Pencarian

Dendam Si Anak Haram 2

Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


"Eh budak kecil, mengapa kau bisa bilang bahwa pinto Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu seorang penakut?"
"Karena kau hanya berani dan sombong terhadap lawan yang sudah dapat dipastikan bukan menjadi tandinganmu. Sudah jelas bahwa Bu Taihiap bukan lawanmu dan tidak akan menang sungguhpun sampai mati sekalipun Bu Taihiap tidak akan mundur selangkah melawanmu, namun engkau masih mendesaknya dan datang untuk memaksakkan kehendakmu. Tosu tua, memaksa orang yang bukan tandingannya, bukankah itu merupakan sebuah perbuatan pengecut dan penakut?"
"Ha-ha-ha-ha, bocah, apakah Bu Keng Liong menggunakan engkau untuk menyelamatkan diri" Ha-ha-ha, kalau dia memang takut, lebih baik serahkan anak Liu Tiu itu kepada pinto dan habis perkara. Pinto pun bukan orang yang suka mencari permusuhan dengan Bu Taihiap!"
"Engkau keliru besar, totiang. Sudah kukatakkan tadi bahwa Bu Taihiap bukan lawanmu, maka jangan kau paksa jika tidak ingin kusebut pengecut dari penakut paling besar di dunia ini. aku datang karena kehendakku sendiri, mengapa nama Bu Taihiap dibawa-bawa" Dia menantimu dengan pedang di tangan, dia tidak pernah takut, akan tetapi engkaulah yang beraninya hanya melawan orang yang kepandaiannya lebih rendah daripadamu, Cih, tak bermalu!!!" Sesabar-sabarnya manusia ada batasannya. Ya Keng Cu bukan seorang dewa, melainkan seorang manusia biasa. Mulailah ia "terbakar" oleh ucapan-ucapan Kwan Bu, matanya mengeluarkan sinar berapi,
"Budak cilik! Jagalah baik-baik mulutmu yang kurang ajar! Kalau pinto tidak ingat bahwa engkau masih seorang kanak-kanak, lehermu sudah kupenggal sejak tadi!"
"Nah-nah, apa kataku tadi" Beranimu hanyalah mengancam kanak-kanak!"
"Keparat! Kalau Bu Taihiap bukan lawanku, siapa yang akan melawan pinto" Engkaukah" Ha-ha-ha-ha!"
"Beberapa tahun lagi baru aku akan melawanmu! Akan tetapi sekarang, kalau engkau bisa menandingi guruku. barulah engkau berhak memakai julukan Koai-kiam dan tidak akan kusebut pengecut lagi. Lawanlah dulu guruku, kalau engkau menang, baru kau boleh ganggu keluarga Bu, aku tidak banyak omong lagi!" Hati pendeta itu sudah kena dibakar. Ia marah dan penasaran, mendengar ini lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, baru bisa sedikit ilmu menotok kau sudah sombong menganggap gurumu dewa" Ha-ha, bocah, kau bermulut lancang, mungkin belum pernah menyaksikan ilmu yang sebenarnya. Nah, kau lihat baik-baik, apakah gurumu sanggup melakukan seperti ini?" Baru saja habis tosu itu berkata, tubuhnya sudah berkelebat melayang ke arah sebatang pohon besar,
Lalu tampak sinar terang kemerahan menyambar-nyambar di sekeliling pohon seakan-akan pohon itu terbakar sinar merah. Tak lama kemudian sinar merah lenyap, tubuh pendeta itu sudah berada di depannya, Kwan Bu berhenti bernapas saking kaget dan herannya melihat betapa pohon itu telah berubah bentuknya! Pohon itu kini telah menjadi bulat bentuknya. Semua daun dan ranting telah terbabat rapi dan kini di bawah pohon tampak bertebaran daun dan ranting. Bahkan ketika tosu itu sudah kembali di tempatnya, masih ada beberapa helai daun yang melayang-layang belum sampai ke tanah! Pucat wajah Kwan Bu, akan tetapi kesuraman malam menyembunyikan perubahan warna mukanya. Ia menduga tepat. Ilmu pedang kakek ini hebat luar biasa dan kalau bertanding melawan kakek ini, majikannya bisa celaka. Maka ia lalu tertawa,
"Hahaha, permainan kanak-kanak macam itu boleh saja kau pakai untuk menakut-nakuti orang lain, akan tetapi tentu hanya ditertawai guruku."
"Bocah! Siapa gurumu" Panggil dia ke sini biar kupenggal lehernya dalam sepuluh jurus!" bentak si tosu yang tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi.
"Kuberitahu juga, tentu engkau tidak mengenalnya. Namanya terlalu besar untuk dikenal sembarangan tokoh seperti totiang." Hampir saja tangan tosu itu bergerak menampar kepala Kwan Bu saking marahnya. Dia dikatakan tokoh sembarangan!" Padahal ia amat terkenal di dunia kang-ouw dan tidak ada tokoh besar yang tidak dikenalnya, sedikitnya mengenai nama. Melihat kemarahan tosu itu memuncak, Kwan Bu yang cerdik tidak mau menggoda lagi dan melanjutkan.
"Guruku seorang hwesio." Anak ini tahu bahwa hwesio dan tosu tidak pernah akur, maka ia sengaja menyebut nama hwesio agar membuat si tosu menjadi makin penasaran. Yang penting, pikirnya tosu ini tidak akan menyerbu rumah majikannya!
"Hemm, seorang keledai gundul, ya" Bagus, siapa julukannya?" Karena memang tidak punya guru. Kwan Bu tentu saja tidak dapat menyebutkan julukannya, akan tetapi ia tidak kekurangan akal dan berkata lagi.
"Tak perlu menyebut nama, guruku dalam beberapa hari ini akan datang ke sini. Kau tunggulah saja kalau beliau sudah datang, boleh memusuhi Bu Taihiap." Anak ini mengarang cerita begitu dengan maksud agar majikannya mendapat waktu dan kesempatan untuk mencari akal menghadapi lawan berat ini.
"Bocah! Kalau kau tidak menyebutkan nama gurumu, pinto tidak akan melayanimu lagi!" Tosu itu kini menengok ke arah rumah tinggal Bu Taihiap dan hati Kwan Bu menjadi gelisah. Saking cemasnya kalau-kalau tosu ini benar-benar tidak melayaninya dan meninggalkannya menerjang ke dalam rumah, ia berkata cepat-cepat dan gagap.
"Guruku bukan manusia sembarangan. Beliau setengah dewa......... berlengan delapan...!" Tentu saja ini hanyalah bual dan gertakan seorang kanak-kanak. akan tetapi sungguh di luar dugaan Kwan Bu, tosu tua itu menjadi pucat dan agaknya menjadi kusut sekali. Sejenak tosu itu termanggu kaget, kemudian membentak,
"Dia..." Tak mungkin! Bocah kecil, kau berani membohong, ya" Kau pantas dipukul"!" tosu itu melangkah maju dan membuat gerakan hendak menampar.
"Ha-ha, sejak kapan seorang tosu tua Bangka hendak memukul seorang anak kecil?" Suara ini parau dan besar sekali namun tanah di sekitar pekarangan itu serasa tergetar-getar seperti ada gempa bumi, Kwan Bu cepat menengok sambil memutar tubuh ke belakang dan...... kiranya disitu telah berdiri seorang hwesio tua yang berkepala gundul dan amat gendut perutnya, persis seperti arca yang sering ia lihat dalam kelenteng! Hwesio tua ini bertangan kosong, kepalanya gundul pelontos. bahkan tubuh atas tidak memakai baju.
"Pat-jiu Lo-koai......!!" Si tosu berseru dengan suara kaget sekali. Dan Kwan Bu yang mendengar ini menjadi kaget juga girang. Agaknya di dunia ini memang ada Orang yang berjuluk Pat-jiu Lo-koai (Kakek Aneh Berlengan Delapan), jadi cocok dengan kata-katanya tadi bahwa gurunya berlengan delapan. Pantas saja tosu ini kaget, dan mengapakah tosu itu kaget mendengar nama seorang hwesio yang kelihatan lucu ini" Ia cepat mundur dan minggir sambil menonton dengan mata terbelalak dan penuh perhatian.
"Pat-jiu Lo-Koai, jadi benarkah engkau guru bocah ini?"
"Ha-ha-ha, semua orang di dunia adalah murid pinceng (aku), termasuk engkau sendiri, Ya Keng Cu!"
Kwan Bu mendengar ini menjadi geli hatinya. Eh, kiranya hwesio ini tidak bohong, karena biasanya seorang hwesio disebut suhu (guru) oleh semua orang, jadi tidaklah terlalu salah kalau hwesio itu dianggap guru olehnya!
"Pat-jiu Lo-koai, jalan kita bersimpang harap kau orang tua jangan mencampuri urusanku dengan keluarga Bu."
"Eh, tosu yang sama tuanya dengan pinceng, kau dengarlah. Pinceng juga minta agar engkau jangan mencampuri urusan Bu Keng Liong dengan anak keponakannya itu. Nah kau tidak mencampuri urusan mereka, pinceng tidak mencampuri urusanmu. Bukankah adil itu?"
"Wah, adil. Adil sekali itu!!" Kwan Bu bersorak girang, merasa mendapat kawan.
"Pat-jiu Lo-koai, kalau begitu kau sengaja menantangku!" Sambil berkata demikian, tosu itu menggerakan tangan kanannya dan tampaklah sinar kemerahan ketika pedangnya tercabut. Kwan Bu menjadi khawatir lagi. Ah, kalau sampai terjadi pertempuran, mana bisa hwesio gendut ini menang" Dia memandang dengan hati berdebar-debar. Akan tetapi hwesib itu hanya tertawa, lalu menggunakan tangan mengelus-elus kepalanya yang gundul licin.
"Hah-hah, kepalaku baru saja dicukur licin, mana bisa kau hendak tolong aku mencukurnya kelimis seperti pohon itu" aha, tosu kau terlalu baik hati!" Diejek demikian, Koai-kiam Tojin yang sudah mengenal siapa adanya hwesio di depannya, berseru keras dan menerjang maju. Pedangnya berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung. Untuk kedua kalinya selama hidupnya Kwan Bu menyaksikan pertandingan.
Pertandingan pertama antara kedua majikannya melawan tujuh orang Sin-to Chit-hiap dianggapnya merupakan pertandingan yang hebat dan amat cepat, akan tetapi pertandingan sekali ini membuat ia benar-benar melongo, karena ia seperti melihat kilat menyambar-nyambar dan angin menderu-deru di sekeliling tempat itu. Ia tidak bisa melihat bagaimana jalannya pertandingan karena sama sekali tidak melihat dua orang itu. Hanya tampak gulungan sinar pedang merah menyelimuti mereka berdua sehingga anak ini hanya berdiri terpaku di tempatnya dengan mata terbelalak menahan napas. Lewat sepuluh menit, tiba-tiba gulungan itu pecah menjadi dua dan tahu-tahu tubuh si tosu sudah mencelat dan berdiri jauh. Pedangnya kini telah berada di tangan si hwesio gendut yang tertawa-tawa lalu melontarkan pedang ke arah tosu itu sambil berkata,
"Permainan bagus sekali. apakah masih ada lagi, totiang?" Tosu itu marah bukan main, menerima pedangnya, lalu menjura dan berkata.
"Sepuluh tahun lagi pinto datang untuk membunuh anak Liu Ti di rumah ini, boleh losuhu datang menghalangi!"
"Ha-ha-ha, cukup kelak kuwakilkan pada muridku, tosu bandel!" Ya Keng Cu memandang kepada Kwan Bu dengan melotot, kemudian tubuhnya berkelebat dan ia lenyap dari situ. Hwesio itu tertawa lagi, mengelus-elus perutnya yang gendut, kemudian membalikkan tubuhnya dan dengan langkah lebar meninggalkan pekarangan itu.
"Losuhu.... tunggu....!" Kwan Bu memanggil dan mengejar, akan tetapi hwesio itu berjalan terus tanpa memperdulikannya. Betapapun cepatnya Kwan Bu mengejar, tetap saja ia tidak mampu menyusul dan setibanya di bawah dinding pekarangan, tubuh hwesio itu tiba-tiba mencelat ke atas dan lenyap di luar dinding, Kwan Bu berlari-lari melalu pintu dinding dan terus ia berlari keluar. Tidak dilihatnya ke mana perginya hwesio itu, maka ia berlari terus mencari-cari. Tiba-tiba dari jauh ia melihat bayangan hwesio itu berjalan seenaknya menuju ke selatan kota. Ia terus mengejar sambil memanggil-manggil.
"Losuhu... tunggu", teecu (murid) mohon menjadi murid losuhu...!" Namun hwesio itu terus berjalan sampai di luar kota sebelah selatan kemudian tiba-tiba lenyap. Kwan Bu terus mengejar. Terengah-engah, dan jatuh bangun karena jalanan gelap. Namun ia tidak perduli, terus ia berlari-lari ke depan. Bayangan hwesio itu kadang-kadang Nampak, kadang-kadang lenyap. Benar-benar seperti setan, akan tetapi setiap kali tampak oleh Kwan Bu, anak ini terus berteriak-teriak memanggil dan menyatakan ingin menjadi muridnya. Hwesio gendut itu tetap tidak pernah menengok dan berjalan terus, bahkan kadang-kadang menghilang.
Sampai malam terganti pagi, Kwan Bu masih terus mengejar-ngejar bayangan hwesio itu. Tubuhnya sudah lelah sekali, akan tetapi ia tidak perduli! Ia harus menjadi murid hwesio sakti itu. Harus! Biar sampai mati mengejar, lebih baik mati kalau tidak bisa menjadi muridnya, karena ia tahu bahwa selama hidupnya belum tentu dapat bertemu dengan seorang guru yang sakti seperti hwesio itu. Sampai tengah hari, hwesio itu masih tampak berjalan di depan, menuju sebuah gunung, mulai mendaki gunung. Melihat ini sungguh mengecilkan hati. Tubuh sudah lelah seperti itu, bagaimana harus mendaki gunung lagi" Namun Kwan Bu adalah seorang anak yang sejak kecil sudah banyak mengalami tekanan batin, sudah pandai menyimpan perasaan dan karenanya tekadnya kuat sekali. Ia mengejar terus dan tiba-tiba bayangan hwesio di lereng gunung itu lenyap!
Kwan Bu mendaki terus dengan susah payah, tidak mungkin hwesio itu menghilang, pikirnya. Tentu di atas sana terdapat kuilnya. Sepatunya sudah mulai hancur batu-batu runcing rnenggerogoti telapak kakinya. Lututnya terasa tak bertulang lagi, akan tetapi ia tidak mau berhenti sama sekali. Sampai matahari turun ke barat, hwesio itu tidak tampak lagi dan mulailah hati anak itu khawatir. Ingin ia menangis, ingin ia menjerit-jerit karena kecewa dan menyesal, akan tetapi ia menekan perasaan ini dan mendaki terus. Ia harus menemukan hwesio itu atau kalau perlu mati dalam usahanya! Setelah melalui dan naik turun beberapa anak bukit di lereng-lereng gunung itu, mencari ke mana, akhirnya cuaca menjadi demikian gelapnya sehingga tidak memungkinkan dia maju lagi. Banyak terdapat jurang-jurang di situ dan di dalam gelap, mana mungkin maju" Pula, kedua kakinya sudah tidak dapat ia gerakkan lagi.
