Pencarian

Eng Djiauw Ong 13

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 13


hampirkan perintang itu, cambuknya, Kim sie Siauw kauw pian, ia ayun.
"Tua bangka tak tahu mampus!" ia mendamprat. "Ber
ulang2 kau satrukan aku Hauw Thian Hoei! Memang aku
sedang tunggui kau, sekarang saatnya telah sampai! Mari, mari! Kita bertempur sampai ada keputusan siapa hidup siapa mampus! Sebelum itu, jangan kita berhenti! Didalam dunya mesti ada kau atau aku! Nah, kau sambutlah!"
Si orang tua, Ay Kim Kong Na Hoo, sudah lantas loncat turun, dia sampai dibawahi dengan kakinya tidak terbitkan suara apa juga. Justeru ia injak tanah, segera datang serangan
cambuk. Ia lantas egos tubuh kesamping
kanan, ia tidak mundur malah ia majukan kakinya, dengan begitu, berbareng ia bisa balas menyerang dengan tangan kanannya. Ia gunai "Kim liong __ jiauw" atau "Naga emas mengulur kuku" dengan dua jariyna mencari sepasang mata si penyerang.
Thian Hoei mundur kesamping. Dia berniat balas
menyerang sambil membalik tubuh. Akan tetapi Na Hoo
seperti sudah menduga maksud orang, ia mendahului loncat minggir kira2 dua tumbak, lalu sambil pasang kuda2 Teng jie hou dia mengawasi sambil tertawa kepada jago Siamsay itu. Ia tahu orang sedang mendongkol. Ia hendak
permainkannya. Ia pun menggape.
"Eh, kunyuk tua!" kata ia. "Aku tahu kau menjagoi
disetengah langit di Barat utara, Sebab Cin tiong Sam Niauw bukannya bangsa boe beng siauw coet! Dalam
dunya kang ouw, kau ada ternama besar! Tetapi kau
menjadi si ketua, kenapa kau berpikiran demikian cupat, tak bisa kau bersabar" Aku si tua bangka tahu kau nekat,
sebelum adu jiwa, kau tak punya muka akan hidup dalam dunya ini, tetapi untuk mampus, itulah gampang sekali, cuma, buat mati kelambatan setengah jam saja, tidak apa!
Kenapa kau tidak mau kasi ketika untuk aku si tua bangka bicara" Buat aku, segala apa akur saja! Sekarang ini, kau menang diatas angin, bukan melainkan lengkap bersama
dua saudaramu, kau juga punyai dua konco lagi! Dan aku, aku bersendirian saja! Sekarang aku sudah bicara, sekarang baik kau sesalkan dirimu sendiri, tua bangka, jangan
katakan aku tidak kenal persahabatan! Kau tidak puas"
Hayo keluarkan kepandaianmu mainkan cambuk tukang
menangis!" Merah padam mukanya Thian Hoei karena kata2 yang
hebat itu, karena ia sangat mendongkol.
"Pit hoe, jangan kau adu lidahmu yang tajam!" ia
membentak. "Kau sudah tahu liehaynya Cin tiong Sam
Niauw, dari itu percuma kau memikir buat bikin habis
urusan ini! Tak perduli kau ngaco belo bagaimana pun, pasti aku hendak putuskan siapa jago siapa betina! Aku siap binasa di Ciatkang Selatan ini. aku tidak memikir pula
untuk pulang hidup2 ke Siamsay! Tetapi kalau kau masih hendak bicara, hayolah, lekasan!"
LXVI "Bagus, tak kecewa kau jadi orang Rimba Hijau!"
berseru Ay Kim Kong. "Tapi kau jangan kesusu, aku akan kasi keterangan kepadamu. Aku telah bikin gagal usahamu, maka tak dapat aku bikin gagal juga saat kematianmu.
Kunyuk tua, mari kita omong secara sungguh Tentang aku ada orang macam apa, kau tentunya sudah tahu. Mulanya aku tidak niat rintangi kau, aku insyaf bahwa persengketaan harus dihapus, urusan harus dikurangkan. Kau pasti
ketahui, sejak memasuki dunya kang ouw, Yan tiauw Siang Hiap tidak pernah ubah she dan nama, kami paling berani bertanggung jawab. Dan aku, Na Hoo, belum pernah aku
timpahkan bencana kepada lain orang. Didalam hal kita ini ada terkena juga kaum Hoay Yang Pay, maka itu, tak dapat aku tidak campur tangan. Daerah kerjamu ada wilayah
Barat utara, sekarang kau bekerja di Kanglam ini, itu saja sudah satu pelanggaran olehmu. Ketika kau "bekerja"
dihotel di Pek hok ek, apabila aku hendak bereskan
orangku, itu akan terjadi dengan gampang sekali akan tetapi aku tidak berbuat demikian, karena aku ada seorang insaf dan mengerti, bahwa bukannya gampang Cin tiong Sam
Niauw angkat namanya. Begitulah aku cuma memberi
nasihat saja, maksudku agar kau insaf dan lantas pulang ke Siamsay. Tetapi kau tidak insaf, kau tidak pulang! Kecewa aku dengan sikapmu itu, sebab sudah terang kau rubuh, tetapi tetap kau tak mau mengerti. Seharusnya kau mesti pikir, bukannya gampang Cin Wie Piauw Kiok angkat
namanya, dengan kau bikin rubuh namanya, apakah
perusahaan mereka tidak bakal ambruk dan runtuh" Kau
adalah seorang ulung, semestinyakau mengasi ketika, tapi
kau tidak berbuat demikian, kau justeru ingin orang
mampusi diri sendiri. Kaupun berbuat tidak pantas. Kenapa kau tidak mencari aku untuk bikin perhitungan" Kecewa kau menjadi cabang atas! Sebenarnya barang berharga
sudah tidak ada disini, aku telah suruh cucu muridku dului bawa ke Ie hang! Rupanya kau tidak engah, diantara
pelindung nya sudah kurang satu orang. Dari sini saja kau seharusnya sudah menyerah kalah! Disini kau gunakan akal hina dina untuk rubuhkan semua piauwsoe! Kalau kau tahu diri, mesti kau mundur, kalau tidak, aku bersedia akan layani padamu! Sebenarnya, Hauw Thian Hoei, aku malu
untuk kau! Kaupun harus ketahui, selama memasuki dunya kang ouw, belum pernah Yan tiauw Siang Hiap
membinasakan atau mencelakakan orang baik , maka itu, aku
tidak niat akan ganggu padamu, walaupun kejahatanmu telah bertumpuk! Sekarang adalah lain. Aku telah berbuat, aku menanggung jawab, akupun bertanggung jawab untuk pihaknya Cin Wie Piauw Kiok!" Ia kasi dengar suara di hidung, terus ia tambahkan "Nah, kawanan
kunyuk, kau berjumlah besar, aku si tua bangka sendirian saja, hayo kau maju semua, jikalau aku merat, kecewa Yan tiauw Siang Hiap!...."
Mukanya Thian Hoei kembali menjadi merah padam.
Sebagai jago, mana dia sanggup terima hinaan demikian macam" Tetapi ia mencoba akan kendalikan diri.
"Kiranya kau ada Jie hiap dari Yan tiauw Siang hiap?" ia tegasi. "Pantaslah kau ada demikian liehay! Memang sudah lama aku dengar namamu yang besar, yang nyaring
bagaikan guntur menulikan telinga. Pernah aku piker untuk bikin kunjungan pada mu, kebetulan sekali disini kita bisa bertemu muka. Jie hiap, ada harganya bagiku yang aku
rubuh ditanganmu, tetapi karena kau ada satu pendekar, jangan kau tidak pakai aturan. Apa yang kau bilang tadi,
ada cenglienya, tetapi kata2mu ada yang tak sedap untuk kupingku. Kamipun bermuka terang bahwa Yan tiauw
Siang Hiap sampai sudi campur urusan kami ini. Sayang kema____, kau sudah tidak berlaku muka terang, jika tidak demikian, pasti aku akan memandang kepadamu. Sejak
mulanya, kau sudah tidak melihat mata kepada kami malah kau sengaja permalukan kami. Rupanya kau terlalu
mengandalkan kepandaianmu, nama besarmu, kau berniat
kasi rasa kepada kami semua! Jie hiap kau keterlaluan!
Mana kami tunjukan muka akan hidup lebih lama dunya
kang ouw" Jie Hiap walaupun aku ada pecundangmu, aku
masih tak tahu malu, aku masih ingin peroleh pengajaran darimu, biar darahku muncrat disini, tidak dapat gampang2
aku mengantap kau pergi Jie hiap, apapun kau kata, aku tidak puas! Sekarang tak usah kita banyak omong, mari kita mulai! Tentu saja, sepasang kepalan tidak bisa layani empat tangan, maka itu aku bersiap akan layani kau satu sama satu! Jie hiap, dengan andaikan cambuk ku ini, aku akan belajar darimu, kau ada merdeka untuk turunkan tangan jahatmu, tetapi jikalau kau berpura2 berlaku murah, aku tak dapat terima! Bicara terus terang permusuhan kita tak dapat didamaikan lagi, silahkan kau mulai!"
Na Hoo insaf bahwa orang sudah nekat, maka ia
mengerti ia harus waspada.
"Baiklah," sahut ia sambil bersenyum. "Kau benar satu laki2, terpaksa aku mesti layani padamu, aku mesti terima baik kebaikanmu ini. Nah, silahkan maju!"
Jago tua ini lantas mundur, untuk memberi hormat
secara kaum Hoay Yang Pay.
Hauw Thian Hoei ada sangat sengit, kalau bisa, ia ingin telan itu, ia lantas maju sambil berlompat, dengan
cambuknya ia menyerang dari atas kebawah. "Kau
sambutlah!" ia berseru.
"Bagus!" jawab Na Hoo sambil berkelit, hingga cambuk
turun ditempat kosong. Thian Hoei penasaran, dengan gerakan "Hong hong tian
cie," atau "Burung hong pentang sayap," ia lompat maju mengangsak, cambuknya pun lantas menyelang pula.
Untuk kedua kalinya Jie hiap berkelit seraya berlompat pula, sekali ini ia lompat jauhnya dua tumbak seraya ia terus serukan "Kunyuk, mari sini!" Menyusul itu, ia pun segera keluarkan ruyung lemasnya, Siang tauw Gin sie
Hong liong pang. Dalam panasnya hati, Hauw Thian Hoei lompat untuk
mendesak pula. Sekarang ia tidak lagi menyerang dari atas, hanya bagaikan tumbak, ia menusuk dengan ujung
cambuknya yang ia bikin lempang dan tegak.
Na Hoo geser kaki kekanan, dengan tangan kanan yang
menyekal ruyung, ia kemplang cambuk lawan, tangannya
yang kiri diletaki diatas ruyungnya itu. Karena sambutannya ada tepat sekali, cambuk kena dihajar hingga menerbitkan suara. Tetapi Thian Hoei pun gesit, ia keburu menarik sedikit, dengan demikian, cekalannya tidak sampai terlepas, melainkan ujung cambuknya sedikit terpental.
Akan tetapi inipun sudah cukup membuat mukanya merah, ia malu dan mendongkol, hingga ia menjadi bertambah
sengit, ia segera menyerang pula.
Sambil perdengarkan seruan panjang, Ay Kim Kong
layani musuh yang nekat itu. Ia bisa berlaku tenang, hingga ia tidak terdesak walaupun serangan bertubi2. Dalam
ketenangan, ia berlaku celih dan tangkas, ia gunai setiap ada saatnya untuk balas menyerang, hingga tak dapat
lawannya mendapat angin. Twie hong Tiat cie tiauw ibuk sendirinya apabila ia dapat kenyataan, sia2 saja ia rabu satru itu, yang tetap layani ia
dengan tenang tenteram. ia insaf bahwa ia bakal celaka apabila ia tak ubah siasat. Maka ia lalu gunai Keng kang Tee ciong soet, yaitu ilmu entengi tubuh, supaya bisa bergerak dengan gesit kedelapan penjuru.
"Ilmu ruyungmu aku sudah tahu!" berkata ia selagi ia
loncat keluar kalangan, hingga dalam dua kali loncatan, ia sudah sampai ditepi pohon, dimuka rimba. Terus ia
meloncat keatas pohon untuk perlihatkan keentengan
tubuhnya. Dari sini, dengan berdiri dengan "kim kee tok lip" atau "Ayam emas berdiri dengan sebelah kaki" ia
menantang jago tua itu, katanya "Hawa ada panas
mengkedus, diatas pohon ini ada nyaman!"
Mulanya Ay Kim Kong mengawasi saja lawan itu
berlompat jauh. ia kuatir orang menggunai tipu dan akan serang ia dengan senjata rahasia, tetapi sekarang segera ia mengerti bahwa ia ditantang adu ilmu entengi tubuh, maka didalam hatinya ia kata "Kunyuk, kau hendak gunai
kegesitanmu, kau bermata anjing buta! Kami Yan tiauw
Siang Hiap kenamaan karena keahliannya dalam ilmu ini, jikalau aku tidak ajar adat padamu, kau pasti tidak kenal aku!"
Na Hoo pindahkan ruyungnya ketangan kiri, ia berseru
"Kunyuk, kau hendak pertontonkan ketangkasan tubuhmu, baik, aku nanti lihat! Mari kita main2 diatas!"
Dengan satu gerakan cepat, jago tua ini hampirkan
rimba, terus ia loncat naik kepohon di depannya ketua Cin tiong Sam Niauw. Ia injak satu dahan kecil, hingga dahan itu meroyot turun, tetapi dengan lekas tubuh nya membal naik pula mengikuti embalannya dahan itu, akan pindah kelain dahan.
Hauw Thian Hoei lihat gerakan pertama dari Na Hoo, ia insyaf liehaynya jago tua itu, maka tidak tunggu sampai
orang berdiri tetap, ia lompat kedahan itu dibagian sebelah atas. Gerakannya ini adalah "Kim hong hie loei" atau
"Tawon ceking permainkan pusuh". Setelah itu, ia
kumpulkan tenaga, akan beratkan tubuhnya agar dahan
menjadi patah, supaya si jago tua turut rubuh karenanya.
Dilain pihak, iapun menyerang dengan cambuknya. Adalah keinginannya akan dengan satu gerakan berbareng itu ia bisa bikin mampus lawan yang liehay ini.
Na Hoo bisa menerka niat orang. Ia mengerti, jangankan sampai dikemplang, jatuh saja dari pohon, ia bisa celaka.
Tetapi ia tidak takut. Dengan melenggakkan tubuh, ia
luputkan diri dari ujung cambuk. Berbareng dengan itu, iapun barengi turun mengikuti meroyotnya dahan, hanya kalau Thian Hoei menindih
dengan beraturan, ia sendiri dengan tiba2, kakinya, yang dijepitkan kepada dahan, menarik dengan keras, hingga dahan itu me___
turun dengan getas. Maka tidak ampun lagi si Garuda Besi, yang sedang gunai tenaganya, terpeleset sendirinya,
tubuhnya jatuh dengan tak dapat ditahan lagi, malah iapun tidak sanggup menjambret kesana sini, ia jatuh terus
ketanah, terbanting keras hingga pingsan! Masih untung baginya, selagi ia jatuh dengan kepala terlebih dulu, ia masih sempat berdaya menggeraki tubuhnya hingga ia jatuh terlentang ini sebabnya kenapa ia jadi terbanting hebat.
Lioe Seng berempat yang menyaksikan pertempuran itu,
selagi kagum untuk keliehayannya kedua orang itu, mereka terperanjat melihat ketua mereka jatuh. Mereka tidak
mampu menolongi. Setelah ketua itu jatuh baharu mereka berlompat maju akan berikan pertolongannya.
Tubuhnya Na Hoo melayang turun, ia berdiri didepan
rimba. "Kunyuk tua, kau hendak celakai orang, kau celakai diri sendiri terlebih dulu!" ia kata sambil tertawa dingin.
