Pencarian

Anak Pendekar 12

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 12


membuat kaget dan girang bukan lantaran keampuhan jurus golok
itu, tapi girang karena kesehatan ayahnya sudah pulih. Maklum
jurus Sin-liong-tiau-bwe yang dilancarkan Beng Goan-cau ini bukan
saja gerakannya harus mahir, dan tepat, tenaga dalam yang
dikerahkan juga harus diperhitungkan, jikalau kungfunya belum
pulih jelas takkan mampu melancarkan jurus yang satu ini.
Beng Goan-cau mencabut goloknya, katanya dengan tertawa,
"Karena sakitku betapapun masih terpaut dua bagian. Hoa-ji kenapa
secepat ini kau sudah kembali?"
"Anak sudah menunaikan tugas dengan baik."
Ganti Beng Goan-cau yang kaget dan girang, katanya, "Kukira
kau terbentur kesulitan, karena kewalahan kau pulang dulu
mengajak aku berunding." Lalu dengan tertawa dia melanjutkan,
"Untung hari ini kau pulang, besok aku sudah ingin menyusulmu ke
Lhasa." "Nasib anak kali ini memang mujur, kedatanganku tepat pada
waktunya." Beng Goan-cau mengerti, katanya, "Betul, kemarin adalah hari
ulang tahun Hudco, saatnya istana Putala terbuka untuk umum,
kenapa aku hampir melupakannya. Tapi semudah itu kau dapat
bertemu dengan Long-kam Hoatsu, hal itu di luar dugaanku."
"Sebetulnya tidak gampang," tutur Beng Hoa. "Walau hari itu
juga aku bertemu dengan beliau, tapi juga menimbulkan rentetan
kejadian." Lalu dia ceriterakan pengalamannya. Tapi pertemuan dan
bantuan Kang Siang-hun dan Kim Bik-hong tidak disinggung.
"Nasibmu memang lagi mujur, tapi keberanianmu juga patut
dipuji, setelah pengalamanmu kali ini, selanjutnya boleh aku
melepas kau berkelana di Kangouw dengan rasa lega. Tugas yang
kau tunaikan jauh lebih baik dari apa yang kubayangkan semula."
"Terima kasih akan pujian ayah. Bahwa tugasku bisa leluasa juga
berkat bantuan Thio-toasiok.
Sebetulnya Thio-toasiok akan kemari menengok ayah."
Beng Goan-cau tertawa, katanya, "Aku tahu tabiatnya, dia pasti
akan pulang ke Wi-kiang. "Betul. Tapi kita harus menetap dua hari lagi di sini, menunggu
Kili dan puteranya pulang kemari."
"Sudah sepantasnya Hoa-ji. Ada satu hal aku jadi merasa heran."
"Soal apa?" "Sejak tadi kau datang, kenapa tidak kau tanya nona Kim?"
Merah muka Beng Hoa, katanya, "Kukira dia berada di kamar,
setelah aku memberi laporan kepada ayah, belum terlambat aku
menemuinya." Beng Goan-cau tertawa, katanya, "Di depan ayah, tak usah kau
malu. Aku tahu kau merindukan dia, lekas kau pergi mencarinya dan
mengajaknya pulang."
Beng Hoa kaget tanyanya, "Bik-ki, dia" dia ke mana?"
"Tak usah gugup, dia tidak pergi. Dia ke belakang gunung
berburu kelinci." Lega hati Beng Hoaa katanya, "O, dia berburu untuk makanan
malam nanti, makanya tidak kelihatan."
"Dalam tempat ini tersedia lengkap segala peralatan dan ransum,
namun sayur-sayuran yang tersedia sudah habis. Melihat aku sudah
sehat, maka hari ini dia bilang mau keluar berburu supaya menu
malam nanti lebih lezat." Lalu dia mendongak melihat cuaca, lalu
menambahkan, "Dia berangkat setelah makan siang, mestinya
sekarang sudah pulang, lekas kau menyusulnya."
Bergegas Beng Hoa berangkat. Cahaya matahari yang kuning
menerobos celah-celah daun, Beng Hoa langsung berlari ke gunung
belakang, di atas puncak dia celingukan namun tak terlihat
bayangan Kim Bik-ki. Setelah membelok ke sebuah lekuk gunung mendadak dilihatnya
semak rumput di sebelah depan bergerak tanpa tertiup angin. Dia
kira Kim Bik-ki sudah melihat dirinya dan sengaja sembunyi hendak
menggoda dirinya Beng Hoa diam saja pura-pura tidak tahu, diam-diam dia jemput
sebutir batu, dengan gerakan yang diperhitungkan dia menyambit
ke sana, batu itu meluncur miring menyerempet pucuk rumput
hingga mengeluarkan suara berisik.
Mendadak dari semak rumput itu menerobos keluar seorang
gadis, sebelum batu sambitan Beng Hoa menyambar tiba, dia
timpukkan sekeping uang tembaga memukulnya jatuh.
"Adik Ki," seru Beng Hoa tertawa, "tidak mengejutkan kau bukan.
Gerakan menimpuk amgi itu tentu baru kau yakinkan bukan" Bagus
juga." Pelan-pelan gadis itu membalik badan, katanya dingin, "Kau
salah mengenal orang lagi."
Beng Hoa kaget, teriaknya, "Haya, nona Teng kiranya kau."
Gadis ini bukan lain adalah Teng Bing-cu yang berperawakan dan
berwajah hampir mirip dengan Kim Bik-ki.
"Betul, aku adalah Teng Bing-cu, bukan adik Ki. Tapi aku tidak
duga di sini dapat bersua dengan kau pula."
"Nona Teng, kau sudah ke Thian-san bukan" Kapan kau pulang?"
Tawar suara Teng Bing-cu, "Terima kasih atas perhatianmu.
Bukankah kau ingin mencari adik Ki" Mungkin kau takkan sempat
mendengar ceritaku lagi."
Beng Hoa melenggong, katanya, "Jadi kau pernah bertemu
dengan Bik-ki" Dia di mana?"
"Tadi dia sedang bicara dengan aku disini. Sebetulnya aku tidak
kenal dia, tapi dia malah kenal siapa aku."
"Di mana dia sekarang?"
"Sudah lari." "Lari" Kenapa lari?"
"Ada orang mengejarnya."
"Siapa yang mengejarnya?" makin gelisah hati Beng Hoa.
"Seorang laki-laki baju putih. Usianya sekitar empatpuluhan,
beralis tebal bermata jeli dan tajam mirip seorang suseng. Siapa dia
tidak tahu," demikian tutur Teng Bing-cu. "Kim Bik-ki sedang
berbincang dengan aku di sini, begitu laki-laki baju putih itu muncul
diatas lereng sana, Kim Bik-ki sudah terbirit-birit. Dia suruh aku
membantunya, jangan katakan dia di sini, tapi"."
"Tapi apa?" "Kepandaian lelaki itu amat tinggi, kukatakan aku tidak melihat
orang yang dia cari, dia hanya tertawa dingin tanpa bicara, dia
seperti pasang telinga mendengarkan lantas dia tahu ke mana arah
Kim Bik-ki melarikan diri, terus mengejar ke sana."
"Dia lari ke arah mana?" tanya Beng Hoa.
Teng Bing-cu menuding dengan jarinya. Tanpa banyak tanya
Beng Hoa berlari ke sana dengan mengembangkan Pat-pou-kansian,
badannya meluncur secepat angin. Cukup lama dia lari, setelah
naik turun lekuk gunung akhirnya dia melihat di depan seorang
lelaki baju putih tengah berjalan berlenggang, tapi dia tidak melihat
Kim Bik-ki. Lelaki baju putih menggendong kedua tangan, sikapnya santai,
seperti sedang menikmati pemandangan alam nan permai.
Mendengar langkah Beng Hoa baru dia menoleh. "Anak muda, kau
lari begitu tergesa-gesa, ada keperluan apa?" tegur laki-laki itu lebih
dulu. "Aku mencari seorang nona, entah kau"."
"Siapa she dan nama nona itu" Coba katakan, mungkin aku
tahu." Beng Hoa segera menyebut nama Kim Bik-ki. Mimik muka lelaki
baju putih tampak aneh, lama dia menatapnya dingin, katanya
kemudian, "Siapa kau" Untuk apa kau mencarinya?"
Setelah menyebut namanya, Beng Hoa berkata, "Aku adalah
teman nona Kim, harap tanya di mana dia bila kau tahu."
"Sudah tentu aku tahu, tapi aku takkan memberi tahu
kepadamu." "Kau harus memberi tahu kepadaku," desak Beng Hoa.
"Kenapa?" sinis nada pertanyaan laki-laki baju putih. Melihat
Beng Hoa gelagapan, segera dia menambahkan, Tak usah kau
mencarinya lagi." Kejut dan gusar Beng Hoa katanya, "Apa maksudmu"
Memangnya, kau" kau apakan dia?"
Dengan tak acuh lelaki baju putih berkata tawar, "Aku
mengurungnya, kenapa?"
Beng Hoa mencabut pedang, bentaknya, "Lekas kau bebaskan
dia." Lelaki baju putih bergelak tawa, katanya, "Berdasar apa kau
berani memerintah aku" Mengandal pedangmu itu" Kalau begitu
ingin kulihat permainan pedangmu."
"Apa betul kau tidak mau membebaskan dia?" ancam Beng Hoa
sambil menudingkan pedangnya.
"Memangnya kau tuli" Atau kau bodoh tidak paham ucapanku"
Untuk apa teriak-teriak, kalau berani bayo tusuk."
Tak tertahan gusar Beng Hoa, bentaknya, "Baik, mari kita
bertanding." Sekali tikam dia ciptakan sinar kembang. "Sreet"
pedangnya lantas menusuk.
Lelaki baju putih tidak berkelit tidak menangkis, ujung pedang
menuding di depan mukanya, matanya pun tidak berkedip.
Walau amat gusar, betapapun Beng Hoa tidak akan membunuh
orang begitu saja, ujung pedang mengancam tenggorokan,
bentaknya, "Kau ingin bertanding dengan aku, kenapa tidak
keluarkan senjatamu?"
Laki-laki itu bergelak tawa, katanya, "Siapa bilang aku ingin
bertanding dengan kau, kau yang menantang aku bertanding, tapi
kau salah menggunakan istilah."
"Salah menggunakan istilah?"
"Kulihat sedikitnya kau harus berlatih tiga tahun lagi baru
setimpal untuk bertanding dengan aku."
Sejak mengembara belum pernah Beng Hoa pernah diejek dan
dipandang serendah ini, karuan amarahnya terbakar, bentaknya,
"Setimpal atau tidak, bila kau tidak bebaskan adik Ki, aku tidak
sungkan lagi terhadapmu." Kali ini dia menusuk sungguh-sungguh,
tapi jurus pedang yang menusuk hiatto bukan tusukan menamatkan
jiwa orang. Sedikit bergerak tahu-tahu badan lelaki baju putih sudah
menyingkir ke pinggir, beruntun Beng Hoa menyerang tiga jurus,
ternyata ujung pakaian orang pun tidak tersentuh.
Laki-laki baju putih meliriknya, katanya dengan tertawa dingin,
"Bagaimana, hanya begini saja kepandaianmu?"
Beng Hoa tahu kungfu orang ini amat tinggi, meski mengerahkan
seluruh tenaga dan kemampuan mungkin masih belum tandingan
lawan, maka serangan selanjutnya tidak kenal kasihan lagi.
Beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan berantai, tiga jurus ini
merupakan kembangan dari ilmu golok keluarga Beng,
kecepatannya laksana guntur mengejar kilat, jauh lebih hebat
dibanding tiga jurus yang terdahulu.
Menggoyang badan menggeser langkah, lelaki baju putih
mengebut,, kedua jari laki-laki baju putih lantas menotok. Pedang
Beng Hoa serong ke samping, lawan segera menyelinap masuk.
Dalam gebrakan sejurus ini, laki-laki baju putih mengkom-binasikan
Iwekang yang tangguh dengan ilmu tiam-hiat tingkat tinggi,
bergerak belakangan mengincar sasaran lebih dulu, merupakan inti
ilmu silat tingkat tinggi, dengan pedoman cepat di tengah lambat,
kebetulan di tengah keringanan.
Pedang Beng Hoa serong ke samping, bila pergelangan
tangannya tertotok, maka pedang pusakanya pasti terlepas. Beng
Hoa tabu lihaynya permainan lawan, pedang berputar dia ubah
dengan jurus Hian-ciau-hoat-soa, bertahan sambil balas menyerang,
perubahannya secara kebetulan juga sehingga lelaki baju putih
kelihatan heran. " Kali ini Beng Hoa melancarkan Bu-beng-kiam-hoat
ciptaan Thio Tan-hong, lelaki baju putih ini hafal dan mahir
permainan ilmu pedang dari berbagai perguruan, namun belum
pernah dia menyaksikan permainan pedang seiihay yang dilancarkan
Beng Hoa. Setelah bersuara heran, lelaki baju putih melompat ke pinggir
tiga langkah, katanya tawar, "Beberapa jurus ilmu pedangmu
memang bagus, sayang jurus ketiga dari ilmu golok keluarga Beng
kau ubah menjadi permainan pedang, tenaganya berkurang terlalu
besar sehingga menjadi gerakan yang lumpuh di puncaknya. Kalau
tidak, jurus keempat Hian-cau-hoat-soa, kau dapat memapas jari
tanganku. Jikalau Beng Goan-cau yang melancarkan jurus ini, pasti
jauh lebih matang dari engkau."
Bahwa permainan pedangnya dipecahkan asal-usulnya, bukan
main rasa kaget Beng Hoa, katanya, "Terima kasih atas petunjukmu.
Tapi Khong-jiu-jip-pek-to-mu juga belum tentu dapat mengalahkan
aku. Tak usah kau mengalah, keluarkan senjatamu."
Lelaki baju putih bergelak tawa, ujarnya, "Pemuda jumawa,
ucapanmu tidak salah, bertangan kosong aku tidak akan dapat
mengalahkan kau. Tapi terhadap angkatan muda, aku tidak akan
menggunakan pedang, coba kupikir sebentar, bagaimana ya" Ah,
sudah ada." Sekali membalik badan, begitu dia menoleh pula,
tangannya sudah memegang sebatang dahan pohon. Dahan yang
dia petik dari pohon tua di pinggirnya, besarnya seperti sumpit
makan cuma lebih panjang sedikit. "Baiklah, aku pakai dahan pohon
ini mengukur ilmu pedangmu. Asal kau mampu melawan sepuluh
jurus, anggaplah kau yang menang," demikian ucap laki-laki baju
putih. Memangnya Beng Hoa khawatir dirinya tak mampu mengalahkan
lawan, mendengar ucapannya, meski lawan memandang rendah
dirinya, hatinya agak jengkel, namun kenyataan menguntungkan
dirinya, maka dia berkata, "Bagus, jangan kau menjilat ludahmu
sendiri. Jikalau aku yang menang-"
"Jikalau aku yang kalah, segera kau boleh bertemu dengan Bikki.
Nah, kau boleh mulai."
"Kalau dahan pohonnya kutebas kutung, coba dalam sepuluh
jurus apa dia mampu melawan aku," demikian batin Beng Hoa.
Maka pertama dia melancarkan jurus Pay-hun-ju-soat (Menjajar
mega mengejar salju). Ujung pedangnya bergetar dengan suara
mendengung, lihaynya laksana guntur menggelegar.
Laki-laki baju putih memuji, "Keras membawa kelembutan,
memang bagus. Sayang masih kurang matang dalam latihan."
Kakinya tidak bergerak, namun pedang Beng Hoa menyerang
tempat kosong. Dahan di tangan orang lantas diacungkan, "Sret"
dahan yang lemas itu mendadak tegak lurus dan kaku, malah
sayup-sayup mengeluarkan desis suara seperti pedang terloios dari
serangkanya. Hanya sedikit bergerak dan berkelebat, ujung dahan
itu sudah menutul ke muka Beng Hoa.
