Pencarian

Gajahmada 9

Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 9


Panji Saprang merupakan bagian dari komplotan telik sandi itu.
"Itu sebabnya, aku ingin untuk sementara kau bekerja sendiri. Aku yakin kau pasti bisa," ucap Gajahmada.
Gajahmada 471 "Akan aku usahakan Kakang Bekal, kepercayaan yang Kakang Bekel berikan, juga restu dari Sri Baginda merupakan kehormatan dan kebanggaan tiada terkira," ucap Kartika Sinumping.
Sejengkal waktu kemudian Bhayangkara Kartika Sinumping membalapkan kuda tunggangannya justru balik arah kembali ke Majapahit, meninggalkan Bekel Gajahmada hanya berdua dengan Jayanegara. Agar tidak berpapasan dengan teman-temannya sebagaimana permintaan Bekel Gajahmada, Bhayangkara Kartika Sinumping mengambil arah jalan lain.
"Tuanku butuh istirahat?" Bekel Gajahmada tiba-tiba bertanya.
"Ya," jawab Jayanegara dengan lahap.
Gajahmada memerhatikan gerumbul pohon bambu yang amat lebat tidak jauh dari perempatan jalan yang sepi itu. Di belakang gerumbul bambu itu tentu merupakan tempat yang cukup tersembunyi untuk beristirahat. Di tempat itulah Gajahmada mempersilakan Jayanegara untuk tidur beberapa jenak. Soal perut, Raja Majapahit itu tidak kelaparan lagi sebagaimana hari sebelumnya karena di sepanjang perjalanan yang ditempuh ketika melewati sebuah warung disempatkan untuk membeli makanan yang tahan lama.
Jayanegara yang berbaring beralas rerumputan berbantal buntalan barang bawaan milik Gajahmada itu bangkit lagi.
"Orang-orang melakukannya dengan penuh gairah sampai lupa kepada anak dan istri, tetapi bukan adu jago, apakah itu maksudnya Gajahmada?" bertanya Jayanegara.
Gajahmada menoleh. "Itu petunjuk bagi Bongol dan Lembang Laut, ke mana ia harus menyusul kita."
"Ke mana?" bertanya Jayanegara.
Gajahmada tak bermaksud tersenyum, juga tak bermaksud bercanda dengan apa yang diucapkannya.
472 Gajahmada "Hamba Tuanku," berkata Gajahmada. "Hamba tidak boleh memberi tahu Tuanku karena Tuanku nanti akan membocorkan kepada orang lain."
Jayanegara tertegun. Namun, sejenak kemudian Jayanegara tertawa.
"Silakan Tuanku beristirahat, agak siang kita melanjutkan perjalanan menemui Lurah Kudadu," jawab Gajahmada.
Lagi-lagi Jayanegara yang bermaksud membaringkan diri beralaskan rumput itu bangkit lagi.
"Jadi, itukah yang kausembunyikan di balik pesan aneh untuk pasukanmu?" tanya Jayanegara.
"Hamba Tuanku, silakan beristirahat."
Sri Jayanegara berbaring dan dengan cepat dorongan rasa capai dan kantuk menyebabkan raja tergusur itu tidur pulas. Gajahmada mengamati keadaan dan kembali harus meyakinkan kuda-kudanya berada di tempat aman dan tidak akan menarik perhatian siapa pun.
Pada dasarnya deretan rumpun bambu yang amat tebal itu memang menyembunyikan keberadaannya.
Matahari memanjat agak tinggi ketika suara gaduh rombongan berkuda yang akan melewati tempat itu hinggap di gendang telinga Kalagemet. Jayanegara bergegas bangun, tetapi Gajahmada melekatkan telunjuk jari ke hidung, sebuah isyarat agar Jayanegara tidak bersuara.
"Siapa mereka?" bisik Jayanegara.
"Gagak Bongol dan kawan-kawannya Tuanku," jawab Gajahmada.
"Terus?" tanya Jayanegara. "Mengapa kita malah bersembunyi, mengapa kamu tidak menghadangnya?"
"Biar saja mereka ke Angawiyat, Tuanku," jawab Gajahmada. "Dari Angawiyat Lembang Laut dan Bongol akan menyusul kita ke pegunungan kapur utara."
Gajahmada 473 Pegunungan kapur utara, tempat itu sempat mendapatkan perhatian di hati Jayanegara. Atas dasar laporan dari seorang pejalan yang gemar menelusuri satu tempat ke tempat lain, dari orang yang oleh Gajahmada disebut Prapanca yang dijulukinya si juru warta, dikirimlah bantuan makanan ke wilayah yang dilanda kekeringan dan kesulitan bahan makanan itu. Berpuluh-puluh pedati bahan makanan dan kebutuhan yang lain dikirim untuk menolong para kawula di pegunungan kapur utara yang sedang dilanda paceklik. Kini, Bekel Gajahmada mengarahkan perjalanan penyelamatan Raja Majapahit itu ke sana. Tempat yang menjadi pilihan arah Bekel Gajahmada itu sebenarnya tidak seberapa jauh bila ditarik garis lurus dari ibu kota Majapahit, tetapi karena perjalanan melingkar yang dipilih dalam rangka menghapus jejak, perjalanan itu menjadi dua kali lipat jauhnya.
Derap rombongan berkuda itu makin lama makin dekat. Dari sela-sela rimbun pohon bambu, Gajahmada dan Sri Jayanegara melihat rombongan pasukan berkuda itu memang benar Gagak Bongol dan Lembang laut beserta segenap pasukan Bhayangkara. Berkuda paling belakang ikut membedal kuda penuh semangat adalah Singa Parepen.
Namun, Gajahmada segera mencuatkan kedua alisnya.
"Ada apa?" bertanya Jayanegara Kalagemet.
"Hamba Tuanku," jawab Gajahmada. "Hamba tidak melihat Bhayangkara Risang Panjer Lawang."
Penasaran Gajahmada menulari Jayanegara.
"Apa itu artinya?"
Bekel Gajahmada berpikir, butuh beberapa jenak Gajahmada mencoba mencari jawabnya, tetapi tidak menemukan. Sebuah prasangka justru muncul di benaknya terkait dengan ulah mata-mata yang selama ini menjengkelkan hatinya.
"Risang Panjer Lawangkah orangnya?" bertanya Gajahmada.
Gajahmada tentu tidak menduga, Risang Panjer Lawang telah kehilangan nyawa sebagai akibat dari perbuatan Bhayangkara pengkhianat yang menjadi telik sandi Ra Kuti.
474 Gajahmada Manakala matahari memanjat makin tinggi dan Jayanegara merasa agak pulih kesegaran pikirannya, Bekel Gajahmada memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tidak sebagaimana rombongan pasukan Bhayangkara yang mengambil jalan lurus ke arah matahari tenggelam, Bekel Gajahmada mengambil jalan menyimpang ke kanan.
Perjalanan yang akan ditempuh menuju pegunungan kapur utara dengan berkuda setidaknya membutuhkan waktu sehari semalam, sebaliknya perjalanan yang ditempuh Lembang Laut beserta Gagak Bongol dan anak buahnya menuju ke Angawiyat membutuhkan waktu lebih panjang karena jaraknya lebih jauh. Apabila dari Angawiyat nantinya melanjutkan perjalanan ke Kudadu, jarak tempuhnya lebih jauh lagi karena perjalanan yang melingkar kembali ke arah timur menyusur Jawa bagian utara.
Ketika menyusur lebatnya hutan Saradan, lamat-lamat di arah surya tenggelam terlihat megahnya Arga Lawu yang menjulang tinggi menggapai langit. Dari Angawiyat bentuk gunung itu terlihat lebih jelas dengan arah pandang ke barat laut.
Sehari semalam pun kemudian berlalu. Rombongan pasukan berkuda di bawah pimpinan Lembang Laut dan Gagak Bongol akhirnya tiba di Angawiyat. Di sebuah bulak panjang nyaris tanpa tepi, di tempat yang banyak ditumbuhi ilalang serta rumput alang-alang, Bhayangkara Jayabaya, Panjang Sumprit, dan Lembu Pulung membuat perapian berjajar tiga dan masing-masing sedikit terpisah. Di mata orang yang tidak memahami, asap yang membubung dari tiga perapian itu tak lebih dari perbuatan petani yang membersihkan ladang dari daun-daun kering.
Namun, tidak demikian bagi pasukan Bhayangkara yang dipimpin Lembang Laut dan Gagak Bongol. Warna kekuningan pada asap yang mengapung di udara terbawa gerak angin mempunyai makna tertentu.
Manakala rombongan pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Lembang Laut itu telah bergabung dengan Bhayangkara Jayabaya, Lembu Pulung, dan Panjang Sumprit, rasa penasaran menyeruak di benak mereka manakala tidak melihat Bekel Gajahmada dan Prabu Jayanegara. Namun, semua segera memahami, ketidakberadaan Gajahmada 475
Gajahmada dan Sri Jayanegara itu merupakan bagian langkah pengamanan yang diambil Gajahmada.
"Sebagaimana yang aku duga bahwa Angawiyat ini tak lebih seperti Krian, arah untuk menyesatkan Ra Kuti," berkata telik sandi Ra Kuti yang menyusup dalam tubuh Bhayangkara itu untuk diri sendiri.
Gagak Bongol dan Lembang Laut memisahkan diri. Berdiri bersebelahan Panjang Sumprit, Lembu Pulung memerhatikannya.
"Kita telah sampai di Angawiyat, langkah berikutnya apa?" bertanya Gagak Bongol.
Lembang laut merasa bingung.
"Aku tidak tahu. Kakang Bekel Gajahmada mengatakan, sesampai di Angawiyat akan ada yang memberi tahu kita, ke mana selanjutnya kita menempuh perjalanan."
Lembu Pulung yang bisa menebak pembicaraan apa yang terjadi antara Gagak Bongol dan Lembang Laut bergegas mendatanginya.
"Aku ingin berbicara hanya berdua dengan Kakang Lembang Laut."
Lembang Laut dan Gagak Bongol saling pandang.
"Kamukah orangnya?" bertanya Lembang Laut dalam nada berbisik.
"Ya," jawab Lembu Pulung.
Lembang Laut dan Lembu Pulung segera memisahkan diri. Dari tempat masing-masing segenap Bhayangkara memerhatikan dengan cermat. Segenap Bhayangkara tahu makna apa yang berada di balik pembicaraan itu, demikian juga dengan telik sandi mata-mata Ra Kuti, dari balik wajahnya yang bagai mengenakan topeng berlapis-lapis ikut memerhatikan dan menerka. Perhatian yang diberikan mata-mata itu jauh melebihi para Bhayangkara yang lain.
Lembang Laut memandang Lembu Pulung amat tajam.
476 Gajahmada "Orang-orang melakukannya dengan penuh gairah sampai lupa kepada anak dan istri, namun bukan adu jago," ucap Lembu Pulung.
Lembang Laut mencuatkan alis, dengan saksama Lembang Laut mengarahkan perhatiannya pada kalimat sandi itu.
"Itu pesan Kakang Bekel yang harus aku sampaikan kepadamu,"
Lembu Pulung menambah. Lembang Laut bingung, sambil menunduk ia melirik.
"Coba kauulangi," ucapnya.
"Orang-orang melakukannya dengan penuh gairah sampai lupa kepada anak dan istri, namun bukan adu jago," ulang Lembu Pulung.
Kening Lembang Laut tampak berkerut memecahkan teka-teki itu, tetapi tidak menemukannya. Lembang Laut justru mengembalikan pertanyaan itu kepada Lembu Pulung.
"Tahu apa artinya itu?" tanya Lembang Laut.
Lembu Pulung menggelengkan kepala.
Lembang Laut mengulang, "Orang-orang melakukannya dengan penuh gairah sampai lupa kepada anak dan istri, namun bukan adu jago, apa yang dimaksud Kakang Bekel Gajahmada. Jika yang dimaksud adalah perbuatan yang menyebabkan pelakunya sampai lupa diri, lupa anak, lupa istri, yang dimaksud berjudi kan?"
"Ya," jawab Lembu Pulung.
"Terus?" berbisik Lembang Laut. "Kita disuruh berjudi apa?"
Lembu Pulung mengira, demikian kalimat sandi itu disampaikan kepada Lembang Laut maka Lembang Laut telah siap dengan jawabannya. Dugaannya salah, manakala Lembang Laut bingung tidak mampu memecahkan teka-teki di balik kata-kata sandi itu Lembu Pulung sama bingungnya.
"Apakah aku boleh menanyakan apa kira-kira maksudnya kepada orang lain?" tanya Lembu pulung.
Gajahmada 477 "Jangan, tidak boleh," jawab Lembang Laut. "Aku harus memecahkan kalimat sandi itu sendiri tanpa bantuan orang lain."
Akan tetapi, isi otak Lembang Laut benar-benar sedang buntu.
Kalimat sandi yang harus dipecahkan itu ternyata membingungkan, padahal apabila kalimat sandi itu tidak bisa diterjemahkan maknanya maka untuk selanjutnya tak akan ada perjalanan.
"Bantu aku berpikir," berbisik Lembang Laut.
"Ya, sudah aku lakukan dari tadi."
Bongol yang masih duduk di atas kudanya mendekat.
"Bagaimana?" Lembang Laut bingung tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Di satu sisi Lembang Laut merasa harus merahasiakan kalimat sandi petunjuk arah perjalanan yang harus ditempuhnya, di sisi lain ia tidak berhasil menemukan teka-teki di balik kalimat sandi itu.
"Ada baiknya kita beristirahat," jawab Lembang Laut, "sampai kita berhasil menemukan arah ke mana harus menyusul Kakang Bekel."
Gagak Bongol terheran-heran.
"Kenapa?" "Kalimat sandi yang ditinggalkan Kakang Bekel agak sulit diartikan, aku sedang berusaha keras mencernanya."
Gagak Bongol segera memutar kudanya.
"Kita beristirahat."
Perintah telah diberikan, para Bhayangkara berloncatan turun. Seperti telah memahami benar apa tugas masing-masing, beberapa Bhayangkara bergegas pergi meninggalkan tempat itu untuk berburu, sebagian yang lain mencari kayu bakar untuk menyalakan kembali perapian yang semula digunakan sebagai isyarat dan hampir padam, sementara beberapa orang yang lain menggiring kuda-kuda untuk mendapatkan makanan. Berdiri di atas dahan sebuah pohon, Bhayangkara Pradhabasu menempatkan diri melakukan tugas pengintaian. Walau tempat itu amat jauh dari kotaraja Majapahit dan kecil kemungkinan pasukan pemberontak menyusul sampai Angawiyat, tidak ada salahnya selalu menjaga kewaspadaan.
478 Gajahmada Lembang Laut masih tetap dibingungkan oleh teka-teki kalimat sandi sebagai petunjuk arah perjalanannya, terpaksa Lembang Laut harus melibatkan Gagak Bongol.
"Kakang Bekel meninggalkan kalimat sandi," berkata Lembang Laut. "Orang-orang melakukannya dengan penuh gairah sampai lupa kepada anak dan istri, namun bukan adu jago. Menurutmu apa yang dimaksud Kakang Bekel dengan kalimat sandinya yang aneh itu?"
Gagak Bongol memamerkan pandangan mata bersungguh-sungguh.
"Itulah petunjuk arah yang diberikan Kakang Bekel ke mana kita harus menempuh perjalanan berikutnya," Lembu Pulung menambah.
Gagak Bongol memejamkan mata sejenak, lalu menebarkan pandang matanya ke hamparan bulak panjang yang luas.
"Rasanya jawaban dari pertanyaan itu ada pada permainan judi, jika yang dimaksud selain adu jago, judi dimaksud bisa permainan dadu, bisa mengadu balap kuda atau bahkan permainan adu benthik pun bisa dijadikan permainan judi. Yang mana dimaksud Kakang Bekel?"
