Pencarian

Tangan Geledek 7

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


untuk menyerang lawan jarang ada lawan dapat
menghindarkan diri karena setiap gerak mengandung aliran
te naga sinkang yang luar biasa.
Akan tetapi kakek itu telah dapat mempergunakan untuk
memindahkan tenaga sinkangnya ke dalam tubuh Tiang Bu
yang sedang "terbuka," benar-benar hebat luar biasa. Dalam keadaan "terbuka", seperti Tiang Bu tadi, jangankan pukulan sehebat Sin ciang hoan-kang, walaupun pukulan
biasa dari seorang ahli lweekeh saja sudah akan
mematikannya. Baiknya Tiang Bu sudah diberi latihan dasar lweekang
dan tubuhnya sudah berisi hawa murni. Maka ia tidak mati
oleh pukulan dan biarpun tubuhnya kemasukan tenaga
hebat seperti aliran listrik, ia hanya roboh pingsan dan
be rkelojotan saja. Tak lama kemudian, gerakan kaki
tangannya yang seperti orang menghadapi sakratul maut itu
makin mengendur akhirnya terhenti dan ia bangkit duduk
sambil meramkan matanya. Kepalanya masih puyeng, kedua
telingannya mendengar suara "ngiiiiiiiing"...". tak kunjung
henti. "Tiang Bu, loncatlah berdiri dan gunakan Lo pai-hud
(Kakek Menyembah Buddha) ke arah angkasa tiga kali !"
terdengar Tiong Jin hwesio berkata kepada muridnya itu.
Biarpun kepalanya masih pening, namun anak ini yang
selalu mentaati suhunya, tanpa ragu-ragu lagi lalu meloncat
berdiri dan melakukan gerak itu memukul udara di atas
kepalanya tiga kali dengan kedua mata masih meram.
40 "Krotok ......... kratok ......... krekkk......... ! Terdengar bunyi di se luruh bagian tubuhnya ketika ia melakukan tiga
kali pukulan udara kosong itu, dan ......... Tiang Bu baru
membuka mata dan tersenyum memandang suhunya.
"Suhu, aku merasa segar sekali !"
"Tiang Bu, sekarang kau bersiaplah menghadapi
tantangan Toat-beng Kui-bo sebagai wakil guru-gurumu."
Tiang Bu kaget bukan main mendengar kata suhunya ini
sehingga tak terasa ia memandang. Akan tetapi gurunya itu
tidak main-main, bahkan menatap wajahnya penuh
ketegasan. Ia tidak berani membantah, lalu bangun berdiri,
menjura kepada suhunya, berkata, "Baik suhu," lalu
menghampiri Toat beng Kui-bo.
"Nenek tua, aku datang mewakili guru. guruku. Kau mau
memberi pelajaran cepatlah bergerak." katanya, suaranya
membayangkan kenekadan. Memang hati Tiang Bu amat
perih karena peristiwa tadi, batinnya masih sakit sekali
kepada Liok Kong Ji yang sikapnya mendatangkan benci dan
yang mengakuinya sebagai putera dan juga ia merasa sakit
hati kepada Wan Sin Hong yang menutup rahasianya. Ole h
karena merasa hancur hatinya mendengar bahwa ia bukan
putera ayah bundanya di Kim-bun-to, ia menjadi sedih dan
nekad. Dia sama sekali tidak tahu apa yang te rjadi dengan
dirinya keti ka ia "dipukul" pingsan oleh Tiong Sin Hwesio tadi.
Toat beng Kui-bo adalah seorarg sakti yang tinggi ilmu
silatnya. Tentu saja setelah hilang kaget dan herannya,
seperti Sin Hong i apun dapat menduga apa yang tadi
dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio yang kini bersila dal am
keadaan tak bernyawa lagi itu. I a tersenyum sindir lalu
tertawa cekikikan menyeramkan sekali.
"Hi hi-hi-hi, Tiong Sin Hwe sio tua bangka yang sudah
tahu nyawanya akan terbang, lalu mengoperkan segalanya
kepada bocah ini masih mending. Akan tetapi Tiong Jin
41 Hwesio tidak malukah kau bersembunyi di balik bocah
goblok ini untuk menutupi kege ntaranmu. Majulah sendiri
jangan mengirim bocah ini ke neraka menyusul suhengmu."
'Nenek tua ngacaubalau! Kau tidak saja menghina ji-
suhu. bahkan kau menghina twa-suhu. Siapa bilang twa-
suhu sudah meninggal lihat dia masih bersila dan tidak
mati. Kau benar-benar perlu diusir dari sini!" Setesai
memaki demikian, Tiang Bu rnelompat ke arah nenek itu
dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya.
(Bersambung jilid ke X.) 42 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid X TlANG BU merasa kaget sendiri. Memang ia sudah
memiliki ginkang yang tInggi bahkan dapat dengan baik
melakukan ilmu lompat Liap in sut (Ilmu Mengejar Awan)
akan tetapi kali ini begitu ia me nggerakkan kedua kakinya
tubuhnya melesat bagaikan didorong orang dari bel akang. Ia
mengira tentu suhunya yang membantunya, maka hatinya
besar lagi dalam melakukan penyerangannya kepada nenek
yang menakutkan ini. Toat-be ng Kui-ho tertawa mengejek. "K au seperti burung baru tumbuh sayap ...." Akan tetapi kata-katanya terputus
dengan terpaksa karena tahu-tahu pukulan anak itu sudah
mendekati dadanya dan didahului angin pukulan yang kuat
sekali. Cepat nenek ini mengangkat lengan menangkis dan
untuk kedua kalinya ia terkejut karena lengan tangannya
tergetar hebat. Sebaliknya Tiang Bu juga merasa lengannya
terge tar, akan tetapi hanya se bentar, Dari dalam perutnya
naik semacam hawa panas yang mengalir ke lengaan yang
membuatnya merasa kuat sekali. Sebelum tubuh turun ke
atas tanah, ia telah dapat manggerakkan tangan kanan
menampar pundak kiri Toat beng Kui-bo. Gerakan ini bukan
1 tamparan bias a karena sekali me nampar ia telah mengancam tiga pusat jalan darah terutama di tubuh bagian
atas. "Hayaaaa".!" Toat-beng Kui-bo menjerit dan cepat ia
mengeluarkan gerakan ilmu silatnya yang aneh. Kedua
tangannya ying seperti cakar ayam itu mencakar ke depan
yang kiri mengejar gerakan tangan Tiang Bu, yang kanan
mencakar ke arah muka bocah itu. Perlu diketahui bahwa
kuku-kuku tangan nenek ini mengandung hawa pukulan
beracun yang amat lihai, yaitu racun kelelawar yang selalu
mengawaninya. Jangankan kuku-kuku itu sampai masuk di
daging lawan, baru menggurat kulit saja sudah cukup
membuat lawan roboh binasa !
Akan tetapi Tiang Bu sudah mempelajari banyak gerukan
ilmu silat yang amat tinggi. Sebelum ia berlatih di bawah
pengawasan dua orang kakek sakti Omei-san itu, diapun
sudah paham Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang hebat dan
cukup kuat untuk menghadapi tokoh-tokoh besar, serta
sudah ahli malakukan gerakan kaki Lam-hoan.sam-hu
untuk membebaskan diri dari segala macam serangan aneh.
Cuma saja, kepandaiannya itu dahulu masih belum masak,
belum kuat dasarnya. Apalagi dia masih belum memiliki sinkang, maka tentu ia
takkan menang kalau menghadapi lawan tangguh. Sekarang
lain lagi, di luar pengetahuannya sendiri, anak ini sudah
memiliki lwee-kang yang tiada taranya di dalam tubuhnya,
warisan dari twa-suhunya. Sayang ia selain belum mengetahui akan hal ini, juga belum biasa mempergunakan
sinking dengan sebaiknya. Begitu me lihat berge raknya
kedua tangan lawan, Tiang Bu cepat me ngangkat tangan
kiri, dengan jari telunjuknya ia melakukan sentilan ke arah
pergelangan tangan itu. Inilah gerakan dari It-ci-tia:n-hoat (Menotok Satu Jari)
dan tangan kanannya tetap saja melakukan serangan.
Ketika hendak dicakar, tangan kanannya itu otomatis
2 mengelak sambil me lanjutkan serangan ......... "kokk !" leher nenek itu telah kena dipukul dengan jari-jari miring. Nenek
itu mengeluh, tubuhnya terhuyurg huyung sampai lima
tindak. Iniltah hebat ! Tadi melihat datangnya pukulan yang
tak mungkin dapat dihindarkannya lagi, ia sudah bersiaga.
Dengan pengerahan tenaga Chian-kin.jat (Tenaga Seribu
Kati) ia menanti datangnya se rangan anak itu sambil dia
diam-diam mentertawai Tiang Bu karena sudah banyak
orang gagah berjungkir balik roboh memukul nenek yang
mengerahkan tenaga hebat ini.
Akan tetapi. alangkah kagetnya ketika t angan bocah itu
mengenai lehernya ia merasa jalan pernapasan di lehernya
seperti dicekik setan dan tubuhnya terhuyung tak dapat
ditahan lagi ! Masih baik bahwa tubuhnya terhuyung dan ia
tidak mengerahkan tenaga pada kedua kakinya. Kalau
sekiranya demikian tentu pukulan itu datangnya akan lebih
hebat dan sangat boleh jadi t ulang lehernya akan remuk.
Kejadian ini benar benar hebat dan luar biasa. Toat-beng
Kui-bo adalah seorang yang kepandaiannya amat tinggi dan
tenaga lweekangnya sudah sampai di puncak yang amat
tinggi. Biarpun harus ia akui bahwa semua kesalahannya itu
memang sebagian besar karena kesalahannya sendiri, yaitu
terlalu memandang rendah lawan, namun seorang bocah
seperti ini dapat memukulnya sampai sedemikian benar-
benar hampir tak dapat dipercaya.
"Setan iblis anak haram, kau ingin mampus"' bentak
Toat-bong Kui -bo yang me rasa tersinggung kehormatannya
sebagai seorang datuk persilatan. Tongkatnya diputar
sampai berubah menjadi sinar hitam bergumpal-gumpal
menyilaukan dan menggelapkan pandangan mata.
Akan letapi pada saat itu terdengar Tiong Sin Hwesio
berseru kaget. "Cclaka, penjahat membakar gedung kitab...... !!"
3 Ketika semua orang memandang, benar saja pondok itu
bagian belakangnya sudah menjadi lautan api dan di antara
asap dan api itu berkelebatan beberapa bayangan orang.
"Tiang Bu ! Bantu pinceng menangkap pcnjahat dan
melindungi kitab.kitab !" seru Tiong Jin Hwesio. Akan tetapi pada saat itu, Tiang Bu sedang memandang ke arah Tiong
Sin Hwesio yang kini sudah rebah terlentang dengan muka
ditutup kain. Ia tidak tahu bahwa tadi Tiong Jin Hwesio
merawat janazah suhengnya yang sudah mulai mendoyong
letak duduknya dan me mbaringkan jenazah itu dengan baik
di atas tanah serta menutupi muka itu dangan kain. Kini
Tiang Bu tidak memperdulikan seruan Tiong Jin Hwesio,
bahkan tidak perdulikan gurunya itu berlari ke arah tempat
kebakaran. Anak itu sebaliknya lari menghampiri tubuh suhunya,
berlutut dan menyingkap kain pcnutup muka. Melihat muka
suhunya pucat kebiruan dan tak bergerak lagi, ia kaget
bukan main. Apa lagi se telah ia menjamah tangan gurunya
itu dan mendapatkan bahwa kakek ini sebcnarnya telah
putus nyawanya. Tiang Bu lalu menangis mengggerung-
gerung. Kebakaran itu merubah keadaan di depan pondok. Toat-
be ng Kui-bo tiba-tba lupa kepada Tiang Bu dan sambil
mengeluarkan suara ketawa cekikikan, ia menutulkan
tongkatnya di atas tanah dan tubuhnya berkelebat menengejar Tiong Jin Hwesio.
"Toat bcng Kui-bo, berhenti dulu" Tubuh Sin Horg
berkelebat dan cepat sekali ia mengejar Toat-beng Kui-bo.
Juga Ang jiu Mo-li sambil menggandeng dua orang
muridnya telah pergi dari situ, demikian pula Pek-tbow-
tiauw-ong Lie Kong betsama isterinya saling pandang dan
cepat mcnyusul orang.orang itu menuju ke tempat kebakaran. Mudah saja diduga niat mereka. Tentu akan
mcncoba-coba barangkali mereka dapat memperoleh sebuah
dua buah kitab pusaka. 4 -oo(mch)oo- "Tiang Bu......... ! siniii......... !!"
Tcriakan dahsyat dari Tiong Jin Hwesio ini menyadarkan
Tiang Bu. Bocah ini mendengar suara ji -suhunya seperti
orang minta tolong. Cepat ia menutupkan kain di atas muka
suhunya yang sudah mati itu dan menggerakkan tubuh, ia
telah melesat cepat sekali ke arah suara itu. Untuk kedua
kalinya ia merasa heran atas keringanan tubuhnya sendiri.
Akan tetapi ia tidak ada tempo lagi untuk banyak berpikir
akan hal ini. Ketika ia tiba di tempat it u, yaitu di belakang pondok, di situ telah terjadi pertempuran hebat.
Bagian yang lerbakar adalah di sebelah kamar kitab dan
kini api sudah mulai membakar gudang kitab di mana
terdapat ratusan buah kitab kuno dari macam-macam
pelajaran. Dan di luar tempat kebakaran itu. di sana-sini
menggeletak tubuh orang yang sudah menjadi mayat. Pek-
thouw-tiauw.ong Lie Kong yang beradu punggung dengan
isterinya, bertempur melawan enam orang yang tak dikenal
oleh Tiang Bu. Kalau saja dua ekor burung rajawali mereka
tidak membantu, tentu suami isteri ini akan terdesak hebat.
Agaknya beberapa pengcroyok tadi telah tewas oleh dua
cakar burung itu, terbukti adanya tanda-tanda darah pada
paruh dan cakar mereka dan di dekat tempat itu tcrdapat
beberapa orang yang kepalanya dan mukanya pecah-pe cah
penuh darah. Di lain bagian, Ang.jiu Mo-li juga mangamuk. Tokoh
utara ini mainkan pedang yang bersinar merah, tangan
kirinya

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga memukul-mukul, bahlcan kadang-kadang tangan kirinya menyebar pat-kwa-ci, senjata rahasianya
yang mengintai nyawa para pengeroyoknya. Ia dikeroyok oleh
empat orang yang kosen juga.
Tak jauh dari situ, Toat-beng Kui-bo bertempur melawan
Sin Hong dan dua orang tak terkenal membantu Sin Hong
5 mengeroyok nenek itu. Yang mengherankan hati Tiang Bu
adalah orang-orang yang tidak dikenalnya yang semua
berpakaian seperti orang-orang asing dan melihat pakaian
mereka, mudah duga bahwa mereka itu adalah orang-orang
segolongan yang entah datang diri mana.
Akan tetapi ia tidak dapat memperhatikan terlalu lama
karena sege ra ia melihat gurunya tengah dikeroyok oleh tiga
orang. Orang pertama adalah seorang tosu berkaki satu,
yang luar biasa lihainya. Orang ke dua ia kenal yaitu Bu-tek
Sin-ciang Bouw Gun dan orang ke tiga membuat Tiang Bu
marah bukan main karena orang ini adalah Liok Kong Ji
yang mengaku berjuluk Thian-te Bu-te k Taihiap mengaku
pula sebagai calon bengcu seluruh dunia dan paling celaka
mengaku sebagai.. ayahnya !
Keadaan Tiong Jiu Hwesio payah sekali Tangan kiri
hwesio jangkung kurus ini meme luk tiga buah kitab dan ia
menghadapi tiga orang lawannya hanya dengan sebelah
tangan, namun ia terdesak hebat. Terutama sekali tosu
buntung kakinya itu lihai bukan main, sedangkan Bouw Gin
dan Liok Kong Ji juga bukan orang-orang lemah. Jelas sekali
bahwa Tiong Jin Hwesio sudah terluka hebat.
