Pencarian

Bergelut Dalam Kemelut Takhta 9

Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 9


Satu lagi kesatuan yang disetarakan kedudukannya, namun karena sifat khusus yang dimiliki pasukan itu jumlah anggotanya tidak banyak.
Dari jumlah yang semula tak lebih dari dua puluh orang dimekarkan menjadi seratus orang. Itulah Bhayangkara, pasukan khusus yang dipimpin oleh Senopati Gajah Enggon. Ketiga Senopati yang mengendalikan masing-masing pasukan itu tunduk pada perintah panglima perang yang ketika itu dipegang oleh Sri Baginda Jayanegara secara langsung. Dalam hal melaksanakan tugas sebagai panglima, Gajah 408
Gajah Mada Mada menjalankan kedudukan itu walaupun tanpa perintah secara tertulis yang dituangkan dalam layang kekancingan. 170
Gajah Mada mengarahkan perhatiannya kepada Lurah Prajurit Singa Darba.
35 Senopati Gajah Enggon tetap membeku dalam kehilangan
kesadarannya, tidak tahu jalan kembali setelah tersesat entah sampai di mana. Dengan upaya tanpa lelah Nyai Lengger mengurut kepala Senopati Gajah Enggon. Nyai Lengger tidak hanya berupaya memulihkan keadaan Senopati Gajah Pradamba dengan pengobatan, namun tak lupa pula melandasinya dengan doa. Lebih dari itu, Nyai Lengger memang cemas bila Senopati Gajah Enggon tidak siuman. Ancaman Gajah Mada terlalu mengerikan bagi Nyai Lengger.
Dalam keadaan yang demikian itulah Gajah Enggon, ketika Lurah Ajar Langse dan Lurah Singa Darba datang mengunjunginya. Satria yang semula gagah perkasa itu lunglai tanpa daya dan tak lagi digdaya.
"Kira-kira kapan Senopati Pradamba akan kembali sadar, Nyai?"
tanya Ajar Langse. Nyai Lengger mendongak. "Aku tidak tahu, Ki Lurah," jawab Nyai Lengger.
"Tetapi, Senopati Gajah Enggon pasti akan sembuh, bukan?"
170 Layang kekancingan, Jawa, surat keputusan raja Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 409
Nyai Lengger tidak menjawab pertanyaan itu karena memang tak tahu. Hening yang terjadi adalah karena keprihatinan Lurah Prajurit Singa Darba. Ia layak bersedih dan cemas karena baginya Senopati Gajah Enggon tak hanya seorang senopati yang memimpin pasukan khusus Bhayangkara, prajurit pilih tanding dan pintar dengan kemampuan langka yang sedang amat dibutuhkan Majapahit, namun baginya Senopati Gajah Enggon menempati tempat tersendiri. Setidaknya ia memiliki dua alasan, yang pertama, Senopati Gajah Enggon yang mendorongnya mengabdikan diri pada bangsa dan negara dengan menjadi prajurit yang kini menempatkannya pada pangkat yang cukup terhormat sebagai lurah prajurit. Yang kedua, Gajah Enggon orang yang paling berjasa menjodohkannya dengan Ratna Mundri, perempuan yang ia anggap tercantik sejagat raya yang kini menjadi istrinya. Singa Darba tentu masih ingat betapa sulit dan berliku pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan cinta Ratna Mundri. Gajah Enggonlah yang berjasa membuka hati Ratna Mundri dengan mendatangi gadis itu dan langsung berbicara dari hati ke hati. Menghadapi musuh berkekuatan segelar sepapan tak masalah bagi Singa Darba. Bertempur bahkan dirasa jauh lebih mudah daripada merayu gadis.
Pintu yang setengah tertutup terbuka, Rakrian Kembar masuk ke ruangan itu.
"Bagaimana keadaannya?" Rakrian Kembar langsung melontarkan pertanyaan dengan nada suara tidak direndahkan.
Karena Nyai Lengger merasa pertanyaan itu tidak ditujukan padanya, ia pilih menjauh untuk memberi kesempatan pada tiga prajurit itu saling berbincang di antara mereka masing-masing.
"Seperti orang mati," Ajar Langse yang menjawab pertanyaan itu.
Ra Kembar ikut memerhatikan keadaan Gajah Enggon yang terlihat sangat menyedihkan. Berbeda dengan Singa Darba yang merasa prihatin dan cemas melihat keadaan Gajah Enggon yang demikian, Ra Kembar justru mengalami kesulitan dalam menyembunyikan senyumnya. Gajah Enggon adalah orang yang dekat dengan Patih Daha yang ia benci. Siapa pun teman Gajah Mada, ia benci. Sebaliknya, siapa pun musuh dari musuhnya adalah temannya.
410 Gajah Mada "Lebih baik mati saja sekalian, dengan demikian berkurang klilip yang kurang aku suka," Rakrian Kembar berbicara dalam hati.
Bahwa Rakrian Kembar memang membawa keperluan, Ra Kembar tak ingin membuang waktu sia-sia. Ra Kembar segera menyampaikan isi hatinya.
"Aku butuh bantuan kalian berdua," kata Ra Kembar. "Saat ini ada kelompok orang yang menghimpun kekuatan di Karang Watu. Mereka akan melakukan makar terhadap kekuasaan Majapahit. Aku ingin menyerbu tempat itu sebelum kedahuluan Gajah Mada."
Rakrian Kembar dengan persoalan penting yang dibawanya mampu mencuri perhatian Singa Darba dan Ajar Langse. Dengan tidak berkedip Lurah Prajurit Singa Darba memandang Rakrian Kembar, demikian juga dengan Ajar Langse.
"Sekelompok orang akan melakukan makar?"
"Ya," jawab Ra Kembar.
"Dari mana kauperoleh keterangan itu, Adi Ra Kembar?"
Ra Kembar tersenyum. "Telik sandiku benar-benar luar biasa dan bisa diandalkan.
Sebenarnya telah lama kususupkan mereka ke Karang Watu, ketika kembali mereka membawa berita yang membuatku kaget. Sekelompok orang sedang berlatih perang dan menggalang kekuatan di Karang Watu.
Bila Gajah Mada sampai mendahului menyerbu tempat itu maka akan lenyap kesempatanku untuk mencuri perhatian para Ratu."
Singa Darba merasa ada yang janggal. Singa Darba sangat mengenal orang macam apa Rakrian Kembar yang sanggup mengobral omong kosong, menjadikan nama Gajah Mada sebagai bulan-bulanan selorohnya yang sering kelewatan.
"Aku mengenal dengan baik siapa kamu, Adi Kembar," kata Singa Darba. "Aku tahu ada yang kausembunyikan. Omong kosong soal telik sandi ceritamu itu. Jangan kauanggap seolah aku tidak mengenalmu."
Rakrian Kembar merasa mulai tidak senang. Namun, Ra Kembar sedang butuh bantuan.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 411
"Orangku berhasil mencuri dengar pembicaraan Gajah Mada
dengan beberapa anak buahnya, cerita mengenai seperti yang tadi aku sebutkan. Di Karang Watu saat ini sedang ada kegiatan yang layak dicurigai. Inilah saatnya bila kita ingin tidak dipandang sepele oleh Gajah Mada. Aku ingin menyerbu Karang Watu. Itu sebabnya, aku minta kalian berdua mendukung aku. Aku membawahi prajurit sebanyak lima puluh orang dan kalian berdua masing-masing mengendalikan empat puluh orang prajurit juga. Dengan seratus prajurit pun tempat itu bisa dilumatkan. Keberhasilan kita nantinya akan mendapatkan perhatian dan itu akan melontarkan kedudukanmu sekarang ke pangkat yang lebih tinggi."
Singa Darba sama sekali tidak tergoda, namun berbeda dengan Ajar Langse. Ki Ajar Langse sungguh merasa sangat tertarik.
"Kamu melakukan kesalahan," kata Singa Darba. "Apa yang
kaulakukan itu sama saja dengan menggunting dalam lipatan. Lagi pula, kamu tidak bisa mengambil tindakan terpisah seperti itu. Kamu tidak memiliki hak dan kamu berbuat seenakmu sendiri."
Ra Kembar memandang Singa Darba dengan tatapan mata tidak senang. Jika semula ia mengira Singa Darba pasti tertarik dengan tawaran yang ia berikan, ternyata dugaan itu salah. Singa Darba ternyata bersikap berbeda. Ia memiliki keyakinannya sendiri meskipun keyakinan yang menurutnya lembek, tak terlalu berani menghadapi tantangan.
"Jadi sikapmu bagaimana?" Ra Kembar mengejar.
"Aku tidak mau kaulibatkan dalam urusan seperti itu," jawab Singa Darba tegas. "Dan aku ingatkan kepadamu, Rakrian Kembar, untuk jangan mengambil jalan sendiri tanpa berbicara lebih dulu dengan pimpinanmu. Tindakanmu yang dengan diam-diam akan menyerbu Karang Watu itu jelas ngawur."
Dharmaputra Winehsuka Rakrian Kembar merasa lehernya seret karena tanpa sengaja menelan biji buah salak. Sikap Singa Darba yang demikian mencemaskannya karena ia telah telanjur berbicara banyak dan terbuka, termasuk melalui cara macam apa ia memperoleh kete-412
Gajah Mada rangan penting tentang orang-orang yang menghimpun diri di Karang Watu itu. Bila Singa Darba melaporkan perbuatannya kepada Gajah Mada maka Rakrian Kembar akan berhadapan dengan kesulitan.
"Ini kesempatan baik bagimu untuk membuat jasa kepada bangsa dan negara," kata Ra Kembar. "Kamu benar-benar tak mau kulibatkan melakukan penyerbuan ke Karang Watu" Timbanglah sekali lagi, kau akan menyesal nanti."
Namun, Singa Darba memang telah bulat pada keputusan yang diambilnya. Ia tidak berminat ikut. Singa Darba menggeleng tegas dan mengangkat tangannya. Ra Kembar merasa wajahnya menebal melebihi tebal benteng yang membentang sebelah-menyebelahi pintu gerbang Purawaktra.
"Aku tak mau kaulibatkan. Aku tak berminat menggapai pangkat lebih tinggi melalui cara yang salah macam itu."
Ra Kembar jengkel. "Menurutmu, yang benar bagaimana?"
"Keberadaan prajurit itu ada yang mengendalikan. Perbuatanmu yang seperti itu sama halnya kamu berbuat semaumu, bahkan kurasa pada pimpinanmu sendiri kau tak minta izin. Apakah kamu sudah melaporkan rencanamu kepada Senopati Panji Suryo Manduro" Aku bahkan sangat yakin Ki Panji Suryo Manduro tidak tahu apa-apa. Ia akan kebingungan jika Gajah Mada memanggilnya."
Betapa jengkel Ra Kembar, "Gajah Mada itu siapa?"
Namun, Singa Darba memiliki jawabnya.
"Menyedihkan sekali apabila kamu tidak tahu siapa Gajah Mada. Ia pimpinan pasukan Bhayangkara ketika menyelamatkan Prabu Jayanegara ke Bedander. Ia orang paling berjasa pada bangsa dan negara yang sangat sulit dicari tandingannya. Karena jasanya ia mendapat jabatan sebagai Patih di Kahuripan dan di Daha. Ia pelaksana tugas sehari-hari sebagai panglima mewakili Sri Baginda. Kini ketika Sri Jayanegara mangkat, ia memegang samir kehormatan dari Tuan Putri Gayatri, juga Patih Arya Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 413
Tadah memercayakan lencananya kepada Gajah Mada. Sekarang kamu masih mau bertanya, Gajah Mada itu siapa?"
Ra Kembar tidak mampu menjawab pertanyaan itu dan bibirnya makin tebal. Ludah yang dikulum terasa pahit karena itu dengan kasar Ra Kembar membuangnya ke lantai. Namun, Ra Kembar memang merasa kepalang basah dan tidak mungkin kembali. Nafsunya sedang menggelegak dan merasa tak sabar untuk segera menyerbu Karang Watu dan menggilas siapa pun yang menghimpun diri mempersiapkan makar di sana. Itulah kesempatan yang dimimpikannya selama ini. Dengan cara itu ia bisa menapak jenjang pangkat dan jabatan yang lebih tinggi.
"Baiklah, kalau kamu keberatan tak apa. Tetapi, apakah kamu akan melapor ke Gajah Mada?"
Pertanyaan itu agak menyudutkan Singa Darba karena apabila ia lakukan itu, ia akan mendapat cap sebagai orang yang tumbak cucukan, 171
sebaliknya apabila ia tidak melaporkan keterangan itu juga bisa dianggap salah.
"Kau dan aku berbeda kesatuan. Kau berasal dari Sapu Bayu, silakan apa pun yang akan kau perbuat, itu urusanmu. Aku dari kesatuan pasukan Jalapati tidak akan mencampuri urusan orang dari pasukan Sapu Bayu."
Lurah Prajurit Singa Darba tidak berbicara lagi dan tak lagi mempunyai minat untuk melanjutkan berbicara dengan Ra Kembar.
Tanpa berbicara apa pun lagi Singa Darba keluar dari Bale Gringsing.
Langkahnya lebar saat melintas halaman samping. Tanpa menoleh lagi Singa Darba membawa langkahnya lewat tepi Manguntur yang akan membawanya ke bangsal kesatriannya.
Rakrian Kembar mengarahkan perhatiannya kepada Gajah Enggon yang terbujur membeku, amat susah membedakan apakah Gajah Enggon itu sudah mati atau masih hidup. Tak terlihat dada yang mengombak sebagai tanda ia masih hidup. Ra Kembar meraba dada Senopati Gajah Enggon dan berhasil menandai masih ada napas yang mengombak. Ra Kembar tersenyum.
171 Tumbak cucukan, Jawa, peribasa, tukang mengadu 414
Gajah Mada "Sebaiknya kamu mati saja, dengan demikian akan memberi peluang prajurit di bawahmu untuk naik pangkat menggantikanmu. Yang di bawah bagaimana bisa naik kalau yang di atas keenakan duduk di kursi empuknya," kata Ra Kembar.