Semalam dan sehari ia berjalan dan berlari tanpa henti. Ia masih berusaha mengangkat kaki, akan tetapi tak dapat dan setelah mengeluarkan keluhan panjang, tubuh anak ini terguling ke atas tanah dalam keadaan pingsan! atau boleh jadi juga tertidur karena saking lelahya. Pada keesikan harinya, sinar matahari yang hangat membangunkannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit perutnya lapar, akan tetapi ia tidak menghiraukan semua itu. Pertama-tama yang dilakukan adalah bangkit duduk dan memandang ke sekeliling dengan pandang mata mencari-cari. Mencari bayangan hwesio itu! Namun lereng gunung itu sunyi sekali, tidak ada seorang pun manusia. Ia bangkit berdiri, kakinya sakit-sakit akan tetapi dapat digerakkan dan mulailah mendaki lagi sambil berpegangan pada batu-batu besar.
Sampai lewat tengah hari ia masih mendaki, keringatnya sudah membasahi seluruh tubuh dan perutnya amat lapar, serasa kulit perut menempel kulit punggung saking kosongnya, kedua kakinya seperti tak bertulang lagi. Ia tidak putus harapan, hanya hampir putus tenaga. Sore hampir tiba dan tidak tampak bayangan hwesio itu. Ketika Kwan Bu dengan pengerahan tenaga seadanya mendaki lagi sebuah puncak kecil dengan hati lebih berat daripada kakinya karena sedari itu tak juga ia melihat bayangan hwesio yang dikejarnya, tiba-tiba ia hampir berseru kegirangan karena dari puncak kecil itu ia melihat bayangan hwesio gendut yang dicari-carinya! akan tetapi hwesio itu berada di tempat jauh di bawah dan jalan menuju hwesio itu hanya melalui sebuah jurang yang terjal sekali. Namun Kwan Bu tidak perduli.
"Losuhu...!!" Ia berteriak girang lalu turun dan mulailah ia merangkak menuruni jurang yang amat terjal dan sukar itu. Hanya berpegang kepada ujung-ujung batu gunung atau pohon-pohon yang tumbuh di situ, atau menginjak benda-benda yang sama pula, Amat sukar, licin dan kaki tangannya sudah mulai baret-baret terkena batu yang tajam, akan tetapi ia turun terus tidak perdulikan itu semua, kadang-kadang menengok ke bawah dan bayangan hwesio yang berdiri termenung jauh di bawah itu menambah semangatnya.
Akan tetapi, kekuatan yang timbul dari kegembiraan hati itu tidaklah dapat bertahan lama karena memang tubuhnya sudah terlalu lelah, perutnya terlalu lapar dan urat-urat di tubuhnya terlalu banyak dipergunakan, melewati ukuran. Setelah merayap turun kira-kira lima puluh meter, tiba-tiba kakinya terpeleset. Ia bergantung dengan tangannya saja pada sebuah akar pohon. Celaka baginya akar itu sudah lapuk dan tak dapat ditahan lagi, tubuhnya melayang jatuh ke bawah, ke tempat yang dalamnya tidak kurang dari tiga ratus meter! Orang lain mungkin akan mengeluarkan pekik mengerikan kalau terjatuh seperti ini, atau pingsan, akan tetapi Kwan bu benar-benar seorang anak yang luar biasa. Ia tidak menjerit, bahkan ia menekan rasa ngerinya, menggunakan akalnya, kaki tangannya bergerak terutama tangannya menjangkau sedapat mungkin ke arah lereng jurang.
Tiba-tiba ia merasa kedua tangannya seakan-akan hendak terlepas dari tubuh, pundaknya serasa patah, akan tetapi tubuhnya tidak melayang turun lagi. Kiranya ia telah jatuh tersangkut pada sebatang pohon kecil dan kedua tangannya berhasil mencengkeram ranting-rantig pohon itu. Tubuhnya sakit-sakit, terutama pundak dan lengannya, akan tetapi ia selamat...... untuk sementara. Berapa lama ia dapat bertahan" Selagi ia meramkan mata untuk mengusir kepeningan kepalanya, tiba-tiba ia mendengar tertawa, ia membuka mata dan... Tahu-tahu hwesio gendut itu sudah berada di situ, berdiri di pangkal pohon yang berada di sebelah bawahnya, ada dua puluh meter jaraknya antara dia dan hwesib gendut di bawah.
"Ha-ha-ha, bocah bandel. Mengapa kau mengejar-ngejar pinceng sampai begini macam?"
"Losuhu.....!" kata Kwan Bu dan ia sendiri merasa heran mendengar semuanya, begitu ringan, begitu kosong, seperti bukan suaranya sendiri, suara orang yang berada di ambang pintu kematian, hampir kelaparan, hampir kehabisan tenaga.
"Losuhu... teecu mohon... sudilah kiranya suhu menerima teecu menjadi murid..?"
"Mau apa menjadi murid pinceng" Pinceng tidak bisa apa-apa!"
"Teecu... teecu ingin belajar ilmu silat.."
"Ha-ha-ha, anak goblok kalau belajar ilmu silat saja sampai ditempuh seperti ini! apa sih untungnya pandai silat" Mau apa kau belajar silat?"
"Agar teecu dapat membasmi orang-Orang jahat!" jawab Kwan Bu tidak ragu-ragu lagi. Kembali hwesio itu tertawa, kemudian berkata.
"Pinceng sih tidak perduli engkau mau menggunakan ilmu silat untuk membasmi kejahatan atau tidak. Bukan urusan pinceng itu, ha-ha-ha! Sudah bulatkah hatimu menjadi murid pinceng?"
"Sudah, losuhu. Mohon diterima..."
"Haa, diterima sih mudah, akan tetapi kalau memang sudah bulat tekadmu, kau boleh meloncat dari tempatmu itu ke sini. Aku tidak mau menolongmu kalau kau salah loncat dan mati terbanting di bawah sana. Beranikah?" Kwan Bu sudah tidak memikirkan hal-hal lain lagi. Apalagi hanya meloncat, biar mati sekalipun ia tidak takut.
"Baik, losuhu!" katanya dengan keberanian penuh, ia lalu meloncat dari atas pohon kecil itu ke arah tempat hwesio gendut. Tubuhnya melayang bagaikan sebuah batu cepat sekali dan tentu tubuh itu akan terbanting hancur kalau saja hwesio itu tidak mengangkat kaki dan... menerima tubuhnya dengan gerakan kaki menendang. akan tetapi anehnya tubuh itu berhenti meluncur dan tahu-tahu ia sudah berdiri di depan hwesio itu. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali sambil menyebut,
"Suhu..!" Hwesio itu kembali tertawa.
"Semangatmu dan keberanianmu lebih besar dari pada dua orang muridku. Sebetulnya pinceng sudah merasa terlalu banyak dengan dua muridku, akan tetapi melihat semangatmu, biarlah pinceng menambah seorang lagi. Mudah-mudahan kau tidak mengecewakan hati pinceng. Hayo, pegang tanganku dan ikutlah!" Kwan Bu girang bukan main. Ia berusaha berdiri dan memegang tangan hwesio gendut yang menjadi gurunya itu dan... ia hanya memeramkan mata saking ngerinya menyaksikan betapa pohon-pohon beterbangan lewat di kanan kirinya. Kedua kakinya terangkat dan ia seperti terbang saja dengan kecepatan yang amat luar biasa. Gurunya telah membawanya berlari cepat seperti terbang!
Pada keesokan harinya setelah malam kedatangan Ya Keng Cu yang gagal itu, Bu Taihiap terheran-heran karena tosu itu semalam tidak muncul. Selagi ia terheran-heran dan menduga-duga, ia mendapat laporan dari Ciok Kim yang menangis dan mengatakan bahwa puteranya Kwan Bu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, tidak meninggalkan pesan, bahkan pakaiannya pun tidak dibawa. Penuh kekhawatiran, akan tetapi ia dihibur oleh Bu Keng Liong yang tahu akan watak Kwan Bu yang penuh keberanian dan aneh.
"Jangan khawatir, aku melihat puteramu itu bukan anak sembarangan. Anak seperti dia tidak akan mengalami malapetaka. Percayalah. mungkin sekali dia mencari guru yang sakti." Ciok Kim terhibur dan membenarkan dugaan ini. akan tetapi yang masih menduga-duga adalah Bu Taihiap. Adakah hubungan antara tidak munculnya tosu itu dan Ienyapnya Kwan Bu" Di sudut hatinya, ia mendapat dugaan bahwa agaknya ketidakmunculan tosu itu adalah karena perbuatan Kwan Bu yang entah telah melakukan apa dan entah sekarang pergi ke mana. Isterinya pun terheran-heran, akan tetapi Liu Kong segera berkata.
"Agaknya tosu jahat itu suka kepadanya dan mengambilnya murid. Kelak bocah itu tentu akan datang dan memusuhi kita."
"Kwan Bu" Hemm... aku tidak takut, biarpun dia menjadi murid tosu jahat itu," kata Siang Hwi. adapun Kwee Cin diam saja, hanya diam-diam ia mengharap agar kelak Kwan Bu tidak menjadi orang jahat seperti tosu itu.
"Sumoi, begitu kejamkah hatimu" Tidak sedikitkah kau menaruh kasihan terhadap seorang pria yang tergila-gila kepadamu ini" Sumoi, bertahun-tahun aku menahan diri, sehingga tamat pelajaran kita. Waktu berpisah sudah dekat, tidak maukah engkau membalas cinta padaku?" Gadis itu mengerutkan keningnya, lalu membalikkan tubuh membelakangi pemuda itu untuk menyembunyikan dua titik air mata yang meloncat keluar dan mengalir di pipinya.
"Suheng sudah berulang pula kukatakan kepadamu, kita ini kakak beradik seperguruan, dan kini bukan waktunya bicara tentang perjodohan. Mengapa kau begini mendesak?"
"Hemm, sumoi apakah engkau lebih condong memilih sute daripada aku" Bocah tolol itu" Kau mencintai dia?" Gadis itu membalikkan tubuhnya memandang marah, mukanya yang manis kemerahan menambah kejelitaannya.
"Twa-suheng! Kau terlalu menuduh yang bukan-bukan! Pula, kau tidak semestinya menyebut sute tolol. Kepandaiannya tidak di sebelah bawah kita!"
"Ha-ha-ha! Mungkin karena ia hanya hampir sepuluh tahun setiap hari melatih jarum-jarum terkutuk itu, ia menjadi ahli menyambit jarum yang yang jarang ada keduanya. Akan tetapi dalam hal ilmu pedang, belum tentu ia dapat menangkan aku! Di samping itu, dia tidak terpelajar seperti aku, dia miskin tidak seperti aku, dan tentang wajah, hemm... apakah aku kalah olehnya, sumoi" Jawablah, adik manis, sungguh aku cinta..?"
"Sudahlah, Jemu aku mendengarnya!" kata gadis itu sambil membalikan tubuhnya lari membelakangi pemuda itu. Gadis itu usianya kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya manis dan tubuhnya langsing padat berisi. Karena pakaiannya serba ringkas seperti biasa pakaian seirang ahli silat, maka pakaiannya itu tidak banyak menyembunyikan lengkung-lekuk tubuhnya yang menggairahkan. Di balik kecantikannya jelas tampak sifat gagah seorang pendekar wanita. Sebatang pedang tergantung di punggung dengan gagang terhias ronce-ronce merah. Inilah Liem Bi Hwa murid kedua dari Pat-jiu Lo-Koai, seorang gadis yatim piatu yang tidak mempunyai keluarga lagi karena keluarganya tewas semua ketika perampok mengganas di dusunnya.
Dia puteri seorang sasterawan miskin dan biarpun ia berusia Sembilan tahun ketika Pat-jiu Lo-Koai membawanya ke puncak gunung dan dijadikan muridnya, namun Bi Hwa sudah pandai tentang sastera. Hwesio gendut ini melihat bakat baik pada diri Bi Hwa maka diambilnya sebagai murid kedua. Murid pertamanya adalah si pemuda itu, pemuda berusia dua puluh tiga tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan gagah. Pakaiannya mewah dan pedang yang tergantung di pinggangnya amat indah. Pemuda ini adalah Phoa Siok Lun, putera Phoa wangwe (hartawan Phoa) yang tinggal di Kam-sin-hu. Dia belajar setahun lebih dulu dari Bhi Hwa dan semenjak Bhi Hwa menjadi adik seperguruannya, ia selalu bersikap manis kepada gadis ini. Ia dibekali banyak uang emas oleh ayahnya, maka ia dapat hidup mewah dan royal,
Dan selalu membelikan pakaian untuk sumoinya dari pedagang keliling yang lewat di dusun-dusun yang terletak di kaki gunung itu. akan tetapi rasa sayang sebagai saudara seperguruan ini makin lama tumbuh menjadi cinta kasih seorang pria terhadap wanita. Seperti kita ketahui, Pat-jiu Lo-kiai mengambil Kwan Bu sebagai murid pula, murid ketiga, sungguhpun dalam usia ia lebih tua setahun dari pada Bi Hwa, namun karena ia murid ketiga, ia menyebut suci (kakak seperguruan) kepada gadis itu yang menyebutnya sute (adik seperguruan). Demikianlah, pagi hari itu terulang kembali adegan-adegan yang sering terjadi antara Siok Lun dan Bhi Hwa, yaitu pernyataan cinta kasih pemuda ini kepada sumoinya. Sesungguhnya secara diam-diam di dalam hatinya Bi Hwa juga tertarik dan suka kepada twa suhengnya yang tampan gagah dan kaya raya.
Akan tetapi karena suheng ini terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan sikap hendak mencumbu rayu. Gadis itu menjadi kesal hatinya dan merasa tersinggung, merasa tidak dihargai. Berbeda dengan sikap sutenya, Kwan Bu yang selalu ramah tamah dan sopan terhadap dirinya. suhengnya ini tidak ragu-ragu kadang-kadang menyentuh tangannya, memandang ke arahnya seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat! Siok Lun memandang tubuh sumoinya yang membelakanginya. Tubuh yang terbungkus pakaian dengan ketat, yang memperlihatkan bagian-bagian belakang tubuh yang indah dan padat. Alangkah bedanya dengan wanita-wanita yang kadang-kadang diperolehnya di dusun-dusun di kaki gunung. Tidak pernah ia mendapatkan wanita yang kulit lehernya begini putih kuning dan halus, rambut yang begitu halus dan hitam, yang mengikat mayang di dekat telinga.
Siok Lun memang seorang pemuda yang tak dapat mengekang nafsu. Karena gurunya lebih sering bertapa daripada memperhatikan murid-muridnya, karena gurunya seorang aneh yang tak pernah memberi pendidikan ahlak, maka pemuda ini seenaknya saja mencari hiburan, bermain-main dengan wanita-wanita di dusun-dusun, mempergunakan pengaruh uangnya, ketampanannya, juga kadang-kadang kepandaiannya. Kini, setelah menjadi hamba dari pada nafsu birahinya sendiri, melihat tubuh sumoinya dari belakang. membuat nafsunya berkobar dan tak dapat lagi ia menahannya, membuat pikiran yang jernih menjadi keruh. Ia memandang ke kanan kiri. Sunyi di situ. Gurunya sedang Samadhi, adapun Kwan Bu kalau tidak berlatih pedang tentu berlatih main jarum yang menjemukan itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa sekelilingnya sunyi, ia memangil.
