Pencarian

Gajahmada 10

Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 10


Kartika Sinumping membalas sapaan itu. Sebatang watang dilepas ke udara, membubung memanjat naik.
Dari kegelapan muncul orang yang mendekatinya.
"Debu-debu berhamburan di malam gelap gulita," terdengar sebuah sapa sandi.
"Ada gadis menangis meratapi kematian suami!" Kartika Sinumping menjawab sebagaimana petunjuk yang diberikan oleh Arya Tadah.
Kalimat sandi telah berjawab dengan tepat, Kartika Sinumping merasa memperoleh hubungan dengan orang-orang yang telah disiapkan lebih dulu oleh Arya Tadah. Gerakan mereka dan segala serangan gerilya lentur menyesuikan diri dengan kekuatan, yaitu melalui serang dan lari, siapa menyangka irama serangan itu berasal dari ayunan tangan Arya Tadah dari tempat persembunyiannya.
"Ikut aku," sapa seseorang yang menampakkan diri.
Kartika Sinumping bergegas mengikutinya menuju pintu belakang, Gajahmada 529
memasuki rumah yang ternyata merupakan tempat berkumpul orang-orang yang sebagian besar dikenalnya, sebagian dari mereka adalah prajurit dari kesatuan Jalapati yang telah ditinggalkan Rakrian Temenggung Banyak Sora. Wajah-wajah beku di ruangan itu menyebabkan Kartika Sinumping berdebar-debar. Wajah Lurah Prajurit Sindu Suramarta, Liman Prabowo, Simaring Japanan, Bramas Sindupati, Brajalama, Hayam Talun, Tabuh Gong, Panji Wiragati, dan yang menarik perhatiannya adalah keberadaan Gajahsari.
Senyap mereka yang berada di rumah itu melihat kemunculan Kartika Sinumping, salah seorang dari bagian pasukan Bhayangkara setelah beberapa hari lamanya Bhayangkara itu lenyap tidak ketahuan jejak dan kabarnya. Teka-teki keberadaan Bhayangkara adalah juga teka-teki keselamatan Jayanegara.
"Tuanku Jayanegara berada di tempat yang aman," Bhayangkara Kartika Sinumping langsung membuka pembicaraan. "Kakang Bekel Gajahmada dan para Bhayangkara yang lain mengawal Tuanku Baginda ke sebuah tempat hingga diperoleh jaminan Ra Kuti tidak mungkin menjangkaunya. Bhayangkara kemudian akan kembali untuk merebut kekuasaan dari tangan Ra Kuti, sebagai cucuk lampah untuk itu, aku ditunjuk oleh Kakang Bekel Gajahmada dan Sri Baginda untuk melempangkan jalan ke sana."
Tanpa basa-basi, Bhayangkara Kartika Sinumping membuka baju luar yang dikenakannya. Di lapisan baju dalam, lencana gemerlap ber-teretes-kan permata milik Sri Jayanegara menjadi pertanda yang tidak terbantah. Keberadaan Kartika Sinumping benar-benar tak ubahnya kehadiran Sri Baginda itu sendiri.
Maka serentak semua yang hadir memberikan penghormatannya.
Pandangan mata Kartika Sinumping tertuju kepada wajah Lurah Prajurit Gajahsari. Alis Kartika Sinumping sedikit mencuat.
"Prajurit Gajahsari," berdesis Kartika Sinumping. "Bagaimana kaubisa menjelaskan keberadaanmu di sini?"
Lurah Prajurit Gajahsari berdiri tegak.
530 Gajahmada "Atas permintaan Rakrian Yuyu, Paman Arya Tadah menugasi aku menjadi bagian dari kesatuannya, justru dengan demikian aku mengetahui lebih dini apa yang terjadi ini," jawab Gajahsari.
Kartika Sinumping mencuatkan alisnya.
"Sejak kapan Paman Tadah memberikan tugas itu kepadamu?"
kejar Kartika Sinumping. "Juga, pertanda apa yang diberikan Paman Tadah kepadamu" Yang aku ketahui, dalam perjalanan menyelamatkan Tuanku Jayanegara, kami Bhayangkara telah direpotkan oleh keberadaan telik sandi Ra Kuti."
Gajahsari membuka lapisan luar dari baju yang dikenakannya.
Perhatian Kartika Sinumping tertuju kepada lencana yang dikenalinya sebagai tanda pengenal rahasia yang diberikan Arya Tadah kepada orang-orang yang amat dipercaya dalam rangka melaksanakan tugas amat khusus.
"Jadi, selama ini Paman Patih Arya Tadah memintamu untuk mengamati sepak terjang Ra Kuti?" bertanya Kartika Sinumping.
"Tidak," jawab Gajahsari. "Aku melakukannya sendiri dan telah melaporkan kepada Paman Tadah, tetapi Paman Tadah tidak memercayai laporanku."
Kartika Sinumping tak bisa mencegah dirinya untuk tidak curiga.
"Paman Tadah tidak memercayai laporanmu?"
Kartika Sinumping belum sepenuhnya percaya. Namun, lencana yang dimiliki Lurah Prajurit Gajahsari itu benar-benar milik Arya Tadah.
Benarkah Gajahsari mendapatkan lencana itu dari Arya Tadah atau menemukannya karena benda itu terjatuh" Ulah telik sandi yang menyusup dan berada di tubuh pasukan Bhayangkara menjadi pelajaran bagi Kartika Sinumping untuk tidak gampang percaya, meski Gajahsari memegang lencana milik Arya Tadah.
Namun, suara batuk Arya Tadah mengagetkan Kartika Sinumping.
Dari salah satu pintu, Arya Tadah yang tua itu masuk tanpa disertai Gajahmada 531
siapa pun. Dalam penyamaran dengan penampilan berbeda, sulit menduga orang itu adalah Arya Tadah. Serentak semua yang hadir di ruangan itu memberikan penghormatannya kepada Arya Tadah. Dengan senyumnya yang sangat khas, Arya Tadah memandang Kartika Sinumping.
"Kau membutuhkan keterangan mengenai Gajahsari?" tanya Tadah.
Kartika Sinumping tersenyum.
"Bhayangkara telah banyak mengenyam kerepotan Paman, sikapku hanya kewaspadaan."
"Jangan kaucurigai Gajahsari, justru kau harus memanfaatkan keberadaannya yang leluasa di sebelah Ra Kuti."
Kartika Sinumping memandang Gajahsari dengan tatapan mata tajam dan kening sampai berkerut-kerut. Bagaimanapun ada sesuatu yang membuat Kartika Sinumping merasa tidak nyaman.
"Apakah dengan demikian kautahu, siapa telik sandi yang menyusup ke tubuh Bhayangkara?"
Gajahsari membalas dengan tatapan mata tajam.
"Aku tidak yakin kecuali aku hanya bisa mengatakan, ada Bhayangkara yang sering menemui Ra Pangsa."
Kartika Sinumping penasaran.
"Siapa?" kejarnya dengan tegas.
"Yang terlihat sering menemui Ra Pangsa adalah Panji Saprang, sekali aku melihat Singa Parepen menemui Ra Banyak. Aku tidak bisa mengambil simpulan apakah yang demikian sudah bisa dianggap sebagai telik sandi atau belum. Belakangan aku merasa yakin Singa Parepen orangnya karena beberapa kali Ra Kuti menyebut namanya," jawab Gajahsari.
Kartika Sinumping tambah penasaran.
"Apa kata Ra Kuti?"
532 Gajahmada "Ra Kuti menanyai Ra Yuyu, sudah ada berita dari Singa Parepen belum" Demikian yang ditanyakan Ra Kuti sehingga aku bisa mengambil simpulan, Singa Parepen telik sandi itu."
Beberapa saat Kartika Sinumping terdiam. Nama Singa Parepen disebut oleh Gajahsari seketika membuat Kartika Sinumping gelisah.
Kedekatannya dengan Singa Parepen menyebabkan ia tidak yakin, tetapi bisa jadi Singa Parepen orang yang dicari Gajahmada sebagaimana yang diucapkan Gajahsari. Bila telik sandi itu belum di-belejeti topengnya, Sri Jayanegara masih berada dalam bahaya.
"Semoga Kakang Bekel Gajahmada bisa menangkap mata-mata itu," berkata Kartika Sinumping dalam hati.
Kepada yang hadir di ruangan itu, Kartika Sinumping menjelaskan hal-hal yang telah dilakukan pasukan Bhayangkara. Keselamatan Sri Jayanegara merupakan masalah yang paling penting dan melegakan.
Persoalan yang membentang di depan adalah bagaimana membalas perbuatan Ra Kuti dengan menjungkalkannya dari dampar yang bukan haknya.
Dipimpin langsung oleh Arya Tadah yang meski sudah tua, tidak patah semangat, berbagai masalah kemudian dibahas dan dirancang.
Tidak menunggu besok atau lusa, beberapa tindakan penting harus dilaksanakan pada malam itu pula.
"Kaubisa melaksanakan itu, Gajahsari?" bertanya Kartika Sinumping dengan suara dalam.
"Bisa, akan aku laksanakan," jawab Gajahsari.
"Tugasmu termasuk berbahaya."
"Tak masalah, aku bisa. Aku yakin bisa melumpuhkan kekuatan pasukan berkuda. Apa arti pasukan berkuda tanpa kuda."
"Ada berapa jumlah kuda yang tersisa?" kembali Kartika Sinumping melengkapi.
"Masih ada seratus lebih," jawab Gajahsari.
Gajahmada 533 Kartika Sinumping dan Arya Tadah saling pandang.
"Banyak sekali!" desis Kartika Sinumping.
"Semua kuda milik rakyat dirampas dengan alasan negara saat ini sedang membutuhkan kuda-kuda itu. Kuda terbanyak yang dirampas adakah milik pedagang kuda, Ki Jayengsuro."
Kartika Sinumping menggaruk-garuk rambutnya. Gelung kelingnya lepas, tetapi tidak ada niat baginya untuk merapikan rambutnya yang kini terurai sebagaimana Arya Tadah juga mengurai ikatan rambutnya.
"Bagaimana kalau kita berikan umpan balik, siapa tahu Ra Kuti menelan umpan itu?" ucap Tadah.
"Maksud Paman?"
Arya Tadah memandang Kartika Sinumping, lalu menebarkan pandangan matanya ke segenap yang hadir. Lurah Prajurit Sindu Suramarta tidak menggeser sejengkal pun arah tatapan matanya dari Arya Tadah, demikian juga dengan Liman Prabowo, Simaring Japanan, Bramas Sindupati, Brajalama, Hayam Talun, Lamatan, Tabuh Gong, dan Panji Wiragati.
"Ra Kuti sedang membutuhkan arah ke mana harus mengejar Jayanegara. Ra Kuti sedang kehilangan hubungan dengan Singa Parepen.
Kurasa Rakrian Kuti akan menelan mentah-mentah bila Gajahsari mengaku dihubungi oleh telik sandi itu dan dimintai tolong menyampaikan pesan penting."
Wajah Kartika Sinumping berbinar setelah menyimak apa yang dikatakan Arya Tadah.
"Sambit Purwahantara," desis Kartika Sinumping.
"Ke mana?" tanya Arya tadah yang tidak begitu mendengar.
"Umpan itu ke Sambit Purwahantara," tegas Kartika Sinumping.
Gajahsari diam, tetapi menghafalkan nama yang baru disebut itu.
Arya Tadah mendekati Gajahsari dan menepuk pundaknya.
534 Gajahmada "Lepas umpan itu, mungkin tak langsung ke Ra Kuti, kaubisa memberikan kepada Ra Banyak, Ra Wedeng, atau Ra Yuyu!"
"Akan aku lakukan Paman!"
Kartika Sinumping mondar-mandir sejenak.
"Berangkatlah sekarang."
Gajahsari menyalami teman-temannya dengan penuh semangat. Tak lupa Gajahsari memberikan penghormatannya kepada Arya Tadah dan Kartika Sinumping. Kartika Sinumping menyempatkan mengintip dari pintu yang sedikit terbuka untuk meyakinkan diri, Gajahsari telah melintas dinding pekarangan belakang.
"Menurut Paman, Gajahsari bisa dipercaya?"
"Aku amat memercayainya," jawab Tadah. "Ia orang yang pertama memberitahuku tentang adanya kegiatan aneh yang dilakukan Ra Kuti, sayang aku tidak begitu memerhatikan peringatan yang diberikannya."
Apabila Kartika Sinumping masih belum percaya sepenuhnya, hal itu disimpannya jauh di dalam hati. Barulah apabila Gajahsari mampu memberikan bukti nyata, Kartika Sinumping bahkan akan memberi tugas yang jauh lebih besar kepada Gajahsari karena pada dasarnya memang diperlukan orang yang bisa ditempatkan amat dekat di sebelah Ra Kuti yang bisa dijadikan kepanjangan mata dan telinga.
"Paman Tadah, siapakah nama pemilik rumah yang berada di sebelah Paman?"
Tadah menatap Kartika Sinumping, tetapi tidak ada niat untuk membalas bertanya mengapa Kartika Sinumping menanyakan itu.
"Sebelah kanan rumah Ajar Gumolong, sebelah kiri rumah Praharsi Durpa! Rumah Praharsi Durpa saat ini kosong ditinggalkan penghuninya," jawab Tadah.
Kembali Kartika Sinumping diam membeku, amat susah menebak apa yang sedang berkecamuk di benaknya. Kartika Sinumping menebar tatapan matanya dan hinggap ke raut wajah Liman Prabowo, Simaring Japanan, Bramas Sindupati, dan Brajalama. Kartika Sinumping mencoba Gajahmada 535
menakar isi hati keempat orang itu karena jika ada seorang saja di antara mereka yang ternyata kaki tangan Ra Kuti, rencana besar yang disusunnya akan mentah tidak ada hasil dan manfaatnya.