"Sekarang baharu kau insaf keliehayanku!"
Yap Thian Lay gusar sekali.
"Katetok she Na, jangan kau menghina!" ia berseru.
"Ketua kami rubuh ditanganmu, ia harus sesalkan
kepandaiannya seridiri yang belum sempurna, tetapi
walaupun sekarang ia kalah, masih ada lain hari untuk membalas dendam! Katetok, jikalau kau masih ngoce saja, aku nanti terpaksa damprat kau!"
Ay Kim Kong tertawa gelak2.
"Sebenarnya aku sudah pikir untuk tinggalkan kau
sekalian disini, tetapi karena kau mengancam untuk
menuntut balas, sekarang aku ubah pikiranku," kata ia.
"Karena terbukti kau ada laki2 baik, aku hendak, bantu wujudkan cita2mu, aku ingin saksikan bagaimana nanti kau membalas sakit hati kepadaku!
Jago tua itu merogo kedalam sakunya akan tarik keluar satu botol kecil, dari dalam botol ini, ia tuang tiga butir obat pulung warna merah sebesar biji gouw tong.
"Sahabat baik," kata ia pada Yap Thian Lay, "ini ada
obat Kioe coan Hoa tok tan, obat manjur dari kaum Hoay Yang Pay, kau bangsa maling ada bercuriga, andai kata kau tidak takut aku meracuni, lekas kau kasi dia makan obat ini, supaya kau bisa lekas2 berlalu dari sini!"
Yap Thian Lay cerdik, ia tertawa dingin.
"Jiwa kami sekarang berada ditanganmu, orang kate!"
kata ia. "Jangankan kau berikan obat, walau racunpun kami akan makan juga!"
Dengan tak bersangsi lagi ia sambuti obat itu, yang lantas dimasukkan dengan paksa kedalam mulutnya Hauw Thian
Hoei. Dimana air minum tidak ada, sungguh sulit akan
masukkan obat melewati tenggorokan, dari itu, air ilar saja yang diharapkan bantuannya, hingga lumernya dan
turunnya obat menjadi lama.
Jie hiap tidak perdulikan musuhnya itu, ia hampirkan
guci arak, yang ada dua rupa, bie cioe dan hong cioe, yang ia terus tuang menjadi satu, kemudian dengan itu ia
kipratkan mukanya rombongan piauwsoe dan lainnya.
Arak yang dipakai sebagai gan inya, air itu sama
manjurnya, tidak lama kemudian, orang mulai gerak geraki kaki tangan nya dan tubuhnya. Yang paling dulu sedar
adalah Kim Hoo, Giok Koen, Giok Kong, Louw Kian
Tong dan Lioe Hong Coen. Berbareng, dengan itu, terdengar Hauw Thian Hoei
berseru "Ayo!" Sebab pengaruhnya obat, ia sedar dengan cepat, lukanya didalam badanpun sudah lantas sembuh. Ia buka matanya, ia melihat dua saudarnya pegangi ia. Iapun melihat Jie hiap asyik tolongi kawannya. Mendadakan ia jadi sangat mendongkol, pepat pikirannya, hingga sambil kertek gigi ia berseru "Orang kate she Na, jikalau kau tidak bunuh Hauw Jie thayya, kau ada satu pit hoe!"
Na Hoo menoleh dengan ayal ayalan.
"Aku sedang tunggui kau, kunyuk," sahut ia, "aku
sedang tunggui pembalasanmu! Sekarang tak dapat aku
memencet kau yang mirip seekor semut, aku si orang tua tidak sudi kemplang harimau yang sudah mati! Kau
sekarang sedang terluka, apabila aku turun tangan pula atas dirimu, kaum kang ouw akan tertawai aku si tua bangka menghina satu boca cilik! Maka mulai hari ini, sampai
seratus hari kemudian, aku si tua bangka nanti tunggui kau didusun Na chung diluar kota Coe cioe Selatan di Tay
benghoe. Aku nantikan dengan segala kehormatan.
Umpama kau tidak datang, akupun tidak akan kirim surat undangan kepadamu" Sebegini saja, persilahkan!"
Sambil tertawa dingin, Hauw Thian Hoei berbangkit,
Yap Thian Lay masih pegangi ia.
"Kita nanti ketemu pula di kemudian hari, siang atau
malam!" kata ia. Lalu, dengan di pepayang soeteenya, ia menuju kedalam rimba.
Lioe Seng dan dua konconya, dengan senjata ditangan,
mengiringi toako atau ketua ini, sampai mereka lenyap dihutan yang lebat.
Louw Kian Tong dan dua saudara Soen, yang sedar
sempurna paling dulu, telah sekai muka mereka yang basah dengan arak, mereka tahu bahwa Jie hiap lah yang
menolongi mereka, tetapi kapan mereka melihat orang tua ini merdekakan Hauw Thian Hoei, mereka tidak bisa
kendalikan diri. "Mereka terlalu menghina, jangan dikasi mereka lolos!"
mereka berteriak seraya semuanya hunus senjatanya
masing2. Lantas mereka mengejar.
"Jangan ganggu padanya!" Na Hoo mencegah. "Aku
telah berikan ajaran cukup pada mereka, biar mereka
berlalu. Kitapun mesti mengaku telah rubuh, karena
ditengah jalan umum ini kita telah kena dipermainkan Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang baharu tersedar ketika mereka dengar perkataan nya Jie hiap, mereka malu sendiri, bukan main jengahnya mereka.
Jie hiap sementara itu tolong sedarkan juga semua
tukang kereta. Semua orang berdiam, sesuatu dari mereka beroman
berduka. "Jangan pikirkan tentang kegagalan ini," kemudian Jie hiap hiburkan Ngo Cong Gie dan Lioe Hong Coen. "Cin
tiong Sam Niauw ada sangat licin tetapi mereka toh tak lolos dari tanganku, benar kau kena dirubuhkan tetapi merekapun pergi dengan tangan kosong dan tubuh terluka, merek mereka jatuh. Kapan kelak kita sampai di Ie hang, piauw utuh, nama baik piauwkiok dapat dipulihkan begitu pun kehormatannya Hoay Yang Pay! Sekarang hayo kita
lekas menuju ke Ie hang, Liong Jiang asyik menantikan disana. Jangan kuatirkan Cin tiong Sam Niauw, lain kali tidak nanti mereka berani datang pula ke Selatan ini. Aku sendiri masih punya urusan penting, aku mesti lekas pergi ke Ciatkang Selatan akan beramal berkumpul disana. Nah, kau sekalian pergilah!"
Jie hiap tutup kata2nya dengan diapun lari kedalam
rimba, hingga sebentar kemudian, diapun hilang lenyap.
LXVII Ngo Cong Gie semua mengawasi berlalunya Ay Kim
Kong, lantas mereka rapikan pakaian mereka. Karena tahu, Liong Jiang pasti sudah menantikan dihotel See Kee Tiam di Ie hang, tidak ayal lagi merekapun lanjutkan perjalanan mereka. Hanya selama ini, walaupun mereka sudah lolos dari bahaya, mereka semua lesu. Mereka malu dan kecewa telah terjatuh kedalam akal muslihat nya Cin tiong Sam Niauw yang liehay. Sesampainya di Poan liong oeh, mereka singgah untuk beristirahat, setelah itu, mereka berangkat lebih jauh. Tepat pada jam tujuh malam mereka sampai di Ie hang dimana mereka pergi ke Pak kwan, kota Utara,
akan cari hotel See Kee Tiam. Benar seperti katanya Jie
hiap, Liong Jiang sudah menantikan, hingga pemuda ini bisa segera serahkan peti berharga kepada Ngo Cong Gie.
Piauwsoe itu puas, tetapi yang paling girang adalah
kedua saudagar Kwie tang, karena harta mereka selamat, mereka sendiri tidak kurang suatu apa, maka sekarang
kembali mereka berlaku hormat kepada semua piauwsoe
dan boesoe, terus saja mereka memesan dua meja makanan untuk hormati piauwsoe dan boesoe itu.
Ngo Cong Gie semua merasa jemu, akan tetapi mereka
terima kehormatan itu, yang mereka harus dapatkan.
Sehabisnya bersantap, orang berangkat kedalam kota,
ketempatnya kedua saudagar, akan selesaikan tugas, bahwa piauw sudah diantar dengan selamat dan diterima dengan baik oleh kedua saudagar itu. Kedua saudagar masih bisa menimbang, kecuali bayar harga perlindungan yang betul, merekapun menambah dengan lima ratus tail. Tadinya
Cong Gie menampik tetapi sesudah dipaksa, ia terima juga.
Sementara itu, perjalanannya Lioe Hong Coen dan
kawan2 telah terlambat satu hari, karena ini, mereka lantas pamitan dari Cong Gie beramai, untuk segera lanjutkan perjalanan mereka.
Cong Gie dapat pikiran baharu setelah ia saksikan
bagaimana kawanan boesoe itu membantu ia dengan
sungguh2. Untuk membalas budi, ia nyatakan ia suka turut rombongan Hoay Yang Pay itu untuk mereka dapat
membantu nya. Ia nyatakan, Soe ma Sioe Ciang ada
bersatu hati dengan dia. "Mari kita berangkat sama2!" Cong Gie tambahkan.
"Penghidupan sebagai piauwsoe ada berbahaya sekali,
untuk sementara, kami hendak menunda. Biarlah piauwkiok diurus terus oleh kawan yang lain2. Dengan
turut ke Gan Tong San, kami bisa sekalian pesiar dan
menemu orang2 pandai."
Thay kek Lioe Hong Coen terima baik yang orang
hendak ikut rombongannya, ia menghaturkan terima kasih.
Cong Gie berdua girang, maka lantas ia perintah
rombongannya pulang, mereka berdua lantas ikut rombongan Hoay Yang Pay meninggalkan Ie hang menuju
ke Ciatkang, sampai pada suatu hari tibalah mereka di Tong peng pa, Lok ceng, di Ciatkang Selatan, dimana ditembok depan dari hotel Eng Hoo, mereka tampak tanda rahasia dari pihak Hoay Yang Pay, maka Giok Kong, yeng melihat itu, usulkan rombnogannya ambil lain rumah penginapan, supaya mereka jangan berkumpul menjadi satu, agar tidak terlalu menyolok mata. Ia menyatakan, cukup satu dua
orang saja yang pergi menemui rombongan pertama itu.
Lioe Hong Coen setuju, dari itu mereka lewati hotel Eng Hoo dan pergi kehotel Sam Gie ditepi sungai, kemudian Liong Jiang bersama Kim Hoo pergi kehotel Eng Hoo,
hingga mereka menemui Ciok Bin Ciam, muridnya Ban
Lioe Tong, siapa menjaga hotel seorang diri, yang lain2
sedang keluar mencari keterangan, Bin Ciam terangkan, baik rombongan yang kedua ini menuju langsung ke Gan
Tong San karena dipercaya, sarang Hong Hwee Pang ada
didaerah pegunungan itu disebelah kiri.


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah kalau begitu, rombongan kita jadi tak usah
berkumpul lagi disini," berkata Liong Jiang, yang terus ajak Kim Hoo kembali kehotel Sam Gie, akan sampaikan warta pada Lioe Hong Coen beramai.
Hong Coen mengadakan perembukan, nyata semua suka
pergi lantas, melainkan diputuskan, sebuah kamar mereka akan sewa terus, untuk menitipkan barang2 mereka
begitupun semua binatang tunggangan, sedang jongos
diyanjikan upah kalau mereka rawat kuda dengan baik.
Mereka berangkat ke Gan Tong San dengan menaik
perahu, mereka mendarat dikaki gunung. Tukang perahu
diminta menunggu, umpama sampai malam mereka tidak
kembali, tentu mereka mondok diatas gunung, maka tukang perahu itu di ijinkan pulang saja. Kalau mereka tak berhasil mencari sahabat, yang hendak dikunjungi, katanya mereka hendak kembali dengan naik perahu itu juga. Atas ini, tukang perahu setuju.
Demikian, rombongan ini menuju ke Ngo liong peng.
Tempat itu ada asing, haripun sudah sore, tetapi mereka sampai juga ditempat yang dituju. Disini, dua warung teh sudah mulai tutup. Beberapa orang, yang di tanyai
keterangannya tentang Hoen coei kwan menyatakan tidak tahu dan tidak kenal tempat itu.
Lioe Hong Coen mengajak jalan terus, melewati Ngo
liong peng. "Kita perlu mencari pondokan," nyatakan Ngo Cong
Gie pada Chio In Po. "Lihat, cuaca menjadi semakin
gelap." "Jumlah kita terlalu besar, sukar kita mencari
pondokan," jawab In Po. "Coba kita mencari kuil, yang besaran...."
Mereka berjalan terus sampai di jalanan yang terapit
pohon2 siong, lewat dari situ, jalanan ada rata, tujuan mereka menghadapi sebuah gunung.
"Itu tentu kuil," kata Soe ma Sioe Ciang sambil
menunjuk ke Timur selatan.
Diatas gunung, antara sinar rembulan dan bintang,
tertampak tembok merah. Orang segera menuju kekuil itu.
Hampir itu waktu dari kejauhan terdengar suara
kelenengan bercampur tindakan kaki nyaring, lantas terlihat seekor keledai lari kabur, keledainya kecil, begitupun penunggangnya, tubuhnya kate dan kecil mirip satu boca.
Jalanan disitu ada sempit, tapi keledai lari terus
walaupun dia sudah mendekati rombongan boesoe dan
piauwsoe. "Saudara2, awas, lekas minggir!" begitu terdengar suara si orang kate dan kecil. "Kalau kau kena langgar keledaiku sampai selembar bulunya copot, tak dapat kau jalan lebih jauh!"
Mendengar lagu suaranya orang itu, Lioe Hong Coen
segera mendapat tahu, penunggang keledai itu bukannya satu boca hanya seorang yang lanjut usianya, karena itu, ia jadi tidak senang. Itu adalah suara dan perbuatan kasar.
Yang lainpun ada tidak puas Soe ma Sioe Ciang berjalan dipinggir, ia tak dapat kendalikan diri lagi, ia lompat ketengah jalan sambil berseru "Hari sudah gelap dan
jalanan demikian sempit, kenapa kau larikan terus
keledaimu" Hayo turun, sahabat baik!...."
Sengaja piauwsoe ini memasang diri, untuk lihat, orang berani terjang dia atau tidak. Akan tetapi keledai terus mendatangi sambil tetap berlari keras.
Sin koen Ke Siauw Coan bisa menduga masuksudnya
Soe ma Sioe Ciang, ia berpengalaman, ia kuatir kawan itu menjadi korban, ia lantas berlompat, tangannya diulur untuk tarik kawan itu ke pinggir. Akan tetapi dia terlambat sedikit. Keledai sudah lantas sampai, karena binatang itu dilarikan terus, segera dia akan terjang piauwsoe itu.
"Bagus." berseru Soe ma Sioe Ciang, sambil ia egos
tubuhnya kekanan kaki, kirinya dibarengi diangkat, hingga
ia jadi berdiri dengan sikap "Kim kee tok lip" atau "Ayam emas berdiri dengan sebelah kaki" Berbareng dengan itu, tangan kirinya menyamber tom keledai dan tangan kanan nya menjambak tubuh yang kecil dan kurus itu, dengan niat kasi turun si penunggang keledai yang dianggap tidak kenal aturan itu.
Itu adalah gekan sangat sebat, terutama dilakukannya
dari dekat. Sulit untuk menyingkir dari serangan demikian macam. Akan tetapi, kesudahannya ada diluar dugaan.
