Pencarian

Gajahmada 6

Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 6


Lembang Laut terdiam. Lembang Laut teringat peristiwa di peperangan yang amat kisruh itu, Panji Saprang sahabat kentalnya ternyata melakukan perbuatan tidak terpuji yang menyebabkan Gajahmada terpaksa harus membunuhnya. Kini, Gagak Bongol mengutarakan isi hatinya, mencurigai dirinya berpihak kepada Ra Kuti, menjadi mata-mata pemberontak itu.
"Bagaimana kau mengelak dari tuduhanku?" desak Bongol.
Lembang Laut membuang pandangan matanya ke arah lain.
Wajahnya membeku. 294 Gajahmada "Jika aku mata-mata itu," kata Lembang Laut, "Tuanku Sri Jayanegara sudah mati kemarin-kemarin."
Gagak Bongol tersenyum memancing Lembang Laut untuk ikut tersenyum pula.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Lembang Laut.
Gagak Bongol menghela desah resah, menghalau sebagian sesak napasnya.
"Apa yang dikatakan Kakang Bekel benar," Gagak Bongol berbicara. "Bahwa memang ada pengkhianat di antara kita. Peristiwa di dalam lorong bawah tanah itu, kita mendengar ada isyarat saling memberi tahu antara satu pada lainnya. Artinya, Panji Saprang tidak berdiri sendiri. Dan, kini rencana pertemuan kita di Krian itu sampai di telinga Ra Kuti. Pasti ada yang telah menyampaikan berita itu kepada Ra Kuti. Ra Kuti mengirim pasukannya yang diberangkatkan secara tersamar itu menuju Krian."
Lembang Laut memandang Gagak Bongol lekat.
"Kaupunya gagasan, bagaimana menjebak pengkhianat itu?" lanjut Gagak Bongol.
Lembang Laut terpaksa mencuatkan alis. Ada bagian tertentu dari kecurigaan Gagak Bongol itu yang masih belum dimengerti.
"Bagaimana kaubisa mengambil simpulan pertemuan yang akan kita adakan itu bocor?"
"Kaupikir Ra Kuti menggerakkan para prajurit dalam penyamaran itu ke mana?" jawab Gagak Bongol. "Mereka menuju Krian."
"Gila!" berdesis Lembang Laut. "Artinya Kakang Bekel Gajahmada dan Tuanku Jayanegara berada dalam bahaya?"
Gagak Bongol tersenyum. "Kakang Gajahmada bukan orang bodoh. Ra Kuti yang justru masuk ke dalam perangkapnya. Baru sekarang setelah aku menerima perintah khusus dari Kakang Bekel, aku melihat peluang untuk Gajahmada 295
menemukan siapa pengkhianat itu."
Lembang Laut kian mencuatkan alisnya.
"Kakang Bekel memberi perintah secara khusus?"
Gagak Bongol mengangguk, "Kaki tangan Ra Kuti tidak akan menemukan Kakang Bekel dan Tuanku Sri Jayanegara di Krian. Apalagi mereka, sedang kita saja tidak mungkin menemukan Kakang Bekel di Krian."
"Apakah Kakang Bekel memberi perintah kepadamu menuju ke arah lain?" tanya Lembang Laut.
"Ya!" jawab Gagak Bongol.
Lembang Laut tertawa terkekeh.
Lembang Laut tidak dapat menutupi rasa geli membayangkan betapa Rakrian Kuti akan mencak-mencak karena tidak menemukan apa pun di Krian. Padahal, pasukan segelar sepapan telah dikirim ke tempat itu.
"Bagus," berkata Lembang Laut, "aku mengerti jalan berpikirmu, kita bisa memanfaatkan keadaan ini untuk menjebak siapa mata-mata itu. Kita akan sampaikan kepada mereka, kita menuju ke arah lain. Kita lihat siapa yang bersikap aneh, dia layak kita curigai."
"Benar," jawab Gagak Bongol, "tetapi kita jangan serta-merta melakukan hal itu. Kita tetap berada di sini hingga petang. Siapakah di antara mereka yang mencurigakan akan kelihatan."
Gagak Bongol dan Lembang Laut kembali bergabung dengan teman-temannya. Namun, Gagak Bongol dan Lembang Laut tidak melakukan apa-apa. Kedua Bhayangkara yang mewakili Gajahmada itu tidak memberikan perintah apa pun, malah meminta kepada teman-temannya untuk beristirahat.
Sebenarnyalah telik sandi kaki tangan Ra Kuti yang berada di antara pasukan Bhayangkara itu menjadi gelisah. Namun, ia harus pandai-pandai menyembunyikan kegelisahannya agar tak memancing kecurigaan siapa
296 Gajahmada pun. Bahkan, dalam berteriak ia harus bersuara paling lantang. Dalam berbuat, ia harus berada di barisan paling depan. Dengan demikian, tidak seorang pun akan menduga siapa dirinya yang sebenarnya.
34 Sang waktu bergulir, pagi itu pun memanjat siang. Masih di sudut kotaraja, beberapa orang mulai berani menampakkan diri. Mereka keluar rumah karena beberapa alasan, di antaranya adalah untuk mencari sanak saudara yang hilang, menggerombol sekadar membicarakan apa yang terjadi, atau menyampaikan keprihatinan terhadap tetangga yang mengalami nasib buruk. Jika melihat ada orang yang berkumpul, prajurit bawahan Ra Kuti yang berkepentingan untuk menyampaikan wara-wara segera mendekat. Sebuah rontal berisi wara-wara itu dibeber.
