Pencarian

Anak Pendekar 4

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 4


apakah aku perlu menyingkir lebih dulu?"
Laki-laki she Nyo agaknya me-lengak, katanya, "Ada soal apa
yang harus kau menyingkir?"
"Nyo-heng, kau ini laki-laki romantis, kini sembahyang di depan
almarhumah istrimu, mungkin ada sepatah dua patah yang ingin
kau sampaikan di depan makamnya. Kalau aku mendengarkan di
samping mungkin merikuhkan."
Laki-laki she Nyo itu mendengus, katanya marah, "Aku kan sudah
menceraikan dia, sekarang aku sendiri bingung bagaimana harus
memanggilnya, nyonya Beng, nona Hun, atau nyonya Miao" Hm,
coba lihat batu nisannya itu, Beng Ooan-cau yang membuatkan
kukira, mungkin dia harus dipanggil nyonya Beng lebih tepat."
"Karena itu aku merasa kagum kepadamu, sebagai suami yang
romantis, dia sudah serong dan mengingkari dirimu, tapi kau masih
mencintainya sepenuh hati."
Laki-laki she Nyo menghela napas, sikapnya pura-pura seperti
laki-laki romantis sungguhan, katanya, "Memang, meski perempuan
sundal ini ingkar janji dan serong betapapun aku Nyo Bok pernah
menjadi suaminya." Makin mendengar makin kaget, tubuh pun gemetar, sampai
akhirnya hampir saja Nyo Hoa jatuh pingsan. "Apakah aku sedang
mimpi?" Lekas dia gigit jari, sakit sekali, jelas ini bukan mimpi.
"Betulkah orang ini ayahku" Mungkinkah ini ayahku" Bukankah
ayahku sudah mati?" Masih segar dalam ingatannya, ayahnya mati menggantung diri.
Malam itu dia terjaga oleh jerit tangis ibunya, waktu membuka mata
yang masih mengantuk, dia melihat ibunya menurunkan jenazah
ayahnya. Tapi ibunya suruh bu inang membopongnya pergi. Waktu
itu ibunya tidak memberi penjelasan apa-apa, hal itu diketahui
belakangan setelah dia beranjak besar, dia kira ibunya tidak tega
dirinya yang masih kecil sedih, maka bu inang disuruh membawa
dirinya pergi. Tapi sekarang timbul rasa curiganya, "Aku tidak
melihat jenazah ayah dimasukkan ke dalam peti, mungkin, mungkin
waktu itu dia pura-pura mati."
"Tidak, tidak mungkin, ayah pasti sudah mati. Orang ini menyaru
ayahku." Lalu terbayang keadaan menyedihkan pada hari ayahnya
dikubur, "Kalau ayah tidak mati kenapa ibu menangis sesedih itu"
Demikian juga kokoh (bibi) dan beberapa suheng yang lain juga
menangis pilu" Dengan mata kepalaku sendiri aku saksikan mereka
menggotong peri jenasah ayah." Di luar tahunya bahwa di belakang
peristiwa itu banyak liku-liku yang tidak dia ketahui.
Sungguh kasihan, Nyo Hoa menipu diri sendiri dengan cara
berpikirnya maksudnya karena dia tidak ingin mengetahui bahwa
orang ini adalah ayahnya. Sebenarnya sejak dia mendengar suara
Nyo Bok, hatinya sudah mendapatkan firasat jelek, maka hatinya
amat takut Tapi hanya satu pegangan yang dipercayainya, bahwa
ayahnya sudah mati sepuluh tahun yang lalu. Tapi kenyataan
sekarang ayahnya masih hidup segar di depan matanya, dan
mulutnya mengakui siapa dia dan menyebut nama sendiri pula
Walau dia tidak mau percaya namun dalam lubuk hatinya yang
paling dalam sudah tahu bahwa laki-laki ini memang betul adalah
ayahnya "Bagaimana aku" Bagaimana aku harus bersikap?"
Nyo Bok berdiri di depan makam membaca ukiran "tempat Hun
Ci-lo lihiap beristirahat", didirikan Beng Goan-cau, semakin berkobar
amarah Nyo Bok, katanya dengan gigi gemertak, "Coan-toako, boleh
kau di sini saja, saksikan siaute latihan." -
Perwira she Coan itu melongo, katanya tertawa, "Kau tidak
menangisi istri yang sudah tiada malah sempat mau latihan segala"
Latihan di depan makam istrimu, apakah tidak sungkan dan salah?"
Nyo Bok menjengek, katanya "Aku justru sengaja mau bikin ulah
di depan kuburannya untuk melampiaskan dongkolku kepada
mereka" Perwira she Coan tahu "mereka" yang dikatakan Nyo Bok
adalah Beng Goan-cau dan Hun Ci-lo.
Diam-diam perwira itu tertawa dalam hati, "Istrimu sudah mati
sepuluh tahun, ternyata masih cemburu." Tapi dia tidak utarakan
rasa gelinya, katanya tertawa, "Nyo-heng, kau mau latihan ilmu
apa?" Nyo Bok kertak gigi, katanya "Aku akan gunakan batu nisan ini
untuk mencoba Kim-kong-liok-yang-jiu."
"Betul, batu nisan yang didirikan Beng Goan-cau di depan makam
istrimu memang merendahkan derajat keluarga Nyo kalian. Baik
juga kau coba kekuatan Kim-kong ciang-Iat di atas batu nisan ini
supaya terbuka mataku."
Nyo Bok menarik napas, lwekang dikerahkan, tulang sekujur
tubuhnya berkeretekan, sesaat kemudian pelan-pelan dia angkat
telapak tangannya katanya dingin, "Hun lihiap apa" Ci-lo, jikalau
bukan kau kemaruk julukan lihiap, pasti kau tidak akan tertipu dan
terpelet oleh Beng Goan-cau hingga kau menemui ajalmu di sini."
Ucapan Nyo Bok laksana sebatang panah beracun yang
mendadak menghunjam ke ulu hati Nyo Hoa
"Apa benar ibu dan Beng tayhiap pernah melakukan sesuatu
yang memalukan terhadap ayah?"
Sebetulnya dia tidak mau percaya bahwa laki-laki bernama Nyo
Bok di depan matanya ini adalah ayah kandungnya, lebih tidak
percaya lagi akan tuduhan yang dilontarkan itu, tapi racun sudah
bersemayam di relung hatinya, lubuk hatinya yang paling dalam
sudah timbul rasa curiga dan hal ini menimbulkan rasa sakit seperti
disayat-sayat. Tapi bagaimanapun juga Nyo Bok hendak merusak atau
menghancurkan batu nisan ibunya, bagaimana juga dia tidak boleh
berpeluk tangan. "Apa salahnya batu nisan bertuliskan lihiap" Ibu
berkorban bagi rakyat banyak, gugur di medan laga oleh tangantangan
jahat kaum penjajah, tidak malu kalau dia dijuluki lihiap,"
demikian batin Nyo Hoa "Peduli siapa salah atau benar, umpama
betul dia adalah ayah kandungku, meski betul ibu pernah
melakukan kesalahan terhadapnya tidak sepantasnya dia menghina
ibuku yang telah tiada"
Tapi bagaimana kalau tidak bisa berpeluk tangan" Kini dia sudah
tahu laki-laki ini betul adalah ayahnya mungkinkah dia keluar untuk
melabrak ayahnya" Sementara itu telapak tangan Nyo Bok sudah
terangkat tinggi dan hampir dipukulkan ke batu nisan, saking gusar
terasa hampir pecah dada Nyo Hoa tanpa terasa giginya gemerutuk.
Mendadak perwira she Coan itu berteriak, "Sahabat dari aliran
manakah yang sembunyi di sini, silakan keluar."
Nyo Hoa kaget, dia kira jejaknya sudah ketahuan. Untung
sebelum dia bergerak sudah didengarnya suitan panjang laksana
pekikan naga, lalu didengarnya bentakan Miao Tiang-hong, "Kunyuk
kurang ajar." Bentakan sekeras guntur menggetar membuat ciut
nyali, tangan Nyo Bok yang terangkat di udara gemetar, sesaat dia
berdiri melongo. Melompat turun dari atas pohon, secepat kilat Miao Tiang-hong
sudah berdiri di depan makam. Makinya sambil menuding, "H ayo
berlutut dan menyembah minta maaf kepada Ci-lo."
Dari malu Nyo Bok jadi gusar, jengeknya dingin, "Aku memaki
istriku, apa sangkut pautnya dengan kau" Memangnya kau ini
gendak-nya"w "Plak, plok" sebelum habis dia bicara pipi kanan kiri Nyo Bok
sudah kena gampar, mukanya seketika bengap. Nyo Bok jadi kalap,
kedua tangan bergerak, membentak gusar, "Biaraku adu jiwa."
Sepuluh tahun dia giat meyakinkan Kim-kong-liok-yang-jiu, kini ilmu
kebanggaannya dilontarkan, perbawanya memang luar biasa, empat
penjuru yang kelihatan hanya bayangannya. Ternyata ilmu tunggal
warisan keluarganya ini, setiap melancarkan sejurus pukulan, di
dalamnya mengandung enam gerakan yang berbeda, jadi bukan
melulu dalam jurus sembunyi jurus, dalam tipu bertambah tipu lagi.
Sayang lawan yang dihadapi sekarang justru tokoh silat paling
top saat ini, dalam pandangan Miao Tiang-hong, meski Kim-kongliok-
yang-jiu ini bukan permainan anak-anak, paling juga silat eakar
kucing. Miao Tiang-hong tertawa dingin, katanya, "Kepandaianmu
memang lebih maju dibanding sepuluh tahun lalu, sayang martabat
dan karaktermu tidak lebih baik, justru semakin bejat, lebih rendah
dan memalukan dari sepuluh tahun lalu." Khawatir merusak kuburan
Hun Ci-lo, dia kerahkan tenaga pukulan memukul mundur. Nyo Bok
terhuyung mundur dengan badan berputar-seperti gangsingan,
melingkar makin jauh "meninggalkan kuburan Hun Ci-lo.
Perwira itu tidak tahu yang datang ini Miao Tiang-hong,
mendengar Nyo Bok memakinya dia berpikir, "Apakah orang ini
Beng Goan-cau" Kenapa dia tidak memakai golok?" Sedikit bimbang,
dilihatnya Nyo Bok sudah terhuyung mundur dengan tubuh
berputar-putar di sampingnya.
Perwira she Coan ini tidak sempat berpikir, golok dilolos lantas
membacok, dari kiri goloknya membacok miring menggunakan jurus
Poat-hun-kian-jit (Menyingkap mega melihat matahari) dari kanan
tajam goloknya menggelincir dengan tusukan, yang digunakan jurus
Sian-jin-ci-lo (Sang dewi menunjuk jalan) sementara dari tengah,
goloknya membacok lurus, serangan yang sekaligus untuk menjaga
diri yaitu jurus Thi-bun-san (Palang pintu besi). Tiga jurus berantai
ini merupakan serangan mematikan paling lihay Ngo-hou-toan-bunto.
Miao Tiang-hong melangkah minggir selangkah, tangannya
bergerak dengan Kong-jiu-jip-peh-to, dengan jurus Si-kwa-tam-pian
(Menggantung cambuk miring), secara kekerasan dia rebut golok
lawan. Begitu tangannya menangkap tempat kosong, Miao Tianghong
sudah susuli dengan jurus Pek-ho-liang-ci (Burung bangau
pentang sayap) menyampok pergeiangan tangan lawan, tapi
sampokannya tetap tidak mengenai sasaran. Namun demikian golok
baja perwira itu pun tak mampu mengenai dirinya. Miao Tiang-hong
mendengus sekali, jari tengahnya menjentik, kebetulan golok si
perwira tengah membelah pula dari tengah, gagang golok telak
kena dijentik hingga mata golok berputar arah, membacok pemilik
sendiri, kalau dia berlaku kurang gesit menarik tangan, hampir saja
jidatnya terbelah oleh golok sendiri.
Miao Tiang-hong berkata, "Kabarnya waktu masih hidup dulu
Pakkiong Bong membeli murid murtad dari perguruan Ngo-houtoan-
bun-to, namanya Coan Tay-hok, jadi kau inilah murid murtad
itu?" Coan Tay-hok gusar, dampratnya, "Kau ini barang apa, berani
memaki dan menghina aku?"
Miao Tiang-hong tertawa dingin, jengeknya, "Ngo-hou-toan-bunto
yang diciptakan Ciok losu dari Jiang-ciu sebetulnya termasuk
aliran lurus yang murni, sungguh tak
nyana dia mendidik murid durhaka macam dirimu. Kau manusia
tidak berbuat baik malah terima menjadi anjing, kenapa salahkan
aku memakimu" H mm, kabarnya kau hendak menantang Beng
Goan-cau bertanding golok, sungguh tidak tahu diri. Kemampuanmu
begini saja cuma mengotori golok pusaka Beng Goan-cau, biar aku
wakili Beng Goan-cau menghajarmu." Di tengah jengek tawanya,
mendadak kedua telapak tangannya menari lincah. Kini dia sudah
menjajaki permainan golok lawan, dalam beberapa gebrak lagi
terdengar "Traaang" golok baja di tangan Coan Tay-hok telah di
pukulnya jatuh. Setelah berdiri tegak Nyo Bok tahu bahwa Miao Tiang-hong pasti
tidak akan mengampuni dirinya, mau lari mungkin juga tidak akan
bisa lolos, maka dia perlu mengeraskan kepala pura-pura jadi lakilaki
gagah, makinya, "Beng Goan-cau adalah gendak perempuan
jalang itu, sedang kau jadi gendaknya saja tidak setimpal, kini kau
mau bantu sepasang manusia kotor itu membunuh suaminya" Hm,
sayang semasa Hun Ci-lo masih hidup keinginanmu tidak tercapai,
sekarang meski di depan kuburannya kau bisa membunuhku, juga
terlambat." Miao Tiang-hong memaki saking gusar, "Memandang muka Hun
Ci-lo sebetulnya tidak akan kubunuh kau. Sekarang, terpaksa aku
harmembunuhmu." Nyo Bok melawan sekuat tenaga, seringan daun melayang
telapak tangan Miao Tiang-hong tiba, gaya serangannya
mengandung banyak variasi sukar diraba isi kosongnya, tahu-tahu
pipi kiri Nyo Bok kena tampar lagi, tamparan kali ini lebih keras dari
gebrakan pertama tadi, seketika mukanya seperti ditambal balon
merah, ingus bercucuran, mukanya bengap membiru.
Coan Tay-hok berusaha lari, Miao Tiang-hong lantas membentak,
"Lari ke mana" He he, kalian dua laki-laki bangsat hari ini harus
mampus di depan kuburan Ci-lo baru terlampias rasa dongkolku."
Coan Tay-hok baru melangkah beberapa tindak lekas dia tarik pula
kakinya karena tercegat lawan, namun dengan keroyokan Nyo Bok
dan Coan Tay-hok ternyata mereka hanya mampu melawan delapan
sepuluh jurus. Bahwa Miao Tiang-hong hendak membunuh murid murtad dari
Ngo-hou-toan-bun-to memang benar, bilang mau membunuh Nyo
Bok, cuma menggertaknya saja Maklum Miao Tiang-hong paling
pegang teguh persahabatan, jelek-jelek Nyo Bok adalah suami Hun
Ci-lo, masa tega dia membunuhnya di depan makam Hun Ci-lo"
Jikalau Nyo Bok tidak gila dan mau merusak batu nisan Hun Ci-lo,
Miao Tiang-hong tidak akan menampilkan diri.
Tapi Nyo Hoa yang sembunyi di celah batu tidak tahu jalan
pikiran orang, apakah itu gertak sambal atau ancaman sungguhan,
dia kira Miao Tiang-hong betul-betul mau membunuh Nyo Bok. Nyo
Hoa memang malu punya ayah serendah ini martabatnya, namun
bagaimana juga Nyo Bok adalah ayahnya, tegakah hatinya melihat
ayahnya dibunuh orang" Apalagi banyak persoalan yang perlu dia
pecahkan, betapapun Nyo Bok tidak boleh mati.
