Pencarian

Anak Pendekar 3

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 3


justru berbeda dengan ilmu pedang aliran mana pun. Begitu dia
merubah jurus permainannya yang semestinya dapat dihindarkan
justru tak bisa menghindarkan diri lagi.
Terhadap gambar-gambar lukisan di dalam gua itu Nyo Hoa
sudah hafal di luar kepala, jurus pertama yang mirip Tio-thian-it-cuhiang
itu disusul dengan gaya lukisan Hian-ciau-hoat-sa Tapi posisi
dan kedudukan Hian-ciau-hoat-sa justru terbalik dengan Tio-thian-itcu-
hiang, bila bertempur secara berhadapan dengan musuh, jelas
tidak mungkin jurus kedua ini disambung atau dirangkai menjadi
gerak susulan, tapi sekarang tanpa banyak pikir Nyo Hoa justru
telah melancarkan dengan sempurna.
Bayangan orang tampak berlompatan, sinar pedang berkelebat
seperti mengalir, mendadak terdengar seorang memekik kesakitan,
ternyata pundak kiri Tong-bing-cu telah tertusuk luka, kontan dia
bersalto tiga tombak jauhnya. Dengan menahan sakit dia lari sipat
kuping, dalam hati masih merasa syukur, syukur karena hiatto-nya
tidak tertusuk oleh Nyo Hoa, sehingga jiwanya dapat dipertahankan,
lekas sekali dia sudah meninggalkan Ciok-Iin.
Nyo Hoa berdiri menjublek, dalam sekejap bayangan Tong-bingcu
telah lenyap. Waktu dia menoleh ternyata Ban Ciok-sing yang
menggeletak di sana tadi juga telah lenyap. Ternyata melihat Nyo
Hoa makin berada di atas angin, tahu gelagat jelek, lekas Ban Cioksing
merangkak bangun, untung dia tahu seluk beluk Ciok-Iin,
dengan leluasa dia lari ke arah lain.
Setelah menjublek lama dengan rasa kaget dan senang,
mendadak Nyo Hoa berteriak girang, "O, ternyata begitu."
Selama beberapa hari lamanya Nyo Hoa sudah mencoba
mempraktekkan dan berdaya, tidak juga berhasil menyelami dua
gambar permulaan dari Bu-beng-kiam-hoat itu. Betapapun dia tetap
tidak berhasil merangkai perubahan dari jurus Tio-thian-it-cu-hiang
menjadi Hian-ciau-hoat-sa. Tapi barusan Tong-bing-cu berkelit
minggir, begitu posisi berpindah secara tepat dia justru
menyerahkan dirinya ke dalam jurus Hian-ciau-hoat-sa, hakekatnya
dia sendiri tidak perlu memutar badan membalik tangan
melancarkan serangan pedang, baru sekarang disadari bahwa kiamsut
tingkat tinggi, bukan saja menuntut diri sendiri harus dapat
mengembangkan secara baik, harus juga bisa mengendalikan dan
menggerakkan posisi lawan. Sejurus dilancarkan, bagaimana musuh
akan melayani dan gerak susulannya sudah harus dalam
perhitungan sendiri. Kali ini sudah tentu karena kebetulan lawan
masuk dalam perhitungannya, tapi lantaran Bu-beng-kiam-hoat
ciptaan Thio Tan-hong ini sudah menduga gerak perubahan lawan
serta posisinya yang berpindah. Setelah memahami teori tingkat
tinggi dalam praktek ini, maka taraf ilmu pedang Nyo Hoa telah
maju selangkah. Musuh sudah lari tak kelihatan bayangannya, suasana Ciok-lin
kembali hening dan tenang. Mimpi juga Nyo Hoa tidak pernah
membayangkan bahwa dirinya bakal mampu mengalahkan thaysusiok-
nya, setelah hilang rasa girangnya, mendadak dia merasa
sekujur badan lelah dan lemas, tulang belulang seperti lepas semua
Pelan-pelan dia jatuh terus rebah celentang, lekas sekali dia sudah
tidur lelap. Waktu dia siuman lagi, hari sudah fajar pada keesokan harinya
Nyo Hoa teringat, "Keponakan ji-suhu dan nona Leng itu entah ke
mana perginya?" Segera dia pulang ke kamar batunya, ternyata keadaannya kacau
balau, perabot jungkir balik, dinding juga bolong-bolong seperti
ditusuk dan digali, entah apa yang dicari musuh hingga kamarnya
digeledah sekasar ini. Untung ransum masih utuh, setelah makan
kenyang segera Nyo Hoa keluar pula mencari Toan Kiam-ceng dan
Leng Ping-ji. Seharian ini dia jelajahi seluruh Ciok-lin tapi tidak menemukan
mereka Nyo Hoa berpikir, "Toan Kiam-ceng adalah keponakan jisuhu,
dengan menempuh bahaya menghabiskan waktu dan tenaga
tujuannya hendak mencari pit-kip karya Thio Tan-hong,
sepantasnya aku memberikan kepadanya, tapi dia sudah pergi, aku
tidak bisa menyerahkan kepadanya" Lalu dia berpikir pula,
"Keponakan ji-suhu ini agaknya bukan orang baik, pikirannya
nyeleweng, lebih baik pit-kip tidak kuberikan kepadanya Tapi
kemarin dia terluka, semoga di tengah jalan tidak kepergok dengan
Tong-bing-cu hidung kerbau itu."
Setelah berbenah membawa bekal seadanya dan membawa
sekantong ransum kering, dengan rasa berat Nyo Hoa meninggalkan
Ciok-lin. Setelah tinggal sekian tahun dan tempat ini amat disukai,
bila mau pergi, hatinya menjadi rawan dan masgul, rasanya seperti
ada sesuatu yang belum dapat diselesaikan.
Waktu dia lewat di bawah Kiam-hong, mendadak dia teringat,
"Hian-kang-pwe-coat ciptaan Thio Tan-*hong tidak akan kuberikan
kepada Toan Kiam-ceng, apakah gambar lukisan Bu-beng-kiam-hoat
di dalam kamar batu itu kubiarkan tetap utuh begitu saja?"
Tong-bing-cu dan Ban C iok-si ng sudah tahu rahasia ini dari
mulut Toan Kiam-ceng, bukan mustahil suatu ketika mereka akan
balik ke sini. Kepandaian Tong-bing-cu jelas cukup mampu untuk
naik ke Kiam-hong, kamar batu itu pasti dapat ditemukan juga
Supaya Bu-beng-kiam-hoat peninggalan Thio Tan-hong tidak dicuri
oleh orang jahat, terpaksa Nyo Hoa memanjat ke atas Kiam-hong
untuk terakhir kali dan masuk ke kamar batu, delapan belas gambar
lukisan Bu-beng-kiam-hoat dia kerik dan tak berbekas lagi.
Lalu dia keluar dari Ciok-lin, selama tiga tahun pertama kali ini
dia keluar dari Hutan Batu. Tampak sang surya menyinari jagat raya
di luar ternyata merupakan dunia lain yang berbeda, perasaannya
haru, senang tapi juga sedih. Bukan lantaran pertama kali selama
tiga tahun baru dia sempat keluar dari Ciok-Lin tapi sekaligus
merupakan perpisahan setelah dia melampaui usianya yang
tujuhbeias Dulu banyak petaka, siksa derita dia alami, beruntun dirinya
ditolong oleh paman Song lalu dilindungi oleh ketiga gurunya silih
berganti. Tapi sekarang dia harus hidup sebatang kara, berkelana
seorang diri di Kangouw. Untuk berkelana di Kangouw, bukan
melulu harus punya ilmu silat tinggi saja baru bisa selamat
"Ke mana aku harus pergi?" demikian dia menerawangi cuaca
cerah, alam terbentang permai di depan mata, tapi hatinya hambar
tak tahu ke mana harus melangkah.
Menurut rencana semula dia mestinya akan pergi ke Siau-kimjwan
mencari Beng Goan-cau. Tapi Siau-kim-jwan kini telah diduduki
pasukan Ceng, entah Beng Goan-cau sekarang pindah ke mana,
jelas rencananya itu harus diubah.
Tiba-tiba dia teringat percakapan Leng Ping-ji dengan Toan
Kiam-ceng. Leng Ping-ji pernah bilang, "Dulu kita membuka Siaukim-
jwan sebagai pangkalan, kelak mereka masih bisa membuka
pangkalan lain yang baru dengan fasilitas yang baru pula Mereka
punya tekad juang yang tinggi, jiwa ksatria memangnya takut tak
mampu membangun dunia baru?"
Situasi memang berubah tapi pengertian ini tetap sama. Nyo Hoa
berpikir, "Suhu mengajakku sembunyi di Ciok-lin, ternyata tempat
tersembunyi itu pun tidak aman lagi. Aku harus meniru Beng tayhiap
dan lain-lain, membuka lembaran hidup baruku sendiri, asal tegak
aku berdiri meletakkan ragaku dijalan yang benar, tidak menyianyiakan
harapan suhu menjadi pendekar, maka syukur aku bisa
pergi ke Siau-kim-j wan, kalau tak berhasil juga tidak soal."
"Agaknya jiwa nona Leng itu lebih baik dari keponakan ji-suhu,
entah ke mana mereka pergi?"*
Menyongsong datangnya sang fajar, berbagai pikiran
berkecamuk dalam benaknya, namun dengan langkah lebar dia
semakin jauh meninggalkan Ciok-lin menuju ke dunia baru.
---ooodwooo--- Leng Ping-ji sedang beranjak di jalan pegunungan yang naik
turun, berendeng dengan Toan Kiam-ceng, mereka beradu pundak.
Waktu itu adalah hari ketiga sejak mereka meninggalkan Ciok-lin.
Untunglah Toan Kiam-ceng hanya terluka lecet kulit saja, yang
lebih keras adalah pukulan Ban Ciok-sing. Untung Iwekang-nya
meski tidak tinggi, tapi dasarnya kuat Setelah dibubuhi Kim-jongyok,
dan dirawat tiga hari, luka luar dan dalam sudah mulai sembuh.
Tapi jalannya masih belum bisa cepat, apalagi di jalan
pegunungan berbatu yang tidak rata ini.
Terbayang kejadian hari itu, rasa sesal Toan Kiam-ceng belum
lenyap, "Ping-moay, kau menyerempet bahaya menolongku,
sungguh aku tidak tahu bagaimana aku harus berterima kasih
kepadamu" Leng Ping-ji tertawa, katanya, "Terhadapku masih perlu sungkan
segala" Terus terang yang menolong jiwamu sebetulnya bukan aku.
Jiwaku dan jiwamu ditolong orang lain." Sampai di sini hatinya jadi
masgul, senyum pun sirna, setelah menghela napas lalu dia
menyambung, "Pemuda yang melompat turun dari atas Kiam-hong
itu entah siapa, dia menolong jiwa kita, mungkin dia sendiri".."
Toan Kiam-ceng berkata, "Kepandaian pemuda itu agaknya
cukup lihay, kalam kita bisa lolos, yakin dia pun dapat
menyelamatkan diri."
"Ya, semoga demikian," ucap Leng Ping-ji. "Tapi kau tidak tahu,
orang Biau itu adalah murid gembong iblis pada jaman ini,
kepandaian tosu tua itu agaknya lebih lihay lagi. Orang itu masih
begitu muda, meski berkepandaian tinggi juga pasti bukan
tandingan mereka. Dia menolong jiwaku, aku malah melarikan diri,
sungguh aku amat menyesal."
Tawar suara Toan Kiam-ceng, "Akulah yang harus disalahkan,
akulah yang menyeretmu jadi begini"
"Tapi bicara sejujurnya, umpama hari itu aku putar balik, juga
takkan mampu membantu dia. Dia masih hidup atau sudah
terbunuh kita tidak tahu, sungguh hatiku tidak tentram," demikian
Leng Ping-ji menyatakan penyesalannya.
"Kita tidak tahu kapan kedua gembong iblis itu akan
meninggalkan Ciok-lin untuk mencari tahu keselamatannya,
terpaksa harus ditunda entah kapan. Terus terang lebih besar
hasratku untuk kembali ke Ciok-lin, perjalanan ini sia-sia tanpa
membawa hasil. Bila pit-kip peninggalan Thio Tan-hpng ditemukan
orang lain, pasti celaka."
"Toako, jangan berduka lantaran soal itu, segala sesuatu di dunia
ini sudah suratan takdir, bisa selamat itulah rejeki. Tanpa pit-kip kita
tetap bisa hidup dengan tenang dan senang. Seperti yang kau
katakan tadi, biarlah segalanya ditentukan kelak saja."
Kini giliran Toan Kiam-ceng yang tertawa getir, katanya, "Yang
terang kita tidak mampu mengambil pit-kip itu, terpaksa ya begini
saja." Dalam hatinya tiba-tiba timbul pikiran jahat "Orang yang lompat
turun dari atas Kiam-hong, entah di atas puncak dia sudah
menemukan pit-kip Thio Tan-hong" Sudah tentu aku tidak harapkan
dia mati di tangan kedua gembong iblis itu, tapi kalau benar
nasibnya jelek syukurlah, berarti kurang satu orang yang menjadi
sainganku." Karena melamun tanpa sadar dia menendang batu besar, hampir
saja dia tersungkur jatuh. Lekas Leng Ping-ji memburu maju
memapahnya, katanya, "Hati-hati toako."
"Jalan pegunungan ini memang jelek, untung kalau bisa
menunggang kuda." "Jalan gunung memang sukar dilalui, asal nyali besar dan
berhati-hati, jangan takut kesukaran, lama kelamaan juga biasa."
"Apa yang kau ucapkan agaknya selalu mengandung arti yang
dalam." "Ah, jangan kau kira aku ber-kotbah, akil hanya bicara sesuai
keadaan. Coba kau lihat kakek di depan itu dia mendorong kereta,
bukankah jauh lebih payah dari kita. Soalnya dia sudah biasa jalan
di tempat yang jelek ini."
"Kau pula yang betul, tapi aku mengharap bisa mendapat seekor
kuda." Tiba-tiba didengarnya suara kelinting kuda. Leng Ping-ji berkata
dengan tertawa, "Baru kau bilang kuda lantas datang. Kebetulan
juga dua ekor. Sayang kita tidak bisa main rebut seperti begal."
"He," Than Kiam-ceng bersuara heran, "kedua ekor kuda itu
gelagatnya kuda jempolan."
Jalan pegunungan itu melingkar dan naik turun, tidak rata lagi,
waktu Leng Ping-ji angkat kepalanya, tampak dua ekor kuda berlari
kencang di jalan pegunungan ini seperti di tanah datar saja, diamdiam
dia memuji dalam hati. Lekas sekali kedua ekor kuda itu telah
mendekati kakek yang mendorong kereta di sebelah depan. Tibatiba
Leng Ping-ji berteriak kaget, "Wah, celaka!"
Kakek itu mendorong kereta dengan membungkuk tertatih-tatih,
saat mana dia tiba di belokan jalan, kedua ekor kuda itu lari secepat
angin, datangnya cepat sekali, jalan agak sempit lagi, jelas dia bakal
ketumbuk dan tidak mungkin berkelit lagi.
Penunggang kuda adalah seorang berdandan perwira, seorang
lagi pegawai sipil. Perwira itu di sebelah belakang, mendadak dia
keprak kudanya ke depan serta membentak, "Tua bangka, lekas
menyingkir!" Cambuk pun terayun, kereta dorong kakek itu
mendadak terbelit cambuk, sekali sendai kereta itu ditariknya
nyelonong ke pinggir dan meluncur jauh ke lereng bawah
mengeluarkan suara gaduh. Kereta itu memuat gamping, maka
kapur putih berhamburan tertiup angin. Kakek itu menggelinding
jauh ke pinggir, untung hanya luka lecet saja. Setelah rasa kagetnya
hilang melihat keretanya tercebur jurang dan dagangannya habis,
segera dia menangis menggerung-gerung.
Leng Ping-ji kaget, katanya, "Kepandaian itu ternyata tidak
lemah." Lalu dia berpikir, "Sayang Ceng-ko terluka, seorang diri aku
tidak mampu merebut kuda mereka"
"Eh," Tpan Kiam-ceng bersuara perlahan, "pegawai sipil itu
seperti sudah kukenal."
