Pencarian

Tangan Geledek 2

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


mau berpikir panjang lagi dan mereka maju menerjang.
"Jahanam, kau berani mencelakakai Niocu" bentak
mereka. "Eh, eh, nanti dulu ....... ! Aku tidak mencelakakan dia, aku bahkan mengobatinya!" Sin Hong cepat menggerakkan
20 tangan kiri mengebutkan ujung lengan baju dan sekaligus
empat buah pedang yang menyerangnya terlempar. Akan
tetapi ia menjadi gugup oleh karena ia sedang membedah
paha Li Hwa dan kalau ia tinggalkan untuk menghadapi
amukan para wanita itu, paha itu akan rnenjadi makin parah
dan sukar diobati pula. Para anggauta Hui-eng-pai terkejut melihat bagaimana
dengan kebutan lengan baju kiri secara sembarangan saja,
empat batang pedang telah dapat dipukul terlempar oleh Sin
Hong. Akan tetapi, untuk menolong ketua mereka, para
wani ta ini tidak takut dan juga kata-kata Sin Hong tadi tidak mereka percaya. Baiknya, sebelum para wanita ini
menyerang lagi, Li Hwa membuka matanya dan membentak.
"Mundur semua! Wan-bengcu sedang mengobati kakiku,
mengapa kalian berani mengganggu" Mundur dan pergilah."
Dengan mata terbelalak heran dan kaget, semua
anggauta Hui-eng-pai mundur, kecuali tujuh belas orang
wanita yang setengah tua dan memegang pedang. Sikap
mereka heran sekali dan mereka inilah yang tidak mau
mundur. Tujuh belas orang wanita setengah tua ini terkenal
di kalangan mereka sebagai Cap-jit Hui-eng Toanio (Tujuh
Belas Nyonya Besar Garuda Terbang). Sebutan Hui-eng
Toanio ini saja menunjukkan bahwa tingkat mereka tidak
berbeda jauh dengan Siok Li Hwa sendiri yang berjuluk Hui-
eng Niocu (Nona Garuda Terbang). Memang demikianlah
adanya Cap-jit Hui-eng Toanio ini adalah murid-murid
utama dari mendiang Pat-jiu Nio-nio dan ketika Pat -jiu Nio-
nio masih hidup, tujuh belas orang murid kepala ini menjadi
pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan. Akan tetapi,
karena Li Hwa yang mewarisi kitab rahasia peninggalan Pat-
jiu Nio-nio dan kemudian nona ini yang menjadi ketua maka
tujuh belas orang yang terhitung sucinya itu hanya
menduduki tempat ke dua, menjadi pembantu-pembantu Li
Hwa. 21 Kini, menghadapi hal yang menyangkut nama baik Hui-
eng-pai, biarpun semua anggauta takut dan mundur atas
seruan Li Hwa, tujuh belas orang toanio ini menghadapi
ketua mereka dengan muka sungguh-sungguh.
"Niocu, harap Niocu ingat akan peraturan kita. Usir laki-iaki kurang ajar ini dan biarkan ahli -ahli kita mengobati
Niocu." kata seorang di antara mereka. Dia ini adalah Toanio yang tertua dan yang paling lihai kepandaiannya di antara
kawankawannya, nama julukannya Pek-eng Toanio (Nyonya
Garuda Putih). "Aku tidak mau diobati orang lain! Sin Hong, mari
antarkan aku kembali ke puncak dan kauobati aku sampai
sembuh". Sin Hong ragu-ragu dan tidak tahu harus berkata apa.
Sementara itu, Pek-eng Toanio berkata lagi, suaranya kaku.
"Niocu, betul-betul sudah lupakah kau akan aturan-
aturan yang diadakan oleh Nioni o dahulu" Tidak
diperbolehkan laki-laki, hidup atau mati, berada di tempat
tinggal kita! Setiap anggauta yang berani memasukkan
seorang pria, hukumannya mati dan peraturan ini; berlaku
baik bagi seorang pelayan sampai ketuanya sendiri Niocu,
biarpun kau sendiri, tidak boleh membawa orang ini naik ke
atas. Itu pelanggaran besar namanya, dan kami tidak boleh
tinggal diam saja." Li Hwa marah, "Pek-eng Toanio kau mengandalkan
apamu maka berani bicara seperti ini di depanku" Biarpun
kau dan enam belas orang Suci yang lain, takkan mampu
menahan aku seorang. Aku sekarang sedang terluka,
mungkin tak berdaya. Akan tetapi tahukah kau akan
kelihaian Wan-bengcu ini yang sepuluh kali lebih lihai
daripada aku" Jangankan baru kalian tujuh belas Cap-jit
Toanio, biarpun seluruh Hui-eng-pai ditambah beberapa kali
lipat takkan mampu menahannya kalau dia membawaku ke
atas." 22 "Apa boleh buat, Niocu. Biarpun sampai mati semua, kami
tetap akan menentang siapapun juga menghina
perkumpulan kami dan melanggar peraturan yang diadakan
oleh Nio-nio!" jawab Pek-eng Toanio.
"Kau mau melawan?" Tiba-tiba tangan Li Hwa bergerak.
Sinar hijau menyambar dan Pek-eng Toanio mengeluh roboh
pingsan. Ia telah menjadi korban Cheng-jouw-ciam (Jarum
Rumput Hijau) yang lihai dari Li Hwa! "Baru kau tahu
kelihaianku," gerutunya, agak menyesal bahwa ia terpaksa harus merobohkan orang sendiri. Akan tetapi enam belas
orang wanita yang lain tetap berdiri tegak, bahkan mereka
berkata tegas., "Pek-eng Toanio betul, Niocu. Kami terpaksa menghalangi
kehendak Niocu, biarpun kami harus berkorban nyawa
untuk memegang teguh peraturan dari Nio-nio almarhum."
Li Hwa marah bukan main. "Sin Hong, pondong aku dan
bawa ke atas! Jangan kau pedulikan perawan-perawan tua
ini, sapu saja siapa yang berani merintangi kita!" katanya kepada Sin Hong.
Akan tetapi Sin Hong tidak bergerak. Ia telah selesai
mengobati paha Li Hwa dan telah membalutnya. Selama
pertengkaran itu, ia tidak mencampuri, hanya melanjutkan
pengobatannya. Sekarang setelah selesai dan mendengar
kata-kata Li Hwa itu, ia tidak menurut, bahkan menarik
napas panjang dan berkata.
"Tidak, Li Hwa. Kau yang keliru, mereka itu benar.
Pulanglah kau dan beristirahatlah. Aku harus mencari Tiang
Bu dan merampasnya kembali dari tangan Pak-kek Sam-kui."
"Aku tidak mau!" Li Hwa menjerit dan beberapa titik air mata melompat keluar dari matanya. "Aku takkan kembali ke puncak, aku tidak sudi lagi menjadi ketua Hui-eng-pai. Aku
mau ikut kau mencari Tiang Bu, karena akulah yang
bertanggung jawab atas kehilangannya."
"Jangan, Li Hwa, kau masih terluka dan ....... "
23 "Kausembuhkan aku lebih dulu, atau kau boleh
meninggalkan aku mampus di sini, karena kau tidak mau
membawa aku, aku pun tidak sudi kembali ke atas, aku
....... biarlah kalian semua meninggalkan aku di sini, biar
mampus dimakan srigala ....... "
Dan ketua Hui-eng-pai yang gagah berani dan tak kenal
takut itu sekarang ....... menangis tersedu-sedu.
Sementara itu, Pek-eng Toanio telah siuman kembali
setelah ditolong oleh kawan-kawannya. Melihat keadaan
ketua mereka, ia menghela napas dan sebagai seorang yang
sudah berpengalaman ia maklum bahwa ketuanya sampai
berbuat begitu aneh bukan lain adalah karena gadis itu telah
tergila-gila dan cinta kepada Wan Sin Hong.
"Wan-bengcu, terserah kepadamu apakah kau hendak
membiarkan Niocu mati di sini ataukah hendak
menolongnya. Kami tak berdaya, dan mati hidup Niocu
berada di tanganmu." Setelah berkata demikian, tujuh belas orang rombongan pemimpin Hui-eng-pai ini lalu mengajak
semua anak buah mereka kembali ke puncak.
Dengan air mata masih mengucur, Li Hwa berkata
kepada Sin Hong. "Wan Sin Hong, kaupergilah, kau-tinggalkanlah aku. Aku
tahu, selama ini aku telah berlaku bodoh, bahkan sampai
sekarang aku masih bodoh dan gila. Aku mencintamu
sedangkan kau ....... kau tidak peduli sama sekali kepadaku.
Aku memang seorang gadis tidak berharga ....... biarlah aku
mati di sini, tak patut seorang bengcu seperti kau dekat
dengan seorang hina seperti aku ....... "
Sin Hong menarik napas panjang. Benar-benar luar biasa
sekali, gadis ini. Di suatu saat bersikap keras dan galak
seperti iblis wanita, di lain saat dapat berlaku lemah lembut dan mengalah, mertimbulkan kasihan.
"Li Hwa, kau memang aneh. Kalau kau mau dibawa
pulang dan dirawat oleh orangorangmu, bukankah hal ini
24 sudah beres" Akan tetapi kau tidak mau dan kau rela mati
kalau aku tidak mau membawamu bersamaku. Ahh .......
apakah yang harus kulakukan" Meninggalkan kau
membunuh diri di sini, benar-benar aku tidak tega. Apalagi
kau telah menjadi korban senjata karena membantu aku
menghadapi setansetan dari utara itu."
"Pergilah, jangan memikirkan orang seperti aku ini ....... "
"Tidak mungkin. Aku tidak akan meninggalkan kau, Li
Hwa. Biar aku mengobati lukamu sampai kau sembuh dan
dapat berjalan lagi."
Wajah Li Hwa mulai berseri akan tetapi ia tetap cemberut.
"Akan tetapi aku tidak mau pergi dari sini, aku mau mati di sini."
"Aku pun akan menunggumu di sini."
"Di tempat ini siang malam" Menahan serangan angin
dan hujan?" "Mengapa tidak" Kalau kau kuat, aku pun tentu kuat
menahan." jawab Sin Hong mendongkol juga menghadapi
gadis yang aneh wataknya ini. Tanpa ia ketahui. Li Hwa kini
tersenyum, penuh kemenangan.
"Sin Hong, kau benar-benar berhati mulia. Kakakku yang
baik, aku tidak nanti mau tinggal siang malam di tempat
terbuka ini. Lihat, di sebelah utara sana, kurang lebih satu li dari sini, terdapat sebuah gua besar di bukit batu karang.
Kita dapat sementara waktu tinggal di sana sampai kakiku
sembuh. Di sana kita dapat berlindung dari angin dan hujan,
juga dari serangan binatang buas di waktu malam". Ketika mengeluarkan ucapan ini suaranya ramah-tamah dan manis
sekali. Sin Hong yang mendengar perubahan suara ini cepat
menengok dan memandang, akan tetapi lebih cepat lagi Li
Hwa sudah mengubah lagi mukanya sehingga tidak kelihatan
seri gembira yang tadi membayang di situ.
25 "Hm, akhirnya, ternyata kau bukan seorang yang sudah
nekat kepingin mati." gerutunya sambil berdiri. "Mari kupondong kau.ke sana."
"Kau tidak malu memondong aku?" Li Hwa
pura-pura bersungut- sungut, padahal hatinya berdebar girang. Sin Hong tidak menjawab, melainkan membungkuk dan memondong tubuh gadis itu. Ketika kedua lengannya merasa betapa hangat tubuh Li Hwa dalam pondongannya, ia berdebar dan mukanya merah. Untuk menghilangkan perasaan dan menghibur hatinya sendiri, ia berkata, suaranya seperti orang mendongkol. "Mengapa mesti malu memondongmu" Dalam keadaan
terpaksa seperti ini memondongmu tidak melanggar
kesopanan. Apalagi rnemondong, bahkan aku telah. ..telah
....... mengobati pahamu ....... " Ingin Sin Hong menampar mulutnya sendiri, karena kata-kata ini seperti melompat saja
dari mulutnya. Kata-kata ini bukan menghibur dan
menghilangkan debar hati dan merah mukanya, bahkan
menambah! Apa-lagi ketika terasa olehnya betapa pinggir
dada Li Hwa yang menempel di lengannya berdebar-debar
keras dan melihat sepasang pipi gadis itu menjadi merah
sampai ke telinga sedangkan kedua matanya dipejamkan!
26 "Sin Hong, kau memang seorang laki-laki berhati mulia,
seorang laki-laki tahan uji dan sopan, pemalu dan canggung.
Karena itulah aku cinta kepadamu," kata Li Hwa dengan
sepasang mata masih terpejam. Kata-kata ini membuat Sin
Hong makin bingung sehingga jalan kakinya tidak tetap.
"Hush, jangan bicara tentang cinta lebih baik kaki
kananmu itu jangan bergerakgerak nanti sambungan
tulangnya tidak betul lagi."
Akan tetapi Li Hwa seperti sengaja menggerak-gerakkan
kaki kanannya, Sin Hong memandang heran dan marah,
kemudian ia melepaskan tangan kiri yang memondong, dan
menotok pinggang kanan gadis itu. Kaki kanan Li Hwa
menjadi lumpuh tak dapat bergerak-gerak lagi
"Nah, sekarang bergeraklah kalau bisa," katanya,
tersenyum puas dapat memberi "pelajaran" kepada gadis nakal itu.
Akan tetapi Li Hwa tidak menjadi marah karena totokan
yang membuat ia tidak berdaya menggerakkan kakinya itu.
Sebaliknya ia berkata dengan nada menggoda.
"Kautahu Sin Hong" Setiap kali kau bermaksud
meninggalkan aku seorang diri, aku akan menggerak-
gerakkan kaki kananku supaya lukanya pecah dan
tulangnya putus kembali. Kalau kau menotokku terus sampai
kakiku sembuh akan kupukul patah sendiri supaya jerih
payahmu sia-sia." Sin Hong mengerutkan keningnya, "Mengapa kau seaneh
ini, Li Hwa" Mengapa kau hendak melakukan hal itu"
"Habis, tujuan hidupku hanya dua macam. Hidup di
samplngmu atau mati, habis perkara. Selama kau mau
membawaku bersamamu, aku malah takut mati. Akan tetapi
kalau kau meninggalkan aku, aku jadi takut hidup.
Mengertikah kau?" 27 Seluruh muka Sin Hong berkerut-kerut dan ia berpikir
keras. Akan tetapi tetap saja ia tidak mengerti watak gadis
yang dianggapnya aneh ini. Bagi orang yang sudah tahu
akan racun dan madu asmara, watak atau sikap yang
diperlihatkan Li Hwa ini sama sekali tidak aneh. Akan tetapi, biarpun ia memiliki kepandaian yang sudah berada di
tingkat tinggi sekali dan pengalamannya bertempur, sudah
banyak sekali, namun dalam hal asmara, Sin Hong boleh
dibilang masih "hijau".
Demikianlah, Sin Hong membawa Li Hwa ke gua yang
ditunjuk oleh gadis itu dan tinggal di situ berdua dengan Li
Hwa untuk merawat dan mengobati paha Li Hwa yang patah
tulangnya. Sikapnya selalu sopan dan ia menjaga keras agar
selalu ingat dan sadar, jangan sampai terpengaruh oleh
nafsu dan jangan sampai melanggar kesusilaan. Ia bersikap
sopan sekali, ya, terlalu sopan sehingga kadang-kadang
membikin mengkal hati Li Hwa!