"Sumoi......!" ketika sumoinya membuat gerakan menengok, saat itulah ia menggerakan tangannya menotok. Kalau ia tidak memanggil dulu. belum tentu ia akan dapat menotok sumoinya yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi karena dipanggil dan menengok, maka perhatian gadis itu terpecah sehingga ia dapat ditotok roboh dalam keadaan lemas! Siok Lun menerima tubuh yang hendak roboh itu, lalu dipondong dan diciumilah mulut yang setengah terbuka dan tak berdaya itu penuh nafsu sambil membawa lari menuju ke hutan di lereng gunung!
"Suheng! Suci mengapa?" Bagaikan disambar halilintar, Siok Lun melompat bangun. Ia baru saja merebahkan Bi Hwa di atas tanah yang penuh rumput hijau. Ia membalik dan ternyata Kwan Bu telah berdiri di hadapannya. Siok Lun menjadi pucat mukanya.
"Entah........, entah mengapa dia......... pingsan agaknya, aku sedang berusaha menyadarkannya..?" Siek Lun cepat berlutut di dekat tubuh Bi Hwa, membelakangi Kwan Bu dan cepat sekali ia meraba jalan darah sumoinya sehingga terbebas dari totokannya. Bi Hwa meloncat bangun sambil terisak. Tangannya yang kiri mengusap-usap Bibirnya seakan-akan hendak rnenghapus sesuatu dari bibirnya. Kalau ia teringat tadi betapa mulutnya diciumi begitu rupa oleh mulut Suhengnya, ingin rasanya ia menjerit dan mencabut pedang untuk menyerang Siok Lun. akan tetapi, dia seorang gadis yang dapat berpikir panjang. Kalau ia membuka rahasia perbuatan Siok Lun, tentu akan hebat akibatnya. Maka ia hanya menangis. menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Suci, kenapakah engkau menangis" apakah yang menyusahkan hatimu, suci?" Kwan Bu bertanya, suaranya halus dan tenang. Pemuda ini sekarang telah menjadi seorang dewasa berusia dua puluh satu tahun, bertubuh tegap dadanya bidang, wajahnya tampan dan wataknya pendiam. Dia tidak pernah bicara dengan siapa juga tentang dendam keluarganya, akan tetapi kelirulah dugaan orang kalau dia melupakannya. Setiap malam terbayang wajah ibunya yang bermata satu. Dan dikeluarkannyalah sebatang jarum dari saku bajunya. Karena jarum inilah maka Kwan Bu yang digembleng ilmu silat oleh Pat-jiu Lo-koai, berlatih siang malam mempergunakan senjata rahasia jarum. Mendengar pertanyaan Kwan Bu, Bi Hwa dapat menekan perasaan marahnya dan berkata,
"Sute, kalau kuingat betapa sudah sepuluh tahun kita tinggal disini... dan tiba-tiba harus berpisah seperti yang suhu katakan tidak akan lama lagi... ah, hati siapa yang tidak menjadi terharu dan duka?" sambil berkata begini, tanpa melihat kepada Siok Lun, ia pergi meninggalkan dua orang pemuda itu. Siok Lun menarik napas lega, terang-terangan ia menarik napas di depan sutenya lalu berkata,
"Ah, betapapun sudah memiliki ilmu yang tinggi, wanita tetap lemah hatinya... aih, ini mengingatkan aku akan adikku. Ha-ha-ha, di antara segala wanita di dunia ini, kiranya tidak ada yang seperti adik perempuanku. Sama sekali tidak lemah, sebaliknya, keras seperti baja. Ha-ha-ha!" Siok Lun tertawa gembira. Kwan Bu tidak suka melihat suhengnya menertawakan Bi Hwa. Akan tetapi tidak memperlihatkannya di wajahnya ia hanya berkata.
"Suheng, kau tentu tidak dapat merasakan kedukaan sumoi seperti aku."
"Eh, bagaimana maksudmu, sute?"
"Suheng adalah seorang putera hartawan yang memiliki keluarga kaya, sehingga kalau suheng turun gunung, ada tempat yang suheng datangi dan ada tujuan tertentu dalam perjalanan suheng turun gunung. Akan tetapi tidak demikian dengan sumoi. Dia tidak punya apa-apa, keluarga pun tidak, sehingga baginya suhu seolah-olah pengganti orang tua dan kita seperti saudara-saudaranya. Kini dia harus meninggalkan semua ini, bagaimana tidak berduka?" Di dalam hatinya, Siok Lun mentertawakan sutenya ini. Engkau tahu apa, pikirnya dan kembali hatinya lega bahwa sumoinya tadi tidak membuka rahasia. Dia tidak takut menghadapi sutenya, akan tetapi kalau dikeroyok dengan sumoinya, hemm...... berat juga! Apalagi kalau suhunya marah dan turun tangan pula.
"Sute, engkau sendiri kalau sudah turun gunung hendak ke mana" Kalau tidak punya tujuan tertentu, mari kau ikut saja bersamaku, sute. Rumahku besar sekali, ayah seorang pedagang besar yang kaya raya. Tentu ayah dapat memberi pekerjaan untukmu!"
"Terima kasih suheng. Aku... aku mempunyai urusan penting yang harus kuselesaikan."
"Dendam?" Kwan Bu kaget dan memandang wajah suhengnya.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Siok Lun tersenyum,
"Seringkali aku dan sumoi membicarakan engkau. Dan suhu pernah kelepasan bicara kepada sumoi, katanya engkau adalah seorang anak yang keras hati dan sekali mendendam, sampai mati pun akan kau usahakan pembalasannya. Betulkah, sute?" Agar suhengnya ini tidak membujuknya lagi agar ikut bersamanya, Kwan Bu mengangguk dan menjawab singkat.
"Betul, suheng. aku harus mencari musuh besar yang membasmi keluargaku."
"Wah, katakan kepadaku siapa orangnya, sute. Jangan khawatir, aku akan membantumu memenggal batang lehernya!" Siok Lun berkata penuh semangat. Kwan Bu tersenyum. Suhengnya ini orangnya memang peramah sekali, dan pandai bersikap menyenangkan hati.
"Terima kasih, suheng. Soalnya, aku sendiri belum tahu siapa orangnya."
"Hahhh..?" Siok Lun terbelalak memandang. "Habis bagaimana kau bisa.....?"
"Aku hanya tahu bahwa ia pandai silat, pandai mainkan golok dan pandai pula menggunakan jarum sebagai senjata rahasia."
"Namanya?" "Aku tidak tahu."
"Wah-wah, sute, bagaiana kau akan bisa mencarinya" Di dunia ini banyak sekali yang pandai main golok dan jarum. Heee, nanti dulu! Kau tahu" Ayahku sendiri pun seorang ahli golok yang pandai melempar jarum!"
"Ah, suheng jangan main-main. Musuh besarku ini seorang kepala perampok yang ganas dan liar. Ayahmu adalah seorang hartawan yang terhormat, mana bisa dibanding-bandingkan?"
"Aku hanya main-main sute. Akan tetapi, kalau kau tidak dapat ikut bersamaku, sewaktu-waktu mampirlah ke rumah kami di Kam-sin-hu. Asal kau Tanya saja disana rumah gedung keluarga Phoa wangwe, tak ada yang tidak tahu." Kwan Bu mengangguk-angguk.
"Sekali waktu aku akan singgah dirumahmu, suheng?" Tiba-tiba kedua orang muda itu membalikkan tubuh dan segera berlutut di depan hwesio gendut yang sudah tua sekali, Pat-jiu Lo-koai guru mereka. Biar pun gerakkan hwesio gendut itu sama sekali tidak bersuara,
Namun kedua orang muridnya dapat mengetahui kedatangannya, hal ini saja sudah cukup membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian dua orang muda ini. Memang Pat-jiu Lo-koai kakek aneh ini mempunyai cara mengajar yang luar biasa. Ia menggembleng siang-malam dan khusus ilmu silat dan segala kepandaian yang mengenai hal itu. Dia tidak mengajar yang lain-lain bahkan lwekang dan siulian pun ia ajarkan dengan tujuan khusus untuk kemajuan ilmu silat. sedikitpun ia tidak mengajarkan filsalat ilmu kebatinan, pendeknya, ia hanya mencurahkan penggemblengan jasmaniah belaka, sama sekali tidak memperdulikan pendidikan batin. Memang dia seorang ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka dalam waktu sepuluh tahun saja, tiga orang muridnya telah mewarisi ilmu kepandaiannya yang hebat-hebat.
"Suhu...!" Siok Lun dan Kwan Bu berlutut didepan kaki guru mereka. Pat-jiu Lo-koai si kakek aneh berlengan delapan itu tertawa dan menggaruk-garuk perutnya yang gendut dan tak tertutup pakaian.
"Ha-ha-ha, kalian tidak lekas pergi, masih menanti apa lagi" Bhi Hwa sudah pergi sejak tadi, ha-ha-ha! Lekas pergi, Pinceng tidak bisa mengajarkan apa-apa lagi sekarang, sudah habis terkuras oleh kalian!" Yang paling menarik perhatian Siok Lun hanya ketika mendengar Bi Hwa sudah pergi. Maka cepat ia berlutut, mengangguk-angguk delapan kali dan berkata.
"Suhu, teecu mohon pamit, hendak menyusul sumoi." Belum juga kakek itu menjawab, Siok Lun sudah berkelebat cepat sekali dan lenyap dari depan gurunya. Hwesio itu tertawa bergelak dan kembali mengelus-elus perutnya.
"Ha-ha-ha, dasar orang muda. Akan tetapi kuharap mereka dapat berjodoh, akan baik sekali bagi Bi Hwa...! Omitohud, kau masih di sini Kwan Bu?" Kwan Bu berlutut mengangguk-angguk kepala sebelum menjawab,
"Suhu, setelah sepuluh tahun menerima budi suhu yang amat besar, bagaimana sekarang teecu bisa meninggalkan suhu" Suhu sudah tua, kalau semua murid pergi, siapa yang akan melayani suhu" Biarlah teecu tinggal di sini melayani suhu untuk membalas budi suhu yang amat besar." Hwesio itu tidak tertawa lagi, menghela napas panjang.
"Hehh... kau keras hati, berkemauan besar, kenal budi, dan pandai menyimpan perasaan. Kalau dahulu pinceng mempunyai watak sepertimu, kiranya pinceng tidak akan seperti sekarang ini, menjadi orang gelandangan yang tidak karuan, hanya pandai membanggakan nama kosong melompong! Nama besar itu banyak ruginya dari pada untungnya. Nama besar yang disanjung-sanjung orang dapat membuat si pemilik nama menjadi besar kepala, sombong dan bangga, merasa pandai sendiri, hebat sendiri, dan karenanya menimbulkan sifat-sifat kepandiran dan sifat angin-anginan. Belum lagi bahayanya dari pihak yang merasa iri, yang setiap saat berusaha untuk merobohkannya atau mengalahkannya. Hah, nama kosong!"
"Semua wejangan suhu teecu catat dalam hati," kata Kwan Bu.
"Hahh..." Aku tidak memberi wejangan, hanya menceritakan keadaanku. Ahh, engkau murid yang baik, Kwan Bu, murid yang paling baik! Karena itu, dan karena pinceng hendak mengangkat engkau sebagai wakil, maka kau terimalah ini!"
"Toat-beng-kiam...!" Kwan Bu berseru kaget dan girang. Tanpa dapat diikuti pandang mata tahu-tahu tangan suhunya telah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan, merah darah! Inilah pedang Toat-beng-kiam (Pedang Pencabut Nyawa) milik suhunya. yang amat dipuja-puja suhunya, dan pernah suhunya bercerita kepada semua muridnya bahwa pedang ini turun temurun dari nenek moyang gurunya dan merupakan pedang tanda kekuasaan.
"Kalian boleh saja membantah dan mendurhakai aku yang menjadi guru kalian, akan tetapi sekali-kali kalian tidak boleh membantah terhadap pedang ini. Siapa pemegang pedang, dialah pengganti guru besar yang menciptakan ilmu-ilmu kita dan siapa menentangnya, dia akan mati di ujung Toat-beng-kiam!" Dan kini gurunya hendak menyerahkan pedang itu kepadanya!
"Suhu apakah teecu... cukup berharga untuk.. memiliki Toat-beng-kiam?" Ia bertanya meragu, masih belum berani menerima pedang pusaka itu.
"Mengapa tidak berharga" Kau kira pinceng tidak tahu akan keadaanmu" Ha-ha-ha, muridku, engkau, di samping semua sifat-sifat baik, masih rendah hati pula! Nah, kau terimalah dan wakili aku untuk menghadapi tosu bau, Koai-Kiam-Tojin Ya-Keng-Cu itu. Kami berjanji bertemu di rumah Bu Keng Liong. Terimalah!" Sebelum menerima pedang keramat itu, Kwan Bu mengangguk-anggukan kepala dan berkata,
"Teecu Bhe Kwan Bu mendapat kehormatan menerima dan memiliki Toat-beng-kiam yang keramat, semoga teecu dapat menjunjung tinggi sifat-sifat kegagahan yang diutamakan pedang ini dan kalau teecu melanggar, semoga roh-roh para Couwsu mengutuk dan menghukum teecu...!" Hwesio gendut itu tertawa bergelak dengan gembira sekali. Kwan Bu yang menerima pedang melihat bahwa pedang itu terbuat daripada logam merah yang aneh. Tipis sekali pedang itu dan lemas, dapat digulung seperti sehelai sabuk kulit!
"Nah, pergilah sekarang juga, jangan sampai terlambat agar tosu bau itu tidak mengira bahwa pinceng takut. Pinceng karena malas dan memang dahulu sudah pinceng janjikan akan mengirim wakil seorang murid." Kwan Bu lalu bermohon diri dan berangkat meninggalkan puncak gunung dimana ia belajar ilmu sampai sepuluh tahun lamanya. Pakaiannya dari kain tebal sederhana dan buntalannya pun hanya terdapat sesetel pakaian yang butut pula penuh tambalan. Memang Kwan Bu seorang miskin, suhunya tidak punya apa-apa pula, bahkan baju sehelai pun tidak punya.
Maka selama berada di puncak gunung Kwan Bu menjual kelebihan sayur-mayur dan buah-buahan yang ditanam untuk membeli atau ditukar dengan pakaian sekedar untuk menutupi tubuhnya. Ia tidak iri sama sekali melihat pakaian Siok Lun yang serba indah, karena sebagai pelayan rumah keluarga Bu, sudah biasa ia melihat anak-anak lain berpakaian indah tanpa merasa iri. Bahkan ia girang melihat pakaian Bi Hwa terjamin dengan adanya Siok Lun yang suka membelikan pakaian untuk gadis ini. Kalau tidak ada Siok Lun, tentu Bi Hwa terpaksa harus berpakaian kasar dan sederhana seperti dia! Kwan Bu melakukan perjalanan seorang diri, kemudian menduga-duga ke mana perginya Bi Hwa dan apakah dapat disusul oleh Siok Lun. Ia tahu bahwa dua orang muda itu saling mencinta, dan seperti gurunya,
Iapun hanya dapat mengharap semoga mereka itu dapat terangkap menjadi jodoh yang cocok dan bahagia. Kalau orang melihat pemuda ini, tentu sedikitpun tidak menduga bahwa pemuda ini adalah murid Pat-jiu Lo-koai, bahkan yang telah mewarisi Toat-beng-kiam yang berarti bahwa ia menjadi murid kepala sekarang, wakil gurunya! Takkan ada yang mengira bahwa dia seorang yang bukan hanya pandai ilmu silat, bahkan memiliki kesaktian yang tinggi. Berbeda dengan Siok Lun yang menggantungkan pedang pemberian ayahnya di pinggang dan berpakaian seperti seorang pendekar, bahkan Bi Hwa juga menggantungkan pedang di pungung, Kwan Bu ini menyembunyikan pedang pusakanya yang dapat digulung, dipakai sebagai sebuah sabuk di pinggangnya, terbungkus sebuah sarung kulit sehingga kelihatan persis sebuah kulit.
