Pencarian

Bergelut Dalam Kemelut Takhta 7

Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 7


"Nyai Lengger," Gajah Mada menyebut nama itu dengan suara datar.
Nyai Lengger yang masih duduk bersimpuh di tempat itu
mendongak. "Tolong tinggalkan kami sebentar. Aku ada pembicaraan penting dan rahasia yang tak boleh didengar siapa pun."
Tanpa bicara apa pun Nyai Lengger bergegas meninggalkan tempat itu.
Patih Daha Gajah Mada membiarkan mereka meluapkan rasa gelisah melihat keadaan Gajah Enggon yang mencemaskan. Kepada Macan Liwung yang diliputi rasa ingin tahu, dengan singkat Gajah Mada menceritakan apa yang terjadi.
"Bagaimana hasil pemeriksaan yang kaulakukan, Jayabaya?"
Jayabaya mempersiapkan diri memberikan laporannya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 297
"Aku telah melakukan pemeriksaan, seorang bernama Bramantya memberi jawaban yang cukup jelas bahwa perempuan yang dicegat untuk jangan masuk kota bernama Dyah Menur. Pimpinannya bernama Rangsang Kumuda, namun bagaimana latar belakang orang bernama Rangsang Kumuda itu tak seorang pun yang tahu. Aku sudah memerintahkan untuk menelusuri sungai, juga menyerbu sebuah pedukuhan terpencil yang selama ini menjadi sarangnya."
Gajah Mada memerhatikan wajah Jayabaya dalam berbicara. Tidak satu pun kalimat yang lepas dari perhatiannya.
"Orang itu bernama Rangsang Kumuda?" Gajah Mada menegas.
"Ya," jawab Bhayangkara Jayabaya. "Orang itulah yang mendalangi semua pembunuhan beruntun yang terjadi. Bramantya mengaku mengenal Rubaya. Rubaya orang yang ditugasi membunuh Raden Kudamerta menggunakan ayunan pisaunya. Bramantya juga bisa bercerita dengan jelas siapa Kinasten dan Arya Surapati dan apa yang terjadi pada mereka. Satu per satu pendukung Raden Kudamerta dibantai bahkan terakhir dengan sasaran Raden Kudamerta sendiri. Untung Raden Kudamerta selamat dari serangan itu."
Gajah Mada mencuatkan alis mencoba menghubung-hubungkan
keterangan yang telah ia miliki.
Gajah Mada beralih kepada Macan Liwung.
"Dan kau, Macan Liwung, apa yang akan kaulaporkan?"
"Aku mempertegas keterangan yang diperoleh Jayabaya, Kakang Gajah Mada. Aku telah membayang-bayangi perjalanan Raden Kudamerta menuju Jurang Serut, tak jauh dari Brahu, hanya dekat saja.
Raden Kudamerta mendatangi sebuah rumah yang kosong ditinggalkan penghuninya. Raden Kudamerta lalu menanyai beberapa orang tetangga rumah itu. Dari mereka, aku memperoleh keterangan yang sangat penting, bahwa Raden Kudamerta ternyata sudah memiliki seorang istri.
Para tetangga rumah itu tak tahu kapan perempuan bernama Dyah Menur pergi dan ke mana perginya."
Keterangan Bhayangkara Macan Liwung itu amat mengagetkan Bhayangkara Jayabaya, Bhayangkara Gajah Geneng, dan Gagak Bongol.
298 Gajah Mada Sebaliknya, Bhayangkara Macan Liwung terkejut melihat Gajah Mada sama sekali tidak terkejut.
"Raden Kudamerta telah beristri?" Gajah Geneng meletup.
"Ya," Gajah Mada menjawab, "Raden Kudamerta melakukan
kesalahan dengan menyembunyikan hal itu. Namun, Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri sudah tahu."
"Gila," desis Gajah Geneng.
"Kenapa?" balas Gajah Mada.
"Kakang Gajah, sudah tahu itu?"
Gajah Mada tersenyum. "Aku sudah mengetahui dari sumber lain. Raden Kudamerta sudah beristri dan memiliki seorang anak laki-laki. Di belakang perempuan bernama Dyah Menur itu sangat mungkin ada pihak tertentu yang bermimpi akan bisa menguasai takhta. Pembunuhan berantai yang terjadi kemarin dan pencegatan yang terjadi kali ini didalangi orang itu yang kini kita ketahui namanya, Rangsang Kumuda. Namun, siapa sebenarnya orang itu masih gelap. Kita akan terus menelusurinya," kata Gajah Mada.
Mendengar itu, Gajah Geneng batuk-batuk pendek. Sebuah ciri kebiasaan yang selalu dilakukan ketika akan meminta berbicara.
"Apa yang akan kausampaikan, Gajah Geneng?"
"Aku tahu siapa orang yang Kakang maksud."
Gajah Mada terbelalak. "Siapa?" "Ia hanya seorang pekatik kuda," jawab Gajah Geneng. "Meskipun hanya pekatik kuda yang merawat kuda-kuda milik Raden Cakradara, orang ini punya pengaruh besar kepada Raden Cakradara. Dalam wujud kesehariannya ia hanya seorang pekatik atau gamel, namun ketika hanya berdua, Raden Cakradara pun dibentaknya."
Gajah Mada tak berkedip. Keterangan yang diberikan Gajah Geneng sangat sesuai dan mendukung dugaannya.
"Nama orang itu?" kejar Gajah Mada.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 299
"Pakering Suramurda, paman kandung Raden Cakradara, kakak ibunya."
Lalu hening. Angin yang mengalir sangat sejuk menggoyang dedaunan, angin lembut itu menyebabkan api dari beberapa obor yang dinyalakan menari meliuk begitu indahnya, juga menggoyang daun pisang yang bergerak melambai ke kanan dan ke kiri. Namun, angin lembut itu tidak punya kekuatan untuk membangunkan Gajah Enggon supaya segera sadar dari pingsannya.
"Pakering Suramurda?"
"Ya," Gajah Geneng mempertegas.
Gajah Geneng kemudian menceritakan bagaimana mendapatkan keterangan yang amat penting itu. Kalimat demi kalimat pembicaraan yang terjadi antara Raden Cakradara dan Pakering Suramurda bisa diceritakan kembali secara utuh, yang secara lugas memberi gambaran, memang terjadi semacam perebutan kekuasaan yang dilakukan pihak tertentu dengan memanfaatkan Raden Cakradara sebagai suami Sekar Kedaton.
"Gagak Bongol."
Gagak Bongol kaget. "Ya, Kakang Gajah."
"Bagaimana dengan anak angkatmu?" tanya Patih Daha Gajah Mada yang dirasakan berbelok dengan mendadak
Gagak Bongol agak bingung, kesulitan menebak ke mana arah pertanyaan itu.
"Kepalaku mau pecah, Kakang Gajah," jawab Gagak Bongol.
Gajah Mada tersenyum. Macan Liwung dan Gajah Geneng yang tidak tahu masalah yang sedang diperbincangkan hanya saling pandang.
Demikian pula dengan Bhayangkara Jayabaya yang hanya bisa mencuatkan alis. Soal Gagak Bongol punya anak" Bagaimana ia bisa punya anak, sementara istri saja ia tidak punya. Gagak Bongol pernah 300
Gajah Mada punya istri, tetapi istri Gagak Bongol itu telah meninggalkannya. Laki-laki lain menyebabkan istri Gagak Bongol berpaling.
"Dengan sejujurnya aku mengatakan, menghadapi musuh dengan kekuatan segelar sepapan jauh lebih mudah daripada menghadapi Sang Prajaka," jawabnya.
Gajah Mada manggut-manggut.
"Bagaimana pula dengan tugas utamamu?"
"Tak ada masalah dengan tugasku, Kakang Gajah. Pembangunan candi untuk mendiang Tuanku Baginda akan berjalan sesuai rencana.
Besok pekerjaan besar itu akan dimulai," Gagak Bongol menambah.
Patih Daha Gajah Mada merasa perlu menimbang sebuah tugas, apakah tugas itu harus diberikan kepada Gagak Bongol. Namun, Gajah Mada tak melihat sosok lain yang bisa mengerjakan tugas itu dengan baik.
"Aku ingin memperoleh kepastian, apakah perebutan kekuasaan yang ditandai pembunuhan berantai itu ada hubungannya dengan Ra Tanca atau tidak. Tugasmu, kaukorek keterangan dari mulut istri Ra Tanca. Tanyakan apakah ia mengenal nama Pakering Suramurda atau Rangsang Kumuda. Barangkali ketika masih hidup Rakrian Tanca pernah bercerita kepada istrinya. Kalau benar Ra Tanca mengenal nama itu, bisa diyakini Ra Tanca terlibat."
Gagak Bongol menyimak perintah itu. Gagak Bongol diam.
"Paham dengan apa yang aku kehendaki?"
Gagak Bongol mengangguk, "Sangat."
"Baik, kerjakan malam ini juga. Pergilah."
Setelah memberikan penghormatannya, dengan tidak perlu
membuang waktu Gagak Bongol melaksanakan tugasnya.
"Karena Gajah Enggon tak mampu melaksanakan tugasnya, apakah di antara kalian ada yang keberatan bila aku mewakilinya mengambil alih kepemimpinan?" tanya Gajah Mada kepada Macan Liwung dan Gajah Geneng. Serentak dua orang itu tersenyum.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 301
"Tak ada seorang pun Bhayangkara yang keberatan, Kakang Gajah."
"Kalau begitu kutugaskan kepadamu untuk mengumpulkan para Bhayangkara dan sampaikan kepada mereka keputusanku mengambil alih kendali selama Senopati Gajah Enggon tak bisa melaksanakan tugasnya. Dan kau, Jayabaya, malam ini pula kita periksa Raden Cakradara. Kalau Raden Cakradara yang mendalangi pembunuhan-pembunuhan yang terjadi maka ia akan berhadapan dengan undang-undang. Kitab Kutaramanawa tidak akan membeda-bedakan orang.
Sementara itu, aku ingin malam ini pula seorang pekatik kuda bernama Pakering Suramurda yang mengabdi kepada Raden Cakradara ditangkap.
Siagakan pasukan untuk itu. Awasi dengan ketat istana kanan, jaga semua pintu jangan sampai digunakan Pakering Suramurda untuk melarikan diri."
Bhayangkara Jayabaya sigap melaksanakan dengan membagikan tugas kepada anak buahnya. Dengan cekatan pasukan berkekuatan kecil saja itu mendahului pergi mengepung istana kanan. Kepada mereka, Gajah Mada menyempatkan menyampaikan petunjuk apa yang harus dilaksanakan.
"Kalian semua hanya bertugas menangkap seorang pekatik bernama Pakering Suramurda. Lakukan tanpa menyolok dan jangan sampai menimbulkan kesan yang bisa menyebabkan munculnya kasak-kusuk yang tidak benar. Sebagaimana kita yakini, Pakering Suramurda yang gagal melakukan pencegatan terhadap perempuan bernama Dyah Menur itu pasti akan kembali ke istana kanan. Tangkap dia dan jangan diperlakukan kurang baik karena ia masih paman kandung Raden Cakradara."
Dibekali petunjuk yang sudah jelas prajurit yang disiagakan itu melaksanakan tugas. Hanya sejenak kemudian prajurit dari bangsal kesatrian khusus Bhayangkara itu telah menghilang, lenyap tak ketahuan jejaknya.
Nyai Lengger kembali dipanggil untuk merawat Senopati Gajah Enggon yang masih belum juga sadar. Patih Daha Gajah Mada akan meninggalkan tempat itu untuk menuntaskan banyak pekerjaan, namun 302
Gajah Mada wajah Gajah Enggon yang pucat benar-benar menyebabkan dirinya gelisah.
"Upayakan Gajah Enggon siuman, Nyai Lengger. Kalau kamu
berhasil maka Majapahit akan berutang budi kepadamu. Sebaliknya, apabila kamu tidak berhasil maka Majapahit tidak akan memaafkanmu."
Ancaman yang dilontarkan Patih Daha Gajah Mada menyebabkan perempuan itu ketakutan. Ia tak tahu Gajah Mada sama sekali tidak berniat melakukan seperti apa yang diucapkan. Menggunakan kain yang dibasahi air hangat, Nyai Lengger mengelap kepala Gajah Enggon. Nyai Lengger cemas bila Gajah Enggon mengalami muntah-muntah karena berdasar pengalaman, bila benturan di kepala berakibat muntah akan berakibat buruk. Bisa menyebabkan kematian dan bisa pula menyebabkan gila. Orang bisa menjadi gila karena benturan keras di kepala karena kepala berisi otak, salah satu piranti tubuh yang digunakan berpikir. Bila tidak bisa berpikir secara benar itu artinya sama dengan gila.
"Senopati Gajah Enggon yang kuhormati, tolong sadarlah,
Senopati. Karena bila kau tidak siuman, aku bisa dihukum mati."
Memelas sekali Nyai Lengger menggumamkan isi hatinya.
24 Nyai Tanca mengalami kesulitan untuk tidur. Sangat sulit tidur dan bermimpi itu diperoleh sejak kematian suaminya, kematian yang baginya dirasakan melebihi kiamat. Amat berat bagi Nyai Tanca untuk menyangga beban yang disandang. Orang memandangnya dengan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 303
tatapan mata sinis. Terakhir, entah siapa pelakunya, rumahnya dihujani batu oleh orang-orang yang demikian marah. Cibiran dan caci maki mereka yang tak bisa menerima kematian rajanya melalui cara itu harus ditelan mentah tanpa dikunyah. Padahal, rasanya pahit sekali. Bersamaan dengan perabuan Baginda yang dibunuh suaminya, sekelompok orang bahkan berniat membakar rumahnya.
Keadaan yang demikian itu sampai ke telinga Senopati Gajah Enggon, yang kemudian menugasi seorang prajurit untuk menjaga rumah itu supaya orang-orang yang marah itu tidak berbuat seenaknya sendiri.
Dan malam yang dilalui kali ini sungguh malam yang begitu sempurna dalam memberi siksaan. Tidur biasanya dilalui bertiga dengan Ra Tanca dan anaknya yang kini sering menangis menanyakan ke mana ayahnya. Nyai Tanca ingin menganggap apa yang terjadi itu hanya mimpi, dan yang namanya mimpi selalu memberi peluang untuk terbangun.
Ketika terbangun, kejadian buruk macam apa pun yang dialami akan lenyap karena hanya mimpi. Akan tetapi, apa yang terjadi bukan mimpi.
