Pencarian

Anak Pendekar 23

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 23


sebagai gadis pujaan, orang yang paling dekat dalam hatinya, gadis
yang lebih berharga dari jiwa raganya sendiri.
Karena mendengar suitan Boh Le-cu itulah tanpa merasa hatinya
bergetar, maka tanpa terasa pula, pada detik yang genting itu,
mendadak dia memperlihatkan kelemahan.
Pertempuran dua jago kosen yang taraf kepandaiannya hampir
seimbang, mana boleh menunjukkan kelengahan sedikit pun"
Jikalau Hay Lan-ja bisa memakai kesempatan baik ini dan segera
melancarkan serangan balasan gencar, paling tidak dia bisa
membuat keduanya gugur bersama, malah kemungkinan dirinya
bisa bebas dan selamat dari kematian.
Sebagai ahli silat kawakan, sudah tentu Hay Lan-ja bukan tidak
melihat titik kelemahan ini. Tapi justru lantaran dia seorang ahli
yang serba bisa, dia justru tidak berani percaya bahwa itu memang
titik kelemahan. Maklum Tan Khu-seng sedang di atas angin, mana
mungkin tanpa sebab mendadak menunjukkan kelemahan yang
fatal" Kalau bukan lengah, itu berarti Tan Khu-seng sengaja
memperlihatkan titik kelemahan sendiri untuk menjebak.
Dalam kesempatan sedetik yang paling baik itu bukan saja Hay
Lan-ja tidak balas menyerang dia malah mundur selangkah dan
perilih perhatian berjaga terhadap sergapan Tan Khu-seng.
Jago-jago kosen yang menonton pertempuran termasuk Kim
Tiok-liu dan Lui-tin-cu juga berpandangan seperti Hay Lan-ja,
melihat ada titik kelemahan ini mereka pun berpendapat Tan Khuseng
sedang memancing serangan lawan.
Tapi yang bisa melihat titik kelemahan ini juga hanya beberapa
gelintir tokoh-tokoh ternama saja. Yang tidak melihat hanya
menyangka Hay Lan-ja berkelit dengan sigap sehingga serangan
ganas Tan Khu-seng berhasil dihindarkan, tanpa berjanji, dalam hati
mereka menghela napas. "Sayang sekali."
Hanya satu orang di antara sekian banyak penonton yang melihat
titik kelemahan ini sesungguhnya, yaitu Beng Hoa. Maklum dia
pernah meyakinkan jurus pedang ini dari Tan Khu-seng, apalagi
perbendaharaan pelajaran ilmu pedang yang dimilikinya sekarang
boleh dikata tidak kalah dibanding Kim Tiok-liu. Dia tahu jurus Hunmo-
sam-bu satu jurus tiga gerakan harus dilancarkan sekaligus,
umpama tidak mampu melukai Hay Lan-ja juga tetap dapat
mempertahankan posisinya yang lebih unggul, tiada alasan harus
menunjukkan kelemahan untuk memancing lawan segala.
Akan tetapi, walau dia melihat adanya titik kelemahan ini, namun
tidak diketahui kenapa gurunya memperlihatkan titik kelemahan ini.
Beng Hoa pernah bergebrak dengan Hay Lan-ja, maklum betapa
tangguh tenaga dalam Hay Lan-ja, kini karena terlalu
memperhatikan keselamatan gurunya, maka dia mereka dalam hati,
"Mungkinkah suhu kehabisan tenaga" Kalau benar demikian, kalau
bertempur lebih lama, mungkin dia bisa kalah." Supaya gurunya
tidak dikalahkan, segera dia melompat keluar.
"Suhu, menyembelih ayam, memangnya perlu menggunakan
golok jagal" Ilmu pedangmu jelas lebih unggul dari keparat ini, biar
selanjurnya tecu yang membereskan dia," demikian seru Beng Hoa.
Tadi Tan Khu-seng sudah berjanji dengan Hay Lan-ja, asal murid
Kong-tong-pay punya hak menuntut balas kepadanya, tapi dengan
syarat satu lawan satu. Kalau di tengah jalan Beng Hoa mewakili
gurunya, tidak terhitung melanggar janji.
Tan Khu-seng sudah tahu Beng Hoa sudah memperoleh ajaran
murni peninggalan Thi Tan-hong, ilmu pedangnya sekarang lebih
unggul dibanding dirinya, namun dia masih khawatir kalau muridnya
harus berhadapan langsung dengan musuh tangguh. Tengah dia
bimbang, sekilas dia melirik, tiba-tiba dilihatnya Kim Tiok-liu yang
sedang mengawasi dirinya menganggukkan kepala.
Tan Khu-seng lantas sadar, "Konon perjalanan Hoa-ji ke Thiansan
kali ini mengalami beberapa kejadian aneh yang membawa
berkah bagi dia. Kim tayhiap memberi tanda kepadaku, apakah dia
percaya bahwa Hoa-ji pasti menang?" Untuk memberi kesempatan
muridnya angkat nama, juga karena mengkhawatirkan keadaan Boh
Le-cu maka dia berkata, "Baiklah, biar kau saja yang mewakili aku.
Hay Lan-ja, jikalau muridku pun tak dapat kau kalahkan, terserah
bagaimana kau menentukan nasibmu sendiri."
Tercekat hati Hay Lan-ja, batinnya, "Tadi aku sedikit lalai, kenapa
tidak ingat bocah ini?" Bentaknya, "Kau ini murid Thian-san-pay
atau murid Kong-tong-pay?"
Beng Hoa berkata, "Aku adalah murid angkat Thian-san-pay tapi
murid pewaris dari Kong-tong-pay pula." Perbedaan murid angkat
dan murid pewaris sudah tentu diketahui oleh Hay Lan-ja.
Lui-tin-cu membentak, "Seluruh hadirin siapa tidak tahu kalau
Beng Hoa adalah murid Tan Khu-seng, memangnya membohongi
engkau?" Dasar Hay Lan-ja adalah orang picik tapi juga licik, mau untung
tidak mau dirugikan, maka dia berkata, "Maaf, tadi aku tidak hadir,
sebelum ini memang tidak kuketahui bahwa Beng Hoa adalah murid
Tan Khu-seng. Sekarang aku terima tantangannya, memangnya aku
gentar menghadapi bocah tanggung murid Tan Khu-seng ini. Tapi,
aku masih ingin bicara."
"Mau tanya apalagi, lekas katakan," semprot Lui-tin-cu.
Hay Lan-ja berkata dingin, "Anggota Kong-tong-pay ada ratusan
banyaknya, kalau satu per satu maju melawan aku, kapan
pertempuran akan berakhir" Umpama aku tidak takut dikeroyok
secara bergilir, aku toh perlu makan tidur dan istirahat." Di mulut
bilang tidak takut, padahal hatinya sudah ketakutan.
Sejak Beng Hoa muncul di arena ini, dia pernah mengalahkan
Tay-ciok dan Tay-siong, mengalahkan Thian-lam-kiam-pa Liong Bokkong,
betapa sempurna permainan pedangnya, hadirin sudah
menyaksikan sendiri. Tapi banyak hadirin masih belum percaya
bahwa dia memiliki kemampuan mengalahkan Hay Lan-ja. Sebagai
seorang saksi atau wasit, Lui-tin-cu sendiri juga merasa bimbang,
hingga dia bingung bagaimana mengambil sikap.
Sebelum Lui-tin-cu bicara, Beng Hoa sudah berkata, "Untuk
membunuh engkau, guruku sudah lebih dari cukup, kenapa harus
pakai giliran segala" Hanya saja, manusia macammu ini hanya akan
mengotori pedang pusaka guruku, maka akulah yang mewakili
guru." Hay Lan-ja menyeringai, jengek-nya, "Kalau kau tak mampu
membunuhku?" "Suhu," seru Beng Hoa, "maaf kalau murid memutuskan sendiri."
"Baik, apa kehendakmu boleh kau laksanakan saja."
Maka Beng Hoa berkata, "Kalau aku tidak mampu membunuh
kau, kau boleh bunuh aku, aku akan menerima nasibku sendiri, aku
tidak akan minta bantuan orang lain untuk menuntut balas
kematianku." "Lalu, bagaimana pertikaianku dengan Kong-tong-pay kalian?"
Beng Hoa menoleh ke arah suhunya sekejap lalu menjawab
tegas, "Dibereskan puladalam pertandingan kali ini."
Hay Lan-ja kegirangan, katanya, "Tan Khu-seng, apa yang
dikatakan muridmu apakah kau setuju?"
Dari sorot mata Beng Hoa, Tan Khu-seng merasakan keyakinan
besar muridnya, maka lega hatinya, katanya, "Aku berani menyuruh
muridku mewakili aku, apa yang dikatakan sudah tentu menjadi
kepu-tusanku. Asal kau dapat mengalahkan dia, seluruh anggota
Kong-tong-pay dilarang mencari perkara terhadapmu."
Kecuali Kim Tiok-liu seluruh hadirin menjadi gempar. Tapi Tan
Khu-seng bicara sebagai seorang ciangbunjin, maka siapa pun
takkan bisa mengubah ketentuan ini.
Seperti dapat lotre, Hay Lan-ja sangat gembira, kedua tangan
menyilang, mendadak dia membentak, "Bagus, silakan muridmu ini
memberi petunjuk kepadaku." Mulutnya bilang minta petunjuk, tapi
kedua matanya memandang langit dengan sikap tak acuh.
Tan Khu-seng berkata tawar, "Hoa-ji, aku percaya kau dapat
mempertahankan nama baikku, tak perlu aku menyaksikan
pertarunganmu." Karena perlu segera memberi bantuan kepada Boh
Le-cu, habis bicara terus beranjak pergi.
Lui-ti-cu kaget, katanya, "Tan-loheng, ke mana kau?"
Sambil berjalan Tan Khu-seng berkata dengan tertawa, "Kalau
aku menonton pertarungan ini, Hay Lan-ja pasti ketakutan. Aku
akan keluar sebentar, dalam waktu yang tak begitu lama, Hoa-ji
tentu sudah membereskan dia," Habis bicara dia sudah keluar dari
tanah lapang dan melompat pergi tak kelihatan lagi.
Hadirin tidak tahu kenapa Tan Khu-seng pergi dengan langkah
tergesa-gesa, semua heran dan bertanya-tanya, apalagi tidak
menghiraukan pertempuran Beng Hoa. Padahal Lui-tin-cu yang
tianglo Bu-tong-pay tadi pun hanya setanding, maka hadirin tidak
yakin bahwa Beng Hoa betul-betul membekal kungfu sejati untuk
mengalahkan Hay Lan-ja Sebagai komandan Gi-lim-kun, kapan Hay Lan-ja pernah dihina
orang, apalagi Beng Hoa pernah dia kalahkan, dengan gusar dia
membentak, "Anak keparat, majulah, biar kubereskan kau."
Beng Hoa berkata, "Kau sudah bergebrak satu babak dengan
guruku, biarlah aku mengalah tiga jurus kepadamu."
Serasa meledak dada Hay Lan-ja saking gusar, dampratnya,
"Anak sombong, kau pernah keok di tanganku, siapa minta kau
mengalah?" Beng Hoa tersenyum, katanya, "Diberi keuntungan tidak mau,
baiklah, kau rasakan seranganku." Sinar kilat menyambar "Sret"
ujung pedangnya tahu-tahu sudah mengancam ulu hati Hay Lan-ja.
Agaknya Beng Hoa sengaja hendak memancing amarahnya, maka
jurus ini dilancarkan dengan keji dan cepat, tapi Hay Lan-ja seperti
tidak acuh menghadapi serangan ini, jengek-nya, "Mutiara sebesar
beras juga memancarkan sinarnya." Dengan kedua tangan
terlindung di dalam lengan baju, dia lawan pedang pusaka Beng
Hoa. Dengan lengan baju mengebas pedang, kelihatannya tindakan
sepele dan memandang ringan lawan, padahal Hay Lan-ja sudah
mengerahkan seluruh kemampuannya, dengan jurus itu dia yakin
serangan lawan pasti dapat dipatahkan. Maklum Hay Lan-ja sudah
ratusan kali terjun di arena pertarungan, lahirnya seperti terpancing
amarahnya oleh godaan Beng Hoa, padahal kepala dingin pikiran
jernih. Tampak lengan bajunya berkibar seperti menempel pedang Beng
Hoa, pedang Beng Hoa seperti terbendung oleh suatu tenaga yang
tidak kelihatan. Ternyata Hay Lan-ja menggunakan tenaga lunak
untuk mengekang gerakan pedang Beng Hoa. Malam itu, waktu
pertama kali dia bergebrak dengan Beng Hoa di bawah Toan-hungay,
dia pernah menggunakan ilmu ini untuk mengekang gerak
pedang kilat Beng .Hoa, setelah pernah mengalami sekali kejadian,
maka cara yang digunakan sekarang sudah tentu jauh lebih lihay.
Lui-tin-cu kaget, katanya perlahan kepada Kim Tiok-liu, "Apakah
Tan Khu-seng tidak terlalu takabur?" Secara tidak langsung dia
menyesali tindakan Tan Khu-seng yang membiarkan muridnya yang
masih begini muda mewakilinya menghadapi musuh tangguh.
Tak nyana Kim Tiok-liu ternyata bersikap santai, dia juga hanya
menjawab perlahan, "Tidak jadi soal."
Belum habis dia bicara, terdengarlah suara berderai dari sobekan
kain, tampak cahaya pedang Beng Hoa seperti ledakan sinar
matahari di angkasa, ternyata lengan baju Hay Lan-ja telah tertabas
sobek sebagian, di mana sinar pedang bergulung, sobekan kain itu
hancur bertebaran. Karena pernah mendapat pengalaman, kali ini sengaja Hay Lanja
mengembangkan car? yang pernah digunakan dengan permainan
yang lebih mahir. Tapi dari kejadian tempo hari Beng Hoa juga tidak
menelan mentah pengalaman pahit itu, maka perlawanan yang dia
gunakan kali ini pun sudah tentu jauh lebih lihay dari tempo hari,
namun bahwa dia berhasil memapas lengan baju Hay Lan-ja serta
memunahkan ilmu lengketnya, sebab yang utama bukan karena
ilmu pedangnya yang lihay. Tapi lantaran lwekang-nya sekarang
cukup tinggi untuk melawan Hay Lan-ja.
Seperti diketahui, waktu dia terkena Hap-kut-san Sin Jit-nio dan
disekap dalam penjara bawah tanah di kamar Tong-cin-cu, meski
mengalami siksa dan derita, namun hasilnya ternyata malah melipat
gandakan ilmunya. Dalam semalam dua hari, lwekang tingkat tinggi
dari Thian-tiok, Persia dan Thian-san yang pemah dia pelajari
beberapa bulan ini, dia lebur menjadi satu dengan lwekang ajaran
Thio Tan-hong dan menciptakan suatu aliran tersendiri, bukan saja
lwekang-nya pulih, kekuatannya malah berlipat ganda.
Apalagi Hay Lan-ja tadi sudah bergebrak dengan Tan Khu-seng,
Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoatyang rumit dan ganas itu teryata tidak
gampang dihadapi. Walau Hay Lan-ja belum sampai kehabisan
tenaga, tenaga muminya memang terkuras cukup banyak. Yang
satu berkurang yang lain bertambah, meski lwekang Beng Hoa
belum setaraf musuh, namun dalam keadaan sekarang dia jelas
takkan mudah dikalahkan. Untuk menghadapi lawan yang tenaganya lebih rendah, tenaga
lengket yang dilancarkan Hay Lan-ja memang bisa membawa hasil
yang luar biasa, tapi untuk menghadapi lawan yang seimbang,
tenaga mumi yang harus digunakan justru jauh lebih besar dari
lawan. Karena itulah dalam gebrakan ini, Beng Hoa berhasil
menyobek separo lengan baju kanan Hay Lan-ja.
Lega hati Lui-tin-cu, seraya ber-gelak tawa, "Kau bilang lawanmu
mutiara sebesar beras, ternyata kau sendiri katak dalam
tempurung." Mau untung malah buntung, karuan Hay Lan-ja malu dan gusar,
bentaknya, "Siapa katak dalam tempurung, kalian boleh buktikan
nanti." Walau tahu Beng Hoa sekarang sudah berbeda dibanding
kemarin dulu, namun dia tidak percaya bocah tanggung ini dapat
mengalahkan dirinya, maklum dia masih menyimpan ilmu lihay yang
ganas dan belum sempat dilancarkan.