Sayang sekali, bila Nyo Hoa tahu Nyo Bok bukan ayah
kandungnya maka akibatnya mungkin berbeda pula
Sekali mengebas lengan baju kembali Miao Tiang-hong merebut
golok Coan Tay-hok, di kala tangannya melayang pula hendak
menampar pipi kanan Nyo Bok, mendadak dari belakang kuburan
dilihatnya seorang pemuda bermuka kotor menerobos keluar.
Kedatangan Nyo Hoa tepat pada waktunya, kebetulan dia
mewakili Nyo Bok sambut pukulan Miao Tiang-hong. Begitu telapak
tangan mereka beradu terdengar ledakan keras bagai guntur
menggelegar. Miao Tiang-hong rasakan telapak tangannya panas
dan pedas, tak kuasa tubuhnya limbung sekali. Sementara Nyo Hoa
tergetar mundur, untung reaksinya cekatan, cepat dia tutul kaki kiri
sementara kaki kanan sebagai poros di tempat dia memutar
tubuhnya satu lingkaran hingga tidak sampai terhuyung jatuh.
Putaran tubuhnya ternyata tetap menghadang di depan Nyo Bok.
"Siapa kau?" bentak Miao Tiang-hong setelah bersuara heran.
Dalam hati dia berpikir, "Walau aku tidak kerahkan tenaga
sepenuhnya, tapi orang ini masih begini muda ternyata mampu
menahan Thay-jing-khi-kang-ku, boleh juga" Pukulan Miao Tianghong
kepada Nyo Bok tadi bukan hendak membunuhnya maka dia
hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Bila telapak tangannya
berhantam dengan Nyo Hoa baru dia tahu lawannya bukan lawan
enteng baru dia kerahkan Thay-jing-khi-kang melawan, tenaga
pukulannya memang tidak sepenuhnya, namun demikian, orang
yang mampu menangkis tiga bagian tenaga mumi Miao Tian-hong
dalam kalangan Bulim sudah termasuk kelas satu.
Reaksi Nyo Hoa memang cekatan, namun dengan bekal kungfu
Miao Tiang-hong yang sudah sempurna di saat Nyo Hoa belum
berdiri tegak dia sudah bisa mendesaknya, namun Miao Tiang-hong


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa sayang kepada tunas muda maka pukulan susulannya yang
sudah siap dilontarkan terhenti di tengah udara.
Nyo Hoa tutup mulut, pertanyaan Miao Tiang-hong tidak
dihiraukan. Sikapnya sudah jelas bahwa dia bermaksud melindungi
dan membela Nyo Bok. Muka Nyo Hoa berlepotan lumpur, berpakaian seragam Gi-Iimkun
lagi meski sudah kumai. Coan Tay-hok sadar lebih dulu, hatinya
kaget dan senang, teriaknya "Apakah kau Nyo-heng dari Gi-lim-kun"
Orang ini buronan raja yang bernama Miao Tiang-hong."
Nyo Hoa hanya mendengus saja tidak menjawab juga tidak
memberi reaksi apa pun. Miao Tiang-hong sadar, pikirnya, "Bocah ini juga cakar alap-alap
kerajaan, semakin tinggi kungfunya makin tidak menguntungkan
bagi kita. Mumpung ada kesempatan, harus kusikat dia supaya kelak
tidak menjadi beban berat." Maka dia membentak, "Anak muda
kalau tahu diri lekas minggir, kalau tidak kau sendiri akan berkorban
percuma" Sembari mengancam, telapak tangan yang terhenti di
tengah udara pelan-pelan ditepukkan.
Nyo Hoa tahu lwekang sendiri terpaut jauh dibanding Miao Tianghong,
namun dia teringat ajaran lwekang dalam Hian-kang-pwecoat
karya Thio Tan-hong, di mana dianjurkan menyingkir dari yang
isi balas menggempur yang kosong, dengan langkahnya selicin belut
dia menyelinap sambil mengembangkan kedua lengan memunahkan
membunuhmu." Nyo Bok melawan sekuat tenaga, seringan daun melayang
telapak tangan Miao Tiang-hong tiba, gaya serangannya
mengandung banyak variasi sukar diraba isi kosongnya, tahu-tahu
pipi kiri Nyo Bok kena tampar lagi, tamparan kali ini lebih keras dari
gebrakan pertama tadi, seketika mukanya seperti ditambal balon
merah, ingus bercucuran, mukanya bengap membiru.
Coan Tay-hok berusaha lari, Miao Tiang-hong lantas membentak,
"Lari ke mana" He he, kalian dua laki-laki bangsat hari ini harus
mampus di depan kuburan Ci-lo baru terlampias rasa dongkolku."
Coan Tay-hok baru melangkah beberapa tindak lekas dia tarik pula
kakinya karena tercegat lawan, namun dengan keroyokan Nyo Bok
dan Coan Tay-hok ternyata mereka hanya mampu melawan delapan
sepuluh jurus. Bahwa Miao Tiang-hong hendak membunuh murid murtad dari
Ngo-hou-toan-bun-to memang benar, bilang mau membunuh Nyo
Bok, cuma menggertaknya saja Maklum Miao Tiang-hong paling
pegang teguh persahabatan, jelek-jelek Nyo Bok adalah suami Hun
Ci-lo, masa tega dia membunuhnya di depan makam Hun Ci-lo"
Jikalau Nyo Bok tidak gila dan mau merusak batu nisan Hun Ci-lo,
Miao Tiang-hong tidak akan menampilkan diri.
Tapi Nyo Hoa yang sembunyi di celah batu tidak tahu jalan
pikiran orang, apakah itu gertak sambal atau ancaman sungguhan,
dia kira Miao Tiang-hong betul-betul mau membunuh Nyo Bok. Nyo
Hoa memang malu punya ayah serendah ini martabatnya, namun
bagaimana juga Nyo Bok adalah ayahnya, tegakah hatinya melihat
ayahnya dibunuh orang" Apalagi banyak persoalan yang perlu dia
pecahkan, betapapun Nyo Bok tidak boleh mati.
Sayang sekali, bila Nyo Hoa tahu Nyo Bok bukan ayah
kandungnya maka akibatnya mungkin berbeda pula
Sekali mengebas lengan baju kembali Miao Tiang-hong merebut
golok Coan Tay-hok, di kala tangannya melayang pula hendak
menampar pipi kanan Nyo Bok, mendadak dari belakang kuburan
dilihatnya seorang pemuda bermuka kotor menerobos keluar.
Kedatangan Nyo Hoa tepat pada waktunya, kebetulan dia
mewakili Nyo Bok sambut pukulan Miao Tiang-hong. Begitu telapak
tangan mereka beradu terdengar ledakan keras bagai guntur
menggelegar. Miao Tiang-hong rasakan telapak tangannya panas
dan pedas, tak kuasa tubuhnya limbung sekali. Sementara Nyo Hoa
tergetar mundur, untung reaksinya cekatan, cepat dia tutul kaki kiri
sementara kaki kanan sebagai poros di tempat dia memutar
tubuhnya satu lingkaran hingga tidak sampai terhuyung jatuh.
Putaran tubuhnya ternyata tetap menghadang di depan Nyo Bok.
"Siapa kau?" bentak Miao Tiang-hong setelah bersuara heran.
Dalam hati dia berpikir, "Walau aku tidak kerahkan tenaga
sepenuhnya, tapi orang ini masih begini muda ternyata mampu
menahan Thay-jing-khi-kang-ku, boleh juga" Pukulan Miao Tianghong
kepada Nyo Bok tadi bukan hendak membunuhnya maka dia
hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Bila telapak tangannya
berhantam dengan Nyo Hoa baru dia tahu lawannya bukan lawan
enteng baru dia kerahkan Thay-jing-khi-kang melawan, tenaga
pukulannya memang tidak sepenuhnya, namun demikian, orang
yang mampu menangkis tiga bagian tenaga mumi Miao Tian-hong
dalam kalangan Bulim sudah termasuk kelas satu.
Reaksi Nyo Hoa memang cekatan, namun dengan bekal kungfu
Miao Tiang-hong yang sudah sempurna di saat Nyo Hoa belum
berdiri tegak dia sudah bisa mendesaknya, namun Miao Tiang-hong
merasa sayang kepada tunas muda maka pukulan susulannya yang
sudah siap dilontarkan terhenti di tengah udara.
Nyo Hoa tutup mulut, pertanyaan Miao Tiang-hong tidak
dihiraukan. Sikapnya sudah jelas bahwa dia bermaksud melindungi
dan membela Nyo Bok. Muka Nyo Hoa berlepotan lumpur, berpakaian seragam Gi-Iimkun
lagi meski sudah kumai. Coan Tay-hok sadar lebih dulu, hatinya
kaget dan senang, teriaknya "Apakah kau Nyo-heng dari Gi-lim-kun"
Orang ini buronan raja yang bernama Miao Tiang-hong."
Nyo Hoa hanya mendengus saja tidak menjawab juga tidak
memberi reaksi apa pun. Miao Tiang-hong sadar, pikirnya, "Bocah ini juga cakar alap-alap
kerajaan, semakin tinggi kungfunya makin tidak menguntungkan
bagi kita. Mumpung ada kesempatan, harus kusikat dia supaya kelak
tidak menjadi beban berat." Maka dia membentak, "Anak muda
kalau tahu diri lekas minggir, kalau tidak kau sendiri akan berkorban
percuma" Sembari mengancam, telapak tangan yang terhenti di
tengah udara pelan-pelan ditepukkan.
Nyo Hoa tahu lwekang sendiri terpaut jauh dibanding Miao Tianghong,
namun dia teringat ajaran lwekang dalam Hian-kang-pwecoat
karya Thio Tan-hong, di mana dianjurkan menyingkir dari yang
isi balas menggempur yang kosong, dengan langkahnya selicin belut
dia menyelinap sambil mengembangkan kedua lengan memunahkan
pukulan Miao Tiang-hong. Miao Tiang-hong memuji, namun kejap
lain dia geleng-geleng serta menyatakan, "Sayang."
Nyo Hoa baru keluar kandang dan selama ini belum pernah kebentur
lawan tangguh, maka semangat tempurnya menyala, seluruh
pikiran ruwet terlempar dari benaknya Kini benar dia
mempraktekkan musuh di depan mata, dalam hati tiada musuh,
berbagai kungfu yang pernah dipelajarinya dalam sekejap ini seperti
terjalin menjadi satu, semuanya dipraktekkan dalam permainan
pukulan tangan kosong. Tanpa terasa dia lawan Miao Tiang-hong
sampai tigapuluhan jurus, namun tetap bertahan kuat tidak terdesak
sedikit pun. Mau tidak mau Miao Tiang-hong keheranan juga
Nyo Bok dan Coan Tay-hok juga kegirangan, hasrat melarikan diri
semula sudah terlupakan, kini mereka ingin merebut pahala malah.
Melihat Nyo Hoa bertempur mati-matian, mereka lebih yakin lagi
bahwa Nyo Hoa perwira Gi-1 im-kun yang rmstrius itu. Diam-diam
Coan Tay-hok menyesal, "Kukira dia barang palsu ternyata tulen."
Demikian pula Nyo Bok kegirangan, pikirnya, "Pemuda ini jelas
melindungi aku sekuat tenaga kenapa dia sebaik ini kepadaku" Oh,
ya, mungkin dia tahu bahwa aku yang paling dihargai oleh Hay
tayjin. Haha, mendapat pembantu sebaik ini, kebetulan aku
mendapat kesempatan untuk mengganyang Miao Tiang-hong."
Miao Tiang-hong masih bermain santai, kaki tangan bergerak
lincah, dia hanya memecah sedikit perhatian untuk mematahkan
serangan Nyo Bok dan Coan Tay-hok, sebagian besar tenaga dan
perhatiannya dicurahkan menghadapi permainan-Nyo Hoa
Karena pikiran tenang hati jernih, makin bertempur semangat
Nyo Hoa makin bergairah. Tampak permainannya banyak variasi,
telapak tangan, tinju, totokan, dan cengkeraman jari, perubahannya
beraneka ragam, kakinya pun bergerak lincah dengan langkah kuda,
langkah layang, langkah undur lompat dan empat langkah empat
pintu, maju mendesak mundur berkelit, semua bergerak leluasa dan
lancar. Sungguh sesuai teori yang berbunyi, "tenang bagai lautan
kokoh seperti gunung, cepat bagai kilat menubruk seperti elang
menerkan ayam." Lama kelamaan Miao Tiang-hong tak habis
kagumnya, pikirnya, "Dalam sepuluh tahun mendatang, pemuda ini
pasti dapat mengalahkan aku. Sayang sekali tunas muda sebaik ini
ternyata menjadi antek musuh."
Di tengah pertempuran sengit itu, mendadak Miao Tiang-hong
bersuit panjang, kini dia kerahkan delapan-puluh persen Thay-jingkhi-
kang. Sekali pukulan telapak tangan yang ringan bagai kapas
mengambang. Gaya pukulannya biasa dan enteng, namun di dalam gerakan
umum ini ternyata tersembunyi intisari ilmu silat tinggi yang dapat
mengalahkan musuh dengan hanya gerakan yang sederhana. Nyo
Hoa merasakan dadanya panas, padahal tangan Miao Tiang-hong
belum mengenai badannya, tapi dia sudah seperti ditindih palu
raksasa Beruntun Nyo Hoa terhuyung tiga langkah baru kuasa tegak
berdiri, "sreet" pedang tiba-tiba dilolos.
Berkerut alis Miao Tiang-hong, katanya, "Anak muda, masih ingin
bertanding pedang dengan aku" Baiklah, biar aku menilai permainan
pedangmu." Tak nyana begitu pedang Nyo Hoa menusuk tiba, mau tidak mau
Miao Tiang-hong berjingkrak kaget
Tusukan ini adalah hasil ciptaan Nyo Hoa sendiri, bersumber dari
Bu-beng-kiam-hoat, gaya pedangnya mengambang tidak menentu
arah, gerakannya seperti tidak tentu gayanya juga tidak jelas,
namun serangan ini dapat berubah sembarang waktu mengikuti
balasan musuh. Semula Miao Tiang-hong kira gerakannya itu jurus
Hian-ciau-hoat-sa, tapi mendadak sudah berubah menjadi Soh-cinpwe-
kiam (Soh dan Cin memanggul pedang) lalu berubah pula
menjadi gaya Jay-hap-sip-hoa (Jay-hap bermain kembang).
Beruntun Miao Tiang-hong melawan beberapa jurus, setiap jurus
serangan lawan datang dari arah yang tak pernah diduganya
Untung taraf kepandaian Miao Tiang-hong sudah mencapai bergerak
sesuai keinginan hati, beberapa kali dia toh hampir terluka oleh
pedang lawan. Miao Tiang-hong adalah jago kosen yang cukup ternama, walau
kepandaian Nyo Hoa jauh di luar dugaannya, semula dia masih
melayani dengan santai, maka bila Nyo . Hoa sudah mencabut
pedang, dia tetap bertangan kosong. Kini baru dia betul-betul
mengeluh dan tak sempat mencabut pedang lagi.
Mendadak Nyo Bok berteriak kegirangan, "Bagus, hayo pergencar
serangannya kita bunuh bangsat keparat ini" Sebelum Nyo Bok
bicara habis Coan Tay-hok sudah melancarkan serangan keji dari
Ngo-hou-toan-bun-to, jurus Palang Pintu Besi dilancarkan untuk
membelah pundak kiri Miao Tiang-hong.
Ngo-hou-toan-bun-to yang dilancarkan Coan Tay-hok terlampau
ganas dan keji, serangannya juga cukup lihay. Serangannya ini pun
tepat waktunya, meski permainannya belum sempurna tapi boleh dikata
kebetulan mendapat kesempatan. Di waktu Miao Tiang-hong
terdesak oleh rangsakan pedang Nyo Hoa, tahu-tahu goloknya
membelah tiba Dengan tangan kosong harus menghadapi serangan ilmu pedang
Nyo Hoa yang lihay menakjubkan, betapapun tinggi kungfunya juga
terdesak dan kerepotan, apalagi harus selalu waspada oleh
serangan dua lawan yang lain.
