Pencarian

Eng Djiauw Ong 10

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 10


Satu tukang perahu lantas saja ambil seperangkat
pakaian. "Eh, bagaimana, apa kau rasai baikan?" ia menanya
empe itu. Orang tua itu duduk, ia membuka kedua matanya,
dengan kesap kesip ia mengawasi tukang perahu itu, lalu Hee houw Eng dan Hauw Kie yang semuapun mengawasi
ia. "Tidak apa2, syukur!" kata ia kemudian. "Sekarang, dua kali aku jadi manusia. Kau semua ada tuan penolongku, terima kasih, terima kasih."
Ia hendak berbangkit, buat memberi hormat, atau
mendadak kembali ia muntah2.
"Sudah, jangan bilang terima kasih," kata Hauw Kie.
"Lekas kau salin pakaian, mari masuk kedalam. Kami tak punya tempo, tetapi kami hendak tanya kau sedikit"."
"Looya, kau mulia sekali," kata si orang tua. "Biar, aku salin baju saja"."
Sembari kata begitu, ia pentang kedua tangannya. Tiba2, dengan
menerbitkan suara, dari kedua tangan bajunya
terjatuh dua ekor ikan lee hie yang masih hidup, yang panjangnya delapan atau sembilan dim, jatuh kelantai
perahu, dua ekor ikan itu masih ber goyang2 kepala dan ekornya tetapi tidak berloncatan.
Semua orang heran, tidak terkecuali si empe sendiri.
"Oh, syukur, syukur!...." Ia berseru. "Baiknya cuma ini dua ekor ikan lee hie, bukannya ikan hitam, kalau tidak, mana tubuhku yang kurus cukup untuk di jadikan
umpannya"... Ikan ini boleh juga dijadikan teman arak...."
Ia terus buka bajunya, untuk ditukar dengan yang kering.
Hauw Kie selama itu mengawasi orang tua ini, yang
mencurigakan ia, akan tetapi ia tidak dapatkan kelakuan lainnya lagi yang luar biasa, gerak geriknya pun mirip dengan orang tolol. Meski begitu, ia mengundang orang masuk kedalam, ia urungkan niatnya akan daratkan dia
seraya berikan sedikit uang untuk belanja. Ia masih ingin menyelldiki lebih jauh. Untuk ini ia juga sengaja membawa tingka agung2an.
Orang tua ini benar2 bertubuh kecil kurus dan kate,
kepalanya hampir gundul, tinggal kuncirnya yang kecil, sepasang matanya kecil, seperti mata yang mau tidur,
kumisnyapun jarang. Hanya kulitnya tidak keriput, dan sinar matanya, satu kali terbentrok kepada sinar matanya Hauw Kie, membuat to coe itu heran. Sinar matanya empe ini ada tajam sekali. Tetapi, begitu bentrok sinar mata, si empe lekas melengos.
"Sahabat tua, kau rupanya mengarti silat," Hauw Kie
kata. "Maafkan aku, jikalau aku salah lihat, tolong kau beritahukan namumu, kalau suka."
Agaknya orang tua itu tidak mengarti, ia awasi orang
yang tanya ia, tetapi, walaupun ia bersangsi, ia toh
menyahuti juga "Tuan penolongku, matamu benar tajam,"
kata ia. "Aku bernama Kho Hoo. Kalau aku tidak mengarti sedikit ilmu silat, pastilah jiwaku sudah habis. Aku tinggal di Tong peng pa, Lok ceng, dimasa muda aku kerja sebagai nelayan, maka aku bisa berenang, karena usiaku lanjut, tenagaku berkurang, sekarang aku hentikan kerjaan itu.
Anak cucuku telah bisa piara aku. Kemarin dahulu aku
tengok keponakanku di Kouw leng ek, pulangnya, di Utara Teng kee chung, satu penjahat begal aku, dia malah rampas juga pakaianku. Aku telah men jerit2, aku harap penduduk kampung keluar akan tolongi aku, tetapi penjahat itu dului mendupak aku sampai aku rubuh tanpa aku sanggup lawan padanya. Dia benci aku, karena aku ber teriak2, dia mau binasakan aku, tapi karena dia lihat aku sudah tua, dia suruh aku mampus dengan cara tanam kembang teratai
ialah setelah diikatkan batu, aku dilempar ke sungai, supaya aku mati kelelap. Dia rupanya tidak menyangka aku bisa berenang. Sayang air deras, aku keburu lelah, setelah bisa loloskan diri dari ikatan, aku timbul dimuka air dan
berteriak minta tolong. Benar2, aku masih ingin hidup lebih lama. Celaka nya, tenagaku keburu habis, aku pun kena tenggak air. Maka syukur aku mendapat pertolongan. Aku sekarang merasa, sungguh tak enak akan mati". Apa tuan punya air teh, tolong bagi aku, untuk aku hangati perut...."
Selagi Hauw Kie bengong mengawasi, orang tua ini
bersenyum. "Benar dia seorang dusun yang tolol," pikir Hauw Kie, yang terus kata "Kau ada penduduk Tong peng pa, kau baik mendarat disini saja, apabila kau ikut aku, kau akan
terpisah makin jauh dengan rumahmu."
"Nah, ini uang untuk belanja, loope," kata Hee houw
Eng, yang berikan satu tail.
"Lain kali hati2lah," Hauw Ki menasihatkan.
Kemudian si empe disuguhkan secangkir teh panas.
"Sekarang antar dia mendarat," kemudian Hauw Kie
kata pula, setelah si empe minum.
"Tuan, tolong aku," kata si empe. "Malam begini gelap, aku takut akan mendarat. Aku masih sangat letih. Baik kau ajak aku, sampai dimana saja. Lagi pun aku takut jalan bersendirian. Biar aku jalan lebih jauh sedikit, asal selamat...."
"Kasihan dia," kata Hee houw Eng, sebelum Hauw Kie
menyahuti, "baik kasi dia beristirahat dahulu."
Hauw Kie setuju, maka ia suruh orangnya, yang
bernama Ah Kim, ajak si empe kebelakang.
Layar sudah lantas dipasang pula, maka perahu lantas
maju lebih jauh. Kira2 jam lima mereka sampai di Liong kauw ciang, yalah pusatnya Hauw Kie. Disini biasa
berlabuh enam atau tujuh buah perahu berikut satu untuk si ketua sendiri. Tetapi sekarang, sebuah perahupun tidak ada.
Melihat demikian, hatinya Hauw Kie bercekat. Ia
menduga, Lo Sin tentu sudah dului ia. Ia kuatir, tak dapat ia maju lebih jauh. Maka ia lantas berdamai kepada Louw Tiong, juru mudinya, yang terus ia pesan, kecuali ada titah dari Lwee Sam Tong atau Gwa Sam Tong, perahunya mesti maju terus, akan hindarkan sesuatu rintangan.
Hee houw Eng melihat tampang muka dan sikap orang
berubah tetapi ia tidak menanyakan suatu apa, malah
dengan sikap tak tahu menahu ia melongok keluar perahu, hingga ia tampak, tempat ada berbahaya, disitu air terpecah tiga, alirannya deras sekali. Yang ke Timur adalah yang menjurus kelaut, dan yang ke Barat, lebar muka airnya.
Adalah yang ke Barat Utara, yang nampaknya paling
berbahaya, dikedua tepinya ada tebing karang.
"Lauwhia, mari masuk, duduk," Hauw Kie mengundang
penolongnya. "Disini, jangan kata diwaktu fajar seperti ini, diwaktu siangpun tak ada pemandangannya yang indah."
Hee houw Eng menurut, ia masuk kedalam. Ia lihat
wajahnya to coe ini tetap tegang, berkuatir atau tak
tenteram. Perahu laju terus, sampai tiba2 terdengar tiga kali
suaranya panah nyaring. Hauw Kie dengar suara itu dengan kaget, lantas saja ia lari keluar.
Hee houw Eng berlaku tenang, tetapi ia kemudian ia
bertindak berindap2 kemulut pintu akan melongok keluar.
Ia dapati Hauw Kie berdiri tegak didepan perahu.
Disitu ada banyak rombongan perahu jalan agak pelahan sebagai gantinya empat anak buah mulai gunai penggayu.
Tidak lama, dari rombongan di tepian muncul dua
perahu yang terus menghalau di tengah.
Menyusul dua perahu itu, segera muncul perahu yang
lain, yang besar, anak buahnya delapan orang, pakaian mereka ringkas dan nama pemakainya Di atas perahu itu ada tergantung sebuah lentera merah. Dari perahu besar itu lantas datang teguran untuk perahunya Hauw Kie, yang
ditanya kenapa maju terus tanpa perkenalkan diri.
Hauw Kie segera menjawab, katanya " Inilah ___ to coe ke tujuh penting untuk Pusat Umum, maka itu harap dikasi lewat."
"Apa Hauw To coe disana ?" Ada jawaban yang berupa
pertanyaan. "Bagus! ___ ___ terima untuk sambut To coe buat menghadap di Pusat Umum. Silahkan To coe pindah
perahu." Hauw Kie jadi tidak senang dia jawab "Aku ada bekas
dari Soenkang Too coe __ sebelum aku dipecat, aku berhak untuk menghadap sendiri di Pusat Umum. Harap saudara
jangan memaksakan, agar kerukunan kita tidak samppai
terganggu." Orang diperahu besar itu bersenyum dingin.
"Hauw Tocoe, kita ada saudara satu dengan lain, tak
selayak nya kita membikin saling susah," kata ia, "tetapi kau harus mengerti urusanmu sendiri, kau sekarang telah kena orang dului, dari itu, harus kau turut aturan. Biar didepan Pang coe saja nanti kau bicara. Sekarang, silahkan kau pindah perahu."
Hauw Kie tertawa dingin. "Memang aku telah menduga si tua bangka Lo Sin mesti
sudah dului aku!" kata ia. "Tetapi pun mengenai aku, ada sebabnya kenapa aku ingin masuk bersama perahuku
sendiri. Mustahil sekali aku jeri terhadap Lo Sin" Baik kau ketahui, diperahuku ini ada dua "anak kosong" yang satu ada pelabuhan kosong, dia boleh dibawa naik keatas
penglari, biar dia ambil jalannya sendiri, tetapi yang satunya pula, dia ada sahabat yang bersamaan jalan dengan kita, yang ingin cari tahu dasar kita, dari itu dia harus diundang untuk masuk bersama"."
Hee houw Eng dengar itu, yang tercampur kata rahasia, bukan kepalang mendongkolnya, maka sambil balik, untuk jemput goloknya, akan ditancap dibebokongnya, didalam hatinya, ia kata "Orang she Hauw, kau sungguh pantas
untuk dijadikan sahabat! Aku telah tolongi kau dari mulut harimau, siapa tahu, dengan cara begini kau hendak balas budiku itu kau hendak pancing aku masuk kedalam Cap jie Lian hoan ouw! Tak nanti kau dapat pedayai aku, kecewa apabila aku sampai kena dicurangi olehmu...."
Itu waktu, perahu besar didepan sedang mendatangi.
Hauw kie telah putar tubuh nya, segera ia lihat Hee
houw Eng berdiri tegak dimuka pintu perahu, diam2 ia
menduga orang tentu telah "sadar", maka sambil bersenyum ia kata "Tak mau aku berdusta, maka sahabat, silahkan kau turut aku pindah perahu aku telah ketahui maksud
kedatanganmu kemari! Mari berdiam denganku, barang dua hari kau boleh percaya, tidak nanti kebaikanmu aku balas dengan kejahatan, sahabat, asal selembar saja rambutmu terganggu aku nanti ganti itu dengan belah pahaku. aku melainkan minta kau sudi menahan sabar nanti pada
waktunya, aku aka antar kau pulang. Umpama sekarang
mengantar kau pulang, umpama sekarang kau tak turut
aku, kau dalam hal itu jangan kau nanti sesalkan aku aku berbuat karena saking terpaksa, bukannya karena aku tak ingat persahabatan."
Hee houw Eng mundur setengah tindak, ia tertawa
dingin. "Hauw tocoe, kau sungguh suatu sahabat baik!" kata ia,
"kau telah pedayai aku sampai didepan pintu rumahmu,
kau gunai pengaruh jumlah yang banyak untuk tahan aku.
Sungguh bagus sekali perbuatanmu! tapi aku agak tak tahu diri, maka tak dapat jikalau kau ingin suruh aku ikuti kau secara baik2! Kau sedikitnya mesti memperlihatkan roman padaku."
Mukanya Hauw Kie jadi memerah. Ia jengah.
"Lauwhia, sikapmu ini mempersulit aku," kata ia.
"Aturan kaum Hong Bwee Pang ada sangat keras, hingga
tak dapat aku berkuasa lagi atas diriku. Aku minta kau menanti buat satu atau dua hari. Percayalah, apabila aku main gila terhadapmu, aku bukan lagi satu sahabat kang ouw."
Sembari kata begitu, tocoe ini bertinndak mendekati.
Hee houw Eng insaf, asal ia turun tangan, ia mesti
rubuh, akan tetapi sebagai anggauta dari Lek Tiok Tong, ia mau lindungi kehormatannya. tak mau ia menurunkan
derajat Hoay Yang Pay. Ia hendak hunjuk kesetiaannya.
Maka itu, ia telah lantas ambil putusan.
Ketika itu, kedua kepala perahu sudah nempel satu
dengan lain, dari perahu besar itu telah lompat dua orang, satu berumur kurang lebih empat puluh tahun, yang satu pula dua puluh lebih, keduanya gesit gerakannya. Yang tuaan itu, yang berpakaian serba biru, bertangan kosong.
Sedang yang mudaan menyekal sebatang kwie tauw too
kalau yang tua tenang sikapnya, yang muda garang sekali, sebab segera dia menantang "Sahabat baik, mari keluar!
Mustahil kau hendak tunggu sampai kau mesti berangkut pindah perahu?"
Hee houw Eng loncat keluar.
"Sahabat, jangan jumawa!" ia membentak. "Aku ada
disini, to h nanti aku buron, maka tak usah kau
bertingkah! Sahabat baik, kau sambutlah!"
XLVIII Anak muda yang baharu datang itu jadi gusar.
"Boe beng siauw coet, di.slnt kau tidak boleh banyak
laga!" dia kata dengan nyaring. Dia katakan orang boe beng siauw coet-satu manusia rendah. "Kau jangan banyak
omong, mari pindah perahu! Jikalau kau tidak mau
pandang2, kami pun tak akan memperdulikannya lagi."
Hee houw Eng benar2 berani, ia tertawa gelak2.
"Gelombang dahsyat dari sungai Besar sering aku
saksikan" kata ia dengan nyaring, "maka itu jikalau kau
hendak tahan aku, kau mesti sedikitnya kasi lihat suatu apa kepadaku!"
Anak muda itu lantas loncat pula, goloknya dari tangan kiri digeser kekangan kanan, dengan tangan mana ia lantas membacok.
"Lihat golok!" ia serukan, selagi senjatanya itu
menyamber kearah pundak kiri.
Tidak tunggu sampainya serangan musuh, Hee houw
Eng siapkan goloknya, tubuhnya ia geser sedikit kekanan.
Akan tetapi si penyerang melainkan menggertak. Dia tarik golok nya sambil dia maju kekanan, adalah dari situ, sambil miring dia menyerang seraya teriak "Rebahlah kau!" Ia menendang!
Kepandaiannya Hee houw Eng, lumayan tapi gerakan
nya ada cukup gesit, maka itu ia melejit kesamping musuh, lalu sambil mendek, dengan tangan kiri ia menyamber kaki musuh itu dengan gerakannya "Soen chioe loan yu." atau
"Ulur tangan untuk menuntun kambing."