Melihat dahan sekecil itu dapat memantul dengan tusukan
seaneh itu, karuan kaget Beng Hoa dibuatnya. Ternyata laki-laki
baju putih melancarkan permainan pedang dengan dahan pohon
yang lemas, bukan saja permainan pedangnya amat lihay dan
menakjubkan, Iwekang yang tersalurkan pun sesuai kebutuhan,
tusukan dahan pohon itu kekuatannya ternyata tidak lebih ringan
dari tusukan pedang tulen, jikalau tertusuk bukan mustahil badan
terluka darah mengalir. Betapapun Beng Hoa sudah memperoleh ajaran mumi Bu-bengkiam-
hoat ciptaan Thio Tan-hong, reaksinya cepat, secara reflek
pula dia dapat bergerak mengikui perubahan, pedang panjang


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkis. Lalu balas menyerang dengan jurus Heng-liu-kik-ki,
balas menyerang untuk bertahan, serangan lawan berhasil
dipunahkan. Lelaki baju putih memuji, "Bagus."
Dahan di tangannya menyabet seperti ke kiri atau ke kanan, isi
kosong tidak menentu, perubahannya pun sukar diraba. Beruntun
Beng Hoa harus mengubah tiga kali gerakan tubuh, ujung
pedangnya menyendat, dia lancarkan sejurus Tiap-jui-hu-ceng yang
mirip ilmu pedang Siong-yang-pay, tapi juga seperti jurus Ko-peksom-
som dari ilmu pedang Ceng-seng-pay, pedang menusuk dari
arah yang tak terduga laki-laki baju putih. Agaknya lelaki baju putih
jeri, dahan pohonnya berpindah, dengan susah payah baru Beng
Hoa berhasil bebas dari gerakan pedang lawan yang mengurung
dirinya. Lekas sekali jurus ketiga laki-laki baju putih telah dimainkan.
Beng Hoa membalik tangan menabas, ternyata dia berhasil
mematahkan jurus serangan lawan yang beruntun, malah sempat
juga dia balas menusuk sekali, maksudnya ingin merebut posisi
supaya dirinya tidak terpojok pada posisi yang selalu diserang. Dua
jurus yang dia lancarkan sedikit lebih cepat dari gerakan lawan,
itulah kombinasi golok kilat warisan keluarganya dengan Bu-bengkiam-
hoat. Laki-laki baju putih tampak tersenyum, agaknya dia
kagum dan amat takjub menghadapi permainan pedangnya,
mendadak tangan naik dahan turun, dahan pohon itu mengetuk
punggung pedangnya sehingga Beng Hoa tergetar kesemutan,
pedangnya tertolak pergi. Tetap dia berhasil merebut inisiatif balas
menyerang lebih dulu. "Masih lima jurus," ucap laki-laki baju putih, "selanjurnya aku
akan menyerang beruntun tiga jurus, jurus pertama Hun-hoa-hudliu,
menusuk kedua Jian-kin-hiat di pundak, jurus kedua Peng-ihkek-
koh menusuk pusar, jurus ketiga Pek-hong-koan-jit menusuk
tenggo-rokan." Adu kepandaian jago kosen, mana pernah menjelaskan lebih dulu
jurus apa yang akan digunakan untuk menyerang sasarannya" Sikap
lelaki ini terhadap Beng Hoa, lebih mirip seorang guru sedang
mendidik muridnya. Semula Beng Hoa sudah siap adu jiwa, kini
tergerak hatinya karena orang seperti tidak bermaksud jahat
terhadap dirinya. Di saat dia melenggong mendadak didengarnya
lak-laki baju putih membentak, "Awas serangan! Jurus keenam
dimulai." Dahan pohon di tangannya tegak berdiri, seperti ke kanan
tapi juga mirip ke kiri, jurus yang dilancarkan memang Hun-hoahud-
liu. Untung sudah diberi petunjuk sebelumnya, segera dia tunjukkan
kemahirannya juga, jurus pertama dia lawan dengan Hi-sek-hunkim,
permainan pedang dengan tenaga lunak untuk memunahkan
serangan lawan,jurus kedua berubah menjadi gerakan golok dengan
jurus Thin-bun-san, pedang melintang di depan dada membendung
dahan pohon, jurus ketiga justru sukar dipatahkan, terpaksa dia
keluarkan jurus Lui-tian-kiau-hong, pedang panjangnya diputar
terus membacok seperti golok beruntun dua kati.
Terdengar "Trang" sekali, lelaki baju putih berseru, "Inilah jurus
kesembilan." Dahan pohon menahan pedang terus dipelintir, dan
disendai, tanpa kuasa pedang panjang Beng Hoa ikut berputar terus
lepas dari pegangan. Akhirnya memang dia tidak mampu melawan
sepuluh jurus. Mendadak berkumandang sebuah suara merdu melengking
berteriak, "Ayah, kau tidak adil."
Terbeliak pandangan Beng Hoa, dilihatnya seorang gadis
mendadak muncul didepannya, siapa lagi kalau bukan Kim Bik-ki
yang sedang dicarinya. Sesaat sungguh terkejut dan girang Beng
Hoa bukan main, tapi juga terlongong kaget pula
Kim Bik-ki memanggil laki-laki baju putih ini "ayah", baru sekarang
Beng Hoa tahu bahwa dia adalah jago nomor satu sejagat Kim Tiokliu
adanya. "Tak heran aku tidak mampu melawan sepuluh jurus,"
demikian batin Beng Hoa, dia kalah dan tunduk lahir batin.
"Kenapa aku tidak adil?"tanya Kim Tiok-liu dengan tersenyum.
Kim Bik-ki memonyongkan mulut, katanya, "Jurus terakhir kau
menggunakan lwekang bukan ilmu pedang."
Kim Tiok-liu tertawa, katanya, "Kapan aku bilang dia kalah" Aku
belum lagi menentukan, kau sendiri sudah memutuskan, memang
anak perempuan kalau sudah besar berkiblat ke luar."
Bergegas Beng Hoa menjura maju, katanya, "Maaf akan
keteledoran siautit, aku berbuat salah dan kurang ajar kepada
paman." Kim Tiok-liu tertawa, katanya, "Tak heran anak Ki memujimu,
kiamhoat-mu memang lebih hebat dari aku."
Beng Hoa gugup, katanya hambar, "Di bawah dahan pohon
paman, siautit tidak mampu melawan sepuluh jurus, paman memuji
begini rupa, mana berani siautit menerimanya?"
Kim Tiok Liu berkata serius, "Belum pernah aku sembarangan
memuji orang. Bicara soal ilmu pedang, kau hanya kurang
pengalaman dahan pertempuran. Bicara tentang perubahan dan
variasi permainan, dalam dunia ini tiada orang yang mampu
melawan lagi. Menilai pertandingan kita barusan, paling aku hanya
mampu menandingimu saja. Aku memukul jatuh pedangmu kau pun
memapas kutung dahan pohonku. Nah coba kau periksa"." Lalu dia
acungkan dahan pohon di tangannya, dahan pohon itu memang
terpapas tinggal separo. Kim Bik-ki tersenyum lebar, katanya, "Kalian tak usah berbincang
tentang kiamhoat. Beng-toako, kau sudah bertemu dengan
ayahmu?" "Ayah suruh aku kemari mencarimu."
"Ayah," ucap Kim Bik-ki, "sepantasnya kita menemui paman Beng
bukan?" "Beng-siheng, aku memang ingin menengok ayahmu, tak kira
bertemu dengan kau dulu. AnakKi, selanjurnya kau tidak menyingkir
dari hadapanku bukan?" Seperti tertawa tidak tertawa dia menatap
puterinya. Jengah muka Kim Bik-ki, katanya, "Kalau kau tidak suruh aku
pulang, sudah tentu aku tidak akan meninggalkan kau."
"Kau tetap harus pulang dengan aku. Tapi yang kau khawatirkan,
mungkin bukan kau harus pulang bukan?"
Makin merah pipi Kim Bik-ki, katanya, "Ayah, kau selalu
menggodaku." "Asal kau tidak bermain petak lagi denganku. Hari sudah petang,
paman Beng tentu gelisah menunggu, hayolah lekas jalan."
Sudah tentu Beng Hoa tidak tahu apa yang dibicarakan ayah
beranak ini, tapi melihat sikap Kim Tiok-liu, lega juga hatinya. Kim
Bik-ki menariknya jalan di sebelah depan, Kim Tiok-liu sengaja
memperlambat langkah jauh di belakang seperti memberi
kesempatan mereka bicara.
Sambil jalan Kim Bik-ki tanya, "Apakah tugasmu di Lhasa sudah
beres?" "Sudah beres, nanti kuceritakan di rumah."
"Apa itu tidak perlu kaujelaskan sekarang. Soal lain yang ingin
kuketahui," "Soal lain apa?"
"Kau bertemu dengan Teng Bing-cu?"
"Ya, dia yang memberi tahu kau lari ke arah sini. Katanya kau
berkelahi dengan dia."
"Ya, kalau tidak berkelahi takkan kenal, nanti di rumah
kuceritakan. Coba jelaskan apa yang dia katakan terhadapmu?"
"Tidak bilang apa-apa. Dia tahu aku ingin lekas menemukan kau,
maka dia menunjukkan arahnya, maka aku bergegas menyusulmu
ke sini." "Aneh, kenapa dia tidak kelihatan. Ke mana sih dia?".
"Aku tidak tahu, mungkin sudah pergi. Mungkin hanya kebetulan
dia lewat sini dan buru-buru ingin pulang."
"Wah, kenapa kau tidak menahannya?"
Kikuk sikap Beng Hoa, katanya, "Aku khawatir kau bertemu
musuh, maka tak terpikir untuk menahannya."
Mendadak Kim Bik-ki menoleh ke belakang, serunya, "Ayah, kau
tahu siapakah nona Teng itu?"
"Aku hanya tahu dia temanmu yang membantu kau menipu aku."
"Dia puteri seorang teman lamamu."
"O, maksudmu dia puteri cong-piauthau Teng Ih dari Tia Lian
Piaukiok di Sin-ciu itu?"
"Betul. Teng Bing-cu adalah puteri Teng Ih."
"Pernah aku bertemu sekali dengan Teng-lopiauthaujadi bukan
teman lama seperti yang kau bilang. Tapi dia orang jujur dan baik
hati, sifatnya yang kukagumi."
"Bicara tentang nona Teng, ada satu persoalan, entah ayah
sudah tahu belum?" "Persoalan apa?"
"Teng-lopiauthau ada maksud menikahkan puterinya kepada
Kang-suheng." "Yap-supekmu sudah menyampaikan hal ini kepadaku. Kabarnya
karena dirampok barang kawalan-nya oleh murid murtad Siau-Iimpay,
Siang-hun membantu Teng-lopiauthau sehingga timbul
keinginannya menjodohkan puterinya kepadanya. Tapi waktu dia
minta bantuan Yap-supek-mu supaya bantu menjadi comblang, Yapsupek-
mu telah menampik secara halus."
"Nona Teng serba pandai silat dan satra, tadi kau pun pernah
melihatnya. Entah kenapa Yap-supek menolak maksud baik ini?"
Sudah tentu Kim Tiok-liu tahu ke mana arah tujuan puterinya,
dengan tertawa dia berkata, "Siang-hun memang muridku, tapi soal
jodohnya aku tak berani mengambil putusan. Pikiranku tak sekolot
orang dulu, umpama putera-puteriku sendiri aku pun tidak akan
memaksa mereka." Mendengar pernyataan ayahnya ini, bukan saja lega, Kim Bik-ki
senang bukan main, seketika wajahnya berseri.
Dalam pada itu, mereka sudah tidak jauh lagi dari tempat tinggal
Beng Goan-cau. Mendadak Kim Tiok-liu bersuara heran, katanya,
"Beng-hiantit, kecuali ayahmu, adakah orang lain dalam rumah?"
"Tiada orang lain," sahut Beng Hoa.
"Agaknya ayahmu sedang bertanding dengan seorang kosen."
Sayup-sayup Beng Hoa juga sudah mendengar suara benturan
senjata dari pertempuran.
Karuan Beng Hoa kaget, ayahnya baru sembuh, khawatir bukan
tandingan lawan, segera dia mempercepat langkah. Kim Tiok-liu
berkata tertawa, "Kau tak perlu khawatir, ayahmu sedang
melancarkan golok kilat, aku dapat mendengarnya, dia masih
berada di atas angin, lawannya juga tidak bermaksud jahat
terhadapnya. Nah, coba kau dengar, satu; dua, tiga, empat, lima,
enam, tujuh, dia sudah memberondong tujuh jurus, namun tiada
sejurus pun serangan mematikan."
Kim Tiok-liu memang jago kosen yang jarang ada bandingannya,
analisa atas pendengarannya memang tepat dan dapat dipercaya,
maka legalah hati Beng Hoa.
Waktu mereka masuk kebun belakang, tampak ayahnya sedang
bertanding dengan seorang yang tak dikenalnya. Di luar dugaan, di
pinggir gelanggang ada seorang penonton, penonton ini ternyata
Teng Bing-cu adanya. Kim Bik-ki kaget dan senang, serunya, "Tengcici,
kau belum pergi." Lawan Beng Goan-cau bersenjata pedang. Golok dan pedang
saling sambar, walau bukan pertarungan adu jiwa, ternyata makin
lama pertandingan makin sengit dan cepat. Kedua orang pusatkan
semangat dan tenaga untuk melawan serangan lawan. Kim Tiok-liu
bertiga sudah berada di pinggir gelanggang, kedua orang yang lagi
bertempur seperti tidak tahu.
Kim Tiok-liu mendesis, maksudnya supaya puterinya tidak banyak
bicara. Melihat sikap orang, terasa oleh Beng Hoa bahwa
kelihatannya dia kenal orang bersenjata pedang itu.
Golok kilat Beng Goan-cau sedang dilancarkan, sinar goloknya
berkilauan menyambar naik turun, sekujur badan orang itu seperti
terbungkus oleh cahaya golok. Mendadak orang itu melancarkan
tiga jurus berantai, jurus pertama Hun-hoa-hud-1iu, jurus kedua
Pang-ih-kek-koh, jurus ketiga Pek-hong-koan-jit. Tiga jurus ilmu
pedang yang tadi pernah dilancarkan Kim Tiok-liu kepada Beng Hoa,
kalau tidak mendapat petunjuknya lebih dulu, Beng Hoa takkan
mampu melawannya. Sekaligus Beng Goan-cau membacok tujuh jurus, seperti cara
yang digunakan Beng Hoa untuk mematahkan serangan pedang
orang, tapi gerakannya lebih cepat dua jurus. Bukan saja berhasil
membendung rangsakan lawan, malah kecepatannya berbalik
menempatkan posisi dirinya di pihak yang lebih unggul. Tak
tertahan, Kim Tiok-liu berseru memuji, "Bagus sekali!"
Beng Hoa takjub menyaksikan permainan ayahnya. "Ternyata
jurus golok itu dapat dimainkan dengan perubahan selihay itu.
Aneh, kenapa ilmu pedang orang ini sealiran dengan ilmu pedang
Kim tayhiap?" Orang itu sudah terdesak di bawah angin, mendadak permainan
pedangnya berubah, makin lama makin lambat. Ujung pedangnya
seperti dibebani barang berat, menuding ke timur menggaris ke
barat, gerakannya kaku dan lamban, kelihatannya makan tenaga
dan payah. Tapi anehnya golok Beng Goan-cau ternyata tidak
mampu menyerang masuk pertahanannya.
Maka dengan suara lirih Kim Tiok-liu menjelaskan kepada Beng
Hoa, "Itulah Toa-si-mi-kiam-hoat dari Thian-san-kiam-hoat, gunanya
untuk mempertahankan diri, rapat tak terpecahkan. Umpama lawan
terlampau kuat, kau pun mampu bertahan tidak sampai kalah. Nah
perhatikan di mana letak intisari permainan."