"Itulah anehnya," jawab Lembang Laut.
Manakala waktu bergeser dengan matahari mulai doyong ke arah barat, bau daging ayam hutan yang dibakar menyebar ke mana-mana.
Ada cukup banyak ayam liar di bulak alang-alang tidak terawat itu sehingga para Bhayangkara bisa menyantap sepuasnya. Pradhabasu seperti orang yang kelaparan telah tidak makan sebulan lamanya, dengan amat lahap menyantap jatah yang menjadi bagiannya. Di sebelahnya tanpa banyak bicara Pradamba menghabiskan pula jatah miliknya, sementara di sebelahnya lagi Singa Parepen makan sambil melamun.
Kematian Risang Panjer Lawang di Kabuyutan Mojoagung membuat Singa Parepen masih terpukul.
Di antara mereka yang sedang makan bersama tanpa banyak bicara itu, telik sandi Ra Kuti berpikir keras mencoba menebak ke mana Bekel Gajahmada berusaha menyelamatkan Jayanegara. Sebelumnya, tebakannya atas Kabuyutan Mojoagung terbukti benar, ke mana arah Gajahmada 479
berikutnya ternyata tidak mudah untuk dipecahkan. Untuk mengetahui langkah yang diambil Bekel Gajahmada, haruslah membayangkan bagaimana cara Gajahmada berpikir.
"Gajahmada memang gila," ucap orang itu. "Rasanya tak ada orang gila yang melebihi gilanya Gajahmada. Pengawalan terhadap raja menggunakan cara ngawur. Harusnya raja dikawal beramai-ramai, bukan seperti bermain petak umpet seperti ini."
Telik sandi itu mengurai ikat pinggangnya, untuk memberi kelegaan pada perutnya yang kenyang.
"Aku punya teka-teki," tiba-tiba Gagak Bongol menceletuk. "Siapa bisa menjawab?"
Perhatian telik sandi itu seketika tersita, walau demikian dengan segera mata-mata pendukung Ra Kuti itu mengaburkan kesan apa pun dari wajahnya. Yang dilakukan mata-mata itu justru berbaring di atas rerumputan sambil memejam, dengan tangan kiri diselundupkan ke perut untuk mengelus-elus rasa kenyang.
"Ada tanah lapang lebar nan luas," Gagak Bongol menguraikan teka-tekinya. "Ada hamparan hijau nan luas, lalu ada dua gundukan seperti pantat, di bawahnya ada gundukan dengan totol-totol hijau, apakah itu?"
Para Bhayangkara yang sedang makan saling pandang, Bhayangkara Gagak Bongol sendiri telah selesai makan.
"Tidak ada yang bisa?"
Tidak seorang pun menjawab.
"Ada tanah lapang lebar nan luas itu memang tanah lapang luas yang dihampari rerumputan menghijau. Dua gundukan seperti pantat itu aku sedang jongkok, gundukan kuning dengan totol-totol hijau itu tahiku dirubung lalat hijau."
Gagak Bongol mengakhiri ceritanya dengan tawa ngakak, sebaliknya merah padam wajah Pradhabasu yang sedang menyelesaikan makan.
480 Gajahmada "Nggilani!" teriak Pradhabasu keras. "Aku masih belum selesai makan!"
Pradhabasu ternyata memiliki kepekaan luar biasa kepada hal-hal menjijikkan. Mendadak Pradhabasu berdiri dan terpaksa mengeluarkan isi perutnya. Singa Parepen yang dililit duka oleh kematian Risang Panjer Lawang ternyata bisa tertawa menyaksikan kekonyolan teman-temannya.
Akan tetapi, walaupun Gagak Bongol berbicara hal-hal menjijikkan, beberapa Bhayangkara lain sama sekali tidak terpengaruh.
"Ayam yang aku makan ini berlepotan tahi sapi," celetuk Riung Samudra yang lagi-lagi disambut dengan derai tawa. Macan Liwung terpingkal.
Pradhabasu akhirnya ikut tertawa.
Perhatian telik sandi pendukung Ra Kuti itu kembali terpusat manakala Lembu Pulung angkat bicara.
"Aku juga punya teka-teki," ucap Lembu Pulung. "Orang-orang melakukannya dengan penuh gairah sampai lupa kepada anak dan istri, namun bukan adu jago, apakah itu?"
"Itu judi, main dadu!" jawab Singa Parepen seketika.
Gagak Bongol dan Lembang Laut saling lirik dengan raut muka amat bersungguh-sungguh.
"Ada lagi?" bertanya Lembang Laut.
Para Bhayangkara mendadak terbungkam mulutnya manakala mereka mendadak curiga, pertanyaan yang dilontarkan Lembu Pulung itu berupa ucapan sandi yang ditinggalkan Bekel Gajahmada untuk mereka.
Para Bhayangkara bingung, sebagaimana Bongol dan Lembang Laut masih didera teka-teki jawaban kalimat sandi itu. Jika ada yang menyembunyikan senyumnya rapat-rapat, orang itu adalah telik sandi Ra Kuti yang merasa mengetahui jawabnya.
"Judi yang bukan adu jago, judi apa kalau bukan dadu. Jika itu yang dimaksud Bekel Gajahmada, tempat mana lagi kalau bukan Gajahmada 481
Kudadu di daerah pegunungan kapur utara. Kudadu, sebuah tempat yang berutang budi pada Sri Jayanegara karena pernah mengalami kesulitan pangan oleh paceklik panjang beberapa tahun yang lalu. Aku bahkan ke sana menjadi bagian dari yang bertanggung jawab terhadap pengiriman bahan makanan itu," berkata telik sandi itu dalam hati.
Pradhabasu adalah orang yang paling suka bicara ceplas-ceplos.
"Apakah itu kalimat sandi dari Kakang Bekel sebagai petunjuk arah yang harus kita tempuh?" bertanya Bhayangkara bertubuh gagah kekar itu.
Gagak Bongol dan Lembang Laut tidak bisa mengelak lagi.
Lembang Laut akhirnya mengangguk.
"Benar!" ucapnya.
"Aku tahu jawabnya," jawab Parepen. "Kurasa kita harus menyusul Kakang Bekel dan Tuanku Baginda ke Kudadu, ke tempat di mana sekian tahun yang lalu kita pernah ke sana untuk mengirim bahan makan."
Lembang Laut mengelus kepala. Gagak Bongol tidak menduga jawaban dari kalimat sandi itu ternyata demikian mudah, bahkan anak kecil pun bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah. Tentu permainan judi yang lazim dilakukan orang selain adu jago memang bermain dadu, sementara di pegunungan kapur utara sana terdapat sebuah desa bernama Dadu atau bila disebut lebih lengkap adalah desa Kudadu.
Lembang Laut yang duduk itu kemudian berdiri untuk meminta perhatian kepada segenap Bhayangkara. Lembang Laut menebar pandangan mata menelusuri semua wajah. Melihat mereka semua, berlatar kebersamaan yang terjalin selama ini, sulit rasanya untuk menerima kenyataan di antara Bhayangkara itu ada yang menempatkan diri sebagai pengkhianat dengan menjadi kepanjangan tangan Rakrian Kuti.
"Segenap Bhayangkara," Lembang Laut mengawali pembicaraannya. "Selama ini kita telah mengalami perjalanan suka dan duka bersama. Medan apa pun kita hadapi dengan penuh semangat, penuh kebersamaan nyaris seperti sebuah keluarga. Namun, 482
Gajahmada pemberontakan yang dilakukan Rakrian Kuti membuka mata kita bahwa ada orang macam Panji Saprang yang tega mengkhianati teman sendiri dan pilih menempatkan diri menjadi kaki tangan Ra Kuti. Panji Saprang mati rupanya masih ada yang lain yang menyusup menjadi benalu di tubuh kita, terbukti dari Ra Kuti telah menelan umpan yang ditebar Kakang Bekel di Krian, juga dari penyerbuan yang dilakukan ke Kabuyutan Mojoagung. Terakhir, kematian sahabat kita Risang Panjer Lawang di Mojoagung jelas bukan oleh serangan prajurit pendukung Ra Kuti. Luka melintang di bagian belakang tubuh Risang Panjer Lawang jelas dilakukan pengkhianat itu."
Lembang laut menghentikan kata-katanya untuk memerhatikan semua wajah yang menatapnya.
"Sungguh amat tak nyaman menaruh curiga kepada teman-teman kita sendiri. Namun, itulah kenyataannya, di antara kita ada yang hatinya berbulu, penyakitan, yang hal itu memaksa Kakang Bekel menggunakan bentuk pengawalan seperti ini. Kepadaku Kakang Bekel Gajahmada memberi kewenangan penuh jika pengkhianat itu berniat memberi pengakuan. Kesalahannya akan diampuni asal mau berjanji untuk mengubah sikapnya."
Beberapa Bhayangkara saling pandang, tetapi Pradhabasu tidak bisa menerima ucapan itu begitu saja.
"Termasuk kesalahannya membunuh Risang Panjer Lawang, akan diampuni?" ledaknya.
"Tidak bisa," Parepen berteriak. "Pengakuannya tak bisa dibayar dengan pengampunan begitu saja, kesalahannya membunuh Panjer Lawang harus dibayar dengan nyawanya. Aku sendiri yang akan mengayunkan pedang membabat lehernya."
Sesak dada Gagak Bongol. Gagak Bongol orang yang merasa paling tidak nyaman berada di arah telunjuk Bekel Gajahmada yang mencurigainya bertanggung jawab di belakang diketahuinya persembunyian raja di Kabuyutan Mojoagung. Namun, Gagak Bongol hanya bisa menahan beban berat itu.
Gajahmada 483 Lembang Laut menyapu bulak luas dengan pandangan matanya.
"Malam ini kita beristirahat di sini, besok kita lanjutkan perjalanan ke Kudadu. Aku berharap malam ini ada yang menemuiku untuk membuat pengakuan dan penyesalan."
Mata-mata Ra Kuti menyembunyikan senyumnya dalam hati. Di balik perbendaharaan wajahnya yang banyak, bagaikan topeng yang melapisi topeng dan masih dilapisi topeng lagi, telik sandi itu yakin jika tidak terjadi sesuatu yang luar biasa, keberadaannya sebagai mata-mata tidak akan diketahui siapa pun.
Akan tetapi, manakala matahari makin doyong ke arah barat, hantaman palu alugora serasa menghajar dada Bhayangkara Gagak Bongol dan Lembang Laut. Bersama-sama segenap Bhayangkara yang lain, pandangan mata diarahkan ke langit, di sana seekor burung merpati terbang berputar mengepakkan sayap dengan sangat kencang, makin lama makin membubung untuk kemudian melesat cepat ke arah selatan.
Lembang Laut terus mengamati gerak burung yang melaju kencang itu.
"Perbuatan siapa itu?" teriak Gagak Bongol.
Membubungnya burung merpati itu, apalagi setelah diketahui ke mana arah yang ditempuh Gajahmada jelas merupakan bahaya yang tidak bisa diabaikan. Merpati itu jelas membawa berita penting itu untuk Ra Kuti.
"Pengkhianat!" teriak Bongol yang sangat marah. "Siapa yang melepas burung merpati itu."
Namun, memang tidak seorang pun yang tahu, siapa orang yang melepas burung merpati itu. Keadaan yang sama sekali tidak nyaman itu menggerataki para Bhayangkara. Sungguh sebuah keadaan yang sangat tidak nyaman manakala harus mencurigai teman sendiri.
Akan tetapi, Gagak Bongol dan Lembang Laut bertindak cekatan.
"Semua berkumpul, pacak baris!" teriak Lembang Laut.
Perintah telah diberikan, Bhayangkara yang menyebar bergegas berkumpul melakukan pacak baris sebagaimana perintah yang diberikan.
484 Gajahmada Gagak Bongol mengawasi, sementara Lembang Laut segera melakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan anak buahnya. Satu per satu buntalan pakaian itu digeledah. Mata Lembang Laut terbelalak ketika sampai kepada salah satu buntalan menemukan remah jagung dalam jumlah banyak. Lembang Laut melangkah mendekat ke orang yang diketahui memiliki buntalan itu.
"Sebuah cara yang murah dan mudah untuk mengurangi kekuatan pasukan Bhayangkara," ucap mata-mata Ra Kuti yang berada dalam pacak baris pasukan Bhayangkara itu.
Pucat pasi Mahisa Kingkin karena dialah pemilik buntalan pakaian yang di dalamnya ditemukan remah-remah jagung makanan burung merpati itu.
"Jadi, kau pengkhianat itu?" desis Lembang Laut.
"Tidak!" jawab Mahisa Kingkin. "Bukan aku."
"Bagaimana kau menjelaskan makanan burung merpati bisa berada dalam buntalan pakaianmu?" tekan Lembang Laut.
"Dan, teganya kaubantai Panjer Lawang dengan cara sangat pengecut itu?" Gagak Bongol menambah.
Gugup Mahisa Kingkin Namun, apa yang dilakukan Gagak Bongol adalah mengakhiri hidup Mahisa Kingkin untuk selamanya. Ayunan pedang yang dilakukan Bongol dari arah belakang menyambar leher itu menyebabkan kepala Mahisa Kingkin terpisah dari tubuhnya. Tak seorang pun dari Bhayangkara yang memalingkan wajah manakala Gagak Bongol menuntaskan hukuman yang dijatuhkan kepada pengkhianat yang telah merepotkan itu.
"Benar-benar sebuah harga yang murah meriah, bahkan tanganku pun tak harus berlepotan darah. Mestinya, aku yang mengayunkan pedang memenggal leher itu untuk menyempurnakan sandiwara yang kulakukan."
Kini, Pradhabasulah yang terhenyak.
Gemetar cukup lama Pradhabasu memandangi tubuh Mahisa Kingkin yang membeku dengan darah masih deras muncrat dari bagian Gajahmada 485
lehernya. Pradhabasu bahkan tak mampu berdiri cukup lama. Dengan pandangan mata terbelalak, Bhayangkara yang usianya paling muda itu memandangi tubuh sahabatnya yang telah koncatan nyawa. Pradhabasu sangat tidak percaya Mahisa Kingkin pengkhianat yang mempermainkan pasukan Bhayangkara selama ini.
"Mahisa Kingkin," berbisik Pradhabasu. "Kaukah pelakunya?"
Namun, buntalan berisi remah jagung itu memang bukti yang tak terbantah, makanan untuk burung merpati itu ditemukan di buntalan pakaian milik sahabatnya.
Benar-benar retak hati Pradhabasu sebagaimana retak tanah yang digalinya dengan berleleran keringat. Bhayangkara yang lain bisa memahami karena sangat sulit dimengerti Mahisa Kingkinlah orangnya, yang demikian rapi menyembunyikan wajah lain. Meski Mahisa Kingkin terbukti pengkhianat itu, tetapi kedekatan yang terjalin selama ini tidak memungkinkan Bhayangkara membiarkan jasadnya, mereka bahu-membahu membantu Pradhabasu menggali tanah.
Ketika waktu bergulir menusuk mendekati tengah malam Pradhabasu masih tetap terpaku membeku di depan pusara yang tanahnya masih merah itu.
"Aku tidak yakin," bisiknya, "aku tidak yakin, aku tidak yakin, aku sama sekali tidak percaya kau pengkhianat itu."
Pradhabasu yang memejamkan mata itu mencoba menelusuri jejak-jejak kenangannya manakala dalam waktu cukup lama menjelang senja itu ia bersendau gurau dengan Mahisa Kingkin sahabatnya, itulah saat burung merpati alat penghubung telik sandi itu membubung ke udara.
"Mahisa Kingkin bukan orangnya," berkata Pradhabasu.
"Pengkhianat itu yang menebar fitnah dengan memasukkan remah jagung ke dalam buntalan bawaannya."