-oo0mch0oo- Kita tinggalkan dulu dua orang ini dan mari kita


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti pengalaman Tiang Bu, bocah yang dalam usia
paling banyak lima tahun telah mengalami hal-hal yang
hebat itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, baru saja
kakinya yang patah tulangnya sembuh, ia dipaksa menjadi
murid Hui-eng-pai dan bersumpah, kemudian mendengar
cerita tentang ayah-bundanya yang menggores dalam-dalam
di hati dan plkiran anak kecil ini. Ia menjadi bingung sekali kalau memikirkan kata-kata Hui -eng Niocu Siok Li Hwa
bahwa ia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian
yang selama ini memang ia anggap ayah-bundanya,
melainkan putra Liok Kong Ji dan Gak Soan Li, dua nama
yang sama sekali asing baginya dan baru sekali ini
didengarnya dari mulut Li Hwa.
28 Akan tetapi karena urusannya menggores di hatinya, dua
nama ini menempel dalam ingatannya dan tidak terlupakan
lagi. Kemudian ia mengalami perebutan atas dirinya antara
seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya dan Siok Li
Hwa, akan tetapi di dalam hati ia memihak laki-laki itu
karena maklum bahwa laki-laki itu hendak menolongnya dari
tangan ketua Hui-eng-pai yang tak disukanya itu. Lebih
hebat lagi muncul orang-orang aneh yang merampas dirinya
dan sekarang ia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh tiga orang aneh itu.
Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) dan ilmu berlari
cepat dari tiga orang kakek aneh ini memang benar-benar
luar biasa sekali. Dalam waktu pendek saja mereka telah
turun dari puncak dan telah melalui dua puncak lain dan tiba
di sebuah hutan. Hutan ini berada di lereng sebuah puncak
lain karena Pegunungan Gobi memang mempunyai banyak
puncak yang sebagian besar tidak didiami manusia.
Setelah masuk di dalam hutan lebat ini dan merasa
bahwa mereka telah lari cukup jauh, Giam-lo-ong Ci Kui
yang tinggi gundul itu tiba-tiba berhenti, diturut pula oleh
dua orang sutenya Agaknya bagi Si Gundul ini teringat
bahwa sejak tadi ia mengempit tubuh seorang anak kecil di
bawah lengan kirinya. Melihat ini, ia menyumpah-nyumpah
dan sekali menggerakkan lengan kiri, anak itu terlempar ke
dalam semak-semak di pinggir jalan. Tiang Bu merangkak
bangun dari semak-semak yang penuh duri itu, pengalaman
dilempar ke dalam semak-semak bukan apa-apa lagi
baginya. Setelah terlalu menderlta, menjerit dan menangis
penderitaan kecil tidak dirasakannya lagi dan ia merasa
enggan untuk menjerit maupun menangis.
"Kutu busuk! Sejak tadi kauikut, he" Setan!" Giam-lo-ong Ci Kui memaki dan menyeringai tangan kirinya menggaruk-garuk kepala gundulnya seperti orang kehabisan akal
29 mengapa ia sampai tidak ingat lagi bahwa sejak tadi ia
mengempit seorang bocah. "Kalau ingat tadi-tadi, kau sudah kulempar ke dalam jurang!"
"Twa-suheng, kulihat bocah ini ada nyalinya. Sayang
kalau dibuang begitu saja. Hati dan otaknya akan menambah
semangat," kata Sin-sai-kong Ang Louw Si Muka Singa.
"Juga dia berbakat, kalau sudah tiba waktunya memilih
murid, aku mau memilih dia ini," kata Liok-te Mo-ko Ang
Bouw Si Muka Burung. Giam-lo-ong Ci . Kui mengeluarkan
suara menghina dari lubang hidungnya. "Hah, mana ada
bocah Han mempunyai nyali?" ia mendekati Tiang Bu,
memegang leher anak itu dan sekali menyendal, tubuh Tiang
Bu terlempar tinggi di udara!
Dapat dibayangkan betapa rasa kaget dan takutnya hati
Tiang Bu. Akan tetapi memang betul bahwa anak ini memiliki
nyali yang besar. Pula semenjak kecil sering kali ia
mendengar dongeng dari Hui Lian tentang orang-orang
gagah sehingga pikirannya terbuka dan ia dapat melihat
kenyataan. Melihat sikap orang-orang gagah ini, bocah ini
sudah dapat menduga bahwa ia tidak akan dapat hidup
lebih lama lagi. I a pernah mendengar dari ibunya tentang
sikap seorang gagah yaitu biarpun menghadapi kematian
bernyali seperti harimau, bukan seperti babi. Mengingat
semua ini, ketika tubuhnya dilempar ke atas dan mulai
melayang turun cepat sekali dan membuat jantungnya
berhenti berdetik, ia meramkan mata dan menggigit bibir
agar supaya tidak mengeluarkan jerit dan tangis.
Akan tetapi, ia tidak mati terbanting di atas tanah karena
tangan Giam-lo-ong Ci Kui sekarang sudah menyarnbarnya
dan melemparkannya perlahan ke atas tanah di mana Tiang
Bu jatuh terguling. "Ha, ha, ha, apa kubilang" Dia mempunyai nyali naga."
kata Ang Louw suara ketawanya seperti singa mengaum.
30 "Siapa tahu, barangkali dia diam saja saking takutnya.
Ji-sute, coba kautangkap seekor kucing atau anjing untuk
mencobanya," kata Giam-lo-ong Ci Kui yang mulai tertarik.
Tiga orang aneh dari utara ini boleh dibil ang manusia-
manusia aneh yang seperti iblis, kejam, tak mengenal
kasihan dan watak mereka buruk mengerikan. Hanya satu
hal yang mereka junjung tinggi dan mereka kagumi; yaitu
sifat keberanian yang luar biasa. Kalau saja Tiang Bu
memperlihatkan ketakutan, tentu mereka takkan segan-
segan membanting mati bocah itu, atau menurut Ang Louw,
membelek dadanya memecahkan kepalanya untuk
mengambil jantung otaknya sebagai "obat kuat". Akan tetapi Tiang Bu memperlihatkan sikap yang berani sekali, maka
mereka mulai menjadi tertarik. Berani dan pendiam, sikap
ini selain mengagumkan mereka, juga membuat mereka
suka sekali. Ang Bouw berkelebat pergi bagaikan iblis menghilang,
dan tak lama kemudian dia sudah kembali memanggul
seekor ....... harimau. Inilah agaknya yang dimaksudkan
"kucing" oleh Giam-lo-ong Ci Kui tadi. Menangkap seekor
harimau seperti menangkap kucing saja, benar-benar dari
sini sudah dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian Ang
Bouw. Ia memanggul harimau itu, empat kaki harimau
dipegang dengan satu tangan dan lain tangan memutar leher.
Dengan cara demikian ia memanggul harimau itu dengan
enaknya tanpa si raja hutan dapat berkutik sedikit pun juga!
Setelah tiba di tempat itu, Liok-te Mo-ko Ang Bouw lalu
menurunkan harimau itu di depan Tiang Bu yang sudah
duduk di atas tanah dengan tenang. Harimau itu mengaum
dan meronta marah, akan tetapi ia tidak berdaya di dalam
pegangan Ang Bouw. Kini ia melihat seorang bocah di depan
mulutnya, bocah yang merupakan makanan dan daging
yang empuk, ia mencium-cium dengan hidungnya
berkembang-kempis, seperti seekor kucing yang lebih dulu
mencium-cium makanan yang hendak dimakannya.
31 Dapat dibayangkan betapa takut rasa hati Tiang Bu. Ia
merasa betapa kulit hidung yang kasar dan dingin dan basah
menyentuh-nyentuh seluruh mukanya, betapa kumis
harimau yang kasar itu menyikat mukanya menimbulkan
rasa perih. Apalagi sepasang mata harimau itu
mendatangkan kengerian di dalam hatinya.
Bau harimau itu memuakkan perutnya dan suaranya
menggereng-gereng membuat jantungnya meloncat-loncat
keras. Akan tetapi dengan seluruh kekuatan, anak ini
menggigit bibir dan menghadapi, harimau itu dengan mata
terbelaiak memandang tabah.
"Hayo, kucing terkam dia, robek-robek dadanya, cokel
keluar matanya! Bikin dia menjerit-jerit minta ampun! Ha,
ha, ha!" Ci Kui berteriak-teriak menakut-nakuti Tiang Bu.
Harimau yang tadinya kebingungan itu, yang tadinya
marah akan tetapi tidak berdaya, sekarang menimpakan
kemarahannya kepada anak kecil yang duduk di depannya.
Ia mulai menampar dengan kaki depan yang kanan.
Tamparan ini mengenai pundak Tiang Bu merobek baju dan
kulit pundaknya, dan membuat ia terguling-guling. Air mata
meloncat, keluar dari mata anak itu, pundaknya berdarah
dan bibirnya yang tebal itu pun berdarah saking kerasnya ia
menggigit bibir yang menahan sakit dan menahan keluarnya
tangis atau jeritan. Biarpun air matanya mengucur, sedikit
pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.
Tiga orang kakek Pak-kek Sam-kui ini tertawa bergelak-
gelak dan berteriak-teriak, agar harimau itu menyerang
terus. Mencium bau darah yang segera dijilat-jilat dari kuku
kaki depannya, harimau itu menjadi buas. Ia menubruk lagi,
mempermainkan tubuh Tiang Bu seperti seekor kucing main-
main dengan bola karet. Akan tetapi tiap kali ia mau
menggigit anak itu, ia menerima pukulan atau ekornya
ditarik dari belakang oleh Ci Kui. Memang bukan maksud Ci
Kui untuk membunuh anak ini. I a hendak menguji
ketabahan Tiang Bu. Sekali saja Tiang Bu menjerit takut
32 atau menangis tentu ia akan mengajak dua orang sutenya
pergi meninggalkan Tiang Bu untuk menjadi mangsa
harimau. Akan tetapi melihat anak itu belum juga
mengeluarkan jeritan, ia selalu menahan apabila harimau
hendak menggigit. Tubuh Tiang Bu terasa sakit semua, pakaiannya robek-
robek tidak karuan dan darah memenuhi pakaian dan
mukanya. Giginya tertanam dalam-dalam di bibirnya yang
mengucurkan darah karena gigitannya sendiri. Akhirnya
saking terlampau banyak mengeluarkan darah dan seluruh
tubuhnya lemas tak berdaya lagi ia menjadi pingsan.
Tubuhnya seperti sudah menjadi mayat saja, tidak bergerak
lagi dalam permainan harimau.
"Dia pingsan" kata Sin-sai-kong Ang Louw.
Terdengar suara keras dan kepala harimau itu pecah
berantakan terkena pukulan tangan Ang Louw yang lebih
hebat daripada pukulan martil besi lima puluh kilo.
"Dia betul-betul bernyali besar!" kata Ci Kui kagum. la menghampiri tubuh anak yang sudah mandi darah itu, lalu
merawat dan memberi obat dengan pandangan mata sayang.
"Anak baik, murid baik ....... " berkali-kali ia bicara sedangkan kedua tangannya bekerja. Ia membersihkan
darah dengan lidahnya sendiri yang menjilat-jilat darah itu
sampai bersih. Kemudian Ci Kui mengeluarkan bungkusan,
dibukanya dan ternyata isinya adalah obat-obat bubuk
bermacam-macam. Diobatinya luka-luka di tubuh Tiang Bu
dengan obat dan ditotoknya jalan darah anak itu di beberapa
bagian sehingga Tiang Bu menjadi siuman kembali. Ia
merasa tubuhnya sakit-sakit semua dan lemas sekali.
Setelah luka-lukanya dijilati oleh Giam-lo-ong Ci Kui,
rasanya lebih sakit dan perih daripada tadi. I a me ringis dan menahan rasa sakit sampai pingsan lagi. Bukan main
hebatnya penderitaan anak ini.
Ketika Tiang Bu membuka matanya perlahan-lahan, hari
telah senja dan tubuhnya terasa sejuk dan nyaman sekali.
33 Tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang mendengkur. I a
hendak bangkit akan tetapi mendapat kenyataan bahwa
tubuhnya terikat, kaki tangan dan pinggangnya terikat pada
sebuah cabang pohon yang besar. Ketika ia meliri k ke kanan
kiri, ia melihat tiga orang kakek itu tidur malang melintang
di atas cabang-cabang pohon, tidur begitu saja di atas cabang pohon yang lebih kecil daripada tubuh mereka tanpa diikat
dan mereka enak-enak mendengkur! Tiang Bu melirik ke
bawah dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi makin
pucat ketika melihat bahwa mereka berempat itu berada di
atas pohon yang tinggi sekali.
Akan tetapi rasa ngerinya hilang ketika ia teringat bahwa
tubuhnya diikat dengan kuat pada cabang pohon hingga tak
mungkin ia jatuh ke bawah. Kini ia mulai memperhatikan
tiga orang kakek itu dengan heran sekali, juga geli karena
cara mereka tidur dan mendengkur lucu sekali.
Si Gundul itu tidur miring di atas cabang kecil,
kepalanya sudah tergantung ke bawah seperti menjadi buah
dari pohon itu dan kaki kirinya menindih muka Si Muka
Burung dekat sekali dengan hidungnya. Si Muka Burung ini
tidur telentang dengan kedua kaki tergantung ke bawah dari
kanan kiri cabang, hidungnya kembang-kempis dan
dengkurnya disertai suara dari hidung seperti orang yang
merasa jijik mencium bau yang tidak enak dari kaki
suhengnya. Si Muka Singa tidur terpisah telungkup dengan muka
miring, dengkurnya keras sekali sehingga ranting pohon
berikut daun-daunnya yang berada di depan mukanya,
sebentar tertiup pergi sebentar tersedot sampai menutupi
mukanya. Geli hati Tiang Bu melihat semua ini. Apalagi ketika ia
melihat ranting dan daundaun di depan muka Ang Louw itu
seperti menggelitik lubang hidung Si Muka Singa sehingga Si
Muka Singa berbangkis beberapa kali dan dengan mata
masih meram ia menggerakkan tubuh, miring ke kanan.
34 Hampir saja Tiang Bu berteriak ketika melihat betapa tubuh
itu miring dan seperti hampir terguling dari atas dahan.
Namun, ajaib sekali, biarpun tubuh itu sudah lebih
setengahnya berada di bawah dahan, tetap saja Ang Louw
tidak terguling ke bawah, seakan-akan tubuhnya telah lekat
pada dahan pohon itu! "Hi, hi, hi, hi ....... !" Tiang Bu tak dapat menahan gelak ketawanya. Suara bocah ini nyaring sekali biarpun ia berada
dalam keadaan sakit. Tiba-tiba tiga orang kakek itu serentak melompat bangun
dari tidurnya dan tentu saja karena mere ka melompat, tubuh
mereka semua terguling ke bawah!
"Celaka ....... !" Tiang Bu berseru lirih melihat hal ini.
Akan tetapi di lain saat, bagaikan tiga ekor burung besar
yang beterbangan kacau-balau terdengar suara keras dan
tiga orang kakek itu sudah berada di atas dahan pula. Mata
mereka terbelalak dan dengan liar memandang ke kanan
kiri. "Mana siluman wanita itu?" Liok-te Mo-ko Ang Bouw
bertanya sambil memandang ke kanan kiri.
"Mana dia Ang-jiu Mo-li?" Sin-saikong Ang Louw juga ikut bertanya, suaranya terdengar gentar. Ci Kui mendekati Tiang
Bu dan memegang lengannya.
"Bocah, apakah kau tadi melihat seorang wanita muda
cantik berlengan merah di dekat sini?" tanyanya.
"Aku tidak melihat siapa-siapa kecuali kalian bertiga."
jawab Tiang Bu terheranheran. Bukan hanya heran karena
pertanyaan ini, terutama sekali heran melihat bahwa orang-
orang seperti ini, masih mengenal takut.
"Tolol kau. Apa telingamu tuli?" Ci Kui membentak sambil melotot, "baru saja dia tertawa di dekat sini!"
