Pencarian

Anak Pendekar 25

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 25


memaksa Jit-nio mengajarkan penggunaan racun, tak segan-segan
Bwe-sanrjirkoay menggunakan cara keji menyiksanya. Kalau dia
mau memberi sedikit maka mereka juga bersikap baik sedikit, besar
manfaat yang mereka peroleh mereka pun bersikap ramah dan
memberinya makan enak, tapi kalau dia membangkang maka
siksaan berat yang dialaminya. Karuan keadaan Sin Jit-nio yang
sudah setengah lumpuh itu makin parah saja.
Mendengar orang ingin mati saja, Loh Ang tertawa dingin,
katanya, " "Memangnya mudah" Tenaga untuk bunuh diri pun kau
tidak punya, kecuali raja akhirat mengutus setan merenggut
jiwamu. Lekas katakan saja, di mana kau simpan Pek-tok-cin-keng."
Sin Jit-nio berkata, "Baiklah, aku bicara sejujurnya. Dahulu
guruku pilih kasih, Pek-tok-cin-keng diwariskan kepada sumoay-ku.
Kalau kalian tidak percaya, ya terserah."
Bwe-san-ji-koay beradu pandang, sesaat kemudian Cu Kak
berkata, "Tidak berada di tanganmu juga tidak jadi soal. Kami yakin
kau sudah hafal di luar kepala seluruh ajaran Pek-tok-cin-keng itu,
coba kau bacakan di hadapan kami."
Dahulu Sin Jit-nio bersekongkol dengan Tong-bing-cu, dengan
racun jahat membunuh Tong-biau Cinjin guru Tan Khu-seng.
Sebetulnya Tan Khu-seng akan menuntut balas kepadanya, tapi
setelah menyaksikan sendiri betapa mengenaskan-nasib yang
dialami musuh besarnya ini, tak urung berdiri bulu kuduknya,
hatinya menjadi tidak tega, batinnya, "Untuk bicara pun dia sudah
kehilangan tenaga, dengan cara apa Bwe-san-ji-koay akan memaksa
dia membacakan isi Pek-tok-cin-keng itu?"
Kalau dia kehabisan akal, Bwe-san-ji-koay punya cara. Tampak
Cu Kak mengeluarkan irisan jinsom, dua keping dia jejalkan ke
mulut Sin Jit-nio. Sementara Loh Ang mendekap punggung orang
dengan telapak tangan, dengan getaran tenaga dalamnya yang
diperhitungkan secara tepat menunjang kerja jantungnya.
Itulah salah satu cara untuk membangkitkan semangat seseorang
yang sudah mendekati ajal dari aliran sesat, tapi setelah kejutan
yang membangkitkan semangat ini hilang, derita yang dialaminya
akan lebih parah dan mengerikan.
Loh Ang segera membentak, "Lekas bacakan Pek-tok-cin-keng.
Kalau bandel, siksaan lain yang lebih berat akan kau rasakan."
Dengan meringis kesakitan, Sin Jit-nio berkata dingin, "Maaf, sehuruf
pun aku sudah lupa" "Kurang ajar!" bentak Loh Ang gusar. "Kematian di depan mata,
masih bandel." Tak nyana Sin Jit-nio malah ber-gelak tawa, serunya, "Jatuh di
tangan kalian kenapa takut mati" Lekas mati memang harapanku,
hayolah lekas, biarkan aku mati daripada kalian siksa begini."
Suaranya makin lirih dan lemah, dia sedang kesakitan yang luar
biasa Pada saat genting itulah, mendadak sebuah suara perempuan
membentak nyaring, "Siapa berani membunuhnya, biar kucabut
nyawanya." * Mendengar suara orang, semula Bwe-san-ji-koay
merasa heran. "Tak nyana adajuga orang yang sudi melindungi
perempuan beracun ini." Tapi kejap lain, setelah perempuan yang
bersuara itu muncul, seketika seperti copot arwah Bwe-san-ji-koay.
Mereka tahu munculnya perempuan ini bukan melindungi Sin Jit-nio.
Waktu mendengar suara perempuan ini, Tan Khu-seng yang
bersembunyi di dalam gua sangat kaget dan senang, hampir saja
dia melonjak bangun. Perempuan ini bukan lain adalah Boh Le-cu yang dirindukannya
beberapa hari ini. Sudah tentu Bwe-san-ji-koay tahu betapa lihay kungfu Boh Le-cu,
namun sadar bahwa jiwa mereka terancam, meski bukan tandingan
juga harus melawan dan berusaha menyelamatkan diri.
Begitu meluncur tiba Boh Le-cu langsung menyerang dengan
jurus Giok-li-toh-so, pedangnya seperti berpencar menusuk mereka
sekaligus. Walau hanya sejurus, namun Cu Kak dan Loh Ang
merasakan ujung pedang sekaligus mengancam tenggorokan
mereka. Tanpa berjanji Bwe-san-ji-koay memekik kalap, "Biar aku
adu jiwa." Dua telapak tangan mereka menggempur bersama.
Serangan ini adalah jurus Im-yang-siang-jong-ciang yang sudah
mereka yakinkan bersama belasan tahun. Tenaga pukulannya
mengandung Unsur negatif dan positif, antara negatif dan positif ini
saling gandeng sehingga menimbulkan pusaran arus yang tidak
kelihatan. Dengan belasan tahun latihan lwekang Bwe-san-ji-koay,
di saat jiwa terancam, serangan mereka yang sekuat tenaga bukan
olah-olah perbawa pukulannya.
Meski kepandaian Boh Le-cu jauh lebih unggul dibanding mereka,
dalam sekejap itu dia laksana sampan kecil yang diombangambingkan
amukan gelombang di sa-mudera raya. Mendadak
tubuhnya terseret ke dalam pusaran arus, hingga tanpa kuasa
tubuhnya ikut berputar sepertti gangsingan.
Tan Khu-seng amat kaget, bergegas dia memburu keluar. Baru
saja dia khawatir dirinya terlambat menolong, ternyata keadaan
yang disaksikan sudah berubah.
Langkah Boh Le-cu sempoyongan seperti orang mabuk, namun di
saat segenting itu, mendadak sinar kilat berkelebat. Sebelum Tan
Khu-seng memberi pertolongan, pedangnya sudah berhasil menusuk
luka Bwe-san-ji-koay. Sekali pandang Tan Khu-seng lantas tahu bahwa orang bersilat
dengan langkah Cui-pat-sian, maka dia yakin kalau tidak mati Bwesan-
ji-koay pasti terluka parah. Dalam hati dia membatin, "Sungguh
ceroboh aku ini, kenapa aku memandang enteng Le-cu.
Delapanbelas tahun sudah berselang, bukan saja kungfunya sudah
maju berlipat ganda, kiamhoat-nya juga sudah jauh lebih tinggi
dibanding dulu. Bwe-san-ji-koay mana mampu melawan dia."
Mendadak Cu Kak menjerit ngeri, tubuhnya terlempar beberapa
tombak. Luka yang diderita Loh Ang lebih ringan, dia melompat ke
atas menggapai Lo-wan-ciok. Berada di tempat tinggi, Loh Ang
segera merogoh keluar sebutir amgi, langsung ditimpukkan ke arah
Boh Le-cu. Amgi-nya ini hasil rampasan dari kantong Sin Jit-nio
yaitu Tok-bu-kim-ciam-liat-yam-tan. Kemarin Tan Khu-seng juga
terluka oleh amgi yang sama.
Tan Khu-seng sudah merasakan sendiri penderitaannya, mana
tega melihat Boh Le-cu juga terluka oleh amgi jahat ini. Saat mana
dia pun sudah berada di atas Lo-wan-ciok. Sebelum kakinya
menginjak batu, pukulan sudah dilontarkan lebih dulu.
Bik-khong-ciang yang dia lontarkan secepat guntur menggelegar,
Tok-bu-kim-ciam-liat-yam-tan Loh Ang baru saja terlepas tangan,
terkena getaran pukulan jarak jauh Tan Khu-seng malah meledak di
depannya sendiri. Lidah api menjilat tubuh dan menyala, jarum
emas beracun menancap di badan, hidung menyedot kabut berbisa,
sambil menjerit ngeri dia terjungkal roboh ke bawah, sebelum
tubuhnya terkapar di tanah jiwa sudah melayang lebih dulu.
Beruntun Tan Khu-seng melontarkan dua kali Bik-khong-ciang
sehingga kabut beracun tersapu bersih.
Boh Le-cu terlongong kaget, teriaknya, "Tan-ko, kaukah" Kenapa
kau pun di. sini?" "Bere-kan dulu perempuan siluman itu," seru Tan Khu-seng,
"nanti kujelaskan."
Belum habis Tan Khu-seng bicara, mendadak Cu Kak menjerit
ngeri. Sin Jit-nio terkekeh bengis dan kalap, "Bagus, bagus, coba
kau siksa aku lagi?"
Secara kebetulan Cu Kak terlempar menindih tubuh Sin Jit-nio,
lekas Sin Jit-nio mengigit lidahnya hingga mengeluarkan darah,
dengan sisa tenaga dia meronta balik menindih tubuh Cu Kak serta
mencekik lehernya. Seluruh dendam kebencian Sin Jit-nio tercurah dalam cekikan itu,
sedemikian kalap dan kencang dia mencekik leher Cu Kak, biar mati
juga tidak akan dilepaskan. Padahal tulang pundak Cu Kak sudah
tertusuk oleh pedang Boh Le-cu, meski kungfunya setinggi langit
juga sudah punah dan tak mampu mengerahkan tenaga. Terdengar
tenggorokannya mengeluarkan suara mengorok, badan
berkelejetan, bola matanya melotot tAbalik mirip mata ikan emas.
Jiwanya melayang oleh cekikan Sin Jit-nio.
Menyaksiakan adegan yang menyeramkan ini, mau tidak mau
Tan Khu-seng dan Boh Le-cu merasa merinding dan tak tega.
Sin Jit-nio melingkar di tanah, napasnya empas-empis, suaranya
melengking, "Tan Khu-seng, akulah yang membunuh gurumu, aku
tahu kau ingin menuntut balas, mumpung aku belum mati, lekaslah
kau turun tangan sendiri."
Tan Khu-seng menghela napas, ujarnya, "Perbuatan jahat pasti
mendapat ganjaran setimpal, kurasa tak perlu aku membunuhmu."
Pucat pasi selembar muka Sin Jit-nio, teriaknya serak, "Tan Khuseng,
kau... kau tak sudi membunuh aku. Boh Le-cu, Vbaiklah kau
saja yang turun tangan."
Boh Le-cu menghampiri sambil mengeluarkan kim-jong-yok.
Luka-luka Sin Jit-nio amat parah, kim-jong-yok jelas takkan
menolong jiwanya tapi dapat mengurangi deritanya. Kim-jong-yok
yang diberikan Boh Le-cu seperti air embun di tengah padang pasir.
Dengan lembut Boh Le-cu berkata, "Beritahukan kepadaku di
mana sumoay-mu sekarang, aku akan berusaha menolongmu."
Agaknya Sin Jit-nio terharu dan insyaf, katanya, "Dosaku terlalu
besar, setimpal kalau mendapat ganjaran ini, aku memang tidak
ingin hidup lagi. Aku beri tahu kepadamu dengan harapan supaya
aku bisa mati lebih tenteram. Sumoay-ku itu sudah menikah lagi...
dengan...." Lekas Boh Le-cu mendekatkan kupingnya di depan
mulut orang. Tan Khu-seng hanya melihat bibirnya bergerak-gerak,
sesaat matanya mulai terpejam, kepala lantas terkulai lemas.
"Han Ji-yan menikah lagi dengan siapa" Sudah dia katakan?"
"Menikah dengan seorang jenderal kerajaan yang bernama Cui
Po-san." "Hah, Cui Po-san?" Tan Khu-seng tersentak kaget.
"Kau tahu siapa dia?" tanya Boh Le-cu.
"Dahulu orang ini menjabat gubernur jenderal yang menguasai
wilayah Siau-kim-jwan. Sekarang kerajaan mengutus dia memimpin
pasukan besar menyerbu ke Sinkiang."
Boh Le-cu tunduk teipekur, katanya kemudian, "Tan-ko, aku ingin
berunding dengan engkau."
"Adik Cu kenapa masih sungkan terhadapku. Katakan saja, soal
apa, aku menurut saja."
Manis mesra hati Boh Le-cu, katanya, "Engkoh Tan, walau
ucapanmu terlambat delapanbelas tahun aku masih senang
mendengarnya." Mendadak dia tertawa cekikikan, "Engkoh Tan,
kenapa keadaanmu jadi begini" Silakan ganti pakaian dulu, nanti
kita bicarakan soal ini."
Seperti diketahui, Tan Khu-seng terluka oleh jarum emas kabut
beracun yang ditimpukkan Tiong Bok-jong sehingga bajunya
terbakar dan kotor. Selama ini dia belum sempat ganti pakaian.
Tan Khu-seng tertawa geli melihat keadaan sendiri, katanya,
"Untung aku membawa pakaian, kalau tidak, bagaimana aku bisa
berhadapan dengan orang luar?" Bergegas dia kembali ke dalam
gua Setelah ganti pakaian, dia bawa buntalan-nya, dia keluar
menemui Boh Le-cu lagi. Setelah menuturkan pengalaman masing-masing, Boh Le-cu
berkata, "Kupikir akan mencari perempuan laknat itu membuat
perhitungan lebih dulu."
"Dendam keluarga sedalam lautan, sudah tentu aku tak boleh
menghalangi kau menuntut balas. Tapi kau sudah menunggu
delapanbelas tahun, kurasa tidak perlu tergesa-gesa Maklum
sekarang dia sudah menjadi istri jenderal besar pasukan kerajaan,
untuk menemuinya mungkin tidak mudah, maka soal ini harus
dipikir lebih matang."
"Engkoh Tan, tujuanku bukan hanya menuntut balas. Justru
karena perempuan laknat itu menikah dengan jenderal Cui Po-san
sehingga mendorong tekadku untuk membunuhnya"
"O, maksudmu sekaligus kita bunuh juga Cui Po-san?"
"Betul. Kau suka membantu aku?"
"Jikalau usaha kita berhasil, bukan berarti membantu engkau
saja, manfaatnya besar bagi perjuangan suku Uigior yang siap
mengangkat senjata melawan serbuan kerajaan. Tapi di tengah
pasukan besar membunuh jenderal mereka, bukan sengaja aku
mengguyur air dingin di kepalamu, rasanya harapan berhasil amat
tipis." "Meski harapan amat tipis juga harus dicoba Aku tidak akan
menyerempet bahaya kalau tidak yakin dan punya persiapan."
"Dengan cara apa kau akan menyelundup ke tengah pasukan
besar musuh?" "Kau lupa bahwa aku mahir tata rias" Pernah aku belajar kepada
Kwi-hwe-thio." Tan Khu-seng tertawa, katanya, "Ya, penyamaranmu menjadi
murid Kong-tong tempo hari memang cukup lihay, kali ini kau
hendak menyamar menjadi apa?"
"Sudah tentu menyamar jadi tentara, aku yakin di tengah
pasukan sebanyak itu, kalau hanya dua orang yang menyelundup ke
sana pasti tiada orang bisa membongkar kedok kita Bagaimana, kau
mau membantu tidak?"
"Urusanmu adalah urusanku, apalagi untuk kepentingan umum"
Pertanyaanmu terlalu berlebihan."
"Baiklah, sekarang juga.kita berangkat. Umpama usaha kifa gagal
juga akan kubuat mereka tidak enak makan tidak nyenyak tidur
sehingga semangat tempur mereka goyah."
---ooo0dw0ooo--- DI tempat kediaman Lohay, Beng Hoa juga punya pikiran yang
sama. Seorang penyelidik sudah pulang memberi laporan, pasukan
kerajaan mendirikan perkemahan di dalam lembah gunung. Hari
kedua Lohay mengajak Song Theng-siau, Beng Hoa, Kim Bik-ki dan
lain-lain berunding membuat rencana menghadapi pasukan musuh.