Beng Hoa segera sadar, ilmu pedang ciptaan Kim Si-ih mengambil
intisari ilmu pedang segala aliran, namun dasar ilmu pedangnya
bersumber Thian-san-kiam-hoat. Dahulu ciangbunjin tua Thian-sanpay
Teng Hiau-lan pernah merundingkan ilmu silat bersama Kim Siih,
tak sedikit bantuan yang didapat sehingga akhirnya dia sendiri
mampu mendirikan suatu aliran tersendiri. Kiamhoat Kim Si-ih
diturunkan kepada kedua muridnya, Kang Hay-thian dan Kim Tiokliu,
kedua saudara seperguruan ini pun sering mengadakan diskusi
sehingga tidak sedikit menambah variasi dan perubahan.
Sepenuh perhatian Beng Hoa saksikan ilmu golok ayahnya, juga
permainan pedang orang itu. Kalau pedang bergerak makin lambat,
sebaliknya golok ayahnya makin kencang, tapi tetap tak mampu
memecah pertahanan lawan, orang itu pun tak mampu balas
menyerang. Belum pernah Beng Hoa menyaksikan adu kekuatan
dari tokoh kosen sesengit ini, seperti orang mabuk saja dia
menyaksikan dengan mendelong, tak sedikit manfaat yang
dipungutnya. Tanpa terasa Beng Goan-cau sudah bertanding
tigaratus jurus dengan orang itu.
Mendadak pedang dan golok saling bentur terus lengket, kedua
pihak sukar menarik senjatanya. Karuan Beng Hoa amat kaget. Pada
saat itulah Kim Tiok-liu mendadak memburu maju, jari tengah
tangan kanan menjentik, "Creng" pedang dan golok terpisah,
mereka mundur tiga langkah. Beng Goan-cau masukkan golok ke
sarungnya, orang itu pun masukkan pedang ke dalam serangka
Orang itu berkata lebih dulu, "Kepandaian bagus, tuan tentu Kim
tayhiap adanya." Beng Hoa melongo, semula dia kira Kim Tiok-liu kenal baik
dengan orang ini.

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Bik-ki berdiri di sebelah Teng Bing-cu, tadi Beng Hoa terlalu
asyik menonton hingga tidak tahu apa yang mereka bicarakan, baru
sekarang dia sempat mendengar Teng Bing-cu menjawab
pertanyaan Kim Bik-ki, "Beliau adalah susiokku."
Teng Bing-cu memang pernah menyatakan mau ke Thian-san
mengundang susiok-nya. Susiok-nya ini ternyata jauh lebih muda
dari ayahnya. Setelah guru mereka meninggal, segera paman guru
yang masih muda ini pergi ke Thian-san dan diterima menjadi murid
di sana Terdengar Kim Tiok-liu berkata, "Ah, tidak berani. Tuan
tentu Ting tayhiap, salah satu dari empat murid besar Thian-sanpay?"
"Julukan tayhiap mana berani aku terima Memang aku inilah
murid Thian-san-pay Ting Tiau-bing. Kim tayhiap, kau adalah
angkatan tuaku, aku mewakili guru menyampaikan salam
kepadamu." Perlu diketahui Ting Tiau-bing adalah murid Ciong Can, sesepuh
Thian-san sekarang. Ciong Can adalah sute Teng King-thian, ciangbunjin
Thian-san-pay sekarang. Ayah Kim Tiok-liu yaitu Kim Si-ih
seangkatan dengan ayah Teng King-thian yaitu lo-ciangbun Teng
Hiau-lan, karena itu meski usia mereka hampir sebaya namun
dihitung urutan dan tingkatan, maka Ting Tiau-bing harus
menganggap Kim Tiok-liu lebih tua setingkat. Teng King-thian
mempunyai dua murid yang dibanggakan, seorang bernama Pek
Ktan-seng, seorang lagi bernama Kam Bu-wi. Ciong Can juga punya
dua murid yang dibanggakan, seorang bernama Ciok Thian-hing,
seorang lagi yaitu Ting Tiau-bing ini. Keempat orang ini disebut
empat murid besar Thian-san-pay. Ting Tiau-bing paling muda di
antara murid terbesar itu. Tiga orang yang lain Kim Tiok-liu pernah
melihatnya, maka begitu Ting Tiau-bing melancarkan Toa-si-mikiam-
hoat dari Thian-san-pay, Kim Tiok-liu sudah lantas menduga
asal-usulnya "Dalam Bulim siapa pun boleh bergaul bebas, Ting-heng jangan
terlalu sungkan. Ting-heng kau sengaja menyambangi Beng tayhiap
bukan?" "Betul," sahut Ting Tiau-bing, "melihat Beng tayhiap sedang
latihan aku jadi gatal, sebelum menjelaskan asal-usul dan maksud
kedatanganku, aku lantas mohon petunjuk kepadanya. Perbuatanku
ini memang kurang ajar dan tidak sopan, harap Beng tayhiap tidak
berkecil hati." Beng Goan-cau bergelak tawa katanya, "Kaum persilatan mencari
sahabat dalam adu kepandaian, Thian-san-kiam-hoat Ting-heng
banyak membuka mataku, tak sedikit manfaat yang kudapatkan,
sepantasnya aku harus berterima kasih kepada Ting-heng."
"Akulah yang harus berterima kasih. Golok kilat Beng tayhiap
memang nomor satu, akulah yang memperoleh banyak manfaat.
Beng tayhiap, jikalau kau bukan baru sembuh. Toa-si-mi-kiam-hoatku
pun takkan mampu membendung golok kilatmu."
"Kita tak usah sungkan, biar ku-wakili tuan rumah
mengundangmu, hayolah masuk ke rumah," demikian seru Kim
Tiok-liu. "Dari mana Ting-heng tahu aku tinggal di sini" Dari mana pula
tahu aku baru sembuh?"
"Tiga hari yang lalu aku bertemu dengan seorang temanmu,"
sahut Ting Tiau-bing. "Temanku ini apakah Kwi-hwe-thio?" tanya Beng Goan-cau.
"Betul, maling nomor satu itu. Duapuluh tahun yang lalu dia
pernah ikut gurunya ke Thian-san, waktu itu aku baru saja masuk
perguruan. Ingatannya ternyata sangat baik, dia masih kenal aku."
Timbul ingin tahu Beng Hoa tanyanya, "Siapakah guru paman
Thio?" Beng Goan-cau berkata, "Mintalah paman Kim berceritera, dia
lebih paham tentang legenda para cian-pwe dahulu."
Kim Tiok-liu berkata, "Tiga empatpuluh tahun yang lalu, pernah
muncul seorang gembong iblis yang merajalela di dunia, namanya
Beng Sin-thong, apa kau tahu?"
"Tahu," sahut Beng Hoa "Bersama sam-suhu aku pernah tinggal
di Ciok-lin. Ciok-lin pernah menjadi tempat tinggal cucu murid Beng
Sin-thong yang bernama Yang Kek-beng."
Beng Goan-cau lantas menjelaskan, "Puteraku punya tiga guru,
dua guru yang terdahulu adalah Pok Thian-tiau dan Toan Siu-si dari
Tiam-jong-pay, belakangan Pok Thian-tiau terbunuh musuh.
Gurunya yang ketiga adalah Tan Khu-seng dari Kong-tong-pay."
"Kabarnya Tan Khu-seng mengalami kejadian yang tidak
menyenangkan," ujar Kim Tiok-liu.
"Benar, entah kenapa dia berbuat salah terhadap tianglo
perguruannya, sejak sepuluh tahun yang lalu dia sudah dipecat dan
diusir dari perguruan. Belakangan tianglo Kong-tong-pay yaitu
Tong-hian-cu dan Tong-bing-cu bersekongkol dengan Yang Kekbeng
mengeroyoknya, sehingga permusuhan kedua pihak semakin
mendalam Mungkin kau harus tampil sebagai penengah untuk
menyelesaikan persoalan ini."
"Aku sih ada maksud menjadi pendamai juga, terserah pihak
Kong-tong-pay sudi tidak memberi muka kepadaku. Baiklah, kelak
kalau ada kesempatan saja." Lalu dia melanjutkan ceritanya, "Beng
Sin-thong punya seorang murid bernama Ki Hiau-hong. Saat Ki
Hiau-hong berguru pada Beng Sin-thong, dia sudah bisa silat, dan
sudah terkenal sebagai maling nomor satu di seluruh jagat ini."
"O, jadi Ki Hiau-hong inilah guru Kwi-hwe-thio?"
"Betul. Kau tidak menduganya bukan?" tanya KimTiok-liu. "Walau
Ki Hiau-hong murid Beng Sin-thong, sepak terjangnya ternyata
berbeda dengan gurunya. Sebelum Beng Sin-thong menemui
ajalnya, dia sudah bertobat."
Ting Tiau-bing segera melanjutkan, "Tanpa berkelahi boleh dikata
Ki Hiau-hong takkan kenal dengan orang-orang Thian-san-pay kami,
semasa hari tuanya, beliau adalah sahabat baik supek dan suhu-ku.
Karena itu muridnya Kwi-hwe-thio juga beberapa kali berkunjung ke
Thian-san. "Tiga hari yang lalu, di tengah jalan kebetulan aku bersua
dengan Kwi-hwe-thio. Dia bicara tentang Beng tayhiap, -dia tahu
aku akan lewat daerah ini, maka dia minta aku wakilkan dia
menyampaikan salam kepada Beng tayhiap. Waktu aku berada di
Thian-san, seorang sahabat juga pernah membicarakan Beng
tayhiap dengan aku."
"Sahabatmu itu pasti adalah Miau Tiang-hong?" tanya Beng
Goan-cau. "Betul sepuluh tahun yang lalu dia datang ke Thian-san. Lalu
menetap di sana." Beng Goan-cau seperti terkenang atau memikirkan sesuatu,
katanya sesaat kemudian," Aah, betapa ceroboh aku ini, tamu sudah
datang tidak diladeni. Hoa-ji, kau"."
Kim Bik ki sudah cekikikan, katanya, "Paman, bukan kau yang
teledor, tapi akulah yang teledor. Sekarang sudah tiba saatnya
makan malam, biar aku masak nasi untuk meladeni tamu."
Beng Goan-cau tertawa, katanya, "Ayahmu datang, sudah sekian
hari kau meladeni aku, hari ini kau pun harus dianggap tamu. Biar
Hoa-ji saja yang menanak nasi."
"Dia bisa menanak nasi" Tanggung kalian akan mengerutkan alis
dan tak mampu menelannya. Membantu menyulut api menambah
kayu bakar sih boleh. Paman belum sempat aku memberi tahu, aku
berhasil memburu dua ayam hutan dan lima ekor kelinci, makan
malam ini tanggung luar biasa."
"Baiklah, aku jadi kacung saja," Beng Hoa berkelakar.
Beng Goan-cau geleng-geleng, ujarnya, "Kau bocah sebesar ini
tidak tahu rasa sungkan."
Kim Tiok-liu tertawa, "Biarkan kedua bocah ini sibuk di dapur."
"Kedua bocah ini" terucapkan dari mulut Kim Tiok-liu, seperti
obat yang menentramkan pikiran Kim Bik-ki dan Beng Hoa, terasa
amat lega dan senang, hampir saja mereka bersorak kegirangan.
Teng Bing-cu semula ingin membantu namun melihat sikap
mesra mereka, lekas dia batalkan niatnya, khawatir kehadirannya
mengganggu kemesraan mereka malah.
Memang Beng Hoa menunggu kesempatan baik untuk
berhadapan empat mata dengan Kim Bik-ki, setiba di dapur segera
dia tanya, "Adik Ki, apa saja yang dibicarakan ayahmu dengan
engkau?" "Tak boleh kau tahu."
"Tapi aku dapat menebaknya"
"Memangnya kau sepintar itu, coba kau tebak."
"Apa susahnya ditebak. Ayahmu bersikap baik dan ramah,
memangnya dia tidak menerima permintaanku?"
"Permintaan apa?"
"Aah, sudah tahu pura-pura tanya. Sudah tentu tentang
hubungan kita Yakin urusan berjalan lancar sesuai harapanku."
"Jangan mengigau di siang hari bolong, ayah justru menyuruh
aku berpisah dengan kau."
Beng Hoa terbeliak kaget, serunya, "Aku tak percaya, kau
menipuku." Kim Bik-ki berkata sunguh-sungguh, "Siapa menipumu, besok
juga ayah membawaku pulang."
"Betulkah" Apa betul dia akan paksa kau menikah dengan Kang
Siang-hun?" Kim Bik-ki cekikikan, katanya, "Aduh kasihan, betapa gugup dan
khawatir kau ini, aku toh belum habis bicara. Ayah suruh aku pulang
memang betul, tapi siapa bilang dia akan paksa aku menikah
dengan orang lain?" Lega hati Beng Hoa, katanya, "Kenapa kau diharuskan pulang?"
Kim Bik-ki melirik, katanya perlahan, "Aku kan belum menikah
dan menjadi menantu keluarga Beng, mana boleh selalu ikut
engkau?" Beng Hoa melenggong, katanya tertawa, "Betul, betapa
bodohnya aku, kenapa tidak kupikir hal ini. Walau hubungan kita
terang-terangan, namun mulut orang patut diperhatikan, betapapun
harus menghindarkan mulut usil."
"Aku sih tidak takut mulut usil orang lain. Tapi aku minggat dari
rumah, ibu amat kangen, maka dia mengharap aku lekas pulang.
Semula aku tidak mau pulang, akhirnya ayah berjanji, dia
menerima" baru aku mau pulang."
"Dia menerima apa?" tanya Beng Hoa.
Kim Bik-ki melirik lagi, "Jangan pura-pura pikun, tak usah ya."
Tahu bahwa soal jodoh mereka takkan menjadi persoalan lagi,
lega hati Beng Hoa, maka dia tidak banyak tanya lagi.
"Bagaimana tugasmu di Lhasa, sekarang saatnya kau ceritakan
kepadaku," pinta Bik-ki.
"Ya, sekalian ingin aku beri tahu kepadamu, di Lhasa aku
bertemu dengan engkoh dan suheng-mu."
Setelah mendengar cerita Beng Hoa, mendadak Kim Bik-ki
berkata, "Sayang nona Teng buru-buru pulang."
"Kau ingin supaya dia bertemu dengan suheng-mu?"
"Nona Teng gadis serba pandai, tabiatnya baik, tidak seperti aku
budak liar ini. Bila Kang-suheng sudah bergaul cukup lama dengan
dia, yakin dia akan menemukan kebaikannya."
"Kau sendiri baru saja kenal, dari mana kau tahu tabiatnya?"
"Kau tahu bagaimana aku berkenalan dengan dia?"
"Katanya tanpa berkelahi kalian tidak akan berkenalan."
"Jelas dia tidak kenal aku, tapi melihat kuda putih miliknya, aku
sudah menduga siapa dia. Dia lepaskan kudanya makan rumput
dalam hutan, aku pura-pura merebut kudanya, lalu kucoba
kepandaiannya Ternyata terbukti dia pandai memainkan ilmu golok
keluarga Tong." "Jelas kau hanya mencoba kepandaiannya, bagaimana kau tahu
perangainya?" "Baru saja aku memberi tahu siapa diriku, lantas melihat ayah
muncul di samping gunung. Semula aku tidak duga sikap ayah
sebaik itu kepadaku, tapi waktu itu aku sudah kaget setengah mati,
maka aku minta dia membohongi ayah terus kabur dari sana. Waktu
kucoba kepandaiannya, kelihatannya dia kurang senang, kukira dia
tidak akan menipuku. Tapi kenyataan bukan saja dia membantu aku
malah memberi petunjuk kepadamu untuk mencariku. Bila gadis itu
bertabiat jelek, sudikah dia berbuat demikian?"
"Kali ini kaulah yang teledor."
"Kenapa aku teledor?"
"Mungkin aku salah duga, tapi pernahkah kau pikir, dia mau
membantu kita mungkin juga ada maksud tujuannya?"
"Ada tujuan apa?"