Mendengar kata-kata ini, Tiang Bu mengerti bahwa tiga
orang kakek ini telah salah duga. Suara ketawanya dianggap
35

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai suara ketawa seorang iblis wanita yang bernama
Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)! Mengingat ini,
ia menjadi geli hati dan tak dapat ditahannya pula ia
tertawa. "Hi, hi, hi, hi ....... lucu sekali ....... "
Tiga orang kakek ini melongo, saling pandang kemudian
tertawa bergelak. Ci Kui lalu melepaskan tali yang mengikat
tubuh Tiang Bu dan membantu anak itu duduk di atas
cabang. Tiang Bu berpegang erat-erat pada ranting pohon
supaya jangan terguling ke bawah.
"Anak baik, kau beinyali besar dan ketawamu seperti iblis wanita. Ha, ha, ha! Siapakah namamu?" .
Tiang Bu berpikir sebentar. Teringat ia akan ucapan-
ucapan Siok Li Hwa tentang orang tuanya dan ia menjadi
ragu-ragu. Benarkah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu
bukan ayah bnndanya" Ayahnya tampan sekali ibunya cantik
jelita, juga adiknya Lee Goat yang baru berusia dua tahun
sudah kelihatan cantik mungil. Akan tetapi dia" Banyak
pelayan mengatakan bahwa rupanya seperti setan cilik!
Akan tetapi, untuk percaya omongan Hui-eng Niocu, ia pun
masih ragu-ragu karena ia benci kepada Li Hwa.
"Namaku Tiang Bu," akhirnya ia menjawab, tanpa
menyebutkan shenya karena ia masih ragu-ragu tentang
ayah bundanya. "Kau anak siapa?"
"Aku ....... yatim piatu, dan aku tidak tahu siapa ayah
bundaku ....... " kata-kata ini ia ucapkan dengan sejujurnya karena memang pada saat itu ia merasa ragu-ragu dan tidak
tahu siapakah sebetulnya ayah bundanya. I a masih belum
mau percaya omongan Siok Li Hwa. Pendeknya, untuk saat
itu ia tidak tahu betul siapa gerangan ayah bundanya yang
sesungguhnya. 36 "Kenapa kau bisa diperebutkan oleh Wan-bengcu dan Hui-
eng Niocu?" tanya pula Ci Kui.
"Aku tidak tahu sebab-sebabnya. Akan tetapi Hui-eng
Niocu memaksaku menjadi muridnya, lalu datang laki-laki
yang tak kukenal itu merampasku dari tangan Huieng Niocu."
"Ah, ah, tak salah lagi. Dua orang itu sudah melihat
bakat baik dalam dirinya, Suheng. Maka mereka berebut
untuk mengambil murid padanya," kata Sin-saikong Ang
Louw. "Betul begitu kiranya," Ci Kui mengangguk-angguk.
"Memang bocah ini berjodoh dengan kita. Kalau kita bertiga mengajarnya, kelak dia akan membikin harum nama kita."
"Tiang Bu, mulai sekarang kau menjadi murid Pak-kek
Sam-kui, hayo kau berlutut memberi hormat," kata Sin-saikong Ang Louw yang kegirangan sekali karena memang sejak
ia melihat Tiang Bu, ia sudah ingin mengambil anak itu
sebagai muridnya. Biarpun baru berusia lima tahun, Tiang Bu memang
seorang bocah yang cerdik luar biasa. Ia maklum bahwa ia
berada di dalam cengkeraman tiga orang yang jahat dan lihai
seperti iblis, dan bahwa ia tidak berdaya sama sekali dan
tidak mempunyai pilihan lain kecuali mentaati segala
kehendak tiga orang itu. Juga ia maklum bahwa tiga orang
ini tidak membunuhnya, bahkan mengambilnya sebagai
murid hanya berkat ketabahan yang telah ia perlihatkan.
Maka, mendengar perintah Ang Louw, ia lalu berlutut di atas
dahan itu, sama sekali tidak takut terguling karena ia yakin
bahwa tiga orang gurunya takkan membiarkan ia jatuh
terguling. Anehnya, karena pikiran ini, ia memperoleh
ketenangan dan kalau tadinya ia merasa sukar sekali untuk
menahan dirinya agar jangan jatuh, sekarang ia merasa
mudah saja berdiri atau duduk di atas dahan, bahkan ia
dapat berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada
tiga orang kakek itu tanpa kehilangan keseimbangan
tubuhnya. 37 Demikianlah, mulai saat itu, Tiang Bu telah menjadi
murid tiga orang tokoh besar dari utara yang kepandaiannya
tinggi sekali dan memiliki watak aneh dan jahat seperti
setan. Dengan bergiliran mereka mulai memberi pelajaran
ilmu silat kepada Tiang Bu yang ternyata benar-benar
mempunyai bakat yang luar biasa dalam ilmu ini. Pelajaran
ini diberikan sambil melakukan perjalanan, yaitu menuju ke
selatan, melewati Sungai Yangce, meninggalkan daerah Cin
dan memasuki daerah, Sung.
-oo0mch0oo- Siapakah sebetulnya Pak-kek Sam-kui dan apa tujuan
mereka pergi ke daerah Kerajaan Sung"
Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga di antara
banyak sekali orang-orang pandai yang membantu Temu
Cin, raja dari bangsa Mongol yang mulai bangkit dan kuat.
Masih banyak orang-orang yang selihai mereka ini, bahkan
ada yang lebih lihai lagi, yang masih berada di Mongol
membantu Temu Cin menaklukkan semua suku bangsa di
utara yang nnasih belum mau tunduk.
Adapun Pak-kek Sam-kui tadinya di-utus oleh Temu Cin
untuk menemui Wanbengcu di Lu-liang-san dan
mengundang bengcu muda yang tersohor namanya itu. Tentu
saja maksud Temu Cin adalah hendak menarik hati bengcu
ini, karena adalah menjadi cita-citanya untuk kelak
menyerbu ke selatan dan paling baik ia mendekati orang-
orang gagah di selatan. Kalau sampai mereka ini mau
membantunya, tentu kedudukannya menjadi makin kuat.
Temu Cin amat cerdik dan pandai mengambil hati orang-
orang gagah. Untuk membagi hadiah ia berlaku royal sekali.
Akan tetapi sebagaimana telah di-tuturkan di bagian atas,
Wan-bengcu tidak mau menerima undangan itu, bahkan
mereka menjadi bentrok dengan Hui-eng Niocu yang
kebetulan berada di Lu-liang-san. Semua ini mereka laporkan
38 kepada Temu Cin yang menyatakan ke-kecewaannya,
kemudian tiga orang kakek . ini disuruh mengadaka.n
hubungan dengan orang-orang kang-ouw di daerah selatan,
yaitu di wilayah Negara Sung.
Berangkatlah Pak-kek Sam-kui. Mereka teringat akan
hinaan yang mereka peroleh ketika di Lu-liang-san oleh Hui-
eng Niocu, maka sambil membawa pasukan yang kuat,
mereka singgah di Go-bi-san yang dekat dengan perbatasan
negaranya untuk melakukan balas dendam, kalau perlu
membasmi Hui-eng- pai. Akan tetapi siapa kira di situ
mereka bertemu pula dengan Wan-bengcu yang membantu
Hui-eng Niocu sehingga tiga orang kakek ini mengalami
kekalahan dan terpaksa melarikan diri sambil membawa
Tiang Bu yang dianggap sebagai penebus kekalahan mereka.
Dengan berhasil menculik murid Hui-eng Niocu atau
bahkan calon murid Wanbengcu, tiga orang kakek ini sudah
merasa puas dan mereka tidak mempedulikan lagi nasib
pasukan yang mereka tinggalkan.
Pada suatu hari, setelah mereka melakukan perjalanan
melalui Propinsi Shen-si dan Se-cuan mereka melintasi
Sungai Yang-ce dan tiba di sebuah dusun di Propinsi Kwicu.
Dusun ini terkenal sebagai tempat di mana seringkali terjadi
pertempuran-pertempuran kecil antara orang-orang di
daerah selatan. Di sebelah selatan dusun ini terletak kota
Cun-yi yang menjadi pusat perkumpulannya orang-orang
gagah. Ke kota inilah yang menjadi tujuan Pak-kek Sam-kui.
Akan tetapi oleh karena hari sudah mulai gelap ketika
mereka tiba di dusun Ui-cun itu, mereka lalu bermalam di
sebuah kelenteng yang sudah rusak dan nampak kotor
karena tidak terurus. Ketika mereka memasuki kelenteng
yang tidak berdaun pintu lagi itu, di dalam banyak terdapat
sarang laba-laba. Bau tempat itu pun tidak enak sekali,
tanda bahwa selain tidak terurus, juga tempat ini kotor
sekali, berbau kencing dan kotoran manusia. Baru masuk
saja Tiang Bu sudah merasa muak. Akan tetapi Pak-kek Sam-
39 kui dengan enaknya terus saja masuk dan melempar tubuh
di atas lantai. "Siauw-sute, coba kaucari makanan dan terutama
minuman, aku merasa haus sekali," kata Ci Kui kepada Ang Louw. Si Muka Singa ini terkekeh-kekeh, kemudian tubuhnya
berkelebat dan lenyaplah ia. Hanya bayangannya saja yang
berkelebat cepat keluar dari pintu.
Baru saja Sin-saikong Ang Louw keluar, terdengar
dengkur dua orang kakek yang rebah di atas lantai! Tiang Bu
duduk bersila setelah membersihkan lantai di sudut
ruangan itu, mengenangkan semua pengalamannya. Biarpun
ia harus hidup tidak karuan, kadang-kadang dua hari tidak
makan dan ada kalanya perutnya dipenuhi makanan lezat
tiada habis-habisnya sampai kekenyangan, kadang-kadang ia
disuruh berlari-lari naik turun gunung akan tetapi karena
tiga orang gurunya tidak sabar melihat kelambatannya, ia
lebih sering digendong, namun tak boleh disangkal bahwa
tiga orang gurunya yang buruk watak itu memperlakukan
dengan baik. Telah ribuan li ia melakukan perjalanan
bersama Pak-kek Sam-kui dan telah berbulan-bulan ia
mengikuti mereka. Dan dia mendapatkan sesuatu yang amat
menonjol pada diri tiga orang kakek yang kasar dan jahat
itu, yaitu watak setia kawan di antara mereka bertiga."
Tak lama kemudian terdengar suara terkekeh-kekeh dari
Si Muka Singa. Keadaan di dalam ruangan kelenteng itu
sudah gelap. Hanya Tiang Bu yang masih belum tidur, anak
ini duduk mengatur pernapasannya seperti yang ia pelajari
dari guru-gurunya dan menahan lapar yang menggerogoti isi
perutnya. Hanya ada angin menyambar ketika Ang Louw
masuk ke dalam ruangan itu dan tak lama kemudian
nampak api menyala dan tiga batang lilin dipasang oleh Si
Muka Singa ini di atas meja sembahyang yang sudah
bobrok. Selain lilin menyala ini, juga di atas meja kelihatan sepanci besar mi dan di sebelahnya terlihat hiolouw (tempat
abu hio) besar sekali yang terisi ....... arak wangi! Dan
40 lucunya, dua orang kakek yang tadinya tidur mendengkur,
seperti disiram air dingin, tiba-tiba melompat bangun dan
berteriakteriak. "Arak ....... ! Arak ....... !" Mereka tertawa dan menyerbu meja. Bergantian tiga orang kakek ini minum arak wangi itu
dari hiolouw besar begitu saja tanpa cawan lagi.
"Enak ....... enak ....... eh, Sute, kau mendapatkan arak dan mi ini dari mana?" kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw.
Adapun Giam-lo-ong Ci Kui lalu memanggil Tiang Bu untuk
ikut makan mi yang ternyata memang enak sekali. Untuk
minum arak dengan mengangkat hiolouw itu, tentu saja
Tiang Bu tidak kuat, maka ia lalu minum arak menggunakan
....... tangannya yang dijadikan pengganti cawan! Anak
berusia lima tahun ini sekarang sudah biasa minum arak
keras. Setelah tertawa bergelak, Ang Louw menjawab
pertanyaan ji-suhengnya. "Di dusun seperti ini, mana ada warung arak yang baik"
Mana ada masakan mi yang selezat ini" Aku sudah putar-
putar dan hanya mendapatkan warung arak yang menjual
arak campur air. Baiknya hidungku tajam, aku mencium bau
arak wangi keluar dari sebuah kelenteng.' Ketika aku masuk
ke dalam, kulihat lima orang hwesio muda menghadapi arak
dan masakan mi ini. Aku totok mereka, aku kumpulkan mi
dalam panci dan karena di sana tidak ada guci besar, aku
lalu mengambii hio-louw kelenteng itu, menuang-nuangkan-
semua arak dari guci kecil, dan me mbawa semua ini ke sini
setelah menyambar tiga buah lilin."
(Bersambung Jilid ke III)
41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid III Kembali tiga orang itu tertawa, tergelak. Sebentar saja mi
yang sepanci besar banyaknya telah habis, pindah ke dalam
perut empat orang ada sepuluh kati lebih dan arak
sehiolouw penuh itu. Dan tak lama kemudian terdengar
dengkur mereka, dan kali ini Tiang Bu juga ikut tidur pula
setelah perutnya diisi. Di atas meja sembahyang yang bobrok
itu hanya kelihatan sisa-sisa makanan, dan hiolouw bekas
tempat arak telah terguling miring di atas meja, sedikit sisa arak mengalir keluar membasahi meja.
Matahari telah naik tinggi ketika Tiang Bu membuka
matanya, kaget dan bangun mendengar suara ribur-ribut. la
melihat tiga orang suhunya telah bangun, bahkan Ang Louw
nampak sedang ribut mulut dengan seorang hwesio yang
berwajah angker. I a marah-marah dan mencaci-maki.
"Kalian ini iblis-iblis dari mana berani membikin rusuh di Ui-cun?"
Si Muka Singa Ang Louw tertawa dan bertolak pinggang.
"Badut Gundul, kau datang-datang marah mau apa" Kau
seperti raja kehilangan selir saja. Apa gundulmu terbentur
1 pintu?" Memang Ang Louw yang mukanya seperti singa ini
paling doyan berkelakar, berbeda dengan dua orang
suhengnya yang bersungguh-sungguh menghadapi lain
orang dan hanya tertawa bergurau dengan saudara sendiri.
Hwesio itu nampak makin marah. I a membanting kaki
kanannya dan ....... lantai yang dihantam oleh kakinya
menjadi jebol, kakinya masuk ke dalam lubang sekaki lebih!
"Keparat, kau ini saikong siluman agaknya yang telah
menghina murid-muridku. Kau merampas hidangan orang,
menurunkan tangan jahat, menotok hwesio-hwesio suci,
menghina kelenteng dengan membawa pergi hiolouw yang
kau isi dengan arak. Kau benar-benar dikutuk para dewata!"
Ang Louw menyeringai dan mukanya benar-benar
menyerupai singa yang hendak menerkam mangsanya.
"Badut GunduL orang-orang macam kau dan murid-
muridmu memang patut dihajar. Mana ada hwesio-hwesio
menghadapi hidangan berupa arak dan mi yang penuh
dengan daging" Kalian ini mempunyai pekerjaan mengemis
dan minta belas kasihan orang untuk mengisi perut.
Sekarang kami orang-orang asing datang dengan perut
kosong, sudah sepatutnya kalian yang sudah seribu kali
minta makanan dari orang lain itu sekali-kali memberi
sedekah kepadaku. Tentang hiolouw, bagaimana kaubilang
aku menghina" Hiolouw biasanya buat tempat abu, aku
meminjamnya untuk diisi arak dan dipakai untuk minum itu
tandanya malah menghormat."