"Aku berharap mereka bersih semua," ucap Bhayangkara Kartika Sinumping dalam hati.
Lorong bawah tanah yang menghubungkan wisma kepatihan dan istana sungguh menggelitik hati Kartika Sinumping.
"Liman Prabowo, Simaring Japanan, Bramas Sindupati, dan kau Brajalama. Aku ada sebuah tugas untuk kalian, siap?"
"Siap!" serentak jawab mereka yang disebut namanya.
"Kuasai rumah Praharsi Durpa. Aku membutuhkan pengamatan terhadap wisma kepatihan, tetapi jangan ganggu wisma kepatihan.
Brajalama aku tempatkan sebagai pemimpin. Lakukan sekarang juga."
Dengan penuh semangat Brajalama melaksanakan tugas itu. Arya Tadah memberikan restunya dengan menepuk-nepuk pundak mereka.
Liman Prabowo yang sangat terluka hatinya oleh perbuatan Ra Kuti agak berlinang matanya ketika mencium tangan Arya Tadah.
Suasana bertambah hening dengan berkurangnya mereka yang memperoleh pembagian tugas. Wajah Sindu Suramarta, Hayam Talun, Lamatan, Tabuh Gong, dan Panji Wiragati, masing-masing berharap akan ada tugas yang bisa mereka kerjakan. Kartika Sinumping menggerayangi wajah-wajah mereka melalui tatapan mata tajamnya.
"Malam ini, kita bakar bangsal Jalapati dan Jala Rananggana, bisakah kita melakukan?"
Tabuh Gong dan Panji Wiragati terbelalak. Tugas itu terlampau berat untuk dilakukan.
Namun, Bhayangkara Kartika Sinumping mencabut endong yang melekat di punggungnya. Endong berisi puluhan anak panah sanderan berapi itu ditumpahkan ke lantai.
Malam yang bergulir tentu masih merupakan malam yang berlepotan mimpi buruk bagi siapa pun. Di kesatrian Jalayuda dan Jala 536
Gajahmada Rananggana, bojana handrawina yang berlebihan diadakan untuk menggembirakan para prajurit atas nama keberhasilan mereka menjungkalkan Jayanegara. Minuman tuak yang bikin mabuk terhidang bersama puluhan perempuan planyahan yang bertugas menghibur mereka.
Gelak tawa riuh dari semua sudut, berbaur umpatan dan ternyata juga ada tangis yang berasal dari beberapa perempuan bernasib malang yang dipaksa untuk melengkapi acara gila-gilaan yang diselenggarakan.
Dalam tiga hari, setidaknya tiga ekor sapi telah disembelih, sementara untuk mendidihkan hasrat, puluhan bumbung tuak ludes ditenggak bersama-sama. Lewat cara seperti itulah Ra Kuti merasa lebih mudah mengendalikannya karena dengan pikiran waras bisa jadi mereka malah menimbulkan banyak masalah. Atau, dengan dibuat gembira seperti itu kesetiaan mereka akan makin menebal.
"Benar-benar gila," ucap Bhayangkara Kartika Sinumping yang telah merapat pada jarak cukup dekat dengan bangsal kesatrian itu.
Di sebelah Kartika Sinumping, Panji Wiragati dan Tabuh Gong merasa isi dadanya ikut mendidih. Suara tawa perempuan dengan nada melengking tinggi dari kedalaman bangsal kesatrian itu menjadi gambaran betapa rusaknya tatanan. Di mana-mana kini orang bisa berbuat seenaknya sendiri, bahkan mengambil harta orang lain pun tidak masalah. Tak jauh dari mereka berdiri, Sindu Suramarta dan Hayam Talun memegang erat gendewa di tangan kirinya.
Melalui isyarat tangannya, Kartika Sinumping memberi perintah.
Serentak beberapa watang dipasang sekaligus dengan arah bidik yang telah ditentukan. Prajurit Panji Wiragati yang memegang obor membantu menyalakan kain berbalut getah pinus yang melekat di ujung semua anak panah. Sejenak kemudian suara desing susul-menyusul melontarkan puluhan warastra dengan sasaran atap bangsal kesatrian. Dengan bidikan yang mengena sasaran Bhayangkara Kartika Sinumping menghajar dinding kayu yang sudah mulai lapuk. Api yang melekat di ujung anak panah, pelan, tetapi pasti akan berkembang menjadi kobaran yang membakar wisma.
Apa yang mereka lakukan entah mengapa sama sekali tidak disadari mereka yang berada di dalam kegembiraan tak berbatas itu.
Gajahmada 537 "Kita tinggalkan tempat ini," Kartika Sinumping memberi perintah.
"Bangsal kesatrian Jala Rananggana sasaran kita berikutnya."
Dengan gesit seperti langkah kucing tanpa meninggalkan suara, Kartika Sinumping dan teman-temannya melenyapkan diri. Dengan mudah mereka menghilang tenggelam di kegelapan malam meninggalkan bibit kobaran yang sama sekali tidak disadari oleh penghuni bangsal kesatrian Jalapati. Justru prajurit yang berada di gerbang Purawaktra yang paling awal mengetahui.
"He, kaulihat itu!" teriak salah seorang prajurit.
"Rumah siapa yang terbakar itu?"
Semua memerhatikan, salah seorang di antaranya berlari menuju kentongan besar yang menggantung di Purawaktra.
"He, itu kesatrian Jalapati," teriak seorang prajurit.
Keheningan malam itu sontak pecah oleh suara titir isyarat kebakaran yang dipukul bertalu-talu, gayung bersambut, sapa titir itu dibalas dari tempat lain. Para prajurit berloncatan menyiagakan diri. Dalam hitungan waktu tak terlalu lama, Ra Kuti memperoleh laporannya.
"Apa yang terjadi?"
Ra Wedeng melekatkan dua tangan di ujung hidungnya, diarahkan itu pada Ra Kuti, sikap penghormatan yang menyebabkan Ra Kuti menjadi senang.
"Kebakaran terjadi di kesatrian Jalapati."
Wajah Ra Kuti berubah menjadi amat tegang.
Dengan pengawalan sangat ketat Ra Kuti turun ke pintu utama Tatag Rambat dan dari tempatnya berada dengan jelas Ra Kuti menyaksikan bibit api mulai berkobar membakar bangsal kesatrian Jalapati. Menggigil Ra Kuti manakala sejenak kemudian melihat beberapa kali anak panah berapi melesat dari arah lain. Bangsal kesatrian Jala Rananggana juga menjadi sasaran pembakaran. Bibit api yang ditanam dengan melekatkan ke ujung anak panah segera beranak pinak, tumbuh dengan suburnya.
538 Gajahmada "Bhayangkara keparat," umpat Ra Kuti yang tidak bisa lagi menahan diri. "Tidak adakah orang yang bisa menjegal ulah para pengecut itu?"
Api berkobar makin besar di bagian atap yang dengan segera panas dan asapnya mengepung seisi bangsal menimbulkan kepanikan luar biasa.
Bahwa segenap mereka yang berada di bangsal itu sedang kehilangan sebagian kesadarannya karena mabuk minuman tuak menyebabkan mereka terlambat menyadari keadaan.
"Ada apa ini?" terdengar suara dari seseorang dengan suara menggelombang.
"Udaranya hangat," tambah yang lain.
Sementara beberapa orang yang kesadarannya masih utuh berteriak-teriak panik, "Bangsal kebakaran, cepat selamatkan diri."
Beberapa perempuan yang dipanggil untuk menghibur panik luar biasa. Mereka menjerit-jerit ketakutan. Di antaranya bahkan ada yang pingsan, tetapi seorang prajurit segera membopongnya.
Meski sebagian kesadaran lenyap karena terampas oleh pengaruh tuak, para prajurit yang kehilangan sebagian kesadaran itu masih bisa merasakan panas api. Sebagian dari mereka kebingungan dan hanya berputar-putar, sebagian yang lain berhamburan menuju pintu. Akan tetapi, nasib malang memang bisa menimpa siapa saja. Seorang prajurit mabuk berat masih juga belum menyadari ketika percikan api mulai menyulut pakaian yang dikenakannya.
Berbeda dengan bangsal kesatrian Jalapati, segenap prajurit di bangsal Jala Rananggana baru saja memulai bojana handrawina manakala asap mulai menjamah bangsal mereka. Asal api pun dengan segera diketahui. Dengan sigap para prajurit dari bangsal kesatrian yang sebelumnya dipimpin oleh Temenggung Pujut Luntar itu mengejar mereka yang telah menanam bibit api di atap bangunan mereka, tetapi sesigap itu pula Kartika Sinumping dan teman-temannya melenyapkan jejaknya, tenggelam oleh gelap malam yang dikemuli mendung, apalagi malam dipeluk kabut yang turun lamat-lamat.
Gajahmada 539 Muncrat segala macam sumpah serapah dari mulut Ra Kuti manakala semua laporan telah masuk dan diterimanya.
"Mereka benar-benar mengganggu ketenanganku. Aku tak bisa tidur gara-gara permainan cara pengecut yang dilakukan orang-orang itu."
Ra Kuti mondar-mandir merasakan pening yang berdenyut-denyut di benaknya. Ra Tanca membeku bersandar dinding memerhatikan apa pun yang menjadi ulahnya.
Pada saat yang demikian itulah, Ra Yuyu yang membawa seseorang mencuri perhatian Ra Kuti.
"Ada apa?" tanya Ra Kuti.
"Orang ini membawa berita yang kita butuhkan," jawab Ra Yuyu.
Ra Kuti sedikit mengerutkan keningnya.
"Berita apa?" Orang yang dibawa menghadap oleh Ra Yuyu adalah Prajurit Gajahsari yang dengan segera Ra Kuti mengenalinya manakala cahaya obor yang ditancapkan di sudut istana menerangi wajahnya.
"Kamu Gajahsari?" tanya Ra Kuti.
"Hamba Tuanku," jawab Prajurit Gajahsari sambil melekatkan tangan di ujung hidungnya.
"Apa yang akan kamu sampaikan kepadaku?" bertanya Ra Kuti.
"Ampun Tuanku," jawab Gajahsari. "Hamba menerima pesan dari seseorang yang hamba tidak mengenalinya karena setelah berbicara, orang itu pergi begitu saja. Pesan itu harus hamba sampaikan kepada Rakrian Dharmaputra Winehsuka Yuyu. Orang yang menemui hamba itu mengaku mendapat titipan pesan dari Bhayangkara Singa Parepen."
Berdesir tajam Rakrian Kuti. Ra Yuyu dan Ra Tanca saling melirik.
"Apa bunyi pesan itu?" bertanya Ra Kuti.
540 Gajahmada "Hanya tiga kata Tuanku, pesan itu berbunyi Lurah Sambit Purwahantara."
Ra Kuti segera mengerutkan keningnya.
"Sambit Purwahantara?" ulang Ra Kuti.
"Hamba Tuanku," jawab Gajahsari.
Ra Kuti amat perlahan menggeser arah pandangan matanya dari wajah Gajahsari, diarahkan tatapan matanya itu ke muka Ra Yuyu yang membeku. Di sebelah Ra Yuyu, Ra Pangsa mengerutkan kening sambil mengelus-elus gagang senjata yang dipegangnya.
"Apakah ada pesan yang lain yang dititipkan orang itu kepadamu?"
Gajahsari kembali melekatkan dua telapak tangannya.
"Tidak, Tuanku," jawab Gajahsari tegas.
"Baiklah," Ra Kuti berkata pelan seperti tak bersemangat.
"Kuizinkan kau meninggalkan tempat ini."
Dalam hati Prajurit Gajahsari berharap ingin tetap berada di tempat itu dan bisa mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan Ra Kuti, tetapi Ra Kuti telah mengusirnya.
"Sambit Purwahantara," desis Ra Kuti. "Di mana tempat itu" Jika aku tidak salah, baru kali ini telingaku mendengar nama itu! Sambit Purwahantara, bukankah itu nama sebuah tempat" Di mana tempat itu?"
Tak seorang pun menjawab.
Ra Kuti menggeser pandangan matanya kepada Ra Banyak. Akan tetapi, Ra Banyak mendahului menggelengkan kepala sebelum Ra Kuti bertanya. Demikian juga Ra Wedeng dan Ra Pangsa. Hingga akhirnya pandangan mata Rakrian Dharmaputra Winehsuka Ra Kuti hinggap di permukaan wajah Ra Tanca.
"Itu sebuah tempat yang kalau kita mendatanginya memerlukan waktu berkuda tiga hari," ucap Tanca.
Gajahmada 541 Ra Kuti menunggu Ra Tanca melanjutkan. Namun, Ra Tanca balas menunggu Ra Kuti berbicara.
"Di mana tempat itu?"
"Madiun menuju ke arah laut selatan melewati sebuah desa yang padat penduduk bernama Ponorogo, di sana tempat yang baru disebutkan itu berada."
Ra Kuti mengepalkan tangannya, dari tempatnya berada kobaran api yang melahap bangsal kesatrian Jalapati dan Jala Rananggana berkobar makin menggila.
"Aku tidak peduli seberapa jauh jarak yang harus ditempuh," Ra Kuti berteriak. "Dan aku juga tidak peduli seberapa banyak pasukan yang diperlukan, datangi tempat yang kaumaksud itu. Aku ingin kepala Kalagemet dikalungi dadung dan diseret menghadapku. Tanganku sendiri nanti yang akan mengayunkan pedang untuk memenggal pimpinan Bhayangkara."
Ruangan itu tetap hening.
"Tidak ada yang mendengar perintahku?" Ra Kuti berteriak melihat kebekuan itu. "Mengapa tidak ada yang bergegas melaksanakan perintahku?"