Apa yang menimpanya merupakan kenyataan yang tak bisa dihindari dan sudah terjadi. Suaminya pergi untuk selamanya juga merupakan kenyataan yang tak bisa diingkari.
"Dosa apa yang diperbuat leluhurku sehingga aku harus mengalami hal pahit seperti ini?" Nyai Tanca mengeluh.
Tidur merupakan salah satu cara untuk melupakan apa yang menimpanya itu meski barang sejenak, tetapi dalam tidur pun semua persoalan masih terbawa. Seiring dengan larut malam, Nyai Tanca berharap segera bisa tidur, tetapi ternyata tidur pun merupakan sesuatu yang ditakutkan, mimpi sangat buruk dalam tidur itu yang ia takuti.
Dan ketukan di pintu itu mengagetkannya, menyebabkan Nyai Tanca berdebar- debar. Sejak kematian Ra Tanca semua suara bisa mengagetkan, kucing berlari yang menerjang peralatan dapur mengagetkan, kuda yang berlari melintas halaman rumah juga mengagetkan, memberi kecemasan apabila penunggang kuda itu membelok ke rumahnya dan membawa paksa anaknya. Apalagi, ketukan pintu di tengah malam.
304 Gajah Mada "Nyai Tanca, ini aku, Gagak Bongol membawa keperluan penting."
Nyai Tanca menyimak dengan mengarahkan telinganya.
"Nyai Tanca, ini aku, Gagak Bongol. Buka pintunya, ada masalah penting."
Nyai Tanca mengenal Gagak Bongol dengan baik. Setidaknya beberapa kali Gagak Bongol datang ke rumahnya untuk minta diracikkan obat suaminya. Walaupun Ra Tanca pernah melakukan tindakan makar bersama-sama Ra Kuti, Ra Tanca terbukti bisa berubah dan menyesali kesalahannya. Persahabatan pun tumbuh di antara mereka. Namun, siapa sangka perjalanan waktu kemudian membuktikan, Ra Tanca mewujudkan apa yang dulu begitu diinginkan Ra Kuti.
Nyai Tanca bergegas membuka pintu dan mendapatkan Gagak
Bongol datang sendirian. Prajurit Bhayangkara yang ditugasi Senopati Gajah Enggon terlihat hilir mudik di regol.
"Kakang Bongol," desis Nyai Tanca.
"Ya," jawab Gagak Bongol. "Kuharap aku tidak mengganggu
ketenanganmu malam ini. Aku mendapat tugas dari Kakang Gajah Mada untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Kuharap Adi Nyai Tanca tidak keberatan."
Nyai Tanca mengangguk. "Silakan masuk, Kakang Bongol."
Lampu yang berusaha menerangi ruangan yang suram itu seperti menambah kesuramannya. Udara terasa pengap, amat berbalikan dengan udara di luar rumah.
"Kakang Bongol membutuhkan keterangan apa?" tanya Nyai Tanca.
Namun, Gagak Bongol tidak berniat berbicara langsung ke pokok persoalan. Setidaknya perlu pembicaraan melingkar yang dibungkus basa-basi.
"Bagaimana keadaanmu, Nyai" Kaubaik saja?"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 305
Nyai Tanca tersenyum kecut. Pertanyaan itu dirasa menyebalkan.
"Bagaimana keadaanku bisa dibilang baik, Kakang Bongol" Aku kehilangan suami."
Amat serak Nyai Tanca dalam berbicara meletupkan gugatannya.
Nyai Tanca sulit memahami kematian suaminya. Relung hati perempuan itu tidak bisa menerima kematian suaminya. Nyai Tanca memiliki alasan yang bersifat pribadi yang menyebabkan ia tidak bisa menerima kematian suaminya. Setidaknya Sri Jayanegara, meski ia seorang raja pernah berniat berbuat tidak senonoh kepada dirinya. Perbuatannya itu sangat layak mendapat ganjaran dibunuh. Apa yang dilakukan suaminya semata-mata demi menjaga harga diri atas kehormatan istrinya yang dilecehkan, meski raja pelakunya.
"Kau kehilangan suami. Hanya kau yang kehilangan, Nyai," Bongol menjawab, "sementara Majapahit kehilangan rajanya."
Nyai Tanca menghela tarikan napas pendek, namun dengan suara melenguh. Tidak ada gunanya berbicara apa yang dilakukan Jayanegara kepadanya. Tak ada orang yang menyaksikan, jadi tak ada yang akan percaya.
"Langsung saja, silakan Kakang bertanya. Apabila aku tahu jawabnya akan kujawab. Namun, jangan paksa aku memberikan jawaban yang harus disesuaikan."
Gagak Bongol mengangguk. "Kejadian kemarin petang itu, Nyai," kata Gagak Bongol. "Apakah memang telah direncanakan oleh suamimu" Istri adalah tempat berbagi, mungkin saja Tanca bercerita tentang rencana pembunuhannya?"
Nyai Tanca menggeleng lemah. Senyum sinisnya mengembang.
"Kakang Tanca tidak pernah berbicara apa pun. Apa yang dilakukan bisa jadi karena Sri Baginda bersikap kasar kepadanya. Pembunuhan yang dilakukan bersifat mendadak, tidak pernah direncanakan sebelumnya."
Adakah jawaban yang diberikan Nyai Tanca itu merupakan jawaban jujur apa adanya atau jawaban palsu karena menyembunyikan keadaan 306
Gajah Mada yang sebenarnya. Lebih-lebih Nyai Tanca bukanlah jenis perempuan yang bodoh dan lugu yang tak memiliki kesanggupan berbohong. Nyai Tanca juga memiliki kesanggupan bersandiwara. Pada sebuah pertunjukan sandiwara yang digelar untuk menghibur kawula yang hadir di lapangan Bubat pada acara pasar malam yang digelar di bulan Caitra, Nyai Tanca mampu menguras air mata penonton dalam membawakan peran istri yang disia-siakan suaminya.
"Kapan terakhir Rangsang Kumuda datang kemari?" tanya Gagak Bongol.
Pertanyaan itu terasa membelok dengan tiba-tiba. Namun, Nyai Tanca mengerutkan kening, pertanyaan itu membuatnya merasa aneh.
"Siapa?" "Rangsang Kumuda," ulang Gagak Bongol.
Nyai Tanca melangkah lebih dekat untuk bisa melihat wajah Gagak Bongol dengan lebih jelas.
"Kakang Bongol menyebut nama yang aku belum pernah dengar."
"Aneh," Bongol menekan. "Kau mengenal nama itu dengan baik sebagaimana Ra Tanca juga mengenal nama itu."
Nyai Tanca menggeleng perlahan, namun dilandasi oleh sebuah keyakinan.
"Aku tidak mengenal nama Rangsang Kumuda. Kalaupun Kakang Ra Tanca mengenal nama itu dan berurusan dengannya, semua itu merupakan urusan Kakang Tanca. Tidak semua teman Kakang Tanca aku mengenalnya. Mungkin benar Kakang Ra Tanca mengenal nama itu, hanya sayang, bagaimana bentuk hubungannya atau ada urusan apa di balik hubungan itu, ia membawanya mati. Rahasia Kakang Tanca terbawa ke kuburannya."
Jawaban Nyai Tanca itu agak sulit untuk dibantah. Dari raut wajahnya terbaca, Nyai Tanca memang tidak mengenal nama itu.
"Bagaimana dengan nama Pakering Suramurda" Apakah Nyai juga tak kenal nama itu" Pakering Suramurda beberapa kali datang kemari."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 307
Nyai Tanca melangkah meninggalkan Gagak Bongol yang masih tetap duduk di dingklik panjang. Nyai Tanca mengambil lampu ublik yang menyala kecil sekali dan didekatkannya lampu itu ke wajah tamunya untuk melihat lebih nyata bagaimana raut wajah Gagak Bongol.
"Siapa tadi yang Kakang sebut?" Nyai Tanca bertanya.
"Pakering Suramurda," ulang Gagak Bongol.
Nyai Tanca tertawa pendek.
"Aku tidak mengenal nama itu dan janganlah bersikap seolah-olah nama yang kausebut itu pernah datang kemari atau kukenal. Kakang Gagak Bongol mengarang cerita ngawur. Kalaupun Kakang Tanca mengenal dan berurusan dengan dua nama itu, silakan Kakang tanyakan ke kuburannya."
Ceplas-ceplos demikian ringan ucapan Nyai Tanca menjadi tanda Nyai Tanca memang orang yang pintar, pemberani, dan punya otak untuk berpikir.
Gagak Bongol merasa tak ada lagi hal yang perlu ditanyakan.
Sebelum minta pamit disempatkan memerhatikan benda apa saja yang ada di ruangan itu. Ra Tanca memang seorang ahli racun, hal itu tergambar dari beberapa jenis ular mematikan yang dikeringkan dan dipajang di dinding. Ular-ular beracun itu berukuran besar. Akan tetapi, ada sesuatu yang segera menarik perhatiannya. Gagak Bongol tak mengalihkan perhatiannya dan bahkan mendekat. Menggunakan lampu ublik Bongol memerhatikan lambang yang dibatik di lembaran kain lebar, berbentuk bulatan yang dibelit oleh sesuatu.
"Gambar apa ini?" tanya Gagak Bongol.
Nyai Tanca melirik lambang bulatan itu.
"Aku yang punya gagasan membuat lambang itu," jawab Nyai Tanca.
"Ular membelit buah maja. Kakang Tanca yang kuminta menerjemahkan ke dalam bentuk gambar, hasilnya seperti itu."
Gagak Bongol mencuatkan alis dan membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk berpikir. Gagak Bongol yang berbalik dan menem-308
Gajah Mada patkan berdiri berhadapan dengan perempuan itu tak habis mengerti, betapa pintar ia menyembunyikan rahasia, sebuah kebohongan yang diyakini benar dilakukan Nyai Tanca.
"Jadi kamu pemilik gagasan pembuatan lambang ini?" tanya Gagak Bongol.
"Ya." "Lalu, apa artinya?"
Nyai Tanca tidak segera menjawab, menggunakan lampu ublik ia menerangi lembaran kain yang dipasang terbentang di dinding. Nyai Ra Tanca sama sekali tidak berniat menyembunyikan kebanggaannya terhadap lambang yang digagasnya itu.
"Bola itu lambang buah maja. Ular itu lambang Kakang Ra Tanca."
Ucapan Nyai Tanca yang dilepas tanpa tedheng aling-aling dan tanpa ditimbang itu mengagetkan Gagak Bongol. Ucapan itu sungguh amat sembrono. Nyai Tanca bisa berhadapan dengan hukuman gantung atas kata-katanya yang mempunyai makna melecehkan negara.
"Kakang akan melaporkan apa yang kuucapkan ini?" tanya Nyai Tanca.
Gagak Bongol menghela napas amat berat.
"Jangan kauulangi mengucapkan kata-kata itu kepada orang lain, Nyai. Karena orang lain mungkin tidak bersikap seperti diriku. Ucapan dan pendapatmu seperti itu sudah cukup mampu menggiringmu ke hukuman picis sampai mati."
Nyai Tanca tertawa sinis. Namun, membenarkan apa yang dikatakan Bongol. Hanya kepada Bongol yang sudah ia kenal baik, ia berani berkata seperti itu. Apabila berhadapan dengan orang lain tentu ia tak akan berani melakukan.
"Kematian suamiku," ucap Nyai Tanca. "Hanya aku yang me-
nangisinya. Tak seorang pun yang menyumbang air mata untuk kematian Dharmaputra Winehsuka Ra Tanca kecuali aku. Tidak seorang pun Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 309
tetanggaku yang datang menyampaikan belasungkawa. Sungguh amat berbeda dengan kematian Kalagemet, kawula se-Majapahit secara suka rela menyumbang air mata menyebabkan Kotaraja Majapahit banjir."
Gagak Bongol makin tidak nyaman. Ucapan Nyai Ra Tanca itu membuatnya merasa risih.
" Segenap rakyat memuji Sri Jayanegara sundul langit sebagai raja yang adil bijaksana, berbudi bawa leksana, ambek adil paramarta. 167 Tidak seorang pun yang tahu raja macam apa Jayanegara yang menggerayangi semua perempuan. Laki-laki macam itu tidak pantas menjadi panutan dan sesembahan. Sementara adik perempuan Sri Jayanegara, kebanggaan macam apa yang dimiliki oleh Sekar Kedaton yang selalu mengganggu ketenteraman rumah tangga orang. Bagaimana penilaian khalayak ramai apabila mereka mengetahui perempuan macam apa Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak punya urat malu, masih terus mengusik Kakang Ra Tanca meski telah beristri?"
Gagak Bongol merasa makin tidak nyaman. Ucapan Nyai Tanca, ia rasakan kelewatan. Penilaian yang disampaikan Nyai Tanca adalah penilaian yang berdasar dari cara pandangnya semata, apalagi Gagak Bongol melihat kenyataan sesungguhnya tidaklah seperti yang diucapkan Nyai Tanca. Ucapan itu benar-benar membalikkan keadaan sebagaimana merah dikatakan biru dan biru dikatakan merah.
"Aku ingatkan, Nyai Tanca, jaga kata-katamu itu. Kata-kata macam itu yang bisa membawamu ke tiang gantungan. Kamu menebar fitnah."
Nyai Tanca tertawa, "Aku tidak takut, Kakang Gagak Bongol. Kalau Kakang akan melaporkan kata-kataku ini, silakan, aku tidak keberatan.
Jika aku mati, dengan senang hati akan kujemput kematianku. Dengan demikian, aku bisa menyusul suamiku sekaligus menyusul Jayanegara.
Di kehidupan ini aku tidak bisa mencaci maki, tetapi di kehidupan lain, Jayanegara tidak akan bisa menghindar dari tanganku. Akan kuludahi Sri Jayanegara di alam lain itu."
Gagak Bongol akhirnya tak kuasa menahan diri.
167 Berbudi bawa leksana, ambek adil paramarta, Jawa, berbudi luhur dan adil 310
Gajah Mada "Berhentilah memfitnah raja," ucap Gagak Bongol. "Semua orang di bumi Wilwatikta ini tahu siapa kamu. Kamu perempuan yang pernah menjual diri, bahkan kepadaku pun kau pernah menawarkan diri.
Bagaimana aku bisa percaya kepadamu" Bagaimana orang se-Majapahit bisa percaya kepadamu?"
Terbungkam mulut Nyai Tanca. Soal ia pernah memberikan tawaran itu, benar adanya. Beberapa bulan sebelumnya, ketika Gagak Bongol datang berkunjung, Nyai Tanca telah menggodanya dengan cara yang kelewatan melampaui batas kepatutan.