Mendadak terjadilah suatu peristiwa yang tidak terduga oleh
kedua pihak, di kala Coan Tay-hok membacokkan goloknya itu,
terdengarlah Tiang", di mana sinar putih berkelebat, golok tebal
Coan Tay-hok mendadak kutung menjadi dua Sekilas dia melongo,
akhirnya sadar bahwa Nyo Hoa yang membabat kutung goloknya
Melongo sejenak Coan Tay-hok lantas berjingkrak, "Apa yang kau
lakukan?" Dia kira Nyo Hoa salah gerakan hingga secara kebetulan
goloknya kutung. Mendadak Nyo Hoa membentak dengan suara rendah, "Minggir"
Mendadak dengan gerakan To-ting-tui (Kaki menyepak balik) Coan
Tay-hok ditendangnya mencelat setombak lebih, sementara pedang
di tangannya masih menyerang kepada Miao Tiang-hong.
Nyo Bok juga sudah siap melancarkan Kim-kong-liok-yang-jiu
hendak mencengkeram tulang pundak Miao Tiang-hong, perubahan
ini terjadi begitu mendadak seketika dia terdiam kaget.
Miao Tiang-hong heran dan kaget, bentaknya "Sebetulnya kau ini
kawan dari kalangan mana?" Nyata dia pun tidak habis mengerti
kenapa Nyo Hoa yang merangsak sengit dengan ilmu pedang
selihay ini mendadak bisa membela dirinya Kawan atau lawan jadi
susah diraba maka mulut bicara gerakan kaki tangan sedikit pun
tidak berani ken-dor. Tak nyana pedang Nyo Hoa kembali berkelebat, "Sret" kali ini
seperti menyerang dengan jurus Heng-hun-toan-hong, hingga Miao
Tiang-hong dan Nyo Bok terpisah arah. Tapi jurus ini ini bukan
serangan terbuka, tujuannya jelas, di samping mencegah Miao
Tiang-hong mencelakai Nyo Bok, dia pun berusaha mencegah Nyo
Bok menyergap Miao Tiang-hong secara licik.
Jangan kata Miao Tiang-hong yang memiliki kepandaian tinggi,
maha guru silat lagi, Nyo Bok juga merasakan maksud dan tujuan
gerak pedang Nyo Hoa ini..
Setelah menusukkan pedang, dengan menyerakkan suara Nyo
Hoa membentak, "Enyah, lekas enyah kalian dari sini."
Nyo Bok masih ragu-ragu, sementara Coan Tay-hok sudah lari
sipat kuping membawa lukanya, dia pikir seorang laki-laki harus bisa
melihat gelagat, kalau bocah ini membalik muka putar haluan,
mengeroyok dirinya bersama Miao Tiang-hong, salah-salah jiwa
sendiri bisa celaka. Maka tanpa banyak bicara segera dia angkat
langkah seribu. Nyo Hoa mundur beberapa langkah, pedang di tangan masih
berkembang seperti latihan seorang diri layaknya yang benar dia
mencegat di depan Miao Tiang-hong. supaya tidak mengejar Nyo
Bok. Miao Tiang-hong bingung menghadapi sepak terjang Nyo Hoa
Tapi sebagai seorang guru silat dari suatu aliran tersendiri, mana dia
sudi pergi begitu saja karena dibentak "enyah" oleh anak muda ini"
Sifat gagahnya lantas berkobar, rasa ingin menang menghantui
sanubarinya, mumpung Nyo Hoa mundur beberapa langkah, "sreet"
dia pun mencabut pedang, katanya "Saudara cilik, aku tidak tahu
kau siapa dan dari mana tapi sekarang tanpa diganggu orang, kita
bisa bertanding pedang secara terbuka"
Dalam hati Nyo Hoa berpikir, "Kau tidak kenal aku tapi aku tahu
siapa kau, buat apa aku harus me-nempurmu?"
Dia malu mengakui Nyo Bok sebagai ayahnya di hadapan Miao
Tiang-hong. Kalau tidak bisa dan malu mengakui, sukar pula
memberi penjelasan kenapa barusan dia melindungi Nyo Bok. Di
samping itu dalam lubuk hatinya juga dihantui rasa takut, takut
Miao Tiang-hong melontarkan kata-kata yang tidak enak didengar.
Karena itu meski dia tahu Miao Tiang-hong adalah sahabat baik
ibunya di masa masih hidup, dia pun tidak berani banyak tanya
"Awas," bentak Miau Tiang-hong, "sambut serangan!"- "Sret"
pedangnya menusuk secepat kilat. Lekas Nyo Hoa angkat pedang


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melintang, Trang" telapak tangan dan pergelangan tangannya
tergetar sakit. Seketika Nyo Hoa melengak dan berubah air
mukanya Miao Tiang-hong tertawa katanya "Jurusku ini kutiru dari
gerakanmu tadi, entah betul tidak?"
Gerak pedang yang digunakan Miao Tiang-hong sekarang adalah
gerakan Nyo Hoa untuk menabas kutung golok Coan Tay-hok tadi,
bukan saja gerak serangannya mirip, gayanya pun tidak berbeda,
sesuai teori ajaran silat. Di kala sepasang pedang beradu,
menggunakan waktu yang tepat, hanya terpaut waktu sedetik
sebelum lawan sempat melontarkan seluruh tenaganya, dengan
tenaga sendalan menabas kutung senjata lawan, ini sesuai dengan
teori yang diajarkan dalam Hian-kang-pwe-coat yang dipraktekkan
Nyo Hoa tadi. Bekal kungfu Nyo Hoa sekarang jelas tidak boleh dibanding
dengan Coan Tay-hok, jelas Miao Tiang-hong takkan mampu
melakukan apa yang dilakukan Nyo Hoa waktu menabas kutung
golok Coan Tay-hok tadi. Tapi Miao Tiang-hong agaknya bermurah
hati waktu melontarkan serangannya Kalau dia kerahkan tenaga
muminya umpama tidak mampu menabas kutung pedang Nyo Hoa
juga sudah menggetarnya terlepas jatuh.
Nyo Hoa gusar, serunya, "Ilmu pedangmu sepuluh lipat lebih
lihay d ariku, aku jelas bukan tandingan-mu, apa kehendakmu,
kenapa mengolok-olok?"
Miao Tiang-hong tergelak, katanya, "Kurasa tidak demikian, taraf
ilmu pedangmu tidak sampai di sini saja, kenapa kelihatannya kau
punya ganjalan hati" Awas jurus kedua aku tidak sungkan lagi."
Tiba-tiba sirna senyumnya, katanya dengan serius, "Tadi kau
membantu aku, dengan jurus ini aku tidak melukai kau, jadi satu
sama lain tidak saling hutang. Sejak sekarang kita boleh bertanding
lagi." Terpancing rasa ingin menang serta hatinya sedang dirundung
sedih, maka mati hidup jiwa sendiri tidak dipikir lagi. Bentaknya,
"Baik, mari maju. Kalau mampu boleh kau bunuh aku, siapa suruh
kau berbelas kasihan kepadaku?"
"Bagus anak muda punya ambisi besar," puji Miao Tiang-hong,
dalam hati dia berpikir, "Walau bocah ini jadi antek kerajaan, tapi
jiwanya berbeda dengan anjing alap-alap biasa."
Karena rasa dongkol menjalar dalam hati, Nyo Hoa memutar
pedang secepat baling-baling, sekaligus dia menyerang tujuh jurus.
Miao Tiang-hong balas lima jurus, gerak pedang Nyo Hoa agaknya
lebih cepat, namun dia tetap tak berhasil menemukan titik
kelemahan Miao Tiang-hong, akhirnya dia sadar, "Kenapa aku
melupakan inti dari Bu-beng-kiam-hoat?"
Bu-beng-kiam-hoat mengutamakan perubahan mengikuti situasi
lalu menundukkan lawan lebih dulu. Setelah menenangkan hati Nyo
Hoa tidak diburu nafsu, maka tidak menyerang dengan kecepatan
gerak pedangnya lagi, kini dia bertempur secara gerilya dengan
Miao Tiang-hong. Seluruh kungfu yang berhasil diselami,
dipraktekkan dan dikembangkan mengikuti perubahan serangan
lawan yang lihay, ternyata variasi gerak serangannya tak habishabis,
memberondong sederas hujan.
Kini Miao Tiang-hong mulai memperlambat gerakannya, setelah
puluhan jurus pula, ujung pedang kedua orang seperti dibebani
barang berat, lama baru melancarkan sejurus serangan. Menuding
ke timur menggaris ke barat, senjata tidak beradu, malah jarak
mereka pun semakin jauh kira-kira setombak lebih, hakikatnya
mereka tidak pernah bertempur secara ketat lagi. Kelihatannya
kedua pihak hanya bergaya sendiri dan memasang kuda-kuda
sedang latihan dengan santai, yang benar mereka masih terus
bertanding sengit, lebih seru dan menegangkan daripada bertanding
secepat kilat tadi. Beberapa kejap lagi gerak-gerik mereka lebih lamban pula. Tapi
begitu sama-sama melompat, secepat kilat pula beberapa gebrak
mereka saling serang. Di kala saling serang itu, gaya permainan
mereka justru berlawanan satu dengan yang lain. Jurus-jurus aneh
dan lihay Nyo Hoa ternyata tidak habis-habisnya, sebaliknya
permainan Miao Tiang-hong biasa saja, tiada keistimewaan, tidak
mengutamakan perubahan tapi lebih mementingkan pertahanan dan
balas menyerang. Setiap pedang beradu, mau tidak mau tersirap
hati Nyo Hoa, tangannya pegal kesemutan.
Miao Tiang-hong menghela napas, katanya, "Bicara tentang
kehebatan variasi ilmu pedang dalam jaman ini, yakin hanya
beberapa gelintir jago saja yang mampu menandingi kau. Tapi pada
inti permainan "jong", "joh" dan "tay" (berat, sederhana dan besar)
kurasa kau masih perlu melangkah setapak lagi."
Ilmu pedang umumnya mengutamakan gerak enteng dan lincah.
Enteng dapat mengatasi berat, variasi mengalahkan sederhana,
kecil menindas yang besar. Tapi kalau bicara tentang taraf latihan
yang mencapai tingkat kesempurnaan, praktek sering terjadi
kebalikan dari teori, angkat berat seperti enteng, gerakan sederhana
mengandung banyak variasi, seperti gerakan besar padahal kecil.
Dalam hati Nyo Hoa berpikir, "Jong, joh dan tay, tiga sari ilmu
pedang siapa tidak tahu, jikalau aku sempat meyakinkan Hian-kangpwe-
coat beberapa tahun lagi, belum tentu aku kalah terhadapmu."
Bukan Nyo Hoa tidak paham teori ilmu pedang tingkat tinggi,
soalnya lwekang-nya masih terlalu rendah. Tapi dia masih
menyatakan, "Terima kasih atas petunjukmu." Mendadak ujung
pedangnya menuding miring ke atas, diam tidak bergerak, dengan
tajam dia awasi ujung pedang Miao Tiang-hong.
Miao Tiang-hong melengak sejenak, katanya tertawa, "Bagus,
ternyata kau lebih lihay dari aku. Sungguh aku ini mengagulkan diri
menjadi guru di depan seorang ahli."
Pertandingan pedang kedua pihak kini berubah pula dalam
bentuk yang berbeda, masing-masing mencari titik kelemahan dan
kesalahan gerak, hakikatnya tidak perlu bergerak dan menyerang
lagi. Kadang kala hanya sedikit menggerakkan atau memindah letak
pedang, mengubah letak ujung pedang yang mengincar tubuh
lawan. Setengah jam tanpa terasa telah bertahan sama kuat, diamdiam
Nyo Hoa sudah mengeluh dalam hati. Ternyata bertanding
cara demikian justru memeras tenaga dan semangat. Setelah
bertanding setengah jam lagi Nyo Hoa sudah merasa lelah.
Mendadak Nyo Hoa jumpalitan keluar dari kalangan, pedang
dibuang ke tanah dan berkata dengan murka, "Aku sudah kalah,
terserah bagaimana kau mau membunuhku." Miao Tiang-hong
pegang kencang gagang pedang, ujung pedang mengancam leher
Nyo Hoa, cukup dua langkah maka bila ujung pedangnya disorong
ke depan, pemuda berilmu pedang tinggi ini sudah dapat
dibunuhnya, melenyapkan petaka di kemudian hari bagi kalangan
pendekar. Tapi entah kenapa, beberapa kali nafsu membunuh
sudah membakar hati tetap dia tidak tega turun tangan. Akhirnya
dia menghela napas panjang, katanya, "Sia-sia kau memiliki
kepandaian sebagus ini tapi tidak tahu membedakan putih dan
hitam, baik dan buruk, terima menjadi antek orang membantu
kejahatan. Hari ini aku tidak membunuhmu, silakan kau pikir dan
renungkan sendiri patutkah perbuatanmu?" Habis bicara pedang
disarungkan lalu pergi sambil bersenandung.
Nyo Hoa menjublek mendengarkan makna senandungnya,
suaranya yang lantang mengalun lembut dalam lembah
menimbulkan gema panjang di tengah udara. Senandung yang
membawa kerisauan hati, bermakna gagah dan penuh sifat
perjuangan. Agaknya Miao Tiang-hong ingin melampiaskan rasa
rindunya di depan makam Hun Ci-lo.
Nyo Hoa tahu dan merasakan rindu itu, tapi terasa pula dalam
nada senandung itu mengandung isak yang memilukan mohon diri
kepada kawan karib yang telah tiada. Sementara kawan karibnya itu
adalah ibu kandung sendiri.
Ingin menangis tapi airmata tidak bisa keluar. Nyo Hoa jadi
hampa perasaan. Sekarang dia tahu banyak persoalan yang dulu tak
pernah diketahui meski dalam alam mimpi, tapi kabut pekat masih
menyelimuti sanubarinya. Berdiri tegak di depan makam ibunya, lama dan lama sekali
akhirnya dia berlutut dan menyembah tiga kali, katanya, "Ibu,
sungguh sengsara hidupmu, sudah mati masih ada juga orang yang
mencaci maki dirimu. Tapi apa pun yang dikatakan mereka, kau
tetap adalah ibuku yang tercinta dan kuhormati. Ada juga isi hatiku
yang ingin kuutarakan kepadamu, aku harus mencari tahu duduk
persoalan yang sebenarnya, mencuci bersih nama baikmu."
Setelah mohon diri kepada ibunya, rasa dukanya sungguh tak
terlukiskan. Nyo Hoa jemput pedangnya yang dibuang di tanah lalu
berlari pergi sambil menutup muka dengan kedua tangan.
Dunia seluas ini, ke mana dirinya harus pergi" Dia tidak tahu juga
tidak mau memikirkan. Dia hanya lari dan lari kesetanan tanpa arah
tujuan, semak belukar dianggap tanah datar, pakaiannya koyak,
kulit badannya lecet juga tidak dihiraukan, tidak merasa sakit.
Tanpa terasa dia lari ke puncak sebuah gunung, seperti balon
kempes akhirnya Nyo Hoa menjatuhkan diri duduk di tanah terus
menangis menggerung-gerung.
Di tengah isak tangisnya itu mendadak didengarnya seseorang
berkata, "Hoa-ji, syukurlah bila kau bisa menangis." Suaranya sudah
amat dikenal. Nyo Hoa kaget, mendadak berjingkrak berdiri. Orang
ini sudah berdiri di depannya, siapa lagi kalau bukan ayahnya, Nyo
Bok" Setelah diusir Nyo Hoa, semakin berpikir Nyo Bok makin curiga.