Di saat mereka berkumpul dalam kemah, jenderal besar pasukan
musuh Cui Po-san mengutus orang mengirim surat tantangan
perang. Dinyatakan jikalau Lohay tidak menyerah dan menerima
kebijaksanaan kerajaan, pasukan besarnya akan dikerahkan
menyerbu. Saking gusar, Lohay merobek-robek dan menginjak-injak surat
tantangan Cui. Po-san, utusan Cui Po-san juga diusir. Hadirin
mengepal tinju, menyingsingkan lengan baju, mereka siap
bertempur. Tapi Song Theng-siau tidak sependapat, dia tidak mau melawan
dengan kekerasan, katanya, "Di saat kekuatan musuh besar dan
semangat tempur mereka berkobar, kita harus menyingkir dan
menghindari bentrokan secara langsung. Bila musuh patah
semangat dan mulai kendor, -baru kita mulai menggempur dan
mencegat jalan mundur mereka. Cara ini umpama tidak seluruhnya
berhasil, juga pasti dapat membuat musuh kocar-kacir. Kalau
pasukan kita sepuluh kali lebih besar dibanding musuh, kita dapat
menumpasnya habis, kalau lima kali lipat boleh mengepungnya,
satu kali lipat boleh melabraknya dengan seluruh kekuatan yang
ada, tapi kalau jumlah kita jauh lebih kecil, maka kita harus
menyingkir untuk sementara."
Santala berkata, "Aku tidak paham strategi perang, tapi kalau
menurut perumpamaanmu tadi, jumlah musuh lebih besar,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas'perang ini tak mungkin kita adakan" Tapi aku juga tahu dalam
pepatah orang Han kalian ada mengatakan, lebih baik hancur
sebagai patriot daripada gugur secara konyol. Pejuang kita
mempunyai semangat tempur tinggi, kita takkan pernah gentar
berhadapan dengan musuh yang kuat dan berjumlah besar.
Menurut pendapatku, kalah atau menang kita tetap harus
bertempur, kita adu jiwa."
"Kau salah mengartikan maksudku," ujar Song Theng-siau,
"bukan aku menganjurkan kalian lari atau menyerah, tapi aku
menganjurkan kita harus menggempur dan melawan mereka bila
saat dan keadaannya tepat. Jumlah dan kekuatan perang musuh
jauh lebih besar dibanding kita, tapi tak mungkin musuh sekaligus
mengerahkan sepuluh laksa pasukannya untuk menggempur, kalau
kita pandai melihat gelagat dan menguasai situasi tidak sukar kita
menggempurnya. Apalagi tanah ini milik kita, kita punya modal yang
lebih menguntungkan."
"Modal apa yang kau maksud?" tanya Santala.
"Yaitu waktu, cuaca, medan perang dan bantuan rakyat. Pejuang
kita sudah biasa dengan cuaca di sini, kenal daerah kita sendiri, bila
bertempur di gunung salju atau di padang rumput sudah menjadi
kebiasaan kita, sebaliknya pasukan kerajaan belum punya
pengalaman yang kuuraikan ini. Satu hal lagi yang lebih penting
adalah, pasukan kerajaan tidak mendapat dukungan rakyat, di mana
saja dan kapan saja kita akan mendapat bantuan mereka. Bila kita
memegang kesempatan menguntungkan, apa tidak mungkin kita
menggempur mereka?" Lohay manggut-manggut, katanya, "Song tayhiap, uraianmu
masuk di akal. Tapi untuk membujuk dan memberi penjelasan
kepada pejuang kita perlu makan tenaga dan waktu."
"Betul," seru Santala bertepuk tangan. "Kita harus beraksi untuk
mematahkan semangat tempur musuh."
"Aku mohon kalian memberi ijin padaku untuk melakukan tugas,"
demikian pinta Beng Hoa. "Tugas apa?" tanya Song Theng-siau.
"Aku akan membunuh jenderal Cui Po-san."
Song Theng-siau menggelengkan kepala, katanya,
"Membunuhnya bukan cara yang baik, umpama kau berhasil
membunuh Cui Po-san, kerajaan masih bisa mengutus orang kedua
dan ketiga untuk menggantikan Cui Po-san."
"Paman Song, aku paham maksudmu. Tapi pepatah ada bilang,
ular tanpa kepala tak bisa jalan. Jikalau pemimpin besar pasukan
musuh mendadak mampus, paling tidak mereka akan mengalami
sedikit ke^ kalutan. Meski dalam jangka pendek, semangat tempur
mereka pun akan berkurang karenanya, bukankah situasi seperti itu
yang kita inginkan?"
"Dengan cara yang sama kita bertindak terhadap mereka,"
demikian timbrung Kim Bik-ki. "Mereka pernah mengutus orang
hendak menculik Lomana, apa salahnya kita mengirim
orangmembunuh jenderal mereka."
Melihat betapa besar semangat mereka, Song Theng-siau
berkata, "Baiklah, aku beri ijin kalian untuk mencobanya. Tapi kalian
tak boleh nekat, lihatlah gelagat, kalau gagal harus segera pulang."
Dalam hati dia berpikir, "Gabungan sepasang pedang ajaran Thio
Tan-hong yang mereka pelajari sekarang hampir tiada tandingan di
kolong langit. Umpama tak berhasil membunuh Cui Po-san, yakin
masih dapat pulang dengan selamat."
Santala berkata, "Aku tidak bisa membiarkan kalian menempuh
bahaya, keadaan lembah itu aku paling hafal, mohon persetujuan,
aku ikut membantunya."
Beng Hoa tertawa, katanya, "Tapi untuk membunuh musuh
secara gelap tidak boleh terlalu banyak orang."
"Aku tahu. Aku tidak punya kemampuan untuk pergi datang
secara terbang, serombongan dengan kalian membunuh musuh
jelas tidak mungkin..Tapi aku akan memilih beberapa ratus pejuang
kami yang pandai memanah, bersembunyi di atas gunung, bila perlu
kami akan menyambut dan menolong kalian meloloskan diri."
Rencana sudah mendapat persetujuan Lohay, terpaksa Song
Theng-siau ikut setuju. Maka Santala berjanji kepada Beng Hoa bila
perlu bisa menggunakan panah berasap sebagai isyarat. Setelah
pertemuan bubar, Beng Hoa bebenah lantas berangkat bersama Kim
Bik-ki. ---ooo0dw0ooo--- Ketegangan juga meliputi markas besar kerajaan. Wi To-ping,
Yap Kok-wi, Tiong Bok-jong dan lain-lain beruntun sudah pulang
memberi laporan. Saat itu Cui Po-san sedang sibuk berunding
dengan para bawahannya mengatur rencana perang.
Kalau Cui Po-san sedang mengatur pasukan memimpin para
perwiranya, di kamar tidurnya berbeda suasananya. Keadaan sepi
lengang, istrinya Han Ji-yan sedang mondarmandir di dalam kamar.
Walau berada di tengah sepuluh laksa pasukan besar, dia seperti
berada di atas sampan kecil, tak bisa menemukan orang yang bisa
membantu dirinya terhindar dari marabahaya.
Untuk menghindari balas dendam Tan Khu-seng dan Boh Le-cu,
dia menyembunyikan asal-usul dirinya, menikah dengan Cui Po-san.
Sebagai istri seorang jenderal yang memimpin sepuluh laksa
prajurit, tempat mana lebih aman dibanding bersembunyi di tengah
pasukan besar" Selama belasan tahun, dia memang hidup aman
tenteram, tiada orang menuntut balas kepadanya, jejak Tan Khuseng
dan Boh Le-cu juga menghilang. Dia mengira umpama mereka
belum mati juga takkan berani menuntut balas.
Dua bulan yang lalu, sebagai gubernur yang berkuasa di Sujwan,
Cui Po-san dimutasikan dengan kenaikan pangkat jenderal penuh
untuk memimpin pasukan besar menindas pemberontak di Sinkiang.
Kini dia menjadi nyonya jenderal, sudah tentu hatinya amat bangga
dan senang. Tak nyana, di saat dia merasa puas itulah, dia
mendengar berita tentang Tan Khu-seng. Sejak mendengar berita
itu, dia selalu gundah, makan tidur tidak tenteram.
Yang dia dengar adalah berita tentang Tan Khu-seng yang
mewarisi kedudukan ciangbun Kong-tong-pay. Belakangan berita
tentang Kong-tong-pay terus membanjir, ternyata munculnya Boh Le-cu
di dunia persilatan juga sudah dia dengar. Tapi yang paling
mengejutkan hatinya adalah berita yang diterima dua hari lalu.
Kemarin Wi Tp-ping dan Yap Kok-wi pulang. Laporannyamengatakan
bahwa Lohay tidak tunduk dan berani menantang malah,
dilaporkan pula di tempat kediaman Lohay mereka berhadapan
dengan murid Tan Khu-seng.
Hari ini Tiong Bok-gong kembali, berita yang dilaporkan lebih
mengejutkan lagi, dia bertemu langsung dengan Tan Khu-seng.
Kehadiran Tiong Bok-jong bersama Toan Kiam-ceng dalam
pasukan besar kerajaan itu atas tanggungan Wi To-ping. Sebelum
ini meski Tiong Bok-jong pemah bekerja untuk kepentingan
kerajaan, tapi baru pertama kali ini dia bertemu dengan Cui Po-san.
Setelah berhadapan ter-. nyata sikap Cui Po-san tidak seperti yang
dia harapkan, Cui Po-san sendiri juga amat kecewa, batinnya "Wi
To-ping bilang dia adalah salah seorang cianpwe Kaypang,
kungfunya hebat, siapa tahu kiranya hanya tua bangka yang
bernama kosong belaka Hm, kalau betul-betul hebat, mana mungkin
keadaannya serunyam ini, meski berhadapan dengan musuh
tangguh." Walau hari itu Tiong Bok-jong berlaku licik terhadap Tan Khuseng
hingga lawan kecundang, tapi Bik-khong-ciang yang
dilontarkan Tan Khu-seng juga menyapu balik kabut berbisa dan api
dari ledakan senjata rahasianya, pakaian Tiong Bok-jong terbakar
dan hangus di beberapa tempat, karena getaran pukulan jarak jauh
Tan Khu-seng dia pun jungkir balik. Takut dikejar Tan Khu-seng,
sepanjang jalan dia tidak berani berhenti atau istirahat, dengan
napas kempas-kempis dia berlari ke markas besar pasukan
kerajaan. Hari itu Toan Kiam-ceng lari lebih dulu, Tan Khu-seng juga
menaruh belas kasihan kepadanya maka sedikit pun dia tidak
cedera. Bila keadaan kedua orang ini dibandingkan, keadaan Toan
Kiam-ceng kelihatan lebih wajar, jauh lebih gagah malah.
Demikian pula kesan Han Ji-yan terhadap kedua orang ini, sekali
bertemu dia sudah merasa sebal kepada Tiong Bok-jong, tapi
terhadap Toan Kiam-ceng makin dipandang dia makin simpati.
Setelah tamu disuguh teh dan diantar pergi, Cui Po-san kembali
ke kamar, Han Ji-yan berkata, "Pengemis tua itu bermuka-muka,
bermulut besar lagi, aku sebal melihatnya; apalagi tampangnya
jelek. Sebaliknya pemuda she Toan itu pandai omong, sopan dan
gagah, kurasa dia pemuda yang bisa dibimbing."
"Kau tahu siapa dia?" tanya Cui po-san.
"Hidup dalam markas memang tidak seketat di keluarga
hartawan besar, tapi setelah menjadi istrimu, boleh dikata aku tidak
pernah melangkah ke luar rumah. Siapa dia, kalau tidak kaujelaskan
mana aku bisa tahu?"
"Bocah itu ada sedikit asal-usul. Dia adalah siau-ongya dari
keluarga Toan di Tayli. Di jaman dinasti Beng, keluarga Toan
diangkat sebagai raja kecil setempat, sekarang walau gelar rajanya
sudah dicopot, tapi di daerah Tayli keluarga mereka masih cukup
terpandang dan disegani oleh penduduk."
"Kalau tidak salah pernah aku dengar kau bilang pihak kerajaan
membenci keluarga Toan ini."
"Itu lantaran perbuatan Toan Siu-si- Toan Siu-si adalah paman
bocah tadi. Dia berbuat dan melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan kebijaksanaan kerajaan. Tapi pemuda ini membantu kita
malah, jadi paman dan keponakan tak boleh disamakan. Waktu Hay
Lan-ja masih hidup, pernah dia menyinggung soal ini kepadaku. Dia
siap membimbing pemuda ini, supaya keluarga Toan kelak
mendapat kembali gelar kerajaan."
Agaknya Han Ji-yan tertarik oleh soal ini, katanya, "Memulihkan
gelar kerajaan, maksudnya dia hendak mohon kepada baginda raja
untuk mendudukkan kembali dia sebagai raja yang berkuasa di
Tayli?" Cui Po-san tertawa, katanya, "Sejak terjadi tiga kali
pemberontakan dahulu, kerajaan kita ini sudah melarang adanya
pengangkatan raja kepada bangsa lain. Tapi walau gelar raja tidak
mungkin diberikan kepadanya, tapi boleh mengangkatnya sebagai
gubernur atau jenderal, sudah tentu hanya diangkat secara tituler
namun dengan kedudukan dan wibawa keluarga Toan di Tayli kita
bisa memperalat untuk kepen-- ringan kerajaan. Sayang sekali nasib
pemuda ini jelek. Menurut rencana Hay Lan-ja dia akan mengawasi
dan mengujinya beberapa waktu lagi baru mengangkatnya ke
tempat yang lebih tinggi. Tak nyana sebelum rencana dia laporkan,
Hay Lan-ja sudah keburu mati di tangan murid Tan Khu-seng."
"Kalau begitu kau yang bernasib mujur malah," ujar Han Ji-yan
tertawa. Cui Po-san tersentak sadar, katanya, "Betul, rencana Hay Lan-ja
semula tetap bisa kulaksanakan sebagai rencanaku sendiri."
"Kalau demikian, kau harus berusaha merangkul bocah she Toan
ini." "Baik, sekarang juga akan kuundang dia untuk bicara empat
mata, kau boleh menemani aku berbicara dengan dia."
Memangnya itu harapan Han Ji-yan, namun dia pura-pura, "Apa
leluasa?" "Kurasa cara terbaik untuk merangkulnya memang demikian, kita
anggap dia orang sendiri. Apalagi bukankah kau senang mendengar
berita-berita di luar." Segera dia memanggil petugas dan
menyuruhnya memanggil Toan Kiam-ceng menghadap ke
kemahnya. Pertemuan dan pembicaraan mereka justru menambah
rasa khawatirnya, tapi juga menciptakan angan-angan dalam
benaknya. Cui Po-san menanyakan pengalaman Toan Kiam-ceng, lalu
menambahkan, "Jangan kau kira istriku ini lemah lembut tak tahan
dihembus angin kencang, dia paling senang mendengar cerita dan
kejadian aneh di kalangan Kangouw."
Memang Toan Kiam-ceng pandai bicara dan menjilat, maka dia
menuturkan pengalaman pribadinya, demikian pula berita dan
kejadian yang pernah dia saksikan di sepanjang perjalanan, sudah
tentu diberi bumbu ditambah kecap sehingga rangkaian ceritanya
menarik dan mengesankan. Cerita lain biasa saja, namun waktu dia mendengar Toan Kiamceng
bercerita tentang Bwe-san-ji-koay yang bersekongkol dengan
suci-nya, mau tidak mau jantungnya berdebar-debar.
Sebaliknya Cui Po-san tertarik oleh cerita yang satu ini, katanya,
"Kau bilang Sin Jit-nio adalah ahli racun nomor satu di dunia ini, apa
betul?" "Kebanyakan Bulim cianpwe bilang demikian. Konon guru Tan
Khu-seng yang bergelar Tong-biau Cinjin juga mati diracun olehnya
Sayang sekarang dia terluka parah, jelas takkan bisa hidup lama."
