Pencarian

Tangan Geledek 8

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


cekikikan. Tiang Bu mendongkol juga. Kakek itu benar-
benar nakal sekali. nakal dan berbahaya. Kalau ia tidak
memiliki ginkang yang cukup tinggi. bukankah ia akan
mampus di tengah sungai"
Mendadak kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan
ketakutan. "Nlo-nio ...... ampun. aku........... ampun...........
aku akan segera pergi "..... harap suka panggil kembali
ini.......... ini." Ia menggerak-gerakkan dayungnya di atas kepala untuk melindungi kepalanya yang disambari oleh tiga
ekor kelelawar hitam. Me lihat sikap kakek itu yang amat
ke takutan, Tiang Bu dapat menduga bahwa binatang-
binatang itu tentulah amat berbahaya, kalau tidak demikian,
19 masa seorang yang lihai seperti kakek itu sampai ketakutan
" Biarpun kakek itu nakal, namun harus di akui bahwa ia
telah ditolong olehnya diantarkan ke tempat yang dicarinya.
Tiang Bu meraba ke pinggir badannya dan me remas ujung
batu karang di dekatnya. Kemudian ia mengayun tangannya
ke depan menyambit ke arah tiga ekor kelelawar yang
kemudian jatuh ke atas sungai, mati !
"Orang muda, kau baik sekali. Akan tetapi hati-hatilah,
kau sudah membunuh binatang peliharaan Nio-nio........... "
kata kakek itu yang cepat-cepat mendayung perahunya
melawan arus sungai. Bangkai tiga ekor kelelawar itu hanyut
terbawa arus, kepala mereka pecah terkena sambitan Tiang
Bu. Karena malam hanya diterangi bulan sepotong dan
tempat itu penuh batu karang, amat berbahaya kalau orang
sampai terpeleset ke bawah. Tiang Bu tidak berani pergi dari
tempat iru. Ia malah memilih tempat yang rat a antara batu-
batu karang di mana ia duduk bersil a me nanti datangnya
pagi. Mudah-mudahan aku dapat bertemu dengan Toat-beng
Kui-bo dan Wan Sin Hong di tempat ini, pikirnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi se kali, begitu terang
tanah, Tiang Bu meninggalkan barisan batu karang di
pinggir sungai itu mulai menjelajah daerah yang benar-benar
liar ini. Daerah baru karang ini amat luas dan di mana-mana
terdapal gua-gua yang besar. Memang tidak sampai laksaan
banyaknya seperti namanya, akan tetapi lebih dari se ratus
buah gua yang besar-besar. Apakah orang-orang yang
dicarinya tinggal di dalam gua-gua itu" Apa ia harus
memeriksa ke dalam gua satu demi satu" Tiang Bu berjalan
memeriksa keadaan disitu dan mendapat kenyataan bahwa
di antara bukit -bukit batu karang terdapat pula tanah-tanah
datar yang tak berapa luas dan pohon-pohon yang aneh
bentuknya. Selagi ia longak-longok tak tahu harus mulai mencari
bagian mana, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat
20 sekali gerakannya tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa dan tampak gagang pedang nampak
tersembul dari balik pundanya. Laki-laki itu berdiri tegak di dekatnya, memandang tajam penuh selidik.
*Wan-siok-siok (Paman Wan).........." seru Tiang Bu
dengan girang sekali melihat bahwa laki-laki itu bukan lain
adalah Wan Sin Hong, orang yang dicari-carinya.
Orang itu memang benar Wan Sin Hong yang dahulu dari
Omei-san terus mengejar Toat-beng Kui-bo untuk minta
kembali isterinya. Akan tetapi Toat-beng Kui-bo lebih tepat
larinya dan meninggalkan W an Sin Hong setelah memesan
supaya mencarinya di Ban-mo-tong. Ketika Wan Sing Hong
menyusul ke Ban-mo-tong, ia mendapatkan Li Hwa isterinya
itu telah menjadi murid Toat-beng Kui-bo dan Li Hwa
memaksa suaminya supaya tinggal di Ban mo tong. Tentu
saja Sin Hong tidak senang mendengar ini.
"Kau sungguh aneh," te gurnya kepada isterinya, "dalam hal ilmu silat saja, mengapa harus belajar dari Toat-beng
Kui-bo. Benar-benar aku tidak mengerti."
Sambil menundukkan mukanya Li Hwa berkata lirih.
"Be tapapun juga .......... aku tak dapat meninggalkan dia seorang diri di sini ..... sudah menjadi kewajibanku untuk
mengawaninya sampai dia meninggal dunia..."
"Hwa- moi........... ! Mengapa demikian?" Sin Hong
terheran-heran. "Dia ..... dia itu ibuku,....." akhirnya Li Hwa membuat
pengakuan yang amat mengejutkan hati Sin Hong. Maka
berceritalah Li Hwa apa yang i a dengar dari Toat-beng Kui-
bo, bahwa duhulu Hoat beng Kui bo setelah melahirkan dia.
menitipkan Li Hwa yang masih orok itu kepada P at-jiu Nio-
nio yang menjadi adik s eperguruannya, Toat-beng Kui-bo
melakukan hal ini karena merasa malu mempunyai anak
yang tidak berayah! Demikianlah ketika bertemu di lereng
Omei -san. Toat-beng Kui-bo
bertemu kembali dengan 21 puterinya yang mula-mula ia kenal secara kebetulan saja.
Tadinya Toat beng Kui-bo hanya hendak menolong Li Hwa
diri tangan Liok Kong Ji, akan tetapi kemudian ia melihat
Cheng-liong-kiam maka terbukalah rahas ia bahwa nyonya
muda yang cantik ini sesungguhnya adalah puterinya sendiri
yang dulu ia titipkan kepada sumoinya, Pat-jiu Nio nio!
Mendengar penuturan ini, Sin Hong menjadi terharu dan
menghela napas. Tak disangkanya bahwa isterinya akan
bertemu dengan ibunya yang ternyata seperti iblis itu. Diam-
diam ia masih menyangsikan kebenaran cerita Toat beng
Kui-bo ini, akan tetapi ia tidak banyak membantah dan oleh
karena hatinya sendiri sudah menjadi dingin terhadap
penghidupan di dunia kaug-ouw yang selalu ribut, ia
meluluskan keinginan isterinya untuk tinggal di Ban-mo-
tong agar Li Hwa selalu dekat dengan "Ibunya" dan dapat melayaninya sambil belajar ilmu silat dari Toat -beng Kui-bo
yang lihai. Demikianlah, dapat dibayangkan
betapa kaget dan herannya hati Sin Hong ketika di pagi hari itu ia melihat
Tiang Bu terkeliaran di daerah berbahaya ini.
"Tiang Bu, bagaimana kau bisa sampai ke-sini dan...........
ada keperluan apakah kau datang di tempat berhahaya ini?"
tegurnya. Tiang Bu tersenyum dan memandang wajah Sin Hong
yang tampan itu. "Wan siokhu, aku sengaj a datang di Ban-mo to untuk mencarimu dan mencari siluman tua Toat beng
Kui-bo," "Kau mencari Toat beng Kui bo ada urusan apakah ?"
Melihat Wan Sin Hong mengerutkan kening nampak
tidak senang. Tiang Bu menjawab terus-terang, "Wan siok-
siok, ketika terjadi keributan di puncak 0mei-san, Toat beng
Kui bo juga mencuri sebuah kitab. Aku datang untuk minta
kembali kitab itu, me menuhi perintah suhu."
22 Diam-diam ia memuji kesetiaan bocah ini dan keberaniannya. "Dan kau mencari aku ada keperluan apa"'
tanyanya, wajahnya agak berubah kalau ia teringat akan
peristiwa di puncak Omei-san di mana bocah ini bertemu
dengan Liok Kong Ji. "Aku sengaja mencarimu untuk bertanya tentang keadaan diriku, siok-siok. Ceritakan padaku sejujurnya
tentang hubunganku dengan Liok Kong Ji yang mengaku
sebagai ayahku itu!" Ketika mengeluarkan kata-kata ini,
Tiang Bu bersikap keras dan jelas nampak dari suara dan
sinar matanya bahwa apapun yang akan terjadi, ia berkukuh
menghendaki dipecahnya rahasia ini, kalau perlu ia akan
memaksa Sin Hong dengan kekerasan !
Sin Hong tersenyum pahit. Alangkah beraninya bocah ini!
Pertama-tama ingin merampas kembali sebuah kitab dari
tangan Toat-beng Kui-bo, satu hal yang kiranya tak akan
berani seorang tokoh kang-ouw kenamaaa melakukannya.
Kedua kalinya hendak memaksanya melakukan sesuatu.
Akan tetapi, perlu bocah ini diuji, pikir Sin Hong. Dia hendak menemui Toat.beng Kui-bo, hal yang amat berbahaya. Baik
kulihat sampai di mana kepandaiannya. Kalau dia belum
pandai menjaga diri harus dihalangi niatnya bertemu dengan
Kui-bo me ngantar nyawa dengan si a-s ia.
"Tiang Bu, dulu sudah kukatakan bahwa aku tidak bisa
menceritakan hal itu kepadamu. Menyesal sekali!" Suara Sin
Hong benar-benar me ngandung penyesalan, akan tetapi juga
tegas. Memang pendekar ini tidak ingin membuka rahasia
anak ini yang akan merendahkan nama ibunya"
"Wan siot-siok!" Mata Tiang Bu bersinar-sinar menge-
luarkan api, mengingatkan Sin Hong akan mata Liok Kong
Ji. "Kau harus menceritakannya kepadaku, biarpun untuk
itu harus kupaksa!" "Tiang Bu bocah lancang, belum pernah ada orang
mampu memaksa Wan Sin Hong, apalagi engkau !"
23 "Kau orang tua minta dihajar!" Tiang Bu menjerit dan ia
menggerakkan tubuh me nyerang Sin Hong.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Hong ketika
merasa betapa angin pukulan yang keluar dari tangan bocah
ini luar biasa se kali panas dan antepnya! Namun ia adalah
seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi dan
pengalaman luas, maka cepat mengelak, tidak berani
menangkis tangan bocah yang ternyata memiliki tenaga aneh
ini. Tiang Bu mendesak terus dan pukulan pukulan yang ia
lancarkan, makin lama membuat Sin Hong makin terkejut
dan heran. Biarpun ia memiliki Ilmu Silat Pak -kek Sin-kun
yang lihai namun pukulan pukulan bertubi-tubi dari bocah
itu menghalangi semua jalannya, membuat ia terdesak. Dan
hebatnya, ia tidak mengenal ilmu pukulan yang dipergunakan Tiang Bu itu.
Kadang-kadang Tiang Bu memukul, kadang-kadang
menggampar atau me nusuk dengan jari-jari tangan terbuka
dan gerakan-gerakannya seperti orang menulis huruf.
Sekelebat seperti ilmu silat huruf yang pernah dipelajari dari Luliang Siucai, akan tetapi ini lebih hebat lagi. Bocah ini
menyerang dengan gerakan seenaknya saja, tanpa tergesa-
gesa seakan-akan Tiang Bu sudah dapat menduga atau
sudah tahu ke mana Sin Hong hendak mengelak, karena
selalu tubuh Sin Hong dalam mengelak dipapak oleh
serangan lain! Sin Hong dari heran terkejut menjadi penasaran. Ia
melompat ke sana ke mari, dan menghindarkan diri dari
pukulan, lalu mencoba untuk membalas. Namun ia mengalami keanehan luar biasa. Begitu Tiang Bu percepat
gerakan-gerakannya, Sin Hong kehabisan pintu, sama sekali
tak melihat lowongan untuk dapat membalas. Jangankan
membalas serangan, baru melindungi diri saja sudah sukar
bukan main. "Wan siok-siok, apakah kau masih be lum mau membuka
rahasia itu?" Tiang Bu bertanya sambil terus menyerang,
24 kini mempergunakan gerakan-gerakan yang ia "temukan"
dalam sajak-sajak kit ab Thian-te Si-keng.
"Hayaaa ...........!" Tak terasa Sin Hong berseru sambil
melompat ketika tangan kanan Tiang Bu yang terbuka
dipukulkan secara sembarangan saj a ke arah dadanya dan
telah menyerempet pundaknya. Bocah ini yang menyerang
sembarangan saja masih sambil bicara lagi, telah berhasil
mengenai pundaknya. Benar luar biasa.
"Sratt. ...... !!" Di lain saat , berbareng dengan berkelebatnya sinar me nyilaukan mata tangan kanan Sin
Hong sudah memegang Pak-sin-kiam pcdang pusaka peninggalan Pak kek Siansu !
"Lebih baik kau bunuh aku dari pada menutup rahasia
itu !" seru Tiang Bu, sedikitpun tidak gentar biarpun silau melihat pedang pusaka yang he bat ini. Ia masih terus
mendesak maju dan kini kcdua kakinya berdiri di atas ujung
jari jarinya dan mengerahkan ginkangnya yang paling tinggi.
He bat sekali pemuda cilik ini. Dia tiba-tiba saja menjadi
begitu ringan gerakannya seolah-olah bersayap! Diam-diam
Sin Hong menjadi makin kagum. Biarpun pendekar ini
sudah mencabut Pak-kek Sin-kiam, pedang pusaka yang
jarang sekali ia pergunakan kalau tidak amat terpaksa,
namun mana ia mempunyai niat membunuh Tiang Bu"
Ia hanya ingin menguji kepandaian pemuda ini dan
biarpun tadi ia sudah mendapat kenyataan bahwa dengan
tangan kosong. Ia sendiri tidak dapat menangkan Tiang Bu,
namun hatinya masih belum puas. Sin Hong maklum akan
ke lihaian dan berbahayanya Toat-beng Kui-bo yang memiliki
kepandaian lebih tinggi dari padanya sendiri, maka kini ia
ingin menguji Tiang Bu dengan senjata tajam.
Siapa kira bahwa pemuda itu melanjutkan serangannya
dengan tangan kosong ! Tentu saja Sin Hong merasa enggan
menghadapi se orang pemuda cilik bertangan kosong sedangkan ia menggunakan Pak-kek Sin kiam, maka
berkata: 25 "Tiang Bu, kalau kau memang hendak memamerkan
ke pandaian, keluarkan senjatamu!"


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak ingin pamer, hanya ingin kau me nceritakan
riwayatku, Wan-siok-siok. Orang bilang kau seorang pendekar budiman, mengapa dalam hal ini kau begitu
kukuh" kau tidak kasihan kepadaku ?"
Sin Hong s udah amat kagum akan kepandaian Tiang Bu,
maka merasa kepalang kalau tidak menguji terus. Ia
menggerakkan pedangnya dan berkata, "Awas, li hat pokiam
!" Kepandaian yang paling diandalkan oleh Sin Hong adalah
ilmu pedangnya. Memang ilmu pedangnya, Pak-kek Kiam-
sut, adalah ilmu pedang yang luar biasa sekali dan ia
menjagoi di dunia kang-ouw. Belum pernah ada ahli pedang
lain yang berani menyatakan ilmu pedangnya dapat melebihi
Pak-kek K iam-sut. Begitu Sin Hong menggerakkan pedangnya, sinar pedang bergulung-gulung mengurung
tubuh Tiang Bu. Namun Tiang Bu yang sudab siap, cepat bergerak
menurutkan jurus jurus mujijat dari Sam-hoan-sam-bu,
tubuhnya menjadi seakan-akan bulu ringannya dan dapat
mengelak se belum pedang lawan menyambar, seakan-akan
hawa pukulan pedang sudah lebih dulu mendorongnya
menyingkir dari sabetan mata pedang. Betapapun hebatnya
ilmu mengelak ini, Namun Tiang Bu masih hijau dalam
pengalaman pertempuran dan Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-
sut memang betul-betul luar biasa sekali sehingga pemuda
ini sekarang menjadi terkurung sinar pedang dan sama
sekali tidak mendapat kesempatan membalas. Ini disebabkan ia hanya mengandalkan pertahanan diri dengan
jalan mengelak karena untuk menangkis ia tidak berani. Ia
maklum akan ketajaman dan keampuhan Pak-kek Sin-kiam
maka tidak mau mengambil resiko buntung lengan. Setelah
terdesak hebat, baru ia teringat akan pesan suhunya bahwa
kalau terpaksa sekali ia boleh mempergunakan benda apa
26 saja yang dekat dengan dia untuk menjaga diri. Dilihatnya
sebatang ranting kayu kering tak jauh dari situ. Cepat i a
menggeser kedudukannya ke tempat itu dan lain saat ia
telah menjemput ranting ini terus melakukan perlawan
hebat. "Trangg........... ! Tranggg............!" Berkali-kali pedang Pak-kek Sin-kiam berbunyi nyaring ketika bertemu dengan
ranting dan Sin Hong menjadi pucat. Baru kali ini seumur
hidupnya ia mengalami hal yang luar biasa ini. Sebatang
ranting kayu kering kuat menahan pedangnya, padahal
senjata-senjata berat jago-jago silat lain tidak akan kuat
menahan dan pasti akan terbabat putus. Bukan hanya kuat
menahan, bahkan dari ranting itu me njalar tenaga yang
melalui pedangnya terus menghantam telapak tangannya
dengan getaran di dahsyat.
