Pencarian

Dendam Si Anak Haram 4

Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


Maka ia diam saja, diam dan dingin seperti es, tidak lagi berontak, tidak lagi mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas memandang ke arah atap rumah, mematikan perasaan. Ma Chiang tersadar dari keadaan terpesona keindahan tadi. Ia tertawa lagi, mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, sebuah bungkusan yang memang sudah ia siapkan untuk pelaksanaan rencananya yang keji ini. Ketika bungkusan dibuka, ternyata berisi sepotong kuih kering dan madu. Dengan tangannya ia mencengkeram kuih kering ini sampai hancur, dan mencampurkannya dengan madu kemudian ia maju dan.... mengeluskan kuih campur madu ini pada kedua buah dada Siang Hwi. Gadis itu menggigit bibir dan meramkan matanya, makin berusaha mematikan perasaan sehingga ia tidak merasa lagi betapa dadanya dioles-oles oleh jari tangan yang kurang ajar itu.
"Bawa kurungan itu ke sini!" kata pula Ma Chiang.
"Ahhh...... ohhh.... begitu indah.... dan cantik... apakah tidak sayang.....?" Gak Boan berkata menganggap, namun ia mengambil kurungan itu, memberikannya kepada Ma Chiang. Bekas kepala bajak ini mengejapkan matanya dan berkata
"Kenapa banyak cerewet" Gadis ini tidak sudi kubelai, tidak sudi kucinta, biarlah dia dibelai dan dicinta dua ekor tikus ini. Biar dia rasakan!" Sam-tho-eng Ma Chiang dalam kedudukannya sebagai perwira pengawal istana, seringkali merangkap tugas sebagai seorang algojo dan penyiksa para tawanan sehingga ia memiliki watak yang kejam dan ia bahkan dapat merasai kesenangan dalam menyiksa orang secara kejam.
Kini dengan pandang mata bengis, muka berseri dan mulut menyeringai ia mengenakan dua buah sarung tangan, senjatanya yang mengerikan itu, kemudian membuka pintu kurungan berisi dua ekor tikus besar di atas meja, dekat tubuh Siang Hwi. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batin gadis itu yang biarpun seorang gadis perkasa, namun terhadap binatang-binatang seperti tikus. Kalau saja ia tidak ingin menahan agar Ma Chiang jangan sampai dapat menikmati rasa takutnya, tentu ia telah menjerit-jerit, meronta-ronta dan terbelalak memandang dua ekor tikus yang mulai merayap keluar dari kurungan. Tidak, ia tidak sudi memperlihatkan ketakutannya. Biarlah ia mati dalam keadaan tidak bergerak! Ia mematikan perasaanya dan bahkan meramkan mata,
Mukanya pucat seperti mayat ketika ia merasa betapa dua ekor tikus itu mulai merayap ke atas lengan tangannya, menuju ke atas ke arah dadanya yang terbuka. agaknya dua ekor binatang menjijikan itu tertarik oleh bau kuih bercampur madu. Siang Hwi memejamkan mata makin rapat, menggigit bibir, sekuat tenaga ia menahan perasaan ngerinya. Namun tetap saja kulit mukanya yang cantik itu sampai berkerut-kerut. Jijik, geli, dan ngeri memenuhi hatinya ketika kedua ekor binatang tikus itu merayap sampai ke atas dadanya dan mulai makan dan menjilati kuih dengan madu yang dioles-oleskan diatas buah dadanya tadi. Kalau ia teringat betapa sebentar lagi, kalau kuih dan madu sudah habis, tikus-tikus yang kelaparan itu tentu akan menggerogoti buah dadanya hampir Siang Hwi tidak kuat bertahan, hampir ia menjerit-jerit dan ia sudah setengah pingsan!
"Ha-ha-ha, nona Bu Siang Hwi! apakah engkau masih belum mau menurut kepadaku" Sebentar lagi tikus-tikus ini akan mecari kuih lebih dalam lagi, merobek-robek dadamu! Dan aku akan mencegah mereka karena aku akan memindahkan mereka makan kuih di atas tubuhmu bagian bawah! Bagaimana rasanya Ha-ha-ha!" Siang Hwi masih menahan diri tidak mau meronta takut kalau-kalau tikus mengerikan itu akan menggigitnya.
"Tidak! Jangan...!" ia terengah hampir tidak kuat menahan lagi.
"Ha-ha-ha, mudah saja, manis. aku akan menyingkirkan dua ekor binatang ini asal engkau suka berjanji, mau menjadi isteriku...!" Ma Chiang mendekatkan mukanya hendak mencium karena ia merasa menang dan pasti sekali ini gadis benar-benar sudah takluk kepadanya. Akan tetapi, melihat betapa muka yang amat dibencinya itu mendekati mukanya, napas yang panas itu menyentuh pipi dan bibirnya, mata yang merah dan kumis yang jarang makin mendekat, Siang Hwi tak kuat menahan kemarahan, mengatasi rasa ngerinya terhadap tikus-tikus ini.
"Keparat jahanam! iblis berwajah manusia! Tidak sudi aku! Pergi...!!!" Siang Hwi meludah dan karena muka itu amat dekat, tentu saja ludahnya tepat mengenai Ma Chiang. Wajah perwira itu menjadi merah seperti udang direbus, dan seketika nafsuvberahinya padam, terganti kemarahan karena marah amat dihina. Dia Sam-tho-eng Ma Chiang, perwira tinggi pengawal istana, yang biasanya dihormati dan disembah-sembah, dapat memiliki setiap pertempuran yang dikehendakinya, kini dihina habis-habisan oleh gadis tawanan yang sudah tidak berdaya ini!
"Baiklah akan kubiarkan tikus-tikus ini menggerogoti daging di dadamu, kemudian tubuhmu yang bawah......!" sambil berkata demikian,
Ma Chiang mengulur tangannya yang memakai sarung tangan, mencengkeram ke arah sisa pakaian yang menutupi tubuh Siang Hwi bagian bawah, siap hendak merobek dan merenggutnya lepas. Siang Hwi hanya meramkan mata dan berharap kepada Thian agar pada saat itu juga nyawanya dicabut saja. Siang Hwi menggigit bibir bawahnya sampai berdarah ketika gigitan pertama terasa di dada kanan, gigitan tikus yang kehabisan kuih madu. akan tetapi pada saat itupun Siang Hwi menjadi lemas dan tidak dapat merasa apa-apa lagi karena saking ngerinya ia telah roboh pingsan. Pada saat itu, tampak dua sinar menyambar ke arah dada Siang Hwi dan tepat sekali dua batang jarum amblas memasuki kepala dua ekor tikus yang mencicit-cicit, roboh terguling dari atas dada Siang Hwi, terus menggelundung turun dari atas meja, jatuh ke lantai, berkelojotan lalu menegang dan mati.
"Bedebah, siapa berani....?" bentakkan Ma Chiang ini terhenti di tengah-tengah ketika melihat bayangan yang berkelebat masuk dan kini berdiri tegak memandangnya dengan mata berapi dan alis terangkat penuh kemarahan. Hati Ma Chiang menjadi gentar karena ia sudah mengenal kelihaian Kwan Bu, pemuda yang tahu-tahu telah berada di situ.
"Gak Boan, tidak usah banyak cakap! Dia pemberontak, bunuh saja!" kata Ma Chiang dengan hati gentar. Mendengar perintah ini, Gak Boan cepat menyambar toya besinya yang disandarkan di dinding, kemudian bagaikan seekor badak si cebol muka hitam yang bertenaga besar ini sudah menerjang maju. Gerakannya cepat dan amat kuat ujung toyannya menghantam ke arah kepala Kwan Bu, Gak Boan sudah dapat memastikan bahwa hantaman toyanya ini tentu sekali saja cukup untuk menghancurkan kepala pemuda ini! akan tetapi ia kecelik, pemuda yang kelihatannya bergerak itu ternyata miringkan tubuh tepat pada saat toyanya menyambar, sehingga Gak Boan tak menguasai toyanya yang menghantam sebuah kursi.
"Brakkkkk...!!" Kursi inilah yang hancur berantakan.
"Mampuslah...!!" Ma Chiang sudah menerjang maju, menggunakan kedua tangannya yang bersarung tangan itu mencengkeram. Hatinya penuh kemarahan di samping kegentarannya, karena ia pernah dipermainkan oleh pemuda ini. Teringat betapa tulang kering kakinya pernah digajul sampai rasanya menusuk tulang sumsum, ia sakit hati sekali. Akan tetapi, Ma Chiang bukan seorang bodoh maka dia tidak membuang waktu dan datang mengeroyok. Ia tahu bahwa Gak Boan bukanlah lawan pemuda ini dan tentu akan roboh dalam wwaktu singkat. Sebelum kawannya roboh, lebih baik dia mengeroyok agar pihaknya lebih kuat.
"Sam-tho-eng, perlu apa turun tangan" Serahkan dia kepadaku!" kata Gak Boan yang merasa yakin bahwa menghadapi pemuda seperti ini,
Dia sendiri bersama toya besinya sudah cukup. Perlu apa mesti mengeroyok" Sambl berkata demikian, ia meloncat maju, toya besinya digerakkan keras sekali sampai mengeluarkan suara bersiutan, diputar di atas kepala kemudian terus menimpa kepala Kwan Bu. Kwan Bu marah sekali. Baru sekali ini ia merasa betapa kepala dan dadanya sampai terasa panas oleh kemarahan melihat keadaan Siang Hwi tersiksa dan terhina seperti itu tadi. Kini melihat sambaran toya dari atas, ia menggeser kaki ke kiri, membiarkan toya lewat dan cepat sekali ia menyambar ujung toya menyentakkan sambil mengarahkan tenaga hantaman toya tadi dan...... Gak Boan memekik kaget ketika tiba-tiba tubuhnya tanpa dapat ia tahan lagi melayang terlempar ke atas seperti dilontarkan sedangkan toyanya telah terampas pemuda itu.
Akan tetapi Gak Boan tidak mendapat kesempatan untuk memperpanjang keheranannya karena pada saat tubuhnya melayang ke atas itu. Kwan Bu sudah marah luar biasa melontarkan toya besi meyusul tuannya. Terdengar pekik mengerikan ketika toya itu menembus tubuh Gak Boan, dari perut ke punggung terus menancap di langit-langit sehingga tubuh Gak Boan terpatung dipantek di langit-langit, berkelojotan dan darahnya muncrat-muncrat seperti hujan! Pucat wajah Sam-tho-eng Ma Chiang melihat ini. Ia mengenal kepandaian Gak Boan, sungguhpun tidak setinggi tingkatnya, namun tidaklah mudah mengalahkan Gak Boan, apalagi membunuhnya secara demikian dalam dua gebrakan saja! Ia juga merasa ngeri dan matanya sudah jelalatan hendak mencari jalan keluar hendak melarikan diri.
"Ma Chiang, tidak usah berlari, percuma! Engkau harus mati sekarang juga di tanganku, manusia biadab dan terkutuk!" suara ini berdesis keluar dari mulut Kwan Bu, lirih namun bagi Ma Chiang amat mengerikan, meremangkan bulu roma. Namun sebagai seorang perwira yang sudah banyak pengalamannya bertanding. Ma Chiang masih tidak putus harapan dan dengan gerengan menggetar keluar dari lehernya, dia menerjang maju dengan cengkeraman-cengkeraman maut kedua tangan yang bersarung tangan itu. Kwan Bu dalam kemarahannya tidak bersikap gegabah.
Dia cukup tahu sikap kelihaian lawan, cukup mengerti bahwa sarung tangan yang mempunyai kuku-kuku baja itu mengandung racun yang amat berbahaya. Maka ia mengerahkan ginkangnya yang tinggi sehingga tubuhnya berkeiabatan ke sana ke mari, tak pernah dapat tersentuh sedikitpun oleh kedua tangan seperti cakar garuda itu. Siang Hwi membuka matanya sambil mengeluh lirih. Ketika teringat akan pengalamann yang mengerikan tadi, ia menahan isak dan memandang ke arah dadanya. Ada darah di dada kanannya dan terasa agak perih seperti terluka di dada itu, juga dibibirnya yang berdarah karena tadi digigitnya sendiri. Kaki tangannya masih terikat pada meja. Siang Hwi terkejut dan heran mendengar suara pertempuran. Ia memaksa lehernya menoleh dan dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika ia melihat Kwan Bu sedang bertanding melawan Ma Chiang,
Dan melihat dengan mata terbuka lebar kepada tubuh Gak Ban yang terpantek di atas langit-langit. Kini orang pendek itu sudah tak bergerak lagi, mati dalam keadaan mengerikan, matanya melotot lebar lidahnya keluar. Ketika Siang Hwi kembali melihat pertandingan, hatinya lega. Ma Chiang kelihatan lelah sekali, mukanya yang seperti tikus itu pucat, penuh keringat dan biarpun ia masih terus menerus menyerang dengan kedua cakarnya yang mengerikan, namun gerakannya sudah tidak begitu gesit lagi. Selain gentar dan lelah, juga Ma Chiang sudah dua kali kena tamparan telapak tangan Kwan Bu yang panas, sekali mengenai pundaknya, kedua kali mengenai lambung. Ma Chiang sudah terluka, dan hanya kenekatannya untuk mempertahankan nyawanya saja membuat perwira ini terus menyerang secara membabi buta.
"Dosamu sudah betumpuk-tumpuk, akan tetapi dosa yang sekali ini terlalu jahat, tak boleh kau dibiarkan hidup." Kata Kwan Bu dan mulailah pemuda ini membalas dengan serangan dahsyat. Dengan lengan kiri ia menangkis cengkeraman tangan kanan lawan, kemudian lengan itu membalik dan sikunya menotok lengan kiri Ma Chiang. Pada detik yang hampir bersamaan, jari tangan kanannya meluncur ke depan, mengarah sepasang mata perwira itu.
"Aiiihhh...!" Ma Chiang terkejut sehingga ketika melihat jari tangan lawan tahu-tahu sudah meluncur ke depan mata. Ia berusaha miringkan mukanya. Namun kurang cepat dan...
"Crottt!" mata kirinya tertusuk jari tangan yang disongkelkan sehingga biji mata kirinya itu terlompat keluar. Darah mengalir dan Ma Chiang menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih. Dalam penderitaan rasa nyeri ini, Ma Chiang lupa akan sarung tangannya dan ia menggaruk-garuk dengan cakarnya ke arah mata kiri. Barulah ia sadar ketka merasa betapa seluruh mukanya terasa gatal-gatal dan membengkak.
"Celaka...!" teriaknya dan kini ia berjingkrak-jingkrak saking nyeri yang hampir tak tertahankan menyerang seluruh mukanya, tidak hanya rasa nyeri karena mata kirinya yang tak berbiji lagi, juga terutama sekali rasa nyeri yang diakibatkan racun dalam cakar bajanya. Karena maklum bahwa racun cakarnya jauh lebih berbahaya dari pada mata kirinya yang sudah terlanjur buta, Ma Chiang cepat merogoh saku hendak mengeluarkan obat penawar racunnya, akan tetapi baru saja tangannya keluar menggenggam obat dalam bungkusan, tiba-tiba pergelangan tangannya terpukul keras oleh tamparan Kwan Bu, membuat ia terhuyung dan bungkusan obat itu terlempar terbuka dan obatnya mawut tidak karuan, habis tertiup angin.
