Pencarian

Anak Pendekar 27

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 27


pasti menang. Setelah pulang dia menceritakan apa yang dilihatnya
kepada ayahnya, pemimpin suku Jia-kek. Ayah Ulise adalah orang
yang tidak punya pendirian tetap, pandai melihat arah angin.
Sebelum puteranya pulang dia sudah mendengar Lohay berulang
kali menang besar dalam bentrokan besar kecil dengan pasukan
kerajaan. Dia khawatir bila pasukan kerajaan diusir dari wilayah
Sinkiang, pihaknya yang tidak mau bergabung atau ikut melawan
serbuan penjajah, akan malu dan dikucilkan oleh suku bangsa lain
yang ada di padang rumput ini, diam-diam hatinya juga menyesal.
Kali ini dia mengerahkan pasukan menolong Lohay yang terjepit
ternyata atas usul dan kehendaknya. Begitu dia memutar haluan,
Tay-hi-cu yang selalu menjadi kawan serikatnya sudah tentu ikut
mengerahkan pasukannya pula.
Waktu itu cuaca sudah benderang. Cui Po-san dapat melihat jelas
bala bantuan musuh yang menggempur pasukannya dipimpin oleh
Ulise, kaget dan murkanya bukan main. Tapi dia masih berusaha
untuk mengubah situasi, maka dia menekan emosinya, mengubah
sikap, dia berteriak sambil tertawa ramah, "Pangeran Ulise, aku
sudah mendapat persetujuan dari kerajaan untuk mengangkat
engkau sebagai raja muda yang menguasai seluruh Sinkiang. Kelak
kalau kau sudah menduduki jabatanmu, hidup mewah berlebihan.
Apakah sudah kau pikir dengan seksama, jangan mudah dihasut
dan diadu domba dengan pihak kami. Sekarang tiba saatnya kau
mendirikan pahala besar, mungkin kau terlena oleh bujukan orang,
aku tidak menyalahkan engkau, lekaslah berpaling dan berjuanglah
untuk kepentingan kerajaan, kesempatan masih terbentang di
hadapanmu." Tak nyana Ulise menjengek dingin, katanya, "Aku sudah berpikir
duabelas kali, aku tidak akan meniru dirimu menjadi antek dan
budak kerajaan, membunuh bangsamu sendiri untuk kepentingan
penjajah. Memang aku terlena oleh bujuk rayumu, sekarang justru
tiba saatnya aku menebus dosaku." Habis bicara dia memimpin
barisannya mengamuk ke tengah pasukan kerajaan mengejar Cui
Po-san. Co Ceng-gay membentak, "Bocah ini tidak tahu diuntung, biar
kubekuk dia hidup-hidup." Dia menunggu Ulise lebih dekat lalu
diincarnya dengan tepat. Dari tempat tinggi dia melompat turun,
kakinya menginjak punggung kuda Ulise.
Agaknya Ulise tidak menyangka musuh bernyali sebesar ini.
Begitu merasa angin menindih dari atas, tahu-tahu Co Ceng-gay
menukik turun dari udara, jari tangan orang mencengkeram
pundaknya Dari Ka-bit Hoatsu, Ulise pernah belajar kungfu sekian tahun,
kepandaiannya sebetulnya tidak lemah, sambil merendahkan tubuh,
goloknya terayun ke belakang membabat pergelangan musuh.
Cengkeraman luput, hampir saja tangan terbacok, mau tidak mau
Co Ceng-gay terkejut, pikirnya, "Tak kukira bocah ini punya
kepandaian juga." Cengkeraman jarinya diubah menjadi dorongan.
Betapapun lwekang dan kepandaian mereka terpaut amat jauh.
"Cret" terdengar jubah perang Ulise terjambret robek, orangnya
juga didorong jatuh dari punggung kuda Untung Co Ceng-gay
bermaksud membekuknya hidup-hidup, maksudnya untuk dijadikan
sandera untuk menggertak mundur musuh. Karena khawatir
mencelakai jiwa Ulise maka dorongannya itu tidak menggunakan
tenaga dalam yang mematikan.
Baru saja jari Co Ceng-gay menyentuh punggung Ulise,
mendadak dirasakannya sambaran angin tajam mengancam
punggungnya. Sebagai ahli silat kelas tinggi, dia tahu bahwa lawan
yang membokong dirinya dari belakang memiliki kungfu yang luar
biasa. Menyelamatkan jiwa sendiri lebih penting, terpaksa dia
melepaskan Ulise dan menyelamatkan diri lebih dulu.
Penolong Ulise yang tepat pada waktunya ini bukan lain adalah
Beng Hoa. Co Ceng-gay memukul balik dengan telapak tangan,
angin pukulannya menyampuk pedang' Beng Hoa. Sebat sekali dia
mendesak maju-selangkah, pedangnya bergerak menukik balik.
Tampak sinar pedang berkilauan laksana bintang beterbangan.
Jurus yang dilancarkan- Beng Hoa adalah Oh-ka-cap-pwe-bak, salah
satu tipu lihay dari Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat yang diajarkan
Tan Khu-seng. Ilmu pedang pelindung Kong-tong-pay memang
hebat, betapapun dahsyat pukulan Co Ceng-gay, tak urung lengan
bajunya tertusuk tiga tempat dan tersabet sobek sebagian.
Dengan kekuatan Tay-Iik-eng-jiau-kang yang dilontarkan dengan
Bik-khong-ciang, ternyata Co Ceng-gay tidak mampu memukul jatuh
pedang pusaka Beng Hoa, karuan terkejutnya bertambah besar.
Melihat lawan mahir melancarkan Oh-ka-cap-pwe-bak, darahnya
tersirap, mendadak dia sadar dan teringat, bentaknya, "Kiranya kau
bocah yang bernama Beng Hoa."
Beng Hoa bergelak tawa, katanya, "Betul, seorang laki-laki berdiri
tidak ganti nama, duduk tidak mengubah she. Beng Hoa adalah aku,
aku adalah Beng Hoa. Jikalau kau tidak ingin menyusul Hay Lanjamengha-
dap Giam-lo-ong, lekas menyerah saja."
Co Ceng-gay berpikir, "Tak heran Hay Lan-ja mampus di bawah
pedangnya." Tapi dia yakin kungfu yang diyakinkan cukup tangguh,
mana dia mau tinggal pergi begitu saja, sambil menyeringai dingin
dia' berkata, "Bocah, jangan takabur, aku memang ingin menuntut
balas kematian Hay-jongling." Sembari bicara langkahnya melingkar
seperti ular naga membelit, berkelit sambil balas menyerang, dalam
sekejap putaran, tahu-tahu tangannya sudah memegang dua jenis
senjata yang berbeda. Senjatanya adalah sebilah pedang panjang dan sebatang golok
bergigi, seperti gergaji. Pedangnya tiga kaki panjangnya, tapi
batang pedangnya tipis^dan tajam seperti sayap capung, lebarnya
juga hanya dua dim, bentuknya amat aneh. Sebaliknya golok gergaji
itu amat tebal dan lebar, bobotnya amat berat.
Tangan kiri mengayun golok, tangan kanan bermain pedang.
Umumnya orang bilang satu hati sukar digunakan dua tujuan,
kenyataan Co Ceng-gay mampu bermain dengan dua jenis senjata
yang berbeda. Kedua tangannya ternyata mahir melancarkan jurus permainan
golok dan pedang yang berbeda.