Cui Po-san bertanya, "Apa kau tahu di mana mereka sekarang"
Bila bisa ditemukan boleh kau suruh Bwe-san-ji-koay membawa Sin
Jit-nio kemari, di sini kami punya tabib dan obat yang lengkap,
mungkin bisa menolong jiwanya. Orang-orang yang pandai
menggunakan racun seperti dia amat berguna bagi aku."
Dalam hati Han Ji-yan menjengek dingin, "Sudah belasan tahun
kau menjadi suamiku, kapan kau tahu bahwa istrimu justru ahli
racun nomor satu di jagat ini."
Perlu dijelaskan di sini, pernikahan Han Ji-yan dengan Cui Po-san
atas prakarsa Hay Lan-ja, jadi Hay Lan-ja yang menjadi comblang.
Pertama Hay Lan-ia membantu Han Ji-yan menghilangkan jejak,
menyingkir dari tuntutan balas musuh sekaligus untuk mengawasi
Cui Po-san dari dekat. Hakekatnya Cui Po-san tidak pemah tahu
asal-usul istrinya. Yang tahu rahasia Han Ji-yan hanya dua orang, Hay Lan-ja dan
suci-nya Sin Jit-nio. Kini Sin Jit-nio jatuh di tangan Bwe-san-ji-koay,
mau tidak mau dia harus waspada dan khawatir, takut Sin Jit-nio
membocorkan rahasianya. Sebagai istri seorang jenderal, sudah
tentu dia pantang orang lain tahu seluk beluk dirinya di masa lalu.
"Lapor toasay," seru Toan Kiam-ceng, "maksud Bwe-san-ji-koay
semula memang hendak mengabdi kepada toasay (jenderal). Tapi
entah karena apa, sampai sekarang dia belum tiba." Sudah tentu di
luar tahunya bahwa Bwe-san-ji-koay kini sudah mati bersama Sin
Jit-nio. Han Ji-yan kebat-kebit, apakah Toan Kiam-ceng tahu rahasianya"
Maka dia berusaha memancing, "Apakah kau pernah bertemu
dengan Sin Jit-nio?"
"Tidak, aku belum pernah melihatnya," sahut Toan Kiam-ceng.
Lega hati Han Ji-yan, batinnya, "Agaknya bocah ini belum tahu
rahasia. Tapi dia bilang Bwe-san-ji-koay dan suci-ku akan datang
kemari, bagaimana baiknya?"
Cui Po-san malah amat senang, katanya, "Kalau kita bisa
menemukan Sin Jit-nio yang mahir menggunakan racun, berarti aku
mendapat pembantu yang berarti." Lalu dengan menghela napas dia
menambahkan, "Kiamhoat Tan Khu-seng demikian lihay, entah Sin
Jit-nio bisa menemukan tempat ini, umpama dia sudah berada di
sini, mungkin juga bukan tandingan Tan Khu-seng. Toan-kongcu,
apa kau tahu dalam dunia persilatan, tokoh kosen mana yang
sekiranya mampu menandingi Tan Khu-seng, coba kau sebutkan
kalau bisa usahakan mengundang mereka kemari."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang hal ini akan kulaporkan kepada toasay. Toasay tidak
perlu khawatir, aku ada seorang yang cukup mampu menandingi
Tan Khu-seng, malah ciangkun tak usah mengundangnya kemari,
dia juga akan datang sendiri."
Cui Po-san girang, tanyanya, "Siapa dia?"
"Beliau adalah guruku," tutur Toan Kiam-ceng. "Seorang paderi
dari Thian-tiok bergelar Kiap-bit Hoatsu. Waktu berada di Thian-tiok,
nama besar guruku sejajar dengan dua paderi agung yang berkuasa
di Thian-tiok." Cui Po-san kaget, "Dua paderi sakti dari Thian-tiok, apakah yang
kau maksud adalah Yu-tan Hoatsu dan Si-lo Hoatsu dari Lan-to-si di
Thian-tiok?" "Betul, guruku juga murid cabang Lan-to-si, belakangan hijrah ke
Tibet, di sana beliau mendirikan perguruannya sendiri."
Sebetulnya Han Ji-yan masih ingin bicara dengan Toan Kiamceng,
tapi Cui Po-san harus segera memimpin rapat militer, maka
pembicaraan ini sementara diakhiri sampai di situ. Tapi sebelum
Toan Kiam-ceng pergi, Cui Po-san berkata kepadanya, "Kuanggap
kau sebagai orang sendiri, selanjutnya kau boleh sering kemari tidak
usah sungkan. Umpama aku kebetulan keluar, kau boleh menemani
hujin ngobrol, dia paling senang mendengar cerita kaum persilatan."
Seorang diri Han Ji-yan duduk bertopang dagu di dalam
kemahnya Di luar angin berhembus kencang, bendera berkibarkibar,
terasa hatinya makin kesepian. Maka pikirannya menjadi
gundah gulana. Memang Cui Po-san amat sayang padanya selama belasan tahun
dia tidak pernah kekurangan, apa pun permintaannya pasti terkabul.
Tapi Cui Po-san bukan pria atau suami idamannya. Yang selalu-dia
idamkan adalah pria muda yang gagah ganteng, Cui Po-san justru
seorang militer yang tidak kenal cinta dan kurang pandai
memuaskan keinginan sang istri.
Selama hidup, laki-laki yang betul-betul dapat menarik
perhatiannya hanya satu yaitu Tan Khu-seng, yang pemah dilihatnya
delapanbelas tahun yang lalu. Sayang sekali Tan Khu-seng ternyata
mencintai Boh Le-cu yang secara tidak resmi menjadi anaknya itulah
salah satu sebab kenapa dahulu dia membantu Tohg-hian-cu untuk
menjebak dan mencelakai Tan Khu-seng dan Boh Le-cu. Sementara
Tan Ku-seng sendiri tidak pernah menduga bahwa perempuan yang
satu ini pernah jatuh hati padanya
Sang waktu berlalu tak mengenal kasihan, seperti air mengalir
tak pemah kembali, kini dirinya sudah setengah baya. Dalam usia
setua ini mendadak melihat lagi pria yang betul-betul mengusik
hatinya. Seorang diri dia duduk melamun di depan cermin, diam-diam dia
merasa kasihan pada diri sendiri. Wajah yang terpampang di dalam
cermin masih kelihatan menggiurkan. Tapi wajah ayu jelita yang
mempesona ini sudah menunjukkan kerut di dahinya Dalam hati dia
menghela napas, "Sayang sekali, Toan Kiam-ceng datang terlambat
delapanbelas tahun."
Namun lekas sekali dia berpikir, "Bagaimanapun Toan Kiam-ceng
tidak bisa dibandingkan dengan Tan Khu-seng. Umpama di antara
mereka tidak terjalin permusuhan, Tan Khu-seng juga tak mungkin
mencintai perempuan seperti dirinya. Tapi lain lagi soal Toan Kiamceng,
peduli dia suka atau tidak, dia bertekad akan menarik
perhatiannya walau hubungan mereka hanya hubungdn gelap.
Sudah tentu dia belum berani memikirkan selanjutnya dia akan
berlaku serong, bermain cinta dengan pemuda tampan ini. Tapi bila
seorang pemuda romantis selalu berada di sampingnya, sedikit
banyak dapat menyembuhkan kesepiannya. "Untung Cui Po-san
sedang ingin merangkul dia, kenapa aku tidak merangkulnya
sebagai orang kepercayaanku?" demikian batin Han Ji-yan. "Bila aku
punya orang kepercayaan secerdas dia, urusan yang aku sendiri
kurang leluasa mengerjakan, dapat aku minta bantuannya untuk
melaksanakan." Terasa mukanya panas dan jengah, jantung pun berdebar-debar.
Sekian lama dia terlongong mengawasi wajah sendiri di dalam
cermin, akhirnya dia memanggil pelayan pribadinya, "Bik-ji, tolong
kau panggil Toan-kongcu kemari, ingat jangan sampai pengemis tua
itu tahu." Bik-ji adalah pelayan pribadinya yang amat dipercaya, banyak
urusan yang dia lakukan di luar tahu sang suami tapi tak bisa
mengelabui pelayannya ini. Seperti tertawa tidak tertawa, Bik-ji
menjawab, "Ya, aku mengerti. Hujin tak usah khawatir, aku bisa
mengerjakan perintahmu dengan baik."
"Budak setan, ke mana otakmu berpikir," maki Han Ji-yan purapura
marah, "berani kau sembarang omong, awas kurobek
mulutmu." Pelayan cilik itu mendebat, "Lho, aku kan tidak bilang apa-apa,
aku kan hanya menjalankan perintah hujin."
"Baiklah," ucap Han Ji-yan, "ambillah secangkir teh itu, minumlah
dulu baru pergi." Pelayan cilik itu tidak mengerti kenapa Han Ji-yan mendadak
menyuruh dia minum, tapi dia tahu biasanya hujin ini banyak curiga,
namun dia tidak berani bertanya, katanya, "Terima kasih." Lalu dia
tuang secangkir teh terus diminumnya Terasa air teh agak pahit,
tapi setelah air teh tertelan ke dalam perut, terasa badan segar
semangat menyala Setelah pelayannya pergi, Han Ji-yan menimang-nimang seorang
diri, bila Toan Kiam-ceng sudah kemari, dengan cara apa dia akan
merangkul bocah itu menjadi orang kepercayaannya" Sebagai istri
seorang jenderal kalau dia salah omong, pasti akan menurunkan
derajatnya. "Kelihatannya bocah itu cukup tahu diri dan pandai
melihat gelagat, mungkin tak perlu banyak bicara dia sudah tahu
maksud hatiku." Di saat dia gundah dan khawatir hingga melamun tampak daun
pintu yang setengah tertutup didorong terbuka oleh seseorang,
ternyata pelayan cilik itu sudah kembali. Han Ji-yan melenggong,
katanya, "Bik-ji, kenapa begitu cepat kau kembali" Mana Toankongcu?"
Mendadak terasa olehnya bahwa pelayan cilik yang berdiri
di depannya berbeda dengan pelayan pribadinya.
"Kau... kau adalah..." belum sempat melanjutkan pertanyaan,
mendadak muncul sinar yang menyilaukan mata, hawa pedang yang
tajam seperti mengiris kulit, sebilah pedang yang ujungnya tajam
berkilauan telah mengancam tenggorokannya.
Ternyata Boh Le-cu yang menghunus pedang mengancam
lehernya, katanya dingin, "Han Ji-yan, kau tidak menyangka aku
yang datang bukan?" Han Ji-yan terkejut bukan kepalang, mulut tergagap, "Kau... kau
adalah Le-cu?" "Betul, sudah delapanbelas tahun aku mencarimu, syukurlah
akhirnya aku menemukan engkau di sini."
Han Ji-yan menghela napas, katanya, "Aku tahu kau sirik karena
aku menikah dengan orang lain, tapi kau juga harus maklum, usiaku
hanya beberapa tahun lebih tua dari kau, waktu ayahmu wafat...."
Boh Le-cu mendesis seram, "Aku tak peduli kau akan menikah
dengan selusin laki-laki, aku datang menuntut balas kematian ayah.
Kau meracuni ayah hingga meninggal, kau kira sampai sekarang aku
tidak tahu perbuatan kejimu dulu?"
Pucat pias muka Han Ji-yan, tahu tak bisa mungkir terpaksa dia
berkata, "Baiklah, kau gorok saja leherku."
"Memang gampang memenggal lehermu," jengek Boh Le-cu.
"Kalau kau tidak ingin tersiksa dengarkan perintahku, kalau tidak,
sejengkal demi sejengkal kuiris tubuhmu."
Sedikit lega hati Han Ji-yan, pikirnya, "Asal kau tidak segera
membunuhku, nanti kau akan tahu keli-hayanku." Pura-pura takut
dan gugup dia mohon ampun, "Toa-siocia, kau ada perintah apa,
aku menurut saja." Boh Le-cu berkata, "Kau harus tetap wajar, pura-pura tidak
terjadi apa-apa, jikalau ada orang datang, kau harus mencari alasan
supaya mereka menyingkir dari sini. Kecuali suamimu, siapa pun
dilarang masuk ke kamar ini. Tahu tidak?"
Kedatangan Boh Le-cu bukan hanya untuk menuntut balas.
Kedatangannya kemari bersama Tan Khu-seng adalah untuk
membunuh jenderal Cui Po-san, pimpinan tertinggi pasukan besar
musuh. Betapa sukar membunuh jenderal musuh di tengah pasukan
besarnya" Maka setelah dipertimbangkan, tempat untuk menjagal
jendral musuh yang tepat dan aman adalah kamar istrinya.'
Tidak sukar membunuh Han Ji-yan, tapi setelah Han Ji-yan
terbunuh, pasti timbuhkcnbutan, maka dia merasa perlu menunda
membunuh perempuan beracun ini, serta-i memerintahkannya
tunduk pada perintahnya, supaya orang lain tidak tahu kalau di sini
telah terjadi perubahan, barulah Cui Po-san terpancing datang ke
jaring yang telah mereka siapkan.
Delapanbelas tahun lamanya mereka sudah bersabar, kenapa
harus buru-buru" Kini dia malah khawatir bila Han Ji-yan tidak jeri
menghadapi ancaman elmaut di ambang mata.
Betapa cerdik otak Han Ji-yan, begitu mendengar omongannya,
dia lantas tahu maksud orang, namun dia sengaja bersikap serba
susah, katanya dengan cemberut, "Toa-siocia, kalau aku harus
menurut perintahmu berarti,aku bersekongkol dengan kau
membunuh suamiku sendiri."
"Membunuh suami sendiri, bukankah sudah menjadi
keahlianmu?" jengek Boh Le-cu. "Baiklah, kau tidak rela aku pun
tidak akan memaksa kau. Memang Cui Po-san takkan terhindar dari
kematian, biar aku menghabisimu lebih dulu." Pedang didorong
sedikit, ujungnya menggores luka lecet di leher orang, darah
menetes. Terpaksa Han. Ji-yan berpura-pura takut dan meratap, "Toasiocia,
jangan kau berlaku kejam terhadapku. Aku... baiklah aku
menurut saja. Tapi setelah kau bunuh suamiku, jangan kau bunuh
aku, apa kau terima permohonanku?"
Permintaan orang membuat Boh Le-cu serba Susah, dia sudah
menunggu delapanbelas tahun, hingga kini tiba saatnya menuntut
balas. Musuh pembunuh ayahnya sudah jatuh di genggamannya,
sakit hati orang tua mana boleh tidak dibalas. Kalau sudah berjanji
harus ditepati, dia tidak suka ingkar janji.
Dalam sekejap otaknya berpikir secara cepat, akhirnya dia
mengambil keputusan, "Baik, kuterima permintaanmu."
Han Ji-yan kegirangan, katanya, "Terima kasih. Toa-siocia silakan
singkirkan ujung pedangmu. Aku tak tahan kau ancam begini."
Sembari bicara dia menggerakkan tangan kanan.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Boh Le-cu. "Jangan sembarang
bergerak." Terpaksa Han Ji-yan meluruskan kedua tangan, katanya dengan
tawa kecut, "Toa-siocia, aku ingin menuang secangkir teh supaya
kau minum. Kita sudah bersekongkol, kenapa kau masih tidak
percaya kepadaku?" Boh Le-cu menyeringai dingin, katanya, "Kau licik dan banyak
muslihat, sayang sekali sekarang aku bukan lagi nona cilik yang
tidak tahu apa-apa seperti delapanbelas tahun yang lalu itu." Di
tengah jengek tawanya, ujung pedangnya mendadak bergetar,
secepat kilat dia menotok tiga hiatto di tubuh Han Ji-yan. Han Ji-yan
masih bisa bicara, tapi tenaga sedikit pun tak mampu dikerahkan.
Boh Le-cu segera menyeret Han Ji-yan ke atas ranjang, sementara
ia bersembunyi di belakang kelambu.
Cuaca makin gelap, Cui Po-san belum juga kunjung datang. Tapi
beberapa pembantu rumah tangga sudah mengetuk pintu.
"Ada apa?" seru Han Ji-yan. Pembantu itu berkata di luar pintu,
"Entah ciangkun kapan pulang, mohon tanya, apakah hujin
menunggu ciangkun pulang, atau hujin mau makan lebih dulu?"