Kali ini kalimat itu diucapkannya dengan terang-terangan. Kembar tak merasa sungkan karena hanya ada Ajar Langse di ruang itu, dan ia tahu bagaimana warna hati Ajar Langse yang dalam berapa hal sebangun dengan warna hatinya.
"Bagaimana denganmu?" tanya Ra Kembar.
"Aku ikut." "Menurutmu, bagaimana kira-kira sikap Singa Darba?" tanya Ra Kembar.
"Sikapnya sudah jelas," jawab Ajar Langse.
"Aku menyesal terlalu terbuka dengan menceritakan melalui cara bagaimana aku memperoleh keterangan penting itu. Singa Darba memang tak mungkin mengadu kepada Gajah Mada, namun dapat dipastikan ia akan mengadu kepada Senopati Haryo Teleng, pimpinannya."
Sebagaimana Ra Kembar, pada dasarnya Ajar Langse juga jenis prajurit yang kurang perhitungan. Usulannya bahkan bisa tak masuk akal dan berlebihan.
"Soal Singa Darba serahkan saja kepadaku. Aku akan berbicara lagi dengannya. Apabila ia berniat mengadu kepada pimpinannya, aku akan membungkam mulutnya selamanya. Tenang saja, aku bisa diandalkan untuk pekerjaan macam itu."
Hening dan senyap mengalirkan udara di Bale Gringsing, menemani Rakrian Kembar dalam berpikir. Wajah Senopati Gajah Enggon yang pucat seperti orang mati sungguh menarik perhatiannya, menumbuhkan gagasan bengkok dari benaknya.
"Kalau kelak aku berhasil menapaki pangkat yang lebih tinggi, aku tidak akan melupakanmu. Itu sebabnya, aku berharap kita selalu bersama.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 415
Keadaan apa pun kita hadapi bersama tanpa harus menyimpan rasa takut. Gabungan kekuatan kita pasti bisa dan mampu dihadapkan dengan Gajah Mada. Kelak pada saatnya semua orang akan tahu Ra Kembar dan Ajar Langse adalah prajurit-prajurit yang tak bisa diremehkan.
Sungguh tidak pantas Ra Kembar menduduki jabatan sekarang, pantasnya Ra Kembar sudah berpangkat senopati. Bahkan, menjadi panglima pun sudah sangat pantas."
Ra Kembar tersenyum sendiri. Angan-angan yang melambung itu sudah cukup untuk membuatnya tersenyum.
"Apa yang kita kerjakan sekarang?"
"Aku punya gagasan bagus. Sebuah cara untuk menggerogoti pilar pendukung kekuatan Gajah Mada."
Ajar Langse mengerutkan dahi, dan matanya agak menyipit. Rakrian Kembar mengeluarkan sesuatu dari slepi yang menyatu pada ikat pinggangnya.
"Aku punya racun yang sangat mematikan, campurkan racun ini ke minuman itu lalu teteskan ke mulut Senopati Gajah Enggon. Ia akan mati dengan tidak menarik perhatian siapa pun. Orang akan berpikir, apabila Gajah Enggon mati, sudah wajar karena keadaannya yang sudah parah. Lagi pula, kasihan Gajah Pradamba menderita terlalu lama."
Ajar Langse benar-benar kehilangan sebagian akal warasnya.
Demikian kuat persahabatan antara Ajar Langse dengan Rakrian Kembar atau barangkali demikian besar pengaruh angan-angan bisa meraih pangkat jabatan lebih tinggi dalam waktu singkat, apa yang dikehendaki Ra Kembar itu ditelan begitu saja.
"Bagaimana?" tanya Ra Kembar.
"Akan kulakukan," jawab Ajar Langse.
"Bagus, aku akan mendahului untuk menyiagakan anak buahku.
Lakukan saja perintahku mumpung ada kesempatan."
Namun, apa yang direncanakan manusia belum tentu sesuai dengan apa yang menjadi kehendak Hyang Widdi. Ra Kembar yang
416 Gajah Mada meninggalkan Bale Gringsing tak menyadari sesuatu di luar dugaan terjadi, bahkan Ra Kembar tak tahu secara langsung peristiwa itu.
Adalah Ajar Langse yang menutup pintu dengan racun telah berada di dalam genggaman tangannya terperanjat ketika ia membalikkan badan.
Ajar Langse bahkan tak memiliki kesempatan yang cukup untuk menyiagakan diri. Ayunan tangan orang yang tiba-tiba berdiri di belakangnya menghantam kepalanya hingga terjengkang.
Ajar Langse menggeliat kesakitan ketika ayunan kaki orang itu menghantam pinggangnya. Namun, Ajar Langse memiliki kesempatan untuk mencabut pisau dan melenting. Akan tetapi, yang tidak diduga adalah apa yang dilakukan lawannya yang mengayunkan kaki dalam gerakan memutar dan cepat sekali. Hantaman kaki keras itu menghajar dagunya menyebabkan sekali lagi Ajar Langse terjengkang.
Meski demikian Ajar Langse masih mampu bangkit memberikan perlawanan, apalagi ia memegang pisau sementara lawannya tidak. Ajar Langse memanfaatkan kesempatan untuk balas menyerang, sabetan pisau diarahkan ke leher lawannya dan segera disusul dengan mengayunkan sabetan susulan. Namun, lawannya mempunyai kemampuan kelahi yang tidak bisa diremehkan. Dengan merendahkan tubuh ia balas menyerang dengan mengayunkan kaki menghajar perut Ajar Langse.
Ajar Langse terjatuh, berusaha sekuat tenaga memberikan
perlawanan. Namun, lawannya yang berbadan lebih tegap dan lebih kekar mampu bertindak lebih cermat dan cekatan. Orang itu menyergap dan mengunci tubuhnya. Ajar Langse yang tidak mau mati begitu saja berusaha sekuat tenaga mengayunkan pisau dalam genggaman tangannya. Akan tetapi, musuhnya lagi-lagi mampu mengunci tangannya dan dengan tenaga yang tidak terlawan bahkan mampu membelokkan arah pisau itu untuk amblas ke dadanya.
Berkelejotan Lurah Ajar Langse, matanya melotot seperti akan keluar ketika kematian datang menjemputnya. Maut memisahkan jiwa dari raganya. Demikianlah sifat jiwa yang selalu butuh tubuh yang nyaman untuk ditempati. Ketika tubuh tidak lagi menjadi tempat bersemayam yang nyaman, jiwa pun pilih melayang terbang meninggalkannya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 417
Orang yang telah membunuh Ajar Langse itu berlepotan darah di tangannya. Sebelum ia memutuskan apakah akan melompat ke dinding di sebelah Bale Gringsing, darah itu dibersihkan dengan diusapkannya ke tembok.
Betapa terkejut Nyai Lengger ketika masuk kembali setelah tidak mampu menahan keinginan untuk kencing, mendapatkan kenyataan yang mengagetkan. Mayat yang tergeletak tak jauh dari amben tempat Senopati Gajah Enggon berbaring, bisa dikenalinya sebagai Ajar Langse. Nyai Lengger merasa lehernya tercekik dan betapa sulitnya membebaskan diri dari cekikan yang menyebabkan ia mengalami kesulitan bernapas.
Nyai Lengger benar-benar tidak sadar ia tengah mencekik diri sendiri, dua tangannya dengan kuat mencengkeram lehernya sendiri.
Ketika sadar Nyai Lengger pun melolong, jeritnya mengagetkan semua orang dan mengundang siapa pun berdatangan ke tempat itu.
Termasuk Sekar Kedaton Dyah Wiyat yang sedang melintas halaman samping, dikejutkan oleh jeritan melengking yang membuatnya gugup.
Bayangan keranjang berisi mangga yang menyembunyikan ular sangat sulit untuk dienyahkan dari benaknya.
36 Gajah Mada memandang Lurah Singa Darba yang telah
mengakhiri bercerita sebatas apa yang ia tahu. Gajah Mada yang berniat melanjutkan mengajukan pertanyaan memutuskan membatalkan pertanyaan itu saat melihat dua ekor kuda berderap. Patih Daha Gajah Mada menempatkan diri berdiri di tengah pendapa Balai Prajurit.
418 Gajah Mada Dua ekor kuda yang berderap kencang itu ditunggangi oleh pimpinan pasukan Jalapati dan pimpinan pasukan Sapu Bayu yang datang memenuhi panggilan. Senopati Haryo Teleng mendahului memberikan penghormatannya, disusul oleh Senopati Panji Suryo Manduro. Gajah Mada masih belum berbicara ketika melihat tiga ekor kuda lagi berderap datang yang masing-masing ditunggangi oleh Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit, dan Kartika Sinumping. Panggilan yang dilepas menggunakan anak panah sanderan itu ternyata juga menarik perhatian mereka.
Wibawa Gajah Mada memang demikian besar. Tidak seorang pun dari orang-orang yang hadir di pendapa Balai Prajurit yang berani mendahului berbicara.
Senopati Panji Suryo Manduro berdebar-debar berhadapan dengan Gajah Mada, yang dengan tajam memandang matanya serasa menusuk langsung ke ulu hati. Gajah Mada tak hanya membuat Senopati Panji Suryo Manduro berdebar-debar, Senopati Haryo Teleng juga dibuat gelisah.
"Sebagaimana kalian semua tahu," kata Gajah Mada. "Saat ini Senopati Gajah Enggon berhalangan memimpin pasukan Bhayangkara karena belum siuman. Karena itu, aku mengambil alih kendali atas pasukan khusus Bhayangkara. Kuberitahukan hal ini kepada kalian agar bisa menyesuaikan diri."
Senopati Panji Suryo Manduro dan Senopati Haryo Teleng saling melirik dan mengangguk bersamaan. Keputusan Patih Daha Gajah Mada mengambil alih kendali pimpinan pasukan Bhayangkara bukan masalah karena di kurun waktu sebelumnya Gajah Mada adalah pimpinan dari pasukan itu. Lebih dari itu, selama panglima perang berada dalam kendali mendiang Sri Baginda Jayanegara, Gajah Madalah orang yang ditunjuk menjalankan tugas panglima sehari-hari. Dengan Sri Jayanegara telah tiada, dengan Gajah Mada memegang samir khusus pertanda ia memiliki kewenangan untuk mewakili ratu dan sekaligus memegang lencana kepatihan maka Gajah Mada telah menjelma menjadi tak ubahnya panglima itu sendiri.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 419
"Kamu, adakah hal penting yang akan kamu laporkan kepadaku?"
tanya Patih Daha diarahkan kepada Senopati Panji Suryo Manduro.
Panji Suryo Manduro bersikap tegak. Namun, Patih Daha Gajah Mada ternyata masih melanjutkan kata-katanya, "Aku dengar Ra Kembar tidak puas dengan jabatan dan kedudukannya sekarang?"
Senopati Panji Suryo Manduro merasa tak nyaman.
"Aku minta maaf, Kakang Gajah, karena telah kecolongan. Salah seorang anak buahku ternyata melakukan tindakan tanpa berbicara dan melapor kepadaku. Rakrian Kembar telah mengambil langkahnya sendiri menyerbu ke Karang Watu. Celakanya aku mendengar itu justru dari cerita Senopati Haryo Teleng baru saja, saat perjalanan kemari."
Haryo Teleng menambah, "Aku mendapatkan laporan itu dari Lurah Prajurit Singa Darba."
Semula Senopati Panji Suryo Manduro mengira Gajah Mada akan mendamprat dirinya yang jelas bersalah tidak mampu membina anak buahnya. Akan tetapi, dugaan itu ternyata salah. Gajah Mada tidak mengumbar amarah. Gajah Mada tetap bersikap tenang. Dengan jelas Gajah Mada memaparkan apa yang dilakukan oleh sekelompok orang di Karang Watu, sekelompok orang yang memiliki cita-cita akan meruntuhkan Majapahit dan mendirikan sebuah negara baru. Kelompok para petualang itu bahkan memiliki lambang yang akan digunakan sebagai lambang negara apabila kelak telah berhasil apa yang dicita-citakan.
Lambang buah maja yang selama ini dikeramatkan dibelit ular oleh orang-orang itu.
Gajah Mada kemudian melengkapi apa yang disampaikan itu dengan bercerita tentang sepak terjang Pakering Suramurda yang telah diketahui jati dirinya sebagai paman dari Raden Cakradara. Diduga keras orang itu adalah juga Rangsang Kumuda, orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi, dimulai dari pembunuhan atas Panji Wiradapa disambung dengan pembunuhan-pembunuhan
berikutnya. Kematian Bhayangkara Lembang Laut oleh ular dan kemudian Rubaya yang juga dipagut ular jelas berhubungan dengan orang 420
Gajah Mada yang memiliki kemampuan bermain-main dengan ular, apalagi lambang yang ditemukan itu juga berkait dengan ular dalam bantuk binatang melata itu sedang membelit buah maja.
"Kuminta kepada kalian berdua untuk masing-masing mengirim pasukan dan menyerbu tempat itu. Apa pun kesalahan yang dilakukan Ra Kembar yang mengambil jalan sendiri tanpa minta izin, tetap saja niatnya baik. Aku mencemaskan Ra Kembar sedang masuk ke sarang harimau karena kesembronoannya. Nah, Panji Suryo, apabila kamu masih menyayangi anak buahmu itu segera kirim pasukan untuk membantunya agar Ra Kembar kelak bisa tampil sebagai kesatria yang pinunjul dan dibicarakan oleh banyak orang. Ditepuktangani oleh para gadis."
Apa yang dirasakan oleh Senopati Panji Suryo Manduro merupakan sebuah sindiran yang mengelupas permukaan jantungnya. Namun, Suryo Manduro berlapang dada menerimanya.
Gajah Mada tidak berminat berbicara dengan dua senopati itu lebih lama. Patih Daha mengusir mereka agar tidak terlampau banyak kehilangan waktu. Dalam perjalanan balik Senopati Haryo Teleng dan Panji Suryo dibayangi rasa penasaran melihat Patih Daha tidak melibatkan Bhayangkara dalam menggempur orang-orang makar itu. Di belakang Panji Suryo Manduro dan Haryo Teleng, Lurah Prajurit Singa Darba tidak banyak bicara. Ia memacu kudanya tak kalah cepat dari dua orang senopati pimpinan Jalapati dan Sapu Bayu.