Hwesio itu marah sekali. Dengan menggeram ia memukul
Ang Louw. Gerakannya cepat pukulannya berat. Tidak aneh,
karena hwesio ini sebetulnya adalah anak murid dari


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaolikung-pai, seorang di antara para murid ketua kelenteng
di Kaolikung-san. Kepandaiannya sudah tinggi dan dengan
murid-muridnya ia bertugas mengepalai kelenteng di Ui-cun
sekalian memata-matai gerakan orang-orang utara yaitu
orang-orang yang datang dari daerah Cin.
2 Kaolikung-pai termasuk partai yang anti kepada
pemerintah Cin dan termasuk sebagai pelopor dalam tiap
pertempuran kecil-kecilan antara orang-orang dari daerah
Cin dengan orang-orang dari daerah Sung. Ketika hwesio itu
pulang dari bepergian dan melihat murid-muridnya tertotok
kaku seperti patung dan selain arak dan makanan, juga
hiolouw dibawa pergi orang, ia menduga bahwa ini tentu
perbuatan orang-orang dari utara. Cepat ia melakukan
penyelidikan dan pada keesokan harinya baru ia
rnendapatkan tiga orang aneh dan seorang bocah tidur di
dalam kelenteng bobrok yang sudah tidak dipakai lagi itu.
Akan tetapi Ang Louw yang diserang itu tertawa-tawa
mengejek. "Eh, eh, kau mau berkelahi" Apa kau sudah
bosan hidup?" Hwesio itu yang beberapa kali serangannya dapat
dielakkan dengan mudah oleh lawannya menjadi naik darah
dan serangannya makin gencar. Sebuah tonjokannya yang
dilakukan dengan sekuat tenaga mampir di pundak Ang
Louw, membuat Si Muka Singa itu meringis-ringis. Memang
ilmu silat memiliki keistimewaan masing-masing dan biarpun
kepandaian Ang Louw jauh lebih tinggi, namun menghadapi
lawan yang menggunakan ilmu silat asing baginya, tidak
aneh kalau ia sampai terkena pukulan.
Akan tetapi pukulan ini membuat Si Muka Singa marah
sekali. Ia mengeluarkan auman yang keras dan
menyeramkan sekali. Hwesio itu terkejut karena tiba-tiba ia
merasa tubuhnya tergetar hebat oleh suara auman yang
melebihi auman singa hebatnya.
Gerakan kaki tangannya menjadi lambat dan di lain saat
Si Muka Singa menerkam maju dengan dahsyat, tangan
kanannya menyambar dengan tenaga ratusan kati memukul
dagu hwesio itu. "Prakkk ....... !" Demikian kerasnya pukulan ini sehingga kepala hwesio yang tidak berambut itu menjadi pecah
3 berantakan! Tubuhnya terlempar dan roboh terguling-guling
di sudut, mati sebelum tubuhnya jatuh di tanah.
Melihat kehebatan pukulan ini, Tiang Bu diam-diam
merasa ngeri, akan tetapi juga kagum. Akan tetapi Giam-lo-
ong Ci Kui menegur Si Muka Singa.
"Siauw-sute, kau benar-benar gegabah. Kita datang
untuk menghubungi orangorang kang-ouw, akan tetapi
datang-datang kau membunuh seorang hwesio. Sungguh
bukan permulaan yang baik."
"Twa-suheng, hwesio macam begini saja, apa sih artinya"
Tugas kita adalah menghubungi tokoh-tokoh besar dan
ketua-ketua partai," Sutenya membantah.
Ci Kui tidak banyak cakap lagi lalu mengajak
rombongannya segera me lanjutkan perjalanan, menuju ke
kota Cun-yi di sebelah selatan dusun itu. Jalan menuju ke
Cun-yi melalui pegunungan yang sunyi dan penuh dengan
hutan yang lebat. Oleh karena masih asing dengan daerah
ini, maka biarpun jsrak ke kota itu hanya seratus li, akan
tetapi Pak-kek Sam-kui harus bertanya-tanya kepada orang-
orang dusun dan perjalanan tak dapat dilakukan cepat-
cepat. Salahnya, tiga orang kakek itu melakukan perjalanan
terburu-buru oleh karena Ci Kui hendak menghindari segala
ekor yang tidak enak dari peristiwa pembunuhan hwesio itu,
maka pada hari pertama itu mereka telah sesat jalan! Mereka
tersesat ke dalam hutan yang amat besar dan liar di antara
perbatasan Propinsi Kwicu dan Secuan dan tanpa disadari
mereka memasuki daerah Tai-hang-san! Telah sehari penuh
mereka berjalan cepat, Tiang Bu digendong oleh Liok-te Mo-
ko Ang Bouw akan tetapi sampai matahari terbenam mereka
masih belum keluar dari daerah pegunungan yang penuh
hutan itu. Terpaksa malam hari itu mereka bermalam di
hutan. Karena sehari penuh tidak pernah melihat ada
dusun, tentu saja mereka masih belum dapat minta
4 keterangan kepada penduduk dan karenanya masih belum
sadar bahwa mereka mengambil jalan yang salah.
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian mereka berada di lereng gunung dan
melihat puncak gunung menjulang tinggi di depan, Ci Kui
berkata. "Ah, kita telah salah jalan. Di depan ada gunung tinggi
padahal menurut keterangan, jalan menuju ke Cun-yi tidak
melewati puncak gunung yang tinggi."
"Sejak kemarin aku sudah bilang, Suheng. Kita menuju
ke jurusan tenggelamnya matahari berarti kita telah
mengambil jalan ke barat. Padahal seharusnya kita ke
selatan," kata Liok-te Mo-ko sambil menurunkan Tiang Bu
dari gendongan dan rnengeringkan peluh di kepalanya yang
botak menggunakan ujung bajunya.
Selagi mereka termenung memandang puncak gunung
yang tidak mereka kenal itu tiba-tiba Ci Kui berseru.
"Hai, di sana ada orang bertempur." Dan ia lari melalui
lereng yang menanjak naik, diikuti oleh kedua sutenya. Tiang
Bu juga berlari secepatnya untuk mengikuti gurugurunya,
akan tetapi tentu saja ia tertinggal. Ia tidak takut
ditinggalkan dan mengejar terus. Anak kecil ini sudah
terlatih dalam hal berlari melalui jalan-jalan pegunungan
yang sukar-sukar. "Ah, yang bertempur adalah orang-orang pandai. Ini
kesempatan baik bagi kita untuk menghubungi mereka dan
membantu mereka," kata pula Ci Kui setelah melihat empat orang hwesio setengah tua yang berwajah keren tengah
mengeroyok seorang hwesio lain yang lihai sekali llmu
silatnya. Empat orang hwesio itu dilihat dari bentuk
pakaiannya saja dapat diduga bahwa rnereka adalah hwesio-
hwesio yang biasa menjadi penghuni kelenteng-kelenteng di
Tiongkok selatan, sedangkan hwesio yang dikeroyok dan
lihai sekali itu berjubah merah darah, bermuka hitam dan
5 tinggi sekali hidungnya bengkok. Melihat ini, Pak-kek Sam-
kui segera dapat menduga bahwa hwesio lihai yang berjubah
merah dan ;memakai topi pendeta kuning itu tentulah
seorang pendeta dari Tibet, pendeta Lama yang banyak
merantau ke Tiongkok. "Sute, pendeta Lama itu lihai sekali. Akan tetapi kita
harus membantu empat orang hwesio itu," kata Ci Kui
kepada dua orang sutenya. Dua orang sutenya juga maklum
akan maksud suheng mereka, maka tanpa banyak cakap
lagi tiga orang ini lalu melompat ke gelanggang pertempuran.
"Lama kurang ajar, jangan banyak tingkah di sini!" bentak Ci Kui sambil menyerang dengan pukulan-pukulannya yang
dahsyat. Juga Ang Bouw dan Ang ouw berseru keras.
"Empat sahabat jangan khawatir, kami datang
membantu!" Pendeta Lama yang mainkan sebuah tongkat pendeta
panjang itu nampak terkejut sekali, karena serbuan tiga
orang ini benar-benar hebat sekali. Tadi, menghadapi
sebuah toya, dua buah tom-bak dan sepasang golok yang
dimainkan oleh empat orang pengeroyoknya, ia masih
mendapat angin dan berada di fihak yang mendesak. Akan
tetapi begitu tiga orang kakek aneh seperti iblis itu
menyerbu, biarpun mereka ini hanya bertangan kosong,
sebentar saja ia menjadi terdesak hebat. Sebaliknya empat
orang hwesio itu menjadi girang dan bertambah semangat
mereka karena menerima bantuan tiga orang pandai yang
belum pernah mereka lihat sebelumnya.
"He, kalian ini bukankah orang-orang dari dunia utara"
Mengapa mencampuri urusan kami!" Pendeta Lama itu
biarpun terdesak hebat, masih sempat menegur Pak-kek
Sam-kui. Tiga orang kakek ini kagum juga akan ketajaman
mata pendeta yang sudah tua itu.
"Kau ini pendeta dari barat berani kurang ajar terhadap
sahabat-sahabat kami dari selatan, tentu saja kami
6 membantu!" kata Ci Kui yang sengaja berkata demikian
untuk menarik hati empat orang hwesio itu. Ia dapat
menduga bahwa empat orang hwesio yang belum dikenalnya
ini tentulah tokoh-tokoh selatan yang ternama, maka dengan
mengambil hati mereka, akan lebih mudah ia menghubungl
tokoh-tokoh selatan. Di lain fihak, empat orang hwesio itu khawatir kalau-
kalau tiga orang kakek aneh yang membantu akan
meoghentikan bantuannya, maka seorang di antara mereka
berseru. "Sam-wi Locianpwe, jangan melepaskan penjahat
berkedok Lama ini. Dia telah mencuri pusaka dari Omei-
san!" Pendeta Lama itu tertawa terbahak bahak. "Ha, ha, ha,
ada perampok-perampok berteriak maling. Sungguh lucu!"
Setelah berkata demikian, karena tidak tahan akan desakan
tujuh orang itu, ia memutar tongkat panjangnya secara
istimewa sekali, cepat dan kuat-kuat hingga angin
pukulannya saja membuat tujuh orang lawannya, kecuali
Giam-lo-ong Ci Kui seorang, terpaksa bergerak mundur. Ini
menandakan bahwa tenaga lweekang dari pendeta Lama itu
amat besar dan hanya Ci Kui yang mampu menahan.
Kesempatan ini dipergunakan oleh pendeta Lama untuk
melompat pergi dan melarikan diri.
"Jangan lari!" seru Sin-saikong Ang Louw sambil
menubruk maju dan ketika ia bergerak dari kedua
tangannya menyambar sinar-sinar merah yang amat lembut.
Inilah jarum-jarum rahasia dari Sin-saikong Ang Louw yang
amat lihai. Akan tetapi anehnya, pendeta Lama itu tidak
mengelak dan terus saja lari. Jarum-jarum itu ketika
mengenai jubah yang lebar dan berkibar di belakang
menutupi tubuh pendeta itu, menancap akan tetapi tidak
menembus. Ternyata bahwa yang dipakai oleh pendeta Lama
itu bukanlah jubah sembarangan, melainkan jubah sutera
7 istimewa yang di sebelah dalamnya terdapat kain benang-
benang perak yang amat kuat!
"Kejar penjahat itu!" Empat orang hwesio tadi berteriakteriak dan lari mengejar. Pak-kek Sam-kui juga mengejar,
akan tetapi mereka ini ketika melihat bahwa ilmu lari cepat
dari empat orang hwesio itu tidak dapat melawan ilmu lari
cepat si pendeta Lama, lalu mengendurkan larinya dan tidak
mengejar dengan sungguhsungguh hendak memusuhi si
pendeta Lama. Pendeta Larha itu berlari cepat melihat tujuh orang
mengejarnya terus. Tiba-tiba di depannya ia melihat seorang
bocah yang wajahnya amat menarik perhatiannya. Bocah ini
nampak sehat kuat, jujur dan sinar matanya tajam luar
biasa. Pakaian bocah yang sederhana dan compang-camping itu
menandakan bahwa ia berhadapan dengan seorang bocah
gunung. Tiba-tiba terdengar suara aneh dari sebelah kiri, di
balik puncak. Suara ini melengking tinggi seperti suling,
kemudian mengalun dan lapat-lapat terdengar seperti suara
ketawa seorang wanita, suara ketawa yang merdu.
"Celaka ....... " pendeta Lama itu menjadi pucat, "kalau dia ikut mengejar ....... " Timbul pikiran yang amat baik. Ia melompat ke dekat bocah itu yang bukan lain adalah Tiang
Bu yang sedang susah payah mengejar tiga orang suhunya.
Di-keluarkannya sebuah bungkusan dari jubahnya,
diberikan bungkusan itu kepada Tiang Bu dan pendeta itu
berkata. "Anak baik, kausimpankan ini. Ku titipkan kepadamu,
kelak aku akan datang mengambilnya. Siapa namamu?"
"Namaku Tiang Bu," jawab bocah itu sambil menerima
bungkusan. Pada saat itu terdengar suara lengking meninggi
itu! "Lekas, simpan dalam bajumu jangan kelihatan orang,"
kata pendeta Lama sambil membantu Tiang Bu
8 memasukkan bungkusan itu ke dalam saku baju di sebelah
dalam. Kemudian pendeta itu tiba-tiba menarik lengan Tiang
Bu dan melemparkan anak itu ke dalam jurang! '
"Tinggal dulu di sana, jangan berteriak. Kalau ada orang melihatmu, kau akan mampus!" kata pendeta Lama itu yang
cepat lari ke depan. Akan tetapi baru belasan kali lompatan, tiba-tiba
berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita
cantik sekali telah berdiri di depannya. Wanita ini
berpakaian serba putih, wajahnya kemerahan dan
rambutnya yang halus hitam panjang itu terurai di belakang
punggungnya. Sebatang pedang menempel pada punggung,
sikapnya gagah sekali. Ketika ia mengangkat tangan kirinya
ke atas dengan isyarat menyuruh Lama itu berhenti, nampak
jelas bahwa telapak tangannya kemerahan seperti berlepotan
darah. Inilah Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Tangan Merah).
"Thai Gu Cinjin, berhenti dulu" wanita itu berseru
suaranya merdu dan tinggi nyaring menusuk telinga tanda
bahwa di-keluarkan dengan pengerahan tenaga khikang.
Kemudian terdengar suara ketawanya yang aneh seperti
lengking suling. Pendeta Lama itu nampak gelisah
mendengar suara ketawa ini.
"Ang-jiu Mo-li, kau menghentikan pinceng ada keperluan
apakah?" tanyanya, suaranya digagah-gagahkan agar tidak
kelihatan bahwa dia gentar menghadapi wanita ini . Memang
sungguh lucu melihat tokoh besar seperti Thai Gu Cin-jin
yang di Tibet terkenal sebagai jagoan berilmu tinggi,
kelihatan gentar menghadapi seorang wanita cantik yang
biarpun kelihatan muda jelita akan tetapi sudah berusia lima
puluh tahun ini! Ang-jiu Mo-li sekali lagi tertawa cekikikan, kemudian
suara ketawanya terhenti tiba-tiba dan keningnya berkerut,
matanya memancarkan cahaya menakutkan.
9 "Thai Gu Cinj in, sudah lama aku mendengar bahwa kau
adalah seorang pendeta Lama yang paling cerdik banyak akal
dan suka pura-pura. Ternyata sekarang betul, kau masih
hendak berpura-pura dan bertanya apa maksudku
menghentikanmu, seakan-akan kau tidak berdosa sama
sekali! Akan tetapi aku tidak mau seperti kau, aku berterus
terang saja. Aku sengaja menghadangmu dan lekas-lekas


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kauberikan kitab-kitab Omei-san itu."
Mendengar ini Thai Gu Cinjin berdongak ke atas, tertawa
bergelak dan memukulmukulkan ujung tongkatnya ke atas
tanah sehinggga batu-balu menjadi remuk.
