadi pertempuran hebat antara tokoh-tokoh
persilatan yang terkenal menjagoi dunia kang-ouw di masa
itu. Dalam pertempuran inilah jago-jago silat berguguran, di
antaranya Cam-kauw Sin-kai, sepasang suami isteri
Pendekar Go Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong dan
isterinya Sian-li Eng-cu Liang Bi Lan, dan masih banyak
orang-orang gagah lain yang kebetulan menjadi tamu di
waktu serbuan terjadi. Di pihak para penyerbu, tewas pula See-thian Tok-ong
dan isterinya, Kwan Ji Nio. Sepasang suami isteri ini bukan
orang-orang sembarang, melainkan tokoh-tokoh besar dari
barat yang sudah menggoncangkan dunia persilatan di
Tiongkok. Semua ini terjadi pada saat dilangsungkan
pernikahan antara puteri Hwa I Eng-hiong Go Ciang Le yang
bernama Go Hui Lian dengan Coa Hong Kin, pemuda tampan
dan gagah murid dari Cam-kauw Sin-kai (baca Pedang
Penakluk Iblis). Di antara sekian banyak rumah-rumah baru di atas
Pulau Kim-bun-to, terdapat sebuah rumah besar di tengah-
23 tengah, yang menonjol karena paling tinggi di antara semua
bangunan di situ. Inilah rumah yang menjadi tempat tinggal
Coa Hong Kin dan isterinya. Pangeran Wan-yen Ci Lun yang
membangun rumah ini untuk membalas budi Coa Hong Kin
yang dulu menjadi tangan kanannya yang setia.
Keluarga Coa ini disegani dan dihormati oleh semua
orang baik penduduk Pulau Kim-bun-to maupun orang-
orang yang datang dari daratan Tiongkok. Siapakah yang
berani mengganggu mereka dan bagaimana semua orang
tidak menghormati keluarga ini" Coa Hong Kin terkenal
gagah perkasa di samping sikapnya yang halus dan lemah
lembut seperti seorang terpelajar yang ramah tamah. Akan
tetapi di dalam pertempuran ia akan berubah menjadi
seorang yang lihai bukan main dengan senjatanya yang
istimewa, yaitu sebatang tongkat pendek berkepala ular yang
disebut Coa-thouw-tung, ia dapat mainkan Ilmu Silat Cam-
kauw-tung-hoat (Ilmu Tongkat Pembunuh Anjing) dan
kiranya tidak banyak orang yang dapat mengalahkan dia
dengan ilmu tongkatnya ini.
Di samping dia, masih ada isterinya yang tidak kalah
lihainya, kalau tidak boleh dibilang lebih lihai malah!
Isterinya ini Go Hui Lian, adalah anak tunggal dari mendiang
Hwa I Enghiong Go Ciang Le yang kepandaiannya sudah
dikenal oleh semua tokoh kang-ouw. Sudah tentu saja Go
Hui Lian ini mewarisi kepandaian dari ayahnya dan juga dari
ibunya yang memiliki kepandaian sangat tinggi pula.
Kelihaian Hui Lian adalah permainan pedang, akan tetapi di
samping ini, ia pandai pula memainkan delapan belas macam
senjata dan ilmu silat tangan kosongnya juga sudah berada
di tingkatan tinggi. Suami isteri ini mempunyai dua orang anak, seorang
anak laki-laki berusia empat tahun lebih, yang ke dua
seorang anak berusia dua tahun. Sebetulnya, anak pertama
yang laki-laki itu bukan anak mereka sendiri, melainkan
anak angkat. Anak ini mereka pelihara semenjak kecilnya
24 dan mereka beri nama Coa Tiang Bu. Rahasia bahwa anak
laki-laki ini bukan anak mereka yang sesungguhnya, mereka
simpan rapat sekali sehingga tidak ada orang lain yang
mengetahuinya. Hal ini adalah untuk menjaga nama baik ibu
yang aseli daripada anak itu. Ibunya bukan lain adalah Gak
Soan Li, suci dari Hui Lian.
Dalam cerita Pedang Penakluk Ibiis telah diceritakan
betapa Gak Soan Li ketika masih gadis terjatuh ke dalam
tangan penjahat siluman Liok Kong Ji dan dalam keadaan
tidak sadar dan setengah gila, Soan Li menjadi korban
kekejian Liok Kong Ji. Oleh karena itu, ketika Gak Soan Li
mengandung dan melahirkan anak, anak ini dianggap
sebagai anak yang tidak berayah. Diam-diam anak yang
hendak dibunuh oleh Gak Soan Li ini, dipelihara baik-baik
oleh Hui Lian yang mengaku sebagai puteranya sendiri.
Anak ke dua, yaitu puteri yang sesungguhnya dari Coa
Hong Kin dan Go Hui Lian, diberi nama Coa Lee Goat.
Semenjak kecil Coa Tiang Bu nampak sayang sekali kepada
Lee Goat. Setiap kali ia makan sesuatu tentu ia ingat kepada
adiknya ini dan memberinya. Kalau Lee Goat yang baru dua
tahun usianya itu menangis, Tiang Bu menghiburnya
sedapat mungkin sehingga nampak lucu sekali. Bahkan
kalau Lee Goat sedang rewel dan menangis tidak mau diam-
diam, saking bingung dan ikut sedih Tiang Bu juga ikut-
ikutan menangis! Tiang Bu nampak cerdik sekali sejak ia masih kecil.
Sayangnya, bocah ini tidak bisa dikatakan tampan. Mukanya
berbentuk segi empat, kulit mukanya agak kemerahan tanda
sehat, jidatnya lebar sekali sampai hampir setengah kepala;
seperti botak, rambutnya hitam kaku seperti bulu kuda,
sepasang alisnya berbentuk golok tebal dan hitam, matanya
tajam sekali kelihatan seperti mata penjahat kejam,
hidungnya pesek dan bibirnya tebal sekali. Dari kecil sudah
dapat dilihat bahwa bentuk tubuhnya padat dan kuat.
25 Sering kali di waktu malam apabila anak itu sudah tidur,
Hui Lian dan Hong Kin memandang muka Tiang Bu ini dan
Hui Lian berkata menyatakan keheranannya.
"Benar-benar aneh sekali, Enci Soan Li cantik manis, juga Kong Ji orangnya tampan, mengapa dia ini begitu jelek?"
Suaminya menarik napas panjang. "Dapat dimengerti.
Bocah ini tercipta dalam keadaan yang tidak sewajarnya,
ibunya dalam keadaan sengsara lahir-batin, ayahnya
dikuasai oleh iblis, tidak mengherankan apabila keturunan
yang keluar bermuka buruk. Akan tetapi kita harap saja
biarpun mukanya buruk, wataknya jangan seburuk
rupanya, dan semoga iblis yang menguasai ayahnya jangan
menurun kepadanya." Hong Kin dan Hui Lian memang berhati mulia. Melihat
keburukan Tiang Bu, mereka sama sekali tidak membenci,
bahkan merasa kasihan kepada anak yang tidak diakui oleh
ayah bundanya ini, yang kini telah menjadi putera mereka
sendiri. Apalagi melihat Tiang Bu begitu sayang kepada Lee
Goat, mereka makin suka kepada Tiang Bu.
"Kita jangan memberi pelaj'aran ilmu silat kepadanya
siapa tahu kalau-kalau sifat keturunan ayahnya ada
padanya. Tanpa memiliki kepandaian silat, ia tidak
mempunyai andalan untuk menyeleweng di kemudian hari,"
kata Hong Kin. Isterinya merasa setuju sekali sungguhpun
agak kecewa mengapa Tiang Bu bukan putera mereka sendiri
yang boleh diberi pelajaran ilmu silat mereka yang tinggi
tanpa ragu-ragu lagi. Berbeda dengan sepasang suami isteri yang baik hati ini,
anehnya hampir semua orang yang melihat Tiang Bu merasa
tak senang kalau tak boleh dikatakan benci. Entah mengapa
wajah anak ini segala gerak-geriknya menimbulkan kebencian
dan kegemasan. Semua pelayan yang berada di dalam
rumah besar itu, benci belaka kepada Tiang Bu.
26 Memang para pelayan inilah yang mengetahui bahwa
Tiang Bu bukanlah putera aseli dari majikan mereka,
bahkan mereka mendengar dari para pelayan tua yang
semenjak dahulu telah menjadi pelayan dari keluarga Go
dan sekarang ikut pula bekerja di rumah Go Hui Lian,
bahwa bocah itu adalah putera suci dari nyonya majikan
mereka dan tidak karuan ayahnya! Inllah agaknya yang
menimbulkan rasa tak senang dan benci.
Baiknya Tiang Bu masih terlalu kecil untuk mengerti atau
merasa akan hal ini. Di depan Hong Kin atau Hui Lian, tidak
ada orang berani mengganggu Tiang Bu, akan tetapi di
belakang dua orang ini, para pelayan suka menggodanya dan
mentertawakannya. Pada suatu hari pagi-pagi sekali Tiang Bu yang berusia
lima tahun itu sudah berada di dalam kebun bunga luas.
Anak ini mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian
dengan girang ia melihat yang dicarinya, yaitu kembang
berwarna merah yang mekar di dalam pohonnya yang agak
besar. Cepat anak ini menghampiri batang pohon itu dan
tanpa ragu-ragu ia mulai memanjat ke atas.
"Eh, bocah bengal, pagi-pagi kau sudah mau main panjat-
panjatan. Kalau kau jatuh dan kepalamu pecah, aku yang
dimaki, tahu?" tiba-tiba terdengar bentakan dan tukang
kebun menarik turun anak itu.
"Aku tidak mau turun!" Tiang Bu merengek dan kedua
tangannya memeluk batang pohon erat-erat. "Jangan tarik-
tarik kakiku." "Tidak boleh naik, turun kau!" bentak tukang kebun
gemas, ditambahnya makian perlahan. "Dasar anak haram!"
"Tidak, aku tidak mau turun. Aku hendak mencarikan
bunga merah yang diminta Adik Lee Goat!" Melihat tukang
kebun itu masih saja menarik-narik kakinya, ia mengancam,
"Lepaskan kalau tidak kau kukencingi!"