Ia merasa lweekangnya terpukul dan tergetar. Hebat
sekali, pikirnya. Sin-kang yang sudah kumiliki ditambah
latihan lm-kang dan Yang-kang bertahun-tahun, masa kalah
kuat oleh tenaga boc ah ini " Juga ia mengalami hal yang
mengagetkan. Ilmu Pedang Pak kek Kiam-sut sudah
merupakan raja ilmu pedang dan setiap getaran membuat
ujung pedangnya tergeser pecah menjadi tujuh yang
langsung menyerang jalan darah lawan di tujuh bagian.
Tentu saja hanya mendiang Pak Kek Siansu yang sudah
sanggup menggetarkan pedang menjadi tujuh bagian, akan
tetapi Sin Hong sudah mencapai tingkat tinggi dan dalam
kedudukan yang tidak terlalu terdesak ia dapat mengeluarkan pedangnya menjadi enam. Namun anehnya,
bocah yang memegang ranti ng ini, biarpun ilmu silat yang
dimainkan itu jelas sekali bukan ilmu pedang melainkan
ilmu pukulan biasa yang dimainkan dengan biasa yang
dimainkan dengan bantuan ranting, ternyata sudah dapat
menggetarkan ranti ng itu menjadi enam pula, sehingga
semua serangan Pak-kek Sin-kiam gagal.
27 Saking penasaran dan dalam niatnya mangadu tenaga
lweekang. Sin Hong mengeluarkan seruan keras dan tiba-
tiba pedang dan ranting bertemu di udara, saling menempel
tak dapat dilepaskan lagi. Sin Hong mempergunakan
lweekang dan mengerahkan tenaga menye dot sehingga
ranting lawan tak dapat terlepas dari pedangnya, kemudian
ia mulai mengerahkan tenaga melalui pedang untuk
menyerang. Kalau ia sudah dapat me maksa pemuda
melepaskan rantingnya. itu berarti tenaga lwee kangnya
masih menang setingkat! Biarpun Tiang Bu belum pernah mengalami pertempuran
mati-matian dan hebat seperti sekarang ini dan tidak tahu
apa maksud dari Sin Hong namun tubuhnya yang sudah
te risi tenaga sinkang yang ia warisi dari dua orang suhunya, secara otomalis telah merasai datangnya serangan dahsyat
dari lawan dan otomatis te naga sinkang di badannya
mengalir keluar melalui ranting untuk menahan gelombang
serangan lawan. Dua tenaga raksasa bertemu, saling dorong, kadang- kadang Tiang Bu terdo- rong sehingga tenaga- tenaga itu bergerak di dalam rantingnya membuat ranting itu be rgerak keras. Akan tetapi secara mendadak kadang-ka- dang arus tenaga itu membalik dan Sin Hong yang terdesak hebat sampai tenaga itu saling dorong di dalam pedang- nya, membuat pedang Pak-kek Sin-kiam terge- tar dan mengeluarkan 28 suara mengaung ! Tenaga sinkang dari Sin Hong sudah tinggi dan hebat.
Biarpun Tiang Bu telah mewarisi sinkang dari dua orang
gurunya namun karena belum dapat mempergunakannya
secara sempurna, i a tentu akan kalah oleh Sin Hong, kalau
saja tidak secara kebetulan bocah ini me mpelajari kitab Se ng thian-to dalam perjalanannya. Di luar pengetahuannya
sendiri, tenaga sinkang di tubuhnya telah melonjak tinggi
tingkatnya ke tika ia mulai melatih s amadhi menurut
petunjuk kitab suci itu. Demikianlah, dalam pertandingan
adu tenaga lweekang ini, Sin Hong sama sekali tidak dapat
mendesak Tiang Bu. Setiap kali ia me ngerahkan tenaga
mendesak, selalu tenaganya mental kembali. Akan tetapi,
juga Tiang Bu tidak dapat mendesak oleh karena memang
pemuda ini belum pandai betul mempergunakan lweekang
untuk menyerang lawan. Pada saat itu, terdengar suara sayap memukul dibarengi
suara ce cuwitan di atas kepala. Dua ekor, kelelawar
menyambar Tiang Bu. "Hushh........... jangan ........... !. seru Sin Hong dan tibatiba tubuhnya terpental ke belakang terhuyung-huyung dan
ia muntahkan darah segar. Saking cemasnya melihat Tiang
Bu diserang dua ekor kelelawar berbisa, Sin Hong sampai
lupa diri dan tadi mengeluarkan suara mengusir binatang-
binatang itu. Padahal dalam pertandingan lweekang di mana
menghadapi lawan yang sama kuatnya sehingga ia perlu
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, bicara merupakan
pantangan keras. Begitu ia terkejut dan terguncang hatinya
ia mengeluarkan suara, tenaganya membalik dan memukul
diri sendiri membuat i a terpental dan memuntahkan darah
karena di dalam dadanya mergalami guncangan pukulan
yang mendatangkan luka. Sementara itu, Tiang Bu yang tadinya juga mencurahkan
seluruh perhatian ke pada lawannya, menjadi gugup ketika
tahu-tahu dua titik hitam menyambar ke arahnya dengan
29 tepat sekali. Baiknya Sin Hong sudah terpental mundur
sehingga ia bebas. Akan tetapi saking lamanya ia mengadu
tenaga tadi, tangan kanannya yang memegang ranting
sampai terasa kaku dan kesemutan. Maka ia cepat
mengangkat tangan kiri menyampok kelelawar yang menyerang kepalanya. "Plak !" KeIelawar itu terlempar dan kepalanya remuk.
Ke lelawar ke dua sudah tiba dan tanpa dapat dicegah lagi
menggigit leher Tiang Bu sebelah kiri. Akan tetapi, juga
kelelawar ini begitu menggigit. tubuhnya berkelojotan dan
terlempar ke bawah terus mati ! Kiranya tenaga sin-kang di
tubuh Tiang Bu ketika tadi dikerahkan, masih bekerja keras
dan begitu ada yang menggigit leher, otamatis tenaga itu
mengalir ke lehe r menyerang lelelawar tadi.
Sin Hong melihat betapa kelelawar itu menggigit leher
Tiang Bu. ia menjadi kaget sekali.
"Celaka ...... !" teriaknya dia cepat melompat ke dekat Tiang Bu tanpa memperdulikan lukanya sendiri. Tiang Bu
hanya merasa lehernya tertusuk dan gatal sekali, hidungnya
mencium hawa busuk yang memuakkan. Biarpun ia belum
berpengalaman, namun sikap Sin Hong dan bau busuk itu
menimbulkan dugaan Tiang Bu bahwa kele lawar ini tentu
bcrbisa. Cepat ia meramkan mata dan mengarahkan
kekuatan batinnya seperti yang pernah dilatihnya dari kitab
Seng-thian-to. Di lain saat ia roboh pingsan !
Wan Sin Hong adalah seorang yang tidak s aja memiliki
ilmu silat tinggi dan ilmu pedang nomor satu, akan tetapi ia
juga terkenal bagai ahli pengobatan yang jempolan sehingga
beberapa orang kang-ouw yang pernah ditolongnya diam-
diam memberi julukan Yok-ong (Raja Obat) kepadanya.
Sebagai ahli waris kitab pengobatan dari Kwa-siucai ahli
segala racun, tentu saja begitu melihat kelelawar peliharaan
Toat-beng Kui bo di tempat itu Sin Hong lantas tahu bahwa
kelelawar itu adalah sejenis binatang yang amat berbisa.
30 Kelalawar pantai laut selatan ini sekali menggigit orang
sukar diobati lagi. Bahkan setelah meneliti keadaan bisa kelelawar ini
puluhan hari lamanya, Sin Hong hanya sanggup mengobati
racun gi gitan binatang itu asal saja racun belum menjalar ke jantung orang yang digigit. Hal ini hanya bisa terjadi apabila orang yang digigit segera mendapat pertolongannya, akan
tetapi tempat yang digigit itu jauh dari jantung, karena
racun yang jahat ini agak lambat jalannya. Se karang Tiang
Bu di gigit di lehernya, dekat jalan darah, dalam beberapa
detik saja tentu racun telah menjalar ke jantung dan tak
mungkin diobati pula! Maka dengan sedih Sin Hong cepat
berlutut memeriksa keadaan luka pemuda itu setelah agak
merasa heran mengapa kelelawar yang menggigit itu mati
mendadak. Untuk ketiga kalinya, Sin Hong terkejut dan terheran-
heran lalu kagum setelah i a mameriksa leher yang terkena
gigitan kelelawar itu. Pertama kali ia kaget menyaksikan
ilmu silat tangan kosong dari Tiang Bu yang terang jauh
mengatasinya, kedua kalinya ia terperanjat menghadapi
te napa sinkang dari pemuda itu luar biasa sekali. Kini untuk ketiga kalinya ia kaget bukan main menyaksikan hal yang
aneh sekali. Tiang Bu pingsan bukan karena gigitan
kelelawar, akan tetapi pi ngsan yang aneh, jalan darahnya
terhenti sama sekali akan tetapi napasnya masih be rjalan
perlahan-lahan. Hebatnya, racun kelelawar yang jelas kelihatan hitam itu
berkumpul dan diam di bawah kulit leher, tidak bergerak-
gerak dan tidak menjalar ke mana-mana karena semua
peredaran darah pe muda itu berhenti seperti tubuh yang
sudah tidak bernyawa lagi! Akan tetapi jelas pemuda itu
masih hidup karena napasnya masih keluar masuk, hanya
detak jantungnya berhenti !
Sin Hong tidak membuang banyak waktu lagi. Cepat i a
mengeluarkan jarum peraknya dan menus uki luka di leher
31 itu menge luarkan se mua racun hitam dengan amat mudah
karena hanya berkumpul di bawah kulit. Sambil bekerja ia


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingat-ingat akan penuturan gurunya dahulu, Pak Kek
Siansu tentang ilmu batin yang gaib seperti Ilmu sihir, yakni dalam keadaan hidup mematikan raga. Dengan ilmu inilah
orang dapat me lakukan segala hal aneh seperti me nusuk
lidah dengan pisau, menusuk dada dengan pedang, menginjak api, dan lain-lain tanpa merasa sakit dan tanpa
berpengaruh apa-apa oleh keadaan raga. Apakah pemuda ini
sudah memiliki ke pandaian semacam itu" Akan tetapi tidak
mungkin kalau ini main sihir, karena pemuda itu pingsan.
Setelah selesai mengeluarkan semua racun dan selagi ia
hendak mencekoki Tiang Bu dengan pel merah obat
kuatnya, tiba-tiba Tiang Bu siuman, meraba lehernya yang
sudah di tutup koyo (obat tempel), lalu berkata,
"Terima kasih atas pertolongan Wan siok-siok." Sin H ong melongo. Ia tidak tahu bahwa sebe narnya tadi Tiang Bu
telah melakukan ilmu yang ia dapat dari kitab Seng-thian-to.
Biarpun ia pingsan tak dapat bergerak karena seluruh
peredaran darahnya ia "suruh" berhenti, namun i a masih sadar. Inilah kehebatan ilmu "menguasai" peredaran darah dan jalanan napas dan hawa dalam tubuh!
"Kau...... kau hebat sekali, Tiang Bu"..", kata Sin Hong
dalam hatinya takluk betul. Kini ia boleh melepas anak ini
menemui Toat-beng Kui-bo dengan hati tenang karena
percaya penuh bahwa kepardaian pemuda cilik ini sudah
cukup tinggi untuk menghadapi nyonya besar majikan
daerah Bin-mo-tong ini. "Wan siok-siok, kiranya sekarang kau tak-kan begitu
pelit untuk membuka rahasiaku. Siapakah ayah bundaku
sesungguhnya dan mengapa sejak kecil aku menjadi anak
ayah bundaku di Kim bun-to ?"
Sin Hong menjadi serba salah. Terbayang olehnya segala
peristiwa di waktu dahulu (baca Pe dang Penakluk Iblis). Ia
sudah berjanji takkan membuka rahasia itu yang akibatnya
32 hanya akan memalukan Tiang Bu sendiri dan berarti pula
mendatangkan kecemaran bagi nama baik Nyonya Pangeran
Wanyen Ci Lun. Pula Sin Hong maklum betapa bencinya
nyonya itu, Gak Soan Li, kepada anaknya keturunan Liok
Kong Ji. Kalau ia membuka rahasia Tiang Bu, bukanlah itu
sama halnva dengan me ndatangkan malapetaka bagi me reka
semua " Sin Hong menjadi bingung betul dan tak dapat
menjawab. Tiba-tiba bintang penolong datang, berupa
isterinya sendiri. "Eh, Tiang Bu ! Kau di sini.........." teguran ini keluar dari mulut Li Hwa yang muncul dari balik batu-batu karang.
Tiang Bu menengok dan melihat Hui-eng Niocu masih cantik
dan lincah seperti dulu, hanya kini agak lambat gerakannya
dan nampak lesu. Tentu saja pemuda ini tidak tahu bahwa
itu adalah tanda-tanda seorang wanita sedang mengandung.
Segera ia memberi hormat kepada Siok Li Hwa.
Melihat munculnya Li Hwa, Sin Hong mendapatkan
kembali kete nangannya dan berkata kepada Tiang Bu.
"Tiang Bu, kalau hendak bertemu dengan Toat.beng Kui
bo pergilah ke sana dulu. Kau ambillah jalan ini terus ke
selatan, sampai di pinggir laut kau belok ke kanan melalui
bukit batu-batu karang yang amat sukar. Di sana terdapat
tujuh gua-gua besar. Nah, kau masuki gua-gua itu satu
demi satu dan di salah satu antara tujuh gua itu kau tentu
akan menjumpai orang tua itu. Kalau sudah selesai
urusanmu dengan beliau, kau datanglah ke sini, nanti aku
akan memberi jawaban atas pertanyaanmu tadi." Dengan
kata-kata ini selain untuk memberi petunjuk tentang jalan
menuju ke tempat tinggal Toat-beng Kui-bo, juga Sin Hong
"minta tempo" untuk berunding lebih dulu dengan isterinya.
Tiang Bu girang sekali. Tidak saja unt uk petunjuk jalan
mencari Toat-beng Kui-bo, akan tetapi juga karena janji Sin
Hong. Ia percaya akan kata-kata pendekar itu. maka ia cepat
menghaturkan terima kasih, lalu menjura kepada Li Hwa
lalu melompat berlari cepat ke selatan.