"Pengumuman!" ucap prajurit itu lantang saat membaca tulisan rontal yang dipegangnya. "Disampaikan kepada segenap kawula Majapahit bahwa mulai hari ini yang menjadi raja di Majapahit adalah Sri Baginda Kuti. Selanjutnya, Sri Jayanegara dinyatakan bukan sebagai raja lagi. Barangsiapa yang menyembunyikan ataumemberikan perlindungan kepada Sri Jayanegara akan mendapat hukuman.
Sebaliknya, mereka yang mampu memberi tahu atau menunjukkan tempat persembunyian Jayanegara akan mendapat ganjaran."
Prajurit rendahan itu telah selesai membaca rontal pengumumannya.
Ia menebarkan pandangan matanya menyapu wajah beberapa lelaki yang hadir itu. Tanpa bicara apa pun, prajurit itu kemudian meloncat ke atas kudanya dan segera membedalnya meninggalkan debu berhamburan.
Gajahmada 297 Beberapa orang lelaki yang menggerombol itu memandanginya sampai lenyap di tikungan jalan. Salah seorang di antaranya tidak mampu menahan sesak di dadanya. Beban bergumpal-gumpal itu dibuangnya dengan mengisap riak kental di hidungnya, kemudian meludahkannya dengan kasar. Para lelaki itu saling pandang. Dari wajah mereka tersirat rasa mual bercampur muak.
Di tempat lain terjadi peristiwa mirip. Beberapa orang keluar dari rumah karena tetangga mereka mengalami bencana yang sangat sempurna. Seorang pemuda bernama Kayun berteriak-teriak liar karena ayahnya mati mendadak akibat jantungnya yang tiba-tiba berhenti berdetak. Malam sebelumnya Kayun masih mampu menyabarkan diri meski istri dan adiknya menjadi korban penjarahan. Kayun yang tabah itu akhirnya meledak ketika hantaman berikutnya menimpa ayahnya. Ki Joyo Teles yang benar-benar tak memiliki otot yang kuat untuk mengikat jantungnya, bagai tanpa sebab tiba-tiba jatuh terkulai saat termangu memandang halaman dengan tatapan hampa. Punji Pawitri yang pertama kali melihat keadaan ayahnya, menjerit melolong mengagetkan segenap penghuni rumah yang ketakutan. Tangis Punji Pawitri menyentakkan kakaknya, Kayun terhenyak.
Pada saat yang demikian itulah, ketika sekitar dua puluhan orang sedang berkumpul menyampaikan belasungkawa di rumah Kayun, seekor kuda berderap datang mendekat. Semua pandangan tertuju ke arah orang yang baru datang itu. Prajurit dengan bekas luka melintang di kening dan wajah yang amat sangar itu tanpa basa-basi langsung bersuara.
"Wara-wara," teriak prajurit itu, "siapa pun yang menyembunyikan Jayanegara akan mendapat hukuman mati. Siapa saja yang melihat Jayanegara, harus melapor. Sekian."
Prajurit itu menebar pandang memamerkan betapa berwibawanya dirinya. Betapa sekarang semua orang takut kepadanya. Namun, yang ditemukan prajurit itu tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Jika sebelumnya di tempat lainnya ia berhasil menyampaikan sebuah pengumuman dengan sempurna dan tidak seorang pun yang tidak 298
Gajahmada memerhatikan dirinya menyampaikan pengumuman itu, kini para prajurit itu menemukan sebuah kenyataan yang amat berbeda. Para lelaki yang berkumpul itu tak merasa takut untuk balas memandang dengan tatapan tak kalah tajam, meski mereka diam tak memberikan tanggapan.
Suara prajurit yang berteriak seperti burung gagak itu terdengar sampai di dalam rumah. Kayun yang tengah bediri bersandar tiang saka sambil memijit-mijit kepalanya tersentak oleh suara itu. Kayun membuka matanya. Tanpa pertimbangan apa pun Kayun menyambar pedang yang menggantung di dinding. Akan tetapi, Kayun tidak menemukan prajurit itu karena ia telah pergi meninggalkan debu mengepul di sepanjang derap kaki kudanya.
"Mana dia?" teriak Kayun. "Mana burung gagak tadi?"
Sebagian tetangganya terperangah, salah seorang bergegas mendekat.
"Sudah Kayun, sudahlah," salah seorang tetangganya mencoba menenangkan, "jangan turuti hati yang sedang panas. Tenanglah Kayun."
Dengan susah payah Kayun mendamaikan diri. Berdamai dengan diri sendiri ternyata bukan pekerjaan gampang. Kayun meronta-ronta, dengan sekuat tenaga para laki-laki tetangganya memegang tangannya sambil membujuk. Namun, puncak beban yang mengimpit Kayun sudah tidak tertanggungkan lagi. Entah dapat tambahan tenaga dari mana, Kayun meronta dengan kuat dan mampu melepaskan diri. Kayun benar-benar telah kehilangan akal waras. Kayun yang terkoyak tak peduli jika harus mati.
Kayun berlari sambil mengacung-acungkan pedangnya.
"Wah, bagaimana ini?" salah seorang tetangga Kayun meletupkan kecemasannya.
"Apa yang akan dilakukan Kayun itu?" tambah yang lain.