"Mungkin waktu itu dia sudah tahu yang mengejarmu adalah
ayahmu, mungkin juga belum tahu. Tapi apa pun, dia pun khawatir
kaujatuh ke tangan orang itu, maka perjodohannya dengan aku
akan gagal dan tercerai. Bila dia memberi petunjuk aku untuk
menolongmu, itu berarti dia mengharap perjodohan kita jangan
mengalami gangguan."
"Bukankah begitu lebih baik." .
"Bukan maksud mengatakan dia tidak baik. Tapi perbuatannya
itu memang membantu kita, tapi bagi diri sendiri juga ada
manfaatnya." Kim Bik-ki tertawa cekikikan, katanya, "Apa yang kau pikirkan
juga sudah kupikir, cuma tadi tidak kuutarakan saja."
"Coba kau katakan, apakah jalan pikiran kita sama?"
"Dia khawatir kalau aku tidak menjadi jodohmu, maka dia pun
takkan menjadi jodoh Kang-suheng. Betul tidak?"" tanpa terasaselebar
mukanya merah jengah. Beng Hoa tertawa, katanya, "Betul, menurut pendapatku, walau
soal jodohnya belum ada kepastian, terhadap Kang-suheng-mu dia
pun tidak mendendam, apalagi penolakan lamaran itu bukan
langsung dari mulut Kang-suheng-mu, kalau dia bersikap dingin itu
memang disengaja, padahal hatinya amat suka dan mencintai Kangsuheng-
mu." "Kukira kau laki-laki jujur dan polos, ternyata kau juga punya
jalan pikiran yang berbelit-belit"
"Memangnya kau tidak mengharap dia punya maksud demikian?"
"Sudah tentu aku mengharap kelak dia menjadi suso-ku.
Umpama hal itu tidak sampai terjadi, kau juga tidak perlu khawatir
aku akan direbut orang lain," merah jengah selembar mukanya.
Beng Hoa tertawa lebar, ucapnya, "Memangnya apa lagi yang
harus kubuat khawatir. Ayahmu sudah merestui."
"Kalau ayah tidak memberi restu?"
"Aku pun tak perlu gelisah, karena aku tahu hatimu suka
kepadaku." "Cis, memangnya siapa suka kau" Jangan sangka, hayolah lekas
buatkan api." Di waktu makan malam, Beng Hoa ceritakan pertemuannya
dengan Kang Siang-hun dan Kim Bik-hong di Lhasa kepada Kim
Tiok-liu. Kim Tiok-liu berpikir sejenak, lalu katanya, "Baiklah, anak Ki
besok kau berangkat lebih dulu bersama Ting tayhiap dan nona
Teng, tunggulah aku di tempat paman Leng di Jik-tat-bok. Aku akan
berangkat dulu ke Lhasa, umpama mereka belum lolos dari bahaya,
sekalian aku bisa membawa keluar mereka"
Beng Goan-cau berkata, "Memangnya aku sedang khawatir
karena aku tak bisa pergi ke Lhasa, K i m-heng mau berangkat ke
sana, itulah lebih baik. Soal ini biaraku mohon bantuan Kim-heng
saja."

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maklum Kim Tiok-liu membekal kungfu yang tiada taranya, punya
hubungan luar biasa juga dengan Long-kam Hoatsu, meski situasi
Lhasa dalam beberapa hari ini cukup genting, bagi Kim Tiok-kiu
bukan rintangan. "Sesama saudara sendiri kenapa sungkan, silakan katakan," ujar
Kim Tiok-liu. "Seorang teman bangsa Tibet pernah membantu aku, temanku
itu adalah pemilik rumah ini, di Lhasa dia terbentur suatu kejadian
yang menyulitkan." Lalu dia tuturkan kesulitan Kili yang susah
meloloskan diri dari Lhasa karena situasi yang genting di sana.
"Baiklah, di mana alamatnya beri tahu kepadaku. Aku akan
mencari tahu tempat dan beritanya. Bila ketemu akan kubawa
mereka keluar." Selanjutnya mereka ngobrol panjang lebar tentang banyak
persoalan, hingga larut malam baru berpisah dan pergi tidur.
HARI kedua pagi-pagi, Kim Tiok-liu harus berpisah pula dengan
puterinya, berangkat ke jurusan masing-masing. Seorang diri Kim
Tiok-liu berangkat ke Lhasa, sementara Kim Bik-ki seperjalanan
dengan Ting Tiau-bing dan Teng Bing-cu. Dalam rumah itu kini
tinggal Beng Goan-cau dan Beng Hoa saja. .
Setelah pulang mengantar tamunya, Beng Goan-cau berkata
dengan tertawa, "Hoa-ji, apakah kau amat mencintai nona Kim,
kenapa tidak kau limpahkan isi hatimu kepadaku?"
Merah muka Beng Hoa, katanya tergagap, "Aku khawatir aku
kurang setimpal." "Persoalan kalian, Kim tayhiap malah sudah bicara dengan aku."
"Apa yang dikatakan?" tanya Beng Hoa tersipu.
"Dia pun amat menyukai kau, malah dia memuji kau di
hadapanku. Tapi dia harap soal jodoh ini ditunda dua tahun lagi.
Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi aku juga pikir kalian masih terlalu
muda untuk berumah tangga, apa salahnya dua tahun lagi baru
menikah." Kalau Beng Goan-cau tidak tahu apa sebabnya, sebaliknya Beng
Hoa sudah maklum. "Walau perjodohanmu dengan Bik-ki belum terikat secara resmi,
tapi aku yakin takkan terjadi perubahan. Boleh kau legakan hati
saja, soal muda-mudi harus kau buang jauh. Ada sebuah tugas
besar yang penting, aku harus minta bantuanmu untuk
melaksanakannya." "Silakan ayah jelaskan."
"Utti Keng berangkat ke Wi-kiang menunaikan tugas sebagai
kurir laskar gerilya, tentu kau sudah tahu akan hal ini."
"Sebelum aku berangkat ke Jik-tat-bok paman sudah
menjelaskan hal ini.".
"Ting Tiau-bing datang dari Thian-san, seluk beluk dari Wi-kiang
dia amat paham. Menurut penjelasan, di Wi-kiang terdapat tigabelas
kelompok minoritas, walau semua angkat senjata melawan kerajaan
Ceng tapi di antaranya ada dua kepala suku yang melihat angin
mengubah haluan, secara diam-diam mereka berhubungan gelap
dengan orang-orang Ciang-kun-hu yang berkuasa di Ti-hoat."
Beng Hoa kaget, katanya, "Apakah Utti tayhiap tahu akan hal
ini?" "Tiga bulan yang lalu Utti Keng baru datang dari Kwan-tang,
orang kita di Jik-tat-bok pun tak ada yang tahu, kukira dia pun tidak
tahu akan hal ini." "Bukankah amat berbahaya" Celaka bila kedua suku itu terjerat
oleh umpan antek kerajaan Ceng, betapapun tinggi kungfu Utti
tayhiap, tentu sukar menghindar serangan gelap mereka."
"Makanya aku suruh kau menyusulnya ke sana Aku akan tunggu
dua hari lagi di sini menunggu Kim tayhiap dan Kili serta puteranya
pulang kemari, lalu aku kembali ke Jik-tat-bok memberi laporan
tugasku." "Padahal kita sudah tertunda hampir sebulan di sini, apa tidak
terlambat?" "Kedua kelompok suku itu terletak di ujung barat di Wi-kiang,
sudah hampir di kaki Thian-san. Berarti Utti Keng harus
mengadakan kontak dengan kelompok suku yang lain lebih dulu,
setiba di setiap kelompok paling tidak harus tinggal tiga lima hari,
kukira kau masih sempat menyusulnya."
"Baiklah aku akan segera berangkat"
"Tak usah tergesa-gesa. Aku masih punya sebuah persoalan
lain." "Baiklah ayah jelaskan saja." Sikap Beng Goan-cau seperti serba
susah, setelah diam sejenak baru bicara, "Kuharap setelah kau
bertemu dengan paman Utti, boleh kau langsung pergi ke Thiansan."
"Apakah maksud ayah supaya aku bertamu ke Thian-san dan
menyampaikan salammu kepada ciang-bunjin Thian-san-pay Teng
tayhiap?" "Teng-ciangbunjin kau memang harus menghadap kepadanya,
tapi"." sampai di sini dia berhenti seperti harus mempertimbangkan
lebih dulu baru akhirnya mengambil kepu tusan, "Soal ini kukira kau
pun sudah tahu. Kau masih punya seorang adik, kau tahu bukan?"
"Anak tahu." Semula Beng Goan-cau kira puteranya akan heran dan kaget,
ternyata justru dia yang keheranan malah, katanya, "O, jadi kau
sudah tahu?" "Di Siau-kim-jwan aku pernah bertemu dengan Miao Tianghong."
"Dia memberi tahu padamu?"
"Bukan, waktu itu dia tidak tahu siapa aku. Dia membersihkan
pusara ibu dan bersembahyang, kebetulan hari itu aku pun
menemukan letak pusara ibu, aku sembunyi di belakang kuburan,
aku dengar dia melaporkan apa yang dilakukan selama ini kepada
arwah ibu di depan kuburannya."
Beng Goan-cau berkata murung, "Sejak meninggalkan Siau-kimjwan
aku belum pernah sembahyang di kuburan ibumu, tak nyana
Miao Tiang-hong sudah mendahului aku.
"Paman Miao adalah sahabatku, juga sahabat ibumu yang sangat
baik," Beng Goan-cau menutur lebih lanjut, "waktu ibumu
mengalami luka parah di Siau-kim-jwan, kebetulan aku tidak berada
di sampingnya. Maka ibumu menyerahkan adikmu kepada paman
Miao. Aku sudah berpisah belasan tahun dengan dia, belum pernah
bertemu. Tapi aku tahu dia seorang laki-laki jantan berjiwa ksatria
setia kawan, adikmu dipandang sebagai anaknya sendiri, bukan saja
mengasuh dan membimbingnya sampai besar, dia pun mencarikan
seorang guru ternama, dengan harapan kelak adikmu dapat menjadi
orang yang berguna." Sampai di sini mendadak dia bertanya, "Soal
ini bukan yang dilaporkan paman Miao di depan kuburan ibumu?"
"Betul. Tapi tidak sejelas apa yang dituturkan ayah."
"Kau memperkenalkan dirimu kepadanya tidak?"
"Tidak. Aku tidak tahu diri malah mengajaknya berkelahi".
Beng Goan-cau maklum, katanya, "Kau tak boleh disalahkan,
waktu itu kau belum tahu riwayat hidup sendiri. Mungkin paman
Miao juga tidak tahu siapa dirimu bukan?"
"Ya. Waktu itu dia malah curiga bahwa aku antek kerajaan."
"Kungfu Miao Tiang-hong lebih tinggi dari aku, mana dapat kau
menandingi dia?" "Entah apa sebabnya, dalam perkelahian itu jelas dia menaruh
belas kasihan kepadaku, semestinya dia dapat membunuh aku, tapi
dia justru membebaskan aku. Malah memberi petunjuk teori ilmu
pedang tingkat tinggi kepadaku."
"Baiklah, bila di Thian-san kau bertemu dengan dia, di samping
mohon maaf boleh kau mohon petunjuk juga kepadanya."
"Maksud ayah aku harus membawa pulang adik?"
"Walau adikmu ini bukan she Beng, tapi dia saudaramu seibu,
terhadapnya aku bersikap seperti terhadapmu, aku menyesal tidak
bisa menunaikan kewajiban seorang ayah terhadap anak-anaknya.
Apakah kau harus langsung membawanya pulang, itu tergantung
kepada keadaan, terserah kepada paman Miao dan pendapat Tengciangbun
saja. "Sebetulnya dengan bekal kepandaian paman Miao, dia lebih
setimpa) menjadi guru adikmu," demikian tutur Beng Goan-cau lebih
lanjut, "tapi dia harap adikmu mendapat didikan langsung dari
seorang guru ternama, oleh karena itu dia mohon bantuan
ciangbunThian-san-pay Teng King-thian agar menerimanya menjadi
murid penutupnya. Kemarin Ting Tiau-bing menjelaskan, Teng
tayhiap amat sayang kepada adikmu, sekarang dia baru berusia
tigabelas, kepandaian dasar Thian-san-pay sudah diyakinkan dan
dikuasai dengan baik."
"Legakan hatimu ayah, bila mendapat persetujuan paman Miao
dan Teng-ciangbun, aku pasti membawa adik pulang. Atau akan
kula-porkan keadaan adik yang terakhir kepadamu."
Setelah memberikan janjinya, ayah dan anak lantas berpisah.
Perjalanan baru yang jauh dan memerlukan banyak daya pikiran
dan tenaga sedang menanti Beng Hoa.
Setengah bulan kemudian, Beng Hoa tanpa rintangan sudah
berjalan di padang rumput di daerah Wi-kiang. Tak habis kagumnya
akan panorama indah di luar perbatasan ini.
Kuda Beng Hoa adalah kuda terbaik di peternakan Kili, walau
tidak secepat kuda merah yang dipinjam Kwi-hwe-thio, setiap hari
dia dapat menempuh perjalanan tigaratus li jauhnya. Di padang
rumput siang malam orang dengan leluasa dapat menempuh
perjalanan tergantung kondisi dan situasi. Sudah dua hari dua
malam Beng Hoa membedal kudanya di padang rumput, tanah
berumput dan terbentang luas ini seperti tak berujung pangkal.
Untung persediaan makanan dan air minumnya cukup banyak, maka
dia tidak perlu khawatir kelaparan dan dahaga. Tapi hari ketiga,
meski Beng Hoa masih segar, kudanya sudah tak kuat lagi, terpaksa
Beng Hoa biarkan saja kudanya berjalan seenaknya.
Beng Hoa berjalan tanpa arah, kudanya juga berjalan pelanpelan,
namun mendadak pandangannya terbeliak, sebuah gugusan
gunung kecil ternyata menghadang di depannya, di lamping gunung
terdapat sebuah danau kecil. Dari lamping gunung sampai kaki
gunung ditaburi pepohonan yang menghijau rimbun. Saat itu di
Kanglam musim semi hampir berakhir, walau tetumbuhan di sini
masih menghijau, namun permukaan danau sudah mulai dilapisi es
yang mulai membeku, sehingga permukaan yang sebagian sudah
membeku itu kelihatan mengkilap putih laksana kaca.
Bergairah semangat Beng Hoa Memang dia sudah khawatir akan
kehabisan air untuk minum kudanya, di sini dia bisa biarkan
kudanya minum sepuas-puasnya.
Mendadak didengarnya sebuah nyanyian merdu berkumandang,
seorang gadis sudah muncul di pinggir danau lebih dulu. Gadis ini
muncul dari hutan samping, tangannya menjinjing sebuah kantong
kulit, jelas kantong kulit untuk mengisi air. Agaknya dia akan
mengambil air di danau kecil itu.
Tampak gadis ini berwajah bulat telur dengan kulit mukanya
putih bersemu merah, alis seperti digambar, bibirnya yang mungil
seperti delima merekah, bulu mata lentik melekuk ke atas, bola
mata yang jeli bening dengan hidung yang mancung, langkah
gemulai bak bidadari menari, sungguh gadis rupawan yang jarang
terlihat di daerah perbatasan ini. Walau Beng Hoa pemuda jujur tak
punya pikiran sesat, tak urung dia menikmati kecantikan gadis ini
dengan"terpesona. Agaknya perasaan gadis itu cukup tajam, dia merasa dirinya
sedang diawasi orang mendadak dia membalikkan tubuh sambil
tertawa. Tapi tawanya itu mendadak berubah menjadi panik dan
ketakutan, mulutnya menjerit. Ternyata seekor beruang telah
menerobos keluar dari rumpun semak belukar langsung menubruk
ke arah gadis cantik itu.
Kaget Beng Hoa bukan kepalang, walau kudanya sedang dia
bedal sekencang angin tapi jarakaya masih seratus langkah, tak
sempat lagi menyusul ke sana untuk menolongnya.
