Pencarian

Anak Pendekar 11

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 11


gembong iblis itu keluar dari dalam Ciok-lin, jantungku bardebardebar,
khawatir mereka pergi datang kembali lekas aku memeriksa
ke dalam." "Di mulut Kiam-ti aku menemukan jenazah seorang tosu, sebilah
pedang pendek amblas di dadanya, Aku kenal dia adalah salah satu
dari empat Tianglo Khong-tong-pay Tong-hian-cu adanya, pedang
pendek itu milik Toan-heng."
Kwi-hwe-thio melanjutkan, "Tak lama kemudian aku temukan
kedua gurumu rebah di pinggir Kiam-ti, luka-luka sam-suhu-mu
lebih berat dari ji-suhu-mu, waktu kutemukan mereka, napas
mereka sudah berhenti. Tapi aku tidak menemukan dirimu."
Beng Hoa membayangkan kejadian waktu itu, katanya tertawa,
"Waktu itu aku pingsan di bawah panggung yang dikelilingi tonggaktonggak
batu runcing yang tingginya melebihi manusia, tak heran
kau tidak melihatku. Atau mungkin kau sudah kira aku mati di
tangan kedua gembong iblis itu?"
"Waktu itu memang aku berpikir demikian; keadaan kedua
gurumu pun sudah mendekati ajal, bagaimana kau bisa lolos dari
tangan iblis" Hatiku waktu itu gugup dan khawatir, celaka bila kedua
iblis itu putar balik, terpaksa aku tolong kedua gurumu ke tempat
lain." "Terus terang luka-luka gurumu amat parah, untuk menolong
jiwa mereka, aku sendiri juga tidak berani pastikan. Syukur aku
memperoleh sebuah kereta, malam-malam kubawa mereka pergi.
Untung Iwekang mereka amat tangguh, setelah tujuh hari tujuh
malam tidur dalam kereta akhirnya siuman."
Toan Siu-si tertawa, katanya, "Terima kasih atas pujianmu, yang
benar jiwa kami telah tertolong karena kelihayan tangannya."
"Maksud suhu apakah lantaran Thio-cianpwe berhasil mencuri
sekuntum kembang teratai salju milik istri ciangbunjin Thian-san-pay
di istana Peng-coan-thian-li itu?"
"Betul. Berkat teratai salju yang telah diramu dan dijadikan pil
obat, baru jiwaku dan sam-suhu tertolong."
Toan-heng, kenapa sungkan, jikalau lwekang-mu sendiri tidak
tangguh, umpama ada obat mujarab juga tidak banyak membantu."
Lalu dia berpaling ke arah Beng Hoa, "Dalam setahun itu, aku pun
pernah pergi ke Ciok-lin sekali, tapi kau tidak tahu."
"O, kapan kau ke sana, aku tidak tahu?" kata Beng Hoa
"Setelah keadaan kedua gurumu itu terhindar dari bahaya,
setengah tahun kemudian. Mereka belum sembuh betul tapi
khawatir keadaanmu, entah kau masih di Ciok-lin apa tidak,
terpaksa aku yang menengokmu."
"Malam itu aku tiba di Ciok-lin, kulihat kau sedang berlatih
pedang di Kiam-hong. Ilmu pedangmu sudah teramat lihay, sekali
pandang aku lantas tahu ilmu pedang itu bukan ajaran kedua
gurumu." "Ji-suhu," ucap Beng Hoa, "belum sempat kuceritakan kepadamu.
Di dalam sebuah gua di Kiam-hong, aku menemukan ajaran Bubeng-
kiam-hoat peninggalan Thio Tan-hong Thio tayhiap di jaman
dinasti Beng." "Aku sudah tahu," ujar Toan Siu-si, "lantaran itulah, sengaja
kusuruh Thio-toako tidak memberi tahu keadaanku kepadamu."
"Kenapa?" tanya Beng Hoa.
"Supaya tidak terpecah perhatianmu. Aku tahu kau berwatak
jujur, baik dan polos, bila tahu aku hidup, memangnya kau tidak
segera menyusulku?" Menyesal tapi juga amat terharu hati Beng Hoa. Menyesal karena
rasa prihatin dirinya terhadap sang guru tidak sebesar perhatian
guru terhadap dirinya. Haru karena begitu besar kasih sayang
gurunya kepada dirinya. "Kungfu gurumu belum pulih, khawatir jejaknya diketahui musuh
maka kubawa mereka di suatu tempat terpencil di Wi-kiang. Tanpa
terasa tiga tahun telah berselang, selama ini di Wi-kiang dan Tibet
tidak sedikit aku berkenalan dengan teman-teman."
"Lukaku sudah sembuh, bahwa sejauh ini baru aku
mengunjukkan diri memang ada sebab lainnya," demikian Toan Siusi
meneruskan. "Persoalan apakah?" tanya Beng Hoa.
"Akulah yang membunuh Tong-hian-cu. Tapi orang-orang Khongtong-
pay menagih hutang jiwa ini kepada sam-suhu-mu."
Seperti diketahui sam-suhu Beng Hoa Tan Khu-seng semula
murid Khong-tong-pay. Tong-hian-cu adalah susiok-nya.
"Bukankah sam-suhu sejak lama dipecat sebagai murid Khongtong,
selanjurnya dia kan bukan murid Khong-tong. Setiap bicara
soal ini sam-suhu selalu penasaran dan minum arak melulu, aku
yakin kesalahan pasti di tangan para tosu busuk Khong-tong-pay itu.
Hari itu, juga tosu tua bangka itu turun tangan lebih dulu hendak
membunuh sam-suhu. Toan Siu-si menghela napas, ujarnya, "Hoa-ji, kau tidak tahu,
aturan Bulim amat ketat, meski sudah dipecat dari perguruan,
terhadap angkatan tua perguruan tetap tidak boleh kurang ajar.
Orang luar tidak peduli duduk perkara sebenarnya, yang terang
sam-suhu-mu berani melawan angkatan tua serta membunuh
susiok-nya. "Sebetulnya aku ingin menampilkan diri, akan ke Khong-tong-san
bicara langsung tentang hal ini dengan ciangbunjin mereka, tapi
sam-suhu-mu menentang. Kenapa dulu gurumu diusir dari
perguruan, dia segan menceritakan. Luka-lukanya belum sembuh
seratus persen, terpaksa persoalan ini tertunda sampai sekarang."
Tiba-tiba Kim Bik-ki berkata, "Toan-cianpwe tak usah khawatir,
kelak bila ada kesempatan biar aku minta bantuan ayah untuk
melerai persoalan ini."
Toan Siu-si tertawa senang, katanya, "Bila ayahmu tampil,
persoalan pasti dapat diselesaikan. Tan Khu-seng bilang tidak ingin
keburukan perguruannya tersiar luas, tapi terhadap ayahmu kurasa
dia akan bicara sejujurnya. Bila duduk persoalannya sudah jelas,
maka urusan tentu gampang dibereskan.
"Selama dua tahun belakangan ini pihak Khong-tong-pay
kerahkan anak muridnya mencari jejak sam-suhu-mu. Agaknya
mereka tidak menduga bahwa kami sembunyi di Wi-kiang."
Tiba-tiba Kim Bik-ki menyela dengan tertawa, "Kalian terlalu asyik
bicara, padahal Beng-toako beberapa hari tidak makan, pagi tadi
sudah kusiapkan semangkok bubur."
Toa Siu-si tertawa, katanya, "Nona Kim memang amat tekun dan
rajin merawatmu, tahukah kau selama tujuh hari tujuh malam kau
pingsan, dia selalu menyiapkan makanan untukmu, untuk kau
makan jika sudah sadar. Nah sekarang aku ingin menengok keadaan
ayahmu bersama Thio-toako, nona Kim tolong kau menyuapinya."
Setelah habis bubur encer semangkok, Beng Hoa berkata,
"Masakanmu sungguh enak, selama hidup belum pernah aku makan
seenak ini." Manis mesra hati Kim Bik-ki, katanya, "Mulutmu pandai memuji,
sejak kapan kau belajar mengum-pak?" demikian omelnya sambil
melirik, padahal tangan mereka sudah saling genggam
Beng Hoa berkata, "Kali ini aku tidak bisa membantumu, malah
kau bersusah payah merawatku."
Perlahan suara Kim Bik-ki, Terus terang walau aku mengomel,
sebenarnya aku amat terharu dan berterima kasih kepadamu. Tanpa
hiraukan keselamatan kau datang kemari menolongku. Beberapa
hari ini aku sudah bertekad, bila kau mengalami sesuatu, aku"
aku"." "Kau kenapa?" Jengah muka Kim Bik-ki. Sebetulnya dia ingin bilang, aku akan
cukur rambut jadi nikoh, setelah ditanya dia malah urung bicara,
katanya sesaat kemudian, "Tak usah tahu, pendek kata kau baik
terhadapku, aku pun akan baik terhadapmu. Luka-luka separah itu,
beberapa hari ini sungguh tak tenteram aku makan dan tidur.
Syukur kau sudah sadar, kalau tidak mungkin aku pun tak akan
hidup." "Memang hatiku pun amat gelisah waktu di tengah jalan
kudengar kau ditawan orang-orang Kang Poh dan disekap di dalam
Hiong-eng-kek. Adik Ki, bagaimana kau tertolong?"
"Aku ditolong Kwi-hwe-thio dan Jian-jiu-koan-im, Ki scng-in
adalah istri Kwan-tang Tayhiap Utti Keng kau tahu tidak?"
"Malam itu ayah juga sudah menduga dia. Ki Seng-in jago kosen
nomor satu dalam permainan amgi, betul tidak" Padahal Hiong-engkck
penuh dipasangi alat rahasia, bagaimana mereka tahu cara
memecahkannya?" "Kau lupa, Kwi-hwe-thio adalah maling sakti nomor satu di dunia.
Sehari sebelumnya dia sudah curi peta gambar Hiong-eng-kek milik
Kang Poh di kamar rahasianya."
"Memangnya Kang Poh seceroboh itu, apa tidak ketahuan?"
"Kwi-hwe-thio cerdik. Sebagai maling sakti, dia pun pernah
mempelajari alat-alat rahasia, setelah memeriksa peta, lalu
dikembalikan ke tempat semula, waktunya juga hanya setengah
jam." "Lalu bagaimana Utti hujin?"
"Dia pernah kemari, j"inson itu memang dia yang bawa untuk
ayahmu dari suaminya. Untuk menyusul suaminya di Wi-kiang, di
sini dia hanya menginap semalam, hari kedua lantas berangkat."
"Tempat apakah ini?"
"Rumah orang Tibet kawan Kwi-hwe-thio yang terletak di luar
kota Lhasa. Pemilik rumah ini memiliki sebuah peternakan kecil, di
dalam kota Lhasa juga punya rumah, tempat ini dia pinjamkan
kepada kita." Beng Hoa ingat sesuatu, katanya, "Waktu di Cau-hoat, aku
pernah ketemu dengan Kang-suheng-mu. Dia sedang mencarimu."
"Aku juga sudah bertemu dengan dia."
"Kenapa kau tidak ikut pulang?"
Kim Bik-ki merengut, katanya, "Sudah tahu sengaja tanya. Hmm,
kalau bukan lantaran kau, memangnya aku sampai ribut mulut
dengan dia:" Kejut girang hati Beng Hoa, katanya, "Kau sudah ribut mulut
dengan Kang Siang-hun?"
"Dia bilang kau orang jahat, sudah tentu aku ribut dengan dia."
"Tidak boleh salahkan dia. Waktu pertama kali kau melihatku di
Siau-kim-jwan, bukankah kau pun anggap aku orang jahat?"
"Aku sudah jelaskan kepadanya, bagaimana kau membantu pihak
laskar gerilya, tapi dia masih ragu-ragu. Dia bilang asal-usulmu
patut dicurigai, mungkin punya maksud yang tidak baik, coba apa
tidak bikin orang berang?"
"Baiklah, selanjutnya kau tidak usah marah, baik buruk diriku ini
biar waktu membuktikan. Orang juga tahu siapa aku ini."
"Betul. Bila dia tahu kau putera Beng tayhiap, coba saja bila dia
tidak minta maaf kepadamu."
Beng Hoa berkata, "Seseorang tidak bisa memilih asal-usul
kelahirannya, tapi ke mana seseorang akan memilih jalan hidupnya
harus dia sendiri yang memilihnya. Aku harap jalan yang ditempuh
itu betul, tak pernah terpikir olehku untuk berdiri meminjam
ketenaran nama orang tuaku."
"Itu benar, aku sepaham dengan kau. Aku pun tidak senang bila
orang hanya pandang aku ini puteri Kim tayhiap."
Senang dan haru Beng Hoa, katanya lembut, "Adik Ki, kau amat
baik." "Kenapa mendadak kau memujiku, dalam hal apa aku baik?"
"Kau sepaham dengan aku. Waktu pertama kali kau kenal aku,
aku ini bocah keroco yang patut dicurigai asal-usulnya, tapi kau
tidak memandang rendah aku lantaran itu. Kang-suheng-mu justru
terbalik, tapi aku juga tahu di dalam pandanganmu, bukan lantaran
itu lantas kau anggap dia pantas lebih tinggi dari aku."
"O, jadi kau pernah berpikir demikian" Anak bodoh, ketahuilah, di
dalam sanubariku kau jauh lebih penting daripada siapa saja,"
Betapa senang dan gembira hati Beng Hoa sampai tak kuasa dia
buka suara, dia hanya genggam tangan Kim Bik-ki, desisnya, "Adik
Ki, kau amat baik, kau baik sekali."
Mendadak Kim Bik-ki cekikikan, katanya, "Beng-toako, kau
memujiku baik. Tapi dalam satu hal, aku justru bilang tidak baik."
Beng Hoa kaget, tanyanya, "Dalam hal apa?"
"Baru-baru ini bukankah kau berkenalan dengan seorang nona
Teng. Kang-suheng bilang kau bersikap amat mesra dengan dia.
Apa benar?" Karuan Beng Hoa kesal, katanya, "Perkenalanku dengan nona
Teng itu justru lantaran engkau."
"Lho, kenapa begitu?"
"Kuda yang dia tunggangi juga kuda putih, mirip kepunyaanmu.
Hari itu waktu di pasar kuda kota Cau-hoat kulihat dia lewat
menunggang kuda putih, begitu cepat dia membedal kudanya,
karena tidak melihat jelas"."
"Maka kau mengejarnya"
"Aku salah mengenal orang, hampir saja dia pun salah paham
kepadaku. Untung pada saat itu bertemu dengan musuh yang
mengejarnya, maka kubantu dia melabrak musuh."
Kim Bik-ki tertawa katanya, "Dia tentu amat berterima kasih
kepadamu." "Padahal aku hanya sekedar membantunya saja, tiada persoalan
lain, malah-" "Kejadian selanjutnya aku sudah tahu. Setelah Kang-suheng
datang, kau lantas serahkan nona Teng itu kepadanya, betul tidak?"
"Iya, begitulah persoalannya, kenapa dikatakan mesra segala,
jangan kau percaya obrolan Kang Siang-hun."
Kim Bik-ki tertawa, katanya, "Tahukah kau dalam hal apa aku
menyalahkan kau?" Beng Hoa melongo, Kim Bik-ki cekikikan, katanya lebih lanjut,
"Kau menolong orang kepalang tanggung, kenapa tidak langsung
kau antar dia pergi ke Thian-san, di tengah jalan kau justru
meninggalkan dia." Girang Beng Hoa, katanya, "O, jadi soal ini. Terus terang waktu
itu aku memang sedikit egois, aku harap Kang-suheng-mu yang
mengantarnya." "Karena itu aku katakan tindakanmu tidak bijaksana, kau kira aku
ini perempuan berjiwa sempit, cemburu kepadanya?"
"Ya, memang tindakanku salah, aku minta maaf. Tapi jikalau
Kang-suheng-mu bisa rujuk dengan nona Teng itu, bukankah patut
dibuat gembira?" "Bagi anggapanmu memang telah berbuat baik. Dan kau tidak
perlu khawatir orang lain akan merebut diriku. Tapi aku percaya
sepenuhnya kepadamu, kau sebaliknya tidak percaya sepenuh hati
seperti aku percaya kepadamu, maka aku akan tetap marah
kepadamu." Mulutnya bilang mau marah, ternyata malah tertawa
cekikikan. Senang dan lega hati Beng Hoa, seumpama kembang yang
mekar riang hatinya, lengan Bik-ki ditariknya hendak dipeluk dan
diciumnya. Lekas Kim Bik-ki mendesis serta berbisik, "Thio-toasiok dan
gurumu datang lagi."
