Pencarian

Eng Djiauw Ong 24

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 24


Bagaimana Coei Pheng bisa bertetap hati dan mengirimkan segala sampah ini?"
Karena ini diam2, tanpa ada yang lihat, Na Pek loncat naik keatas genteng untuk pergi ke depan, akan intai dua anak muda tadi. Ia turun dimuka hotel, hingga ia tampak orang menuju keluar kota Timur. Kemudian dengan diam2
ia balik kedalam. Masih ia jalan diatas genteng. Ia lihat kamarnya telah ada apinya, yang dipasang jongos. Ia pergi ketempat rombongan piauwsoe dimana, setiap kamar sudah ada api penerangannya. Disebuah kamar, tiga atau empat pegawai sedang adu mulut. "Memang ada yang ketok
jendela...." kata yang satu.
"Kau ngaco! Kita toh ada didalam kamar sedang cuci
muka dan salin pakaian" Siapa berani main gila" Siapa
berani ganggu kita" Ouw Cie tee, kau bicara diwaktu apa"
Jangan kau bikin orang tertawai kita...."
Selagi ramai suara mereka, seorang muncul dipintu. Na Pek masih ingat, dia itu ada Sin chio chioe Bok Boen Gie, yang dalam kalangannya terkenal buat ilmu silatnya dengan tombak panjang. Rupanya piauwsoe ini yang dipercayai
Coei Peng akan antar piauw berharga itu, ialah hartanya satu saudagar di Pak khia untuk dikirim ke Shoasay.
Sebenarnya, turut perjanjian, Coei Peng sendiri yang
mesti lindungi piauw itu, apamau mendadak ada urusan
lain, terpaksa ia minta bantuannya orang she Bok ini yang dibantu oleh piauwsoe Lie Kay Tay dan pembantunya, Ie Jie Leng. Mereka bawa delapan pegawai. Coei Peng janji, tidak sampai lewat batas Titlee dia bakal menyusul, karena ia tahu di Shoasay suka muncul orang baru.
"Jangan kamu bikin berisik!" demikian Bok Boen Gie
tegur orang2nya itu. Ia ada satu piauwsoe berpengalaman dan bisa bekerja.
Mereka itu diam, maka piauwsoe ini berlalu pula.
Disitu tidak ada orang, Na Pek turun dari genteng Untuk cari senjata rahasia yang dilepaskan si orang muda tadi. Ia segera dapati sebatang panah tangan yang nancap disatu lemari, menusuk selembar kertas. Kalau tada tidak lihat orang ayun tangan, ia juga tentu tidak perhatikan surat ini.
Ia pergi ketempat kemana ada menyorot sinar terang, ia buka surat itu dan baca bunyinya, yang ringkas saja, ialah tantangan untuk ketua dari Ban Seng Piauw Kiok, buat
bertanding di Koh lioe toen. Penantangnya adalah Kim Loo Sioe, yang perkenalkan diri sebagai "orang Rimba Hijau tak berarti dari Ouwpak".
Melihat nama itu, Na Pek terkejut. Ia segara teringat pada Kim Cit Loo, jago Rimba Hijau kenamaan di
Ouwpak, yang kesohor gagah tapipun tabeatnya aneh.
Sebab sungguhpun sendirinya dia ada jago Rimba Hijau, diapun jadi musuh kaumnya juga. Dia biasa ajar adat orang Rimba Hijau yang bertindak tidak sepantasnya, yang
berbuat kejahatan besar, dalam hal mana dia berlaku
bengis. Dia bisa bunuh orang atau juga bikin orang bercatat seumur hidup! Maka itu kaum Rimba Hijau di Kanglam
takut kepadanya seperti orang takuti ular berbisa. Hingga ada perselisihan, ialah sumpah untuk
yang ber salah "keselatan pergi pada Kim Cit Loo, ke utara kepada Yan tiauw Siang Hiap". Bedanya adalah Yan tiauw Siang Hiap tidak sekejam sebagai Kim Cit Loo.
"Tentu diantara mereka ada dendaman", pikir ia.
"Baiknya Coei Pheng tidak turut serta, kalau tidak, Ban Seng Piauw Kiok tentulah mesti rubuh". Sekarang aku ada disini, apa aku mesti diam saja tidak membantui pihak Coei" Tapi Kim Cit Loo tidak gampang untuk dilayani...."
Na Pek cuma dengar orang mengatakan bahwa Kim Cit
Loo gagah, akan tetapi sampai dimana kegagahannya itu, ia belum tahu. Ia juga tidak tahu dimana letaknya Koh lioe toen. Ia anggap baik besok saja ia cari keterangan. Iapun telah pikir akan kasi kisikan supaya rombongan piauwsoe tidak alpa.
Begitu ia menuju keruang tempat piauwsoe, ia
menimpuk dengan panah kepada jendela tengah, hingga
terdengar satu suara, yang dapat didengar oleh orang2
didalam kamar, hingga mereka itu heran dan bercuriga.
"Siapa?" menegur Ie Jie Leng setelah ia lompat keluar kamarnya.
Na Pek menyingkir sebelum orang keluar, ia langsung
pulang kekamarnya, yang ia buka pintunya dengan
pelahan2, sesudah berada dalam kamarnya, berulang2 ia teriaki jongos.
Pegawai hotel muncul dengan lantas, tapa merasa heran, karena ketika tadi ia tengok tetamunya, tetamu itu tidak ada di kamar, dan sampai ia tutup pintu hotel, si tetamu belum juga kembali, hingga ia percaya orang pergi pesiar.
"Eh, tuan pergi kemana?" ia tanya. "Kenapa aku tidak
lihat pulangnya tuan?"
"Itulah sebab kau kurang perhatian," Na Pek jawab.
"Ketika tadi aku kembali, aku lihat kau sedang berdiri dikantor pengurus. Aku pergi untuk periksa keledaiku."
"Jangan kuatirkan keledaimu itu, tuan," kata si jongos.
"Kami akan merawatnya dengan baik."
"Kau tidak tahu adatnya keledai itu," Na Pek terangkan.
"Setelah kenyang makan dia mesti diuruti perutnya, kalau tidak, malamnya dia pasti ribut karena kelaparan, lalu esoknya akan habis tenaganya...."
Jongos ini tahu orang bersenda gurau, selaga hendak
menyahutinya, ia dengar suara orang memanggil kepadanya, lantas ia berlalu sambil kata dengan ter tawa
"Tuan gemar main2! Tak pernah aku dengar keledai ribut kelaparan! Kalau ada perlu sesuatu, panggillah aku...."
Selagi orang bertindak keluar, Twie in chioe berkata
"Keledai sudah dipelihara kenyang, tapi aku sendiri belum dikasi makan! Apa biasanya, boca, kau dahar sampai
kenyang, lain orang kau tidak perdulikan?"
Jongos itu tercengang, ia hentikan tindakannya.
"Tidak, tuan, aku tidak lupakan kau," ia menerangkan.
"Tadi tuan tidak ada didalam kamar, tak bisa aku sediakan
barang makananmu. Sekarang harap tuan tunggu sebentar, aku akan segera siapkan."
Ia lari kerombongan piauwsoe, disini ia melengak
melihat orang berkumpul diluar kamar, ada dua orang
pegangi lentera sedang melakukan pemeriksaan kesekitar ruangan.
"Ada apa memanggil aku, tuan2?" ia tanya "Mari
masuk!" kata Piauwsoe Lie Kay Tay, yang muncul dimuka pintu, tangannya menggape.
Jongos itu masuk kedalam dimana ia tampak Ie Jie Leng dan piauwsoe satunya. Lie Kay Tay tutup pintu, setelah mana, ia tanya "Apa tadi ada orang mencari tahu tentang kami" Di ruang depan, ada berapa tetamu asal Selatan"
Mereka ambil kamar2 nomor berapa?"
Ditanya begitu, jongos ini heran.
"Tinggal dihotel kami, jangan kuatir, tuan2," jawab ia.
"Meski hotel kami kecil tapi aturan di jaga keras, setelah tengah malam, kami tutup pintu, orang yang keluar masuk diawasi. Diruang depan ada empat puluh lebih tetamu,
tetapi tidak ada diantaranya yang asal Selatan. Tuan2 ada lihat apa?"
"Jangan curiga, sahabat, kami cuma menanyakan saja,"
Boen Gie bilang. "Umpama ada orang Selatan, tolong
beritahukan kami. Kami ada perjanjian kepadanya.
Sekarang kau boleh pergi."
Jongos itu undurkan diri tanpa kata suatu apa, tapa
percaya, pertanyaannya piauwsoe itu mesti ada sebabnya.
Ia terus pergi kedapur untuk siapkan barang makanan untuk tetamunya yang berusia lanjut itu.
Sekeluarnya si jongos, Boen Gie kata pada Kay Tay Lie Soehoe, lain kali baik jangan tanya apa2 kepada jongos, dia
tak tahu suatu apa. Lihat surat itu dengan nama Kim Loo Sioe, kacung Rimba Hijau dari Ouwpak. Tak pernah aku
dengar nama itu. Terang dia punyakan dendaman dengan
pemimpin kita. Coei Piauwtauw belum pernah pergi ke Ouwpak, cara
bagaimana dia bisa bentrok dengan orang she Kim itu"
Kenapa, justeru Coei Piauwsoe tidak ada, dia datang
mencari" Aku lihat inilah berbahaya...."
"Tapi kita mesti terima apa yang ada," sahut Lie Kay
Tay. "Didalam lima propinsi Utara ini kita ada punya
nama, pelbagai gunung suka pandang kita, orang she Kim ini mestinya ada satu tukang berkelana. Apa benar dia tak tahu aturan dan hendak cegat kita" Apa mungkin jago disini yaitu Thie lok hoe Cin Ngo mau antap dia main gila?"
Sin chio chioe Bok Boen Gie geleng kepala.
"Lie Soehoe, tak dapat aku memandangnya sebagai
kau," kata ia "Kita belum kenal orang ini. Dia lantas sebut namanya, inilah luar biasa. Seorang tak berkepandaian tidak nanti berani berbuat seperti dia. Perbuatannya ini cocok dengan pembilangan, "Yang datang" maksudnya tak baik yang bermaksud baik, tak akan datang. Sekarang
bagaimana kita harus bersikap" Tunggu piauwcoe atau
jangan" Ban Seng Piauw Kiok ada kenamaan, sungguh
celaka kalau nama itu runtuh ditangan kita! Bagaimana kita dapat menemui piauw coe" Tapi umpama kita singgah
disini, menunggui sampainya piauwcoe, bagi kita sungguh jelek nampaknya sungguh kecewa!.... Maka, Lie Soehoe, menurut aku, baik kita adu jiwa, berhasil atau gagal, terserah kepada takdir. Dimana letaknya Koh lioe toen itu"
Aku tidak ingat...."
"Pernah dua kali aku liwat di sini tapi nama Koh lioe toen aku belum pernah dengar," kata Ie Jie Leng.
"Mungkin itu ada satu tempat kecil. Menurut aku, baik kita jalan terus, umpama benar ada yang cegat kita, biar kita adu jiwa! Memang orang Rimba Hijau sebangsa dia ada sangat menjemuhkan...."
CXXII "Saudara Ie, aku setujui pandanganmu," kata Lie Kay
Tay. "Ban Seng Piauw Kiok kesohor, tapi dia ini mestinya liehay maka dia berani menantang. Apa artinya satu
piauwsoe" Bukankah kita mirip tentera dipelihara seribu hari, dipakainya cuma seharian saja" Coei Piauwcoe
percayai kita, tentu kita mesti lindungi kepercayaan itu, walaupun dengan pengorbanan jiwa! Orang telah janjikan kita di Koh lioe toen, mari kita ketemui mereka disana!
Selanjutnya baiklah diwaktu malam kita semua waspada, pagi2 berangkat, siang2 singgah, isupaya semua dapat
cukup beristirahat."
"Baiklah," jawab Ie Jie Leng. "Kecewa kalau kita kena digertak selembar kertas, sia2 nama Ban Seng Piauw Kiok ter cemar! Mari kita lihat!"
Ie Jie Leng lantas keluar, untuk pesan akan semua
kawannya mengasokan diri, sedang yang menjaga malam
harus bergantian. Na Pek balik kekamarnya. Ia tahu orang hendak bela
diri, ia pikir untuk bantu dimana bisa.
Keesokannya pagi2 sehabis ber santap, rombongan
piauwsoe berangkat. Na Pek lantas pesan jongos akan rawat Keledainya baik2, sebab katanya ia urung berangkat hari itu.
"Jikalau kau kurangi rumputnya keledaiku, awas, aku
nanti bikin perhitungan denganmu!" ia ancam jongos.
"Jangan kuatir, tuan," sahut si jongos sambil tertawa. Ia tidak mendongkol karena teguran itu. "Aku bukannya
manusia kalau aku cengkolong makanan keledai yang
seperti gagu...." Na Pek tertawa. "Kau benar pandai bicara!" ia puji.
"Sekarang aku tanya, dari sini ke Barat, apa benar ada satu tempat dinamakan Koh lioe toen?"
Jongos itu menggeleng kepala.
"Beberapa puluh lie disekitar sini tidak ada tempat
dengan nama itu," jawab ia. "Entah di tempat yang lebih jauh...."
Mendengar jawaban ini, Na Pek duga, tempat
kediamannya Kim Loo Sioe itu tentunya ada satu tempat kecil dan sepi sekali. Ia lanas suruh jongos kunci kamarnya, ia keluar dari hotel akan menuju kepintu kota Barat,
mengikuti jalan besar, hingga ia bisa dengar suaranya Ie Jie Leng yang nyaring. Ia jalan terus, ia mengikuti dari
kejauhan. Ketika itu ada dipermulaan musim rontok, panen belum
dimulai, maka itu sawah2 penuh pohon padi. Disitu ada banyak sawah, ada banyak kampung juga. Dijalan besar, kereta kuda lewat tak putusnya. Selewatnya tengah hari baharulah jalanan besar mulai sepi, kampung2 semuanya kecil dan jarang letaknya.
Jalanan yang diambil rombongan piauwsoe itu, dari Hoo kan terus ke Siok leng Barat selatan, ada jalanan dengan tempat yang kecil. Ie Jie Leng dan kedua piauwsoe
menunggang kuda, tidak demikian dengan delapan
pegawai, mereka ini lelah dan kepanasan, leher mereka dirasakan kering.
"Ie Soehoe, sekarang sudah lewat tengah hari, kalau kau tidak cari tempat singgah, kami tak tahan," kata beberapa pegawai itu.
"Sabar, saudara2," Jie Leng jawab. "Lagi satu lie
mungkin kita akan sampai di Cioe kee cip, kita beristirahat disana saja".
Tengan terpaksa orang jalan terus, sampai kemudian di kejauhan, kelihatan sebuah kampung yang ramai, rupanya kebetulan hari pasar, tapi ketika mereka akhirnya sampai dimuka kampung, hari sudah siang, pasar sudah sepi,
tinggal mereka yang sedang bebenah habis jualan.
Itu ada satu kampung kecil, disitu tidak ada hotel, ada juga sebuah pondokan untuk pedagang2, sedang rumah
makan adalah dua buah warung nasi, barang makanannyapun semua makanan kampungan. Saking
terpaksa, Ie Jie Leng mampir disitu untuk bersantap sambil beristirahat. Ia pikir untuk jalan lebih jauh, guna cari hotel.
Karena dapat tetamu banyak, tukang warung nasi jadi
repot akan tambah meja dan bangku, akan minta bantuan pelayan juga. Mejapun diatur diluar pintu. Berbareng
orangpun repot layani kuda dan keledai, yang berisik
dengan suara berbengernya.
Selagi orang bersantap, dari arah barat terdengar
derapnya kaki kuda mendatangi, lalu tertampak munculnya dua penunggang kuda. Mereka ini mengawasi sebentar
kepada rombongan piauwsoe, lantas mereka menuju terus kesudut timur dari kampung.
"Tidak salah lagi, mereka Itu ada dari pihak tak benar,"
kata Ie Jie Leng sesudah ia awasi dua penunggang kuda itu.