Mata-mata Ra Kuti itu merasa lega, setidaknya ia berhasil mengirim berita melalui burung merpati yang sebelumnya ia terima dari Ra Yuyu di istana. Dalam rontal yang diikatkan di kaki burung itu telik sandi itu 486
Gajahmada menyampaikan berita di mana Jayanegara bersembunyi, berita yang sebenarnya tidak berguna karena setelah dipergokinya burung itu membubung ke angkasa, Bekel Gajahmada tentu akan memindahkan persembunyian Jayanegara. Yang lebih menguntungkannya untuk sementara kecurigaan terhadap pengkhianat itu telah tiada, dengan demikian ia mempunyai keleluasaan untuk bertindak, bahkan bisa menempatkan diri pada jarak yang amat dekat dengan Jayanegara, sedekat ayunan pedang menebas lehernya, bahkan sedekat taburan racun untuk membantai segenap Bhayangkara, yang ia merasa sangat tak terhormat atau berbangga hati berada di dalamnya.
Lebih dari itu, upaya telik sandi itu memang tak ada manfaatnya karena merpati dibawa bergerak terlampau jauh dari kotaraja Majapahit.
Merpati yang melesat membubung ke angkasa itu kehilangan lacak untuk kembali bertemu dengan merpati betina yang menjadi pasangannya.
Tak jelas mengapa burung itu malah melesat berbelok ke barat, sementara setiap saat setiap waktu Ra Yuyu selalu menengok kandangnya, burung merpati jantan itu tidak pernah kembali.
Meski meyakini Mahisa Kingkin bukanlah orangnya, tetapi Pradhabasu tidak mungkin mempersoalkan keyakinannya saat itu juga.
"Aku harus menemukan bukti, aku harus bisa membuktikan Mahisa Kingkin sama sekali bukan pengkhianat seperti yang dikira, pasti ada yang melakukan fitnah keji. Kakang Gagak Bongol yang dengan kejam menebas kepalanya, suatu ketika kelak harus menebus kesalahannya,"
gumam Bhayangkara Pradhabasu dalam hati.
Malam yang bergerak terasa lamban, manakala Bhayangkara yang lain bisa dengan mudah tidur lelap tak demikian halnya dengan Pradhabasu. Bhayangkara berusia paling muda itu tetap terjaga, gelisah hatinya tak mungkin terobati.
Ketika Lembang Laut dan Gagak Bongol merasa pengkhianat pasukan Bhayangkara telah berhasil ditemukan, bahkan dihabisi, sebaliknya Pradhabasu justru mulai memilah-milah wajah para Bhayangkara.
Gajahmada 487 "Aku harus bisa menemukan," desis pemuda tampan itu.
Hingga akhirnya malam sampai ke tengah puncaknya. Adalah bersamaan waktunya dengan ketika Gajahmada dan Jayanegara mulai memasuki pegunungan kapur utara hingga akhirnya Gajahmada telah sampai di pintu gerbang Kudadu. Senyap menyelimuti desa yang sepi itu dan hanya diterangi oleh beberapa obor berminyak getah daun jarak dan minyak lemak sapi. Untung di langit bulan begitu benderang tanpa mendung, memudahkan Gajahmada masuk ke pedukuhan itu.
"Apakah yang terjadi di Majapahit sudah terdengar sampai di tempat ini?" Jayanegara bertanya.
"Belum Tuanku," jawab Gajahmada.
"Tempat ini benar-benar jauh dari Majapahit," gumam Jayanegara.
Kata-kata Jayanegara terdengar menahan beban seperti terlontar dari kedalaman hatinya, adakah pada suatu ketika kelak Jayanegara akan bisa kembali ke kotaraja" Jayanegara mendadak teringat kepada para Ibu Ratu, dilandasi rasa gelisah memikirkan adakah mereka semua berada dalam keadaan selamat tidak kurang suatu apa. Para Ibu Ratu, istri mendiang ayahnya, berasal dari semua anak Kertanegara, Raja Singasari pamungkas yang terdiri atas empat bersaudara. Mereka adalah Dyah Sri Tribuaneswari, Ratu Dyah Sri Narendraduhita, Ratu Dyah Dewi Prajnaparamita dan Ratu Dyah Dewi Gayatri. Sementara ibu kandung yang melahirkannya telah berpulang mendahului para ratu lainnya.
Jayanegara juga terbayang dan mencemaskan keselamatan adik-adiknya, putri dari Ibu Ratu Dyah Dewi Gayatri. Mereka adalah Sri Gitarja juga bernama Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani atau Breh Kahuripan dan Dyah Rajadewi Maharajasa yang bergelar Breh Daha.
"Semoga mereka semua berada dalam keadaan selamat, semoga Kuti tidak bertindak gegabah sampai berniat menjarah Rimbi," ucap raja tergusur itu dalam hati.
Derap kuda tak lazim di Kudadu itu menyebabkan segenap penghuni rumah di sepanjang jalan yang dilewati Jayanegara terbangun dan bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan orang berkuda yang baru 488
Gajahmada lewat itu. Bekel Gajahmada yang cukup mengenal daerah itu karena pernah mengunjunginya tak mengalami kesulitan untuk menuju rumah Ki Lurah Kudadu.
Adalah Lurah Kudadu yang merasa gerah oleh udara panas berada di halaman sambil memerhatikan gugusan bintang yang bertebaran di langit, tetapi tidak demikian jelas gemerlapnya karena kalah oleh perbawa cahaya bulan yang benderang. Terkejut Lurah Kudadu mendengar suara kuda yang berderap dari kejauhan dan mengarah ke rumah kediamannya.
Gajahmada meloncat turun dari kudanya disusul Kalagemet.
Dengan amat ramah Bekel Gajahmada menyapa.
"Selamat malam Ki Lurah, adakah Ki Lurah masih mengenal saya?"
Lurah Kudadu terperanjat, ia amat hafal dengan suara itu meski telah lama tidak pernah didengarnya lagi.
"Anakmas Bekel Gajahmada, benarkah Anakmas yang datang berkunjung malam ini?" bertanya Lurah Kudadu.
"Benar Ki Lurah," jawab Gajahmada.
Lurah Kudadu bergegas mempersilakan tamu-tamunya, yang seorang ia telah mengenal, tetapi belum untuk yang seorang lagi. Di ruang tengah dari pendapa rumahnya yang sederhana Lurah Kudadu menerima kehadiran tamunya. Bagaimanapun kedatangan Bekel Gajahmada yang datang jauh dari ibu kota Majapahit menimbulkan tanda tanya, apalagi kedatangannya setelah lewat tengah malam.
"Bagaimana kabar Ki Lurah selama ini?" tanya Gajahmada.
"Baik Anakmas. Paceklik seperti yang pernah terjadi dahulu, syukurlah tidak terulang kembali. Setidak-tidaknya dalam beberapa tahun ini hujan turun sebagaimana musimnya, lumbung-lumbung pun penuh dengan cadangan bahan makanan. Pendek kata, Kudadu dan sekitarnya kini tak kurang suatu apa. Sebagian sawah yang dibuka tak lagi mengandalkan tadah hujan, tetapi dengan air yang dialirkan dari sungai Wedung melalui kerja keras gotong-royong."
Gajahmada tersenyum. Lurah Kudadu memandang Jayanegara.
Gajahmada 489 "Bersama siapakah Anakmas Bekel Gajahmada datang kali ini?"
"Cobalah Ki Lurah menebak, dengan siapa saya datang kali ini,"
balas Bekel Gajahmada. Lurah Kudadu mengerutkan kening.
"Tentu saya tidak bisa menebak Anakmas."
"Tuanku Baginda Sri Jayanegara atau Kalagemet!" jawab Gajahmada datar.
Terperanjat bukan alang kepalang Lurah Kudadu, bahkan kaget yang dirasakannya jauh melebihi rasa kaget dipatuk ular. Terbelalak tak bisa berbicara beberapa lama Lurah Kudadu sambil berusaha keras mengumpulkan kesadarannya yang melayang entah ke mana. Manakala Lurah Kudadu sadar sepenuhnya, dengan perlahan lelaki paruh baya itu beringsut akan berjongkok.
"Sudahlah Paman Lurah, saat ini aku berada di rumahmu, tidak sebaliknya. Tata cara yang berlaku adalah tata cara di rumahmu. Paman Lurah tidak harus menyembahku."
Masih bingung Lurah Kudadu. Kedatangan Jayanegara ke rumahnya ia rasakan bagai dewa turun dari kahyangan dan berkenan singgah di rumahnya. Hal itu tentu amat membingungkan dan sulit untuk dipercaya.
Lebih jauh Lurah Kudadu bingung, kenapa Raja Majapahit sampai turun jauh ke sudut kelurahan yang dipimpinnya. Namun, Bekel Gajahmada tidak ingin membuat Lurah Kudadu berlama-lama kebingungan.
"Di kotaraja Majapahit beberapa hari yang lalu telah terjadi pemberontakan yang dipimpin Ra Kuti. Keadaan sangat membahayakan keselamatan Tuanku Jayanegara, itu sebabnya aku membawa Sri Baginda kemari karena aku berpendapat tempat ini cukup aman dan jauh dari jangkauan Ra Kuti."
Serasa meluap isi dada Lurah Kudadu.
"O tentu," jawabnya. "Saya persilakan apabila Tuanku Baginda memilih kelurahan ini sebagai tempat untuk berlindung. Hamba dan terlebih-lebih segenap kawula Kudadu akan memberikan perlindungan kepada Tuanku, bahkan seandainya harus menebusnya dengan nyawa."
490 Gajahmada Jayanegara senang melihat sikap itu.
"Tentu hanya kalangan terbatas yang perlu mengetahui hal ini Ki Lurah." Gajahmada menambah. "Keberadaan Tuanku Jayanegara di tempat ini jangan sampai ada yang mengetahui. Untuk selanjutnya, mohon Ki Lurah Kudadu membantu menyediakan tempat persembunyian yang benar-benar terlindung."
Dengan jelas Bekel Gajahmada menuturkan apa yang terjadi di kotaraja, bagaimana sepak terjang Ra Kuti, bagaimana pertempuran yang terjadi juga apa yang yang dialami Jayanegara di Kabuyutan Mojoagung. Persembunyian di Mojoagung yang semula dikira aman itu ternyata justru dengan amat mudah diketahui Ra Kuti. Bekel Gajahmada kemudian menekankan jangan sampai hal itu terulang kembali di Kudadu.
Pagi itu pula terjadi kesibukan luar biasa di rumah Ki Lurah Kudadu yang dengan segera membangunkan para magersari untuk menyiapkan santap malam bagi tamunya. Lurah Kudadu yang tidak ingin mengecewakan tamunya, mengingat tamu yang kini berada di rumahnya bukanlah tamu sembarangan, segera memerintahkan untuk menyembelih ayam lima ekor sekaligus dan dimasak menggunakan jenis bumbu yang paling lezat. Ada yang disajikan dengan dibakar ada pula yang disajikan dalam bumbu kare yang lezat.
"Siapa tamu penting itu sampai Ki Lurah memerintahkan memasak lima ekor ayam sekaligus?" bertanya seorang magersari kepada temannya sesama magersari.
"Entah," jawab temannya. "Kita kerjakan saja perintah Ki Lurah."
"Sebanyak ini apa habis?" lanjut magersari itu.
"Kita nanti yang akan menghabiskan."
Tak tanggung-tanggung Ki Lurah Kudadu dalam memberikan penghormatan kepada Sri Jayanegara, empat orang pemijat sekaligus dipanggil untuk melayani dua tamu penting itu. Kepada empat pemijat itu diperintahkan untuk bersikap sangat hormat. Dua orang pemijat mengurut tubuh Bekel Gajahmada, dua orang yang lain melayani Gajahmada 491
Kalagemet Sri Jayanegara. Rasa pegal dan kecapaian luar biasa yang dialami di sepanjang perjalanan menyebabkan Jayanegara benar-benar merasa nyaman dan dimanjakan. Ki Lurah Kudadu sebenarnya berharap agar tamunya jangan tergesa tidur untuk nantinya dipersilakan menikmati hidangan bila telah matang, tetapi nyamannya pijatan itu dengan segera menerbangkan Jayanegara ke alam mimpi. Demikian juga dengan Bekel Gajahmada.
Hari esoknya adalah ujung dari perjalanan panjang yang ditempuh oleh rombongan Bhayangkara Lembang Laut dan Gagak Bongol.


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teriknya matahari hingga kemudian doyong ke barat bagai menyambut kedatangan mereka di Kelurahan Kudadu. Gajahmada menyambut kedatangan mereka di halaman rumah Lurah Kudadu.
"Akhirnya sampai juga kalian di tempat ini!" sapa Gajahmada.
Lembang Laut menerima jabatan tangan dan pelukan yang diberikan pimpinannya.
Namun, Bekel Gajahmada segera melihat, ada yang tidak ada di rombongan pasukannya. Lembang Laut dan Gagak Bongol segera memberikan penjelasan.
"Risang Panjer Lawang tak berada di antara kita lagi," kata Lembang Laut.
Gajahmada mencuatkan sebelah alisnya.
"Apa yang terjadi dengannya, diakah orang yang kita cari?"
"Bukan!" jawab Lembang Laut. "Risang Panjer Lawang justru gugur sebagai korban pengkhianat itu. Luka di bagian belakang tubuhnya merupakan pertanda ia diserang dari belakang oleh orang yang diduganya tak mungkin melakukan itu."
Wajah Gajahmada menegang.
"Terus, telah berhasil ditemukan siapa pelakunya?"
Lembang Laut mengangguk. Sejenak Lembang Laut menyempatkan melirik Gagak Bongol yang membeku.
492 Gajahmada "Mahisa Kingkin pelakunya," ucap Lembang Laut dengan nada berbisik.
Gajahmada merasa mendadak wajahnya menebal. Mahisa Kingin disebut sebagai pengkhianat mata-mata Ra Kuti menyebabkan Gajahmada sangat terpukul. Sulit sekali Bekel Gajahmada menerima kenyataan itu.
"Kemarin sore," kali ini Gagak Bongol yang mendekat angkat bicara, "kami semua sedang beristirahat di bulak panjang masuk wilayah Angawiyat. Kami dikejutkan oleh adanya burung merparti yang terbang membubung tinggi. Kami segera menggeledah semua buntalan yang kami bawa, kami menemukan remah jagung pakan merpati di buntalan milik Mahisa Kingkin. Kuakhiri hidup Mahisa Kingkin. Pasukan kini telah bersih dari pengkhianat! Dengan terkirimnya berita di mana Kakang Bekel kini berada, tempat ini menjadi tidak aman. Tuanku Baginda harus dipindahkan."
Bekel Gajahmada menyapu segenap anak buahnya melalui pandangan matanya. Agak lega Gajahmada setelah merasa yakin pasukannya bersih dari telik sandi kaki tangan Ra Kuti, sekaligus hatinya terasa perih manakala mengingat telik sandi itu ternyata Mahisa Kingkin.
Bahwa berita di mana ia berada telah terkirim menuju kotaraja, Gajahmada sependapat, tempat itu telah tidak aman.
Ki Lurah Kudadu makin sibuk. Dengan segera diperintahkan kepada para magersari dan tetangga untuk membantu menyiapkan hidangan untuk para tamu itu. Karena keadaan dirasa cukup aman, Gajahmada tidak keberatan ketika Ki Lurah Kudadu menceritakan kepada para tetangga dan segenap rakyatnya yang datang membantu bahwa tamu-tamu yang datang itu merupakan tamu-tamu terhormat.
Mereka adalah para prajurit Majapahit dari pasukan khusus yang bukan sembarang prajurit, mereka adalah Bhayangkara. Tulus dan sangat senang warga kelurahan itu membantu menyambut mengingat beberapa tahun sebelumnya pasukan Bhayangkara pernah datang pula untuk mengirimkan bahan makanan dalam upaya mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh paceklik berkepanjangan.