Tanpa membuang banyak waktu lagi, Tiang Bu mengeluarkan suara bentakan dan cepat menyerbu, membantu suhunya. Karena ia paling benci kepada Kong Ji
yang mengaku-aku sebagai anaknya, Tiang Bu menyerang
Kong Ji dengan memukulkan tangan kanannya ke dada
orang itu. Liok Kong Ji adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi. Dia adalah ahli ilmu-ilmu keji seperti Ilmu Pukulan
Tin-s an-kang (Pukulan Merobohkan Gunung) yang lihai dari
Giok Seng Cu, Hek-tok-ciang ( Tangan Racun Hitam) dari See
thian Tok-ong, bahkan ia paham pula Thian-bong-ciang-hoat
(Ilmu Pukulan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari Hwa I
Enghiong Go Ciang Lee dahulu. Di samping ilmu-ilmu hebat
ini, ia masih memiliki banyak macam ilmu silat yang lihai
6 dan ganas. Oleh karena itu, tentu saja ia me mandang
rendah kepada Tiang Bu. Akan tetapi oleh karena ia tahu
bahwa bocah ini adalah puteranya, ia tentu saja tidak mau
mencelakai Tiang Bu. Pukulan bocah itu diterimanya dengan
tangkisan pelahan agar jangan sampai ia melukai tangan
bocah itu. Akan tetapi ia kccele dan alangkah terkejutnya ketika
belum juga tangan Tiang Bu mengenainya, hawa pukulan
yang menyambar keluar dari tangan anak itu sudah terasa
olehnya, kuat sekali ! Kedua lengan bertemu ".. Kong Ji
mengeluarkan seruan kaget dan tak dapat ditahan lagi ia
terjengkang roboh ketika Tiang Bu yang cepat sekali gerakan
tangannya telah merobah serangannya yang tertangkis tadi
menjadi dorongan. Dengan gemas Tiang Bu melompat
mendekati dan hendak mengirim pukulan pula. Kong Ji
menyesal sekali mengapa tadi ia memandang ringan bocah
ini sehingga saking kurang hati-hatinya ia kena dorongan
roboh. Ia melihat sinar maut di dalam pandang mata anak
itu dan se rangan yang datang bukan main cepatnya.
Betapapun besarnya kasih hatinya kepada anaknya yang
belum mau mengakuinya itu, Kong Ji tentu saja lebih cinta
kepada diri se ndiri. Melihat kedatangan Tiang Bu yang
melakukan serangan luar biasa, Kong Ji cepat menggerakkan kedua tangannya dan. ...... sinar hitam yang
banyak sekali meluncur memapak kedatangan tubuh Tiang
Bu. "Tiang Bu, hati-hati......... !" seru Tiong Jin Hwesio kaget.
Akan tetapi karena ia memecah perhatian ke arah Tiang Bu,
ia berlaku lengah dan ujung tongkat dari tosu buntung itu
tepat menotok iga kanannya.
"Tukk !" Tubuh Tiong Jin Hwesio te rlempar dalam
keadaan masih berdiri. Hwesio jangkung kurus ini tidak
roboh akan tetapi ketika kakek buntung itu melayang dan
menyambar, sebuah kitab dapat terampas lawan. Se karang
tinggal dua buah kliab saja di tangan Tiong Jin Hwesio.
7 Namun hwesio tua ini benar-benar sakti. Biarpun ia sudah
te rkena totokan demikian he bat, hanya sebuah saja dapat
dirampas musuh dan di lain saat ia sudah mengamuk lagi.
Tangan kanannya be rgerak-gerak mengeluarkan angin dan
hawa pukulannya dapat menahan serangan Bouw Gun dan
tosu kaki buntung. Adapun Tiang Bu yang terancam bahaya maut oleh
jarum-jarum racun hitam (Hek-tok-ciam) yang dilepaskan
Kong Ji menjadi bingung. Biarpun bocah ini sudah memiliki
kepandaian tinggi, namun pengalamannya masih dangkal
sekali. Ia belum pernah bertempur menghadapi orang-orang
lihai apalagi menghadapi se rangan senjata rahasia yang
mengandung racun jahat. Me lihat sinar hitam yang berbau
amis itu menyerangnya, Tiang Bu hanya menggerakkan dua
tangan untuk me ngibasnya sambil me ngerahkan tenaga.
Memang hebat! Dari kibasan kedua tangannya itu keluar
hawa pukulan yang kuat sekali sehingga jarum-jarum hitam
itu terkibas runtuh semua. Namun ada dua buah jarum
hitam yang masih melukai tangan kirinya sebelum tersampok jatuh. Darah mengucur dari dua luka kccil di
tangannya. Tiang Bu tidak menjadi gentar biarpun rasa luka-luka di
tangan itu sikit dan panas sekali. ia me nubruk maju dan
mengirim serangan lagi selagi Kong Ji berdiri termangu-
mangu. Melihat anaknya terluka Hek-tok-ciang Kong Ji
menjadi khawatir juga. 'Tiang Bu, kau terluka jarumku, jang banyak bergerak........." Akan tetapi Tiang Bu tidak perdulikan se ruan ini dan
segera menyerang orang yang mengaku ayahnya akan tetapi
melukainya itu dengan pukulan-pukulan Tat Mo Ciang hoat
yang ia pelajari dari Tiong Sin Hweso. Ilmu silat kuno
warisan Tat Mo Couwsu, yang merupakan s ebuah dari pada
sumber-sumber seluruh ilmu silat di dunia. Menghadapi
8 ilmu silat yang aneh, kelihatan lambat namun sukar diikuti
gerakan- gerakannya ini, Kong Ji menjadi bingung.
Ia tahu bahwa bocah di depannya ini biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun dalam pertempuran masih hijau sekali, akan tetapi
untuk menjatuhkan tangan maut ia merasa sayang karena bacah ini adalah anaknya sendiri. Selain itu, sejak
semula telah menyelinap di dalam otaknya yang cerdik suatu niat yang dianggapnya amat baik. Tiang Bu agaknya telah mewaris i kepandaian sakti dari dua orang kakek Omei-san. Kalau kelak bocah itu mau mengakui sebagai ayah, bukankah
mudah saja "mengoper" semua kepandaian itu melalui
anaknya " "Tiang Bu, kau......... kau puteraku. Jangan serang aku, mari kuobati tangnnmu yang terluka itu," katanya bcrulang ulang melompat lompat mundur menghindarkan tangan
Tiang Bu. "Kau pembohong, penipu, pengecut !" Tiang Bu bukan
tunduk terhadap bujukan itu bahkan menjadi marah sekali
dan terus menyerang dengan gencar. Karena bingung
menahan ilmu silat itu dia tahu bahwa Tiang Bu me miliki
tenaga sinkang yang bukan sewajarnya Kong Ji serba susah
9 dan menjadi bingung. Pada saat itu terdengar seruan tosu
kaki butung. "Tai ciangkun (panglima besar), sudah dapat kitab. H ayo pergi......... !"
Biarpun kata-kata ini diucapkan seperti perintah, namun
jelas bahwa kakek buntung menganggap Kong Ji sebagai
atasannya. Kong Ji mendengar ini segera bersuit keras.
Heran sekali. Semua orang yang tadi bertempur melawan
Pek-tbouw thiauw-ong Lie Kong, dan isterinya, juga yang
mengeroyok Ang-jiu Mo-li mendengar suitan ini lalu
melompat pergi dan sekejap saja pertempuran berhenti
semua dan Kong Ji serta kawan-kawannya lenyap dari situ,
meninggalkan kawan-kawan yang sudah tewas, membawa
yang terluka bersama mereka.
Tiang Bu melompat ke arah gurunya yang telah roboh
dan duduk bersila di atas tanah dengan muka pucat.
Gurunya masih memegang dua buah kitab dan napasnya
terengab-engah. ketika meli hat bocah itu, ia berkata lemah,
"'Tiang Bu, yang membakar ini ....... Thai Gu Cinjin.........
kaucari dan kejar dia, rampas kitab yang dibawanya.........
kalau perlu bunuh dia......... "
Tiang Bu melompat cepat ke arah gudang yang terbakar.
Hatinya terasa perih melihat betapa kitab-kitab kuno itu
telah menjadi umpan api yang tak mungkin dapat dipadamkan lagi. Kitab-kitab itu tak dapat ditolong lagi. Ia
memandaog ke kanan kiri dengan beringas. Akan tetapi di
situ tidak terdapat bayangan manusia, maka ia lalu
melompat ke atas genteng pondok dan memandang t ajam
kesemua jurusan. Jauh sekali di lereng gunung ia melihat
bayangan Liok Kong Ji dan kawan-kawannya. Kalau saja di
antara tombongan ini tidak terdapat tosu buntung yang
lihai, tentu Tiang Bu tidak akan mengenal rombongan siapa
itu. Meli hat tosu buntung dan banyaknya orang-orang yang
turun, ia dapat menduga bahwa itulah bayangan Liok Kong
Ji dan kawan-kawannya. 10 "Hmmm, kalau saja suhu tidak menyuruh aku mencari
Thai Gu Cinjin, tentu aku akan mengejar me reka pikirnya.
Tiba tiba di sebelah kiri ia melihat bayangan orang
be rkelebat. Cepat ia melompat turun dan mengejar sampai di
bawah puncak, di daerah batu-batu karang tidak kelihatan
ada orang di situ, ia terheran-heran. Tak salah lagi
penglihatannya, tadi ada dua atau tiga bayangan orang
bcrkelebatan me ngapa sebentar saja lenyap"
Selagi ia celingukan, tiba-tiba terdangar suara orang
berkelahi. Suara ini baru te rde ngar karena terbawa angin
yang tiba-tiba bertiup ke arahnya, ia mengejar dan kiranya
Giam-lo ong Ci Kui yang sedang bertempur itu, melawan
seorang hwesio yang bertubuh gemuk bundar. Hwesio
gemuk bundar itu mengeluarkan suara "hah! heh! hayaaa
...... .!" dengan suara jenaka. Ilmu silatnyapun aneh,
berloncat-loncatan seperti katak me lompat Akan tetapi
sudah tent u ia bukan lawan Giam lo ong Ci Kui yang
mendesak hebat dengan pukulan-pukulan Hui houw-
tong.ree yang ganas.

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiang Bu mengintai dari belakang batu karang dan ia
menjadi bingung siapa yang harus dibantunya. Ia tidak
mengenal hwesio gemuk itu, dan tidak tahu pula mengapa
mereka bertempur. Ia hanya bingung karena tidak melihat
adanya Thai Gu Cinjin, ia merasa tidak perlu mencampuri
urusan Giam-lo ong Ci-Kui dan hendak meninggalkan
tempat itu. Tiba tiba muncul Liok-te Mo-ko Ang Bouw den
Siangkong Ang Louw. Ang Bouw segera berkata.
"Suheng, tikus gemuk ini bereskan saja lekas-lekas.
Semua orang sudah pergi dan biarpun kake k tua itu terluka
parah, kalau dia menyusul ke sini kita bisa celaka!"
"Kalian bantulah. Anjing gemuk ini sukar sekali dipukul
mampus," kata Ci Kui. Segera kedua orang sutenya
menyerbu. "Heh-heh heh, siluman-siluman hutan, majulah. Sebelum kalian mengembalikan kitab curian, aku Hwa Thian
11 Hwesio takkan mau mengampuni kalian maling-maling hina-
dina." "Hwa Thian Hwe sio, kau ini anjing pemerintah Kin, ada
sangkut paut apakah dengan urusan kami" Kitab ini bukan
kitabmu, kau perduli apakah?" kata Ci Kui marah.
"Ha-ha-ha, dasar bangsat tetap bangsat. Barang siapapun juga yang kaucolong, itu namanya tetap maling-
Bagaimana pinceng harus mendiamkan saja" Pinceng paling
anti kepada segala macam maling dan copet. Hayo kaukembalikan!" *Suheng, habiskan saja dia ini!" seru Sin saikong Ang
Louw marah sekali sambil melompat dan menyerang hwesio
gemuk itu dengan cakarnya yang berbahaya.
"Ayaaa.........! Ini siluman atau binatang buas?" seru Hwa Titian Hwesio sambil mengelak dengan lompatan ke kiri.
Biarpun tubuhnya gemuk bundar, namun gerakannya
ternyata ringan sekali. Tiap kali tubuhnya turun ke tanah,
segera terpental kembali ke atas. Karena ia me narik kedua
kakinya, maka ia merupakan segundukan tubuh bundar
seperti bola yang selalu mental ke atas lagi tiap kali
menyentuh tanah. Betapapun gesitnya, karena yang menyerangnya adalah Pak kek Sam-kui yang lihai, dalam
dua gebrakan saja cakar kuku tangan Sin-saikong Ang Louw
telah mengenai pundaknya. Hwesio itu cepat miringkan
pundak dan "breett ...... !" bajunyaterobe k
ke bawah sehinggga nampak dadanya yang penuh daging dan gajih
serta sedikit pe rut yang gendut seperti kerbau hamil.
"Eh, main rusuh .......! Berkelahi ya berkelahi, masa
merobek baju seperti perempuan berkelahi ! Rusuh tak tahu
malu!" Hwesio gendut itu marah-marah dan mengejek ketiga
orang lawannya. Diam-diam Tiang Bu menjadi geli melihat
lagak hwesio gemuk itu, geli tercampur kagum karena
biarpun terdesak hebat terang sekali nyawanya terancam
maut, hwesio ge ndut itu masih sempat mengolok-olok para
lawannya, juga Tiang Bu tergerak hatinya ketika mendengar
12 pe rcakapan antara mereka tadi dan sekilas pandang kearah
baju Giam-lo-ong Ci-Kui, ia melihat sesuatu yang menonjol
dari dalam saku baju Ci Kui. Tak salah lagi, tentu diapun
mencuri sebuah kitab dari gudang yang terbakar, pikir Tiang
Bu. Segera ia melompat dan menerjang iblis jangkung itu.
Lompatan Tiang Bu seperti kilat menyambar. Empat
orang itu tidak melihat ia datang dan tahu-tahu bocah ini
sudah tiba di depan Ci Kui, mengirim pukulan dengan
tangan kiri ke arah muka kakek itu sedangkan tangan
kanan terulur ke arah jubah yang me nonjol.
"P lakk ......... brettt........!" Giam.lo-ong Ci Kui menangkis.
Terpekik kesakitan ketika lengan tangannya patah beradu
dengan lengan Tiang Bu disusul terobeknya bajunya dan
kitab yang disimpan di dalam sakunya telah berada di dalam
tangan Tiang Bu. Tiga orang setan utara itu menjadi bengong dan juga
marah. Mereka merasa kaget dan heran menyaksikan
ke hebatan bocah yang pernah menjadi murid mereka itu.
"Tiang Bu......... Kembalikan kitab kami!" Seru Ang Houw
dan Ang Louw yang sudah melompat menghadapi Tiang Bu.
Bocah itu menggeleng ke palanya. "Apakah kalian ikut-
ikut membakar gudang kitab Omei-san?" tanyanya, suaranya perlahan dan lambat, akan tetapi di dalamnja
mengandung ancaman hebat. Kalau tiga orang kakek
mengaku ikut membakar, ia takkan segan-sogan lagi untuk
menyerang mereka dan kalau perlu membunuh mereka.
"Tidak, kami tidak membakar ..... kau tanya Thai Cu
Cinjin, dialah yang membakarnya bersama Tee-tok Kwan
Kok Sun ...... " kata Ci Kui. "Akan tetapi kitab itu"..
kauberikanlah kepada kami, Tiang Bu." Biarpun ia kesakitan dan marah sekali tulang lengannya sudah dipatahkan oleh
bocah itu namun ia masih lebih sayang kepada kitab itu dan
hendak membujuk Tiang Bu supaya suka memberikannya.
13 "Tak mungkin. Bahkan perbuatan kali an mencuri kitab
ini saja sudah harus dihukum."
"Keparat busuk, murid murtad. Berani kau melawan
guru-gurumu?" bentak Ang Bou sambil menubruk maju.