Sepeninggal Senopati Haryo Teleng dan Suryo Manduro, Gajah Mada hanya ditemani oleh beberapa orang Bhayangkara utama yang kehadirannya tidak lengkap. Tidak ada Gagak Bongol karena sedang memimpin pengarcaan dan pencandian di Taman Makam Antawulan, juga tak ada Gajah Enggon yang belum siuman, tidak ada Pradhabasu yang telah menyatakan diri keluar dari kesatuannya.
Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Riung Samudra, Gajah Geneng, dan Macan Liwung kini tidak muda lagi. Di atas bibir mereka mereka masing-masing melintang kumis-kumis sekepal membuat penampilan mereka menjadi sangar.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 421
Bhayangkara Panjang Sumprit bahkan terlihat paling tua karena semua rambutnya telah memutih, padahal usianya belum genap tiga puluh tahun.
Menjelang Patih Daha Gajah Mada melepas jabatan sebagai
pimpinan pasukan Bhayangkara karena memperoleh kepercayaan menjadi patih di Jiwana, Gajah Mada menyampaikan gagasan pemekaran pasukan khusus itu menjadi seratus orang. Prabu Sri Jayanegara menerima gagasan itu dan menyerahkan pemekaran itu kepada Gajah Enggon sekaligus menaikkan pangkatnya menjadi senopati. Di bawah kendali Gajah Enggon pemekaran pasukan itu dilaksanakan dengan latihan yang amat berat, menjadi sebab para calon yang dilatih berguguran satu per satu.
Dalam pemekaran itulah Bhayangkara yang ketika itu hanya tersisa sepuluh orang masing-masing membina dan melatih sepuluh orang.
Melalui pelatihan yang ketat dan berat yang dilakukan selama berbulan-bulan pada siang dan malam, akhirnya diperolehlah seratusan orang dari hasil menyaring lima ratus orang. Hasil kerja keras Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, dan kawan-kawannya berbuah manis. Di tangan mereka, pasukan Bhayangkara telah menjelma menjadi pasukan khusus yang sangat disegani, pilih tanding, dan sanggup menghadapi medan sesulit apa pun. Kemampuan perorangan dalam melepas panah atau mengayunkan pisau benar-benar luar biasa.
"Siapa yang tahu bagaimana denah Karang Watu?" tanya Gajah Mada.
Bhayangkara Lembu Pulung meminta perhatian dan langsung
berbicara. "Karang Watu merupakan tanah datar berlatar belakang tebing menjulang. Luas Karang Watu lebih kurang dua atau tiga kali luas Tambak Segaran, terlindung oleh Sungai Brantas yang meliuk. Tempat itu secara alamiah memang terlindung dari luar. Untuk masuk ke tempat itu harus menyeberang sungai," kata Lembu Pulung.
Gajah Mada berpikir. "Semula aku berniat memimpin penyerbuan itu secara langsung, namun aku batalkan. Kalau kamu yang aku tunjuk memimpin, seberapa sulit untuk masuk ke sana melalui tebing di belakangnya?"
422 Gajah Mada "Tidak masalah," jawab Lembu Pulung.
Gajah Mada menekuk-nekuk jemari tangannya mengeluarkan suara gemeletuk.
"Kita masih buta ada berapa besar kekuatan yang menghimpun diri di tempat itu dan seberapa kental semangat tempur kelompok berencana makar itu. Akan tetapi, sebagaimana kalian mengetahui, kesatrian Jalapati dan kesatrian Sapu Bayu telah mengirim kekuatan untuk menyerbu tempat itu, juga ditambah kekuatan Ra Kembar yang berangkat lebih dulu. Nah, seberapa banyak kekuatan Bhayangkara yang harus diterjunkan dari tebing?"
Pertanyaan itu membuat Lembu Pulung berbinar-binar.
"Aku hanya membutuhkan sepuluh orang. Kekuatan Bhayangkara sebanyak seratus orang terlampau banyak untuk dikirim ke sana. Sepuluh orang kurasa cukup untuk melakukan penyapuan."
Akan tetapi, Gajah Mada punya pendapat lain.
"Untuk menjamin kamu benar-benar berhasil, bawa dua puluh orang. Langkah dan siasat apa yang akan kauambil dalam penyerbuan itu, sepenuhnya aku serahkan kepadamu, termasuk siapa saja yang akan kaubawa. Terjuni tempat itu ketika Karang Watu disibukkan oleh serbuan Ra Kembar, pasukan Jalapati, dan Sapu Bayu. Tangkap hidup-hidup orang yang bernama Rangsang Kumuda dan Raden Panji Rukmamurti yang bermimpi menjadi raja itu."
"Baik, Kakang," jawab Bhayangkara Lembu Pulung.
Serbuan yang akan dilakukan ke Karang Watu ternyata sangat menarik Bhayangkara Jayabaya, yang tak bisa menyembunyikan keinginan untuk dilibatkan. Demikian juga dengan Bhayangkara Riung Samudra, Panjang Sumprit, dan Kartika Sinumping yang dari bahasa wajahnya jelas meminta izin Gajah Mada.
"Kalian berempat, Bhayangkara Jayabaya, Riung Samudra, Panjang Sumprit, dan Sinumping, aku izinkan untuk membantu Lembu Pulung menyerbu Karang Watu. Sementara Gajah Geneng dan Macan Liwung, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 423
aku ada tugas untuk kalian tengah malam ini untuk menyergap Pakering Suramurda yang akan mengadakan pertemuan dengan Raden Cakradara."
Bhayangkara Gajah Geneng dan Macan Liwung menjawab serentak,
" Tandya, Kakang Gajah Mada."
Semua cukup jelas dan tak perlu ada yang dibicarakan lagi. Gajah Mada segera membubarkan pertemuan itu dan pilih pulang ke rumah untuk beristirahat. Dua orang prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang Balai Prajurit serentak bangkit memberi penghormatan ketika Gajah Mada melintas.
Gajah Mada yang melintas alun-alun memerhatikan matahari makin doyong ke barat menjemput datangnya sore. Dari arah Antawulan tampak serombongan orang berjalan kaki, baik pria maupun wanita, baik tua maupun muda. Mereka adalah orang-orang yang baru pulang bergotong-royong mendarmakan dan mencandikan Sang Prabu.
Dalam keadaan yang demikian Gajah Mada merasa membutuhkan Pradhabasu. Tetapi, di mana Pradhabasu" Mantan prajurit Bhayangkara itu tidak tampak batang hidungnya sejak menemuinya di makam Antawulan. Padahal, Patih Daha Gajah Mada sedang membutuhkan keterangan terkait Dyah Menur. Demikian banyak persoalan yang muncul dan naik ke permukaan menyebabkan Gajah Mada harus mengurutkan penyelesaian persoalan itu satu per satu.
37 Malam menukik tajam dan membutuhkan waktu sedikit lama
bila menunggu keluarnya bulan yang telah beberapa hari lewat dari purnamanya. Suasana gerah itu dirasakan di istana kiri karena tak ada 424
Gajah Mada hubungan dalam bentuk apa pun antara Raden Kudamerta dengan istrinya. Raden Kudamerta sungguh merasa canggung, bingung tak tahu harus bersikap bagaimana kepada istrinya. Bila berpapasan, Sekar Kedaton Dyah Wiyat lebih memilih menghindar.
Agak berbeda dengan istana sebelah kanan yang sedikit lebih ceria daripada kedaton Rajadewi Maharajasa. Sri Gitarja mampu bersikap seolah tidak tahu apa-apa, tidak pernah mendengar apa-apa. Setidaknya Sri Gitarja mampu berpikir lebih jernih dan bisa menerima kenyataan dengan ikhlas. Di satu sisi Sri Gitarja bisa menikmati kebahagiaannya dalam berkeluarga, ke depan Sri Gitarja berharap Raden Cakradara dan siapa pun pendukungnya akan sadar dengan sendirinya.
Namun, pembunuhan-pembunuhan yang terjadi yang merupakan gambaran persaingan antara dua satria, Raden Cakradara dan Raden Kudamerta, sungguh sangat mengganggu ketenangannya. Bahwa Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani tidak tahu bagaimana atau langkah apa yang harus dilakukan untuk menyiasati keadaan itu, hal itu sungguh membebani hatinya. Itulah sebabnya, makin Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani berpikir maka makin bulat keputusannya untuk tidak bersedia dinobatkan menjadi ratu menggantikan Jayanegara.
Sri Gitarja melihat Dyah Wiyat lebih layak menduduki jabatan itu dan ia ikhlas untuk mengalah memberi kesempatan kepada adiknya menjadi ratu.
Bersandiwara adalah hal yang paling berat untuk dilakukan. Hal berat macam itulah yang harus dijalani. Sri Gitarja bersikap biasa, bersikap mesra, dan seolah amat bahagia. Dan, bersandiwara pula yang sedang dilakukan Raden Cakradara. Bersikap tidak jujur dan pura-pura itu harus dijalaninya, padahal Raden Cakradara yakin Sri Gitarja sebenarnya tahu api dalam sekam macam apa yang asapnya mengepung istana Majapahit.
Sri Gitarja pasti sangat mudah memperoleh keterangan dari berbagai sumber, pasti ada yang bercerita latar belakang macam apa di balik pembunuhan yang terjadi secara beruntun itu.
Keadaan di kedaton satunya lebih parah lagi. Raden Kudamerta berulang kali berusaha untuk mengajak istrinya berbicara, tetapi Dyah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 425
Wiyat tidak memberi pintu. Dyah Wiyat sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Raden Kudamerta mendekatinya. Dyah Wiyat benar-benar marah karena telah dilecehkan. Sama sekali tidak pantas anak seorang raja seperti dirinya dilecehkan. Lelaki yang mengawininya ternyata lelaki jenis bulus, terbukti telah memiliki istri dan menempatkannya sebagai istri kedua. Namun, Dyah Wiyat juga sering merenung mengupas diri sendiri. Sangat jauh di dalamnya hati Dyah Wiyat membelejeti diri sendiri.
"Aku menganggap Kakang Kudamerta tidak adil, tak jujur. Tetapi, bagaimana dengan diriku sendiri" Kenapa aku tak bicara blak-blakan bagaimana kisah asmaraku dengan Kakang Rakrian Tanca?"
Sejak perkawinannya, temanten baru itu belum tidur bersama.
Gelisah yang kali ini dialami Raden Kudamerta bukan karena hal itu.
Namun oleh kesadaran pada sebuah hal, Dyah Menur saat ini berada di istana, berada pada jarak yang amat dekat, tetapi tak diketahui di mana, apakah bersama Emban Prabarasmi atau di bangsal emban yang lain, yang jelas di istana. Raden Kudamerta sungguh gelisah memikirkan hal itu. Begitu kuatnya keinginan bertemu Dyah Menur, namun sekuat itu pula ia berusaha menahan diri. Raden Kudamerta sangat sadar, para prajurit yang menjaga istana, yang meronda dan mengamatinya dari kejauhan adalah orang-orang Patih Daha Gajah Mada yang sedang mengawasinya.
Dugaan Raden Kudamerta benar, bahwa istrinya memang tinggal sebangsal dan bahkan sebilik dengan Emban Prabarasmi. Malam agak menukik, namun Dyah Menur belum bisa tidur. Dyah Menur yang berbaring segera bangkit.
"Kaudengar suara itu?" tanya Menur dengan berbisik.
Prabarasmi memerhatikan. "Suara seruling itu?" tanya Emban Prabarasmi.
Tentu Dyah Menur sangat mengenali suara seruling itu, yang ditiup mengalunkan tembang sedih, tembang duka atas nama rindu dendam.
Dyah Menur bisa merasakan betapa sesak dada Raden Kudamerta saat itu, sesak yang disalurkan melalui tiupan seruling.
426 Gajah Mada "Pernah mendengar suara seruling itu sebelumnya?" tanya Dyah Menur.
Prabarasmi menggeleng. "Belum," jawabnya.
"Raden Kudamerta peniupnya."
Prabarasmi menyimak dan menemukan kenyataan betapa indah irama yang tersalur melalui seruling itu.
"Itu suamimu yang meniup?"
Dyah Menur mengangguk. "Aku tidak menyangka, Raden Kudamerta ternyata memiliki
kemampuan itu. Tak sembarang orang bisa meniup seruling."
Dyah Menur termangu dalam diam. Waktu mengalir menggilasnya, memaksa mengeluarkan air mata.
"Aku iri melihatmu. Setidaknya kau memiliki sesuatu yang bisa membuatmu menangis. Ada yang membuatmu rindu dan merasa sedih.
Aku tidak memiliki. Untuk sekadar bersedih hati, aku tidak punya sesuatu yang kusedihkan. Atau, kesedihanku mungkin karena aku tak punya kisah sepertimu," kata Prabarasmi.
Dyah Menur berusaha tersenyum, namun tak bisa menahan air matanya yang mengalir. Prabarasmi tidak mampu menahan rasa ibanya.
Prabarasmi menawarkan sebuah pelukan yang diterima dengan senang hati oleh Dyah Menur.
"Bagaimana kalau kuatur sebuah pertemuan untukmu dengan
suamimu?" Dyah Menur memandang Emban Prabarasmi dengan tatapan mata amat larut. Tawaran itu sungguh menggodanya. Sungguh memba-hagiakan hati bila bisa bertemu dengan suaminya, Dyah Menur akan melompat dan menjatuhkan diri ke pelukannya. Namun, tawaran yang diberikan Emban Prabarasmi itu tidak diambil. Dyah Menur menggeleng.
"Kenapa?" Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 427
Dyah Menur tidak memberikan jawaban mengapa, namun dengan tegas Dyah Menur menolak tawaran itu dengan amat bulat.
"Benar kau tidak ingin berjumpa dengan suamimu" Aku bisa mengatur hal itu jika kau menghendaki."
Kembali Dyah Menur menggeleng. Meski lunglai, jawabannya sangat tegas.
"Aku belum siap. Kurasa suamiku pun tidak siap."