"Aku belum lapar, tunggu saja sampai ciangkun pulang."
"Apa aku boleh masuk membersihkan kamar?"
"Enyah dari sini, baru saja aku merasa tenteram, kau sudah
membikin ribut. Kalau perlu aku bisa memanggil kau, tak usah kau
menjilat pantatku." Tanpa alasan dirinya dicaci maki sudah tentu pelayan itu uringuringan,
sambil mengundurkan diri dia menggerutu heran, "Setiap
hari dalam waktu begini aku yang membersihkan kamarnya, hujin
tak mau makan dulu tidak jadi soal, kenapa harus mencaci dan
marah-marah?" Biasanya Han Ji-yan bersikap manis terhadap
bawahan, jarang dia marah atau mencaci pelayan sendiri kalau tidak
melakukan kesalahan besar. Tapi pelayan ini hanya merasa sikap
majikannya luar biasa, padahal Han Ji-yan sengaja bersikap
demikian untuk memancing rasa curiga pelayannya.
Setelah pelayan itu pergi, Boh Le-cu merasa lega, katanya,
"Bagus, pandai juga kau main sandiwara."
"Mana berani aku melawan kehendak toa-siocia?" ucap Han Jiyan
dibuat-buat. "Toa-siocia kupikir...."
"Kau pikir apa?" ancam Boh Le-cu. "Jangan main gila ya?"
"Terus terang saja, nasi boleh terlambat makan, namun rasa
dahaga sungguh tak tertahankan lagi, bolehkah aku minum barang
secangkir saja?" "Baiklah, kuambilkan secangkir teh," ujar Boh Le-cu, untuk
menjaga segala kenungkinan sudah tentu dia tidak membuka
totokan hiatto Han Ji-yan, supaya orang bisa mengambil teh sendiri.
Han Ji-yan bermuka-muka, "Wah amat rikuh kalau begitu, malah
toa-siocia yang meladeni aku."
"Kuharap kau tahu diri," jengek Boh Le-cu. "Tak usah menyindir,
aku tahu lidahmu amat manis, padahal hatimu sejahat ular berbisa."
"Toa-siocia, inilah teh ternama yang kubeli dari Kanglam, silakan
kau pun minum secangkir."
Sebetulnya setelah menyaksikan Han Ji-yan minum secangkir
teh, Boh Le-cu boleh tidak usah khawatir ikut minum secangkir,
namun dia sudah tahu betapa lihay Han Ji-yan bermain racun,
betapapun hati-"1 nya merasa was-was dan takut, pikirnya, "Lebih
baik setetes air pun tidak kuminum." Maka dia berkata, "Aku tidak
mau minum, selanjutnya kuharap kau tidak cerewet lagi."
"Aih, aku sendiri sudah minum secangkir memangnya kau takut
aku menggunakan racun" Kau melarang aku bicara, baiklah aku
tidak akan banyak bicara. Tapi satu hal kuminta kau menjelaskan
kepadaku, bagaimana kau bisa menemukan tempat ini?"
Boh Le-eu mendengus, katanya, "Kalau khawatir orang tahu,
jangan kau melakukannya," demikian jengek Boh Le-cu. "Kau kira
setelah menjadi istri seorang jenderal, jejakmu dapat mengelabui
orang lain?" "Toa-siocia, bagaimana kau bisa tahu jejakku di sini" Coba
kaujelaskan, supaya aku tidak menjadi setan penasaran setelah
jiwaku melayang." "Sebelum ajal suci-mu Sin Jit-nio memberi tahu kepadaku " ujar
Boh Le-cu. Kaget namun girang hati Han Ji-yan, katanya, " Apa, suci-ku
sudah meninggal?" "Ya, dia mendapatkan ganjaran sesuai perbuatannya," ujar Boh
Le-cu, lalu dia menceritakan nasib Sin Jit-nio yang disiksa Bwe-sanji-
koay, akhirnya tiga orang itu gugur bersama.
Maksud Boh Le-cu menceritakan nasib Sin Jit-nio kepadanya
dengan tujuan supaya orang insyaf dan bertobat, diharapkan pula
supaya perempuan ini menebus dosanya setelah insyaf dan
bertobat, jadi tidak mengikuti nasib sang suci, menyesal pun
akhirnya sudah terlambat. Di luar tahunya, setelah mendengar


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceritanya, Han Ji-yan malah bertambah senang, rasa khawatirnya
seketika sirna tanpa bekas.
"Aneh, kenapa aku mendadak merasa mengantuk?" Entah
kenapa mendadak Boh Le-cu merasa mengantuk, kelopak matanya
makin terasa berat, demikian pula kesadarannya makin kabur. Saat
itu yang dia inginkan hanya lekas naik ranjang dan tidur dengan
pulas. Pada saat itulah sayup-sayup di luar kemah berkumandang
beberapa kali bentakan-bentakan nyaring. Hal itu sudah biasa di
dalam kalangan kemiliteran, sebagai ganti suara terompet untuk
membuka jalan. Han Ji-yan seketika berseri girang, katanya,
"Agaknya Cui Po-san sudah datang. Toa-siocia, jangan kau terlena
di saat segenting ini. Silakan ambil teh dan minum secangkir untuk
menambah semangatmu."
Terasa oleh Boh Le-cu, semangatnya semakin loyo, matanya
berkedip dan membelalak besar, namun pandangan di depan
matanya seperti dibungkus kabut, makin guram dan suram, makin
lama makin buram. Baru sekarang Boh Le-cu merasa kaget, lekas
dia mencabut pedang seraya membentak, "Han Ji-yan, bagus ya,
kau... kau...." Tak nyana sekuat tenaga dia mencabut pedang,
ternyata tenaga sudah tidak menurut keinginan lagi. "Kelontang"
pedang pusakanya malah jatuh di tanah.
Han Ji-yan menoleh ke arahnya, katanya tawar, "Keadaanku
begini, bagus apa. Toa-siocia, sekarang kau ingin membunuhku,
kurasa tidak semudah tadi." Mendadak dia menarik suara berteriak,
"Hai, pengawal, kemarilah, ada pembunuh."
Boh Le-cu masib sempat meronta berdiri sambil mengerahkan
seluruh tenaganya. Sambil menubruk dia melayangkan telapak
tangannya, "Bluk" Han Ji-yan mengerang tertahan karena tamparan
ini, di saat tersungkur jatuh jidatnya membentur lantai hingga
seketika dia pingsan. Tapi setelah memukul orang sampai pingsan, Boh Le-cu sendiri
tidak kuat lagi menahan badan sendiri, "Buk" dia sendiri pun roboh
dan lunglai. Sedetik sebelum dia pingsan, lamat-lamat didengarnya
suara Cui Po-san berteriak, "Hujin jangan gugup, aku sudah datang,
di mana pembunuhnya?" Dingin perasaan Boh Le-cu, dia berharap
Tan Khu-seng bisa datang lebih dulu, agaknya harapannya ini tidak
terjadi. Ternyata dupa .yang dibakar H an Ji-yan di dalam kamarnya
merupakan obat bius yang berkadar lemah bernama Bi-hun-hiang:
Setengah jam kemudian setelah seseorang menghirup wewangian
Bi-hun-hiang ini baru akan tertidur pulas.
Bukan Boh Le-cu kurang hati-hati, soalnya dupa ini sudah dibakar
sebelum dia datang, semula dia pikir Han Ji-yan tidak mungkin tahu
bahwa dirinya akan datang, kalau dupa itu beracun, mana mungkin
dia berani mengadakan pertemuan rahasia dengan Toan Kiam-ceng
di kamarnya" Bahwasanya dia memang tidak curiga bahwa dupa
yang dibakar itu adalah dupa wangi yang membius kesadaran
orang, dia mengira asal dirinya tidak menghirup setetes air teh, Han
Ji-yan takkan mampu mencelakai dirinya. Tak nyana karena dia tak
mau minum teh meski hanya setetes justru dia terjebak oleh
perangkap Han Ji-yan. Kenyataan justru terbalik dari apa yang diduga Boh Le-cu. Air teh
dalam poci itu justru tidak beracun, namun mengandung obat
penawarnya malah. Orang harus minum air teh baru tidak akan
terpengaruh racun bius dari dupa wangi itu. Bi-hun-hiang yang
dibakar Han Ji-yan di dalam kamarnya bekerja lambat. Jikalau orang
yang berada di dalam kamarnya orang sendiri, maka dia pasti mau
minum teh suguhannya, hanya musuh yang menaruh curiga bahwa
air tehnVa mengandung racun. Sengaja dia menyuruh Boh Le-cu
minum teh, tujuannya memang supaya orang menaruh curiga dan
tidak berani minum, sungguh cermat dan cerdik tipu daya yang
digunakan. Yang ikut datang bersama Cui Po-san ternyata tiga jago kosen
dari istana raja, mereka adalah Wi To-ping, Yap Kok-wi dan Lau
Ting-ci, bersama dua busu kepercayaannya. Seorang adalah jago
kosen dari Tay-bun bernama Sun To-hing, seorang lagi asalnya
begal besar yang kenamaan di Kangouw dengan julukan Sam-jaykiam
Thio Hwe-seng. Kedua orang ini masing-masing memiliki
kepandaian tinggi, taraf kungfu mereka tidak lebih rendah
dibandingkan ketiga jago kosen istana raja itu.
Setelah berteriak "Ada pembunuh", Han Ji-yan lalu pingsan.
Cui Po-san tidak mendengar suaranya, dia merasa gelagat jelek,
segera dia berteriak-teriak, "Hayo ikut aku ke dalam." Segera dia
mendahului menerjang ke kamar Han Ji-yan. Melihat Han Ji-yan
tergeletak di tanah, terkejutnya bukan kepalang. Menolong orang
lebih penting, maka dia tidak sempat memikirkan mencari
pembunuh. Lekas Cui Po-san mencekokkan sebungkus puyer ke dalam mulut
Han Ji-yan, lalu sebagian dia oleskan di hidungnya Sambil berbangkis,
Han Ji-yan siuman dari pingsannya. Begitu membuka mata,
segera dia berteriak, "He, mana perempuan siluman itu?"
Cui Po-san melenggong, serunya, "Perempuan siluman apa?"
Thio Hwe-seng bermata jeli, sekilas tampak olehnya di bawah
ranjang ada sebatang pedang. Tanpa bicara sambil mengambil
pedang, kelambu dia singkap, "Sret" pedangnya langsung menusuk
ke belakang kelambu, . . Yang bersembunyi di belakang kelambu memang betul Boh Lecu,
tapi dia berdiri bersandar di dinding, orangnya sudah tidak
sadarkan diri. Pada detik yang menentukan itulah; mendadak berkumandang
hardikan sekeras guntur menggelegar. Menyusul suara bergemuruh
disertai debu berhamburan, ternyata atap rumah mendadak jebol
dan runtuh. Dari lubang-atap itu melompat turun satu orang. .
Orang yang tiba tepat pada waktunya itu adalah Tan Khu-seng.
Thio Hwe-seng sedang menusukkan pedang, karena gertakan
orang dengan Say-cu-hong-kang, ujung pedangnya menusuk
miring. Sebat sekali Tan Khu-seng sudah menarik dan memeluk
pinggang Boh Le-cu serta membopongnya, "Sret" pedangnya
menusuk ke arah Thio Hwe-seng. "Trang" dua pedang beradu
menimbulkan percikan kembang api. Pedang panjang Thio Hweseng
gumpil sebagian, hampir saja tidak kuat dipegangnya lagi,
lekas dia menyurut mundur.
Thio Hwe-seng kaget bukan main. Tan Khu-seng juga melengak,
"Tak nyana anak buah Cui Po-san juga ada yang ahli pedang selihay
ini." Maklum walau Thio Hwe-seng bukan tandingannya, tapi orang
dapat menangkis serangan pedangnya yang ganas, jelas memiliki
kepandaian lumayan. Menyaksikan betapa gagah perkasanya Tan Khu-seng, meski Cui
Po-san sudah kenyang berperang di medan laga juga kebat kebit.
Dengan gemetar dia memeluk Han Ji-yan bersembunyi di pojok.
Dalam seribu kesibukan, Tan Khu-seng sempat meraba
pemapasan Boh Le-cu, terasa napasnya masih lancar, hatinya lega.
Baru saja dia memburu ke arah Cui Po-san hendak membekuknya,
mendadak terasa angin tajam menyerang tiba. Ternyata Sun Tohing
melontarkan tinjunya dari belakang mengarah punggungnya.
Tan Khu-seng khawatir Boh Le-cu terluka, mendadak tangannya
membalik, dengan cengkeraman telaki seperti mata tumbuh di
belakang kepalanya, kelima jarinya mengancam urat nadi di
pergelangan tangan Sun To-hing. Sebagai jago kosen dari Toaseng-
bun, Sun To-hing meyakinkan Kau-kun (Silat Kera). Gerakgeriknya
lincah cekatan seperti lutung. Tadi Tan Khu-seng sudah
menyentuh lengan bajunya, entah kenapa, lawan tahu-tahu sudah
lolos selicin belut Kejadian berlangsung singkat dan cepat, sebat
sekali Sun To-hing sudah berputar ke depan menghadang di depan
Cui Po-san suami istri. Kembali dia memukul, mengincar wajah Tan
Khu-seng. Tiga jago kosen dari istana, saat mana juga sudah memburu
datang. Wi To-ping, Yap Kok-wi dan Lau Ting-ci membentak
bersama, "Tan Khu-seng, jangan bertingkah. Hari ini jangan harap
kau lolos dari sini." Dari tiga arah mereka menubruk bersama,
masing-masing melontarkan serangan mematikan.
Sesaat kemudian Tan Khu-seng sudah dikeroyok tiga jago kosen.
Sementara Thio Hwe-seng dan Sun To-hing belum menyusul
datang, Tan Khu-seng sudah menerjang keluar.
Kini baru Cui Po-san tahu pembunuh gelap itu adalah Tan Khuseng.
Di samping kaget, takut tapi juga gusar, dari pojok tembok
dia berteriak-teriak, "Usahakan menangkap dia hidup-hidup!"
Tan Khu-seng membentak, "Siapa merintangi aku pasti
mampus." Mendadak sinar pedangnya berkembang, laksana angin
puyuh dia menerjang keluar.
Di. lorong sebelah depan, pembidik panah sudah disiapkan. Baru
belasan langkah dia berlari, anak panah telah memberondong ke
arahnya. Kalau seorang diri, tak sukar Tan Khu-seng melarikan diri,
tapi dia harus melindungi keselamatan Boh Le-cu, maka gerakgeriknya
kurang leluasa. Karena ditahan sekejap oleh serangan
panah, cepat sekali lima jago kosen musuh telah memburu tiba. Tan
Khu-seng terkepung di tengah lorong panjang.
Di saat genting itu, dari rombongan tentara di ujung lorong luar
mendadak menerobos keluar dua tentara cilik. Padahal lima jago
kosen sedang mengepung musuh tangguh, dua tentara cilik mana
mampu ikut campur" Thio Hwe-seng mengira kedua tentara ini tidak
tahu tingginya langit tebalnya bumi, tamak mengejar pahala, sambil
mengerutkan kening dia membentak, "Kalian tak usah Tkut campur,
lekas enyah dan keluar."
Tapi tentara cilik yang berlari di depan mendadak membentak
malah, "Lihat pedang!" "Sret" pedangnya mendadak menusuk.
Begitu tentara cilik ini membuka suara, Wi To-ping seketika
tersentak kaget, teriaknya, "Awas, bocah itu adalah Beng Hoa!"
Dugaan Wi To-ping memang tidak salah, kedua tentara cilik ini
memang samaran Beng Hoa dan Kim Bik-ki.
Dengan bantuan gabungan sepasang pedang Beng Hoa dan Kim
Bik-ki, situasi segera berubah. Tan Khu-seng yang tadi terdesak, kini
mendapat peluang bernapas. Tapi lima musuh yang mengeroyok
mereka juga berkepandaian tinggi, dalam waktu singkat jelas tidak
mudah mereka menjebol kepungan.