"Ha, ha, ha, ha! Kau juga, Ang-jiu Mo-li" Benar-benar
lucu. Baru saja Le Thong Hosiang, Nam Kong Hosiang, Nam
Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin empat orang hwesio
goblok itu mengeroyok pinceng dan juga minta kitab dari
Omei-san. Apa kaukira mudah saja mengambil kitab dari
dalam gua yang dijaga oleh dua ekor naga sakti itu" Kau
boleh coba-coba mengambilnya di Omei-san! Ha, ha, ha!"
"Kalau mempergunakan tongkatmu itu aku percaya, kau
takkan mampu mengambll kitab dari Omei-san. Akan tetapi
tipu muslihatmu mungkin membuatmu berhasil. Aku
mendengar berita bahwa kau sudah berhasil menipu Tiong
Jin Hwesio. Nah, sekarang jangan banyak cakap, lekas
kauserahkan kitab itu kepadaku."
"Eh, kau tidak percaya kepadaku, Ang-jiu Mo-li" Pinceng
bersumpah bahwa kitab itu tidak ada pada pinceng!"
"Hmmm, siapa percaya pada sumpahmu" Perlihatkanlah
isi saku bajumu." "Ang-jiu Mo-li, kau benar-benar terlalu! Kau tidak saja tak percaya kepada kata-kata pinceng, bahkan sampai pinceng
bersumpah kau tidak percaya. Kau ingin menggeledah?"
"Betul, lekas buka jubahmu dan ja- i ngan banyak
cerewet!" "Ini penghinaan namanya!"
10 "Habis kau mau apa?"
"Ang-jiu Mo-li, sudah lama pinceng tidak merasai
kelihaianmu. Kalau kau dapat merampas tongkat pinceng
ini, baru pinceng mengaku kalah dan menuruti kehendakmu
memeriksa saku jubahku ini." Setelah berkata begini, pendeta Lama yang bernama Thai Gu Cinjin itu lalu memegang
tongkatnya lurus ke depan dada dengan tangan kanan
disodorkan ke arah Ang-jiu Mo-li.
Wanita ini kembali tertawa aneh. "Kalau aku tidak melihat kau sudah tua dan sudah bersusah payah meninggalkan
Tibet untuk mencari kitab Omei-san, tentu kau takkan dapat
meninggalkan tempat ini dengan nyawa dalam tubuhmu.
Baiklah, kaupertahankan tongkatmu!"
Ang-jiu Mo-li lalu menangkap tongkat itu dengan tangan
kirinya, mengerahkan tenaga lweekang disalurkan ke arah
tongkat untuk membetot, Thai Gu Cinjin mempertahankan.
Ang-jiu Mo-li mengubah-ubah tenaganya, kadang-kadang
membetot, kadang-kadang mendorong. Akan tetapi Thai Gu
Cinjin tak dapat diakali dan dapat mengimbangi serangan
lawan. Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li mengeluarkan seruan keras dan
warna merah dari telapak kedua tangannya menjalar
perlahan-lahan sehingga tak lama kemudian tongkat di
bagian yang terpegang oleh wanita ttu mulai mengeluarkan
uap! Terus saja uap itu menjalar menuju ke tangan Thai Gu
Cinjin yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi
mengandalkan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi sekali,
dia tidak takut dan bersiap-siap menerima serangan hawa
dari tangan merah itu. Uap terus menjalar menyusuri
tongkat, tanda bahwa hawa itu makin lama menjalar makin
jauh mendekati lawan. Akhirnya uap menyentuh tangan Thai
Gu Cinjin yang memegang tongkat.
Pendeta Lama ini merasa seakan-akan ia memegang besi
merah. Panasnya tak tertahankan lagi, apalagi selain hawa
panas ini masih disertai hawa mendorong yang amat dahsyat.
11 Ia mempertahankan, akibatnya, telapak tangannya mulai
hangus dan beruap, mengeluarkan bau seperti kulit dibakar.
"Menyerah ....... '" katanya terengah-engah karena ia menahan napas dan mengerahkan seluruh tenaga.
Ang-jiu Mo-li tertawa nyaring sekali dan menancapkan
tongkat yang sudah berpindah tangan itu ke atas tanah.
Tongkat amblas sampai setengahnya. Tanpa banyak cakap
lagi, Thai Gu Cinjin membuka jubah luarnya dan
melemparkan jubah di atas tanah. Ia kini hanya memakai
pakaian dalam yang ringkas dan tidak bersaku.
Dengan ujung sepatunya, Ang-jiu Mo-Li meraba-raba
jubah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa di situ tidak
tersimpan kitab, ia nampak kecewa dan marah.
Dipandangnya, wajah Thai Gu Cinjin dengan tajam.
"Thai Gu Cinjin, sekarang kau menang. Memang kau tidak
membawa kitab, akan tetapi kalau kelak ternyata kitab itu ada padamu, ingatlah bahwa aku tidak biasa melupakan penghinaan orang kepadaku. Dan kalau saat ini kau menipuku, berarti kau telah menghinaku!" Setelah berkata demikian,
sekali berkelebat lenyaplah wanita yang mengerikan itu. Thai Gu Cinjin mencabut tongkatnya sambil menarik napas panjang, memakai lagi jubahnya yang merah, lalu tiba-tiba ia berpaling
12 memandang ke arah tujuh orang yang baru saja muncul dari
tempat persembunyiannya. "Nah, apakah kalian hendak melanjutkan pertempuran
tadi sampai mati?" bentaknya marah.
Tujuh orang ini bukan lain adalah empat orang hwesio
dan tiga kakek Pak-kek Samkui. Mereka ini tadi mengejar
dan melihat Thai Gu Cinjin bertengkar dengan seorang
wanita baju putih yang kedua tangannya merah, mereka
berhenti. Pak-kek Sam-kui menjadi pucat ketika mengenal
bahwa wanita itu bukan lain adalah Ang-jiu Mo-li yang
mereka takuti, maka buru-buru mereka mengajak empat
orang hwesio itu bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah
Ang-jiu Mo-li pergi, baru mereka berani muncul. Thai Gu
Cinjin yang merasa terhina oleh Ang-jiu Mo-li akan tetapi
tidak berdaya, melihat munculnya bekas lawan ini,
menimpakan kemarahannya kepada mereka dan menantang
mereka melanjutkan pertempuran.
Akan tetapi ketika empat orang hwe-s io itu melihat betapa
setelah digeledah ternyata pendeta Lama itu benar-benar
tidak menyimpan kitab yang mereka hendak rebut, mereka
bahkan menjura memberi hormat dan Le Thong Hosiang
berkata. "Mohon Taisuhu sudi memaafkan kami yang keliru
menyangka dan telah berlaku kurang ajar."
Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara di hidung, melirik ke
arah Pak-kek Sam-kui dan berkata perlahan, "Ang-jiu, Mo-Li Si Ratu Iblis dari utara datang untuk mencari kitab Omeisan, agaknya banyak orang-orang dari utara juga datang
beramai-ramai. Hemmm, kalau yang tiga ini bukan Tiga
Setan Kutub Utara, siapa lagi?".
Giam-lo-ong Ci Kui menjura dan tertawa. Ia maklum
bahwa ilmu kepandaian dari Thai Gu Cinjin tinggi sekali dan
biarpun mereka bertujuh mengeroyok, kalau .dilakukan
13 pertempuran mati-matian, andaikata mereka menang
sekalipun tentu di fihak mereka akan jatuh banyak korban.
"Penglihatan Cinjin benar-benar tajam sekali. Kelak kalau ada kesempatan ke Tibet, tentu kami bertiga akan
mengadakan kunjungan penghormatan."
Kembali Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara mengejek di
hidung, kemudian menyeret tongkatnya dan pergi dari situ.
Tentu saja ia tidak terus pergi meninggalkan pegunungan
itu, melainkan berkeliaran di sekitar situ mencari Tiang Bu.
Akan tetapi alangkah heran, kaget dan mendongkolnya
ketika ia tidak dapat menemukan bocah yang ia titipi kitab-
kitab itu! Tadi ia melemparkan Tiang Bu ke dalam jurang
mempergunakan ke-pandaiannya sehingga bocah itu tidak
terluka ketika tiba di dasar jurang, akan. tetapi sekarang
bocah itu sudah tidak berada di dalam jurang lagi, entah ke
mana perginya dan dengan cara bagaimana. Thai Gu Cinjin
marah-marah, terus mencari, bahkan pergi ke sekitar puncak
gunung itu, tetap saja sia-sia dan tidak menemukan bocah
itu. "Celaka! Bocah s etan! Kalau aku mendapatkan engkau,
akan kuputar batang lehermu. Berani kau mempermainkan
aku," pikir pendeta Lama itu dengan marah dan terus
mencari-cari, kini menuju ke selatan karena disangkanya
bocah itu tentu telah lari ke selatan membawa bungkusan
kitab-kitab itu. Adapun Pak-kek Sam-kui pada saat itu sedang bercakap-
cakap dengan empat orang hwesio itu. Memang, empat orang
hwesio itu bukan lain adalah Le Thong Hosiang, Nam Kong
Hosiang, Nam Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin, empat
orang hwesio yang pernah datang di Lu-liangsan dan
membuka rahasia Wan-bengcu sebagai keturunan dari
Pangeran Wanyen yang dibenci oleh orang-orang gagah,
kemudian telah dituturkan di bagian depan betapa Le Thong
Hosiang telah mengadu kepandaian dengan Bu Kek Siansu.
14 Le thong Hosiang dan kawan-kawannya memberi hormat
kepada Pak-kek Sam-kui dan memperkenalkan namanya.
Kemudian ia berkata. "Sudah lama pinceng mendengar nama besar Sam-wi
Locianpwe dan kebetulan sekali hari ini selain menyaksikan
kelihaian Sam-wi, juga telah menerima pertolongan. Pinceng
dan kawan-kawan menghaturkan banyak terima kasih.".
Giam-lo-ong Ci Kui tertawa. "Ah, Saudara-saudara terlalu sungkan. Sudah selayaknya orang-orang segolongan saling
membantu dan tentang kepandaian ....... ah. memalukan
bicara tentang kepandaian setelah kita bertemu dengan
orang-orang seperti Thai Gu Cinjin dan lebih-lebih Ang-jiu
Mo-li itu. Hanya orang dengan kepandaian tinggi seperti
Wan-bengcu kiranya boleh dibandingkan dengan mereka".
Ci Kui sengaja menyebut Wan-bengcu untuk melihat
bagaimana hubungan mereka ini dengan bengcu itu. Girang
hatinya melihat betapa wajah empat orang hwesio itu menjadi
muram, bahkan Heng tuan Lojin berkata tak senang.
"Orang-orang utara memang banyak yang pandai, sayang
mereka tolol, memilih bengcu keturunan Pangerah Cin dan
bekas penjahat pula!"
Ci Kui tertawa girang. "Cocok! Memang kami sendiri
merasa benci melihat bengcu yang muda sorhbong dan
keturunan bangsawan penindas rakyat itu! Akari tetapi,
mengapa saudara-saudara dari selatan tidak mau turun
tangan dan mendiamkannya saja bangsat itu merajalela?"
Le Thong Hosiang menarik napas panjang. "Orang-orang
kang-ouw di daerah utara itulah yang menyebabkan. Mereka
semua percaya kepada bengcu mereka dan menyokongnya.
Terus terang saja, di utara banyak terdapat orang-orang
pandai dan andaikata kami turun tangan terhadap Wan-
bengcu kami tentu akan bermusuhan dengan semua orang
kang-ouw di sana." 15 Ci Kui melanjutkan pancingannya. "Heran sekali,
bukankah di selatan ini banyak sekali terdapat orang-orang
pandai" Bahkan dulu aku pernah mendengar nama besar
dari seorang bengcu di sini yang disebut Tung-nam Beng-cu
(Ketua Persilatan Selatan dan Timur) dan bernama Liok Kong
Ji!" Le Thong Hosiang mengangguk-angguk. "Memang betul,
akan tetapi Liok-taihiap itu hanya sebentar saja berada di
sini memirripin kami. Sekarang dia telah pergi menghilang
dari dunia kang-ouw, entah ke mana. Paling akhir ia berada
di utara, akan tetapi di sana ia dimusuhi oleh orang-orang di bawah pimpinan Wan-bengcu. Kalau masih ada di sini,
kiranya kami akan lebih kuat dan mudah untuk menghadapi
penghinaan orang-orang utara."
Mendengar ini, kegirangan Ci Kui memuncak. Sambil
tertawa-tawa ia mengeluarkan sebuah benda dari saku
bajunya, memperlihatkan benda itu kepada Le Thong
Hosiang dan kawan-kawannya sambil berkata.
"Kenalkah Saudara-saudara akan benda ini?"
"Hek-tok-ciam dari Liok-taihiap ....... !" seru Le Thong Hosiang dan Hengtuan Lojin yang mengenal baik senjata
rahasia berupa jarum hitam yang terkenal sebagai senjata
rahasia yang biasa dipergunakan oleh Liok Kong Ji atau
bengcu mereka dahulu. "Apakah Liok-taihiap masih hidup"
Di mana dia dan bagairnana Hek-tokciam berada di
tanganmu?" tanya hwesio ketua dari Taiyun-pai itu.
"Ketahuilah, Le Thong Hosiang, kami sebetulnya adalah
utusan-utusan dari Thian-te Bu-tek Taihiap yang kini berada
di luar daerah sebelah utara wilayah Cin."
"Siapa itu Thian-te Bu-tek Taihiap" tanya Nam Kong
Hosiang, terkejut mendengar nama julukan yang demikian
hebatnya. 16 "Apakah kau tidak bisa menduga" Thian-te Bu-tek Taihlap
adalah Liok-taihiap yang kini menjadi tangan kanan
raja.besar di Mongolia."
Empat orang hwesio itu menjadi heran dan curiga.
"Menjadi pembantu pemimpin bangsa Mongol yang disebut
Temu Cin dan amat terkenal itu" Akan tetapi mengapa" Dan
apa maksudnya mengutus Sam-wi ke selatan ini?"
"Ketahullah Saudara-saudara yang baik. Taihiap melihat
keadaan yang makin buruk di utara, di mana rakyat ditindas
oleh penjahat-penjahat bangsa Cin itu, bahkan orang-orang
gagah di dunia kang-ouw Sudah dikuasai pula oleh orang she
Wan yang bukan lain adalah juga seorang keturunan
Pangeran Wanyen dari suku bangsa Cin. Oleh karena itu,
taihiap dengan bantuan raja besar dari bangsa Mongol, kami
bermaksud memukul Kerajaan Cin dan membebaskan
rakyat dari-pada penjajahan orang-orang Cin. Maka, kami
diutus untuk menyampaikan hal ini kepada saudara-saudara
di selatan agar kita dapat bekerja sama dalam usaha mulia
itu. "Hmmm, inilah urusan besar sekali yang tidak dapat
begitu saja diputuskan oleh kami berempat," kata Le Thong Hosiang hati-hati sekali, "bagi pinceng sendiri, tentu saja pinceng bersedia bekerja sama kalau kerja sama ini
dimaksudkan untuk memberi hukuman kepada Wan-bengcu
dan mengangkat seorang bengcu baru yang lebih tepat, juga
pinceng kira semua saudara di selatan akan setuju kalau
diajak menggulingkan Pemerintah Cin untuk membebaskan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rakyat daripada; tindasan penjajahan." Ia berhenti sebehtar, kemudian melanjutkan, "Akan tetapi, bukan semestinya
kalau, untuk usaha ini, kami menarik bantuan bangsa
Mongol. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk bekerja
dengan kekuatan sendiri."
Ci Kui mengerutkan keningnya. tak disangkanya orang-
orang di selatan begini angkuh.
17 "Akan tetapi, Le Thong Hosiang. Kau sendiri tadi yang
menyatakan bahwa di selatan kekurangan orang pandai,
kalah oleh orang-orang di utara. Tanpa kerja sama,
bagaimana akan berhasil cita-cita?"
