Pencarian

Eng Djiauw Ong 11

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 11


Kuil itu ternyata kosong, tetapi jauh disekitar mereka, kadang2 terdengar tanda suitan. Hal ini menguatkan
kepercayaannya Eng Jiauw Ong terhadap keterangannya
Yan tiauw Siang Hiap yang disampaikan oleh Ciok Liong Jiang, yalah musuh tak dapat dipandang ringan.
Setelah pemeriksaan sekian lama, disaat Eng Jiauw Ong hendak ajak rombongannya mening galkan kuil, Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang, kedua guru silat dari Kanglam, yang muncul paling belakang, karena mereka memeriksa
sampai diluar pendopo, telah minta jago Hoay siang ini bersabar.
"Tunggu sebentar, po coe," kata Ngo Cong Gie. "Kami
telah melihat suatu yang mencurigakan. Mari po coe lihat dulu."
Eng Jiauw Ong dan beberapa kawannya tanya, apa
adanya hal itu. "Marilah kita melihat saja" jawab Ngo Cong Gie.
"Mari!" Mereka pergi keluar pendopo, melewati tembok gempur,
mereka sampai dipekarangan luar, akan menuju kesemak
alang2, jauhnya kira2 setengah panahan, mereka tampak sebuah puncak yang penuh dengan pohon siong, kapan
mereka maju lagi sedikit jauh, dari celah2 puncak mereka tampak cahaya api.
Selagi rombongannya merasa heran, Ngo Cong Gie dan
Soe ma Sioe Ciang bertindak terus menembusi semak,
sampai dimu ka puncak, disebuah rimba, mereka dapatkan satu rumah batu disamping mana ada sebuah sarang burung dara. Didepan rumah ada berdiri satu tihang kayu, yang atasnya digantungkan tujuh batang obor teratur bagaikan bintang tujuh. Semua obor itu masih menyala apinya,
hingga rumah kelihatan tegas, melainkan suasananya sunyi
sekali. Semua kotak burung kosong kecuali di kotak tingkat paling bawah masih ada satu ekor.
"Secara kebetulan saja kami dapati ini," terangkan Ngo Cong Gie, selagi semua kawannya heran sekali. "Ketika tadi kami keluar dari kuil, kami tampak seekor burung dara terbang berputaran diatas ini. Burung dara adalah burung piaraan, dari itu, disini mesti ada sarangnya ke mana dia hendak terbang turun, karena ini, kami lantas mencari tahu.
Begitulah kita dapatkan tempat ini. Melihat obor masih menyala, mestinya penjahat belum lama berlalu dari sini.
Sebenarnya, obor yang nyala tinggal dua, mungkin penjahat tak keburu memadamkannya, karena mana, burung dara itu terbang berputaran, sangsi buat turun. Tadi kamilah yang nyalakan yang lima buah lagi, setelah mana barulah burung itu terbang turun, masuk kedalam sarangnya. Teranglah burung dara itu ada pembawa berita, maka itu kami
menghampirkannya, kami lihat dikakinya terikat selembar kertas, kami ambil dan buka kertas itu, yang ada surat dengan bunyi ringkas "Gan Tong Ketua Ang Kie Tee ngo
louw! Segera kembali ke Hoen coei kwan, jangan ayal,
jangan gagal!" Karena pentingnya urusan, sebelum
memeriksa lebih jauh disini, kami lantas balik kekuil untuk menemui po coe, supaya po coe bisa memeriksa sendiri.
Kami percaya, ditemuinya rumah ini mungkin ada
pentingnya bagi kita."
"Inilah mungkin," kata Eng Oyiauw Ong sambil
manggut. "Hanya masih jadi soal, ketua disini ada Seecoan Siang Sat atau lain orang lagi. Sekarang mari kita lihat."
Lantas orang periksa dahulu sekitar rumah batu itu.
Mereka dapati dua jalanan kecil, yang mukanya tertutup, satu menjurus ke Tiat Hoed Sie, satunya pula kelembah.
Setelah ini dengan membawa obor orang masuk kedalam
rumah. Kalau tadinya rombongan ini menyangka rumah itu ada
untuk berlindung saja dari hujan angin dan binatang liar, sekarang
sesampainya didalam, mereka tampak pemandangan yang menyolok mata.
Menghadapi jendela panjan yang banyak daunnya, ada
sebuah meja panjang, dibawah saban2 daun jendela ada
sebuah kursi, didepan kursi ada rak untuk sebuah lentera dan bendera2 kecil. Semua jendela ada dua belas buah, pada setiap buahnya, len tera dan bendera warnanya
Berupa. Eng Jiauw Ong tanya Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe
Ciang kalau2 mereka ketahui maksudnya lentera dan
bendera itu. "Mungkin kita harus menduga2 dari adanya jumlah
jendela," sahut kedua guru silat itu.
"Apa mungkin ini ada tanda dari Cap jie Lian hoan
ouw?" tanya Eng Jiauw Ong.
Artinya Cap jie Lian hoan ouw adalah "dua belas buah
benteng berantai." "Benar, po coe." sahut Soe ma Sioe Ciang. "Ini adalah pusat pertandaan mereka. Terbangnya burung pun ada
terlebih cepat dan tepat daripada anak panah. Diluar tadi, kotak burung pun ada dua belas. Pasti sekali, mereka telah punyakan burung2 yang terlatih sempurna, yang kenal baik kotak masing2. Rupanya mereka merasa terdesak, mereka terpaksa meninggalkan pusat ini."
"Soe ma Loosoe" tanya Chio In Po, piauwsoe dari
Utara, "keteranganmu ini ada penting sekali. Apakah
loosoe mengetahui lainnya hal lagi mengenai Hong Bwee Pang?"
"Aku sendiri tak tahu suatu apa," sahut Soe ma Sioe
Ciang, guru silat dari Kanglam itu. "Apa yang aku dengar adalah sedikit keterangan dari salah satu soeteeku, yang dahulu pernah menjadi anggauta Houg Bwee Pang di Siang hoay, ketika Hong Bwee Pang disana bubar dan Thian lam It souw BoeWie Yang bangunkan pula disini berikut dia punya Lwee Sam Tong" saudaraku itu undurkan diri
dengan diams, ia memasuki perguruan kita untuk
melanjutkan pelajaran silat nya. Ia bisa terlolos dari tangan pembesar negeri sebab kebetulan buku daftar keanggautaan Hong Bwee Pang disana musnah terbakar selama
pembasmian. Tentang keadaan dalam, terutama mengenai
Hong Bwee Pang sekarang, saudaraku itu ada gelap.
Apakah loosoe percaya aku"
"Oh, tentu, Soe ma Loosoe," jawab Chio In Po.
"Menurut keterangan soe couw," Ciok Liong Jiang turut bicara, "memang keadaan dalam dari Hong Bwee Pang ada sangat terrahasia, malah orang sendiri tidak mengetahui tentang golongan satu dan lain. Itu adalah siasat liehay dari Boe Wie Yang untuk bisa pengaruhi orang2 sebawahannya, supaya tidak ada yang berani berkhianat. Disini kita sudah mendekati pusat musuh, soe couw pesan untuk kita
waspada. Soe couw berdua bertindak sendiri, katanya
apabila perlu, mereka akan memberi kabar Soe cou anggap lebih baik kita singgah dirumah pemburu di dekat Cio hoed tong."
"Baiklah kalau begitu," kata Eng Jiauw Ong. "Kaum
pemburu itu sedang diganggu penjahat, mereka penasaran, jikalau mereka tahu kita bekerja untuk basmi orang jahat, mereka pasti akan tunjang kita."
Sampai disitu mereka keluar dari rumah batu itu, akan kembali ke Cio hoed tong.
Ketika itu sudah kira2 jam lima lewat tetapi langit masih belum terang, maka itu, selagi mendekati rumah2 pemburu, mereka lihat cahaya api terang2, hingga mereka tampak juga samar2 sejumlah orang diahtara pepohonan.
Eng Jiauw Ong heran, maka ia menanyakan Lioe Hong
Coen dan Ke Siauw Coan kalau2 mereka pun melihat
bayangan sejumlah orang itu. Ia tanya apa mereka itu
bukan sedang bayhok atau sembunyikan diri.
"Ya, aku lihat," jawab Thay kek Lioe Hong Coen.
"Salah satu, kawanan penjahat datang mengganggu atau
kaum pemburu siap sedia untuk keluar melakukan
pemburuan" Eng Jiauw Ong manggut, lantas ia cepatkan tindakannya. Benar selagi ia mendekati atau dari belakang pohon loncat keluar dua orang, ia terkejut, begitu pun kawan2nya yang ikut ia. Tapi, segera menyusul teguran
"Apakah po coe disana?"
"Siapa?" Eng Jiauw Ong segera tegaskan.
"Tee coe Wie Sioe Bin dan Kim Jiang," sahut salah satu dari kedua orang itu. "Atas titahnya Khoe Loosoe, kami dalang menyambut po coe"
Lantas dua orang itu maju lebih jauh, keduanya
menjalankan kehormatan. Eng Jiauw Ong tidak menyangka, rombongan Kim too
Khoe Beng pun telah sampai di situ, ia sambut warta itu dengan girang.
"Po coe," Wie Sioe Bin tambahkan, "ketika rombongan
kami sampai di Ngo liong peng, kami terima pemberitahuan dari Yan tiauw Siang Hiap yangmenyuruh
kami datang ke Hok Say Nia untuk menyambut po coe.
Kami mau menuju ke Tiat Hoed Sie, tetapi sesampainya
disini kami melihat kaum pemburu berkumpul disini, siap akan sambut serangan musuh, dari itu kami lantas ketemui mereka akan persatukan diri, untuk minta mereka bikin penyelidikan. Kami semua bertempat didalam tembok besar itu"
Selagi mereka bicara, muncul pula enam orang dengan
obor ditangan masing2. "Jiewie soehoe, adakah rombongan soehoe ini yang niat singkirkan orang jahat?" yang satu tanya Wie Sioe Bin dan Kini Jiang.
"Benar," jawab Sioe Bin, yang terus tunjuk Eng Jiauw
Ong. "Ini adalah Loosoehoe Hoay siang Tay Hiap Eng Jiauw
Ong. Dan ini ada kaum Hoay Yang Pay lainnya serta
sahabat2 nya. Mereka semua ingin pergi kepada Hee
Loosoe untuk menumpang tinggal dan menggerecok...."
"Apakah loosoe ada Hee Loosoe sendiri?" Eng Jiauw
Ong segera tanya. "Maafkan kami yang sudah ganggu
loosoe. Nanti, setelah beres urusan kami, pasti kami akan haturkan terima kasih kepada loosoe"
Ketua pemburu itu ada punya tubuh tinggi dan besar,
mukanya bersemu merah, sepasang alisnya gomplok,
sepasang matanya tajam, hingga romannya jadi gagah
sekali, sama sekali ia tak kelihatan bengis, mendengar perkataannya Eng Jiauw Ong, lekas lekas ia memberi
hormat. "Jangan sungkan, Ong Loosoe," kata ia. "Kami ada
orang2 hutan, kami dapat kunjungan mu sekalian, sungguh kami beruntung sekali. Disini bukan tempat bicara, silaukan loosoe sekalian turut kami."
Dan ia perintah dua orangnya yang membawa obor,
buka jalan. Ketika mereka mendekati rumah batu, seorang yang
berdiri disitu lantas maju menghampirkan, seraya terus berkata "Oh, soetee, aku tidak sangka kau telah bekerja cepat sekali, kau sudah usir bersih pada musuh.
Tindakanmu ini adalah satu gempuran kepada semangatnya musuh, hingga mereka dapat ketahui, didalam dunya kang ouw ada orang2 berarti, bahwa anak2 dari
Hoay siang tak dapat di pandang enteng! Aku hendak bantu kau, soetee, siapa tahu aku ketinggalan, kau telah
mendahului peroleh hasil"
LIII Itulah Kim too souw Khoe Beng, maka Eng Jiauw Ong
lekas2 memberi hormat. "Jangan puji aku, soeheng," kata ia, "Malam ini hampir aku terhina oleh orang2 jahat, syukur aku peroleh
bantuannya semua saudara ini, hingga aku dapat
pertahankan nama Hoay Yang Pay. Sebenarnya aku
malu...." "Soetee, kau benar sungkan," bersenyum Khoe Beng.
"Hee Loo soe ini adalah satu sahabat sejati, sudah kita ganggu dia tengah malam buta rata, diapun kurbankan arak simpanannya bertahun2. Mari soetee, kau banyak cape,
mari aku akan memberi selamat padamu dengan tiga
cawan!" "Silaukan masuk, silahkan masuk!" kata siketua
pemburu dengan manis. "Aku ada punya dua guci arak
untuk hormati tetamu2ku!"
Demikian orang masuk kedalam, sebuah ruangan besar,
sedang pekarangan ada lebar. Segala apa ada sederhana dan bersih.
Tuan rumah mengundang semua tetamunya duduk, ia
suguhkan teh pada mereka, sesudah mana, ia meminta
berkenalan pada sesuatu dari mereka itu. Ia sendiripun perkenalkan dirinya. Ia adalah Hee Hong Coen, sudah
empat atau lima tahun tinggal di Gan Tong San beserta empat puluh kawannya, hidup sebagai pemburu, hidup
aman, sampai tiba2 muncul Seecoan Siang Sat, yang
kangkangi Tiat Hoed Sie dan paksa mereka sediakan
binatang liar, akan kemudian merekapun diperintah
meninggalkan tempat kediaman mereka, hingga pengusiran itu membuat mereka sangat mendongkol. Maka kebetulan
sekali malam itu datang rombongannya Eng Jiauw Ong,
yang tolong mereka usir Seecoan Siang Sat dari itu, mereka jadi sangat girang, mereka sambut tuan2 penolong itu
dengan sangat bersyukur. Kemudian, setelah menyilahkan semua tetamunya cuci
muka, Hee Hong Coen lantas menjamu mereka, untuk
mana, selain arak simpanannya, iapun sediakan banyak
rupa masakan daging dan sayur.
Sementara itu, cuaca pagipun sudah mulai terang.
Selagi bersantap, diam diam Eng Jiauw Ong menanya
Ciok Liong Jiang kenapa kedua piauwsoe dari Kanglam
yang tidak diundang itu, sudah turut dalam rombongannya dan suka membantu mereka.
"Sebab2nya adalah hal kebetulan saja," sahut Ciok
Liong Jiang, yang lantas berikan penuturannya sebagai berikut .
Baharu dua hari sejak keberangkatan dari rombongannya Eng Jiauw Ong, ke Lek Tiok Tong telah datang satu
rombongan yang terdiri dari Siang too Kim Hoo,
piauwtauw dari Liong Gie, Piauw kiok dari Yan c ioe,
Shoatang, piauwsoe Teng Kiam dari Say lou, Barat,
piauwsoe Chio In Po dari Pak lou, Utara, serta Thay kek Lioe Hong Coen dan Boe soe Ke Siauw Coan, guru silat
dari Chong cioe. Mereka ini disambut dengan baik oleh Cie Too HoO, yang tidak adakan perbedaan diantara kaum
sendiri atau bukan. Liong Jiang sendiri belum berangkat, karena ia ditugaskan oleh Eng Jiauw Ong untuk
menyambut Yan tiauw Siang Hiap andai kata kedua jago
itu datang nanti. Karena Eng Jiauw Ong sudah berangkat, rombongannya Siang too Kim Hoo ini tak dapat dicegah
lagi, hari itu juga mereka berangkat menyusul. Lantaran ini terpaksa Liong Jiang turut bersama. Anggauta rombongan ditambah dengan Hoei too Louw Kian Tong dan Thie kie
lee Kee Giong Tong dari bukit Hong Hong Kong di. Heng San serta Soen Giok Koen dan Soen Giok Kong, keduanya murid2nya Tio In Liong dari Lim shia, hingga jumlah
mereka jadi sepuluh orang. Merekapun dibekalkan bulu
angsa. Rombongan ini berangkat selang tiga hari atau suasana sudah berubah, karena kaum pemberontak sudah bergerak diempat penjuru, hingga penduduk pun menutup toko dan pintu, banyak yang mengungsi, sedang daerah ditangan
pemerintah, pemeriksaan tentara keras sekali sesudah
masuk wilayah Ciatkang, baharulah suasana redaan. Tetapi ketika pada suatuhari mereka sampai di Sek coe kwan,
mereka sangsi juga melihat pintu kota terjaga kuat,
pemeriksaan keras. Thay kek Lioe Hong Coen usulkan akan ambil jalan mutar. Mereka kuatir dicurigai dan ditahan tentara.
