Pencarian

Eng Djiauw Ong 14

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 14


kursinya. Tidak kelihatan ia tidak senang.
"Anakku memang tidak tolol, cuma karena ia piatu dan
kami melarat, tidak dapat aku didik dia sebagaimana
mestinya," kata nyonya itu kemudian. "Hal ini membuat aku malu dan menyesal, tetapi apa boleh buat. Sebenarnya sia2 aku hidup menyendiri, tidak bisa aku bikin anakku angkat nama, sebaliknya, selama ini aku hidup dengan
mengandal kepada nya. Aku menyesal telah sia2kan anak ini...."
Nyonya itu nampaknya jadi sangat berduka.
Orang tua itu kerutkan dahi, ia terharu.
"Nyonya, aku ingin bicara kepadamu, tetapi aku kuatir kau tidak suka menuturkannya," kata ia. "Sebenarnya aku ingin ketahui, dimasa hidupnya suamimu kerja apa dan
sudah berapa lama ia meninggal dunya,"
Air matanya nyonya itu lantas turun bercucuran.
"Dasar aku yang lacur," berkata ia, "dimasa hidupnya
suamiku, jangankan berkuli menjahit, kerjaan didapurpun bukan pekerjaanku. Tetapi sekarang, apa aku mesti bilang"
Na Tay hiap, harap kau tidak menanyakan tentang itu"."
Matanya Na Pek bercahaya sekelebatan, ia lirik Kang
Kiat. "Nyonya tidak mau mengasi keterangan, tidak apa," ia
bilang, "tetapi aku percaya, dahulu kau ada orang
berpangkat, yang kemudian terancam malapetaka?"
Nyonya itu berdiam, air matanya masih mengucur. Kang
Kiat pun menangis, ia hendak buka mulutnya, tetapi urung, karena ibunya menggoyangkan kepala kepadanya.
"Walaupun nyonya tidak sudi memberi keterangan,
tetapi aku bisa menduganya," Na Pek kata pula sambil
menunjuk bungkusan sincie dari musuh. "Lihat itu sincie disana. Aku percaya, biar nya suami nyonya bukan satu raja muda, sedikitnya ia pernah mengepalai pasukan
tentara." Nyonya Kang heran. Ia berpikir dengan cepat, lantas ia jawab "Baiklah, aku nanti kasi keterangan padamu.
Memang suamiku seorang peperangan, hanya apa lacur ia menutup mata, kami jadi ter lunta2. Sincie itu ada dari dua orang, dari siapa suamiku pernah terima budi, budi siapa tak bisa dilupai, maka sekarang kami puja mereka, agar mereka berbahagia dan panjang umur, agar apabila anakku sudah besar dan beruntung, dia bisa balas budi mereka itu."
Na Pek bersenyum tawar. "Aku tidak menjadi kurang senang bahwa nyonya tak
sudi omong terus terang kepadaku, aku hanya menyesal
sudah lancang menanyakan hal ini," berkata ia. "Tetapi
baik nyonya ketahui, kami dari kaum Hoay Yang Pay,
paling gemar menolong orang lemah dan teraniyaya.
Dengan memuja kedua sincie itu, sebenarnya kau ibu dan anak terancam malapetaka. Biarlah aku omong terus terang.
Dua orang itu, sekarang ini berkuasa besar atas balatentara.
Sekarang ada jaman kalut, taruh kata mereka sendiri tidak bisa datang kemari, tetapi kaki tangannya banyak bila ada antaranya yang pergoki sincie ini, kaki tangan itu bisa terbitkan hal yang bukan2. Nyonya ingin melindungi
puteramu, kenapa ancaman bahaya ini kau tidak melihat"
Untuk menyingkirkan bahaya, baik kedua sincie itu segera dimusnahkan. Aku sudah bicara, nyonya, putusan terserah padamu. Sampai nanti kita bertemu pula!"
Jago tua ini berbangkit untuk berlalu.
Nyonya Kang termangu, air mata terus keluar.
Kang Kiat lompat, akan menghalangi dipintu.
"Loosoehoe, jangan kau sesalkan kami yang tidak suka
omong terus terang," kata ia, suaranya sangat sedih. "Kami ada lemah, kami tidak punya uang, sebaliknya, musuh2
kami berpengaruh, dari itu perlu kami simpan rahasia.
Kami tinggal disinipun sedang sembunyi. Harap loosoehoe maafkan kami ibu dan anak."
Nyonya Kang jengah sendiri nya, tetapi iapun segera
insyaf. Ia memberi hormat.
"Tayhiap, maafkan kami," ia mohon. "Kami terancam
bahaya, terpaksa kami umpatkan diri, sedang anakku ini adalah andalan semengga2nya. Sekarang aku percaya
padamu, tayhiap. Aku mohon sukalah kau tolong anak
ini...." Nyonya itu lantas menangis pula.
Kang Kiat lantas bertekuk lutut didepan jago tua itu.
"Jangan pakai adat peradatan, nyonya," Na Pek
merendahkan diri. "Aku tidak gusar, aku hanya menyesal pertemuan kita ada secara demikian mendesak. Karena kau percaya aku, silahkan duduk, mari kita omong dengan
sabar." Kang Kiat percaya habis jago tua ini, ia lantas bakar musnah sincie dari kedua musuhnya, setelah itu, ia berdiri disisi ibunya.
"Jikalau suka, tayhiap, aku nanti tuturkan tentang
suamiku," kata Nyonya Kang.
"Tunggu, nyonya. Lebih baik aku tuturkan dahulu
maksud kedatanganku ini. Tentang kaumku, tidak gampang kami terima murid, bukan seperti guru lain nya, yang
terima sembarang orang asal yang membawakan uang.
Kami hanya memilih yang dasarnya baik yang berbakat,
uang tidak diutamakan, karena di Lek Tiok Tong kami ada punya cukup penghasilan untuk hidup kami. Umpama dua
murid yang bernama Kam Tiong dan Kam Hauw, tidak
saja mereka belajar cuma2, malah orang tua merekapun
diajak tinggal sama2. Kami sekarang sedang berselisih dengan Hong Bwee Pang, sebab kaum itu ganggu kami."
Jago tua itu tuturkan hal diculiknya murid2 dari Hoay Yang Pay dan See Gak Pay. "Sudah begitu, kamipun
ditantang, maka sekarang kami datang kemari untuk
memenuhi tantangan itu. Tetapi Boe Wie Yang berlaku jail, ia sembunyi didalam sarangnya, maka itu, untuk memasuki Cap jie Lian hoan ouw, perlu kami mendapat bantuan
orang2 yang kenal keadaan didalamnya, yang pandai
berenang. Begitulah aku lihat putera nyonya pandai main diair. aku ingin dia membantu kami. Tentu sekali nyonya tidak usah kuatir, karena berbareng kamipun akan
melindungi putera nyonya ini, yang
kami butuhkan sebagai penunjuk jalan saja. Disamping itu,
dengan tidak turut rombongan kami, ada harapan anak ini nanti terjatuh dalam tangan penjahat."
LXXIV Nyonya Kang mau percaya keterangan jago tua ini, ia
nyatakan setuju dan mengucap terima kasih.
Na Pek pun jelaskan, dalam tempo lima tahun, ia
percaya Kang Kiat akan peroleh cukup kepandaian.
Kang Kiat sendiri ada sangat girang, tidak tempo lagi ia berlutut didepan jago tua itu, untuk jalankan kehormatan.
Kemudian Nyonya Kang nyatakan, kecuali cuma bisa
berenang, apa sang anak tidak melainkan membikin berabe saja.
"Aku harap tayhiap jangan terlalu andalkan dia," kata si nyonya akhirnya.
"Tentang itu nyonya jangan buat kuatir," Na Pek
menghibur. "Akupun akan simpan rahasia, supaya Hong
Bwee Pang tidak ketahui nyonya telah berpihak pada kami.
Aku tegaskan, Kang Kiat akan diajak sebagai penunjuk
jalan saja" "Tetapi loosoehoe," tanya Kang Kiat "Kenapa, tidak
sekarang juga aku jalankan kehormatan sebagai murid
kepada gurunya. Hal ini akan membikin hatiku lega...."
"Sabar, anak," Na Pek kata sambil bersenyum,
tangannya di goyang berulang2. "Aku telah terima kau, kau jangan kuatir. Aku telah punyakan satu murid, Lie Hee Leng namanya, diapun sudah punyakan satu murid nama
Ciok Liong Jiang, siapa sekarang tengah ikuti ciang boen jin kami, maka itu, mengenai kau, aku nanti bicara dulu
kepada ciangboenjin, akan tetapkan, kau akan diserahkan kepada siapa untuk didik padamu."
"Tetapi, loosoehoe, biar bagaimana, biar aku jadi cucu murid, aku mohon sukalah loosoehoe sendiri yang pimpin aku," Kang Kiat mendesak. "Loosoehoe suka tolong aku, aku harap aku tidak nanti berpisah pula denganmu.
Loosoehoe boleh percaya, aku bisa belajar dengan
sungguh2, tidak nanti aku sia2kan pengharapan loosoehoe." Sampai disitu, tanpa tunggu jawaban lagi, boca ini lantas berlutut pula, akan menjalankan penghormatan. Ia paykoei ber ulang2.
Bukan main tertarik hatinya jago tua ini, ia terharu, dengan terpaksa ia membalas separuh penghormatan,
sesudah mana barulah Kang Kiat berbangkit.
Nyonya Kang puas melihat kesudahan itu, ia girang
karena putranya kenal aturan. Iapun tuturkan terima kasih pada jago tua itu, kepada siapa ia serahkan puteranya itu.
Na Pek merendahkan diri, ia tegakan pula, ciang boenjin Hoay Yang Pay, yalah Eng Jiauw Ong Ong Too Liong
yang nanti tetapkan, siapa bakal jadi gurunya Kang Kiat.
Mendengar ini, Kang Kiat ulangi keinginannya akan si
jago tua yang nanti didik ia.
"Kau lihat saja nanti," Na Pek kata sambil tertawa.
"Umpama Eng Jiauw Ong, walaupun kau kehendaki,
belum tentu dia sudi terima kau sebagai murid, untuk itu perlu dia lihat dulu padamu. Tetapi ini ada urusan nanti, sekarang kau jangan buat pikiran. Tentu saja aku tidak akan sia2kan padamu."
Setelah kata begitu, Na Pek minta nyonya rumah masuk
tidur pula. Ia kasi tahu, ia hendak bicara pula sebentar dengan Kang Kiat, setelah itu baharulah ia hendak pergi.
Nyonya Kang menduga orang hendak bicarakan urusan
silat yang ia tidak mengerti, maka ia lantas berbangkit, untuk undurkan diri, cuma lebih dulu ia undang Na Pek mondok saja dirumahnya seraya hunjuk, tak usah tetamu itu malu2.
Atas itu, Na Pek menghaturkan terima kasih.
Nyonya Kang lantas berlalu untuk masak air, guna
sediakan teh. Kang Kiat jelaskan pada si orang tua tentang fitnahan ter hadap ayahnya, hingga ia mengandung sakit hati hebat.
"Jikalau manusia2 jahat itu ketemu aku, aku nanti kasi dia rasa!" kata Twie In Chioe, yang pun gusar. "Sekarang kau tak usah ingatkan saja sakit hati itu, paling perlu kau belajar dengan rajin, sampai waktunya aku nanti bantu kau menuntut balas."
Setelah itu, orang tua ini tanya apa yang Kang Kiat tahu tentang Hong Bwee Pang.
"Jikalau couw soeya ingin ketahui keadaan di Hoen coei kwan, lebih baik couw soeya ikut aku pergi menyelidiki sendiri," Kang Kiat jawab. "Aku ada punya sebuah perahu enteng. Aku percaya tidak akan sampai kita kepergok."
"Aku memang niat pergi menyelidiki," kata jago tua itu,
"tetapi tidak malam ini. Aku mesti pergi dahulu ke Gan Tong San akan melihat pengaturannya ciang boenjin. Besok malam kurang lebih jam tiga aku nanti datang pula, kau boleh tunggui aku."
Kang Kiat girang, ia memberikan janjinya.
Itu waktu Nyonya Kang datang dengan air teh, hingga
Na Pek jadi berterima kasih.
"Silahkan nyonya beristirahat," ia kata.
Setelah nyonya itu undurkan diri, Na Pek pesan wanti
agar Kang Kiat jaga diri baik2, sebab Hong Bwee Pang ada liehay sekali, kalau dia kepergok, dia bisa dapat susah. Ia hunjuk juga bahwa ia sendiripun selalu bertindak hati2.
Sampai disitu baharulah Twie In Chioe berangkat ke
Gan Tong San, akan tengok Ong Too Liong beramai. Ia
terus sembunyikan diri. Dimalam kedua, iapun saksikan kaum Hoay Yang Pay memecah diri untuk melakukan
penyelidikan, Eng Jiauw Ong sebaliknya berjalan seorang diri, hingga ia menjadi kagum , karena ia tahu, ketua Hoay Yang Pay itu tak sudi mengandalkan lain orang. Diam2 ia menguntit tanpa Eng Jiauw Ong menduga tetua itu bayangi padanya. Tindakan lebih jauh dari Na Pek adalah menemui Kang Kiat, yang ia ajak memasuki Hoen coei kwan dan
anjurkan boca ini pergi hunjukkan jalan pada Eng Jiauw Ong, hingga terdapatlah ketika ciangboenjin Hoay Yang Pay bertemu dengan boca luar biasa itu. Semua
tindakannya Kang Kiat ada menuruti ajarannya Twie In
Chioe, dan hal ini, ia tuturkan pada Eng Jiauw Ong, hingga ketua ini ketahui yang ia senantiasa dibayangi Twie In Chioe.
Diakhir keterangannya, Kang Kiat anjurkan Eng Jiauw
Ong memasuki Hoen coei kwan dalam jumlah besar dan
teratur, terutama supaya Ban Lioe Tong dari Kwie In Po turut serta, karena Lioe Tong punyakan pedang mestika yang tajam luar biasa untuk dipakai membabat kutung
segala rintangan. Eng Jiauw Ong heran berbareng girang mendengar
keterangannya boca ini. "Sungguh beruntung kau bisa menjadi muridnya
tayhiap!" kata ia. "Kalau kau bisa belajar sungguh2,
dikemudian hari kau bakal angkat derajatnya Hoay Yang Pay!"
"Po coe terlalu memuji," kata Kang Kiat. "Buat aku,
cukup asal aku peroleh pendidikan dari pocoe sendiri.
Tetapi sekarang sudah jam empat kurang lebih, mari kita tengok Hoen coei kwan, untuk kita dapatkan tempo akan berlalu dari sini, kalau tidak, nanti keburu kesiangan."
"Baik," Eng Jiauw Ong manggut. "Dari mana kita bisa
melihatnya" Mana jalanannya?"
"Kita coba saja," Kang Kiat jawab. "Penjagaan ada
sangat kuat, kita mesti ber hati2. Umpama kita kepergok dan suitan di Hoen coei kwan berbunyi, suitan itu akan disambut empat penjuru, perahu mereka segera berkumpul, setiap perahunya terdiri dari empat anak buah yang terlatih baik, yang disebut coei kwi, atau setan air. Kalau kita sampai kepergok, benar2 sulit untuk lolos keluar...."
"Kalau begitu, mari kita mencobanya, supaya aku bisa
lantas mengatur daya untuk memasuki nya," Eng Jiauw
Ong bilang. Walaupun ia memberi keterangan demikian, Kang Kiat
tidak lantas bergerak, hingga Eng Jiauw Ong desak dia.
"Marilah," kata ketua ini.
"Sebenarnya, untuk pergi ke sana, ilmu entengi tubuh
ada dibutuhkan," kata boca itu kemudian ragu2 "Untuk
aku, sampai terang tanahpun aku tak akan sanggup pergi mendaki kesana?"
Mendengar demikian, Eng Jiauw Ong mengerti. Ia lantas bersenyum.
"Kau hunjukkan jalan padaku, nanti aku bawa kau."
kata ia. Dengan jengah, Kang Kiat menunjuk kedepan.