Si penyerang kaget, ia berontak akan tarik pulang
kakinya itu, justeru itu sambil menjoroki, Hee houw Eng barengi melepaskan cekalannya, maka tak tempo lagi, anak muda itu rubuh terbanting, karena goloknya jatuh lebih dahulu, ia kena tindih golok itu dengan tangan kanan nya, goloknya terlepas, lengannya terluka. Karena itu, cocok dengan seruannya, dialah yang rebah!
Habis robohkan musuh, Hee houw Eng memutar tubuh,
siap untuk layani musuh yang tuaan. Berbareng dengan itu, ia merasa samberan angin disebelah belakangnya, tidak tempo lagi ia loncat seraya memutar diri, goloknya pun dipakai menyabat. Akan tetapi, selagi ia berputar, ia rasakan lengan kanannya kena orang cekal, dengan keras, seperti ia terjepit besi, menyusul mana, jalan darahnya "sam
lie hiat" kena ditotok, ia merasakan sakit, hingga goloknya terlepas tanpa merasa. Sudah begitu, sebelah kakinyapun kena disapu, tidak tempo lagi iapun rubuh terbanting.
Ketika ia berbalik, ia dapati orang yang tuaan itu, sambil pegang golok mengawasi ia sembari tertawa haha hihi. Ia jadi malu berbareng mendongkol, ia geraki tubuhnya buat berduduk.
"Sekarang kau boleh bikin apa kau suka, aku menyerah
kalah." kata ia, yang geraki kedua tangannya kebelakang.
Musuh itu belum kata apa atau kawannya, yang muda,
yang tadi rubuh, sudah lantas lompat menghampirkan, akan belenggu kedua. tangannya Hee houw Eng, sikapnya
menyatakan ia sangat mendongkol dan penasaran,
kelakuannya sangat bengis.
Selama itu Hauw Kie berdiri diam dipinggiran, ia tak
mengucap apa2, tetapi melihat Hee houw Eng diperlakukan kasar, ia kata pada si anak muda "In Tocoe, dia ada satu sahabat sejati, tolong perlakukan sedikit sabar padanya...."
Akan tetapi, to coe itu justeru mengikat makin keras, ia tak gubris permintaan kawannya itu, dan selagi Hee houw Eng manda saja, dengan hatinya sangat mendongkol,
giginya dikertek, dia menjawab "Hauw Tocoe, tak dapat aku penuhi permintaanmu! Kalau dia tidak bikin
perlawanan, pasti dia dapat dimaafkan. Jikalau to coe ingin berbuat baik, silahkan bicara didalam...."
Atas jawaban itu, Hauw Kie berdiam.
Setelah selesai membelenggu, si anak muda menjemput
goloknya. "Bukankah masih ada satu biji kosong?" dia tanya Hauw Kie "Dia pun perlu diperiksa."
Walaupun dia berkata demikian, anak muda ini tak
nantikan jawaban, terus saja dia bertindak kedalam perahu.
Semua anak buahnya Hauw Kie berdiri diam dengan
tangan mereka dikasi turun.
Anak muda itu sampai dibelakang, dimana ia tak dapati orang, segera terdengar suaranya yang keras, yang
menyatakan kemendongkolannya "Hauw Tocoe! kau bilang
dibelakang masih ada satu orang lagi, mana dia" Jangan kau main sulap!"
Hauw Kie heran, hatinya bercekat.
"Bukankah aku perintah kau tempatkan si orang tua she Kho dibelakang perahu sini?" ia tanya orang2nya. "Kenapa kau tidak mau lekas keluarkan dia untuk diserahkan pada In Tocoe?"
"Tadi dia masih ada dibelakang, dia minta arak,
sekarang dia lenyap entah kemana," menyahut beberapa
anak buah itu. Hauw Kie kaget sekali, segera lu bertindak kebelakang.
Benar2 ia tak dapati si orang tua. Maka ia jadi sangat gusar.
"Kemana dia pergi?" dia tanya orang2nya.
"Barusan dia masih ada disini, sekarang entah dia pergi kemana...." demikian ada jawabannya anak buah itu.
"Hauw Tocoe, permainanmu ini tidak bagus!" kata si
anak muda pada Hauw Kie, suaranya dingin "Kau ada
soenkang tocoe, kalau kami tidak punya perintah, kau
tentunya angkut mereka ini kedalam Pusat kita! Baik ingat, tocoe, kita sama2 cuma punyakan sebuah kepala! Sekarang kita tak usah banyak omong lagi, mari kita bicara didalam!"
"In Tocoe, aku tidak mengerti omonganmu," kata Hauw
Kie, yang tetap mendongkol dan hatinya bimbang. "Apa
mungkin kau anggap aku sebagai pengkhianat"
Kita bukannya musuh, jangan kau semprot aku dengan darah
kotor!" "Sudah, jangan kau berdua adu mulut disini!" kata orang yang tuaan tadi. "Kita bicara didalam saja!"
Dia ini telah menyusul kebelakang.
Mendengar demikian, dua orang itu berdiam, kemudian
keduanya pergi kedepan. "Hauw Tocoe, kata2mu tak cocok dengan wujudnya,"
kemudian kata si orang usia pertengahan itu. "Tapi biarlah hal ini kau jelaskan didepan Pang coe nanti. Sekarang kita tak boleh sia2 tempo, mari kita pulang!"
Hauw Kie berdiam. Benar2 ia tak bisa bela dirinya.
Terpaksa ia paserah berada dibawah pengaruhnya dua
orang itu. Dengan tidak mengucap sepatah kata jua, ia mendahului loncat ke perahu kawan itu.
Orang usia pertengahan itu turut meloncat, akan
mengikuti soenkang tocoe ini.
Si anak muda, yalah yang dipanggil In Tocoe, mau ikut pindah perahu sambil ia sendiri bawa Hee houw Eng,
lengan siapa ia cekal, mulutnya mengucap secara jumawa
"Sahabat baik, mari kita buka sedikit mata kita!" Baharu saja ia angkat kakinya, atau .. "Anak kunyuk, tahan! Kau niat membajak sambil celakai orang" Lepas tanganmu!"
Suara itu datangnya dari atas perahu, maka si anak muda segera angkat kepalanya, dongak.
Berbareng dengan itu, satu bayangan orang loncat turun dari tihang layar perahunya Hauw Kie, tubuhnya sampai dilantai perahu secara enteng sekali.
Anak muda itu tercengang, sebelum ia tahu apa2, orang sudah sampai didepannya, lantas tahu2 pundaknya kena
dirabah, atas mana, dia merasai sakit pada lengannya, lengannya itu menjadi kaku, hingga tanpa kehendaknya, Hee houw Eng terlepas dari cekalannya. Tetapi ia melihat nyata, bayangan itu ada seorang kurus dan kecil. Ia
sebenarnya berniat berteriak, akan tetapi orang telah dului ia, yang tubuhnya dicekal sambil si bayangan serukan
"Kunyuk mulut manis hati pahit, kau sambutlah!"
Tidak tempo lagi, tubuhnya In Tocoe ini diangkat,
dilempar keperahunya sendiri! Dan dengan menerbitkan
suara berisik, tubuh itu jatuh terbanting keras!
Hauw Kie tercengang untuk mendapat tahu bayangan itu
adalah si orang tua she Kho, yang tadi kelelap dan ia tolongi. Ia tidak sangka orang ada demikian gesit dan kuat.
Iapun segera menduga orang tua itu mesti ada
hubungannya dengan Hee houw Eng. Maka ia pikir,
apabila ia tidak turun tangan, sukar ia nanti lolos dari prasangkaan jelek. Iapun tak usah kuatir lagi, karena In Tocoe sudah berada diperahunya. Begitulah ia lontat kearah si empe sambil berseru "Orang tua kate, jangan bertingkah!
Jangan kau lari!" Lompatannya adalah lompatan naga, ia sudah sampai
disamping nya si orang tua kate.
Si orang tua sementara itu sudah loloskan belengguannya Hee houw Eng, ketika orang loncat padanya, ia seperti tak ambil mumet, dengan begitu, leluasalah bagi Hauw Kie
akan kirim serangannya "Kim pa louw jiauw" atau "Macan tutul emas perlihatkan kukunya." Adalah setelah kepalan samber kepalanya, baharu si orang tua berkelit, sebelah tangannya diangkat naik menyambuti kepalan musuh,
sedang tangan kanannya bergerak kearah dada.
Hauw Kie terkejut tempo tangannya kena dibentur,
karena ia merasai tenaga yang besar, dan walaupun ia tarik dadanya, ia
toh kena juga terserang, hingga
ia sempoyongan dua tindak, hampir ia tak dapat tancap kaki untuk pertahankan tubuhnya. Ia heran, karena ia tahu akan kepandaiannya yang tidak rendah.
Orang usia pertengahan pun kaget, tetapi ia segera
tolongi In Tocoe. Ia pun percaya, Hauw Kie tentu sanggup layani musuh tua dan kate kurus itu. Nyata ia menduga keliru, baharu satu gebrak, soenkang tocoe itu sudah kena dikalahkan. Ia jadi gusar, segera ia menegur "Sahabat, kau liehay, kau tentunya bukan satu boe beng siauw coet.
Sahabat, aku Tang Goat Po ingin terima pelajaran dari kau!"
Orang tua itu tertawa haha hihi, lalu dengan suara dingin ia kata "Sahabat baik, jangan kau perkenalkan nama dan gelaranmu! Buat apa tutup pintu, angkat diri jadi kaisar, buat dengan jumlah yang banyak menangi yang sedikit"
Sungguh, kau bikin tercemar nama besar dari Hong Bwee Pang! Sahabat, Jie thayyamu tidak sempat layani kau
bicara, apabila benar kau tidak puas, nanti kita bikin perhitungan!" sehabis mengucap demikian, seraya bentur lengannya Hee houw Eng, orang tua itu meloncat keperahu perahu cepat sebelah kanan, di mana cuma ada dua anak buahnya. Mereka ini kaget, jikalau mereka tak pandai
imbangi tubuh, pastilah perahu mereka karam. Mereka jadi gusar, lantas yang satunya angkat penggayu dengan apa ia kemplang si orang tua.
"Ha, ada majikannya, ada budaknya!" berseru si orang
tua, yang melihat serangan gelap itu, lalu ia sambuti penggayu itu akan dibentak kesamping, hingga tubuh si
penyerang kena terbetot, nampai anak buah itu terangkat naik dan tercebur keair.
Tukang perahu yang satunya yang pegang kemudi, jadi
kaget, tidak tempo lagi dia loncat naik keperahu besar, tapi dia meloncat dengan menjejak keras, maksudnya supaya
perahu cepat itu terbalik dan karam sendirinya. Akan tetapi si orang tua sudah siap sedia, begitu perahu dijejak, dia pasang kuda2nya untuk menahan, dengan begitu, perahu
itu tak dapat terbalik. Tangannyapun samber pinggiran perahu besar, hingga ia bisa gunakan tenaganya lebih besar lagi.


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hee houw Eng bersangsi, hingga ia diam saja mengawasi si orang tua.
"He, kau tunggui apa?" si orang tua menetrur, sambil
tertawa haha hihi. "Orang tak lagi sediakan nasi. Mari kita pergi!"
Baharu sekarang si anak muda insaf, lantas ia meloncat keperahu cepat itu, akan segera mengambil tempat duduk seperti si orang tua, maka sekejab kemudian keduanya
sudah mulai gayu perahu cepat itu akan tinggalkan musuh mereka. Sembari pergi, si orang tua kata "Sahabat baik sekalian, sampai ketemu pula nanti! Jangan rintangi aku, atau jangan kau sesali aku si orang tua tak tahu adat!"
Baharu beberapa gayuan, perahu cepat itu sudah
pisahkan diri dua tumbak lebih dari perahu besar itu.
Orang Hong Bwee Pang yang usia pertengahan itu jadi
sangat mendongkol karena ia telah diperhina dan ditinggal secara demikian.
"Tikus, kau keterlaluan!" Ia berseru. "Kemana kau
hendak kabur." Suara ini disusul dengan terayunnya sebelah tangannya, lalu berkeredepan serupa benda, menyamber kearah perahu cepat itu.
"Bagus." berseru si orang tua, yang angkat penggayunya.
Segera terdengar satu suara membeletok, disusul suara jatuhnya suatu benda kecil kemuka air. Itulah sebatang piauw!
Tapi Tang Goat Po tidak menyerang melainkan satu
kali, lantas menyusul piauwnya yang ke dua dan ke tiga.
Dia adalah Hio coe dari Soenkang Congco dari Hoen coei kwan, dia pandai menggunai piauw dengan kedua
tangannya, kepandaian siapa ada berimbang dengan
kepandaiannya Lo Sin. Tetapi, walaupun ia liehay, juga dua piauw yang belakangan ini kena disampok jatuh oleh si orang kate kecil dan kurus itu.
"Sudah habis?" berseru si orang kate dengan suara
hinaan nya. "Begini saja kepandaian mu" Aku sudah kasi nasihat padamu, kau tidak memperdulikan nya, sekarang kau lihat bukti nya...."
Sembari mengucap demikian, empe itu terus gayu
perahunya. Kauw Kie ada mendongkol, karena mereka telah kena
dipermainkan, diam2 ia telah siapkan sepasang panah
tangan, justeru orang menghina pula, ia menyerang sambil ia serukan "Manusia rendah, lihat panah!"
Dengan menerbitkan suara angin, kedua batang panah
tangan itu melesat kearah si orang tua.
"Bagus!" berseru orang tua itu, yang egos kepalanya dan angkat tangannya, akan sambuti kedua batang panah,
sesudah mana, ia berseru pula "Aku kembalikan barangmu!
Sambutlah!" Tangannya segera terayun, suatu cahaya putih melesat.
Hauw Kie malu bukan main. Dengan kena disambutinya
panah tangahnya, benar2 mereka sudah kena dirubuhkan.
Ia dengar seruannya si empe, ia kira ia akan balik diserang dengan
panah tangannya sendiri, ia siap untuk menyambutinya. Akan tetapi di luar sangkaannya, yang
menyamber adalah suatu barang putih, entah senjata
rahasia macam apa, melesatnya sangat cepat, walaupun ia sudah bersiap, tidak urung ia berlambat berkelit, pundak kanannya menjadi sasaran, ia lantas merasakan sangat sakit dan panas. Syukur ia tidak sampai rubuh, hanya senjata rahasia itu yang jatuh keperahu. Ketika ia jemput itu, ternyata itu ada sepotong uang perak. Maka sekarang ia mengerti, kenapa ei empe sebut barangnya dikembalikan.
Itu adalah uang yang ia tadi berikan kepada si empe itu. Ia mendongkol, tetapi ia tahu pihaknya tak akan dapat
menangi musuh itu terpaksa ia berdiam, karena Hio coe Tang Goat Po sekalipun sudah tak beraksi lebih jauh.
Begitulah, ketika perahu cepat itu sudah pisahkan diri jauhnya dua atau tiga puluh tumbak. Tang Goat Po pun
ajak Hauw Kie kembali, buat pulang ke Cap jie Lian hoan ouw.
Hee houw Eng didalam perahu cepat ada bingung sekali.
Pertama tama ia heran kepada si orang tua, yang ternyata sangat liehay, sudah begitu, diapun sangat pandai berenang dan selulup dan menggayu perahu. Ia tidak mengerti, selagi ia tidak mengenalnya, kenapa si orang tua menolongi ia secara mati2an. Ia berdiam saja, ia sangsi, ia tidak berani untuk minta keterangan.
Perahu digayu terus sampai jauhnya tiga lie, selama
mana, sang pagi telah datang, tatkala si empe sudah awasi
tepian, lantas dia kata pada kawannya "Kawan sesama
kampung, disini saja kita singgah!"
"Baik, loocianpwee, terserah," sahut Hee houw Eng,
yang hatinya lega. karena orang mendahului membuka
suara. Iapun melihat darat, yang berupa tanah pesawahan, dimana ada beberapa jalan kecil.
