Pencarian

Anak Pendekar 24

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 24


"Apakah bukan Tiong Bok-jong?"
"Memang dia yang patut dicurigai. Tapi tanpa bukti, apalagi
orang banyak memandang muka lo-pang-cu, walau merasa curiga,
tapi siapa berani mengutarakan maksud hatinya."
"Saking gusar Tiong Tiang-jong sendiri akan turun tangan sendiri
menyelidiki peristiwa ini, menangkap puteranya dan menghukumnya
mati, malah Siau Ih-can dan Koan Ih-ting membujuk dan
menghiburnya. Dengan keras Koan Ih-ting membela sute-nya tak
segan dia mendebat gurunya dengan tata tertib dan perundangundangan
Kaypang, kalau hanya dicurigai tanpa bukti, tak boleh
menjatuhkan hukuman semena-mena.
"Apa boleh buat terpaksa Tiong Tiang-jong mengambil keputusan
ringan mengingat puteranya menusuk luka toa-suheng-nya dan
melarikan diri, dosanya pantas diusir dari perguruannya, maka dia
mengumumkan puteranya dipecat dari keanggotaan Kaypang
disertai pesan kalau penyelidikan membuktikan benar Tiong Bokjong
yang membocorkan rahasia ini ke pihak kerajaan, dengan
tuduhan berusaha membunuh pangcu, dia harus dibekuk dan
dihukum mati. "Tapi sejak melarikan diri Tiong Bok-jong tak karuan jejaknya
dan tidak pernah ditemukan. Tidak lama setelah Koan Ih-ting
menjabat Kaypang pangcu, Tiong Tiang-jong meninggal dunia.
Ternyata puteranya juga tidak pulang untuk melayat dan
berkabung." "Apakah pihak Kaypang tiada yang pernah melihat dia?"
"Benar. Mengingat budi kebaikan lo-pangcu mereka, juga
mengingat keburukan keluarga malu kalau diketahui orang luar,
maka sejak Tiong Bok-jong menghilang, jarang ada orang
membicarakan dirinya. Lama kelamaan, jangan kata orang luar,
murid-murid Kaypang dari generasi baru pun tiada yang tahu
adanya manusia yang satu ini."
"Lalu dari mana kau tahu kalau dia berada di Tibet?"
"Kakek pernah melihatnya. Kejadian sudah duapuluh tahun
setelah Tiong Bok-jong dipecat dari Kaypang," demikian tutur Kim
Bik-ki. "Tahun itu kakek bertamasya ke Tibet. Ada dua manusia siluman
dari angkatan muda yang menyebut dirinya Bwe-san-ji-koay
merajalela dengan racun, karena di Tionggoan terdesak dan tahu
takkan selamat, mereka lari ke Tibet. Sebetulnya tidak setimpal
kakek turun tangan terhadap kedua manusia rendah ini, tapi karena
sudah bertemu, memangnya kakek juga sedang iseng, maka dia
memutuskan untuk membereskan persoalan ini. Dia bermaksud
membekuk Bwe-san-ji-koay dan dibawa pulang diserahkan kepada
kaum pendekar untuk menghukumnya."
Mendadak Beng Hoa bertanya, "Bwe-san-ji-koay ini bukankah
masing-masing-bernama Cu Kak dan Loh Ang?"
"Betul, jadi kau juga kenal mereka?"
"Mereka adalah oranjj yang menolong Sin Jit-nio. Aku tidak
pernah melihat mereka, guruku yang memberi tahu kepadaku. Boh
lihiap sedang mencari Bwe-san-ji-koay."
Kim Bik-ki melanjutkan ceritanya, "Karena menguntit Bwe-san-jikoay,
kakek tiba di sebuah gunung salju yang terletak di perbatasan
Tibet. Sebelum menemukan jejak kedua orang beracun ini, dia
keper-gok dengan Tiong Bok-jong. Ternyata Tiong Bok-jong adalah
tulang punggung Bwe-san-ji-koay, dia tahu kakek hendak
membekuk Bwe-san-ji-koay, tak tahu diri dia berani melabrak
kakek." Beng Hoa tertawa, katanya, "Dengan kemampuannya yang tidak
seberapa itu, berani dia bergebrak dengan kakekrnu'seperti telur
membentur batu. Heran, dengan sedikit kemampuannya itu
bagaimana dia bisa hidup sampai sekarang?"
"Tiong Bok-jong melawan tiga jurus, itu sebetulnya bisa
membunuhnya. Tapi melihat jurus permainannya, kakek jadi tidak
tega membunuhnya." "Jadi dalam tiga jurus itu kakekmu sudah tahu asal-usulnya
sebagai putera Tiong Tiang-jong?"
"Betul. Perihal perbuatannya yang bejat, orang luar jarang yang
tahu. Tapi kakek bergaul erat dengan Tiong Tiang-jong dan Gi
Tiong-bo, maka hal itu diketahuinya jelas." "Bagaimana
selanjutnya?" "Setelah tahu dia adalah putera teman baiknya, sudah
tentu tak tega melukainya. Terpaksa dia melanjutkan pencariannya
kepada Bwe-san-ji-koay. Tapi jejak mereka susah ditemukan di
pegunungan salju itu. Waktu itu Bwe-san-ji-koay hanyalah jago
kelas rendah, belum setimpal disebut gembong iblis. Tiga hari kakek
mencarinya tanpa hasil, terpaksa dia melanjutkan perjalanan.
"Kejadian ini, kecuali kakek memberi tahu kepada Koan Ih-ting,
dia hanya menceritakan kepada ayah. Tahun lalu aku bertemu ayah
di Lhasa, ayah bercerita tentang tokoh-tokoh Bulim yang ternama di
daerah Tibet ini, baru dja teringat kepada Tiong Bok-jong.
"Ayah tidak tahu apakah dia masih hidup, tidak diketahui apakah
dia kini berubah baik atau makin bejat, namun ayah berpesan
kepadaku bila bertemu dengan orang ini supaya berhati-hati."
Beng Hoa terpekur beberapa saat, katanya, "Kau kira dia
sekarang berubah baik atau tambah bejat?"
"Memangnya perlu dikatakan, dari sikap dan tutur katanya, jelas
dia makin bejat. Aku malah mengkhawatirkan satu hal."
"Apa yang kau khawatirkan?"
"Waktu kau bertanya tentang Toan Kiam-ceng kulihat Tay-hu
Hoatsu itu pura- pura tidak bisa bahasa Han, sehingga si pengemis
menerjemahkan, waktu itu kau tidak perhatikan, aku justru melihat
sinar matanya yang jelalatan. Jelas seperti maling yang takut
ketahuan, apa yang diucapkan jelas bohong belaka."
"Dan lagi kau pergi ke Thian-san bersama puteri Lohay yang
bernama Lomana, umpama Toan Kiam-ceng tidak memberi tahu
mereka, mereka juga bisa mencari tahu hubunganmu dengan
Lohay. Kenapa hanya setengah tahun kau putar balik ke Sin-kiang"
Kalau kita pernah mencurigai paderi Thian-tiok yang sibuk pulang
pergi, apa salahnya kalau mereka juga mencurigai kau."
Beng Hoa sadar, katanya, "Ya, jadi kau mengira mereka hendak
mendahului kita supaya lebih dulu tiba di Duluanki, bukan mustahil
mereka punya rencana jahat yang tidak menguntungkan Lohay."
"Betul. Empatpuluh tahun yang lalu Tiong Bok-jong sudah
dicurigai berkomplot dengan cakar alap-alap, siapa tahu kalau
sekarang dia sudah punya pangkat dan bekerja untuk kerajaan" Dia
menduga kau juga akan ke Duluanki membantu Lohay melawan
serbuan pasukan kerajaan, sudah tentu mereka buru-buru
berangkat." "Analisamu memang betul, betapapun kita harus waspada,
baiklah mari kita juga berangkat menyusul mereka."
"Dari sini ke Duluanki kira-kira berapa hari perjalanan?"
"Kalau mereka bisa menempuhnya empat hari, kita mungkin bisa
tiga hari saja. Adik Ki bukan aku memuji kau, ginkang-mu memang
sudah lebih maju dibanding dulu."
"Terima kasih atas pujian seorang ahli seperti dirimu, baiklah,
sekarang giliranmu mandi dulu supaya lebih segar."
Waktu itu sudah menjelang tengah malam Mereka bersiap besok
pagi-pagi berangkat, biar kedua pen-jahat itu berangkat "beberapa
jam lebih dulu, mereka yakin pasti dapat mengejarnya.
Setelah mandi Beng Hoa tertawa, katanya, "Air mancur ini seperti
seorang tabib, setelah berendam sebentar rasa lelah dan lesu
seketika lenyap. Baiklah adik Ki, kau tidur saja, besok kita akan
mengadu kekuatan lari."
Beng Hoa sendiri tidak berani tidur nyenyak, dia duduk
bersimpuh dan semadi sambil menunggu fajar. Lwekang-nya sudah
mencapai tingkat tinggi, duduk semadi dalam ketenangan seperti
itu, pendengarannya bisa mencapai jarak yang lebih jauh.
Malam itu aman dan tenteram tanpa kejadian apa-apa, tapi
menjelang fajar dia mendengar langkah kaki orang dari tempat
jauh, suaranya tertiup angin lalu. Tapi karena jaraknya terlalu jauh,
Beng Hoa tidak punya pengalaman seperti para pemburu umumnya,
sekali dengar bisa membedakan langkah orang atau binatang. Dia
pikir pengemis itu tentu sudah lari jauh maka dia menduga suara itu
langkah binatang. Setelah dia membangunkan Kim Bik-ki, khawatir ditertawakan,
kejadian ini tidak dia ceritakan kepada Kim Bik-ki.
Beberapa kejap setelah mereka meninggalkan air mancur,
mereka harus lewat sebuah mulut gunung yang bentuknya
menyerupai terompet. Mendadak terdengar suara gemuruh, dari
sebelah atas tampak sebuah batu raksasa sebesar kerbau disertai
pecahan salju menggelinding jatuh dari atas. Begitu keras gemuruh
suaranya sampai tanah di mana mereka berpijak terasa bergetar.
Beng Hoa kaget, "Celaka, terjadi salju gugur. Lekas kita lari ke
tempat tinggi." Batu besar itu menggelinding dari tempat ketinggian membentur
batu-batu lain dan salju yang membeku jadi es. Laksana bola
raksasa sajaberlompatan ke bawah, kebetulan meluncur ke arah
Beng Hoa berdua. Beng Hoa membentak, "Pergi!" Dengan Hong-tiam-thau dua
tangannya menyampuk sambil menggunakan gaya To-coan-janheng,
tenaganya menyodok lalu menuntun ke pinggir hingga
luncuran batu besar itu dialihkan arahnya melesat ke pinggir
mereka. Di tengah gemuruh suaranya, batu besar itu terus
menggelinding ke bawah lembah.
Kim Bik-ki memuji, "Beng-toa-ko, hebat benar Su-nio-phoat-jiankin
yang kau gunakan." Menyusul menggelinding pula batu-batu dan pecahan salju yang
tak terhitung banyaknya, namun ukurannya jauh lebih kecil. Dengan
mengembangkan ginkang-nya Kim Bik-ki meluncur sambil
berlompatan ke sebelah atas. Semula batu yang menggelinding
turun memang banyak, namun setelah mereka berlompatan makin
tinggi, batu-batu yang menggelinding jatuh mendadak jadi
berkurang. Kim Bik-ki menghela napas lega, katanya, "Beng-toako, aku jadi
heran." "Apanya yang heran?" "Walaupun aku tidak pernah melihat salju
gugur namun kenapa batu dan salju justru ke arah kita saja" Coba
lihat, di lereng sebelah sana tiada satu pun yang bergerak."
Waktu Beng Hoa mendongak, memang batu-batu di atas puncak
yang agak jauh jaraknya ternyata tidak ikut longsor, memang ada
batu-batu kecil yang berjatuhan, itu karena akibat getaran keras
dari gemuruh batu besar yang menggelinding tadi.
Pengalaman Beng Hoa tentang salju gugur memang tidak
banyak, namun dia tahu tak mungkin salju gugur hanya terjadi
dalam area beberapa tombak saja dalam pegunungan seluas ini,
anehnya bila mereka berpindah tempat, batu-batu yang berjatuhan
itu pun seperti sengaja mengejar mereka. Kejadian ini memang
patut dibuat heran. Beng Hoa jadi sadar, katanya, "Betul, pasti ada orang sengaja
hendak mencelakai kita dari atas." Segera dia menarik napas lalu
melompat beberapa tombak ke sana mendadak dia menghardik,
"Tiong Bok-jong, Tay-hu Hoatsu, kuanggap kalian sebagai sahabat,
kalian justru hendak mencelakai kami, apa maksud kalian" Hm, aku
sudah melihat kalian, kalau berani hayo jangan lari."
Padahal dia tidak melihat mereka, dia hanya coba menggertak
saja. Serangan batin Beng Hoa memang berhasil, seseorang yang
bersembunyi di belakang sebuah batu. besar mengira jejaknya
ketahuan, mengingat ginkang Beng Hoa amat tinggi dan takut
dikejar, bergegas dia melarikan diri. Tapi sambil lari masih juga dia
menendang dan mendorong batu ke bawah.
Dari tempat Beng Hoa berdiri, sekilas sempat dia melihat
bayangan orang yang melarikan diri, bentuknya memang mirip Tayhu
Hoatsu, tapi bayangan si pengemis tidak kelihatan.
Untung salju gugur ini perbuatan manusia, akibat yang
ditimbulkan tidak sedahsyat guguran salju yang sesungguhnya,
namun demikian Beng Hoa harus menarik Kim Bik-ki sambil
mengembangkan ginkang tinggi. Akhirnya mereka mencapai atas
gunung, namun kejadian ini cukup memeras keringat dan membuat
terkejut. Bayangan si pengemis dan Tayhu Hoatsu entah ke mana, jelas
tak mungkin ditemukan. Maka mereka melanjutkan perjalanan. Setelah melewati Taysoat-
san, tengah hari ketiga, sesuai rencana mereka tiba di
Duluanki. Lohay, Lomana dan San tala melihat kedatangan mereka girang
seperti kejatuhan rejeki dari langit. Santala dan Lomana berebut
menyambut Beng Hoa dengan pelukan, katanya, "Beng-toako, kau
memang dapat dipercaya, kau datang untuk menghadiri pesta
pernikahan kami." Lohay berkata, "Pesta pernikahan mereka sudah ditentukan
besok, kebetulan kedatangan kalian."
Lomana tertawa manis, katanya, "Jangan kita ngobrol saja
dengan Beng-toako, kan masih ada tamu agung yang lain." Lalu dia
membalik menghadapi Kim Bik-ki serta memeluknya, katanya
tersenyum manis, "Cici yang cantik molek, cici jangan kau sebut
namamu, biar aku menebaknya, aku duga kau pasti adalah nona
pujaan Beng-toako Kim Bik-ki Kim-cici betul tidak?" Sembari bicara
jari tangan menutul susu kuda lalu menulis di permukaan meja,
yang ditulis adalah "Bik-ki", lalu berkata pula, "Cici, sengaja aku
minta Beng-toako mengajarkan menulis namamu, betul tidak
tulisanku?" Jengah muka Kim Bik-ki namun hatinya senang dan mesra,
katanya, "Betul kau amat pintar."
Setelah Kim Bik-ki berpehikan dengan Lomana, menyusul Santala
maju ke hadapannya, seketika Kim Bik-ki menjadi gugup, pikirnya,
"Menurut kebiasaan suku Uigior setiap bertemu dengan tamu agung
harus berpelukan. Kalau dia memelukku, bagaimana baiknya?"
Untung Santala sudah tahu adat istiadat orang Han, tidak
memeluknya, setiba di depannya dia hanya membungkukkan badan
saja. Kim Bik-ki melenggong, tersipu-sipu dia balas menghormat.
Santala berkata, "Nona Kim, besok malam kami mengadakan
pesta Jagal Kambing, sudi kiranya kau dan Beng-toako ikut serta."