Le Thong Hosiang tertawa. "Bukan di selatan tidak ada
orang pandai, hanya belum muncul orang pandai. Kalau dua
Naga Sakti yang bertapa di Omei-san tidak begitu tua dan
mengasingkan diri puluhan tahun lamanya, kiranya di
seluruh dunia ini tidak ada yang berani memandang rendah
kepada kami orang-orang selatan." Untuk meninggikan
derajat orang-orang selatan, Le Thong Hosiang lalu
menceritakan kepada tiga orang pendengarnya bahwa kitab
yang diperebutkan oleh Thai Gu Cinjin dan Ang-jiu Mo-li
tadi, dimaksudkan kitab dari Omei-san. Di puncak Omeisan
yang amat keramat terdapat dua orang pertapa sakti
bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio, dua orang
kakek pertapa yang sudah mengasingkan diri di tempat itu
selama tiga puluh tahun lebih dan kabarnya dua orang
kakek ini masingmasing telah mewarisi ilmu kepandaian
yang luar biasa tingginya dari nenek moyang persilatan Tat
Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu.
Karena dua orang kakek ini tidak mau "turun" ke dunia ramai dan tekun bertapa, maka banyak orang yang ingin
sekali mencuri kitab-kitab pelajaran ilmu silat mereka yang
kabarnya mereka simpan di dalam kuil tua di mana mereka
tinggal. Inilah sebabnya maka ketika tersiar berita bahwa
Thai Gu Cinjin dari Tibet berhasil mencuri kitab-kitab itu, ia dikejar-kejar oleh semua orang yang ingin merampas kitab-kitab itu.
"Demikianl ah, mengapa tadi kami berempat
mengeroyoknya untuk merampas kembali kitab-kitab yang
seharusnya tinggal di selatan. Akan tetapi ternyata kitab--
kitab itu tidak berada padanya. Memang tadinya kami sudah
bersangsi apakah betul-betul ada orang mampu mencuri
18 kitab-kitab itu dari tangan dua orang kakek sakti itu," Le Thong Hosiang mengakhiri ceritanya.
Pak-kek Sam-kui tertarik sekali oleh cerita ini dan diam-
diam mereka mencatat semua yang mereka dengar itu,
karena sebagai orang-orang ahli silat, mendengar tentang
ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh dua orang kakek itu, amat menarik perhatian mereka dan ingin mereka berjumpa
dengan dua orang kakek itu.
"Betapapun juga, seperti telah pinceng katakan tadi,
urusan yang sam-wi kemukakan bukanlah urusan kecil
yang dapat pinceng putuskan sendiri. Pinceng akan
menyampaikan hal itu kepada kawan-kawan lain dan minta
pendapat mereka. Kemudian, sekali lagi kami menghaturkan
terima kasih dan apabila kebetulan samwi lewat di Taiyun-
san, pinceng persilakan mampir."
Mereka berpisah di situ. Setelah empat orang hwesio itu
pergi, Pak-kek Sam-kui baru teringat akan murid mereka,
Tiang Bu. "Eh, mana bocah itu?" kata Sin-saikong Ang Louw. Mereka mencari-cari, akan tetapi, seperti juga Thai Gu Cinjin,
mereka tidak dapat menemukan TiangBu.
-oo0mch0oo- Mari kita menengok apa yang dialami oleh Tiang Bu,
bocah yang dicari-cari oleh Thai Gu Cinjin dan Pak-kek Sam-
kui itu. Tiang Bu kaget bukan main ketika pendeta Lama
yang memaksanya menerima titipannya berupa bingkisan itu
melemparkannya ke dalam jurang yang cukup dalam.
Anehnya, ia terlempar ke dalam jurang dalam keadaan
berdiri dan agak memutar sehingga tidak laju benar
jatuhnya dan ia jatuh dalam keadaan duduk. Ia tidak
memperdulikan lagi seruan kakek Lama itu yang
menyuruhnya tinggal menunggu di situ, karena pada saat
itu Tiang Bu menghadapi keanehan lain yang membuatnya
19 melongo. Ternyata ketika ia jatuh dalam keadaan duduk, ia
merasa betapa tubuhnya diterima oleh sepasang tangan
yang kuat dan ketika ia memandang, betul saja bahwa ia
terjatuh ke dalam pangkuan seorang kakek yang kepalanya
bundar botak dan tubuhnya pendek, kecil dan kurus seperti
tengkorak ! Dengan sepasang mata seperti orang baru
bangun tidur, kakek ini memandang bocah di pangkuannya
dengan pandangan tajam menyelidik, kemudian ia
tersenyum aneh, disusul suara ketawa perlahan.
"Heh, heh, heh, peruntungan manusia memang aneh.
Yang setengah mampus mencari tidak mendapat, yang
duduk diam tak tersangka-sangka menerima apa yang
direbutkan orang. Bocah, tahukah kau bahwa kau telah
menerima sebuah pusaka yang tak ternilai harganya dari
Thai Gu Cinjin tadi?"
Tiang Bu biarpun seorang anak kecil, karena ia sudah
lama mengikuti tiga orang gurunya yang juga orang-orang
aneh dan sakti, dapat menduga bahwa ia berhadapan
dengan seorang pandai. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut
dan berkata, "Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan locianpwe." Orang aneh yang pakaiannya
bertambal-tambal seperti pengemis kelaparan itu mengangkat
alis. "Eh ....... " Terima kasih untuk apa " Siapa yang
menolongmu" Memang Thai Gu Cinjin tidak menghendaki
kau binasa maka kau dilempar ke sini seperti tadi. Kau
tahu, apa yang kau bawa di saku bajumu itu "'
Tiang Bu menggeleng kepala. "Teecu tidak tahu." Kembali kakek itu tertawa, hampir-hampir tidak bersuara, hanya
angin dari mulutnya yang ompong saja terdengar hahaheheh.
"Lucu sekali ....... lucu sekali ! Kalau kedua losuhu di Omei-san mendengar akan hal ini, mereka bisa mati tertawa.
Pusaka berharga berada di dalam saku, masih tidak tahu
benda apa sebenarnya itu ! Heh, heh, heh, bocah tolol,
ketahuilah bahwa bungkusan itu berisi kitab rahasia
20 pelajaran ilmu silat yang luar biasa dari Tiong Jin Hwesio
yang dicuri oleh Thai Gu Cinjin."
Tiang Bu tetap tidak berubah air mukanya. "Tiada
gunanya bagiku, locian pwe."
"Tiada gunanya " Apa maksudmu ?" Muka yang botak ini menjadi merah sekali, saking mendongkol dan heran
mendengar kata-kata yang baginya tak masuk akal ini.
Bagaimana orang yang mendapatkan kitab luar biasa itu
berani mengatakan tiada guna".
"Pertama-tania, benda ini hanyalah barang titipan saja
dan tentu akan diambil kembali oleh pendeta berjubah
merah itu. Kedua kalinya, teecu tidak dapat membaca
sebuah hurufpun." "Bodoh ! Pertama, Thai Gu Cinjin hanya akan menerima
kembali kitab itu berikut nyawamu karena kau menjadi saksi
utama bahwa kitab itu berada padanya. Kedua, apa sih
sukarnya belajar membaca huruf " Kau tidak tahu bahwa
sebentar lagi, pendeta Lama itu tentu akan mencari-carimu
untuk mengambil kembali kitab itu berikut nyawamu."
Kini Tiang Bu benar-benar kaget. "Locianpwe, harap
tolong teecu." "Mari kau ikut keluar dari sini." Kakek pengemis ini berdiri dan temyata kakinya cacat, besar sebelah. Kaki yang
kiri amat kecil sehingga jalannya terpincang-pincang. Akan
tetapi, sekali ia memegang lengan Tiang Bu dan
menggerakkan kaki kanan, tubuh mereka berdua telah
melayang naik dari dalam jurang itu. Tak lama kemudian,
dengan menggandeng tangan Tiang Bu, atau lebih tepat
mengangkat tubuh anak itu karena kedua kaki Tiang Bu
tidak menyentuh tanah, kakek aneh ini berlari cepat sekali
keluar dari tempat itu, memasuki hutan, keluar hutan
dengan cekatan seperti seekor burung walet saja.
Beberapa hari kemudian, di dalam sebuah hutan yang
luas, di tempat sunyi yang jarang didatangi manusia di
21 mana-mana sekitar tempat itu hanya terdapat pohon-pohon
dan batu karang menjulang tinggi bersaingan dengan pohon,
kelihatan Tiang Bu membalik-balik lembaran buku, belajar
membaca di bawah petunjuk kakek pengemis pincang. Anak
ini belajar dengan tekun sekali karena hatinya berbisik
bahwa inilah kesempatan baginya untuk maju setelah ia
mendengar penuturan pengemis tua itu tentang kitab yang
jatuh di dalam tangannya.
Siapakah kakek botak ini" Dia bukanlah orang yang
tidak ternama di dunia kangouw. Kepandaian tinggi dal am
ilmu silat dan ilmu sastra membuat la dahulu dianggap
sebagai seorang bun-bu-cwan-jai (ahli silat dan surat). Tidak saja ia pandai membaca menulis, juga ia terkenal sebagai
ahli bermain catur. Kegemaran inilah yang membuat ia
akhirnya berkenalan dengan dua orang sakti yang bertapa di
Omei-san. Pada suatu hari, kakek yang lihai ini ketika
berjalan seorang diri, tiba-tiba ia mendengar desir angin dan tahu-tahu ia merasa dikempit dan dibawa pergi orang. Tahu-tahu ia telah berada di puncak Omei-san dan ketika ia
dibebaskan dari totokan yang luar biasa lihainya itu, ia
berhadapan dengan dua orang hwesio tinggi besar yang
sudah tua sekali. Akhirnya ia tahu bahwa dua orang hwesio itu bukan lain
adalah dua orang pertapa sakti yang ditakuti' semua orang
karena dikabarkan memiliki kepandaian yang luar biasa
tingginya, bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio,
berusia tujuh puluh tahun lebih. Tiong Jin Hwesio yang
"menculiknya" tadi dan perbuatan ini saja sudah menjadi bukti betapa hebat dan tinggi kepandaian hwe-sio ini.
Menculik orang biasa secara demikian saja sudah
merupakan kelihaian yang jarang dimiliki orang, apalagi
menculik orang yang ilmunya sudah tinggi seperti kakek
botak ini! Ternyata bahwa dua orang hwesio itu sengaja
membawanya ke Omei-san untuk diajak bermain catur!
22 Kakek botak itu yang mempunyai nama julukan Bu Hok
Lokai (Pengemis Tua Tidak Beruntung) menjadi girang sekali
dan melayani keinginan dua orang kakek sakti itu dengan
gembira. Sampai sebulan lebih ia tnggal di sana dan sebagai
tanda terima kasih, dua orang kakel sakti itu menurunkan
semacam ilmu silat kepadanya atau lebih tepat disebut ilmu
menghindarkan diri dari serangan musuh.
Ilmu ini disebut Sam-hoan-san-bu (Tiga Kali Lingkaran
Tiga Kali Menari), semacam ilmu yang berdasarkan ginkang
dan khusus dipergunakan untuk menghadapi serangan
lawan, baik dengan tangan kosong maupun bersenjata.
Dengan memiliki ilmu silat ini, sewaktu apabila menghadapi
lawan yang jauh lebih lihai sekalipun, Bu Hok Lokai tak
usah takut, akan tetapi sudah pasti ia dapat menyelamatkan
diri mempergunakan ilmu silat ini.
Dua orang kakek sakti itu menurunkan ilmu ini
mengingat bahwa Bu Hok Lokai adalah seorang yang
bercacad kakinya. Bu Hok Lokai setelah menerima ilmu ini
mendapat kenyataan bahwa dua orang sakti itu benar-benar
lihai sekali dan kalau saja ia bisa menjadi murid mereka,
tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang ia inginkan. Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut, minta diangkat murid.
Tak diduga sama sekali, dua orang kakek itu menjadi
marah-marah, memakimakinya sebagai orang tak tahu
terima kasih, kemudian mengusirnya dengan ancaman
ilmunya akan dicabut kembali kalau ia berani kembali ke
situ! Inilah yang menimbulkan sakit hati Bu Hok Lokai maka
ketika ia melihat kitab rahasia Omei-san terjatuh ke dalam
tangan Tiang Bu, ia mendapat pikiran, untuk mengambil
bocah ini sebagai muridnya. Dia sendiri adalah seorang
bercacad, lagi sudah tua, kalau belajar sendiri takkan
mungkin jadi. Kalau dia mempunyai seorang murid pandai,
bukankah hari tuanya akan terjamin"
Mernang nasib manusia kadang-kadang ditentukan oleh
sikapnya yang dianggapnya tidak akan berakibat sesuatu.
23 Andaikata dua orang kakek sakti itu tidak marah ketika
melihat Bu Hok Lokai minta diangkat menjadi murid dan
menolak dengan halus saja, kiranya Bu Hok Lokai melihat
kitab itu akan cepat-cepat membawa kitab itu kembali ke
Omei-san untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Akan tetapi, kemarahan dua orang sakti yang sebetulnya
tidak berarti, dapat membalikkan sejarah, dan kitab itu tidak kembali kepada pemiliknya melainkan dipelajari oleh Tiang
Bu! Makin lama Bu Hok Lokai menjadi makin sayang kepada
Tiang Bu yang ternyata memang luar biasa sekali ketajaman
ingatannya. Biarpun setiap hari dijejali puluhan huruf-huruf
baru, akan tetapi sekali huruf-huruf itu menempel pada
ingatannya, takkan terlupa lagi. Di samping kepintarannya
ini, ia juga amat tekun. jarang sekali ia kelihatan menganggur dan buku pelajaran tak pernah dilepas dari tangannya!
Setahun kemudian Tiang Bu telah dapat membaca kitab
dari Omei-san itu yang ternyata berisi pelajaran ilmu silat
tinggi yang disebut Pat-hong Hong-i (Ilmu Pukulan Delapan
Penjuru Angin Hujan)! la mulai mempelajari ilmu pukulan
ini di bawah pengawasan gurunya yang baru, Bu Hok Lokai.
Bahkan Bu Hok Lokai menurunkan pula pelajaran ilmu silat
yang ia dulu terima dari dua kakek sakti Omei-san, yaitu
Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu kepada muridnya yang ia
sayang. -oo0mch0oo- Di lingkungan bangunan-bangunan istana kaisar di ibu
kota Yen Ping (Pe-king}, yaitu istana Kerajaan Cin, terdapat
sebuah istana yang indah dengan pekarangan depan yang
lebar dan taman bunga yang penuh dengan bunga-bunga
indah di bagian belakang. Inilah istana dari Pangeran
Wanyen Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat
berpengaruh dan dipercaya oleh kaisar, akan tetapi juga
24 terkenal di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang
budiman dan tidak pernah menolak permintaan tolong
orang. Anehnya, pangeran yang hartawan, berpengaruh dan
berwajah tampan ini sampai berusia tiga puluh tahun belum
juga menikah, menikah dengan sah. Karena isterinya di luar
kawin sah ada lima orang! Atau pendeknya pangeran yang
masih perjaka ini telah mempunyai lima orang selir. Di
antara selir-selirnya terdapat seorang selir yang paling
disayanginya dan agaknya selir inilah yang membuat ia segan
untuk menikah lagi. Di dalam diri selir ini ia mendapatkan seorang yang ia
cinta sepenuh hatinya, seorang yang menjadi ibu dari
puteranya, dan seorang pelindung keselamatannya.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh karena itu, biarpun selir ini ia kawin di luar upacara
yang sah, akan tetapi agaknya selir ini menjadi pengganti
dari isteri yang sah. Selir ini yang menjadi ratu rumah tangga dan mengepalai semua penghuni rumah.