Perwira itu mengamuk, "Tua bangka tidak tahu diri, paling
kehilangan kereta dan kapur, kenapa dibuat sedih" Bajuku kotor
kena kapurmu, kalau menangis lagi biar kubacok mampus kau!"
Pegawai sipil itu agaknya lebih baik, katanya "Untung mataku
tidak buta kemasukan kapur, kita perlu menempuh perjalanan,
sudah kau ampuni dia saja"
Leng Ping-ji mendengus, katanya kepada Toan Kiam-ceng,
"Kedua orang ini menindas rakyat jelata aku jadi sebal melihatnya.
Toako, minggiriah, biaraku melampiaskan penasaran itu."
Lekas Toan Kiam-ceng tarik Leng Ping-ji ke pinggir, katanya,
"Ping-moay, jangan cari perkara" Cepat sekali kedua penunggang
kuda itu sudah membedal tunggangannya lewat di samping mereka
Tiba-tiba pegawai sipil itu menarik kekang kudanya teriaknya,
"Hei, bukankah kau siau-ongya dari Toan-hu" Siau-ongya, kau
masih kenal aku?" Pegawai sipil ini bernama Kim Kong-to, dulu adalah teman tetap
yang keluar masuk di gedung ciang-kun yang berkuasa di
perbatasan, juga sering bertamu di istana Toan.
Hati Toan Kiam-ceng kebat-kebit, terpaksa dia balas menyapa,
"O, kiranya Kim tayjin. Kim tayjin sudah naik pangkat, patut diberi
selamat" Mendengar Toan Kim-ceng adalah "siau-ongya", agaknya perwira
itu menaruh perhatian, katanya dengan tertawa "Lo-kim rejekimu
agaknya memang besar, keluar pintu lantas ketemu orang agung,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku akan ikut keserempet rejeki."
Lekas Kim Kong-to melompat turun, katanya, "Siau-ongya, mari
kuperkenalkan, inilah Li-tothau."
Perwira itu juga melompat turun, lalu memperkenalkan diri,
"Selamat bertemu siau-ongya aku bernama Li Tay-yong, salah
seorang tothau dari ciankunhu yang menguasai kekuasaan seluruh
Tayli." Melihat mereka berhenti dan turun, Toan Kiam-ceng semakin
bingung. Tapi dia tenangkan diri dan berkata, "Kalian terlalu
sungkan, silakan melanjutkan perjalanan. Urusan dinas tidak boleh
ditunda" "Tidak perlu tergesa-gesa," ujar Kim Kong-to, "kebetulan bertemu
siau-ongya di sini, ada sesuatu yang perlu kulaporkan kepada siauongya
Nona ini"." "Dia piaumoay-ku," ujar Toan Kiam-ceng. "Kuku (adik laki-laki
ibu) hanya punya seorang putera, maka sejak kecil sering
berpakaian lelaki, karena jaman ini sering tidak aman, maka dia pun
disuruh latihan silat." Karena melihat Kim Kong-to mengawasi
pedang di pinggang Leng Ping-ji, maka dia menjelaskan lebih dulu.
Diam-diam Leng Ping-ji sudah bertekad, bila mereka terlalu
banyak menanya asal-usul, dia sudah siap turun tangan lebih dulu.
Untunglah meski agak curiga dirinya tidak ditanyai. Kim Kong-to
berkata, "Siau-ongya sudah tiga tahun kau meninggalkan rumah,
bukan" Aku tahu itu Han-ciangkun dibunuh orang, sehari sebelum
peristiwa itu aku masih melihat siau-ongya, belakangan terdengar
siau-ongya sudah tamasya ke lain tempat Hari ini kebetulan adalah
tiga tahun hari kematian Han-ciangkun."
Jantung Toan Kiam-ceng berdebar-debar. Maklum pembunuhan
tiga tahun yang lalu itu memang ada sangkut paut dengan dirinya
Yang membunuh Han-ciangkun, sebagai jenderal yang berkuasa
akan ketenangan di Tay li, adalah Thia Sin-gan dan Bu Toan, Bu
Ceng kakak beradik, waktu itu Bu Toan tinggal di rumahnya Hari
kedua perwira Gi-lim-kun Sebun Yan, seorang kepala wisu dan anak
buah Han-ciangkun meluruk ke rumahnya akhirnya kedua orang ini
pun terbunuh oleh pamannya Toan Siu-si dan Bu Toan kakak
beradik. Toan Kiam-ceng tertawa dipaksakan, katanya, "Betul, karena
keamanan Tayli amat buruk, terpaksa aku mengungsi ke tempat
lain." "Sekarang sudah lebih baik," ujar Kim Kong-to, "pihak kerajaan
mengutus seorang Ting-ciangkun, selama tiga tahun ini tidak pernah
terjadi perampokan atau pencurian sekali pun."
"O, begitu baik dan keamanan terjamin" Wah, kapan aku harus
pulang," ujar Toan Kiam-ceng.
Kim Kong-to tertawa, katanya, "Untuk penjaga keamanan
sebetulnya juga bukan soal sulit asal peraturan keras, hukuman
berat. Bagi pencuri yang ketangkap basah akan dipotong
tangannya, mencuri setahil potong satu tangan, mencuri lima tahil
potong sepasang tangan. Bila mencuri lebih dari sepuluh tahil
dipenggal kepalanya di depan umum Maka keamanan yakin
terjamin, mana orang berani mencuri lagi?"
Leng Ping-ji amat geram, pikirnya, "Itulah yang dinamakan hanya
pembesar boleh membuat api, rakyat dilarang menyulut pelita.
Hanya mencuri sepuluh tahil harus dipeng-" gal kepalanya di depan
umum, sebaliknya para pembesar yang korup memeras rakyat
justru hidup tenteram dan aman sentosa." Karena menguatirkan
luka Toan Kiam-ceng, bila sampai bergebrak mungkin tidak
menguntungkan, terpaksa dia menahan sabar.
Dengan tertawa nyengir Toan Kiam-ceng berkata, "O, kiranya
begitu. Makanya aman sentosa."
"Siau-ongya," ujar Kim Kong-to pula, "sekarang kau boleh
pulang, tanggung kau hidup tenang. Ting-ciangkun pernah bilang
mengharap kedatanganmu. Kalau siau-ongya di Tayli membantu
dia, kebijaksanaan pemerintah kerajaan juga pasti lebih leluasa
dilaksanakan." "Kim-tayjin jangan berkelakar, aku paling tidak bisa bergaul,
apalagi dengan pembesar tinggi mana bisa membantu pihak
kerajaan segala" Ting-ciangkun sendiri serba bisa, memangnya
perlu aku membantu dia."
Kim Kong-to berkata, "Bukan, bukan demikian. Soalnya Toan-hu
kalian di Tayli sudah berakar dan mempunyai kewibawaan di
pandangan rakyat jelata. Bila kau mau pulang dan menguasai
daerah, berarti kau sudah membantu pihak pemerintah. Ada satu
hal belum kuberi tahu kepadamu, selama kau tidak di rumah, Tingciangkun
tetap melindungi dan merawat istanamu dengan baik.
Ting-ciangkun benar-benar mengharap siau-ongya lekas pulang."
Toan Kiam-ceng jadi kewalahan, terpaksa dia membelokkan
pembicaraan. "Kim-tayjin, aku belum beri selamat kepadamu yang
telah mendapat pangkat di Ciangkunhu.
Hari ini kau bertugas penting, waktu amat penting tak berani aku
menunda tugas dinas kalian."
"Pangkat sih aku tidak punya, berkat Ting-ciangkun sudi
menggunakan tenagaku, kebetulan juga di sana kekurangan tenaga,
maka aku disuruh membantu di sekretariat. Kali ini bersama Litothau,
kami disuruh mengantar surat dinas ke Siau-kim-jwan,
hanya tugas rutin saja," demikian ujar Kim Kong-to.
Leng Ping-ji yang sejak tadi mendengar saja, tiba-tiba menyela,
"Bukankah peperangan sedang berkecamuk di Siau-kim-jwan?"
"Tidak, perang sudah usai," ujar Kim Kong-to. "Apa kau punya
famili di Siau-kim-jwan?" Agaknya dia heran kenapa Leng Ping-ji
memperhatikan peperangan di Siau-kim-jwan.
"Ibu inangku punya seorang anak yang dinas di Siau-kim-jwan,
tempo hari dia menyusul puteranya itu, tapi tentara negeri melarang
dia masuk di wilayah itu. Maka aku kira peperangan masih
berkecamuk di sana," demikian Leng Ping-ji menjawab.
Li Tay-yong suka bermuka-muka, sejak tadi dia tidak diberi
kesempatan bicara oleh Kim Kong-to, baru sekarang dia sempat
menimbrung, "Nona, kau tidak tahu, Siau-kim-jwan dulu adalah
sarang pemberontak, sekarang sudah direbut dan diduduki oleh
pasukan negeri, namun penjagaan tidak boleh ken-dor. Menurut apa
yang kutahu, bukan saja rakyat jelata tidak boleh masuk ke wilayah
itu, petugas pemerintah yang membawa tanda dinas juga harus
berhenti di pos terdepan, demikian pula surat-surat dinas cukup
diserahkan di sana saja."
"Kalau demikian kalian juga tidak boleh masuk ke Siau-kimjwan?"
tanya Leng Ping-ji. Li Tay-yong memang menunggu pertanyaan ini, katanya dengan
tertawa, "Sebagai piaumaoy siau-ongya boleh kujelaskan kepada
kau. Terus terang, kalau aku tanpa membawa surat dinas juga
boleh keluar masuk dengan leluasa. Demikian pula Kim-tayjin, dia
pun boleh masuk." Secara tidak langsung dia mau mengagulkan diri
bahwa jabatannya lebih tinggi" dari orang she Kim ini.
Kim Kong-to menyengir, terpaksa dia menjelaskan, "Li-tothau
dulu berdinas di dalam pasukan Gi-lim-kun."
Li Tay-yong membusung dada, katanya, "Banyak perwira yang
kali ini bertugas di Siau-kim-jwan adalah teman sekolahku dulu,
walau aku dimutasikan ke Tayli namun namaku masih tercantum
dalam daftar anggota Gi-lim-kun. Bagi anggota Gi-lim-kun yang
bertugas di luar, semua diberi lencana tembaga, umpama sesama
kerabat tidak kenal juga tidak jadi soal asal bisa menunjukkan
lencana tembaga, aku tetap bisa keluar masuk."
Mendengar orang melulu meng-agulkan diri sendiri, diam-diam
Kim Kong-to mengerut kening, tapi dia juga tidak memberi
komentar apa-apa Leng Ping-ji perhatikan rona muka Toan Kiam-ceng juga sedang
mengerutkan kening sambil melirik kepadanya Leng Ping-ji lantas
tertawa katanya "Sayang lencana tembagamu itu tidak boleh
dipinjamkan orang lain."
"Putra ibu inangmu itu bernama siapa dan bertugas di sebelah
mana?" Sekenanya Leng Ping-ji menyebut sebuah nama, lalu berkata,
"Aku hanya tahu dia bertugas di Siau-kim-jwan, tapi di mana dia
bertempat tinggal, aku tidak tahu."
"Kim-tayjin," sela Toan Kiam-ceng "banyak terima kasih akan
perhatianmu, waktu amal mendesak, kami juga harus melanjutkan
perjalanan. Setiba kau di -Tayli, aku akan berusaha membantumu."
Kim Kong-to kegirangan, katanya, "Siau-ongya, jadi kau sudah
akan pulang rumah?" "Aku kan mengungsi, kalau kampung halaman sudah aman
tenteram, Ting-ciangkun kalian juga mengharap kehadiranku,
kapan-kapan tentu aku akan pulang menikmati hidup tenteram,"
"Betul. Memang lebih baik pulang. Bila kau pulang, Ting-ciangkun
pasti menyambut dirimu." Tiba-tiba dia bertanya, "Siau-ongya
kenapa kau tidak menyiapkan kuda atau kereta dengan piaumoaymu"
Apakah jalan pegunungan yang rusak ini tidak menyusahkan
kalian?" Toan Kiam-ceng tertawa katanya, "Kami suka bertamasya, kalau
naik kuda jadinya sambil lalu belaka, rasanya tidak berkesan."
"Ya memang betul. Siau-ongya memang suka melancong.
Baiklah, sampai bertemu di Tayli."
---ooodwooo--- Setelah Kim Kong-to dan Li Tay-yong pergi jauh, Toan Kiam-ceng
lantas mengomel kepada Leng Ping-ji. "Ping-moay, kapan kau
pernah punya ibu inang di Siau-kim-jwan" Tadi sungguh aku takut
kau nge-lantur tak karuan hingga menimbulkan rasa curiga mereka"
Leng Ping-ji tertawa katanya, "Tadi kalau kau tidak memberi
tanda kedipan mata aku sudah akan merebut kuda dan lencananya
itu." "Untung kau tidak sembrono, kalau tidak urusan pasti
berkepanjangan." "Takut kena urusan" Terus terang, aku malah khawatir tidak
mampu membunuh mereka"
"Kalau kau bunuh mereka, maka aku jangan harap bisa pulang
ke Tayli lagi." Leng Ping-ji melongo, katanya "Jadi kau benar ingin pulang?"
Toan Kiam-ceng mengangguk, katanya, "Siau-kim-jwan sudah
direbut kerajaan Ceng, kau sendiri juga tidak punya tujuan lagi,
lebih baik ikut aku pulang, sementara tinggal di rumahku saja."
Melihat Leng Ping-ji mengunjuk rasa bimbang, lekas dia memahami,
"Jangan kau kira aku kemaruk hidup senang. Maksudku hendak
merawat luka-luka meyakinkan ilmu, bila bekal sudah cukup baru
berkecimpung lagi di Kangouw."
Leng Ping-ji menghela napas, katanya, "Aku memang harapkan
suatu tempat tenang dan aman untuk menenangkan pikiran, tapi
aku tidak setuju bila kau pulang menyerempet bahaya.**
"Terus terang, aku sebetulnya tidak berani pulang. Tapi setelah
bertemu kedua keparat tadi aku jadi tidak bimbang."
"Apa, jadi kau percaya obrolan mereka" Juga percaya akan
"maksud baik"Ting-ciangkun?"
"Bukan percaya kepada mereka, aku hanya percaya bahwa Tingciangkun
tidak anggap aku sebagai pelarian."
Yang dimaksud adalah pembunuhan Han-ciangkun dan
pembunuhan yang terjadi hari kedua di rumah keluarga Toan itu,
hal ini juga diketahui Leng Ping-ji setelah diceritakan Toan Kiamceng.
"Betul," ucap Toan Kiam ceng, "dari gelagatnya tadi, rahasia itu
agaknya tidak bocor. Ting-ciangkun yang menjabat kedudukan
belakangan agaknya tidak menaruh curiga terhadap aku."
"Dari mana kau bisa berpendapat demikian?"
"Perwira itu mampu menarik kereta hingga terbalik hanya dengan
cambuknya, kepandaiannya jelas tidak rendah, betul tidak?"
"Betul. Tadi aku tidak berani merebut kudanya karena khawatir
bukan tandingannya yang celaka akhirnya kau sendiri."
"Belum tentu dia tahu bahwa kita pandai main silat, yakinlah dia
tidak pandang kita sebelah matanya betul tidak?"
"Memangnya kenapa?"
"Tapi sikap mereka terhadapku tetap hormat dan sopan."
"Ya, karena kau siau-ongya"
"Kau begini pintar, kenapa belum juga mengerti."
"Aku tahu maksudmu, dari sini kau mendapat bukti, terbukti
bahwa mereka tidak curiga kepada kau."
"Makanya, kalau mereka sedikit curiga, hari ini bertemu di tengah
jalan, memangnya aku tidak dibekuknya" Mungkin sejak tadi sudah
melabrak dan menangkapku."
"Ucapanmu masuk akal, tapi bukan mustahil mereka sengaja
hendak memancing kau pulang, atau mungkin ada muslihat keji
lainnya" "Ping-moay, kenapa selalu banyak curiga karena tidak akan ada
bahaya. Sudah tiga tahun aku meninggalkan rumah, terus terang
aku memang sudah kangen dan ingin pulang."