27 Tukang kebun itu sesungguhnya bukan takut melihat
anak ini jatuh, karena memang sudah sering Tiang Bu main
panjat-panjatan, melainkan ia lebih cepat disebut menggoda
anak itu supaya kehilangan kegembiraannya. Maka ia
membetot-betot terus sambil tertawa-tawa menggoda. Tiba-
tiba ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur
sambil menyumpah-nyumpah. Mukanya menjadi basah oleh
air kencing yang betul -betul dikeluarkan oleh anak itu.
"Bangsat kecil, bocah haram ........." Makinya perlahan, karena biarpun ia merasa marah dan mendongkol, ia tidak
berani memaki anak itu keras-keras.
"Apa kaubilang, Sam-lopek?" anak itu menunda
panjatannya ketika mendengar sebutan terakhir yang tidak
dimengertinya, Akan tetapi tukang kebun itu tidak menjawab
dan Tiang Bu melanjutkan usahanya memetik bunga merah
yang hendak diberikan kepada Lee Goat.
Tiba-tiba mata tukang kebun melihat seekor kumbang
besar beterbangan di sekitar pohon kembang itu, agaknya
hendak mencari madu kembang. Untuk melampiaskan
marahnya, juga dengan hati setengah mengharap agar
kumbang itu menyengat Tiang Bu, ia mengambil batu kecil
dan melempari kumbang yang sedang menghisap madu.
Lemparan itu tepat sekali mengenai kumbang itu dan si
kumbang terlempar, akan tetapi tidak mati. Kumbang
menjadi marah sekali dan di lain saat, kumbang itu terbang
me-nyambar ke arah pohon dan menyerang Tiang Bu. Tukang
kebun menyeringai kegirangan.
Terdengar pekik kesakitan dan tubuh anak itu terguling
jatuh dari atas pohon. Malang baginya, di bawah pohon
terdapat batu besar. Jatuhnya menimpa batu dan anak itu
tidak berkutik lagi, meringkuk pingsan. Barulah tukang
kebun men}adi pucat dan panik.
"Bangsat keji!" Bentakan nyaring ini mengejutkan tukang kebun yang tidak jadi lari masuk. la menengok dan melihat
seorang wanita cantik tahu-tahu telah berdiri di depannya.
28 "Kau memaki siapa?" tukang kebun yang berangasan ini
bertanya marah. "Siapa lagi kalau bukan kau! Kau yang menyebabkan
anak itu jatuh, orang macam kau harus dipukul mampus".
Tukang kebun itu menjadi marah, marah karena ia takut
kalau-kalau dakwaan ini terdengar oleh majikannya.
"Apa kau gila" Dia itu putera majikanku, bagaimana aku
berani membuatnya jatuh" Kau perempuan gila
sembarangan memaki orang. Kutampar mukamu!"
Wanitaitu tersenyum mengejek. "Kau" Macam engkau
bisa memukul orang" Hah, seekor se mut pun akan
mentertawakanmu kalau mendengar obrolanmu ini!"
Diejek seperti itu, tukang kebun ini menerjang maju dan
tangan kanannya diayun untuk menampar pipi wariita
cantik itu. Akan tetapi, sungguh luar biasa. Sebelum tangan
itu mengenai pipi yang halus kemerahan, tiba-tiba tukang
kebun itu menjerit, tubuhnya terpental, jatuh dan napasnya
empas-empis. Dengan tenang wanita itu menghampiri bawah pohon,
menyambar tubuh Tiang Bu yang masih pingsan.Ia
memandang muka yang jelek itu, tersenyum mengejek dan
berkata lirih, "Macam ini putera Hui Lian" Hah,
menyebalkan!" Pada saat itu, terdengar desiran angin dan dua orang
berkelebat dari dalam rumah. Mereka ini bukan lain adalah
Hui Lian dan Hong Kin. Melihat datangnya kedua orang
majikannya itu, tukang kebun yang sudah siuman kembali
menuding ke arah wanita itu sambil berkata, suaranya
lemah terengah-engah. "Dia ...... dia hendak menculik Kong-cu ...... " Dan ia roboh pingsan lagi karena dadanya sesak seperti dipukul
oleh benda keras yang berat.
29 Hui Lian dan Hong Kin melompat ke depan wanita yang
memondong Tiang Bu itu dan melihat wajjah yang cantik itu
tersenyum mengejek. "Kau ...... bukankah kau Hui-eng Niocu Siok Li Hwa ......
?" tanya Hui Lian kaget.
Li Hwa tersenyum. "Kalian tidak patut menjadi ayah
bunda bocah ini. Aku hendak membawanya dan biarpun di
sana ada Wan Sin Hong bengcu yang akan membela kalian
mati-matian, aku tidak takut." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Li Hwa telah berada di atas tembok taman.
"Lepaskan anakku" Hui Lian membentak dan sekali
berkelebat ia pun. telah mengejar dan kembali dua orang
wanita yang sama cantik dan sama gagahnya ini telah saling
berhadapan di luar tembok taman, diikuti oleh Hong Kin yang
hampir berbareng menyusul .
"Hui-eng Niocu, di antara kita tidak ada permusuhan,
mengapa kau hendak menculik- anakku?" bentak Hui Lian
yang sudah mencabut pedangnya.
"Hei, Tiang Bu seperti pingsan dan tubuhnya
berdarah....!" Hong Kin berseru kaget sambil menuding ke arah Tiang Bu yang masih pingsan dalam pondongan Li Hwa.
"Memang dia jatuh dari pohon, kakinya patah ...... " kata Li Hwa seenaknya seakan-akan hal itu tidak berarti apa-apa.
"Kau hendak mencelakai anakku. Kembalikan!" Hui Lian
sudah tak sabar lagi dan maju menusukkan pedangnya ke


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah lambung Li Hwa dan tangan kirinya menyambar tubuh
Tiang Bu yang dipondong oleh Hui-eng Niocu.
"Galak seperti Ibunya ...... !" Li Hwa mengejek dan cepat melompat mundur. "Tentang jatuhnya, lebih baik kausiksa
tukang kebunmu suruh dia mengaku!" Li Hwa terus
melompat jauh dan melarikan diri.
30 "Penculik jangan lari!"
Hong Kin berseru marah dan bersama isterinya ia pun mengejar cepat. Li Hwa memutar tubuh dan berseru, "Awas
senjata!" Tangannya yang
kiri bergerak dan belasan
sinar hijau menyambar ke arah dua orang pengejamya. Inilah senjata rahasia Cheng- chouw-ciam (Jarum Rumput Hijau) yang amat lihai. Sampai tiga kali Li
Hwa menggerakkan tangannya dan tiga kali belasan jarum hijau ini menyambar ke arah Hui Lian dan Hong Kin. Suami isteri ini lihai ilmu Silatnya, tentu saja mereka dapat menghindarkan diri dari bahaya dengan
mudah akan tetapi kejaran mereka tertunda dan sebentar
saja Li Hwa sudah lenyap dari situ, mereka terus mengejar,
bahkan mencari sampai ke pinggir laut. Akan tetapi karena
tidak tahu arah mana yang diambil oleh Li Hwa untuk
menyeberang ke daratan, mereka menjadi bingung. Hui Lian
mengajak suaminya terus meyeberang dengan perahu akan
tetapi Li Hwa seperti lenyap ditelan ombak laut dan tidak
kelihatan bayangannya lagi.
Hui Lian membanting-banting kakinya dan menangis.
Hong Kin menghiburnya. "Kita tidak ada permusuhan dengan Li Hwa. Bu-ji (anak
Bu) tentu selamat di tangannya."
"Mari kita susul perempuan siluman itu ke Go-bi-san!
Perbuatan ini sungguh merupakan penghinaan bagi kita."
31 kata Hui Lian marah. "Kau tidak melihat Bu-ji tadi terluka dan pingsan" Siapa tahu kalau siluman itu mempunyai niat
keji ...... " "Sabar dan tenanglah, isteriku. Paling perlu mari kita
pulang dulu dan bertanya kepada tukang kebun apa
sebenarnya yang telah terjadi di dalam taman bunga."
Kata-kata ini mengingatkan Hui Lian akan ucapan Li
Hwa agar supaya mereka menyiksa tukang kebun dan
menyuruhnya mengaku. Cepat-cepat mereka pulang dan
alangkah kecewa dan menyesal mereka ketika melihat
bahwa tukang kebun itu ternyata telah tewas! Hong Kin
memeriksa dan mendapatkan beberapa batang jarum hijau
menembus dadanya yang juga terkena pukulan tenaga
lweekang. Agaknya Li Hwa marah sekali kepada tukang
kebun ini dan mengirim serangan maut.
"Perempuan siluman aku harus mengejarnya dan
mengadu nyawa dengan dia!" Hui Lian berteriak-teriak.
Kembali Hong Kin menyabarkannya.
"Isteriku, pikirlah baik-baik. Selain belum ada kepastian bahwa di Go-bi-san kita akan dapat berjumpa dengan dia,
juga perjalanan ke Go-bi-san bukanlah perjalanan dekat,
akan memakan waktu berbulan-bulan. Bagaimana kau dapat
meninggalkan Lee Goat untuk waktu selama itu" Ingat anak
kita masih amat kecil, kalau kita berdua pergi mencari Hui -
eng Niocu untuk merampas kembali Tiang Bu siapa yang
bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dengan anak kita,
Lee Goat?" Mendengar ini Hui Lian menjadi bingung dan ia menangis
sarnbil bersandar di dada suaminya. Ia suka kepada Tiang
Bu, akan tetapi ia sayang kepada Lee Goat. Terhadap Tiang
Bu ia tidak mempunyai rasa sayang seorang ibu, hanya
kasihan dan suka, pula disertai rasa tanggung jawab atas
keselamatan putera sucinya itu.
"Habis bagaimana baiknya ...... ?" tanyanya perlahan.
32 "Kautunggu saja di rumah, biar aku yang pergi
mencarinya. Memang tidak seharusnya didiamkan saja.