"Lihat batu disana, pocoe," kata ia. "Setelah lima enam tumbak lewati itu, disana ada sebuah bukit dari mana orang bisa melihat kesekitarnya. Tetapi penjagaan ada kuat sekali, belasan
api lentera Khong beng teng bisa menyorot
jauhnya dua puluh tumbak, hingga ada sukar buat luputkan diri dari sorotan itu. Itulah yang kita mesti jaga."
Eng Jiauw Ong menganggukkan kepala.
"Aku mengerti," kata ia "Mari kita lihat."
Menyusul ucapannya itu, ketua Hoay Yang Pay cekal
bahu kanannya Kang Kiat untuk diangkat kakinya sendiri berbareng terangkat, untuk bertindak dengan cepat, sekali lompat ia sudah meleyit dua tumbak, setelah mana berlari2
nanjak, hingga ia hanya merasakan seperti dibawa terbang, hingga diwaktu itu, matanya jadi meram. Tapi sebentar saja, Eng Jiauw Ong sudah berhenti berlari, mereka segera berada diatas puncak, yalah tempat yang Kang Kiang
sebutkan tadi. Dengan sendirinya boca ini jadi kagumi ketua Hoay Yang Pay itu.
"Inikah tempat yang kau maksudkan?" Eng Jiauw Ong
tanya. "Benar," sahut anak itu. "Untuk mendaki lebih jauh,
umpama po coe ingin leluasa, baik tinggalkan aku disini saja."
LXXV Eng Jiauw Ong mendongak dan melihat tempat masih
ada belasan kaki tingginya.
"Kau jangan kuatir, mari turut aku," bilang ia.
Kembali ia cekal anak muda itu, untuk diajak lari naik.
Ia gunai ilmu kegesitan "Pat pou kan siam."
Biar bagaimana, hatinya Kang Kiat kebat kebit. Tempat ada mudun naik dan sangat berbahaya, sekali terpeleset, tidak ampun lagi. Tetapi ia tak usah berkuatir lama, atau Eng Jiauw Ong sudah berhenti berlari2, tatkala ia buka lebar matanya ia telah sampai dipuncak. Dilain pihak, ia dapatkan ketua Hoay Yang Pay tidak cape atau lelah. Maka diam2 ia kagumi jago Hoay siang itu.
"Po coe, aku tidak harapkan pelajaran sampai tinggi,
cukup asal bisa ilmu tubuh enteng sebagai ini," kata ia.
Lantas saja ia paykoei. "Bangunlah!" berkata Ong Too Liong sambil tertawa.
"Kepandaian semacam ini tak akan diperoleh dengan
keinginan saja, tetapi dengan
peryakinan sungguh baharulah kau akan punyakan menurut bakatmu. Kau
nampak nya kagumi aku, tetapi soecouwmu Twie in chioe Na Pek dan Ay kim kong Na Hoo ada terlebih liehay lagi, belum pernah mereka menemui tandingan."
Kang Kiat berbangkit dengan kekaguman, Eng Jiauw
Ong lantas mengawasi kesekitarnya.
"Mengapa tak ada gerakan suatu apa di Hoen coei
kwan?" ia tanya. "Memang dari sini sukar untuk melihatnya," sahut Kang Kiat.
"Tapi coba po coe lihat itu di Timur utara, itu yang ber gerak2 bagaikan bayangan adalah pihak perondanya, yang bekerja tak ketentuan jamnya, sembarang saat mereka bisa muncul. Dibawah sinipun...."
Belum ucapan ini habis dikeluarkan, atau tujuh tumbak jauhnya dari mereka, terdengar suara kedabakan, yang
disusul dengan munculnya seekor burung besar, yang
terbang berputaran diatasan mereka.
"Po coe, lekas kita sembunyi," kata Kang Kiat dengan
hati berkuatir. "Segera bakal ada api menyorot kearah kita...."
Kang Kiat belum tutup mulut nya, atau sorotan sudah
lantas tertampak. Maka segera ia mencari batu besar untuk menghalingi diri. Eng Jiauw Ong sendiri bergerak terlebih cepat daripada dia. Hampir mereka tersorot sinar kuning, yang menyorot kesegala penjuru.
"Apa kau tahu disana ada berapa banyak penjahatnya?"
tanya Eng Jiauw Ong sesudah sorotan lenyap.
"Biasanya cuma dua penjaga tetapi sekarang telah
ditambah menjadi belasan," sahut Kang Kiat. "Perondaan diairpun diperkeras secara tiba2."
"Tidak heran kalau mereka perkuat penjagaan." Eng
Jiauw Ong bilang. "Mereka tahu pihak ku bakal datang
sembarang waktu...."
Tiba2 ada sorotan pula, berulang2.
"Kurang ajar!" menggerutu Kang Kiat. "Tahukah, Po
coe, bahwa aku pernah mendekati Hoen coei kwan" Ketika itu rembulan sangat terang. Tiba2 aku disoroti api dan diserang dengan panah jepretan, syukur aku terluput.
Sekarang ini, mereka belum dapat melihat kita."
"Tapi benar, tak dapat kita berlaku sembrono," Eng
Jiauw Ong nyatakan. "Mari kita melihat lebih jauh."
Kang Kiat hunjukkan tempat dari mana mereka bisa
memandang Hoen coei kwan, pintu air atau mulut benteng
Hong Bwee Pang. Mereka menuju ke Barat dan lewati dua puncak lagi Tetapi malam ada gelap, mereka cuma bisa
melihat samar2. Selokan gunung yang besar, yang
merupakan kali kecil, terapit lamping gunung, air itu ber liku2. Kelihatan nya seperti tidak ada penjagaan disitu.
Agaknya waktu itu sudah mendekati jam lima.
"Sekarang mari kita pulang, untuk pikirkan rencana,"
kata Eng Jiauw Ong akhirnya. Untuk sementara ia anggap sudah cukup, sedang waktu itu pun sudah mulai fajar.
Kang Kiat menurut. Mereka turun, sampai diperahu
mereka. Mereka monggayu sampai dijalanan perapatan,
disini Kang Kiat tanya Eng Jiauw Ong hendak ambil jalan dari mulut Liong hauw chung atau dari kaki gunung Gan Tong San.
"Kita harus bisa sembunyikan ini diri Liong kauw coen saja," jawab Eng Jiauw Ong.
"Baik," Kang Kiat manggut. "Perahu kita jalannya laju, penjaga yang sembunyi barangan kali tidak bisa berbuat suatu apa terhadap kita."
"Tetapi berlakulah hati2," Eng Jiauw Ong pesan.
"Untuk sementara ini tak perlu kita berbalapan secara berterang dengan musuh atau aku mesti segera bikin
kunjungan resmi pada mereka. Tentang aturan kaum kang ouw ini, dibelakang hari kau akan mengerti."
Kang Kiat manggut, lantas ia mulai menggayu. Sebentar saja, sudah mendekati Liong kauw chyung.
"selewatnya ini, po coe, kita akan sampai dipelabuhan,"
kata boca itu dengan pelahan. Iapun serahkan pula bendera kecil kepada Eng Jiauw Ong. Kemudian sambil menggayu
keras, ia ngoce sendirian "Peranginya Ang Hio coe ada
keras, biar kita turuti saja, tidak perduli kita mesti jalan lebih jauh sedikit!"
___ ocean itu, sorotan api mengenai mereka, tapi Eng


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jiauw Ong kibar2kan terus bendera kecil, dan jalannya perahu tak jadi kurang lajunya.
Disitu ada empat buah perahu penjaga, anak buahnya
sedang siap2 akan menukar giliran, karena waktu itu sudah jam lima, mereka heran lihat perahu kecil itu, cuma karena perahu datangnya dari dalam, mereka tidak curiga.
"Entah siapa yang begini tidak tahu aturan tata tertib,"
kata satu diantara mereka. "Aku ingin ketahui, siapa dia, sayang sekarang sudah waktunya beristirahat...."
Sementara itu, perahu telah lewat sepanahan lebih.
Cuaca sudah mulai terang.
"Dimana Na Couwsoe janji akan ketemu pula dengan
kau?" Eng Jiauw Ong tanya.
"Couwsoe tidak berjanji, ia hanya bilang, bila perlu apa2, dia bisa mencari aku," sahut Kang Kiat. "Couwsoe cuma pesan untuk aku melayani po coe. Po coe sendiri berdiam di Gan Tong San sebelan mana" Sehabis ini, aku ingin pulang, akan tengok ibuku, supaya aku bisa singkirkan dia.
Kebanyakan nelayan disini ada kaum nya orang jahat,
terhadap mereka aku mesti waspada. Kalau ibu sudah
berada ditempat selamat, aku tidak takuti apa juga."
"Kalau begitu, kau ajaklah ibumu pergi kerumahnya
pemburu Hee Hong Lim di Cio hoed tong," Eng Jiauw Ong kasi tahu. "Kita semua berpusat disana."
Kang Kiat mengangguk. Perahu mereka berlaju terus, sampai dimulut pelabuhan.
Mereka telah keluar dari sarang Hong Bwee Pang dengan tak kurang suatu apa.
"Disana ada sebuah perahu, itu tentu kepunyaanmu!"
kata Eng Jiauw Ong sambil menunjuk kedepan.
"Ya, benar!" kata Kang Kiat dengan girang. "Perahuku
dipakai Na Soecouw, dia tentu sudah pulang. Inilah bagus, aku memangnya sangsi memakai terus perahu penjahat ini, aku kuatir ada nelayan yang mengenalinya. Sekarang mari kita tukar perahu."
Kang Kiat menggayu mendekati perahunya, untuk Eng
Jiauw Ong pindah, kemudian ia membawa perahu Hong
Bwee Pang itu ketempat yang sunyi.
Dari situ, mereka menggayu terlebih jauh, sampai
ditempat sepi dimana Eng Jiauw Ong mendarat, untuk
pulang ke Gan Tong San, Kang Kiat sendiri gayu
perahunya pulang, dengan cepat ia tambat perahunya itu.
"Eh, pagi2 kau sudah keluar, kau dari mana?" tanya
Thio A Po, satu nelayan yang menjadi tetangga sebelah kiri.
Dia baharu saja buka pintu.
"Aku tidak pergi ke mana, kebetulan saja aku bangun
pagi2," kata Kang Kiat. Memang pakaian selulupnya ia
sudah salin dan sembunyikan dalam perahunya. "Aku lihat pagi ini ikan ada banyak?"
A Po tidak curiga apa2, ia ngeloyor pergi.
Kang Kiat pun lantas berjalan pulang, akan melihat
ibunya tengah menantikan didepan pintu. Satu malaman
sang ibu tidak tidur, karena memikirkan anaknya itu.
"Kau baharu pulang" Mana Na Couwsoe?" sang ibu
menegur lebih dahulu. "Mari masuk, ibu!" kata sang anak dengan gembira.
Ibu itu menurut, ia lantas masuk.
Sesampainya didalam, Kang Kint tuturkan ibunya
perihal perjalanannya tadi malam.
"Aku girang kau dapat penuntun," kata Nyonya Kang.
"Hanya mereka sedang bentrok, kau masih hijau, kau jua tidak mengei ti ilmu silat, kau mesti hati2. Aku senang kau masuk dalam rombongan orang gagah itu, tetapi kau mesti ingat, kau ada anak satu2nya, yang mesti mewariskan
keluarga Kang. Kaupun harus ingat, bukan gampang aku
telah pelihara kau, maka asal kau tak bikin aku bersusah hati, dengan itu saja sudah cukup kau menjalankan
kebaktian...." Kang Kiat terharu hingga air matanya mengucur turun.
"Tentu aku akan ingat kau, ibu," kata ia. "Justeru karena ingin punyai kepandaian untuk nanti bisa rawat ibu, aku suka ikuti Na Couwsoe. Untuk sementara biarlah kita
tinggal ber sama2 di Ceng hong poo."
Nyonya Kang manggut, ia seka air matanya.
"Kau mengerti aku, anak, syukurlah," kata ia. "Kau ada puteranya satu congpeng, kau biasa diasuh bujang, akan tetapi sekarang kau mesti hidup sengsara, tidak berpakaian indah, tidak makan hidangan lezad. Aku telah berbuat
segala apa untuk membuat kau tidak terlalu menderita. Apa yang aku buat menyesal, setelah sekarang kau menjadi
besar, ialah aku tidak mampu didik kau terlebih jauh, kepandaian suratmupun tidak berarti, hingga aku tidak tahu, cara bagaimana dan sampai kapan kau bisa menuntut balas. Tapi sekarang keadaan ada lain, harapan telah
muncul untukmu. Sebenarnya aku tak mufakat buat pindah ke Ceng hong po, tetapi apa boleh buat, Na Couwsoe begitu
baik hati, jangan kita tolak kebaikan nya itu. Aku hanya harap kau nanti rajin belajar, agar kau tak siasiakan harapannya Na Couwsoe itu."
"Tanpa ibu pesan akupun sudah tahu," nyatakan Kang
Kiat. "Ketika yang baik ini tidak nanti aku sia2kan."
"Itulah harapanku, agar kau kemudian dapat menuntut
balas." Ketika mengucap demikian, nyonya janda ini menangis
pula, hingga anaknyapun berlinang air mata.
"Sudahlah, ibu, tidak nanti aku sia2kan harapanmu," ia menghibur.
Sampai disitu, nyonya Kang lantas pergi kedapur untuk memasak nasi. Sehari itu, Kang Kiat beristirahat. Kapan sang sore sampai, ia sudah lantas dahar dan siap, pada jam satu, ia pamitan dari ibunya, akan berangkat dengan diam2.
Ia memakai perahunya sendiri. Baharu kira2 satu lie
terpisah dari mulut gunung sebelah Timur, ia kepinggirkan kendaraannya itu untuk disembunyikan, lantas ia mendarat akan ikuti sebuah jalan kecil. Ia kenal baik jalanan disini yang biasa dipakai orang2 yang mencari kayu bakar. Ini ada jalanan memotong, untuk lebih lekas sampai ke Cio hoed tong. Kalau ia mengambil jalan dari mulut gunung, untuk maju dari Ngo heng peng, pasti ia akan menampak
kesukaran, sebab penjagaan baharu saja diperkeras karena kemarin malamnya rombongan dari Siok beng Sin Ie Ban
Lioe Tong telah mengacau disana, hingga kawanan Hong
Bwee Pang menjadi penasaran. Hanya di dekat2 Cio hoed tong, kawanan penjahat tidak berani sembarangan muncul.
Sebaliknya, diempat penjuru daerahnya, Eng Jiauw Ong, pasang orang2nya.
Begitulah selagi Kang Kiat bertindak maju, sekonyong2
ia dicegat seorang yang keluar dari tempat sembunyi
sembari orang itu menegur "Siapa" Tahan!"
LXXVI Kang Kiat tidak takut. "Kau hendak membegal?" ia balik menegur. "Kau buta!
Aku justeru tukang urus bangsat! Kau tahulah diri, lekas mundur!"
Pencegat jalan itu tertawa menghina.
"Kepandaian apa kau ada punya maka kau hendak
berjumawa begini?" tanya dia. "Lekas kau kembali, atau kau nanti tahu rasa! Apabila kau ada sahabat kaum Hong Bwee Pang, aku bisa antar kau kepada po coe. Bicaralah terus terang!"
"Oh, kau ada dari Hoay Yang Pay?" tanya Kang Kiat, ia kaget. Ia lantas tanya she dan namanya orang itu.
"Jikalau kau ada orang sendiri, coba bilang, kau ada
murid siapa, apa she dan namamu?" orang itu balik
menanya. "Atau siapa yang suruh kau datang kemari?"
Samar2 Kang Kiat melihat orang ada sepantaran umur,
dengan ia dan kulitnya rupanya putih bersih, diam2 ia girang, karena ia bakal dapat kawan.
"Soesiok, aku adalah orang baharu, namaku Kang Kiat,"
ia perkenalkan diri. "Atas titah po coe dan Soe couw Na Jie hiap, aku datang untuk melayani soecouw. Maukah soesiok beritahukan she dan nama soesiok padaku?"