Di saat mereka berhantam sengit itu, seseorang tampak berlari
kencang melewati lorong panjang di mana mereka sedang
berhantam, tidak terjun ke kancah pertarungan tapi terus berlari ke
kamar Cui Po-san, Tentara di ujung lorong sana ternyata tiada yang
merintangi dirinya. Meski sedang bertarung sengit, sebetulnya Beng
Hoa tak sempat memperhatikan orang, ini, namun sekilas ujung
matanya menangkap bayangan orang, terasa bayangannya seperti
sudah amat dikenalnya. Tergerak hati Beng Hoa, pikirnya, "Orang ini
mirip Toan Kiam-ceng, aih, semoga bukan dia." Sayang sekali
kejadian yang tidak dia inginkan justru menjadi kenyataan. Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, Toan Kiam-ceng datang karena
undangan Han Ji-yan. Melihat Beng Hoa, sudah tentu rasa kagetnya bukan kepalang.
Untung Beng Hoa sedang terkepung, dia pun tahu ini adalah saat
yang paling baik untuk menjilat pantat Cui Po-san suami istri, maka
sambil membesarkan nyali dia buru-buru menyelinap ke dalam
lorong. Setelah mengetuk pintu dia berkata tertahan, "Aku adalah Kiamceng,
kudengar di sini ada pembunuh gelap, sengaja aku menengok
keadaan ciangkun." Han Ji-yan yang sudah siuman di dalam kamar segera berteriak,
"Haya, apakah Toan-kongcu" Silakan masuk."
Meski sedang bertarung, namun mata dan telinga Beng Hoa
selalu memperhatikan sekelilingnya.
Sayup-sayup dia mendengar suara Han Ji-yan memanggil "Toankongcu".
Mendadak dia mendapat akal, dengan jurus Pek-hongkoan-
jit pedangnya berputar laksana bianglala, menerjang ke arah
Thio Hwe-seng yang menghadang di depannya. Thib Hwe-seng
sudah merasakan kelihayan ilmu pedangnya, bergegas dia
menyingkir. Dari samping Wi To-ping melontarkan Bik-khong-ciang,
sementara Beng Hoa sudah bersalto dengan gaya Burung Dara
Jumpalitan di Udara, bagai angin puyuh dia melesat dari pinggir
Thio Hwe-seng. "Aku penggal kepala Cui Po-san, adik Ki, ikutlah suhu menerjang
keluar," demikian teriak Beng Hoa lantang.
Teriakannya memancing reaksi Wi To-ping, Thio Hwe-seng dan
Sun To-hing, tanpa berjanji ketiga orang ini melompat keluar terus
mengejar. Padahal tujuan Beng Hoa memang memancing musuh
supaya terpencar, supaya gurunya leluasa menerjang kepungan.
Tapi waktu dia menerobos ke dalam kamar, sesaat dia melongo.
Baru saja dia mendengar percakapan Han Ji-yan dengan Toan Kiamceng,
tapi saat itu yang ada di dalam kamar hanya Cui Po-san
seorang yang bersandar di dinding.
Sebetulnya kesempatan baik untuk membunuh Cui Po-san tak
boleh diabaikan, sayang sekali karena melongo sejenak ini sehingga
gerak pedangnya agak terlambat. Wi To-ping sudah mendahului
menerjang masuk. Sebagai jago kosen, mendadak disergap dari
belakang, secara reflek Beng Hoa mengeluarkan kemampuan untuk
menyelamatkan jiwa, sehingga tak sempat membunuh Cui Po-san.
Untuk melindungi pemimpinnya, Wi To-ping berani
mempertaruhkan jiwa raga sendiri, dalam sekejap dia menyerang
tiga jurus, Beng Hoa terdesak oleh serbuan Thio Hwe-seng dan Sun
To-hing. Sun To-hing sempat melepaskan diri, memburu ke depan
Cui Po-san serta membopongnya pergi. Thio Hwe-seng
mengembangkan Sam-jay-kiam-hoat berdampingan dengan Wi Toping,
sekuat tenaga mereka melawan baru mampu menandingi
permainan pedang Beng Hoa.
"Sayang," diam-diam Beng Hoa mengeluh. Karena tak mungkin
memburu Cui Po-san, maka dia pun tak ingin tinggal lama di tempat
itu. Dengan jurus Ya-can-pat-hong, dia mendesak Wi To-ping dan
Thio Hwe-seng mundur dua langkah, tu-" buhnya mendadak
melambung ting-' gi menerobos lubang di atap rumah ' yang dijebol
Tan Khu-seng tadi. Sementara itu, Tan Khu-seng sedang menerjang ke arah barisan
panah. Tiga dari lima jago kosen yang mengepung mereka sudah
dipancing pergi oleh Beng Hoa, Yap
Kok-wi dan Lau Ting-ci jelas tidak berani menahannya. Tapi
bidikan panah sedemikian banyak, jelas tidak gampang mereka
menerjang ke luar. Untunglah Beng Hoa sudah kembali. Kim Bik-ki lantas bertanya,
"Bagaimana?" "Terjang keluar dulu, nanti kujelaskan."
Dua orang melancarkan gabungan ilmu pedang, cahaya pedang
berkembang, dalam sekejap mata mereka sudah menerjang keluar
dari lorong itu, terjun di tengah pembidik panah.
Cepat sekali mereka berhasil merebut kuda, terus dibedal ke luar
markas musuh. Tapi Wi To-ping memimpin serombongan tentara
mengejar dengan kencang. Di tengah keributan, Sun To-hing membentak, "Goanswe ada
perintah, dilarang ribut dan jangan kacau. Jaga keras dan tahan
serbuan musuh. Barisan kuda ikut aku mengejar pembunuh."
Tentara kerajaan harus siaga kalau musuh menyerbu, maka
pengejar banyak berkurang. Tapi barisan kuda kepercayaan Cui Posan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan pasukan pilihan yang lihay berperang. Kejar
mengejar secara kilat terus berlangsung, cepat sekali puluhan li
sudah mereka meninggalkan markas besar pasukan kerajaan.
Tan Khu-seng berempat mem-bedal kuda, mereka memasuki
sebuah lembah yang berbentuk seperti buli-buli. Tan Khu-seng
langsung memanjat ngarai lalu menurunkan Boh Le-cu. Sambil
mengacungkan pedang dia membentak, "Hayolah kemari, kita
bertempur lagi sampai titik penghabisan." Ada batu-batu gunung di
sekitar mereka, panah musuh tak mungkin melukai Boh Le-cu, maka
hati Tan Khu-seng agak lega. Melihat musuh masih melawan
dengan gigih,, pasukan berkuda musuh ternyata tak berani bergerak
dengan gegabah. "Wi To-ping," bentak Tan Khu-seng lantang, "kalau berani
cobalah naik kemari."
Wi To-ping adalah ahli silat, mendengar suara orang yang
lantang, namun terasa tenaganya lemah napas pendek, diam-diam
hatinya amat girang, pikirnya, "Tan Khu-seng bertempur setengah
malam, tenaganya banyak terkuras, meski kungfunya setinggi langit
juga akhirnya menjadi lemah."
Di saat dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk
menyerbu, mendadak dua ekor kuda dicong-klang mendatangi.
Seorang adalah pemuda yang mengenakan mantel berbulu dan
seorang paderi asing yang mengenakan kasa merah. Dari jauh
pemuda itu berteriak, "Wi-tayjin, untuk apa kalian berada di Sini?"
Melihat kedua orang ini, Wi To-ping kelihatan berseri girang,
serunya, "Pangeran Ulise, kebetulan kau datang. Kau masih ingat
kami perah berjanji kepadamu untuk menuntut balas bukan" Bocah
she Beng yang pernah menghina kau dengan temannya
bersembunyi di atas bukit itu. Kami sedang berusaha
membekuknya. Apakah toa-hwesio ini gurumu?"
Paderi asing itu mendengus menghina, katanya, "Menghadapi
tiga musuh mengerahkan orang sebanyak ini" Biar aku saja yang
membekuk mereka, memang aku hendak membuat perhitungan
dengan bocah ini." Ternyata kedua orang ini adalah pangeran Ulise dari suku Jia-kek
bersama gurunya Ka-bit Hoatsu. Tempo hari Ka-bit Hoatsu pernah
dikalahkan Beng Hoa, penasaran masih membelit hatinya, sekarang
dia sudah mendapat akal untuk mengalahkan permainan pedang
Beng Hoa. Tujuan Ka-bit Hoatsu pamer kepandaian, maka dia gunakan
Thoan-im-jip-bit,. lwekang tingkat tinggi mengantar suaranya ke
tempat jauh. Setiap tentara berkuda itu seperti mendengar orang
bicara di pinggir telinga mereka, telinga terasa pekak. Sudah tentu
Tan Khu-seng bertiga yang di atas bukit juga mendengar jelas.
"Siapakah paderi asing itu?" tanya Tan Khu-seng.
"Guru baru Toan Kiam-ceng. Tecu pernah bergebrak dengan dia,
kungfunya lebih tinggi dari Wi To-ping dan lain-lain."
Tan Khu-seng mengerutkan kening, katanya, "Seperti apa jauh
lebih tinggi dibanding Wi To-ping dan kawan-kawannya. NonaKim
satu hal aku mohon bantuan."
Kim Bik-ki kaget, katanya gugup, "Katakan saja paman."
"Boh-Iihiap kuserahkan kepada kau, kumohon kalian pulang dan
melindunginya." "Suhu," kata Beng Hoa, "maaf kalau murid menentang
kehendakmu, bagaimana juga aku akan selalu berada di
sampingmu." "Musuh terlalu tangguh, jangan kita mengadu jiwa bersama,
kalian masih ada kesempatan melarikan diri."
Mendadak Beng Hoa teringat sesuatu, katanya, "Suhu tak usah
khawatir, kita masih punya bala bantuan." Segera dia mengeluarkan
panah kembang api terus ditimpukkan ke tengah angkasa.
Panah kembang api itu mengeluarkan asap birir dengan cahaya
yang benderang menerangi langit, dalam jarak puluhan li masih bisa
dilihat orang. Itulah tanda yang sudah dia janjikan dengan Santala.
Sun To-hing adalah seorang kepercayaan Cui Po-san. Setiap hari
Cui Po-san menerima laporan anak buahnya, dia selalu hadir dalam
setiap sidang. Maka Wi To-ping bertanya kepadanya, "Menurut
laporan, perkemahan suku Uigior sejauh seratus li dari sini.
Semalam penyelidik memberi laporan bahwa Lohay sudah
meninggalkan tempat perkemahan semula. Kurasa bocah itu
sengaja main gertak supaya kita jeri dan tak berani menyerbu ke
atas." Agaknya Ka-bit Hoatsu tidak sabar, katanya dingin, "Kenapa
kalian Bernyali begini kecil. Umpama betul ada musuh terpendam di
sini, kenapa harus takut. Baiklah, kalian tak berani maju, biar aku
yang membekuk bocah itu." Segera ia mendahului menyerbu ke
atas.' Tan Khu-seng tahu paderi asing ini luar biasa, maka begitu turun
tangan beruntun dia melancarkan jurus-jurus dari Lian-hoan-tohbing-
kiam-hoat, pedang panjang bergetar suaranya laksana pekik
naga, berkelebat laksana kilat, beberapa kali gerakan ke kanan kiri
menusuk dan menabas, ke kiri dua kali ke kanan dua kali. Beruntun
lima jurus berantai dilancarkan sekaligus, paderi asing itu
merasakan dirinya seperti diserang lima orang dari lima jurusan
sekaligus. Tapi walau Ka-bit Hoatsu terdesak, namun dia tetap
melayani dengan tabah. Senjata yang dia gunakan adalah sebatang
tongkat bambu hijau. Bila pedang dan tongkat beradu, ternyata
mengeluarkan benturan nyaring seperti benda logam. Begitu keras
getaran dari benturan itu sehingga Tan Khu-seng merasa telapak
tangannya pedas dan sakit.
Tak urung kaget hati Tan Khu-seng, pikirnya, "Lho, kenapa
tenagaku makin lemah?" Tapi tak sempat banyak pikir, karena
inisiatif pertempuran masih berada di tangannya, "sret" kembali
pedangnya menyerang. Jurus serangan kali ini lebih aneh, lihay dan menakjubkan.
Kelihatan datang dari kiri ke kanan, tapi di tengah jalan mendadak
berubah, tiba-tiba sudah mengancam dada Ka-bit Hoatsu. Begitu
cepat gerak pedangnya, tapi gerakannya terkendali sesuai keinginan
hati, jurus permainan selihay ini merupakan latihan yang paling
sukar di dalam ilmu pedang.
Mau tidak mau Beng Hoa berseru memuji, "Jurus Hing-hun-toahhong
yang bagus." Dalam hati dia membatin, entah berapa tahun
lagi dirinya harus berlatih baru akan dapat mencapai taraf gurunya
Mendadak cahaya pedang berhenti, tampak tongkat bambu hijau
Ka-bit Hoatsu seperti lengket dengan ujung pedang. Setelah
bertahan beberapa kejap, pedang panjang Tan Khu-seng ternyata
bergerak mengikuti gerakan tongkat bambu lawan. Kelihatannya Kabit
Hoatsu mulai unggul di atas angin, jelas Tan Khu-seng tidak kuat
menahan tuntunan tenaga lawan.
"Sayang," diam-diam Tan Khu-seng mengeluh dalam hati,
perasaanpun menjadi dingin. "Aneh, kenapa tenagaku hanya
terkerahkan tiga bagian saja" Umpama tenagaku sudah loyo juga
tak mungkin selemah ini." Ternyata dalam, sejurus permainan
pedangnya tadi, sebetulnya dia punya dua kali kesempatan
memenggal batok kepala lawan, tapi karena tenaga tidak sesuai
keinginan hati, bukan saja Ka-bit Hoatsu bisa menyingkir,
pedangnya malah tersedot lengket oleh tongkat lawan.
Beng Hoa berteriak, "Menyembelih ayam kenapa pakai golok
kerbau" Suhu, biar tecu saja yang membereskan keparat ini."
"Baik," seru Tan Khu-seng, dengan sisa tenaganya dia
mendorong pedang ke depan terus disendai ke samping, pedangnya
terlepas dari daya sedot lawan, terus melompat mundur.
Di luar tahunya, kalau hatinya kaget, Ka-bit Hoatsu juga kaget
bukan main. Begitu Tan Khu-seng melompat mundur, seolah-olah
dia lolos dari ancaman elmaut, jiwa yang hampir terenggut pedang
musuh seperti hidup kembali. Membayangkan betapa berbahayanya
pertempuran tadi, tanpa terasa badannya basah oleh keringat
dingin. Pada saat itulah, Wi To-ping memimpin empat rekannya telah
menyerbu ke atas pula. Mereka sempat melihat pertarungan Ka-bit
Hoatsu dengan Tan Khu-seng, ternyata Ka-bit Hoatsu unggul di atas
angin, meski di luar dugaan, Wi To-ping girang, teriaknya, "Keparat
ini sudah kehabisan tenaga, hayolah kita tunggu apa lagi, ganyang
dia." Seperti berlomba merebut pahala saja, kelima jago kosen ini
menyerbu dengan berdesakan.
Dingin perasaan Tan Khu-seng, "Sungguh tak nyana secara ajaib
aku kehilangan tenaga, gelagatnya jiwaku tak bisa diselamatkan
lagi. Tapi meski gugur aku harus mengajak teman seperjalanan."
Cepat sekali Wi To-ping dan Lau Ting-ci sudah mendahului
menyerbu. Wi To-ping menggunakan sepasang tinju sementara
golok cepat Lau Ting-ci membacok dan membabat dengan deru
angin yang kencang. Tan Khu-seng mengertak gigi. Dengan jurus O-ka-cap-pwe-bak,
pedangnya berkembang menerbitkan bintik sinar berkilauan bagai
selaksa kunang-kunang yang beterbangan di angkasa. Jurus Oh-kacap-
pwe-bak sebetulnya adalah salah satu jurus terlinay dari Lianhoan-
toh-bing-kiam-hoat, sejurus serangan yang sekaligus dapat
membuat delapanbelas lubang di tubuh lawan. Tapi tenaga lemah,
tangan gemetar pedang pun goyah, walau bintik sinar bintang
berkembang, namun tampak kalut dan tak karuan, meski bentuknya
mirip tapi perbawa serangannya sudah tidak menampakkan hasil.