Si empe telah tahan perahunya dipinggiran, Hee houw
Eng terus meloncat kedarat dimana ia berdiri diam untuk menantikan. Empe itu lemparkan penggayu kedalam
perahu, lantas ia loncat kedarat.
"Terima kasih, loocianpwee," kata Hee houw Eng seraya memberi hormat. "Aku tidak tahu diri, aku berani lancang memasuki daerah musuh, baiknya loocianpwee datang
menolong aku. Budi yang sangat besar ini aku tak berani janjikan untuk membalas nya, tetapi meskipun demikian, aku
meminta dengan sangat supaya loocianpwee perkenalkan diri, untuk aku ingat dalam hati sanubariku."
"Sahabat baik, kau mesti ketahui tabeatku," jawab si
empe sambil bersenyum. "Ada biasa bagiku akan
melakukan apa yang aku suka, hingga tak usah tunggu
orang memintanya. Sebaliknya apabila aku tak setuju,
walaupun raja yang minta, tidak nanti aku perdulikan! Aku sudah tolong kau sebab pihak sana tadi sudah berlaku
bertentangan dengan cara kaum kang ouw! Kunyuk tadi
ada terlalu licin hingga tak sudi aku melihatnya, hingga aku terpaksa berikan hajaran kepadanya, supaya dia insaf, agar dibelakang hari berkuranglah orang2 semacam dia! Kau
sendiri, sahabat, kau memang tidak tahu diri, pantas kau merasakan pahit getir, tetapi aku tolongi kau agar
pemimpinmu tak dapat malu, maka lain kali hati2lah kau, supaya kau jadi satu anak muda yang berarti. Tentang she dan namaku kau tak usah tanya, nanti saja kau tanyakan pemimpinmu, dia akan mengasi tahu. Tapi kita berdua
benar ada berjodo, karena kebetulan sekali kita bisa
bertemu. Kata2ku ini adalah kehormatan untuk pertemuan kita yang pertama kali ini, selanjut nya, semua2 terserah kepadaku, kepada kemauanku
" Sekarang bilang, kau
hendak pergi ke Tong peng pa atau terus ke Gan Tong
San?" Bingung Hee houw Eng akan dengar kata2 tak keruan
juntrungannya itu, kalau ia tak telah ditolong, barangkali ia tak sudi melayaninya, atau ia menyangka ia sedang
berhadapan dengan orang yang otaknya miring. Ia benar2
tidak tahu orang tua ini siapa adanya, sebab turut laga lugunya, dia mirip orang tertua atau tetua dari pihak sendiri. Karena keterangannya si tua itu, ia pun tidak berani menanyakan terlebih jauh. Maka diakhirnya, ia cuma bisa manggut manggut dan menyahuti "ya, ya," saja. Ketika
ditanya dia mau pergi ke Tong peng pa atau ke Gan Tong San, ia insaf, orang tua itu benar2 ketahui hal dirinya dengan baik sekali. Maka ia jawab "Teecoe empunya po
coe sudah menantikan di Ngo liong peng di Gan Tong San sejak tadi malam, dari itu perlu teecoe lekas menyusul ke Ngo liong peng. Disini teecoe tak kenal jalanan, teecoe mohon loocianpwee sudi mengunjukkannya."
Orang tua cebol itu mengawasi, ia manggut.
"Kau adalah Tee lie touw, si Peta Bumi, tetapi nyata
peta bumimu belum lengkap dibuatnya!" kata ia. "Lihat jalanan kecil disana, ambillah itu, yang menuju ke Ngo liong peng. Jalanan disana rata, tidak ada rintangan nya, pergi lekas!"
Hee houw Eng mengucap terima kasih, ia memberi
hormat pula. Selagi begitu, si orang tua mendengarkan suitan
mulutnya, suara mana disambut dengan bergerak nya
semak didekat mereka, lalu terdengar tindakannya kaki binatang yang keluar dari semak itu, yalah seekor keledai hitam mulus kecuali jidatnya dimana ada pitak putih.
Binatang itu, yang kelihatannya gesit sekali, menghampiri si orang tua, didepan siapa ia berdiri diam.
Orang tua itu usap kepalanya keledai itu.
"Jie Hek coe, setengah malaman aku suruh kau
menantikan," kata ia, "maka sekarang mari kita pergi!"
Seperti yang mengerti perkataan orang, keledai itu geraki kepalanya, kemudian dengan kepalanya ia gosok tubuhnya si orang tua. Ketika si orang tua menepuk kempolannya, segera ia angkat kepalanya, lantas ia berlompat kedepan, berlari, sampai sedikit jauh.
"Nah, sahabat baik, sampai kita bertemu pula!" kata
orang tua itu pada Hee houw Eng, sesudah mana dengan
enjotan tubuh "Pat po kan siam"-"Menguber tonggeret," ia berlompat kedepan, cuma dua tiga kali, ia sudah lantas duduk bercokol diatas punggung keledainya, yang ia dapat susul dalam sekejab, untuk antap binatangnya itu kabur terus.
Hee houw Eng celangap menampak pemandangan itu, ia
kagum bukan main, buat si empe sendiri, untuk keledainya juga yang begitu jinak dan mengerti maksud orang. Di Lek Tiok Tong ia telah saksikan orang2 gagah dari Hoay Yang Pay, tetapi yang liehay sebagai empe ini, baharu kali ini ia saksikan. Tetapi iapun tak berani diam lama2 ditempat sunyi itu, ia lantas buka tindakan lebar, untuk menuju ke Ngo liong peng.
Kira2 tengah hari, Tee lie touw sampai dikaki gunung
Gan Tong San, ia mampir ditepi jalan di mana ada
beberapa penjual makanan dan air teh, sembari tangsel perut, ia tanya jalanan, hingga ia ketahui, lagi dua lie ia
akan sampai di Ngo liong peng. Habis dahar, ia lanjutkan perjalanan. Jalanan benar bagus, hingga tukang sewakan kereta bisa berlari2. Ketika akhirnya ia sampai ditempat tujuan, ia dapati sebuah tempat berkumpul tukang sewakan keledai. Ia tak tahu Eng Jiauw Ong ada dimana, ia masgul juga, ia jalan terus. Ia jalan mutar, sampai dibukit Hok Say Nia, yang lebat dengan pepohonan, disitu ia dapati sebuah tembok merah, maka kekuil itu ia menuju.
Kebetulan ditepi jalan, pa da sebuah pohon besar, ada goresan golok, melihat itu, Hee houw Eng girang. Itu ada tanda rahasia dari ketuanya. Ia jadi dapat harapan, maka ia maju lebih jauh. Baharu belasan tindak, ia dapati serupa tanda yang menunjukkan arah, yalah kejurusan kuil, maka lekas2 ia menuju kerumah suci itu.
Kuil ada terdiri dari empat atau lima undakan ruangan, pekarangannya pun lebar, mereknya adalah Kioe Leng
Kiong, sebuah kelenteng imam atau toosoe. Dilihat
anteronya, kuil berkedudukan dimukanya bukit.
Tanpa sangsi lagi Hee houw Eng bertindak masuk. Pintu kuil terpentang lebar.
XLIX Baharu Tee lie touw memasuki pintu kelenteng, ia sudah lantas disambut oleh satu imam umur diatas enam puluh tahun.
"Apakah sie coe she Hee houw?" tanya si imam sambil
memberi hormat. Ditegur secara demikian, Hee houw Eng tercengang.
Akan tetapi segera ia menduga, tentu Eng Jiauw Ong yang pesan imam itu. Maka ia lantas manggut membenarkan.
"Apakah ketuaku ada disini?" ia balik tanya. "Silahkan antar aku, perlu aku segera menemui ketuaku itu."
"Eh, sie coe, kau bicara dari ketua apa?" tanya si imam, yang agaknya heran. "Didalam kelenteng Kioe Leng Koan kami ini cuma ada imam kepala tetapi tidak ada ketua.
Barangkali sie coe keliru, maka mari kau menemui koan coe, kepadanya kau boleh minta keterangan,"
"Koan coe" adalah kepala kelenteng, atau imam kepala.
Kembali Hee houw Eng bengong. Kalau Eng Jiauw Ong
tidak ada disitu, dari mana si imam tua ini ketahui
namanya" Tiba2 ia tersedar, ia diadi kaget. Bagaimana ia boleh lancang sedang tempat ini tentu termasuk dalam
pengaruh Hong Bwee Pang" Maka ia lantas bertindak tanpa banyak omong lagi, ia masuk kedalam dengan si imam
yang antar sampai diruangan ke dua, yang sunyi, tapi
bersuasana harum, karena tetanaman bunga2.
Disitu ada tan pong, ruang pembikinan obat. Dibawah
payon ada satu boca tanggung umur enam atau tujuh belas tahun, serta satu boca lain umur tiga belas tahun, yang romannya manis, kuncirnya sepasang, dia ini sedang
mengipasi hang louw diatas mana ada dimasak air, yang airnya sedang bergolak golak, kemudian dia seduh teh, yang segera ia bawa masuk kedalam kamar tan pong itu.
"Kau tunggu disini," kata si imam tua yang mengantar
itu, ia bicara pelahan sekali. "Aku akan wartakan
kedatanganmu kepada koancoe."
Hee houw Eng manggut, ia berdiri diam. Lek Tiok Tong
agung, tetapi Kioe Leng Kiong ini lebih agung pula,
demikian apa yang ia tampak.
Tak lama si imam tua, yang telah masuk kedalam tan
pong, muncul dipintu, untuk menggapekan, maka itu, anak
muda ini lantas bertindak kedalam ruang itu. Ternyata itu ada satu ruangan besar, dengan lima buah kamar, tiga di Barat, dua di Timur. Segala perabotan disitu ada sederhana tetapi bersih, teratur dan terawat baik.
Si imam tua memasuki kamar yang tengah dari tiga
kamar Barat, ia singkap moeilie, ia undang tetamunya
masuk dengan sikap nya selalu hormat, gerak geriknya
halus. Hee houw Eng masuk kedalam kamar yang bersih itu
dimana, atas sebuah pembaringan ada berduduk satu imam tua yang rambutnya sudah diseling uban, gelungnya
ditancapkan tusuk konde dari tulang, sepasang alisnya panjang hampir menutupi kedua matanya, kumis dan
jenggotnya pun panjang menyampaikan dada. Dia pakai
juba hijau dan angkin melibat pinggangnya. Imam ini
dikawani satu orang tua umur kurang lebih enam puluh
tahun, mukanya kurus, tubuhnya kate dan kecil, jenggot nya seperti jenggot kambing gunung, bajunya biru,
romannya mirip dengan satu petani.
Begitu lekas Hee houw Eng bertindak masuk, si imam
tua memandang ia, lantas ia terkejut, karena ia dapati orang punya cahaya mata yang tajam, hingga tak berani ia
mengawasi, lekas ia tunduk. Begitu datang dekat
pembaringan, ia memberi hormat seraya perkenalkan
namanya. Sengaja Hee houw Eng hunjuk kehormatan besar, ia
percaya, si imam nanti cegah ia. Diluar dugaannya, imam itu tidak berbangkit, dia cuma manggut sedikit, seraya kata
"Tak sanggup aku menerimanya, jalankan saja kehormatan biasa."
"Ha, dia besar kepala," pikir pemuda ini, yang terpaksa terus jalankan kehormatan besar.
Setelah itu, si imam tua yang mengantar tadi berkata
"Hee houw Sie coe, inilah koan coe kami, Hok Mo Too
jin." Kemudian ia tambahkan "Eh, kenapa kau tidak kenal tuan tua ini?" Ia menunjuk pada petani tua itu.
Ditegur secara demikian, Hee houw Eng bercekat, ia
segera pandang orang tua kate itu, hingga sekarang ia dapat melihat dengan tegas.
"Heran," pikir ia, "kenapa dia ini beroman mirip dengan si orang tua yang tolongi aku" Dia cuma ada sedikit lebih tinggi, mukanya lebih perok, dan ada tambahan kumis
jenggotnya ini...." Selagi ia berpikir dalam keheranan, si imam yang duduk diatas pembaringan, yalah Hok Mo Too jin, tertawa geli seraya terus berkata "Kau adalah seperti si air banjir yang mendampar kuil nya si raja naga! Kau tak mengenali satu dengan lain!"
Sebelum Hee houw Eng sadar dari herannya, si orang
tua mirip petani itupun sudah tertawa bergelak2 seraya terus berkata "Bukankah kau Hee houw Eng" Kau ada
orang sebawahan Hoay Yang Pay, yang bisa lindungi nama kaum, benar2 Too Liong Soeheng pandai mengenal orang!
Kau pasti tidak kenal aku! Aku datang pada empat lima tahun yang lampau ke Lek Tiok Tong, selagi kau diperintah membawa surat ke Hongyang kwan, hingga kau tak dapat
menemui aku. Kau tahu, siapa itu orang tua yang tadi
malam tolongi kau di Hoen coei kwan?"
Mendengar perkataannya orang itu, bukan kepalang
tercengang nya Hee houw Eng.
"Tolol aku!" kata ia dalam hatinya. "Benar aku belum
pernah lihat tetapi aku sudah pernah dengar! Yan tiauw Siang Hiap toh dua2nya kate kurus, dan dua2nya, bila
sedang merantau, masing masing menunggang seekor
Keledai, hingga mereka sangat menarik perhatian orang"
Bukankah mereka ada Twie in chioe Na Pek si Pengejar
Mega dan Ay Kim kong Na Hoo si Kimkong Kate" Dan
dia ini, mesti ada salah satu diantaranya"."
Karena ini, dengan tersipu2 ia jatuhkan diri didepannya si kate itu untuk beri hormatnya, seraya ia terus berkata
"Na Loocianpwee, maafkan teecoe. Memang kemarin ini
teecoe telah terjatuh kedalam tangan musuh, syukur ada loocianpwee yang menolonginya hingga tak sampai aku
membikin jatuh namanya Hoay Yang Pay. Hanya sampai
sekarang teecoe masih tidak ketahui, kemarin ini apakah ada Toa hiap atau Jie hiap...."
"Hee houw Eng, kau benar2 tolol!" berkata si imam
diatas pembaringan. "Asal kau perhatikan mereka berdua si kate satu per satu, segera kau akan mendapat kepastian.
Tadi malam, orang itu bukankah ada terlebih kate lagi"
Nah, apakah dia bukannya Ay Kim kong Na Hoo?" Hee
houw Eng manggut. "Dalam hal itu teecoe tidak berani
berlaku lancang," ia menerangkan. "Tapi teecoe merasa sangat bersyukur, hari ini kembali teecoe bertemu Toa hiap!"
"Sudah, kita ada diantara orang sendiri, jangan kau main merendahkan diri!" cegat Na Pek sambil bersenyum. "Kami berdua sudah kuntit kau sekian lama, dari itu aku telah ketahui semua kejadian, hingga tak perlu kau menuturnya lagi. Jietee ku memang paling sukai orang yang bertulang sebagai kau, maka itu ia telah belai kau dengan sungguh2, tak jeri ia bersatru keras dengan pihak Hong Bwee Pang.
Sekarang aku panggil kau masuk kemari sebab aku hendak titahkan kau segera pergi menyampaikan kabar kepada
ciangboenjinmu. Diantara mereka, sudah ada rombongan2
yang telah memasuki daerah gunung timur. Kami baharu
sampai tadi malam, belum sempat kami bertemu dengan
ketuamu, karena kami masih punyakan lain urusan, sengaja kami sembunyikan diri, belum waktunya untuk kita
berkumpul bersama. Tapi kau dan pocoe mu serta yang
lain2nya boleh berkumpul menjadi satu. Harus kau ketahui, tak gampang untuk memasuki Cap jie Lian hoan ouw.