Di luar, suara batuk-batuk menyusul suara Kwi-hwe-thio berkata
dengan tertawa, "Kalian sudah puas belum omong-omong- Benglote,
lihatlah siapa yang menengokmu." Bila daun pintu terbuka
muncullah tiga orang. Toan Siu-si dan Kwi-hwe-thio memapah Beng


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Goan-cau masuk ke dalam kamar.
Pertemuan ayah dan anak, seperti hidup kembali di dunia ini.
Sudah tentu hati mereka senang tapi juga berduka, sesaat
keduanya saling pandang tak kuasa bicara.
Toan Siu-si berkata, "Hoa-ji, hayo lekas panggil ayah."
Berkaca-kaca mata Beng Hoa. Kim Bik-ki memapahnya duduk,
katanya tertawa, "Kalian ayah dan anak bersua dan kumpul kembali,
suatu hal yang patut dibuat girang, kok nangis malah."
Beng Goan-cau pegang kedua lengan anaknya, katanya, "Hoa-ji,
ayah salah terhadapmu."
Beng Hoa sesenggukan, katanya, "Ayah, anak tidak berbakti,
selama ini tak tahu asal-usul sendiri, hampir saja berbuat dosa, ayah
terluka"." "Kau tidak boleh disalahkan," sela Toan Siu-si, "kalau mau
disalahkan akulah yang harus disesalkan, kenapa tidak sejak mula
kujelaskan kepadamu."
Beng Goan-cau menyeka air mata, katanya bergolak tawa, "Kau
melukai aku, aku malah senang sekali."
Beng Hoa bingung, di saat dia melenggong, Beng Goan-cau
melanjutkan, "Beng-keh-to-hoat sekarang sudah memperoleh ahli
warisnya. Hoa-ji, sungguh tak nyana kau belajar secepat ini, dalam
beberapa tahun lagi, yakin kau sudah lebih unggul dari aku."
Beng Hoa maklum maksud ayahnya, katanya, "Semua ini berkat
bimbingan guru. Suhu berpesan supaya aku meyakinkan ilmu golok
itu semahir mungkin."
Toan Siu-si tertawa, katanya, "Beng-toako, pantasnya aku mohon
maaf kepadamu. Terus terang, lantaran rasa egoisku, demi
menuntut balas kekalahanku dulu di tanganmu, maka kusuruh
muridku ini berbuat demikian, supaya mengalahkan kau. Syukurlah
tidak terjadi kesalahpahaman."
Beng Goan-cau tertawa, ujarnya, "Terima kasih, kau berhasil
mendidik puteraku sebaik ini."
Toan Siu-si juga tertawa, katanya, "Terima kasih kau memberi
murid baik kepadaku."
Beng Goan-cau berkata, "Hoa-ji, ada saru hal aku masih belum
mengerti." "Entah soal apa maksud ayah?"
"Ilmu golokmu memang belum sempurna, tapi ada beberapa
jurus perubahan lihay, kurasa Jebih unggul dari jurus aslinya,
apakah hasil pemikiranmu sendiri?"
"Waktu di Ciok-Iin, tanpa sengaja anak menemukan ajaran Bubeng-
kiam-hoat peninggalan Thio Tan-hong Thio tayhiap dari jaman
dinasti Beng. Hari itu mungkin tanpa kusadari permainan pedang itu
kukom-binasikan dan kugunakan dalam permainan golok"
Semakin cerah wajah Beng Goan-cau, ucapnya, "Hoa-ji, tak
nyana kau memperoleh rejeki sebesar itu, agaknya takdir sudah
menentukan kau memperoleh hasil yang lebih besar."
"Beng-toako," Toan Siu-si segera menukas, "waktu masih
panjang, marilah kau kembali ke kamarmu, kesehatanmu sendiri
perlu dijaga." Menghadapi suasana gembira, semangat pun akan menyala
Sejak pertemuan ayah beranak ini, kesehatan Beng Hoa jauh lebih
maju. Setengah bulan kemudian, kecuali Iwekang-nya belum pulih,
keadaan sudah seperti biasa gerak-geriknya sudah leluasa. Beng
Goan-cau pun jauh lebih baik, namun kemajuannya tidak secepat
Beng Hoa, untuk jalan dia harus menggunakan tongkat
Melihat kesehatan Beng Hoa semakin baik, Toan Siu-si amat
senang, katanya, "Sejak pertarungan dalam Ciok-lin tiga tahun yang
lalu, keadaan sam-suhu belum normal seratus persen, orang-orang
Khong-tong-pay sedang mencari, aku sudah lama meninggalkan dia.
Selama beberapa tahun ini dia pun kangen kepadamu, sekarang aku
harus lekas pulang, kabar gembira ini akan kuberitahukan
kepadanya." "Budi suhu berdua laksana gunung, entah bagaimana tecu harus
membalas kebaikan ini," ucap Beng Hoa. "Sepantasnya tecu ikut
suhu menengok keadaan sam-suhu, tapi terpaksa ditunda setelah
kesehatan ayah pulih saja."
Dua hari setelah Toan Si u-si pergi, Kwi-hwe-thio ikut pamit dan
meninggalkan mereka juga. Beng Goan-cau malah yang
mendesaknya pergi karena Kwi-hwe-thio masih harus
menyampaikan kabar ke kedua tempat pangkalan laskar gerilya.
Untuk menjaga dan merawat Beng G oan-cau dan Beng Hoa,
perjalanan sudah tertunda setengah bulan. Untung dia pelari
tercepat di dunia, yakin kabar itu belum terlambat disampaikan.
Tanpa terasa sepuluh hari sudah menjelang. Usia muda tenaga
kuat, Beng Hoa terobati pula oleh jinsom ribuan tahun, maka
kesehatannya sembuh lebih cepat, kini lwekang-nya sudah pulih
delapanpuluh persen. Beng Goan-cau sudah bisa jalan dengan sebatang tongkat,
namun keadaannya mirip orang yang baru sembuh, perlu banyak
waktu untuk memulihkan kesegaran dan kondisi badannya seperti
semula. Setelah Toan Siu-si dan Kwi-hwe-thio pergi, tugas merawat dan
menjaga Beng Goan-cau diambil alih Kim Bik-ki, dia tinggal
menemani Beng Hoa, seperti menantu yang berbakti melayani
segala keperluan mertuanya. Melihat betapa mesra cinta kasih
sepasang muda-mudi ini, diam-diam Beng Goan-cau amat senang
dan lega. Sudah tentu rasa riang ayahnya dirasakan juga oleh Beng
Hoa. Padahal Beng Hoa tahu soal jodohnya ini kelak mungkin bisa
menimbulkan banyak rintangan, supaya tidak menguatirkan sang
ayah, maka persoalan ini tidak pernah dijelaskannya kepada sang
ayah. Hari ini seperti biasanya setelah bangun pagi Beng Hoa lantas
datang ke kamar sang ayah menyampaikan sembah sujudnya,
langkahnya amat perlahan, waktu tiba di depan kamar didengarnya
Beng Goan-cau menghela napas panjang menggumam seorang diri,
"Sayang penyakitku belum sembuh. Kwi-hwe-thio belum pulang,
bagaimana baiknya" Ah, bagaimana?"
Beng Hoa lantas melangkah masuk dan bertanya, "Ayah, apa
yang membuatmu risau?"
Beng Goan-cau menjelaskah, "Semestinya aku harus ke Lhasa
menunaikan satu tugas yang dipercayakan kepadaku oleh Leng
Thiat-jiau. Orang lain takkan bisa mewakili aku mengurusnya. Aku justru
jatuh sakit di lini sehingga urusan terbengkalai, aku khawatir bila
terlambat bisa terjadi sesuatu perubahan besar, betapa hatiku
takkan risau?" "Tugas ayah ke Lhasa bukankah membujuk para Lama supaya
mereka tidak mengerahkan orang-orangnya untuk menumpas Pekkau
Hoat-ong di Jinghay?"
"Iya, jadi kau sudah tahu," ucap Beng Goan-cau. "Kerajaan Ceng
sudah mengutus orangnya ke Lhasa, mungkin Dalai Lama tunduk
oleh bujuk rayu dan tekanan pihak kera-jaan. Aku justru rebah saja
di sini tanpa mencari daya untuk mencegah hal itu."
"Apakah harus ayah sendiri yang pergi?" tanya Beng Hoa.
"Dengan Long-kam Hoatsu pelindung utama dari istana Putala
aku punya hubungan luar biasa. Sepuluh tahun yang lampau, dia
pernah disergap oleh musuhnya, aku pernah menolong jiwanya.
Dalai Lama yang berkuasa sekarang masih seorang bocah kecil,
kekuasaan terbesar dari Ui-kau masih berada di tangan Long-kam
Hoatsu. Jikalau Leng-toako mengutus orang lain, belum tentu Longkam
Hoatsu mau memberi muka kepadanya."
Di saat percakapan itu berlangsung, diam-diam Kim Bik-ki sudah
masuk kamar juga, segera dia menimbrung, "Beng-pcpek, kalau kau
bisa pergi sendiri memang lebih baik, namun kesehatanmu tidak
mengizinkan, apa salahnya kalau orang lain mewakili kau. Boleh kau
menuiis sepucuk surat, dalam surat ini boleh kau tulis sesuatu hal
yang hanya diketahui Long-kam Hoatsu dan kau saja, aku yakin dia
pasti percaya" "Bukan tak pernah terpikir olehku akan cara ini, tapi, ai, siapa
akan mewakili aku?" "Beng-pepek, jikalau kau tidak khawatir usiaku yang muda dan
mungkin menggagalkan urusan, aku bersedia menunaikan tugas ini.
Kesehatan Hoa-ko sudah baik, kupikir dia mampu menghadapi
sesuatu kejadian di luar dugaan."
Beng Goan-cau tertawa, katanya, "Tit-li (keponakan) agaknya
kau tidak tahu perempuan tidak boleh masuk istana Putala"
"Ayah, biarlah aku yang pergi," tiba-tiba Beng Hoa berkata "Kau
baru sembuh, tidak tahu keadaan Lhasa, pengalamanmu juga masih
cetek, untuk menyelesaikan urusan ini mungkin kau menghadapi
bahaya" "Ayah, kondisiku sudah pulih, nah coba periksa" Beng Hoa
merogoh keluar sekeping uang tembaga, dijepit di antara kedua
jarinya, sedikit kerahkan tenaga, uang tembaga itu remuk.
"Untuk menunaikan tugas ini bukan hanya mengandalkan kepandaian
saja." "Anak memang masih muda dan cetek pengalaman, mungkin
belum setimpal memikul tugas berat ini, tapi daripada gagal total.
Apalagi ayah menghadapi persoalan, kalau anak tidak bisa
membantu apa gunanya kehadiranku di sini?" Melihat Beng Goancau
ragu-ragu, Beng Hoa menekankan, "Demi perjuangan laskar
gerilya, ayah tidak takut terjun ke sarang naga, kenapa anak harus
takut menghadapi bahaya?"
Tersirap hati Beng Goan-cau, katanya, "Bagus, memang tidak
malu kau menjadi puteraku, kalau kula-rang kau pergi berarti aku
terlalu egois malah."
Beng Hoa girang, katanya, "Hari ini juga harus berangkat. Adik
Ki, tolong kau rawat dan ladeni keperluan ayah."
"Jangan khawatir, aku akan menjaga paman. Sayang aku
seorang perempuan, tak bisa mewakili kau menunaikan tugas itu."
Beng Goan-cau berkata, "Kalau mau berangkat, aku harus
menata perjalananmu ini. Pertama, kau harus mencari tempat untuk
bermalam di sana." "Di kota Lhasa, adakah teman ayah yang boleh dipercaya?"
"Aku tidak punya, tapi Kwi-hwe-thio punya, yaitu pemilik rumah
yang kita tinggali sekarang ini," tutur Beng Goan-cau. "Di kota Lhasa
orang Tibet teman Kwi-hwe-thio ini juga punya tempat tinggal,
rumah ini hanyalah tempat peristirahatan di luar kota. Khawatir dia
terlibat, Kwi-hwe-thio melarang dia kemari. Tapi urusan sudah
berkembang sejauh ini terpaksa kau mampir ke rumahnya
merepotkan dia. Tapi aku yakin dia pasti membantumu dengan
senang hati." "Orang macam apakah dia, ayah belum pernah melihatnya. Apa
dia mau percaya kalau aku bilang teman paman Thio?"
"Kwi-hwe-thio meninggalkan sebuah tanda kepercayaan, kau
boleh bawa barang itu untuk menemuinya." Lalu dia keluarkan
sebuah buntalan sapu tangan sutera, langsung dibuka dan
diperlihatkan kepada Beng Hoa. Itulah secarik kain kumal yang
penuh noda-noda darah. Beng Hoa melongo, katanya, "Kain darah inikah tanda
kepercayaan?" "Orang Tibet teman Kwi-hwe-thio itu bernama Kili, pemilik
sebuah peternakan kecil. Letak peternakannya tak jauh dari
peternakan besar Kang Poh. Kang Poh punya keinginan jahat
hendak mencaplok peternakannya itu, maka ditangkapnya putera
Kili serta dituduh sekongkol dengan begal kuda. Kili dipaksa dan
diancam supaya menyerahkan peternakannya sebagai penebus
puteranya." "Kili lebih menyayangi putera-nya sebetulnya dia sudah pasrah
nasib. Tapi Kwi-hwe-thio tahu kejadian ini, maka malam itu dia
beraksi ke rumah Kang Poh, seorang putera-nya dia cukur gundul
seluruh rambut kepalanya serta meninggalkan peringatan dengan
ancaman sebilah belati, jikalau Kang Poh tidak membebaskan putera
Kili, kedua kali dia datang, dia akan memenggal kepala puteranya
itu." Kim Bik-ki bertepuk tangan senang, serunya, "Bagus, dengan
cara keji menghukum orang durjana memang tepat."
"Hari kedua putera Kili memang dibebaskan, tapi di dalam
penjara dia sudah disiksa sampai babak belur. Setelah putera Kili
mengganti pakaiannya yang robek-robek berle-potan darah, dia
sobek secarik di antaranya dan diserahkan kepada Kwi-hwe-thio
serta berjanji, "Ada keperluan apa yang ingin kau minta bantuanku,
cukup asal kau suruh orang kemari membawa kain ini, ke air atau
ke api pasti tidak kutolak." Kain berdarah itu dia simpan sebagai
kenangan, tujuannya sudah tentu supaya tidak melupakan peristiwa
berdarah ini. Tak lama kemudian peternakannya dia jual lalu pindah
ke dalam kota Lhasa. "Kwi-hwe-thio tahu aku akan pergi ke Lhasa, sebelum pergi dia
serahkan kain berdarah itu kepada-ku. Sebetulnya tidak akan
kupakai dalam perjalanan nanti, tapi kau boleh memakainya, boleh
kau bawa untuk menemui Kili."
Beng Goan-cau menulis sepucuk surat pribadi yang ditujukan
kepada Long-kam Hoatsu, surat dan kain berdarah itu dia serahkan
kepada puteranya, serta memberi tahu alamat Kili di kota Lhasa.
Beng Hoa berkata, "Yah, legakan hatimu, rawatlah lukamu
supaya lekas sembuh. Setelah bertemu dengan Long-kam Hoatsu
segera aku kembali."
"Tak perlu kau tergesa pulang, yang penting tugas harus
berhasil. Nona Kim cukup mampu menjaga aku, jauh lebih baik
daripada layan anmu."
"Pergilah, jangan khawatir, bila kau pulang tanggung ayahmu
sudah sembuh," demikian ucap Kim Bik-ki setelah mengantar Beng
Hoa cukup jauh, lalu mereka pun berpisah.