Rumah gedung keluarga Bu di kota Kian-cu dihias indah. Di pekarangan depan yang luas itu ditaruh banyak meja kursi dan suasananya amat meriah karena ada beberapa rombongan musik yang meramaikan suasana perayaan pesta. Apakah yang dirayakan keluarga Bu" Pesta itu diadakan untuk merayakan hari she-jit (ulang tahun) Bu Keng Liong, karena pendekar sekarang telah genap berusia enam puluh tahun. Juga sebagai perayaan gembira bahwa selama ini tidak ada lagi datang gangguan musuh, kehidupan mereka amat tenteram dan tiga orang muda yang belajar silat kini sudah tamat pula. Liu Kong sudah menjadi pemuda betubuh tinggi besar dan kokoh kuat,
Berwajah gagah perkasa dan pakaiannya juga indah serba biru dengan pedang tergantung di pinggang kiri. Sekali pandang saja, tidak akan orang meragu bahwa pemuda tinggi besar murid Bu Taihiap tentulah seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya. Dan memang begitulah, Liu Kong berwajah tampan gagah dan angkuh ini amat hebat kepandaiannya, jarang ada orang muda yang dapat menandinginya, terutama dalam hal tenaga dan ilmu silat tangan kosong. Kwee Cin juga telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun, ia lebih tampan dari pada Liu Kong, lebih pendiam, akan tetapi tubuhnya tetap kecil kurus tidak segagah suhengnya. Namun jangan memandang rendah tubuhnya yang kecil kurus itu karena sesungguhnya Kwee Cin inilah yang telah berhasil mewarisi ilmu silat yang berdasarkan tenaga dalam dari gurunya.
Dialah seorang pemuda ahli lweekeh (tenaga dalam) yang amat tangguh dan dibanggakan oleh gurunya. Pakaiannya juga indah, sungguh pun tidak semewah Liu Kong, dan sebatang pedang tergantung pula di pinggang. Bagaimana dengan Bu Siang Hwi" Dia seorang dara yang cantik jelita! Cantik jelita dan menjadi makin manja karena ia tahu bahwa kedua suhengnya telah tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya! Secara diam-diam kedua orang suhengnya berlomba untuk merebut hatinya dengan cara-cara mereka sendiri! Liu Kong dengan cara yang terang-terangan dan kadang-kadang kasar, sebaliknya Kwee Cin dengan halus dan tidak berterang, melainkan tersembunyi di antara kata-kata dan sikap serta pandang matanya.
Namun sudah amat jelas bagi Siang Hwi bahwa kedua orang suheng ini amat mengharapkan balasan cintanya dan masih menahan-nahan karena di dalam perlombaan mereka itu, Siang Hwi mendapatkan perasaan yang amat nikmat dan membanggakan! Kalau Liu Kong merupakan seorang ahli gwakang tenaga luar yang dahsyat sedangkan Kwee Cin mempunyai keahlian sebagai seorang ahli lweekeh, adalah Siang Hwi menuruni ilmu pedang ibunya yang diperkuat oleh gemblengan ayahnya, yaitu siang-kiam-hoat (ilmu pedang berpasangan) dalam hal memainkan sepasang pedang yang kini terpasang di punggungnya, Siang Hwi telah jauh melampaui permainan ibunya sendiri! Demikianlah besar sekali hati Bu Keng Liong melihat tiga orang muridnya. Biarpun mereka belum dapat mencapai tingkatnya namun mereka boleh dibanggakan.
Setelah kini mereka menjadi dewasa dengan memiliki kepandaian yang lumayan, hati Bu Taihiap tidak lah begitu khawatir lagi. Anak-anak ini telah pandai menjaga diri sendiri sekarang, dan karena selama sepuluh tahun tidak pernah terjadi sesuatu, maka ia anggap bahwa kini tidak ada bahaya mengancam. Hanya hal yang menyusahkan hatinya, yaitu lenyapnya Kwan Bu. Sampai sepuluh tahun anak ini lenyap dan sampai kini tidak ada beritanya bersamaan dengan lenyapnya Koai-Kiam-Tojin yang juga tak pernah muncul kembali, Bu Keng Liong suami isteri bukan hanya mengkhawatirkan keadaan Kwan Bu semata, melainkan terutama sekali menyusahkan keadaan Ciok Kim, ibu Kwan Bu. Sepeninggal anak itu, Ciok Kim makin tahun menjadi makin payah keadaannya. Payah lahir batin, seakan-akan nyonya ini mati sekerat demi sekerat, digerogoti penderitaan batin dari dalam.
Tubuhnya menjadi kurus dan pucat, dan juga wataknya tidak normal lagi, tidak waras. Kadang-kadang tertawa sendiri membisik-bisikan nama Kwan Bu, kadang-kadang menangis sedih. Akan tetapi ia masih tetap melakukan semua pekerjaan rumah dengan rajin. Keadaan Ciok Kim inilah yang menyusahkan keluarga itu. Sudah tidak kurang banyaknya usaha Bu Taihiap suami isteri untuk mengobati dan menghibur Ciok Kim, namun sia-sia dan akhirnya mendiamkannya saja. Mereka tidak tega untuk mengusir pergi Ciok Kim yang sengsara, maka mereka mendiamkan saja perempuan itu yang dianggapnya seperti bayangan saja. Memang sukar mengurus orang tidak waras. Diberi pakaian bersih dan baik, malah dibikin kotor dan dirobek sana sini. Rambutnya selalu awut-awutan. Mula-mula ditegur dan dicela. Akan tetapi karena terus-menerus begitu, akhirnya didiamkan saja.
Bu Keng Liong dan isterinya sudah berdandan rapi dan menyambut para tamu dengan duduk di bagian agak dalam. Di bagian luar berdiri tiga orang muda yang membuat semua mata orang kagum. Yaitu bukan lain adalah Liu Kong, Kwee Cin dan Bu Siang Hwi. Diam-diam para tamu memuji dan mengatakan bahwa Bu Keng Liong yang terkenal sebagai Pendekar Besar Bu itu memang patut sekali mempunyai tiga orang murid seperti itu. Apalagi puterinya, Bu Siang Hwi, benar-benar membuat mata para pria tidak perduli muda maupun tua, melotot dan seperti orang kelaparan melihat nasi putih dan panggang ayam! Diam-diam ludah ditelan, jantung serasa pepat menggeletak di bawah kaki Bu Siang Hwi yang dalam kesempatan itu menggunakan pakaian serba merah jambon,
Ikat pinggang berwarna kuning emas, ikat rambut atau pitanya berwarna biru muda sama dengan warna sepatunya yang bersulam benang emas. Gagang siang-kiam tampak tersembul di belakang punggung. Sungguh manis dan juga gagah! Membuat hati para pria mengilar akan tetapi juga gentar! Seperti melihat seekor burung yang berbulu indah berpelatuk runcing, hati ingin sekali tangan mengelus bulu indah akan tetapi takut dipatuk! Setelah tempat itu penuh tamu yang berdatangan untuk memberi selamat kepada Bu Taihiap dan mendoakan panjang umur sambil menyerahkan barang-barang sumbangan dan tanda mata yang kini bertumpuk-tumpuk di atas meja, Bu Taihiap lalu bangkit berdiri, menghaturkan selamat datang dan terima kasih pada para tamu dan mempersilahkan mereka untuk menikmati hidangan.
Pada saat itu, dari luar masuklah seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Ia meragu sebentar, akan tetapi seorang pelayan yang berjaga di luar cepat mempersilahkannya masuk. Pelayan-pelayan Bu Taihiap terdidik untuk menerima tamu-tamu dari golongan apapun juga, tidak pandang pakaian karena Bu Taihiap maklum bahwa banyak tokoh kang-ouw yang pakaiannya tidak karuan. Pemuda ini bukan lain adalah Kwan Bu. Tentu saja pelayan-pelayan tidak ada yang mengenal mukanya yang sudah banyak berubah dari dulu, sepuluh tahun yang lalu. Kwan Bu kebetulan datang di Kian-cu, mendengar bahwa keluarga Bu mengadakan perayaan pesta ulang tahun. Ketika melihat tempat itu penuh tamu, sebagai seorang yang tahu diri, Kwan Bu tidak masuk begitu saja memperkenalkan diri karena hal ini akan mengganggu jalannya upacara atau pesta.
Maka ia masuk dan duduk di antara para tamu, tidak memperkenalkan diri karena selain menjaga agar tidak mengganggu juga mencari-cari kalau-kalau di antara para tamu terdapat tosu yang dimaksudkan gurunya, yaitu Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu. Ia mengambil keputusan untuk menekan rasa rindunya kepada ibunya, dan menanti sampai pesta bubar, barulah ia masuk menemui keluarga Bu dan ibunya. Dari tempat duduknya di antara para tamu, Kwan Bu dengan girang melihat betapa bekas majikannya itu bertambah gemuk dan sehat, juga Bu Hujin kelihatan sehat gembira. Kemudian ia mengerling kearah Siang Hwi dan pandang matanya berseri-seri gembira. Tidak salah dugaanya dahulu, nona majikannya itu benar-benar menjadi seorang dara yang cantik jelita!
"Dia hebat ya?" bisik seorang tamu muda yang duduk di sebelahnya. Agaknya tamu ini melihat pandang matanya yang tertuju kepada nona itu.
"Hee..." Dia, ya, tentu saja. Dia hebat sekali," kata Kwan Bu dengan muka menjadi kemerahan. Tolol, pikirnya, kenapa aku tidak menjaga diri sampai ketahuan orang lain kekagumanku kepada Siang Hwi,
"Hebat.....!" kata pula pemuda itu mengangguk-angguk. "Bagaikan setangkai bunga merah jambon yang menggairahkan, akan tetapi hati-hati kawan, durinya runcing bukan main...... ha-ha!" Mau tidak mau Kwan Bu tersenyum. Pemuda ini seorang yang periang, seperti suhengnya, pikirnya.
"Dan lebih berbahaya lagi adalah kedua ekor kumbang!"
"Hee" Dua ekor kumbang?" Kwan Bu tidak mengerti. Orang muda itu mengarahkan dagunya ke arah dua orang pemuda yang duduk dekat Siang Hwi.
"Ya, dua ekor kumbang muda itu yang selalu berterbangan mengitari kembang mawar. Berbahaya kalau menyengat!" orang itu menyeringai dengan hati kecut, agaknya mengiri melihat Liu Kong dan Kwee Cin. Kwan Bu tentu saja sekali pandang mengenal Liu Kong. Memang gagah dan tampan. Hebat pemuda itu, pikirnya. Dan Kwee Cin...! Bibir Kwan Bu tersenyum, Kwee Cin yang baik hati. Masih sekurus dulu, sungguh pun wajahnya yang agak pucat kini mengandung sinar kehijauan, sinar wajah seorang ahli lweekeh. Ia kagum dan ingin sekali ia merangkul, menepuk pundak, dan beramah tamah dengan mereka, terutama kwee Cin.
Tiga orang ini duduk di dekat meja di mana di pasang lilin merah sebanyak enam puluh buah menyala. Meja ini dihias dengan kembang-kembang dan di belakang meja ini tertumpuk barang-barang hadiah dari para tamu. Tiga orang muda itu seolah-olah menjaga meja itu yang memang tanda penting dalam acara ulang tahun itu, karena enam puluh batang lilin itu diumpamakan enam puluh tahun yang dilalui Bu Taihiap. Hidup enam puluh tahun dalam gilang-gemilang seperti lilin itu. Lilin-lilin harus dijaga jangan sampai ada yang padam, dan nanti akan ditiup oleh Bu Taihiap sendiri. Pada saat itu, selagi para tamu minum-minum gembira, dari luar muncul lima orang laki-laki. Dua di antara mereka adalah orang-orang berusia kurang lebih empat puluh tahun yang membawa golok besar pada punggung mereka dan yang tiga orang adalah kakek-kakek yang aneh.
Melihat munculnya orang ini, Bu Taihiap memandang dan jantungnya berdebar tegang. Kiranya setelah sepuluh tahun tiada berita, kini secara tiba-tiba, justru pada saat keluarganya merayakan pesta ulang tahunnya, tosu itu datang kembali! Tidak seorang diri, malah bersama empat orang temannya. Bu Keng Liong tentu saja mengenal mereka itu dan inilah yang membuat hatinya berdebar tegang dan gelisah. Dua orang bergolok itu tidak ada artinya, mereka hanyalah dua di antara Sin-to Chit-hiap dan menurut taksirannya, seorang di antara murid-muridnya saja mampu menandingi mereka. Akan tetapi yang membuat ia kaget adalah tiga orang kakek itu. Yang seorang adalah Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu yang sudah ia ketahui kelihaian nya sepuluh tahun yang lalu. Seorang lagi adalah tosu lain yang tubuhnya bongkok,
Tangannya panjang hampir sampai ke tanah, rambutnya riap-riapan dan mukanya seperti tengkorak. Dia dapat menduga bahwa agaknya inilah yang mempunyai julukan Sin-jiu Kim-wan (Lutung Emas Bertangan Sakti) karena rambut yang riap-riapan itu diikat oleh gelang emas. Ia pernah mendengar nama tokoh tua ini yang namanya tidak berada di sebelah bawah nama besar Koai-Kiam-Tojin! adapun orang ketiga juga seorang kakek, pakaiannya seperti petani, tubuhnya kurus tinggi mukanya juga panjang buruk sekali, di pundaknya tampak tersembul gagang pedang, Ia tidak tahu siapa orang ini, akan tetapi dapat menduga bahwa orang inipun bukan orang sembarangan! Rombongan lawan yang datang kali ini benar-benar amat berat! Namun dengan muka tersenyum tenang ia cepat bangkit berdiri menyambut, menjura dan berkata.
"Ah, kiranya totiang dan Cuwi enghiong (tuan-tuan yang gagah) yang datang berkunjung. Silahkan duduk!" Lima orang itu membalas hormatnya, akan tetapi sikap mereka kaku dan Ya Keng Cu segera berkata, suaranya nyaring sekali.
"Bu sicu, maafkan kalau kami menggangu, Sungguh pinto tidak tahu bahwa hari ini sicu sedang merayakan hari shejit. Selamat ulang tahun. Bu sicu!"
"Terima kasih totiang!"
"Kami datang bukan karena perayaan yang sicu adakan, melainkan untuk urusan sepuluh tahun yang lalu. Pinto telah berjanji dengan orang untuk datang lagi sepuluh tahun, dan tidak perduli orang itu muncul atau tidak, sekali ini kami harap Bu sicu suka menyerahkan bocah bernama Liu Kong itu kepada kami agar pestanya tidak terganggu. Harap sicu suka maafkan." Ucapan itu cukup sopan dan beraturan, akan tetapi terdengar tegas dan jelas menyatakan bahwa tosu ini tidak suka dibantah lagi. Bu Taihiap mengerti apapun yang terjadi, tidak nanti ia dapat menyerahkan Liu Kong begitu saja, bukan hanya karena Liu Kong telah menjadi muridnya dan keponakan isterinya, akan tetapi terutama sekali karena ia tidak melihat adanya alasan mengapa Liu Kong harus terbawa-bawa dalam urusan pertikaian politik itu.