Turut apa yang aku dengar, dari depan Hoen coei kwan
sampai ke Lwee Sam Tong, jarak nya ada dua puluh lie, sedang Thian Hong Tong dibangun di bagian yang paling berbahaya ke adaannya. Disana, jalan darat dan air,
dua2nya ada terjaga kuat sekali, berkumpul banyak orang pandai, dari itu perlu kita ketahui dahulu keadaan dalam mereka sebelum kita lancang masuk, supaya kita tidak
sampai menyebabkan keruntuhannya Hoay Yang Pay.
Kitapun telah dapat pemberian ingat dari Tiat So Toojin untuk waspada, pemberian ingat mana perlu disampaikan kepada ciangboenjin. Tiat So Toojin juga pesan, apabila ada hal sangat sulit, ciangboenjin mesti minta bantuannya koancoe ini. Maka bila kau bertemu dengan pocoemu,
sebutlah nama tootiang ini dikelenteng Kioe Leng Kiong dibukit Hok Say Nia ini, pasti dia lantas dapat mengetahui.
Tempat ini tak nanti penjahat berani datangi, maka
disinilah pusat kita. Aku percaya tadi malam po coe sudah ambil kedudukan didekat kuil Tiat Hoed Sie di Tang san, gunung Timur itu, atau dirumahnya pemburu didekat guha Cio hoed tong. Disepanjang jalan kau mesti perhatikan tanda2 rahasia dari po coe, tidak nanti kau ke sasar.
Akupun tidak akan berdiam lama disini, maka pergilah kau lekas2!"
"Boe liang hoed!" memujih Hok Mo Toojin. "Na Sie
coe, kau yang bentrok dengan Hong Bwee Pang tetapi kau seperti hendak celakai pinceng! Aku Hok Mo Toojin, aku anggap aku sanggup takluki segala jejadian, siapa tau sekarang kau justeru undang segala hantu hidup datang kemari, oh, aku benar benar tak punya kepandaian lagi
untuk bikin perlawanan. Dasar naas bagiku, sekarang aku mesti antap kau mendatangkan segala kekacauan!...."
Hee houw Eng tidak berani campur mulut, dia hanya
lantas kasi hormat pula pada imam tuan rumah itu,
kemudian setelah pamitan dari Twie in chioe Na Pek,
lantas ia undurkan diri, si imam tua yang kembali antar ia keluar. Ia segera berangkat menuruti pengunjukannya jago tua itu. Benar saja tidak lama, ia sudah lantas dapati tanda2
rahasia dari Eng Jiauw Ong, hingga ia bisa jalan terus dengan ikuti tanda2 itu, yang senantiasa terdapat dibatang2
pohon. Satu kali, baharu saja ia belok disuatu tikungan, ia lihat didepan ia ada mendatangi satu orang siapa ia segera kenali Kam Tiong adanya.
"Kam Soeheng!" ia mendahului memanggil, "kenapa
kau sendirian saja" Mana pocoe?"
"Bagus kau telah sampai!" sahut Kam Tiong selagi ia
datang menghampirkan. "Pocoe kuatir kan kau, dia suruh aku papak padamu. Keledai dan suratmu pocoe telah
terima, tadinya kau hendak disusul, apa mau ada urusan lain hingga kami tak dapat memecah diri. Kami percaya kau tak nanti terjatuh kedalam tangan musuh, karena kami tahu kau cerdik sekali, kau lebih berpengalaman daripada kami berdua. Kami pun percaya, umpama kata kau terjatuh ke dalam tangan musuh, tidak nanti musuh ganggu
padamu. Benar seperti dugaan po coe, kau sampai dengan tak kurang suatu apa. Saudara Hee houw, bagaimana
dengan Liok Cit Nio?"
"Dimana berdiamnya po coe sekarang?" tanya Hee
houw Eng, yang tidak sempat jawab pertanyaan kawan itu.
"Aku perlu segera menemui, ada urusan penting."
"Sabar, bisa kau segera menemuinya," sahut Kam Tiong.
"Didepan sana, di Cio hoed tong, ada rumah pemburu,
dirumah itu kami ambil tempat."
"Nah, mari kita pergi kesana," kata Hee houw Eng.
Kam Tiong menurut, ia putar tubuh, untuk jalan
didepan. Hee houw Eng mengikuti, seraya tuturkan pengalamannya. Kam Tiong kagum, ia memuji, tetapi dilain pihak ia
jengah sendirinya, karena
ia pasti tidak sanggup

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertahankan diri terhadap pengalaman sebagai itu.
"Nah, itu disana, diguha batu, adalah rumah si
pemburu," kata ia, selagi ia mendatangi tempat mondok rombongannya.
Hee houw Eng awasi tempat yang ditunjuk, suatu tempat yang bagus tetapi berbahaya, disebelah atasnya ada sebuah rumah suci atau kuil malaikat bumi.
"Disana ada kuil, kenapa pocoe tidak bertempat disana?"
ia tanya. "Kau sebut2 kuil itu?" kata Kam Tiong. "Karena kuil
itulah hampir kami celaka, baiknya po coe ada sangat
liehay! Ingat kejadian itu, aku bergidik...."
Hee houw Eng heran, ia awasi kawan itu.
"Sudah terjadi apakah?" ia tanya. "Apakah po coe kena di jebak?"
"Aku nanti kasi keterangan," sahut Kam Tiong, yang
terus saja berikan penuturannya, sebagai berikut.
Setelah berpisah dari Hee houw Eng, yang ditugaskan
menguntit Lie touwhoe Liok Cit Nio, Eng Jiauw Ong jalan
terus bersama dua saudara Kam, dia sampai di Ngo liong peng dengan tidak kurang suatu apa. Sampai disitu tiga keledai mereka tidak mau jalan lebih jauh, ketiganya
berhenti ditempat berkumpulnya tukang2 sewakan keledai dimana ada terdapat beberapa keledai lainnya. Beberapa tukang sewakan keledai itupun segera menghampirkan,
untuk lantas piara tiga keledai ini, sesudah mana, mereka minta uang sewanya. Eng Jiauw Ong hendak lantas
membayar menurut jumlah sewaannya, tetapi Kam Tiong
mau mencoba, dia sengaja berikan cuma satu renceng.
"Tuan, jumlah ini tidak cocok," kata si tukang sewakan keledai seraya awasi anak muda itu. "Bukankah perjanjian ada empat ratus chie untuk seekor nya ditambah uang
presenan nya?" Kam Tiong pandang Kam Hauw, keduanya lantas
tertawa. "Kau benar liehay," kata Kam Tiong kemudian. "Hanya
mengenai jumlah keledaimu, kau keliru. Kami ada
berempat dan satu lagi kawan kita ketinggalan dibelakang."
Lantas Kam Tiong bayar jumlah sewaannya semua.
Tukang keledai itu terima uang sambil mengucap terima kasih berulang2.
Kemudian Kam Hauw ajaki gurunya singgah, untuk
dahar sesuatu sambil tunggui Hee houw Eng. Ia dan
saudaranya sudah dahaga sekali. Disitu memang ada
tukang nasi, teh dan lainnya.
Eng Jiauw Ong setuju, ia ajak mereka hampirkan sebuah warung teh yang nampaknya bersih, yang jual juga
makanan lainnya. Mereka belum habis minum satu cawan
teh, tiba2 mereka lihat mendatanginya satu orang umur diatas limapuluh tahun, bajunya biru tapi sudah kotor,
umurnya baju itu tentu diatas dua puluh tahun, bajunya itu panjangnya sampai dilutut, sedang sepatunya, sebelah
sepatu kain biasa, sebelah lagi, tersulam, keduanya sudah tua dan pecah. Dipunggungnya ada satu bungkusan, yang diikat melibat dadanya. Rambutnya dikepang, digelung, mukanya kisut dan kuning, seperti orang berpenyakitan.
Tetapi sinar matanya tajam sekali. Ringkasnya, romannya atau dandanannya orang itu aneh sekali. Dikatakan
pengemis, dia nampaknya tidak terlalu melarat. Dikatakan sasterawan yang sedang merantau, dia tak mirip2nya.
Jikalau ketemu anak2, pasti dia, akan ditertawai, saking lucu dandanannya itu.
Selagi lewat didepan warung teh. orang ini awasi Eng
Jiauw Ong serta dua muridnya, tindakan kakinya
diberhentikan. Kalau ia mengawasi selewatan saja, tidak aneh tapi sekarang ia mengawasi terus.
Eng Jiauw Ong lihat kelakuannya orang itu, ia bawa
sikap tak perdulian, tetapi Kam Tiong dan Kam Hauw,
yang masih muda dan darahnya panas, tak senang melihat sikapnya orang itu.
"He, kau sudah mengawasi setengah harian, apa kau
masih tak dapat kenali kami?" Kam Hauw menegur.
"Awas, nanti biji matamu lompat, itulah celaka!"
Ditegur secara demikian, orang itu perdengarkan suara
"Hm!" dan bibirnya bergerak seperti tertawa bukannya
tertawa, kemudian ia kata "Dasar boca cilik, penglihatannya sedikit, perasaan anehnya banyak. Orang ada punya dua biji mata, jikalau mata itu tidak dipakai melihat lain orang, apakah mesti dipakai melihat saitan"
Kenapa kau begini menghina orang?"
Kam Hauw anggap orang berotak miring, ia berbangkit,
dengan niatan mengusir, akan tetapi Eng Jiauw Ong tarik ia
hingga ia berduduk pula, sembari berbuat begitu, guru ini kata pada si orang aneh "Sahabat, jangan kau ingat dirimu saja, lain orangpun ada dari satu golongan. Didalam dunya kang ouw, orang ambil jalannya masing2, dari itu, sahabat, persilahkan ambil jalanmu sendiri...."
Dengan kedua matanya yang bersinar, orang aneh itu
awasi Eng Jiauw Ong. "Bagus, lauwhia, kau ada punya mata yang liehay
sekali!" kata ia dengan dingin. "Kau harus dihormati. Tapi, walaupun matamu liehay, mungkin kau melihat keliru.
Jikalau aku ada punya mata liehay, tidak nanti aku tabrak tubruk tak keruan junterungannya, sebagai menabrak
keledai kena tabrak rombongannya! Sebenarnya aku mesti menuju ke Ciatkang Utara, sebaliknya aku pergi ke
Ciatkang Selatan, hingga disini aku tak punya sanak atau kadang2 bersiksa oleh kelaparan dan kedinginan, sampai sekarang aku tak punya uang satu boenpun. Sahabat baik, sudikah kau menolong aku?"
Eng Jiauw Ong tidak gusar terhadap orang itu, yang laga dan kata2nya tak keruan.
"Urusan kecil," sahut ia sambil manggut. "Jadinya,
sahabat, kau ingin aku membantu sedikit kepadamu?"
Sembari berkata begitu, ia rogo sakunya akan ke uarkan sepotong perak berat kira dua tail, yang mana ia buat main diantara dua jarinya jempol dan telunjuk, lalu sembari angsurkan itu kepada si orang aneh, ia tambahkan "Nah, ini sedikit uang aku haturkan kepadamu, sahabat!"
Orang itu ulur sebelah tangannya untuk menyambuti.
"Bagaimana aku sanggup terima kebaikanmu ini !" kata
ia. Eng Jiauw Ong telah gunai tenaganya, yang dikumpul
kepada dua jari tangannya itu, jempol diatas, telunjuk dibawah, sedang si orang aneh, jempolnya madap kekiri, telunjuknya kekanan, dengan cara ini ia sambuti sepotong perak itu sambil ia kata "Aku terima separuhnya...."
Kedua orang itu telah gunakan tenaga tanpa kelihatan, agaknya mereka menyodori dan menyambuti dengan biasa
saja, siapa tahu, potongan perak itu telah terputus menjadi dua, dua2nya sudah gepeng bagaikan kuwe phia. Baharu
setelah itu, lain orang dapat melihatnya, hingga mereka jadi terkejut dan tercengang.
"Apa shemu yang mulia, sahabat?" tanya Eng Jiauw
Ong sambil tertawa. "Sudikah kau memberitahukannya
kepadaku?" Orang itu sedang mau simpan uangnya ketika ia dengar
pertanyaan itu, lantas ia tertawa tawar.
"Percuma kau hidup dalam dunya kang ouw!" kata dia.
"Seharusnya, siapa melepas budi, dia tidak harapkan
pembalasan. Kau baharu tolong aku dengan uang sebegini, lantas kau hendak cari tahu tentang diriku. Sudah, aku tidak mau terima kebaikanmu, biarlah didepan nanti kita bertemu pula!"
Lantas ia putar tubuhnya dan pergi.
Eng Jiauw Ong lantas tertawa gelak2.
"Sahabat, terlalu cupat pandanganmu!" kata ia.
"Rupanya uang itu terlalu sedikit hingga tak cukup untuk membuat kau perkenalkan dirimu! Baiklah, di sini masih ada sepotong lagi, kau terimalah!"
Selama itu, Kam Tiong dan Kam Hauw mengawasi saja
dengan perasaan tegang. Mereka sudah lantas insaf
sikapnya guru mereka, yang sedari bermula mereka awasi
senantiasa. Terpotongnya dua perak itu menandakan kedua pihak sedang adu kepandaian. Mereka penasaran melihat si orang aneh hendak angkat kaki. Benar selagi mereka
hendak minta guru itu mengejar, atau mereka lihat tindakan terlebih jauh dari sang guru. Dengan ucapannya itu, Eng Jiauw Ong telah membarengi membikin melesat potongan
perak itu. Orang aneh itu egos tubuhnya, nampaknya ia terkejut,
tetapi walaupun demikian, ia ulur tangannya akan sambuti serangan hebat itu, setelah mana, ia menjura, katanya
"Dasar orang pandai, benar luar biasa! Aku si orang
perantauan bersedia untuk menerima pengajaran didepan nanti, maka di Cio hoed tong kita nanti bertemu pula!"
Lalu orang itu putar tubuhnya, akan bertindak dengan
cepat kearah gunung. Dua saudara Kam tercengang dengan kesudahannya
pertandingan istimewa itu.
"Soehoe, orang itu orang macam apa?" Kam Tiong
tanya gurunya, yang sudah lantas ambil pula tempat
duduknya. "Jikalau dia ada orang Hong Bwee Pang, dia ada satu
musuh berat," sahut Eng Jiauw Ong sambil kerutkan dahi.
"Bagaimana bisa diketahui dia liehay, soehoe?" tanya
Kam Hauw, yang tidak mengerti. "turut penglihatanku, dia cuma banyak berlatih. Mustahil dia sanggup tandingi Eng jiauw lat dari soehoe?"
Guru itu melirik kekiri dan kanan, ia dapati lain2nya tetamu sudah pada berlalu, rupanya mereka kewatir akan terbit onar, disitu tinggal si tukang warung, yang
nampaknya ada menaruh perhatian besar.
"Jangan bicara sembarangan!" kata guru ini, suaranya
membentak tapi pelahan. "Lihat saja tapak kakinya, kita sudah lantas ketahui kepandaiannya Kam Tiong dan
saudaranya segera mengawasi ketempat dimana orang aneh tadi berdiri, disitu mereka lihat tapak kaki yang dalam, maka itu sekarang mereka dapatkan buktinya liehaynya si orang aneh itu, yang tubuhnya enteng bagaikan bulu
burung, berat seperti bukit. Maka mereka lantas tutup mulut.
"Mari kita berangkat," kata Eng Jiauw Ong kemudian.
"Buat apa kita menunggu lama lama disini."
Kam Tiong lantas berbangkit, untuk bayar uang air teh dan makanan, ketika dia putar tubuhnya, hingga ia
membaliki belakang pada Kam Hauw, adik ini berseru
"Koko, kenapa kuncir mu buntung?"
Engko itu kaget, ia lantas merabah dengan tangannya.
hingga ia dapat kenyataan kuncirnya putus sebatas
sambungan benang. Ia bengong, ia kaget dan gusar dengan bebareng.