Penunggang keledai itu telah perdengarkan suaranya
"Eh, jangan main2 denganku!" Berbareng dengan itu, ia mendahului samber tom, yang ia terus angkat dan ditarik kekanan. Anehnya, kepala keledai itu, berikut separuh tubuhnya, telah terangkat naik hingga seperti binatang yang berjingkrak berdiri!Sesampainya dikanan, baharu keledai itu diturunkan pula. Pemandangan itu ada mengherankan dan lucu juga.
Soe ma Sioe Ciang kebogehan, karena samberannya
mengenai tempat kosong, disebelah mendongkol, iapun
hampir tertawa. Ngo Cong Gie dan yang lain segera menyangka pada
orang jahat. "Maju!" ia berseru seraya hunus senjatanya, iapun maju terus. Perbuatan ini diturut oleh yang lain2.
Ciok Liong Jiang berjalan berendeng dengan piauwsoe
Teng Kiam, keduanya sedang ber omong" dengan asyik, ia tidak tahu tentang kelakuannya si penunggang keledai, ia baharu angkat kepalanya kapan ia dengar suara berisik, paling belakang ia dengar suaranya si penunggang keledai, justeru waktu orang ini sedang berdiri bersama keledai nya.
Ia melihat wajahnya penungang keledai itu, ia terperanjat.
"Jangan bergerak! Orang sendiri!" ia berseru, menyusul mana, ia loncat kedepan.
Pada waktu itu, si penunggang keledai telah putar balik binatang tunggangannya sambil ia mengucap dengan tajam
"Sungguh orang2 yang liehay! Rupanya karena melihat aku bersendirian, kau beramai hendak begal aku! Hayo maju, anak2, masih belum ketahuan siapa yang nanti bercelaka!"
Selagi pihak piauwsoe dan boesoe melengak karena
seruannya Ciok Liong Jiang, pemuda ini sudah sampai
didepannya si penunggang keledai, tidak perduli itu ada jalanan gunung, ia terus saja tekuk kedua lututnya, sembari manggut berulang2, ia mengucap "Soe ya, terimalah
hormatnya cucu murid Ciok liong Jiang! Semua soepe dan soesiok ini belum kenal soe ya, maka terjadilah ini salah mengerti, harap soeya suka memaafkannya."
Mendengar itu, semua orang menjadi terperanjat.
Teranglah sudah, penunggang keledai itu ada toa ya, atau orang pertama, dari Yan tiauw Siang Hiap, ialah Twie in chioe Na Pek si Tangan Kilat. Diantara mereka, sebagian ada orang2 Hoay Yang Pay, tetapi merekapun belum
pernah ketemu dengan orang tertua itu. Lantas saja semua letaki senjata, mereka maju untuk memberi hormat.
Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang menjadi jengah
sendirinya. "Sudahlah!" berkata si penunggang keledai, yang dengan satu gerakan, sudah lantas berloncat turun dari binatang tunggangannya itu.
Liong Jiang segera memperkenalkan kake guru itu
kepada Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang.
Na Pek buat main kumisnya ketika ia pandang kedua
piauwsoe itu. "Sudah lama aku dengar nama besar dari jiewie, yang
berhasil mendapatkan kebahagiaan dan nama wangi," kata ia. "Akupun kagum untuk kemuliaanmu berdua yang
hendak membantu pihak Hoay Yang Pay...."
Semua orang heran Twie In Chioe mengucap demikian,
sedang kedua piauwsoe itu, rasakan muka mereka masing2
menjadi panas bahna jengahnya.
Ngo Cong Gie ada sabar, ia diam saja, tidak demikian
dengan Soe ma Sioe Ciang, yang darah nya panas, maka
juga ia menyahuti katanya "Loo hiapkek keliru dengar!
Kami justeru rubuh di Kanglam ini, hampir jiwa kamipun lenyap, maka syukur ada Jieya yang berulang2 menolong dan melindungi kami. Maka itu, kami ada tidak tahu diri sekarang berani hendak membantu kepada Hoay Yang
Pay...." Na Pek tertawa terbahak2.
"Soe ma Piauwtauw, jangan salah mengerti!" kata ia.
"Aku maksudkan kau telah berhasil dengan iringkan piauw sekali ini. Adalah kebetulan kau bertemu dengan jie teeku, yang sedang ikuti satu sahabatnya. Aku sendiri datang dari arah Ciang hoa, sejak di Tong peng pa, aku telah melihat rombonganmu. Baik adalah kedatanganmu ini, sebab Cap
jie Lian hoan ouw ada kuat dan membutuhkan banyak
tenaga untuk menyerangnya. Aku justeru bersyukur, yang kau berdua niat membantui kami. Perangiku memang luar biasa tetapi jangan kau keliru mengerti."
Liong Jiang tahu tabeatnya soeya ini, maka itu, ia
mencegat. "Soe ya, apakah soeya ada ketemu Ong Soepe?" tanya
ia. Soe ma Sioe Ciang hendak buka mulutnya, akan tetapi
cegatannya Liong Jiang membikin ia urung bicara.
"Ciangboenjin telah pergi bersama2 Kam Tiong dan
Kam Hauw," sahut kake guru itu. "Mereka telah pergi ke kuil Tiat Hoed Sie di Hok Say Nia, Sampai sebegitu jauh, ia peroleh juga sedikit keterangan. Pihak Hong Bwee Pang telah mendapat tahu bahwa kita datang dengan tenaga
penuh, merekapun asyik bersiap sedia akan melayani
dengan sungguh2. Mereka juga ada mempunyai banyak
orang2 liehay dari Rimba Hijau yang dapat dikumpulkan dari berbagai tempat, mereka di pencar keempat penjuru akan rintangi sesuatu rombongan kita yang menuju
kesarang mereka. Baik berterang maupun bergelap, mereka gunai segala macam cara untuk ganggu kita, supaya kita gagal ditengah jalan. Dengan begitupun mereka hendak
mengunjuk pengaruh mereka. Maka karena ini, tak boleh kita berlaku sembrono. Coe In Am coe bersama murid2
perempuannya telah dapat tahu dimana beradahya Hong
Bwee, muridnya am coe yang terculik musuh. Untuk
menolongi muridnya itu, am coe bersedia akan mengadu
jiwa dengan Thian lam It Souw Boe Wie Yang, dan ia
belum mau sudah sebelum Thian Hong Tong hancur lebur.
Diam masih ada orang pandai lain membantu kita.
Sebenaraya aku berniat basmi rombongan dari Tiat Hoed Sie, apamau, mendadak aku mesti hadapi satu urusan lain, dari itu, kebetulan sekali aku bertemu dengan kau sekalian.
Maka sekarang, pergilah kau menuju ke Tiat Hoed Sie,
disana ciangboenjin kekurangan tenaga. Kau mesti waspada untuk kelicikan musuh."
Lioe Hong Coen terima baik pesan itu.
"Kami akan segera menuju kesana," jawab ia.
Mereka lantas berpisahan.
Demikian, tatkala rombongan ini sampai di Tiat Hoed
Sie, bentrokan sudah terjadi dengan Soe coan Siang Sat, yalan Shong boen sin Khoe Leng dan Kwie lian coe Lie
Hian Tong, yang sudah mengatur panggung patok Ceng
tiok tibung untuk mencoba celakai Ong Too Liong, yang hendak dikurung didalam lembah. Merekapun telah
bertempur dengan musuh, sampai akhirnya kedua pihak
bekerja sama2 memukul mundur musuh mereka. Dan
kesudahannya, mereka berkumpul sama2 didalam rumah
batu dari pemburu she Hee yang bernama Hong Lim.
Melanjutkan pembicaraan mereka, Eng Jiauw Ong
utarakan kekuatirannya untuk Hee houw Eng yang
ditugaskan menguntit Lie touwhoe Liok Cit Nio, itu
perempuan cabul yang licik. Iapun hunjuk, sejak berpisahan dengan Coe In Am coe, belum pernah ia ketemu pula
niekouw dari See Gak Pay itu, ia percaya bahwa niekouw itupun ada menghadapi ancaman bencana.
"Maka itu, perlu, kita cari mereka untuk gabungkan
diri," menyatakan ketua Hoay Yang Pay akhirnya.
"Aku rasa tak perlu kau berkuatir, Ong Soetee," berkata Kim too souw Khoe Beng, sang soeheng. "Coe In Am coe
pasti telah wariskan ilmu silat golong nya, sedang
pedangnya, Tin hay lok po kiam, dan dua belas butir
mutiaranya, See boen Cit poo yoe ada dimalui kaum kang ouw. Aku percaya, walaupun orang2 Hong Bwee Pang
liehay, tidak ada berapa orang yang sanggup tandingi
padanya. Tetapi benar kita mesti lekas berangkat.
Selekasnya kita sampai di Hoen toei kwan dan memasuki Cap jie Lian hoan ouw, urusan pasti akan segera ada
kepastiannya." Sampai disitu, Ngo Cong Gu meminta diterangkan satu
dan lain mengenai Hong Bwee Pang atau persengketaan
antara kedua golongan itu.
Eng Jiauw Ong berikan keterangannya, setelah itu ia
menambahkan, untuk mencuci malu terutama guna tolong
muridnya, ia hendak melakukan pertempuran yang
memutuskan dengan Hong Bwee Pang. Ia tidak lupa
menghaturkan terima kasih untuk bantuannya kawanan
piauwsoe ini. Menambahkan keterangan, Ngo Cong Gie mengatakan
bahwa menurut satu sahabatnya, Boe Wie Yang, tidak
hanya gagah dan pintar, diapun pandai menarik rasa suka lain orang terhadapnya, karena mana, dia jadi dapat
tunjangan banyak penjahat pemburon yang liehay, maka
tidak heran apabila Hong Bwee Pang menjadi berpengaruh besar. Umpama Lwee sam tong, yang telah dirampungkan
sempurna setelah membutuhkan tempo dua tahun, cuma
beberapa anggauta penting ketahui keletakannya. Untuk pergi kesana, bukan saja jalanan yang banyak tikungannya, pun ada gelap gulita, hingga orang jadi seperti nyasar untuk bedakan saja empat penjuru, ada sulit. Jalan masuk pun lain dari jalan keluar. Untuk masuk dan keluar, perlu tempo berjam jam. Maka itu, tak heran bila orang luar ada sangat gelap mengenai Cap jie Lian hoan ouw.
"Aku menganggap, sekalipun kita sudah ketahui
keletakan Cap jie Lian hoan ouw, tidak boleh kita lancang memasukinya." Con Gie. mengasi pikiran. "Sulit dan
berbahaya umpama kita kena terjebak dan terkurung tanpa kita sanggup berdaya. Aku anggap baiklah kita berlaku sabar dan menyelidikinya dahulu dengan saksama, setelah ada kepastian, baharu kita turun tangan."
"Terima kasih, Ngo Piauwtauw, benar apa yang kau
katakan," menyatakan Eng Jiauw Ong. "Keterangan yang
aku peroleh cocoh dengan keteranganmu ini. Memang Boe Wie Yang liehay dan banyak kawannya yang sehidup
semati. Sekarang ini kita mesti berkumpul dan bersatu, lain tidak!"
LXVIII "Aku percaya letaknya Cap jie Lian hoan ouw tak terlalu jauh dari Hoen coei kwan," Sin koen Ke Siauw Coan turut bicara. "Pasti Boe Wie Yang menggunai kelicinannya untuk permainkan kawan2nya, untuk mencapai pusatnya ia bikin perahu jalan ter putar2 hingga jadi memakan tempo lama, terutama itu dilakukan diwaktu malam, tidak heran kalau orang jadi seperti tersasar."
"Kau benar soetee, aku menduga sama seperti kau," Eng Jiauw Ong bilang. "Aku menganggap menyelidiki terlebih dahulu ada jalan terbaik."
Lantas ada yang usulkan, akan bikin kunjungan secara
berterang sambil membawa karcis nama yikalau sekarang kita berbuat demikian, aku kuatir orang makin mempersulit kita," kata ketua dari Hoay Yang Pay. "Dimana sekarang anak panah telah disiapkan, segala apa terserah kepada pihak sana, kita tinggal menyambut saja."
Sementara itu, cuaca telah mulai terang, tidak berayal lagi Eng Jiauw Ong titahkan Kam Tiong pergi papaki Hee houw Eng, yang ia kuatirkan sangat.
Kam Tiong segera menuju ke Ngo Hong peng, ia jalan
belum jauh, lantas ia lihat Hee houw Eng sedang
mendatangi, dengan demikian kedua pihak jadi bertemuan dan Hee houw Eng segera menemui po coe dari Ceng hong po akan tuturkan pengalamannya.
Eng Jiauw Ong puas orang telah bekerja sungguh2, ia
memuji walaupun pemuda ini gagal menguntit Liok Cit Nio ia menghibur "Tidak apa Liok Cit Nio lolos, dia memang
perlu dikasi hidup, agar dibelakang hari dia bisa dijadikan saksi dimuka ketua Hong Bwee Pang."
Setelah itu, Hee houw Eng sampaikan pesan dari Yan
tiauw Siang Hiap agar ketua ber hati2 menghadapi musuh, yang liehay dan banyak kaki tangannya.
Eng Jiauw Ong puas mengetahui Yan tiauw Siang Hiap
dan lainnya hendak membantu padanya.
Satu malam mereka tidak tidur, mereka beristirahat
sambil me lihat2 keadaan diluar rumah. Pemandangan
alam disitu ada menarik hati dan menyegarkan.
Ber sama2 Teng Kiam, Chio In Po dan Ke Siauw Coan,
Eng Jiauw Ong keluar dengan Hee Hong Lim
mendampingi ia, pemburu ini tunijukkan keletakan tempat.
Mereka pergi sampai dipuncak depan Hok Say Nia. Tiba2
dari arah Timur.selatan, dari balik puncak, kelihatan munculnya sepasang burung dara, yang terbang tinggi dan kemudian melayang terputar2 diatasan kepala rombongan ini, hingga mereka menjadi menaruh perhatian. Selang
sedikit lama, kedua burung itu turun kebalik puncak.
"Hee Soehoe, apakah dibalik puncak itu ada penduduknya?" Siauw Coan tanya.
Eng Jiauw Ong sedang perhatikan burung, ia menoleh
ketika dengar pertanyaannya Ke Siauw Coan, iapun
memandang kepada Hee Hong Lim, siapa tidak lantas
menjawab hanya unjuk roman terkejut dan ragu.
"Pasti disana tidak ada rumah orang," kata ketua Hoay Yang Pay, yang mendahului pemburu itu. "Inilah aneh...."
"Tidak, tidak aneh!" Chio In Po menyusuli. "Burung
dara itu sedang terbang kabur saja. Lihat disana, itu burung elang!"
Eng Jiauw Ong semua lantas berpaling, kearah yang In
Po tunjuk. Seekor burung elang besar sedang mendatangi, pantas burung dara itu ketakutan, elang itu melihat bakal mangsanya, dia terbang kebawah untuk menyamber, tetapi belum dia sempat terkam mangsanya, dia menjerit
sendirinya, tubuhnya jumpalitan, sayapnya mengeluarkan asap. Dia masih berbunyi terus ketika tubuhnya jatuh
melayang kebawah. "Pasti ada orang dibalik punck itu," kata Eng Jiauw Ong pada Ke Siauw Coan. "Dia yang lepaskan burung dara itu untuk ,memancing elang itu, yang di serang dengan
semacam senja rahasia. Macam apakah senjata rahasia itu?"
Siauw Coan geleng kepala, begitupun yang lain2.
"Pasti disana ada orang yang umpatkan diri," Ong Too
Liong kata pula. "Mari kita tunggu, akan lihat apa akan terjadi terlebih jauh."
