Pencarian

Anak Pendekar 1

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 1


"Anak Pendekar - Mu Ye Liu Xing
Seri Thiansan Karya : Liang Ie Shen Saduran : Gan KH
~Meteor Melintas DI Padang Gembala~
Pendahuluan Bagi pecinta cersil khususnya yang gemar membaca karangan
Liang I-shen tentu sudah tahu apa itu Ciok-Iin atau Hutan Batu,
yang terletak di karesidenan Lok-Iam di wilayah Inlam. Ciok-Iin
merupakan salah satu keajaiban alam di dunia yang amat
mempesona, pemandangannya sukar dilukiskan dan tak habis-habis
bila dikisahkan. Dalam salah satu karya Liang I-shen yang berjudul KHONG LING
KIAM (Pendekar Pemetik Harpa) tentu pembaca juga sudah banyak
tahu tentang seluk beluk Hutan Batu, karena di sini Pendekar
Pemetik Harpa Tan Ciok-sing pernah menggembleng diri,
mempelajari ilmu pedang peninggalan pendekar besar maha guru
silat Thio Tan-hong Thio tayhiap. Di sini pula Thio Tan-hong tetirah
menghabiskan masa tuanya hingga dimakamkan di situ."
Seorang suseng setengah umur bermuka putih berdebu sedang
mengayunkan langkahnya pelan-pelan ke arah mulut Ciok-Iin. Meski
kelihatan kurus dan agak pucat, tapi sorot matanya yang tajam
memperlihatkan bahwa orang ini memiliki kungfu yang tinggi.
Alisnya berkerut, sikapnya prihatin seperti sedang dirundung
persoalan ruwet, sehingga dia tidak perhatikan keadaan
sekelilingnya meski Ciok-Iin sudah terkenal di mata para pelancong.
Di mulut Hutan Batu dia berhenti sejenak, akhirnya melangkah ke
dalam. Keadaan dalam Hutan Batu memang sukar dibayangkan. Jalanjalan
simpang siur, batu bersusun dan bersambung, berliku-liku tak
karuan, segala bentuk batu yang beraneka ragam ada di sini, bila
orang melangkah lebih dalam yang tidak tahu jalan akan tersesat
dan jangan harap bisa keluar lagi dari tempat itu. Demikian pula
suseng setengah umur itu, setelah belak-belok beberapa kali dia
sudah kehilangan arah, sukar membedakan timur, barat, utara dan
selatan. "Keajaiban alam memang menakjubkan," demikian pikir suseng
itu, "sayang aku tiada minat untuk menikmatinya sekarang." Kedatangannya
ternyata bukan untuk tamasya, tapi untuk mencari atau
menyambangi seseorang. Di saat dia berada di antara rumpun batu tiba-tiba dirasakan
angin menyambar, seseorang melompat keluar di belakangnya terus
mencengkeram tulang pundaknya. Setelah turun tangan baru orang
itu bersuara dengan bentakannya, "Siapa kau?"
Suseng setengah umur menurunkan pundak mengkeretkan sikut,
dengan gaya Koay-bing-hoan-sin (Ular sanca membalik badan)
badannya setengah berputar, dengan sedikit tenaga menurunkan
pundak dan berputar itu, dia tuntun orang itu terseret ke samping.
Dia tetap bungkam tidak menjawab pertanyaan orang itu.
Baru saja jari orang itu menyentuh pundaknya, tahu-tahu
tangannya tergetar lepas oleh daya tolak tenaga dalamnya yang
tinggi, karena cengkeramannya luput karuan amat kaget, insyaf
menghadapi musuh tangguh, lekas dia bertanya pula, "Siapa kau
sebetulnya" Jangan salahkan kalau aku tidak sungkan kepadamu!"
Suseng itu seperti tidak mendengar atau melihat, dia tetap kembali
kedudukannya semula, tetap membelakangi lawan.
Pembokong itu lantas bersuit panjang. Pikirnya, "Asal aku kuat
bertahan sekejap, bila suhu datang, persoalan mudah dibereskan,"
dia tahu lawan teramat tangguh bagi dirinya, maka turun tangannya
pun tidak kenal kasihan lagi, dengan jurus Pay-san-to-hay
(Mendorong gunung menguruk laut) kedua telapak tangan
membelah bersama sekaligus, tenaganya ternyata cukup dahsyat,
sayup-sayup terdengar suara gemuruh bagai guruh menggelegar
Sesuai namanya, kekuatan pukulannya ternyata bagai gugur
gunung. Seenaknya suseng mengayun tangan ke belakang, gerakannya
jurus biasa yaitu Hian-ciau hoat-sa (Burung sakti menggaris pasir)
dengan kekuatan satu tangan untuk melawan gempuran dua
tangannya Tenaga pukulan dahsyat orang itu ternyata tidak mampu
mendorongnya maju selangkah pun, sekaligus dia rasakan daya
tolak perlawanan lawan yang hebat. Dua jurus serangannya tak
berhasil menyelidiki asal usul lawan, sekonyong-konyong dia
rasakan tenaga perlawanan musuh sirna begitu saja, sehingga ia
kehilangan keseimbangan, tanpa kuasa ia tersuruk maju selangkah
dan hampir saja jatuh. Gerak-gerik orang itu ternyata cukup lincah dan cekatan, di saatsaat
kritis itulah mendadak dia berkelit terus melayang ke sana,
maka posisi satu sama lain pun menjadi berubah. Begitu membalik
bukan membela diri malah balas menyerang. Tangan kanan seperti
meng-gantol ke luar, sementara tinju kiri menjotos dengan jurus
Ling-yang-kwa-kak (Kambing gembel menanduk) menjotos muka
musuh. Susengsetengah umur agaknya tidak menduga tinju dan ilmu pukulan
telapak tangan lawan ternyata semahir dan selihai ini, tanpa
terasa dia memuji perlahan, kedua tangan mendadak mendekap
lutut. Perubahan ini lebih-lebih di luar dugaan, maklumlah serangan
tinjunya sekeras itu, bila lawan tidak menangkis, pasti juga harus
berkelit. Tak nyana si suseng malah menjulurkan lurus kedua
tangan ke bawah, tidak menangkis atau berkelit Sudah tentu hal ini
membuatnya tertegun. Kejadian berlangsung cepat sekali,
mendadak pelajar setengah umur menggerakkan kedua tangan,
telapak tangan seperti mengelus sambil tubuh membungkuk seperti
menjura. Maka terdengar "Blang", tahu-tahu orang itu terkena
pukulan tinjunya. Kelihatannya jotosannya keras dan dahsyat namun si korban
yang kena pukulan ternyata tidak merasa sakit sama sekali. Sekilas
orang itu melongo, lalu menjerit keras-keras serta berteriak, "Kau,
bukankah kau ji-suhu?"
Ternyata jotosan pelajar setengah umur tadi menggunakan jurus
Jing-jiu-sek dari Tiam-jong-pay, kalau perguruan lain jurus
permulaan dan pembuka serangan hanyalah merupakan gaya
kembangan sebagai tanda penghormatan kepada lawan, tapi lain
dengan Jing-jiu-sek dari Tiam-jong-pay, jurus pembuka gaya ini
ternyata mampu melukai lawan. Sejak berusia 8 tahun orang itu
pernah belajar silat di perguruan Tiam-jong-pay, pernah belajar
dasar ilmu silat dari suseng setengah umur ini. Kungfu yang lebih
tinggi dan mendalam memang belum sempat belajar, tapi jurus
Jing-jiu-sek ini dia sudah teramat apal.
Suseng setengah umur itu ter-gelak-gelak, katanya, "Hoa-ji, kau
sudah tumbuh besar, kungfumu juga sudah banyak maju."
Kini mereka telah berdiri di tempat yang terang, dengan seksama
suseng setengah umur memperhati-. kan, pemuda tanggung di
depannya ini, wajahnya sudah jauh berbeda dengan waktu kecilnya
dulu. Tapi semakin dipandang, semakin mirip teman karibnya Beng
Goan-cau. Terkenang kepada Beng Goan-cau, serta merta suseng
setengah umur terkenang pula kepada kekasihnya Hun Ci-lo. Jejak
Beng Goan-cau sekarang tidak diketahui arah paran-nya, sementara
Hun Ci-lo sudah istirahat panjang di dalam bumi. Tak tertahan dia
menghela napas panjang, hatinya kecut, sekuatnya dia menahan
airmata. Pemuda itu tak perhatikan mimik si suseng, dengan girang dia
peluk suseng itu serta berseru, "Ji-suhu, bagaimana kau bisa datang
kemari" Mana toa-suhu?"
Suseng atau pelajar setengah umur ini bernamaToan Siu-si, salah
satu dari Tiam-jong-siang-sat, pemuda ini adalah muridnya bernama
Nyo Hoa Toa-suhu yang ditanyakan Nyo Hoa adalah toa-suheng
Toan Siu-si yang bernama PokThian-tiau, yang sudah meninggal
tujuh tahun yang lalu. Saat kematiannya itu adalah saat Nyo Hoa
diculik oleh musuh besar keluarga mereka
Melihat sikap gurunya agak ganjil, Nyo Hoa mendapat firasat
jelek, tanyanya, "Ji-suhu, sebetulnya apa yang terjadi, jelaskan
kepadaku," bahwa setelah berpisah tujuh tahun, hari ini guru dan
murid bertemu lagi, seketika menimbulkan kenangan lama dalam
benaknya. Tiba-tiba didengarnya Toan Siu-si tertawa getir, hingga Nyo Hoa
tersentak dari kenangannya, kata Toan Siu-si, "Musibah yang
menimpa toa-suhu-mu nanti akan kuceritakan. Masih banyak
persoalan lain yang harus kujelaskan padamu. Tapi sekarang kau
harus ajak aku menemui gurumu yang sekarang."
Kejut dan girang hati Nyo Hoa, katanya, "Ji-suhu, ternyata kau
sudah tahu, aku pun ingin melaporkan kepada kau."
"Sudah tentu aku tahu," ujar Toan Siu-si tertawa getir. "Suhu-mu
adalah sahabatku, sudah tujuh tahun aku mencari kalian."
Belum habis dia bicara, mendadak dirasakan desir angin
menyambar di belakang. Kontan Toan Siu-si menggantol balik ke
belakang, orang itu menyanggah sikutnya, dua jarinya laksana jeruji
besi menyelinap dari bawah ketiak menotok hiatto.
"King-sin-ci-hoat bagus," kontan Toan Siu-si berseru memuji,
telapak tangan menekan sambil menolak, kedua pihak bergerak
secepat kilat Dari samping Nyo Hoa lantas berteriak, "Jiwi (berdua)
suhu, bukankah" kalian adalah," belum sempat mengucapkan
"sahabat", Toan Siu-si sudah bergandeng tangan sambil tertawa
tergelak-gelak. Pembokong itu bukan lain adalah guru Nyo Hoa yang
sekarang, yaitu Tan Khu-seng.
"Selamat atas keberhasilan latihan King-sin-ci-hoat yang telah
lama putus turunan," demikian puji Toan Siu-si, "selamat pula atas
muridmu yang bagus."
Tan Khu-seng tertawa, katanya, "Bian-ciang Kangcu-mu juga
sudah kau latih sehebat itu menurut penilaianku masih lebih tinggi
dari pukulan berbisamu dulu. Bicara tentang murid secara tidak
langsung aku toh merebut dari tanganmu, apakah kedatanganmu
hendak menagih dia dari tanganku?"
Toan Siu-si tertawa, katanya, "Kau telah mendidiknya sebagus "
ini, belum sempat aku berterima kasih kepadamu, mana ada niatku
merebut segala. Tapi kenapa kau tidak di Khong-tong-san, tapi
pindah kemari?" "Apakah tempat ini jelek?" tanya Tan Khu-seng.
"Bagus sih memang bagus, istana gua malaekat dewata yang
sering kubayangkan ternyata juga begini saja. Tahukah kau tujuh
tahun aku mencari kalian dengan susah payah." Ada satu persoalan
yang selama ini mengganjal hatinya ingin dia minta bantuan Tan
Khu-seng untuk membeber persoalan itu.
"Mari kita bicara di dalam," ajak Tan Khu-seng, "pemandangan
terindah dari Ciok-lin toh belum pernah kau saksikan. Hoa-ji
ambilkan arak." Toan Siu-si mengikuti Tan Khu-seng menerobos gua-gua gelap
dan lembab, mendadak dilihatnya pandangan di depan terang dan
terbuka, tampak di bawah dinding curam di depan sana terdapat
sebuah telaga kecil, pinggir telaga ditaburi tanaman kembang dan
rumput yang beraneka ragam, harum wangi merangsang hidung, di
atas dinding gunung yang curam terukir dua huruf besar "KIAM
HONG" dengan gaya kuno dan indah. Sebuah batu besar di pinggir
telaga di sana juga diukir dua huruf "KIAM TI", cuma tulisannya
agak kecil. Bias sinar matahari di atas Kiam-hong menampilkan
pancaran cahaya terang benderang di permukaan telaga, bunga
mekar kelihatan lebih indah dan semarak, memetakan gambaran
permai di dalam air. Toan Siu-si menggelengkan kepala sambil menghela napas, ujarnya,
"Tempat ini memang mirip taman firdaus, tak heran kalau kau
betah dan kerasan hidup di sini.
"Konon pendekar besar Thio Tan-hong yang hidup pada jaman
dinasti Beng dahulu pernah berlatih pedang tiga tahun di atas
puncak itu, setiap hari dia mencuci pedang dengan air telaga. Maka
puncak itu dinamakan Kiam-hong (Puncak pedang), telaga itu
dinamakan Kiam-ti (Telaga pedang)."
"Kau kira aku tentram dan senang di sini?"
"Kukira kau sudah meniruJi-sia-khek yang sudah menjelajah gunung-
gunung ternama dan mencari gua dewa untuk tempat tetirah
dan terakhir kau memilih Hutan Batu ini. Apakah kau pun ada
kesulitan atau perkara yang menyulitkan dirimu?"
"Betul, karena kepepet dan terdesak oleh keadaan, baru terpaksa
aku sembunyi di sini."
Toan Siu-si merasa heran di luar dugaan pula, tanyanya, "Siapa
yang mendesakmu?" "Aku dianggap berbuat salah terhadap ciangbun susiok, sesama
saudara seperguruan pun salah paham terhadapku, sekarang aku
sudah menjadi murid murtad yang diusir dari Khong-tong-pay,"
demikian tutur Tan Khu-seng.
Toan Siu-si kaget, katanya, "Kau kan tokoh terkemuka dari
Khong-tong-pay, walau watakmu dianggap eksentrik oleh sementara
orang, aku yakin kau tak pernah melakukan pelanggaran besar,
kenapa setega itu mereka memecat dan mengusirmu."
"Aku sendiri juga tidak pernah merasa berbuat salah, salahku
lantaran aku tak mau sealiran dalam lumpur kotor," nada akhir
perkataannya terasa agak marah dan penasaran.
"Apakah karena kau menolong Hoa-ji hingga timbul persoalan
itu" Menurut hasil penyelidikanku, Hoa-ji berhasil kau rebut dari
seorang sute-mu yang jahat dan bersekongkol dengan Tiam-lam Sihou,
mereka pun merebut dan menculik Hoa-ji dari tangan suhengku.
Belakangan aku dengar kau mewakili ciang-bun susiok-mu
memutuskan hukuman, sute-mu yang berbuat jahat itu kau pecat
dan diusir dari perguruan."
"Ternyata peristiwa itu sudah kau ketahui sejelas itu, maka tak
perlu aku menjelaskan lagi. Memang ciangbun susiok pernah
menegur aku karena aku berani bertingkah atas namanya Tapi
bukan karena persoalan ini sehingga aku diusir dan sesama
perguruan tak mau menganggap diriku lagi."
"Lalu lantaran persoalan apa?"
Tan Khu-seng menggeleng kepala, katanya, "Keburukan keluarga
tidak boleh- disiarkan. Tan-heng meski kau adalah sahabat baikku,
maaf dalam persoalan ini aku tidak bisa menjelaskan kepadamu "
Karena Tan Khu-seng sudah memberi pernyataan tegas, maka
Toan Siu-si tidak tanya lebih lanjut Maka dia mengalihkan pokok
pembicaraan. "Jadi karena kau juga tidak mau menemui sesama
perguruan, maka kau sembunyi di sini?"