Kenapa pemuda yang tidak dikenal asal-usulnya ini mau melindungi
dirinya" Kenapa pula melarang Coan Tay-hok membokong Miao
Tiang-hong, malah Coan Tay-hok ditendangnya mencelat dan
berbalik mengusir dirinya"
Nyo Bok memang sedikit pintar, setelah beberapa persoalan yang
tidak dimengerti dirangkai serta dicerna dengan seksama, akhirnya
berhasil dia menyimpulkan suatu analisa. "Sekarang aku tahu siapa
pemuda itu. Dia pasti Ah-hoa, tapi mungkin dia belum tahu asalusulnya
sendiri, kalau tidak dia pasti membiarkan Miao Tiang-hong
membunuhku?" Setelah berhasil membongkar asal-usul Nyo Hoa, bahwa pemuda
yang berkepandaian tinggi ini ternyata adalah putranya, ya, paling
tidak dirinya pernah merawat dan memeliharanya, diam-diam Nyo
Bok amat girang. Tapi di hadapan "putra"nya ini dia harus bermuka-muka dan
menyembunyikan wataknya. Dia harus bersandiwara sungguhsungguh,
supaya Nyo Hoa tidak tahu kemunafikan dirinya, supaya
rencana jahatnya tidak gagal. Punya seorang anak setinggi itu ilmu
silatnya, bila mau mengakui dirinya sebagai ayah, bukankah berarti
dirinya mendapat rejeki"
Oleh karena itu, kini setelah Nyo Bok berdiri di hadapan
"putranya" mau tidak mau terpaksa dia harus bersikap sebagai
orang tua yang welas asih, ayah yang arif dan penuh kasih sayang,
bertemu dengan anak yang telah hilang sekian tahun lamanya,
harus senang juga sedih dan terharu.
Sekali menangis, segala duka lara kehidupan selama ini
tercurahkan dalam airmata yang tak terbendung, namun pikiran
menjadi lebih jernih malah, Nyo Hoa yang tidak pernah mengenyam
apa artinya cinta seorang ayah, mendengar pertanyaan Nyo Bok
yang bernada menghibur dan penuh kasih sayang lagi, seketika dia
merasa dadanya seperti bergejolak. Pikiran kalut hati tidak
tenteram, apakah dia harus mengakui ayahnya serta
menyembahnya atau anggap tidak kenal sama sekali"
Nyo Bok berkata lebih lanjut, "Ibumu mati begitu mengenaskan,
tidak heran kalau kau menangis sesedih itu. Tapi yang mati tidak
dapat hidup lagi, kau masih punya ayah yang masih segar bugar."
Untung dia tidak berbicara tentang dirinya begitu mendengar
ucapannya, amarah Nyo Hoa malah memuncak. Dalam hati Nyo Hoa
membatin, "Sungguh tidak tahu malu, masih berani kau
menyinggung ibu di hadapanku. Apa sebab kematiannya" Beliau
mati di tangan musuh. Kau justru mencuri hidup dan terima menjadi
antek musuh membunuhi kawan sehaluan."
Melihat Nyo Hoa diam saja, tidak tahu apa yang sedang dipikir,
namun dinilai dari sudut "bai k"ny a, dia beranggapan dengan
pancingan hubungan ayah dan anak meski Nyo Hoa berhati baja
akhirnya juga terbujuk luluh, maka dia berkata pula, "Aku tahu kau
ini adalah anak Hoa, apakah kau tidak tahu kalau aku ini ayahmu?"
Sungguh tak tahan lagi Nyo Hoa, dia membentak dengan suara
serak, "Kau membual apa" Ayahku sudah lama mati, berani kau
memalsu ayahku. Kau, enyah kau dari sini. Enyah!"
Sungguh tebal muka Nyo Bok, katanya dengan tertawa nyengir,
"Anak Hoa, jangan kau salah sangka. Aku betul adalah ayahmu, aku
belum mati", dulu aku hanya pura-pura mati, soalnya urusan
amat mendesak, kalau kau ingin tahu"."
"Siapa bilang aku salah," sentak Nyo Hoa berjingkrak berdiri,
"kaulah yang salah."
"Ya, ya, betul memang aku yang salah," Nyo Bok tersipu-sipu.
"Tapi apa kau tidak ingin tahu kenapa aku melangkah ke arah yang
salah?" "Aku tidak kenal siapa kau, persetan dengan persoalan yang
ingin kau katakan. Kalau masih berani kau mengaku sebagai
ayahku, aku tidak akan sungkan kepadamu." Waktu mengatakan
"sungkan", mendadak dia angkat tangannya menabok batu di
sebelahnya menjadi hancur. Nyo Hoa melampiaskan rasa
dongkolnya, tapi jantung Nyo Bok kebat-kebit melihat kehebatan
pukulannya. Karena jeri dan bingung, apa boleh buat, terpaksa Nyo Bok
mundur dari depan Nyo Hoa, gumamnya, "Baik, baiklah aku akan
pergi. Suatu hari kau pun akan mengerti duduknya persoalan."
Dalam hati dia mengharap Nyo Hoa tanya "mengerti soal apa?", tapi
Nyo Hoa tidak tanya. Walau kebingungan dan kehabisan akal, tapi Nyo Bok merasa
berat untuk melepaskan muslihatnya. Setelah mundur puluhan
langkah yakin dalam jarak sejauh ini Nyo Hoa takkan dapat
memukul dirinya, dia berdiri diam. Dalam hati berpikir cara
bagaimana untuk membujuk Nyo Hoa.
Sebenarnya bukan Nyo Hoa tidak ingin tahu banyak persoalan
yang selama ini mengganjal hatinya, dan dia tahu hanya Nyo Bok
yang dapat membuka persoalan yang membelit hatinya. Walau dia
juga tahu kalau Nyo Bok tidak akan bicara jujur terhadap dirinya.
Tapi patutkah dia mengakui ayah bangsat ini" Kalau harus
mengakui ayah bangsat, baru duduk persoalannya menjadi terang,
betapapun dia tidak rela, lebih baik persoalan itu tetap terselubung,
di dalam benaknya Setelah yakin akan rencananya, Nyo Bok batuk-batuk lalu
berkata, "Biar kukisahkan satu cerita kepadamu, kau boleh tidak
anggap aku sebagai ayahmu, demikian pula kisah ini boleh kau
anggap sebagai cerita yang tiada sangkut pautnya dengan dirimu.
Tapi kisah ini adalah cerita nyata." Tanpa dijelaskan, orang pun
sudah tahu bahwa kisah yang akan diceritakan itu bukan lain adalah
pengalaman hidupnya sendiri.
Melihat Nyo Hoa tidak memberi reaksi atau buka mulut memaki
dirinya, legalah hati Nyo Bok, maka kisah yang sudah dirangkai
sebelumnya perlahan-lahan dia ceritakan.
"Ada satu orang piausu yang terkenal di kalangan Kangouw,
walau kepandaiannya tidak terhitung tinggi, tapi hubungannya luas


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan banyak kenalan, demi mempertahankan sesuap nasi maka dia
banyak mengikat persahabatan dari golongan hitam maupun aliran
putih. Terutama dari golongan pendekar, tidak sedikit pula
sahabatnya" Nyo Hoa berpikir, "Ucapannya ini mungkin tidak bohong, kalau
tidak tak mungkin ibu dulu mau menikah dengan dia"
"Tapi," Nyo Bok meneruskan kisahnya, "walau temannya banyak
tapi yang betul-betul dapat dianggap teman sejati hanya satu,
temannya itu adalah seorang pejuang bangsa penentang penjajah
malah dia bukan pendekar sembarang pendekar, tapi adalah
seorang pemimpin besar laskar rakyat di Siau-kim-jwan."
Melonjak jantung Nyo Hoa mendengar sampai di sini. "Akhirnya
membicarakan Beng Goan-cau. Ingin aku tahu bagaimana
komentarnya tentang Beng tayhiap?"
"Tapi waktu piausu itu berkenalan dengan temannya itu, teman
itu belum pernah pergi ke Siau-kim-jwan, dia sering bertamu ke
rumah piausu temannya itu.
"Piausu muda itu punya seorang istri cantik bijaksana, orang
persilatan juga, setiap kali datang bertamu ke rumah si piausu, istri
si piausu sering keluar menyambut dan meladeni."
"Hidup piausu itu cukup bahagia, punya istri cantik, bijaksana
dan baik hati, punya teman baik dan tak lama kemudian istrinya
melahirkan seorang putera, sekeluarga hidup tenteram sentosa dan
bahagia. Ai, sungguh bencana sukar dibendung, suatu hari
terjadilah suatu peristiwa memalukan yang tidak pernah terbayang
sebelumnya." Diam-diam berdebar jantung Nyo Hoa mendengar sampai di sini,
pandangannya gelap, ingin dia mendekap telinga sendiri, tapi badan
terasa lunglai. Nyo Bok pura-pura menderita tekanan batin, katanya dengan
tertawa rawan, "Ternyata istri dan sahabatnya itu adalah kenalan
lama, tapi hal ini di luar tahu sang piausu. Sahabatnya itu ternyata
masih menaruh cinta dan kasmaran pada istri sahabatnya, meski dia
sudah menikah punya suami, tapi cintanya tidak pemah pudar.
Tujuannya berkenalan dengan sj piausu bukan lain adalah untuk
bisa berdekatan dengan istrinya.
"Mungkin dulu mereka adalah sepasang kekasih, atau mungkin
bukan" Piausu itu tidak percaya bahwa sebelum ini mereka sudah
ada hubungan cinta gelap, penyelidikan belakangan tetap tidak ada
bukti bahwa dulu mereka adalah sepasang kekasih. Sungguh
menggemaskan adalah sahabat itu menggunakan cara yarg rendah
dan kotor. " Ai, sebagai pendekar besar yang ternama dan diakui khalayak
ramai, siapa pemah menyangka bahwa dia manusia berkulit
serigala. Diam-diam dia mengadakan hubungan gelap dengan istri si
piausu, tapi si piausu masih tidak tahu menahu.
"Tapi kertas mana bisa membungkus api, suatu ketika si piausu
pulang dari perjalanan ekspedisi yang jauh dan melelahkan,
beruntung kerja kali itu leluasa dan mencapai tujuan dengan aman,
pulangnya lebih dini dari waktu yang ditetapkan. Waktu dia tiba di
rumah, dilihatnya temannya itu berada di kamar bersama istrinya"
ai, memalukan kalau perbuatan kotor ini kuucapkan sendiri, yakin
kau sendiri akan merinding mendengar ceritaku, baiklah tidak perlu
kujelaskan kejadian itu."
Hampir saja Nyo Hoa pingsan, tapi dia tidak percaya seratus
persen bahwa kisah ini memang kenyataan. Pikirnya, "Kalau Beng
Goan-cau sering datang ke rumah, kenapa jarang melihatnya"
Walau usiaku masih kecil dan waktu dia mati aku baru berusia tujuh
tahun, bila aku pernah melihat Beng Goan-cau, orang yang setenar
dia, tidak mungkin aku tidak punya kesan sama sekali terhadapnya."
Agaknya Nyo Bok meraba jalan pikiran Nyo Hoa, katanya lebih
lanjut, "Memergoki perbuatan kotor istrinya, si piausu amat sakit
hati, maka dia berkata kepada sang istri, "Seharusnya aku bisa
mengalah dan merangkap perjodohan kalian, tapi anak masih kecil
dan perlu perawatan ibunya, bagaimana setelah anak ini besar baru
kau berpisah dengan aku?" Istrinya menangis sedih dan mengakui
kesalahannya, mohon sang suami memaafkan. Piausu itu memang
amat mencintai istrinya, maka dia menyatakan asal istrinya bertobat
dan menyesali perbuatannya, selanjutnya putus hubungan dengan
orang itu, maka piausu itu masih mau rujuk kembali dengan dia.
"Sejak peristiwa itu, istri si piausu memang jarang keluar pintu,
seperti dahulu dia memang istri baik yang bijaksana. Hubungan
dengan sahabatnya itu sudah putus dan orang itu pun tidak pemah
datang ke rumahnya."
Rangkaian ceritanya memang sempurna, seorang anak kecil yang
belum genap setahun sudah tentu takkan ingat kepada tamu
bapaknya yang sering datang.
Nyo Bok menghela napas panjang, sikapnya bimbang ingin
melanjutkan tapi segan, akhirnya dia mengertak gigi, katanya,
"Umumnya habis hujan terbitlah terang, si piausu anggap persoalan
sudah jernih, tak nyana hubungan cinta kedua orang itu ternyata
tidak pemah padam. Kira-kira tujuh tahun kemudian, sahabat itu
secara diam-diam kembali ke tempat lama. Kedatangannya kali ini
lebih berani lagi, dia membujuk istri piausu itu minggat bersama
dia." Semula Nyo Hoa belum genap setahun, tujuh tahun kemudian
adalah tahun di mana Nyo Bok pura-pura mati. Nyo Hoa merinding
dibuatnya. "Apa betul ibu berbuat serong dengan Beng Goan-cau"
Aku tidak percaya, tidak percaya."
Suara Nyo Bok serak, sikapnya pura-pura sedih dan putus asa,
katanya lebih lanjut, "Malam itu, ai, malam itu, mereka berunding di
taman belakang merencanakan untuk minggat, dan ketahuan oleh si
piausu, malu perbuatan rendahnya ketahuan, dia turun tangan lebih
dulu, sekali pukul si piausu dipukulnya roboh. Untung beberapa
murid si piausu mendengar ribut-ribut berlari keluar. Mengingat
pihak sendiri salah sebelum orang banyak keluar, orang itu sudah
melarikan diri. Maka piausu itu pun tidak sampai terbunuh.
Keburukan keluarga betapapun tak baik tersiar di luar, terpaksa si
piausu hanya bilang kemasukan maling di rumahnya."
Lapat-lapat Nyo Hoa masih ingat keributan adanya "maling" di
malam hari dulu, esok harinya ayahnya lantas dinyatakan mati
menggantung diri. Setelah dia besar, terasa kedua peristiwa ini satu
dengan yang lain ada hubungannya, di samping dia merasa heran,
mana mungkin seorang maling punya nyali sebesar itu berani
menyatroni rumah busu besar yang terkenal berkepandaian tinggi"
(Dalam kisah Nyo Bok, busu terkenal dia ubah menjadi piausu
supaya tidak menimbulkan kecurigaan, tapi apa sangkut paut kedua
hal ini, Nyo Hoa sendiri juga merasa heran dan tidak habis
mengerti). Kini setelah mendengar cerita Nyo Bok baru dipahami ternyata
kejadian adalah berkisar perbuatan seseorang yang tidak pernah
diimpikan. Tapi apakah kisah itu betul terjadi" Tidak aku tidak boleh
percaya, tidak percaya. Marah, sedih dan terhina dan berbagai
perasaan ruwet semua bergejolak dalam sanubarinya, tubuh Nyo
Hoa menggigil hatinya menjerit-jerit
Tujuan Nyo Bok memang hendak mematahkan semangatnya,
katanya pula setelah menghela napas, "Yang paling membuat
piausu sedih adalah waktu orang itu hendak membunuh suaminya,
sang istri ternyata berdiri menonton tidak berusaha menolong atau
merintangi, setelah dia terpukul roboh sang istri juga tidak berusaha
membimbingnya. "Ketika kembali di kamar, dengan suara sinis istrinya berkata,
"Kau sudah melakukan perbuatan yang memalukan, apa kau kira
aku masih mau menjadi istrimu?" Piausu memang tahu kejadian kali
ini tidak seperti kejadian dulu yang bisa dirujukkan kembali tapi tak
pernah dia sangka bahwa sang istri justru tega melontarkan
perkataan yang diputar balik. Perbuatan kotor dia yang melakukan
tapi dia justru menuduh aku.
"Piausu rela memberi surat cerai, namun rasa penasaran ini
betapapun tidak terlampiaskan maka dia tanya kepada sang istri,
"Aku pernah melakukan perbuatan apa yang memalukan dirimu.
Coba kau jelaskan/ Istrinya bilang, "Perbuatanmu sendiri, yakin kau
tahu sendiri pula. Orang-orang gagah di Kangouw, siapa tidak
memandang rendah dirimu, masih perlu aku menjelaskan satu per
satu" Hm, kau boleh mengusir dia dari sini tapi takkan mungkin
mengusir dia dari lubuk hatiku." Habis bicara dia lalu membelakangi
sang suami tidak mau bicara
"Di samping sedih piausu putus asa pula, setelah keluar dari
kamar baru rasa marah mendorongnya untuk mencari jalan pendek.