"Sabar," kata Chio In" Po. "Lihat disana, ada
rombongan piauwsoe, rupanya mereka ada It tauw pang
Ngo Cong Gie dan Sam cay kiam Soe ma Sioe Ciang dari
Kanglam, baik kita persatukan diri dengan mereka"
Louw Kian Tong dan Kee Giok Tong kenal kedua
piauwsoe itu, merkea setuju. Maka itu, mereka segera
menantikan. Rombongan piauwsoe itu terdiri dari empat ekor keledai, dua pegawai, dua saudagar, empat tukang keledainya dan dua piauwsoe, mereka rupanya tahu dipintu kota ada
penjagaan, mereka antri dibelakang banyak penduduk, yang pun hendak melalui kota. Dari itu, Chio In Po lantas ajak Louw Kian Tong dan Kee Giok Tong pergi menemui,
mereka menegor lebih dulu.
"Oh, samwie!" sahut Ngo Cong Gie, dan Soe ma Sioe
Ciang juga, kedua piauwsoa itu. "Apa samwie juga hendak melewati kota?"
"Benar," In Po manggut. "Jikalau tidak ada pemeriksaan, kami tentu sudah lewat belasan lie dari sini.
Jiewie hendak menuju kemana?"
"Kami antar piauw gelap untuk Hang cioe," jawab Soe
ma Sioe Tiyang. "Girang kami bertemu dengan samwie.
Aku kuatir sulit untuk kita lewat...."
"Walaupun jiewie antar piauw gelap, jiewie toh ada dari piauwkiok terang, yang punyakan surat yang syah, aku
percaya kau tak akan terganggu," kata Louw Kian Tong.
"Yang sulit adalah kami yang berjumlah sepuluh orang, aku kuatir nanti kena ditahan. Apakah jiewie bisa pikir akal untuk kami?"
Soe ma Sioe Ciang berpikir, lantas ia menyahut.
"Baik kita persatukan diri saja," ia bilang. "Jumlahnya rombongan piauwsoe tidak ada batasnya."
"Aku setuju," Ngo Cong Gie turut bicara. "Dengan jalan ber sama2, kita juga menjadi tidak kesepian, kitapun boleh ambil satu hotel nanti.
Chio In Po setuju, ia girang. Lantas ia menggapekan
kawan2nya untuk diajar kenal dengan kedua piauwsoe itu.
Sebentar kemudian, datang giliran mereka ini diperiksa.
Ngo Cong Gie bicara sendiri atas nama Cin Wan Piauw
Kiok, yang ada punya cabang disejumlah kota di Kanglam.
Mereka berhasil, penjaga kota mempercayai mereka,
mereka diberi lewat. Jalan lebih jauh, mereka singgah didusun Pek hok ek,
mereka mampir dihotel Eng An di Timur jalanan.
Ciok Liong Jiang masuk paling belakang, selagi
bertindak dimuka pintu, ia melirik kekiri dan kanan, justeru itu ia dengar tindakan kaki kuda lari dijalan an sebelah Utara, kapan ia menoleh, ia tampak satu penunggang kuda sedang
mendatangi, orang itu berpakaian ringkas, tudungnya lebar, dibebokongnya ada tergendol sebatang golok, tangannya sebelah menyekal toya. Jalanan ada ramai tetapi dia terus melarikan kudanya, nyata dia pandai pegang les, dia sampai dimuka hotel tanpa menubruk orang.
Dimuka hotel dia berpu taran dengan kudanya, dia
mengawasi kepintu dengan mata ta jam, lantas dia berlalu pula dengan cepat. Menampak demikian, Liong Jiang
menjadi curiga. Melihat dari roman, ia percaya orang itu ada cecolok penjahat. Ia baharu teriaki "Chio" pada Chio In Po, atau tiba2 ia urungkan maksudnya.
"Kau panggil aku?" In Po tanya.
"Tidak," ia jawab. Ia masih sangsi.
"Didalam saja kita bicara Tuan rumah berikan lima
kamar untuk rombongan piauwsoe ini, tiga kamar untuk si
piauwsoe sendiri, dua untuk orang2nya. Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang memandori sendiri orang nya angkut
barang2 kedalam kamar. Barang2 itu terdiri dari delapan teromol atau peti kayu merah, semuanya ditaruh dipojok pembaringan, ditempat yang gelap. Semua teromol beda
ukur annya satu dengan lain, ada yang panjang tiga empat kaki dan tinggi dua tiga dim, ada pula yang kurang dan lebih, malah ada yang perlu digotong dengan susah payah oleh dua kuli. Maka itu, Lioe Hong Coen beramai duga
tentu itu ada barang berharga besar luar biasa.


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu rombongan Lek tiok tong itu tidak puas
terhadap kedua saudagar pemilik barang2 itu, agaknya dua orang ini cu rigai mereka, sering kasak kusuk dan
celingukan, selalu bicara dalam suku bahasanya sendiri.
Tapi Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang tidak
perdulikan dua saudagar itu, mereka tetap berlaku ramah tamah terhadap orang2 Hoay Yang Pay itu, hanya
kemudian, untuk mencegah kejadian tidak diingin,
piauwsoe she Soe ma itu mengajak dua saudagar orang
Kwietang itu masuk kedalam kamar, akan di kisiki siapa adanya rombongan itu.
"Mereka ada orang kang ouw sejati, apabila kau baik
terhadap mereka, jikalau ada terjadi sesuatu, tanpa
dimintapun mereka pasti akan membantu kita," Soe ma
Sioe Ciang peringatkan lebih jauh, "Sebaliknya, apabila kau bikin mereka tidak senang, selain pasti mereka tak sudi membantu, bisa juga mereka mengganggu, kalau ini sampai terjadi, itu berarti kerugian bagimu berdua. Kami pun, apabila kami tidak percaya mereka, tidak nanti kami suka mengajak mereka berjalan sama2"
Atas nasihat ini, kedua saudagar itu tidak membilang
suatu apa. Selagi Soe ma Sioe Ciang na sihatkan si saudagar, Ngo Cong Gie layani rombongan Hoay Yang Pay, kemudian
diam2 ia ambil ketika akan ketemui kawannya kepada siapa ia kata. "Jietee, selama dua hari ini, kita myesti waspada.
Kemarin, empat penunggang kuda itu, yang kita ketemui di Ca kee yip ada mencurigakan, terang mereka ada orang
Rimba Hijau. Ketika kita singgah dihotel, satu diantara mereka, yang alisnya kecil dan jidatnya bertapak, telah susul kita, dia ber pura2 cari orang, tadinya aku hendak menegur dia tetapi dia mendahului pergi lagi. Syukur kita bertemu dengan rombongan Hoay Yang Pay ini. Aku harap kawanan itu bisa lihat gelagat dan akan mundur sendiri nya."
Soe ma Sioe Ciang setujui toako itu.
"Harap saja mereka tidak punya hubungan dengan kita."
ia kata. Kemudian keduanya temani pula rombongan Lek tiok
tong itu. Sementara itu Chio In Po sudah tegasi Ciok Liong Jiang tentang panggilannya tadi yang diurungkan, dan Liong
Jiang hunjuk apa yang ia melihat dan curigai perihal si penunggang kuda. Mendengar ini In Po, dan yang lain2
juga, percaya kecurigaan si anak muda ada beralasan. Maka itu, mereka anggap baiklah mereka waspada. Sebab apabila ada terjadi sesuatu, tidak saja si piauwsoe, mereka sendiri akan turut kerembet dan mendapat malu.
Soe ma Sioe Ciang, yang dengar pembicaraan, turut
berbicara. "Turut pengunjukanmu, Ciok Soetee, tidak salah lagi dia memang mencurigai," kata ia. "Jikalau dia benar ganggu kita, biarlah dia tahu rasa!"
"Sabar, soetee," Cong Gie bilang. "Hal masih belum
pasti, kita jangan sembrono. Dikalangan kang ouw memang ada banyak hal2 yang mencurigai. Yang penting bagi kita adalah waspada. Umpama orang benar tak menghargai
kita, apa boleh buat."
"Benar, Ngo Jietee, berlaku waspada ada paling utama,"
berkata Chio In Po. "Umpama orang berniat jahat, maka di sepanjang jalan antara Pek hok ek dan Tok liong kwan kita mesti awas, disana ada tempat2 yang letaknya berbahaya.
Tetapi umpama mereka ada musuh2 kami jangan kuatir
kami tahu bagaimana harus melayani mereka. Aku harap
kami bisa berbuat sesuatu untukmu."
"Tak perduli mereka siapa, asal mereka berani
mengganggu, mereka harus diberikan bagian." Siang too Kim Hoo turut berbicara. "Atau lebih baik pula, bila besok kita pergoki mereka, kita hajar terlebih dahulu padanya!"
"Jikalau orang tidak mengganggu kita, kita jangan
sembrono," berkata boesoe Teng Kiam. "Kita jangan
mencari gara2 dengan orang yang tidak ada sangkutannya dengan kita. Baik kita selidiki dahulu orang itu."
Selagi mereka ini belum mendapat kecocokan, tiba2
terdengar suara berisik dari luar, suara orang bertengkar dengan jongos, satu diantaranya berlidah Kang pak yang kasar. Dari pendengaran ternyata, bahwa satu tetamu
memilih kamar tanpa perdulikan alasan jongos.
Soen Giok Koen dan Soen Giok Kong bertabiat aseran,
segera mereka melongok keluar, hingga mereka segera lihat seorang yang tubuhnya besar, pakaiannya biru, kaos kaki dan sepatunya putih, rambutnya baharu dicukur, kuncirnya yang gede dilibat dileher nya, ujung kuncir turun
dipunduknya, tangan kirinya memegang topi lebar, tangan kanannya menyekal toya Menampak orang dandan seperti
orang yang tadi dipetakan Ciok Liong Jiang, Soen Giok Koen segera mengidapkan kawannya itu. Kapan Liong
Jiang melongok, lantas ia mengeluarkan suara dari
hidungnya. "Hm, benar2 dia!" kata ia. "Dia benar bernyali besar!"
Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang pun melongok,
mereka turut kagumi akan keberaniannya orang itu.
Waktu itu, pertengkaran telah dapat dibikin reda oleh beberapa tetamu lain yang datang sama tengah, lalu tetamu itu diantar kekamar yang kosong. Menurut ia, ia datang berlima,
tetapi empat kawannya akan menyusul belakangan. Selagi orang itu pergi kekamarnya, Liong Jiang beramai pun berkumpul pula didalam.
"Dia telah datang, baik kita lihat saja, dia berani berbuat apa," kata ia pada semua kawannya.
"Walaupun dia mondok disini, aku sangsi dia berani
sembarangan turun tangan," kata Thay kek Lioe Hong
Coen. "Ngo Jietee, maafkan aku, rupanya kau membawa
barang berharga dan dia sengaja menguntitnya. Atau dia curiga, karena rombonganku mempersatukan diri dengan
rombonganmu, rombonganku nanti bawa pergi barang yang jadi sasarannya itu."
"Lioe Loosoe, benar apa yang kau katakan," jawab Ngo
Cong Gie. "Diantara kita tidak ada rahasia. Barang yang kita lindungi ini ada kepunyaannya dua saudagar Kwietang itu, yang biasa berhubungan dagang dengan luar negeri, sobenarnya
kami tidak ketahui tentang harganya, melainkan aku tahu, adalah peti yang keempat yang paling berharga. Bentuk dan rupanya barangpun kami belum
pernah lihat. Menurut loosoe, sekarang bagaimana kita harus bertindak?"
"Menurut aku, baik kita tenang tenang saja," Lioe Hong Coen utarakan pikirannya. "Tidak perduli apa yang mereka lakukan, kita atur penjagaan saja, kalau mereka turun tangan, baharu terpaksa kita sambut mereka. Dipihak kita, yang melayani tetap melayani, yang lindungi piauw tetap lindungi piauw, cukup asal kita bisa antar piauw sampai di Hangcioe dengan selamat."
Boesoe Hoei too Louw Kian Tong setuju, tetapi ia ingin mereka coba menyelidiki pihak sana, supaya mereka tidak sampai terlalu terdesak.
Sampai disitu, Soe ma Sioe Ciang pesan orang2nya,
untuk mereka waspada terhadap tetamu yang baharu
dikamar Barat itu, supaya mereka jangan ibuk bila ada terjadi sesuatu, kemudian ia pergi keluar akan ber pura2
jalan2 disekitar pekarangan tapi sebenarnya untuk pasang mata.
Chio In Po pun keluar, kapan ia lihat sikapnya Soe ma Sioe Ciang, ia kagumi akan keterlitiannya piauwsoe muda itu. Kemudian ia manggut dan bersenyum pada piauwsoe
itu. "Chio Lauwsoe mau kemana?" Soe ma Sioe Ciang
tanya, "Aku hendak pergi kejalan besar untuk belanja
sedikit," piauwsoe itu jawab.
Soe ma Sioe Ciang bertindak masuk, tetapi ia berpapasan dengan orang yang dicurigai siapa awasi ia dengan tajam, maka selagi lewati kantor pemilik hotel, ia sengaja ngoce
"Hati2 kau, binatang! Awas kalau kau jatuh ditanganku!"
Orang itu baharu lewat dua tindak, ketika ia menoleh
dan kaoki jongos. "Tolong kunci kamarku, ada barang
berharga disitu, kalau sampai hilang, kau mesti ganti harganya!"
Jongos itu melengak!"
"Baik, baik," ia jawab. Soe ma Sioe Ciang masuk ke
kamarnya, Ngo Cong Gie lantas kata padanya "Soetee,
buat apa kau omong keras2" Kita layani dia dengan hati, bukannya dengan mulut. Kalau mereka curiga dan kabur, makin sulit untuk kita berjaga2nya."
LIV "Bukannya begitu, aku hanya ingin kasi mengerti pada
mereka agar mereka jangan terlalu pandang enteng kepada kita," Soe ma Sioe Ciang jawab.
Ketika itu piauwsoe Chio In Po bertindak masuk, Soe
ma Sioe Ciang awasi padanya dengan sinar mata menanya.
"Bukankah Soe ma Lauwhia tidak mengerti aku pergi
untuk apa?" piauwsoe itu kata sambil bersenyum. "Aku
sambangi satu sahabat di Pek hok ie, aku berhasil menemui padanya. Dia ada orang kang ouw, dia lebih banyak
merantau daripada diam didalam rumah, sungguh
beruntung, baharu dua hari yang lalu dia pulang. Dia bukan orang kenamaan tetapi semua orang kang ouw tahu
padanya. Diapun pernah jadi piauwsoe tetapi sudah se jak lama dia undurkan diri. Menurut katanya, tidak nanti ada orang sini yang berani ganggu Cin Wie Piauw Kiok, maka sekarang, lauwhia, kita tentunya sedang berurusan dengan orang baru karena ini, kitapun jadi ragu ragu lagi akan hadapi orang2 jahat itu."
"Belum tentu dia ada orang baru," nyatakan Lioe Hong
Coen. "Melihat gerak geriknya, dia bisa jadi orang lama."