Andaikata Li Hwa itu tidak bermaksud jahat dan ingin
mengambil murid kepada Tiang Bu, tidak selayaknya ia
menculik seperti seorang penjahat. Pula, kita bertanggung
jawab atas keselamatan anak itu. Bagaimana kata orang-
orang gagah di dunia kalau sampai anak itu celaka dalam
tangan kita tanpa kita berusaha menolongnya" Biar aku
besok berangkat pergi mencarinya."
Hu Lian memeluk suaminya, "Akan tetapi ...... dia amat
lihai. Kukira kau atau aku bukan tandingannya. Kalau kita
maju berdua kiranya baru dapat mengimbanginya."
Hong Kin mengangguk-angguk. "Aku mengerti, oleh
karena itu aku pun mempunyai maksud hendak singgah di
Luliang-san bertemu dehgan Wan-bengcu. Kebetulan jalan
menuju ke Go-bi-san melalui Luliang-san. Pula? kalau aku
tidak keliru sangka, agaknya Hui-eng Niocu mengharapkan
supaya Wan-bengcu campur tangan dalarn penculikan ini."
"Mengapa kausangka demikian!" Hui Lian mengerutkan
keningnya. "Lupakah kau akan ucapannya ketika ia menculik Tiang
Bu" Dia menyatakan bahwa biarpun kita akan dibela oleh
Wan-bengcu, dia tidak takut. Ucapan ini agaknya sengaja ia
keluarkan untuk menentang Wan-bengcu. Kalau tidak
demikian mengapa ia membawa-bawa nama Wan-bengcu
dalam urusan ini. Oleh karena itu aku hendak singgah di
Luliang-san dan hendak minta nasihatnya.
Setelah mendapat kepastian bahwa suaminya akan minta
pertolongan Wan Sin Hong, hati Hui Lian menjadi tenang. Ia
merasa yakin bahwa kalau Sin Hong mendengar, tentu akan
membantunya dan akan merebut kembali Tiang Bu dari
tangan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa. Tiba-ti ba Hui Lian
mendapat pikiran yang baik sekali.
33 "Suamiku, amat tidak enak kalau begitu saja minta
tolong kepada Wan-bengcu. Lebih baik kalau kita serahkan
saja Tiang Bu untuk menjadi muridnya. Anak itu sudah
cukup besar, pula kalau kita berkukuh tidak mau
menurunkan ilmu silat kepadanya, tentu orang-orang akan
bilang kita tidak suka kepada anak itu. Kalau Wan-bengcu
mau menerimanya sebagai murid, kiraku ia akan menjadi
orang baik-baik, dan biarlah kelak ia menjadi seorang gagah
yang berbudi mulia untuk menebus kejahatan orang yang
menurunkannya." Seperti juga isterinya, Hong Kin suka kepada Tiang Bu
akan tetapi tidak sayang, maka usul ini diterimanya dengan
baik. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hong Kin
berangkat meninggalkan Kim-bun-to untuk memulai dengan
perjalanannya yang jauh, mungkin sampai ke Go-bi-san,
atau sedikitnya sampai ke Luliang-san. Setelah menyeberang
ke daratan ia melanjutkan perjalanannya dengan
menunggang kuda. -oo0mch0oo- Pada masa cerita ini terjadi, daratan Tiongkok terbagi dua
antara Pemerintah Kaisar dari Kerajaan Cin dan Kaisar dari
Kerajaan Sung selatan. Sudah lima enam puluh tahun
daratan Tiongkok berada dalam keadaan seperti ini. Batas
dari daerah atau wilayah kekuasaan dua kerajaan ini adalah
Sungai Yangce. Di sebelah utara Sungai Yangce termasuk
wilayah Kerajaan Cin, sedangkan di sebelah selatan
termasuk wilayah Kerajaan Sung Selatan atau disingkat
Kerajaan Sung saja. Antara dua kekuasaan ini sering kali terjadi pertentangan
dan pertempuran yang sengit. Akan tetapi pertentangan ini
hanya terbatas pada kelompok kecil saja, tidak sampai
merembet kepada kerajaan masing-masing. Apalagi setelah
kedua fihak melihat adanya perkembangan pada bangsa
Mongol yang selalu mengincar, maka sekali saja timbul
34 perang di antara mereka, pasti bangsa utara yang berani mati
itu akan menyerbu, menggunakan kesempatan selagi dua
ekor anjing berebut tulang dan bertengkar, diam-diam
mengambil tulangnya. Yang payah adalah rakyat jelata. Untuk bagian sebelah
utara Sungai Yang-ce, yaitu di wilayah Kerajaan Cin,
kesengsaraan rakyat tidak mengherankan ini oleh karena
memang Kerajaan Cin dianggap sebagai kerajaan penjajah
yaitu terdiri dari bangsa Yu-cin yang kemudian mendirikan
bangsa Cin. Akan tetapi ternyata bahwa di daerah selatan, di
mana kerajaannya masih di tangan orang-orang "aseli", keadaannya pun sama saja, kalau tak boleh dikatakan lebih
buruk. Korupsi merajalela, hukum rimba berlaku, siapa
berkuasa dia sewenang-wenang, siapa kuat dia menang atas
yang lemah, siapa kaya dia dapat berbuat sekehendak
hatinya. Tidak ada pembesar yaog tidak menerima sogokan.
Pengadilan hanya namanya saja, pada hakekatnya adalah
sarang sogokan dan pemerasan. Urusan putih bisa
dikatakan hitam oleh hakim yang telah menerima sogokan
sampai perutnya yang gendut hampir pecah. Rakyat petani
miskin jangan sekali-kali menghadapi urusan pengadilan,
karena benar maupun salah tetap kalah. Perkara penasaran
bertumpuk-tumpuk. Tuan-tuan tanah menjadi raja-raja kecil
di dusun-dusun. Kerja sama yang kotor sekali terjadi setiap
hari di kota antara para hartawan dan bangsawan
berpangkat. Bahkan, keadaan di selatan ini sesungguhnya lebih
buruk daripada keadaan di utara. Oleh karena itu, kalau di
selatan orang-orang gagah sama sekali tidak sudi membantu
pemerintah Kerajaan Sung, adalah sebaliknya di utara
terdapat kerja sama yang baik dalam arti kata tidak pernah
ada pertentangan, sungguhpun orang- orang gagah tidak
ada yang terang-terangan membantu Kerajaan Cin.
Sebaliknya di selatan, sering kali orang-orang gagah
membantu rakyat jelata yang tertindas, sering kali membasmi
35 okpa-okpa yaitu orang-orang hartawan dan bangsawan yang
memeras rakyat. Tidak adanya pertentangan di utara, sebagian besar
adalah karena di fihak kerajaan ada Pangeran Wanyen Ci
Lun yang bijaksana dan dapat bersikap mulia terhadap
orang-orang kang-ouw. Di lain fihak, yaitu di fihak dunia
kang-ouw, yang menjadi bengcu adalah Wan Sin Hong, yang
sebagaimana telah diceritakan di bagian depan adalah
seorang keturunan darah bangsa Cin pula. Ayah Wan Sin
Hong adalah seorang pangeran bernama keturunan Wanyen
pula dan masih terhitung paman dari Pangeran Wanyen Ci
Lun (baca Pedang Penakluk Iblis).
Cukup sekian sekedar mengetahui keadaan Tiongkok
pada masa itu dan mari kita kembali mengikuti perjalanan
Coa Hong Kin yang menuju ke Luliang-san. la melakukan
perjalanan cepat dan hanya berhenti untuk makan dan tidur
saja. Oleh karena maklum dan sukarnya perjalanan mendaki
puncak Jeng-in-thia di Luliang-san, maka setelah tiba di
kaki Gunung Luliang-san pada senja hari, ia menunda
perjalanan dan bermalam di sebuah dusun. Baru pada
keesokan harinya, pagi-pagi benar ia mendaki bukit dan
langsung menuju ke puncak di mana Wan-bengcu tinggal.
Perjalanan amat sukar dan melelahkan. Baiknya Hong Kin
adalah seorang gagah yang telah memiliki kepandaian tinggi
sehingga baginya tidak terlalu sukar untuk mencapai
puncak. Setelah ia tiba di dekat puncak Jeng-in-thia, tiba-tiba ia
mendengar seruan-seruan seperti orang bersilat dan
alangkah kagetnya ketika ia merasa sambaran-sambaran
angin pukulan yang dahsyat. Puncak itu masih terpisah jauh,
akan tetapi dari tempat ia berdiri biarpun ia tidak melihat
orang-orang yang bertempur, namun ia telah merasai
sambaran angin pukulan. Benar-benar hebat sekali tenaga
36 orang-orang yang sedang bertempur itu! la mempercepat
jalannya naik ke puncak. Setelah tiba di Jeng-in-thia, terlihatlah olehnya dua orang
kakek sedang bertempur dengan gerakan lambat-lambat
sekali, akan tetapi angin pukulan menyambar-nyambar dari
dua orang kakek ini. Hong Kin cepat mengerahkan tenaga
lweekangnya ketika angin pukulan menyambar hebat sekali.
Namun tetap saja ia terhuyung ke belakang sampai tiga
tindak terdorong oleh angin pukulan itu. Padahal dua orang
kakek yang bertempur itu jauhnya ada sepuluh tombak dari
tempat ia berdiri! "Hebat ...... " katanya dalam hati dan cepat-cepat Hong Kin menyelinap dan berlindung di batu karang besar sekali
yang takkan roboh oleh serbuan angin taufan sekalipun. Dari
tempat berlindung yang kokoh kuat itu ia mengintai.
Dilihatnya Wan Sin Hong dengan sikap tenang, bibir
tersenyum akan tetapi mata bersinar-sinar penuh
ketegangan dan penuh perhatian memandang ke arah dua
orang kakek yang sedang bertempur, duduk bersila di atas
batu rendah. Di sebelah kanannya duduk pula tiga orang
tosu tua yang sikapnya tenang akan tetapi jelas kelihatan
betapa kagum dan juga tegang menonton pertempuran itu. Di
sebelah kiri dari Sin Hong tampak pula tiga orang hwesio
yang berdiri dengan lengan tangan bersilang di depan dada
dan kaki lebar, juga penuh perhatian menonton
pertempuran. Tiga orang tosu dan tiga orang hwesio ini dapat tahan
berada di dekat tempat pertempuran tanpa bergeming, ini
saja sudah menandakan bahwa ilmu kepandaian mereka
amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat ilmu
kepandaian Coa Hong Kin yang bersembunyi dan mengintai
di balik batu karang. Kemudian Hong Kin mengalihkan
pandangannya kepada dua orang yang asyik bertempur.