"Jangan mengarang-ngarang cerita lagi, Nyai Tanca," Gagak Bongol melepas isi dadanya dengan ucapan yang terdengar bergetar.
"Aku tidak mengarang cerita. Jayanegara memang pernah berniat kurang ajar kepadaku. Itu kenyataannya. Aku berkewajiban memberi tahu orang se-Majapahit. Sri Jayanegara adalah jenis orang sebagaimana yang aku katakan."
Namun, Gagak Bongol memberinya jawaban yang tangkas, "Lalu, bagaimana dengan kamu menawarkan diri untuk perang tanding olah asmara denganku. Wanita yang demikian mudah menawarkan diri kepada orang lain tanpa sepengetahuan suami, lalu bagaimana kamu bisa mengarang cerita Jayanegara berniat seperti itu. Jangan-jangan yang terjadi sebenarnya terbalik. Kamu menawarkan diri kepada Tuanku Jayanegara, Sri Baginda tidak menanggapi, menyebabkan kamu berulah seperti itu."
Kali ini benar-benar terbungkam mulut Nyai Ra Tanca. Namun, Gagak Bongol masih merasa perlu memberi tekanan.
"Soal hubungan suamimu dengan Sekar Kedaton Maharajasa.
Hubungan itu terjadi sebelum kamu mengenal Ra Tanca. Menggunakan cara pandang lain, bakal terlihat kamulah yang mengganggu hubungan antara Ra Tanca dan Sekar Kedaton."
Gagak Bongol akhirnya meninggalkan rumah Nyai Tanca dengan kemarahan yang nyaris meledakkan kepalanya. Namun, Gagak Bongol tidak berniat melaporkan ucapan-ucapan Nyai Tanca yang bisa membawa Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 311
perempuan itu ke tiang gantungan. Nyai Ra Tanca masih terhenyak, terpaku membeku di pendapa sederhana rumah peninggalan suaminya.
Prajurit yang oleh Gajah Enggon ditugasi menjaga rumahnya mendekat.
"Apa yang terjadi, Nyai?" bertanya prajurit itu.
Nyai Ra Tanca berusaha keras menata napasnya yang mengombak ayun. Tak berkedip Nyai Tanca memerhatikan wajah prajurit yang masih muda itu. Menilik usia, prajurit itu belum berumur lebih dari dua puluh tahun. Namun, prajurit itu memiliki wajah yang tampan dan tubuh yang gagah.
"Tak terjadi apa-apa," jawab Nyai Tanca. "Jika kau tak keberatan, aku ingin bertanya, siapakah namamu?"
Prajurit yang masih muda itu tidak segera menjawab.
"Keberatan aku ingin tahu namamu?"
"Namaku Kendar Kendara, Nyai," jawab prajurit itu.
"Kendar Kendara?"
"Ya," jawab Kendar Kendara.
Adakah nama itu yang menyebabkan Nyai Tanca tiba-tiba termangu, ternyata tidak. Bila Nyai Tanca keluar ke halaman dan mengarahkan perhatiannya pada kerlap-kerlip bintang yang tak begitu jelas karena kalah perbawa dari bulan yang memanjat makin tinggi, adalah karena Nyai Tanca sedang berpikir. Nyai Tanca adalah perempuan yang terbiasa menggunakan otak dan tidak ingin terjerembab ke kubangan persoalan tanpa pemecahan. Nyai Ra Tanca juga jenis perempuan cerdas yang terbiasa berpikir berdasar kenyataan dan selalu mengenyahkan angan-angan yang tak masuk akal, apalagi yang hanya sekadar mimpi.
"Kakang Tanca telah tidak ada. Tak mungkin mengharapkan
Kakang Tanca kembali hidup, tak ada gunanya menangisinya dengan air mata darah sekalipun. Tak ada gunanya membuang waktu dengan meratap-ratap. Waktu jalan terus, waktu tak akan pernah berhenti," Nyai Tanca sibuk berbicara pada diri sendiri melalui kata hati.
312 Gajah Mada Kendar Kendara ikut memandang ke langit, ikut mencari-cari sesuatu yang tak ia pahami. Yang mengagetkan Kendar Kendara adalah apa yang dengan mendadak dilakukan Nyai Tanca yang mencengkeram pundaknya dengan keras dan beringas.
"Ada apa, Nyai?" tanya Kendar yang bingung.
Dengan segera Kendar Kendara menyiagakan diri, tangan kanannya melekat memegang erat gagang kerisnya.
"Waktu jalan terus," ucap Nyai Tanca dengan suara gemetar.
"Apa maksud, Nyai?" Kendar Kendara merasa tegang.
"Aku tak mungkin berharap Kakang Tanca akan kembali. Kakang Ra Tanca sudah mati dan harus dilupakan. Waktu berjalan terus, apa yang terjadi saat ini akan menjadi kemarin, akan menjadi lusa yang lalu, akan menjadi sejarah atau dilupakan. Jadi, aku tak akan berangan-angan dan meratap lagi. Aku harus memilih sesuatu yang nyata."
Kendar Kendara terkejut ketika menghadapi tindakan tak terduga-duga yang dilakukan Nyai Tanca. Kendar nyaris menghunus keris dan menikam. Akan tetapi, perbuatan wanita itu menurutnya memang layak mendapatkan perlawanan. Nafsu harus dilawan nafsu, apalagi Nyai Tanca menyerangnya dengan beringas. Kendar Kendara mengimbangi dengan tidak kalah beringas.
Perang tanding yang melampaui kegilaan pasangan anjing, yang sangat riuh dengan suara gonggongannya ketika sedang dilanda berahi itu ditiru dengan sempurna oleh Nyai Tanca dan Kendar Kendara.
Mereka lakukan itu di halaman tanpa peduli akan ada yang menyaksikan.
Beralas tanah becek sisa hujan, berpayung langit terang rembulan, Nyai Tanca tak peduli apa pun, tak peduli kepada Ra Tanca yang baru mati.
Bahkan, saat dari kejauhan terdengar derap kuda yang makin lama makin dekat, sama sekali tidak mengusik apa yang mereka perbuat. Derap kuda yang dipacu kencang itu datang dari arah utara yang ternyata hanya untuk melintas saja.
Bulan di langit tidak lagi bulat karena purnama telah lewat. Akan tetapi, Nyai Tanca membayangkan bulan itu semula bulat, belitan seekor Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 313
ular mengubah bentuk yang semula bulat itu tak lagi bulat. Bila bulat itu bukan bulan, tetapi bulat buah maja yang dibelit ular dan digerogoti hal itu lebih bagus lagi.
Di ujung pertarungan yang panas dan ganas itu, prajurit bernama Kendar tak habis mengerti dan demikian sulit memahami apa yang diperbuatnya.
"Apa yang Nyai lakukan kepadaku?" pemuda itu meletup.
Nyai Tanca memandang lelaki di depannya dengan amat lahap, seperti jenis makanan yang menggiurkan.
"Apakah tidak salah bunyi pertanyaan itu?" balas Nyai Tanca.
"Apakah tidak seharusnya aku yang bertanya, apa yang kaulakukan padaku?"
Kendar bingung dengan kepala pusing, tetapi tidak ada bintang-bintang yang bertaburan di keningnya. Kendar yang merasa pusing nyatanya mempersiapkan diri untuk kembali melayani tantangan dari lawan tandingnya.
25 Sang waktu terus bergerak merambat sebagaimana kodratnya, menapak tanpa lelah, sejengkal demi sejengkal menjadikan apa pun yang terjadi kapan pun, nantinya akan menjadi bagian dari masa lalu. Apa yang terjadi hari ini akan menjadi kemarin, akan menjadi setahun lalu atau terlupakan sama sekali.
314 Gajah Mada Malam menukik tajam membawa rembulan makin tinggi, memanjat puncak langit yang makin bersih dari semula banyak mendung dan mega.
Awan putih dan hitam itu menyibak entah ke mana perginya. Angin yang semilir bertindak tidak adil. Di satu belahan wilayah angin membawa udara sejuk dan dingin, di belahan wilayah yang lain membawa udara yang membuat gerah.
"Siapa itu?" seorang prajurit melintangkan senjata ketika dua orang datang.
"Aku," jawab Gajah Mada.
Suara Gajah Mada sungguh sangat mudah dikenali. Prajurit itu dengan segera mengubah sikapnya.
"Sampaikan kepada Raden Cakradara, aku, Gajah Mada meng-
hadap." Prajurit penjaga istana kanan itu kebingungan.
"Tidak bisa ditundakah keperluan Ki Patih Daha?" bertanya prajurit itu. "Saat ini Raden Cakradara sedang beristirahat."
"Kamu tak berani membangunkan?" tanya Gajah Mada. "Persoalan yang akan kusampaikan sangat penting. Aku tidak bisa menunda sampai besok."
Bagi prajurit itu sebenarnya tak masalah Raden Cakradara dibangunkan pada saat itu pula, yang jadi masalah adalah apabila ia yang disuruh membangunkan. Apa yang tidak disukainya itu kini harus dilakukan.
"Bagaimana?" tanya Gajah Mada.
"Baiklah," prajurit itu menjawab. "Silakan Ki Patih menunggu sejenak. Aku akan bangunkan."
Beruntung prajurit itu karena Raden Cakradara masih memicingkan mata tak bisa tidur. Ketukan di pintu itu juga membangunkan istrinya.
"Ada apa?" bertanya Sri Gitarja.
Raden Cakradara tidak menjawab, namun dengan segera bergegas bangun dan membuka pintu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 315
"Ada apa?" tanya Raden Cakradara.
"Mohon maaf, Raden," kata prajurit itu. "Patih Daha Gajah Mada mohon izin berbicara malam ini pula karena ada hal yang amat penting.
Demikian penting, tidak bisa ditunda sampai besok."
Berdesir tajam isi dada Raden Cakradara. Apa yang diperbuat pamannya amat mungkin telah diketahui oleh telik sandi Bhayangkara.
Raden Cakradara sangat yakin persoalan itulah yang dibawa prajurit yang punya pengaruh demikian besar itu.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada cara menghindar. "Baiklah, suruh menunggu sebentar," kata Raden Cakradara sambil kembali menutup pintu.
"Ada apa, Kakang?" tanya Sri Gitarja yang membaca kegelisahan di wajah sang suami.
"Gajah Mada ingin bertemu denganku," jawab Raden Cakradara.
"Tengah malam seperti ini?" tanya Sri Gitarja.
"Tentu karena ia membawa persoalan penting."
Sri Gitarja mendekat, membantu suaminya mengenakan pakaian.
"Kakang mengizinkan aku ikut mendengar Gajah Mada membawa persoalan penting macam apa" Bila Gajah Mada coba-coba merepotkan Kakang, aku akan bela Kakang Cakradara."
Raden Cakradara tersenyum dan menggeleng.
"Tak perlu, tidur lagilah!" jawab Raden Cakradara.
Di pendapa istana sayap kanan, Cakreswara Sri Kertawardhana menerima dua orang tamunya. Sebagaimana tata cara yang berlaku, ia menerima penghormatan yang diberikan Patih Daha Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya.
"Ada apa, Gajah Mada?" Cakradara bertanya.
Gajah Mada merasa tak ada gunanya berbasa-basi.
316 Gajah Mada "Sebelumnya aku minta maaf, Raden, karena tengah malam seperti ini telah mengganggu istirahat Raden. Demikian penting persoalan yang kubawa tak mungkin menunggu sampai besok pagi."
Raden Cakradara termangu. Cara Gajah Mada memandangnya
menyebabkan kebingungan. Apa yang dicemaskan kini menjadi kenyataan. Apabila rencana-rencana yang disusun pamannya ketahuan, Raden Cakradara merasa habislah riwayatnya.
"Persoalan apa?"
"Aku minta izin untuk bertemu dan memeriksa seorang pekatik yang selama ini merawat kuda-kuda milik Raden. Aku juga akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Raden terkait dengan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi bersamaan Sang Prabu Sri Jayanegara tewas di tangan Ra Tanca."
Desir amat tajam merayapi punggung Raden Cakradara, memancing keringat dingin. Beberapa saat lamanya Raden Cakradara tak bisa berbicara dan semua itu tak luput dari perhatian Patih Daha Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya.
"Ada apa dengan Paman Pakering Suramurda?" tanya Raden
Cakradara. Gajah Mada memandang tidak berkedip, mengukur seberapa dalam kejujuran bangsawan di depannya. Namun, Gajah Mada berkeyakinan, tidak peduli bangsawan, jika ia bersalah melakukan tindak kejahatan, ia akan berhadapan dengan Kitab Undang-Undang Kutaramanawa.
"Sebaiknya kepentinganku untuk bertemu dengan pekatik itu didahulukan," kata Gajah Mada. "Nantinya Raden akan mengetahui persoalan seputar apa yang akan aku ajukan kepada Raden."
Patih Daha Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya mendahului bangkit, tidak memberi peluang Cakreswara Sri Kertawardhana untuk menolak. Langkah tiga orang itu kemudian terayun turun dari pendapa istana menuju halaman samping yang akan membawa mereka ke bagian belakang. Di sana terdapat kandang kuda dan deretan rumah yang dihuni Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 317
oleh para abdi istana dan para emban yang melayani Sekar Kedaton Sri Gitarja. Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya memerhatikan keadaan yang sepi dan senyap dengan cermat. Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya merasa yakin, di balik dinding, di bayangan pohon atau barangkali tenggelam di kedalaman tanah, pasukan yang ditugasi membekuk dalang semua kekacauan, Pakering Suramurda, pasti sudah siaga di tempat masing-masing.
Meskipun malam telah menukik, masih ada dua orang abdi istana yang masih terjaga. Pasangan suami istri, abdi dalem yang beristrikan emban itu merasa udara cukup gerah, maklum masing-masing bertubuh subur. Bulan yang benderang di luar mencuri perhatian mereka. Akan tetapi, baru sejenak duduk santai sambil menikmati cahaya rembulan, mereka dikejutkan oleh kehadiran Raden Cakradara.
Dengan bergegas mereka berdiri sambil memberikan sembah. Gajah Mada tak menyia-nyiakan waktu. Terhadap pasangan suami istri abdi dalem itu, Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya saling kenal dan bahkan tahu namanya.
"Kau belum tidur, Gemak Trutung?" bertanya Gajah Mada.
"Belum, Ki Patih," jawab Gemak Trutung. "Tengah malam begini Ki Patih Daha Gajah Mada, Radenmas Cakradara, dan Ki Lurah Jayabaya berkenan mengunjungi kami, anugerah apakah gerangan yang akan kami terima?"