Ra Banyak bertindak agak sigap. Melalui berbagai cara telah berhasil dihimpun kuda seratus ekor lebih untuk mendukung perintah itu. Pada dasarnya pasukan yang harus melaksanakan perintah itu telah disiagakan, sewaktu-waktu siap untuk digerakkan. Namun, pasukan yang siap digerakkan setiap saat itu rupanya terganggu oleh kebakaran dan diperlukan waktu untuk mengumpulkan mereka yang cerai-berai.
Carut-marut isi kepala Ra Kuti, sementara betapa retak isi benak Mahapatih Arya Tadah yang berada dalam perjalanan kembali menuju persembunyiannya. Bintang-bintang di langit tidak tampak, disapu mendung tebal. Padahal, betapa inginnya Arya Tadah menyaksikan wujud bintang kemukus dengan ekornya yang memanjang, kemunculan bintang yang oleh banyak orang diyakini merupakan pertanda terjadinya peristiwa besar sebagaimana sekian tahun di masa lampau pada saat dirinya masih 542
Gajahmada muda, sempat menyaksikan bintang yang sama menghiasi langit menjelang Sri Kertanegara pralaya digilas banjir bandang pasukan Kediri di bawah Jayakatwang.
"Semoga Kartika Sinumping dilindungi penguasa jagat raya ini,"
ucap lelaki tua itu. Bhayangkara Kartika Sinumping memandang buah perbuatannya dari kejauhan. Di sebelahnya Tabuh Gong dan Panji Wiragati meluap isi dadanya oleh pemandangan yang luar biasa. Bangunan besar manakala terbakar ternyata menimbulkan api yang sangat besar, membubung dahana meranjab dua bangsal yang dihuni para prajurit kaki tangan Ra Kuti. Sindu Suramarta dan Hayam Talun membeku memerhatikan buah dari perbuatannya.
"Kita menyusul Brajalama," mendadak Bhayangkara Kartika Sinumping memberi perintah.
Di rumah Praharsi Durpa, bersebelahan wisma kediaman Patih Tadah, Liman Prabowo, Simaring Japanan, Bramas Sindupati, dan Brajalama kebingungan karena tak tahu apa yang harus dikerjakan setelah mereka berada di rumah Praharsi Durpa. Rumah itu telah kosong ditinggalkan oleh penghuninya, tidak ada apa pun yang menarik perhatian di rumah itu. Yang mencuri perhatian mereka justru kegiatan yang terjadi di wisma kepatihan. Beberapa prajurit tampak hiruk-pikuk dan beberapa di antaranya terlihat mengusung mayat. Dari rumah Praharsi Durpa bisa terdengar dengan jelas berbagai umpatan berasal dari wisma kepatihan itu. Ulah pemanah gelap itu menyebabkan segala sumpah serapah dilontarkan.
"Apa yang kita lakukan?" bertanya Liman Prabowo.
"Aku tak tahu," jawab Simaring Japanan dengan tak kalah berbisik.
"Tugas kita mengamati kesibukan di wisma kepatihan," jawab Brajalama. "Tetapi, kita tidak boleh melakukan apa pun. Yang kita kerjakan hanyalah mengamati. Bersin pun kita tidak boleh."
Malam menukik lebih tajam, mendung yang semula menebar di segala penjuru batal menurunkan hujan. Bintang-bintang tampak Gajahmada 543
gemerlapan di penjuru langit. Kartika Sinumping bersama Tabuh Gong, Panji Wiragati, Sindu Suramarta, dan Hayam Talun telah mendekat ke rumah Praharsi Durpa ketika terdengar derap kuda banyak sekali. Dengan bergegas mereka bertiga menempatkan diri untuk bisa melihat dengan jelas siapa mereka yang berkuda sedemikian banyak dan riuh itu.
Akan tetapi, Bhayangkara Kartika Sinumping segera sampai pada sebuah dugaan yang ternyata benar. Derap kuda dalam jumlah sangat banyak itu semua tanpa penunggang. Hanya di bagian belakang dan samping-menyamping terlihat empat orang dengan suara lecutan cambuk yang meledak-ledak menggiring puluhan kuda itu menuju pintu gerbang timur.
"Gajahsari berhasil," ucap Tabuh Gong nyaris berteriak.
"Ssssssst, jangan keras-keras," Panji Wiragati mengingatkan.
"Tetapi, mengapa ada empat orang?" tambah Tabuh Gong.
Meski tidak mengucapkan jawaban, Kartika Sinumping tahu Gajahsari tentu melibatkan tiga temannya yang lain. Untuk menggiring puluhan kuda menuju sebuah arah tentu diperlukan lebih dari seorang.
Kartika Sinumping tersenyum melihat rombongan kuda itu bergerak lurus menyusur jalan ke arah timur, di mana melalui pintu gerbang timur nantinya kuda-kuda itu akan diarahkan ke sebuah tempat yang telah disepakati. Sebenarnyalah sebagaimana yang dibayangkan Bhayangkara Kartika Sinumping, prajurit pintu gerbang timur mengira pasukan berkuda sedang digerakkan menuju ke sebuah arah. Itulah sebabnya, pintu gerbang yang ditutup segera dibuka untuk memberi jalan, namun siapa mengira kuda-kuda itu tanpa penumpang.
"He, kenapa kuda-kuda itu tanpa penunggang?" salah seorang prajurit berteriak-teriak.
Namun terlambat, kuda terakhir telah melintas diiringi oleh para pencuri yang melecut-lecutkan cambuknya dengan riuh. Ciut nyali prajurit penjaga gerbang itu karena sejenak kemudian terdengar anak panah sanderan yang melesat membubung ke udara, dengan nada yang amat mudah dikenali.
544 Gajahmada "Kejar mereka," terdengar teriakan dari bangunan penjagaan.
"Kejar pakai apa?" balas sebuah suara.
Para prajurit penjaga gerbang kotaraja bagian timur itu hanya bisa bingung tanpa bisa melakukan apa-apa. Di pintu gerbang timur itu pun bahkan tidak ada kuda karena sedang digunakan oleh senopati pimpinan mereka yang turun mencari klangenan. Senopati itu, yang amat tergoda oleh kecantikan seorang gadis, memanfaatkan keadaan yang sedang kacau itu untuk mengail di air keruh.
Ra Banyaklah yang paling terhenyak. Pasukan khusus yang disiapkan untuk mengejar ke mana pun Jayanegara bersembunyi telah berhasil disiagakan, tetapi sia-sia persiapannya karena seratus lebih kuda tunggangan untuk mendukung gerak cepat pasukan khusus itu telah dicuri.
"Iblis!" teriak Ra Banyak. "Benar-benar iblis."
Di rumah Praharsi Durpa, Kartika Sinumping yang selalu diikuti Panji Wiragati, Tabuh Gong, Hayam Talun, dan Sindu Suramarta telah bergabung dengan Brajalama dan tiga temannya. Sebagaimana Brajalama, Liman Prabowo, Simaring Japanan, dan Bramas Sindupati masih menyisakan rasa penasarannya setelah mendengar barisan kuda dalam jumlah banyak yang mirip barisan lampor itu.
"Ra Kuti mengirim pasukan ke mana?" berbisik Liman Prabowo.
"Atau apakah Gajahsari berhasil melaksanakan tugasnya?"
"Yang kedua jawaban yang benar," jawab Kartika Sinumping.
"Kuda-kuda yang lewat itu tanpa penunggang. Kuda-kuda itu berhasil kita curi."
Dari balik pagar, Kartika Sinumping yang ikut mengintip wisma kepatihan bisa melihat para prajurit penjaga wisma itu berhamburan ke tepi jalan melihat apa yang terjadi. Percakapan di antara mereka bahkan terdengar sampai di tempatnya.
"Ke mana kira-kira Ra Kuti mengirimkan pasukan itu?" bertanya seseorang.
Gajahmada 545 "Ke tempat di mana Jayanegara ketakutan di persembunyiannya."
Disusul kelakar itu dengan masing-masing menyumbangkan suara tawa berderai.
Kartika Sinumping memberi isyarat melalui tangan kanannya.
Bergegas Brajalama dan teman-temannya mengikuti langkahnya menuju pekarangan belakang. Brajalama terheran-heran ketika melihat Kartika Sinumping memanjat pohon yang tepat bersebelahan dengan dinding pagar wisma Patih Tadah itu. Dengan cermat Kartika Sinumping memerhatikan keadaan lalu meloncat turun.
"Kita akan membuat terowongan dari tempat ini," berkata Kartika Sinumping. "Siang malam kerjakan hingga kita bisa menembus bilik Rakrian Kuti."
Liman Prabawo terbelalak.
"Gila," desisnya.
Namun, Kartika Sinumping segera memangkas rasa penasaran Liman Prabowo dan yang lain. "Terowongan itu sebenarnya sudah ada, menghubungkan antara bilik pribadi Tuanku Jayanegara dengan wisma kepatihan. Melalui terowongan itulah Kakang Bekel Gajahmada berhasil memimpin penyelamatan Tuanku Jayanegara. Untuk keamanannya Ra Kuti menyumbat ujung terowongan di wisma kepatihan ini, demikian juga dengan ujung terowongan di bilik pribadi Tuanku Jayanegara."
Brajalama dan teman-temannya menyimak. Simaring Japanan terdiam. Selama ini Brajalama merasa penasaran terganggu oleh pertanyaan, dengan cara bagaimana Jayanegara bisa meloloskan diri, padahal istana telah terkepung rapat, pertanyaan itu kini telah didapat jawabnya.
"Yang kita lakukan menghidupkan kembali terowongan itu?"
Brajalama memecah keheningan.
"Ya," jawab Kartika Sinumping. "Dari tempat ini kita menggali tanah sedalam dua depa, lalu membuat terowongan tegak lurus ke sana, 546
Gajahmada terowongan itu nantinya akan tersambung dengan terowongan yang sudah ada menuju bilik pribadi Tuanku Jayanegara yang digunakan Ra Kuti."
"Ujung terowongan itu tentu telah disumbat?" Bramas Sindupati menyumbang pendapat.
"Kita akan membuat ujung terowongan baru, beberapa depa sebelum ujung kita menggali permukaan. Manfaat yang kita peroleh, kita bisa menempatkan diri untuk melakukan serangan dadakan."
Hayam Talun membeku riuh menghitung waktu.
"Untuk pekerjaan ini kita membutuhkan waktu lebih dari sebulan lamanya," ucapnya.
"Tidak," jawab Kartika Sinumping. "Dalam waktu sepekan pekerjaan ini harus sudah tuntas. Kita mulai dengan penuh kesadaran dan semangat di malam ini juga."
Kartika Sinumping tak mau berlama-lama dan membuang waktu.
Dengan peralatan yang ditemukan di dapur rumah Praharsi Durpa, penggalian pun dimulai. Beruntunglah Kartika Sinumping karena ia tidak berhadapan dengan jenis tanah yang tidak bersahabat.
"Ini benar-benar pekerjaan gila," Liman Prabowo bekerja sambil menahan tawa.
"Sssst, jangan keras-keras," Simaring Japanan mengingatkan.
"Apabila mendengar, mereka bisa datang ke sini untuk melakukan pemeriksaan."
"Mereka tidak akan mendengar," kata Liman dengan nada suara berbisik sambil tetap tertawa.
Bhayangkara Kartika Sinumping merasa puas dengan semangat kerja Brajalama dan teman-temannya. Beberapa depa tanah telah digali menghunjam dalam bentuk luweng, manakala hari bergeser mendekati datangnya pagi, penggalian tanah itu mulai mengarah lurus menuju pekarangan wisma kepatihan di mana terowongan itu diperkirakan berada.
Gajahmada 547 Sebuah pertanyaan muncul dari benak Tabuh Gong yang tiba giliran menggali, dilontarkannya itu sebelum ia turun.
"Sebentar lagi siang akan datang, apakah kita akan tetap bekerja?"
Kartika Sinumping merasa tak memiliki jawabnya. Pekerjaan itu sebenarnya akan sia-sia, tak ada manfaatnya apabila sampai ketahuan.
Untuk meredam jangan sampai ketahuan sebaiknya siang hari dihentikan, hal yang tentu menyebabkan butuh waktu lama.
"Baiklah," jawab Kartika Sinumping. "Siang hari tempat ini harus kita samarkan dan kita tinggalkan. Pembuatan terowongan kita lakukan hanya pada malam hari."


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi yang datang pada esok harinya serasa tidak meninggalkan jejak apa pun di pekarangan rumah Praharsi Durpa yang kosong ditinggal minggat oleh penghuninya itu. Apabila entah oleh apa tiba-tiba tempat itu diperiksa oleh kaki tangan Ra Kuti maka tidak akan ada yang mengira di bawah gundukan tanah di pekarangan rumah itu terdapat lubang luweng. Sebenarnyalah ketika hari sedikit agak siang, dua orang prajurit melakukan pemeriksaan ke rumah kosong itu, tetapi mereka tidak menemukan apa pun.
Gundukan tanah di pekarangan itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka.
Bhayangkara Kartika Sinumping yang memanfaatkan atap kandang sapi untuk beristirahat berdebar-debar melihat dua prajurit itu.
"Tidak ada siapa pun," ucap salah seorang di antara mereka.
Setelah melongok-longokkan kepala dua prajurit itu melenggang pergi. Kartika Sinumping yang telah merentang busur mengendorkan kembali tali warastra di tangannya.
548 Gajahmada 48 Siang hari, meski telah beberapa hari berlalu kotaraja benar-benar berada dalam keadaan senyap. Tak ada orang yang pergi ke pasar karena tak lagi ada pasar, tidak ada warung yang buka karena tak ada yang berani menanggung berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Bahan makanan makin sulit dicari karena tak ada pasokan. Beras sulit didapat karena mereka yang memiliki beras tak bisa menjual. Beruntung mereka yang mempunyai cadangan yang mereka simpan di lumbung yang itu pun dalam hitungan waktu ke depan tidak akan menjamin cadangan terpenuhi manakala keadaan tetap seperti itu. Bahkan, di istana jenis makanan yang bisa dibuat mulai tak berbumbu.