Gajahmada 493 Namun, para Bhayangkara penasaran dan lebih-lebih telik sandi yang masih berada dalam tubuh pasukan khusus yang menjadi kebanggaan Majapahit itu.
"Di mana Jayanegara?" pikir telik sandi itu.
Adalah Pradhabasu yang tidak bisa menahan kegelisahan hatinya, dengan suara agak tertahan Pradhabasu berbisik ke telinga Bekel Gajahmada.
"Aku ingin bicara empat mata," ucap Pradhabasu.
Bekel Gajahmada segera mengetahui, apa yang akan disampaikan oleh Bhayangkara Pradhabasu merupakan masalah yang sangat penting.
Bekel Gajahmada membawa Pradhabasu agak menjauh dari gelak tawa anak buahnya yang bercanda dan melayani berbicara para penduduk warga Kelurahan Kudadu.
"Ada apa?" tanya Gajahmada.
Serasa amat sesak leher Bhayangkara Pradhabasu.
"Kakang Bekel percaya Bhayangkara telah bersih dari pengkhianat itu?"
Wajah Gajahmada membeku dalam memandang wajah Pradhabasu.
"Bagaimana menurutmu?" balas Gajahmada.
"Tuduhan terhadap Bhayangkara Mahisa Kingkin merupakan kesalahan, kekeliruan mengerikan. Mahisa Kingkin hanya korban fitnah belaka, mata-mata Ra Kuti itu telah memasukkan remah jagung pakan merpati ke buntalan milik Mahisa Kingkin. Mahisa Kingkin bukan pelakunya karena kebetulan tak sekejap pun aku terpisah darinya, aku tentu tahu jika ia melepas burung merpati itu."
Hening sejenak kemudian menggerataki, wajah Bekel Gajahmada kehilangan rona cerianya. Bekel Gajahmada yang merasa mengenal Mahisa Kingkin sependapat dengan Pradhabasu, Mahisa Kingkin memang tak mungkin melakukan perbuatan tidak terpuji itu. Gajahmada memutar otak.
494 Gajahmada "Apa yang aku lakukan seandainya aku adalah mata-mata itu?" kata Bekel Gajahmada dalam hati. "Manakala pilihan lain tak ada, aku akan meloncat dan menyandera Tuanku Jayanegara dan memaksanya membawa ke Majapahit dengan berkuda. Aku aman menyandera jika aku mata-mata itu, itulah apa yang akan kulakukan" menyandera... meringkus Sri Jayanegara dan melekatkan sebuah pisau ke lehernya menyebabkan semua tidak berkutik, bahkan aku pun akan mati kutu tak bisa berbuat apa-apa. Itulah yang akan dilakukan telik sandi itu manakala tidak ada pilihan lain."
Gajahmada mengarahkan pandangan matanya ke wajah Bhayangkara Pradhabasu.
"Tuanku Jayanegara harus ditempatkan sebagai umpan, barulah mata-mata keparat itu akan muncul ke permukaan," ucap Gajahmada.
Pradhabasu terkejut. "Apa yang akan Kakang Bekel lakukan?"
"Untuk memancing telik sandi itu agar menampakkan jati dirinya aku harus menjadikan Sri Baginda sebagai umpan," ulang Bekel Gajahmada.
"Terlalu berbahaya, sebaiknya harus digunakan cara lain."
Gajahmada benar-benar membeku dengan rahang terasa kaku.
Gajahmada tentu tidak akan lupa, awal dari diketahuinya telik sandi itu adalah sejak pertemuannya dengan orang tidak dikenal, orang yang menyelubungi wajahnya dengan secarik kain. Orang itu menggunakan julukan Bagaskara Manjer Kawuryan yang berarti matahari terang benderang, sebuah nama yang digunakan juga sebagai kata sandi.
Gajahmada mencoba mengenang pertemuannya dengan orang itu dan memilah-milahnya barangkali ada bagian yang terlewatkan. Setelah beberapa jenak, mendadak raut wajah Bekel Gajahmada itu berubah, pimpinan pasukan Bhayangkara itu merasa menemukan bagian sangat penting dari apa yang pernah diucapkan Bagaskara Manjer Kawuryan itu.
"Malam ini kita akan melakukan, dengan Sri Baginda sebagai umpan, orang yang kita curigai itu akan muncul ke permukaan."
Gajahmada 495 Pradhabasu memandang Gajahmada dengan bersungguh-sungguh untuk selanjutnya dua orang itu bercakap-cakap sambil berbisik. Meski ada beberapa orang Bhayangkara berada pada jarak cukup dekat, tak seorang pun bisa menerka permasalahan apa yang dibicarakan Gajahmada dan Pradhabasu.
Gajahmada yang semula melarang Lurah Kudadu menggelar hiburan cokekan berubah pikiran dan malah menyetujuinya. Cokekan adalah sejenis hiburan tembang dan joget dengan beberapa penari wanita.
Senja itu, beberapa orang telah ditugasi mengundang peguyuban cokekan yang ada di kelurahan itu, beberapa orang yang lain sibuk meraut beberapa batang bambu untuk dijadikan oncor dengan bahan bakar minyak bumi yang diambil dari sebuah sumur tidak jauh dari pedukuhan Cepu. Rangkaian dinding depan pendapa rumah Ki Lurah dicopot untuk memberi ruang yang lebih lebar.
Di dapur beberapa magersari perempuan dan beberapa tetangga sibuk memasak untuk makan malam. Orang-orang Kudadu benar-benar orang yang tahu balas budi, mereka tidak lupa beberapa tahun sebelumnya pernah tertolong oleh kiriman bahan makanan dari ibu kota Majapahit. Apabila pertolongan itu tidak ada maka akan banyak korban meninggal karena kelaparan. Kini, setelah sekian tahun lewat, orang-orang Majapahit itu datang mengunjungi mereka, itu sebabnya kehadiran tamu-tamu itu diterima dengan penuh semangat sebagai ta-mu-tamu yang sangat terhormat. Mereka yang memiliki ayam membawa ayam ke rumah Ki Lurah Kudadu, ada pula yang menurunkan beberapa janjang kelapa muda bahkan ada yang menggiring seekor kambing. Seorang penduduk yang kebetulan memiliki nangka matang dan berukuran lumayan besar membawa nangka itu ke pendapa dan disantap beramai-ramai oleh para prajurit, pemilik nangka itu senang setengah mati. Bagai orang kelaparan, Bhayangkara menyantap habis rujak degan yang dihidangkan.
Namun, sejauh itu masih sangat terbatas yang mengetahui untuk keperluan apa prajurit Majapahit itu datang ke Kudadu. Tak seorang pun penduduk Kudadu yang menyangka di kelurahan mereka bahkan hadir Sri Jayanegara. Namun, di mana Jayanegara berada dan 496
Gajahmada bersembunyi hanya Bekel Gajahmada dan Ki Lurah Kudadu yang mengetahui. Para Bhayangkara yang menyusul sebenarnya juga dibuat penasaran, terlebih-lebih lagi telik sandi mata-mata Ra Kuti, sibuk menebak di mana Jayanegara beristirahat.
"Bekel Gajahmada banyak akal, tak mungkin raja yang terjungkal dari singgasana itu bersembunyi di rumah ini, pasti di rumah salah seorang penduduk, bisa jadi di tempat yang tidak terduga, bahkan misalnya disembunyikan di lumbung padi dan diuruk serpihan dami."
Malam menukik dan terasa agak gerah itu dipecahkan oleh suara mengalun dari seperangkat gamelan, suara pesinden yang mendayu-dayu sejenak menggiring Bhayangkara melupakan rangkaian kejadian yang melelahkan dan menyita perhatian mereka. Tanpa canggung Gagak Bongol mengawali turun menari setelah Bekel Gajahmada menolak tawaran selendang.
Tepuk tangan tempik sorak gemuruh dari para Bhayangkara juga para penduduk yang hadir manakala Bhayangkara Bongol menari dengan sangat luwes dan terampil. Gagak Bongol yang tangkas trengginas di medan pertempuran yang ganas macam apa pun ternyata bisa terampil pula saat menari. Penari peguyupan cokekan itu benar-benar memiliki suara yang lembut, apalagi usianya masih muda dan belum bersuami, beberapa pemuda yang menonton bersiul-siul untuknya.
Gamelan yang bukanlah jenis gamelan yang bagus, sebagian di antaranya bahkan terbuat dari bilah-bilah bambu, tetapi nada yang muncul sangat indah dan memaksa siapa pun yang mendengarkan lenggut-lenggut mengikuti irama. Jika ada yang tidak terpengaruh oleh suara mengalun indah itu adalah seekor tokek yang amat mengganggu. Tokek besar itu merayap di dinding, gerakannya tidak pernah lepas dari perhatian Bhayangkara Pradhabasu.
Tiba-tiba Pradhabasu masuk ke arena dan mencabut senjatanya, apa yang diperbuat mengagetkan siapa pun, bahkan penabuh gamelan sederhana menghentikan alunan musiknya, demikian juga dengan penari tayub dan gerakan lenggut-lenggut Gagak Bongol yang untuk beberapa saat melupakan keletihan yang luar biasa ikut terhenti. Semua perhatian Gajahmada 497
diarahkan kepada Pradhabasu, yang di tangan kanan dan kirinya memegang pisau-pisau belati.
Pradhabasu memutar pandangan menyapu siapa pun, pandangan mata kecewanya terarah kepada Gagak Bongol yang balas memandangnya pula. Pradhabasu menyusur wajah Bhayangkara yang lain. Ketika memejamkan mata sejenak bayangan Gagak Bongol berubah menjadi Mahisa Kingkin yang menari dengan pedangnya, lengkap dengan Bongol menebas kepala sahabatnya itu dari arah belakang.
Beban berat itu mendorong Pradhabasu berteriak keras bersamaan dengan tangannya yang mengayun deras, pisau di tangannya lepas dan melesat menghajar tokek yang melekat di dinding. Pradhabasu memandang sekilas hasil perbuatannya lalu berjalan berbalik ke tempat duduknya.
"Suaranya mengganggu gamelan," ucap Pradhabasu pendek.
Hening itu masih mengalir beberapa saat untuk kemudian disusul oleh tepuk tangan gemuruh berasal dari para penduduk warga Kelurahan Kudadu yang merasa sangat takjub pada kemampuan itu. Tentu bukan pekerjaan mudah mengayunkan pisau langsung mengenai sasaran.
Perbuatan Pradhabasu itu bagi Bhayangkara yang lain bukan hal luar biasa, mereka sudah sering melihat Pradhabasu melakukannya. Dalam hal mengayunkan pisau dengan arah bidik tepat bukan hal aneh karena para Bhayangkara semua bisa melakukan. Namun, wajah Pradhabasu yang sangat keruh yang menarik perhatian para Bhayangkara yang lain, Pradhabasu terpukul sekali oleh perbuatan Mahisa Kingkin yang ternyata mengkhianati Bhayangkara, atau boleh jadi Pradhabasu kecewa kepada Gagak Bongol yang menjatuhkan hukuman sangat kejam kepada Mahisa Kingkin, perasaan kecewa itu yang secara lugas terbaca dari tatapan matanya.
Satu tembang lewat, penari cokekan itu kembali menawarkan selendang yang dengan amat yakin diterima oleh Pradhabasu. Entah oleh alasan apa, tak sebagaimana kepada Gagak Bongol, penari itu sekaligus memasangkan selendang yang diserahkannya ke leher Pradhabasu. Penari cokekan yang cantik itu bahkan menempatkan diri 498
Gajahmada pada jarak yang amat dekat nyaris sepelukan lengan. Penonton seketika meledak, siulan terdengar di sana-sini. Para pemuda Kelurahan Kudadu tertawa ketika melihat Pradhabasu merah padam.
"Ingin tembang apa, Kangmas?" tanya penari cokekan berusia muda itu.
"Terserah," jawab Pradhabasu.
Gamelan mengalun lembut sebagai isyarat Pradhabasu menggerakkan tangannya seiring penari cokekan yang siap melayani bagaimanapun ia menari, meliukkan lengan dan melempar gerakan kaki.
Pradhabasu menyempatkan melirik Bekel Gajahmada dan tersenyum.
Senyuman itu dibalas oleh Bekel Gajahmada melalui jempol tangannya.
Tak seorang pun menyadari itulah awal permainan Bekel Gajahmada dan Pradhabasu dalam upaya menjebak mata-mata Ra Kuti agar muncul ke permukaan.
Satu tembang nyaris berakhir, kemampuan Pradhabasu dalam olah tari membuat iri para Bhayangkara yang lain yang tidak punya kemampuan melakukan itu. Gajah Pradamba segera bangkit dan memberi isyarat sebagai penari berikutnya. Akan tetapi, Bekel Gajahmada yang berdiri menyebabkan Bhayangkara Gajah Pradamba yang juga bernama Gajah Enggon itu membatalkan niatnya. Manakala Gajahmada mengangkat tangannya, semua pembicaraan langsung sirep.
Sejenak setelah itu, sebuah pintu yang merupakan pintu kamar rumah Ki Lurah Kudadu yang langsung berhadapan dengan pendapa terbuka, telik sandi Ra Kuti harus menata degup jantungnya melihat siapa orang yang keluar dari bilik itu.
"Jayanegara," desis telik sandi itu.
Penampilan Sri Jayanegara tak ubahnya dengan penampilan siapa pun, Sri Jayanegara mengenakan ikat kepala kain wulung berwarna gelap dan pakaian sederhana pemberian Lurah Kudadu.
"Sanak Kadang warga Kudadu," Bekel Gajahmada mengawali ucapannya. "Izinkan saya memperkenalkan orang yang berada di sebelah saya ini sekaligus inilah saatnya saya menjelaskan kepada segenap Sanak Gajahmada 499
Kadang, mengapa hari ini kami segenap pasukan Bhayangkara berada di tempat ini."
Angin semilir sedikit dingin menyapa hening pendapa itu.
Rasa ingin tahu segenap warga Kudadu membuat keadaan menjadi amat senyap. Tak seorang pun berbicara, bahkan agar penjelasan yang diberikan Bekel Gajahmada itu bisa tertangkap dengan jelas dan tak sepatah kata pun tercecer, sebagian dari warga Kudadu itu menahan napas. Mereka merasa sangat heran karena demikian hormatnya Lurah Kudadu pada orang yang baru keluar dari bilik itu, terukur dari bagaimana lurah itu menyempatkan menyembah dan tangannya yang ngapurancang.
"Orang yang berada di sebelah saya ini adalah, Tuanku Baginda Sri Jayanegara!"
Serasa ada gempa bumi di pendapa itu. Juga serasa pendapa itu bergoyang. Tanah-tanah tempat mereka berpijak retak-retak.
Gaung muncul dari tiang saka yang bergetar.
Sebagian penduduk menggerombol dan ada juga yang berdiri mengubah sikap, yang berdiri ikut-ikutan duduk dan melekatkan telapak tangan untuk kemudian digerakkan menuju hidung.
"Kami semua datang ke Kelurahan Kudadu untuk mencari perlindungan karena saat ini ibu kota Majapahit tidak aman, dijarah oleh pemberontakan sekelompok orang yang tidak tahu diri di bawah pimpinan Ra Kuti. Istana jatuh dan terpaksa Bhayangkara menyelamatkan Tuanku hingga jauh ke tempat ini. Segenap Sanak Kadang, apakah ada yang keberatan dengan Tuanku Baginda meminta perlindungan di sini?"
Para penduduk warga Kudadu yang berkumpul di pendapa itu saling pandang antara satu dengan yang lain untuk kemudian secara serentak menjawab pertanyaan itu, "Tidaaaaaak!"