Gajah Mada sama sekali tidak tersenyum, demikian pula dengan Bhayangkara Jayabaya. Sungguh hal itu mengagetkan abdi dalem Trutung dan istrinya. Apalagi Raden Cakradara yang sesiang sebelumnya murah senyum, kali ini menunjukkan sikap yang amat berbeda.
"Yang mana kamar yang ditempati pekatik Pakering Suramurda?"
Gajah Mada langsung bertanya pada pokok persoalan.
Pasangan suami istri itu saling pandang.
"Yang itu, Ki Patih," Nyai Emban Gemak Trutung menjawab.
Perhatian Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya segera tertuju pada salah satu pintu yang tertutup dari deretan kamar-kamar yang menjadi tempat tinggal para abdi dalem.
318 Gajah Mada "Orangnya ada?"
"Tidak ada," jawab Gemak Trutung sambil melirik Raden Cakradara.
"Sejak senja aku tidak melihat Paman Pakering Suramurda. Biasanya meski sudah malam ia masih disibukkan mengurus atau berbincang dengan kuda-kudanya."
Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya mendekat ke ruang
dimaksud. Dengan sebuah pengungkit, ruang yang tertutup itu bisa dibuka. Menggunakan cahaya lampu ublik Patih Daha Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya melakukan pemeriksaan. Dengan cermat dan sangat teliti semua benda yang ada di ruangan itu diperiksa, tetapi tak ada apa pun yang menarik karena selain sebuah tikar yang dihampar, selembar baju, dan bakiak,168 tak ada lagi benda lain di ruang itu.
Gajah Mada melirik Jayabaya, yang dilirik mengangguk.
"Mari kita kembali dan berbincang-bincang di pendapa, Raden."
Raden Cakradara tidak menjawab, tetapi dengan segera menempatkan diri di sebelah Gajah Mada, berjalan dengan ayunan langkah sama lebar dengan Gajah Mada. Abdi dalem Gemak Trutung dan istrinya bingung.
"Ada apa, Kakang?"
"Aku tidak tahu!" jawab suaminya.
Nyai Gemak Trutung tak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya.
"Ada apa dengan Kiai Pakering Suramurda?"
"Aku tidak tahu. Aku sama tidak tahunya dengan dirimu," jawab suaminya.
Nyai Gemak Trutung tak bisa meredam rasa gelisah yang tumbuh dan mekar di dadanya, padahal Nyai Gemak Trutung harus menjaga diri dengan baik. Gelisah akan menyebabkan munculnya rasa nyeri di ulu hati. Beberapa bulan sebelumnya, ia pingsan oleh rasa gelisah yang membelitnya. Gelisah itu dipacu oleh prasangka buruk yang sebenarnya 168 Bakiak, Jawa, sandal kayu
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 319
tidak berdasar. Suatu hari adik kandungnya yang masih gadis serta cantik datang berkunjung. Meski hari tengah malam, adiknya memaksa pulang, tidak mau menginap maka terpaksalah suaminya harus mengantar pulang.
Hal itulah yang memacu jantung Nyai Gemak Trutung berpacu lebih kencang. Padahal suaminya dan adiknya tidak melakukan apa-apa. Tidak ada perselingkuhan di antara mereka. Nyeri di ulu hati itu demikian hebat menyebabkan Nyai Gemak Trutung jatuh semaput.
Kini rasa penasaran itu juga menyebabkan munculnya rasa nyeri di ulu hati. Yang akan sembuh apabila nanti ada kejelasan jawabnya, mengapa di tengah malam seperti itu Patih Daha Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya mencari-cari Pakering Suramurda, kakek tua perawat kuda dan kandangnya, yang mereka hormati layaknya orang tua kandung sendiri.
"Moga-moga tak terjadi kesalahan apa pun yang dilakukan Paman Pakering," kata Gemak Trutung.
Di pendapa istana sayap kanan, Raden Cakradara merasa sangat tidak nyaman menghadapi Gajah Mada.
"Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan, Raden," kata Gajah Mada. "Aku mohon jangan ada satu pun jawaban yang disembunyikan, lebih-lebih pertanyaan yang aku ajukan adalah untuk mencocokkan kebenaran karena aku telah menghimpun banyak keterangan dari berbagai sumber."
"Aku akan menjawab," jawab Raden Cakradara.
Gajah Mada yang hanya berasal dari kalangan rakyat jelata yang kemudian berhasil menempati kedudukannya sekarang sebagai Patih di Daha memang memiliki perbawa yang demikian tinggi, menyebabkan Raden Cakradara tidak mampu berlama-lama bertatapan mata dengannya. Apalagi, Gajah Mada yang semula murah senyum itu kali ini kehilangan senyumnya.
"Yang tampak di permukaan, ternyata bisa tidak sesuai dengan kenyataan. Di hadapan orang banyak, Ki Pakering Suramurda itu hanyalah seorang pekatik, gamel dengan tugas merawat kuda dan 320
Gajah Mada kandangnya. Namun ternyata, yang tampak itu tidak sesuai dengan kenyataan. Tolong Raden ceritakan, hubungan khusus macam apa yang ada antara Raden dengan jati diri Pakering Suramurda yang Raden sembunyikan itu.
Raden Cakradara melihat, terbukti benar dugaannya. Gajah Mada mengetahui terlalu banyak. Apa yang dulu dicemaskan, sepak terjang Pakering Suramurda yang sering tidak sejalan dengan kehendaknya menjelma menjadi sebuah akibat yang harus dipetik dari pohon yang ditanam.
"Ia kakak kandung ibuku," jawab Raden Cakradara yang tidak mungkin lagi menghindar.
Gajah Mada terbungkam. "Seorang bangsawan dari Singasari. Bukankah itu kenyataan yang benar?"
Raden Cakradara tidak menjawab pertanyaan itu.
"Tetapi untuk keperluan macam apa, Ki Pakering Suramurda yang bangsawan itu mau-maunya ditempatkan pada derajat yang demikian rendah" Menjadi pekatik dan merawat kandang kuda jelas tidak sesuai dengan derajat yang dimilikinya. Ada rencana jangka panjang apakah di balik penyamarannya itu?" Gajah Mada memberi tekanan yang menyulitkan.
Sungguh Raden Cakradara berada dalam kesulitan luar biasa.
Apabila terbukti ia mempunyai rencana jangka panjang merebut kekuasaan melalui sepak terjang yang dilakukan pamannya, bisa habis riwayatnya. Sri Gitarja bisa berbalik arah. Sri Gitarja pasti akan merasa kecewa bukan kepalang dan berbalik membencinya. Cara pandang Sri Gitarja terhadap dirinya bisa berubah.
"Aku tidak punya pilihan lain kecuali harus mengorbankan Paman Pakering Suramurda. Pembunuhan-pembunuhan itu bukan rencanaku, tetapi rencananya," ucap Raden Cakradara dalam hati.
Gajah Mada menunggu jawaban, sementara duduk di sebelahnya Bhayangkara Jayabaya menyimak dengan tidak memberi kesempatan satu kalimat pun tercecer dari pendengarannya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 321
"Bagaimana, Raden?"
Raden Kudamerta mempersiapkan diri dengan memperbaiki sikap duduknya sedikit lebih tegak.
"Pakering Suramurda benar pamanku," jawab Raden Cakradara.
"Akan tetapi, aku benar-benar tidak tahu apa yang ia lakukan. Segala perbuatan yang dilakukannya adalah tanggung jawabnya. Tindakan pamanku itu, aku tidak setuju."
Jawaban yang masuk akal. Gajah Mada bisa menerima karena telah mendapat keterangan yang lengkap bagaimana sikap Raden Cakradara ketika bertemu dengan Pakering Suramurda, sebagaimana laporan Gajah Geneng yang berhasil mengintip dan menyadap pembicaraan itu.
Gajah Mada tersenyum. Jawaban Raden Cakradara itu berlepotan sekali. Pada satu sisi ia mengaku benar-benar tidak tahu, di sisi lain dengan tegas ia mengatakan ketidaksetujuannya terhadap perbuatan Pakering Suramurda yang berarti tahu. Meski demikian, Gajah Mada tidak berniat mengejar dengan pertanyaan yang lebih tajam dan menggigit. Akan tetapi, tidak demikian dengan Bhayangkara Jayabaya yang mempunyai gaya bicara ceplas-ceplos, lugas tanpa tedheng aling-aling.
"Raden," kata Bhayangkara Jayabaya. "Raden mengatakan tidak tahu, tetapi di sisi lain Raden mengatakan tidak setuju perbuatan paman Raden, yang itu berarti tahu. Aku merasa Raden menyembunyikan sesuatu. Selama ini Pakering Suramurda menyamar sebagai pekatik dan gamel, derajat yang demikian rendah, ternyata Raden membiarkannya tentu bukannya tanpa maksud. Ada apa sebenarnya, Raden" Untuk keperluan apa paman Raden itu melakukan penyamaran?"
Pertanyaan yang dilontarkan Bhayangkara Jayabaya benar-benar membuatnya kebingungan. Raden Cakradara hanya bisa balas memandang tanpa bisa menjawab. Dari diam yang dilakukan terlihat bagaimana Raden Cakradara berpikir menyiapkan jawaban yang masuk akal.
"Pakering Suramurda yang mendalangi rencana pembunuhan
terhadap Raden Kudamerta, dan mendalangi pembunuhan-pembunuhan sebelumnya?" Bhayangkara Jayabaya menambah.
322 Gajah Mada Raden Cakradara yang kian tersudut itu merasa harus memberi bantahan, tak peduli seberapa kedodoran jawaban itu. Cacing terinjak pun menggeliat, apalagi yang terinjak adalah dirinya. Akhirnya, Raden Cakradara merasa menemukan cara menjawab yang paling masuk akal.
"Apa yang dilakukan Paman Pakering Suramurda, aku benar-benar tidak tahu. Apa pun yang dilakukan adalah tanggung jawabnya."
Bhayangkara Jayabaya tidak bisa menerima jawaban itu dan akan mengajukan pertanyaan yang lebih menggigit, tetapi ia batalkan karena Patih Daha Gajah Mada menggeleng, isyarat tak sependapat dengan rencananya. Bhayangkara Jayabaya bahkan terkejut ketika mendadak Gajah Mada berpamitan.
"Baik, Raden, aku minta maaf karena malam-malam seperti ini mengganggu ketenangan Raden. Selamat melanjutkan istirahat. Kami mohon pamit."
Jayabaya tak punya pilihan lain kecuali harus menyesuaikan diri dengan kehendak Patih Daha Gajah Mada. Dengan beban rasa penasaran yang masih bergumpal, Bhayangkara Jayabaya menyusul langkah Gajah Mada yang turun dari pendapa dan mengayunkan langkah ke halaman meninggalkan Raden Cakradara yang merasa lega karena dua orang tamu yang membingungkannya itu segera pergi meninggalkannya.
"Aku harus berebut waktu," kata hati Raden Cakradara. "Aku harus mencari cara supaya jangan sampai Paman Pakering Suramurda tertangkap. Kekacaun yang ditimbulkan Paman Pakering Suramurda bisa berimbas kepadaku. Dari awal aku sudah tidak setuju dengan rencana-rencananya. Kini terbukti, kekacauan ini mengancamku."
Raden Cakradara berniat kembali masuk ke dalam istana, namun mendadak ia berbalik dan melangkah bergegas. Patih Daha Gajah Mada yang menempatkan diri di balik tembok mengamati apa yang dilakukan bangsawan dari Singasari itu. Jayabaya akhirnya paham mengapa Gajah Mada mengajaknya berpamitan, pamitan yang bukannya tanpa maksud.
"Kaulihat itu?" tanya Gajah Mada.
"Ya," balas Jayabaya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 323
"Ikuti dan laporkan apa yang dilakukan. Jangan melakukan apa pun kecuali apa yang aku perintahkan."
"Baik, Kakang Gajah."
Dengan gesit Bhayangkara Jayabaya melenting melompati dinding penyekat halaman dan berlari tanpa meninggalkan jejak suara, mirip apa yang dilakukan seekor kucing ketika hendak menerkam mangsanya.
Melalui sekat halaman samping Bhayangkara Jayabaya bahkan tiba lebih dulu ke kandang kuda. Dengan cermat dan saksama Bhayangkara Jayabaya mempersiapkan diri mendengar pembicaraan yang akan terjadi antara Raden Cakradara dengan abdi dalem Gemak Trutung yang masih berada di dekat kandang.
Raden Cakradara ternyata kembali ke kandang kuda itu. Abdi dalem Gemak Trutung bergegas menyongsong.
"Ada apa, Raden?" Gemak Trutung langsung bertanya.
"Kuberikan tugas untukmu, tolong kaukerjakan dengan sebaik-baiknya."
Raden Cakradara membuka kampil wadah uang yang menggantung di sabuk dan mengeluarkan beberapa keping uang berwarna kuning mengilat, menjadi tanda betapa besar nilai yang berada di balik uang emas itu.
"Ini upah untuk tugas yang kuberikan kepadamu," ucap Raden Cakradara. "Kaucari Paman Pakering Suramurda sampai bertemu.
Katakan kepadanya agar pergi sejauh-jauhnya. Paman Pakering Suramurda berada dalam bahaya kalau kembali. Katakan juga kepada Paman Pakering, besok tengah malam supaya menemui aku di alun-alun. Cukup jelas, Gemak Trutung?"
Gemak Trutung merasa penasaran.
"Ada apa sebenarnya, Raden?" tanya Gemak Trutung.
"Jangan tanya apa pun. Laksanakan saja tugasmu."
"Baik, Raden," jawab Gemak Trutung.
324 Gajah Mada Gemak Trutung berbagi tugas dengan istrinya. Emban Nyai Gemak Trutung berjaga di tempat itu sampai pagi. Bila Pakering Suramurda kembali, Nyai Gemak Trutung yang berkewajiban menyampaikan pesan itu.
Di balik bayangan dinding kandang kuda, Bhayangkara Jayabaya termangu tak habis pikir, bagaimana mungkin di balik wajah Raden Cakradara yang tampan itu bersembunyi wajah lain, raut muka serakah yang untuk memuasi keserakahan itu sampai tega hendak membunuh pesaingnya. Untunglah pisau terbang di kerumunan khalayak ramai yang menonton pembakaran layon Sang Prabu Jayanegara itu tidak menggapai jantung hingga Raden Kudamerta selamat. Untung pisau terbang itu meleset sejengkal.