Sepanjang jalan tidak ada kejadian apa-apa, hari kedua Beng
Hoa tiba di kota Lhasa. Lhasa adalah kota pegunungan, istana
Putala dibangun di gunung Putala yang terletak di sebelah timur
kota. Kuil-kuil pemujaan di dalam kota amat banyak dan tersebar
luas, di dalam kota Tay-cau-si yang dibangun sejak dinasti Tong
sebagai sentral kebudayaan, jalan sudut lapangan yang terkenal dan
paling ramai di dalam kota justru mengelilingi Tay-cau-si itu. Kuil di
sini kebanyakan dibangun dengan beton batu kerikil dan batu-batu
kasar, kokoh dan teguh, seluruhnya dibangun tiga empat tingkat.
Rumah-rumah penduduk kota, kecuali rumah-rumah batu sejenis
itu, ada yang tinggal dalam tenda, tenda yang dibuat dari bulu
domba. Maka pemandangan di dalam kota justru jauh berbeda
dengan keadaan kota-kota besar lain di Tionggoan.
Begitu masuk kota Lhasa, yang paling menyolok pemandangan
sudah tentu adalah istana Putala. Konon istana ini dibangun oleh
Bun-seng Kongcu yang mohon bantuan raja Tibet yang berkuasa
pada jaman itu. Mengingat dirinya mengemban tugas penting, supaya
kedatangan dirinya di kota ini tidak menarik perhatian dan
menimbulkan rasa curiga orang-orang tertentu, maka Beng Hoa
berlaku hati-hati, bila malam tiba baru diam-diam dia menyelundup
ke rumah Kili yang sudah dia temukan alamatnya sore tadi. Rumah
Kili berada di sebuah gang yang tersembunyi, sunyi dan sepi, jauh
dari keramaian. Kedatangan Beng Hoa terlalu mendadak, Kili sedang
mengobrol dengan pu-teranya, kedatangannya mengejutkan
mereka. Beng Hoa keluarkan kain berdarah itu serta berkata, "Ayahku


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah teman Kwi-hwe-thio si maling sakti.-"
Belum habis dia bicara, Kili sudah berjingkrak bangun serta
memburu maju, katanya dengan berlinang airmata, "Jadi ayahmu
adalah Beng Goan-cau Beng tayhiap, sudah lama kami mengharap
kedatangan kalian ayah dan anak. Kabarnya ayahmu terluka, tidak
apa-apa bukan?" "Dari mana paman tahu aku akan kemari?" tanya Beng Hoa.
"Tiga hari yang lalu Kwi-hwe-thio sudah kemari. Sayang hanya
menginap semalam lalu pergi lagi. Dia amat sibuk," sahut Kili. Lalu
dia lipat kain berdarah itu serta berkata kepada sang putera,
"Anakku, dendam ini harus kau ukir dalam sanubarimu, menerima
budi kebaikan orang lain juga harus selalu diingat dalam hati."
Putera Kili berusia limabelasan, tubuhnya kurus dan lemah, di
wajahnya masih kelihatan bekas-bekas cambukan, segera dia
mengiakan lalu menyimpan kain berdarah itu, segera dia berlutut di
hadapan Beng Hoa. Lekas Beng Hoa memapahnya, katanya, "Mana berani aku
menerima penghormatan sebesar ini, kalian mau menerima
kedatanganku, sepantasnya akulah yang berterima kasih kepada
kalian." "Beng-siauhiap, pengalamanmu mengobrak-abrik Hiong-eng-kek
dengan ayahmu sudah kami dengar dari cerita Thio tayhiap. Kau
pernah mengejar musuh kami, berarti kau pun penolong kami;"
Beng Hoa berkata, "Sayang malam itu kami tak berhasil
membunuh Kang Poh, harap paman tidak kecewa."
Putera Kili berkata, "Untung kalian tidak membunuh Kang Poh,
kalau kalian membunuhnya aku akan- kecewa malah."
"Kenapa?" tanya Beng Hoa tertawa.
Putera Kili mendesis geram, "Suatu ketika aku pasti akan
menuntut balas dengan kedua tangan sendiri, akan kuringkus dia
dan kuhajar seperti dia menghajar aku, akan kupukul sekujur
badannya sampai babak belur."
Beng Hoa acungkan jempol, katanya, "Bagus, ambisimu patut
dipuji, cita-citamu pasti akan terkabul kelak." .
"Aku harus belajar kungfu baru bisa menuntut balas. Bengsiauhiap,
bisakah kau mengajar kungfu kepadaku?"
"Kepandaian yang kumiliki belum setimpal menjadi gurumu," ujar
Beng Hoa tertawa, "tapi akan ku-bantu kau supaya kau terlaksana
keinginanmu. Hm, kenapa kau tidak berguru kepada paman Thio
saja?" "Thio tayhiap tidak menentu jejaknya, tidak pernah diam di suatu
tempat, dia bilang selama hidupnya tidak akan terima murid,"
demikian tutur putera Kili.
"Baiklah, akan kucarikan seorang guru untukmu. Biar kelak kita
bicarakan lagi." Lalu Beng Hoa tuturkan maksud kedatangannya,
lalu menyambung, "Ada sepucuk surat ayah akan diserahkan
kepada Long-kam Hoatsu, entah bagaimana untuk menemuinya?"
Kili tampak merenung sekian lama, sikapnya serba susah,
katanya kemudian, "Siapa pun tidak boleh keluar masuk istana
Putala Long-kam Hoatsu adalah pelindung utama dari para Lama
yang berkuasa di istana itu, kedudukannya hanya di bawah Dalai
Lama Untuk menemuinya jelas lebih sukar lagi. Aku hanya rakyat
jelata, para petugas di dalam istana juga tiada yang kukenal, kalau
aku harus menyelundupkan kau ke dalam, jelas tidak mungkin."
Apa boleh buat, terpaksa Beng Hoa berkata, "Biarlah kalau
malam saja aku menyelundup ke dalam Putala semoga aku dapat
menemuinya" Lekas Kili menggoyang tangan, katanya, "Jangan. Putala adalah
tempat suci, kecuali kau tamu agung yang diundang, siapa pun
yang berani masuk ke sana dipandang sebagai dosa besar. Aku
tidak tahu untuk urusan apa kau ingin bertemu dengan Long-kam
Hoatsu, tapi tentu kau ingin bertukar pikiran atau membicarakan
suatu urusan penting dengan dia, mana boleh memojokkan dirimu
sendiri menjadi musuh mereka malah."
"Usiaku muda pengalaman cetek, terima kasih akan petuah dan
petunjuk paman. Tapi surat itu betapapun harus kuserahkan sendiri
kepada Long-kam Hoatsu, bagaimana baiknya?"
"Jangan terburu nafsu, anak muda," ujar Kili tertawa, "aku belum
habis bicara." Setelah mengisap pipa cangklongnya lalu melanjutkan
dengan tertawa, "Semula aku pun kehabisan akal, untung
kedatanganmu tepat pada waktunya. Setiap tahun Putala akan
terbuka untuk umum sehari saja, umum bebas ber-sembah sujud di
sana. Hari itu kebetulan adalah ulang tahun Hudco pada tanggal
empat menurut penanggalan setempat"
Beng Hoa lesu, katanya, "Sekarang baru pertengahan bulan dua,
entah kapan baru tiba hari ulang tahun itu."
Kili tertawa, katanya, "Jangan lupa, penanggalan orang Tibet
berbeda dengan tanggal Imlek orang Han kalian. Hari ini adalah
tanggal dua bulan empat menurut tanggal bangsa Tibet kami, jadi
esok lusa adalah hari ulang tahun Hudco itu."
Beng Hoa kegirangan, katanya, "Tadi banyak kutemukan orangorang
yang masuk kota membawa perbekalan sembahyang.
Ternyata esok lusa adalah hari pembukaan istana Putala, jadi hari
itu aku pun boleh masuk."
"Sudah tentu boleh, asal kau juga menyamar jadi pemuja kuil.
Besok akan kubelikan pakaian, boleh kau mengaku sebagai familiku
yang baru datang dari desa. Asal dapat bicara beberapa patah,
bahasa Tibet, yakin dengan leluasa kau dapat masuk."
"Dijalan aku sudah sedikit belajar, bahasa basa-basi ala kadarnya
sudah fasih kuucapkan, terima kasih atas petunjukmu paman."
Hari kedua, putera Kili menemani Beng Hoa putar kayun dalam
kota. Sudah tentu tak lupa mereka pun mengunjungi ke Tay-cau-si,
letaknya di pusat kota, pusat keramaian pula. Ternyata
pengetahuan putera Kili tentang kebudayaan cukup luas, sepanjang
jalan tidak sedikit berceritera tentang segala sesuatu yang
dilihatnya, waktu memasuki Tay-cau-si putera Kili bertanya, "Kau
perhatikan tidak daun. pintu Tay-cau-si ini?"
"Pintu gerbang yang megah tiada taranya, dibanding daun pintu
kuil-kuil yang kulihat sepanjang jalan tadi jauh bedanya."
"Ketahuilah, umumnya kuil-kuil yang dibangun di Tibet pintunya
dibangun ke arah selatan, hanya Tay-cau-si ke barat, Siau-cau-si ke
timur. Sebabnya konon Beng-seng Hongcu pemeluk agama Budha,
maka pintu Tay-cau-si sengaja dia bangun menghadap ke barat,
namun dia pun merindukan kampung halaman, maka Siau-cau-si
dibangun menghadap ke timur."
Umat yang bersembahyang ke Tay-cau-si hari itu cukup banyak,
mungkin karena istana Putala akan dibuka besok pagi maka umat
Budha dari berbagai tempat sudah berdatangan. Asap dupa
mengepul tebal sehingga banyak orang bercucuran airmata karena
pedas dan sesak napas. Hampir setengah hari Beng Hoa berdua
baru pulang ke rumah Kili.
Malam itu Beng Hoa tidur pulas. Hari kedua, setelah bangun tidur
terasa semangatnya segar, segera dia mempersiapkan diri untuk
berangkat ke Putala bersama Kili. Dari gurunya Beng Hoa pernah
belajar sedikit tata rias, setelah mengenakan pakaian penduduk
setempat, keadaannya sudah mirip penduduk asli.
Istana Putala adalah sebuah bangunan kuno setinggi tigabelas
tingkat. Konon seluruhnya ada sem-bilanribu sembilanrarus
sembilan-puluh sembilan kamar, berapa angka yang pasti tiada
orang yang tahu. Untuk mencapai tujuan, perjalanan jauh dan
cukup payah juga karena letak istana yang tinggi, harus lewat
lamping gunung lagi. "Paman, hari ini bikin capek kau saja," ujar Beng Hoa rikuh
melihat orang mandi peluh.
Kili tertawa, katanya, "Tigapuluh tahun yang lalu, pernah sekali
aku masuk Putala, kini sebelum ajalku dapat pula masuk ke Putala,
mati pun aku boleh meram. Inilah rejeki-ku, kenapa dikatakan
menderita"." Sembari jalan, mereka berbincang-bincang. Kili menceritakan apa
yang ingin diketahui Beng Hoa, entah itu tentang budur, soal relief
atau kebudayaan, segala serba-serbi di sini dapat dia jelaskan
dengan baik Hari masih gelap mereka sudah berangkat dari rumah, setengah
jam setelah matahari terbit, mereka sudah berada di dalam Putala
Ternyata sudah banyak orang yang datang lebih pagi dari mereka,
di mulut jalan sudah berjubel banyak orang.
Kili membawa Beng Hoa masuk dari pintu samping, mereka terus
maju mengikuti arus manusia yang berjubel itu, dari pagi hingga
menjelang lohor baru mereka mencapai pusat Putala Sebetulnya
banyak pemandangan dari bentuk-bentuk bangunan yang megah
mengagumkan patut dinikmati oleh Beng Hoa, sayang lautan
manusia dengan asap dupa yang mengepul menjadikan keadaan
terasa sumpek. Beng Hoa berjalan terus, tanpa terasa dia terpisah
dengan Kili dan tidak bisa menemukannya lagi.
Beng Hoa menoleh dan celi-ngukan mencari Kili. Waktu itu sudah
lewat lohor, namun yang datang lebih banyak dibanding mereka
yang mulai mengundurkan diri, maka yang keluar dan yang masuk
makin berjubel dan berdesakan. Seorang bocah yang berjalan di
depan Nyo Hoa terdengar mengeluh, "Kakek, perutku lapar."
"Tahan sebentar lagi nak," ucap sang kakek, "setelah
sembahyang ke dalam kuil istana sebelah kiri itu, segera keluar."
Padahal dalam kuil itu berjubel manusia.
Bocah itu merengek, "Di sini terlalu banyak orang, hawanya
sumpek. Kek, kuil di sini begini banyak kenapa tidak sembahyang di
kuil yang sepi di sebelah kanan itu?"
"Hus, kuil di sana adalah tempat tinggal para Lama, orang luar
tidak boleh masuk." Pada saat itulah bunyi genta bergema tiga kali, lalu mengalunlah
irama terompet dan bunyi-bunyian. Seorang tua tak jauh di sebelah
Beng Hoa berkata heran, "Lho, bukankah itu musik penyambutan,
entah tamu agung mana yang datang."
Sesaat kemudian kereta pun tiba. Seseorang yang masuk dari
luar bercerita kepada temannya, "Yang datang adalah Tio Thing-lok,
Tio-tayjin, konsul kerajaan di kota Lhasa. Di samping ikut
menghadiri perayaan dia pun akan menemui Khong-hwi Hoatsu."
"Siapakah Khong-hwi Hoatsu?" tanya Beng Hoa kepada laki-laki
Tibet itu. "Khong-hwi Hoatsu adalah gelar yang diberikan oleh kerajaan
kepada Long-kam Hoatsu."
Tujuan kedatangan Beng Hoa memang ingin menemui Long-kam
Hoatsu, maka segera dia mendesak keluar dari kerumunan orang.
Setiba di luar, kebetulan konsul kerajaan Tio Thing-lok bersama tiga
perwira yang mengawalnya lewat di depannya. Hanya dua di antara
ketiga perwira itu yang dikenal Nyo Hoa. Mereka adalah Yap Kok-wi
dan Lau Ting-ci. Dari cerita Ting Tiau-tang, Beng Hoa tahu bahwa
konsul kerajaan Tio Thing-lok dikawal oleh seorang perwira lihay
bernama Wi To-ping. Ketiga orang ini terkenal dengan jago kosen
dari istana raja. Di bawah petunjuk dua orang Lama, Tio Thing-lok berempat
membelok ke serambi panjang yang menjurus ke dalam sebuah
istana megah di selatan. Orang-orang yang melihat dari keramaian
berdesakan ke pinggir serambi. Beng Hoa sedang berdaya
bagaimana dia harus bertemu dengan Long-kam Hoatsu. Mendadak
dilihatnya Yap Kok-wi pentang kedua matanya menyapu pandang ke
kiri kanan seperti mau mencari seseorang di antara para penonton
Beng Hoa kaget, lekas dia melengos, dia kira orang sudah melihat
dirinya. Padahal Beng Hoa sudah mendesak di barisan paling depan,
kalau menyingkir tergesa-gesa tentu menimbulkan rasa curiga,
sekilas masih sempat dilihatnya dua bayangan orang yang
menyelinap ke dalam rombongan orang banyak. Dari bayangan
kedua orang itu mirip Kang Siang-hun dan Kim Bik-hong. Karuan
Beng Hoa heran dan tak habis mengerti, untuk apa kedua orang ini
berada di tempat ini. Mendadak terdengar sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah,
orang berteriak teriak, "Nah itu dia, Long-kam Hoatsu sudah
keluar." "Di mana?" "Ah, dia keluar bukan menerima sembah sujud para umat, dia
sedang menyambut tamu agung."
Beng Hoa melompat ke atas panggung batu. Tampak pintu
gerbang istana di sebelah sana terbuka lebar, seorang Lama
berkasa merah sedang menuruni undakan menyambut tamunya,
hanya sebentar pintu istana telah ditutup pula.
Tanpa terasa matahari sudah doyong ke barat, genta raksasa
yang dipasang di puncak istana bertalu-talu, itulah pertanda bahwa
para umat harus lekas meninggalkan Putala sebelum hari menjadi
gelap. Umat budhis bangsa Tibet ternyata amat disiplin, lekas sekali
mereka sudah berbondong keluar dengan patuh.