Ra Kuti benar-benar pusing.
"Masakan apa ini?" teriak Ra Kuti.
"Kenapa?" balas Ra Tanca.
"Sambal tidak ada pedasnya sama sekali."
Ra Tanca tersenyum dan membuang pandangan matanya ke luar jendela.
"Jangan salahkan emban yang menyiapkan makanan atau jangan menyalahkan siapa pun karena inilah mata rantai akibat dari apa yang kita kerjakan!" Ra Tanca menjawab.
"Apa maksudmu?" balas Ra Kuti.
"Dalam keadaan lumrah, cabe, benda yang amat sederhana itu mudah didapat. Namun, keadaan kali ini sangat tidak lumrah, semua berada dalam keadaan ketakutan sehingga benda sederhana seperti cabe saja susah didapat. Sepekan ke depan garam juga akan susah didapat, lalu beras juga susah diperoleh. Kelaparan dan kekacauan nantinya akan menjadi titik balik, berubah menjadi arus perlawanan yang akan Gajahmada 549
menggilasmu. Kemarahan rakyat nantinya akan dipicu oleh masalah yang sangat sederhana, sulit mendapatkan cabe!"
Menggigil Ra Kuti. "Kamu selalu memberi gambaran jelek seperti itu."
"Aku memberikan gambaran yang sebenarnya agar kau segera bertindak mumpung masih ada waktu. Di luar sana prajuritmu berubah menjadi penjarah, pengayom makan tanaman. Hal macam itu yang memberi sumbangan kenapa sambalmu tidak terasa pedas."
Ra Tanca yang telah mengakhiri kata-katanya berjalan gontai tak peduli kepada Ra Kuti, meninggalkannya pada keadaan makin terhenyak, apalagi udara yang mengalir terasa panas, sepanas keadaan kotaraja yang kian gerah. Udara memang panas, tetapi di balik itu keadaan benar-benar panas. Beberapa hari telah berlalu, tetapi yang namanya ketenangan dan kehidupan lumrah tidak segera kembali.
Matahari memanjat naik hingga ke puncaknya ketika puluhan prajurit penjaga pintu gerbang sebelah timur dikejutkan oleh suara gemuruh barisan lampor.
"Gila, siapa mereka?" seorang prajurit meletupkan keheranannya.
Terpana semua prajurit yang menyebabkan mereka terlambat dalam bertindak. Puluhan prajurit berkuda masing-masing dengan busur di tangan menerobos masuk pintu gerbang kota yang akan ditutup. Mereka tak bisa dikenali wajahnya karena semua menutup muka dengan secarik kain.
"Hujan deraas," teriak seorang di antara mereka yang menempatkan diri menjadi pimpinan.
Hujan deras itu adalah hujan anak panah. Malang nian nasib para prajurit penjaga pintu gerbang itu yang meski jumlahnya lebih dari dua puluh lima, di samping kalah banyak juga kalah dalam jenis jangkauan senjata. Korban berjatuhan menyisakan mereka yang kocar-kacir jatuh bangun menyelamatkan diri.
550 Gajahmada "Melintas istana," teriak pimpinan orang-orang berkuda itu.
Rombongan prajurit itu membalapkan kuda tunggangannya menyusur jalan lalu masing-masing memisahkan diri menjadi dua ketika dihadang pertigaan wilayah Santanaraja, separuh dari mereka ke selatan untuk nantinya menyusur jalan di selatan dinding istana, separuh lagi melakukan kebalikannya.
Derap kuda yang masing-masing menggema dari luar istana itu mengagetkan siapa pun. Para prajurit berlarian dengan senjata telah ditelanjangi. Di halaman Tatag Rambat di bawah bayangan bramastana, Ra Kuti yang bermaksud kembali ke Balai Manguntur terhenyak.
"Siapa mereka?" bertanya Ra Kuti.
"Ini baru riak dari serangan balik," jawab Ra Tanca.
Apa yang dikatakan Tanca serasa dibenarkan oleh orang-orang berkuda yang menandainya dengan suara panah sanderan, melesat membubung ke udara dengan suara yang sangat khas. Gemetar Ra Kuti.
"Bhayangkara," desisnya dengan gemetar. "Tutup pintu gerbang, hadapi mereka."
Para prajurit penjaga gerbang Purawaktra yang sama sekali tak menduga berlarian menyiagakan diri dan masing-masing berlindung di balik dinding dan tameng.
"Hujan deras!" teriak salah seorang yang rupanya ditempatkan sebagai pemimpin dalam rombongan berkuda itu.
Hujan deras, perintah itu diterjemahkan sebagai hujan anak panah dengan arah bidik para prajurit yang berjejal-jejal mencari perlindungan di balik dinding. Rentang jarak yang panjang menyebabkan mereka yang bersenjata pedang atau tombak tak bisa berbuat apa-apa. Namun, dengan segera hujan anak panah itu berbalas, dari celah dinding dan beberapa penjuru melesat puluhan anak panah sebagai balasan.
"Kita pergi!" Gajahmada 551 Rombongan prajurit berkuda yang semua menyembunyikan wajah di balik kain itu segera melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya.
Mereka balik arah meninggalkan debu mengepul dan sumpah serapah.
Meski hanya dalam waktu singkat, apa yang dilakukan prajurit berkuda yang menyamarkan diri meninggalkan jejak nyata. Melalui serangan mendadak itu telah jatuh beberapa korban luka dan meninggal dunia. Ra Kuti yang turun ke Purawaktra dalam pengawalan amat ketat melihat dengan mata dan kepala sendiri buah dari serangan orang-orang berkuda itu, beberapa orang bergelimpangan tak bernyawa, sebagian lagi akan menyusul tak bernyawa, dan sebagian lagi terluka parah.
Ra Kuti tidak lagi mengumpat, kemarahannya diwakili oleh tatapan matanya yang melotot dengan rahang mengatup kuat. Menjungkalkan Jayanegara ternyata bukan berarti bisa bergembira ria, kekecewaan demi kekecewaan mulai menumpuk. Gambaran serangan balik sebagaimana dikatakan Ra Tanca mulai menghantuinya.
"Aku dikelilingi oleh orang yang dalam jumlah jauh lebih banyak, tetapi mereka bodoh semua. Sementara Bhayangkara itu, meski mereka tidak seberapa jumlahnya, kemampuannya luar biasa. Mengapa Bhayangkara itu tidak menempatkan diri di sebelahku. Apabila Bhayangkara mendukungku, betapa akan makin kuat kedudukanku."
Sang waktu terus bergerak menapaki kodratnya, tak pernah sekalipun berhenti untuk beristirahat. Sang waktu pula yang menjadi saksi atas semua peristiwa yang terjadi, betapa dalam hari-hari yang terus lewat, perlawanan terhadap Ra Kuti makin marak dan terjadi di mana-mana. Bahan makanan yang sulit didapat, juga berbagai kebutuhan yang langka serta udara yang amat sesak menyebabkan kebencian kepada Ra Kuti makin menjadi. Bahkan, para prajurit yang semula mendukung Ra Kuti mulai terketuk nuraninya, mulai berpikir dan membandingkan keadaan.
Apa yang dilakukan orang-orang berkuda yang melakukan serangan-serangan cara gerilya, menyerang, lari, menyerang, lari lagi sungguh amat merepotkan. Kebencian Ra Kuti kepada mereka adalah karena kuda-552
Gajahmada kuda yang mereka gunakan berasal dari kandang kuda istana yang dicuri.
Gerakan yang dilakukan orang-orang berkuda yang bertindak pengecut itu sungguh berkemungkinan menggoda dan menggoyang kesetiaan prajurit lainnya.
Ra Kuti akhirnya tak bisa menutup mata bahwa tak mungkin baginya mendapatkan kesetiaan yang bulat dari para prajurit. Sewaktu-waktu mereka bisa berbalik melawannya. Penempatan para Dharmaputra pada kedudukan penting ternyata tidak mendapatkan hasil memuaskan.
Kesetiaan para prajurit justru bisa tertuju pada orang macam Ranggayuda yang mempunyai pengaruh sangat besar. Ra Kuti mulai berpikir, untuk menguasai pasukan seharusnya bisa mengendalikan pimpinannya.
Ranggayuda yang bekas tangan kanan Temenggung Panji Watang seharusnya dininabobokkan dengan perut kenyang, kenaikan pangkat atau dengan sesekali memujinya.
"Tak ada yang bisa aku harapkan pada Ra Yuyu, Ra Banyak, Ra Tanca, Wedeng, dan Pangsa sekalipun. Justru orang seperti Ranggayuda rasanya bisa diandalkan," kata hati Ra Kuti.
Ra Kuti yang menebarkan pandangan ke sudut-sudut istana merasa isi dadanya kian sesak menyaksikan arah yang berbelok tak sebagaimana yang ia harapkan. Saling mencurigai tumbuh dan marak di mana-mana.
Betapa tidak, kebakaran yang menimpa lumbung beras di sayap belakang istana menyebabkan Ra Kuti tidak lagi bisa memercayai siapa pun. Betapa tidak, pelaku pembakaran lumbung beras itu berhasil ditangkap bahkan diperintahkan kepada Ra Pangsa untuk menjatuhinya dengan hukuman pancung di alun-alun, ternyata ia adalah seorang prajurit yang amat pintar menyanjung dan memujinya hingga kepada prajurit itu ia menganugerahkan kenaikan pangkat dari yang semula lurah prajurit menjadi senopati.
Namun, hukuman mati yang dijatuhkan kepada pembakar lumbung beras itu dengan segera menyulut kemarahan yang menyebabkan makin maraknya suara anak panah yang mendesing membelah gelap malam.
Serangan yang dilakukan dari kegelapan malam, dari balik pohon, atau dinding menyebabkan keadaan kian gerah. Ra Kuti tidak lagi percaya Gajahmada 553
kepada siapa pun. Apalagi, ketika terjadi peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya pada siang berikutnya. Seorang prajurit yang bertugas menjaga pintu biliknya justru mencabut senjata dan mengayunkan pedang ke lehernya.
Beruntunglah Ra Kuti bisa menghindar dari serangan itu, yang berakibat mengerikan bagi pelakunya karena dengan tanpa ampun Ra Kuti menjatuhi hukuman mati yang dilakukan pada saat itu pula. Ra Kuti sendiri yang mengayunkan pedang ke leher prajurit itu.
Bibit kecurigaan itu tumbuh dan mekar di mana-mana, tak hanya Ra Kuti yang tak lagi percaya kepada siapa pun, demikian juga dengan para Dharmaputra Winehsuka yang lain tak bisa sepenuhnya memercayai bahkan orang yang semula paling dekat sekalipun. Bibit curiga itu juga makin mekar menjalar ke segenap prajurit. Karena terbukti dua orang prajurit mati terbunuh di gerbang Bajang Ratu yang dilakukan oleh teman sendiri oleh alasan pada siapa mereka berpihak atau memberi dukungan.
Setelah berhasil membunuh, pelakunya menghilang entah ke mana.
Di antara prajurit bahkan mulai ada yang mempertanyakan secara terang-terangan.
"Jika keadaan tidak membaik dalam beberapa hari ke depan, aku menyatakan mundur. Kalau kalian akan menyampaikan apa yang aku katakan kepada Ra Kuti, silakan. Aku tidak keberatan," tantang orang itu.
Yang ditantang benar-benar melaporkan kepada Ra Kuti, tetapi ternyata Ra Kuti tidak melakukan apa-apa karena telah terlalu banyak laporan serupa. Belakangan Ra Kuti mulai menyadari peringatan yang diberikan Ra Tanca bahwa ia tidak mengakar kuat di lingkungan prajurit.
Prajurit yang selama ini mendukung Ra Kuti berasal dari kesatuan Jala Rananggana ternyata tak bisa diharapkan dukungannya dengan sepenuh hati, demikian juga kesatuan Jalayuda.
Apalagi, kasak-kusuk mulai marak di kesatuan itu.
"Aku punya cerita yang akan membuatmu pingsan," Lurah Prajurit Widarba berbisik.
554 Gajahmada Senopati Ranggayuda, senopati yang sebelumnya berada sangat dekat dengan Temenggung Panji Watang, mengerutkan kening.
"Cerita apa yang bisa menyebabkan aku pingsan?"
"Kematian Temenggung Panji Watang," Widarba kembali berbisik.
Senopati Ranggayuda mengerutkan keningnya.
"Cobalah Senopati mengenang, dengan cara bagaimana Temenggung Panji Watang mati di peperangan."
Ranggayuda tentu tidak akan bisa melupakan dengan cara bagaimana Temenggung Panji Watang mati. Dalam perang yang akan berkecamuk lagi, Banyak Sora dan Panji Watang datang memenuhi panggilan Patih Arya Tadah yang meminta mereka untuk mengendalikan diri. Pada saat itulah anak panah tak dikenal melesat membunuh dua Temenggung itu. Ra Kuti mengatakan, pelaku perbuatan itu adalah Bhayangkara.
"Pelakunya Ra Kuti," Lurah Prajurit Widarba berbisik.
Senopati Ranggayuda terkejut.
Lebih terkejut lagi Senopati Ranggayuda ketika Lurah Prajurit bawahannya melengkapi keterangannya, "Tak mungkin Bhayangkara pelakunya karena Bhayangkara mendukung sepenuhnya upaya yang dilakukan Patih Tadah. Pelakunya tentu mereka yang menghendaki perang terjadi, siapa lagi kalau bukan Ra Kuti, apalagi mengingat anak panah itu beracun. Siapa ahli racun di Majapahit kecuali Ra Tanca."