"Bagus, mataku sudah kugosok hingga melihat terang, aku ingin
melihat kau menjadi badut," demikian Lui-tin-cu mengolok-olok.
Orang tua ini memang berwatak angkuh, berangasan dan selalu
ingin menang sejak mudanya dulu, menang dalam adu tenaga, juga
tak mau kalah adu mulut. Sudah tentu Hay Lan-ja tak sempat bicara lagi. Dengan kebasan
telapak tangan kanan menebas per-gelangan tangan Beng Hoa yang
memegang pedang, berbareng telapak tangan Idri rrienepuk, ke
dada Beng Hoa dengan Toa-jiu-in. Itulah Tay-kim-na-jiu-hoat ajaran
perguruannya, digabung dengan Siau-thiansing-ciang-lat, bukan
saja lihay, lagi ganas dan kuat.
Beng Hoa tak berani gegabah, segera dia kembangkan Tui-hongkiam-
hoat, seperti hembusan angin di musim rontok, pedangnya
menekan ke bawah dengan sapuan miring. Dengan kemurnian inti
permainan Thian-san-kiam-hoat dilandasi golok kilat ajaran
keluarganya, permainannya cepat dan banyak variasi. Lian-hoantoh-
bing-kiam-hoat yang diyakinkan gurunya Tan Khu-seng mungkin
juga tidak seli-hay ini. Jikalau Hay Lan-ja tetap menyerang secara
kekerasan, tenaganya yang besar mungkin dapat membuat Beng
Hoa terluka, tapi kedua telapak tangannya mungkin tertabas kutung
oleh pedang kilat Beng Hoa. Mana berani Hay Lan-ja mengorbankan
kedua tangan sendiri, lekas dia menarik mundur sambil mengubah
gerakan. Betapa gembira hati Lui-tin-cu melihat pertarungan seru ini, tak
tertahan dia bertepuk sambil bersorak.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hebat memang kepandaian Hay Lan-ja. Setelah gagal serangan
derasnya, segera dia bermain lebih mantap dan hati-hati,
melangkah sesuai posisi Ngo-heng-pat-kwa, maju' mundur berkelit
dan mengelak, caranya teratur dan rapi, kini setiap jurus
serangannya mengandung pertahanan kokoh, dari sini dapat dinilai
betapa sempurna kungfu yang diyakinkan.
Keadaan Hay Lan-ja seumpama binatang buas yang bertempur
dalam kandang, namun kekuatannya masih sehebat itu, mau tidak
mau Lui-tin-cu menjadi khawatir pula. Agaknya Hay Lan-ja sudah
berniat bertempur jangka panjang untuk menguras tenaga lawan.
"Walau kiamhoat Beng Hoa cukup hebat dari tinggi, betapapun
usianya masih muda pengalaman kurang, mana boleh dibanding
latihan Hay Lan-ja yang sudah puluhan tahun" Kalau bertempur
makin lama, mungkin dia takkan kuat bertahan?" demikian batin
Lui-tin-cu. Di saat benaknya bekerja itulah, dilihatnya Beng Hoa berputar
satu lingkaran, sinar terang bagai sekuntum kembang mekar makin
lama makin lebar sehingga yang kelihatan hanya cahaya pedang,
tak terlihat bayangan orangnya. Betapa cepat gerak pedang Beng
Hoa, bukan saja susah diikuti mata, sukar pula dilukiskan. Padahal
hanya satu orang yang bermain pedang, tapi di arena seperti
bertambah beberapa orang Beng Hoa yang memberondong
serangan gencar dari berbagai penjuru. Hadirin yang menyaksikaii
dari luar gelanggang menjadi silau dan kabur, yang berkepandaian
rendah malah berkunang-kunang.
Lega hati Lui-tin-cu, baru sekarang dia betul-betul kaget dan
heran menyaksikan kehebatatan kiamhoat Beng Hoa, taraf
kepandaiannya ternyata jauh di luar dugaannya.
Tapi bagi Hay Lan-ja yang langsung merasakan sendiri tekanan
Beng Hoa, bukan merasa terancam karena kecepatan gerak pedang
Beng Hoa saja, namun yang lebih sukar dihadapi adalah permainan
pedangnya-yang rumit dan aneh. Tidak sedikit pengalaman
tempurnya, namun dia susah mengenali dari aliran mana ilmu
pedang Beng Hoa. Ada kalanya mirip Lian-hoan-toh-bing-kiam dari
Kong-tong-pay, mendadak berubah Tui-hong-kiam-hoat dari Thiansan-
pay. Kalau bocah ini pemah meyakinkan kedua jenis ilmu
pedang ini tak perlu dibuat heran, yang aneh adalah dalam
permainan pedangnya seperti mengandung jurus-jurus ilmu pedang
dari Siau-lim, Bu-tong, Go-bi dan berbagai aliran ilmu pedang yang
ternama. Setiap permainannya mirip tapi kenyataan tidak sama.
Kiranya Beng Hoa sudah mengembangkan Bu-beng-kiam-hoat
untuk melayani rangsakan lawan. Bu-beng-kiam-hoat memang tidak
dilandasi suatu gerak permainan yang tertentu, karena poros
permainannya mengambil berbagai jurus dari perguruan silat yang
ternama, bergerak dengan perubahan sesuai perlawanan musuh,
menyerap kemurnian dan kebaikan ilmu lawan untuk menambah
kekurangan sendiri serta terciptalah jurus-jurus yang selalu baru.
Bu-beng-kiamhoat memang satu sumber dengan Thian-san-kiamhoat,
satu dengan yang lain memang banyak titik persamaannya.
Belakangan ini Beng Hoa mendapat wejangan dan petunjuk tentang
makna sebenarnya ter-ciptanya Thian-san-kiam-hoat, kini dia serap
seluruhnya dalam permainan Bu-beng-kiam-hoat, bukan saja lancar,
malah permainannya tidak lebih rendah dibanding permainan Teng
Keng-thian sendiri. Apalagi Beng Hoa melebur golok kilat
keluarganya dalam ilmu pedangnya, sehingga gerak pedangnya
bukan saja lebih cepat dari Tui-hong-kiam-hoat dari Thian-san-pay,
juga lebih sukar diraba dan dijajaki. Kalau hanya menilai kiamhoatnya
saja, umpama Thio Tan-hong bangkit kembali dari liang
kuburnya, juga belum tentu dapat mengalahkan dia.
Dengan ketabahan dan kemantapan permainan Hay Lan-ja,
dalam sekejap puluhan jurus sudah dia hadapi serangan pedang
Beng Hoa. Walau sekuatnya dia masih kuat melawan, tapi dalam
puluhan jurus itu, setiap jurus serangan Beng Hoa seperti menusuk
dari posisi yang tidak pernah diduga sebelumnya, makin bertempur
makin terkejut hatinya, dia tahu kalau pertempuran berkelanjutan,
bukan mustahil dia sendiri yang akhirnya kehabisan tenaga.
"Gelagatnya aku harus melancarkan ilmu simpananku yang ganas
dan mematikan itu," demikian batin Hay Lan-ja dengan mengertak
gigi. Mendadak dia menggigit pecah ujung lidah sendiri, maka
menyemburlah sekumur darah segar disertai bentakannya yang
menggeledek, "Keparat, biar aku adu jiwa dengan kau."
Orang banyak mengira Hay Lan-ja sudah terluka lalu adu jiwa.
Tapi Kim Tiok-liu dan Lui-tin-cu berbareng merasakan adanya gejala
yang tidak normal. Tampak tepukan tangan Hay Lan-ja begitu enteng seperti daun
melayang, sedikit pun tidak menimbulkan deru angin, tapi rona
muka Beng Hoa seketika berubah, beruntun mundur tiga langkah.
Lui-tin-cu berteriak kaget, tanyanya berbisik kepada Kim Tiok-liu,
"Apa yang sedang dilakukan cakar alap-alap ini?" Maklum walaupun
usianya jauh lebih tua dari Kim Tiok-liu, tapi kalah luas
pengetahuannya terhadap berbagai ilmu silat golongan putih
maupun hitam. Kim Tiok-liu berkata, "Dia menggigit pecah ujung lidah
menyemburkan darah segar, itulah Thian-mo-kiat-deh-tay-hoat dari
Bit-cong di Tibet." Sementara itu secara beruntun Hay Lan-ja telah melontarkan
beberapa kali pukulan dengan gerak tangan enteng seperti lambaian
tangan, gerakannya tetap tidak membawa derit angin, namun arena
seketika diliputi taburan debu dan rumput. Sekonyong-konyong
seorang penonton menjerit sekali sehingga penjelasan Kim Tok-liu
terhenti. Waktu Lui-tin-cu menoleh, untung yang menjerit bukan Beng
Hoa, tapi seorang pemuda yang menonton di baris paling depan,
yaitu putera terkecil dari guru silat dari Jiang-ciu Tio It-bu yang
bernama Tio Liat. Tio It-bu paling sayang kepada puteranya yang
terkecil ini maka dia membawa puteranya menghadiri pertemuan
besar ini, padahal taraf kepandaiannya masih rendah.
Melihat Tio Liat roboh baru Lui-tin-cu berjingkrak kaget, serunya,
"Awas, bajingan itu menggunakan Jit-sat-ciang."
"Betul," Kim Tiok-liu menambahkan, "tadi Giok-hi tianglo juga
terbokong oleh Jit-sat-ciang-nya ini. Kalian yang berada paling
depan lekas mundur."
Jit-sat-ciang ternyata mengutamakan tenaga lunak, namun
kekuatannya yang hebat mampu memukul pecah kepala kerbau.
Kalau pukulan dilontarkan, kelihatannya bergerak secara enteng
tanpa menggunakan tenaga, padahal tenaga yang tidak terlihat
melanda sehebat air bah, tenaga pukulannya dapat mencapai jarak
limapuluh langkah. Tio Liat masih muda, suka melihat keramaian
dari jarak dekat, maka dia amat dekat dengan arena, mendadak dia
merasakan dadanya seperti kena godam, kontan dia menjerit dan
terjengkang roboh ke belakang.
Bergegas Tio It-bu mendukung puteranya mundur ke tempat
jauh, dengan gusar dia mengancam, "Bila puteraku mengalami
sesuatu, aku tak peduli perjanjian apa yang telah kalian tentukan,
aku pasti menuntut balas sakit hati puteraku."
Kim Tiok-liu mendekati seraya berkata, "Coba biar kuperiksa
keadaan puteramu." Telapak tangannya menggosok dan mengurut
beberapa kejap di dada Tio Liat, katanya, "Tio-locianpwe tak usah
khawatir, puteramu tidak terluka parah, aku sudah mengurutnya,
jiwanya tidak terancam."
Lega hati Tio It-bu, segera dia meninggalkan tempat itu merawat'
puteranya lebih lanjut. Sementara itu, hadirin tiada yang menghiraukan keadaan Tio
Liat, perhatian mereka tertarik pada pertempuran yang masih teras
berlangsung dengan seru. Kini Hay Lan-ja menyerang dengan
gencar, pedang kilat Beng Hoa justru sebaliknya semakin lambat
seperti mulai kehabisan tenaga.
Berkeringat dingin tubuh Kim Bik-ki melihat keadaan kekasihnya,
tanyanya kepada sang ayah, "Ayah, bukankah keparat itu sudah
terluka" Kenapa permainannya lebih lihay malah" Apakah Bengtoako
kuat menghadapinya?"
"Kau tahu apa" Dia menggunakan Thian-mo-kiat-deh-tay-hoat
dari Bit-cong di Tibet, dengan menggigit lidah tenaga dalamnya bisa
bertambah satu lipat. Tapi tak kuat bertahan lama, dan selanjutnya
akan mengalami luka dalam yang cukup parah. Sayang Beng-toakomu
tadi telah memberikan janji yang terlalu menguntungkan
kepadanya, kalau tidak mana berani dia menggunakan ilmu ganas
dari aliran s*esat ini. Kalah menang sekarang sukar diramalkan."
Seperti diketahui sebelum bergebrak tadi Beng Hoa sudah
berjanji dan memutuskan untuk menyelesaikan permusuhan mereka
lewat pertarungan dirinya, itu berarti kalah menang babak terakhir
ini yang akan menentukan. Asal Hay Lan-ja mampu menang babak
terakhir ini dengan bebas dia boleh pergi. Umpama Beng Hoa
terbunuh, orang lain tidak boleh merintangi dirinya atau menuntut
balas kepadanya. Inilah yang dimaksud oleh Kim Tiok-liu dengan
janji menguntungkan. Soalnya setelah Hay Lan-ja menggunakan
Thian-mo-kiat-deh-tay-hoat, dia sendiri akan menderita luka dalam
yang cukup parah, seorang bocah cilik yang belum belajar silat
sekalipun dapat membunuhnya. Tanpa adanya janji Beng Hoa tadi,
pasti dia takkan berani menggunakan ilmu sesat ini.
Mendengar jawaban ayahnya perasaan Kim Bik-ki menjadi berat
dan khawatir. Padahal sikap Kim Tiok-liu tadi amat yakin bahwa
Beng Hoa tidak mungkin kalah, namun sekarang dia bilang sukar
diramalkan, jelas bahwa keyakinannya telah goyah.
Ciri Thian-mo-kiat-deh- tay-hoat memang tidak bisa bertahan
lama, jadi kunci kalah menang dari pertempuran ini justru terletak
pada pihak mana yang kuat bertahan lebih lama.
Padahal tianglo Kong-tong-pay setaraf Giok-hi-cu pun tak kuat
menahan Jit-sat-ciang, apakah Beng Hoa kuat melawan gempuran
demi gempuran Jit-sat-ciang yang mempunyai pukulan dahsyat dan
ganas itu" Kim Bik-ki tidak berani membayangkan lebih lanjut.
Bukan Kim Bik-ki saja yang tidak tenang pikirannya, seluruh
hadirin ikut tegang dan khawatir bagi keselamatan Beng Hoa.
Mendadak permainan pedang Beng Hoa berubah, jauh berbeda
dengan permainannya semula. Tadi dia menekan musuh dengan
permainan- pedang kilat, gerakan pedangnya merangsak secepat
sambaran kilat. Tapi sekarang justru makin lambat, selambat orang
yang sudah mulai kehabisan tenaga. Tampak ujung pedang seperti
sangat berat, ogah-ogahan menggerakkan pedang, menuding kanan
menggaris ke depan, kelihatannya amat makan tenaga dan seperti
hampir tidak kuat. Justru aneh, pukulan dahsyat dan gencar yang dilontarkan Hay
Lan-ja ternyata tak mampu menembus pertahanan sinar pedangnya.
Beng Hoa sekokoh batu karang di tengah damparan gelombang
badai, dia tegap berdiri kokoh tanpa bergerak sedikit pun.
Kening Kim Tiok-liu yang berkerut mulai tampak mengendor,
wajah tampak cerah. Kembali Lui-tin-cu bertanya dengan berbisik, "Apakah Beng Hoa
mengembangkan Tay-si-mi-kiam-hoat dari Thian-san-kiam-hoat?"
Seperti diketahui, Tay-si-mi-kiam-sek pernah dimainkan sekali oleh
Beng Hoa waktu dia menghadapi Thian-Iam-kiam-pa Liong Bokkong
tadi, tapi permainannya sekarang justru berbeda. Bagi
pandangan Lui-tin-cu yang sudah ahli dan luas pengalaman ternyata
terasa lebih lambat, lebih berat dan sederhana, tapi juga amat
lincah. Tapi permainannya itu satu dengan yang lain justru tidak
berbecja. Sebelum memberi penjelasan, Kim Tiok-liu menghela napas.
Kim Bik-ki kaget, tanyanya, "Ayah kenapa kau menghela napas?"