Malam yang hening itu kemudian pecah oleh suara yang amat mirip dengan burung bence. Bahwa suara burung malam itu sebenarnya palsu tidak disadari oleh Ki Gemak Trutung dan istrinya. Suara burung bence itu berbalas dan sejenak kemudian beberapa orang Bhayangkara mendekat memenuhi panggilan Jayabaya.
26 Balai Prajurit penuh oleh segenap Bhayangkara. Tak hanya para Bhayangkara yang berkumpul dan merasa prihatin dengan keadaan pimpinan mereka yang masih pingsan, tetapi juga para prajurit dari kesatuan yang lain yang datang menengok. Di pembaringan dan tetap dalam perawatan Nyai Lengger, Senopati Gajah Enggon terbujur lunglai.
Kedaan Gajah Enggon benar-benar seperti orang mati.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 325
Berita yang disampaikan kepada mereka bahwa selama Senopati Gajah Enggon tak bisa melaksanakan tugas maka pimpinan atas pasukan khusus itu dikendalikan oleh Patih Daha Gajah Mada disambut dengan suka cita, tak ada seorang pun yang keberatan.
Di sudut pendapa Gajah Mada menerima laporan Jayabaya.
"Raden Cakradara memberikan perintah itu kepada Ki Gemak Trutung."
Gajah Mada menatap mata Bhayangkara Jayabaya dengan tak
berkedip. "Masih kaukepung dengan rapat istana kanan?"
"Mereka masih kutempatkan di sana, Kakang Gajah. Salah seorang aku tugasi membayang-bayangi Ki Gemak Trutung. Kalau Pakering Suramurda itu kembali, ia langsung kita tangkap. Kalaupun malam ini belum, kita masih memiliki peluang untuk menyergap besok malam di tengah alun-alun."
Malam yang menukik telah melewati titik puncaknya dan mendekat ke arah datangnya pagi. Sebagaimana kodratnya, oleh rasa kantuk apalagi karena kerja keras yang dilakukan sepanjang hari, Gajah Mada menguap.
Ia lakukan itu dua kali dalam waktu yang pendek. Akan tetapi, seekor kuda yang berderap di jalanan dan langsung membelok ke Balai Prajurit mengenyahkan rasa kantuknya. Apalagi orang yang melompat turun itu adalah Gagak Bongol. Gajah Mada berdiri tanpa harus menyongsongnya.
"Bagaimana laporanmu?" tanya Gajah Mada langsung pada
persoalan. "Nyai Tanca tidak mengenal nama Rangsang Kumuda. Ia juga mengaku tidak kenal dengan Pakering Suramurda. Namun, aku mendapat bukti bahwa Nyai Ra Tanca berhubungan dengan semua yang terjadi.
Hanya saja aku tidak bisa menyimpulkan keterikatan itu bagaimana bentuknya. Hubungan itu ada, namun masih belum terbaca jelas bentuknya."
Gajah Mada memandang Gagak Bongol dan menempatkan diri
menunggu Gagak Bongol melanjutkan kata-katanya.
326 Gajah Mada "Di lengan beberapa korban, sebagaimana kita ketahui terdapat lambang bulat yang dililit ular sendok yang dirajah di lengan. Lambang bulatan yang dililit ular itu ternyata Nyai Tanca penggagasnya."
Gajah Mada dan Bhayangkara Jayabaya tidak bisa menyembunyikan rasa herannya, tersirat amat jelas dari permukaan wajahnya.
"Manurut Nyai Tanca," Gagak Bongol melanjutkan, "bulatan itu mewakili wujud buah maja yang menjadi lambang negara kita. Ular yang membelit, Nyai Tanca tidak menjelaskan. Namun, dengan mudah kita menerjemahkan, ular adalah lambang kekuatan yang sedang
menggerogotinya. Menggerogoti buah maja sama arti dengan menggerogoti negara."
Hening menyergap. Gajah Mada tampak berpikir keras.
Bhayangkara Jayabaya memilih diam tidak memberikan sumbangan pendapat apa pun meski dalam hatinya terusik oleh lambang ular yang dengan amat lugas bisa dihubungkan dengan Tanca, yang memiliki kemampuan mengolah racun mematikan yang berasal dari bisa ular. Ular jelas mewakili Ra Tanca.
"Korban pembunuhan yang dikirim ke kotaraja diletakkan di atas seekor kuda memiliki lambang berupa buah maja dililit ular. Sekarang sudah kita temukan siapa orang yang menggagas lambang itu. Apabila benar ular yang membelit buah maja itu merupakan sebuah kekuatan yang memiliki tujuan jangka panjang, yaitu mengancam Majapahit, Raden Kudamerta tentu memahami arti lambang itu. Masalahnya, orang-orang pemilik rajah itu yang menjadi korban. Apa artinya ini?"
Tidak ada yang bisa menjawab. Pertanyaan macam itulah yang menyebabkan Gagak Bongol tak mampu menjawab hubungan antara pembunuhan-pembunuhan itu dengan Nyai Tanca, setidaknya dalam bentuk apa atau bagaimana.
"Akan aku tanyakan hal itu kepada Raden Kudamerta besok.
Kuharap ia bisa menjawab. Masih ada lagi yang akan kaulaporkan, Bongol?"
Gagak Bongol menggeleng. Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 327
"Tidak, Kakang Gajah. Kalau Kakang Gajah Mada mengizinkan, aku minta pamit untuk beristirahat meskipun barang sejenak karena besok aku harus berhadapan dengan banyak pekerjaan yang masih menunggu."
"Boleh, pulanglah. Salamku untuk anak angkatmu. Namun, jangan lupa untuk menyempatkan kembali menemui Nyai Tanca. Tanyakan apa tujuan jangka panjang dari lambang itu. Menurut keyakinanku, Nyai Tanca hanya penggagas lambang saja, sementara pemilik cita-citanya pasti Ra Tanca, dan Ra Tanca mungkin tidak sendiri. Di belakang Ra Tanca siapa tahu ada pihak yang memberi dukungan yang apabila dibiarkan dan tidak diatasi akan membesar dan menyulitkan. Bila tidak diberangus, siapa tahu akan membesar menjelma menjadi kekuatan segelar sepapan."
"Baik, Kakang," jawab Gagak Bongol.
Lenyap kuda yang ditunggangi Gagak Bongol, namun masih
memperdengarkan suaranya yang makin jauh. Gajah Mada bagai diingatkan pada kantuk yang membelitnya. Gajah Mada menguap.
"Kakang Gajah kurang tidur," kata Bhayangkara Jayabaya.
"Aku mengantuk, tetapi tidur pun percuma karena sulit untukku memejamkan mata. Pikiranku tersita oleh masa depan Majapahit. Dua menantu istana ternyata amat mengecewakan. Raden Cakradara menyimpan cacat yang tidak termaafkan. Ia ingin merebut kekuasaan.
Dengan memperistri Tuan Putri Sri Gitarja, ia berharap memiliki peluang menjadi raja. Untuk menjamin angan-angannya tercapai, ia bahkan berencana membunuh Raden Kudamerta. Sementara Raden Kudamerta sendiri juga memiliki cacat. Raden Kudamerta menipu Sekar Kedaton istana kiri. Ia ternyata telah beristri. Entah saran macam apa yang bisa kuberikan kepada Tuan Putri Rajapatni Biksuni atas dua pilihan yang sama-sama buruk itu. Satu-satunya alasan yang membuat aku agak menaruh iba hanyalah karena ada pihak yang berusaha membunuhnya, pihak yang bahkan mempereteli pendukungnya satu per satu."
Jawaban Patih Daha Gajah Mada itu memaksa Bhayangkara Jayabaya terpaku membeku. Kenyataan yang baru saja diketahui itu memang mengagetkan.
328 Gajah Mada "Bagaimana dengan istri tua Raden Kudamerta itu. Apakah tidak sebaiknya Kakang Gajah menugasi orang untuk melacaknya."
Gajah Mada berbalik dan memandang Bhayangkara Jayabaya.
"Sudah," jawabnya. "Aku telah meminta kepada Adi Pradhabasu mengawasi perempuan itu dan bila perlu menggiringnya menemuiku.
Perempuan itu tidak boleh mengganggu ketenteraman rumah tangga Tuan Putri Dyah Wiyat Rajadewi. Harus ada jaminan perempuan itu pergi untuk selama-lamanya. Tidak perlu menugasi orang lain karena boleh dikata selama ini Pradhabasu berada pada jarak yang dekat dengan perempuan itu. Kamu tak perlu merisaukannya."
Mencuat alis Jayabaya. Bukan keterlibatan Pradhabasu yang ternyata sudah cukup lama yang mengagetkannya, namun sikap Gajah Mada terhadap perempuan itu yang membuatnya resah.
"Kakang Gajah akan menyingkirkan perempuan itu?"
Gajah Mada termangu, namun tidak memberi jawaban.
"Aku tidak sependapat jika Kakang berniat menyingkirkannya,"
Jayabaya tak bisa menutupi rasa cemasnya.
"Mengapa?" balas Gajah Mada.
"Perempuan itu tidak bersalah," Jayabaya menambah.
"Ini bukan soal bersalah atau tak bersalah. Sekarang kaubayangkan, apa yang terjadi kelak jika Tuan Putri Dyah Wiyat tidak memiliki keturunan. Bagaimana jika anak Raden Kudamerta dengan perempuan lain itu yang diangkat menjadi raja" Lagi pula, keberadaan perempuan itu akan sangat memalukan. Di mana harkat kehormatan Sekar Kedaton yang menempati kedudukan sebagai istri kedua" Khalayak tak boleh tahu hal ini. Ibarat penyakit, penyakitnya yang harus dibuang. Bila penyakit itu melekat pada tangan kiri maka tangan kiri harus dipotong.
Persoalannya memang tak masalah bila yang mengalami hal itu rakyat kebanyakan. Yang ini Dyah Wiyat Sekar Kedaton dan Raden Kudamerta suaminya, masing-masing dua sosok yang tidak bisa menghindar dari sorotan. Kalau kamu yang sudah mempunyai istri lalu membohongi Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 329
perempuan lain, sama sekali tidak masalah karena kamu hanya seorang Jayabaya yang tidak mempunyai pengaruh terhadap negara. Bayangkan bila hal itu menimpa Dyah Wiyat, satu dari dua orang calon ratu yang akan memimpin negeri ini."
Jayabaya merasa resah. Namun, dengan Raden Kudamerta memiliki istri lain selain Dyah Wiyat memang akan sangat mengganggu.
"Perempuan bernama Dyah Menur itu memang harus ditemukan.
Aku harap Adi Pradhabasu segera menyampaikan laporannya kepadaku."
Gajah Mada berjalan mondar-mandir. Dia tidak mampu
mengosongkan kepalanya dan menganggap apa yang terjadi itu bukan urusannya. Tak mungkin menganggap demikian karena bahkan Ratu Rajapatni memberikan tugas berat untuk membongkar masalah itu kepadanya.
Menghadapi musuh berkekuatan segelar sepapan jauh lebih mudah dilakukan daripada memberikan penilaian antara Sekar Kedaton Dyah Wiyat dan Sri Gitarja, sementara di belakang dua nama Sekar Kedaton ada suami-suami menyembunyikan belang, suami-suami yang ternyata bertopeng. Bahkan, kalaupun topeng itu dibuka masih mungkin menyembunyikan lapisan topeng yang lain.
"Kepalaku pusing," kata Gajah Mada.
"Sebaiknya silakan Kakang beristirahat saja. Jangan pikirkan apa pun," ucap Jayabaya.
Rasa pusing yang menyita perhatian itu sebenarnya telah
berlangsung cukup lama. Setidaknya hal itu terjadi sejak empat bulan lalu, manakala seorang tamu datang menemuinya di Daha. Betapa tamu itu sungguh mengagetkannya. Tamu itu membuat matanya terbelalak.
Tamu itu membawa oleh-oleh sebuah berita yang mengejutkan yang menyebabkan kepalanya pusing itu. Tamu itu adalah teman lama yang sangat dirindukannya.
"Adi Pradhabasu?" Gajah Mada meletup sambil memandang laki-laki bertubuh kurus yang berdiri di depannya.
330 Gajah Mada Laki-laki itu tidak sendiri, ia bersama bocah yang tidak peduli apa pun, bocah yang tatapan pandangannya jatuh ke satu titik.
"Udara Daha membuat tubuhmu gemuk, Kakang Gajah," balas
Pradhabasu sambil tersenyum.
Dengan amat senang Gajah Mada membawa tamunya naik ke
pendapa. Pradhabasu mengedarkan pandangan matanya menggerataki wisma kepatihan di Daha. Sebagai bekas pasukan khusus Bhayangkara, Pradhabasu yang selalu mengamati perkembangan di istana juga ikut merasa senang ketika oleh jasanya yang luar biasa Gajah Mada diangkat menjadi patih di Kahuripan mendampingi Sekar Kedaton Sri Gitarja yang memangku wilayah tersebut, lalu menjadi Patih Daha mengawal Sekar Kedaton Dyah Wiyat yang menjadi pemangku wilayah itu.
"Sudah berapa tahun kita tidak bertemu?" tanya Gajah Mada.
"Lama sekali. Tetapi semua yang terjadi serasa baru kemarin. Kita membawa Tuanku Baginda ke Bedander seperti baru kemarin. Gagak Bongol membunuh Mahisa Kingkin juga seperti terjadi kemarin,"
Pradhabasu menjawab. Gajah Mada memerhatikan bocah yang selalu melekat pada
Pradhabasu. "Ini siapa?" tanya Gajah Mada.
"Anakku," jawab Pradhabasu.
"Istrimu?" "Aku mengawini janda yang sudah memiliki anak. Jadi, ini anakku!"
jawaban Pradhabasu seperti sekenanya membuat Gajah Mada tertawa.
Gajah Mada membaca keadaan. Pembicaraan atas bocah itu agaknya tak begitu menyenangkan tamunya. Bila semula Gajah Mada mengira Pradhabasu berniat hanya untuk singgah, ternyata dugaan itu luput.
Pradhabasu mampir membawa sesuatu yang penting. Cerita tentang sepak terjang pemangku dua wilayah, yaitu wilayah Keta dan Sadeng yang membangun kekuatan melebihi kebutuhan sungguh sangat mencuri perhatiannya. Akan tetapi, cerita tentang jalinan asmara yang terjadi Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 331
antara seorang perempuan bernama Dyah Menur dengan bangsawan Pamotan yang menyebabkan ia merasa tidak nyaman. Cerita itu sungguh sangat mengganggu.