"Bukan aku sengaja menyingkir dari hadapan mereka, soalnya
mereka hendak membunuhku."
Toan Siu-si terbeliak kaget. Baru sekarang dia maklum kesulitan
Tan Khu-seng bukan lantaran diusir dari perguruan saja. Tapi
karena persoalan itu menyangkut keburukan keluarga Tan Khuseng,
kalau orang tidak mau menjelaskan, meski bersedia juga Toan
Siu-si tahu, dirinya takkan bisa membantu apa-apa
Dengan tawa getir Tan Khu-seng berkata, "Sekarang tentu kau
sudah paham, kenapa aku tidak ingin kau tahu diriku" Soalnya aku
khawatir kau membela aku."
"Persoalan intern perguruanmu . orang luar jelas tidak boleh
turut campur. Tapi susiok-mu kan orang yang bisa menilai urusan
secara obyektif, apa boleh aku berusaha ke arah itu?"
Dengan tegas Tan Khu-seng berkata, "Toan-heng, maksud baikmu


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh mengharukan. Untuk persoalanku ini lebih baik kau
tidak turut campur saja."
Apa boleh buat Tan Siu-si berkata, "Aku tahu diriku takkan bisa
membantumu. Tapi apa kau rela hidup mengasingkan diri sampai
tua di sini?" "Kalau tidak rela memangnya mau apa, biarlah aku menerima nasib.
Tempat ini semula sudah ditinggali orang, 3 tahun yang lalu
waktu aku menemukan tempat tersembunyi ini, terpaksa aku
mengikat permusuhan dengan seseorang."
"Siapa orangnya?"
"Tigapuluh tahun yang lalu ada seorang gembong iblisryang
malang melintang di dunia bernama Beng Sin-thong, tentunya kau
sudah tahu?" "Konon Beng Sin-thong adalah gembong silat yang setingkat
dengan mahaguru silat Kim Si-ih, kedua orang ini pernah bentrok
beberapa kali, masing-masing pernah kalah dan menang. Tapi akhirnya
dia mati di bawah pedang lihiap Le Seng-lam."
"Betul, kisah Beng Sin-thong memang banyak diketahui oleh
kaum persilatan, tapi meski dia sudah mati, masih ada pula seorang
cucu muridnya Si Yang, secara diam-diam berhasil menggembleng
diri meyakinkan Siu-lo-im-sat-kang peninggalannya, hal ini mungkin
jarang diketahui orang."2*
Toan Siu-si kaget sekali, tanyanya, "Maksudmu musuh itu adalah
cucu murid Beng Sin-thong?"
"Benar. Dia sudah menerima beberapa murid lain dan menduduki
Hutan Batu di sini, secara diam-diam siap membangun perguruan
leluhurnya supaya berjajar dan saling merebut kedudukan dengan
berbagai perguruan besar. Karena Siu-lo-im-sat-kang yang
dilatihnya belum sempurna dan khawatir rahasianya bocor, maka
bukan saja dia melarang orang memasuki Ciok-lin, malah penduduk
setempat yang berdekatan pun dibunuhnya semua."
Toan Siu-si membatin, "Tak heran aku tak berhasil menemukan
penduduk di sekitar sini." Katanya, "Manusia durjana ini memang
teramat jahat, kalau kepergok olehku, aku pun akan
mengganyangnya" "Sayang aku belum mampu mengganyang dia Tapi untung juga
Siu-lo-im-sat-kang-nya belum berhasil diyakinkan, hingga aku masih
mampu mengusirnya dari Ciok-lin."
"Kalau demikian kau harus siaga tuntutan pembalasannya."
"Waktu itu tidak ringan luka yang dideritanya akibat pukulanku,
aku yakin dalam tiga tahun lwekang-nya tidak akan sembuh secepat
itu." "Mungkin tidak dia bersekongkol dengan perguruanmu untuk
melabrakmu?" "Kukira tidak sampai terjadi. Jelek-jelek Khong-tong-pay adalah
perguruan lurus ternama, tanpa sebab mana mungkin bersekongkol
dengan kawanan siluman jahat itu" Padahal manusia-manusia jahat
itu juga khawatir bila orang lain tahu dirinya adalah cucu murid
Beng Sin-thong, maka kupikir tak berani dia mencari orang Khongtong-
pay." "Ya, semoga demikian," ucap Toan Siu-si, tapi nadanya tetap
khawatir. "Toan-heng," kata Tan Khu-seng tiba-tiba "Kalau kau ingin membantu
aku, ada satu hal yang aku ingin minta bantuanmu."
"Katakan saja. Urusanmu meski harus menerjang lautan api juga
takkan kutolak." Tak perlu kau menerjang lautan api. Baiklah kau dengarkan dulu
ceritaku tentang Ji Sia Khek. Adalah seorang hwesio bergelar Cing
Sian menurut catatan Ji Sia Khek, ia pernah membaca mantera
selama 20 tahun, menusuk jari, dan dengan darahnya dia menulis
Hoat-hoa-king, cita-citanya terlaksana di Ke-cu-san. Di akhir dinasti
Beng, di kala Congtin berkuasa, Ji Sia Khek pernah menemani
perjalanannya. Di Siang-kiang mereka ketemu begal, hwesio itu
dipukul jatuh ke air, tapi Hoat-hoa-king tetap dipegang di atas
kepalanya hingga tidak basah dan tidak hilang. Untung kawanan
begal hanya mengincar uang dan harta benda tanpa menyakiti jiwa.
Setelah dirampok habis-habisan sepanjang jalan Ji Sia Khek mencari
derma, sementara Cing Sian ber-kotbah hingga tibadi kota Lam-Iing
di Khong-say lalu mereka menetap di Cong-sian-si. Akhirnya Cing
Sian sakit dan mati di tempat itu. Belakangan Jing Sia Khek
membawa abu dan Hoat-hoa-king karyanya itu sejauh Iimaribu Ji,
akhirnya tiba di Ke-cu-san dan diserahkan ke pihak Sip-tam-si,
abunya juga dikebumikan di sana serta didirikan menara sebagai
peringatan kesuksesannya."
Toan Siu-si menghela napas, katanya, "Persahabatan sekental
dan seluhur itu, sungguh patut dibuat contoh."
"Aku sudah terusir dari perguruan, mengikat permusuhan dengan
lawan tangguh, entah kapan aku bakal mati di tempat ini. Jenazah
atau tulang belulangku tak usah kau mengangkutnya pulang ke
kampung kelahiran, tapi hasil karyaku tentang kungfu Khong-tongpay
sudah menyerap seluruh daya pikir dan memeras keringatku,
hasil yang ku-peroleh untuk memperdalam ajaran leluhur ini justru
perlu dilindungi. Hal ini kupandang sama pentingnya Ji Sia Khek
yang membawa pulang Hoat-hoa-king karya Cing Sian yang
ditulisnya dengan darah."
Toan Siu-si baru paham, katanya, "Jadi kau minta aku meniru
cara Ji Sia Khek, kalau dia membawa Hoat-hoa-king ke Ke-cu-san
lalu kau ingin supaya kuantar karyamu kepada siapa?"
"Setelah aku mati tolong kau sampaikan surat wasiatku kepada
ciangbun susiok, umpama pun dia sudah meninggal, serahkan pada
ciangbunjin yang menjadi ahli warisnya. Kau mau membantuku?"
Toan Siu-si tertawa, katanya, "Itu hanya kerjaan sambilan saja,
tapi kau justru bicara soal mati hidup, siapa tahu justru panjang
umur sampai seratus tahun, bagaimana kalau aku mati lebih dulu
malah?" Tan Khu-seng tergelak-gelak, katanya, "Biasanya kau ini periang
dan tidak percaya soal nasib, masa sekarang juga takut mati"
Sekarang kau sehat walafiat, dalam jangka tiga bulan, mungkinkah
kau akan mampus?" "Cuaca sering berubah, nasib manusia sukar diramalkan, siapa
tahu kapan aku mati."
Serius sikap Tan Khu-seng, katanya, "Toan-heng, aku tidak
berkelakar, bila kau pergi, buku karyaku itu akan kuserahkan
kepadamu, betapapun tolong kau bereskan keinginanku."
Melihat orang minta dengan sungguh-sungguh, terpaksa Toan
Siu-si menjawab, "Baik, aku berjanji. Tapi, saudara perguruanmu"."
Tan khu-seng tahu maksudnya, katanya, "Aku tahu apa yang
akan kau ucapkan. Aku memang sudah dipecat dari perguruan,
sesama saudara seperguruan juga memusuhi aku, betapapun
mereka tetap saudara seperguruan* Kungfu mumi dari Khong-tongpay
jangan sampai terjatuh di tangan musuh."
"Kenapa tidak kau turunkan kepada Hoa-ji?" tanya Toan Siu-si,
"biar kelak dia yang mengembalikan ke perguruannya?"
"Seperti juga kau, aku tidak memandang, penting perguruan.
Hoa-ji adalah muridku, juga muridmu, putra Nyo Bok lagi, dia
mempelajari tiga cabang ilmu silat. Umpama aku tidak dipecat dan
menerimanya sebagai murid, itu juga merupakan pantangan. Bila
aku serahkan hasil karyaku kepadanya jram balikan kepada
ciangbun nasibnya akan lebih buruk lagi."
Toan Siu-si tahu apa yang diucapkannya memang betul, maka
katanya tertawa, "Baiklah biar aku bantu kau untuk; membalas kejahatan
dengan kebajikan," sementara dalam hati dia membatin,
"Tapi kau belum tahu riwayat Hoa-ji sebenarnya, padahal dia bukan
putra Nyo Bok." Lega hatinya setelah mendengar janji Toan Siu-si, katanya,
"Sekarang giliranku tanya, kedatanganmu tentu lantaran Hoa-ji?"
"Betul," sahut Toan Siu-si,
"Sepantasnya aku harus kembalikan muridku kepadamu, tapi
setahun lagi pelajarannya akan tamat, seluruh kungfu milikku akan
dapat dipelajarinya semua, sudikah kau menunggu setahun lagi?"
"Kedatanganku bukan hendak menagih murid kepadamu. Bicara
setulus hati, aku sendiri tidak tahu kapan aku akan mati, banyak
pet-soalan di waktu masih kecil tidak boleh kubicarakan dengan dia,
sekarang dia sudah berusia enam belas tahun, sudah tiba saatnya
aku memberi tahu kepadanya."
Sampai di sini pembicaraan mereka, tampak Nyo Hoa
mendatangi sambil membawa seguci arak dan muncul di pinggir
Telaga Pedang. Tan Khu-seng berkata, "Inilah arak buatanku sendiri, coba kau
cium," begitu tutup guci dibuka, bau arak wangi segera menyerang
hidung. "Arak bagus, arak bagus," puji Toan Siu-si.
Tan Khu-seng tertawa, katanya, "Hari ini harus dirayakan dengan
riang gembira, cukup kau minum setengah guci?"
"Sayang takaranku amat sedikit, mungkin tak bisa menemani kau
minum sesuka ria. Jangankan satu orang setengah guci, umpama
kau enam bagian aku satu bagian juga pasti aku mabuk."
"Baiklah, sebagai tuan rumah aku minum dulu secangkir sebagai
kehormatan, boleh kau mengikuti."
Di meja batu, Nyo Hoa meletakkan cangkir serta mengisinya
penuh. Tan Khu-seng tertawa, katanya, "Tidak usah pakai cangkir."
Langsung dia angkat gucinya ke dekat mulut, seperti ikan paus menyedot
air saja, arak tertuang masuk ke dalam mulurnya, hanya
sekejap setengah guci telah"dihabiskan sendiri. Selama beberapa
tabun bercampur dengan gurunya yang satu ini, kapan Nyo Hoa
pernah melihat gurunya minum secara demikian, karuan dia
melongo. Tan Khu-seng agak mabuk, segera dia mengetuk-ngetuk jarinya
di atas meja batu sambil bersenandung. Toan Siu-si ikut merasakan
penderitaan batin sahabatnya, setelah menenggak lagi beberapa
teguk, Tan Khu-seng berkata, "Toan-heng, kau paham akan karakterku.
Minum, mari minum." Toan Siu-si juga minum dua teguk, dia pun memukul batu
bersenandung, makna syairnya merupakan jawaban syair yang
dibawakan oleh Tan Khu-seng.
Tan Khu-seng tergelak-gelak, katanya, "Toan-heng yang tidak
bisa terbang bebas adalah aku, memang aku pantas banyak berpikir
secara cermat. Mengenai dirimu, kurasa tidak perlu aku memberi
dorongan kepadamu, kau pasti bisa pentang sayap terbang bebas
ke mana kau suka pergi. Marilah habiskan scguci arak ini, kudoakan
kau dapat terbang berlaksa li jauhnya."
"Toan-heng, aku pun mendoakan kau bisa terbang menjulang ke
langit. Tapi maafkan bila aku tak bisa mengiringi kau minum arak
pula." Anak muda memang sulit menyelami perasaan orang. Nyo Hoa
seperti tahu, tapi juga tidak paham mendengar pembicaraan
mereka, namun lapat-lapat dia juga merasakan bahwa kedua
gurunya masing-masing dirundung persoalan ruwet yang
merisaukan. "Oh ya, banyak persoalan yang ingin kau bicarakan dengan Hoaji.
Baiklah aku tidak memaksamu minum lagi," demikian ujar Tan
Khu-seng, lalu dia angkat gucinya serta menghabiskan sisanya yang
masih ada, dia sudah delapanpuluh persen mabuk.
Nyo Hoa memang mengharapkan berita ibu dan toa-suhu-nya,
syukurlah kesempatan yang ditunggu sejak tadi kini telah tiba,
segera dia bertanya, "Iya, sebetulnya bagaimana keadaan toa-suhu"
Bagaimana pula kabar ibuku" Ji-suhu kau tahu bukan" Aku yakin
beliau pasti mencariku ke mana-mana."
Seperti diiris-iris hati Toan Siu-si, dengan kencang dia genggam
tangan Nyo Hoa, katanya, "Hoa-ji, aku harap kau menjadi laki-laki
sejati yang tabah dan berkeras hati, kau mau berjanji kepadaku?"
Nyo Hoa melongo, tak tahu kenapa gurunya bertanya demikian,
sahurnya, "Sudah tentu aku harus menjadi laki-laki sejati, ibu dan
toa-suhu pun sering menganjurkan dan mendidikku demikian."
"Bagus, anak baik! Baiklah kuberi tahu kepadamu, kau harus
tabah. Ibumu dan toa-suhu sudah-sudah meninggal semua."
Bagai disambar geledek, seketika terbalik mata Nyo Hoa, hatinya
sedih tapi airmata tidak bisa keluar, saking kaget dia melongo
sekian lama. Dengan berat Toan Siu-si membujuknya, "Hoa-ji,
sadarlah. Apakah kau tidak ingin menuntut balas sakit hati mereka?"
"Uuaaaaa," akhirnya pecah juga tangis Nyo Hoa, lama dia
menggerung-gerung, kedua suhu juga membiarkan dia melampias
rasa dukanya, dengan sesengguk akhirnya Nyo Hoa bertanya
setelah tangisnya reda. "Siapakah yang mencelakai mereka?"
"Yang membunuh adalah Tiam-lam-si-hou, mereka sudah
kubunuh satu persatu. Musuh pembunuh ibumu, sebelum ajalnya
dia pun telah berhasil dibunuhnya juga. Tapi mereka masih punya
musuh yang sama" "Siapakah dia?" tanya Nyo Hoa
"Yaitu dinasti kerajaan yang berkuasa sekarang, yaitu bangsa
Ciu. Kau harus tahu, ini bukan dendam pribadi, musuh yang
membunuh mereka adalah cakar alap-alap, atau antek kerajaan
Ceng itu." Hambar perasaan Nyo Hoa, tanyanya, "Lalu bagaimana aku
harus menuntut balas?"