"Aku lebih percaya orang baru," Soe ma Sioe Ciang
tegaskan. "Siapa itu sahabatmu, Chio Loosoe?" tanya Ngo Cong
Gie. "Dia ada orang she Hauw, dia tak ternama," Chio In Po jawab setelah bersangsi sesaat.
Lioe Hong Coen percaya sahabat ini berkeberatan akan
sebut nama orang, ia menduga orang itu ada orang kang ouw ulung, maka itu, ia cegat Ngo Cong Gie dengan kata
"Ngo Piauwtauw, syukur Chio Loosoe membawa kabar ini, maka bila perlu, kita boleh bertindak tanpa sangsi sangsi lagi."
Tapi lebih baik lagi bila kita lebih dahulu dapat tahu tentang kepala rombongannya," Soe ma Sioe Ciang
nyatakan. "Kita harus turun tangan lebih dahulu."
Piauwsoe Teng Kiam setujui Soe ma Sioe Ciang. Ia tak
ingin kena didului. Ia pikir akan bekuk mata2 gelap itu untuk korek keterangan dari mulutnya.
Maka kemudian mereka ambil putusan akan sebentar
malam pancing mata2 musuh itu Chio In Po kemudian
serahkan pada sesuatu orang selembar bulu angsa, yang tadi ia cari di luaran. Itulah pertandaan untuk orang sendiri supaya diwaktu malam mereka tak bentrok satu pada lain.
Diwaktu siang, mereka ada punya cara hormat sendiri. Bulu angsa itu mesti ditancap disamping kuping kiri.
Pada sore itu, rumah penginapan ada berisik dari banyak nya tetamu, tandanya hotel itu ada maju sekali. Adalah selewatnya waktu dahar, baharu keadaan jadi agak reda.
Ngo Cong Gie lantas minta Chio In io kepalai mereka
untuk atur siasat. In Po menampik, dengan kata ia tidak
sanggup. Selagi piauwsoe ini dibujuk oleh yang lain2, satu jongos membuka pintu dan masuk kedalam.
"Eh, kau mau apa?" tanya Ciok Liong yang duduk
disamping pintu. Jongos itu tidak menyahuti, ia jalan terus sambil tunduk dengan lantas ia singkap moeilie akan masuk kekamar
terusan di mana ada si dua saudagar orang Kwietang.
"Aduh!" demikian satu suara jeritan. "Kau gila!"
Nyata jongos itu telah bertabrakan dengan satu saudagar, yang berada dibelakang moeilie. Maka Liong Jiang duga kedua saudagar itu sedang curi dengar pembicaraan
mereka. Ia lantas kedipkan mata pada kawan nya. Tetapi Soe ma Sioe Ciang memberi tanda dengan tangan, untuk ia periksa kamarnya si dua saudagar. Ia mengerti ia terus singkap moeilie akan melongok kedalam. Si saudagar she Kim bersenyum, tetapi kawannya, si orang she Kan,
kerutkan dahi, matanya memandang dengan mendongkol
pada jongos itu. "Tuan2, teh ini belum diminum habis," kata jongos itu tanpa perdulikan sikap orang. "Sebentar dapur hendak
dimatikan" Selagi berkata demikian, matanya "menyapu" seluruh
kamar. Liong Jiang curiga, ia gapekan Ngo Cong Gie, ia
menunjuk kedalam kamar. Cong Gie segera berloncat
kemoeilie, niat nya untuk mengintai, tetapi tahu Liong Jiang menyingkapnya dengan tiba2 Ngo Cong Gie terpaksa bertindak masuk kedalam kamarnya kedua saudagar itu.
Kebetulan itu waktu, si jongos mengulet dan menguap,
ke dua tangannya dipentang.
"Eh, kau dapat pelajaran dari mana didepan tetamu
berani ngulet?" Ngo Cong Gie menegur.
"Aku bekerja capai seharian, tuan, mustahil aku berani berlaku kurang ajar didepan tetamu," sahut jongos itu. Ia terus jalan disampingnya Chio Piauwsoe, akan pergi keluar.
Ngo Cong Gie bercuriga, tetapi ia belum bisa menduga
apa2. Ia pun belum sempat berpikir atau satu saudagar berkata, kapan ketahuan penjahat arah mereka, dia minta agar mereka tidak dibelakangi.
"Tidak, tidak apa ," sahut Cong Gie. "Kami cuma
waspada saja." "Syukur kalau begitu," kata kedua saudagar itu.
Cong Gie lantas ajak kawannya duduk pula. Baharu
mereka duduk atau satu jongos datang menanyakan air teh.
"Kami tidak perlu lagi. Apa tadi kawanmu tidak
beritahu?" Cong Gie tanya.
Jongos itu melengak. "Jumlah kami berempat" kata ia. "Aku berdua gantikan
dua kawan kami yang giliran bersantap, satu kawanku
sedang disuruh belanja, aku sendiri melayani tetamu. Siapa datang kemari?"
"Ah, kau keliru dengar," kata Chio In Po, yang cegah
Cong Gie bicara pula. "Piauwsoe ini omong dari hal
Sebelum waktu nya dahar. Kami tidak membutuhkan air
lagi, kau boleh undurkan diri."
Jongos itu menurut, ia berlalu.
Chio In Po gapaikan Cong Gie dikuping siapa ia terus
berbisik "Ngo Jie tee, tidak perlu kau jelaskan jongos tadi.
Jongos yang tadi ada mata2 musuh, yang menyamar
menjadi jongos disini."
"Ya, akupun telah bercuriga," Cong Gie jawab.
"Apa dia bikin dalam kamar?"
"Dia memandang kelilingan kamar, lantas dia mengulet." In Po dan Teng Kiam terkejut.
"Ah, disini dia berani mainkan peranannya?" kata
mereka. "Mereka betul bukan orang sembarangan. Kita
harus bersiap dan waspada, atau kita nanti kena
dirubuhkan. Ngo Jie tee, silahkan kau mengatur!"
"Sebenarnya tanda apakah jongos tetiron itu tinggalkan?" Cong Gie tanya. "Kau pasti tidak sangka, Jie tee," sahut In Po. "Jongos palsu itu bukan anggauta
sembarangan, dia adalah yang dibilang uang hitam atau hoei cat, penjahat terbang. Dia tadi menggunai ilmu ukur liang thian cio. Jarang orang kang ouw yang mengerti ilmu ini, akan ukur keletakan barang yang diarah. Dia pun
bernyali sangat besar, dia berani bertingkah demikian didepan kita. Rupanya dia menganggap diantara kita tidak ada yang mengerti kepandaian itu. Sudah pasti mereka
bakal turun tangan, kalau tidak sebentar, tentu besok malam. Aku ingin sekali saksikan mereka itu!"
"Tetapi thian liang cio bukannya keanehan," kata Hoei too Louw Kian Tong. "Kepandaian itu membutuhkan
ketepatan tangan, yang dilonjorkan sambil ber pura2
mengulet memainkan pinggang, dengan begitu, jaraknya
seluruh kamar dapat diketahui, hingga asal kita membuka genteng, kita bisa tahu letaknya barang yang hendak dicuri, yang bisa dibawa pergi tanpa tuan rumah ketahui...."
Dua saudara Soen, Giok Kong dan Giok Koen, kagum.
Selagi Louw Kian Tong bicara, In Po, Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang sudah mulai mengatur, yalah mereka
dipecah dalam dua rombongan yang satu menjaga,
rombongan lainnya melayani musuh. Jongos pun segera
dipesan untuk jangan mengganggu, katanya mereka hendak tidur siang2.
Pada jam dua lewat, tidak saja sekalian penumpang,
pintu hotel juga sudah ditutup, tapi tidak lama. pintu digedor. Nyata yang datang ada dua orang dari antara
rombongan tetamu yang dicurigakan itu. Ketika kawanan piauwsoe mengintai, mereka dapati seorang umur kurang lebih tiga puluh tahun, mukanya merah, jidatnya codet, dan yang satu lagi umurnya dua puluh lebih, tubuhnya kurus kering. Diantara cahaya api, mata mereka bersinar tajam.
Mereka masuk kekamar mereka, kemudian jongos
mengundurkan diri. Ngo Cong Gie kisiki kedua saudagar untuk mereka tetap tenang, jangan perdulikan kejadian apa juga. Mereka ini terpaksa menurut, walaupun hati mereka goncang.
Api diluar kamar dibikin menjadi suram.
Orang tak usah menunggu lama akan segera dengar
suara berkelisik pelahan sekali dipeka rangan dalam, dari orang yang melesat melewati pintu, naik ke atas kamar. Dia pakai baju hijau ringkas, menggendol golok sebatang, bekal kantong piauw. Dia tepuk tangan dengan pelahan tiga kali, tetapi tanpa tunggu kawannya muncul, dia mendahului
loncat turun, akan tolak pintu kamar dan masuk
kedalamnya. Chio In Po duga jumlah musuh ada empat, lantas ia
memberi tanda, atas mana, kawan2nya segera maju,
begitupun ia sendiri. Louw Kian Tong dan Ke Siauw Coan menuju kejendela
belakang, In Po dan Ngo Cong Gie kejendela depan dan
pintu. Teng Kiam diminta pasang mata diatas genteng.
Didalam amar, yang apinya remeng2, kelihatan
berkumpul empat orang, yang asyik bicara dengan pelahan, tetapi diwaktu sunyi seperti itu dan dari jarak cu kup dekat, suara mereka toh terdengar nyata juga.
Orang yang tadi menyamar sebagai jongos, yang pandai
ilmu ukur liang thian cio, berkata pada tiga kawannya
"Ketua bilang malam ini dia akan sampai di Pek hok ek, akan tetapi sampai sekarang dia belum juga datang, sebab kita tidak boleh sia siakan tempo, mari kita turun tangan"
"Aku kira lebih baik kita tunggu dulu, soeheng," kata orang dengan golok dibebokong. "Kalau kita kecele,
sungguh hebat. Kau tahu sendiri, pada mereka ada turut orang2 Hoay Yang Pay. Kalau ketua datang, kita bisa
berdamai dulu. Umpama kita lantas bekerja, berhasil kita cuma dapat pujian tapi kalau gagal, nama ketua bisa
runtuh" "Ah, Yap Soeheng!" kata si kurus kering sambil tertawa dingin, "kenapa kau mengangkat lain orang dan berbareng tindih pihak sendiri" Bisa jadi mereka gagah tetapi mustahil kita tak sanggup tapi mustahil kita tak sanggup lawan mereka" Aku tidak kuatirkan orang2 Hoay Yang Pay itu, sebab ketuanya sudah berangkat ke Cap jie Lian hoan ouw, yang berangkat belakangan tak ada yang liehay. Mari kita bekerja, umpama kita gagal, kita masih bisa menguntit terus sampai ketua datang"
"Ya, kita sudah datang, mari kita mencobanya!" kata si jongos tetiron. "Kita jangan pikirkan kemenangan atau kekalahan, kita coba dulu, andai kata kita terdesak, kita boleh mundur teratur akan. tunggui ketua kita"
Mereka berunding terus, sampai akhirnya diambil
keputusan, mereka akan bekerja juga sebentar selewatnya
jam tiga. Sama sekali mereka tidak sangka, orang telah mencuri dengar pembicaraannya itu.
Chio In Po dan Ngo Cong Gie lantas kasi tanda untuk
kawan2nya undurkan diri, untuk berdamai dan mengatur
diri.!" LV Pada jam tiga hotel telah menjadi sunyi sekali, rupanya semua tetamu sudahi tidur nyenyak, kecuali kawanan
penjahat itu serta rombongannya piauwsoe dan boesoe.
Yang belakangan ini pa ia bersembunyi diluar kamar.
Sebentar kemudian kelihatan pintu terbuka, lalu muncul tiga bayangan dengan gerakannya gesit semua. Ngo Cong Gie dan Chio In Po dapatkan orang dengan jidat bercacat tidak ada diantara tiga orang itu. Dan Piauwsoe Teng
Kiam, yang sembunyi diatas genteng, terkejut ketika tahu2
bayangan itu memecah diri ketiga jurusan, satu diantaranya naik kearah ia. Syukur ia mendekam ditempat yang gelap, hingga orang tak dapat melihat padanya. Orang itu ada si kurus kering, ialah Coan thian Auw coe Lioe Seng si Alap alap. Dia rupanya tidak menyangka jelek, walaupun liehay, dia tak melihat piauwsoe itu.
Tiga penjahat itu kemudian berkumpul pula, sebab
mereka naik keatas untuk periksa suasana. Yang dua lagi adalah Biauw chioe Sian wan Cio Cin si Kunyuk Sakti dan Hek sim long Ouw Tong si Srigala Hitam, yang tidak turut keluar adalah Giok bin Sin hiauw Yap Thian Lay si Kokok beluk Sakti. Ketua mereka, yang disebut2, yang belum
datang, adalah Twie hong Tiat cie tiauw Hauw Thian Hoei si Garuda Besi. Dia ini tak pernah di sangka2 oleh
rombongan piauwsoe itu. Hauw Thian Hoei ada satu penjahat besar dari


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbatasan See coan dan Siamsay, namanya kesohor,
saking gesitnya, dia di sohorkan bisa mencuri diseribu rumah dalam satu malam. Dia punyakan dua soetee, adik seperguruan, yalah Yap Thian Lay dan Lioe Seng. Mereka bertiga adalah yang digelarkan Cin tiong Sam Niauw, atau Tiga Burung Siamsay. Selama belasan tahun belum pernah mereka nampak kegagalan. Thian Hoei sendiri tidak pernah keluar untuk beker ja bila bukan "pekerjaan besar." Cio Cin dan Ouw Tong adalah kawan kekalnya mereka, mereka
inilah yang ketahui, kawanan piauwsoe itu mengantar harta besar, seharga belasan laksa tail, hingga Thian Hoei ke tarik untuk turun tangan. Malah Thian Hoei pikir, apabila ia berhasil, selanjutnya ia hendak tinggal bertani saja, tak sudi muncul pula dalam dunya kang ouw.
Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang ada piauwsoe2
berpengalaman, sukar untuk diganggu mereka, maka itu
mereka telah dikuntit terus sampai di Sek coe kwan. Thian Lay dan Lioe Seng menghadapi kesulitan karena
rombongan piauwsoe itu gabungkan diri dengan rombongan Hoay Yang Pay. Karena ini, mereka tidak mau ayal lagi, mereka paksa hendak turun tangan tanpa tunggui lagi Thian Hoei. Begitulah hotel Eng An mau di jadikan tempat bekerja mereka.
Cio Cin minta Lioe Seng dan ouw Tong pasang mata, ia
yang hendak turun tangan. Untuk tidak berlaku sembrono, ia pergi kejendela belakang, lebih dulu ia pasang kuping, baharu ia mengintai kedalam kamar yang diterangi api
hingga ia bisa melihat lima piauwsoe yang sedang tidur nyenyak, dua diatas pembaringan asing2, tiga dikaki
tembok sebelah Barat. Ia tidak perdulikan bahwa orang tidur tanpa salin pakaian.
Kemudian, dikamar sebelah dalam, Cio Cin lihat dua
saudagar Kwietang sedang tidur nyenyak juga, hingga
hatinya menjadi tambah lega.
Sesudah anggap saatnya telah tiba untuk bekerja, Cio
Cin naik pula kegenteng. Ia memberi tanda pada Lioe Seng, lantas ia mencari jurusan dimana barang berharga diletaki didalam kamar. Cari kantong wasiatnya, pek poo long, ia keluarkan gergaji. Ia pun lantas bongkar dua lembar
genteng, ia kutungkan kaso. Ia tak terbitkan suara apa juga, debupun tidak meluruk jatuh. Sampai disitu ia beri tanda pada dua kawannya, lalu ia melompat turun kedalam
kamar dengan ceploskan diri diliang genteng itu. Ia sampai dibawah tanpa kedua saudagar Kwietang itu mendusin
tidurnya. Maka itu, setelah bangkit, ia ulur tangannya kepada peti berharga.