Khawatir Kim Bik-ki tidak tahu adat kebiasaan suku mereka,
dengan jujur Lomana menjelaskan, "Pesta Jagal Kambing besok
malam diadakan untuk merayakan pernikahan kami, sebagai
pengantin pria dia mengundangmu ikut serta, itu berarti
menganggapmu sebagai tamu yang paling agung."
Merah muka Kim Bik-ki, katanya, "Wah, mana berani aku
menerimanya." Lomana tidak tahu kalau jawaban Kim Bik-ki merupakan basabasi
sebagaimana biasanya bagi orang Han, lekas dia berkata, "Cici
Kim, kami setulus hati mengundangmu, kalau besok kau tidak ikut
serta, pesta besok malam tentu tidak semarak."
Beng Hoa tertawa, katanya, "Sudah kujelaskan kepadanya,
bukan saja dia setuju ikut serta, dia malah bilang akan menyiapkan
sebuah cambuk untuk menghajarku sekerasnya."
Lomana percaya, katanya, "Cici Kim, tidak boleh demikian.
Menurut kebiasaan, terhadap pemuda pujaan-mu, cambuk hanya
boleh kau pukulkan perlahan di badannya." Karuan hadirin bergelak


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawa geli. Malam itu Lohay mengadakan pesta kecil-kecilan menyambut
kedatangan Beng Hoa dan Kim Bik-ki.
Setelah pesta bubar Santala mengajak Beng Hoa beristirahat di
kemahnya, demikian pula Lomana menarik Kim Bik-ki untuk tidur
seranjang dengan dirinya.
Selama sebulan lebih di Thian-san tempo hari, Santala telah
belajar beberapa gerakan dasar silat, niatnya masih besar, meski
malam itu sudah lewat kentongan ketiga, dia masih belum
mengantuk. Tak kenal lelah dia minta petunjuk kepada Beng Hoa.
Lomana tidur seranjang dengan Kim Bik-ki, yang dibicarakan
sudah tentu menyangkut urusan perempuan. Tak lama Lomana juga
menceritakan kejadian waktu Beng Hoa berada di situ dulu, tentang
kisah cintanya dengan Santala serta kehadiran Toan Kiam-ceng
dalam sanubarinya juga diceritakan dengan terus terang.
Tengah mereka asyik bisik-bisik mendadak Kim Bik-ki bangkit
duduk. Sekali kebut, meski dia duduk di dalam ranjang yang
kelambunya diturunkan, namun dua lilin besar yang menyala di
dalam kamar seketika padam.
Lomana kaget, tengah dia ingin bertanya, Kim Bik-ki sudah
berbisik di pinggir telinganya, "Jangan bersuara, ada orang datang."
Lalu dia dorong Lomana ke sebelah dalam, sementara dia tidur di
bagian luar, sengaja mengatur napas dan mengeluarkan dengkuran
seperti orang tidur nyenyak.
Terdengar suara lambaian pakaian, seseorang melompat turun
dari atas dan tepat berhenti di luar pintu kamar tidur mereka.
Perkemahan memang tiada pintu yang dikunci, maka dengan
mudah orang itu masuk. Mendengar suara dengkuran di dalam,
orang itu tampak kegirangan, sekali lompat terus menerobos ke
dalam. Dia tahu Lomana tidak pandai silat, maka tanpa takut dan
bimbang dia menyingkap kelambu.
Sigap sekali Kim Bik-ki melompat bangun, ujung pedangnya
bergerak menusuk sepasang mata orang. Dalam sedetik ini orang
itu belum tahu kalau Kim Bik-ki menyerang dengan pedang pusaka,
sambil berkelit mundur dia berkata, "Lomana jangan takut, inilah
aku. Aku tidak akan menyakiti kau, asal kau ikut aku."
Mendengar orang ini seketika Kim Bik-ki tertegun di tempatnya.
Ternyata yang datang bukan lain adalah Toan Kiam-ceng.
Semula tusukan Kim Bik-ki menusuk mata, mendadak tahu orang
itu adalah Toan Kiam-ceng, untuk memberi muka kepada Beng Hoa,
dia tidak tega meneruskan serangannya maka pedangnya ditekan ke
bawah menusuk Ih-khi-hiat di pinggir lambungnya.
Kini Toan Kiam-ceng juga sadar orang ini bukan Lomana, di saat
pedang menusuk tiba dia menarik napas mengempeskan perut
sambil bersalto ke belakang, terpaut serambut tusukan tidak
mengenai tubuhnya. Tapi seperti bayangannya Kim Bik-ki sudah
menubruk tiba. "Hm, ada sorga kau tidak mau pergi, neraka justru kau datangi.
Bangsat tidak berbudi seperti engkau memang ingin kutumpas!"
Sambil membentak, pedang Kim Bik-ki bergerak lincah, dalam
sejurus sekaligus dia mengincar tiga hiatto di punggung Kiam-ceng.
Dia tidak ingin membunuh Toan Kiam-ceng,5-tapi hanya ingin
membekuknya hidup-hidup. Mendengar yang datang adalah Toan Kiam-ceng, amarah
Lomana seketika meluap, tanpa menghiraukan keselamatan sendiri
dia membentak, "Cici Kim, jangan kau lepaskan bangsat itu."
Mendengar teriakan Lomana baru Toan Kiam-ceng tahu yang
menyerang dirinya adalah Kim Bik-ki, kagetnya bukan main, lekas ia
mengembangkan kungfu yang belum lama ini dia pelajari. Sambil
membalik badan dia melancarkan Kim-na-jiu secara terbalik, jurus
ini memaksa lawan menolong diri lebih dulu, betapa kejrdan kuat
tenaganya, sungguh di luar dugaan Kim Bik-ki.
"Cret" pakaian Toan Kiam-ceng tertusuk berlubang, punggungnya
juga terasa silir dingin oleh sambaran hawa pedang, namun hiattonya
tidak tertotok secara telak. Sebat sekali dia sudah menerobos ke
luar. Beberapa jurus serangan ini berlangsung dalam waktu singkat,
Toan Kiam-ceng lolos dari lubang jarum. Namun Kim Bik-ki sendiri
juga terkejut heran karena mendapat perlawanan lihay dari Toan
Kiam-ceng, kemajuan kungfunya di luar dugaannya. Kalau tadi Kim
Bik-ki menyerang sungguh-sungguh, Toan Kiam-ceng jelas sudah
mampus di ujung pedangnya, mana sempat menyelamatkan diri.
Tapi Kim Bik-ki tidak membiarkan dia lari begitu saja, dia
mengejar ke luar sambil membentak, "Lari ke mana!" Dengan jurus
Giok-lo-toh-so kembali ujung pedangnya mengancam hiatto penting
di punggung orang. Kali ini tenaga dia kerahkan ke ujung pedang,
tidak "peduli musuh terluka parah atau akan binasa.
Saat itulah dari samping dua sosok bayangan menerjang tiba.
Orang di sebelah kiri mengerjakan goloknya secepat kilat, sekaligus
dia membacok tigapuluh enam jurus kepada Kim Bik-ki. Orang di
sebelah kanan jaraknya masih ada tujuh delapan langkah, langsung
dia melontarkan pukulan jarak jauh ke arah Kim Bik-ki.
Untung belakangan ini Kim Bik-ki mempelajari tiga jurus Tay-simi-
kiam-hoat dari Beng Hoa. Pada saat itu dia kembangkan tiga
jurus ilmu pedang itu, pertahanannya ternyata amat ketat dan
rapat, hujan lebat pun takkan tembus. Tigapuluh enam jurus
bacokan golok lawan berhasil dipunahkan hanya dengan tiga jurus
permainan pedangnya. Tapi Bik-khong-ciang seorang yang lain ternyata cukup lihay, di
saat Kim Bik-ki mematahkan rang-sakan golok kilat lawan, dia
merasakan dadanya seperti terpukul palu, tanpa terasa dia tergetar
mundur tiga langkah. Lekas Kim Bik-ki berteriak, "Beng-toako, lekas kemari!"
Dalam saat yang sama Toan Kiam-ceng juga berteriak, "Lekas
masuk, rebut pengantin perempuan!"
Pada saat itulah didengarnya Beng Hoa bersuit keras, teriaknya,
"Adik Ki, jangan gugup, aku datang!" Padahal dia berada di bagian
sana, terpaut beberapa kemah, namun karena lwekang-nya tinggi,
bicara dengan ilmu mengirim gelombang panjang, suaranya seperti
dekat. Toan Kiam-ceng melarikan diri lebih dulu, kedua orang berkedok
yang menolongnya itu segera ikut menyelamatkan diri.
Kim Bik-ki berteriak pula, "Aku tidak apa-apa lekas kau kejar
bangsat itu!" Dia khawatir Toan Kiam-ceng masih membawa teman
lain yang akan menculik Lomana, dia pikir Beng Hoa seorang cukup
menandingi mereka, maka dia putar balttc menjaga keselamatan
Lomana ' Di sinilah kurangnya pengalaman Kim Bik-ki, jikalau dia
juga mengejar bersama Beng Hoa, Toan Kiam-ceng pasti takkan
bisa lolos. Umpama Beng Hoa melepasnya pergi, Kim Bik-ki tetap
akan bertindak tegas padanya. Kini hanya Beng Hoa saja yang
mengejar, kesempatan menyelamatkan diri bagi Toan Kiam-ceng
jauh lebih besar. Beng Hoa sudah mendengar suara Toan Kiam-ceng, langsung dia
mengejar ke arah suara, hanya sekejap jaraknya sudah makin
dekat. Para busu Uigior yang jaga malam juga sudah bertindak,
jumlahnya ada belasan orang. Beng Hoa berpikir, "Kalau sekarang
aku membekuknya orang-orang Uigior tentu takkan memberi ampun
kepadanya Untuk membujuknya supaya insaf dan bertobat, aku
harus mencari kesempatan lain bila berhadapan empat mata."
Toan Kiam-ceng berpencar dengan kedua orang berkedok itu,
maka dia tinggalkan Toan Kiam-ceng, mengejar ke arah kedua
orang berkedok itu. Mungkin tahu mereka takkan menang lomba lari
dengan Beng Hoa setelah jarak makin dekat, mendadak mereka
berhenti serta menubruk balik.
Di tengah sambaran sinar golok dan bayangan telapak tangan
Beng Hoa tertawa dingin, "Ha, permainan golok yang cepat, sayang
latihanmu masih jauh dari sempurna"
Golok dilawan permainan golok, pukulan ditandingi pukulan.
Hanya tiga gebrakan, siapa unggul siapa kalah segera kelihatan.
Orang yang bersenjata golok sekaligus membelah delapanbelas
kali. Beng Hoa hanya membalas sejurus tujuh gerakan, dalam tiga
jurus sekaligus dia membacok duapuluh satu kali ke empat penjuru,
permainannya masih lebih cepat dari ilmu golok lawan. Jurus
terakhir adalah Sam-coan-hoat-lun, sebelum gerakan ketiga usai
dilancarkan golok besar lawan yang berat sudah dipelintirnya lepas
dari cekalan. Orang berkedok yang menyerang dengan pukulan menderita rugi
lebih besar, dia hanya adu pukulan sejurus dengan Beng Hoa
"Huuaah" darah kontan tumpah dari mulutnya. Tapi Beng Hoa
sendiri merasa agak mual, tanpa kuasa menyurut dua langkah.
Sekali gebrak dia sudah mencoba kemampuannya, lawan menderita
rugi, tapi lwekang-nya juga tak boleh dipandang enteng,
kekuatannya sebetulnya lebih unggul dari temannya yang
bersenjatakan golok itu. Mendadak Beng Hoa ingat seorang, baru saja dia hendak
bertanya, mendadak dilihatnya dari semak berlari keluar dua ekor
kuda tanpa penunggang, langsung kedua orang itu berlari ke sana
serta naik ke punggung kuda dan kabur dengan cepat. Gelagatnya
mereka sudah merancang rencana dan menyiapkan jalan mundur.
Beng Hoa tak berhasil membekuk kedua orang berkedok, busu
Uigior juga tak berhasil membekuk Toan Kiam-ceng. Mereka
memberi laporan bahwa Toan Kiam-ceng disambut seekor kuda
danmelarikan diri. Pemimpin busu seorang pelatih kuda yang
berpengalaman, dia memberi tahu kepada Beng Hoa tentang rasa
curiganya. "Tunggangan bocah itu adalah kuda perang yang sudah
berpengalaman di medan laga. Kecil, kekar dan cekatan serta kuat
lari jauh, berbeda dengan jenis kuda yang kita miliki."
"Jadi maksudmu...." "Menurut pendapatku, kuda itu dari Sujwan,
bukan mustahil kuda itu dipinjam dari pembesar militer yang
berkuasa di wilayah Sujwan."
Seketika Beng Hoa juga sadar, bukankah kuda kedua orang
berkedok tadi juga kecil dan kekar, segera dia paham persoalannya.
Setelah hilang rasa gusar Santala, dia berkata, "Beberapa hari
yang lalu kami menerima berita, kabarnya pasukan yang dahulu
menduduki Siau-kim-jwan mulai dikerahkan ke Sinkiang, kini tiga
ekor kuda itu muncul di sini, mungkin mata-mata musuh yang
didatangkan dari Siau-kim-jwan. Selanjutnya kita harus lebih hatihati."
"Betul, aku pun berpikir demikian," ujar Beng Hoa. "Tiga orang
ini tidak begitu penting, yang harus dijaga adalah pasukan besar
penjajah." ' Santala gusar, katanya mengepal tinju, "Hm, bangsa Uigior tidak
mudah dihina, kalau betul pasukan penjajah berani menggempur
kita, biar kita adu jiwa dengan mereka."
Setelah peristiva ini, Lohay memerintahkan memperkuat
penjagaan, namun supaya tidak dipandang lemah dan takut oleh
musuh, pesta pernikahan puterinya tetap diadakan sesuai rencana,
malah acara tambah meriah untuk menyambut tamu agung yang
datang. Pesta pernikahan yang diadakan di siang hari jelas akan semarak,
tapi perayaan di malam hari ternyata lebih ramai lagi karena pesta
Jagal Kambing diadakan malam hari.
Lohay sudah menyebar beberapa penyelidik dengan menunggang
kuda sejauh seratus li. Menjelang magrib para penyelidik itu kembali
memberi laporan, katanya tidak menemukan jejak pasukan besar
musuh, maka pesta Jagal Kambing malam harinya lebih meriah,
berpesta pora tanpa rasa khawatir, dan waswas.
Setahun yang lalu Lohay juga pernah mengadakan pesta Jagal
Kambing yang dihadiri Beng Hoa, tapi pesta kali itu hanya meliputi
suku Uigior saja, dibanding pesta kali ini yang diikuti suku bangsa
yang ada di Sinkiarig, jelas amat besar bedanya.
Kim Bik-ki belum pernah menyaksikan dan ikut Jagal Kambing ini,
di samping heran dia pun tertarik, maka tak berhenti dia bertanya
dan minta penjelasan Beng Hoa.
Terdengar suara sangkakala berbunyi tiga kali, pertanda Jagal
Kambing dimulai. Ketiga ekor kambing gemuk yang sudah matang terpanggang
digantung berjajar di atas pohon. Santala berdiri tegak dalam jarak
seratus langkah, "Ser, ser, ser" beruntun tiga kali dia membidik
putus tali penggantung itu. Untuk perayaan lokal biasanya hanya
digunakan satu ekor kambing, tapi pesta kali ini luar biasa maka
sekaligus digunakan tiga ekor kambing. Tambang yang mengikat
kambing panggang hanya sebesar jari anak kecil. Hebat memang
kepandaian memanah Santala, dalam jarak sejauh itu sekaligus dia
mampu membidik putus ketiga tambang pengikatnya, hadirin
seketika bersorak memuji.
Permainan Jagal Kambing akan diikuti acara lanjutan yang lebih
meriah. Sesuai aturan permainan Beng Hoa mengeprak kudanya
melesat di pinggir Kim Bik-ki sambil tertawa, katanya, "Adik Ki, lekas
kejar aku." "Cis, tak usah ya, kenapa aku harus mengejarmu."
"Kita sudah resmi sebagai pasangan, tapi itu kehendak ayahmu.
Aku ingin kau menyatakan isi hatimu sendiri."