"Kerajaan menguras harta benda rakyat, menindas dengan
berbagai peraturan dan menggorok leher rakyat dengan pajak tinggi
bukan saja kerajaan yang berkuasa beserta antek-anteknya adalah
musuh besarmu, mereka pun musuh besar rakyat jelata. Di luar
tersebar pejuang-; pejuang bangsa penentang penjajahan, kelak
kau harus berdsi berdampingan dengan mereka, berpihak kepada
laskar rakyat baru kau dapat membalas sakit hati,"
"Ji-suhu," ujar Nyo Hoa kertak gigi sambil mengepal tinju, pasti
paruh akan naschat dan petunjukmu." Saking pilu kembali dia
menangis menggerung-gerung.
Mendadak Tan Khu-seng berkelak tawa tiga kali, bentaknya,
"Tidak boleh menangis."
Nyo Hoa berjingkat kaget, "Mungkin suhu sudah gila?" demikian
batinnya. Didengarnya Tan Khu-scng berkata, "Manusia siapa tidak akan
mati, aku justru ingin mati seperti mereka. Ada orang panjang usia
hidup sampai seratus tahun, tapi hidupnya biasa dan tawar, meski
hidup juga tidak membawa manfaat bagi masyarakat, maka tidak
lebih dia itu hanyalah seekor ulat tak berguna. Ada sementara orang
meski usianya pendek, tapi kcmatian mereka amat berharga,
nilainya setinggi gunung, kcmatiannya membawa manfaat besar
bagi orang lain, kema-tiannya menjadikan suri teladan bagi pejuang
bangsa dan patriot tanah air. Nah, kau suka menjadi orang macam
yang mana?" Bergolak darah Nyo Hoa, tanpa pikir segera dia menjawab, "Aku
lebih suka menjadi orang yang belakangan suhu sebut"
Tan Khu-seng tergelak-gelak, serunya, "Maka itulah, kau justru
harus merasa bangga mempunyai ibu dan toa-suhu yang gagah
berani; gugur demi nusa dan bangsa, karena mereka adalah
manusia teladan. Lalu untuk apa kau menangis"
Kalau sampai kesehatanmu, terganggu, apa menangis dapat
membantu kau menuntut balas?"
Nyo Hoa mengusap airmata, katanya, "Ya, aku tidak akan menangis
lagi." "Betul, begitu baru anak baik," puji Tan Khu-seng, tapi


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingat sejarah hidupnya sendiri yang serba susah dan hanya
bergulat dalam urusan pribadi, setelah tergelak tak terasa
airmatanya berlinang-Iinang.
Berkata Toan Siu-si lembut, "Hoa-ji, masih ada yang ingin
kubicarakan dengan engkau."
"Ya, boleh suhu bicara saja," ujar Nyo Hoa.
"Masih setahun lagi baru pelajaranmu tamat dengan sam-suhu,
bila tiba saatnya mungkin aku akan datang menjemputmu, tapi
mungkin juga aku takkan bisa datang. Maka kau harus
memanfaatkan tempo setahun ini."
"Ji-suhu, kenapa kau tidak menetap di sini dengan kami?"
"Karena di luar masih banyak persoalanku yang harus kubereskan,"
sembari bicara Toan Siu-si merogoh keluar sejilid buku kumal
tulisan tangan, pada sampulnya yang sudah kuning tertera empat
huruf berbunyi "Beng-keh-to-hoat" (Buku ilmu golok keluarga Beng)
diserahkan kepada Nyo Hoa.
Nyo Hoa bingung dan tidak mengerti, tanyanya, "Beng-keh-tohoat"
Ji-suhu, untuk apa kau berikan kepadaku?"
Sejak kecil hobi Tan Khu-seng belajar silat, melihat Beng-keh-tohoat
dia amat terkejut, matanya terbeliak memancarkan sinar
terang, katanya, "Beng-keh (keluarga Beng) ini, apakah Beng-keh
dari karesidenan Sam-ho itu?"
"Betul," sahut Toan Siu-si.
Semakin besar mata Tan Khu-seng mendelik, katanya, "Bengkeh-
kwi-to (Ilmu golok kilat keluarga Beng) nomor satu di dunia,
dari mana kau peroleh.buku pelajaran ilmu golok ini?"
"Yang pasti bukan hasil curian," sahut Toan Siu-si tertawa.
Tan Khu-seng tahu orang tidak mau menjelaskan kepada dirinya,
meski kurang senang, tapi dia yakin pasti ada sebabnya. Maka dia
tidak menyelidiki asal-usulnya, katanya lebih lanjut, "Konon ahli
waris satu-satunya dari Beng-keh-kwi-to adalah Beng Goan-cau,
usianya belum genap empatpuluh tahun, namanya sudah
menggetarkan Kangouw, apa kau mengenalnya?"
"Dia adalah salah satu pimpinan penting dari laskar rakyat di
Siau-kim-jwan, syukur aku sempat berkenalan sama dia."
"Ah," Nyo Hoa menimbrung, "kalau demikian dia enghiong
penentang kerajaan penjajah?"
"Betul," ujar Toan Siu-si. "Hoa-ji, aku akan minta kau melakukan
satu hal bagiku, soal ini secara langsung akan menyangkut pribadi
Beng Goan-cau. Nyo Hoa membatin, "Ji-suhu memberi buku ini kepadaku tentu
dia akan menganjurkan aku meyakinkan ilmu golok di dalam buku
ini. Bahwa pelajarannya adalah ilmu golok kilat dari keluarga Beng,
sudah tentu menyangkut pribadi Beng Goan-cau."
Betul juga didengarnya Toan Siu-si berkata, "Aku menuntut kepadamu,
dalam jangka setahun inii kau harus berhasil meyakinkan
golok kilat dari keluarga Beng cu pergilah cari Beng Goan-cau dan
ajaklah dia bertanding."
Bahwa dirinya harus menantang duel dengan Beng Goan-cau
sungguh membuat Nyo Hoa kaget, katanya, "Menantang duel Beng
Goan-cau, kenapa?" "Kau harus melampiaskan penasaranku," sahut Toan Siu-si,
jawabnya justru menambah heran dan kaget Nyo Hoa.
"Ji-suhu, bukankah kau bilang Beng Goan-cau adalah enghiong,
ksatria sejati penentang penjajah" Lalu, lalu?" dalam hati dia membatin,
"Kalau dia seorang pejuang besar kenapa ji-suhu mengikat
permusuhan dengan dia?"
Toan Siu-si tahu apa yang terkandung dalam benak Nyo Hoa.
katanya, "Betul, Beng Goan-cau adalah temanku, tapi di antara kami
dulu pernah juga terjadi persclisihan, meski bukan urusan serius,
tapi penasaran gurumu betapapun harus terlampias. Tentang
perselisihan di antara aku dengan dia, kenapa aku harus menuntut
kau untuk duel dengan dia, sementara aku tak akan menjelaskan
kepadamu. Kelak setelah kau berduel dengan Beng Goan-cau, pasti
akan kujelaskan kepadamu. Cukup asal kau berbuat menurut
petunjukku saja" "Ji-suhu minta bagaimana aku harus menantangnya berduel,"
tanya Nyo Hoa "Setelah kau berhadapan dengan Beng Goan-cau, sebelum
bertanding, jangan kau katakan sebagai muridku. Tapi kau harus
gunakan kungfu yang kuajarkan bersama sam-suhu, sampai"."
Belum habis orang bicara, Nyo Hoa sudah menukas, "Aku
memang cuma bisa kungfu ji-suhu dan sam-suhu saja Waktu kecil
memang ibu pernah mengajarkan pelajaran dasar lwekang, tapi
permainan silat sama sekali belum diajarkan."
"Tidak," ucap Toan Siu-si, "bila kau latih dengan tekun dan rajin,
setahun kemudian kau pasti sudah berhasil meyakinkan Beng-kchto-
hoat dengan baik." Nyo Hoa heran, katanya, "Ilmu golok itu warisan keluarganya,
apakah kau ingin aku menggunakan golok keluarganya
mengalahkan dia?" Toan Siu-si tertawa, ujarnya, "Sudah tentu aku mengharap kau
cukup menggunakan ilmu silat ajaranku untuk mengalahkan dia.
Tapi hal itu takkan tercapai meski kau latihan sepuluh tahun lagi,
apalagi dalam setahun ini kau sudah harus berhadapan dengan dia
Maka menurut perhitunganku, kau tetap takkan dapat mengalahkan
dia" "Bukankah aku tetap tak dapat melampiaskan penasaran suhu?"
tanya Nyo Hoa "Tapi aku punya satu cara, sehingga kau dapat mengalahkan dia"
"Cara apa?" "Tadi sudah kau katakan, yaitu menghadapinya dengan Bcngkch-
to-hoat. Tapi kau harus menunggu sampai tiga jurus terakhir
baru menggunakannya"
Nyo Hoa ragu-ragu dan setengah percaya katanya, "Aku harus
menggunakan Beng-keh-to-boat menempur jago kosen nomor satu
dari keluarga Beng, bukankah aku bermain kayu di depan seorang
ahli?" Tan Khu-seng adalah seorang ahli silat, segera dia tergelakgelak,
katanya, "Cara itu memang bagus. Itu dinamakan menyerang
lawan yang tidak siaga secara mendadak. Pada tiga jurus terakhir
baru kau melancarkan ilmu golok warisan keluarganya dia pasti
kaget. Jago kosen bertempur mana boleh terpecah perhatiannya,
saat itulah kau dapat merebut kemenangan dengan kesempatan
baik itu." Toan Siu-si tertawa, ujarnya, "Bukan kesempatan terbaik, tapi
yakin kau pasti dapat menang."
Maklum Tan Khu-seng hanya menilai dari bidang ilmu silat,
sejauh ini dia belum tahu bahwa Nyo Hoa adalah, putra Beng Goancau.
Sebaliknya Toan Siu-si dapat membayangkan, bila Beng Goancau
tahu putranya yang menantang duel dirinya, betapa tergoncang
perasaan hatinya. Maka Toan Siu-si berkata lebih lanjut, "Begitu kau lancarkan tiga
jurus Beng-keh to-hoat, Beng Goan-cau pasti kehabisan akal tidak
tahu cara bagaimana harus melawan. Tapi aku larang kau
melukainya" "Sudah tentu," ucap Nyo Hoa "Beng Goan-cau adalah pejuang
besar pembela nusa dan bangsa, mana boleh aku melukainya?"
"Masih ada lagi. Jurus terakhir, aku tetap menghendaki kau
menggunakan kungfu ajaranku, gunakan jurus Jing-jiu-sek itu,
cukup kau menyengkelitnya.jatuh. Berarti kau sudah merebut nama
baik dan memberi muka kepadaku."
Nyo Hoa hanya mengiyakan saja, namun dalam hati dia tak habis
heran, "Apa yang diuraikan ji-suhu seakan-akan kejadian sudah
berada dalam genggamannya, aku justru tak mau percaya urusan
dapat semudah itu untuk mencapai kemenangan," maka dia
bertanya, "Ji-suhu, kau bilang banyak urusan silahkan dibicarakan
dengan aku, ini____"
"Betul. Masih ada satu hal, kau harus ingat apa pun yang
diucapkan Beng Goan-cau kepadamu, kau harus mempercayainya"
Maklum Nyo Hoa adalah anak kandung Beng Goan-cau,
persoalan ini Toan Siu-si tidak enak menjelaskan di hadapan Tan
Khu-seng, walau mereka adalah sahabat kental puluhan tahun.
Malah terhadap muridnya sendiri berat juga dia membuka suara
Kembali Nyo Hoa dibuat heran, pikirnya, "Beng Goan-cau adalah
toa-cnghiong, seorang gagah perkasa apa yang diucapkan patutkah
tidak kupercaya" Buat apa suhu berpesan demikian kepadaku?"
Tan Khu-seng juga merasakan sepak terjang Toan Siu-si agak
nyentrik, katanya "Toan-heng untuk mengalahkan Beng Goan-cau,
kau mengatur rencana dan memeras keringat, kurasa hal ini
berbeda dan kebiasaanmu dulu."
"Seperti ceritamu tadi, Ji Sia Khek menangisi kematian kawannya
dan rela menunaikan cita-citanya yang belum terlaksana Aku pun
punya seorang teman yang telah meninggal, tugas yang dibebankan
kepada Hoa-ji, tiada lain untuk melaksanakan cita-cita kami dua
sahabat yang masih hidup dan yang sudah mati. Yang kenal diriku
tahu berapa penderitaan batinku, yang tidak mengenalku takkan
tahu apa yang kudambakan. Tan-heng, maaf bila sekarang aku
belum bisa memberi penjelasan kepadamu."
Nyo Hoa terheran-heran, pikirnya, "Semula ji-suhu bilang hendak
melampiaskan penasaran hatinya, tapi sekarang putar balik bilang
menunaikan cita-cita teman baik yang telah meninggal, bukankah
alasannya serba bertentangan satu dengan yang lain" Kenapa pula
bila aku menantang duel Beng Goan-cau akan dapat menunaikan
cita-cita temannya?"
Mana Nyo Hoa tahu teman Toan Siu-si yang telah mati itu adalah
ibu kandungnya sendiri, sementara teman yang masih hidup adalah
ayah kandungnya. Tujuan Toan Siu-si adalah meminjam alasan
berduel supaya ayah dan beranak bertemu dan tahu siapa lawannya
itu. Tan Khu-seng menduga orang ada kesulitan untuk menjelaskan,
dia pikir dirinya juga ada persoalan serupa, maka dia merasa lapang
dada, katanya, "Toan-heng, maaf bila aku terlalu menyalahkan kau.
Walau aku tidak tahu persoalannya, tapi usaha dan jerih payahmu
demi sahabat, sedikit banyak aku dapat merasakan. Mari, mari hayo
kita minum lagi." "Suhu," ucap Nyo Hoa, "arak dalam guci ini sudah habis. Apakah
perlu kuambilkan seguci lagi?"
Mendadak dilihatnya Tan Khu-seng angkat jarinya ke depan
mulut serta mendesis supaya jangan berisik, bergegas dia berdiri.
Nyo Hoa kaget, tanyanya, "Suhu, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa," ujar Tan Khu-seng tawar, "tapi arak tak boleh
kuminum lagi." Walau sikapnya tidak kelihatan gugup, tapi sorot
matanya menatap tajam ke mulut Kiam-hong di depan sana.
Nyo Hoa masih belum tahu apa yang telah terjadi, sementara
Toan Siu-si sudah mendengar ada orang sedang memasuki Ciok-lin,
malah yang datang tidak cuma seorang. Pikirnya, "Orang yang
membuat Tan Khu-seng setegang ini amat jarang di dunia ini.
Mungkinkah musuh besarnya itu yang datang?"
Betul juga didengarnya sebuah suara dingin berkumandang di
luar, "Tan Khu-seng, tidak kau kira secepat ini aku kembali bukan?"
"Sudah lama kuduga kau pasti akan datang, cepat atau lambat
sama saja. Siapa teman yang kau ajak kemari, kenapa tidak muncul
sekalian?" Tampak seorang laki-laki aneh berperawakan sedang melangkah
masuk, wajahnya jelek pipinya menonjol, hidung belang mulut
singa, jidatnya sempit berbentuk lonjong, dengan tertawa dia
berkata, "Kenapa buru-buru, biarlah persoalan kubicarakan lebih
dulu." Nyo Hoa berkata lirih, "Ji-suhu, apakah orang itu gembong iblis
she Yang?" Toan Siu-si memperhatikan dengan cermat wajah orang itu
memang jelek tapi kedua matanya bercahaya, sekilas dapat
diketahui, orang ini meyakinkan Iwekang tinggi. Dengan kencang
Toan Siu-si memegang tangan Nyo Hoa, dengan perlahan dia
berpesan, "Jangan takut Hoa-ji, peduli berapa banyak mereka
datang, bila nanti bergebrak, kau ikut aku saja."
Nyo Hoa berkata keras, "Kenapa aku takut" Dia kan jago yang
sudah keok di tangan sam-suhu."
Iblis she Yang itu hakikatnya tidak melihat atau tidak mendengar
akan percakapan Toan Siu-si dan Nyo Hoa, matanya tetap menatap
Tan Khu-seng sambil menyeringai iblis, katanya, "Tan Khu-seng,
tampaknya kau hidup bahagia di sini, tampak gemuk kau!"