"Yang aneh," kata Hong Lini, "kenapa bulu elang itu
terbakar...." "Itulah senjata rahasia yang dinamakan Boe ie Boe seng Sin hwee ciam," terangkan Eng Jiauw Ong. "Sudah lama
senjata itu tidak pernah orang gunakan. Orang yang
dapatkan senjata itu adalah Hwee Too jin Coei Keng Hie, imam kepala dari kelenteng Thong Leng Koan dari bukit Tok Hoe Kong di ilir sungai Kim Hee Kang. Imam itu,
yang dikenal sebagai Thong Leng Koan coe, biasa ciptakan alat yang memakai api, umpama panah api, ia telah buat dalam beberapa macam. Dia ada seorang mulia, dia bikin pelbagai senjata rahasia itu untuk menindas pengaruhnya rombongan bajak di Kim Hee Kang udik. Kawanan bajak
itu, yang liehay, ada sangat mengganggu lalu lintas sungai, dan pihak pembesar negeri tidak sanggup tumpas mereka,
lantaran pesatnya perahu2 mereka. Tetapi Thong Leng
Koan coe, dengan jarum Boe ie Boe seng Sin hwee ciani itu, bisa menyerang tanpa perahunya dapat menyandak,
asalkan jarumnya mengenai sasarannya. perahu bajak tentu terbakar. Dalam satu kali lepas, tiga batang jarum
menyerang dengan berbareng. Jarumnya pun bengkok,
asalkan mengenai sasaran, sukar dicopotkan. Dengan jalan itu Thong Leng Koan coe bikin sungai Kim Hee Kang jadi aman. Setelah itu, ia sekap diri dalam kelentengnya. Maka aku tidak sangka, setelah berselang beberapa puluh tahun, disini muncul senjata rahasianya itu. Sekarang perlu kita mencari tahu, apa maksud permainannya akhli waris Thong Leng Koan coe itu."
Siauw Coan semua kagum untuk pengetahuan luas dari
ketua Hoay rang Pay ini. Selagi mereka bicara lebih jauh, kembali muncul belasan burung dara dari balik puncak tadi, setelah berputuran, semua burung itu terpencar keempat penjuru.
"Sungguh liehay kawanan penjahat itu," Eng Jiauw Ong
memuji. "Kita sudah basmi pusat burungnya, sekarang
mereka bersarang disini. Rupanya disini benar terdapat muridnya Coe Keng Hie itu."
Liong Jiang puas dengan keterangan ketuanya itu tetapi ia tak puas dengan sepak terjangnya musuh.
"Kalau begitu, nyata sekali mereka menghina kita!" kata dia. "Jikalau kita antap saja, pasti mereka akan memandang kita terlebih rendah pula!"
"Aku bukannya keder terhadap mereka," nyatakan Eng
Jiauw Ong. "Seperti soeyamu, akupun hendak berlaku
hati2. Pasti ada urusan penting maka diwaktu siang seperti ini, mereka lepas burung mereka. Kalau suka, kau boleh pergi menyelidikinya."
Liong Jiang memang ingin mencari tahu, bersama Ngo
Cong Gie, Soe ma Sioe Ciang, Wie Sioe Bin dan Kim
Jiang, berlima mereka lantas berangkat.
Sulit untuk pergi kebalik puncak, selain jalanan sukar, pun pepohonan tinggi2 sependirian orang, pepohonan itu ada rumput dan oyot2. Ketika akhirnya mereka sampai,
disitu mereka tak melihat seorangpun juga. Terang sudah, orang jahat telah sembunyikan diri. Karena ini, Liong Jiang kagum akan luasnya pengetahuan soepenya.
Setelah mencari sekian lama dengan sia2, Liong Jiang
mengajak rombongannya pulang, langsung kedepan Cio
hoed tong, ia agak jengah menemui Eng Jiauw Ong.
"Jadinya penjahat ada punya jalanan rahasia disini?"
tanya Khoe Beng. "Memang," sahut Eng Jiauw Ong. "Disini ada jalanan
rahasia seperti yang didepan Tiat Hoed Sie. Sayang kita tak punyakan ketika akan mencari jalanan ini. Lagipun apabila kita mencari dengan sia2, penjahat bakal tertawakan kita,"
"Itulah benar. Kita memang perlu lekas pergi ke Hoen
coei kwan," Khoe Beng kata.
"Penjahat benar tak dapat dipandang enteng," boesoe
Wie Sioe Bin turut bicara.
"Penjahat licin, kita

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik bersikap tak memperdulikannya," mengutarakan Eng Jiauw Ong.
"Karena penjahat tersebar luas, baik kita waspada saja, bicara pun mesti hati. Jangan kita pandang enteng pada musuh dan berlaku jumawa tak ada perlu nya."
Eng Jiauw Ong melihat kesekitarnya, ia dapatkan orang mengerumuni padanya.
"Silahkan kau jalan2, atau siapa lelah, dia boleh
rebahkan diri," ia kata. "Hee Soehoe pun boleh mengaso, diwaktu siang seperti ini tidak nanti terjadi apa juga.
Sebentar malam baharu kita berdamai pula" Kemudian ia tambahkan pada Hee Hong Lim "Hee Soehoe, disini
dimana tempat yang paling tinggi. Ingin aku memandang sekitar daerah pegunungan ini."
"Disana, po coe," sahut Hee Hong Lim sambil
menunjuk ke belakang Hok Say Nia. "Itu Thian Coe Hong, puncak tertinggi disini"
"Baiklah," kata Eng Jiauw Ong. "Silahkan Hee Soehoe
beristirahat, bersama Khoe Soeheng aku berniat melongok ke sana. Aku rasa, kami perlu berdiam disini sedikitnya dua hari lagi"
Mendengar demikian, Hee Hong Lim lantas mengundurkan ini. sekalian siapkan barang hidang . untuk sekalian tetamunya bila sebentar mereka pulang.
Sesudah si pemburu pergi dan kawan2nya berpencar,
Eng Jiauw Ong mengajak soehengnya menuju ke Thian
Coe Hong. Khoe Beng bisa menduga maksudnya soetee ini, ia mengikuti sambil bicara secara sewajarnya saja Eng Jauw Ong tahu soe heng itu mengarti ia, iapun tidak pula
memberi keterangan lagi. Mereka sampai di Thian Coe! begitu lekas mereka telah lewati Hok Say Nia. Disini Eng Jiauw Ong lantas
perhatikan keletakan puncak dan sekitar nya. "Tempat
mereka berdiri cuma bisa muat empat atau lima orang."
"Sayang, soeheng, disini tak dapat kita memandang
ketempat jauhnya dua puluh lie," kata Eng Jiauw Ong
kemudian. Ia tidak puas. Ia melihat disana sini ada alingan puncak terlebih rendah, sampat pun sungai tak ter ampak dari situ. "Mari kita pulang...."
Khoe Beng turut saudaranya ini.
Ketika mereka pulang, orang hampir kumpul semua.
Mereka beristirahat sebentar, lantas tuan rumah undang mereka bersantap tengah hari.
Sehabisnya dahar, Eng Jiauw Ong menyatakan pada
Khoe Beng, untuk peroleh keterangan, tidak ada jalan lain kecuali menawan satu musuh, untuk korek keterangan
daripadanya. Sikap ini diambil saking terpaksa.
"Begitupun boleh, soetee," Khoe Beng hunjuk setujunya.
"Sebentar malam kita boleh memecah rombongan akan
mencari musuh. Disini mereka atur penjagaan, mesti kita akan ketemui satu diantara mereka"
Eng Jiauw Ong segera mengambil ketetapan.
"Hanya Ban Soetee serta Ciong Soetee, kenapa sampai
sekarang ini mereka masih belum juga sampai?" kata ia.
"Tentang mereka tak usah soetee buat pikiran," Khoe
Beng bilang. "Mereka berdua tak dapat disamai dengan
yang lainnya, selain boegeenya sempurna, merekapun
cerdik. Bisa jadi mere kapun dapatkan pengalaman apa2.
Baik kita berkumpul saja nanti di Kioe Leng Kiong dari Hok Mo Toojin. Di Kioe Leng Kiong kita ada leluasa. Hok Mo Toojin ada satu orang luar biasa dalam kalangan Rimba Hijau, kita memang harus berkunjung kepada nya"
"Aku memang sudah pikir untuk pergi kesana," Too
Liong bilang, "hanya sebelum aku berhasil dengan
penyelidikanku, aku malu menemui kaum Rimba Persilatan siapa juga."
Demikian keputusan mereka. Orang kemudian pada
beristirahat, tetapi Eng Jiauw Ong dan Khoe Beng
bersamedhi. Sampai sore tidak ada terjadi suatu apa.
Mereka bersantap siang2, lantas semua dandan. Mereka
pergi dengan setiap dua orang satu rombongan. Eng Jiauw Ong yang atur mereka, Khoe Beng dan Teng Kiam diminta pergi kearah Ngo liong peng, untuk membantu yang lain. Ia sendiri berangkat bersama Thay kek Lioe Hong Coen dan Sin koen Ke Siauw Coan.
LXIX Ketika orang mulai berangkat, waktu itu ada jam satu.
Eng Jiauw Ong bertiga berangkat paling belakang. Tetapi merekapun tidak berkumpul terus, Eng Jiauw Ong
mengusulkan memecah dua, supaya mereka tak berombongan dan jadi menyolok mata, yalan Hong Coen
berdua Siauw Coan, ia bersendirian.
Hong Coen dan Siauw Coan menurut, malah merekapun
mengambil jalanan yang Eng Jiauw Ong tunjukkan, hanya sekembalinya nanti, mereka mesti kumpul dulu ditempat dimana tadi mereka berpisahan. Eng Jiauw Ong ingin jalan sendiri, supaya ia bisa bekerja dengan merdeka.
Begitulah, setelah berada sendirian, Eng Jiauw Ong
lantas maju. Ia tak jeri terhadap jalanan sukar atau lebat, ia maju dengan hati2, agar musuh tidak dapat pergoki
padanya. Ia perhatikan tempat dimana tadi siang ia melihat burung elang dipanah dengan senjata rahasia. Langit gelap ada menambahkan kesukaran bagi penyelidikan ini.
Malampun ada sunyi. Untuk memancing, Eng Jiauw Ong
patahkan satu dahan besar, yang rubuh dengan menerbitkan suara keras dan berisik. Akan tetapi, setelah menantikan sekian lama, ia tidak dengar sambutan apa2. Ia heran.
Disitu toh ada musuh! Karena penasaran, Eng Jiauw Ong pergi kelain pohon,
yang agak jauh juga dari pohon tadi, akan ulangi
perbuatannya, malah ia lakukan itu terus sampai empat
kali, hingga suara berisik bergemuruh saling susul,
berkumandang dimalam yang sunyi dan gelap itu. Adalah sekarang, ia berhasil.
Dengan tiba2 satu bayangan muncul dari tempat lebat,
tadi nya tidak terlihat tegas, kemudian ternyyata itu ada seekor, anjing pemburu yang besar, yang matanya bersinar mencorong. Eng Jiauw Ong kenali, itulah ada anjing asal Barat utara, yang ada lebih besar daripada yang kedapatan di Liok kee po.
Anjing itu loncat kearah tempat Ong Too Liong
sembunyi, dia mencium cium, dia seperti dapat baui bau manusia.
Eng Jiauw Ong ketahui liehaynya binatang ini, ia bakal ketahuan asal binatang itu datang dekat padanya, dari itu, ia lantas bersiap, begitu lekas sang anjing mendatangi, ia sambut dengan satu kemplangan dahan pohon siong,
hingga tanpa bersuara lagi anjing itu rubuh pingsan. Setelah itu, ia perdatakan tempat dari mana binatang itu muncul. Ia mundur, dengan jalan memutar. Ia hampirkan tempat itu.
Itulah cara untuk menghindarkan diri dari incaran musuh.
Segera berkelebat tiga pasang cahaya kuning emas,
melesatnya kearah dimana tadi Eng Jiauw Ong mengumpatkan diri. Menampak ita, jago Hoay Yang Pay
ini menghela napas dan manggut2, saking kagumi
liehaynya musuh, ia bersyukur yang ia telah menggeser diri dengan cepat.
Lantas Eng Jiauw Ong bergerak kearah dari mana sinar
itu keluar. Ia tahu ia sudah terpisah empat lima lie dari rumahnya Hee Hong Lim. Ia sampai disatu
tempat yang menghadapi jurang atau lembah, yang dalam nya
hanya dapat dilihat samar2, tapi ia tidak sudi mundur
dengan begitu saja. Dengan bantuan cahaya si Puteri
Malam, ia masih terus menyelidiki.
Dengan sangat lapat2, ditempat satu lie lebih, terlihat sesuatu yang ber gerak2, pemandangan itu menarik lebih keras hatinya Eng Jiauw Ong. Maka diakhirnya setelah
rapikan pula pakaiannya, ia cari tempat untuk loncat turun.
Disini ia gunakan ilmunya entengi tubuh, ia selalu samber oyot dan kakinya berulang menginjak batu dilamping
pernah ia terpeleset, tetapi ia tidak tampak bahaya.
Diakhirnya, ia sampai dibawah dengan tak kurang suatu apa.
Lembah itu ada penuh batu, disana sini ada air atau
lumpur, dan pepohonan gelagah. Tanpa pakaian mandi
sukar akan lewati air berlumpur itu.
Sesudah meneliti sekian lama, Eng Jiauw Ong heran.
Disitu tidak ada jalanan keluar. Dari mana penjahat datang dan kemana mereka menyingkir" Apa mungkin orang gunai perahu kecil dan enteng atau berenang selulup"
Dengan sebatang dahan kering, Eng Jiauw Ong tusuk2
air, untuk cari tahu berapa dalamnya. Ia dapat kenyataan air tidak seberapa dalam, tapi didasarnya ada pasir dan lumpur. Antara nya, ada tanah yang muncul rata dengan air.
Akhirnya Eng Jiauw Ong percaya, dengan ilmu "Teng
peng touw soei" atau "Menyeberang dengan injak kapu2,"
ia akan bisa melintas dilembah berbahaya ini. Ia tidak membuang tempo akan mencobanya. Ketika pertama kali
ia menginjak tanah rata dengan air itu, ia tidak melihat tapak kaki.
Tiba2 ia merandek. Ia dengar suara air, seperti air
terdampar perahu yang laju terbawa angin. Inilah aneh untuk tempat sunyi itu. Ia merandek sebentar lalu maju
pula, mata dan kupingnya dipasang terang2. Ia senantiasa waspada. Ia insaf berbahayanya tempat ini. Beruntung
untuk ia, disitu ada tempat2 lebat dimana ia bisa
sembunyikan diri. Sampailah Eng Jiauw Ong di satu tempat yang
menikung, ia baharu muncul atau disebelah kirinya ia
dengar suara orang. Sedetik ia terperanjat, tetapi akhirnya, ia menghela napas.
"Benar2 Boe Wie Yang liehay," pikir ia. "Tapi, aku siap sedia untuk melayani dia...."
Diam2 iapun girang karena disini ia ketemui orang. Ia percaya, tidak salah lagi, ini adalah suatu bahagian dari Cap jie Lian hoan ouw. Maka dengan berlaku hati2 ia bertindak, akan menghampirkan suara itu. Ia ber sembunyi begitu
lekas ia sudah datang lebih dekat, hingga ia dengar tedas pembicaraannya orang.
Yang bicara adi dua orang, yang duduk atas sebuah
perahu kecil. Kalau mereka tidak bicara, tidak nanti
ketahuan adanya mereka disitu. Rupanya tikungan itu
menyambung kepada sungai atau kali kecil, yang buntu
didalam lembah itu. Dengan menyingkap gelagah, Eng Jiauw Ong bisa
mengintai dua orang itu. "Kita sial, kita justeru ditugaskan disini!" demikian satu orang. "Apa yang mesti dijaga ditempat seperti ini"
Rupanya kita harus tunggui hantu!...."
"Hm, tunggui hantu?" kata yang satunya, yang suaranya serak. "Jangan omong main2, sahabat! Ketika tadi aku
buang air, aku dengar suara nyaring, hingga aku kaget dan lari kembali kesini! Tempat ini berbahaya, aku benar2
kuatirkan hantu beresi kita" Apakah kau pun tidak pikir demikian, loo Cee?"