Kecemasan para tetangga Kayun itu makin mengental. Mereka terpaku tidak berani berbuat apa-apa dan hanya bisa melihat Kayun berlari menuju istana. Dari lubang dinding rumah beberapa pasang mata Gajahmada 299
mengintip peristiwa itu. Dorongan rasa ingin tahu serta kecemasan mereka terhadap nasib Kayun yang dalam sikapnya sehari-hari terhadap sesama amat baik, mendorong mereka untuk keluar rumah.
"Kita harus melakukan sesuatu," ucap salah seorang penduduk yang rambutnya sudah memutih meski usianya masih muda.
"Sesuatu itu apa?" tanya yang lain tak kalah cemas.
Sejenak hening. Para lelaki tetangga Kayun kebingungan.
"Mari kita ikuti Kayun. Kita lihat apa yang dilakukan Kayun."
Untuk menerima ajakan itu dibutuhkan keberanian. Dalam keadaan negara sedang kacau dan tatanan sedang rusak, berbagai kemungkinan yang tidak terduga bisa terjadi dan menimpa siapa pun. Para lelaki yang berkumpul itu saling pandang. Ajakan untuk mengikuti Kayun itu belum mendapatkan tanggapan. Namun, begitu pemuda yang menawarkan ajakan itu telah berjalan dan siap menghadapi keadaan apa pun segera menggugah dan memancing keberanian lainnya. Mereka yang semula ragu segera menepisnya. Bersama-sama mereka menyusul Kayun. Di hari yang pada mulanya mendung berubah menjadi terik itu, Kayun yang meledak berlari-lari sambil menjinjing pedang panjangnya. Di belakangnya para tetangga yang mencemaskan berjalan dengan langkah bergegas pula.
Setelah melewati perempatan terakhir di depan alun-alun, para prajurit yang berjaga di regol Purawaktra melihat kehadiran mereka.
Kayun yang berjalan dengan amat bergegas sambil menjinjing pedang panjang itu sungguh menarik perhatian mereka. Serentak para prajurit bangkit berdiri.
"Ada apa?" bertanya seorang prajurit berpangkat lurah demikian Kayun sudah mendekat.
Napas Kayun tersengal. Sulit bagi Kayun untuk berdamai dengan gejolak dalam dadanya sendiri. Bayangan adik dan istrinya yang menjadi korban perkosaan, bayangan ayahnya yang mati mendadak karena tak bisa menahan beban bencana yang menimpa keluarganya menyebabkan Kayun menjadi buta. Gelap matanya.
300 Gajahmada "Aku ingin bertemu Ra Kuti," jawab Kayun datar, tetapi suara yang dilontarkannya jelas terdengar bergetar. "Suruh Ra Kuti keluar.
Aku harus berbicara dengannya."
Para prajurit saling pandang. Segenap perhatian tertuju kepada Kayun.
Tentu sesuatu yang luar biasa telah terjadi pada pemuda itu sehingga tumbuh keberaniannya. Padahal, semua orang tahu, Rakrian Kuti sekarang seorang raja yang tidak bisa disentuh oleh siapa pun. Tak sembarang orang boleh menghadap. Seorang prajurit bercambang lebat merasa sangat tersinggung melihat keberanian pemuda itu.
"Kurang ajar," geram prajurit itu, "Tuanku Ra Kuti itu seorang raja. Berani-beraninya kamu menyebut namanya begitu saja, berani-beraninya kamu meminta Tuanku Ra Kuti keluar untuk menemuimu.
Derajat yang kaumiliki apa" Kulihat kau hanya seorang sudra."
Kayun benar-benar marah. Kayun mencabut pedangnya. Mati baginya lebih baik daripada menanggung beban hinaan yang memalukan.
Terhina sekali karena adik kandung dan istrinya diperkosa beramai-ramai, dan marah yang tak tertanggungkan karena semua bencana itu menyebabkan ayah yang amat dihormatinya melebihi rasa hormatnya kepada dewa-dewa di langit, mati. Kayun melihat keadaan yang menimpanya itu hanya karena satu penyebab, Ra Kuti.
Kayun menggigil. "Suruh keluar Rakrian Kuti!" teriaknya, kini suara Kayun melengking tinggi, menyebabkan para tetangganya yang baru tiba menjadi cemas.
"Hei," teriak prajurit bercambang lebat, "kau keracunan bunga kecubung atau bagaimana" Kauingin mati atau bagaimana" Kalau memang itu yang kauinginkan aku tak keberatan untuk mengantarmu mengintip gerbang kematian."
Prajurit bercambang lebat itu menggerakkan pedangnya silang-menyilang. Prajurit yang lain ikut mencabut pedang dan mengelilingi Kayun, tetapi sebagian yang lain tidak melakukan apa-apa. Mereka merasa untuk menghadapi seorang pemuda yang kehilangan akal tak perlu menggerakkan Gajahmada 301
semua prajurit. Namun di sisi lain, kecemasan yang sangat kental dirasakan oleh para tetangga Kayun. Mereka bahkan sudah membayangkan nasib yang amat buruk akan menimpa pemuda itu. Meski rasa cemas itu nyaris meretakkan dinding kepala, mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Pada saat yang demikian terdengar suara yang lantang mencegah para prajurit berbuat di luar kendali. Ra Tanca muncul dan menyibak semua prajurit.
"Ada apa ini?" tanya Ra Tanca.