Tan Khu-seng sendiri merasakan tenaga tak mampu dikerahkan ke
ujung pedang, padahal lawan tangguh dan kosen, dia menduga
umpama berhasil menusuk lawan juga tidak akan mengalami cedera
berarti, paling lecet kulitnya atau tergores sobek pakaiannya. Kalau
napas sendiri ngos-ngosan, tenaga lemah, mana kuat menahan
serangan lawan yang mematikan"
Begitu jurus pedang ampuh dilancarkan, Tan Khu-seng lantas
insyaf akan keadaan sendiri, dalam hati dia menghela napas, "Kalau
tahu demikian, lebih baik tadi aku menggorok leher saja daripada
jatuh ke tangan kawanan cakar alap-alap ini."
Tapi memang aneh dan ganjil. Kalau dia merasa loyo kehabisan
tenaga, ternyata keadaan lawan lebih runyam lagi. Permainan golok
Lau Ting-ci sebetulnya sekaligus membacok tujuh kali, waktu
melancarkan serangan dia terlalu bernafsu dan tenaga yang
dikerahkan teramat besar setelah bacokan ketiga, tenaganya lantas
ludes, golok bajanya sendiri tak kuat dipegang lagi, "Trang" di saat
goloknya berputar jatuh berkelontang membentur bata
Pukulan Wi To-ping ternyata secara telak mengenai tubuh Tan
Khu-seng tapi tenaga pukulannya ternyata jauh lebih lemah
dibandingkan pukulan laki-laki biasa Sebaliknya meski tenaga Tan
Khu-seng terkuras tapi dasar Iwekang-nya cukup tangguh, tenaga
pukulan Wi To-ping yang mengenai tubuhnya malah mental, karuan
Wi To-ping terpental jatuh, pantarnya membentur batu cadas.
Untung tenaga pukulannya lemah, meski jatuh kepala tidak sampai
bocor. Tapi lain nasib Lau Ting-ci, golok baja jatuh di tanah, hakekatnya
tak mampu melawan gerakan pedang Tan Khu-seng, karuan
tubuhnya dihiasi tusukan dan goresan di delapan tempat, meski
tidak parah tapi karena dia pun kehilangan tenaga, saking ketakutan
dia menjerit-jerit seperti babi disembelih.
Menyusul Sun To-hing, Thio Hwe-seng dan Yap Kok-wi juga
sudah memburu tiba. Melihat keadaan, mereka berdiri melongo.
Mendadak Sun To-hing merasa kepala pusing, Thio Hwe-seng juga
berkunang-kunang pandangan matanya.
Hanya Yap Kok-wi saja yang agak mending, maklum dia
meyakinkan Tay-cui-pi-jiu, di antara lima orang ini Iwekang-nya
jauh lebih mantap meski di bawah Wi To-ping, namun biasanya dia
paling rajin melatih tenaga. Tapi setelah berlari menanjak bukit,
ternyata napas juga ngos-ngosan, jantung berdetak lebih cepat dari
biasanya Karuan Tan Khu-seng terheran-heran, pikirnya, "Aneh, kenapa
keadaan mereka lebih runyam dari aku?" Tenaganya sudah lenyap,
tapi Iwekang-nya masih ada, pikirnya, "Aku sudah berani
mempertaruhkan jiwa raga, biar aku gertak mereka." Lekas dia
menarik napas, lalu membentak, "Yang berani hayolah maju adu
jiwa dengan aku, yang bernyali kecil lekas enyah dari sini."
Bentakannya laksana guntur menggelegar. Sun To-hing dan Thio
Hwe-seng seperti disambar petir, tanpa terasa lutut goyah, tubuh
pun terjungkal dan jatuh berguling ke bawah lereng. Yap Kok-wi
diraih dan tertarik mereka, maka mereka bertiga bergulingan ke
bawah. Ternyata dupa wangi yang dibakar Han Ji-yan merupakan dupa
wangi yang membius orang yang menciumnya. Daya kerjanya
perlahan, kalau orang biasa, sedikit menyedot harumnya saja dalam
setengah jam akan pingsan. Lantaran Cui Po-san tak pernah
meyakinkan lwekang, maka dia jatuh pingsan lebih dulu.
Sejak Tan Khu-seng mencium harum dupa di kamar Han Ji-yan
sudah lebih setengah jam lamanya, mungkin malah lewat satu jam.
Tapi karena Iwekang-nya tangguh, maka setelah mengalami
pertarungan sengit baru daya bius dupa harum itu bekerja.
Latihan lwekang Wi To- ping dan lain-lain masih di bawahnya,
tapi mereka belum mengalami pertarungan sengit, maka daya kerja
obat bius dalam harum dupa itu pun kambuh sesuai kemampuan
mereka, ada yang kambuh setelah bertempur, tapi ada juga karena
mengerahkan tenaga memanjat gunung sehingga kambuh. Yang
kambuh terakhir kali adalah Yap Kok-wi, jikalau Yap Kok-wi bernyali
besar dan berani menempurTan Khu-seng, mungkin jiwa Tan Khuseng
tak selamat. Beng Hoa juga mencium bau harum dupa dalam kamar Han Jiyan,
tapi hanya sekejap jadi yang tersedot olehnya hanya sedikit,
dalam waktu dekat jelas tidak akan mengalami pengaruh apa-apa.
Apalagi sebelum dia membantu, Tan Khu-seng sudah melabrak
kelima pengepungnya, tenaga mereka yang terkuras jauh lebih
besar dibanding dirinya. Pertarungan Beng Hoa dan Kim Bik-ki melawan Ka-bit Hoatsu
juga sudah menjelang babak terakhir, keadaan cukup tegang. Di
saat pertempuran memuncak sengit, mendadak Beng Hoa
ngerasakan kepala pusing, goresan pedangnya yang membundar
tampak tidak bulat lagi, ^ karuan hatinya bercekat, "Kenapa
tenagaku seperti makin lemah?"
Pertarungan dua jago kosen yang memiliki taraf kepandaian
seimbang, begitu lawan menunjukkan sedikit kelemahan, lawan
akan segera tahu dan masuk ke dalam peluang yang ada, apalagi
lwekang Ka-bit Hoatsu jauh lebih tangguh dari Beng
Hoa. Tapi anehnya, ternyata Ka-bit Hoatsu juga tidak mampu
mematahkan serangan dan memanfaatkan kesempatan.
Saat mana Wi To-ping dan kawan-kawannya beruntun
menggelinding jatuh ke bawah lereng, padahal tempat mereka
berhantam hanya seberang menyeberang dengan puncak di mana
Tan Khu-seng berdiri. Begitu Ka-bjt Hoatsu menoleh, kebetulan
dilihatnya Tan Khu-seng melotot garang kepadanya Tadi dia sudah
merasakan kelihayan Tan Khu-seng, mana dia tahu kalau Tan Khuseng
saat itu sudah loyo" Begitu pandangan beradu, tanpa merasa
rasa giris menjalar ke dalam sanubari, takut Tan Khu-seng terjun ke
arena pertempuran. Menghadapi keroyokan sepasang muda-mudi
ini saja dirinya sudah kewalahan, mana kuat dikeroyok tiga orang.
Khawatir dihadang Tan Khu-seng dia menyapukan tongkat
bambunya begitu Beng Hoa melompat mundur bersama Kim Bik-ki,
dia memutar tongkat bambunya sekencang baling-baling terus


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat turun setombak dari jarak Tan Khu-seng. Beng Hoa siap
mengejar, Tan Khu-seng bergelak tawa, serunya, "Musuh lari tak
usah dikejar, biarkan dia pergi."
Beng Hoa sudah melihat adanya gejala tidak beres, lekas dia
menghampiri Tan Khu-seng, tanyanya berbisik, "Suhu, kenapa kau?"
"Kau sendiri" Bagaimana perasaanmu?" balas tanya Tan Khuseng.
"Tenagaku seolah-olah makin susut dan habis," sahut Beng Hoa.
Wi To-ping berlima yang menggelinding jatuh ke bawah tiada
yang terluka ringan. Hanya Sun To-hing saja, karena dia
meyakinkan silat kera " biasanya jatuh bangun dan bergulingan"
maka dia hanya luka lecet bagian luar saja luka-lukanya paling
ringan tapi dia pun merasa kehabisan tenaga. Setelah menenangkan
diri, dia membayangkan keadaan tadi, timbul rasa curiganya,
"Kejadian ini agak ganjil, kenapa mendadak kita kehilangan tenaga"
Tapi keadaan Tan Khu-seng juga tidak lebih baik dari kita, kalau
keadaannya masih segagah semula mana mungkin dia membiarkan
kita lolos?" Luka-luka Wi To-ping paling berat, tapi di antara lima orang ini
lwekang-nya paling tangguh, otaknya masih segar, setelah
ifiendengar ucapan Sun To-hing seketika dia tersentak sadar,
katanya, "Betul, betapapun kita harus mencoba sekali lagi." Segera
dia memanggil kepala barisan kuda kepercayaan Cui Po-san,
katanya "Bawalah barisanmu menyerbu ke atas, jaraknya jangan
dekat Dari jarak yang tercapai panah, kalian hujani mereka dengan
panah." Tampak oleh Beng Hoa pasukan berkuda kerajaan sudah
menyerbu ke lamping gunung, sementara tenaganya makin lemah,
tiada akal lain, terpaksa dia mengertak gigi, katanya, "Adik Ki, lekas
kau gendong bibi Boh dan suhu berangkat lebih dulu, biar aku tahan
mereka." Mendadak Kim Bik-ki berseru kaget, "He, Beng-toako kau lihat di
sana, ada kobaran api besar sekali, tempat kebakaran itu bukankah
markas besar pasukan kerajaan?"
Beng Hoa melompat ke batu tinggi, dari sini dia bisa melihat jauh
dan lebih jelas. Tampak asap hitam membumbung tinggi ke
angkasa, kobaran si jago merah juga kelihatan menerangi langit.
Dengan girang Beng Hoa berkata, "Betul, tempat kebakaran
memang di markas besar pasukan kerajaan. Aneh, siapakah yang
melakukan?" Dia tahu Santala menurut rencana membawa pasukan
kecil hendak membantu dirinya bila mengalami kesulitan, tapi
barisan sekecil itu jelas tak mungkin mampu menyerbu markas
besar musuh. Setelah reda rasa senang hati Kim Bik-ki, lalu berkata setelah
menghela napas, "Sayang kebakaran di tempat dekat tak mungkin
ditolong dari tempat jauh, biar aku membantu kau mengadu jiwa
dengan mereka saja."
"Tidak," tukas Beng Hoa, "lekas kau berangkat lebih dulu dengan
suhu dan bibi Boh. Mumpung pasukan musuh ribut dan khawatir,
aku akan menyergap mereka."
Bahwa markas besar mereka kebakaran, pasukan yang sedang
menyerbu ke atas bukit juga sudah melihat. Kepala barisan kerajaan
yang datang bersama Wi To-ping bernama Cui It-lun, salah seorang
keponakan jauh Cui Po-san yang dibawa dari desa kelahirannya.
Pemuda ini amat setia terhadap pamannya. Melihat kobaran api,
hatinya bimbang, dia perlu lekas pulang melindungi pamannya,
namun hatinya tidak rela mengabaikan kesempatan membekuk
pembunuh. Sun To-hing yang berada di kaki bukit seperti tahu isi
hatinya, segera dia berteriak, "Kebakaran di markas jangan
dihiraukan, di sana banyak orang, tenaga untuk mamadamkan jauh
lebih dari cukup. Lebih penting kau bekuk dulu kawanan pembunuh
itu." Lukanya paling ringan, suaranya masih lantang dan terdengar
sampai jauh. Cui It-lun menduga kebakaran itu pasti bukan tanpa sebab, tapi
perkataan Sun To-hin| juga beralasan. Kalau kawanan pembunuh ini
betul sudah kehabisan tenaga, apa susah-*. nya membekuk mereka
lalu pulang i secepatnya. Maka segera dia memberi aba-aba kepada
anak buahnya dan menyerbu ke atas.
Tapi tertunda sekejap ini ternyata membawa perubahan besar.
Terdengar suara sangkakala berbunyi, menyusul derap kaki kuda
yang ribut memburu datang. Tampak serombongan pasukan
berkuda mendadak muncul dari balik gunung sana, kudanya gagah
orangnya perkasa, kedatangan mereka seperti amukan badai.
Beng Hoa bertepuk girang, serunya, "Syukurlah, Santala datang
tepat waktunya" Sebelum memburu, tiba, panah Santala sudah membidik lebih
dulu, dari jarak seratus langkah panahnya menjepret beberapa kali,
tiga tentara berkuda musuh terpanah jatuh dari punggung kuda
Cui It-lun adalah ahli panah dalam pasukan kerajaan, melihat
anak buahnya terpanah mati, dia amat gusar, bentaknya, "Diberi
tidak membalas kurang hormat, lihat panah!"
"Ser, ser", beruntun dia pun membidikkan tiga batang panah.
Santala tertawa panjang, bentaknya, "Bagus, biar aku adu
kepandaian memanah dengan engkau." Tampak busurnya
melengkung, suara jepretan busur berbunyi, menyusul terdengar
suara "Tak" empat batang panah beradu di udara lalu terpental
jatuh. Tahu-tahu Santala menyusupkan tubuh ke bawah perut kuda
sehingga panah Cui It-lun yang ketiga menyambar lewat di
punggung kudanya Tapi bidikan panahnya yang terakhir justru
melesat tiba lebih dulu, sasarannya tepat ke muka Cui It-lun. Jarak
sudah demikian dekat, ingin berkelit tidak keburu lagi, terpaksa Cui
It-lun menyampuk dengan busurnya. "Krak" busur panah yang
beratnya puluhan kati itu ternyata terpanah patah tepat di bagian
tengah. Ulise mengeprak kudanya memburu ke depan bentaknya, "Bocah
tidak tahu diri, kutawarkan pangkat dan harta kau tidak mau, kau
malah melindungi bocah she Beng itu. Memangnya kau tidak tahu
kalau bocah keparat itu musuh besarku" Hm, hm, orang lain takut
menghadapi panah saktimu, aku justru ingin mencoba
kepandaianmu." Santala juga naik pitam, makinya "Kau ini kerbau dungu yang
tidak tahu diri, kau tidak mau bekerja sama dengan kami melawan
musuh tidak jadi soal, kau justru mengundang serigala ke dalam
rumah, bertindak sewenang-wenang lagi. Baiklah, aku ingin
membuktikan, kau betul-betul tidak takut atau hanya gertak sambal
belaka." Habis bicara panah pun dibidikkan.
Ulise memutar golok pusakanya ke atas menggunakan jurus
Soat-hoa-kay-ting, ke bawah dia gunakan jurus Ko-jiu-ban-kin, dua
panah berhasil dipukul jatuh tapi panah ketiga melesat masuk dari
lubang di tengah yang kosong, sasarannya adalah dada, jelas golok
pusakanya tak sempat ditarik balik untuk menangkis lagi.
Pada saat genting itulah, sebutir kerikil mendadak melesat tiba,
kerikil ini memukul jatuh panah bidikan Santala yang mengincar
dada Ulise. Kerikil kecil itu adalah jentikan jari Beng Hoa yang
menggunakan Tam-ci-sin-thong. "San-heng, pangeran Ulise
memang gegabah dan pikun, tapi jangan kau anggap dia sebagai
musuh, biarkan dia pergi," teriak Beng Hoa lantang.