Kim Tiok-liu tertawa, katanya, "Aku amat kagum, generasi baru
lebih unggul dari generasi yang terdahulu, patah tumbuh hilang
berganti. Dulu aku berpendapat dalam sepuluh tahun baru Beng
Hoa bisa mencapai kesempurnaannya. Dari permainannya itu baru
aku sadar Beng-toako-mu itu akan dapat mengungguli aku kurang
dari tiga tahun." Kim Bik-ki terbeliak girang, katanya tersenyum, "Jadi, menurut
pengamatanmu Tay-si-mi-kiam-hoat...."
"Dia sudah memperoleh intisari ilmu pedang taraf tinggi, kecuali
lwekang-nya yang belum cukup memadai, kemampuannya sekarang
mungkin tidak lebih rendah dibanding Teng King-thian ciangbun
Thian-san-pay." "Ayah," rengek Kim Bik-ki, kau belum menjelaskan, apakah dia
mampu melawan Jit-sat-ciang lawannya?" Bahwa ilmu pedang Beng
Hoa sudah mencapai kemajuan yang luar biasa, sudah tentu amat
menggembirakan hatinya, tapi saat yang mendesak sekarang adalah
ingin tahu apakah Beng Hoa bisa menang, selamat atau kalah dan
binasa. Kim Tiok-liu berkata perlahan, "Menurut pengamatanku Beng
Hoa tidak akan rugi. Tapi...."
"Tapi apa?" desak Kim Bik-ki. "Jangan banyak tanya, lekas
saksikan." Tampak Beng Hoa menggerakkan pedang membuat lingkaranlingkaran
besar kecil, lingkaran dilingkari lingkaran, lingkaran miring,
tegaknya datar, lingkaran bundar, lonjong dan memanjang,
bentuknya beraneka ragamnamun setiap gerak selalu melingkar,
hakekatnya sukar dibedakan permainannya menggunakan jurus
apa. Karuan hadirin melongo dan takjub.
Uap putih mulai mengepul dari kepala Hay Lan-ja, setiap gerak
pukulannya kini mulai mengeluarkan deru angin, rangsakannya
kelihatan lebih keras dan kuat.
Kim Bik-ki menjadi masgul. Ingin tanya sang ayah, tapi dilihatnya
ayahnya sedang menonton penuh perhatian, tanpa berkedip, rona
mukanya pun sering berubah, tersenyum riang, tapi juga tidak
jarang mengerutkan kening. Karena tidak berani mengganggu,
terpaksa Kim Bik-ki memusatkan perhatiannya ke tengah
gelanggang. Kim Tiok-liu sudah tahu bahwa Beng Hoa tidak akan kalah,
namun dia khawatir kalau pertarungan ini berakhir dengan gugur
bersama. Umpama Hay Lan-ja terluka lebih parah, kalau dia berhasil
membunuh Hay Lan-ja, akhirnya dia sendiri juga akan jatuh sakit
cukup parah. Pertempuran ini sudah mencapai babak yang menentukan, jelas
kelihatan bahwa Hay Lan-ja sudah mengembangkan seluruh
kemampuannya, tenaganya sudah hampir habis, apakah Beng Hoa
kuat melawan sehingga keduanya tidak sampai gugur bersama"
Sebelum mencapai detik-detik yang menentukan, Kim Tiok-liu tidak
berani mendahului memberikan penilaiannya
Tidak sedikit ahli silat di tengah hadirin, semua pun sudah menilai
demikiaa Semua menonton dengan tegang dan berkeringat dingin.
Terutama murid-murid Kong-tong-pay, kalau Beng Hoa tidak
berhasil membunuh Hay Lan-ja, terpaksa mereka akan mengawasi
musuh pembunuh Giok-hi tianglo pergi tanpa boleh bertindak
kepadanya. Maka mereka mengharap ciangbun mereka yang baru
yaitu Tan Khu-seng lekas kembali. Tapi yang ditunggu justru tak
kunjung tiba. Saat itu Tan Khu-seng sedang mencari jejak Boh Le-cu, menurut
arah lengking suitan tadi dia terus berlari bagai terbang ke tempat
yang paling berbahaya di daerah Kong-tong-san, yaitu Toan-hungay,
atau Ngarai Putus Sukma. Dari atas ngarai memandang ke
bawah, lapat-lapat dilihatnya tiga bayangan orang, satu di
antaranya jelas adalah Sin Jit-nio.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan Khu-seng melenggong, "Aneh, perempuan jahat itu terluka
parah, bagaimana bisa lari secepat ini?" Waktu dia melihat lebih
tegas, ternyata Sin Jit-nio lari dipapah dua orang di kiri kanan.
Ginkang kedua orang yang memapahnya jelas tidak rendah, hanya
sekejap, bayangan mereka sudah samar-samar tinggal setitik kecil
saja, sekejap lagi sudah lenyap dari pandangan mata.
Sin Jit-nio adalah musuh pembunuh gurunya, kini Tong-bing-cu
yang bersekongkol dengan dia sudah mati. Hay Lan-ja yang menjadi
biang keladinya sedang bertarung dengan Beng Hoa, yakin takkan
bisa selamat, kini tinggal siluman perempuan jahat ini yang masih
hidup. Sebetulnya ingin dia membekuk perempuan siluman ini,
namun tugas lain yang lebih penting perlu segera dia selesaikan,
maka tak sempat dia mengejar perempuan jahat itu.
Makin ke depan pendengarannya menangkap deru angin dari
sambaran senjata, agaknya ada orang sedang bertarung di lereng
gunung sana Walau tidak kelihatan siapa yang sedang bertarung,
namun sudah diketahui satu di antaranya menggunakan pedang dan
sedang memainkan Boh-keh-kiam-hoat, jelas dia adalah Boh Le-cu.
Lekas Tan Khu-seng bersuit melengking, langkahnya secepat
terbang berlari ke bawah.
Maksud suitannya untuk memberi tahu kepada Boh Le-cu bahwa
dia sudah datang, supaya hatinya lega dalam menghadapi musuh.
Di luar dugaan akibatnya justru terbalik. Lawan yang bertarung
dengan Boh Le-cu bukan lain adalah gembong iblis besar Yang Kekbeng.
Seperti diketahui, Yang Kek-beng adalah pewaris tidak langsung
dari Beng Sin-thong gembong iblis nomor satu di jaman dulu, pada
jaman ini hanya dia satu-satunya orang yang mampu menggunakan
Siu-lo-im-sat-kang. Walau latihannya belum mampu mencapai
tingkat kesembilan seperti cikal bakal pen-cipta ilmu dingin jahat itu,
namun latihan Yapg Kek-beng sudah mencapai tingkat kedelapan.
Kalau Siu-lo-im-sat-kang sudah diyakinkan hingga tingkat
kedelapan, pukulannya akan mengeluarkan deru angin yang
bersuhu dingin merasuk tulang.
Ginkang Boh Le-cu cukup tinggi, kiamhoat-nya juga amat mahir,
sayang tenaga dalamnya setingkat di bawah lawan. Padahal untuk
melawan pukulan Siu-lo-im-sat-kang diperlukan landasan lwekang
yang tangguh. Saat itu Boh Le-cu sudah terdesak di bawah angin, mendadak dia
mendengar suitan Tan Khu-seng, hatinya kaget dan girang, padahal
dalam pertarungan seperti itu memerlukan ketenangan, tidak boleh
memecah perhatian. Waktu itu dia tengah mengerahkan tenaga
menahan suhu dingin, begitu dia merasa girang, seketika dia
bergidik kedinginan, hingga tusukan pedangnya miring menusuk
tonggak batu. Mumpung ada kesempatan Yang Kek-beng langsung
mencengkeram tulang pundaknya, tanpa pikir Boh Le-cu
menggunakan kelincahan tubuhnya berjumpalitan ke belakang,
namun dia lupa atau tidak memperhatikan bahwa di belakangnya
adalah jurang yang tidak kelihatan dasarnya, saat itu dia sudah
berdiri tak jauh dari bibir jurang.
Begitu Boh Le-cu bersalto ke belakang, tubuhnya langsung jatuh
ke bawah, mendadak terasa tubuh yang sudah meluncur ke bawah
menjadi enteng seperti dijinjing orang, ternyata tangannya sudah
teraih dan terpegang kencang oleh Tan Khu-seng.
Menolong orang sambil menyerang dilancarkan bersama. Tan
Khu-seng mengulurkan tangan kanannya meraih dan menarik Boh
Le-cu sementara pedang dia pindah ke tangan kiri menusuk
tenggorokan Yang Kek-beng yang menubruk maju dengan jurus
Pay-hun-sik-tian (menatap mega menyetir kilat). Tenaga tusukan
tangan kiri memang tidak sekokoh tangan kanan, namun
gerakannya yang berlawanan dengan kebiasaannya justru lebih
lihay dan sulit ditanggapi. Seketika Yang Kek-beng sadar bahwa
lawan melancarkan Coh-jiu-kiam-hoat, secara reflek dia berkelit ke
kiri, itu berarti dia mengantar tubuhnya untuk ditusuk pedang
lawan. "Trang" baju di depan dadanya tertusuk berlubang dan
sobek memanjang. Untung Tan Khu-seng harus menggunakan
tenaga yang sama untuk menarik Boh Le-cu, sehingga tenaga
tusukan pedang kirinya menjadi lebih lemah, kalau tidak tentu dada
Yang Kek-beng sudah berlubang.
Kejadian teramat cepat, begitu menarik Boh Le-cu, langsung Tan
Khu-seng mendorongnya perlahan ke samping.
Dalam sekejap itu, tiga pihak sama-sama mencucurkan keringat
dingin. Boh Le-cu dan Yang Kek-beng sama-sama lolos dari
renggutan elmaut, demikian pula Tan Khu-seng setelah menolong
Boh Le-cu baru hatinya terkejut, kalau dia terlambat sedikit
akibatnya tak berani dibayangkan.
Yang Kek-beng tahu, tadi Tan Khu-seng sedang bergebrak
dengan Hay Lan-ja, mimpi pun tak pernah menduga bahwa dia
muncul di sini. Terpaksa dia mengeraskan kepala membentak,
"Kalian boleh maju bersama, biar aku adu jiwa dengan kalian."
Tan Khu-seng menjengek, "Seperti engkau, aku pun sudah
bertempur satu babak, jadi tiada yang memungut keuntungan. Asal
kau mampu menang sejurus atau setengah jurus, kau boleh enyah
dari hadapanku, dia tidak akan merintangi engkau."
"Bagus," bentak Yang Kek-beng, "kau sendiri yang bilang." Di
tengah bentakannya, kedua telapak tangan menggempur, begitu
menyedang langsung dia mengerahkan Siu-lo-im-sat-kang.
"Serangan bagus!" bentak Tan Khu-seng. Dalam dua patah kata
yang dilontarkan, pedangnya sudah menusuk tigapuluh enam kali,
betapa cepat gerak pedangnya, melebihi sambaran kilat.
Dulu mereka pernah bertempur dua kali, walau dua kali
pertarungan itu Yang Kek-beng selalu dikalahkan oleh Tan Khuseng,
tapi Tan Khu-seng juga jeri menghadapi Siu-lo-im-sat-kang
lawan. Tapi kali ini sudah berbeda.
Ternyata Siu-lo-im-sat-kang seperti juga Jit-sat-ciang, setiap
pukulannya selalu menguras tenaga Dengan Siu-lo-im-sat-kang tadi
Yang Kek-beng berusaha menangkap Boh Le-cu hidup-hidup untuk
sandera. Mengerahkan Siu-lo-im-sat-kang sampai tingkat kedelapan,
tenaganya sudah banyak dikeluarkan. Demikian juga Tan Khu-seng
sudah bertempur dengan Hay Lan-ja, tapi Hay Lan-ja belum
menggunakan Jit-sat-ciang menghadapi dirinya, maka bekal
lwekang-nya sekarang sudah jelas lebih unggul sedikit dari Yang
Kek-beng. Di samping itu, sudah tigatahun lamanya sejak terakhir kali
mereka bentrok Selama tiga tahun ini, Tan Khu-seng giat
memperdalam lwekang-nya, demikian juga Yang Kek-beng
memperoleh sedikit kemajuan, namun apa yang dicapai jelas tidak
sebanding dengan lawan. Adanya kedua sebab ini, satu maju yang
lain mundur, maka untuk menghadapi Siu-lo-im-sat-kang bagi Tan
Khu-seng tidak banyak menghadapi kesulitan lagi, jauh lebih enteng
dan tekanannya tidak seberat dulu
Belum genap seratus jurus, keadaan Yang Kek-beng sudah
terdesak tak mampu balas menyerang. "Cret" hawa pedang Tan
Khu-seng laksana bianglala menuding lurus tulang pundak Yang
Kek-beng. Karena tak mampu menangkis terpaksa Yang Kek-beng
mundur. Setiap Tan Khu-seng mendesak maju selangkah, Yang Kekbeng
mundur selangkah. "Sret" kembali ujung pedangnya menusuk
dengan Pek-hong-koan-jit, mengincar tulang pundak kiri Yang Kekbeng.
Yang Kek-beng sudah mandi keringat, selangkah demi selangkah
mundur ke bibir jurang, posisinya seperti keadaan Boh Le-cu tadi.
Tahu dirinya tak kuat melawan lagi, dia luruskan kedua tangan ke
bawah, bibirnya bergerak gemetar seperti ingin bicara, tapi
suaranya tidak keluar. Tan Khu-seng tertawa dingin, "Kau juga tahu takut sekarang"
Kejahatanmu kelewat takaran." Di tengah jengek tawanya, ujung
pedangnya tetap mengancam tulang pundak Yang Kek-beng, sedikit
di-sorong pasti pundak orang berlubang, namun sebelum dia habis
bicara tampak Yang Kek-beng mendadak memutar tubuh terus
terjun ke bawah jurang. Di luartahur nya, waktu Tan Khu-seng
mengatakan "kejahatanmu kelewat takaran", maksudnya hanya
memunahkan kungfunya, jiwanya akan diampuni.
Tan Khu-seng menghela napas, ujarnya, "Sayang, sayang sekali."
Boh Le-cu heran, katanya, "Manusia iblis yang banyak melakukan
kejahatan mampus, kau bilang sayang?"
"Yang kubuat sayang bukan manusianya, tapi Siu-lo-im-sat-kang
selanjutnya akan putus turunan. Menurut pendapatku kungfu itu
sendiri tidak ada bedanya lurus atau sesat, suatu ilmu bila
digunakan secara baik, maka dia juga dapat membantu kebaikan.
Apa pun juga Siu-lo-im-sat-kang merupakan sejenis kungfu yang
tiada taranya." "Setelah berpisah delapanbelas tahun, hatimu tetap jujur dan
bijaksana seperti dulu, masih segar dalam ingatanku, dahulu kau
pun tidak tega membunuh Ho Lok."
Sekali bicara orang menyinggung kejadian delapanbelas tahun
yang lalu, tergerak hati Tan Khu-seng.
Boh Le-cu berkata, "Tidak nyana delapanbelas tahun kemudian,
kita bertemu lagi. Terima kasih kau menolong aku sekali lagi."
"Aku sebaliknya lebih berterima kasih karena kau telah
membebaskan aku dari fitnah."
"Kita pernah berdampingan menghadapi maut, buat apa bicara
secara sungkan. Tapi perubahan pengalaman hidup memang sukar
diramalkan. Tan Khu-seng, apa kau masih ingat, delapanbelas tahun
yang lalu, waktu kita akan berpisah, apa yang pernah kau katakan?"
Hangat perasaan Tan Khu-seng, katanya, "Ya, masih ingat,
waktu itu kukira selama hidup tetap terfitnah...."
Pengalaman masa lalu terbayang seperti di depan mata, sudah
tentu Tan Khu-seng takkan pernah melupakan detik-detik yang
mesra di kala mereka akan berpisah.
Seperti saat ini Boh Le-cu berdiri di hadapannya, dengan sorot
mata mesra mengawasi dirinya Bedanya waktu itu airmata berlinang
di pelupuk matanya, bersedih karena mereka dipaksa untuk
berpisah. Namun sekarang sorot matanya menampilkan rasa riang
dan gembira karena hari ini mereka berkumpul lagi. Ya, namun tidak
sesederhana itu rasa senang dan riangnya, dari sorot matanya
malah terbetik rasa haru, perasaan tersembunyi yang mengharap
dengan cemas curahan hati yang mumi.