Betapapun sang istri masih punya perasaan, dia berusaha
menolongnya. Maka dia tanya istrinya kenapa tidak membiarkan dia
mati saja, semula dia kira istrinya sudah bertobat dan menginsafi
perbuatannya Tak nyana jawaban sang istri sungguh amat di luar
dugaan. Dia bilang, "Dalam hatiku, aku sudah anggap kau sudah
mati. Dalam keadaanmu sekarang, memang lebih baik kalau
membuat orang percaya bahwa kau sudah mati. Tapi bagaimana
aku tega kalau anak tidak punya ayah, maka terpaksa aku
mengharap kau tetap mencuri hidup secara diam-diam." Sudah
tentu perkataannya itu amat menjengkelkan sang suami hingga
hampir saja dia mati lagi saking marah."
Nyo Hoa bingung dan tersesat ke arah yang tidak menentu
hingga dia merasa simpati kepada sang piausu, pikirnya, "Kalau
ceritanya itu benar, adalah logis kalau dia mencari jalan pendek."
Nyo Bok mengusap airmata, katanya lebih lanjut, "Sudah tentu
bukan kepalang marah, malu dan penasaran si piausu, akhirnya dia
nekad, baiklah aku mengalah supaya mereka bisa hidup bersama,
maka dia pura-pura mati. Dia harus hidup untuk menyelidiki
persoalan ini sampai terang. Kenapa istrinya tega berkata demikian"
Bukan mustahil di belakang persoalan ini ada muslihat keji?"
"Belakangan baru dia tahu, ternyata sahabatnya itu menyiarkan
kabar angin di Kangouw, dikatakan dia kena tipu antek kerajaan dan
sekarang sudah menjadi anggota anjing alap-alap. Padahal dia
punya hubungan luas antara golongan hitam dan aliran putih, dalam
Gi-lim-kun juga ada teman yang dikenalnya. Oleh karena itu kabar
angin yang diucapkan oleh seorang" pendekar yang diakui oleh
kaum persilatan sebagai teman baiknya itu, bukan saja orang luar
percaya istrinya pun percaya seratus persen.
"Dalam keadaan demikian bila dia kebentur di tangan golongan
pendekar penantang kerajaan, meski lidahnya kering pun dia tidak
akan bisa membela diri. Malah menurut apa yang dia ketahui,
khawatir perbuatan kotornya sendiri terbongkar, maka dia berusaha
membunuh sahabatnya itu. Baru sekarang dia mengerti bahwa
istrinya suruh dia pura-pura mati adalah masih mengingat adanya
hubungan suami istri. "Akan tetapi, betapapun dia tidak bisa menjadi "mayat hidup"
untuk selamanya H mm, -urusan memang sudah mendesak, langkah
juga sudah salah, untuk menghindari tangan jahat sahabatnya itu,
dia pikir kalau dia sudah memfitnahku sedemikian rupa, baiklah aku
pura-pura jadikan sesungguhnya Karena itulah didesak oleh situasi
dan kondisi terpaksa dia menyembunyikan diri dalam kalangan Gilim-
kun, mohon perlindungan dari para sahabatnya yang berada di
kalangan pemerintah."
Mendengar sampai di sini, kembali membara amarah Nyo Hoa,
pikirnya, "Enak saja kau ngomong, setelah menjadi antek kerajaan,
mana boleh dianggap kecerobohan belaka, memangnya seringan ini
dosamu?" Agaknya Nyo Bok merasakan sorot mata Nyo Hoa yang kurang
senang, lekas dia menambahkan.
"Sedikit kecerobohan ini memang menyebabkan kesalahan lebih
besar dalam hidupnya. "Tapi dia sih belum sampai betul-betul bejat dan terima menjadi
alat penjajah membunuhi sesama bangsa dan saudaranya.
"Setelah dia pura-pura mati, maka istrinya itu pun direbut oleh
sahabatnya yang keji bagai serigala itu, suatu hari berita ini masuk
ke telinganya, betapa hatinya takkan marah dan penasaran,
dendamnya lebih membara. "Perlu diketahui Song Theng-siau dan Beng Goan-cau adalah
sepasang sahabat yang tak pernah berpisah, ibarat sendok dan
garpu?" Nyo Hoa tahu akan persahabatan mereka yang kental dan abadi.
Maka diam-diam berpikir, "Jadi waktu Song Theng-siau merebut aku
dari rumah adalah karena dia mendapat petunjuk dari Beng Goancau.
Untung belakangan kedua guruku berhasil merebut diriku dari
tangan Song Theng-siau, kalau tidak aku diasuh dan hidup di
tangan musuh." Nyo Bok pandai melihat rona muka menerka perasaan, dia tahu
sedikit banyak Nyo Hoa sudah terkena oleh kisahnya, dalam hati
amat senang, katanya pula, "Bahwa pute-ranya juga direbut musuh,
sudah tentu lebih benci pula piausu itu hingga hampir gila. Waktu
dia sudah nekat hendak minta bantuan teman-temannya dari Gi-iimkun
menuntutkan balas, tapi akhirnya dia dapat berpikir panjang,
sekali salah tak boleh diulang kesalahan itu, jangan lantaran
dendam pribadi sehingga dirinya terperosok semakin dalam ke
jurang nista. Karena itu meski berada di dalam kalangan Gi-limkun,
selama sepuluh tahun ini dia tetap preman, pangkat atau tugas pun
tidak pernah dia dapatkan. Memang lantaran suatu kesalahan
langkah, hingga tidak terhitung sebagai kaum pendekar, tapi dia
yakin selama ini belum pernah mencelakai orang baik."
Nyo Bok mencuci bersih nama baik sendiri dan menempel emas
di muka, di luar tahunya bahwa pembicaraannya dengan Coan Tayhok
di depan makam Hun Ci-lo telah dicuri dengar oleh Nyo Hoa.
Semula Nyo Hoa sudah merasa simpati kepadanya, tapi setelah
mendengar cerita sampai di sini, kembali amarahnya terbakar,
jengeknya dalam hati, "Tadi kau berunding dengan orang she Coan
itu hendak membekuk aku yang dianggap tiruan ini untuk mendapat
pahala. Orang she Coan tadi juga bilang bahwa kau sekarang adalah
orang kepercayaan Hay-tayjin, walau aku tidak melihat sikap dan
mimik mukamu, tapi dari nada suara dapat kuraba bahwa kau
sangat senang dan bangga."
Nyo Bok bersandiwara secara sungguh-sungguh. Entah dari
mana dia berhasil memeras airmata. sambil mengusap mata dia
membuang ingus, katanya, "Sepuluh tahun kemudian, istri piausu
itu sudah mati, tapi anaknya belum berhasil ditemukan.
"Sepasang suami istri yang sebetulnya hidup rukun penuh cinta
kasih, siapa nyana akhirnya mengalami nasib sejelek itu. Sumber
petaka dari peristiwa ini bukan lain adalah sahabat baiknya yang
pura-pura jadi orang gagah berjiwa ksatria segala.
"Lebih menyedihkan lagi, dia hanya punya seorang putera tapi
tidak diketahui di mana sekarang puteranya berada, bagaimana
nasibnya" Jikalau dia dapat menemukan puteranya itu, yakin dia
pasti dapat bertobat dan kembali ke jalan baik. Umpama tidak
setimpal jadi kaum pendekar, betapapun dia juga ingin menjadi
manusia yang dihormati dan dihargai."
Nyo Hoa berpikir dalam hati, "Manis juga ucapanmu, sayang aku
bukan lagi anak umur tujuh tahun yang gampang ditipu dengan
bujuk rayu mulut manis."
Khawatir dia tidak percaya sengaja Nyo Bok menambahkan,
"Mungkin kau bisa bertanya begini, kenapa harus puteranya itu
ketemu baru dia mau bertobat dan insyaf akan kesalahan"
"Karena sekarang usianya sudah agak lanjut, kepandaiannya pun


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak tinggi. Tanpa dibantu anaknya. jelas dia tidak akan bisa lolos
dari genggaman musuh. Apalagi dia harus menuntut balas, padahal
sahabatnya itu memiliki ilmu golok kilat nomor satu di dunia, jikalau
dia tidak sembunyi di kalangan tentara, mungkin sejak lama takkan
lolos dari kekejian temannya itu. Ai, terpaksa dia mengharap
anaknya yang sekarang sudah besar memiliki ilmu tinggi, bukan saja
melindungi juga menuntutkan balas sakit hatinya."
Sampai di sini diam-diam Nyo Bok melirik ke arah anaknya dan
memperhatikan perubahan rona mukanya. Di luar tahunya Nyo Hoa
sedang berpikir, "Umpama betul kau punya maksud baik hendak
bertobat dan menginsafi kesalahan, umpama harus mati di tangan
musuh juga setimpal dan berusaha melarikan diri. Hm, kau
merangkai cerita ini jelas untuk menipu aku."
Nyo Bok menghela napas, katanya, "Bagaimana pendapatmu
setelah mendengar kisah ini" Jikalau kau menjadi putera piausu itu,
bagaimana kau harus bertindak?"
Mendadak Nyo Hoa berdiri dan membentak, "Satu orang apakah
dia harus lewat jembatan kayu atau jembatan besi, hanya dia
sendiri yang boleh menentukan pilihannya, tidak boleh percaya pada
petunjuk orang lain. Jikalau aku adalah putera piausu itu, jikalau dia
berani membual di hadapanku, tanpa pandang bulu peduli siapa dia,
aku akan membunuhnya, habis perkara." Waktu mengucapkan
"membunuh", sebelah tangannya mendadak membabat sebatang
pohon di sampingnya, pohon itu roboh mengeluarkan suara gaduh,
debu beterbangan, keadaan lebih mengejutkan.
Nyo Bok tidak menyangka setelah dirinya memutar lidah panjang
lebar, hasilnya tetap nihil. Takut Nyo Hoa benar-benar
melaksanakan ancamannya, saking ketakutan lekas dia mencawat
ekor dari tempat itu. Nyo Bok sudah pergi jauh, perasaan Nyo Hoa masih bergolak
seperti air mendidih, sampai lama belum juga tenteram.
Sudah tentu tak pernah terpikir meski dalam mimpi bahwa Nyo
Bok sebetulnya bukan ayah kandungnya. Jikalau dia tidak sembunyi
di belakang makam dan menyaksikan sendiri permainan sandiwara
Nyo Bok dalam percakapannya dengan Coan Tay-hok tadi, bila di
lain tempat dan suasana yang berbeda, bila anak dan bapak bersua
setelah berpisah sekian tahun, tahu bahwa ayahnya belum mati,
betapa hatinya takkan senang.
Tapi sekarang dia justru amat sedih. Tanpa sengaja dia
membongkar kemunafikan ayahnya, terima jadi antek kerajaan
melakukan kejahatan menumpas kaum pendekar yang menentang
penjajahan. Bukan saja marah, hatinya pun malu dan sedih, banyak
persoalan dan perasaan berkecamuk di dalam benaknya. Sedikit pun
dia tidak merasa menyesal barusan telah mengusir ayahnya.
Tapi apa yang diceritakan Nyo Bok, cerita tentang ibunya seperti
ular beracun yang menggerogoti hatinya, dia tidak ingin memikir
dan tidak sudi memikir lagi. "Aku tidak percaya, tidak percaya. Aku
yakin ibu bukan perempuan serendah yang dia katakan," teriaknya
dalam hati. Sudah tentu jeritan hatinya takkan terlontar dari
mulutnya, maka dapatlah dibayangkan betapa besar derita batihnya.
Dia ingin berteriak, ingin menjerit, ingin menangis sepuasnya.
Sungguh kasihan, cerita Nyo Bok yang beracun telah meresap ke
dalam lubuk hatinya, begitu jahatnya hingga dia hampir gila. "Aku
tidak percaya, aku tidak percaya." Mendadak entah sengaja atau
tidak, tangannya menyentuh buku pelajaran ilmu golok yang
disimpan dalam kantong bajunya, Beng-keh-to-hoat yang tiada
bandingannya di dunia ini. Di dalam buku ada tulisan ibunya, tulisan
ibunya yang membantu Beng Goan-cau mencatat pelajaran ilmu
goloknya. "Tidak percaya, tidak percaya, tidak" percaya"."jeritannya
makin kendor dan lemah, hingga keteguhan hatinya mulai goyah.
Angin dingin menghembus lewat, Nyo Hoa tersentak sadar
kedinginan, suara Nyo Bok seperti masih mengiang di pinggir
telinganya, diusut asal mula dari penyebab semua petaka ini adalah
sahabat keji itu yang membuat keluarganya berentakan.
Sekuat tenaga Nyo Hoa menekan perasaannya hingga gejolak
perasaannya mulai tenang, pikirnya, "Beng Goan-cau memang
benar adalah pemimpin laskar rakyat, tapi dalam laskar rakyat itu
bukan mustahil tercampur orang-orang jahat di dalamnya. Bukan
mustahil pula dia satu orang jahat di antara sekian banyak orang
baik, sampah persilatan dari kaum pendekar, sudah tentu dia tidak
bisa mengutuk dan menyumpahi ibunya, maka segala amarah,
penasaran dan dendam hatinya dia limpahkan kepada Beng Goancau.
Beng-keh-to-hoat itu sudah dikeluarkan dan hendak disobeknya
hancur, tapi pikirannya lantas tergerak, dia teringat pesan j i-suhunya,
"Dengan bekal kepandaianmu sekarang jelas kau bukan
tandingannya, hanya bila secara tak terduga kau lancarkan Bengkeh-
to-hoat baru kau akan bisa mengalahkan dia. Tapi jangan kau
melukainya." Nyo Hoa simpan kembali buku pelajaran ilmu golok itu, pikirnya:
"Aku akan lempar dan kembalikan buku ini kepadanya,
mengalahkan dia dengan ilmu goloknya. Tapi ji-suhu, aku harus
mohon maaf kepadamu, aku tidak akan memberi ampun kepada
sampah persilatan dari golongan pendekar ini."
Akhirnya tak tahan, dia membulatkan sumpahnya: "Beng Goancau,
tunggulah akan datang suatu hari, aku pasti akan
membunuhmu." "Sret" dia meloloskan pedang menebas kutung
sebatang pohon sebesar paha, seolah-olah pohon itu adalah batok
kepala Beng Goan-cau. Mendadak sebuah suara dingin bernada nyaring seperti
kelintingan bertanya, "Kenapa kau ingin membunuh Beng Goancau?"
Nyo Hoa berjingkrak sadar seperti siuman dari mimpi, dilihatnya
di depannya berdiri seorang pemuda cakap lembut. Kalau pemuda
ini bukan berdandan seorang lelaki, sekilas pandangan Nyo Hoa
pasti yakin bahwa orang ini adalah dewi kahyangan yang mendadak
turun ke hutan ini. Dengan taraf kepandaian Nyo Hoa sekarang,
sebetulnya mata dan telinga cukup jeli, tapi dia dalam keadaan
setengah sinting karena perang dalam batinnya, maka si pemuda
sudah berada di depannya masih belum disadarinya. Dari ini
dapatlah dibayangkan bahwa ginkang pemuda ini cukup tinggi.
Karena ditanya begitu Nyo Hoa gelagapan, sesaat dia tidak
mampu menjawab. Ditatapnya muka Nyo Hoa dengan tajam, pemuda itu membentak
pula, "Lekas katakan, kenapa kau mau membunuh Beng Goan-cau"
Kalau tidak menjelaskan aku tidak sungkan lagi kepadamu."
Nyo Hoa menenangkan pikiran, katanya, "Aku mau bunuh Beng
Goan-cau ada sangkut paut apa dengan kau" Kau pernah apanya?"
Pemuda itu tertawa dingin, katanya, "Aku bukan sanak bukan
kadang dengan Beng Goan-cau, tapi dia adalah pemimpin besar
laskar rakyat, jangan kata kau bilang hendak membunuhnya,
umpama sikapmu sedikit kurang ajar terhadapnya, aku tidak akan
memberi ampun kepadamu. Kecuali kau menerangkan apa
alasanmu hendak membunuh dia, apa salahnya kau jelaskan
kepadaku." Bagaimana mungkin Nyo Hoa berbicara dengan seorang asing
yang belum dikenalnya"
"Beng Goan-cau dia" dia sampah persilatan," Nyo Hoa berkata
terputus-putus. "Omong kosong!" sentak pemuda ganteng itu menarik muka.