Merah wajah Kim Bik-ki, katanya, "Tak tahu malu, jangan kau
menggodaku, nanti kuhajar dengan cambuk ini."
Beng Hoa tertawa senang, "Kebetulan malah." Segera dia
mengeprak kudanya. Tunggangan mereka pemberian Santala, lekas
sekali mereka sudah meninggalkan peserta lain di belakang.
Malam itu cuaca cerah, sang puteri malam di angkasa seperti ikut
menyaksikan perayaan yang meriah ini. Beng Hoa lari di depan, dia
langsung mencongklang kudanya ke dalam lekuk sebuah gunung
sambil berteriak, "Tempat ini amat indah, adik Ki, lekas kemari."
Tengah Kim Bik-ki mengeprak kudanya, mendadak dilihatnya
seekor kuda dibedal kencang dari depan. Kuda tunggangan orang di
depan jauh lebih bagus dari kuda tunggangan Kim Bik-ki. Cepat
sekali kuda itu langsung menerjang lurus ke depannya. Padang
rumput seluas ini, dua kuda tak mungkin bertabrakan kalau tidak
disengaja, jelas penunggang kuda ini sengaja hendak mencari
perkara padanya. "He, apa yang kau lakukan?" bentak Kim Bik-ki sambil menarik
tali kekang. Cepat kedatangan orang itu, tepat di depannya mendadak
kudanya berhenti. Kim Bik-ki tak mungkin menguasai kudanya lagi,
mendadak penunggang kuda itu mengulur tangannya menangkap
tali kekang kuda Kim Bik-ki, hebat memang tenaganya, kuda Kim
Bik-ki berhasil ditahannya hingga Kim Bik-ki hampir terjungkal jatuh
dari punggung kudanya Kepandaian menunggang kuda orang itu
ternyata cukup hebat. Setelah dua kuda berhenti, langsung dia
tertawa lebar kepada Kim Bik-ki.
Tampak oleh Kim Bik-ki tampang orang ini seperti pantat kuali,
hidungnya pesek bibirnya tebal, wajahnya jelek menakutkan. Siapa
pun yang melihatnya pasti mual dan sebal.
Tapi pemuda bertampang jelek ini justru mengenakan mantel
bulu yang mahal, gagang cemeti yang dipegangnya pun dihiasi
berlian, pakaiannya perlente, jelas dia bukan penggembala biasa
Sambil mengangkat cemetinya Kim Bik-ki mendelik dan membentak,
"Jalan seluas ini, kenapa kau mau menabrak aku, sengaja cari
perkara ya?" Pemuda jelek itu tertawa lebar, tidak menjawab malah balas
bertanya, "Kau inikah nona Kim dari bangsa Han itu?"


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Bik-ki melenggong, katanya, "Kalau benar kenapa?"
Mulut pemuda jelek itu berdecak sambil memicingkan mata,
katanya, "Toan-sute-ku bilang kau boleh dibanding Lomana, semula
aku tidak percaya, ah, apa yang dikatakan memang benar."
Kim Bik-ki kaget, tanyanya, "Apakah sute-mu bernama Toan
Kiam-ceng?" Pemuda itu bergelak tawa, ujarnya, "Betul. Kalau begitu kau
memang nona bangsa Han itu, bagus-bagus."
"Bagus apa" Apa maksudmu?" bentak Kim Bik-ki.
"Aku ini pangeran dari suku Jia-kek, gadis secantik bidadari
seperti engkau, orang lain tidak setimpal menjadi jodohmu, kau jadi
permaisuriku saja" Kim Bik-ki gusar, cemeti diangkat, "Tar" langsung dia melecut
kepala orang. Tidak berkelit pemuda itu malah mengulur lehernya memapak
cemetinya, katanya tertawa, "Dugaanku tidak salah kau ternyata
menyukai aku." . Seketika Kim Bik-ki sadar akan aturan permainan "nona kejar"
mana berani dia meneruskan hantaman cemetinya di badan pemuda
jelek ini" Untung belakangan ini kungfunya maju pesat, latihannya
sudah bertaraf tinggi, cemetinya berputar di atas kepala orang,
sebat sekali dia sudah menarik tangan, bila tangannya bergerak lagi,
cemeti sudah berubah menjadi sebilah pedang pendek.
"Aku suka batok kepalamu!" bentak Kim Bik-ki, dari samping dia
menusuk dengan gaya miring, sehingga gerakannya mirip mengiris
leher. Walau pemuda ini kurang ajar, Kim Bik-ki tidak bermaksud
membunuhnya, hanya menggertak saja supaya terjungkal jatuh
baru ditanya asal-usulnya.
Pemuda ini mempunyai tenaga raksasa, kepandaiannya juga
cukup hebat, lekas dia menunduk sambil mengangkat cemetinya
menangkis. Pedang Kim Bik-ki ternyata mampu ditangkis ke pinggir,
katanya tertawa, "Kalau aku mau dirimu gampang, mau kepalaku
tidak mudah." "Tak", gagang cemeti pemuda itu patah jadi dua. Baru pemuda
jelek itu sadar kalau pedang lawan senjata mestika, perubahan ilmu
pedangnya juga jauh di luar dugaannya. Kali ini seringai tawanya
menjadi tawa kaku dan kecut.
Setelah menyaksikan kepandaian orang, serangan Kim Bik-ki
tidak kenal kasihan lagi, "sret, sret, sret" beruntun tiga jurus
serangan berantai. Lekas pemuda itu memberosot turun ke perut
kuda, untung sempat menyelamatkan diri, namun punggung terasa
silir dingin. Pedang Kim Bik-ki meyerempet punggungnya.
Kim Bik-ki melongo waktu melihat lawan roboh ke pinggir dengan
badan kaku, sementara kudanya sudah lari menyingkir, namun
pemuda itu tidak jatuh ke tanah, ternyata kedua kakinya
bergantung di punggung kuda, dengan kepandaiannya yang lihay
dia menyelamatkan diri dari tusukan pedang Kim Bik-ki.
Seperti main ayunan saja, lekas sekali pemuda itu sudah duduk
kembali di punggung kudanya, teriaknya marah-marah, "Gadis
kurang ajar, untung kau tidak melukai aku." Walau uring-uringan,
tapi dia tak berani berlagak lagi.
Sementara itu Beng Hoa sudah* memburu datang sambil bersiul
panjang, teriaknya, "Adik Ki, ada kejadian apa?"
Pekak telinga pemuda jelek itu mendengar siulan Beng Hoa,
karuan kagetnya bukan main.
Kim Bik-ki berkata "Tampang jelek ini adalah suheng Toan
Kiamceng, lekas kau kejar dia."
Tapi kuda pemuda jelek itu jauh lebih bagus daripada kuda Beng
Hoa, jarak mereka makin jauh dan tak terkejar lagi.
Bulan purnama cahayanya benderang, dari kejauhan Beng Hoa
melihat dua ekor kuda lain muncul menyongsong kedatangan
pemuda jelek. "Apa yang mereka bicarakan kau dengar?" tanya Kim Bik-ki.
"Sayup-sayup saja, aku tidak tahu maksud percakapan mereka."
Sementara itu tiga ekor kuda itu sudah tak terlihat lagi dari
pandangan mereka. Mendadak Beng Hoa sadar, katanya, "Ya, kuda mereka
kelihatannya pendek kecil seperti kuda-Sujwan."
"Mereka tidak memutar balik malah maju lebih jauh, apa tidak
mungkin mereka mencari perkara dengan Lohay?" Habis bicara
mendadak dia mengayun cemetinya memukul Beng Hoa.
Beng Hoa melenggong, serunya, "He, kenapa kau memukulku?"
Kim Bik-ki cekikikan, katanya, "Kau lupa sekarang masih bermain
"nona kejar', sekarang permainan sudah usai. Hehehe, kau sendiri
yang mendekat dan terima kupecut sekali, kan bukan aku yang
mengejar dan memukulmu." Hatinya senang karena mengambil
keuntungan dari Beng Hoa.
Beng Hoa memukul jidatnya, katanya tertawa, "Iya, permainan
baru diselesaikan, baru kita pulang. Adik Ki, untung kau tidak
pukulkan cemetimu ke badan pemuda jelek itu."
"Ya, aku hampir saja memukulnya. Sayang dengan pedang aku
pun tak berhasil membekuknya. Dia mengaku sebagai suheng Toan
Kiam-ceng, kepandaiannya memang lebih tinggi."
Beng Hoa kaget, katanya, "Apakah pemuda jelek itu juga mahir
Lui-sin-ciang?" "Bukan Lui-sin-ciang. Tapi pukulannya mengandung unsur kuat
dan lemah, rasanya pelajaran lwekang tingkat tinggi. Untuk apakah
bertanya hal ini?" "Karena kau bilang dia suheng Toan Kiam-ceng, kukira dia murid
Auwyang Tiong juga. Padahal Auwyang Tiong sudah ajal di Thiansan
tiga bulan yang lalu."
"Kepandaian pemuda jelek itu memang aneh, rasanya bukan dari
aliran silat di Tionggoan. Mungkin bocah ini mengangkat guru orang
aneh dari Se-ek" Kalau benar mereka mencari perkara terhadap
Lohay, kita punya kesempatan menemuinya, buat apa main terka di
sini?" Maka mereka mengeprak kuda kembali ke lapangan semula di
mana tadi pesta Jagal Kambing dimulai. Belum lagi membuka mulut,
Lomana dan yang lain-lain sudah menyongsong, serunya, "Bengtoako,
kami memang mengharap kau lekas pulang."
"Apakah ada seorang bertampang jelek datang kemari?" tanya
Beng Hoa. "Betul," sahut Lomana, "masih ada dua perwira dari kerajaan
Boan-ciu mengiringinya."
Beng Hoa kaget, tanyanya, "Di mana ketiga keparat itu?"
"Dengan aturan mereka mohon bertemu dengan ayah,
katanyamau berunding urusan besar dengan ayah, sekarang sedang
bicara di per-kemahan depan irii dengan ayah, Santala menemani
beliau." Timbul rasa khawatir Beng Hoa, katanya, "Kuharap ayahmu tidak
tertipu, oleh mereka."
"Oleh karena itu kami berharap kau lekas pulang. Lekas kau
masuk ke sana." "Apa aku boleh masuk bersama dia?" tanya Kim Bik-ki.
"Dalam kelompok suku kami kedudukan laki perempuan tiada
perbedaan, kau dan Beng-toako adalah tamu agung undangan
kami, kurasa aku dapat mewakili ayah menyilakan kau masuk.
Tapi...." "Tapi apa?" tanya Beng Hoa . gugup.
"Aku tahu kedatangan mereka tentu bermaksud tidak baik,
namun mereka bilang menyampaikan selamat kepada ayah. Kecuali
mereka membuat onar, mereka adalah tamu kami. Menurut aturan
kami...." "Aku tahu aturan kalian terhadap musuh pakai panah dan pedang
atau golok, terhadap tamu menyuguh susu kuda dan arak anggur.
Jangan khawatir, kami bangsa Han juga tahu, tata tertib dan
menghormati kebudayaan bangsa lain. Asal mereka tidak berbuat
kasar kami tidak akan bertindak kurang sopan."
Begitu mereka mendekati perke-mahan kebetulan Lohay sedang
bicara, "Terima kasih kedatangan tamu agung, tapi kado besar
kalian aku tidak berani terima."
Dari luar perkemahan Lomana berseru, "Ayah, Beng-toako dan
Kim-cici pulang." Dia bicara dengan bahasa suku Wana.
Lohay girang, serunya, "Lekas silakan masuk." Bergegas dia
berdiri menyongsong keluar. Pangeran dari Jia-kek dan kedua
perwira itu tidak tahu siapa yang datang, melihat Lohay sendiri
menyambut kedatangan sang tamu terpaksa mereka ikut berdiri.
Beng Hoa menyingkap tenda terus melangkar" masuk bersama
Kim Bik-ki. Begitu kedua pihak berhadapan semua berubah air
mukanya.. ^ Kedua perwira kerajaan ini ternyata bukan lain adalah dua dari
tiga jago kosen istana yaitu Wi To-ping dan Yap Kok-wi. Bukan
hanya sekali Beng Hoa bentrok dengan mereka, dia tahu
kepandaian Wi To-ping hanya setingkat di bawah Hay
Lan-ja. Kalau ditambah Yap Kok-wi kekuatan mereka memang
tidak boleh dipandang enteng. Tapi dia tidak perlu gentar karena
kemampuan Kim Bik-ki sekarang sudah jauh lebih maju.
Wi To-ping bergelak tawa, katanya, "Tak nyana Beng-siauhiap
juga ada di sini, sungguh manusia hidup' di mana saja bisa
bertemu." Dingin sikap^Beng Hoa, "Wi-tayjin, apa betul kau tidak tahu aku
berada di sini?" "Aku betul-betul tidak tahu," sahut Wi To-ping.
"Betul tidak tahu?" Beng Hoa menegas. "Apakah LauTing-ci tidak
memberi tahu kepadamu" Oh, ya, belum kujelaskan. Semalam Lautayjin
sudah kemari tanpa diundang, kenapa malam ini tidak datang
bersama kalian?" Setelah melihat mereka, Beng Hoa lantas
menduga, lawan yang semalam menggunakan golok itu adalah Lau
Ting-ci adanya. Lalu berpikir, "Pukulan tangan orang berkedok
kedua memang tangguh, namun tidak mirip Tay-cui-pi-jiu Yap Kokwi.
Ya, dia pasti pengemis tua itu."
Dugaannya memang tidak meleset, tapi Wi To-ping terpaksa
membual, "Apa" Lau Ting-ci pernah kemari" Maaf, aku betul-betul
tidak tahu. Beng-siauhiap, sejak berpisah di Lhasa, tanpa terasa
sudah setahun lebih, syukur hari ini bertemu lagi, sungguh
menyenangkan." Mulut bicara tangan diulur mengajak berjabatan
tangan dengan Beng Hoa. Dulu mereka pernah bergebrak beberapa kali, setiap kali dirinya
tak pernah memperoleh keuntungan sedikit pun. Tapi bicara tentang
tenaga dalam, beberapa kali gebrak dulu, tenaga dalam Wi To-ping
jelas setingkat lebih tinggi. Maka kali ini dia meminjam jalan
bersalaman untuk mencoba dan membuat Beng Hoa malu di depan
umum. Tak nyana begitu dua tangan saling genggam, tenaga yang
dia kerahkan seperti batu dilempar ke laut, sirna tanpa bekas,
sedikit pun dia tidak mampu mengukur taraf kepandaian Beng Hoa.
Mendadak" terasa perge-langan tangan terasa panas, berbareng
tiga hiatto di tangannya yang menjurus ke Sau-yang-king-meh
terasa linu pegal, saking kaget lekas dia lepas tangan. Untung Beng
Hoa tidak bermaksud melukainya.
Walau Beng Hoa lebih unggul tapi dia merasa di luar dugaan juga
Dalam setahun ini kemajuan Iwe-kang yang dicapai Beng Hoa boleh
dikata serba mujijat, karena mencakup ilmu lwekang Persia, Lan-tosi
dan Thian-san, ternyata lawan masih kuat menahannya.
Berhadapan dengan Kim Bik-ki, pemuda tampang jelek itu
menye-ngir getir dan lebih buruk lagi mimik mukanya.
Lohay segera memperkenalkan, "Inilah Ulise pangeran dari Jiakek,
inilah nona Kim Bik-ki puteri kesayangan jago pedang nomor
satu Kim Tiok-liu Kim tayhiap."
Ternyata Ulise tahu kebesaran nama Kim Tiok-liu, hatinya
mence-los, pikirnya, "Kiranya puteri jago pedang nomor satu, tak
heran ilmu pedangnya pun amat lihay."
Kim Bik-ki tertawa dingin, katanya, "Tak usah diperkenalkan, aku
tadi sudah bertemu."
Kikuk sikap Ulise, katanya, "Tadi aku tidak kenal Kim lihiap,
mohon maaf akan sikap kasarku tadi."
Lohay tidak tahu apa yang terjadi tadi, tak enak bertanya, lalu
katanya, "Kalian memang sudah kenal, lebih leluasa untuk bicara.
Nah silakan duduk, tak usah sungkan."