"Totiang, sunguh saya harus menyatakan maaf sebesarnya. Seperti yang telah saya katakan sepuluh tahun yang lalu, yang berurusan dengan golongan totiang sekalian adalah mendiang Liu Ti, adapun anaknya, sejak kapan dianggap musuh" apakah dosanya" Tidak, selama tidak ada alasan yang cukup adil, tidak nanti saya dapat membiarkan anak itu diganggu."
"Ha-ha-ha! Biarpun hari ini sudah merayakan hari lahirnya yang ke enam puluh, namun Bu Keng Liong tetap seorang yang keras kepala dan kukuh! Bu-sicu, apakah kau menantang pinto?"
"Kalau saya yang menentang dan mencari gara-gara, tentu bukan totiang berlima yang datang ke sini, melainkan saya yang mendatangi totiang! Saya hanya menyampaikan pendapat saya. dan selanjutnya terserah, sebagai tuan rumah kewajiban saya hanya melayani kehendak tamu." Jawaban ini mengagumkan hati Kwan Bu yang sejak tadi menonton dan mendengarkan, Ternyata majikannya masih tetap gagah perkasa seperti dulu, sungguh pun ada hal yang amat mengecewakan dan menyesalkan hatinya, yaitu kalau ia teringat betapa majikannya selalu menolak mengajar silat kepadanya, bahkan melarangnya! Kini biarpun ia mewakili suhunya untuk menghadapi Koai-Kiam-Tojin, namun kalau ia begitu saja maju berarti akan merendahkan nama besar majikannya, maka ia hanya bersiap-siap saja dan memandang dengan waspada.
"Ha-ha-ha, kalau begitu, tak dapat dicegah lagi, urusan ini harus diselesaikan dengan kekerasan. Kebetulan banyak hadir para tamu yang menjadi saksi. Bu-sicu kalau memang ada pembantu dari luar yang akan memperkuat pihakmu silahkan, pinto tidak akan menghalanginya." Tosu itu tersenyum-senyum sambil memandang ke kanan kiri, lagaknya tidak sombong namun sudah jelas terbayang di wajahnya bahwa ia sudah yakin akan kemenangan di pihaknya, Wajah Bu Keng Liong menjadi merah. Biarpun ia dan keluarganya akan kalah, sampai mati sekalipun, ia akan kalah atau mati dalam keadaan seorang pendekar besar,
"Totiang, Totiang telah datang membawa teman-teman akan tetapi saya tidak pernah mengharapkan bantuan luar untuk membereskan urusan dalam."
"Ha-ha-ha, sicu jangan salah kira. Teman-temanku ini bukanlah orang luar, melainkan orang sendiri, tokoh-tokoh dari pada golongan kami, kaum penentang kaisar lalim! Dua orang sicu ini tentu sudah sicu kenal, yaitu saudara Kam Tek dan Gan lt Bong, dua orang di antara Sin-to Chit-hiap. adapun saudara ini adalah suhengku sendiri, Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu!" tosu itu berhenti sebentar setelah memperkenalkan suhengnya, untuk menikmati kekagetan orang-orang yang berada di situ, akan tetapi ia kecewa karena yang kaget hanya tiga orang muda murid Bu Keng Liong saja sedangkan para tamu lain hanya memandang dengan wajah kosong! Baru ia mengerti bahwa tamu-tamu ini adalah orang biasa, bukan tokoh-tokoh kang-ouw, maka tentu saja tidak mengenal segala macam julukan seperti Sin-jiu Kim-wan (Lutung Emas Bertangan Sakti).
"Dua saudara yang terhormat ini juga seorang tokoh golongan kami yang tentu sudah sicu dengar namanya. Dia adalah Ban-eng-kiam Yo Ciat!" Di dalam batinnya Bu Taihiap terkejut sekali. Inilah sama sekali tidak pernah disangkanya, Yo Ciat, si jago pedang yang amat menggemparkan sehingga belasan tahun yang lalu mendapat julukan Ban-eng-kiam (Selaksa Bayangan Pedang), Benar-benar lawan yang amat berat, akan tetapi pada wajahnya, jagoan ini tetap tenang saja. Pada saat itu terdengar seruan keras dan tahu-tahu Ya Keng Cu yang bongkok dan berlengan panjang itu telah meluruskan kedua lengannya dan berkata,
"Ha-ha, tidak membawa sumbangan apa-apa, hanya bisa membantu memadamkan lilin!" Dari kedua lengannya yan didorongkan ke depan itu mengeluarkan hawa pukulan menyambar ke arah meja lilin dan keenam puluh lilin yang menyala itu mulai goyang apinya! Tiga orang murid Bu Keng Liong marah sekali, mereka sudah bangkit dan seperti di komando saja mereka pun mendorong ke arah lilin-lilin dari jurusan yang berlawanan dan, api lilin yang sudah bergoyang dan doyong itu menjadi tegak kembali! Kakek itu terkekeh, akan tetapi terus mendorong, sedangkan tiga orang muda itu mempertahankan. Tiba-tiba kakek itu berseru kaget dan menurunkan kedua lengannya, mengacungkan ibu jari ke atas dan berkata,
"Di bawah guru pandai, murid-muridnya sangat hebat!" akan tetapi kakek ini sebenarnya mendongkol sekali karena tadi sewaktu ia mengadu tenaga dan sudah yakin pasti menang menghadapi pengeroyokan tiga orang muda itu, secara tiba-tiba saja kakinya terpeleset! Ia maklum bahwa tidak ada orang berkepandaian tinggi mengganggunya, akan tetapi karena ia mengira bahwa hal itu mungkin dilakukan oleh tuan rumah, maka ia tidak menyebut-nyebut yang akan membuat ia sendiri kehilangan muka,
"Hemm... lilin-lilin itu dinyalakan untuk memperingati umurku. Kalau hendak dipadamkan, biarlah oleh aku sendiri!" kata Bu Keng Liong dan dari tempat ia duduk, tangan kirinya menyampok ke arah meja dan.., seketika enam puluh batang lilin menyala itu padam semua! Tepuk sorak dari para tamu menyambut perbuatan yang oleh mereka dianggap seperti sihir saja itu. Liu Kong yang tadi menekan kemarahan hatinya karena tidak ingin mengganggu gurunya menyambut tamu, kini tidak dapat menahan lagi. Ia melompat bangun dan menghampiri para tamu yang berada di tengah ruangan yang cukup luas.
"Inilah aku, Liu Kong!" bentaknya.
"Akulah putera Liu Ti yang sekeluarga kalian bunuh, aku tahu, tentu kalian yang membasmi keluarga ayah. akan tetapi, taat akan nasihat suhu, aku Liu Kong tidak akan mencampuri urusan itu, karena kata suhu kematian ayah bundaku bukan karena urusan pribadi melainkan urusan politik. akan tetapi kalau hendak menangkap atau membunuh aku, silakan aku tidak takut dan akan membela diri mati-matian!" Pemuda yang bertubuh tinggi besar dan amat gagah ini mengagumkan semua Orang. Bahkan Kwan Bu yang dulu banyak dibikin sakit hati oleh pemuda ini juga menjadi kagum. Harus ia akui bahwa Liu Kong memang laki-laki sejati, Sakit hatinya yang dulu-dulu banyak berkurang dan tanpa dibuat-buat ia sudah berpihak pada pemuda ini menghadapi tosu dan kawan-kawannya itu. Tiba-tiba terdengar suara mendengus dan Ban-eng-kiam Yo Ciat sudah melangkah maju.
"Koai-kiam biarlah aku yang menundukan dia." Dia sudah melangkah lebar menghadapi Liu Kong yang sudah mencabut pedangnya lalu berkata menentang.
"Orang muda she Liu, engkau cukup gagah. Sayang ayahmu dulu menjadi penjilat kaisar, Kalau engkau suka membantu perjuangan kami, tidak saja kami akan mengampunimu, malah akan berterima kasih kepadamu. Tebuslah sifat buruk ayahmu itu dengan jiwa patriot."
"Tak perlu banyak omong kosong!" bentak Liu Kong.
"Kalau hendak menangkapku. cabutlah pedangmu, orang tua!"
"Aah, aku tidak akan menghina gurumu dengan melawanmu bersenjata! Cobalah kau serang aku, orang muda, dan sebentar akan kulaporkan kepada gurumu, di mana letak kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahanmu!"
Ucapan ini bahkan amat memanaskan telinga Bu Taihiap karena terang-terangan orang tinggi kurus itu memandang rendah ilmu pedang yang ia ajarkan kepada Liu Kong! Ia mengharapkan muridnya itu berlaku cerdik dan pandai melihat gelagat, Kalau Liu Kong cerdik, setelah mendengar julukan si tinggi kurus ini, tentu dapat menduga bahwa seorang ahli pedang, maka karena lawannya tidak memegang senjata, akan baik baginya kalau ia menyimpan pedangnya dan menandingi kakek ini dengan tangan kosong, apalagi karena keistimewaan pemuda ini memang bertangan kosong, akan tetapi sayang sekali Liu Kong tidak menyimpan pedangnya, melainkan dengan marah karena menganggap ucapan itu menghinanya, lalu menggerakan pedang mulai menerjang dengan dahsyat sekali.
Akan tetapi dengan amat mudah kakek tinggi kurus itu mengelak. Tubuhnya yang panjang itu ternyata lemas sekali, meliuk ke sana ke mari seakan-akan tidak bertulang, akan tetapi selalu dapat mengelak dari sambaran pedang. Liu Kong penasaran dan mempercepat gerakan pedangnya sambil membentak keras. Kakek itu kini juga menggerakkan tubuhnya dan ternyata ia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Tubuhnya seolah-olah menjadi asap saja dan kemana pun juga pedang menyambar, tubuh kakek itu sudah mengelak dengan mudah. Setelah menyerang sampai belasan jurus secara bertubi belum juga berhasil menyentuh ujung baju lawannya, Liu kong kaget bukan main. Kiranya kakek ini tadi bukannya main gertak belaka. Ia memperhebat desakannya dan kini mengerahkan seluruh tenaga. Tenaga pemuda ini memang besar sekali sehingga pedangnya mengeluarkan suara bersiutan dengan berubah menjadi gulungan putih,
Diam-diam Bu Keng Liong mengeluh di dalam hati. Ilmu pedang si jankung ini tentu luar biasa tangguhnya karena melihat ilmu ginkang yang begitu tinggi, tentu gerakan pedangnya lebih cepat lagi. Tidak heran julukannya Selaksa Bayangan pedang. Jangankan Liu Kong dia sendiri belum tentu dapat menangkan kakek jangkung itu. Selagi ia hendak bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan tampak bayangan merah berkelebat disusul bayangan putih. Ternyata sekarang Siang Hwi dan Kwee Cin sudah maju membantu suheng mereka dan kedua Orang muda inipun sudah mainkan pedang mengeroyok.
"Wah-wah-wah............. ganas........" terdengar Ban-eng-kiam Yo Ciat berseru dan kakek ini sekarang terkurung hebat dan terdesak. Betapapun lincahnya, menghadapi empat batang pedang (Siang Hwi menggunakan dua pedang), dia terdesak hebat dan cepat-cepat mencabut pedangnya sendiri. Pedang kakek itu panjang dan ketika digerakkan, terdengarlah suara mengaung yang makin lama makin nyaring sehingga terdengar seperti bunyi tiupan suling bernyanyi! Dan selain itu, kini tampak gulungan sinar putih yang lebar dan panjang, yang melingkar-lingkar seperti ular dan yang perlahan-lahan menolak desakan empat batang pedang murid-murid Bu Taihiap.
"Ha-ha-ha, kiranya Bu Taihiap yang terkenal itu hanya mengandalkan keroyokan untuk memperoleh kemenangan!" Tiba-tiba Ya Keng Cu tertawa bergelak dan mengejek. Muka Bu Keng Liong yang tadinya merah itu menjadi pucat. Ia lalu bangkit berdiri dan sekali tubuhnya berkelebat ia sudah meloncat ke pertempuran dan terdengar suara nyaring dibarengi bentakannya.
"Tahan!" Kini pedang di tangannya sudah saling tempel dengan pedang panjang di tangan Yo Ciat! Setelah melihat tiga orang muridnya mundur Bu Keng Liong juga menarik mundur pedangnya. Angin menyambar di belakangnya, membuat ia maklum bahwa isterinya juga sudah meloncat berdiri di belakangnya dengan pedang di tangan. Kini suami isteri itu bersama tiga orang muda sudah berdiri siap dengan pedang di tangan, dan berkatalah Bu Keng Liong kepada para lawannya,
"Totiang, tidak perlu banyak cakap dan banyak menyindir! Di sinilah kami berdiri berlima, Totiang pun datang berlima. Nah, terserah kepada kalian sekarang. Keputusan kami, seorang mati, semua binasa!" Kini keadaan menjadi tegang sekali dan para tamu menjadi khawatir karena maklum bahwa akan terjadi pertandingan mati-matian antara tuan rumah dan rombongan tosu itu. Juga Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu dan teman-temannya tertegun, tidak mengira bahwa Bu Taihiap begitu nekat dan mati-matian hendak mempertahankan keponakannya. Sejenak mereka tidak dapat berkata-kata, kemudian kesunyian dipecahkan suara Ya Keng Cu yang tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kini Bu Keng Liong kelihatan belangnya! Katakan saja bahwa kalian semua setia kepada kaisar, agar menempatkan kalian di pihak lawan dan tidak ragu-ragu lagi hati kami untuk membasmimu!"
"Terserah penilaianmu, totiang. Kami bukan pembela kaisar, juga bukan penentangnya, kami siap menghadapi apapun juga demi kebenaran! Liu Kong tidak berdosa, maka menangkapnya adalah bertentangan dengan kebenaran karena itu harus kami lawan!"
"Apa yang akan kau andaikan, Bu sicu" Engkau masih terlalu kukuh untuk bersikap gagah-gagahan dalam usiamu yang semakin tua!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring,
"Sepuluh tahun yang lalu, Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu adalah seorang penakut, sekarang usianya sudah bertambah sepuluh tahun, dia ternyata menjadi panakut dan pengecut paling besar! Sungguh menjemukan!" Semua orang, terutama sepuluh orang yang saling berhadapan itu, kaget dan menengok. Kwan Bu berjalan dengan langkah perlahan memasuki ruangan itu, sikapnya tenang dan matanya memandang penuh ejekan ke arah tosu yang kini memandangnya penuh perhatian. Tiba-tiba Ya Keng Cu berubah warna mukanya, matanya melotot marah sekali, jari telunjuknya menuding dan ia membentak,
"Kau.. kau... bocah setan...... kau budak pelayan yang dulu itu, keparat...!!" Akan tetapi sambil berkata demikian, matanya lalu memandang ke sekeliling, mencari-cari karena ia menduga dengan hati kecut bahwa budak ini muncul bersama Pat-jiu Lo-koai, maka ia hari ini datang mengajak suhengnya Sin-jiu Kim-wan Yo Thian Cu dan Ban-eng-kiam, Yo Ciat. Namun Kwan Bu tidak memperdulikan tosu ini yang marah-marah kepadanya. Melainkan cepat menghampiri Bu Keng Liong dan isterinya yang memandangnya dengan mata terbelalak.