Wajah-wajah di pendapa itu masih menegang, masih dihiasi jejak kaget yang terbaca jelas di raut muka. Beberapa di antaranya bahkan saling menggeremang berbicara dengan orang di sebelahnya.
500 Gajahmada "Setelah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, Baginda Jayanegara agak kurang enak badan dan mengalami keletihan luar biasa, itu sebabnya beliau akan melanjutkan beristirahat. Sri Baginda benar-benar merasa suka dengan penyambutan dan hiburan ini, tetapi dengan didahului permintaan maaf, beliau tidak bisa menemani kita. Tuanku Baginda akan melanjutkan beristirahat."
Lambaian tangan Jayanegara disambut dengan tepuk tangan gemuruh, dengan ditemani Gajahmada, Jayanegara kembali masuk ke dalam biliknya.
Masih hening suasana pendapa itu bagai baru saja ada serombongan dedemit lewat yang mencuri perhatian. Semua riuh dengan kekagetan masing-masing sebagaimana pula amat riuh isi hati Bhayangkara telik sandi Ra Kuti yang telah mengetahui di mana Jayanegara beristirahat.
Pradhabasu segera mengangkat tangannya meminta perhatian.
"Ada yang ingin penjelasan lebih rinci?" tanya Pradhabasu.
"Ya," semua menjawab serentak.
"Baiklah," jawab Pradhabasu yang kini menguasai pentas.
"Mewakili Tuanku Sri Baginda aku akan menjawab sebuah pertanyaan.
Namun, ada syaratnya."
Di antara penduduk warga Kelurahan Kudadu saling pandang.
"Apa syaratnya?" tanya salah seorang di antara mereka.
"Syaratnya, yang bertanya harus bisa menirukan suara tokek yang kubunuh tadi," jawab Pradhabasu sambil tersenyum lebar.
Bersebelahan dengan Gagak Bongol, Lembang Laut menggeleng-gelengkan kepala. Namun, bersamaan pula mereka tersenyum, bahkan tertawa. Jika kumat isengnya, Pradhabasu memang suka aneh-aneh.
Namun, Pradhabasu memang paling pintar menghidupkan suasana. Dan, yang berada di luar dugaan Pradhabasu suara menirukan tokek terdengar bersahut-sahutan dan tidak seorang pun yang menyerupai.
Pradhabasu merasa menemukan pijakan yang lebih mengarah untuk tujuan membongkar keberadaan telik sandi itu.
Gajahmada 501 "Ayo," ucap Pradhabasu lantang. "Untuk menghangatkan suasana di malam ini mari kita bangunkan semua binatang penghuni hutan, gajah, harimau, ayam jantan, anjing, serigala, semua serentak, Bhayangkara juga ikut menyumbangkan suaranya!"
Terdengar suara Bhayangkara Pradhabasu melolong menirukan serigala kelaparan yang disambut tawa berderai segenap penduduk Kelurahan Kudadu, tetapi dengan penuh minat penduduk warga Kudadu ikut menyumbang suara, ada suara kambing, ada pula suara kuda. Para Bhayangkara ikut terpancing menyumbangkan berbagai tiruan mulai dari burung bence yang menyayat hingga"suara burung hantu.
Berdebar-debar Bekel Gajahmada yang telah keluar dari bilik istirahat Sri Jayanegara manakala mengetahui dari mulut siapa suara burung hantu yang amat mirip dengan aslinya itu berasal. Ingatan Bekel Gajahmada tak pernah beranjak dari apa yang dikatakan Bagaskara Manjer Kawuryan.
"Hati-hati dengan anak buahmu yang barangkali gemar bersiul atau menirukan suara burung hantu. Bukankah kau tidak mengajari mereka menggunakan isyarat suara burung hantu" Burung hantu itu mungkin sedang berkeliaran di halaman istana, ingat, suaranya benar-benar mirip, sulit membedakan dengan suara burung hantu yang sesungguhnya,"
ucap Bagaskara Manjer Kawuryan saat itu.
Suara riuh rendah meniru berbagai binatang itu makin ramai, Bekel Gajahmada bulat mendapatkan arah, suara tiruan burung hantu itu berasal dari mulut Singa Parepen. Suara burung hantu itu sangat mirip dengan aslinya, juga sama dengan suara siulan sandi yang pernah di dengar di halaman istana sebagai isyarat yang diyakini diberikan oleh sesama telik sandi Ra Kuti.
"Namun, benarkah Singa Parepen orangnya" Aku harus memancingnya membuat pengakuan," ucap Gajahmada dalam hati.
Bekel Gajahmada yang telah bergabung kembali dan mengangkat tangan menyebabkan semua suara tiruan binatang itu lenyap. Pradhabasu mengangguk ketika Gajahmada mengacungkan jempol tangannya. Bekel Gajahmada yang tersenyum, sangat sulit ditebak isi benaknya. Apa yang 502
Gajahmada diucapkan Bekel Gajahmada diarahkan kepada segenap Bhayangkara dan tidak semata-mata ditujukan kepada Singa Parepen.
"Teman-teman," ucap Gajahmada datar, tetapi terdengar sangat jelas. "Kita berada di sini setelah hari-hari yang melelahkan itu. Tembang peperangan seharusnya terdengar mengalun gagah tak soal siapa yang keluar sebagai pemenang dalam peperangan itu. Akan tetapi, tembang perang yang gagah itu ternodai oleh pengkhianatan". Mengapa harus ada pengkhianatan?"
Tak seorang pun yang berbicara, semua menyatukan arah pandangan matanya kepada Bekel Gajahmada. Gajahmada menatap wajah Gagak Bongol yang membeku lalu memindahkan pandangan matanya pada wajah Lembang Laut yang juga tidak kalah membeku, terakhir tatapan mata Bekel Gajahmada ditujukan pada raut muka Pradhabasu yang bergeser perlahan dari tempat semula hingga akhirnya perlahan sekali Bekel Gajahmada mengarahkan tatapan matanya pada penari dan pesinden cokekan yang semula melayani Pradabhasu menari dan menyanyi.
"Kautahu sebabnya, mengapa megah dan gagahnya peperangan harus dihiasi pengkhianatan?"
Penari cokekan itu bingung, tak tahu apa jawabnya. Yang ia ketahui hanyalah bagaimana menari dan menyanyi dengan baik. Penari cokekan itu menggelengkan kepala.
Gajahmada kembali melirik kepada Pradhabasu yang bergeser lagi.
"Pengkhianatan, mengapa harus ada yang mengkhianati Bhayangkara hingga menimbulkan kesulitan yang sedemikian bertubi-tubi. Kenapa pengkhianat busuk itu harus berada di antara kita, kautahu apa jawabnya Singa Parepen?"
Singa Parepen sama sekali tidak menduga, arah pertanyaan itu ditujukan kepadanya.
"Bukankah pengkhianat itu telah ditumpas habis?" jawab Singa Parepen. "Dengan Mahisa Kingkin terbunuh ditebas kepalanya bukankah kita bersih?"
Gajahmada 503 Persoalan yang mendadak bergeser itu mencengkeram serta menyita segenap perhatian. Segenap penduduk warga Kelurahan Kudadu itu merasa bagai mendapat tontonan sandiwara yang amat menarik. Tidak seorang pun yang batuk atau menimbulkan suara apa pun.
Pertanyaan Gajahmada selanjutnya mengagetkan Singa Parepen, bahkan lebih jauh lagi, mengagetkan segenap Bhayangkara yang lain.
"Mahisa Kingkin hanya korban fitnah," ucap Gajahmada datar.
"Mahisa Kingkin bukan orang yang melepas burung merpati pengirim warta dari telik sandi keparat itu. Gagak Bongol hanya orang tolol yang dengan begitu saja menelan umpan fitnah itu. Kau tentu masih ingat bagaimana raut wajah Mahisa Kingkin yang berusaha menolak tuduhan, tetapi tidak memperoleh kesempatan sebagaimana mestinya. Bagaimana Bongol?"
Gagak Bongol menegang, wajahnya menebal melebihi tebal dinding pagar taman makam Antahpura.
"Remah makanan burung merpati itu ditemukan di buntalan pakaian miliknya," jawab Bongol membela diri.
"Tidakkah kausempat berpikir, bagaimana kalau telik sandi itu mengecohmu dengan menempatkan remah jagung itu ke buntalan Mahisa Kingkin tanpa ia tahu ada benda asing di dalam buntalan pakaiannya?"
Gagak Bongol gelisah. Namun, lebih gelisah lagi adalah Singa Parepen yang merasa kedoknya mulai terbuka.
"Apakah Bekel keparat itu sudah tahu akulah telik sandi itu?" Singa Parepen bertanya kepada diri sendiri.
Namun, betapa tajam bekel Gajahmada dalam memandang wajahnya.
"Tawaran apa yang diberikan Ra Kuti kepadamu hingga kautega berkhianat, mengkhianati teman-teman dan rajamu?" tanya Gajahmada.
Pendapa itu kembali berderak, tiang saka rumah Lurah Kudadu bagai bergetar dan mengeluarkan suara gema bergaung, yang getarnya 504
Gajahmada menggerataki isi dada segenap Bhayangkara. Terbelalak Gagak Bongol, terbelalak Lembang Laut, nyaris lepas mata Lembu Pulung dan Panjang Sumprit. Gajahmada menuduh Singa Parepen pengkhianat itu, tentu Gajahmada memiliki dasar dan alasan. Gugup Singa Parepen yang sama sekali tidak menduga akan menghadapi pertanyaan itu.
"Kau-ngawur, apa dasarmu menuduhku seperti itu?" tanya Singa Parepen dengan suara agak melengking dan parau.
"Baru saja Pradhabasu membangunkan seisi hutan," jawab Bekel Gajahmada dengan kalimat bersayap. "Ada suara harimau, anjing melolong, para penduduk menyumbang berbagai suara seperti kambing, bahkan sapi, lalu dari mulut Bhayangkara ada yang menyumbangkan suara burung bence yang merupakan satu di antara banyak pilihan dalam berhubungan sandi dengan sesama Bhayangkara, lalu dari mulutmu keluar suara burung hantu."
Makin tegang wajah Singa Parepen, para Bhayangkara saling pandang.
"Pasukan Bhayangkara tidak menggunakan suara burung hantu untuk saling berhubungan. Suara burung hantu digunakan Panji Saprang saat berhubungan dengan telik sandi lain, yang rupanya telik sandi itu kau!"
Singa Parepen telah sampai pada sebuah simpulan bahwa jati dirinya telah terbongkar habis.
Apa yang kemudian terjadi sungguh berada di luar dugaan para Bhayangkara. Tiba-tiba saja Singa Parepen yang tersudut itu meloncat mendahului waktu yang dimiliki Bekel Gajahmada dan Bhayangkara yang lain menuju bilik tempat Jayanegara beristirahat. Sekali tendang pintu bilik itu jebol, Singa Parepen menerobos masuk dan memanfaatkan waktu yang ada untuk melekatkan senjatanya ke leher Jayanegara yang berbaring berkemul sarung.
"Berhenti," teriak Singa Parepen melihat Gajahmada telah melintasi pintu yang sama.
"Semua mundur atau aku bunuh Jayanegara."
Gajahmada 505 Semua Bhayangkara mundur, mereka memandang aneh perbuatan Singa Parepen. Namun, Gajahmada mengangkat tangannya, isyarat agar para Bhayangkara diam. Para penduduk Kudadu yang tak kalah penasaran berjejal-jejal di depan pintu untuk ikut mengetahui apa yang sedang berlangsung.
"Kuminta disiapkan kuda sekarang juga," teriak Singa Parepen.
"Dan, jangan ada yang mencoba-coba menghalangiku. Jayanegara harus ikut kembali ke kotaraja untuk mendapat hukumannya."
Jawaban Singa Parepen adalah jawaban paling lugas yang menunjukkan bahwa ia orangnya, telik sandi yang selama ini menusuk dari belakang gerakan pasukan Bhayangkara. Menggigil Gagak Bongol tak kuasa menahan diri. Wajah Mahisa Kingkin membayang di matanya.
Gagak Bongol serentak segera menyesali ayunan senjata yang dilakukannya.
"Keparat!" umpat Gagak Bongol.
Singa Parepen sangat memahami, mengapa Gagak Bongol demikian marah. Singa Parepen tertawa bergelak.
"Jadi kamu yang membunuh Risang Panjer Lawang di Mojoagung itu, Singa Parepen?" pertanyaan itu datang dari mulut Riung Samudra.
"Ya," jawab Singa Parepen lugas.
"Dan, Mahisa Kingkin?" Lembang Laut ikut bertanya.
"Cara mudah untuk menggerogoti kekuatan Bhayangkara," jawab Singa Parepen di sela tawanya. "Namun, sejujurnya aku akan merasa senang jika akulah yang mengayunkan pedang menebas kepala Mahisa Kingkin. Tak apalah, aku puas Bongol mewakiliku."
"Iblis!" umpat Gagak Bongol yang tidak bisa menguasai diri.
Singa Parepen yang memegangi kepala Jayanegara siap mengayunkan pedangnya. Jika Bhayangkara membahayakan dirinya maka Singa Parepen merasa tidak perlu ragu membunuh orang pertama di Majapahit yang berada di cengkeramannya itu.
506 Gajahmada "Semua mundur dan siapkan kuda untukku, aku harus kembali ke kotaraja."
Bekel Gajahmada mengangkat tangannya memberi isyarat kepada semua orang untuk mundur.
"Kau memang hebat Singa Parepen, aku sungguh tak bisa menyangka bahwa ternyata kaulah telik sandi yang sangat rapat menyembunyikan jati diri. Kaumampu mengendus keberadaan Tuanku Jayanegara yang aku sembunyikan di Mojoagung. Kalau kau tidak keberatan menjelaskan, dengan cara bagaimana kaubisa mendapatkan tempat itu?" Gajahmada melontarkan sebuah pertanyaan.
Singa Parepen menyambut pertanyaan itu dengan tertawa berderai.
"Kau tentu penasaran, melalui cara bagaimana aku mendapatkan tempat itu?"
"Ya," jawab Gajahmada.
"Kau membuang umpan ke arah timur yang sebenarnya menyembunyikan arah ke barat. Terlalu mudah bagiku untuk menebak ada siapa di barat. Aku hanya mencoba berpikir mengikuti bagaimana caramu berpikir yang ternyata benar, meski aku sekadar menduga, dugaanku ternyata benar."
Gajahmada dan Gagak Bongol saling pandang. Kini teka-teki yang membuat resah itu terjawab sudah dan Bongol merasa amat lega karena ia merasa tak pernah sekalipun kelepasan bicara.
Singa Parepen melekatkan senjatanya dan sama sekali tidak akan ragu membenamkan senjata itu ke leher Jayanegara apabila keselamatan dirinya terancam.
"Satu lagi sebuah pertanyaan untukmu, kedudukan apa yang dijanjikan Ra Kuti kepadamu bila kau berhasil membunuhku, Singa Parepen?"
Pertanyaan itu berasal dari pintu lain yang baru terbuka, di sana Jayanegara berdiri bersebelahan dengan Lurah Kudadu.
Singa Parepen terperanjat, tetapi "Jayanegara" yang berada dalam kekuasaannya bertindak sangat cekatan. Singa Parepen terlambat Gajahmada 507
sejengkal untuk menyadari, sebuah pisau menghunjam tepat di tengah dadanya. Pradhabasu yang menempatkan diri sebagai Jayanegara kembali mengayunkan pisau pendeknya ketika Singa Parepen masih punya kesempatan untuk mengangkat pedang panjang di tangannya.
Ketika pisau itu ditarik, terhenyak Singa Parepen dengan mata terbelalak, rasa nyeri luar biasa menggerataki jantungnya, beberapa otot rantas, bahkan jantung pemompa darahnya telah pecah.
Jayanegara mendekatinya dan berjongkok.