"Aduh... Celaka... Obatku... Ahhh Kau!" Ma Chiang terbelalak mata kanannya melihat ini dan tahulah ia bahwa nyawanya sukar ditolong lagi. Dalam kemarahan meluap-luap disebabkan rasa takut ia lalu menubruk maju ke arah Kwan Bu. Pemuda ini dengan mudah mengelak ke kiri, kemudian secepat kilat ia balas menubruk dan berhasil menangkap kedua lengan lawan. Cepat sekali Kwan Bu mengerahkan tenaga dan menggerakkan lengan lawan itu sehingga kedua cakar baja Ma Chiang itu membalik, yang kiri mencakar muka sendiri sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah dadanya sendiri pula!
"Aughhh...! Aduh... Aduuhhh...!!" Ma Chiang bergulingan di atas lantai, mukanya sudah biru membengkak, dadanya yang habis mencengkeramnya sendiri mengucurkan darah hitam. agaknya rasa nyeri sedemikian hebatnya membuat Ma Chiang kehilangan ingatan karena ia kini bergulingan sambil kadang-kadang tertawa kadang-kadang menangis menggaruki seluruh tubuhnya, menggaruk dan mencengkeram sampai robek semua pakaiannya, bengkak-bengkak semua tubuhnya. Siang Hwi membuang muka. Betapapun bencinya kepada perwira bermuka tikus itu, pemandangan ini terlalu mengerikan. akan tetapi tidak lama Ma Chiang berkelojotan seperti itu. Racun cakarnya terlalu ampuh. Racun cakar yang entah sudah menewaskan berapa puluh orang tak berdosa itu kini menggerogoti tubuhnya sendiri dan akhirnya ia tidak bergerak lagi,
Nyawanya melayang meninggalkan tubuh yang sudah tidak karuan wujudnya. Dibandingkan dengan Gak Boan, keadaan Ma Chiang lebih mengerikan dan lebih tersiksa matinya. Kwan Bu yang melihat keadaan Siang Hwi, cepat melepaskan jubah luarnya dan menyelimutkan jubah luar itu ke atas tubuh Siang Hwi bagian atas. Kemudian ia menggerakan tangan membikin putus belenggu yang mengikat kaki tangan gadis Siang Hwi menggerakkan kaki tangannya lalu meloncat turun dari atas meja. Akan tetapi karena jalan darahnya belum pulih benar akibat terbelenggu tadi, juga karena pengalaman dahsyat mengerikan masih mengguncang perasaanya, begitu kakinya tiba di atas lantai ia terguling dan terhuyung-huyung, tentu akan roboh kalau saja tidak cepat disambar lengan Kwan Bu.
Entah bagaimana keduanya tidak ingat lagi, tahu-tahu Siang Hwi telah menangis dalam pelukan Kwan Bu! Seperti dalam mimpi Kwan Bu memeluk Siang Hwi dan gadis itu menyusupkan muka di dada yang bidang bahkan kedua lengan Siang Hwi balas merangkul leher, tanpa memperdulikan atau tidak tahu betapa baju luar Kwan Bu yang hanya menyelimuti tubuhnya itu terbuka! Kwan Bu dengan tenang membenarkan letak baju luar itu, menutupi dada Siang Hwi. Mereka berangkulan dan berpandangan, Siang Hwi masih terisak-isak. Dan untuk kedua kalinya selama hidup, Kwan Bu masih terpesona. Melihat mulut yang terisak menangis, bagaikan bukan atas kehendak sendiri, atau diluar kesadarannya, ia mendekap makin erat lalu mencium mulut Siang Hwi dengan sepenuh perasaan kasih sayang.
"Kwan ah, Kwan Bu.....?" kemudian Siang Hwi berbisik, sesenggukan dan menyembunyikan muka di dada pemuda itu. Kwan Bu memeluk dan memejamkan kedua matanya, hampir tidak kuat menahan debaran jantung penuh bahagia. Dalam keadaan seperti itu, pemuda sakti ini kehilangan kewaspadaanya sehingga tidak tahu bahwa ada bayangan banyak orang berkelebat di depan rumah itu.
"Siang Hwi.......!" Munculnya Bu Keng Liong didahului panggilan suaranya ini mengejutkan Siang Hwi dan Kwan Bu. Terutama sekali Siang Hwi. Bagaikan ada halilintar menyambar kepalanya ketika ia mendapat kenyataan betapa ia berada dalam pelukan Kwan Bu. Halilintar ini membuka matanya dan mengingatkan ia betapa ia dipeluk seorang bekas pelayan! Seperti seekor kucing, ia meronta terlepas dari pelukan Kwan Bu, kemudian seperti orang linglung dan mabok ia berkata lirih penuh kemarahan.
"...... kau......! Kenapa kau peluk aku...... kenapa kau cium...... aku...?" Sebelum Kwan Bu yang terbelalak memandang itu sampai menjawab, Siang Hwi melangkah maju dan,
"Plakkkl" pipi Kwan Bu sudah ditamparnya dengan tangan kanan keras sekali. Baru dua kalinya selama hidup Kwan Bu memeluk dan mencium seorang wanita, dan untuk kedua kalinya ia telah dihadiahi tamparan dari wanita yang sama! Entah mana yang membuat mukanya menjadi merah seluruhnya sampai ke telinga, tamparan itu sendiri ataukah perasaan yang seperti ditusuk.
"Siang Hwi......!" suara Bu Keng Liong membentak puterinya penuh teguran.
"Dia... dia berani memeluk-cium aku, yah...!" Pening rasa kepala Kwan Bu. Sejenak ia memandang gadis itu penuh pertanyaan, kemudian ia sadar akan keadaan dirinya! Seorang bekas bujang! Seorang bekas pelayan! Seorang anak haram! Berpikir demikian ia mengeluh panjang lalu tubuhnya berkelebat keluar dari rumah itu, cepat sekali. Di pekarangan depan ia melihat Ya Thian Cu, dan Yo Ciat bersama beberapa orang anti kaisar yang lain, namun tidak perduli dan lari terus. Kedua kakinya seperti lemas, kadang-kadang menggigil sehingga larinya tidak secepat biasanya. Bahkan ketika berada di luar hutan, ia berhenti, memegangi kepalanya yang merasa pening sekali, pandang matanya berkunang. Terngiang di telinganya kata-kata Siang Hwi.
"Kenapa kau peluk aku" Kenapa kau cium aku?"
"Ya kenapa?" Dia sendiri tidak mengerti. Mengapa ia suka benar memeluk dan mencium gadis itu" Gadis itu adalah nona majikannya! Apakah dia sudah menjadi gila"
"Bhe-taihiap (pendekar besar Bhe)...!" Ia menoleh, keningnya berkerut, pandang matanya masih berkunang, akan tetapi samar-samar ia dapat melihat Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu yang datang, berlari cepat seperti terbang mengejarnya. Melihat tosu ini bangkit kemarahan Kwan Bu, terdorong hati yang dilanda kedukaan dan kekecewaan akibat sikap Siang Hwi yang mengecewakan hatinya. Ia membalik dan menghadapi tosu itu dengan muka masih marah dan pandang mata dingin itu.
"Koai-kiam Tojin! Egkau mau apa" Awas, kali ini aku tidak akan sudi mengampuni siapapun juga yang menantangku!" Ya Keng Cu merangkap kedua tangan ke depan dada, menarik napas panjang dan berkata,
"Sincai, sincai.... seorang pendekar besar takkan mudah roboh oleh perasaan hati sendiri, Bhe-taihiap, harap jangan salah mengerti. Pinto (aku) mengejarmu bukan dengan niat buruk, sebaliknya, pinto atas nama semua orang gagah penentang kelaliman, merasa bersukur dengan dan terima kasih bantuan taihiap." Melihat sikap tosu ini dan mendengar kata-katanya, lenyaplah kemarahan di hati Kwan Bu. Ia menunduk dan menjawab,
"Saya sama sekali tidak membantu totiang...?"
"Akan tetapi taihiap telah membunuh Sam-tho-eng Ma Chiang dan Gak Boan yang terkenal sebagai mata-mata kerajaan menjerumuskan banyak orang gagah. Jasa taihiap amat besar terhadap perjuangan. Karena itu, pinto atas nama semua orang gagah mengundang kepada taihiap, sukalah taihiap menggabung dengan kami untuk menentang kelaliman yang muncul dari istana."
Kwan Bu termenung. Di dalam hatinya ia harus mengakui bahwa memang kaki tangan kaisar pada waktu itu amat jahat, menindas rakyat dan suka melakukan tindakan sewenang-wenang seperti yang dilakukan Sam-tho-eng Ma Chiang. Akan tetapi, bukan itulah yang dicita-citakan selama ini, bukan itu yang menyebabkan dia mati-matian berguru terhadap orang sakti Pat-jiu Lo-koai. Sudah semestinya kalau orang-orang macam itu dibasmi, hal ini merupakan kewajiban seorang pendekar sehingga tidaklah sia-sia ia mempelajari ilmu sampai bertahun-tahun. Dan jika ia bergabung, berarti ia akan dekat dengan Siang Hwi. Ah, tidak! Ia bahkan harus menjauhi gadis itu. Kalau dekat, ia akan sengsara, akan selalu terhina dan menderita tekanan batin.
"Terima kasih atas kebaikan totiang. Akan tetapi...... pada waktu ini saya masih mempunyai tugas yang amat penting bagi kehidupan saya, yaitu mencari musuh besar yang telah membasmi keluaraga saya. Setelah saya selesai dengan tugas itu, barulah saya memikirkan atas usul totiang." Wajah tosu itu berseri. Di dalam perjuangannya menjatuhkan kaisar, ia membutuhkan bantuan orang pandai seperti pemuda sakti ini.
"Bhe-taihiap, siapakah dia itu musuhmu?" Kwan Bu menggelengkan kepala dan mukanya menjadi muram.
"ltulah sukarnya, totiang. Saya sendiri tidak tahu siapa dia, tidak tahu siapa namanya, hanya mengetahui ciri-cirinya."
"Taihiap beritahukanlah apa ciri-cirinya. Pinto akan membantu sedapatnya." Kwan Bu mengerutkan alisnya yang hitam. Ia tidak ingin menarik orang lain dalam urusannya membalas dendam. Akan tetapi, ia merasa betapa sukarnya mencari musuh yang tidak diketahui namanya, tidak diketahui di mana tepat tinggalnya bahkan tidak diketahui apakah musuh itu masih hidup ataukah sudah mati. Memang agaknya seorang tokoh seperti tosu ini yang akan dapat membantunya, karena tosu ini mempunyai hubungan luas sekali di dunia kang-ouw.
"Terima kasih, tidak berani saya membikin capai orang lain dalam urusan saya ini. Hanya kalau sekiranya totiang suka dan tahu, saya ingin totiang memberitahu di mana kiranya di dunia kang-ouw ini terdapat tokoh besar yang jahat, seorang laki-laki tinggi besar, bercambang bauk yang usianya sekarang sekitar enam puluh tahun, dahulu menjadi kepala perampok, seorang ahli dalam bermain golok dan ahli pula senjata rahasia jarum."
"Aahhh......?"" Tosu itu mengerutkan alisnya dan meraba-raba jenggot.
"Alangkah banyaknya tokoh seperti itu, yakni ahli golok yang tinggi besar, berusia enam puluh tahun... si Golok Emas baru berusia enam puluh tahun usiannya, si Golok Maut sudah enam puluh lebih tinggi besar pula akan tetapi setahu pinto tidak pandai senjata rahasia jarum,"
"Hemmm....... Ada yang cocok. Tapi dia itu bukan perampok, malah sebaliknya, ia seorang piawsu (pengawal barang kiriman)."
"Siapakah dia totiang" Dan di mana tempat tinggalnya, mungkin sekali dua puluh tahun yang lalu dia seorang perampok dan sekarang sudah menjadi piauwsu." Tosu itu mengangguk-angguk.
"Mungkin juga...! Dia kepala perusahaan pengawal Macan Terbang, namanya Kwa Sek Hong tinggal di kota Liu-si-bun. Dia sudah terkenal sebagai seorang ahli golok yang pandai, juga jarum-jarumnya membikin jerih hati para perampok. Orangnya tinggi besar dan usianya enam puluhan, julukannya Hui-hauw (Macan Terbang) dan karena julukannya itulah maka ia memakai nama perusahaannya Hui-hauw-piauw-kiok." Kwan Bu girang sekali. Setidaknya ia sudah mendapat pegangan untuk memulai penyelidikan dan usahanya untuk membalas dendam ibunya. Ia mengangkat kedua tangan depan dada dan menjura.
"Banyak terima kasih atas keterangan totiang."
"Tunggu dulu, taihiap!" Ya Keng Cu mengangkat tangan menahan ketika melihat pemuda itu hendak meninggalkannya. Kwan Bu menahan langkahnya dan tosu itu cepat berkata. "Bilamana tugas balas dendam taihiap telah terlaksana, maukah taihiap membantu perjuangan kami?" Kwan Bu mengerutkan keningnya, ia menghela napas ketika teringat akan cerita gurunya tentang perang yang tak kunjung henti antara "orang-orang atasan" yang saling memperebutkan kedudukan dan kemuliaan.
"Totiang, kalau saya harus berjuang menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, saya tidak akan menawar-nawar lagi dan memang untuk itulah saya bersusah payah mempelajari ilmu. Akan tetapi kalau untuk melibatkan diri ke dalam perang, maaf saya bukan termasuk golongan orang-orang yang berpamrih mencari dan mempertahankan kedudukan dan kemuliaan!"
"Siancai......! Taihiap salah menduga bahwa para pejuang memiliki pamrih untuk merebut kemuliaan dan kedudukan. Sama sekali tidak demikian, taihiap. Para pejuang berjuang mati-matian demi rakyat jelata, demi mengakkan kebenaran dan keadilan, sama sekali bukan untuk memperebutkan kemuliaan!" Kwan Bu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas lagi.
"Totiang, sejarah masih jelas mencatat segala peristiwa perang dan akibatnya. Perang hanyalah permainan orang-orang besar di atas belaka! Tiap kali mengobarkan perang, orang atasan selalu berdalih muluk-muluk seperti merobohkan raja Ialim, memperjuangkan nasib rakyat jelata, dan lain sebagainya sehingga termakan oleh rakyat yang tentu saja lalu mendukung dan membantunya, ikut berperang di garis paling depan. Mereka yang mengobarkan perang" Sama sekali tidak terancam nyawanya karena hanya membuka mulut meneriakkan perintah-perintah dan komando-komando kosong. Kalau sudah menang perang" Mereka orang-orang besar itulah yang mendapat pahala yang paling besar dan tercapai cita-cita mereka, menjadi orang berkedudukan mabok dalam kemuliaan duniawi. Pernahkah totiang mendengar adanya pejuang orang besar yang setelah perang berhasil menang lalu mengundurkan diri menjadi rakyat kembali" Tidak! Mereka itu saling berebutan antara teman sendiri, berebutan kemulian sebagai akibat kemenangan perang. Siapa yang menang dalam perang" Orang-orang besar! Siapa yang banyak tewas dan menderita selama perang" Rakyat kecil! Padahal tanpa adanya rakyat yang menjadi prajurit-prajurit kecil, mereka kaum atasan itu sama sekali tiada gunanya dalam perang! Tidak, totiang, saya tidak mau diperalat oleh mereka yang berambisi kedudukan dan kemuliaan, mereka yang selalu menempatkan diri di tempat aman, kalau menang menjadi mulia, kalau kalah perang sekalipun dan menjadi tawanan, orang-orang besar ini masih jauh lebih enak dibandingkan si kecil yang dibunuh seperti orang membunuh ayam saja!"