Tiba2 ada terdengar suara di atas pembaringan, suara
dari tubuh yang berbalik, disusul dengan kata2 "Barang yang bagus!"
Biar bagaimana, Cio Cin toh terkejut juga, lekas lekas ia jongkok,
sebelah tangannya merabah pada golok dibebokongnya. Tapi segera ia kaget tak terkira, sebab tangannya merabah tempat kosong, senjatanya telah tidak ada, sehingga ia keluarkan keringat dingin. Ia tahu betul ia membawa goloknya itu, tadipun masih ada.
"Apakah aku sedang hadapi musuh liehay?" ia men
duga2. Ia tabahkan hati, ia angkat sedikit tubuhnya akan melihat kedua saudagar Kwietang itu, yang tetap masih rebah tidur, rupanya tadi satu diantaranya berbalik badan dan ngigo saja. Hatinya jadi tenang pula, sambil berdiri ia awasi peti berharga, yang ketindihan peti yang ketiga, hingga untuk mengambil itu ia mesti singkirkan dulu tiga peti diatasnya.
"Biarlah!" pikir ia, yang terus tidak gubris goloknya lenyap tak keruan paran. Ia menjadi nekat. Barang dulu, golok belakangan, ia berkeputusan. Ia lantas bekerja. Peti pertama segera dikasi turun. Ketika ia rabah peti yang
kedua, angin meniup dari belakangnya. Ia segera menoleh, ia tampak moeilie tergoyang sedikit, apipun hampir padam.
Ia loncat kepintu, ia melihat kearah luar. Diluar segala apa ada gelap. Maka ia putar tubuh pula untuk kembali kepeti.
Atau tiba2 ia dengar "Hm, sahabat baik, kau benar bernyali besar! Tapi sekali ini kau mesti mengaku kalah!"
Bukan kepalang kagetnya Cio Cin. Itulah suara dari atas pembaringan, dari dua saudagar Kwietang. Ia insaf bahwa ia telah kena dipermainkan. Disaat ia hendak angkat kaki, tahu2 ia sudah kena ditubruk, dipeluk keras. Ia rapatkan kedua tangan nya, ia ciutkan tubuhnya, lantas ia berontak dengan tipu "Pa ong gie kah," atau "Couw Pa Ong
meloloskan juba perang." Inilah tipu meloloskan rangkulan yang tangkas dan licin.
Nyatalah dua saudagar itu ada saudagar2 titiron, mereka sebenarnya ada dua saudara Soen, Giok Koen dan Giok
Kong, yang menyamar, untuk menjaga orang jahat. Ketika moeilie tertiup angin, mereka dapat melihat, malah mereka lihat satu bayangan berkelebat, melainkan mereka tidak tahu, bayangan itu bagaimana datang dan perginya, hingga mereka jadi kuatir. Karena ini, mereka tidak berani ayal ayalan, disaat Cio Cin terkejut, mereka berbangkit dan menubruk. Tapi mereka tidak nyana, penjahat ini sangat licin. dengan gerakannya yang istimewa itu, dia bisa
loloskan diri dan loncat keatas, ke arah lobang genteng.
Disaat kepalanya Cio Cin baharu muncul dimuka
genteng. tiba2 ia dengar bentakan "Turun!" Bentakan itu bengis dan seram. Kembali Cio Cin kaget, apapula kapan ia lihat serupa benda menyamber kepadanya. Ia jadi bingung, ia tak bisa berbuat lain daripada terpaksa turun pula.
Sembari turun ia serukan "Pundak rata, cucu benang
angker, nyalakan, panggil!"
Dua saudara Soen lihat orang turun pula sambil buka
suara, mereka tidak berani berlaku sembrono, bukannya menerjang, mereka sebaliknya mundur kesamping. Karena ini, penjahat itu jadi luput dari bahaya. hingga ia bisa enjot pula tubuhnya akan kembali mencelat naik keliang genteng, cuma sekali ini ia tidak terus molos keluar, ia hanya samber kaso untuk berpegangan. Lagi ia berseru dengan
pertandaannya kepada kawannya.
Diatas genteng, dimulut liang, ada Ouw Tong yang
menjaga. Dia ini pun telah dapat pengalaman luar biasa.
Dia lihat kawannya sudah turun kedalam kamar, dia
hampirkan liang genteng itu, dia bisa lihat kawan nya geser peti yang pertama. Selagi dia mengawasi, dia merasa seperti ada orang betot padanya lantas dia berpaling kebelakang.
Dia melihat suatu bayangan d yumpalitan kebawah payon, dia menguber, sesampainya dipayon, bayangan itu lenyap, sebagai gantinya dia dapati Lioe Seng sedang pasang mata.
Dia tidak berani tanya kawan ini apa tadi ada orang turun, sebab dengan saudara itu diam saja, dia percaya disitu tidak ada orang lain. Maka dia putar tubuh untuk kembali
kemulut genteng. Justeru itu dia tampak satu bayangan berkelebat, loncat keliang genteng. Dia terperanjat, hingga dia berseru dalam hatinya "Siapa dia" Kalau dia ada orang kang ouw, dia sangat liehay Selagi berpikir, dia dengar suaranya Cio Cin, maka lekas dia menghampirkan pula
kemulut liang genteng itu. Dia lantas kata "Pundak rata, angin keras, lekas keluar dari dapur!"
Cio Cin keluar dengan ctepat, segera ia memberi tanda kepada kawannya ini, maka berdua mereka hampirkan Lioe Seng, untuk diberitahukan ada gangguan dari pihak tak dikenal. Oleh karena mereka penasaran, mereka lantas
berpencar pula, akan mencari si pengganggu itu, yang tadi merupakan hanya satu bayangan hitam.
Louw Kian Tong dan Ke Siauw Coan ditempat
sembunyinya juga tampak satu bayangan berkelebat tak
jauh dari mereka, namun mereka tak bisa melihat tegas, kemudian mereka lihat penjahat yang masuk kedalam
kamar telah keluar pula, maka Kian Tong lantas muncul akan melihat, apa mau, sesampainya dibelakang, kedua
pihak bersomplokan, hingga ia tidak bisa menyingkir lagi.
Biauw chioe Sian wan Cio Cin gagal dalam usahanya, ia ada sangat mendongkol, kapan ia melihat ada orang, ia sudah lantas siapkan dua batang piauw, ia menyerang
dengan beruntun. Kian Tong kaget karena serangan mendadak itu, ketika
ia berkelit piauw yang mengarah kedadanya, pundaknya
kena keserempet sedikit, akan tetapi piauw yang
menyamber kebawah, ia tidak dapat luputkan, paha kirinya kena kesamber, masih untung ia keburu berkelit, walaupun demikian, ia mundur, tubuhnya limbung.
Siauw Coan samber tangan kanan kawannya, dengan
demikian ia dapat cegah kawannya itu rubuh dari atas
genteng. "Penjahat nyali besar, awas!" berteriak Siauw Coan,
yang segera menyerang dengan bandringnya Cap sha ciat Lian coe chio, hingga gelang2nya perdengarkan suara
nyaring. Cio Cin ibuk juga, dengan lenyapnya goloknya ia jadi
bertangan kosong. Dalam keadaan terdesak, sulit untuk ia gunai senjata rahasia. Ia berkelit ke kiri, dari mana ia ulur tangan kanannya coba samber bandringan musuhnya.
Ke Siauw Coan tidak punyakan tipu2 istimewa dengan
senjatanya lian coe chio itu, tetapi karena senjata itu ia sudah pakai lebih kurang dua puluh tahun, ia bisa
memainkannya dengan gesit. Maka melihat serangannya
tak berhasil dan orang berniat merampasnya, segera ia menarik pulang untuk terus dipakai melilit lengan
musuhnya. Ia gunai tipu "Ouw liong poan coe" atau "Naga hitam melilit tihang."
Cio Cin mencelat mundur untuk tolong diri. Tapi Siauw Coan tidak mau mengasi hati, ia mendesak, sekali ini
dengan "Ouw liong coan tah" atau "Naga hitam
menembusi pagoda." Ujung bandringnya yang tajam,
memang bisa dipakai sebagai tumbak.
Dalam ancaman malapetaka itu, terpaksa Cio Cin buang
dirinya kebawah rumah, kalau tidak, dia pasti akan kena tertikam. Dia kuatir nanti terbitkan suara berisik, maka untuk singkirkan diri, dia mencelat ketem bok kate
disebelah Barat. Pada waktu itu Lioe Seng sedang sibuk sekali dikepung Ngo Cong Gie dan Chio In Po.
Yap Thian Lay tidak setujui sikap dua kawannya, ia
antap mereka yang bekerja, akan tetapi setelah lihat kawan2
itu terancam, ia tidak bisa menonton saja, maka ia muncul akan terus bacok bebokongnya Chio In Po. Sedari tadi ia memang sudah mengintai dari jendela.
Chio In Po ketahui ada orang bokong padanya, ia
berkelit dengan maju kedepan, seraya membalik tubuh
dengan lompatan "Giok bong hoan sin" atau "Ular naga
putar tubuh." Setelah bacokan musuh lewat, dengan "Kim tiauw hian jiauw" atau "Garuda emas sodorkan kuku," ia tabas bahu kanan musuh nya dengan tangannya yang kiri.
Yap Thian Lay tarik pulang tangannya sambil loncat
seraya memutar tubuh, dengan gerakan "Kian nyauw soan oh" atau "Burung memutari sarang." Karena ini, ia jadi mendekati Ngo Cong Gie, yang ia lantas serang.
Ngo Cong Gie lihat serangan ada hebat, ia tidak berani keras lawan keras, ia berkelit.
Tetapi juga Yap Thian Lay tidak menyerang terus, ia
hanya menggunai ipu. Ia berlompat mundur untuk terus
menyingkir. Ia ingin pancing lawan ini men jauhkan diri dari hotel, untuk tidak bikin pihak hotel kaget karena pertempuran mereka. Selagi ia mendekati tembok untuk
loncat naik keatasnya, dari lain jurusan ada satu bayangan menyamber melewati atasan kepalanya, ia rasakan
kepalanya itu seperti kesamber angin, hingga ia heran.
Karena ini, gerakannya menjadi bertambat sedikit, hingga ia kesusul oleh Lioe Seng, dan kemudian pun, oleh Ouw Tong dan Cio Cin. Yang belakangan ini kecuali senjatanya lenyap pun ada terluka sedikit.
Sementara itu didalam kamar, rombongannya Sam cay
kiam Soe ma Sioe Ciang, yang bertugas menjagai barang2
berharga telah dapat ganguan juga, malah gangguan yang hebat kesudahannya.
Bersama2 Thay kek kiam Lioe Hong Coen, Soe ma Sioe
Ciang atur penjagaan. Ciok Liong Jiang bersama Kee Giok Tong dan Kim Hoo diminta menjaga dijendela, depan dan belakang. Walaupun penjagaan ada sempurna, malah satu penjahat kena disergap, akhirnya toh penjahat itu lolos.
"Penjahat itu licin," kata Soe ma Sioe Ciang, yang
gapekan Ciok Liong Jiang. "Sayang dia bisa lolos.
Barangkali diluar orang sudah mulai bertempur, aku ada sedikit berkuatir...."
"Mustahil kita mesti rubuh ditangan mereka?" kata Lioe Hong Coen dengan mendongkol. "Umpama kita tidak
dapat bereskan mereka, sedikitnya mereka harus dikasi rasa!"
Baharu orang she Lioe ini tutup mulutnya, ia dengar ada suara dibelakangnya, tetapi waktu ia menoleh, ia tidak lihat apa juga, hanya menyusul itu, dari lobang diatas genteng ada meluruk debu. Lobang tadi memang belum ditutup.
"Lihat, musuh benar liehay," Kata Hong Coen.
"Baiknya kita sudah siap sedia." Ia bicara pada Liong Jiang.
"Aku ingin melihat bagaimana orang bikin lobangnya,"
Soe ma Sioe Ciang berbisik.
Diwaktu mereka bicara itu tiba tiba terdengar suara
nyaring dipayon rumah, disusul dengan berkelebat nyalanya api.
"Celaka!" berseru Giok Koen dan Giok Kong, yang
paling dulu lihat api. Malah api sudah lantas membakar kertas tempelan. "Orang ganggu kita, jangan kasi dia lolos!"
Dua saudara ini melonyat kejendela akan gempur api,
tapi karena jendela kena dihajar, leatu apinya meletik dan pindah menyala dilain bagian, hingga mereka jadi sibuk.
Kim Hoo dan Kee Giok Tong meloncat kepintu, Giok
Tong tendang daun pintu hingga menjeblak, ia loncat keluar dengan disusul kawannya. Soe ma Sioe Ciang turut loncat keluar juga, ia gempur api dijendela kiri.
Mereka telah terbitkan suara berisik, ada tetamu2 lainnya yang terbangun dari tidurnya, mereka kaget dan heran, tetapi Giok Tong segera bentak mereka untuk jangan keluar akan mencampur tahu urusan lain orang.
Bertujuh mereka padamkan api dan mencari si orang
jahat yang melepas api itu, yang nampaknya liehay sekali.
"Jangan semuanya keluar!" Lioe Hong Coen peringatkan. Ia kata ia kuatir itu adalah tipu daya musuh memancing harimau turun dari gunung.
Mendengar pemberian ingat ini, Soe ma Sioe Ciang
terkejut. Memang mereka sudah alpakan tugas mereka
melindungi barang berharga. Maka ia lantas lari kekamar dari dalam mana segera terdengar panggilannya "Lioe
Loosoe, mari!" Lioe Hong Coen lompat kedalam, akan melihat muka
sahabat nya pucat, sahabat itu sedang berdiri menjublek, matanya diarahkan pada peti2 barang mereka, yang sudah kurang satu.
"Celaka!" ia berseru. "Kita kena dirubuhkan!...."
LVI Benar2 penjahat sudah gunakan akal "Memancing
harimau meninggalkan gunung." Dari susunan peti, yang ke empat, yang paling kecil, tapi pun paling berharga, sudah lenyap. Pencurian itu menyatakan liehaynya si penjahat.
"Habis sudah! Mana kita masih punyakan muka akan
hidup lebih lama?" Mengeluh Thay kek kiam Lioe Hong
Coen sambil mem banting2 kaki.
Liong Jiang muncul atas seruan Soe ma Sioe Ciang, ia
pun menghela napas menampak lenyapnya peti permata
itu. "Aku tidak menyangka bahwa kita semua pergi keluar,"
kata ia. "Tentunya penjahat belum pergi jauh, mari kita kejar mereka!"
Tanpa menjawab, Soe ma Sioe Ciang loncat naik keatas
genteng, ketika ia menongol dimulut lobang, ia lihat malam
ada sunyi. Ia naik terus keatas genteng, akan memandang kesekitarnya. Ia heran akan tak dapati salah satu piauwsoe.
"Lioe Loosoe, lekas kejar penjahat!" ia teriaki.
"Mungkin ia sudah pergi jauh...."
Lioe Hong Coen sudah lantas keluar, walaupun ia ada
sangat mendongkol, malu dan putus asa. Ia datang untuk bantu Hoay Yang Pay, ia tidak sangka disini ia kena orang rubuhkan. Ia ajak Liong Jiang untuk pergi bersama, sedang yang lain2 ia minta suka jaga lainnya peti.
Liong Jiang ikut meloncat naik keatas genteng. Setelah mencari kelilingan, mereka melihat dua bayangan berbaris diujung Barat utara, maka kesana berdua mereka menyusul.
Baharu mereka lewati tembok hotel, disitu kelihatan dua bayangan berkelebat didepannya, hingga mereka berseru dengan tegurannya.
Dua bayangan itu adalah dua saudara Soen, Giok Koen
dan Giok Kong. "Kami berdua turut Kee Loosoe dan Kim Loosoe
mengejar ke Barat utara sana, tapi tadi Kee Loosoe minta kami kembali untuk menjaga kamar," kata Giok Koen.