Kedua piauwsoe tapinya tidak perdulikan dua orang itu, mereka lebih pikirkan nama tempat Koh lioe toen, sia2
mereka cari keterangan, hingga mereka jadi masgul.
"Bok Soehoe, lihat!" mendadak terdengar suaranya Ie Jie Leng. "Dua penunggang kuda itu kembali lagi! Terang,
mereka bukannya orang2 baik!"
Bok Boen Gie pun segera dengar derapnya kuda lari,
maka ia beri tanda pada Ie Jie Leng, ia hampirkan jendela, akan duduk sambil alingi tubuh, akan melihat keluar.
Dua penunggang kuda itu kaburkan kudanya walaupun
jalanan ada sempit, selagi lewat didepan warung nasi, satu antaranya serukan kawannya yang berada dasebelah
belakang "Eh, sahabat baik, ingatlah, kita dan dia telah bikin pertemuan mati, sebelum bertemu, tak dapat kita berpisah! Mari kita tunggu dia di sebelah depan!"
Tanpa tunggu jawaban, penunggang kuda ini larikan
terus kudanya. Wajahnya Bok Boen Gie menjadi suram, dia lompat
bangun. "Kenapa, Bok Soehoe?" tanya Lie Kay Tay dengan
heran. "Kawanan tikus Itu sangat menghina!" jawab Boen Gie.
"Mereka berani menantang kita! Biar mereka atur barisan gunung golok dan rimba pedang, aku tidak takut, aku nanti terjang mereka! Apa kepandaian mereka maka mereka
demikian kurang ajar?"
Setelah mengucap demikian, Boen Gie menitahkan siap
untuk berangkat. Ie Jie Leng keluar akan sampaikan titah kepada semua
pegawai dan tukang kereta.
Boen Gie pergi pada pelayan warung, akan bayar uang
makan, sekalian ia tanya kalau2 pelayan ini tahu dimana letaknya Koh lioe toen.
Mulanya pelayan warung itu geleng kepala, tapi segera ia kata "Oh, ya, aku ingat! Memang ada itu tempat, desa
bukannya desa, disana tak ada jalanannya yang besar!
Tempat itu letaknya tiga lie disebelah barat sini, dari sana jalan lagi kearah barat utara kira2 setengah lie.
Penduduknya ada belasan keluarga petani yang menyewa
sawah2nya keluarga Kat dari Kat kee chung. Siapa bukan penduduk sini, dia tak akan kenal kampung itu. Ada apa tuan menanyakannya?"
"Disana ada tinggal satu kawan sekerjaku." sahut Boen Gie dengan sembarangan. "Dia bilang, asal aku dapat cari Koh lioe toen, aku bisa cari padanya.
Pelayan itu heran. "Apa sahabat tuan itu tinggal
ditempat lebih kecil pula dari Koh lioe toen?" kata ia.
"Kecuali Touw kok soe, disana tidak ada desa lainnya
lagi...." "Tidak apa, kau tidak usah pusingi...." kata Boen Gie sambil bersenyum, kemudian ia pergi lihat, rombongannya sudah siap atau belum.
"Mari kita berangkat," Ie Jie Leng mengajak.
"Mari," jawab Boen Gie. "Kau sudah biasa, tak usah aku pesan lagi. Kelihatannya orang tunggui kita ditempat lagi tiga lie. Umpama ada terjadi sesuatu, kamu semua jaga piauw saja seperti biasanya, segala apa Lie Soehoe dan aku yang nanti layani".
"Jangan kuatir, Bok Soehoe," jawab Ie Jie Leng. "Aku
nanti lakukan tugasku. Umpama orang berani ganggu
piauw, aku nanti berkurban untuk Ban Seng Piauw Kiok!"
Boen Gie manggut, ia beri tanda dengan tangan.
Jie Leng mundur, akan cabut bendera piauw dipintu,
untuk dipancar dikereta. Rombongan piauw segera mulai berangkat, meninggalkan Cioe kee cip.
Semua pegawai dan kuli tidak tenteram hatinya. Mereka merasa, disebelah depan akan terjadi sesuatu. Karena ini, mereka tidak lagi pasang omong dengan asyik dan gembira seperti biasanya hingga suasana jadi sunyi. Sering2 mereka melirik keempat penjuru.
Ie Jie Leng lihat suasana tak menggembirakan itu, ia
tidak sabaran, maka diakhirnya ia kata "Saudara2, kita sedang antar piauw, kita bukannya menuju kelapangan
hukuman mati, buat apa jadi lesu" Kita kenal kewajiban kita maka jangan kita bikin malu kaum kang ouw! Kita
mesti jual kebisaan kita! Mari, bangunkan semangat! Atau baik kamu tukar kerjaan atau pulang akan empo anak!"
Kata2nya Jie Leng berpengaruh juga, orang2 lantas suka bicara dan tertawa. Maka itu selagi berjalan, mereka
terbitkan suatu cukup berisik.
Demikian mereka lanjutkan perjalanan.
Ie Jie Leng berada sebelah belakangnya kedua piauwsoe untuk mengiringi. Mereka menunggang kuda, dari itu
mereka punyakan keleluasaan untuk memandang kesegala
penjuru. Mereka jalan dijalanan yang datar tetapi dikiri dan kanan ada ladang dengan pohon2nya yang tinggi dan lebat,
jalannya lebar setumbak lebih. Tidak tertampak rumah2
dikedua sisi jalan, kecuali gubuk2 petani.
Cuma satu kali, dari tikungan, mereka lihat satu
penunggang keledai, yang keledainya kecil, nerobos kearah
barat selatan, lantas lenyap diantara pohon2 sebelum si penunggangnya tertampak tegas.
Boen Gie merasa bahwa ia sudah melalui kira2 tiga lie, kejadian apa juga tidak ambil tempat, karena mana, ia mulai sangsikan keterangannya si pelayan warung nasi. Ia memandang ke arah barat selatan, katanya di arah situ adalah dusun Koh lioe toen, akan tetapa tak lihat satu kampung juga.
Tiba2 dari sebelah kanan ada muncul satu orang dengan baju biru yang panjang dan gerombongan tetapi tangan baju nya pendek, dia bertindak cepat sekali menyeberangi jalan, akan kemudian lenyap disebelah kiri jalan itu. Ia jadi curiga.
"Mereka nampaknya aneh...." pikir ia, yang ingat
kepada orang yang menunggang keledai tadi. Maka ia terus pesan Ie Jie Leng untuk waspada.
Mereka melampaui pula setengah lie, mereka dapati
jalanan ada lebih lebar, akan tetapi sekarang, segera mereka dengar suara suitan yang tidak begitu nyata.
"Mungkin inilah dianya!" kata Boen Gie kepada Kay
Tay. Terus ia memasang mata kesekitarnya. Apa yang
tertampak adalah tanah luas belasan lie, tanpa rumah, melainkan semak2 tinggi dan tebal dan pepohonan lainnya yang jarang.
Segera juga disebelah utara, antara ladang kaoliang
terdengar suara melesatnya dua batang panah nyaring,
menyusul mana, dari dalam ladang muncul enam atau
tujuh orang tua dan muda dan pakaiannya berlainan satu dari lain. Dari kejauhan, masih saja terdengar suara suitan tadi.
Kemudian diarah selatan, antara ladang kaoliang,
muncul seorang tua dengan romannya tidak keruan, yang tak sedap di pandangnya. Sebab kedua matanya celong
sekali, jidatnya jantuk, dijidat kiri ada tai lalat hitam dan besar. Bajunya panjang dengan bahan kain "minyak".
Kepalanya boleh dibilang lenang, sebab tinggal sedikit rambut yang dikuncirkan jadi kuncir kecil sekali, warnanya sudah abu2. Sepatunya yang kuning pun sudah butut sekali, sebagaimana kaos kakinya, yang putih, sudah berubah
warna. Kalau yang berombongan pada menyekal senjata,
dia ini bertangan kosong. Dia lantas berdiri ditengah jalan, semua kawannya berkumpul dibelakangnya.
Segera satu anak muda, yang bersenjatakan sepasang
Ban jie toat, bertindak maju, untuk perdengarkan suaranya yang nyaring. "Eh, sahabat baik, jangan maju lebih jauh!
Suruhlah piauwcoemu, Kim tong Coei Pheng untuk
bicara!" Ie Jie Leng segera kenali kawanan bandit dari Cioe kee cip, maka itu lantas ia titahkan orang2nya menunda
kereta2nya buat dikumpulkan menjadi satu, ia sendiri lalu siapkan golok di tangannya.
Bok Boen Gie maju beberapa tindak, lantas ia loncat
turun dari kudanya. Lie Kay Tay turut teladannya kawan ini.
"Jaga piauw", Boen Gie bisiki kawan itu, setelah mana, ia maju lagi dua tindak akan beri hormat pada pihak


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pencegat. Ia pakai aturan kangouw ialah tangan kanannya diangkat, tangan kirinya diletaki diatasnya.
"Maaf, saudara", kata ia sambil bersenyum. "Maaf,
karena mataku lamur akupun tak ketahui dimana saudara mendirikan pusat, hingga tak dapat aku pergi membikin
kunjungan. Aku minta sukalah saudara menyebutkan
namamu". Si orang tua belum sempat menjawab, atau si anak muda dului padanya.
"Kim Cit Loo hendak menemui hanya Kim tong Coei
Pheng, piauwcoe dari Ban Seng Piauw Kiok!" jawabnya
dengan ketus. "Kau siapa maka kau berani majukan
dirimu?" "Sahabat, jangan kau terlalu menghina", sahut Boen
Gie. "Jikalau si orang she Coei ada disini, tak usah sampai ditanyakan, dia tentu akan majukan dirinya. Aku adalah piauwsoe Bok Boen Gie. Karena ketua kami tidak turut
bersama, segala apa boleh dibicarakan denganku!"
Si orang tua mainkan kedua matanya hingga mencilak,
ia pandang piauwsoe itu, setelah mana baharulah ia bicara.
"Sahabat, kau jadinya hendak berurusan dengan Kim
Loo Sioe?" menegasi ia. Ia kasi dengar suara dihidung. Lalu ia tambahkan dengan dingin "Untuk keselamatanmu,
sahabat, lebih baik jangan kau campur air keruh ini!
Lagipun kau pasti tak dapat berurusan denganku! Jauh2 aku datang ke Hoo kan ini, maka sebelum aku menemui Kim
tong Coei Pheng, tak puaslah hatiku. Aku tidak
bermusuhan denganmu, akupun tidak ingin ganggu pada
mu, maka asal kau serahkan piauw ini kepadaku, kau tak usah kuatirkan suatu apa. Aku sendiri akan tetap berdiam di Koh lioe toen, akan nantikan si orang she Coetu. Kami ada punya perhi tungan, perhitungan itu harus di bikin beres!
Sahabat, jikalau kau tidak dengar kata2nya Kini Loo Sioe, aku harap kau jangan sesalkan aku nanti!...."
Bok Boen Gie tertawa dingin.
"Sahabat, begini rupa kau me mandang aku, sungguh
kau ada satu sahabat sejati!" kata ia. "Sungguh ada hal diluar dugaan bahwa secara begini gampang saja kau
berniat menyuruh kami pergi meninggalkan piauw ini!
Melainkan, sahabat, kau telah lupai tugas kami! Aku telah di percayai piauw ini, tak dapat aku meninggalkannya
secara kehendakmu itu! Kau ada punya perhitungan dengan si orang she Coei, aku percaya dia tidak nanti abaikan itu.
Kau tunggu saja, dalam tempo tiga hari, dia bakal datang ke Koh lioe toen ini! Jikalau kau paksa minta piauw ini
diserahkan kepadamu, sungguh tak dapat aku memenuhinya. Aku si orang she Bok tidak punyakan
kepandaian apa2, aku melainkan telah serahkan darahku yang panas kepada Ban Seng Piauw Kiok. Maka sahabat,
terserahlah kepadamu!"
Orang tua itu tertawa gelak2.
"Baiklah jikalau kau hendak lihat suatu apa dari aku!"
kata ia. "Untuk di Kanglam, sebenarnya belum pernah ada orang yang berani tawar menawar dengan Kim Cit Loo!" Ia menoleh ke samping, untuk berikan titahnya "Rampas!"
Anak muda dengan sepasang ban jie toat ditangan, tanpa kata apa2, loncat menerjang Bok Boen Gie, sedang satu pemuda lain yang berdiri disampingnya. segera keluarkan tumbak rantai lian coe chio dengan apa ia ter jang Lie Kay Tay. Dua pemuda lainnya, yang bergegaman masing2 poan koan pit dan semacam tombak cit seng ciang, menyerbu ke arah kereta piauw, gerakan mereka gesit sekali.
Melihat orang telah mulai turun tangan, Bok Boen Gie
loncat mundur kesamping kudanya, untuk samber
tombaknya, setelah itu, ia siap untuk sambut serangan.
Pemuda dengan ban jie toat itu adalah To Eng Hoo,
murid ke lima dari Kim Loo Sioe, sedang pemuda yang
satunya adalah saudara seperguruannya yang ke empat, Cie Tiong namanya. Eng Hoo pun gesit sekali.
Dalam tempo sedetik saja, Boen Gie sudah layani Eng
Hoo, malah ia lantas menyerang dengan sengit, karena ia insyaf, itulah saatnya untuk hidup atau runtuh. Untuk di Utara ia ada cukup terkenal. Tapi disini, cuma ia sendiri yang gagah, rekannya Lie Kay Tay, masih terlalu lemah.
Bertempur baharu beberapa jurus, piauwsoe she Lie ini telah terluka lengan kirinya oleh Cie Tiong.
Dirombongan kereta piauw, Ie Jie Leng sambut
penyerang yang pertama ialah Tan Kie Hong, murid ke dua dari Kim Cit Loo, malah selagi Kie Hong serukan ia supaya letaki senjatanya, goloknya Jie Leng sudah menyamber, Kie Hong berkelit, sambil luputkan diri, tangan kanannya
menyamber lengannya Ie Jie Leng.
Tak dapat pembantu piauwsoe itu elakkan lengannya itu, begitu ia kena diketok, goloknya terlepas dari cekalan dan jatuh, menyusul mana sebelah kakinya Tan Kie Kong
terangkat, untuk dupak ia. Akan tetapi Kie Hong didului oleh soeteenya ke enam, Kiang Thian Yoe, yang cit seng ciamnya menikam kempolan kanannya Jie Leng, hingga dia ini
menjerit kesakitan, tubuhnya rubuh, lukanya mengeluarkan darah. Segera setelah itu, rombongan pegawai piauwkiok kena
dihajar kawanan begal itu, tiga atau empat orang rubuh, yang lainnya lantas angkat kaki. Mereka tidak punya guna.
mereka bukan tandingan kawanan bandit itu.
"Hayo, siapa sayang jiwanya, lekas turut kami!"
demikian te goran atau ancaman kepada tukang2 kereta
yang pada berjong kok ditepi jalan.
Sudah umumnya tukang2 kereta tunduk kepada aturan
kaum kangouw, mereka tidak campur urusan perlindungan,
mereka biasa turut titah saja, tak terkecuali titahnya penyamun. Begitulah mereka turut titahnya Kie Hong,
mereka bawa kereta2 itu kejalanan kecil.
Bok Boen Gie kertek gigi apabila ia saksikan piauw kena dirampas, dengan sengit ia serang To Eng Hoo, maka satu kali, sedangnya lawan terdesak mundur, ia lanjutkan
serangannya kebawah, dengan tipu tusukan "Thie goe keng tee" atau "Kerbau besi meluku".
Eng Hoo kaget, ia loncat berkelit atas mana piauwsoe itu kembali desak padanya, ujung tombaknya menusuk kearah batok kepala, dengan tipu tusukan "Thay Kong tiauw hie", atau "Kiang Thay Kong pancing ikan".