"Beng tayhiap berjuang demi nusa dan bangsa, siapa tidak tahu
bahwa dia seorang enghiong, seorang gagah perkasa, berdasar apa
kau justru menuduh dia sampah persilatan?"
Merah hijau lalu putih, rona muka Nyo Hoa berubah berulang
kali. "Berdasar apa" Ya, berdasarkan apa?" Soal ini biar kau
membunuhnya juga dia tidak mampu menjawab.
"Yakin kau takkan bisa mengatakan alasanmu. Biarlah aku
menjelaskan. Karena kau adalah perwira Gi-lim-kun kerajaan
penjajah." "Siapa bilang, aku bukan, aku bukan," teriak Nyo Hoa. Mendadak
dia rogoh lencana Gi-lim-kun terus dibuang entah jatuh di mana.
Sikap dan perbuatannya ini malah membuat suara si pemuda
ganteng menjadi lembut, katanya, "Baiklah aku percaya kau bukan
perwira Gi-lim-kun, siapa kau sebenarnya?"
Pertanyaan yang tidak bisa dijawab pula oleh Nyo Hoa.
Pemuda ganteng itu bertanya pula, "Apakah kau masih ingin
membunuh Beng Goan-cau?"
Nyo Hoa berpikir, "Tidak membunuhnya juga akan memakinya
sampai puas." Tapi mulutnya berkata, "Aku tetap akan
membunuhnya." Pemuda itu gusar, serunya, "Kau masih ingin membunuhnya,
maka kaulah sampah persilatan!" Makin bicara makin jengkel,
mendadak dia membentak lebih gusar, "Cabut pedangmu!"
Nyo Hoa melengak, katanya, "Untuk apa kau suruh aku cabut
pedang?" "Kau sampah persilatan tidak setimpal membuat kotor golok
pusaka Beng tayhiap, biar aku saja mewakili Beng tayhiap
membunuhmu." "Baiklah boleh kau bunuh saja"
Pemuda itu mengira dia mengejek, katanya dingin, "Aku tahu kau
berkepandaian tinggi, tapi melawanku dengan tangan kosong
berarti kau cari penyakit sendiri, tapi aku tidak sudi mengambil
keuntungan. Jikalau aku tidak mampu membunuhmu biar kau pun
boleh membunuhku, hayo keluarkan pedangmu."
Nyo Hoa berkata, "Pedang mestikaku hanya membunuh orang
jahat. Aku tidak bermusuhan tiada dendam dengan kau, kulihat kau
juga bukan orang jahat, kenapa harus adu jiwa denganmu?"
"Enak didengar ocehanmu. Apakah Beng tayhiap orang jahat?"
Nyo Hoa menutup rapat mulutnya, tapi sikapnya seperti mau
bilang, "Tadi sudah kukatakan, kenapa kau tanya lagi?"
Pemuda itu tidak tahan, serunya, "Kalau kau tidak mau adu jiwa
dengan aku, biar aku yang melabrakmu. Memangnya kau mau
menyerah dan terima kupenggal kepalamu?"
Nyo Hoa menghela napas, katanya, "Kau memanggil Beng Goancau
dengan sebutan Beng tayhiap, tentu kau pun anggota laskar
rakyat. Kau ingin membunuhku, silakan Saja. Aku tidak sudi
bertempur dengan kau."
Kembali pemuda itu meleng-gong, siapakah Nyo Hoa sebetulnya"
Sungguh dia heran dan bingung serta kehabisan akal, katanya
sesaat kemudian, "Apa betul ucapanmu?"
"Ya, mati pun tidak akan menyesal," jawab Nyo Hoa.
Melotot bundar bola mata si pemuda, mendadak dia melompat
maju dan "plak" dia gampar muka-Nyo Hoa dengan keras. Nyo Hoa
ternyata diam saja tidak berkelit atau melawan.
Pemuda itu mendengus, katanya, "Kalau bukan karena kau
pernah menolong jiwa Ho Thi-cu suami istri, bukan mustahil sudah
kucabut jiwamu sejak tadi. Siapa suruh kau berani menghina dan
merusak nama baik Beng tayhiap, aku hanya menggampar mukamu
sebagai pemuas penasaran hatiku."
Kedatangan pemuda ini teramat cepat, perginya juga teramat
mendadak. Gunung sunyi hutan lengang, tinggal Nyo Hoa berdiri
menjublek seorang diri. "Dari mana dia tahu aku pernah menolong
Ho Thi-cu suami istri" Eh, ya, mungkin dia sudah bertemu mereka.
Kalau Ho Thi-cu mau menceritakan hal itu kepadanya, pasti dia
orang gagah dari laskar rakyat," demikian batin Nyo Hoa.
Tanpa merasa Nyo Hoa meraba pipinya yang barusan kena
gampar, terasa panas dan pedas, mau tidak mau dia tertawa geli
sendiri. "Demi dendam pribadi aku mau membunuh pemimpin besar
laskar rakyat, tidak heran kalau dia menampar mukaku, tapi
bagaimana juga dendam pribadi ini tidak boleh tidak harus kutuntut.
Beng Goan-cau terlalu rendah dan memalukan." Kalau pikirannya
sudah jernih, tetapi kesadarannya masih butek, pikirnya lebih lanjut,
"Pemuda itu menampar mukaku, siapa namanya aku tidak tahu,
sungguh lucu. Tapi aku yakin dia pasti tahu, di mana Beng Goancau
sekarang berada. Lalu bagaimana bila dia tahu" Dalam hatinya
aku sudah dipandang sebagai sampah persilatan, apakah dia mau
percaya dan sudi menerangkan kepadaku?"
Surya sudah doyong ke barat, hari sudah mulai gelap. Terasa
capai lahir batin Nyo Hoa, pikirnya, "Sekarang aku sudah
sembahyang dan membersihkan pusara ibu, tercapailah
keinginanku. Beng Goan-cau tidak berada di Siau-kim-j wan, aku
pun harus meninggalkan tempat ini." Setelah makan roti kering, dia
memejamkan mata bersemadi, pikirnya setelah memulihkan tenaga
dan semangat, akan segera pergi. Sesuai ajaran Iwekang ciptaan
Thio Tan-hong, dia duduk bersimpuh, memejamkan mata
mengkonsen-trastkan pikiran, tanpa terasa dia sudah dalam
keadaan lupa rasa lupa diri.
Entah berapa lamanya, sayup-sayup didengarnya suara orang.
Nyo Hoa tersentak sadar, ternyata sang puteri malam sudah
bergantung di angkasa, hari sudah menjelang tengah malam.
Rembulan bundar besar laksana meja bundar terbuat dari kaca
bening, cahayanya yang redup menyinari alam semesta,
sekelilingnya hening lelap.
Nyo Hoa merasa heran, pikirnya, "Jelas aku mendengar suara
orang, mungkinkah telingaku salah dengar" Oh, ya, pasti pemuda
itu penasaran kepadaku, diam-diam dia meluruk balik."
Tengah dia mereka-reka, dari perut gunung sana tiba-tiba
didengarnya suara gemerisik di tengah belukar, Nyo Hoa mendekam
di tanah mendengarkan, didengarnya seseorang berkata, "Coantoako,
hanya karena bocah kecil yang masih menyusu, sampai
mengerahkan Si-ceng-si-to-ngo-koan, bukankah persoalan kecil
dibesar-besarkan?" Nyo Hoa lantas paham, bukan saja musuh telah datang,
seluruhnya ada sembilan orang, malah bukan sembilan orang
sembarangan. Sudah sebulan lebih Nyo Hoa tinggal di Siau-kim-jwan, dia tahu
Cui Po-san komandan tertinggi pasukan kerajaan Ceng yang
berkuasa di Siau-kim-jwan sekarang punya anak buah yang
diandalkan dengan julukan Si-ceng (Empat paderi), Si-to (Empat
tosu) dan Ngo-koan (Lima berpangkat). Si-ceng adalah paderi lama
yang diundang dari Tibet, Si-to adalah murid-murid murtad dari Butong
dan Khong-tong-pay sementara Ngo-koan adalah lima perwira
Cui Po-san sendiri, yang mempunyai jabatan tinggi, dua di
antaranya pernah menjabat kedudukan penting dalam barisan Gilim-
kun. Kejap lain, seseorang yang suaranya pernah dikenal berkata, "Ma
toako, jangan kau pandang eriteng bocah itu, usianya masih muda,
tapi kungfunya lihay luar biasa. Melawan Miao Tiang-hong ternyata
dia mampu bertanding sama kuat." Orang yang bicara ini bukan lain
adalah Coan Tay-hok. Cukup lama mereka sembunyi di semaksemak,
lalu maju sambil bicara berbisik-bisik.
Untung sejak kecil Nyo Hoa pernah meyakinkan "mendengar
suara membedakan amgi", maka pembicaraan kedua orang ini dicuri
dengar dengan jelas. "Orang she Coan ternyata termasuk salah satu dari Ngo-koan,"
demikian pikir Nyo Hoa. "Apa betul?" perwira she Ma itu agaknya kurang percaya.
Coan Tay-hok berkata, "Aku saksikan sendiri, memangnya salah"
Tapi di samping melabrak Miao Tiang-hong, dia pun membantunya
memukul aku, aku jadi bingung, entah dia di pihak mana"
Kemungkinan dia sehaluan dengan Miao Tiang-hong," demikian


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucap Coan Tay-hok. Orang she Ma berkata, "Dulu Pakkiong Jongling mati di tangan
Miao Tiang-hong, Miao Tiang-hong memang tidak boleh dipandang
enteng, soal bocah itu"." nadanya sudah jelas dia tidak pandang
sebelah mata kepada Nyo Hoa.
Diam-diam Nyo Hoa berpikir, "Gelagatnya Si-eeng-si-to-ngo-koan
sudah dikerahkan seluruhnya, tujuannya jelas untuk menghadapi
Miao Tiang-hong. Orang she Coan itu pernah kudepak sampai
jungkir balik, tentu dia lebih membenciku daripada Miao Tianghong."
Agaknya perwira she Ma itu berpikir sejenak, baru berkata pula,
"Entah pernah apa bocah itu dengan Nyo Bok. Dia laporkan tempat
persembunyian bocah itu, tapi dia sendiri tidak berani kemari. Malah
dia mohon kepada kita supaya menangkap hidup-hidup, tidak
melukai atau membunuhnya."
"Memangnya, malah Cui-tayjin sendiri yang memberikan janji
kepadanya, baru dia mau membocorkan persembunyian bocah itu.
Malah Cui-tayjin juga berjanji bila bocah itu sudah diringkus akan
langsung diserahkan"kepadanya."
Karuan dongkol dan gemas serta benci hati Nyo Hoa. Walau dia
sudah tahu kalau ayahnya menjadi antek kerajaan, anjing alap-alap
yang memusuhi kaum patriot, namun tak pernah terbayang dalam
benaknya, kalau Nyo Bok sampai hati menjual puteranya sendiri.
Didengarnya orang she Ma sedang bertanya kepada Coan Tayhok,
"Kau tahu apa sebenarnya?"
"Tidak tahu. Ah, tidak" ya, aku menemukan hubungannya."
"Hubungan apa?" "Bukankah bocah itu juga she Nyo?"
Orang she Ma menepuk paha seperti mengerti, katanya, "O, jadi
kau curiga bahwa bocah itu mungkin famili atau keponakan Nyo
Bok?" "Kalau dugaan kita betul, lalu bagaimana kita bertindak?" tanya
Coan Tay-hok. "Kau adalah teman karibnya, bagaimana menurut
pendapatamu?" "Hubunganku denganNyo Bok memang intim, tapi persoalan
pribadi harus di belakang tugas. Kungfu bocah itu amat tangguh,
menurut hematku bila tak bisa meringkusnya hidup-hidup, terpaksa
dibunuh saja." Mendidih darah Nyo Hoa, tak tahan segera dia berjingkrak berdiri
seraya membentak, "Aku ada di sini, kemarilah kalian!"
Dari empat penjuru segera terdengar siulan dan sempritan, dari
berbagai jurusan tampak bayangan orang bergerak, dari timur
muncul empat paderi asiag berkasa merah dengan senjata tongkat
besi berge-lang sembilan. Dari selatan muncul empat tosu
bersenjata pedang, dari barat mendatangi tiga perwira, tangan
mereka memegang senjata, sementara Coa Tay-hok dan perwira
she Ma itu berada di utara.
Si-ceng, Si-to dan Ngo-koan mengepung dari empat penjuru,
maka Nyo Hoa terkepung dalam lingkaran mereka.
Orang she Ma bergelak tertawa, serunya, "Dugaan Nyo Bok
memang tidak meleset, bocah busuk ini ternyata masih di sini,
sayang hanya dia seorang."
Seorang perwira lain membentak, "Bocah, kalau ingin hidup lekas
bicara terus terang, di mana Miao Tiang-hong?" Orang ini pemimpin
dari Ngo-koan, bernama Ting Tiong-ai, seperti juga Coan Tay-hok,
dulu pernah bertugas di dalam pasukan Gi-lim-kun.
Nyo Hoa naik pitam, bentaknya, "Membunuh ayam kenapa meski
pakai golok" Kalian ini yang disebut Si-ceng, Si-to dan Ngo-koan
boleh maju bersama!"
Seorang tosu berjenggot panjang berkata dengan tertawa, "Tidak
dangkal pengetahuan bocah ini, ternyata tahu kebesaran nama Siceng,
Si-to, Ngo-koan." Tosu ini adalah tertua dari Si-to, bergelar
Gun-goan-cu, semula adalah murid kesayangan ciangbunjin Butong-
pay Lui-tin-cu, belakangan karena bergaul dengan kawankawan
yang kemaruk harta dan gila pangkat, dia pun menerima
undangan Cui Po-san untuk menjadi pembantunya
Seorang Lama gemuk bertanya kepada Gun-goan-cu dengan
bahasa Tibet, "Apa yang dikatakan bocah ini?" Lama gemuk ini
adalah ketua empat paderi, gelarnya Thian-thay Siangjin.
Sebetulnya dia pun mahir berbahasa Han, tapi Nyo Hoa bicara
terlalu cepat, dia tidak mendengar jelas.
Gun-goan-cu tergelak-gelak, katanya perlahan, "Mungkin bocah
ini kira kepandaiannya nomor satu di dunia, seorang diri dia
menantang kita bersembilan."
Thian-thay Siangjin ingin angkat nama di Tionggoan, paling
pantang diremehkan oleh orang Han. Secara berkelakar pula Gungoan-
cu menjelaskan, karuan Thian-thay Siangjin naik pitam,
wajahnya membesi hijau. Nyo Hoa mendengus, sepatah demi sepatah berkata,
"Menghadapi kalian kawanan keledai gundul, hidung kerbau dan
perwira anjing, memangnya harus memiliki kungfu nomor satu"
Bocah keroco yang masih hijau seperti diriku ini pun sudah lebih
dari cukup untuk menghajar kalian."
Sudah tentu olok-olok Nyo Hoa membakar amarah musuh, Thianthay
Siangjin paling tidak tahan, bentaknya, "Bocah keparat, ingin
mampus bukan soal sulit, biar hud-ya mengantarmu ke dunia barat"
Lalu dia menoleh dan berkata kepada Gun-goan-cu, "Biar bocah ini
tahu kelihayan kungfu aliran Tibet kami, jangan kalian ikut turun
tangan." Tiga Lama yang lain khawatir bocah busuk ini betul-betul
memiliki kelebihan, sambil menjinjing tongkat sembilan gelang
mereka maju bersama berdiri di pinggir gelanggang, bila perlu siap
membantu Thian-thay Siangjin.
Si-to dan Ngo-koan memang ingin tahu betapa lihay bocah yang
menurut cerita Coan Tay-hok mampu menandingi Miao Tiang-hong,
syukur Si-ceng tampil lebih dulu.
Nyo Hoa tertawa, katanya, "Aku pun bisa membaca mantra
kehidupan, hwesio gede tak usah khawatir, akan kupanjatkan doa
untukmu supaya arwahmu diterima di alam baka." Diam-diam dia
kerahkan tenaga mumi, pedang bergerak dari bawah ke belakang
naik terus membacok turun seperti gerakan golok.