33 Dalam sekejap mata saja ia lenyap darI pandangan mata.
Sin Hong menarik napas panjang. "Luar biasa sekali,
anak itu kelak akan menjadi jago yang tiada taranya. Kalau
saja watak buruk ayahnya tidak menurun kepadanya..........." Ia lalu menceritakan semua peristiwa
yang ia alami tadi kepada isterinya. Dengan terus terang ia
akui sekarang saja kepandaian Tiang Bu sudah melampaui
kepandaiannya, apalagi kelak beberapa tahun lagi kalau
Tiang Bu sudah dewasa benar-benar dan sudah banyak
pengalaman. "Aku bingung bagaimana harus menjawabnya," ia menutup penuturannya. "Mengapa mesti bingung.
suamiku" Ceritakan saja
kepadanya, bahwa dia bukan putera Hong Kin dan Hui Lian,
melainkan putera Soso Li dan Kong Ji."
"Ah, tak mungkin aku sekejam itu. Kau tahu apa yang
akan terjadi kalau aku buka rahasia itu, Hwa-moi. Anak itu
akan terpukul batinnya, Soan Li akan tercemar namanya
dan kalau ibu dan anak itu dipertemukan, aku khawatir
akan terjadi hal-hal hebat dan mengerikan."
Li Ilwa maklum akan maksud kata-kata suaminya. Dia
memang sudah mendengar se mua tentang peristiwa itu dan
tahu betapa bencinya Soan Li kepada anak kandung
keturunan Kong Ji. "Akan tetapi, lebih tidak baik lagi
menutupi kenyataan. Kulihat Tiang Bu bukan anak bodoh
dan akhirnya ia tentu akan tahu juga."
"Akan tetapi aku sudah bersumpah tak membuka
rahasia Soan Li........... "
"Kalau begitu mudah saja, diatur supaya dia mendengar
dari orang lain. Lebih baik diatur begini saja ...... " Isterinya yang cerdik ini lalu memberi petunjuk-petunjuk kepada
suaminya. Sin Hong mengangguk-angguk setuju.
-oo(mch)oo- 34 Kata-kata Sin Hong ketika memberi petunjuk kepada
Tiang Bu tentang tempat kediaman Toat-beng Kui-bo
memang betul. Setelah Tiang Bu sampai di tepi laut dan
membelok ke karan, ia benar-benar menghadapi perjalanan
yang amat sukar. Bukit batu karang yang mendoyong di
sepanjang pantai laut itu nampak menyeramkan dan bukan
tempat manusia. Pantas saja disebut Ban-mo-tong (Gua
Selaksa Iblis) karena memang banya iblis dan siluman saja
yang patut tinggal di daerah ini. Perjalanan ke gua-gua yang
disebutkan oleh Sin Hong bukan perjalanan mudah dan
hanya orang-orang berkepandaian tinggi saja dapat lewat di
sini. Jalan menanjak atau menurun selalu melalui ujung-
ujung batu karang yang tajam meruncing. Jalan di atas
batu-batu karang ini tanpa pe ngerahan ginkang yang tinggi,
akibatnya tentu sepatu hancur dan telapak kaki luka-luka.
Dari jauh sudah nampak tujuh buah gua menghitam
seperti mulut -mulut siluman raksasa terbuka dengan gigi-
gigi runting monongol dari bawah dan bergantungan di atas
gigi-gigi runcing batu karang pula. Tentu saja Tiang Bu tidak tahu di dalam guha yang mana di antara tujuh buah itu
adanya orang yang dicarinya, maka terpaksa ia mencari dari
guha pertama. Perjalanan yang amat sukar.
Gua itu kosong, hanya ada beberapa e kor kelelawar
menyambar keluar, akan tetapi se gera menjauhi Tiang Bu
ketika pemuda ini menyampok dongan pengerahan hawa
pukulan yang cukup akan dapat mematikan binatang-
binatang itu kalau berani mendekat. Te rpaksa turun lagi dan
perjalanan dari gua pertama ke gua kedua lebih sukar lagi.
Kembali kosong! Tiang Bu benar-benar diuji kesabarannya atau agaknya
Toat beng Kui-bo sengaja mempermainkan anak muda ini
karena setelah ia buang waktu setengah hari, bersusah-
payah merayap dari gua ke gua sampai gua ke enam
ternyata semua gua yang didatangi Tiang Bu kosong !
35 Hari telah mulai senj a ketika Tiang Bu tanpa mengenal
lelah mendaki naik ke bukit gua ke tujuh. Dari jauh sudah
nampak titik-titik hitam, yang ternyata adalah kelelawar-
kelelawar hitam kelelawar-kelelawar berbisa yang terbang
tinggi di atas kepala Tiang Bu berkelil ing seakan-akan
pe ngintai-pengintai yang pandai. Diam-diam Tiang Bu ngeri
juga melihat ada kelelawar yang amat besar. Panjang dari
ujung sayap kiri ke ujung sayap kanan tidak kurang dari
sedepa dan besar badan binatang itu seperti anjing kecil.
Akan tetapi binat ang-binatang ini tidak menyerang, maka
Tiang Bu juga bersikap tenang saja me lanjutkan perjalanannya di atas batu-batu karang yang runcing itu,
memegang sana meraba sini. Telapak tangan dan kakinya
sudah mulai pedas-pe das.
Akhirnya ia sampai di mulut gua dan pertama-tama yang
menyambutnya adalab asap putih yang harum dari dupa
wangi yang dibakar orang di dalam gua! Ia merayap terus
dan...... be nar s aja, di dalam gua itu duduk bersila
menghadapi dupa terbakar dan dikelilingi oleh "hulubalang-hulubalangnya"
yaitu kelelawar-kele lawar besar yang sayapnya hitam berbintik-bintik. Toat-beng Kui-bo memandang ke arahnya dengan tersenyum mengerikan!
Nenek ini tertawa tanpa mengeluarkan suara, kemudian
ketika ia mengangkat tangannya yang penuh kuku panjang
ke depan, baru suara ketawanya terdengar, cekikikan seperti
suara iblis tertawa. "Hi -hi -hi-hi, kau bocah murid hwesio malas di Omei-san !
Besar sekali nyalimu, datang dan menjenguk ke semua gua-
guaku. Hi-hi-hi -hik, kalau bukan murid Omei-san aku suka
mempunyai muri d setabah ini .......!" Kata-kata sambutan ini melegakan hati Tiang Bu, karena tadinya ia mengira bahwa
begitu bertemu ia tentu akan diserang mati -matian oleh
nenek biang iblis ini. Ia sudah siap sedia dan diam-diam ia
juga tidak berani memandang ringan kepada nenek tokoh
dunia selatan ini. 36 "Locianpwe, harap maafkan kalau aku yang muda
berlaku lancang, datang menghadap
tanpa dipanggil," katanya hormat. "Hi-hi -hi-hi, dasar murid gundul gendeng. Bersopan-
sopan menjemukan!" Nenek itu mengambil babakan kayu
harum dan mengawurkannya di atas pedupaan. As ap baru
putih tebal bergulung-gulung naik dan bau harum memenuhi gua yang buruk dan kotor itu. "Orang muda, kau
datang ada apakah" Apa tidak cukup bertemu dengan anak
mantuku di luar sana?"
"Aku sengaja datang mencari locianpwe untuk minta
kembali kitab Omei-san yang dulu terbawa ke sini." Tiang Bu masih berlaku sabar dan menghindar kata-kata tuduhan
mencuri. "Kalau aku tidak mau mengembalikannya kepadamu,
bagaimana?" Sepasang mata itu liar menyapu keluar gua
dan dua ekor kelelawar datang dari luar, sedangkan yang
berada di dalam menggelepar-teleparkan sayap.
"Kalau demikian, terpaksa aku yang muda berlaku
kurang ajar dan mohon dilanj utkan pibu di puncak Omei-
san dahulu. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk
memenuhi tugas ini mengumpulkan kembali kitab kitab
Omei -san yang tercuri."
"Hi hi hi! K au luar biasa sekali. Hebat. Setua ini baru
sekarang ini aku mengalami ditantang oleh seorang bocah
masih ingusan! Benar-benar besar sekali nyalinya. Bocah
siapa namamu?" "Namaku Tiang Bu." jawab pemuda singkat.
"Tidak pakai she (ke turunan)?"
Tiang Bu menggeleng kepala. "Lupa lagi siapa she ku!"
Nenek itu tertawa cekikikan, suara ketawanya aneh
sekali, ada nada marah ada juga nada menangis. Binatang-
binatang kelelawar di dekatnya beterbangan tidak menentu
37 di atas kepalanya, agaknya merekapun bingung mendengar
suara ketawa ini dan tidak tahu me reka diperintah apa.
"Masih kecil kau sudah memiliki watak aneh," kata Toat-
be ng Kui-bo, kemudian ia nampak sungguh-sungguh ketika
terkata lagi, "Tiang Bu, karena kau mewakili dua orang
gundul Omei-san yang sudah tewas, baik aku mengaku
terus terang bahwa dalam keributan itu, aku menyelamatkan sebuah kitab dari tangan pencuri itu. Akan
te tapi setelah kulihat, kitab ini ternyata cocok sekali untuk seorang tua bangka yang penuh dosa seperti aku, sama
sekali tidak ada artinya bagi seorang bocah seperti engkau.
Kitab ini dapat berjasa bes ar sekali untuktu dan karenanya
akan kupelajari untuk bekal mati. Kau tidak boleh minta
kembali."

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mana Tiang Bu mau percaya" Kalau kitab tidak berarti,
mana nenek ini mau mengambilnya dan menahannya "
Tentu kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi. Ke dua orang
suhunya pernah me nyatakan kepadanya bahwa kalau kitab-
kitab pelajaran ilmu silat tinggi terjatuh ke dalam tangan
orang jahat, maka akan me rupakan hal yang berbahaya
sekali, dan harus dihalangi. Le bih baik kitab pelajaran itu
dibakar dari pada terjatuh ke dalam tangan orang jahat.
Karena selain hal itu berarti akan memperkuat kedudukan
orang-orang jahat, juga kelak dapat mencemarkan nama
baik dua orang hwesio Omei -san itu, bahkan dapat
mencemarkan nama besar Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian
Couwsu dua orang guru besar itu.
"Kalau begitu, terpaksa aku minta pelajaran dari
locianpwe," kata Tiang Bu menantang dengan sikap tenang.
Kembali ia bersiap sedia menghadapi serangan mendadak
dari nenek itu. Akan tetapi aneh, ne nek itu menghela napas
dan tidak berbuat apa-apa, lalu berkata pe rlahan,
"Aku sudah pernah mencoba kepandaianmu di 0mei-san.
Ilmu silatmu tinggi dan sinkangmu hebat. Tidak kepalang
dua orang kakek gundul mengambilmu sebagai murid. Akan
38 tetapi jangan kira aku masih kurang akal dan kepandaian
untuk membunuhmu. Mudah bagi ku untuk membunuhmu,
apalagi kau berada di sini. Hemm, soalnya ........... semenjak membaca kitab itu, aku tidak mau lagi membunuh manuaia
tanpa dosa. Dan kau anak baik........... aku tidak mau
menambah dosa" "Locianpwe, memang akupun tidak suka berkelahi,
apalagi dengan locianpwe yang berilmu tinggi. Akan tetapi
kitab itu diambil dari Omei-san dan aku sudah menerima
pes an suhu agar mengambil kembali semua kitab-kitab itu."
"Dan selanjutnya" Akan kauapakan kitab-kitab itu?"
"Selanjutnya terserah kepadaku. akan tetapi sudah pasti
kitab-kitab itu takkan terjatuh ke dalam tangan orang-orang
jahat ." "Ha, kau menggolongkan aku manusia jahat " Memang
tidak salah. Aku jahat, lebih jahat dari pada kelelawar-
kelelawar berbisa ini. Aku tadinya tidak perduli, tidak takut hukuman neraka. Tidak tahunya semua itu ada hukuman
timbal baliknya dan semua perbuatanku merupakan tamparan bagiku sendiri. Ah, bocah bernyali besar, tahukah
kau bahwa kalau aku belum membaca kitab yang kauminta
itu, pada saat ini kau tent u sudah menggeletak mampus dan
darah serta dagingmu menjadi umpan kelelawar- kelelawarku?" "Aku tidak takut mati, locianpwe. Lebih baik mati
menjalankan tugas dari pada hidup melihat kitab dipelajari
orang lain dan kelak kepandaian dari kitab di pergunakan
untuk perbuatan jahat."
"Ha, kau memang hebat. Apa kaukira kitab itu kitab
pelajaran ilmu silat Tiang Bu, kalau itu kitab pelajaran silat, mana aku sudi menyimpannya " Semua ilmu silatku bol eh
kutukar cuma-cuma dengan pelajaran dari kitab itu. Kau
tidak percaya " Apa kau mau berjanji bahwa kalau ki tab itu
39 bukan pe lajaran silat kau mau meminjamkan atau memberikan kepadaku?"
Tiang Bu berpikir sejenak. Dua orang suhunya adal ah
hwesio-hwesio yang alim dan suci. Sangat boleh jadi di
antara sekian banyaknya kitab-kitab itu, terdapat kitab-suci
yang tidak ada hubungannya dengan ilmu silat, melainkan
kitab pelajaran ilmu batin agar manusia dapat mencari
kebenaran sejati. Kalau betul kitab itu hanya pe lajaran
agama atau kebatinan dan dapat "menyembuhka Toat-beng
Kui-bo dari kejahatannya, bukankah akan berjasa baik dan
apa salahnya dipinjamkan "
"Baik. locianpwe. Aku berjanji bahwa setelah melihat
kitab itu dan mendapat kenyataan hanya kitab pelajaran
berhubungan de ngan kebatinan dan tidak ada hubungannya
dengan ilmu silat atau ilmu kegagahan lain, kitab itu boleh
kupinjamkan kepada locianpwe untuk sepuluh tahun
lamanya. Nenek itu tertawa cekikikan. "Kau memang bocah pintar
dan berhati baik. Nah, kau periksalah kitab ini !" Sambil
berkata demikian, Toat-beng Kui-bo mengeluarkan sebuah
kitab yang sampulnya kuning dan melemparkan kitab itu ke
arah Tiang Bu. Pemuda ini segera menerimanya dan cepat
membalik-balik lembaran kitab itu di bawah penerangan
matahari yang sudah me nyuram. Pada halaman pertama ia
melihat judul kitab itu ditulis dengan huruf-huruf besar.
DELAPAN JALAN UTAMA Di bawah huruf-huruf besar ini tertulis dengan huruf-
huruf kecil. Sari pelajaran dari Yang Mulia Ji lai hud untuk
membebaskan diri dari Siksa Dunia.
Tiang Bu mengerutkan kening. Melihat nama Tiong Jin
Hwesio di ujung bawah sampul dan melihat tulisan- tulisan
kecil itu, tidak salah lagi bahwa kitab ini memang kitab
suhunya. Dan melihat bunyi judul dan penjelasannya, tidak
dapat disangsikan lagi bahwa ini tentu kitab pe lajaran yang
40 menjadi kitab suci dari Agama
Budha, mengandung semacam pelajaran kebatinan. Ia masih kurang puas, dan
membuka-buka halaman selanjutnya.
Dengan pandang matanya yang tajam ia mencari-cari
namun tak dapat menemukan sebuah kalimatpun yang
menulis tentang ilmu silat. Ia melihat kalimat-kalimat yang
tak dimengertinya seperti: "Hanya ada Delapan Jalan Utama, Empat Kebenaran Mulia, kebajikan yang utama adalah
Bebas Nafsu, manusia utama adalah dia yang dapat melihat
pelajaran ini". Di bagian lain dari kitab itu Tiang Bu
membaca kalimat-kalimat yang berbunyi: "Segala yang
tercipta akan musnah. Segala yang tercipta mendatangkan
duka nestapa dan sakit. Segala bentuk itu tidak aseli dan
palsu adanya". Dan banyak kaIimat -kalimat lain yang tidak
begitu jelas baginya, akan te tapi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat.
(Bersambung jilid ke XII)
41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XII SETELAH membalik-balik lembaran kitab itu beberapa
lama sampai halaman terakhir, Tiang Bu melangkah maju
dan memberikan kitab itu kepada Toat -beng Kui-bo sambil
berkata, 'Memang kitab ini lebih cocok untuk ciampwe,
biarlah locianpwe pinjam sampai se puluh tahun'
Toat-beng Kui.bo tertawa cekikikan. "Sepuluh tahun lagi
kau masih muda, belum patut membaca ini. Tunggu sampai
kau tua, aku kembalikan kitab ini padamu, Tiang Bu."