Kungfu yang pernah dipelajari Beng Hoa termasuk paling luas
dan ruwet, campur aduk lagi, tapi belum pernah dia menyaksikan
apalagi menghadapi permainan dua senjata yang berbeda. Dia tidak
berani memandang rendah, maka dia melancarkan jurus HeHg-huntoan-
hong sebagai serangan balasan, menunggu perubahan
melayani serangan. Jurus Heng-hun-toan-hong dilancarkan secara mantap dan
meyakinkan oleh Beng Hoa. Dia mengira lawan takkan mampu
memanfaatkan peluang yang ada, tak nyana serangan golok Co
Ceng-gay ternyata begitu ganas lagi keras, waktu Beng Hoa
menangkis dengan pedang, baru dirasakannya tenaga lawan tidak
sebesar yang dia kira. Golok tebal dan lebar yang beratnya mungkin
ada seribu kati ternyata mirip selembar kertas, sedikit pun tidak ada
tekanan? tenaga, ringan seperti melayang tersampuk pergi. Baru
saja Beng Hoa sadar akan posisinya yang berbahaya, "cret" pedang
panjang lawan tahu-tahu sudah menyelinap masuk ke lingkaran
pertahanannya. Permainan golok dan pedang Co Ceng-gay memang serasi dan
lihay, mencakup perpaduan sifat permainan golok dan pedang
sehingga lawan dibuat terpesona, kaget atau bingung. Umumnya
golok bersifat keras, pedang sebaliknya lunak. Gaya pedang
mengutamakan gerakan lincah dan enteng, sebaliknya golok
bergerak berat dan mantap. Ilmu pedang atau permainan golok
berbagai aliran dan perguruan walau amat luas, rumit dan sukar
dijajaki, betapapun takkan terlepas dari kedua sifat utama itu.
Tapi Co Ceng-gay justru memutar balik kedua sifat senjata ini.
Golok dimainkan sebagai pedang, sebaliknya pedang sebagai golok.
Begitu pedang panjang tipis bagai sayap capung itu menusuk tiba,
mendadak berubah menjadi begitu berat dan keras. Beng Hoa tetap
melayani seperti biasanya, hakekat-nya dia tidak mengira lawan
bermain dengan perubahan yang tidak masuk akal ini. Pertarungan
jago kosen, sedikit lena atau terlambat bisa berakibat fatal. Karena
salah perhitungan, maka pedang lawan berhasil menyelinap masuk
ke lingkaran pertahanan Beng Hoa.
Untung Beng Hoa sudah menguasai Bu-beng-kiam-hoat yang
dilatihnya sempurna, khusus untuk menghadapi segala perubahan.
Meski dia terlambat menyadari kesalahannya dan dirugikan sedikit,
tapi posisinya tidak terpojok sampai runyam. Sebat sekali dia
menggeser langkah pindah kedudukan, pedang digerakkan dengan
permainan golok warisan keluarganya, gerakan diatasi dengan
gerakan, tipu dilawan dengan tipu, secara kilat sekaligus dia
melancarkan tiga jurus berantai, tiga jurus serangan ditujukan dari
arah yang tidak diduga oleh lawan. Co Ceng-gay dipaksa
mempertahankan diri, tidak berani merangsak dengan seluruh
tenaga. Dia juga perlu bertahan menjaga diri.
Akan tetapi, meski Beng Hoa mengubah pedang dengan
permainan golok, tapi dia tidak semahir lawan yang memutar keras
dan lunak secara terbalik. Memang di sinilah letak kelihayan
permainan golok dan pedang lawan yang saling isi dan bantu.
Setelah puluhan jurus, mendadak Co Ceng-gay menyerang, golok
sebagai golok, pedang adalah pedang, entah berubah atau tidak
berubah yang jelas Beng Hoa diserang silih berganti dengan
perubahan kedua senjata. Baru pertama kali ini Beng Hoa menghadapi jurus permainan
golok dan pedang yang aneh begini, jelas dia merasa kewalahan
dan payah. Di saat dia mulai menjajaki permainan lawan, Kim Bik-ki
menyusul datang. Beng Hoa berteriak, "Golok bukan golok, pedang
bukan pedang." Kim Bik-ki semula melongo keheranan, mendadak dirasakan
olehnya pedang lawan berat laksana gunung, goloknya sebaliknya
lincah dan enteng sekali. Hampir saja dia dirugikan seperti Beng Hoa
waktu pertama kali menghadapi musuh tadi. Untung Beng Hoa
merangsak musuh sehingga lawan dipaksa harus menyelamatkan
diri lebih dulu sehingga Kim Bik-ki tidak menemui banyak kesulitan.
Cepat sekali Co Ceng-gay memutar tubuh, golok dan pedang
kembali menyerang bersama ke arah Kim Bik-ki.
Mendadak Beng Hoa berteriak, "Golok adalah golok, pedang
adalah pedang." Otak Kim Bik-ki cerdas, kini dia sudah tahu apa maksud Beng
Hoa Kali ini tindakan dan putusannya tidak keliru, dengan mudah
dia memunahkan serangan hebat lawan. Dengan gabungan
sepasang pedang mereka, perbawanya sudah tentu berlipat ganda,
maka terdengarlah dering ramai dari benturan senjata tajam. Golok
gergaji Co Ceng-gay giginya terpapas seluruhnya.
Kini baru Co Ceng-gay merasakan kelihayan dari kekuatan
gabungan permainan pedang kedua muda-mudi ini. Dia tahu kalau
bertempur lebih lama lagi, mungkin seorang diri tak kuat
menghadapi Beng Hoa, apalagi dirinya dikeroyok dua" Maka tanpa
berani bertempur lagi, lekas dia mencawat ekor melarikan diri ke
tengah gerombolan pasukannya
Saat itu pasukan besar kerajaan bagai ular tanpa kepala, seperti
tikus-tikus yang lari bubar ketakutan menyelamatkan diri. Meski
berjumlah lebih banyak, tapi digencet dari sana sini, tanpa komando
lagi, mereka menjadi lebih kocar-kacir.
Ulise yang lolos dari cengkeraman iblis, segera menyongsong
maju, lama dia genggam tangan Beng Hoa. Setelah gejolak
perasaan reda, baru dia berkata, "Beng-toako, sekali lagi kau
menolong jiwaku. Ai, sungguh menyesal kenapa sejak mula aku
tidak mendengar nasihatmu, sepantasnya aku bahu n\embahu
dengan kalian melawan mereka."
Beng Hoa tertawa, katanya, "Kedatanganmu tepat pada
waktunya, kali ini bukan kau yang kutolong, tapi kau yang menolong
kami semua." Mendadak Kim Bik-ki berkata, "Beng-toako, coba lihat, bukankah
orang itu Cui Po-san?"
Cui Po-san tengah mengeprak kudanya lari turun dari lereng
gunung. Beberapa pengawalnya sedang mengayun cemetinya ke
kanan kiri mengusir dan menyingkirkan tentara kerajaan yang
melarikan diri di depan supaya mereka leluasa menyelamatkan diri
lebih dulu. Waktu itu hari sudah terang tanah. Ulise mendadak
sadar, serunya, "Hayolah jangan kita ngobrol saja, mari kita kejar
dan bekuk Cui Po-san."
Beng Hoa berkata, "Pertempuran di sana belum usai, barisan
musuh di sana lebih besar dan kuat, situasi mungkin masih bisa
berubah, lekaslah kau menerjang ke sana bergabung dengan Lohay
kelo." Ulise tahu bahwa pengetahuan dirinya kalah jauh dibanding Beng
Hoa, maka dia tunduk dan patuh akan pertunjuknya, katanya, "Baik,
kuserahkan sebarisan anak buahku untukmu, semoga kau berhasil
membekuk musuh." Bila mereka mengejar turun dan berada di kaki gunung, tampak
pa-dang rumput penuh sesak oleh tentara kerajaan, tanah bersalju
tampak bergolak oleh derap langkah kuda yang berlari simpang siur.
Yang celaka adalah tentara yang terinjak oleh kawan dan kuda.
Denting senjata yang saling bentur terbawa angin lalu. Ternyata
barisan lain dari tentara kerajaan juga sudah lari dan bergabung di
padang rumput. Pimpinan barisan, kepala pasukan sedang
berteriak-teriak mengendalikan anak buahnya supaya barisan tidak
bubar, tapi mereka seperti burung yang sudah ketakutan melihat
panah, dalam jumlah sekian banyak lagi, mana mampu
dikendalikan" Tapi karena jumlah pelarian tentara kerajaan terlalu
banyak, bukan soal mudah bagi Beng Hoa menemukan jejak Cui Posan
di tengah mereka. Dari bukit kejauhan sana, sayup-sayup terdengar bunyi
sangkakala, itulah tanda pasukan laskar gerilya ditarik mundur. Saat
mana mentari sudah merambat tinggi di angkasa, baru Beng Hoa
sadar sekarang mereka sudah tiga empatpuluh li meninggalkan
arena pertempuran semula. Beng Hoa takut barisannya yang
terpencil dan lepas dari induknya ini balas dikepung musuh, begitu
mendengar tanda penarikan mundur pasukan, segera dia menarik
balik barisannya. Bersama Kim Bik-ki dia menyelusuri jalan tembus yang lebih
pendek pulang lewat jalan gunung yang tembus ke Lo-wan-ciok itu.