"Aku bukan murid kalian, hanya murid paksaan. Bahkan
kalian telah menculikku." Jawab Tiang Bu tenang sambil
mengolok, lalu balas menyerang. Ang Bouw menangkis
berbareng dengan datangnya Ang Louw yang menyerang
hebat. Namun seperti juga Ci Kui, begitu beradu lengan
dengan bocah itu, ke duanya melompat mundur dengan
meringis kesakitan. Baiknya Tiang Bu yang kini sudah
maklum akan kehebatan tenaga sendiri, mas ih ingat bahwa
mereka pernah mengaku murid kepadanya maka tidak mau
mengerahkan seluruh tenaga sehingga Ang Bouw dan Ang
Louw tidak mengalami patah tulang lengan seperti Ci Kui.
Namun cukup ketiga orang kakek ini maklum akan kelihaian
Tiang Bu, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu
melarikan diri menyusul rombongan Liok Kong Ji.
"Hayaaaa......... ! Kalau tidak kedua mataku yang lamur
melihat sendiri, mana aku bisa percaya" Bocah ajaib .......
apakah kau pe njel maan Sin-tong Lo cia!" tanya H wa Thian
Hwesio sambil mengelus elus perutnya yang gendut.
Lo Cia adalah seorang anak dewa yang sakti, tokoh
terkenal sekali sepanjang masa dalam dongeng-dongeng
Tiongkok. Kare na Lo Cia adalah seorang bocah sakti (sin
tong) atau bocah ajaib, maka Hwa Thian Hwesio yang
meli hat kelihaian Tiang Bu mengucapkan perbandingan itu.
Memang sesungguhnya hwesio gandut ini kagum dan heran
sekali. Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan
seorang anak berusia paling banyak empat belas tahun
dapat mengalahkan tiga orang tokoh iblis seperti Pak kek
Sam-kui. Sekali pandang saja Tiang Bu merasa suka kepada
hwesio gendut ini. Apalagi tadi ia sudah jelas mendengar
kata-kata hwesio ini yang berjiwa gagah, hendak mencegah
14 orang membawa lari kitab Omei-san. Akan tetapi pada saat
itu ia tidak mempunyai banyak waktu untuk bercakap-
cakap, maka setelah tersenyum sebentar ia bertanya.
"Mohon tanya, apakah losuhu tadi melihat Thai Gu
Cinjin" Ke mana larinya?"
Sepasang mata Hwa Thian Hwesio yang sudah bundar
besar itu kini melotot makin lebar seperti hendak meloncat
keluar dari pelupuk matanya. Kalau ia terheran he ran
metihat bocah ini dapat mengusir Pa.k-kek Sam-kui,
sekarang ia hampir tak percaya mendengar bocah ini
bertanya tentang Thai Gu Cinjin dan seolah-olah hendak
mengejarnya. Akan tetapi ia masih penasaran dan balas
bertanya, "Siauw-hiap mencari Lama Jubah Merah itu mau
apakah?" "Diapun me ncuri kitab dan dia yang membakar pondok,
aku harus mengejarnya dan menyeretnya ke depan suhu
atau membunuhnya !" jawab Tiang Bu tanpa ragu-ragu lagi
dengan suara gemas. Baru Hwa Thian Hwesio percaya dan se pasang matanya
memandang penuh kekaguman. D apatkah ia menduga
bahwa tentu anak ini adalah murid dari kedua orang kakek
sakti Omei-san. Ia cepat menudingkan telunjuknya ke arah
utara sambil berkata, "Tadi pinceng meli hat Thai Gu Cinjin berdua Tee -tok
Kwan Kok Sun berlari ke sana, masing-masing membawa
sebuah kitab. Pinceng tidak berani menghalangi mereka
yang amat jahat dan lihai."
"Sudah lamakah "' Tiang Bu cepat memandang ke
jurusan yang ditunjuk oleh hwesio itu.
"Sudah, tadi sebelum pinccng menghadang Pak-kek Sam-
kui. Kiranya sekarang mereka sudah jauh di kaki gunung
sebelah utara. 15 Tiang Bu membanting-banting kaki kanannya dan hwesio
yang berdiri kira-kira dua meter jauhnya dari padanya itu
tiba.tiba terdorong roboh !
"Celaka......... harus kuheritahukan kepada suhu. Terima kasih atas kebaikanmu, losuhu." Tiang Bu terus berkelebat kembali ke atas puncak tanpa memperdulikan hwesio
gendut itu yang masih rebah di atas tanah sambil
memandang kepadanya dengan mulut ternganga dan mata
terbelalak. Setelah ia tiba di dekat pondok, ternyata gudang kitab itu
sudah habis terbakar di kini api sudah merembet sampai di
pondok depan dan agaknya tak lama lagi seluruh pondok
bekas tempat tinggal kedua orang kakek sakti itu akan
mus nah menjadi abu. Hati Tiang Bu tiba-tiba menjadi perih
dan untuk sejenak ia meramkan mata sambil menggigit
bibir. "Maling-maling buruk itu jahat sekali. Awaslah, kelak
aku akan mencari kalian seorang demi seorang untuk diberi
hajaran atas kejahatan kalian ini !" katanya perlahan.
Ke mudian ia menengok ke arah Tiong Jin Hwesio yang masih
duduk bers ila. Tubuhnya tid ak bergerak-gerak, akan tetapi
bayangannya bergerak-gerak di depannya karena nyala api
yang membakar di belakangnya itu bergerak.
"Suhu ...... !" Tiang Bo berlutut di depan gurunya, hatinya penuh haru dan duka. Tahu betapa sedihnya hati
gurunya ini yang tidak saja kematian suhengnya, akan tetapi
juga kehilangan kitab pusaka yang selama ini amat disayang
melebihi nyawa sendiri. Kedua orang kakek itu selama ini
menjaga dan melindungi kitab di dalam gudang itu seperti
menjaga keselamatan sendiri dan sekarang"... sekaligus
kitab-kitab peninggalan Tat Mo, Cauws u dan Hoat Hian
Couwsu itu menjadi abu. "Suhu..... !" sekali lagi Tiang Bu berbisik dengan suara serak.
16 Tiong Jin Hwesio menarik napas panjang, membuka
mata dan di bawah sinar api itu wajahnya nampak angker
sekali. Ia memandang kepada Tiang Bu dan bertanya.
"Bagaimana dengan Thai Gu Cinjin ?"
"Dia sudah melarikan diri bersama seorang
yang bernama Tee tok Kwan Kok Sun. Kalau suhu menghe ndaki,
sekarang juga teecu akan mengejar mereka sampai dapat
dan mengadu nyawa dengan maling maling itu," kata Tiang
Bu penuh semangat. Gurunya menghela napas
dan menggeleng-geleng kepala.
"Mereka terlalu lihai. Mungkin dengan kepandaianmu
dan tenaga sinkang yang diturunkan oleh suheng kepadamu
kau akan mampu mengalahkan mereka, akan tetapi kau
bisa celaka oleh tipu muslihat mereka. Kau belum banyak
pengalaman, muridku dan kau tidak tahu betapa jahat dan
kejinya orang orang di dunia kangouw. Hemmm........." Tiba-
tiba hwesio jangkung kurus ini menatap tangan muridnya.
"Coba dekatkan lenganmu yang kiri!"
Ketika tangan kiri itu diulurkan dan dipe gang oleh Tiong
Jin Hwesio, kakek ini berkata. "Hemm, siapa yang melukai
tanganmu ini?" "Luka tidak seberapa suhu, hanya kulitnya lecet ,
mengeluarkan sedikit datah. Tidak apa-apa."
"Hemm ......... inilah yang kumaksudkan bahwa kau
masih hijau. Kau tidak tahu bahwa tanganmu ini telah
terkena racun yang amat berbahaya. Sudah tentu kau mati
seketika kalau saja sinkang di dalam tubuh tidak menolak
hawa berbisa itu. Bagaima kau sampai terluka ?"
Tiang Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa
jarum-jarum hitam itu mengandung racun yang demikian
berbahaya. "Orang bernama Liok Kong Ji itu yang melukai
tee cu dengan jarum-jarum gelapnya."
17 "Ah, Hek-tok ciam (Jarum Racun Hiram). Nih, kautelan
obat ini!" kata Tiong Sin Hwesio s ambil memberikan pel
putih. Tiang Bu menel annya.
"Tiang Bu, dengan hawa sin-kang di tubuhmu yang
sekarang sudah cukup kuat, memang kau dapat menahan
racun yang tidak berapa banyak itu. Akan tetapi di dunia ini


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berkeliaran manusia-manusia macam Liok Kong Ji
dan yang sudah biasa mempergunakan senjata gelap dan
racun jahat. Apalagi orang yang datang bersama Thai Gu
Cinjin dan bernama Tee tok Kwan Kok Sun itu, yang sudah
biasa dengan racun racun ular. Belum lagi kita bicara
tentang Toat beng Kui Bo dengan racun-racun kelelawar,
kelabang dan lain-lain. Kau......... kau berhati-hatilah, Tiang Bu karena sebentar lagi kau harus hidup sebatang kara dan
harus me nghadapi mereka seorang diri".."
Jantung Tiang Bu berdebar. "Apa maksudmu, suhu .....?"
"Tiang Bu, tosu kaki buntung kawan Liok Kong Ji tadi
amat lihai ilmu silatnya. Aku terluka hebat olehnya, takkan
tortolong lagi." "Suhuuu ...... .!"
"Hush, tenanglah. Manusia di dunia ini siapa yang
takkan mati" Bagiku, untuk apa susah " Aku akan
menyusul suheng dan......... kitab kitab kita......... Sekarang kaudengar baik-baik pesanku. Lihat, aku telah berhas il
menyelamatkan dua buah kitab ini. Kitabini bersama
sebuah kitab lain yang terampas oleh tosu kaki buntung,
adalah kitab-kitab paling penting dan berharga dari sekalian
kitab peninggalan dua couwsu kita. Kaupelajari dua kitab ini
baik-baik dan kiranya kau takkan mudah dikalahkan orang
dalam ilmu silat dengan kepandaianmu asalkan berlatih
baik-baik, Liok Kong Ji itu manusia jahat, jangan kau
mudah dipengaruhi olehnya."
"Satu-satunya manus ia yang boleh kau percaya hanya
Wan Sin Hong. Kau datanglah kepadanya dan kauminta dia
18 membuka rahasia apakah benar kau putera Litok Kong Ji
yang jahat itu. Kalau benar demikian terserah kepadamu
akan tetapi pinceng ikut menyesalkan kalau benar kau
putera Liok Kong Ji. Kitab-kitab di sini sebagian besar
terbakar musnah lebih baik dari pada terjatuh ke dalam
tangan orang-orang jahat. Akan tetapi selain kitab Suan
hong-kiam-coan-si yang dirampas oleh tosu buntung tadi,
masih ada beberapa kitab terjatuh ke dalam tangan mereka.
Kalau pinceng tidak salah lihat Pak-kek Sam-kui juga telah
mencuri sebuah." "Teecu merampasnya dari tangan Giam-lo-ong Ci Kui,"
kata Tiang Bu yang lalu menuturkan tentang pertentuannya
dengan Pak-kek Sam kui, juga tentang hwesio gendut yang
bernama Hwa Thian Hwesio.
"Bagus, kausimpan juga kitab itu. Kemudian kaucari
Ang-jiu Mo-li, Pek- thouw-tiauw-ong, Thai Gu Cinjin. Tee-tok
Kwan Kok Sun dan tosu kaki buntung itu serta Liok K ong Ji.
Mungkin mereka itu masing-masing telah membawa pergi
sebuah kitab, harus kau rampas kembali."
"Baik, suhu. Akan teccu balaskan sakit hati itu hari ini,"
jawab Tiang Bu, mencatat baik-baik nama-nama itu di
dalam hatinya. "Jangan berlaku kejam. Hanya Thai Gu Cinjin yang
membakar pondok kita. Yang lain-lain itu hanya mengambil
kitab karena ingin mempelajari ilmu tinggi. Akan tetapi
hatiku masih belum tenteram kalau kau tidak memiliki
kepandaian dalam ilmu pengobatan seperti Wan Sin Hong.
Kalau bisa, muridku, kau ?". kau mintalah Wan sicu
mengajarmu ...... " Tiba-tiba kakek itu berhenti bicara dan batuk-batuk.
Tiang Bu kaget melihat suhunya itu pucat sekali dan
darah menyembur keluar dari mulutnya ketika batuk-buruk
hebat. "Suhu, kau istirahatlah....... " katanya.
19 Hwesio itu menggeleng kepala, lalu berkata, suaranya
lantang berpengaruh. "Thiang Bu, kau lakukan Khai-khi jiu-hiat!"
Thing Bu kaget. Biarpun hanya menduga-duga ia sudah
tahu apa artinya kalau ia melakukan perintahitu. Bukankah
tadi twa-suhunya, Tiong Sin Hwesio, juga menyuruh ia Khai-
khi-jiu-hiat dan kake k itu lalu memukul kepalanya dan
rupa-rupanya memindahkan sin-kang ke dalam t ubuhnya
sampai gurunya itu sendiri mati" Apakah guru ke dua
inipun bukan hendak melakukan seperti guru pentama tadi"
Ia menggeleng-geleng kepalanya.
"Tidak......... tidak.........jangan,"suhu...." katanya gagap.
'Tiang Bu, twa-s uhumu berlaku betul tepat. Kalau kau
tadi tidak menerima sinkangnya, kiranya sekarang kau
sudah tidak be rnapas lain atau diculik oleh orang jahat.
Twa-suhumu tadi sudah hampir tewas dan takkan dapat
membantu menghadapi orang orang jahat. Se karang pinceng
juga sudah menghadapi pintu kematian, me ngapa pinceng
harus membawa pergi sinkang yang di dunia sana tidak
akan ada gunanya l agi" Tiang Bu, biarpun sekarang ini
sinkang di dalam tubuhmu tidak banyak selisihnya dengan
sinkang di dalam tubuhku, namun sedikit hawa murni yang
selama ini pi nceng latih puluhan tahun, kiranya akan dapat
menambah kekuranganmu. Hayo jangan kau membantah
lagi, ini perintahku. Khai-khi jiu-hiat!"
Tiang Bu berlutut sambil menangis menggerung-gerung
di depan suhunya. "Pesanku terakhir, Tiang Bu. Selama
hidupmu kau tidak boleh membawa-bawa senjata tajam,
juga tidak bolehmembawa-bawa se njata gelap. Kau pergunakan kaki tanganmu untuk melindungi diri dan
segala apa yang berada di dekat mu boleh kau pergunakan
sementara kau memerlukannya. Akan t etapi senjata, itu
pantang benar." Lapat-lapat terdengar suara Tiong-Jin
Hwesio, disusul perintah lagi. "Sekarang, Khai-khi jiu-hiat!"
20 Tiang Bu sang amat patuh akan perintah suhunya, tidak
berani membantah. Dengan hati dan perasaan hancur ia
melakukan perintah suhunya berlutut. Tiong Jin Hwesio
sambil tetap duduk bersila lalu mengangkat tangan kanan
dan seperti dilakukan oleh Tiong Si n Hwesio tadi, ia
memukul kepala muridnya dengan pengerahan se luruh
hawa sinkangnya,yang dipaksa
keluar dari jari-jari tangannya memasuki tubuh muridnya!
Tadi ketika menerima hawa sinkang dari twa-suhunya,
kontan keras Tiang Bu terjungkal dan berkelojotan tak ingat
orang. Akan tetapi sekarang lain lagi ke adaannya. Di dalam
tubuhnya telah mengalir hawa sinkang yang biarpun belum
dapat ia gerakkan secara tepat karena belum terlatih namun
sudah memiliki tenaga otomatis yang me nolak penyerangan
dari luar. Oleh karena itu, biarpun sebagian dari pada tenaga
sinkang yang dilancarkan oleh pukulan Tiong Jin Hwesio
dapat memasuki tubuhnya, namun sebagian pula terpental
kembali membuat Tiong Jin Hwesio te rpelanting roboh dan
tewas di saat itu juga. Ada pun Tiang Bu juga terpental dan
bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, akan tetapi ia
hanya merasa dada dan perutnya panas seperti orang baru
menenggak secawan besar arak keras, ia segera dapat
melompat berdiri dan menubruk suhunya yang ternyata
telah meninggal dunia. Dengan hati sedih dan terharu sekali, Tiang Bu lalu
mengurus jenazah kedua orang suhunya itu, dikuburnya di
tempat yang baik di dekat pondok yang sekarang sudah
padam apinya dan menjadi tumpukan puing. Setelah
berlutut berjam-jam di depan gundukan kuburan kedua
orang suhunya, Tiang Bu ia berdiri dan bagaikan patung ia
memandang mayat orang-orang yang masih malang melintang di tempat itu. Ada tujuh mayat yang
tak dikenalnya siapa orangnya, hatinya gemas karena ia maklum
bahwa tujuh orang itu adalah mayat dari kawan-kawan Liok
21 Kong Ji yang agaknya tewas ketika memperebutkan kit ab-
kitab dengan tokoh tokoh seperti Ang-jiu Mo-li dan Lie Kong.