Padahal sejak delapanbelas ta- -hun yang lalu, dia sudah tahu
maksud hati Boh Le-cu terhadap dirinya Dia tahu Boh Le-cu segan
dan tak ingin berpisah dengan dirinya, dia pun berat berpisah
dengannya Masih segar pula dalam ingatannya, waktu itu dia pernah berkata
demikian, "Kecuali... kecuali kasus ini bisa dibikin terang, entah
kapan asal duduk perkaranya dibikin jelas." Kalau tidak, mungkin
sudah suratan takdir bahwa mereka takkan hidup bersama
Sungguh tak nyana hari yang dahulu tak pernah dan tak berani
mereka harapkan, ternyata terkabul hari ini. Kini menghadapi
pandangan Boh Le-cu yang penuh cinta, Tan Khu-seng menjadi
terlongong, tak tahu bagaimana harus bicara
Boh Le-cu mendongak mengawasinya, menunggu jawabannya.
Wajah masih kelihatan pucat namun pucat yang bersemu merah.
"Le-cu," akhirnya Tan Khu-seng sadar, "apa kau masih merasa
dingin" Marilah kubantu kau untuk menahannya supaya tubuhmu
tidak karacunan hawa dingin." Sembari bicara dia pegang telapak
tangan Boh Le-ca Badan Boh Le-cu memang masih dingin, namun hatinyajustru
hangat, katanya sesaat kemudian, "Keadaanku sudah jauh lebih
baik, kau... adakah omongan yang masih'akan kau .utarakan?"
Setelah mendapat bantuan saluran tenaga dalam Tan Khu-seng, kini
badannya sudah hangat dan tidak sedingin tadi.
Tan Khu-seng berkata perlahan, "Kita pulang dulu nanti bicara
lebih lanjut. Sekarang kau masih ada urusan lain?"
Boh Le-cu tersentak sadar katanya, "Ah, ya, aku memang
ceroboh, hampir saja kulupakan."
"Ada persoalan apa?"
"Apa kau melihat perempuan jahat itu?"
Tan Khu-seng tahu perempuan jahat yang dimaksud tentu Sin
Jit-nio, maka dia tuturkan apa yang dilihatnya tadi dari atas Toanhun-
gay- Boh Le-cu berkata, "Jadi ada orang membantunya melarikan diri,
tak heran sukar aku menemukan dia Dari gambaran yang kau
tuturkan, kurasa kedua orang itu adalah Bwe-san-ji-koay."
Bwe-san-ji-koay adalah dua saudara angkat, yang tua bernama
Cu Kak-sang adik bernama Loh Ang. Kedua orang ini orang-orang
dari golongan sesat yang mahir menggunakan racun, namun kalau
dibanding dengan Sin Jit-nio, kepandaian mereka seperti kunangkunang
dibandingkan rembulan, akan tetapi ginkang mereka cukup
terkenal di kalangan Kangouw.
"Ya benar, aku pun menduga mereka adalah Bwe-san-ji-koay.
Mereka memapah perempuan jahat itu, mungkin dengan tujuan
minta belajar cara menggunakan racun."
"Ayahku terbunuh oleh racun Han Ji-yan, selama delapanbelas
tahun aku belum menemukan keparat itu dan menuntut balas
kepadanya Sin Jit-nio adalah suci perempuan keparat itu, dari
mulutnya aku ingin tahu jejak sumoay-nya. Tak nyana sebelum aku
menemukan Sin Jit-nio, di sini aku bertemu dengan gembong iblis
Yang Kek-beng. Kalau kau tidak datang menolong, mungkin aku
sudah terjerumus ke dasar jurang."
"Aku juga ingin membekuk Sin Jit-nio menuntut balas kematian
suhu, tapi mereka sudah lari jauh, di tengah hutan pegunungan ini
susah mencari jejak mereka, lebih baik kita pulang lebih dulu.
Untung kita sudah tahu siapa yang menolong dia, tidak susah kelak
kita datang ke tempat kediamannya"
"Ada persoalan penting apa sehingga kita perlu segera pulang?"
"Aku bergebrak setengah babak dengan Hay Lan-ja, setengah
babak lanjutannya dilanjutkan oleh Beng Hoa."
Boh Le-cu kaget, katanya "Kau suruh muridmu menghadapi Hay
Lan-ja" Wah, kalau dia sampai mengalami sesuatu, akulah yang
menjadi penyebabnya."
Waktu mereka kembali ke lapangan, kebetulan saat pertempuran
Beng Hoa melawan Hay Lan-ja mencapai detik-detik terakhir.
Tampak Beng Hoa masih menggerakkan pedang hingga tercipta
lingkaran demi lingkaran sinar pedang, berbagai bentuk lingkaran itu
ternyata semakin lama makin lambat dan kecil.
Uap putih makin tebal di atas kepala Hay Lan-ja, serangannya
juga makin gencar. Waktu Tan Khu-seng tiba di pinggir gelanggang,
kebetulan melihat dia menyemburkan sekumur darah pula.
Boh Le-cu kaget, katanya berbisik, "Bagaimana?"
Berkeringat telapak tangan Tan Khu-seng, dia tidak berani
menjawab. Ternyata Hay Lan-ja mengulang penggunaan Thian-mo-kiat-dehtay-
hoat, seluruh tenaga muminya sudah dia kuras seluruhnya. Itu
berarti dia mempertaruhkan jiwa raganya untuk merebut
kemenangan dalam pertempuran ini. Setelah pertempuran ini usai
paling ringan dia akan jatuh sakit parah, atau kemungkinan akan
menjadi manusia tapa daksa. Tapi asal dia dapat mengalahkan Beng
Hoa, dia akan bebas pergi, nasib selanjurnya tidak terpikir lagi
olehnya. Sudah tentu Tan Khu-seng, Kim Tio-liu dan beberapa orang lain
yang tahu maksud tujuan Hay Lan-ja. Apakah Beng Hoa mampu
melawan gempuran terakhir Hay Lan-ja, seperti juga Kim Tiok-liu,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan Khu-seng tidak berani meramalkan.
Tanpa berkedip, sepenuh perhatian Tan Khu-seng
memperhatikan jalannya pertempuran. Tampak garis lingkaran
pedang Beng Hoa bukan saja makin lambat, juga makin kecil.
Mendadak dilihatnya Beng Hoa beruntun menggaris tiga lingkaran
miring dan lonjong, gerakannya boleh dikata tidak menyerupai lingkaran
lagi. Sebetulnya Tay-si-mi-kiam-hoat mengatasi aksi dengan
ketenangan seperti tuan rumah menyambut sang tamu, lingkaran
yang lonjong tidak menyerupai lingkaran itu justru memperlihatkan
bahwa Iwekang Beng Hoa sudah makin lemah, tenaga yang ada
sudah tak mampu melandasi permainan ilmu pedang tingkat tinggi.
Seperti tenggelam perasaan Tan Khu-seng, melihat gelagatnya
kalau pertempuran dilanjutkan, kemungkinan besar kedua orang
yang berlaga ini akan gugur bersama. Diam-diam dia menyesal,
kenapa dirinya tidak memikirkan bahwa Hay Lan-ja mahir juga
menggunakan Thian-mo-kiat-deh-tay-hoat untuk memperbesar
tenaga pukulan Jit-sat-ciang untuk adu jiwa dengan Beng Hoa.
Tapi menyesal sudah terlambat. Sebagai ciangbunjin Kong-tongpay,
janji yang sudah diucapkan sudah tentu tak boleh dijilat kembali.
Keduanya bakal terluka parah sudah dapat diduga, tapi kalau
situasi lebih buruk lagi, bukan mustahil tragedi yang lebih
mengenaskan bisa terjadi, kedua jago yang berlaga ini gugur
bersama. Tapi duel ini bukan untuk menyelesaikan pertikaian antara Beng
Hoa dengan Hay Lan-ja saja, tapi menyangkut nama baik, gengsi
dan kebesaran Kong-tong-pay, juga menyangkut untung rugi kaum
persilatan umumnya, apakah dia kuat memikul tanggung jawab
membebaskan musuh bersama kaum persilatan ini"
Tan Khu-seng masih bimbang, padahal detik-detik terakhir
pertempuran sudah di ambang mata. Akhirnya dia mengertak gigi
dan berpikir, "Apa pun yang terjadi, aku tak boleh berpeluk tangan
mengorbankan jiwa Beng Hoa."
Di saat dia hendak bertindak maju mengaku keunggulan musuh,
mendadak didengarnya sebuah siulan nyaring laksana jeritan naga
di angkasa. Siulan ini tidak keras, namun menggetarkan gunung
menimbulkan gema yang mendengung keras bersahut-sahutan.
Genderang telinga seluruh hadirin seperti hampir pecah oleh siulan
panjang ini. Tan Khu-seng amat kaget, batinnya, "Siapa yang memiliki
Iwekang setangguh ini, apakah ciangbunjin Thian-san-pay sendiri
yang datang?" Di tengah siulan yang bergema itu, tampak semangat tempur
Beng Hoa menyala, beruntun dia menggerakkan pedang membuat
tiga lingkaran, tidak lagi serong dan lonjong, tapi sudah kelihatan
bentuknya bagai lingkaran yang bulat. Rangsakan Hay Lan-ja tetap
gencar dan deras, namun deru pernapasannya ternyata makin
berat, belum lagi gema siulan itu sirna orang banyak sudah
mendengar deru napasnya yang kasar seperti sapi siap dijagai.
Sedikit lega hati Tan Khu-seng, pikirnya, "Masih kuat bertahan
beberapa kejap lagi." Kaki yang sudah maju selangkah ditariknya
kembali. Belum lenyap gema siulan disusul senandung seseorang dengan
suara lantang berisi. Seketika bersorak hati Tan Khu-seng, pikirnya, "Kenapa aku
melupakan orang ini?"
Sebelum dia sempat menyambut kedatangan sang tamu, Kim
Tiok- ciu sudah berdiri dan berkata dengan tawa lebar, "Miao
tayhiap, kiranya kau, sayang kau datang agak terlambat"
Pendatang yang bersiul lalu bersenandung ini bukan lain adalah
ayah angkat Nyo Yan adik Beng Hoa, yaitu Miao Tiang-hong. Kim
Tiok-liu jelas kenal baik, dengan Tan Khu-seng juga sudah belasan
tahun tak pernah bertemu, berita terakhir menyatakan dia tetirah di
Thian-san, tak nyana mendadak dia datang di saat segenting ini.
Beng Hoa sudah tahu akan kedatangannya, waktu berpisah di
Thian San tempo hari, Miau Tiang Hong bilang akan datang melihat
keramaian. Semula dia mengira Miau Tiang Hong terbentur urusan
lain di tengah jalan sehingga datang terlambat, tak nyana
mendadak dia mendengar siulannya, karuan girangnya bukan main.
Entah karena senang bertemu dengan sahabat ibunya, atau
karena siulan itu memberi dukungan moral kepadanya, yang jelas
semangat tempur Beng Hoa mendadak bertambah, Tay-si-mi-kiamhoat
dimainkan secara sempurna.
Miao Tiang-hong berkata, "Kurasa kedatanganku justru tepat
pada waktunya, kenapa kau bilang aku datang terlambat?"
"Inilah pertandingan babak terakhir, adegan babak pendahuluan
tidak sempat kau saksikan," demikian ujar Kim Tiok-liu.
Miao Tiang-hong berkata, "Melihat tontonan justru adegan
terakhir yang paling seru dan ramai, tidak rugi aku menyaksikan
babak terakhir yang menentukan ini."
"Miao tayhiap," timbrung Lui-tin-cu, "menurut pendapatmu
bagaimana akhir dari tontonan ini?"
Miao Tiang-hong tertawa, sahutnya, "Lui-locianpwe, kau tentu
menonton keramaian lebih banyak dibanding aku, pernah kau
melihat tontonan yang berakhir seri dalam adegan adu kekuatan?"
Kim Tiok-liu beradu pandang sambil tertawa lebar dengan Miao
Tiang-hong. Mendengar ucapan Miao Tiang-hong legalah hati Luitin-
cu dan Tan Khu-seng. Ternyata siulan Miao Tiang-hong tadi secara diam-diam telah
membantu Beng Hoa, tapi kecuali Kim Tiok-liu seorang, orang lain
termasuk Beng Hoa sendiri tiada yang tahu dan menyadari
bantuannya yang berharga dan penting artinya.
Siulan Miao Tiang-hong ternyata menggunakan Say-cu-hong
yang dahsyat dari aliran Budha. Konon paderi agung yang dulu
mencipta-kan Say-cu-hong tujuannya untuk menggetar sadar
sanubari kawanan penjahat. Mungkin penjelasan ini kedengarannya
terlalu muluk dan tidak masuk akal, sementara ilmu Say-cu-hong itu
sendiri juga takkan bisa membedakan baik buruknya jiwa manusia,
tapi orang-orang yang baik atau jahat setelah mendengar bentakan
ilmu Say-cu-hong, kemungkinan sekali akan memberikan reaksi
yang berbeda. Pepatah berkata, kalau selama hidup tidak pernah melakukan
perbuatan tercela, tengah malam pintunya digedor orang juga tidak
akan kaget dan ketakutan. Kalau orang awam yang jujur
mempunyai ketetapan hati demikian, apalagi insan persilatan yang
pernah meyakinkan lwckang tingkat tinggi terutama kaum pendekar.
Dengan landasan Iwekang ajaran Thio Tan-hong, sepenuh hati
Beng Hoa menghadapi Jit-sat-ciang lawan, hatinya mantap pikiran
jernih, dia mendengar siulan Miao Tiang-hong, walaupun
konsentrasinya sedikit terganggu namun itu hanya perasaan yang
membangkitkan gairah hati, hakekatnya dia tidak terganggu oleh
siulan yang menggunakan Say-cu-hong.
Tapi berbeda lagi perasaan Hay Lan-ja, padahal dia tengah
menguras sisa tenaga terakhir untuk menggempur musuh,
mendadak mendengar siulan aneh ini, dadanya seperti terpukul oleh
godam Hawa mumi yang semula sudah dikerahkan untuk
dilontarkan seketika menjadi buyar.
Beng Hoa tidak sadar bahwa Miao Tiang-hong tengah membantu
dirinya, tapi dalam hati dia berpikir, "Miao tayhiap adalah orang
pertama yang memberi petunjuk kepadaku tentang intisari ilmu
pedang yang sejati, sekarang dia sengaja datang untuk memberi
dorongan semangat kepadaku, jangan aku membuatnya kecewa."
Karena gairah tempurnya menyala, gerakan pedangnya pun lebih
mantap dan lancar. Walau permainan kelihatan tetap lambat tapi
sudah kembali kokoh dan kuat, seluruh serangan Hay Lan-ja yang
gencar itu berhasil dia bendung di luar lingkaran sinar pedangnya.
Mendadak Hay Lan-ja menggerung keras, suaranya seperti
jeritan binatang buas yang terluka, di tengah gerungan gusarnya itu
dia pentang kedua lengan dengan cakar jarinya yang siap
menerkam, melonjak tinggi dua tombak menerkam ke arah Beng
Hoa Lingkaran para penonton memang mengikuti jalannya pertempuran
yang kian sengit, terus bergerak dan berubah makin mundur
dan lingkaran pun makin besar. Tapi mereka yang menonton di
garis paling depan tetap merasakan damparan angin pukulan yang
dilontarkan Hay Lan-ja. Dalam kejap itu pula, gerak pedang Beng Hoa yang lamban itu
mendadak berubah cepat, lingkaran demi lingkaran sinar pedang
berputar bagai kilat cepatnya, sehingga penonton silau dibuatnya.
Entah tusukan pedangnya mengenai Hay Lan-ja" Sebelum melihat
jelas, tampak kedua orang yang baku hantam itu mendadak mundur
berpisah. "Tang" selarik sinar bianglala melambung ke angkasa,
pedang pusaka Beng Hoa ternyata mencelat terbang dari
tangannya. Melihat pedang Beng Hoa terpukul jatuh oleh Hay Lan-ja, hadirin
tiada yang tak tersirap darahnya. Lui-tin-cu juga ikut menjerit kaget
Miao Tiang-hong sebaliknya bergelak tawa, serunya, "Bagus
sekali. Beng-siheng, jurus yang kau lancarkan ini betul-betul telah
berhasil menyelami intisari dari kemurnian ilmu pedang sejati."