Para prajurit yang mengelilingi Kayun melangkah mundur. Ra Tanca menatap pemuda yang kehilangan akal itu dengan tajam. Ra Tanca termangu. Walau pemuda yang kehilangan akal itu belum berbicara, Ra Tanca bisa membayangkan, sesuatu yang sangat buruk tentu telah menimpa pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Tanca dengan suara lunak.
Napas Kayun tersengal. Para tetangganya yang berdatangan makin gelisah.
"Kayun, sudahlah," salah seorang tetangganya meneriakkan kata-kata itu hanya dalam hati. Orang itu tidak punya keberanian mengucapkan melalui lisan.
Kayun mengacungkan pedangnya kepada Tanca, "Aku ingin bicara dengan Ra Kuti. Suruh Ra Kuti keluar."
Ra Tanca tersenyum. Wajahnya tetap datar dan tenang. Namun, jauh di lubuk hatinya, Ra Tanca merasa amat kecewa karena kraman yang dilakukan Ra Kuti, pemberontakan yang juga disetujuinya telah menyimpang jauh dari arah yang diinginkan.
"Aku Ra Tanca," Tanca berkata, "Rakrian Kuti tidak bisa menerima siapa pun karena terluka dalam peperangan dan sedang sakit. Jika kau tidak keberatan, sampaikan apa keperluanmu kepadaku. Aku mewakili Ra Kuti untuk menerima urusanmu. Silakan Kisanak."
Kemarahan yang bertimbun itu bagaikan kepundan gunung yang siap meledak memuntahkan laharnya. Kayun menggeretakkan gigi dan berjalan ke arah Ra Tanca. Giginya terkatup rapat.
302 Gajahmada "Bunuh aku sekalian," berbisik Kayun dengan suara cukup jelas,
"ayo, bunuh aku sekalian."
Kayun tidak mampu melanjutkan rangkaian kalimatnya. Namun, bagi Ra Tanca semuanya cukup jelas. Sesuatu yang amat mengerikan tentu menimpa pemuda yang menjadi liar kehilangan kendali itu. Hanya bencana yang tidak tertanggungkan yang berkesanggupan membuat orang menjadi kehilangan akal, bahkan sama sekali kehilangan rasa takut pada kematian.
Meski pemuda itu telah cukup dekat dengannya dan sewaktu-waktu bisa membahayakannya, Ra Tanca tetap berdiri di tempatnya.
"Tenanglah Kisanak," bujuk Ra Tanca, "berbicaralah dengan tenang.
Masalah apa yang telah menimpamu?"
Bahkan, untuk bercerita Kayun tidak mampu karena apalah artinya.
Walau Kayun mengobral cerita seribu kali, hal itu tak akan mengembalikan apa yang telanjur terjadi. Bencana mengerikan telah menimpa adik dan istrinya, kini disusul kepergian ayahnya. Itu sebabnya, Kayun merasa tidak ada gunanya lagi berbicara. Kayun segera mengangkat pedangnya serta siap mengayunkan senjatanya itu.
Namun, belum lagi Kayun sempat berbuat sesuatu sebuah anak panah telah melesat dari busurnya, dilepas mengarah tepat ke jantungnya.
Kayun terhenyak dengan mata terbelalak. Kayun menahan diri untuk tidak berteriak. Dengan penuh kesadaran Kayun menggenggam rasa sakit yang pasti akan mengantarkannya ke pintu gerbang kematian menyusul ayahnya. Kayun yang terhina, merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia. Justru karena itu, Kayun siap sekali menerima kematian yang akan menjemputnya.
Kayun jatuh terduduk. Penuh kesadaran Kayun menikmati rasa sakit yang menggerataki kepalanya.
Ra Tanca tersentak melihat kejadian yang tidak terduga itu. Rakrian Tanca bergegas mendekap tubuh Kayun yang akan ambruk. Dengan beringas Ra Tanca mencari-cari siapa yang telah melepaskan anak panah itu. Tatapan Ra Tanca bersirobok dengan pandangan Ra Pangsa. Tanca Gajahmada 303
menggeretakkan gigi oleh kemarahan yang tidak tertahankan. Bagi Ra Tanca, perbuatan Pangsa itu benar-benar tidak bisa dimaafkan.
Di sisi lain, para lelaki tetangga Kayun yang datang menyusul tidak kalah kagetnya. Apa yang mereka cemaskan menjadi kenyataan, Kayun yang kehilangan kendali itu seperti dengan sengaja menjemput kematiannya sendiri.
"Kayun," salah seorang dari mereka berdesis tertahan.
Tanca masih mendekap erat tubuh Kayun. Tanca benar-benar memerhatikan saat-saat terakhir Kayun mengembuskan tarikan napas pamungkasnya. Mata yang semula masih bercahaya itu memudar makin memudar untuk kemudian redup sama sekali.
Kayun mati. Dengan tatapan mata tak bisa menyembunyikan kemarahan, Ra Tanca meletakkan tubuh yang beku itu dan memandang Ra Pangsa dengan beringas, sangat beringas.
"Kenapa kaulakukan itu?" teriak Ra Tanca.
Ra Pangsa tidak menjawab. Ra Pangsa hanya menyeringai.
Ra Tanca menggigil. Dengan langkah lebar Ra Tanca mendekati Ra Pangsa. Dengan sangat kasar Ra Tanca mencengkeram baju Ra Pangsa dan mengguncangnya. Rakrian Pangsa mendiamkan apa yang dilakukan sahabatnya yang juga mendapat anugerah gelar Dharmaputra Winehsuka itu.