Leng Ping-ji masih bimbang, katanya kemudian, "Coba lihat,
kakek itu masih menangis di sana, sungguh kasihan."
Mendadak dia mengalihkan perhatian, Toan Kiam-ceng mclengak,
katanya, "Baiklah mari kita hampiri dan beri beberapa tahil
kepadanya." "Ya, kita harus berbuat baik menolong sesama, lalu bicara soal
itu lebih lanjut" Tak tahunya kakek itu tidak mau teruna uang mereka.
Leng Ping-ji berkata, "Setulus hati kami memberi kepadamu,
kenapa tidak kau terima?"
Lelaki tua itu berkata, "Biasanya hanya pembesar yang mengulur
tangan merebut uang rakyat kapan pernah rakyat jelata menerima
uang orang?" Leng Ping-ji paham, katanya, "O, maksudmu lantaran kedua
pembesar tadi bicara dengan kami, maka kau kira kami ini juga
pembesar" Yang benar kami seperti juga kau, rakyat jelata."
Mana kakek itu mau percaya" Walau dia tidak mendengar Li Tayyong
dan Kim Kong-to berdua memanggil siau-ongya, tapi dia
merasa sikap mereka begitu hormat dan munduk-munduk kepada
Toan Kiam-ceng, maka betapapun dia tidak mau terima uang.
"Mereka hanya menjilat kepada temanku ini, dalam hal ini
memang ada sebabnya, namun kau tidak perlu tahu, tapi boleh aku
beri tahu kepadamu, seperti juga kau, aku pun membenci mereka."
"Tadi aku pun amat jengkel, kau jangan khawatir, terima saja
uang ini, yakinlah kau tidak akan mengalami kesulitan." Lalu dia
sesapkan uang ke tangan orang, tanpa perduli orang mau atau tidak
dia tarik tangan Toan Kiam-ceng diajak pergi.
Kakek itu tetap ngotot tidak mau terima dan hendak kembalikan
uang itu, tapi mana dia mampu mengejar" Akhirnya dia pegangi
uang itu sambil berdiri menjublek.
Toan Kiam-ceng kurang senang, katanya kemudian, "Kakek itu
memang terlalu, jelas harta bendanya sudah ludes, dengan baik hati
kita memberi uang ganti rugi, memangnya kita bakal menipunya?"
"Soalnya dia dirugikan oleh pembesar yang berkuasa, umpama
dia kira kita tidak akan menipu dia, juga dikira kita akan
mempermainkan dia." Lalu dengan tertawa dia menambahkan,
"Seorang desa yang tidak tahu apa-apa ternyata juga tidak mau
percaya kepada pembesar, piauko, kenapa kau justru percaya
kepada mereka?" Toan Kiam-ceng melenggong, akhirnya tertawa, katanya, "Pingmoay,
kau memutar balik persoalannya untuk menyindir aku ya."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

---ooodwooo--- Sementara itu Kim Kong-to juga sedang mengomel kepada Li
Tay-yong. "Li-tothau, aku tahu kau adalah perwira Gi-lim-kun, di hadapanku
tiada halangan kau tepuk dada, kenapa rahasia dinas juga kau
bicarakan dengan orang luar?"
"Lho, bukankah kau bilang Ting-ciangkun menghargai siau-ongya
itu?" "Ya, lahirnya saja demikian, yang benar"."
"Yang benar bagaimana?"
Kim Kong-to melotot katanya, "Mulutmu tidak bisa dikendalikan,
tak berani aku memberi tahu kepadamu."
Li Tay-yong tertawa, katanya, "Ting-ciangkun mungkin hendak
meminjam siau-ongya untuk suatu kepentingan dinas, jadi bukan
betul-betul menghargai dirinya, begitu?"
"Kiranya otakmu tidak tumpul, syukurlah bila kau tahu!"
"Apa kau tahu kenapa sengaja aku membocorkan rahasia kepada
mereka?" Kim Kong-to melengak, katanya, "Jadi kau punya maksud
tertentu?" "Betul. Aku memancing reaksi mereka. Kau kira aku ini pintar
omong tanpa menggunakan pikiran?"
"Lalu apa yang kau pancing dan mereka?"
"Siau-ongya itu pandai main silat tapi gadis itu, kepandaiannya
mungkin lebih tinggi lagi, apa kau tahu?"
"Apa betul" Hal itu memang aku tidak tahu."
"Paman Toan Kiam-ceng bernama Toan Siu-si, namanya cukup
terkenal di Kangouw. Konon dia punya hubungan dengan beberapa
pentolan Siau-kim-jwan, apa kau tahu?"
"Karena meyakinkan ifanu silat maka Toan Siu-si bentrok dengan
Lo-ongya, hal ini aku tahu jelas. Perihal yang terjadi di Kangouw aku
memang tidak sejelas yang kau ketahui. Tapi apakah berita yang
kau dengar dapat dipercaya?"
Li Tay-yong sengaja jual mahal, katanya tertawa "Sumber
beritanya juga tidak akan kujelaskan kepadamu, pendek kata
setelah mendengar berita.ini, mau tidak mau aku harus mencurigai
mereka." Kim Kong-to kurang senang, batinnya, "Apa yang kutahu
mungkin lebih banyak dari kau, kau tidak mau blak-blakan, aku pun
tidak akan beri tahu kepadamu, lalu dia berkata, "Tapi penduduk
Tayli semua tahu, siau-ongya ini hakekatnya tidak punya hubungan
dengan pamannya yang minggat itu. Apalagi keluarga Toan sejak
lama sudah tidak mencantumkan embel-embel ongya, namun di
kalangan penduduk Tayli mereka masih dihargai dan disanjung,
walikota dan ciangkun sedikit banyak masih memberi muka kepada
keluarganya." "Makanya aku memancing reaksi siau-ongya, sengaja aku
membocorkan rahasia, maksudku untuk memancing mereka
merebut lencana tembagaku, bila mereka turun tangan, yakinlah
aku bahwa mereka pasti komplotan pemberontak dari Siau-kimjwan."
"Sayang mereka tidak turun tangan."
"Juga tidak jadi soal bagi aku, kuda kita larinya cepat, umpama
rahasia lencana ini sudah mereka ketahui, memangnya sempat
mereka menghubungi temannya untuk mengejar kita dan merebut
lencana itu dari tanganku."
Berubah pandangan Kim Kong-to kepadanya, katanya tertawa,
"Dengan bekal kungfumu yang tinggi, umpama ada orang mau
merebutnya, juga tidak perlu takut" "Untung siau-ongya terbujuk
mau pulang ke Tayli, kali ini kita tidak mendapatkan bukti biarlah hal
ini pelan-pelan kita selidiki."
"Untuk mencari bukti kukira tidak sulit."
Li Tay-yong melenggong, tanyanya, "Kau tahu kenapa tidak lekas
kaukatakan?" "Bukan aku tidak mempercayaimu," demikian ujar Kim Kong-to.
"Mari kita bersumpah, selanjutnya dapat rejeki sama dirasakan,
menghadapi bencana sama dipikul, kalau mau akan kuberi tahu
kepadamu." "Kim-tayjin," kata Li Tay-yong tertawa "ada-ada saja kau.
Baiklah, kita menjadi saudara angkat, selanjutnya mati hidup
bersama sepanirnya kita sama bicara jujur. Siapa mengingkari
sumpah dia akan mati tanpa liang kubur." Dalam hati dia membatin,
"Ilmu silatku tinggi siapa pun tidak mudah untuk membunuhku."
Tapi Kim Kong-to juga punya pikirannya sendiri, "Aku pegawai
sipil, tidak perlu berperang. Kesempatan hidup jelas lebih panjang
dari dia yang harus terjun ke medan laga."
Setelah kedua orang sama bersumpah, Kim Kong-to baru bicara
"Dalam peristiwa pembunuhan Han-ciangkun dulu, siau-ongya ini
patut dicurigai." "Dari mana kau tahu?"
"Di antara pembunuh Han-ciangkun ada sepasang muda mudi,
pernah aku melihat mereka di rumah kediaman keluarga Toan."
"Kenapa kau tidak laporkan hal ini kepada Ting-ciangkun?"
"Waktu peristiwa itu terjadi aku tidak berada di tempat, aku
hanya mendengar cerita para wisu tentang wajah dan perawakan
para pembunuh." "Ya, jadi kau belum yakin dan tidak berani mengatakan apakah
pembunuh itu betul adalah muda mudi yang pernah kau lihat di
rumah Siau-ongya?" "Betul. Urusan menyangkut jiwa aku hanya pembantu kecil di
sekretariat, sebelum aku memegang bukti nyata bila kulaporkan dan
Ting-ciangkun berbalik menganggap aku main fitnah belaka salahsalah
jiwaku sendiri yang jadi korban. Apalagi siau-ongya tidak
berada di Tayli, Ting-ciangkun juga tiada alasan untuk
menangkapnya dan diadu muka dengan aku."
"Siau-ongya segera akan pulang ke Tayli, bukankah kau bisa
segera lapor" Lekas kau berusaha mencari alasan untuk
mengangkat kembali perkara ini."
"Alasan sih sudah kudapatkan, tapi kau harus bantu aku."
"Bagaimana aku harus membantu?"
Kim Kong-to berpikir sejenak, katanya kemudian, "Kelak bila kita
pulang ke Tayli dari Siau-kim-jwan, bila siau-ongya itu masih berada
di rumahnya, malam hari kau harus menyamar jadi pembunuh gelap
membekukku, aku punya akal untuk mengorek keterangannya"
"Urusan tidak main-main, konsekwensi yang kutanggung cukup
berat lho." "Jangan khawatir, aku punya pegangan untuk mengorek
keterangannya, umpama aku salah duga, juga kau tidak akan
terlibat Tapi bila urusan berhasil, kau akan memperoleh setengah
dari pahala besar ini."
Li Tay-yong tahu orang ini hanya membual belaka, dia berpikir,
"Agaknya dia memang sudah mendapat bahan tuduhan kepada
siau-ongya tapi entah karena apa dia masih ingin memperoleh
pengakuan tertulis dari Toan Kim-ceng baru berani mengajukan
laporannya. Kalau betul aku bakal mendapat rejeki sebaik ini, buat
apa aku banyak tanya lagi kepadanya?" Lalu dia tertawa katanya
"Kim-toako, sekarang kita sudah terhitung saudara angkat untung
rugi dipikul dan dirasakan bersama kalau kau sudah punya rencana
baik, baiklah siaute mendengar petunjukmu saja"
Dugaan Li Tay-yong memang benar, Kim Kong-to memang punya
kelemahan dalam peristiwa ini sehingga dia tidak berani membuat
laporan. Gambar denah dari Ciang-kunhu (markas militer) dahulu
adalah dia yang membuat dan diberikan kepada Bu Toan dan Bu
Ceng. Malam itu bersama seorang temannya pejabat cadangan she
Ci dibekuk hidup-hidup oleh Bu Toan dan adiknya di hotel, demi
keselamatan jiwa mereka terpaksa dia menggambar denah markas
militer di Tayli. Bila dia melaporkan hal itu, dan urusan diselidiki,
dirinya pasti terlibat Tapi kejadian sudah tiga tahun berselang, Bu
Toan dan adiknya kini berada di Siau-kim-jwan Jelas tidak mungkin
pulang ke Tayli membongkar rahasia dirinya, seorang diri jelas dia
tidak perlu takut berhadapan dengan Toan Kiam-ceng.
Setelah persekongkolan mereka, untuk menjebak dan membekuk
Toan Kiam-ceng selesai dirundingkan, Kim Kong-to dan Li Tay-yong
tertawa kegirangan. Di saat mereka tertawa latah itulah mendadak seseorang
membentak, "Bagus, kalian bersekongkol hendak mencelakai orang.
Hayo menggelinding turun!"
Lenyap suaranya, orang pun tiba, dari kaki bukit di pinggir jalan
dalam semak-semak rumput mendadak melompat keluar seorang
pemuda, tangan terayun, Li Tay-yong belum sempat melihat senjata
rahasia apa yang ditimpukkan orang, kuda tunggangannya
mendadak melonjak kaget hingga dirinya dilempar melambung dari
punggung kuda. Keadaan Kim Kong-to lebih parah lagi, dia terbanting jatuh dari
punggung kuda bergulingan sambil menjerit ngeri, kejap lain dia
roboh tak bergerak, agaknya dia terbanting pingsan.
Pemuda itu menarik kedua tali kendali kedua ekor kuda, dituntun
ke pinggir dan diikat di bawah pohon di pinggir jalan, setelah tepuktepuk
tangan, berkata dengan tertawa, "Kedua ekor kuda ini
memang tunggangan bagus."
Betapapun kepandaian Li Tay-yong cukup lumayan, meski
terjatuh tanpa siaga dan secara mendadak, lekas sekali dia meletik
berdiri. Namun melihat pemuda ini begini lihay, sesaat dia berdiri
melongo tak berani bertindak. Di saat dia mengawasi si pemuda,
pemuda itu sudah menghampiri dirinya serta mengulur tangan,
"Berikan lencana kepadaku!" demikian bentak si pemuda.
Li Tay-yong gusar, bentaknya, "Maling cilik dari mana kau, berani
membegal pembesar negeri."
"Kalian dua keparat yang patut mampus, bersekongkol
mencelakai orang, mau merampas harta, bukankah nyali kalian lebih
besar." Berubah air muka Li Tay-yong, bentaknya, "Maling keparat,
membual apa" Kau, apa yang kau ketahui?"
"Kalau ingin orang tidak tahu, kecuali diri sendiri tidak berbuat
demikian," olok si pemuda, "barusan kalian kasak-kusuk
merundingkan apa" Hehehe, maaf ya, aku dengar seluruhnya."
Tadi, setelah perundingan mereka dirasa cukup sempurna, baru
Kim Kong-to dan Li Tay-yong naik kuda menempuh perjalanan
cukup jauh baru melihat pemuda ini. Makin curiga dan bimbang hati
Li Tay-yong, pikirnya, "Di tengah jalan jelas tidak kelihatan ada
orang di mana dia mencuri dengar" Umpama ginkang-nya sudah
tinggi, tak mungkin dapat melebihi kecepatan lari kuda?" Ternyata
dia tidak tahu bahwa pemuda ini hanya mencuri dengar
pembicaraan mereka dengan Toan Kiam-ceng, dia hanya tahu
bahwa mereka berusaha menipu Toan Kiam-ceng pulang ke Tayli,
tentang tuduhannya tadi hanya bualan si pemuda sendiri
berdasarkan rekaannya. Di samping kaget dan curiga, Li Tay-yong juga merasa jeri
terhadap si pemuda. Tapi muslihatnya telah terbongkar, betapapun
dia merasa perlu membunuh pemuda ini untuk menutup mulutnya.
"Lote, urusan bisa kita rundingkan, apa keinginanmu marilah kita
bicarakan," sembari bicara mendadak L i Tay-yong sambitkan amgi
yang sejak tadi telah digenggamnya. Yang disambitkan adalah dua
buah Toh-kut-ting, maka terdengar "Ting, ring", si pemuda tidak
kelihatan bergerak, kedua buah paku pencmbus tulang itu pun jelas
mengenai badannya, tapi tidak amblas atau menancap di badannya
tapi malah terpental. Pemuda itu tertawa lebar, katanya, "Yang kuinginkan adalah
lencana tembaga itu, siapa ingin paku karatan yang tumpul ini?"
Ternyata si pemuda gunakan Can-ih-cap-pwe-tiat, lwekang tingkat
tinggi, lawan yang Iwekang-nya lebih rendah cukup menyentuh
bajunya saja akan tersengkelit jatah, demikian pula amgi yang menyentuh
pakaiannya juga terpental jatuh.
Bahwa amgi-nya tidak berhasil melukai orang, Li Tay-yong
seumpama bercokol di punggung harimau, tidak berani turun,
terpaksa dia mengeraskan kepala, sambil menggerung segera dia
menubruk terus membacok. Si pemuda melirik dan tersenyum sinis, di saat golok Li Tay-yong
hampir mengenai badannya, baru dia angkat tangannya menjentik,
jengeknya dingin, "Bekal kungfumu serendah ini, berani bertingkah
di hadapanku, cukup kau rasakan jentikan jariku saja."