Orang itu tertawa karena ia dipanggil "soesiok" ber
ulang2. "Soetee, jangan panggil soesiok padaku, panggil saja soe heng," kata ia. "Aku Ciok Liong Jiang, cucu muridnya Na Soe couw. Ada yang lain2 yang usia nya jauh terlebih tinggi daripada kita."
"Ah, kau terlalu," pikir Kang Kiat. "Sedari tadi kau diam saja, apa kau hendak mempermainkan aku sebagai orang
baru?" Meskipun hati mengatakan demikian, ia toh memberi
hormat. "Mari, soetee," kata Liong Jiang, "nanti keburu po coe pergi!"
Ia lantas samber tangannya Kang Kiat untuk dituntun,
menuju kerumah batu. "Tahan!" mendadakan dua orang berseru dan mencegat
sambil menghunus senjata.
Kang Kiat melengak tetapi Liong Jiang tertawa.
"Orang sendiri!" dia menjaab, sikapnya acuh tak acuh.
Sekarang Kang Kiat bisa melihat lebih nyata, dua orang itu berumur lima atau enam belas tahun, sepantaran
mereka. Kedua orang itu pun tertawa, tetapi tertawa dingin, agaknya mereka tak puas dengan sikapnya orang she Ciok ini.
Dua pemuda itu adalah Phang Yok Boen dan Phang Yok
Sioe, murid2 dari Lek Tiok Tong, kepandaian mereka
belum rampung, tetapi Eng Jiauw Ong mengadayk mereka
supaya mereka peroleh pengalaman dan kenal banyak
orang gagah. Mereka terhitung paman dari Liong Jiang, tetapi Liong Jiang suka bergurau dengan mereka. Orang she Ciok ini lihat kedua paman guru itu kurang senang, lekas2
ia mendekati untuk menghaturkan maaf.
"Sudalah," kata Yok Sioe.
Liong Jiang perkenalkan Kang Kiat kepada kedua
paman guru itu, dan Kang Kiat memberi hormat seraya
perkenalkan diri. "Oh, kau ada itu murid baru dari po coe, yang katanya pandai berenang," kata dua saudara Phang itu. "Nah, pergi kau ikut Ciok Soehengmu ini masuk ke dalam, po coe
memang sedang tunggui kau."
Kang Kiat manggut, sedang Liong Jiang segera ajak ia
kerumah batu, akan terus masuk kedalamnya dimana ada
berduduk belasan orang, yang kebanyakan sudah lanjut
usianya. Ia lantas hampirkan Eng Jiauw Ong untuk
memberi hormat seraya meng hunjuk ia datang terlambat, hingga guru itu mesti tunggui ia.
"Kau datang dari Ngo liong peng, kau malah datang
cepat," kata Ong Too Liong.
"Aku bukan ambil jalan Ngo liong peng hanya jalan air,"
Kang Kiat jawab seraya terus terangkan jalanan yang ia ambil. "Kalau tidak, sedikitnya jam tiga baharu aku bisa sampai disini."
Eng Jiauw Ong manggut, lantas ia kata pada orang yang duduk disampingnya "Ban Soe, inilah cucu murid yang
bahatu saja Na Toa hiap ambil. Dia berbakat baik, dia pandai berenang dan selulup, kepandaian mana ia peroleh tanpa guru, kalau aku tidak telah menyaksikan sendiri, akupun tak akan percaya akan kepandaiannya itu."
Kemudian ia perkenalkan Kang Kiat kepada soeteenya itu.
Lekas2 Kang Kiat berlutut untuk hunjuk hormatnya
pada tabib gagah ini. Ban Lioe Tong mengasi bangun boca itu, yang ia puji
seraya katakan, bila kelak dia rajin belajar, pengharapannya tidak nanti ter sia2.
Kemudian Eng Jiauw Ong kenalkan boca itu pada yang
lain2 sesudah mana, ia kata pada Ban Lioe Tong "Soetee, mari kita berangkat. Sekarang sudah jam dua lewat,
sesampainya di Hoen coei kwan tentu sudah jam tiga
lewat." "Kalau begitu, silahkan Khoe soeheng menantikan
disini," Lioe Tong kata pada Khoe Beng. "To heng kau atur kalau ada lain2 saudara yang menyusul datang, terutama tolong kau waspada musuh tak dapat tilik kita disini."
"Kau boleh pergi, soetee, jangan kuatirkan disini," sahut Lioe Beng. "Sebenarnya aku ingin turut pergi ke Hoen coei hwan. Apakah kau akur Too heng Soetee?"
"Untuk sementara harap soeheng menanti disini saja,"
jawab Eng Jiauw Ong. "Kalau nanti sudah ketahuan
dimana letaknya Hoen coei kwan, aku hendak bikin
kunjungan secara resmi, waktu itu, aku akan minta soeheng membantu padaku. Aku kira paling lambat besok kami
akan sudah kembali. Atau kami akan bermalam disana.
Apabila ini sampai terjadi, pasti kami akan pulang besok malam. Umpama kami tidak kembali lusa, mungkin kami
terhalang atau kena terkurung, maka saat itu, tolong
soeheng ajak Ciong Soeheng, Hauw Loo piauwsoe dan
Chio Loo piauwsoe bikin kunjungan resmi ke Hoen coei
kwan, untuk mencari tahu perihal kami."
"Sudahlah, soetee, tak usah kau merendahkan diri,"
berkata Khoe Beng. "Tidak perduli Hong Bwee Pang liehay sekali, aku tak percaya mereka dapat kendalikan kau
berdua. Silahkan berangkat!"
Eng Jiauw Ong berbangkit begitupun Ban Lioe Tong.
"Mari," ia mengajak Kang Kiat.
"Soe couw hendak ambil jalan mana?" boca ini tanya.
"Kita niat ambil jalan air, apa perahumu bisa muat tiga orang?" Lioe Tong tanya.
"Apakah bertiga tak terlalu berat?" Eng Jiauw Ong pun tanya.
"Tidak, soecouw, cuma laju nya sedikit lambat," jawab Kang Kiat. "Disana kita boleh pakai perahu penjahat.
Umpama Na Soe couw tidak menggunainya. Atau aku
nanti jalan diair saja."
Eng Jiauw Ong manggut. "Baiklah," kata ia. "Kita ambil jalan ke Coan Jie Hong, itu jalanan yang kau ambil."
Lantas bertiga mereka berangkat, Kang Kiat jalan
didepan, Eng Jiauw Ong paling belakang. Bulan sisir
membantu juga menerangi jalanan yang sukar itu, Lioe
Tong dan Too Liong pun melihat bagaimana gesitnya Kang Kiat.
"Anak ini benar bagus bakat nya," Lioe Tong kata pada soe hengnya.
"Inipun membuktikan mata tajam dari Na Soeheng,"
Eng Jiauw Ong bilang. "Aku percaya dibelakang hari, dia bakal menambah pamornya kaum kita."
Eng Jiauw Ong girang. Nyata soetee inipun bermata
tajam. Sementara itu Eng Jiauw Ong memperhatikan jalanan
yang mereka ambil, suatu jalanan yang ia sendiri pasti tidak sangka. Dengan lekas mereka telah memasuki jalanan
rahasia yang Kang Kiat dapati, terus sampai ditempat
perahu disembunyikan. Ketika mereka naik perahu, boca itu duduk ditengah, terus ia gunai sepasang penggayunya,
akan bikin kendaraan air itu laju. Untuk kegirangannya, ketika mereka sampai ditempat dimana perahu si penjahat ditunda, disana perahu itu masih ada. Itulah tanda Na Pek tidak gunai kendaraan itu.
"Nyata malam ini Na Soecouw tidak gunai perahu,
entah ia datang atau tidak," kata boca ini. "Sekarang baik kita pakai dua2 perahu. Soe couw berdua tetap gunai
perahu ini, aku pakai perahu sana untuk jalan didepan, guna melihat keadaan. Lebih baik kita luput ketemu perahu peronda."
Eng Jiauw Ong dan Siok beng Sin Ie setuju, maka itu,
sesudah mendekati perahu didepan, Kang Kiat serahkan
kedua penggayu pada Ban Lioe Tong, ia sendiri terus
pindah keperahu itu, setelah mana, ia lantas menggayu. Ia telah hunjuk kepandaian nya, hingga perahu laju pesat sekali.
Ban Lioe Tong coba mengikuti perahu didepan itu.
Sampai disuatu tikungan, atau perapatan Eng Jiauw Ong heran. Ia melihat, tempat yang dicapai ini bukannya yang kemarin. Ia segera tanya Kang Kiat, siapa pun telah kasi jalan pelahan perahunya.
"Jangan kuatir, soe couw," sahut si anak muda. "Untuk menyingkir dari penjagaan pertama dari perondaan, aku memutari Liong kauw chung."
Mereka maju lebih jauh, sampai dengan tiba2 Kang Kiat berhenti digerombolan gelagah yang lebat.
"Kenapa, Kang Kiat?" Eng Jiauw Ong tanya. "Apa ada
halangan?" "Tidak, soecouw. Dari sini kita sudah mulai memasuki
jalan ke Hooen coei kwan, untuk melihat kedaaan, aku
ingin maju lebih dahulu, sendirian saja.
Kedua jago Hoay Yang Pay itu akur.
Kang Kiat segera merapikan pakaian mandinya, setelah
minta Eng Jiauw Ong tolong pegangi ekor perahu, ia lalu terjun keair, gerakannya gesit, sekejab saja ia lenyap dari permukaan air jang menjadi berombak bergelombang.
Setelah itu, Too Liong dan Lioe Tong sembunyikan diri bersama dua2 perahunya.
Belum lama, Kang Kiat sudah muncul pula, dia terus
meloncat naik keperahunya.
"Ya, soecouw," sahut cucu murid itu. "Aku melihat,
malam ini tak bisa kita memasuki Hoen coei kwan.
Penjagaan telah ditambah dan diperkeras, empat buah
perahu tambahan meronda tak hentinya, rupanya seperti penjahat ketahui kita bakal datangi mereka. Maka untuk masuk dalam air jalannya yalah, dengan tabas putus rantai rintangan, untuk itu, kita membutuhkan golok yang tajam sekali. Atau satu jalan itu adalah memanjat dan melewati puncak yang sangat tinggi dimana ada rintangan pagar
bamboo. Pendapatku cuma pedang Tee sat Cian liong kiam dari ban Soe couw yang boleh diandalkan."
"Kalau demikian, tak halangannya untuk kita coba2,"
nyatakan Eng Jiauw Ong. "Baiklah, nanti aku buka jalan," kata Kang Kiat, yang lantas lanjukan perahunya. Seringkali ia toblosi hutan gelagah.
"Awas, Kang Kiat," Lioe Tong berdua memperingatkan.
"Jangan karena pikirkan saja untuk menyingkir dari jagaan, kau nanti tersesat jalan."
"Jangan kuatir, soecouw. Kita mesti berjalan lebih jauh berapa lie tetapi dengan demikian kita singkirkan
kesulitan." Eng Jiauw Ong puas mendengar keterangan itu, sedang
Lioe Tong terus menggayu, untuk mengikuti boca itu.
Kang Kiat puas ketika ia menoleh dan melihat perahu
soecouw nya tidak ketinggalan jauh, karena ini, ia kagumi Ban Lioe Tong.
Jalanan air ada sunyi, sering menikung, kekiri dan
kanan, tetapi Kang Kiat maju dengan cepat, maka itu,
kedua kake guru itu diam2 puji dia.
Selang setengah jam, Kang Kiat kendorkan lajunya
perahunya. Didepan mereka ada gombolan gelagah yang
tinggi, melihat keatas, ada puncak gunung.
"Soe couw, inilah daerah perdalaman Hoen coei kwan,"
Kang Kiat berbisik setelah kedua soecouw itu datang
mendekati ia. "Kalau kita bisa melewati puncak itu, kita sudah berada dipusat Hong Bwee Pang. Rupanya karena
andalkan tingginya puncak dan rapatnya pagar bambu,
dibawah sini penjahat tidak taruh penjagaan."
Ban Lioe Tong mengawasi ke depan.
"Dengan begini, kita bisa sampaikan Hoen coei kwan
tanpa menyeberang dengan diam2," kata dia pada Eng
Jiauw Ong. "Marilah kita mencoba disini."
"Baiklah, mari kita coba berapa kuatnya bentengan
bambu itu." jawab Ong Too Liong.
"Baiklah Kang Kiat jangan ikut kita," Lioe Tong bilang.
"Lebih baik dia jagai saja perahu kita."
"Ajaklah aku, soecouw," Kang Kiat mohon, dengan
dahului Eng Jiauw Ong. "Kecuali puncak ini, didarat mana saja, aku sanggup ikuti soecouw berdua. Aku ingin sekali melihat2 untuk tambah pandangan. Aku janji tidak akan persulit soecouw, atau aku akan sembunyi siang2."
Ban Lioe Tong pun segera merasa suka pada boca ini,
yang bakatnya melebihi Thio Hie dan Ciok Bin Ciam, maka mendengar permintaan itu, ia lalu kata pada soehengnya
"Soeheng, Kang Kiat cerdik, mari kita ajak padanya supaya dia peroleh pengalaman."
"Baiklah," Eng Jiauw Ong menyatakan akur. "Biar aku
yang membawa dia." Ban Lioe Tong manggut. "Lihat disana, soeheng, ada sinar api memain, biar aku maju dimuka," berkata ia.
"Baik, aasl kau waspada," sang soeheng pesan.
Ban Lioe Tong lantas merapikan pakaiannya, ia periksa pedangnya, kemudian ia mulan memanjat, ke arah dimana ada cahaya api, yalan disebelah kiri. Ia tidak kuatir kepada cahaya api itu. Ia bergerak dengan cepat sekali.
Kang Kiat temani Eng Jiauw Ong akan menantikan, ia
pasang mata tetapi ia tidak melihat apa2, sampai selang sedikit lama, ia dengar siuran angin disamping nya dan segera dengar suara pelahan "Soeheng, aku toh tidak
ayalan, bukan?" Ia terkejut, karena itulah Siok beng Sin Ie, yang kembali tanpa ketahuan. Maka diam2 ia kagum bukan kepalang. Inipun memperkuat minatnya untuk belajar silat dengan sungguh2.
"Bagaimana, soetee?" sementara itu Eng Jiauw Ong


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya. LXXVII "Benar seperti dugaan soeheng. Hong Bwee Pang ada
punya orang2 liehay," sahut Ban Lioe Tong. "Jalan masuk cuma dari bentengan pagar bambu itu. Kalau sebentar
soeheng sudah menyaksikan sendiri, baharu soeheng
mengetahui!" "Kalau begitu, silahkan soetee berjalan didepan."
"Kasilah aku yang membawa Kang Kiat, aku sudah
kenalkan jalanan." Eng Jiauw Ong mengalah, ia serahkan anak muda itu.
Ban Lioe Tong lantas mengempit, ia kata "Kau jangan
gunakan tenaga, jangan takut, tidak ada bahaya."
Kang Kiat manggut sebaga tanda bahwa ia mengerti.
Ban Lioe Tong mengempit dengan tangan kiri, lantas ia lompat melesat, naik tingginya dua tumbak kurang lebih, atas mana, Eng Jiauw Ong susul dia. Ke duanya bergerak dengan gesit. Setelah mendekati benteng pagar bambu lagi tiga empat tumbak, Siok beng Sin Ie lantas berlaku
waspada, ia umpatkan diri.
Eng Jiauw Ong turuti sikapnya soetee itu.
Ketiga Kang Kiat dikasi turun, ia rasakan kepalanya
pusing dan matanya berkunang2, setelah tetapkan
semangat, baharu ia bisa melihat dengan nyata. Iapun
melihat dua buah lentera Khong beng teng segera
disorotkan kearah mereka tetapi mereka telah mendahului bersembunyi. Sorotan itu lenyap dalam sekejab.
"Sekarang soeheng telah melihat sendiri," berbisik Lioe Tong.
"Aku anggap, paling leluasa bila kita turun tangan
sedangnya hujan dan angin besar. Aku maksudkan selagi turun hujan dan angin yang nyaring berisik, leluasa untuk babat benteng pagar mereka, tak usah kita kuatirkan suara berisik. Soeheng ketahui sendiri suara bambu ada nyaring sekali, sekarang mari kita coba."