"Kenapa kaulakukan itu?" sekali lagi Tanca berteriak. Tangannya mencengkeram pakaian Pangsa dan mengguncangnya makin keras.
Lagi-lagi Ra Pangsa hanya tersenyum. Ra Pangsa memandang mayat Kayun dengan senyum sinis.
"Kenapa kau merasa amat kehilangan orang itu, Ra Tanca," jawab Ra Pangsa. "Malah aku merasa ada yang aneh, ada apa denganmu?"
Tanca benar-benar tidak mampu menahan diri lagi. Tangan kanannya yang mengepal mengayun deras menghajar rahang Ra Pangsa.
Sebuah hajaran yang sangat telak menyebabkan Pangsa terdongak untuk 304
Gajahmada kemudian jatuh terjerembab. Dari hidungnya keluar darah. Para prajurit yang melihat peristiwa itu terperangah. Mereka tidak mengira di antara para Dharmaputra Winehsuka ada yang bertengkar. Pesona itu begitu menggigit dan menyentak dengan kuatnya, memaksa semua prajurit yang hadir harus merenung dan mengupas apa yang terjadi. Beberapa orang lelaki tetangga Kayun hanya bisa menahan rasa sesak di dada tanpa bisa berbuat apa-apa.
Beberapa saat lamanya Ra Tanca berusaha menguasai diri. Matanya amat sirik memandang Ra Pangsa. Para prajurit yang semula mengepung pemuda yang mati tersambar anak panah itu menjauh dengan wajah bingung.
Ra Tanca mengalihkan pandangan matanya kepada para lelaki yang semula mengiring Kayun.
"Siapakah orang ini Kisanak?" tanya Ra Tanca. "Apa yang menyebabkan dia kehilangan akal?"
Para penduduk itu saling pandang. Mereka melihat sebuah kenyataan bahwa di antara pemberontak ternyata masih ada yang memiliki nurani.
Para lelaki tetangga Kayun itu mengenali orang itu bernama Tanca, tabib yang amat terkenal di Majapahit, mumpuni dalam ilmu pengobatan.
"Bicaralah. Jangan takut!" lanjut Tanca.
Salah seorang dari mereka memberanikan diri tampil.
"Dia Kayun, tetangga kami," jawab lelaki itu. "Semalam adik dan istrinya menjadi korban perkosaan. Pelakunya beberapa prajurit menggunakan dalih menggeledah rumahnya. Lalu, tadi pagi, bapaknya mati karena tidak bisa menahan beban kenyataan yang menimpa keluarganya."
Jawaban itu bagi Ra Tanca cukup jelas. Sangat bisa dimengerti jika Kayun kehilangan kendali. Saudaranya diperkosa, bahkan istrinya juga diperkosa. Hal itu menjadi aib yang amat mengerikan dan terlampau berat untuk disangga. Terlebih-lebih jika hal itu masih berkelanjutan dengan kematian orang tuanya.
Tanca berbalik dan menyebar pandangan kepada para prajurit yang menjaga regol.
Gajahmada 305 "Kalian dengar itu?" teriak Ra Tanca.
Tak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara.
"Kalian mendengar sendiri, apa yang telah menimpa kisanak bernama Kayun ini. Adik dan istrinya diperkosa. Perbuatan yang sangat biadab dan hanya layak dilakukan oleh binatang. Sangat mungkin yang melakukan perbuatan biadab itu ada di antara kalian semua."
Rakrian Tanca benar-benar marah. Ra Tanca yang mungkin ikut merancang pemberontakan yang dilakukan bersama-sama Ra Kuti merasa kecewa luar biasa karena arah dari pemberontakan itu menyimpang jauh dari yang diharapkan. Kesedihan Ra Tanca sangat kental melihat rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa menjadi jarahan mereka yang mencoba mengail di air keruh, memanfaatkan kesempatan mumpung tatanan sedang kisruh. Padahal, apa yang menimpa Kayun itu diyakini sangat mungkin menimpa banyak orang lain.
"Sekarang bayangkan jika peristiwa ini menimpa keluarga kalian.
Bagaimana perasaan kalian?"
Masih tidak ada yang berani menengadahkan kepala. Mulut para prajurit pemberontak yang menjaga regol istana itu terkunci.
Sebenarnyalah di antara prajurit itu ada beberapa orang yang terlibat langsung dengan apa yang menimpa keluarga Kayun. Mereka menundukkan wajah menghunjam sangat dalam.
"Sudahlah," Ra Pangsa menyela, "kenapa persoalan kecil seperti ini terlampau dibesar-besarkan."
Ra Tanca meradang, "Kau menganggap persoalan ini persoalan kecil" Kaugila jika kauanggap persoalan ini terlalu kecil untuk dibicarakan.
Ini bukan persoalan kecil karena perbuatan seperti ini sudah merupakan tindak kejahatan yang tidak bisa diampuni. Perbuatan seperti ini jika dianggap terlampau kecil dan dibiarkan begitu saja akan melukai hati rakyat. Bagaimana kaubisa mengatakan pemerkosaan hal yang tidak pantas dibicarakan. Bagaimana kalau perkosaan itu menimpa ibumu"
Apakah kau juga akan menganggap sebagai hal kecil?"