Sementara hadirin masih khawatir Hay Lan-ja akan meneruskan
sergapannya terhadap Beng Hoa.
Hay Lan-ja hanya berdiri kaku seperti mayat, berdiri di tempatnya
semula tanpa bergerak. Tampak darah mulai merembes keluar dari hidung, mata dan
telinganya, menyusul mulut terbuka, darah pun menyembur bagai
air. Hadirin masih terbelalak, semua mengira Hay Lan-ja akan melontarkan
Thian-mo-kiat-deh-tay-hoat pula.
Tapi di tengah ketegangan itulah tampak tubuh Hay Lan-ja mulai
bergerak doyong ke depan dan "Bruk", robohlah dia. Setelah mendengar
suara berdebuk itulah baru hadirin menghela napas lega.
Sesaat suasana masih hening, mendadak pecahlah tepuk sorak yang
gegap gempita menyambut kemenangan Beng Hoa yang gilang
gemilang, memberi tepuk sorak pada pendekar muda yang berhasil
mengalahkan jago nomor satu, musuh bebuyutan.
Kalau Tan Khu-seng yang mengalahkan Hay Lan-ja, walau orang
banyak merasa senang, mungkin sambutan sorak sorai tidak akan
sehebat dan seramai ini. Menyaksikan Hay Lan-ja roboh terkapar di depannya, wajah Beng
Hoa dihiasi senyum lebar. Tapi kedua kakinya seperti tak menurut
perintah lagi, dia ingin maju memapak kedatangan sang guru,
ternyata kakinya tak mampu berjalan.
Ternyata gempuran Hay Lan-ja terakhir merupakan tumpuan
seluruh kekuatan latihan selama hidupnya, walau keadaannya sudah
payah, Beng Hoa tetap merasakan akibatnya. Setelah bentrokan
terakhir ini, Hay Lan-ja memang mati kehabisan tenaga, namun
Beng Hoa sendiri juga lemas lunglai.
Pedang Beng Hoa yang mencela terbang itu sudah ditangkap
oleh Kim Tiok-liu. Bersama Miao Tiang- hong, begitu melihat
pertempuran sudah menunjukkan kalah dan menang, tanpa berjanji
mereka memburu ke arah Beng Hoa. "Hoa-ji, sungguh hebat
perjuanganmu." Kim Tiok-liu mengembalikan pedangnya ke dalam
serangkanya lalu menggenggam tangan kanannya. Miao Hang-hong
di sebelah sana, dia juga menggenggam tangan kiri Beng Hoa.
Gabungan tenaga dua jago kosen membantunya mengekang
hawa mumi dalam tubuhnya yang berentakan, dalam sekejap Beng
Hoa sudah dapat menghimpun tenaga ke dalam pusar, sehingga
semangatnya pulih dalam sekejap. Sementara itu kedua guru Beng
Hoa, Toan Siu-si dan Tan Khu-seng sudah mendekat di hadapannya.
"Bagaimana keadaan Hoa-ji?" tanya Tan Khu-seng khawatir.
Kim Tiok-liu tertawa, katanya, "Kuucapkan selamat kepadamu
yang mendidik murid sebaik ini. Lwekang Hoa-ji jauh lebih tinggi
dari penilaianku semula. Semula aku agak khawatir dia akan gugur
bersama dengan Hay Lan-ja, sekarang tidak usah khawatir lagi."
Lega hati Tan Khu-seng, lekas dia mengucap terima kasih kepada
Kim Tiok-liu dan Miao Tiang-hong. Sebagai tokoh silat kawakan
sudah tentu dia tahu kalau kedua jago kosen ini telah membantu
Beng Hoa memulihkan tenaga dan semangat, kalau tidak,
selanjutnya Beng Hoa pasti akan jatuh sakit.
Kim Tiok-liu tertawa, katanya, "Sebetulnya aku tidak membantu
apa-apa terhadap muridmu, bantuan Miao tayhiap justru amat besar
artinya, tanpa dia membantu dengan Say-cu-hong, mungkin Hoa-ji
akan mengalami sedikit cedera."
Beng Hoa baru insaf bahwa siulan Miao Tiang-hong tadi ternyata
punya daya guna yang luar biasa. Tan Khu-seng juga amat
menyesal bahwa pengetahuan ilmu silatnya amat terbatas, kenapa
tidak tahu bahwa Say-cu-hong ternyata mempunyai daya guna yang
begitu hebat. Guru satu murid kembali mengucapkan terima kasih
kepada Miao Tiang-hong. Miao Tiang-hong tertawa, ujarnya, "Kalian tidak tahu, bantuanku
yang kecil artinya ini sebetulnya belum setimpal menebus
kesalahanku dulu." Mimik tawanya kelihatan agak tawar dan sedih.
Tan Khu-seng melenggong, katanya, "Kenapa demikian?"
"Ayahnya adalah teman baikku, tapi pernah aku salah paham
padanya, memaksanya bergebrak dengan aku pula."
"Maksudmu waktu berada di Siau-kim-jwan kau salah paham
menyangka dia cakar alap-alap?" tanya Tan Khu-seng.
"Betul," sahut Miao Tiang-hong, "siapa nyana orang yang
kusangka cakar alap-alap, hari ini justru membunuh pentolan cakar
alap-alap." Kim Tiok-liu bergelak tawa, katanya, "Jadi kau menyesali
kejadian masa lalu. Patah tumbuh hilang berganti, generasi tua
memang pantas diganti generasi muda, angkatan muda harus lebih
unggul dari angkatan tua."
Memang Miao Tiang-hong terkenang masa lalu. Duabelas tahun
yang lampau, dia pernah seperti keadaan Beng Hoa sekarang,
berduel dengan komandan Gi-lim-kun masa itu yang bernama
Pakkiong Bong, akhirnya keduanya roboh terkapar dengan luka
parah. Kalau waktu itu dia tidak ditolong Hun Ci-lo (ibu Beng Hoa)
yang menyedot racun dalam tubuhnya waktu itu, tentu dia sudah
meninggal, (baca Kelana Buana). Hun Ci-lo menyembuhkan lukalukanya,
namun dia justru mengorbankan jiwa sendiri.
Tapi bukan hanya soal ini yang dia sesalkan, dia pun teringat
kepada Beng Goan-cau, kawan seperjuangannya dulu, terkenang
pula kepada Hun Ci-lo yang menjadi teman karibnya di masa
mudanya dulu. Kini berhadapan dengan pute-ra mereka yang sudah
dewasa dan mencapai puncak gemilang sungguh hatinya amat
gembira dan terharu. "Jikalau Hun Ci-lo di alam baka tahu puteranya sekarang sudah
terkenal di seluruh dunia, dia akan tenteram di alam baka,"
demikian batinnya. . Miao Tiang-hong menggandeng tangan Beng Hoa, katanya
tertawa, "Siu-si-heng, Tan-heng, kalian berhasil mendidik murid
sebaik ini, sungguh aku menjadi iri, senang tapi juga khawatir."
"Apa yang kau khawatirkan?" tanya Toan Siu-si.
Mao Tiang-hong berkata dengan tertawa, "Yang kukhawatirkan
adalah sang adik kelak tidak dapat menandingi sang engkoh, di
hadapan kalian, tak bisa tidak aku akan menyesal." Maklum dia
adalah ayah angkat Nyo Yan, dialah yang akan bertanggung jawab
mendidik Nyo Yan menjadi tunas harapan bangsa bersama Teng


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

King-thian. Tan Khu-seng tertawa, katanya, "Sebetulnya yang harus khawatir
adalah aku, tapi aku tidak perlu merisaukan hal ini. Andaikata
sepuluh tahun kemudian, sang engkoh dikalahkan oleh adiknya,
baru aku betul-betul merasa girang. Oh, ya, jangan kita berkelakar
saja, kali ini kau datang dari Thian-san, apakan Tengciangbun ada
titip pesan?" Miao Tiang-hong berkata, "Teng-ciangbun sudah menjelaskan
kasus yang menimpa dirimu kepadaku, dia amat memperhatikan
nasibmu, semoga kasusmu cepat beres dan kau tidak terfitnah
secara penasaran, soal lain dia tidak menyinggung."
Tan Khu-seng berkata, "Berkat bantuan para sahabat dan
perhatian para Bulim cianpwe, sungguh aku amat berterima kasih,
syukurlah kasusku ini telah dibikin terang."
Miao Tiang-hong berkata pula, "Terhadapmu tiada persoalan
yang kubicarakan, tapi terhadap muridmu aku akan memberi tahu
berita baik kepadanya."
Lekas Beng Hoa bertanya tentang kabar baik apa. Miao Tianghong
berpikir sejenak, lalu katanya, "Marilah kita kembali ke Jing-hikoan
dulu." Kim Tiok-liu tahu orang sungkan bicara di hadapan orang
banyak, maka dia berkata, "Betul, Tan Khu-seng baru menjabat
ciangbun, banyak urusan yang harus dia bereskan, setelah tugas
dan kewajibannya dibereskan belum terlambat kita bicara lagi."
Setiba mereka di Jing-hi-koan, hari sudah menjelang magrib,
sebagian besar para undangan sudah pamit pulang, namun yang
tetap tinggal juga tidak sedikit sehingga suasana cukup ramai.
Ratusan meja perjamuan disediakan dalam Jing-hi-koan untuk
merayakan kemenangan Tan Khu-seng. Hadirin berduyun-duyun
menghaturkan arak kepada Tan Khu-seng, hingga perjamuan
berlangsung sampai tengah malam. Saking ramai dan banyak
minum arak Tan Khu-seng sampai pening kepalanya.
Setelah perjamuan usai baru Tan Khu-seng teringat, kenapa
sejak tadi tidak kelihatan bayangan Boh Le-cu" Karena tamu yang
menghadiri perjamuan terlalu banyak sampai berjubel, tak sempat
Tan Khu-seng memperhatikan apakah Boh Le-cu hadir dalam
perjamuan. Tamu-tamu yang menginap sudah diantar oleh muridmurid
Kong-tong-pay untuk beristirahat di kamar-kamar yang
tersedia, barulah Tan Khu-seng sempat bercengkerama pula dengan
Kim Tiok-liu, Miao Tiang-hong dan lain-lain teman lama.
"Hoa-ji," kata Miao Tiang-hong, "ada berita gembira yang perlu
kusampaikan kepada kau. Lohay sudah menjabat sebagai Ketua
Umum dari para ketua suku minoritas Uigior. Demikian pula
puterinya Lomana sudah menentukan hari pernikahannya dengan
Santala. Mereka mengharapkan kehadiranmu dalam pesta
pernikahan mereka." Beng Hoa bertanya, "Kapan hari pernikahan mereka?"
"Kabarnya di saat bulan purnama, bulan.depan, pesta pernikahan
akan dirayakan bersama dengan perayaan Jagal Kambing."
"Menurut adat suku Uigior, perayaan Jagal Kambing diadakan
setiap tahun satu kali. Perayaan Jagal Kambing yang pernah mereka
adakan untuk periode tahun ini belum ada setengah tahun, kenapa
akan dirayakan lagi?" demikian tanya Beng Hoa.
"Benar, perayaan Jagal Kambing kali ini memang sengaja
dirayakan untuk menyambut penobatan Lohay sebagai ketua
mereka, sekaligus untuk meramaikan pesta pernikahan puteri
tunggalnya. Lomana adalah gadis tercantik dari suku Uigior,
demikian pula Santala adalah pemuda perkasa nomor satu dari suku
mereka, maka anak-anak muda mereka sudah mempersiapkan diri
untuk memeriahkan pesta pernikahan itu. Tapi yang benar bagi
mereka sekaligus menambah kesempatan untuk kepentingan mudamudi
itu sendiri." Kim Bik-ki tidak tahu adat istiadat suku Uigior, maka dia
bertanya, "Apa yang dinamakan pertemuan Jagal Kambing" Kenapa
muda-mudi mendapat kesempatan dalam pesta besar itu?"
Miao Tiang-hong tertawa, lalu menjelaskan, "Itulah kesempatan
para pemuda untuk menyatakan rasa cintanya kepada gadis-gadis
yang mereka punya, kalau kau ingin tahu seluk beluknya boleh kau
tanya kepada Beng Hoa. Lohay pernah bilang kepadaku, tempo hari
waktu Beng Hoa berada di tempat kediaman mereka, kebetulan
juga diadakan pertemuan Jagal Kambing itu, Beng Hoa malah
pernah berjanji kepada mereka, pada pesta Jagal Kambing tahun
yang akan datang dia pun akan membawa kau ikut serta."
Merah muka Kim Bik-ki, jengek-nya, "Paman Miao, kau
sembarang omong, aku tidak percaya. Mereka toh tidak kenal aku,
mana mungkin Hoa-ko menyinggung diriku?"
"Kalau tidak percaya, boleh kau tanya engkoh Hoa-mu," goda
Miao Tiang-hong tertawa. Beng Hoa menjadi kikuk, tapi dia tidak biasa berbohong, terpaksa
menjelaskan, "Soalnya mereka berkelakar dan menggoda serta
memaksa aku, mereka menuntut supaya aku membawa gadis
pujaanku." "Nah betul tidak, masih kau bilang lidahku cerewet," olok Miao
Tiang-hong tertawa. "Beng Hoa bilang akan membawa gadis
pujaannya, yang akan dibawa kau."
Merah muka Kim Bik-ki, katanya, "Paman Miao selalu menggoda
anak muda, awas nanti kubalas."
Lekas Kim Tiok-liu menimbrung, "Sudahlah, soal ini sudah
dibicarakan, sekarang marilah kita bicara persoalan yang lebih
penting." Maka Miao Tiang-hong berkata, "Hoa-ji, kali ini aku tidak
berkelakar, pertama kau adalah sahabat baik, kedua memang kita
perlu mengingat persaudaraan dengan suku Uigior, entah untuk
kepentingan pribadi atau untuk keperluan umum, kau memang
pantas menghadiri perjamuan pernikahan Santala dengan Lomana.'-
' "Ya, betul, aku memang harus menghadirinya, tapi...."
"Ada persoalan?" tanya Miao Tiang-hong.
"Waktunya amat mendesak, mungkin aku tak bisa hadir pada
waktunya," ujar Beng Hoa.
"Pernikahan mereka akan diadakan tanggal limabelas bulan
delapan, hari ini baru tanggal delapan, jadi masih sebulan tujuh
hari. Dalam jangka tigapuluh tujuh hari jarak antara Kong-tong-sari
hingga Sin-kiang bagi orang biasa memang tak mungkin ditempuh,
tapi seorang yang memiliki kepandaian silat bisa."
Beng Hoa mengunjuk sikap serba susah, katanya, "Kali ini aku
mendapat tugas membantu Utti tayhiap, kini tugasku sudah selesai,
sepantasnya aku kembali memberi laporan kepada Leng-thauling
dan menghadap kepada ayah." Jadi menurut rencananya, besok
juga akan berangkat pulang dulu ke Jik-tat-bok baru berangkat ke
Sinkiang. Kalau menurut perjalanannya ini, dalam jangka waktu
tigapuluh tujuh hari memang tidak mungkin menempuh dua tujuan.
Miao Tiang-hong tertawa, katanya, "Yang menyuruh kau pergi ke
Sinkiang menghadiri pesta pernikahan itu justru ayahmu. Demikian
pula Leng-thauling juga sudah setuju."
Beng Hoa berjingkrak girang, katanya, "Jadi paman Miao sudah
bertemu dengan ayah."
"Benar, aku sudah pergi ke Jik-tat-bok baru belok kemari,"
demikian sahut Miao Tiang-hong. "Menurut laporan yang mereka
terima, pasukan kerajaan kemungkinan besar akan meluruk ke
Sinkiang lebih dulu, dengan cara memancing, menghasut dan
menekan sekaligus, untuk memaksa dan mengancam seluruh suku
bangsa minoritas dari Sinkiang membantu kerajaan mengepung
laskar gerilya. Umpama tidak akan memaksa mereka mengerahkan
pasukannya, juga akan memutus bantuan mereka terhadap laskar
gerilya. Coba, keji tidak rencana mereka?"