Kim Bik-ki duduk bersama Beng Hoa. Melihat betapa mesra sikap
muda-mudi ini timbul rasa iri dalam hati Ulise, pikirnya, "Agaknya
bocah itu adalah tunangannya, tak heran dia mengabaikan aku. Hm,
aku jadi ingin tahu bocah ini punya kepandaian apa." Dia
memutuskan bila ada kesempatan dia hendak mencoba dan
menundukkan Beng Hoa. Wi To-ping berkata, "Sampai di mana tadi aku bicara" Oh, ya,
tadi aku bicara tentang kiriman kadoy?ada pula sebuah kado lain
yang lebih penting hendak dihaturkan kepada kelo."
Beng Hoa diam saja, tampak orang telah mengeluarkan dua buah
kado yaitu sepasang gelang batu jade dan sebutir mutiara
bercahaya di tempat gelap. Kedua kado ini termasuk yang tak
ternilai harganya, entah kado apa lagi yang lain.
Perlahan Wi To-ping mengeluarkan kado yang dikatakan, yaitu
sebuah kotak berlapis sutera, sebelum dibuka dia berkata, "Kelo,
maaf kalau aku banyak bicara, biar kuulang sekali lagi, pembicaraan
kita kali ini kuharap tidak dihadiri orang luar. Demikian pula hadiah
ini tak enak kuhaturkan di hadapan orang luar."
Pangeran Jia-kek Ulise segera menimbrung, "Betul, aku pun ingin
tahu, siapa bocah she Beng ini, berdasar apa dia menghadiri
pertemuan ini." Lohay sudah gusar namun dia menekan emosi dan bersikap
sopan terhadap tamu, katanya dingin, "Kalian bertiga adalah
tamuku. Beng-siauhiap juga tamuku. Dalam pandanganku
kedudukan kalian sama. Wi-tayjin, aku belum memberi tanggapan
pada ucapanmu tadi. Sesuai adat suku Uigior kami, aku melayani
tamu yang datang, jadi pembicaraan ini bukan merupakan
pertemuan rahasia. Tentang kado aku tak pernah menerima yang
diberikan oleh tamuku, kotak itu tak perlu dibuka demikian pula
kedua kado ini boleh kau bawa pulang."
Melihat Lohay marah, Wi To-ping tak berani bertingkah lagi,
dengan tertawa dia berkata, "Harap kelo tidak marah. Kalau Bengsiauhiap
adalah tamu agungmu, biarlah dia menjadi saksi. Kado ini
bukan aku yang memberikan, mungkin kau ingin tahu siapa
pengirimnya bukan?" Lohay mendengus, katanya, "Aku tidak ingin tahu."
"Tapi tetap akan kuberi tahu, setelah kau tahu benda apa yang
ada di dalam kotak boleh kau menentukan putusanmu.*
Santala tertarik katanya, "Kelo, biar dia bicara dulu, apa salahnya
kita mendengar?" "Betul, apa salahnya kau dengar penjelasanku?" ucap Wi Toping.
Lalu dia letakkan kotak itu di atas meja serta menekuk
lututnya menyembah tiga kali ke arah kotak sutera itu, lalu dengan
sikap serius dan hormat perlahan dia membukakannya. Lohay, Beng
Hoa dan lain-lain menganggap sedang melihat sulapan, semua ingin
tahu permainan apa yang akan ditunjukkan.
Isi kotak itu adalah sejilid buku tipis yang bersampul tebal
dengan permukaan sutera kuning. Dengan laku hormat, Wi To-ping
mengambil buku itu lalu berkata, "Kuucapkan selamat kepada kelo.
Kado ini adalah anugerah dari baginda kerajaan Ceng yang besar.
Dengan buku ini baginda memberi gelar hoan-ong sebagai raja yang


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipertuan agung suku Uigior. Kau boleh memilih hari baik serta
melaksanakan upacara besar serah terima anugerah ini. Menurut
pehdapatku, bagaimana kalau dilangsungkan bersamaan waktu kau
diangkat menjadi kelo saja?"
Sementara Lohay tidak mengambil sikap, katanya tawar, "O, jadi
mau mengangkat aku jadi raja, terima kasih akan penghargaan
rajamu kepadaku. Tapi aku tahu orang Han kalian ada pepatah yang
mengatakan 'Berada di rumah orang, pasti ada sesuatu maksud',
mohon tanya, kalian mengajukan syarat apa?"
"Kelo ucapanmu terlalu gegabah. Baginda raja sudah menguasai
dunia, apa pula yang beliau kehendaki dari engkau?"
"O, kalau demikian, jikalau aku menerima anugerah
junjunganmu, menjadi hoan-ong segala, maka tanah di seluruh
Sinkiang ini bakal menjadi milik raja kalian begitu?"
Wi To-ping tak mengira orang bicara sepedas ini, dengan tawa
dipaksakan dia berkata, "Itu kan hanya formalitasnya saja, setelah
kau menerima anugerah, tanah kalian hanya formalnya milikraja,
tapi baginda menggaris tanah mengangkat orang, jadi tanah semula
tetap dikuasai olehmu. Lalu apa bedanya" Apalagi setelah kau
menerima anugerah bukan saja memperoleh kedudukan yang lebih
tinggi, saat ini kau pun dapat menghindari bencana."
"Lho, ada bencana apa lagi" Tolong dijelaskan."
Wi To-ping membusungkan dada, katanya, "Baiklah, aku akan
terus terang saja. Pasukan besar kami sudah dikerahkan, raja kami
tidak akan memberikan kalian hidup bebas sentosa."
"Nah, paham aku sekarang. Jadi kalau aku tidak tunduk pada
perintah, raja kalian akan mengerahkan pasukan menggempur dan
menduduki wilayah kami. Betul, ini memang bencana."
Wi To-ping mengira orang kena gertak, maka dia bicara dengan
berganti nada, "Berusaha menghindari bencana adalah kodrat
manusia. Kelo seorang yang pandai berpikir panjang, kurasa tidak
perlu aku banyak memutar lidah. Bila kau menjadi hoan-ong, bukan
saja dapat menghindari bencana, raja kami juga akan melindungi
kedudukanmu sehingga selama hidup kau disanjung dan dipuji,
suku bangsa kalian akan hidup aman dan damai."
"Dalam hal ini aku jadi tidak mengerti, asal kalian tidak
mengerahkan pasukan menjajah kami, kenapa harus dilindungi
segala?" "Ada gerombolan perampok yang menentang kebijaksanaan
kerajaan, kini sudah mendirikan pangkalan di Jik-tat-bok, apa kau
tidak tahu?" Sampai di sini sengaja matanya melirik tajam ke arah
Beng Hoa "Tahu. Tapi aku tahu dan yakin mereka pasti takkan
memukul kami." "Kuharap kau tidak percaya' ucapan mereka. Sekarang aku tak
bertanya apakah kau sudah berhubungan dengan mereka, tapi satu
hal perlu kuperingatkan kepadamu, jangan kena tipu muslihat
mereka Hanya raja kami yang mampu melindungi kau supaya tidak
diganggu oleh kawanan berandal itu."
Ulise menimbrung, "Betul, suku Jia-kek kami sudah menerima
anugerah baginda, kelak dua suku kita bergabung menjadi satu, apa
pula yang harus dikhawatirkan, seluruh suku bangsa di wilayah ini
pasti tergenggam di tangan kita. Ayah malah bilang ingin
mengangkatmu menjadi bengcu para suku yang lain itu."
Lohay berusaha menekan emosinya, setelah apa yang ingin
diketahui sudah diketahui, baru dia berkata dengan suara berat,
"Sudah cukup penjelasan kalian" Sekarang giliranku bicara."
"Wi-tayjin, tolong tanya kau ini orang Han atau bangsa Boan?"
Lohay mengajukan, pertanyaan kepada Wi To-ping.
Pertanyaan yang tak dibayangkan oleh Wi To-ping, dia jadi
gugup, katanya, "Kelo, apa maksud pertanyaanmu?"
"Melihat tampangmu kau ini pasti orang Han, namun tutur
katamu tidak mirip kalau kau ini orang Han. Aku jadi bingung
sebetulnya kau ini bangsa apa" Maka perlu aku minta
penjelasanmu." Apa boleh buat terpaksa Wi To-ping berkata, "Aku dengan Yaptay-
jin ini adalah orang Han, kenapa?"
"Dalam bangsa Han pernah muncul orang bernama Go Sam-kui,
konon dahulu dialah yang memancing dan menuntun orang Boan
menyerbu ke Tionggoan, betul tindak?"
Berubah air muka Wi To-ping, sesaat dia berdiri melongo tak
tahu bagaimana harus menjawab.
Lohay berkata lebih lanjut, "Tentang kejadian ini aku kurang
jelas, sudi kau ceritakan kepadaku?"
Wi To-ping tak tahan lagi, air mukanya merah padam, katanya
gusar, "Apa sangkut pautnya Go Sam-kui dengan pembicaraan ini?"
"Kenapa tidak ada sangkut pautnya" Kabarnya setelah Go Samkui
membawa pasukan Boan masuk ke Tionggoan, dia pun diangkat
menjadi hoan-ong, betul tidak?"
"Betul," sela Yap Kok-wi, "dia diangkat sebagai Ping-se-6ng."
"Akhirnya" Aku ingin tahu bagaimana Go Sam-kui selanjutnya?"
"Persoalan kau ulur semakin jauh dari pembicaraan kita," tukas
Wi To-ping. "Kurasa tidak. Memang sedikit buku yang pemah kubaca, tapi
sejarah yang pernah terjadi harus bisa kubuat cermin untuk
mengkaji apa yang harus kulakukan. Raja kalian mau mengangkat
aku menjadi hoan-ong, maka aku perlu tahu bagaimana nasib dan
riwayat hidup Go Sam-kui yang juga pemah mendapat anugerah itu,
baru bisa kubuat patokan untuk mengambil keputusan apakah aku
pantas menerima anugerah itu."
Cukup pedas sindiran Lohay, hampir meledak amarah Wi Toping,
tapi mengingat Beng Hoa juga hadir, tak berani dia
mengumbar adat. "Beng-siauhiap, mereka tidak mau menceritakan, kau tentu jelas,
tolong kau saja yang menuturkan."
"Go Sam-kui membawa pasukan Boan menjajah Tiongkok.
Setelah kerajaan Ceng kokoh dan tahta Kong Hi sang raja tak
tergoyahkan, Kong Hi mulai mencopot segala gelar raja dengan
maksud mencopot gelar raja Go Sam-kui dan dua pengkhianat
bangsa Han lain yang juga diangkat menjadi hoan-ong yaitu Pinglam-
ong Siang Kho-khi dan Ceng-lam-ong Kheng Tiong-bing.
Terpaksa Go Sam-kui angkat senjata memberontak kepada
kerajaan. Pasukannya hancur lebur dan dia mati merana, cucunya
Go Si-hoan mewarisi jabatannya namun pasukan Ceng terus
mendesaknya hingga dia bunuh diri di kota Gun-bing. Selanjutnya
sembilan keturunan keluarga Go dibunuh seluruhnya."
"Wah, kasihan. Begitu mengenaskan nasib Go Sam-kui. Kalau
demikian tidak enak menjadi hoan-ong segala"
Wi To-ping menekan perasaan, katanya "Kelo, semoga tidak
terpancing oleh hasutan manusia rendah yang tidak kenal budi,
pikirlah lebih cermat baru memutuskan."
"Siapa itu manusia rendah, lalu siapa yang kuncu, aku mohon
petunjukmu," desak Lohay keren.
Wi To-ping melotot kepada Beng Hoa. Walau amat membenci
Beng Hoa tapi dia tidak berani bentrok secara langsung, terpaksa
dia berkata, "Kelo rasanya kau sendiri juga sudah mengerti."
"Betul, meski pengetahuanku kurang, tapi perbedaan antara siaujin
dan kuncu masih dapat kupahami," demikian ejek Lohay. "Orang
yang akan mendorongku ke jalan kematian, membujukku dengan
mulut manis dan pengertian dangkal, orang macam demikian aku
yakin dia adalah siaujin."
Pucat lesi wajah Wi To-ping karena ditelanjangi sedemikian rupa,
namun dia tetap tak berani mengumbar amarah.
"Kelo," sela Ulise dengan mengeraskan kepalanya, "ayah
mengutusku kemari, sebetulnya mengharap suku Uigior kalian
bersatu padu berjuang bersama melakukan kerja besar. Kuharap
kau menerima nasihat dan petunjuk Wi-tayjin, pikirlah lebih masak."
"Semula aku memang belum bisa berpikir jernih, tapi sekarang
aku sudah membedakan tegas. Aku pasti takkan menjadi G6 Samkui-
nya suku Uigior. Memang manusia mempunyai cita rasa dan
keinginannya masing-masing, kalau ada orang yang tidak takut
mengalami nasib yang pernah menimpa Go Sam-kui dan meniru apa
yang dilakukan Go Sam-kui, terserah kepadanya"
"Kelo," seru Ulise gusar, "dengan maksud baik aku membujukmu,
kenapa kau pun memaki aku juga?"
"Lho, jadi kau juga tahu bahwa Go Sam-kui adalah orang jahat,
pengkhianat yang pantas dicaci orang" Tapi aku kan tidak memaki
kau, aku hanya memberi peringatan kepadamu, peduli kau ingin jadi
manusia macam apa, terserah kepadamu sendiri."
Tahu persoalan sudah menjadi runyam, tapi Wi To-ping masih
punya cara terakhir untuk menolong situasi yang beku ini, terpaksa
dia main gertak dan ancam, "Kelo, kau jangan lupa, dalam waktu
singkat pasukan besar kami bisa segera tiba di sini."
"Bagus, jadi kau, menantang secara terbuka kepadaku" Aku
terima tantanganmu." Sambil bicara dia robek hancur buku
anugerah yang memberi pengangkatan dirinya sebagai hoan-ong,
menyusul dia lemparkan sepasang gelang dan mutiara itu ke arah
Wi Tp-ping. Kata Lohay lebih lanjut, "Lima-puluh tahun yang lalu pasukan
kalian pernah memukul kami, tidak sedikit rakyat kami yang jadi
korban. Waktu itu aku masih kecil, tidak mampu menuntut balas.
Kini' kalian mau memukul kami lagi, inilah kesempatan kami untuk
menuntut balas dendam lama, hayolah bawa kemari pasukanmu.
"Di antara orang Han ada manusia jahat seperti dirimu,
untunglah ada juga orang baik seperti Beng-siauhiap. Ketahuilah,
Beng-siauhiap adalah duta yang diutus oleh apa yang kalian katakan
berandal. Aku sudah memutuskan untuk berserikat dengan pasukan
gerilya yang berkedudukan di Jik-tat-bok, kami sudah siap melawan
serbuan tentara raja kalian. Boleh kau pulang dan memberi tahu
rajamu." Wi To-ping sudah menduga kehadiran Beng Hoa di sini pasti
diutus pihak laskar gerilya, namun dijelaskan langsung dari mulut
Lohay, bobotnya terang berbeda. Saking kaget mukanya pucat bibir
gemetar. Terpaksa dia mengiakan berulang kali lalu menyimpan
kedua kado itu dan mohon diri kepada Lohay.
Teringat kejadian semalam, di mana Lomana hampir saja diculik,
rasa gusar Santala belum padam, katanya, "Kalian orang-orang ini
lebih pantas disebut berandal, kelo mau bebaskan mereka pergi
begini saja?" "Kita tetap harus menjaga tata krama, kali ini biarlah mereka
pulang," kata Lohay, lalu berpaling kepada Ulise, "Sudah turun
temurun hubungan suku Jia-kek baik dan rukun dengan suku Uigior
kami. Sampai detik ini kau masih kuanggap sebagai tamu kami,
kuharap kau tahu diri dan berpikir lebih mendalam."
Nasihat Lohay dalam maknanya, tapi Ulise mengira Lohay masih
menaruh rasa jeri padanya, katanya sombong, "Aku tahu bagaimana
aku harus bertindak. Terima kasih akan pelayananmu, selamat
bertemu." "Baiklah, semoga kita tidak bertemu di medan laga Kalian
antarkan tamu-tamu ini."