Senyum Ra Pangsa sinis. 306 Gajahmada "Pemerkosaan yang kaumaksud itu tidak akan pernah menimpa ibuku yang sudah tua. Hanya orang gila yang berminat pada orang tua yang sudah buyutan. Lagi pula, saat ini negara berada dalam keadaan perang. Wajar kalau negara dalam keadaan genting lalu terjadi peristiwa yang di luar kendali seperti yang ia alami itu," Ra Pangsa menjawab dengan amat ketus.
Ra Tanca menggigil. Bagi Ra Tanca jawaban itu hanya layak diucapkan oleh orang tidak waras atau orang yang sama sekali tidak memiliki perasaan. Ra Pangsa yang berada dalam cengkeraman tangan Ra Tanca itu meronta melepaskan diri. Ra Pangsa melangkah meninggalkan Ra Tanca yang masih termangu. Tanpa perasaan, Ra Pangsa meludahi mayat Kayun. Bahkan, dengan kakinya Ra Pangsa menyentuh mayat itu.
Ra Tanca terbelalak menyaksikan perbuatan Ra Pangsa itu. Akan tetapi, Ra Pangsa berjalan melenggang tidak peduli apa pun. Bahkan, Ra Pangsa masih sempat melempar pandangan sinis kepada para tetangga Kayun. Beberapa prajurit yang ada saling pandang. Beberapa di antaranya seperti berdiri di atas bara, apalagi mereka yang tahu benar apa yang telah menimpa keluarga Kayun itu. Mereka segera meninggalkan tempat itu sambil menekuk wajah.
Ra Tanca benar-benar kecewa dan berduka. Ra Tanca membungkuk kemudian bersimpuh di dekat mayat membeku yang baru saja kehilangan kepercayaan atas keadilan dan kebenaran karena ulah beberapa orang yang berjiwa binatang. Ra Tanca ingin menahan, tetapi matanya membasah.
"Aku tak tahu harus melakukan apa dalam keadaan yang seperti ini," bisik Rakrian Tanca.
Para lelaki tetangga Kayun semula terlihat ragu-ragu. Namun, begitu salah seorang melangkahkan kaki, yang lain segera mengikuti. Bersama-sama mereka mendekat. Ra Tanca yang menunduk menengadah, betapa ingin Tanca menyampaikan penyesalan dan dukanya, tetapi tiba-tiba mulutnya menjadi kaku dan kelu tak bisa berbicara.
Gajahmada 307 Para tetangga Kayun hanya memandangi dengan seribu warna, warna kemarahan yang tertahan, warna benci yang membuncah. Seolah semua tuduhan terarah kepada Ra Tanca atau setidak-tidaknya tertuju kepada para Dharmaputra Winehsuka yang dianggap menjadi biang keladi dari semua bencana.
Masih tanpa bicara para laki-laki berwajah muram itu mengangkat tubuh Kayun dan digotong beramai-ramai. Demikian besar rasa persaudaraan dan kecintaan mereka kepada Kayun hingga mereka saling berebut ikut membopong.
Ternyata masih ada bencana susulan yang menyempurnakan malapetaka yang menimpa keluarga Kayun. Istrinya yang semula menjadi korban perkosaan, dengan sekuat tenaga berusaha menguasai diri menghadapi nista itu. Sejauh itu istri mendiang Kayun masih mampu bertahan. Akan tetapi, tidak demikian dengan adik iparnya.
Punji Pawitri, adik bungsu Kayun yang menjadi korban perkosaan, pada mulanya juga berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri. Namun, bencana terakhir yang menimpa Kayun menyebabkan akal warasnya benar-benar terguncang. Punji Pawitri tidak mampu lagi memandang dengan tatapan mata yang bening. Itulah sebabnya, saat semua orang sedang mengurus mayat Kayun dan ayahnya, serta mempersiapkan segala macam upacara yang akan digunakan mengantar bapak dan anak itu menuju tempat peristirahatan yang terakhir, Punji Pawitri memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Sebuah patrem, meski kecil amat beracun, dengan sepenuh hati dihunjamkan ke dadanya.
Semula yang dirasakan Punji Pawitri masih sebatas sakit karena luka. Namun, sejenak kemudian racun yang melekat pada patrem itu mulai bekerja. Dengan sekuat tenaga Punji Pawitri menghadang kematian yang datang menjemput. Punji Pawitri menggigit bibir meredam rasa sakit agar tak menarik perhatian siapa pun. Mata gadis di saat menjelang sekarat itu membeliak. Namun, hatinya penuh gelegak menghadapi kematiannya dengan penuh kesadaran.
308 Gajahmada Pintu terbuka, kakak ipar Punji Pawitri masuk.
Istri Kayun yang berwajah sejuk dan tengah hamil muda itu terkejut melihat apa yang dilakukan Punji Pawitri. Istri Kayun terhenyak sejenak, tetapi sebuah pesona yang luar biasa segera menggerataki benaknya.
Kisah Salya yang gugur dalam perang Baratayuda sangat menarik perhatian dan memesonanya. Ketika Salya gugur dalam peperangan, Satyawati dengan sepenuh hati mengikuti perjalanan suaminya dengan melakukan lampus, bunuh diri.
Nyai Kayun melangkah mendekati adik iparnya yang sekarat dan memeluknya. Nyai Kayun tidak menangis karena tak memiliki persediaan air mata yang cukup untuk meneriakkan bebannya. Sejenak Nyai Kayun ingat pada kandungannya, belum lama Nyai Kayun memasuki gerbang rumah tangga, Hyang Widdi telah memberikan karunianya sehingga Nyai Kayun tak harus menunggu lama untuk hamil muda.