"Kauyakin, orang itu Raden Kudamerta?"
"Tentu amat yakin, Kakang Gajah. Apa menurutmu wajah Raden Kudamerta mungkin berubah sedemikian rupa yang menyebabkan aku lupa pada wajahnya" Aku yakin pemilik rumah baru yang tinggal tidak jauh dari rumahku itu Raden Kudamerta dan perempuan yang kini tinggal di rumah itu adalah istrinya," jawab Pradhabasu.
Patih Daha Gajah Mada berpikir, mengolah keterangan yang baru ia peroleh itu dengan cermat.
"Bagaimana kamu merasa yakin perempuan itu istrinya" Kamu mendapatkan keterangan secara langsung dengan menanyai perempuan itu, atau kamu melihat lewat pandangan secara langsung mereka tampak mesra" Kalau hanya sekadar seperti itu keteranganmu masih belum bisa diyakini kebenarannya. Kalau aku laporkan temuan itu kepada Sekar Kedaton, ya kalau perempuan itu istrinya, kalau adiknya" Apalagi menurut kabar yang aku terima, Raden Kudamerta memiliki adik perempuan. Berapa lama kamu mengamati mereka?"
Alasan yang dikemukakan Gajah Mada itu membalik keadaan, memaksa sang tamu berpikir.
"Baru dua hari, setelah melihat mereka aku langsung memutuskan menemui Kakang Gajah."
"Baru dua hari, dalam dua hari itu apakah kau sudah berhasil menyimpulkan mereka mempunyai hubungan khusus sebagai suami istri?"
Pradhabasu berpikir, keningnya berkerut. Meski wajahnya tertuju ke arah lain, matanya melirik Gajah Mada.
"Aku terlalu gegabah," jawab Pradhabasu. "Aku belum melakukan penyelidikan sejauh itu, Kakang Gajah Mada. Padahal Kakang benar, bisa saja perempuan itu adiknya."
332 Gajah Mada "Namun demikian, tak ada salahnya kamu menelusuri temuan itu, Pradhabasu. Apa yang kamu lihat itu merupakan hal yang penting. Raden Kudamerta benar-benar lelaki tak tahu diri bila ia berani menyembunyikan rahasia macam itu."
"Baiklah," jawab Pradhabasu. "Lain kali aku akan bekerja lebih cermat. Aku akan mendapatkan jawaban yang benar apabila nanti aku masuk ke dalam keluarga itu. Kurasa dengan penampilanku sekarang, Raden Kudamerta tak akan ingat kepadaku. Lebih dari itu, Raden Kudamerta tidak mengenalku dengan baik, sebaliknya aku justru amat mengenal wajahnya."
Sejak pertemuannya dengan mantan Bhayangkara Pradhabasu itu, Patih Daha Gajah Mada menyangga beban rahasia yang memusingkan kepala. Meski ia meminta Pradhabasu untuk meyakinkan kembali apa yang dilihatnya, hati kecilnya merasa yakin perempuan itu istri Raden Kudamerta. Dugaan yang kini terbukti benar, laporan Pradhabasu benar.
Raden Kudamerta telah menjadi suami perempuan lain dan telah menjadi seorang ayah ketika mengawini Sekar Kedaton Dyah Wiyat.
Gajah Mada mengakhiri kenangannya pada pertemuan itu dengan memandang Jayabaya sambil mendelik, untuk mengusir rasa kantuk yang makin kuat. Jayabaya tak kuasa menahan tawanya.
"Sudahlah, Kakang Gajah. Silakan Kakang beristirahat. Kuba-ngunkan Kakang Gajah apabila Pakering Suramurda berhasil ditangkap."
Gajah Mada mengayunkan langkah ke sudut Balai Prajurit dan membaringkan diri di atas dingklik panjang. Gajah Mada menyempatkan memerhatikan kerumunan para Bhayangkara yang memerhatikan Nyai Lengger meracik jamu pilis. Jamu pilis itu nantinya akan ditempelkan ke bagian kepala Senopati Gajah Enggon tepat pada bagian yang terkena hantaman batu. Diharapkan obat pilis itu mampu merangsang simpul otak Senopati Gajah Enggon dan membuatnya terbangun.
Gajah Mada ingin segera lelap dan melupakan apa pun, tetapi semua masalah yang dihadapi benar-benar mengganggu. Ketika mimpi yang diharap akhirnya dapat diperoleh, mimpinya masih berhubungan dengan persoalan pelik yang ia hadapi. Di wilayah mimpi itu, Gajah Mada memimpin pasukan segelar sepapan untuk menangkap Pakering Suramurda.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 333
Namun, Pakering Suramurda benar-benar orang yang sakti. Orang tua itu sulit ditangkap karena mempunyai kemampuan petak umpet lari ke sana lari kemari. Saat dikepung di sebuah rumah, Pakering Suramurda menghilang tanpa jejak, lenyap bagai asap, lalu meninggalkan jejak tawanya yang bergelak-gelak di langit.
27 Patih Mangkubumi Arya Tadah terkejut ketika hari masih pagi, tetapi sepagi itu salah seorang Sekar Kedaton datang mengunjunginya.
Apalagi Sri Gitarja datang sendirian, padahal hal itu tidak boleh terjadi.
Ke mana pun Tribhuanatunggadewi pergi harus dikawal prajurit. Namun, dengan segera Patih Mangkubumi melihat penampilan Sri Gitarja memang sedemikian rupa, dengan cara berpakaian yang sederhana tidak akan ada orang mengira ia adalah Sekar Kedaton Sri Gitarja.
"Ada apa, Gitarja?" Patih Mangkubumi Tadah bertanya.
Sri Gitarja juga tak ingin berbicara melingkar-lingkar. Gitarja bicara langsung pada persoalan yang dibawanya.
"Aku ingin bertanya, Paman," kata Sri Gitarja. "Tolong Paman ceritakan apa adanya tanpa ada yang perlu ditutupi, terutama apa yang sudah Paman ketahui dan bagaimana pendapat Paman sendiri."
Arya Tadah mengerutkan kening.
"Masalah apa ini?" tanya Arya Tadah.
"Sepeninggal Kakang Prabu Jayanegara, siapa sebenarnya yang akan ditunjuk sebagai penggantinya" Aku atau Adi Dyah Wiyat?"
334 Gajah Mada Pertanyaan yang mengagetkan Arya Tadah, setidaknya untuk ukuran waktu yang sepagi itu. Hari masih pagi penuh remang-remang saat Sri Gitarja datang untuk menanyakan soal itu. Dengan segera Arya Tadah berprasangka.
"Apakah suamimu semalam mengajakmu berbincang soal itu?"
tanya Arya Tadah langsung mengurai prasangka itu.
Sri Gitarja menggeleng lunglai. Amat terlihat dari permukaan wajahnya, Sri Gitarja sedang berusaha kuat menguasai diri jangan sampai menitikkan air mata.
"Lalu?" "Jawab dulu pertanyaanku, Paman," kata Sri Gitarja.
Arya Tadah yang semula masih berdiri kemudian duduk
menempatkan diri di depan tamu kesayangannya. Dipandanginya Sekar Kedaton bersama rasa penasaran yang membuatnya cemas.
"Kamu yang akan ditunjuk," jawabnya.
"Aku?" ulang Sri Gitarja.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," jawab Tadah.
Sri Gitarja amat termangu.
"Kalau menurut pendapat Paman sendiri bagaimana" Apakah
memang harus aku?" Sri Gitarja menekan.
Arya Tadah masih mengalami kesulitan menebak ke mana arah pembicaraan Sekar Kedaton Sri Gitarja.
"Gitarja," kata Tadah, "pertanyaanmu membingungkan Paman.
Antara kamu dan adikmu sama-sama baik, sama-sama Paman sayangi.
Kalau Paman condong ke kamu, Paman takut itu berarti Paman kurang menyayangi Dyah Wiyat. Pun demikian dengan sebaliknya, bila Paman condong ke Dyah Wiyat, Paman juga takut hal itu akan mengurangi rasa sayang Paman kepadamu. Oleh karena itu, Paman bersikap tak akan membanding-bandingkan. Keputusan penting itu terletak pada para Ratu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 335
Maka Paman berpikir, biar para Ratu yang memutuskan. Paman menyayangimu dan adikmu, jadi jangan tanyakan pertanyaan yang menyudutkan itu kepada Paman."
Sri Gitarja diam beberapa saat lamanya, pandangan matanya jatuh ke tanduk menjangan yang dijadikan hiasan di dinding. Akan tetapi, Sri Gitarja memang telah bulat dengan keputusannya. Keputusan yang tak dibutuhkan keraguan lagi.
"Aku minta tolong, Paman. Bantu aku menyampaikan sikapku kepada Ibunda Ratu Gayatri dan para Ibunda Ratu yang lain. Aku menolak kedudukan itu. Aku lihat Adi Dyah Wiyat justru lebih pantas dan tepat ditunjuk menjadi ratu. Adi Dyah Wiyat lebih gesit, lebih ringan tangan, dan tegas. Dibutuhkan sikap yang tegas dan kuat untuk memimpin negeri ini. Sikap semacam itu ada pada adikku. "
Pendapa kepatihan bergoyang. Pilar-pilarnya berderak, tanahnya mengombak, dan semua suara terhenti. Burung-burung prenjak yang berkicau di semak pagar diam tak bersuara. Demikian mengagetkan ucapan Sri Gitarja, tidak hanya menyebabkan Arya Tadah sendiri yang kaget, cecak-cecak yang berkejaran karena disulut berahi pun kaget.
Patih Arya Tadah memandang tak berkedip.
"Kenapa?" Sri Gitarja bingung. Bila dikejar dengan pertanyaan macam itu, artinya Sekar Kedaton harus menyampaikan alasannya, harus menyampaikan apa latar belakangnya, sebuah alasan yang masuk akal dan bisa dimengerti. Sri Gitarja memiliki alasan itu yang sungguh berupa kenyataan tak terduga yang membuatnya kecewa.
"Pembunuhan-pembunuhan yang terjadi dimulai bersamaan dengan mangkat Sang Prabu, suamiku terlibat," jawab Sri Gitarja dengan suara serak dan parau.
Terbelalak Arya Tadah mendengar jawaban itu.
"Suamimu terlibat?"
"Ya," jawab Gitarja.
336 Gajah Mada "Bagaimana kamu bisa mengambil simpulan suamimu terlibat?"
Sri Gitarja mengumpulkan kekuatan untuk tetap tenang, tetapi air mata yang semula ditahan akhirnya bergulir juga. Arya Tadah terkejut melihat Sri Gitarja menangis dan melihat kenyataan yang tidak terduga itu.
"Semalam ketika kami tidur, tiba-tiba suamiku keluar dan diam-diam aku ikuti ke mana ia pergi. Suamiku menemui seorang pekatik yang ternyata pamannya. Pekatik kuda itu bernama Pakering Suramurda.
Orang itulah yang menjadi dalang, baik langsung maupun tidak langsung," Sri Gitarja menjawab sambil mengusap air mata menggunakan lengan baju.
Arya Tadah benar-benar terhenyak. Arya Tadah amat berharap Sekar Kedaton Sri Gitarja akan menemukan kebahagiaan dengan bersuami Raden Cakradara. Tetapi baru sejengkal perjalanan hidupnya, suaminya ternyata menyembunyikan masalah.
"Ceritakan dengan lebih rinci."
Dengan jelas Sri Gitarja menuturkan apa yang didengar dan dilihatnya secara langsung, bagaimana suaminya bertemu dengan gamel bernama Pakering Suramurda, yang dengan demikian membuka dengan jelas apa yang telah terjadi. Patih Arya Tadah yang menyimak penuturan Sekar Kedaton itu segera teringat kepada apa yang disampaikan Patih Daha Gajah Mada. Ternyata peringatan itu benar adanya. Bahkan Sekar Kedaton Sri Gitarja merasa sebaiknya tidak menerima kedudukan sebagai ratu itu.
"Suamiku mengawini aku tidak didasari cinta yang tulus, Paman,"
kata Sri Gitarja dengan terisak. "Namun, karena ada kedudukan yang sedang diincar. Kakang Cakradara ingin menjadi raja. Ia manfaatkan hubungannya denganku untuk bisa meraihnya. Tidak cukup hanya menjadi suami seorang ratu, tetapi suamiku ingin menjadi raja dengan menggusur kedudukanku. Pihak mana pun yang dikira akan menjadi batu sandungan disingkirkan. Itulah yang terjadi pada rencana pembunuhan terhadap Adimas Raden Kudamerta. Orang-orangnya dipereteli dibantai satu per satu. Aku tak mengira suamiku sanggup melakukan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 337
perbuatan itu. Oleh karena itu, Paman, tolong sampaikan kepada Ibunda Ratu supaya Adi Dyah Wiyat yang dipilih menjadi ratu. Rajadewi Maharajasa lebih sesuai menjadi ratu di Majapahit daripada Gitarja."
Hening menggeratak, menyudutkan Arya Tadah yang hanya bisa menyesali keadaan. Memiliki wajah yang tampan dan selalu bersikap santun, Arya Tadah sangat sulit memahami mengapa Raden Cakradara sanggup berbuat seperti itu. Kini Arya Tadah melihat, Majapahit akan menghadapi persoalan yang rumit.
Dan pergantian kekuasan di negeri mana pun selalu menyisakan gejolak tanpa terkecuali Majapahit setelah meninggalnya Jayanegara.
Udara pun terasa sesak. Gerah akan menyergap siapa pun yang mendambakan kedamaian dan ketenangan. Singasari telah memberi contoh. Di setiap pergantian kekuasaan, udara selalu terasa panas.
28 Pagi yang datang berikutnya adalah pagi yang sangat sejuk. Jejak udara cerah semalam dengan langit tanpa mendung selembar pun kini berubah menjadi pagi yang dingin. Kabut bahkan melayang di mana-mana menipiskan jarak pandang, daun-daun gemerlap oleh embun. Yang berisik dalam keadaan yang demikian adalah segenap burung dari jenis apa pun. Kicau seekor burung dibalas oleh sesama jenisnya, padahal ada banyak jenis burung yang tinggal di pepohonan lebat yang mengepung bangunan megah Balai Prajurit. Hanya burung-burung hantu yang mungkin jengkel karena istirahat yang diharap setelah semalaman tidak tertidur terganggu sekali oleh suara berisik itu. Sepasang burung sikatan yang membangun sarang tidak jauh dari burung hantu itu 338
Gajah Mada terheran-heran karena melihat tetangganya itu begitu malas, pekerjaannya hanyalah tidur di sepanjang waktu.