"Sin-liong-tiau-bwe," dalam detik-detik yang gawat itu mendadak
bersinar dalam benak Beng Hoa, tanpa pikir segera dia lolos pedang
panjang, tangannya bergerak, pedang itu berubah menjadi selarik
sinar putih laksana lembayung. Jurus Sin-liong-tiau-bwe dari Bengkeh-
to-hoat sangat ampuh, untuk melontarkan pedang dengan jurus
yang satu ini diperlukan kekuatan tenaga dalam yang besar dan
gerakan tangan yang betul-betul sudah terlatih baik, baru hasilnya
akan memuaskan. Untung selama berkumpul beberapa hari dengan
ayahnya itu Beng Hoa tidak menyia-nyiakan waktu mohon petunjuk
ayahnya, dan sekarang kemahirannya itu dibuktikan dalam praktek
Setelah pedang panjang ditimpuk-kan, Beng Hoa sendiri juga
melesat laksana panah dari punggung kudanya. Saking kaget dan
takut gadis itu justru tertegun dan melongo tak bergerak.
Beruang itu amat besar, kulitnya tebal, dagingnya keras, pedang
panjang ditimpukkan dari jarak jauh, meski telah menancap di
uluhatinya, namun dalam waktu singkat masih belum merenggut
nyawanya. Dengan langkah sempoyongan dia masih merangkak dua
langkah lalu berdiri di atas kaki belakangnya menyongsong
kedatangan Beng Hoa, seolah-olah ingin mengadu jiwa dan gugur
bersama musuh besarnya, tenggorokannya mengeluarkan suara
gerungan rendah dan mulutnya terpentang lebar dengan taring
putihnya yang menakutkan.
"Binatang!" bentak Beng Hoa, "masih berani mengganas."
Tangan terangkat terus menepuk, batok kepalanya ditepuknya
pecah, beruang itu baru roboh binasa. Lekas Beng Hoa mencabut
pedangnya serta membersihkan noda darah di bulu badan beruang
lalu disarungkan kembali dalam serangkanya. Dalam hati dia
bersyukur bahwa nona itu selamat. Segera dia menoleh ke arah
gadis jelita itu. Dengan mata terbelalak gadis itu mengawasi Beng Hoa tanpa
berkedip, seperti tidak percaya bahwa beruang sebesar itu telah
dibunuh olehnya, sikapnya tampak bimbang dan takut.
"Nona tak usah kaget dan takut," ucap Beng Hoa tersenyum.
Setelah dia lontarkan omongannya, baru dia sadar, nona ini dari
suku minoritas, entah dapat mengerti ucapannya atau tidak.
"Kau orang Han yang datang dari tempat jauh bukan?" suaranya
merdu bak kicau burung kenari. Di luar dugaan Beng Hoa, bukan
saja gadis ini fasih bahasa Han, suaranya merdu, bahasanya pun
enak didengar. "Betul, aku datang dari tempat jauh. Sudah tiga hari aku
menempuh perjalanan di padang rumput," ujar Beng Hoa.
Gadis itu berkata, "Wah, tentu kau ingin bertemu dengan sesama
manusia Banyak terima kasih atas pertolonganmu, rumahku berada
di balik gunung itu, sudikah kau menjadi tamuku" Oh, ya siapa
namamu, hampir lupa aku bertanya"
Beng Hoa segera menyebutkan namanya dalam hati setengah
bimbang, apakah dia harus menerima undangan si gadis.
Gadis itu sudah berkata pula, "Aku bernama Lomana, Beng-toako,
kedatanganmu amat kebetulan, hari ini pembukaan puasa
malam nanti akan diadakan perayaan Jagal Kambing, ramai sekali,
kusambut kehadiranmu dalam perayaan meriah itu."
Jagal Kambing adalah suatu permainan khusus bagi suku bangsa
Uigior di padang rumput. Bila pertandingan dimulai, para pemuda
menunggang kuda saling berlomba memperebutkan seekor kambing
yang sudah disembelih, siapa saja yang mampu mengiris sekerat
daging kambing itu pun sudah boleh merasa bangga. Itulah suatu
permainan olah raga sehat yang sering dilakukan oleh bangsa


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minoritas yang berjiwa patriot di padang rumput.
Perayaan besar itu dinamakan Jagal Kambing, namun permainannya
bukan melulu pada jagal kam-bing saja, biasanya diadakan juga
acara kesenian termasuk tari dan nyanyi, balap kuda, gulat, dan lain
sebagainya. Tapi acara yang paling menarik adalah "kejar nona."
Itulah permainan muda mudi yang saling mencurahkan rasa cinta,
merupakan salah satu tradisi yang turun temurun bagi suku bangsa
Uigior. Tradisi yang sudah turun temu-run dengan permainan lucu untuk
menyatakan isi hati ini berjalan sehat dan terbuka. Muda-mudi naik
kuda saling kejar, semuia yang laki-laki mengejar yang perempuan,
bila hampir teikejar, si gadis angkat cambuknya pura-pura melawan,
sementara yang laki-laki hams ikut terus membedal kudanya
dicongklang ke depan. Bila si gadis me-mang suka pemuda
pengejarnya, maka dia harus berbalik mengejar pemuda itu hingga
terkejar serta memukul dengan cambuk di tangan-nya, permainan
itu pun akan berakhir setelah sang pemudi berhasil mengejar sang
perjaka, lalu secara umum sudah akan dinyatakan dan diakui bahwa
sepasang muda-mudi ini sudah merupakan sepasang ke-kasih yang
harus hidup rukun. Tapi bila sang pemuda tidak menyukai gadis
pengejarnya, dia harus berusaha untuk tidak terkejar oleh gadis
yang mengejarnya. Beng Hoa juga tahu bahwa suku bangsa Uigior mempunyai adat
ke-biasaan seperti itu, tapi yang diketahui tidak begitu jelas, tahu
adanya perayaan Jagal Kambing tapi tak pernah tahu adanya acara
"kejar nona" itu, kata Beng Hoa, "Oh, temyata kalian dari suku
Uigior." Di Singkiang banyak suku bang-sa minoritas, suku Uigior adalah
yang terbesar, berjiwa luhur dan pemberani.
"Bangsa Uigior juga terdiri bebe-rapa kclompok, kelompok kami
ber-nama Wana, ayahku adalah kepala suku kecil dari suku bangsa
Wana yang besar. Jumiahnya tidak banyak, tapi malam ini akan
berbondong-bondong muda-mudi dari suku bangsa lain untuk
mengikuti pera-yaan besar kami itu." Lalu dia meneruskan, "Dalam
kelompok kami paling memuja dan menghormati seorang pahlawan,
beruang besar yang kau bunuh ini, pemuda paling perkasa dalam
kelompok kami juga harus mengeroyoknya bersama baru kuat
melawannya. Bila kau mau menjadi tamuku, bukan saja me-nambah
kehormatan kelompok ka-mi, juga memberi muka kepadaku"
Sebetulnya Beng Hoa tidak mau mengagulkan diri, tapi
mendengar kelompok mereka bernama Wana hatinya tergerak,
karena suku Wana adalah salah satu dad tigabclas suku di Wi-kiang
yang akan dihubungi oleh Utti Keng.
"Bisa menjadi tamumu adalah kebanggaanku," demikian ucap
Beng Hoa. "Tapi sebelum aku men-jadi tamumu, ingin aku tanya
satu hal dulu kepadamu."
"Soal apa yang ingin kau ketahui?"
"Belakangan ini, adakah orang Han datang ke tempat kalian?"
"Ada. Seorang pemuda yang berusia sebaya dengan kau."
Beng Hoa kecewa, pemuda yang berusia sebaya dirinya, jelas
bukan Utti Keng. Sebetulnya Lomana ingin menje-laskan tentang pemuda yang dia
katakan tadi, namun melihat sikap Beng Hoa seperti tidak tertarik,
lalu dia bertanya pula, "Siapa yang ingin kau ketahui jejaknya?"
"Seorang lelaki kekar bercambang bauk, usianya lebih tua dari
aku, sudah empatpuluhan tahun lebih."
Tergerak hati Lomana, katanya, "Kepandaian orang itu apakah
ham-pir sama dengan engkau?"
"Ah, lebih hebat lagi, golok kilat-nya nomor dua di dunia."
"0 ya, benar, dia memang pandai bermain golok. Tapi
penilaianmu kurang tepat, golok kilatnya nomor dua di seluruh
dunia." Beng Hoa terbeliak girang, "Kau pernah melihataya?"
Lomana menggeleng, katanya, "Aku tak pernah melihatnya,
ayahku pernah." "Di mana ayahmu melihat orang itu?"
"Di tempat kediaman kepala suku kami, letaknya seratus li dari
sini." "Kapan?" "Tepat setengah bulan yang lalu."
"Dari mana ayahmu tahu ilmu goloknya nomor dua di dunia ini?"
"Dia sendiri yang bilang," tutur Lomana. "Kepala suku Wana
adalah seorang yang berdisiplin keras, dia membuat suatu
peraturan, bagi pencuri kambing harus dipotong sebuah jarinya,
pencuri kuda harus dipotong tangannya.
"Orang itu adalah tamu agung kepala suku Wana kami, karena
tahu ilmu goloknya amat bagus, hari itu dia minta orang
mendemonstrasikan di depan umum supaya mata orang banyak
terbuka. "Orang itu berkata, "Kabamya kau menangkap tiga maling kuda
dan akan memotong tangan mereka, apa benar?"
"Kepala suku berkata, "Benar, besok sudah siap melaksanakan
hukuman." "Orang itu berkata, "Baiklah, bawa kemari ketiga maling kuda itu,
akan kupinjam mereka untuk mem-pert ontonk an permainan
golokku." "Tahu tontonan mcnakjubkan akan segera disaksikan, kepala
suku amat senang, segera memcrintahkan anak buahnya
menggusur ketiga tawanan itu."
Beng Hoa kaget, katanya, "Ke-napa pakai manusia untuk
mendemonstrasikan kehebatan ilmu golok-nya?"
Lomana menutur lebih jauh, "Dia menaruh tiga buah apel di atas
kepala maling kuda itu, kemudian berkata kepada kepala suku, "Dari
jarak seratus langkah, aku akan membelah buah apel itu dengan
pisau terbang. Tapi aku sedikit tidak yakin bahwa timpukkanku pasti
te-pat kena sasaran. bila mereka sampai menjadi korban, harap aku
tidak disalahkan." "Kepala suku berkata, "Memang aku akan memotong lengan
mereka, bila kau salah membunuh mereka, anggaplah hukuman
untuk mereka ditambah beratnya. Mana berani aku menyalahkan
kau?" "Orang itu berkata lebih lanjut, "Kalau hukuman ditambah
beratnya, tentu juga bisa diperingan, bila aku mampu membelah
apel di atas kepala mereka dan tidak melukai mereka, aku minta
kau membebas-kan mereka."
Memang kepala suku ingin lekas menonton permainannya, maka
dia manggut setuju saja."
Sekarang Beng Hoa paham, katanya tertawa, "Ya, aku mengerti,
dengan cara itu dia berusaha menolong ketiga maling kuda itu. Memangnya
hanya mencuri seekor kuda dihukum penggal tangan,
hukumannya memang terlalu berat dan kejam."
"Demikian pula pendapatku, tapi itu sudah menjadi peraturan
suku bangsa kami, selama ini tiada orang berani mengubahnya.
Tapi setelah kejadian itu, kepala suku ternyata mau menerima
nasehat dan anjuran orang itu, dia sudah siap mengaju-kan
perubahan peraturan itu di dalam rapat besar yang akan dihadiri
para ketua suku kami."
Lomana melanjutkan ceritanya, "Hanya sekali menggerakkan
ta-ngan, dalam waktu yang sama seka-ligus dia menimpukkan tiga
batang pisau terbang, ternyata secara tepat ketiga pisau terbang itu
membelah di tengah ketiga apel di atas kepala mereka tanpa
melukai sedikit pun badan mereka.
"Pertunjukkannya belum berak-hir sampai di sini, lebih jauh dia
keluarkan golok yang dibawanya akan mendemonstarsikan
permain-an goloknya, dia suruh enam orang berbareng melempar
enam buah apel ke udara, para hadirin melihat sinar golok
berkelebat, ternyata ke-enam buah apel itu pun telah ter-belah
tepat di tcngahnya dan jatuh di sekitar kakinya."
"Sungguh hebat dan menakjub-kan," puji Beng Hoa.
Tiba-tiba Lomana bertanya, "Ke-napa sejelas ini kau tanya
tentang orang Han ini?"
"Dia teman ayahku."
Lomana seperti teringat apa-apa, katanya lebih lanjut, "Setelah
orang itu mcndcmonstrasikan kehebatan ilmu goloknya, kepala suku
memuji ilmu goloknya tiada bandingan di dunia ini, dia bilang, ilmu
goloknya paling hanya nomor dua di dunia ini. Jago kosen yang
mampu mengguna-kan golok kilat nomor satu di dunia ini adalah
seorang temannya she Beng. Beng-toako, jadi teman baik orang itu
ternyata adalah ayahmu."
"Orang itu adalah Kwan-tang Tayhiap Utti Keng yang terkenal di
dunia Kangouw, dia mengaku seba-gai nomor dua kurasa hanya
karena dia rendah hati. Tentang siapa teman yang dimaksud terus
terang aku tidak tahu."
"Ayahku pernah bertemu dengan dia, kalau ingin tahu lebih
banyak tentang orang itu, boieh kau tanya saja kepada ayahku."
"Baiklah, biar aku menjadi tamu tanpa diundang, untuk hadir
dalam perayaan besar itu."
Saking kegirangan Lomana berjingkrak sambil bertepuk tangan,
maka mengalunlah lagu riang dari "mulutnya. Nyanyian merdu membuat
pikiran Beng Hoa kembali ke Kanglam, walau dia tidak tahu arti
dari nyanyian itu, namun dari mimik dan sikap Lomana waktu
menyanyi-kan lagu yang riang, Beng Hoa ikut merasa gembira.
Setelah Lomana habis menyanyi-kan satu lagu, Beng Hoa
berkata, "Nyanyianmu bagus dan merdu sekali, sayan g aku tidak
tahu artinya." Lomana tertawa, katanya, "Ah, ya, aku lupa kau orang Han yang
baru datang, biar kunyanyikan sekali lagi dengan bahasa Han
kalian." Lalu dia mulai tarik suara lagi.
Habis lagu kedua, Lomana men-jelaskan pula, "Itulah sebuah
nya-nyian khusus untuk menyambut tamu dari jauh. Ada dua hal
yang paling disukai orang-orang suku ka-mi. Pertama adalah
menyanyi, ke-dua adalah menyambut kedatangan tamu dari jauh."
"Daerah kalian ini sungguh amat permai, orang-orang kalian lebih
baik lagi." Makin lebar tawa Lomana, kata-nya, "Ha, kau suka tempat kami"
Apakah kau pernah mencicipi se-mangka Hamit?"
"Waktu aku pergi ke Tibet pernah kurasakan, sungguh wangi dan
ma-nis sekali, semangka apa pun tiada senikmat itu, Tapi semanismanis-
nya semangka Hamit masih tidak le-bih manis dari
penyambutan kalian terhadap para tamu."
"Aa, kau pandai bicara. Padahal kau belum merasakan semangka
Hamit yang masih segar, semangka Hamit yang dikirim ke Tibet
sudah sepuluh hari dari pemetikan. Se-mangka Hamit yang baru
dipetik rasanya seperti arak wangi, lebih wangi lebih manis, setelah
makan tanggung kau akan memujinya. Hm, Beng-toako, jangan kira
dalam daerah kami ini kalau bukan padang rumput hanya padang
pasir melulu, ketahui lah di padang rumput dan di padang pasir juga
terdapat makan an lezat dan enak yang tak terhitung banyaknya."