Mereka ini adalah seorang tosu yang sudah tua sekali
dan seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar dan
37 berpakaian kasar serta beralis tebal dan hitam. Melihat tosu
yang tinggi kurus dan berjenggot panjang sekali ini, kenallah Hong Kin. Tosu itu adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai,


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan gemuk sekali dengan jenggot pendek itu tidak salah lagi
tentulah Pang Soan Tojin ketua dari Teng-san-pai. Tosu ke
tiga yang kurus bongkok memegang tongkat butut ia tidak
kenal. juga tiga orang hwesio yang berdiri itu ia tidak kenal.
Kini pertempuran berjalan lebih cepat daripada tadi. Tadi
mereka bertempur lambat-lambat, tidak mengandalkan
kecepatan untuk mencari kemenangan, melainkan
mengandalkan sepenuhnya kepada tenaga lweekang mereka.
Ternyata mereka seimbang dalam kekuatan lweekang. Hawa
pukulan masing-masing tidak dapat mempengaruhi lawan,
apalagi merobohkan. Juga tiap kali tangan mereka beradu
keduanya tergetar karena tenaga raksasa yang seimbang
besarnya bertemu. Setelah pertempuran dilanjutkan dengan cepat, keduanya
berputaran dan saking cepatnya mereka bergerak sampai
bayangan mereka menjadi satu dan sukar membedakan
mana tosu mana hwesio! Coa Hong Kin memandang kagum. menghadapi
pertempuran yang jarang dapat disaksikan orang,
pertempuran antara cabang-cabang atas, antara tokoh-tokoh
besar persilatan. Bu Kek Siansu adalah ketua Bu-tong-pai,
sebuah partai persilatan besar yang sudah amat tersohor,
maka tidak mengherankan apabila ilmu silatnya tinggl
sekali. Akan tetapi hwesio yang menjadi lawannya juga lihai
bukan main. Tentu saja ia tidak tahu bahwa empat orang
hwesio itu adalah tokoh-tokoh dari selatan yang menjagoi
dunia kang-ouw di daerah selatan.
Sementara itu, ketika pertempuran terjadi makin hebat
dan di puncak ketegangannya, Wan Sin Hong bangkit berdiri
dan berseru. "Ji-wi Locianpwe harap membatasi diri dan jangan
membahayakan lawan!"
38 Mendengar seruan ini, Bu Kek Siansu melompat mundur
dan kakek ini menjadi merah.
"Kepandaian Le Thong Hosiang benar-benar hebat, pinto
merasa taktuk!" katanya sambil menjura.
"Mana bisa! Ketua Bu-tong-pai terlalu merendah. Kita
masih seimbang, belum ada yang lebih tinggi atau rendah.
Pinceng sudah lama mendengar tentang Bu-tong Kiam-sut
yang sukar dicari tandingannya. Kalau toyu sudah membuka
mata pinceng dengan sinar pedang, barulah pinceng akan
merasa puas dan biar pinceng bawa sebagai oleh-oleh ke
selatan. Ha-ha-ha!" Bu Kek Siansu menjadi pucat karena menahan marah.
Hwesio selatan ini benarbenar sombong sekali, pikirnya.
Tanpa menjawab sesuatu, melihat Le Thong Hosiang telah
mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang toya pendek yang
kelihatan berat, Bu Kek Siansu lalu menggerakkan tangan
kirinya dan "srat ...... !" sebatang pedang tipis telah berada di tangannya. Gerakannya cepat sekali dan cara mencabut
pedang ini saja sudah menunjukkan betapa tinggi kiam-sut
dari ketua Bu-tong-pai ini.
Sin Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak
sempat mencegah karena Le Thong Hosiang sambil tertawa-
tawa telah memutar toyanya melakukan seranganserangan
hebat. Ilmu toya dari hwesio ini benar-benar tangguh sekali
dan beberapa jurus kemudian Sin Hong sudah mengenal
ilmu toya ini sebagai Ilmu Toya Siauw-lim-pai yang sudah
banyak berubah. Bu Kek Siansu juga maklum akan kelihaian toya lawan,
maka ia pun tidak mau kalah, memutar pedangnya yang
berubah menjadi segulungan sinar putih yang kuat. Di lain
saat dua orang kakek ini sudah lenyap dari pandangan mata,
bayangan mereka terbungkus oleh sinar pedang yang putih
seperti perak dan sinar toya yang agak kehitaman.
39 Apalagi bagi pandangan mata Hong Kin, ia seakan-akan
melihat dua ekor naga, putih dan hitam, tengah bermain-
main di tempat itu, melayang-layang dan menyambar-
nyambar! "Bukan main ...... " kembali ia memuji. Sin Hong yang melihat betapa dua orang kakek yang bertempur itu mulai
"panas" sehingga sinar senjata mereka merupakan kuku maut, lalu menarik napas panjang, maju beberapa langkah,
kemudian ia mengebut-ngebutkan kedua ujung lengan
bajunya seakan-akan membuang kotoran dan debu yang
menempel pada ujung lengan bajunya itu. Padahal sebetulnya
pemuda sakti ini tengah mengerahkan tenaga sinkangnya
sehingga beberapa gelintir tanah kering yang menempel di
kedua ujung lengan baju itu melayang dengan luncuran cepat
ke arah dua kakek yang sedang bertempur.
"Ayaaa ...... !" Le Thong Hosiang melompat ke belakang dan wajahnya berubah pucat. Ketika ia sedang bertempur
tadi, ia melihat benda hitam kecii seperti capung menyambar
mengenai tongkatnya dan ia merasa telapak tangannya
tergetar dan terus hawa panas menjalar ke lengannya
membuat lengan itu seperti lumpuh.
Juga Bu Kek Siansu melompat mundur, menjura ke arah
Sin Hong sambil berkata, "Baiknya bengcu datang melerai, kalau tidak mungkin pinto akan tewas di bawah toya Le
Thong Hosiang." Mendengar ini, barulah Le Thong Hosiang tahu bahwa
tadi adalah perbuatan bengcu muda itu, diam-diam ia kaget
sekali. "Masih begini muda sudah lihai bukan main ...... "
pikirnya kagum dan gentar.
"Le Thong Hosiang, maafkan kalau aku campur tangan.
Biarpun terpisah oleh Sungai Yangce dan bernaung di bawah
kerajaan yang berbeda, namun pada hakekatnya, kita kedua
fihak masih terhitung orang-orang segolongan, yakni orang-
orang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan dan
bertindak di atas jalan kebenaran dan kebijaksanaan. Oleh
40 karena itu, biarpun pada saat ini di antara kita terdapat
perbedaan faham dan pendapat, namun tidak semestinya
kalau perbedaan faham ini dikotori dan dibikin hebat oleh
pertempuran yang hanya akan memperdalam salah
mengerti, mungkin akan menimbulkan permusuhan. Oleh
karena itu, aku harap kau dan kawan-kawanmu suka
mempertimbangkan hal ini baik-baik."
Le Thong Hosiang mengempit toyanya dan berkata
kepada tiga orang hwesio yang berdiri bagaikan patung.
"Wan-bengcu telah memperlihatkan kelihaiannya dan terus
terang saja, pinceng merasa kagum dan tunduk sekali. Lepas
dari darah bangsawannya, memang dilihat dari kelihaiannya
ia patut menjagoi. Hayo kita pergi."
Tiga orang itu lalu menjura ke arah Wan Sin Hong dan
para tosu, setelah Sin Hong dan empat orang tosu membalas
penghormatan mereka, Le Thong Hosiang dan tiga orang
kawannya lalu berlari turun gunung dengan langkah lebar
sekali. Ketika lewat di dekat batu karang di belakang mana
Hong Kin bersembunyi, Le Thong Hosiang berkata sambil
tertawa, "Toyaku sudah tidak ada gunanya!" Dan dipukulnya batu karang itu. Terdengar suara keras dan permukaan batu
karang itu remuk sambil mengeluarkan bunga api. Seluruh
batu karang itu tergetar hebat. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya Hong Kin yang mengira batu karang itu akan roboh
menimpanya, cepat melompat keluar. Empat orang hwesio itu
tertawa-tawa sambil melanjutkan lari mereka.
(Bersambung Jilid ke II) 41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid II Hong Kin mandi keringat. Bukan. main lihainya Le Thong
Hosiang tadi yang ternyata dapat melihatnya dan sengaja
menggertaknya keluar dari tempat persembunyian. Karena
tidak dapat bersembunyi pula, Hong Kin lalu keluar meng-
hampiri Sin Hong, dan memberi hormat kepada Sin Hong
dan para tosu itu. Para tosu yang sedang menghadapi Sin Hong dan
nampaknya ada urusan penting hanya mengangguk saja
kepada Hong Kin, sedangkan Sin Hong berkata.
"Saudara Coa Hong Kin, duduklah dan tunggu sampai
aku selesai bicara dengan para Locianpwe ini." Ia menuding ke arah sebuah batu hitam di dekat sepasang makam yang
terawat baik dan mewah. Hong Kin mengangguk lalu berjalan
cepat dan duduk di atas batu setelah mengangguk hormat di
depan sepasang makam yang ia tahu adalah makam Pak Kek
Siansu dan Pak Hong Siansu. Setelah itu ia duduk
mendengarkan percakapan mereka.
"Wan-bengcu, pinto hendak bertanya dengan singkat
saja. Tentang tuduhan kawan-kawan gundul tadi bahwa
1 dahulu Wan Sin Hong adalah seorang penjahat besar, tak
perlu dibicarakan lagi karena pinto dan kawan-kawan lain
semua maklum bahwa dahulu kau difitnah oleh Liok Kong Ji
yang melakukan kejahatan mempergunakan namamu. Akan
tetapi, ada hal yang baru yang kami dengar tadi. Betul-
betulkah kau adalah keturunan dari keluarga Raja Cin dan
nama keturunanmu Wanyen" Betulkah kau keturunan
bangsa Cin yang menjajah tanah air kita di utara ini?"