Akan tetapi, kegemasan itu dikalahkan oleh bisikan hati
nuraninya yang mengumandangkan ajaran-ajaran dua kakek sakti Omei-san tentang pribadi dan kebajikan.
Akhirnya, ia menggali lubang di suatu tempat dan mengubur
mayat-mayat itu secara baik.
Setelah sekali lagi berlutut sampai lama sambil mengheningkan cipta untuk menghormati makam dua orang
suhunya, Tiang Bu lalu turun gunung sambil membawa tiga
buah kitab. Dua kitab dari suhunya tadi adalah Seng-thian-
to (Jalan Naik ke Sorga) dan Thian-to Si keng (K itab Sajak
Bumi Langit). Tiang Bu terheran sendiri mengapa dua kitab
yang judulnya aneh ini dianggap terpenting oleh suhunya.
padahal isi dua kitab Seng-thian to itu adalah petunjuk ilmu
ke batinan dan Thian-te Si-keng terisi sajak-sajak dan syair-
syair melulu. Akan tetapi ini hanya pandangan sepintas lalu saja dan
Tiang Bu belum sempat mempelajari secara mendalam.
Adapun kitab yang dirampasnya dari Giam-lo-ong Ci Kui tadi
berjudul Kiang- liong-kun-hoat (lImu Silat Naga Tangguh).
Demikianlah, sambil membawa tiga buah kitab ini Tiang
Bu mulai turun gunung menempuh jalan hidup baru. Cita-
citanya, pertama-tama hendak mencari Wan Sin Hong untuk
bertanya tentang rahasia hidupnya.
Ia akan bertanya secara baik-baik atau memaksa.
Pcndeknya. Wan Sin Hong harus bicara terus terang
kepadanya siapa sebenarnya ayah bundanya dan me ngapa
orang yang bernama Liok K ong Ji itu mengaku-aku sebagai
ayahnya. Selagi ia berjalan perlahan menuruni
puncak ia mendengar suara orang batuk-batuk. Tiang Bu memang
tidak menggunakan ilmu lari cepat karena sesungguhnya
hatinya berat sekali meninggalkan puncak Omei-San dimana
22 ia telah ti nggal lima enam tahun lamanya. Cepat ia
menengok dan kelihatanlah tubuh gemuk bulat menggelinding keluar dari balik batu karang. Agaknya Hwa
Thian Hwes io yang bertubuh gendut itu tadi telah melepaskan lelah di balik batu karang. Wajah yang gemuk
itu tersenyum lebar ketika ia melihat Tiang Bu.
"Eh, kiranya siauwhiap. Hendak ke manakah" Harap
sebelum pergi kau suka menolong pinceng lebih dulu."
"Losuhu, kau berada di puncak Omei-san ada perlu
apakah?" tiba-tiba Tiang Bu bertanya penuh curiga. Semenjak datang orang-orang yang telah mendatangkan
mala petaka hatinya selalu curiga kepada siapapun juga.
"Pinceng sengaja datang untuk menghadap Jiwi locianpwe di puncak Omei-san. Bukan saja karena pinceng
sudah lama kagum sekali kepada Jiwi-locianpwe itu, juga
kedatangan pinceng ini diutus oleh Pangeran Wanyen Ci -Lun
di kota raja, ke rajaan Kin di utara. K u lihat siauw-sicu ini tentulah murid dari Jiwi locianpwe di sini, maka mohon
sudilah siauw-hiap melapor kan kedatangan pinceng untuk
menghadap." Tiang Bu memandang tajam, keningnya berkerut. Kalau
ia tidak salah ingat, yang bernama Pange ran Wanyen Ci Lun
adalah Pangeran di Negara Kin yang mukan ya hampir s ama
dengan Wan Sin Hong dan yang pernah menolongnya dari
serangan Pak-kek Sam kui dahulu. Apakah niat pangeran
itu mengutus seorang hwesio mene mui kedua orang gurunya
"Losuhu hendak menghadap dua orang guruku" Bole h, mari
ikut !' pemuda cilik ini membalikkan tubuh dan berjalan
naik ke puncak lagi. Dengan wajah tersenyum lebar Hwa
Thi an Hwesio mengulur langkah mengikuti Tiang Bu.
Akan tetapi alangkah heran hati hwesio itu ketika Tiang
Bu mengajaknya berhenti di depan dua makam yang masih
amat baru yang berada di dekat tumpukan puing.
23 "Losuhu. kau sudah menghadap kedua guruku. Lekas
kauberitahukan apa maksud kedatanganmu dan apa kehendakmu datang ka tempat ini."
"Omitohud ...... jadi..... jadi jiwi locianpwe te lah.........
telah meninggal dunia...... "' katanya gagap.
"Akan t etapi kau sudah kubawa menghadap, Biarpun
dua orang guruku sudah meninggal dunia, namun ada aku
wakilnya yang dapat mendengar apa maksud kedatanganmu
!" kata Tiang Bu suaranya keren.
Hwesio gendut itu melirik ke arah Tiang Bu, kagum dan
juga heran. Melihat betapa bocah berusia tiga empat belas
tahun itu bersikap gagah biarpun pakaiannya robek-robek
dan dandanannya sederhana sekali, benar-benar ia merasa
kagum. Apalagi sepasang mata bocah itu yang membuat


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hwa Thian Hwesio diam-diam berpikir bahwa anak ini kelak
akan lebih hebat dari Wan Sin Hong pendekar yang ia
kagumi. "Hayo katakan apa maksud kedatangan di depan makam
suhu-suhuku, kalau tidak akan berubah pandanganku
kepadamu, losuhu. Tadinya kau kuanggap satu-s atunya di
antara orang yang baru-baru ini banyak datang ke sini,
satu-satunya yang dapat dipercaya dan bukan maling kitab.
Akan tetapi kalau kau tidak mau mengaku apa maksud
kedatargan mungkin akan berubah pandarganku itu."
Hwa Thian Hwesio mcnarik napas panjang. Lebih dulu i a
memberi hormat di depan d makam itu, lalu ia menghadapi
Tiang Bu. "Siauw-sicu, ketahuilah bahwa pinceng adalah utusan
Pangeran Wanyen Ci Lun. Pincen disuruh menghadap Jiwi
locianpwe di Omei-san untuk mohon bantuan mereka. Pada
waktu ini, Negara kita di utara sedang terancam bahaya
besar, bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang dirajai oleh
Temu Cin dan dibantu oleh orang-orang pandai dan jahat
seperti Liok Kong Ji, Pak-kek Sam kui, dan lain-lain. Oleh
24 karena itu demi menjaga keselamatan rakyat apabila bangsa
Mongol menyerbu, Pangeran Wanyen Ci Lun atas nama
kaisar Kerajaan mohon bantuan Jiwi-locianpwe di sini. Sudi
kiranya untuk sementara tinggal di istana dan melatih ilmu
silat kepada panglima-panglima Kerajaan Kin. De mikianlah
tugas pinceng, tidak tahunya Jiwi locianpwe meninggal
dunia." Tiang Bu mengerutkan kening. Ia tidak begitu tahu
tentang keadaan kerajaan dan negara juga tidak perduli.
Akan tetapi dise butnya Liok Kong Ji sebagai pe mbantu
kaisar bangsa Mongol mengingatkan dia akim pengalaman-
pengalamannya ketika dahulu i a dibawa melalui perbatasan
utara ke daerah orang Mongol oleh Pak-kek Sam-kui.
Hatinya makin timbul kebenciannya tcrhadap orang yang
bernama Liok Kong Ji itu. Inilah se rangan macamnya orang
yang oleh suhunya dianggap penghianat baugsa, pcnjahat
yang paling rendah di permukaan bumi. Tiong Sin Hwesio
dahulu pernah berkata kepadanya bahwa penjahat yang
paling hina dina dan harus dibasmi di dunia ini adalah
Penghianat bangsa itu orang yang membantu musuh negara
serta orang semacam Liok Korg Ji.
Kong Ji seorang bangs a Han, mengapa membantu bangsa
Mongol musuh negara" Getir dan pahit rasa hati Tiang Bu
kalau ia ingat akan kemungkinan bahwa orang macam ini
menjadi ayahnya. "Kedatanganmu percuma saja, losuhu." jawabnya. suaranya dingin. "Andaikata kedua orang suhuku masih
hidup. juga takkan ada gunanya. Di waktu hidupnya, kedua
orang guruku adalah orang-orang yang menyucikan diri,
tidak mau memusingkan urusan dunia bagaimana beliau
dapat diajak ke istana kaisar " Pula, kedua orang guruku
patriot-patriot sejati, bagaimana bisa diajak membantu
Kerajaan Kin " Tidak, kedatanganmu s ia-sia belaka, losuhu."
Biarpun orangnya suka melawak dan tingkah lakunya
kadang-kadang lucu. Hwa Thian Hwesio adalah seorang
25 yang cerdik. Ia, dapat menduga bahwa satu-satunya orang
yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari dua orang
kakek sakti di Omei-sun hanyalah bocah ini.
"Siauw-sicu, salah duga. Biarpun daerah utara dipimpin
oleh Kerajaan Kin, namun mereka itu tidak ada bedanya
dengan kita orang-orang Han. Buktinya, banyak orang-orang
pandai seperti W an -sicu dan lain-lain membantu Kerajaan
Kin Bahkan Ang-jiu Sian li juga membantu menjadi guru di
sana. Sedangkan orang-orang Mongol merupakan pengaruh
asing yang hendak menjajah kita dan pasti rakyat akan
menderita kalau mereka sampai menyerbu ke selatan, maka
membantu memperkuat kedudukan Kerajaan Kin di perbatasan utara sama halnya dengan membantu negara
dan menyelamatkan rakyat, kewajiban utama bagi para
patriot. Oleh karena itu, s auw-sicu sendiri tentu saja sebagai seorang patriot muda, sudah berkewajiban untuk membela
rakyat Han yang tinggal di utara dan terancam maut di
tangan para serdadu Mongol."
Hati Tiang Bu tergerak. "Bagaimana nanti sajalah. Toh
sekarang orang-orang Mongol belum me nyerbu dan pula
orang seperti aku ini yang bodoh dan tidak tahu apa.apa,
sungguh bingung memikirkan tentang perang dan sebagainya. Aku masih mempunyai banyak tugas dari
mendiang suhu-suhuku untuk kulaksanakan.
'Memang kau belum mengerti tentang semua itu, siauw
sicu. Sayang sekali Wan sicu telah pergi, kalau tidak tentu
dia dapat menjelaskan kepadamu. Ah, entah bagaimana
dengan nasib, Wan.sicu tadi. ..... "
Kata-kata tentang Wan Sin Hong yang tak dise ngaja ini
menarik hati Tiang Bu. Memang ia sedang mencari Wan Sin
Hong dan tidak tahu harus mencari di mana.
"Di manakah adanya Wan Sin Hong?" tanyanya sambil
lalu. akan tetapi se betulnya penuh perhatian. Memang Tiang
Bu biar masih kecil sudah memiliki kecerdikan.
26 "Entah di mana. Tadi pinceng melihat bertempur dengan
Toat-beng Kui-bo nenek mengerikan itu. Kemudi an nenek
itupun menyerbu gudang kitab dan me ncuri sebuah kitab,
tetapi dikejar dan diserang oleh Wan-sicu yang hendak
memaksa nenek itu mengembalikan isterinya yang dirampas
oleh nenek dari tangan Liok Kong Ji. Akan tetapi agaknya
Wan-sicu biarpun lihai sekali belum dapat menangkan
nenek itu. Akhirnya pince ng yang bersembunyi di balik batu
karang, melihat nenek itu melari kan diri cepat sekali sambil berseru kepada Wan-sicu bahwa kalau Wan-sicu hendak
mencari isterinya, supaya menyusulnya ke Ban-mo tong
(Gua Selaksa Iblis) di tepI pantai Laut Selatan."
"Lalu bagaimana ?" tanya Tiang Bu, kini amat tertarik.
"Nenek itu lari cepat sekali, dikejar-kejar oleh Wan-
bengcu. Entah bagaimana jadinya. Akan tetapi melihat
gerakan nenek itu, pinceng menduga kiranya Wan-bengcu
takkan dapat menyusulnya."
Tiang Bu diam tejenak berpikir.
"Losuhu yang baik, kelak kalau sudah selesai tugasku
tentu kita akan bertemu lagi di kota raja Kerajaan Kin. Kita
sama lihat saja kelak, apakah aku perlu membantumu.
Sekarang bolehkah aku be rtanya di mana adanya Ban mo-
tong itu ?" 'Siauw-si-cu hendak menyus ul ke sana ?" tanya hwesio
itu membelalakkan mata. Tiang Bu mengangguk. 'Dia
membawa kitab, aku harus memintanya kembali," katanya
dingin. Hwa Thian Hwesio menggerak gerakkan kepala yang
bundar itu ke atas ke bawah beberapa kali. "Siauw-sicu
pandai, memang baik berbakti kepada guru biarpun guru
sudah meninggal dunia. Siauw-sicu pergilah ke selatan, ke
Propinsi Kiangsi yang berbatasan dengan Hokki an, carilah
Pegunungan Wu-yi-san dan Tai-yun-san dan di antara dua
pegunungan itu pergilah terus ke selatan sampai bertemu
27 dengan laut. Di dae rah situlah kalau tidak salah letaknya
Ban-mo-tong. Akan tetapi harap siauw-sicu berhati-hati
karena daerah itu amat berbahaya."
Tiang Bu menghaturkan terima kasih lalu cepat mempergunakan kepandaiannya, dalam sekejap mata saja ia
lenyap dari depan Hwa Thian Hwesio yang berdiri melongo.
Ginkang bocah itu malah lebih hebat dari Wan-bengcu
pikirnya. Kemudian iapun turun gunung.
Pagunungan Wu-yi-san da Tai-yun-san terletak di bagian
paling selatan dari daratan Tiongkok yang luas. Untuk
mencapai daerah ini, Tiang Bu telah melalui perjalanan
beberapa bulan lamanya menjelajah daerah-daerah yang
amat as ing baginya. menempuh bahaya- bahaya besar dalam
perjalanan. Akan tetapi berkat kepandaiannya yang tinggi
dan kekuatan tubuhnya yang luar biasa semua rintangan
dapat diatasinya dan pada suatu hari kelihatan pemuda cilik
ini dengan tenangnya berjalan masuk hutan keluar hutan
yang tumbuh di lereng gunung di antara Pegunungan Wu-
yin-san dan Tai-yun-san itu.
Biarpun usia Tiang Bu baru kurang lebih empat atau
lima belas tahun, namun be nar-benar mengherankan sekali,
setelah ia mewarisi sinkang yang hebat dari dua orang
suhunya, tubuhnya mengalami perubahan cepat. Pertumbuhan badannya mengagetkan sekali, membuat ia
dalam usia itu kelihatan seperti seorang laki-laki dewasa.