Siok Beng Sin Ie lantas dekati pagar, untuk mana ia telah berjalan, ketika
ia hunus pedangnya, yang terus dibalingkan. Pedang itu perlihatkan sinar berkeredepan, hingga dua2 Eng Jiauw Ong dan Kang Kiat terkejut, karena mereka kuatir cahaya itu tertampak oleh musuh.
Loei Tong tidak pikirkan keterkejutannya soehengnya
dan Kang Kiat itu, ia hanya mulai bekerja. Tee sat Cian liong kiam tajam luar biasa, pagar bambu sudah terpapas kutung dengan remuk, hingga lantas terbuka jalan untuk mereka masuk kedalam benteng, sesudah mana, Siok beng Sin Ie pasang pula beberapa batang bambu itu, hingga sukar lantas diketahui bahwa
pagar disitu telah dirusak.
Kemudian Ban Lioe Tong menunjuk kedepan. Eng
Jiauw mengerti, maka setelah suruh Kang Kiat ikuti
soecouw she Ban itu, ia sendiri segera lompat kedepan itu.
Dengan kempit Kang Kiat, Lioe Tong menyusul dengan
segera. "Soetee. kita mesti cari dahulu jalanan air disini," kata Eng Jiauw Ong sesampainya mereka ditempat yang
dihunjuk Lioe Tong. "Aku kira dimana ada kali," Lioe Tong menjawab seraya menunjuk kebawah.
Keduanya lantas berjalan turun. Kang Kiat mengikuti.
Boca mi dipesan untuk waspada, supaya ia tidak sampai terpeleset dan jatuh. Tetapi boca ini benar luar biasa, ia sanggup ikuti kedua soecouw itu.
Segera mereka sampai disuatu terapat dimana Ban Lioe
Tong lantas sembunyikan diri, diturut oleh Ong Too Liong, maka Kang Kiat pun turut teladan itu, menyusul mana,
mereka dengar suara air digayu.
Disebelah bawah mereka, belasan tumbak dalamnya ada
sungai dimana sebaris dari empat buah perahu sedang
berjalan dengan cepat, disetiap perahunya ada dua buah lentera yang apinya menyala. Kecuali suara air, tidak ada suara orang didalam semua kendaraan air itu.
Hampir tepat dibawahan Eng Jiauw Ong bertiga, ke
empat buah perahu dikasi berhenti, lalu terdengar suara suitan, yang mengaung ditempat sunyi itu, setelah mana dari dua tikungan muncul dua buah perahu lain, yang setiap perahunya punyakan lentera penyorot Khong beng teng,
hingga empat sinar bercahaya terang menyorot kepada
empat perahu itu, dari kepala sampai ditengah dan buntut.
Di kepala kedua perahu itu muncul masing2 satu orang.
"Apakah kau hendak keluar dari Hoen coei kwan?"
demikian satu pertanyaan, dari perahu sebelah kiri.
"Ya," demikian satu jawaban. "Kami ada perahu2nya
Cong leng Siang Jie to Lo Sin, yang baharu menghadap
Liong Tauw Pang coe. Saudara2, silahkan periksa."
Mendengar itu, Eng Jiauw Ong bisiki Lioe Tong "Itulah Siang chioe Kim piauw Lo Sin. Menurut Hee houw Eng,
dia telah bentrok dengan satu kawannya, rupanya dia telah peroleh
kemenangan, sekarang dia keluar dengan merdeka." "Terang dia ada mamaknya Lie touwhoe Liok Cit Nio,"
kata Lioe Tong. "Lihat, disana ada lagi sebuah perahu mendatangi." Eng Jiauw Ong menoleh, ia tampak sebuah
perahu. Pemeriksaan kepada empat buah perahu telah dimulai,
tetapi rupanya pihak pemeriksapun melihat perahu yang datang belakangan itu, karena segera mereka menyoroti.
Dilain pihak, dari perahu pemeriksa ada dua anak buahnya, yang berpakaian mandi, nyebur keair, akan singkirkan
rantai penghalang didalam sungai, dibantu oleh dua
kawannya yang lain, sedang satu kawan lagi lompat
kedarat, akan betot ujung rantai ditepi itu. Mereka semua bisa bekerja cepat dan rapi.
Dengan beruntun perahu2nya Lo Sin menggeleser
keluar, melewati rantai perintang itu. Lo Sin sendiri duduk diperahu terbelakang, dibelakang perahu. Ia pun melihat perahu yang baharu datang itu. Seharusnya dia mendesak orangnya untuk lekas keluar, tetapi sebaliknya, dia
mengantap orangnya ayal2an, dia sendiri segera hunjuk roman jumawa menghadapi perahu di belakangnya itu, ia kata "Orang she Hauw, hio coemu tak gubris urusan, tetapi baiklah kau ketahui, aku bukannya orang yang dapat
diperhina secara sembarangan, umpama kau tidak puas,
saban saat kau boleh mencari aku, aku bersedia untuk
menyambut kau secara hormat! Hauw To cee, maaf, tak
dapat aku tunggui kau!"
Perahu yang dibelakang itu adalah perahunya Soen kang Tee cit Tocoe Hauw Kie. Dia ini keluar dari pusat dengan hati mendongkol Dia kena didului Lo Sin, dia kalah
perkara, sebab Lo Sin dapat perlindungannya ketua mereka.
Ia memang masih mendongkol karena ia terluka piauw nya Lo Sin itu, ia memikir untuk mencari balas, jalannya belum ada. Sekarang diwaktu keluar, ia tidak sangka bisa bertemu Lo Sin, yang berjalan ayal2an, hingga ia kena dijengeki pula.
"Lo Hio coe, jangan terkebur!" kata ia dengan sengit.
"Aku ada satu laki2, tak dapat orang perhina aku! Memang aku kalah pengaruh tetapi aku tetap tidak puas, nanti datang satu hari untuk pembalasan!"
"Ah kau masih berani main gila terhadap hio coemu?"
kata Lo Sin sambil menuding. "Sebenarnya, karena masih memandang kawan, aku tidak celakai kau, siapa tahu, kau
masih tak ingat budi, kau berlaku demikian kurang ajar!
Sebenarnya kau ada punya berapa jiwa" Jikalau kau tidak tahu diri, jangan nanti kau sesalkan Lo Sin tak ingat persahabatan!...."
Belum Siang chioe Kim piauw tutup mulutnya atau
mendadak ia menjerit "Aduh!" disusul sama jatuhnya suatu benda kemuka air dan tenggelam, atas dimana, dalam
murka, dia perdengarkan seruannya "Bagus, orang she
Hauw! Belum berlalu dari muka Pang coe, kau sudah berani melanggar pula aturan kita! Bagaimana kau berani bokong aku" Jangan kau lari, disini kita bikin perhitungan!"
Serunya Lo Sin ini disusuli serentetan suitan nyaring dibarengi suara air digayu, lantas muncul sebuah perahu kecil dengan dua buah lenteranya, ketika Eng Jiauw Ong menoleh, ia melihat perahu itu ada bersama lima belas perahu lainnya, setiap perahu mempunyai masing2 dua
anak buah. Jadi benarlah keterangannya Kang Kiat bahwa penjagaan telah diperkeras dan ditambah. Tentang ini boca itu lantas utarakan pada ketua dari Kwie in po.
Ban Lioe Tong tidak sahuti boca itu, ia hanya bisiki Eng Jiauw Ong "Boca ini benar cerdik. Aku lihat, justeru
mereka sedangnya bertengkar, mari kita menerobos
masuk...." "Marilah!" Eng Jiauw Ong manggut. "Asal kita waspada
terhadap penjaga2 lainnya."
Ban Lioe Tong tidak berkata apa2, ia lantas jalan
mengikuti tepi, untuk maju dengan cepat dan pesat.
Dibelakang ia, Eng Jiauw Ong dan Kang Kiat mengikuti
dengan tidak kalah gesit nya.
Mereka dapat maju tanpa rintangan, setelah dua
panahan jauhnya, mereka tercegat air, yang lebar dan ada pagar pelatok pelatok bambu, dibagian tengah ada jalan
gili2 atau gang yang hanya memuat untuk seorang, hingga tak bisa orang jalan berhimpasan kecuali saling miringkan tubuh. Lioe Tong merandek, akan tunggui soehengnya,
akan kemudian hunjukkan rintangan air itu.
"Lihat, soeheng, disana ada rimba bambu, disana ada
sawah," kata soetee ini seraya menunjuk kekiri dan kanan.
"Inilah bukti pandangan jauh dari Boe Wie Yang, yang
ingin tancap kaki untuk selamanya disini," kata Eng Jiauw Ong. "Dia usahakan sawah supaya dia bisa peroleh cukup rangsum, umpama tentera negeri kurung dia, dia tak usah kuatir akan kelaparan. Mari kita mengambil jalan air itu.
Walaupun disini tak ada tempat bersembunyi, tetapi juga mungkin tak ada penjagaan."
Ban Lioe Tong mupakat dengan pendapat saudaranya
itu, ia lantas maju pula.
"Hati2," Eng Jiauw Ong pesan Kang Kiat. "Aku kuatir
dalam air inipun ada dipasang satu atau lebih jebakan"
Kang Kiat manggut untuk pesan itu.
Mereka maju, sampai mereka dapati jalanan yang lebar.
Mereka lihat sebuah kali, yang men jurus ke semacam rawa tempat pegaraman, tetapi setelah mereka datang dekat, ternyata aliran buntu, dua rawa itu entah mendapat air dari mana. Aliran ini rupanya diperuntukkan angkut garam
keluar dari Cap jie Lian hoan ouw.
"Mesti ada gudang garam di sini," Eng Jiauw Ong
menduga. "Mungkin disana, soeheng" sahut Ban Lioe Tong yang
menunjuk kesuatu tempat gelap "Mari kita melihat?"
"Tetapi, soecouw," Kang Kiat turut bicara, "mungkin itu ada sebuah kampung. Lihat, samar2 ada cahaya api.
Pepohonan disana lebat sekali."
Lioe Tong girang mengetahui matanya boca ini sangat
awas. "Mari kita maju. tetapi hati2," ia berkata.
Mengikuti tepi empang garam itu, mereka dekati rimba, hingga mereka melihat kampung itu, malah mereka melihat dua buah lentera yang bergerak2 menuju kearah aliran
sungai. "Aku nanti masuk kedalam," Lioe Tong bisiki
soehengnya, setelah mana tubuhnya melesat, demikian
sebat, hingga Kang Kiat kagum bukan main, sebab ia
tampak soecouw itu bagaikan terbang diatas tanah, begitu kakinya menginjak tanah, lantas tubuhnya mencelat pula.
Kemudian, dengan hati2, Eng Jiauw Ong mengajak boca
itu maju juga, ia selalu mencari tempat dimana mereka gampang umpatkan diri. Selagi mereka mendekati lebih
jauh tiba2 ada satu tubuh melesat datang dibarengi dengan seruan pelahan "Jangan maju!"
Itulah Ban Lioe Tong, yang telah kembali dengan cepat, dan ia bawa kabar bahwa didepan mereka ada jebakan,
yalah dari semua pohon kayu, lima atau enam puluh buah, setiap tiga pohon ada dua pohon mati, dan setiap dua tiga pohon, ada lobang jebakannya berikut gaetan dan tambang untuk menyampaikan tanda bahaya.
"Secara kebetulan saja aku ketahui itu, maka tambang
yang menghubung kekelenengan aku telah bikin putus."
Ban Lioe Tong tambahkan. "Aku juga bikin putus tambang yang menyambung keranggon penjagaan. Penjagaan disini benar rapi dan kuat."
LXXVIII Untuk membuktikan, kemudian Lioe Tong ajak
soehengnya maju dengan hati2, hingga Eng Jiauw Ong dan Kang Kiat bisa menyaksikan kebenarannya itu.
Kang Kiat jemu sekali, hingga ia kata pada Eng Jiauw
Ong "Soecouw. kawanan ini sangat jahat, merekapun
pemberontak, apa tidak baik kita melepaskan api saja untuk membakar habis sarangnya ini" Mereka mesti dibikin tak bisa celakai orang lagi...."
"Hus, jangan ngoce." Eng Jiauw Ong tegur boca itu.
"Sekarang mari kita masuk." Lioe Tong ajaki
soehengnya. "Kang Kiat, kau tunggu disini. sembunyikan diri, selambatnya jam empat lewat, kami akan sudah
kembali." Sebenarnya Kang Kiat tidak setuju tapi ia tidak berani membantah, maka lantas ia cari tempat sembunyi.
Lioe Tong dan soehengnya segera maju, ia tetap jalan di depan. Lekas sekali mereka sudah lewati rimba dan sampai di tembok, disitu mereka lompat naik ketembok, dari situ terpisah setiap tumbak jauhnya kelihatan sekumpulan
rumah gubuk. Luasnya tembok pekarangan ada beberapa
puluh tumbak, terpisah setiap lima tumbak ada ranggon pengintai untuk melihat dari dalam pekarangan keluar.
Ketika itu, mereka berada dibagian belakang.
Mendahului saudaranya, Lioe Tong lompat turun keatas
sebuah rumah. Kemudian baharu Too Liong menyusul.
Sulitnya bagi mereka yalah sekitar tempat ada gelap petang, hingga mereka perlu mengamat amati segala penjuru.
"Tempat ini rupanya bukan tempat penting, mari kita
pergi ke Utara sana," Lioe Tong kemudian bisiki
saudaranya. "Mari," Too Liong nyatakan akur "Tapi baik kita
memencah diri." Lioe Tong setuju. "Biarlah aku pergi kearah Timur
sana," kata ia. "Lebih baik soetee pergi kebelakang, aku dari Timur,"
Eng Jiauw Ong usulkan. Lalu, tanpa tunggu jawaban, ia loncat keatas rumah yang kelima.
Lioe Tong lihat saudaranya ia lantas lompat ke Barat, kerumah yang kedua. Ketika ia laluii beberapa rumah,
segera ia dapati sinar terang. Ia maju terus sampai kerumah yang ketujuh. Ia dapat kenyataan, pendirian rumah2 disini beda dari pada kebanyakan rumah penduduk, begitupun
jaraknya. Terbagi dalam lima baris, sama sekali ada dua puluh lima rumah. Untuk menyampaikan bagian tengah,
jalan pusat ada dari arah Timur. Dengan jalan dari atas genteng, agaknya tidak ada rintangan.
Untuk menyelidiki lebih jauh, Lioe Tong memasuki
gang. Ia ingin ketahui apa perlunya rumah2 petak ini.
Segera ia dapati merek putih dengan huruf "Goan" dan
"Hong" tanda dari gudang. Setelah menampak banyak
bungkusan terbuat dari tikar, ia mengerti inilah gudang garam.
Semua pintu gudang terkunci tidak ada penjaganya.
Lioe Tong maju kesebelah Utara, disini ti dak ada
gudang hanya ia dapatkan tempat yang diatur mirip dengan Kwie in po, kampungnya sendiri, yalah cara Pat kwa. Ia insyaf bahwa benar2 Hong Bwee Pang tidak boleh
dipandang ringan. Karena rumah terbuat dari atap, ia
percaya disitu mesti ada daya penjagaan nya yang
dirahasiakan. Ia dapat kenyataan, tempat ini ada luas. Melihat
kedudukannya, ia berada disebelah Selatan. Seharusnya jurusan Selatan ini ada "Lie kiong," tetapi Hong Bwee Pang membalik Pat kwa, maka jadinya adalah "Kian kiong."
Demikian semua arah lainnya, hingga itu ada sangat
membingungkan. Memandang ke Selatan, Lioe Tong lihat dua lembar
daun pintu yang terpentang, yang hitam gelap dan sunyi.
Disebelah Barat sebaliknya ada lima pintu, yang tertutup rapat. Mendekati rumah itu, Lioe Tong lihat diatas payon ada jala atau jaring kawat. Ia maju dengan senantiasa perhatikan jurusan.