Kwan Bu berbicara dengan penuh semangat dan Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu mendengarkan dengan mata terbelalak. Di dalam hatinya ia terpaksa harus membenarkan pendapat ini karena dengan kenyataan yang sudah memang demikianlah. Para pemimpin yang tadinya gembar-gembor menggerakkan rakyat dengan dalih demi kepentingan rakyat, setelah berhasil dan mabok kemenangan lalu melupakan rakyat yang tadinya menjadi alat sehingga cita-cita tercapai. Tentu saja ada satu dua orang pemimpin yang benar-benar berjuang untuk rakyat, namun dibandingkan dengan mereka yang memperalat rakyat demi kemuliaan pribadi, maka yang pejuang benar-benar ini tidak tampak lagi saking jarangnya! Ia mengelus jenggot dan menarik napas panjang.
"Ahhh, betapa banyaknya orang gagah yang sependapat dengan taihiap, termasuk Bu Keng Liong taihiap yang untung sekarang telah sadar. Ketahuilah, taihiap. Pejuang yang sesungguhnya tidak perduli akan kepentingan pribadi, tidak pula menanam pamrih untuk mencari kemuliaan kelak. Menang atau kalah baginya sama saja, kalah sampai mati tidak menyesal, menang pun tidak mabok dan silau oleh kedudukan. Mereka yang memperebutkan kedudukan adalah orang lemah dan kelak mereka akan tenggelam dan hanyut oleh perbuatan sendiri, karena setiap kelaliman pasti menimbulkan tentangan. Dan tiada kemuliaan duniawi yang kekal, taihiap. Namun kebajikan menimbulkan nama baik yang masih akan hidup sepanjang masa."
"Betapapun juga, saya belum ada niat untuk menjadi alat permainan mereka calon-calon pembesar Ialim, totiang. Nah, sampai jumpa!" Setelah berkata demikian Kwan Bu berkelebat pergi dari situ, beberapa kali loncatan saja sudah lenyap dari depan Ya Keng Cu yang menggoyang kepala dan menghela napas kecewa.
"Sayang..., dia amat lihai dan akan menjadi pejuang yang hebat...!"
lring-iringan itu cukup panjang sehingga menimbulkan debu mengepul tebal di sepanjang jalan yang kering. Terdiri dari lima buah kereta penuh peti-peti berat, setiap kereta di tarik oleh empat ekor kuda dan di atas setiap kereta terpasang bendera yang berkibar-kibar indah dan megah. Bendera yang ujungnya meruncing, terbuat daripada kain sutera berdasar kuning dan di tengah-tengahnya terdapat sulaman gambar sebuah harimau bersayap. Selain bendera bergambar harimau bersayap ini juga terdapat kain-kain memanjang dengan tulisan HUI HAUW PIAUWKIOK (Perusahaan Pengawal Macan Terbang). Paling depan dari iring-iringan itu tampak tiga orang penunggang kuda yang dari pakaiannya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah para pemimpin pengawal barang ini. Yang berkuda di tengah adalah seorang laki-laki tinggi besar, bercambang bauk, usianya sudah enam puluh tahunan namun masih tampak gagah dan kuat.
Sebatang golok yang terselip di pinggang mempunyai gagang terbuat dari pada emas dan ujungnya berukiran kepala harimau. Dia inilah Kwa Sek Hong yang dijuluki orang si Harimau Terbang, Dan memang patutlah kalau kakek tinggi besar ini dijuluki seperti itu karena memang dia tampak gagah perkasa dan menyeramkan. Di sebelah kiri hui-hauw Kwa Sek Hong ini adalah seorang gadis remaja yang berpakaian indah dan gagah pula, menunggang kuda dengan gaya jelas membuktikan bahwa gadis inipun bukan orang lemah dan memang demikianlah sesungguhnya. Gadis ini cantik manis, kulitnya agak hitam namun bahkan menambah kemanisannya, berusia kurang lebih delapan belas tahun dan sebatang pedang panjang tergantung di punggungnya. Biarpun pakaiannya indah, akan tetapi cara berpakaian dan berhias amat sederhana, menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis kang-ouw yang biasa menghadapi kesukaran dan kekerasan.
Gadis ini adalah Kwa Bee Lin, puteri piauwsu (pengawal barang) itu yang semenjak kecil telah digembleng dengan ilmu silat sehingga kini menjadi seorang gadis remaja yang lihai ilmu pedangnya. Bahkan semuda itu tidak jarang Bee Lin mewakili ayahnya mengawal barang sehingga hal ini membuat ia dikenal dan ditakuti para penjahat. Orang ketiga yang berdiri paling kanan adalah Kwa Min Tek, putera sulung piauwsu itu, berusia dua puluh dua tahun, seorang pemuda yang tinggi besar seperti ayahnya, gagah perkasa dan ahli bermain golok seperti ayahnya pula. Min Tek mewarisi ilmu golok ayahnya yang amat hebat yaitu ilmu golok Lian-hwa-sinto (Ilmu Golok Sakti Bunga Teratai) yang jarang menemui tanding. Sebaliknya, untuk menyesuaikan diri,
Bee Lin diajar ilmu pedang yang gerakan-gerakannya juga berdasar ilmu silat teratai ini. Di belakang tiga orang ini masih ada tujuh orang piawsu yang menjadi pembantu-pembantu utama dalam perusahaan Hek-hauw Piauwkiok ini, juga mereka bertujuh ini semua menunggang kuda. Di atas setiap kereta terdapat seorang kurir dan di belakang berjalanlah sepasukan pengawal terdiri dari dua puluh orang, semuanya bersenjata. Para anggauta pasukan inipun adalah orang-orang yang mengerti ilmu silat dan terlatih. Maka tidaklah mengherankan apabila Hui-hauw piauwkiok ini ditakuti para perampok dan tidak pernah diganggu karena selain pemimpinnya amat lihai, juga pasukannya amat kuat. Ketika rombongan ini memasuki sebuah hutan besar yang lebar dan liar, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dilarikan sangat kencang dari arah belakang.
Kwa Sek Hong menoleh dan melihat betapa jauh di belakang tampak debu mengepul tinggi tanda bahwa ada beberapa ekor kuda lari datang, ia lalu mengangkat tangan agar rombongannya minggir memberi jalan kepada penuggang kuda yang sedang mendatang itu. Tak lama kemudian tampaklah lima orang penungang kuda. Mereka ini adalah lima orang laki-laki yang membalapkan kuda amat cepatnya. Tubuh mereka setengah rebah tertelungkup di punggung kuda, dan tampaklah ronce-ronce kuning pedang mereka yang terselip di punggung, berkibar seperti bendera. Lima orang itu "ngebut" ketika melewati rombongan piauwkok, hanya tampak orang terdepan menoleh ke arah Kwa Sek Hong dan dua orang anaknya sambil tersenyum-senyum mengejek. Debu masih mengepul tinggi ketika mereka lewat.
"Jangan......!" Kwa Sek Hong memegang tangan Bee Lin. Ayah ini waspada dan tahu ketika lengan kiri anak perempuannya bergerak merogoh kantong senjata rahasianya yang berisi penuh jarum-jarum halus.
"Apa kau gila?" Kwa Bee Lin bersungut-sungut dan menarik kembali tangannya keluar kantong senjata,
"Mereka itu bukan orang baik-baik, sama sekali tidak mengenal tata susila, lewat begitu saja tanpa memperlambat kuda, tidak memandang kepada ayah. Mereka patut diberi akan jarum!"
"Hemmm, jangan sembrono. Bee Lin," kata piauwsu tua yang sudah banyak pengalaman itu. Ia lalu menoleh dan memberi isarat rombongannya untuk mengaso di bawah pohon-pohon yang rindang.
"Kita beristirahat di sini!" teriaknya kepada pembantunya yang menyampaikan perintah itu dengan suara lantang ke arah belakang. Lima buah kereta itu berhenti, dikumpulkan menjadi satu. Kuda-kuda dilepas dan diberi kesempatan makan rumput hijau dan mengaso. Kuda dan orang melepas lelah dan keringat mereka membasahi tubuh.
Para anggauta pasukan setelah selesai mengurus kuda lalu melepaskan lelah duduk di bawah pohon-pohon, membuka kancing baju depan, ada yang meminum air perbekalan masing-masing, ada yang mengebut-ngebut leher dan dada dengan topi mereka yang lebar. Kwa Sek Hong sendiri bersama dua orang anaknya lalu duduk di bawah sebatang pohon, mengusap peluh dengan sapu tangan mereka sambil bercakap-cakap setelah minum air dari perbekalan masing-masing. Ayah anak ini sudah biasa dengan pekerjaan berat kaum piauwsu, maka mereka itu selalu waspada namun hati mereka besar karena selama bertahun-tahun tidak pernah ada penjahat yang berani mengganggu barang kiriman yang dihias bendera bergambar macan terbang. Bee Lin memandang ayahnya yang sudah tua keriputan itu. Melihat ayahnya bekerja keras lalu berkata.
"Sudah kukatakan bahwa seperti biasa, perjalanan kita akan aman tidak mengalami gangguan sehingga cukup dikawal olehku sendiri atau bersama twako, tidak perlu ayah sendiri harus turun tangan mencapikkan diri. Buktinya, sampai di sini tidak terjadi gangguan apa-apa."
"Huah, Lin-moi (adik Lin), kau bilang tidak ada gangguan, kuda tadi bukan orang baik-baik, agaknya mereka adalah mata-mata gerombolan perampok. Kita harus berhati-hati sekali mulai dari saat ini." Kata Kwa Min Tek menegur adiknya.
"Aahhhh, lima macam cecunguk seperti itu saja perlu apa diributkan" Twako, apa kau mau bilang bahwa menghadapi lima orang cecunguk itu saja harus ayah yang turun tangan sendiri?" Kwa Sek Hong mengelus jenggotnya.
"Sudahlah, kalian tidak perlu ribut-ribut. Bee Lin, kau jangan sekali-kali meremehkan urusan dan memandang rendah kaum sesat di dunia kang-ouw. Memang untuk mengirim barang ini ke kota Kian-si, biasanya cukup kalau kau atau kakakmu yang mengawal, tidak perlu aku yang sudah tua turun tangan. Akan tetapi, keadaan sekarang amat berbeda. Kaum enghiong (orang gagah) yang menentang pemerintah, terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi. Sebaliknya, pemerintah juga mempunyai orang-orang berilmu untuk membantunya sehingga kini banyak bermunculan orang-orang pandai yang saling bertentangan, di satu pihak pro kaisar, di lain pihak anti kaisar. Mereka ini kadang-kadang amat membutuhkan biaya besar untuk perjuangan masing-masing, dan ada kalanya minta bantuan secara paksa....!"
Tiba-tiba kakek ini menghentikan kata-katanya dan melompat bangun. Dua orang anaknya juga melompat berdiri karena dua orang muda itu sudah biasa menghadapi bahaya dan sudah maklum dengan kejutan dan siap. Entah dari mana munculnya, tahu-tahu di tengah-tengah rombongan piawsu ini muncul seorang pemuda tampan berpakaian serba putih yang amat sederhana, terbuat dari kain kasar dan murah. Pemuda itu bertangan kosong, berdiri tegak di situ dan menoleh ke kanan kiri. Rombongan piauwsu sudah bangkit berdiri semua sambil memandang penuh kecurigaan. Sebaliknya pemuda itu yang bukan lain adalah Kwan Bu, tampak tenang, tersenyum-senyum dan kemudian ia berkata.
"Siapa di antara kalian yang bernama Kwa Sek Hong, kepala dari rombongan piauwkok ini?"
"Bocah sombong, apa perlunya kau menyebut-nyebut nama kepala rombongan piauwkok?" Tiba-tiba tampak berkelebat bayangan yang gesit sekali dan Bee Lin sudah meloncat jauh dan tiba di depan Kwan Bu dengan sikap gagah menantang. Kwan Bu memandang kagum, tersenyum dan melihat gadis itu dari atas kepala sampai ke kaki, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, tidak bisa jadi kalau nona ini yang berjuluk Macan Terbang, sungguhpun nona tadi telah bergerak terbang ke arah sini. Nona, aku mau bicara dengan Hui-hauw Kwa Sek Hong yang tinggal di kota Lui-si-bun. Aku telah mencari-carinya di kota itu akan tetapi mendengar bahwa dia memimpin rombongan menuju kota Kian-si, maka aku menyusul. Di manakah dia sekarang?"
"Apakah engkau mata-mata perampok?" bentak Bee Lin. Kwan Bu tersenyum lagi.
"Mungkin bukan dan mungkin juga benar! Biar orang tua she Kwa sendiri yang keluar, baru aku mau bicara. Bukankah dia seorang kakek berusia enam puluhan, bertubuh tinggi besar dan terkenal ahli golok dan ahli jarum! Kalau benar dia, harap keluar, jangan bersembunyi di balik punggung nona muda!"
"Bocah kurang ajar, sombong benar kau, harus dihajar!" bentak Bee Lin yang cepat melangkah maju dan menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah mulut Kwan Bu. Pemuda ini dapat melihat betapa kerasnya tamparan, yang tentu akan memecahkan bibirnya kalau sampai terkena. Teringatlah ia akan Siang Hwi yang sudah menamparnya sampai dua kali dan teringat akan ini, hatinya menjadi kesal dan marah. Ia menggerakkan kepala ke belakang sehingga tamparan itu luput kemudian secepat kilat kedua tangannya bergerak, yang satu menangkap tangan gadis itu yang kedua mengikuti,
Mendorong punggung Bee Lin sehingga di lain saat, tubuh gadis itu sudah mencelat ke atas seperti dilontarkan! Gadis itu terkejut sekali, berjungkir balik di udara dan ia juga amat marah. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah mencabut pedangnya dan dengan napas terengah saking marahnya ia menyerang kalang kabut kepada Kwan Bu. Kwan Bu dengan mulut tersenyum-senyum mengelak ke sana ke mari dengan amat mudahnya. Tubuhnya tak pernah bergeser dari tempatnya semula, hanya tubuh bagian atas bergerak-gerak ke kanan kiri depan belakang, namun kelebatan pedang di tangan Bee Lin sama sekali tidak pernah dapat menyentuhnya! Bukan hanya gadis itu yang menjadi terheran-heran, penasaran dan marah sekali, juga Kwa Sek Hong sendiri dan puteranya memandang dengan bengong.
"Hiaaaaaattt...l" Bee Lin menyerang lagi dengan tusukan yang amat cepat ke arah dada Kwan Bu. Pemuda ini merendahkan tubuh dengan miring, kedua tangannya meluncur maju, yang kiri menotok siku yang kanan merampas pedang. Gadis itu mengeluh kaget, tangannya yang menyerang pedang lumpuh seketika dan tentu saja pedangnya dapat dirampas lawan dengan amat mudahnya.