"Trang" kembang api berpijar. Tongkat besar Thian-thay Siangjin
gumpil sedikit, sementara telapak tangan Nyo Hoa linu kesemutan.
Keduanya terkejut, Thian-thay Siangjin lantas tahu bahwa bocah ini
memang luar biasa. Nyo Hoa juga tahu taraf lwekang lawan tidak di
bawah dirinya. Pikirnya, "Untuk mengalahkan hanya boleh
menggunakan akal, pakai kekerasan hanya merugikan." Otak
berpikir, akal pun dilakukan, langkahnya mendadak gentayangan
gerakannya seperti hendak menubruk jatuh ke arah Thian-thay
Siangjin. Thian-thay Siangjin terlalu pongah, walau tahu Nyo Hoa lihay,
pengalaman tempur jelas masih dangkal, dia kira Nyo Hoa terkena
akibat dari getaran tenaga dalamnya, karuan hatinya girang,
mumpung Nyo Hoa belum berdiri tegak, tongkat sebesar mulut
mangkok itu langsung memukul batok kepala Nyo Hoa.
Sebat sekali, mendadak Nyo Hoa bergerak dengan H ong-pweho-
hoa (Angin menghembus kembang teratai) menyelinap ke dalam
pelukan Thian-thay Siangjin malah. Begitu tongkat memukul tempat
kosong, ujung tongkatnya memukul bumi, "Blum", "Cret" kasa
merah yang dipakainya itu telah sobek tertusuk oleh pedang Nyo
Hoa. Perlu diketahui Thian-thay Siangjin meyakinkan 1 wekang Miciongdari
Tibet, Lwe-kang itu mempunyai ketahanan yang kokoh,
waktu pedang Nyo Hoa menusuk badannya, serta merta kasa
lebarnya itu menggembung laksana layar yang tertiup angin,
sehingga tusukan Nyo Hoa menjadi sirna kekuatannya. Ilmu ini
mirip dengan Can-ih-cap-pwe-tiat dari ajaran Siau-lim-pay. Tusukan
pedang Nyo Hoa tidak mampu melukainya, hanya menusuk bolong
kasanya saja, hatinya pun heran.
Tiga Lama yang menyaksikan di luar kalangan juga terperanjat,
serempak mereka membentak terus angkat tongkat gelangnya, dari
tiga jurusan memukul kepala Nyo Hoa.
Duapuluh tujuh gelang baja serempak gemerincing, suaranya
yang keras memekakkan telinga. Ternyata gelang-gelang baja di
atas tongkat para paderi Tibet ini juga merupakan senjata, bila
gelang diguncang akan mengeluarkan irama suara yang dapat
menggetarkan nyali dan membuat kalut pikiran lawan, sukmanya
seperti disedot. "Irama setan apa ini?" sentak Nyo Hoa. Sambil bersiul keras,
tubuhnya mendadak melejit ke udara. Gerakan tongkat gelang
ketiga Lama ternyata rapat ketat, serangan dan penjagaan ternyata
bergerak dengan serasi, perhatiannya berlapis-lapis. Nyo Hoa tahu
bila dirinya sampai terkepung mereka, dalam limapu-luhan jurus
jelas dirinya takkan bisa menang. Apalagi masih ada Si-to dan Ngokoan
yang mengawasi gerak-geriknya, semakin lama pertempuran
berlangsung semakin tidak menguntungkan dirinya. Karena itu dia
merasa perlu melancarkan serangan mematikan dengan tipu-tipu
Iihay, dari tengah udara "Sret" pedangnya menusuk ke arah Lama
di sebelah kiri.. Lama itu angkat tongkatnya menangkis, di tengah udara Nyo Hoa
gunakan gerakan Burung Dara Jumpalitan, tenaga dalam dicurahkan
di ujung pedang, "Plak plok" dua kali tendangan secepat kilat, Lama
di sebelah kanan dan tengah tidak menduga lawan menendang
setangkas ini, mau menangkis dengan tongkat sudah tidak keburu,
hingga mereka tertendang secara telak, mereka mengeluarkan
raungan keras seperti lembu digorok lehernya, keduanya terpental
jauh menggelinding di tanah. Lebih celaka lagi Lama di sebelah kiri,
begitu tongkatnya menangkis pedang, tenaga raksasa tiba-tiba
tersalur lewat tongkatnya menerjang lengannya, Ki-ti-hiat seketika
linu, "Trang" tongkat gelang bajanya jatuh berkerontang di tanah,
dua jari tangan kanannya terpapas putus oleh pedang Nyo Hoa.
Thian-thay Siangjin meraung bagai geledek terus menerkam nekad,
baru saja dia hendak mencabut tongkatnya yang amblas di
tanah, Nyo Hoa pun baru saja memapas dua jari Lama sebelah kiri.
Kaki hinggap di tanah, sebat seperti angin lesus, di mana sinar
pedangnya memanjang bagai rantai, pergelang-an tangan sendiri
terancam oleh tabasan pula, untung Thian-thay Siangjin sempat
menarik tangan, kalau tidak luka-lukanya pasti lebih parah.
Di tengah jeritan kaget orang banyak, Thian-thay Siangjin
menggertak, kedua lengan kasa merah besar yang dipakainya
segera ditanggalkan sekali kebut seperti segumpal mega dengan
suaranya yang mendesir berputar kencang. Dalam sekejap
terdengarlah rentetan suara aneh, ternyata kasa merahnya itu
sudah bolong-bolong seperti sarang tawon, jelas kasanya tidak bisa
dipakai lagi, terpaksa dia mengundurkan diri.
Bahwa lawan mampu menahan serangan pedangnya dengan
kasa lebar itu dengan akibat bolong-bolong saja, mau tidak mau
Nyo Hoa memuji kehebatan Iwekang lawan, maka dia pun tidak
melabraknya lagi meski mumpung menang.
Sekali gebrak Nyo Hoa berhasil meruntuhkan perlawanan Siceng,
karuan Si-to-dan Ngo-koan yang menonton di luar kalangan
tersirap kaget Gun-goan-cu memuji, "Ilmu pedang bagus. Marilah kita
bertanding." Pedang panjang dilolos mengeluarkan dengung suara
yang keras, jelas lwekang-nya sudah sempurna. Beberapa kali dia
menggerakkan pedangnya hingga mencipta-kan beberapa kuntum
sinar pedang, lalu berkata, "Kami Bu-tong dan Khong-tong empat
sekawan, maju bersama mundur berbareng, jangan kau kira kami
mengeroyokmu." "Jangan cerewet, lihat pedang!" bentak Nyo Hoa
Gun-goan-cu adalah ahli pedang ternama, begitu melihat Nyo
Hoa melancarkan jurus Hoan-ciau-hoat-sa (Burung sakti menggaris
pasir) dalam hati dia heran, "Permainan pedang yang umum dan
biasa, kenapa bisa dimainkan seketat dan sebagus ini" Pada detikdetik
bentrokan senjata ini, sudah tentu tak sempat dia
menerawang keadaan dan menyelami permainan lawan. Lekas
pedangnya menggaris bundar melancarkan jurus Hong-kim-liu-sa
(Angin menggulung pasir bergerak), inilah ilmu pedang Bu-tong-pay
yang khusus untuk mematahkan jurus Hian-ciau-hoat-sa itu.
Tak nyana jurus pedang Nyo Hoa itu hanya gayanya saja yang
kelihatan seperti Hian-ciau-hoat-sa, mendadak ujung pedangnya
menye-lonong miring ke atas, menusuk dari" posisi yang tak terduga
oleh Gun-goan-cu, Gun-goan-cu betul-betul kaget, teriaknya
tersirap, "Ilmu pedang apa ini?" Untung kiamsut-nya sudah
mencapai taraf yang dapat dikendalikan sesuka hati, reflek pedang
ditarik untuk melindungi badan, terus diubah gerakan Heng-kangcoat-
to (Muat arak sungai melintang). Pedang Nyo Hoa berkelebat,
secuil lengan bajunya tertabas hancur.
Merah padam muka Gun-goan-cu, katanya, "Orang gagah
memang tumbuh dari generasi muda, kagum, kagum, siapakah
gurumu?" Maklum Gun-goan-cu adalah tokoh ternama dari generasi
kedua, tingkat dan kedudukannya cukup tinggi, setelah dikalahkan
sejurus, terpaksa dia harus basa-basi untuk menjaga pamor,
menunjukkan kebesaran jiwa mempertahankan gengsi.
Nyo Hoa bergeiak tawa, katanya, "Siapa suhu-ku tidak boleh
dikatakan, kalau kukatakan pasti pecah nyali kalian."
Gun-goan-cu mendengus, jengeknya, "Paling ciangbunjin dari
perguruan mana. Tahukah kau, para ciangbunjin dari perguruan
besar, ilmu pedang tingkatannya juga sejajar dengan aku."
Nyo Hoa tertawa pula, katanya, "Apa betul kau ingin aku
mengatakan" Baiklah, terus terang kukatakan kepadamu, guruku
adalah Thio Tan-hong, Thio tayhiap yang di jaman sekarang
sedikitnya lebih tinggi sepuluh duapuluh tingkat, ilmu pedang yang
kumainkan tadi adalah warisan beliau, namanya Bu-beng-kiamhoat."
Nyo Hoa menerangkan sejujurnya, G un-Goan-cu justru anggap
dia meledek dan mempermainkan dirinya, bentaknya gusar, "Bocah
keparat, berani kau mempermainkan aku!" Sekali tangannya
bergerak, empat tosu maju bersama menggencet dari dua arah.
"Nah, begini betul. Majulah bersama supaya menghemat
tenagaku," ucap Nyo Hoa tertawa. Di tengah gelak tawanya dia
mulai bergerak dengan jurus Meh-jan-pat-hong (Perang malam di
delapan penjuru), sinar pedangnya bergumpal-gumpal menerjang
ke empat penjuru. Ternyata kali ini Gun-goan-cu sudah
mempersiapkan diri, berdiri berjajar adu pundak dengan sang sute,
sepasang pedang bersilang, gerak pedang mereka rapat dan serasi,
berbeda dengan gabungan ilmu pedang umumnya. Serangan
pedang Nyo Hoa ternyata tidak mampu menembus pertahanan
mereka. Dua jago pedang dari Khong-tong-pay lagi ternyata
bertarung secara gerilya mengelilingi arena, permainan pedang
enteng, mengambang dan bolak-balik secara aneh. Tidak sukar Nyo
Hoa mengalahkan kedua orang ini, tapi Gun-goan-cu bersama sutenya
ternyata lebih sulit dilawan. Bila bertahan rapat, balas
menyerang secara gencar dan lihay, Nyo Hoa tak mampu
mematahkan permainan mereka.
Teng Tiong-ai pimpinan Ngo-koan berseru sambil bertepuk
tangan, "Kiu-kiong-pat-kwa-kiam-hoat dari Bu-tong-pay memang
tangguh dan kokoh, hari ini betul-betul terbuka mata kami.*1
Mendengar pujian orang, seketika Nyo Hoa sadar maka
terbayang olehnya waktu sam-suhu Tan Khu-seng membicarakan
ilmu pedang empat aliran besar di Tionggoan, masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Bicara soal ketahanan yang
kokoh dan rumit, Bu-tong-kiam-hoat terhitung paling tangguh,
terutama Kiu-kiong-pat-kwa-kiam-hoat-nya bila permainan sudah


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikembangkan, disiram air pun takkan tembus, begitu tangguhnya
sehingga sukar dipatahkan atau dipecahkan. Sesuai Kiu-kiong-patkwa-
tin, barisan ilmu pedang ini seharusnya dimainkan oleh
sembilan orang. Belakangan ciangbunjin Bu-tong Lui-tin-cu bersama
sute-nya Ui-ciok Tojin memperdalam ilmu ini secara tekun, hasilnya
memang amat memuaskan. Setiap murid Bu-tong yang memiliki
kepandaian dalam taraf tertentu, hanya dengan dua orang sudah
cukup mampu mengembangkan barisan ilmu pedang yang lihay ini.
Nyo Hoa berpikir, "Kedua tosu bangsat ini ternyata mampu
mengembangkan barisan ilmu pedang Bu-tong-pay. Untuk
memecahkan barisan ini aku perlu meneliti dan menyelaminya lebih
dulu." Padahal Nyo Hoa sudah mampu memahami teori dasar ilmu
pedang tingkat tinggi, Bu-beng-kiam-hoat pun dapat dimainkan
secara terbuka, sering pula secara reflek dia berhasil mencip-takan
jurus-jurus baru malah. Namun barisan pedang yang dilancarkan
Gun-goan-cu bersama sute-nya ini, memang betul-betul tangguh
dan tiada titik kelemahannya, apalagi mereka dibantu kedua jago
pedang Khong-tong-pay sehingga perbawa barisan pedang mereka
bertambah ampuh dan berkembang lebih menyeluruh. Untuk
mempertahankan diri supaya tidak terkalahkan saja, Nyo Hoa
merasa sukar, bagaimana dia dapat menghancurkan barisan pedang
ini" Beberapa jurus kemudian Nyo Hoa selalu terancam bahaya,
hatinya risau pikiran gundah. Kembali pedang salah seorang tosu
Khong-tong-pay hampir menusuk perutnya, untung dia sempat
berkelit, pedang lawan hampir menyerempet kulitnya.
Gun Goan-cu membentak, "Anak bagus, mengingat kiamsut-mu
sudah kau yakinkan setaraf ini, lekaslah kau menyerah saja, aku
ampuni jiwamu." "Kentut busuki" hardik Nyo Hoa. Pedang terangkat mematahkan
pedang panjang Gun-goan-cu, mendadak dia teringat "Kenapa aku
melupakan petuah di mata ada musuh dalam hati tiada musuh?"
Segera dia tabahkan hati bertahan lagi beberapa jurus. Sementara
benaknya memikirkan pula Hian-kang-pwe-coat ajaran Thio Tanhong
yang mengatakan, "Jangan menanti musuh menang baru
mengejar kemenangan itulah ajaran kungfu taraf tinggi." Seketika
otaknya seperti makin encer, saking senang hampir dia berteriak
gembira, batinnya, "Benar, pertahanannya memang kokoh tiada
kelemahan, lalu dengan cara apa baru berhasil menciptakan
kelemahan musuh?" Setelah berpikir pulang pergi, akhirnya Nyo Hoa memutuskan
untuk menggunakan Beng-keh-to-hoat yang akan dikembangkan
dengan permainan pedang. "Tapi pantaskah aku menggunakan ilmu
golok dari musuh?" Sedikit lena, "Creet" pedang panjang Gun-goancu
tiba-tiba menusuk tiba, pakaian Nyo Hoa tertusuk bolong, hampir
saja badannya terluka. Akhirnya Nyo Hoa kertak gigi, pikirnya, "Walau Beng Goan-cau
itu seorang hina dina, itu kan menyangkut pribadinya yang kotor,
dinilai secara obyektif, betapapun dia adalah seorang pejuang yang
perkasa menentang penjajah. Kenapa tidak boleh aku menggunakan
ilmu pedang keluarganya untuk mengganyang cakar alap-alap dari
keraja-anCeng?" Hati memutuskan, pedang pun segera bergerak melancarkan
serangan kilat Ganas, cepat dan tangkas. Di saat musuh
menusukkan pedangnya, Nyo Hoa justru balas menyerang tujuh
jurus. Tapi Kdu-kiong-pat-kwa-kiam-hoat yang dimainkan Gungoan-
cu bersama sute-nya memang teramat rapat, dalam waktu
cepat jelas Nyo Hoa masih harus berusaha keras untuk dapat
memecahkan barisan ini. Tapi kedua tosu Khong-tong-pay itu sudah
berani terlalu dekat dan merang-sak lagi. i
Makin bertempur makin cepat, sampai akhirnya Nyo Hoa
memberondong dengan segala gerakan apa saja yang bisa
dilontarkan secara reflek hingga dia sendiri tidak bisa menyebutkan
jurus apa yang pernah" dilancarkan barusan. Maklum dia
menggunakan Bu-beng-kiam-hoat dikombinasikan dengan Bengkeh-
to-hoat yang mengutamakan gerak cepat, bukan saja tiada
jurus permainan tertentu, badan pun tidak perlu berlompatan main
sergap segala, tanpa perubahan atau variasi lagi, serangan demi
serangan makin cepat, terdengarlah suara "trang tring" yang ramai
dari benturan l logam keras sampai puluhan kali.