"Hm!" Eng Jiauw Ong perdengarkan suara, tandanya
iapun gusar sekali. "Makhluk tak berguna, buat apa dilihat lagi" Pit hoe, kau menjemuhkan, jikalau kau tidak puas, kau boleh berhadapan dengan aku! Kenapa pakai laga tengik begini" Apakah kau kira aku si orang she Ong boleh
diperhina?" Lantas ia kasi tanda pada dua muridnya.
Dua saudara Kam tahu guru itu gusar, mereka lantas
bertindak dengan tidak bilang apa2 lagi. Itu waktu sudah sore, sudah waktunya orang, terutama orang2 pelancongan, yang sedang pesiar, berangkat pulang, maka ditempat
perhentian, ada banyak orang berkumpul, bicara hal harga sewaan keledai.
"Sam wie, mari, kemari!" tiba2 satu tukang sewakan
keledai teriaki Eng Jiauw Ong bertiga.
Eng Jiauw Ong menoleh, ia lihat orang itu berada
bersama seekor keledai, yang napasnya sengal sengal,
dikurung oleh dua tiga orang lainnya. Kam Tiong pun
beritahukan gurunya hal orang itu memanggil.
"Ada apa?" tanya Eng Jiauw Ong, yang menghampirkan
dengan tindakan pelahan. Nampaknya tukang sewakan keledai itu mendongkol,
tapi karena ia berhadapan kepada penyewa keledai yang tangannya terbuka, ia paksa bersenyum.
"Lihat keledai ini tuan," kata ia "Inilah keledai yang disewa kawanmu, yang katanya ketinggalan dibelakang.
Orang itu tidak datang, melainkan keledainya ini sendirian saja, dengan mulutnya terluka, tanduknya pun luka. Entah kemana perginya kawan tuan itu. Binatang ini baiknya bisa pulang sendiri, jikalau tidak, dia bisa lenyap"."
"Tunggu sebentar," kata Eng Jiauw Ong, sambil
melambaikan tangan. "Aku percaya kau bilang keledai ini kepunyaanmu, tapi cara bagaimana kau tahu dia adalah
yang disewa kawanku" Binatang ini tidak bisa bicara, apa tak bisa jadi, penunggang nya ada lain orang?"
"Maaf, tuan, tapi kami ada punya tanda rahasia," tukang keledai itu jawab.
Eng Jiauw Ong berdiam, ia berkuatir untuk Hee houw
Eng, karena ini, ia awasi keledai itu, sampai ia dapat lihat sepotong kertas terjepit digelangan, lantas ia ambil itu, terus ia buka dan baca, lalu ia masukkan kedalam sakunya.
"Kau bayar dia satu tail," dia suruh Kam Tiong. Kepada si tukang keledai, dia teruskan kata "Aku mengerti
sekarang. Luka nya keledai ini tidak berarti, mengaso satu
dua hari, dia akan sembuh. Kau terima itu satu tail, selaku pengganti kerugian."
Melihat demikian, tukang keledai itu girang sekali, ia mengucap terima kasih berulang.
Eng Jiauw Ong pun segera ajak dua muridnya berlalu.
Waktu itu jalanan sudah mulai sepi.
"Hee houw Eng kirim surat dengan perantaraan keledai
tadi," kata guru ini ditengah jalan. "Dia sedang kuntit Liok Cit Nio, maka mari kita tunggui ia disebelah depan. Sayang pit hoe tadi keburu pergi, maka mari kita susul padanya!"
Kam Tiong dan Kauw Hauw menurut. Mereka dapat
kenyataan, guru mereka itu masih saja gusar. Lalu dengan cepat mereka ikuti guru itu, yang jalan mendaki bukit, yang jalanannya rata. Sebenarnya mereka berdua ragu2
menampak hari sudah mulai gelap sesudah mereka bertiga melalui tiga empat lie. Puncak gunung sudah terbenam
kabut. Tetapi guru mereka, maju terus.
Segera juga mereka lihat satu tukang kayu, dengan
pikulan nya dipundak sedang bertindak turun, kayunya
berat tetapi tindakannya tetap.
Selagi orang mendekati, Eng Jiauw Ong memapaki,
sambil memberi hormat ia tanya, masih berapa jauh lagi akan sampai di Cio hoed tong, tempat yang disebut guha Buddha Batu.
"Tinggal lagi tujuh atau delapan lie, tuan," sahut tukang kayu itu, yang lalu bersangsi, "Tetapi diwaktu hari sudah gelap begini, sulit untuk pergi kesana, suatu tempat yang sunyi. Jalanan sebenarnya cuma lima lie, jalan mutarlah yang membuat jauh lebih dua lie. Disana ada persimpangan jalan, ambil yang Timur, lalu ikuti bukit, setelah tiga empat lie, perhatikan pecahan jalanan, lebih jauh ikuti sungai,
kearah Timur utara, itulah jalanan ke Cio hoed tong.
Apabila tuan ambil jalanan Timur selatan, tuan akan keliru, itu ada jalan kekelenteng Kioe Leng Kiong itu ada jalanan mati. Harap tuan jangan katakan aku banyak omong,
umpama tuan tak dapati pondokan, sekali jangan singgah dikuil Tiat Hoed Sie. Kalau bukannya aku, lain orang tak nanti berani menerangkan begini kepada tuan tuan."
Tukang kayu itu celingnkan, ia seperti kuatir orang
dengar perkataannya itu. "Terima kasih untuk kebaikanmu," mengucap Eng
Jiauw Ong. "Tiat Hoed Sie ada tempat suci, mustahil
disana orang lakukan apa2 yang terlarang?"
"Begini aku bilang, begini kau dengar, tuan," sahut
tukang kayu itu, dengan pelahan. "Kita tidak bermusuhan, bukan" Maka tak dapat aku tunjukkan kau jalanan yang
tidak aman. Tiat Hoed Sie itu bukannya suatu tempat
bagus, jangan pergi ke sana ada terlebih baik". Sudah sore, tuan, aku perlu lekas2 pulang!"
Lantas tukang kayu ini bertindak pergi, dengan cepat.
L Eng Jiauw Ong awasi orang pergi, hatinya berpikir. Ia mengerti, ada artinya dalam kata2 nya si tukang kayu ini.
Kemudian dengan turuti pengunjukannya tukang kayu itu, ia ajak murid muridnya berangkat, melanjutkan perjalanan mereka, Jalanan sukar dan berbahaya tetapi itu tak jadi halangan bagi guru dan murid2 ini. Ketika mereka akhirnya hadapi sebuah kali panjang, mereka panjat tempat tinggi untuk dapat memandang luas dan jauh. Merekapun hendak tunggui munculnya sang bulan, untuk lihat jalanan. Disitu tidak ada rumah orang, tidak ada cahaya api. Mereka mesti
tunggu sampai jam sembilan, baharu bulan menyinarkan
cahayanya yang remeng. Adalah setelah ini, dua saudara Kam repot juga mengikuti guru mereka, disebabkan
kesulitan jalanan, hingga mereka mandi keringat. Sang guru sendiri sebenarnya tidak jalan terlalu cepat, beberapa kali ia berhenti untuk menantikan.
Setelah lagi setengah jam, selagi mereka duga mereka
sudah tak terpisah jauh lagi dari Cio hoed tong, Eng Jiauw Ong dapati beberapa rumah mencil disana sini, semua
terbuat dari batu. Karena ini, mereka selalu lindungkan diri, agar tak ada orang yang lihat mereka.
"Disana tentulah Tiat Hoed Sie," kata Eng Jiauw Ong
kemudian sambil tangannya menunjuk kedepan dimana ada cahaya api. "Orang janjikan kita akan bertemu disana, kita belum tahu dia siapa, kita mesti waspada, agar kita tak sampai kena dijebak. Ingat, tanpa kata kataku, jangan kau melan iyangi, ikuti saja gerak gerikku. Syukur bila dia ada orang baik, tapi kita mesti berjaga2 untuk menghadapi sesuatu."
Kam Tiong dan saudaranya janji akan perhatikan pesan
itu, tetapi mereka anggap guru itu pandang musuh
berlehih2an. Sesudah menunjuk, Eng Jiauw Ong ajak dua muridnya
rnenghampirkan sekelompok rumah, yang ia percaya ada
rumah pemburu binatang liar. ia mendahului loncat naik ketembok, dua muridnya ia perintah menjaga dikiri dan kanan rumah itu, yang terdiri dari tiga ruangan. Disebelah Utara dan Selatan, samar2 kelihatan kandang kuda dan
binatang lainnya. Tanpa menerbitkan suara seperti diwaktu naik, Eng
Jiauw Ong loncat turun kedalam pekarangan. Dari jendela Selatan molos sedikit sinar api, disebelah Utara kamar ada
gelap tapi dari situ terdengar suara menggeros. Dari tempat yang ada api ia dengar suara orang bicara dengan pelahan, maka dengan hati2 ia maju rnenghampirkan, terus ia bikin lobang dikertas jendela untuk mengintai kedalam, hingga ia dapati sebuah kamar pemburu yang sederhana sekali.
Dipembaringan, tiga orang asyik tidur mengorok. Di
Utara jendela, dua orang duduk bercokol sambil hadapi makanan dan arak, ke dua2nya berumur antara empat
puluh tahun, yang kiri bermuka merah, alisnya gomplok, matanya besar, kumis jenggotnya dicukur kelimis,
pakaiannya ringkas dan pendek, dia masih suka angkat
cawan arak nya, dan yang didepannya bermuka putih
kuning, alisnya tajam, matanya bersinar, romannya gagah dan rupanya kuat juga minumnya, dia layani undangan
kawannya itu. Si muka merah agaknya sudah mulai sinting.
"Lauw Han, kenapa kau ber sangsi2?" kata si muka
merah, ketika ia bicara. "Biar bagaimana, mereka mesti disingkirkan. Benar mereka belum turunkan tangan jahat terhadap kita akan tetapi kita toh sudah diusir"."
Si orang she Han itu menghela napas.
"Lauw Kho, kau terlalu turuti hati," kata dia, pada
sahabatnya itu si orang she Kho. "Mereka itu tak dapat disamakan dengan orang2 biasa, mereka berboegee liehay.
Kalau sekarang mereka belum turun tangan, itulah
disebabkan mereka masih jaga kehormatannya, agar
mereka tidak dicela orang. Menurut aku, tidak ada lain jalan untuk kita daripada angkat kaki dari sini. Permintaan mereka, untuk besok, adalah hebat sekali. Sepuluh lembar kulit macan tutul dan sepuluh ekor kucing hutan, itu ada jumlah tak sedikit. Jikalau kira tidak mampu serahkan itu besok, sudah pasti kita bakal di caci maki habis2an...."
"Ah, Lauw Han, kenapa kau demikian berkuatir?" kata
si Kho. "Kita toh belum habis daya! Berterang kita tidak sanggup melawan, masih ada jalan gelap! Apakah kita tidak mampu bakar ludes pada mereka" Sehabis itu, masih ada tempo untuk kita angkat kaki. Mereka telah menguasai
daerah Cio hoed tong ini, sampai selama dua hari ini
orang2 pelancongan tidak berani pergi kelembah Cian pou gay di gunung sebelah Timur. Benar2 aku heran. apakah maksud mereka" Apakah didaerah Timur itu ada sumber
harta, yang mereka hendak kangkangi sendiri" Disana
justeru terdapat paling banyak binatang liar...."
"Ah, Lauw Kho, sudahlah!" kata si Han itu. "Sekali ini, kita sudah rubuh. Mereka ada orang2 aneh. Yang satu
bukan orang biasa, tetapi sebagai imam, pun tidak bersujud, katanya ia tidak pernah bicara, walapun ia sendiri yang terima barang. Menurut Ouw Soetee dan Cioe Jietee, tak pernah ia bicara, belum pernah ia bersenyum. Jikalau orang ketemui ia diwaktu malam, orang bisa mati kaget karena menyangka ia ada bangkai hidup. Cuma pada empat atau
lima hari yang lalu, ketika ada datang satu pembesar serta pengiring2 nya, ia tidak cegah pembesar ini pesiar sampai dikuil Tiat Hoed Sie, ia melainkan minta derma. Katanya, tempo si pembesar majukan pelbagai pertanyaan, orang
imam bukannya imam itu sanggup menjawab dengan benar
dan lancar, ia paham tentang ilmu silat dan ilmu surat, hingga si pembesar menderma seribu tail. Dari sini jadi diketahui ia tidak gagu. Karena ini, aku anggap tak perlu kita layani mereka. Menurut aku, lebih baik kita berempuk untuk pindah saja ke Thian Tay San."
Mendengar itu, Eng Jiauw Ong percaya, orang aneh
yang ia ketemukan mesti bertempat di Tiat Hoed Sie,
bahwa dia benar benar liehay. Ia mau duga, dia itu ada orang Hong Bwee Pang.
Supaya tidak ganggu pemburu itu, Eng Jiauw Eng keluar dari rumah itu akan ajak dua muridnya pergi kesebelan Timur, ketanjakan. Ia larang dua muridnya banyak omong.
Karena ia berlari lari dengan cepat, kedua muridnya mesti turut teladannya itu.
Selagi mendekati sebuah rumah, sedangnya biluk
diujung tembok, mendadak Kam Tiong terserimpat, hampir dia rubuh, sukur dia keburu tahan kakinya, tatkala dia menoleh kebelakang, Kam Hauw pun sempoyongan,
baiknya dia cepat menyamber dan mencekalnya. Keduanya heran, hingga mereka perdengarkan suara tertahan, tetapi disitu mereka tidak lihat orang lain.
"Ada apa?" tanya Eng Jiauw Ong, yang dengar suara
mereka. Belum lagi dua saudara Kam menyahuti, atau dari
sebuah pohon dua tumbak jauhnya dari mereka, ada
terdengar suara tertawa tertahan, tak sedap masuknya
ketelinga. Tidak buang tempo lagi Eng Jiauw Ong melesat kearah
pohon itu. Justeru itu terdengar satu suara berkeresek diatas pohon, di susul rontokn ya banyak daun dan cabang kecil,


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian tertampak satu bayangan mencelat turun
beberapa tumbak jauhnya. Karena suara dan rontoknya dedaunan itu, Eng Jiauw
Ong loncat berkelit, maka itu, ia lantas kehilangan
bayangan itu, karena mana, ia serukan "Kemana kau
hendak pergi" Aku hendak lihat rupa tampangmu!" Lantas ia loncat, untuk mengejar. Hanya, untuk keheranannya, bayangan itu tetap lenyap.
"Mustahil ilmu entengi tubuhnya dapat menangkan
kaum Hoay Yang Pay?" Eng Jiauw Ong tanya dirinya
sendiri. Ia ingat pada liehaynya Yan tiauw Siang Hiap.
Tempo ia menoleh, ia lihat dua saudara Kam ketinggalan jauh. Tapi ia tidak sempat perhatikan kedua murid itu, ia maju terus sampai ditanjakan, yang tinggi dan lebat dengan pepohonan.
Dengan bantuannya sang bulan, Tiat Hoed Sie kelihatan nyata disebelah depan. Karena ini, Eng Jiauw Ong lari lebih pelahan, untuk kasi ketika dua saudara Kam dapat susul ia.
Ia menduga duga, apa si orang aneh berada didalam kuil, dan apa barusan dialah yang godai dua saudara Kam.
Segera dua saudara Kam dapat candak gurunya, siapa
kembali pesan mereka akan berhati hati. Guru ini
tambahkan "Aku hendak menyelidiki kedalam, kau ikuti
saja aku. Pasang mata dan dengar segala pengunjukanku."
Kam Tiong berdua menyanggupi.