"Kembalikan pedangku!" Bee Lin yang marah luar biasa itu karena lengan kanannya masih kesemutan, kini melangkah maju dan menendangkan kaki kirinya ke arah pusar Kwan Bu. Pemuda ini tersenyum dan berkata.
"Wah, kau benar-benar galak!" Sambil berkata demikian tangan kanannya memutar pedang mengetuk lutut lawan yang menendang sedemikan cepatnya sehingga Bee Lin tak mampu menarik kembali kakinya. Tahu-tahu kakinya menjadi lumpuh dan di lain detik, tangan kiri Kwan Bu sudah mencabut sepatunya yang berkembang! Bee Lin terkejut bukan main. Mukanya menjadi merah sekali, lalu pucat. Ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Tangan kirinya bergerak merogoh jarum-jarum di kantung, lengannya digerakkan dan,
"Syiit-Syiit-Syiit.......!" Sinar-sinar terang membawa jarum-jarum itu menyerang tubuh Kwan Bu. Akan tetapi kembali dia dan semua orang melongo, karena Kwan Bu menggunakan sepatu rampasannya itu, digerakkan berkali-kali ke depan tubuh dan... semua jarum halus yang menyerangnya menancap pada sepatu tidak sebatang pun mengenai tubuh Kwan Bu.
"Bee Lin, mundur...!" bentak Kwa Sek Hong yang tadi menjadi makin terkejut. Gadis yang keras hati ini baru sekarang mengakui bahwa pemuda di depannya itu hebat bukan main, maka dengan muka merah saking marah dan malu, ia terpincang-pincang dengan sebelah kakinya yang tak bersepatu lagi itu menghampiri ayahnya.
"Bocah sombong, berani kau menghina adikku! sambutlah jarum-jarumku ini!" Tangan Kwa Min Tek bergerak dan.
"Swing-Swing-Swinggg!" jarum-jarum yang lebih kasar dari pada jarum rahasia yang disambit Bee Lin tadi menyambar dengan kecepatan hebat sekali, menyambar ke semua jalan darah di tubuh Kwan Bu! Akan tetapi Kwan Bu sudah siap, sepatu rampasan di tangannya ia gerakkan dan jarum-jarum halus yang tadi menancap di situ kini terbang membalik, menyambut jarum-jarum yang dilepas Min Tek. terdengar suara gemerincing nyaring dan tampak bunga-bunga api berhamburan seperti bintang pecah.
Sebagian dari pada jarum-jarum rahasia Min Tek bertumbukkan dengan jarum-jarum Bee Lin yang dilepas oleh Kwan Bu, dan sebagian lagi yang terus menyambar ke arah Kwan Bu, telah ditangkap oleh pemuda sakti ini menggunakan sepatu rampasannya. Rombongan piauwsu yang menyaksikan kelihaian Kwan Bu, mengeluarkan suara heran dan kagum. Mulailah mereka merasa khawatir karena kalau para perampok yang akan mengganggu mereka berkepandaian seperti pemuda sederhana itu, mereka menghadapi bahaya yang amat besar. Min Tek yang melihat betapa jarum-jarumnya gagal, sudah mencabut goloknya. akan tetapi ayahnya cepat maju dan memegang lengannya. Kwa Sek Hong dapat melihat bahwa puteranya, yang tingkat ilmu kepandaiannya tidak jauh melebihi Bee Lin, juga bukan lawan pemuda baju putih yang lihai luar biasa itu. Maka ia mencegahnya dan berkata,
"Min Tek, kau juga mundurlah, biarkan aku sendiri menghadapinya." Alis Min Tek berkerut, akan tetapi ia tidak berani membantah ayahnya dan mengangguk sambil melangkah mundur dekat adiknya. Kini Kwa Sek Hong menghadapi Kwan Bu. Setelah orang tua itu meneliti Kwan Bu dari atas sampai ke bawah dan mengingat-ingat, ia tetap tidak mengenal siapa pemuda ini. Maka ia lalu mengangguk dan berkata.
"Sobat muda, engkau mencari Hui-hauw Kwa Sek Hong yang mengepalai Piauwkiok" Nah, akulah Hui-hauw Kwa Sek Hong. Ada keperluan apakah engkau mencariku?" Kwan Bu memandang penuh perhatian. Ia menindas perasaanya yang menjadi panas dan marah. Ia harus hati-hati dan tidak menurutkan hati panas. Melihat kepandaian anak-anak piauwsu ini, tentu Macan Terbang ini pandai melempar jarum dan juga pandai main golok melihat golok tergantung di pinggang. Akan tetapi hal itu masih belum merupakan bukti bahwa orang ini benar-benar musuh besar yang dimaksudkan ibunya.
"Hui-hauw Kwa Sek Hong. Apakah engkau seorang laki-laki sejati seperti tenarnya namamu sebagai piauwsu yang gagah perkasa?" Sepasang sinar mata orang tua itu mengeluarkan sinar marah.
"Hemmm... apa maksudmu dengan pertanyaan itu" Hui-hauw Kwa Sek Hong selama hidupnya seorang laki-laki sejati, bukan pengecut!"
"Bagus! Seorang laki-laki sejati kalau sudah berani berbuat tentu akan bertanggung jawab. Eh, orang she Kwa, engkau terkenal sebagai seorang ahli jarum rahasia. Kenalkah engkau dengan jarum ini?" Sambil berkata demikian, Kwan Bu merogoh sakunya, mengeluarkan sebatang jarum yang sudah berkarat, menggunakan telunjuknya menyentil jarum itu yang terbang ke arah mata Kwa Sek Hong! Kakek ini menyambut dengan tangan kanan, menjepit jarum terbang itu diantara dua buah jari tangan, lalu meneliti senjata rahasia ini. Ia menggeleng kepala, lalu mengambil jarumnya sendiri. Seperti yang dilakukan Kwan Bu tadi, ia menyentil jarum Kwan Bu dan jarumnya sendiri dengan kuku telunjuk dan meluncurlah dua batang jarum itu ke arah Kwan Bu. Pemuda inipun menyambut dua batang jarum dengan cara yang dilakukan lawannya, yaitu menjepitnya dengan dua jari tangan.
"Bukan jarumku. Engkau periksa perbedaanya orang muda!" Kwan Bu meneliti dua batang jarum yang diterimanya. Jarum orang tua she Kwa itu masih baru dan mengkilap, dan ujungnya meruncing jauh lebih kecil daripada ekornya dan diekornya terdapat kepala yang berbentuk kepala macan. Sebaliknya, jarum yang dulu membikin buta mata ibunya, bentuknya seperti pensil dan batangnya bergaris memanjang di kanan kiri. Memang tidak sama. Akan tetapi apa sukarnya mengganti model jarum rahasia" Maka ia masih belum yakin bahwa pisauwsu ini bukanlah musuh yang sedang dicarinya.
"Kwa Sek Hong, lupakah engkau akan dusun Kwi-cun?" tiba-tiba ia menyerang dengan perkataan sambil memandang tajam.
"Kwi-cun..?" Di mana itu...?" piauwsu tua itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
"Dua puluh tahun yang lalu, di Kwi-cun, di mana engkau dan anak buahmu merampok kampung, membunuhi banyak penduduk, dan sebelah mata seseorang wanita..?"
"Tutup mulutmu!!" Kwa Sek Hong memaki dan membentak marah, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Bu.
"Orang muda, aku tidak tahu apa maksudmu mengeluarkan kata-kata mengaco tidak karuan ini. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku orang she Kwa bukanlah pengecut, apalagi perampok! Tak perlu bermain kata-kata, lebih baik terus terang saja, engkau mau apa?" Makin berkurang keyakinan Kwan Bu. Sikap orang ini gagah, memang agaknya bukan ini orangnya. Akan tetapi bagaimana dia tahu" Dia belum puas, maka sambil tersenyum mengejek ia menjawab,
"Mau apa" Tentu saja mau merampas lima buah kereta ini...!"
"Ha-ha-ha! Bagus begitu! Lebih baik berterus terang mau merampok! Nah, pecahkan lebih dulu dada Hui-hauw Kwa Sek Hong, baru kau dapat merampas barang-barang kawalanku!" Kwa Sek Hong membentak marah dan sudah menerjang dengan goloknya dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Kwan Bu yang masih ragu-ragu apakah orang ini musuh besarnya, hanya mengelak ke sana ke mari, gerakkannya gesit dan ujung golok lawan tak pernah dapat menyentuh bajunya. Diam-diam Kwa Sek Hong terkejut bukan main. Ternyata pemuda ini memiliki kepandaian yang amat tinggi jauh melampaui dugaanya karena kini ia yakin bahwa pemuda ini adalah seorang perampok yang hendak merampas lima buah kereta kawalannya, tentu saja Kwa Sek Hong menyerangnya mati-matian.
Pada saat itu terdengar sorak-sorai gemuruh. Kwa Sek Hong yang sejak tadi mendesak Kwan Bu dengan goloknya, mencelat mundur dan memandang. Wajahnya pucat ketika ia melihat puluhan perampok menyerbu, disambut oleh kedua orang anaknya dan para piauwsu serta pasukannya. Di antara para perampok yang mempunyai warna muka yang berlainan semua. Yang seorang bermuka hitam, yang kedua putih, yang ketiga merah, yang keempat kuning, dan yang kelima bermuka hijau. Dalam pertandingan dahsyat ia berhasil merobohkan empat orang diatara mereka. Si muka hijau ini yang dahulunya masih muda, dapat melarikan diri. Siapa sangka, kini tiga puluh tahun kemudian si muka hijau itu datang bersama orang-orang lihai untuk membalas dendam. Ia tahu bahwa pemuda lihai inipun tentu sekutu si muka hijau, namun Kwa Sek Hong adalah seorang gagah yang tidak mengenal takut, maka ia menjawab lantang.
"Ha,ha,ha, kiranya raja-raja perampok di kaki Thai-san yang menghadang perjalananku! Tiga puluh tahun yang lalu aku menjadi piauwsu, sekarangpun masih. Tiga puluh tahun yang lalu aku tidak pernah mundur melawan perampok, sekarangpun masih begitu! Eh, muka hijau, siapa takut kepadamu?" ucapan yang gagah ini disambut sorak-sorai anak buahnya dan pertandingan yang tadi terhenti karena masing-masing mendengarkan suara pimpinan mereka, kini dilanjutkan, lebih sengit daripada tadi. Kwa Sek Hong memandang Kwan Bu lalu membentak dan menudingkan goloknya.
"Kiranya engkau sekutu perampok-perampok Thai-san. Baiklah, mari kita pastikan siapa yang harus mati dan siapa yang berhak memiliki barang yang kukawal ini!" sambil membentak keras, Kwa Sek Hong menerjang Kwan Bu. Akan tetapi baru tiga kali bacokan yang dielakkan pemuda itu, tiba-tiba pemuda itu lenyap dan tampak hanya bayangan putih berkelebat pergi dari situ, membuat Kwa Sek Hong berdiri melongo. Apalagi ketika ia melihat betapa pemuda baju putih itu tahu-tahu telah melayang naik ke atas kereta. Pihak perampok yang lebih banyak itu, ada yang menguasai kereta dan hendak melarikan kuda,
Akan tetapi mereka yang berada di atas kereta terjungkal oleh pukulan dan tendangan Kwan Bu. Melihat ini Kwa Sek Hong mengira agaknya pemuda itu bukanlah sekutu Cheng-bin Tai-ong melakukan perampok tunggal dan kini terjadi perebutan kereta antara anak buah perampok Thai san dan pemuda itu. Mulailah ia menyangka bahwa pemuda ini, melihat kelihaiannya yang luar biasa, agaknya tentu seorang tokoh pejuang yang menentang kaisar. Kini dia menghadapi dua pihak lawan yang amat kuat. Dilihatnya betapa kedua orang anaknyapun didesak oleh pengeroyokan banyak perampok tangguh. Maka kini melihat si muka hijau sambil tertawa mainkan tombaknya merobohkan empat piauwsu sekaligus, ia marah sekali dan cepat menerjang sambil memutar goloknya.
"Ha-ha-ha, Kwa Sek Hong, saat kematianmu sudah di depan mata!" si muka hijau mengejek sambil memutar tombak.
Kwa Sek Hong menangkis dengan goloknya. Terdengar bunyi berdenting nyaring dan kagetlah piauwsu itu. Kiranya si muka hijau ini selama tiga puluh tahun tidak tinggal diam dan telah memperoeh kemajuan hebat. Dari benturan senjata itu tadi saja ia tahu bahwa tenaga sinkang si muka hijau ini amat tangguh juga gerakan tombaknya cepat sekali, maka tombak membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang sukar diduga perkembangannya. Karena ia tahu bahwa tombak lawan amat berbahaya, Kwa Sek Hong memutar golok melindungi dirinya, kemudian tangan kirinya digerakkan. Sinar terang berkilauan menyambar si muka hijau sudah mengeluarkan sehelai Sapu tangan yang diputarnya cepat dan semua jarum yang dilepas Kwa Sek Hong menancap pada sapu tangan.
"Makanlah jarum-jarummu sendiri!" si muka hijau memutar tombaknya menyerang dan ketika Kwa Sek Hong mengelak sambil menangkis, si muka hijau ini mengebutkan sapu tangannya dan jarum jarum yang melekat di saputangannya menyambar ke arah tubuh Kwa Sek Hong! Piauwsu ini terkejut dan cepat membuang diri ke samping untuk menghindarkan sambaran jarum-jarumnya sendiri. Kini ia maklum bahwa Cheng-bin Tai-ong si muka hijau ini telah membuat persiapan baik-baik, bahkan telah mempelajari ilmu dengan sapu tangan itu khusus untuk menghadapi senjata-senjata rahasianya. Sementara Kwan Bu kini sudah yakin bahwa Kwa Sek Hong bukanlah musuh besar yang sedang dicarinya. Percakapan antara piauwsu dan si muka hijau tadi sudah membuka segalanya,
Membuat ia maklum bahwa piauwsu ini pada waktu terjadi pembasmian keluarga ibunya oleh para perampok, telah menjadi piauwsu. Jadi terang bukan Kwa Sek Hong kepala rampok itu, sungguhpun sama tinggi besarnya, sama pula pandai menggunakan golok dan jarum! Keyakinan hatinya ini membuat ia tidak ragu-ragu lagi meninggalkan Kwa Sek Hong untuk turun tangan membantu para piauwsu, membasmi perampok yang dipimpin oleh si muka hijau. Akan tetapi karena antara Kwa Sek Hong dan si muka hijau terdapat dendam pribadi, ia tidak mau ikut-ikut dan ia hanya meloncat ke atas kereta karena melihat betapa kereta-kereta itu akan dilarikan perampok. Sekali ia meloncat ke atas kereta, ia menggerakkan kaki tangan dan empat orang perampok yang berada di atas kereta itu roboh terlempar ke bawah, tak dapat bangkit lagi!