Setiap tahun hanya sekali Putala terbuka untuk umum,
selamanya belum pernah ditemukan umat yang tidak mematuhi
peraturan, maka para Lama yang bertugas di dalam istana tidak
pernah mengadakan pemeriksaan, apakah ada orang luar yang
masih tinggal di situ. Tapi harus dimaklumi juga bahwa kamar di
seluruh Putala hampir selaksa banyaknya, bila setiap kamar harus
diperiksa, berapa lama waktu dan tenaga akan dihabiskan. Tapi hari
ini justru terkecuali, seseorang justru sengaja melanggar pantangan,
orang itu adalah Beng Hoa
Di belakang istana besar di mana Tio Thiang-lok dan
rombongannya masuk tadi, ada beberapa pohon besar dan tua Beng
Hoa berputar ke sana terus merambat ke atas pohon mengintip
keadaan di dalam istana Tetabuhan masih mengalun, suara
percakapan dan senda gurau terdengar nyaring. Satu di antara
sekian ruangan besar kelihatan terang benderang, lapat-lapat
kelihatan di sana sedang diadakan perjamuan.
Karena tiada jalan lain untuk menemui Long-kam Hoatsu,
terpaksa Beng Hoa harus berani menyerempet bahaya, peduli ketiga
jago kosen istana berada di dalam. Dengan menabahkan hati, dari
atas pohon dengan gaya Burung Dara Jumpalitan dia melompati
pagar tembok terus menyelundup ke dalam istana. Tanpa diketahui
oleh siapa pun Beng Hoa terus maju lalu sembunyi di atas sebuah
loteng dan menunggu. Tak lama kemudian didengarnya langkah orang banyak, agaknya
perjamuan sudah usai. Long-kam Hoatsu membawa keempat
tamunya naik ke loteng. Arahnya kebetulan ke tempat
persembunyiannya Beng Hoa tahu mereka berkepandaian tinggi,
mata telinga amat tajam, sedikit terlena jejaknya bisa ketahuan.
Dalam keadaan mendesak, tak bisa banyak pikir, segera dia
sembunyi ke dalam sebuah kamar kosong.
Sebelum melangkah ke dalam kamar ini, dengan cermat sudah
dia perhatikan dalam kamar ini sunyi senyap, namun begitu dia
melangkah masuk mendadak dilihatnya seseorang berdiri di
depannya, kedua matanya berkilat tajam menatap dirinya, karuan
Nyo Hoa berjingkrak kaget, lapi orang ini tidak bergerak, setelah
dilihat jelas kiranya patung Budha yang terbuat dari kuningan.
Karena sinar lampu yang tergantung di payon luar, keadaan
kamar ini remang-remang. Di atas dinding kanan kiri banyak
digantung lukisan, belum pernah Beng Hoa melihat lukisan seperti
itu. Baru saja Beng Hoa menyembunyikan diri, langkah orang banyak
sudah tiba, terdengar suara Long-kam Hoatsu berkata, "Silakan Tiotayjin."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dia mendahului mendorong pintu. Secara tak sengaja
Beng Hoa masuk ke kamar semadi Long-kam Hoatsu.
Tanpa pikir, lekas Beng Hoa menyelinap ke belakang patung.
Lalu diam tak berani bergerak.
Setelah masuk ke dalam kamar, Tio Thing-Iok tidak segera
duduk, tapi dia menghentikan langkah di depan patung Budha. Beng
Hoa kaget, tangan sudah meraba gagang pedang, dia kira jejaknya
sudah diketahui mereka. Tapi sesaat tidak terjadi apa-apa, dari
celah-celah atas patung Budha yang terselubung gordin Beng Hoa
mengintip ke luar, dilihatnya perawakan Tio Thing-lok menjadi
pendek separo, waktu dia tegasi ternyata orang berlutut dan
menyembah di depan patung Budha ini.
Setelah menjalankan kehormatan, Tio Thing-lok berdiri dan
bertanya, "Mohon tanya hoatsu, patung ini"."
Long-kam Hoatsu segera menjelaskan dengan hormat, "Inilah
Hou-hoat Taysin" agama kami, Papiludu Pousat." Lalu dia balas
bertanya, "Tio-tayjin mengajakku bicara di kamar rahasia, entah ada
persoalan apa yang perlu dibicarakan?"
Tio Thing-lok bergelak tawa, katanya, "Tanpa keperluan takkan
berkunjung. Atas perintah kerajaan, ada persoalan penting mohon
Hoatsu suka membantu."
"Tolong tayjin jelaskan," ujar Long-kam Hoatsu.
"Boleh, boleh, tak usah tergesa-gesa. Mohon hoatsu terima dulu
kadoku ini. Inilah kado pilihan Sat-congkoan yang diambilnya dari
gudang pusaka istana, atas persetujuan baginda."
Long-kam Hoatsu mengerutkan alis, katanya sambil merangkap
kedua tangan, "Omitohud, orang beribadat melepaskan diri dari
segala benda duniawi, tak berani aku menerima kado ini."
"Coba periksa dulu, macam apa kado untukmu ini," ujar Tio
Thing-lok tertawa. Kedua tangan Wi To-ping memeluk sebuah kotak kayu cendana,
kotak itu ditaruh di meja. Setelah men-jura tiga kali, dengan laku
hormat dan penuh perhatian baru Tio Thing-lok maju membuka
kotak itu. Sebetulnya hati Long-kam Hoatsu setenang air, namun
melihat betapa khidmat tingkah orang, tak urung tertarik juga
perhatiannya, entah barang apa yang tersimpan di dalam kotak itu.
Begitu tutup kotak terbuka, cahaya mestika segera menyilaukan
mata. Dari dalam kotak itu Tio Thing-lok mengeluarkan sebuah
patung setinggi tiga kaki. Patung ini berwarna hijau pupus,
mengkilap bening. Selintas pandang siapa pun tahu bahwa patung
jade ini tak ternilai harganya. Tapi yang mengejutkan dan
mengherankan Long-kam Hoatsu bukan nilai dari patung ini, tapi
bentuk dari patung itu sendiri.
Patung itu adalah patung seorang pemuda, tepatnya paderi
muda. Ukirannya begitu lembut dan bagus sekali hingga mirip
hidup, kedua matanya bercahaya dan berwibawa, wajahnya kereng
dan agung. Jauh berbeda dengan patung-patung umumnya yang
berwajah welas asih, daripada .patung paderi, lebih tepat kalau
dikatakan patung kaum persilatan, karena di pinggangnya mcnyoren
sebatang pedang. Sesaat Long-kam Hoatsu terlc-ngong, lekas dia bersabda sambil
merangkap kedua tangan terus berlutut dan menyembah ke arah
patung itu. Patung yang terbuat dari batu jade hijau ini ternyata mengambil
gambar Hu-hoat-sin-ling dari Agama Kuning kaum Lama, yaitu
wajah agung dari Papiludu di masa mudanya dulu. Di dalam Putala
sudah tersimpan patung Papiludu di masa tua dan waktu setengah
umur, namun tidak ada patung Papiludu di masa mudanya. Patung
itu disembah berarti kado telah diterima.
Tio Thing-lok memapah Long-kam Hoatsu berdiri, katanya, "Satcongkoan
jauh berada di kota raja, tapi beliau tabu di istana Putala
dan di kamar semadi hoatsu sudah ada dua patung dari Pousat yang
sama." Long-kam Hoatsu kaget. Patung di istana Putala memang sering
dilihat orang, tapi patung di kamar semadinya ini jarang orang tahu,
tapi hai ini juga diketahui mereka, jelas bahwa mereka sudah lama
mengintip gerak-gerik dan keadaan sekitarnya.
"Tanpa sebab Sat-congkoan pasti takkan mengirim kado ini,
entah dalam hal apa pinceng dapat membantu?" secara langsung
Long-kam Hoatsu bertanya.
Tio Thing-lok merendahkan suara, "Sat-congkoan juga sedang
menjalankan kebijaksanaan pemerintah, persoalan ini sebetulnya
juga ada sangkut pautnya dengan agama dan kedudukan hoatsu
kalau berhasil membawa untung juga bagi kerajaan."
"Ah masa ada kerja sebaik itu. Entah mampukah pinceng
melakukannya, mohon penjelasan."
"Asal hoatsu mau membantu, urusan pasti beres," ujar Tio Thinglok.
"Pihak kerajaan memperoleh laporan rahasia bahwa Pek-kau
Lama yang dipimpin oleh Khong-ciok-bing-lun Hoat-ong di Jinghay
sudah menunjukkan tanda-tanda hendak bangkit dan melakukan
aksi, yakin Hoatsu sangat prihatin tentang hal ini."
"Aksi apa?" tanya Long-kam Hoatsu.
"Konon mereka berkomplot dengan kawanan pemberontak.
Maksud kerajaan supaya Ui-kau Lama kalian segera mengerahkan
kekuatan untuk menumpas habis seluruh Pek-kau itu."
Long-kam Hoatsu bersabda Budha, katanya, "Pihak kerajaan
mengerahkan tentara adalah jamak. Kami murid agama yang saleh,
tidak boleh mengadu jiwa."
"Hoatsu mengutamakan cinta kasih sesama manusia, memang
patut dipuji. Tapi soal ini menyangkut maju atau runtuhnya agama
kalian, apakah jawaban hoatsu barusan tidak terburu nafsu?"
Long-kam Hoatsu menahan amarah, katanya, "Mohon tayjin
memberi petunjuk." "Pek-kau dahulu adalah cabang agama kalian. Waktu cikal bakal
agama kalian Cogepa Hoatsu mendirikan Agama Kuning,
memberantas kaum penjahat dan golongan iblis, di kala
menyatukan kekuatan politik di daerah ini, Ui-kau cukup tegas
membedakan situasi dan menjalankan kebijaksanaannya, hanya
Pek-kau yang membandel tidak mau tunduk di bawah pimpinannya
sehingga terusir ke luar Tibet. Kejadian sudah seratus tahun lebih
Ui-kau kalian tetap tak mampu menyatukannya, meskipun Pek-kau
berkekuatan kecil tidak berarti, bagaimanapun dia merupakan bisul
yang cukup mengganggu. Kalau sekarang mumpung ada
kesempatan tidak segera ditindak, mau tunggu kapan lagi?"
Bertaut alis Long-kam Hoatsu, katanya, "Dalam ajaran dan tata
krama agama memang kami berbeda pendapat dengan Pek-kau,
namun seperti kembang merah dan daun hijau betapapun adalah
dari satu dahan." "Jadi hoatsu menolak bekerja sama dengan pihak kerajaan
kami?" "Terlalu berat ucapan tayjin. Bukan pinceng tidak mau bekerja
demi kepentingan kerajaan, namun menurut pendapat pinceng yang
bodoh, untuk bertindak kita kan harus punya alasan yang pantas
dan kuat." TioThing-lok berkata, "Pek-kau sudah jelas berkomplot dengan
kaum pemberontak, kalian memperoleh perintah kerajaan untuk
memukulnya, kenapa bilang tanpa alasan?"
Long-kam Hoatsu masih mendebat, "Bila Pek-kau melanggar
hukum kerajaan, sepantasnya pihak kerajaan yang mengerahkan
pasukan untuk menumpasnya."
Makin jelek air muka TioThing-lok, akhirnya dia menarik muka,
katanya sinis, "Hoatsu, marilah bicara blak-blakan saja. Jikalau pihak
kerajaan leluasa mengerahkan pasukan besar, buat apa harus
mengantar kado mengajakmu bekerja sama. Pertama, letak yang
jauh tak terjangkau oleh pasukan besar. Kedua, Pek-kau Hoat-ong
mendapat simpati rakyat Jinghay, walau kerajaan tidak takut
padanya untuk bertindak juga harus melihat gelagat, kejadian tidak
boleh berakibat fatal. Secara diam-diam dia mendukung ransum
kaum pemberontak, terpaksa kami menggunakan akal lain yaitu
meminjam kebesaran nama Ui-kau untuk menumpas mereka,
kelihatannya jadi merupakan persoalan intern sesama aliran agama.
Baiklah, rahasia seluk beluk persoalan ini sudah kubeber kepadamu,
jikalau kau menolak uluran tanganku, berarti kau sengaja mencari
setori dengan kami. Hehehe, kuharap kau memberi muka kepada
kami, kalau tidak, hm"."
Getir suara Long-kam Hoatsu, "Kalau tidak bagaimana?"
"Hoatsu memang orang pintar, memangnya aku harus
menjelaskan lagi?" "Ini bukan persoalan kecil, aku tak berani ambil putusan sendiri,
seumpama yang tayjin katakan barusan, harus menggunakan nama
kebesaran dan kekuasaan Ui-kau, maka hal ini harus minta
persetujuan dulu dari Dalai Lama" ,
"Dalai Lama yang kalian sanjung sekarang hanya bocah cilik saja,
dia tahu apa, bukankah putusan terakhir berada di tanganmu?"
Hampir meledak dada Long-kam Hoatsu, katanya, "Dalam agama
ada aturan dan tata tertib. Kebesaran dan keagungan Dalai,
bagaimanapun tidak boleh diabaikan."
Tio Thing-lok terkekeh dingin, wajahnya sudah membara, untung
WiTo-ping segera memberi kedipan mata serta menimbrung, "Tiotayjin,
dari suara hoatsu, kurasa urusan ini masih bisa
dipertimbangkan oleh pihaknya."
"Betul," Tio Thing-lok sadar, "memang aku kelepasan omong,
harap hoatsu tidak berkecil hati. Paling tidak hoatsu bisa mewakili
kami berbicara di hadapan Dalai Lama."
"Aku hanya bekerja sekuat tenaga, diterima atau tidak terserah
akan putusan Dalai."
"Syukurlah hoalsu suka membantu, sungguh kami berterima
kasih. Baiklah, kami mohon pamit saja." Tio Thing-lok dan Wi Toping
mendahului berdiri. Lega hati Long-kam Hoatsu, katanya sambil merangkap kedua
tangan, "Maaf, aku tak bisa mengantar jauh."
Pada saat itulah, mendadak Wi To-ping menepuk perlahan di
pundaknya, katanya, "Taysu tak usah sungkan." Perbuatan
mendadak dan tak terduga ini sebetulnya terlalu kurang ajar dan
tidak sopan, namun Long-kam Hoatsu juga hanya bisa tersenyum
getir saja. Tapi hanya sekejap, mendadak Long-kam Hoatsu dirangsang
oleh rasa gatal, dimulai dari pundak terus menjalar ke dada.
Rasanya seperti ada segulung hawa yang membeku menjadi suatu
benda keras yang mengganjal rongga dada sehingga rasanya risi
dan tidak enak. Semula dia hanya menyengir saja, kejutnya bukan main, segera
dia membentak, "Apa yang kau lakukan?"
Wi To-ping pura-pura melenggong, katanya, "Aku pamitan
dengan taysu. Taysv ada pesan apa?"
Mendelik gusar Long-kam Hoatsu, "Ada permusuhan apa pinceng
dengan kau, kenapa kau turun tangan keji kepadaku?"
Wi To-ping tertawa, "Taysu, jangan mengumbar marah,
maksudku supaya taysu suka membantu kami setulus hati, yakinlah
tiada maksudku mengantar taysu ke dunia barat" Seperti tertawa
tidak tertawa, Tio Thing-lok bergolak dua kali, lalu berkata, "Biarlah
kami terus terang saja. Kau memang terkena pukulan beracun. Tapi
pukulan beracun itu tidak akan segera merenggut nyawamu. Racun
akan mengeram dalam isi perutmu, hari demi hari akan menjalar
makin luas hingga setengah tahun baru akan kumat laksana air bah
yang menjebol tanggul. Saat itu seluruh tubuhmu sudah membusuk.
Obat penawarnya hanya Wi-heng saja yang punya. Taysu ingin
hidup atau mati terserah kepadamu." " "Apa kehendakmu?" tanya
Long-kam Hoatsu. "Dalai Lama hanya tunduk dan patuh akan nasehatmu, kutuntut
kau bersumpah di depan patung pemujaan ini, bahwa dengan nama
kebesarannya kau bisa mengerahkan kekuatan untuk menumpas
Pek-kau." Saking marah, bergetar tubuh Long-kam Hoatsu, bentaknya,
"Kau, kau bunuh aku saja."