Tiang Bu yang tidak terlalu memperhatikan kitab seperti
itu, menganggap kata-kata ini hanya main main saja. maka
iapun tidak mau banyak membantah.
"Mudah mudahan dengan kitab ini locianpwe akan
mendapatkan jalan utama yang bersih, maafkan aku tel ah
mengganggu waktu locianpwe yang berharga." Setelah
berkata demikian, Tiang Bu mengundurkan diri dan keluar
dari gua itu. Ia harus berlari cepat kalau tidak mau
kemalaman di daerah berbahaya ini. Berkat ginkangnya
yang luar biasa, ia berhasil tiba di tempat ia bertemu dengan Sin Hong tadi, tepat pada saat malam tiba dan gelap
1 menyelimuti bumi. Ketika ia tengah mencari -cari sambil
menengok ke sana-sini tiba-tiba muncul Sin Hong.
"Kau sudah kembali" Cepat amat! Apa kau sudah
bertemu dengan Toat-beng Kui-bo?" Tiang Bu mengangguk.
"Dan kau tidak apa-apa" Apakah kitab it u sudah
kauminta?" Tiang Bu menggeleng kepala. "Kitab itu ternyata kitab
pelajaran menyucikan hati sungguh sebuah kitab yang tepat
untuk Toat beng Kui-bo. Aku sudah meminjamkannya
padanya agar ia baca untuk bekal menghadapi alam baka."
Sin Hong terkejut dan menghela napas berulang-ulang.
"Mudah-mudahan benar begitu. Tiang Bu malam telah
tiba. Mari kau bermalam di pondokku, besok kau baru
melanjutkan perjalanan. Kita bisa bercakap-cakap."
Tiang Bu mengangguk, lalu mengikuti Si n Hong. Ternyata
Sin Hong dan isterinya telah membangun sebuah pondok
sederhana, di tepi sungai. Kedatangan Tiang Bu disambut
oleh Li Hwa dengan gembira. Tadinya diam-diam Li Hwa
merasa gelisah juga mendengar bahwa pemuda itu menghadap "Ibunya" dan merasa khawatir kalau-kalau sikap Tiang Bu yang polos dan berani itu akan memarahkan hati
Toat-beng Kui -bo. Akan tetapi ternyata pemuda ini malah
meminjamkan kitab Omei-san itu kepada Toat-beng Kui -bo
dan bahkan sedikitpun pertempuran tidak terjadi di gua-gua
menyeramkan itu. Malam hari itu Tiang Bu bercakap-cakap dengan Wan Sin
Hoag. Baru sekarang ia mengenal kepribadian Wan Sin Hong
dan Tiang Bu menjadi kagum sekali. Kata-kata yang keluar
dari mulut pendekar besar ini membuat Tiang Bu merasa
malu kepada diri sendiri dan ia me rasa manyesal sekali atas
sikapnya yang sudah-sudah terhadap Sin Hong, s ikap kasar
dan kurang ajar. 2 "Tiang Bu, kau harus tahu bahwa bukan sekali-kali aku
sengaja menyimpan rahasiamu karena maksud buruk.
Ketahuilah, bahwa aku telah berjanji bahwa hal ini akan
kurahasiakan. Janji seorang laki-laki harus dipegang teguh
dan diikat dengan nyawa. Janji baru bisa putus kalau nyawa
juga putus. Di samping ini semua, aku tidak me lihat sesuatu
kebaikan dalam pembukaan rahasia ini. Masa depanmu
amat suram-muram apabila kau tetap hendak mengetahui
rahasia itu. Kau harus tahu bahwa semenjak kecil, semenjak
kau baru lahir, kau rudah di pelihara oleh ayah bundamu
yang sekarang di Kim bun-to, dan kau tentu mengerti pula
bahwa ayah bundamu itu mencintaimu seperti kepada
putera sendiri. Oleh karena itu, apa perlunya kau berkukuh
hendak mengetahui rahasia itu?"
"Wan siok-siok, memang betul apa yang kauucapkan itu.
Ayah dan ibu di Kim-bun-to penuh kasih sayang kepadaku
dan hal ini ku akui. Selamanya akupun akan menganggap
mereka sebagai ayah bunda sendiri. Akan tetapi ...... tentang orang she Liok itu....., ingin mendengar ceritanya bagaimana
dia mengaku sebagai ayahku, dan lebih hebat lagi.....
mengapa pula Wan-siok-siok membenarkan pengakuannya
itu. Aku penasaran dan hidupku selanjutnya akan tersiksa
hebat apabila siok-siok tidak menjelaskan, siapakah sebenarnya ayah bundaku dan mengapa semenjak kecil aku
ditinggalkan di Kim-bun-to."
Sin Hong menarik napas panjang dan menggeleng
kepalanya. "Aku tidak dapat me mbuka rahasia itu, Tiang
Bu." "Tiang Hu," kata Li Hwa dengan suara hal us. "pamanmu adalah seorang laki-laki sejati. Dalam rahasia riwayatmu itu
te rselip hal-hal yang amat berbelit-belit, dan menceritakan
satu harus menceritakan dua dan sekali membuka rahasia
itu maka akan terbuka semua rahasia yang amat..... amat
tidak menguntungkan kau sendiri. Kau tentu tahu bahwa
sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi pribudi,
3 pertama-tama janji harus dipegang teguh, kedua kalinya,
pantang membuka rahasia yang akan mencemarkan nama
orang-orang, apalagi orang-orang yang menjadi sahabat-
sababat baik." Li Hwa menghela napas lalu menyambung
kata-katanya. "Tadi ketika kau pergi, kami sudah mengambil keputusan bahwa rahasia ini tetap takkan kami buka pada
siapapun juga, biarpun untuk itu kami akan menghadapi
maut. Hanya masih ada jal an yang dapat kami tunjukkan
kepadamu." Menghadapi alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sin
Hong dan Li Hwa, akhirnya hati Tiang Bu menjadi lemas.
Tentu saja mendengar ada jalan lain, ia menjadi gembira
sekali. "Bagus sekali! Jalan apakah itu" Harap se gera diberitahukan kepadaku."
"Kau pergilah ke kora raja Kerajaan Kin utara. Di sana
ada seorang sahabat bernama Pangeran Wanyen Ci Lun......"
kata Sin Hong yang mcnyambung kata-kata Li Hwa.
"Aku sudah kenal pangeran itu!" Tiang Bu memotong. Sin Hong terkejut sekali, juga Li Hwa melengak. "Kau........... "
Sudah kenal dengan Pangeran Wanyen Ci
Lun ......?" "Sudah, ketika aku merantau bersama Bu Hok Lokai di
kota raja. Bahkan aku ditolong oleh Pangeran Wanyen Ci
Lun, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar." Dengan
singkat Tiang Bu menceritakan pengalaman dahulu ketika i a
dirampas kembali Pat kek Sam-kui.
"Betul, dia itulah Pangeran Wanyen Ci Lun sahabat


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baikku atau ........... masih saudara misanku sendiri."
Tiang Bu mengangguk. "Pantas saja siok-hu serupa benar
dengan dia," kata pula Tiang Bu.
"Kau jumpai dia dan kau bantulah. Dia itu orang baik
dan kiranya pada masa datang ini dia memerl ukan bantuan
4 seorang seperti engkau. Setelah kau membantunya mendapat kepercayaannya baru kau keluarkan isi hatimu,
ceritakan siapa sebenarnya dan bahwa kau mengabdi
kepadanya atas permintaanku. Kemudian kauserahkan
suratku. Kiranya dia tentu akan suka membuka semua
rahasia ini. Hanya satu hal yang kau harus tahu. Dia itu
orang baik, dia juga tersangkut dalam rahasla ini, juga
isterinya. Kau harus membela mereka itu dengan seluruh
kesetiaanmu." Biarpun tidak mengerti, namun Tiang Bu mengangguk-
angguk dan hatinya agak lega betapapun juga, kini terbuka
jalan baginya dan ia tidak membantah.
Setelah mendapat petunjuk dari Wan Sin Hong bahwa
untuk membongkar rahasta riwayat hidupnya ia harus pergi
ke kora raja Kin dan mengabdi kepada Pangeran Wanyen Ci
Lun. Tiang Bu merasa lega. Biarpun dari Sin Hong sendiri ia
tak dapat membuka rahasia itu, namun mendengar alasan
Sin Hong yang tepat dan mengandung pelajaran tentang
kegagahan, Tiang Bu merasa tunduk dan tidak berani
memaksa. Mereka bertiga, Tiang Bu, Wan Sin Hong dan Siok
Li Hwa, bercakap sampai jauh malam.
Bahkan setelah Li Hwa mengundurkan diri ke dalam
kamar untuk mengaso, Tiang Bu masih terus diajak
bercakap-cakap oleh Sin Hong. Selain amat tertarik dan
suka kepada pemuda luar biasa ini, juga Sin Hong
"menjajaki" hatinya. Ia sengaja memancing-mancing dalam percakapan itu untuk menjenguk isi hati dan watak pemuda
kalau-kalau ada sedikit persamaan dengan ayahnya, Liok
Kong Ji manusia jahat seperti iblis itu. Namun ia merasa
lega karena didengar dari kata-katanya maupun di pandang
dari sinar mat a dan gerak geriknya. pe muda ini cukup
"bersih". Sebaliknya di lain fihak, Tiang Bu kagum dan makin
tunduk terhadap Wan Sin Hong pendekar besar yang
semenjak kecil sudah sering kali ia mendengar namanya
5 dipuji-puji oleh ayah bundanya, yaitu Con Hong Kin dan Go
Hui Lian. Sekarang ia tahu bahwa pendekar ini memang
patut dipuji. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi. juga ilmu pengobatan yang luar biasa. Di samping ini ternyata
pandangannya luas, pertimbangannya masak, wataknya
mencerminkan watak kesatria perkasa yang menjunjung
tinggi kegagahan dan kebajikan.
Sampai malam berganti pagi dua orang ini masih duduk
berhadapan bercakap-cakap. Orang-orang dengan lweekang
setinggi yang mereka miliki. memang tidak terganggu ole h
lapar, haus dan kantuk. Mereka me miliki daya tahan yang
tidak seperti manusia. Tidak minum atau tidak tidur
sepekan saja, bagi mereka bukan apa-apa.
"Wan-siok-siok. masih ada satu hal lagi yang aku ingin
mengetahui. yaitu tentang anak perempuan yang ikut
dengan siok-siok ke Omei-san itu. Kalau aku tak salah ingat,
wajahnya seperti adikku Lee Goat."
"Memang tak salah dugaanmu, dia itu Coa Lee Goat,
adikmu." Wajah Tiang Bu berseri, matanya bersinar-sinar.
"Aduh, dia sudah besar. Ilmu silatnya lihai, dia cantik manis sekali........... Lee Goat adikku." Tiba-tiba saja seri mukanya lenyap terganti bayangan kecewa. "Akan tetapi ...... mengapa dia menyangkal namanya ketika kutanya........... ?"
"Dia tidak tahu bahwa kau kakaknya yang telah
meninggalkan rumah semenjak dia masih berusia dua
tahun, dan memang aku melarangnya memperkenalkan
nama ketika ia kuajak ke Ome i-s an untuk menjaga
perbuatan orang jahat."
"Dia sekarang di mana siok-siok " Kenapa tidak ikut ke
sini" Aku ingin sekali bicara dengan adikku ...... " kata Tiang Bu penuh rindu kepada adiknya yang amat ia sayang itu.
"Dia berada di Kim bun-to. Ketika aku mencari bibimu
yang ikut pergi dengan Toat-beng Kui-bo ke sini, lebih dulu
aku mengantar pulang muri dku itu. Dalam perjalanan
6 menghadapi bahaya, tentu saja aku tidak mau membawa
dia." "Aku akan pulang, aku ingin bertemu ayah bunda dan
adikku !" Suara Tiang Bu terdengar penuh keharuan ketika ia berkata demikian, seperti seorang anak anak yang sudah
amat rindu akan rumahnya. Akan tetapi i a se gera dapat
menguasai hatinya dan sikapnya tenang lagi ketika ia
bertanya. "Wan siok-siok, hari ini aku akan meninggalkan tempat
ini. Masih ada lagi permohonanku kepadamu, yaitu angin
aku tahu dimana tempat tinggal orang orang yang telah
mencuri kitab-kitab Omei-san. Aku harus datangi mereka itu
seorang demi seorang untuk merampas ke mbali kitab-kitab
suhu." "Mereka itu siapa?"
"Yang harus kucari adalah Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin, Tee-tok Kwan Kok Sun, Pe k-thouw-tiauw-ong Lie Kong, dan
........ Liok Kong Ji ".. dan seorang tosu kaki buntung
datang bersama Liok Kong Ji. Mereka semua menurut suhu
telah mencuri masing-masing sebuah kitab, juga Toat-beng
Kui bo yang sudah kube reskan."
Sin Hong nampak terkejut mendengar nama-nama ini,
lalu menarik napas panjang.
"Hebat. ...... kau masih semuda ini sudah me mikul tugas
seberat itu. Kau malah lebih berat dari pada aku dalam hal
ini. Orang-orang yang kausebutkan namanya itu semua
adalah tokoh-tokoh tingkat paling tinggi di dunia kang-ouw.
Dan kau harus mencari dan melawan mereka" Setiap orang
dari mereka sudah merupakan lawan yang amat lihai. Aah,
Tiang Bu dengan pengalamanmu yang masih hijau, bagaimana kau mampu menghadapi mereka?" Sin Hong
be nar-benar merasa gelisah apalagi kalau ia teringat akan
bahaya para musuh anak itu dalam hal penggunaan senjata-
senjata berbisa. 7 Mungkin dalam hal ilmu silat, bocah yang sudah
mewarisi kepandaian dua orang sakti dari Omei-san ini akan
kuat menghadapi lawan yang bagaimana tangg uhpun. Akan
tetapi kalau orang-orang itu mempergunakan kecurangan,
mempergunakan senjata rahasia yang berbisa umpamanya,
bagaimana Tiang Bu akan dapat menang"
"Tiang Bu, dalam hal ilmu silat kiranya tidak ada yang
dapat kuajarkan kepadamu yang melebihi apa yang sudah
kaupelajari, akan tetapi kalau kau suka, aku bisa ajarkan
baberapa cara pengobatan untuk menghadapi serangan-
serangan lawan yang mempe rgunakan se njata-senjata rahasia berbisa. Tinggallah beberapa hari di sini mempelajari dan aku akan merasa tenang dan tenteram melihat kau
turun dari sini sudah membawa bekal kepandaian itu."
Memang inilah yang diharap-harapkan Tiang Bu. Sebelum meninggal dunia, Tiong Ji n Hwesio juga sudah
memberi anjuran agar supata ia menjadi murid Wan Sin
Hong dalam ilmu pengobatan. Akan tetapi setelah perlakuannya yang kasar terhadap Sin Hong, Tiang Bu tidak
berani membuka mulut minta diangkat murid. Sekarang,
atas kehendaknya sendiri Sin Hong hendak me mberi
pelajaran tentang ilmu pengobatan, serta merta Tiang Bu
menjatuhkan diri berlutut.
"Atas kemurahan hati Wan.siok-siok mengangkat murid
kepada siauwtit yang bodoh siauwtit merasa berterima kasih
sekali............ "
"Hush, bangunlah kau." Sin Hong berkata tersenyum
sambil mengangkat bangun pemuda itu. "Di antara paman
dan keponakan, mana ada aturan sungkan-sungkan " Kau
tidak menjadi muridku, Tiang Bu, melainkan tetap sebagai
keponakan. Asal kelak kau me njadi manusia utama dan
pendekar berhati mulia, pamanmu ini sudah merasa girang
dan bahagia sekali."