Kwan Bu terus mengamuk di sekitar lima buah kereta sampai tidak ada lagi perampok yang berani mendekati kereta. Belasan orang perampok roboh binasa. Kwan Bu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia menoleh ke kanan kiri, melihat betapa kedua orang anak Kwa Sek Hong terdesak oleh pengeroyokkan delapan orang perampok yang agaknya merupakan pimpinan dan memiliki ilmu silat yang lihai, ia segera mengenjot tubuhnya, menyerbu pertempuran itu sambil mencabut pedangnya, Toat-beng-kiam. Tampak segulung sinar merah berkelebatan menyilaukan mata menyambar ke dalam pertandingan keroyokan itu, disusul suara berkerontangan dan terbangnya pedang dan golok, kemudian disusul juga dengan pekik kesakitan dan robohnya delapan orang tadi!
Kwa Min Tek dan Kwa Bee Lin berdiri terlongong dengan senjata di tangan ketika melihat betapa delapan orang pengeroyok yang tangguh tadi tersambar sinar merah dan tahu-tahu telah bergulingan roboh. Ketika mereka melihat Kwan Bu sudah menyarungkan kembali pedangnya, dan pemuda baju putih itu bergerak-gerak merobohkan setiap orang perampok yang berdekatan hanya dengan tamparan dan tendangan, mereka menjadi kagum, heran dan juga berterima kasih. Dengan semangat tinggi mereka berdua lalu meloncat mendekati ke ayahnya yang masih bertanding hebat melawan si muka hijau. Betapapun pandainya Cheng-bin Tai-ong, namun baginya masih sangat sukar mengalahkan Kwa Sek Hong. Golok piauwsu ini amat lihai, dan entah sudah berapa ratus kali golok itu bertemu dengan tombak di tangan Cheng-bin Tai-ong, namun belum ada pihak yang terdesak. Melihat ini, Kwa Min Tek dan Kwa Bee Lin berseru keras dan menyerbu. Membantu ayah mereka.
Cheng-bin Tai-ong tadi sudah melihat kocar-kacir setelah delapan orang pembantunya roboh binasa. Hatinya gentar sekali dan mukanya yang hijau menjadi agak pucat. Kini melihat dua orang muda itu menyerbunya, ia menggigit bibir dan memutar tombak lebih cepat. Namun, menghadapi Kwa Sek Hong seorang saja ia sudah kehabisan akal dan tidak mampu menang, apalagi kini piauwsu itu dibantu dua orang anaknya yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, hampir setinggi ayah mereka. Ia masih berusaha melawan, akan tetapi sia-sia. Setelah lewat belasan jurus golok, golok Kwa Sek Hong membacok pangkal lengannya sehingga lengan itu hampir putus! Cheng-bin Tai-ong menjerit keras, tombaknya terlepas pada saat itu, pedang Bee Lin menusuk dada dan golok Min Tek membacok kepalanya.
Kepala rampok ini roboh seketika, berlumuran darah dan tewas tanpa dapat berteriak lagi. Para anak buah perampok sedang dihajar habis-habisan oleh para piauwsu yang telah "mendapat hati". Kini melihat kepala mereka roboh, sisa para perampok itu tanpa dikomando lagi pegi melarikan diri, cerai berai tunggang langgang keluar dari hutan, dikejar ejek dan sorak para piauwsu. Kwa Sek Hong dan dua orang anaknya kini menghadapi Kwan Bu. Tiga orang itu memandang penuh keheranan dan kekaguman. Apalagi ketika Kwa Sek Hong mendapat kenyataan bahwa tidak ada setetes pun darah mengotori pakaian putih pemuda itu, dia menjadi makin kagum. Hal ini saja membuktikan betapa lihainya pemuda ini. Jauh lebih tinggi ilmunya dari pada dia dan anak-anaknya yang berlepotan darah pada pakaiannya. Ia merangkap kedua tangan ke depan dada dan berkata.
"Orang muda yang lihai dan aneh! Harap jangan mempermainkan aku seorang tua dan sukalah berterus terang apa gerangan kehendakmu maka engkau bersikap seaneh ini" Lawankah engkau" Ataukah kawan" Benarkah engkau hendak merampok lima kereta yang hendak kami kawal" Kalau benar demikian, mengapa engkau membantu kami tadi padahal kalau hendak melarikan kereta, tadi lebih mudah" Sebaliknya kalau kawan, mengapa berpura-pura dengan sikap seperti perampok tangguh?" Kwan Bu tersenyum dan balas menjura, sikapnya jauh berbeda daripada tadi setelah ia tahu pasti bahwa kakek ini bukan musuhnya. Ia berkata dengan suara halus dan bersikap sopan.
"Kwa-lo-piauwsu mohon sudi memaafkan saya yang muda dan lancang. Sesungguhnya bukan sekali-kali saya hendak merampok. Kalau tadi saya berpura-pura hendak merampok, adalah karena saya menyangka bahwa Kwa-piauwsu adalah musuh besar saya. Akan tetapi setelah mendengar percakapan antara Kwa-piauwsu dan si muka hijau tadi, lenyaplah persangkaan saya, dan tentu saya tidak akan membiarkan perampok-perampok jahat mengganggu rombongan piauwsu. Sekali lagi mohon maaf!" Kwan Bu menjura, hanya kepada Kwa Sek Hong dan juga kepada Kwa Min Tek dan Kwa Bee Lin sehingga nona ini tersipu-sipu malu dan balas menjura lalu memalingkan muka. Sebelah kakinya masih tidak bersepatu sehingga ia tadi merasa kaku dalam pertandingan dan semua ini gara-gara si pemuda "nakal" dan ternyata bukan perampok melainkan seorang pendekar sakti. Kwa Sek Hong mengerutkan keningnya, lalu berkata.
"Orang muda yang gagah. Karena engkau telah menyangka aku sebagai musuh, dan setelah kini engkau mendapat kenyataan bahwa aku bukan musuhmu, sudah selayaknya kalau engkau menceritakan siapakah engkau dan siapa pula musuh besar yang kau cari itu." Kwan Bu menghela napas. Ia tidak ingin dikenal orang, akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri. Piauwsu ini sudah lama berkelana di dunia kang-ouw siapa tahu kalau-kalau dapat memberi petunjuk kepadanya.
"Kwa-piauwsu, nama saya Bhe Kwan Bu. Adapun tentang musuh saya itu, agak sukar untuk diketahui. Saya sendiri tidak tahu siapa namanya. Yang saya ketahui bahwa dia seorang tinggi besar berusia kurang lebih enam puluh tahun, pandai bermain golok dan jarum, dan dua puluh tahun lebih yang lalu, dia telah membunuh seluruh keluargaku di dusun Kwi-cun dan dia hanya meninggalkan sebatang jarum ini." Pemuda itu mengeluarkan jarum yang tadi sudah ia perlihatkan kepada Kwa Sek Hong sambil menarik napas panjang. Kwa Sek Hong mengerutkan kening dan mengangguk-angguk, meraba jenggotnya lalu berkata.
"Marilah kita mengaso di sana dan bicara yang enak. Biar kami menjadi tuan rumah di hutan ini dan akan kucoba untuk mengingat-ingat siapa gerangan yang patut dicurigai sebagai musuhmu, Bhe-hiante." Mereka duduk di tempat yang bersih, menjauhi tempat yang terdapat ayat dan darah, dan kini para anggauta pasukan sibuk mengurus mayat dan teman-teman yang terluka. Bee Lin mengeluarkan cawan dan arak di atas tanah. Setelah berpikir agak lama, Kwa Sek Hong lalu berkata.
"Ahhh! Memang sukar mencari seorang tokoh kang-ouw dengan ciri-ciri sedikit itu. Akan tetapi aku mengenal dua orang yang mirip dengan ciri-ciri yang kau sebutkan. Yang seorang adalah seorang kepala perampok di Gunung Hek-kwi-san terkenal dengan julukan Sin-to Hek-kwi (Setan Hitam Golok Sakti). Sudah puluhan tahun ia merajai pegunungan itu sehingga pegunungan itu disebut Hek-kwi-san (Gunung Setan Hitam) seperti nama julukannya. Dia seorang laki-laki berusia sepantar dengan aku, kulit mukanya hitam dan tinggi besar, ahli golok dan jarum pula. Hanya sayangnya, menurut sepanjang pengetahuan dan pendengaranku, Hek-kwi-san ini selalu bersarang di gunungnya sedangkan gunung itu amat jauh letaknya dari dusun Kwi-cun yang kau maksudkan. Betapapun juga, dia patut dicurigai karena sejak puluhan tahun yang lalu ia menjadi kepala perampok." Berseri wajah Kwan Bu,
"Ah, terima kasih banyak atas petunjuk lo-piauwsu!"
"Ah, setelah apa yang kau lakukan terhadap kami hari ini, betapa inginku dapat menolongmu, hiante. Ada seorang lagi yang juga pandai main golok dan jarum, bahkan dibandingkan dengan aku, dia jauh lebih tinggi tingkatnya. Dia adalah seorang hwesio, akan tetapi hanya lahirnya saja ia berkepala gundul dan berpakaian hwesio, padahal ia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul) kadang-kadang juga suka melakukan perampokan. Akan tetapi sayangnya pula, aku tidak pernah mendengar ia mempunyai anak buah, biasanya ia hanya bekerja sendirian saja, seorang penjahat tunggal yang menyamar sebagai pendeta gundul."
"Betapapun juga, saya akan mencarinya, Kwa-piauwsu. Di manakah tinggalnya penjahat cabul ini?"
"Aku mendengar bahwa dia kini dapat menguasai sebuah kuil, bahkan memelihara anak buah yang juga berpakaian pendeta, kalau tidak salah, di kuil Ban-lok-tang di kota Sian-hu."
"Terima kasih banyak, Kwa-piauwsu. Nah, kini saya mohon diri, sekali lagi terima kasih dan harap dimaafkan semua kelancanganku tadi." Ia bangkit di pihak tuan rumah, lalu mengangkat tangan menjura.
"Mengapa terburu-buru amat, hiante" Kita baru saja berkenalan dengan kami merasa amat cocok dan berterima kasih. Kenapa tidak melewatkan sehari di sini untuk bercakap-cakap?"
"Terima kasih, biarlah lain kali kalau ada kesempatan dan lewat di Lui-si-bun, saya akan singgah di rumah cuwi (anda sekalian). Selamat tinggal" Setelah menjura sekali lagi, Kwan Bu membalikkan tubuh dan pergi dari tempat itu, diikuti pandang mata kagum oleh tiga pasang mata keluarga Kwa itu. Belum ada setengah li Kwan Bu pergi, tiba-tiba ia mendengar ada suara yang panggilan. Ia menoleh dan kiranya kakek she Kwa itu mengejarnya. Setelah berhadapan Kwa Sek Hong menjura dan berkata sambil tertawa.
"Ah, sungguh merepotkan hiante, dan sungguh berani mulut ini mengeluarkan isi hati, akan tetapi apa boleh buat, demi kepentingan anak....!" Kwan Bu memandang heran.
"Apakah yang Kwa-piauwsu maksudkan dan mengapa pula engkau mengejar saya?" Kwa Sek Hong menghela napas panjang, kemudian ia memandang wajah yang tenang itu dan bertanya.
"Sebelumnya harap hiante suka terus terang, apakah engkau belum beristeri?" Kwan Bu tercengang dan menggeleng kepala.
"Belum!" "Sukurlah kalau begitu. Begini, Bhe-hiante.... ketika engkau pergi tadi, anakku.... Kwa Bee Lin tiba-tiba menangis. Aku.. sebagai ayahnya mengerti, mengingat pertandingannya melawanmu tadi, betapa kau merampas sepatunya...... eh, tahun ini Bee Lin malah berusia delapan belas tahun. Aku tentukan pilihan hatinya terhadap dirimu, hiante. Bagaimanakah, sukakah engkau membahagiakan hati seorang tua seperti aku, menerima usul perjodohan antara engkau dan Bee Lin?" Merah seluruh muka Kwan Bu. Eh, kiranya kakek ini hendak memungut mantu padanya! Cepat-cepat ia menjura dan berkata,
"Ah, harap maafkan saya, Kwa-piauwsu. Sesungguhnya... tak mungkin saya dapat menerima kehormatan ini. Saya... masih mempunyai tugas berat yang harus saya laksanakan, mencari musuh keluarga saya, dan..."
"Kami tahu, hiante. Dan hal itu tidak menjadi halangan. Hiante boleh melanjutkan usaha mencari balas, akan tetapi perjodohan akan diikat lebih dulu dan kelak kalau sudah terlaksana tugas hiante, baru pernikahan di resmikan..?"
"Terima kasih, akan tetapi saya tidak berani menerimanya. Biarlah kelak saja kalau ada kesempatan kita bicara lagi. Akan tetapi sementara ini, saya tidak berniat bicara tentang jodoh. Maaf Kwa-piauwsu. Saya tidak ingin mengikat janji..?"
"Apakah hiante menolak usul kami" apakah Bee Lin kurang berharga untukmu?" Kwan Bu teringat akan semua pengalamannya dan terbayanglah wajah Siang Hwi.
"Tidak, tidak demikian!" teriaknya cepat.
"Hanya... saya tak berharga... saya seorang bujang... dan saya anak haram!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat tubuh pemuda sakti ini lenyap dari depan Kwa Sek Hong yang berdiri melongo.
"Anak haram..." Anak haram?" Bibirnya membisikan kata-kata ini berulang kali ketika ia melangkah dengan wajah penuh keheranan dan kekecewaan, kembali ke tempat rombongannya yang sudah siap melanjutkan perjalanan.
Karena letak kuil Ban-lok teng di kota Sian-hu lebih dekat daripada gunung Hek-kwi-san, maka Kwan Bu lebih dulu mengunjungi kota Sian-hu ini dalam usahanya mencari musuh besarnya. Di dalam perjalanan menuju ke kota Sian-hu, ia masih teringat akan usul Kwa Sek Hong si piauwsu tua itu yang hendak menjodohkannya dengan Kwa Bee Lin. Terbayanglah wajah Bee Lin yang amat manis dan kadang-kadang ia tersenyum sambil menarik napas panjang.
Hidupnya banyak lika-likunya, mencari musuh besar belum bertemu, dicap anak haram, masih lagi seringkali terlibat dengan gadis-gadis cantik jelita! Di sana ada sucinya (kakak seperguruan) yang cantik dan gagah Liem Bi Hwa, yang biarpun ia sebut kakak seperguruan namun setahun lebih muda dari padanya. Dari mata sucinya ini seringkali ia menangkap kemesraan yang aneh, membuat jantungnya berdebar. Kemudian di sana ada Bu Siang Hwi, gadis yang lincah jenaka dan galak, yang sudah dua kali ia cium karena terdorong oleh hasrat yang tak terkekang olehnya. Adakah ia mencinta seseorang di antara mereka bertiga" Sukar dipastikan. Agaknya ia memang mencintai Siang Hwi dan hidup ini agaknya akan menjadi terang dan penuh kebahagiaan kalau saja ia selalu dapat berdekatan dengan Siang Hwi,
Akan tetapi gadis itu telah menamparnya! Dan dua orang gadis cantik yang lain itu" Terus terang saja hatinya tertarik dan merasa suka sekali. Cinta pulakah itu" Dia tidak tahu. Kwan Bu berlenggang seenaknya memasuki gerbang kota Sian-hu. Kalau ada orang memperhatikannya, tentu orang itu tidak akan menaruh curiga terhadap pemuda tampan berpakaian sederhana dan tidak membawa senjata ini. Kwan Bu menyerupai seorang pelajar setengah malang yang miskin, demikian akan dinilai orang kalau melihat keadaan dan pakaiannya. Namun wajahnya yang tampan membayangkan kerut dan goresan pengalaman pahit sungguhpun gerak-geriknya amatlah tenangnya, setenang gerak-gerik seorang kakek yang sudah kenyang makan asam garam dunia.