Serangan ini ada sangat berbahaya untuk begal itu, tetapi di saat ujung tombak hampir mengenai sasarannya, tiba2
Boen Gie rasakan lengan kanannya sakit dan terus kaku, tombaknya tak dapat diteruskan menikam, malah senjata itu hampir terlepas dari cekalan. Segera ia menoleh, hingga ia tampak Kim Cie Loo dengan tampang ber seri2 kata
padanya "Sahabat baik, cukup sampai disini!"
"Habis sudah, si orang she Bok rubuh ditanganmu!"
berseru piauwsoe itu dengan keluhannya, lalu dengan tiba2, dengan tangan kirinya, ia tikam dadanya sendiri. Ia putus asa karena ia hadapi satu akhli menotok jalan darah.
"Bagus." berseru Kim Cit Loo seraya dua jarinya
menotok lengan orang, atas mana Boen Gie rasakan
lengannya itu kesemutan, lalu tombaknya terlepas dan jatuh ketanah.
"Sahabat, kau berpikiran pendek!" begal itu menegur
pula, tapi sambil bersenyum. "Baik kau insyaf kebiasaan didalam kalangan kita kaum kang ouw! Aku Kim Cit Loo, aku tidak punya dendaman kepadamu, maka tidak nanti
aku ijinkan kau berbuat nekat didepanku! Yang benar
adalah, dengan si orang she Coei aku ada punya
perhitungan. Sebenarnya aku niat bawa piauw ini berikut orangnya, tapi kau ada satu laki2, kau ada satu sahabat baik, aku ambil putusan lain. Adalah rencanaku akan
menemui si orang she Coei ditempat ini, tapi ia telah tidak muncul, maka aku beri ia tempo tiga hari, apabila dalam tempo itu ia tidak juga datang, semua piauw ini aku hendak angkut ke Ouwpak! Maka sahabat, tolong kau kasi kabar pada orang she Coetu, kami tunggui dia di Koh lioe toen ini!"
Sehabisnya berkata, Kim Cit Loo putar tubuhnya,
mulutnya kasi dengar suitan dua kali, suaranya nyaring sekali, kemudian tubuhnya berloncat, maka sebentar
kemudian ia lenyap diantara pepohonan kaoliang. Semua kawannyapun telah lantas menghilang.
Bok Boen Gie berdiri bengong dengan dadanya
dirasakan sangat panas, ia mengawasi kearah kemana orang bawa pergi empat belas buah kereta piauwnya.
Lie Kay Tay dan Ie Jie Leng telah terluka, sedari tadi mereka diam saja sambil meramkan mata, jikalau tidak, pasti musuh bakal rampas jiwa mereka, tapi sekarang,
setelah kesunyian memerintah disitu, keduanya buka mata mereka. Kay Tay lihat sikapnya Boen Gie, maka itu, lekas2
ia tegur piauwsoe yang jadi wakil pemimpinnya itu "Bok Soehoe, buat apa diam saja?" demikian katanya. "Kita
sekarang harus bertindak, jangan kita ibuk tidak keruan.
Mari kita berdamai. Mari kita lihat lukanya Ie Jie Leng, agaknya dia terluka parah".
"Habis...." mengeluh pula Bok Boen Gie, seperti orang, yang baharu sedar. "Aku tidak sangka disini aku mesti rubuh... Mana aku ada punya muka untuk bertemu dengan piauwcoe" Lie Soehoe, aku tidak mau pulang kepiauw kiok, tolong kau saja yang beri laporan. Tolong sampaikan
pesanku, sebelum piauw dapat dirampas pulang, tak sudi aku pulang untuk temui Coei piauwcoe!"
"Bok Soehoe, kau keliru!" tiba2 Ie Jie Leng turut bicara.
Ia geraki tubuhnya untuk merayap bangun, tampangnya
meringis. "Sebenarnya kita telah lakukan kewajiban kita, maka tak usah kita merasa malu menemui Coei Piauwcoe.
Penjahatpun omong jelas, mereka cuma satrukan piauwcoe sendiri. Aku lihat, mereka ada liehay sekali, dari itu tidak ada lain jalan daripada kita segera pulang untuk
menyampaikan kabar, supaya piauwcoe bisa lekas2 berdaya untuk dapatkan pulang piauw. Kalau piauw itu tidak dapat dirampas kembali, habislah pamornya Ban Seng Piauw
Kiok! Apa kiranya Coei Piauwsoe masih bisa hidup lebih lama pula" Maka itu percuma kita jual jiwa kita disini, mari kita pulang".
Ketika itu semua pegawai, yang tidak terluka, yang tadi terpukul mundur, telah kembali, sebab mereka tak dapat lari jauh, orang jahat melarangnya. Tiga yang lain adalah yang terluka, yang tidak dapat angkat kaki. Mereka semua,
dengan roman ketakutan datang berkumpul.
Selagi Boen Gie berpikir, Kay Tay ambil obat luka akan obati Jie Leng dan tiga pegawai, juga ia sendiri. Kemudian ia kata kepada kawannya "Bok Soehoe, mari kita tunggui Coei Piauwcoe. Bukankah dia bilang, sebelum keluar dari Titlee, dia bakal dapat susul kita" Aku duga, sebentar malam atau selambatnya besok, dia akan sudah datang.
Baik kita mondok di Cioe kee cip, karena malam ini pasti kita tak akan sampai dikota Hookan. Cioe kee cip ada satu dusun kecil tapi tempat itu dekat dengan tempat kejadian".
Boen Gie membenarkan. Memang percuma umpama
mereka berlaku nekat. "Baiklah," nyatakan ia akhirnya.
Semua lantas siap, yang luka menunggang kuda, yang
tak terluka berjalan kaki, seekor kuda dipakai untuk bawa pauwhok dan senjata mereka, yang keadaannya nampak
korat karit ". Sejak perampasan, sampai sekian lama, tidak pernah
tertampak lain orang berlalu lintas disitu, adalah setelah melalui setengah lie, baharu mereka berhimpasan dengan empat atau lima orang pelancongan dan dua buah kereta besar.
"Numpang tanya, apa didepan boleh lewat?" demikian
satu orang pelancongan tanya rombongan piauwsoe yang
runtuh ini. "Kenapa tidak" Siapa pun boleh lalui jalan besar ini!"
jawab satu pegawai dengan sikapnya yang lesu.
Diam2 Boen Gie kagumi Kim Cit Loo, siapa, untuk
pekerjaannya membegal itu, sudah "cegat" orang dikedua jalan, supaya mereka tunda perjalanan mereka
". Boen Gie lakukan perjaianan pelahan sekali, sampai
mendekati magrib baharulah mereka tiba di Cioe kee cip dimana mereka terpaksa ambil sebuah hotel kecil. Ia segera minta air panas untuk cuci dan obati lukanya semua
korban. Kemudian baharu mereka bersantap.
"Tak dapat kita berdiam lama disini", kemudian Boen
Gie kata pada Kay Tay. "Tempat ini bukan jalanan penting, aku kuatir Coei Piauwsoe lewati kita...."
"Akupun tidak niat singgah lama disini," sahut Kay Tay.
"Kita menginap satu malam saja, besok pagi kita
berangkat ke Hookan. Aku percaya, sampai besok Coei
Piauwtauw masih belum lewati kita...."
Boen Gie menggeleng kepala. "Aku kuatir kita gagal,"
nyatakan ia. "Bagaimana bila selagi kita singgah disini, dia justeru lewat" Maka pikirku baik sekarang aku susul dia di Hookan, sedang dua orang kita kirim ke Pakkhia untuk
dapat kepastian Coei Piauwtauw sudah berangkat atau
belum. Ya, saudara Lie, aku akan berangkat sekarang juga!"
"Tapi, Bok Soehoe," kata pula Kay Tay. "Kapan
sebentar kau sampai di Hookan, tentu sudah jauh malam dan pintu kota telah dikunci. Bagaimana kau bisa
memasuki kota?" "Itulah gampang, sebab kecuali di Pakkhia, dimanapun
kita bisa minta bantuannya penjaga kota!" Boen Gie
berikan kepastian. Diakhirnya, Lie Kay Tay nyatakan setuju.
Boen Gie lantas panggil dua pegawai yang cerdik, untuk titahkan mereka segera siap berangkat kekota raja. Pada mereka dibekali uang secukupnya. Setelah mereka itu
berangkat, Boen Gie pun meninggalkan Cioe kee cip.
Lie Kay Tay dan Ie Jie Leng terpaksa sabarkan diri
untuk menantikan, mereka sedang terluka, pikiran mereka kusut, malam ini sukar mereka dapat tidur. Mendekati fajar, baharu mereka bisa tidur, tapi segera mereka terbangun sebab lihat cahaya terang dijendela, dan diluar lalu
terdengar suara berisik. Kay Tay yang sedar lebih dahulu, lalu ia kasi bangun
pada Jie Leng. Mereka percaya, hotel ada kedatangan
tetamu2 baru. Tengah mereka menduga2, tiba ada gedoran pada pintu dibarengi suara "Thio Yong, buka pintu!"
Thio Yong adalah namanya salah satu pegawai
piauwkiok. "Itu toh suaranya Bok Soehoe?" kata Kay Tay dengan
heran. "Kenapa dia balik demikian lekas?"
Lupa bahwa ia sedang luka, Kay Tay lompat turun akan
buka pintu. Ie Jie Leng pun turut lompat, tapi segera ia menjerit kesakitan, mukanya meringis. Ia lupa kepada lukanya!
Dengan paksakan diri jalan setindak demi setindak, ia bertindak terus keluar.
Semua pegawai sedang tidur, jeritannya Jie Leng bikin mereka tersedar dengan terperanjat.
"Belum terang tanah, ada apa ha?" tanya satu pegawai.
"Jangan banyak omong, lekas buka pintu!" Jie Leng
menegor. Semua orang lantas berbangkit dan menuju keluar.
Sebentar kemudian, kapan pintu telah dibuka, kelihatan dua orang dengan tangannya masing2 menuntun seekor
kuda, Boen Gie didepan, yang dibelakang adalah seorang yang seperti piauwsoe ini, pakaiannya pun penuh debu. Dia ini adalah si piauwsoe she Coei.
"Piauwtauw, akhirnya kau datang!" berseru Jie Leng,
bahna girangnya. "Kami mengharap2 kau hingga mata
kami merah!..." Coei Pheng terharu melihat keadaannya Ie Jie Leng itu.
"Saudara Ie, kau menderita," katanya. "Bagaimana
dengan lukamu?" Sementara itu, semua pegawai datang menyambut
pemimpin ini. Boen Gie ajak orang masuk kedalam, tapa perintah satu orang urus kuda mereka, untuk bawa masuk juga buntelan mereka.
Kay Tay sambut pemimpinnya itu, segera ia nyatakan
menyesalnya. "Tidak apa," Coe Pheng menghibur, tangannya di
goyang2. "Kau telah berkorban, bukan main bersyukurnya aku. Mari kita bicara sambil duduk!"
Boen Gie dan pemimpinnya gebriki dulu pakaian
merelui, baharu mereka masuk kedalam. Kay Tay perintah lantas sediakan air untuk cuci muka dan air teh juga.
Ketika itu, sudah mulai terang tanah.
Setelah jongos undurkan diri, Kay Tay tanya Boen Gie
bagaimana dia bisa lantas ketemu pemimpin mereka.
Boen Gie belum menyahuti atau Coei Pheng dului ia.
"Aku datang karena kisikannya satu sahabat," menerangkan Coei Piauwtauw. "Kemarin magrib aku
sampai di Hookan. Malamnya, baharu saja aku habis
makan, diam2 ada orang masukkan sepotong surat kedalam kamarku, bunyinya mengatakan piauw ada yang rampas di Koh lioe toen dan aku dianjurkan segera datang ke Cioe kee cip untuk membuktikan sendiri. Surat itupun sebut nama begalnya ialah Yauw beng Kim Cit Loo dari Ouwpak, tapi pengirim surat itu tidak menampakkan diri. Segera aku tanya pemilik hotel di mana letaknya Koh lioe toen dan Cioe kee cip. Dia tahu Cioe kee cip tapi tidak Koh lioe toen.
Karena ini, aku berangkat dengan segera. Kebetulan sekali, ditengah jalan aku berhimpasan dengan Bok Soehoe. Orang she Kim itu hendak bikin runtuh Ban Seng Piauw Kiok, tak dapat tidak aku mesti adu jiwa kepadanya. Seperti aku sudah terangkan pada Bok Soehoe, sebenarnya aku tidak
kenal orang she Kim itu, malah namanyapun belum pernah aku dengar, dari itu tak aku mengarti, ada ganjelan apa di antara dia dengan aku maka dia telah ganggu aku. Tapi sekarang, aku ingat suatu hal...."
Coei Pheng lantas tuturkan, dahulu tiga tahun yang lalu pernah ia antar piauw ke Kay hong, Hoolam, disana ia
ditantang oleh Giok bin houw Poei Yauw Him, satu
pemuda belum berumur duapuluh. Pemuda ini katakan ia
bertingkah ketika ia lewat di Poei kee po, piauwnya hendak ditahan. Diapun tidak sudi perkenalkan nama gurunya.
Berdua mereka jadi bertempur.
Pemuda itu bersenjatakan cambuk Cit ciat pian, dia ada liehay, tapi akhirnya dia kena dikalahkan. Diwaktu mau angkat kaki, dia sesumbar menyuruh Coei Piauwtauw
menunggu, dia hendak undang Yauw beng Kim Cit Loo si
Pengarah Jiwa. Selagi mendongkol, Coei Pheng terima
tantangan itu. Nyata Poei Yauw Him itu ada murid kepala dari Yauw
beng Kim Cit Loo, atau Pat pou Kan siam Kim Loo Sioe, satu jago Rimba Hijau di Ouwpak Tengah. Dia ada sangat disayang gurunya. Asalnya Poei Yauw Him ada anak dari satu keluarga baik2 tapa beradat berandalan, ia gemar berkelana, hingga ia berguru pada Kim Loo Sioe lamanya tujuh tahun. Selama berguru, ia suka berbuat baik,
namanya terkenal, tapi begitu lekas tidak berada didamping gurunya, adat berandalannya kambuh pula. Itu hari ia
pulang ke kampungnya untuk tengok orang tuanya. Kim
Loo Sioe pesan untuk muridnya ini ber hati2, jangan
terbitkan gara2 tak keruan, sebab dalam dunia kang ouw ada banyak orang liehay. Diwilayah Ouwpak, orang masih pandang sang guru, tapi dilain propinsi tidak. Yauw Him tidak dengar nasihat itu, ia tidak senang rombongan piauw lewat di kampungnya tanpa lebih dahulu kunjungi padanya,
ia lalu mencegatnya. Diluar dugaannya ia kena dirubuhkan, maka karena malunya ia lalu kabur ke Ouwpak akan
mengobor gurunya siapa telah menjadi gusar karenanya.
Tapi Kim Cit Loo pandai kendalikan hati, ia tidak kasi kentara apa2, hanya diam2 ia kirim mata2 ke Titlee untuk cari tahu tentang Coei Pheng dan tempat2 kemana
piauwsoe ini biasa antar piauw. Ia telah bersabar sampai tiga tahun, lantas itu hari dengan ajak rombongannya ia ambil tempat di Koh lioe toen dimana ia rampas piauwnya Coei Pheng.
"Kita tidak ketahui hal ikhwal lawan, inilah hebat",
nyatakan Boen Gie begitupun Kay Tay.
"Tapi aku tidak perduli dia berkepala tiga dan bertangan enam, aku mesti ketemui padanya", kata Coei Pheng
dengan sengit. Ia malu dan gusar, karena kehormatannya telah disinggung, merek piauwkioknya dibikin rubuh.
"Walau demikian, piauwtauw, baiklah kau cari satu atau dua kawan", usulkan Kay Tay. "Aku dan saudara Bok telah dikalahkan dan terluka, tak dapat kami bantu pula padamu.
Bukankah sepasang kepalan tak dapat layani empat tangan"
Dalam hal ini sebaiknya kita ber hati2"
Coei Pheng menggeleng kepala. Ketika ia hendak jawab
kawan itu, satu jongos muncul seraya terus angsurkan
sepotong kertas, yang dialamatkan untuknya.