Demikianlah, dengan tekunnya Tiang Bu menerima
petunjuk-petunjuk dari Sin Hong selama sepekan. Sin Hong
8 menerangkan segala yang berhubungan dengan racun yang
biasanya dipergunakan oleh orang kang-ouw, juga berbagai
macam pukulan yang mcngandung hawa berbisa seperti
Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dipergunakan
oleh Tee tok Kwan kok Sun dam Liok Kong Ji atau tangan
merah dari Ang.jiu Mo-li. Ke mudian ia menjelaskan satu
demi satu tentang cara pengobatan kalau terkena pukulan-
pukulan berbisa ini. Tak lupa Sin Hong menerangkan tentang cara mengobati
luka bekas gigitan binatang-binatang berbisa yang paling
berbahaya. Karena otak Tiang Bu memang cerdas dan
ingatannya kuat, maka dalam waktu sepekan ia telah dapat
menghapal semua pelajaran itu. Namun Sin Hong masih
belum puas, maka ketika Tiang Bu turun dari bukit batu
karang itu, ia membe ri sebuah buku catatan kepada Tiang
Bu, sehingga apabila perlu dan terlupa, pemuda itu dapat
mencarinya di dalam buku itu.
"Jangan kau bilang kepada si apapun juga bahwa aku
dan isteriku berdiam di sini. Tiang Bu. Aku sendiripun
sedang menghadapi sesuatu yang
sulit, dan mudah- mudahan tidak lagi kami juga akan turun dari tempat ini,
kembali ke dunia ramai," pes an Sin Hong dengan suara
perlahan. Tiang Bu tidak tahu apakah kesulitan yang dihadapi oleh
Sin Hong itu, akan tetapi ia berjanji akan menanti pesan
paman atau gurunya itu. Kemudian pemuda ini turun dari
bukit batu karang, mulai dengan perantauannya yang akan
membawa ia menghadapi berbagai macam pengalaman
hebat. Ia telah mendapat petunjuk dari Sin Hong tentang tempat
kedi aman orang-orang hendak dicarinya. Menurut keterangan Sin Hong. Ang jiu Mo-li tokoh Utara itu kini
sering kali muncul di kota raja Kerajaan Kin, Liok Kong Ji
dan tos u kaki buntung itu sudah tentu berada di utara di
antara orang-orang Mongol dan hal ini sudah diketahui oleh
9 Tiang Bu sendiri. Thai Gu Cinjin adalah seorang tokoh
pendeta Lama jubah merah, sudah tentu bertempat tinggal
di daerah Tibet. Tentang Kwan Kok Sun, Sin Hong sendiri
tidak dapat menentukan di mana tempat tinggalnya, akan
tetapi Tiang Bu pernah melihatnya di dekat kota raja
Kerajaan Kin pula, bahkan gurunya, Bu Hok Lokai, juga
tewas ole h Tee-tok Kwan Kok Sun ini.
Adapun Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya
adalah tokoh-tokoh pantai timur dan tinggalnya di sekitar
daerah Kiang-su, dimana surgai besar Yang ce -kiang
memuntahkan airnya ke dalam laut.
Karena perjalanan Tiang Bu meninggalkan Ban-mo-tong
yang berada di ujung selatan itu menuju ke utara, maka di
antara orana-orang yang hendak dicarinya itu, P ek-thouw-
tiau-ong Lie Kong, adalah orang yang paling dekat tempat
tinggalnya, maka ke Kiang-se inilah tujuan pertama
pe rjalanan Tiang Bu. -oo(mch)oo- Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan lamanya
karena Tiang Bu tidak tergesa-gesa dan melakukan perjalanan sambil melihat-lihat, pada suatu hari ia tiba di
sebuah hutan kecil di luar kota Wukeng di perbatasan
Propinsi Anhui dan Kiang-su. Jalan raya kasar yang
dilaluinya itu masih basah dan amat becek, tanda bahwa
baru saja turun hujan. biarpun jalannya becek, namun
Tiang Bu berjalan limbat dengan hati senang. Hawa udara
amat sejuknya dan amat nyaman seperti biasa hawa sehabis
turun hujan. Apalagi di dalam hutan penuh pohon dan
bunga, hawanya bersih sekali. Tiang Bu menyedot hawa
bersih itu sepuas hatinya, membikin dadanya mekar dan
semangatnya segar. Garis.garis panjang yang masih nampak baru di atas
jalan itu memberitahukan bahwa belum lama sehabis hujan,
10 di jalan itu lewat sebuah kendaraan yang ditarik kuda.
Melihat dalamnya garis-garis itu. Tiang Bu dapat menduga
bahwa kendaraannya tentu berat atau membawa muatan
berat. Siapa yang lewat berkendaraan di tempat seperti ini"
Mungkin kereta piauw kiok (Perusahaan Expe disi/pengawal
Kiriman Barang), pikir Tiang Bu. Atau pembesar. Bodoh,


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikirnya hari sebagus ini berkendaraan. Takkan terasa hawa
yang sejuk, tidak senikmat orang berjalan kaki! Memang hati
dan pikiran Tiang Bu masih murni, masih bersih sehingga ia
sslalu merasa puas dengan apa yang dirasai atau dipunyainya. Tak pernah ti mbul iri di dalam hatinya, karena
ia memang tidak mempunyai keinginan bersenang-senang
atau meniru keadaan orang lain.
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara
derap kaki kuda dari belakang. Dua ekor kuda, pikirnya.
Dilarikan kencang sekali. Benar saja, tak lama kemudian
terde ngar bentakan, "Minggir !" Tiang Bu melangkah ke pinggir jalan yang cukup lebar
itu, bukan takut kete rjang kuda, me lainkan takut pakaiannya akan kotor terkena percikan tanah becek
berlumpur itu. Ia berdiri dan memutar tubuh hendak
melihat siapa ge rangan penunggang-penunggang kuda itu.
Ternyata mere ka adalah seorang gadis muda yang berwajah
manis bertubuh ramping bersama seorang pemuda tampan
dan gagah bermuka putih. Dua orang muda-muda ini duduk
di atas kuda dengan tegak dan biarpun dua ekor kuda itu
lari kencang, tubuh me reka sama sekali tidak terguncang.
Kepandaian me nunggang kuda seperti ini hanya dapat
dilakukan oleh ahli silat-ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka seketika hati Tiang Bu tertari k. Pe muda itu melirik ke arah Tiang Bu sambil tersenyum memandang rendah.
sedangkan kerling mata dara berwajah manis itu 11 membayangkan penghinaan ketika ia melihat bahwa pemuda
yang mereka lewati itu hanya seorang pemuda biasa belaka.
"Moi moi, jejak mere ka masih nampak jelas. Mereka
belum jauh, mari kita susul cepat!" Kata-kat a ini diucapkan oleh pemuda itu ketika mereka sudah lewat agak jauh. Tentu
saja me reka tidak mengira bahwa pendengaran Tiang Bu
jauh lebih tajam dari pada pendengaran orang biasa maka
Tiang Bu mendengar ucapan ini. H atinya berdebar. Pertama
karena kata-kata itu diucapkan dengan nada mesra sekali.
Mereka begitu rukun dan cocok, pasangan yang sedap
dipandang. Otomatis Tiang Bu teringat akan Lai Fei Lan
dan mukanya menjadi merah. Celaka, pi kirnya. Satu kali
bertemu gadis cantik, begitu "kasar" dan menantang sampai-sampai ia menjadi ngeri dan jijik. Hal ke dua dan
mendebarkan hatinya adalah isi kata-kata yang menyatakan
bahwa mereka berdua agaknya berdaya-upaya keras untuk
menyusuI "mereka". Tent u dimaksudkan rombongan ke ndaraan yang roda-rodanya masih meninggalkan jejak
nyata itu, pikirnya. Tiang Bu makin tertarik dan cepat ia
mengejar, mempergunakan ilmu lari cepatnya yang istimewa.
Akan tetapi ia sengaja tinggal di sebelah belakang mereka
dan mengikuti dengan sembunyi.
Tak lama kemudian sepasang muda-mudi itu sudah
dapat menyusul rombongan di depan yang terdiri dari
sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda dan
dikawal oleh lima orang laki-laki gagah berkuda dan
be rgolok di pinggang. Dari pakaian mereka, jelas bahwa
mereka tentulah segolongan piauwsu (pengawal barang
kiriman) yang sedang mengawal kereta itu. Entah siapa
berada di dalam kereta yang tertutup oleh sutera hijau,
hanya kusir kereta itu sajayang
kelihatandi depan memegang cambuk. Di bagian depan dan belakang kereta itu terpasang dua
bendera besar dengan lukisan dua ekor singa emas dan
12 ditulis huruf emas besar. SING KIM SAI PIAUWKIOK. Ini
berarti bahwa kereta itu beserta sekalian isinya adalah
menjadi tanggung jawab atau berada di bawah perlindungan
Siang-kim sai Piauwkiok (Kantor Expedisi Sepasang Singa
Emas )! Nama Siang kim-sai atau Sepasang Singa Emas
sudah amat terkenal di dunia lioklim dan jarang ada
penjahat berani mengganggu barang yang dilindungi oleh
perusahaan ini. Ketuanya adalah dua orang kakak beradik,
yang tua berjuluk Twa kim-sai (Singa Emas Besar) bernama
Yo seng dan yang ke dua berjuluk Ji kim-sai (Singa Emas ke-
Dua) bernama Yo Teng. Kidua orang saudara Yo ini adalah
ahli-ahli silat di daerah Kiangsu dan kepandaian mereka
tinggi sekali sehingga para pe njahat tidak ada yang berani
be rmusuhan dengan me reka.
Apalagi Siang-kim-sai Piauwkiok telah membuat untung
besar dengan usaha mereka dan kedua orang she Yo selalu
membuka tangan untuk memberi sumbangan kepada tokoh-
tokoh liok-lim sehingga dengan para anggota Hek-to (Jalan
Hitam, Penjahat) mereka mempunyai hubungan baik. Jarang
sekali kedua kakak beradik she Yo ini mengawal sendiri.
Pekerjaan mengawal cukup mereka wakilkan kepada pembantu-pembantu dan murid-murid mereka saja. Baru
kalau terjadi halangan atau untuk urusan besar, mereka
turun tangan se ndiri. Demikian pula, karena perjalanan
yang dilakukan menuju ke daerah sendiri, kereta itu hanya
dikawal oleh lima orang piauwsu, yang t iga orang pegawal
sedangkan yang dua orang murid-murid Siang-kim-sai.
Ketika lima orang piauwsu ini mendengar suara derap
kaki kuda dari belakang, mereka dengan tenang menengok
dan merasa lega ketika ia lihat bahwa yang datang hanyalah
sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpesiar untuk
bersenang-senang. "Ha, agaknya pengantin baru ....." seorang piauwsu
muda, hidungnya besar dan matanya sipit, gerak-geriknya
ceriwis tanda ia mata keranjang, berkata tersenyum.
13 Dia ini bernama Tin Kui, murid dari Siang-kim-sai yang
termuda. Lagaknya sombong dan ia terkenal seorang yang
mata keranjarg. Para piauwsu lain hanya tersenyum. Melihat
cepatnya dua ekor kuda it u dilarikan, kusir kereta lalu
memperlambat larinya kereta dan me narik kendali agar
empat ekor kudanya agak ke pinggir untuk memberi jalan
ke pada dua orang muda- mudi itu. Sepasang muda-mudi itu hanya melirik saja dan
terus membalapkan kuda melampaui rombongan itu, tidak pe rduli betapa
para piauwsu itu memandang ke arah si dara berwajah manis itu penuh gairah dan dengan tersenyum-senyum penuh arti. Tiang Bu yang mengikuti dari jauh, melihat betapa dua orang penunggang kuda itu ternyata lewat begitu saja
dan tidak mengganggu, menjadi malu sendiri dan memaki diri sendiri bodoh. Mereka orang baik-baik kusangka hendak merampok, pikirnya. Benar-benar aku masih hijau.
Akan tetapi, berbeda dengan pikiran Tiang Bu, para
piauwsu yang sudah banyak pengalaman itu ketika dua ekor
kuda lewat, tiba-ti ba menjadi curiga sekali melihat cara dua orang muda itu menunggang kuda. Tadi hal ini tidak mereka
perhatikan karena seluruh perhatian terbetot oleh kemanisan wajah dara itu. Baru sekarang setelah mereka
tak dapat melihat wajah itu, dari belakang mereka lihat
14 betapa dua orang muda itu duduk tegak tak bergoyang
sedikitpun juga seperti patung di atas kuda.
"Hemmm, mereka memperlihatkan ke pandaian menunggang kuda. Jangan-jangan me reka akan kembali
........... " kata seorang piauwsu tua, pembantu dari Siang-kim-sai. Baru saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tiba-tiba dua penunggang kuda yang sudah jauh itu tahu-tahu
memutar kembali kuda mereka dan menjalankan kuda itu
congklang me mapaki rombongan piauwsu! Tiang Bu yang
berlari di belakang rombongan itu menjadi melongo.
Kini dua orang itu telah berhadapan dengan rombongan
piauwsu. Pemuda itu mengangkat tangan kanan ke atas dan
berseru, suaranya halus dan kata-katanya teratur seperti
seorang terpelajar namun suara itu nyaring dan menusuk
telinga, tanda diucapkan dengan pe ngerahan khikang yang
tinggi. "Berhenti dan buka peti berukirkan sepasang Kilin kami
hendak mengambil isinya !"
Tan Kui, piauwsu muda bermata sipit itu menjadi marah.
Ia majukan kudanya dan me maki,
"Kutu-buku masih ingusan apakah kau berlagak mau
menjadi begal besar" Lebih baik kau kembali ke bukumu,
ambil pit dan bak sebagai hukuman menulis seribu kali
kalimat AKU TAKKAN MENCURI. Kalau tidak jangan
salahkan tuan besarmu menyeretmu turun dari kuda!"
Pemuda bermuka putih itu tersenyum mengejek, giginya
yang putih mengkilap nampak dan diam-diam Tiang Bu
kagum sekali. Pemuda muka putih ini luar biasa tampannya,
bahkan lebih manis dari pada kawannya itu.
"Kadal busuk pemakan lalat, kau benar-benar bisa
menyeretku" Cobalah!"
Tan Kui marah bukan main. Dia adalah murid Siang-
kim-sai dan nama Siauw-sai-cu (Mus tika Singa Ke cil) Tan
15 Kui bukanlah nama sembarangan untuk daerah Kiangsu.
Sekarang kutu buku ini berani memakinya kadal" Dengan
suara menggere ng, me niru gaya dan suara suhu-suhunya
kalau marah akan tetapi gerengannya ini sumbang, ia
melompat turun dari kuda dan goloknya sudah terhunus di
tangan. "Cacing buku, kau turunlah kalau mint a dihajar,"
bentaknya. "Siapa sudi berurusan dengan segala telur busuk. Pergi
dan panggil ketua rombongan," kata pemuda muka putih
itu. "Setan, kau memang harus diseret!" Tan Kui marah sekali dan melompat maju. Piausu tua hendak mencegah namun
terlambat, Tan Kui sudah di dekat pemuda muka putih itu
dan tangan kirinya diulur hendak menangkap kaki pemuda
itu untuk diseret turun. Akan tetapi, bukan pemuda muka
putih yang terjungkal dari kuda, melainkan Tan Kui sendiri
yang tiba-tiba terlempar ke belakang jatuh gedebukan!
Masih untung bahwa tendangan kilat pemuda muka putih
itu hanya membuat ia menderita benjol-benjol di kepala saja
dan golok di tangannya tidak makan tuan. Namun Tan Kui
benar-benar tak tahu diri. Ia meringis kesakitan lalu timbul
marahnya. Sambil memaki-maki kotor ia melompat lagi, kini
goloknya diayun untuk menyerang pemuda muka putih yang
tadi telah menendangnya. Pemuda itu dengan seuyum
mengejek tak meninggalkan bibir, dengan amat tenangnya
menggerakan kakinya memapaki golok yang datang menyambar dan ........... begitu golok bertemu dengan ujung
sepatu, golok terpental membalik dan menyambar leher
pemegangnya! Tan Kui menjerit dan miringkan leher, namun
ujung golok yang dipegangnya sendiri tetap saja menghajar
pundaknya.