Beng Hoa menemani Santala mengantar Ulise keluar perkemahan,
sikapnya dingin dan acuh terhadap Wi To-ping dan Yap Kok-wi.
"Santala" kata Ulise, "sebetulnya kau pun bisa menjadi pangeran
seperti aku, sayang kedudukan ^sebaik ini kau buang percuma"
Santala menarik muka, katanya "Berani kau bicara demikian lagi,
maaf, aku tidak akan menganggap kau sebagai tamu lagi."
Ulise menyengir, katanya "Baiklah, setiap manusia punya tujuan
sendiri, terserah apa kehendakmu." Habis memberi salam kepada
Santala, mendadak dia membalik terus memeluk Beng Hoa
Berpelukan sebagai tanda persahabatan memangnya adat
kebiasaan suku bangsa wilayah Sinkiang. Tapi Ulise meminjam
kesempatan ini ingin membanting Beng Hoa. Maklum kecuali
mendapat didikan kungfu dari seorang lihay, selama ini dia pun jago
gulat nomor satu di dalam sukunya.
"Senang aku berkenalan dengan teman baru seperti kau," mulut
bicara Ulise mengerahkan tenaga kedua lengannya, dengan teknik
bantingan pundak dia ingin menjatuhkan Beng Hoa supaya patah
tulang dan terluka parah.
Di luar tahunya Beng Hoa pernah meyakinkan Can-ih-cap-pwetiat
lwekang tingkat tinggi, makin besar tenaga yang dikerahkan
lawan, reaksi tenaga membalik yang timbul juga makin besar.
Terdengar "BUik" tahu-tahu Ulise sendiri yahg terlempar jatuh
setombak jauhnya, kedua lututnya menjadi lemas, kontan dia jatuh
berlutut. Beng Hoa tertawa lebar, katanya, "Wah, wah, kau ini seorang
pangeran, kenapa memberi hormat sebesar ini, mana aku berani
terima." Wi To-ping kaget sekali, bergegas dia maju menarik Ulise.
Melihat orang tidak terluka legalah hatinya, namun dalam hati dia
merasa kesal karena Ulise mencari gara-gara, dia takut kalau terjadi
bentrokan langsung dengan Beng Hoa. Lekas dia berkata, "Bengsiauhiap,
walau kita punya junjungan masing-masing, tapi jangan
kau lupa, kami adalah utusan kerajaan. Lohay kelo sudah berjanji
membebaskan kami pulang."
"Hm, takut apa, kapan kami pernah ingkar janji, kau kira kami
seperti kalian yang tak pernah bisa dipercaya?"
Lega hati Wi To-ping, katanya, "Perang mulut sudah jamak, maaf
kalau tadi kami bicara agak keras. Beng-siauhiap, terima kasih, kami
mohon pamit." "Ada beberapa patah kata perlu kusampaikan kepada kalian.
Malam ini kupandang muka Kelo maka aku ampuni kalian. Tapi
setelah malam ini, di mana saja, kalian sudah bukan lagi sebagai
utusan raja, Ulise juga bukan tamunya lagi. Kalau terbentur lagi di
tanganku, aku tidak akan sungkan dan akan bertindak tegas."
Mendengar janjinya, lega hati Wi To-ping, katanya tertawa,
"Sudah tentu, kelak kita berhadapan di medan laga, kau tidak
memberi kelonggaran kepadaku, aku pun tidak akan mengampuni
jiwamu." Khawatir Beng Hoa berubah haluan, buru-buru mereka
naik kuda terus dike-prak pergi.
Begitu Beng Hoa dan Santala tiba di dalam kemah, Lohay lafttas
berkata, "Sekarang urusan sudah beres, Santala pergi kau
umumkan, muda-mudi boleh meneruskan pesta dengan lebih
meriah." "Kelo," kata Beng Hoa, "sungguh senang mendengar caci
makimu terhadap mereka."
Lohay tertawa, katanya, "Aku pun harus berterima kasih
kepadamu. Untung ada kau di sini membesarkan nyaliku. Sudahlah,
kau dan nona Kim tentu belum puas bermain, pergilah meneruskan
acara." Tapi Beng Hoa sudah tidak berminat ikut bermain lagi,
setelah Santala mengumumkan perintah kelo, dia bertanya kepada
Santala, "Kalian bisa tidak memilih dua ekor kuda jempolan yang
dapat mengejar tiga ekor kuda ketiga bangsat itu?"
Santala melenggong, katanya, "Untuk apa kau minta dua ekor
kuda kilat?" Beng Hoa tertawa, katanya, "Sekarang sudah kentongan
keempat, tak lama lagi fajar akan menyingsing"
Santala paham, katanya, "Betul. Bersama Kim lihiap kau ingin
mengejar tiga bangsat itu?"
"Ya, tidak jadi soal kedua cakar alap-alap itu melarikan diri, tapi
aku harus menawan pangeran Ulise."
Santala berkata, "Ulise memang patut diajar adat, tapi kulihat


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayah mertua masih mengharap dia sadar dan berbalik ke jalan yang
benar, kau ingin...."
"Jangan khawatir, aku bukan ingin membunuhnya, tapi ada satu
hal yang ingin kutanyakan kepadanya. Nanti kalau sudah beres,
waktu kembali akan kuceritakan kepadamu."
Setelah berpikir Santala berkata, "Sukar ditemukan di antara
kuda kami yang dapat mengungguli kuda mereka, tapi...."
"Tapi apa?" tanya Beng Hoa, timbul harapan dalam hatinya.
"Kuberi tahu jalan pendek yang dapat mencegat mereka di
sebelah depan." ---ooo0dw0ooo--- SEMENTARA itu, Wi To-ping bertiga mencongklang tunggangan
mereka dengan kencang. Menjelang fajar mereka yakin sudah
meninggalkan daerah kekuasaan Lohay, baru lega hati mereka.
Yap Kok-wi berkata, "Semalam sungguh berbahaya. Tak nyana
Lohay berani melawan kebijaksanaan baginda raja. Beng Hoa bocah
itu juga ada di sana. Waktu itu aku agak khawatir, kalau mereka
sengaja menahan mungkin kita tak bisa pulang."
Ulise berkata uring-uringan, "Kukira kungfu kalian amat lihay,
ternyata kalian takut menghadapi bocah she Beng itu. Kalau
demikian aku akan memanggil suhu untuk membesarkan hati
kalian." Merah dan panas muka Wi To-ping, katanya, "Kungfu bocah itu
memang hebat, tapi bukan kami jeri padanya. Tapi pangeran harus
tahu, semalam kita berada di markas besar musuh, bagaimana juga
orang gagah tak kuat melawan orang banyak."
"Jadi aku harus menelan pil pahit kekalahanku semalam. Begitu?"
"Pangeran tak usah marah, kelak cami akan menuntut balas sakit
talimu," ujar Wi To-ping.
Sampai di sini pembicaraan mereka mendadak tampak dua ekor
kuda mencongklang datang dari depan. Penunggangnya adalah
muda-mudi, siapa lagi kalau bukan Beng Hoa dan Kim Bik-ki"
Ternyata kuda mereeka lari cepat, lewat jalan pendek lagi, maka
berhasil mencegat mereka.
Bukan main kaget hati Wi To-ping, Ulise juga gugup, namun
mulutnya menjengek dingin, "Wi-tayjin, baru saja kau bermulut
besar, kali ini kuserahkan kepadamu untuk menghadapi mereka."
"Untuk apa kalian kemari?" bentak Wi To-ping.
"Yang jelas bukan untuk mencegat kalian pulang. Kalau tahu diri
lekas berhenti aku ingin bicara."
Wi To-ping menghentikan tunggangannya, bentaknya, "Beng
Hoa, kau ingkar janji?"
"Coba pentang matamu, mentari sudah keluar. Tempat ini sudah
lebih dari seratus li dari markas kelo. Kau kira kalian masih tetap
tamu kelo?" "O, jadi kelo takut kami memberi laporan kejadian semalam
maka dia menyuruh kau mencegat kami supaya pasukan besar kami
tidak menyerbu datang, begitu?"
"Jangan kau memancing amarahku, memangnya kau kira kelo
takut perang" Kedatanganku di luar tahunya, aku sendiri yang ingin
bicara dengan kalian. Kalau tidak terima boleh kau berurusan
denganku." "Bocah she Beng, bukan aku takut padamu, tapi aku harus lekas'
pulang memberi laporan, tak ada tempo bergebrak dengan kau.
Kalau betul omonganmu, Lohay tidak takut perang, berani kau
biarkan kami pulang menyampaikan tantangannya" Kelak boleh kita
tentukan sua-tu waktu dan tempat untuk bertanding satu lawan
satu." Beng Hoa punya tujuan lain, setelah menakuti Wi To-ping, baru
dia berkata, "Baik, kali ini kau boleh pulang, tapi seseorang harus
kau tinggalkan di sini."
"Siapa yang akan kau tahan?" tanya Wi To-ping.
Beng Hoa menuding Ulise, katanya, "Dia tidak terhitung utusan
kerajaan, juga tak perlu mengiringi kalian pulang memberi laporan,
silakan tinggalkan dia saja."
Ulise kaget dan takut, lekas dia mengeprak kudanya melarikan
diri. Beng Hoa berteriak, "Jangan kau takut, aku hanya ingin tahu
satu hal, tak bermaksud jelek kepadamu."
Sudah tentu Ulise tidak percaya, sementara Beng Hoa bergebrak
dengan Wi To-ping dan Yap Kok-wi, dia mengeprak kudanya lebih
dulu. Beng Hoa khawatir orang lolos, dia berseru, "Adik Ki, kau kejar
dan tahan dia, biar kugebah kedua keparat ini."
Kim Bik-ki yakin Beng Hoa mampu melayani kedua lawannya,
sambil mengiakan dia juga mengeprak kudanya mengejar beberapa
li jauhnya Ulise mengira dirinya sudah selamat, mendadak didengarnya
derap kuda memburu tiba Waktu dia menoleh, dilihatnya hanya
K"im Bik-ki seorang yang mengejar tiba di belakangnya MakaHjlise
berteriak, "Sekarang tidak bermain 'kejar nona' lagi, untuk apa kau
mengejarku?" Kim Bik-ki gusar, katanya, "Kupandang muka Lohay kuanggap
kau sebagai tamunya berani kau cerewet biar kuhajar kau."
Cepat sekali kuda Kim Bik-ki sudah mengejar tiba, "Sret"
pedangnya menusuk muka Ulise. Lekas Ulise mencabut goloknya
menangkis, tapi hanya belasan jurus "Trang", tahu-tahu goloknya
tertabas kutung oleh pedang mestika Kim Bik-ki. Panas dan pedas
muka Ulise kena cambuk Kim Bik-ki. Kejap lain dia sudah tersabet
lagi dan ditarik jatuh dari punggung kuda.
Kim Bik-ki segera berteriak, "Beng-toako, aku sudah berhasil,
lekas kemari." Wi To-ping dan Yap Kok-wi mengira setelah kurang seorang
lawan, mereka dapat menyelesaikan pertempuran secara cepat, tak
nyana kiamhoat Beng Hoa sungguh amat lihay, satu lawan dua
ternyata masih mampu mendesak.
Mendengar Ulise tertawan, hati mereka bergetar, tanpa berjanji
sudah timbul hasrat untuk melarikan diri, bergegas mereka
mengeprak kuda terus melarikan diri.
"Hari ini kubiarkan mereka pulang, kalau tidak kapok boleh kalian
menjadi Go Sam-kui kedua, bawalah pasukan kerajaankemari."
Habis mengancam Beng Hoa mengeprak kudanya menyusul Kim
Bik-ki. Di saat kudanya berlari kencang itulah, mendadak didengarnya
sebuah suitan panjang datang dari arah Kim Bik-ki. Beng-Hoa kaget,
pikirnya, "Entah siapa memiliki lwekang setangguh ini. Dari nada
suaranya agaknya setanding dengan kekuatan Say-cu-hong paman
Miao, tapi lwekang-nya tidak semurni yang diyakinkan paman Miao."
Sementara itu Kim Bik-ki sedang mencari keterangan dari Ulise,
dia mengaku Toan Kiam-ceng benar adalah sute-nya, tapi
pertanyaan lain dia selalu menjawab tidak tahu.
Kim Bik-ki merijengek, "Jejak Toan Kiam-ceng kau tidak tahu,
tapi siapa gurumu masa kau tidak tahu?"
Setelah bergebrak semalam dengan Toan Kiam-ceng, Kim Bik-ki
heran akan kemajuan kungfu yang dicapai Toan Kiam-ceng, maka
dia ingin tahu siapa guru baru yang mendidiknya.
Pada saat itulah mendadak berkumandang suitan keras
memekakkan telinga seperti gerungan singa.
Mendadak Ulise berteriak keras, "Suhu, lekas kemari, tolong
aku." Belum habis dia bicara, tampak seorang paderi asing
berperawakan tinggi besar sudah muncul di depan Kim Bik-ki. Jari
tangannya sebesar kipas terpentang menjulur datang, sekali raih dia
menarik Ulise. Kim Bik-ki tidak bermaksud menyandera Ulise, maka
dia tidak merintangi paderi asing itu menariknya, tapi gerak aneh
dan kecepatan paderi ini membuatnya kaget juga Pikirnya, "Kungfu
paderi asing ini jelas lebih tinggi dari aku, umpama aku merintangi
juga takkan berhasil."
Setiba di samping gurunya, Ulise segera mengadu, "Suhu, budak
ini menghinaku, lekas kau bekuk dia" Paderi itu tertawa lebar,
katanya, "Kau tertarik pada nona ini" Khawatir dia adalah bakpao
yang masih panas untuk kau rasakan nikmatnya. Tapi kalau kau
ingin, gurumu sih boleh membantu kau. Biar kupunahkan dulu
kungfunya, baru kube-kuk dan kuserahkan kepada kau."
Di tengah gelak tawanya, mendadak paderi itu sudah maju ke
depan Kim Bik-ki sambil mengulur telapak tangannya yang besar
me-nyengkeram batok kepalanya. Berdiri tegak alis Kim Bik-ki
saking gusar, dengan gerak langkah yang lincah pedangnya
beruntun menyerang tiga jurus. Tiga jurus serangannya
menggunakan Tui-hong-kiam-hoat ajaran Thian-san-pay, sungguh
lihay dan keji. Tapi tenaga si paderi ternyata besar luar biasa. Di bawah tekanan
angin pukulannya, ilmu pedang Kim Bik-ki yang lihay itu ternyata
mati kutu. Mendadak didengarnya paderi itu menghardik, "Lepas
pedang!", kelima jarinya bagai cakar garuda mencengkeram
pergelangan tangan. Di tengah sambaran sinar pedang dan
bayangan telapak tangan, Ulise yang berdiri di samping tidak
sempat melihat jelas, mendadak dua bayangan orang melompat
terpisah. Cengkeraman paderi asing luput, ternyata Kim Bik-ki sudah
berada di belakangnya. Kepandaian sejati Kim Bik-ki memang bukan tandingan si paderi,
namun ginkang yang diyakinkan adalah Menyelinap di Antara
Kembang Mengitari Pohon, jauh lebih dari cukup untuk
mempertahankan diri. Gerakan memutar dan menyelinap yang
dilakukan memang amat menakjubkan, tahu-tahu lawan kehilangan
bayangannya, jangan kata, hanya Ulise yang kaget dan bingung,
paderi asing itu pun meleng-gong heran.
Serasa kabur pandangan Ulise, tahu-tahu dilihatnya Kim Bik-ki
sudah di belakang gurunya, saking kaget dia menjerit, "Suhu, awas,
budak itu di...." Terdengar paderi itu tertawa dingin, "Jangan khawatir, budak ini
takkan lolos dari tanganku." Seperti tumbuh mata di belakang
kepalanya, mendadak jarinya menjentik ke belakang, "Tring"
pedang mestika Kim Bik-ki berhasil dijentiknya pergi.
Paderi itu menyeringai, katanya, "Bagus, buktikan saja berapa
jurus nona ini kuat melawan?" Dengan langkah lebar dia memburu
maju. Kim Bik-ki tahu kejadian tadi hanya kebetulan saja karena lawan
memandang enteng dirinya, pengalaman tidak boleh terulang kalau
tidak mau celaka. Tapi dia tetap mengembangkan ketangkasan
gerak tubuhnya untuk menghindar. Untunglah di saat dia mulai
terdesak, Beng Hoa datang.