Akan tetapi para selir lain tidak merasa iri hati, karena
memang selir ini mempunyai watak yang pendiam dan tidak
sombong biarpun ia amat disayang oleh Pangeran Wanyen Ci
Lun. Adanya selir inilah maka tidak ada orang yang berani
sembarangan mengganggu istana ini, dan keluarga di rumah
itu merasa aman dan tenteram seakan-akan di situ terdapat
seorang dewi pelindung. Orang takkan merasa heran kalau sudah mengetahui
bahwa selir ini bukan lain adalah pendekar wanita yang
amat gagah perkasa murid dari Hwa l Enghiong Go Ciang Le
pendekar besar dari Kim-bun-to. Dia inilah yang dulu dijuluki orang Kangsim-li atau Dara Berhati Baja, karena ia keras
hati dan jujur, tidak mengenal ampun menghadapi para
penjahat. Namanya Gak Soan Li dan ia adalah suci (kakak
seperguruan) dari Go Hui Lian.
25 Di dalam cerita Pedang Penakluk iblis telah diceritakan
betapa Gak Soan Li telah menjadi gila karena perbuatan keji
yang dilakukan oleh penjahat besar Liok Kong Ji dan betapa
kemudian Gak Soan Li telah ditolong oleh Pangeran Wanyen
Ci Lun yang mencintanya. Kemudian akhirnya Gak Soan Li
tinggal di istana pangeran itu dan menjadi selir yang paling
dicinta. Apalagi karena Wanyen Ci Lun tidak mendapatkan
seorang pun anak dari empat orang selir yang lain,
sedangkan setahun setelah ia mengambil Gak Soan Li,
pendekar wanita ini melahirkan seorang anak laki-laki yang
tampan sekali. Cinta kasih dan sayangnya makin besar dan
dengan tidak resmi Gak Soan Li menjadi Toanio atau Toa-
hujin (Nyonya Besar)! Anak itu diberi nama Sun, dan Wan-yen Ci Lun yang ingat
akan jasa-jasa Wan Sin Hong memberi she atas nama
keturunan Wan kepada puteranya, karena ia tahu bahwa
she Wan itu pun asalnya adalah she Wanyen. Demikianlah,
puteranya itu nama lengkapnya Wan Sun dan semenjak
kecilnya Wan Sun sudah nampak bahwa ia akan menjadi
seorarg yang cerdik dan tampan sekali.
Ketika Wan Sun baru berusia dua tahun, pada suatu
malam yang sunyi, seorang pelayan wanita yang kebetulan
pergi ke taman bunga, mendengar tangis bayi dari taman itu.
Pelayan ini ketakutan dan lari masuk sambil berteriak-
teriak, "Siluman ....... ! Siluman ....... !"
Mendengar ini, para pelayan lain dan selir-selir Pangeran
Wanyen Ci Lun menjadi ketakutan pula. Hanya Gak Soan Li
yang tidak takut sama sekali, bahkan dengan marah ia
mengguncang-guncangkan pundak pelayan yang menjerit-
jerit ketakutan itu sambil menghardik.
"Diam! Ceritakan apa yang kau telah lihatl"
26 "Ampun ....... Toanio ....... hamba me-lihat ....... eh, mendengar tangis bayi di dalam taman ....... tentu siluman
....... " Soan Li tidak menanti habisnya ocehan pelayan yang
ketakutan ini melainkan cepat ia berlari ke belakang sambil
menyambar pedangpya. Ketika tiba di taman bunganya yang
indah itu, tiba-tiba ia tertegun dan tak terasa pula bulu
tengkuknya meremang. Benar saja, ia pun mendengar suara
tangis anak kecil yang nyaring sekali, keluar dari tengah-
tengah taman. Bagaimana bisa ada bayi menangis di situ
kalau bukan perbuatan siluman" Akan tetapi, dia adalah
seorang wanita yang memiliki kegagahan. Sebentar saja
ditindasnya perasaan seram ini dan di lain saat ia telah
melompat ke tengah taman.
Malam itu gelap, hanya ribuan bintang yang menimbulkan
cahaya remang-remang menambah keseraman keadaan di
taman itu. Setelah tiba di tempat di mana terdengar suara
tangis bayi itu, kembali Soan Li tertegun dan kedua kakinya
seperti terpaku pada tanah ketika ia melihat sebuah benda
kecil ber-gerak-gerak di atas tanah di depannya. Ketika ia
memperhatikan, tak salah lagi, benda itu bukan lain adalah
seorang bayi yang baru beberapa bulan usianya! Tangis bayi
itu luar biasa nyaringnya, hampir senyaring tangis Wan Sun
ketika masih bayi. Soan Li menyarungkan pedangnya dan cepat menyambar
tubuh bocah itu yang ternyata hanya dibungkus dengan
sehelai kain kuning. Tubuh anak itu montok dan sehat
sekali dan ketika Soan Li mendekap bocah itu pada dadanya
ia mencium bau yang harum sekali, keharuman yang amat
aneh seakan-akan dalam tubuh anak itu bersembunyi ribuan
tangkai kembang beraneka warna!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain menjadi bengong ketika
melihat Soan Li datang memondong seorang bayi perempuan
yang montok dan mungil. 27 "Eh, eh ....... anak siapakah ini ....... ?" tanya Wanyen Ci Lun.
"Entah dia ditinggalkan menangis di tengah taman. Harus
diselidiki perbuatan siapa ini yang demikian kejam dan
biadab. Orang tuanya harus diberi hukuman berat. Kurasa
tentu seorang di antara pegawai kita atau dari rumah yang
berdampingan, karena kalau bukan orang dalam yang
berdekatan, siapa bisa meninggalkan anak di tengah
taman?" kata Soan Li marah sambil merawat anak itu penuh kasih sayang.
Melihat bocah yang begitu mungil dengan rambutnya
yang hitam lebat, matanya bercahaya dan beni ng, kulitnya
yang putih halus, timbul rasa sayang. Cepat ia menyuruh
pelayan memanggil seorang inang pengasuh yang biasa
menyusui anak-anak dan sebentar saja setelah mendapat
minum susu, anak. itu tidur pulas dengan bibir tersenyum
manis. Anak ini berusia paling banyak lima bulan.
Usaha Wanyen Ci Lun untuk menemukan orang tua anak
perempuan itu sia-sia belaka. Tidak saja ia menyelidiki para
pelayan, bahkan ia telah memerintahkan penjaga-penjaga
untuk menyelidiki siapa orang-orang yang mempunyai
seorang anak perempuan berusia lima bulan, namun
ternyata bahwa yang dicari-cari tidak dapat diketemukan.
Banyak yang mempunyai anak, akan tetapi anak-anak itu
masih ada semua pada orang-orang tuanya, jadi anak
perempuan itu seakan-akan jatuh dari langit ke taman
bunga itu! Soan Li mengerutkan kening dan mukanya yang cantik
itu berpikir keras. "Tidak mungkin anak ini jatuh begitu saja dari atas
langit. Pasti ada orangnya yang menaruhnya di tengah
taman pada malam hari. Akan tetapi, memasuki lingkungan
istana, apalagi memasuki taman kita tanpa diketahui oleh
siapapun juga kemudian meninggalkan seorang bayi di situ,
sungguh hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki
28 kepandaian silat tinggi. Entah apa maksud dan kehendak
orang yang meninggalkan anak itu, aku tidak tahu. Akan
tetapi, anak ini bukanlah bocah biasa, melainkan seorang
anak yang memiliki bakat baik sekali dan kelak pasti
menjadi orang luar biasa. Melihat anak ini, timbul rasa suka
dalam hatiku dan kalau sekiranya kau tidak keberatan,
biarlah anak ini menjadi anak kita yang ke dua, menjadi
kawan bermain dari anak kita Sun-ji."
Mendengar ini, Wanyen Ci Lun tidak keberatan sama
sekali oleh karena ia sendiri pun suka melihat bocah yang
cantik itu. Puteranya hanya seorang, tentu saja ia ingin anak ke dua, apalagi kalau perempuan. Dengan demikian, ia
mempunyai dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang
lagi perempuan. Demikianlah, bocah yang mereka dapatkan di tengah
taman bunga itu menjadi anak mereka dan mereka beri
nama Bi Li (Wanita Cantik) dan selanjutnya disebut Wan Bi
Li. Bi Li semenjak kecilnya sudah mengalami hal yang aneh-
aneh. Pertama-tama, munculnya di keluarga pangeran itu
sudah merupakan teka-teki yang tidak diketahui artinya.
Kemudian, pada suatu malam, ketika Bi Li berusia satu
tahun, terdengar Soan Li menjerit keras. Wanyen Ci Lun yang
masih tidur nyenyak itu kaget bukan main dan cepat-cepat ia
melompat dari tempat tidurnya untuk memburu ke arah
isterinya yang sedang berdiri di dekat tempat tidur Bi Li.
Dan alangkah kagetnya ketlka ia me-lihat isterinya itu
memegang seekor ular pada kepalanya dan dengan
tenaganya telah meremas kepala ular itu sampai hancur di
dalam genggamannya! Ular itu hanya dapat menggeliat-
geliatkan ekornya beberapa kali sebelum diam dan mati. Dan
anehnya, Bi Li tetap tidur nyenyak seakan-akan tidak terjadi
apa-apa. "Aneh ....... " kata Soan Li menjawab pertanyaan
suaminya. "Tadi aku mendengar Bi Li tertawa-tawa dalam
tidurnya, kemudian karena mendengar keresekan-keresekan
29 di dalam tempat tidurnya, aku turun dan menengoknya. Kau
mengerti betapa kagetku melihat seekor ular hijau yang
berbisa ini melingkar di dekatnya, dengan kepalanya diusap-
usapkan pada pipi Bi Li saking ngeri dan terkejut aku
menjerit dan cepat menyambar kepala ular itu untuk
kubunuh." Wanyen Ci Lun membelalakkan matanya dan memandang
kepada Bi Li yang tidur dengan nyenyak dan nampak begitu
mungil! "Heran benar, Bi Li selalu berbau begini harum, apalagi
kalau sedang tidur," katanya.
Kata-kata. ini seakan-akan mengingatkan Soan Li akan
sesuatu. Ia mendekati Bi Li dan hidungnya mencium-cium.
Kemudian, ia memandang suaminya dan mengangguk-
angguk, lalu menarik napas panjang.
"Entah ini anak siapa dan dari mana datangnya. Bau
harum ini mengingatkan aku akan cerita mendiang Suhu
dahulu akan semacam bunga aneh yang harum sekali dan
amat disuka oleh bangsa ular berbisa namanya Coa-ong-hwa
(Bunga Raja Ular). Bunga seperti ini hanya tumbuh di dekat
Kutub Utara dan banyak orang-orang kang-ouw yang tinggi
kepandaiannya mempergunakan bunga ini untuk menjaga
diri apabila mereka bermalam di dalam hutan liar. Dengan
bunga seperti itu di dalam saku baju, binatang-binatang
berbisa takkan mau mengganggu, malah ular-ular berbisa
akan melindungi orang yang membawa bunga itu! Dan
bocah ini ....... entah bagaimana tubuhnya terutama hawa
mulutnya, berbau harum sekali seperti bunga itu!"
"Isteriku, anak ini benar-benar anak yang aneh. Kiranya
kelak akan menjadi seorang gagah perkasa, atau seorang
yang cerdik pandai. Oleh karena itu, bukankah ini berarti
kita telah memperoleh sebuah keuntungan bagus sekali"
Kita mempunyai Wan Sun yang kita sayang, sekarang
bertambah lagi seorang anak perempuan yang begini luar
30 biasa. Kita harus mengucap syukur kepada Thian Yang
Maha Kuasa." Akan tetapi Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus
bentuknya itu. "Kata-katamu memang benar, Koko. Akan tetapi kalau
aku teringat akan orang yang menaruh Bi Li di dalam taman,
hatiku tidak enak sekali. Siapa dia dan apa maksudnya"
Ahh ....... kalau saja aku tahu siapa orangnya itu, takkan
begini gelisah hatiku. Kalau saja aku tahu dan yakin bahwa
ia memang hendak memberikan anak ini kepada kita, akan
lega dan puaslah hatiku ....... "
Wanyen Ci Lun merangkul isterinya. "Sudahlah, mari kita
tidur. Tak perlu hal itu dipikirkan terlalu dalam. Siapapun
juga orangnya, dia tidak bernnaksud buruk, dan lagi
andaikata ia bermaksud buruk, kita takut apakah" Kau
sendiri berilmu tinggi, belum lagi di sini terjaga kuat. Lebih baik kita jangan beritahu kepada para pelayan tentang ular
itu, supaya mencegah cerita-cerita yang tidak karuan tentang
anak kita Bi Li." Pangeran itu lalu melempar sendiri ular tadi ke dalam
empang di taman, kemudian tidur bersama isterinya setelah
Soan Li membersihkan bekas-bekas darah ular dengan teliti.
Akan tetapi, keanehan ini tak dapat ditutup untuk
selamanya. Ketika Bi Li sudah berusia dua tahun, dan Wan
Sun empat tahun, dua orang bocah itu selalu bermain-main
dengan rukun sekali. Sering-kali mereka main-main berdua
di taman bunga, dikawani oleh beberapa orang pengasuh.
Pada suatu hari, ketika dua orang anak kecil itu sedang
bermain-main di taman bunga tiba-tiba seorang di antara
pelayan-pelayan itu menjerit.
Semua pelayan memandang dan mereka menjadi pucat
melihat tiga ekor ular belang yang ganas melenggang-lenggok
datang menuju ke arah dua orang anak yang sedang duduk
bermain-main pasir di bawah pohon itu.
31 Seorang di antara para pelayan itu takut kalau-kalau tiga
ekor ular itu akan menggigit anak-anak tadi, maka ia cepat
mengambil sepotong kayu dan memukul pada ular-ular itu,
dengan maksud me-ngusirnya pergi dari situ. Akan tetapi,
tibatiba seekor ular belang mendesis dan tubuhnya
meluncur cepat ke depan. Di lain saat pelayan itu sudah
memekik dan roboh dengan muka kehitaman dan napas
terhenti. Ular yang menggigit lengannya itu merayap pergi
dan bersama kawannya terus saja menghampiri Bi Li dan
Wan Sun! Dua orang pelayan wanita yang lain berdiri terpaku
dengan mata terbuka lebarlebar. Mereka tadi kaget setengah
mati melihat seorang kawan mereka roboh tergigit ular, dan
sekarang semangat mereka seperti terbang pergi
meninggalkan tubuh ketika mereka melihat ular-ular itu
merayap mendekati asuhan mereka.
Ketika mereka melihat seekor ular merayap ke atas
pangkuan Bi Li dan lidahnya yang dijulurkan keluar itu
menjilat-jilat muka anak itu, ia menjadi setengah pingsan
dan lari bersama kawannya yang sudah pucat seperti orang
dikejar setan! "Celaka ....... mati ....... ular ....... aduuhhh ....... " ratap mereka tidak karuan.
Keduanya jatuh berdebuk di depan Soan Li dan selir-selir
Pangeran Wanyen Ci Lun yang lain. Yang seorang megap-
megap seperti ikan dilempar di darat, mulutnya terbuka
tertutup tanpa suara apa-apa. Sedangkan pelayan ke dua
malah sudah pingsan seperti orang t?dur, tertelungkup di


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas lantai. "Ada apakah" Mana Kongcu dan Siocia?" tanya Soan Li, hanya dia yang nampak tenang, sedangkan selir-selir yang
lain sudah ikut-ikutan panik.