Herannya sampai sebegitu jauh belum ada terlihat satu juga orang Hong Bwee Pang.
Selagi diam sambil berpikir, tiba Lioe Tong dengar suara mengaungnya pelbagai anak panah disebelah Barat utara, tercampur suara kena terserangnya tembok. Ia heran.
Segera ia lompat naik keatas rumah, akan memandang.
Benar saja, diarah mana anak anak panah sedang saling menyamber,
kemudian tertampak melesatnya satu bayangan. Itulah bayangan mirip dengan tubuhnya Eng
Jiauw Ong. "Kenapa soeheng keliru ambil jalan?" pikir ia. "Tak
dapat aku maju dengan ambil jalan yang benar, tapi untuk babat jala ini, apa aku tidak akan terbitkan suara
kelenengan2 pertandaan?"
Ia jadi sangsi tapi tak lama. Perlu ia bantu soehengnya.
Maka ia hunus pedangnya, yang perlihatkan cahaya
berkilauan, kemudian dengan tangan kiri ia rabah jala.
Syukur ia tidak dapatkan kelenengan, maka ia segera
menabas, hingga disitu terbukalah lowongan untuk ia
lompat masuk. Tapi ia tidak mau sembrono, ia kuatir
soehengnya salah mata. "Soeheng!" ia memanggil. "Aku disini!"
Panggilan itu tidak peroleh jawaban.
Kembali Lioe Tong memapas, untuk membuka lobang,
setelah itu, ia lompat turun. Injakan kakinya ada sangat enteng, tetapi ia merasa bukannya injak tanah hanya suatu barang yang bisa bergerak, maka segera ia Insaf bahwa ia telah injak jebakan. Ia baharu memikir atau hujan anak panah telah menyerang dari dua jurusan, yang barat ke utara dan sebaliknya. Ia mencelat mundur sambil putar pedangnya, akan tangkis panah yang menjurus kepadanya.
Setelah mundur kegaris "Kian kiong," Lioe Tong bebas
dari serangan mendadakan itu, akan tetapi disini, dari tempat gelap, lompat keluar satu orang berbareng dengan serangannya yang menerbitkan suara angin. Lekas ia
memutar tubuh, sambil mengegos ia berseru "Bagus!"
Sebetah tangannyapun balas menyerang.
Penyerang itu loncat mundui sambil berseru.
"Ah, soeheng!" kata soetee ini.
"Ya, soetee," sahut Eng Jiauw Ong yang segera
mendekati. "Mari, soeheng," Lioe Tong berbisik.
Saudara muda ini menuju kegaris "Sin kiong," ia
sembunyikan diri ditempat gelap.
"Kenapa soeheng lupa kepada garis2 Pat kwa yang
dibalik ini?" ia tanya dengan pelahan. "Kita mesti waspada, orang Hong Bwee Pang pandai Pat kwa."
Eng Jiauw Ong jengah sendirinya, syukur ia cuma
bersama soeteenya, orang sendiri, kalau orang lain, ia pasti dapat malu.
"Soeheng, mari kita ketengah," Lioe Tong kemudian
mengajak. "Kita mesti lihat, siapa orangnya yang pandai disini!"
Eng Jiauw Ong manggut. "Mengenai Pat kwa, soetee, tak aku lawan kau," ia akui.
"Inilah melulu peryakinan, soe heng" Lioe Tong
merendah. "Coemaa secarik kertas penuh coretan asal
dapat dipahamkan, akan segera mengerti."
Eng Jiauw Ong tahu soetee itu menghiburkan padanya,
ia diam saja. Ia lantas ikuti sang Soetee. Dari Sin kiong, mereka ke Soan kiong. Itulah gang kecil kebarat selatan.
Diujung gang ada Lie kiong, lalu Kim kiong. Sehabis ini ada satu gang panjang, belasan tumbak, dimana dikiri dan kanan ada rimba pohon bambu, yang diantara tiupan angin menerbitkan suara.
"Lihat, soeheng, hutan bambu ini tertanam dengan
teratur, untuk bikin tersasar orang luar," kata Lioe Tong pada soehengnya. "Inilah pasti pusat usaha penggaraman."
Lioe Tong lantas hampirkan hutan bambu itu, hingga ia bisa lihat, hutan itu merupakan pagar atau kurungan dari sebidang pekarangan luas dengan bangunan rumahnya,
apabila orang tidak memasuki rimba, pekarangan itu tidak akan tertampak dari luar.
"Soetee, Hong Bwee Pang ada punya orang2 liehay,
inilah menggembirakan," kata Too Liong, ia anggap tidak kecewa akan layani orang2 gagah.


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lioe Tong manggut, lantas ia jalan terus dimuka, untuk memasuki "Seng moei," pintu hidup.
Tembok pekarangan, yang tinggi dan kuat, dan
dipasangkan pelatok besi yang tajam, tak dapat orang
berjalan diatas itu. Siapa tidak mengerti tentang patkwa, dia bukan saja
tidak akan dapat masuk kedalam, diapun bakal kesasar dan akan menghadapi ancaman malapetaka.
Lioe Tong jalan terus sampai dijalan penghabisan, yang terpecah dua, ke baratlaut dan ke baratdaya. Melihat jalan pe cahan itu, Eng Jiauw Ong nyatakan ia tahu yalah yang di kanan ada garis Kian kiong dan garis kiri adalah Koen kiong. Kemudian ia ikuti soeteenya menuju ke Kian kiong, diluar mana, pekarangan ada lebar, ada banyak pohon
bambun ya, dan ditengah jalananpun lebar setumbak lebih.
Dilain ujung lantas terlihat sinar api.
"Soeheng, mungkin ini ada pusat pengurusan garam,"
Lioe Tong nyatakan dugaannya.
"Mungkin sekali," sahut Eng Jiauw Ong. "Mari kita
lihat." Keduanya melihat kesekitarnya, lantas mereka berpencar kekiri dan kanan, untuk cari tempat mengintai sambil
umpatkan diri. Rumah ada besar, pertengahan depannya
lebar, pekarangan itu punyakan satu lapangan olah raga.
Dikedua samping pertengahan ada obor yang nyala tinggal separuh. Karena adanya layar yang lebar, didalam
pertengahan melebar, didalam pertengahan maka yang
tampak bayangan orang saja.
LXXIX. Dengan berani Lioe Tong hampirkan sampingnya
pertengahan besar, berbareng dengan itu ia lihat satu bayangan melesat disebelah barat rimba bambu. Ia tahu, itulah soehengnya. Maka setelah umpatkan diri, ia geraksi tangannya kepada soeheng itu, yang pun iihat padanya, maka saudara itu memberi balasan tanda. Setelah itu,
keduanya menuju kebelakang, dimana mereka dapatkan
tiga buah jendela yang tinggi, yang nampaknya kekar sekali.
Dari jendela sebelah utara keluar sinar api warna kuning.
Rupanya, walaupun sudah tengah malam, orang2 Hong
Bwee Pang masih bekerja. Untuk memeriksa, Eng Jiauw Ong kasi tanda pada
saudaranya, supaya saudara itu pasang mata, lantas ia hampirkan jendela yang ada apinya itu. Segera terdengar suara beberapa orang seperti berebut omong, maka ketua Hoay Yang Pay ini lekas bikin lobang kertas jendela dan mengintai kedalam.
Nyatalah kamar itu adalah kamar tidur, perabotnya
hampir tidak ada, apinya adalah lampu diatas meja. Sama sekali ada dua belas orang, lima antaranya sedang berjudi sambil adu omong, suaranya berisik, hingga salah satu orang lainnya kata "Sudah begini waktu belum mau tidur, apakah kau hendak tunggu sampai ditegur" Nanti kita
semua ke rembet2...."
"Pergilah kau tidur senyenyak mayat !" kata satu anak muda, yang agaknya gembira. Aku telah tahu daripada kau!
Diwaktu begini mana ada tempo untuk Phang Tocoe dan
Hee Tocoe tilik kita" Tocoe yang berhak sebentar fajar sudah mesti pergi urus garam sedang yang lainnya pergi sambut pihak Hoay Yang Pay. Nah, tidurlah kau, Siauw
Han, jangan mengusik kami !"
Mengetahui orang tidak akan keluar, Eng Jiauw Ong
undurkan diri, ketika ia menoleh pada Ban Lioe Tong,
soetee itu berada dijendela yang kedua dan ia di beri tanda untuk lihat jendela yang ketiga, yang sebelah kanan. Ia menurut, ia lantas dekati jendela kanan itu, yang tidak memakai kertas lapisan, hingga lantas ia bisa mengintai kedalamnya.
Ruangan ini ada besar dan terperabot, apinya ada sebuah lilin besar. Tiga orang duduk dikanan, empat dikiri, maka mereka cuma kelihatan dari samping, kurang tegas. Didekat tembok kanan, dua orang asyik benahkan surat . Dimuka pintu ada menanti dua puluh orang lain. Beberapa
pemimpin itu tengah berikan titah2nya.
Diam2 Eng Jiauw Ong perhatikan salah satu pemimpin,
suara siapa ia seperti kenali tapi tak ingat betul. Dia ini kasi perintah untuk angkut semua garam digudang dalam tempo satu bulan, supaya penduduk Kangsouw dan Ciatkang
pakai garam buatan mereka. Itulah, katanya ada kehendak Liong Tauw Pang coe, ketua mereka, yang mesti dipenuhi.
Orang itu dipesan untuk waspada karena pembesar di Liang Hoay pastilah tidak akan diam saja. Tapi dia tambahkan, lawan yang berbahaya adalah Hoay Yang Pay, dari itu,
dikuatirkan pihak lawan ini nanti merintanginya. Pemimpin ini sebut jumlahnya perahu pengangkut ialah dua puluh buah. Diakhirnya membujuk, pekerjaan kali ini ada
mengenai kehormatan Hong Bwee Pang.
"Aku suka kepalai iring2an yang pertama!" kata satu
orang. "Apabila gagal, aku suka tanggung segala
akibatnya." Sekarang Eng Eng Jiauw Ong mengenali pemimpin yang
menyampaikan titah itu adalah Shong Koan Sin Khoe
Leng, salah satu ___ Seecoan Siang Sat, maka siapa yang dikanannya tak salah lagi tentulah Kwie lian coe Lie Hoan
Tong. Ia tidak mengarti, mengapa mereka ini ada dipusat umum sedang mereka menantang dia akan bertemu di Ceng Loan Tung Gedung Burung Loan. Dan orang yang sudi
terima tugas itu berumur kira2 tiga puluh tahun.
"Jikalau Ciauw Tocoe suka bantu tugas, baiklah,"
berkata Khoe Leng kemudian. "Tapi kau bersendirian saja.
kau perlu pembantu. Siapa sudi membantu Ciauw Tocoe?"
"Khoe Hio coe, tee coe suka bantu Ciauw Tocoe,"
menyatakan satu orang sambil berbangit berdiri.
Khoe Leng berpaling, hingga kelihatanlah parasnya yang pucat bagaikan lilin putih, ia bersenyum tetapi romannya bisa membuat orang bergidik, sedang sepasang matanya
yang tajam dan bengis menyapu dua orang yang majukan
diri itu. Siapa sebaliknya sudah lantas duduk.
"Bagus kau berdua sudi jalan bersama," berkata Kwie
lian coe Lie Hoan Tong si Muka Iblis. Aku percaya kau akan berhasil! Kalau nanti kau bertemu dengan orang2 dari Liang Hoay. ambillah sikap seperti biasa, sedang terhadap pihak Hoay Yang Pay. berlakulah hati2. Eng Jiauw Ong si tua bangka tak boleh dibuat permainan, umpama kau
ketemu dia jangan coba cari malu sendiri, bilang saja untuk dia, kalau punyakan kepandaian, pergi saja memasuki Cap jie Lian hoan ouw, disana semua hio coe kita pasti akan layani dia dengan antero kepandaiannya, tapi apabila dia takut, minta dia jangan berdiam lama didaerah kita ini, supaya dia pulang saja ke Lek Tiok Tong di Ceng hong po, untuk bubarkan diri, cuci tangan, lantas angkat kaki dari Hoay siang. Jikalau, dia tidak sudi dengar nasihat, itu artinya dia cari penyakit sendiri!"
"Soetee, mari kita urus urusan kita saja," Khoe Leng
nasihat kan saudaranya. "Kita mesti jaga agar kita tak
dikatai membicarakan orang dibelakangnya, nanti orang tertawai kita."
Lie Hian Tong tertawa dingin.
"Kau terlalu hati2, soeheng!" kata dia. "Dengan si tua bangka itu, aku niat adu jiwa!"
"Soetee, urusan garam ini adalah usaha kita yang
pertama," Khoe Leng menyimpangkan pembicaraan.
"Dimuka Pang coe, kita tak usah harapi jasa, cukup asal kita tidak peroleh rintangan, inilah untuk kehormatan kita."
Selesai itu, Khoe Leng lantas atur rombongan yang
kedua, ketiga dan keempat, begitupun untuk setiap
rombongan empat buah perahu pelindung yang terdiri dari dua perahu layar, satu perahu tocoe dan sebuah perahu cepat, untuk menyampaikan warta.
Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong kagum juga atas cara
mengaturnya orang itu. Tidak heran kalau pihak pembesar negeri tidak berdaya untuk menindasnya.
"Sekarang silahkan coe wie tocoe ambil surat2 yang
perlu," kata Khoe Leng kemudian kepada delapan tocoe.
Pengurus surat2 ada dikedua samping, mereka telah
berikan surat2, pertandaan, sebungkus uang dan selembar bendera persegi tiga kepada delapan tocoe itu, yang
sehabisnya itu, lantas pamitan dari Seecoan Siang Sat.
Setelah menyaksikan ini, kedua jago Hoay Yang Pay itu mengerti kenapa Hong Bwee Pang sanggup ongkosi
rombongan yang besar dan berpengaruh, kiranya hasil
usaha pegaramannya itu besar sekali.
Kemudian, Seecoan Siang Sat bicara kepada empat
pelindung rombongan, yang dipujikan hasil tugasnya,
sesudah mana, mereka inipun terima surat2 dan lantas
undurkan diri. "Soetee, diwaktu fajar aku mesti pergi ke Pusat Umum, mungkin diwaktu magrib aku baharu kembali," kemudian
Khoe Ceng kata pada Lie Hian Tong. "Aku mesti beri
laporan pada Pang coe, tak perduli hal benar atau palsu, sebab kita mesti ber jaga2"
"Aku lihat urusan tak demikian penting," kata Lie Hian Tong. "Umpama orang she Sin itu datang untuk bekerja
didalam, tanpa mempunyai konco, ia tak akan dapat
berbuat suatu apa. Pang coe ada cerdik, aku percaya
padanya tak ada lowongan yang dapat dimasuki. Orang she Sin itu toh melainkan berdua bersama muridnya" Aku lihat, biar kita ada sahabat dan kawan, kita tetap ada lain
dibanding Pang coe dengan orang she Sin itu, karena
mereka ada soeheng dan soetee. Aku beranggapan lebih
baik kita jangan tahu urusan itu, supaya kau tak jadi kecewa...."
"Tapi aku tidak akan berlaku bodoh," Khoe Leng bilang.
Terus ia kata pada penulisnya "Sebentar fajar, lepaskan burung dara pembawa berita, supaya semua dua belas Soen kang Cap jie to ijinkan lewat pada dua puluh buah perahu pengangkut garam, yang berbareng mereka mesti lindungi dengan sungguh2. Siong boen to juga diharuskan memberi kabar apabila semua angkutan sudah sampai disana. Kalau usaha ini gagal, semua mesti turut bertanggung jawab!"
"Sampai ditempat mana akhirnya pemberian tahu ini,
hio coe" si penulis minta penegasan.
"Tujuan terakhir adalah Kim san kay," Khoe Leng
jelaskan. "Bila burung dara kita sampai di Siong Boen San, dari sana dikirim lebih jauh ke Kim Boen San, terus ke Hay Boen To, dari Hay Boen To ke Ciang San KongHo,
dilangsungkan lagi ke Kim Tong San, Tin hay, akhirnya lalu dari Hangcioe wan disampaikan kepada Cap cit
Siauwto. Andaikan ditengah. jalan ada rintangan, pihak pelindung
pengiring yang berkewajiban untuk menyampaikan berita."