Bahkan wajahnya yang membayangkan kejujuran itu kelihatan "matang" hilang sifat kekanak- kanakannya. Tiang Bu
memang rajin bukan main. Selama melakukan perjalanan, tiada hentinya ia membuka-buka tiga buah kitab
yang di bawanya untuk dipelajari. Kitab yang mengandung
pelajaran silat Kiang liong-kun-hwat dibuka-buka sebentar
saja karena Ilmu Silat Naga Tangguh yang termuat di situ
tidak begitu berarti baginya. Dia telah pula mempelajari
ilmu-ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada Kiang liong-
kun-hwat ini dari dua orang suhunya. Akan tetapi dua kitab
28 lainnya yangtadinya sukar ia mengerti dan yang mengherankan hatinya mengapa justru dua kitab ini yang
dibela mati-matian oleh suhunya, sekarang amat me narik
hatinya. Setelah ia teliti secara mendalam, ia menjadi girang bukan main karena ilmu-ilmu yang luar biasa sekali
bersembunyi di dalam dua kitab ini. Kitab Seng-thi an to
(Jalan Naik ke Surga) mengandung pelajaran samadhi
tingkat tertinggi . Biasanya, pelajaran siulian atau samadhi
sudah mencapai tingkat paling tinggi apabila orang dapat
mengheningkan cipta mengumpulkan segala panca-indra
sampai lupa diri atau yang disebut "mati dalam hidup" atau
"tidur dalam kesadaran". Akan te tapi ilmu Seng thian- to ini mengajar cara bersamadhi lebih tinggi lagi sehingga orang
mencapai persatuan dengan jalannyapernapasan
dan peredaran darah. Apabila ilmu ini sudah dilatih baik-baik,
maka orang itu akan dapat mengikuti dan menguasai
jalannya pernapasan dan darah di dalam tubub dan ini
merupa sinkang yang tertinggi juga khikang yang tak dapat
diukur lagi tingkatnya karena orangakan dapat mempergunakan hawa di dalam tubuh sesuka hatinya.
Dengan kekuatan hawa ini orang akan dapat nembikin
semua bagian tubuh menjadi kebal, karena tidak ada
kekuatan dan ke kerasan di dunia ini yang dapat melebihi
hawa. Adapun kitab yang ke dua, yaitu Thian-te Sikeng (Kitab
Sejak Bumi Langit) itu biarpun kalau dibuka lembarannya
hanya akan berisi sajak dan syair melulu, namun di situ
tercakup rahasia alam tentang bumi dan langit. Inilah sari
pelajaran yang tidak saja membuka rahasia tentang Im dan
Yang, termasuk sifat dan kekuatan Ngo heng yang menjadi
lima sifat bumi -langit. Setiap sajak yang termuat dalam Thian-te Sike ng ini
dengan sendirinya merupakan semacam imbangan yang
dapat dirangkaikan menjadi semacam ilmu silat yattg luar
biasa. Tiang Bu yang memiliki kecerdikan luar biasa tentu
29 saja segera dapat membentuk atau mencipta bermacam-
macam ilmu silat dari pada sajak-sajak ini. Tentu saja ia
menjadi girang luar biasa dan kemajuan ilmu kepandaiannya meningkat secara kilat.
Selagi Tiang Bu berlari-lari keluar dari hutan untuk
memasuki hutan berikutnya yang amat besar, tiba-tiba ia
mendengar suara keras orang menebang pohon. Suara orang
menebang pohon bukanlah ane h, karena kiranya setiap
orang tentu sudah pernah mendengar bunyi

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kapak membacok batang pohon yang berbunyi "crok, crok, crok
........" dengan irama me nentu dan tiada he nti hentinya.
Akan tatapi pendengaran Tiang Bu sudah menjadi luar biasa
sekali setelah ia melatih diri dengan ilmu Se ng-thian-to,
maka ia mendengar sesuatu yang tidak sewajarnya dengan
penebangan ini. Saking tertarik, ia menghent ikan larinya
dan mendengarkan lebi h teliti.
"Crok crak-cruk?". bruuuukk......... !" demikian te rde ngar suara jauh di sebelah kirinya. Belum juga habis
gema suara ini, terutama suara terakhi r yang diikuti oleh
getaran tanah, tahu-tahu di sebelah belakangnya sudah
terde ngar lagi, "Crok-crak- cruk ............... bruuuk ......... !"
Cepat Tiang Bu menengok ke belakang dan,...... eh,.........
lagi-lagi terdengar suara yang sama, kini dari sebelah
kanannya. "Crok-cruk......cruk ... bruuuuk......... !"
"Hebat," pikirnya sambil cepat -cepat mempergunakun ginkangnya me lompat ke kanan, ke arah suara terakhir itu.
Mana ada cara menebang pohon secepat itu"
Ketika mengejar ke kanan tadi Tiang Bu sudah mempergunaken ilmunya yang hebat yaitu Liap-in-sut (Ilmu
Mengejar Awan), ce patnya bukan main. Akan tetapi tetap
saja terlambat karena ketika ia tiba di tempat suara tadi, ia hanya melihat se batang pohon siong besar sekali telah
tumbang dan melihat daun-daunnya masih bergoyang-
goyang menandakan bahwa pohon itu baru saja tumbang.
Dan saat itu, jauh di depan sudah mulai lagi terdengar suara
30 yang sama, suara orang menebang pohon besar hanya
dengan tiga kali bacokan.
'Hebat!' Tanpa membuang waktu lagi Tiang Bu melompat,
kali ini ia menggunakan ilmunya melompat, yang disebut
Sam-teng-jig thian (Tipa Kali Lari Melompat Memasuki
Langit)! Ilmu ini luar biasa hebatnya sehingga tubuh pemuda
itu lenyap dan tak dapat diikuti lagi dengan pandangan mata
saking cepatnya gerakannya. Satu kali lompatan ia bisa
mencapai jarak belasan sampai dua puluh tombak.
Kali ini Tiang Bu tidak terlambat dan dapat melihat
seorang laki berusia kurang lebih empat puluh tahun sedang
menebang pohon besar. Laki-laki ini hebat sekali. Tubutnya
tinggi besar, jenggot dan kumis pendek kasar, mukanya segi
empat, dan telinganya lebar. Karena ia bekerja dengan tubuh
atas telanjang, nampak dadanya yang bidang peruh otot-otot
besar. Demikian pula sepasang lengannya penuh otot-otot
yang melingkar, celananya sampai sebatas lutut, berwarna
hitam. Kapak yang dipergunakan juga luar biasa. Besar dan
matanya lebar, tajam bukan
kepalang tajam sampai gemerlapan terkena sinar matahari. Orang itu bekerja
dengan tubuh penuh peluh. Dengan ge rakan tegap, kapak
diayun ke arah batang pohon siong yang besarnya dua kali
tubuh orang. "Crok-crak cruk......... " Tiga kali ayunan saja batang pohon itu roboh dan
tumbang, mengeluarkan suara
''brukkk......... ! " dan tergetarlah pohon-pohon di sekelilingnya. Begitu pohon itu roboh, orang itu lalu berlari cepat sekali
ke depan, kepalanya menengok ke kanan kiri memilih pohon
lain. Begitu mendapatkan pohon yang dike hendaki, ia
berhenti dan kembali mengayun kapaknya !
"Sahabat gagah, harap berhenti dulu. Siauwte
ingin bicara ...... .!" Tiang Bu cepat melompat mengejar dan
mengangkat tangan mengajak bicara, Akan tetapi orang itu
mengerlingpun tidak, terus
melanjutkan pekerjaannya,
31 mengayun kapaknya. Tiang Bu memperhatikan. Kapak itu
mula-mula menghantam dari kanan agak miring atau
menyerong dari atas ke bawah, lalu ayunan kedua kali dari
kiri ke kanan kemudian yang ke tiga kalinya kembali dari
kanan, akan tetapi kali ini gerakannya lurus me nabas. Dan
kembali sebatang pohon baru tumbang. Kemudian orang itu
lari lagi. "Hee, sahabat tukang kayu ! Be rhenti dulu sebentar !'
Kembali Tiang Bu berseru keras. Namun orang itu tetap
tidak perduli, terus saja lari ke depan sambil memili h pohon dengan pandang matanya kemudian berdi ri de kat pohon
yang terpilih dan mengayun kapak.
"Sahabat baik, siauwte Tiang Bu mohon bicara sebentar......... !" kata Tiang Bu lagi, ia berdiri di depan orang tinggi besar ini. Namun ia dianggap seperti lalat saja oleh
orang luar biasa itu. Tiang Bu mendongkol. Terlalu memandang rendah orang
ini, pikirnya. Aku harus memperlihatkan sedikit kepandaian.
Tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu menggunakan ginkangnya
melompat ke atas menyambar ujung cabang yang cukup
besar dari pohon yang ditebang itu, dan duduklah Tiang Bu
di dalam pohon yang berdekatan sambil memegangi cabang
pohon yang ditebang. Pe muda ini t adi sudah memperhatikan
betapa pohon yang ditebang oleh penebang aneh itu,
robohnya ke kiri, oleh karena itu ia sengaja duduk di atas
pohon se belah kanan pohon yang ditebang itu.
"Crok-crak crok "..! Tiga kali ayunan dahsyat itu
dilakukan dan batang pohon yang besar itu telah terbacok
dalam sekali dan hanya tinggal sedikit hati kayu saja yang
masih menahan. Biasanya sedikit tahanan ini tid ak kuat
menahan batang itu berdiri dan tentu segera tumbang akan
tetapi kali ini tidak demikian. Barang pobon yang sudah
kena sambaran kapak sampai tiga kali itu tidak roboh.Masih
be rdiri tegak bagaikan raksasa yang tidak merasakan
hantaman kapak. 32 Penebang kayu itu mengerutkan keningnya yang le bar, mengusap muka yang penuh peluh itu, lalu memandang ke atas. Segera ia dapat melihat seorang pemuda tegap, berhidung pesek berbibir tebal dan berkulit
hitam sedang duduk di atas cabang pohon yang berdekatan sambil meme- gangi ujung cabang pohon yang ditebangnya! Pantas saja pohon ini tak
mau roboh, pikirnya, kiranya ada orang yang sengaja menahan dengan memegang cabangnya. Dengan tak acuh penebang pohon itu mendupak pohon di
depannya. Pohon berguncang keras, namun tetap tidak
tumbang! Mulailah penebang pohon itu menaruh se dikit perhatian
kepada Tiang Bu. Ia maklum bahwa untuk menahan
sebatang pohon roboh dengan memegangi cabangnya saja
bukanlah pekerjaan sukar, karena memang daya berat
pohon itu berada di bawah, di atasnya ringan sekali. Seorang
bocah saja kiranya akan mampu melakukan hal itu. Akan
tetapi tadi ia sudah mendorong pohon dengan kakinya dan
bocah di atas itu sanggup mempertahankan, tentu memiliki
sedikit tenaga. "Monyet cari perkara,. rasakanlah!" Tiba-tba penebang
pohon itu berkata dengan suaranya yang keras dan tiba-tiba
ia menendang pohon itu bukan ke kiri, melainkan ke kanan!
Ia sengaja membalik arah robohnya pohon sehingga bagi
33 pemuda itu tidak ada jalan lain lagi untuk menahan, bahkan
akan tartimpa oleh pohon itu !
Akan tetapi, aneh di atas ane h, pohon yang didupak oleh
kakinya yang sedikitnya bertenaga lima ratus kati itu, tetap
saja tidak roboh sungguhpun sudah bergoyang-goyang dan
daunnya pada rontok! Kali ini penebang kayu itu tertegun
sejenak. Menarik cabang untuk menahan robohnya pohon
bukan hal mengherankan akan te tapi menahan robohnya
pohon ke arahnya dengan jalan mendorong cabang itu,
benar benar mustahil ! Namun benar-benar telah dilakukan
oleh pe muda itu. "Anak muda, turunlah. Kau cukup berharga untuk orang
meninggalkan pekerjaannya dan melayanimu."
"Ha, akhirnya kau mau juga bicara, lopek !" seru Tiang Bu dengan girang dan sekarang pcmuda ini me lepaskan
pegangannya pada ujung cabang sambilmelompat
ke bawah, pohon itupun tumbanglah, menerbitkan suara hi ruk
pikuk. Dengan gerakan ringan Tiang Bu melayang ke depan
penebang pohon itu dan ia sudah menjura dengan hormat
sebelum penebang itu hilang kaget dan herannya menyaksikan cara Tiang Bu melayang turun benar-benar
merupakan gerakan yang jarang ia jumpai. Pemuda itu tadi
telah melayang diantara cabang-cabang dan ranting-ranting
pohon raksasa yang sedang tumbang menimpanya, benar-
benar gesit melebihi seekor burung kecil.
Penebang kayu itu memandang kepada Tiang Bu dengan
tajam dan penuh perhatian peluhnya deleweran dari leher
dan dadanya. Kemudian ia berkata.
"Kau yang semuda ini sudah me miliki tenaga luar biasa,
siapakah kau dan mengapa kau mengganggu pekerjaanku ?"
Sambil tersenyum ramah dan bersikap hormat- Tiang Bu
menjawab, "Harap maafkan lopek. Aku Tiang Bu dan bukan
maksud mengganggu pekerjaan lopek. Aku merasa amat
tertarik dan kagum sekali menyaksikan cara lopek 34 menebang kayu yang menunjukkan bahwa lopek adalah
seorang be rilmu tinggi. Mohon tanya siapakah nama lopek
yang terhormat dan mengapa lopek menebangi kayu-kayu
pohon yang besar besar ini ?"
Penebang itu menggerak-gerakkan alisnya yang hitam
dan tebal. "Hemm, apa sih anehnya menebang kayu, dan
lebih-lebih lagi apa sih anehnya seorang penebang kayu "
Kerjaku menebangi kayu-kayu yang tua dan dan baik,
kukapak menjadi kayu-kayu balok dan kujual kepada
pe dagang kayu. Apa anehnya dalam hal itu" Kaubilang aku
memiliki kepandaian luar biasa dan berilmu, tentu saja.
Kepandaianku ialah menebang kayu dan ilmuku tentu saja
cara mempergunakan kapak menumbangkan pohon. Apa
anehnya dalam hal ini" Orang muda jadikanlah hal ini
sebagai pegangan olehmu bahwa di dunia ini memang
terdapat banyak sekali macam ilmu, se tiap orang lain lagi
ilmunya. Ilmu apakah yang boleh dibanggakan" Kau boleh
memiliki lweekang dan ginkang istimewa, akan tetapi dalam
hal menebang kayu, kiranya kau harus belajar dulu
kepadaku! Juga terhadap ahli silat lain seperti aku ini, kau
tentu akan kalah. Apa anehnya dalam hal itu " Seorang ahli
tentu saja mudah mengerjakan pekerjaan keahliannya, ini
sudah lumrah." Tiang Bu menjura dengan lebih hormat setelah mendengar kata-kata ini. Ia tahu bahwa di balik kesederhanaan gerak-gcrik

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kata-katanya ini, ia berhadapan dengan seorang yang pandai. "Lopek, hari ini
aku Tiang Bu yang muda dan bodoh telah be rtemu dengun
lopek dan menerima pelajaran, sungguh merupakan hari
yang amat beruntung bagiku. Mohon tanya namamu yang
mulia agar tak mudah kulupakan."
"Eh, orang muda, apakah tadi kau me nghentikan
pekerjaanku hanya untuk bertanya nama belaka ?" tiba-tiba orang itu membentak kelihatan marah.
35 Diam-diam Tiang Bu merasa terkejut akan sikap orang
yang amat aneh. Tak disangkanya bahwa di bagian selatan,
di tempat yang sunyi ini terdapat orang seaneh ini. Ia tidak
berani membohong dan segera berkata terus terang.
"Sesungguhnya, lopek. Selain meras a tertarik dan kagum
sehingga aku ingin sekali mengenal dan me ngetahui nama
lopek, juga ada sedikit urusan yang ingin aku mendapat
bantuanmu. Aku sedang mencari pantai di mana terdapat
gua-gua yang disebut Ban-mo-to. Dapatkah kau menunjukkan di mana tempat itu dan jalan mana yang
harus kuambil untuk menuju ke sana ?"
Tiba-tiba orang itu memandang dengan mata terbelalak
dan mulut ternganga, untuk se mentara tak dapat menjawab.