Beng Hoa ikat beruang itu di punggung kuda, sambil jalan berbicara,
"Padang rumput seluas ini, barang-barang enak dimakan
sudah tentu takkan habis diperoleh. Coba ceritakan kepadaku."
"Beng-toako, kau mau ke mana?"
"Aku ingin ke Thian-san."
"O, jauh benar tujuanmu. Kau akan menjelajah seluruh Wi-kiang,
apa yang akan kau lihat sepanjang perjalanan nanti, takkan
mengecewakan perjalananmu yang jauh ini." Sampai di sini
mendadak dia menunduk lalu menghela napas panjang, "Aku
khawatir suatu ketika rajamu akan datang merebut seluruh milik
kami itu. Kabarnya dia sudah menyiapkan pasukan besar untuk
menyerbu kami. Raja yang berkuasa di kota raja sekarang bukan
raja bangsa kami. Dia adalah raja penjajah yang merebut tanah air
bangsa Han kami. Seperti juga suku bangsa kalian, kami orang Han
juga membencinya. Kwan-tang Tayhiap Utti Keng yang setengah
bulan lalu da-tang kcmari adalah salah satu dari patriot bangsa Han
yang menentang politik kerajaan, entah berapa banyak patriot
bangsa Han seperti dia itu."
"O, lebih senang aku menyambut kedatanganmu, nyanyianku
tadi baru bait pertama, biarlah kulanjutkan bait kedua dan ketiga."
Tapi sebelum dia mulai menyanyi, mendadak didengamya
seseorang berteriak, "Lomana, Lomana, di mana kau?"
"Aku ada di sini," seru Lomana, lalu menoleh, "Santala datang,
biarlah lain kesempatan kunyanyikan untukmu. Santala adalah
pemuda dalam kelompok kami."
Dari kejauhan Santala sudah berteriak, "Ada orang melihat
beruang di dalam hutan, aku khawatir kau tidak tahu. Ternyata kau
selamat, legalah hatiku." Santala bicara dalam bahasa Han, cuma
tidak sefasih yang diucapkan Lomana.
"Apakah orang-orang kalian banyak yang pandai berbahasa Han
kami?" tanya Beng Hoa.
"Banyak orang-orang kami yang menguasai beberapa bahasa,
tidak sedikit orang kami yang pernah membaca buku orang Han
kalian. Dulu aku pun diajarkan seorang guru baca dari orang Han
yang kini sudah meninggal. Beberapa hari ini Santala sedang belajar
bahasa Han dariku." Tengah bicara Santala pun sudah berlari tiba dari balik hutan
sebelah kiri, melihat beruang di punggung kuda dia tampak kaget,
tanyanya, "Siapa orang ini?"
Lomana tertawa, katanya, "Beruang besar ini telah dibunuh oleh
toako orang Han ini." Setelah dia memperkenalkan kedua orang ini,
lalu melanjutkan, "Santala, bukankah kau ingin membuat sebuah
jubah dari kulit biruang, Beng-toako menyerahkan beruang hitam ini
kepadaku, aku pun berikan kepadamu, mau tidak?"
Dingin sikap Santala, katanya, "Aku akan berburu beruang
sendiri, terima kasih maksud baikmu." Lalu dia bicara dengan
bahasa daerah mereka yang tidak diketahui apa artinya oleh Beng
Hoa. Walau tidak tahu artinya, namun melihat sikap dan tutur katanya
kepada Lomana, kelihatan hatinya kurang senang. Ternyata Santala
berkata, "Lomana, kenapa kau selalu lebih menyenangi orang Han?"
Beng Hoa berkata, "Aku ini orang luar daerah, maaf kalau aku
tidak tahu kata istiadat kalian. Jikalau perayaan Jagal Kambing
kalian tidak boleh diikuti orang luar, lebih baik aku"."
"Bukan demjkian. Justru sebaliknya, kami paling senang ada
tamu dari jauh hadir dalam perayaan itu." Bicara sampai di sini
sengaja dia berpaling ke sana supaya Beng Hoa tidak melihat mimik
mukanya, lalu memberi kcdipan mata kepada Santala, katanya
dengan bahasa mereka, "Santala, kenapa sih kau ini, kenapa
jiwamu menjadi begini sempit" Turun temurun orang kita paling
senang menerima kedatangan tamu, memangnya kau sengaja mau
merusak nama baik suku bangsa kita?"
Merah muka Santala, lekas dia menjelaskan kepada Beng Hoa
dengan bahasa Han, "Beng-toako, jangan kau salah paham bahwa aku kurang senang
akan kedatanganmu. Aku menyesali diriku sendiri, kenapa tidak
mampu membunuh beruang." Ternyata dia bicara sejujumya,
memang dia tidak pernah berbohong, khawatir Loma-na
menyalahkan dia terpaksa kali ini dia berbohong. Padahal hatinya
ku-rang senang karena Lomana meng-undang Beng Hoa sebagai
tamunya.

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng Hoa berkata, "Aku hanya kebetulan saja berada di sini dan
beruntung dapat membunuh beru-ang ini. Jikalau kau yang bertemu
dengan beruang, kau pun dapat membunuhnya."
"Dari mana kau tahu?" tanya Santala.
"Sudah tentu Lomana yang bercerita kepadaku. Kecuali dia,
memangnya ada orang lain di sini?"
Santala menjadi malu juga senang, katanya dengan muka merah,
"Lomana terlalu memuji aku, sebenamya aku tidak segagah apa
yang dikatakan." Lomana tertawa geli dalam hati, bersyukur sikap Santala
berubah, sudah tentu dia tidak menyangkal, maka mereka pulang
dengan perasaan riang. Seorang pemuda bangsa Han, seorang diri berhasil membunuh
seekor beruang besar, sudah tentu hai ini menimbulkan kegemparan
dalam kelompok suku bangsa kecil itu.
Sesuai kata Lomana, orang banyak menyebut Beng Hoa sebagai
seorang pahlawan, beberapa gadis mulai merangkai kalung
kembang lalu dikalungkan di lehernya, sikap Beng Hoa kelihatan
serba salah dan rikuh. Maka Lomana berseru menenteramkan suasana, "Sudah cukup,
kalian jangan merepotkan tamu kita, dia ada urusan ingin bertemu
dengan ayah. Mentari sudah hampir terbenam, lekaslah kalian
siapkan pera-yaan malam nanti."
Untung Lomana menolong dirinya bebas dari kerumunan orang
banyak, maka Beng Hoa leluasa bertemu dengan kepala suku Wana.
Malam itu Beng Hoa berbicara langsung dengan ayah Lomana yang
bernama Lohay. Lohay mcnerima tamunya di ke-mah khusus untuk menerima
tamu, tanyanya kepada Beng Hoa, "Kau kenal Utti tayhiap, apakah
kau pun datang dari Jit-tat-bok?"
"Setengah tahun lalu aku pernah bermalam di Jit-tat-bok, tapi
kali ini aku datang dari Lhasa," sahut Beng Hoa.
"Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan dua pemimpin besar laskar
gerilya di Jit-tat-bok adalah pahlawan yang kukagumi. Apakah
mereka baik-baik saja" Bagaimana situasi di Jit-tat-bok waktu itu"
Apakah pasukan kerajaan pernah menyerbu ke sana?"
Bahwa Lohay tahu adanya Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan dua
pah-lawan besar tidak perlu diherankan, karena Utti Keng pernah
bertemu dia, tapi dia memanggi Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan
sebagai dua pemimpin besar laskar gerilya, dari istilah panggilan ini
secara langsung sudah memberi tanda ke mana dia berkiblat, hal ini
membuat Beng Hoa merasa lega dan senang sekali.
"Baik," sahut Beng Hoa, "keadaan di sana masih tenang-tenang
saja, tapi ketenangan menjelang datangnya badai yang
mengguncangkan. Menurut kabar yang diterima, pasukan kerajaan
sedang dikerahkan untuk menyerbu, sehubungan dengan hal itu
maka Utti Keng tayhiap diutus sebagai kurir untuk mengadakan
kontak dengan para pahlawan di Wi-kiang ini, untuk mohon
bantuan." Lohay berkata, "Jangan bilang minta bantuan, yang jelas kita
saling bantu. Raja lalim dari Boanciu yang menjajah tanah air orang
Han kalian adalah juga musuh bangsa kami, enam tujuhpuluh tahun
yang lalu penjajah Boanciu itu pun pernah menyerbu ke tempat
kami. Di Wi-kiang mereka mengadakan pembunuhan, pcmbakaran,
perampokan dan perkosaan, tiada kcjahatan yang tidak mereka
lakukan, malah nona tercantik dari suku bangsa kami juga
direbutnya. Dari tua sampai yang muda bila mendengar ceritera itu
siapa pun amat kesal dan dendam. Utti tayhiap adalah sahabat baik
bangsa kami, tidak sedikit bantuan yang pernah dia berikan
terhadap kami, misalnya dia adalah seorang yang belum pernah
kami kenal, asal dia betul-betul kurir. utusan Jit-tak-bok, kami pasti
akan setuju ber-serikat"
"Syukurlah bahwa cutiang (pemimpin suku) tahu akan situasi dan
kondisi." "Sayang aku bertemu dengan Utti tayhiap di saat dia akan
berangkat, tapi hari itu juga dia sudah menandatangani pcrjanjianperjanjian
kerja sama dengan sesepuh suku bangsa Wana kami.
Berkat penghargaannya kepadaku, aku pun diminta
nienandatangani surat perjanjian itu. Bahwa aku tak bisa lebih lama
berkumpul dengan Utti tayhiap adalah suatu hal yang patut
disesalkan, Beng-lote, karena itu aku minta kau menetap beberapa
hari di tempatku ini, mau tidak?"
"Wanpwe ingin selekasnya me-ngejar Utti tayhiap mungkin besok
juga aku harus berangkat."
"Kalau tugasmu memang amat penting, aku pun takkan
menahan-mu. Malam ini kuharap kau mau menghadiri perayaan
Jagal Kambing kami, boleh kau ikut bersuka ria." .
Bicara sampai di sini mendadak teringat sesuatu, katanya, "Masih
ada seorang Han, kabarnya juga datang dari Jit-tat-bok, sekarang
tinggal di daerah yang dikuasai oleh sesepuh Wana kami, apa kau
tahu?" Beng Hoa heran dan curiga, katanya, "Waktu aku di Jit-tat-bok,
Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan thauling tidak pernah memberi tahu
kepadaku, entah siapa dia?"
"Aku tak pernah bertemu dengan dia. Kau tahu padang rumput
ini sedemikian luasnya, walau dia tinggal di sana, ada kalanya juga
dia akan keluyuran ke mana-mana. Ka-barnya Utti tayhiap juga ada
maksud menemui orang itu, tapi tidak kete-mu."
"Entah siapa orang itu?" demikian Beng Hoa menduga-duga
dalam hati, baru saja dia ingin tanya, Lomana menyingkap tenda
berjalan masuk. "Apakah perayaan Jagal Kambing sudah dimulai?" tanya Lohay.
Lomana berkata, "Para pemuda sedang menunggu, tidak sabar
lagi untuk membidikkan panah pertama. Kalian sudah selesai bicara
belum?" "Baiklah, suruh Santala membawa busur besiku itu, kau jangan
lupa membawa cambukmu."
Merah muka Lomama, katanya, "Ayah, kau menggoda aku." Ia
menyingkap tenda lalu lari keluar lebih dulu.
Beng Hoa tidak tahu kenapa muka orang mendadak merah,
tengah dia keheranan, mendadak Lohay berbisik di pinggir
telinganya, "Jangan biarkan cambuk nona yang tidak kau senangi
mengenai badanmu." Malam itu tepat tanggal lima-belas menurut penanggalan Imlek,
rembulan bundar, bulat dan besar. Angin malam menghembus
semilir di padang rumput, kembang-kembang mekar semerbak di
padang rumput, menambah gairah dan semangat para remaja yang
siap terjun dalam arena permainan.
Seekor kambing besar yang sudah dibakar tergantung di atas
sepucuk pohon. Lohay berdiri tegak dalam jarak sera tus langkah,
pelan-pelan dia menarik busur mulai membidik. "Ser", tiba-tiba anak
panahnya meluncur dan tepat me-mutus tali penggantung kambing
bakar. Begitu kambing Dakar jatuh, para pemuda beramai-ramai
mencemplak kuda memburu kesana,
"Bidikan panah seratus langkah yang tepat, panah sakti ayahmu
memang patut dijajarkan dengan pisau terbang Utti tayhiap,"
demikian puji Beng Hoa. Mendengar ayahnya dipuji, Lomana tampak senang, katanya,
"Bukan, ayah adalah jago panah dalam kelompok kami, dalam
kelompok suku bangsa kami tiada orang kedua yang dapat
membidik secepat dia. Santala adalah muridnya, maka dia terhitung
nomor dua. Malam Ini, orang banyak memilih dia untuk membidik:
Hm, Santala sudah terjun ke arena, kenapa kau tidak lekas turun
gelanggang?" "Aku ini tamu, rikuh untuk berebut daging kambing dengan para
remaja itu." "Di dalam perayaan Jagal Kambing, tiada batas tuan rumah atau
tamu. Kalau kau tidak lekas ikut merebut, orang lain tidak akan
memberi bagian kepadamu."
"Biarlah, aku tidak lapar."
"Kau tidak ingin mencicipi daging kambing, aku justru kepingin,
tolong kau rebutkan sekerat daging untukku. Nah, itu kuda untuk
kau sudah kusiapkan." Itulah seekor kuda pilihan yang terpelihara di
istal kuda ayahnya, kebetulan seseorang menuntunnya ke depan
Beng Hoa Beng Hoa tertawa, katanya, "Baiklah, mumpung masih
ramai biar aku ikut berlomba." Dengan sikap apa boleh buat, dia
naik ke punggung kuda lalu melarikan kudanya di belakang Santala
Perasaan Lomana amat kusut dan gundah. Dia tahu maksud
ayahnya menyuruh dia membawa cambuk, namun dia bingung dan
tidak tahu ke tubuh siapa cambuknya harus dipukulkan.
Ketika itu, Santala dan Beng Hoa sudah mengeprak kudanya
terjun dalam lomba lari dengan pemuda yang lain. Mengawasi
bayangan punggung mereka, Lomana melamun scsaat lamanya,
tiba-tiba muncul gambar orang ketiga dalam benaknya, itulah
gambar wajah se-orang pemuda bangsa Han yang lain. .
"Entah malam ini dia ikut datang tidak?" demikian batin Lomana.
Acara Jagal Kambing sudah dimulai, sedikitnya ada seratusan kuda
yang dibedal di padang rumput sekencang angin. Walau rembulan
memancarkan cahayanya yang benderang, tapi dalam keremangan
malam di antara sekian banyak kuda yang berlari kencang itu, untuk
mengenali seseorang bukan satu pekerjaan gampang. Dengan
penuh perhatian Lomana curahkan perha-tiannya memandang ke
depan, na-mun bayangan orang yang dicarinya tidak kelihatan,
entah dia datang atau tidak" Padahal pemuda itu per-nah bilang
pasti datang. "Jikalau dia benar-benar datang, kepada siapakah
cambukku harus kupukulkan?" hal inilah yang membuat Lomana
gundah dan kusut pikiran.
Permainan Jagal Kambing boleh di ikut oleh siapa saja, asal dia
mampu mengiris dan mencopot daging kambing bakar itu.
Peraturan permainannya cukup ketat, siapa pun dilarang turun dari
kuda, tidak boleh berhenti, dan lari kuda pun tidak boleh lambat.
Bila memperlambat lari kudanya, maka orang-orang di sekelilingnya
wajib menegumya dan hal ini akan menimbulkan sorakan orang
banyak, para pemuda tentu tidak mau menjadi sorakan orang
banyak, karena hal itu akan merendahkan derajat dan memalukan.