Wajah Sin Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah.
Ia menarik napas panjang berulang-ulang, lalu melambaikan
tangan dan berkata. "Duduklah dulu, Totiang dan dengarkan penjelasanku."
Kemudian sambil bersila di atas batu, Sin Hong berkata.
"Cuwi Locianpwe dan para Locianpwe yang dulu hadir
dalam pemilihan bengcu di Ngo-heng-san, semua tahu
belaka bahwa sesungguhnya aku Wan Sin Hong tidak sekali-
kali mengajukan diri dan berusaha mendapatkan
kedudukan bengcu. Terus terang saja, adalah setengah
terpaksa aku menerima tugas dan kedudukan bengcu,
karena apa sih senangnya menjadi bengcu" Tanggung jawab
besar, selalu menghadapi hal-hal tak menyenangkan untuk
dipecahkan dan diselesaikan.
Akan tetapi, sudahlah semua itu, aku sudah
menerimanya dan aku akan menjaga agar dapat
menunaikan tugas dengan taruhan jiwa ragaku. Sekarang
ini, Cuwi Locianpwe, setelah terkena tiupan dari orang-orang
gagah di selatan yang berpikiran sempit, meributkan soal
nama keturunan. Apakah isi hati manusia di-ukur dari
keturunannya" Adakah manusia hendak disamakan dengan
kuda yang selalu ditanya keturunan apa untuk ditentukan
baik tidaknya" Sepanjang sejarah yang kuketahui, banyak keturunan
orang biasa saja menjadi raja dan menjadi pembesar tinggi,
juga tidak kurang banyak keturunan raja dan orang-orang
besar akhirnya menjadi penjahat rendah!"
2 "Wan-bengcu, pinto rasa cukup semua pembelaan yang
Wan-bengcu ajukan ini karena kami semua sudah mengerti
akan hal itu. Yang menjadi persoalan apakah benar kau
keturunan Wanyen?" tanya Tai Wi Siansu, kakek yang sudah amat tua itu sambil memandang tajam.
"Tai Wi Taisu, kau orang tua yang sudah jadi sahabat
baik, dan penasehatku selama ini, yang kuanggap sebagai
pengganti orang tua dan guru, kau juga ....... ?"
"Justeru karena itulah pinto menghendaki kepastian,
karena ini bukan hal yang remeh saja ......." Wan Sin Hong memandang kepada keempat orang tosu itu berganti-ganti,
kemudian berkatalah ia dengan suara lantang, nadanya
menantang. "Memang benar! Aku Wan Sin Hong adalah putera
tunggal dari Wan Kan yang tadinya bernama Pangeran
Wanyen Kan! Ayahku seorang pangeran besar dan Ibuku
seorang anak murid Hoa-san-pai. Memang betul aku
keturunan seorang pangeran bernama Wanyen. Habis, apa
bedanya?" Keempat orang tosu ini seperti mendapat komando,
bangkit berdiri dari tempat duduk masing-masing, menjura
ke arah Wan Sin Hong, lalu pergi setelah Tai Wi Taisu berkata lirih.
"Wan-bengcu, urusan ini harus kami bicarakan di antara
ketua partai. Sampai berjumpa kembali!" Maka pergilah
empat orang tosu ini turun dari puncak Jeng-inthia,
meninggalkan Wan Sin Hong yang tersenyum getir dan
hatinya tertusuk. la berdiri termenung memandang ke arah
perginya empat orang tosu tadi dan baru tersadar ketika
mendengar suara di belakangnya.
"Sungguh empat orang kakek yang hanya panjang
usianya saja akan tetapi pikirannya sempit!" Wan Sin Hong menengok dan memandang kepada Coa Hong Kin.
3 "Orang seperti engkau yang pernah bekerja sama dengan
Pangeran Wanyen Ci Lun, baru tahu bahwa bukan hanya
suku bangsa Han yang mempunyai orang-orang budiman.
Akan tetapi pandangan orang-orang tua itu tentang
kebangsaan amat kolot dan kukuh. Bagi mereka, selain
bangsa Han tulen tidak ada orang baik. Ah, Saudara Coa,
aku benar-benar mulai menyesal mengapa dulu kuterima
kedudukan bengcu. Sekarang tentu akan datang hal-hal
yang amat tidak enak."
"Wan-bengcu, empat orang tosu tadi agaknya ketua-
ketua dari partai-partai besar yang dahulu bekerja sama
menghadapi orang-orang jahat seperti Liok Kong Ji, See-thian
Tok-ong dan lain-lain. Akan tetapi empat orang hwesio itu
siapakah" Dan mengapa tadi Bu Kek Siansu bertempur
melawan hwesio itu?"
Sin Hong menghela napas. "Saudara Coa, karena
kebetulan kau menyaksikan semua ini, baik kuceritakan
padamu. Duduklah." Coa Hong Kin lalu duduk di atas batu dan Sin Hong
bercerita. Ternyata bahwa empat orang hwesio yang lihai-
lihai itu adalah tokoh-tokoh besar dari selatan, yaitu Le
Thong Hosiang ketua Partai Taiyun-pai di Pegunungan
Taiyun-san yang letaknya di pantai utara, Nam Kong Hosiang
dan sutenya Nam Siong Hosiang pemimpin-pemimpin
kelenteng besar di Gunung Kao-likung-san, dan yang ke
empat seorang yang amat terkenal di selatan yang bernama
Heng-tuan-san Lojin (Orang Tua dari Heng-tuan-san),
seorang hwesio perantau yang tinggi ilmu silatnya.
Ketika empat orang hwesio ini tiba di puncak Jeng-in-thia
Wan Sin Hong sedang duduk bercakap-cakap dengan empat
orang tosu yang memang betul seperti dikenal oleh Hong Kin
adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Pang Soan Tojin
ketua Teng-san-pai, Tai Wi Siansu ketua Kun-lun-pai. dan
yang seorang lagi adalah Cin-lien Tojin, seorang tosu


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perantau dari Gunung Cin-Lien-san.
4 Empat orang tosu ini mengunjungi Wan-bengcu dan
tengah bercakap-cakap tentang ancaman orang-orang
Mongol yang menurut Sin Hong mulai mengirimkan orang-
orang pandai ke perbatasan untuk menjadi penyelidik dan
juga agaknya ada maksud-maksud dari orang-orang Mongol
itu untuk membujuk orang-orang gagah di wilayah Kerajaan
Cin agar suka bekerja sama. Sin Hong dan empat orang tosu
itu sedang berdebat. Menurut pendapat Sin Hong, sudah
sepatutnya kalau para orang gagah bangkit dan melawan
orang-orang Mongol itu dan membasmi atau mengusir
mereka, bukan sekali-kali demi Kerajaan Cin, melainkan
demi keselamatan rakyat agar jangan sampai dijajah oleh
orang-orang Mongol. Akan tetapi empat orang tosu itu
membantah, menyatakan bahwa bukan menjadi kewajiban
mereka untuk membantu raja yang bukan bangsa sendiri.
Mereka ini hendak lepas tangan dan menyatakan bahwa
selama mereka tidak diganggu oleh orang-orang Mongol,
mereka hendak mengambil sikap sebagai penonton saja
apabila timbul perang antara Negara Cin dan Negara Mongol.
Selagi mereka berdebat, muncul empat orang hwesio dari
selatan itu yang datangdatang memaki-maki dan mencela
orang-orang kang-ouw di wilayah utara yang dikatakannya
sudah lupa kebangsaan sehingga memilih bengcu seorang
penjahat yang bernama Wan Sin Hong. Bukan hanya
penjahat, bahkan seorang keturunan Wan-yen.
"Sungguh tidak disangka bahwa orang-orang gagah
seperti Kun-lun dan Bu-tong sampai kena dibeli oleh Kaisar
Cin sehingga mau saja mempunyai bengcu seorang anak
pangeran. Hm, memalukan sekali," demikian Le Thong
Hosiang mengakhiri caci makinya.
Kata-katanya membuat Bu Kek Siansu marah, maka tak
dapat dicegah lagi kedua orang kakek ini lalu mengadu
kepandaian sampai Sin Hong turun tangan mencegah
pertumpahan darah lebih lanjut. Kelihaian Sin Hong
ternyata dapat mengusir empat orang hwesio itu. Akan tetapi,
5 kata-kata Le Thong Hosiang mengejutkan para tosu dan
mereka mengajukan pertanyaan tentang keturunan Wanyen.
"Demikianlah, Saudara Coa. Tentu para ciangbunjin (ketua) partai besar akan sependapat dan tidak setuju rnempunyai
bengcu seorang Wanyen. Hal ini bagiku tidak ada artinya,
biar aku tidak menjadi bengcu tidak akan kecewa atau
menyesal. Akan tetapi, justeru pada saat orang-orang Mongol
akan bergerak, muncul urusan ini dan sikap para ciang-
bunjin yang tidak ambil peduli atas gerakan orang-orang
Mongol itu benar-benar menggelisahkan hatiku. Ahh, aku
membicarakan urusanku sendiri saja sampai melupakan
urusanmu. Saudaraku yang baik, kau datang tentu
membawa urusan penting. Ada apakah?"
Wajah Hong Kin menjadi muram. "Agak sukar aku
membuka mulut setelah mendengar betapa kau tertimbun
urusan sulit. Kedatanganku berarti menambah beban dan
kepusinganmu, Wan-bengcu."
Melihat kemuraman wajah Hong Kin, hati Sin Hong
berdebar. Betapapun juga, persangkaan bahwa Hui Lian
tertimpa malapetaka membuat ia gelisah dan cemas.
"Saudara Coa, jangan kaubilang begitu. Lekas katakan;
kesulitan apakah yang mengganggumu?"
Dengan singkat Hong Kin lalu menceritakan tentang
penculikan atas diri Tiang Bu yang dilakukan oleh Hui-eng
Niocu Siok Li Hwa. "Inilah yang menyusahkan hati kami, Wan-bengcu, karena
Tiang Bu bagi Kami sama dengan putera sendiri. Tadinya
kami mempunyai niat untuk menyerahkan anak itu
kepadamu agar dapat menerima pelajaran ilmu silat dan
pendidikan darimu. Dan bukan sekali-kali aku hendak
memanaskan hatimu atau mengadu, Wan-bengcu, akan
tetapi sesungguhnya Hui-eng Niocu telah meninggalkan
kata-kata bahwa biarpun kau akan membela kami, dia
takkan takut menghadapimu."