"Gila," desis Senopati Ranggayuda. "Siapa orang yang memberi tahu kamu?"
"Aku menyampaikan pesannya untukmu, ia mengundangmu, apabila kamu tidak menemuinya maka orang itu akan menempatkanmu sebagai musuh pula. Namun, jika kamu bersedia menemuinya, ia akan menghapus kesalahan yang kauperbuat," tambah Lurah Prajurit Widarba.
Terkejut Ranggayuda oleh undangan yang amat berbau ancaman itu.
"Siapa orang yang mengundang aku dengan cara sombong itu?"
"Gajahmada," jawab Lurah Widarba.
Gajahmada 555 Seketika Ranggayuda terbungkam mulutnya.
Nama Bekel Gajahmada menjadi jaminan bahwa ancaman itu tidak main-main. Nama Bhayangkara Gajahmada itu, yang meski hanya berpangkat Bekel, jelas tidak bisa dianggap remeh. Ranggayuda tentu tak akan lupa ketika pada malam menjelang perang pecah, dengan beraninya, hanya ditemani Gagak Bongol, Gajahmada mendatangi Temenggung Panji Watang, mempersoalkan sikap pasukannya dalam perang yang akan terjadi.
Ranggayuda mondar-mandir.
"Jadi Ra Kuti pelakunya?" desis Senopati itu.
"Ya," tegas Widarba.
"Baik, aku akan menemuinya."
Malam itu pula, Senopati Ranggayuda yang ditemani Lurah Prajurit Widarba meninggalkan istana menuju sebuah tempat entah di mana.
49 Waktu memang tak pernah berhenti bergerak.
Waktu yang terus bergerak itu pula yang menjadi saksi betapa Kartika Sinumping yang memimpin penggalian terowongan pintas dari pekarangan rumah Praharsi Durpa berhasil. Para prajurit pendukung Ra Kuti yang menjaga wisma kepatihan sama sekali tidak menduga, sia-sia apa yang mereka lakukan karena lubang tikus telah dibuat justru dari balik pagar tetangga sebelah.
Meski terasa sesak karena harus bekerja di gelap terowongan dengan udara yang panas, Brajalama dan teman-temannya melaksanakan 556
Gajahmada tugasnya dengan penuh semangat. Pekerjaan yang semula dianggap berat itu ternyata bisa dilaksanakan karena jenis tanah yang ditembus meski padas, mudah dicangkul. Terowongan jalan pintas dari pekarangan Praharsi Durpa itu akhirnya bersambung.
"Waaah," Brajalama mengagumi keberadaan terowongan lama.
"Siapa mengira ada jalan bawah tanah yang menghubungkan wisma kepatihan dan istana raja. Siapa penggagasnya?"
"Paman Arya Tadah," jawab Kartika Sinumping. "Di istana tembus di bilik pribadi raja, sementara di wisma kepatihan tembus di pekarangan.
Ayo semua, pekerjaan berikutnya menunggu dan tidak lebih mudah!"
Dengan menggunakan cahaya obor dalam jumlah cukup, rombongan penggali terowongan di bawah pimpinan Bhayangkara Kartika Sinumping terus bergerak hingga akhirnya sampailah mereka ke ujung. Dengan cahaya obor terlihat jelas lubang terowongan telah disumbat dengan kuat.
"Kita tepat berada di bawah bilik yang digunakan Ra Kuti. Kita harus menggali pada sepuluh hingga lima belas langkah mundur dari tempat ini. Aku sudah menghitung, ujung terowongan yang kita buat akan tembus ke balik perdu di luar biliknya. Ayo kita kerjakan."
Dengan penuh semangat dan dilakukan dengan berbagi tugas antara siapa yang menggali dan siapa yang membuang tanah galiannya, pekerjaan tak masuk akal itu dilakukan dengan bahu-membahu. Gelap terowongan dan tempatnya yang jauh menusuk dari pintu masuk di pekarangan Praharsi Durpa menyebabkan penggalian harus dikebut secepat-cepatnya.
Hingga akhirnya, betapa leganya Tabuh Gong yang memperoleh giliran melakukan penggalian terakhir berhasil menembus permukaan.
"Berhasil," teriak Tabuh Gong.
Dari lubang yang sempit itu Tabuh Gong mengisap udara sebanyak-banyaknya sambil memerhatikan bintang-bintang yang bertaburan. Sesak napas yang semula membelit akhirnya terurai. Kartika Sinumping yang melongok merasa lega karena lubang yang dibuat itu tepat berada di Gajahmada 557
sela-sela semak. Dengan demikian, bahkan prajurit yang melintas pada jarak dekat sekalipun tak akan menduga di balik perdu amat dekat dengan bilik pribadi Jayanegara terdapat pintu masuk yang bisa digunakan menusuk langsung mengarah ke dada Ra Kuti.
"Kalau kita mau, kita bisa meringkus Ra Kuti sekarang juga," desis Brajalama.
Gagasan Brajalama itu sangat menggoda Kartika Sinumping.
Namun, karena demikian banyak prajurit yang bagai menumpuk di lingkungan istana menyebabkan Kartika Sinumping mengesampingkan gagasan itu.
"Belum waktunya," jawab Kartika Sinumping. "Kita melakukan nanti setelah semua siap. Sekarang kita kembali, tugas kita berikutnya adalah makin menghangatkan udara Majapahit. Ayo semua."
Kartika Sinumping merasa amat lega, setidak-tidaknya manakala serangan balik dilakukan, Kartika Sinumping telah meratakan jalan yang akan dilewati untuk langsung menuju jantung Ra Kuti. Sekeluar dari lubang terwongan di pekarangan rumah Praharsi Durpa yang disamarkan, Bhayangkara Kartika Sinumping merasa tak sabar untuk segera bertemu dengan Bekel Gajahmada. Kartika Sinumping tersentak ketika angan-angan itu ternyata segera menjadi kenyataan. Tak jauh dari perempatan jalan menuju gerbang selatan, anak panah sanderan tiga ganda membubung memanjat langit.
"Kakang Bekel meminta aku menemuinya di Sumur Gandrung."
Kartika Sinumping membalas isyarat itu dengan cara serupa, bahkan dipilihnya cara yang lebih meyakinkan. Anak panah sanderan berapi tiga ganda menyusul memanjat langit. Cahayanya terlihat dari berbagai penjuru.
"Berpencar, kita ke Sumur Gandrung," Kartika Sinumping memberi perintah.
Di Sumur Gandrung, di tempat yang sepi dan jarang didatangi orang di malam hari, tempat yang ditakuti anak-anak oleh cerita tentang 558
Gajahmada hantu manusia tanpa kepala yang sering muncul dan menampakkan diri dari lubang sumur itu, ternyata menjadi tempat yang riuh oleh hadirnya banyak orang. Bhayangkara Kartika Sinumping kaget melihat tempat itu ternyata digunakan sebagai pusat semua kegiatan perlawanan terhadap Ra Kuti. Sumur Gandrung yang tidak berapa jauh dari dinding kotaraja memang sangat menguntungkan untuk digunakan kegiatan itu karena meski berada dalam jarak cukup dekat dengan kotaraja, tempat itu sangat sepi dan jauh dari perkampungan penduduk.
Bhayangkara Kartika Sinumping dengan segera menemukan orang yang dicarinya, tak sekadar Bekel Gajahmada, tetapi lengkap dengan para Bhayangkara yang lain, bahkan Arya Tadah berada di tempat itu pula. Kartika Sinumping tersenyum melihat Prajurit Gajahsari duduk di sebelah Arya Tadah, melingkar lesehan di atas rerumputan. Kecurigaan yang sempat tumbuh di benaknya terhadap kesetiaan Gajahsari langsung lenyap seketika.
Lima buah obor dinyalakan untuk menerangi pertemuan itu tanpa harus takut ketahuan karena lebatnya pepohonan menyembunyikan pertemuan itu dengan rapat. Jauh ke depan puluhan prajurit disebar dalam baris pendhem untuk memberikan jaminan keamanan. Tak mungkin kaki tangan Ra Kuti bisa mendekati tempat itu tanpa ketahuan.
"Aku pikir Kakang Bekel belum kembali," Bhayangkara Kartika Sinumping memecah keheningan malam.
"Sudah beberapa hari kami kembali masuk ke kotaraja, justru kami yang mengalami kesulitan menemukanmu."
Kartika Sinumping tertawa.
"Aku sibuk meniru perbuatan kelinci," jawab Kartika Sinumping.
"Perbuatan kelinci yang mana?" balas Gajahmada.
Kartika Sinumping menebarkan pandangan mata. Agak terkejut Kartika Sinumping ketika tatapan matanya bersirobok pandang dengan Kudamerta, di sebelahnya Cakradara berdiri dengan bersedekap bersilang tangan. Kartika Sinumping mencari-cari, tetapi tidak menemukan raut muka Lembu Anabrang di tempat itu.
Gajahmada 559 "Berhari-hari lamanya pekerjaan besar itu kami lakukan. Dari pekarangan rumah Praharsi Durpa di sebelah wisma Paman Patih, Brajalama dan teman-temannya membuat terowongan tembus ke terowongan lama dan akhirnya berhasil tembus ke luar bilik Tuanku Jayanegara yang kini digunakan Ra Kuti. Serangan dadakan bisa dilakukan lewat jalan itu. Selanjutnya, aku serahkan kepada Kakang Bekel Gajahmada."
"Bagus sekali," jawab Gajahmada senang. "Kita bisa memanfaatkan terowongan itu saat perhatian Ra Kuti terpancing ke arah lain. Aku rasa, titik balik serangan balasan akan kita lakukan besok. Senopati Ranggayuda yang akan memulai dengan menghangatkan udara meski masih pagi."
Bhayangkara Kartika Sinumping mencari-cari. Ranggayuda yang duduk di belakang Arya Tadah mengangkat tangannya yang mengepal.
"Aku siap," ucapnya dengan tegas.
Ranggayuda bergeser menempatkan diri di sebelah Gajahmada.
Gajahmada memandang Kartika Sinumping.
"Kau masih menyimpan lancana Sri Baginda?"
"Masih, Kakang Bekel," jawab Kartika Sinumping.
"Berikan kepada Ranggayuda. Ia akan menggunakan lancana itu untuk mengagetkan banyak orang."
Kartika Sinumping membuka baju luarnya dan melepas lencana emas ber-teretes-kan permata gemerlapan yang menjadi pertanda pemegang kekuasaan Jayanegara. Kartika Sinumping menyerahkan lancana itu kepada Ranggayuda.
"Jangan dijual," bisik Sinumping.
Ranggayuda tertawa. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Bekel Gajahmada itu terus berlanjut, segala hal dihitung dan dirancang dengan baik, berbagai tugas dibagikan dan semua yang mendapatkan jatah tugas itu siap melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di sisa waktu menjelang fajar,
560 Gajahmada puluhan orang dengan tugas khusus bergerak, melalui mereka perintah dari Bekel Gajahmada disalurkan hingga ke ujung, yaitu ke semua penghuni rumah di seluruh sudut kotaraja tanpa kecuali. Kartika Sinumping terkejut, dalam beberapa hari yang telah lewat itu rupanya telah banyak sekali hal dilakukan Bekel Gajahmada dan segenap Bhayangkara dalam upaya melakukan serangan balik menjungkalkan Ra Kuti.
50 Pagi berikutnya tiba, sang waktu masih pagi sekali saat Rakrian Kuti menerima kehadiran Senopati Ranggayuda. Lengkap ditemani para Dharmaputra Winehsuka yang lain, Ranggayuda memenuhi permintaan untuk menghadap Ra Kuti. Ra Kuti bermaksud mengundang senopati itu untuk membicarakan banyak hal.
"Ada persoalan apa?" tanya Ra Kuti.
"Aku mengusulkan untuk diambil langkah mencegah keadaan yang mulai tidak menguntungkan ini."
"Apa usulmu?" tanya Ra Kuti.
"Kumpulkan segenap prajurit dari semua kesatuan tanpa terkecuali di alun-alun untuk sekali lagi diberikan pengarahan. Suasana yang saling mencurigai ini harus dengan segera dihentikan. Segenap prajurit harus diletakkan pada satu jalur perintah agar tak melakukan tindakan sendiri-sendiri yang terbukti sangat merugikan. Untuk memulihkan keadaan, para prajurit tak lagi dibolehkan melakukan tindakan yang merugikan rakyat. Jika tidak segera dilaksanakan maka keadaan akan makin parah, rakyat tidak akan mendukungmu."
Gajahmada 561 Hening Tatag Rambat. Ra Kuti yang duduk di dampar di dalam Balai Witana melirik Ra Tanca. Apa yang disampaikan Senopati Ranggayuda sesuai dengan apa yang dikatakan Ra Tanca. Ra Tanca mengangguk.
"Baik," jawab Ra Kuti. "Akan tetapi, aku tidak mungkin melakukan itu. Aku melihat kamu mempunyai pengaruh cukup besar, bagaimana jika kau yang mewakili aku?"
Ranggayuda menakar jiwa pengecut laki-laki penakut yang duduk di depannya. Namun, Ranggayuda menyembunyikan kesan apa pun dari permukaan wajahnya.
"Baik! Aku tidak keberatan. Aku siap melaksanakan tugas itu."
Ra Kuti berdiri dan melangkah menuju sudut ruang. Di tempat itu terdapat almari. Ra Kuti berbalik telah membawa tanda berupa selempang samir.
"Berdirilah," perintah Ra Kuti kepada Ranggayuda.
Ranggayuda berdiri sambil menyembunyikan sangat rapat warna hatinya. Ra Kuti memasangkan selempang tanda wisuda secara langsung.