"Yang Ke-beng, ingin kentut lekas kentut, ada persoalan apa
lekas paparkan saja," bentak Tan Khu-seng dengan suara berat.
Toan Siu-si baru tahu nama gembong iblis itu, pikirnya,
"Namanya Ke-beng, mungkin maksudnya hendak meneruskan
kejayaan dan kebesaran cosu-nya Beng Sin-thong."
Yang Ke-beng tertawa, katanya, "Tan Khu-seng, otakmu kan
masih sehat, memangnya perlu aku putar lidah lagi" Kukira sudah
lama dan puas merebut tempat tetirahku ini."
"O, agaknya kau sudah berhasil meyakinkan Siu-lo-im-sat-fainr
kini hendak merebut Cio k-lio aaL
Walau dia tidak takut bahwa secepat ini kepandaian Yang Kebeng
pulih kembali, namun juga di luar dugaannya Semula dia
mengira sedikitnya tiga tahun, baru kungfu Yang Ke-beng pulih, tak
nyana bukan saja luka dalamnya sudah sembuh, dari sorot matanya
yang tajam dan suaranya yang berisi, terasa kungfunya bertambah
dari dahulu. Yang Ke-beng berkata kalem, "Pandanganmu memang tajam, sayang
hanya separo kau betul meraba maksud kedatanganku."
Tan Khu-seng tertawa dingin, katanya, "Sudah tentu aku tahu
kedatanganmu bermaksud jahat Bagaimana kehendakmu" Sebutkan
saja caranya." "Hutang jiwa bayar jiwa, hutang uang bayar uang. Kau merebut
tempatku adalah jamak kalau sekarang kau kembalikan kepadaku.
Tapi bukan hanya soal perebutan tempat saja urusanmu dengan
aku." "Memang aku memukulmu luka parah. Kau ingin menuntut balas,
aku siap menandingimu. Tapi berapa banyak jiwa penduduk
setempat yang kau bunuh?"
"Itu urusan lain, aku hanya membuat perhitungan dengan kau."
"Begitu boleh, apa kehendakmu."
Tiba-tiba Yang Ke-bcng menga-kak tiga kali, tidak segera turun
tangan malah berkata, ?"Mengingat dahulu kau adalah murid Khongtong-
pay, terhadapmu aku boleh bertindak murah. Asal kau
menyembah tiga kali dan menyebut kakek kepadaku, boleh"."
"Kentutmu busuk!" bentak Tan Khu-seng mendadak dengan
tertawa dingin. "Enyahlah kau dari sini."
"Tan Khu-seng hari ini masih kau pikir hendak menindasku dengan
kekerasan, jangan bermimpi di siang hari bolong."
"Jadi kau tidak mau enyah?" bentak Tan Khu-seng.
"Justru kau yang harus enyah dari sini!" Yang Ke-beng balas
membentak. "Baiklah, biar aku tentukan siapa jantan dan betina Ingin aku
rasakan betapa lihay Siu-lo-im-sat-kang yang berhasil kau yakinkan
lagi." "Tan Khu-seng," Yang Ke-beng tertawa dingin, "jangan kau kira
kau telah mengundang jago kosen untuk membantumu lantas
berani bertingkah di hadapanku. Ketahuilah, aku pun membawa dua


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teman yang pasti tidak pernah kau sangka, apa kau ingin bertemu
dengan mereka?" "Hanya kau dan aku yang membuat perhitungan, sesama teman
tidak perlu dilibatkan dalam urusan ini. Memangnya aku juga sudah
menduga bila kau pasti membawa komplotan anjing kawanan rase."
Mendadak dia menuding ke mulut gunung sana serta membentak
dengan meninggikan suara, "Kalian sudah datang, buat apa longak
longok macam pencuri ayam, silakan keluar."
Di antara batu-batu yang berserakan, di tempat yang dituding
memang berdiri dua orang, mendengar seruannya lantas keduanya
beranjak keluar. Yang jalan di depan adalah seorang to"su berambut
uban, yang di belakang adalah seorang perwira setengah umur.
Tosu itu tampak gusar, dengan muka mem-besi dia tuding Tan Khuseng
sambil memaki, "Tan Khu-seng, kau kurang ajar terhadap
orang tua, berani memakiku lagi."
Seketika berubah hebat air muka Tan Khu-seng, bukan karena
takut, tapi lantaran sedih dan sakit hatinya. Sesaat kemudian, baru
dia berkata, "Susiok, aku" aku tidak menduga kau orang tua yang
datang." Ternyata tosu beruban ini bukan lain adalah salah satu dari
Khong-tong-sam-lo, bernama Tong-hian-cu. Tong-hian-cu adalah
sute dari ciangbunjin Ling-hi-cu, berarti adalah susiok Tan Khu-seng.
Baru saja Tan Khu-seng membantah kekhawatiran Toan Siu-si
bahwa pihak Khong-tong-pay berse-kongkol dengan gembong iblis
she Yang, tapi sekarang kenyataan terpampang di depan mata,
komplotan yang diajak kemari ternyata adalah susiok-nya
Bahwa Tan Khu-seng amat kaget, ternyata lebih besar rasa kaget
Toan Siu-si. Bukan saja Toan Siu-si kenal tianglo Khong-tong-pay ini, dia pun
kenal siapa perwira itu. Perwira itu bernama Auyang Ya, murid
keponakan Pakkiong Bong komandan Gi-Iim-kun yang terdahulu,
putra Auyang Kian, gembong iblis yang pernah malang melintang
belasan tahun dulu. Setelah Auyang Kian dan Pakkiong Bong
beruntun mati, Auwyang Ya masih tetap bekerja di Gi-Iim-kun,
sekarang pangkatnya sudah tinggi, menjadi wakil komandan Gi-Iimkun.
Bahwa manusia jahat macam Yang Ke-beng menjadi antek kerajaan
tidak perlu dibuat heran, tapi tianglo Khong-tong-pay ternyata
sekongkol dengan wakil komandan Gi-lim-kun, benar-benar di luar
dugaan Toan Siu-si. "Tong-hian-cu yang bejat hingga dia terjun ke lumpur atau
seluruh Khong-tong-pay sudah terbeli oleh pihak kerajaan?"
demikian batin Toan Siu-si, sudah tentu harapannya hanya Tonghian-
cu yang tipis imannya saja yang terjerumus ke jurang nista.
Terdengar Tong-hian-cu berkata kepada Tan Khu-seng, "Tahukah
kau kenapa sejak tadi aku tidak lantas keluar" Aku sengaja hendak
memeriksa sepak terjangmu. Hm, hm, Tan Khu-seng ternyata
semakin tua kau memang makin bejat"
Timbul amarah Tan Khu-seng, tapi dia tetap menaruh hormat kepada
orang yang lebih tua, katanya sambil menahan amarah, "Mana
berani. Selama beberapa tahun ini, meski keponakan muridmu ini
tidak memperoleh kemajuan apa pun, tapi aku yakin selama ini
tidak pernah melakukan apa pun yang merugikan perguruan."
Tong-hian-cu tertawa dingin, katanya, "Masih berani kau bicara
tentang perguruan, sudah lama kau bukan murid perguruan kita"
Tawar suara Tan Khu-seng, "Susiok sudah tidak mengakui aku
sebagai murid perguruan, lalu untuk apa kau orang tua jauh-jauh ke
sini mau periksa segala?"
Tong-hian-cu naik pitam, serunya, "Walau kau sudah dipecat dari
perguruan, dosamu tetap harus dihukum, biar aku bicara secara
gamblang, atas perintah ciangbun su-heng, aku kemari untuk
menggusurmu pulang menjalani hukuman."
"Aku melanggar peraturan apa dan apa dosaku?" bantah Tan
Khu-seng. "Dosa lama belum terhukum, kini ditambah dosa baru. Bukan
hakmu kau mengusir sute sehngga dia mati tak karuan paran, itu
dosa lama. Kau merebut dan menduduki tempat orang lain serta
melukai orang itulah dosa bara. Tadi Yang ig menuntut kebenaran
kcpa-asal mau berlutut mengaku salah, kemungkinan kesalahanmu
dapat diampuni Tapi kau bertingkah dan sewenang-wenang
mengusirnya lagi. Dengan mata kepala sendiri aku saksikan
perbuatanmu, masih berani mungkir."
"Susiok. dosa lama yang kau katakan, pernah aku memberi penjelasan
langsung kepada ciangbun Susiok, waktu itu kau pun hadir,
di sini kukira tidak perlu aku banyak mulut Kalau kalian tidak mau
memaafkan, apa yang dapat kulakukan. Tentang kejadian hari ini
memangnya kau tidak tahu bahwa Yang siansing ini adalah cucu
murid keturunan iblis besar Beng Sin-thong?"
"Kalau benar memangnya kenapa" Jangan kau mempersulit
urusan." jengek Tong-hian-cu.
"Betul, yang jernih biar jernih, yang kotor biarkan kotor, sebab
antara cosu dan cucu murid tidak sepantasnya dibicarakan bersama
Sayangnya perbuatan Yang siansing ini ternyata meniru perbuatan
kakek moyangnya dulu, berarti dia menempuh jalan sesat yang
pernah dilakukan leluhurnya, hal ini tidak boleh dibicarakan secara
terpisah. Berapa banyak jiwa yang pernah dibunuhnya, susiok,
mungkin kau masih belum tahu?"
Tong-hian-cu tertawa dingin, katanya, "Terang mulut memang
tiada kata-kata baik, sepantasnya kau menjelekkan dia, aku tak
punya tempo untuk menyelidik kebenaran obrolanmu. Yang terang
kusaksikan sendiri kau anggap diri sendiri lebih kuat lalu berbuat
sewenang-wenang. Setelah merebut dan menduduki tempat orang
masih berani mengusirnya. Sampai pun aku yang diundang untuk
menegakkan keadilan juga kau caci maki."
Tan Khu-seng menahan gejolak amarahnya, katanya tawar,
"Susiok, sudah jelas kau berpihak kepada manusia siluman yang
jahat ini, aku pun tak perlu banyak mulut lagi."
"Memang kau setimpal menerima ganjaran sesuai dosamu,
memangnya masih berani mungkir," demikian bentak Tong-hian-cu.
"Thay-susiok," tiba-tiba Nyo Hoa menyeletuk, "kau selalu menandaskan
guruku merebut tempat orang lain, memangnya Ciok-lin
ini milik pribadi keluarganya?"
Sekilas Tong-hian-cu mendelik kepada Nyo Hoa, katanya,
"Apakah binatang cilik ini anak Hun Ci-lo?"
Nyo Hoa berseru gusar, "Walau kau adalah thay-susiokku, tidak
sepantasnya kau memaki orang."
"Hoa-ji." tukas Tan Khu-seng, "orang lain tidak tahu bagaimana
menghargai diri sendiri, itu urusan orang lain. Pandanglah muka
gurumu, maka bersabarlah, jangan kau ribut mulut dengan thaysusiok."
Lalu dia berpaling ke arah Tong-hian-cu dan berkata,
"Betul, muridku ini adalah anak Hun-lihiap, kenapa?"
"Sute yang kau usir seenak perutmu itu, akhirnya mati di bawah
pedang Hun Ci-lo, perempuan bawel yang busuk itu, apa kau tahu?"
Nyo Hoa berjingkrak gusar. "Kau maki aku boleh saja, tapi
memaki ibuku, maka aku tak peduli kau ini thay-susiok atau tua
bangka, kau ini tosu bangsat yang busuk"."
"Siapa thay-susiok-mu," bentak Tong-hian-cu, "kau memang
akan kugusur pulang supaya murid perguruan kita menuntut balas
kepadamu," Tan Khu-seng maju menghadang di depan muridnya, sehingga
ceng-kraman Tong-hian-cu luput, seketika dia merasa ada
serangkum tenaga lunak sekokoh tembok menahan serangannya,
meski lunak tenaga orang tapi tak urung dia terdesak mundur
selangkah. Karuan hatinya kaget, pikirnya, "Kungfu murid murtad ini
ternyata lebih maju dari tiga tahun yang lalu. Mungkin ciangbun
suheng sendiri yang harus tampil membekuknya"
"Hoa-ji," bentak Tan Khu-seng, "jangan kurang ajar." Lalu dia
berkata pula, "Susiok, kau adalah angkatan tua, kenapa
berpandangan sesempit anak kecil. Dan lagi sute mati di bawah
pedang ibunya, tiada sangkut pautnya dengan dia Menurut apa
yang kutahu, muridmu itu membantu kerajaan menggempur laskar
rakyat di Siau-kim-jwan hingga terbunuh oleh Hun-lihiap, maka
urusan kukira tak boleh menyalahkan Hun-lihiap."
Menyala mata Tong-hian-cu, bentakmya, "Jadi aku harus menyalahkan
siapa?" bicara sambil men-jingkrak, kelakuannya yang kasar
sudah tidak mirip seorang tua angkatan tinggi, jelas tanpa alasan
dia memang mau cari perkara. Dengan tenang Tan Khu-seng
berkata, "Dia adalah muridku, sute yang terbunuh oleh Hun-lihiap
juga aku meme-catnya, maka boleh menyalahkan aku saja"
"Baik, segera kau punahkan kungfumu sendiri, ikut aku pulang
menerima hukuman." "Masih ada persoalan lain?"
"Ada, kau telah menurunkan kungfu perguruan kita kepada binatang
cilik ini, maka kau pun harus punahkan kungfunya juga Mengingat
dia masih bocah, jiwanya boleh diampuni."
Tan Khu-seng diam saja, setelah orang selesai bicara tiba-tiba dia
tertawa terbahak-bahak. Tong Hian-cu gusar, dampratnya "Apa yang kau tertawakan"
Berani membangkang perintah ketua kita?"
Tan Khu-seng tertawa, katanya, "Bahwa kau tidak mengakui aku
sebagai murid perguruanmu kenapa aku harus tunduk pada
perintah ketuamu yang masih diragukan kebenarannya "
"Walau kau sudah dipecat tapi dosamu belum dihukum. Kalau
kau tidak mau memunahkan kungfumu sendiri, biar aku saja yang
melakukan." Memangnya Tan Khu-seng terpengaruh oleh air kata-kata (arak),
jengkel dan amarah menggejolak dalam hati, maka dia terbahak lagi
tiga kali, katanya, "Betul, aku memang salah, tapi kesalahanku tak
seperti yang kau katakan tadi. Tak usah kau tanya, biar kujelaskan
sendiri. Pertama, kalian ingin mencari tulang punggung dan terima
menjadi antek kerajaan supaya memperoleh pangkat dan harta
benda, aku tak mau ikut dalam intrik kalian, maka beberapa kali di
hadapan ciangbun susiok aku berusaha merintangi rencana busuk
kaljan. Maka kau yang paling getol memperoleh pangkat dan
kedudukan ini lantas pandang aku sebagai musuh utama, sebelum
aku dilenyapkan, kau pandang sebagai duri dalam daging.
"Kedua, perbuatan kotormu teramat busuk sehingga ciangbun
susiok ikut terkena getahnya, sejauh ini orang luar masih belum
tahu duduk persoalannya, hanya aku saja yang jelas mengetahui.
Kau tidak bertobat dan menebus dosa kesalahanmu malah ingin
mencelakai aku." Berubah pucat muka Tong-hian-cu, gusar dan kaget bukan main,
dengan suara gemetar, "Kau, kau, kau membual apa, memangnya
perbuatan apa yang pernah kulakukan hingga malu berhadapan
dengan orang?" "Apa perlu kubeber di hadapan umum" Ai, betapapun keburukan
keluarga tidak boleh tersiar, kalau sampai kubeber, jika kau tidak
malu, di hadapan sahabat baikku, akulah yang malu."
Toan Siu-si yang mendengarkan di samping amat kaget, pikirnya,
"Tak heran dia bilang punya kesulitan, ternyata jika membicarakan
perbuatan kotor itu, Ciangbunjin Khong-tong-pay ternyata juga
kerembet. Sejauh ini aku masih kira Ling-siau-cu adalah laki-laki
sejati." "Tutup mulutmu," saking malu, gusar dan dongkol, Tong-hian-cu
menghardik, mendadak dia menubruk sengit.