"Ular ....... ular ....... aduh celaka, toanio ....... ular .......
mati ....... " 32 "Apa" Ular mati" Kenapa takut ular mati?" Soan Li
bertanya gemas. Gak Soan Li memang semenjak muda berwatak keras
sehingga ia mendapat julukan Kang-sim-li (Wanita Berhati
Baja). Ia paling benci melihat sifat pengecut, maka paling
sebal kalau melihat orang ketakutan seperti pelayan-
pelayannya itu. Dibentak-bentaknya pelayan itu sehingga
menjadi makin panik. "Toanio, ular ....... ada ular di taman. .. .Siocia dan
Kongcu ....... digigit ular belang-belang ....... " kata pelayan itu sambil menangis tidak karuan.
Mendengar ini, tanpa membuang waktu lagi Soan Li
melompat dan berlari cepat ke taman sambil membawa
pedangnya. Sambil mengeluh cemas Pangeran Wanyen Ci
Lun ikut berlari ke belakang sedang para selirnya dan
pelayan-pelayan lain mengejar pula, akan tetapi dengan hati
kecut dan kedua kaki siap berlari balik apabila terdapat
bahaya! Ketika Soan Li tiba di taman di mana kedua orang
anaknya sedang duduk di bawah pohon, wanita gagah yang
tak kenal takut itu tiba-tiba menjadi pucat mukanya dan ia
berdiri tegak tak bergerak, hanya dua tombak dari tempat
dua bocah itu duduk, ia melihat pemandangan yang
menggetarkan jantungnya saking cemas dan khawatir.
Seekor ular mengalungi leher Bi Ci, seekor lagi merayap-
rayap melingkari pinggangnya dan ular ketiga yang paling
panjang ekornya melilit tangan kanan Wan Sun sedangkan
kepalanya berada di pundak Bi Li dan menjilat-jilat.
Kalau Soan Li menahan napas panjang saking
khawatirnya, adalah Bi Li yang berada dalam keadaan
mengerikan itu tertawa-tawa. Melihat ibunya datang, Bi Li
bahkan berkata. ... "Ibu, ular bagus ....... ular bagus ....... !"
33 Tak jauh dari situ menggeletak tubuh pelayan yang
mukanya kehitaman dan sudah tak bergerak. Benar-benar
pemandangan yang menyeramkan. Yang mengagumkan
adalah Wan Sun. Bocah ini sudah empat tahun usianya
sudah mengerti urusan. Ia tahu bahwa pelayan itu roboh
karena gigitan ular dan bahwa sekarang yang bermain-main
dengan dia dan Bi Li adalah ular-ular berbisa yang amat
berbahaya. Akan tetapi, biarpun tak mungkin dapat tertawa-
tawa seperti Bi Li yang bermain-main dengan tiga ekor ular
itu, namun ia tidak kelihatan takut sama sekali, hanya diam
seperti patung memandang adiknya, mengeraskan hati
mengusir rasa jijik dan takut ketika ular ketiga merayapi
tubuhnya dan kini ekornya melilit tangannya! Anak yang lain
kiranya akan menjerit-jerit atau lari dan kalau ia lakukan
hal ini, besar ke mungkinannya ia pun akan menggeletak
seperti pelayan itu. Akan tetapi melihat kedatangan ibunya,
baru Wan Suh teringat akan bahaya besar yang mengancam.
Maka ia memanggil ibunya dengan suara penuh harapan
pertolongan. " Ibu ...." Baru saja ia membuka mulut mengeluarkan suara, ular
yang paling panjang dan melilit tangannya itu tiba-tiba
membalik dan kini ia merayap pundak Wan Sun, mendesis-
desis dan lidahnya menjilat-jilat leher dan muka Wan Sun,
agaknya siap untuk menyerang! Kalau tadi Bi Li tertawa-
tawa dan bicara keras ular-ular itu jinak saja, adalah
sekarang terhadap Wan Sun yang baru saja mengeluarkan
sedikit katakata, ular itu sudah nampak marah.
Melihat bahaya ini, Soan Li menggigil. Ia tidak berani
bergerak secara sembrono. Ular itu sudah terlampau dekat
dengan anaknya, kalau ia menyerang, tentu ular itu akan
marah. Sekali saja gigitan, nyawa puteranya sukar ditolong
lagi. I a melihat ular-ular ini sebagai ular belang yang paling berbisa, yaitu ular belang kuning dengan leher berkalung
biru. 34 "Wan Sun, jangan bergerak, jangan" bicara ....... "
katanya, kemudian dia berkata kepada Bi Li, "Bi Li, kau
berdirilah perlahan-lahan, ya ....... ya ....... begitu .......
sekarang berjalan ke sini, perlahan-lahan..."
Bi Li amat sayang kepada ibunya dan segala permintaan
ibunya tentu ditaatinya. Sambil tertawa-tawa ia berdiri dan
berjalan mendekati ibunya, meninggalkan Wan Sun. Ular
yang tadi melilit Wan Sun, melihat Bi Li bergerak menjauhi,
lalu merayap turun dan mengejar, akan tetapi secepat kilat
Soan Li menggerak-kan pedangnya dan "sratt!" kepala ular itu terpisah dari tubuhnya yang menggeliat-geliat.
"Ibu ....... ular baik mengapa dibunuh...?" tanya Bi Li kaget. Dua ekor ular masih melilit tubuhnya.
"Bi Li, ular-ular itu jahat ....... Awas...!" teriak Soan Li ketika tiba-tiba ular yang melilit pinggang anak itu nampak
marah, demikian pula yang mengalungi lehernya. Ular-ular
itu mencium bau darah kawannya dan kini kepala mereka
bergerak-gerak mencari. Tiba-tiba ular yang melilit pinggang Bi Li menjulurkan
kepala dan lehernya ke arah Soan Li dan tiba-tiba. dengan
gerakan mendadak ular itu meluncur melakukan serangan
dahsyat ke leher nyonya itu. Akan tetapi tentu saja binatang
ini bukan apa-apa bagi Soan Li. Sekali pedangnya
berkelebat, tubuh ular itu putus menjadi dua.
"Jangan gigit Ibuku ....... " berkali-kali Bi li berteriakteriak sambil memanggil ular yang mengalungi lehernya dan
yang meronta-ronta hendak membela kawannya. Anak itu
kalah kuat dan ular hampir terlepas dari pegangnya, hanya
tinggal ekornya yang dipegang.
"Jangan serang Ibuku, kau ular nakal!' teriak Bi Li lagi, Kemudian anak ini menggigit ekor ular yang dipeganginya
dan ....... Soan Li melongo melihat ular itu tiba-tiba menjadi lemas, tergantung lumpuh seperti seekor ular yang sudah
mati di tangan anak itu. 35 Dengan suara di tenggorokan, setengah menangis dan
setengah tertawa. Soan Li melompat, merampas dan
melempar ular itu ke taman dengan kuat yang membuat
tubuh ular itu remuk, kemudian ia merangkul dan
menciumi kedua anaknya yang selamat. Diam-diam ia
mengaku bahwa betul-betul dalam diri Bi Li terdapat sesuatu
yang luar biasa, dan tidak saja ular-ular ganas tidak mau
mengganggu anak yang berkeringat harum ini, akan tetapi
juga dengan sekali gigitan anak ini telah melumpuhkan
seekor ular berbisa! Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain juga girang sekali
melihat dua orang bocah itu selamat, akan tetapi pangeran
itu mengerutkan kening melihat pelayan yang menggeletak di
situ. Soan Li yang sedang me ngenangkan perbuatan Bi Li
menggigit ular tadi, mendapat pikiran baik. Ia melepaskan
kedua orang anaknya dan cepat menghampiri tubuh pelayan
yang tertelungkup di atas tanah. Diperiksanya pergelangan
lengan dan ketukan jantungnya. Tubuh pelayan itu sudah
dingin akan tetapi ketukan jantungnya masih terasa sedikit,
tanda bahwa pelayan itu sesungguhnya belum tewas. Ia lalu
menghampiri Bi Li dan berbisik.
"Anak baik, mari ikut Ibu." Ia menggendong Bi Li dan menggandeng Wan Sun kemudian mengajak suaminya
memasuki rumah, setelah memesan kepada para pelayan
untuk mengangkat tubuh pelayan yang digigit ular itu ke
dalam kamar. "Jangan beri obat apa-apa, aku sendiri mau
mengobatinya," pesan nyonya ini kepada para pelayan. "Dan bersihkan tempat ini, babat semua tanaman yang berupa
alang-alang. Juga perkuat pagar tembok agar jangan ada
ular berbisa masuk sini." Setelah tiba di dalam kamar, ia memberi tahu kepada suaminya tentang pikirannya hendak
mengobati pelayan itu. 36 "Kurasa sedikit darah dari Bi Li mungkin menolong
nyawa pelayan itu," katanya kepada suaminya. "Setujukah kau kalau aku menghisap sedikit darah anak kita ini?"
Biarpun dalam hal-hal seperti ini Soan Li lebih pandai
dan mengerti daripada suaminya, akan tetapi ia selalu minta
pendapat suaminya sebelum melakukan sesuatu hal, tanda
akan kasih sayangnya dan kesetiaannya kepada suaminya
ini. "Tidak membahayakan diri Bi Li sendiri?" tanya Wanyen Ci Lun. Isterinya menggeleng kepala. "Tidak ada bahayanya diambil sedikit saja darahnya. Melihat betapa sekali
menggigit ekor ular dia bisa membikin ular itu tidak berdaya, kurasa di dalam darah anak ini terkandung khasiat
melumpuhkan pengaruh bisa ular."
"Kalau tidak membahayakan jiwanya, tentu saja aku
setuju. Mulia sekali orang yang dapat menolong keselamatan
nyawa lain orang, biarpun yang ditolong itu hanya seorang
pelayan. Lakukanlah kehendakmu itu."
Soan Li mencium Bi Li yang merangkul ibunya dengan
manja. "Bi Li, anakku yang manis. Kau tadi tentu melihat pelayan yang digigit ular tadi, bukau"
"Ibu maksudkan Liang Ma?"
"Ya, dia itulah. Bi Li, kita harus mengobatinya dan kalau Ibumu ini tidak salah, sedikit darahmu akan menolong
nyawanya. Bi Li, kuatkanlah, aku hendak mengambil sedikit
darahmu!" Dengan gerakan cepat sekali agar anak itu tidak mengira dan tidak merasa ngeri, tahu-tahu Soan Li telah
menancapkan sebuah jarum dan menggurat pangkal lengan
Bi Li. Darah mengucur dari luka ini dan Bi Li hanya menjerit
kecil, mukanya menjadi merah dan air matanya bertitik akan
tetapi tidak menangis. "Anak baik, siapa tahu dengan darahmu ini kau menolong
nyawa lain orang," kata Soan Li sambi l menggunakan. jari-jari tangannya memencet lengan Bi Li dan menggunakan
37 lweekang untuk mendorong keluar darah anak itu keluar
melalui luka pangkal lengannya.
Setelah mendapatkan darah sebanyak dua puluh lima
tetes, Soan Li menutup luka itu dengan koyo (obat tempel)
dan mencium kedua pipi anaknya dengan pandang mata
sayang dan kagum. Sepasang mata Bi Li yang bening itu
bersinar-sinar, sedikit pun tidak kelihatan takut biar
darahnya diambil sampai dua puluh lima tetes! Benar-benar
anak yang luar biasa mengingat bahwa usianya baru dua
tahun lebih. Wan Sun memandang semua ini dengan mata
penuh kekhawatiran dan kasihan terhadap adiknya.
Soan Li membawa darah itu ke kamar pelayan yang sakit,
menggunakan sedikit darah dioles-oleskan kepada luka
bekas gigitan ular yang sudah menggembung bengkak,
kemudian sisa darah itu ia minumkan dengan paksa ke
mulut pelayan itu. Memang amat sukar memasukkan darah
itu karena orang ini hampir tak bernapas lagi. Akan tetapi
perlahan-lahan darah itu dapat juga mengalir masuk.
Tidak seorang pun pelayan mengira bahwa yang
dipergunakan sebagai obat itu adalah darah dari siocia!
Semua pelayan dan selir melihat cara pengobatan ini dengan
penuh harapan. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara
berisik, dan semua, termasuk Soan Li dan Wan-yen Ci Lun,
menjaga di situ melihat akibat daripada obat istimewa itu.
Tak lama kemudlan terdengar suara kerurak-keruruk
seperti suara ayam di tenggorokan dan perut pelayan itu,
kemudian seperti tersentak ia muntah-muntah, muntah
darah, darah hitam! Para pelayan atas perintah Soan Li lalu
menolongnya. Banyak sekali darah hitam keluar dan makin
banyak yang keluar, keadaan si sakit makin baik. Cahaya
kehitaman yang menyelimuti seluruh tubuhnya berangsur-
angsur hilang, ter-ganti warna pucat.
Melihat pelayan itu muntah-muntah, Wanyen Ci Lun dan
Soan Li meninggalkan kamar itu dan Soan Li memesan
kepada para pelayan agar supaya si sakit itu dibersihkan,
38 kemudian diberi obat makan bubur encer dan diberi obat
penambah darah. Betul seperti dugaan Soan Li, dalam waktu
dua pekan saja pelayan itu sudah sembuh kembali.
Semenjak saat itu, kesayangan suami isteri ini terhadap
Bi Li makin dalam, akan tetapi tetap saja teka-teki tentang
siapa adanya Bi Li siapa orang tuanya dan apa maksud
orang yang meninggalkannya di taman bunga, masih selalu
menggelisahkan hati mereka. Diam-diam Wanyen Ci Lun
teringat kepada saudara misannya, Wan Sin Hong dan
alangkah rindu hatinya untuk bertemu dengan Sin Hong
karena kiranya hanya Wan Sin Hong yang akan dapat
membantunya memecahkan teka-teki tentang diri Bi Li ini.
Oleh karena itu, alangkah girangnya hati Wanyen Ci Lun
ketika dua bulan setelah peristiwa di atas, tiba-tiba muncul
Coa Hong Kin! Seperti telah diketahui dalam cerita Pedang
Penakluk Iblis, Coa Hong Kin ini dahulu adalah sahabat dan
tangan kanan Wanyen Ci Lun yang amat disayang dan
dipercaya penuh, seorang pembantu yang amat setia.
Dua orang sahabat yang telah lama berpisah ini saling
peluk dengan tertawa-tawa terharu. Kemudian mereka
duduk bercakap-cakap melepas rindu. Hong Kin ti dak mau
bercerita tentang terculiknya Tiang Bu, karena memang ia
tahu bahwa tidak pada tempatnya kalau ia bercerita tentang
putera Gak Soan Li yang menjadi anak tiri pangeran ini. Pula
Pangeran Wanyen Ci Lun juga tidak mau banyak bertanya.
Apalagi Soan Li yang juga menjumpai bekas sahabat
suaminya ini, sama sekali tidak bicara tentang bocah itu,
karena memang ia sama sekali tidak tahu di mana adanya
bocah yang dilahirkannya dengan penuh kebencian itu.
Hong Kin mertgeluarkan surat yang ia bawa dari Luliang-
san. "Selain datang berkunjung dan menengok karena sudah
rindu, juga hamba membawa surat dari Wan-bengcu,"
katanya sambil memberikan surat itu kepada Wanyen Ci
Lun. Ia menanti sampai Soan Li meninggalkan mereka
39 berdua saja sebelum memberikan surat itu, karena ia pun
tahu bahwa baik Wanyen Ci Lun tidak menghendaki nyonya
itu tahu akan adanya seorang Wan Sin Hong di permukaan
bumi ini. Seperti telah diceritakan dalam cerita Pedang
Penakluk Iblis, mula-mula Gak Soan Li jatuh cinta ke pada
Wan Sin Hong dan kemudian ia menjadi isteri Wanyen Ci
Lun yang mukanya serupa benar dengan Sin Hong. Bagi
Soan Li, orang yang pertama-tama merebut hatinya itu
disangkanya suaminya yang sekarang itulah!
Setelah membaca surat dari Sin Hong, Wanyen Ci Lun
Elang Terbang Di Dataran Luas 5 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Hina Kelana 3
^