"Ya, kita sial," kata pula orang yang pertama. "Maka
aku pikir, baik kita minum puas2an, lantas kita tidur, apa juga kita jangan perdulikan. Sebenarnya siapa yang usulkan untuk kita menjaga di sini" Aku ingin ketahui orang nya!
Suatu hari aku akan pasangi dia hio untuk mohon
couwsoeya lindungi dia agar dia selamat hingga kemudian dia bisa lakukan lebih banyak perbuatan yang merusak pri kebejikan!"
"Cukup, sahabatku!" kata si suara serak. "Kita toh
bukannya dihukum seumur hidup" Sepuluh hari, sebentar saja bakal lewat! Sebaliknya jangan kita alpa, kalau ada terjadi apa2, sungguh berbahaya". Apa kau tidak dengar, selama dua hari ini sudah terjadi suatu apa" Congto kita telah berulang2 menyiarkan titah untuk menghimpunkan
sekalian hio coe dan mengeluarkan titah kepada semua to coe untuk berhati2 berjaga2, siapa yang bikin lolos satu saja musuh, dia mesti bertanggung jawab. Kita tak boleh
pandang titah itu sebagai permainan, sedikit saja angin meniup atau api menyamber, terang sudah kita tak akan sanggup bertahannya...."
"Tak usah kau memesannya, aku sudah mengarti!" kata
sang kawan. "Ditempat seperti ini, mana orang luar bisa masuk" Bukankah didepan Cio Hoed Tong pun kita telah
pasang penjagaan?" "Bukan demikian, sahabat, tetapi waspada ada terlebih baik. Ingatlah cerita Sam Kok ketika Teng Ngay lintasi Im peng. Bukankah katanya tempat itu tak dapat ditoblosi musuh?"
Mendengar sampai disitu Eng Jiauw Ong maju dengan
hati2. Mereka cuma berdua, ia tidak kuatir. Setelah
mendekati perahu, ia lompat kebelakangnya. Ia injak
perahu tanpa perahu itu bergoncang, hingga dua anak buah perahu itu tidak mengetahuinya. Ia terus mengintai didaun perahu, ia lihat satu meja diatas mana ada botol arak serta dua cawannya serta juga beberapa rupa barang makanan.
Dari dua orang itu, yang satu sedang rebah miring, yang lainnya, mukanya merah. Adalah yang rebah, yang
suaranya tidak tedas. Dengan hati2 Eng Jiauw Ong bertindak kedepan, ia
loloskan rantai jangkar, bersama jangkarnya ia angkat, ia lompat ke darat, ketika ia memutar tubuh, jangkarnya itu yang beratnya enam atau tujuh puluh kati, ia lempar
kemuka air, hingga jatuhnya menerbitkan suara keras,
airpun muncrat tinggi dan jauh. Segera setelah itu, ia sembunyikan diri untuk memasang mata.
Kedua gentong arak didalam perahu jadi kaget, dengan
gelagapan mereka samber goloknya masing2 dan lari
keluar. Mereka seperti sadar dari sintingnya. Tentu saja mereka jadi bingung. Jangkar mereka lenyap, tetapi disitu tidak ada orang lain. Lantas saja mereka menyangka pada hantu malam.
"Suara tadi datang dari arah kiri, mari kita periksa," kata yang suaranya dalam, "Lihat, air masih belum diam...."
Eng Jiauw Ong antap orang cari jangkar, ia percaya,
umpama benda itu dapat dicari, tentu mereka mesti
gunakan banyak tenaga dan tempo, maka itu, ia lantas maju lebih jauh. Ketika ia sampai ditempat buntu, nyatalah itu ada satu kali. Melihat keadaan, ia percaya kali Itu banyak tikungannya ketika ia bertindak, mengikuti tepi, nyata dugaannya benar. Beberapa kali ia kesasar kembali
ketempat semula. "Benar2 jalanan rahasia," pikir ia. "Untuk maju lebih jauh, baik aku tunggu perahu lewat"
Atau terpaksa aku mesti rampas perahu tadi...."
LXX Dengan putusan itu, Eng Jiauw Ong lantas menanti. Biar bagaimana, ia ibuk sendirinya. Ia toh mesti meng harap2
tanpa kepastian, sang tempo berjalan terus. Tadinya ia sudah niat balik keperahu tadi, atau mendadak ia dengar suara air tergayu. Segera ia pasang mata pula.
Lekas sekali, dari tikungan kelihatan badannya sebuah perahu tanpa layar, yang panjangnya tak lebih dua tumbak, tetapi itu ada perahu untuk dilaut. Kelihatannya muatan perahu tidak berat. Dikepala perahu ada sisa belasan
puntung hio yang masih menyala. Maka teranglah itu ada perahu nya rombongan Hong Bwee Pang. Perahu ini
menuju keperahunya kedua gentong arak itu.
Dengan hati2, Eng Jiauw Ong menguntit.
Sebentar saja kedua perahu sudah datang dekat satu pada lain, lantas dari perahu yang baru datang itu terdengar gerutuan
"Dasar makhluk rendah! Bisanya cuma menggerutu, percuma keluarkan tenaga untuk kaum kita, katanya mereka tidak diperhatikan, tetapi buktinya, mereka tidak jalankan tugas dengan benar! Lihat, kita datang, mereka diam saja! Mereka mesti di ajar adat...."
"Lihat, lihat, Kie To coe, mereka sedang cari apa?"
terdengar suara lain, dari satu anak buah.
"Apa mereka sedang tangkap ikan" Kelihatannya mereka
berkuat kuat...." Eng Jiauw Ong tahu, suara pertama itu ada dari tocoe
she Kie. Lantas saja Kie Tocoe itu meniup suitan, yang suaranya nyaring dan panjang. Itu ada suitan yang terbuat dari batang gelagah asal wilayah suku bangsa Biam, yang lain daripada gelagah di Tionggoan.
Suitan ini lantas dapat sambutan dua kali dari perahu kecil tadi, perahu mana lantas maju menghampirkan.
"Ah, Kie Tocoe datang!" berseru satu anak buahnya,
yang terus saja tundukkan kepala, tangan kiri diturunkan, tangan kanan dilintangkan. Itulah tanda menghormat kaum Hong Bwee Pang. Kemudian, kawannya, yang Pegang
kemudi, turut memberi hormat juga.
"Kau banyak kerja!" kata Kie Tocoe dengari tawar.
"Kita tidak perdulikan yang lainnya kecuali rombongan kita, Soen kang Cap jie to, rombongan kedua belas. Kalau semua rombongan bekerja rajin seperti kau ini, bekerja sungguh untuk Pang coe, mustahil Hong Bwee Pang tidak maju untuk se lama2nya" Kau geser letaknya perahu,
apakah ada hal yang mencurigai?"
Ditegur secara demikian, dua anak buah itu bungkam,
tetapi mereka tidak berani diam lama2. Mereka pun tahu tak dapat mereka sembunyikan rahasia. Maka mereka
lantas tuturkan kejadian yang mereka alami tadi, bahwa mereka berada diluar tempat sembunyi karena sedang
mencoba mengangkat jangkar. Herannya, kata mereka,
jangkar telah diangkat berikut rantainya, dan itu dilakukan diwaktu mereka tidak tidur tetapi mereka tidak tahu sampai mereka dengar suara menjubiarnya air.
"To coe, kami tidak percaya setan tetapi kejadian ini membuat kami sangsi, sebab tidak bisa jadi ada orang
berani dan bisa masuk kemari," kata mereka akhirnya.
"Begitu?" Kie Tocoe itu perdengarkan pula suara
dinginnya. "jangkar bisa terbang! Sungguh satu kejadian baru! Aku tadinya sangka kau minum arak kekurangan
sayurnya hingga kau turun keair untuk mencari ikan. Kita adalah saudara2 satu pada lain, jangan kita saling
menyusahkan! Kau tahu sendiri suasana selama ini ada
genting, hingga semua hio coe dari Lwee Sam Tong dan
Gwa Sam Tong turut ditarik. Ceritamu ini aku dapat
percaya, tetap lain orang apakah bisa percaya juga" Apakah tidak benar kataku ini?"
"Oh, tocoe," kata anak buah yang suaranya serak,
"harap kau tidak membuat kami penasaran, apa yang kami tuturkan, semua memang benar2 terjadi!"
"Ini ada lelakon melihat setan, apa ini ada lelakon yang dapat dituturkan secara sembarangan oleh kita orang kang ouw?" kata to coe itu. "Baik kita jangan bicarakan hal setan ini! Aku hendak tanya, apa kau tidak tahu, bahwa sekarang kita sedang bentrok dengan Eng Jiauw Ong. Ketua dari
Hoay Yang Pay" Dia itu sudah mengumpulkan kawan
untuk lawan kita. Kita telah kirim orang liehay akan
rintangi pihak lawan, katanya kita gagal, lawan sudah ada didepan mata. Malah kemarin, pusat kita disebelah
Timurpun kena diubrak abrik, sehingga See coan Siang sat yang kenamaan turut rubuh juga. Maka pikirlah, apa tak bisa jadi ada musuh yang telah berhasil menyelusup masuk kesini" Dari itu, baiklah kau pikirkan tanggung jawabmu, yang pun ada tanggung jawabku juga. Maka itu selanjutnya, jangan kau mengingat saja arakmu!"
Ditegur demikian, baharu dua a nak buah itu insyaf.
"Memang, tocoe, kejadian di mencurigakan," kata
mereka "Baik tocoe jangan kuatir, selanjutnya kami akan waspada."
"Itulah harapanku," kata Kie Tocoe. "Kalau kau bekerja benar, akulah yang akan menanggung jawab semua, akan
tetapi bila ternyata kau alpa, rasakan saja sendiri, aku lepas tangan!"
Dua orang itu tidak dapat mengatakan apa2 lagi kecuali mereka berjanji akan jalankan tugas dengan baik.
Kie Tocoe lantas keluarkan sebuah bendera kecil serta beberapa pucuk surat berikut satu kantong kain yang besar, ia letaki itu diperahunya kedua gentong arak seraya berkata
"ini ada dari Congto, untuk pusat digunung Timur. Bendera lima warna ini mesti disampaikan besok tengah hari pada pelbagai pusat darat di Tong peng pa, kalau di sana
kedapatan orang Hoay Yang Pay. burung dara mesti dilepas untuk menyampaikan berita. Yang lainnya, kerjakan
menurut surat2 ini. Sehabisnya jalankan tugas ini. pergi kau kejurang Hoei Pek Gay untuk melepaskan pertandaan,
supaya ada orang gantikan tugasmu berdua."
Eng Jiauw Ong dengar semua pembicaraan itu, diam2 ia
jengah sendirinya. Ternyatalah jurang atau lembah itu benar ada punya satu jalanan rahasia lain.
Setelah itu, Kie Tocoe berlalu bersama perahunya.
Eng Jiauw Ong mengantap kedua anak buah tadi, ia
susul perahunya tocoe itu. Perahu itu, yang tak dipasangkan layar, cepat lajunya telah melalui belasan tumbak.
Menampak demikian, ia lantas saja meloncat naik keperahu itu, ia bergerak tanpa membikin perahu bergoncang hingga musuh tidak menyangka suatu apa. Iapun lantas umpatkan diri.
Beberapa tikungan telah dilewati. Segera layar dipasang, dan perahu mulai berjalan cepat, selang kira2 satu lie, sampailah di kaki bukit. Disini perahu ditujukan ke Selatan, jalannya di kendorkan. Dilain saat, kendaraan itu sudah
memasuki satu pelabuhan yang airnya lebar dan deras
mengalirnya. Maka, mendampar muka perahu, air
berombak dan menerbitkan suara berisik. Pun disini, setiap ada tikungan, ada terdengar suitan dari tempat yang penuh dengan gelagah.
Eng Jiauw Ong insyaf, celakalah perahu luar bila
memasuki tempat ini tanpa mengetahui tanda2 rahasia itu.
Sebentar kemudian, perahu sampai dimuka air yang luas, di Utara ada pepohonan lebat, di Selatan ada hutan bambu.
Dari antara pohon bambu, samar2 kelihatan cahaya api, tetapi cahaya itu lenyap begitu lekas perahu perdengarkan suitan.
Dalam keadaan seperti itu, Eng Jiauw Ong telah bersiap sedia akan menempuh segala rupa yang akan terjadi.


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai disitu, layar diturunkan, perahu dimajukan pula sedikit, memasuki tempat sempit yang sukar muat dua
perahu jalan berendeng. Begitu lekas kendaraan air ini berhenti, dari dalam
perahu keluar anak buahnya, yang terus berdiri berbaris dikiri dan kanan, dan satu anak buah lain muncul dengan seikat hio yang sudah disulut menyala, yang ditancap
dikepala perahu setelah puntung hio disitu dicabut dan dilemparkan keair.
Eng Jiauw Ong percaya, dia tentu telah sampai disuatu tempat penting.
Kie Tocoe berdiri dikepala perahu, lalu diperdengarkan tiga kali suaru suitan, setelah mana, dia kata pada semua orang "Kau sekalian siap! Segera bakal ada pemeriksaan, kau tak dapat omong sembarangan!"
Semua anak buah itu berdiam, seperti menahan napas.
Segera juga terdengar suara air digayu, lalu muncul satu sorotan terang.
"Inilah berbahaya," pikir Eng Jiauw Ong. Ia bisa
kepergok sorotan itu. Sebelum jago Hoay Yang Pay ini sempat memikir lebih
jauh, dari kedua tepi sudah lantas muncul masing2 dua buah perahu, yang masing2 pada kepala nya ada tertancap dua batang obor, hingga cahayanya semua nya delapan
obor jadi terang sekali. Empat buah perahu itu lantas berbaris. Dari salah satu perahu segera terdengar tegoran
"Perahu didepan, lekas perkenalkan diri!"
Kie Tocoe lantas perkenalkan diri, sebagai Soenkang
tocoe ke tujuh, golongan Seng jit ma
"Baru saja keluar pengumuman dari Lwee Sam Tong,"
kata perahu yang menegur itu, "setiap perahu yang pulang meronda mesti diperiksa dengar keras, maka itu, Kie Tocoe, aku mesti jalankan titah itu, kami hendak geledah
perahumu, semui anak buah perahumu mesti berdiri diluar perahu!"
Menyusul kata2 itu, dua perahu bergerak, mendekati dari kiri dan kanan.
Inilah hebat bagi Eng Jiauw Ong, satu kali kedua perahu datang dekat, ia akan terlihat mereka. Tidak ada jalan lain, ia mesti menyingkir. Tapi disaat hendak menggeraki
tubuhnya, Mendadak ia dengar suara, "jangan bergerak!"
Kapan ia menoleh kearah dari mana suara datang, ia
melihat lainnya hanya air berombak, sebagai gerakannya ikan timbul, menuju kesatu perahu sebelah utara.
"Ada orang jahat didalam air! Tocoe, cegat dia!" tiba2
satu anak buah perahu berseru. Dia rupanya telah lantas melihat aliran ombak itu.
Perahu itu lantas diputar untuk mengejar, perbuatan
mana diturut oleh perahu sebelah kanan obor2pun segera diangkat, untuk dipakai menyuluhi.
Makhluk didalam air itu, yang pihak Hong Bwee Pang
kata musuh, bergerak dengan cepat.
"Terjun!" menitah pemimpin dari perahu pemeriksa.
Cepat sekali, empat orang teryun keair, untuk mengejar.
Diperahunya Eng Jiauw Ong, anak buahnyapun keluar
kekepala perahu, untuk bersiap sedia.
Dua perahu lantas diperintah ikuti empat pengejar itu, lalu semua orang pergi ke depan, Eng Jiauw Ong menarik napas lega.