Sebat sekali Tan Khu-seng gunakan Ih-sing hoan-wi (Merubah
bentuk pindah kedudukan). Tan Khu-seng mengelakkan diri, katanya
dingin, "Susiok apa betul kau ingin bergebrak dengan aku"
Jelek-jelek kau adalah angkatan tuaku, kalau kau tetap ingin
bergebrak, baiklah aku mengalah tiga jurus. Bagus, ini jurus
pertama." Saking marah, Tong-hian-cu sampai mendelik, barusan dia sudah
merasakan kelihayan Tan Khu-seng, tahu dirinya belum tentu dapat
mengalahkan dia. Bila dirinya betul kecundang di tangan murid
keponakan, betapa malu dirinya, begitu Tan Khu-seng berseru "jurus
pertama", meski hati gemas, namun jurus kedua tidak berani
dilancarkan lagi, bukan saja dongkol dan marah, keadaannya pun
serba runyam. Tan Khu-seng berkata tawar, "Susiok, kuanjurkan bila urusan
bisa damai sampai di sini saja."
Melihat Tong-hian-cu kehabisan akal dan kebingungan, lekas
Yang Ke-beng tampil ke depan, katanya, "Tong-hian toheng, tak
usah marah, kau menegakkan keadilan untukku, sungguh aku
sangat berterima kasih. Tapi permusuhanku dengan dia biar
kuperhitungkan sendiri. Toheng boleh tidak ikut campur."
Lega hati Tong-hian-cu, namun dia masih berkata, "Dia adalah
murid murtad perguruan kita, sewajarnya aku yang membersihkan
nama baik perguruan. Tapi hubungan dengan kau bukan biasa,
jikalau kau tidak mampu menuntut balas dengan tangan sendiri,
tentu hatimu kurang tenang, baiklah kau tolong bantu aku
membekuknya saja." Untuk menghadapi Yang Ke-beng, Tan Khu-seng tidak perlu khawatir,
katanya, "Sebelum dimulai perlu dibicarakan biar jelas,
apakah kau akan melawan seorang diri?"
"Aku minta susiok-mu menjadi saksi, sudah tentu aku akan melawanmu
seorang diri." Kiranya Yang Ke-.beng juga khawatir bila
Toan Siu-si membantu Tan Khu-seng, meski dia yakin Tong-hian-cu
dan Auwyang Ya pasti akan merintanginya, tapi kalau pertempuran
menjadi kacau balau lalu Tan Khu-seng dan Toan Siu-si bertindak
nekad terus melabraknya bersama, jelas dia tidak akan mampu
mempertahankan diri, maka lebih baik kalau bertanding satu lawan
satu. Tan Khu-seng memang memancing pernyataan ini, katanya,
"Baik persoalan hari ini biar kau dan aku saja yang menentukan
kalah menang, mati dan hidup. Siapa berani menyentuh seujung
rambut muridku ini, selama aku tetap bernapas pasti aku akan adu
jiwa dengan dia" Tong-hian-cu tahu pernyataannya ditujukan kepada dirinya, dia
hanya mendengus kembali sambil menarik muka, tapi tidak
memberi reaksi apa-apa namun dalam hati dia merencanakan akal
busuk. Wakil komandan Gi-lim-kun Auwyang Ya melirik ke arah
Toan Siu-si dan Nyo Hoa, dalam hati dia pun sedang merancang
suatu langkah menguntungkan.
Tapi mereka baru akan bertindak sesudah pertempuran Yang Kebeng
melawan Tan Khu-seng dimulai, bagaimana kelanjutan adu
kekuatan ini baru mereka bisa memutuskan bagaimana mereka
akan turun tangan. Maka empat orang dari dua pihak yang
berlawanan berdiri di pinggir Telaga Pedang, menonton sambil
menahan napas. "Lekas turun tangan, masih tunggu apalagi," bentak Tan Khuseng.
Di saat lawan bersuara itulah mendadak Yang Ke-beng melontarkan
pukulan telapak tangannya, pukulannya dilandasi kekuatan Siulo-
im-sat-kang tingkat delapan yang berhasil dia yakinkan belum
lama ini. Tingkat tertinggi Siu-lo-im-sat-kang adalah tingkat sembilan, tingkat
delapan sudah luar biasa. Setiap kali pukulan dilontarkan pasti
menimbulkan pergolakan hawa dingin, hawa dalam Hutan Batu
yang semula hangat seperti di musim semi di bawah pancaran sinar
matahari mendadak berubah dingin seperti berada dalam lembah
salju.

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toan Siu-si yang memiliki lwe-kang tangguh pun seketika merinding
dibuatnya, Waktu dia menoleh, dilihatnya Nyo Hoa kedinginan
sampai menggigil dengan gigi gemerutuk, tapi pipinya tetap
bersemu merah seperti buah apel. Legalah hati Toan Siu-si,
pikirnya, "Sejak kecil bocah ini sudah belajar dasar Iwekang yang
kokoh dari aliran murni, yang diyakinkan adalah Thong-cu-kang,
dibanding aku waktu masih seusia dia jauh lebih kuat. Gelagatnya
dia masih kuat bertahan, tak perlu aku menguatir-kan dia." Lalu
terpikir pula, "Siu-lo-im-sat-kang memang tidak bernama kosong,
bila aku yang menghadapi iblis she Yang ini, mungkin aku takkan
kuat bertahan lama. Tan Khu-seng bergerak yang berat seringan
kapas, beberapa tahun belakangan ini, kemajuan kungfunya
sungguh luar biasa."
Di luar tahu Toan Siu-si, Tan Khu-scng sendiri juga amat kaget.
Di tengah damparan angin pukulan lawan sekuat badai, Tan Khuseng
berdiri sekokoh gunung, orang lain mengira dia cukup kuat
menghadapi rangsakan lawan, padahal dia sendiri merinding
hatinya. Pikirnya kaget, "Latihan Siu-lo-im-sat-kang iblis ini agaknya
jauh lebih kuat dari dahulu, bagaimana dia bisa pulih secepat ini?"
Dalam pertempuran dulu, Yang Ke-beng terpukul luka parah,
semula dia kira untuk memulihkan kungfu semula Yang Ke-beng
harus berlatih lagi dari permulaan paling cepat tiga tahun.
Ternyata Yang Ke-beng memperoleh bantuan Auyang Ya.
Auwyang Ya memberi sebutir Tiang-jun-tay-po-hoan dari gudang
obat istana yang dicurinya, khasiat obat ini dapat memulihkan
semangat dan menambah tenaga, mujarabnya tidak kalah dibanding
Tay-hoan-tan buatan Siau-lim-si. Karena itu pula Yang Ke-beng mau
merendahkan derajatnya, terima menjadi antek kerajaan diperalat
oleh Auwyang Ya. Meski kaget tapi Tan Khu-seng tetap bersikap angkuh dan tidak
gentar. Beberapa tahun ini meski Siu-Io-im-sat-kang Yang Ke-bcng
memperoleh kemajuan, namun gwakang dan Iwekang Tan Khuseng
sendiri pun tidak sedikit kemajuannya. Selangkah pun dia tidak
mau mengalah. "Sreeet" kontan dia menusuk seraya membentak,
"Walau Siu-lo-im-sat-kang berhasil kau yakinkan sampai tingkat
delapan, memangnya kau dapat berbuat apa terhadapku?"
Kiam-sut (ilmu pedang) Tan Khu-seng sungguh setenang air,
sekokoh gunung, selincah kelinci, tampak Ceng-kong-kiam
berkelebat di tengah udara, seketika menaburkan lapisan pedang
yang tak terhitung banyaknya. Lengan baju kanan Yang Ke-beng
terpapas hancur beterbangan di udara seperti kupu-kupu. Tapi Tan
Khu-seng tidak segera merangsak meski memperoleh posisi lebih
unggul, tampak pedangnya dia pindah ke tangan kiri serta berdiri
terlongong malah. Dalam scgebrak yang singkat ini kedua pihak sudah menukar
serangan yang berbahaya dan mematikan. Yang Ke-beng diserang
tusukan pedang dari arah yang tak terduga sehingga sebagian
lengan bajunya terpapas hancur, Ki-ti-hiat dan Ih-khi-hiat terpaut
serambut saja hampir tertusuk. Tapi Tan Khu-seng juga tergetar
kedinginan karena punggung pedangnya kena dijentik sekali oleh
Hian-im-ci, betapa tepat dan telak sasaran dan waktu yang
diperhitungkan, lebih lihay lagi karena jentikan itu mengakibatkan
pedang Tan Khu-seng dingin beku seperti es, hampir tak kuat
dipegangnya lagi. Dengan rasa terkejut lekas Tan Khu-seng pindah pedang di
tangan kiri, pikirnya, "Ternyata iblis ini juga sudah meyakinkan Kekbu-
thoan-kang." Kek-bu-thoan-kang merupakan sejenis ilmu lihay
dan aneh dari aliran sesat, dahulu Beng Sin-thong pernah
menggunakan ilmu ini untuk bertanding dengan lociangbun Thiansan-
pay, Teng H iau-lan (Tong Siauw Lan), dengan kesudahan sama
kuat alias seri. Taraf latihan Yang Ke-beng sekarang jelas tidak
setinggi Beng Sin-thong dulu tapi kemampuan Tan Khu-seng
sekarang jelas juga jauh ketinggalan dibanding Teng Hiau-lan Oleh
karena itu, setelah kedua pihak sama pamer kepandaian, masingmasing
mengalami sedikit kerugian.
Yang Ke-beng menggunakan Kek-bu-thoan-kang menjentik
pedang lan Khu-seng dengan Hian-im-ci, seketika terasa segulung
hawa dingin merembes ke batang pedangnya menerjang urat nadi
di tangan Tan Khu-seng yang memegang pedang. Oleh karena
itulah meski lebih unggul seurat, namun dia tidak mampu
menyerang lebih jauh, lalu memindah pedang ke tangan kiri.
Hampir saja hiatto mematikan ditusuk pedang, maka Yang Kebeng
tersuruk mundur tiga langkah, tak urung keringat dingin bercucuran.
Baru saja Tan Khu-seng memindah pedang ke tangan kiri,
mendadak Yang Ke-beng sudah menubruk maju pula. Sebab sekali
gerakan Tan Khu-seng menuding timur memukul barat, memukul
utara menyerang selatan, dalam sekejap hanya sinar pedang yang
kelihatan membungkus badan. Mau tidak mau Yang Ke-beng
menarik napas dingin, pikirnya, "Tak terduga permainan pedang
dengan tangan kirinya juga lihay."
Dalam pertempuran sengit, kembali Yang Ke-beng
mengembangkan ilmu Kek-bu-thoan-kang, kali ini dia mengincar
dengan tepat "Creng" jarinya menjentik punggung pedang, kali ini
Yang Ke-beng memperhitungkan waktu lebih tepat, begitu jentikan
berhasil, secepat kilat sebelah tangannya menyambar terus
mencengkeram. Bentaknya, "Lepas pedang!"kelimajari seperti
gantolan, untuk menambah kekuatan pukulan Siu-lo-im-sat-kang
tingkat kedelapan yang dilancarkan dengan telapak tangan kiri.
Siapa tahu, dia kira gerakannya sudah cepat tapi Tan Khu-seng
lebih cepat lagi, cengkramannya tetap mengenai tempat kosong.
Tahu-tahu Tan Khu-seng sudah pindah pedang di tangan kanan
pula. "Sret, sret" beruntun tiga jurus berantai, setiap tusukan
pedang dilancarkan dari sudut dan posisi yang aneh dan lihay. Yang
Ke-beng dipaksa melancarkan Kek-bu-thoan-kang, tapi kali ini
jarinya tidak mampu menjentik punggung pedang lawan.
Tan Khu-seng membentak, "Diberi tidak membalas kurang
hormat, nah kau pun rasakan keli-hayan ilmu pedang menotok
hiatto-ku!" Mendadak gaya pedangnya berubah, serangannya ibarat
kilat menyambar guntur menggelegar, pertahanannya pun serapat
gelombang menghimpun cahaya. Kontan Yang Ke-beng merasakan
penjuru sekelilingnya hanya kelihatan bayangan Tan Khu-seng,
telapak tangannya ternyata tidak mampu menyentuh ujung baju
orang. Di mana ujung pedang Tan Khu-seng bergerak, selalu
mengincar hiatto mematikan di tubuhnya. Walau tidak sampai
tertusuk, namun setiap hiatto-nya yang terincar pasti terasa dingin
semilir. Toan Siu-si pun seorang ahli silat yang lihay, terutama dalam
permainan pedang dia pun memiliki taraf yang tinggi, pikirnya, "Kim
Tiok-liu digelari jago kosen ilmu pedang nomor satu di seluruh
dunia, sayang pada pertemuan besar di Taysan dulu, aku hanya
sempat menonton petilannya saja. Tapi menilai apa yang pernah
kusaksikan itu, bila Tan Khu-seng mau berlatih beberapa tahun lagi,
mungkin dapat dia mengejar taraf Kim Tiok-liu dulu."
Saking kagum dan terpesona melihat temannya mengembangkan
kehebatan ilmu pedangnya, tanpa merasa dia bersorak sambil
bertepuk tangan, "Sip-hun-kiam-hoat bagus, King-sin-ci-hoat
hebat!" Perlu diketahui, Sip-hun-kiam-hoat (Ilmu pedang penyedot
mega) mengutamakan kelincahan dan berkelebat pergi datang,
merupakan salah satu kungfu kelas tinggi dari Khong-tong-pay.
Sementara King-sin-ci-hoat adalah ilmu tiam-hoat dari Khong-tongpay
yang sudah lama lenyap dan putus turunan. Tokoh tua dan
tingkatan tinggi macam Tong-hian-cu sebagai tianglo dari Khongtong-
pay pun hanya tahu namanya dan tidak tahu cara bagaimana
melatihnya. Tong-hian-cu menonton dengan melongo, iri dan kepingin,
"Apakah lo-ciangbun dulu berat sebelah hanya menurunkan ilmu ini
kepadanya secara diam-diam, atau dia memperoleh sejilid buku
rahasia pelajaran silat perguruan kita, di luar tahu ciangbun suheng
yang sekarang?" demikian dia mereka-reka dalam hati. Di luar
tahunya bahwa King-sin-ci-hoat ini adalah karya Tan Khu-seng
sendiri berkat jerih payah dan keenceran otaknya. Tan Khu-seng
memang seorang jenius ilmu silat, bakat tinggi otak cerdas, setelah
mahir dan memahami banyak kungfu ajaran perguruannya, dengan
tekun dia menyelidiki, memperdalam dan mengembangkan ilmu silat
yang pernah dipelajarinya, satu tembus seratus terangkai, hingga
ilmu silat perguruan warisan leluhurnya yang telah putus turunan
dapat dia ciptakan kembali, bukan saja karya besarnya ini kira-kira
sepadan malah ciptaannya itu lebih unggul dari yang pernah ada.
Malah King-sin-ci-hoat dia ubah dalam permainan ilmu pedang, jadi
antara pedang dan jari berhasil dikombinasikan untuk menotok
hiatto, jelas perbawanya berlipat ganda lebih hebat dan lihay.
Umpama para guru besar dari generasi yang telah lalu dari Khongtong-
pay hidup kembali juga cuma begitu saja.