Namun, pagi itu pula yang mengagetkan Gajah Mada saat terbangun dari tidur pulasnya karena tak menemukan Gajah Enggon. Hanya Bhayangkara Jayabaya yang duduk tafakur di depannya. Gajah Mada yang menebar pandang menggerataki Balai Prajurit tidak menemukan siapa-siapa. Pembaringan yang digunakan Gajah Enggon telah kosong.
"Mana Gajah Enggon?" tanya Gajah Mada amat kaget dan langsung cemas.
Gajah Enggon memang tidak ada.
"Tuan Putri Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri memerintahkan Senopati Gajah Enggon dipindahkan ke bangsal Gringsing. Tuan Putri Gayatri berpendapat, Senopati Gajah Enggon harus mendapatkan perawatan yang memadai."
Gajah Mada terheran-heran, "Kenapa aku tidak mendengar apa-apa?"
Jayabaya tersenyum. "Karena aku meminta pemindahan itu tidak menimbulkan suara.
Aku ancam dengan hukuman mati apabila sampai pemindahan itu mengganggu istirahat Kakang Gajah Mada," jawab Jayabaya.
Gajah Mada termangu, "Kenapa aku tidak dibangunkan?"
Jayabaya tertawa, "Kakang butuh istirahat untuk mendapatkan kesegaran."
Gajah Mada bangkit dan meliukkan tubuh untuk melemaskan
pikiran sambil mengedarkan mata mengelilingi pendapa Balai Prajurit yang sepi. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Patih Daha Gajah Mada merasa setelah tidurnya yang pulas, kini badannya terasa segar pikirannya juga bugar.
"Kalau kamu tinggalkan aku dan aku terbangun dengan keadaan seperti ini, tanpa ada penjelasan yang bisa menyebabkan aku berpikir Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 339
jangan-jangan aku sedang terlempar ke dunia lain maka aku akan menggantungmu di alun-alun."
Jayabaya tertawa terkekeh.
"Gajah Enggon bagaimana" Masih lelap belum siuman?" Gajah Mada bertanya dengan tidak sabar.
"Belum. Belum ada perubahan apa pun pada Gajah Enggon."
Gajah Mada gelisah. Namun, tidak dibiarkannya kegelisahan itu mengganggu dirinya.
"Bagaimana dengan Pakering Suramurda?" tanya Gajah Mada.
Bhayangkara Jayabaya mengangkat tangan.
"Orang itu mungkin sudah tahu jati dirinya sudah kamanungsan lalu minggat tidak berani kembali. Prajurit yang kutugasi membayangi Ki Gemak Trutung melihat abdi dalem yang ditugasi Raden Cakradara itu kembali tanpa hasil. Sebagaimana yang aku dengar, pintu satu-satunya untuk menangkap Pakering Suramurda hanyalah menunggu tengah malam nanti. Di alun-alun ketika Raden Cakradara akan bertemu dengan orang itu, kurencanakan untuk menyergapnya."
Gajah Mada termangu. "Bagaimana pertemuan itu bisa terjadi kalau Gemak Trutung tidak berhasil bertemu dengan Pakering Suramurda dan menyampaikan pesan Raden Cakradara?"
Jayabaya bukannya tidak melihat hal itu.
"Pasti ada cara bagi Raden Cakradara untuk berhubungan dengan Pakering Suramurda. Kalau Gemak Trutung tidak berhasil, Raden Cakradara pasti tahu ke mana atau bagaimana cara berhubungan dengan orang itu."
Gajah Mada membenarkan pendapat Bhayangkara Jayabaya sambil melepas pandangan mata ke jalan di depan Balai Prajurit. Gajah Mada mencuatkan alis melihat orang berjalan berbondong-bondong dengan bergegas.
340 Gajah Mada "Ada apa itu?" tanya Gajah Mada. "Akan ke mana mereka?"
"Mereka para kawula yang terpanggil nuraninya, memenuhi
panggilan Gagak Bongol untuk datang ke makam Antawulan," Jayabaya menjawab.
Geliat rakyat yang tengah melintas Balai Prajurit itu menjadi gambaran betapa besar rasa cinta mereka kepada rajanya. Tua muda berdatangan dan bersatu padu ke Antawulan. Berita tentang pencandian itu telah menyebar ke segala penjuru. Tidak hanya Antawulan yang disibukkan oleh kegiatan itu, namun juga di Sukhalila tempat penghormatan dan pencandian Sri Jayanegara akan diwujudkan dalam arca Amogasidhi. Kegiatan serupa menggeliat pula di Kapopongan dan Srnggapura. Gagak Bongol tak mau menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Memimpin pekerjaan besar itu sungguh merupakan kehormatan baginya.
"Aku akan pulang dulu," kata Gajah Mada. "Aku harus mandi dulu sebelum menghadap Tuan Putri Ratu Rajapatni."
"Boleh aku menemani Kakang Gajah ketika menghadap beliau?"
Gajah Mada menggeleng, "Tidak usah. Ada banyak pembicaraan yang bersifat rahasia yang akan kusampaikan kepada Tuan Putri."
Bhayangkara Jayabaya tidak memaksa diri. Ia tahu Gajah Mada pasti menolak permintaan itu dan ternyata benar. Bhayangkara Jayabaya akhirnya memisahkan diri untuk pulang. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Jayabaya berniat akan bergabung dengan Gagak Bongol dan memberikan sumbangan keringatnya meskipun hanya setetes pada pembangunan candi untuk menandai mangkatnya Sang Prabu di makam Antawulan.
Bahwa persoalan masih belum tuntas karena Pakering Suramurda orang yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi memang amat disadari oleh Patih Daha Gajah Mada. Namun, sebuah peristiwa susulan dan beruntun mengagetkannya. Memaksa alis Gajah Mada mencuat lebih tinggi. Seorang abdi dalem istana menemuinya dengan menyetor muka tegang.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 341
"Ada apa?" tanya Gajah Mada.
"Sekar Kedaton nyaris dipatuk ular," jawab prajurit yang ditugasi menjemput itu.
Gajah Mada melotot, "Sekar Kedaton yang mana?"
"Tuan Putri Dyah Wiyat nyaris dipatuk ular. Ada orang mengirim sekeranjang buah mangga, namun menyembunyikan ular di bagian bawahnya ."
Gajah Mada tidak membuang waktu dan dengan bergegas melepas tali yang mengikat kudanya pada pohon sawo di halaman. Seperti dikejar hantu Gajah Mada melesat membedal kudanya meninggalkan jejak debu tebal dan suara yang berderap. Gajah Mada langsung menuju ke dapur, tempat peristiwa itu terjadi. Di sana Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa duduk dengan wajah pucat. Sulit membayangkan andai ular yang keluar dari tumpukan buah mangga itu mematuknya. Sekeranjang buah mangga itu tergeletak di lantai.
"Apa yang terjadi, Tuan Putri?" tanya Gajah Mada.
"Seseorang akan membunuhku," Dyah Wiyat menjawab dengan
ayunan napas yang mengombak.
Gajah Mada memerhatikan tiga ekor ular yang sudah menjadi bangkai. Masing-masing jenis ular berbeda, tetapi semua mematikan.
Seekor paling kecil dengan warna hitam berselang-seling warna putih adalah ular weling. Diyakini tidak seorang pun yang sanggup bertahan menghadapi ular jenis itu. Seekor lagi paling panjang dan berkepala berbentuk segi tiga adalah ular sendok pemilik racun yang sungguh sangat mematikan. Namun, dibanding dua jenis ular itu masih ada lagi seekor ular yang lebih menggetarkan. Ular itu pendek saja dan sulit membedakan mana kepala dan mana ekornya. Konon ular itu tak hanya merayap, namun dengan bentuk yang seperti itu ia mampu menekuk tubuh dan melenting seperti yang dilakukan ulat nangka. Naga Runting adalah julukan yang diberikan banyak orang pada ular yang berbentuk seperti batang kayu itu, namun ada pula yang menamainya bandotan.
Ular bandotan itulah yang paling menarik perhatian Patih Daha Gajah Mada. Ular itu benar-benar ular langka. Sepanjang hidupnya Gajah 342
Gajah Mada Mada baru dua kali melihat jenis ular itu. Dulu ketika masih sepuluhan tahun ia beruntung berhasil menghindar dari serangan ular itu. Ayunan kayu yang dihantamkan menjemput ular itu sampai melayang jauh ke seberang sungai. Ketika didatangi ular itu remuk.
Gajah Mada juga memerhatikan beberapa buah mangga yang
berserakan di lantai. Gajah Mada menebarkan pandangan matanya, menggerataki wajah para abdi dalem dan emban yang masing-masing diam membeku. Para emban terlihat bingung dan sama pucatnya dengan Sekar Kedaton Dyah Wiyat. Terakhir pandangan matanya jatuh pada Raden Kudamerta yang muncul dari balik pintu. Dengan raut wajah sangat cemas Raden Kudamerta memerhatikan bangkai-bangkai ular.
Raden Kudamerta mendekat dan menempatkan diri di belakang istrinya.
"Siapa yang menerima kiriman buah mangga ini?" bertanya Gajah Mada.
Seorang abdi dalem maju melangkah selangkah.
"Aku yang menerima, Ki Patih," jawab abdi dalem itu. "Aku menerimanya dari seorang laki-laki berkuda. Orangnya masih muda dan sangat tampan. Orang itu meminta aku menyerahkan sekeranjang mangga ini kepada Tuan Putri Dyah Wiyat."
Gajah Mada menyimak, semua yang hadir ikut mendengarkan, tidak terkecuali Raden Kudamerta.
"Sebut dulu siapa namamu?" kata Gajah Mada.
"Namaku Jalak Pripih, Ki Patih."
"Bagaimana ciri-ciri orang yang mengirim buah mangga itu" Coba kauperas ingatanmu, Ki Jalak Pripih. Orangnya seperti apa dan usianya kira-kira berapa! Atau ciri khusus apa pun yang bisa kauingat."
"Kalau aku bertemu lagi dengannya, pasti aku bisa menandainya,"
kata Jalak Pripih. Jawaban macam itu menyebabkan Gajah Mada merasa jengkel.
Gajah Mada tak mampu menahan diri. Gugup dan gemetar Ki Jalak Pripih memperoleh bentakan yang mengagetkannya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 343
"Jawab saja pertanyaanku, Ki Jalak Pripih. Jangan memberikan pendapat yang tidak aku butuhkan. Katakan bagaimana ciri-ciri khusus yang dimiliki orang itu."
Ki Jalak Pripih segera mengangguk dengan gugup. Bibirnya bergetar, jawabannya juga bergetar terbata-bata.
"Orang itu masih muda dan tampan sekali. Usianya kira-kira dua puluh lima tahun. Kumisnya melintang dengan rambut digelung keling ke atas kepala. Kudanya berwarna hitam dan sangat tegar. Laki-laki tampan itu membawa bayi," jawab Jalak Pripih.
"Ia membawa bayi" Terus apa yang diucapkan lelaki tampan itu?"
"Katanya," Jalak Pripih meniru, "aku mendengar sahabatku, Tuan Putri Sekar Kedaton, telah mengakhiri masa lajangnya. Sebenarnya aku ingin memberikan hadiah ini secara langsung, hanya beberapa buah mangga yang aku petik dari pekaranganku. Tolong sampaikan salamku kepada Tuan Putri Sekar Kedaton."
Gajah Mada menyimak dengan cermat.
"Terus" Orang itu menyebut siapa namanya atau dari mana?"
"Orang itu tidak menyebut nama dan asalnya. Hanya itu pesannya dan orang itu pun pergi. Aku sungguh tidak menyangka di bawah buah mangga ada tiga ekor ular itu."
Gajah Mada menebarkan pandangan matanya menggerataki semua wajah yang mengerumuni bangkai ular.
"Aku minta semua bubar," Gajah Mada berkata tegas. "Aku hanya ingin bicara dengan Tuan Putri Sekar Kedaton."
Semua bubar, hanya Raden Kudamerta yang ragu. Namun, Gajah Mada hanya menghendaki berbicara berdua dengan Sekar Kedaton.
Raden Kudamerta bangkit dan menyempatkan menyentuh pundak istrinya. Akan tetapi, Rajadewi Maharajasa tidak berkenan dengan sentuhan itu. Dyah Wiyat menepis. Beruntung Raden Kudamerta, tak seorang pun yang melihat adegan itu. Hanya Gajah Mada yang melihatnya. Meskipun demikian, wajah Raden Kudamerta menjadi merah 344
Gajah Mada padam. Apa yang dilakukan Dyah Wiyat melebihi sebuah tamparan yang mengenai wajahnya.
Sedikit agak lama Sekar Kedaton Dyah Wiyat Rajadewi ber-
pandangan dengan patih yang mendampinginya menyelenggarakan pemerintahan di Daha itu. Untuk hal-hal tertentu Dyah Wiyat menjadikan Gajah Mada tempat berbagi resah. Bagaikan kedung Gajah Mada selalu menempatkan diri menampung semua keluh kesah. Keluh kesah dalam bentuk apa pun, bahkan yang bersifat paling pribadi sekalipun. Pada keadaan tertentu bahkan tak ada jarak antara Dyah Wiyat dan patihnya.
Tanpa risih Gajah Mada memungut bangkai ular paling pendek, jenis ular yang benar-benar menakutkan. Kulit ular yang mirip batang kayu itu akan mengecoh siapa pun, padahal onggokan itu merupakan jenis ular yang sangat berbisa. Sekali ia menggeliat atau melenting mematuk merupakan jaminan terbukanya pintu kematian korbannya.
"Ular ini disebut bandotan," kata Gajah Mada. "Tak ada orang yang sanggup mempertahankan hidup sekejap pun setelah gigitannya. Tuan Putri beruntung tak dipatuk ular ini. Kalau sampai hal itu terjadi.?"
Dyah Wiyat menyambung, "Maka Majapahit kembali berkabung.
Kudengar Senopati Gajah Enggon mengalami cedera menyebabkan tidak sadar berkepanjangan. Bagaimana ceritanya?"
Gajah Mada tidak menanggapi pertanyaan yang membelok tiba-tiba itu. Patih Daha Gajah Mada masih memusatkan perhatiannya pada persoalan yang terjadi. Pada ular yang dipegangnya dan pada siapa yang berada di belakang rencana pembunuhan menggunakan ular itu.
"Menurut Tuan Putri," bicara Gajah Mada, "siapa orang yang melakukan" Tuan Putri sudah mengantongi siapa pelakunya?"