"Baiklah," kata Soe ma Sioe Ciang sambil manggut.
Setelah dua saudara itu pergi, Soe ma Sioe Ciang dan
Lioe Hong Coen maju terus. Rumah2 ada gelap dan sunyi, menandakan penghuni2nya sudah pada tidur. Mereka maju terus. Mereka tidak pernah pikir bahwa mereka sebenarnya sudah terpencar dengan yang lain2nya.
Lewat lagi dua rumah, tiba2 mereka dirintangi oleh satu bayangan yang muncul dari satu pojokan. Bayangan itu
bersen jatakan golok yang tajam di dua muka, dia serang Soe ma Sioe Ciang yang berada disebelah kanan
sahabatnya. "Awas!" berseru Lioe Hong Coen.
Soe ma Sioe Ciang pun ketahui serangan itu, ia berkelit kekiri, dari mana ia balas menyerang dengan tabasan
kepada lengan penyerangnya.
Bayangan itu liehay, gerakan nya sangat gesit. Ia tarik pulang tangannya, ia lompat kekanan akan menikam iga
kiri lawannya. Adalah maksudnya Soe ma Sioe Ciang akan mendesak,
tetapi Lioe Hong Coen telah serukan padanya "Jietee,
mundur, kasi aku yang membereskannya!" Dan seruan ini dibarengi dengan loncatan tubuh dan serangan pedang.
Cahayanya senjata itu berkelebat menyamber tenggorokan.
Bayangan itu adalah Coan thian Auw coe Lioe Seng.
Tadi ia dapat loloskan diri dari kepungan rombongan
piauwsoe, lantas ia kembali kehotel. Ia percaya ia sudah berhasil pancing keluar sekalian piauwsoe, hingga kamar jadi kosong. Ia harap nanti bisa curi barang yang ia arah.
Tapi nyata ia bersomplokan kepada Soe ma Sioe Ciang dan Lioe Hong Coen, hingga ia mesti layani dua lawan itu, dengan bergantian.
Lioe Hong Coen mainkan pedangnya dengan cepat,
tetapi juga Lioe Seng tidak mau kalah gesit. Lioe Hong Coen jadi penasran, ia mendesak, satu kali senjata mereka beradu hingga menerbitkan suara keras dan lelatu apinya meletik.
Soe ma Sioe Ciang menyaksikan sekian lama, ia kuatir
penjahat itu lolos, ia maju pula sambil membentak.
Lioe Seng yang dikepung dengan berani tangkis serangan itu, selagi begitu, Lioe Hong Coen membarengi serang
padanya, maka dilain saat, ia jadi kewalahan juga, tidak perduli ia ada sangat gesit.
Lioe Hong Coen mendesak terus, ia nampaknya tak mau
sia2 tempo akan kasi ketika pada penjahat itu, gerakan siapa makin lama jadi makin lambat. Disamping ia Soe ma Sioe Ciang juga tidak diam saja.
Satu kali Lioe Seng terancam oleh senjatanya Lioe Hong Coen, tetapi tiba2 dari belakang rumah, dari tempat gelap, terdengar suara tertawa menghina disusuli dengan jengekan
"Dua lawan satu, itulah tidak benar! Awas!"
Mendengar itu Lioe Hong Coen segera berkelit kekanan, hingga senjata rahasia, yang dipakai membokong ia, jatuh keatas genteng dengan menerbitkan suara, hingga ketahuan, itu adalah batu hoei hong cio.
Menggunai ketika orang berlompat, Lioe Seng juga
loncat keluar kalangan jauhnya kurang lebih dua tumbak.
"Manusia rendah, kau membokong, kau ada satu pit
hoe!" Soe ma Sioe Ciang tegur musuh yang tidak kelihatan itu.
Suara tertawa menyadi adalah jawaban untuk teguran
itu, selagi orangnya tidak juga muncul, suaranya terdengar pula "Mulutnya jahat, aku nanti kasi presen juga padamu!"
Dan sebuah batu lainnya lantas menyamber.
Soe ma Sioe Ciang meloncat kesamping, untuk kasi
lewat serangan itu. Lioe Seng jadi senggang karena datangnya gangguan
orang yang tidak nampakkan diri itu yang ia duga ada
kawan. sendiri. Iapun tahu datangnya batu ada dari sebelah Timur utara, dari atas rumah dimana ada satu papan
merek. Maka lantas berloncat dan berlari sana. Selagi ia mendekati lagi enam atau tujuh kaki, tiba2 ia dengar
bentakan "Pergi menggelinding turun, makhluk tak tahu malu!"
Itulah bukannya suara kawan karenanya, Coan thian
Auw coe jadi heran sekali.
"Awas!" demikian bentakan susulan.
Lioe Seng segera berkelit, tapi hampir saja ia tak dapat lolos. Ia bingung betul. Kalau orang itu bukan kawan, kenapa tadi ia ditolong" Kalau tadi ia ditolong kenapa sekarang ia diserang"
Dengan pikiran ragu2, Lioe Seng lari kearah Timur. Ia ingin mutar kebelakang akan lihat siapa sebenarnya orang itu.
"Kau semua mencari mampus! Awas!"
Demikian bentakan pula, ketika Coan thian Auw coe
baharu sampai dibelakang, selagi jarak diantara mereka masih jauh. Karena sebuah batu telah menyamber, terpaksa ia mendek. Tetapi ia kalah sebat, ikat kepalanya kena kesamber, benar ia tidak terluka, tetapi ia toh kaget juga. Ia insaf liehaynya orang tak dikenal itu. Sebenarnya ia
keluarkan keringat dingin tetapi toh ia segera lompat untuk jauhkan diri, ia berlari2 dengan kupingnya dengar samberan angin dari beberapa batu lainnya, yang jatuh kegenteng.
Ketika satu kali ia berpaling, ia melihat satu bayangan loncat keluar dari arah Timur utara.
"Aku mesti tahu diri," pikir penjahat ini, yang jeri untuk cari tahu siapa adanya bayangan itu. Maka ia kembali
kehotel, dengan niatan pulang kekamar nya. Ia baharu
lewati dua rumah ketika dari belakangnya, dari samping, melesat lewat satu bayangan dengan suaranya "Pergilah tidur biar nyenyak! Kau mesti tinggalkan muka terang
untuk gurumu!" "Sahabat, kau siapa?" ia tanya. Ia melompat akan berdiri diam ditempat jauhnya beberapa tumbak.
"Makhluk harus dihajar! Apakah kau masih hendak
dihajar?" Kata2 itu belum habis dikeluarkan, atau sebutir hoei
hong cio sudah menyamber pula, hingga Lioe Seng menjadi kaget, lantas ia berkelit. Karena insaf orang itu ada sangat liehay, dengan terbirit2 ia lari kehotelnya.
Selama itu, Soe ma Sioe Ciang dan Lioe Hong Coen,
tidak tinggal diam karena ada orang ganggu mereka,
dengan memecah diri kekiri dan kanan, mereka hendak cari orang tidak dikenal itu. Merekapun sudah siap dengan
senjata rahasia masing2. Kedua pihak sudah lantas berdiri berhadapan sesudahnya orang itu usir Lioe Seng, berdiri di jarak tiga tumbak lebih, orang itu menggape2.
Soe ma Sioe Ciang dengan gusar, ia membentak "Pit
hoe, kau permainkan Jie thay ya! Kau harus diberi ajaran!"


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia lompat mendekati. Lioe Hong Coen juga maju.
Orang itu berlompat mundur, dua kali, mereka tetap
terpisah tiga tumbak lebih, setelah ini, baru ia perdengarkan pula suaranya "Sahabat2, jikalau kau tidak puas, mari turut aku! Aku akan ajak kau kekedua tempat supaya kau dapat tambah pengalaman!"
Lioe Hong Coen mendongkol, dengan gusar ia kata
"Aku Lioe Hong Coen pernah ketemui orang2 kosen yang
kesohor tapi belum pernah lihat pithoe semacam kau, yang main sembunyi2. Kemanapun kau lari, aku akan
menyusulnya!" Hong Coen mengejar dengan diturut oleh kawannya.
Orang didepan itu bisa lari pesat sekali, akan tetapi beberapa kali ia berlaku ayal seperti hendak menunggui, hingga, karena merasa dirinya dipermainkan, dua boesoe itu jadi bertambah2 mendongkol dan gusar.
Sebentar saja mereka sudah melewati belasan rumah.
Soe ma Sioe Ciang dan Lioe Hong Coen kenal itu adalah jalan besar yang panjang di Pek hok ek. Kapan mereka
mengejar sampai dimulut pasar, bayangan itu lenyap
dengan tiba2. "Sudah, tak usah kita mengejar lebih jauh!" kata Lioe Hong Coen yang mendongkol tak terkira besarnya. "Aku
tidak nyana, setelah merantau belasan tahun hari ini kita rubuh. Tetapi, saudara, kau jangan kuatir, meskipun aku batalkan niatku membantu Hoay Yang Pay tetapi piauw ini harus didapatkan pulang! Setelah ini aku akan undurkan diri, aku tidak mau keluar pula...."
Soe ma Sioe Ciang hendak jawab kawan itu untuk
menghiburkan, tiba2 ada orang yang telah dului ia. Dari satu ujung, yang gelap, terdengar kata2 "Ah, kau pandang terlalu tinggi pada kawanan bangsat itu, kau bikin aku si tua bangka jadi mendeluh" Daripada bikin aku mati jengkel, baiklah kau lekas pulang kehotel dan tidur!"
Lioe Hong Coen terperanjat. Itulah seperti nasihatnya orang yang terlebih tua kepada yang terlebih muda.
"Loo enghiong, mohon kau nasihati kami dengan
berdepan," ia meminta. Tapi ia bicara seperti pada diri sendiri, tidak ada datang jawaban untuknya.
Soe ma Sioe Ciang penasaran, ia ajak kawannya
mencari, tetapi hasilnya sia2 saja.
"Kejadian malam ini aneh sekali," nyatakan Lioe Hong
Coen "Orang itupun ada gesit sekali. Marilah kita turut
kata2nya untuk pulang kehotel, untuk melihat disana. Kita telah menemui orang kang ouw yang liehay sekali."
Soe ma Syoe Ciang setuju, ia manggut.
"Marilah!" katanya. Selagi mereka mendekati hotel,
mereka lihat dua bayangan berkelebat dikiri dan kanan.
Segera mereka sembunyi akan pasang mata, untuk
mengetahui bayangan itu kawan atau lawan.
Kedua bayangan seperti baharu keluar dari hotel,
keduanya perdengarkan suara pelahan sekali.
Yang dikiri bertubuh kecil dan kurus, mirip dengan satu boca.
Yang dikanan lebih kate daripada orang kebanyakan,
tubuhnya kurus kering.....
"Diam, jie tee," Lioe Hong Coen bisiki kawannya, baju siapa ia tarik. "Mungkin satu diantaranya ada orang yang tadi...."
Orang yang dikiri berdiam di atas genteng, dan yang
dikanan tempelkan diri pada tembok hotel. Segera terdengar suaranya orang yang dikiri itu "Eh, sahabat, aku telah lihat padamu, jangan kau main iblis2an lagi! Kau membelai,
maka keluarlah! Kau mimpi jikalau kau memikir hendak
lolos dari tanganku si orang tua!"
Orang yang dikanan tertawa mengejek, ia jawab
"Kunyuk, tak nanti kehendakmu kesampaian! Kau tidak
merdeka lagi, jangan kau pikir untuk mabur!"
Sioe Ciang dan Hong Coen duga, orang itu bakal
hampirkan orang dikiri itu, tapi diluar dugaan mereka, dengan bikin mereka terkejut, dia justeru mencelat kearah mereka, sampai mereka tak sempat menyingkir akan
sembunyi lebih jauh. Nyata sekali orang ada sangat gesit.
Segera mereka dengar bentakan "Kenapa kau tidak dengar perkataanku si orang tua" Bangsat itu tak dapat dipandang enteng! Apakah kau ingin kena dihajar" ...."
Selagi orang itu mengucap demikian, orang yang dikiri sudah lompat mendekati. Maka si orang tua segera
menyambut "Kunyuk ini mencari mampus sendiri! Biar aku kirim dia pulang!...."
Kedua pihak sudah lantas datang dekat satu pada lain, pertempuran segera terjadi.
Thay kek kiam Lioe Hong Coen terperanjat apabila ia
saksikan caranya orang berkelahi, yang mirip dengan anak sedang memain. Nyatalah dua orang itu ada ahli2 yang
sedang adu kepandaian mengentengi tubuh.
Setelah menonton sampai tujuh atau delapan jurus, Lioe Hong Coen lantas dapat lihat perbedaan diantara meryeka.
Orang yang tadi berada disebelah kanan, si orang yang kurus dan usianya lanjut, mulai berada diatas angin. Pada si tubuh kecil dan kurus kering, sembari tertawa haha hihi, sembari menyerang terus, ia kata "Kunyuk, aku tahu kau biasa malang melintang di Barat utara, sebenarnya, aku niat cari kau untuk minta pengajaran darimu, untuk ketahui kau mempunyai kepandaian apa yang luar biasa, yang melebihi lain orang, aku tidak sangka sekarang kau datang kemari, ke Kanglam. Aku nanti bikin kau selain tak dapat beras pun akan mengganti karungnya! Kunyuk, apabila kau benar ada punya kepandaian, kau keluarkan lah itu!"
Pihak lawan itu rupanya gusar sekali, ia telah
perdengarkan suara, tetapi dengan pelahan, hingga. Lioe Hong Coen dan Soe ma Sioe Ciang tidak dapat dengar,
yang nyata tertampak adalah serangannya diperhebat.
Namun walaupun bagaimana, terang ia ada kalah gesit dan tangkas.
Selagi bertempur seru itu, dengan tidak merasa mereka mendekati tempat sembunyinya Hong Coen berdua, hingga kedua orang ini dengar nyata angin yang disebabkan
gerakan mereka. Mendengar suara angin itu, Soe ma Sioe Ciang ulur lidahnya bahna kagum dan lega hatinya. Tanpa si orang tua kurus itu, benar2 mereka terancam bahaya. Si kurus kering itu sangat liehay, sekalipun mereka beramai, tentu ada sukar untuk melawan dia.
Pertempuran berjalan terus, jurus demi jurus, sampai dua puluh gebrak lebih. Terang sudah yang si kurus kering ada sangat mendongkol.
"Nah, kau rasailah ini!" tiba2 dia berteriak.
Soe ma Sioe Ciang melihat sebelah tangan orang itu
terayun dan tiga benda berkeredepan sudah lantas
menyamber ketiga jurusan pada si orang tua kurus. Ketika itu, kedua pihak terpisah satu dari lain kira2 dua tumbak.
"Bagus!" berseru si orang tua, tubuh siapa segera
dilenggakkan kebelakang, hingga tubuh itu jadi berdiri rata.
Itu ada ilmu "Tiat poan kio" atau "Jembatan papan besi."
Menampak ini, Lioe Hong Coen kaget.
"Telaka!" ia berseru dalam hatinya. Ia lihat, sehabisnya menimpuk, si kurus kering merogo pula kantong piauwnya dan menyerang pula, lagi tiga kali, sedang selagi begitu, si orang tua sedangnya berkelit. Itulah berbahaya untuk si orang tua.
Dalam keadaannya yang terancam itu, mendadak si
orang tua kurus mencelat naik, terus ia berdiri. Ia telah gunai ilmu meloncat "Kim lie to coan po" atau "Tambra emas tembusi ombak," akan kelit serangan senjata rahasia, sekalian ia berbangkit untuk berdiri, sesudah mana, ia berseru "Kunyuk, aku telah lihat kepandaianmu yang
istimewa ini! Apakah kau masih punyai yang lainnya lagi"
Lekas kau keluarkan itu! Atau aku si orang tua nanti hajar padamu!"