"Siapa yang mengirimnya?" tanya Coei Pheng dengan
heran, tangannya menyambuti surat itu, untuk terus dibaca
. "Aku girang atas kedatanganmu, Coei Piauwtauw.
Malam ini jam sembilan atau sepuluh, aku nantikan kau di Koh lioe toen. Kalau tempo nya lewat, aku akan pulang, sampatu waktu, jangan sesalkan aku.
Hormatnya Kim Loo Sioe". "Mana dianya si pembawa surat?" kemudian tanya
piauwsoe ini, yang jadi sangat gusar.
"Dia sudah pergi," jawab sang jongos. "Dia ada satu
anak muda, dia menuntun binatang tunggangan, katanya
dia tidak memerlukan jawaban".
"Baiklah", kata Coei Piauwsoe dengan menahan sabar.
"Sebenarnya aku niat suguhkan teh kepadanya, tapi dia sudah pergi, biarlah! Terima kasih".
Jongos itu manggut, ia undurkan diri.
"Kim Loo Sioe terlalu desak aku", kata Coei Pheng
kemudian kepada dua kawannya. "Baharu aku sampai
disini atau dia telah kirim suratnya untuk tantang aku, maka tak dapat tidak aku mesti ketemui padanya! Mana
ada ketika lagi untuk cari kawan" Dia tentu tak beri


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan! Aku pun telah ambil putusan, tidak perduli bagaimana kesudah annya, kelak aku tidak akan usahakan terlebih jauh Ban Seng Piauw Kiok, aku hendak tukar cara hidupku. Lie Soehoe, apa masih dapat kau minum dua
cangkir" Mari kita minum bersama2. Dan kau, Bok Soehoe, apa kau ada punya kegembiraan untuk bersantap?"
"Aku bersedia, piauwtauw!" jawab Lie Kay Tay.
"Aku juga," sahut Boen Gie.
Ie Jie Leng tinggal rebah, ia ingin dapat tidur, tapi Coei Pheng kata padanya "Ie Soehoe akupun ingin minum
bersama denganmu!" "Terima kasih, piauwtauw," sahut Jie Leng. "Karena
lukaku, tak dapat aku minum arak. Tak usah kau ajak aku, aku hendak tidur."
Coei Pheng bersenyum. "Aku percaya lukamu tidak berbahaya," kata ia. Tapi ia tambahkan kepada Kay Tay "Apa ia telah diobati" Lukanya toh tidak hebat" ...."
"Dia sudah diobati. Lukanya tidak besar tetapi dalam
juga," sahut kawan itu.
"Ie Soehoe, mari bangun!" kata Coei Pheng. "Aku ada
punya obat yang manjur. Mari bersantap bersama, selagi kau pakai obat, aku percaya, walaupun tak segera sembuh, tetapi sakitnya akan hilang sekejab."
Ie Jie Leng merayap bangun untuk menghampirkan.
"Terima kasih, piauwtauw," kata ia. "Aku percaya akan kemanjurannya obatmu."
Coei Pheng keluarkan obatnya dan serahkan itu sambil
ajarkan aturan pakainya. Dengan susah payah, Jie Leng pergi kelain kamar, untuk meng obati lukanya. Selaga bertindak, Coei Pheng
mengawasi dari belakangnya dan berkata sambil menghela napas "Orang bilang dia tolol tapi aku justeru suka dia karena jujurnya...."
Sebentar kemudian hidangan sudah disediakan, maka
pemimpin dari Ban Seng Piauw Kiok undang kawan2nya
duduk bersantap, tapi Jie Leng tidak hadir, sebab sehabis pakai obat, dia terus rebahkan diri dan tidur.
Siauw Beng Ciang Kim tong Coei Pheng bisa dahar
dengan bernafsu, seperti juga ia bukan sedang hadapi
kesulitan besar, ia malah bisa bicarakan lain2 hal. Boen Gie tidak heran, karena ia tahu sifatnya pemimpin ini. Sehabis dahar, dengan agak sinting Coei Pheng pergi rebahkan diri.
Karena waktu itu sudah tengah hari, ia mendusi diwaktu
magrib. Ia terus dandan dan suruh orangnya siapkan
kudanya. Adalah sekarang, sambil minum teh, pemimpin
ini duduk diam saja. Karena orang diam sekian lama, Boen Gie lalu tanya
apakah pemimpin itu hendak lantas pergi ke Koh lioe toen.
"Kalau tidak sekarang apa aku mesti tunggu dia datang kemari?" jawab pemimpin ini.
"Bila demikian, aku suka ikut," Boen Gie menyatakan.
"Tidak perduli aku pernah dirubuhkan, masih ingin aku ketemui pula tua bangka itu!"
"Aku juga ingin turut," nyatakan Kay Tay. "Lukaku
tidak berarti. Mari kita pergi bersama!"
Coei Pheng menghela napas.
"Saudara berdua ada baik sekali", kata ia dengan
bersukur. "Jangan saudara turut aku, hanya aku minta
tolong saudara bersiap membereskan hal2 kelak dikemudian hari. Aku akan pergi tanpa kembali kecuali aku berhasil ambil pulang piauw kita. Jikalau aku gagal, tolong ganti kerugian piauw ini yang berjumlah empat puluh ribu tail.
Uang dikas ada kira2 tiga puluh ribu tail, sekurangnya boleh ditutup dari penjualan sebagian sawah kebunku di Chongcioe. Dengan sisa milikku, aku percaya isteriku akan dapat hidup bersama sanakku lelaki yang baharu berumur delapan tahun. Tolong anjurkan anak itu rajin belajar surat, jangan ia utamakan ilmu silat. Aku menyesal tapi biarlah piauwkiok ditutup. Umpama sampai besok aku tidak
kembali, tolong kau pergi ke Koh lioe toen akan sambut aku, dalam buntalanku ada uang dua ratus tail, jumlah itu cukup untuk urus aku. Pikiranku sedang kusut, aku tidak mau tulis surat kerumah, segala apa tolong saudara berdua saja yang urus menurut pesanku ini."
Lie Kay Tay menangis saking terharunya, tapi kapan ia tampak Coei Pheng mengeluarkan air mata, ia segera
simpangkan mukanya kelain jurusan. Boen Gie sendiri
jalan mundar mandir saja.
"Jangan saudara2 bersusah hati," kata Coei Pheng
kemudian. "Inilah tanggung jawab kita yang usahakan
piauwkiok. Bok Soehoe, tolong panggil Ie Jie Leng, aku hendak pesan padanya."
Boen Gie pergi kepintu akan panggil Jie Leng, tapa
sudah menteriakinya beberapa kali, si sembrono tidak
muncul, tidak ada jawabannya juga. Kemudian muncul
satu pegawai yang beritahukan bahwa Jie Leng telah pergi keluar.
"Apa?" tanya Boen Gie dengan heran "Kapan dia
perginya?" "Belum lama," jawab pegawai itu. "Dia bangun dengan
gembira, katanya obat piauwtauw mustajab sekali, la pergi dengan menunggang kuda, pelananya dilapis selimut...."
Boen Gie kerutkan dahi. "Apa dia bawa senjatanya?" Coei Pheng tanya.
Pegawai itu melengak. "Dia tidak bawa senjata, dia cuma selipkan pisau belati di kaos kakinya...." sahut ia kemudian.
Coei Pheng anggukkan kepala.
"Kau boleh mundur, tapi ingat, segala apa kau mesti
dengar Bok Soehoe," ia kata. Semundurnya pegawai itu, ia tambahkan pada Boen Gie dan Kay Tay "Aku mesti susul
Jie Leng, supaya ia jangan hilang jiwa secara kecewa
ditangan musuh!" "Piauwtauw duga dia pergi kepada musuh?" Boen Gie
tanya. "Aku percaya dia tidak pergi kelain tempat. Dia jujur dan setia, dia bernyali besar. Rupanya dia menduga pasti dia tak akan diajak, dari itu dengan diam2 dia pergi
sendiri." "Kalau begitu, piauwtauw, harus aku turut kau," kata
Boen Gie. "Sudah seharusnya kita tanggung jawab
bersama. Jie Leng ada satu pegawai, dia demikian setia, maka kecewa kalau aku diam saja. Tapi kau ada punya
pesan terakhir, inilah sulit. Maka baik diatur begitu saja Piauwtauw boleh pergi sendiri, syukur apabila kau berhasil, jikalau tidak, aku nanti kumpulkan semua piauwsoe dari semua cabang kita untuk berdaya, sedang gurumu, See
Loocianpwee, aku nanti kabarkan supaya dia mendapat
tahu! Sekarang sudah tak siang lagi, silahkan kau
berangkat!" Kay Tay pun setujui pikirannya Boen Gie ini.
Coei Pheng berbangkit, untuk memberi hormat.
"Baiklah, jiewie," kata ia. "Tak nanti aku lupai
kebaikanmu ini! Sampai kita bertemu pula!"
Pemimpin ini lantas bertindak keluar dimana kudanya
sudah siap, setelah samber tali les dari tangan pegawainya, ia loncat naik atas kudanya itu, yang terus dikasi lari berputaran didepan pondok.
"Aku tak memesan lagi! Sampai ketemu pula!" kata ia,
dan sekali ini ia larikan kudanya tanpa menoleh pula, untuk tinggalkan Cioe kee cip, menuju ke arah barat.
Boen Gie dan Kay Tay mengawasi dengan bengong, air
mata mereka berlinang, sesudah pemimpin itu lenyap dari
pandangan mata, baharu dengan lesu mereka kembali
kedalam. CXXVIII Coei Pheng larikan kudanya dengan terpaksa, dengan
hati berat. Ia sudah tidak punyakan harapan akan dapat kembali. Ia tidak punyakan kegembiraan akan pandang
keindahan alam disekitar nya. Selama itu, cuaca sudah gelap, maka ia berhati2 dari bokongan musuh. Ia seperti merasakan dikiri dan kanannya ada musuh intai ia. Ia
larikan kudanya terus sampai kemudian ia dengar bentakan
"Berhenti! Atau nanti kami panah padamu!"
Piauwsoe ini tahan kudanya, ia tertawa besar.
"Jangan main gertak, sahabat!" jawabnya. "Jalan ini
adalah jalan umum, hak apa kau ada punya untuk larang aku" Apa yang sebenarnya kau kehendaki! Sesama
golongan, jangan kau bersikap demikian!"
"Kau perkenalkan diri dulu!" ada suara dari dalam
ladang kaoliang. "Jikalau kau ada satu boe beng siauw coet, kembalilah ke jalanmu tadi semula! Tak perlu kami bicara denganmu!"
"Jangan berjumawa, sahabat2!" kata Coei Pheng dengan
berani. "Aku tidak takut, jikalau aku takut, tak nanti aku datang kemari! Jikalau sikapmu demikian kurang ajar, aku mau sangka kau bukan orangnya Kim Cit Loo, nanti aku si orang she Coei juga akan bersikap keras!"
"Oh!" demikian suara dari dalam ladang. "Kau jadinya
ada Coei Piauwtauw dari Ban Seng Piauw Kiok" Sudah
lama kami menantikan!"
Suara ini disusul loncat keluarnya dua bayangan, yang segera berdiri ditepi jalan "Maaf, Coei Piauwtauw," kata satu diantaranya. "Tolong kau kasi tahu kau datang
bersendirian atau dengan berkawan?"
"Aku si orang she Coei sendirian!" jawab Coei Pheng.
"Buat apa ajak lain orang" Satu laki2 mesti berani tanggung jawab sendiri! Bukankah demikian, sahabat?"
Orang itu tertawa menghina.
"Kau tak bersendirian, Coei Piauwtauw! Barisan
depanmu sudah sampai terlebih dahulu! Tabeat ketuaku
aneh, aku tak ijinkan kawanmu itu datang kemari, maka aku suruh dia menantikan disana dimulut jalan cagak saja!"
Hatinya Coei Pheng gentar.
"Tapi benar aku sendirian saja," ia kata. "Apa betul ada lain orang yang datang kemari diluar tahuku?"
"Dia ada si orang she Ie!"
Coei Pheng tertawa gelak2.
"Ya, benar, dia adalah orangku!" ia jelaskan. "Tapi dia ada salah satu pegawaiku, dia tak punya guna, dia hanya bernyali besar dan tak takut mati! Dia hormati keharusan kaum kang ouw walaupun aku telah larang padanya datang kemari, namun dia datang juga. Sahabat, aku girang untuk dia! Mari kita lihat padanya!"
"Mari turut aku!" kata satu diantara kedua orang itu.
Menampak orang jalan kaki, Coei Pheng loncat turun
dari kudanya, yang ia terus tuntun. Mereka jalan setengah panahan, lalu seorang yang jalan didepan bunyikan suitan.
Dari cabang jalanan, seorang lompat keluar, tangannya menyekal golok.
"Kie Hong disana?" bertanya orang itu.
"Ya," sahut orang yang ditegor. "Kami ada bersama
Coei Piauwtauw." "Sahabat, jangan bertingkah!" demikian satu suara, dari mulut tikungan.
"Jangan banyak bacot!" membentak orang yang
bersenjatakan golok itu. Coei Pheng segera kenali suaranya Jie Leng.
"Sahabat," ia bilang. "Urusan ada urusan kita, disini tidak ada orang luar! Dia itu ada pegawaiku, kasilah dia keluar, aku hendak bicara kepadanya".
Orang itu kasak kusuk dengan dua kawannya.
"Coei Piauwtauw, mari ikut kami," katanya kemudian.
Dengan berani Coei Pheng tuntun kudanya pergi kejalan cagak yang kecil sekali, yang cuma muat satu orang.
Dari ladang gandum, seorang muncul dengan tuntun
kuda. "Piauwcoe datang?" kata dia "Aku tunggui kau disini."
"Jie Leng, kau bikin apa disini?" sang pemimpin tanya.
"Bagaimana dengan lukamu?"
"Aku sudah tak merasa sakit lagi, piauwcoe!" jawab si sembrono. "Obatmu benar sangat mujarab! Aku datang
kemari atas sukaku sendiri, jangan piauwcoe pikirkan aku!"
"Baiklah," sahut pemimpin itu. "Selanjutnya aku larang kau banyak omong, kau jangan campur tahu urusanku!
Nah, kau pegangi kudaku!"
Jie Leng menghampirkan untuk sambuti les kuda. Ia
masih hendak bicara tapi sang pemimpin cekal keras
lengannya seraya kata dengan pelahan "Mari senjatamu!
Kau ada punya berapa batok kepala?"
Jie Leng tahu tabeat pemimpin itu, lantas ia serahkan pisau belatinya.
Coei Pheng pun segera kata dengan nyaring "Jie Leng,
jaga kudaku, jangan kasi dia ganggu kaoliang! Berbarengan dengan itu, ia lempar belati itu kedalam ladang.
"Eh, piauwcoe, apa artinya ini?" Jie Leng tanya. "Aku bekal itu untuk aku sendiri...."
"Dengar aku!" Coei Pheng jawab. "Kalau aku dapat
ambil pulang piauw, kau turut aku pulang bersama. Ingat, jangan kau campur lainnya urusan!"
Jie Leng hendak jawab pemimpinnya itu ketika ia batal karena dengar suara suitan nyaring sampai dua kali, atas mana Coei Pheng kata padanya "Pikir pendek!" Inilah
kata2 rahasia untuk "jangan bicara." Kemudian ia maju dua tindak.
Dari suatu jurusan lantas ke lihatan sinarnya dua lentera kuning, yang mencorot kesana kemari, lalu terdengar
pertanyaan "Ada berapa orang?" Yang mana dijawab.
"Cuma Coei Piauwtauw sendiri bersama satu pegawainya."
"Tidak cocok, aku lihat rupanya tiga...."
"Tidak, cuma berdua. Tidak ada lain orang yang bisa
langgar batas penjagaan."