"Creng" golok terpental balik membacok jidat Li Tay-yong sendiri
hingga mukanya bermandi darah.
Setelah jidatnya terluka baru Li Tay-yong insyaf, dirinya, memang
bukan tandingan lawan, daripada mati-konyol lekas dia buang golok
serta berteriak, "Lencana kuserahkan. Hohan" ampuni jiwaku."
Pemuda itu tertawa, katanya. "Gentong nasi seperti kau juga jadi
perwira Gi-lim-kun. Hm, sebetulnya aku boleh mengampuni jiwamu,
sayang aku tidak percaya kepadamu"."
Sebelum orang habis bicara, Li Tay-yong sudah berteriak,
"Bukankah barusan kau bilang tidak setimpal membunuhku?"
"Maksudku kau tidak setimpal mengotori pedang pusakaku. Tapi
mengingat kau mohon ampun, baiklah terserah pada nasibmu
sendiri." Di akhir perkataannya dari jarak sepuluhan langkah, "Wut"
dia lontarkan Bik-khong-ciang. Li Tay-yong rasakan segulung angin
kencang menampar dirinya, seketika dada seperti dipalu godam,
badannya terjengkang roboh pingsan.
Si pemuda berpikir, "Orang she Kim itu sudah pingsan, umpama
jiwanya tidak melayang, sedikitnya harus berobat setengah tahun
baru akan sembuh, tak mungkin bisa lari ke Siau-kim-jwan
menyampaikan laporan." Segera dia cemplak seekor kuda serta
menarik kuda yang lain, putar balik mencari Toan Ki am-ceng dan
Leng Ping-ji. Kepandaian si pemuda memang tinggi, namun pengalaman
masih cetek, agak ceroboh lagi, dia lupa memeriksa keadaan Kim
Kong-to apakah dia betul-betul terbanting pingsan.
---ooodwooo--- Kim Kong-to menggeletak di pinggir jalan tanpa bergerak, setelah
si pemuda pergi jauh baru dia menghela napas dan pelan-pelan
merangkak bangun. Ternyata dua tulang rusuknya terbanting patah,
lukanya memang cukup parah, tapi jiwanya tidak mati. Tadi dia
rebah pura-pura pingsan. Terhindar dari bencana kematian, baru sekarang Kim Kong-to
merasa kesakitan luar biasa. Sedikit bergerak, tulangnya yang patah
sakitnya bukan kepalang hingga dia menjerit kesakitan. Meski sakit
luar biasa, namun dia berucap syukur jiwanya selamat. Setelah
istirahat sekian lama baru Kim Kong-to angkat kepalanya dilihatnya
Li Tay-yong rebah tergenang darah, timbul rasa terhibur hatinya
gumamnya "Kau kena ganjaranmu sendiri karena ingkar sumpah.
Tanpa bantuanmu, aku memang lebih banyak menyerempet bahaya
tapi seorang diri aku berani menghadapi bahaya besar itu."
Sungguh tak pernah terbayang-kan olehnya di saat dia
menggumam itulah mendadak Li Tay-yong menggeliat terus
membalikkan badan. Karuan Kim Kong-to terperanjat, didengarnya
Li Tay-yong merintih lalu berkata terputus-putus, "Toako
kemarilah" aku" ingin" bicara dengan" kau"."
Melihat keadaan orang yang mengerikan, ciut nyali Kim Kong-to,
pikirnya, "Di sini jauh dari kota atau dusun, aku sudah kehilangan
kuda, seorang diri belum tentu bisa selamat, bagaimana aku bisa
merawat dan menolong dia?" Waktu dia menunduk dilihatnya golok


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baja milik Li Tay-yong yang tadi dipukul jatuh si pemuda, diam-diam
dia pungut dan sembunyikan dalam lengan baju, katanya, "Hiante,
kau ini Bu-koan (tentara), sepantasnya memandang kematian
sebagai berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Saudaramu ini
terluka dan tak punya tenaga maaf, aku tidak mampu menolong
dirimu lolos dari kematian. Aku berjanji jenazahmu akan kukubur
selayaknya." Kiranya dia khawatir Li Tay-yong membuat gara-gara sehingga
dia sendiri yang sudah terluka ini mengalami kesulitan, maka
sengaja dia sembunyikan golok dalam lengan baju, pikirnya,
"Jiwamu toh tidak bisa ditolong lagi, biarlah ku-percepat
kepergianmu supaya tidak terlalu menderita maka aku pun tak usah
mendengar keluhan dan rintihan."
Khawatir orang tidak mau datang, Li Tay-yong berkata pula
terputus-putus, "Aku" aku tahu jiwaku takkan tertolong lagi, bukan
aku ingin minta kau menolong aku" aku, aku" ada sebuah
rahasia" ingin kuberi tahu kepada kau kelak kau" bisa naik"
pangkat dan mendapat pahala cuma tolong kau pulang ke Tayli,
mohon Ting-ciang-kun" membalas sakit" hatiku, aku, aku tak kuat
lagi, lekas, lekas, lekas"." Suaranya makin memburu dan lemah,
dalam jarak sepuluhan langkah Kim Kong-to sudah tidak mendengar
ucapannya Kim Kong-to kegirangan, pikirnya, "Tak nyana sebelum ajal dia
masih baik hati, tidak sia-sia aku angkat saudara dengan dia."
Khawatir orang sebelum membeber rahasia sudah mati, dengan
tertatih-tatih dia maju menghampiri, berjongkok lalu mendekatkan
telinga di mulutnya, teriaknya, "Hiante, lekas katakan."
Tak nyana mendadak Li Tay-yong tertawa dingin, katanya
"Toako, kau masih ingat sumpah kita bersama bukan" Kita
kan.saudara angkat, sepantasnya mati hidup bersama" Di tengah
tawa dinginnya itu dia layangkan telapak tangannya. Mimpi juga
Kim Kong-to tidak menduga bahwa adik angkatnya ini bakal
menamatkan jiwanya meski Li Tay-yong sendiri juga sudah dekat
ajal, tenaganya jauh lebih lemah, tapi pukulan telapak tangannya ini
toh cukup memukulnya tumpah darah.
Li Tay-yong tergelak, katanya "Hari ini orang she Li memang
mampus sia-sia tapi syukurlah aku masih bisa mengajak, mengajak
kau berangkat bersama Kelahiran kita berbeda tapi biarlah mati
bersama. Hahaha, tidak sia-sialah kita angkat saudara" Ternyata
waktu Li Tay-yong siuman dari pingsannya kebetulan dia
mendengar Kim Kong-to menggumam, sungguh bukan kepalang
gusar hatinya karena itu meski tahu jiwa sendiri sukar tertolong,
maka dia berusaha mengajak Kim Kong-to mati bersama.
Setelah menyemburkan darah segar, Kim Kong-to berteriak
parau, "Kau, kau kejam." Seperti tonggak kayu dia roboh menindih
badan Li Tay-yong, golok baja yang dipegangnya kebetulan
menancap di tenggorokan Li Tay-yong. Waktu mereka angkat
sumpah tadi, mungkin tidak pernah membayangkan bukan musuh
yang mematikan jiwa. mereka, tapi bersama mati di tangan saudara
angkat, jadi setimpal dan terkena oleh ganjaran sumpah sendiri.
Sementara itu Toan Kiam-ceng dan Leng Ping-ji masih saling
debat dan belum ada ke-putusan, ke mana mereka harus pergi.
Kalau Toan Kiam-ceng ingin lekas pulang, sebaliknya Leng Ping-ji
selalu menghalangi. Ruwet pikiran Toan Kiam-ceng, katanya dengan
tertawa getir, "Sebetulnya aku memang tak kuat menempuh
perjalanan jauh, untuk pulang juga bukan soal gampang. Ai, kalau
bisa naik kuda kan mending, tanpa kuda mau ke mana pun jadi
serba susah." "Tadi kau larang aku rebut kuda pembesar anjing itu, tapi
umpama dapat kuda juga aku tetap tidak setuju kau pulang ke
Tayli." Mereka tengah berjalan dijalan pegunungan yang melingkar
turun naik, mendadak didengarnya derap kuda yang mencongklang
turun dari jalan lingkar sebelah atas begitu cepat sederas hujan saja
Leng Ping-ji berkata heran, "Kedua kuda ini agaknya juga gagah
dan jempol, rasanya tidak kalah dibanding kuda kedua pembesar
anjing tadi." Toan Kiam-ceng tertawa getir, katanya, "Buat apa kau memuji
melulu, yang terang kita kan tidak akan merebut kuda orang."
"Aneh," ucap Leng Ping-ji. "Kuda sebaik itu jarang terlihat, entah
kenapa beruntun kita bertemu di atas gunung sepi ini" Mungkin
kedua pembesar anjing itu putar balik?" Belum habis dia bicara,
tampak dua ekor kuda sedang mencongklang turun dari jalan
lingkar sebelah atas namun tanpa penunggang.
Sebuah suara seperti sudah pernah mereka kenal berkumandang
dari atas, "Siau-ongya, temanmu titip aku supaya menyerahkan
kedua kuda ini kepada kalian, tapi dia berpesan supaya Tingciangkun
dari Tayli jangan melihat kedua ekor kuda ini."
Waktu Leng Ping-ji mendongak, sempat dilihatnya bayangan
punggung seorang pemuda berkelebat hilang di balik semak-semak.
Tanpa merasa Leng Ping-ji menjerit, "Oh, kiranya dia"
"Siapa dia?" tanya Toan Kiam-ceng.
"Terima dulu hadiah orang, bicara belakangan," seru Leng Pingji.
Toan Kiam-ceng bimbang, katanya, "Patutkah kita terima hadiah
ini?" "Kalau sudah datang kenapa ditolak" Orang kan bermaksud
baik." Toan Kiam-ceng lihat kedua ekor kuda ini adalah tunggangan Kim
Kong-to dan Li Tay-yong tadi, dalam hati dia membatin, "Bukan aku
menolak, toh kedua kuda ini yang lari mendekat."
Toan Kiam-ceng harus memeras keringat, setelah berhasil
mencem-plak di punggung kuda baru lega hatinya, katanya hambar,
"Ping-moay, menurut pendapatmu apakah yang telah terjadi?"
"Orang yang memberi hadiah sebesar ini, adalah pemuda yang
tempo hari menolong jiwa kita di Ciok-lin itu."
Toan Kiam-ceng melengak heran, "Apa benar orang itu?"
"Kenapa kau merasa heran?"
"Kim Kong-to dan Li Tay-yong bertugas ke Siau-kim-jwan
mengirim surat dinas, bagaimana mungkin dia titip kepada pemuda
itu menyerahkan kedua kuda ini kepada kita" Kalau mereka mau
berbuat apa-apa, kenapa harus pinjam tangan orang lain, bukankah
di sini mereka bisa serahkan secara langsung?"
Leng Ping-ji cekikikan, katanya, "Persoalan sepele begini, masa
kau tidak paham?" Toan Kiam-ceng memang pandai, sekilas berpikir segera dia pun
mengerti, katanya, "Jadi menurut hematmu, pemuda itu telah
membunuh Kim Tay-yong dan Li Kong-to berdua?"
"Kukira demikian. Kalau bukan pemuda berkepandaian tinggi itu,
kukira takkan mudah membunuh perwira Gi-lim-kun she Li itu."
"Kalau kita naik kuda mereka, apakah kita tidak akan di curigai?"
"Bukankah tadi kau juga mendengar peringatannya, asal tidak
diketahui Ting-ciangkun di Tayli, siapa yang tahu kalau kuda ini milik
mereka?" Toan Kiam-ceng menghela napas, katanya lesu, "Baiklah,
terpaksa aku ikut kau berkelana ke mana saja Jelas aku tidak bisa
pulang ke Tayli lagi." Lalu dia menambahkan, "Tapi aku masih
merasa aneh, pemuda ini pernah menolong jiwa kita, memberi kuda
tunggangan lagi, kenapa dia berbuat baik terhadap kita, kenapa
tidak mau menemui kita?"
"Aku juga tidak tahu apa sebabnya, bahwa dia lolos dari
keroyokan kedua gembong iblis itu lega juga hatiku."
---ooodwooo--- Dugaan Leng Ping-ji memang tidak meleset, yang memberi kuda
kepada mereka benar adalah Nyo Hoa. Hari kedua setelah dia
meninggalkan Ciok-lin, telah menyusul Leng Ping-ji dan Toan Kiamceng,
sejak itu dia menguntit dan mengawasi kedua muda-mudi ini.
Setelah membantu kedua muda-mudi ini hatinya amat riang,
pikirnya, "Pit-kip cosu jelas takkan kuberikan kepadanya, biar
kuberikan kedua ekor kuda saja, jelek-jelek aku sudah membantu
keponakan ji-suhu." Lencana tembaga milik Li Tay-yong sudah dia rampas serta
disimpannya baik-baik, katanya setelah tertawa besar, "Dengan
memiliki lencana tembaga ini, dengan bebas aku bisa pergi ke Siaukim-
jwan." ---ooodwooo--- Pada sebuah lekuk gunung yang jarang diinjak manusia di daerah
Siau-kim-jwan hidup sepasang suami istri pemburu yang masih
muda usia. Pagi hari itu pemburu muda itu sudah bangun dan berkata
kepada sang istri, "Hari ini aku akan berburu, di rumah kau harus
hati-hati, kalau ada apa-apa lekas kau lari sembunyi di gunung
belakang, segala milik kita, boleh tidak usah kau pikirkan."
Istrinya yang muda dan cantik berkata, "Milik kita tiada yang
berharga, bukan aku khawatir tentara negeri merampas barang kita,
yang kukhawatirkan kau ditangkap mereka"
Si pemburu membujuk, "Ah, tidak mungkin, letak rumah kita di
dalam cekung gunung yang sukar dijangkau oleh tentara negeri,
aku akan berburu di hutan. Malah kau yang di rumah harus selalu
berjaga-jaga" "Cu-ko," ujar sang istri, "aku memang agak takut. Laskar rakyat
telah mundur, tiada orang yang melindungi kita Walau kau bukan
anggota laskar rakyat, bila antek-antek musuh tahu kau punya
hubungan baik dengan Beng-thauleng dan Song-thauleng"."
Pemburu itu menghela napas, katanya "Aku tahu rasa takutmu,
sepantasnya aku di rumah menemani kau. Tapi makanan sudah
habis, tidak bisa tidak aku harus keluar berburu."
Apa boleh buat sang istri menghela napas, katanya, "Baiklah,
lekas berangkat, semoga Thian melindungi kita?"
"Jangan khawatir, aku akan pulang dengan selamat. Aku akan
berusaha dengan, tenagaku-sendiri, jadi tidak usah dilindungi Thian
segala" Dengan mesra sang istri antar suaminya keluar pintu serta
memandangnya lembut, katanya "Baiklah, semoga kau lekas
pulang." Dalam hati dia berpikir, "Dia belum tahu bahwa aku sudah
mengandung anaknya" Hal ini sengaja tidak dia beri tahu kepada
sang suami supaya tidak khawatir dan pikiran ruwet.
Setelah tutup pintu, dia menyibukkan diri jahit menjahit
membikin pakaian bayi. Mendadak pintunya digedor keras, suara
suaminya berteriak gugup, "Lekas, lekas buka pintu, aku pulang."
Memang dia mengharap suami lekas pulang, tapi juga tidak
menduga sedini ini dia sudah balik.
Lekas sang istri buka pintu serta tanya suaminya, "Ada kejadian
apa?" Setelah menutup pintu, sang suami berkata lirih, "Kulihat
serombongan tentara negeri naik gunung, aku lihat mereka sudah
memasuki lembah. Karena khawatir, lekas aku pulang, hayo kita
menyingkir." Istrinya kaget, tapi tentara negeri baru masuk lembah, takkan
secepat ini memburu tiba Katanya, "Apa betul" Lekas berbenah."