Orang tua kurus ini bicara secara merdeka sekali, akan tetapi disebelah itu ia tidak diam saja, ia berlompat maju untuk menyerang, gerakannya sangat gesit.
Pihak terserang itu rupanya tidak niat menangkis, ia
berkelit kekiri, lantas ia lari. Tetapi ia tidak kabur, ia hanya berlari di muka atau kiri kanan hotel. Ia berputaran. Ia keteter tetapi ia masih belum mau menyerah kalah.
Si orang tua kurus ber lari2 mengejar, ia tidak mau
berhenti dengan begitu saja ini adalah kehendaknya si kurus kering. Tadi ia telah kurbankan enam batang paku song boen teng, ia penasaran, sekarang ia siapkan dua belas peluru tiat tan wan. Untuk ini, ia pakai kedua tangannya. Ia loncat naik kegenteng didepan hotel, dari situ ia loncat turun pula. Ia tunggu sampai pengejarnya loncat turun juga, lantas ia barengi menyerang.
"Sahabat baik, kau rasakan pula ini!" demikian ia
serukan. Ia menimpuk sambil miringkan tubuh, pelurunya segera melesat saling susul, satu demi satu.
Inilah ancaman yang lebih hebat pula. Si orang tua
kuruspun sedang berlompat. Akan tetapi dia benar2 liehay, sambil tangannya menyampok, dia jumpalitan dalam
gerakan "In lie hoan," atau "Jumpalitan didalam awan."
Dan enam buah peluru semuanya menghajar pintu hotel.
Berbareng dengan ancaman bahaya bagi si tua kurus,
Lioe Hong Coen kaget tak terkira. Si orang tua toh datang untuk membantu pihaknya, sekarang orang tengah
menghadapi bahaya maut, cara bagaimana dia bisa, tinggal peluk tangan" Maka itu, tidak berayal lagi ia kirim sebatang piauw kepada si kurus kering itu.
Si kurus kering kaget bukan main kapan tahu2 ada piauw menyamber kepalanya, tapi ia ada berkuping celi, matanya awas, walaupun sangat terdesak, ia bisa kelit kepalanya, hingga piauw melainkan mengenai sedikit jidatnya sebelah kanan, kulitnya lecet. Tentu saja ia jadi sangat gusar, sebab ia segera melihat dari jurusan mana datangnya bokongan itu, hingga ia menduga kepada pihak piauwsoe.
Si orang tua kuruspun telah berdiri dijalan besar.
"Tikus!" ia mendamprat. "Kau berani bokong aku! Aku
nanti kasi rasa padamu!"
Seruan itu disusul dengan lompatan jauh, untuk serang si kurus kering, kedua tangannya dibuka untuk menjambak.
Dilain pihak, si kurus kering telah berlompat kearah Lioe Hong Coen, untuk serang orang yang curangi ia.
Lioe Hong Coen sendiri sementara itu sudah siap, karena Ia mengerti orang tentu gusar terhadapnya. Maka, sambil mundur ia kata pada Soe ma Sioe Ciang "Siap untuk si
orang jahat!" LVII Soe ma Sioe Ciang mengerti, ia segera berlompat.
Benar saja si kurus kering, yang gesit luar biasa telah lantas sampai, malah dia segera serang orang she Soe ma ini.
Sioe Ciang tidak menyingkir lebih jauh, ia menangkis
dengan tangan kiri, lalu dengan tangan kanan ia barengi menyerang kebawah, dengan tipunya pukulan "Yap tee
touw toh" atau "Dibawah daun mencuri buah toh."
Orang itu tertawa menghina, ia tidak menangkis pun
tidak berkelit, hanya sambil berseru, "Pit hoe, kau
sambutlah!" ia mendahului menggempur tangan kiri
lawannya yang dipakai menangkis serangannya, lantas
ujung tangannya diteruskan kearah dada, ini adalah
pukulan "Siauw thian chee" atau "Bintang kecil," yang berbahaya.
Soe ma Sioe Ciang kenali pukulan yang liehay itu, maka ia jadi kaget bukan main. Celaka nya, tidak ada ketika lagi untuk ia berkelit. Untuk menangkispun tidak ada jalannya.
Selagi ia terima nasib, mendadak ia dengar orang berseru
"Tikus, kau bokong aku!"
Menyusul itu, orang pun loncat mundur setumbak lebih, serangannya batal sendirinya tetapi sebagai gantinya, dengan senjata rahasia dia menimpuk ke ujung samping
dari hotel, dari mana ada mencelat satu bayangan, senjata rahasia itu sendiri jatuh diatas genteng.
Lioe Hong Coen, seperti juga Soe ma Sioe Ciang,
mengerti bahwa pertolongan telah datang petolongannya seorang yang tidak dikenal, yang mestinya liehay, karena ini, dengan satu tanda mereka undurkan diri, untuk
mengawasi dari kejauhan. Segera terdengar suaranya si kurus kering itu.
"Aku kasi ampun pada kau dua kepala anjing!"
Cacian ini ditujukan pada Hong Coen berdua, kearah
siapa dia berpaling. Lalu dengan tubuhnya yang kurus
kering dan kecil, dengan gesit dia loncat ketempat gelap kemana tadi bayangan lawannya mencelat.
Disamping pintu hotel, muncul bayangan tadi. Dia
adalah si orang tua kurus. Dia berlari ketika si kurus kering hampirkan padanya, hingga mereka jadi seperti saling kejar, ditanah, diatas genteng juga. Orang tua itu lari berputaran, sampai tiga balik, baharu ia berhenti diatas genteng.
"Eh, sahabat, kau mesti tahu diri!" dia membentak.
"Dengan tidak kenal batas, kau seperti tidak tahu salatan!
Apakah kau kira karena kau bisa malang melintang di Barat utara jadi tidak ada orang berani hajar padamu" Kau harus ketahui, aku si orang tua tahu kau ada makhluk macam
apa! Cin tiong Sam Niauw telah bertumpuk perkara
kejahatannya yang tergantung, hingga dipihak pembesar negeri, dipihak rakyat, ada orang2 yang inginkan kau.
Kalau kau sembunyi saja di Barat utara dan kita masing2
tidak saling mengganggu, kita jalan sendiri2, apa itu tidak bagus" Aku tidak sangka, sahabat baik, kau merantau ke Selatan ini. Memang sudah sejak lama aku dengar tiga
macam kepandaian liehay dari Twie hong Tiat cie tiauw Hauw Leng enghiong si Garuda Pengejar Angin, yang ada sangat dikagumi kaum Rimba Hijau, memang sudah lama
aku ingin menemui kau, syukur malam ini kita bertemu
disini, sungguh aku merasa sangat beruntung! Kita jangan bicarakan lainnya lagi, loo enghiong, tadi aku telah belajar kenal dengan ilmu tangan kosongmu, sekarang aku ingin belajar kenal lebih jauh dengan senjata cambukmu Kim sie Siauw kam pian. Senjatamu ini, didalam kalangan kang
ouw tidak ada keduanya, maka aku percaya, loo enghiong, kau pasti sudi memberikan pengajaran kepadaku!"
Si kurus kering itu terkejut mendengar orang sebut she dan gelarannya, tetapi cuma sebentar saja, ia lantas dapat pulang ketenangannya.
"Sahabat, kau baik sekali!" ia segera menjawab.
"Memang benar aku ada Twie hong Tiat cie tiauw Hauw
Thian Hoei. Aku telah datang kemari, aku insaf
kesalahanku, hanya baiklah di jelaskan, perdagangan ini aku jau, memang sudah lama aku telah kuntit dari lain tempat, dan kebetulan sekali disini ada turut serta sahabat dari Cin Wie Piauw Kiok, hingga aku jadi tanam lebih
banyak pohon permusuhan yang tak ada perlu nya.
Sahabat, aku ingin sekali kau perkenalkan dirimu, sesudah itu pasti sekali aku nanti iringi segala kehendakmu."
Setelah mengucap demikian, ia awasi orang tua itu,
sekarang tidak lagi ia berani memandang enteng seperti tadi.
Si orang tua rangkap kedua tangannya memberi hormat.
Houw Loo enghiong, aku ada satu Boe beng siauw coet
dari kalangan kang ouw, tidak ada ilmunya untuk aku
sebut2 nama ku," katanya. "Hauw Looeng hiong, baiklah kau dengar nasihatku, segeralah kau lepas tangan untuk kebaikan kedua pihak. Aku si tua bangka tidak punya
hubungan apa2 dengan Cin Wie Piauw Kiok, dengan
kaupun aku tidak punya ganjelan, apabila kau masih hargai persahabatan kaum kang ouw, harap kau lepas tangan, kau lalu bersahabat dengan beberapa sahabat kang ouw ini. Aku juga tidak akan berlaku keterlaluan, pasti aku akan
tanggung keutuhannya nama baikmu, sedang piauwsoe dari Cin Wie Piauw Kiok akan haturkan menyesalnya
kepadamu. Hauw Loo enghiong, kau kasilah muka
kepadaku, tetapi jikalau kau pikir sebaliknya, apa boleh buat kita mesti ambil jalan masing masing, kita boleh andalkan kepandaian kita untuk mencari keputusan. Aku tidak tahut sang manjangan bakal terbinasa di tangan
siapa". Yang aku kuatirkan adalah celaka dua2nya, hingga kumala dan batu terbakar musnah semuanya! Aku percaya, tindakan ini pasti tidak akan di ambil oleh seorang yang cerdik. Hauw Loo enghiong, apabila kau sudi dengar
pandanganku yang bodo ini, ubah permusuhan jadi
persahabatan, tidak melainkan aku seorang yang bersyukur tetapi juga semua piauwsoe dari Cin Wie Piauw Kiok."
Hauw Thian Hoei awasi orang tua itu.
"Sahabat, kau tidak sudi perkenalkan diri, aku tidak
hendak memaksa," kata ia, "akan tetapi aku walaupun telah lakukan banyak perbuatan tidak bejik, perbuatan itu aku lakukan terhadap orang2 buruk saja. Lagipun adalah
kebiasaan dari aku, satu kali aku ulur tangan, aku mesti dapati barang yang aku kehendaki, tak perduli ada
rintangan apa juga, maka itu, jikalau kau minta aku
mundur, itulah tak dapat. Sahabat, kau kenal aku punya Kim sie Siauw kauw pian, kau sendiri ada punya senjata apa, hayo kau berikan pengajaran padaku! Jikalau kau
dapat menangkan aku, aku suka cuci tangan dari kalangan kang ouw, aku nanti angkat kaki, tapi bila kau tak bisa kalahkan aku, tidak ada bicara lain, silahkan kau ambil jalanmu sendiri! Sahabat, apabila kau cuma andalkan
lidahmu untuk bikin aku undurkan diri, jangan sesalkan aku yang tidak bisa perdulikan lagi persahabatan kaum kang ouw"."
Mendengar pengutaraan itu, si orang tua kurus tertawa gelak gelak.
"Karena kau tidak mau dengar kebaikanku, aku tak
dapat berbuat suatu apa," ia bilang, "terpaksa aku mesti layani padamu. Huw Loo enghiong, silahkan kau berikan pengajaran kepadaku Hauw Thian Hoei menyahuti dengan
seman "Baiklah!" lalu tubuhnya loncat maju, berbareng dengan mana, tangannya sudah menyekal cambuknya atau
ruyung lemas, yang diantara sinar rembulan memperlihatkan cahaya kuning emas. Tetapi, menghadapi dia, si orang tua tetap bertangan kosong.
"Sahabat, apakah kau sengaja memandang rendah
padaku?" Thian Hoei tanya seraya ia mundur pula dua
tindak, matanya mengawasi dengan tajam. "Aku telah
siapkan senjataku, kau sendiri masih bertangan kosong!
Jikalau kau tidak mau gunai senjata, baik aku nanti temani kau dengan tangan kosong juga."
Setelah berkata begitu, ia hendak simpan pula
cambuknya. "Hauw Loo enghiong, kau benar benar satu sahabat
baik!" berkata si orang tua sambil tertawa. "Karena kau begini mengalah, baiklah, aku suka mengiringi kau."
Ia lantas merabah pinggangnya, lalu dengan menerbitkan suara, ia keluarkan ruyung lemasnya yang bisa dipakai melibat pinggang, yang dinamakan Siang tauw Gin sie
Hong liong pang, panjangnya lima kaki enam dim, kedua kepalanya, yang berukiran naga2an, ada berujung tajam, ada gaetannya juga. Senjata ini bisa dipakai dua2nya
sebagai cambuk atau ruyung.
Si kurus kering terperanjat kapan ia saksikan gegamannya lawan itu. "Apakah dia bukannya Yan tiauw...." ia kata dalam
hatinya. Tapi ia tidak sempat menduga2, karena si orang tua
sudah lantas kata padanya "Baiklah, sekarang kita jangan sungkan2 lagi, sebab urusan tak dapat didamaikan, kita putuskan dengan kekuatan senjata saja! Hauw Loo
enghiong, kau tentunya ketahui tentang diriku si tua
bangka, adalah biasanya bagiku, kecuali sangat terpaksa, aku tidak pernah hunus senjata, maka sekarang, setelah gegaman ku dikeluarkan, sulit untuk simpan itu pula. Nah, sambutlah senjataku ini!"
Sejak permulaan menyaksikan kegesitan orang, Hauw
Thian Hoei sudah curiga dan menduga pada salah satu dari Yan tiauw Siang Hiap, dua saudara dari Titlee, adalah setelah melihat senjata itu, baharu ia dapat kepastian,
karena mana ia jadi terkejut. Benar2 si tua kurus ini ada Jie ya Ay kim kong Na Hoo, yalah Yan tiauw Siang Hiap yang kedua. Iapun kaget sebab ia tahu, diantara orang2
seperguruan dengan ia, ada yang punyakan perhubungan
kepada jago dari Titlee ini. Ia insaf bahwa ia hadapi satu musuh sangat tanggu. Masih syukur baginya selagi ia
hendak sebut gelaran musuhnya, Na Hoo cegat padanya,
karena itu, ia jadi teruskan ber pura2 tidak kenal orang tua ini. Ia malah menyahuti "Baik, sahabat! Aku tanya kau dengan maksud baik, kau tidak sudi beritahukan namamu, nyata lah kau pandang tak mata padaku. Mari, aku ingin lihat, berapa liehaynya ruyungmu!"
"Silahkan kau maju!" Na Hoo mempersilahkan pula
dengan tantangannya. Dengan hampir berbareng, ke duanya loncat kejalan
besar yang sunyi, sama sekali tanpa perdengarkan suara apa juga, mereka lantas bersiap, mereka mendekati satu pada lain. Akan tetapi si orang tua tidak lantas menyerang, dia hanya berjalan berputaran, apabila dia didekati, dia jauhkan diri dengan gerakan kaki yang dipercepat. Sampai tiga kali dia jauhkan diri secara demikian.
Hauw Thian Hoei mengerti bahwa orang hendak
mengalah, dari itu, sambil terus ikut berputar ia menegor
"Sahabat, jangan kau sungkan, silahkan mulai!"
"Berlaku hormat tak ada terlebih baik daripada turut
perintah, maafkan aku bersikap kurang ajar," sahut si orang tua, yang lantas saja putar tubuh dan maju, sambil
ruyungnya dibikin lempang, dalam gerakan "Peh coa touw sin" atau "Ular putih muntahkan bisa"
Twie hong Tiat cie tiauw lihat gegaman musuh
mengarah dada nya, lantas dia ketok ruyung itu dengan
cambuknya, dia gunai tenaga penuh, dengan harapan bisa bikin terlepas dan terlempar senjata musuh.