"Apa yang dijanjikan Ra Kuti untuk semua perbuatanmu itu?" tanya Raja Majapahit yang tergusur jauh ke Kudadu itu.
Singa Parepen terbelalak memandang Sri Jayanegara yang berjongkok di depannya. Wajah Raja Wilwatikta itu bergelombang dengan cepat menjadi tidak jelas bergantian dengan munculnya raut wajah Mahisa Kingkin yang amat lamat-lamat ikut menjemput di pintu gerbang kematiannya, disusul wajah Bhayangkara Risang Panjer Lawang, lalu muncul pula wajah lain, wajah cantik seorang perempuan yang selama ini menghiasi mimpinya. Untuk mendapat perempuan itu Singa Parepen tidak punya pilihan lain kecuali harus membantai suaminya. Dengan kematian Bhayangkara Risang Panjer Lawang terbuka lebar jalan untuk mewarisi kecantikan istrinya yang membuat jantungnya berdebur melebihi laju prahara.
Mimpi menjadi orang pinunjul oleh janji-janji yang diberikan Ra Kuti, juga mimpi memiliki istri yang centik jelita yang ia anggap tidak ada yang melebihi kecantikannya kecuali istri Risang Panjer Lawang, mimpi itu kandas bersamaan dengan makin tersendat tarikan napasnya.
"Ra Kuti berjanji apa kepadamu?" bisik Jayanegara sekali lagi.
Namun, rasa penasaran Sri Jayanegara tidak akan terpuasi karena Singa Parepen langsung kehilangan sebagian besar kesadarannya, makin lama apa yang dilihat makin bergoyang dan melamat-lamat serta mulai redup pula pandangan matanya, makin redup dengan leher tercekik.
Ketika tarikan napasnya putus, Jayanegara masih berbaik hati mengusap wajah beku itu supaya matanya yang terbelalak memejam.
508 Gajahmada Akan tetapi, hening yang menyergap itu segera pecah oleh perbuatan Pradhabasu yang tiba-tiba mencabut senjata, mata Pradhabasu menyala tertuju kepada Gagak Bongol.
"Untuk Mahisa Kingkin, aku tantang kau berkelahi Bongol!"
Ucapan Pradhabasu yang hanya bisikan itu terdengar amat tegas.
Wajah Bongol yang sudah tebal itu makin menebal, rasa bersalah yang menyergap seiring terbongkarnya jati diri Singa Parepen menyebabkan Bongol lunglai tak bertenaga. Acungan senjata yang terarah lurus ke wajahnya tak mendorong Gagak Bongol bangkit mengacungkan senjata pula.
"Aku telah bersalah kepada Mahisa Kingkin," ucapnya. "Apabila untuk menebus kekeliruan mengerikan yang aku lakukan itu harus dengan kematian pula, aku tidak keberatan."
Gagak Bongol mencabut senjatanya dengan arah pandang tak berkedip tertuju kepada Pradhabasu. Namun, tak sebagaimana yang diduga siapa pun, Bongol berjongkok dan meletakkan semua senjata yang dimilikinya di atas tanah. Apa yang dilakukan Bongol adalah mempersiapkan lehernya apabila ada yang berniat mengayunkan pedang menebasnya.
"Sudahlah," suara yang pecah kemudian adalah suara Jayanegara.
"Apa yang menimpa Mahisa Kingkin bukanlah kesalahan Bongol sepenuhnya. Ia hanya korban dari ulah licik Singa Parepen yang bisa menimpa siapa saja. Aku yang berhak menentukan hukuman apa yang harus dijalani Gagak Bongol, Bekel Gajahmada nantinya yang akan mewakili aku menentukan hukuman itu. Aku pulihkan pula nama Mahisa Kingkin yang sempat tercemar sebagaimana aku menganugerahkan anumerta kehormatan kepada Bhayangkara Risang Panjer Lawang yang telah menjadi korban perbuatan orang yang sama."
Pradhabasu yang marah merasa membutuhkan penyaluran, tetapi Pradhabasu juga memahami apa yang disampaikan rajanya bahwa Bhayangkara Gagak Bongol hanya menjadi korban dari permainan telik sandi musuh. Ia juga bisa mengalami hal yang sama bila ditempatkan sebagai Gagak Bongol.
Gajahmada 509 Bekel Gajahmada akhirnya merasa yakin bahwa pasukan yang tersisa benar-benar bersih dari cemaran pengaruh Rakrian Kuti. Satu per satu Bhayangkara anak buahnya dikenalinya dengan baik melalui pengamatan pribadi demi pribadi dan Gajahmada menjadi yakin sisa pasukannya benar-benar bersih.
Penduduk Kelurahan Kudadu adalah penduduk yang baik hati, mereka bekerja bahu-membahu menggali kuburan. Bagaimanapun perbuatan Singa Parepen dan tindakan tak terpuji macam apa pun yang dilakukannya, ia tetap seorang manusia yang untuk kematiannya tak boleh dionggokkan seperti sesekor binatang. Di sebuah makam yang tidak jauh dari rumah Ki Lurah Kudadu Singa Parepen dikubur.
Malam yang bergerak kemudian menjadi waktu yang lega, Sri Jayanegara selanjutnya boleh melakukan apa saja tanpa harus khawatir.
Jayanegara bahkan menyempatkan bercanda dengan segenap warga Kudadu yang menyebabkan kawula terpencil di kaki gunung kapur itu terkejut melihat kenyataan raja mereka ternyata bukan manusia yang tidak bisa digapai, raja bahkan bisa tertawa bergelak dan melontarkan canda yang lucu. Raja bahkan bisa dipegang tangannya.
Menyudut seperti tidak peduli kepada gamelan yang mengalun, Bekel Gajahmada berbincang dengan Lembang Laut.
"Masih ada sebuah soal lagi, dengan Singa Parepen berhasil melepaskan burung merpati itu, berapa waktu yang dibutuhkan Ra Kuti untuk menyerbu Kudadu?" tanya Gajahmada.
"Diperlukan pasukan berkuda dalam jumlah besar untuk menyerbu, Ra Kuti pasti berpikir demikian. Tak mungkin mengirim pasukan berjalan kaki. Jarak tempuh yang harus dituju sangat jauh. Menurutku tempat ini sudah aman, tak mungkin Ra Kuti menyerbu karena aku meyakini burung merpati itu tidak akan sampai ke kandangnya."
Bekel Gajahmada menampakkan wajah herannya. Tangan kanannya mengelus-elus gagang pedang panjangnya.
"Burung merpati itu tersesat!" Lembang Laut menambah.
"Bagaimana kaubisa mengambil simpulan seperti itu?"
510 Gajahmada Lembang Laut tersenyum. "Karena aku terus mengikuti arah burung itu. Mula-mula burung itu terbang ke selatan, namun jauh di selatan merpati itu kemudian membelok ke arah barat sampai kemudian lenyap di balik cakrawala.
Bila Merpati itu menuju arah timur, aku memang layak cemas."
Bekel Gajahmada bisa menerima alasan itu.
"Baiklah, jika demikian halnya, kita tak perlu berlama-lama berada di sini, beberapa hari lagi kita kembali menyusup ke kotaraja untuk membuat perhitungan dengan Ra Kuti."
"Aku sependapat, menurutku Ra Kuti harus segera disadarkan bahwa ia tidak punya hak duduk di atas dampar singgasana Wilwatikta, dengan aku akan mengayunkan pedang membelah pantatnya."
Meski Sri Jayanegara akhirnya merasa aman di Kelurahan Kudadu, tetapi tidak akan merasa tenang pikirannya. Keadaan kacau-balau di kotaraja, rusaknya tatanan karena Ra Kuti merusaknya juga kemungkinan Ra Kuti bertindak lebih jauh dengan memburu para sekar kedaton ke candi Rimbi menyebabkan Sri Jayanegara mengalami sulit tidur, bahkan badannya meriang tidak sehat.
Apa yang dicemaskan oleh Sri Jayanegara sebenarnyalah menjadi kenyataan. Negara benar-benar dilanda kekacauan karena meski beberapa hari telah berlalu penjarahan baik yang dilakukan para prajurit pendukung Ra Kuti maupun penjarah yang berasal dari orang kebanyakan yang berubah menjadi penjarah karena orang lain juga menjarah. Ada banyak sekali orang yang memanfaatkan keadaan untuk menyelesaikan urusan pribadi, dendam atau rasa tidak senang bisa dituntaskan mumpung keadaan sedang kacau. Orang kaya benar-benar berada dalam keadaan tersudut dan tidak nyaman.
Gajahmada 511 47 Gelombang pengungsian bukannya berhenti malah terus berlanjut.
Tak hanya para kawula alit yang memilih meninggalkan kotaraja untuk mencari aman dan selamat, para pembesar dan pejabat istana pun melakukan hal yang sama. Jauh-jauh hari mereka telah meninggalkan istana. Hyang Kasaiwan Brahmaraja, Dharmadyaksa Ri Kasogatan, para pendeta dan mantri, semua lenyap tidak ada jejaknya. Ra Kuti tidak menemukan siapa pun yang dapat dipaksa untuk meresmikan kedudukannya, bahkan Arya Tadah sekalipun.
Bhayangkara Kartika Sinumping yang telah menyusup ke lingkungan kotaraja menemukan kebenaran dari apa yang disampaikan Mapatih Arya Tadah. Langkah pertama yang dilakukan Bhayangkara Kartika Sinumping demikian tiba kembali ke kotaraja adalah menghadap Arya Tadah yang telah berada di tempat aman. Langkah yang harus diambil Kartika Sinumping sebagaimana petunjuk Bekel Gajahmada sebagian besar ternyata malah telah dilaksanakan oleh Tadah.
Melalui jaringan yang dikendalikan Arya Tadah, sekelompok prajurit yang telah berhasil dihimpun dari sana sini dikirim ke Rimbi guna memindahkan para Ibu Ratu istri mendiang Sri Rajasa Kertawardhana atau Raden Wijaya ke tempat yang lebih aman. Tak berapa lama setelah kelompok prajurit itu mengosongkan Rimbi, orang-orang suruhan Ra Kuti tidak menemukan siapa pun di tempat itu. Angan-angan Rakrian Kuti untuk memperistri para sekar kedaton sementara harus tertunda sampai pada suatu saat nanti keberadaan mereka akan ditemukan.
"Lembu Nabrang yang telah kembali dari Bali langsung aku beri kendali untuk mengamankan mereka," berkata Arya Tadah saat itu.
Bhayangkara Kartika Sinumping terkejut.
"Kakang Lembu Nabrang?" desisnya dengan wajah sedikit cerah.
512 Gajahmada "Ya," jawab Arya Tadah. "Perbuatan gila Ra Kuti sebagian alasannya karena didorong cemburunya kepada Lembu Nabrang."
Lembu Nabrang atau Lembu Anabrang memang prajurit yang sangat dicemburui nasibnya oleh Rakrian Kuti yang merasa jasa yang diberikannya tidak kalah besar darinya, tetapi Jayanegara menganugerahkan pangkat dan kehormatan kepada Lembu Anabrang melebihi kepada dirinya. Ra Kuti bahkan merasa dirinya yang banyak berjasa, tetapi Lembu Anabrang yang tidak melakukan apa-apa yang memperoleh anugerah, tidak sekadar seperti yang diterima oleh para Dharmaputra Winehsuka. Dalam meredam pemberontakan yang dilakukan Sora, Ra Kuti merasa mempunyai peran yang sangat besar. Akan tetapi, raja yang klilipen matanya tidak melihat jasa perbuatan yang dilakukan itu. Nama beringas Sorandaka yang mbalela melambungkan nama Lembu Anabrang, bukan namanya. Bahkan, jejak tarian Sora yang makar mbalela diikuti langkahnya sebagaimana Nambi yang membangun benteng perlindungan di Pajarakan, juga apa yang dilakukan Ranggalawe, pemberontakan Sora, pemberontakan Semi di Lasem, sama sekali tidak melambungkan jabatannya. Maka apa boleh buat, kini giliran Ra Kuti mbalela untuk menakar rasa tidak puasnya.
Lembu Anabrang telah beberapa bulan lamanya pergi ke Bali bersama Kudamerta dan Cakradara atas perintah raja untuk melaksanakan tugas negara. Kemampuan Lembu Anabrang tidak ubahnya kemampuan Bekel Gajahmada. Ia seolah mampu mengendus udara untuk kemudian melalui daya olah timbangnya bisa menyimpulkan peristiwa macam apa yang terjadi. Dengan Lembu Anabrang telah pulang dan bertindak, nasib para ratu dan sekar kedaton tidak perlu dicemaskan lagi.
"Itu berarti Raden Cakradara dan Kudamerta ikut pulang?"
bertanya Kartika Sinumping.
"Ya," jawab Arya Tadah. "Menyusuplah ke kotaraja dan datangilah sebuah rumah yang di depannya ditancapkan batang bambu bagai tanpa alasan. Jika mereka menyapamu dengan menggunakan kata sandi debu-debu berhamburan di malam gelap gulita, jawablah dengan kalimat sandi, ada gadis menangis meratapi kematian suami!"
Gajahmada 513 Berbekal banyak keterangan yang diperoleh dari Arya Tadah di tempat persembunyiannya, terutama dengan pihak mana saja ia harus berhubungan, Bhayangkara Kartika Sinumping memasuki kotaraja. Hal yang sama sekali berada di luar dugaannya, bahkan membayangkan pun tidak, Bhayangkara Kartika Sinumping mengalaminya di sebuah perempatan jalan. Tiga orang laki-laki berusia muda mencegatnya dengan melintangkan tombak.
"Berhenti," bentak salah seorang dari mereka.
Bhayangkara Kartika Sinumping menghentikan langkah. Dengan jenis pakaian yang amat sederhana, penampilan Kartika Sinumping mirip pidak pidarakan, berderajat sudra yang hidupnya hanya bertumpu dari mengais belas kasihan orang lain.
"Ada apa?" balasnya dengan nada datar.
"Pajak!" jawab salah satu dari mereka.
Bhayangkara Kartika Sinumping terbelalak.
"Pajak?" jawabnya seperti bergumam. "Pajak apa?"
"Pajak lewat jalan ini," jawab orang itu.
Bhayangkara Kartika Sinumping garuk-garuk kepala manakala menyadari sedemikian parah rentetan akibat perbuatan Ra Kuti.
"Untuk lewat jalan ini harus membayar?" tanya Kartika Sinumping ragu.
"Ya," jawab orang itu tegas, "semua yang memanfaatkan jalan ini diharuskan membayar pajak."
Bhayangkara Kartika Sinumping nyaris tersenyum.
"Pajak apa namanya?"
"Pajak jalan ini."


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa yang memberi izin memungut pajak bagi mereka yang akan lewat jalan ini?" Kartika Sinumping mengejar dan menyudutkan.
"Tak perlu izin!" jawab orang berwajah sangar itu. "Kami tidak meminta izin untuk memungut pajak lewat jalan ini, habis perkara. Kalau kamu tidak suka, jangan lewat jalan ini. Cari jalan lain yang tidak dipajaki."
514 Gajahmada Kartika Sinumping merasa bertambah penasaran.
"Apakah semua ruas jalan telah ada yang memajaki?"
"Ya," jawab orang itu.
"Bagaimana jika orang yang lewat sini tidak mempunyai uang?"
bertanya Kartika Sinumping.
"Gampang," jawab orang itu, "siapa pun boleh lewat dengan tak usah membayar pajak, tetapi harus meninggalkan kepalanya di sini."
Kartika Sinumping longak-longok, ia tak melihat ada sebutir kepala pun yang tertinggal di tempat itu.
"Maksudmu" Pajak untuk lewat tempat ini hanya seharga sebutir kelapa" Kalau hanya kelapa, kurasa tidak masalah. Aku akan memanjatkan untukmu."