" "Tidak usah, lekas lari, lewat pintu belakang. Wah, celaka"
Belum lenyap rasa khawatirnya, didengarnya langkah kuda yang
berlari kencang sederas hujan memburu kemari. Bila lari keluar pasti
kepergok rombongan tentara itu.
Suami istri ini hanya berpelukan, diam-diam sang istri berdoa
supaya pasukan negeri yang terkenal seperti serigala tidak
menangkap suaminya Sayang keinginan yang baik justru terbalik dari kenyataan.
Langkah kuda yang riuh itu berhenti di depan rumah, jelas beberapa
orang lari berpencar mengepung rumah gubuk
ini. Kesiapsiagaan mereka seperti sedang menghadapi musuh
besar saja "Biang" daun pintu yang terbuat dari papan tipis itu lekas sekali
sudah dijebol ambruk, pasukan negeri seperti kawanan serigala
kelaparan segera menerjang masuk. Menghadapi kawanan pasukan
negeri yang garang seperti harimau ini, pemburu muda ini malah
lebih tenang, sambil angkat kepala dia berkata lantang, "Untuk apa
kalian kemari?" "Apakah kau ini Ho Thi-cu?" bentak seorang perwira
"Benar, kenapa?"
"Hmm, tentu kau sendiri sudah tahu, hayo berlutut dan mengaku
terus terang." "Mengaku apa?" "Hm, masih pura-pura pikun." Bukti sudah di tangan kami, kau
ada hubungan dengan pemberontak, kau kira kami tidak tahu"
Berapa banyak sisa pemberontak yang masih sembunyi di sini
sebutkan satu per satu. Hanya pengakuanmu yang akan menebus
dosamu. Kalau tidak, hm, hm, jangan salahkan kalau kami bertindak
keji kepadamu." Ho Thi-cu tertawa dingin, katanya lantang, Tempat kami ini jauh
dari rumah penduduk, selamanya tidak pernah ada rampok atau
pemberontak, kalau ada juga yang baru pindah ke sini, siapa
mereka mana aku tahu?"
Beberapa tentara berkaok-kaok gusar, kata seorang, "Tingkoan,
(pemimpin) pemburu busuk ini menyindir dan memaki kita!" Perwira
itu menarik muka, bentaknya, "Baik, beri hajaran padanya."
Diberi ijin, kawanan tentara itu merubung maju memisah kedua
suami istri. Sekali jotos Ho Thi-cu pukul seorang tentara pada
hidungnya. Perwira itu membentak, "Goblok!" Sekali ulur tangan,
tahu-tahu urat nadi Ho Thi-cu kena dicengkeramnya, jari tangannya
sekeras tanggam menjepit pergelangan tangannya. Sementara
istrinya juga ditelikung dan diseret ke samping oleh tentara lain.
Ho Thi-cu meronta dan memaki, "Nah, kan tidak salah apa yang
kukatakan" Apakah perbuatan kalian ini tidak mirip rampok atau
begal?" Perwira itu gusar, makinya, "Berani kau memaki aku" Sedikit
kerahkan tenaga, Ho Thi-cu terjepit kesakitan sampai keringat
dingin ber-ketes-ketes. Tapi dia kertak gigi tetap tak merintih, malah
makinya, "Rampok begal, memangnya kenapa kalau aku caci kalian"
Kalau berani boleh kalian bunuh bapakmu ini."
Mendadak perwira itu tertawa, katanya, "Bagus, kau ini orang
gagah, kau tidak takut mati, tapi apakah istrimu juga tidak takut
mati?" Melotot merah mata Ho Thi-cu, makinya, "Apakah kalian ini
manusia" Mau bunuh, boleh bunuh aku, kenapa menganiaya
perempuan lemah?" Saking puas dan senang bahwa gertakannya berhasil, perwira itu
tergelak-gelak, katanya "Kau ingin mati aku justru tidak akan segera
membunuhmu, di hadapanmu akan kuperlihatkan betapa istrimu
menderita" Segera dia suruh anak buahnya membelenggu suami
istri ini, lalu dia terima sebuah cambuk dari anak buahnya lalu
bergaya hendak menghajar istri Ho Thi-cu. Bentaknya "Lekas
mengaku, kalau tidak di hadapanmu akan kuhajar istrimu sampai
mampus." Ho Thi-cu menggigit bibir kencang-kencang seperti murka dan
kaget. Dia boleh tidak takut mati, atau khawatir bila istrinya tersiksa
tapi betapapun dia tidak boleh menjual kawan laskar rakyat demi
menolong istrinya Semula di lihatnya istrinya gemetar, mukanya pucat ketakutan,
kini mendadak membusung dada, katanya, "Cu-ko, jangan kau
scmbarang-an omong. Bila kita mati, ada orang yang akan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuntut balas sakit hati kita"
Berkobar semangat Ho Thi-cu, katanya "Kau memang istriku
yang baik, kalau kau tidak takut kenapa aku harus takut Kau
memang benar, pasti ada orang yang akan menuntut balas
kematian kita?" Perwira itu tergelak-gelak, katanya, "Leng Thiat-jiaU dan Beng
Goan-cau juga sudah kami pukul melarikan diri entah ke mana
kalian masih mengharap orang menuntut balas sakit hati segala"
Hehe, jangan bermimpi di siang hari bolong. Hm, gembreng kalau
tidak ditabuh tidak akan berbunyi, mau bicara tidak, cambuk kulitku
ini segera akan menghajar tubuh istrimu yang montok dan mulus
ini." ---oooooo--- Perwira ini mengejek Ho Thi-cu sedang mimpi di siang hari, di
luar tahunya penolong Ho Thi-cu memang sudah datang. Sudah
tentu hal ini pun tidak pernah diduganya dalam mimpi. Penolong Ho
Thi-cu suami istri bukan lain adalah Nyo Hoa
Sudah sebulan Nyo Hoa berada di Siau-kim-jwan. Lencana milik
Li Tay-yong itu ternyata amat berguna, manfaatnya besar, bila
teringat kejadian di pos terdepan waktu dia mulai memasuki daerah
terlarang ini, dia masih geli sendiri.
Begitu dia keluarkan lencana, pemimpin barisan yang berjaga di
pos ini lantas membungkuk-bung-kuk menyilakan masuk. Tapi
pemimpin yang sudah lama berdinas di ketentaraan dan banyak
pengalaman ini juga bukan tidak menaruh curiga terhadapnya
Sekarang Nyo Hoa menyamar laki-laki setengah umur, tata rias
memang pernah Nyo Hoa pelajari dari sam-suhu-nya Tan Khu-seng,
samarannya kali ini juga cukup baik dan mirip. Tapi pemuda berusia
delapan belas, dalam sikap dan tutur katanya betapapun masih
kelihatan kekanak-kanakan dan lugu. Bahwa perwira Gi-lim-kun
berdandan atau menyamar memang tidak perlu dibuat heran, tapi
pemimpin barisan ini heran dan tidak percaya bahwa orang semuda
ini dapat menjadi perwira Gi-lim-kun.
Nyo Hoa merasa bahwa orang agak curiga padanya, maka
sengaja dia pamer kepandaian, waktu pemimpin barisan ini
menyuguhkan secangkir teh, perlahan dia letakkan cangkir itu di
atas meja meja kayu itu seketika dekuk. Barulah pemimpin barisan
itu percaya, karena pemuda ini berilmu silat tinggi baru dia dipilih
jadi seorang perwira. Maka dia menyediakan diri mau mengantar
Nyo Hoa ke markas besar tempat kediaman tetok (gubernur)
pasukan besar kerajaan yang berkuasa di sini. Untung Nyo Hoa
cukup cerdik, dia berbohong bahwa dia menerima tugas khusus ke
Siau-kim-jwan untuk menyelidiki keadaan, kedatangan dirinya tidak
boleh diketahui orang banyak. Pemimpin barisan itu ragu-ragu,
terpaksa membiarkan Nyo Hoa berangkat sendiri.
Bahwa Nyo Hoa bilang menyelidiki memang betul, dia harus
mengadakan kontak dengan pihak laskar rakyat, harus mencari
letak makam ibunya pula. Tapi sebulan sudah lewat, usahanya tetap nihil. Maklum rakyat
Siau-kim-jwan siapa yang tidak takut antek-antek anjing alap-alap
kerajaan Ceng, siapa pula yang tidak takut kalau dituduh ada
hubungan dengan kaum pemberontak. Siapa . berani percaya
kepada seorang laki-laki pendatang baru yang tidak dikenal"
Terpaksa Nyo Hoa mengembara di daerah Siau-kim-jwan,
kebetulan hari itu dia berada di lekuk gunung di mana Ho Thi-cu
tinggal. Melihat sebarisan kecil pasukan kerajaan menyusup sejauh
ini, dia pun heran, pikirnya tertarik, "Untuk apa pasukan kerajaan
datang ke pelosok gunung ini?" Namun dalam hati dia menduga
bahwa barisan berkuda ini pasti sedang menjalankan tugas atau
hendak menangkap buronan.
Dengan ginkang-nya yang tinggi, diam-diam Nyo Hoa menguntit
dari atas pohon sampai ke rumah sepasang suami istri muda ini.
Dalam rumah gubuk, perwira itu sudah angkat cambuknya tinggi
di atas kepala serta membentak, "Mau mengaku tidak" Kuhitung
tiga kali, kalau tetap bungkam biar istrimu . kuhajar, satu, dua.."
Sebelum dia mengucap tiga, mendadak terdengar sebuah
bentakan sekeras guntur, "Berhenti!" Lalu
didengarnya suara keras dari papan rumah ambruk, dua tentara
yang berjaga di luar pintu terpental jatuh satu tombak lebih.
Sementara beberapa orang tentara yang mengepung rumah
berkaok-kaok merubung maju.
Yang melabrak masuk ini adalah Nyo Hoa Dengan gerakan
secepat kilat dia menyelinap masuk dari kepungan beberapa tentara
yang mengepung rumah. Dua tentara di depan pintu ayun golok
terus membacok, tapi keduanya terpental jatuh dengan kepala
bocor. Seperti kedua kawannya di luar, mereka terbanting jatuh
oleh lwekang tingkat atas yang digunakan Nyo Hoa yaitu Can-ihcap-
pwe-tiat. Lebih celaka lagi, mereka menubruk sambil mengayun
golok, begitu senjata terpental balik, makan tuan malah hingga luka
mereka lebih parah. Kepandaian perwira itu juga biasa saja, tapi dia cukup cerdik
melihat gelagat tidak menguntungkan, kepandaian Nyo Hoa jelas
lebih tinggi, maka timbul akal busuknya, tidak menyerang Nyo Hoa
tapi dia membelit cambuk kulit di leher Ho Thi-cu. Setelah Nyo Hoa
merobohkan empat anak buahnya menerjang masuk, langkahnya
setindak terlambat "Berdiri!" bentak si perwira. "Berani kau bergerak, biar kujerat dia
biar mampus. Apa kau tidak pikirkan jiwa kawanmu ini?"
Jiwa Ho Thi-cu tercengkeram di tangan lawan, meski
berkepandaian tinggi, Nyo Hoa jadi mati kutu tidak berani bertindak
gegabah. Untung dia masih menyimpan lencana tembaga milik Li Tayyong,
tiba-tiba timbul akalnya "Pakai kekerasan tidak bisa, kenapa
tidak ku-tipu dia?" Segera dia rogoh lencana terus diacungkan ke
depan mata si perwira, bentaknya "Bedebah, kawan apa" Kau tidak
kenal aku, juga harus kenal lencana ini?"
Sebagai perwira tetok yang berkuasa di Siau-kim-jwan sekarang,
sudah tentu dia kenal baik lencana dari Gil im-kun. Satu hal lagi,
waktu Nyo Hoa menyusup ke Siau-kim-jwan dan melewati pos
penjagaan pertama, dia berbohong sedang mengemban tugas
rahasia Hal ini sudah dilaporkan oleh pemimpin barisan penjaga itu
ke markas besar, hal ini juga diketahui oleh perwira ini, kini
mendadak melihat Nyo Hoa memperlihatkan lencana Gi-Um-kun,
sungguh kagetnya bukan main.
"Ya, hamba memang bodoh, hamba punya mata tidak tahu
gunung Thaysan, harap tayjin memberi ampun. Tayjin ada pesan
apa?" "Lepaskan mereka, ikut aku keluar, aku ingin bicara dengan kau."
Perwira itu ragu-ragu, pikirnya "Sebagai perwira tinggi Gi-lim-kun
dia menerima tugas rahasia kalau dia ingin bicara empat mata
dengan aku juga masuk akal." Maka tanpa menaruh curiga segera
dia turuti kehendak Nyo Hoa
Empat anak buahnya yang ter-luka sudah merangkak bangun,
meski kesakitan mereka tidak berani merintih, sambil meringis
matanya melotot saja Perwira itu membentak, "Bedebah, kalian
berbuat salah masih melotot segala, hayo lekas enyah dari sini."
Lekas anak buahnya saling papah terus keluar dan diberi
pengobatan. . Setelah keluar dari lekuk gunung, perwira itu masih kebat-kebit,
tanyanya kepada Nyo Hoa "Orang she Ho itu terbukti sekongkol
dengan pemberontak, konon dia punya hubungan erat dengan
pemimpin pemberontak Beng Goan-cau. Entah kenapa hamba harus
membebaskan dia, .mohon tayjin suka memberi petunjuk."
Nyo Hoa kegirangan, pikirnya, "Sungguh kebetulan sekali, tanpa
membuang tenaga aku menemukan sumber berita" Namun sikapnya
tetap kaku, katanya tawar, "Memangnya kau tidak tahu" Untuk
mengail ikan besar harus mengulur tali panjang?"
Perwira itu menepuk jidat, katanya manggut-manggut, "O, jadi
tayjin membiarkan orang she Ho itu bebas supaya dapat mengamati
gerak-geriknya dan menyelidiki komplotannya?"
"Betul, memangnya aku tidak tahu watak mereka yang tidak
gampang menyerah" Jangan kira pakai kekerasan dapat mengorek
keterangan, justru sebaliknya hasilnya nihil." Lalu dia merendahkan
suara berbisik di pinggir telinganya, "Biar rahasia ini kuberi tahu
kepadamu, tugasku kemari adalah secara diam-diam menyelidiki
tokoh-tokoh kosen mereka yang masih ditinggalkan di sini, baru saja
sumber penyelidikan sudah k u peroleh, datang-datang kau telah
merusak segala rencanaku."
Bahwa dirinya dicaci maki Nyo Hoa, tapi Nyo Hoa mau membeber
rahasia, perwira itu merasa was-was malah. "Mohon ampun tayjin,
hamba sungguh tidak tahu. Kedatanganku kemari juga menjalankan
tugas" demikian kata si perwira dengan merendahkan suaranya
pula. "Tidak tahu tidak berdosa. Tapi sumber yang baik ini jadi berantakan,
kita harus berusaha memperbaikinya." Pura-pura berpikir
sejenak, lalu berkata pula, "Suruhlah anak buahmu pulang dulu, kau
saja yang membantuku. Aku sudah punya akal untuk memperbaiki
rencana ini." Perwira itu melenggong, sejenak dia bimbang. Lekas Nyo Hoa
berkata, "Apa yang kau khawatirkan?"
"Ah, tidak, tidak, tidak ada," sahut si perwira gelagapan. "Tapi
perintah membatasi waktu sebelum hari petang aku harus pulang
memberi laporan." "Aku suruh kau membantu sudah tentu aku yang bertanggung
jawab kepada atasanmu. Kalalu kau tidak percaya padaku dan
khawatir merusak tugasmu, terserah apa kehendakmu."
Maksud si perwira memang ingin memancing pertanyaan Nyo
Hoa, pikirnya "Di mana pun anggota Gi-lim-kun selalu mendapat
prioritas, syukur hari ini aku dapat kenal dengan dia, rasanya jauh
lebih berguna daripada aku menjilat kepada pemimpin."
Lekas dia berkata, "Kenapa tayjin bilang begitu, justru tayjin sudi
mengundangku dalam tugas ini sungguh merupakan penghargaan
bagiku." Nyo Hoa tertawa, katanya, "Baiklah, mari kau ikut aku."