Na Hoo tidak kasi ruyungnya diketok, ia menarik pulang dengan cepat, lalu dari bawah ia balas mengetok dengan gerakan "Kim liong pa bwee" atau "Naga emas
menggoyang ekor" Ia berhasil dengan gerakannya ini,
hingga Thian Hoei jadi terperanjat, karena cambuknya
terpukul mental, hampir terlepas dari cekalan. Karena ini, dia jadi semakin insaf liehaynya musuh. Sambil menarik pulang cambuknya, dia terus menyerang pula, dengan
pukulan "Thay peng tian cie" atau "Burung garuda pentang sayap"
Dari berada disebelah kiri, si orang tua berkelit mundur, tetapi tanpa sangsi lagi, selagi cambuk lawan mengenai tempat kosong, ia loncat maju menyerang dengan "Ouw
liong pa bwee" atau "Naga hitam menggoyang ekor"
Kembali kedua senjata beradu dengan keras, sampai
menerbitkan suara nyaring. Memang kedua senjata,
walaupun lemas, bisa dipakai keras. Apa yang beda adalah gerak tipunya, dan senjatanya si orang tua bisa dipakai sekalian sebagai tumbak.
Oleh karena gerakan mereka sama2 gesit, dengan lekas
mereka sudah bertempur lebih daripada sepuluh jurus.
Hauw Thian Hoei berkelahi dengan sungguh2 untuk
lindungi kehormatannya, karena sudah tiga puluh tahun lebih ia menjagoi dalam kalangan kang ouw. Ia telah gunai tipu2 cambuknya yang terdiri dari seratus dua puluh
delapan jurus, Disebelah dia, si orang tua juga tidak mau mengerti, siapa telah gunai ilmu silatnya Cit cap jie Heng Cia Koen dalam mana ada berikut ilmu tumbak Pek Wan
Chio dan ilmu toya Ceng thian koen yang terdiri dari tiga puluh enam jalan (sha caplak louw).
Lagi sepuluh jurus telah dilewatkan, masih mereka sama tandingan, tetapi setelah itu, mendadak si orang tua
tinggalkan lawannya dengan lompat kesamping, terus ia loncat lebih jauh keatas rumah, dengan gerakannya "Hoei niauw coan lim" atau "Burung terbang menembusi rimba"
Dari atas genteng, sambil memutar tubuh, ia kata pada lawannya "Loo enghiong, Kim sie Siauw kauw pianmu
benar2 liehay, aku yang rendah kagum sekali. Tapi jalan besar ini ada sempit, disini kau tidak leluasa keluarkan semua kepandaianmu, maka mari kita pergi kesana, itu
tegalan kosong yang lebar, disana bisalah kau berikan pengajaran padaku". Mari aku pimpin kau kesana"
Tanpa tunggu jawaban, orang tua itu putar tubuhnya,
untuk berlari lari. Hauw Thian Hoei loncat naik kegenteng, ia mengejar
sambil berseru "Pertempuran belum berakhir, siapa menang dan siapa kalah masih belum ketahuan, kau hendak
menyingkir kemana?" Perbuatannya si orang tua membuat heran semua
piauwsoe dan kawan2nya. Dia belum kalah, dia tidak
keteter, kenapa dia angkat kaki"
Thay kek Lioe Hong Coen tepuk tangan terhadap Soe


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ma Sioe Ciang, kawan itu segera datang padanya seraya tanya ada apa.
"Diam!" Hong Coen berseru dengan suara tertahan,
seraya tangannya dipakai kutik kawannya itu. Ia batal untuk menjawab kawan itu.
Soe ma Sioe Ciang mengerti, tentu ada sebabnya untuk
kelakuannya sahabat ini, maka ia tutup mulut, malah ia turut mendek seperti si sahabat.
Baharu mereka mendekam, dari rumah depan berkelebat
dua bayangan, yang turun didepan pintu hotel, terus masuk kedalam, kelihatannya dua bayangan itu kenal baik hotel itu. Baharu mereka hendak berbangkit, atau kembali
mereka lihat datangnya tiga bayangan lain. Bayangan2 ini juga sudah lantas masuk kedalam hotel.
"Mari kita masuk" Hong Coen bisiki Soe ma Sioe Ciang.
"Kelihatannya mereka ada kawan kita, samar2 nampaknya barusan mereka mencabut bulu angsa pertandaan. Tidak
perduli siapa mereka, kita baik dului mereka itu"
Soe ma Sioe Ciang setuju, ia manggut.
Keduanya lantas melihat kelilingan, lantas mereka
hampirkan pintu hotel. Mereka singkirkan bulu angsa
mereka, supaya tak ada orang hotel yang dapat lihat.
Didalam, suasana ada sunyi dan gelap, tetapi ternyata tetamu2 hotel sudah terbangun dari tidur nya, semuanya berdiam didalam, tentu dengan hati tidak tenteram. Selagi mereka mendekati kamar mereka, pintu kamar sudah lantas dibuka dan satu suara menegur "Lioe Loosoe sudah balik"
Mari masuk!" Hong Coen berdua bertindak masuk. Giok Kong telah
nyalakan api. Semua orang sudah balik. Ngo Cong Gie dari Cin Wie Piauw Kiok, duduk dengan dahi dikerutkan, tanda dari kedukaan. Mereka itu sedang bicarakan pengalaman, masing2. Terang mereka telah kena dipancing penjahat, tetapi ada yang bertempur dengan si orang tua, yang bikin mereka tidak menyingkir jauh dari hotel mereka. Katanya, si orang tua yang tidak bergegaman, agaknya mengalah, malah dia kata "Jikalau kau ingin lindungi kehormatan Cin Wie Piauw Kiok, pergilah ke Tok siong kwan, tunggui aku disana, aku tanggung piauw itu tidak kurang sedikit juga, jikalau tidak, namamu sekalian bakal runtuh tanpa obatnya.
Sekarang lekas balik kekamarmu untuk lindungi sisa
barangmu!" Rombongan piauwsoe dari Kanglam itu bersangsi,
pikiran merekapun pepat, karena nama wangi mereka dari belasan tahun, dalam sekejab saja kena dipermainkan.
Mereka sangsi nanti dipermainkan pula si orang tua tak terkenal itu.
Ngo Cong Gie pernah tanya she dan namanya si orang
tua tapi dia itu, dengan mendongkol menjawab "Aku hidup dalam perantauan, tak perlu kau ketahui namaku. Aku toh bukannya saudaramu" Ada biasa bagiku akan campur
urusan lain orang. Kalau kau hendak ketahui juga tentang aku, pergi tanyakan pada boca she Ciok itu, aku sendiri tiada kebanyakan tempo akan mengobrol denganmu!"
Ingat ini, Cong Gie lantas tanya Liong Jiang siapa si orang tua itu.
Liong Jiang awasi piauwsoe itu, ia berdiam.
"Dia mirip dengan soe couw ku Ay Kim Kong Na Hoo,"
jawab ia kemudian. "Tentang ini aku tidak berani pastikan.
Kedua soecouw ku adalah Yan tiauw Siang Hiap, mereka
mirip dengan Beng Liang dan Ciauw Can yang tidak
pernah berpisahan, atau kalau toh mereka memecah diri, tak pernah dalam jarak terlalu jauh. Kalau dia benar jie soecouw, kenapa toa soe couw tak ada bersama?"
Adalah setelah dapat keterangannya Liong Jiang,
hatinya Cong Gie jadi lebih tenteram. Ia percaya, apabila benar Na Hoo yang menolong, ia tidak bakal rubuh
terus2an, kehormatannya akan dapat dikembalikan.
Kemudian mereka dapat kenyataan, ketiga penjahat
tidak balik pula kekamarnya. Itu ada tanda bahwa mereka sudah terus angkat kaki.
Diakhirnya, Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang
meminta semua orang pergi tidur.
Keesoknya pagi, kedua suadagar Kwietang bicara kepada Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang. Mereka dapat kenyataan, barang tidak dapat dirampas pulang, mereka tidak dapat bersabar lagi untuk tidak utarakan rasa tak puasnya. Mereka tanya, bagaimana bila barang tetap lenyap.
"Jangan kuatir, ada orang yang kuntit penjahat itu,"
Cong Gie terangkan. "Mungkin sebelum sampai di Tok
siong kwan, mereka akan sudah tersusul dan tercanjak...."
Piauwsoe ini tidak perdulikan saudagar itu, itu pagi
sehabis bersantap dan membayar sewaan hotel, ia ajak
rombongannya berangkat. Pemandangan alam di sepanjang jalan ada indah, tetapi tidak ada yang sempat perhatikan itu.
Selagi mereka jalan dijalanan gili2, yang panjang mereka dengar suara kelenengan dikejauhan, lantas kelihatan
seekor keledai hitam lari mendatangi dengan keras, dari jauh
nampaknya seperti binatang itu tidak ada penunggangannya, sesudah datang dekat baharu terlihat, di bebokongnya sambil mendekam ada bercokol satu orang
yang tubuhnya kecil dan kurus, sedang kepalanya ditutupi tudung lebar. Yang luar biasa adalah lari keras dari sang keledai.
Semua piausoe mengawasi dengan tercengang. Justeru
itu, sang keledai lari semakin dekat kepada mereka.
Berbahaya adalah jalanan yang sempit.
Setelah datang dekat, kelihatan nyata penunggang
keledai itu ada seorang tua, keledainya dikaburkan terus, tidak perduli jalanan sempit.
Didalam rombongan, Ciok Liong Jiang berada sebagai
orang yang ke empat, ia menunggang kuda seperti yang
lainnya, kuda mereka semua seperti bersambung kepala
dengan ekor. Ia memang sudah curiga, sekarang ia lihat penunggang kuda itu semakin mirip dengan soe couwnya, cuma sebab tudung lebar menutupi muka, ia tidak bisa
dapat kepastian. Selagi ia berpikir, keledai si orang tua sudah sampai didekatnya, mendadak orang tua itu ayun
cambuknya seraya berseru "Tolol, kau harus dihajar!"
Sekejap saja, cambuk telah mengenai kudanya anak
muda itu, pada punggungnya, hingga kuda itu perdengarkan suaranya karena kesakitan, keempat kakinya digeraki, diangkat dan lari!
Sebab binalnya kuda ini, kendali tak dapat dikuasai lagi, maka tiga kuda yang disebelah depan kena ketabrak, hingga tiga2 nya turut kaget dan lari juga. Dengan susah payah baharulah mereka bisa tahan kuda mereka.
Liong Jiang mendongkol sekali.
"Apakah kau tak punya mata?" ia menegur tanpa
perdatai romannya orang tua itu, yang kealingan tudung.
"Kenapa di tempat begini sempit kau sembrono gunai
cambukmu?" Dia hendak larikan kudanya untuk mengejar, ketika
mendadakan dari belakang pelananya, ia dengar suara
barang diyatuh, tempo ia menoleh, ia lihat satu bungkusan pesegi empat. Ia menjadi heran dan curiga, tidak tempo lagi ia meloncat turun dari kudanya, akan jemput bungkusan itu dan segera dibukanya, dalam mana ada tulisannya, ia
terperanjat berbareng malu sendirinya, air mukanya
berubah. Apa yang terjadi atas dirinya Ciok Liong Jiang, seluruh rombongan lantas mendapat tahu, maka semuanya lantas
berhentikan larinya kuda mereka, dan mereka yang
berkewajiban melindungi piauw, sudah lantas bersiap sedia.
Tetapi jalanan ada sempit, maka ada lambat untuk sekalian piauwsoe menghampirkan Liong Jiang. Kemudian, sesudah semua orang berkumpul, mereka turut baca surat itu, yang berbunyi "Liong Jie, Rombongan dari Cin Wie Piauw Kiok ada orang baik, pantas mereka dibantu, tetapi Cin tiong Sam Niauw bukan nya orang sembarangan, tak dapat
mereka dipandang enteng. Aku sendiri telah coba adu
kepandaian dengan mereka bertiga. Hal barang yang lenyap di Tok siong kwan aku akan kembalikan, bilang pada
rombongan piauwsoe agar mereka jangan kuatir. Kau ada orang baru dalam kalangan kang ouw , kau harus berhati2, supaya kau tidak mendatangkan malu pada kaum kita, pada gurumu."
Tanda tangan dari surat itu adalah melainkan satu huruf
"Hoo." "Aku telah menduga pada soe couw, benar2 dia ada Jie
soe couw Ay Kim Kong!" kata Liong Jiang kemudian.
"Ngo Piauwtauw, harap kau legakan hati. Soe couw
kenamaan di San co dan San yoe, di Selatan dan Utara
sungai Besar, dia gemar membantu kawan segolongan,
bagus sekali dia telah datang kemari. Rupanya soe couw ada dalam perjalanan menyusul soe pe ke Cap jie Lian hoan ouw, disini dia ketemu dengan kita, lantas dia berikan bantuannya. Hanya aku tidak tahu, siapa itu Cin tiong Sam Niauw
apa antara ciongwie loosoe ada yang mengetahuinya?" "Cin tiong Sam Niauw yang datang bekerja ke Selatan
ini" Itulah aneh!" kata Thay kek Lioe Hong Coen. "Mereka adalah tiga penjahat kenamaan dari Cin tiong atau Siamsay dimana segala perbuatannya telah bertumpuk bagaikan
gunung. Yang jadi kepala ada Twie hong Tiat cie tiauw
Hauw Thian Hoei, dua soeteenya adalah Giok bin Sin
Siauw Yap Thian Lay dan Coan thian Auw coe Lioe Seng.
Karena pandainya mereka mencuri, mereka telah dapatkan gelaran itu yang berarti tiga ekor burung dari Siam say.
Yang terliehay adalah Hauw Thian Hoei, yang tubuhnya
sangat enteng, bersenjatakan Kim sie Siauw kauw pian, jarang ada tandingannya. Mereka terkenal sebagai maling2
berguna, sebab biasanya mereka satrukan pembesar2 jahat dan saudagar2 besar. Ada beberapa jago Rimba Hijau, yang bekerja dibawah perintah mereka. Selama belasan tahun belum pernah Hauw Thian Hoei terjatuh kedalam tangan
pembesar negeri. Selama yang belakangan ini, mereka
bekerja di Utara, maka heran sekarang mereka berada di Selatan ini. Kalau Yan tiauw Siang Hiap hadapi mereka, mereka adalah tandingan setimpal. Sekarang kita boleh melegakan hati, mari kita pergi ke Tok siong kwan akan menemui jago tua itu untuk terima barang yang ia hendak pulangkan kepada kita."
Benar2 hatinya sekalian piauwsoe itu jadi lega, maka
Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang lantas kasi perintah akan lanjutkan perjalanan mereka, tetapi supaya mereka tak terlalu menyolok mata, mereka pecah rombongan jadi dua.
Jalan dimuka ada Soe ma Sioe Ciang, Ngo Cong Gie, Cio In Po, Louw Kian Tong, Ke Siauw Coan dan Teng Kiam,
dan yang belakangan. Lioe Hong Coen, Kee Giok Tong.
Kim Hoo, Soen Giok Koen dan Soen Giok Kong serta Ciok Liong Jiang.
Diwaktu tengah hari rombongan ini sampai didusun
Tiong yang. Disini mereka hendak singgah. Menurut
tukang kereta, lagi kira enam puluh lie, mereka akan sampai di Ceng liong ek, satu tempat perhentian besar dimana antaranya ada sebuah hotel Jin Hoo yang paling kesohor, bukan karena besarnya hotel, hanya di sebabkan kejujuran
si pemiliknya. Karena orang ingin ketahui, tukang kereta itu lantas menceriterakannya.
Pada beberapa belas tahun yang berselang, hotel Jin Hoo hampir ditutup. Pemiliknya, Khoe Jin Hoo tidak sanggup meneruskan nya karena rugi. Pada satu hari dia kedatangan satu tetamu, yang menunggang kuda dan bawa buntalan.