"Harap berhenti sebentar, aku mau bicara," seru Beng Hoa.
Jelas paderi itu akan bisa menangkap Kim Bik-ki, mana dia mau
mendengar ocehan Beng Hoa" Jengeknya, "Bocah busuk, kau ini
barang apa berani main perintah kepadaku" Kalau ingin mampus,
hayolah maju sekalian!"
"Adik Ki, kau mundur saja," ucap Beng Hoa. Sembari bicara dia
bergerak maju, pedang dan telapak tangan bekerja mewakili Kim
Bik-ki menyambut serangan lawan.
Begitu telapak tangan mereka beradu, terdengar suara ledakan
bagai guntur. Beng Hoa mundur beberapa langkah dan beruntun
berputar dua kali baru berdiri tegak.
Tapi paderi itu juga tidak mendapat keuntungan, ruginya malah
lebih besar. Bukan saja dia sempoyongan hampir jatuh terjerembab,
kasa di bagian dadanya juga berlubang sebesar mata uang tembaga
oleh tusukan pedang Beng Hoa.
Ternyata Beng Hoa menggunakan lwekang Tay-na-ih-hoat dari
kungfu Persia untuk memunahkan pukulan si paderi yang tangguh.
Tay-na-ih-hoat mirip dengan Su-nio-phoat-jian-kun kalangan
persilatan di Tiongkok. Namun Beng Hoa hanya berhasil mematahkan tujuhpuluh persen
tenaga lawan, sisa tigapuluh persen tetap menimbulkan reaksi di
tubuhnya, karena itulah dia harus berputar dua kali tadi baru sisa
tenaga lawan dapat dipunahkan.
Kalau paderi itu kaget, Beng Hoa juga terkejut. Terasa betapa
lihay dan aneh lwekang paderi asing ini, untung selama setengah
tahun ini dia beruntun mendapat rejeki sehingga kemajuannya
pesat dan kuat menandingi pukulan paderi asing ini. Tapi kalau
dinilai kepandaian seluruhnya, jelas dia tetap bukan tandingannya.''
Kalau hanya adu pukulan, Beng Hoa kalah. Tapi kombinasi antara
pedang dan telapak tangan, dalam gebrakan permulaan tadi dia
sudah unggul di atas angin.
Waktu menundukkan kepala, paderi itu melihat lubang di
kasanya, tepat di ulu hatinya. Karuan darahnya tersirap. Karena
timbul rasa jeri, maka dia tidak berani mendesak maju ketika Beng
Hoa masih berputar dan belum siaga.
Setelah, berdiri tegak baru Beng Hoa berkata, "Kami tidak
bermaksud jahat, harap taysu berhenti sebentar; dengarkan
penjelasanku." "Suhu," seru Ulise dari belakang, "jangan percaya omongan
bocah itu." Paderi itu mengulapkan tangan, katanya, "aku bisa melihat
gelagat, tak usah kau banyak mulut. Lekas kau pulang dulu:"
Ternyata dia tidak yakin dirinya bisa menang, dia malah khawatir
muridnya mendesak dirinya menuntut balas, dia sendiri yang celaka.
Karena disemprot gurunya, bergegas Ulise kabur dari situ,
setelah memanggil kudanya, menyusul ke arah Wi To-ping dan Yap
Kok-wi pergi. Beng Hoa berkata, "Sebetulnya kami hanya ingin bertanya
kepada muridmu. Syukur taysu sendiri telah datang, biar kami
menanyakan langsung kepadamu saja."
"Hm, masih berani kau menyangkal telah menghina muridku"
Tadi kusaksikan sendiri. Tapi aku tidak ingin mencari perkara, apa
yang kau ingin tahu boleh kau tanyakan."
"Mohon tanya, .apakah Toan Kiam-ceng adalah murid yang baru
kau terima?" "Betul, kenapa?" "Terus terang saja, pamannya adalah guruku,
pamannya mengharap dia pulang ke rumah. Tolong kau serahkan
dia kepadaku, biar kuajak pulang."
"O, pamannya adalah gurumu?" seru paderi asing dengan nada
kurang percaya. "Buat apa aku membphongimu" Boleh nanti kau tanyakan
kepada Toan Kiam-ceng."
"Betul atau tidak bukan urusan-ku. Tapi kau ingin membawa
Toan Kiam-ceng pulang, soal ini ada hubungannya dengan aku."
Kim Bik-ki berkata, "Umpama betul kau adalah gurunya, kau
tidak berhak melarang dia berkumpul dengan keluarganya."
"Keliru ucapan Li-sicu, pertama muridku ini pemah bilang bahwa
pamannya tidak pernah menaruh perhatian kepadanya, kuyakin dia
tidak akan mau pulang. Kedua, dia sudah kuangkat sebagai
pewarisku, maka aku tidak akan mengizinkan dia pulang."
Kim Bik-ki gusar, katanya, "Jus-' tru karena perbuatan Toan
Kiam-ceng tidak benar maka pamannya ingin membawanya pulang
dan dididik supaya baik Pamannya juga melarang kau mendidik
keponakan- Paderi itu bergelak tawa, katanya, "Kalau betul demikian, aku
malah tidak tega melepasnya pulang. He, kalau pamannya
melarang, dia justru amat senang belajar padaku. Cukup sekian
saja, maaf lolap mohon diri."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah paderi asing itu pergi Kim Bik-ki mengomel kepada Beng
Hoa. "Beng-toako, kau biarkan pantat kuali itu pergi sudah tidak
benar, kenapa kau pun melepaskan paderi itu, apa kau takut bukan
tandingannya?" Beng Hoa tertawa, katanya, "Aku memang tidak yakin dapat
mengalahkan dia. Tapi membiarkan dia pergi bukan lantaran aku
takut kepadanya." "Lalu kenapa?" "Lohay masih mengharap dapat mengubah pikiran mereka. Tadi
kau memukulnya, bukan" Mungkin dia sukar diajak kompromi lagi."
"Ya, mungkin aku yang salah. Memangnya aku harus minta maaf
kepadanya?" "Kenapa marah. Lihatlah cuaca cerah ceria, daerah ini indah,
marilah kita bertamasya di sekitar sini, kau senang tidak?"
"Ada kau sebagai pengiringku, aku selalu akan merasa senang
dan tenteram," demikian ujar Kim Bik-ki tertawa.
Mereka mengeprak kuda berjajar menuju ke arah timur.
Mendadak Beng Hoa berseru heran, segera menarik tali kekang
menghentikan kuda. Kim Bik-ki kaget, tanyanya, "Ada apa toako?"
Beng Hoa menjelaskan, "Batu cadas serupa lutung di depan itu
seperti berubah bentuknya, mari kita memeriksanya."
Itulah sebuah batu yang menjorok keluar dari pinggang gunung
bentuknya aneh dan luar biasa, di kiri kanan terdapat dua tonggak
batu sebesar pelukan tangan orang dewasa, di bagian bawahnya
terdapat dua tiang batu yang menyambung, bentuknya mirip seekor
lutung yang sedang mengantuk. Waktu datang tadi mereka
memang melihat bentuk batu yang aneh ini, namun tidak menaruh
perhatian. Setelah mereka lebih dekat tampak salah satu lengan dari batu
lutung itu telah patah separuh. Bagi pandangan seorang ahli silat
seperti Beng Hoa, sekali pandang lantas tahu bahwa patahnya
lengan lutung batu itu karena tertabas golok atau kapak, mungkin
juga tertabas oleh kekuatan telapak tangan.
Yang diperhatikan Kim Bik-ki memang hanya bagian lengan
lutung yang patah, katanya, "Ini akibatnya pukulan Tay-Iik-kimkong
atau Gun-goan-it-au-kang dan sejenisnya. Walau lihay tenaga
orang itu, namun kau juga mampu melakukan."
"Coba kau periksa lagi, di perut lutung ini juga terdapat bekas
goresan pedang." Memang di bagian perut lutung batu ini terdapat goresan silang
bekas tabasan pedang, di atas goresan pedang itu terdapat
delapanbelas lubang-lubang kecil sebesar dupa.
Kim Bik-ki baru terkejut, katanya, "Dalam sejurus orang ini
mampu menusuk delapanbelas lubang kecil di atas batu sekeras ini,
kalau tusukan ditujukan ke badan manusia, wah bagaimana
akibatnya" Kiamhoat dari aliran mana sel i hay ini" Toako, kau bisa
membedakan?" "Terima kasih akan pujianmu. Inilah Lian-hoan-toh-bing-kiamhoat
dari Kong-tong-pay yang dilancarkan oleh sam-suhu."
"O, jadi Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat dari perguruanmu, jadi
orang ini seharusnya adalah... adalah...."
"Tong-bing-cu sudah mati, orang yang mampu sekaligus
menusuk delapanbelas lubang di atas batu dengan Lian-hoan-tohbing-
kiam-hoat hanya tinggal guruku seorang. Dari gelagat ini,
agaknya suhu sedang bertanding, entah dengan siapa?"
"Kenapa main teka-teki, jikalau gurumu juga berada di sini, dia
pasti akan pergi ke tempat Lohay mencarimu."
"Betul, mari kita lekas pulang."
Dengan kencang mereka mem-bedal kuda, hanya satu jam
mereka sudah tiba di perkemahan, yang menyambut mereka adalah
Santala. "Apakah ada tamu datang kemari?" tanya Beng Hoa
Santala melengak, katanya "Bagaimana kau bisa tahu secepat ini,
aku memang sedang menunggu kau dan akan kuberi tahu. Ada
tamu yang datang dari jauh, begitu tiba dia lantas tanya kalian."
Tak sempat Beng Hoa bertanya, cepat dia mendahului lari ke
perkemahan Lohay. Terdengar suara yang sudah dikenalnya
berkata, "Hiantit, kapan pesta pernikahan kalian akan diadakan"
Semalam tentu kau senang-senang bermain dengan nona Kim. Kelo
khawatir kalian pergi terlalu jauh, mungkin malam nanti baru akan
pulang." Di samping senang Beng Hoa juga kecewa Ternyata yang datang
adalah Song Theng-siau kawan seperjuangan ayahnya Lohay sudah
menceritakan keadaan di sini, maka dia sambut kedatangan Beng
Hoa dengan olok-olok. Beng Hoa hanya tertawa malu tanpa mendebat atau memberi
penjelasan. . Song Theng-siau agak heran, katanya, "Hiantit apa kau ada
persoalan, kenapa tidak bicara?"
"Melihat paman, saking senang aku jadi linglung," ucap Beng Hoa
berkelakar. "Masih ada yang membuatmu senang," ujar Song Theng-siau,
"ayahmu dan para kawan seperjuangan dari laskar rakyat tak
lama lagi akan datang kemari."
Mendapat kabar bahwa ayahnya mau datang sudah tentu bukan
main senang Beng Hoa. Tapi gurunya Tan Khu-seng tidak kemari
hal ini membuatnya khawatir dan was-was.
---ooo0dw0ooo--- DUGAAN Beng Hoa tidak keliru, orang yang meninggalkan
goresan pedang di perut lutung batu itu memang bukan lain adalah
Tan Khu-seng gurunya Bagaimana Tan Khu-seng mendadak bisa berada di tempat ini"
Biarlah kita kembali ke belakang, kembali ke Kong-tong-san.
Sejak Boh Le-cu pergi tanpa pamit, hati Tan Khu-seng gundah
gulana. Dia tahu Boh Le-cu tentu mencari jejak Bwe-san-ji-koay,
dari tangan Bwe-san-ji-koay merebut Sin Jit-nio, dari mulut Sin Jitnio
dia akan mencari jejak Han Ji-yan yang membunuh ayahnya.
Nasihat sahabat baiknya Toan Siu-si selalu menjadi pendorong
hatinya "Memang aku sudah hidup merana delapanbelas tahun, aku
pun sudah menyia-nyiakan masa remaja Le-cu, sekarang aku masih
takut mendengar omongan orang lain, aku harus menyusul dan
menemukan Le-cu." Untuk menemukan Boh Le-cu, dia harus
mencari Bwe-san-jikoay. Dia menduga setelah Bwe-san-ji-koay
menculik Sin Jit-nio, tak mungkin mereka pulang ke Bwe-san. Dunia
sebesar ini ke mana dia harus mencari"
Dua hari setelah Beng Hoa pergi, berarti tiga hari setelah dia
menjabat ciangbun Kong-tong-pay, dia kedatangan seorang tamu
yang terlambat. Tamu ini adalah suheng Kaypang pangcu Koan Ihting
atau tianglo tertua dari Kaypang yaitu Siau Ih-can.
Siau Ih-can adalah salah satu tamu undangan Tong-cin-cu, kini
dia terlambat tiga hari, sudah tentu dia sudah tahu kalau Tan Khuseng
sudah menjabat ciangbun, maka kedatangannya berarti
memberi selamat kepada Tan Khu-seng.
Mendengar kedatangan Siau Ih-can, Tan Khu-seng amat girang.
"Siau Ih-can adalah Kaypang tianglo, mereka paling cepat mengirim
dan mencari kabar, kenapa aku tidak minta bantuannya untuk
mencari jejak Bwe-san-ji-koay?" Bergegas dia keluar menyambut.
Setelah basa-basi seperlunya Siau Ih-can berkata, "Maaf,
pengemis tua ini datang terlambat tiga hari. Sebetulnya aku bisa
hadir tepat pada waktunya, tapi di tengah jalan aku terbentur
urusan kecil, terpaksa aku terlambat datang."
"Locianpwe terlalu sungkan," ucap Tan Khu-seng. "Locianpwe
sudi datang sudah memberi muka kepada kami, kami pun amat
senang tan bahagia. Terus terang ada satu ia! kami ingin mohon
bantuan ke-jada locianpwe."
Baru buka bicara, orang lantas ninta bantuan, Siau Ih-can
bingung dan heran, tanyanya, "Ah, kenapa sungkan. Entah
ciangbun ada persoalan apa?"
"Dalam golongan sesat ada dua orang yang berjuluk Bwe-san-jikoay,
tentu locianpwe juga sudah tahu?"
Siau Ih-can melenggong, pikirnya, "Lho, kok kebetulan dia juga
tanya kedua orang ini?" Lalu dengan tertawa dia berkata,
"Maksudmu adalah Cu Kak dan Loh Ang, beberapa hari yang lalu
aku mendengar berita mereka. Tapi tolong kaujelaskan, kenapa kau
mencari tahu kabar mereka?"
Secara jelas Tan Khu-seng lantas menceritakan seluk beluknya,
maka Siau Ih-can juga menuturkan pengalamannya beberapa hari
ini kepadanya. Pada waktu dia mampir di salah satu markas cabang Kaypang di
tengah jalan, di markas cabang itu kebetulan mereka menerima
berita dari burung pos yang dikirim seorang murid Kaypang, katanya
dia menemukan jejak Bwe-san-ji-koay.
"Terima kasih akan keterangan locianpwe. Baiklah, besok aku
akan berangkat ke Sinkiang, apa pun akan kutemukan mereka."
"Tan-heng," ujar Siau Ih-can setelah termenung sejenak,
"memang bagus kalau kau sendiri yang akan berangkat, aku pun
ingin titip pesan kepadamu."
"Locianpwe jangan sungkan, coba terangkan."
Siau Ih-can menceritakan hubungan sute-nya dengan Bwe-san-jikoay,
katanya, "Tan-heng kalau di Sinkiang kau bertemu dengan
dia, sudilah kau pandang mukaku."
Sedikit banyak Tan Khu-seng tahu persoalan Tiong Tiang-jong
dan puteranya Tiong Bok-jong, dengan kaget dia berkata, "Jadi
sute-mu itu masih hidup sampai sekarang.?"
"Betul, beberapa bulan yang lalu baru aku tahu bahwa dia
berhasil menyelamatkan diri dan sampai sekarang masih hidup."