Setelah dengar penjelasan itu, si penulis lantas bekerja.
Kemudian Kwie lian coe Lie Hoan Tong hadapi satu
orang, ia kata "To Tocoe, tolong kau sampaikan berita pada Hay ma Siauw Lin, supaya dia kumpulkan saudara2
sebawahannya untuk dipilih, karena pengangkutan kita
sekali ini tanggung jawab akan diperserahkan kepadanya."
Orang itu terima perintah, dia lantas berlalu.
Khoe Leng memberi tanda pada sisa orang2nya, setelah
mereka ini mundur, disitu tidak ada lain orang kecuali mereka berdua serta kedua penulis itu. Soeheng soetee itu berbangkit, untuk tengok kedua penulis itu.
Diluar, Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong saling
memberi tanda, lalu keduanya lompat kedepan. Menyusul itu, mereka dengar bunyinya kentongan beruntun belasan kali.
"Itulah tentu Hay ma Siauw Lin sedang kumpulkan
orangnya untuk dipilih," Lioe Tong berkata pada
soehengnya. "Tentu," sahut Eng Jiauw Ong "Nama Hay ma Siauw
Lin rasanya aku pernah dengar, kalau tidak salah, dia ada suatu sahabat kang ouw...."
"Memang," kata Lioe Tong. "Pada sepuluh tahun yang
lalu, adalah yang kepalai dua atau tiga ratus bajak di Sam siang. Aku tidak nyana, sebagai bajak tersohor, sekarang ia jadi hamba orang, dan rupanya dengan kedudukan yang tak memuaskan. Tentang Seecoan Siang Sat ini, walau
namanya kesohor, belum pernah aku bertemu dengan nya.
Dari empat tocoe tadi, dua ada kenamaan yang satu adalah Hoei sengcoe Gouw Peng si Bintang Terbang dari lima
propinsi di Utara, yang lainnya Sin touw Tian Hong si Malaikat Pencuri dari Kangsouw dan Ciatkang. Dikalangan Rimba Hijau, mereka kesohor, aku tidak nyana, merekapun masuk dalam Hong Bwee Pang"
Selagi mereka saling berbisik, mendadakan ada sinar
terang didepan pertengahan, hingga mereka jadi kaget, keduanya lantas lompat untuk bersembunyi.
Orang telah nyalakan delapan batang obor, empat
.antarany a di tancap. Asap oborpun menggulung2 keatas.
Eng Jiauw Ong berdua menduga bakal ada orang datang,
dugaan itu segera berbukti.
Dari jalanan yang berpohonkan bambu lebat terdengar
tindakan kaki, lalu muncul seorang pemimpin Hong Bwee Pang yang pakaiannya ringkas dan tangannya menyekal
selembar bendera persegi tiga, ia mengepalai lebih dari tiga puluh anggauta, yang semua juga dandanannya ringkas,
tidak seragam, kecuali ikat kepalanya yang hijau dan
bersenjatakan golok kwie tauw too. Mereka ini lantas
berbaris disamping pertengahan, pemimpinnya pergi
kedepan pertengahan itu akan balik tubuhnya, terus meniup suitan tiga kali, lalu benderanya pun digoyang, menyusul mana, dari dalam hutan bambu keluar lagi sebarisan
anggauta, yang sama dandanannya, hanya senjatanya
adalah tumbak cagak. Kembali si pemimpin tiup suitannya, sekali ini, muncul dua barisan, yang satu diperlengkapi panah, yang lain bertangan kosong. Semua mereka masih berusia muda dan nampaknya telah terlatih baik.
Sebentar saja lapangan itu telah ditempati seratus lebih orang tetapi mereka semua sunyi. Setelah itu, yang jadi kepala itu bertindak kepertengahan besar.
Dengan saling memberi tanda Eng Jiauw Ong dan Ban
Lioe Tong hunjuk bahwa pemimpin itu mesti Hay ma
Siauw Lin ada nya. Dia berumur lima puluh lebih,
mukanya bersemu merah, ada kumis dan berewoknya,
matanya tajam sedang tubuhnya kekar dan gerak geriknya gesit.
Lekas sekali Siauw Lin telah kembali dari dalam
pertengahan, dibelakangnya ada mengikut Seecoan Siang Sat, dibelakang siapa mengikuti dua orang lain yalah kedua penulis.
Eng Jiauw Ong dan saudaranya pindah tempat
sembunyi, untuk dapat melihat dan mendengar terlebih
nyata. Segera Siauw Lin nyatakan bahwa ia sudah siap untuk
segala titah. Khoe Leng ambil daftar nama dari satu penulis untuk
diperiksa, kemudian ia beri tanda pada penulisnya, siapa segera maju sedikit, lalu berkata "Atas titah hio coe.
sekarang akan dibikin pemilihan, siapa she dan namanya disebut, dia mesti berdiri misah, berkumpul disatu tempat, mesti taat kepada aturan, jangan berisik!"
Setiap kepala barisan menyahuti "Ya!"
Sampai disitu, penulis itu lantas bacakan nama anggauta serta barisannya, siapa yang namanya disebut, lantas
mereka pisahkna diri tanpa dititah lagi, mereka ini berdiri berbaris dengan rapi. Demikian seterusnya, sampai
pemilihan selesai. Nyata yang terpilih ada sepuluh anggauta bergolok, sepuluh anggauta berpanah, dan dua puluh yang
bertangan kosong, semua baru berusia dua puluh lebih, tidak ada yang melewati tiga puluh.
Atas titah Siauw Lin, empat puluh anggauta itu berbaris rapi didepan Seecoan Siang Sat, hingga kedua hio coe ini hunjuk kepuasannya.
"Apakah kau tahu kenapa kau dipilih?" Kwie lian coe
Lie Hian Tong tanya. Semua anggauta itu berdiam.
"Kau dengar baik2," kata si Muka Iblis. "Kau mesti
antar dan lindungi pengangkutan garam, jikalau berhasil, kau sekalian bakal dapat hadiah. Ingat, sebagai anggauta Hong Bwee Pang, kau mesti setia dan berani berkorban, diri sendiri boleh terhina tapi tidak Hong Bwee Pang. Pun kali ini, hadiahnya ada istimewa. Kau mesti taat kepada
pemimpinmu masing2, jangan lancang. Kaupun tentu
mengerti, Siauw Tocoe?" Lie Hian Tong tambahkan pada
tocoe she Siauw itu. "Dalam segala hal, diam2 akan ada orang yang nanti bantu kau. Kita ubah cara pengangkutan kali ini karena ini ada sangat penting, segala apa terserah padamu sekalian, maka janganlah sia siakan pengharapan Pang
coe. Inilah sebabnya kenapa seluruh daya pengangkutan, Pang coe mestikan melatih sampai empat
ratus anggauta kita."
LXXX "Aku harap kau semua telah mengerti," Shong boen sin
Khoe Leng turut bicara. Iapun meng___kan. "Sebaliknya, siapa tidak terpilih, dia jangan kecele, sebab lain kali, tentu bakal terlatih yuga. Nah, Siauw To tolong titahkan mereka kembali kemarkas masing2 ."
Siauw Lin baharu hendak memberi titah atau dari luar
berlari2 datang dua anggauta menghadap padanya, untuk
berbisik, sesudah mana dengan satu tanda dengan tangan dua orang itu berdiri disamping. Setelah itu, pemimpin ini hadapi kedua hiocoe.
"Harap hiocoe ketahui, digaris Pat kwa Bie hong lou
telah di tangkap?" kata ia , yang kata2 nya tertahan, karena Lie Hian yang cegah ia dengan satu ulapan tangan.
Lantas si Muka Iblis panggil pembawa berita itu masuk kedalam pertengahan, tapi tidak lama mereka sudah keluar pula, oleh Siauw Lin mereka diperintah undurkan diri.
Lie Hian Tong segera berbisik dengan Khoe Leng, atas
mana ___ boen sin kata "Aku percaya dia tidak
bersendirian. Kalau sekarang sudah tak siang baik soetee tetap mengatur disini, aku hendak pergi pada Pang coe sekalian bawa berita itu. Aku tidak sangka dia bernyali demikian besar. Pasti ini ada soal mata2, jadi urusan mesti dihadapi secara sungguh2!"
Siauw Lin sendiri sudah kasi titah akan barisannya
undurkan diri dari lapangan.
Selagi Khoe Leng masuk kepertengahan, Lie Hian Tong
perintah dua anggauta membawa obor, untuk pimpin ia.
Sebentar saja tanah lapang itu jadi sunyi pula.
Ban Lioe Tong segera bisiki soehengnya "Rupanya ada
orang kita yang tertawan," demikian katanya. "Lie Hian Tong bilang hendak pergi ke Congto, dia tentu hendak lihat orang tawanannya itu."
Eng Jiauw Ong sementara itu bercekat hati, karena tiba ia ingat Kang Kiat. Siapa tahu kalau si boca yang
tertangkap musuh" Ketika ia utarakan dugaannya itu pada sang soetee, Lioe Tong turut berkuatir.
"Soeheng, mari kita lihat" Ia segera mengajak.
Eng Jiauw Ong manggut, bersama soetee itu ia berlalu.
Ketika mereka sampai digudang garam, beda dengan
tadinya, cahaya api tertampak terang2, banyak orang yang mundar mandir, hingga dari atas genteng mengawasi
kesungai, kelihatan perahu2 bagaikan barisan ular panjang.
Nyata orang sedang angkuti garam, sebungkus dengan
sebungkus, bererot ketepi sungai. Di pertengahan kelihatan Hay ma berikan titah titahnya.
Siauw Lin si Kuda Laut asyik
Justeru itu waktu Lie Hian Tong sampai dengan tiba2.
Siauw Lin segera sambut pemimpin ini.
"Siauw Tocoe, kau banyak kerja," berkata Kwie lian coe, si Muka Iblis. "Katanya orang yang tertawan itu ada Siauw liong ong Kang Kiat, itu boca nelayan. Sungguh dia
mencari mampus...." Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong dengar kata2 itu,
mereka saling mengawasi. Jadi benarlah dugaan atau
kekuatiran mereka. Tapi mereka segera dengar kata2 lebih jauh dari Lie Hian Tong "Memang Pang coe perhatikan
betul boca itu, dikuatir dia menerbitkan gelombang. Melulu untuk jaga nama baik. Pang coe tidak ingin bikin celaka boca itu, diapun tidak dipaksa untuk memasuki kaum kita.
Aku pun telah duga, sikap lemah dari Pang coe ini bisa membawa onar, sekarang dugaanku itu berbukti. Tadinya aku telah pikir, sebab kita tidak hendak celakai dia, baik dia dan ibunya disambut kedalam Cap jie Lian hoan ouw,
untuk ditempatkan di Hok Sioe Tong, Gedung Bahagia,
supaya mereka terjamin dan merekapun tidak bisa
berhubungan kepada pihak luar. Tapi sudahlah. Siauw
Tocoe, mana boca itu" Sekali ini dia tak dapat dibikin lolos lagi!"
"Tak nanti dia dapat lolos," Siauw Lin jawab. "Dia
dijaga keras. Dia ada dikamar kosong sana."
"Coba bawa dia kemari, aku hendak lihat padanya," kata Lie Hian Tong sambil duduk. "Tolong siapkan sebuah
perahu cepat, aku sekalian hendak menghadap pada Pang coe."
Siauw Lin menyahuti "Ya" lantas ia kasi perintah
bagaikan berbisik pada dua orang yang dampingi ia dikiri dan kanan, atas mana dua orang itu sambil membawa
lentera pergi kekamar kosong yang disebutkan tadi,
semasuknya mereka kedalam, lantas terdengar suara
berisik, disusul dengan seman "Ah, boca yang liehay! Apa yang kau andalkan maka kau begini galak"
Hajar padanya!" "Jangan!" demikian satu suara lain.
Lantas kelihatan keluar pula dua anggauta tadi, disusul oleh empat orang dari barisan bergolok kwie tauw too, yang mengiringi ditengah2nya satu anak tanggung, yalah Kang Kiat si Raja Naga Cilik, kedua tangannya ditelikung,
mukanya berlepotan debu, hingga muka itu jadi belang
hitam dan putih Eng Jiauw Ong dan Siok beng Sin Ie
bingung juga, karena mereka bersangsi untuk segera tolongi boca itu. Mereka insyaf, Lie Hian Tong tak dapat
dipandang enteng, sedang mereka tak ingin bekerja secara sembrono.
Kemudian Lioe Tong bisiki soe hengnya "Soeheng, kita
harus tolong dia secara diam2. Kita pun perlu lihat
nyalinya...."

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku hanya kuatir dia terhina dan tersiksa...." nyatakan Ong Too Liong.
"Tidak apa satu boca alami penderitaan," Lioe Tong
menghibur. "Mari kita lihat saja...."
-ooo0dw0ooo- Jilid 8 Waktu itu Kang Kiat telah dihadapi pada Lie Hian
Tong. Dua orang senantiasa dampingi pada nya yang
lainnya berdiri dtempat penjuru. Ia berdiri dengan tak menampakkan sedikitpun kejeriannya.
"Kang Kiat, Kau masih begini kecil tapi jiwamu kau
bikin seperti barang mainan saja," Lie Hian Tong lantas kata. "Kenapa kau berani memasuki Hoen coei kwan untuk intai gerak gerik kami" Kau ada punya berapa batok kepala"
Pasti orang telah gunai kau sebagai perkakas! Pasti kau telah temahai upah besar! Dengan begini, kau pandang
kami terlalu enteng! Boca, hari kau mesti rasakan liehay nya kaum Hong Bwee Pang!"
Tapi Kang Kiat tidak takut akan ancaman itu.
"Tutup mulutmu!" Ia membentak. "Kau pandang terlalu
enteng pada aku si orang she Kang! Benar aku masih kecil tatapi aku sudah insyaf artinya kesesatan dan pri kebenaran!
Benarkah kaum Hong Bwee Pang, tidak merampok tapi
perbuatanmu tetap melanggar undang2. Walaupun aku
melarat, aku tetap ada turunan orang berpangkat, aku telah terima pengajaran dari ibuku, hingga aku sedar akan jalan yang benar. Tidak berguna kau ber ulang2 bujuk aku masuk Hong Bwee Pang. Bagiku, siapa berlaku baik kepada kami ibu dan anak, kami akan hormati padanya, lainnya urusan aku tak mau pusing! Kau ada rakyat jelata tapi di Hoen coei kwan kau dirikan benteng serta segala jebakannya, kalau itu bukannya pemberontak, apa artinya" Dan sekarang,
bagaikan menjadi harimau, kau bawa sikapmu sebagai
hakim untuk takuti aku, apa artinya ini" Aku telah
ditangkap tapi jangan kau harap aku nanti manggut2 untuk minta ampun! Siapa kesudian berlaku demikian hina
didepanmu" Baik kau kacai diri akan tengok wajahmu yang tak sedap untuk dipandang! Dasar aku yang apes, hidup2
aku melihat hantu! Kau lekas merdekakan aku, kita tidak bermusuhan, kita tidak kenal satu pada lain, kau
memberontak, kau melanggar aturan, itu urusanmu, aku tak perduli, tetapi jikalau kau tetap hendak tahan aku, awas, jagalah akibatnya!"
Bukan kepalang mendongkol nya Lie Hian Tong. Siapa
orang nya yang berani main gila terhadap dia, Seecoan Siang Sat yang pernah malang melintang dalam dunia kang ouw. Dan sekarang satu boca berani caci padanya!
"Hm, binatang, kau berani menghina aku!" Kata ia
dengan dingin. "Kau ada punya berapa batok kepala" Kalau tidak ku pandang kau boca dan belum mengerti apa2, pasti kau tidak peroleh ampun! Awas, Kang Kiat, kalau kau
berani main gila pula, aku Lie Hian Tong tidak akan
sia2kan tempo lagi akan bikin habis jiwa anjingmu!"
"Jangan kau gertak aku!" Kata Kang Kiat tanpa takut.