Beng Hoa kaget, katanya, "Rencana mereka memang keji, tapi
delapanbelas suku bangsa yang ada di Sinkiang sudah ada limabelas
suku bangsa yang berserikat dengan laskar gerilya. Belum tentu
rencana kerajaan bisa.terlaksana."
Miao Tiang-hong berkata lebih lanjut, "Di antara sekian banyak
suku minoritas di Sinkiang, suku Uigior termasuk yang paling
perkasa dan suka'perang. Lohay yang menjadi ketua mereka juga
sudah bertekad untuk melawan dan menolak rencana mereka.
Pepatah ada bilang, ular tanpa kepala takkan bisa menggigit, untuk
menyatukan suku minoritas di Sinkiang melawan kerajaan, harus
mempunyai seorang pemimpin besar yang berwibawa, calon
pemimpin mereka yang paling cocok adalah Lohay."
Beng Hoa berkata, "Bukan saja Lohay punya wibawa besar dalam
suku Uigior, dalam pandangan suku minoritas lain di Sinkiang beliau
juga cukup disegani. Kecuali kepala-kepala suku itu tidak mau
melawan penjajahan, kalau tidak yakin sembilan di antara sepuluh
pasti akan memilih Lohay sebagai bengcu mereka."
"Menurut rencana pihak laskar gerilya, akan diutus satu orang
untuk memberi kabar kepada Lohay. Orang ini juga ditugaskan
membantu di sana untuk merencanakan perlawanan terhadap
serbuan pasukan kerajaan. Tapi mereka sukar menemukan calon
pilihannya, belakangan kuceritakan kepada mereka bahwa kau
mempunyai hubungan dan ikatan erat dengan Lohay, maka ayahmu
dan Leng-thauling setuju dan mengutusmu sebagai duta dari laskar
gerilya memikul tugas berat ini."
"Tentang keadaan adikmu, pengalamanmu di Thian-san, sudah
kusampaikan kepada ayahmu, kau "boleh lega hati berangkat
menunaikan tugas baru ini, jadi tak usah pulang dulu ke Jik-tat-bok
lagi." Lega dan senang hati Beng Hoa, langsung dia menerima tugas
mulia ini, besok berangkat.
"Bagus, sekarang tiba saatku beristirahat," kata Miao Tiang-hong,
lalu dia berpamitan. Mendadak Toan Siu-si berkata, "Miao-heng, maaf, kau tunggu
sebentar, ada persoalan ingin aku tanya kepadamu."
"Persoalan apa katakan saja," ucap Miao Tiang-hong. Dalam hati
dia sudah mereka soal apa yang akan ditanyakan oleh Toan Siu-si.
Toan Siu-si bertanya, "Aku punya seorang keponakan bernama
Kiam-ceng, sudah lama tidak kudengar kabar beritanya, baru
belakangan ini aku mendapat kabar, katanya tahun lalu dia berguru
kepada Teng-ciangbun di Thian-san, apa betul?"
"Betul, dia menjadi murid penutup dari Bu Seng-thay, salah
seorang tianglo Thian-san-pay," sahut Miao Tiang-hong.
Toan Siu-si tampak senang, katanya, "Keponakanku itu suka
agul-kan diri dan ugal-ugalan, sayang punya sifat tidak jujur dan
bermuka-muka. Selama ini aku khawatir dia tersesat jalan, kini
kudengar dia sudah memperoleh guru bijaksana, syukur dan legalah
hatiku. Di Thiansan apakah kau melihatnya" Entah bagaimana
keadaannya?" "Soal ini... kau tanya muridmu saja dia lebih jelas dari aku,"
sahut Miao Tiang-hong. Diam-diam Kim Bik-ki memberi kedipan mata kepada ayahnya.
Tergerak hati Kim Tiok-liu, batinnya, "Mungkin Miao Tiang-hong
sungkan bicara?" Dia juga menduga pu-terinya ada urusan yang
ingin dibicarakan dengan dirinya, maka dia menimbrung, "Malam
telah larut, Hoa-ji besok akan berangkat, marilah kita beristirahat
saja, biar mereka guru dan murid berbincang-bincang sendiri."
Bersama Miao Tiang-hong, mereka bertiga lantas mengundurkan
diri. Setelah mereka pergi baru Toan Siu-si merasa curiga, katanya
kepada Beng Hoa, "Bagaimana perbuatan Kiam-ceng selama di
Thian-san, Hoa-ji, jangan kaumengelabui aku."
Beng Hoa agak bimbang, akhirnya dia mengambil keputusan
bicara sejujurnya, "Suhu, setelah Hoa-ji jelaskan kuharap kau orang
tua tidak marah." "Memangnya kau harus bicara sebenarnya, katakan saja aku
tidak akan marah." Sudah tentu Beng Hoa tidak berani bercerita secara lengkap
perbuatan Toan Kiam-ceng selama ini, namun cerita ringkasnya itu
sudah cukup membuat Toan Siu-si melotot gusar, gemas dan
menyesal. "Sungguh tak pernah kusangka binatang itu sudah sebejat itu.
Hoa-ji kenapa tidak kau bunuh dia saja, sungguh... sungguh
menjengkelkan." Setelah amarah gurunya reda, baru Beng Hoa berkata, "Kurasa
watak Toan-toako tidak seburuk yang suhu duga, dia bergaul
dengan orang jahat dan tertular berbuat jahat hingga tersesat.
Untung usianya masih muda, masih ada harapan untuk
memperbaiki kesalahannya."
Dalam sekejap itu wajah Toan Siu-si seperti bertambah tua
sepuluh tahun, katanya lesu, "Hoa-ji, kau memang berhati bajik,
padahal perbuatan binatang itu sudah keterlaluan, untuk kembali ke
jalan benar kurasa tidak mungkin lagi."
Setelah menghela napas, dia berkata lebih lanjut, "Tapi akulah
yang harus disalahkan. Dulu aku minggat dari keluarga, tidak
pemah mendidik keponakanku itu dengan baik. Belakangan sudah
kulihat sifat-sifatnya yang kurang baik, maka tidak pernah aku
mengajarkan silat kepadanya. Mungkin karena dia tidak
memperoleh apa yang dia harapkan sehingga dia tersesat bergaul
dengan orang jahat. Ai, hanya dia satu-satunya keturunan marga
Toan kami, sekarang dia sudah berubah sebejat itu, meski tidak
berbakti aku pun menyesal dan malu pada leluhur kami."
Perlu diketahui, karena suatu tragedi di masa mudanya dulu
sehingga Toan Siu-si memutuskan untuk tidak akan menikah selama
hidup, maka keturunan keluarga Toan mereka hanya dia percayakan
kepada Toan Kiam-ceng untuk meneruskannya. Tan Khu-seng dan
Beng Hoa tahu isi hatinya, Beng Hoa memang lugu dan rikuh, dia
kehabisan akal untuk menghibur gurunya.
"Apa yang dikatakan Hoa-ji barusan memang tidak salah,
keponakanmu memang tersesat oleh pengaruh luar, kita wajib
menolongnya." Perasaan Toan Siu-si sudah lebih longgar, katanya, "Binatang itu
sudah bertindak kelewat batas, yakin dia tidak akan berani pulang.
Karena tiada tempat berteduh, kemungkinan dia masih bersembunyi
di luar perbatasan. Hoa-ji, perjalananmu ke Sinkiang kali ini bila kau
bertemu dengan dia, aku mohon kau lakukan satu hal untukku."
"Suhu terlalu berat kata, ada pesan apa silakan perintah saja,
murid mana berani menolak kehendak suhu."
"Kalau kau bertemu dengan dia, kuharap kau pandang mukaku,
pu-nahkanlah ilmu silatnya dan ampuni jiwanya."
"Memunahkan kungfunya?" seru Beng Hoa kaget.
"Hoa-ji," ujar Toan Siu-si, "aku tahu kau baik hati dan bajik, tapi
menilai kejahatannya, aku hanya mohon kau mengampuni
jiwanya, kurasa aku terlalu egois membelanya."
"Menurut undang-undang keluarga Toan kami, sebetulnya anak
cucu dilarang belajar silat, kalau dia tidak memiliki kungfu mungkin
malah bisa hidup baik, mewarisi peninggalan leluhur, menjadi
putera berbakti seperti yang diharapkan ayahnya dulu." Nadanya
terasa amat tertekan dan sedih, dari sini dapat disimpulkan bahwa
Toan Siu-si amat kecewa dan putus harapan ' terhadap
keponakannya yang satu ini, walau dia tidak setuju pendapat sang
engkoh (ayah Toan Kiam-ceng) terpaksa sekarang dia mengharap
keponakannya itu menjadi manusia biasa saja.
Setelah Beng Hoa mengundurkan diri, mendadak Toan Siu-si


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, 'Tan-heng, nona Boh ada berapa patah kata supaya
kusampaikan kepadamu."
Tan Khu-seng melenggong sejenak, serunya, "Dia... dia sudah
pergi?" "Jangan kau bersedih, sebetulnya masih ada kesempatan dan
belum terlambat bagimu, kali ini kalian bisa bertemu dan berkumpul
lagi setelah berpisah sekian lama, semoga kau tidak mengulang
kesalahan lama lagi."
"Le-cu, apa yang dia katakan kepadamu?"
"Dia minta maaf kepadamu karena pergi tanpa pamit."
"Kenapa dia berbuat demikian?"
"Dia harus menuntut balas ke-matian ayahnya, langkah pertama
dia harus mengejar Bwe-san-ji-koay, merebut dan membekuk Sin
Jit-nio yang jatuh di tangan mereka."
"Aku sudah berjanji padanya untuk membantu dia menuntut
balas." "Dia pikir kau baru menjabat ciangbun, banyak urusan yang
harus kau kerjakan. Tapi menurut pendapatku, sebab utama kurasa
bukan lantaran alasan ini."
Tan Khu-seng diam saja, dia menenggak arak secangkir demi
secangkir. "Aku ini orang yang sudah kenyang dalam pengalaman hidup
seperti ini, kukira dia panah menyinggung persoalan lama
kepadamu, namun kau belum memberi pernyataan secara tegas
kepadanya?" Tan Khu-seng menghela napas, katanya menunduk, "Apakah dia
belum memahami isi hatiku?"
"Dia sudah menunggu delapanbelas tahun, kau tidak mau bicara
terus terang supaya dimengerti olehnya, tak heran kalau dia merasa
kecewa." "Setelah mengalami banyak rintangan, mungkin rasa khawatirku
memang berlebihan. Apalagi delapanbelas tahun sudah lampau, dan
usia kami juga tidak muda lagi."
Toan Siu-si tertawa geli, katanya, "Kau baru berusia
empatpuluhan, nona Boh belum genap empatpuluh, justru saatsaatnya
puber kedua, kenapa bilang sudah tua" Kasusmu kini sudah
menjadi terang, lalu apa pula yang masih kau khawatirkan"
Sebetulnya asal kalian sama-sama saling cinta dengan mumi,
umpama ada sementara orang yang tidak tahu persoalannya
menyiarkan desas-desus juga tidak perlu digubris."
Tan Khu-seng seperti menyingkap kabut hatinya, katanya tegas,
"Ucapanmu betul, aku tak boleh me-nyia-nyiakan harapannya lagi.
Aku akan mencarinya. Mungkin beberapa hari lagi aku sudah bisa
pergi mencarinya." Dia memutuskan besok akan mencari seorang
yang berbakat di antara murid-murid Kong-tong-pay untuk mewakili
dirinya sebagai pejabat ciangbun sementara. Lekas sekali tabir
malam telah ' berlalu, fajar pun menyingsing.
Beng Hoa mohon diri kepada orang banyak. Kedua gurunya, Kim
Tiok-liu, Kim Bik-ki dan Miao Tiang-hong beramai mengantarnya
turun gunung, hingga sampai di Toan-hun-gay.
. Sebentar lagi mereka harus berpisah, maka dengan rawan Beng
Hoa berkata, "Kim tayhiap, paman Miao, ji-suhu, sam-suhu sampai
di sini saja cukup kalian mengantarku, silakan kembali saja." Dia
tidak menyinggung nama Kim Bik-ki, sementara matanya terus
mengawasi pujaan hatinya ini.
Tiba-tiba Miao Tiang-hong tertawa, katanya, "Kenapa kau masih
memanggil Kim tayhiap?"
Beng Hoa melongo, sorot matanya serta merta beralih ke arah
Kim Tiok-liu. Dengan tersenyum Kim Tiok-liu berkata, "Hoa-ji, aku titip anak Ki
kepadamu. Kali ini dia akan ikut kau menempuh perjalanan jauh,
maka kurasa hubungan kalian lebih baik diresmikan lebih dulu."
Bukan saja Kim Tiok-liu merestui perjodohan mereka, malah
menitipkan putrinya kepadanya untuk menempuh perjalanan
bersama, karuan bukan kepalang rasa senang Beng Hoa, saking
senang dia malah berdiri menjublek.
"Anak bodoh," olok Miao Tiang-hong tertawa, "hayo berlutut dan
ubah panggilanmu." Dengan gugup dan kaku Beng Hoa menekuk lutut lalu
menyembah kepada Kim Tiok-liu serta memanggil, "Ayah"
Kim Tiokrliu tertawa lebar, katanya sambil memapahnya berdiri,
"Syukurlah aku telah menunaikan kewajiban sebagai orang tua. Oh
iya, paman Miao menjadi comblang perjodohan kalian, lekas kau
pun nyatakan terima kasih kepadanya."
Miao Tiang-hong tertawa, katanya, "Aku ini kan jadi comblang
sambil lalu, jangan kau sungkan kepadaku." Lalu dia menjelaskan
kepada Beng Hoa, "Waktu bertemu dengan ayahmu di Jik-tat-bok,
aku jelaskan keadaanmu sekarang kepadanya, ayahmu lantas
menyinggung perjodahanmu dengan nona Kim. Dia sudah tahu
bahwa Kim tayhiap diundang untuk menghadiri pertemuan di Kongtong-
san ini maka dia minta aku mewakili dia melamar puterinya
untukmu. Semalam hal ini kubicarakan dengan Kim tayhiap, Kim
tayhiap segera menerima lamaran ayahmu. Sebetulnya aku harus
memberi tahu kepadamu lebih dulu, tapi malam sudah terlalu larut,
kedua gurumu juga banyak urusan yang ingin dibicarakan dengan
kau, maka aku tidak mengganggu kalian. Hingga sekarang baru
sempat kuberi tahu kepadamu, supaya menjadi kejutan bagimu."
Setelah Miao Tiang-hong menjelaskan, Kim Tiok-liu
menyambung, "Anak Ki, harapanmu sudah terkabul untuk apa kau
tetap berada di sampingku" Hari sudah siang, lekas kau berangkat
bersama Beng-toako-mu."
Merah wajah Kim Bik-ki, katanya cemberut, "Ayah kau juga meng
goda puterimu sendiri?" Padahal semalam suntuk dia ribut dan
merengek kepada ayahnya supaya diizinkan ikut Beng Hoa pergi ke
Sin-kiang. "Hoa-ji, istri mustikamu ini sejak kecil sudah aleman, terlalu binal,
kuharap kau suka mengalah kepadanya. Anak Ki, Beng-toako-mu
adalah orang jujur, jangan kau selalu bertindak keras kepadanya."
Kim Bik-ki cemberut pula, katanya, "Ayah selalu menyindir, coba
tanya dia apa pernah aku berlaku kasar kepadanya?"
Sepasang kekasih menempuh perjalanan jauh bersama,
sepanjang jalan ini sudah tentu bukan kepalang riang gembira hati
mereka. Hal ini tak perlu diceriterakan panjang lebar.
Perjalanan yang mereka tempuh lebih cepat dari kebanyakan
orang, belum genap duapuluh hari, mereka sudah mulai memasuki
wilayah Sinkiang. Panorama di padang rumput jelas berbeda dengan pemandangan
di Tionggoan. Kim Bik-ki amat senang menikmati udara yang cerah
di sini, tiga hari setelah mereka memasuki padang rumput baru
menemukan sebuah bukit rendah di mana terdapat sumber air
mancur, airnya panas berbau belerang.