---ooodwooo--- Bahwa mereka lolos dari lubang jarum sungguh Ho Thi-cu seperti
sadar dari mimpi saja. Tapi bayangan kematian masih menyelubung
benak mereka "Cu-ko, sungguh tak nyana kita bisa terhindar dari petaka. Entah
siapa orang yang melukai tentara negeri tadi" Perwira penjilat itu
pun agaknya takut kepadanya," demikian ujar istri pemburu.
Ho Thi-cu masih bersikap prihatin, katanya menggeleng, "Jangan
keburu senang, terhindar dari petaka apa mungkin petaka justru
akan cepat menamatkan jiwa kita. Bukankah kau sendiri mendengar
pembesar anjing itu membungkuk-bung-kuk dan memanggilnya
tayjin?" "Aku sih tidak tahu apa artinya," ujar sang istri, "kalau betul
mereka orang sendiri, kenapa dia malah bantu kita memukul pergi
kawanan tentara itu?"
"Memangnya tidak jelas, ini toh hanya permainan sandiwara
belaka," demikian ujar Ho Thi-cu tertawa getir. "Dengan golok baja
dapat membunuh orang, dengan permen beracun juga bisa
membunuh orang. Cuma bedanya orang lebih suka rela menelan
permen yang beracun. Pendek kata setiap perwira atau pejabat
pemerintah satu pun tidak boleh dipercaya."
Sang istri masih membujuk, "Mungkin dia teman laskar rakyat
yang sengaja menyamar perwira musuh?"
"Perkataanmu seperti sedang mimpi saja, kecuali dia bunuh
pembesar anjing itu di depanku, aku tidak akan percaya."
"Lalu kita bagaimana" Aku mirip bernapas tapi tidak punya
tenaga mau lari juga tidak mampu lagi, toako lekaslah lari saja"
"Kawanan rampok itu takkan berhenti begini saja, di luar secara
diam-diam masih terus mengawasi gerak gerik kita Jangan kata aku
tidak tega meninggalkan kau seorang diri, umpama benar aku lari,
hanya akan masuk perangkap mereka. Lebih baik kita tunggu
kedatangan mereka pula, bila perlu adu jiwa mati satu balik pokok,
mati dua sudah untung."
Dengan lembut sang istri berkata, "Betul, jangan kita mudah
ditipu dan tak usah takut. Paling, mati, suami istri dapat mati
bersama juga baik." Ho Thi-cu acungkan jempolnya, katanya, "Istriku yang baik,
biasanya kukira kau bernyali kecil, perempuan lembut dan nyonya
yang bijaksana, ternyata kau pun gagah dan pemberani."
"Toako, aku belajar dari kau," katanya lembut sambil rebah dalam
pelukan sang suami, wajahnya cerah dihiasi senyum manis, namun
air-mata berlinang di pelupuk matanya Senang tapi juga sedih,
senang karena mendapat pujian suami, sedih karena dirinya sudah
mengandung tapi tidak mau memberi tahu suami "Mati bersama Cuko,
mati pun aku tidak menyesal. Yang harus disesalkan adalah
anak dalam kandunganku belum lahir dan harus ikut berkorban." Di
saat suami istri berpelukan, terasa betapa besar cinta mereka
betapa besar luhur kehidupan ini meski dalam keadaan serba
kekurangan dan menderita hal ini malah menambah dalam cinta
mereka. Mendadak Ho Thi-cu berjingkat sambil menarik istrinya perlahan,
katanya, "Istriku yang manis, lekas kau sembunyi ke kamar, ada
orang datang pula." Tapi si istri tidak mau sembunyi, dia tetap berdiri mendampingi
suami, katanya sambil kertak gigi, "Bukan orang, tapi perampok.
Toa-ko dugaanmu tidak salah, kawanan rampok datang lagi."
Belum habis mereka bicara, Nyo Hoa dan perwira itu telah
melangkah masuk. Begitu Nyo Hoa buka suara, Ho Thi-cu lantas dibuatnya kaget
dan melongo hingga mulutnya yang sudah siap melontarkan makian
jadi lupa bicara lapi kalau dia hanya merasa di luar dugaan, adalah
perwira itu justru kaget luar biasa.
Sebetulnya hatinya memang kebat-kebit entah apa kehendak Nyo
Hoa, tapi dia menduga sesama sejawat dalam ketentaraan yakin
Nyo Hoa tidak akan memerintahkan sesuatu yang membuatnya
serba susan-dan malu. Tak nyana Nyo Hoa lantas berkata, "Kau
berbuat salah terhadap mereka suami istri, lekas menyembah dan
minta maaf.?" Meski perwira ini menindas rakyat, mana dia mau tunduk kepala
serunya kaget, "Tayjin harap periksa, pohon ada kulitnya manusia
punya muka, aku" aku" aku"."
"Kau apa?" bentak Nyo Hoa. "Kusuruh kau berlutut dan minta
ampun, berani kau menentang kehendakku?"
Perwira itu sebetulnya hendak membantah, "Biarlah aku minta
maaf ala kadarnya saja", tapi karena bentakan Nyo Hoa yang keras,
tanpa sadar lututnya goyah terus jatuh berlutut dan benar juga
beruntun dia menyembah tiga kali.
H o Thi-cu menyeringai dingin, katanya, "Kalian main sandiwara
apa main kekerasan atau menggunakan cara lembut juga jangan
harap dapat membujuk aku." Nyata dia tetap tidak percaya kepada
Nyo Hoa Setelah berlutut ingin si perwira merangkak bangun. Tapi Nyo
Hoa lekas menekannya, bentaknya, "Nanti dulu, aku masih mau
bicara" Perwira itu meringis, katanya "Tayjin, ampunilah aku."
Nyo Hoa tertawa katanya "Kau harus minta ampun kepada


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka bukan minta ampun kepadaku."
Istri Ho Thi-cu berkata, "Sebetulnya apa yang sedang kalian
perankan" Kalian yang jadi penguasa sudah mending kalau tidak
menindas rakyat." Lekas perwira itu berkata "Tayjin, kau dengar mereka sudah mau
mengampuni aku." Nyo Hoa berkata, "Mereka penasaran tapi tidak terlampias, siapa
bilang mereka sudah mengampuni kau" Kalau tidak percaya biar
mereka katakan sendiri."
Baru sekarang Ho Thi-cu sadar akan suatu hal yang ganjil, maka
dia coba berkata, "Tadi aku hampir mati di tangan pembesar anjing
macammu, itu belum jadi soal, yang paling menjengkelkan adalah
kau hendak memaksa aku membawa kalian pergi mencelakai jiwa
orang baik. Aku jadi ingin menghajarmu sampai puas."
"Bagus, boleh silakan kau menghajarnya sampai puas dan
terlampias kedongkolanmu," kata Nyo Hoa "Jangan takut, aku yang
suruh kau menghajarnya"
"Aku takut apa, paling kalian membunuhku," kata Ho Thi-cu
sengit. Segera diraihnya sebatang tombak trisula yang biasa dia
bawa bila berburu, sekali ayunan kontan dia pukul si perwira.
Perwira itu juga dongkol dan gusar, saking tak tahan dia
berjingkrak sambil angkat lengan menangkis, Ho Thi-cu mundur dua
tindak, tapi perwira itu sudah kena gebuk dan berkaok-kaok
kesakitan. Saking gusar dia memburu hendak merebut tombak
trisula Ho Thi-cu. Tapi Nyo Hoa lantas menekan pundaknya, cukup
tiga bagian tenaganya saja perwira itu sudah tidak tahan dan tak
mampu bergerak, katanya dingin, "Dia tidak menusukkan tombak
trisula ke lambungmu sudah untung, kau masih berani melawan?"
Kejut dan gusar si perwira, mau tidak mau dia curiga kepada Nyo
Hoa katanya, "Tayjin, kau tidak terlalu" Siapa kau sebetulnya,
kenapa kau malah membantu berandal menghajarku?"
Nyo Hoa tertawa, katanya, "Betul, sejak tadi kau sudah harus
tanya, kau tahu siapa aku?"
Gemetar suara si perwira, "Kau, apakah kau bukan perwira Gilim-
kun?" "Kau memang pintar, sekali tebak jitu," ujar Nyo Hoa tertawa
"Terus terang, lencana itu kurampas dari seorang perwira Gi-limkun.
Jadi aku ini adalah kawan dari berandal."
Serasa terbang arwah si perwira, lekas dia meratap dan
menyembah, "Hohan ampun, ampun."
Nyo Hoa berkata, "Ho-toako, bagaimana pendapatmu?"
Setelah menghajarnya, rasa dongkol Ho Thi-cu sudah terlampias,
katanya "Silakan hohan sendiri memutuskan. Asal dia tidak
sewenang-wenang menindas rakyat, aku sih boleh mengampuni
jiwanya" Lekas perwira itu bersumpah, "Selanjutnya aku tidak berani lagi,
umpama mendapat perintah atasan aku lebih rela kena hukum dan
hanya menjalankan perintah ala kadarnya saja Jikalau aku ingkar
sumpah, biar aku terserang penyakit aneh dan mati tak bisa
diobati." "Baik, sementara boleh aku percaya akan sumpahmu, tapi aku
juga hanya mengampuni setengah jiwamu," demikian kata Nyo Hoa.
Bukan hanya si perwira, Ho Thi-cu suami istri pun heran
mendengar ucapan Nyo Hoa, mereka tidak mengerti kenapa hanya
diampuni setengah jiwanya"
Setelah lenyap tawa Nyo Hoa, mendadak dia gunakan Siau-kimna-
jiu menyangga dada si perwira, kontan orang menjerit kesakitan,
di saat mulurnya terbuka lebar itulah Nyo Hoa jejalkan sebutir pil ke
dalam mulutnya. Terasa oleh si perwira, pil itu rasanya getir asin
juga apek, mau ditumpahkan juga tidak bisa, tahu-tahu sudah
tertelan ke perut Nyo Hoa tertawa, katanya, "Tidak usah takut, obat yang kujejalkan
tadi adalah pil racun, jiwamu juga tidak akan segera mati."
"Racun" Pil racun?" ratap perwira itu kaget dan ketakutan.
"Hohan, kau, kau ampunilah jiwaku."
"Jangan salah," ucap Nyo Hoa, "aku sudah hilang hanya
mengampuni setengah jiwamu." Lalu dia menambahkan pelan,
"Kadar racun baru akan kumat setahun lagi, obat penawarnya akan
kuberikan kepada Ho-toako, bila tiba saatnya boleh kau minta
kepadanya. Ho-toako, selama ini kau boleh perhatikan
perbuatannya, mau beri atau tidak terserah kepadamu."
Ho Thi-cu berkata "Asal dalam setahun ini dia tidak sewenangwenang,
aku pasti memberi." Nyo Hoa menjelaskan, "Walau racun itu baru akan kumat
setahun lagi, tapi kadar racunnya sekarang sudah merembes ke
dalam tulang. Selanjutnya kau tidak boleh marah dan banyak
mengeluarkan tenaga kalau lupa akan pantangannya, racun kumat
lebih dini. Kalau tidak percaya, sekarang boleh kau gunakan cara
kau berlatih lwekang lalu menarik napas panjang."
Perwira itu berpikir, "Racun yang akan kumat setahun kemudian,
kok belum pernah aku dengar." Hatinya kcbat-kebit, setengah
curiga setengah percaya, tapi diam-diam dia mencoba tarik napas,
terasa Ih-khi-hiat di bawah ketiaknya terasa sakit seperti ditusuk
jarum Karuan hatinya kaget, "Ternyata memang benar ada racun
sejenis itu." "Jangan kau sekarang bermuka-muka di hadapanku, mengira aku
tidak tinggal lama di sini, laju kau akan datang memaksa Ho-toako
menyerahkan obat penawarnya. Untuk mencabut jiwamu
segampang aku membalik telapak tangan. Ke mana. kau sembunyi
juga takkan lolos dari tanganku. Mengerti?"
"Ya ya, hamba tidak berani," perwira itu meratap pula
Ho Thi-cu mendengus, katanya "Memangnya kau berani.
Sebelum saatnya, jangan kau harap dapat memaksa aku
menyerahkan obat. Paling aku mati bersama kau, obat penawar
sekali-kali takkan kuberikan kepadamu."
Perwira ini sudah tahu wataknya ia tahu ucapannya bukan gertak
sambal belaka, katanya dengan menyengir, "Ho-toako jangan kau
curiga. Kau adalah penolongku, betapapun aku harus berbuat baik
kepadamu, mana berani kurang ajar" Tapi untuk tidak menimbulkan
curiga orang, mungkin aku tidak bisa sering kemari menengok kau.
Baiklah setahun kemudian baru aku akan kemari."
"Siapa sudi kau menengok aku, sudahlah enyah," kata Ho Thi-cu.
Perwira itu kegirangan, lekas dia merangkak hendak lari ke luar.
"Tunggu," tiba-tiba Nyo Hoa menahan.
Berdebar jantung si perwira katanya pucat, "Hohan masih ada
petunjuk apa?" "Kalau jalan harus pelan-pelan. Ingat tidak boleh menggunakan
banyak tenaga" Nyo Hoa berpesan.
"Terima kasih akan petunjuk hohan, hamba akan selalu ingat,"
demikian katanya sambil membung-kuk-bungkuk padahal hatinya
benci setengah mati tapi lahirnya dia tidak berani memperlihatkan
rasa dendamnya Setelah melihat perwira itu pergi jauh, baru istri Ho Thi-cu
berkata dengan tertawa, "Cu-ko aku bilang pasti ada orang baik
menolong kita, ternyata doaku kesampaian."
Hubungan batin suami istri memang terjalin, di waktu istrinya
tertawa riang, Ho Thi-cu sudah
meraba apa kata kelanjutan yang hendak diucapkan istrinya
"Walau orang ini tidak membunuh perwira itu, tapi sekarang kau
pasti percaya kepadanya?"
Berbareng mereka mengatakan terima kasih kepada Nyo Hoa,
Tolong tanya siapa nama mulia inkong (tuan penolong)?"
"Kita kan orang sendiri, jangan sungkan, aku she Nyo bernama
Hoa kau boleh panggil namaku saja aku masih ingin mendapat
bantuan kalian." "Nyo-toako," kata Ho Thi-cu, "aku khawatir tak bisa
membantumu, ada urusan apa boleh katakan saja"
"Ho-toako, kau adalah teman baik Beng tayhiap Beng Goan-cau,
aku ingin tanya satu orang kemungkinan dia adalah sahabat Beng"
Goan-cau, paling tidak punya hubungan dengan laskar rakyat."
Begitu buka mulut Nyo Hoa lantas menyinggung laskar rakyat,
mau tidak mau timbul rasa curiga Ho Thi-cu, sesaat dia bimbang,
katanya, "Aku hanya kenal Beng tayhiap, tapi bukan sahabatnya,
tentang laskar rakyat aku juga hanya tahu sekadarnya saja Entah
siapa yang ingin kau ketahui?"
"Nyo-inkong," timbrung istri Ho Thi-cu, "hubunganmu dengan
Beng tayhiap kukira juga cukup intim?"
Nyo Hoa tahu suami istri ini belum percaya seratus persen
kepada dirinya, namun dia juga tidak lantas menjelaskan, katanya
dengan tertawa, "Aku agak lapar, bagaimana kalau kalian suguhkan
ketela rebus untuk mengganjal perutku yang kelaparan ini" Setelah
kenyang baru nanti bicara lagi." Persoalan penting dikesampingkan,
sikapnya yang wajar dan santai malah membuat bingung Ho Thi-cu
suami istri. Istri Ho Thi-cu minta maaf, katanya, "Keluarga kami miskin tiada
makanan enak untuk kusuguhkan pada inkong. Ketela ini biarkukuliti
dulu." "Ah, tak usahlah," ujar Nyo Hoa lantas mengambil sebuah ketela
Tampak sinar putih menari-nari, cahayanya menyilaukan mata
Ternyata ketela yang diambil Nyo Hoa dilempar ke tengah udara,
begitu pedang terlolos, dalam sekejap ketela itu telah dikuliti
olehnya Begitu pedang tersimpan ke dalam sarungnya Nyo Hoa
sambut ketela yang melayang jatuh itu. Setelah digigit sekali baru
berkata tertawa "Rasanya memang enak. Ho.-toako, konon ilmu
golok Beng tayhiap tiada bandingan, tentu kau pernah
menyaksikan?" Karuan demonstrasi permainan pedang Nyo Hoa bikin Ho Thi-cu
berdiri menjublek. Ternyata dengan pedang, Nyo Hoa memainkan
ilmu golok, yang dimainkan justru Beng-keh-to-hoat.