Mereka sangat tersinggung, matanya melotot serasa akan lepas dari kelopaknya. Namun, Kartika Sinumping tidak peduli. Kartika Sinumping membalikkan badan memerhatikan beberapa jenak ruas jalan yang dilewatinya. Bhayangkara Kartika Sinumping tersenyum ramah dan membungkuk memberikan penghormatan.
"Baiklah, aku akan lewat jalan lain," berkata Kartika Sinumping.
"Aku perlu membuktikan, apakah jalan lain juga dipagari pajak."
Tanpa banyak bicara Bhayangkara itu berbalik langkah dan mengayunkan kaki.
"He, tunggu," teriak salah seorang dari tiga orang yang menghadang itu.
Kartika Sinumping berbalik.
"Apa lagi?" Kartika Sinumping menjawab dengan balas bertanya.
"Pajak," jawab orang itu, nada suaranya ditinggikan.
Kartika Sinumping mengerutkan kening, memandang orang yang tangannya mulai gatal terlihat mengelus-elus gagang tombak. Seorang lain pemilik wajah culas sibuk memelintirkan beberapa helai kumisnya.
Gajahmada 515 Bhayangkara Kartika Sinumping menjawab bentakan orang itu dengan melakukan hal yang sama sekali tidak terduga, suara Kartika Sinumping yang selanjutnya justru berubah menjadi sangar.
"Kalian bertiga yang harus membayar kepadaku," jawab Bhayangkara Kartika Sinumping dengan wajah berubah menjadi tegas.
"Kalian yang harus membayar pajak untuk pekerjaan memungut pajak.
Berikan semua uang yang kalian peroleh kepadaku. Cepat!"
Ketiga orang itulah yang kemudian terbelalak, tetapi apa yang disampaikan orang itu membuat mereka lebih terbelalak, orang itu yang hanya sendiri ternyata tidak takut menghadapi mereka bertiga. Sebuah pedang berkilat-kilat dicabut dari warangka-nya. Pedang itu mudah dikenali karena bentuknya sangat khas. Tidak sembarang orang memiliki pedang macam itu dan siapa yang memilikinya menjadi jaminan tidak selayaknya orang itu dianggap remeh.
"Bhayangkara," desis salah seorang dari mereka yang disergap ketakutan yang datangnya mendadak.
Tiga orang penarik pajak itu disergap oleh cemas yang datang sangat tiba-tiba. Dua di antaranya masih mempunyai kemampuan memanfaatkan waktu yang ada dengan melarikan diri dan jatuh bangun, sementara yang seorang lagi kehilangan nyali dan keberaniannya, ia jatuh terduduk menyembah-nyembah. Kartika Sinumping memutar pedangnya yang berkilat-kilat tipis dan amat tajam, pedang dengan lengkung panjang seperti itu hanya Bhayangkara yang boleh memilikinya.
"Aku minta maaf, ampuni aku," ucap orang itu.
Kartika Sinumping memandanginya untuk beberapa saat lamanya.
"Pergilah, jangan ulangi lagi perbuatan itu. Sampaikan pula kepada mereka yang melakukan hal yang sama bahwa mereka akan berhadapan dengan Bhayangkara yang akan kembali untuk merebut kehormatannya."
Pemungut pajak liar yang berbadan gendut itu belum percaya kepada pendengarannya.
"Cepat pergi sebelum pikiranku berubah," Kartika Sinumping mengancam.
516 Gajahmada Orang itu berusaha bangkit, tetapi terjatuh oleh ketakutan yang lebih kuat mencengkeram nyalinya. Manakala ia berhasil berlari dengan terhuyung-huyung.
"Benar-benar sebuah perubahan tatanan yang menyedihkan,"
gumam Bhayangkara Kartika Sinumping.
Bhayangkara Kartika Sinumping segera menemukan jawaban lebih lengkap manakala langkah kakinya makin menusuk ke pusat kotaraja.
Di mana-mana prajurit bersenjata berkeliaran, setiap simpang empat dan simpang tiga selalu dijaga, bahkan ujung dari sebuah gang kecil pun dijaga, selebihnya hanya suasana lengang, tak satu pun rumah membuka pintu, semua tutup. Apabila Kartika Sinumping memaksakan diri menelusuri jalanan yang sepi, perbuatannya itu justru akan kelihatan janggal dan malah mencuri perhatian.
"Rakrian Kuti membuat penjaranya sendiri," berdesis Kartika Sinumping. "Jika ia berpikir akan langgeng menjadi raja dengan cara seperti ini, jelas merupakan sebuah kesalahan."
Bhayangkara Kartika Sinumping terpaksa memutar lagi.
Tidak mungkin berkeliaran dengan jalanan yang dijaga demikian ketat, Bhayangkara Kartika Sinumping terpaksa mengambil pilihan menunggu malam yang akan datang dalam waktu sejengkal lagi. Di sebuah ladang milik penduduk Kartika Sinumping tak bermaksud membuang-buang waktu, justru waktu yang ada dimanfaatkannya untuk memperbanyak persediaan jumlah anak panahnya, yang diraut dari batang bambu yang tersedia berlimpah di tempat itu. Untuk membuat anak panah bukanlah pekerjaan sulit bagi Kartika Sinumping karena telah menjadi pekerjaan sehari-harinya, bahkan Kartika Sinumping pula yang melengkapi anak panah itu dengan suara sanderan mendengung dengan nada tinggi yang akhirnya menjadi ciri khas keberadaan Bhayangkara. Pengetahuan khusus yang dimilikinya itu pula yang mendorong Bhayangkara Kartika Sinumping menciptakan sebuah anak panah berbeda yang merupakan gabungan antara anak panah sanderan dan panah berapi. Gendewa dalam ukuran besar diyakini akan mendorong anak panah itu membubung menggapai langit.
Gajahmada 517 Setelah gelap malam tiba, Kartika Sinumping berhasil menyelinap pada jarak cukup dekat dengan alun-alun sambil bersembunyi di belakang tembok yang runtuh, sejenak kemudian dari rentang gendewa yang ditekuk melengkung ke udara, lima panah berapi sekaligus membubung menerobos udara dengan suara melengking. Nyala api yang berkobar di ujung warastra itu terlihat amat jelas dari beberapa penjuru. Suara melengking panah sanderan yang amat khas itu menjadi petunjuk bagi siapa pun untuk menoleh mengarahkan pandangan. Bagi mereka yang kehilangan kesempatan menyaksikan anak panah memanjat langit itu tidak perlu merasa menyesal karena sejenak kemudian, lima lagi anak panah berapi dengan suara sanderan melengking memanjat naik.
Berdebar-debar semua orang.
Mereka yang menangkap pesan bahwa Bhayangkara yang dalam beberapa hari lenyap sudah muncul kembali di kotaraja.
Ancaman melalui peringatan itu akhirnya terbukti.
Beberapa saat setelah riuh memperbincangkan kemunculan Bhayangkara, seorang prajurit yang memegang tombak panjang tiba-tiba terhenyak. Prajurit itu bahkan sedikit terlambat menyadari apa yang menimpanya.
"Kau kenapa?" tanya prajurit yang lain.
Prajurit itu akhirnya menemukan sumber rasa sakit yang berasal dari lengan kanannya. Sebuah anak panah tertancap tembus ke bagian belakang.
"Aku kena anak panah," desisnya.
Jawaban itu membuat yang lain terkejut. Suara desing anak panah susulan menyadarkan mereka pada apa yang sedang berlangsung.
"Awas, ada yang melepas anak panah," teriak orang di sebelahnya.
Namun, justru orang itu sasaran berikutnya, sebatang anak panah menyambar lengan tembus ke bagian belakang. Hamburan anak panah berikutnya menyebabkan kelompok prajurit yang menjaga regol istana berlarian menyelamatkan diri.
518 Gajahmada "Dari mana arahnya?" sebuah teriakan berasal dari pimpinan mereka.
Namun, tidak seorang pun yang bisa menebak dari mana arah anak panah itu berasal. Bahwa orang yang melepas anak panah itu masih menempatkan mereka sebagai sasaran bidik terbukti satu sambaran panah lagi menghunjam di tubuh seorang prajurit yang bermaksud bergeser dari tempatnya semula. Sangat malang nasib prajurit itu, yang bahkan barangkali tidak bermimpi apa pun sebelumnya. Arah anak panah yang sebenarnya ditujukan ke bagian tubuh yang tidak membahayakan justru menghunjam ke jantungnya. Beberapa saat prajurit itu menggelepar untuk kemudian dengan sangat keras ia melepas tarikan napasnya yang terakhir.
"Keparat," umpat pimpinan kelompok prajurit penjaga regol itu.
Lalu suasana menjadi hening tak terdengar apa pun. Para prajurit penjaga regol yang menyadari betapa mereka berada di sasaran bidik tak ada yang berani bergerak. Bhayangkara Kartika Sinumping yang menabur tembang kematian bergeser dari tempat itu untuk menari di tempat lain. Sejenak kemudian dari arah sudut alun-alun sisi barat laut, lima anak panah sanderan membubung memanjat langit, suaranya yang melengking menyapa siapa pun dan mewartakan pesan kepada siapa pun bahwa Bhayangkara masih ada dan kini muncul lagi.
Peristiwa tidak terduga di regol utama itu akhirnya sampai ke telinga Ra Kuti.
"Demit," umpat Ra Kuti. "Mereka benar-benar duri di pantatku menyebabkan aku tidak bisa tenang. Tidak bisakah gerak mereka dibungkam?"
Arah pandangan Ra Kuti ditujukan kepada Ra Yuyu.
"Bagaimana dengan burung piaraanmu itu" Sudah pulang ke kandang belum?"
Ra Yuyu menggeleng kepala.
"Belum," jawabnya.
Gajahmada 519 "Dengan demikian, sampai saat ini belum ada kabar apa pun dari Singa Parepen?" bertanya Ra Kuti.
"Belum," jawab Ra Yuyu tegas.
Ra Kuti memejamkan mata sambil geleng-geleng kepala.
"Barangkali Jayanegara bersekongkol dengan marmut atau para tikus sawah dengan membuatkan tempat persembunyian di bawah tanah.
Kini ke mana kita akan memburu Kalagemet, ke mana arahnya benar-benar gelap gulita, tidak ada petunjuk apa pun yang kita miliki. Jangankan memburu Jayanegara, sekadar mengendus ke mana arah jejak dua adik perempuannya saja tak bisa, padahal Gitarja dan Rajadewi adalah pijakan kaki untuk memperkuat sandaranku. Jayanegara dan lebih-lebih Bhayangkara itu, aku mengira mereka akan kembali untuk berusaha merebut kekuasaan yang kini ada dalam genggaman tanganku."
Raut wajah Ra Tanca yang memandangi wajah Ra Kuti dengan bersandar di pintu agak berubah. Ra Tanca mempunyai perhitungan yang berbeda.
"Sangat salah!" ucap Ra Tanca itu dalam hati. "Keliru jika mengira Bhayangkara kelak akan kembali untuk berusaha merebut kembali kekuasaan itu, yang benar bukan kelak, menurutku gerakan itu sudah dimulai."
Sebenarnyalah, untuk mengamankan kedudukan yang telah diraihnya Ra Kuti telah mengambil langkah dan kebijakan yang memperkukuh sandaran dampar-nya. Seharian penuh para prajurit disibukkan melakukan penangkapan pihak-pihak yang tidak mendukung tindak tanduknya terutama para senopati dan lurah prajurit dari pasukan Jalapati yang telah ditinggalkan Temenggung Banyak Sora. Mereka yang dianggap tidak mempunyai kesetiaan dan tidak menerima kehadiran Ra Kuti dijebloskan ke pakunjaran hingga penjara menjadi penuh berjejal-jejal. Sebuah bangsal cukup besar di lingkungan istana telah diubah menjadi penjara yang terisi penuh.
Beberapa di antaranya akan dijatuhi hukuman mati.
520 Gajahmada Juga di siang sebelumnya, Ra Kuti melakukan perubahan dan pembenahan di tatanan keprajuritan. Beberapa senopati yang semula berasal dari pasukan Jala Rananggana dan Jalayuda yang dianggap mempunyai andil dalam menjungkalkan Jayanegara dianugerahi kenaikan pangkat sekaligus menduduki banyak jabatan yang semula kosong.
Seorang prajurit yang semula hanya menyandang pangkat rendah karena keberanian dan luka yang dimiliki berubah jabatan dan pangkatnya.
Sebutan baru sebagai seorang lurah menyebabkan prajurit itu tak merasa keberatan terluka lebih parah lagi asal kedudukan sebagai senopati berada dalam genggaman berikutnya. Pada lapis atasnya, puluhan lurah prajurit dari kesatuan Jala Rananggana yang ditinggalkan pergi selamanya oleh pimpinannya bersuka cita karena Ra Kuti menganugerahkan kenaikan pangkat menjadi senopati.
Ada seratus lebih prajurit menyandang pangkat senopati setelah anugerah yang diselenggarakan di Tatag Rambat Bale Manguntur itu.
Seorang prajurit berpangkat paling rendah, tetapi mempunyai kemampuan menjilat sampai basah kuyup dengan memanggil Ra Kuti dengan sebutan Tuanku Baginda Maharaja Ra Kuti yang diucapkannya dengan menekuk wajah amat dalam, beruntung karena Ra Kuti langsung melemparkan derajatnya membubung tinggi menjadi senopati.
Betapa bangganya prajurit yang merasa telah melewati sebuah keajaiban itu. Ayunan langkah kakinya makin tegak dan jarang menunduk, apabila berbicara dengan mereka yang berpangkat lebih rendah kini lebih sering bertolak pinggang. Prajurit itu juga harus menyesuaikan diri dengan belajar melotot dan meninggikan suara yang barangkali dibutuhkan saat ia harus membentak. Setelah selama ini sering menjadi sasaran bentakan, kinilah giliran ia membentak. Seorang prajurit berpangkat lurah yang acap kali menyuruh serta membentaknya tak pelak akan menjadi bulan-bulanan balas dendamnya.
Kumis beberapa helai di atas bibirnya beberapa kali dipelintir karena memang demikianlah seharusnya lagak seorang senopati.
"Aku harus mengolesi dengan lemak kura-kura supaya punya kumis dan jenggot yang lebat, juga di dada. Apalagi, wanita lebih senang dada berbulu lebat daripada polos tak berambut."
Gajahmada 521 Untuk mengamankan keadaan dan untuk memperoleh jaminan keadaan benar-benar terkendali para pimpinan prajurit berasal dari orang-orang yang sepaham dan bisa dipercaya, pengangkatan dan pencopotan marak dilakukan nyaris di semua jenjang kepangkatan. Dari penataan itu Ra Kuti telah membentuk sebuah pasukan tersendiri yang siap bergerak dengan isyarat ayunan tangannya, yang secara khusus dipersiapkan memburu di mana pun Jayanegara bersembunyi. Apabila keberadaan Kalagemet diketahui dengan pasti, pasukan khusus akan langsung bekerja, digerakkan ke mana pun meski Kalagemet bersembunyi di tempat matahari bersembunyi setelah senja datang.
Namun, Ra Kuti masih merasa apa yang diinginkan belum tuntas terpegang tangan. Menjungkalkan Jayanegara sebagaimana yang diinginkan meski telah menjadi kenyataan ternyata belum memberi kepuasan hati sebelum melesakkan raja itu ke dalam tanah karena akan menjadi duri dalam daging yang selalu mengganggu ketenangan hatinya.
Di samping itu, masih ada dua pemilik wajah ayu yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Wajah cantik itu membuatnya gelisah didorong angan-angan ingin menggelutinya.