Kira-kira belasan li kemudian, mendadak didengarnya di kejauhan
seperti ada suara orang. Beng Hoa pasang telinga, didengarnya seseorang berkata,
"Perempuan ini amat galak, jangan kau mengusiknya."
Seorang lagi berkata, "Biar galak tapi wajahnya ayu sekali. Dia
sudah terluka parah, tak usah kita melabraknya, dikejar lagi
beberapa kejap juga dia takkan kuat, pasti jatuh pingsan. Bila
perempuan ini dapat kubawa pulang, bukankah menyenangkan?"
Seorang lain berkata, "Enak saja kau berpikir, dikejar lagi lebih
jauh, mungkin terjebak dalam perangkap musuh."
Orang yang pertama tadi berkata, "Musuh sudah membunyikan
sangkakala menarik mundur pasukan, barisan mereka yang
terdepan juga tidak akan berkeliaran di sini, hayo-Iah kejar lagi
beberapa li." Mendengar percakapan orang-orang itu, Beng Hoa tahu bahwa
mereka adalah tentara kerajaan.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Bik-ki murka, katanya, "Tentara bangsat ini memang biadab,
baru saja melarikan diri berani mengganas terhadap perempuan
lemah." Bersama Beng Hoa segera mengejar ke sana.
Beng Hoa sebaliknya merasa curiga, pikirnya, "Orang-orang suku
Uigior tiada yang lari atau mengungsi ke arah sini. Dari pembicaraan
kawanan tentara itu, perempuan itu agaknya mahir berkelahi, kalau
tidak setelah, luka kenapa mereka cuma mengejar saja?"
Tengah mereka mencongklang kuda didengarnya suara
perempuan itu berteriak, "Baiklah, boleh kalian maju bersama, biar
aku adu jiwa. Tapi kalian harus membuka jalan untuk menghadap
Giam-lo-ong lebih dulu." Lalu terdengar dering beradunya senjata,
agaknya perempuan itu amat marah, dia putar balik melabrak
kawanan tentara yang mengejar dirinya.
Mendengar suara perempuan itu seperti sudah dikenal,
mendadak Beng Hoa berjingkrak kaget, teriaknya, "Celaka!" Lekas
dia mengembangkan ginkang Pat-poh-fean-sian, buru-buru dia
berlari ke sana hendak menolong gadis itu.
Tampak seorang gadis dengan rambut awut-awutan, langkahnya
seperti orang mabuk, dengan sengit dia melabrak tiga tentara
kerajaan. Gadis ini berpakaian putih, bajunya tampak berlepotan
darah di beberapa bagian, jelas lukanya tidak ringan.
Gadis ini bukan lain adalah Leng Ping-ji.
Sambil mengertak gigi, Leng Ping-ji menusuk dengan pedang, dia
tahu dirinya tak kuat bertahan lama, khawatir tusukannya tidak
mengenai sasaran, dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya.
Tentara yang tepat menerjang di depannya, tertusuk telak oleh
pedangnya. Tak nyana, terlalu bernafsu dia menggunakan tenaga,
ujung pedang yang menusuk pundak lawan tak kuasa ditariknya
keluar. Dua tentara yang lain semula kaget dan jeri, akhirnya mereka
berge-Iak tertawa kegirangan, katanya, "Haha, perempuan ini sudah
payah." Dari kejauhan mereka menyaksikan keadaan Leng Ping-ji
yang sudah kepayahan, mati hidup teman sendiri ternyata tidak
dipikirkan. Semula mereka mereka hendak lari, kini berubah hatinya,
perlahan mereka mendesak maju.
Kalau mereka segera angkat kaki mungkin masih selamat, tapi
karena kemaruk paras ayu dan mengira Leng Ping-ji dapat dibekuk
seperti mereka mencaplok bakpao, maka celakalah mereka.
Beng Hoa memburu datang laksana angin puyuh cepatnya.
Sambil lari seenaknya dia meraih sebutir batu, dalam jarak
tigapuluhan langkah dia mengayun tangan. Dia menimpuk topi baja
seorang tentara hingga pecah. Karuan orang yang lain terkejut,
sebelum dia sempat membalik dan melawan, cepat sekali Beng Hoa
sudah di depannya, di mana pedang bekerja batok kepalanya
terpenggal terbang ke udara.
Mendadak Leng Ping-ji menghardik, "Biar aku adu jiwa dengan
kau." Saat itu dia baru berhasil mencabut pedang, sekali tendang
dia bikin tentara yang tertusuk pedangnya terguling. Dengan jurus
Giok-li-toh-so pedangnya menusuk ke ulu hati Beng Hoa.
"Leng-cici," lekas Beng Hoa berteriak sambil berkelit, "aku adalah
Beng Hoa." Leng Ping-ji melengak, setelah melihat jelas yang berdiri di
depannya betul adalah Beng Hoa, mendadak airmata bercucuran,
teriaknya dengan suara serak, "Beng-toako, aku... aku bersalah
terhadapmu." Beng Hoa keheranan, sesaat dia melenggong, dia mengira Leng
Ping-ji terlalu lemah, pikiran kacau dan keruh, lekas dia membujuk,
"Leng-cici, jangan emosi, istirahatlah sebentar. Di sini sudah daerah
kita, tak perlu takut. Adik Ki, lekas kau tolong Leng-cici dan bubuhi
luka-lukanya dengan obat."
Cepat sekali Kim Bik-ki sudah memburu datang. Segera dia
mengeluarkan Kim-jong-yok, waktu dia hendak memeriksa luka-luka
Leng Ping-ji, mendadak Leng Ping-ji mendorongnya pergi, teriaknya
pula kepada Beng Hoa, "Beng-toako, aku berbuat salah
terhadapmu, adikmu, dia... dia...."
Terkejut daii heran Beng Hoa, tanyanya, "Apakah adikku juga
datang" Dia... dia kenapa?"
Leng Ping-ji masih tersengal, katanya gagap, "Dia ditangkap
tentara musuh yang kacau balau itu. Aku... aku bertemu dengan
keparat bejat itu...."
"Maksudmu kau bertemu dengan Toan Kiam-ceng?" tanya Beng
Hoa "Betul, keparat itu kena tusukan pedangku, sayang dia
melarikan diri. Tapi adik Yan, bukan ditangkap Oleh dia...."
"Siapakah yang menangkap adik Yan?" tanya Kim Bik-ki.
Dia tahu Nyo Yan adik Beng Hoa. Meski baru berusia empatbelas
tahun kepandaiannya sudah tidak lemah. Dia yakin jago biasa
takkan mampu menangkap dia, maka dia lukiskan wajah Co Cenggay
kepada Leng Ping-ji, tanya dia apakah orang itu yang
menangkapnya" "Aku tidak tahu," sahut Leng Ping-ji, "waktu itu aku sedang
melabrak bangsat itu, aku hanya mendengar teriakan adik Yan."
Ternyata waktu itu dia miengira Nyo Yan mampu menghadapi
beberapa tentara musuh yang melarikan diri, maka tidak banyak
menaruh perhatian, bagaimana bentuk dan tampang tentara itu
juga tidak dilihatnya Kim Bik-ki bertanya, "Di mana kejadiannya?"
Leng Ping-ji menggelengkan kepala, katanya lesu, "Aku tidak
tahu. Aku sudah lari hampir belasan li jauhnya" Saking lelah dan
kehabisan tenaga suaranya pun makin lirih seperti berbisik.
"Leng-cici, kejadian itu bukan salahmu, jangan kau menyesali
dirimu, rawatlah dulu luka-lukamu," demikian bujuk Beng Hoa.
"Masih banyak waktu untuk mencari Yan-te, kita pasti dapat
menemukan dia." Bibir Leng Ping-ji gemetar seperti hendak bicara, tapi suaranya
tidak keluar. Mendadak dia memejamkan mata, kepalanya pun
terkulai terus roboh dalam pelukan Kim Bik-ki.