Akan tetapi Yang Ke-beng adalah ahli waris dari iblis aneh Bulim,
Beng Sin-thong, kepandaiannya sekarang juga lebih unggul
dibanding sebelum ini, maka kehebatannya pun tidak boleh
dipandang enteng. Begitu dahsyatnya jalan pertempuran sampai angin pukulan
membisingkan telinga, debu pasir berter-bangan, sinar pedang
berkelebatan menyilaukan mata. Cahaya dingin dan aliran angin
dingin berseliweran berbentuk gumpalan-gumpalan putih laksana
kabut atau mega Nyo Hoa sudah tidak tahan lagi. terpaksa dia mundur lagi sejauh
duapuluhan tombak di luar arena
Bukan hanya Siu-lo-im-sat-kang Yang Ke-beng saja yang lihay,
langkah kakinya ternyata juga ajaib memang dia tidak ungkulan
melawan Tan Khu-seng, namun per-mainan pedang Tan Khu-seng
yang lincah itu pun tak mampu melukai dirinya. Maklum Beng Sinthong
memiliki campuran ilmu silat yang ruwet dan luas, apa yang
dipahami Yang Ke-beng sekarang paling hanya tigapuluh persen
kemampuan cikal bakalnya dulu, tapi di antara sekian ilmu yang
pernah dipelajarinya ada sejenis Thian-lo-pou-hoat (Langkah jaring
langit) yang khusus berguna untuk menghindari serangan pedang
kilat atau golok cepat, dan manfaatnya ternyata memang patut
dibanggakan. Seratus jurus kemudian Tong-hian-cu menghela napas lega,
batinnya, "Bila pertempuran berkepanjangan, yakin Yang Ke-beng
akan memperoleh kemenangan. Dia hanya berusaha mematahkan
setiap jurus serangan pedang Tan Khu-seng, sebaliknya di samping
harus melawan serangannya, Tan Khu-seng harus kerahkan
lwekang supaya tidak terserang hawa dingin jahat yang ditimbulkan
dari Siu-lo-im-sat-kang. Lwekang-nya belum tentu lebih unggul
dibanding aku, jadi dalam seratus jurus lagi, yakin dia tidak akan
kuat bertahan lagi."
Sementara Toan Siu-si juga merasa lega hati, pikirnya, "Siu-loim-
sat-kang yang diyakinkan Yang Ke-beng memang lihay, tapi lwekang
yang diyakinkan Tan Khu-seng dari aliran mumi dan tulen,
kurasa dia cukup kuat untuk mempertahankan diri. Kurasa Thayjing-
khi-kang yang diyakinkan Miao Tiang-hong juga begitu saja."
Dua orang ahli silat punya dua pandangan yang berbeda,
mungkin mereka lebih cenderung ke pihak kawan sendiri supaya
menang, maka pandangan mereka sedikit berat sebelah. Namun
dinilai gelagatnya sekarang, kedua lawan ini memang setanding,
sukar dibedakan siapa lebih unggul.
Taraf kepandaian Nyo Hoa masih cetek, dia tidak bisa menyelami
di mana letak intisari kehebatan pertempuran kedua orang ini, tapi
begitu asyik dia menonton sampai tak disadarinya kaki tangan ikut
bergerak dan menari, jelas dia pun teramat tegang. Pernah satu
jurus Tan Khu-seng melancarkan serangan menyerempet bahaya
hingga tak kuasa Nyo Hoa berteriak, "Bagus, coba kau iblis laknat ini
akan lari ke mana" Sayang, sayang hanya terpaut serambut saja."
Ternyata tusukan pedang Tan Khu-seng tetap tidak dapat melukai
Yang Ke-beng. Tong-hian-cu tiba-tiba menyeringai dingin, sentaknya dingin,
"Setan kecil gembar gembor apa nah, dengarkan perintahku,
tidurlah saja." Dia kira Yang Ke-beng jelas di pihak yang unggul
sebentar lagi juga menang, tiada yang perlu ditakuti lagi maka
sengaja dia mencari-cari alasan hendak mencari perkara dengan
Nyo Hoa. Toan Siu-si membentak, "Menganiaya bocah, kau tahu malu
tidak?" Kumandang suaranya, orangnya pun datang, baru saja cakar
jari Tong-hian-cu mencengkeram Nyo Hoa, tiba-tiba dilihatnya sinar
dingin berkelebat, pedang panjang Toan Siu-si sudah mencegat
perge-langan tangannya. Lekas Tong-hian-cu menarik tangan sambil
membentak, "Aku menghukum murid perguruan sendiri, apa
sangkut pautnya dengan kau?"
Toan Siu-si balas membentak, "Nyo Hoa adalah muridku, memangnya
kau tidak tahu" Dan lagi Tan Khu-seng sudah kalian pecat
dari perguruan, apakah Nyo Hoa masih boleh terhitung murid
Khong-tong-pay?" Saking jengkel membesi hijau muka Tong-hian-cu, bentaknya,
"Dia pernah mempelajari kungfu Khong-tong-pay, aku punya hak
untuk memunahkan kungfunya, tahu"
"Tidak sukar bila kau ingin memunahkan kungfunya, tapi kau
harus tanya dulu kepada pedang di tanganku, apakah dia setuju
atau akan menamatkan jiwamu."
Jawaban Toan Siu-si tegas dan berani, nadanya seolah-olah tidak
memandang Tong-hian-cu sebelah mata pun. Jelek-jelek Tong-hiancu
termasuk Bulim cianpwc, mana bisa dia menelan penghinaan ini"
Maka dia mencak-mencak serta gembar gembor, hardiknya, "Toan
Siu-si, berani kau kurang ajar, kau kira pinto tidak berani menghajar
kau?" "Kau bukan susiok-ku lho, jangan jual tampang sebagai cianpwe
segala. Bila kau di pihak yang benar, siapa pun akan mengalah
kepadamu, sekarang biar aku yang menghajar adat kepadamu."
Sudah tentu Tong-hian-cu jadi malu untuk mengundurkan diri,
dengan gusar dia turun tangan, tangan kiri memegang hud-tim,
tangan kanan menyoren pedang panjang, kebutan dan pedang
adalah keahliannya Hud-tim menyerang dengan jurus Hud-hun-kianjit
(Mengebut mega melihat mentari), tangan kanan pakai tipu Tokiat-
kim-ciam (Terhindar bencana jarum emas).
Bila dinilai sifat senjatanya, hud-tim lunak pedang keras, dua sifat
senjata yang berbeda digunakan bersama memang sukar
dikendalikan. Tapi Tong-hian-cu pandai menguasai diri dan berlatih
secara tekun hingga berhasil mengkombinasikan kedua senjata yang
lunak dan keras ini saling bantu, bila dua jurus dilancarkan bersama,
yang satu menyerang yang lain bertahan, dan yang bertahan
mampu balas menyerang sementara yang menyerang bisa bertahan
pula "Tosu busuk," maki Toan Siu-si sambil tertawa dingin,
"kepandaian- mu terlalu jauh dibanding murid keponakanmu itu."
Tiba-tiba dia bergerak cepat, serangan dibalas serangan, walaupun
dia tidak memegang dua senjata, tapi pedang dan ilmu pukulan
telapak tangannya juga tidak kalah lihay, kedua tangannya juga
mahir melancarkan dua jenis ilmu sekaligus.
Suatu Jcetika Tong-hian-cu menyabet kepala dengan kebutan lemasnya,
kontan Toan Siu-si menyambut dengan pukulan telapak
tangan, enteng dan perlahan seperti tidak menggunakan tenaga
namun rambut-rambut kebutan yang ribuan itu ternyata tertolak


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi oleh angin pukulannya. Perlu diketahui, dahulu Toan Siu-si
pernah meyakinkan pukulan berbisa, belakangan dia sadar pukulan
beracun kurang dihargai, maka dia ganti haluan, rajin meyakinkan
bian-ciang (Pukulan kapas), tujuh tahun lamanya dia berlatih secara
tekun, akhirnya Pukulan Kapas-nya itu mencapai taraf memukul
batu menjadi bubuk. Memang untung dia meyakinkan bian-ciang,
dengan tenaga lunak dapat memunahkan kekuatan lunak, hingga
permainan kebutan Tong-hian-cu dapat dia atasi dengan baik. Di
kala dia menyampok pergi kebutan lawan, pedang panjang Toan
Siu-si di tangan kanan pun telah menusuk tiba. "Trang", dua pedang
panjang beradu. Di tengah meletiknya kembang api, gerakan kedua
orang sama terhuyung, telapak tangan mereka pun terasa sakit dan
kesemutan. Jelas kedua pihak tiada yang menarik keuntungan,
berarti taraf kepandaian mereka seimbang alias setanding.
Tong-hian-cu menjengek sekali, kebutannya bergerak pula,
namun benang-benang kebutannya tidak berhamburan tapi
mengeras jadi satu, digunakan sebagai boan-koan-pit untuk
menotok hiatto Toan Siu-si. Berbareng pedang di tangan kanan
bergerak selincah kupu-kupu menari, nyata titik kelemahan permainan
kebutannya dapat disumbat dengan kelincahan pedangnya.
Tercekat hati Toan Siu-si, pikirnya, "Tosu busuk ini memang tidak
bernama kosong sebagai satu jago dari Khong-tong-sam-lo, kungfu
lunak dan keras ternyata mampu dimainkan semahir ini, tokoh lihay
dalam bidang ini memang jarang terdapat di Bulim."
Tujuan Toan Siu-si menggoda dan mengolok-olok lawannya memang
memancing kemarahannya. Yang benar umpama kepandaian
Tong-hian-cu tidak setaraf dengan Tan Khu-seng, tapi juga tidak
terpaut terlalu jauh seperti yang diucapkan Toan Siu-si. Bila bicara
kematangan dan latihan murni kungfu Khong^-tong-pay, jelas Tan
Khu-seng harus mengaku asor.
Tong-hian-cu adalah rase tua yang licik dan licin, walau dia naik
pitam oleh olok-olok Toan Siu-si, namun tidak sampai lupa daratan.
Dia maklum pertempuran jago kosen sekali-kali pantang marah dan
terpecah perhatian, maka dia menahan amarah serta mengembangkan
kedua ilmunya menyerang secara menggebu-gebu.
Bayangan pedang berseliweran, kebutan menari timbul
tenggelam dengan bayangan telapak tangan. Pertempuran Toan
Siu-si melawan Tong-hian-cu ternyata setanding dan sengit, masingmasing
pihak mempunyai keunggulan dan kekurangannya sendiri,
begitu seru pertarungan mereka seumpama dilerai juga bukan soal
gampang. Nyo Hoa memeluk dada menonton penuh perhatian tanpa
berkedip, kepalanya menoleh lalu berpaling ke sana ganti berganti..
Kedua orang itu adalah orang yang sangat memperhatikan dirinya,
dia pun amat memperhatikan keselamatan kedua gurunya,
jantungnya berdebar cepat atau lambat mengikuti perubahan
pertempuran di tengah arena. Bila pertarungan memuncak, tak
terasa dia bersorak dan bertepuk sambil berjingkrak, sering pula dia
geleng kepala menyatakan sayang dan membanting kaki dengan
jengkel. Usia Nyo Hoa masih muda, tapi sejak umur lima tahun dia sudah
meyakinkan kungfu, sampai sekarang latihannya sudah mencapai
sebelas tahun, lapi dalam latihan biasa sering dia bertarung dengan
gurunya, jadi belum punya pengalaman tempur sesungguhnya
dalam medan laga. Kini mendapat kesempatan menyaksikan
pertarungan seru jago kosen" yang mengadu jiwa, maka timbul
hasrat dalam hatinya untuk membandingkan dan menerawang
latihan dirinya dengan pertarungan sengit ini. "Justru Thui-thangbong-
gwat (Mendorong jendela melihat rembulan) yang dilancarkan
suhu, kukira hanya pukulan biasa yang harus dipelajari setiap calon
murid baru, ternyata memiliki gaya perubahan sehebat dan selihay
ini. Justru Hian-ciau-soat-soa (Burung sakti menggaris pasir) samsuhu
semula lambat menjadi cepat, jelas berbeda dengan gerakan
biasa, jadi di sinilah letak intisari dari bergerak belakangan
menundukkan lawan lebih dulu." Setelah menyaksikan ratusan
jurus, tak disadarinya banyak rahasia dari permainan silat yang
berhasil diselami. Tengah menonton dengan asyik, mendadak didengarnya Toan
Siu-si membentak, "Hoa-ji, awas anjing galak menggigiti"
Nyo Hoa tersentak kaget, dilihatnya Auwyang Ya tiba-tiba sudah
berada di sampingnya. Auwyang Ya tertawa, katanya, "Setan cilik, kaki tanganmu gatal
bukan setelah menyaksikan pertarungan seru, bagaimana kalau
main-main dengan aku?"
Nyo Hoa melompat, sebelum ia sempat melolos pedang, cepat
sekali Auwyang Ya mendadak telah merangkap kedua jari menotok
lebih dulu. Belum lagi jari mengenai tubuh, sudah terasa segulung
hawa panas menerpa tubuhnya. Kaki Nyo Hoa melangkah dengan
Sip-hun-pou-hoat, bergegas dia meloloskan diri.
Auwyang Ya memaki, "Setan alas, licin juga kau!n Totokan jari
dirubah pukulan telapak tangan, serangkum angin panas menderu
kencang. Ternyata itulah pukulan Lui-sin-ciang (Pukulan geledek)
keluarganya, setiap pukulan yang dilancarkan pasti menimbulkan
deru angin seperti hembusan angin yang keluar dari tungku yang
membara apinya. Tan Khu-seng segera memberi aba-aba, "Menuju Kian-kun, belok
ke Kan-wi, tusuklah Lau-kiong-hiat."
Nyo Hoa berbuat sesuai petunjuk gurunya, jarinya segera
menotok dan telak mengincar Lau-kiong-hiat di telapak tangan
musuh. Auwyang Ya meyakinkan Lui-sin-ciang, paling takut bila Laukiong-
hiat ditotok, karena sekali kena totokan, hawa muminya pasti
buyar dan itu berarti ilmunya pun pecah, maka lekas dia tarik
tangannya. Karena memberi petunjuk kepada muridnya, Tan Khu-seng harus
memecah perhatian, sedikit terlena Yang Ke-beng berbalik balas
menyerang. Siu-lo-im-sat-kang tingkat delapan memang hebat luar
biasa, rangsakannya tiba-tiba menindih tiba, betapapun tangguh
lwekang Tan Khu-seng, tak urung dia menggigil kedinginan.
Toan Siu-si berteriak, "Dengan pedang kilat serang bagian
bawah!" Sedikit terpecah perhatian, dia pun terdesak oleh Tonghian-
cu, hampir saja muka tersabet oleh kebutan Tong-hian-cu.
Nyo Hoa sudah menggerakkan pedang, berkelit meloloskan pedang,
balas menyerang dilakukan sekaligus. "Sret, sret, sret"
beruntun tiga kali serangan berantai dia berebut serangan dengan
lawan, teriaknya, "Jiwi suhu tidak usah khawatir, murid tidak takut
anjing galak ini." Toan Siu-si tergelak-gelak, katanya, "Betul, namanya kambing
kecil tidak takut harimau."
"Tidak betul," Tan Khu-seng menimpali. "Lebih pantas dikatakan
kambing kecil tidak takut anjing jahat" Melihat murid mereka meski
berhadapan dengan musuh tangguh, tapi dapat melayani dengan
baik, hatinya girang bukan main, maka tak hiraukan musuh tangguh
sedang mencecar dirinya. Tong-hian-cu dan Yang Ke-beng memang bukan lawan
sembarang lawan, begitu memperoleh inisiatif serangan, mereka,
lantas memberondong selebat hujan deras, sambung menyambung
tidak ada putusnya. Toan Siu-si dan Tan Khu-seng jadi kerepotan
juga, hingga tidak sempat lagi memberi petunjuk kepada sang
murid. Kepandaian.sejati Nyo Hoa sudah tentu jauh dibanding lawan,
tapi Si-hun-pou-hoat-nya cukup lincah dan gesit, dalam hal
kegesitan jelas Auwyang Ya tidak bisa mengungguli dia. Toan Siu-si
tahu kelemahan lawan maka dia suruh Nyo Hoa menyerang bagian
bawah Auwyang Ya supaya lawan tidak sempat menghimpun tenaga
mumi untuk melancarkan Lui-sin-ciang. Akan tetapi karena
perbedaan kungfu mereka terlalu jauh, apalagi situasi dalam
sekejap telah berubah, umpama kedua guru Nyo Hoa sempat
memberi petunjuk juga tidak mungkin bisa mengatasi perubahan
yang terjadi dalam waktu sesingkat itu. Oleh karena itu belasan
jurus permulaan Nyo Hoa memang masih mampu bertahan, namun
setelah seratus jurus, meski tinggi semangat tempurnya, tapi tenaga
sudah tidak memadai lagi.