Pembawa dua lentera itu segera datang dekat, mereka
adalah dua pemuda. "Apa To Soetee yang telah memberi laporan?" tanya
salah satu diantaranya. "Bukan, To Soetee sedang menjaga, tanpa titah ketua,
tidak nanti dia berani tinggalkan tugasnya."
"Inilah aneh! Terang tadi ada orang melintas dijalan
cagak. Kenapa dia bukannya To Soetee?"
Selagi dua orang ini bertentangan, terdengarlah satu
suara suitan lain, atas mana penjahat yang pimpin Coei Pheng kata "Sudah, jangan omong saja, mari kita antar Coei Piauwtauw! Umpama benar mereka terdiri dari
beberapa orang, kita takut apa?"
Lantas ia ajak Coei Piauwsoe jalan lekasan.
Coei Pheng mengikuti, ia tidak gubris walaupun ia
menduga ten tunya penjahat berjumlah besar. Ia jalan terus, sampaa dipapaki lentera lain, lalu terlihat satu orang yang segera menegor "Coei Piauwtauw, apa kau sendirian saja"
Siapa itu dibelakangmu?"
"Aku datang sendirian," sahut Coei Pheng. "Dia ini ada pegawaiku untuk jagai kudaku. Mana dia Kim Loosoe"
Kenapa dia tidak lantas keluar" Aku ingin segera menemui padanya!"
"Mari turut aku!"
Orang itu lantas putar tubuhnya dan bertindak, dkuti
kawan nya. Coei Pheng pun mengikuti mereka.
Didepan mereka ada sebuah tegalan, dalam gelap
nampaknya disana ada suatu kampung kecil. Dari situ
kadang2 terlihat cahaya api, yang mencorot keempat
penjuru. Walaupun api memain secara demikian, suasana tetap sunyi, tidak terdengar suara anjing.
Coei Pheng menduga kepada sarang penyamun. Ia
dibawa ke ujung barat selatan dimana, setelah menikung, ia tampak pohon2 yang tak lebat. Diatas dua buah pohon ada digantungkan masing2 satu lentera, yang lilin nya hampir padam tertiup angin.
Mereka jalan terus pelahan2.
Dibelakang pohon ini ada sebuah kuil kecil, dimuka
pintu tergantung sebuah lentera. Dua orang, yang menyekal senjata, berdiri dimuka pintu.
"Tunggu disini, jangan maju lagi!" kata si pengantar.
Coei Pheng hentikan tindakannya, dan dua pemuda itu
bertindak masuk. Kuil itu sudah tua, dari dalam dimana ada cahaya api
yang suram, terlihat orang mundar mandir bagaikan
bayangan. Coei Pheng tidak usah menantikan lama karena segera
juga keluar dua orang yang membawa lentera, yang terus berdiri dikiri dan kanan, sesudah mana, lalu terdengar suara tegas yang berlidah campuran Selatan dan Utara, katanya ,
"sekali ini aku si tua bangka tidak lakukan perjalanan cuma2, sebab aku berhasil dapat menemui satu enghiong dari Utara, yang juga bakal berikan ketika akan aku
saksikan permainan silat Hong cie tong!"
Suara itu tidak sedap bagi kuping, menyusul itu,
tertampak juga roman tak menyenangi dari orang yang
mengucapkannya, seorang tua kurus kering, kedua pipinya nonjol, sepasang matanya celong sekali, tetapi kedua biji matanya bersinar tajam, bi sa membuat jerih siapa yang melihatnya. Diapun pakai baju dan celana pendek, kedua kakinya dilapis dengan kaos kaki dan sepatu putih. Kedua tangan bajunya lebar dan gerombongan. Dia bertindak
turun, akan berhenti diundakan tangga dimuka pintu.
Coei Pheng dapat duga siapa orang itu, ia maju dua
tindak untuk memberi hormat.
"Bukankah aku berhadapan kepada loocianpwee Kim
Cit Loo dari Ouwpak?" kata ia dengan pertanyaannya.
"Aku Coei Pheng. Dengan turuti keharusan kaum kang
ouw, aku hatur maaf kepadamu. Loocianpwee, sudikah kau memberi muka terang kepadaku dengan mengembalikan
piauw ku?" Kim Cit Loo pandang piauwsoe itu, lantas ia bersenyum tawar.
"Ban Seng Piauwcoe, kau terlalu merendah!" berkata ia.
"Baik kau mengerti aku Kim Loo Sioe, aku tahan piauwmu untuk undang kau datang kemari, supaya kita dapat
bertemu. Piauwmu masih utuh tidak terganggu, aku
titipkan itu didalam kuil ini. Aku bukannya itu manusia rendah hina yang kemaruk harta, aku hanya ingin bicara lain. Baiklah aku menjelaskannya. Muridku yang tidak
punya guna, Poei Yauw Him, sudah rubuh ditanganmu,
untuk itu dia mesti sesalkan diri yang tidak rabah tulang iga sendiri, maka dia dapatkan bagiannya! Terhadap murid itu, tidak saja aku tidak hendak membelainya, malah menuruti aturan perguruan kami, aku hendak beri hukuman padanya Tidak demikian dengan bunyinya kata2mu, piauwcoe.
Bukankah kita ada punya wilayah masing2" Daerahku
adalah propinsi Kangsee, karenanya, di selatan dan utara Sungai Besar, di Shoatang dan Shoamay tidak ada jalanku, tetapi kau telah mengatakan lain. Aku masih sangsikan murid itu karang cerita aku telah desak padanya, hingga dihadapan Couwsoe, dia berani berikan sumpahnya. Maka itu, ingin aku terima pengajaran darimu, piauwcoe. Di Selatan ini, belum pernah ada orang yang berani menghina aku kecuali kau. Aku tahu, piauwcoe punya senjata hong cie tong yang istimewa, meski demikian, ingin aku
mencobanya. Mari, piauwcoe, kita berdua mencari
keputusan! Umpama dengan senjatamu itu kau sanggup
kalahkan sepasang lenganku yang berdaging tak bersenjata, sejak kini aku nanti cuci tangan, aku akan undurkan diri.
Tapi andai kata kau gagal, kau harus terima syaratku. Tetap
aku tidak ingin kang kangi piauwmu, tetapi untuk dapatkan itu, kau mesti ambil sendiri, di Utara, untuk itu kau boleh undang siapa saja yang kenamaan, untuk bantu padamu.
Nah, piauwcoe, silahkan kau keluarkan senjatamu, mari kita mencoba2!"
Hampir Coei Pheng tak tahan sabar karena desakan itu.
"Kim Loocianpwee, tunggu sebentar," kata ia dengan
paksakan diri. "Harap kau dengar dahulu aku, habis itu terserah kepadamu. Bicara tentang ilmu silat, aku ada dari angkatan muda. Cuma dengan andali ujung senjataku aku cari sesuap nasi dalam kalangan piauwkiok. Aku rasa aku tahu benar cara pergaulan, aku ketahui aturan kaum kang ouw, maka tak pernah aku berbuat kesalahan Ketika dulu aku pergi ke Hoolam dan lewat di Yang boe, dimana
tadinya pun aku pernah lewat, aku tidak tahu yang berdiam disana adalah murid loocianpwee. Adalah biasanya kami, kemana kami pergi, senantiasa kami dengar2 keadaan
mengenai muridmu, itu ada satu kecuali. Telah lama ia keluar dari kampungnya, itu waktu mendadak ia pulang ke Poei kee toen dimana ia justeru hendak angkat nama.
Sebenarnya untuk bertindak demikian, dari siang ia mesti menyiarkannya. Dia sudah tidak melakukannya. Aku
hanya tahui ia sudah dicegat. Sampai waktu itu masih aku tidak berlaku sembrono, aku masih tanya dia tentang
gurunya, tetapi dia tidak mau memberitahukannya,
sebaliknya dia menghina aku, dia ejek guruku, maka
akhirnya terpaksa aku turun tangan. Sekalipun dalam
pertempuran, dialah yang desak aku, hingga aku mesti
layani padanya. Seandainya aku yang kalah, pasti piauwku ditahan. Setelah kalah, dia malu berdiam lebih lama
dikampungnya, dia pergi dengan sesumbar agar aku tunggu saja, katanya sebelum berhitungan, dia tak puas, karena mana akupun bilang padanya, orang semacam dia yang
tidak kenal aturan kang ouw, tentu tidak punyakan lain kawan kecuali sebangsanya sendiri. Adalah seperginya dia, baharu aku menyesal sudah terlepas kata. Benar2 aku tidak sangka dia adalah murid loocianpwee. Sejak keluar dari perguruan, tidak pernah aku andalkan kepandaianku, aku hanya gemar bergaul, hingga kawan2 juluki aku sebagai Beng Ciang Koen yang dermawan dan ramah tamah. Tidak
pernah aku berani berbuat salah, sebab aku tahu itu adalah jalan untuk celakai diri. Sekarang, diluar kehendakku, aku telah
berbuat keliru terhadap pihak loocianpwee. Loocianpwee, mengingat sukarnya aku angkat nama,
tolong kau kembalikan kereta2 piauwku. Terhadap lain
orang, tak nanti aku bersikap seperti ini! Maka sekarang, terserah kepadamu...."
Jago tua itu belum sempat buka mulut, atau seorang


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda disampingnya dului ia.
"Soehoe, jangan percaya keterangannya!" kata pemuda
ini. "Dia pandai bicara untuk melagui soehoe!"
"Jangan banyak omong!" jago tua itu membentak. Lalu
ia teruskan pada Siauw Beng Ciang "Coei Piauwtauw, baik kita ke sampingkan urusan lama, kita omongkan saja
kejadian sekarang. Aku telah tahan piauwmu, cara
bagaimana dapat dengan gampang saja aku kembalikan
kepadamu" Biar bagaimana, kau
mesti hunjukkan kepandaianrnu, kau mesti gunai senjatamu hong cie tong untuk aku tonton! Tentang piauwmu, kau jangan kuatir, semua itu berada didalam kuil, kuda dan keledaimu berada didepan kampung sana, dan semua tukang kereta,
makannya kenyang, tidurnya nyenyak. Maka, untuk kau
bisa berangkat dengan piauwmu, mari kita mulai! Paling jemu aku untuk omong banyak tak henti2nya, bisa aku
tidak akan temani kau, nanti di Ouwpak saja kita bertemu pula!"
Coei Pheng kertek gigi. Ia insyaf bahwa urusan tak dapat didamaikan pula.
"Kim Cit Loo, kenapa kau desak aku sampai begini?"
tanya ia. "Memang aku telah berkeputusan akan tidak
kembali dengan masih bernyawa, karena kau paksa aku
mesti perlihatkan kejelekanku, baiklah, aku terpaksa
menurut kehendakmu, terpaksa aku mesti melayani kau!"
Lantas piauwsoe ini memutar tubuh, akan kata pada
pegawai nya "Mari ambilkan senjataku!"
Jie Leng sedang mendongkol, sejak tadi ia tak sabaran mendengar kata pemimpinnya yang begitu merendah
terhadap Kim Loo Sioe, kalau pisau belatinya tidak dibuang oleh Coei Pheng, tentu ia sudah serbu begal itu. Maka segera ia cabut senjata pemimpinnya itu, yang digantung dipelana. Ia berlaku sembrono, ujung senjata nyangkut dan mengenai perut kuda, hingga binatang itu kaget dan
kesakitan, dia berbenger sambil berontak. Beruntung Jie Leng kuat memegang lesnya, kalau tidak kuda itu tentulah kabur. Karena ini, Coei Pheng sendiri yang ambil
senjatanya itu. Pemimpin dari Ban Seng Piauw Kiok tidak hendak
bilang suatu apa lagi, tapi belum ia sempat turun tangan, dari ujung kampung terdengar suara berisik, suara sentak sorong, hingga ia heran.
"Ada apa?" tanya Kim Cit Loo sambil menoleh.
Dilain pihak, satu pemuda sudah lari kearah tempat
berisik itu, dari mana, dari atas sebuah rumah, sebaliknya ada menyorot lentera khongbengteng, disusui suara
memerintah yang keras "Berhenti! Maju lagi berarti kau cari mati! Awas panah!"
Ancaman itu telah lantas di buktikan. Sebatang panah
melesat menyamber seorang yang sedang mendatangi, yang pakaiannya butut, menyusul mana orang itu menjerit
"Aduh!" Coei Pheng menyangka orangnya kena dipanah, tapi
segera ia tampak tubuh orang itu berputar, ter huyung2
kebelakang. Orang itu menyekal sebatang ruyung hitam
panjang sekaki kira2, sembari terhuyung2 terdengar
suaranya lebih jauh "Eh, eh, kenapa tempat ini begini berbahaya" Aku ada seorang cacat yang kekurangan biji mata, aku jalan di sini bagaikan roh penasaran yang
gentayangan, kenapa disini tidak ada jalanan untuk aku"
Cambuk kudakupun telah terlempar kedalam solokan,
inilah hebat untuk aku si buta! Kenapa orang panah aku"
Oh, buntulah jalan hidupku...."
Selagi orang itu ngoce, penyerangnya, yang membawa
lentera sudah dekati padanya.
"Tutup mulutmu!" dia menemui dengan bengis. "Jangan
berlagak gila disini, kau tentu bukan manusia baik2! Kau bikin apa di sini" Lekas omong yang benar! Apa kau hendak tunggu aku turun tangan?"
Si buta itu angkat kedua tangannya.
"Looya semua tentu ada pembesar2 negeri," berkata ia
sambil memberi hormat. "Aku seorang buta tak bisa
menjadi penyamun, tapi benar aku sering ketemu orang
jahat. Akupun sengsara, tak bisa aku nginap di hotel besar atau kecil, aku mondok sembarangan saja. Aku hendak
pergi ke Hookan untuk mencari hidup disana, aku kesa sar, sudah selang dua hari aku masih disini2 juga. Looya semua, kasihani aku, kasilah aku lewat. Lagipun, mendengar
suaramu, kita ada asal satu kampung...."
Orang ini bicara dengan lidah Selatan.
Kim Cit Loo mesti hadapi Coei Pheng, yang sudah siap
sedia, tapi mendengar kata2 orang itu dan laga2nya, ia jadi mengawasi dengan penuh perhatian.
"Pergi tengok!" kemudian ia kata pada satu orangnya.
"Kalau dia ada cucunya si kuku garuda, bereskan saja, tapi kalau benar dia ada orang baik2, biarkan dia lewat!"
Dengan "cucunya si kuku garuda" diartikan polisi atau hamba negara.
Orang yang diperintah itu sudah lantas pergi lari.
Dipihak sana, orangnya Kim Cit Loo masih bersikap
galak. "Siapa orang sesama kampungmu?" dia membentak.
"Kau datang dari mana?"
"Aku datang dari Ouwlam. Apa kita bukan asal sesama
kampung?" "Aku dari Ouwpak, aku tak punya orang sesama
kampung sebagai kau, setan!" menghina orang muda itu, sambil berludah.
"Ah, jangan kau perdulikan Ouwlam atau Ouwpak, toh
semua ada ouwnya !" kata pula si buta. "Ouw ialah telaga, kang, sungai, karena kang ouw adalah Sungai Telaga, kita toh ada sesama juga. Maka itu, looya beramai, biarkanlah aku lewat, aku dapat ambil jalan mana saja, asal jalanan hidup untuk aku si buta...."
"Jangan ngaco!" membentak pula si anak muda. "Kau
hendak cari penyakit" Kenapa kau bisa datang kemari"
Kami telah menjaga diempat penjuru! Kau bisa masuk, tapi jangan kau pikir untuk bisa pergi dari sini!"
Anak muda ini samber pundaknya si buta, untuk ditarik dengan keras.
"Kau mesti diringkus!" berseru pemuda itu.
Bagaikan rumput, tubuhnya si buta terpelanting dan
rubuh, ia menjerit teraduh aduh, tetapi berbareng dengan itu, si anak mudapun bercelaka, karena ujung ruyungnya si buta yang sebenarnya ada sebatang suling, telah mengenai tulang iganya, hingga dia merasakan sangat sakit, tapi sebab dia tahan itu, dia keluarkan jeritan tertahan, kepalanya segera banjir keringat.