Beng Hoa kaget, lekas dia memeriksa denyut nadi orang, sesaat
lamanya baru dia menghela napas lega Kim Bik-ki berkata, "Dia
kehabisan tenaga, berkhawatir lagi, akhirnya tak tahan dan jatuh
pingsan. Luka-lukanya memang tidak enteng, tapi juga tidak tertalu
mengkhawatirkan. Aku sudah memberinya Siau-hoan-tan, jiwanya
pasti dapat diselamatkan."
Lega hati Beng Hoa; tapi persoalan lain membuatnya khawatir
pul a, katanya hambar, "Adikku dibawa tentara kerajaan, bagaimana
baiknya?" "Tentara bubar dan tercerai berai, mereka sudah keluar dari
lembah gunung, meski kau punya kepandaian setinggi langit,
seorang diri juga takkan mampu menemukan dia. Tapi masih
untung bahwa adik Yan tidak terjatuh di tangan Toan Kiam-ceng."
"Memang apa bedanya?" kata Beng Hoa masgul.
"Besarbedanya," kata Kim Bik-ki. "Toan Kiam-ceng tahu asal-usul
adik Yan, tentara Kerajaan tiada yang tahu. Toan Kiam-ceng takkan
berani menghadap Cui Po-san. Kejadian ini jelas secara kebetulan
saja, tiada sangkut pautnya dengan pasukan yang kocar kacir itu.
Dia jatuh di tangan musuh yang tidak tahu asal-usulnya,
kemungkinan hanya ditawan sebagai tawanan biasa saja." Bukan
Bik-ki tidak menduga bahwa orang yang bisa menangkap Nyo Yan
pasti bukan orang sembarang-an, namun terpaksa dia harus
menghibur dan melegakan hati Beng Hoa Bukan Beng Hoa tidak
tahu maksudnya, tapi mengingat apa yang dikatakan memang
beralasan, jikalau adiknya betul tidak jatuh di tangan Toan Kiamceng,
pihak musuh pasti tidak tahu asal-usul adiknya dan dijadikan
sandera untuk mengancam ayahnya
Kim Bik-ki berkata, "Yang penting sekarang kau lekas pulang
melaporkan kejadian ini kepada ayah, serahkan Leng-cici
kepadaku." Kejadian sudah berkembang sejauh ini, terpaksa Beng Hoa
menuruti usul Kim Bik-ki. Setelah dia pulang dan berada di markas,
sudah bertemu dan berhadapan dengan ayahnya tapi belum ada
kesempatan membicarakan hal ini kepadanya.
Di dalam kemah Lohay, Beng Goan-cau sedang memimpin rapat
pimpinan. Di samping menilai hasil pertempuran sekaligus mengenal
keadaan musuh lalu merancang taktik perang selanjurnya
Terakhir Lohay memberi laporan dengan wajah cerah, "Walau
perang kali ini kita tidak berhasil menyapu habis musuh, namun,
boleh dikata mencapai kemenangan gilang gemilang. Musuh
kehilangan tigapuluh duaribu tentara lebih, termasuk yang kita
tawan ada tujuhribu lebih. Sementara saudara seperjuangan kita
yang gugur dan terluka belum ada tigaribu, perbandingannya adalah
satu lawan sepuluh."
Sementara itu penyelidik telah pulang memberi laporan keadaan
musuh. Cui Po-san sudah menggabungkan dua pasukannya yang
kocar-kacir, mereka mundur ke sebuah kaki gunung yang
dinamakan Coat-liong-nia, di sana mendirikan pangkalan.
"Tentara kerajaan sedang menebang pohon membangun
benteng dan markas, agaknya Coat-liong-nia akan mereka jadikan
markas jangka panjang," demikian laporan penyelidik itu.
Sementara berbagai keadaan dan berita diperoleh juga dari
mulut pencari berita, demikian pula tentang asal-usul Co Ceng-gay
yang baru diangkat menjadi wakil komandan Gi-lim-kun dan apa
kedudukannya dalam pasukan Cui Po-san.
Lohay berkata, "Perwira anjing she Co ini jahat, kalau bukan dia
yang merusak rencana kita, Cui Po-san pasti hancur lebur bersama
pasukan besarnya." Santala berkata, "Tapi kekalahan besar mereka cukup membuat-
Cui Po-san ketakutan, Co Ceng-gay itu juga dilabrak Beng-toako,
hampir saja jiwanya melayang."
Beng Hoa berkata, "Semua itu atas jasa Ulise."
Ulise sudah mendapat pujian orang banyak, kini disinggung Beng
Hoa, jadi rikuh malah, katanya, "Kurasa jasa Beng-toako justru yang
paling besar, kalau bukan dia yang menolong aku, mana bisa aku
sekarang berbicara di sini." Lalu dia menceritakan bagaimana Beng
Hoa menolong dirinya melabrak Co Ceng-gay.
Dengan tersenyum Beng Goan-cau berkata, "Soal pahala boleh
dibicarakan kelak. Sekarang kita harus mencari jalan keluar,
bagaimana, menghadapi musuh. Hoa-ji, katanya kau mengejar Cui
Po-san, keberanianmu memang patut dipuji, namun dengan
kekuatanmu yang kecil menerobos barisan musuh sebanyak itu,
justru melanggar tata tertib dan larangan militer..Selanjutnya,
kecuali menerima tugas atau perintah, tidak boleh diulang kesalahan
ini." Beng Hoa mengiakan. Beng Goan-cau berkata pula, "Kenapa baru sekarang kau
kembali?" "Karena tak berhasil membekuk Cui Po-san, aku pulang berputar
dari jalan gunung di pinggir Lo-wan-ciok"
"Bagaimana keadaan pasukan musuh yang bubar itu" Apakah
saling injak dan tumbuk seperti serigala berebut mangsa" Barisan
belakang tetap rapi dan berdisiplin?"
Beng Hoa melaporkan apa yang dilihatnya di dalam sidang, tapi
tentang adiknya ditawan musuh tidak dia bicarakan mengingat
sidang militer ini amat penting, kepentingan pribadi dia
kesampingkan. Sidang diliputi suasana gembira, semua berpendapat pasukan
kerajaan umpama ikan dalam jaring, meski Co Ceng-gay
berkepandaian setinggi langit juga takkan mampu mengubah
situasi, untuk mengganyang habis musuh tinggal menunggu waktu
saja. Hanya Beng Goan-cau yang tetap bersikap tenang dan wajar,
katanya, "Walau musuh banyak yang terbunuh, menurut dugaan
kecuali yang sudah melarikan diri, sedikitnya masih ada limaratus
ribu, dibanding kekuatan kita masih jauh lebih besar."
Santala tertawa, katanya menggunakan peribahasa suku Uigior,
"Seratus burung gagak tetap bukan tandingan burung rajawali,
banyak tentara tapi tak mampu berperang, apa faedahnya" Dahulu
kekuatan mereka berlipat ganda, kapan kita pernah gentar" Apalagi
perbandingan kita sekarang tidak terpaut jauh, apa pula yang harus
ditakuti" Panji kebesaran pasukan kerajaan menggunakan naga
sebagai lambang, kini mereka justru terkurung di dalam Coat-liongnia,
bukankah sudah masuk jaring sendiri. Hehehe, bila kita
menggempurnya, naga yang sudah kehilangan cakar ini dapat kita
bekuk di Coat-liong-nia itu."
Banyolan Santala ini mendapat sorak-sorai hadirin.
Beng Goan-cau justru bicara dengan serius, "Keadaan Coat-liongnia
mudah bertahan sukar digempur, kekuatan tenaga dan
perbekalan perang kita jelas bukan tandingan musuh, bila mau
menggempur, umpama berhasil mengganyang habis musuh, korban
di pihak kita pasti amat besar. Cui Po-san mahir taktik perang,
dibantu Co Ceng-gay lagi, jangan kita meremehkan mereka."
Lohay berkata, "Apa yang diuraikan Beng tayhiap memang betul,
memandang rendah musuh adalah pantangan terbesar dalam
peperangan. Kita dengan jumlah yang sedikit dapat mengalahkan
musuh yang banyak, pihak lemah menundukkan yang besar dan
kuat, maka kita pantang bertempur kalau kita sendiri tidak yakin
dapat mengalahkan musuh."