Mudah saja bagi Kwan Bu untuk menemukan kuil Ban-lok-tang yang dicarinya karena kuil itu ternyata merupakan kuil yang terkenal, mentereng dan besar, dengan ukiran-ukiran indah dan cat baru beraneka warna. Melihat keadaan kuil ini, Kwan Bu menjadi ragu-ragu dan arena kuil itu dikunjungi banyak tamu yang bersembahyang, ia memasuki sebuah rumah makan di seberang kuil, hendak makan lebih dulu, sambil melakukan pengamatan dari situ. Restoran itu cukup besar dengan ruangan yang terisi belasanmeja yang pada saat itu penuh tamu. Seorang pelayan menyambut Kwan Bu dengan sikap dingin karena memang seorang tamu berpakaian sederhana seperti Kwan Bu tidak menarik perhatian, tidak dapat diharapkan kemurahan hati dan tangannya memberi hadiah kepada pelayan.
"Untung masih ada sebuah meja yang kosong," kata pelayan itu sambil menuding ke arah meja yang letaknya paling dalam, akan tetapi sebelum ia mengantar Kwan Bu ke meja itu, tiba-tiba wajah pelayan ini berubah menjadi ramah sekali, dan tanpa memperdulikan Kwan Bu lagi, ia melangkah keluar menyambut seorang tamu sambil berkata manis.
"Selamat datang, selamat pagi kongcu (tuan muda). Silakan masuk, silakan masuk.. kami menyediakan meja paling baik untuk kongcu..." dan pelayan ini sambil terbungkuk-bun.gkuk mengantar tamu baru ini menuju ke sebuah meja, yaitu meja satu-satunya yang masih kosong yang dan yang tadi ditawarkan kepada Kwan Bu. Kwan Bu mngerutkan keninnya dan melihat bahwa tamu baru ini adalah seorang pemuda remaja yang amat tampan. Gerak-gerik remaja yang tampan itu sangat halus dan jelas bahwa pemuda itu adalah seorang yang terpelajar,
Akan tetapi ia amat tertarik ketika melihat tonjolan ujung gagang pedang tersembul dari dalam bungkusan pakaian yang digendong pemuda yang berpakaian mewah dan indah itu. Agaknya si pelayan bersikap manis karena pakaian pemuda itulah. Memang hebat pakaiannya, dari sutera halus dan indah, lagi serba baru sampai ke sepatunya. Pakaian seorang pemuda pelajar yang kaya raya atau mungkin putera bangsawan yang manja! Dengan senyum manis pemuda remaja itu mengangguk-angguk kepada si pelayan dan duduk di atas bangku depan meja itu, ia memesan masakan-masakan dengan suara lantang dan Kwan Bu makin gemas dan mendongkol mendengar betapa pemuda itu memesan masakan-masakan yang paling mahal dan paling lezat dalam jumlah yang amat banyak lagi, seolah-olah hendak menyombongkan kekayaannya! Masa ada seorang memesan masakan sampai belasan macam"
"Heiii, bung pelayan......!" Ia membentak tak sabar. "Bagaimana ini" Meja mana yang kau tawarkan padaku tadi?" Karena gemas melihat sikap pelayan yang menjilat-jilat, Kwan Bu mengeluarkan suara dengan keras dan membentak, membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat situ menengok. Demikian juga si pelayan cepat memutar tubuhnya dan agaknya ia baru teringat kepada Kwan Bu. Cepat ia melangkah maju membungkuk-bungkuk, berkata,
"Ah, maafkan tuan. Menyesal sekali meja-meja kami telah penuh semua. Kalau saja tuan suka menanti sampai ada meja kosong.... tuan boleh duduk menanti di bangku luar...!"
"Apa kau bilang" He, bung pelayan! Kau tadi menawarkan meja itu kepadaku, sekarang kau berikan kepada orang lain dan mengusir aku! Agaknya matamu sudah buta karena silau akan indahnya pakaian dan telingamu sudah tuli karena bising mendengar kerincingnya emas!" Setelah memaki dan puas melihat pelayan untuk mengangkat dada hendak balas memakinya, jari tangan Kwan Bu bergerak dan pelayan itu sudah tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi. Jangankan bicara, bergerak pun tidak mampu karena tubuhnya sudah kaku seperti arca batu! Saking geetarnya, Kwan Bu menotoknya diluar tahu siapa juga karena kecepatan jari tangannya, menotok untuk membuat pelayan kaku selama beberapa jam, kemudian ia membalikkan tubuh hendak keluar dari restoran itu.
"Eeeh... nanti dulu, tunggu sebentar sahabat!" Terdengar teriakan nyaring dan sesosok bayangan berkelebat di depan Kwan Bu. Kiranya pemuda remaja yang tampan itu telah lari menyusulnya dan kini berdiri di depan. Sejenak mereka saling tatap dan Kwan Bu melihat betapa wajah yang tampan itu berseri-seri dan tersenyum ramah sekali kepadanya. Betapapun jengkel hati Kwan Bu tadi melihat muka berseri dan ramah itu seketika lenyap kemarahannya. Pula, memang bocah tampan ini tidak bersalah sama sekali. Yang bersalah adalah si pelayan yang menjilat si kaya menghina si miskin. Akan tetapi, karena bocah inilah yang menjadi biang keladi sehingga si pelayan menghinanya, ia bertanya dengan suara dingin.
"Kongcu (tuan muda) yang kaya raya dan berpakaian indah mau apakah menahan aku?" Pemuda remaja itu memperlebar senyumnya melihat sikap dingin dan mendengar ucapan yang mengandung ejekan dan kemarahan itu. Ia menjura dan berkata,
"Wah, kurasa engkau tidaklah sebodoh si pelayan tolol si tukang jilat sehingga menyebut-nyebut ku kongcu kaya raya. Sahabat baik kita sama-sama orang yang melakukan perjalanan dan kebetulan bertemu di sini. Akau menjadi penyebab keributan ini, maka untuk menebus dosa, aku mengundang engkau untuk duduk makan bersamaku. Meja itu cukup besar dan bangkunya ada banyak!" Kwan Bu yang masih panas hatinya hendak menolak, akan tetapi pemuda itu demikian ramah, senyumnya demikian manis, dan kini dengan sikap bersahabat sekali pemuda itu sudah menggandeng lengannya dan ditarik kembali ke ruangan itu, ke arah mejanya. Pada dasarnya Kwan Bu memang bukan seorang pemarah, betapa mungkin kini ia marah-marah terhadap seorang yang begini manis budi"
"Hemm, akupun tidak menyalahkan engkau... hanya pelayan itu..?" katanya gagap sambil melangkah di samping pemuda itu. Pemuda itu tersenyum.
"Memang pelayan idiot, tukang menjilat, mata duitan, patut diberi hajaran!" ketika mereka lewat di dekat pelayan yangmasih berdiri kaku dan mata melotot, pemuda tampan itu menampar pundak si pelayan dengan sikap menegur dan memberi hukuman. Akan tetapi diam-diam Kwan Bu terkejut karena diam-diam gerakan itu adalah sebuah totokan yang sekaligus memusnahkan totokannya tadi dan kini si pelayan mengeluarkan suara keluhan perlahan dan dapat bergerak kembali! Kini si pelayan itu tidak berani banyak cakap lagi. Setelah tubuhnya pulih ia terbongkok-bongkok di depan meja di mana Kwan Bu duduk berhadapan dengan pemuda remaja yang tampan tadi.
"Maaf... maafkan.." kata si pelayan.
"Sudah, lekas sediakan arak dan bakmi serta daging panggang untukku." Kata Kwan Bu dengan hati sebal. Pelayan cepat membalikkan tubuh untuk menyediakan pesanan Kwan Bu dan pesanan pemuda tampan tadi.
"Ah, twako, mengapa sungkan-sungkan amat" Aku sudah memesan banyak masakan untuk kita berduapun lebih dari cukup. Untuk apa memesan lagi?"
"Hemm, sudah mengganggu mejamu, masih harus mengganggu hidanganmu, mana mungkin aku ada muka untuk melakukan hal keterlaluan itu laote (adik)?"
"Wah, kalau begitu engkau tidak suka menerima uluran tangan persahabatanku, twako" Apakah karena twako merasa terlalu tinggi dan lihai maka menganggap aku seperti angin lalu?" Kwan Bu memandang dengan mata lebar. Bocah ini benar-benar aneh sekali. Sikapnya kekanak-kanakan, akan tetapi isi kata-katanya tajam berisi, juga melihat cara membebaskan totokan di tubuh pelayan tadi, membuktikan bahwa ia memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.
"Bukan sekali-kali, mana mungkin aku memandang rendah kepadamu yang lihai, laote" Hanya aku sungkan mengganggu..?"
"Karena kita belum berkenalan" Nah, perkenalkanlah, twako, aku bernama Giok Lam, she Phoa. Engkau siapakah?"
"Namaku Bhe Kwan Bu, seorang perantau miskin.." Alis yang hitam itu terangkat ke atas, mata yang hitam itu memandang penuh perhatian dan kembali senyumnya melebar.
"Wah-wah, engkau sungguh pandai merendahkan diri, Bu-twako (kakak Bu)! Sungguh seorang taihiap (pendekar besar) yang rendah hati! Setelah kita berkenalan dan menjadi sahabat, perlu apa memakai sungkan-sungkan lagi" Bukankah seperti kata dunia kang-ouw, para pengembara adalah burung-buung yang bebas terlepas di udara, bukan seperti binatang-binatang di kandang yang dibatasi sopan santun kosong?" Kembali Kwan Bu tertegun. Bocah ini masih muda, tentu beberapa tahun lebih muda dari padanya, akna tetapi sikapnya seperti seorang petualang di dunia kang-ouw yang sudah kawakan raja. Mau tak mau ia tersenyum dan mulailah ia merasa suka kepada pemuda ini.
"Baiklah, Lam-te (adik Lam), aku takkan bersikap sungkan lagi terhadapmu. Akan tetapi, engkau tentu tahu bahwa seorang laki-laki harus pandai bersikap rendah hati namun menjunjung harga diri! Kalau kita tadi belum saling berkenalan, betapa mungkin aku berani mengganggumu" Sekarang keadaannya lain lagi. Kalau engkau sudi bersahabat dengan seorang seperti aku.."
"Nah, nah... mulai lagi...." Giok Lam memotong dan keduanya tertawa. Pada saat itu, si pelayan telah datang dengan membawa seguci arak dengan dua mangkok arak. Dua orang pemuda yang baru berkenalan itu lalu mulai minum arak sambil bercakap-cakap menanti datangnya masakan yang dipesan. Makin lama mereka bercakap-cakap, makin sukalah Kwan Bu kepada kawan baru ini yang ternyata amat pandai bicara, pandai mencari bahan percakapan, amat ramah tamah gembira dan jenaka. Sungguh seorang pemuda yang memandang dunia ini dengan mata terbuka lebar, dan senyum siap di bibir, seolah-olah bagi dia hanya kegembiraan yang ada, tak kenal duka dan kecewa. Bercakap-cakap dengan orang seperti ini, tentu saja mudah terseret sehingga Kwan Bu belum pernah merasai saat-saat yang menggembirakan seperti bercakap-cakap dengan Giok Lam!
Ketika hidangan mereka tiba dan sudah diatur di atas meja, Kwan Bu hanya makan bakmi dan panggang daging yang dipesannya. Berkali-kali Giok Lam menawarkan masakan-masakan pesanannya yang mewah dan lezat, lengkap pula dari daging burung dara sampai jantung rusa dan masak cakar bebek yang amat terkenal lezatnya itu! Namun Kwan Bu hanya mengangguk tersenyum, berterima kasih, selanjutnya masih tetap makan bakmi dan daging panggang pesanannya sendiri. Makan ini pun sudah amat menyenangkan dan sedap rasanya karena memang hatinya sedang gembira.
"Wah, Bu-twako benar-benar terlalu seji (sungkan)!" tegur Giok Lam yang segera menggunakan sumpitnya, mengambil bakmi dan daging panggang di depan Kwan Bu.
"Kalau begitu, biarlah aku memberi contoh, Nah, sekarang aku makan masakan pesanan twako, biarlah kita berdua makan bakmi dan daging panggang ini saja, yang lain-lain pesananku biar saja untuk lalat nahh?"
Kwan Bu terbelalak, lalu tertawa geli sambil hampir tersedak. Pemuda itu benar-benar kini hanya makan bakmi pesanannya dan daging panggang sederhana, tidak mau menyentuh pesanan masakannya sendiri yang belasan macam banyaknya itu. Berhadapan dengan pemuda seperti ini. Kwan Bu merasa kalah dan apa boleh buat, ia lalu mulai menyumpit dan mengambil masakan-masakan pesanan Giok Lam. Pemuda tampan ini girang sekali dan mereka lalu makan minum sambil bercakap-cakap dengan gembira, makin akrab saja hubungan mereka yang baru beberapa puluh menit itu. Makin kagum dan suka lagi hati Kwan Bu ketika pengaruh arak membuat Giok Lam bersajak dan ternyata dalam hal ilmu kesusasteraan, pemuda tampan itu memiliki pengertian yang tidak rendah!
"Wah, Lam-te benar-benar seorang bu-cwan-jai (orang pandai sastera dan silat) yang patut dikagumi membuat aku taluk benar!" kata Kwan Bu setulusnya hati. Alangkah besar bedanya pemuda ini dengan Liu Kong, bahkan jauh lebih tampan dan menyenangkan daripada Kwee Cin. Dan yang membuat ia terheran-heran adalah betapa pemuda tampan ini sekaligus telah merampas rasa sukanya dan ia seakan-akan telah mengenalnya lama sekali. Wajah tampan ini serasa bukan wajah asing baginya, seperti telah sering dijumpainya, akan tetapi hal itu sungguh tidak mungkin!
"Aaahh, Bu-twako terlalu memuji. Jangan sampai aku akan terapung tinggi oleh pujian twako. Siapa tidak tahu bahwa twakolah yang merupakan seorang hiapkek (pendekar) tersembunyi yang hebat" Oh, ya, setelah kita menjadi sahabat baik, bolehkah aku mengetahui twako ini datang dari mana dan ada keperluan apakah di kota ini" Di mana pula menginapnya?"
"Aku baru saja datang dan kebetulan saja dalam perantauan melewati kota ini. Belum mencari tempat menginp karena biasanya aku pun menginap di mana saja, di kuil-kuil, di rumah kosong, kalau terpaksa di kolong jembatan pun jadilah!"
"Ah, masa begitu" Aku bermalam di hotel Lok-sun marilah twako ke sana saja, biar kucarikan kamar sehingga kita dapat bercakap-cakap di sana." Di dalam hatinya, Kwan Bu merasa amat suka dan cocok dengan kawan baru ini dan akan merasa senang sekali kalau tinggal di satu hotel sehingga dapat bercakap-cakap sepanjang malam. Akan tetapi ia mempunyai tugas penting, yaitu mencari musuh besarnya. Ia harus menyelidiki kuil di depan itu malam nanti, menyelidiki apakah hwesio ketua kuil itu musuh yang dicarinya apakah bukan. Maka ia lalu menjawab.