"Kwan Bu...!" Bu Keng Liong berseru kegirangan dan juga keheranan. Kwan Bu menjatuhkan diri berlutut di depan majikannya, lalu berkata,
"Maafkan hamba, yang muncul dalam keadaan begini. Harap jiwi suka kembali duduk karena hamba ada sedikit urusan yang harus diselesaikan dengan tosu bau ini." Bu Keng Liong bertukar pandang dengan isterinya, kemudian karena tahu bahwa banyak mata memandang ke arah mereka dan bukan saatnya untuk bicara, Bu Keng Liong mengangguk dan menuntun tangan isterinya diajak kembali ke tempat duduk mereka. Kwan Bu lalu menghampiri tiga orang muda yang masih memegang pedang dan sambil tersenyum ia menjura.
"Selamat bertemu, nona Siang Hwi, Liu kongcu, Kwee kongcu. Harap sam-wi sudi duduk kembali karena urusan Liu kongcu kini ditunda. Saya mempunyai urusan dengan tosu bau itu yang harus diselesaikan dulu." Sambil berkata demikian ia mengedipkan sebelah matanya kepada Kwee Cin. Kwee Cin tersenyum lalu menyarungkan pedangnya, Liu Kong dan Siang Hwi yang tadinya ragu-ragu terpaksa juga menyarungkan pedangnya karena melihat betapa tadi Bu Keng Liong dan isterinya mengundurkan diri. Akan tetapi mereka merasa tidak puas, apalagi Liu Kong. Mau apa budak tolol ini, pikirnya! Memalukan saja kepada keluarga Bu. Baru pakaiannya begitu butut, sikapnya ketolol-tololan! Akan tetapi dengan sikap ramah Kwan Bu menepuk-nepuk punggungnya dan berbisik,
"Kong-Cu mereka lihai sekali, biar kupermainkan." Akhirnya tiga orang muda itupun duduk di tempat duduknya masing-masing. Sementara itu, Ya Keng Cu yang masih khawatir akan hadirnya Pat-jiu Lo-koai biarpun ia tidak melihat kakek gundul itu, berteriak kepada Bu Keng Liong.
"Bagus, Bu-sicu! Kau tadi mengatakan tidak akan minta bantuan orang luar! Apakah ini ucapan seorang laki-laki yang patut dipegang?"
"Heh, tosu bau! Apa kau tidak mengerti bahwa aku pelayan keluarga Bu" Aku Bhe Kwan Bu, sejak kecil menjadi pelayan di sini, boleh kau tanya-tanya semua tetangga. Dan apa kau lupa dahulu, sepuluh tahun yang lalu ketika kau datang ke sini, aku yang melayani minum teh, kemudian kusiram mukamu dengan air teh panas sehingga mukamu berubah menjadi kuning" Lihat sampai sekarang pun masih berwarna kuning!" Kwan Bu menunjuk ke arah muka tosu itu yang memang agak kekuningan. Terdengar suara ketawa di sana sini. Para tamu yang tadinya merasa tegang menonton pertandingan kini merasa lucu, seolah-olah disuguhi tontonan selingan yang berupa dagelan (lawak). Muka Ya Keng Cu menjadi makin kuning dan matanya menyinarkan cahaya membunuh. Dahulu pun ia dimaki dan dihina bocah ini, sekarang bocah ini kembali menghinanya. Sementara itu, telinga mendengar percakapan bisik-bisik di sebelah belakang antara tiga orang muda itu.
"Dia berani bukan main!" kata Kwee Cin.
"Berani apa" Dia hanya gila-gilaan nekat, biar dipuji orang banyak, terutama sekali biar dipuji siokhu. Hemm, perbuatannya ini benar-benar merendahkan nama besar keluarga Bu!" kata Liu Kong maraba.
"Eh, kenapa ayah membolehkannya" Selain pelayan dia.... menurut ayah.... dia tidak punya ayah. Bibi Ciok Kim masih gadis... ketika mengandung..?"
"Anak haram...?"!" Liu Kong memotong ucapan Siang Hwi, suaranya agak keras sehingga mengherankan semua orang.
"Ssssttt...!" Kwee Cin memperingatkan suhengnya. Sedikit percakapan itu menusuk hati Kwan Bu. Bohong mereka, pikirnya. Dia anak haram" Akan tetapi karena Ya Keng Cu sudah bicara lagi, ia terpaksa mencurahkan perhatian kepada lawan ini.
"Bagus, kalau engkau memang bukan orang luar, engkau pelayan keluarga Bu." Memang hati tosu ini lega. Andaikan Pat-jiu Lo-koai hadir dan bersembunyi, kakek gendut itu tentu tidak akan dapat campur tangan, sebagai orang luar.
"Nah, bocah tolol, apakah kau minta mampus" Kau mau bicara apa menengahi urusan kami dengan majikanmu?"
"Totiang, agaknya kau yang sudah tua sekarang sudah mulai pikun. Lupa lagikah kau akan janji sepuluh tahun yang lalu" Nah, aku sudah memenuhi janji!" Tosu itu melotot marah.
"Omong kosong! Aku berjanji dengan Pat-jiu..." Tosu itu menahan ucapannya karena teringat bahwa kata-kata itu seperti menantang si kakek gundul dan kalau dia berada di situ, bisa berabe!
"Hemm, sama saja, totiang. Aku yang datang untuk memenuhi janji itu. Aku mewakili beliau." Sementara itu Kam Tek dan Gan lt Bong dua orang di antara Sin-to Chit-hiap sudah tidak sabar lagi menyaksikan betapa Ya keng Cu melayani seorang pelayan untuk berdebat!
"Totiang, untuk apa berbicara dengan anjing ini" Biar kuhabiskan dia sekarang juga!" kata Kam Tek mencabut golok besarnya. Kam Tek bukan seorang penjahat yang bisa menghina orang, akan tetapi karena dalam urusan ini ia menganggap keluarga Bu penjilat-penjilat kaisar yang harus dibasmi, maka ia menganggap pelayan inipun bukan orang baik-baik. Ia dan Gan lt Bong khawatir kalau-kalau keluarga Bu mengatur jebakan, apalagi kalau dilihat betapa banyaknya tamu keluarga Bu yang hadir di situ.
"Benar, tidak ada gunanya totiang mengajak dia bicara. Biar kubunuh saja dia!" kata pula Gan lt Bong, juga mencabut golok untuk menakut-nakuti agar pelayan tolol itu segera lari kabur. Andaikata pelayan itu lari pergi, mereka berdua inipun juga tidak akan mengejarnya dan tentu akan senang hati mentertawakannya. Akan tetapi Kwan Bu sama sekali tidak lari pergi, bahkan sedikitpun tidak takut. Namun, untuk menyenangkan hati dua orang kasar itu, ia pura-pura ngeri melihat golok yang besar-besar itu dan ia berkata,
"Aku bukan anjing. Kalau kalian sudah ketagihan daging anjing, biar nanti kuberikan anjing hitam yang buduk, boleh kau sembelih. Eh, totiang, apakah mereka ini jagal-jagal anjing?" Kembali terdengar orang di sana sini tertawa. Ya Keng Cu sendiri tentu saja merasa enggan untuk turun tangan menghajar seorang pelayan, akan tetapi dia bukanlah seorang bodoh. Ya Keng Cu adalah seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman. Melihat sikap pelayan ini yang amat berani, ia menghubungkannya dengan Pat-jiu Lo-koai dan menduga bahwa tentu ada sesuatu yang membuat pemuda pelayan ini sedemikian beraninya. Maka ia lalu berkata kepada kedua orang bergolok itu.
"Boleh kalian robohkan dia, tak perlu dibunuh." Kam Tek maju dan mengamang-amangkan goloknya kepada Kwan Bu. Kwan Bu mundur-mundur seperti orang ngeri, tubuhnya agak berjongkok, pantatnya meruncing, matanya melotot,
Sikapnya membuat para tamu menyeringai, setengah geli setengah khawatir. Kam Tek yang mendengar perintah tosu itu lalu melangkah maju, goloknya menyambar dari kanan ke kiri menyerampang kaki pemuda itu. Dia pun seorang diantara Sin-to Chit-hiap tentu saja enggan membunuh seorang pelayan. Ia menyerang hanya untuk melukai kaki Kwan Bu saja. Melihat serangan ini, Kwan Bu meloncat dengan gaya ilmu silat majikannya, meloncat mundur tapi terhuyung-huyung hampir jatuh sehingga biarpun ia berhasil menyelamatkan kakinya, ia kellihatan lucu sekali. Para tamu yang tadinya khawatir, menjadi tertawa geli, Kwan Bu yang meloncat mundur kini dalam posisi jongkok, membalikkan tubuh berkata kepada Siang Hwi yang duduk tak berapa jauh.
"Nona, kau tolonglah, kalau ada gerakanku yang keliru, kau beritahu!"
"Awas, Kwan Bu...!" Siang Hwi berteriak melihat golok sudah menyambar, sedangkan pemuda itu masih berjongkok.
Tentu saja Kwan Bu maklum akan sambaran dari belakang ini, namun ia sengaja mendiamkan saja dan baru setelah Siang Hwi berteriak, ia lalu membuat gerakkan mengelak dengan cara menggelundung. Biarpun kaku, Siang Hwi dan dua suhengnya melihat jelas bahwa itu adalah jurus ilmu silat mereka bernama "Trenggiling Menggelundung Keluar Sarangnya". Golok yang sudah dekat sekali dengan pundak Kwan Bu, kembali luput bahkan kini mengenai lantai sampai muncrat bunga api. Kam Tek penasaran bukan main. Dia seorang Sin-to (Golok Sakti) dua kali menyerang pelayan ini sampai gagal. Ah, tidak mungkin! Ia menerjang lagi dan sibuklah Kwan Bu mengelak ke sana ke mari dan melihat ini, Siang Hwi pun sibuk memberi petunjuk-petunjuk sampai bibirnya bergerak-gerak terus saking capainya ia menyebutkan jurus-jurus untuk Kwan Bu.
"Ouw-yan-hoan-sin (Burung Walet Hitam Membalik)! Kim-le-coan-po (Ikan Emas Terjang Ombak)! Koai-liong-ciong-thian (Siluman Naga Terjang Langit)!!" Repot juga Kwan Bu, akan tetapi karena gerakan-gerakannya yang memang kaku dan aneh, malah luar biasa sekali membingungkan Kam Tek. Apalagi ketika beberapa kali ia merasa seakan-akan goloknya menyeleweng sendiri, seperti ada tenaga tak tampak yang membuat goloknya tidak menurut perintah tangannya, benar-benar membuat ia bingung dan penasaran!
Sementara itu melihat lagak Kwan Bu seperti Kauw-ce-thian (si Raja Monyet) berjungkir balik meloncat ke sana kemari dengan gerakan-gerakan lucu, akan tetapi selalu dengan tepat dapat mengelak, para tamu bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Tentu saja semua tamu memihak Kwan Bu yang mereka tahu memebela tuan rumah. Sementara itu, diam-diam Bu Keng Liong terkejut bukan main. Pandang matanya jauh lebih tajam daripada Siang Hwi. Ia melihat sesuatu yang aneh di dalam gerakan-gerakan Kwan Bu, gerakan yang sempurna tapi sengaja dibikin kaku! Dan melihat pula betapa jari-jari tangan Kwan Bu kadang-kadang menyentil ke arah golok yang tiba-tiba saja menyeleweng!
"Siang Hwi, jangan ribut, diam saja kau!" bentaknya. Mendengar bentakan ayahnya, Siang Hwi diam, dan memang mulutnya juga sudah cape. Kwan Bu tertawa.
"Heh-heh-heh, si jagal anjing yang satunya lagi mana" Majulah agar aku dapat sekaligus merobohkan kalian. Heh-heh!" Golok Kam Tek menyambar dan Kwan Bu meloncat.
"Haaaiiittt, Hampir kena, tapi luput!" Penonton bersorak dan Kam Tek makin beringas. Melihat keadaan saudaranya ini, Gan It Bong berteriak keras dan goloknya menyambar, tepat dari kiri pada saat golok. Kam Tek menyambar dari kanan. Kedua golok itu merupakan gunting besar yang menggunting tubuh Kwan Bu dari atas bawah, kanan kiri! Kedua orang Sin-to ini sekarang tidak lagi main-main, tidak lagi bermaksud melukai, melainkan bermaksud membunuh!
"Hayaaa! Berbahaya sekali... tapi luput!" Tubuh kwan Bu secara aneh melejit dan bebas dari guntingan kedua golok, akan tetapi anehnya, kedua golok itu menyeleweng dan tahu-tahu bertemu sendiri dengan kawannya.
"Cringgg...!" Bunga api muncrat ke sana-sini menyilaukan mata.
"Wah-wah, jangan berebut, dong! Dagingku cukup banyak, tak usah berebutan, sedikit-sedikit asal adil!" Kwan Bu ngoceh terus membuat dua orang itu makin marah. Ketika kembali kedua golok menyambar, Kwan Bu merebahkan diri dan menggelinding. Di dalam dunia persilatan, tidak ada gerakan menggelinding seperti ini, rebah begitu saja lalu menggelinding pergi. Namun nyatanya, ia kembali dapat membebaskan diri.
"Siocia (Nona) kutotok mereka, ya?" Kwan Bu yang sudah meloncat bangun menghadapi Siang Hwi bertanya kepada gadis itu, tidak memperdulikan kedua lawannya yang mendengus-dengus marah seperti dua ekor babi hutan terluka.
Siang Hwi kini sudah keheranan setengah mati, tak dapat menjawab, apalagi takut kepada ayahnya, dan hanya mengangguk-angguk dan matanya terbelalak karena khawatir kini melihat dua orang lawan itu sudah menerjang dengan dahsyat sekali dari belakang tubuh Kwan Bu. Gerakkan mereka cepat bukan main sehingga dua batang golok di tangan mereka itu berubah menjadi sinar menyilaukan. Akan tetapi tiba-tiba, entah bagaimana tak seorangpun dapat mengikuti, tubuh Kwan Bu melayang ke atas berjungkir-balik dan telah berada di belakang tubuh dua orang lawannya. Mereka membalik dan Kwan Bu menapaki mereka dengan kedua lengan menusuk tepat, menggunakan dua buah jari masing-masing tangan.
"Cusss! Cusss!" Dua orang lawan tepat ditotok kena sekali. Golok mereka jatuh berkerontangan dan Kam Tek tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Gan lt Bong menangis, air matanya bercucuran seperti banjir! Sejenak keadaan menjadi sunyi. Semua tamu melongo. Yang terdengar hanya suara tertawa Kam Tek dan tangis Gan lt Bong.
Kemudian disusul dengan suara ketawa Kwee Cin dan Siang Hwi. Dara itu menutupi mulutnya dan menahan ketawanya, akan tetapi Kwee Cin sampai hampir terjungkal dari kursinya karena tertawa geli. Mereka ini tahu bahwa dua orang tadi telah terkena totokan yang tepat, Kam Tek tertotok jalan darah yang membuat ia tak dapat menahan tertawa terpingkal-pingkal, dan Gan lt Bong tertotok jalan darahnya yang membuat air matanya nyerocos turun tak dapat dibendung lagi. Setelah Kam Tek tertawa terus, dan Gan It Bong menangis terus, sedangkan Kwan Bu berdiri bertolak pinggang memandang kedua lawannya dengan mata terbelalak seakan-akan terheran-heran, barulah para tamu bersorak dan tertawa-tawa. Seorang pemuda saking girang dan gelinya tertawa sambil tangannya menepuk-nepuk meja.