Ulise percaya hasutan Sun To-hing bahwa Beng Hoa sudah
kehabisan tenaga, maka dia memberanikan diri menyerbu ke atas
bukit hendak membekuk Beng Hoa. Tak nyana Beng Hoa masih
memiliki tenaga sebesar itu, dalam jarak seratus langkah menjentik
kerikil mematahkan panah Santala yang dibidikkan dengan kekuatan
besar. Jauh di luar dugaannya pula, Beng Hoa membalas dendam
dan sakit hatinya dengan kebaikan, dengan cinta kasih sesama
manusia Tadi dia begitu bernafsu hendak membunuh Beng Hoa,
ternyata Beng Hoa justru menyelamatkan jiwanya
Karuan Ulise amat kaget tapi juga menyesal setengah mati,
tanpa berani bercuit separah kata pula, lekas dia mengeprak
kudanya melarikan diri. Memangnya tenaga Beng Hoa makin susut, di waktu dia
mengerahkan tenaga menggunakan Tam-ci-sin-thong, tenaganya
sudah tinggal separuh dari kemampuan biasanya, dia memaksa
melancarkan jentikan kerikil menolong jiwa Ulise. Seketika dia
merasa dadanya mual seperti hendak tumpah, saking gemas ingin
rasanya melompat ke atas ranjang tidur sepuas-puasnya
Karena busurnya patah, Cui It-lun tahu kepandaiannya memanah
bukan tandingan lawan, lekas dia pimpin anak buahnya lari turun.
Sementara itu fajar telah menyingsing, asap hitam masih
kelihatan mengepul di langit, namun kobaran api sudah kelihatan.
Tenaga lemah, mengantuk lagi, Beng Hoa sempoyongan hampir
jatuh. Santala kaget, tanyanya sambil memburu datang, "Beng-toako,
kenapa kau?" Beng Hoa menyengir, katanya, "Tidak apa-apa, sekarang aku
hanya ingin tidur." Rasa lelah Tan Khu-seng lebih besar, namun karena Iwekang-nya
lebih tinggi, beberapa kejap lagi dia masih kuat bertahan.
Melihat merek- tidak luka, lega hati Santala, katanya, "Sekarang
mana boleh tidur, lekas tinggalkan tempat berbahaya ini, Bengtoako,
apa kau masih bisa naik kuda?"
Beng Hoa mendongak menyongsong hembusan angin lalu,
semangatnya sedikit bangkit, katanya, "Mungkin masih bisa, ayolah
terserah sampai mana aku kuat bertahan."
Santala memilih tiga ekor kuda, diberikan mereka berempat, Boh
Le-cu masih pingsan, maka dia naik kuda bersama Kim Bik-ki.
Jalan gunung.yang ditempuh Santala amat berbahaya, apalagi
salju bertumpuk beberapa dim, sehingga perjalanan lebih sukar.
Untung kuda mereka sudah bisa berperang di medan laga. Tan Khuseng
dan Beng Hoa harus mengerahkan lwekang untuk melawan
rasa kantuk, syukur mereka masih kuat bertahan sekian lama, maka
mereka tidak pemah ketinggalan.
Kira-kira setengah jam kemudian, akhirnya mereka tiba di bukit
di mana semula Santala berpangkal menunggu tanda Beng Hoa.
Empat penjuru bukit ini dikelilingi lereng gunung yang tinggi, letak
dan bentuknya amat tersembunyi.
Santala menghela napas lega, katanya, "Sudah sampai, Bengtoako,
kau boleh turun beristirahat."
Belum habis dia bicara, "bluk" Beng Hoa sudah terjungkal jatuh
dari punggung kuda. Bergegas Santala melompat turun serta
memapahnya, tampak dia sudah memejamkan mata di dalam
pelukan Santala, tertidur dengan pulas.
Keadaan Tan Khu-seng lebih baik, dia masih bisa melorot turun,
tapi begitu kaki menyentuh tanah, badannya lantas jatuh dan
langsung pulas. Dengan seksama Santala memeriksa keadaan mereka, melihat
mereka tidak terluka luar maupun dalam, lega hatinya. Namun soal
lain segera mengkhawatirkan hatinya.
Yang dia khawatirkan adalah bagaimana untuk membobol
kepungan pasukan besar musuh, serta pulang ke pangkalan dengan
selamat. Dapat diduga, setelah mengalami keributan yang
ditimbulkan Tan Khu-seng guru dan murid, pasukan besar kerajaan
pasti dikerahkan menggrebek mereka, setiap saat mereka harus
bersiaga dan waspada, satu-satunya harapan hanya menunggu
cuaca menjadi gelap, karena kenal situasi daerah ini, mungkin
mereka bisa meloloskan diri diam-diam.
Walau tempat ini cukup strategis dan tersembunyi, bukan
mustahil musuh bisa melacak ke sini.
Seorang tentara yang bertugas di tempat tinggi mengawasi
daerah sekelilingnya mendadak berteriak, "Kelihatannya seperti ada
seorang tentara kerajaan sedang berlari ke atas gunung ini."
Santala melengak bingung, pikirnya, "Kalau betul ya betul, bukan
ya bukan, kenapa dikatakan 'seperti' segala?" Segera dia sendiri
melompat ke atas batu lain yang letaknya juga tinggi, lalu
memandang jauh ke bawah sana.
Tampak segulung bayangan putih laksana angin puyuh melayang
ke atas bukit. Selama hidup Santala belum pemah meyaksikan
manusia berlari secepat itu, baru sekarang dia maklum kenapa
petugasnya itu mengatakan 'seperti'. Walau dia sendiri samar-samar
merasa bayangan putih itu adalah manusia, tapi belum percaya
bahwa dia betul-betul manusia, bukan mustahil orang hutan atau
lutung besar. Diam-diam Santala sudah menyiapkan busur dan anah panah,
mendadak didengarnya Kim Bik-ki bersuara heran, lalu berteriak,
"He, bukankah yang datang paman Thio?"
Orang itu bergelak tawa, katanya, "Hiantitli, bagaimana kau bisa
tahu?" "Kecuali kau, di kolong langit ini, mana ada orang yang bisa lari
secepat itu?" sahut Kim Bik-ki.
Dari percakapan mereka, baru Santala tahu yang datang ternyata
maling sakti nomor satu di seluruh jagat. Batinnya, "Tak heran Beng
Hoa sering bilang kepandaian mencuri dan ginkang-nya tiada
bandingan di seluruh dunia, ternyata memang tidak bernama
kosong." Lekas Santala mohon maaf akan kecerobohannya, tanyanya,
"Kebakaran yang terjadi di markas besar kerajaan, aku duga pasti
dilakukan oleh Thio tayhiap. Benar tidak?"
"Betul," seru Kwi-hwe-thio, "mumpung kebakaran aku mencuri,
menangguk ikan di air keruh adalah keahlianku, aku malah berhasil
mencuri sebuah barang berharga untuk kalian."
Lekas Kim Bik-ki berkata, "Persoalan lain tidak penting, paman
Thio, lekas kau periksa keadaan Beng Hoa dan gurunya."
Kwi-hwe-thio menoleh sekejap, katanya, "Mereka sedang tidur
lelap, apa yang kau khawatirkan?"
"Paman Thio, aku gugup setengah mati, kau masih menggodaku.
Dalam keadaan segenting ini mana boleh Beng Hoa dan gurunya
tertidur" Aku curiga mereka kena sesuatu dari perempuan siluman
itu. Demikian pula Boh lihiap, dia pun tidur pulas lebih dulu, sejak di
markas besar musuh dia sudah tidur nyenyak. Paman Thio, kau
berpengalaman, tolong kau periksa apa betul mereka keracunan?"
"Memangnya kau selalu ribut sih," demikian goda Kwi-hwe-thio,
"tadi aku kan bilang berhasil mencuri sesuatu untuk kalian."
Kim Bik-ki berjingkrak senang, serunya, "O, ya, jadi yang kau curi
adalah obat penawarnya?"
"Betul," ujar Kwi-hwe-thio. Mendadak dia berputar sambil
bertepuk tangan sekali, seperti main sulap saja, tahu-tahu
tangannya memegang sebuah poci teh. Poci teh sebesar itu dia
sembunyikan di dalam badannya, ternyata Kim Bik-ki dan Santala
tidak melihat di mana tadi dia sembunyikan.
"Setengah poci air teh masih hangat, kebetulan boleh diminum
mumpung masih hangat." Lalu berurutan dia mencekoki Boh Le-cu,
Tan Khu-seng dan Beng Hoa masing-masing satu cangkir kecil. Kirakira
setengah sulutan dupa, Boh Le-cu dan Tan Khu-seng tersadar
lebih dulu, menyusul Beng Hoa juga siuman.
Boh Le-cu seperti berada dalam mimpi, katanya, "Tan-ko, apakah
kita bertemu di sorga?"
Tan -Khu-seng tertawa, "Coba kau lihat yang berdiri di sana?"
"Haya," kontan Boh Le-cu men-. jerit kaget, "kiranya Thio-suhu
yang telah menolong kami."
Kwi-hwe-thio pemah mengajar tata rias kepadanya, maka Boh
Le-cu memanggilnya suhu. Saat itu Kwi-hwe-thio sudah menghapus


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

riasan di wajahnya, muncul dengan wajah aslinya. Tadi Boh Le-cu
tidak sadar banyak orang mengelilingi mereka, ingat sikapnya yang
mesra pada Tan Khu-seng, seketika merah jengah wajahnya.
Begitu membuka mata Beng Hoa melihat Kwi-hwe-thio, kaget
dan heran hatinya, katanya, "Paman Thio, bagaimana kau tahu
kalau' kami mengalami kesulitan, atau kebetulan berada di sini?"
"Bukan kebetulan, aku tahu semalam kalian beraksi, sengaja aku
datang kemari membantu sekedarnya," demikian ucap Kwi-hwethio.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Beng Hoa heran.
"Panjang ceritanya," ujar Kwi-hwe-thio. "Biar kusampaikan kabar
gembira Jebih dulu. Ayahmu juga sudah berada di daerah Sinkiang."
Saking senangnya, Beng Hoa berjingkrak berdiri, tanyanya, "Apa
betul, di mana ayah sekarang?" .
"Sekarang dia di mana, aku tidak tahu. Tapi aku tahu jalur
perjalanannya. Dia datang membawa sepasukan gerilyawan untuk
menambah kekuatan Lohay. Yang ikut datang bersama dia masih
ada Kwan-tang Tayhiap Utti Keng dan istrinya Jian-jiu-koan-im Ki
Seng-in." Tan Khu-seng dan Beng Hoa tambah girang. Tan Khu-seng
berkata, "Kami sedang khawatir musuh terlampau kuat, syukurlah
Beng tayhiap datang membawa pasukan."
Kwi-hwe-thio meneruskan ceritanya, "Sebetulnya aku datang
bersama pasukan itu. Kemarin waktu pasukan berkemah di Hekciok-
kang, kira-kira seratusan li dari sini, kami mendapat berita
bahwa pasukan kerajaan sudah berada di sini, pangkalan Lohay
mulai dikepung. Maka Beng tayhiap berunding dengan aku, aku
disuruh menerobos markas besar musuh langsung mengadakan
kontak lebih dulu dengan Lohay".
Beng Hoa paham, katanya, "Paman Thio, jadi kau sudah bertemu
dengan Lohay kelo, baru menyusul kemari, benar tidak?"
"Betul, Lohay kelo memberi tahu kepadaku, kau dan nona Kim
berencana menyelundup ke markas besar pasukan kerajaan hendak
membunuh Cui Po-san. Maka setelah kusampaikan berita
seperlunya, tanpa makan minum aku lantas menyusul kemari."
Orang-orang meleletkan lidah, siapa tidak kaget, dalam tujuh hari
ternyata Kwi-hwe-thio menempuh perjalanan delapanratus li
jauhnya. Dengan tertawa Kwi-hwe-thio berkata, "Boh lihiap, semalam
akulah yang harus disalahkan bertindak kurang cermat sehingga kau
terkena muslihat perempuan siluman itu."
Boh Le-cu melongo, katanya, "Jadi waktu aku berhadapan
dengan perempuan siluman itu, kau berada di sana?"
"Ya, aku bersembunyi di luar jendela. Kudengar kau sudah
menundukkan perempuan itu, kudengar pula perempuan itu
menyuruh kau minum teh. Waktu itu aku tidak menduga muslihat
terbalik dari biasanya Melihat kau tidak mau minum, waktu itu aku
memujimu malah." Boh Le-cu sadar, katanya, "Iya, tak heran perempuan itu
menyuruh aku menuang secangkir teh untuk dia, jadi teh dalam
poci itu adalah obat penawar dupa biusnya"
Kwi-hwe-thio berkata, "Setelah aku membakar gudang ransum
pasukan kerajaan, selekasnya aku menyelundup ke dalam markas
mencari berita Coba kalian tebak, setelah aku melepas api dan balik
ke dalam perkemahan Cui Po-san, apa yang sedang disibukkan oleh
anak buah Cui Po-san?"
"Bukankah mereka sibuk menolong Cui Po-san," kata Beng Hoa
"Kuduga Cui Po-san pasti dalam keadaan seperti kita, tidur pulas
karena dupa bius itu," demikian kata Boh Le-cu. "Perempuan
siluman itu hendak mencelakai kita, tapi suami sendiri juga ikut
tertimpa" "Betul," ujar Kwi-hwe-thio, "waktu aku menyelundup ke dalam
kemah, Cui Po-san memang belum siuman. Walau anak buahnya
sibuk menolong dia, tapi mereka lebih mengkhawatirkan persoalan
lain. Karena anak buahnya tidak sedikit yang pandai, mereka tahu
pimpinan memang pingsan tapi jiwanya tidak terancam."
"O, persoalan lain yang memusingkan mereka sudah tentu
memadamkan api?" seru Kim Bik-ki.
Kwi-hwe-thio menggelengkan kepala, katanya, "Walau yang
kubakar gudang ransum tapi usaha memadamkan api adalah tugas
tentara, tak perlu Cui Po-san sendiri yang sibuk menyelesaikan,"
"Paman Thio, sudah jangan jual mahal. Lekas kau jelaskan berita
istimewa ini." Kwi-hwe-thio berkata serius, "Mereka sibuk mencari nyonya
jenderal mereka" Boh Le-cu kaget, serunya, "Maksudmu perempuan siluman itu
hilang?" "Betul, yang hilang bersama dia adalah Toan Kiam-ceng-
Ternyata kamar tidurnya ada pintu rahasia, anak buah Cui Po-san
sudah membongkar pintu rahasia itu, tapi istri jenderal mereka tidak
juga ditemukan, karuan mereka ribut dan gugup, semua sibuk
menisarinya." Boh Le-cu berkata, "Mungkin perempuan siluman itu takut kami
mencabut nyawanya, Toan Kiam-ceng takut Beng Hoa mencarinya,
mereka merasa meski di tengah pasukan besar juga sukar
menyelamatkan diri, maka sengaja kabur ke tempat lain untuk
menyembunyikan diri" Kalau betul demikian, maka usahaku
menuntut balas, mungkin akan tertunda dan lebih sulit
dilaksanakan." "Kau sudah bersabar delapanbelas tahun, kenapa buru-buru
dalam beberapa hari" Asal pasukan kerajaan kita bikin porak
poranda, perempuan siluman itu juga takkan bisa lolos."
"Akhirnya bagaimana, Thio-su-hu tolong kau lanjutkan ceritamu,"
demikian kata Boh Le-cu. Kwi-hwe-thio berkata, "Belakangan aku tuang air teh ke dalam
poci ini sementara poci semula kuisi dengan air kencingku."
Orang banyak terpingkal-pingkal, kata Kim Bik-ki sambil tertawa
geli, "Paman Thio akalmu sungguh bagus, sayang agak kotor."
Beng Hoa juga berkata, "Kalau demikian Wi To-ping dan kawankawannya
akan merasakan nikmatnya air kencingmu bersama Cui
Po- san. Paman Thio, akalmu ini bukan saja amat tepat juga banyak
memberi bantuan bagi kami."
Sekilas berpikir Kim Bik-ki lantas paham tujuan Kwi-hwe-thio,
katanya, "Betul, bila mereka sadar air dalam poci itu bukan obat
penawarnya mereka akan memanggil dan mencari pelayan pribadi
Han Ji-yan, jendral dan Wi To-ping serta kawan-kawannya akan
tidur satu dua jam lebih lama, sebelum mereka siuman, pasukan
besar musuh tidak akan dikerahkan. Semoga pula budak itu tidak
menemukan obat penawar yang disimpan majikannya, supaya kita
bisa selamat hingga nanti malam. Bila malam sudah tiba, bukan soal
sulit bagi kita menerjang kepungan."