"Kau....... kau hendak pergi ke Ban mo-tong......... ?"
akhirnya ia dapat bertanya gagap. Tiang Bu mengangguk
dan pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Thia thia ( ayah ), mengapa kau berhenti menebang "'
Suara ini nyaring sekali dan tak lama kemudian dari selatan
datang berlari-lari seorang gadis berpakaian serba hijau.
Gadis ini cepat sekali larinya, pakaiannya berkibar ketika ia lari membuat ia kelihatan seperti seekor kupu besar.
Tangannya memegang sepasang kapak kecil di kanan kiri
dan tiap kali ia tiba di dekat pohon yang sudah ditumbangkan oleh ayahnya, ia menggerakkan kedua kapak
itu cepat sekali dan tubuhnya melompat ke sana ke mari di
sekitar pohon itu. Gerakannya tangkas dan ge sit seperti burung walet
menyambar-nyambar, dan sebentar saja pohon yang telah
tumbang itu telah digunduli, semua cabang dan ranting
berikut daun-daunnya telah habis dibacok kapak, tinggal
batang pohonnya saja yang kini telah merupakan balok
besar panjang. Kalau cara mane bang pohon dari perebang
tadi sudah luar biasa, maka cara membersihkan cabang
ranting dan daun ini tidak kalah hebatnya. Pekerjaan yang
kiranya oleh dua orang laki-laki biasa akan dilakukan
36 setengah hari, oleh gadis baju hijau itu hanya dilakukan
dalam be berapa menit saja !
Setelah memandang ke arah puterinya yang bekerja itu
dengan puas dan mulut tersenyum si pene bang pohon lalu
menjawab pertanyaan tadi.
"Pemuda ini yang menghentikan pekerj aanku. Kau ke
sinilah, Fei Lan !" Karena pohon yang ditebang oleh ayahnya sudab
dibe rsihkanya semua, gadis itu lalu berlari -lari ke tempat
ayahnya. Dari jauh ia sudah memandang ke arah Tiang Bu
dengan penuh perhatian. Akan terapi setelah tiba di situ ia
membuang muka dan berkata kepada ayahnya:
"Ayah, bocah seperti ini bagaimana sampai bisa menghentikan pekerjaanmu?" Memang sudah sepatutnya
kalau Fei Lan terheran-heran karena ia tahu betul bahwa
biasanya kalau ayahnya sudah mulai bekerja jangankan
manusia, biarpun alam yang mendatangkan hujan angin
besar, tidak mampu menghentikan ayahnya dan pe kerjaannya. Bagaimana sekarang seorang manusia biasa
saja dapat melakukan hal itu"
"A-Lan, jangan kau memandang ringan kepadanya," kata
penebang pohon itu sambil tersenyum penuh arti, "semuda
ini ia telah memiliki kepandaian tinggi. Kiranya inilah orang yang kaunanti-nantikan. Kalau kau setuju hemmm ?"..
aku akan girang sekali menjadi mertuanya !"
Mendengar ucapan ayahnya, sepasang pipi gadis itu
menjadi merah sekali. Namun dengan tabah ia memutar
tubuh menghadapi Tiang Bu dan sepasang matanya memandangi pemuda itu dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. Terdengar ia menarik napas panjang lalu berkata,
"Hemmm, kau tak dapat dikatakan tampan ........."
Tiang Bu sejak tadi sudah me mperhatikan gadis baju
hijau yang berdiri tegak di depannya itu. Gadis ini usianya
37 tentu tak kurang dari delapan belas tahun, tubuhnya
berbentuk indah, ramping dan berisi seperti biasa be ntuk
tubuh gadis gunung yang biasa bekerja berat.
Kulit tangan dan leher yang tidak tertutup pakaian
nampak tidak begitu putih kare na setiap hari tetbakar
matahari, namun kelihatan kulit yang halus kecuali di
telapak tangan yang sudah biasa bertemu dengan gagang
kapak. Kedua kakinya biasa, tidak kecil seperti kaki wanita
yang dibungkus semenj ak lahir. Rambutnya panjang dan
hitam sekali, digelung ke atas secara sederhena dan diikat
dengan tali rambut warna hi jau pula. Wajah gadis itu cantik
dan manis, sayang s ekali matanya tidak lembut seperti
ke banyakan gadis cantik, keras dan membayangkan kegalakan dan kesombongan.
"Me mang aku buruk, akan tetapi kau cantik, cici ...... "
kata-kata ini terlepas dari mulut Tian Bu begitu saja, sama
sekali tidak mengandung maksud kurang ajar atau kagum
melainkan untuk menyatakan bahwa ia tidak sakit hati
disebut tidak tampan. Adapun puji annya bahwa gadis itu
cantik memang sewajarnya. Tiang Bu masib belum cukup
dewasa untuk merasa sungkan memuji kecantikan seorang
gadis yang baru dilihatnya begitu saj a.
Anehnya, mendengar kata-kata Tiang Bu seketika sinar
mata yang keras galak untuk beberapa detik melembut dan
pada bibir yang merah sewajarnya itu terbayang senyum
bangga. Pandang mata Tiang Bu amat tajam dan ia dapat
menangkap semua ini tanpa mengerti sebab-sebabnya. Ia
belum tahu bahwa wanita manapun juga, kanak-kanak,
muda maupun nenek nenek, selalu akan me rasa senang
kalau dipuji cantik. "Memang dia kurang tampan, A-Lan. Akan tetapi
perhatikan baik-baik sepasang matanya lihat alisnya. Mata
yang seperti bintang dengan alis yang seperti golok itu cukup jelas me mbayangkan kegagahannya. Air mukanya segi
empat, daun telinga lebar, hidung pesek dan bibir tebal.
38 Lihat, apakah dia tidak berwajah toapan (wajah yang
mulia)?" kata penebang pohon dengan wajah berseri. "Pilihan yang baik sekali, Fei Lan........."
"Apakah dia lebih kuat daripada pohon siong ayah ?"
Pohon siong adalah nama pahon yang setiap hari "dikerjakan" oleh gadis itu dan ayahnya. karenanya dianggap lemah. Kalau pemuda ini lebih kuat dari pada pohon siong,
berarti lebih tangguh dari pada dirinya sendiri.
"Kaucobalah," ayahnya menganjuri.
Tiba-tiba pandang mata gadis itu berubah keras ketika ia
menatap wajah Tiang Bu. "Awas, lihat kapakku!" teriaknya dan pada saat itu juga ia menerjang maju dengan kapak di
kedua tangannya diayun cepat sekali, yang kiri menyambar
leher yang kanan menyambar pundak Tiang Bu! Gerakannya
kuat dan cepat seperti ketika ia "menjerbu" pohon yang telah dite bang ayahnya tadi, maka kalau serangannya berhasil,
tentu dalam sesaat saja le her dan pundak akan terbabat
putus! Tiang Bu kaget sekali karena tidak menduga bahwa
dirinya akan diserang hebat. Namun serangan itu baginya
tidak berarti, dan dengan gerakan lambat saja ia dapat
menghindarkan diri sehingga dua kapak itu menghantam
angin. Akan te tapi, cepat seperti kilat sepasang kapak itu
telah menyambar lagi, yang kiri mengapak hidung yang
kanan menyambar perut. Cepat sekali datangnya dua
serangan ini sehingga kalau Tiang Bu tidak dapat bergerak
cepat, hidungnya akan makin pendek lagi dan perutnya
akan ambrol ! "Hayaaaa.........! Galak amat ...... .!!" seru Tiang Bu sambil menggeser kaki miringkan muka dan dua tangannya
bergerak maju. Tahu-tahu sepasang kapak telah pindah ke
dalam tangannya tanpa si gadis tahu bagai mana cara lawan
merampasnya. Untuk sejenak Fei Lan tertegun dun berdiri
seperti patung. "Sulap ......... ! Sihir.........!!" bisiknya, akan tetapi segera disambungnya marah. "Hidung pesek, aku masih belum
39 kalah, belum roboh." Cepat ia menyerang maju, kini
mempergunakan dua tangannya yang tak kalah lihainya oleh
sepasang kapak tadi. Sambaran kedua tangannya mendatangkan angin pukulan yang cukup dahsyat dan
kiranya takkandapat ditahan oleh tukang-tukang silat
biasa. "Aduh galaknya ...... " Dian-diam Tiang Bu mengeluh. Ia
memang tadi sengaja hanya merampas kapak, tentu saja ia
merasa sungkan untuk me njatuhkan gadis orang, apalagi
karena di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.
Cepat ia melempar sepasang kapak ke kiri dan kapak itu
melayang lalu menancap di atas tanah berjajar rapi,
kemudian me nghadapi serangan gadis itu dengan tenang.
Dengan langkah Sam-hoan Sam- bu. mudah saja ia
mengelak dari serangan-serangan Fei Lan yang bertubi-tubi
datangnya. Kemudian Tiang Bu membuat gerakan mengulet,
pinggangnya melengkung ke kiri, lalu dengan cepat jari
telunjuknya bekerja. "Catt!" Dengan cepat sekali jalan darah tai-wi-hiat telah kena ditotok dan ......... tubuh gadis itu menjadi kaku dalam keadaan kedua tangan sedang ditarik ke belakang, dada
membusung ke depan dan kedua kaki setengah berlutut,
muka dikedikan ke depan. Benar-benar ia telah berubah
menjadi patung yang manis dan indah sekali !
"Wah-wah wah..... kali ini benar-benar kami beruntung
sekali. Tanpa melepas umpan datang ikan emas yang jarang
terdapat. Calon mantuku yang baik, kau benar-benar pantas
dibanggakan !" Penebang pohon itu tertawa bergerak-gelak
keras sekali. Tiang Bu hanya memandang dan mengerutkan
kening. "Calon mantu kepalamu!" Diam-diam ia memaki di dalam
hati. Ayah dan anak ini benar-benar bikin hati me ndongkol,
pikirnya. Ia dianggap apa sih datang-datang mau diperlakukan sesuka mereka sendiri saja " Dengan puas ia
melihat penebang kayu itu berkutetan dengan gadisnya,
40 ditepuk sana ditepuk sini, digosok golok sana dipijit sini
dalam usahanya membebaskan Fei Lan dari pengaruh
totokan. Ada empat macam cara pembebas tiam-hoat yang
lihai dipergunakan oleh penebang kayu itu dan ini saja
sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang
memiliki banyak macam ilmu kepandaian tinggi.
Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat me nyembuhkan
puterinya ! Hal ini benar-benar di luar dugaan tukang
penebang kayu itu hingga kalau tadi ia berusaha membebaskan totokan itu dengan masih tertawa-tawa, kini
suara ketawanya berhenti seketika dan mukanya bahkan
nampak terheran-heran. (Bersambung jilid ke XI) 41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XI "ORANG muda, kau dari perguruan mana dan tiam hoat
apakah yang kau gunakan untuk menotok Fei Lan tadi ?"
katanya lupa menyebut "mantuku" saking herannya bahwa
ia seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, sampai tidak
becus memulihkan akibat totokan seorang pelonco seperti


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bocah itu! "Lopek, dari perguruan mana tak perlu kupamerkan, juga
tiam-hoat yang kulakukan tadi biasa saja. Kaulihat saja, aku
akan memulihkan puterimu." Setelah berkata demikian
dengan tenang Tiang Bu menghampiri Fei Lan, tangan
kanannya meraba leher tangan ki ri mengurut punggung tiga
kali dan gadis itu sudah dapat bergerak lagi!
Penebang kayu itu makin terheran- he ran. Tadi ia sudah
melakukan gengobatan macam itu akan tetapi tidak ada
hasilnya. Bagai mana pemuda ini sekali bergerak terus
berhasil" Namun ia menjadi girang sekali karena mendapat
kenyataan bahwa pemuda itu ternyata bukan orang sembarangan. 1 "A-Lan, bagaimana pikiranmu se karang" Tidak betulkah
omonganku bahwa mencari jodoh baik tak boleh diukur dari
panjangnya hidung?" Diam-diam Tiang Bu makin gemas
karena sudah beberapa kali hidungnya disinggung- singgung
orang. Betul demikian pesekkah hidungnya" Tak terasa lagi
tangan kanannya diangkat ke arah hidung untuk meraba
daging menonjol di atas mulut itu.
Fe i Lan kini sudah takluk betul-betul, mengerling ke arah
Tiang Bu mengeluarkan suara ketawa tertahan, lalu dengan
penuh aksi memutar tubuh membelakangi pemuda itu,
muka ditundukkan ditutup kedua tangan dan ujung kaki
utak-utik tanah. "Ha-ha-ha-ha! Anakku yang biasanya tabah dan berani
sekarang tak sanggup mengucapkan kata-kata di depan
calon suaminya. Ha-ha ha-ha! Orang muda, kau bahagia
sekali. Sudah seratus dua belas orang pemuda ditolak
mentah- ment ah oleh anakku yang cantik dan gagah ini dan
sekarang pilihannya terjatuh kepadamu! Kau mimpi apakah
semalam" Ha. ha-ha! Anak mantuku, ketahuilah bahwa aku
bernama Lai Fu Fat berjuluk Lim-song (Raja Hutan)! Dan ini
puteri tunggalku Lai-Fei Lan. Kau benar-benar kejatuhan
bulan menjadi mantu keluarga Lai. Eh, kau tadi bernama
Tiang Bu, siapa orang tuamu, apa shemu dan kau tinggal di
mana?" Biarpun hatinya mendongkol bukan main,
Tiang Bu masih bersikap sabar dan menjura berkata lemah. lembut.
"Lopek, harap suka maafkan aku dan sungguh menyesal
bahwa aku tak dapat menerima budi kecintaan kalian. Aku
datang jauh-jauh ke selatan ini sama sekali bukan untuk
urusan perjodohan, aku masih terlalu muda untuk itu . ... .
.." "Ha ha- ha, malu-malu kucing. Berapa sih usiamu?"
tanya Lai Fu Fat sambil tertawa. Merah muka Tiang Bu.
Celaka, pikirnya. Orang ini benar-benar patut mendapat
2 julukan Lim-song (Raja Hutan) karena kelakuannya memang
seperti orang hutan! "Usiaku baru lima belas tahun kurang." Ia menjawab
juga. "Aha ! Lima belas tahun" Sudah terlalu-besar! Dulu
dalam usia empat belas tahun aku sudah menikah. Heh-
heh-heh !" "Aku jauh lebih mula diri pada anakmu!" Saking
jengkelnya Tiang Bu tak terasa lagi mengeluarkan kata-kata
ini untuk membuka mata orang bahwa dia tidak patut
menjadi jodoh Fei Lan. "Lebih muda empat tahun. Bagus! Laki-laki memang
harus lebih muda dari isterinya, baru bisa saling mengasuh.
Selisih empat tahun bagus, bagus. Ini jodoh namanya,
selisih empat tahun namanya kaki meja, jadi kokoh kuat
tidak goyah tidak ganjil.
Tiang Bu me nggigit bibirnya yang tebal. Ia marah
sekarang. "Lai-lopek, aku tidak mau menikah dengan
anakmu !" Lim-song Lai Fu Fat yang sedang tertawa bergelak gelak
itu tiba-tiba menghentikan tawanya dan memandang kepada
Tiang Bu seakan-akan tidak percaya apa yang telah
didengarnya tadi. "Apa kau bilang" Coba bilang satu kali lagi."
"Aku tidak mau kawin dengan anakmu!" Tiang Bu
mengulang. Lai Fu Fat melongo, juga Fei Lan memandang
dengan muka pucat ke arah pemuda itu.
"Orang muda, apakah pi kiranmu waras" Tidak gila?"
"Lopek, apakah kausengaja mau menghi na aku orang
muda"' "Hanya orang berotak miring yang akan menolak Fei Lan!
Seratus dua belas orang muda gagah-gagah dan tampan-
3 tampan ditolak Fei Lan, pada hal mereka mau menyembah-
nyembah asal di terima menjadi suaminya. Dan kau ...... kau
si hidung pesek, Si muka monyet, kau...... menolaknya........... ?" Saking herannya Lai Fu Fat sampai tak dapat marah. Ia benar-benar heran melihat ada orang
muda berani menolak Fei Lan! Juga gadis itu saking marah
dan merasa terhina, mulai menangis terisak-isak!