Itulah jam dua lewat ketika Eng Jiauw Eng sampai
ditanjakan, yang sunyi sekali. Cuma sang angin, yang
meniup niup pepohonan dengan menerbitkan suara. Tanah disitu ada datar, banyak pohonnya, siong dan pek yang sudah tua. Kuil bercokol dimuka, nampaknya agung tetapi sudah tua. Sesudah datang dekat kepintu depan, baharu Eng Jiauw Ong dapat melihat lebih nyata. Daun pintu
tertutup. Didepan pintu ada dua puluh buah pohon liong jiauw hoay.
Eng Jiauw Ong heran mendapati kesunyiannya kuil itu,
sampai dipepohonan didepan pintu, tidak ada burung
burung yang bermalam. Biasanya burung ada paling getap dan mendusi dengan kaget apabila ada orang datang dekat padanya.
"Bisa jadi dia benar ada orang biasa saja"." pikir Eng Jiauw Ong, yang terus naik ketembok pintu, akan melihat kesekitarnya. Kuil itu gelap pekarangan dan dalamnya.
Karena ini ia larang dua muridnya, yang susul ia, lancang turut masuk. Sendirian saja ia loncat kegenteng rumah sebelah Timur, akan sampaikan pendopo. Disini ruangan ada gelap.
Lantas Eng Jiauw Ong maju lebih jauh, keundakan
kedua. Baharu disini, ia tampak cahaya api, disebelah belakang. Nyata, pendopo aseli adalah dibagian belakang dari ruang kedua ini. Pendopo nampaknya agung,
depannya panjang dan lebar lima tumbak masing masing
tangga injakannya tujuh tingkat. Pintu pendopo ada dua belas, empat yang ditengah, dibuka. Empat pintu dikiri dan kanan, kertasnya sudah pada pecah. Kertasnya berbagai jendelapun sudah pada robek, hingga kertas pecah itu
bersuara karena sampokan angin. Pendopo ada dalam dan lebar, tidak ada lilin lampu disitu, kecuali satu lentera beling yang tergantung ditengah tengah. Maka ruangan yang besar nampaknya jadi seram.
Patung Buddha, yang terbuat dari besi, ada menghadapi lentera itu. Tingginya patung ada setumbak lebih, muka dan tubuhnya hitam, duduknya numprah dengan kedua tangan
terangkap. Lian tay, tempat duduknya, ada batu yang
berukiran, lebar besarnya tujuh atau delapan kaki. Dari jauh Eng Jiauw Ong tidak bisa lantas kenali, Buddha apa yang dipuja itu. Meja sembahyang pun ada lebar dan besar.
Dengan hati2 Eng Jiauw Ong menghampirkan terras, ia
melirik kekiri dan kanan, dimana tidak ada orang, lalu ia memandang
kedalam dan bertindak maju, masuk kependopo. Sekarang baharu ia lihat tegas, dipendopo
sebelah Timur, dekat tembok, ada terletak dua peti mati, yang satu putih dan baharu, yang lainnya hitam gelap.
Justeru itu ada angin menyambar, menerbitkan suara
dipelbagai kertas pintu dan jendela, sampai api lentera ber kelak kelik, hampir padam, keadaan bukan main seramnya.
Eng Jiauw Ong ada satu jago, ia berpengalaman, ia tak percaya setan dan jejadian, tapi toh ia merandek, hingga ia merasa, apa mungkin ia jadi bernyali kecil. Begitulah, ia maju pula, ia dekati patung, yang kelihatannya agung.
Benar sedang ia mengawasi, ia dengar suara pada peti mati disebelah Timur itu. Ia terkejut, ia menoleh. Tapi ia tidak lihat suatu apa, suarapun berhenti. Ia berpikir keras. Ia tidak jeri terhadap peti mati itu, ia hanya curigai kuil ini.
"Kemana perginya orang yang menantang aku?" ia tanya
dirinya sendiri. Orang itu tidak muncul. sedang menurut dua pemburu Han dan Kho, kuil ini ditempati oleh orang kosen, orang kang ouw yang kejam. Maka ia heran kuli ada seperti kuil mati
".. "Apa mungkin mereka semua telah undurkan diri?" jago
Hoay siang ini menduga duga pula. "Apakah mereka
menggunai akal untuk bikin aku pusing?"
Eng Jiauw Ong penasaran, lalu ia meneliti lentera yang tergantung itu, yang apinya seperti mau padam tetapi
minyaknya masih banyak, seperti yang baharu ditambahkan. Ia memeriksa ke tembok Timur dan Barat,
terutama akan cari tahu, disitu ada jalanan kedalam tanah atau tidak.
Dua peti mati itu terletak di tempatnya, ditepi tembok Timur. Di Utara ada sebuah meja, atas mana ada ciaktay dan hiolow, juga dua lembar papan, seperti sincie, maka itu, Eng Jiauw Eng mendekati akan periksa sincie itu. Ia lihat huruf hurufnya sincie samar samar, dari itu ia lalu angkat untuk dilihat dari dekat, diantara cahaya api.
Itulah bukan sincie, walaupun dua dua ada huruf
hurufnya, yang satu berbunyi "Oh, kau sudah datang?" dan yang satunya "Silahkan jip bok!" Atau artinya silahkan tuan masuk dalam peti mati!
Mau atau tidak jago Hoay siang ini terperanjat. Itu
adalah ejekan untuk ia. Ia bertambah berhati hati. Ia lanjutkan penyelidikannya sampai disebelah belakang,
kemudian baharu ia keluar pula. Ia tadinya mau keluar terus dari pendopo itu, baharu ia jalan dua tindak, atau sekonyong konyong ia dengar suara menjeblak dahsyat,
hingga ia putar tubuhnya dengan segera.
Suara itu datangnya dari kedua peti mati, yang dua dua tutupnya bergerak, tadi rupanya terangkat naik dan
dilepaskan dengan mendadakan, hingga menerbitkan suara berisik, tapi sekarang terangkat pula, samar2 tertampak dua buah tangan sedang mengangkat.
Air mukanya Eng Jiauw Ong berubah, ia tidak takut,
tetapi ia terkejut, ia heran sekali. Kalau bukannya ia, pasti orang sudah mencelat keluar tunggang langgang. Ia
sebaliknya, sudah lantas mengawasi, sambil siap sedia.
Dengan pelahan masing2 kedua tangan itu mengangkat
tutup peti mati, hingga sebentar kemudian terlihat nyata masing2
"mayatnya". Itu ada pemandangan yang menakutkan. Eng Jiauw Ong cuma terkesiap, lantas ia
memasang mata lebih jauh, hingga kemudian, keheranannya lenyap anteronya.
Pada sebuah peti mati, sang "mayat" adalah si orang aneh tadi siang pakaiannya, roman nya, tetap tidak berubah.
Pada peti mati yang lain, "mayatnya" ada seorang umur kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannyapun bukan
pakaian biasa, mukanya penuh debu.
LI "Hei, kau siluman apa, hantu apa" Aku tidak takut! Aku hendak lihat kau ada orang2 liehay bagaimana!" ketua
Hoay Yang Pay lantas membentak, ia insaf, apabila mereka itu benar2 bangkai hidup, mereka ada bertenaga sangat besar, dari itu, ia mesti waspada.
Atas bentakan ini, "bangkai hidup" dari peti mati yang putih lantas tertawa dingin.
"Ong Too Liong, kau masih tak mau masuk kedalam
peti ini?" dia menegur.
Eng Jiauw Ong heran, sedang tadinya ia tampak orang
berdiri tegak menadah tutup peti mati. Ia jadi semakin mendongkol.
"Hantu tak tahu mampus, mustahil aku tak dapat
singkirkan kau?" ia membentak seraya geraki tubuhnya, dengan nyatan loncat maju menerjang.
"Sambuti ini!" demikian ada teriakannya si hantu
sebelum jago Hoay siang keburu berlompat, berbareng
dengan mana tutup peti yang besar dan berat itu segera melayang kearah jago Hoay siang itu.
Maka siapa ketimpah itu, mesti dia ringsak dan binasa!
Eng Jiauw Ong tak terkesiap karenanya. Ia bergerak
kekiri, hingga ia terluput dari serangan hebat itu. Tapi iapun tidak berdiam saja. Dari samping ia segera ulur tangannya yang kanan, akan sanggapi tutup peti itu dengan kaki kanan bergerak kebelakang, dengan dibantu tangan kiri, ia lempar balik tutup peti itu sambil berseru "Pergilah masuk!"
Beratnya tutup peti itu ada lebih daripada seratus kati, tapi diantara dua orang itu nampaknya jadi enteng sekali.
Begitulah, dilemparkan oleh Eng Jiauw Ong, benda ini
melayang dengan cepat, balik ketempatnya.
Disaat tutup peti ini hampir sampai kepetinya,
mendadak si bangkai hidup lompat keluar dari dalam peti, loncat kesamping, kemudian ketika tutup peti sambil
terbitkan suara nyaring dan berisik menungkrap keatas peti, dengan tiba2 juga si bangkai hidup lompat lagi, mencelat keatas tutup peti dimana ia berdiri tegak!
Segera setelah itu, Eng Jiauw Ong insaf bahwa ia tengah orang permainkan.
Bangkai hidup dari peti mati hitam rupanya hendak
beraksi sebagai kawannya, tetapi apabila ia lihat kawannya gagal, ia lantas loncat keluar sambil antap peti mati tertutup sendirinya, sesudah mana, ia melejit kedepannya jago Hoay siang itu, selagi berloncat, dari mulutnya terdengar suitan yang tajam. Ia tidak mengucap apa2, tahu2 ia pentang
kedua lengannya, tangannya menuju kedada. Ia agaknya
hendak menerkam, tetapi sebenarnya ia bergerak dengan ilmu pukulan "Hek houw sin yauw" atau "Harimau hitam
lempangkan pinggang."
"Sungguh liehay!" kata Eng Jiauw Ong dalam hatinya,
yang lihat gerakan lawan itu. "Adalah aneh yang bangkai hidup mengerti ilmu silat! Aku hendak lihat, kepandaian apa dua makhluk ini ada punya!"
Lantas ia egos tubuhnya, hingga serangannya si bangkai hidup mengenai tempat kosong. Baharu ia memikir hendak balas menyerang, atau suara angin sudah terdengar
disebelah belakangnya, tapi ia tidak berkelit, sebaliknya, seraya putar tubuh ia mendahului menyerang kebelakang.
Gerakannya adalah "Giok bong hoan sin," atau "Ular naga kumala memutar badan," dan serangannya adalah "Kim
tiauw hian jiauw" atau "Garuda emas perlihatkan
cengkeraman." Suara angin dibelakang itu benar ada serangan si bangkai hidup, yang menyangka gerakannya sangat gesit dan musuh pasti tidak keburu bersiap sedia, tapi ia tidak duga, jago Hoay siang itu sebetulnya ada terlebih gesit daripadanya, ia terkejut, terpaksa ia ubah maksudnya, sambil berkelit kekiri, dalam gerakan "Tay peng tian cie" atau "Garuda pentang sayap," tangan kanannya menyamber iga kiri lawan. Ia tak mau didului tanpa balas menyerang.
Melihat serangannya tidak memberi hasil dan ia lagi2
diserang, Eng Jiauw Ong tidak manda saja, ia malah segera membalas lagi. Dengan tangan kanan ia coba totok nadi lawan itu, dilain pihak, dengan dua jari tangan kiri, ia cari jalan darah "hong boen hiat" dari pundak kanan lawan, untuk bikin terlepas pundak lawan itu.
Bangkai hidup itu mencelat kekiri, menuruti ilmu berkelit
"Oey liong coan sin" atau "Naga kuning memutar tubuh."
Dengan begitu, ia lolos dari ancaman bahaya. Dia benar2
liehay. Sebab menyusul itu, sebelah kakinya kaki kiri terangkat, dipakai menyapu kaki musuhnya.
Eng Jiauw Ong enjot tubuh untuk berloncat, setelah
mana, iapun balas menyerang pula dengan pukulan
beruntun "Lian hoan cin pou ciang"
Bangkai hidup itu tidak terancam bahaya hebat
walaupun ia sudah menyapu tempat kosong dan tangan
lawan segera mengarah dia, dengan cepat ia bisa berkelit pula.
Eng Jiauw Ong merasa benar benar liehaynya musuh ini, karena mana ia jadi semakin berhati2 berjaga diri. Apapula setelah enam atau tujuh jurus, ia dapat kenyataan bangkai hidup yang mudaan lenyap entah kemana, hingga ia
menyangka orang hendak gunai tipu daya terhadap nya.
Diam2 ia pusatkan perhatiannya kepada ini satu musuh
yang tanggu, ia lantas gunai ilmu silatnya "Sha cap lak Kim na Tiam hiat chioe," yang ia pernah yakinkan di Lek Tiok Tong seraya menutup diri sekian lama. Tiga puluh enam pukulan itu semua ada totokan2 kepada jalan darah, untuk membikin kesemutan, pingsan dan pukulan dari kematian.
Bagi orang biasa, jangankan sampai kena ditotok, terkena samberan anginnya saja sudah berbahaya.
Tapi musuh yang dikatakan "bangkai hidup" ini benar2
liehay, ia bikin perlawanan dengan Boe Tong Pay punya
"Tiang koen Sip toan kim" dengan leluasa ia hindarkan sesuatu ancaman, nampaknya ia telah dapat wariskan
sempurna ilmu pukulan Boe Tong Pay itu. Siapa
kepandaiannya lemah, menghadapi "Tiang koen Sip toan
kim" beberapa gebrak saja pasti akan sudah rubuh.
Maka itu, keduanya jadi seimbang sekali.
Pertempuran berlanjut terus sampai lewat dari dua puluh jurus, sesudah ini baharulah terlihat perubahan.
Bangkai hidup itu tahu diri, ia telah merasakan
bagaimana ia telah dibikin tak merdeka lagi, karena
bagaimanapun ia mencobanya, teranglah ia bukan
tandingannya ketua dari Hoay Yang Pay itu. Tapi ia tak bisa segera dirubuhkan, ia berkelahi terus dengan hati2.
Segera datang serangan "Kim ciam touw sian" atau
"Jarum emas tembusi benang," dengan itu sepasang jarinya Eng Jiauw Ong menuju kejalan darah "hoa kay hiat."
Untuk selamatkan diri, si bangkai hidup gunai ilmu silat
"heng kee Tiat boen so," atau "Melintangkan palangan
pintu besi," setelah buka tangan kanan lawan itu, dia loncat ke arah pintu pendopo, kemudian sambil menoleh, ia kata
"Po coe dari Ceng hong po, ciang boen jin dari Hoay Yang
Pay, aku telah menginsafi akan kepandaianmu! Maka kami akan menantikan kau di Ceng Loan Tong, Cap jie Lian
hoan ouw!" Ia menjura, lantas ia putar tubuh sambil berlompat.
Eng Jiauw Ong tidak mau ijinkan orang berlalu dengan
begitu saja. "Sahabat!" ia serukan, "jikalau kau ada orang Hong
Bwee Pang, kau mesti omong terus terang! Aku ingin
ketahui namamu!" Sembari mengucap demikian, iapun berloncat menyusul,
akan tetapi waktu ia sampai dimulut pintu, si "bangkai hidup", yang bisa bicara itu, sudah lenyap dari pandangan matanya.
Karena dua dua "bangkai hidup" itu sudah menghilang,
Eng Jiauw Ong pergi cari Kam Tiong dan Kam Hauw,
akan tetapi dua muridnya ini tidak kedapatan, entah
kemana perginya mereka. Guru ini jadi bercekat, ia kuatir kedua murid itu nampak celaka. Maka segera setelah
melihat kelilingan, ia mencelat keatas genteng, akan dari tempat yang tinggi itu memandang keempat penjuru.
Di Timur, di Barat, di Selatan, semua ada gelap petang, melainkan diarah Utara, jauhnya empat atau lima tumbak, tiba tiba tertampak berkelebatnya dua bayangan hitam, yang muncul dari tembok belakang Tiat Hoed Sie.