"Jikalau kau ambil jiwaku, kau juga tidak bakal hidup lebih lama pula! Apakah kau sangka lain orang tak dapat ambil nyawamu" Siauwyamu telah rubuh. Ditanganmu, sekarang
segala apa terserah kepadamu!"
"Ah, boca, kau tidak tahu maksud baikku!" Kata Lie
Hian Tong dengan bersenyum tawar. "Kau omong terus
terang, nanti aku tolong padamu, didepan Pang coe aku akan tutup rahasia. Aku juga nanti ajarkan ilmu silat seperti apa yang aku bisa. Coba pikir, apa ini bukan nya
keberuntungan" Kau masih muda tapi kau mesti bisa pikir.
Mustahil kau tidak ketahui kebaikanku?"
Kang Kiat angkat kepalanya, ia tertawa dingin.
"Biarnya masih muda, aku sudah dapat bedakan
kejahatan dan kebaikan," ia jawab. "Tidak nanti aku turut perkataanmu, aku tak sudi tersesat!"
Siauw Lin lihat kekerasannya hati orang.
"Hiocoe, jangan pandang enteng akan usia muda boca
ini," ia kata pada Lie Hian Tong, ia mendongkol terhadap boca itu.
"Jikalau kita anggap dia sebagai boca melulu, kita kena terjual! Kau memeriksa ia secara demikian manis budi, mana dia mau mengaku."
"Aku memang tahu dia licin," Lie Hian Tong jawab.
"Sekarang tidak ada lain jalan, dia mesti diserahkan pada Pang coe, biar Pang coe yang nanti ambil putusan sendiri."
Lantas Kwie lian coe berikan titahnya, ia sendiri turut naik keperahu yang sudah lantas disiapkan.
Tatkala itu baharu jam lima, cuaca masih gelap, kecuali diatas perahu dimana ada cahaya api.
Lioe Tong dan Eng Jiauw Ong, dari tempat gelap
mengikuti kepinggir sungai. Mereka percaya Kang Kiat
akan dibawa ke Cap jie Lian hoan ouw. Inilah hebat, sebab pusat Hong Bwee Pang itu mesti terlebih kuat daripada Hoen coei kwan ini.
"Soeheng, apa kita mesti antap Kang Kiat dibawa
kesarang mereka?" Lioe Tong tanya soeheng nya, tangan baju siapa ia tarik. Ia berbisik.
"Mana bisa aku antap dia bawa anak itu?" Eng Jiauw
Ong jawab. "Jikalau dia sampai dibawa ke Cap jie Lian hoan ouw, tidak gampang untuk dia keluar lagi. Mari kita lihat ketika untuk turun tangan"
"Nah, marilah kita rampas pulang boca itu untuk
sekalian kasi mengerti kawanan ini agar jangan terlalu katak. Seecoan Siang Sat liehay dia mesti dikasi insyaf akan keliehayan kita. Kita harus dekati perahu, tapi masing2
mesti bisatempatkan diri sendiri."
Ong Too Liong mupakat. Maka keduanya lantas lari
akan dekati perahu. Malam itu angin ada bagus, walaupun mesti lawan aliran air, dengan dipasangkan layar, perahu bisa laju pesat. Satu anak buah ditugaskan urus layar. Cahaya api dari dalam perahu menyorot keluar, kedepan dan kebelakang, karena pintu ditutup, cuma molos dari celah2 pintu saja. Ini ada baiknya untuk kedua jago Hoay Yang Pay, yang menguntit perahu.
Ban Lioe Tong telah memikir, buat bisa naiki perahu,
pengemudinya mesti disingkirkan dahulu. Inipun ada
pikirannya Eng Jiauw Ong, sang soeheng. Karena itu,
keduanya lekas2 dekati perahu, untuk terus loncat. Lioe Tong dahului soehengnya. Ia baharu taruh sebelah kakinya dilantai perahu, atau ada angin samber ia. Ia segera
jumpalitan akan tempat balik kedarat, setelah mana, ia menoleh, hingga ia tampak satu bayangan baharu saja
tempat naik kebelakang perahu. Bayangan itu tidak
terbitkan suara apa juga hingga dengan gampang saja dia bisa cekuk pengemudi, yang seperti mati kutunya, tubuhnya lantas diletaki dipinggiran!
Selagi Siok beng Sin Ie mengawasi dengan kekaguman
dan keheranan, ia tampak bayangan itu menggape kearah ia, hingga ia jadi semakin heran. Perahu pun jalan terus dengan tetap.
Eng Jiauw Ong, yang ketinggalan oleh soeteenya. Batal loncat keperahu, sebab ia segera lihat ada satu bayangan
mendahulua tempat, selaga merandak, ia tampak Lioe Tong tempat kembali Kemudian, sedangnya ia menduga ia
dapatkan soetee itu bertempat ketepi, untuk segera tempat pula kebelakang perahu.
Lioe Tong tidak sangsikan lagi bahwa bayangan tadi
bukannya musuh, karena orang gapekan ia, ia sambut
undangan itu. Tapi justeru ia tempat keperahu bayangan itu membarengi tempat kedarat, hampir mereka saling sampok, diwaktu mana, bayangan itu kata "Lioe Tong kau pegang kemudi dulu!"
Kapan Siok beng sin Ie tempat ditempat kemudi, ia
dapatkan tali layar diikat pasak kemudi hingga ia kagum atas kecerdikannya bayangan tadi. Memenuhi pesan
bayangan itu, ia lantas perhatikan kemudi dan layar itu.
Disamping ia rebahkan si pengemudi perahu, tubuhnya
tidak bergerak, bagaikan orang tidur nyenyak. Ia tahu jurumudi ini pasti sudah kena ditotok.
"Benar2 dia liehay," ketua dari Kwie in po kata dalam hatinya. Tapa mengerti, kecuali Yan tiauw Siang Hiap, tentu ada lain orang pandai yang sedang bantui pihaknya.
"Dia tinggalkan aku, rupanya dia mau antap aku layani Lie Hian Tong. Mana soeheng" Aku tidak lihat dia"
Ia mengawasi kedarat. Sampai perahu telah maju
beberapa tumbak jauhnya, baharu ia tampak satu bayangan ber lari2 ditepi sungai bayangan dari soehengnya itu.
Sekarang, tak ragu lagi, Eng Jiauw Ong tempat naik
keperahu. Tapi baharu ia injak lantai, atau pintu perahu dibuka dari dalam, hingga Ban Lioe Tong kaget dan lekas mendek, supaya wajahnya tidak sampai tersorot api. Too Liong pun segera mendekam.
Satu anak buah muncul sambil menggerutu, rupanya ia
baharu habis didamprat Kang Kiat. Syukur dia tidak terus
kebelakang, hanya kedepan. Dilain pihak, Eng Jiauw Ong lihat penjaganya Kang Kiat ada tiga orang.
"Soeheng kemana, kenapa baharu sampai?" Lioe Tong
tanya. "Aku sembunyi karena aku tampak satu bayangan
tempat keperahu dan membikin mati kutunya si jurumudi,"
sahut Too Liong dengan pelahan. "Dia ada seorang liehay, entah dia siapa dan dari golongan mana. Aku tahu, dia tidak lihat aku, maka aku kuntit padanya. Dia sangat gesit, dengan dua kali tempatan dia menghilang dari depanku, tidak dapat aku cari padanya, karena itu aku lekas susul kau. Terang dia sedang bantui kita. Aku percaya, kita sedang mendekati Cap jie Lian hoan ouw, maka perlu kita turun tangan di sini."
"Kau benar, soeheng. Tapi kita bekerja jangan sampai
Lie Hian Tong mengetahuinya supaya pekerjaan kita lebih lancar."
Lioe Tong mengawasi kedepan dan sekitarnya. Cuaca
masih gelap. "Mari Soeheng," kata dia, yang tambat pula dadung
layar, lalu dia hampirkan pintu perahu.
Eng Jiauw Ong ikuti soetee ini.
Waktu itu, Kang Kiat sedang damprat penjaga, hingga
mereka tak berdaya, saking hilang sabar, satu antaranya mengancam "Jikalau kau tak mau berhenti memaki, aku
nanti terpaksa langgar pesan Hiocoe, aku akan hajar kau, boca cilik! Kau berani coba?"
Dengan tangan kirinya, Lioe Tong tolak daun pintu,
sambari nyelusup masuk, ia hunus pedang nya, yang
bersinar berkeredepan, hingga tiga penjahat jadi terperanjat.
"Diam!" Lioe Tong menitah. "Jangan berisik!"
Tiga penjaga itu melongo melihat masuknya dua orang
tua yang sikapnya keren itu.
Justeru itu, Kang Kiat berontak, hingga putuslah
tambang belengguannya. Dia memang sudah siap untuk
minggat, dan dia memang sengaja mencuci maki
penjaga2nya. Untuk bikin mereka kewalahan. Begitulah
satu penjaga telah pergi keluar niat melaporkan pada Lie Hian tapi ia didahului oleh Lioe Tong berdua.
"Jiewie soecouw," Kang Kiat kata pada kedua kake guru itu, "penjahat berwajah iblis itu berada di sebelah depan, apakah dia hendak dibereskan?"
Eng Jiauw Ong tidak menyahuti, hanya dia totok tiga
penjahat itu. "Sekarang tak perlu kita perlihatkan diri dulu," Lioe Tong menjawab. "Pergi kau kekemudi."
Kang Kiat menurut, ia lantas pergi keluar, untuk sekalian gerak geraki kaki tangannya yang kaku, bekas terbelenggu lama.
Waktu itu, penjaga yang satu nya masih belum kembali
Dilain pihak, Too Liong dan Lioe Tong sudah berdamai.
Tindakan mereka adalah Eng Jiauw Ong membakar gubuk
perahu dan Lioe Tong gunai pedangnya menobloskan dasar perahu supaya air sungai masuk. Dengan jalan itu, mereka cuma mau beri peringatan pada Seecoan Siang Sat.
"Mari!" Kata Eng Jiauw Ong, ketika mereka hendak
meninggalkan perahu. Ia hendak kempit Kiang Kiat, untuk dibawa bertempat.
"Tak usah, soecouw," kata si anak muda.
Ketika itu perahu terpisah cukup jauh dari tepi, Kang Kiat pasti tidak sanggup loncat ke tepi, tapi Eng Jiauw Ong percaya boca ini ada punya daya sendiri, maka ia tidak memaksa, ia cuma pesan "Ingat, jangan bikin onar!"
Setelah mana, soeheng dan soetee enjot tubuh, loncat ke darat.
Kang Kiat awasi kedua soe couw itu angkat kaki, lantas ia mengawasi kesekitarnya, keperahu juga. Ia dapati,
perahu mestinya nikung kekiri, tapi di situ air deras, maka lekas2 ia geraki kemudi, untuk bikin kendaraan itu menuju kekanan. Ia sendiri segera nyelosor turun di belakang perahu itu, untuk turun keair.
Justeru itu, penjaga yang ktempat, baharu balik dari
depan, ia kaget lihat tujuan perahu itu, hingga ia menjerit
"Eh, Lim Soe, kau mau mampus" Lekas putar kemudi!"
Berbareng dengan itu, ia lihat asap mengepul dari dalam perahu, ia jadi tambah kaget, ia segera berteriak "Hiocoe, lekas kemari!"
Lie Hian Tong dengar suara kaget dan ketakutan itu, ia lari keluar, maka iapun tampak asap dan api mulai
berkobar. Sebagai seorang ulung, ia segera mengerti, maka tidak tempo lagi, setelah samber golok anakbuahnya itu, ia melesat ketihang layar, untuk tabas kutung dadung, hingga layar rubuh dengan segera. Dengan begini, jalannya perahu jadi tertahan, tubuh perahu jadi bergoyang kekiri dan kanan. Setelah itu, ia hampirkan gubuk perahu yang
terbakar dimana ia lihat tiga anak buahnya rebah tak
berdaya. "Kurang ajar!" Ia berseru. "Aku sumpah untuk tidak
hidup bersama dia!" Karena lajunya perahu kena tertahan, kepala perahu
mengenai bentur keras, tapi disebelah itu, air telah masuk banyak, maka Kwie lian coe jadi ibuk, lekas, dengan dua kali bulak balik, ia angkat anak2 buahnya yang rebah
bagaikan mayat, untuk dibawa kedarat yang aman. Iapun menyambar barang2 yang perlu.
Cepat sekali, perahu karam tenggelam.
"Lekas cari!" Lie Hian Tong kasi perintah pada lain anak buahnya. Ia ada sangat malu dan gusar. Teranglah sudah, ia telah kena dirubuhkan. Ia masih punyakan harapan, bahwa musuh belum keluar dari Hoen coei kwan.
Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong masih sembunyi
ditempat nya, mereka bisa saksikan ke sibukannya hiocoe dari Hong Bwee Pang itu. Diam2
mereka puji kecerdikannya Kang Kiat, yang rupanya berniat membalas dendam. Kang Kiat sendiri, bagaikan seekor ikan, telah selulup dan berenang ketepi, akan timbul dimuka air
dimana gesit sekali mendarat, selagi ia hendak cari jurusan, Lioe Tong beri tanda padanya dengan suara cetrekan
tangan, maka ia lantas menghampirkan.
"Sekarang tak dapat kita berayal lagi, mari kita keluar,"
kata Eng Jiauw Ong. "Kita masih ada tempo, soeheng," nyatakan Ban Lioe
Tong. "Kita sudah sampai disini, baik kita teruskan masuk ke Cap jie Lian hoan ouw," Kang Kiat usulkan. "Dengan maju terus, tak sia2lah perjalanan kita kali ini. Bukankah soecouw telah bekal rangsum" Kita boleh cari satu tempat dimana kita bisatempatkan diri untuk lewatkan sang siang, nanti malam baharu kita keluar pula. Kita cari Lwee Sam Tong, untuk kemudian kita memenuhi undangan secara
terang." "Tak usah kita bertindak demikian," Lioe Tong bilang.
"Penjagaan disini sangat kuat, jebakannyapun banyak,
malam masih tidak apa, tapi siang, rasanya sukar untuk kita sembunyikan diri. Tempat yang kita tobloskan tadi, kecuali diperiksa terliti, tidak akan ketahuan bekas tabasan pedang, maka tempat itu kita boleh pakai untuk keluar masuk.
Sekarang kita mundur, besok malam kita bisa datang pula, dengan tempo cukup. Kita bisa bekerja dengan lebih
leluasa. Bagaimana pikiran soeheng?"
Eng Jiauw Ong mengarti bahwa Lioe Tong beratkan
Kang Kiat, yang cuma bisa menghambat mereka tetapi
bantuannya tidak akan seberapa, tapi ia tidak mau buka rahasia hati soetee itu, ia manggut.
"Baiklah, mari kita keluar dulu," ia jawab.
Kang Kiat tidak berani banyak omong, ia lantas ikuti
kedua ketua itu. Mereka baru jalan sepanahan jauhnya, dari arah perahu yang tenggelam terdengar suitan tiga kali, yang segera disambut dtempat penjuru, makin lama makin jauh.
Kedua jago Hoay Yang Pay mengarti, pasti Lie Hian Tong gunai dayanya untuk kerahkan semua pusat penjagaan,
untuk cegat musuh. Sekarang mereka insaf bagaimana
bagus penjagaannya pihak Hong Bwee Pang itu.
LXXXI "Seecoan Siang Sat ada kenamaan, menurut derajatnya
tidak seharusnya mereka gunakan ini, sebab ini menunjukkan kelemahan mereka, tetapi dasar sudah
lumrahnya, siapa putus asa, dia samber segala jalan,
begitupun mereka ini" Berkata Eng Jiauw Ong yang
bersenyum ewa. "Memang begitulah biasanya," membenarkan Siok beng
Sin Ie. Mereka jalan terus, ambil jalan diwaktu masuknya.
Kadang saja mereka gunai boen louw cio, "batu untuk
tanya jalan," guna cegah mereka terjebak dalam perangkap.