Mendadak Tan Khu-seng melancarkan tiga jurus serangan kilat,
Yang Ke-beng didesaknya mundur, begitu sempat ganti napas
segera berteriak, "Hoa-ji dengarkan, kau harus berlaku di mata ada
musuh di hati tiada musuh."
Kedua patah kata ini merupakan petuah tinggi dari intisari
permainan silat kelas wahid, biasanya entah berapa kali Tan Khuseng
memperingatkan kepada Nyo Hoa. Begitu mendengar
peringatan gurunya, seketika Nyo Hoa maklum dan berpikir, "Betul.
Kenapa aku melupakan kedua petunjuk itu?".
"Di mata ada musuh dalam hati tiada musuh" diartikan harus
menghadapi musuh secara serius, namun juga harus anggap enteng
lawannya. Menghadapi musuh kau harus memperhatikan segala
gerak-geriknya, hadapi secara telaten dan sungguh-sungguh, tapi
hatinya tidak boleh gentar atau takut terhadap musuh tangguh
sekali pun. Bila kebiasaan ini berhasil diyakinkan mencapai taraf
tinggi, dalam pertarungan bisa terasa seperti kau tidak menghadapi
musuh dan tidak sedang mengadu jiwa, maka segala pikiran ruwet
bisa kau lempar serta mengembangkan seluruh kemampuanmu
sampai puncak yang tertinggi.
Nyo Hoa sudah lama memaklumi dan menyelami makna kedua
petuah itu, segera dia bergerak lincah, setiap jurus serangan
dipunahkan setiap tipu dipatahkan; hakikatnya tak terpikir olehnya
untuk merebut menang demi mengejar nama, kedudukan atau
gengsi segala, tidak perlu terburu nafsu mengalahkan musuh,
syukur musuh akan kewalahan sendiri, betul juga setelah bertempur
dengan pedoman itu, keadaannya yang semula terdesak lambat
laun terasa longgar. Auw-yang Ya sendiri juga merasakan
permainan pedang Nyo Hoa sejurus demi sejurus makin lihay dan
ganas, setiap gerakan pedangnya seolah-olah mengincar hiatto
mematikan di atas tubuhnya, meski dia berkepandaian jauh lebih
tinggi dari Nyo Hoa, lama kelamaan kebat-kebit hatinya.
Tanpa terasa seratus jurus telah lewat pula. Dalam jangka waktu
selama ini, Tan Khu-seng sudah memperbaiki posisinya, kini dia
yang unggul di atas angin. Sementara Toan Siu-si dengan Tonghian-
cu masih sama kuat alias setanding. Tapi seratus jurus
kemudian, kembali Nyo Hoa merasa kehabisan tenaga. Diam-diam
dia mengeluh dan menyesali diri sendiri, "Aku sudah diberi petunjuk,
tapi masih juga tidak mampu mengalahkan keparat ini." Padahal
Auwyang Ya adalah seorang gembong silat di Kangouw, jago silat di
Bulim yang mampu melawannya sama kuat jaman ini tidak lebih
belasan orang saja, bahwa sekarang dia mampu melawannya
sampai tigaratus jurus, ini menandakan kemampuannya sudah
cukup hebat. Karena sekian lama tidak mampu merobohkan bocah ingusan,
lama kelamaan Auwyang Ya sendiri juga gelisah, maka tenaga
pukulannya bertambah keras. Panas dan gerah luar biasa, Nyo Hoa
sudah mandi keringat. Padahal dia sudah menumpahkan seluruh
konsentrasinya untuk menghadapi musuh, tapi rasa panas memang
luar biasa sehingga dia sukar mengontrol diri, permainannya
menjadi makin kacau. Melihat kesempatan sudah tiba, mendadak Auwyang Ya
membentak keras, telapak tangannya memukul pergi pedang Nyo
Hoa, kelima jari tangan kirinya, bagai gantolan, mencengkeram
batok kepalanya. Jurus ini merupakan serangan mematikan yang
biasa dibanggakan Auwyang Ya, dia yakin jalan mundur Nyo Hoa
sudah tercegat dan ke mana pun dia berkelit tak akan bebas dari
ancaman serangannya. Tan Khu-seng yang melawan Yang Ke-beng kini sudah berada di
atas angin, indranya tetap memperhatikan keadaan muridnya.
Melihat Nyo Hoa terdesak terancam bahaya, mendadak dia
menghardik sekeras guntur, tubuhnya mencelat melambung.
Mendadak Yang Ke-beng merasa pandangannya seperti terhalang
oleh halimun tebal, berbareng bau arak menyerang hidung, baunya
memualkan. Ternyata di kala badannya melejit itulah, Tan Khu-seng
menyemburkan arak dalam perutnya. Lekas Yang Ke-beng
memejamkan mata, kedua tangan bergerak sekencang kitiran
melindungi badan. Semburan arak sederas hujan berjatuhan di atas
badannya, meski dia sudah meyakinkan kekebalan badan umpama
sekeras tulang besi kulit tembaga, tak urung sekujur badan terasa
sakit dan panas. Tak pernah dia duga bahwa Tan Khu-seng masih
punya kepandaian simpanan ini, karuan hatinya kaget sekali.
Semburan arak Tan Khu-seng kelihatannya perbuatan nakal yang
kurang pada tempatnya, padahal dia sudah kerahkan seluruh
Iwekang yang pernah diyakinkan. Beberapa hiatto Yang Ke-beng
kena semprot arak panas itu hingga hawa dingin dari pukulannya
jauh berkurang juga, tapi Tan Khu-seng sendiri juga telah kehabisan
hawa murni. Maklum Iwekang mereka sebenarnya setanding,
kungfu juga sama kuat. Kalau Tan Khu-seng tidak bertindak
senekad ini, jelas dia sukar untuk membebaskan diri dari sergapan
Yang Ke-beng. Di sebelah sana mendadak Toan Siu-si juga bersuit panjang, di
mana pedang panjangnya bergerak dengan sepuluh bagian
kekuatan lwekang-nya membelah ke arah Tong-hian-cu. Karuan
Tong-hian-cu tersirap kaget, bentaknya, "He, mau adu jiwa?" Maka
terdengar "Pletak" begitu kedua pedang beradu, ternyata pedang
patah menjadi empat potong.
Kontan Toan Siu-si timpukkan kurungan pedangnya, tanpa hiraukan
bagaimana kelanjutan dari keadaan Tong-hian-cu, segera dia
putar tubuh berlari ke arah muridnya. Tujuannya sama dengan Tan
Khu-seng, yaitu hendak menolong jiwa Nyo Hoa. Maka timpukan
pedangnya itu dinamakan Sin-liong-tiau-bwe (Naga sakti melempar
ekor) merupakan salah satu jurus tunggal dari Toan-keh-kiam-hoat
yang terlihay. Tong-hian-cu tidak menduga dan tidak sempat
berkelit "Bles" kutungan pedang telak menghunjam dadanya.
Ternyata ketahanannya kuat luar biasa, meski terluka parah, mata
merah membara, dia masih mampu ulur tangan me-notok tiga
hiatto di sekitar lukanya. Itulah ilmu totok menutup jalan darah
khusus dari Khong-tong-pay sehingga orang yang terluka tidak
lemas dan mati karena kehabisan darah, namun setelah menotok
hiatto sendiri dia sudah tidak kuat lagi. Tapi usahanya ini juga hanya
pertolongan pertama yang sementara saja.
Tahu jiwa sendiri takkan bisa ditolong lagi, namun dia masih
berusaha merebut waktu, dengan suara serak dia membentak,
"Toan Siu-si, jangan harap kau bisa hidup." Kutungan pedang
menancap di dadanya, tapi dia masih kuat mengejar Toan Siu-si.
Toan Siu-si seperti tidak mendengar ancamannya.
Kedatangan kedua orang memang tepat waktunya, cengkeraman
jari Auwyang Ya sudah hampir mengenai batok kepala Nyo Hoa,
ternyata Tan Khu-seng setindak lebih dulu, sebat sekali tangannya,
pcrgelangan tangan lawan berhasil dipegangnya, lekas Auwyang Ya
menarik tangan menekuk sikut, sekaligus mengerahkan tenaga
terus menyodok. Kedua pihak sama menggunakan kekerasan, sudah
tentu yang kuat menang yang lemah asor. "Biang" kontan seorang
terlempar jauh tiga tombak.
Yang terlempar itu adalah Auwyang Ya. Dalam sekejap saja Yang
Ke-beng, Toan Siu-si dan Tong-hian-cu juga telah menubruk tiba
segesit tupai setangkas kelinci, hampir dalam waktu yang sama
mereka memburu tiba.

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyo Hoa sudah kehabisan tenaga, cengkeraman Auwyang Ya
sudah hampir menyentuh kulit rambutnya tapi tenaga pukulan Luisin-
ciang cukup membuatnya pusing tujuh keliling, batok kepalanya
seperti ditindih gosokan listrik yang panas sekali, sehingga dalam
waktu singkat dia tidak tahu apa yang telah terjadi, mendadak dia
merasa tubuhnya tertarik melambung terus terlempar pergi,
ternyata Toan Siu-si sempat menariknya keluar kalangan.
Meski berhasil memukul jatuh Auwyang Ya, tapi Tan Khu-seng
sendiri juga amat menderita. Maklum setelah ratusan jurus
berhantam dengan Yang Ke-beng, hawa murninya sudah ludes,
berarti dia sudah terluka dalam, sekarang harus melawan pukulan
Lui-sin-ciang Auwyang Ya lagi, maka racun panas dari Lui-sin-ciang
dan racun dingin dari Siu-lo-im-sat-kang bergulat dalam tubuh Yang
Ke-beng, seperti terserang sakit malaria saja tiba tiba menggigil
dingin, kadang-kadang gemetar kepanasan. Meski lwekang-nya
amat tangguh, namun dia tersiksa juga oleh dua jenis hawa racun
yang bergulat dalam tubuhnya, giginya sampai gemerutuk.
Rebah di atas tanah, Auwyang Ya berteriak serak, "Tan Khu-seng
sudah terluka dalam, lekas kalian sikat dia."
Yang Ke-beng membentak, "Bagus biar aku menuntut balas sakit
hatimu, yakinlah keparat ini takkan terlepas dari tuntutan keadilan."
Kedua tangan mendorong bersama sambil menubruk ke arah Tan
Khu-seng. Setaker kekuatan Siu-lo-im-sat-kang dia kerahkan.
Tan Khu-seng beruntun berkisar dua kali dengan langkah sempoyongan,
belum lagi berdiri tegak, tiba-tiba terasa angin menyambar
di belakang, kontan dia menyambut dengan pukulan membalik,
bentaknya, "Bagus, hari ini bila bukan kau mampus, biar aku yang
gugur." Tenaga pukulannya bergolak dan bergemuruh seperti bunyi
geledek. Terasa oleh Tan Khu-seng hawa dingin seperti meresap ke
tulang sumsum, darah dalam tubuhnya serasa membeku. Tapi Yang
Ke-beng sendiri pun dalam keadaan payah, darah seperti mendidih,
isi perutnya seperti dibetot dan dipelintir hingga berpindah dari
tempatnya semula. Berhasil menarik Nyo Hoa keluar dari kalangan, Toan Siu-si juga
baru saja membalik badan, kebetulan berpapasan dengan Tonghian-
cu yang menubruk tiba. Menyadari jiwanya takkan tertolong
lagi, maka dia bersumpah untuk gugur bersama musuh, maka
sergapannya ini sungguh kejam dan telengas.
Nyo Hoa juga merasakan deru angin yang menerpa datang, baru
saja dia bergerak hendak melawan, mendadak Toan Siu-si
mendorongnya ke pinggir, teriaknya, "Hoa-ji, lekas pergi!"
Dorongannya itu menggunakan tenaga pas-pasan, tanpa kuasa Nyo
Hoa tersuruk maju -berlari puluhan langkah baru berhasil
menegakkan badan lagi. Begitu berdiri tegak lekas dia memutar
badan, pikirnya, "Ji-suhu, maaf kali ini aku tidak mendengar
perintahmu." Timbul pikirannya hendak menggunakan ginkang
membantu gurunya yang melabrak musuh, tiba-tiba hawa mumi tak
mampu dikerahkan lagi hingga tak mungkin dia bisa
mengembangkan ginkang. Baru sekarang dia sadar dirinya sudah
terluka dalam, tak heran gurunya melarang dia bergerak.
Waktu dia menoleh itulah, kebetulan dilihatnya Tong-hian-cu dan
Toan Siu-si sama-sama melontarkan serangan maut mengadu jiwa.
Kebutan Tong-hian-cu bergerak mengurung, sementara bayangan
telapak tangan Toan Siu-si beterbangan selincah kupu-kupu menari,
namun tak mampu lolos dari ruang lingkup bayangan kebutan.
Mendadak bayangan mereka terpental mundur, Tong-hian-cu
melolong keras, suaranya amat menyayat hati, begitu roboh tidak
berkutik lagi. Tapi Toan Siu-si sendiri juga ber-lepotan darah selebar
mukanya, seperti api lilin yang tertiup angin, badannya pun limbung
hampir jatuh. Dalam pertempuran adu jiwa ini, Tong-hian-cu terpukul lagi
dadanya oleh bian-ciang Toan Siu-si yang mampu memukul remuk
batu menjadi bubuk hingga kuningan pedang yang menancap di
dada itu ambles seluruhnya. Tong-hian-cu menggeletak dalam
genangan darah, jelas jiwanya sudah tamat Tapi serangan terakhir
menjelang ajalnya tadi sungguh merupakan serangan dahsyat,
benang-benang kebutnya menyabet muka Toan Siu-si sehingga
jalur-jalur luka menghiasi kulit mukanya, tulang pipi pun terpukul
remuk. Tersirap darah Nyo Hoa, entah dari mana datangnya tenaga,
secepat terbang dia memburu ke samping gurunya, teriaknya,
"Suhu, kenapa?" Dia tahu gurunya selalu pasti membawa Kim-jongyok,
lekas dia papah gurunya terus merogoh kantongnya.
Toan Siu-si mendorongnya perlahan, katanya, "Hoa-ji, aku sudah
tak kuat lagi, lekas kau bantu sam-suhu."
Perang tanding Tan Khu-seng melawan Yang Ke-beng saat itu
juga sudah mencapai puncaknya. Dengan pukulan tangan tunggal
dia melawan pukulan sepasang tangan Yang Ke-beng, tangan kiri
memegang pedang, pelan-pelan menusuk ke leher Yang Ke-beng.
Hakikatnya Yang Ke-beng seperti tidak melihat atau menghiraukan
ujung pedang yang mengancam lehernya, badan bagian atas
bergerak sedikit pun tidak. Tapi aneh memang bila diceritakan,
pedang yang dipegang Tan Khu-seng itu seperti barang ribuan kati
saja, untuk didorong maju sesenti harus mengerahkan tenaga luar
biasa. Ternyata mereka sedang mengadu lwekang, yang kuat menang,
yang lemah kalah, pertarungan adu tenaga jelas tidak bisa
menggunakan muslihat atau main untung-untungan. Walau Tan
Khu-seng hanya sebelah tangan menahan kedua tangan lawan, tapi
tangan kanannya itu sudah dilandasi seluruh kekuatannya. Betapa
lihay Siu-lo-im-sat-kang tingkat kedelapan, bila sedikit kendor
tenaga pertahanan di tangan kanannya, jiwanya mungkin amblas di
tangan Ke-beng. Kekuatan kedua pihak sekarang ternyata setali tiga uang alias
sama kuat, pihak mana bila mendapat bantuan seorang meski dia
seorang bocah kecil, maka jiwa lawannya pasti amblas.
Nyo Hoa melenggong, dia berdiri kebingungan, harus menolong
sam-suhu atau mengobati ji-suhu. Luka-luka ji-suhu separah ini,
kalau tidak lekas diobati, bila terlalu banyak kehilangan darah,
jiwanya juga susah diselamatkan.
"Tidak lekas kau pergi?" teriak Toan Siu-si serak.