"Lalu bagaimana menurut pendapat Beng tayhiap?" tanya
Santala. "Bagaimana peperangan ini dilanjutkan?"
"Menurut perhitungan, ransum pasukan musuh hanya akan
bertahan sepuluh hari atau setengah bulan, dalam setengah bulan
kita hanya mengepung dan jangan menggempur. Bila ransum habis
tenaga lemah, tanpa bertempur juga kita dapat mengalahkan
musuh. Kita kerahkan dulu pasukan menduduki Eng-jiau-kiap dan
Hou-lau-kang, supaya musuh tidak dapat melarikan diri, terpaksa
mereka akan bertahan di tempat yang tertutup. Dalam setengah
bulan itu, bila musuh keluar menyerang, kita hanya boleh bertahan
dan berusaha memukul mereka mundur kembali. Terhadap tawanan
kita harus memberikan pelayanan yang baik. Mereka yang mau
pulang ke kampung halaman diberi pesangon selayaknya, yang rela
berjuang dengan kita berikan senjata yang diinginkan, percayalah
kepada mereka, biar mereka ikut berjuang bersama kita. Dengan
bertambahnya kekuatan, keadaan kita akan lebih mantap."
Mendengar betapa rapi dan sempurna rencana Berig Goan-cau,
hadirin kagum dan tunduk lahir batin, semua sepakat dan seia
sekata, sampai di situ rapat berakhir. Setelah rapat usai dan kembali
ke kemahnya sendiri, baru Beng Hoa sempat melaporkah musibah
yang menimpa adiknya kepada sang ayah.
Lama Beng Goan-cau terpekur, katanya kemudian, "Saat ini kita
harus memusatkan segala tenaga dan pikiran untuk kemenangan
perang ini. Supaya tidak mematahkan semangat juang kita,
peristiwa anak Yan sementara boleh dikesampingkan dulu."
Beng Hoa berkata, "Bagaimana kalau aku bersama adik Ki
menyelidiki ke markas musuh" Bila beruntung mungkin kami dapat
mengajaknya pulang."
Beng Goan-cau menghela napas, katanya, "Aku sayang anak Yan
seperti aku sayang kepada kau, aku pun ingin dapat menemukan
dia secepatnya. Tapi jangan kita mengabaikan kepentingan umum
lalu mengutamakan kepentingan pribadi. Apalagi caramu yang
menempuh bahaya itu, betapapun tidak boleh dilakukan. Tempo
hari kalian pergi bersama suhu-mu dan dibantu Kwi-hwe-thio,
terpaksa kami harus mengerahkan seluruh kekuatan baru berhasil


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan kalian. Sekarang kita sudah memutuskan hanya
mengepung mereka tanpa menggempurnya, bagaimanapun aku
tidak mengijinkan kau berbuat bodoh."
Beng Hoa tetap membandel, "Kami tidak membutuhkan bantuan
ayah dengan kekuatan tentara, bila mengalami musibah, kami
berdua yang akan bertanggung jawab."
Beng Goan-cau menggelengkan kepala, "Ucapanmu amat keliru,"
katanya. "Rencana sudah diputuskan, kita tidak boleh beraksi secara
sepihak tanpa memikirkan kepentingan bersama. Bila perang sudah
mulai, bukan mustahil tenaga kalian amat diperlukan dalam tugas
penting lainnya, kenapa kau berani bilang aksi kalian tidak akan
mempengaruhi kepentingan umum?"
Beng Hoa menunduk dan tak berani berdebat lagi setelah diberi
nasihat oleh sang ayah. Mengepung atau memblokade pasukan besar musuh di Coatliong-
nia tanpa mengusik mereka ternyata berhasil dengan baik.
Setengah bulan kemudian, tidak sedikit tentara kerajaan yang
melarikan diri, dari mulut mereka dapat diketahui bahwa ransum
sudah habis dimakan, kuda pun tidak luput menjadi isi perut.
Tawanan diperlakukan dengan baik, kebijaksanaan laskar gerilya
mendapat simpati para tawanan, berita ini semakin tersiar luas ke
dalam maupun ke luar. Di pihak lain, sebagai pengawas atau penasihat militer, Co Cenggay
menggunakan kekuasaannya melakukan pengawasan ketat
kepada tentaranya. Dia memiliki sebarisan pasukan pribadi yang dia
bawa dari kota raja. Barisan seribu orang ini dinamakan Liong-kiping
(Pasukan Naga). Anggota Gi-lim-kun kebanyakan adalah
anggota militer, demikian pula anggota cabang Gi-lim-kun yang
memiliki daya tempur lebih kuat dan serba ahli di medan laga.
Seribu anggota Liong-ki-ping ini diperintahkan menjaga tentara yang
berusaha melarikan diri, yang tertangkap dipenggal kepalanya di
depan umum. Dengan kedisiplinan yang keras begini, memang arus
pelarian tentara kerajaan makin berkurang. Tapi betapapun kejam
tindakan hukum, tentara yang sudah kelaparan itu tetap nekad
melarikan diri. Perbandingan semakin jelas dan menyolok, antara semangat
tempur pasukan gerilya dengan tentara kerajaan yang sudah patah
semangat, lemah dan loyo. Banyak pimpinan laskar gerilya
mengusulkan mengadakan serbuan besar, tapi Beng Goan-cau tetap
tidak mau memberi perintah. Di kala orang banyak sudah berwajah
cerah membayangkan kemenangan sudah di ambang mata, Beng
Goan-cau justru berwajah suram, khawatir seperti ada ganjalan hati,
rambut uban di atas kepalanya juga sehari demi sehari tambah
banyak. Hari itu Beng Hoa pulang dari dinas luar, membawa pulang
beberapa tentara musuh yang melarikan diri. Setelah dia
menyerahkan kepada pihak yang mengurus para tawanan, segera
dia memberi laporan kepada sang ayah tentang keadaan musuh.
Mendadak Beng Goan-cau berkata, "Hoa-ji, sekarang aku
memberi ijin kepadamu."
Beng Hoa kaget dan girang, serunya, "Ayah, maksudmu kau
memberi ijin kepada kami untuk menyelundup ke tengah pasukan
musuh mencari adik?"
"Bukan untuk mencari adikmu," tukas Beng Goan-cau.
"Tugas kami membunuh Cui Po-san?" tanya Beng Hoa.
"Juga bukan," sahut Beng Goan-cau.
"Lalu untuk apa?" tanya Beng Hoa kesal.
"Karena aku tidak ingin bentrok terakhir terjadi dengan pihak
kerajaan." Beng Hoa tertegun, katanya, "Ransum musuh habis, semangat
tempur luluh, tenaga pun lemah, bukankah kesempatan baik untuk
kita menggempur mereka" Kenapa ayah justru tidak ingin
menggempurnya?" "Justru karena keadaan musuh yang sudah payah, bila kita
menggempur, korban yang jatuh tentu amat banyak. Walau mereka
pasukan kerajaan, tapi sembilan di antara sepuluh adalah bangsa
Han kita sendiri." Beng Hoa paham maksud ayahnya, sadar pula kenapa beberapa
hari ini ayahnya tampak risau dan gelisah, katanya, "Jadi ayah
mengharap Cui Po-san menyerah tanpa berperang?"
"Betul, sekarang dia sudah terkepung. Menilai situasi yang sudah
begitu buruk, saat yang paling baik bagi kita untuk membujuknya.
Tapi dia di bawah pengawasan Co Ceng-gay, tanpa mendapat
bantuan dari luar, kukira dia tidak akan berani mengambil
keputusan." "Baiklah, biar aku yang membantu dia menghadapi Co Cenggay."
"Persoalan ini penting artinya bagi kita, kau tidak boleh
sembrono. Bagaimana kau harus membujuk dan menyudutkan
musuh supaya menyerah, caranya sudah kupikirkan, kau tinggal
melaksanakan saja." Lebih lanjut dia menjelaskan rencananya,
"Pertama, kau harus menemui dulu kepala barisan pengawalnya, Cui
It-lun. Hari itu dia lebih rela diri sendiri terluka daripada
mengorbankan anak buahnya, itu berarti dia sudah tidak ingin
bermusuhan dengan kita. Dari sini dapat kita nilai pula bahwa
pendapatnya sudah berubah. Pikiran semula menerima gaji
junjungan bertanggung jawab akan keselamatan, tidak tertanam
lagi dalam benaknya. Kau boleh membujuknya dengan kenyataan di
depan mata, aku yakin kau dapat menunaikan tugasmu ini dengan
baik. Baru setelah itu kau berusaha menemui Cui Po-san serta
membujuknya supaya menyerah."