Ra Kuti merasa dengan mengawini dua gadis itu sebagaimana Raden Wijaya mengawini empat kakak beradik keturunan Kertanegara sekaligus, apalagi bila dengan segera Ra Kuti mempunyai keturunan dari Sri Gitarja maupun adiknya, Rajadewi Maharajasa, akan makin kukuh dan langgeng kekuasaan dalam genggamannya.
Telah berulang kali Ra Kuti mengumbar umpatan karena untuk pekerjaan menangkap Jayanegara dan membawa paksa dua kakak beradik anak Gayatri ternyata tak bisa diwujudkan menjadi sebuah kenyataan. Persediaan sumpah serapah untuk itu masih tersedia lumayan banyak. Beberapa nama binatang seperti bangsat yang tak lain adalah kata pembeda dari kepinding, atau nama bajing, binatang pengerat, ular, binatang melata, semua dengan mulus keluar dari bibir Ra Kuti yang gampang sekali mengumbar amarah manakala ada hal yang membuatnya tidak senang.
"Jadi, bagaimana dengan Jayanegara dan adik-adiknya itu?" Ra Kuti kembali memecah keheningan dengan pertanyaannya yang serak.
522 Gajahmada Ra Yuyu menekuk-nekuk jemari tangannya menyebabkan munculnya suara gemeletuk dari pergeseran engselnya.
"Hentikan perbuatanmu itu," teriak Ra Kuti yang tidak senang.
Ra Yuyu bingung. "Apa yang harus aku hentikan?" balasnya.
"Kau membuat suara dari tanganmu yang menyebabkan telingaku risih," Ra Kuti menekan.
Wajah Ra Yuyu menebal karena jengkel. Setelah menjadi raja Ra Kuti makin sombong dan tak menghargainya. Ra Yuyu merasa tanpa dirinya dan para Dharmaputra Winehsuka yang memberi dukungan, Ra Kuti bukanlah apa-apa atau siapa-siapa. Setelah berhasil menduduki dampar Ra Kuti menganggap dirinya sebagai alas kaki gedibal-nya.
Ra Kuti menunggu jawaban, tetapi Ra Yuyu belum menjawab.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana dengan Jayanegara dan adik-adiknya itu?"
Ra Yuyu menggeleng. "Tidak ada," jawabnya.
Dengan segera Ra Kuti meradang.
"Tidak ada bagaimana?"
"Apa yang bisa kita lakukan sebelum ada keterangan yang jelas dari barisan telik sandi yang kita gerakkan. Di mana Jayanegara gelap gulita, di mana pula para putri itu juga gelap gulita. Sebagaimana Gajahmada, Nabrang tentu membawa Gitarja dan Rajadewi ke liang semut. Apalagi menurut keterangan, Cakradara dan Kudamerta telah kembali dan tentu berusaha melindungi mereka."
Wajah Ra Kuti menebal. Jika ada orang yang sangat dibenci, orang itu adalah Lembu Anabrang yang tidak melakukan apa pun dalam meredam tindak makar yang dilakukan Sorandaka. Nabrang hanya duduk-duduk menikmati hangatnya wedang. Ra Kutilah yang bekerja keras bersimbah peluh bahkan memiliki luka abadi dalam perkelahian satu lawan satu dengan Sorandaka. Namun, Nabrang si penjilat itu Gajahmada 523
memutarbalikkan cerita di depan Jayanegara. Begitu indahnya cerita yang dituturkan Nabrang itu, tentang bagaimana jalannya perang, bagaimana Nabrang bertarung melawan Sora, membuat Jayanegara sangat terpesona dan menganugerahi Nabrang kedudukan yang melambung tinggi melampaui kedudukan Ra Kuti yang semula berada di atas Nabrang.
Oleh lompatan kedudukan yang kini berada di genggaman tangannya, tiba-tiba Ra Kuti bergelak.
Ra Tanca tetap membeku di tempatnya, Ra Yuyu dan Ra Banyak bertukar pandang, tetapi mereka tak bisa menebak gejolak apa yang sedang menggeliat di benak Ra Kuti itu. Di tempat masing-masing dengan berdiri bersandar di dinding, Ra Wedeng dan Ra Pangsa memandang beku ke wajah Ra Kuti.
"Aku telah membalikkan keadaan," berucap Ra Kuti di sela tawanya.
"Aku bisa membayangkan perasaan Anabrang melihat perbuatanku, aku sekarang raja. Bahkan, Anabrang harus menyembah dan mencium kakiku."
Ra Yuyu menggaruk-garuk kepala yang gatal karena rambut panjang yang diikat di atas kepala itu telah lama tidak dikeramasi. Ra Tanca yang menyimak perasaan macam apa yang ada di benak Ra Kuti sama sekali tidak menampakkan perubahan raut wajah. Ra Tanca yang berwajah paling tampan itu tetap beku melebihi membekunya minyak kelentik di musim bediding.
Orang berikutnya setelah Lembu Anabrang yang sangat dibenci adalah langkah yang dilakukan Kudamerta dan Cakradara yang masing-masing berupaya melalui cara licik" setidaknya demikian yang dirasakan Ra Kuti"yang dengan cara culas mendekati para sekar kedaton, yang itu berarti di masa depan akan memiliki peluang sangat besar untuk menduduki singgasana. Pada sebuah hari ketika Ra Kuti merasa mendapat kesempatan untuk mencuri perhatian Sri Gitarja maupun adiknya, betapa menebal wajah Ra Kuti menemukan kenyataan Kudamerta dan Cakradara telah menyusup ke keputren. Ra Kuti yang mencoba mengetahui apa yang mereka lakukan dengan segera dilanda cemburu 524
Gajahmada menyaksikan tontonan yang membakar wajahnya. Di salah satu sudut taman, dua pasangan yang sedang dilanda asmara itu sedang duduk sambil berpegang tangan. Merah padam wajah Ra Kuti menyaksikan Sri Gitarja bersandar mesra di pundak lelaki yang dicintainya, juga apa yang dilakukan Rajadewi yang saling remas tangan dan bertukar pelukan dengan pencuri hatinya.
Kini, dengan puncak kekuasaan sepenuhnya berada di genggaman tangannya, keinginan untuk menjadikan kakak beradik itu sebagai istrinya makin berkobar, bukan hanya atas nama untuk melanggengkan kekuasaannya, tetapi juga atas nama nafsu yang sekian lama dipendamnya.
Itulah sebabnya, atas perintah Ra Kuti, puluhan prajurit telik sandi disebar ke segala penjuru dengan menyamar melalui berbagai bentuk, di antaranya dengan menyamar sebagai pedagang, pejalan tanpa tujuan, bahkan menyamar sebagai biksu. Bahwa jumlah mereka yang ditugasi melacak jejak kaki-kaki yang hilang di Rimbi jauh lebih banyak daripada mereka yang disiapkan mengendus jejak Bhayangkara menjadi pertanda betapa Ra Kuti melihat keberadaan Sri Gitarja dan adiknya jauh lebih penting daripada Jayanegara.
Persoalan yang dihadapi Ra Kuti bukanlah persoalan yang ringan.
Menguasai negara sepenuhnya tidaklah semudah membalik tangan karena perlawanan tanpa bentuk yang entah siapa penggagasnya muncul di mana-mana. Bhayangkara Kartika Sinumping yang melintas pada jarak cukup dekat dengan wisma kepatihan menyaksikan tontonan yang mendebarkan.
Kartika Sinumping yang sedang mengamati keadaan dan menghitung jumlah kekuatan prajurit yang menjalankan tugas mengamankan wisma kepatihan terkejut ketika dari balik dinding tempatnya bersembunyi melihat sekitar lima orang berloncatan melewati dinding kemudian mengendap menyembunyikan diri di balik benda apa pun. Seorang di antaranya bahkan berada pada jarak yang sangat dekat dengan Kartika Sinumping. Bhayangkara pemegang lencana raja itu terpaksa menahan napas.
Gajahmada 525 "Siapa mereka ini dan apa yang akan mereka lakukan?" desisnya.
Orang-orang itu ternyata cukup trengginas. Dari tempat masing-masing mereka memasang langkap dan anak panah. Kartika Sinumping harus menahan napas melihat kelompok kecil yang menyusup ke wisma kepatihan itu mengarahkan anak panahnya kepada beberapa prajurit kaki tangan Ra Kuti. Menggunakan isyarat tangan mereka berbagi sasaran.
"Barangkali mereka orang yang dikatakan Paman Arya Tadah,"
ucap Bhayangkara Kartika Sinumping kepada diri sendiri.
Dari tempatnya Kartika Sinumping terus mengamati hingga tiba saatnya isyarat ayunan tangan dari salah seorang di antara mereka mendorong anak panah melesat dari busurnya. Ada lebih dari lima orang yang menjadi sasaran bidik, tetapi hanya tiga orang yang ambruk.
Kartika Sinumping menyayangkan, bukannya disusuli dengan menghamburkan anak panah, sebaliknya para penyusup itu justru lari berhamburan berusaha menyelamatkan diri. Rupanya mereka harus mengukur kekuatan yang tidak imbang sehingga yang dilakukan sekadar serang dan lari, serang dan lari lagi.
"Itu mereka, kejaaar!" terdengar teriakan dari arah sasaran.
Dengan tenang Kartika Sinumping bergeser dari tempat semula.
Melekat pada batang pohon sawo Kartika Sinumping merayap memanjat naik tanpa menimbulkan suara, sejengkal waktu setelah itu beberapa orang prajurit kaki tangan Ra Kuti melakukan pemeriksaan, seorang di antaranya bahkan tepat berada di bawahnya.
"Kurang ajar, benar-benar perbuatan pengecut," desis salah seorang di antara mereka.
Mereka segera berhamburan kembali ke wisma kepatihan ketika tidak menemukan sesuatu. Kartika Sinumping meloncat turun kemudian melompati dinding. Dari tempatnya berada, Bhayangkara yang mampu bergerak tanpa menimbulkan suara itu melepas busur dan mengarahkan bidikan. Sejenak kemudian, apabila terdengar suara jerit sekarat tubuh 526
Gajahmada ambruk adalah karena perbuatannya.
Meski hanya seorang, Kartika Sinumping mampu membuat kekacauan. Anak panahnya yang berdesing dengan suara khas itu bisa dikenali sebagai anak panah milik Bhayangkara. Bukannya berusaha mencari siapa yang menebar tembang maut itu, prajurit pendukung Ra Kuti yang mengamankan wisma Arya Tadah pilih mendekam di balik perlindungan masing-masing. Mereka amat sadar, kali ini suara anak panah dengan desing yang sangat khas macam itu tidak boleh dianggap main-main.
Rumah Arya Tadah harus dijaga ketat karena Ra Kuti berpikir lorong bawah tanah yang menghubungkan wisma kepatihan tak cukup sekadar ditutup dengan batu. Bila lorong itu tidak dijaga rapat, itu sama halnya dengan membuka pintu belakang mempersilakan Bhayangkara untuk masuk dan menghunjamkan senjatanya langsung ke belahan pantat Ra Kuti.
Suasana hening, tetapi mencengkeram, menyesakkan dada. Derap kuda dalam jumlah banyak dari kejauhan menjadi pertanda bagi Bhayangkara Kartika Sinumping untuk menyudahi permainannya. Apa yang terjadi di wisma kepatihan itu rupanya dengan cepat diketahui dan sesegera itu pula dikirim sejumlah prajurit untuk mengatasinya. Namun, tak ada apa pun yang bisa mereka lakukan karena yang tersisa hanya mayat-mayat bergelimpangan.
"Apa yang terjadi?" berteriak Ra Banyak yang memimpin pasukan itu.
Akan tetapi, seolah-olah Bhayangkara Kartika Sinumping yang menjawab pertanyaan Ra Banyak itu karena sejenak setelah ia mengumpat kasar, Ra Banyak dikagetkan oleh suara mendesing sangat tajam. Dari tempatnya berada, Kartika Sinumping melepas lima sekaligus anak panah berapi yang melesat ke udara. Bagai tersihir Ra Banyak. Namun, sejenak kemudian kesadarannya pulih.
"Lindungi diri dengan tameng, kejar!" teriaknya.
Akan tetapi, Ra Banyak tidak menemukan apa pun dan siapa pun.
Gajahmada 527 Suara mendesing berikutnya menjadi pertanda bahwa Bhayangkara yang melepas anak panah telah bergeser jauh. Masing-masing lima anak panah sanderan tidak berapi melesat ke udara memberi kesan seolah-olah Bhayangkara ada di mana-mana.
Laporan atas apa yang terjadi di wisma kepatihan itu sampai pula ke telinga Ra Kuti.
"Nah, ternyata benar bukan dugaanku?" ucap Ra Kuti.
"Bhayangkara tentu mencoba memanfaatkan lorong bawah tanah itu.
Perintahku, lipat gandakan penjagaan wisma kepatihan. Aku ingin lorong itu diuruk dengan bebatuan hingga tidak bisa dimanfaatkan sama sekali."
Lorong bawah tanah yang tembus ke wisma kepatihan itu telah menjelma menjadi mimpi buruk bagi Ra Kuti. Keberadaan lorong itu menyebabkan Kalagemet lolos dari cengkeraman tangannya sekaligus menjadi penyebab Rakrian Kuti tidak bisa tidur nyenyak. Berulang kali Ra Kuti terbangun dari tidurnya diganggu oleh kemunculan Gajahmada dari lorong itu. Pun pernah pada suatu ketika ribuan ekor ular sangat beracun keluar dari lorong itu, sebuah mimpi yang lahir dari kecemasannya, seandainya Bekel Gajahmada memasukkan ribuan ekor ular yang gerak ulahnya dikendalikan melalui suara seruling. Itu sebabnya, ujung lorong di bilik pribadi Jayanegara disumbat dan ditimbuninya dengan batu-batu. Atas nama rasa cemas, Ra Kuti yang gelisah memberi perintah agar lorong yang sudah tersumbat itu ditindih dengan gupala.
Beberapa prajurit terpaksa harus memindahkan batu gupala berbentuk raksasa jongkok dari gerbang Purawaktra.
Ra Kuti benar, ia memang layak cemas pada lorong itu karena di saat itu pula Kartika Sinumping sedang memerhatikan sebuah rumah.
Rumah itu bersebelahan dengan wisma kepatihan. Sebuah gagasan untuk memanfaatkan lorong itu sedang riuh dari benaknya.
"Rumah di sebelah wisma kepatihan itu bisa dimanfaatkan," berkata Kartika Sinumping dalam hati. "Ra Kuti tentu akan terkejut mendapat serangan dadakan yang berasal dari lorong bawah tanah, meski barangkali ujung lorong itu telah disumbat dengan bebatuan."
528 Gajahmada Berbekal petunjuk yang telah ia peroleh sebelumnya dari Arya Tadah, Kartika Sinumping menuju sebuah arah, sebuah rumah yang masih berada di lingkungan kotaraja. Rumah itu tidak menarik perhatian siapa pun yang di depannya ditancapkan batang bambu utuh dengan lingkar seukuran paha. Keberadaan batang bambu yang ditancapkan itu terasa aneh bagi yang tidak memahami maksudnya. Bahkan, Ra Kuti dan anak buahnya tentu tidak mengira dari rumah itulah berbagai gangguan terhadap ketenangannya dirancang. Kartika Sinumping memerhatikan rumah itu dan menempatkan diri di pekarangan. Siulan tiruan burung bence yang menyayat terlontar dari mulutnya.
Kartika Sinumping memasang umpan, anak panah sanderan tanpa api dilepasnya ke udara. Beberapa saat kemudian hal itu diulanginya sekali lagi. Kartika Sinumping tersenyum ketika umpan yang dilepas itu berbalas, dari arah berlakang rumah itu terdengar anak panah melesat memperdengarkan desing melengking. Kartika Sinumping bisa membedakan dengan jelas, suara anak panah itu berbeda dari milik Bhayangkara.
Golok Halilintar 15 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Mayat Kesurupan Roh 3
^