"Memangnya semudah itu?" je-ngek Tio Thiang-lok. "Akan
kubuat kau paderi agung ini tersiksa setengah mati"."
Pada saat itulah, mendadak Wi To-ping membentak,
"Menggelinding keluar!"
"Scr, ser" dua batang Toh-kut-ting dia timpukkan ke luar jendela.
Serempak Yap Kok-wi dan Lau Ting-ci melesat laksana anak panah
menerobos ke luar jendela.
Tio Thing-lok terperanjat, ancamannya pun terputus di tengah
jalan. Dia kira Long-kam Hoatsu juga sudah bersedia menghadapi
kemungkinan ini, di luar sudah menyembunyikan bala bantuan.
Jikalau kejadian hari ini sampai bocor, urusan besar kerajaan bakal
gagal total, mereka berempat pun sukar keluar dari Putala. Walau
sebagai panglima perang, Tio Thing-lok hanya mahir bertempur di
atas kuda dan memimpin barisannya, dibanding Wi To-ping bertiga
yang memiliki kungfu tinggi jelas ketinggalan.
Tak lama kemudian Yap Kok-wi dan Lau Ting-ci sudah kembali,
katanya, "Di luar tidak ada orang. Wi-heng apa kau tidak salah
dengar?" "Yang kudengar jelas bukan angin lalu," ucap Wi To-ping. Sejak
kecil dia sudah berlatih amgi, maka pendengarannya jauh lebih
tajam dari orang lain. Tio Thing-lok berkata,. "Lebih hati-hati memang baik, kalian jaga
di luar saja. Untung hoatsu sudah memberi perintah, tanpa
diundang siapa pun dilarang kemari. Kalau ada orang naik kemari,
boleh kalian menunaikan perintah hoatsu, bunuh mereka." Lalu dia
menoleh, "Hoatsu, bagaimana, hayolah bersumpah."
Tanpa bersuara Long-kam Hoatsu berdiri lalu maju ke depan
patung, mendadak dia menubruk menumbukkan kepalanya.
Ternyata Long-kam Hoatsu memutuskan, "Daripada hidup
menderita, biaraku mati dibawah kaki Hu-kau-tayjin, semoga Pousat
mengantar arwahku ke dunia barat."
Sudah tentu kaget Tio Thing-lok bukan main. Dia berdiri paling
dekat dengan Long-kam Hoatsu, lekas dia pun menubruk maju
berusaha menariknya Tak nyana pada saat itulah, keajaiban
mendadak muncul. Patung tembaga itu mendadak menubruk ke arah Tio Thing-lok,
berbareng sebuah tangan terulur menarik Long-kam Hoatsu ke
belakang pintu angin. Tio Thing-lok sangka patung pemujaan ini mendadak
menunjukkan kesaktiannya karuan arwahnya seperti copot. Cepat
sekali Beng Hoa sudah melompat keluar. Gerak-gerik Tio Thing-lok
ternyata cukup cekatan, "Bret" baju pundaknya terjambret sobek
oleh Beng Hoa, namun tidak berhasil dibekuk.
Dalam waktu yang sama ternyata Wi To-ping sudah melompat
maju, memukul dengan telapak tangannya "Serangan bagus!" Beng
Hoa menyambut dengan tusukan pedang mengincar Lau-kionghiatdi
tengah telapak tangannya. Kalau Lau-kiong-hiat tertusuk,
maka pukulan beracun yang diyakinkan puluhan tahun oleh Wi Toping
akan pecah dan tak berguna lagi.
Wi To-ping memang tidak malu sebagai jagoan kosen dari istana
raja, lekas dia menarik kaki menekuk pinggang sambil menjatuhkan
diri ke pinggir berbareng kakinya melayang menendang pedang
Beng Hoa. Gerakan yang sukar dilakukan dalam keadaan biasa
namun serangan ini cukup lihay.
Di luar tahunya, meski kepandaian Wi To-ping lihay dan ganas,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi Bu-beng-kiam-hoat Beng Hoa lebih hebat lagi, dia miringkan
tangan, mendadak pedang menusuk dari posisi yang tak terduga
oleh Wi To-ping. Jikalau tendangan kakinya tidak beralih arah, pasti
tertabas buntung oleh Beng Hoa. Ternyata reaksi Wi To-ping cukup
cekatan, tubuhnya mendadak mencelat ke atas laksana burung
raksasa, berputar satu lingkaran, ujung pedang Beng Hoa menabas
lewat di bawah kakinya. Dari sebelah atas Wi To-ping turun sambil
mencengkeram. Beberapa gebrak ini terjadi dalam waktu singkat, kedua pihak
menggunakan kungfu tingkat tinggi, sedikit lena badan pasti terhias
oleh ceceran darah. Wi To-ping yang menubruk dari atas luput
cengkeramannya, sementara Beng Hoa sudah berada di depan Tio
Thiang-lok. Wi To-ping tidak menduga kiamhoat anak muda ini
begitu lihay, lekas dia berseru, "Tio-tayjin, lekas keluar!" Di (uar ada
Lau Tjng-ci dan Yap Kok-wi dua temannya, bila Tio thing-lok berada
di luar dapat dilindungi oleh kedua temannya itu, seorang diri Wi
To*ping bisa mencurahkan perhatian untuk menghadapi Beng Hoa.
Anehnya Tio Thing-lok ternyata menjadi linglung, tidak melarikan
diri, tubuhnya bersandar di daun pintu dengan badan gemetar.
Beng Hoa cukup ulur tangannya mencengkeram tengkuknya.
Ternyata waktu bajunya terjambret oleh tangan Beng Hoa tadi,
Jian-kin-hiat di pundaknya sudah tertotok oleh Beng Hoa.
Setelah membekuk Tio Thing-lok, Beng Hoa segera mengancam
leher orang dengan pedang, katanya tertawa lebar, "Kalau kau tidak
pikirkan jiwa Tio-tayjin-mu, hayo maju lagi."
Lekas Tio Thing-lok berkata, "Persoalan diselesaikan secara
damai saja, jangan pakai kekerasan."
"Boleh," ucap Beng Hoa, "suruh Wi To-ping keluarkan obat
penawarnya. " Wi To-ping pura-pura rogoh sana raba sini, lalu berkata, "Celaka,
aku lupa membawa obat penawarnya. Tapi tak jadi soal, kau ikut
aku, ikut pulang, segera akan kuberikan kepadamu. Syukur kadar
racun di. tubuh Long-kam Hoatsu tidak akan segera kumat."
Beng Hoa tertawa dingin, katanya, "Kau kira aku anak kecil" Kau
kira aku mudah kau permainkan" Bila obat penawar tidak kau
serahkan, biar kugorok leher Tio-tayjin-mu."
"Aku ini konsul jenderal keraja-an yang bertugas di kota Lhasa
ini, jika kau membunuhku memangnya pihak Putala berani
menanggung resikonya?"
Beng Hoa tergelak-gelak, lalu di pinggir telinga orang dia berkata
dingin, "Kau tahu siapa aku" Aku datang dari Jik-tat-bok. Apakah
pihak Putala berani mengusik engkau aku tidak tahu, aku hanya
tahu laskar gerilya tidak pernah takut menggorok leher pembesar
mana pun, raja lalim kalian pun berani dibunuhnya, apalagi
pembesar macam kau ini." Sedikit menggerakkan pedang, leher
seketika dingin, peduli Tio Thing-lok seorang jenderal perang yang
sudah berpengalaman, tak urung badan gemetar lutut pun goyah.
Long-kam Hoatsu keluar dari belakang pintu angin, katanya,
"Tio-tayjin, keji betul cara kerjamu, syukur lolap tidak mati di tangan
kalian." Lekas Tio Thing-lok berkata, "Ya, aku memang salah. Obat
penawarnya pasti kuberikan, tolong kau suruh hohan ini
membebaskan aku dulu."
Beng Hoa berkata, "Taysu jangan percaya obrolannya. Pepatah
bilang menangkap harimau lebih sukar daripada melepaskannya."
"Betul. Tio-tayjin, bukan soal aku melepas kau, tapi mungkin
kelak kau masih akan mencelakai aku."
"Aku berjanji tidak akan berbuat demikian. Kalau taysu tidak
percaya, aku berani bersumpah di depan patung pemujaanmu."
"Aku tak percaya sumpahmu, jikalau kau benar bertobat dan
menyesal akan perbuatanmu, boleh kau tanda tangan di atas kulit
kambing ini." Lalu dia keluarkan selembar kulit kambing. Di atas kulit sudah
penuh ditulis huruf-huruf berbenruk seperti cacing, itulah tulisan
bahasa Tibet "Apa yang tertulis di kertas kulit kambing ini?" tanya
Tio Thing-lok. Beng Hoa membentak, "Hoatsu suruh kau tanda tangan, segera
lakukan, tak usah banyak tanya." Ujung pedangnya sedikit
ditegakkan, tenaganya pas dan tepat. Terasa kulit leher terasa sakit,
ternyata ujung pedang sudah menusuk permukaan kulitnya, darah
segera mengalir turun. Demi mempertahankan jiwa, sudah tentu Tio Thing-lok tidak
membandel lagi, segera dia raih alat tulis lalu menuliskan namanya.
Maka Long-kam Hoatsu baru menjelaskan, "Dalam kulit kambing
ini tertulis pengakuan dosamu, biar kubacakan untukmu."
Yang bertanda tangan di bawah ini Tio Thing-lok, ternyata gagal
mencelakai Long-kam Hoatsu dan tertawan. Berkat kemurahan hati
hoatsu, perkara ini dianggap selesai sampai di sini. Dengan surat
pengakuan dosa M aku menyatakan penyesalan sebesar-besarnya.
Karuan Tio Thing-lok terbeliak kaget, serunya, "Kau, bukankah ini
penipuan?" "Bukankah kau barusan bilang menyesal dan bertobat" Karena
khawatir omongan tiada bukti, maka omonganmu sendiri kutulis di
atas kertas ini, kenapa kau bilang aku menipu?" debat Long-kam
Hoatsu. Ternyata surat pengakuan dosa ini sebelumnya sudah dia
persiapkan di belakang pintu angin.
Beng Hoa belum mengerti, sampai di mana manfaatnya surat
pengakuan dosa ini, katanya, "Memangnya setelah dia
menandatangani, surat itu besar gunanya?".
Long-kam Hoatsu tertawa, katanya, "Selanjutnya, bila dia berani
bertingkah aku bisa menyiarkan kejadian ini. Pengakuannya ini akan
kukirimkan ke Pakkhia supaya diperiksa oleh rajanya Kelak bila aku
mati keracunan, surat ini akan menjadi bukti bahwa dialah yang
membunuh aku. Umpama pihak Putala tidak mampu membunuhnya,
raja-nya juga tidak akan memberi ampun kepadanya." Lalu dia
menoleh dan berkata tawar, "Wi-tayjin, coba kau periksa lagi, apa
benar kau tidak membawa obat penawarnya" Atau kau hanya purapura
belaka?" Wi To-ping pandang Tio Thing-lok tanpa menjawab, terpaksa Tio
Thing-lok berkata, "Iya, kuingat kau ada membawanya sebungkus,
coba kau cari di mana kau simpan?"
Wi To-ping pura-pura lagi raba sana rogoh sini, akhirnya dia
berseru girang, "Eh, di sini, ternyata kusimpan di kantong bawah."
Long-kam Hoatsu yakin orang takkan berani menipu dengan obat
palsu, segera dia telan obat itu. Hanya sekejap rasa sesak dadanya
memang lenyap, semangat pun pulih, rasa gatal sudah hilang juga.
Mendadak suara ribut terdengar di bawah loteng, seseorang
dengan bahasa Tibet berteriak memanggil Long-kam Hoatsu serta
tanya keadaannya. Pada saat itulah Yap Kok-wi dan Lau Ting-ci sudah menerobos
masuk lewat jendela. Mendadak melihat dalam kamar tambah
seorang pemuda asing berdiri di pinggir Long-kam Hoatsu, mereka
tampak kaget. Tio Thing-lok segera berkata, "Pembicaraanku dengan hoatsu
sudah selesai, apa yang kaitan lakukan di luar, kenapa menyeret
orang sebanyak itu?"
Yap Kok-wi menjawab perlahan, "Kami melihat tiga orang pejalan
malam, dua di antaranya adalah putera Kim Tiok-liu yang bernama
Kim Bik-hong dan putera Kang Hay-thian yang bernama Kang
Stang-hun, seorang lagi gerakannya terlalu cepat, tidak terlihat
jelas. Para Lama yang bertugas di dalam istana melihat jejak kami
maka mereka mengejar kemari."
"Baiklah biar aku keluar memberi penjelasan kepada mereka,"
ujar Long-kam Hoatsu. Surat pengakuan dosa Tio Thing-lok dia
serahkan kepada Beng Hoa, lalu berkata, "Siau-gisu, nanti
sebentaraku ingin bicara dengan kau."
Beng Hoa yakin dalam keadaan seperti ini, mereka pasti takkan
berani bertindak kepada Long-kam Hoatsu, maka dengan lega hati
dia tetap berada di dalam kamar.
Yap Kok-wi dan Lau Ting-ci sekilas melirik ke arah Beng Hoa,
mendadak timbul rasa curiga mereka. Setelah di luar pintu, Yap
Kok-wi bertanya perlahan kepada Tio Thing-lok, "Bocah ini seperti
pernah kulihat, siapa dia?"
Dasar sudah jengkel dan uring-uringan, Tio Thing-lok menarik
muka, katanya, "Jangan banyak urusan, bisa lekas meninggalkan
tempat ini dengan selamat sudah terhitung beruntung."
Long-kam Hoatsu muncul di atas balkon, serunya, "Apa yang
kalian ributkan?" Lama yang bertugas kebetulan adalah murid Long-kam Hoatsu
yang bernama Kawisi, sahutnya, "Kami melihat dua maling terbang
seperti lari ke atas loteng."
Long-kam Hoatsu tertawa, katanya, "Mereka bukan maling
terbang, tapi Yap-tayjin dan Lau-tayjin."
Sudah tentu para Lama itu tiada yang berani banyak bicara lagi,
meski dalam hati serba heran dan bertanya-tanya. "Kalian antarkan
Tio-tayjin pulang," perintah Long-kam Hoatsu kepada muridnya, lalu
dia menjura kepada Tio Thing-lok dan berkata, "Tio-tayjin, mohon
maaf, pinceng tidak mengantar terlalu jauh."
Setelah Tio Thing-lok berempat pergi, Long-kam Hoatsu langsung
kembali ke kamarnya, katanya, "Siau-gisu, malam ini syukur berkat
bantuanmu sehingga Iolap terhindar dari petaka ini. Tolong tanya
siapakah engkau?" "Ayah ada titip sepucuk surat, silakan hoatsu baca, semua akan
jelas," ujar Beng Hoa.
Selesai membaca surat Beng Goan-cau, kejut dan girang bukan
main Long-kam Hoatsu, katanya, "Ternyata kau ini putera Beng tayhiap.
Ayahmu adalah penolong besarku, malam ini kau menolong
jiwaku pula. Terlalu besar budi kebaikan kalian ayah dan anak
kepadaku." "Mohon taysu sudi memberi maaf atas kelancangan wanpwe
menyelundup ke istana terlarang ini," demikian ucap Beng Hoa.
"Kenapa kau masih berbicara sesungkan ini dengan aku," ujar
Long-kam Hoatsu. "Kau adalah putera sahabat baikku, seumpama
tiada kejadian malam ini juga aku tetap anggap aku sebagai
tamuku." "Ada sesuatu permohonan ayah kepada taysu"."
Sebelum Beng Hoa habis bicara, Long-kam Hoatsu sudah
tertawa, katanya,. "Persoalan ayahmu sudah kuketahui, aku pun
sudah mendahului menyetujui. Bukankah tadi kau sudah mendengar
dan menyaksikan, kenapa masih tanya aku?"
Beng Hoa sadar dan mengerti.