Dengan membekal rencana yang bagus ini, malam itu juga Beng
Hoa berangkat bersama Kim Bik-ki.
Saat itu Cui Po-san sedang berada dalam kemahnya. Malam
sudah larut, tapi dia tida bisa tidur, mondar-mandir di dalam kemah
dengan hati gundah dan risau.
Mendadak seorang memanggil, "Toasay," sembari melangkah
masuk ke dalam kemahnya. Cui Po-san berjingkrak kaget, tapi
melihat yang masuk adalah kepala barisan pengawalnya " Cui Itlun,
lega hatinya. Katanya, "Kenapa kau tergopoh-gopoh menerobos
masuk tanpa tata krama semestinya, kukira Co Ceng-gay yang
datang. Ada kejadian apa?" Beberapa hari ini dia mengkhawatirkan
situasi yang makin memburuk dan tak bisa mencari jalan keluar
sehingga makan tidur tidak tenang, seperti burung yang selalu waswas
takut kena panah. "Tiada urusan penting, aku cuma memberi tahu, kuda perang
yang ada sudah habis dijagai, kuda tunggangan toasay pun ingin
mereka jagal pula." "Apa boleh buat, serahkan saja," ujar Cui Po-san.
"Tapi puluhan ribu tentara, seekor kuda mana cukup untuk
makan mereka. Besok juga mereka siap makan kulit pohon dan akar
rumput. Para saudara mendesak aku supaya mengajukan usul
kepada toasay, apakah toasay tega melihat puluhan ribu orang kita
mati kelaparan?" Cui Po-san menjadi jengkel, katanya, "Co Ceng-gay memaksa
aku, kini kalian juga mendesak aku, aku sendiri sudah kehabisan
akal, tak tahu apa yang harus kulakukan."
Cui it-lun' bertanya, "Bagaimana maksud Co-tayjin?"
"Dia memberi saran, demi hidup cara apa pun boleh dihalalkan,
tapi ai...." "Bagaimana cara yang diusulkan Co-tayjin" Sudikah toasay
menjelaskan kepada aku yang rendah?"
"Boleh, coba kau ikut memberi saran dan pendapat. Co Ceng-gay
mengusulkan supayakita mengerahkan seluruh kekuatan menjebol
kepungan, meski banyak jatuh korban juga tidak peduli asal dapat
meloloskan diri." Cui It-lun amat kaget, katanya, "Semua sudah kelaparan tak
punya tenaga, mana mampu mengangkat senjata" Bukankah hanya
bunuh diri belaka" Celakanya pasukan kita yang dikorbankan
percuma." "Dia bilang inilah cara mengorbankan jiwa orang demi
keselamatan sendiri. Pasukan sudah kelaparan, pikiran keruh,
tindakan pun kejam, bukan mustahil bila mereka nekad bertempur,
rencananya akan berhasil."
"Teori memang demikian, tapi tenaga dan kekuatan kan harus
dipertimbangkan. Dia suruh bocah cilik memikul air segentong,
umpama tertindih gepeng juga takkan kuat menggotong. Letak
Coat-liong-nia memang strategis untuk bertahan, jikalau kita
pertahankan kedudukan, mungkin masih kuat beberapa hari lagi.
Tapi kalau ingin menjebol kepungan, empat penjuru gunung dijaga
dan dipasang perangkap musuh, kukira sebelum kita keluar dari
mulut gunung, seluruh pasukan sudah tertumpas habis. Langkah
berbahaya dan merugikan ini tak boleh dilaksanakan."
"Situasi yang kau gambarkan kutahu jelas, tapi Co Ceng-gay juga
bilang, ini dinamakan selama gunung tetap menghijau jangan
khawatir kehabisan kayu bakar. Liong-ki-ping yang dia pimpin masih
kuat berperang, sementara pasukan infanteri yang sudah kelaparan
itu menjadi pelopor pembuka jalan, berapa banyak musuh bisa
dirobohkan tak usah peduli, yang pasti di tengah pertempuran kalut
itu dia berjanji pasti dapat melindungi aku menjebol kepungan. Dia
juga bilang umpama seluruh pasukan kerajaan tertumpas habis, dia
tetap yakin dapat menolong aku dan selamat dari renggutan elmaut.
Bila tiba saatnya kau pun harus selalu berada di sampingku...."
"Umpama toasay dapat meloloskan diri, demikian pula aku. Kita
berdua selamat, tapi aku akan menyesal selama hidup, kasihan
puluhan ribu pasukan kita." Cui Po-san menunduk diam. Cui It-lun
berkata lebih jauh, "Dan lagi, seluruh pasukan kita hancur hanya
kau seorang yang meloloskan diri, apa tindakan kerajaan
terhadapmu" Aku yakin kau tidak akan dipuji setia terhadap
kerajaan, tapi dijatuhi hukuman berat karena meninggalkan
pasukan." Pucat muka Cui Po-san, sikapnya tampak lemas, katanya, "Ya, itu
bisa diduga." "Maaf kalau aku berterus terang. Tadi dikatakan selama gunung
tetap menghijau tidak perlu takut kehabisan kayu bakar, benar,
yang tidak akan kehabisan kayu bakar hanya Co-ciangkun seorang,
tapi bukan kau tpasay."
Lama Cui Po-san termenung, sesaat kemudian baru bersuara,
"Lalu menurut pendapatmu, bagaimana baiknya?"
"Toasay," ucap Cui It-lun hati-hati, "ada sepatah kata ingin
kukatakan, entah diijinkan tidak?"
"Kau adalah keponakanku sendiri, pengawal pribadiku lagi, ada
pendapat apa boleh kau kemukakan."
"Baiklah, meski aku dijatuhi hukuman mati, juga berani
kuutarakan pendapatku. Kurasa perang ini tidak perlu dilanjutkan."
Cui Po-san berjingkat, katanya, "Maksudmu kita... kita...."
Agaknya berat dia mengucap "menyerah kepada mereka."
"Betul," ucap Cui It-lun tegas. "Malah mereka sudah mengutus
utusan kemari, putera Beng Goan-cau sudah berada di sini."
Cui Po-san lebih terkejut lagi, walau sekuatnya dia menahan
gejolak perasaannya, suaranya ternyata gemetar namun nadanya
lebih tinggi. "Apa" Putera Beng Goan-cau sudah berada di sini?"
"Toasay, apa kau ingin bertemu dengan dia?" tanya Cui It-lun.
Ruwet pikiran Cui Po-san, sesaat dia kebingungan. Cui It-lun tahu
dan pandai melihat gelagat. Dari sikapnya dia tahu Cui Po-san sudah
goyah pendiriannya. Khawatir kalau urusan berlarut bisa timbul
perubahan yang tidak diinginkan, maka dia berpikir, "Agaknya aku
harus mendorong dan menyudutkan dia supaya terpaksa menerinla
usulku." Maka tanpa menunggu jawaban, perlahan dia bersiul dua
kali. Pada saat itulah, seseorang menyingkap tenda menerobos
masuk. Cui It-lun sedang berpikir, "Masa begini cepat dia kemari?"
Untung dia tidak sempat menyebut nama Beng Hoa Waktu dia
menoleh dan melihat jelas orang yang masuk, seketika dia berdiri
melongo. Orang yang menerobos masuk ke dalam kemah bukan Beng Hoa
tapi Co Ceng-gay malah. Wajah Co Ceng-gay menampilkan rasa heran dan tidak mengerti,
katanya dingin, "Cui-ciangkun, kudengar kau seperti menyebut
nama Beng Goan-cau, Beng Goan-cau kenapa?"
Waktu Cui Po-san menyebut nama Beng Goan-cau tadi suaranya
lebih keras, nadanya lebih tinggi, maka Co Ceng-gay yang masih di
luar mendengarnya. Betapapun Cui Po-san adalah pangl ima besar yang sudah
kenyang berperang, walau hatinya bingung, sikapnya masih
kelihatan tenang. Sengaja dia menghela napas, katanya, "Beng
Goan-cau sebetulnya memang lawanku sejak lama, waktu di Siaukim-
jwan dia pernah kukalahkan. Kali ini salahku sendiri terlalu
memandang remeh kepadanya, kali ini dia bisa menepuk dada dan
memperoleh kemenangan."