Lalu bagaimana untuk memperoleh irisan daging kambing bakar
itu" Tergantung dari kemahiran seseorang menunggang kuda. Di
kala kudanya lari dan lewat di pinggir daging yang diburunya,
mereka harus mengiris daging kambing itu dengan golok sabit yang
mereka bawa. Padahal kuda berlari kencang, kesempatan hanya
sekejap belaka, maka sekali bacok atau iris belum tentu berhasil.
Mungkin daging kambing memang sudah teriris, tapi tak sempat
menusuknya dengan ujung golok maka dia harus menggunakan
kesempatan kedua. Peserta amat banyak, ada kalanya suatu rombongan besar
memburu tiba bersama, peraturan melarang kuda dan orang saling
tumbuk dan terjang, bila membentur dua orang maka haknya
sebagai peserta akan dicabut. Ilmu menunggang kuda bangsa Uigior
amat terkenal, maka jarang terjadi tumbukan di dalam perayaan
Jagal Kambing seperti ini.
Kalau kuda dan orang tidak boleh saling tumbuk atau bentur, tapi
golok atau senjata apa saja yang mereka gunakan untuk mcmotong
daging kambing justru boleh saling bentur dan tangkis. Bila dua
golok saling beradu, maka siapa pun tak-kan memperoleh potongan
daging, padahal kuda berlari amat kencang, bukan mustahil mereka
akan ter-jungkal jatuh dari punggung kuda, kalau hal ini terjadi,
maka dia diang-gap kalah dan tidak boleh melanjutkan permainan.
Santala bergerak agak terlambat, sementara itu kambing bakar
itu sudah direbut banyak orang dan sisa separo saja Waktu dia
menusukkan golok sabitnya, mendadak dari samping menerjang tiba
seekor kuda yang berlari kencang. "Trang", dua golok sabit saling
beradu dengan keras. Begitu keras benruran ini hingga telapak tangan Santala
kesemutan, goloknya tergetar lepas terbang ke udara. Untung lari
kuda Sanatla amat kencang, begitu dia jepit perut kudanya serta
sedikit membelok ke kiri, kebetulan dia berhasil mengejar golok
sabitnya yang melayang jatuh. Semula suasana hiruk pikuk dari para
dara yang me-nonton berjingkrak sambil bertepuk tangan, waktu
benturan itu terjadi suasana menjadi sepi lengang, tapi menyusul
meledak dengan sorak sorai dan tepuk tangan yang gegap gempita.
Cara menangkap golok Santala ternyata amat mahir, tapi Santala
tidak tahu para nona bersorak untuk dirinya atau bersorak untuk
orang yang membentur lepas goloknya itu" Atau mungkin mereka
sama-sama memberi sorakan kepada kedua orang" Yang terang
muka Santala terasa panas. Maklum sebagai ksatria gagah nomor
satu dalam kelompok sukunya, betapa besar tenaganya, tiada orang
kedua kuat menandingi dia.
Suku bangsa Wana mengakui Santala sebagai ksatria gagah
nomor satu, selama ini Santala juga mengagulkan diri dengan
kemahiran memanahnya, demikian pula kekuatan badannya yang
luar biasa, membuat dia amat bangga. Tak nyana malam ini dia
dikalahkan oleh pemuda yang muncul entah dari mana.
Kekalahannya terhitung runyam pula, karena sekali bentur
senjatanya itu terpental lepas dari cekalan. Walau dengan
kecekatannya dia berhasil menangkap senjatanya, dia sendiri sudah
merasa malu luar biasa. Kuda berlari laksana kilat, Santala tidak sempat melihat siapa
lawannya, dia hanya tahu bahwa orang itu pasti bukan dari
sukunya. Pemuda dalam sukunya, tiada yang punya kemampuan
membentur jatuh senjatanya.
Menurut peraturan permainan Jagal Kambing ini, kalau gagal,
peserta yang akan mengulang, harus berputar sekali mengelilingi
gelanggang. Kambing bakar itu tcrtendang kian kemari oleh kaki kuda, mental
sana menggelinding sini, hanya sekejap sudah sisa separo paha
belakangnya saja karena rintangan orang tadi. Santala amat mahir
menunggang kuda, waktu dia putar balik lagi, ternyata dia
ketinggalan selangkah dari orang itu.
Tampak orang itu sudah bergelantungan di pinggir pelana, di
mana dia menekuk pinggang, golok sabitnya yang kemilau sudah
akan menusuk sisa paha kambing itu, mendadak seekor kuda
mcmbedal tiba serta melompat mendahului. "Tar", cambuk panjang
tiba-tiba menggulung tiba. Pendatang ini adalah Beng Hoa, dia
bermaksud membantu Santala. Beng Hoa ketinggalan sedikit,
namun sisa paha kambing itu berhasil dtgulungnya dengan cambuk
Duduk di punggung kuda yang berlari sekencang angin,
menggulung suatu benda dengan ujung cambuk, tcnaga yang
dikerahkan harus pcrsis dan sasaran pun harus diincar secara tepat.
Suku bangsa Uigior amat mahir menunggang kuda, ternyata mereka
memuji melihat kehebatan Beng Hoa menguasai kudanya. Kontan
meledaklah hiruk pikuk yang menggetarkan bumi.
Entah karena malu menjadi gusar atau karena ingin menang,
mendadak orang itu ayun sebelah tangan menimpuk sebutir amgi.
Senjata rahasianya itu adalah sekeping mata uahg yang sudah
diasah pinggirnya hingga tajam, tapi sasarannya bukan orang
melainkan cambuk yang hendak merebut daging kambing
buruannya. "Cret", cambuk panjang Beng Hoa putus tertabas oleh mata uang
tembaga orang, daging kambing itu pun melayang jatuh. Jatuhnya
kebetulan lebih dekat dari orang itu.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekejap suara ribut mendadak sirap. Menurut peraturan
permainan, kuda dan orang tidak boleh saling tumbuk, namun
senjata beradu tidak merupakan larangan. Tapi menggunakan amgi
memukul lawan selamanya belum pernah terjadi, maka nona-nona
yang menjadi juri menjadi bingung, apakah perbuatan orang itu
melanggar aturan atau tidak.
Mendadak Santala memasang panah menarik gendewa, "Ser"
sebatang panah dibidikkan. Bidikan panahnya tiba tepat pada
saatnya sebelum paha kambing itu jatuh sudah terpanah hingga
melesat terbang ke udara. Santala berseru, "Jangan kalian bilang
aku tidak mematuhi aturan, kalau dia boleh menimpuk dengan mata
uang, kenapa aku tidak boleh membidik dengan panah?"
Menurut salah satu aturan permainan, daging yang sudah berada
di tangan seseorang, orang lain tidak boleh merebutnya. Tapi
daging paha itu sudah tergulung oleh cambuk panjang Beng Hoa,
apakah terhitung sudah menjadi miliknya" Dalam waktu singkat
siapa pun sukar memberikan keputusan.
Kejadian memang cukup menegangkan, maka nona-nona dan
para pemuda tak sempat memikirkan lagi apakah mereka melanggar
aturan atau tidak, karena dalam waktu sekejap ini terjadi pula
perubahan. Beng Hoa dan orang itu serempak berebut paha kambing yang
melayang jatuh itu. Paha kambing itu masih terapung di udara. Dua
ekor kuda hampir bersamaan men-capai sasaran. Paha kambing
sedang melayang turun di atas kepala mereka, itulah kesempatan
paling baik. Supaya lebih cepat, ternyata mereka melompat dengan
gaya It-ho-ciong-thian, tubuh terapung ke atas hendak menangkap
paha kambing itu. Tapi Beng Hoa melompat lebih tinggi, sekali ulur tangan jarinya
sudah menyentuh paha kambing itu, mendadak orang itu memukul
keras ke arah Beng Hoa. Beng Hoa menekan dengan telapak tangan
kiri, di tengah udara dia menyambut pukulan lawan. Sementara
telapak tangan kanan dari menangkap di-ubah menepuk sehingga
paha kam-bing itu ditepuknya melayang lebih tinggi dan jauh.
Kedua orang hampir bcrsama melompat dan menyerang, gerakan
kedua pihak teramat cepat untuk disaksikan orang-orang biasa, para
nona yang menonton di bawah tiada yang melihat jelas apa yang
telah terjadi. Hanya tahu di udara mereka bentrok. Menurut aturan
pemainan, bila badan saling tumbuk, kedua pihak harus dianggap
kalah, karuan para nona itu sama menjerit kaget dan sayang bahwa
mereka akhirnya gagal di saat paling gawat.
Beng Hoa hanya menggunakan tiga bagian tenaganya, orang itu
sudah terdorong pergi. Ternyata ginkang orang itu cukup baik, di
tengah udara menggunakan gaya Burung Dara Jumpalitan, dengan
lincah ternyata dia mampu duduk kembali di punggung kudanya.
Waktu Beng Hoa melorot turun, kebetulan dia meraih ekor kuda,
sedi-it kerahkan tenaga, badan jumpalitan baru berhasil duduk di
pelana-nya pula. Tapi karena lompatannya lebih tinggi, dan
turunnya juga sedikit terlambat. Bagi yang mernpunyai pandangan
tajam akan tahu bahwa ginkang yang dipertunjukkannya barusan
jelas lebih tinggi dari orang itu.
Paha kambing yang ditepuk pergi oleh Beng Hoa secara
kebetulan melayang ke arah Santala, lekas Santala mengulurkan
tangan meraihnya, tanpa membuang tenaga dia berhasil merebut
paha kambing itu. Akhir dari rebutan ini bukan saja di luar dugaan
orang banyak, Santala sendiri juga merasa di luar dugaan karena
dia sudah yakin bahwa dirinya kali ini pasti kalah habis-habisan.
Bahwa kemenangan dircbutnya tanpa membuang tenaga, mau
tidak mau mcmbuatnya bimbang. Dia merasa kejadian tak mungkin
secara kebetulan, namun sukar dia memperoleh kesimpulan
bagaimana kenyataan ini bisa terjadi.
Satu hal pasti bahwa akhir dari permainan Jagal Kambing ini
justru membuat para muda-mudi yang lain bersorak gembira, sudah
tentu kecuali pemuda yang gagal merebut paha kambing itu.
Maklum siapa di antara muda-mudi suku Wana ini yang tidak
mengharapkan kemenangan bagi ksatria gagah bangsa mereka.
Bagi Santala kemenangan ini meski terasa kebetulan dan beruntung,
namun teman-temannya justru merasa lega dan sesuai ke-inginan
orang banyak. Di tengah sorak-sorai muda-mudi yang berjingkrak kegirangan,
Santala langsung menghampiri Lomana serta menyerahkan paha
kambing yang berhasil direbutnya kepada Lomana. Tapi dalam hati
tak ada rasa senang atas kemenangan yang dicapai.
Tenaga tepukan yang dilancar-kan Beng Hoa memang sudah
diperhitungkan secara tepat. Waktu dia menyaksikan paha kambing
itu jatuh di tangan Santala, sementara penonton bersorak gembira,
hatinya pun ikut riang dan lega, tapi di sam-ping rasa senang
hatinya pun merasa curiga dan was-was, perasaannya hampir mirip
Santala. Santala bimbang dan curiga lan-taran kemenangan ini
disangkanya disengaja atau memang sudah diren-canakan oleh
Beng Hoa. Beng Hoa curiga terhadap pemuda yang bergebrak
dengan dirinya itu, entah siapa dia.
Jelas bahwa pemuda itu. pernah meyakinkan ilmu tingkat tinggi,
gerak-geriknya amat cekatan. Santala adalah pemuda perkasa yang
paling gagah di dalam suku Wana, tapi kepandaian orang itu jelas
lebih unggul dari Santala, jelas dia pun orang dari luar daerah. Tapi
yang mencurigakan bukan hanya kungfu si pemuda, tapi lapat-lapat
terasa olehnya bahwa pemuda ini seperti pernah dikenal atau
dilihatnya entah di mana Di tengah udara waktu saling hantam tadi, boleh dikata dia berhadapan
muka dengan pemuda itu, namun perharian kedua pihak
tertuju kepada barang buruan maka tiada yang memperhatikan
wajah lawan-nya. Tapi hanya pandangan sekilas itu juga sudah
cukup menimbulkan perasaan ganjil seperti pernah kenal itu.
Sayang setelah dipikir-pikir te-tap tak bisa dia temukan jawabannya,
kapan, di mana dia pernah me-lihat orang itu.
Suasana ramai dan ribut di seki-tarhya tak memberi peluang
untuk Beng Hoa memutar otak. Waktu dia kembali ke samping
Lomana, Santala sudah berada di sana sejak tadi.
Kata Santala dengan likat, "Beng-toako, paha kambing ini
sebetulnya milikmu."
Tidak, jelas kaulah yang mere-butnya, mana boleh anggap aku
yang menang?" "Jikalau tidak kau yang melempar ke arahku"."
"Soalnya aku dipaksa orang itu untuk membuangnya, sebetulnya
umpama berhasil kutangkap, menurut peraturan aku tetap
dinyatakan kalah." "Memang aku sedang heran, kenapa secara kebetulan terbang ke
arah diriku?" "Mungkin Thian Yang Maha Kuasa sengaja membantu kau untuk
memperoleh paha kambing itu supaya dapat kau persembahkan
kepada nona Lomana. Jikalau kau gagal aku pun gagal, bukankah
nona Lomana akan kecewa?"
Lomana tertawa katanya, "Sudah, tak usah berdebat, aku terima
kebaikan kalian." Beng Hoa tanya kepada Santala, "Siapakah orang yang berebut
paha kambing dengan kita itu?"
"Aku tidak tahu. Lomana, apa kau mengenalnya?" tanya Santala
Entah kenapa, mendadak muka Lomana merah, katanya,
"Daerah yang pernah kau jelajahi lebih banyak dan luas dari aku,
kalau kau tidak tahu bagaimana aku bisa tahu?" Padahal dia sudah
tahu, tapi sengaja dia tidak mau bicara terus terang.
Daging kambing sudah dibagi habis, seorang pemuda datang
menghampiri, katanya, "Apakah acara "kejar nona" boleh dimuiai
sekarang?" Lomana tertawa, katanya, "Ya, memangnya melati kecilmu sudah
tidak betah menunggu."
Melati adalah nama kecil kekasih si pemuda itu. Dengan tawa
menyengir dia balas menggoda, "Kukira Santala juga tidak sabar
menunggu lagi" Hm, Santala, coba katakan, bukankah kau sudah
menunggu beberapa tahun?"
Ternyata Santala memang sudah lama memuja Lomana, tapi
belum pernah sekali pun Lomana mau diajak terjun dalam acara
"kejar nona" ini.
Muka Santala yang hitam semakin kelam karena malu, dia
hantam pundak orang itu lalu berkata, "Jangan mengoceh di sini,
lekas siapkan kudamu, kejarlah melatimu itu."
Pemuda itu tertawa, katanya, "Melati sih tak usah kukejar-kejar
lagi, tak usah kau menguatirkan aku, khawatirlah pada dirimu
sendiri." Setelah dia memberi muka setan kepada Santala, segera
dia berlari pergi. Tapi ucapan itu menusuk sanubari Santala.
Dengan perasaan guncang, setelah menghela napas, Santala
berdiri lalu beranjak ke tengah lapangan, segera dia tarik suara,
"Nona-nona silakan naik ke punggung kuda kalian, permainan akan
segera di-muiai." Diam-diam dia melirik, dilihatnya Lomana tetap
diam tiada maksud naik ke punggung kudanya. Tapi Beng Hoa juga
tetap duduk di sampingnya seperti tiada maksud ikut acara "kejar
nona" ini. Gendewa menjepret, panah meluncur laksana meteor, "Ser"
Santala membidikkan panahnya ke tengah udara. Bila panah
mencapai titik tertinggi lalu menukik turun, panah kedua sudah dia
bidikkan lagi. Dua panah beradu di tengah udara, lalu meluncur
jatuh di tanah bersamaan. Para pemuda berjingkrak girang, mereka
bersorak gembira, "Bagus, malam ini keinginan kita pasti
terlaksana." Ternyata kedua batang panah itu perlambang pemuda dan
pemudi yang siap saling kejar, bila mereka bisa kebetulan bertemu
itu artinya lambang yang baik. Maka supaya tidak menimbulkan
banyak kecewa di antara para peserta, setiap permulaan acara
dimuiai mereka memi-lih pemanah yang jitu. Dan ketentuan bagi
pemanah jitu ini adalah pemuda yang belum pernah menikah.