Sudah lima hari mereka menempuh perjalanan, kecuali lelah,
badan mereka kotor dan lusuh maka Kim Bik-ki ingin mandi di
empang yang terletak di bawah sumber air mancur yang panas itu.
Sementara Beng Hoa pergi memburu ayam hutan untuk
dipanggang. Tapi Beng Hoa tidak berani pergi jauh, siapa tahu di
tempat yang sepi ada orang lain, kan berabe kalau Kim Bik-ki yang
sedang mandi kepergok orang. Maka dia memilih suatu tempat yang
dapat memandang ke sekitarnya, untuk menikmati pemandangan
alam. "Tempat sesepi ini, binatang liar juga sukar ditemukan, mana
mung-. kin ada manusia," demikian batin Beng Hoa.
Tak nyana baru saja berpikir begitu, mendadak dilihatnya dua
titik di kejauhan bergerak di antara timbunan salju yang memutih.
Walau tidak terlihat jelas, tapi Beng Hoa berani memastikan yang
muncul bukan binatang tapi manusia.
Hanya sekejap dua titik hitam itu makin besar dan dekat, bentuk
badan dua orang sudah mulai jelas. Kelihatannya seorang hwesio,
yang lain pengemis. Bercekat hati Beng Hoa, "Tidak lemah ginkang
kedua orang ini." Lekas dia bersembunyi di belakang batu serta
mendekam mendengarkan suara.
Didengarnya si pengemis berkata, "Aku tahu di atas bukit itu ada
sumber air mancur, kita bisa bermalam di sini dan membersihkan
badan dengan segar dan nyaman."
Hwesio berkata, "Dari sini menuju ke Duluanki harus menempuh
berapa hari perjalanan?" Logatnya terdengar kaku dan kurang fasih,
jelas dia bukan bangsa Han.
Mendengar percakapan mereka, tercekat hati Beng Hoa,
batinnya, "Duluanki, bukankah itu daerah kekuasaan kepala suku
Uigior yang terdahulu?"
Pengemis itu menjawab, "Masih empat hari perjalanan lagi."
"Baiklah, karena tak perlu buru-buru menempuh perjalanan,
setelah bersusah payah di padang pasir, aku jadi ingin mandi untuk
menyegarkan badan." Mendengar mereka hendak mandi di sumber air mancur, Beng
Hoa kaget. Lekas dia bersiul dengan suaranya yang melengking
tajam. Tadi dia sudah berjanji dengan Kim Bik-ki, bila ada orang
datang dia akan memberi tahu dengan siulan.
Siulan yang menjulang di angkasa seumpama dapat menyusup
ke bumi, sudah tentu membuat kedua orang itu kaget. Mereka tidak
tahu apakah jejak mereka sudah dilihat Beng Hoa, namun dari
siulan itu mereka tahu di sini mereka akan bertemu seorang kosen
yang memiliki lwekang tinggi.
Mungkin kedua orang ini tidak ingin diketahui Beng Hoa bahwa
mereka memiliki kungfu, segera memperlambat langkah. Si
pengemis malah sengaja berjalan tertatih-tatih dengan napas ngosngosan,
langkah demi langkah memanjat ke atas bukit.
Pengemis ini sudah ubanan rambut, alis dan jenggotnya,
kelihatannya sudah berusia lanjut. Lereng bukit itu ditaburi salju
yang licin, jadi tanpa jalanan yang dapat ditempuh.
Beng Hoa tahu bahwa mereka pura-pura, namun dia khawatir
bila mereka terpeleset jatuh, maka dia memburu maju bantu
menariknya ke atas. Tak nyana, begitu kedua tangan mereka saling genggam, Beng
Hoa ingin menariknya ke atas, mendadak terasa adanya tenaga
berat yang membebani tangannya, pengemis tua ini malah hendak
menyeretnya ke bawah. Untung beberapa bulan ini Beng Hoa mencapai kemajuan pesat,
lwe-kang-nya yang tangguh sudah bukan olah-olah lihaynya, cepat
dia mengerahkan daya berat ribuan kati, kedua kakinya seperti
tonggak yang terbenam di dalam tanah, sekali mengerahkan
tenaga, akhirnya dia berhasil mengangkat pengemis itu ke atas
malah. Karuan pengemis tua ini tersirap kaget, pikirnya, "Tak heran
kedua paderi sakti dari Thian-tiok itu memuji kungfunya Belakangan
ini tersiar luas berita di Kangouw, kabarnya komandan Gi-lim-kun
Hay Lan-ja mati di tangannya, kukira kabar angin belaka, sekarang
terbukti bahwa bocah ini memang luar biasa."
Pengemis ini memang tidak kenal Beng Hoa, tapi hwesio yang
seperjalanan dengan dia itu ternyata pernah melihat Beng Hoa. Tadi
waktu Beng Hoa menampilkan dirinya di lereng bukit, si hwesio
sudah memberi tahu kepada si pengemis. Meski" kaget namun
lahirnya pengemis ini bersikap tenang, katanya dengan tawa lebar,
"Anak muda, kau memang memiliki kepandaian yang hebat.
Siapakah namamu, siapa gurumu" Boleh beri tahu kepadaku?"
sengaja dia bertanya "Agaknya dia mencoba kungfuku," demikian batin Beng Hoa.
Kejadian seperti ini pernah dia alami waktu pertama kali bersua
dengan maling sakti nomor satu Kwi-hwe-thio dulu. Dia mengira
pengemis ini juga ingin mempermainkan dirinya, maka sedikit pun
dia tidak menaruh curiga bahwa kelakuan si pengemis tadi sengaja
hendak mencelakai dirinya
Beng Hoa terus terang, dia memberitahukan namanya, lalu
berkata dengan sopan, "Terima kasih atas pujian cianpwe. Mohon
tanya siapakah nama gelaran cianpwe?"
Pengemis itu bergelak tawa, katanya, "O, jadi kau inilah Beng
Hoa, Beng-siauhiap yang mulai menonjol di Kangouw dua tahun
terakhir ini, sudah lama aku mendengar namamu, memang tidak
bernama kosong. Aku ini sudah tua, tak berguna Aku she Ciong
bernama Bu-ypng. Sesuai arti namaku, aku ini sudah tua, tidak
berguna." Beng Hoa menduga orang tidak menyebut nama aslinya, namun
kaum persilatan tidak jarang yang menyembunyikan nama dan asalusulnya
Maka dia berkata, "Locian-pwe berkelakar, mohon tanya
siapakah taysu ini...."
Hwesio yang datang bersama pengemis ini hitam, hidung besar,
mata cekung, sekali pandang pun tahu kalau dia bukan orang Han.
Pengemis lantas menjelaskan, "Paderi ini adalah Tay-hu Hoatsu
datang dari Thian-tiok." Lalu dia bicara cas cis cus dengan si hwesio
dalam bahasa India, lagaknya memperkenalkan Beng Hoa
kepadanya. Mau tidak mau Beng Hoa menjadi heran, tadi dia sendiri
mendengar paderi ini bisa berbahasa Han, kenapa sekarang si
pengemis bicara bahasa India dengan dia" Kini dia amat-amati Tayhu
Hoatsu ini, tiba-tiba terasa olehnya seperti pemah melihatnya.
"Eh, di mana aku pernah melihatnya?"
Mendadak teringat olehnya waktu ketua Lan-to-si dari Thian-tiok
yaitu Yan-tam Hoatsu bersama sute-nya Si-lo Hoatsu meluruk ke
Thian-san bertanding kungfu dengan Teng King-thian tempo hari,
dia membawa belasan pengiring yang terdiri dari hwesio dan
preman. Tay Kiat murid terbesar Si-lo Hoatsu berjaga di luar pintu
Siang-hoa-kiong, dia langsung menerjang masuk hingga Tay Kiat
berhasil disengkelitnya jatuh, waktu itu beberapa orang maju
membantu Tay Kiat mencegat dirinya. Tay-hu Hoatsu ini adalah
salah satu dari pencegat itu, yang juga pernah menyambut sejurus
pukulannya. Segera Beng Hoa menyapa dengan bahasa Han, "Apakah hoatsu
masih ingat padaku, bukankah kita pemah bertemu di Thian-san"
Berpisah baru setengah tahun, tak nyana bersua lagi di sini. Apakah
kedua paderi sakti dari Lan-to-si baik-baik saja?"
Tay-hu Hoatsu hanya mengawasi Beng Hoa dengan mendelong,
pura-pura teringat tapi mengangkat kedua pundaknya, lalu cas cis
cus lagi dengan bahasa India.
Maka pengemis tua itu berkata, "Dia bilang mengenalmu tapi dia
tidak bisa bahasa Han, biar aku jadi penerjemah."
Memangnya sudah heran, Beng Hoa bertambah heran. "Jelas tadi
dia bisa berbahasa Han, kenapa pura-pura tidak bisa?" demikian
batinnya. Semula Tay-hu Hoatsu mengira Beng Hoa tidak mengenalnya.
Hari itu rombongan mereka ikut gurunya membuat onar di Thiansan,
keadaan waktu itu amat kalut, dia mengira meski dirinya
pemah melawan sejurus serangan Beng Hoa, namun kejadian
berlangsung amat cepat, apalagi dirinya satu di antara sekian
banyak orang yang mengeroyoknya, tidak menonjol seperti Tay Kiat
hingga gampang dikenali, mana mungkin Beng Hoa memperhatikan
dirinya" Di luar dugaan, Beng Hoa masih ingat dirinya.
Beng Hoa tahu bahwa orang bisa bahasa Han, namun karena dia
pura-pura tidak fasih, untuk menjaga tata kesopanan, terpaksa
Beng Hoa menganggap dia memang tidak bisa, namun tidak dia


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utarakan bahwa tadi dia mendengar dia bicara dengan bahasa Han.
Maka Tay-hu Hoatsu cas cis cus dengan bahasa India, si
pengemis lantas bermuka-muka menerjemahkan apa yang dia
katakan. "Guru Tay Hoatsu memang salah satu dari dua paderi sakti
dari Thian-tiok yang bergelar Ci-lo Hoatsu. Dia bilang terima kasih
atas perhatian kisu. Supek dan gurunya sudah kembali ke Lan-to-si,
segala sesuatunya dalam keadaan baik. Dia juga bilang gurunya
berpesan kepadanya bila bertemu dengan kisu supaya
menyampaikan salam kepadamu."
Selesai mendengar penjelasan ini, Beng Hoa tidak ragu-ragu lagi
terhadap asal-usul Tay-hu Hoatsu. Dengan tertawa Beng Hoa
berkata, "Baru setengah tahun berpisah, hari ini bertemu lagi,
terhitung aku ada jodoh dengan hoatsu. Bukankah hoatsu sudah
pulang ke Lan-to-si, untuk keperluan apa kembali lagi, bolehkah aku
tahu?" "Aku bisa mewakili dia menjawab," ujar si pengemis. "Dia suka
melancong dan berkelana melanglang buana. Kali ini dia
mengajakku untuk menunjukkan beberapa tempat untuk
menunaikan ibadahnya." Sebetulnya Beng Hoa hendak bertanya
apakah mereka hendak pergi ke Duluanki, namun pikirannya tibatiba
tergerak, pertanyaan itu secara langsung akan membuat
mereka curiga bahwa dirinya tadi sudah mencuri dengar
pembicaraan mereka. Maka dia mengajukan pertanyaan kedua
dengan harapan mendapat jawaban yang memuaskan.
"Aku punya seorang teman bernama Toan Kiam-ceng, waktu
turun dari Thian-san hari itu aku melihat dia berada dalam
rombongan kalian, apakah taysu tahu belakangan ke mana arah
tujuannya?" Ada satu sebab kenapa Tay-hu Hoatsu pura-pura tidak pandai
bahasa Han, yaitu menghindari pelbagai pertanyaan Beng Hoa.
Demikian pula pertanyaan Beng Hoa ini, dia tidak ingin
menjawabnya. Maka dia berpura-pura menggaruk kepalanya yang gundul,
katanya, "Agaknya aku pernah melihat orang yang kau katakan, tapi
dia tidak seperjalanan dengan kami, sebelum berada di lereng
gunung, dia sudah menghilang entah ke mana."
Maksud, Beng Hoa hanya ingin tahu arah tujuan Toan Kiamceng,
sedikit pun dia tidak mencurigai bahwa paderi Thian-tiok itu
berusa,-ha melindunginya, setelah ditanya selalu dijawab tidak tahu,
sudah tentu tak enak dia bertanya lagi.
Pada saat itulah berkumandang suitan nyaring dari arah sumber
air, itulah suitan Kim Bik-ki. Beng Hoa tahu dia sudah selesai mandi
dan berpakaian, maka dia mengajak kedua orang itu ke arah
sumber air panas. Kim Bik-ki segera menyongsong kedatangan
mereka. Mendengar suitan Kim Bik-ki, si pengemis dan hwesio sama-sama
mengunjuk rasa kaget. Maklum sejak kecil Kim Bik-ki sudah dilatih
lwekang mumi oleh ayahnya. Walau latihan lwekang-nya belum
setaraf Beng Hoa, namun cukup kokoh dan mantap, sekali didengar
orang lantas tahu bahwa lwekang tingkat tinggi yang digunakan
adalah dari aliran mumi. Maka kedua orang ini menjadi was-was. Walau taraf
kepandaiannya belum setingkat dengan Beng Hoa, namun mereka
yakin orang yang bersuit ini tentu tokoh Bulim kelas satu. Tak nyana
yang muncul ternyata Kim Bik-ki yang berusia lebih muda dari Beng
Hoa, malah seorang gadis lagi, mereka bertambah kaget.
Setelah Beng Hoa memperkenalkan, pengemis itu bertanya,
"Nona Kim, mohon tanya, pemah apa engkau dengan jago pedang
nomor satu Kim Tiok-liu Kim tayhiap?"
"Beliau adalah ayahku," sahut Kim Bik-ki.
Pengemis itu bergelak tawa, katanya, "Dugaanku memang tidak
meleset. Ayahnya seorang jago kosen, tak heran nona Kim memiliki
kepandaian sebagus ini."
"Apakah Ciong-locianpwe kenal ayah?" tanya Kim Bik-ki.
"Sudah lama aku mengaguminya sayang tiada jodoh bertemu.
Akan tetapi kakekmu Kim Si-ih Kim-lo-cianpwe, kami pemah
bertemu sekali di masa muda dulu."
Kim Bik-ki tidak banyak bicara lagi, dia menunduk seperti
memikirkan sesuatu. Mencium bau ayam panggang, si pengemis segera memuji,
"Wah, harumnya."
Beng Hoa berkata, "Itulah ayam hutan yang berhasil kutangkap
dan kupanggang, rasanya memang cukup sedap, entah Tay-hu
Hoatsu berpantang makanan berjiwa tidak?"
Pengemis segera menjelaskan, "Dia adalah paderi yang sudah
lulus dalam ujian hidup, sejak lama sudah bebas dari segala
belenggu, makanan pun tiada pantangan lagi."
"Syukur kalau begitu, kami dapat menjamu kalian dengan
panggang ayam hutan."
Setelah kenyang makan, si pengemis menggeliat dan berkata,
"Perut kenyang badan segar sungguh nikmat. Syukur di sini ada
sumber air panas." Mendadak Kim Bik-ki bertanya, "Konon di Tibet banyak terdapat
semburan air panas, bagi Ciong-locianpwe tentu sudah biasa
melihat pemandangan serupa?"
Agaknya pengemis tua ini tidak menduga bakal diberi pernyataan
ini, sesaat berubah air mukanya, sesaat baru dia menjawab, "Betul,
di Tibet memang banyak sumber air panas. Aku memang pernah
pergi ke Tibet, namun dua kali hanya lewat sambil lalu saja! Pernah
aku melihat beberapa air mancur yang kecil, sudah biasa melihat sih
tidak." Beng Hoa menjadi heran kenapa tanpa sebab mendadak Kim Bikki
bertanya soal ini, seperti sudah tahu kalau pengemis ini pernah
pergi ke Tibet dan tinggal beberapa lama di sana. "
Beng Hoa pernah pergi ke Tibet, maka dia lantas menimbrung,
"Hanya sekali aku pergi ke Tibet, namun aku pernah melihat air
mancur yang terkenal di sana, yaitu Pek-eng-cwan, semburan airnya
menimbulkan uap putih yang membumbung ke angkasa sehingga
bentuknya mirip seekor elang yang pentang sayap terbang di
angkasa. Keindahannya jauh lebih mempesona dibanding air
mancur di sini." "Ya, kuingat kau pernah bilang, di Pek-eng-cwan itulah kau
bentrok dengan dua cakar alap-alap, betul tidak?"