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagian daging pundak sapat darah membanjir. Tubuh Tan Kui sempoyongan ketika ia 16 menjauhkan diri dari pemuda lihai itu, mendekati piauwsu-
piauwsu lainnya dengan muka jerih.
"Hi hi hi, cici, kenapa tidak kau pencet mampus saja
kadal itu " Terlalu enak kepalanya yang dogol itu masih
dibiarkan menempel di le hernya !" kata gadis be rwajah
manis itu kepada "pemuda" muka putih. Para piauws u memandang heran. Kiranya pemuda muka putih itu adalah
seorang gadis yang menyamar dalam pakaian pria. Juga
Tiang Bu dari tempat persembunyiannya diam-diam menampar ke palanya sendiri.
Tiga kali tolol, pikirnya. Mataku sungguh tidak ada
gunanya, sampai gadis berpakaian pria saja tidak tahu.
Pantas saja dia begitu manis, lebih dari kawannya.
Kepandaiannya hebat juga, memapaki golok orang dengan
ujung kaki menendang dan sekaligus menotok pergelangan
tangan, benar benar bukan gerakan main-main yang mudah
dilakukan. Diam-diam Tiang Bu kagum dan melanjutkaa
pengintaiannya penuh perhatian.
Sementara itu, piauwsu tua yang menjadi kepala
rombongan sudah melompat turun dari kudanya dan
menghampiri dua orang gadis itu sambil menjura dengan
sikap hormat. "Jiwi-lihiap, harap maafkan apabila seorang kawan kami
berlaku l ancang. Dia sudah menerima pelajaran jiwi,
selanjutnya sudah tidak ada urusan apa-ap, lagi. Sapanjang
ingatanku kami dari Siang-kim sai Piauw-kiok tidak pernah
ada urusan dengan jiwi. Lihiap, mengapa hari ini jiwi
mengganggu kami" Harap jiwi melihat bendera kami dan
selanjutnya tidak mengganggu kami yang sedang menjalankan tugas pent ing. Tentu kelak dua orang ketua
kami akan berterima kasih sekali."
Terang bahwa piauwsu tua ini bersikap amat merendah,
hal yang aneh dan luar biasa bagi sikap piauwsu dari Siang-
kim-sai Piauw-kiok yang biasanya tidak gentar menghadapi
penjahat yang besar manapun, ini me nandakan bahwa
17 piauwsu tua itu memiliki pandangan yang awas dan bahwa
dia sudah banyak pengalaman. Memang betul demikian
karena Lu Tiang Sek, piauwsu pembantu atau tangan kanan
Siang-kim-sai itu adalah seorang piauw-su yang sudah
puluhan tahun melakukan pe kerjaan piauwsu.
Tadi melihat cara gadis berpakaian pria itu menghalau
serangan golok Tan Kui, tahulah dia bahwa, gadis itu
memiliki kepandaian ti nggi. Pula ia tahu bahwa dua orang
gadis itu tentu bukan bangsa perampok sembarangan,
karena selain ia tak pernah melihatnya, juga sikap mereka
bukan seperti penjahat-penjahat biasa. Inilah sebabnya ia
sengaja merendah dan mempergunakan nama besar Siang-
kim-sai Piauwkiok untuk mencegah terjadinya bentrokan.
Gadis berwajah manis itu tersenyum mendengar kata-
kata Lu Tiang Se k. Sambil mengincar ke arah kereta, tangan
kirinya be rge rak se cara beruntun dua kali.
"Krak.! Krak!" Tiang bendera di depan dan belakang
kereta itu patah terkena sambaran dua batang piauw yang
dilepaskan olehnya. "Segala bendera begituan siapakah yang memandang"
Kami tidak berurusan dengan Siang-kim-Sai (Sepasang
Singa Emas) maupun Siang-thu-kauw (Sepasang Monyet
Lempung), pendeknya turunkan peti berukir sepasang Kilin
dan keluarkan isinya untuk kami bawa. Habis perkara!' kata
pula gadi s manis itu, sedangkan gadis berpakatn pria hanya
tersenyum manis meli hat lagak adiknya.
Baru timbul kemarahan Lu Tiang Sek. Kalau tadi ia
sengaja merendah dan mengalah, bukan sekali-kali ia gentar
menghadapi dua orang lawan ini, melainkan tidak menghendaki pertempuran dalam menuaikan tugas yang
pe nting ini. Ia dan kawan-kawannya mengawal kere ta yang
amat berharga, karena kereta dan isinya ini adalah barang-
barang pe mbesar tinggi dari utara yang kini pulang ke
selatan. 18 Pembesar itu tadinya bekerja di Kerajaan Kin dan
menduduki pangkat pembantu menteri, kini pulang ke
tempat asalnya, yaitu di kota Wukeng. Barang barangnya
banyak sekali, akan tetapi yang paling penting dan berharga
adalah barang yang dikawal sekarang ini. Kwee -taijin,
pembesar itu, berkali-kali memesan agar supaya para
piauwsu hati-hati dalam mengawal barang-barang berharga
itu, terdiri dari empat buah pe ti besar, di antaranya sebuah peti yang tidak berapa besar, be rukir sepasang Kilin.
"Bocah-bocah perempuan lancang mulut lancang tangan!
Kami sudah berlaku sabar dan mengalah, mengapa kalian
kurang ajar bahkan berani mematahkan tiang bendera"
Kali an boleh belajar merampok sesukanya akan tetapi
jangan kalian sekali-kali berani me ngganggu barang yang
dilindungi oleh Siang-kim Piauw-kiok!" Sambil be rkata
de mikian, piauwsu tua ini mencabut golok dan berdiri tegak
dengan sepasang kaki terpentang di atas tanah, menghadapi
dua orang gadis itu. Tiga orang kawannya juga mencabut
golok dan melompat turun dari kuda. Hanya Tan Kui
seorang yang tidak dapat ikut bersiap karena sudah terluka.
Dia hanya mengurus kuda-kuda yang ditinggalkan penunggang masing-masing.
Gadis berpakaian pria itu menoleh kepada adiknya
sambil tersenyum dan berkata, "Moi-moi, empat ekor kadal ini agaknya belum mau menyerah kalau belum dipotong
ekornya. Kaujaga saja supaya kereta itu tidak kabur."
Setelah berkata demikian, dengan gerakan lincah dan
gesit se kali gadis itu melompat turun dari kudanya. Ternyata sekarang tubuhnya tinggi langsing ketika ia berdiri di atas
tanah, gerakannya le mah gemulai namun cepat sekali
sehingga tak seorangpun di antara empat orang piauwsu itu
melihat kapan dan bagaimana pedang yang berkilauan putih
mengkilap telah terada di tangannya.
Lu Tiang Sek maklum bahwa ia menghadapi lawan
pandai, maka ia tidak malu-malu lagi dan berseru keras,
19 'Robohkan dia !" Memang bagi kawanan piauwsu dalam
menjalankan tugas, j ika menghadapi gangguan penjahat tak
perlu mereka sungkan-sungkan untuk mengeroyok, karena
pertempuran se perti ini lain lagi halnya dengan misalnya
pertempuran pibu (mengukur kepandaian masing-masing) di
mana orang kang-ouw biasanya amat sportip, tidak mau
mengeroyok dan tidak mau berlaku curang.
Akan tatapi, biarpun dikeroyok empat orang piauwsu
yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, gadi s berpakaian
pria itu sama sekali tidak menjadi sibuk. Dengan pedangnya
yang bersinar perak, ia bergerak dan tahu-tahu pedangnya
menyambar ke kanan ki ri diikuti bentaknya yang nyaring
berpengaruh "Roboh........... !"
Hebat bukan main ilmu pedang nona ini. Dalam
segebrakan saja ia telah menyerang empat orang lawannya,
masing-masing dengan tusukan atau sabetan yang amat
berbahaya. Segera terdengar pekik kaget dan kesakitan.
Ternyata yang menangkis serangan ini merasa tangannya
terge tar, hanya Lu-piauwsu seorang yang dapat mengimbangi tenaga nona itu. Yang dua orang tergetar dan
mundur sedangkan yang termuda, suheng dari Tan Kui,
terhuyung-huyung s ambil me megangi lengannya yang te rluka dan hampir putus !
"Hati-hati, bantu saja aku," seru Lu-Tiang Sek sambil
memutar goloknya dengan pengerahan tenaga dan kepandaian, karena maklum bahwa lawan ini biarpun
seorang gadis muda namun memiliki kiamsut yang lihai
sekali. Dua orang kawannya membantunya dari kanan kiri
dan berlaku hati-hati sekali, hanya membantu gerakan yang
disesuaikan dengan penyerangan Lu Tiang Se k sehingga
setiap serangan Lu-piauwsu menjadi makin hebat dan setiap
serangan gadis itu dapat dihadapi atau ditangkis oleh tiga
batang golok. Dengan cara demikian untuk sementara
mere ka dapat menahan gadis berpakaian pria itu.
20 Kusir kereta yang melihat bahwa kawan-kawannya
terancam, segera mengangkat cambuk dan memukul kudanya. Empat ekor kuda itu hendak dibalapkan untuk
menyelamatkan kereta berisi barang-barang. Akan tetapi
baru saja cambuknya terangkat ia menjerit dan terjungkal
roboh dari atas ke reta, pundaknya ditembusi sebatang
piauw yang dilepas oleh gadis berwajah manis sambil
tertawa cekikikan. Kembali seorang pengeroyok roboh tercium ujung pedang, kena pahanya membuat ia tak dapat berdiri lagi. Lu
Tiang Sek marah dan khawatir sekali. Ia memutar golok
sehebatnya, namun sia-sia, dengan tusukan indah gerakannya, seorang lagi kawannya terjungkal dengan lutut
terlepas sambungannya kare na tendangan nona itu.
"Tahan dulu!" seru Lu Tiang Sek yang merasa bahwa ia
takkan menang. Sebelumnya dikalahkan ia harus tahu dulu
siapa adanya dua orang lawannya itu dan mengapa hendak
merampok. "Tahan senjata !"
"Piauwsu tua, apakah sekarang kau takluk?" tanya gadis
berpakaian pria itu dengan senyum sindir, pedangnya
dipalangkan di depan dada.
"Aku Lu Tiang Sek bukan orang yang bias anya menyerah
sebelum kalah," bantah piauw-su itu dengan muka marah,
"aku hanya ingin tahu siapakah kalian ini dan mengapa
kalian me musuhi kami!' "Lu-piauwsu, sebenarnya tidak ada
perlunya kami memperkenalkan nama. Akan tetapi oleh karena aku tidak
ingin kaubilang kami takut kepada Siang-kim-sai, kauketahui bahwa kami adalah anak dari Huang-ho Sian-jin
dan kami me mbutuhkan isi peti berukir Kilin."
"Mangapa kalian ini anak-anak dari seorang tokoh besar
seperti Huang-ho Sian-jin hendak menjadi perampok?" tanya Lu Tian Sek, kaget dan heran mendengar bahwa ia
berhadapan dengan puteri-puteri Huang-ho Sian-jin (De wa
21 Sungai Huangho) yang amat terkenal sebagai datuk bajak
sungai. Gadis berpakaian pria itu tertawa, manis sekali "Ket ahuilah, piauwsu yang hanya bekerja untuk uang.
Benda-benda ini adalah hasil korupsi d an hasil curian dari
pembesar jahanam she Kwee itu. Setelah berhenti
dari jabatannya, ia membawa barang-barang itu pulang ke
tempat asalnya. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kami
mengambil barang yang paling berharga agar dia jangan
enak-enak saja merampoki harta kekayaan rakyat utara."
Lu Tiang Sek meringis. "Kami hanya piauw su yang
melakukan tugas, Mena kami tahu asal usul barang orang "
Kalau kami tidak melindungi barang-barang yang kami


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawal, itu baru berarti kami tidak patut menjadi piauwsu.
Jiwi lihiap, kalau mau memandang persahabatan, harap
jangan mengambil barang itu sekarang. Nanti kalau sudah
kami antarkan ke rumah Kwee-taiijin. masa bodoh kalau jiwi
mau ambil apa saja."
"Cih, aku disuruh memandang mukamu " Piauwsu
kampungan, jangan banyak cerewet. Kauberikan tidak peti
itu ?" "Lebih dulu Lu Tiang Sek harus dapat kau robohkan !"
jawab piauwsu tua itu gagah.
"Bagus, kan rebahlah !" Gadis itu menyerang dengan
hebatnya. Pedang di tangannya bergerak seperti ular dan
ujungnya sampai tergetar menjadi empat lima buah,
melakukan serangan-serangan yang sukar diduga ke mana
arahnya dan gerakan pedang itu mengeluarkan sinar
ge merlapan menyilaukan mata. Lu Tiang Sek mengangkat
golok menangkis sekuat tenaga.
"Tringg........... ! Tringg ........... !" Dua kali goloknya dapat menangkis, namun pedang itu selaIn berpindah-pindah,
begitu ditangkis, begitu melejit untuk melakukan serangan
selanjutnya dengan ujung pelang yang lain arahnya,
22 membuat pauwsu tua itu bingung dan tahu-tahu ujung
pe dang lawan menancap pundaknya. Lu Tiang Sek terjungkal dan pingsan. "Moi -moi, lekas kita bongkar peti ...," kata wanita gagah itu kepada adiknya, te tapi dia dan adiknya tiba-tiba menjadi kaget ketika meli hat kereta itu bergerak maju dan di tempat
duduk kusir tadi kini sudah ada orangnya. Ketika mereka
memandang, ternyata bahwa "kusir" istimewa ini bukan lain adalah pemuda yang tadi mereka lewati di tengah jalan.
"Bocah gunung, kau menggelundunglah turun !" seru
gadis berwajah manis sambil mengayun tangannya, Sebatang piauw menyambar dan tepat mengenai dada kusir
itu. Si dara manis sudah tersenyum-senyum menanti
pe muda itu terjungkal dari atas kereta, dan bersama cicinya
ia melompat-lompat menghampiri
kereta. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat pemuda itu tidak jatuh
te rjungkal, malah kereta itu mulai bergerak cepat ditarik
oleh empat ekor kuda. "Kurang ajar, kau mesih belum menggelun- dung turun ?" gadis manis itu berseru marah dan heran. Apakah sambitannya tadi luput"
Mustahil, jelas ia lihat piauw yang ia sambitkan tadi mengenai dada pemuda itu. Mengapa tidak terjungkal ke bawah" Apakah ...........
tahu-tahu piauwnya telah mencabut nyawa pe muda itu dan membuat ia mati di tempatnya" Demikian 23 pikir gadis itu sambil lari mengejar. Setelah dekat, gadis itu mengayun tubuhnya loncat ke atas kereta, ke tempat duduk
kusir. Adapun cicinya, gadis yang berpakaian pria tadi
dengan gerakan yang amat gesit telah melompat ke dalam
kereta melalui pintu sutera.
Ketika gadis yang muda melompat ke atas kereta, tiba-
tiba pemuda kusir yang bukan lain adalah Tiang Bu itu,
mengayun cambuk di tangannya. 'Tarr..........!" dan betapapun gesitnya, gadis itu tidak dapat menghindarkan
cambukan ini. "Bret'..........!" pakaiannya di sekitar pinggang robek dan kulit pinggangnya
lecet-lecet. Biarpun hanya cambuk, namun di tangan Tiang Bu merupakan senjata hebat sekali.
Gadis itu saking kaget melihat kusir itu masih hidup dan
sakit terkena cambukan, tak dapat menguasai dirinya dan
terbanting ke bawah, justeru tepat sekali di atas Tiang Bu !