Kejut dan girang Ho Thi-cu bukan main, lekas dia bertanya,
"Nyo-toako, pernah apa kau dengan Beng tayhiap?" Dia kira kalau
Nyo Hoa bukan murid Beng Goan-cau juga pasti sesama perguruan.
Tapi dilihatnya usia Nyo Hoa masih muda, pasti dia muridnya
"Terus terang, aku belum pernah kenal dengan Beng tayhiap,
tapi ilmu goloknya itu dia suruh orang menurunkan kepadaku.
Kenapa aku diwarisi ilmunya, aku pun tidak tahu," demikian Nyo
Hoa memberi keterangan. Sekarang Ho Thi-cu tidak curiga lagi, katanya, "Sayang Beng
tayhiap sudah mundur bersama laskar rakyat, entah di mana
sekarang mereka berada" Sebetulnya sukar untuk menemuinya."
Nyo Hoa berkata "Ada seorang Hun lihiap bernama Hun Ci-lo,
konon waktu Siau-kim-jwan dulu dikepung pasukan besar kerajaan,
dia pernah datang membantu. Apakah Ho-toako pernah dengar
peristiwa itu" Yang ingin kuketahui adalah Hun lihiap itu."
Tiba-tiba merah mata istri Ho Thi-cu, katanya, "Jadi kau ingin
tahu tentang dia Ai?"
"Kenapa?" tanya Nyo Hoa
Kata Ho Thi-cu khidmat, "Kau memang tepat tanya peristiwa itu
kepadaku. Waktu Hun lihiap tiba di Siau-kim-jwan hari itu, dia pun
pernah menolong kami suami istri. Waktu itu kami belum menikah,
aku menjadi tawanan pasukan kerajaan, untung di jalan ketemu
Hun lihiap hingga pasukan kerajaan dipukul mundur dan kami pun
tertolong. Bukan menolong kami saja banyak lagi teman-teman
sekampung pun telah ditolongnya. Sayang sekali budi
pertolongannya tak mungkin kami membalasnya."
Kata istri Ho Thi-cu setelah mengusap airmata, "Hun lihiap sudah
mati, memang benar dia adalah sahabat Beng tayhiap suami istri,
mereka setiap tahun pasti sembahyang di depan makamnya"
Walau tahu ibunya sudah meninggal, tapi Nyo Hoa ikut bersedih.
Katanya terisak, "Aku tahu, aku kemari juga ingin bersembahyang di
depan makamnya Entah di mana letak makamnya?"
"Mari kuantarkan," kata Ho Thi-cu.
"Tidak usah. Tolong gambarkan saja letaknya dan sedikit
petunjuk jalannya, aku akan bisa menemukan sendiri," demikian
kata Nyo Hoa Selama sebulan ini hampir seluruh pelosok Siau-kimjwan
pernah dijelajahi, maka dia hanya perlu diberi petunjuk saja
"Makam Hun lihiap berada di Ho-lo-kok (Lembah Buli-buli) empat
penjuru dikelilingi dinding batu dan ngarai jadi merupakan sebuah
lembah, makamnya terletak di tengah lembah. Dari luar
kelihatannya tiada jalan masuk, padahal ada jalan rahasia yang
tembus ke dalam." Sambil bicara dia gunakan dahan kering
menggambar di atas tanah.
Nyo Hoa berpikir, "Tak heran dua kali aku pergi ke Ho-lo-kok
tidak menemukan makam itu." Dengan cermat dia perhatikan
keterangan Ho Thi-cu, katanya kemudian, "Terima kasih Ho-toako."
"Kau pergi sendiri, aku jadi agak khawatir."
"Kenapa?" tanya Nyo Hoa.
"Letak makam yang dirahasiakan ini orang luar jarang tahu,"
demikian ujar Ho Thi-cu. "Tapi sudah setahun pasukan kerajaan
Ceng menduduki Siau-kim-jwan, bukan mustahil makam itu sudah
mereka temukan." "Aku akan hati-hati. Ho-toako, kebaikanmu membuatku terharu,
tapi aku takkan mengajakmu menyerempet bahaya"
Ho Thi-cu ikut terharu, katanya "Kau menolong jiwa kami suami
istri, sayang aku tidak bisa balas membantu kau."
"Kau sudah memberi keterangan kepadaku. Hanya satu angananganku
yang terbesar yaitu sembahyang di makam Hun lihiap. Em,
mumpung hari belum gelap, aku harus segera berangkat."
"Nyo-toako," ucap Ho Thi-cu "tunggu sebentar. Ada satu hal aku
tidak habis mengerti, tolong kau menjelaskan."
"Soal apa?" Dalam hari Nyo Hoa berpikir, "Kalau dia tanya pernah
apa Hun iihiap dengan aku, bagaimana aku harus menjawab?"
"Dalam kalangan Kangouw mengutamakan setia kawan, juga
menjunjung tinggi kebenaran, perkataan seorang kuncu ibarat
seekor kuda lari cepat. Betul tidak?" tanya Ho Thi-cu.
"Betul, tapi harus dilihat terhadap siapa kita berhadapan."
"Betul," seru Ho Thi-cu menepuk paha. "Aku memang sedang
berpikir terhadap kawan sendiri sepantasnya demikian, tapi
terhadap musuh, seperti tentara kerajaan umpamanya apakah lata
juga demikian?" Legalah hati Nyo Hoa katanya tertawa "Ho-toako, yang kau
persoalkan tentu obat penawar yang harus kau serahkan kepada
pembesar anjing itu setahun yang akan datang?"
Istri Ho Thi-cu menimbrung, "Aku ini kaum hawa menurut pendapatku,
omongan pembesar itu tak perlu dipercaya Setahun
kemudian bila obat penawar kau berikan kepadanya, bukankah dia
akan membuat perhitungan dengan kita" Terus terang, meski dalam
setahun ini dia tidak berani mencari perkara dengan kita, hidup kita
juga akan kebat-kebit selalu."
"Nyo-toako," kata Ho Thi-cu, "bagaimana pendapatmu" Obat
penawarnya juga belum kau serahkan kepadaku?"
"Ya, hal ini belum kujelaskan, bahwasanya aku tidak punya obat
penawar segala" Ho Thi-cu melengak, serunya "Ha jadi kau menipu dia?"
"Aku juga tidak menipu dia aku kan sudah mengampuni jiwanya"
ujar Nyo Hoa tertawa Ho Thi-cu keheranan. Nyo Hoa berkata pula dengan tertawa
"Karena obat yang kuberikan itu bukan racun, maka aku pun tidak
punya obat penawarnya"
Ho Thi-cu paham, tanyanya, "Lalu apa yang kau jejalkan ke


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulurnya?" Nyo Hoa tertawa geli, katanya "Pil racun yang kujejalkan ke
mulutnya adalah obat darurat buatanku sendiri, yaitu daki badanku
yang kupuntir jadi sebutir pil."
Ho Thi-cu suami istri tertawa terpingkal-pingkal, katanya, "Nyotoako
caramu mempermainkan pembesar anjing itu memang
menyenangkan, meski jiwanya tidak terancam, tapi setahun ini
yakin dia cukup menderita."
"Dalam jangka setahun ini pembesar anjing itu pasti takkan
berani mempersulit kau, selekas-lekasnya kalian pindah saja Uang
dan sekantong ransum kering ini, boleh kalian gunakan untuk bekal
di tengah jalan." Istri Ho Thi-cu berkata, "Kau telah menyelamatkan jiwa kami,
mana boleh kami menerima?"
"Kalau tidak mau terima berarti tidak anggap aku sebagai
kawan," tukas Nyo Hoa.
Terpaksa Ho Thi-cu terima uang dan ransum kering, katanya
"Baiklah, budi kebaikanmu tak perlu banyak kubicarakan, uang dan
makanan ini kuterima. Kami suami istri memang sudah siap naik ke
gunung mencari para teman kami, kalau kau perlu tenaga kami
boleh kau susul ke sana Setahun lagi"."
"Kurasa tidak perlu khawatir. Setahun lagi, kemungkinan Siaukim-
jwan sudah berubah."
---ooodwooo--- Bulan sabit bercokol di angkasa raya, bintang bertaburan
berkelap-kelip. Malam hari di tengah hutan, suasana hening dan
sepi. Di sebuah tanah lapang berumput di tengah hutan terdapat
sehuah makam tunggal, seorang pemuda berlutut di depan makam
sambil sesenggukan. Pemuda itu bukan lain adalah Nyo Hoa
Setelah puas menangis, Nyo Hoa melolos pedang membabati
rumput yang subur di sekitar makam. Lalu dia bersihkan batu nisan
serta menyulut api melihat tulisan di atas sana Dilihatnya batu nisan
itu bertulis "Tempat Hun Ci-lo lihiap beristirahat" gaya tulisannya
mirip tulisan Beng Goan-cau dalam Beng-keh-to-hoat itu.
Berlutut di depan makam, Nyo Hoa berdoa "Ibu, sepuluh tahun
aku terlambat datang, tak bisa bertemu lagi dengan kau. Aku akan
mengemban cita-citamu, bersumpah membela nusa dan bangsa"
Lalu membatin, "Bila ingin tahu lebih hanyak tentang ibu, mungkin
aku harus menemukan Beng Goan-cau. Entah ke mana aku harus
menemukan dia?" Cukup lama Nyo Hoa bersembahyang, waktu dia mau
meninggalkan tempat itu, mendadak didengarnya sebuah suitan
panjang di kejauhan, suaranya melengking menembus hutan
bergema dalam lembah, telinga Nyo Hoa pekak rasanya Entah
suitan itu bernada sedih atau suitan gagah, yang jelas nadanya
tinggi dan perkasa. Nyo Hoa kaget, pikirnya "Agaknya inilah Say-cu-hong-kang lwekang
tingkat tinggi, lwekang orang ini sungguh luar biasa
Gelagatnya masih lebih tinggi dibanding Khong-tong-ji-lo, Tong-hian
dan Tong-bing kedua tosu hidung kerbau atau gembong iblis
macam Yang Ke-beng." Karena tidak tahu pendatang ini kawan atau
lawan, dia tidak ingin terjadi keributan di depan makam ibunya
maka terpaksa menyingkir saja
Makam ini terletak di tengah tanah lapang, jadi nada tempat
untuk sembunyi. Untung di belakang makam terdapat dua batu
besar sepelukan orang tegak berdiri, di tengahnya terdapat celahcelah
yang cukup untuk sembunyi seorang bocah, tapi Nyo Hoa
pernah meyakinkan Siok-kut-kang (Ilmu mengerutkan tulang)
untung badannya cukup menyelinap di tengah batu. Di sekeliling
batu juga terdapat semak-semak rumput setinggi manusia,
sembunyi di sini lebih aman dan sukar diketahui orang daripada
sembunyi di atas pohon. Baru saja Nyo Hoa menyembunyikan diri, terdengar suitan itu
berhenti, orang itu pun sudah berdiri di depan makam ibunya. Dari
celah batu yang tertutup dahan-dahan rumput dia mengintip ke
luar. Di bawah keremangan cahaya bulan dia masih bisa melihat
jelas keadaan sekelilingnya. Maka dia melihat jelas pendatang ini
lelaki berusia limapuluhan memelihara jenggot panjang bercabang
tiga. Begitu berdiri di depan makam, orang itu mendapatkan rumput
yang dibabati, mulutnya bersuara heran, katanya, "Agaknya ada
orang pernah kemari, mungkinkah Goan-cau pulang diam-diam dan
bersembahyang serta membersihkan makam?"
Lalu dia berseru lantang, "Aku ini Miao Tiang-hong, sahabat
manakah yang membersihkan makam Hun lihiap, silakan keluar
bertemu." Nyo Hoa juga heran, pikirnya, "Entah siapa orang she Miao ini"
Nada bicaranya dapat disimpulkan bahwa dia sahabat baik Beng
Goan-cau." Ternyata sam-suhu Nyo Hoa, ji-suhu-nya Toan Siau-si meski
kenal Miau Tiang-hong, sayang dalam pertemuannya di Ciok-lin
terakhir kali, waktu teramat mendesak hingga banyak persoalan
yang hendak dibicarakan jadi terlupakan, demi-. kian juga hubungan
baik Miao Tiang-hong dengan Hun Ci-lo juga lupa diberitahukan
kepadanya. Nyo Hoa berpikir, "Sementara biar tak usah kutemui dia, lihat
dulu apa yang hendak dia lakukan?"
Setelah ditunggu sekian saat tidak kelihatan orang muncul, Miao
Tiang-hong kira orang sudah pergi. Sesaat dia berdiri melamun,
wajahnya kelihatan sedih, sambil menghela napas panjang,
mulutnya menggumam bersenandung, habis bersenandung tiba-tiba
dia menangis menggerung-gerung.
Hampir Nyo Hoa tak kuat menahan rasa sedih, airmata
bercucuran, pikirnya, "Mendengar tangisannya yang begini sedih,
tentu kawan ibu dan bukan musuh.
Berlutut di depan nisan, Miao Tiang-hong berdoa, "Ci-lo, sengaja
aku kemari, hendak memberi tahu kepadamu, aku sudah bekerja
sesuai pesanmu, putramu sudah kuasuh sampai besar. Sayang
usianya baru sepuluh tahun, tak bisa aku membawanya kemari
untuk sembahyang di depan makammu. Aku masih ingin memberi
tahu kecuali aku mengajar kungfu kepadanya, aku pun telah
mencarikan seorang guru ternama, bulan lalu aku membawanya ke
Thian-san dan ciangbunjin Thian-san-pay Teng King-thian (Tong
Keng Thian) berjanji menerimanya menjadi murid penutup.
Kepandaian Teng King-thian sepuluh kali lipat lebih tinggi dari aku,
kelak putramu yang kecil itu pasti menjadi pendekar besar."
Makin mendengar makin heran, Nyo Hoa membatin, "Ternyata
aku masih punya seorang adik lelaki, tapi baru sekarang aku tahu."
Didengarnya Miao Tiang-hong berdoa pula, "Orang hidup dapat
kawan setia, mati pun boleh tak menyesal. Perkataan ini pernah kau
ucapkan, Ci-lo, meski sudah sepuluh tahun kau meninggal, dalam
hatiku, kau masih seperti masih hidup. Semoga"."
Tanpa merasa Nyo Hoa mengerutkan kening, terasa ucapan Miao
Tiang-hong ini agak ganjil, dia merasa tidak sepantasnya kata-kata
ini dilontarkan kepada seorang nyonya mati yang sudah punya
suami. "Semoga?" belum sempat Miao Tiang-hong katakan mendadak
dia angkat kepala seraya bersuara heran lalu bergegas berdiri. Nyo
Hoa me-lenggong, segera dia pasang telinga mendengarkan,
didengarnya dua langkah orang seperti menuju ke arah makam ini.
Miao Tiang-hong seperti tahu siapa yang akan datang, setelah
menghela napas, dia menggumam sendiri, "Sungguh tak. nyana
suami yang rendah martabat ini juga masih ada muka datang ke
makam Ci-lo. Jikalau kebentur di tempat lain, aku pasti tidak akan
mengampuni dia Tapi di depan makam Ci-lo, demi memberi muka
kepada Ci-lo, tak boleh aku membunuh di sini, terpaksa aku
menyingkir saja." Suaranya lirih, tapi Nyo Hoa sembunyi dalam jarak
dekat maka dia mendengar jelas.
"Suami yang bermartabat rendah", bagi pendengaran Nyo Hoa
agak menusuk telinga diam-diam dia merasa heran, pikirnya "Entah
siapa orang itu, tapi Miao Tiang-hong memakinya demikian, pastilah
perbuatan orang itu terlalu jahat atau kejam. Tapi kenapa dia harus
memandang muka ibu dan tidak akan menghajarnya di sini" Ibu
adalah pendekar perempuan yang dihormati para pemimpin laskar
rakyat, mungkinkah dia punya teman serendah itu?"