Di tengah tepuk tangan dan sorak-sorai para pemuda, nona-nona
mulai naik ke atas kuda terus dibedal pergi. Lomana tetap tidak
bcrgerak, diam-diam Santala menghela napas, batinnya, "Agaknya
sekali ini aku terpaksa ikut meramaikan suasana saja dengan orang
lain." Sebagai pembidik panah, maka dia harus terjun juga ke dalam
arena permainan ini. Untungnya walau permainan mengejar cinta,
namun bukan setiap peserta harus punya orang yang dicintai baru
boleh ikut bermain. Karena itu Santala hanya ikut memeriahkan
keramaian saja Mendadak Lomana berkata dengan suara lirih, "Beng-toako, apa
kau tidak ikut bermain?"
"Bagaimana cara permainan, aku tidak mengerti."
"Kau tidak perlu mengerti, lari-kan saja kudamu ke tengah
padang rumput. Hanya satu hal kau harus ingat?"
"Ingat apa?" Perlahan suara Lomana, "Ayahku tentu sudah memberi tahu
kepadamu, kupikir tak usah aku menjelaskan lagi kepadamu."
Beng Hoa teringat, Lohay memang pernah memberi tahu
kepadanya, jangan biarkan nona yang tidak kau sukai memukulkan
cambuknya kepadamu. Lomana tidak menunggu reaksinya,
mendadak dia melompat ke punggung kuda terus dibedal pergi. Di
punggung kuda sengaja dia menoleh sambil tertawa manis ke arah
Beng Hoa. Bahwa Lomana tampil ke tengah arena, sudah tentu
menimbulkan banyak perhatian hadirin.
"He, tuan puteri kita ini biasanya tak pernah ikut bermain,
sungguh tak nyana malam ini mau turun gelanggang."
"Entah siapakah perjaka yang menjadi idamannya?"
"Memangnya perlu dikatakan la-gi, dalam suku kita kecuali
Santala, siapa yang setimpal mempersunting dia?"
Demikian para pemuda saling berbisik. Tapi lain pula pendapat
para nona, "Orang Han ada pepatah yang mengatakan di luar langit
ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai. Santala memang
pemuda perkasa paling gagah dalam suku kita, tapi orang luar
belum tentu kalah dibanding dia"
"Maksudmu pemuda Han yang seorang diri memburu beruang
itu?" tanya seorang nona.
"Aku bukan Lomana, mana tahu isi hatinya, bukan mustahil ada
orang ketiga," demikian sela nona yang bicara duluan.
Lomana saat itu justru gulana. Dia sudah menemukan orang
yang sedang dicarinya, tapi Santala juga berada di depannya, lalu di
tubuh siapa cambuknya harus dipukulkan" Waktu dia berpaling,
dilihatnya Beng Hoa sudah melarikan kudanya Terhadap ketiga
pemuda ini dia berkesan baik, namun kesan baik ini belum
mencapai arti cinta yang sebenarnya. Walau dia mengharap dapat
memilih satu diantara ketiga pemuda ini, siapa yang pantas
memetik kembang" Dia sendiri sukar mengambil keputusan.
Beng Hoa tidak perhatikan apa yang sedang dibicarakan mudamudi
itu, dia terjun karena juga hanya ingin ikut meramaikan
suasana saja. Permainan "kejar nona" berbeda dengan Jagal
Kambing tadi, kalau arena Jagal Kambing ditentukan di sekitar
padang rumput seluas beberapa li, sebaliknya "kejar nona" tidak
dibatasi luas gelanggangnya, padang rumput yang luas tidak
berujung pangkal itu boleh dijadikan arena kejar mengejar antara
muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Di tengah gelak tawa
mereka yang riang gembira, kejar mengejar itu semakin jauh dan
jauh. Malam itu puteri malam memancarkan cahaya yang benderang,
sepanjang laksaan li udara tanpa mega, bulan nan bundar bercokol
di angkasa raya, padang rumput di te-ngah keremangan cahaya
rembulan, kelihatan mcnambah daya tarik bagi mereka yang sedang
mabuk asmara. Beng Hoa membedal kudanya di padang rumput. Walau tiada
nona yang akan dikcjamya, namun dalam suasana gembira begini,
scgala capai Iclali dan rasa rindunya selama perjalanan telah tak
terasa lagi. Ada seorang nona mengejar dirinya, cambuk terayun seperti
hendak tnemukul, Beng Hoa terperanjat, teringat pesan Lohay lekas
dia bedal kudanya membelok ke samping. Tapi cambuk nona itu
tidak jadi dipukulkan, karena seorang temannya segera mcnarik dan
membujuknya Sayup-sayup terdengar oleh Beng Hoa nona itu
berkata, "Jangan ceroboh, cambukmu boleh memukul pemuda
mana saja, tapi jangan kau memukul orang Han itu."
"Kenapa" Kan tiada aturan yang melarang aku memukul orang
luar?" "Kau ini pura-pura tidak tahu atau betul-betul tidak tahu?"
"Tahu apa?" "Pemuda itu kekasih Lomana."
"Omong kosong, bukankah Lomana pasangan Santala?"
"Hm, kau tidak percaya omonganku, coba kau jawab
pcrtanyaanku, kenapa dulu Lomana tidak pernah ikut. Begitu
pemuda Han ini datang, malam ini dia lantas terjun ke arena?"
"Aku, entahlah, aku tidak tahu."
"Makanya, kau tidak tahu, aku tahu. Memang Santala mencintai
Lomana, tapi belum tentu Lomana membalas cintanya."
"Orang Han ini baru saja tiba, memangnya secepat itu dia jatuh
cinta?" "Hihi, pemuda itu menolong Lomana dari ancaman beruang


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

galak, paling tidak hubungan mereka sudah intim. Kau justru belum
mengenalnya, kenapa kau menaksirnya juga?"
"Siapa bilang aku naksir dia" Aku mengayun cambuk membedal
kuda, kau, kau justru mengada-ada"."
"Baiklah, anggap saja aku salah paham. Kita kan sesama
saudara, aku hanya khawatir kau mcncari kesulitan:"
Selanjutnya mereka berbisik-bisik, Beng Hoa tidak mendengar
lagi apa yang mereka bicarakan. Kini setelah masing-masing pihak
mengejar sasarannya ke tengah pa-dang rumput nan luas, maka
rombongan besar pemuda-pemudi ber-kuda itu sudah tidak berjubel
seperti semula, walau suasana riang dari teriak dan pekik mereka
masih ter-dengar, namun suaranya sudah tidak ribut seperti tadi.
Beng Hoa memiliki kungfu tinggi, pendengarannya jelas lebih tajam
dari orang lain, maka percakapan kedua nona itu dapat didengarnya
jelas. Diam-diam dia kaget, pikirnya, "Entah bctul tidak apa yang
mereka bicarakan. Kukira Lomana bersikap baik terhadapku karena
aku pernah menolong jiwanya, itu kan wajar.
Jika benar apa yang mereka bicarakan, aku jadi perintang bagi
Santala, tak heran sikap Santala tampak kurang senang terhadapku,
kiranya dia khawatir aku merebut nona pujaannya?" Sekarang
sedikit banyak dia paham duduk persoalan, dia mengerti apa arti
pesan ayah Lomana, kenapa cambuk nona itu jangan sampai
memukul tubuhmu. Kedua nona itu sudah lari ke lain jurusan. Maka Beng Hoa
bebaskan kudanya berlari seenaknya ke depan. "Kalau tahu begini,
lebih baik aku tidak ikut permainan ini, mencari kesulitan dan
membikin risau hati orang lain, terutama Santala tentu perasaannya
terguncang," demikian batin Beng Hoa
Tengah Beng Hoa termenung, mendadak dilihatnya Lomana tak
jauh berada di sebelah depan. Baru saja dia hendak menyingkir,
seekor kuda yang lain sudah memburu tiba di belakang Lomana,
cambuk di tangannya terayun dan berputar mengeluarkan suara
menderu gayanya seperti hendak memukul Lomana.
Pemuda pengejarnya bukan lain adalah Santala, diam-diam Beng
Hoa merasa girang, semoga Lomana mau menerima uluran cinta
Santala Permainan ini dinamakan kejar nona, tapi menurut tradisi,
sang pemuda harus mengejar sang pemudi lebih dulu, bila sudah
hampir terkena sang pemudi harus ayun cambuk pura-pura hendak
balas mencambuk, sang pemuda harus lari menyingkir, kini giliran
sang pemudi mengejar pemuda hingga terkejar dan cambuk di
tangannya memukul tubuhnya, maka permainan itu pun berakhir
sampai di situ. Yang laki mengejar perempuan sebagai tanda uluran
cintanya. Bila sang gadis membalas mengejamya, maka dia harus
berusaha menyingkir, maksudnya adalah untuk menjaga gengsi
seorang laki-laki, tidak mau terima menjadi tawanan pihak
perempuan. Tapi babak terakhir dia harus suka rela menjadi
tawanan gadis pujaan itu. Secara langsung hal itu merupakan
pernyataan resmi bahwa selanjutnya mereka adalah sepasang
kekasih. Sesuai peraturan tradisi inilah, maka sepenuh perhatian Santala
mengawasi cambuk di tangan Lomana, apakah dia akan ayun
cambuknya pura-pura melawan" Di saat jantung Santala berdebardebar,
mendadak seekor kuda berlari kencang menerobos datang
dari pinggir, begitu ayun cambuknya, orang itu sudah menyampuk
pergi cambuk di tangan Santala
Karena Beng Hoa mencurahkan seluruh perhatiannya kepada
kedua muda-mudi itu, hingga penerobos ini berlari di pinggir Santala
baru dia melihatnya, lekas dia berteriak, "Awas San-toako."
Karena cambuknya tersampuk, Santala rasakan telapak
tangannya linu hampir cambuknya terlepas, namun dia kerahkan
tenaga untuk memegangnya hingga tidak terlepas jatuh, dua
tunggangan mereka pun sudah terpisah ke arah masing-masing.
Mendengar peringatan Beng Hoa, mendengar benturan,
perasaannya hambar. Sudah tentu cambuknya tak perlu diayun lagi.
Tapi dalam sedetik itu, Beng Hoa yang berada di belakang sudah
teringat, bahwa pemuda ini adalah siau-ongya Toan Kiam-ceng yang
pernah dilihatnya dulu. Toan Kiam-ceng ini pula yang dalam
permainan Jagal Kambing tadi memperebutkan paha kambing
dengan dirinya. Kini lebih jelas bagi Beng Hoa, waktu dirinya meyakinkan Bubeng-
kiam-hoat dan akan meninggalkan Ciok-lin dulu Toan Kiamceng
de-ngan seorang nona pernah berkunjung juga ke Ciok-lin,
maksudnya hendak mencari kiamboh peninggalan Thio Tan-hong.
Belakangan dia tahu bahwa nona itu bernama Leng Ping-ji. Leng
Ping-ji adalah keponakan perempuan Leng Thiat-jiau, pemimpin
besar laskar gerilya itu.
Pada hari itu pula murid Yang Kek-beng yang bernama Ban Cioksing
membawa tianglo Kong-tong-pay Tong-bing-cu berkunjung
juga ke Ciok-lin. Jejak Leng Ping-ji dan Toan Kiam-ceng ketahuan,
hampir saja mereka terbunuh oleh kawanan jahat itu. Kebetulan
Beng Hoa sembunyi di lubang di atas Kiam-hong, lekas dia
melompat turun menolongnya. Di saat Beng Hoa mengga-sak Tongbing-
cu, diam-diam Toan Kiam-ceng melarikan diri sambil menarik
Leng Ping-ji. Dua hari kemudian, Beng Hoa pernah menolong mereka pula
merebut dua ekor kuda untuk perjalanan mereka. Kesannya
terhadap pemuda ini juga tidak begitu men-dalam, sungguh mimpi
pun tak pernah terduga bahwa Toan Kiam-ceng sekarang berada di
Wi-kiang. Toan Kiam-ceng juga mengenakan pakaian suku Uigior,
maka sesaat susah dia mengingat siapa pemuda yang satu ini. Kini
setelah tahu siapa dia, rasa heran dan curiga berkecamuk dalam
benaknya. Waktu itu mereka tidak bertemu muka, namun percakapan Toan
Kiam-ceng dengan Leng Ping-ji didengarnya jelas. Dia tahu Toan
Kiam-ceng adalah keponakan guru-nya, Toan Siu-si. Leluhur
keluarga Toan di jaman dinasti Song adalah raja di negeri Tayli.
Setelah kerajaan runtuh, keluarga mereka masih mempunyai gelar
kebangsawanan, hingga permulaan dinasti Beng baru gelar itu
dihapus, tapi rakyat Tayli tetap memandang mereka sebagai
keluarga kerajaan, Toan Kiam-ceng adalah siau-ongya (pangeran
keciI). Masih segar dalam ingatan Beng Hoa, Toan Kiam-ceng ingin
pulang, agaknya dia merasa berat mening-galkan kehidupan di
dalam istana yang sudah bernama kosong belaka. Leng Ping-ji
pernah membujuknya supaya membatalkan niatnya itu.
Leluhur keluarga Toan di jaman dinasti Beng punya hubungan
dekat dengan Thio Tan-hong, sementara Toan Kiam-ceng adalah
keponakan Toan Siu-si, pernah timbul dalam benak Beng Hoa untuk
menyerah-kan catatan ilmu pedang ciptaan gurunya kepada mudamudi
itu, namun dalam percakapan scpasang muda-mudi ini terasa
oleh Beng Hoa bahwa Toan Kiam-ceng kurang jujur dan berpikiran
picik, maka niatnya itu dia batalkan. Walau demikian, kesannya
terhadap pemuda ini tetap baik. Apalagi setelah tahu Leng Ping-ji
adalah keponakan Leng Thiat-jiau, dia maiah pernah merasa senang
akan percintaan sepasang muda-mudi ini. Tapi waktu itu, su-dah
timbul rasa khawatir dalam benaknya, cinta kasih dan kasih sayang
Leng Ping-ji terhadap Toan Kiam-ceng bertepuk sebelah tangan,
terbukri sikap Toan Kiam-ceng terhadapnya amat tawar dan kaku.
Sungguh tak nyana kekhawatirannya sekarang menjadi
kenyataan. "Kenapa Toan Kiam-ceng lari dan menyembunyikan diri
di Wi-kiang" Kenapa tidak datang bersama Leng Ping-ji" Seorang
diri ikut perayaan Jagal Kambing" Apa pula maksudnya rnerintangi
Santala menyata-cintanya kepada Lomana" Meemangya dia juga
naksir Lomana?" Beberapa pcrsoalan itu berkecamuk di pikiran Beng Hoa, maka
mau tidak mau dia harus mengejarnya.
Hari itu Toan Kiam-ceng melarikan diri secara buru-buru, di luar
tahunya bahwa pemuda Han yang masih asing bagi dirinya ini
adalah penolong jiwanya waktu di Ciok-lin dulu.
Tapi walau Toan Kiam-ceng tidak mengenalnya, dia khawatir
orang ini menjadi penghalang dirinya. "Entah dari mana datangnya
pemuda ini, beberapa kali dia membantu Santala rnerintangi aku,
entah dia sendiri juga menyukai Lomana atau hanya ingin
membantu temannya saja" Tapi asal cambuk Lomana memukul
tubuhku, kenapa aku takut dia menghalangi maksudku?" Maka
dengan suara lirih dia berkata kepada Lomana, "Lomana, aku
datang sesuai janji kita, lekas kau ikut aku, kita bertemu di dalam
lembah di depan gunung itu."
Mestika Golok Naga 1 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila 1
^