Meja terguling, kuah bakso yang masih penuh di mangkok, tumpah dan kuah itu menyiram celana seorang tamu setengah tua. Tamu setengah tua itu pun jengkel, akan tetapi karena ia sendiri pun kegirangan dan bertepuk-tepuk tangan, ia lalu menyambar sekepal bakso terus dijejalkan ke mulut pemuda yang berteriak-teriak itu. Saking girangnya, si pemuda sama sekali tidak marah, bahkan lalu dengan enaknya mengunyah tiga butir bakso di dalam mulutnya! Ada pula yang berguling dari bangku sambil memegangi perut, tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air mata. Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu kaget dan marah sekali. Sekali melompat ia sudah tiba di belakang Kam Tek dan Gan lt Bong dan sekali kedua tangannya bergerak, dua orang itu dapat ia bebaskan. Mereka berhenti tertawa dan menangis, lalu mundur dengan muka sebentar marah sebentar pucat.
"Keluarga Bu ternyata bersembunyi di balik tubuh seorang pembantu dari luar yang sudah direncanakan lebih dulu! Pinto menantang Bu Keng Liong sendiri agar keluar dan mari kita mengadu tajamnya pedang. Jangan bersembunyi di balik seorang badut yang amat rendah untuk pinto layani!" Liu Kong lalu meloncat bangun.
"Siapa minta dia ini maju" Kami sama sekali tidak dilindungi oleh...... oleh...... anak haram ini! Tosu jahat, jangan kira aku takut padamu!" Liu Kong lalu mencabut pedangnya dan meledaklah suara ketawa para tamu. Liu Kong kaget dan tidak mengerti.
"Suheng.... pedangmu......!" Kwee Cin berseru. Liu Kong memandang dan mukanya pucat karena yang ia cabut dan acungkan ke atas tadi hanyalah gagang pedang saja, tidak ada pedangnya! Kwan Bu menghadap para tamu, mengangkat tangan mencegah para tamu tertawa.
"Eh, eh, cuwi sekalian harap jangan tertawa. Pedang Liu kongcu adalah pedang siluman, tentu saja tidak tampak. Akan tetapi bisa membikin putus leher tosu siluman pula." Orang-orang makin terpingkal ketawa. Liu Kong marah sekali, hendak menerjang Kwan Bu, akan tetapi pamannya membentak marah.
"Liu Kong, mundur kau...!" Terpaksa ia mundur dengan marah.
"Anak haram! Kau anak haram......!" ia memaki Kwan Bu yang masih tersenyum-senyum. Kwee Cin juga mencabut pedangnya yang tinggal gagangnya saja, lalu berkata sambil menahan senyum.
"Suheng, lihat, pedangku pun telah dibikin patah. Dia lihai sekali dan sengaja mematahkan pedang agar kita tidak menceburkan diri ke dalam pertempuran."
"Dia" Dia yang mematahkan pedang?"
"Siapa lagi. Dia tadi menepuk-nepuk punggung kita, ingat?" Diam-diam Liu Kong terkejut setengah mati. Menepuk punggung tapi mematahkan pedang dalam sarung pedang. Ilmu apa ini" Sementara itu, Kwan Bu menghadapi Ya Keng Cu. Sikapnya kini tidak lagi ketololan seperti tadi, melainkan tenang dan sungguh-sungguh ketika ia berkata dengan suara lantang,
"Ya Keng Cu totiang! Benar-benar engkau tak tahu malu, berani lancang mengatakan bahwa Bu Taihiap bersembunyi di balik tubuh orang luar! Hemm kalau aku seorang pelayan kau anggap orang luar, itu karena kau seorang pengecut besar yang tidak berani menghadapi lawan berat akan tetapi selalu berlagak kalau sudah menghadapi lawan yang lebih ringan! Ya Keng Cu! Dengarlah baik-baik. Orang yang kau takuti, Pat-jiu Lo-koai, hari ini tidak datang akan tetapi mewakilkan muridnya, dan akulah orangnya!" Kini Ya Keng Cu memandang penuh perhatian. Hatinya lega. Yang ia khawatirkan memang Pat-jiu Lo-koai. Kalau hanya muridnya saja ia tidak takut! Ia memandang rendah, karena sungguh pun pemuda ini telah mengalahkan dua orang Sin-to, akan tetapi tingkat kepandaian dua orang itu memang belum seberapa tingginya. Dan sepuluh tahun yang lalu anak muda ini masih seorang bocah pelayan yang tidak bisa apa-apa. Baru belajar sepuluh tahun sudah berani menentangnya yang sudah berpengalaman puluhan tahun!
"Ha-ha-ha, bocah sombong! Kiranya engkau murid Pat-jiu Lo-koai dan kini mewakili gurumu untuk menghadapi kami" Bagus sekali! Bu sicu tunggulah setelah pinto membereskan budak..?"
"Totiang! Mengapa banyak cerewet lagi" Majulah!" bentak Kwan Bu. Tangan pemuda ini bergerak dan...
"Singgg...!" entah dari mana dapatnya, tahu-tahu tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang.
Inilah pedang Toat-beng-kiam yang ia dapat dari gurunya. Melihat betapa pemuda ini tahu-tahu memegang sebatang pedang yang berwarna merah dan berkilauan saking tajamnya, semua orang melongo dan para tamu menahan napas. Mereka yang tidak mengerti ilmu silat sekalipun kini maklum bahwa pemuda yang tadi membadut itu ternyata adalah ahli silat yang pandai. Apalagi pihak tuan rumah dan lawan, tahulah mereka kini orang macam apa adanya Kwan Bu. Kwee Cin memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. Bu Siang Hwi memandang dengan melongo dan terheran-heran. Hanya Liu Kong memandang dengan kening berkerut, wajahnya membayangkan hati yang tidak puas dan penasaran. Bu Taihiap saling pandang dengan isterinya, kemudian berbisik.
"Sejak dulu aku tahu dia ini berbakat luar biasa, akan tetapi siapa mengira akan menjadi murid locianpwe yang luar biasa anehnya, Pat-jiu Lo-koai...! Hemm, betapapun juga dalam waktu sepuluh tahun, bagaimana dapat memiliki ilmu yang bisa mengalahkan lawan seperti mereka ini" Aku harus bersiap-siap. Dia membantu kita, tidak boleh kita tinggal diam saja kalau dia terancam bahaya."
Isterinya mengangguk dan keadaan amat tegang bagi pihak tuan rumah. Mereka sendiri sudah mengaku dalam hati bahwa mereka tidak akan kuat melawan musuh-musuh itu. Kini muncul Kwan Bu yang merupakan bintang penolong tak tersangka-sangka, akan tetapi juga masih meragukan apakah pemuda ini mampu mengalahkan mereka. Ya Keng Cu melihat betapa pemuda aneh itu telah melolos pedang dari pinggang secara cepat sekali, diam-diam maklum bahwa pemuda ini tak boleh di pandang ringan. Kalau tadinya ia hendak melawan dengan tangan kosong, kini ia batalkan niatnya itu dan cepat tangannya meraba gagang pedang yang seakan-akan meloncat keluar dari gagangnya dan berada di tangannya. Ternyata pedang tosu ini berwarna merah pula, akan tetapi merah muda, tidak merah dara seperti pedang Toat-beng-kiam!
Melihat ini, kembali para tamu menjadi berisik membicarakan tentang warna kedua pedang yang aneh itu. Biasanya pedang berwarna putih, atau agak kebiruan saking tajamnya. Akan tetapi, dua batang pedang ini warnanya merah! Benar-benar luar biasa sekali. Sebagian dari para tamu menduga bahwa agaknya dua orang itu sengaja mengecat pedang mereka agar kelihatan aneh dan bagus! Akan tetapi Bu Keng Liong tiba-tiba terkejut dan kagum. Ia sudah mendengar tentang besi merah yang luar biasa keras dan kuatnya, namun amat sukar didapat karena tempatnya berada di dalam tanah yang amat dalam, puluhan li dalamnya. Menurut cerita, makin merah besi itu makin tua dan kuat. Kini melihat pedang di tangan Kwan Bu warnanya merah tua jauh lebih merah daripada pedang di tangan tosu itu, ia diam-diam kagum bukan main.
"Bocah pelayan, jangan mengira bahwa pinto Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu suka menghina orang muda terutama sekali seorang pelayan! Akan tetapi kalau hari ini pinto melayanimu adalah mengingat bahwa engkau adalah murid dan wakil Pat-jiu Lo-koai. Nah, kau mulailah!" sambil berkata demikian, Ya Keng Cu menggerakkan pedangnya, dilintangkan di depan dada. Gerakan yang sedikit ini saja sudah menimbulkan suara berdesing dari pedangnya dan tampak sinar merah berkelebat. Makin berdebar hati penonton. Akan tetapi dengan sikap tenang, Kwan Bu berkata.
"Dan teman-temanmu ini sebetulnya bukan dari golongan kaum sesat, melainkan tokoh-tokoh kang-ouw yang biasa membela kebenaran dan keadilan, pemberantas kejahatan. Akan tetapi kalian sedang dimabok politik dan nafsu kebencian kepada kaisar, maka sekali ini terpaksa aku mewakili suhu memberi pelajaran kepadamu!" Ucapan ini sungguh "besar" dan bagi Ya Keng Cu terdengar amat sombongnya. Maka dengan seruan keras tosu ini sudah menerjang maju. Sinar pedangnya berkelebat menyambar. Kwan Bu dengan tenangnya menggerakkan pedang menangkis.
"Cringgg......!" Banyak penonton yang menjadi sakit telinganya mendengar suara ini, amat nyaringnya, melebihi berkerincingnya emas dan perak. Tosu itu merasa betapa ujung-ujung jari tangannya yang memegang pedang tergetar. Kagetlah ia dan tahu bahwa biarpun hanya berlatih sepuluh tahun, namun pemuda ini sudah menguasai intisari tenaga ginkang dan ilmu silat tinggi, maka ia makin berhati-hati.
"Lihat pedang!" teriaknya dan kini ia benar-benar menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedang yang amat luar biasa gerakannya. Pedangnya lenyap menjadi sinar pedang yang bergulung-gulung, berwarna merah jambon, dan mengeluarkan angin keras yang berbunyi.
"Wirrr!.... Wirrr!" seperti sebuah kitiran angin. Sinar merah muda ini melingkar-lingkar dan mengurung Kwan Bu yang bergerak tenang. Mula-mula para penonton melihat betapa pemuda itu masih berdiri, hanya berloncatan ke sana ke mari dengan pedang digerakkan menangkis. Indah sekali pemandangan di saat itu. Mereka tidak melihat lagi si tosu, hanya melihat Kwan Bu membuat gerakan seperti orang menari dan karena sinar pedang merah muda itu melingkar-lingkarnya,
Maka ia tampak seperti seorang penari selendang merah! Hanya suara berdencing-dencing yang mengakibatkan bunga api muncrat berhamburan saja yang membuat para penonton ingat bahwa yang mereka tonton bukanlah tarian, melainkan pertandingan adu nyawa yang menegangkan! Kemudian, pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking keras dan tampaklah sinar pedang yang merah sekali, merah darah yang bergulung-gulung dan membuat lingkaran lebih besar dari pada lingkaran sinar pedang merah muda. Tubuh pemuda itupun kini lenyap terbungkus sinar pedang dan pemandangan kini menjadi lebih hebat dan indah. Yang tampak hanya dua gulungan sinar pedang, saling belit dan saling gulung, hanya jelas tampak betapa gulungan sinar pedang merah muda makin lama makin sempit dan kecil!
"Ah, bukan main anak itu...!" Bu Taihiap berbisik dan memandang kagum. "Aku sendiri belum tentu dapat menandingi Koai-kiam Tojin, akan tetapi dia...!" Setelah lewat hampir seratus jurus, tiba-tiba dari dalam itu terdengar lagi suara Kwan Bu melengking tinggi dan,
"Cringgg... Tranggg...!!" Bunga api muncrat-muncrat menyilaukan mata dan secara tiba-tiba saja dua gulungan sinar merah itu lenyap dan tampaklah Ya Keng Cu terhuyung-huyung mundur, pedang masih di tangan, akan tetapi tangan kirinya memegang jubahnya yang bagian depannya sudah robek dari atas ke bawah dan tampak sedikit darah mengalir dari dadanya yang tergores ujung pedang sehingga kulitnya pecah! Wajah tosu ini pucat sekali. Hanya dia, Kwan Bu dan para ahli silat di situ yang melihat betapa Kwan Bu telah mengampuninya, karena kalau pemuda itu menghendaki, bukan hanya kulitnya yang tergores, melainkan juga isi dadanya! Ya Keng Cu sambil meringis lalu berkata,
"Murid Pat-jiu Lo-koai benar lihai, pinto menerima kalah!" Meledaklah tepuk tangan dan sorak sorai para tamu. Bahkan Kwee Cin sampai bangkit dari tempat duduknya, bertepuk tangan sambil tertawa-tawa seperti penonton pertandingan sepak bola yang menang taruhan!
Ketika menarik tangannya, barulah Kwee Cin duduk kembali. Siang Hwi juga tersenyum-senyum dan kini pandang matanya terhadap Kwan Bu jauh berlainan daripada yang sudah-sudah. Ada rasa kagum dan heran bercampur rasa menyesal pada pandang matanya. Bu Keng Liong berbisik kepada isterinya dan wajah merekapun berseri gembira. Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dan dibarengi sinar putih perak yang mengembang di atas kepala Yo Ciat. Kiranya kakek ini sudah maju memutar-mutar pedang di atas kepala sehingga pedang itu berubah menjadi bentuk payung perak di atas kepalanya dan mengeluarkan bunyi seperti suling ditiup! Kakek tua ini menghentikan gerakan pedangnya dan tampaklah sebatang pedang yang putih kemilau seperti perak di tangannya.
"Orang muda, engkau tidak kecewa menjadi wakil Pat-jiu Lo-koai. Siapakah namamu?" Kwan Bu yang baru sekali ini bertemu dengan Ban-eng-kiam Yo Ciat, menjura dengan hormat dan berkata,
"Locianpwe, saya bernama Bhe Kwan Bu. Saya harap saja seorang locianpwe seperti Ban-eng-kiam Yo Ciat, yang nama besarnya sudah tersebar di empat penjuru dunia sebagai seorang tokoh pembela kebenaran, tidaklah berpemandangan sepicik Ya Keng Cu totiang. Pertandingan antara dua golongan yang sama-sama menjunjung kegagahan dan memberantas kejahatan, tidak perlu dilanjutkan. Setujukah locianpwe?"
"Ha-ha-ha, sebagai seorang muda belia, omonganmu mengandung kebenaran dan kejujuran. Ketahuilah bahwa kami golongan pejuang penantang kaisar, bukanlah orang-orang yang tak tahu aturan. Kalau kami berkeras dalam hal urusan keturunan Liu, adalah karena Liu Ti telah menjatuhkan banyak sekali korban di antara golongan kami, dengan menunjukkan markas dan tempat persembunyian kami kepada pasukan-pasukan istana, dia telah menyebabkan kematian ribuan orang pejuang! Bayangkan saja, kalau kemudian kami berusaha membasmi seluruh keluarganya, bukankah ini sudah adil namanya?" Diam-diam Kwan Bu terkejut. Tidak disangkanya bahwa urusan itu sampai sedemikian hebatnya. Pantas saja golongan penentang kaisar mati-matian memusuhi Bu Taihiap yang dianggap melindungi keturunan Liu Ti. Juga Bu Keng Liong kaget karena hal ini tak pernah didengar dan disangkanya.