"Aku tahu bahwa aku tidak berharga, buruk rupa, miskin
dan bodoh lopek. Akan tetapi aku sama sekali tidak ingin
kawin, biar dengan puterimu sekalipun. Harap maafkan."
Akhirnya Tiang Bu berkata, kewalahan melihat sikap mereka
itu. "Maafkan...." Maafkan".." Sebetulnya kau harus mampus kalau saja aku tidak kasihan pada anakku yang
akan kehilangan kau! Kau harus menikah dengan Fei Lan.
Tidak boleh tidak. Apa kau biasa melanggar peraturan?"
Tiang Bu terheran. "Peraturan apa yang telah kulanggar?"
"Bocah gendeng, jangan kau berpura-pura, ya" Kau
sudah menerima bertanding dengan Fei Lan bahkan sudah
mengalahkannya. berarti bahwa
kau telah memasuki sayembara anakku yang hanya mau menikah dengan
mareka yang dapat mengalahkan dua kapaknya ! Bukan itu
saja, kau telah sudah menotoknya, bahkan sudah membuka
lagi totokanmu." "Kalau demikian mengapa gerangan ?"
"Tolol! kau sudah menyent uh badannya dan tadi kau
membebaskan totokan dengan meraba-rabanya. Setelah
melakukan pelanggaran kurang ajar ini, kau masih mau
nyangkal dan tidak mau menjadi suaminya !"
Tiang Bu melongo den sampai lama tidak
dapat menjawab. "Itu" itu...... aku tidak tahu......." ia berkata gagap-gugup.
4 "Bagaimanapun juga, kau harus menjadi suaminya, dan
sekarang juga!" kata Lai Fat bersitegang.
"Aku tetap tak dapat menerimanya, lopek."
"Kau menolak ?"
"Terpaksa kutolak karena aku tidak ada niatan untuk
kawin." Terdengar jerit tertahan dan Fei Lan berlari pergi dengan kaki limbung.
"Bocah, kau telah menghina kami. Kalau aku menggunakan kerasan, apakah kau juga masih berani
menolak?" "Aku tetap menolak," jawab Tiang Bu penasaran.
Kembali Lai Fa Fat terheran dan ia kagum juga. "Kau
gagah dan berani, patut menjadi suami anakku. Mari kita
bertanding, kalau kau kalah, kau mau tidak mau harus
mengawini Fei Lan." "Dan kalau kau yang kalah, kau harus menunjukkan
kepadaku di mana adanya Ban-mo-tong." jawab Tiang Bu
menantang, sedikitpun tidak gentar.
"Bersiaplah dan keluarkan senjatamu !"
Tiang Bu berdiri tegak, sikapnya tenang, "Lopek, aku
tidak bisa menggunakan senjata, cukup dua tangan dan dua
kaki ini." Lai Fu Fat memandang ke arah kapaknya yang besar,
lalu menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal dan berkata,
"Masa aku harus melawan kau yang bertangan kosong
dengan kapak wasiatku " Ke mana akan kutaruh mukaku?"
"Terse rah mau lopek taruh ke mana muka itu tetap tidak
akan menggunakan senjata kecuali kaki tanganku."
Biarpun tadi bersikap dan berkata sungkan-sungkan,
kini sekali menyerang si penebang pohon yang aneh itu
ternyata menggunakan kapaknya dengan dahsyat, melakukan serangan maut yang amat berbahaya. Kapak
5 yang besar dan lebar itu menyambar ce pat me rupakan
gulungan maut yang amat berbahaya. Kapak yang besar dan
lebar itu menyambar cepat merupakan gulungan sinar
perak, berubah ubah serangannya seperti naga sakti yang
sedang memilih tempat yang
baik untuk menerkam. Alangkah jauh bedanya serangan ini dengan serangan Fai
Lan tadi, sungguhpun gadis itu tadi menggunakan dua buah
kapak. Kapak di tangan Lai Fu Fat ini be nar-benar lihai
sekali dan Tiang Bu merasa sambaran angin yang dingin
mengiris kulit. Namun pemuda ini sama sekali tidak gugup.
Dan tenang sekali, tak pernah berkedi p dan kedua kakinya
digeser ke kanan kiri belakang. "...........sett........... sett
.........." semua sambaran sinar kapak itu memukul angin!
Lim song Lai Fu Fat menjadi penasaran sekali. Ia
mengerahkan tenaga dan kapak melayang dengan gerakan
menyilang dan nyerong. "Wirr ........... ! Wirr ........... ! Siuuuutt ......! Hebat gerakan
ini, kapak sampai berubah menjadi kilat menyambar-nyambar sungguh pun hari itu tidak akan turun
hujan. Tiang Bu cepat mengelak terhadap serangan kilat
tadi, namun kapak itu sinarnya mengikuti ke manapun juga
ia mengelak, menyambar-nyambar di atas kepala dan lewat
demikian cepat dan kerasnya di atas telinga sehingga anak
muda ini mendengar suara, "ngung".ngung?"" yang
menakutkan, seolah-olah kapak sudah dekat benar hendak
memancung lehernya. Lai Fu Far melanjutkan serangan-serangannya dengan
tiga kali pukulan tadi, dan suara "wirr............. siuutt..........!"
terdengar berulang-ulang. Inilah ilmu serangan de ngan
gerakan menebang batang pohon-pohon yang besar itu.
Tiang Bu terkejut sekali. Sarangan ini benar-benar hebat.
Hawa pukulan yang keluar dari tiga kali serangan ini susul-
menyusul dan makin kuat. Pantas saja pohon-pohon bes ar
itu rebah setelah tiga kali bacok, ternyata begini hebatnya
serangan itu. 6 Setelah mempelajari isi kitab suci Seng-thian-to, tanpa
disadarinya, ginkang atau ilmu ringankan tubuh dari Tiang
Bu telah meningkat tinggi sekali, juga ilmu silatnya sudah
menjadi luar biasa setelah ia mempelajari beberapa bait
sajak dalam kitab Thian-te-sinkeng. Ane hnya, menghadapi
serangan tiga serangkai yang dahsyat dari penebang pohon
itu, tiba tiba saja Tiang Bu teringat akan bunyi sajak yang
telah dibacanya dalam kitab thian-te Si-keng itu. Bunyi
sajak itu seperti berikut;
Ada mulia tentu ada yang hina sebagai imbangan.
Ada yang tinggi tentu ada yang rendah sebagai dasar.
Sajak-sajak di dalam kitab Thian to Si- keng itu terisi
sajak-sajak pelajaran Nabi- nabi Buddha, Locu, Khong- cu
dan lain-lain. Yang teringat oleh Tiang Bu ini sebetulnya
adalah dua bait dari sajak dalam kitab To-tek-keng dari
Agama Tao. Akan tetapi, anehnya, bagi seorang yang sudah
memiliki dasar ilmu silat tinggi, isi dari pada sajak-sajak ini merupakan tipu-tipu silat yang hebat. Demikian pula,
teringat akan bunyi sajak ini Tiang Bu segera mendapat akal
untuk mengalahkan lawannya dengan mudah. Begitu kapak
itu menyambar di atas kepala. ia tertawa, kedua tangan
bergerak menangkis dengan hawa pukulan lwe ekang ke arah
pergelangan tangan kedua kakinya bergerak dan ...... di lain
saat kapak itu telah terpental dari pegangan Lai Fu Fat dan
orang itu sendiri roboh dengan lutut le mas dan lumpuh
karena sambungan lututnya telah kena dibikin terlepas oleh
Tiang Bu! "Aneh ...... luar biasa ....... kata Lai Fa Fat dengan nada seperti Fei Lan ketika ia dikalahkan dan menyebut "sulap
dan sihir." Ia benar-benar tidak tahu bagaimana
ia dikalahkan lawannya. Ini benar-benar tak masuk di akal.
Lim-ong Lai Fa Fat sudah puluhan tahun tak pernah
dikalahkan orang, jangan kata dirobohkan tanpa

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia mengetahui bagaimana caranya ! Ia mulai percaya akan
7 sangkaan Fei Lan tadi bahwa bocah ini tentu seorang ahli
sulap atau dukun sihir. "Sicu lihai sekali. Tidak tahu sicu mencari Ban-mo-tong
ada keperluan apakah ?" tanyanya meringis menahan sakit
dan tangannya mulai me mijit-mijit lutut untuk membetulkan letak tulang yang keseleo.
"Aku hendak mencari Toat-beng Kui-bo si pemelihara
kelelawar !" jawab Tiang Bu kurang perduli, karena ia tidak banyak
mengharapkan keterangan lengkap dari orang
seperti penebang aneh ini. Akan tetapi, dami mendengar
ucapannya, Lai Fu Fat dengan susah payah berdiri dan
menjura dengan hormat. "Aha, kiranya tamu agung dari Ban-mo-tong yang hendak
bertemu dengan Nio nio. Selamat datang, sicu. Ketahuilah
bahwa ini sudah termasuk daerah Nio-nio, akan tetapi tentu
saja aku sudah mendapat ijinnya untuk menebang pohon di
sini. Kalau sicu hendak bertemu dengan Nio-nio, kauambillah jalan lulus ke selatan. Kurang lebih tiga puluh
li lagi kau akan bertemu dengan sebatang sungai. Nah, di
sana sicu carilah Cia Nam si nelayan yang tentu akan suka
mengantar sicu ke Ban-mo-tong. Selain Cia Nam, tak ada
orang di dunia ini yang akan dapat mengantar sicu ke sana."
Tiang Bu girang sekali. Tak disangkanya bahwa dari
penebang ini ia akan mendapat keterangan demikian jelas.
Ia me nyesal telah melukai orang ini. Cepat ia me luruskan
kembali tulang-tulang kaki itu.
"Lai lopek, kau baik sekali, terima kasih katanya sambil
menjura lalu pergi dari situ.
"Hee, sicu yang gagah. Bagaimana dengan anakku ?"
penebang itu berteriak, akan tetapi Tiang Bu pura-pura
tidak mendengar melainkan mempercepat larinya menuju
selatan. 8 Ketika ia lari sejauh lima li, eh tahu-tahu Fei Lan telah
berdiri di tengah jalan, menghadangnya ! "Cici Fei Lan, kau mau apa di sini ?"
"Tiang Bu ko-ko (kakanda Tiang Bu) tentu saja aku mau
ikut denganmu ....." jawab Fei Lan dengan suara merdu
merayu dan tersenyum manis sekali.
Tiang Bu gelagapan. "Ikut ke mana ....?"
"Ke mana saja kau pergi, aku ikut. Ke neraka sekalipun
aku suka ikut, koko yang baik.........."
Tiang Bu melongo. Wah, runyam nih, pikirnya. Disangkanya ia telah bebas dari ayah dan anak yang aneh
itu, kiranya sekarang masih dirong-rong oleh gadis ayu ini.
"Tidak boleh, cici. Aku tidak bisa pergi membawa orang
lain. Perjalananku penuh bahaya, laginya ...... tak pant as
dilihat orang kalau seorang gadis seperti engkau ini pergi
berdua-dua saja dengan seorang laki laki..."
"Iiih, siapa bilang tidak patut " Seorang isteri pergi
mengikuti suaminya yang terkas ih, bagaimana tidak patut?"
sahut Fei Lan sambil mengerling.
"Isteri siapa suami mana" Jangan main-main, tidak ada
suami di sini. Aku tak pernah mengambil kau sebagai
isteriku!" "Akan tetapi aku sudah menyerahkan jiwa-raga menjadi
isterimu, koko..........." Fei Lan merayu dan melingkah dekat.
"Gila........... ! Tidak, aku tidak mau. Sudah, aku pergi
..........! Tiang Bu melompat melewati gadis itu.
"Koko, aku bunuh diri .........!"
Tiang Bu cepat menggunakan gerakan berjungkir balik
dalam lompatannya ketika melihat betapa gadis itu betul-
betul mengangkat kapak dibacokkan ke arah leher sendiri !
Cepat gerakan Tiang Bu ini. Biarpun tubuhnya di udara,
berkat ginkang dan lweekangnya yang tinggi ia dapat
9 memutar balik tubuhnya dan sekali tangannya terayun
memukul, hawa pukulan yang dahsyat telah memukul atau
mendorong tangan Fei Lan, membuat kapak itu terlepas dan
tubuh gadis itu terhuyung-huyung.
"Fei Lan, apa kau sudah gila ?" tegur Tiang Bu, marah sekali sambil berdiri bertolak pinggang di depan gadis itu.
"Kalau aku jadi gilapun, kau yang berdosa." jawab Fei Lan bersungut-sungut sambil mendekati pemuda itu.
"Cici Fei Lan, kaudengarlah omonganku baik-baik. Aku
masih kanak-kanak, aku belum suka menikah, bahkan aku
sama sekali tidak ada pikiran tentang jodoh. Kau be rsabarlah, dalam urusan perjodohan, mana boleh dilakukan paksaan " Tunggu sampai lima tahun lagi, kalau
aku sudah berusia dua puluh tahun nah, nanti kita
bicarakan lagi. Sementara jangan kauganggu aku kau boleh
mencari calon suami lain."
"Kalau kau menolak, aku akan bunuh diri saja," kembali
Fei Lan me ngancam. "Aduh, kau ini terlalu sakali. Siapa yang menolak" Aku
hanya minta tempo. Sekarang aku masih terlalu kecil. Lima
tahun lagi baru kita bicara tentang jodoh. Bagaimana" Kalau
kau tidak menerima usul ini masa bodoh, kau boleh berbuat
sesukamu aku takkan menghalangimu lagi. Akan tetapi
kalau kau bunuh diri, jangan arwahmu nant i menganggap
aku sama sekali tidak me mberi kelonggaran dan kesempatan. Aku bukan menolak hanya minta waktu untuk
ke lak berunding lagi."
Wajah Fei Lan yang tadinya merengut itu kini tersenyum
kembali. "Begitukah" Sebetulnya ..... sekarang lebih baik ...... akan tatapi biarlah, asal kau tidak berbohong. Biarlah sebagai
tanda mata agar kau tidak lupa kelak, kaubawa ini. ...... "
Gadis itu merogoh balik bajunya dan keluarlah se helai
saputangan berwarna merah muda yang 10 harum."Kausimpanlah, koko ...... " Akan tetapi tiba-tiba gadis itu mengebutkan saputangan merah muda itu dan bau
yang harum luar biasa memasuki hidung Tiang Bu. Bau
wangi ini begitu kerasnya sampai terasa menjalar ke dahi
pemuda itu. Tiang Bu meramkan matanya, kepalanya terasa
pening akan tetapi hanya sebentar saja. Ketika ia membuka
mata........... aneh bin ajaib........... gadis di depannya itu telah be rubah sama sekali dalam pandang matanya.
Kalau tadinya Fei Lan merupakan gadis yang cantik
manis, sekarang gadis itu berubah menjadi seorang yang
cantik jelita seperti bidadari Kayangan, ayu tiada bandingannya dan menggairahkan. Ane hnya, Tiang Bu
merasai sesuatu berdebar-debar dalam dadanya, merasai
gejolak hati yang selama hidupnya be lum pernah ia alami. Ia
merasa ada nafsu binatang yang amat panas menguasai hati
dan pikirannya, membuat darahnya mendidih, dan senyum
Fei Lan seakan-akan merupakan lambaian dan tantangan.
Nafsu jahat dalam dirinya mendorong-dorongnya agar ia
menubruk dan memeluk gadis jelita di depannya itu.
Namun, Tiang Bu telah menjadi murid orang-orang sakti.
Biarpun ia marasai adanya nafsu iblis yang entah dari mana
datangnya menguasai hatinya, namun nuraninya masih
bekerja kuat. Dan dia telah mempelajari kitab Seng-thian-to,
maka cepat ia meramkan mata mengerahkan seluruh
perasaan dan tenaga batinnya untuk menyelidiki diri sendiri.