Sejak saat itu Ranggayuda telah naik pangkat dari senopati menjadi temenggung.
Ra Kuti mengangsurkan tangan yang diterima dengan ringan oleh Ranggayuda.
"Selamat, kamu sekarang seorang temenggung. Aku serahkan pembenahan sikap segenap prajurit itu kepadamu. Jika kauberhasil, kedudukan sebagai panglima akan aku berikan untukmu," ucap Ra Kuti.
Ranggayuda tidak menjawab, sebagaimana ia juga tidak menjawab ketika Rakrian Dharmaputra Winehsuka yang lain juga mengucapkan selamat. Ra Kuti senang melihat Ranggayuda ternyata bermata mudah silau, lebih dari itu Ra Kuti senang karena Ranggayuda adalah jenis prajurit yang tangkas dalam bertindak, sigap menghadapi apa pun.
Tak berapa lama kemudian sebuah tambur dengan ukuran besar dipukul berderap disusul dengan suara terompet. Pada masa Jayanegara, 562
Gajahmada isyarat macam itu dengan segera akan disusul dengan berkumpulnya para prajurit dengan penuh semangat. Semua tidak terkecuali berkumpul sesuai dengan barisan atau kelompok masing-masing. Namun kini, meski semua prajurit berkumpul, itu dilakukan dengan ogah-ogahan atau oleh alasan untuk melihat dan mengetahui, apa yang akan disampaikan di alun-alun itu, apalagi setelah perang lewat, baru pertama kali itu dilakukan pertemuan secara menyeluruh.
Pada saat bersamaan, tanpa diketahui oleh siapa pun, lima orang Bhayangkara yang dipimpin langsung oleh Bekel Gajahmada, yaitu Gagak Bongol, Lembang Laut, Pradhabasu, dan Kartika Sinumping menyelinap memasuki rumah Praharsi Durpa. Dengan mengendap-endap mereka memasuki lorong bawah tanah yang akan membawa mereka langsung ke istana.
"Panas sekali," desis Pradhabasu.
"Itu sebabnya, kaubisa membayangkan," jawab Kartika Sinumping,
"betapa berat pekerjaan yang aku lakukan untuk membuat terowongan baru dan pekerjaan membuat tembusan baru di luar bilik Tuanku Jayanegara yang sekarang digunakan Ra Kuti."
"Kelak Sri Baginda akan mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepadamu."
"Bukan kepadaku," jawab Kartika Sinumping tangkas, "tetapi, kepada Brajalama dan teman-temannya. Mereka nantinya harus memperoleh selempang kalung samir."
Hingga akhirnya, rombongan itu telah sampai di ujung.
"Kita menunggu sampai memperoleh isyarat," ucap Gajahmada.
Di luar pintu Purawaktra segenap prajurit dari semua kesatuan telah berkumpul dan menyatu dengan sikap tak begitu bersemangat. Di depan mereka Ranggayuda amat menarik perhatian karena ternyata Ranggayuda yang akan berbicara, bukan Ra Kuti atau bukan para Dharmaputra Winehsuka yang lain sebagaimana biasa. Yang lebih mengagetkan lagi adalah Ranggayuda kini menyandang pangkat baru Gajahmada 563
sebagai seorang temenggung. Kalung samir warna kuning emas yang diselempangkan menjadikan Ranggayuda terlihat gagah.
Para senopati yang selama ini menjadi pesaing Ranggayuda tak bisa mengganggu gugat penampilan prajurit bertubuh kekar itu, bahkan para prajurit lain yang juga berpangkat temenggung tidak ada yang mempersoalkan mengapa Ranggayuda yang akan berbicara dan memberikan sesorah.
Di samping kiri Ranggayuda, Ra Wedeng berdiri dengan bertolak pinggang, sedang di sebelah kanannya Ra Banyak tak mau kalah, ia bertolak pinggang lebih tinggi lagi.
Bisik-bisik terjadi di sana sini.
"Apakah dengan demikian Ranggayuda diangkat oleh Ra Kuti menjadi panglima perang dari semua kesatuan?"
Ranggayuda mengangkat tangannya, meminta semua orang untuk tidak berbicara sendiri-sendiri. Ranggayuda yang menebarkan pandangan matanya berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ranggayuda merasa lega karena melihat para Bhayangkara yang menyamar berada di antara para prajurit.
"Segenap para prajurit," suara Ranggayuda lantang, "pada kesempatan ini aku ingin menyampaikan kepada kalian semua bahwa Prabu Ra Kuti telah menaikkan pangkat dan jabatanku. Sejak sekarang aku seorang temenggung, sedangkan jabatanku untuk sementara adalah pelaksana panglima. Adakah di antara kalian yang tidak setuju dengan kedudukan yang kupegang?"
Hening alun-alun di luar Purawaktra itu, tak seorang pun yang berbicara, tetapi betapa riuh dan hiruk-pikuk semua isi dada.
"Yang tidak setuju dengan pengangkatanku boleh pergi tanpa harus khawatir aku akan menghalangi, pilihan kalian aku hormati. Silakan."
Ternyata tak seorang pun yang bergerak.
Wajah Ra Banyak dan Ra Wedeng yang berdiri di samping sebelah-menyebelahi Ranggayuda terlihat datar-datar saja. Namun, dua orang 564
Gajahmada itu merasa tak senang dengan wewenang berlebihan yang diberikan Ra Kuti kepada Ranggayuda.
"Kalian setuju dengan kedudukan dan jabatanku sekarang?"
Jawaban untuk itu pun ternyata sama sepinya dengan jawaban pertanyaan yang dilontarkan semula.
"Baiklah," lanjut Ranggayuda lantang. "Bila kalian tak setuju apa peduliku. Aku sekarang pemegang kuasa panglima. Kalian tidak punya hak untuk menolak kecuali harus melaksanakan perintah panglima.
Sebagai panglima aku berpendapat, keadaan kacau-balau ini ada penyebabnya. Penyebab terjadinya kekacauan itu harus bertanggung jawab dan mendapatkan hukuman setimpal. Siapa tertuduh utama dari semua kekacauan ini yang kepadanya pantas dijatuhkan hukuman mati dengan digantung di alun-alun ini pula" Orang itu adalah Ra Kuti!"
Tanah bergoyang, bumi berderak.
Bagai terjadi gempa di alun-alun itu oleh ucapan Ranggayuda yang amat tidak terduga. Ra Banyak dan Ra Wedeng seketika mengambil jarak dari Ranggayuda dan memandanginya penuh heran disusul kemudian oleh pandangan mereka yang terbelalak.
"Apa maksudmu?" Ra Wedeng tak kuasa menahan diri untuk tak bertanya.
Namun, Ra Wedeng dan Ra Banyak tak akan bisa mendapatkan jawaban dari keadaan yang amat mengejutkan karena dalam waktu bersamaan, setidak-tidaknya dilakukan oleh lima orang Bhayangkara, puluhan anak panah berhamburan menerjang mereka. Kejadian susulan itu sungguh sangat mengagetkan siapa pun.
Yang paling kaget dan mereka rasakan itu dalam rasa yang sama dan di waktu yang sama adalah Ra Banyak dan Ra Wedeng. Mereka terhenyak oleh rasa sakit yang luar biasa karena ranjab anak panah terarah pada arah yang mematikan. Dua anak panah menggapai jantung Ra Banyak sementara sebatang anak panah menembus tenggorokannya menyebabkan ia terjengkang. Keadaan Ra Pangsa tak kalah menyedihkan, sebatang anak panah tertancap tepat di mata kiri tembus ke otaknya.
Gajahmada 565 Ranggayuda bersiaga penuh, tetapi sikapnya sangat hati-hati.
"Siapa yang tidak setuju denganku, bahwa biang dari semua kekacauan ini adalah Ra Kuti?"
Pertanyaan itu amat menggoda bagi mereka yang sependapat, tetapi ada keraguan kuat untuk jangan dulu bersikap, menunggu sikap prajurit yang lain.
"Siapa yang setuju denganku, Ra Kutilah biang kekacauan?" ulang Ranggayuda.
Dari kedalaman gelar pasukan itu tiba-tiba terdengar suara jawaban.
"Aku setuju," teriak suara entah milik siapa itu. "Aku sependapat Ra Kuti biang kekacauan yang terjadi."
Dan, mendadak pula suara anak panah sanderan dalam jumlah banyak membubung serentak memanjat langit, mengagetkan siapa pun.
Suara anak panah itu sekaligus sebuah isyarat yang ditujukan kepada seseorang di luar gelar pasukan itu, seseorang yang memegang pemukul dengan bende besar di tangan kirinya. Suara bende bertalu-talu itu mengagetkan siapa pun, apalagi hanya sejenak kemudian disambut oleh suara kentongan dengan irama ganda dua dan satu yang dilakukan dengan berselang-seling. Merata suara itu di seluruh penjuru kota, sekaligus isyarat bagi siapa pun untuk membuka pintu rumah masing-masing, semua lelaki keluar dengan membawa senjata apa pun.
Betapa kagetnya Ra Kuti di Tatag Rambat, Ra Yuyu berlari-lari mendatanginya seperti dikejar getar suara bende Kiai Samudra pertanda isyarat perang sedang digelar.
"Apa yang terjadi itu" Isyarat apa itu dengan irama ganda dua dan satu" Itu bukan titir, juga bukan isyarat kebakaran dan banjir!"
"Itu nada adanya kemarahan dan gugatan. Ra Banyak dan Ra Wedeng mati," ucap Ra Yuyu langsung ke persoalan. "Ranggayuda yang baru kaukalungi samir selempang pangkat temenggung saat ini justru sedang sesorah mem-belejeti perbuatan kita. Bhayangkara berada di belakangnya."
566 Gajahmada Rasa kaget Ra Kuti melebihi ke-jugruk-kan puncak gunung yang runtuh. Terbelalak Ra Kuti memandang Ra Yuyu lalu menoleh ke Ra Tanca.
Untuk pertama kalinya, Ra Tanca mulai terlihat berakrab dengan senjatanya. Sehelai pedang tipis panjang ia telanjangi dari gagangnya.
Tanca memerlukan melemaskan tangannya dengan mengayunkan pedang itu.
"Bagaimana Tanca?" tanya Ra Kuti gugup.
"Sebaiknya bersiaplah untuk berada di tempat yang dulu Jayanegara pernah berada," jawab Ra Tanca.
Di alun-alun, Ranggayuda menebar pesona sihir yang menyentakkan siapa pun. Di dalam tubuh pasukan yang digelar di alun-alun itu tentu ada yang berpihak kepada Ra Kuti, juga ada yang berpihak kepada Jayanegara atau ada pula yang bingung berpihak kepada siapa. Namun, bahwa mereka berbaur menjadi satu menyebabkan mereka bingung dalam bersikap. Ranggayuda yang menjadi pusat perhatian membuka baju luar yang dikenakannya dan melepas sebuah lancana gemerlapan yang tak seorang pun berhak memakai lancana itu kecuali raja.
Ranggayuda mengangkat lancana itu tinggi-tinggi.
"Aku mengaku pernah berbuat salah dengan mendukung sikap pimpinan pasukan Jalayuda, Temengung Panji Watang, tetapi bukan berarti aku tak berhak menebus kesalahanku itu. Lencana ini adalah milik Tuanku Jayanegara yang dipercayakan kepadaku sebagai tanda perintah pada kalian semua tak terkecuali, untuk mengembalikan hati nurani yang sempat dimasuki nafsu dan perilaku binatang serta mengembalikan kekuasaan negara kepada pihak yang sah dan paling berhak. Bagi kalian yang setuju denganku, berkumpullah di sebelah timur dan bagi kalian yang masih tetap menempatkan diri menjadi kaki tangan Ra Kuti silakan berdiri di tempat."
Perintah itu rupanya disambut dengan hiruk-pikuk dengan ditabuhi oleh suara bende Kiai Samudra dan suara kentongan yang sahut-menyahut dari segala penjuru. Pada saat itu pula keberanian yang selama Gajahmada 567
ini tertindas menyeruak tampil ke permukaan. Suara teriakan menghujat Ra Kuti datang dari mana pun, dari penduduk kotaraja yang semula tertekan. Laki-laki, tua, muda, semua keluar memanggul senjata, makin memeriahkan keadaan. Pinggir alun- alun itu perlahan, tetapi pasti akan makin ramai oleh rakyat yang berdatangan dalam mempertegas sikap mereka.
Rupanya, jumlah yang masih mendukung Ra Kuti lumayan banyak, mereka terdiri atas para prajurit yang merasa khawatir petualangan yang mereka lakukan selama keadaan kacau akan digugat dan diadili.
Ranggayuda yang telah melaksanakan perannya sebagaimana petunjuk yang diberikan Bekel Gajahmada berbaur dengan mereka yang memiliki niat sama. Lima orang prajurit bahkan memanggul Ranggayuda sebagai ungkapan gejolak jiwa mereka.
Seorang prajurit tampil menggantikan Ranggayuda, prajurit yang semula menyamarkan diri itu kini tampil terang-terangan, lengkap dengan pakaian dan tanda-tanda khusus kesatuannya. Prajurit itu menggendong wadah anak panah dalam jumlah banyak sekali. Penampilan prajurit itu menjadikan keadaan yang telah teraduk itu makin teraduk karena pakaian yang dikenakan orang itu menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari Bhayangkara.
Apa yang diucapkan Bhayangkara Macan Liwung kepada mereka yang menempatkan diri menjadi pendukung Ra Kuti benar-benar ancaman yang tak bisa dianggap remeh. Pendukung Ra Kuti bertambah bingung karena dari arah gerbang Daksina terdengar derap kuda dalam jumlah banyak sekali. Mereka adalah orang-orang berkuda di bawah pimpinan Prajurit Gajahsari yang menebar kekacauan di mana-mana Perbuatannya membuat Ra Kuti pusing tujuh keliling juga memberinya sumbangan penyebab dia tak bisa tidur dengan nyenyak.