"Aduh, aduh!" si orang buta masih men jerit2, tubuhnya bergulingan, biji matanya mencilak putihnya. "Tolong, tolong, kau hendak rampas jiwaku ya" Tak dapat kau
perhina aku! Aku masih punyakan guru! Hayo pukul, pukul aku hingga mampus, nanti ada guruku yang menuntut
balas!" -ooo0dw0ooo- Jilid 13 "Sudah, soetee," kata pemuda yang memegang
khongbengteng. "Lihat tua bangka itu, mana tulangnya tahan jatuhnya"
Baik antap dia pergi, supaya ketua kita jangan nanti
persalahkan kita...."
Pemuda galak itu adalah Kiang Thian Yoe yang melukai
Jie Leng, ia masih merasakan sangat sakit pada tulang iganya yang Lerpukul suling, tadinya ia diam saja menahan sakit, sekarang dengan paksakan diri, dengan sengit, ia kata
"Baiklah, biar dia dapat kemerdekaannya! Ji kalau tidak ada ketua kita disini, tentu aku bikin beres padanya!"
Setelah mana, ia lantas undurkan diri bersama
soehengnya, Cie Tiong. "Eh, apa kau masih tidak mau bangun untuk
menggelinding pergi?" tanya bandit yang menjaga disitu.
"Beruntung malam ini kau ketemu aku! Lekas kau angkat kaki, apabila kau ayakan nanti jiwamu tak ketolongan!"
Si buta itu merayap bangun, dan berduduk. Kembali
kedua matanya mencilak putih.
"Memang aku telah duga bakal ada kwiejin membantu
aku," kata ia. "Kwiejin adalah penolong". "Rupanya kau adalah kwiejin itu! Orang yang baik, kau tolonglah aku sampai diakhirnya. Maukah kau antar aku sampai diluar batas?"
"Makhluk buta, kau memikir enak sendiri!" kata si
bandit. "Kau telah dibebaskan, itu saja seharusnya kau sudah bersyukur, cara bagaimana sekarang kau masih
mengharap untuk diantarkan"
Lekas pergi, ayal2an berarti kau cari mampus sendiri!
Dari sini kau menuju ke timur selatan, disana ada jalan besar, dengan turuti jalan besar itu menuju ke timur, kau nanti sampai di Hookan!"
Si buta itu bangun berdiri, tapi ia berdiri diam saja.
"Oh, Thian...." ia mengeluh sendirinya, "rupanya
penjelmaan ku terdahulu aku sudah, tidak berbuat baik, maka dizaman ini aku peroleh pembalasan seperti ini
Mana aku ketahui jurusan timur selatan barat utara"
Kearah mana aku mesti menuju" Aku toh mesti membabi
buta! Lebih gampang untuk aku kecemplung disungai saja!
Aku telah jalan begini jauh, mana aku bisa pulang
kembali?" Baharu sekarang si bandit ingat bahwa orang Itu buta, maka dengan menahan sabar, ia dorong tubuh orang kearah timur selatan.
"Pergi kesana, tembusi itu ladang kaoliang!" ia
membentak. "Jangan kau membelok, nanti kau mampus!"
Kena dijoroki, tubuhnya si buta terjerunuk walaupun
demikian, masih ia kata "Orang sesama kampung halaman, sampai ketemu pula!"
Dan ia nerobos diantara ladang kaoliang, hingga
terdengar suara daun yang berisik, disana tubuh nya
lenyap" Waktu itu, Kim Cit Loo sudah hadapi pula Coei Pheng.
Si piauwsoe pun merasa aneh terhadap si buta itu.
Jangankan orang buta, orang melekpun sulit memasuki
Koh lioe toen ini! Mustahil orang2 terlatih dari Kim Lob Sioe bikin lolos si buta itu" Apa mungkin mereka alpa" Tapi Kim Cit Loo
telah hadapi ia, lekas2 ia memberi hormat.
"Kim Loosoe, dalam keadaan sebagai sekarang, tak
dapat tidak aku mesti iringi kehendakmu," katanya.
"Silahkan kau keluarkan senjatamu!" Kim Loo Sioe tertawa gelak2. "Jangan seejie, Coei Piauw tauw," kata ia. "Selama beberapa tahun ini, aku cuma andalkan kedua tanganku
serta sekantong pasir beracun Ngo tok Sin see, maka senjata apa yang kau inginkan aku keluarkan" Silahkan kau mulai menyerang!"
Tak puas Coei Pheng mendengar kata2 itu, dalam
hatinya ia kata "Bangsat tua, kau terlalu! Mungkin aku bukan tandinganmu tetapi aku nanti kasi rasa senjataku hong cie tong!"
Maka kemudian ia menjawab. "Baik", loosoe, Coei
Pheng akan mengiringi!" Ia gerakkan kedua tangannya
untuk bersiap, lalu sembari maju ia berseru Cit Loo,
mulailah!" Kembali penyamun itu tertawa dingin.
"Belum pernah Kim Loo Sioe menyerang terlebih
dahulu," kata ia. "Adalah aturanku, diwaktu bertempur, apabila orang
tidak menyerang, aku tidak menyerang terlebih dahulu.
Piauwcoe, silahkan kau yang mulai, untuk kau buka
pandangan mataku!" Coei Pheng jadi sangat gusar, tak dapat ia atasi pula dirinya, sambil berlompat maju, ia berseru "Cit Loo, Coei Pheng berlaku tak hormati" Segera ia menyerang dengan
"Lioe seng kan goat," atau "Bintang mengejar rembulan.
"Bagus!" berseru Kim Cit Loo kapan ia lihat datangnya serangan.
Ia angkat kedua tangannya, dan dengan dua jarinya ia
hendak tahan turunnya serangan.
Inilah hebat sekali! D yangankan tangan kosong,
sekalipun dengan senjata, siapa yang kepandaiannya
kepalang tanggung, tak nanti bisa tangkis hong cie tong, yang bersegi tiga dan setiap seginya lancip tajam, sedang piauwsoe ini telah berhasil mewariskan ilmu silat gurunya, Seng soe ciang See Coan Gie si Tangan Hidup dan Mati.
Kim Cit Loo, yang nama asal nya Pat pou Kan siam
Kim Loo Sioe, tidak melainkan tubuhnya enteng, diapun telah wariskan ilmu silat kenamaan dari golongan Lam Pak Pay (Selatan dan Utara), ialah "Lo Kong Pat it sie" yang disebut juga "Siong Yang Tay kioe chioe," yang punyakan delapan puluh satu jalan ("Pat it"), yang dihimpun dari sarinya ilmu silat pelbagai kaum.
Dalam hatinya, Coei Pheng berseru, "Celaka aku!"
kapan ia telah kenali orang mempergunakan ilmu silat
"Siong Yang Tay kioe chioe" itu. Ia insyaf, sekalipun gurunya, tentu masih sulit akan layani bandit ini, yang ternyata liehay luar biasa. Tapi sudah terlanjur, ia tidak mau mundur, ia berkeputusan akan berlaku nekat apabila ia hadapi saat buntu. Maka ia kendorkan serangannya, untuk tarik pulang senjatanya, akan menukar dengan lain
serangan. Kim Cit Loo liehay, ia lantas mendesak, ia bikin
lawannya repot, hingga tak dapat Coei Pheng menyerang dengan nekat, bahkan sebaliknya mesti membela diri saja.
Sebentar kemudian, disaat Coei Piauwtauw terancam
bahaya karena lawannya desak ia secara hebat, mendadak dari kejauhan ada dengar suara suitan berulang2, saling susul.
Kim Cit Loo agaknya terperanjat, kemudian ia kata pada murid2 yang mendampingi ia "Kenapa kamu bengong saja"
Kita telah dikelabui! Si buta rudin itu pergi ke timur selatan, kenapa sekarang dia berada di barat selatan" Itulah suara suling yang aneh, bukannya suling bambu! Lekas kejar si buta itu! Tetapi kamu bukan tandingan nya, katakan saja bahwa Cit Loo menantikan dia disini! Dia tidak buta, yang buta adalah matanya Cit Loo! Pergi, lekas pergi!
Meskipun mulutnya mengatakan demikian, namun
penyamun ini tidak perkurang desakannya terhadap Coei Pheng.
Dua muridnya sudah lantas lari kearah barat selatan.
Dimuka pintu kuil ada berja ga empat orang, sekarang
tinggal dua, dan mereka ini mendengar suitan dan kata2
pemimpinnya itu, sudah pergi kesudut barat selatan dari kuil untuk memeriksa.
Selama itu, Coei Pheng pun heran. Ia mau menduga
bahwa si buta itu bukannya orang sembarangan.
Dugaannya ini jadi lebih tetap apabila ia tampak roman dan sikap berkuatir dari lawannya.
Karena ini, untuk sesaat ia tunda kenekatannya untuk
korbankan jiwanya, sebaliknya ia jadi bersemangat, hingga ia jadi mantap mainkan senjata nya, ia keluarkan antero kepandaiannya akan layani musuh tangguh itu.
Keduanya bertempur dengan seru, mereka maju dan
mundur silih ganti. Satu kali, Coei Pheng loncat mundur, jauh
kesudut timur utara kuil, disini dengan menyampingkan tubuh ia tangkis serangannya Kim Cit
Loo. Justeru itu dibelakang ia, datangnya seperti dari atasan. kepalanya, ia dengar seruan "Orang she Coei,
keluarkan antero kepandaianmu, jangan kecil hati,
bersemangatlah! Hayo lawan boca ini!"
Suara ada demikian tegas, agaknya dekat sekali, dari itu, meskipun ia sedang layani musuh, Coei Pheng toh menoleh sedikit. Akan tetapi ia tidak lihat siapa juga.
Kim Cit Loo juga dengar suara itu. Ia heran sebab ia
tahu disitu ada orangnya yang berjaga2. Selagi bercuriga, ia perlihatkan keentengan tubuhnya Dengan satu loncatan ia lewati kepalanya Coei Pheng, akan naik ketembok kuil.
Kaget Coei Pheng akan saksikan kegesitan itu, berbareng ia pun curiga lawan ini hendak bokong padanya, segera ia mencelat ke barat, dari mana ia memutar tubuhnya, hingga ia tampak lawannya sudah taruh kaki diatas tembok.
"Siapa yang bicara ditempat gelap?" terdengar tegorannya Kim Loo Sioe. "Didepannya Cit Loo jangan
kau main gila, main hantu tiup angin! Ketahuilah, Cit Loo tak sudi beli barang daganganmu!"
Tegoran itu tidak peroleh jawaban, matanya Cit Loo
tidak lihat orang atau bayangannya sekalipun. Tiba2 ia ingat orangnya didalam kuil, lantas saja ia menegor pula
"Ouw A Hin, kau pergi kemana?"
Pertanyaan itupun tidak dapat jawaban, hingga
penyamun ini jadi sangat gusar. Baharu ia hendak teriaki dua orangnya yang jaga pintu kuil, tiba2 ia lihat
berkelebatnya satu bayangan diatas wuwungan. "Siapa
disana?" ia berseru. "Mari kesini, lihat sendiri!" ada jawaban yang diterima.
Menduga bayangan itu ada si buta palsu, Cit Loo
mendongkol tak terkira. "Pengemis tua, bagus kau mengemis kepada Cit Loo!" ia membentak. "Aku memang hendak cari kau, kebetulan kau datang sendiri! Hayo menggelinding kemari untuk kita adu kepandaian! Tidak salah lagi, kau tentu diundang Coei Pheng si pit hoe!"
Diatas wuwungan itu terdengar suara tertawa hahaha
secara menghina. "Hantu tua, kau siapa" Kau bakal jadi hantu kematian, apa kau masih ada muka untuk hidup?" demikian
jawabannya. "Kau. temahai piauw orang, aku tak puas, aku mesti campur tahu urusan ini! Hantu tua, apabila kau tidak senang, mari kita main!"
Sejak dia berkelana dan malang melintang, belum pernah Kim Cit Loo terhina secara demikian, tidak heran apabila dia jadi sangat gusar, dengan menjejak kedua kakinya ia enjot tubuhnya akan loncat naik ke wuwungan. Inilah
gerakannya yang jarang sekali ia gunai, tubuhnya melesat bagaikan burung menyamber.
Si penantang juga bukannya seorang lemah, baharu
lawan itu sampai atau ia sudah loncat turun kebawah kuil itu, kuil Touw Kok Soe namanya, saking cepatnya,
kelihatan melainkan bebokongnya yang berkelebat.
Kim Cit Loo heran bukan main. Sekarang ia dapat
kenyataan, lawan itu ada terlebih kate daripada si buta dan pakaiannya pun berlainan. Ia menduga lawan ini bukanlah si buta tadi, yang tentunya ada seorang lain pula. Dalam murkanya Cit Loo lompat menyusul. Iapun kesohor untuk ilmunya mengentengi tubuh. Sedetik saja ia sudah dapat mendekati orang itu tinggal tiga kaki "Kau ingin lolos dari tangan Cit Loo coe?" ia membentak. "Rasailah!"
Cit Lo maju menyerang dengan kedua tangannya,
kearah bebokong. Inilah pukulan hebat yang biasanya
sanggup menggempur ilmu kedot "Tiat pou san," atau
"Baju besi." Ia tidak sangsi untuk gunai serangan liehay ini saking ia benci orang itu, yang mencampur tahu urusannya dengan Coei Pheng.
Orang kate yang diserang itu kelihatan gerakkan
pundaknya yang kiri, lalu tubuhnya bergerak sebagai juga ia terserimpat jatuh, tubuh itu rubuh kekiri, tapi justeru begitu, ia perlihatkan sikap "Go kan kiauw in" (Sembari tidur melihat awan indah) atau "Tie goe bong goat" (Badak
memandang rembulan). Secara demikian, ia lolos dari
ancaman bahaya, kecuali pundak kanannya kena kesamber sedikit anginnya kedua tangan lawan. Segera setelah itu, ia angkat tubuhnya sambil berbalik, kedua tangannya balas menyerang menyamber kedua tangan si penyerang itu,
sambil ia serukan "Hantu tua, kau rasai ini!"
Itulah serangan hebat, maka untuk menolong diri, Cit
Loo mencelat kekanan. Tapi justeru karena gerakannya ini, sekarang ia dapat lihat wajahnya musuh. Benar cuaca ada gelap akan tetapi ia toh tampak orang punya jenggot
bagaikan jenggot kambing gunung dan tubuh yang kecil dan kurus. Ia ingat satu orang, hingga ia jadi kaget berbareng gusar.
"Eh, lauw hia, bukankah kau ada pit hoe Twie in chioe Na Pek dari Hoay Yang Pay?" tanya ia dengan tegorannya.
Si kate kurus kecil itu tertawa hihi.
"Hantu tua, kau toh tidak buta?" sahutnya. "Kau toh
bisa kenali sendiri!"
Dikatakan buta, Cit Loo jadi mendongkol dan malu.
"Na Loo Toa, jangan bertingkah!" ia membentak.
"Teranglah kau ber sama2 si pengemis bangkotan itu telah dibeli oleh Ban Seng Piauwcoe Coei Pheng untuk
mengacau aku Cit Lo coe! Ketahui, Na Loo Toa, Kim Cit Loo belum pernah kasi dirinya di perhina orang!"