Suara seruling itu memanjat menapaki nada tinggi yang dilantunkan dengan seketika, tidak mengambil dari tembang yang telah dikarang orang. Raden Kudamerta dengan kesedihan yang sempurna meledakkan gumpalan beban di dadanya. Maka tak hanya Dyah Menur yang menitikkan air mata menyimak alunan nada yang membelah udara dari seruling yang ditiup itu. Sejatinya Raden Kudamerta pun menitikkan air mata.
Adalah Dyah Wiyat yang juga gelisah. Dyah Wiyat menyimak alunan suara seruling yang mengalir bagai gelombang laut selatan itu. Dyah Wiyat bisa membaca meski ia tidak memiliki kemampuan meniup, bahwa nada-nada yang mengombak itu merupakan gambaran kerinduan yang bukan kepalang.
Begitu kuatnya pesona yang keluar dari alunan seruling itu, Dyah Wiyat yang berbaring pun bangkit dan berjalan menuju jendela kamarnya.
Dengan sangat berhati-hati Sekar Kedaton istana kiri itu membuka jendela dan mengintip. Namun, Rajadewi tidak berhasil menemukan orang yang dicarinya.
"Sebuah kemampuan yang tak kuketahui, Kakang Raden Kuda-
merta ternyata bisa meniup seruling dengan begitu indah," kata hati Sekar Kedaton.
Namun, rupanya alunan seruling itu juga sangat mencuri perhatian siapa pun. Di bangsal para emban, mereka heboh dan saling berbisik di antara mereka sendiri. Tidak hanya para emban, di kediaman para Ratu suara seruling itu juga mencuri perhatian. Ibu Ratu Gayatri yang berada 428
Gajah Mada dalam sikap semadi di sanggar pamujan, 172 terusik keheningan mata hatinya oleh alunan indah itu. Namun, Ibu Ratu Gayatri tidak perlu marah oleh gangguan itu. Ratu Gayatri bahkan amat menikmati.
Ibu Ratu Gayatri bahkan bangkit dan keluar untuk mencari tahu.
"Kaudengar suara itu?" tanya Ratu Gayatri kepada emban pelayan dalam.
"Hamba, Tuan Putri," jawab emban pelayan dalam. "Hamba
memerhatikan seruling itu sejak tadi. Tiupan yang indah sekali, Tuan Putri, serasa sebuah ungkapan kesedihan istri yang kehilangan suaminya."
Penggambaran yang diberikan emban itu mencuri perhatian Ratu Gayatri.
"Begitu menurutmu?"
Emban pelayan dalam itu mengangguk. Ratu Gayatri memerhatikan emban itu sekaligus telinganya memerhatikan suara seruling yang makin menggeliat dan menapaki nada-nada sulit. Ibu Ratu bahkan menyempatkan memejamkan mata.
"Bagaimana kau bisa menerjemahkan nada-nada itu seolah seperti yang kaukatakan" Seperti kesedihan seorang istri yang kehilangan suami.
Apakah menurutmu peniup seruling itu seorang perempuan?" tanya Gayatri.
Emban itu menunduk, ia tak punya keberanian untuk menceritakan perjalanan hidupnya, bahwa sebenarnya dirinya yang kehilangan suami, yang mati sangat muda. Perkawinannya baru berjalan enam bulan dan sedang indah-indahnya dinikmati saat Hyang Widdi melalui Yamadipati mencabut nyawa suaminya.
"Bisakah aku minta tolong kepadamu?" tanya Ratu.
Berlepotan emban pelayan dalam itu dalam menyembah.
"Hamba, Tuan Putri," jawabnya.
172 Sanggar pamujan, Jawa, tempat atau ruang khusus untuk bersemadi Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 429
"Coba kaucari tahu, siapa peniup seruling itu."
"Kalau itu, hamba sudah tahu jawabnya, Tuan Putri. Raden Kudamerta."
Ratu Gayatri mengangguk perlahan dan menyempatkan menyimak lebih teliti. Ratu Gayatri dengan kejernihan mata hatinya memang mampu membaca warna hati macam apa yang bergolak di hati peniup seruling itu karena meski tak seterampil Raden Kudamerta, Ibu Ratu juga bisa meniup seruling.
Berbeda dengan Ibu Ratu Gayatri yang mempunyai minat demikian besar, Ibu Ratu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari menjadikan alunan seruling indah itu sebagai pengantar tidur. Ibu Ratu tertua menikmati alunan seruling itu tanpa ingin tahu siapa peniupnya. Di wisma yang lain yang masih menjadi bagian dari keputren, Ibu Ratu Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita telah tidur, namun suara seruling itu menyelinap ke dalam mimpinya. Di wisma yang lain dan masih merupakan bagian dari keputren, suara seruling itu justru menggiring Sri Jayendradewi Dyah Dewi Pradnya Paramita teringat kepada suaminya.
Dan, di kedaton kanan. "Kaudengar suara itu, Kakang?" tanya Sri Gitarja.
Raden Cakradara bangkit dan ikut memerhatikan.
"Seruling itu?"


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sri Gitarja memerhatikan lebih cermat.
"Siapa orang yang meniup seruling seperti itu?"
Rupanya, siapa pun yang meniup seruling itu telah merambah ke wilayah yang lebih jauh, kerinduannya berubah menjadi dendam atau amarah, tergambar jelas dari penjelajahannya di nada-nada tinggi, begitu liar penuh geliat. Namun, dengan segera nada itu kembali ke nada rendah gambaran dari ketidakmampuan peniupnya dalam menghadapi masalah.
Raden Cakradara tentu tahu siapa peniup seruling itu, tetapi ia tak ingin menyebut namanya.
430 Gajah Mada "Indah sekali," gumam Sri Gitarja sambil membaringkan diri dan menyusup ke dalam pelukan suaminya.
Raden Kudamerta benar-benar tuntas dalam menumpahkan isi hatinya. Tidak ada secuil sisa pun dari beban hatinya yang tidak dibuang melalui kelincahan jemari tangannya. Demikian indah suara seruling yang terbuat dari bambu pilihan itu sampai-sampai semua binatang malam merasa malu bersuara. Tidak terdengar suara katak kongkang, tak terdengar suara cenggeret bahkan jangkrik sekalipun. Sungguh tak ada yang berani mengganggu keindahan suara itu, semua takut bila alunan itu menghilang dan tidak terdengar lagi.
Namun, Raden Kudamerta memang harus menghentikan
permainannya ketika tiba-tiba terdengar suara derap kuda dari arah alun-alun depan istana. Derap kuda itu juga mengagetkan para prajurit yang bertugas jaga. Mereka segera berloncatan sambil berusaha secepat-cepatnya mempersiapkan diri. Namun, penunggang kuda itu datang dengan mendadak dan tanpa diduga-duga, melintas cepat sambil melepas anak panah. Raden Kudamerta tercekat karena merasa anak panah itu diarahkan kepadanya. Namun, untunglah Raden Kudamerta karena masih ada selisih jarak sedepa, anak panah itu menancap di pintu.
Penunggang kuda itu kemudian melesat meninggalkan jejak jelas bahwa kuda yang ditungganginya berwarna putih sementara penunggangnya berjubah warna putih. Seorang prajurit bahkan bisa menandai penunggang kuda itu tak hanya berjubah putih, tetapi juga menutupi wajahnya dengan sebuah topeng berwarna putih.
Dengan jantung serasa berhenti berdegup, Raden Kudamerta mengamati anak panah itu dan menggunakan obor memeriksanya.
Agaknya anak panah itu dilepas tidak untuk membunuh Raden Kudamerta. Selembar daun rontal terikat pada gagang anak panah. Raden Kudamerta melepas dan membukanya.
"Tengah malam, Raden, di Padas Payung, Raden akan melihat sesuatu."
Raden Kudamerta mengerutkan kening setelah membaca tulisan itu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 431
"Seseorang memberi tahu aku supaya tengah malam ini pergi ke Padas Payung jika ingin melihat sesuatu."
Raden Kudamerta berpikir keras.
"Siapa orang berkuda tadi?" Raden Kudamerta bertanya dalam hati.
Namun, siapa pun orang yang melepas anak panah itu jelas tidak bermaksud membunuhnya. Anak panah itu dilepas untuk menyampaikan sebuah maksud.
Beberapa orang prajurit datang mendekat. Mereka semula tidak melihat Raden Kudamerta. Obor yang dipegangnya yang menjadi petunjuk.
"Raden, ada apa?"
Raden Kudamerta berkeputusan merahasiakan apa yang terjadi.
"Tidak ada apa-apa. Siapa orang berkuda tadi?"
"Tidak bisa dikenali, Raden, tetapi orang itu berdandan dengan cara aneh. Ia mengenakan jubah putih dan menutupi wajahnya dengan topeng. Kudanya berwarna putih."
Raden Kudamerta memerhatikan langit luas dengan gemerlap bintang yang bertaburan. Raden Kudamerta mengukur waktu untuk mengetahui berapa jengkal lagi sang waktu akan membawanya tepat ke tengah malam.
Pada saat bersamaan dengan itu di istana kanan, Raden Cakradara dicemaskan oleh sang waktu pula. Raden Cakradara berharap istrinya segera tidur, tetapi Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani masih terjaga.
432 Gajah Mada 38 Penunggang kuda putih berjubah dengan warna putih pula melesat ke tengah alun-alun, membuat bingung beberapa orang yang sedang baris pendhem di tempat itu. Gajah Mada tak melibatkan orang lain selain Bhayangkara Gajah Geneng dan Macan Liwung. Tiga perwira
Bhayangkara itu menempatkan diri di atas dahan, melekat tanpa bersuara menyatu menjadi bagian dari batang pohon yang didekapnya. Tak ada yang mengetahui keberadaan mereka yang dari awal menempatkan diri di pohon beringin itu. Dengan cara itulah, mereka melakukan pengintaian terhadap Pakering Suramurda yang diyakini akan mengadakan pertemuan dengan Raden Cakradara.
Gajah Mada, Gajah Geneng, dan Macan Liwung tak melakukan apa pun. Apa yang dilakukan hanyalah menunggu sampai pertemuan itu terjadi. Namun, apa yang diharap Gajah Mada sama sekali tidak sesuai dengan dugaan Gajah Mada. Penunggang kuda putih berpakaian seperti brahmana karena mengenakan jubah putih itu berhenti tidak jauh dari pohon beringin. Tanpa sebab yang jelas orang itu tertawa bergelak-gelak, terpingkal seolah ada sesuatu yang sangat lucu.
"Siapa orang itu?" berbisik Gajah Mada.
"Tidak tahu," jawab Macan Liwung.
"Kenapa orang itu tertawa?" Gajah Geneng meletupkan rasa penasarannya.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Gajah Mada menemukan jawabnya agak terlambat.
"Orang itu menertawakan kita."
Dugaan Gajah Mada ternyata benar.
"Apa yang kalian lakukan tengah malam begini dengan bersembunyi di dahan beringin seperti itu" Kalian berniat menyaingi burung hantu?"
bertanya orang dengan jubah putih itu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 433
Gajah Mada terheran-heran. Apa yang dilakukannya di pohon bramastana itu jelas amat rahasia, tak ada seorang pun yang mengetahui.
Pengintaian itu dilakukan dengan sangat rahasia, lalu bagaimana ada seseorang tak dikenal bahkan menertawakan apa yang dikerjakannya.
Gajah Mada bersama anak buahnya tidak mau terpancing begitu saja, tiga orang itu masih bertahan melekat dan menempatkan diri menunggu.
Penunggang kuda berjubah putih meloncat turun dari kudanya.
Dari bajunya ia mengeluarkan batu titikan untuk menyalakan api. Sebuah panah sanderan rupanya telah disiapkan. Ujung anak panah dinyalakan ke api dan berubah menjadi obor. Dari tempatnya Gajah Mada dan Macan Liwung serta Gajah Geneng bisa memerhatikan penampilan orang itu dengan jelas, namun tak mungkin menebak siapa pemilik wajah yang berada di balik topeng yang dikenakannya.
Orang tak dikenal itu merentang gendewa mengarahkan bidikannya ke batang pohon beringin. Lintasan api yang melesat bisa dilihat dengan jelas ke mana arahnya disusul oleh suara tertawa terkial yang kembali meledak. Penunggang kuda berjubah putih berbalik dan memacu kudanya meninggalkan alun-alun. Gajah Mada merayap turun dari dahan, disusul Macan Liwung dan Gajah Geneng. Sebuah rontal yang terikat di gagang anak panah dengan segera mencuri perhatian Gajah Mada.
Menggunakan api yang masih menyala, kalimat yang tertulis pada lembaran rontal itu dibaca bersama.
"Tak akan ada pertemuan apa pun di pohon beringin yang kalian tunggu. Para burung hantu yang akan menyelenggarakan pertemuan terpaksa membatalkan acaranya karena ada orang-orang yang salah tempat menggunakan pohon bramastana di tengah alun-alun. Pergilah kalian ke Padas Payung, di sana orang yang kalian intai bertemu. Jika kau merasa penasaran siapa aku, sebut saja aku Bagaskara Manjer Kawuryan."
Gajah Mada benar-benar terperanjat serasa wajahnya tersiram air panas.
Ketika ia mengulang kembali, kalimat itu tidak pernah berubah. Di atas rontal itu benar-benar tertulis sebuah kalimat keramat, kalimat sandi 434
Gajah Mada yang membutuhkan waktu sembilan tahun lamanya untuk mengetahui siapa orang yang menggunakannya. Kini tiba-tiba ada orang lain, orang tidak dikenal yang menyelubungi diri di balik jubah putih menggunakan nama yang sama. Yang pasti Gajah Mada yakin, orang itu bukan Ra Tanca karena ia telah mati.
Lalu, adakah orang lain yang mengetahui makna di balik nama itu"
"Bagaskara Manjer Kawuryan" Siapakah orang yang mencoba
bermain-main denganku menggunakan nama yang mestinya terkubur bersama kematian Ra Tanca?" Gajah Mada meletupkan rasa
penasarannya dalam hati. Gajah Mada berusaha mengenang, siapa saja orang yang mengetahui kalimat sandi itu. Bagaskara Manjer Kawuryan mempunyai arti matahari terang benderang, itulah kunci yang digunakan berhubungan dengan orang yang memberi bocoran atas sepak terjang Ra Kuti. Sembilan tahun sejak pemberontakan Ra Kuti, baru diketahui orang yang berada di balik nama itu adalah ra Tanca. Setelah Ra Tanca mati, kini tiba-tiba ada orang lain yang menggunakan.