Sekar Kedaton istana kiri menggeleng.
"Aku tidak punya gambaran apa pun," jawab Dyah Wiyat. "Aku bahkan tidak pernah membayangkan ada orang yang berniat mencuri nyawaku. Aku tidak pernah melukai perasaan orang, mempunyai musuh pun tidak."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 345
Gajah Mada memerhatikan Dyah Wiyat berbicara dengan tidak mengalihkan perhatian ke arah lain sekejap pun.
"Orangnya tampan."
Dyah Wiyat mencuatkan alis.
"Terus?" Gajah Mada akan tersenyum, namun segera dibatalkan.
"Barangkali Tuan Putri menyembunyikan sebuah nama."
"Nama siapa yang aku sembunyikan?"
"Seseorang berwajah tampan," bicara Gajah Mada. "Orang itu patah hatinya melihat Tuan Putri kawin. Orang itu kemudian berpikir, kalau tidak bisa memiliki Tuan Putri maka Tuan Putri mati saja sekalian."
Ucapan Gajah Mada yang dilontarkan dengan bersungguh-sungguh itu mampu membuat Dyah Wiyat tertegun. Namun, sejenak kemudian Dyah Wiyat tersenyum. Ia lakukan itu setelah melihat Gajah Mada tersenyum.
"Kau bercanda dengan pertanyaanmu itu, Kakang Gajah Mada."
Gajah Mada bergeser dan memungut sebutir mangga yang bercecer kemudian dilemparnya ke udara dan ketika jatuh disambut dengan ayunan pedang. Terbelah mangga itu menjadi dua. Mangga itu sudah matang, namun Dyah Wiyat telah kehilangan seleranya.
"Apakah rencana pembunuhan terhadapku menggunakan ular itu ada kaitan dengan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi kemarin?"
tanya Dyah Wiyat. "Mungkin, Tuan Putri. Hamba bahkan menduga ke sana arahnya."
"Kakang Patih sudah menemukan nama pelakunya?"
Gajah Mada perlu menimbang jawaban macam apa yang sebaiknya diberikan terhadap pertanyaan itu.
"Hamba memang telah memiliki rangkaian peristiwa yang masih sepenggal-sepenggal, Tuan Putri. Jawaban yang masih belum utuh.
346 Gajah Mada Namun, hamba berjanji akan membongkar peristiwa ini sampai ke lapis paling dalam. Mohon Tuan Putri berkenan sabar. Kelak hamba akan ceritakan semuanya."
Melalui keningnya yang berkerut terlihat Dyah Wiyat berpikir keras.
Tiba-tiba wajah Dyah Wiyat berubah pertanda menemukan sebuah jawaban. Dyah Wiyat yang semula duduk itu bangkit. Gajah Mada tertegun karena Sekar Kedaton mendekatkan mulut ke telinganya. Sekar Kedaton Dyah Wiyat mengutarakan isi hatinya dengan bisikan.
"Semalam aku mencuri dengar pembicaraan antara Kakang Gajah dengan suamiku. Tolong beri kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan perempuan itu."
Gajah Mada terkejut. "Perempuan" Siapa?" tanya Gajah Mada.
"Jangan tutup-tutupi keadaan Raden Kudamerta dariku, Kakang Gajah. Raden Kudamerta mengawiniku dengan menyembunyikan sebuah rahasia. Ternyata ia sudah beristri. Aku ingin bertemu dengan perempuan itu."
Gajah Mada merasa tidak nyaman.
"Untuk?" tanya Gajah Mada.
"Kaupikir siapa orang yang mengirim buah mangga dan ular itu.
Abdi dalem Jalak Pripih menyebut seorang lelaki tampan. Bisa saja ia bukan lelaki sesungguhnya, tetapi seorang perempuan yang menyamar menjadi laki-laki. Apalagi orang berkuda yang mengirimku ular itu menggendong bayi. Pikir pula, Kakang Patih, siapa orang yang mempunyai alasan membunuhku."
Gajah Mada merasakan desir kasar merambati permukaan jantungnya.
"Perempuan itu?"
"Istri mana pun dan istri siapa pun sama. Ia punya alasan untuk tak senang pada perempuan lain yang merampas perhatian suaminya.
Keranjang berisi ular dan buah mangga itu terjemahannya."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 347
Patih Daha Gajah Mada tidak perlu merasa ragu. Kiriman ular itu jelas dengan maksud membunuh orang yang dituju. Alasan paling masuk akal hanya dimiliki oleh orang yang dirugikan dengan perkawinan yang terjadi.
"Hamba menugasi Adi Pradhabasu untuk menggiring perempuan itu. Hamba berharap ia mampu melaksanakan itu."
Dyah Wiyat mengangguk, "Tolong bawa orang itu menemuiku.
Aku harus tahu apakah ia memiliki wajah yang lebih menarik dariku."
Gajah Mada melihat, persoalan yang terjadi telah berkembang dan melebar ke mana-mana. Bila istri Raden Kudamerta benar sebagai pihak yang mengirim mangga dengan ular itu dengan segera menumbuhkan pertanyaan, adakah perbuatannya ada hubungannya dengan apa yang dilakukan Rangsang Kumuda yang menyembunyikan nama Pakering Suramurda atau berdiri sendiri sebagai peristiwa terpisah.
Sebagaimana layaknya sesuatu yang amat berharga dan
diperebutkan, untuk memperolehnya bahkan bila perlu dengan menghalalkan segala cara, bahkan dengan membunuh sekalipun. Sesuatu yang sungguh menggiurkan itu bernama singgasana, sebuah puncak kedudukan tanpa ada lagi yang mengungguli. Untuk bisa menjadi raja, seorang Ken Arok bahkan harus melewati perjalanan panjang dan berliku, dimulai dari membunuh Tunggul Ametung yang seorang akuwu sampai memberangus Raja Kediri, menjadikan Sri Kertajaya atau Dandang Gendis menjadi raja yang terakhir. Untuk takhta, Panji Tohjaya membunuh Anusapati, dan dengan alasan yang sama pula Panji Tohjaya harus kehilangan nyawanya ketika Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangkat senjata.
"Untuk selanjutnya, Tuan Putri harus berhati-hati. Tuan Putri tak boleh pergi ke mana pun tanpa pengawalan," ucap Gajah Mada.
Dyah Wiyat tidak menjawab, tetapi bangkit dan meninggalkannya.
"Tuan Putri akan ke mana?"
"Aku akan menengok Senopati Gajah Enggon. Aku akan
merawatnya. Siapa tahu di tanganku Senopati Gajah Enggon akan siuman kembali."
348 Gajah Mada Gajah Mada sendirian termangu merenungkan keadaan yang
berkembang tak terduga. Andaikata ular-ular yang membangkai itu bisa ditanyai, pada mereka akan ia ajukan pertanyaan, siapa yang berada di belakang mereka. Sayang, ular-ular itu telah mati.
"Andaikata masih hidup pun ular-ular itu tidak akan bisa memberi sumbangan keterangan. Maklum mereka hanya ular."
Gajah Mada memungut sebutir mangga paling dekat dengan
kakinya. Dengan pisau yang dicabut dari pinggangnya, Gajah Mada mengelupas kulitnya selapis demi selapis. Selapis demi selapis pula yang harus ia lakukan dalam membuka selubung teka-teki yang membungkus rangkaian pembunuhan dan rencana pembunuhan yang terjadi.
29 Para Ibu Ratu benar-benar memberikan perhatian pada nasib Senopati Gajah Enggon yang menyedihkan. Siuman yang diharapkan belum kunjung datang. Gajah Enggon seperti orang yang tersesat ke dunia lain dan tidak tahu jalan pulang. Perwira gagah perkasa itu tergolek lemah sulit membedakan antara tidur dan mati. Napasnya yang masih mengombak yang menjadi pertanda Gajah Enggon masih hidup. Kepada Gajah Enggon dengan keadaan yang seperti itu, Ratu Gayatri memerintahkan Nyai Lengger untuk memberikan perawatan yang sebaik-baiknya.
Ibu Ratu Tribhuaneswari, Ibu Ratu Narendraduhita, Ibu Ratu Pradnya Paramita, dan Rajapatni Biksuni Gayatri bersamaan datang menjenguk ke Bale Gringsing. Bale Gringsing adalah salah satu ruang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 349
di istana utama yang digunakan menyimpan benda-benda pusaka, di antaranya lambang negara buah maja yang dilatari batik bercorak gringsing lobheng lewih laka, yang itulah sebabnya ruang itu disebut Bale Gringsing.
Bale Gringsing menjadi bagian penting dari istana utama atau istana tengah. Istana tengah itu sendiri diapit oleh istana kanan yang dihuni Sekar Kedaton Sri Gitarja dan istana kiri yang dihuni adiknya.
Nyai Lengger melaksanakan tugasnya dengan harap-harap cemas.
Ia berharap orang yang dirawatnya segera siuman dan sembuh karena bila Nyai Lengger tidak mampu, Gajah Mada akan mewujudkan ancamannya, menggantung Nyai Lengger di alun-alun. Dengan penuh ketelatenan Nyai Lengger memijit seluruh tubuh Senopati Gajah Enggon, terutama pada bagian kepalanya. Nyai Lengger berharap pijatan tangannya mampu membangkitkan simpul syaraf kepala, membangunkan Senopati Gajah Enggon dari tidur panjangnya. Akan tetapi, Nyai Lengger layak cemas, sampai sejauh itu keadaan Senopati Gajah Enggon tidak berubah.
"Ayolah, Senopati. Bangunlah dari tidurmu," Nyai Lengger mengeluh. "Kalau Senopati mau bangun aku akan mempersembahkan anak perempuanku untukmu. Aku sama sekali tak keberatan
mengangkatmu menjadi anak menantuku. Aku punya anak gadis yang cantik, yang akan kuberikan kepadamu. Bangunlah, Senopati."
Namun, Senopati Gajah Enggon tidak memberikan tanggapan
dalam bentuk apa pun, tidak bergerak meski hanya ujung jarinya.
Keadaan yang demikian memang mencemaskan Nyai Lengger. Menurut pengalamannya, apabila orang belum siuman sampai berhari-hari, amat mungkin orang itu akan kebablasan. Daya tarik yang lebih indah di dunia lain menyebabkan nyawa yang menempati raganya tak mau kembali.
Hal itu bisa ditandai dengan berhentinya tarikan napas untuk selama-lamanya.
Nyai Lengger berdiri ketika melihat Sekat Kedaton Sri Gitarja datang. Gugup Nyai Lengger berusaha menempatkan diri.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Sri Gitarja.
Belum lagi Nyai Lengger menjawab, pintu yang lain terbuka. Sekar Kedaton Dyah Wiyat datang pula ke tempat itu, dalam waktu yang nyaris 350
Gajah Mada berimpitan. Sekar Kedaton Sri Gitarja lupa dengan pertanyaannya dan lebih mementingkan adiknya. Ia mengembangkan tangan menawarkan pelukan.
Kakak beradik itu berpelukan lama sekali menjadi gambaran betapa masing-masing menyembunyikan beban. Dyah Wiyat berusaha
tersenyum, namun Sri Gitarja menangkap sesuatu yang tidak wajar di wajah adiknya.
"Kangmbok menjenguk Senopati Gajah Enggon?" tanya Dyah
Wiyat. "Ya," jawab kakaknya.
Sri Gitarja memandangi adiknya lebih lekat seolah telah lama tidak berjumpa. Sri Gitarja segera terheran-heran melihat keadaan adiknya.
"Kamu habis menangis?" tanya Sri Gitarja.
Dyah Wiyat segera mengembangkan senyum.
"Siapa yang menangis. Aku tidak menangis," jawabnya.
"Aku melihat jejak tangis di wajahmu."
"Tidak," jawab Dyah Wiyat. "Aku tidak menangis. Tak ada masalah apa pun yang layak kutangisi."
Namun, Sri Gitarja melihat sesuatu.
"Kamu terlihat tidak bahagia," kata Sri Gitarja.
"Ahh, Kangmbok sendiri juga terlihat tidak bahagia."
Kakak beradik itu sama-sama tertegun. Sri Gitarja yang berbalik mengarahkan pandangan matanya kepada Nyai Lengger.
"Nyai, tolong tinggalkan kami berdua," kata Sri Gitarja.
"Baik, Tuan Putri," jawab Nyai Lengger dengan langkah kaki agak tersendat oleh kain panjang yang dikenakan.
Kini hanya bertiga di ruang itu. Bale Gringsing terasa sepi karena perhatian sedang diarahkan ke makam Antawulan yang di sana sedang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 351
berlangsung kegiatan yang melibatkan orang banyak. Sri Gitarja dan Dyah Wiyat memerhatikan keadaan Gajah Enggon yang lunglai, lemah tidak mampu melakukan apa-apa. Senopati Gajah Enggon yang semula gagah perkasa itu bahkan tak mampu mengangkat tangan. Tidak untuk mengangkat tangan, bahkan membuka mata pun tidak mampu.
"Cerita apa yang bisa kaubagikan kepadaku, Adi Dyah Wiyat?" tanya Gitarja.
Dyah Wiyat menempatkan diri duduk di tepi pembaringan sambil menyentuh lengan tangan Senopati Gajah Enggon.
"Kangmbok Ayu belum mendengar bencana yang nyaris menerkam aku pagi ini?" tanya Dyah Wiyat.
Berubah rona wajah Sri Gitarja.
"Bencana apa, Adi?"
"Jadi, Kangmbok belum tahu aku nyaris mati digigit ular?"
Berubah wajah Sri Gitarja.
"Setidaknya aku mempunyai dua buah cerita yang mungkin perlu kauketahui, Kangmbok. Yang pertama, ternyata aku ini istri kedua."
Betapa terperanjat Sri Gitarja mendengar ucapan itu. Matanya terbelalak.
"Jangan main-main dengan ucapanmu, Adi. Kalau apa yang
kaukatakan hanya untuk bercanda, itu bercanda yang melampaui batas."
Akan tetapi, Dyah Wiyat bersungguh-sungguh dengan
penuturannya. Dengan gamblang tanpa tedheng aling-aling ia ceritakan apa yang berhasil ia ketahui. Betapa terkejut Sri Gitarja setelah menyimak.
"Kau menghadapi kenyataan yang pahit, Adi Dyah Wiyat. Sangat mungkin bahkan lebih pahit dari yang aku alami. Kalau suamimu menyembunyikan kenyataan lain, demikian pula dengan suamiku.
Jangan Ganggu Aku 1 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 11
^