"Kalian semua," teriak Macan Liwung amat lantang dan sangar,
"lebih baik menyerahlah karena perlawanan macam apa pun yang akan kalian lakukan tak akan bisa menang melawan kami. Kalian lihatlah ke jalan raya itu, lihat siapa mereka yang datang berduyun-duyun dengan 568
Gajahmada membawa senjata. Kalian bayangkan apa yang akan mereka lakukan.
Menyerahlah!" Seorang prajurit pendukung Ra Kuti memberi contoh dengan meletakkan senjata dan berlari meninggalkan kelompoknya. Namun, sikap itu justru menimbulkan kemarahan yang lain.
"Itu sikap betina!" teriak seseorang. "Kita harus melawan!"
"Sebelum aku menjatuhkan perintah, menyerahlah!" teriak Bhayangkara Macan Liwung sambil mempersiapkan puluhan anak panahnya.
Di sebelah Macan Liwung, Mahisa Geneng, Gajah Pradamba, Lembu Pulung, dan segenap Bhayangkara yang hadir mulai memasang anak panah yang akan menjadi jaminan akibat dari serangan itu akan mengerikan karena mereka tidak mengenakan tameng pelindung.
Sekali lagi, beberapa orang meletakkan senjata dan berlari meninggalkan kelompoknya, menyebabkan nyali mereka yang mendukung Ra Kuti itu makin ciut. Akan tetapi, jumlah pendukung yang bertahan dan bersikap tegas mendukung Ra Kuti masih banyak.
"Serbuuuu!" Macan Liwung memberi perintah tanpa harus membuat gelar perang.
Suara perang brubuh lengkap dengan segala teriakan dan caci maki itu menjadi makin riuh oleh suara tambur berderap dan dentang-gementang dari bende Kiai Samudra, apalagi dari semua sudut kota suara kentongan terus bertalu, isyarat yang berarti perintah kepada siapa saja untuk keluar rumah dengan bersenjata.
Runtuh nyali Ra Kuti yang berdiri gelisah di halaman Tatag Rambat.
Ia bingung oleh suara tambur dan ledakan gemuruh bende Kiai Samudra yang dipukul beruntun, bertambah bingung oleh sumbangan suara kentongan bertalu-talu yang terdengar dari segala penjuru, juga oleh teriakan-teriakan menghujat yang terdengar cukup jelas berasal dari luar dinding istana.
Gajahmada 569 "Gila, bagaimana ini?" gugup Ra Kuti.
"Mestinya kau segera bertindak Ra Kuti," Ra Tanca menjawab.
"Istana harus dipertahankan mati-matian."
Ra Kuti berteriak, "Tutup pintu gerbang."
Ra Kuti mondar-mandir maju mundur ke samping dan berputar, dan kemudian dikagetkan oleh suara ambruk. Tubuh Ra Yuyu terjengkang karena dua batang anak panah telah melesat entah dari mana langsung menghunjam ke dadanya.
"Ra"..Ra Kuti," Ra Yuyu yang amat tersentak oleh sakit itu mengulurkan tangan.
Ra Kuti berputar dengan gugup. Sementara itu, Ra Tanca bersikap bijaksana dalam menyikapi keadaan. Ra Tanca pilih meletakkan senjatanya pelan ke tanah sebagai tanda menyerah. Ra Tanca kemudian mengangkat dua tangannya memegang kepala.
Dari balik dinding bersebelahan dengan bilik raja, lima orang muncul dengan anak panah mengarah tepat ke jantung Ra Kuti. Hanya Gajahmada yang tidak merentangkan gendewa. Gugup Ra Kuti melebihi kepanikannya, jantungnya berlarian amat kencang.
"Kau?" suara Ra Kuti nyaris tertelan.


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gajahmada tidak tersenyum, matanya tajam memandang Ra Kuti.
Ra Kuti mencoba untuk sadar dan menguasai diri, tetapi arah anak panah itu membuatnya gugup. Ra Kuti mencoba untuk tersenyum, barangkali senyum dan sikap mengiba yang dilakukannya akan meruntuhkan rasa iba Bekel Gajahmada, siapa tahu Gajahmada akan memberinya pilihan untuk pergi tidak usah kembali.
Ra Kuti yang semula mengalami kesulitan itu akhirnya berhasil tersenyum.
"Apa yang lucu?" tanya Gajahmada.
"Aku, kamu, apa yang akan kamu lakukan?" Ra Kuti berusaha sekuat tenaga bertanya.
570 Gajahmada Namun, Lembang Laut yang memberinya jawaban. Lembang Laut tak memiliki kesabaran yang cukup. Gendewa yang dipegangnya dengan arah lurus ke jantung Ra Kuti ternyata tidak mampu dipertahankan untuk tetap terentang. Manakala tangan kanannya yang memegang tali busur lepas, melesat anak panah itu menghunjam ke jantung Ra Kuti, ambruk Ra Kuti dengan mata terbelalak. Dengan sisa tenaganya Ra Kuti mencoba bangkit.
Ra Kuti merasakan sakit yang luar biasa, tetapi pimpinan pemberontak itu masih memiliki cadangan cukup besar untuk tertawa.
Kartika Sinumping mengarahkan anak panahnya untuk mengulangi perbuatan Lembang Laut, tetapi Gajahmada segera mengangkat tangannya mencegah perbuatan itu.
Ra Kuti tertawa geli dan terus tertawa. Ra Kuti berusaha keras mengesampingkan rasa sakitnya, suaranya bahkan makin keras seolah ada yang lucu dan tak mungkin tidak tertawa meski apa yang dilakukan menimbulkan rasa nyeri luar biasa.
Bahwa empat anak panah telah menghunjam ke tubuhnya menyebabkan Ra Kuti amat sadar pintu gerbang kematian terbuka untuknya. Namun, Ra Kuti bertahan untuk bergelak. Dorongan amat kuat muncul dari ketidakseimbangan jiwanya untuk menyongsong kematian itu dengan terus tertawa. Menjelang gerbang yang akan dilewati, Ra Kuti merasa petualangan sungguh merupakan peristiwa luar biasa, itu sebabnya ia merasa harus menertawakannya.
Hingga akhirnya Ra Kuti tidak mampu lagi bergerak, bahkan tatapan matanya tak lagi bercahaya.
"Ada banyak cara untuk mati," ucap Gajahmada terdengar jelas.
"Ra Kuti memilih cara kematiannya sendiri, mati dengan tertawa.
Mungkin ia menertawakan kekacauan yang kita alami atau mungkin ia merasa bangga dengan apa yang telah dilakukannya."
Apa yang diucapkan Bekel Gajahmada itu disimak dengan saksama oleh anak buahnya. Di tempatnya berdiri, Ra Tanca membeku. Ra Tanca sadar dan benar-benar siap seandainya Bhayangkara Kartika Sinumping
Gajahmada 571 dan Lembang Laut melepaskan tali gendewa dengan arah warastra ke jantungnya.
"Jangan," cegah Bekel Gajahmada. "Jebloskan ia ke penjara."
51 Kereta Kuda yang telah menempuh perjalanan jauh itu berderap perlahan menyusuri jalan utama menuju istana. Segenap kawula, laki-laki, perempuan, tua, muda berbaris di sepanjang tepi jalan untuk memberikan penghormatan kepada Sri Jayanegara yang kembali dari persembunyiannya. Meski ramai sepanjang jalan itu, sungguh senyap karena tak seorang pun bicara, tak seorang pun bercanda.
Agak terhuyung Jayanegara yang kemudian turun dari kereta setelah tiba di depan Purawaktra. Semua wajah memandangnya dengan sumbangan duka dan nestapa. Ibu Ratu Tribuana dan Prajnaparamita menjemput kepulangan raja yang sempat diguncang kekuasannya oleh petualangan Rakrian Kuti. Jayanegara sujud dan memberikan penghormatan sembahnya kepada mereka yang ia kasihi dan hormati sebagaimana kepada Stri Tinuheng Pura yang telah mendahului mangkat menyusul Raden Wijaya. Tunggadewi dan Dyah Wiyat mendekat dan mengalungkan rangkaian bunga. Untuk kedua saudara perempuannya itu, Jayanegara memeluk mereka bergantian.
Untuk perjalanan tersisa menuju Tatag Rambat suasana masih hening. Jayanegara menginginkan berjalan kaki, tetapi ternyata tubuhnya terlalu lemah untuk itu. Akhirnya, Jayanegara harus mengalah dengan memenuhi keinginan mereka yang akan membawanya dengan tandu.
Jayanegara telah kembali, namun dalam keadaan sakit. Sakit hatinya, sekaligus sakit tubuhnya. Keadaan negara yang porak-poranda, 572
Gajahmada banyaknya kawula yang terlukai hatinya menyebabkan Sri Jayanegara merasa sesak napasnya. Kisah yang menimpa keluarga Kayun yang semua lampus karena ternodai kehormatan dan martabat mereka menyebabkan Jayanegara merasa sebilah pedang dihunjamkan ke dadanya, atau alugora berukuran dua kepalan tangan diayunkan ke ulu hatinya.
Di bilik pribadi Jayanegara yang telah dibenahi dan dibersihkan dari sisa-sisa kotoran yang ditinggalkan Ra Kuti, segenap kerabat istana datang menunggui Jayanegara yang berbaring lemah.
Tribuanatunggadewi dan Rajadewi Maharajasa, masing-masing datang dengan calon suaminya. Kedua putri mendiang Raden Wijaya itu sangat prihatin oleh sakit yang diderita saudaranya. Empat Ibu Ratu yang sudah tua dan sebenarnya juga sakit-sakitan ikut menunggui satu-satunya anak lelaki peninggalan mendiang Raden Wijaya itu.
Di alun-alun di luar gerbang Purawaktra, segenap kawula berkumpul dan berdoa. Dari apa yang mereka lakukan dapat dibaca seberapa besar kecintaan mereka kepada rajanya, sekaligus menjadi kaca benggala kepada para prajurit, utamanya mereka yang semula mendukung perbuatan Ra Kuti.
Di bilik pribadi Jayanegara, Rajadewi yang menyentuh tubuh saudaranya terkejut mendapatkan kenyataan betapa panas tubuh Jayanegara. Raja Majapahit itu bahkan mulai mengigau mengucapkan kata-kata yang tidak jelas apa maknanya.
"Sakit apakah yang diderita Baginda?" tanya Rajadewi kepada Bekel Gajahmada.
Gajahmada menggeleng karena ia sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Namun, Gajahmada memiliki jawaban penyembuhannya.
"Bongol!" Gajahmada tidak menjawab pertanyaan Rajadewi, namun malah memanggil Gagak Bongol.
Gagak Bongol beringsut menghadap.
"Bawa Ra Tanca kemari!"
Gajahmada 573 Ra Tanca, ia seorang tabib dengan pengetahuan ilmu pengobatan dan nyaris tak seorang pun penduduk kotaraja Majapahit yang tidak mengenalnya. Sayang sekali, Ra Tanca merupakan bagian dari mereka yang melakukan makar.
Dikawal Gagak Bongol, Ra Tanca yang tangannya terikat tali janget itu tatapannya tertuju kepada semua yang hadir di ruangan pribadi Jayanegara. Tanca lalu menghentikan arah pandangnya kepada Rajadewi dengan tatapan yang Rajadewi amat bisa membaca warna hati lelaki itu kepadanya, menyebabkan Dyah Wiyat Rajadewi harus menundukkan kepala. Rajadewi yang menunduk itu bertanya riuh kepada dirinya sendiri, mengapa bayangan wajah laki-laki berwajah tampan itu selalu menggodanya.
"Periksa Tuanku Jayanegara, sakit apa yang dideritanya. Bongol, lepas ikatan talinya," perintah Gajahmada.
Dengan tenang Ra Tanca melakukan pemeriksaan. Di jauh hari sebelumnya Ra Tanca pula yang selalu menyembuhkan sakit apa pun yang diderita Jayanegara, kemampuan Ra Ranca itu juga menjadi langganan kerabat istana. Pada kurun waktu yang telah lewat, Ra Tanca juga yang menjadi paran jujugan ketika Dyah Wiyat jatuh sakit. Sebelumnya perhatian dan hasrat hati Tanca memang sudah tersita oleh raut wajah cantik dan suara lembut Rajadewi, hasrat itu kian menggoda dengan menyelinap di tiap tarikan napasnya dan di sela-sela angannya setelah memperoleh kesempatan menyembuhkan sekar kedaton dari sakit yang dideritanya.
"Bagaimana?" bertanya Bekel Gajahmada.
"Aku harus membuat racikan obat untuk menyembuhkan Tuanku,"
Ra Tanca menjawab. Diperhatikan oleh Dyah Wiyat Rajadewi yang mencuri pandang, juga di bawah pandangan mata para Ibu Ratu, Ra Tanca meracik berbagai bahan obat yang dikeluarkan dari buntalan yang selalu dibawanya ke mana pun ia pergi.
574 Gajahmada Di atas sebuah mangkuk, racikan dari beberapa bahan itu diaduk.
"Aku tak mungkin menggapai mimpiku," ucap Ra Tanca dalam hati dan hanya untuk dirinya sendiri. "Jika demikian, untuk apa aku hidup?"
Ra Tanca yang mengaduk sambil memejamkan mata itu dengan segera menerobos kenangannya ke sebuah waktu yang telah menjadi bagian masa lalu, bahkan lebih dari dua tahun lewat saat mana Sri Baginda memanggil untuk mengobati sakit yang dideritanya.
Di bilik itu pula, kala itu Ra Tanca hanya berdua dengan Sri Jayanegara.