"Semua ucapan locianpwe memang benar belaka. Akan tetapi, keluarga Liu Ti sudah terbasmi dan kalau kebetulan saja seorang anak kecil lolos dari pembunuhan, bukankah itu sudah dikehedaki Thian namanya" Tentu saja sebagai seorang gagah Bu Taihiap tidak akan membiarkan seorang anak yang tak tahu apa-apa dibunuh, padahal anak itu berada di dalam perlindungannya. Kalau Bu Taihiap menjadi takut dan menyerahkan anak itu, pantaskah dia disebut seorang Pendekar Besar" Harap locianpwe sudi memahami hal ini dan memandang wajah Bu Taihiap serta suhu yang kuwakili, suka menghabiskan permusuhan-permusuhan yang tiada artinya ini." Lima orang lawan itu tertegun dan termenung mendengar uraian Kwan Bu. Mereka saling pandang bukan karena jerih terhadap Kwan Bu, melainkan kaena ucapan itu menimbulkan kesan mendalam sekali di hati mereka.
"Hemm.... kalau dipikir panjang memang tidak salah ucapannya itu!" kata Yo Ciat berpaling kepada Ya Keng Cu.
"Bagaimana pendapatmu to yu (sahabat)?" Ya Keng Cu mengangguk, juga Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu. Maka tertawalah Yo Ciat.
"Ha-ha-ha! Bu Taihiap, tidak disangka bahwa di rumahmu bersembunyi seorang pendekar muda yang hebat! Mengingat akan kebenaran ucapannya juga memandang wajah taihiap serta mengingat pula akan sahabat yang lebih tinggi kedudukannya Pat-jiu Lo-koai, kiranya kami tidak melanggar golongan kami kalau kami nyatakan mulai sekarang, putera Liu Ti tidak lagi termasuk sebagai musuh kami. kecuali tentu saja, kalau kelak ia menjadi penjahat atau penjilat kaisar seperti ayahnya". Liu Kong berteriak marah.
"Aku tidak sudi dibela anak haram......!"
"Liu Kong! Diam kau!!" Bu Keng Liong membentak, matanya melotot marah sekali kepada muridnya itu. Liu Kong mendengus, tidak berani bicara lagi akan tetapi diam-diam lalu pergi dari situ, masuk ke dalam taman di pinggir gedung. Kwee Cin dan Siang Hwi lalu mengikuti suheng itu, setelah mereka lempar pandang kepada Kwan Bu dan anak pelayan ini menangkap girang dan senyum dan seri wajah mereka.
"Locianpwe Yo Ciat sungguh seorang gagah berpemandangan luas," kata Kwan Bu. "Dapat menghargai kata-kata seorang pelayan, seorang anak haram.."
"Kwan Bu...!!" Bu Taihiap berseru, hatinya terharu. Akan tetapi Kwan Bu pura-pura tidak mendengar seruan ini dan pada saat itu memang para tamu mulai berisik membicarakan pengakuan itu. Pengakuan yang hebat. Anak haram! Pemuda yang tadinya dianggap pelayan dan kemudian meningkat dalam pandangan mereka sebagai seorang pendekar yang sakti, kini mengaku sebagai anak haram setelah berkali-kali dimaki anak haram oleh murid Bu Taihiap!
"Bhe Kwan Bu, biar pun sekarang permusuhan telah dihabiskan, namun karena tertarik melihat ilmu pedangmu tadi, sukalah kau orang muda memuaskan hatiku untuk bermain-main denganku sebentar"
"Yo-locianpwe, suhu pernah memberi tahu kepada saya bahwa ilmu silat bukan sekali-kali dimaksudkan untuk menyombongkan diri, atau pamer, ataupun mencari kemenangan dan kekuasaan. Oleh karena itu, setelah kini urusan perselisihan paham dapat diredakan dan dihapuskan, mengapa locianpwe hendak mengadu kepandaian" Biarlah, disaksikan oleh semua yang hadir di sini, saya mengaku kalah terhadap Yo-locianpwe, maupun terhadap kedua totiang!" Mendengar ucapan pemuda itu dan melihat betapa Kwan Bu benar-benar memberi hormat mengaku kalah, di dalam hatinya Yo Ciat makin kagum. Sukar di dunia ini dicari orang yang begini rendah hati, apalagi berkepandaian begini tinggi dan berusia begini muda. Akan tetapi ia masih penasaran karena ia benar-benar ingin mencoba ilmu pedang pemuda yang demikian hebatnya, maka ia membantah.
"Ah, orang muda yang gagah. Bertanding dengan dasar hati benci jauh sekali bedanya dengan bermain-main dengan dasar hati kagum. Harap saja engkau tidak salah paham dan tidak mengecewakan hatiku."
"Kwan Bu...! Aduhh, Kwan Bu anakku!" Semua mata memandang terutama sekali Kwan Bu menoleh dan memandang dengan mata terbelalak. Ibunya! Ibunya yang kini tampak tua sekali, mata yang tinggal satu itu memandang sayu, rambutnya kusut tak tersisir, pakaiannya juga kusut tidak karuan. Jantungnya seperti di tusuk pedang dan ia sejenak mengejap-ngejapkan matanya untuk mencegah keluar air matanya. Dengan suara serak ia memanggil,
"Ibuuu....!" Dan berlari menghampiri wanita itu.
"Kwan Bu, ahh, Kwan Bu akhirnya kau datang juga......!" Kwan Bu yang menjatuhkan diri berlutut di depan ibunya, dipeluk dan didekap kepalanya oleh wanita itu, ditekan ke dada. Tiba-tiba Bhe Ciok Kim, wanita itu tertawa bergelak, suara ketawanya mendirikan bulu roma dan ia terguling. Kwan Bu cepat menyambut dan memeluk ibunya yang pingsan itu. Bu Keng Liong yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya, berbisik.
"Kwan Bu, bawa ibumu ke kamarnya, sudah lama ia menderita sakit ingatan karena memikirkan engkau?" Kwan Bu terharu sekali, mengangguk, kemudian memondong ibunya yang pingsan membawanya masuk ke dalam gedung terus ke belakang, ke kamar ibunya yang tentu saja amat dikenalnya. Ia tahu bahwa ibunya roboh pingsan karena terlalu girang, maka setelah merebahkan tubuh ibunya ke atas pembaringan, ia lalu mengurut jalan darah di tengkuknya dan tak lama kemudian wanita itu sadar. Mereka berpelukan dan Kwan Bu membiarkan ibunya menangis terisak-isak untuk melepaskan rasa rindu yang bertahun-tahun menyesak di dada sehingga mengganggu ingatan orang tua ini.
Melihat keadaan ibunya, makin sakit hati Kwan Bu terhadap musuh yang telah membuat ibunya menderita, yang menurut ibunya telah membunuh semua keluarga ibunya, kakeknya, neneknya, ayahnya, bahkan yang telah menusuk mata kiri ibunya dengan jarum yang sampai kini ia simpan dalam saku bajunya. Teringat akan semua ini, membuat ia teringat pula akan percakapan tiga orang muda murid majikannya. Mereka itu, atau lebih tepat lagi Siang Hwi, mengatakan bahwa dia adalah seorang anak haram, bahwa ibunya masih gadis ketika mengandung dirinya, bahwa ibunya tidak pernah bersuami! Dan kini ibunya mengatakan bahwa ia mempunyai ayah, dan ayahnya terbunuh oleh penjahat yang membikin buta mata ibunya pula.
Hatinya makin perih dan ingin sekali ia mendesak ibunya agar suka mengaku terus terang. Ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya, dan apakah benar-benar ia seorang anak haram" Dia tidak malu menjadi anak haram, hanya dia ingin mendapat kepastian dari ibunya. Mengapa mesti malu menjadi anak haram" Haram atau tidak, dia tidak bersalah apa-apa. Dan ia percaya bahwa andaikata ibunya mengandung dia tanpa suami yang sah, tentu sekali ada sebab-sebab yang memaksanya. Ia tak percaya bahwa ibunya adalah wanita yang suka melanggar kesusilaan. Akan tetapi keadaan ibunya yang lemah lahir batin itu, membuat ia tidak tega untuk mendesaknya. Ia kini menjaga ibunya yang sudah sadar dan yang saking girangnya menjadi semakin lemah dan kini tertidur dengan tangan memegang tangan puteranya erat-erat.
Bibir ibunya tersenyum dalam tidurnya. Kwan Bu yang memandang ibunya penuh perhatian, dengan bangga mendapat kenyataan bahwa ibunya sesungguhnya adalah seorang wanita yang cantik sekali. Bentuk wajahnya, hidungnya, mulutnya, amatlah indah. Hanya kebutaan matanya yang mendatangkan cacat. Sementara itu, pesta di luar masih berlangsung terus dengan meriah. Ya Keng Cu dan empat orang kawannya sudah sejak tadi meninggalkan tempat itu setelah berpamitan dari Bu Taihiap sebagai seorang sahabat. Setelah para tamu pulang semua barulah Bu Keng Liong dan isterinya menemui Kwan Bu. Melihat kedatangan majikannya Kwan Bu segera meninggalkan ibunya yang masih tidur dan berlutut di depan majikan itu.
"Hamba menghaturkan terima kasih kepada thai-ya berdua yang telah merawat ibu selama hamba tidak berada di sini. Budi kebaikkan thai-ya berdua takkan hamba lupakan seumur hidup hamba." Bu Keng Liong terkejut dan cepat mengangkat bangun pemuda itu, lalu menarik tangan Kwan Bu diajak keluar dari kamar dan duduklah mereka bertiga di ruangan tengah. Setelah menghela napas Bu Taihiap berkata.


Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kwan Bu, tidak perlu kau bersikap begini merendah. Tidak ada penanaman budi, dan kalau mau bicara tentang pertolongan, engkaulah yang tadi telah menolong keluarga kami dari penghinaan, mungkin kebinasaan. Tentang ibumu, ahhh.... sesungguhnya kami harus merasa malu sehingga keadaan ibumu sedemikian rupa. Akan tetapi kami tidak berdaya........" pendekar tua itu kembali menghela napas.
"Kwan Bu, kami sudah berusaha menghibur ibumu, akan tetapi sejak kau menghilang, ibumu selalu tenggelam ke dalam kedukaan sehingga akhirnya mengganggu jiwanya." Sambung nyonya Bu dengan suara halus. Kwan Bu menundukkan mukanya,
"Hamba sudah dapat menduganya, harap jiwi tidak berkecil hati. Memang sudah menjadi kesalahan hamba sendiri yang pergi tanpa pamit kepada ibu, akan tetapi karena hamba ingin sekali belajar ilmu silat dan kebetulan bertemu dengan suhu, maka terpaksa hamba pergi diam-diam." Pemuda itu lalu menceritakkan semua pengalamannya. Tahulah kini Bu Keng Liong mengapa pada malam hari sepuluh tahun yang lalu Ya Keng Cu tidak muncul. Kiranya Pat-jiu Lo-koai yang mengusir tosu itu. Kembali ia menghela napas berulang-ulang setelah Kwan Bu selesai menuturkan riwayatnya sejak sepuluh tahun yang lalu.
"Sesungguhnya bahwa betapa pun manusia berusaha hanya Thian yang akan menentukannya. Aku yang berusaha sekuatnya agar engkau tidak dapat belajar ilmu silat, ternyata malah engkau mendapatkan guru yang sepuluh kali lebih pandai daripada aku. Ini namanya nasib dan sudah ditakdirkan oleh Thian." Kwan Bu teringat akan sikap Bu Taihiap ini dahulu, yang melarangnya belajar silat, malah menganjurkan belajar ilmu surat dan sengaja memanggil guru. Kemudian ia teringat pula akan kata-kata Siang Hwi bahwa dia adalah anak haram dan bahwa gadis itu mendengar penuturan Bu Taihiap tentang rahasia ibunya. Mungkin ibunya takkan mengaku, atau mungkin hal itu akan melukai hati ibunya. Sekaranglah saatnya ia mencari tahu, dan agaknya majikannya ini yang akan dapat membuka rahasia ibunya.
"Kedatangan hamba ini sebetulnya hendak mengajak ibu pergi dari sini karena hamba merasa bahwa tidaklah patut kalau hamba dan ibu mengganggu keluarga thai-ya lebih lama lagi. Akan tetapi sebelum hamba pergi bersama ibu, hamba mohon sukalah thai-ya memberi keterangan kepada hamba karena sesungguhnya hanya thai-ya yang agaknya dapat membuka rahasia ini."
"Hemmm, sikapmu terlalu merendahkan diri, orang muda. Kami sekeluarga tidak pernah mengusir, bahkan menganggap ibumu seperti anggota keluarga sendiri. Akan tetapi, tentu saja kami tidak berhak menahan kalian. Adapun tentang keterangan itu, hal apakah yang kau maksudkan?"
"Tidak lain tentang diri hamba sendiri. Ceritakanlah, thai-ya, benarkah bahwa ibu tidak pernah bersuami" Bahwa hamba adalah seorang anak haram?" sepasang mata pemuda itu memandang tajam ke arah wajah kedua orang majikannya. Nyonya Bu segera menundukkan mukanya yang menjadi merah. Bu Keng Liong mengerutkan alisnya, mengelus jenggot lalu menggeleng kepalanya.
"Kwan Bu, aku adalah seorang laki-laki sejati. Bukan menjadi watakku untuk membongkar rahasia orang lain, apalagi yang menyangkut kehormatan orang, dalam hal ini ibumu sendiri. Tentang urusan itu, lebih baik kalau kau bertanya sendiri kepada ibumu, tentu saja pada saat yang tepat. Nah, kau mengasolah dan besok kita bicara lagi kau perlu menjaga ibumu." Setelah berkata demikian, suami isteri itu meninggalkan Kwan Bu yang tidak berani mendesak. Pemuda inipun kembali ke kamar ibunya. Ibunya masih tidur nyenyak. Malam itu Kwan Bu duduk menjaga ibunya dengan hati gelisah.
Begitu ditanya tentang ibunya, Bu Keng Liong berubah sikapnya, menjadi dingin dan kelihatannya khawatir. Rahasia apakah yang terselip pada dirinya" Ibunya masih lemah batinnya, kalau diguncangkan dengan pertanyaan ini tentu berbahaya. Ia teringat akan Siang Hwi. Gadis itu telah mendengar dari ayahnya tentang ibunya! Ya, lebih baik mencari nona Siang Hwi dan bertanya kepadanya. Kwan Bu keluar dari kamarnya. Ia tahu di mana adanya kamar Siang Hwi, tahu pula di mana adanya kamar Liu Kong dan Kwee Cin. Akan tetapi bagaimana ia dapat bertemu dengan nona itu" Mendatangi kamarnya adalah perbuatan yang tidak sopan dan ia sama sekali tidak berani melakukan hal ini. Ia menjadi gelisah dan bingung. Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia masih terhitung kanak-kanak dan menjadi bujang di sini,
Kitab Mudjidjad 16 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Rahasia 180 Patung Mas 1
^