Kalau yang jatuh itu laki-laki, tentu akan disampok oleh
Tiang Bu. Akan tetapi mengingat bahwa yang jatuh adalah
seorang gadis masih muda, Tiang Bu tidak tega membiarkan
gadis itu terbanting roboh. mungkin binasa terbanting dari
tempat tinggi itu dalam keadaan setengah pingsan. Terpaksa
ia menyambut dengan tangannya dan ........... karena gadis
itu masih dapat memberontak, tanpa dapat dicegah lagi dan
tanpa disengaja gadis itu rebah di atas pangkuannya!
"Kau ........... manusia keparat, kurang ajar, tak tahu
aturan ......!" Gadis itu menjadi le mas dan pingsan! Dapat
dibayangkan betapa terguncang perasaannya ketika gadis
itu mendapatkan dirinya sudah berada di atas pangkuan
pemuda itu dan?". sebagian pakaiannya robek-robek di
bagian pinggang. Saking heran, marah, dan malu tercampar
rasa sakit dan kaget. ia menjadi pingsan.
Karuan saja Tian Bu yang gelagapan. Kalau gadis itu
tidak pingsan, biarpun ia sendiri merasa malu dan jengah
tahu-tahu memangku se orang gadis namun ia dapat
mendorong gadis itu di atas bangku kereta di sisinya atau
24 dapat melemparkan gadis itu ke bawah. Akan tetapi dalam
keadaan pingsan, tak mungkin ia melakukan hal itu karena
gadis itu tentu akan terlempar jatuh dan berbahaya sekali
keselamatannya. Terpaksa ia menarik kendali kudanya dan
menyuruh binatang-binatang berhenti.
Setelah itu baru ia melompat turun dengan tubuh gadis
yang pingsan itu dalam pondongannya. Baru saja ia
menurunkan gadis itu di atas tanah dan mukanya menjadi
merah sekali melihat betapa pakaian gadis itu tidak karuan
letaknya karena bagian pinggangnya sudah putus, tiba-tiba
te rde ngar bentakan. "Manusia hina, kauapakan adikku?"
Tiang Bu merasa ada sambaran angin. Dengan cepat ia
mengelak dan tangannya me nyampok. Terdengar seruan
kaget dan gadis berpakaian pria yang menyerangnya
meloncat ke belakang de ngan muka berubah. Sampokan
tangan Tiang Bu pada pedangnya membuat pedang itu
hampir terlepas dari pegangan. Hal ini belum pernah ia
alami! Saking kaget dan herannya, gadis berpakaian pria ini
berdiri melongo. Tiang Bu tersenyum. "Kau tak usah bingung. Adikmu
tidak apa-apa dan akupun tidak berbuat apa-apa. Tadi dia
menyambit batang piauw kepada dadaku dan aku membalas
hadiahnya itu dengan sekali cambukan pada pinggangnya.
Eh, tahu-tahu dia pingsan di atas kereta, terpaksa
kuturunkan." Gadis it u cepat me mbungkuk dan memeriksa adiknya.
Hati nya lega mendapatkan adiknya tidak terluka dan benar
saja hanya lecet-lecet sedikit di bagian yang terlibat cambuk.
Sekali ia mengurut leher adiknya nona itu siuman kembali
dan begitu siuman melihat Tiang Bu berdiri tak jauh dari
situ, ia melompat marah. "Moi-moi ?" hati-hati pakaianmu........ ! " seru cicinya dan gadis manis yang galak itu cepat-cepat memegangi
25 pakaiannya yang hampir saja merosot turun karena tidak
ada ikat pinggangnya lagi ! Tiang Bu menahan ke tawanya
menutupi mulutnya dan membelakangi gadis itu agar jangan
kelihatan olehnya kalau-kalau pakaian itu betul-betul akan
kedodoran. "Cici, kaubalaskan aku. Monyet itu kurang ajar sekali.
Dia mencambuk pinggangku !"
"Moi-moi apa benar kau tadi menyerang dadanya dengan
piauw ?" "Betul, kukira sudah mampus, tidak tahunya belum. Cici
lekas kauserang dia dengan pedangmu !"
"Tidak ada waktu, mot- moi. Mari kita pergi !"
"Bagus, memang lebih baik kalian pergi, jangan masih
begitu muda-muda sudah menjadi rampok. Kalau kelihatan
orang kan malu !" kata Tiang Bu sambil membalikkan
tubuhnya lagi menghadap enci dan adik yang istimewa ini.
"Cici, hatiku sakit sekali olehnya. Aku akan mati
penasaran kalau kau belum membalaskan sakit hatiku !"
Lagi-lagi gadis manis itu me rajuk, kini dengan mulut hampir
mewek, "Bi ar lain kali kita mencari dia, moi-moi. Sahabat,
siapakah namamu agar lain kali kami dapat mencarimu
untuk membikin perhitungan !" tanya gadis cantik be rpakaian pria. Tiang Bu menjura. "Namaku Tiang Bu kalian siapakah?"
"Cih, tak tahu malu?"
gadis berwajah manis itu menyemprot. "Tanya-tanya nama gadis mau apakah" Laki-
laki ceriwis, Mari pergi, cici !" Dengan tangan kiri memegang pakaian di bagian pinggang supaya tidak me lorot dan tangan
kanan menarik tangan cicinya, gadis ini pergi dengan
bersungut-sungut. Encinya diam saja dan bahkan membawa
adiknya ke tempat kuda mereka berada.
26 "'Tidak memberi tahu juga baik." Tiang Bu mengomel.
"Selanjutnya aku akan menyebut kalian enci dan adik
tukang rampok!" Kani gadis ayu berpakaian pria itu berhenti dan me noleh.
Senyum dan kerlingan manis sekali. "Saudara Tiang Bu,
namaku Pek Lian dan adikku ini Ang Lian." Setelah berkata
demikian, ia mengajak adiknya melompat ke atas kuda dan
di lain saat dua ekor kuda itu membedal cepat sekali pergi
dari situ. Tiang Bu melihat mereka membawa empat buah
bungkus an kecil, akan tetapi ia tidak tahu dan juga tidak
perduli. Ang Lian berarti Teratai Merah dan Pek Lian berarti
Teratai Putih. Nama-nama yang bagus, seperti orangnya
akan tetapi betul-betulkah itu nama me reka " Mengapa tidak
pakai she" Tiba-tiba Tiang Bu teringat akan nama sendiri
yang di perkenalkan tanpa she pula. Ia tersenyum. Mudah
saja diingat, dua orang gadis itu adalah puteri dari seorang
tokoh besar berjuluk Huang-ho Sian-jin.
Ia lalu meruntun kuda-kuda yang menarik kereta itu,
dibawa kembali ke tempat pertempuran tadi, Lu Tiang Sek
dan kawan kawannya yang sudah siuman dan tadinya
bingung sekali, menjadi girang bukan main melihat kereta
mere ka dituntun kembali ole h seorang pemuda tanggung
yang tidak mereka kenal. "Nih, terima kembali keretamu," kata Tiang Bu. "Bai knya aku kenal dua orang gadis itu dan aku berhasil membujuk
mereka mengembalikan kereta dan isinya. Mereka itu tidak
bermaksud jahat, hanya ingin main-main belaka." Ia
tertawa. Lu Tiang Sek terheran-heran, akan tetapi cepat menjura
menghaturkan terima kasih menanyakan nama pemuda ini.
Tiang Bu tidak mau me nyebutkan namanya. "Untuk apa
namaku" Tidak perlu diketahui. Asal kalian menerima
kembali kereta, cukup kan ?"
Lu Tiang Sek menyingkap tirai sutera dan ia mengeluarkan keruan kaget. "Celaka ! Peti sepasang Kilin 27
titipan Pangeran Wanyen Ci Lun telah dibongkar dan isinya
lenyap!" Seruan ini membuat Tiang Bu kaget sete ngah mati.
Bukan kaget karena hilangnya benda itu, akan tetapi
te rutama sekali kaget mende ngar dis ebutnya nama Pangeran
Wanyen Ci Lun. "Apa kau bilang " Siapa punya yang hilang ?"
"Sahabat, kaulihat sendirilah," kata Lu Tiang Sek sambil membuka tirai. Betul saja sebuah peti hitam yang indah,
berukirkan se pasang Kilin di atas tutupnya, telah terbuka


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan isinya lenyap, "Peti ini menurut keterangan Kwee-taijin
adalah titipan Wanyen Ci Lun maka harus dijaga sangat
hati-hati. Celakanya, sekarang lenyap !" Ia membanting-
banting kaki. "Tentu mereka yang ambil ..... " kata Tiang Bu perlahan, masih bingung karena bagaimana Pangeran Wanye n Ci Lun
bisa menitipkan sebuah peti berisi barang barang berharga
pada pembesar she Kwee itu"
Sementara itu, Lu Tiang Sek dan kawan-kawannya
memandang kepada Tiang Bu dengan mata penuh arti, juga
mereka mulai mengurungnya.
"Sahabat muda, kau tadi bilang kenal baik dengan
mereka ?" 'Ya, habis mengapa ?"
"Kalau kau kenal baik be rarti kan sudah bersekongkol
dengan mere ka untuk mencuri isi peti itu. Ha, kau adalah
pembantu mere ka!" "Ngaco! Gila! Aku bukan apa-apanya dan aku tidak turut
mengambil barang. Sungguh mati aku tidak pernah mengira
bahwa mereka sudah mengambil barang dari dalam kereta.
Kalau aku tahu........... hemm, tentu kuminta barang itu
kembali." 28 "Siapa namamu" Kami harus menangkapmu sebagai
saksi........... " kata Lu Tiang Sek. Akan tetapi, berkelebat pemuda itu telah melompat jauh dari tempat itu, hanya
terde ngar suaranya meninggalkan pesan.
"Kalian cari sendiri, aku tidak bersekongkol dengan
mereka !" Tiang Bu cepat sekali mengejar dua orang gadis yang
telah lama melarikan diri menunggang kuda tadi. Kini
te ringatlah Tiang Bu akan bungkusan bungkusan yang
dibawa oleh dua orang gadis itu. Mengapa ia begitu bodoh"
Ketika ia sedang menghadapi gadis yang menyerargnya di
atas kereta, tentu gadis ke dua, yang berpakaian pria dan
lebih tinggi kepandaiannya, mempe rgunakan kesempatan itu
untuk memasuki kereta dan membuka peti mengambil
isinya. Dan isi peti itu milik Pangeran Wanyen Ci Lun Ia
harus mendapatkannya kembali. Inilah pembuka jalan
baginya untuk menghadap pangeran itu.
Hari telah malam ketika ia tiba di kota Wukeng. Dari
penyelidikannya ia tahu bahwa, dua orang gadis yang
dikejarnya itu bermalam di sebuah rumah penginapan di
kota ini. Cepat ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia
melihat bahwa dua orang gadis itu bermalam di Hotel "Peng An Likoan". Hatinya menjadi lega dan dia sendiri bermalam di sebuah kelenteng yang mempunyai ruang depan lebar dan
hwesio hwesionya ramah. Menjelang tengah malam, dengan
kepandaiannya yang tinggi, Tiang Bu pergi dari kelenteng itu
tanpa diketahui oleh siapapun. Ia melompat ke atas genteng
dan berlari -lari tanpa mengeluarkan suara menuju ke Hotel
Peng An. Siang tadi ia telah menyelidiki dari pelayan Hotel Peng An
bahwa dua orang gadis itu bermalam di kamar bagian
belakang. Dengan tubuh ringan Tiang Bu menuju ke bagian
ini. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa
kamar dua orang gadis itu masih terang, lampu di dalamnya
29 belum dipadamkan. Ketika ia mengintai, ternyata dua orang
itu dengan pakaian masih seperti siang tadi, duduk
bercakap-cakap di dalam kamar, agaknya memang tidak
akan tidur malam itu. "Ci ci, aku ingin sekali melihat semua isi kantong-kantong
ini .... " terdengar Ang Lian berkata perlahan.
"Hush, untut apa" Paling-paling isinya seperti yang kita lihat di kantong pertama tadi, emas dan batu permata. Ayah
memang menduga tepat. Orang-orang macam pembesar
Kwee itu, setelah mengundurkan diri dari jabatannya, pasti
sudah mengumpullan banyak harta, hasil pemeras an dari
rakyat jelata. Kita harus hati-hati, moi-moi. Siapa tahu
kalau- kalau orang dari Siang-kim-sai Piauw-kiok akan
datang mengejar dan merampas kembali kantong-kantong
ini." "Aaah, tikus-tikus macam itu mana berani. Andaikata
beranipun, perlu apa dikhawatirkan. Mereka itu hanya
gentong-gentong kosong. Paling-paling yang berani mengejar
hanya si pemuda hidung pesek bibir tebal seperti monyet
hitam itu.........."
"Hush, moi-moi. Kau benar-benar lancang mulut. Kulihat
pemuda itu bukan orang sembarargan, dia tentu murid
orang sakti, aku mempunyai dugaan bahwa dia itu biarpun
kelihatan sederhana tentu seorang pendekar besar........"
Mendengar ucapan Pek Lian ini, hati Tiang Bu berdebar,
mukanya menjadi panas dan tentu berwarna merah sekali
kalau saja kelihatan. Ang Lian tertawa cekikikan. "Hi hi hi agaknya cici te rtarik hati kepadanya, ya" Awas, kuberi tahu pada ayah nanti...... "
"Kurang ajar, mulutmu benar jahat ! Awas kau, sekali
lagi bicara begitu, kucubit bibirmu!"
"Ampun, cici aku cuma main-main. Orang secantik
engkau mana sudi dengan pe muda muka monyet itu " Eh,
30 cici, bunglutan yang satu ini agak lain, lebih ringan akan
tetapi dari sini mengeluarkan bau harum yang aneh. Aku
ingin melihat isinya." Setelah berkata demikian, Ang Lian membuka ikatan mulut bungkusan itu.
Kini pe rhatian Tiang Bu dicurahkan ke bawah lubang
kecil dari mana me ngintai. Bungkusan itu dibuka dan
terdengar seruan heran dari dua orang gadis itu. Tiba-tiba
terdengar suara "kok ! kok ! kok!" yang keras sekali.
"Cici, cepuk ini ada kodoknya !"
"Moi moi, cepat tutup kembali......! Awas jangan sampai
ia terlepas !" "Gila betul, mengapa kodok saja disimpan" Dan dalam
cepuk emas berukir begini indah?"
"Moi-moi, apa kau lupa akan cerita aneh " Di dalam
istana kaisar terdapat banyak barang-barang pusaka. Kalau
aku tidak salah ingat, katak macam ini tentulah seekor di
antara banatang- binatang ajaib yang dapat dipergunakan
sebagai obat mempunyai khasiat luar biasa lain, entah apa
khasiatnya. Binatang seperti ini tentu jauh lebih berharga
dari pada semua barang permata atau emas."
"Dan ini, apakah ini........... " Eh, eh, eh, me ngapa
tanganku terbetot ........... !" Ang Li an memegang sebuah be nda hitam di tangan kanan yang nampaknya berat
biarpun besarnya hanya seperti kepalan tangan orang. Ia
menarik-narik tangan kirinya yang terbetot ke tangan kanan,
akhirnya terdengar suara "ting!" dan gelang di tangan kirinya te rbetot dan nempel pada benda hitam itu.
"Hebat, ini tentu besi sembrani seperti yang seri ng kali
disebut-sebut oleh ayah! Moi-moi, dalam kantong ini terisi
benda-benda ajaib yang jauh lebih berharga dari pada
kantong kantong lain. Lekas kita tutup kembali. Aduh, ayah
pasti akan girang se kali melihat serous popwee (jimat) ini!"
31 Kemudian enci dan adik ini berjaga terus sambil
bercakap-cakap lirih. Tiang Bu manjadi serba salah. Ingin
turun tangan merampas kantong- kantong itu, tentu akan
menimbulkan keributan. Maka iapun menanti saja. Menjelang pagi, dua orang gadis itu meninggalkan kamar
de ngan jalan melompati je ndela, terus menuju ke kandang
kuda. Tiang Bu makl um bahwa mereka tentu akan pergi
pagi-pagi se belum orang-orang lain bangun.