"Terima kasih, Lam-te. Akan tetapi aku mempunyai urusan yang amat penting dan hari ini juga aku sudah akan meninggalkan kota ini."
"Kalau begitu, sebaiknya kita melakukan perjalanan bersama, twako! Kemanakah twako hendak pergi" Akan kubeli seekor kuda lagi untukmu dan kita dapat melakukan perantauan bersama! Bukankah menyenangkan sekali itu?"
"Maaf, maaf, dan terima kasih atas budi baikmu. Sungguh, urusanku ini adalah urusan pribadi yang amat penting sehingga tidak mungkin aku berani mengganggumu. Biarlah aku berjanji, kelak kalau sudah selesai urusanku, aku akan mencarimu dan berkunjung ke rumahmu, Lam-te." Akan tetapi pemuda tampan itu kelihatan kecewa sekali, bahkan kelihatan marah! Muka yang tampan itu menjadi merah dan mata yang tajam itu membayangkan sinar kemarahan hatinya.
"Ah, twako tidak percaya kepadaku, apakah ini tanda persahabatan yang erat" Beritahu saja apa urusan itu, kalau memerlukan bantuan tenaga, sedikitnya aku bukan seorang lemah!" Kwan Bu menggeleng kepala.
"Maaf, urusan pribadi tak mungkin diberitahukan orang lain. Harap Lam-te sudi memaklumi dan memaafkan." Giok Lam dengan nada marah sudah memanggil pelayan. Setelah pengurus datang dan membuat perhitungan, dia mengeluarkan beberapa keeping uang perak dari buntalannya, melempar uang itu ke atas meja sambil berkata,
"Hitung semua dengan tuan ini, lebihnya boleh berikan pelayan yang tadi melayani kami!" Si pengurus terbongkok-bongkok menerima uang itu dan si pelayan terbongkok-bongkok berterima kasih. Akan tetapi Giok Lam tidak perdulikan akan itu semua dan ia sudah bangkit berdiri sambil menggendong buntalannya.
"Bu-twako, selamat tinggal, mudah-mudahan urusanmu akan berhasil!" Tidak enak rasa hati Kwan Bu. Ia tahu bahwa dipandang sepintas lalu, ia telah bersikap keterlaluan, menolak penawaran dari seorang sahabat yang begitu tulus ikhlas menawarkan bantuan dan yang telah sedemikian ramah dan baik terhadapnya. Iapun berdiri dan menjura.
"Lam-te, selamat berpisah sampai bertemu kembali. Dan sekali lagi terima kasih dan maaf."
Akan tetapi Giok Lam sudah membalikkan tubuh, dengan langkah gesit telah keluar dari restoran, diikuti pandang mata Kwan Bu yang menghela napas panjang. Kwan Bu duduk kembali dan termenung, selama hidupnya, belum pernah ada orang bersikap baik terhadap dirinya. Kecuali gurunya dan ibunya. Akan tetapi gurunya kadang-kadang acuh tak acuh, sikapnya memang aneh dan tak suka beramah tamah . ibunya seringkali urung dan berduka karena mengandung dendam dan sakit hati yang belum terbalas. Belum pernah ada seorang sahabat yang baik terhadap dirinya. Orang-orang muda yang dahulu berada di rumah Bu Keng Liong, memandang rendah kepadanya, bahkan Liu Kong dan Bu Siang Hwi pernah menghinanya Kwee Cin yang pada dasarnya ramah dan halus, juga terbawa-bawa dan tidak dapat menjadi sahabat baiknya, mengingat bahwa dia hanyalah seorang bujang di rumah keluarga Bu itu.
Kini mulai muncul seorang pemuda yang begitu tampan pandai sastera dan silat, baru bertemu satu kali saja sudah memperlihatkan keramahan yang luar biasa. Tentu saja hatinya tertarik sekali dan ia merasa menyesal tidak menerima uluran tangan Giok Lam karena tugasnya yang amat penting malam ini. Karena niatnya mengintai kuil di depan tadi terganggu oleh kehadiran Giok Lam, maka kini Kwan Bu keluar dari restoran dan sengaja memasuki kuil itu yang di ruangan depannya bertuliskan tiga buah huruf indah dan besar Ban Lok Tang. Tidak begitu banyak lagi tamu sekarang, sebagian besar sudah pulang. Ketika Kwan Bu memasuki ruangan depan dan melihat-lihat ia mendapat kenyataan bahwa kuil ini benar mewah. Sutera-sutera halus beraneka warna tergantung di ruangan dalam.
Agaknya banyak sekali orang yang menerima sumbangan, berarti dianggap cukup "manjur", baik dalam memberi obat, meramal, atau memberi petunjuk terutama sekali dalam hal mencari keuntungan. Ia melihat dua orang hwesio yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, melayani para tamu yang minta sesuatu sambil bersembahyang dan melihat dengan pandang matanya yang terlatih betapa kedua hweio tua itu memiliki tenaga tersembunyi, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Selaindua orang hwesio tua ini, ada pula seorang hwesio cilik, paling tua empat belas tahun usianya, bertugas sebagai pelayan di sebelah depan dan juga sebagai tukang yang mendaftar para tamu baru agaknya. Buktinya, begitu melihat Kwan Bu, hwesio cilik ini cepat-cepat maju menyambut dan berkata.
"Tuan tentu seorang tamu yang baru pertama kali datang ke kuil kami, bukan" Sebagai tamu baru, harap tuan suka mengambil "ciam" sebagai perkenalan dan agar tuan dapat membuktikan sendiri betapa mahsyurnya kuil kami dan betapa tepatnya ramalannya!" Kwan Bu tersenyum. Semenjak kecil ia sudah terdidik untuk menghormati kuil. Bahkan ia terlahir dalam sebuah kuil Kwan-im-bio di luar kota Kwi-cun dan ia sudah yakin bahwa sebuah kuil adalah sebuah tempat yang suci di mana para pendeta berdoa untuk keselamatan umat manusia. Maka terhadap kuil Ban-lok-tang inipun ia menaruh hormat dan yang akan dia selidiki bukanlah kuilnya, melainkan ketuanya yang menurut keterangan Kwa piauwsu adalah seorang yang mempunyai ciri-ciri seperti musuh besarnya, bahkan katanya seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul).
Kini mendengar permintaan hwesio cilik, ia mengangguk dan mengikuti hwesio ini memasuki ruangan samping dan si mana terdapat meja sembahyang. Kwan Bu diharuskan membeli perabot-perabot sembahyang, kemudian dilayani hwesio itu ia bersembahyang memberi hormat dan minta perkenan "dewa penjaga" untuk memasuki kuil. Selain bersembahyang, atas desakan hwesio cilik, Kwan Bu mengocok bambu tempat "ciam" dan begitu keluar nomornya dan ia menerima sehelai kertas bertuliskan tangan dan membacanya, ia memandang dengan mata terbelalak. Apakah isi tulisan itu" Tulisan tangan yang cukup indah dan bunyinya demikian. Nama anda Bhe Kwan Bu. Kalau anda bisa bersahabat dengan seorang yang bernama Lam, barulah anda akan berbahagia. Kwan Bu yang terheran-heran itu mendengar si hwesio cilik tertawa.
"Tentu tuan terheran, bukan" Semua tamu juga pada pertama kali terheran-heran karena mereka semua dikenal oleh toa pekkong kami. karena itu, tuan tidak perlu ragu-ragu lagi untuk memohon sesuatu, karena tidak ada kuil yang lebih jitu dan manjur daripada kuil Ban-lok-tang." Kwan Bu bukanlah seorang yang begitu saja mudah percaya akan segala macam tahyul.
la percaya kan kesucian kuil sebagai tempat sembahyang, akan tetapi keanehan seperti ini benar-benar membuat ia berpikir. Bagaimana namanya dapat dikenal" Satu-satunya orang yang mengenal namanya adalah Giok Lam! Apakah ini permainan pemuda tampan itu" Apakah Giok Lam yang bersembunyi dalam kuil dan diam-diam menulis surat itu atau memberi tahu kepada hwesio yang bertugas menulis ciam" Atau ada rahasia apakah dibalik semua ini" Hatinya menjadi tidak enak dan ia tidak mau lama-lama berada di situ. Malam nanti ia akan mencari jawaban semua ini. Dari kuil itu Kwan Bu, lalu pergi keluar kota dan bersembunyi di luar kota sambil mengenangkan Giok Lam. Sukar baginya untuk melupakan sahabat barunya itu. Betapa akan senangnya kalau sekarang ia dapat bercakap-cakap dengan sahabat itu.
"Ahh, betapa mungkin kita bersahabat, pikirnya sambil menarik napas panjang. Jelas bahwa dia seorang kaya, bahkan mungkin seorang putera bangsawan. Sedangkan aku apa" Bekas bujang dan.... dan...... seorang anak haram!" Berpikir sampai di sini, dadanya terasa perih dan dia mengusir bayangan Giok Lam sebagai sahabat, lalu bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga yang mungkin malam ini harus ia kerahkan untuk menghadapi lawan berat.
Setelah hari larut malam, Kwan Bu meninggalkan tempat itu memasuki kota dengan jalan melompati tembok kota yang tidak begitu tinggi. Ia terus melakukan perjalanan melewati wuwungan rumah-rumah itu, tidak ada yang mendengar jejak kakinya yang seperti kaki seekor kucing saja. Berbeda dengan keadaan waktu siangnya yang amat ramai, kini kuil itu sunyi sekali. Sunyi seperti kuburan, juga penerangannya di bagian suram muram, hanya diterangi sebuah lampu teng bergantung di sudut kelenteng. Ruangan depan kelihatan hitam gelap meyeramkan, hanya diterangi kelap-kelip dupa sisa siang tadi di atas tempat abu. Juga restoran di depan kuil telah tutup dan keadaan di jalan itu sunyi senyap. Mengapa demikian" Hal ini berhubungan dengan kuil itu dan dengan kepercayaan akan tahyul yang sudah mendalam di hati penduduk kota Sian-hu.
Karena "manjurnya" kuil Ban-lok-tang, lalu dikabarkan bahwa jika hari terganti malam, kuil itu menjadi tempat pertemuan para dewa yang menerima pelaporan para jin dan setan, juga di situ setan-setan dan roh-roh berkeliaran yang melakukan kesalahan-kesalahan menerima hukuman! Cerita inilah yang membuat penduduk kota tidak ada yang berani lewat jalan di waktu malam, lebih baik mereka mengambil jalan memutar yang lebih jauh dari pada harus lewat di depan kuil, karena menurut desas-desus, ada bahayanya bertemu setan dan roh yang gentayangan di depan kuil yaitu setan dan roh yang akan dijatuhi hukuman di situ, kemudian menyeret manusia untuk menemani mereka menerima hukuman! Bahkan ada desas-desus mereka yang bersumpah telah mendengar jerit tangis wanita di dalam kuil, tanda bahwa setan-setan perempuan menerima hukuman!
Pendeknya, kuil yang waktu siangnya amat ramai dikunjungi orang untuk dimintai berkahnya, di waktu malam berubah menjadi tempat angker menakutkan! Kwan Bu mendekam di atas wuwungan tertinggi dari kuil itu. Dari tempat tinggi ini, ia dapat melihat bagian bawah agak luas, sampai jalan depan kuil itu pun tampak remang-remang di kegelapan malam. Dua ekor kelelawar berterbangan dan hampir menyerempet kepalanya. Diam-diam Kwan Bu menyumpahi dua ekor binatang itu yang kini terbang jauh. Binatang malam mengerikan itupun agaknya membantu si penghuni kuil, pikirnya. Dengan pandang matanya ia melihat betapa seekor dari kelelawar itu menyambar ke kiri dan tiba-tiba saja... "plak!" binatang itu terbanting di atas genteng dan tak bergerak lagi.
Kwan Bu tersenyum geli juga kagum dan heran menduga-duga siapa gerangan orang yang mendekam di sebelah kiri itu yang terganggu kelelawar dan membunuh binatang itu. Kiranya bukan dia seorang saja yang mengintai dan menyelidiki keadaan kuil Ban-Iok-tang. Pencurikah Orang di sebelah kiri itu" Dia dan orang itu sebetulnya tidak saling melihat dan hanya karena orang itu membunuh kelelawar maka ia dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Ia merasa yakin bahwa orang itu belum tahu akan kehadirannya di situ. Perhatiannya tertarik oleh gerakan dua orang jalan di depan kuil. Mereka itu adalah dua orang yang keluar dari pintu restoran yang segera ditutup kembali. Mereka membawa sebuah peti dan memasuki pintu kuil, terus ke ruangan depan, disambut oleh seorang hwesib yang bukan lain adalah hwesib cilik yang siang tadi menyambut Kwan Bu.
"lni uang pendapatan hari tadi, dan ini daftar tamu baru yang mungkin besok pagi akan mengunjungi kuil," terdengar seorang diantara mereka berkata.
"Tolong sampaikan kepada losuhu bahwa sore tadi ada seorang wanita muda yang bertanya-tanya menyelidiki kuil. Dia berpakaian serba hijau dan membawa-bawa pedang di punggungnya. kami tidak berhasil memancing apa maksudnya dan siapa namanya. Harap kalian berhati-hati dan agar losuhu tahu sebelumnya." Suara hwesio cilik itu mengejek dan memandang rendah.
"Cantikkah perempuan muda itu?"
"Cantik dan kelihatan gagah perkasa, jelas seorang yang biasa melakukan perjalanan di dunia kang-ouw"
"Ha-ha-ha, kalau cantik kebetulan sekali. Losuhu sedang sibuk dengan yang baru dan sukar ditundukkan itu, kedua susiok (paman guru) sedang sibuk pula dengan yang lama bekas losuhu, dan aku masih menganggur..?"
"Hemm, bersenang sih boleh saja, akan tetapi harap jangan mengurangi kewaspadaan. Sekali terbongkar, kita semua akan celaka!"
"Sudah. pergilah. Kalian ini benar-benar penakut" Dua orang itu kembali keluar dari pintu kuil dan menyeorang jalan, memasuki pintu restoran. Keadaan kembali sunyi senyap dan malam makin larut. Tiba-tiba mata Kwan Bu yang tajam melihat berkelebatnya sesosok bayangan di atas wuwungan sebelah depan. Bayangan seseorang yang bertubuh langsing dengan tangan kanan memegang sebatang pedang, dan pakaiannya serba hijau!
Kiranya itu adalah nona pendekar baju hijau yang dikhawatirkan oleh dua orang pengurus restoran tadi. Kwan Bu melirik kesebelah kiri. Orang yang membunuh kelelawar masih di situ. Ia makin geli. Ah, dasar nasib hwesio-hwesio ini amat busuk, pikirnya. Sekali datang tiga orang lawan! Kini ia mulai mengerti bagaimana caranya hwesio-hwesio itu menipu para pengunjung kuil dengan segala macam ciamsi "manjur dan jitu" kiranya mereka itu mempunyai kaki tangan di restoran depan kuil, dan mungkin di sekitar tempat itu yang dengan licik mencatat perbakapan para tamu, atau mungkin ada pula yang memancing-mancing keterangan mereka. Kini ia teringat betapa ia telah bercakap-cakap dengan Giok Lam dan telah menyebutkan namanya, tentu saja pengurus restoran mendengarnya dan langsung mengirim keterangan ke kuil sebelum ia sendiri memasuki kuil.