Ke tika ia memeriksa keadaan pernapasannya maka dengan
kaget tahulah ia bahwa hawa kotor pe nuh keharuman yang
mempengaruhi pere daran darah, membuat darah menjadi
cepat jalannya. Ketika ia meneliti perjalanan darahnya untuk mengetahui
dari mana datangnya itu, ia menjadi lebih kaget karena ia
dapat merasai bahwa nafsu itu memang sudah ada dalam
darahnya! Hanya biasanya tidak bangkit dan baru sekarang
nafsu itu memberontak setelah "dibangunkan" oleh hawa yang harum dari luar, dan setelah memberontak demikian
11 hebatnya hendak mempengaruhi jiwa raganya, Ti ang Bu
cepat menggunakan hawa murni untuk menekan semua
gelombang ini dan dengan khikangnya yang tinggi ia dapat
"menangkap" dan
"mengumpulkan" semua hawa yang
mengandung keharuman beracun yang disedotnya tadi.
Setelah tenang, ia membuka matanya dan baru sekarang ia
melihat bahwa gadis itu kini telah merangkul lehernya dan
menyandarkan kepala dengan rambut harum semerbak di
atas dadanya sambil matanya meram melek.
"Tarima kembali racunmu ...... !" Tiang Bu be rbisik dan dengan pengerahan khikang ia meniupkan hawa harum
yang memabukkan tadi seluruhnya ke arah muka gadis yang
berada dekat dengan mukanya.
Fei Lan gelagapan seperti kepalanya dibenamkan ke
dalam air, Tanpa dapat ia cegah lagi ia telah kena hisap
hawa yang harum, yang keluar dari mulut dan hidung Tiang
Bu, hawa harum yang tadinya berasal dari sapu tangan
merahnya! Gadis itu terhuyung huyung, lalu roboh di atas
tanah. Mukanya marah sekali, matanya berkilat-kilat dan
dengan penuh nafsu sepetti seekor binatang
liar ia menubruk Tiang Bu. 'Koko ...... .!" Akan tetapi Tiang Bu telah melompat pe rgi, meninggalkan gadis itu yang kini menjadi korban dari
racunnya sendiri. Beberapa lama kemudian, Lai Fu Fat si
penebang pohon mendapatkan puterinya itu dal am keadaan
menyedihkan. Pakaiannya robek-robek menjadi setengah
telanjang, mulutnya mengingau tidak karuan dan tubuhnya
panas sekali. -oo(mch)oo- Tiang Bu beberapa kali bergidik dan me rasa ngeri kalau
ia teringat akan pengalamannya yang amat berbahaya tadi.
Kalau diingat-ingat, ia menganggap pengalamannya dengan
Fei Lan tadi yang paling berbahaya mengerikan dari pada
12 semua peristiwa yang pernah ia alami. Terutama sekali yang
membuat ia gelisah dan ketakutan adalah keinsyafannya
bahwa di dalam dirinya sebenarnya hi dup semacam nafsu
iblis yang seakan-akan naga jahat sedang tidur di dasar
hatinya untuk sewaktu-waktu bangkit dan mengamuk
apabila batinnya terganggu dan lemah.
Nafsu ini te rletak di dalam darahnya. Warisan keturunan
....." Dengan ngeri hati Tiang Bu makin tekun melatih diri
dengan samadhi seperti yang diajarkan dalam kitab suci Se
thian-to agar hawa murni dalam dirinya menjadi kuat betul
untuk melawan naga jahat dalam diri itu dan menjaga agar
jangan sampai naga itu bangkit !
Karena ia tidak ingin tersusul oleh Lai Fu Fat dan Lai Fei
Lan, Tiang Bu berlari cepat sekali sehingga tak lama
kemudian sampai ia di sungai seperti yang dituturkan oleh
Lai Fu Fat tadi. Sungai itu cukup lebar, airnya jernih dan
alirannya tenang menuju ke selatan. Karena tidak melihat
seorangpun manusia dan tidak melihat sebuahpun perahu
di situ, Tiang Bu melanjutkan perjalanannya mengikuti
aliran air sungai ke selatan.
Kurang lebih lima li ia mengikuti sungai, sampailah ia di
sebuah dusun yang subur sekali tanahnya. Dari jauh sudah
terlihat,perahu-perahu tukang ikan hilir mudik membawa
muatan ikan seperahu penuh. Wajah orang-orang nampak
gembira, rumah-rumah nampak bagus biarpun sederhana
dan orang-orang yang berada di desa itu gemuk-gemuk dan
be rpakaian utuh. Ini semua menjadi bukti bahwa dusun ini
tentu merupakan dusun makmur dan murah sandang
pangan. Karena hari sudah mulai gelap, Tiang Bu mencari rumah
penginapan. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika mendapat keterangan bahwa di dusun itu tidak ada rumah
penginapan. Lebih baik kucari nelayan yang bernama Ci a
Nam itu, pikirnya, dan aku dapat bermalam di rumahnya.
13 Segera ia kembali lagi ke tepi sungai di mana tadi ia melihat banyak perahu diikat di situ.
la melihat beberapa orang nelayan sibuk membongkari


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muatan dari perahu-perahu mereka. Ada yang menurunkan
barang dagangan para pedagang yang me ngangkut dagangan
dari lain kota melalui sungai itu, ada yang menurunkan
ikan-ikan hasil menjala dan mancing. Di tepi sungai banyak
pula yang membetulkan jala yang robek, ada yang duduk
bergerombol mengelilingi api unggun sambiI be rcakap-cakap
dan ada pula yang duduk seorang diri termenung di tepi
sungai. Tiang Bu menghampiri segerombolan orang yang
tengah bercakap-cakap itu. Mere ka ini adalah nelayan-
nelayan yang kasar, bermuka kehitaman karena setiap hari
mandi cahaya matahari yang panas terlihat de ngan kerut
merut dalam dalam pada muka mereka sebagai tanda bahwa
mereka tidak asing dengan pengalaman pengalaman sukar
dan hebat. "Maaf, saudara-saudara sekalian kalau mengganggu, aku
hendak mencari orang nama Cia Nam si nelayan. Apakah dia
berada di sini ?" Orang-orang itu tertarik akan langgam bicara Tiang Bu
yang berbeda dengan orang selatan, akan tetapi ketika
mendengar bahwa pemuda ini mencari Cia Nam, mereka
membuang muka. Seorang nelayan tua berkata padanya.
"Sungguh aku tidak tahu apa keperluan mencari Cia
Nam, orang muda. Akan tetapi kalau kau mencari si gila itu,
nah, tuh di sana ia sedang melenggut." Telunjuknya
ditudingkan ke arah gelap.
Tiang Bu menoleh, akan tetapi tidak melihat sesuatu di
dalam gelap hanya ia tahu bahwa yang dituding itu adalah
sungai. Akan tetapi melibat sikap mereka seperti tidak
senang ketika ia menanyakan Cia Nam. Tiang Bu tidak mau
be rtanya lagi mengucapkan terima kasih lal u pergi ke arah
yang ditunjuk oleh nelayan tua tadi. Ia menyusuri pantai
sungai dan akhirnya di tempat sunyi ia melihat seorang laki-
14 laki bertopi caping lebar tengah jongkok di atas sebuah
perahu kecil yang buttut. Di ujung atau ke pala perahu itu
dipasangi sebuah l ampu teng yang tidak berapa terang
namun cukup memperlihatkan lantai perahu yang selalu
basah seperti telah bocor. Orang itu seorang laki-laki, sukar ditaksir usianya karena mukanya berada di bagian yang
gelap, sedang menongkrong
sambil memegangi ujung tangkai pancing dari bambu.
"Sahabat yang di atas perahu ! Apakah kau kenal orang
be rnama Cia Nam dan di mana tempat tinggalnya, lahukah
kau?" seru Tiang Bu dari pinggir sungai.
Orang itu tertawa mengikik tanpa menoleh, lalu be rkata,
"Setan she Cia itu adalah iblis penjaga sungai dan rumahnya di
dasar sungai ini!" Ia melanjutkan pekerj aannya memancing tanpa menoleh sama sekali. "Loncat saja ke air, tentu kau akan bertemu dengan dia!'
Tiang Bu mendongkol sekali. Akan tetapi ia juga girang
karena boleh jadi orang itu sendirilah Cia Nam. Kalau tidak,
mana ada orang begitu keterlaluan mempermainkannya "
Kalau Cia Nam sendiri, mungkin, karena jarang yang
diperkenalkan oleh seorang aneh seperti penebang kayu itu,
tentulah seorang aneh pula. Berpikir demikian, ia lalu
berkata, "Aku mau bertemu dengan dia !" dan lompatlah ia ke
arah perahu kecil yang jauhnya ada tiga tombak dari
daratan itu. Tentu saja amat mudah bagi Tiang Bu untuk
melompat hanya tiga tombak jauhnya. Akan tetapi aneh
sekali, tiba-tiba perahu itu meluncur pergi seperti didorong
atau didayung padahal orang itu masih tetap nongkrong dan
tdak melakukan sesuatu. Hampir saja Tiang Bu celaka. Siapa orangnya yang
takkan bingung kalau sedang melompat ke perahu, lalu
perahunya itu berpindah tempat " Orang lain tidak akan
ampun lagi pasti akan tercebur ke dalam sungai. Akan tetapi
Tiang Bu dapat menggerakkan kedua kaki dan tangannya
15 sehingga tubuhnya yang sudah menurun itu terpental
kembali keatas dan s ecepat kilat ia telah menutulkan kaki di atas geladak peruhu.
"Berbahaya sekali ..........!" katanya perlahan. Kemudian ia berkata kepada orang itu keras-keras. "He, sobat,
mengapa kau main-main se perti itu " Kalau aku terce bur ke
dalam sungai bukankah berbahaya sekali " Aku tidak bisa
berenang, tahu !" Sebagai jawaban, orang itu menyambar lampu teng di
kepala perahu kemudian dengan tubuh masih berjongkok,
kedua kakinya mengembat dan ..... perahu itu miring dan
terbalik ! Akan tetapi dia sendiri tetap nongkrong, kini di
atas punggung perahunya yang sudah terbalik. Tiang Bu
juga tetap melompat ke atas, kagetnya bukan kepalang.
Baiknya ia tadi melihat gerakan orang itu dan menirunya
sehingga ketika perahu sudah terbalik, iapun dapat turun
dan tetap berdiri di punggung perahu !
'Eh, eh, kau ini apa-apaan ?" Tiang Bu menegur. Kini
terlihat olehnya bahwa orang itu adalah seorang pendek
kecil yang rambutnya sudah putih, seorang kakek berusia
kurang lebih lima puluh tahun. Akan tetapi matanya
berkedap-kedip dan jelalatan, kelihatannya nakal sekali.
"Bukankah kau mau bertemu dengan iblis sungai di
dasar sungai " Hi-hi -hi.. !"
"Cia-lopek, jangan kau main- main. Aku benar-benar
ingin sekali bertemu denganmu, dan aku mencarimu, atas
pemberitahuan lopek Lai Fu Fat si pe nebang pohon."
Kakek itu memandang penuh perhatian. Ia menurunkan
lampunya didekatkan ke depan sambil berkata, "Duduklah !"
Tiang Bu lalu berjongkok seperti kakek itu di atas perahu
yang terbalik dan lampu berada di tengah-tengah mereka.
Benar-benar pertemuan yang aneh! Bercakap-cakap di atas
perahu terbalik yang terapung-apung di sungai terbawa
perlahan oleh aliran sungai itu.
16 "Kau mau apa mencari Cia Nam ?" tanya kakek itu
sambil tertawa mengejek dan tiba-tiba saja Tiang Bu dapat
menduga mengapa kakek ini agaknya tidak disuka oleh para
nelayan. Tentu disamping ke pandaiannya yang tinggi, kakek
ini adalah seorang tua yang be rwatak nakal seperti bocah
bengal, suka mengganggu dan menggoda orang.
"Aku hendak memohon pertolonganmu mengantarkanku
ke Ban-mo-tong!" Jawab Tiang Bu singkat. Kakek itu
mengangkat alisnya. "Aku hendak bertemu dengan Toat beng Kui-bo !" sambung Tiang Bu. Kakek itu kini mengerutkan
keningnya. "Apa kau gila?" tanyanya. Tiang Bu mendongkol. Benarbenar di selatan ini banyak orang pandai, akan tetapi hampir
semua otaknya miring! "Kalau aku gila, apa aku melayanimu mengobrol di atas
perahu terbalik?" jawab
Tiang Bu. "Hem, kau betul, kau
betul! Apa kau bosan hidup?" "Tidak! Yang sudah tua dan kesepian masih belum bosan, bagaimana aku yang muda sudah bosan" Aku mohon kau
sudi mengantarku bes ok pagi, aku akan berterima kasih sekali." "Sekarang kita pergi!"
kata kakek itu tiba-tiba dan sekali ia mengenjot- enjot kakinya, perahu itu
kembali miring dan membalik. Seperti tadi, keduanya menggunakan sinkang.
17 melompat ke atas dan turun kembali setelah perahu terbalik
seperti sedia kala. "Mangapa sekarang" Begini gelap?"
"Takut apa" Kalau mau sekarang, kalau tidak mau kau
boleh melompat ke dalam air! Akan tetapi kakek itu telah
mendayung perahunya cepat sekali ke tengah s ungai
sehingga Tiang Bu harus menutup mulut karena tak
mungkin ia me lompat ke darat, apalagi dalam keadaan yang
gelap itu. Kakek itu melepaskan dayungnya dan perahu
terbawa arus sungai. Lampu kedua yang sama tuanya
dengan yang pertama, dinyalakan oleh kakek itu.
"Kalau aku perlu membalikkan perahu, kau harus
memegangi lampu kedua ini," pesannya.
"Mengapa perahu harus dibalikkan?" tanya Tiang Bu,
ngeri juga karena kalau perahu terus tenggelam. bukankah
berabe" "Sudah bocor, menguras sukar, lebih mudah dibalikkan
agar airnya keluar semua!" Orang aneh, pikir Tiang Bu. Akan
tetapi di lain saat ia sudah tidak sempat berpikir lagi karena kini kakek itu mendayung perahunya yang meluncur cepat
bukan main ke depan, menerjang malam gelap, sehingga
Tiang Bu yang tabah merasa ngeri juga. Bagaimana kalau
terbalik " ia merasa bahwa kali ini nyawanya berada di
dalam kenggaman kakek gila ini.
Entah berapa lama perahu itu meluncur cepat sekali.
Tahu-tahu bulan sudah muncul dan nampak pemandangan
yang menyeramkan di kanan kiri sungai. Tebing sungai
sekarang bukan merupakan tanah daratan yang datar
ditumbuhi rumput dan tanaman lain, melainkan merupakan
batu-batu karang yang berbaris menyeramkan seperti barisan raksasa hitam yang meme gang senj ata-senjata tajam
besar, seperti mulut naga siap mencaplok kurban yang
berani mendekat. 18 "Heh-heh.heh. inilah Ban-mo-tong (Gua-gua Selaksa
Iblis). Kau mendaratlah di sini, aku harus kembali!" Kakek
nelayan itu mendayung perahunya ke pinggir, akan tetapi
tidak berani mepet, hanya dalam jarak dua tombak dari
batu-batu karang itu. "Melompatlah ke pinggir!"
Tiang Bu ragu-ragu. Di tengah malam buta ia harus
mendarat di tempat se perti itu. masih baik kalau memang ini
tempat yang dicari -cari, bagaimana kalau bukan "
"Betulkah di sini Ban mo tong ?" tanyanya.
"Kau tidak percaya kepada Cia Nam berarti tidak percaya
kepada dirimu sendiri ! Lihat! Kakek itu menudingkan
te lunjuknya dan Tiang Bu me lihat bayangan-bayangan
hitam berterbangan di atas batu-batu karang.
ltulah bayangan-bayangan kelelawar yang terbang membunyikan
sayap memukul tubuh. Mengerikan sekali.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara aneh dan tahu-
tahu perahunya miring tenagelam ! Tiang Bu kaget sekali,
menotol kaki di geladak perahu sambil menggenjot tubuh
mengerahkan ginkangnya, melompat ke atas batu karang
terdekat. Ketika ia menoleh. ia melihat perahu benar-benar
tenggelam dan dua l ampunya padam ! Akan te tapi tak lama
kemudian muncul lagi perahu itu di tengah sungai dan
kakek itupun muncul di atas perahunya sambil tertawa-tawa
Pertemuan Di Kotaraja 7 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Harpa Iblis Jari Sakti 12
^