"Terang orang telah tolong aku, berikan aku ketika untuk meloloskan diri," jago Hoay Yang Pay ini pikir. Tetapi, ketika ia hendak muncul dibuntut perahu, tiba2 di situ ia melihat satu muka orang yang kepalanya tertutup tudung lebar, hingga ia terkejut. Tetapi menyusul itu, ia segera dengar suara pelahan sekali "Jikalau kau tidak segera mendarat, garuda tua, segera kau akan kena perangkap!"
"Siapa kau?" Eng Jiauw Ong menegur.
"Sebentar kau akan dapat tahu, sekarang lekaslah
mendarat," sahut orang itu, tetap dengan suara pelahan.
Tetapi menyusul itu, dengan satu loncatan, ia sudah
menyingkir ke pepohonan gelagah yang lebat.
Bukan main herannya Eng Jiauw Ong. Bagaimana orang
itu bisa jalan diantara pohon gelagah, yang tumbuh didalam air dan lumpur"
LXXXI Akan tetapi ketua Hoay Yang Pay ini tidak dapat ketika akan berpikir lama2. Angkat kaki adalah tindakan paling penting bagi nya. Makasetelah naik keatas perahu, dengan satu enjotan tubuh, ia mencelat ketihang layar. Dari sini ia lihat, orang tadi telah lenyap dihutan gelagah.
Dimuka perahu, orang2 Hong Bwee Pang berisik men
duga2, karena musuh yang dicari, tidak kecandak, tidak kelihatan.
Justru itu, dari empat pengejar, satu muncul dimuka air.
"Tocoe, rupanya ini ada seekor ikan besar, coba siapkan senjata rahasia!" ia mengahjurkan.
Mendengar itu, orang lantas siapkan piauw dan panah,
mereka segera menyerang begitu lihat gerakan air berombak seperti tadi, akan tetapi serangan itu sia2 belaka, pihak terserang sudah lantas lenyap.
"Sial," kata si empat pengejar, sesudah mereka kembali dan naik keperahu. "Sayang kita kena dipermainkan
ikan".." Tocoe yang datang dengan tugas pemeriksaan manggut2.
"Kita buang2 tempo saja," ia bilang. Lalu ia lanjutkan pada Kie Tocoe "Kie Tocoe, nah, persilahkan!"
"Baiklah!" jawab tocoe she Kie itu, yang hatinya lega sebab ia tak jadi digeledah.
Sampai disitu, perahu2 berlalu, maka tempat itu jadi
sunyi pula Eng Jiauw Ong tetap berdiam ditihang layar, perahunya itu diberi jalan tanpa tenaga layar, hanya
digayuh oleh anak buahnya. Jalan yang diambil adalah kaki bukit. Diwaktu malam demikian, ditempat lebat, sulit untuk mengenali keletakan. Sekeluarnya dari tempat lebat dengan gelagah, perahu menuju ke Timur selatan, lalu dengan tiba2
menjurus lempang ke Selatan sekali, baharu sepanahan
jauhnya kembali nikung ke Utara. Eng Jiauw Ong berlaku cerdik, ia tidak mengikuti tujuan peerahu, ia hanya
tnengawasi langit dari itu, ia tidak kehilangan tujuan.
Bintang2 adalah patokannya.
Lewat satu lie lebih, didepan ada rintangan sebuah bukit, hingga perahu berjalan pelahan. Setelah datang dekat, ditengah itu kelihatan satu jalanan, yang terang dan ada buatan manusia. Itu ada semacam pintu air yang
menghadapi empat buah aliran.
Kie Tocoe berdiri dimuka perahu, tiga kali ia
perdengarkan suitan, menyusul mana dari depan muncul
sebuah perahu dengan sorotan apinya yang bersinar kuning, melihat mana, Bmg Jiauw Ong terkejut, lekas2 dia
perengkatkan diri supaya tidak tertampak musuh. Syukur ia berlaku sebat, sorotan apa lentera Khong beng teng tidak sampai mengenai padanya, hingga ia lolos, tidak kepergok.
Setelah mana terdengar pula tiga kali suitan dari arah depan, disusul dengan munculnya masing2 dua buah
perahu dari dua aliran air, dikepala setiap perahu ada berdiri seorang dengan pakaian mandi, yang tangannya
sebelah memegang tempuling ngo bie cie dan bendera kecil.
"Lekas perkenalkan diri!" demikian teguran dari dua
perahu itu. Kie Tocoe segera memperkenalkan dirinya.
"Menurut titah dari hio coe di Hoen coei kwan, malam
ini kami dimestikan periksa semua perahu yang datang
kemari, setelah itu baharulah perahu boleh memasuki
wiyayah Pusat," kata satu suara.
"Baiklah!" Kie Tocoe menjawab dengan lantas.
Dua perahu segera merapat perahunya Kie Tocoe, dua
orang loncat pindah untuk menggeledah. Sementara itu,
dua perahu yang lain lakukan penjagaan keras. Pada setiap dua perahu ini ada empat anak buahnya, siap dengan
pakaian mandi dan senjatanya masing2. Diatas setiap
perahupun ada lagi masing2 dua anak buah yang turut
mengawasi keperahunya Kie Tocoe.
Sebentar saja, dua tauwbak sudah selesai dengan
pemeriksaannya, mereka kembali keperahu mereka sendiri, perahu mana pun lantas dimundurkan lima enam kaki
jauhnya. Empat buah perahu itu lantas kasi dengar suitan
masing2, dari bukit segera mencorot dua sinar merah,
bukan keperahunya Kie Tocoe hanya kepada empat buah
perahu penilik itu. Adalah setelah ini, empat buah perahu itu diputar dan digayu balik, hingga disitu tinggal
perahunya Kie Tocoe saja.
"Kenapa kau pada diam saja?" tocoe ini tegur anak buah nya yang masih pada melongo. "Apa yang hendak ditunggu lagi?"
Atas teguran itu, perahu dikasi jalan kesamping.
Eng Jiauw Ong heran atas itu cara pemeriksaan.
Bukankah itu ada pintu dari Hoen coei kwan" Kenapa
sekarang perahu jalan kesamping" Ia sebenarnya bisa
berlalu dari situ, tetapi ia ingin ikuti terus Kie Tocoe ini, maka ia diam terus ditempat sembunyinya.
Muka air disini terapit lamping bukit, luasnya cuma
setumbak lebih, tidak heran, sekitarnya ada suram, malah selang lagi dua tiga tumbak jauhnya, orang tak lihat suatu apa bahna gelap. Tapi suasana gelap gulita ini justeru cocok untuk Eng Jiauw Ong, yang pasti tak gampang orang
pergoki padanya. Lagi pemanahan, perahu perdengarkan dua kali suara
suitan yang panjang, kepala perahu di tujukan kearah
Selatan, yang banyak tumbuh gelagah, setelah mana,
terbukalah suatu jalanan bagaikan pintu, didalam mana, permukaan air luas beberapa puluh bahu, merupakan
sebuah muara atau pelabuhan dimana ada berlabuh kira
empat puluh buah perahu, diantaranya ada tujuh buah yang besar, yang bertihang layar tiga. Belasan adalah yang bertihang layar dua. Yang lainnya semua kecil seperti yang ditumpangi ketua Hoay Yang Pay sendiri. Enam buah
adalah yang dinamakan perahu cepat. Disetiap perahu ada satu lentera dari kertas merah. Semua perahu teratur
bergaris lima, ngo heng, dan yang besar2 ditengah.
Disekitar muara ini adalah gelagah lebat. Yang aneh adalah disitu tidak ada jalanan air yang lebar, hingga tak segera dapat dingerti, untuk keluar atau masuk perahu besar itu mesti ambil jalan dari mana. Keanehan lain adalah air berombak atau bergerak2, entah apa yang menyebabkan itu, hingga bolehlah diduga, ada suatu arah dari mana mesti ada sampokan air yang keras.
"Inilah keanehannya Cap jie Lian hoan ouw." pikir Eng Jiauw Ong.
Perahunya Kie Tocoe ini menghampirkan sebuah perahu
besar, yang pakai lentera dengan huruf huruf "Hoen coei kwai Soen kang Coe to Ang," yang mana berarti, perahu itu ada perahunya tocoe atau hio coe she Ang dari Hoen coei kwan. Kira2 setumbak hampir nempel kepada perahu besar itu, Kie Tocoe tahan perahunya, dari perahu besar ada dikasi turun sebuah perahu kecil, yang segera menghampiri perahunya Kie Tocoe. Dari perahu kecil itu ada satu anak muda, yang manggut pada Kie Tocoe sambil menanya
"Banyak capai, Kie Tocoe! Apakah tocoe hendak memberi laporan pada Hio coe" Hio coe sedang periksa enam perahu
sebelah atas, segera ia akan kembali, maka baik to coe beristirahat dahulu, kalau sebentar hiocoe kembali, aku nanti tolong kau melaporkan diri, apabila ada urusan, baharu aku akan panggil padamu. Jangan kuatir, aku tidak nanti membikin gagal"
Kie Tocoe itu memberi hormat.
"Terima kasih, Cioe Soeheng," jawab ia. "Kau ada baik sekali, cara bagaimana aku bisa membalas budimu ini?"
"Ah, Kie Tocoe, jangan kau berhitungan," kata si Cioe Soe heng itu. "Kita ada anggauta2 Hong Bwee Pang, sudah selayak nya kita saling membantu. Jangan seperti Hauw Tocoe dan Lo Hio coe, itulah merusak persaudaraan" Lo Hio coe ada terlalu besarkan diri, walaupun Hauw To coe gagal, tetapi sikap nya itu membikin Lo Hio coe kena
batunya! Sebaliknya, kita mesti harga menghargai satu pada lain. Kau banyak capai, Kie Tocoe, silahkan kau
beristirahat, besok kita nanti berbicara pula."
Kie Tocoe itu mengucap terima kasih, ia kembali
kedalam perahunya. Si Cioe Soeheng itu pun lantas balik keperahu besar.
Selama itu, suasana ada tenang dan sunyi.
Dalam kesunyian itu, Eng Jiauw Ong loncat turun dari
tihang layar, tanpa menerbitkan suara ia pergi keperahu besar tadi. Dibuntut perahu, ia berdiri akan pasang mata dan kuping, kemudian ia loncat naik keatas gubuk perahu.
Itu waktu, dari belakang perahu, muncul satu orang
dengan tangan menampa nenampan terisi beberapa rupa
barang makanan serta satu poci arak. Eng Jiauw Ong
tunggu sampai orang itu keluar lagi dari dalam, lantas ia mengintai.
Ruangan dalam dari perahu itu ada luas, seluruh
ruangan diterangi lilin merah. Di dekat pintu ada sebuah pembaringan kayu. Tiga batang lilin menyala diatas satu meja kecil, semua lilin tinggal separuh. Meja teh berada didekat jendela dengan dua bangkunya. Disitu ada duduk dua orang, yang asyik bercakap sambil dahar.
Orang yang satu, umurnya kira tiga puluh tahun,
romannya gagah, matanya bercahaya. Yang satu lagi,
usianya kurang lebih dua puluh tahun, mukanya putih dan bersih, pakaiannya sederhana seperti kawannya. Dari
pembicaraan mereka ternyata mereka ada penulis pengurus daftar anggauta, dan pengiringnya Ang Hiocoe yang
dipercaya. Dari pembicaraan mereka, Eng Jiauw Ong mendapat
tahu, bahwa muara itu adalah tempat berkumpul dua belas tocoe dari Hoen coei kwan, dan ke dua belas tocoe itu terpecah pula dalam dua rombongan dari enam tocoe,
bahwa Ang Hio coe itu bernama Giok To, dan wakilnya,
hoe hio coe, adalah Pek gan Hong liong Coei Gie si
Naga Mata Biru. kedua orang inilah yang berkuasa atas dua belas tocoe. Mereka berdiam didalam Hoen coei wan,
baharu selang dua hari mereka datang untuk melakukan
penilikan atas penjagaan yang diperkeras didalam muara itu.
"Eh, Siauw Tan, jangan kau tidak kenal batas," kata
orang yang tuaan, "walaupun tidak ada uang tilik kita tetapi kita jangan temaha minum. Jangankan andalkan kata2nya Coei Hio coe. Tentang sep kita, mustahil ia tidak tahu peranginya" Aku percaya, dia tidak nanti lalai, pasti dia bakal datang pula. Kita sudah minum beberapa cawan,
mari kita bebenah...."
Eng Jiauw Ong tidak mendengar apa2 yang penting.
Justeru itu ia rasakan pundaknya yang kanan ada yang
tepuk, lalu terdengar suara cabang kecil jatuh keperahu. Ia segera menoleh, hingga ia tampak berkelebatnya satu
bayangan kate kecil. yang menghilang dibelakang perahu.
Tidak ayal lagi ia loncat menyusul terus kedarat. Tadinya ia melihat bayangan itu seperti sedang tunggui padanya tetapi selagi ia mendekati, bayangan itu melesat kekiri.
"Tak nanti aku antap kau lolos," kata ia dengan pelahan, tetapi bayangan itu seperti dengar suaranya, dia lantas tertawa pelahan, tubuhnya melesat, terus hilang ditempat gelap. Menyusul itu, disamping perahu besar dari dalam air, timbul satu tubuh orang, yang terus loncat naik keatas perahu. Tadinya ia sangka bayangan tadi, akan tetapi
kemudian ternyata ada seorang lain.
Orang ini mengenakan pakaian mandi, dia sudah lompat
naik keatas gubuk perahu, gerakannya gesit sekali. Dari situ, dia lari berlompatan dan masuk keperahu yang ke empat, dari dalam perahu itu lalu keluar empat orang, yang romannya lesu. Dibelakang mereka ini, ikut orang dari dalam air tadi.
"Tidak salah lagi, dia tentu Coei Gie," pikir Eng Jiauw Ong yang lalu men duga2, empat orang itu entah dipergoki sedang berbuat apa.
Mereka itu naik ke atas sebuah perahu kecil, sedang Coei Gie, melompat kelain perahu sambil membuang beberapa
potong barang kelantai perahu, yang mana ternyata adalah biji2 dadu, beberapa tiang tangchie dan perak hancur. Jadi teranglah sudah, mereka dipergoki sedang berjudi.
Empat orang jemputi biji2 itu.
Ketika kemudian mereka sampai diperahu besar, kesana
Coei Gie sudah masuk lebih dahulu. Mereka pun lantas
masuk. "Benar2 dia liehay," pikir pula Eng Jiauw Ong, yang
kagumi Pek gan Hong liong. Iapun menjadi semakin terklik akan melanjutkan penyelidikannya ini. Maka ia ambil
putusan, akan bekerja sampai orang sudah pada tidur"
Untuk angkat kaki, ia niat gunakan perahu kecil musuh, atau ia cari daratan untuk lolos keluar.
Selagi jago Hoay siang ini baharu saja mengambil
putusannya, tiba2 ia dengar suara berkelisik di dampingnya, jauhnya lima kaki, yalah suara dari tangan yang dipakai menyingkap gelagah. Tak dapati ia bersembunyi pula, maka ia niat maju menyerang, tetapi baharu saja ia hendak
meloncat, atau ia dengar orang berkata dengan pelahan sekali "Hoay siang Tay hiap, kau niat keluar dari sini" Mari ikuti aku dengan tindakan kaki yang tepat!"
Eng Jiauw Ong lihat satu bayangan kate dan kecil,
suaranya pun tidak tedas. Itu bukan suaranya Yan tiauw Siang Hiap, bukan juga dari kawannya yang bertubuh kecil.
Maka ia jadi heran. Tetapi ia meloncat maju.
"Sahabat," ia menegur, "siapa kau" Kalau kau benar
hendak membantu aku, mari perlihatkan diri!"