Akan tetapi, Nyai Kayun segera menepis bayangan itu. Punji Pawitri yang sekarat itu dipeluknya dengan lekat. Tanpa bicara Nyai Kayun membusai wajah lembut Punji Pawitri dan dipeluknya makin erat. Punji Pawitri merasa sedikit nyaman berada dalam pelukan kakak ipar yang baik itu. Hingga akhirnya, Punji Pawitri benar-benar terbebas dari segala macam rasa sakit bersamaan dengan lepasnya tarikan napasnya.
Punji Pawitri yang terkulai masih dipeluknya dengan lekat.
Nyai Kayun kemudian melirik patrem yang masih ada dalam genggaman Punji Pawitri. Patrem itu dipegangnya dengan penuh kesadaran, bersamaan dengan datangnya keyakinan, kesetiaan seorang istri seharusnya seperti kesetiaan Sinta pada Rama atau kesetiaan Satyawati kepada Salya. Patrem beracun itu digoreskan ke lengan sebagaimana layaknya putaran kunci untuk menguak gerbang kematian.
Nyai Kayun yang masih duduk memeluk mayat Punji menyisakan tenaganya untuk meletakkan tubuh iparnya dan melipat tangannya ke dekapan di atas dada. Perempuan malang itu kemudian mempersiapkan diri untuk kematian yang akan datang menjemputnya pula.
Nyai Kayun memejamkan mata dan mulai menggeliat.
Gajahmada 309 Apa yang terjadi pada keluarga Kayun itu sungguh mengagetkan dan mengguncang tetangganya. Apa yang terjadi itu sangat melukai hati. Semua orang tidak sekadar merasa kehilangan, semua orang disergap amarah.
Ketika hari memanjat makin siang orang yang datang ke rumah Kayun makin banyak. Semua yang hadir merasakan kentalnya kesedihan yang sama. Mereka juga menikmati suguhan amarah yang sama.
Meskipun demikian, mereka masih mampu menahan diri. Dengan kepala dingin mereka mempersiapkan upacara kematian sesuai dengan keyakinan yang dianut Kayun dan segenap keluarganya.
Berita duka yang menimpa Kayun dan keluarganya itu menyebar melalui getok tular. Pintu-pintu yang semula tertutup rapat terbuka, penghuninya harus pergi melayat ke rumah Kayun. Yang datang makin lama makin banyak. Ketika akhirnya hari benar-benar memanjat ke arah siang hari, upacara persiapan pembakaran layon telah siap. Seorang pemuka agama segera memberi perintah untuk memulai pembakaran layon. Diiringi dengan bau wangi dupa yang mengepul dan doa yang dilantunkan oleh semua yang hadir maka api pun dinyalakan dengan asap yang membubung menjamah langit.
Kukusing dupa kemelun, kemelun membawa tembang nestapa.
Tak seorang pun yang mungkin menyadari membubungnya asap yang mengepul itu sekaligus sebagai ungkapan perasaan siapa pun terhadap sepak terjang para petualang kaki tangan Ra Kuti yang telah menjarah kotaraja.
Keadaan itu sampai pula ke telinga Ra Kuti. Ra Wedeng menyampaikan kepada Ra Kuti setelah seorang telik sandi melapor apa yang terjadi. Sebagaimana yang dipaparkan telik sandi yang mengamati perkembangan di rumah Kayun, terlihat dengan sangat jelas kesamaan perasaan semua yang hadir, kebencian yang sangat kepada Ra Kuti yang dianggap sebagai biang bencana.
"Seperti itu?" bertanya Ra Kuti.
Wedeng mengangguk. 310 Gajahmada "Ya, itulah yang terjadi," jawab Wedeng.
Pada saat Ra Kuti merasa membutuhkan dukungan dari segenap lapisan masyarakat maka berita berkumpulnya orang dalam jumlah cukup banyak di rumah Kayun dengan warna perasaan serta sikap yang jelas, menganggap dirinya sebagai penyebab bencana yang terjadi, membuat Ra Kuti merasa sangat risih.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga itu?" desak Ra Kuti.
Wedeng menghela napas. "Seorang suami bernama Kayun, adik dan istrinya semalam menjadi korban perkosaan. Ayahnya tidak mampu menerima kenyataan yang mungkin sangat pahit itu akhirnya mati. Kayun yang tak bisa menerima kenyataan datang ke istana meminta bertemu denganmu untuk melakukan gugatan."
"Kenapa tidak dipertemukan denganku?" desak Ra Kuti kesal.
"Pangsa membunuhnya dengan anak panah," jawab Wedeng.
Ra Kuti mengatupkan gigi. Ra Kuti telah memberikan perintah, tetapi Ra Pangsa menerjemahkan perintah itu dengan cara yang lain.
Perbuatan Ra Pangsa itu bahkan menyulitkannya.
"Kenapa Pangsa melakukan itu?" Ra Kuti kecewa sekali.
Pintu terbuka. Ra Tanca masuk dengan tatapan mata tajam.
"Karena Ra Pangsa pelaku perkosaan keji itu. Menyusul kematian Kayun, istri dan adiknya menyempurnakan tembang kematian itu dengan bunuh diri menggunakan patrem. Sebuah keluarga telah tumpas."