Langkah kedua orang itu makin dekat, dua orang jalan beradu
pundak mendatangi. Miao Tiang-hong sembunyi ke dalam hutan, sekali enjot kaki dia
melompat naik ke atas pohon. Dahan tidak bergerak daun tidak
rontok, ternyata tidak mengeluarkan sedikit suara pun. Diam-diam
Nyo Hoa memuji, "Kepandaian lain orang ini aku belum tahu,
ginkang-nya jelas teramat tinggi, jelas aku bukan tandingannya. Tak
heran sam-suhu sering bilang orang pandai masih ada yang lebih
pandai." Belum habis dia berpikir, dari lereng bukit sana muncul
bayangan dua orang, mereka beranjak menuju ke arah makam sini.
Hati-hati Nyo Hoa menyingkap rerumputan lalu mengintip ke
luar. Yang jalan di depan adalah dua orang perwira, yang di
belakang adalah laki-laki setengah umur berperawakan sedang.
Tercekat hati Nyo Hoa, pikirnya, "Aneh, orang yang di belakang
itu seperti pernah kulihat" Tapi di mana?" Sayang dia hanya
mengintip dari celah-celah, sinar bulan agak guram pula, hingga
wajah orang itu tidak kelihatan jelas. Tapi entah kenapa jantung
Nyo Hoa mendadak berdebar keras seakan-akan mendapat firasat
jelek. Orang di belakang bersuara, katanya dengan nada menyesal,
"Sungguh tak nyana di sini ada dunia lain, Coan-tayjin kalau bukan
kau yang menunjukkan jalan, makam ini sungguh sukar ditemukan."
Begitu orang ini bersuara, kembali jantung Nyo Hoa berdegup
lebih keras, "Aneh, suaranya amat kukenal. Pasti bukan sekali dua
aku pernah bertemu dia, lalu siapa" Siapa dia?"
Perwira she Coan itu tertawa katanya, "Memang nasibmu yang
mujur, kalau kau minta tolong orang lain, tak mungkin secepat ini
dapat menemukan tempat ini."
"Memang aku tahu kau banyak akal, maka sejak aku ikut kau
me-luruk ke Siau-kim-jwan ini sengaja aku minta bantuanmu,"
demikian ujar laki-laki perawakan sedang itu.
"Bukan aku banyak akal, tapi lantaran aku punya rejeki. Apa kau
tahu duduk persoalannya?" kata perwira she Coan itu.
"Ya, memang tidak tahu. Coba kau ceritakan," kata orang di
belakang itu. "Tentu ceritanya cukup menarik?"
Perwira she Coan itu tertawa bangga katanya "Sedikit pun tidak
menarik. Dulu aku pernah ikut Pak-kiong Bong bertempur di lembah
ini, bila terbayang pertempuran besar tahun itu, sungguh rasa giris
masih menghantuiku. Dulu Pakkiong Jongling juga gugur tak jauh
dari sini, dia mati di tangan Miao Tiang-hong. Aku beruntung dapat
meloloskan diri, tapi secara tak terduga aku kesasar masuk ke
lembah, di dalam lembah ini beberapa hari aku sembunyi di sini
merawat luka baru terhindar bahaya"
"O, jadi kau kembali ke tempat lama namanya."
"Betul, meski kalau dibayangkan menakutkan, namun besar juga
hasratku untuk kembali ke tempat lama ini. Tempo hari secara tidak
terduga kutemukan makam yang pernah kau pesan untuk bantu
mencarikan. Setelah kutemukan, diam-diam aku merawatnya baik
dan melarang anak buahku datang ke tempat ini."
"Semasa hidupnya dia menentang kerajaan, setelah mati kau
sudi melindungi makamnya, sungguh aku harus berterima kasih
kepadamu." "Nyo-heng, urusan sekecil ini, memangnya aku tidak memberi
muka kepadamu?" Sampai di sini Nyo Hoa sudah menjublek. Perasaannya hampa,
pikirnya "Lho, orang ini kok she Nyo?" Firasat jelek itu semakin
menghantui sanubarinya Setelah tenangkan hati dia berpikir,
"Syukur sebagian sudah kupahami, orang she Miao tadi ternyata
kaum pendekar. Pakkiong Jongling yang dikatakan tadi pasti adalah
komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong yang berkuasa sepuluh tahun
yang lalu." Semasa hidupnya, Pakkiong Bong adalah musuh kaum
pendekar. Hal ini Nyo Hoa pernah dengar cerita kedua gurunya.
Tapi masih banyak pula persoalan yang belum dimengerti,
"Orang she Nyo ini jelas sehaluan dengan perwira musuh kenapa
dia melindungi ibuku?" Semakin dipikir Nyo Hoa semakin bingung
seperti terombang-ambing dalam kabut tebal. Mungkin dalam lubuk
hatinya yang paling dalam takut membuka tabir kegelapan yang
menyelimuti hatinya. Sambil bicara kedua orang itu sudah tiba di depan makam Hun
Ci-lo. Orang she Nyo itu bersuara heran, katanya "Barusan agaknya
ada orang kemari?" "Konon setiap tahun Beng Goan-cau pasti sembahyang kemari,
cintanya ternyata tidak pernah pudar. Entah ke mana Beng Goancau
melarikan diri, bukan mustahil dia titip pesan kepada pemburu
setempat untuk merawat dan menjaga makam ini secara diamdiam."
Mendengar sampai di sini hati Nyo Hoa gusar, pikirnya, "Berani
kau menghina ibuku, biar nanti kau rasakan kelihayanku." Sudah
tentu mimpi pun tak pernah terpikir oleh Nyo Hoa bahwa Beng
Goan-cau adalah ayah kandungnya Dia kira perwira she Coan ini
sengaja memfitnah dan menghina hubungan Beng Goan-cau
dengan ibunya Nyo Hoa gusar, ternyata laki-laki she Nyo itu juga naik pitam,
katanya setelah mendengus, "Beng Goan-cau, sayang aku tak tahu
di mana dia sembunyi, ingin rasanya aku mencacah tubuhnya"
Aneh adalah Nyo Hoa tidak merasa benci atau menaruh
permusuhan kepada lelaki she Nyo yang datang bersama perwira
she Coan itu, tapi setelah mendengar ucapannya, hatinya menjadi
jengkel, pikirnya, "Jangan mimpi kau mampu mencacah tubuh Beng
Goan-cau. aku malah bisa menghajarmu sampai rontok gigimu."
Hampir saja dia akan menerjang keluar menghajar adat kedua
orang ini, tapi dia lantas berpikir, Miao Tiang-hong yang
berkepandaian lebih tinggi saja bisa bersabar dalam hal ini pasti ada
sebabnya. Banyak persoalan yang mengganjal hatinya belum
terjawab, terpaksa dia bersabar dan kesampingkan urusan lain
mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut
Tak nyana percakapan selanjutnya justru pembicaraan yang
menyangkut dirinya. "Nyo-heng," ucap perwira she Coan, "ingin aku tanya satu hal
kepadamu" "Soal apa?" "Bulan lalu baru kau berangkat dari kota raja, pernahkah kau
dengar pihak kerajaan ada mengutus seorang perwira Gi-lim-kun ke
Siau-kim-jwan dengan mengemban tugas rahasia?"
"Lho, apa ada persoalan itu" Aku sih tidak dengar. Sayangnya
hubunganku dengan komandan Gi-lim-kun yang sekarang Hay-tayjin
tidak seerat dengan Pakkiong Jong-ling dulu, kalau orang itu
menjalankan tugas rahasia, sudah tentu tidak leluasa bicara dengan
aku." "Nyo-heng kau terlalu merendah. Siapa tidak tahu komandan kita
Hay-tayjin juga menaruh harapan besar terhadapmu" Dibanding
sepuluh tahun yang lalu keadaanmu sekarang kan lebih baik. Walau
pangkatmu tituler, kau juga termasuk anggota Gi-lim-kun yang
terpuji. Aku sebaliknya sudah kepalang basah di luar, tak mungkin
kembali ke dalam kalangan Gi-lim-kun."
"Coan-tayjin juga tidak perlu kecil hati. Persoalanmu pernah


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kubicarakan dengan Hay-tayjin, pernah Hay-tayjin berjanji kepadaku
secara lisan, bila situasi di sini sudah agak tenteram kau akan ditarik
balik menduduki jabatanmu semula."
"Terima kasih atas bantuan Nyo-heng." Lalu perwira she Coan
berkata lebih lanjut, "Betapapun aku harus merebut pahala dulu
baru enak pulang ke pangkalan. Bicara tentang saudara utusan
rahasia dari Gi-lim-kun yang tindak tanduknya serba rahasia itu
bagaimana?" Laki-laki she Nyo berkata, "Aku benar-benar tidak tahu akan
orang ini, hubungan kita sebaik ini, memangnya aku harus
mengelabui kau?" Perwira itu tertawa, katanya, "Bukan aku curiga kau mengelabui
aku. Aku justru mencurigai orang itu. Orang itu masih muda,
kebetulan juga she Nyo."
Laki-laki she Nyo geleng-geleng, katanya, "Menurut apa yang
kutahu, tanpa aku di dalamnya, dalam Gi-lim-kun rasanya tiada
anggota she Nyo lainnya." Lalu dia balas bertanya, "Apa yang kau
curigai tentang orang itu?"
Perwira she Coan berkata, "Kukira dia itu palsu."
"Palsu?" laki-laki she Nyo kaget. "Dia punya lencana Gi-lim-kun
tidak?" "Punya, tapi sepak terjangnya agak mencurigakan. Menurut pendapatku
lencananya itu memang tulen, cuma orangnya yang palsu."
"Lho kenapa begitu?"
"Ada dua hal yang patut dicurigai. Pertama sudah sebulan lebih
dia datang kemari tapi tidak pernah menghadap kepada tetok
tayjin." Laki-laki she Nyo mengangguk, katanya, "Betul, seorang yang
mengemban tugas rahasia sebesar apa pun sepantasnya juga harus
melaporkan diri kepada penguasa setempat. Kecuali dia mendapat
perintah langsung dari sri baginda untuk mengawasi"."
"Kurasa tidak mungkin. Sejauh ini tiada alasan baginda
mencurigai tetok, apalagi urusan yang harus berkuasa di sini juga
harus pandai dan orang kepercayaannya, mana mungkin mengutus
seorang pemuda yang masih hijau pelonco. Bocah itu juga bilang
bahwa tugasnya menyelidik sisa-sisa pemberontak yang tertinggal di
sini." Maka laki-laki she Nyo berkata, "Kalau demikian, apa pula
persoalan kedua yang mencurigakan?"
"Kemarin petugas ronda mengutus sebarisan kecil anak buahnya
mengeroyok seorang pemburu binatang she Ho, orang she Ho ini
terbukti punya hubungan intim dengan pihak pemberontak.
Sebetulnya pihak kita sudah yakin, membekuk seorang pemburu tak
terlalu membuang banyak tenaga, tak nyana terjadi peristiwa di luar
dugaan." "Peristiwa apa?"
"Di rumah pemburu she Ho itu mereka kepergok perwira Gi-limkun
yang masih muda usia itik"
"Lalu kenapa?" "Anak buahnya disuruh pulang, hanya pemimpin barisan yang
disuruh tinggal membantu dia menyelesaikan tugas. Pagi tadi
pemimpin barisan itu pulang, badannya luka-luka"
"Siapa yang melukai?"
"Menurut cerita, pemimpin barisan itu, pemburu she Ho itu yang
menghajarnya" "Lalu pemuda itu, dia menonton saja dari samping?"
"Tidak, kalau kuceritakan yakin kau pun merasa di luar dugaan.
Menurut cerita pemimpin barisan, pemuda itu sengaja membuatnya
menderita dipukul dan dihina dengan alasan supaya leluasa
mengambil kepercayaan pemburu muda itu, lalu akan mengulur
benang panjang mengail ikan besar."
Nyo Hoa yang sembunyi dan mencuri dengar pembicaraan
mereka jadi geli. "Pemimpin barisan itu ternyata tidak berani lapor
sejujurnya." Laki-laki she Nyo ternyata mengerutkan alis, katanya, "Kurasa
perwira tiruan itu sengaja mau melindungi komplotannya."
"Betul, tetok tayjin juga sudah curiga, maka pemimpin barisan itu
lantas disekap dan aku diutus ke sana untuk menyelidiki asal-usul
pemuda itu. Sayang aku tidak tahu sekarang dia sembunyi di mana.
Nyo-heng kuharap kau sudi membantu aku."
Nyo Hoa tertawa geli pula dalam hati, "Jauh di langit, dekat di
depan mata. Nanti sebentar kau akan berhadapan langsung dengan
aku." Orang she Nyo itu berkata, "Di antara kita kenapa harus
sungkan, persoalanmu adalah persoalanku juga." Mendadak dia
seperti sadar, katanya, "Mungkin tidak bocah itu yang tadi
sembahyang di makam ini?"
"Ya, aku memang curiga, konon kungfu pemuda itu amat tinggi."
"Coan-toako," kata orang she Nyo. "Ngo-hou-toan-bun -to yang
kau yakinkan sudah menggetarkan utara dan selatan sungai besar,"
jangan kata menghadapi pemuda ingusan, umpama Beng Goan-cau
yang dijuluki golok kilat nomor satu di dunia juga belum tentu
menjadi tandinganmu. Kalau dia benar berada di sini, aku harus
mengucap syukur malah."
"Bagus," batin Nyo Hoa, "sebentar biar kau rasakan kelihayanku."
Diam-diam Nyo Hoa tertawa geli, tapi mendengar pembicaraan
mereka selanjurnya, mau tidak mau hatinya kaget.
Perwira she Coan itu berkata dengan tertawa, "Nyo-toako,
kenapa kau mengagulkan diriku malah" Kim-kong-liok-yang-jiu yang
kau yakinkan juga tiada bandingan di kolong langit ini, bicara terus
terang, berada di sampingmu baru nyaliku besar."
Kim-kong-liong-yang-jiu adalah ajaran warisan keluarga Nyo Hoa.
Walau usia Nyo Hoa dulu masih kecil, belum pernah meyakinkan
ilmu ini dari sang ayah, tapi dia tahu seluk beluk ilmu warisan
keluarganya ini. Setahunya, yang setimpal dijuluki jago nomor satu
di dalam ilmu pukulan ini, bila ayahnya masih hidup, jelas ayahnya
takkan ada bandingannya. Tapi ayahnya sudah mati, tinggal Lak-jiukoan-
im Nyo toakoh. Tapi laki-laki she Nyo di depan mata ini bukan
perempuan, jadi bukan Nyo toakoh.
"Aneh, dari mana dia bisa mempelajari Kim-kong-liok-yang-jiu"
Berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu yang tak
terkalahkan di dunia" Eh, kenapa, kenapa justru kebetulan dia she
Nyo pula?" Entah kenapa rasa dingin tiba-tiba meresap ke relung
hati Nyo Hoa, tanpa terasa dia bergidik seram sendiri, dan tak
berani berpikir lebih lanjut.
Tapi pembicaraan kedua orang ini memang tidak memberi
kesempatan, pembicaraan selanjutnya semakin mendebarkan
jantungnya. Didengarnya laki-laki she Nyo itu tertawa, katanya, "Banyak
terima kasih akan pujianmu. Terus terang saja, selama sepuluh
tahun ini aku juga giat berlatih memperdalam ilmu warisan
keluarga, tapi Kim-kong-liok-yang-jiu kupersiapkan untuk
menghadapi Beng Goan-cau."
"Betul, menyembelih ayam kenapa pakai golok jagal. Menghadapi
pemuda ingusan kenapa harus menggunakan keahlianmu" Barusan
aku salah omong." "Mungkin kita terlalu banyak curiga sendiri, orang yang
sembahyang di makam Hun Ci-lo tadi memang sudah pergi, mana
berani sembunyi di sini?"
"Betul, sekarang sudah saatnya kau menyelesaikan urusanmu,
Pendekar Elang Salju 9 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Istana Pulau Es 2
^