Orang itu menyingkap gelagah kekiri dan kanan, sembari ia menyahuti "Aku tidak bermaksud jahat, tentang aku
sebentar kau akan ketahui. Sekarang mari ikut aku!"
demikian katanya. Eng Jiauw Ong melihat orang masih muda sekali, lagu
suara nyapun lagu orang Ciat kang Selatan, walaupun ia bercuriga, namun ia tidak takut. Iapun segera ingat, ia sebenarnya berada ditempat berbahaya tak dapat ia berdiam disitu sampai fajar. Sekarang ada orang hendak ajak ia keluar, ia pikir baik ia gunai ketika ini. Dengan begitu, ia jadi ubah niatnya semula. Lantas ia mencelat kearah orang muda itu.
Orang itu sebaliknya, sudah lantas loncat pergi.
"Ikuti tindakanku," demikian pesannya.
Eng Jiauw Ong melihat orang melompat tetapi tidak
terjeblos di air atau lumpur, ia heran, tetapi ia melompat juga, menaruh kaki dibekas injakan kaki orang. Nyata ia kena injak tempat yang keras, pantas orang itu tidak
terbebes. Ia lantas insaf, inilah jalan rahasia. Maka lantas ia mengikuti terus tindakannya orang tidak dikenal itu. Ia berlalu sambil perdatakan sekitar nya. Iapun masih
menduga2 siapa penunjuk jalan ini, yang ketahui rahasia dari Cap jie Lian hoan ouw, yang agaknya bisa mundar
mandir disitu dengan merdeka.
Sebentar kemudian, Eng Jiauw Ong sudah berada di
arah Timur selatan. Ia percaya bahwa ia sudah mendekati jalanan keluar, tempat dari mana ia masuk tadi. Disini si penunjuk jalan menuju lempang ke Selatan, akan akhirnya ia terjun keair.
Ketua Hoay Yang Pay tidak pandai berenang, dari itu
apabila tidak terpaksa, ia tidak sudi turun keair. Ia melihat caranya orang terjun, yang tidak menerbitkan suara berisik, ia kagum. Penunjuk jalan itu pandai berenang dan selulup, gerakannyapun gesit sekali. Dengan sendirinya ia jadi merasa suka pada orang ini.
Nyata orang itu terjun keair untuk berenang sambil
selulup, akan seret sebuah perahu kecil yang disembunyikan, didekat Eng Jiauw Ong ia naik kedarat
hingga ketua Hoay Yang Pay ini bisa melihat wajahnya.
sampai dia tercengang dan keluarkan seruan tertahan. Terus dia tanya "Anak mulia, kau ada muridnya siapa?"
LXXII Orang itu ada satu boca umur lima atau enam belas
tahun, wajahnya nampaknya sepertri bersenyum saja, dan tubuhnya, ditutup pakaian mandi, polos saja, kecuali
dibetisnya, yang kanan yang dilihat, ada diselipkan
sebatang pisau belati. Ketika ditanya ia tertawa saja dengan tidak menjawabnya, hanya ia goyangkan tangan, tangannya itu terus dipakai menunjuk perahu kecil, adalah setelah itu.
sambil mendekati, ia kata dengan pelahan "Tentang aku nanti saja kasi tahu, sekarang lekas kita berlalu, sebentar lagi akan ada perondaan, itulah berbahaya."
Ia buka leher bajunya, ia keluarkan sebatang bendera
kecil yang mana ia serahkan pada Eng Jiauw Ong sambil menam bahkan "Po coe, silahkan naik perahu, kita mesti lekas berlalu dari sini!"
Walaupun heran, Eng Jiauw Ong toh menurut. Ia
meloncat ke dalam perahu, akan duduk. Ia dapat duga
maksudnya bendera itu. Boca itu segera putar kemudi, lantas ia menggayu.
gerakannya cepat gayuannya tidak terbitkan suara
perahupun berlayar seperti perahu kecil melesat. Tetapi ketika ia mendekati tikungan, ia mengoce sendirian,
didalam kesunyian, suaranya cukup tegas. Ia kata
"Sungguh sulit akan melayani Coei ya" Hio coe bakal
lekas kembali, ia masih menyuruh ini dan itu, sampai tak ada tempo untuk beristirahat". Beginilah orang yang
bekerja dibawah perintah...."
Mendadakan berkelebat cahaya api kepada perahu kecil
itu, warnanya kuning. Perahu lewat dengan cepat sekali.
Eng Jiauw Ong kibarkan bendera kecil itu, yang ia bawa kemukanya, hingga sekalipun ia kena tersorot, tetapi
mukanya tidak kelihatan nyata.
"Syukur kita tidak diperiksa...." kata si anak muda,
setelah lewat dari tempat penjagaan rahasia itu.
"Karena kaulah yang pandai," kata Eng Jiauw Ong.
"Kau telah membantu aku, kau kenal baik tempat ini, aku harap bantuanmu lebih jauh, untuk melihat Hoen coei
kwan...." Anak tanggung itu menggayu terus.
"Sabar, pocoe," berkata ia.
"Malam ini kita cuma bisa menonton dari luar. Pocoe
tidak bekal senjata tajam yang bisa dipakai membabat
kutung tembaga atau besi, tidak mudah untuk memasuki
Cap jie Lian hoan ouw...."
"Baiklah. Melihat bagian luar nyapun boleh!" jawab Eng Jiauw Ong.
Selama itu, kendaraan laju terus dengan pesat, sampai di tikungan sebelah Selatan, baharu ketua Hoay Yang Pay
hendak memberi tahu. jalanan terusan itu tak dapat dilalui, atau si anak muda sudah tujukan kepala perahunya
kegombolan gelagah di kaki bukit, maju sampai beberapa tumbak, hingga dari luar tak nanti orang bisa melihat mereka.
Si anak muda tahan perahunya ditepi, dia meloncat
kedarat. Eng Jiauw Ong turun mendarat juga. Setelah si anak
muda selesai tambat perahunya, ia kembalikan bendera
kecil ditangannya. "Simpan saja, pocoe," kata si anak muda. "Bendera ini adalah leng kie dari Ang Giok To, hio coe dari pusat
perondaan Hoen coei kwan, untuk memasuki Cap jie Lian hoan ouw, bendera ini ada besar faedahnya."
"Baiklah kau saja yang simpan," Eng Jiauw Ong bilang


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil tertawa. "aku rasa untuk sementara ini aku tidak membutuhkannya."
Anak muda itu sambuti bendera itu. Ia mengerti, ketua Hoay Yang Pay ini hendak pegang tinggi derajatnya.
"Sebenarnya kau murid siapa dan siapa titahkan kau
ketemui aku disini?" Eng Jiauw Ong tanya. "Apakah she dan namamu" Cara bagaimana kau tahu aku si orang she
Ong" Apabila kau hargai aku, tolong kau kasi keterangan yang jelas padaku."
"Silahkan duduk disana, po coe," kata si anak muda,
yang menunjuk kesepotong batu dibelakang mereka.
"Tentang diriku, panjang ceritanya. Disini ada sepi, kita boleh sekalian beristirahat."
Eng Jiauw Ong manggut. "Baiklah, mari kita omong2 dengan sabar," kata ia.
Maka keduanya lantas menghampirkan batu akan
berduduk, sesudah mana, anak muda itu perkenalkan diri, dia tuturkan tentang dirinya, hingga ketua Hoay Yang Pay jadi terharu dan kagum.
Dia adalah Kang Kiat. putera dari satu congpeng
dibawahan congtok dari Liang Kang. Kang Congpeng
gagah dan setia, ia berjasa, tetapi ia ada jujur, ia tidak pandai bermuka2, walaupun berjasa, ia tidak peroleh
anugerah, malah sebaliknya ia terfitnah, hingga karena jengkel, belakangan ia jatuh sakit, ia menutup mata, sedang wakilnya main gila dengan rangsum tentera, hingga dialah yang mesti bertanggung jawab untuk menggantinya, harta bendanya disita. Syukur Nyonya Kang masih keburu
singkirkan diri ke Ciatkang Selatan dimana ia tinggal dikaki bukit Gan Tong San bersama anaknya yang ketika itu
baharu berusia empat tahun. Selama beberapa tahun
habislah perbekalannya, maka selanjutnya ia mesti hidup dari kuli menjahit, guna pelihara anaknya yang satu2 nya.
Kang Kiat dengar kata dan rajin, dibawah pimpinan
ibunya, yang mengerti surat, ia belajar membaca dan
menulis, dengan usianya bertambah, iapun suka menangkap ikan. Ia pandai berenang dan selulup dengan belajar sendiri. Dikaki bukit Gan Tong San itu,
penduduknya memang hidup sebagai nelayan. Dalam usia
lima belas tahun. Kang Kiat telah jadi sangat pandai
berenang dan gesit sekali, maka dengan hasil penangkapan ikan, ia bisa bantu cari uang untuk penghidupannya
bersama ibunya. Karena pandainya ia berenang, sesama
penduduk disitu panggil ia Siauw Liong Ong, si Raja Naga Kecil.
Thian lam It Souw Boe Wie yang mendengar hal anak
luar biasa ini, ia ingin mendapatinya, tetapi Kang Kiat taat kepada pesan ibunya, buat dia ingat asal dirinya, agar dia jangan memasuki Hong Bwee Pang, dia menolak setiap
ajakan, tidak perduli orang lagui dia tentang jempolnya Hong Bwee Pang itu. Pernah dia bersikap keras waktu
seorang dari Hong Bwee Pang bujuki ia dengan sangat,
kendati begitu, pihak itu tidak menjadi kurang senang.
Malah Boe Wie Yang, saking suka boca itu, larang orang ganggu dia dan berikan dia kemerdekaan akan menangkap ikan didaerah Hong Bwee Pang yang telarang untuk umum, malah ia mengancam dengan hukuman kepada siapa yang
berani mengganggu atau membikin susah.
Demikian Kang Kiat dapatkan kemerdekaannya itu,
karena ia menjadi tetangganya Hong Bwee Pang, ia ketahui juga keletakannya Cap jie Lian hoan ouw atau Hoen coei kwan, malah karena pandainya ia selulup dan berenang, ia pernah memasuki daerah rahasia itu.
Boe Wie Yang kuatir Kang Kiat nanti dipergunakan
pihak pembesar negeri, selagi boca itu tidak mau masuk perkumpulannya, ia pun tidak hendak bikin orang bersakit hati, maka itu Ceng kang ong Ang Giok To, hiocoe atau kepala dari Soen kang Cap jie to, dipesan wanti akan jangan ganggu boca itu, malah dia harus ditunjang juga agar ibu dan anak itu tidak sampai menderita kesengsaraan. Giok To pun dipesan akan berdaya terus membujuki boca itu, hanya sampai sebegitu jauh ia tetap belum peroleh hasil.
Dasar Kang Kiat harus naik nama, apamau terjadilah
persengketaan diantara Hong Bwee Pang dan Hoay Yang
Pay, karena mana, tertundalah ikhtiar Hong Bwee Pang
akan bujuki boca itu. Sementara itu, dengan tambahnya usianya, Kang Kiat pun insaf nasib buruk dari ayah nya almarhum. Tadinya ibunya tidak mau menceriterakan
tentang ayahnya itu, adalah setelah sekarang ia menjadi besar, ibu itu mau juga memberikan keterangan nya. Ia menangis untuk nasib buruk dari ayahnya itu, tetapi
berbareng ia berniat menuntut balas kepada musuh
ayahnya, maka ia menanya, si apa si pembesar atasan, siapa wakil yang jahat dari ayahnya itu.
"Bukan aku takut mati, tetapi setelah menutur tentang ayahmu, aku melarang kau bertindak sembrono," sang ibu melarang. "Dunya berputar, biarlah si orang jahat terima bagiannya sendiri yang setimpal apabila sudah sampai pada saatnya, tidak perduli saat itu cepat atau lambat. Karena hendak menuntut balas, apa kau tega tinggalkan ibumu
yang sisa mati ini?"
Kang Kiat menangis. "Tetapi, ibu, tanpa mencari balas, apa anakmu ada
muka akan hidup dalam dunya ini?" sang anak menanya.
"Tetapi aku memikir lain," sang ibu berkeras. "Satu kali kau memaksa berlalu dari sini, kita ibu dan anak pasti akan berpisahan untuk se lama2nya! Siapa yang aku akan buat andalan?"
Kang Kiat tidak berani tentangi ibunya, maka diam2, ia bikin dua sin cie dari musuh2nya, setiap hari pagi dan sore ia berlutut akan ingatkan itu, karena ia tetap berniat mencari balas. Kedua sin cie itu ia taruh dipojokan yang gelap dan sunyi.
Mulanya Nyonya Kang tidak senang atas sikap
puteranya itu, tetapi belakangan, ia suka mengalah, ia mengantapkannya. Sebab dalam memujih kepada kedua
musuhnya, Kang Kiat pujihkan mereka panjang umur, agar nanti apabila ibunya sudah menutup mata ia masih keburu wujudkan pembalasannya. Ibu itu melainkan memberi tahu musuh mereka ada berpengaruh.
Pada suatu lohor selagi Kang Kiat berdiam dirumah
sedang belajar menulis, ia dengar suara riuh dipesisir, ada banyak orang ber lari2, antaranya ada yang teriaki dia
"Kang Kiat, ada rombongan ikan sedang lewat, apakah kau tidak mau menangkap nya" Hayo, mari lekas!"
"Pergilah kau lebih dulu!" Kang Kiat menyahuti, setelah mana, ia letaki pitnya. "Ibu, pergi atau jangan?" ia terus menanya ibunya.
Kalau ikan banyak, pergilah, asal kau jangan temaha dan lekas pulang," sahut sang ibu.
Kang Kiat lantas salin pakaian mandinya, pakai juga
kopiah untuk diair, lalu sambil tengteng umbingnya, ia bertindak dengan cepat ketepi sungai dimana, dari jauh2
sudah kelihatan banyak orang, ada yang sedang menjala, ada yang sedang menempuling, siapa yang mendapatkan
ikan, dia berseru kegirangan, hingga suara mereka jadi
ramai dan riuh sekali. Memangnya tepian itu ada sedikit jauh dari pelabuhan dan biasanya sepi.
"Hayo, Kang Kiat!" demikian ada yang berseru kapan
mereka melihat boca ini. Dengan cepat Kang Kiat bersiap, lantas ia terjun keair. Ia tidak memakai perahu seperti tukang jala lainnya. Ia terjun dengan kepala lebih dulu, lantas ia selam. Ketika sebentar kemudian ia timbul, ia sudah terpisah sepa mana ia
menyebur, ia muncul dimana ia nyebur, ia muncul di dekat sebuah perahu, kepunyaan kepala nelayan yang bernama
Cioe A Coen, keperahu siapa ia lantas melompat naik,
umbingnya memuat lima ekor leehie yang besar .
"Kau datang, Kang Kiat, kau tentu akan peroleh hasil
bagus!" kata A Coen sambil tertawa. Ia tidak gusar, malah senang ketempatan nelayan muda ini. "hayo tangkap
lebihan, titipkan ikanmu disini, ikan hidup harga nya lebih baik!"
Kang Kiat bersenyum. "Untuk Cioe ya, aku nanti tangkap dua ekor yang
besar!" kata ia, yang segera selulup pula. Kali ini, ia menyebabkan air bergelombang, hingga ketika dua peahu nelayan lain sampai disitu, mereka heran.
"Siapkan tempuling!" mereka berseru, mengira itulah
ikan besar yang terbitkan ombak.
"Hus, jangan! Itulah Kang Kiat,"kata si nelayan she
Cioe. Hampir berbareng dengan itu, air bergelombang disisi
perahunya A Coen, lantas Kang Kiat tim bul dengan kedua tangan memegang masing2 seekor ikan leehie besar sekali, ekornya berontak rontak.
A Koen lekas2 menyambuti dengan girangnya, ia pun
membantu boca itu naik keperahu nya.