Ternyata tiga bulan yang lalu dia pemah bertemu dengan Kim
Tiok-liu. Dia mencari tahu kepada Kim Tiok-liu, baru tahu kalau ayah
Kim Tiok-liu yaitu Kim Si-ih duapuluh tahun yang lalu pernah melihat
Tiong Bok-jong dengan Bwe-san-ji-koay.
"Setelah mendapat berita ini dari Kim tayhiap, sebetulnya aku
akan hadir dulu di pertemuan besar Kong-tong-pay kalian baru akan
mencari jejaknya. Tak nyana di tengah jalan mendapat laporan
bahwa ada murid Kaypang yang menemukan jejaknya, sungguh tak
nyana selama duapuluh tahun ini dia masih berkomplot dengan
Bwe-san-ji-koay. Tapi setelah tahu bahwa dia masih hidup aku dan
Koan-sute amat lega."
"Dengan pangcu aku pernah berunding, mengingat dia anak
tunggal guru kami, kalau dia mau kembali ke jalan benar, kami
memutuskan tidak akan mengusut persoalan lama. Ai, bicara
kejadian dulu, aku juga punya kesalahan. Suhu menyuruh dia ikut
aku bertugas di luar, aku tidak menjaga dan mengawasinya dengan
baik sehingga dia berkomplot dengan orang jahat, sebelum kejadian
aku memang tidak tahu apa-apa."
Tan Khu-seng maklum, kenapa dia terlambat tiga hari, ternyata
lantaran mencari jejak sang sute. Padahal dulu dia hampir tewas
oleh perbuatan sute-nya itu, kini kejadian sudah berselang
empatpuluhan tahun, namun dia masih memikirkan persaudaraan
sesama perguruan, sungguh harus dipuji.
Siau Ih-can berkata lebih lanjut, "Kecuali minta kau tidak melukai
dia, kuminta kau menyampaikan pesan kami, sampaikan apa yang
tadi dibicarakan kepadanya."
"Baiklah, aku akan memberi tahu, kalian tidak mengusut perkara
lama, semoga dia balik ke jalan terang. Cukup demikian?"
Siau Ih-can berpikir sejenak, katanya, "Sute-ku ini sombong dan
angkuh, walau berselang puluhan tahun, mungkin tabiatnya tak
pernah berubah. Tak usah kau bicara secara jelas, cukup asal bilang
aku dan Koan-sute merindukan dia, sekarang sudah sama-sama tua,
semoga menjelang akhir bisa berkumpul kembali."
Setelah Tan Khu-seng menerima permintaannya, Siau Ih-can
lantas berpamitan, "Aku juga harus lekas pulang melaporkan hal ini
kepada pangcu, akan kuminta dia mengutus orang ke Sinkiang ikut
mencarinya secara terpisah. Maaf, sekarang juga aku mohon diri."
Hari kedua Tan Khu-seng memanggil Tay-goan Tojin murid
tertua ciangbunjin terdahulu Tong-cin-cu serta menyerahkan tugas
pimpinan kepadanya, lalu turun gunung.
Hari itu dia mulai memasuki daerah Duluanki, melewati sebuah
gunung salju. Di saat dia melepas lelah sambil menikmati
pemandangan, mendadak didengarnya di depan seorang laki-laki
berkata, "He, kembang apa itu" Indah sekali, sayang berduri." Di
daerah Sinkiang bertemu dengan orang Han, tentu saja Tan Khuseng
menarah perhatian. Lekas dia ke depan. Tampak di bawah sebuah jamur salju, di
tengah semak kayu dan kembang, samar-samar dia melihat dua
orang. Seorang di antaranya memanggul sebuah buli-buli besar
berwarna merah berdandan pengemis, seorang lagi adalah pemuda
usia duapuluhan tahun. Tapi kedua orang itu belum melihat dirinya.
Terkejut dan girang hati Tan Khu-seng, pikirnya, "Sungguh
kebetulan bersua dia di sini, biar kudengar pembicaraan mereka."
Walau tahu pengemis ini adalah Tiong Bok-jong, namun siapa
pemuda itu dia belum tahu, maka dia ingin tahu lebih lanjut.
Terdengar pengemis tua berkata, "Kiam-ceng, apa kau tahu
kembang apakah ini?"
Tan Khu-seng melenggong, "Kiam-ceng, seperti sudah kukenal
nama ini, siapa dia?"
"Entahlah," sahut pemuda itu. "Inilah bunga Mantolo, walau
kelihatan indah, sayang bukan saja berduri juga beracun."
Pemuda itu menghela napas, katanya, "Kembang yang paling
indah kenapa selalu berduri. Ai, kembang sama dengan manusia"
Pengemis itu tertawa, katanya, "Agaknya kau merindukan
Lomana yang cantik bagai bidadari itu."
"Betul, gadis tercantik dari suku Uigior ini ternyata berjodoh
dengan pemburu yang kasar dan goblok itu, bukankah seperti
sekuntum kembang ditancapkan di gundukan najis kerbau."
Tergerak hati Tan Khu-seng, "Lomana bukankah itu nama puteri
Lohay yang pernah diceritakan Beng Hoa?" Seperti diketahui, waktu
Miao Tiang-hong datang ke
Kong-tong-san, dia titip kabar dan mengundang Beng Hoa pergi
ke Sinkiang menghadiri pesta pernikahan Lomana, maka nama ini
masih teringat baik olehnya. Setelah teringat pada Lomana seketika
dia tahu siapa pemuda ini. "Kiam-ceng" Toan Siu-si dulu pemah
menyebut nama keponakannya, kalau tidak salah memang bernama
Kiam-ceng. Tak nyana keduanya bersua dengan aku di sini."
Pengemis tua dan pemuda ini memang bukan lain adalah Tiong
Bok-jong dan Toan Kiam-ceng, mereka pulang dari Duluanki setelah
gagal menculik Lomana, mereka siap menyongsong kedatangan
pasukan besar kerajaan yang akan menyerbu Sinkiang.
Tiong Bok-jong berkata lebih lanjut, "Kembang mantolo memang
beracun, kebetulan dapat kuberikan kepada Bwe-san-ji-koay untuk
membuat racun, biar kupetik saja" Kembang mantolo itu tumbuh di
lereng salju yang. curam, baru saja Tiong Bok-jong nendak
mengembangkan ginkang memanjat; lereng terjal itu, mendadak
didengarnya desing sambaran senjata rahasia yang tajam. Tiong
Bok-jong kaget, waktu menoleh dilihatnya seorang laki-laki setengah
baya berdiri di belakangnya
Laki-laki itu bukan lain adalah Tan Khu-seng.
Dengan tertawa Tan Khu-seng berkata, "Memetik sekuntum
kembang, kenapa membuang banyak tenaga?" Belum habis dia
bicara tampak kembang mantolo itu tengah melayang tertiup angin.
Gagang daun dan kelopak kembang masih utuh seperti digunting


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang dengan hati-hati.
Ternyata Tan Khu-seng menyambitnya dengan mata uang
tembaga, dahannya tertimp-ik putus sehingga kembangnya
melayang jatuh. Bunga itu terletak di ketinggian belasan tombak,
kembang itu tumbuh di tengah semak-semak lagi, sekeping mata
uang tembaga ditimpukkan ke atas sudah sukar, menyelinap di
antara semak belukar dan tepat mengenai gagang kembang tanpa
membuat kelopak kembang gugur, betapa sukarnya dapat
dibayangkan. Sudah tentu Tiong Bok-jong dan Toan Kiam-ceng kaget bukan
main. Kembang itu melayang turun dengan enteng, mereka melihat
dengan terkesima. "Sudah lama aku mengasingkan diri di daerah
terpencil di barat ini, tak nyana orang pandai di dunia ini memang
tak terhitung banyaknya. Kepandaian orang ini agaknya masih lebih
tinggi dibanding bocah she Beng itu," demikian batin Tiong Bokjong.
Tan Khu-seng menangkap kembang itu langsung diangsurkan
kepada Toan Kiam-ceng, katanya dengan tersenyum, "Anak muda,
kau suka kembang mantolo, biar kuberikan kembang ini kepadamu.
Boleh kau beri tahu siapa namamu?"
Memangnya Toan Kiam-ceng selalu was-was, dia menyurut
mundur dua langkah baru menjawab, "Kembang harus dipetik
sendiri baru ada artinya, kau berikan kepadaku, banyak terima
kasih, aku tidak mau."
"Baiklah kau tak mau juga tidak apa. Siapa she-mu?"
"Kenapa aku harus memberi tahu kepadamu" Aku kan tidak
hutang apa-apa dengan kau."
Tan Khu-seng tertawa lebar, katanya, "Kau tak mau bilang, aku
sudah tahu, kau she Toan, betul tidak?"
"Aku she Toan atau bukan ada sangkut paut apa dengan kau"
Sebaliknya siapa kau?"
"Aku Tan Khu-seng dari Kong-tong-pay. Toan Kiam-ceng tentu
kau tahu bahwa aku sahabat baik pamanmu."
Begitu dia memperkenalkan diri, Tiong Bok-jong dan Toan Kiamceng
berjingkrak kaget. "Kau keliru," kata Toan Kiam-ceng dingin,
"aku tidak punya paman, tentang siapa she dan namaku, tak perlu
kuberi tahu kepadamu."
Tan Khu-seng kewalahan menghadapi sikap ketusnya, katanya,
"Bencana atau rejeki selalu tergantung perbuatan orang. Jangan
setelah kau mengalami keruntuhan baru menyesal. Itulah pesan
Toan Siu-si yang minta kusampaikan kepadamu. Umpama kau tidak
menganggap dia sebagai pamanmu, apa salahnya kau mendengar
nasihatnya. Baiklah, cukup sekian saja, semoga kau tahu diri."
Lalu dia berpaling, dengan pandangan tajam dia menatap
pengemis tua, kataaya, "Sungguh bahagia dapat bertemu dengan
Tiong-cianpwe di sini. Betapa besar nama baik cianpwe di kalangan
Bulim dulu, tentu kau tidak berpandangan cupat seperti angkatan
muda, menyimpan rahasia pribadimu." "
Bercekat hati Tiong Bok-jong, batinnya, "Ternyata dia sudah tahu
asal-usulku." Tapi sikapnya tetap tenang dan wajar, katanya dingin,
"Tiong-locianpwe apa?"
"Apakah kau bukan Tiong Bok-jong Tiong-locianpwe?"
Tiong Bok-jong bergelak tawa, katanya, "Siapa itu Tiong Bokjong,
Tiong Bok-jong sudah lama mati."
Tan Khu-seng tertegun, namun lekas dia sudah maklum apa
maksud orang, mendadak dia merangkap kedua jari lalu menotok ke
dada orang sambil berkata, "Locianpwe tidak berani mengaku,
terpaksa aku berlaku kurang ajar terhadap locianpwe:"
Sepasang jarinya ini bukan saja dapat menotok juga bergerak
sebagai pedang, gerakan itu Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat.
Sebelum jarinya menyentuh pakaian, Tiong Bokjong sudah merasa
didesak angin kencang, tahu kalau dadanya kena tertotok jari orang
mungkin bisa berlubang seperti tertusuk badik atau pisau.
Terancam bahaya sudah tentu Tiong Bok-jong tak berani berlaku
ayal, langsung dia menggunakan ilmu tunggalnya, tangan
merentang melindungi dada dengan jurus Jan-liong-jiu, telapak
tangannya membelah keluar. Terdengar deru angin bergulung
menerpa ke depan, ternyata tanpa sadar dia melancarkan Gungoan-
it-ou-kang salah satu dari tiga ilmu tunggal kebanggaan
Kaypang. Tampak pakaian Tan Khu-seng melambai keras seperti didera
angin badai, namun sebat sekali dia sudah melompat mundur
setombak lebih. Serunya memuji, "Bagus, hebat memang Gun-goanit-
ou-kang." Tiong Bok-jong lantas sadar, "Agaknya dia memaksa aku
menunjukkan ilmu perguruan."
Khawatir Tan Khu-seng balas menyerang dan rikuh kalau
mungkir lagi, terpaksa Tiong Bok-jong berkata, "Betul, empatpuluh
tahun yang' lalu pernah muncul seorang Tiong Bok-jong, tapi Tiong
Bok-jong yang dulu itu sudah mati. Kau mau bicara dengan aku
atau mau bicara dengan Tiong Bok-jong yang hidup empatpuluh
tahun lalu?" Orang lain mungkin bingung mendengar ucapannya, tapi Tan
Khu-seng mengerti, katanya, "Aku ingin bicara dengan Tiong Bokjong
yang empatpuluh tahun lalu menjadi murid Kaypang, yaitu
yang sekarang ada di depanku. Jangan kau anggap karena kau
dipecat dari Kaypang lantas menganggap dirimu sudah mati."
"Betul, aku memang Tiong Bok-jong yang hidup empatpuluh
tahun lalu, tapi sejak larna aku bukan murid Kaypang. Jikalau
karena Tiong Bok-jong adalah murid Kaypang dan kau mau
mengajak bicara, maka kau keliru menemukan orang."
"Pasti tidak salah, karena sekarang kau masih boleh kembali ke
Kaypang, itulah pesan kedua su-heng-mu yang minta kusampaikan
kepadamu." "Terima kasih, boleh kau pulang dan beri tahu mereka, umpama
mereka sendiri kemari minta aku pulang, aku pun takkan kembali ke
Kaypang." "Kalian tiga saudara seperguruan sudah sama-sama berusia
lanjut, kedua suheng-mu amat merindukan kau."
"Orang she Tiong sudah biasa hidup bebas, tak ada minat
bertemu dengan segala pangcu."
Tan Khu-seng melihat orang bersikap begitu ketus, hubungan
persaudaraan dianggap sebagai penghinaan, karuan dia gelagapan
tak mampu bicara. Tiong'Bok-jong menarik muka, katanya pula, "Persoalan sudah
jelas, yang kau cari adalah Tiong Bok-jong murid Kaypang, bukan
aku. Maaf, aku tidak punya tempo bercakap-cakap dengan engkau
di sini." Habis bicara dia menarik Toan Kiam-ceng diajak pergi.
Seperti burung menerobos hutan, sekali melompat Tan Khu-seng
sudah di depan mereka, bentaknya sambil membalik badan,
"Tunggu sebentar!"
Tiong Bok-jong kaget, kedua tangan menjaga dada, bentaknya,
"Tan Khu-seng, apa kehendakmu?"
"Sekarang aku bukan bicara soal Kaypang, aku bicara untuk
urusanku sendiri." "Aku tidak bermusuhan dengan kau, ada urusan apa kau mencari
aku?" "Dengan kau aku tidak ada persoalan, tapi dengan kedua
temanmu aku punya perhitungan." Toan Kiam-ceng salah paham,
dia mengira yang dimaksud oleh Tan Khu-seng adalah dirinya,
seketika berubah air mukanya.
"Kalau kau tidak permusuhan dengan aku, aku tidak peduli orang
lain, tiada sangkut pautnya dengan aku, aku tidak suka mencampuri
urusan yang tiada hubungan dengan aku."
"Kau mau atau tidak, suka atau tidak, aku tidak peduli, tapi soal
ini terpaksa kau harus turut campur."
Tiong Bok-jong khawatir bila dia harus bentrok dengan Tan Khuseng,
terpaksa dia mengubah nada, "Baiklah, coba jelaskan, siapa
yang kau cari?" "Bwe-san-ji-koay."
"Wah, maaf, aku memang kenal mereka, tapi sekarang aku tidak
tahu di mana mereka."
"Kau punya hubungan selama duapuluh tahun dengan Bwe-sanji-
koay, ke mana saja mereka tentu dapat kau kira-kira. Boleh kau
pikir dulu, apa mereka pernah bilang kepadamu tapi sudah kau
lupakan" Kalau betul mereka tidak memberi tahu kepadamu,
terpaksa kau harus menunjukkan kepadaku, tempat-tempat
persembunyian mereka."
"Hm, memangnya aku ini tidak punya kerja, aku ada urusan
penting yang akan kubereskan, memangnya siapa punya tempo
menemani kau mencari mereka. Persetan!" Dengan kekerasan dia
menerjang lewat dari samping Tan Khu-seng.
Langkahnya ini sebetulnya amat berbahaya, dia bertaruh apakah
Tan Khu-seng berani bertindak kepada dirinya. Tapi setelah dia
lewat dari samping Tan Khu-seng, tak urung telapak tangannya
basah oleh keringat dingin.