"Sayang ayah dan Lohay kelo tidak tahu kesulitan yang kita
alami," demikian ujar Beng Hoa. "Kalau tidak, mumpung pasukan
besar musuh tanpa induk, kita bisa menggempur dan mengganyang
mereka." Kwi-hwe-thio tersentak sadar, katanya, "Beng-lote, terima kasih
kau mengingatkanku, aku harus segera minta diri."
Beng Hoa melenggong, katanya. "Paman Thio, kau mau ke
mana?" "Pulang mencari ayahmu," ujar Kwi-hwe-thio. "Kalau bisa
menemukan ayahmu aku masih sempat memberi kabar kepada
Lohay." Santala kaget, katanya, "Thio tayhiap, kau seorang diri, di siang
hari bolong lagi, untuk menerobos kepungan musuh bukankah amat
berbahaya?" Kwi-hwe-thio tertawa besar, katanya, "Untuk membekuk aku,
pasukan kerajaan harus banyak memeras keringat dan tenaga."
Belum hilang gema tawanya, bayangan punggungnya sudah
berkelebat di samping gunung lenyap di balik semak-semak.
Santala terbelalak dan melelet-kan lidah, katanya kagum, "Bengtoako,
kalau tidak kusaksikan sendiri, sungguh aku tidak percaya
bahwa di dunia ini ada orang sepandai dia."
Siang hari itu hingga sore keadaan memang aman. Memang
beberapa kali pasukan ronda musuh berkeliling di pegunungan
sekitar situ, namun jelas mereka belum menemukan jejak pasukan
kecil pimpinan Santala. Tanpa terasa tabir malam sudah datang.
Santala tidak sabar lagi, katanya, "Bagaimana" Kita menerobos
kepungan?" "Apa tidak menunggu bala bantuan datang" Kalau bantuan tiba,
kita serbu dari dalam, bukankah musuh akan kacau balau digencet
dari luar dan dalam?"
Santala memang kagum dan tunduk lahir batin setelah melihat
kemahiran Kwi-hwe-thio, tapi dia belum yakin bahwa Kwi-hwe-thio
bisa secepat ini mengundang bala bantuan dari dua jurusan.
Di saat mereka berunding dan belum ada keputusan, terdengar
suara gemuruh derap kaki kuda yang berlari kencang laksana hujan
badai. Sebarisan pasukan berkuda sudah menerjang naik ke atas
gunung. Sayang yang datang bukan kawan atau bala bantuan, tapi
pasukan musuh. Begitu menerjang ke atas gunung, pasukan kerajaan segera
berpencar menjadi tiga barisan mengepung dari tiga jurusan, setiap
barisan jumlahnya ada ribuan orang.
Barisan pertama dipimpin lima orang perwira, menyerang dari
arah depaa Perwira yang menjadi pimpinan adalah Siang-pit-tiam-simeh
Teng Tiong-ai yang terkenal di Bulim.
Barisan kedua dipimpin empat Lama berkasa merah, meVeka
berputar ke belakang dan menyerang dari belakang gunung. Lama
yang jadi pimpinannya bukan lain adalah jago kosen dari aliran Bitcong
dari Tibet, yaitu Thian-thay Siangjin.
Barisan ketiga dipimpin empat tosu, tosu tertua itu bukan lain
adalah Thian-lo-kiam-khek Gun-goancu dari Yu-lay-san yang
mengepalai Ceng-siong-koan. Barisan ketiga ini menyerang dari
sayap kanan dan kiri. "He, dari mana Cui Po-san mengundang kawanan hwesio dan
tosu sebanyak ini?" seru Boh Le-cu heran.
"Jangan kau meremehkan mereka, mereka adalah jago-jago
ternama di kalangan Kangoow. Pernah Toan Siu-si menjelaskan
bahwa Cui Po-san mempunyai anak buah yang berjuluk Ngo-koan,
Si-to dan Si-ceng. Waktu berkuasa di Siau-kim-jwan tigabelas orang
ini merupakan tulang punggung Cui Po-san sehingga dia kuat
menduduki bekas pangkalan gerilya, sehingga laskar gerilya dipaksa
mengundurkan diri ke Jik-tat-bok. Hoa-ji, kau pernah pergi ke Siaukim-
jwan, coba kau periksa apa betul mereka adalah Ngo-koan, Sito
dan Si-ceng anak buah Cui Po-san itu?"
"Betul," sahut Beng Hoa. "Waktu di Siau-kim-jwan, dengan adik
Ki kami pernah bergebrak dengan mereka. Waktu itu untung
mereka tidak maju bersama, dengan sepasang pedang gabungan
kami, akhirnya berhasil membobol kepungan. Kini mereka tigabelas
orang maju bersama, mungkin sudah tahu kalau kita bersembunyi di
sini." "Kalau hanya mereka bertigabe-las kita masih mampu
menghadapi, tapi kalau seluruh kekuatan kita untuk melawan
pasukan besar mereka, jelas kita kalah."
Pada saat gawat itulah, mendadak Santala berteriak sambil
bertepuk, "He, lihat, ada barisan lain juga menyerbu ke atas
gunung." Dari arah barisan pasukan kerajaan, terdengar Tiong Tiong-ai
membentak, "Yang datang barisan dari mana?" Agaknya dia sudah
melihat gelagat jelek, namun dia tidak percaya bahwa barisan
musuh turun dari langit. Cepat sekali kedatangan barisan berkuda ini, yang jadi pimpinan
adalah seorang laki-laki gede berewok-an, dengan bentakan laksana
guntur mulutnya bicara, "Inilah pahlawan gagah utusan Giam-lo-ong
yang akan mencabut nyawa kalian."
Beng Hoa berjingkrak kegirangan teriaknya, "He, itulah Koantang
Tayhiap Utti keng. Paman Utti! Paman Utti!"
Utti Keng juga berteriak, "Apakah Hoa-ji di sana" Bagaimana
keadaan kalian?" "Kami tidak apa-apa," sahut Beng Hoa. "Paman Utti lekas
kemari." Padahal jarak mereka masih terpaut satu puncak, meski gemuruh
lari kuda dan pekik sorak ribuan orang amat ramai namun
percakapan mereka jelas terdengar.Terutama bentakan Utti Keng
betul-betul sekeras geledek, tidak sedikit yang merasa pekak
kupingnya. Sudah tentu Teng Tiong-ai terkejut bukan main, lekas dia pimpin
Ngo-koan melawan. Dari samping Utti Keng mendadak menerobos seekor kuda,
penunggangnya adalah perempuan, katanya, "Toako,
lekas/bergabung dengan Beng-hiantit. Kelima cakar alap-alap ini tak
perlu membuat kotor golok pusakamu, biar aku yang menggebah
mereka saja." Kim Bik-ki berjingkrak girang juga, teriaknya, "Bibi Utti juga
datang. Horeee... Hoa-ko belum pernah bertemu dengannya bukan"
Kepandaian bibi Utti tidak kalah dengan suaminya."
Beng Hoa tertawa, katanya, "Aku tahu. Utti hujin adalah jago
amgi nomor satu di seluruh dunia. Kaum persilatan mana yang tidak
kenal Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in?"
Tan Khu-seng segera mengulap tangan memberi aba-aba,
serunya, "Hayolah, siap serbu ke bawah."
Teng Tiong-ai sudah siap bersama kedua sute-nya untuk
melancarkan Siang-pit-tiam-si-meh, tapi kejadian sungguh teramat
cepat, tahu-tahu Ki Seng-in sudah mengeprak kudanya menerjang
tiba, dalam jarak seratus langkah dia berteriak nyaring, "Cucu kurakura
she Teng kabarnya kau mahir tiam-hiat, aku jadi ingin tahu
apakah kau mampu menotok hiatto-ku atau aku yang akan menotok
hiatto-mu." Terdengar suara "Trang tring" suaranya mirip senar kecapi yang
dipetik, merdu dan mempesona Ternyata Ki Seng-in menyerang
dengan gaya Thian-li-san-hoa (Bidadari menyebar bunga), dia
menebarkan segenggam mata uang tembaga
Teng Tiong-ai menangkis dengan memutar sepasang potlotnya,
tapi hanya dua mata uang yang berhasil dia pukul jatuh, mata uang
ketiga telak mengenai hiatto-nya, seketika dia terjungkal jatuh dari
punggung kuda. Yang lebih celaka adalah kedua sute-nya dan dua perwira lain.
Sebelum mereka mengangkat senjata terasa angin tajam menyerbu
tiba, tahu-tahu mereka kaku dan terjungkal roboh dari atas kuda.
Hiatto mereka tertotok jiwa melayang seketika Padahal kelima orang
ini berpencar pada kedudukan yang berbeda dengan jarak seratus
langkah. Ki Seng-in memang tidak bernama kosong.
Utti Keng sudah menyerbu ke tengah pasukan kerajaan. Si-ceng
di bawah pimpinan Thian-thay Siang-jin membentuk Su-siang-tin
menyambut kedatangannya. Bertempur di atas kuda, jelas berbeda dengan bertarung di atas
tanah. Kalau jurus serangan lihay, sering kali dapat membawa
kemenangan, tenaga sendiri yang kalah kuat bisa ditambal oleh
kecepatan gerak tubuh. Tapi bertempur di punggung kuda, yang
diutamakan adalah dalam bergebrak sejurus harus cepat
mengalahkan lawan, yang kuat menang yang lemah kalah. Walau


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam adu kekuatan ini tidak mengutamakan kelihayan ilmu senjata
yang digunakan, tapi kelihayan ilmu yang dibekalnya itu juga
pegang peranan. Kuda Utti Keng berpacu laksana angin puyuh, di tengah
hardikannya, golok terayun membacok. Thian-thay Siangjin
memukul dengan tongkat bajanya, "Trang, trang" tiga kali benturan
keras. Utti Keng ber-gelak tawa, serunya, "Konon kau berhasil
meyakinkan Liong-siang-kang segala, kiranya juga begini saja?"
Belum lenyap gelak tawanya, tongkat baja sebesar mangkok di
tangan Thian-thay Siangjin sudah patah menjadi dua, tubuhnya
bergoyang di punggung kuda, "Huuaaaah" darah menyembur
deras dari mulut, badan pun terjungkal roboh dari atas kuda.
Su-siang-tin belum lagi terbentuk, Thian-thay Siangjin yang
berkepandaian paling tinggi sudah terluka parah, sudah tentu tiga
Lama yang lain pecah nyalinya, lekas mereka menarik tali kendali
mengeprak kuda ke arah lain terus menyingkir menyelamatkan diri.
Cepat sekali Utti Keng terus membedal kudanya ke tengah
barisan musuh tanpa rintangan. Ngo-Koan dan Si-ceng sudah dibikin
porak poranda, kini tinggal Si-to dibawah pimpinan Gun-goan-cu
saja yang harus mengeraskan kepala melawan.
Begitu menerjang ke tengah keempat lawannya, Utti Keng
menarik tali kendali membalikkan kuda. Golok kilatnya bergerak
dengan jurus Yan-can-pat-hong, seperti angin menyapu, goloknya
menyambar miring. Tampak sinar golok berkilauan berkembang ke
empat penjuru disertai benturan nyaring. Dalam sejurus permainan
goloknya itu sekaligus dia sudah membacok tigapuluh enam kali.
Empat tosu itu seperti sekaligus mendapat sembilan kali bacokan
dahsyat Begitu sinar golok kuncup, salah seorang sute Gun-goan-cu
buntung tangan kanannya, seorang sute-nya yang lain hanya
memegang gagang pedang saja, gelung rambut Gun-goan-cu
terbelah, kulit kepalanya hampir terbeset. Dengan suara gemetar
Gun-goan-cu berteriak, "Utti tayhiap, ampunilah kami!"
Utti Keng membentak, "Pemimpin Ceng-siong-koan kalian yang
terdahulu Ui-ciok Totiang berjiwa pendekar, sungguh tak nyana, ahli
warisnya tidak becus dan tidak berbakti. Baiklah, memandang muka
leluhur kalian, kali ini kuampuni kalian, jikalau tidak bertobat, kelak
bila terbentur lagi di tanganku pasti tidak kuampuni."
Sementara itu Beng Hoa mengikuti gurunya menyerbu turun,
kebetulan dia saksikan Utti Keng mengalahkan Si-to, saking
terpesona dan senang dia berpikir, "Menilai kecepatan permainan
golok, mungkin aku tidak kalah dibanding paman Utti, tapi perbawa
permainan golok jelas aku kalah bila harus bermain secepat itu."
Barisan gerilya yang dipimpin Utti Keng hanya limaratus orang,
dibanding tigaribu pasukan musuh jelas masih kalah. Tapi limaratus
pasukan gerilya ini sudah kenyang bertempur di medan laga, setiap
orang berani melawan sepuluh orang, sementara semangat tempur
pasukan kerajaan sudah lumpuh melihat pimpinan barisan mereka
keok satu persatu. Sudah tentu mereka tak berani menjual jiwa,
hanya sekejap mereka sudah berlomba menyelamatkan diri.
Beng Hoa memburu maju menyambut kedatangan Utti keng dan
istrinya. Saking gembira mereka lupa bicara, akhirnya Utti keng
berkata, "Hoa-tit, ayahmu juga datang. Istirahatlah sebentar, nanti
kuajak kau mencarinya."
Beng Hoa kegirangan, katanya, "Ha, ayah datang, apa aku sabar
menunggunya di sini" Paman Utti, hayolah sekarang kau bawa kau
menemui ayah." "Aku tahu kau sudah satu hari dua malam tidak tidur, apa kau
tidak lelah?" "Terus terang saja, tadi memang lelah, tapi begitu kalian datang,
semangatku jadi bergairah malah, ingin rasanya aku bertempur
lagi." Utti Keng bergelak tawa, serunya, "Bagus, kau memang pemuda
gagah, hayolah kita turun gunung. Semangatmu yang bergairah
dapat kau lampiaskan di bawah nanti."
Seorang pahlawan suku Uigior maju menyerahkan seekor kuda
kepada Beng Hoa. Kejap lain Beng Hoa sudah mencongklang
kudanya berjajar dengan Utti Keng turun gunung. Santala dan
orang banyak ikut di belakang mereka. Di tengah perjalanan turun
gunung itu, Utti Keng menuturkan kejadian yang dialaminya Baru
orang banyak tahu bahwa Kwi-hwe-thio sudah memberi tahu
kepada Lohay untuk mengerahkan pasukannya, baru pulang
menemui Beng Goan-cau dan Utti Keng, maka mereka buru-buru
menyerbu ke sini. Santala bertanya "Entah berapa banyak saudara seperjuangan
yang kalian bawa?" "Kira-kira linWibu orang," sahut Utti Keng.
Santala diam saja setelah mendengar jawabannya dalam hatinya
dia membatin, "Kekuatan pasukan kerajaan seratus ribu. Dengan
kekuatan limaribu mereka, mungkin takkan mampu mengubah
situasi." Utti Keng seperti tahu jalan pikirannya dengan tertawa dia
berkata "Walau jumlah kita sedikit, tapi
seumpama badik yang menusuk ke ulu hati musuh, malam gelap
mereka tidak tahu berapa banyak orang kita yang datang, kita
menggempur di saat mereka tidak siaga, serbuan kita kali ini pasti
dapat mencapai kemenangan gilang gemilang."
Tengah berbicara, mereka sudah berada di bawah gunung,
langsung terjun ke kancah pertempuran. Pasukan gerilya dibagi
menjadi beberapa barisan yang terdiri dari lima-puluh sampai
seratus orang, menerjang kian kemari di tengah pasukan musuh
laksana ujung tombak yang menembus pertahanan mereka. Walau
jumlah musuh lebih banyak, tapi pasukan gerilya berhasil membikin
mereka kocar-kacir. Di tengah arena pertempuran yang gegap gempita itu, denting
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 4 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pedang Hati Suci 10
^