"O, jadi kalian sedang mencaci maki Beng Goan-cau," ujar Co
Ceng-gay. Cui Po-san hanya tertawa getir. Setelah orang tertawa dingin,
sikap Co Ceng-gay malah kaku, katanya ketus, "Apa gunanya
mencaci orang di belakangnya" Kita kan pantang menyerah, apalagi
menunggu ajal di sini. Cui-ciangkun, aku datang mohon kau segera
mengeluarkan perintah/"
"Perintah" Perintah apa?" tanya Cui Po-san.
"Seluruh kekuatan dikerahkan menjebol kepungan," desak Co
Ceng-gay. "Pasukanku sudah kelaparan, jangan kata mengangkat senjata,
berjalan pun sudah loyo, tak mampu mereka berperang."
"Selama masih bernapas, mereka tetap harus berjuang demi
kepentingan baginda."
Mendadak Cui It-lun menyela, "Co-ciangkun, seribu Liong-ki-ping
yang kau bawa itu, apakah mereka juga siap menjual jiwanya?"
Co Ceng-hay melotot, serunya, "Apa maksud perkataanmu?"
Cui It-lun berkata, "Makanan yang dimakan Liong-ki-ping
biasanya lebih baik dari tentara biasa. Liong-ki-ping juga paling
mahir berperang. Jikalau kalian mau menjadi pelopor barisan, kami
pasti mengikuti jejak kalian menjebol kepungan. Akan tetapi jikalau
Liong-ki-ping kalian tidak mau maju lebih dulu, maaf, kami tidak
bisa menerima usulmu."
Co Ceng-gay melenggong, bentaknya, "Cui It-lun, jadi kau sudah
tahu akan hal itu" Siapa yang melakukan tentu kau juga sudah
punya bukti?" "Ada kejadian apa?" tanya Cui It-lun bingung.
"Kau pura-pura atau memang tidak tahu. Kalau tidak tahu
kenapa kau curiga bahwa Liong-ki-ping yang kupimpin takkan bisa
berperang lagi?" Perlu diketahui seribu Liong-ki-ping yang dipimpinnya itu bisa
mendapat fasilitas yang melebihi keperluan tentara lain, di kala
tentara lain mulai makan kulit pohon dan akar rumput, mereka
masih bisa makan bubur dan daging kuda. Tapi entah kenapa,
malam itu setelah mereka makan malam, delapan di antara sepuluh
orang setiap kelompok mengeluh perut sakit dan tumpah-tumpah,
badan lemah. Jangan kata berjalan, berdiri pun tidak bisa. Mereka
yang tidak jatuh sakit juga loyo dan patah semangat.
"Ada kejadian apa, aku betul-betul tidak tahu," kata Cui It-lun.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebetulnya pasukan Liong-ki-ping segar bugar, tidak apa-apa,
kenapa mendadak perut sakit, muntah-muntah" Pasti ada matamata
musuh yang mencelakai mereka."
Cui It-lun menjengek, "Agaknya Co-tayjin curiga bahwa akulah
mata-mata musuh?" "Apa betul ada kejadian ini?" tukas Cui Po-san. "Kejadian itu
harus diselidiki." Padahal dalam hati dia mengucap syukur dan
semoga Liong-ki-pihg semuanya mampus saja.
"Siapa mata-mata yang menaruh racun dalam makanan nanti
boleh diselidiki, lebih penting sekarang kita menjebol kepungan
musuh," seru Co Ceng-gay.
Cui Po-san berkata, "Liong-ki-ping sudah tak mampu berperang,
mana mungkin kita mampu menjebol kepungan?"
"Kau masih punya limapuluh ribu tentara, umpama mereka tak
kuat berperang juga bisa dijadikan dinding manusia untuk
melindungi kau dan kita sekalian meloloskan diri. Cui-ciangkun, kau
sudah kenyang berperang, menghadapi situasi sekritis ini, kenapa
kau berpikir pendek, memangnya kau tidak bisa memperhitungkan
untung ruginya?" "Maaf, otakku sekarang jadi tumpul, entah bagaimana pendapat
dan akal Co-ciangkun?"
"Mata-mata itu jelas utusan musuh untuk melumpuhkan Liong-kiping
yang kupimpin, mungkin malam ini mereka akan menggencet
dari luar dan dalam. Daripada kita menunggu serbuan musuh,
kenapa kita tidak menerjang keluar lebih dulu?"
"Maaf, sebagai seorang panglima perang aku yang bertanggung
jawab, aku tidak bisa mengorbankan limapuluh ribu tentaraku yang
sudah kelaparan, apalagi hanya untuk keselamatanku seorang."
"Tapi tigaribu pasukan pribadimu itu kan masih kuat bertempur?"
tanya Co Ceng-gay. "Bisa tidak mereka bertempur, silakan kau menanyakannya
kepada Cui It-lun, mereka berada di bawah pimpinannya," demikian
kata Cui Po-san. Cui It-lun berkata dingin, "Baiklah, biar kubicara terus terang
kepada tayjin. Pertama, mereka sudah tidak bisa mengangkat
senjata. Kedua, mereka' sudah patah semangat tidak mau
berperang. Co-tayjin, kau ingin selamat mau melarikan diri, boleh
silakan kau berusaha sendiri, aku akan sehidup semati dengan anak
buahku." Terhadap Cui Po-san yang masih lebih tinggi pangkat dan
kedudukannya, Co Ceng-gay tidak mengumbar amarah, tapi
terhadap Cui It-lun dia membentak, "Cui It-lun, sikapmu
mencurigakan." "Tapi hari itu dia terluka oleh bidikan panah musuh," Cui Po-san
membela. "Menyinggung kejadian itu aku lebih merasa heran," ucap Co
Ceng-gay. "Cui-ciangkun, urusan dinas harus diselesaikan secara
dinas. Hari ini aku harus bertanya dan minta keterangan dari kepala
barisan pengawal pribadimu ini."
"Oh, boleh, silakan kau menanyakan kepadaku dulu," jawab Cui
Po-san. Co Ceng-gay melengak, mendadak dia membentak, "Bagus,
agaknya kalian sudah sepakat hendak memberontak?" Sembari
membentak, tangannya terpentang. Satu tangan mencengkeram Cui
Po-san, tangan yang lain menangkap Cui It-lun.
Pada saat gawat itu, mendadak seseorang menjengek dingin,
"Betul, kami hendak memberontak, kau mau apa?" Belum habis
suaranya, orangnya pun tiba. Yang datang adalah Beng Hoa Pedang
Beng Hoa sudah mengancam punggungnya. Karuan Co Ceng-gay
terkejut bukan kepalang, jiwa sendiri lebih penting, mana sempat
dia mencelakai orang lain"
Terdengar suara sobek yang keras, kain tenda yang terbuat dari
kain terpal ternyata dijambret sobek oleh Tay-lik-eng-jiau-kang Co
Ceng-gay. Sigap sekali dia sudah menerobos ke luar. Tapi baru
beberapa langkah dia meninggalkan kemah, belum sempat berdiri
tegak, rasa terkejut juga belum hilang, sinar berkilau dingin yang
menyilaukan mata tahu-tahu menyambar tiba disertai hardikan
nyaring, "Kalau kau berani menjual jiwa bagi raja lalimmu, kenapa
ingin melarikan diri?" Penyergap ini adalah Kim Bik-ki yang datang
bersama Beng Hoa Kepandaian Co Ceng-gay memang cukup hebat, meski jiwa
terancam dia tidak gugup. Sambil menggunakan Ih-pou-hoan-ling
dia memiringkan tubuh melepaskan diri dari tusukan pedang Kim
Bik-ki. Sigap sekali golok dan pedangnya sudah berada di
tangannya. Bentaknya, "Keparat, kau budak busuk ini juga berani
menghina aku, biar aku adu jiwa dengan kalian." Sembari bicara
senjata bekerja. Golok berputar miring, pedang melingkar tegak
lurus membacok seperti golok. Dia pikir sejurus juga dapat
mengalahkan musuh, Kim Bik-ki akan dia bekuk dan dijadikan
sandera untuk mengancam Beng Hoa.