Tatkala mereka sampai digudang, garam, sekarang disana gelap petang dan perahupun tak ada sebuah juga. Mereka jalan terus, dengan cepat. itu waktu sudah jam lima, maka mereka insaf, selewatnya itu, langit akan sudah terang, mereka akan terancam bahaya. Selewatnya gudang garam, disungai kelihatan perahu peronda mundar mandir.
"Hati2," Kang Kiat diberi ingat.
Kapan mereka mendekati Hoei coei kwan lagi setengah
lie, disungai muncultempat buah perahu yang memasang
obor terang2. Selagitempat buah perahu itu hampir sampar dipintu air, di udara melesat anak panah yang ihitkan suara mangaung.
"Rupanya orang telah terima titahnya Boe Wie Yang
untuk cegat kita," Lioe Tong nyatakan dugaannya pada
soehengnya. Mereka merandek dengan tiba2. "Kelihatannya kita mesti juga tempur mereka"
Sinar apipun sampai kepada pagar bambu.
"Soeheng, kecewa kalau kita kena digertak oleh cara
penjagaan ini," Lioe Tong nyatakan itu.
"Jikalau terpaksa, apa boleh buat, soetee," sahut Eng Jiauw Ong. "Aku lihat, untuk keluar tak usah kita kukuhi pagar bambu yang telah kita tabas itu. Lebih baik kita menaiki puncak sana, akan tengok disana ada penjagaan macam apa lagi dan orang bagaimana yang berjaga2
disana!" Ban Lioe Tong setujui pikirannya soeheng ini.
"Mari kita maju!" Katanya.
Baharu saja jago dari Kwie in po hendak maju atau tiba2
terdengar kekalutan. Didekat pagar bambu dan dimuka air, semua lentera dan obor padam satu demi satu, semua pada jatuh. Dalam gelap gulita, dua jago Hoay Yang Pay ini lihat bayangan dari beberapa orang, yang telah gunakan
potongan batu gunung sebagai senjata rahasia, tak pernah ada serangan yang luput. Terutama didekat pagar, gelap petang meliputi seluruhnya.
"Mari kita gunai ketika ini untuk keluar," kata Eng
Jiauw Ong. "Jangan kita siasiakan bantuannya orang!"
"Marilah!" Sahut Ban Lioe Tong. "Beruntunglah
kawanan bandit ini!"
Sehabis mengucap demikian. Lioe Tong lantas maju
dkuti oleh Too Liong dan Kang Kiat, mereka hampirkan
pagar benteng bekas ditabas, mereka buka itu dan molos keluar, sesudah mana, Siok beng Sin Ie pasang pula dengan rapi.
"Dipihak Hong Bwee Pang, suasana ada kacau dan
berisik sekali, suitan berbunyi nyaring disana sini, perahu2, besar dan kecil, mundar mandir. Obor dan lentera telah dinyalakan disemua kendaraan air itu, hingga Hoen coei kwan jadi terjaga kuat. Sementara itu, Lioe Tong bertiga sudah berada diluar.
Eng Jiauw Ong heran, begitu cerdik adanya. Seecoan
Siang Sat, kenapa penjagaan didarat diabaikan. Ia utarakan rasa herannya itu pada Lioe Tong. Sebelum Siok beng sin Ie bilang apa, Kang Kiat telah sodorkan dia dua potong batu.
"Ah, boca nakal!" Kata jago Kwie in po. "Hampir orang keset kulitmu, kau masih tidak mau jinak!"
Kang Kiat tidak menjawab, dia melainkan tertawa
tertahan. Too Liong mengerti, boca ini mau minta, soecouw itu
"tanya jalanan."
Lioe Tong genggam batu pada kedua tangannya
masing2, setelah itu ia menimpuk dengan berbareng, tangan kanan kekiri, tangan kiri kekanan, ia telah gunai tenaganya hingga batu terlempar jauh kesamping tanjakan bukit,
menyusul mana, dikedua tempat itu lantas terdengar bunyi suitan beruntun2, disusul oleh bergerak nya enam atau tujuh bayangan, senjata tajam
mereka berkilauan. Kemudian, muncultempat orang, yang segera ambil tempat nya masing2 sedang diatas puncak,tempat orang lain lantas mainkan sorotan mereka. Maka sekarang ternyata,
didaratpun penjagaan ada kuat.
"Mari kita pulang!" Lioe Tong mengajak soehengnya,
sesudah mereka "menonton" sekian lama.
Eng Jiauw Ong manggut seraya menyahuti "Marilah!"
Kang Kiat, tanpa bantuan lagi, lantas saja ikuti kedua soecouw itu, ia bisa bertindak gesit, kecuali kapan mesti loncati tempat berbahaya, ia mesti dikempit juga. Dengan begitu, diakhirnya, sampai juga mereka ditempat dimana perahu mereka disembunyikan.
Kang Kiat, yang tadinya berada dibelakangnya Lioe
Tong, hendak buka tambang ikatan perahu tatkala dengan tiba2, dari semak disampingnya, ada terdengar suara
"Kambing gembel sisa mulut harimau, hampir saja kau!.
Jangan terlalu percaya Liong Tauw Pang coe, atau
penyesalan akan datang belakangan! Jikalau kau niat
tolongi dua muridmu yang tersayang, mari ikut aku!"
Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong melengak, tapi
mereka segera insyaf. "Pergi ambil jalan air pulang ke Gan Tong!" Ketua Hoay Yang Pay lantas titahkan Kang Kiat. Ia tidak bersangsi lama. "Ada orang pandai hendak bantu aku, aku hendak


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tolongi kedua murid yang tertawan. Kau sembunyikan
perahu itu, lekas kau berangkat!"
Selagi Eng Jiauw Ong berkata2, Ban Lioe Tong sudah
tempat kearah dari mana suara tadi keluar, ia telah gunakan kepandaiannya entengi tubuh. Sedari tada telah pasang mata, ia percaya orang belum berlalu. Selagi tubuhnya turun ketanah, kembali dengar suara tadi, yang serak "Kau berdua suka terima kata2 ku, suka sekali aku menjadi
pengunjuk jalan. Silahkan ikuti aku!"
Suara itu dibarengi dengan melesatnya satu tubuh, tinggi tiga tumbak, turun ketanjakan disebelah depan. Kepesatan itu membuat jago Kwie in po kagum sekali.
"Lekas susul!" Ia kata pada soehengnya, yang telah telad ia.
Maka berdua, soeheng dan soetee ini segera susul
bayangan tadi, meskipun mereka liehay. Mereka toh
ketinggalan satu tingkat. Lioe Tong telah gunakan antero tenaganya, ia ingin tengok wajahnya orang tak dikenal itu, tapi maksudnya itu tak bisa lantas diwujudkan.
Selama itu, jalanan yang diambil semua ada jalanan
berbahaya. Karena lari mereka cepat, sebentar saja mereka sudah
lewati satu lie. Jalanan pegunungan sekarang nampaknya tak kurang berbahayanya. Tujuan ada Barat selatan. Makin lama jalanan makin naik. Orang didepan itu ber lari2
dengan sikap aneh, umpama ada jalanan kecil, ia tidak
ambil jalan itu, ia hanya terabas semak2. Nampaknya ia kenal baik keadaan tempat itu. Tapi Eng Jiauw Ong
mengerti, disitupun mesti ada pelbagai perangkap.
Dugaan ketua Hoay Yang Pay ini terbukti dengan lantas.
Satu kali orang didepan itu beratkan tindakannya, lantas dia melesat jauh. Dia pun sengaja sampok pepohonan hingga menerbitkan suara berisik. Menyusul itu, dari kiri dan kanan ada datang serangan yang mengaung dan
berkeredepan jatuhnya kearah bekas tindakan kakinya
orang itu. Eng Jiauw Ong dan Siok beng sin Ie merandek, saking,
tercengang. Merekapun ingin saksikan cara bagaimana
penunjuk jalan itu nanti hindarkan bahaya lebih jauh.
Bayangan itu demikian si "penunjuk jalan" lenyap
didalam semak2 disebelah depan, kemudian disamping,
kelihatan bergerak geraknya semak2, seperti tabrak
tubruknya seekor binatang alas. Atas itu, kembali datang serangan senjata gelap. Tapi serangan ini gagal, bayangan itu lari kearah selatan, saban2 dia terjang semak.
Dari tempat sembunyi, muncul tiga orang, pakaiannya
ringkas, senjatanya lengkap dengan kantong piauw.
"Entah binatang apa itu?" Kata satu diantaranya.
"Bisa jadi bukannya binatang," kata orang yang kedua.
"Mari kita kejar!" Mengajak yang ketiga.
Dan semuanya lantas lari menguber.
Selagi Ban Lioe Tong dan Eng Jiauw Ong men duga2,
Lioe Tong dengar suara angin disampingnya, disusul oleh suara orang "Aku telah usir pergi kawanan anjing tolol itu!
Mari kita berangkat!"
Lioe Tong rasakan angin dari kanan, ia berkelit kekiri, tapi suara datangnya dari kiri, ketika ia menoleh, satu bayangan melesat lari, pesat sekali.
Eng Jiauw Ongtempatkan diri misah dari Lioe Tong,
jaraknya enam atau tujuh kaki, karena orang bicara pada sang soetee, ia jadi bisa mengawasi dengan merdeka.
Samar2 ia tampak, bayangan itu mengenakan juba suci dari hwee shio, penganut agama Buddha, juba itu lebar dan
besar, warnanya agak gelap, gerakannya sangat gesit.
"Apakah dia bukan si niekouw dari See Gak?" Ia tanya
dirinya. Tapa segera menyangkal sendirinya. Coe In Amcoe bersenjatakan pedang, orang ini menggendol semacam toya berujung lebar dan tajam, yalah hong pian san, senjata umum untuk kaum pendeta. Akan tetapa tidak bisa berpikir lama, ia segera tempat untuk menyusul.
Lioe Tong juga lantas menyusul. Ia kagum dan heran, ia ingin ketahui siapa adanya orang liehay Ini.
Mereka berlari kira2 setengah lie, sampai mereka
kehilangan penunjuk jalan yang mereka tidak kenal itu, entah kemana perginya dia. Sebaliknya, beberapa tumbak didepan mereka, mereka dapati sebuah pekarangan lebar yang terkurung tembok tinggi setumbak lebih, yang dikitari kali sebagai kali pelindung kota, alirannya deras sekali.
"Inilah tempat aneh, soeheng," kata Ban Lioe Tong,
yang kumpul dengan saudaranya itu. "Di sepanjang jalan, kita menemui tegalan dan rimba, tapni ada bagaikan ladang terbuka. Bangunan ini tanpa alingan, berdirinyapun
sendirian. Mesti ini ada sarang penjahat. Disekitar tembok, tidak ada tempat untuk sembunyikan diri, tapi mari kita masuk, tanpa memasuki sarang harimau, tak nanti kita
peroleh anak macan!"
Lioe Tong benar2 lantas maju.
Eng Jiauw Ong mengikuti tanpa bersangsi.
Sebentar saja mereka sudah sampai ditepi kali yang tidak lebar. Orang biasa tidak nanti bisa tempati kali itu, tidak demikian dengan soeheng dan soetee ini. Dikaki
tembokpun ada tanah luas lima kaki. Diatas tembok tidak tertampak rintangan patok besi atau kait.
Lioe Tong tempati kali, terus ia menyamber ujung
tembok, untuk angkat naik tubuhnya, hingga ia bisa
mengintai kedalam pekarangan. Ia merasa heran atas apa yang ia tampak. Selagi ia berpikir, Eng Jiauw Ong susul ia, hingga soeheng ini turut tercengang sebagai ia.
Nyatalah pekarangan dalam itu bukannya daratan,
hanya air semua, ada ranggon, ada paseban, semuanya
berada diatas air, jadi untuk masuk kesitu, orang mesti menggunakan perahu sebaliknya, disitu tidak kedapatan sebuah kendaraan air jugapun. Jarak nya semua ranggon dan paseban rata2 tigatempat tumbak, ada juga yang
belasan tumbak jauhnya. Pekarangan .dalam itu ada luas, air itu pun hidup. Eng Jiauw Ong bingung juga.
"Kenapa orang berilmu itu pimpin kita ketempat luar
biasa ini?" Ia berbisik pada soeteenya. "Tidak bisa jadi kalau dia cuma inginkan kita pandang air ini melulu! Mari kita turun, diam saja diatas tembok ini, kita terlalu menyolok mata."
Ban Lioe Tong setuju, ia lantas ikut soeheng itu tempat turun. Tanah dikaki tembok tersebarkan batu, rupanya
untuk bantu menguatkan dasar tembok.
"Lihat, soetee, itu sisa pohon teratai dimuka air," Eng Jiauw Ong kisiki saudaranya, tangan baju siapa ia tarik.
"Aku kuatir itu ada artinya."
Lioe Tong lihat benar ada sisa daun teratai, yalah daun2
teratai kering dimuka air, keletakannya semua berjejer kira2
satu kaki, nampaknya seperti teratur.
Selagi mereka ini mengawasi sambil otak dikasi kerja, tiba2 ada satu bayangan orang, tempat turun kepada daun teratai kering itu. Bayangan itu muncul disebelah kiri mereka, jauhnya lima atau enam tumbak, ketika kaki nya mengenai daun teratai, nampaknya nempel saja, tubuhnya sudah mencelat pula, hingga dengan beberapa tempatan
secara demikian, dengan lekas dia sampai disatu peseban Pat kwa teng, dini mana samar2 kelihatannya dia
menggape2. Lioe Tong ada tabah dan getas mengambil putusan,
tanpa ragu2 sedikiit juga, ia enjot tubuhnya akan tempat keair, kedaun teratai itu. Akan bertempat seperti si
bayangan tadi. Ketika pertama kali ia injak daun teratai kering itu, ia girang bukan main, karena benar seperti ia duga, daun teratai itu adalah daun palsu, daun daunan yang ditunjang disebelah bawah untuk injak injakan. Ia lantas menunda di satu tangga batu.
Eng Jiauw Ong pun tempat turun akan susul soeteenya.
Tapi ia berlaku sangat hati2, ia tak mau percaya
sepenuhnya pada pesawat rahasia itu, ia kuatir ada yang dipasang sebagai perangkap2 guna menjebak musuh.
Dua2 saudara ini gunakan ilmu entengi tubuh "Yan coe
Coan in ciong" atau "Burung walet terbang melayang
didalam mega", hingga tak kuatir mereka akan kecebur
kedalam air. Keduanya berhenti ditangga batu dari satu paseban. Mereka lihat jembatan dan paseban tetapi disitu tidak ada cahaya api. Karena ini, mereka berlaku waspada.
Disaat kedua saudara ini hendak melakukan penyelidikan, tiba2 mereka lihat satu bayangan berkelebat
didepan gunungan palsu, bayangan mana mencelat keair, berlompatan kebelakang.
"Kita sudah sampai disini, tak dapat kita mundur pula,"
Eng Jiauw Ong berbisik pada soeteenya. "Tetapi kita mesti hati2, jangan kita pandang tak mata pada musuh."
Lioe Tong manggut, lantas ia menunjuk pada satu
gunung2an dimuka air, kemana ia lantas lari, dengan
kembali injak daun teratai palsu.
Eng Jiauw Ong susul soetee ini, lalu digunung palsu itu, mereka melindung diri, sembari berbuat demikian, mereka mengawasi kearah Selatan dimana, sepanahan jauhnya ada tertampak cahaya api, yang sebentar2 lenyap, entah tempat apa itu, karena tidak terlihat tegas. Kecuali itu, semua, ada gelap disekitar mereka.
Sinar bulan sisir dan bintang2 cuma membantu mereka
melihat di tempat2 dekat. Walaupun demikian, tanpa
bersangsi keduanya lari menghampirkan tempat dimana
ada cahaya api itu. Baharu mereka lari belasan tumbak, Eng Jiauw Ong
yang lari belakangan, mendengar suara air menjubiar
disebelah belakangnya. Diwaktu begitu, ia tak dapat
memutar tubuh, maka ia tempat kesebuah pulau2an,
kemana pun Lioe Tong mampir. Kaduanya segera
tempatkan diri seraya memasang mata.
Kitab Mudjidjad 14 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Pedang Medali Naga 23
^