Terpaksa Nyo Hoa kertak gigi, dengan langkah goyah tubuh sempoyongan
ingin rasanya dia lekas memburu ke sana, tapi baru
selangkah mendadak dia tersungkur jatuh. Sambil menahan sakit,
Nyo Hoa merangkak bangun lalu melangkah maju pula. Dilihatnya
ujung pedang Tan Khu-seng sudah hampir menempel di leher Yang
Ke-beng, ujung pedang kini sudah menggaris luka di kulit lehernya,
darah mulai mengalir. Nyo Hoa amat girang, dia kira Tan Khu-seng
pasti mampu membinasakan iblis besar ini. Siapa tahu mendadak
Tan Khu-seng dan Yang Ke-beng membentak bersama, keduanya
terjengkang roboh bersama pula. Nyo Hoa kaget, kontan dia ikut
jatuh. Maklum dia pun sudah kehabisan tenaga, begitu jatuh lantas
tidak sadarkan diri. Entah berselang berapa lamanya, lapat-lapat Nyo Hoa rasakan
tubuhnya kepanasan, lambat laun dia mulai siuman.
Setelah membuka mata, dilihatnya kedua gurunya duduk di
kanan kirinya, sebelah tangan masing-masing menekan dada dan
punggungnya, ternyata menggunakan sisa tenaga mereka berusaha
menyalurkan lwekang ke tubuh Nyo Hoa, supaya luka dalamnya
lekas sembuh. "Suhu," teriak Nyo Hoa, "kalian, kalian"."
"Jangan bicara," cegah Tan Khu-seng.
Sekilas Nyo Hoa melirik ke sana, dilihatnya Auwyang Ya dan
Tong-hian-cu rebah ter) entang di tanah tak bergerak. Sedikit jauh
Yang Ke-beng duduk menggelendot di pohon, kedua mata terpejam
mukanya pucat lesi, entah masih hidup atau sudah mati"
Beberapa kejap lagi baru Tan Khu-seng bisa tersenyum, katanya,
"Syukurlah jiwa Hoa-ji berhasil direbut kembali." Di tengah gelak
tawa mereka, tiba-tiba badannya meliuk ke depan dengan lunglai,
keadaan Toan Siu-si juga sama, begitu tangan mereka terlepas,
keduanya mendadak roboh di tanah.
"Suhu kenapa kalian?" teriak Nyo Hoa kaget. Sebelah menarik
Tan Khu-seng, sebelah yang lain menarik Toan Siu-si, namun dia
tak mampu menarik mereka.
Kata Tan Khu-seng, "Jangan khawatir, luka yang diderita Yang
Ke-beng tidak lebih ringan dari aku, jikalau aku mati, dia pun jangan
harap bisa hidup lagi."
Karena disuruh jangan khawatir, maka Nyo Hoa kira luka-luka
gurunya tidak separah yang diduganya, namun setelah
membandingkan dirinya dengan Yang Ke-beng, baru dia tahu luka
dalam gurunya malah lebih parah lagi. Dengan gemetar Nyo Hoa
berseru, "Tidak, tidak suhu, kau, kalian jangan, kalian jangan mati."
"Manusia mana yang takkan mati" Asal matinya berguna, mati
pun takkan menyesal. Waktu sudah mendesak, hidupku takkan lama
lagi, kemarilah kau lebih dekat, banyak yang ingin kusampaikan
kepadamu," akhir katanya sudah lemah dan napas sudah
mendesah. Nyo Hoa kebingungan, terpaksa dia mendekat dan
mendengarkan, "Dalam kantongku ada sejilid buku pelajaran silat
hasil jerih payahku selama ini yang berisi kungfu perguruan kita,
semula akan kutitip kepada ji-suhu untuk diserahkan kepada
ciangbunjin kita, terpaksa sekarang kuwariskan kepadamu. Tapi
ciang-bun susiok tetap tidak akan mengakui kau sebagai murid
perguruan Khong-tong-pay, maka kau pun tidak usah serahkan
buku itu kepada mereka, bolehlah kelak kau mendirikan sendiri
suatu aliran lain. Dan lagi"."
Nyo Hoa sedang mendengar sepenuh perhatian, tiba-tiba
dirasakan Toan Siu-si sedang menariknya sambil kerahkan
tenaganya, "Betul, kenapa aku jadi lupa, ji-suhu-mu juga perlu
berpesan kepadamu, nah dengarlah lebih dulu,"
Tampak oleh Nyo Hoa luka-luka ji-suhu ternyata lebih parah dari
sam-suhu, hatinya seperti disayat-sayat, lantas dia membungkuk
mendengarkan pesan Toan Siu-si. "Ingat, Beng-keh-to-hoat harus
kau yakinkan sampai sempurna. Beng Goan-cau, dia, dia adalah"."
tiba-tiba Toan Siu-si mendadak teringat bahwa Nyo Bok masih
hidup, cepat atau lambat Nyo Hoa pasti akan bertemu pula. Bila dia
ketemu dengan Nyo Bok lebih dulu, mungkin takkan mau percaya
pada omongan Beng Goan-cau dan pandang Nyo Bok sebagai ayah
kandungnya. Bila dirinya sudah mati, tiada seorang pun yang
menjadi saksi hidup bagi Nyo Hoa. Maka dia merasa perlu sebelum
ajal tiba rahasia ini harus dibeber kepada Nyo Hoa. Sayang sekali
dalam keadaan penting ini keadaannya justru sudah seperti pelita
yang kering minyaknya Nyo Hoa melengak, tanyanya, "Beng Goan-cau, dia pernah apa
dengan aku?" Beruntun Nyo Hoa tanya dua kali, setelah Toan Siu-si tetap tidak
menjawab, dia meraba hidungnya, baru diketahui bahwa ji-suhunya
sudah putus napas, jiwanya telah melayang.
Karuan kagetnya bukan main, lekas Nyo Hoa berpaling dan berteriak-
teriak, "Sam-suhu, sam-suhu." Dilihatnya wajah Tan Khu-seng
yang pucat lesi mengulum senyum, tapi senyum yang beku, siapa
pun akan merinding bila melihat senyumannya. Kaget ditambah
kaget, lekas Nyo Hoa menggoncang tubuh gurunya, teriaknya
sesambat-an, "Sam-suhu, bukankah kau masih ingin berpesan
kepadaku?" Tiba-tiba rasa dingin merembes ke luar hatinya.
Ternyata badan Tan Khu-seng juga telah dingin dan kaku, entah
kapan jiwanya pun telah melayang.
Dalam sekejap beruntun kehilangan dua orang yang amat dicintainya,
memangnya kondisi Nyo Hoa sudah lemah setelah
kehilangan tenaga, maka dia pun tak tahan lagi, hatinya hambar,
pikiran kosong, ingin menangis tiada airmata. Mendadak dirasakan
pandangan berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling,
akhirnya dia meloso jatuh pingsan.
Bila Nyo Hoa siuman pula keesokan harinya. Sinar surya sudah
menyinari Hutan Batu, cahayanya memantul di permukaan Telaga
Pedang, kembang dan pepohonan dipinggir telaga tampak mekar
dan subur bergoyang dihembus angin, burung tampak
meninggalkan sarangnya di pohon yang tumbuh di Puncak Pedang.
Kehidupan ini terasa nyaman dan tentram, kapan pernah terjadi
pertumpahan darah di sini"
Sesaat Nyo Hoa menenangkan diriy lambat laun pikirannya makin
jernih, teringat peristiwa yang terjadi kemarin sore, sungguh hancur
perasaannya, batinnya, "Kedua guruku sudah meninggal secara
mengenaskan, sepantasnya aku lekas menggali liang mengubur
jenazah mereka." Tapi waktu dia mencari jenazah kedua gurunya, bukan saja
jenazah Toan Siu-si dan Tan Khu-seng tidak ditemukan, Yang Kebeng,
Tong-hian-cu dan Auwyang Ya juga telah lenyap seluruhnya.
Sudah tentu Nyo Hoa tidak percaya akan mata sendiri, dia kucekkucek
mata sekian lama lalu berdiri terlongong, ia berpikir, "Apakah
kejadian semalam hanya mimpi buruk belaka?"
Masih segar dalam ingatannya, ji-suhu dan sam-suhu rebah
berjajar di pinggir telaga, pedang menancap di dada Tong-hian-cu
dan menggeletak agak jauh, Auwyang Ya mati di bawah batu besar
sana, Yang Ke-beng masih mcnggelendot di pohon memejamkan
mata. Tapi sekarang tidak kelihatan semua, segalanya seperti dalam
khayal belaka. "Mungkin Yang Ke-beng belum mati, dia yang menggotong pergi
mayat-mayat itu?" Tapi dia berpikir pula, "Sam-suhu bilang, lukaluka
Yang Ke-beng jelas lebih parah, kalau suhu tidak bisa hidup,
jiwanya pun pasti amblas. Sam-suhu menganjurkan aku menetap di
Giok-Iin meyakinkan ilmu peninggalannya, jelas beliau bukan
bohong, umpama Yang Ke-beng beruntung tidak sampai ajal, untuk
meninggalkan tempat ini juga bukan soal mudah, mana dia kuat
membawa pergi mayat orang lain" Lalu untuk apa pula dia memindahkan
mayat-mayat itu?" Nyo Hoa masih memeluk setitik harapan, maka dia berteriakteriak,
"Ji-suhu, sam-suhu!" Dia mengharap keajaiban muncul di
depannya, mengharap ji-suhu dan sam-suhu-nya belum mati.
Burung-burung terbang kaget oleh teriakannya, namun kecuali
suara ribut burung yang ketakutan gema suaranya sendiri.
Keajaiban yang diharapkan tidak muncul, tapi noda darah yang
berceceran di atas tanah ditemukan sebagai tanda, apa yang terjadi
semalam bukan khayalan belaka Jelas itulah noda darah dari
pertempuran sengit semalam. Noda darah musuh juga noda darah
gurunya, ada pula darah dari tubuhnya Kembali Nyo Hoa kucekkucek
mata, mengawasi alam sekitarnya yang ditaburi cahaya
mentari, lalu mengawasi noda darah di tanah. Jelas ini bukan mimpi.
Mendadak pandangannya tertarik pada suatu benda, yaitu sejilid
buku yang diletakkan di atas batu. Batu di mana kemarin guci arak
ditaruh, di situ pula ji -suhu dan sam-suhu minum arak. Guci sudah
remuk dan berserakan di tanah, tapi buku itu terletak di atas batu.
Waktu dia menjemputnya, itulah buku ajaran silat karya Tan Khuseng
yang memuat intisari pelajaran Khong-tong-pay. Sebelum
ajalnya Tan Khu-seng sudah bilang hendak mewariskan kepada
dirinya. Kejadian aneh beruntun menimbulkan setitik harapan dalam
benak Nyo Hoa, "Jikalau sam-suhu terbunuh, mungkinkah orang itu
sebaik itu meninggalkan buku ini di atas batu" Kejadian aneh ini
suatu ketika pasti akan kuselidiki" Lalu terpikir pula, "Semoga samsuhu


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ji-suhu masih sehat dan hidup, peduli mereka masih hidup
atau sudah mati, yang terang aku tidak boleh mengabaikan harapan
mereka kepadaku, mengabaikan jerih payah mereka yang telah
menurunkan ilmu kepadaku."
Karena mengemban harapan ini, maka sedihnya banyak
berkurang, segera Nyo Hoa periksa barang-barang miliknya, Bengkeh-
tofhoat pemberian Toan Siu-si itu juga masih berada dalam
sakunya, demikian pula barang lain tiada yang kurang.
Beruntun dua hari penuh Nyo Hoa menjelajah seluruh Ciok-lin,
tapi tiada seorang pun yang dia temukan. Bila tiada seorang yang
tahu seluk beluk Ciok-lin sebagai penunjuk jalan, orang takkan
mudah hilir mudik atau keluar masuk. Diam-diam Nyo Hoa berpikir,
"Di antara para musuh hanya Yang Ke-beng yang tahu jelas akan
seluk beluk Ciok-lin, umpama iblis itu beruntung tidak mampus,
sedikitnya perlu beberapa tahun untuk merawat luka-lukanya.
Umpama ada musuh lain yang berani masuk kemari, umpama
dirinya bukan tandingannya, dengan mudah dirinya akan menyingkir
ke tempat aman. Maka selanjutnya dia menetap di Ciok-lin, sesuai
pesan kedua gurunya, dia giat dan rajin memperdalam kungfunya.
Ransum yang disimpan Tan Khu-seng cukup dia gunakan setahun
lamanya, di dalam Ciok-lin dia masih bisa mengail ikan,
menangkap binatang, kehidupan di sini dilalui seperti biasa cuma
agak kesepian karena tiada teman untuk diajak bicara,
Nyo Hoa berlatih Beng-keh-to-hoat lebih dulu, bila dia membuka
lembaran pertama buku itu beruntun dia membaca dua lembar,
tiba-tiba didapatinya sesuatu yang aneh. Lembar pertama memuat
pedoman permulaan kata, ditulis makna dari golok kilat, "aku"
sebagai poros. Dengan "neng" untuk menambal "lo" (neng=muda,
lo=tua), dengan "kip" (cepat) menambal "ut" (lambat). Tenang
mengatasi aksi, dari diserang berbalik menyerang. Semua
perubahan ini harus dikuasai sebagai pokok dasar latihan. Tenang
seperti permukaan kaca, beraksi selincah kelinci, paling penting
mengutamakan "kecepatan". Tapi posisi gampang berubah, tenang
atau beraksi mudah terjadi, semua ini harus disesuaikan kondisi dan
situasi, tidak boleh digunakan sebagai dalil atau pegangan tetap.
Dasar pelajaran silat Nyo Hoa cukup kuat, maka tidak sukar dia
memahami pedoman ini. Tapi tentang istilah "neng", "lo", "ut", dan
"kip", memang masih sukar diselami olehnya.
Untung di lembar kedua telah diberi penjelasan yang terperinci
tentang pedoman itu, tinta tulisannya juga jauh lebih baru, ini
menandakan penjelasan ini. merupakan tambahan seseorang di saat
tempat yang berbeda. Anehnya gaya tulisan dari penjelasan ini, Nyo
Hoa seperti sudah kenal baik. " Semula Nyo Hoa memang tidak
memperhatikan, begitu asyik dia membaca, arti huruf "neng*"
adalah dengan ujung golok untuk membentur gegaman lawan. "Lo"
adalah menggunakan gagang golok memukul kepala, bila gagang
golok digunakan menyodok dan menekan diartikan "ut", kalau
menyambut dengan ujung golok dinamakan "kip".
Bukan saja penjelasan ini jelas dan terperinci, istilah-istilah dan
pendapat orang yang memberi penjelasan ini juga tercantum di
dalamnya. Neng harus lincah dan ringan, lo harus menggunakan tenaga. Kip
untuk mengendalikan diri supaya tidak gegabah, sementara ut
berjaga menghadapi segala perubahan. Kedudukan satu sama lain
sering berubah maka manfaatkanlah di kala lawan melancarkan
serangannya yang paling gencar lalu mengatasinya secara di luar
dugaan Dan masih banyak lagi. Huruf penjelasan ini ditulis lebih kecil dan
padat, jauh lebih banyak dari tulisan inti.
Maka terbukalah pikiran Nyo Hoa, banyak yang tidak dimengerti
kini jelas seluruhnya, karuan senangnya bukan main, pikirnya,
"Intisari ilmu golok ini dapat juga dipraktekkan dalam ilmu pedang.
Dari sini dapat kusimpulkan bahwa kungfu tingkat tinggi satu
dengan yang lain berasal dari satu sumber yang sama." Mendadak
tergerak hatinya, pikirnya, "Gaya tulisan orang ini seperti pernah
kukenal dan dan lihat entah di mana?"
Di belakang setiap lembar pelajaran Beng-keh-to-hoat pasti
ditambah satu lembar baris penjelasan, mau tidak mau timbul rasa
curiga Nyo Hoa, sebelum berlatih dia baca dan periksa dulu setiap
lembar tulisan buku itu, makin dipandang terasa makin kenal, tapi
Jaka Lola 4 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pedang 3 Dimensi 9
^