"Bicaralah blak-blakan saja," ucap Jayanegara, "katakan bagaimana mimpimu. Aku ingin mengetahui."
Ra Tanca yang bersimpuh merapatkan kedua telapak tangannya.
"Ampun Tuanku, hamba memang memimpikan seorang gadis cantik yang hamba berangan-angan akan menjadi istri hamba. Hanya sayang, hamba tidak tahu apakah mimpi itu bisa hamba wujudkan sebagai kenyataan."
Jayanegara tertawa ringan.
"Gadis mana yang kaumaksud itu, aku akan membantumu mewujudkan menjadi kenyataan," jawab Jayanegara.
Tanca menunduk tidak menjawab.
"Kenapa diam?" tanya Jayanegara.
"Hamba harus melupakannya!" jawab Ra Tanca,
"Ayolah Ra Tanca, katakan saja. Perempuan mana yang menggoyang hati perasaanmu itu, aku sendiri nanti yang akan meminang untukmu. Jika aku yang meminang, siapa yang akan berani menolak pinangan itu?"
Namun, Ra Tanca bergeming tidak menyebut nama. Jayanegara tambah penasaran.
Gajahmada 575 "Orang yang kaumaksud itu, apakah aku mengenalnya?"
Ra Tanca bingung, namun entah mengapa Ra Tanca mengangguk.
Sri Jayanegara bangkit dari pembaringannya dan duduk tepat di depan Ra Tanca, pandangan matanya terarah ke muka pemuda tampan itu.
"Gadis yang kauangankan itu sangat cantik dan aku mengenalnya?"
Jayanegara sedikit agak berubah sikapnya. "Apakah gadis yang kaumimpikan untuk menjadi istrimu, menjadi tempat tumpahan nafsumu itu adalah para sekar kedaton atau salah satu di antaranya"
Tunggadewi atau Rajadewi?"
Ra Tanca yang basah kuyup oleh keringat itu bergeming dalam sila duduknya.
"Kamu menyukai Tunggadewi atau Rajadewi?" tanya Jayanegara.
Dengan bersusah payah Jayanegara harus menghapus semua kesan di wajahnya.
"Tunggadewi?" Jayanegara mengulang.
Ra Tanca menggeleng perlahan.
"Kalau begitu Rajadewi?" tekan Jayanegara.
Ra Tanca menjawab pertanyaan itu dengan merapatkan kedua telapak tangannya.
Menggigil Sri Jayanegara setelah mendengar jawaban jujur dari Tanca yang baginya sama sekali tak memiliki derajat martabat itu. Yang tidak diduga Ra Tanca adalah ketika mendadak Jayanegara meludah dengan kasar dan diarahkan itu ke mukanya. Berlepotan Ra Tanca oleh ludah Jayanegara, disusul terjengkang tubuhnya karena Jayanegara mendupak tubuhnya.
"Tidak tahu diri dan tak mampu berkaca, derajatmu apa dan kamu itu siapa?" teriak Sri Jayanegara.
Ra Tanca yang mengaduk ramuan obat dengan mata terpejam kembali membuka mata ketika Bekel Gajahmada memegang pundaknya.
576 Gajahmada "Obat apa ini?" bertanya Gajahmada. "Kau benar-benar membuat obat untuk menyembuhkan bukan" Bagaimana caramu membuktikan ini bukan racun?"
Ra Tanca menjawab pertanyaan itu dengan menuangkan seduhan obat itu ke telapak tangan kirinya dan menjilatnya, dengan cara itu Tanca yang kebal terhadap berbagai jenis racun itu ingin mengatakan, jika obat yang diraciknya itu mengandung racun maka Ra Tanca yang mencicipi tentu akan mati.
Namun, terbelalak setelah beberapa jenak Jayanegara meminum obat itu, matanya membeliak dan tercekik. Rajadewi dan Tunggadewi terpekik, para Ibu Ratu terperangah amat kaget. Gajahmada merasa isi dadanya akan meledak, dengan beringas ia meringkus Ra Tanca.
"Racun yang kauminumkan kepada Baginda?" teriak Gajahmada.
Panik semua yang berada di ruangan itu, dengan gugup para kerabat istana hanya bisa menyaksikan manakala Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara itu menggeliat liar tidak terkendali. Demikian cepat racun yang diminumkan itu meringkus nyawanya dan menarik paksa keluar dari tubuhnya.
"Keparat!" teriak Bekel Gajahmada.
Dengan tanpa menyisakan ragu secuil pun Gajahmada mencabut keris dari pinggangnya dan dihunjamkan ke tengah dada Ra Tanca.
Ra Tanca yang siap mati telah mempersiapkan diri menyongsongnya.
Sepenuh hati Ra Tanca memejamkan mata menunggu saat-saat nyawanya oncat dari raganya. Ra Tanca memejamkan mata untuk menikmati rasa sakit yang menyergapnya, sisa tenaga yang masih ada digunakan untuk berbisik,
"Bagaskara Manjer Kawuryan," desis Ra Tanca menjelang tutup mata untuk selamanya.
Surakarta Hadiningrat, Juli 2004.
Gajahmada 577 Daftar Istilah Adu benthik : nama jenis permainan Anakngger : sebutan orang tua kepada orang yang
dihormati, tetapi berusia jauh lebih muda Arang kranjang
: penuh luka-luka Ardhanareswari : julukan bagi Ken Dedes sebagai wanita utama yang menurunkan raja-raja
Batu gupala : patung batu berwujud raksasa duduk dengan satu kaki ditekuk dan memegang gada
Bediding : musim dingin yang sanggup membekukan minyak kelapa
Bekel : salah satu pangkat keprajuritan zaman Majapahit
Bende : sejenis gong Bendo : sejenis pedang Blondo : nama makanan yang berasal dari ampas pembuatan minyak
Brubuh : kacau-balau Bulak : padang luas; sawah luas
Butulan : bagian belakang rumah atau pintu belakang Cenggeret
: nama binatang yang memperdengarkan suara riuh
Cincing-cincing klebus : telanjur basah Cluthak : ungkapan untuk orang yang sering
berperilaku apa pun mau atau dengan siapa pun mau
Cucuk lampah : yang berjalan di depan sebagai panutan 578
Gajahmada Cukat trengginas : lincah terampil Dampyak-dampyak : berduyun-duyun Dipupuri : dibedaki Dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan : bukan saudara tetapi bila mati ikut kehilangan Endhas
: kepala (umpatan kasar) Endong : tempat anak panah; biasanya di gendong di punggung
Gamel : perawat kuda Gandhok : nama salah satu ruang dalam rumah jawa Gatra candra maletik
ing sasadara : sengkala tahun 1019 Guna kasantikan jaya kawijayan : ilmu kesaktian Jag-jagan : perbuatan (berbuat) seenaknya
Jigang : duduk dengan sebelah kaki diangkat
Kakawin : buku; catatan Kamulyan : kebahagiaan Kartika : bintang Kaswargan : surga Kawula : rakyat Keset gedibal : kaki tangan Klelekan klerak : tertelan klerak, klerak adalah sejenis buah bergetah yang sering dimanfaatkan untuk mencuci
Kraman : pemberontakan Kukusing dupa kumelun : asap dupa mengombak Lampor : barisan hantu pemangsa bayi
Lampus : mati Layon : mayat Lenggut-lenggut : yang dilakukan orang dengan menggerak-gerakkan kepala atau menari lemah gemulai saat mendengarkan tembang
Lintang kemukus : komet Linuwih, kawaskitan : memiliki kelebihan ketajaman mata hati Gajahmada 579
Luweng : gua atau lubang ke dalam tanah
Madek ratu : (menobatkan diri) menjadi ratu
Magersari : abdi perawat kebun dan yang mengurus rumah
Masanggrah : mendirikan pesanggrahan
Mbalela : berontak; makar Mbarang amuk : mengamuk Mendrip-mendrip : lampu minyak dengan nyala kecil sekali yang akan mati bila tertiup angin
Minger keblatnya : bergeser arah keyakinannya
Nabok nyilih tangan : memukul dengan meminjam tangan;
memfitnah; bertindak pengecut
Ndakik-ndakik : muluk-muluk Nganeh-nganehi : keadaan aneh; bersikap aneh
Ngapurancang : bersikap santun dengan dua tangan saling mendekap di dada
Ngelmu titen : hafal karena sering melihat kejadian yang berulang
Ngembat watang : merentang gendewa panah
Nggegirisi : bukan main; luar biasa Ngobak-obak banyu bening : mengaduk air bening hingga keruh; membuat kacau
Ngrabasa mungsuh : menyerbu musuh Ontran-ontran : kerusuhan Pacak baris : berbaris Pakunjaran : penjara Paran jujugan : sasaran langganan Parondan : gardu ronda Pasewakan : sidang Pategalan : kebun Patrem : senjata untuk perempuan berwujud keris kecil amat beracun
Pengewan-ewan : dihinakan; dilecehkan Perang brubuh : perang tanpa ikatan gelar
Pidak pidarakan : kelas rendah Pisowanan ageng : sidang besar 580 Gajahmada Planyahan : murahan (kaitannya dengan pelacuran) Prigel
: lincah Pringgitan : nama salah satu ruang terbuka antara rumah utama dan bangunan yang lain rumah Jawa Ranjab
: hujan senjata Rawe-rawe rantas

Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malang-malang putung : tak peduli apa pun yang merintangi akan dihadapi
Rontek : bendera (tetapi bukan bendera negara) Sanak kadang
: saudara dan famili Seloka : bait; bab (dalam buku) Sepenginang : sedikit waktu yang digunakan untuk makan sirih (nginang), maksudnya tidak terlalu lama; sebentar
Sesorahmu : ucapanmu, pidatomu Sewaka : menghadap dalam persidangan raja
Tali janget : tali yang amat ulet terbuat dari serat janget Tali warastra
: tali anak panah Tandang grayang : sepak terjang Tenteram kerta tata raharja: aman, damai, adil, dan makmur Tinggal gelanggang colong
playu : melarikan diri tanpa tanggung jawab
Trengginas : terampil; lincah Tunggak kemaduh : parasit Uleng-ulengan : bergolak Umbul-umbul : bendera memanjang (pada zaman sekarang digunakan untuk sebagai media iklan)
Warastra : anak panah Watang sanderan : panah yang dilengkapi suara dan
memperdengarkan suara melengking saat di lepas ke udara
Watang : anak panah Wedang : minuman hangat Weruh sakdurungu winarah : kemampuan melihat apa yang belum terjadi melalui ketajaman mata hati
Gajahmada 581 TENTANG PENULIS LANGIT KRESNA HARIADI. Ada
banyak wilayah penyampaian gagasan yang dilalui sosok satu ini, mulai dari MC temanten Jawa, penyiar radio, dan drama radio. Bermula sekadar iseng, namun dari yang iseng itu tulisan dramanya (melalui sebuah radio swasta di Solo, ada sekitar 40-an judul karyanya yang tidak terdokumentasikan dengan baik, dua di antaranya dijadikan objek kajian skripsi oleh dua mahasiswa di dua perguruan tinggi berbeda) dua kali menyabet gelar terhormat tingkat Jawa Tengah. Selama di Solo bergabung dengan Sanggar Shakuntala (sebuah karyanya dibeli oleh PT Kanta Indah Film). Tidak puas di daerah, Langit K.H. pindah ke Jakarta bergabung dengan PT Sanggar Prathivi.
Pemain-pemain drama andal seperti Ferry Fadli, Ivone Rose, Petrus Ursfon, Hanna Pertiwi (Trio Ceriwis), M. Abud, Elly Ermawati, mereka terlibat sangat intensif dalam drama yang dibesutnya antara lain Sabda Pandita Ratu, Asmara Gang Senggol, Titisan Sang Batari, Gandrung Osing.
Mantan wartawan harian umum ABRI (perubahan nama dari harian Angkatan Bersenjata ini) juga berkreasi di jalur cerita silat. Kekagumannya pada penulis cerita silat legendaris dari Yogya, SH Mintardja, mengilhaminya menulis Beliung dari Timur yang dimuat bersambung di harian umum ABRI yang tak terampungkan karena koran milik TNI 582
Gajahmada itu gulung tikar diterjang reformasi. Beliung dari Timur mencuri minat harian SOLOPOS Surakarta dan mengunjungi pembaca tiap pagi melalui harian itu dan berlanjut ke sekuelnya Sang Ardhanareswari dimuat koran yang sama.
Penulis yang pekerjaan sehari-harinya menulis novel ini (ditekuninya sebagai profesi) dan menjadi Indonesian contributor untuk warta berbasis internet di negeri Jiran, tercatat melahirkan: 1. Balada Gimpul terbitan Balai Pustaka Jakarta, 2. Kiamat Para Dukun, Era Intermedia Solo, yang merupakan refleksi keprihatinannya terhadap pembantaian para dukun santet di kampung halamannya, Banyuwangi, 3. Libby, Tinta Yogyakarta, 4. De Castaz, Tinta Yogyakarta, 5. Melibas Sekat Pembatas, Tinta Yogyakarta, 6. Serong, Tinta Yogyakarta, 7. Eksplorasi Imajinasi, PT Tiga Serangkai Solo, 8. Antologi Manusia Laminating, Tinta Yogyakarta, 9. Alivia, Tinta Yogyakarta, 10. Libby 2 dari sebuah trilogi, Tinta Yogyakarta.
Dahsyatnya, semua novel tersebut (kecuali Balada Gimpul) terbit tahun 2004.
Komentar dan kritik menggigit atau luapan kejengkelan (dan kemarahan sekalipun) bisa dilampiaskan kepadanya melalui www.Langit_kh@yahoo.com
Pedang Kayu Harum 15 Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung Pendekar Bayangan Setan 3
^