Benar saja, tak lama kemudian dua oran gadis itu
melarikan kuda mereka keluar kota menuju ke utara.
Masing-masing membuwa dua buah kantong yang dijadikan
satu dengan sambungan tali panjang dan tali ini digantungkan di pundak sehingga dua buah kantong itu
tergantung di depan dan belakang.
Dapat dibayangkan betapa kage tnya dua orang gadis ini
ketika tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang gesit sekali
muncul di depan mereka. Sekali mengge rakkan kedua
tangannya dua ekor kuda t unggangan mereka meringkik dan
ketakutan berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja
dua orang gadis itu menjadi kaget dan cepat mene kan kuda
mereka. Lapat-lapat mere ka melihat pemuda yang bernama
Tiang Bu itu sudah bergerak ke arah mereka dan di lain saat
bungkusan-bungkusan itu telah dire nggut dari pundak
mereka! Perbuatan ini dilakukan cepat sekal i dan pada saat
mereka sedang sibuk menguasai kembali kuda mereka maka
tidak sempat mencegah. Ketika mereka berseru kaget,
pemuda itu tel ah lari cepat ke utara!
"Maling bus uk bertenti kau !" teri ak Ang Lian marah sekali dan dua tangannya diayun. Serr........... ! Serr........... !"
Dua batang piauw menyambar ke arah punggung Tiang Bu.
"Plak-plak Dua batang piauw itu mengenai punggung lalu
runtuh ke bawah seperti mengenai karet saja pemuda itu
berlari terus seakan-akan tidak merasa bahwa punggungnya
dihantam senjata gelap. Tentu saja Pek Lian dan Ang Lian
tidak membiarkan pemuda itu lari menggondol kantong-
32 kantong mereka, cepat mereka mengeprak kuda
dan membalapkan kuda tung gangan mengejar. Namun, ginkang
dan ilmu lari cepat Tiang Bu sudah demikian hebatnya
sehingga kuda-kuda itupun tak mampu menyusulnya. I lmu
lari cepat yang dipelajari oleh Tiang Bu adalah ilmu lari yang luar biasa, kesaktian yang diturunkan oleh Tat Mo Couwsu
sendiri. Hanya sayangnya Tiang Bu belum lama mempelajarinya sehingga yang sudah ia miliki hanya paling
banyak enam bagian saja. Seandainya ia sudah memiliki
sepuluh bagian atau se luruhnya, kiranya kecepatan kuda-
kuda istimewa dari utara sekali pun belum dapat menyusulnya. Sampai hari terang tanah, dua ekor kuda itu mnsih
membalap mengejar te rus. Akan tapi Tiang Bu juga tak
dapat meninggalkan kejaran itu. Memang ia setengah
mempermainkan dan berlari seenaknya.
"Orang yang bernama Tiang Bu!" Tiba- tiba terdengar suara Pe k Lian. "Kalau kau me mang laki-laki sejati, jangan main lari. Mari kita mengadu kepandaian sampai seribu
jurus!" Mendengar ini, Tiang Bu tertawa ia menghentikan
larinya, membalikkan tubuh me nanti datangnya dua dara
itu sambil tersenyum. Dua orang gadis itu me lompat turun
dari kuda dan sambil berlompat-lompatan menghampirinya,
Ang Lian menjadi merah mukanya seperti namanya, cicinya
marah akan tetapi , hanya kelihatan dari sinar matanya saja.
"Tentu saja aku laki -laki s ejati karena bukan seorang
wanita yang menyaru laki-laki," kata Tiang Bu sambil
memandang kepada Pek Lian. Entah mengapa. Tiang Bu
merasa senang sekali menggoda wanita, perasaan suka
menggoda ini datang dari dalam dirinya tanpa dapat ditahan
atau dicegahpula. Ia mempunyai perasaan suka mempermainkan atau menggoda wanita, sungguhpun hati
nuraninya membatasi dirinya dalam godaanini ,
dan karenanya ia tidak sudi mempergunakan kata-kata yang
33 tidak sopan. Ia menggoda hanya karena dorongan hati
bukan menggoda dengan maksud-maksud yang kotor.
Mendengar kata-kata Tiang Bu itu, Pek Lian menjadi
terte gun dan merah mukanya. Manis benar gadis ini ketika
dengan malu-malu ia menunduk dan menyapu pakaian
sendiri dengan lirikannya. Di lain fihak, Ang Lian sudah tak
dapat me nahan marahnya. Sambil menudingkan pedangnya
ke arah hidung Tiang Bu, ia menyemprot.
"Monyet hitam, kau cengar-cengir menggoda cici benar-
benar sudah bos an hi dup! Hayo serahkan empat bungkusan
itu berikut kepalamu !" Sambil terkata demikian, Ang Lian
mengayun pedangnya melakukan serangan kilat.
"Hayaaa ...... !" Sambil tertawa-tawa Tiang Bu mengelak ke kiri sehingga pedang itu berkelebat di pinggir tubuhnya.
"Galak amat ! Kau ini bocah perempuan berani main-main
pedang tajam, apa tidak takut, nanti me ngenai baju sendiri
sehingga robek ?" Ang Lian menjadi makin merah mukanya karena godaan
ini mengingatkan ia akan pengalamannya di hari kemarin,
betapa pakaiannya sampai kedodoran, bahkan ia sampai
terjatuh ke dalam pangkuan pemuda ini.
"Tikus sawah, mampus kau !" makinya dan pedangnya
berkelebat mengurung tubuh Tiang Bu. Harus diakui bahwa
ilmu pedang gadis itu cukup lihai, cepat, kuat dan sukar
diduga gerakan-gerakannya. Akan tetapi ia menghadapi
Tiang Bu, murid tunggal dua orang kakek sakti Omei-san,
maka selalu sambaran pedangnya hanya mengenai angin
saja. Tiba-tiba Tiang Bu menggerakkan tangan kiri dan jari
telunjuknya menyentil ke arah pedang dari samping.
"Tringg. ....!" Tanpa dapat ditahan lagi oleh Ang Lian,
pedangnya sendiri yang terkena sentilan kuat it u terpental
membalik dan menyerang pundak sendiri.
"Brett!........... ! Ayaaaaa........!!" Ang Lian menjerit dan melompat ke belakang, mukanya menjadi pucat. Masih
34 untung baginya bahwa dalam menyentil pedang tadi Tiang
Bu masih ingat dan tidak bermaksud mence lakainya. Kalau
sentilan itu dirubah arahnya dan pedang bukan membalik
ke pundak melainkan ke dada atau pe rut, tentu lain lagi
akibatnya. Kini yang terobek oleh ujung pedang hanya


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaian di atas dan yang kelihatan hanya sediki kulit leher
dan pundak yang putih halus. Coba kalau yang robek itu
bagian dada atau perut, bisa berabe! Tentu saja Ang Lian
kaget setengah mati. "Apa kataku tadi" Bocah perempuan kecil tidak baik
bermain-main pe dang, seharusnya bermain pisau dapur
membuat masakan yang lezat." Tiang Bu menggoda.
"Tiang Bu manusia sombong, kau terlalu menghina
orang!" Seru Pek Lian dan gadis ini menggerakkan pedang
menyambar leher sedangkan tangan kiri menyusul dengan
pukulan. Gerakan tangan kiri itu adalah gerakan yang
disebut Hio te-boan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga),
sedangkan pedang itu melakukan serangan dengan gerak
tipu Bi-li-tauw-su ( Gadis Cantik Menenun ). Sekaligus dapat
mempergunakan dua macam gerak tipu, ilmu pedang dan
ilmu tangan kosong, benar-benar sudah membuktikan
kelihaian gadis ini. Juga macam serangannya itu merupakan
serangan berantai, jadi memang sudah terlatih menggunakan serangan be rganda, setiap serangan didahului
oleh angin pukulan yang dahsyat dan disertai kecepatan
mengagumkan. "Pantas dia bisa membongkar pe ti tanpa kuketahui,
kiranya ia jauh lebih lihai dari adiknya ....." pikir Tiang Bu yang cepat-cepat melompat ke belakang sambil mendorongkan tangan kirinya menangkis pukulan gadis itu.
Pek Lian tidak mau kepalan tangannya bertemu dengan
telapak tangan lawan, cepat ia menarik pul ang kepalan
tangannya dan dua kali melangkah maju ia sudah mengirim
serangan berganda lagi, pedangnya membuat gerak tipu Bi-
li-hoan-mo (Gsdis Cantik Menukar Payung) sedangkan
35 kepalan kirinya kembali meryerang dengan tangan terbuka
mencengkeram ke arah dada lawan dengan gerak tipu Siu-
ko-hian-hwa (Mengambil Buah Memberi Bunga). Gerakan-
gerakannya cepat namun indah sekali,. lemah gemulai
seperti menari, akan tetapi jangan kira "tarian" ini tidak berbahaya karena salah-salah leher bisa terpenggal putus
dan dada bisa dicengkeram sampai hancur tulang- tulangnya! Tiang Bu hendak mencoba kepandaian gadis ini.Ia
sengaja menyambuti dua serangan itu dengan kedua
tangannya pula. Tangan kirinya dibuka jarinya dan melakukan gerakan menyampok pinggiran pedang, sedangkan tangan kanan memapaki cangke raman gadis itu,
menggantikan atau mewakili dada. Pedang itu tersampok ke
pinggir hanya mencong dan menyeleweng saja, tidak
membalik se perti Ang Lian tadi, sedangkan tangan Tiang Bu
dekat pergelangan kena dicengkeram.
Pek Lian menjadi kaget setengah mati. Jarang ada orang
be rani menghadapi pedangnya hanya dengan sampokan jari-
jari tangan saja, namun toh pemuda ini sudah berhasil
menyampok pedangnya sampai menyeleweng, dan cengkeramannya dengan gerak tipu Siu-ko hian-hwa tadi
bukanlah sembarangan mencengkeram, melainkan sebuah
gerakan dari Ilmu Mencengkeram Liong jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Naga). Akan tetapi me ngapa setelah
mengenai tangan pemuda itu, menjadi musnah tenaganya
dan cengkeraman itu hanya berubah menjadisemacam
cubitan tak berarti saja"
"Aih ...sih"., bertempur ya bertempur, tapi jangan main
cubit, eh........... !" kata Tiang Bu sambil tersenyum dan menggosok-gosok tangannya yang kena "cubit" tadi.
Karuan saja Pek Lian menjadi malu dan marah, apalagi
ketika Ang Lian te rtawa kecil ditahan-tahan di belakangnya,
lalu berkata lirih, "Kok mencubit, bagaimana sih cici ini?"
36 Saking marahnya Pek Lian menjadi pucat mukanya. Ia
mengeluarkan suara bersuit keras dan pedangnya bergerak
lagi, kini melakukan serangan-serangan nekat dan berbahaya sekali. Mendengar suara sultan ini. Ang Lian
menutup menutup mulutnya karena tahu bahwa cicinya
marah sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya
pula membant u saudaranya mengeroyok Tiang Bu.
Tiang Bu memang tidak berniat melukai dua orang dara
ini, hanya ingin merampas kembali barang-barang itu dan
mengembalikannya kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Iapun
kaget mendengar suitan ini yang ia tidak tahu apa
maksudnya. Tiba-tiba diri arah utara terdengar suara suitan
semacam itu, akan tetapi jauh lebih nyaring dan panjang,
tanda bahwa yang bersuit itu memiliki khikang j auh lebih
tinggi dari pada Pek Li an.
"Ceng moi datang ....... bagus..... !" seru Ang Lian ketika mendengar suitan tadi.
Tiang Bu merasa sudah cukup me nggoda maka iapun
melompat mundur dengan cara terus lari ke utara. Dua
orang gadis itu mengejar, akan te tapi mana mereka dapat
melawan Tiang Bu yang mengerahkan ginkangnya" Di atas
kuda saja mereka tadi masih belum mampu mengejar Tiang
Bu. Apalagi sekarang Tiang Bu mengerahkan ilmu lari
cepatnya dan mereka hanya menge jar dengan berlari saja.
Sebentar saja mereka tertinggal jauh.
Dari arah depan terdengar derap
kaki kuda dan muncullah seekor kuda hitam yang tinggi besar dan kuat
sekali yang berlari seperti terbang ce patnya di tengah tengah de bu yang mengebul tinggi. Di atas kuda hitam itu duduk
seorang gadis muda berusia antara lima belas tahun,
tubuhnya kecil ramping dan mukanya ayu dan angker
seperti muka orang yang biasa dipandang tinggi. Gadis itu
tangan kirinya memegang kendali, tangan kanan memegang
sebatang ranting yang agaknya dipergunakan sebagai cambuk. 37 Melihat munculnya kuda hitam dengan penunggangnya
gadis tanggung itu, Pek Lian berseru girang, "Ceng moi ......!
tolonglah ! Orang itu telah mencuri empat bungkusan kami
".. !" Mendengar seruan ini diam-diam Tiang Bu mendongkol
sekali. Gadis itu telah memut arbalikkan kenyataan, pikirnya. Mereka yang menjadi perampok, sekarang menuduh dia mencuri bungkusan-bungkusan itu. Sebaliknya, gadis ayu yang menunggang kuda itu, tiba-tiba
menarik kendali kuda dan serentak kuda hitam itu be rhenti.
Debu mengebul tinggi, Tiang Bu kagum bukan main.
Menghentikan kuda berlari cepat secara mendadak seperti
itu benar-benar bukan hal yang mudah, selain membutuhkan kemahiran menunggang kuda, juga harus
memiliki ilmu lweekang yang disebut Jian- kin-kang (Tenaga
Setibu Kati), yaitu ilmu memberatkan tubuh sehingga dapat
menindih dan mengalahkan tenaga lari kuda itu demikian
besar dan kuat sedangkan gadis itu demikian kecil, benar-
benar sukar untuk dipercaya kalau tidak menyaksikan
sendiri. Pada saat Tiang Bu masih bengong saking kagumnya,
gadis itu sudah 'melayang" dari atas kuda ke dekatnya.
Memang gadis itu se olah-olah me layang, bukan melompat.
Demikian ringan tubuhnya serta gerakannya tadi seakan-
akan dia hanya sehelai bulu, terbawa angin saja. Kemudian
sebelum Tiang Bu hilang kagetnya, gadi s itu sudah
menggerakkan rantingnya, cepat sekali rantingnya menusuk
ke depan. "Cus! Cus! Ujung ranting itu menyolok sepasang mata Tiang Bu dengan gerakan cepat sekali.
Tentu saja Tiang Bu tidak membiarkan sepasang mata
yang hanya satu-satunya dicolok buta, cepat ia mengelak
dan sebagai balasan tangan kirinya menotok ke arah iga
lawan untuk mencari sasarannya. yaitu Yan-goat-hiat. Jalan
darah Yan-goat -hiat ini letaknya di de kat ketiak, kalau
terke na orang akan menjadi kaku seperti patung.
38 Akan tetapi hebat benar gerakan dara ini . Ia lincah dan
gesit, juga kedua kakinya melakukan langkah yang aneh
mirip langkah il mu Silat Pat-kwa-kun-hwat. Tahu-tahu gadis
itu sudah miringkan tubuh ke kanan, kaki kiri diangkat ke
samping me nginjak belakang lutut kaki kanan Tiang Bu dari
samping. dan he batnya rantingnya bekerja cepat sekali dan
tahu-tahu tali yang menyambung dua buah kantong dan
te rgantung di pundak Tiang Bu telah putus! Tangan ki ri
gadis itu diulur, menyambar kantong ke dua. Dengan
demikian, dalam gebrakan pertama saja gadis ini sudah
berhasil merampas dua kantong dan yang tergantung di
pundak Thing Bu kini tinggal dua kantong lagi.
"Jangan takut, jiwi cici. biar siauw-moi yang merampas
kembali barang-barangmu dari maling kecil ini !"
Melihat kelihaian gadis muda ini, Tiang Bu tertarik sekali
Satria Gunung Kidul 1 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 43
^