Long-kam Hoatsu berkata lebih lanjut, "Tentang harapan ayahmu
supaya Ui-kau dan Pek-kau rujuk kembali, sudah lama pinceng
memang sudah ada maksud ini. Tapi permusuhan sejak seratus
tahun lebih, untuk menghilangkan rasa benci dan permusuhan
bukan persoalan gampang dan tidak boleh terburu nafsu. Perlu
meluangkan waktu untuk membujuk kedua pihak supaya mereka
yang menaruh rasa sirik, benci dan dengki dapat melenyapkannya,
meski lain pandangan tapi satu cita-cita. Bcng-siauhiap, tolong kau
sampaikan maksud hatiku ini kepada ayahmu, karena itu maaf kalau
lolap tidak balas menulis surat."
"Taysu berpandangan luas dan bajik, rencana baik dan
sempurna. Wanpwe mewakili ayah menghatur-" kan banyak terima
kasih." "Bicara terima kasih, sebetulnya kamilah yang patut
menghaturkan terima kasih kepada kalian. Budi pertolongan kalian
ayah beranak kepadaku, adanya laskar gerilya kalian melawan
kerajaan di Jik-tat-bok paling tidak juga merupakan pelindung dan
penyelamat bagi rakyat Tibet kami."
Beng Hoa tidak pernah berpikir bahwa dirinya bakal dapat
menunaikan tugas berat ini secepat dan semudah ini. Dengan hati
riang segera dia mohon pamit
Kebetulan Kawisi sudah kembali dari mengantar para tamunya.
Long-kam Hoatsu lantas memanggilnya ke atas loteng. Begitu
menginjak kamar gurunya dan melihat seorang pemuda asing di situ
juga, seketika dia terbelalak kaget dan heran.
"Bagaimana dengan para pembesar itu?" tanya Long-kam
Hoatsu. "Mereka tidak banyak bicara, sikap mereka seperti syukur tidak
terjadi apa-apa," sahut Kawisi. Long-kam Hoatsu tertawa, katanya,
"Mereka gagal mencelakai jiwaku, sudah tentu merasa was-was dan
kurang senang." Kawisi kaget, tanyanya, "Berani mereka mencelakai guru?"
"Kalau tidak ditolong siau-gisu ini, mungkin aku sudah mati di
telapak tangan beracun Wi To-ping." Lalu dia tuturkan kejadian tadi
kepada muridnya yang boleh dipercaya ini.
Kaget dan marah hati Kawisi, katanya, "Kalau murid tahu akan
hal ini, pasti takkan kubiarkan mereka keluar dari Putala. Suhu, kau
terlalu baik." "Sekarang belum saatnya kita menentang kerajaan, selanjutnya
Tio Thing-Iok pasti takkan berani mengusikku lagi. Lalu buat apa
kita menarik panjang urusan ini?" Lalu Long-kam Hoatsu
menambahkan dengan tertawa, "Tadi kau antar tamu-tamu jahat,
sekarang kau harus antar tamu agung kita ini." Lalu dia
mengeluarkan selembar Ling-hu yang terbuat dari Pwe-yap (daun
Bohi). "Beng-hiantit, Pwe-yap-hu ini kuserahkan kepadamu. Dengan
Ling-hu ini kau bebas keluar masuk Putala, jadi tidak usah laporan
dulu." Beng Hoa terima Pwe-yap-hu serta berkata, "Terima kasih akan
penyambutan taysu yang luar biasa ini, sungguh siautit amat
berterima kasih." "Ah, kenapa sungkan, budi kebaikan kalian ayah beranak
kepadaku, entah bagaimana aku harus membalasnya, tolong kau
sampaikan salamku kepada ayahmu, semoga lekas sembuh dan
selamat berjuang" Beng Hoa diantar Kawisi. Waktu dia keluar dari Putala, waktu
sudah menjelang kentongan ketiga. Kalau siang tadi sepanjang jalan
ini penuh sesak oleh berjubelnya manusia, sekarang justru sepi
lengang tiada bayangan seorang pun. Hal ini menambah leluasa
bagi Beng Hoa, segera dia kembangkan ginkang terus berlari balik
ke dalam kota. Setiba di rumah Kili, fajar kebetulan sudah mengintip di ufuk
timur. Beng Hoa menduga Kili tentu gelisah menunggu dirinya
semalam suntuk. Tak nyana baru saja dia melompat masuk dari
atas tembok, di saat kakinya melangkah di pekarangan, dilihatnya
Kili sudah menunggu dirinya. Wajahnya berseri tawa, agaknya tidak
merasa khawatir dan gelisah.
"Semalam suntuk aku tidak pulang, bikin kau menunggu dan
tidak tidur, sungguh merepotkan dan tak enak rasanya," demikian
ucap Beng Hoa. "Menunggu kabar baikmu, jangan kata hanya semalam,
menunggu tiga malam juga patut Selamat, selamat"
Beng Hoa melenggong, katanya, "Paman, dari mana kau tahu
aku akan pulang membawa kabar gembira?"
"Seorang sahabat ayahmu juga sedang menunggu kau di sini.
Coba kau terka siapa dia?"
Belum habis dia bicara, seseorang mendadak telah muncul di
hadapannya. Orang ini bukan lain adalah maling nomor satu di
seluruh dunia, Kwi-hwe-thio adanya.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kejut dan girang Beng Hoa, serunya, "Thio tayhiap, kapan kau
datang?" Kwi-hwe-thio tertawa, katanya, "Bocah, ingatanmu terlalu jelek,
kenapa memanggilku tayhiap segala. Padahal belum lama ini aku
sudah melihatmu, kenapa kau tidak tahu apa-apa?"
Beng Hoa paham, katanya, "Jadi orang ketiga itu adalah kau, tak
heran paman Kili tahu aku akan pulang membawa kabar baik."
"Rekaanmu kali ini benar. Terus terang, selama di Putala aku
selalu menguntitmu, bagaimana kau melayani Tio Thing-lok dan
kawan-kawannya, aku pun menyaksikan seluruhnya."
"Thio-toasiok, kau sudah berada di Putala, kenapa tidak kau
temui Long-kam Hoatsu?"
"Memangnya kau kira segala orang boleh masuk. Kau adalah
putera tuan penolongnya, jelas tidak berhalangan. Kalau aku yang
muncul, banyak merepotkan. Umpama dia mau percaya aku adalah
teman baik ayahmu, juga memerlukan putar lidah dulu." Lalu dia
menambahkan, "Jikalau kau tidak berhasil membekuk Tio Thing-lok,
terpaksa aku harus turun tangan. Tapi setelah kau berhasil
membekuknya, maka aku harus menyempatkan diri untuk
melindungi kedua bocah bodoh itu.
"Toasiok, yang kau maksud tentu Kim Bik-hong dan Kang Sianghun,
kau bersama mereka?"
Kwi-hwe-thio geleng-geleng kepala, katanya, "Mereka adalah putera-
putera pendekar besar, maling cilik seperti aku mana setimpal
bergaul dengan mereka" Hm, semalam kalau tidak kupandang muka
bapak mereka, memangnya aku sudi mengurus mereka."
Memang Beng Hoa ingin memancing keterangan dari Kwi-hwethio,
sengaja dia berkata, "Wi To-ping terhitung seorang lihay, dia
seperti mendengar sesuatu. Akhirnya Lau Ting-ci dan Yap Kok-wi
mengejar ke luar, bagaimana kejadiannya aku tidak tahu."
Kwi-hwe-thio mendengus kesal, katanya, "Mana mungkin dia bisa
mendengar suaraku, begitu naik ke atas loteng jejak kedua bocah
bodoh itu lantas ketahuan olehnya Pertama kebetulan ada
hembusan angin lain, dia hanya curiga. Kedua kali kedua bocah itu
mendekam di luar payon kamar Long-kam Hoatsu, ginkang mereka
belum sempurna, mana mungkin jejaknya tidak terdengar oleh Wi
To-ping?" "Entah mereka pernah melihatku tidak?" tanya Beng Hoa.
"Mereka berada di atas memandang ke bawah, sudah tentu
melihat kau sembunyi di belakang pintu angin di belakang patung
perunggu itu. Entah kenapa kedua bocah bodoh itu seperti
mendadak melihat suatu kejadian paling aneh di dunia ini, mulutnya
sudah terbuka hendak berteriak."
"Mungkin mereka tidak menduga aku sembunyi di sana, hingga
hampir saja berteriak kaget. Tapi syukur mereka tidak sampai
bersuara." "Sudah tentu mereka tidak bisa berteriak, karena mulut mereka
yang terbuka lantas tersumbat sepotong kain."
Beng Hoa tertawa geli, katanya, "Mereka kau permainkan, apa
tidak marah?" "Memangnya ada waktu mereka mengumbar amarah" Waktu itu
Yap Kok-wi dan Lau Ting-ci kedua cakar alap-aiap itu sudah
memburu keluar. Kejadian selanjutnya justru lebih menggelikan."
"Hayolah masuk dulu. Ngobrol saja di dalam. Beng-siauhiap
sudah kelaparan satu hari, sudah tiba saatnya dia sarapan."
Selelah masuk, Kili mengeluarkan sepiring ubi, sambil makan
Beng Hoa mendengarkan cerita Kwi-hwe-thio.
"Aku sembunyi di atas pohon besar yang tingginya sejajar
dengan loteng. Dua potong kain pakaianku kugulung lalu
kutimpukkan sebagai antgi, di saat itu mulut mereka terbuka.
Hakekatnya mereka tidak melihat dan tahu akan perbuatanku.
"Lalu aku gunakan ilmu Thoan-im-jip-bit mengirim suara ke
telinga mereka, sudah tentu orang lain tiada yang mendengar.
Kukatakan, Tahukah betapa besar dosa kalian berani menerobos
daerah terlarang" Bila tertangkap para Lama, hukuman pertama
adalah dihajar limapuluh kali pukulan di pantat. Long-kam Hoatsu
sudah ada orang lain melindunginya, tak perlu kalian bocah bodoh
ini ikut campur. "Bagaimana taraf kepandaian Yap Kok-wi dan Lau Ting-ci, bila
kedua pihak bentrok umpama mereka tidak sampai kalah, mungkin
juga akan dikerubut oleh para Lama di Putala Sebaliknya Yap Kok-wi
dan Lau Ting-ci tidak akan kurang suatu apa, celaka adalah pantat
mereka akan terhajar. "Ternyata kedua orang itu tidak terlalu ceroboh, begitu
kuperingat-kan, mungkin juga mereka keder bila sampai tertangkap
dan dihajar pantatnya. Maka mereka patuh akan nasehatku, lekas
melarikan diri. Sembari mendesak mereka lari, sengaja aku
memperlihatkan diri memancing kedua cakar alap-alap itu
mengejarku. . "Dengan Thoan-im-jip-bit aku menggertak kedua cakar alap-alap
itu, perbuatan Tio-tayjin kalian yang jahat sudah kuketahui. Hehehe,
memangnya kau ingin kubeber muslihat kalian di hadapan para
Lama?" Tatkala itu rombongan ronda para Lama dalam istana itu mulai
bertugas dan mencari ke pelbagai pelosok. Kedua cakar alap-alap
itu ternyata takut oleh gertakanku lalu lekas kembali ke atas loteng.
"Setelah mereka keluar dari istana, setiba di atas gunung baru
lega hatinya Kedua orang ini menjura ke langit menyatakan terima
kasih kepada "Cianpwe Tojin" seperti diriku ini karena petunjuknya
tadi. "Hehe, hahaha. Beng-lote, kali ini dugaanmu meleset. Bukan saja
mereka tidak marah kepadaku, malah menyembah dan berterima
kasih kepadaku. Maling kecil seperti diriku ternyata menjadi orang
kosen. Hahaha apa tidak menggelikan?"
Beng Hoa sudah kenyang menghabiskan hampir sepiring ubi,
tanyanya kemudian, "Thio-toasiok, apa kau tahu di mana mereka
menyembunyikan diri?"
Tawar suara Kwi-hwe-thio, "Aku tidak ingin bermuka-muka di
depan bapak mereka, tidak sudi menerima kebaikan mereka pula,
peduli mereka sembunyi di mana?"
Beng Hoa jadi kecewa, rasa kecewa ini tertampak di mimik
mukanya. Kwi-hwe-thio menjadi sadar, katanya tertawa, "Aku boleh tidak
peduli mereka, tapi kau harus memikirkan keselamatan mereka juga
bukan" Agaknya kau hendak mengambil hati Kim Bik-ki maka kau
pikir hendak mencari mereka, benar tidak" Tapi kuanjurkan lebih
baik jangan kau mencari mereka. Aku tahu mereka sedang
mencarimu hendak menantangmu berkelahi."
Merah muka Beng Hoa, katanya, "Kukira mereka juga
memikirkan kepentingan laskar gerilya maka semalam mereka
berani menempuh bahaya menyelundup ke dalam Putala. Bukan
maksudku harus menemui mereka aku hanya tanya sambil lalu saja.
Kalau toasiok tidak tahu ya sudahlah."
"Kalau aku punya waktu mencari mereka lebih baik waktu itu
kugunakan mencari ayahmu. Oh ya. aku ingin memberitahu,
sebetulnya aku harus pulang menengok ayahmu tapi aku juga harus
memburu ke Wi-kiang menemui Utti tayhiap. Syukur tugasmu sudah
selesai, aku titip padamu saja, tolong sampaikan salamku kepada
ayahmu." "Paman jangan khawatir, penyakit ayah hampir sembuh, maksud
baik paman pasti kusampaikan kepada ayah."
"Kau tak perlu "buru-buru, kuli-hat kau perlu tidur lebih dulu."
"Betul, semalam kau tidak tidur, harus istirahat," sela Kili.
Badan Beng Hoa memang amat penat. Tapi anehnya, meski
badan terasa lelah, di atas ranjang dia gundah gulana tak bisa
memejamkan mata. Akhirnya dia membuang segala pikiran, serta
memejamkan mata mengatur napas, akhirnya tertidur juga.
Entah berapa lama dia pulas, mendadak terasa ada orang menggoncang
keras badannya, seseorang berbisik di pinggir telinganya,
"Beng-siauhiap, bangun, bangunlah."
Beng Hoa membuka mata, ternyata Kili yang membangunkan dia.
Kamar guram, hanya diterangi sebuah dian. Ternyata tidurnya
cukup panjang, dari pagi hingga petang, entah berapa jam"
Kili berkata perlahan, "Di luar datang sebarisan tentara negeri,
tadi waktu aku melongok keluar dari jendela loteng, kulihat mereka
baru memasuki gang ini. Dalam gang ini hanya ada tiga rumah,
gelagatnya mereka mencari kita."
Lekas Beng Hoa tanya, "Tentara kerajaan Ceng atau tentara
Tibet?" "Dua tentara Tibet menunjukkan jalan, di belakangnya ikut
beberapa tentara Ceng."
Belum habis mereka bicara, daun pintu di luar sudah digedor,
ternyata rombongan tentara itu sudah tiba "Beng-siauhiap," kata Kili
gugup, "lekas kau lari. Di kamar belakang ada pintu rahasia tembus
ke gang kecil di sebelah,"
Walau belum ada setahun Beng Hoa berkelana di Kangouw,
sedikit banyak dia sudah punya sedikit pengalaman dan pandangan.
Kalau kawanan cakar alap-alap itu mehiruk dirinya, memangnya
mereka tidak memikirkan adanya pintu belakangi Terpaksa dia harus
memancing pergi rombongan tentara itu supaya Kili ayah beranak
bisa menyelamatkan diri. Lekas dia mengenakan pakaian ala Tibet
yang dibelinya waktu datang katanya, "Biar aku menyamar kacung
di rumahmu ini, dengan putramu lekas kau sembunyi ke gudang,
jikalau aku bergebrak dengan mereka lekas kalian lari saja."
"Lho mana boleh, kau"." "Aku punya kungfu, kalian tidak. Bila
rumah kalian rusak disegel, hatiku sudah tidak enak, mana boleh
kajian harus berkorban jiwa pula. Lekas pergi."
Tentara Tibet di luar pintu sudah menggedor makin keras seraya
membentak, "Buka pintul Buka pintu!" Menyusul suara "Biang" yang
keras, agaknya karena tidak sabar menunggu beberapa orang itu
sudah menjebol daun pintu.
Lekas Beng Hoa berlari keluar. Apa boleh buat Kili seret
puteranya menyelinap di bawah tumpukan jerami dan kayu bakar.