Permainan golok dan pedang Co Ceng-gay yang saling
berlawanan ini sebetulnya merupakan kepandaian tunggal di Bulim.
Kalau Kim Bik-ki pertama kali ini bergebrak dengan dia, mungkin
dengan mudah dikalahkan, sedikitnya dia tidak mampu melayani
permainan lawan. Untung bersama Beng Hoa dia sudah pemah
melabrak Co Ceng-gay, setelah pulang mereka berdiskusi. Sedikit
banyak sudah berhasil menyelami intisari permainan lawan yang
lihay ini. Walau Kim Bik-ki masih bukan tandingannya, tapi dalam
waktu singkat tak mungkin dia dikalahkan apalagi dibekuk.
Tapi jurus serangan itu merupakan permainan mendesak musuh
untuk menolong diri, lihaynya luar biasa. "Trang" golok dan pedang
beradu, memercikkan kembang api. Pedang Kim Bik-ki memang
bergerak lincah dan tangkas, isi kosong susah diraba dan bisa
dimainkan sesuka hati, tapi benturan itu menyebabkan telapak
tangannya pedas kesemutan, pedang hampir tak kuat dipegangnya
lagi. Co Ceng-gay sudah menggunakan Ban-liong-pou, langkahnya
berkisar hendak melanjutkan serangan yang mematikan tapi cepat
sekali Beng Hoa sudah menerobos keluar dari lubang tenda, ujung
pedangnya kembali mengancam ulu hati.
Cepat sekali permainan sepasang pedang sudah bergabung.
Betapapun tinggi kepandaian Co Ceng-gay jelas dia takkan mampu
meloloskan diri lagi. Sementara itu di bagian luar terjadi keributan, banyak orang
berlari mendatangi. Barisan pengawal Cui Po-san bergerak cepat.
Sepasang pedang Beng Hoa dan Kim Bik-ki sudah terlanjur
bergabung, mereka sudah menyelami permainan senjata Co Cenggay.
Co Ceng-gay sendiri juga insyaf situasi tidak menguntungkan
dirinya. Cui Po-san sudah memberontak dan mau menyerah kepada
musuh. Berapa pun tinggi kungfunya, betapa tebal ketenangannya
tak urung dia gugup dan takut.
Beberapa jurus saja teridengar suara "sreet, sreet", dua kali
pedang Beng Hoa menusuk tembus tulang pundak kiri Co Ceng-gay,
demikian pula pedang Kim Bik-ki menusuk tembus tulang pundak
kanannya. Dua tulang pundaknya tertusuk dan patah, betapapun tinggi
kungfunya juga tidak berguna lagi.
Beng Hoa menjambak rambut Co Ceng-gay, bentaknya, "Urusan
dinas tak perlu kubicarakan dengan kau, sekarang kau jawab
pertanyaanku, di mana kau sembunyikan adikku. Lekas serahkan,
mungkin aku bisa mengampuni jiwamu."
Co Ceng-gay menjengek dingin, "Jangan kata aku tidak tahu,
umpama tahu juga tidak akan kuberi tahu kepadamu." Di tengah
seringainya yang sadis, darah tampak meleleh dari ujung mulutnya.
Habis bicara, orangnya pun terkulai roboh binasa. Agaknya dia tahu
setelah kungfunya dipunahkan, hidup juga tidak berguna. Ketika
dirinya masih mampu mengerahkan hawa mumi terakhir, dia
memutuskan urat nadi sendiri hingga jiwa melayang.
Lekas sekali para kepala barisan pengawal Cui Po-san sudah
memburu tiba. Mereka merubung maju, semua heran dan tak habis
mengerti, seperti berlomba mereka bertanya, "Toasay, apa yang
terjadi?" Cui Po-san sudah mengambil keputusan, sikapnya ternyata lebih
tenang, katanya, "Tidak apa-apa. Yang terang perang ini kupikir
sudah tak usah dilanjutkan. Bagaimana pendapat kalian?"
Pertanyannya mendapat sambutan gegap gempita, semua
hadirin menurut saja apa kehendak dan perintah panglima mereka.
Suasana gembira meliputi padang rumput, dendang lagu gembira
terdengar di mana-mana. Suasana gembira setelah perang usai jauh
lebih ramai dibanding perayaan Jagal Kambing.
Satu hal harus disayangkan, Beng Hoa tidak berhasil menemukan
adiknya. Semula Beng Hoa menduga, perwira yang menangkap
adiknya adalah Co Ceng-gay. Tapi Cui Po-san dan Cui It-lun bilang
tidak tahu menahu tentang kejadian itu. Dinilai keadaan waktu itu,
bila betul Co Ceng-gay membekuk Nyo Yan ke dalam markas,
betapapun dia bertindak secara rahasia juga takkan mampu
mengelabui kedua orang ini.
Setelah keadaan tenang dan tenteram, Cui Po-san juga
membantu Beng Hoa memeriksa seluruh barisan anak buahnya, tapi
jejak Nyo Yan tetap tidak diketemukan.
Perang di Sinkiang sudah usai, Beng Goan-cau tak bisa tinggal
lebih lama di sini. Meski puteranya belum ketemu, dia harus pulang
bersama laskar gerilya yang dipimpinnya.
Beng Hoa minta ijin gurunya, dia bersama Kim Bik-ki tetap
tinggal di Sinkiang, sepanjang ada kesempatan mereka akan terus
mencari jejak adiknya. Luka-luka Leng Ping-ji tidak membahayakan jiwa, tapi dia harus
berobat lebih lanjut di Thian-san. Tanpa pertolongan gurunya,
kungfunya takkan bisa pulih.
Lama Beng Goan-cau mempertimbangkan permohonan anaknya,
akhirnya dia memberi restu. Juga berpesan supaya mengantar Leng
Ping-ji pulang ke Thian-san, baru mencari jejak adiknya. Demikian
pula tugasmencari Toan Kiam-ceng diserahkan kepadanya.
Tapi setahun dua tahun hingga tiga tahun lamanya, Beng Hoa
tetap tidak menemukan adiknya, demikian pula Toan Kiam-ceng.
Beng Hoa boleh dikata sudah melanglang seluruh padang
rumput, memanjat puncak salju, turun ke dalam jurang. Walau
adiknya tidak ditemukan, tapi namanya makin tenar dan harum,
tidak sedikit kejahatan yang tertumpas. Jejak mereka tidak tetap,
para gembala di padang rumput mengibaratkan mereka sebagai
meteor padang rumput, walau sekali berkelebat lantas lenyap,
namun kehadiran mereka di mana saja tetap mendatangkan cahaya,
membawa ketenteraman dan kemerdekaan.
TAMAT MENYOAL JUDUL Buku ini merupakan cetak ulang Anak Pendekar terbitan Sastra
Kumala tahun 1979. Penggantian judul ini hanya mengembalikan ke
judul aslinya, yaitu Mu Ye Liu Xing.
Selain terjemahan Gan KH ini, Mu Ye Liu Xing juga diterjemahkan
oleh Tjan ID dengan judul Patriot Padang Rumput, Jiwa Ksatria. SD
Liong juga menerjemahkan dengan judul Gempa Taruna Pendekar,
Darma Taruna Pendekar. Entah mengapa, SD Liong membagi cerita ini menjadi 2 cerita,
yaitu Gempa Taruna Pendekar 28 jilid, dilanjutkan dengan Darma
Taruna Pendekar 14 jilid. Dan lebih mengherankan lagi kedua cerita
tsb belum tamat, GTP+DTP hanya 2/3 dari Anak Pendekar, jilid
terakhir Darma Taruna Pendekar sama dengan Anak Pendekar jilid
31 hal 62. Anak Pendekar sendiri terdiri dari 47 jilid.
Terjemahan Tjan ID malah lebih singkat lagi, Patriot Padang
Rumput cuma 13 jilid, sedangkan Jiwa Ksatria cuma 2 jilid. Ini sama
dengan sampai jilid 12 hal 9 dari Anak Pendekar.
Pukulan Naga Sakti 23 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Pendekar Panji Sakti 23
^