Diempat penjuru semua sunyi.
Karena ia sedang ibuki dua saudara Kam, Eng Jiauw
Ong segera berloncat loncat akan susul dua bayangan itu. Ia lihat pendopo belakang, yang ada punya pekarangan luas, tapi ia tak perdulikan itu, ia menuju terus kebelakang.
Ketika ia sudah loncat ketembok, ia dapatkan bahagian belakang ada daerah pegunungan, disitu tidak kelihatan
suatu apa walaupun rembulan remeng remeng. Kedua
bayangan masih berlari lari sangat cepat, mereka rupanya kenal baik keadaan disitu. Eng Jiauw Ong penasaran, ia mengejar terus sampai kira2 dua lie, hingga ia berada disuatu jalanan kecil yang terapit kedua tebing, yang kadang2
terhalangkan pepohonan oyot. Sekali, ia merandek, atau mendadak kedua bayangan lompat
menikung. "Kau hendak pancing aku?" ia berteriak dengan gusar.
"Aku si orang she Ong ingin tengok akal muslihatmu!
Walaupun kau pasang thian lo tee bong, aku tak nanti
sembarangan mau sudah saja!"
"Thian loo tee bong" = "jaring langit, jala bumi."
Dengan berani ketua Hoay Yang Pay mengejar terus. Ia
berlaku hati2, ia sangka lawan mengatur barisan, sembunyi atau memasang jebakan, akan tetapi, sesudah lewati jalanan kecil itu, nyata dugaannya keliru. Jalanan yang nampaknya berbahaya itu dapat dilewati tanpa kurang suatu apa.
"Apakah maksud mereka?" Eng Jiauw Ong men duga2.
Ia benar2 heran. "Kemana mereka hendak pancing aku"
Biar, aku susul terus...."
Dan ia ber lari2 sampai dimulut lain dari jalanan itu, sampai mendadakan ia dapati suatu tempat terbuka, yalah sebuah lembah luasnya beberapa bauw. Ia berdiri dimuka jurang, yang buntu. Di bawah, antara pepohonan ada
segundukan rumah, dari mana, dari sebuah jendela
rupanya, ada molos sinar terang. Selagi ia mengawasi, ia lihat dua bayangan orang ber lari2 kearah rumah itu.
"Biar mereka atur ranjau, aku tak takut," pikir Eng Jiauw Ong. Dengan berani ia loncat turun, sesampainya dibawah, ia berlari2 lebih jauh. Ia baharu merandek ketika ia sampai disebuah pekarangan dimana ia tampak beberapa puluh
pelatok bambu pendek, tertancap teratur didalam
pekarangan itu, yang luasnya lima tumbak lebih. Tingginya pelatok ada dua kaki lebih dan terpisahnya satu dari lain dua kaki setengah.
Eng Jiauw Ong lantas mengerti bahwa pelatok itu adalah sebangsa panggung ranjau Bwee hoa ciang dari Siauw Lim Pay, untuk orang berlatih ilmu entengi tubuh atau adu kepandaian dalam ilmu itu, hanya di kalangan Hoay Yang Pay, namanya panggung pelatok itu adalah "Tiok too hoan ciang" atau "Golok bambu penggantinya telapak tangan."
"Terang orang hendak jebak aku diatas panggung
pelatok ini," Eng Jiauw Ong berpikir. "Bertempur disini, orang mesti terbinasa atau sedikitnya terluka. Dalam hal ini dipihakku ada pantangan keras...."
Sambil ingat musuh liehay, Eng Jiauw Ong lantas maju
lebih jauh, akan dekati panggung loeitay pakai pelatok itu, yang sesuatu ujungnya tidak meruncing tajam. Ia baharu datang dekat, atau dua bayangan sudah lantas muncul dari samping rumah, mereka jalan rnenghampirkan seraya
memutari pelatok2 itu. Masih cukup jauh dari ketua Hoay Yang Pay, keduanya merandek.
Eng Jiauw Ong mengawasi dengan tajam. Orang yang
dikiri adalah si "bangkai hidup" orang aneh, dan yang dikanannya seorang dengan dandanan sebagai orang dusun.
Dia ini berkuncir kecil, kuncirnya digelung dan ditusuk, mirip dengan kondenya satu imam. Dia pakai baju dan
celana biru, kaos kaki dan sepatunya putih semua, mukanya lebih aneh dari kawannya disebelah kiri, yalah bermuka kurus kisut, kulitnya pucat pias bagaikan muka mayat, dua pasang alisnya meroyot turun, hidungnya pesek, bibirnya tipis, kumisnya tidak ada, ada juga masing2 selembar
rambut panjang dan ubanan dikedua belah pipinya dekat kuping. Maka itu, dengan berdiri berendeng, dua orang aneh itu mirip dengan mayat2 yang baharu muncul dari
liang kubur. 0oooodwoooo0 Jilid 6 Diam2 Eng Jiauw Ong berpikir "Benar2 Hong Bwee
Pang mempunyai tak sedikit orang orang kang ouw aneh.
Dua orang ini saja sudah luar biasa sekali, tak gampang untuk dilayani, roman mereka sulit untuk dipandang, mata mereka juga bersinar menakuti, terang mereka punya
lweekang yang sempurna sekali?"
Tapi jago Hoay siang ini tidak jadi keder.
"Sahabat, kau pancing aku datang kemari, apakah
maksudmu?" ia menanya dengan sabar.
Si orang aneh yang disebelah kanan, dengan sikap dingin lantas menjawab "Po coe telah memberikan pengajaran
kepadaku tentang ilmu silat tangan kosong, maka itu,
setelah bertemu dengan po coe yang begini liehay, mana bisa aku menghilangkan waktu untuk tidak mengikat
persahabatan" Kami telah dengar perihal ilmu entengi
tubuh dari Hoay Yang Pay yang dinamakan Tiok Too
Hoan Ciang yang kesohor dalam Rimba Persilatan, ilmu
mana tidak sembarangan diwariskan, maka itu, dengan
kepandaianku yang cetek sekali, aku telah pertunjukkan kejelekanku dihadapan po coe, tidak nanti aku berani men coba2 pula kepada po coe. Jangankan aku memang tak
pandai ilmu mengentengi tubuh, sekalipun aku mengerti, tidak nanti aku berani pertunjukkan lebih jauh kejelekanku.
Hanya adalah soehengku ini, dia sangat gemar ilmu
mengentengkan tubuh, walaupun pengetahuannya belum
sempurna, mendengar po coe sudah datang mengunjungi
Gan Tong San, tak dapat tidak ia ingin sekali terima
pengajaran dari po coe. Inilah sebabnya maka sekarang aku undang po coe datang kemari, untuk memberi kan kami
pengajaran dalam ilmu Tiok too Hoan ciang itu, agar kami dapat memperluas pengetahuan kami. Aku percaya po coe tak akan menampik untuk memberikan pengajaran kepada
saudaraku ini." Eng Jiauw Ong tidak puas terhadap orang aneh ini.
"Saudara, kau kandung niat mengadu kepandaian, aku
bersedia untuk melayaninya!" kata ia dengan tawar. "Akan tetapi, satu laki2, tindak tanduknya harus secara terus terang! Kau hendak tindih aku dengan kekerasan, baik, aku bersedia, untuk itu umpama kata aku terbinasa, mukaku akan tetap terang. Tetapi kau tidak sudi memperkenalkan diri, itulah sikap menghina!"
Baharu sekarang orang yang disebelah kiri, yang mirip bangkai hidup yang mati menggantung diri itu membuka


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaranya, dengan lagu suara yang menyatakan tak senang hati.
"Ong Po coe, kau teilalu menghargai kami," demikian
katanya. "Kami adalah boe beng siauw coet dari kalangan kang ouw kami ingat bahwa ilmu silat kami tidak ada
artinya, dari itu, apabila kami menyebutkan nama kami, hanya memalukan perguruan kami saja. Tentang kami
berdua saudara, sebenarnya tak usah kami perkenalkan
nama kami. Dipihak po coe ada Yantiauw Siang Hiap
mereka itu belum pernah menyebut nyebut namanya, tetapi karena roman wajah mereka, orang bisa lantas ketahui, siapa adanya mereka itu. Bukankah kamipun ada sama
saja?" Mendengar demikian, Eng Jiauw Ong terperanjat juga.
"Oh, kalau begitu bukankah jiewie ada See coan Siang
Sat yalah Song boen sin Khoe Leng si Malaikat Rumah
kematian dan Kwie lian coe Lie Hian Thong si Muka
Hantu?" begitu ia menegasi.
Si orang aneh, dengan tetap wajahnya bagaikan bangkai hidup, perdengarkan suara "Hm!" lalu ia tambahkan "Tak perduli benar atau tidak, kau lihat saja. Kami ada orang orang terang, kami tidak mau melakukan sesuatu dengan bergelap! Kami sudah undang kedua muridmu datang
kemari, maka begitu lekas po coe sudi memberi pengajaran, pasti kami akan lantas antarkan kau guru dan murid masuk kedalam Cap jie Lian hoan ouw."
Mendengar jawaban orang itu, Eng Jiauw Ong merasa
pasti, bahwa dua orang ini benar ada See coan Siang Sat Sepasang Hantu Seecoan, ia jadi girang berbareng ibuk juga. Ia girang karena ia segera kenali dua jago Seecoan itu, tapi yang bikin ia ibuk adalah karena ia tahu untuk di Barat, dua saudara ini benar2 punyakan kepandaian yang tinggi.
Memang mereka masing2 punyakan roman muka yang
jelek sekali, seperti buktinya sekarang, keduanya mirip bangkai2 hidup. Si muka putih pucat adalah Song boen sin Khoe Leng, dan yang satunya lagi yalah Kwie lian coe Lie Hian Thong. Mereka hidup bagaikan saudara kandung,
mereka tugaskan diri sebagai hiap too, yalah penjahat2 yang bijaksana. Mereka suka menolong, hatinya pemurah, tetapi ada kalanya mereka berlaku kejam, untuk menindas
kejahatan mereka tak kenal kasihan, sebab itu disebelah orang hargai mereka, ada pula orang2 yang mendendam
sakit hati dan benci pada mereka. Adalah karena liehaynya, sampai sebegitu jauh belum pernah orang bisa berbuat suatu apa terhadap mereka, hingga untuk di Barat, di See coan dan daerahnya, mereka sudah malang melintang belasan
tahun lamanya. Tetapi diluar sangkaannya jago Hoay siang, sekarang jago2 Seecoan itu sudah menjadi orang2 Hong
Bwee Pang. "Tadi dia me nyebut2 Ceng Loan Tong, pasti mereka ini berkedudukan tinggi," Eng Jiauw Ong pikir lebih jauh.
"Mereka bersikap jumawa, jikalau sekarang aku tak bisa lawan mereka, teranglah sudah, aku tak punya muka untuk memasuki Cap jie Lian hoan ouw...."
Lantas jago Hoay siang itu tertawa pula.
"Aku malu untuk dua muridku yang tidak tahu diri itu, yang membangkitkan tertawaan orang," kata ia dengan
tertawa dingin. "Sahabat, kau niscaya ada Giesoe Song boen sin Khoe Leng! Nah, giesoe, kau undang aku untuk main2 diatas panggung patok bambu Ceng tiok Bwee hoa
ciang ini, walaupun aku tidak punya kepandaian, aku suka sekali menemaninya. Tetapi, aku mohon, sukalah kau
berlaku murah hati terhadap aku...."
Lie Hian Thong mengawasi, ia hendak memberikan
jawaban untuk mewakilkan Khoe Leng, tetapi Eng Jiauw
Ong segera memotong pembicaraan orang sambil berkata
"Lie Giesoe, cukup, tak usah kita bicara lebih banyak pula!
Khoe Giesoe, silakan!"
Sehabis berkata, jago Hoay siang merangkapkan kedua
tangan nya. Song boen sin Khoe Leng segera merangkapkan juga
kedua tangannya untuk membalas hormat, seraya ia berkata
"Silakan po coe yang mulai "
"Baik giesoe saja yang mulai !" Eng Jiauw Ong
merendah tetapi mendesak.
"Mungkin po coe hendak bikin aku jadi tidak kenal
aturan?" Khoe Leng kata pula. "Silakan, po coe!"
"Kalau begitu, maafkan, giesoe," berkata ketua Hoay
siang. "Biarlah aku pertontonkan kejelekanku...."
Kata2nya ketua Hoay Yang Pay ditutup dengan gerakan
tubuh nya, mencelat naik kesebatang patok di Baratutara, yang termasuk dalam rombongan Kian kiong. Ia menginjak dengan sebelah kakinya yang kiri, tetapi dengan cara
beginipun sudah cukup untukia mencoba keteguhannya
patok itu. Dimatanya ciangboenjin dari Hoay Yang Pay ini, patok2
Tiok too Hoan ciang itu terlebih berbahaya. karena semua patok berujung runcing, ujung itu diraut tajam seperti ujung golok lioe yap too, semuanya terdiri dari enam puluh enam patok dan diaturnya menurut runtunan Patkwa. Untuk naik ke atas panggung patok itu, lebih dahulu orang mesti paham ilmu mengentengi tubuh yang dinamakan Teng peng Louw
soei atau Sie biauw Hoei heng. Tetapi tidak demikian
dengan Ceng tiok Bwee hoa ciang ini, yang semua ujung nya rata tidak tajam.
Sambil berdiri dengan sebelah kaki dalam sikap "Kim
kee tok lip," atau "Ayam emas berdiri dengan sebelah
kaki," dengan tangan kiri dimajukan kedepan dan tangan kanan didadanya, di betulan jenggotnya ialah dengan sikap
"Hong hong tian cie," atau "Burung hong pentang sayap,"
Eng Jiauw Ong lantas mengawasi lawan, untuk melihat
sikap lawannya itu. Baharu Eng Jiauw Ong berdiri tetap atau ia lihat
tubuhnya Song boen sin Khoe Leng loncat menaik keatas sebuah patok di bagian Kam kiong, gerakannya cepat,
berdirinya tetap, suatu tanda tidaklah percuma dia itu menjadi jago Seecoan.
Menampak demikian, Eng Jiauw Ong segera bergerak ke
arah kanan, kakinya saling susul. Ia berjalan dengan cepat
dan tetap, matanya dilain pihak awasi terus lawan itu, sekarang untuk perhatikan tindakannya lawannya untuk ia dapat kepastian, kepandaian lawan itu sudah terlatih
sempurna atau belum. Khoe Leng juga telah lantas turut bergerak dan
gerakannya gesit sekali, maka itu, sesudah dua putaran, Eng Jiauw Ong meloncat kedepan lawannya, serangannya
dimulai, dengan tipu nya "In liong sam hian" atau "Naga dalam mega tiga kali perlihatkan diri."
Diserang secara demikian Khoe Leng menangkis dengan
"Hong in to goat," atau "Mega menahan rembulan."
Setelah bukaan ini, ia sebenarnya bisa mendesak untuk balas menyelang, tetapi ia tidak berbuat demikian ia hanya undurkan diri, seperti orang yang jeri.
Eng Jiauw Ong merasa heran. Dilihat dari sikapnya,
tuan rumah itu bukannya mengalah terhadap tetamunya.
Maka dengan hati2 ia maju akan mendesak, atas mana,
kembali Song boen sin Khoe Leng mundur pula. Tatkala
kemudian Eng Jiauw Ong mendesak lebih jauh dan tuan
rumah itu mundur lagi, ia segera dapati satu pengalaman.
Ketika itu ketua Hoay Yang Pay maju satu tindak, ia
mendek untuk berloncat, justeru itu dari arah Timur ke Barat, pula menyamber angin, dari senjata rahasia. Segera ia mundur, hingga senjata rahasia itu jatuh didepannya. Itu adalah sepotong batu. Ia heran. Kapan ia melihat Khoe Leng, dia ini sudah berada dipinggiran. Ia hendak maju pula, waktu ia mau geraki kakinya, lagi satu batu samber ia, karena ia sedikit terlambat, ia terkena batu itu. Ia tambah heran, karena ia tidak tahu dari arah mana datangnya batu.