"Siapa dia" Bagaimana dia bisa tahu kalimat sandi itu?"
Bhayangkara Macan Liwung dan Gajah Geneng saling pandang.
Tak hanya kalimat sandi itu yang membuat mereka penasaran, tetapi pesan yang dikirim itu juga memancing rasa ingin tahu yang membutuhkan jawaban dengan segera.
"Apa artinya ini?" tanya Gajah Mada masih dengan hati meluap.
Namun, Gajah Geneng dan Macan Liwung tidak memiliki jawabnya.
"Bagaimana, Kakang Gajah?" tanya Gajah Geneng. "Kakang
memercayai orang itu?"
Patih Daha Gajah Mada yang berdiri di bayangan pohon beringin segera keluar melihat bintang-bintang yang bertaburan di nabastala.
Menggunakan pengetahuannya terhadap keberadaan bintang-bintang.
Dengan menandai di arah mana sebuah bintang berada, bisa diketahui pula keberadaan waktu, apakah waktu sudah merambah tengah malam atau belum.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 435
"Sudah tengah malam," kata Gajah Mada. "Sejauh ini kita belum menemukan tanda-tanda kemunculan Raden Cakradara dan Pakering Suramurda. Kita tinggalkan tempat ini. Aku lebih memercayai orang itu, kita ke Padas Payung."
39 Padas Payung, dinamai demikian karena tebing yang memayungi jalan. Pada sore hari tempat itu menjadi tempat yang sejuk karena pohon bambu yang lebat dan memanjang menghalangi matahari sejak bergulir dari puncaknya. Jalan panjang, lurus, dan rata di Padas Payung sering digunakan beradu balap kuda. Raden Cakradara dan Raden Kudamerta sering beradu balap di tempat itu. Tak hanya digunakan beradu balap kuda, Padas Payung juga sering dimanfaatkan untuk beradu balap burung dara. Tempat itu juga sering didatangi penduduk kotaraja untuk bercengkerama. Manakala pandangan matanya diarahkan ke timur, lembah dan ngarai tampak indah.
Karena sering digunakan untuk beradu balap kuda, itulah sebabnya Raden Cakradara sangat mengenal tempat itu. Kedatangannya ke Padas Payung di tengah malam yang pekat itu karena sebagaimana pesan yang ia terima dari Gemak Trutung, di tempat itulah ia harus bertemu pamannya, Pakering Suramurda, yang ulahnya telah merepotkannya.
Sebuah perapian dinyalakan di tepi jalan itu memanfaatkan kayu-kayu kering yang tidak sulit didapat, tampak lima orang lelaki duduk mengelilinginya. Tidak ada pembicaraan apa pun di antara mereka, apa yang mereka lakukan dengan api adalah untuk mengusir nyamuk sekaligus membakar ketela untuk mengganjal perut. Seorang di antara 436
Gajah Mada mereka memilih rebahan bersandar batu besar. Tidurnya begitu lelap terbaca dari dengkur yang terdengar keras.
Di tempat yang terlindung dan berada dalam jarak yang cukup dekat, Raden Kudamerta yang mengintip bisa mengenali salah seorang di antara mereka Pakering Suramurda. Empat yang lain Raden Kudamerta pernah tahu wajahnya, tetapi tak tahu namanya. Yang jelas mereka adalah prajurit yang masing-masing berpangkat lurah berasal dari kesatuan Sapu Bayu.
Raden Kudamerta mengintip tempat itu dan melakukan pengintaian sebagaimana permintaan orang berjubah putih yang mengirim pemberitahuan melalui rontal yang diikatkan ke anak panah yang dilepas.
Orang berjubah putih itu pula yang memancing kedatangan Gajah Mada dan dua anak buahnya untuk hadir di tempat itu.
Raden Kudamerta yang berdiri melekat pada batang pohon sambil menahan napas dan nyeri yang masih terasa di dadanya sama sekali tak menyadari tak jauh dari tempatnya berada ada orang lain yang melakukan hal sama. Menyadari warna putih adalah warna yang menyolok, orang itu tidak memakai jubahnya. Duduk di batang pohon talok tua yang berdaun lebat, dengan sabar orang itu menunggu apa yang akan terjadi di tempat itu. Orang itu berniat menyaksikan apa yang terjadi tanpa niat melibatkan diri.
Adalah Patih Daha Gajah Mada yang tiba pula ke tempat itu bersama Macan Liwung dan Gajah Geneng harus mengakui kebenaran orang berjubah putih yang mengirim pesan kepadanya. Pada jarak yang cukup Gajah Mada memutuskan turun dari kudanya dan mendekati sasaran dengan berjalan kaki. Dari jauh nyala api yang terlihat menunjukkan adanya orang-orang yang melakukan kegiatan di tempat itu.
Ketika berada pada jarak yang belum cukup untuk bisa menyimak, Gajah Mada memberi isyarat untuk merayap. Pada jarak cukup dekat, Gajah Mada bisa menandai dengan jelas siapa saja orang-orang itu. Gajah Mada mengenal mereka kecuali seorang di antaranya yang ia yakini sebagai Pakering Suramurda, yang menjadi dalang rantai pembunuhan yang terjadi.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 437
"Lurah Damar Windu, Lurah Arya Dwasa, Lurah Ndaru Pitu, dan Lurah Suro Kanigoro. Rupanya mereka menyembunyikan wajah lain.
Yang seorang itu tentulah Pakering Suramurda."
Gajah Mada yang mengintip amat terbantu oleh api dan bulan yang memanjat makin tinggi. Dari tempatnya Gajah Mada bisa melihat dan mengenali wajah masing-masing. Di sebelahnya, Bhayangkara Gajah Geneng dan Macan Liwung bertahan untuk jangan sampai menimbulkan suara. Namun, rasa penasaran Gajah Mada masih mengombak.
"Siapa pula orang berjubah putih dan berkuda putih itu?" tanya Gajah Mada dalam hati dan untuk diri sendiri.
Pemahaman terhadap kata sandi Bagaskara Manjer Kawuryan
sangat terbatas dan nyaris terkubur oleh waktu yang telah bergerak sembilan tahun lamanya. Namun, ternyata di luar sana, entah siapa, setidaknya ada orang yang tahu makna kata sandi itu. Di balik penampilannya yang aneh, menunggang kuda putih, mengenakan jubah berwarna putih, dan menyembunyikan wajah di balik topeng, orang itu mengetahui banyak hal, mengetahui adanya kata sandi Bagaskara Manjer Kawuryan dan terbukti juga mengetahui adanya pertemuan yang dilakukan di Padas Payung.
Beberapa jenak setelah menunggu, Patih Daha Gajah Mada
menggamit tangan Gajah Geneng dan Macan Liwung. Dari jarak yang masih jauh, namun Gajah Mada memiliki telinga yang cukup tajam untuk menandai kuda yang berderap datang itu.
"Raden Cakradara datang," bisik Gajah Mada.
Macan Liwung hanya mengangguk.
Tidak hanya Gajah Mada, Macan Liwung, dan Gajah Geneng, yang terpancing perhatiannya oleh derap kuda yang datang mendekat itu. Di persembunyiannya yang terpisah di seberang, Raden Kudamerta menguasai diri agar jangan sampai bersuara, jangan batuk ataupun bersin. Tak jauh dari Raden Kudamerta, seseorang melekat pada dahan pohon.
Seiring dengan waktu yang terus bergerak, derap kuda itu makin lama makin dekat. Pakering Suramurda segera bangkit sambil 438
Gajah Mada membangunkan seorang temannya yang sedang tidur. Benar sebagaimana diduga, Raden Cakradara yang datang. Patih Daha Gajah Mada memberi isyarat kepada Gajah Geneng dan Macan Liwung jangan sampai mengeluarkan suara. Di tempatnya, Raden Kudamerta menyimak pembicaraan yang akan terjadi dengan saksama.
Raden Cakradara yang melompat turun dari kuda tidak melepas tali kendali kudanya. Raden Cakradara memerhatikan wajah Pakering Suramurda dengan mata tidak berkedip.
"Aku benar-benar kecewa, Paman," kata Raden Cakradara. "Apa yang Paman lakukan merepotkan aku. Paman menempatkan aku di tempat yang sulit. Gajah Mada mencurigai aku terlibat dan mendalangi pembunuhan-pembunuhan itu. Apabila nanti apa yang Paman lakukan terbongkar, orang akan mengira aku berada di belakangnya. Kuminta Paman membatalkan semua rencana dan silakan Paman pergi jauh."
Pakering Suramurda memerhatikan wajah keponakannya dengan pandangan mata kecewa. Pakering Suramurda punya alasan untuk merasa kecewa, namun tidak cukup punya kepintaran merangkai kata-kata.
"Kau memiliki peluang itu, Cakradara," kata Pakering Suramurda.
"Lihatlah mereka yang akan menempatkan diri mendukungmu. Mereka yang menempatkan diri menjadi pagar betis mengamankan dirimu bila takhta nantinya jatuh ke tanganmu."
Di persembunyiannya, Raden Kudamerta menghirup udara lebih banyak sambil tetap bertahan jangan sampai keberadaannya mengintip pertemuan itu ketahuan. Penilaian Raden Kudamerta terhadap Raden Cakradara sedikit agak berubah dari yang semula amat meyakini Raden Cakradara terlibat atas pembunuhan anak buah dan pendukungnya.
"Aku tidak memikirkan peluang itu, Paman," jawab Raden
Cakradara sangat tegas. "Apa maksudmu, Cakradara," balas Pakering Suramurda kasar.
"Sudah cukup jelas, Paman," jawab Raden Cakradara. "Aku tidak bermimpi sebagaimana cara Paman bermimpi. Apa yang Paman lakukan menurutku kebablasan dan justru merusak namaku. Paman membunuh Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 439
orang-orang Adi Kudamerta, terakhir Paman mendalangi pembunuhan atas Raden Kudamerta. Orang paling bodoh pun akan mengarahkan perhatiannya kepadaku."
"Aku tidak melakukan semua itu," jawab Pakering Suramurda dengan sangat kasar.
Raden Cakradara tertegun dan tak mampu berbicara.
"Kamu pikir aku yang melakukan semua pembunuhan itu,
Cakradara" Bukan aku pelakunya," Pakering Suramurda melanjutkan dengan bentakan kasar.
Raden Cakradara sangat mengenal pamannya yang berkemampuan memutarbalikkan kenyataan. Telah berulang kali Pakering Suramurda terbukti mengatakan tak sesuai seperti kenyataan yang ada. Merah dikatakan hitam atau sebaliknya hitam akan dikatakan merah. Kini Pakering Suramurda bahkan tak mengakui pembunuhan yang
didalanginya. Jauh sebelumnya, berulang kali Pakering Suramurda menyampaikan langkah apa saja yang akan dilakukan. Pakering Suramurda telah melepas ancaman akan menyingkirkan Raden Kudamerta untuk memuluskan langkahnya. Ancaman itu terbukti telah dilakukan.
"Aku tidak melakukan semua pembunuhan itu, Cakradara," berkata Pakering Suramurda. "Di luar sana ada orang berkeliaran melakukan perbuatan sama seperti yang kurencanakan. Bukan aku pelakunya."
Raden Cakradara membuang muka.
"Namun demikian," Pakering Suramurda melanjutkan, "aku tak peduli pada pembunuhan-pembunuhan itu. Hanya saja aku harus mengingatkan kamu, Cakradara. Kaupunya gegayuhan. Kaupunya mimpi yang harus dijelmakan menjadi kenyataan. Bukan hal yang mustahil untuk menggapai mimpimu. Lihat Lurah Damar Windu, Lurah Arya Dwasa, Lurah Ndaru Pitu, Lurah Suro Kanigoro, dan masih banyak lagi yang akan menempatkan diri di belakangmu. Di belakang mereka ada kekuatan yang cukup besar untuk membetengi dirimu. Kaupunya kesempatan itu jika tergerak pikiranmu."
440 Gajah Mada Raden Cakradara merasa tidak nyaman karena Pakering Suramurda berbicara terlalu dekat. Raden Cakradara mendorongnya hingga nyaris terjengkang.
"Semua itu bukan angan-anganku, Paman," teriak Raden Cakradara.
"Angan-angan itu angan-angan Paman, bukan angan-anganku. Mimpi itu mimpi Paman bukan mimpiku."
Jawaban yang disampaikan dengan suara meledak itu benar-benar membuat Pakering Suramurda kecewa. Pakering Suramurda yang membangun mimpi terlalu tinggi itu benar-benar kecewa melihat keponakannya ternyata lelaki lembek yang tak punya nyali.
"Dasar perempuan, kamu," umpat Pakering Suramurda.
Umpatan itu menyebabkan Raden Cakradara tersinggung. Akan tetapi, dengan sekuat tenaga Raden Cakradara mengendalikan diri dan berusaha untuk tak ikut larut dan terpancing kemarahan pamannya.
Namun, ucapan Pakering Suramurda memang membuat telinganya merah.
"Kamu bukan lelaki, tetapi kamu perempuan. Kalaupun kamu bersuami istri dengan Sri Gitarja maka tempatmu tak lebih dari permaisuri. Kamu permaisuri dan Sri Gitarja itu rajanya. Tidak bisakah matamu melihat kedudukan seperti itulah yang akan kamu jalani?"
Raden Cakradara menggigil. Namun, Raden Cakradara tak mampu membalas caci maki itu dengan caci maki. Di luar dugaan Pakering Suramurda, tiba-tiba Raden Cakrada menghunus keris. Tercekat Pakering Suramurda melihat apa yang diperbuat Raden Cakradara.
"Kamu menantangku?" Pakering Suramurda meledak.
"Kata-kata Paman kelewatan. Meski kau pamanku, aku tak peduli meski kau mati di tanganku."
Raden Cakradara yang tersinggung tak perlu menimbang lebih lama.
Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan kerisnya. Keris berlekuk enam itu bukan keris sembarangan, namun Raden Cakradara merasa yakin menyandarkan rasa aman pada keris itu. Keris yang ia beri nama Kiai Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 441
Blawur dengan bilahnya yang berwarna hitam berlumur racun, tak hanya warangan yang dilulurkan pada keris itu, tetapi juga racun ular yang mematikan, ular dumung kebo.
Meski telah tua usianya, Pakering Suramurda memiliki kesempatan untuk melenting menghindar sambil melepas isyaratnya. Lurah Lurah Damar Windu, Lurah Arya Dwasa, Lurah Ndaru Pitu, dan Lurah Suro Kanigoro, berloncatan memberi kepungan yang rapat.
"Kalau ternyata tak ada gunanya, untuk apa kamu hidup?" ucap Pakering Suramurda dengan kasar.
Pakering Suramurda telah sampai pada keputusan untuk
memusnahkan Raden Cakradara yang mengecewakan hatinya itu.
Keponakan yang di- gadang-gadang bakal menguasai takhta melalui mengawini Sri Gitarja ternyata menempatkan diri pada sikap yang mengecewakan hatinya. Pakering Suramurda mengeluarkan keris andalannya.
"Kuberi kesempatan kepadamu untuk mengambil sikap yang benar, Cakradara," ancam Pakering Suramurda.
Namun, jawaban yang diterima sungguh membuat Pakering
Suramurda kaget bagai disengat kelabang. Jawaban itu tidak berasal dari mulut Raden Cakradara, tetapi dari mulut Gajah Mada yang telah berdiri di belakangnya.
"Raden Cakradara sudah mengambil sikap, Pakering Suramurda.
Sebaiknya jangan kaupaksa ia mengambil sikap yang tidak sejalan dengan isi hatinya."
Raden Cakradara terkejut meski derajat kekagetannya tak melebihi Pakering Suramurda. Demikian pula dengan Lurah Damar Windu, Lurah Arya Dwasa, Lurah Ndaru Pitu, dan Lurah Suro Kanigoro, langsung pucat pasi melihat siapa yang datang dan memergoki dengan mata dan kepala secara langsung perbuatan mereka. Sebelah-menyebelahi Patih Daha Gajah Mada, Bhayangkara Gajah Geneng dan Bhayangkara Macan Liwung sedang merentang gendewa dengan anak panah mengarah, membuat para lurah prajurit itu sontak lemas tak berdaya.
442 Gajah Mada Gajah Mada mengarahkan tatapan matanya pada raut wajah para lurah yang terlibat dalam rencana perebutan kekuasaan itu. Lurah Damar Windu merasa seolah dunia berada di ambang kiamat, kematian melalui hukuman gantung telah menunggu di depannya. Pucat pasi Lurah Arya Dwasa yang tiba-tiba mengalami kesulitan untuk bernapas, lehernya bagai dicekik menggunakan tali tambang. Sementara Lurah Ndaru Pitu dan Suro Kanigoro berubah menjadi orang paling tolol, tidak tahu bagaimana cara menghadapi keadaan itu.
"Penyakit yang dulu pernah menjangkiti Jala Rananggana dan Jalayuda ternyata masih ada sisanya di kesatrian Sapu Bayu. Kalian membuatku amat kecewa dan berpikir, manfaat apakah yang bisa diperoleh negara dengan membiarkan kalian masih bernapas?" tanya Gajah Mada.
Pertanyaan yang dilontarkan Patih Daha Gajah Mada itu membuat para lurah prajurit tiba-tiba merasa keliru dalam mengambil langkah.
Nyali yang semula menggelembung karena dikipasi Pakering Suramurda itu mengempis dan bahkan tak bersisa jejaknya. Apalagi, gendewa yang direntang Bhayangkara Macan Liwung dan Bhayangkara Gajah Geneng terarah kepada mereka. Lurah Suro Kanigoro memberi contoh kepada teman-temannya dengan meletakkan semua senjata yang dipunyai mulai dari pedang panjang yang selalu menggantung di pinggang, keris, dan bahkan pisau belati. Semua diletakkan di tanah. Lurah Damar Windu., Lurah Arya Dwasa, dan Lurah Ndaru Pitu tak memerlukan waktu yang lebih panjang untuk meniru contoh itu, menyebabkan Pakering Suramurda tersudut.
Pakering Suramurda berpikir, untuk menyelamatkan diri dari tempat itu tidak ada jalan lain selain melarikan diri. Namun, Gajah Mada bisa menebak ke mana arah pikiran orang tua itu.
"Kamu sudah tua, Ki Pakering," kata Gajah Mada datar. "Pikirkan lebih dulu sebelum memutuskan melarikan diri. Bertanyalah pada napasmu, apakah masih punya kemampuan untuk mendukung niatmu."
Apa yang dikatakan Gajah Mada benar, Pakering Suramurda tak mungkin bisa meloloskan diri. Menyerah mungkin pilihan terpahit yang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 443
harus diambil ketika tidak punya pilihan lain, atau jika pilihan lain itu ada adalah menelan pilis racun warangan yang disimpan di ikat pinggang.
Satu butir pilis berisi warangan itu ditelan maka akan membebaskannya dari Gajah Mada. Akan tetapi, dengan pasti mengantarkan dirinya ke pintu gerbang kematian.
Namun, Pakering Suramurda tak perlu mengambil pilihan itu.
Suramurda tiba-tiba terhenyak dan sedikit terlambat menyadari apa yang menimpanya. Ketika tangan Pakering Suramurda meraba dadanya, ada gagang anak panah yang menancap tepat di belahan dadanya.
"Paman," Raden Cakradara terhenyak.
Gajah Mada segera berteriak, "Ada orang melepas anak panah."
Suara orang berlari di kejauhan menggerakkan Bhayangkara Gajah Geneng untuk segera bertindak. Tanpa harus diperintah Bhayangkara Gajah Geneng melesat berlari mengejar arah sumber suara.
Pakering Suramurda terbelalak dalam memegangi gagang anak panah yang tenggelam di tengah dadanya. Sakit yang timbul dirasakan nyeri bukan kepalang dan tidak memberi kesempatan kepada paman Raden Cakradara itu untuk bertahan lama. Hal itu karena ujung anak panah yang menancap berlumur bisa. Pakering Suramurda ambruk untuk berkelejotan dan mati.
Melihat kesempatan itu Lurah Arya Dwasa memanfaatkan kesempatan yang terbuka dengan sebaik-baiknya. Lurah Arya Dwasa berlari meninggalkan tempat itu. Contoh yang diberikan Lurah Arya Dwasa itu akan ditiru oleh teman-temannya.
"Berpikirlah kalian sebelum bertindak," ancam Gajah Mada.
Lurah Damar Windu dan Lurah Ndaru Pitu yang siap mengayun kaki segera membatalkan niatnya oleh kesadaran tak ada gunanya melarikan diri. Ke mana pun ia bersembunyi pasti bisa ditemukan. Dari balik rimbun perdu, Lurah Arya Dwasa yang semula memutuskan lari menyelamatkan diri kembali dengan tangan diletakkan di atas kepala.
Gajah Mada mencabut sebatang anak panah sanderan dari
punggung Gajah Geneng dan menyalakan menggunakan api dari perapian. Dengan obor anak panah sanderan itu Gajah Mada memeriksa 444
Gajah Mada anak panah yang telah dicabut dari dada Pakering Suramurda yang tak bernapas. Anak panah itu kemudian ditunjukkan kepada Macan Liwung.
Namun, sebagaimana Gajah Mada, Macan Liwung juga tidak mengenali anak panah itu.
Gajah Mada memandang Raden Cakradara.
"Aku telah mendengar semuanya, Raden," kata Gajah Mada.
"Nantinya akan aku sampaikan semua ini kepada para Ibu Ratu. Beliau semua yang nanti menentukan nasib Raden. Sekarang silakan Raden pulang."
Raden Cakradara memandang mayat pamannya dengan isi dada mengombak. Akhirnya, tanpa berbicara apa pun Raden Cakradara naik ke atas kudanya dan memacu berderap kembali ke arah semula. Apa pun yang dilakukan pamannya, Raden Kudamerta tetap mampu melihat adanya pertalian darah antara dirinya dengan orang itu. Apalagi, Raden Cakradara sulit membayangkan bagaimana harus menyampaikan berita kematian Pakering Suramurda ke Singasari.
Gajah Mada memerhatikan wajah-wajah di depannya satu per satu menjadikan Lurah Damar Windu dan tiga orang temannya salah tingkah.
"Kalian beruntung karena aku tidak memutuskan mengikat kalian dan dibawa menggunakan pedati menjadi tontonan orang sekotaraja.
Kembalilah ke kotaraja dan menghadaplah kepada juru kunci pakunjaraan.
Katakan kepada juru kunci kunjara aku memerintahkan kepada kalian bertiga untuk sementara tinggal di pakunjaran sampai ada keputusan atas diri kalian masing-masing. Bawa mayat Pakering Suramurda ke Balai Prajurit."
Macan Liwung mendongak. Bhayangkara Macan Liwung sama
sekali tidak menduga Gajah Mada yang selalu tegas dan biasanya memberi hukuman tanpa ampun kepada siapa yang bersalah coba-coba mengkhianati negara, kali ini bersikap begitu lunak.
"Cepat kerjakan," teriak Gajah Mada.
Betapa kaget Lurah Damar Windu dan teman-temannya yang
didamprat amat mendadak itu. Tanpa diulang kembali mereka bergegas mengangkat mayat Pakering Suramurda dan meletakkannya di atas kuda milik tubuh yang telah tak bernapas itu. Sejenak kemudian para lurah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 445
prajurit yang bernasib sial itu memacu kudanya ke arah yang sama seperti menyusul Raden Cakradara yang berkuda lebih dulu. Di hati masing-masing para lurah prajurit itu tumbuh penyesalan karena salah mengambil pilihan yang begitu gampang terpesona bujuk rayu Pakering Suramurda.
Tidak seorang pun dari mereka berempat yang berniat lari karena melarikan diri merupakan pilihan yang lebih buruk daripada masuk penjara. Lari dari tanggung jawab atas perbuatannya menjadi jaminan Patih Daha Gajah Mada akan memburu sampai di mana pun bersembunyi, di lubang semut sekalipun. Lebih parah lagi, keluarganya akan tersandera. Orang tuanya, istri, dan anak-anaknya bisa berada dalam bahaya.
"Aku tidak berhasil mengejar, Kakang," lapor Gajah Geneng yang kembali.
Gajah Mada termangu seperti orang melamun.
"Menurutmu, siapa orang yang membunuh Pakering Suramurda?"
Gajah Mada bertanya memecah keheningan malam.
Macan Liwung menggelengkan kepala tak tahu jawabnya. Gajah Geneng juga menggelengkan kepala ketika Gajah Mada meminta pendapat dirinya. Bagi Gajah Mada, jelas ada sesuatu yang aneh dengan kematian Pakering Suramurda.
"Ada banyak alasan, mengapa Pakering Suramurda dibunuh dengan cara itu. Amat mungkin Pakering Suramurda menyimpan sebuah rahasia, lalu ada pihak lain di belakangnya yang tidak ingin rahasia itu terbuka.
Kira-kira siapa menurutmu" Atau, rahasia macam apa yang disembunyikan itu?" tanya Gajah Mada.
Macan Liwung dan Gajah Geneng berpikir keras.
"Tidak mungkinkah jawaban yang dibutuhkan itu akan diperoleh di Karang Watu?"
Gajah Mada mengunyah pertanyaan itu, "Bisa jadi."
Keheningan malam yang merambat itu mendadak pecah oleh suara tawa yang bergelak-gelak. Dengan segera Gajah Mada mengenali siapa orang yang tertawa itu. Siapa pun orang itu, ia telah menunjukkan arah yang benar ke Padas Payung. Tanpa petunjuk orang itu, ia akan tetap 446
Gajah Mada menunggui pohon beringin yang tumbuh di tengah alun-alun istana.
Meskipun berusaha memerhatikan, Patih Daha Gajah Mada tak mampu menandai milik siapa suara tertawa bergelak-gelak itu.
Orang yang tertawa bergelak itu makin lama makin menjauh dan lenyap. Tak lama kemudian terdengar derap kuda di kejauhan. Gajah Mada, Gajah Geneng, dan Macan Liwung tidak mengambil sikap apa pun ketika derap kuda yang semula dikira menjauh itu ternyata berbalik arah. Gajah Mada berloncatan menepi ketika kuda berwarna putih dengan penunggang bertopeng mengenakan jubah yang juga berwarna putih berderap amat kencang nyaris menabraknya.
Gajah Geneng merentang gendewa dan akan melepas anak panah.
"Jangan," Gajah Mada mencegah.
Gajah Geneng mengendorkan kembali gendewa yang telah
melengkung itu. "Siapa pun orang itu, ia memihak kita. Dalam sikapnya yang berseberangan, Ra Tanca yang pernah menggunakan nama sandi Bagaskara Manjer Kawuryan terbukti memihak kita melalui menyalurkan banyak keterangan yang saat itu amat dibutuhkan. Firasatku mengatakan, orang itu berniat sama. Biarkan saja apa yang dilakukan."
Gajah Geneng mengangguk, "Apa sekarang yang kita lakukan?"
Patih Daha Gajah Mada memandang nabastala, memerhatikan bintang untuk mengukur waktu telah berada di mana. Di kejauhan, sangat jauh, terdengar kentongan yang dipukul dengan irama doro muluk 173
menandai keadaan aman sekaligus tanda waktu benar-benar tengah berada di puncak malam.
173 Doro muluk, Jawa, nama isyarat kentongan dengan nada tertentu sebagai tanda keadaan aman.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 447
40 Tebing bebatuan Karang Watu menjulang tinggi dan sangat terjal.
Demikian tegak tebing itu, amat mungkin pada zaman dulu sebagian ambrol tenggelam karena gua bawah tanah yang berada tepat di bawahnya jebol. Pada mulanya tebing tinggi itu menjadi seperti latar terhadap sungai yang melebar di depannya. Akan tetapi, lambat laun endapan tanah dan bebatuan yang terbawa air sungai menumpuk banyak.