6 Sejak tadi Sin Hong sudah tersenyum dan mendengar
kata-kata terakhir ini senyumnya melebar dan ia
mengangguk-angguk. . "Tak usah kau berkata begitu, aku pun telah mengerti,
Saudara Coa. Aku tahu akan maksud Hui-eng Niocu.
Memang aku sudah menduga bahwa ia tentu akan mencari
gara-gara. Jangan kau khawatir, biarlah aku yang akan
menyusul ke Go-bi-san dan memintakan anakmu itu. Akan
tetapi tentang menjadikan aku sebagai gurunya ....... aku
belum sanggup menerima murid, saudaraku yang baik. Entah
kelak. Biarlah, hal itu kita bicarakan kelak saja. Sekarang
yang terpenting, aku akan mengejarnya dan karena aku
mempunyai sebuah urusan, harap kau suka mewakili aku
pergi, dengan demikian semua urusan dapat beres."
"Tentu saja, katakanlah. Apa yang harus kulakukan?"
tanya Hong Kin cepat -cepat.
"Sepulangwu dari sini, singgahlah di kota raja dan berikan sepucuk suratku kepada Pangeran Wanyen Ci Lun.
Dapatkah kaulakukan hal ini untukku?"
Wajah Hong Kin berseri gembira. "Cocok dan kebetulan
sekali! Tentu saja tugas ini akan kulakukan dengan segala
senang hati, Wan-bengcu, karena memang aku pun hendak
singgah di kota raja, hendak mengunjungi Pangeran Wanyen
Ci Lun!" "Bagus! Kalau begitu tunggulah sebentar kubuatkan
suratnya dan kita berangkat menjalankan tugas masing-
masing." Dengan cepat Sin Hong masuk ke dalam gua, membuat
surat untuk Pangeran Wanyen Ci Lun yang menjadi saudara
misannya, memberikan itu kepada Coa Hong Kin dan tak
lama kemudian dua orang muda ini turun dari puncak, lalu
berpisah mengambil jalan masing-masing. Coa Hong Kin
menuju ke timur sedangkan Sin Hong menuju ke utara.
7 Hui-eng-pai atau Perkumpulan Garuda Terbang
mempunyai markas di sebuah hutan yang subur dan indah
di atas salah sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san.
Puncak ini memang bertanah subur sehingga dari kaki bukit
sampai ke atas, penuh dengan dusun-dusun yang didiami
oleh para petani. Di puncak inilah tinggal Hui-eng Niocu Siok Li Hwa
dengan seratus orang anak buahnya, semua terdiri dari
wanita belaka. Ada yang .sudah tua, ada yang masih remaja,
akan tetapi sebagian besar adalah gadis-gadis yang cantik.
Biarpun tidak hidup sebagai pertapa-pertapa atau pendeta-
pendeta akan tetapi keadaan mereka hampir sama dengan
penghidupan para nikouw (pendeta wanita Buddha),
berdisiplin dan memegang tata tertib. ? Seorang anggauta
yang berani melakukan penyelewengan, akan dihukum keras
oleh Siok Li Hwa, akan tetapi ini bukan berarti bahwa semua
anggauta tidak mempunyai kebebasan. Banyak sudah
anggauta yang mendapatkan "jodoh" dan mereka ini tidak dilarang untuk menikah, hanya dilarang untuk kembali ke
situ dan diharuskan keluar dan ikut suaminya! Pendeknya,
yang diperbolehkan tinggal di situ hanyalah anggauta-
anggauta yang masih gadis yang sudah janda, pendeknya
orang-orang yang tidak terikat hidupnya oleh suami.
Di belakang bangunan yang besar sekali dan amat
indahnya seperti istana raja-raja, terdapat sebuah taman
yang luas dan indah pula. Taman ini penuh dengan bunga-
bunga yang jarang terlihat di kota dan di sudut taman
terdapat sebuah makam yang terawat baik. Inilah makam
dari Pat-jiu Nio-nio, pendiri Hui-eng-pai atau guru Siok Li
Hwa dan semua anggauta Hui-eng-pai. Makam ini terawat
baik dan merupakan pujaan di samping Hui-eng Niocu Siok
Li Hwa sendiri yang dipuja dan disegani oleh semua
anggauta. Siok Li Hwa masih selalu menghormat makam
mendiang gurunya karena menganggap makam ini sebagai
pengganti guru dan orang tuanya. Seringkali ia kelihatan
duduk termenung di depan makam, atau kadang-kadang
8 kelihatan ia tekun bersembahyang seakan-akan minta doa
restu dari gurunya itu. Pada suatu hari Li Hwa pulang membawa seorang bocah
laki-laki yang buruk mukanya. Semua anggauta Hui -eng-pai
terheran-heran. Anggauta-anggauta yang sudah lanjut
usianya dan menjadi pembantu Siok Li Hwa, memprotes.
Akan tetapi mereka ini dibentak ole h Li Hwa yang berkata
lantang.. "Jangan ribut-ribut! Aku bukan membawa pulang
seorang pemuda! Ini adalah bocah yang masih kecil dan
bersih, yang kubawa pulang untuk menjadi muridku karena
aku melihat ia berbakat baik."
"Akan tetapi, Niocu. Amat tidak pantas ....... kalau dia sudah besar, sepuluh tahun lagi saja ....... dia menjadi
seorang pemuda di antara kita ....... " bantah seorang
anggauta yang berusia lima puluh tahun.
"Ini namanya melanggar sumpah dan larangan
perkumpulan ....... " kata pula wanita tua ke dua.
"Diam! Sekali lagi bilang melanggar sumpah, kutampar
mulutmu! Siapa yang melanggar larangan" Bunyi larangan
ialah tidak diperbolehkan memasukkan seorang laki-laki ke
tempat ini. Yang kumaksudkan bukan orang dewasa
melainkan seorang bocah. Dia akan berbuat jahat apakah"
Tentu saja ada batasnya. Paling lama tujuh tahun dia berada
di sini. Setelah berusia dua belas tahun, ia harus pergi. Nah, siapa berani bilang aku memasukkan laki-laki" Apakah
bocah umur lima sampai dua belas tahun bisa
mendatangkan hal-hal buruk" Hayo jawab!" Tak seorang
pun berani menjawab karena selain takut, juga mereka pikir
tiada salahnya kalau di situ ada seorang bocah cilik, biar
laki-laki sekalipun. Demikianlah, Tiang Bu dirawat dan diobati oleh ahli-ahli
pengobatan di situ dan ternyata setelah beberapa hari berada
di situ, hampir semua anggauta Hui-eng-pai, tua muda, suka
9 kepadanya. Hal ini tidak mengherankan karena sudah lajim
kaum wanita suka kepada anak-anak, apalagi di situ tidak
pernah ada anak kecil, dan lakilaki pula!
Setelah kakinya yang patah sembuh sama sekali, pada
suatu pagi, Li Hwa mengajak anak itu ke taman bunga,
tempat yang paling disukai oleh Tiang Bu. Anak ini tak
pernah mau bertanya tentang ayah bundanya, karena
pernah ia satu kali bertanya dijawab dengan tamparan yang
menyakitkan kedua pipinya oleh Siok Li Hwa.
"Kau menurut saja apa yang dikatakan oleh Niocu,"
berkali-kali para anggauta Huieng-pai memberi nasihat
kepada bocah ini sehingga Tiang Bu menjadi takut kalau
berhadapan dengan Siok Li Hwa.
Li Hwa membawa ke makam yang berada di sudut taman
dan menyalakan beberapa batang hio. Ia memberikan hio itu
kepada Tiang Bu, sebagian dipegangnya sendiri, lalu
berkata. "Hayo kau sembahyang di depan makam Su-couw."
Tiang Bu menurut saja. Ia berdiri di depan makam dan
mengangkat-angkat hio ke atas kepala. Li Hwa minta hio itu
dan menancapkannya di depan bongpai (batu nisan).
"Hayo berlutut dan kautiru kata-kata yang kuucapkan
nanti!" Li Hwa berlutut dan Tiang Bu berlutut di sebelahnya,
hatinya berdebar penuh rasa takut. Makam itu mengerikan
hatinya dan upacara yang tidak dimengertinya ini
menimbulkan rasa seram dan takut.
"Sucouw Pat-jiu Nio-nio, teecu Liok Tiang Bu bersumpah
....... " kata Li Hwa, lalu disambungnya perintah kepada Tiang Bu, "Hayo tiru!"
"Sucouw Pat-jui Nio-nio, teecu ....... Tiang Bu
bersumpah.." bocah itu meniru akan tetapi meninggalkan
10 she Liok, karena biarpun masih kecil, anak ini cerdik dan
sudah tahu bahwa shenya bukan Liok, melainkan Coa.
Li Hwa marah dan menampar kepala anak itu sehingga
bergulinganlah tubuh kecil itu. Baiknya Li Hwa tidak
menggunakan tenaganya sehingga Tiang Bu tidak terluka.
Dengan takut Tiang Bu berlutut lagi.
"Goblok! Aku bilang LIOK Tiang Bu, dan kau pun harus
meniru begitu. Kau-kira kau ini she Coa dan kau ini anak
siapakah" Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu bukan ayah
bundamu. Ayahmu bernama Liok Kong Ji dan Ibumu
bernama Gak Soan Li, tahu" Hayo, semua kata-kataku
harus ditiru, tidak boleh diubah!"
Dengan sebentar-sebentar berhenti agar bocah itu mudah
mengikutinya, Li Hwa membuat anak itu bersumpah begini.