Dia sambut sendiri tetamu itu. Dia memang telah
perhentikan semua jongosnya, kecuali satu jongos tua yang sudah kerja lama, yang tak bisa pulang kekampungnya yang jauh. Dihari ke dua, tetamu itu pergi akan lanjutkan
perjalanannya. kebetulan jongosnya pergi kepasar, Jin Hoo sendiri yang bereskan buntalan tetamunya itu. Disaat
berangkat, tetamu itu bikin jatuh satu bungkusan kecil diluar tahunya. Jin Hoo lihat itu, ia berniat panggil si tetamu, tetapi tetamu itu sudah pergi jauh bersama kudanya yang dilarikan keras. Tidak ada jalan lain, Jin Hoo pungut bungkusan itu dibawa kedalam untuk disimpan Tetapi ia ingin tahu isinya bungkusan. Maka didalam kamar ia buka itu.
Bungkusan kecil tetapi rapi, lapis empat. Menampak
isinya, Jin Hoo kaget dan girang dengan berbareng. Itu adalah sepasang cincin permata dan sepasang gelang
mutiara. Ia tidak tahu harga tapi ia duga harga nya ada delapan sampai sepuluh ribu tail perak. Ia sedang runtuh, permata ini dapat menolong ia. Umpama si tetamu datang, ia boleh menyangkal. Toh tidak ada saksi, tidak ada bukti"
Selagi Jin Hoo kegirangan, ia lihat bujangnya pulang
dengan sedikit sayur. Ia terkejut. Sekarang ia. melarat, besok ia hartawan Tetapi" . Bagaimana dengan si tetamu"
Ia lihat, orang rupanya ada kuasa atau bujang yang
terpercaya. Apa dia itu tidak bakal celaka" Permata itu berharga besar sekali.
Jin Hoo lantas jalan mundar mandir, ia terbenam dalam kesangsian. Diatas meja ia lihat nasi dingin, yang ketutupan kertas pembungkus obat, diatas kertas itu ada tercetak huruf yang berbunyi "Berbuat baik tak ada yang lihat, memikir baik ada Thian yang mengetahui." Tiba2 ia terkejut
sendirinya. Bathinnya dapat pukulan. Ia insyaf, ia berbuat jahat kalau ia temahai permata itu. Ia senang tetapi si pemiliknya bercelaka. Memang nya belum pernah ia
lakukan kejahatan. Maka itu, hatinya berkutat sendirinya.
"Sekarang aku apes. tetapi belum tentu aku bakal mati kelaparan," pikir ia. "Aku boleh tutup hotelku, jual rumah ini untuk berusaha lainnya, untuk pelihara anak isteriku.
Kenapa aku mesti celakai lain orang?"
Melainkan ia sangsi caranya ia harus kembalikan barang permata itu. Ia tidak tahu rumahnya si tetamu.
Ketika itu, kedua anaknya ribut menangis minta
makanan yang lezad, sebab katanya sayur masakan
bujangnya tadi tidak enak. Mereka itu minta daging!
"Ah...." ia mengeluh. "Untuk kebahagiaan anak ku, apa halangannya aku kangkangi permata ini?"
Pikirannya tiba2 berbalik pula.
Justeru itu, diluar terdengar tindakan kaki kuda berisik bersama suara memanggil "Khoe Ciang koei!" Suara itu
keras tetapi tidak tedas, disusul oleh suara napas memburu.
Ketika ia keluar, ia lihat tetamu nya yang kehilangan barang itu. muka siapa pucat pias, keringat nya
membasahkan muka, kelihatannya dia ketakutan sangat.
Melihat demikian, ia ingat kedua anaknya. Lagi sekali ia mengeluh, "Ah...."
"Ada apa kau kembali, tuan?" ia segera sambut
tetamunya itu. Ia paksa tertawa. "Silahkan masuk! Kau boleh ambil kamarmu, yang masih kosong...."
"Aku bukannya hendak bermalam disini, aku ada orang
bakal mati...." kata tetamu itu sambil meringis. "Ciangkoei, tidak seharusnya aku bicara tetapi aku toh mesti omong juga kepada mu, aku hendak mohon pertolonganmu
Tadi aku kehi langan satu bungkusan kecil, itulah
bungkusan yang merupakan jiwaku, jiwa serumah
tanggaku, bilamana aku tak dapatkan itu pula...."
Jin Hoo hampir tidak berani awasi tampang orang.
"Apakah kau kehilangan bungkusan persegi empat?" ia
tanya. "Ya, benar, benar!" sahut tetamu itu, Thio Tat namanya.
"Apakah kau lihat itu?" Ia jadi sangat bernapsu.
"Benar, aku lihat itu. Tuan jangan ibuk, mari duduk
dulu." Thio Tat nampaknya jadi sabar, ia masuk dan duduk.
Jin Hoo sudah lantas ambil putusan, ia keluarkan
bungkusan permata itu yang terus ia serahkan pada
tetamunya. Menampak bungkusannya, yang isinya tak kurang suatu
apa, Thio Tat menangis, ia jatuhkan diri didepan pemilik hotel itu, akan manggut2.
"Ciangkoei, kau adalah penolong jiwa serumah
tanggaku," kata ia. "Biar bagaimana, tidak nanti aku lupai budimu ini."
Jin Hoo mengasi bangun. "Jangan berbuat begini," ia
mencegah. "Sebenarnya itu barang siapa dan hendak
dibawa kemana?" Thio Tat suka berikan keterangannya. Ia menutur bahwa ia adalah hambanya Seng Tayjin, tokpan bengkel sulam di Hang cioe, bahwa ia diperintah pergi ke Pakkhia akan
antarkan permata itu pada puteri ke dua dari Seng Tayjin, yang menikah kepada keluarga Kim Tayjin. Nona itu ada sangat disayang ayah nya, sebab dia jarang pulang, sang ayah sering2 kirimkan barang berharga kepadanya.
"Aku tidak nyana permata itu lenyap tak keruan paran,"
ia lanjutkan. "Aku tidak bisa buron kalau aku buron, tentu ayah bundaku, anak isteriku, semua saudaraku, bakal
celaka. Maka sebisa2 aku kembali, akan mencari permata itu. Aku bersyukur, ciangkoei, kau ada seorang jujur, kau seperti hidupkan pula padaku. Aku ada punya simpanan
lima ratus tail, tolong kau terima ini, untuk besarkan usahamu. Biarlah kita jadi sahabat hidup dan mati."
Jin Hoo tidak sangka orang ada demikian berbudi, tetapi ia tidak suka terima uang itu, ia menampik.
"Jikalau aku inginkan uangmu ini, apa bukan lebih baik aku kangkangi permata ini?" kata ia. "Dengan permata ini, meskipun tidak untuk setengah hidupku, namun buat empat lima tahun aku akan hidup senang. Maka marilah kita
menjadi sahabat saja. Dibelakang hari, apabila kau niat membantu aku, itu waktu tidak nanti aku menampiknya."
Putusannya Jin Hoo sudah pasti, Thio Tat tidak sanggup ubah lagi. Pemilik ini tetap menolak walaupun Thio Tat nyatakan ia tahu dia berada dalam kesukaran karena
mundurnya perusahaan hotel itu. Maka diakhirnya, ia jadi sangat terharu, dengan air mata berlinang ia am bil selamat berpisah dari pemilik hotel itu, yang dalam sekejab jadi seperti saudara angkatnya.
Dalam perjalanan lebih jauh, Thio Tat sampai di
Pakkhia dengan tidak kurang suatu apa, setelah selesaikan
tugasnya, kepada nonanya ia tuturkan pengalaman nya
ditengah jalan. Nona Seng kagumi kejujurannya Khoe Jin Hoo, ia serahkan seribu tail perak untuk dihadiahkan pada pemilik hotel itu. Thio Tat tidak mampir dulu di Ceng liong ek, ia pulang langsung ke Hangcioe, untuk serahkan
tugasnya kepada Seng Tayjin kepada siapapun ia ceritakan pengalamannya tentang kejujurannya Jin Hoo. Tokpan ini sependapat dengan puterinya, untuk hargai Jin Hoo, iapun memberi hadiah seribu tail. Maka diakhirnya, setelah minta cuti, Thio Tat baharulah pergi ke Ceng liong ek dimana ia sampai dengan terkejut bukan main. Pintu hotel telah
dikunci. Ia lantas mencari keterangan, ia dapat ketahui bahwa hotel sudah ditutup, Jin Hoo tinggal dibelakang, jarang keluar. Ia lantas ketok pintu. Sampai lama, baharu Jin Hoo muncul. Ia heran lihat pemilik itu seperti jadi tua dua tiga tahun sedang mereka berdua berpisah baharu tiga bulan.
"Kau baik, saudara?" kata Thio Tat sesudah mereka
saling memberi hormat. "Sebetulnya aku ingin segera
tengok kau tapi kewajibanku belum selesai, maka baharu hari ini aku kembali pula. Kenapa perusahaanmu ditutup?"
Jin Hoo menghela napas. "Mari bicara didalam," kata ia. Dan ia perkenalkan
tetamunya pada isterinya. Kemudian ia tuturkan, kesukarannya tidak dapat diatasi, ia hendak jual hotelnya itu. Ia kata, kalau saudara itu datang lagi dua hari, mereka tentu tidak akan dapat bertemu. Ia tinggal terima uang saja.
Thio Tat terharu tetapi ia bersyukur datangnya belum
terlambat. "Inilah kebetulan," kata ia, yang terus sampaikan hadiah dari Seng Siocia dan Seng Tokpan, yang hargai pemilik hotel ini. "Malah Seng Tayjin ingin saudara datang
padanya di Hangcioe begitu lekas perusahaanmu sudah
dibangunkan pula." Tadinya Jin Hoo tampik hadiah itu tetapi Thio Tat
memaksa, sampai ia dapat dikasi mengerti, maka ia
haturkan terima kasih nya.
Karena ini, Jin Hoo batal jual hotelnya, ia bayar semua hutangnya, ia bangunkan pula perusahaannya seraya
tambah banyak kamar. Thio Tat bantu mencari jongos yang cerdik dan pandai bekerja, ia bantu mengurus juga, hingga kemudian hotel itu jadi maju. Ia telah gunakan tempo
beberapa bulan, baru ia pulang ke Hangcioe, akan
sampaikan laporan pada Seng Tokpan.
Demikian lelakonnya Khoe Jin Hoo, hingga semua
piauwsoe turut mengaguminya.
Di Tiong yang, rombongan ini tetap menjadi dua.
Rombongan pertama singgah dirumah makan Ip Coei
Lauw yang kesohor, rombongan kedua di Cip Hok.
Dirumah makan Cip Hok ini, pelayanan ada sempurna
sekali. Sehabis dahar, Liong Jiang berdiri dipintu luar, lantas Siang too Kim Hoo hampirkan dia, yang ditanya kenapa
nampaknya kurang gembira.
"Rupanya Kim Loosoe pun demikian, kalau tidak,
kenapa loosoe sudah dahar begini cepat !" Liong Jiang baliki.
Kim Hoo tertawa, lantas ia bicarakan lain urusan.
Ketika itu, disitu ada satu tetamu lain yang mirip orang dagang, pakaiannya sederhana, dia rupanya mau keluar, dari itu, Liong Jiang dan Kim Hoo mesti membagi jalan.
Justeru itu didepan rumah makan lewat dua penunggang
kuda, yang kudanya dikasi lari keras. Melihat mereka itu,
Kim Hoo dan Liong Jiang terkejut, keduanya saling
mengawasi. "Mereka toh orangnya Hauw Thian Hoei?" mereka
saling tanya, dengan pelahan. "Mereka bernyali besar sekali berani menguntit terus pada kita...."
Kim Hoo penasaran, dia ingin mengejar, tetapi Liong
Jiang cegah padanya. Maka dengan mendongkol ia putar
tubuhnya. Tiba2 Liong Jiang berseru. "Eh, Kim Loosoe, dari mana datangnya surat ini?"
Nyelip ditangan baju ada selembar kertas. Maka
menampak itu. Kim Hoo jadi gusar sekali.
"Dia terlalu menghina!" ia berseru, air mukanya muram.
LIX

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Surat itu ringkas bunyinya , "Huauw Thian Hoei dari Siam say yang pelajarannya belum sempurna dengan ini mengundang untuk lakukan pertempuran yang memutuskan di Tok siong kwan!"
Alamat surat ada "Dihaturkan kepada Yan tiauw Siang
Hiap" Tangannya Kim Hoo bergemetar. Surat itu bukan
diserahkan pada Ciok Liong Jiang, si cucu murid, hanya kepada dia, benar2 itu ada satu penghinaan. Didalam
hatinya ia janji, satu kali ia mesti tempur "burung dari Siamsay" itu.
Liong Jiang lantas pimpin tangannya boesoe ini, untuk diajak masuk dimana orang baharu habis bersantap dan
sedang cuci mulut. "Kenapa, Kim Loosoe?" tanya Tiat kie lee Kee Giok
Tong, yang lihat tampang orang yang muram itu.
"Orang telah rubuhkan aku," sahut Kim Hoo dengan
masih mendongkol. Semua orang jadi heran, mereka saling mengawasi.
"Ciok Soehoe, bagaimana sebenarnya?" orang tanya
Liong Jiang. Liong Jiang tuturkan caranya surat didapatkan,
kemudian ia tunjuk surat itu.
Semua orang lantas baca su atnya Hauw Thian Hoei,
akhirnya semua utarakan kegusaran mereka.
Thay kek Lioe Hong Coen, yang lebih sabar, lantah
hunjuk baiklah mereka lekas berangkat ke Tok siong kwan, akan tengok keadaan, mungkin disana mereka bisa ketemui kepala Cin tiong Sam Niauw itu, gusar saja tidak ada
faedahnya. Pikiran ini dapat kesetujuan, lantas orang melakukan
pembayaran, terus mereka berangkat, dengan larikan kuda mereka. Jalan besar ada ramai tetapi mereka pandai pegang kendali. Selagi mereka mendekati sebuah rumah makan
besar, tiba2 dari sebuah gang muncul seorang tua dan kurus yang pakaiannya rombeng, begitu kudanya Lioe Hong
Coen lewat, dia rubuh terguling.
Ciok Liong Jiang larikan kudanya dibelakang Lioe Hong Coen, ia lihat orang rubuh, ia kaget hingga ia keluarkan suara tertahan, ia coba simpangkan kudanya supaya tidak kena injak orang tua itu, yang menjerit "Aduh!" Karena orang tua itu bergulingan, debu mengebul naik.
Empat boesoe lainnya pun coba egos kuda mereka, ke
kiri atau kekanan. Apa lacur, kuda nya Giok Koen kena dupak satu pedagang arak gelar hingga meja terbalik dan araknya berhamburan.
"Celaka!" berteriak si tukang arak, yang loncat kedepan kudanya si anak muda, untuk ditahan.
"He, kau mau apa?" membentak Giok Koen, yang kedut
les nya, hingga kudanya berlompat maju, sesudah mana, ia loncat turun dari kudanya itu akan hampirkan si tukang arak, yang ia jambak sambil ia kata "Kalau perlu aku nanti ganti kerugianmu, tetapi jangan kau main gila!"
Karena kejadian itu, lantas banyak orang berkerumun,
tetapi si orang tua telah lenyap entah kemana, sampai Liong Jiang yang awaspun tak melihat caranya orang tua itu
angkat kaki. Semua boesoe juga turun dari kuda mereka, akan
hampirkan si tukang arak. Dia ini masih saja ribut minta ganti kerugian, laganya menjemuhkan.
"Kurang ajar!" Liong Jiang membentak seraya jambak
dada orang. "Hayo diam!"
Tukang arak itu kesakitan.
"Jangan kurang ajar," Giok Koen kata. "Aku nanti hajar kau, aku tidak takut perkara!"
Ia keluarkan uang perak hancur seharga tiga tail, ia
lempar itu ketanah. "Ini aku ganti!" ia kata. "Jikalau kau masih ngoce, aku nanti labrak padamu!" Kemudian ia menoleh pada Liong
Jiang dan berkata "Aku lihat orang tua itu bukan orang baik. Mari kita susul buat dengar keterangannya."
Pendekar Laknat 5 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Cinta Bernoda Darah 17
^