Sungguh cara kerja yang cerdik dan cepat. Bayangan wanita baju hijau itu kini sudah berendap-endap melayang turun dengan cepat sekali, tanda bahwa ginkang dari nona itu sudah cukup tinggi pula, akan tetapi tidak lama kemudian terdengar suara jerit wanita di sebelah bawah, jerit kaget, kemudian suara wanita memaki-maki dan tak lama kemudian diam, kembali sunyi. Kwan Bu melihat bayangan di kiri meloncat dengan gerakan kilat, agaknya hendak menyusul si baju hijau. Begitu melihat bayangan itu, Kwan Bu terkejut dan girang. Kiranya orang itu bukan lain adalah Giok Lam! Biarpun malam hanya diterangi bintang-bintang di langit, namun ia segera mengenali bentuk tubuh, wajah, dan gerakan orang ini. Cepat ia menyambar ke depan menyentuh pundak Giok Lam sambil berbisik,
"Sstt....!" Dengan gerakan otomatis seorang ahli silat, Giok Lam sudah menangkis tangan yang menyentuh pundaknya, membalikkan tubuh siap mengirim serangan, akan tetapi ketika melihat Kwan Bu ia berbisik,
"Ah.... engkaukah, twako...?" Kwan Bu tidak menjawab, hanya menarik tangan pemuda itu dan membawanya bersembunyi di balik wuwungan.
"Jangan sembrono, Lam-te..."
"Tidak kau lihatlah si baju hijau tadi! Dia melompat turun dan terdengar jeritnya, kita harus segera menolongnya!" bantah Giok Lam.
"Justeru karena itu kita harus berhati-hati. Tentu di bawah dipasang jebakan berbahaya. Kita harus mencari akal, sebaiknya kita tunggu munculnya seorang hwesio kita bekuk dan paksa dia menjadi penunjuk jalan. Kenapa kau berada di sini Lam-te?"
"Kulihat tadi siang engkau memasuki kuil. Tak mungkin seorang seperti engkau hendak minta-minta berkah ke kuil, twako. Maka aku menyangka tentu ada sesuatu yang tidak beres di kuil ini, dan malam ini aku datang menyelidik. Siapa kira, benar-benar bertemu denganmu di sini. Apakah si baju hijau itu kawanmu?"
"Bukan, aku datang sendiri. Agaknya hwesio-hwesio di sini amat jahat sehingga memancing datangnya si baju hijau itu. Baiklah nanti kita selidiki."
"Kau sendiri datang ke sini mau apakah Bu-twako?" Tanya lagi Giok Lam sambil berbisik lirih di dekat telinga Kwan Bu.
"Urusan pribadi... hemm, aku mencari musuh, mungkin ketua kuil ini, mungkin juga bukan. Betapapun juga, kalau benar kabar yang kudengar bahwa ia adalah seorang jai-hwa-cat, musuh atau bukan harus kubasmi." Giok Lam memegang Iengannya dan Kwan Bu merasa betapa halusnya jari tangan yang menyentuh Iengannya, halus namun mengandung tenaga dalam yang kuat.
"Dia jai-hwa-cat......" kalau begitu. si baju hijau tadi......da|am bahaya.....!"
"Sssttt.....!" Kwan Bu menarik tangan Giok Lam dan menarik memandang ke bawah. Si hwesio muda dengan tangan memegang teng berwarna merah agaknya sedang meronda, tangan kanan memegang sebatang golok.
"Biar kubekuk dia........!" Giok Lam meronta, akan tetapi Kwan Bu merangkulnya erat dan berbisik di telinganya, dengan bibir menyentuh pipi dekat telinga.
"Jangan, Lam-te. aku yang punya musuh di sini, ingat" kau bantu saja, lihat kalau-kalau aku terjebak, kau menolong aku?" Giok Lam yang tadinya bersemangat hendak meloncat dan menerjang si hwesio muda, kini tampak lemas dan hanya mengangguk-anguk. Kwan Bu melepaskan rangkulannya, lalu bangkit berdiri. Setelah hwesio muda itu berjalan dekat dan tepat di bawah wuwungan itu, tubuh Kwan Bu menyambar ke bawah gerakannya bagaikan seekor burung garuda menyambar seekor domba. Giok Lam yang melihatnya memandang penuh kekaguman dan cepat pemuda itu menjenguk dari pinggir genteng untuk menonton dan siap membantu kawannya jika perlu.
Akan tetapi tentu saja Kwan Bu sama sekali tidak membutuhkan bantuan. Hwesio muda itu tidak sempat berteriak sama sekali, bahkan tidak sempat bergerak. Tahu-tahu bayangan berkelebat dan dua kali totokan membuat dia kaku tubuhnya dan tidak mampu dan tidak dapat mengeluarkan suara, hanya bengong memandang dengan tangan kiri masih mencengkeram teng dan tangan kanan memegang golok. Dia seperti berubah menjadi sebuah di antara arca-arca yang banyak terdapat di situ. Melihat ini, bagaikan gerakan seekor walet menyambar, tubuh Giok Lam melayang turun dan ia sudah berada di dekat Kwan Bu, lalu tanpa diperintah ia merampas golok dan teng. Kwan Bu kagum. Pemuda ini biarpun masih muda namun tangkas dan agaknya sudah banyak pengalamannya sehingga dapat mengatasi keadaan tanpa diperintah.
"Hayo, bawa kami ke tempat si baju hijau tadi terjebak!" bisik Kwan Bu dekat telinga hwesio muda itu. Si hwesio membelalakan mata seperti orang ketakutan, dan berusaha menggeleng kepala. Kwan Bu lalu menekankan rasa nyeri yang tak mungkin dapat ditahan oleh seorang manusia. Seluruh tubuh hwesio itu seperti dimasuki jarum, isi perut seperti dibetot-betot dan mukanya menjadi pucat, peluh sebesar kacang kedele memenuhi mukanya, mulutnya menyeringai, lidahnya menjulur keluar dan berdarah karena tergigit sendiri. Saking tidak tahannya. ia mengangguk-angguk. Kwan Bu segera membebaskan tekanannya, bahkan membebaskan totokan tubuh hwesio itu sehingga kini hwesio itu dapat bergerak sungguh pun belum dapat mengeluarkan suara.
Giok Lam tersenyum kagum bertiga ia membawa golok dan teng, mengikuti hwesio itu yang digandeng oleh Kwan Bu, menuju ke ruangan dalam kuil yang amat gelap dan menyeramkan karena sinar suram api ujung dupa-dupa yang tinggal pendek. Api itu seolah-olah hidup karena apa bila ada angin bertiup dari luar, api itu membesar dan bersinar, menimbulkan bayang-bayang pada dinding. Arca-arca yang berdiri di situ menciptakan bayang-bayang yang seperti setan raksasa. Teng ditangan Giok Lam bergoyang dan ketika Kwan Bu melirik, kiranya kawannya itu menggigil saking merasa ngeri. Ia tersenyum. Betapapun gagahnya. kawannya ini agaknya merasa seram berada di dalam kuil itu agaknya percaya akan tahyul dan setan! Merekapun kini memasuki ruang dalam dan tubuh si hwesib muda mulai gemetaran, jelas tampak ia amat ketakutan.
Kwan Bu yang tahu akan keadaan segera menekan lagi punggung hwesio itu yang cepat-cepat mengangkat tangan dan menghampiri dinding dekat pintu yang tertutup. Tangannya meraba dan menekan tombol hijau yang tersembunyi di dekat pintu cat hijau. Terdengar bunyi berderit dan pintu terbuka, akan tetapi lantai di balik pintu itu secara otomatis terbuka pula, memperlihatkan sebuah anak tangga ke bawah. Hwesio itu menudingkan telunjuknya ke anak tangga dan membuat gerakan dengan tangan menyuruh Kwan Bu dan Giok Lam menuruni anak tangga karena dia sendiri takut untuk turun. Kwan Bu tidak perduli dan mendorongnya sambil menekan punggung. Dari kerongkongan hwesio itu terdengar isak seperti menangis, namun kakinya terpaksa menuruni anak tangga, diikuti dengan Kwan Bu dan Giok Lam yang membawa teng merah.
Anak tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan di bawah tanah yang amat mewah keadaannya, jauh lebih mewah dari pada keadaan di dalam kuil yang berada di sebelah atas ruangan rahasia ini. Di sini terdapat penerangan yang cukup sehingga tampak hiasan-hiasan dinding dan perabot-perabot yang lengkap dan serba indah. Di tengah ruangan itu terdapat permadani merah berbentuk bundar dan di kanan kiri terdapat pintu-pintu yang tertutup. Kwan Bu yang memperhatikan seluruh ruangan itu. itdak pernah melepaskan sebagian perhatiannya kepada hwesio yang dipaksanya menjadi penunjuk jala, maka ia dapat melihat ketika hwesio itu tiba-tiba menginjak bagian lantai tertentu dengan gerakan yang jelas disengaja. Maka ketika terdengar bunyi angin aneh, dia sudah merobohkan hwesio itu dengan totokan sambil berbisik kepada temannya.
"Awas.........!" Tiba-tiba terdengar desis dari kanan kiri dan atas. dan tampaklah sinar berkelebatan menyerang mereka.
"Jarum-jarum beracun...?" bisik Giok Lam yang sudah memutar goloknya sehingga jarum-jarum yang menyambar ke arahnya runtuh semua. Adapun Kwan Bu rdengan cepat menggerakkan kedua tangan,
Mendorong dan menangkap sehingga semua jarum yang menyambar ke arahnya, sebagian besar dapat ia runtuhkan dengan hawa pukulan, dan ada beberapa batang ia tangkap dengan tangan. Setelah memeriksa sejenak, ia membuang jarum-jarum itu. Berbeda dengan jarum yang berada di saku bajunya, dan jarum-jarum ini berwarna serta beracun pula! Hetika ia menoleh ke arah hwesio muda, kiranya hwesio itu sudah tewas dengan mata mendelik, terkena beberapa jarum beracun pada leher dan dadanya. Ketika tadi menangkis jarum-jarum rahasia, Giok Lam sudah melepaskan teng dan kini ia berdiri dengan tegak, siap menghadapi lawan, golok rampasan di tangan kanan, matanya melirik ke kanan kiri, Kwan Bu kagum melihatnya. Tadi sebelum jarum-jarum tiba, pemuda ini sudah tahu bahwa akan datang jarum-jarum beracun,
Hal ini saja sudah membuktikan bahwa pemuda ini adalah seorang ahli dalam senjata rahasia jarum sehingga dapat membedakan suara menyambarnya jarum-jarum dan dari baunya dapat mengetahui bahwa yang menyambar adalah jarum beracun. Dan cara pemuda ini menggerakkan golok menangkis juga merupakan permainan golok yang hebat! Tiba-tiba dari pintu kiri terdengar tangisan wanita. Tanpa dikomando lagi Kwan Bu dan Giok Lam bergerak hampir berbareng, menendang dan mendorong pintu itu yang terbuka dan roboh. Kiranya di balik pintu itu ada sebuah kamar besar sekali yang amat mewah dengan empat buah ranjang yang besar di situ terdapat dua orang hwesib tua yang siang tadi melayani tamu. Akan tetapi keadaan mereka benar-benar tak dapat disebut sebagai pendeta yang suci, bahkan sebaliknya!
Pakaian mereka setengah telanjang, di meja penuh dengan hidangan dan arak, dan di atas dua pembaringan rebah dua orang wanita muda yang keadaannya melebihi dua orang hwesio itu, karena tidak berpakaian sama sekali! seorang diantara dua orang wanita inilah yang menangis dan wanita kedua menghiburnya dengan kata-kata halus. Adapun dua orang hwesib itu ketika mendengar pintu roboh, cepat membalikkan tubuh dan begitu melihat Kwan Bu dan Giok Lam mereka mengeluarkan seruan marah dan mereka sudah menerjang maju dengan pedang yang tadi telah mereka sambar dari atas meja dalam kamar. Pada saat itu dari arah kanan terdengar jerit wanita seperti yang tadi terdengar ketika si baju hijau melompat turun. Giok Lam yang melihat betapa gerakan dua orang hwesio yang menyerang mereka itu tidaklah seberapa hebat, lalu berkata.
"Kau hajar dua ekor kerbau ini, Bu-Twako!" Kwan Bu maklum bahwa Giok Lam tentu akan menolong si baju hijau. maka ia mengangguk dan membiarkan kawannya itu menerjang keluar kamar. Ia sendiri menyambut serangan dua orang hwesio itu dengan tenang saja. Dengan sedikit menggerakkan tubuh, dua batang pedang itu menyambar lewat dan dua kali tangannya memukul dengan jari terbuka maka robohlah dua orang hwesio itu dengan tubuh lemas. pedang mereka terlempar ke atas lantai.
Kwan Bu meneliti kamar dengan pandang matanya, lalu cepat-cepat ia keluar karena tidak tahan ia berdiam lebih lama lagi dalam kamar itu, apalagi melihat dua orang wanita yang telanjang bulat itu saling peluk dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Ia harus menyusul Giok Lam yang mungkin menghadapi bahaya. Memang benar sekali kekhawatirannya ini. Begitu tubuhnya berkelebat keluar kamar, ia mendengar suara senjata beradu di kamar sebelah kanan. Pintu kamar itu sudah roboh agaknya dirobohkan Giok Lam dan pada saat itu hwesio berusia enam puluhan tahun bertubuh tinggi besar dan beralis tebal yang memainkan sebatang golok dengan kuat dan cepat sekali. Jelas bahwa Giok Lam kalah tenaga dan terdesak hebat, bahkan hwesio tinggi besar itu kini tertawa-tawa mengejek.
Kwan Bu cepat berkelebat maju memasuki kamar, akan tetapi tiba-tiba tangan kiri hwesio tinggi besar itu bergerak dan menyambarlah jarum-jarum ke arah Kwan Bu. Pemuda sakti ini yang telah bertahun-tahun melatih diri dengan ilmu menyambit jarum, dengan mudah mengelak dan menyambar beberapa batang jarum dengan tangannya. Sekali pendang saja maklumlah ia bahwa jarum-jarum ini berbeda dengan jarum yang membutakan mata ibunya. Dengan hati kecewa ia lalu menggerakkan tangannya, mengirim kembali jarum-jarum itu ke arah si hwesio tinggi besar. Seorang yang belum mahir menggunakan senjata rahasia jarum, tentu akan merasa ragu-ragu untuk menyerang lawan yang sedang bertanding dengan seorang kawan, karena ada bahayanya jarum itu mengenai kawan sendiri. Namun jarum-jarum yang dikirim pulang oleh Kwan Bu itu dengan cepat sekali menyambar, tiga batang jumlahnya, ke arah mata, leher, dan dada si hwesio tinggi besar.
Bende Mataram 19 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Pendekar Wanita Penyebar Bunga 15
^