Memang orang yang baharu muncul ini adalah Na Pek,
yang tak bisa lihat Coei Pheng di ganggu. Ia mengarti Kim Cit Loo ada liehay tapi ia bersedia akan tanggung jawab karena tak dapat ia abaikan tugasnya sendiri untuk terus berbuat kebaikan bagi umum. Cit Loo pun keliru sudah
bekerja diluar batas daerah pengaruhnya. Untuk menolong pemimpin dari Ban Seng Piauw Kiok, terpaksa Ia mesti
perlihatkan diri. Lebih dahulu daripada itu, ia sudah selidiki jelas duduknya perkara, hingga ia kagumi keberanian dan kesetiaannya Ie Jie Leng serta kedua piauwsoe. Iapun
ketahui baik bagaimana Cit Loo pengaruhi penduduk Koh lioentoen hingga mereka jadi jinak dan menurut saja. Ia sengaja kirim surat pada Coei Pheng supaya piauw tidak keburu diangkut Cit Loo. Hanya, ketika ia menguntit
sampai di Koh libe toen, ia dapat tahu di antara mereka ada nyelu sup seorang yang tidak dikenal, yang mestinya liehay sekali, hingga ia sangsi apa bisa la berhasil menolongi Cioe Pheng, karena ia insyaf, Cit Loo adalah satu lawan
tangguh. Dua kali pernah ia dilewati orang gelap itu, yang gerakannya sangat gesit, hingga pernah ia kata dalam
hatinya "Awas, Na Pek, inilah saat dari runtuh atau
abadinya nama baik mu!...." Adalah kemudian, selama di Koh lioe toen, hatinya jadi lega. Disini, dari sepak


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjangnya orang itu, ia dapat kenyataan, orang itu justera ada lawannya Kim Cit Loo. Malah ia seperti telah
dipancing datang ketempat dimana tukang2 kereta ditahan, mereka ini dikumpulkan jadi satu, dijaga dua penjahat, yang larang mereka bicara satu pada lain, siapa bicara, dia lantas dicambuk. Ia pancing kedua penjahat melintas keluar pagar, lalu ia totok rubuh mereka itu.
Setelah ini, ia dapat pergoki orang gelap itu, ialah si buta, hingga ia heran, sebab ia tak kenal orang ini, roman siapa tidak luar biasa. Selagi ia hendak selidiki orang ini, yang menghilang dalam ladang kaoliang, ia dengar suara
dibelakangnya "Na Loo Toa, apa maksudmu datang
kemari" Jangan kau nonton saja disini! Ingat, Coei Pheng bukan tandingannya si orang tua musuhnya itu! Aku sendiri tak hendak berhenti sebelum aku layani tua bangka itu!
Pergi kau pancing keluar itu dua begal yang menjaga
dipintu kuil, bawa dia ke gili2 ladang, aku membutuhkan mereka, setelah itu, lekas tolongi Coei Pheng sebelum dia dapat celaka ditangan musuhnya. Lekas bekerja, jangan sampai tua bangka itu sadar, apabila kau membuat gagal, aku nanti bikin perhitungan denganmu!"
CXXIX "Kau siapa, sahabat" Sebelum kau beri keterangan, tak sudi aku . bekerja untukmu!" kata Na Pek, yang penasaran.
"Tak sudi aku jadi kulimu!...."
Si buta itu tertawa. "Paling jemu aku untuk menyebutkan she dan nama
sendiri!" sahutnya. "Akupun ada seperti kau, biasa bekerja sendiri, tapi malam ini kebetulan sekali kita bertemu disini, maka anggaplah kita bekerja secara luar biasa! Dengan aku si buta dan melarat ini, kau nanti bakal bertemu pula, maka Na Loo Toa, apabila kau tetap ingin ketahui aku, aku nanti presen senjata rahasia kepadamu!"
Na Pek tertawa. "Sahabat, benar2 kau main gila!" ia kata.
"Eh, jangan kau gerembengi aku!" peringatkan si buta.
"Tua bangka itu liehay, Coei Pheng bukan tandingannya, jikalau sampai Coei Pheng rubuh, kau mesti tanggung jawab!
Coei Pheng itu satu laki2 sejati, kalau kau berlambat, nanti kau dapat malu untuk hidup lebih lama!"
Sehabis mengucap demikian, si buta itu terus loncat
menghilang ditempat gelap.
Sekejab saja, suara suitan terdengar diladang barat
selatan. Adalah sekarang, mendadak Na Pek ingat, si buta itu
mesti adalah Kay Hiap Coei Peng si Pengemis Pendekar, yang kenamaan di Selatan, sebab lain orang tak segesit dia.
Karena ini, ia lantas bertindak menuruti pe. san si buta itu, sehabis mana, ia muncul didepan Kim Cit Loo, siapa masih sangka keras Coei Pheng sengaja bawa bala bantuan
tersembunyi. "Iblis tua, jangan pintar sendiri!" Na Pek jengeki
penyamun itu. "Kenapa kau sangka aku jadi kawannya si orang she Coei" Dia ada satu laki2 sejati! Dia toh merdeka untuk cari kawan, apa halangannya bagimu" Kau tahu
bahwa aku si orang she Na biasa cari makan sendiri, aku gemar campur tahu urusan lain orang. Aku ingin belajar kenal dengan kepandaianmu, tua bangka, jangan kau
rembet aku dengan lain orang! Setan tua, anggaplah malam ini kau ketemu bintang penaklukmu, maka setelah malang melintang sekian lama, sekarang kau harus menyerah kalah sudah runtuh!"
Bertambah2 kemurkaannya Yauw beng Kim Cit Loo
karena kata2 Twie in chioe ini, ia merasa sangat terhina.
"Kim Cit Loo coe justeru paling tak puas dengan
sikapmu yang mengandalkan jumlah banyak!" ia berseru.
"Jikalau aku tak sanggup membereskannya, kecewa aku
hidup dalam dunia kang ouw!"
Kata terakhir itu disusul dengan lompatan tubuhnya
untuk menyerang. Na Pek tidak mau menyambutinya, ia justeru geser
tubuhnya kesamping, dengan begitu Kim Cit Loo jadi
tubruk tempat kosong, hingga amarahnya menjadi
meluap2. "Tua bangka, kau memikir untuk menyingkir dari Cit
Loo coe?" ia menjerit. "Itulah terlebih sukar daripada mendaki langit! Jikalau kau tidak diajar adat, kau tentunya belum insyaf liehaynya Kim Cit Loo! Kau benar masih niat menyingkir?"
Sambil kumpul tenaga tangan nya, Kim Loo Sioe lompat
pula untuk mengulangi serangannya. Kedua tangannya
maju sa Iing susul sebelum kakinya injak tanah, tangan kanannya adalah yang maju paling dulu.
Na Pek dapat menyingkirka n diri apabila ia kehendaki itu. Tapi ia ingat pesannya si orang buta, ketikanya belum sampai, maka ia bertindak lain. Dengan pundak kanannya
dikasi turun, ia ulur tangan kirinya dengan dua jari tangan telunjuk dan tengah dipakai menotok nadi lawan. Itulah sambutan sambil menyerang yang berbahaya.
"Bagus!" Kim Cit Loo berseru, seraya tangan kanannya
ditarik pulang, tapi tangan kirinya menyerang kepada iga kiri lawan!
Na Pek rasakan samberan angin sebelum tangan musuh
mengenai iganya, maka lekas2 ia berkelit dengan
jumpalitan ke kanan, dengan gerakan "Kee coe to hoan
sin," atau "Ayam membalik tubuh." Tapi sambil berkelit, tangan kanannya membarengi menyerang pundak lawan
disebelah bawah sambungan, dijalan darah seng hong hiat.
Serangan ini adalah yang dinamakan "Soet pay chioe" atau
"Melemparkan tugu."
Melihat dua kali serangannya gagal bahkan musuh
membalas nya, Kim Cit Loo tidak bersangsi untuk
menyingkir dari serangan itu.
Ia egos tubuhnya ke kiri. Tapipun sambil mengelak ia
balas menyerang pula kepada tangan kanannya musuh itu, ia menabas dengan tipunya "Heng kee tiat boen so" atau
"Palangan pintu."
Na Pek tahu tangan kanannya hendak digempur, akan
tetapi sudah terlambat untuk ia singkirkan itu, maka segera kedua tangan saling beradu, sesudah mana, ia merasai
tenaga besar dari Kim Loo Sioe, karena lengannya
kesemutan dan ba al. Tapi ia kumpulkan tenaganya akan lawan serangan, sambil berbuat begitu, ia loncat empat lima tindak.
Kim Cit Loo telah jadi nekat, ia tidak mau kasi ketika orang
menyingkir, ia hendak mengejar, walaupun sendirinya lengannya dirasakan panas karena benturan tadi dengan lengan musuh.
"Aku tak percaya kau mampu menyingkir!" ia berseru
selagi ia hendak menerjang.
Disaat jago tua ini hendak loncat, mendadak ada orang serukan ia dari samping "Iblis bangkotan, kau sambut ini!"
Seruan itu disusul dengan menyambernya senjata rahasia satu samberan enteng hingga tidak terdengar suara, tetapi cepatnya ada luar biasa, walaupun Kim Cit Loo ada sangat gesit, dia masih tak keburu berkelit, punduknya kena
terserang, hingga ia merasakan panas. Ia lantas geraki tangannya akan rabah senjata rahasia itu. Sebagai
kesudahan dari ini, ia rasakan dadanya panas bahna
mendongkolnya! Sebab senjata rahasia itu adalah kotoran kuda yang masih basah!
Telah lebih dari tiga puluh tahun sejak Kim Loo Sioe
malang melintang dalam pengem baraan, baharu kali ini ia terima hinaan demikian macam. Maka itu menuruti
kemurkaannya, sambil berseru keras ia mencelat ke
samping kuil, kearah dari mana serangan tadi datang.
Loncatan itu ada sangat pesat, turut biasanya, si
penyerang gelap itu mestinya tak dapat menyingkir pula, akan tetapi mem barengi melesatnya Kim Cit Loo, satu
bayangan juga mencelat, malah mencelat lebih tinggi enam atau tujuh kaki!
Kim Cit Loo tahu ia sudah tubruk tempat kosong, maka
begitu lekas sebelah kakinya mengenai tanah, segera ia menjejak pula untuk loncat kembali, akan susul bayangan yang hendak menyingkir itu.
Didepan kuil ada lentera yang apinya suram tetapi
cahaya itu sudah cukup untuk Kim Loo Sioe kenali
bayangannya si orang tua kurus kering yang matanya buta itu, ia menuding sambil berkata "Makhluk busuk, Cit Loo coe tidak kenal kau, kita belum per nah ketemu, cara
bagaimana sekarang kau berani ganggu aku" Kenapa kau
sengaja hendak menggagalkan usahaku" Oh, dua makhluk
busuk, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!"
Sehabis mengucap demikian, kapan Kim Cit Loo
menoleh pada Twie in chioe, ia dapatkan Na Pek telah
menghilang hingga tak tertampak lagi bayangannya, maka, justeru ia benci si buta, ia kembali tuding pengganggu ini.
"Orang buta rudin, kau telah berani musuhkan Cit Loo coe, apakah kau berani juga perkenalkan dirimu?" katanya
dengan nyaring, "Tidak biasanya Cit Loo coe bikin
mampus segala boe beng siauw coet!"
Biji matanya si buta mencilak, hingga kelihatan lebih banyak putihnya daripada hitamnya, walaupun demikian, ia tertawa geli haha hihi. Ia tidak jadi gusar dikatakan "boe beng siauw coet" sebagai manusia tak punya guna.
"Kim Loo Sioe, jangan kau banyak lagak!" kata ia
dengan godaannya. "Tak perlu untuk aku sebutkan she dan namaku, karena aku si tua bangka, keujung langit aku pergi, tetap aku adalah aku. Kau billang kau tak sudi mampusi satu boe beng siauw coet, akan tetapi malam ini, kau justeru akan binasa di tangannya seorang yang tidak punya nama!
Kenapa kau masih, banyak tingkah" Baiklah kau pergi
mampus siang2!" Kim Cit Loo gusar tak kepalang.
"Kau rasailah liehaynya Cit Loo coe." ia berteriak seraya loncat menyerang dengan tipu pukulan "Beng houw coet
tong," atau "Harimau galak keluar dari guha." Ia loncat kedepan si buta, kedua tangannya keluar dengan berbareng menghajar muka lawannya.
Pat pou Kan siam Kim Loo Coe ada demikian gusar
hingga ia jadi nekat. Ia bersedia untuk korbankan nama
besarnya yang ia telah angkat selama tiga puluh tahun lebih ia telah turunkan tangan jahat.
Atas serangan berbahaya itu, si pengemis buta cuma
geraki sedikit tubuhnya, atau tahu2 ia sudah berkelit hingga kebelakang lawan.
Kim Loo Sioe ada sangat liehay, begitu lekas mengetahui ia menyerang tempat kosong, segera ia balik badan, ia memutar dengan kedua tangan berbareng naik kedepan
dadanya, dengan pukulan Cit seng ciang, "Tujuh bintang,"
ia bisa segera serang pula lawannya itu.
Diserang secara demikian hebat, si buta enjot tubuhnya, ia mencelat tinggi kedepan melewati atasan kepalanya Kim Loo Sioe!
Bukan kepalang penasarannya Kim Cit Loo karena dua
kali musuh lolos dari serangannya, kembali ia, putar
tubuhnya akan lompat menyusul guna menerjang terus
selagi orang baharu taruh kakinya ditanah! Ia telah
hunjukkan kegesitannya. Dengan kedua tangannya ia
serang kedua buah pinggang musuh dengan tipu gencetan
"kim kauw cian sie," atau "Gunting emas."
Kelihatannya, serangan agak nya mengenai sasarannya.
Si buta insyaf akan serangan yang berbahaya itu, yang anginnya mendahului menyamber, maka untuk bebaskan
diri, segera ia melenggak kebelakang, dengan tipu "Kim lie to coan po," atau "Tambra emas tembusi gelombang,"
hingga kepalanya, berikut tubuhnya, terlentang hampir mengenai tanah. Untuk ini, ia telah pinjam kekuatan kedua kakinya, yang tertekuk bagaikan jongkok. Tapi, begitu rebah, dengan bantuan kedua tangannya, yang dipakai
menekan tanah, tubuhnya melesat jauhnya dua tumbak,
hingga ia lolos dari ancaman bencana. Maka kembali ia berdiri tegak seperti biasa.
Kim Cit Loo melengak untuk orang punya kegesitan itu, lebih2 Kim tong Coei Pheng, yang insyaf bagaimana jauh beda ke pandaiannya apabila dibanding dengan kedua
orang tua itu. Ia insyaf, melayani Kim Loo Sioe ia benar2
menghadapi bahaya maut. Setelah berulang serangannya tak mengenai sasarannya, Kini Loo Sioe mendadak ingat siapa adanya musuhnya ini.
Maka itu, ketika ia lompat maju pula untuk mendekati, ia berseru "Pengemis buta rudin, jangan kau coba umpatkan kepala dan menonjolkan ekor! Sekarang Cit Loo coe ingat!
Kau pasti ada Kay Hiap Coei Peng! Baiklah, Kim Loo Sioe nanti adu jiwanya denganmu!"
Si orang buta yang berpura2 buta itu tertawa dingin.
"Kim Loo Sioe," katanya, "turut penglihatanku, ada
sukar untukmu akan hidup terlebih lama pula! Apakah kau sangka aku si pengemis melarat jerih terhadapmu?"
Kim Cit Loo sementara itu sudah datang dekat, segera ia kirim pula pukulannya dengan tipunya "Hek houw sin
yauw," atau "Harimau hitam lempangkan pinggang." Ia
telah menyerang dengan kedua tangannya berbareng.
Sekarang si buta berkelahi tanpa main kelit2 lagi, setelah egos tubuhnya, iapun balas menyerang dengan hebat,
disebelah enteng nya tubuh, ia gunai tipu silat Kim na chioe.
Mengetahui dengan siapa ia berhadapan, maka Kim Cit
Loo telah gunai kepandaiannya, walaupun demikian,
namun ia sibuk juga. Musuh ada terlalu gesit dan licin, semua serangannya dihalau dengan buang diri atau
tangkisan hebat, hingga beberapa kali ia mesti batalkan serangannya. Si pengemis rudin seperti main petak
dengannya, karena tubuhnya senantiasa berada didepan
atau dibelakangnya, dikiri atau dikanannya. Sampai belasan
jurus sudah lewat, begal ini masih belum bisa sekalipun mencolek saja tubuhnya musuh.
Tengah bertempur, tiba2 Kim Loo Sioe ingat kepada
orangsnya yang sampai waktu itu tidak satu yang muncul, maka diam2 ia mencuri lihat kesekitarnya. Malah dua
orangnya, yang tadi menjaga dimuka bio, sekarang lenyap juga!