Sesuai dugaannya, Tan Khu-seng tidak berani menggunakan
kekerasan. Toan Kiam-ceng mengintip di belakangnya, bergegas
mereka berlari ke bawah. Tan Khu-seng tak mampu berbuat apaapa,
tak tahu bagaimana dia harus mengambil tindakan.
Setelah beberapa kejap Tiong Bok-jong menoleh. Melihat Tan
Khu-seng tidak membuntutinya, lega harinya, katanya, "Untung dia
tahu diri, kalau tidak biar dia rasakan pukulan Telapak Besi ku."
Bara saja lolos dari lubang jarum, mulutnya sudah membual.
"Memang, meski kiamhoat-nya lihay mana mampu menandingi
Gun-goan-it-ou-kang locianpwe yang sudah diyakinkan puluhan
tahun, mana berani dia mengejar" Tapi kita harus lekas pulang ke
pangkalan." "Kalau dia tidak berani menggunakan kekerasan pasti tak berani
mengejar kita Memang kita bukan takut kepadanya, soalnya kita
harus lekas bergabung dengan Wi To-ping dan lain-lain." Mulut
bicara begitu tapi hati takut bukan main, maka langkahnya makin
cepat. Setelah cukup jauh, baru Tiong Bok-jong meraba lega, katanya,
"Umpama dia berani mengejar, sekarang dia sudah takkan bisa
menangkap kita." Ternyata tak jauh di depan, mereka sudah melihat Lo-wan-ciok
(Batu lutung tua). Sudah puluhan tahun Tiong Bok-jong mondarmandir
di daerah Sinkiang, seluk beluk di sini sudah dikenalnya
Makin mendekati Lo-wan-ciok hatinya makin lega, karena dia tahu
letak Lo-wan-ciok ini lebih seratus li dari pangkalan Lohay.
Tak nyana belum habis dia bicara, mendadak didengarnya
sebuah siulan, seseorang berkata, "Cukup lama aku menunggu,
kenapa baru sekarang kalian sampai?"
Waktu Tiong Bok-jong dan Toan Kiam-ceng mengangkat kepala,
tampak seorang laki-laki berpakaian putih sedang melompat turun
dari atas Lo-wan-ciok Siapa lagi kalau bukan Tan Khu-seng.
Karuan kaget Tiong Bok-jong bukan main, bentaknya, "Tan Khuseng,
kau... kau menguntit kemari apa kehendakmu?"
"Bukankah sudah kukatakan, aku ingin kau menunjukkan tempat
persembunyian Bwe-san-ji-koay."
"Bukankah sudah kujelaskan tadi, aku tiada tempo menemani
kau." "Kau tidak punya tempo tidak jadi soal asal aku punya tempo
menemani kau. Kau bilang ada urusan penting bukan?"
"Betul." "Baik, kau ke mana aku ikut ke mana, bila kau sudah punya
waktu baru kau ajak aku mencari orang. Setelah Bwe-san-ji-koay
ketemu, baru kau boleh pergi meninggalkan aku."
Tahu dirinya tak mungkin melepaskan diri dari kuntitan Tan Khuseng,
tiba-tiba timbul akal busuknya, "Tan Khu-seng, kau minta aku
membantumu, itu tidak sukar. Tunjukkan dulu kemampuanmu."
"Baik, sebutkan saja caranya. Bertanding silat atau sastra, tetap
kuiringi." "Kau tidak bermusuhan dengan aku, buat apa bertanding silat,
lebih baik tidak pakai kekerasan."
"Tidak pakai kekerasan juga boleh. Bagaimana caranya,
jelaskan." "Kita gunakan lutung batu ini. untuk memperlihatkan kelihayan
masing-masing. Kalau betul kungfumu lebih unggul dari aku, aku
tunduk pada perintahmu."
Dibilang pertandingan, sebetulnya hanyalah demonstrasi kungfu
kemahiran masing-masing, tapi bagi seorang ahli silat pasti dapat
melihat dan menilai siapa tinggi siapa rendah. Tan Khu-seng
menduga dengan kedudukan Tiong Bok-jong, orang tidak akan
mungkir bila dikalahkan, maka dia berkata, "Baiklah, wanpwe
menurut saja, silakan mulai dulu."
"Baik, lohu tunjukkan keburuk-anku." Kedua tinjunya mengepal
erat, berdiri di depan Lo-wan-ciok dia menggerakkan kedua
tangannya seperti mengukur jarak, lalu mengerahkan tenaga,
mendadak menghardik, "Putus!" kedua telapak tangan membelah
bersama, "prak" lengan kanan Lo-wan-ciok seketika tertabas putus
separuh. Tan Khu-seng tersenyum, katanya, "Gun-goan-it-ou-kang dari
Kaypang memang tidak bernama kosong." Dalam hati dia
membatin, "Sejak meninggalkan Kaypang selama empatpuluh tahun ini tentu
Tiong Bok-jong bertekad adu kekuatan dengan kedua suheng-nya,
maka selama ini pasti dia menggembleng diri. Menilai kekuatan Iwekang-
nya ini mungkin memang setanding dengan Koan Ih-ting.
Sayang dia tetap menjurus di jalan sesat, kalau tidak, bila suhengnya
tahu hasil yang dicapainya ini, betapa senang hatinya."
Melihat orang seperti berpikir, Tiong Bok-jong mengira orang
merasa jeri setelah melihat kekuatannya, katanya dengan
membusungkan dada, "Aku pun mengagumi Lian-hoan-toh-bingkiam-
hoat Kong-tong-pay kalian, sekarang silakan kau
demonstrasikan kema-hiranmu, biar terbuka mataku."
"Kehendak locianpwe mana berani kutolak. Mohon diberi
petunjuk." Pada akhir perkataannya, mendadak sinar pedang
berkelebat bagai kilat menyambar, jadi tidak seperti dugaan Tiong
Bok-jong, Tan Khu-seng harus menghimpun tenaga berkonsentrasi
lebih dulu. Bagi orang lain kelihatannya dia seenaknya
menggerakkan tangan tahu-tahu bagian perut dari Lo-wan-ciok
sudah dihiasi dua jalur goresan pedang bersilang, di antara goresan
pedang itu terdapat lubang kecil-kecil hasil tusukan ujung pedang
sebanyak delapanbelas. Apa yang disaksikan Beng Hoa belakangan adalah goresan
pedang di perut Lo-wan-ciok adalah hasil demonstrasi kedua orang
ini. Tapi Beng Hoa hanya bisa menyaksikan hasil demonstrasi
kungfu mereka, namun tidak bisa menemukan pertandingan keras
yang mereka tinggalkan. Padahal Tan Khu-seng sendiri juga tidak
menduga bahwa dia harus bertindak secara keras terhadap
pengemis tua ini. Di luar tahunya, Tiong Bok-jong sudah punya rencana jahat, di
waktu Tan Khu-seng berkonsentrasi, dari belakang dia siap
menyergap secara keji. Amgi atau senjata rahasia yang sudah dia siapkan adalah Tokbu-
kim-ciam-liat-yam-tan (Granat kabut beracun dengan jarum
emas berbisa). Semula granat ini adalah milik Sin Jit-nio, Bwe-sanjit-
koay memaksa untuk mengajarkan kepada mereka, belakangan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini Bwe-san-ji-koay mengajarkan pula kepada Tiong Bok-jong. Baru
pertama kali ini dia menggunakan granat buatannya.
Mimpi pun Tan Khu-seng tidak menduga Tiong Bok-jong bakal
bertindak secara rendah dan'hina, apalagi dia tahu setiap murid
Kaypang dilarang menggunakan amgi yang beracun, bahwasanya
tak terpikir oleh Tan Khu-seng bahwa Tiong Bok-jong sudah
menyiapkan senjata rahasia sejahat ini.
Saat mana sepenuh perhatian dia sedang mendemonstrasikan
permainan ilmu pedangnya dengan jurus Oh-ka-cap-pwe-bak dia
meninggalkan delapanbelas tusukan lubang pedang di perut Lowan-
ciok. Di saat dia senang bahwa permainannya lancar dan
bagus, saat itulah dia terbokong.
Akan tetapi kepandaian Tan Khu-seng memang bukan olah-olah
lihaynya, reaksinya menghadapi perubahan juga teramat cepat. Di
tengah kepulan asap tebal, tampak sinar putih berkelebat. Badan
Tan Khu-seng terjilat api namun dari tengah kabut tebal dia
menubruk keluar. "Tiong Bok-jong, sebetulnya aku berjanji kepada suheng-mu
untuk tidak melukai kau. Bagus, sekarang kau malah yang melukai
aku, biarlah kita bertanding kepandaian sejati." Sekali berguling di
tanah, Tan Khu-seng memadamkan api yang menyala di badannya,
sambil menenteng pedang dia mengejar.
Bahwa senjata rahasia beracunnya yang keji tak berhasil
merobohkan lawan, dalam pertandingan kungfu jelas dia sudah
dikalahkan, mana dia masih berani bergebrak" Beruntun Tiong Bokjong
menimpukkan dua butir granat asapnya. Kali ini Tan Khu-seng
sudah siaga, sudah tentu tak mungkin melukainya lagi. Tapi di
tengah kepulan asap tebal itulah Tiong Bok-jong dan Toan Kiamceng
melarikan diri, jaraknya makin jauh.
Sebetulnya Tan Khu-seng ingin mengejar, mendadak dia merasa
lututnya kesemutan, hampir saja dia terjungkal jatuh. Berbareng dia
rasakan kepalanya pening, mata berkunang-kunang.
Ternyata meski Tan Khu-seng tidak celaka oleh amgi jahat,
namun di waktu dirinya disergap tak urung dia menghirup sedikit
asap beracun, demikian pula lututnya tersambit sebatang bwe-hoaciam.
Apa boleh buat, terpaksa Tan Khu-seng membatalkan niatnya
mengejar musuh, dia harus menolong dan mengobati diri sendiri. Di
belakang Lo-wan-ciok dia menemukan sebuah gua, letaknya di
belakang semak-semak, kalau tidak dicari secara teliti takkan
ketemu, kebetulan menjadi tempat untuk dia menyembuhkan luka.
Hari kedua setelah Tan Khu-seng terluka baru Beng Hoa dan Kim
Bik-ki lewat Lo-wan-ciok, yaitu di saat Tan Khu-seng mencapai
detik-detik kritis dia menyembuhkan luka-lukanya. Sayang Beng Hoa
hanya menemukan goresan pedang gurunya di perut Lo-wan-ciok,
tapi dia tidak tahu kalau gurunya saat itu bersembunyi dalam gua di
belakang batu besar itu. Tan Khu-seng sendiri juga tidak mampu
bersuara meski tahu Beng Hoa dan Kim Bik-ki telah datang, apalagi
keluar menemui muridnya. Tapi satu hal cukup melegakan hatinya, yaitu Beng Hoa berdua
sudah berada di kediaman Lohay, pangkalan Lohay juga hanya
seratus li dari tempat persembunyiannya.
Tanpa terasa satu hari satu malam telah berlalu. Dalam sehari
semalam ini, dengan Iwekang-nya yang tangguh, kadar racun dalam
tubuhnya berhasil didesak keluar menjadi keringat berbau bacin.
Seketika semangatnya pulih kembali, sementara jarum beracun itu
juga berhasil disedotnya keluar dengan batu sembrani yang selalu
dibawanya. Walau Iwekang-nya belum pulih seluruhnya, tapi untuk
menempuh perjalanan seratus li bukan persoalan bagi dirinya.
"Setelah pulang tidak melihat diriku, tentu Hoa-ji menunggu dengan
gelisah," demikian pikir Tan Khu-seng. Lalu dia makan sisa ransum
kering yang dibawanya, dengan meraup salju di luar gua untuk
menghilangkan dahaga. Setelah makan minum tenaganya sudah
pulih sebagian besar, maka siap meninggalkan tempat itu, langsung
menyusul Beng Hoa ke tempat Lohay.
Pada saat itulah dia mendengar suara roda menggelinding yang
makin dekat. Sekilas mendengarkan, Tan Khu-seng dapat
membedakan itulah roda tunggal dari sebuah kereta dorong.
Timbul rasa heran dan tertariknya. Baru saja dia hendak
mengintip keluar, sayup-sayup didengarnya suara rintihan, yang
rebah di atas kereta roda tunggal itu kiranya seseorang yang
sedang sakit. "Kelihatannya keadaan Jit-nio sudah payah, bagaimana baiknya?"
kata laki-laki yang mendorong kereta.
"Sebelum dia ajal, kita harus memaksa dia menyerahkan Pek-tokcin-
keng," kata seorang lelaki lain yang berada di belakang kereta.
Mendengar percakapan kedua orang ini seketika Tan Khu-seng
berdiri kaget dan girang. Ternyata dua orang yang bicara ini bukan
lain adalah Bwe-san-ji-koay. Yang mendorong kereta adalah Cu Kak,
yang mengajukan akal adalah Loh Ang.
Sungguh kebetulan bertemu di sini setelah dicari susah payah
tidak berhasil. Walau Tan Khu-seng belum melihat orang yang rebah
di atas kereta dorong itu siapa, namun dari percakapan Bwe-san-jikoay
dia menduga pasti Sin Jit-nio adanya.
Tapi Tan Khu-seng tidak segera keluar unjuk diri.
Maklum dalam keadaan biasa kungfu Tan Khu-seng jelas bukan
tandingan Bwe-san-ji-koay, untuk menundukkan dan membekuk
kedua orang ini hanya semudah mengangkat tangan saja. Tapi
kondisi badannya masih lemas, dia tak yakin dapat mengalahkan
mereka. Sedetik lebih lama dia keluar, berarti tenaganya sedikit
lebih besar. Maka sambil bersemadi Tari Khu-seng terus
memperhatikan keadaan di luar, pikirnya, "Biar kudengarkan saja
pembicaraan mereka, mungkin dari mulut mereka aku dapat
mendengar banyak rahasia."
Cu Kak mengeluarkan kantong airnya, terus menyembur muka
Sin Jit-nio dengan air. Layap-layap Sin Jit-nio siuman dari
pingsannya, dengan lemah dja merintih, "Aku sudah hampir
mampus." Loh Ahg tertawa dingin, katanya, "Kau mati tidak jadi soal, lalu
ke mana kami dapat memperoleh Pek-tok-cin-keng" Lekas kau
serahkan saja Pek-tok-cin-keng itu."
Sin Jit-nio berkata, "Sudah kuberi tahu kepada kalian, Pek-tokcin-
keng tidak kubawa. Kalau tidak percaya boleh kalian
menggeledah badanku."
Di waktu Sin Jit-nio pingsan, Bwe-san-ji-koay sudah
menggerayangi sekujur badajinya. Cu Kak berkata, "Jit-nio, jelekjelek
kita pernah sahabat baik, kali ini kami menyerempet bahaya
menolongmu dari Kong-tong-san, umpama Tuhan punya kuasa
manusia punya bisa, jiwamu tetap tak bisa ditolong lagi, tapi kami
sudah bekerja sekuat tenaga, kumohon kau mengingat kebaikan
kami, terangkan di mana kau simpan Pek-tok-cih-keng itu."
Sin Jit-nio marah, katanya, "Terima kasih, kalian sudah bersusah
payah, tapi aku pun sudah kenyang menderita, aku tak mau tersiksa
lagi. Kalau kau mengaku sebagai sahabat baikku, tolong kau bantu
aku sekali pukul bikin aku mampus saja."
Ternyata sejak malam di mana Sin Jit-nio dipaksa terjun ke
jurang oleh Boh Le-cu, luka-luka Sin Jit-nio memang cukup parah.
Setelah Bwe-san-ji-koay membawanya lari, mereka tidak tahu
pengobatan, mereka hanya memberi makan dua batang jinsom
yang dahulu pernah mereka rampas dari pedagang obat di luar
perbatasan. Tapi setelah berselang dua bulan berlalu, dan
menempuh perjalanan jauh, kesehatan Sin Jit-nio makin memburuk
malah. Mending kalau hanya tersiksa oleh perjalanan panjang, untuk
Perjodohan Busur Kumala 13 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 6
^