Semua nelayan yang melihat itu, bertepuk tangan saking kagum,
semua memuji anak ini. "Siauw Liong Ong benar liehay," demikian pujian
mereka. "Semua empat puluh buah perahu disini kena kau
kalahkan! Ini dua ekor baik dipakai untuk sembahyang
malaikat!" Selagi penangkap2 ikan itu kegirangan, ditepi terdengar nyaring suaranya sebuah kelenengan ___, sebab seekor
keledai kecil sedang dikasi lari mendatangi, penunggangnya ada seorang tua dan kurus, yang setelah datang dekat, lantas tahan tunggangannya secara mendadakan, hingga
keledai itu berhenti sambil angkat tinggi kedua kaki
depannya. Si penunggang sendiri, begitu tubuh tak
bergeming mengawasi kemuka air.
Kedua ekor ikan leehie itu berlompatan dilantai perahu, maka A Coen lekas menutup perahunya itu.
"Cioe ya, aku nanti tangkap dua ekor lagi!" berkata
Kang Kiat. "Hari ini benar ikan banyak!"
Segera tanpa tunggu jawaban, ia terjun pula.
Waktu itu matahari lohor sudah mulai doyong, sinarnya sedang sangat panas, warnanya yang merah atau
kekuning2an, berkilauan ber main2 dipermukaan air, mirip dengan bergerak2nya laksaan ular emas"
Kali ini Kang Kiat menyelam lama, atau a timbul untuk berenang sana dan sini, kemudian menyelam pula.
Perhatian nelayan nelayan umumnya ditujukan kepadanya.
Orang ingin melihat ia tangkap pula ikan bagaimana besar.
Sekonyong2, antara air yang bergelombang, muncul satu benda hitam, satu makhluk yang bergerak, menyusul mana sekalian nelayan, yang dapat lihat itu, pada siapkan
penggayu dan tempuling mereka seraya mereka berteriak2,
"Babi sungai! Babi sungai!"
Sekejab saja orang menjadi gempar, apapula kapan
raksasa sungai itu tabrak sebuah perahu kecil, hingga dua nelayanaya terdampar jatuh kesungai, kemudian binatang itu berbalik, angkat kepalanya, membuka mulutnya yang besar dan bergigi tajam! Rupa nya dia gusar karena
berbentrok dengan perahu dan tumpahkan keamarahannya
kepada kedua nelayan itu.
Diatas perahu masih ada dua nelayan lain, mereka kaget tetapi mereka segera bersiap dengan tempulingnya, dengan berbareng mereka menyerang. Tempuling yang satu lolos tetapi yang lainnya mengenai bebokongnya binatang itu, yang terus saja nyelosor kedepan tiga empat kaki jauhnya, untuk terus memutar diri.
Selagi begitu, Kang Kiat muncul dimuka air, dikedua
tangannya ada dua ekor ikan leehie, dengan sendirinya, mereka jadi berhadapan binatang sungai dan manusia! Hal ini membikin kaget dan kuatir pada sekalian nelayan,
terutama terpisahnya mereka itu tinggal satu tumbak lebih.
"Kang Kiat! Lekas kepinggir, kepinggir!" mereka ber
teriak2, "Babi sungai! Babi sungai!"
Babi sungai itu timbul seraya pentang mulutnya, ia maju menghampirkan Kang Kiat, entah ia hendak menyerang
boca tanggung itu atau kepada sang ikan nya.
Kang Kiat pun telah dapat melihat binatang itu, ia
menjadi ibuk karena tangannya memeluki ikan.
"Kang Kiat, lekas selulup!" kembali nelayan2 menyerukan. "Awas, binatang itu liehay, nanti dia gigit kau! Hayo selulup, lekas!"
Babi sungai itu sudah lantas datang lebih dekat. Dalam ibuk nya, Kang Kiat menimpuk dengan seekor ikan, yang tepat masuk kedalam mulut yang besar dari babi sungai itu, hingga dia jadi tertahan majunya dan mesti memakan dulu ikan itu.
Menggunakan ketika ini, Kang Kiat menyelam.
Babi itu berdiam sebentar, atau dia sudah lantas maju pula, mulutnya menyembur, mengeluarkan tulang2 nya
ikan, dua potong tulang mengenai jidatnya boca ini, hingga ia merasakan sakit dan panas. Baharu sekarang ia insyaf lihaynya raksasa sungai itu. Tetapi ia tidak takut, bahkan sebaliknya ia menjadi gusar. Ia memang bernyali besar. Ia malepaskan ikan yang satunya pula, ia terus selulup, akan maju kepada binatang itu yang ia lewati, maka ketika ia timbul, ia berada dibelakangnya babi sungai itu. Tidak menunggu tempo lagi, ia segera ayun kepalannya
menghajar bebokongnya babi itu. Tetapi ia terkejut bukan kepalang, ia rasakan kepalannya sakit, sebab bebokong itu ternyata sangat keras. Maka lekas2 ia mundur.
Babi sungai itu memutar diri, dengan gusar dia
menerjang boca itu. Masih Kang Kiat tidak takut, tetapi karena mengetahui binatang itu tanggu, ia lekas2 selam.
Biar bagaimana, Kang Kiat kalah awas daripada
binatang itu, didalam air, ia tak dapat melihat jauh seperti binatang itu. Karena ini, perlu ia saban2 timbulkan diri.
Dilain pihak, juga binatang itu ada sangat gesit, sulit akan layani kegesitannya itu. Karena mana, walaupun ia tidak takut, namun ia agak keteter.
"Kang Kiat, naiklah kedarat!" akhirrnya A Coen
serukan. Ketua nelayan ini berkuatir melihat boca itu terdesak, sedang babi sungai itu tahan dengan pukulan kepalan belaka.
Tetapi Kang Kiat tidak sempat menyingkirkan diri, ia
melayani lerus. Tiga nelayan, yang memegang tempuling, dan dua yang
mengayu, telah menyerang berbareng selagi binatang itu terpisah dari Kang Kiat. Mereka harap, boca itu dapat tempo untuk menyingkir ketepi untuk mendarat. Akan
tetapi semua serangan luput, sebab binatang itu sangat sebat. Kang Kiat tetap dihampiri, hingga ia nampaknya ada terancam bahaya.
Itu waktu, orang dan binatang mendekati pinggiran,
maka itu, Kang Kiat menyingkir kedarat. Berbareng dengan itu. ia merasakan samberan angin kemukanya, disusul
dengan suara menjebur keras dibelakangnya. Karena mu
kanya masih bercucuran air, ia tidak melihat tegas
bagaimana seorang tua kecil dan kurus dan kate, dengan kumis jenggotnya seperti jenggot kambing gunung,
menghalang didepannya, maka untuk mencegah tabrakan,
ia ulur kedua tangannya, untuk mendorong. Berbareng
dengan itu, ia dengar suaranya si orang tua. "Ah, boca, kau benar liehay, babi sungai begini galak kau dapat hajar mampus!....."
Boca ini menjadi heran, hingga ia lantas berpaling
kebelakangnya, karena mana, ia terus saja jadi tertegun.
Sebab rebah di pinggiran adalah babi sungai itu, yang mengeluarkan darah dari tubuhnya, hingga air disitu jadi berwarna merah.
LXXIII "Heran betul, untuk menyingkir saja ada sangat sukar, bagaimana binatang ini binasa tiba2?" berpikir ia. Ia masih mengawasi bangkai binatang itu ketika Cioe A Coen datang bersama perahunya.
"Sungguh berbahaya, Kang Kiat!" berkata ketua ini.
"Cara bagaimnaa kau binasakan raksasa sungai ini?"
"Aku tak tahu," sahut si boca dengan ragu2. "Juga orang tua ini katakan akulah yang membinasakannya...."
Sembari berkata begitu, ia ber paling, ia niat tunjuk si orang tua, akan tetapi untuk kesekian kalinya, ia terheran2.
Dimana ada orang lain disitu" Si orang tua dengan jenggot seperti jenggot kambing gunung entah telah menghilang kemana. Ia lantas memandang kesekelilingnya, yang
cuacanya sudah remeng2, tetap ia tak melihat orang tua itu, yang terlihat adalah banyak nelayan lainnya, yang pada mendatangi, hingga kemudian ia kena dikerumuni.
"Sudah sore, Kang Kiat, lekas kau pulang!" kata A Coen kemudian. "Mungkin ibumu mengharap2 padamu. Babi
sungai ini nanti aku yang urus, ini uang empat renceng untukmu sebagai hadiah!"
Ketua ini memang hargai boca ini dan tahu orang ada
sangat disayang oleh ibunya.
Kang Kiat melengak. "Cioe ya," kata ia kemudian, "aku minta sukalah hal ini kau rahasiakan terhadap ibuku,
jikalau tidak, lain hari pasti ibu tak ijinkan aku keluar pula"
"Baik," sahut A Coen, yang mengerti kesulitannya boca itu, malah ia terus pesan semua nelayan akan simpan
rahasia. Hatinya Kang Kiat lega, ia terima uang itu sambil
mengucap terima kasih dan lantas ngeloyor pulang. Dari
jauh2 ia sudah lihat ibunya sedang menunggui di muka
pintu seraya matanya mengawasi kearah sungai.
"Kenapa ibu masih diluar saja?" anak ini menegur
sambil tertawa. "Apa ibu menunggui aku karena hari sudah magrib" Hari ini ikan banyak benar, ini ada uang dari ketua Cioe A Coen."
Lantas anak ini ajak ibunya masuk.
Nyonya Kang tidak bilang suatu apa, karena hatinya lega melihat puteranya pulang dengan tidak kurang suatu apa.
Selagi ia memutar tubuh, untuk masuk bersama anaknya
itu, kupingnya dengar suara kelenengan keledai, ketika ia menoleh, ia tampak satu penunggang keledai mendatangi ke arah mereka, lewat disamping rumahnya. Ia tidak
menaruh perhatian, ia masuk terus bersama anaknya, akan lantas duduk dahar.
Kang Kiat dahar sambil bercerita bagaimana girangnya
ia menangkap ikan, ibunya senang mendengarnya. Tetapi ia tutup rahasia hal pertempurannya dengan babi sungai itu.
Habis dahar tidak lama, nyonya Kang mengajak anaknya
tidur. Ia sudah berusia lanjut, ia lantas tidur nyenyak. Tidak demikian dengan si boca, yang pikirarrnya bekerja,
memikirkan pertempuran tadi disungai, terutama ia tidak mengerti hal kebinasaannya binatang galak itu.
Rumah gubuk dari Kang Kiat terdiri dari tiga buah
kamar. Ibunya tidur dikamar Timur, ia sendiri dikamar Barat, sehabis menunggui ibunya tidur, baharu ia masuk kekamarnya. Disinilah ia berpikir keras, hingga ia tak dapat tidur. Iapun jadi melamun. Dalam umur enam belas tahun, kecuali berenang, ia tidak punya kepandaian lainnya.
Bagaimana ia dapat menuntut balas untuk ayahnya"
Diakhirnya, ia keluarkan dua buah sincie, yang biasa nya ia bungkus rapi, didepan itu, ia berlutut dan memujih "Thian,
tolong lindungi umurnya dua orang ini, supaya setelah nanti ibu meninggal dunya, hambamu masih ada ketika
untuk cari mereka." Ia memujih tiga kali, sesudah mana, ia berlutut didepan meja atas mana ada sincie dari ayahnya almarhum "Ayah, lindungilah anakmu ini, berkahilah dia, supaya dia peroleh guru yang pandai, agar setelah dia punyakan kepandaian yang berarti, dia nanti bisa mencari musuh ayah untuk menuntut balas."
Kali inipun ia memujih tiga kali, setelah mana ia
berbangkit dan menyeka air matanya yang berlinang2,
kemudian ia bungkus pula sincie dari kedua musuhnya
untuk disimpan. Ketika ia membalik tubuh dari sudut
kamar, dimana ia simpan sincie itu, ia terperanjat. Samar2, karena matanya masih basah, ia tampak satu orang didalam kamarnya itu. Ia lantas ingat pada orang jahat, yang tentu hendak merampas uangnya. Maka secara tiba2 ia lantas
menyerang. Orang itu menangkis seraya cekal tangannya dan berkata dengan pelahan. "Jangan berisik, nanti ibumu bangun dari tidurnya. Duduklah!"
Kang Kiat seperti orang yang mengerti, ia jatuh duduk atas pembaringannya. Ia rasakan separuh dari tubuhnya kaku dengan mendadakan. Maka itu, ia melainkan bisa
mengawasi tetamu tidak dikenal itu. Ia tidak berani
berteriak meminta pertolongan, Ia kuatir ibunya kaget dan bangun, kemudian pun lantas kenali, itulah si orang tua yang tadi ia ketemukan ditepi sungai.
"Aku percaya dia tidak bermaksud jahat," pikirnya akhir nya.
Orang kate kecil dan kurus itu berumur kira2 enam
puluh tahun, mukanyapun perok, akan tetapi sepasang
matanya tajam dan bersinar berpengaruh, kumis dan
jenggotnya merupakan jenggotnya kambing gunung. Dia
pakai baju biru, kalau dikata thungsha, baju panjang, itulah
terlalu pendek. Betisnya tertutup kaos putih. Maka
dandanannya itu, dandanan anak sekolah bukan, dandanan ahli silat pun bukan"
Kang Kiat terus mengawasi dengan diam saja, ia
merasakan tangannya sakit sampai tak dapat diangkat, ia menahan saja. Cuma sepasang alisnya mengerut.
"Kau siapa?" akhirnya ia menanya, karena sekian lama
keduanya bungkam. "Aku Na Pek, yang orang julukkan Yan tiauw Siang
Hiap," orang tua itu menyahut dengan tenang.
"Siapa?" tiba2 terdengar pertanyaan. Itulah nyonya
Kang, yang terbangun dengan tiba2, yang segera datang kekamar anaknya.
Na Pek perkenalkan dirinya, ia tuturkan maksud
kedatangan nya Ong Too Liong, ketua dari Hoay Yang
Pay, untuk satrukan Hong Bwee Pang. Sebab ada sulit
memasuki Cap jie Lian hoan ouw, maka Hoay Yang Pay
membutuhkan bantuannya ahli renang dan selulup, yang
ketahui jelas keadaan sarang penjahat.
"Tadi aku melihat kepandaian berenang dari anakmu,
nyonya, aku jadi ketarik," Na Pek terangkan lebih jauh tentang pertempuran dengan babi sungai. "Aku tadinya
menyangka puteramu ada orang Hong Bwee Pang, maka
aku berniat cegah ia campurkan diri dengan mereka,
dengan diam2 aku datang kemari untuk selidiki ia.
Sekarang aku girang mengetahui ia bukannya konconya
Boe Wie Yang. Apakah benar puteramu belum pernah
belajar silat sama sekali?"
Jago tua ini tidak lupa kasi tahu bahwa ia lah yang
presen kan dua batang yan bwee piauw kepada babi sungai
itu hingga menyebabkan binasanya binatang air yang galak itu.
"Oh, kiranya loo hiapkek telah tolongi anakku," kata
nyonya Kang, yang bersyukur. Ia kaget tetapi segera dapat pulang ketabahan hatinya. "Kejadian itu aku tidak tahu.
Terima kasih, loo hiapkek."
Mukanya Kang Kiat ke merah2 an. Rahasianya terbuka,
sedang ia tak ingin ibunya ketahui itu. Ia membohong pun karena terpaksa, untuk mencegah ibunya kaget dan


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berduka, agar ia tidak dilarang menangkap ikan pula.
Selagi nyonya itu diam, Na Pek tambahkan "Nyonya
tidak usah kuatir, bahaya sudah lewat. Aku percaya
anakmu tidak menuturkan hal itu kepadamu karena ia
kuatir kau kaget dan berkuatir."
Nyonya Kang silahkan tetamunya duduk, iapun ambil
Misteri Bayangan Setan 8 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Kisah Si Pedang Kilat 11
^