"Sucouw Pat-jiu Nio-nio, teecu Liok Tiang Bu bersumpah
akan menjadi murid yang taat dan rajin dari Hui-eng Niocu,
Siok Li Hwa. Kelak kalau teecu sudah pandai, teecu berjanji
akan membalas budi Hui-eng Niocu Siok Li Hwa, membalas
sakit hatinya kepada dua orang, yaitu pertama kepada Wan
Sin Hong dan ke dua kepada Go Hui Lian, karena dua orang
itu telah membuat guruku Siok Li Hwa kehilangan
kebahagiaannya." Baru saja sumpah atau janji ini selesai diucapkan,
terdengar suara menegur. "Li Hwa, kau benar-benar terlalu sekali'" Bayangan yang gesit sekali berkelebat dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah disambar dan dipondong oleh orang yang baru tiba dan
menegur tadi. "Sin Hong, manusia keji dan sombong. Kembalikan
muridku!" Li Hwa mengejar dengan pedang Cheng-liong-kiam sudah berada di tangannya. Dengan marah sekali ia
menyerang Sin Hong yang cepat mengelak karena serangan
itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
11 "Li Hwa, dengarlah dulu. Jangan mengganggu orang
tidak berdosa ....... "
"Laki-laki kejam, kembalikan dia." Li Hwa berseru lagi dan pedangnya berkelebat amat berbahaya, bukan saja
berbahaya bagi Sin Hong, bahkan juga mengancam
keselamatan Tiang Bu yang berada dalam pondongan Sin
Hong. Melihat betapa serangan Li Hwa bukan main-main dan
benar-benar mengancam keselamatan Tiang Bu, terpaksa
Sin Hong mencabut pedang di pundaknya dengan tangan
kanan dan sekali tangannya bergerak, pedangnya telah
dapat menindih pedang Li Hwa! Li Hwa berkutetan
mengerahkan segenap tenaga agar pedangnya terlepas dari
tindihan pedang Sin Hong, namun sia-sia belaka, pedangnya


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan sudah lekat dan menjadi satu dengan pedang
Pak-kek-sin-kiam di tangan Sin Hong. Dengan mengerahkan
tenaga sambil menggigit bibir saking gemasnya, Li Hwa
mencoba sekali lagi untuk membetot pedangnya, supaya
terlepas. Masih saja sia-sia belaka.
Marahlah Li Hwa. I a masih mempunyai tangan kiri yang
menganggur, akan tetapi ia tahu bahwa kalau ia menyerang
Sin Hong akan percuma saja karena pemuda itu mempunyai
kepandaian yang beberapa kali lebih tinggi tingkatnya. Oleh
karena itu, tiba-tiba tangan kirinya meluncur ke depan dan
jari telunjuk tangan kirinya menotok ke arah jidat Tiang Bu
yang digendong Sin Hong. Serangan ini cepat sekali dan tidak
terduga sama sekali, sehingga Sin Hong menjadi terkejut
sekali. Ia berseru kaget membanting tubuhnya ke belakang.
Dengan sendirinya ia menarik kembali pedangnya dan
melompat dengan cara berjungkir-balik ke belakang dengan
Tiang Bu masih berada dalam pondongannya.
"Kembalikan muridku!" Li Hwa berseru gemas sambil
mengejar ketika melihat Sin Hong berlari dan melompat
keluar dari tembok yang mengelilingi taman bunga itu. Air
matanya sudah mengalir saking gemasnya, karena gadis ini
12 tahu betul bahwa tak mungkin ia akan dapat menyusul Sin
Hong kalau laki-laki itu betul-betul hendak melarikan diri.
Ilmu lari cepatnya kalah jauh dibandingkan dengan Sin
Hong. Akan tetapi ketika ia tiba di luar taman, ia melihat bahwa
Sin Hong ternyata sedang bertempur hebat melawan tiga
orang kakek aneh yang ketika ia perhatikan bukan lain
adalah Pak-kek Sam-kui! Tiga orang aneh ini dengan
bertangan kosong menyerang Sin Hong dan mengepungnya
dari tiga jurusan dengan ilmu silat mereka yang aneh dan
luar biasa akan tetapi hebat sekali. Tak jauh dari situ,
hampak tiga puluh enam orang berdiri teratur seperti barisan
dan mereka ini kelihatan kuat-kuat. Tiang Bu yang tadi
dipondong oleh Sin Hong telah berada di pondongan seorang
yang berdiri terdepan di barisan itu. Apakah yang terjadi
dalam waktu singkat tadi"
Ketika Sin Hong melompat keluar dari taman bunga
dikejar oleh Li Hwa, begitu tiba di luar tembok, ia merasa
ada angin pukulan yang dahsyat menyambarnya dari segala
jurusan, ditambah pula dengan bermacam-macam sinar yang
ternyata bukan lain adalah jarum-jarum halus yang berbisa.
Sin Hong kaget bukan main karena serangan tiba-tiba ini
benar-benar amat membahayakan, terutama sekali
berbahaya bagi Tiang Bu yang berada dalam pondongannya.
Ia maklum bahwa hawa-hawa pukulan itu dilakukan oleh
orang-orang berkepandaian tinggi. Baginya hawa pukulan ini
masih tertahan karena tubuhnya memiliki sin-kang yang
tinggi, akan tetapi kalau hawa pukulan itu mengenai Tiang
Bu tentulah bocah ini akan tewas! Oleh karena itu sambil
melesat ke samping dan menggerakkan lengan kanannya
untuk menyampok semua jarum-jarum halus itu, Sin Hong
melemparkan Tiang Bu ke tempat aman dan anak itu jatuh
ke atas tanah berumput yang tidak keras. Anak itu kaget
dan menangis. Baru sekarang ia dapat menangis sejak
kekagetan hebat yang ia alami. Tadinya jatuh dari pohon
setelah disengat lebah sampai kakinya patah, lalu diculik
13 Hui-eng Niocu, kemudian dijadikan perebutan antara Sin
Hong yang tidak dikenalnya dengan Hui-eng Niocu yang ia
takuti. Sekarang ia mengalami hal yang hebat lagi.
Di lain saat tiga orang berkelebat dan menyerang Sin
Hong sambil tertawa-tawa. melihat bahwa tiga orang ini
bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui, Sin Hong mendongkol
sekali dan cepat melayani mereka. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika ia melihat bagaimana sebarisan orang tiba-
tiba muncul dari balik pohonpohon dan seorang di
antaranya yang kelihatan sebagai pemimpirnya, melompat
dan menyambar tubuh Tiang Bu. Saking takut dan kagetnya
melihat barisan orangorang berwajah galak ini, Tiang Bu
menutup kembali mulutnya dan tidak berani menangis.
Hanya matanya yang lebar itu memandang ke sana ke mari
dengan liar. Melihat semua ini, Li Hwa menjadi marah dan dengan
pedang di tangan ia melompat, bukan untuk merampas
kembali Tiang Bu, melainkan untuk membantu Sin Hong.
"Pak-kek Sam-kui siluman-siluman pengecut!" ia memaki dan pedangnya menyerbu cepat. Kedatangan Li Hwa ini
kebetulan sekali oleh karena Sin Hong yang telah mainkan
Pak-kek Sin-kiam ternyata juga terdesak oleh tiga orang
aneh ini. Padahal mereka bertiga bertangan kosong saja!
Ketiganya memiliki kepandaian tinggi dan aneh, berani
mempergunakan kuku jari tangan untuk menyentil pedang
pusaka Andaikata Li Hwa tidak datang membantu, akan sukar
sekali bagi Sin Hong mencapai kemenangan, atau sedikitnya
ia harus mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga serta
memakan waktu lama. Akan tetapi setelah Li Hwa maju
dengan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya, keadaan
segera berubah. Dua sinar pedang putih kuning dan hijau
menyambar dan bergulung-gulung seperti dua ekor naga
membuat Pak-kek Sam-kui kewalahan sekali.
14 Akan tetapi dua orang muda itu ternyata hanya dapat
melindungi diri dengan baik saja, sama sekali tidak dapat
mengirim serangan yang membahayakan musuh. Mengapa
begitu" Oleh karena Sin Hong maklum bahwa tingkat
kepandaian Li Hwa masih kalah beberapa tingkat kalau
dibandingkan dengan tiga orang aneh ini. Apabila dia
melakukan serangari dalam keadaan seperti itu, mungkin ia
akan dapat merobohkan seorang di antara tiga lawan ini,
akan tetapi sebaliknya keadaan Li Hwa juga berbahaya
karena tidak terlindung oleh pedangnya. Inilah yang
menyebabkan Sin Hong mengurangi daya serangannya dan
memperkuat daya tahan karena ia harus melindungi
keselamatan Li Hwa. Di lain fihak, Pak-kek Sam-kui merasa seperti
menghadapi dua tembok baja yang kuat sekali. Tiga orang
kakek yang sakti dan banyak pengalamannya ini maklum
bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, mereka takkan
menang. Giam-lo-ong Ci Kui yang jangkung dan gundul itu
tiba-tiba mengeluarkan seruan-seruan aneh yang menjadi
isyarat bagi kawan-kawannya. Sin Hong sudah merasa
khawatir sekali, kalau-kalau tiga puluh enam orang itu
diperintahkan maju membantu.
Akan tetapi anehnya, ketika barisan itu mulai bergerak
mencabut senjata, tiga orang kakek itu bahkan melompat
imundur! Giam-lo-ong Ci Kui melompat ke depan komandan
barisan, menyambar tubuh Tiang Bu, kemudian bersama
dua orang sutenya ia melarikan diri.
"Penjahat-penjahat keji, tinggalkan anak itu ....... !" Sin Hong berseru dan besama Li Hwa ia mengejar.
Akan tetapi, tiba-tiba barisan itu ber-gerak cepat sekali,
menghadang dua orang muda yang hendak mengejar itu!
Semua anggauta barisan memegang golok besar di tangan,
sikap mereka garang sekali.
"Tikus-tikus busuk, kalian sudah bosan hidup!" Li Hwa memaki dan pedang hijaunya menyambar-nyambar. Sebentar
15 saja Li Hwa dan Sin Hong terkurung rapat oleh tiga puluh
enam orang itu yang bertempur secara nekat dan mati-
matian. Biarpun bagi Sin Hong dan Li Hwa kepandaian
mereka ini tidak seberapa artinya, namun kenekatan mereka
membuat dua orang muda ini kewalahan dan harus berhati -
hati juga. Mereka berdua sama sekali tidak melihat
kesempatan untuk melanjutkan pengejaran mereka terhadap
Pak-kek Sam-kui. Hebatnya tiga puluh enam orang ini seakan-akan tidak
takut mati atau memang tolol. Melihat kawan-kawan mereka
banyak yang roboh oleh pedang dua orang yang lihai itu
mereka tidak menjadi jerih, sebaliknya bagaikan singa
mencium darah, mereka makin nekad dan mendesak terus.