Begitu pedang kilat dilancarkan, gerakan Nyo Hoa ternyata makin
lancar dan leluasa, selama dia meyakinkan ilmu belum pernah
kejadian ini dialaminya. Maklum dia sudah memahami dan
mencangkok ilmu tingkat tinggi, di dalam sanubarinya, semakin
tangguh lawannya semakin hebat pula reaksi yang dia tampilkan,
hingga kelihatan betapa aneh dan mendalam bekal yang dimilikinya.
Begitu cepatnya dia menggempur keempat musuhnya sehingga
bayangan tubuhnya seperti dibungkus oleh berkelebatnya sinar
pedang. Di kala bertempur itulah, kelihatan dia melancarkan suatu
jurus serangan secara enteng namun membawa pertahanan yang
kokoh tak terpatahkan. Kelihatannya tidak terjaga, namun
pertahanan itu sekokoh benteng. Gun-goan-cu berempat makin
silau oleh sinar pedang yang berkelebat, ujung pedang Nyo Hoa
seolah-olah selalu mengancam di depan mukanya. Permainan Bubeng-
kiam-hoat Nyo Hoa ternyata membikin keempat lawannya
kebingungan dan kerepotan pula, dianggapnya setiap jurus
permainan pedangnya khusus mengincar diri sendiri. Mendadak Nyo
Hoa membentak, gerakan Ciang-to-sek dari jurus Meh-jan-pat-hong
ilmu Beng-keh-to-hoat dia lebur dalam permainan pedang, dengan
tumit kaki kanan sebagai poros, secepat kilat badannya berputar
satu lingkar. Hanya sekali putaran saja, ujung pedangnya sempat
menotok sekali ke arah empat musuhnya di empat penjuru, yang
diincar kalau bukan tenggorokan pasti batok kepala dan tempattempat
berbahaya lain di tubuh lawan. Satu jurus serangan
sekaligus mengancam jiwa empat musuh, maka dapat dibayangkan
betapa cepatnya. Sesuai dugaan Nyo Hoa, Bu-tong-kiam-hoat yang sebetulnya
tangguh dan tiada kelemahannya itu setelah dicecar dengan pedang
kilatnya, dipaksa menunjukkan kelemahannya sendiri. Menyusul Nyo
Hoa membentak, "Kena!" Cret, pedangnya berhasil menusuk luka
sute Gun-goan-cu, ujung pedang menggores di pergelangan tangan
hingga pedang panjang di tangannya jatuh berkerontangan. Lekas
Gun-goan-cu melintangkan pedangnya menutup bagian depan
menjaga serangan Nyo Hoa selanjutnya.
Nyo Hoa tahu kepandaian Gun-goan-cu paling tinggi, maka dia
tidak ingin bertempur terlalu lama. sana capung menutul air terus
melayang pergi, lapi jurus pedang yang enteng dimainkan
seenaknya ini, dalam pandangan Gun-goan-cu justru merupakan
serangan mematikan yang-lihay. Untuk melindungi jiwa sendiri Gungoan-
cu sudah kerepotan, mana sempat dia balas menyerang"
Sementara itu kedua tosu Khong-tong-pay itu menyerang dari
dua sayap kanan kiri secara licik, dengan gerakan pedang ganas. Di
luar dugaan, gerakan Nyo Hoa secepat kilat, baru saja dia
berkelebat dari samping Gun-goan-cu, di mana pedangnya berputar,
pedang panjang tosu sebelah kiri ternyata telah ditindih-nya.
Tenaga disalurkan di ujung pedang dan sekali pelintir, pedang
panjang tosu itu tanpa kuasa ikut berputar, "Trang" pedang panjang
musuh seketika mencelat terbang ke udara dan secara kebetulan
membentur pedang tosu sebelah kanan yang menusuk tiba, dua
pedang jatuh bersama. Seorang diri mana mampu Gun-goan-cu
melawan, terpaksa dia pun mengundurkan diri.
Teng Tiong-ai ketua Ngo-koan membentak, "Bocah bagus,
jangan takabur, biar aku mencoba kau." Senjatanya
adalah"sepasang boan-koan-pit, panjangnya hanya dua kaki empat
dim, jadi lebih pendek dari boan-koan-pit umumnya. Bagi kaum
persilatan ada pemeo yang bilang "satu dim lebih pendek, satu dim
lebih bahaya", bahwa orang yang satu ini mampu menggunakan
boan-koan-pit yang jauh lebih pendek, maka dapatlah dimengerti
bahwa dia seorang jago lihay yang ahli dalam ilmu totok.
Sebelum Ceng-kong-kiam Nyo Hoa menabas ujung potlot lawan,
Teng Tiong-ai sudah merunduk balik menggeser langkah, berbareng
potlot di tangan kiri mendadak me-nyelonong keluar menotok Jiankin-
hiat di pundak Nyo Hoa. Gebrak ini kedua pihak sama
menyerang, sungguh lihay dan berbahaya.
Cuma gerak pedang Nyo Hoa lebih cepat sedikit, sebetulnya dia
bisa menusuk lawan lebih dulu, namun situasi di depan mata justru
tidak menguntungkan Nyo Hoa. Maklum saat itu Nyo Hoa seorang
diri harus menghadapi keroyokan lima lawan, dua orang perwira
telah menyerang pula dari arah lain. Tiam-hiat-jiu-hoat yang
dilancarkan Teng Tiong-ai ternyata telak dan ganas, walau gerak
pedang sedikit lebih cepat, terpautnya juga hanya dua rambut,
umpama lawan berhasil ditusuknya roboh, Jian-kin-hiat sendiri juga
mungkin berlubang oleh potlot lawan. Yang diperebutkan dalam
pertempuran jago-jago kosen hanyalah kesempatan sedetik. Di
bawah keroyokan lima musuhnya, sudah tentu Nyo Hoa tidak mau
gugur bersama. Dalam detik-detik yang berbahaya itu Nyo Hoa menyerong badan
sehingga bacokan golok Coan Tay-hok mengenai tempat kosong. Di
kala tubuhnya miring itulah kakinya melangkah dengan Cui-pat-sian,
berbareng tangan kiri diulur menyangga siku Teng Tiong-ai,
menghindar serangan, menggempur kekosongan lawan sekaligus
dia punahkan totokan lihay Teng Tiong-ai.
Kejadian berlangsung amat cepat, sementara itu Nyo Hoa sudah
menyelinap keluar, lolos dari rang-sakan golok baja, kecer tembaga
dan potlot besi, dengan badan berputar dia memapak dua perwira
lain yang sedang merunduk dari belakang dengan serangan
mematikan. Kedua perwira ini bersenjata Sam-goat-gun, tongkat tiga ruas
yang terikat rantai. Seorang lagi bertangan kosong. Tujuan Nyo
Hoa, selekasnya mengakhiri pertempuran maka dia memilih
menggempur serta merobohkan lawan yang terlemah. Pedangnya
turun naik, sepasang tangan perwira bertangan kosong itu
dibabatnya. Strategi perangnya memang betul, sayang analisanya keliru.
Bahwa perwira ini hanya bertangan kosong berani melawan
permainan pedangnya yang lihay, sepantasnya dapat dia sadari
bukan lagi "titik terlemah" dari kelima musuhnya, sebaliknya adalah
jago kosen yang hanya setingkat di bawah Teng Tiong-ai,
kemahirannya adalah Tay-kim-na-jiu-hoat yang memiliki tujuhpuluh
dua jalan, reaksinya cepat gerak-gerik pun cekatan.
Tabasan pedang Nyo Hoa menggunakan jurus Tok-pi-hoa-san,
gayanya bagus tenaganya kuat, sayang kebagusannya itu kurang
sempurna karena jurus ini sepantasnya dilancarkan dengan
sebatang golok, sekarang dia justru menggunakan pedang sehingga
gerakannya kurang mantap dan terlalu enteng. Di sinilah terbukti
bahwa Nyo Hoa memang masih kurang pengalaman di dalam
menilai para musuhnya. Di saat pedang hampir menabas tangan
musuh, gerak perubahan lawan ternyata lebih cepat dari bacokan
Nyo Hoa, dengan ujung jarinya ternyata dia berhasil menjepit ujung
pedang Nyo Hoa. Melihat temannya berhasil, perwira yang lain amat
girang, tongkat tiga ruas di tangannya kontan dipukulkan ke batok
kepala Nyo Hoa. Tapi perwira ini terlalu cepat merasa senang, Nyo Hoa sudah
memahami intisari ilmu silat tingkat tinggi, tahu cara bagaimana
bereaksi dan berubah sesuai kondisi dan situasi, meski mendadak
menghadapi bahaya, secara reflek dia sudah mengubah gerakan,
gerak perubahannya ini pun jauh lebih cepat dan aneh pula dari
Kim-na-jiu si perwira. Tampak sinar putih berkelebat, mendadak Nyo Hoa membuang
pedangnya. Lwekang orang itu masih lebih rendah dibanding Nyo
Hoa, sudah tentu tak kuat menyambut gentakan tenaganya,
terpaksa dia pun melepas tenaga. Saat itulah kedua telapak tangan
Nyo Hoa sudah menggempur, "Biang" dadanya terpukul telak.
Perwira itu muntah darah dan roboh pingsan. * Sebat sekali Nyo
Hoa melejit menyambar pedangnya yang melayang jatuh, sebelum
berdiri di tengah udara tubuhnya bersalto, sekalian pedangnya
membacok. Perwira yang saru tidak mempunyai kemampuan
merampas senjata lawan dengan tangan kosong, tongkat tiga
ruasnya itu tahu-tahu terbacok putus di tengahnya, begitu meluncur
turun dan disodok ke depan pula, ujung pedangnya menusuk ke
dadanya. Gebrakan cepat berlangsung singkat ini sekaligus telah
merobohkan dua musuh, namun Teng Ti ong-ai masih tidak kapok,
bersama dua rekannya dia mengejar serta mengepung dalam
bentuk segi tiga. Setelah dua musuh dirobohkan permainan pedang Nyo Hoa lebih
lancar lagi. "Sret" ke kiri dia menusuk Coan Tay-hok, ke kanan dia
menahas perwira she Ma. Coan Tay-hok sudah jeri terhadapnya,
bergegas dia melompat mundur. Karuan Teng Tiong-ai memaki
dalam hati," "Goblok, penakut!" Lekas kedua tangan terangkat
mengetuk sepasang potlot lalu menubruk dengan serangan Hcngka-
kim-lian (Menyangga belandar emas melintang) sekaligus
menangkis pedang Nyo Hoa. Berbareng perwira she Ma mengayun
kecer tembaga menggempur punggung.
Sebelum kecer tembaga itu berhasil melukai Nyo Hoa, mendadak
Nyo Hoa jatuh sendiri di tanah. Karuan perwira itu melongo
keheranan. Karena serangan sepasang potlot besinya luput, Teng
Tiong-ai angkat kakinya mau menginjak tubuh Nyo Hoa, pada saat
itulah Coan Tay-hok menjerit sekeras-kerasnya, kedua kakinya
tertabas buntung oleh pedang Nyo Hoa yang menggelundung di
tanah. Kali ini Nyo Hoa menggunakan Te-tong-to dari permainan
golok keluarga Beng. Seperti diketahui, Coan Tay-hok ada intrik
dengan Nyo Bok, Nyo Hoa juga amat membencinya, setelah
membabat buntung kedua kaki orang baru terlampias rasa dendam
dan penasarannya. Sebat sekali Nyo Hoa sudah melenting berdiri, seiring dengan
gerak tubuhnya itu, pedangnya membalik dengan tusukan,
bentaknya, "Kau bersahabat baik dengan orang she Coan, pergilah
temani dia" Karuan terbang sukma perwira she Ma, dia kira Nyo Hoa juga
akan menabas buntung kedua kakinya, segera dia angkat langkah
seribu. Tapi kecepatan larinya ternyata kalah cepat dari gerak
pedang Nyo Hoa, di mana sinar putih menyambar, seketika
mulutnya menjerit, ternyata sebelah lengannya telah dita-bas
buntung oleh Nyo Hoa Lima perwira, dua mati dua luka parah, hanya Teng Tiong-ai saja
yang masih segar bugar. Kekalahan yang diderita Ngo-koan ternyata
jauh lebih mengenaskan dibandingkan Si-ceng dan Si-to. Sudah
tentu kaget dan gusar Teng Tiong-ai bukan kepalang, bentaknya,
"Hayo maju semua, bocah ini berani melawan hukum, kenapa kita
mematuhi aturan Kangouw segala?"
Nyo Hoa bergelak tawa, serunya, "Bukankah sejak permulaan
sudah kuanjurkan kalian maju bersama, siapa suruh kalian tidak
mau menerima anjuranku?" Meski semangat juang tetap menyala,
namun seorang menghadapi sekian banyak musuh tangguh,
betapapun susah dilayani.
Ngo-koan tinggal seorang, tapi Si-ceng dan Si-to jumlahnya
masih sembilan orang. Thian-thay Siangjin dari Si-ceng, Gun-goan-cu dari Si to dan
Teng Tiong-ai dari Ngo-koan dibanding kepandaian pribadi masingmasing,
satu lawan satu kemungkinan masih bukan tandingan Nyo


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa, tapi terpautnya juga tidak banyak. Untuk menghadapi
keroyokan mereka bertiga, Nyo Hoa sudah pasti kewalahan, apalagi
masih ada enam lagi yang membantu, kepandaian mereka juga
tidak lemah. Lebih menguatir-kan lagi karena Gun-goan-cu dan
sute-nya masih mampu mengembangkan barisan pedang yang
tangguh. Sekaligus harus menghadapi musuh tangguh sebanyak ini, mana
mampu Nyo Hoa melawan dengan santai seperti tadi"
Dalam sekejap Nyo Hoa sudah dikepung sembilan musuh.
Sembilan orang tiga lapis kepungan, membuat Nyo Hoa tidak
mampu menyelinap keluar. Lapisan dalam terdiri Teng Tiong-ai
bersama Gun-goan-cu dan sute-nya, ketiganya ini dapat kerja sama
dengan rapi dan serasi, serang menyerang sambil bertahan amat
ketat. Thian-thay Siangjin bersama dua paderi Tibet memainkan
tongkat sembilan gelang mereka membuat lingkaran angin kencang,
bersiaga menyambut musuh yang coba menerjang keluar.
Sementara lapis terakhir di paling luar adalah dua jago pedang
Khong-tong-pay dan seorang paderi Tibet Terkepung di tengah
arena, terasa oleh Nyo Hoa tenaganya makin lemah. Untung Teng
Tiong-ai beramai agak jeri menghadapi permainan ilmu pedangnya
yang menakjubkan, mereka kira kemenangan sudah pasti di pihak
mereka, maka tak perlu menyerempet bahaya, karena serangan
lawan tidak gencar sejauh ini Nyo Hoa masih mampu bertahan,
padahal para pengeroyoknya sudah berkesimpulan, bila berlangsung
lama, tenaga Nyo Hoa akan terkuras habis, dalam keadaan lunglai
bukankah segampang membekuk itik, menawannya hidup-hidup.
Tengah Nyo Hoa terdesak, mendadak Teng Tiong-ai membentak,
"Siapa" Berdiri di luar!"
Sekilas Nyo Hoa sempat melirik ke sana, tampak bayangan
seorang meluncur cepat sekali, yang datang ternyata adalah
pemuda cakap yang menampar pipinya.
Sukar Teng Tiong-ai menebak maksud kedatangan orang, namun
melihat dia masih muda, lega hatinya, pikirnya, "Mungkinkah dia
perwira muda yang baru datang dari markas besar, kebetulan hari
ini bertugas ke desa mengadakan inspeksi?" Memang setiap hari
Playboy Dari Nanking 9 Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Badai Laut Selatan 9
^