Hujan sangat deras yang terjadi dengan tiba-tiba telah mengubah bentuk sungai dari yang semula luas merata lalu berbelok melengkung tepat di depan tebing. Seiring dengan waktu yang terus bergerak, endapan tanah dan kayu-kayu yang hanyut makin banyak, menjadikan tanah bebatuan yang semula lebih rendah dari sungai menjadi lebih tinggi dan rimbun.
Penyebutan Karang Watu sangat sesuai dengan keadaannya, tempat itu dipenuhi dengan bebatuan mulai dari yang sekecil jemari sampai yang sebesar gajah bengkak.
Tempat itu kini menyimpan geliat dan perasan keringat. Kerja keras atas nama sebuah keyakinan mengubah Karang Watu menjadi tempat yang tidak terjamah siapa pun. Tak seorang pun berani mendekat dan memang tidak memancing orang datang mendekat. Selanjutnya, Karang Watu menjadi tempat yang amat terlindung, dari arah belakang tidak mungkin orang datang karena terlindung tebing tinggi, sementara dari arah depan terlindung sungai melengkung yang cukup lebar dan dalam.
Menjadi lebih terlindung karena di sepanjang tepian sungai yang melengkung diberi pagar kayu tinggi yang disamarkan di belakang semak dan perdu.
Melalui sebuah kerja keras wilayah seluas dua kali Tambak Segaran itu disulap menjadi tanah lapang yang digunakan untuk berlatih perang.
Di tempat itu dibangun sebuah pendapa yang sangat besar yang bahkan ukurannya melebihi Balai Prajurit di Kotaraja Majapahit. Pendapa itu tidak terlihat dari luar sungai karena terlindung oleh barisan pohon kelapa 448
Gajah Mada dan bambu. Di belakang bangunan induk terdapat bangsal panjang yang dihuni lebih dari dua ratus orang yang setiap hari, siang dan malam berlatih amat keras, baik secara perorangan maupun kelompok. Bangsal memanjang itu ditopang oleh tiang bambu dengan atap ijuk sehingga sebenarnya sangat mudah terbakar.
Untuk keperluan geladi perang dalam kelompok tersedia tanah lapang yang cukup luas, memadai dimanfaatkan menerjemahkan berbagai gelar perang mulai dari gelar Gajahmeta, Diradameta, Supit Urang, Cakrabyuha, bahkan sampai ke Pasir Wutah. Di tepi lapangan atau tepat di tengah panjang lapangan dibagi dua, sebuah tiang dari bambu mengibarkan sebuah bendera yang dibiarkan berkibar siang malam.
Bendera itu bukan gula kelapa atau buah maja berlatar kain bercorak gringsing lobheng lewih laka, tetapi buah maja berlilit taksaka. Mulut ular yang terbuka lebar seolah akan menelan buah maja.
Jumlah dua ratus orang itu tentu belum memadai bila dibanding kekuatan yang dimiliki Majapahit. Kekuatan lima ribu orang pasukan Sapu Bayu di bawah pimpinan Senopati Panji Suryo Manduro terlalu tinggi untuk dihadapkan hanya dengan dua ratus orang itu. Apalagi, bila dihadapkan dengan pasukan Jalapati yang memiliki kekuatan dua kali lipat kekuatan pasukan Sapu Bayu. Akan tetapi, yang besar selalu berasal dari kecil. Apabila dibiarkan, yang hanya dua ratus orang itu akan merepotkan, menyita banyak waktu, tenaga, dan tambahan rasa pusing di kepala. Sejarah membuktikan apa yang terjadi di Tumapel merupakan contoh yang tak terbantah. Kediri harus menelan pilis pahit karena menganggap remeh pemekaran Tumapel di bawah mantan begal Ken Arok. Ketika kekuatan dirasa cukup, Kediri harus tumbang dalam perang Ganter sekaligus menandai awal berdirinya Rajasawangsa atau Girindrawangsa.
Setidaknya ada dua orang yang sangat berpengaruh di Karang Watu.
Orang yang pertama dipanggil raden, menjadi pertanda siapa pun dia tentulah berdarah biru, warna darah bangsawan. Raden Panji Rukmamurti nama pucuk pimpinan gerombolan yang menghimpun kekuatan di Karang Watu itu masih berusia muda. Bertubuh kurus dengan rambut Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 449
dibiarkan memanjang, tetapi tidak di- gelung keling. Sepintas melihat, orang akan mengira Raden Panji Rukmamurti berjenis kelamin perempuan.
Dalam dandanan wajar, siapa pun menilai Raden Panji Rukmamurti seorang pemuda yang tampan. Gadis-gadis yang melihat wujud wajarnya akan kasmaran. Kumis yang melintang dengan rambut diikat kain udeng menambah ketampanan pimpinan orang-orang yang menghimpun diri di Karang Watu itu. Namun, Raden Rukmamurti yang tidak banyak bicara itu lebih senang berdandan tidak wajar. Apa yang dilakukan pada wajahnya bahkan menjadi contoh dan ditiru anak buahnya. Mungkin bosan menjadi buah bibir para gadis cantik, Raden Panji Rukmamurti mencoreng-moreng wajahnya menggunakan jelaga. Dengan wajah dibuat hitam seperti itu ternyata bahkan memberi kobaran semangat anak buahnya. Bahkan Rangsang Kumuda pun tidak mau kalah. Rangsang Kumuda ikut-ikutan mencoreng-moreng wajahnya hingga tidak seorang pun bisa mengenali wajahnya.
Rakrian Kembar salah besar dalam mengukur kekuatan musuh. Ra Kembar dengan lima puluh orang anak buahnya memandang ke seberang sungai tempat Karang Watu berada dengan penuh perhatian. Dalam siraman cahaya bulan yang mulai memanjat langit dan cukup untuk melapangkan jarak pandang, dengan pacak baris penuh keyakinan, Ra Kembar menyiapkan taklimat sebelum penyerbuan.
Tepat lima puluh orang jumlah prajurit yang mendukung
penyerbuan itu. Tiap sepuluh orang prajurit dengan pangkat rendahan berada di bawah pimpinan seorang prajurit yang dituakan, masing-masing adalah Prajurit Bajang Alit, Prajurit Kenayan, Prajurit Sulung Baung, Prajurit Goda Pasa, dan Prajurit Arya Pamgat Jiwa.
"Kita manfaatkan perahu yang ada untuk menyeberang, begitu sampai di sana langsung mengendap. Kita serbu mereka dengan serangan mendadak."
Ra Kembar benar-benar telah mempersiapkan mereka dengan
sebaik-baiknya. Juga membakar semangat melalui menebar janji-janji, mereka yang berjasa pada negara akan mendapatkan anugerah pangkat 450
Gajah Mada menjadi lurah prajurit semua. Ra Kembar menjanjikan kepada pendukungnya untuk bersama-sama mukti wiwaha, tidak sebaliknya hamukti lara lapa terus sepanjang waktu.
"Semua siap?" tanya Ra Kembar tegas.
" Tandya," jawab para prajurit pendukungnya serentak.
Rakrian Kembar akhirnya memberi isyarat untuk naik ke atas perahu yang telah tersedia di tempat itu tanpa rasa curiga sedikit pun, mengapa ada banyak perahu bagai dengan sengaja disiapkan untuk menyambut kedatangan mereka. Ra Kembar merasa penyerbuan itu terlalu mudah.
Lebar sungai yang setara separuh lebar Tambak Segaran bisa menyulitkan bagi yang tidak bisa berenang. Namun, dengan tersedianya perahu-perahu, penyeberangan ke Karang Watu terasa sangat mudah. Bahkan untuk membekuk gerombolan para petualang di Karang Watu itu pun sangatlah mudah.
Ra Kembar bahkan sangat tidak sabar untuk bisa sampai ke seberang. Itulah sebabnya, Ra Kembar menempatkan diri bergabung dengan perahu paling depan yang bisa diisi oleh sepuluh orang. Disusul perahu berikutnya yang menampung sejumlah itu pula. Disusul lagi oleh perahu berikutnya dan perahu berikutnya.
Tak seorang pun dari mereka yang menyadari bahaya sedang mengintai. Sungai yang dalam mengalir tenang dengan air serasa tidak bergerak, tetapi di bagian bawah ada arus yang tidak wajar, itulah arus bawah yang sulit ditebak ke mana geraknya. Apalagi, yang berada di arus bawah itu bukanlah keadaan yang wajar. Tentu, karena ada puluhan orang yang berenang di kedalaman. Mereka bisa bertahan di bawah air karena menggunakan ruas bambu seruling untuk bernapas.
Betapa terperanjat Ra Kembar yang hampir sampai di seberang itu ketika tiba tiba perahu yang ditumpanginya bergoyang dengan keras.
Demikian kuat goyangan itu menyebabkan perahu itu terbalik dan penumpangnya tercebur berhamburan. Tidak bisa ditolak kemalangan yang datang karena pisau-pisau dari bawah air menawarkan tikaman yang mematikan.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 451
"Gila, apa ini?" Ra Kembar berteriak.
Apa yang terjadi tidak hanya menimpa perahu Ra Kembar, tetapi juga perahu-perahu di belakangnya yang jungkir balik menumpahkan semua penumpang. Serangan yang datang dengan cara tidak terduga-duga itu mengisap habis kekuatan yang dibawa Ra Kembar. Kekuatan yang dipikir cukup untuk menggilas Karang Watu itu langsung larut memberi warna merah, itulah darah dari luka-luka. Seorang prajurit mengalami kesulitan luar biasa setelah tercebur dalam air karena tidak bisa berenang. Air yang bagai tanpa dasar menyulitkannya, tetapi ayunan pisau yang menghunjam perutnya menyebabkan prajurit itu dengan sekuat tenaga membayangkan raut wajah adiknya. Adik perempuan satu-satunya yang sedang sangat membutuhkannya setelah kedua orang tuanya meninggal. Kecemasan yang luar biasa dihadapi prajurit itu. Tidak sekadar takut terhadap datangnya kematian, tetapi lebih karena cemas memikirkan Sri Widati, siapa nanti yang akan melindunginya setelah ia juga pergi untuk selamanya.
"Mati aku, mati aku," prajurit itu mengalami kesakitan dan kebingungan luar biasa.
Namun, tidak ada kalimat yang bisa dituntaskan dalam teriakan karena arus bawah menyeretnya untuk masuk ke pintu gerbang kematian yang terbuka lebar.
Ra Kembar memanfaatkan kesempatan yang dimiliki untuk melesat berenang sekuat-kuatnya. Namun, Ra Kembar harus menahan napas ketika sampai ke seberang disambut dengan ujung tombak yang terarah ke mukanya. Senyap tanpa ada kegaduhan menjadi pertanda, serangan yang digelar itu langsung selesai. Yang ada tinggal kegiatan mengikat sisa penyerbu yang menyerah dan membiarkan mereka yang telanjur menjadi mayat ikut hanyut bersama aliran sungai.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rakrian Kembar merasa jantungnya akan lepas. Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas kepala menyempatkan memerhatikan bagaimana nasib segenap anak buahnya dan merenungkan bagaimana cara mempertanggungjawabkan peristiwa yang terjadi itu di depan Senopati Panji Suryo Manduro, bahkan di depan Gajah Mada, orang yang tidak disukainya itu.
452 Gajah Mada Ra Kembar terjengkang ketika seseorang menendang dadanya. Apa yang dialami Rakrian Kembar meleset jauh dari apa yang dibayangkan.
Seorang laki-laki dengan wajah dihitamkan jelaga menggelandangnya, menyebabkan Ra Kembar jatuh bangun. Ra Kembar melihat tidak hanya dirinya yang mengalami nasib seperti itu, tetapi juga sisa-sisa anak buahnya yang selamat. Pertempuran yang dibayangkan akan berlangsung seru, angan-angan menangkap pemimpin orang-orang Karang Watu tidak terwujud. Sebaliknya, dalam waktu yang sangat singkat, Ra Kembar harus meletakkan tangan di belakang dan diikat menggunakan tali janget.
"Tinggal sepuluh orang," keluh Ra Kembar dalam hati.
Yang sepuluh orang itu dipaksa meletakkan tangan di atas kepala.
Beringas orang-orang berwajah hitam itu oleh amarah yang tidak tertahan, marah karena ada orang yang lancang berani masuk ke wilayah mereka.
"Siapa pimpinannya?" tiba-tiba terdengar sebuah teriakan.
Anak buah Ra Kembar menoleh mengarahkan wajah pada dirinya.
Kembar tak mungkin menghindar.
"Kamu pimpinannya?"
Kembali Ra Kembar yang berjongkok terjerembab oleh tendangan dari arah belakang menghajar punggungnya. Ra Kembar yang amat menyesali kecerobohannya berusaha menahan sakit.
"Siapa namamu?" tanya orang berbadan gempal itu.
Belum lagi Ra Kembar menjawab, orang-orang berwajah hitam yang mengelilingi dirinya menyibak, memberi kesempatan kepada orang yang agaknya memiliki pengaruh amat besar. Termasuk orang yang mencecar Ra Kembar, orang itu melangkah mundur.
"Berapa jumlah tamu yang datang, Mandrawa?" bertanya orang yang paling berpengaruh itu.
Rupanya pemilik tubuh gempal itu bernama Mandrawa, dengan sangat sigap ia menjawab, "Tamu yang datang tak diundang tidak jelas berapa jumlahnya, Raden. Akan tetapi, hanya mereka ini yang tersisa."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 453
Ra Kembar memerhatikan orang yang dipanggil dengan sebutan raden itu dengan lebih cermat. Namun, tak mungkin baginya untuk mengenali siapa orang itu karena wajahnya amat hitam dilabur jelaga.
Akan tetapi, Ra Kembar menandai ada yang aneh pada sosok yang disebut raden itu. Dengan segera Ra Kembar menduga orang itulah yang oleh Gajah Mada ditandai sebagai pemilik nama Panji Rukmamurti.
Dengan obor yang telah disiapkan, Raden Panji Rukmamurti memerhatikan wajah Rakrian Kembar.