Sementara itu Beng Hoa yang berlari keluar berpapasan dengan
seorang perwira. Siapa lagi kalau bukan Wi To-ping. Di belakangnya
masih ada tiga perwira lain, mereka adalah Lau Ting-ci, Yap Kok-wi
dan Teng Tiong-ai. Ternyata mereka sudah berhasil mencari tahu
bahwa Kili yang tinggal di sini, semula adalah musuh Kang Poh,
berhasil pula mereka selidiki selama dua hari ini di rumah Kili
kedatangan seorang pemuda dengan logat luar daerah, maka
mereka curiga dan malam ini menggrebek datang.
Berhadapan dengan keempat musuh tangguh ini, betapapun
tabah hati Beng Hoa, tak urung kaget juga dia.
Wi To-ping terbahak-bahak, katanya, "Di Putala kemarin malam
kami tak mampu bertindak kepadamu. Sekarang meski tumbuh
sayap pun jangan harap kau bisa lari. Anak muda, kalau ingin hidup,
lekas menyerah saja."
"Kentutmu busuk," maki Beng Hoa, sambil berkelit miring.
"Sreeet" pedangnya menusuk dengan jurus Pek-hong-koan-jit. Jurus
ini mundur untuk maju, berkelit sambil mencabut pedang serta
balas menyerang, beberapa gebrakan ini dilakukan sekaligus,
cepatnya laksana kilat. Gerakan Beng Hoa belakangan, serangannya tiba lebih dulu,
karuan Wj To-ping terkejut, bentaknya, "Bocah kejam. Hm,
betapapun keji hatimu, jangan harap kau lolos dari telapak
tanganku." Pedang Beng Hoa bergerak laksana kilat, namun pukulan Wi Toping
juga secepat angin. Apalagi pukulan telapak tangannya keluar
dari bawah lengan baju, sedianya dia akan sampuk pedang Beng
Hoa dengan ujung lengan baju, sementara telapak tangan kanan
membelah, dia yakin pergelangan tangan Beng Hoa bisa ditabasnya
putus. Tak nyana Beng Hoa seperti meraba maksud hatinya, pedangnya
mendadak berputar, menusuk dari sudut yang tidak terduga. Cepat
sekali begitu pukulan Wi To-ping luput, Beng Hoa sudah menyelinap
ke samping Lau Ting-ci, jurus Pek-hong-koan-jit belum lagi usai
sehingga ujung pedangnya mengancam tenggorokan Lau Ting-ci.
Golok cepat Lau Ting-ci ternyata lumayan juga, "Serangan
bagus!" bentaknya, maka terdengar dering ramai beradunya senjata
berat, begitu tubuh Beng Hoa limbung, pedangnya sudah berubah
jurus Hian-ciau-hoat-soa, menggaris melintang di udara kebetulan
menyongsong cakar tangan Yap Kok-wi yang sedang
mencengkeram tiba. Rangsakan golok berantai yang dilancarkan
Lau Ting-ci sebetulnya delapanbelas bacokan sekaligus, namun
belum dia membacok separo, pedang dan golok saling bentur
delapan kali, mendadak lawannya lenyap, saking bernafsu sukar dia
mengendalikan diri sehingga bacokan selanjutnya masih terus
bekerja, maka terdengar pula benturan keras disertai percikan
kembang api. Ternyata Teng Tiong-ai yang menyergap Beng
Hoa dari pinggir dengan sepasang potlot bajanya tertangkis oleh
bacokan kilat golok Lau Ting-ci.
Yap Kok-wi menggunakan Hong-tiam-thau, telapak tangan
terbalik keluar mencengkeram ke tulang pundak kanan Beng Hoa,
serangan ini memaksa Beng Hoa supaya menyelamatkan diri lebih
dulu, umpama dia terkena pedang Beng Hoa, yakin kungfu Beng
Hoa juga pasti dapat dipunahkan karena tulang pundaknya cacat
"Kenapa harus buru-buru adu jiwa," goda Beng Hoa tertawa,
"aku masih ingin bermain-main beberapa jurus lagi." Dengan
gerakan pindah posisi mengubah gerakan pedang, kembali ujung
pedangnya sudah mengancam Hong-hu-hiat di punggung Teng
Tiong-ai. Padahal kedua potlot Teng Tiong-ai tertabas pergi oleh
golok Lau Ting-ci, dalam keadaan mendesak tak mungkin
menangkis atau balas menyerang ke belakang. Untunglah Wi Toping
membentak keras, dari jarak lima langkah dia melontarkan Bikkhong-
ciang ke arah Beng Hoa. Bergetar pedang Beng Hoa, "sret" ujung pedangnya menggaris
panjang di punggung Teng Tiong-ai, sayang pedangnya disampuk
pergi oleh pukulan jarak jauh Wi To-ping, hanya pakaiannya saja
yang tergores. Hiatto-nya tidak kena apa-apa.
Sebat sekali Beng Hoa menyelinap, meminjam daya pukulan
jarak jauh lawan dia melompat tinggi laksana segumpal asap ke atas
genteng. Gerakan tubuhnya lebih lincah dan cepat daripada
menggunakan gerakan Bangau Melambung ke Langit. Tapi setiba di
atas genteng tak urung dia harus berputar sekali baru berdiri tegak.
Meski besar nyalinya tak urung kaget juga hati Beng Hoa
menghadapi pukulan jago nomor satu dari istana raja ini.
Hanya dalam sekejap, sekaligus Beng Hoa mampu menyerang
empat jago kosen, Wi To-ping berempat juga terkejut Wi To-ping
bersuit nyaring, dia mendahului melompat ke atas genteng.
Sebetulnya ginkang Beng Hoa sedikit lebih tinggi dari keempat
lawannya, jikalau setibanya di atas genteng dia mau segera angkat
langkah, dia bisa melarikan diri dengan leluasa, tapi untuk memberi
kesempatan kepada Kili dan puteranya melarikan diri, terpaksa dia
harus melawan mereka beberapa gebrak lebih lama.
Teng Tiong-ai, Lau Ting-ci dan Yap Kok-wi begitu melompat ke
atas genteng lantas berdiri pada tiga posisi di pinggir, sementara Wi
To-ping maju selangkah demi selangkah ke tengah gelanggang.
Setiap langkah kakinya menimbulkan suara berisik karena
genteng yang diinjak pecah berantakan.
Belasan langkah kemudian kedua tangannya sudah digerakkan di


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekeliling Beng Hoa, sementara kakinya tetap beranjak dengan
langkah berat, maka permukaan genteng berlubang-lubang.
Pecahan genteng beterbangan bersama debu, demonstrasi kekuatan
kakinya ini memang cukup mengejutkan.
Memang Beng Hoa tidak ingin melarikan diri, pedang melintang
di dada, jengeknya, "Hanya begini saja kepandaian keledai
dungumu?" "Menggelindinglah turun!" bentak Wi To-ping, kedua telapak
tangannya ternyata dipukulkan ke arah bawah, sisa genteng yang
masih utuh di sekitarnya ternyata dihancurkan semua hingga atap
rumah ambruk. Beng Hoa jatuh dari lubang besar itu, Wi To-ping
segera menubruk ke bawah.
Dengan gaya Burung Dara Jumpalitan, Beng Hoa mengecutkan
lengan bajunya menimbulkan sapuan angin sehingga genteng dan
runtuhan atap rumah yang ambruk bersama dirinya tersibak pergi,
baru saja ujung kakinya menginjak tanah, cakar Wi To-ping sudah
mencengkeram tiba di batok kepalanya.
Beng Hoa tertawa dingin, bentaknya, "Kau pun menggelinding!"
Dengan jurus Ki-hwe-liau-thian, pedangnya menukik dari atas ke
bawah memapas pergelangan tangan. Ternyata Wi To-ping tidak
menarik tangannya, cuma cengkeramannya dia ubah menjadi
tepukan dengan deruan angin yang cukup kuat
Pedang Beng Hoa mental kena tamparan tangannya, berbareng
Wi To-ping ayun sebelah tangannya menaburkan segcnggam pasir.
Ternyata sebelah tangannya tadi menggenggam sekeping batu
bata, pikirnya dengan batu bata itu dia hendak merusak pedang
Beng Hoa. Begitu dia kerahkan tenaga, batu bata itu hancur, untung
tangannya tidak ter-luka. Sekalian Wi To-ping menaburkan pecahan
batu bata itu. Begitu kaki menyentuh tanah, dengan gaya Naik Harimau
Memanjat Gunung, kelima jarinya ditekuk laksana ganco
mencengkeram ke tulang pundak Beng Hoa.
Supaya kedua mata tidak terluka, Beng Hoa harus pejamkan
mata. Untung dia memiliki kepandaian mendengarkan suara
membedakan angin, begitu merasa ancaman, "sret" kontan
pedangnya menusuk. Ujung pedangnya itu seperti punya mata saja,
tepat mengincar telapak tangan Wi To-ping.
Tangan Wi To-ping sudah kosong, maka dia tidak berani
menangkis lagi. Lekas dia ubah gerakan dari mencengkeram jadi
membelah, dengan jurus Ngo Ting Membelah Gunung balas
menyerang untuk mematahkan serangan, dua jari yang terangkap
menusuk ke lambung Beng Hoa. Serangan ini memaksa Beng Hoa
untuk menyelamatkan diri lebih dulu, itulah permainan tingkat tinggi
dari Khong-jiu-jip-pek-to. Bila Beng Hoa menarik dan melintangkan
pedang melindungi lambung, dia segera akan mengubah gerakan,
dengan Tay-kim-na-jiu yang Iihay merampas pedang Beng Hoa
secara kekerasan. Di luar tahunya Bu-beng-kiam-hoat Beng Hoa justru ilmu pedang
yang serba aneh, terbuka dan bebas, "Sreet" tahu-tahu pedang
sudah menusuk dari arah yang jauh tak terduga olehnya, dengan
cara yang sama dia memaksa lawan untuk menyelamatkan jiwa
sendiri lebih dulu sebelum merampas pedangnya.
Bik-khong-ciang khusus untuk memukul jarak jauh, dalam waktu
sesingkat dan jarak sedekat itu kekuatan pukulannya takkan bisa
dikembangkan untuk menyampuk ujung pedang, terpaksa dia
kebutkan lengan baju. "Cret" sinar pedang melesat lewat, lengan
baju Wi To-ping seketika tertabas sobek, namun pedang Beng Hoa
tersampuk miring. Dalam sekejap ini kedua pihak sudah tukar
menukar serangan beberapa jurus, kedua pihak sama bersyukur
karena selamat, padahal Beng Hoa bergerak dengan memejamkan
mata, jelas bahwa ilmu pedangnya masih setingkat lebih unggul dari
permainan telapak tangan Wi To-ping.
Cepat sekali Lau Ting-ci, Yap Kok-wi dan Teng Tiong-ai sudah
melompat turun dari atas rumah. Baru saja Beng Hoa membuka
mata, tampak sinar golok laksana rantai, golok cepat Lau Ting-ci
ternyata sudah membelah tiba, menyusul sepasang potlot Teng
Tiong-ai juga menusuk dari samping.
Dengan jurus Sam-coan-hoat-lun, pedang panjang Beng Hoa
dibalik terus dipelintir. Golok tebal Lau Ting-ci hampir saja terpelintir
lepas, lekas dia tarik golok mengubah gerakan. Dalam waktu yang
sama sepasang potlot Teng Tiong-ai pun terketuk pergi ke luar
garis. Wi To-ping membentak, "Bocah keparat, berapa jurus lagi kau
mampu melawan?" Kedua tangannya terkembang, beruntun dia
menubruk maju memukul, membelah, menusuk atau meninju, kaki
tangan silih berganti semua membawa deru angin kencang. Dengan
tangan kosong Yap Kok-wi juga menyerbu tiba, dengan pukulan
telapak tangannya yang mampu memukul hancur batu pilar yaitu
Toa-cui-pi-jiu. Ternyata pukulan telapak tangan Wi To-ping dan Yap
Kok-wi jauh lebih lihay dibanding senjata yang dilancarkan Lau Tingci
dan Teng Tiong-ai. Dikeroyok dari empat penjuru, Beng Hoa yang
terkepung di tengah tampak kewalahan. Meski dengan Bu-bengkiam-
hoat yang lihay dia kuat bertahan sementara, namun tenaga
akhirnya pasti habis. Di tengah ketegangan itulah mendadak Wi Toping
membentak, "Siapa yang datang!" Belum lenyap bentakannya,
dua bayangan orang sudah melompati pagar tembok laksana
burung raksasa. Sebuah suara yang sudah dikenal Beng Hoa berkata, "Di istana
Putala semalam kalian tidak mampu mengejar aku pasti dalam hati
kalian tidak terima, sengaja malam ini kucari kalian di sini."
Yang datang ini bukan lain adalah Kim Bik-hong engkoh Kim Bikki
dan suheng-nya Kang Siang-hun.
Lau Ting-ci kenal siapa mereka berdua, segera dia berkata,
"Kejadian semalam boleh kami pandang muka ayahmu, anggaplah
tidak terjadi apa-apa. Pemberontak dosanya tidak kecil, kenapa kau
mencampuri urusan ini?"
"Betul. Menurut yang kuketahui, bocah ini bukan sanak bukan
kadang kalian, kenapa kalian harus ikut melawan penegak hukum,"
demikian Yap Kok-wi menimbrung.
"Kentutmu busuk," maki Kang Siang-hun, "Memangnya aku tidak
berani menggasak kalian antek kera-jaan ini, kalau tidak berani
melawan aku, lekas enyah dari sini."
Mendelik mata Wi To-ping, katanya, "Peduli kalian anak Kang
tay-hiap atau Kim tayhiap, bocah she Nyo ini serahkan kepadaku,
kalian boleh bekuk kedua bocah sombong itu."
Walaupun jeri terhadap Kang Hay-thian dan Kim Tiok-liu, tapi
karena dicaci maki oleh Kang Siang-hun, Yap Kok-wi dan Lau Ting-ci
naik pitam, Yap Kok-wi membentak, "Dengan maksud baik aku
memberi nasehat, kau kira aku takut terhadap kalian?"
Lau Ting-ci menantang, "Kami berduel satu lawan satu dengan
kedua bocah ini. Teng-heng, boleh kau di sini membantu Wi-toako
saja." "Sret" mendadak pedang Kim Bik-hong sudah menusuk tiba lebih
dulu, bentaknya, "Bagus, biar aku coba golok kilatmu." Di sebelah
sana Kang Siang-hun juga sudah melabrak Yap Kok-wi.
Golok kilat Lau Ting-ci memang luar bisa, tokoh-tokoh silat yang
mahir menggunakan golok di dunia ini, kecuali Beng Goan-cau dan
Utti Keng orang ketiga terhitung dia inilah. Golok dan pedang
beradu sehingga terdengar suara berisik memekakkan telinga.
Dalam sekejap Lau Ting-ci membacok tigapuiuh enam jurus
sementara dengan Toa-si-mi-kiam-hoat ajaran Thian-san-pay Kim
Bik-hong balas menyerang tujuh jurus.
Toa-si-mi-kiam-hoat Thian-san* pay khusus untuk bertahan,
tiada ilmu silat macam apa pun di dunia ini yang mampu
mengalahkannya. Kiamhoat ini merupakan ilmu pusaka pelindung
perguruan Thian-san-pay, setelah mengalami banyak koreksi,
penambahan dan variasi oleh Kim Si-ih serta Kang Hay-thian dan
Kim Tiok-liu, ilmu pedang ini jauh lebih sempurna dan diturunkan
kepada Kim Bik-hong. Bila ilmu pedang yang ruwet dan aneh ini
dikembangkan, meski golok kilat Lau Ting-ci amat gencar juga tak
mampu menembus pertahanannya. Tapi Kang Siang-hun yang
melawan Yap Kok-wi di sebelah sana ternyata terdesak di bawah
angin. Toa-cui-pi-jiu yang diyakinkan Yap Kok-wi lebih kuat dari Wi
To-ping. Kiamhoat Kang Siang-hun memang juga ajaran murni dari
Kira Tiok-liu, namun lwekang-nya belum memadai. Sementara
sepasang telapak tangan Yap Kok-wi digerakkan naik turun laksana
gelombang sungai yang bergulung-gulung, pedang panjang Kang
Siang-hun ternyata tidak mampu menembus pertahanannya.