Justeru itu, dengan sekonyong2 tubuhnya si pengemis
mencelat memisahkan diri sampai dua tumbak lebih,
setelah mana, dia tanya "Kim Loo Sioe, apa kau tetap tidak hendak terima nasib" Lihat kuil itu, api telah berkobar didalamnya! Lihat murid dan cucu muridmu, mereka
semua sudah terjatuh kedalam tangan orang lain! Urusan malam ini, apabila kau peserahkan nasib dan berhenti
sendiri, kau masih punya harapan akan pulang ke Ouwpak dengan masih hidup! Satu laki2 dalam sepak terjangnya mesti bisa menghitung, demikian kau! Kim Loo Sioe,
apabila kau turuti tabeatmu yang keras dan kau tetap
hendak adu jiwa dengan aku si pengemis tua, itu artinya kau hendak cari sengsara sendiri. Semua murid dan cucu muridmu itu, lagi sedikit lama, semua bakal hilang jiwanya, hingga kau mesti beli banyak peti mati untuk urus mereka, buat angkut mereka pulang ke Ouwpak! Baiklah aku
jelaskan lagi, kejadian malam ini adalah disebabkan
tindakanmu sebagai si kuat menindas si lemah, karena
mana aku si pengemis tua bersama2 Na Loo Toa terpaksa mencabut golok untuk bantu si lemah itu! Baik kau
mengerti, aku muncul bukannya karena diundang oleh Coei Piauwtauw yang pada lima ratus tahun yang lalu adalah orang sekeluargaku". Kim Loo Sioe, apabila kau tidak
puas, mari kita bertemu pula di Kanglam, aku si pengemis tua senantiasa bersiap untuk menyambutnya. Jikalau kau lakukan perbuatan bukan sebagai orang kangouw, jikalau
kau jerih terhadapku dan lalu kau cari piauwsoe she Coei itu, kecewa kau sebut dirimu satu laki2! Kau lihat!"
Segera si pengemis buta tetiron itu menunjuk ke timur selatan.
"Bukankah kau tahu tempat dimana api itu berkobar?"
kata ia, menyambungi kepada Iawannya. Diarah timur
selatan itu memang ada api yang menyala2. "Jikalau kau tidak lekas tolong! kawan2mu itu, kegagalan berarti
disebabkan olehmu, kaulah yang mesti tanggung jawab,
jangan sekali kau katai aku si pengemis kejam!"
Lalu, tanpa tunggu jawaban lawan itu, ia menoleh pada Coei Pheng "Coei Piauwtauw, kau hendak tunggu apa
lagi?" ia menegor. "Disini sudah tidak ada urusanmu pula!"
Kim Loo Sioe menoleh kearah timur selatan, iapun telah memandang kearah kuil, ia insyaf bahwa ia sudah gagal.
Seumur hidupnya belum pernah ia terima penghinaan
sebagai ini. Mendadak ia jadi sengit, tubuhnya segera mencelat
dalam gerakannya "Hoei yan touw lini," atau "Burung
walet terbang masuk kedalam rimba." Ia lompat kepada
Coei Peng yang ia lantas serang.
Coei Peng tidak hendak layani lagi begal yang liehay itu, begitu lihat orang lompat kepadanya, ia segera lompat dengan tipu "Ceng teng sam ciauw soei" atau "Capung tiga kali samber air," lalu diteruskan dengan "Yan coe hoei in ciong," atau "Burung walet terbang kedalam mega," ia
terus ber loncat2 hingga ia menghilang didalam ladang kaoliang yang lebat".
Kim Loo Sioe putus asa apabila ia tampak orang sudah
sembunyikan diri, sedang begitu, si piauwsoe Coei Pheng teriaki padanya "Kim, loo Sioe, jikalau kita berdua ada jodo, nanti kita bertemu pula didalam dunia kangouw!"
Dan terus piausoe ini melompat kejurusan belakang kuil untuk menghilang juga.
Kim Cit Loo lari kekuil. Begitu lekas ia bertindak
dipintu, ia tampak nyalanya api. Terang kebakaran itu ada perbuatan yang disengaja. Kapan ia melihat ke kamar
samping, disitu ia tampak dua orangnya sedang rebah
dilantai. Ia lompat pada mereka, untuk lihat dari dekat, maka ia dapat kenyataan mereka itu adalah korban2
totokan jalan darah. Lekas2 ia totok mereka untuk bikin mereka sedar pula, cuma saking lemas, tak bisa mereka itu lantas geraki kaki tangan seperti sediakala.
Tak dapat Kim Cit Loo tunggui mereka, maka itu ia lari pula keluar, terus keladang kaoliang, kearah kampung.
Ditengah jalan, dua kali ia bunyikan suitan. Tapi ia tidak peroleh sambutan. Maka benar2 ia insyaf bahwa orang
telah rubuhkan padanya. Kapan akhirnya jago tua ini sampai dikampung, ia
dapatkan orang2nya tidak kurang suatu apa, melainkan
mereka itu rebah malang melintang disana sini, ada yang ditotok hingga seperti gagu, ada yang ditotok jadi lemas tak berdaya, tidak ada satu yang mampu geraki tubuhnya.
Menampak demikian, sakit hatinya jago ini. Ia pun dengan terpaksa mesti totok sedar mereka itu.
Menurut keterangan sekalian murid dan cucu murid itu, benar2 mereka telah jadi korban nya Kay Hiap Coei Peng yang bekerja sama2 Twi in chioe Na Pek, Tritu saja mereka tak berdaya menghadapi dua jago itu.
Lantas Kim Cit Loo periksa tukang2 kereta, yang ia
tahan tapi ia dapatkan mereka itu sudah tidak ada, terang sudah bahwa mereka telah ditolongi.
"Jikalau aku tak balas sakit hati ini, tak ada muka aku hidup dalam dunia!" ia berseru dengan hati dirasakan sakit sekali.
Sampai disitu Kim Cit Loo ingat, harta rampasannya
masih ada didalam kuil, maka ia lantas ajak kawan2nya kembali kekuil itu. Akan tetapi, sesampainya mereka
didalam kuil, nyata bahwa harta itu juga sudah lenyap, terang sudah dibawa pergi oleh musuh. Itu artinya, dia roboh sempurna sekali
Mendongkol dan putus asa, Kim Cit Loo titahkan
orang2nya kum pulkan kuda mereka, untuk berkumpul
dimuka kuil. Selagi ia menantikan orangnya kembali, ia lihat cahaya api pelbagai lentera diarah barat utara, cahaya yang keluar dari antara pohon kaoliang. Pun sayup2
terdengar suara tindakan kaki kuda atau roda kereta yang berjalan dijalan besar".
Sebentar kemudian, siaplah semua kuda. Cit Loo segera loncat naik atas kudanya. Justeru itu dari antara ladang kaoliang disebelah kiri, ia dengar suara nyaring.
"Kim Cit Loo, urusan malam ini sudah selesai! Tapi Na Toa Hiap ada satu laki2 sejati, dia pun ingat akan kata2nya, maka jikalau kau tidak melupakan sakit hati, kau boleh menuntut balas sesukamu! Na Toa Hiap ada punya
rumahnya sendiri di Na chung, Coe cioe, meskipun
demikian, tak dapat aku terus menerus menyekap diri
didalam rumah, maka perlulah kau ini dapat penjelasan.
Sekarang aku hendak pulang ke Coe cioe, disana aku nanti tunggui kau sampai seratus hari, selama itu aku bersiap untuk layani kau, akan tetapi kalau tempo seratus hari
sudah lewat, maafkan aku, aku tidak bisa menantikan
terlebih lama pula! Syukur andai kata kita berdua bisa saling bertemu dalam dunia kang ouw. Sahabat baik, aku telah berani tanam bibit permusuhan, aku bertanggung jawab atas itu, jikalau kau pindahkan amarahmu kepada keluargaku, kau bukannya satu laki2, kau mirip dengan tikus tukang curi dan anjing tukang colong! Aku percaya kau, Kim Loo Sioe, tidak nanti kau sampai berbuat demikian hina dina!"
Kim Loo Sioe tertawa dingin.
"Na Toa Hiap, baiklah kita atur begini!" berkata ia
"Biarlah lain kali saja kita bertemu pula. Aku harap hari itu adalah hari terakhirmu. Nah, silahkan kau pergi!"
Kata2 ini disusul dengan gerakannya dua tubuh didalam ladang, lantas Na Pek lenyap terus.
Kim Cit Loo insyaf ia telah kalah, maka tak ayal lagi ia pulang langsung ke Ouwpak, ia bubarkan orang2nya, untuk ia yakinkan pula ilmu silatnya.
Kemudian untuk mencapai maksudnya, ia pergi
mengembara mencari guru. Ia larang orang2 nya
melanjutkan pekerjaan mereka kecuali sesudah ia kembali, ia ancam mereka dengan hukuman mati. Ia pergi ke Soe
coan, akan cari satu guru yang liehay, maksudnya ini tidak kesampaian, hingga ia mesti berkelana dipropinsi itu, juga di Inlam dan Kwie cioe. Dilain pihak, banyak orang tidak berani bergaul kepadanya karena ia kesohor kegalakannya.
Untuk beberapa tahun ia berkelana sampai akhirnya ia
sekap diri digunung Lo Houw San dimana ia yakin ilmu
silat Kim kong chioe. Ia sudah banyak umur, ada sulit untuk ia belajar sendiri. Tiga tahun ia melatih diri, walaupun belum sempurna tapi ia merasakan bahwa ia
telah maju jauh. Maka dengan diam2 ia kembali ke Kanglam, akan cari
musuh nya. Hasil penyelidikannya Kim Cit Loo membuat ia kecil
hati. Ia dapat kenyataan, Kay Hiap Coei Peng ada dimalui oleh siapa juga. Dan bersama si Pengemis Pendekar itu, ada lagi Tiat pit Pian Thian Sioe si Pit Besi yang liehay, yang bekerja sama.
Sudah banyak orang gagah yang salah perbuatannya
rubuh ditangannya dua orang itu. Maka kemudian, ketika ia dengar Boe Wie Yang dari Hong Bwee Pang sedang
kumpulkan orang2 gagah, ia pergi pada orang she Boe itu, yang terima ia dengan baik. Ia bisa berbuat banyak untuk Hong Bwee Pang itu. Ia ada punya cita2 lain, tentu saja ia tak puas berada dibawah perintah lain orang, walaupun orang itu ada Thian lam It Souw yang kenamaan. Untuk
apa ia telah siksa diri bertahun2" Ia hanya harap, didalam Hong Bwee Pang ia nanti ketemui orang2 liehay dengan
siapa ia bisa bersahabat, untuk saling tukar kepandaian.
Boe Wie Yang seorang yang bermata tajam, dengan


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelahan2 ia bisa lihat cita2nya. Kim Cit Loo, maka tak ayallagi ia masukkan jago Rimba Hijau ini kedalam Hok Sioe Torg bersama2 Tiat cie Kim wan Wic Thian Yoe,
untuk mereka hidup nganggur tetapi dengan bahagia.
Justeru dengan berdiam didalam Hok Sioe Tong, Kim Cit Loo telah berhasil memperoleh kemajuan, karena penghuni dari Gedung itu semua adalah orang liehay ilmu silatnya.
Didalam Hok Sioe Tong ada delapan penghuninya,
setelah Yauw Beng Long tiong Pauw Coe Wie dan Sam im
Ciat hoe ciang Lo Gie berontak dan kabur, lowongan itu Boe Wie Yang tutup dengan resmi dengan masuknya Tiat
cie Kim Wan Wie Thian Yoe dan Pat pou Kan siam Kim
Loo Sioe. Maka itu, dalam pertemuan persilatan di Ceng Giap San chung itu, Kim Cit Loo turut muncul. Kebetulan
untuk Cit Loo, dia telah bertemu dengan Na Pek, maka
ketika yang baik ini ia tidak mau sia2kan.
Na Pek pun tidak sangka yang ia bisa bertemu musuh
lama itu didalam sarang Hong Bwee Pang ini, tetapi ia tidak takut, dari itu, ia sambut tantangannya Kim Cit Loo. Ia melainkan mengerti, inilah saat mati atau hidupnya.
Naik diatas pelatok, Na Pek lantas tempatkan diri saling membelakangi dengan Na Hoo, adiknya, sedang diempat
penjuru mereka, delapan hiocoe Hok Sioe Tong ambil sikap mengurung.
Na Hoo sendiri ingin uji kepandaiannya Kim Cit Loo,
tentang siapa ia melainkan dengar dia adalah musuh
engkonya, yang sekian lama telah umpatkan diri.
Begitu lekas semua sudah siap dan tanda diberikan,
kedua pihak lantas mulai bergerak. Dua saudara Na
menggeser masing2 ke timur dan barat, untuk berputaran, sesudah mana Jie Hiap hampirkan Tee Hin Pang, yang
raenjaga diujung timur, atas mana Siang Kang Hie in Tee Hin Pang, Nelayan dari Siang Kang, menyambut dengan
serangannya "Heng sin Pa houw ciang". ("Menghajar
Harimau"), menyerang lengan lawannya.
Na Hoo berkelit, kaki kanannya menukar pelatok,
setelah itu tangan kanannya, dengan "Twie chong bong
goat," atau "Menolak jendela memandang bulan," ia
menyamber muka lawan, sedang tangan kirinya, dengan
"Tiat so heng cioe," atau "Dengan rantai gelang lintangkan perahu," ia serang pundak lawan dibagian sambungan.
Apabila ia berhasil, ia dapat bikin terlepas lengan lawannya itu.
Lekas Tee Hin Pang berkelit kekiri, akan kembali
kepelatok asalnya. Selagi begitu Na Hoo lihat kandanya sudah bergebrak
dengan Siang ciang Hoan thian Coei Hong, setelah itu, kanda ini memutar tubuh, hingga ia bisa duga sang kanda niat serang Yauw beng Kim Cit Loo. Menampak ini, ia
lantas mendahului. Ia memang berada lebih dekat dengan bekas jago Rimba Hijau itu, kedudukan siapa adanya di Say pak Kian wie yaitu, pelatok "Kian," di barat utara. Untuk ini, ia telah loncati lima pelatok.
Kim Cit Loo sedang nantikan Toa Hiap, kapan ia lihat
datangnya Jie Hiap, dalam hatinya ia kata "Baiklah! Lebih dahulu aku bereskan kau, baharu musuhku itu!" Ia lantas geraki kakinya untuk maju, akan papaki lawan ini, ia geraki kedua tangannya dalam gerakan penyerangan "Siang liong chio coe," atau "Sepasang naga berebut mutiara."
Sasarannya adalah jalan darah "Tay tie hiat" dikedua
bawah buah dada. Na Hoo cuma pernah dengar Toa Hiap bilang bahwa
lawan ini liehay, belum pernah ia membuktikan sendiri, maka sekarang, melihat serangan lawan itu, ia tidak mau menyingkir, bahkan dengan "Ya ma hoen cong," atau
"kuda liar memecah suri," ia hendak gempur kedua tangan jago itu.
Dengan percobaannya ini, tanpa merasa Jie Hiap sedang hadapi ancaman, karena umumnya sedikitnya ia mesti
terguling jatuh dari pelatok.
Toa Hiap lihat sikap adiknya itu, ia insyaf akan bahaya bagi sang adik. Kebetulan ia sedang lompat kepada musuh, jaraknya tinggal dua tindak lagi, dari itu dengan satu enjotan pula ia maju untuk gempur pundak kiri Cit Loo dibahagian yang kosong. Ia menyerang dengan kedua
tangannya sambil menyerukan "Loo Jie mundur!"
Dalam keadaan seperti itu, berbahaya adalah kedudukannya Yauw beng Kim Cit Loo, karena tak dapat
ia menangkis serangan itu. Ia tidak terkena secara hebat akan tetapi ia merasakan tekanan sangat berat kepada
Memburu Iblis 14 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8
^