"Wah, Rakrian Kembar rupanya."
Ra Kembar terkejut, kaget karena orang itu ternyata mengenal dirinya.
"Kamu mengenalku?" tanya Kembar.
"Ya," jawab Panji Rukmamurti. "Aku mengenalmu sangat baik, sebaik kamu mengenali dirimu sendiri. Ra Kembar sahabat akrab Rakrian Tanca, sahabat akrab Rakrian Kuti, juga berteman dengan Rakrian Banyak, Pangsa serta Ra Yuyu. Berada di mana kamu sembilan tahun lalu ketika Ra Kuti menarikan tembang kematian" Tak terlibat dalam makar itu sungguh sangat aneh!"
Rakrian Kembar penasaran. Ra Kembar berusaha mengenali wajah orang di depannya, tak hanya berusaha mengenali wujud lahiriahnya, tetapi juga dari suaranya. Namun, Ra Kembar tak mampu menebak siapa pemilik suara yang diubah-ubah itu. Juga tak mampu menerka wajah milik siapa di balik jelaga hitam yang dilulurkan ke permukaan wajah.
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Ra Kembar.
Panji Rukmamurti tertawa, namun tidak berkeinginan membuka jati dirinya.
"Harus kuakui, telik sandi pasukan Bhayangkara memang luar biasa.
Mereka mampu mengendus tempat ini. Sayang, yang mereka ketahui hanya permukaan saja. Telik sandi Bhayangkara tidak mampu menebak seberapa besar kekuatan yang kuhimpun di tempat ini. Sungguh aku 454
Gajah Mada tidak mengerti, mengapa Gajah Mada mengirim orang yang tak memadai.
Menugasi Rakrian Kembar menyerbu Karang Watu, apa yang bisa dilakukan Ra Kembar?"
Ra Kembar bertambah penasaran. Sosok berwajah hitam di
depannya itu tahu terlalu banyak, bahkan sangat merendahkan kemampuannya. Namun, Rakrian Kembar yang semula tersinggung itu memang harus mengakui tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menggempur komplotan di Karang Watu itu. Bahkan dengan cara amat gampang ia bisa dibekuk.
Raden Panji Rukmamurti akan melanjutkan kata-katanya, tetapi ia batalkan karena seorang anak buahnya berlari mendatangi. Orang itu basah kuyup karena memilih berenang dalam menyeberangi sungai.
"Apa yang akan kamu laporkan?"
"Di luar ada kekuatan yang lebih besar akan menyusul menyerbu tempat ini."
"Seberapa besar?"
"Berkekuatan jauh lebih besar, mungkin lima ratus orang."
Hening menggeratak dan membungkam semua mulut, termasuk
mulut Raden Panji Rukmamurti. Lima ratus orang tentu jumlah yang besar dan merepotkan, tetapi tidak tampak kecemasan apa pun di wajah Raden Panji Rukmamurti.
"Bagaimana dengan Paman Rangsang Kumuda, apakah ia sudah kembali?"
Tak ada yang menjawab dan itu sudah merupakan jawaban.
"Baiklah," kata Panji Rukmamurti. "Berapa pun jumlah mereka tak masalah. Mari kita menyambut kehadiran mereka dengan senang hati.
Kita jadikan tempat ini sebagai kuburan mereka. Sebelum itu, ikat orang-orang ini."
Perintah itu tak perlu diulang dan semua orang langsung berhamburan. Raden Rukmamurti tertawa pendek, tawa yang ditujukan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 455
kepada Ra Kembar itu dilanjutkan dengan penghinaan yang tidak bisa dimaafkan. Ra Kembar tidak bisa memanfaatkan tangannya untuk membasuh ludah yang menyembur mengenai wajahnya.
"Karena kau, Ra Kembar, mestinya dengan senang hati aku akan menyambut kehadiranmu. Akan tetapi, karena kedatanganmu berniat mengganggu ketenteraman tempat ini maka akan kusiapkan sebuah siksaan yang pasti menyebabkan kamu pilih mati."
Ra Kembar tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Rasa nyeri akibat hajaran di punggung dan dada mulai terasa. Namun, lebih dari itu, rasa sakit yang muncul di hati jauh lebih perih, teramat pedih. Pedih itu nantinya akan menjelma menjadi rasa malu bukan kepalang karena menjadi olok-olok bahan tertawaan orang se-Majapahit. Ra Kembar tak habis pikir, bagaimana orang-orang Karang Watu itu menyadari adanya serangan yang bakal menyerbu tempat mereka.
Serbuan dalam jumlah besar, berkekuatan nyaris lima ratus orang itu ternyata tidak menyebabkan Panji Rukmamurti merasa ketakutan.
Dengan penuh keyakinan karena merasa benteng perlindungan yang dimilikinya sangat kuat, pemuda tampan berkumis tipis itu memimpin langsung menghadapi penyerbu yang datang.
Sebenarnyalah bukan perkara gampang untuk menyeberang masuk ke tempat itu. Karang Watu dikelilingi pagar kayu yang disamarkan dalam semak dan perdu, dijaga amat rapat oleh penghuninya dengan panah siap dilepas. Penyamaran yang mereka lakukan benar-benar menyatu dengan alam sekitarnya karena berbagai daun dan rerumputan melekat pada tubuh mereka. Jangankan pada malam hari, bahkan di siang hari sekalipun akan sulit menandai keberadaannya.
Lalu, di bawah air telah disediakan hadangan yang tidak terduga.
Pendukung Raden Panji Rukmamurti adalah perenang dan penyelam yang andal. Menggunakan batang bambu seruling untuk bernapas mereka mampu menempatkan diri di bawah permukaan air dalam waktu yang lama.
Selanjutnya, perlindungan yang terkuat adalah jebakan-jebakan di sepanjang tepian Karang Watu karena ada banyak lubang maut yang 456
Gajah Mada tersamar, yang tak terlihat karena ditutup dengan dedaunan. Padahal di dalam lubang yang dalam itu terdapat kayu-kayu yang diruncingkan yang siap menyambut siapa pun yang terperosok. Anak panah yang siap melesat benar-benar banyak karena menjadi bagian dari jebakan itu pula.
Seseorang yang tidak hati-hati dalam melangkah, bisa jadi kakinya mengenai tali yang merentang yang selanjutnya akan mengungkit anak panah untuk lepas dari busurnya.
Semua jebakan yang siap menjemput itu bisa jadi bernilai lebih besar dari jumlah lima ratus atau bahkan seribu pun orang-orang yang akan datang menyerbu, sementara secara alamiah Karang Watu benar-benar terlindung. Di bagian belakang ada tebing menjulang tinggi yang tidak mungkin dituruni atau dinaiki. Raden Panji Rukmamurti merasa tak perlu menempatkan orang menjaga tebing itu.
Namun, Raden Panji Rukmamurti salah. Atau, Rangsang Kumuda juga punya penilaian yang salah karena dalam pendadaran yang dilakukan, melalui gemblengan yang keras dan kasar, prajurit Bhayangkara benar-benar dirancang untuk menghadapi keadaan yang tak masuk akal. Sayang, hari sedang malam. Andaikata hari itu siang, Raden Panji Rukmamurti akan melihat beberapa orang yang memanjat turun merayap tebing yang menjulang tinggi itu, di antaranya bahkan ada yang tidak memerlukan tali.
Bulan yang beberapa hari lewat dari purnamanya dan oleh karenanya bentuk bulan itu tidak bulat lagi, memanjat makin tinggi dan punya cukup kekuatan untuk menerangi keadaan. Adalah Senopati Haryo Teleng dan Senopati Panji Suryo Manduro yang merasa aneh setelah menilai keadaan di depannya. Pimpinan pasukan Jalapati dan pasukan Sapu Bayu memerhatikan remang di seberang sungai dengan perasaan amat curiga.
"Tidak ada jejak apa pun, tak ada jejak pertempuran. Apa yang terjadi dengan Rakrian Kembar?" tanya Senopati Panji Suryo Manduro seperti kepada diri sendiri.
"Keadaan ini sungguh sangat aneh. Padahal, Ra Kembar pasti berada di sini. Kuda-kudanya menunjukkan itu," jawab Haryo Teleng.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 457
Senopati Haryo Teleng dan Senopati Panji Suryo Manduro
bertindak cermat. Setidaknya mereka adalah prajurit yang menapaki pengalamannya sejak dari bawah melalui berbagai perang dan pertempuran. Kedua senopati itu bahkan terlibat sangat jauh dalam pertempuran mengusir orang-orang Cina, meluluhlantakkan barisannya sampai ke Ujung Galuh. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa berniat menghukum Raja Kertanegara itu terpaksa kembali dengan keadaan berantakan.
Berbekal pengalaman itu, Senopati Haryo Teleng dan Suryo Manduro tidak melakukan tindakan gegabah. Beberapa buah perahu yang telah tersaji di tempat itu sungguh sangat mencurigakan.
"Perahu itu aneh,"
"Ya," jawab Suryo Manduro. "Kalau aku penghuni tempat itu, aku tentu tak akan meletakkan perahu di sini, mestinya di sana."
"Ini jebakan." Senopati Haryo Teleng terkejut. Ada sesuatu yang tertangkap matanya.
"Gila," Haryo Teleng meletup.
"Ada apa?" tanya Suryo Manduro.
"Benar-benar jebakan. Kurasa ada banyak orang menyelam di bawah. Lihat itu."
Suryo Manduro dan Haryo Teleng akhirnya meyakini benda-benda mencuat dari dalam air itu jelas batang bambu yang digunakan bernapas.
Benda itu hilir mudik ke sana kemari menjadi pertanda di bawahnya ada orang.
"Apabila kita bisa menemukan satu mayat saja, hal itu akan menjawab rasa penasaranku terhadap bagaimana nasib Ra Kembar."
Senopati Panji Suryo Manduro dan Haryo Teleng yang berdiri di tepi sungai yang mengalir dengan tenang itu akhirnya mundur menemui segenap anak buahnya yang baris pendhem. Tak seorang pun yang berdiri, 458
Gajah Mada semua berlindung. Dengan singkat Panji Suryo Manduro dan Haryo Teleng menyampaikkan taklimat pada anak buahnya yang disimak dengan kesungguhan.
"Prajurit Tawang Alun," Panji Suryo Manduro menyebut nama.
Yang dipanggil bergegas mendekat.
"Berjalanlah di sepanjang tepian sungai ke hilir, periksa apakah ada mayat yang mengapung atau tidak. Begitu kamu menemukan langsung kembali."
"Siap," jawab Prajurit Tawang Alun.
Ketika menyusur sepanjang tepian sungai, Prajurit Tawang Alun melihat apa yang diceritakan pimpinannya benar adanya. Ada banyak ujung bambu yang mencuat dari dalam air merupakan bukti nyata ada orang di bawah permukaan air.
"Gila," desis Tawang Alun.
Prajurit Tawang Alun tidak harus pergi terlalu jauh ketika menemukan bukti yang dicari. Sesosok mayat mengapung telentang tidak ikut hanyut karena tersangkut sesuatu.
"Bagaimana?" tanya Senopati Panji Suryo Manduro.
"Dugaan Senopati benar. Aku menemukan satu mayat tersangkut telentang," jawab Tawang Alun.
Setelah hening beberapa jenak, Senopati Haryo Teleng akhirnya angkat bicara.
"Sifat dadakan dalam serbuan gugur di sini. Kita tidak bisa memaksakan diri menyerbu karena mereka justru sedang menunggu.
Kurasa ada banyak jebakan yang akan menyambut kita, di bawah air, di balik pagar. Menurutku kita menunggu siang untuk bisa melihat keadaan dengan lebih jelas."
"Ya," jawab Suryo Manduro. "Kita tidak punya pilihan lain selain menunggu siang. Akan tetapi, apa salahnya bila sekarang juga kita bermain-main. Kita hujani mereka yang berada di bawah permukaan air itu dengan anak panah!"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 459
"Ya, aku setuju," jawab Haryo Teleng.
Maka tak perlu ada yang disembunyikan lagi. Para prajurit yang dibawa oleh Senopati Haryo Teleng dan Suryo Manduro berbaris di sepanjang tepi sungai dengan sikap seolah masing-masing akan menyeberang dengan berenang. Dari perlindungan di balik pagar bambu dan semak yang rapat, Raden Panji Rukmamurti memerhatikan tamu-tamu yang tak diundang itu dengan saksama.
"Ayo, menyeberanglah kalian," Raden Panji Rukmamurti berkata.
Akan tetapi, Raden Panji Rukmamurtilah yang harus terkejut, sebagaimana anak buahnya yang menyelam di bawah air juga terkejut manakala dengan mendadak Senopati Haryo Teleng dan Senopati Panji Suryo Manduro berteriak bersama-sama. Teriakan itu menjadi isyarat.
Maka anak panah langsung berhamburan menembus air, tepat pada bagian ujung bambu nongol di permukaan. Permukaan air yang semula tenang segera menggeliat seolah di bawah ada ikan besar yang menggerakkan tubuh. Maka celaka orang-orang yang melaksanakan tugas khusus pencegatan di bawah air itu. Bila anak panah mengenai tubuhnya, dengan sendirinya ruas bambu yang digunakan bernapas terlepas dan memaksa mereka keluar ke permukaan. Perbuatan itu menjadikan nasib mereka lebih malang lagi karena menjadi sasaran bidik dan bulan-bulanan.
"Serang mereka, lindungi teman-teman kita," tiba-tiba terdengar teriakan.
Semula anak buah Raden Panji Rukmamurti kebingungan tidak memahami apa yang terjadi, tetapi kelambatan memahami keadaan itu harus segera ditebus dengan melepas anak panah.
"Cukup. Semua mundur," Senopati Panji Suryo Manduro memberi perintah.
Senopati Panji Suryo Manduro harus menjatuhkan perintah itu karena berada di tempat terbuka dan tanpa perisai, sementara anak panah balasan tak ada gunanya karena musuh terlindung dan tidak diketahui di mana keberadaannya. Namun, Panji Suryo Manduro merasa puas karena sejenak kemudian permukaan sungai berubah. Bila siang hari warna air 460
Pendekar Lembah Naga 28 Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 32
^