Puluhan jurus kemudian, bayangan Kang Siang-hun malah
terkurung di bawah permainan telapak tangan lawan.
Meski tinggal melawan dua orang, Beng Hoa harus melawan dua
musuh. Wi To-ping adalah jago kosen nomor satu di istana.
Lwekang-nya lebih tinggi dari Beng Hoa, ditambah Teng Tiong-ai
yang mahir ilmu totok, mana Beng Hoa dapat mengambil
keuntungan" Untung permainan ilmu pedangnya amat aneh, kuat
dan lihay, lawan selalu dibuat kaget oleh tipu yang tak terduga.
Walau terdesak dibawah angin, namun keadaan atau posisinya jauh
lebih baik daripada Kang Siang-hun.
Beberapa kejap kemudian, permainan pedang Kang Siang-hun
sudah kian kendor, terasa tenaga sudah tidak sesuai dengan
keinginan hati lagi. Sementara Kim Bik-hong dari membela diri kini
sudah mulai balas menyerang, namun permainan golok cepat Lau
Ting-ci masih mampu menandingi permainan pedangnya
Situasi sudah jelas, jikalau Kim Bik-hong dapat mengalahkan Lau
Ting-ci lebih dulu, maka dia akan bisa membantu Kang Siang-hun,
situasi akan banyak berubah. Tapi kalau sebaliknya Kang Siang-hun
tak kuat bertahan lama, Yap Kok-wi berhasil mengalahkan dia, maka
dia akan berbalik ke sini membantu Lau Ting-ci mengeroyok Kim
Bik-hong. Sementara Beng Hoa masih sama kuat dan susah ditentukan
pihak mana akan menang. Kang Siang-hun juga tidak mengharap
bantuan Beng Hoa. Diburu keinginan untuk menang, beruntun Kim Bik-hong
melancarkan tipu-tipu berbahaya. Mendadak golok kilat Lau Ting-ci
menabas "cret" pakaian Kim Bik-hong sobek. Bukan saja tidak
mampu merobohkan lawan, jiwa sendiri hampir terenggut elmaut,
apa boleh buat terpaksa Kim Bik-hong melancar-kan pula Toa-si-mikiam-
hoat untuk mematahkan seluruh rangsakan golok Lau Ting-ci.
Ini berarti dia memerlukan waktu cukup lama untuk merebut posisi
serta merobohkan lawan. Bila akhirnya Kim Bik-hong memang
berhasil mendesak lawannya, sementara keadaan Kang Siang-hun
sudah amat kritis. Setelah puluhan jurus, permainan Beng Hoa semakin lambat,
keringat di atas jidatnya yang sebesar kacang bertetesan.
Teng Tiong-ai kegirangan, serunya, "Bocah ini sudah payah."
Belum habis dia berbicara, ternyata ditemukan pula olehnya setitik
kelemahan dari gerak permainan pedang Beng Hoa. Teng Tiong-ai
pernah kecundang dua kali oleh Beng Hoa, kini karena terburu nafsu
menuntut balas, segera dia menubruk maju, kedua potlotnya
bekerja, yang kiri menotok Ki-bun-hiat yang kanan menotok Tiongji-
hiat, dua hiatto mematikan di tubuh manusia.
"Awas hati-hati!" Wi To-ping memperingatkan.
Di tengah kumandang suaranya, Teng Tiong-ai menjerit
kesakitan, ternyata pundaknya sudah terkena pedang lawan.
Dengan sengit Wi To-ping memukul, ternyata luput. Sigap sekali
laksana gasing, tubuh Beng Hoa berputar ke samping Kang Sianghun.
Dalam keroyokan kedua lawannya, memang sukar untuk
membebaskan diri, maka Beng Hoa sengaja memeras keringat
berpura-pura mulai payah. Titik kelemahan gerak pedangnya tadi
sudah tentu juga sengaja untuk memancing lawan, ternyata Teng
Tiong-ai memang terjebak. Untung dia mendapat peringatan Wi Toping,
makanya kulit daging pundaknya yang terlu-ka, kalau
terlambat sedikit tulang pundaknya tentu tertembus bolong dan
remuk oleh pedang Beng Hoa.
Beng Hoa menyelinap tiba tepat pada saatnya. Saat itu Yap Kokwi
sudah angkat tangannya mengga-blok ke arah Kang Siang-hun.
Meski dia sempat berkelit seraya menarik tangan, tak urung jari
manisnya ter-papas oleh pedang Beng Hoa. Ternyata Yap Kok-wi
amat bandel dan berangasan, sambil menggerung dia ulur tangan
kiri yang tidak ter-luka membelah ke arah Beng Hoa, Dari belakang
angin kencang membelah udara, ternyata kedua potlot Teng Tiongai
mengancam Hong-hu-hiat di punggungnya.
Kang Siang-hun juga tidak menganggur, begitu tekanan lenyap,
"sret" pedangnya lantas menusuk. Sejak mulai bertempur dia selalu
terdesak di bawah angin, memang hati jengkel dan penasaran,
maka tusukan pedangnya ini teramat ganas dan deras, kebetulan
telah menusuk tembus telapak tangan Yap Kok-wi, maka Toa-cui-pijiu
yang diyakinkan Yap Kok-wi punah dan pecah. Darah memancar
dari telapak tangannya, luka-lukanya lebih parah dari tabasan ujung
jari manis di tangan kanan oleh pedang Beng Hoa tadi.
Melihat serangan Kang Siang-hun, Beng Hoa tahu bahwa Yap
Kok-wi takkan mampu melawan, cepat dia putar balik, pedangnya
menyampok kedua potlot Teng Tiong-ai, bentaknya, "Lukamu terlalu
ringan ya" Baiklah , mari kita adu jiwa lagi."
Lau-kiong-hiat di telapak tangan Yap Kok-wi sudah tertusuk, Toacui-
pi-jiu harus dilatih ulang lagi selama tiga tahun, saking kesakitan
dia melompat mundur sambil memaki, "Baik, kuingat kalian kedua
bocah ini. Tiga tahun lagi aku akan menuntut balas." Dengan
langkah sempoyongan segera dia melarikan diri.
Beng Hoa tertawa, ejeknya, "Boleh, jangan kata tiga tahun,
sepuluh tahun juga akan kutunggu."
"Sreeet, sreeet" dua kali tusukan pedangnya pula, ke kiri
menyerang Teng Tiong-ai, ke kanan menusuk Wi To-ping.
Karena Yap Kok-wi melarikan diri, sudah tentu Lau Ting-ci
kerepotan. Kim Bik-hong membentak, "Ingin lari juga" Memang
semudah itu?" Terdengar dering adu senjata yang ramai. Dengan jurus Samcoan-
hoat-lun, Kim Bik-hong memelintir golok Lau Ting-ci serta
menggetarnya putus menjadi tiga potong.
Wi To-ping kaget menyaksikan golok temannya putus,
bentaknya, "Bedebah, jangan takabur." Angin pukulannya pun
sudah menderu. Kim Bik-hong mengendus bau amis. Tahu pukulan lawan
beracun, lekas dia menyingkir ke pinggir, pedang menabas
pergelangan tangannya. Tapi Wi To-ping hanya menggertak supaya
dapat menarik Lau Ting-ci yang sudah gelagapan. Katanya,
"Seorang kuncu menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat."
Setelah Yap Kok-wi teri uka dan lari, senjata Lau Ting-ci rusak pula,
bila pertempuran dilanjutkan tiga lawan tiga jelas pihaknya takkan
bisa menang, lebih baik menyingkir dulu untuk mencari kesempatan
lebih baik. Beng Hoa masukkan pedang ke dalam sarungnya, katanya,
"Terima kasih akan bantuan Kim-heng dan Kang-heng."
Kang Siang-hun berkata dingin, "Semalam kau membantu pihak
kami, malam ini kami membantu kau. Selanjurnya tiada pihak yang
berhutang kepada pihak lain."
Beng Hoa tidak duga mendapat tanggapan dan sikap sekasar itu
dari Kang Siang-hun, sesaat dia berdiri melenggong, Kang Sianghun
sudah putar tubuh tinggal pergi. Lekas Beng Hoa berteriak,
"Kalian tunggu sebentar."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa keinginanmu?" tanya Kim Bik-hong dingin.
Beng Hoa terlongong, tak tahu apa yang harus diucapkan, entah
kenapa mendadak hatinya penuh emosi, maka dia berseru, "Kangheng
kau salah." Kang Siang-hun melirik tak acuh seperti tak sudi berhadapan,
"Dalam hal apa aku salah" Coba jelaskan. Aku bukan Kang-heng
dan kau Nyo-te." "Semalam aku bekerja untuk kepentingan laskar rakyat,
tujuannya Sama dengan kalian. Jadi jangan dikatakan aku
membantu kalian." "Peduli apa tujuanmu, yang penting apa yang sudah kau lakukan
berarti sudah membantu kami. Aku membantu kau juga bukan
lantaran pribadimu, anggaplah utang piutang ini sudah lunas."
Beng Hoa berkata, "Dahulu mungkin aku pernah berbuat salah
kepadamu, mohon kau sudi memaafkan. Tapi kemungkinan juga
kau masih salah paham terhadapku, sudilah kau tunggu sebentar,
dengarlah penjelasanku."
"Aku tak punya waktu mendengar omonganmu, bahwa aku tidak
menantangmu bertanding pedang anggaplah aku sudah memaafkan
kau. Selanjurnya tak usah kau banyak omong lagi."
Memangnya Beng Hoa seorang lugu, menghadapi sikap ketus
orang lagi, karuan dia tergagap, "Kim-toako, tentang adikmu"."
Mendelik mata Kim Bik-hong, bentaknya, "Adikku akan kuurus
sendiri, jangan kau menyinggungnya lagi."
Setelah melontarkan kata-kata kasar dan tidak bersahabat ini,
kedua orang ini lantas melompat tinggi hinggap di atas tembok lalu
melejit ke luar pula. Meski hati masgul dan penasaran menghadapi sikap tak
bersahabat kedua orang ini, tapi terhibur juga hati Beng Hoa karena
Kang Siang-hun dan Kim Bik-hong kini tahu orang macam apa
dirinya ini. Umpama tidak menganggapnya sebagai sahabat atau
kawan sehaluan, selanjutnya juga tidak akan anggap dirinya sebagai
musuh. Waktu dia melangkah masuk ke rumah, dilihatnya putera Kili
sudah memburu keluar sambil bertepuk kegirangan, teriaknya,
"Beng-toako, kungfumu sungguh hebat, seorang diri kau hantam
empat laki-laki jahat, hampir sesak napasku menyaksikan
kegagahanmu, entah kapan aku bisa belajar kungfu setinggi kau."
Pakaiannya kotor mukanya pun kena hangus, seperti orang yang
keluar dari dalam tungku.
Beng Hoa berkata, "Lho kenapa kau belum pergi, terlalu besar
nyalimu." "Ayah juga tidak pergi, Beng-toako, siapakah kedua orang yang
bantu kau tadi?" "Mereka memang kemari membantu aku."
"Nah itu ayah sudah keluar."
Dengan gopoh Kili melangkah keluar katanya girang setengah
kaget, "Beng-siauhiap, tak tahu bagaimana kami harus berterima
kasih kepadamu. Terus terang, tadi aku sudah siap
mempertaruhkan jiwa tuaku untuk membantumu. Tak nyana kau
berhasil memukul lari mereka."
"Tidak, akulah yang harus berterima kasih kepadamu. Kali ini
keluargamu ikut tertimpa masalah. Kurasa jangan kau tinggal di sini
lagi." "Betul, mereka pasti akan datang lagi. Jangan khawatir, aku
punya teman yang dapat dipercaya, aku akan menyingkir ke sana.
Marilah sekarang kita berangkat bersama."
"Kau boleh berangkat ke rumah temanmu itu, lihat gelagat, bila
situasi mengizinkan boleh kalian menyingkir lebih jauh. Kehadiranku
akan membawa kesukaran bagi keluarga temanmu malah."
Kili bingung, katanya, "Malam sudah larut, ke mana kau mau
pergi?" "Kembali ke rumah milikmu di luar kota."
"Pintu kota akan dibuka setelah terang tanah, mana kau bisa
keluar?" "Waktu masuk kota aku sudah mengukur tingginya tembok kota,
kurasa aku dapat memanjat ke luar."
"Ayah, memangnya kau tidak melihat kungfu Beng-toako, sekali
lompat mencapai atap genteng. Apa susahnya memanjat tembok
kota?" "Baiklah, boleh kau segera berangkat, tolong sampaikan salamku
kepada ayahmu." "Beng-toako, jangan lupa, kau berjanji mau bantu aku mohon
kepada ayahmu untuk menerima aku sebagai muridnya lho."
"Jangan khawatir, aku tidak akan lupa. Umpama ayah tidak
sempat mengajar kau, pasti akan kucarikan seorang guru pandai
untukmu. Semoga kalian pun selamat lolos dari bahaya, sampai
bertemu lagi." SETELAH berpisah dengan Kili ayah dan anak, Beng Hoa
mengembangkan ginkang. Dia menyusuri gang kecil, merunduk di
jalan raya, beberapa petugas dan ronda malam berhasil dikelabui,
setelah dia melewati dua jalan raya, baru kepergok serombongan
tentara yang membawa obor berderap menuju ke rumah Kili.
Menurut perhitungan Beng Hoa, Kili dan anaknya tentu sudah jauh
menyingkir, maka dia percepat langkah menuju ke luar kota Lhasa
memang ibu kota propinsi Tibet.
Dengan ginkang-nya yang tinggi Beng Hoa melompati tembok
kota, petugas jaga di atas tembok ternyata tiada yang tahu atau
melihatnya. Embun pagi membasahi pakaian, angin menghembus semilir,
setelah berada di luar kota, tanpa terasa fajar pun menyingsing.
Seperti seorang pahlawan yang pulang dari medan namun rasa
senang mengobarkan semangat, lupa rasa lapar, langkahnya lebih
ringan dan cepat. Sebelum mentari terbenam dia sudah tak jauh di sebelah utara
rumah peristirahatan Kili, Tugasnya di Lhasa memang berat dan
menimbulkan banyak akibat sampingan, namun di luar dugaan
berhasil diselesaikan dengan baik dan sempurna. Perasaannya
sekarang seperti pancaran cahaya pagi matahari yang hangat.
Semakin mendekati rumah dia memperlambat dan meringankan
langkah, pikirnya untuk membuat kejutan supaya Kim Bik-ki teramat
girang. Tapi setelah dia di pekarangan dalam, tetap tidak melihat
bayangannya. Mendadak di taman belakang didengarnya deru permainan
senjata tajam. Beng Hoa kaget Tapi di belakang ada lapangan
latihan, seseorang memang sedang berlatih, tapi bukan Kim Bik-ki,
ternyata ayahnya, Beng Goan-cau malah.
Beng Goan-cau sedang kembangkan enampuluh empat jurus
golok kilatnya. Betapa cepat dan hebat permainan goloknya, Beng
Hoa sampai terkesima. Tampak tangan sang ayah terayun, ternyata
dia sudah melancarkan jurus terakhir. Golok pusaka itu melesat
terbang laksana selarik lembayung "Trap" menancap di pohon,
beberapa kejap kemudian daun-daun pohon baru tampak rontok,
gagang golok masih bergetar keras.
Saking kagum dan terkesima, sekian lama Beng Hoa terlongong,
akhirnya tak tertahan dia bertepuk "seraya memuji, "Bagus ayah,
jurus Sin-liong-tiau-bwe yang bagus." Jurus Sin-liong-tiau-bwe
(Naga sakti mengibas ekor) adalah jurus tunggal paling ampuh dari
Bcng-keh-to-hoat. Beng Hoa pernah ratusan kali mengulangi jurus
yang satu ini dalam latihan, dia kira dirinya sudah berhasil
menyelami inti permainannya, tak nyana setelah melihat jurus ini
dimainkan sang ayah, perbawanya ternyata begitu mengejutkan
entah berapa lipat lebih dari apa yang pernah dicapainya. Tapi yang
Pendekar Guntur 24 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Kisah Pedang Bersatu Padu 13
^