Dilain pihak, Khoe Leng sudah putar haluan. Sekali ini ia maju dengan cepat. Dan sekali ini, tidak ada lagi
penghalang batu. Kedua pihak sudah datang dekat satu dengan lain, Eng
Jiauw Ong maju dengan serangannya.
Song boen sin, si Malaikat Rumah kematian, mencelat
ke samping. Dia bukannya menangkis, atau bikin
perlawanan, dia hanya menyingkir cepat sekali.
"Dia sedang permainkan aku!" pikir Eng Jiauw Ong,
yang hati nya jadi panas. Ia jadi berkeinginan keras akan hajar lawan ini rubuh dari panggung pelatok itu. Ia lantas mengejar terus dengan sungguh sungguh.
Lagi sekali mereka datang dekat satu sama lain, lagi lagi Khoe Leng jauhkan diri. Kapan ini diulangi beberapa kali, Eng Jiauw Ong insyaf kelicikan musuh.
"Terang dia kandung maksud tidak baik," pikir ketua
dari Ceng hong po, yang berbareng pun insaf. Penyerang gelap dengan senjata rahasia batu sebenarnya ada
bermaksud baik. Timpukan batu itu adalah daya untuk
mencegah ia. Ia hanya belum tahu, siapa si penyerang itu dan apa maksudnya.
Kembali mereka saling kejar. Sesudah mereka berhadapan lima enam kali, dan saban2 Eng Jiauw Ong
kebogehan, ia insaf, orang rupanya ada main gila dengan panggung pelatok itu. Karena ini, ia berlaku semakin hati2.
Pada Khoe Leng sendiri tidak terlihat apa2 yang
mencurigai. Mereka kembali memutari pelatok, sekarang Eng Jiauw
Ong dapat lihat beberapa kali Song boen sin menyingkir dari sesuatu pelatok, maka itu, ia waspada.
Lalu datang saat untuk mereka bergebrak, sekali ini
Khoe Leng melayani. Dijurus ke empat Eng Jiauw Ong
mendesak keras. Khoe Leng hendak menyingkir, ia
melompat. Tiba2 menyamber dua potong batu. Song boen
sin terhalang, hingga terpaksa ia berloncat kesamping. Di sini ia kena terpijak patok yang ia segani, yang tadi ia loncati, begitu kakinya menginjak, tubuhnya miring, sebab pelatok itu mendahului miring. Sia sia saja Khoe Leng pertahankan diri, walaupun ia bertubuh enteng dan gesit, tidak urung ia terpeleset, jatuh kebawah panggung! Maka mukanya menjadi merah dengan seketika bahna malu.
Segera ia loncat kepinggir kanan, ia rangkap kedua
tangannya terhadap Eng Jiauw Ong seraya berkata "Aku
yang rendah tak sanggup melayani po coe yang gagah
sekali, kami berdua saudara menyerah kalah. Po coe, di Ceng Loan Tong saja kami nantikan kau, sekarang tak
dapat kami menemani lebih lama!...."
Sehabisnya berkata begitu, ia lari kearah rumah,
saudaranya mengikuti. LII Melihat orang kabur kearah rumah, Eng Jiauw Ong
bercuriga. Benar saja, dari dalam rumah itu segera muncul empat
ekor burung darah putih, yang terus terbang naik keudara dimana mereka lenyap dalam sekejab. Jago Hoay siang ini tercengang. Ia mengerti, Seecoan Siang Sat bukannya lari untuk kabur, mereka hanya menyingkir guna lepaskan
burung2 itu, yang pasti ada membawa kabar penting untuk pusat Hong Bwee Pang.
"Aku telah sampai disini, mereka tak dapat dibikin
lolos," pikir ketua Hoay Yang Pay ini. "Sayang mereka keburu lepaskan burung mereka. Aku perlu lekas tolongi Kam Tiong dan Kam Hauw."
Karena ini, Eng Jiauw Ong loncat turun dari pelatok,
terus ia lari kerumah gubuk. Ia cuma melihat terbangnya burung2, ia tidak tampak keluarnya orang, ia per caya kedua orang luar biasa dari Seecoan masih sembunyi
didalam rumah itu. Karena ini, ia maju dengan hati"
Tiba2 terdengar satu suara dari dalam rumah, lalu api padam.
"Benar dugaanku," pikir Eng Jiauw Ong.
Tiba terdengar tertawa dingin dari dalam rumah, disusul dengan kata2 "Ini sepasang manusia ada bagaikan iblis, kita tidak hendak habisi padanya, apa kita hendak tunggu?"
Lalu menyusul satu suara tajam "Memang, dibelakang
hari mereka bisa jadi bahaya! Kita kasihani mereka, mereka sendiri belum tentu akan mengingat budi"."
Se konyong2 terlihat sinar api, lalu jendela rumah
terbakar menyala, menyusul mana diempat penjuru puncak terdengar suara suitan, yang mana menjadi tanda bahwa disekitar tanah pegunungan itu ada orang2 jahat yang ber jaga2.
"Orang tak dapat melawan aku secara berterang, mereka lalu gunai akal muslihat," pikir pula Eng Jiauw Ong.
Karena ini, sambil tertawa mengejek, ia kata seraya
berdongak "Kawanan pit hoe, apakah dengan sandiwara
iblis ini kau hendak permainkan aku Ong Too Liong"
Itulah sia sia! Aku si orang she Ong tidak pintar tetapi pernah aku saksikan pertunjukan seperti ini! Silahkan lanjutkan!"
Belum jago Hoay siang tutup mulutnya, atau ia dengar
ken tongan dari empat penjuru puncak, disusul oleh cahaya api, masing2 dua batang obor diempat penjuru itu,
kemudian dari setiap penjuru terdengar perkataan nyaring
"Ong Loo eng hiong, pemimpin dari Hoay Yang Pay! Hio
coe kami dari Ceng Loan Tong dengan ini menyampaikan
kata2 bahwa tempat ini bernama Koen eng ouw, yang
berarti tempat pengurang garuda, dari itu walaupun po coe ada punya kepandaian untuk serbu langit, kau lihatlah thian lo tee bong ini" maka pastilah po coe tak akan dapat
dibiarkan terbang lolos dari jaring ini! Karena po coe datang untuk Pang coe kami, baiklah po coe kenal salatan, mari antapkan kami sambut po coe, agar tidak sampai kejadian kau nanti kena terjaring bagaikan seekor garuda! Jikalau po coe tidak suka mendengar peringatan ini, satu kali titah kami telah dikeluarkan, nama baik po coe bakal segera ludas!"
"Pit hoe, kau terlalu menghina!" adalah jawabannya Eng Jiauw Ong terhadap bujukan atau ancaman itu. "Aku
justeru hendak saksikan apa adanya kepandaianmu! Apa
benar2 kau berani menahan padaku?"
Tidak beraya! lagi, suara ken tongan segera terdengar nyaring, suara mana disusul dengan mengaungnya anak
panah yang melesat diudara, lewat disampingnya ketua dari Ceng hong po ini.
Eng Jiau Ong mendongkol bukan kepalang, segera ia
mengawasi dengan tajam keempat penjuru, hingga ia
tampak disebelah Timur selatan, pada sebuah tanjakan, ada orang sedang memanah sambil menjuju ia. Ia segera
berkelit sambil berlompat, akan loncat terlebih jauh ke tempat musuh itu, gerakannya gesit bagaikan monyet,
hingga orang diatas itu, yang sedang siapkan sebatang panah lain, jadi sangat terkejut tahu2 menampak bayangan berkelebat didepannya, dalam gugupnya dia hendak
teruskan memanah. Di lain pihak, Eng Jiauw Ong pun
berloncat akan menubruk, untuk cegah orang panah
padanya. Dalam saat sangat berbahaya itu, untuk si tukang panah atau untuk Eng Jiauw Ong sendiri, mendadak si tukang
panah men jerit, lantas tubuhnya ngusruk kedepan, kearah ketua Ceng hong po.
Eng Jiauw Ong heran, akan tetapi ia ada cukup tabah
untuk samber pundaknya tukang panah itu, akan ditarik dan dilemparkan, berbareng dengan mana, sambil pinjam tenaga musuh, ia berlompat naik lagi beberapa tindak.
Berbareng dengan itu, Eng Jiauw Ong dengar suara
jeritan yang disusul dengan suara rubuhnya tubuh manusia, bergantian disekitar ia. Tentu saja ia menjadi heran, maka ia berdiri diam seraya pasang mata.
Se konyong2 ada satu bayangan berkelebat disebelah
depan, di tempat yang gelap, bayangan mana buka suara, katanya "Bagus kau telah datang! Aku serahkan padamu
sisa tugas disini, aku tak perlu campur lagi!"
Dengan matanya yang tajam, Eng Jiauw Ong lihat orang
itu berdiri antara pepohonan yang lebat, sayang ia tak dapat lihat tegas mukanya orang itu. Pun sehabis mengucap
demikian, bayangan itu mencelat turun, yang dalamnya
lebih daripada sepuluh tumbak. Ia segera melongok ke
bawah dimana, sebaliknya, ia dapati empat atau lima orang sedang bertempur, senjata tajam mereka berkeredepan
sinarnya. Ketua Cenghong po ini heran, karena ia tahu, semua
orang dari pihaknya toh berkumpul di Tong peng pa.
Mustahil ada diantaranya yang datang kemari dengari
secara kebetulan bertemu dengan ia" Tapi bayangan tadi anjurkan dia membereskan sisa, tanpa ayal lagi iapun
berloncat turun, untuk membantu. Karena ia merasa pasti orang2 yang sedang bertempur itu mesti ada orang2 dari pihaknya.
Begitu ia sudah datang dekat, Eng Jiauw Ong melihat
nyata, pertempuran dilakukan oleh lebih banyak orang, dipihak penjahat ada enam, dipihaknya, mereka adalah dua soeteenya, yaitu Hoei too Louw Kian Tong dari tanjakan Hong Hong Kong digunung Heng San dan Tiat kie lee Kee Giok Tong, serta Thay kek Lioe Hong Coen dari bukit Sip pat poan Nia, boesoe Ke Siauw Coan dari Chong cioe,
Siang too Kim Hoo piauwtauw dan Liong Gie Piauwtiam
dari Yan cioe, Shoatang, dan Piauw soe Teng Kiam,
jumlahnya enam juga, hingga kedua pihak itu merupakan satu tandingan yang seimbang. Terang mereka bertempur belum lama, sebab kedua pihak kelihatan bertarung sedang sengitnya.
Eng Jiauw Ong heran atas munculnya ke empat
piauwsoe, boesoe atau soeteenya itu, walaupun ia menduga tentunya mereka sudah datang menyusul. Adalah Lioe
Hong Coen berdua Ke Siauw Coan, yang sudah bertemu ia di Lek Tiok Tong. Ia tidak mengerti, kenapa mereka itu sudah berada ditempat musuh ini, bukannya berkumpul di Tong peng pa. Tetapi sekarang ia tak berkesempatan untuk menanyakan keterangan, maka begitu datang dekat, ia
meloncat maju sambil serukan "Lioe Loosoe, Ke Loosoe, silahkan mundur, biarlah siauwtee yang bereskan semua manusia jahat ini!"
Ketika itu, Hoei too Louw Kian Tong dan Thay kek Lioe Hong Coen justeru berhasil menendang rubuh lawan
mereka, maka itu. Eng Jiauw Ong berloncat lebih jauh
kesamping Teng Kiam siapa melayani satu musuh bermuka hitam beralis gomplok yang bersenjatakan golok kwie tauw too yang berat, sedang ia sendiri bergegaman rantai, cit ciat pian. Itulah saatnya musuh membacok pundak dan
piauwsoe itu baharu saja menyabet tanpa hasil. Tidak
tempo lagi Eng Jiauw Ong sampok golok musuh, sampai
senjata itu kabur dari sasarannya, kemudian dengan dua jari tangan kanan ia menotok jalan darah in tay hiat.
Musuh itu insaf, apabila ia kena tertotok, ia bakal celaka.
maka lekas2 ia egos tubuhnya, tetapi selagi begitu, Eng Jiauw Ong teruskan menendang, tidak ampun lagi
kempolannya kena di dupak, tubuhnya terguling kejurang.
Menyusul rubuhnya musuh yang ke dua, lagi dua musuh
perdengarkan jeritan dari kesakitan, atas mana, sisanya yang dua lagi, dengan tandanya masing2, lantas saja angkat kaki untuk singkirkan diri.
Eng Jiauw Ong semua tidak menguber.
"Soetee, berapakah jumlah mu?" ia tanya. "Apakah ada
lain rombongan disini?"
"Kami cuma berenam," sahut Thay kek Lioe Hong
Coen, "Tetapi disana masih ada lagi lima yalah Piauwsoe Chio In Po dari Utara, dua muridnya Tio Liong In dari Lim shia yaitu Soen Giok Siauw dan Soen Giok Kong, cucu
murid dari Yan tiauw Siang Hiap, Ciok Liong Jiang, serta dua guru silat dari Kang lam, Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang. Nah, itulah mereka disana!"
Benar2 rombongannya Cio in Po sudah lantas muncul,
maka semua orang lantas saling memberi hormat satu pada lain. Kemudian dua anak muda berlutut di depannya Eng Jiauw Ong akan mengaku bahwa karena kepandaiannya
sangat rendah, mereka sudah bikin malu pada Hoay Yang Pay.
Mereka itu adalah Kam Tiong dan Kam Hauw, yang
dapat di tolong. "Sudah!" sang guru bilang "Sekarang mari kita bekerja!"
Lantas Eng Jiauw Ong mengajak rombongan itu
menggeledah bukit, terutama rumah gubuk itu, hasilnya nihil, sebab semua orang jahat sudah kabur dari satu
jalanan kecil, yang menjurus kesebuah kali.
"Ong Loosoe, tempat ini bagus sekali," kata Ke Siauw
Coan. "Mungkin ini ada salah satu jalanan untuk Cap jie Lian hoan ouw". Sayang kita tak punya perahu. Sekarang baik kita mencari tempat beristirahat, akan tunggui
datangnya sang pagi."
Eng Jiauw Ong setuju, ia usulkan akan kembali ke Tiat Hoed Sie.
"Jangan kesana," mencegah Teng Kiam tanpa ia
memberi alasan. "Kita pergi ke Cio hoed tong saja," Ciok Liong Jiang
usulkan. "Aku pernah ketemu Soe couw Twie in chioe Na Pek, dia pesan untuk berhati2 terhadap rombongan dari Tiat Hoed Sie yang katanya tak boleh dipandang enteng, dua pemimpinnya ada dua hiaptoo dari Seecoan yalah Song boen sin Khoe Leng dan Kwie lian coe Lie Hian Thong,
masing2 ketua dari Ceng Loan Tong dan Kim Tiauw Tong
dari Lwee Sam Tong dari Hong Bwee Pang. Kita bukannya jeri tetapi kita harus waspada"
Eng Jiauw Ong tidak berkukuh.
"Tapi mari kita periksa saja kuil itu," kata ia.
Semua orang menurut, dari itu mereka lantas menuju
kekuil tersebut. Tiat Hoed Sie kosong melongpong, kecuali lentera hoed teng, yang apinya suram. Walaupun sudah tua sekali, kuil toh nampaknya angker, pendiriannya teguh, dulunya mesti ada sebuah rumah, berhala yang indah dan agung. Kuil
gelap seluruhnya, dari itu beberapa obor telah dinyalakan.
Senopati Pamungkas 5 Anak Harimau Karya Siau Siau Pukulan Naga Sakti 24
^