Benar-benar seperti rombongan nyamuk yang tidak takut api
lilin, menyerbu terus sampai mereka roboh binasa.
Sin Hong tidak tega untuk membunuh sekian banyak
orang. Akan tetapi Li Hwa seperti berpesta, pedangnya
menyambar-nyambar dan setiap kali terdengar jerit
kesakitan atau golok terputus menjadi dua.
"Kalian masih tidak mau menyerah ?" Sin Hong
membentak, marah dan heran.
Sebagai jawaban, beberapa orang serdadu ini
melemparkan sesuatu ke arahnya. Melihat benda bulat
hitam, Sin Hong rnengira bahwa mereka mempergunakan
senjata rahasia pelor besi. Melihat cara mereka melempar dan
jalannya pelor yang tidak kencang, Sin Hong tertawa
mengejek. Ada lima buah benda hitam yang menyambar ke
arahnya. Cepat ia menyampok pelor pertama dengan
pedangnya. "Darrr ....... !" Benda itu meledak mengeluarkan api!
Sin Hong cepat menggulingkan tubuh ketika merasa hawa
panas dan benda-benda kecil menyambar ke arahnya dari
pecahan itu. 16 Akan tetapi empat buah benda lain berturut-turut jatuh
ke tanah dan meledak. Hal yang tidak disangka-sangka ini,
biarpun seorang sakti seperti Sin Hong sekalipun, tak
sempat menghindarkan diri lagi. Kalau ia tahu, tentu ia akan
melompat jauh-jauh dari tempat itu. Biarpun ia sudah
mengelak ke sana ke mari dan memutar pedangnya, tetap
saja beberapa benda kecil mengenai tubuhnya. Benda-benda
kecil yang panas memasuki kaki dan lengannya!
Li Hwa mengalami nasib sama! Bahkan lebih hebat.
Sebuah benda yang menyambar kepadanya ia tendang dan
benda itu meledak, isinya melukai paha kanannya, membuat
gadis itu roboh tak dapat bangun pula.
Melihat ini, Sin Hong menjadi marah sekali. Tadinya
pemuda ini masih merasa enggan dan ragu-ragu untuk
membunuh semua orang itu, karena ia maklum bahwa
mereka ini hanyalah pasukan yang menjadi alat dan
menerima komando. Akan tetapi melihat betapa mereka
mempergunakan senjata rahasia yang demikian jahat ia
mengeluarkan seruan keras, pedang Pak-kek-sin-kiam
berkelebat, tubuh Sin Hong lenyap terbungkus gulungan
sinar pedang dan terdengar pekik susul-menyusul ketika
seorang demi seorang, fihak musuh roboh menjadi korban
pedang. Yang mengagumkan, pasukan Mongol itu terus
melakukan perlawanan sampai orang terakhir dan setelah
orang terakhir ini roboh pula oleh pedang Sin Hong, baru
pertempuran berhenti! Di sana-sini menggeletak mayat
orang dan jumlah mereka tiga puluh enam orang.
Kesemuanya tewas. Sin Hong menggeleng-geleng kepala
melihat ini. Benar-benar pasukan yang hebat, kalau semua
barisan Mongol mempunyai semangat berperang seperti yang
tiga puluh enam orang ini, tidak ada kekuasaan di dunia
yang dapat mengalahkan mereka. Baiknya hanya ada tiga
puluh enam orang yang mengeroyok dia dan Li Hwa, kalau
ada ratusan kiranya dia takkan dapat menyelamatkan diri.
17 Baru tiga puluh enam orang saja, kaki dan lengannya
terluka dan Li Hwa roboh pingsan.
Cepat Sin Hong menolong Li Hwa. Dilihatnya celana yang
menutupi kaki kanan gadis itu berlumur darah. Tahulah, dia
bahwa Li Hwa terluka hebat pada kakinya. Tanpa berpikir
panjang lagi, membuang segala rasa sungkan dan malu-malu,
ia lalu merobek kaki celana yang kanan ini. Nampak betis
dan paha yang berkulit putih halus itu ternoda darah yang
mengucur dari beberapa bagian di paha gadis itu. Beberapa
potongan besi telah memasuki paha itu dan lukanya hebat
juga karena tuiang paha gadis itu ditembusi potongan besi!
Tiba-tiba Sin Hong merasa tubuhnya panas sekali, kaki
dan tangannya yang terluka terasa ngilu. Ia meramkan mata
menggigit bibir menahan sakit, lalu cepat mengambil
bungkusan obat di punggungnya. Ia harus mengobati dirinya
sendiri lebih dulu sebelum memulai dengan pengobatan
kepada Li Hwa. Dengan sebuah pisau perak, ia membelek
kulit lengan dan kakinya yang kemasukan potongan besi,
mengorek potongan besi panas itu keluar.
Dapat dibayangkan betapa sakitnya pembedahan ini, dan
ia menahan sakit sampai keringat sebesar kacang-kacang
hijau memenuhi mukanya. Kemudian ia menempelkan
bubukan obat pada luka-luka itu dan menelan tiga butir pel
hijau. Baru ia merasa enak dan panas yang menyerang
tubuhnya lenyap, juga rasa ngilu tidak ada lagi. Bubukan
obat yang ia tempelkan pada luka-luka itu mendatangkan
rasa dingin nyaman. Setelah menolong diri sendiri, ia mulai memeriksa paha
kaki Li Hwa yang terluka parah itu. Tiba-tiba mukanya
menjadi merah sekali karena ia teringat akan
pengalamannya dahulu ketika ia mengobati paha dari Gak
Soan Li yang diremuk oleh pukulan Tin-san-kang dari
seorang tosu jahat bernama Giok Seng Cu (baca Pedang
Penakluk Iblis). Akan tetapi ia menenangkan pikirannya dan
18 dengan sehelai saputangan yang dicelup air, ia mencuci paha
yang penuh darah itu untuk dapat memeriksa dengan baik.
Kemudian ia mulai mengerjakan pisau peraknya setelah
menotok beberapa bagian jalan darah yang penting untuk
mencegah darah keluar lagi dari luka-luka itu dan untuk
mengurangi rasa sakit apabila ia melakukan pembedahan
untuk mengeluarkan potongan-potongan besi yang
memasuki paha gadis itu. Ketika ia mulai mengorek keluar sebuah potongan besi, Li
Hwa merintih perlahan. Gadis itu telah siuman dan merasa
pahanya sakit sekali. la membuka mata dan melihat Sin
Hong sedang mengobati pahanya yang telah terluka parah,
melihat betapa Sin Hong memegang kakinya yang tidak
tertutup apa-apa, tiba-tiba rasa jengah dan malu melebihi
rasa nyeri. Rintihannya terhenti, mukanya berubah merah dan Li
Hwa meramkan kembali kedua matanya! Sama sekali tidak
berkutik dan gadis yang aneh ini diam-diam berterima kasih


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada musuh-musuhnya yang telah melukainya sehingga ia
bisa dirawat secara demikian mesra oleh Sin Hong! Memang
cinta kasih bisa mendatangkan pikiran yang gila-gila dalam
kepala manusia. Sin Hong bukan seorang bodoh apalagi seorang ahli
pengobatan. Jangankan tadi Li Hwa sudah merintih dan
membuka mata, andaikata Li Hwa tidak melakukan dua hal
sebagai tanda telah siuman itu, dari denyut darah yang
didorong oleh perasaan dan yang terasa oleh jari-jari
tangannya melalui kaki Li Hwa, dia akan tahu bahwa gadis
itu tidak pingsan lagi. Melihat gadis itu berpura-pura terus
pingsan atau mungkin juga terlalu lemah untuk bangun, Sin
Hong. lalu berkata lirih, untuk mencegah salah pengertian
gadis itu. "Li Hwa, kau terluka. Pahamu tertembus pecahan-
pecahan besi-besi senjata rahasia lawan, tulang pahamu
patah. Untuk mencegah keracunan, aku terpaksa
19 melakukan pembedahan sekarang juga untuk mengeluarkan
besi-besi itu dan untuk menyambung tulang paha yang
patah.". Diam-diam di dalam hatinya Li Hwa tersenyum geli dan
memuji watak yang sopan dari Sin Hong.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan
puluhan orang wanita anak buah Hui-eng-pai datang berlari-
lari sambil membawa senjata. Mereka ini terlambat keluar
membantu Li Hwa, karena memang tadinya mereka tidak
tahu adanya pertempuran itu yang terjadi dalam waktu
cepat. Selain ini, juga mereka ini biasanya selalu hanya
mematuhi perintah dari Li Hwa, sedangkan pada waktu itu
Li Hwa tidak kelihatan maka semua orang ketika mulai
mendengar ribut-ribut pertempuran di luar pagar tembok
taman, menjadi bingung tidak mempunyai komando.
Setelah mendengar suara ledakan-ledakan keras dari
senjata-senjata rahasia berapi, mereka mengkhawatirkan
ketua mereka yang tidak kelihatan di antara mereka.
Barulah mereka menyerbu ke luar.
Melihat ketua mereka telentang seperti mayat di atas
tanah dan seorang laki-laki sedang duduk di dekatnya,
kemudian melihat keadaan pakaian Li Hwa yang tidak
karuan, yaitu kaki kanannya tidak tertutup sampai di paha,
marahlah mereka ini. Mereka mengira bahwa Sin Hong tentu
telah melakukan perbuatan yang tidak patut dan melukai
ketua mereka. Biarpun di antara mereka, yaitu yang dulu
pernah ikut dengan Li Hwa pergi ke Ngo-heng-san, mengenal
Sin Hong sebagai pemuda yang terpilih men-jadi bengcu,
akan tetapi melihat keadaan Li Hwa dan Sin Hong, tidak
Pedang Hati Suci 3 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk 2
^