"Betul, kedua cakar alap-alap itu adalah Ting Tiau-tang,
pembantu kepercayaan komandan Bhayang-kari di istana raja Sat
Hok-ting. Seorang lagi adalah Teng Tiong-ai yang dimutasikan dari
daerah Siau-kim-jwan ke Tibet."
Pengemis itu menimbrung, "Aku pernah mendengar nama Teng
Tiong-ai, konon dia salah seorang yang ternama sebagai jago tiamhoat,
mewarisi kepandaian Siang-pit-tiam-si-meh dari keluarga Lian.
Di Siau-kim-jwan dia diagulkan sebagai pimpinan dari Ngo-koan.
Bukankah maksud Beng-siauhiap adalah dia?"
"Betul, memang orang ini," sahut Beng Hoa.
Mendadak Kim Bik-ki menyela, "Bagaimana akhirnya riwayat
kedua cakar alap-alap itu?"
Kembali Beng Hoa melenggong, dia mengira Kim Bik-ki ingin dia
bercerita supaya didengar oleh kedua orang ini, maka dia berkata,
"Belakangan Ting Tiau-tang mampus di rumah Kang Poh, seorang
tuan tanah yang kejam di Tibet,'dia terkena jarum beracun Jian-jiukoan-
im Ki Seng-in tepat di ulu hatinya, sementara Teng Tiong-ai
kepergok aku di Thian-san dengan cara dia menyerang orang aku
me-notok hiatto pelumpuh badannya. Waktu itu ada orang
menolongnya, sekarang mati hidupnya sukar diramalkan."
Kim Bik-ki tertawa, katanya, "Peduli mati atau masih hidup,
pendek kata kedua cakar alap-alap ini tidak selamat."
Waktu Kim Bik-ki bicara, air muka si pengemis tampak berubah.
Beng Hoa tidak menaruh perhatian, namun perubahan rona muka
orang tidak lepas dari pengamatan Kim Bik-ki.
Agaknya si pengemis segan bicara tentang cakar alap-alap dan
air " mancur segala, setelah menyantap daging ayam yang terakhir,
dia menyeka mulut sambil berkata, "Beng-siauhiap, nona Kim,
terima kasih akan pelayanan kalian. Kini kami sudah kenyang dan
ingin beristirahat, tiba saatnya kami mohon pamit kepada kalian."
Beng Hoa melenggong, tanyanya, "Kenapa kalian buru-buru
hendak berangkat?" Pengemis itu menjelaskan, "Kami sudah banyak mengganggu
keasyikan kalian, kami harus tahu diri."
"Ah, locianpwe menggoda. Mumpung bertemu dengan orang
kosen, kami sebetulnya ingin mohon petunjuk kepada kalian."
Rona muka si pengemis berubah tidak menentu, pikirnya, "Puteri
Kim Tiok-liu agaknya sudah tahu asal-usulku. Beng Hoa hendak
menahanku di sini, mungkin mengandung maksud jelek." Kiranya
dia salah paham mendengar Beng Hoa hendak mohon petunjuk
kepadanya. Dia tahu kungfunya bukan tandingan Beng Hoa, hatinya makin
gugup. Setelah basa-basi ala kadarnya bergegas dia berangkat.
Setelah kedua orang itu pergi Beng Hoa berkata, "Adik Ki,
agaknya kau kurang senang terhadap pengemis itu?"
"Apa kau tidak merasa ganjil melihat pengemis itu?"
"Ya, di tengah jalan tadi dia bilang kepada si hwesio akan mandi
di air mancur sini, mereka akan menginap semalam di sini, besok
baru akan melanjutkan perjalanan. Entah kenapa, mereka
mendadak mengubah maksud semula."
"Terima kasih langit dan bumi, syukur mereka tidak menerima
permintaanmu tetap tinggal di sini, sungguh sayang air mancur di
sini akan dibuat kotor oleh mereka."
Beng Hoa berkata dengan sikap serius, "Menilai orang tidak boleh
berdasar tampangnya. Orang-orang persilatan yang aneh sifatnya
memang tidak suka berdandan secara rapi, sepatutnya kita
menghormatinya sebagai orang tua Satu contoh " adalah maling
sakti nomor satu Kwi-hwe-thio. Di Kong-tong-san dia banyak
membantu kita, bukankah keadaannya lebih jorok dibanding
pengemis tadi?" Kim Bik-ki juga bicara dengan sungguh-sungguh, "Tapi pengemis
ini jangan kau bandingkan dengan paman Kwi-hwe-thio. Kwi-hwethio
hanya kotor raganya tapi hatinya tidak kotor."
Beng Hoa melenggong, katanya, "Betul, aku ingin bertanya,
perkataanmu tadi membuatku heran. Adik Ki, apakah kau sudah
tahu asal-usulnya?" "Beng-toako, apa kau tidak merasa nama pengemis itu agak
ganjil?" "Dia mengaku bernama Ciong Bu-yong, kurasa namanya ini
palsu." "Namanya jelas memang palsu, she-nya juga palsu. Yang benar
dia she Tiong bernama Bok-jong."
"Dia she Tiong" Jarang ada orang she Tiong."
"Ya, tapi dua generasi lebih tua dari kita pernah muncul seorang
tokoh besar she Tiong dalam kalangan Bulim."
"Ha, maksudmu adalah Tiong Tiang-jongTiong-pangcu dari Kaypang
sekte utara yang hidup empat limapuluh tahun lalu?"
"Betul, pengemis ini memang putera Tiong Tiang-jong."
"Tak heran dia bilang pernah kenal kakekmu, tapi kalau betul dia
putera Tiong Tiang-jong, sepatutnya dia bukan orang jahat."
"Ucapanmu tidak masuk akal. Kau kira setiap orang seperti
dirimu, ayahnya seorang pahlawan anaknya ksatria gagah" Memang
tidak sedikit ayahnya seorang pahlawan anaknya pendekar sejati,
tapi tidak sedikit pula yang ayahnya seorang pahlawan puteranya
bajingan, atau ayah bajingan puteranya pendekar. Coba kau pikir,
kalau benar Tiong Bok-jong ini seorang baik, kenapa kau justru tak
pernah mendengar namanya?"
"Betul. Kalau Tiong Bok-jong seorang baik, bukan saja dia harus
mewarisi kebesaran nama ayahnya, paling tidak dia termasuk tokoh
Kaypang yang disegani."
"Bukan kau saja yang tidak tahu, orang-orang yang berusia lebih
tua dari kita pun banyak yang tidak tahu kalau Tiong Tiang-jong
punya seorang putera seperti itu." "O, kenapa demikian?" "Pernah
kau mendengar cerita kepahlawanan Tiong Tiang-jong yang
mengutamakan kepentingan umum dari kepentingan pribadi?"
"Sam-suhu pernah bercerita banyak tentang para Bulim cianpwe,
tapi cerita tentang Tiong-pangcu belum pernah aku mendengarnya,
coba kau saja yang bercerita padaku."
"Kaypang adalah pang terbesar di kolong langit. Waktu itu dua
pangcu mereka dari sekte selatan Gi Tiong-bo sama-sama terkenal
dengan Tiong Tiang-jong. Mereka adalah tokoh terkemuka dari
Kaypang sejak seratusan tahun belakangan ini. Gi Tiong-bo lak
pernah kawin dan tak punya anak, tapi Tiong Tiang-jong punya
seorang putera, dia adalah Tiong Bok-jong itu.
"Dia beranggapan karena ayahnya seorang pangcu, maka dia
yakin dirinyalah yang kelak akan mewarisi jabatan ayahnya, maka
sejak kecil dia selalu mengagulkan diri sebagai siau-pangcu. Orang
lain memandang ayahnya maka tidak jarang
memberi kelonggaran dan mengalah kepadanya. Di mana dia
berada, tak sedikit kawanan Kangouw yang suka menjilat lantas
menyanjung puji dan menepuk pantatnya sehingga sifatnya menjadi
sombong dan takabur. "Tapi di antara murid-murid Kaypang sekte utara waktu itu,
bicara tentang kepandaian silat dan sastra, jelas dui jauh
ketinggalan dibanding seorang suheng-nya, yaitu murid kedua
gurunya yang bernama Koan Ih-ting.
"Usia Tiong Tiang-jong makin tua, maka berbagai tugas dan
urusan dalam Kaypang dia bagi kepada para murid dan puteranya
untuk menyelesaikan. Beberapa kali dalam menunaikan tugas Tiong
Bok-jong selalu mengalami kegagalan. Suatu ketika Tiong Tiangjong
menyuruh puteranya pergi memberi bantuan dan menolong
seorang pahlawan yang buron dikejar cakar alap-alap kerajaan,
namun di tengah jalan-dia justru sibuk melayani orang-orang yang
menyanjung puji dirinya sehingga terlambat satu hari. Hampir
sajajiwa pahlawan itu tak tertolong. " Jikalau sesama saudara
seperguruan tidak minta ampun, waktu itu ayahnya sudah akan
mengusir dan memecatnya dari anggota Kaypang."
"Koan Ih-ting seorang arif bijaksana, mengingat gurunya hanya
punya seorang putera, dia tidak ingin melihat gurunya patah arang
oleh perbuatan puteranya, maka sering dia membantu Tiong Bokjong
secara diam-diam, tak jarang pahala yang sering dia peroleh
dia hibahkan kepadanya. "Usia Gi Tiong-bo dari Kaypang sekte selatan lebih tua dari Tiong
Tiang-jong, tahun itu dia berunding untuk menyatukan kedua sekte
selatan dan utara menjadi satu, karena mereka mempunyai maksud
mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan kepada
generasi muda, maka mereka bersepakat untuk memilih salah satu
calon'dari murid-murid mereka.
"Peristiwa besar ini sudah tentu membuat- banyak murid
Kaypang bergairah. Semua berteka-teki, malah tidak sedikit yang
bertaruh, siapa bakal menjadi pangcu baru dari penyatuan Kaypang,
yang menjadi tumpuan harapan bersama sekte utara dan selatan.
"Waktu Tiong Tiang-jong mengumumkan pilihannya yang telah
disetujui oleh Gi Tiong-bo, hadirin kaget dan merasa di luar dugaan.
Bukan mereka menganggap Koan lh-ting tidak memenuhi syarat
untuk memegang tampuk pimpinan, sebaliknya, sembilan di antara
sepuluh murid Kaypang mendukung dia, namun yang membuat


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka merasa di luar dugaan adalah jabatan pangcu tidak
diturunkan kepada anak tapi diwariskan kepada murid. Terutama
setengah tahun belakangan ini puteranya sudah mendirikan banyak
jasa dan pahala, wajar kalau keputusan ini amat menggemparkan
kalangan Kaypang. "Ternyata Koan Ih-ting tetap memberi hati dan ingin supaya
sute-nya mendapat kepercayaan, di luar tahunya bahwa gurunya
sudah tahu segala seluk beluk perbuatannya.
"Koan Ih-ting menyinggung dan mengusulkan Tiong Bok-jong
yang terakhir ini tidak sedikit mendirikan pahala besar bagi
Kaypang, berharap gurunya suka mempertimbangkan lagi.
"Maka Tiong Tiang-jong baru membeber persoalannya. Dia bilang
seorang ayah lebih jelas bagaimana keadaan puteranya sendiri,
terhadap jasa-jasa yang diperoleh Tiong Bok-jong dia sudah
menaruh rasa curiga. Kini dia sudah mendapat bukti, Koan Ih-tinglah
yang secara diam-diam membantunya, di luar tahu dirinya
menghibahkan pahalanya sendiri kepada Tiong Bok-jong.
"Setelah dia membongkar persoalan ini, sesuai tata tertib
Kaypang, Koan Ih-ting diberi teguran keras, meski keputusan tetap
dilaksanakan tapi Koan Ih-ting diberi peringatan dengan catatan
tidak lagi melakukan kesalahan serupa. Menurut sejarah berdirinya
Kaypang, baru pertama kali ini terjadi seorang pangcu mendapat
teguran langsung di muka umum.
"Tapi hukuman yang diterima Tiong Bok-jong justru lebih berat
dan keras, dia diturunkan derajatnya sebagai murid biasa,
diserahkan kepada pelaksana hukum untuk selalu mengawasi dan
menindak segala perbuatannya"
Beng Hoa tertawa katanya, "Dapat dibayangkan betapa keadaan
Tiong Bok-jong pada waktu itu, dia pasti malu bukan main, kalau
ada lubang tentu dia akan menyembunyikan diri."
"Kalau dia tahu malu masih mending. Mungkin waktu itu rasa
marah lebih membakar hatinya daripada rasa malu"
"Belakangan bagaimana kelanjutannya?"
"Setahun dia dikurung, dididik dan digembleng serta dicuci
otaknya, baru Tiong Tiang-jong memberi ijin kepadanya ikut toasuheng-
nya pergi menunaikan satu tugas. Waktu itu penyatuan
sekte selatan dan utara Kaypang sudah berlangsung sesuai rencana,
Koan Ih-ting menuju ke selatan untuk serah terima kekuasaan
Kaypang sekte selatan ke tangannya." h
"Sejak kecil Tiong Bok-jongsu-dah terlanjur mengagulkan diri
sebagai pewaris pangcu, setelah mengalami pukulan, lahir batin,
meski sudah disekap dan dicuci otaknya, kurasa masih tidak rela
menerima nasib jeleknya itu, apalagi mengulang dari bawah
menebus kesalahan dengan perbuatan nyata?"
"Dugaanmu rriemang tepat, kali ini dia melakukan kesalahan fatal
sehingga selanjutnya dia sendiri mengundurkan diri dari Kaypang.
"Murid Tiong Tiang-jong yang tertua bernama Siau Ih-can,
wataknya alim dan dapat dipercaya, memang tidak sepintar dan
cekatan seperti sute-nya-Koan lh-ting, namun pengalaman
Kangouw-nya jauh lebih luas, maka Tiong Tiang-jong menyerahkan
puteranya kepadanya. "Tak nyana, Tiong Bok-jong merasa dihina karena dirinya
direndahkan, mumpung ada kesempatan boleh keluar, di tengah
jalan dia melarikan diri. Sebetulnya Siau Ih-can sudah melihat gejala
yang tidak baik dan selalu waspada dan berjaga-jaga. Begitu dia
melarikan diri lantas ketahuan oleh Siau Ih-can.
"Siau Ih-can mengejarnya dan membujuknya supaya kembali,
bukan saja tidak mendengar nasihatnya, Tiong Bok-jong malah
menusuk suheng-nya hingga terluka. Kungfu Siau Ih-can sebetulnya
jauh lebih tinggi, tapi dia segan menggunakan kekerasan terhadap
putera tunggal gurunya, terpaksa dia biarkan orang melarikan diri."
"Setelah mendapat berita ini, entah betapa marah dan sedih hati
Tiong Tiang-jong?" "Tapi kejadian yang lebih menyakitkan hatinya masih ada di
belakang. "Dalam perjalanan ke selatan untuk serah terima jabatan, di
tengah jalan Koan Ih-ting dicegat dan disergap oleh kawanan cakar
alap-alap, mereka adalah jago-jago kosen istana, kepandaiannya
rata-rata tinggi, untung ada dua murid Kaypang sekte selatan
sempat datang memberi bantuan baru Koan Ih-ting lolos dari
ancaman elmaut. Tapi seorang diri dia berhasil merobohkan tiga
jago kosen istana, dia sendiri pun terluka cukup parah, terpaksa
upacara serah terima Kaypang pangcu ditunda beberapa bulan
lamanya." "Kenapa pihak cakar alap-alap tahu tentang perjalanan Koan Ihting
ke selatan, padahal rahasia ini hanya diketahui beberapa orang
pemimpin tertinggi dari sekte utara dan selatan, lalu siapa yang
membocorkan kepada musuh?"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 10 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Kasih Diantara Remaja 9
^