Ra Kuti hanya bisa menghela napas panjang. Ra Kuti tahu, Ra Pangsa memang punya kegemaran khusus dalam olah bercinta. Bahkan, adakalanya Ra Pangsa bertindak berlebihan dan melampaui batas. Untuk urusan yang berhubungan dengan perempuan, di mana-mana Ra Pangsa meninggalkan jejak-jejak bermasalah. Selama itu Rakrian Kuti membiarkannya karena toh pada kenyataannya, Ra Kuti juga memiliki kegemaran yang sama.
Gajahmada 311 "Dulu aku mendukung rencanamu Ra Kuti," ucap Tanca, "tetapi kini aku kecewa melihat perkembangan yang terjadi. Semuanya bergerak tidak terkendali. Perbuatan Ra Pangsa itu benar-benar terkutuk. Tetapi, sebenarnya bukan hanya Ra Pangsa yang berperilaku mengerikan itu.
Dharmaputra Winehsuka yang lain juga."
RaTanca menutup kalimatnya bersamaan dengan menutup pintu.
Ra Tanca yang kecewa karena masih menyimpan hati nurani itu melangkah menuju halaman. Di sana Ra Tanca duduk.
Ra Kuti merasa bayangan buruk mulai mengikuti ke mana pun ia melangkahkan kaki. Sebenarnyalah, apa yang dicemaskan Ra Kuti mulai menjadi kenyataan. Apa yang menimpa Kayun dan keluarganya, serta apa yang menimpa banyak orang mulai menyulut kemarahan. Semua orang mulai bertanya-tanya, mempertanyakan apa sebenarnya kemauan Ra Kuti dengan ulahnya. Api pembakaran layon masih menyala, berkobar mengantar perjalanan Ki Joyo Teles, dua anaknya, serta seorang menantunya menuju pintu gerbang kaswargan. Namun, api itu pula yang membakar kemarahan para penduduk melihat perbuatan keji itu.
Nun jauh di langit mendung yang berarak seperti sependapat, di sana matahari mengumbar teriknya dengan sempurna.
Seseorang di antara mereka tidak kuasa lagi mengendalikan diri. Isi dada yang tertahan itu akhirnya meledak juga.
"Apakah kita menerima begitu saja keadaan ini?" teriaknya dengan amat lantang, tetapi serak. "Apa kesalahan yang dilakukan Ki Joyo Teles"
Apa yang dilakukan Kayun bersama adik dan istrinya hingga ada orang yang sanggup berbuat begitu keji pada mereka?"
Hening menggerataki. Senyap menyelinap.
Persoalan yang dilontarkan itu memang memancing sebuah pertanyaan. Yang mengalami nasib buruk bukan hanya Ki Joyo Teles dan seluruh keluarganya, tetapi kekejaman dan kekejian para petualang itu juga menimpa orang lain. Hal itulah yang melahirkan pertanyaan, mau Ra Kuti itu apa"
"Bagaimana kalau kita melakukan pepe?" bertanya seseorang.
312 Gajahmada Pepe adalah sebuah bentuk unjuk rasa yang terpaksa dilakukan jika seseorang atau sekelompok orang merasa tertindas. Dalam persoalan yang mereka hadapi, beranikah mereka melakukan pepe di saat para petualang itu bisa melakukan tindakan yang paling beringas"
Tak seorang pun yang menanggapi pertanyaan itu.
"Aku akan melakukan pepe," lanjut orang itu lantang. "Yang berani ayo ikut aku. Sebaliknya, jika tak berani tidak perlu memaksa diri. Namun demikian, aku ingin mengatakan bahwa jumlah kita cukup banyak untuk menyuarakan perasaan kita yang terluka ini."
"Aku sependapat," seorang pemuda yang lain bersuara dengan tidak kalah lantangnya, "kita lakukan pepe."
Tak ada yang memberi perintah. Akan tetapi, ketika seseorang bergerak maka yang lain pun mengikuti di belakangnya. Jumlah penduduk yang merasa disakiti hatinya itu cukup banyak. Mereka bergerak beriring menuju istana, dampyak-dampyak bagaikan perjalanan lampor di waktu malam.
Dengan cepat jumlah mereka berlipat. Jumlah mereka yang cukup banyak itu menyebabkan keberanian mereka tergugah. Jika pada mulanya mereka ketakutan dan memilih bersembunyi di rumah, melihat betapa banyak orang berada dalam barisan itu, mereka tidak peduli dengan apa pun yang akan terjadi. Bahkan, mereka yang mengunci diri di rumah segera keluar dan ikut bergabung.
Di sisi yang lain, berita akan adanya pepe itu segera menjalar ke segenap sudut kota. Tidak diketahui siapa yang melakukan, tetapi memang ada orang menyebar berita itu sehingga dengan cepat semua orang di sudut-sudut kotaraja dari ujung ke ujung mengetahui.
Bencana mengerikan yang menimpa Kayun dan segenap keluarganya mengundang belas kasihan. Mereka yang mendengar peristiwa menyedihkan itu segera keluar dan berbondong-bondong menuju alun-alun. Di tempat itu mereka akan mengadakan unjuk rasa atau pepe melalui cara menjemur diri di bawah sinar matahari. Makin lama jumlah mereka makin banyak, tidak hanya pria, bahkan para wanita Gajahmada 313
ikut menyuarakan teriakan hatinya. Semua marah, semua tidak bisa menerima perbuatan keji itu.
Pepe atau menjemur diri memang lazim digunakan oleh para kawula Majapahit yang merasa tidak mendapat keadilan. Dalam pemerintahannya, Kertarajasa Jayawardhana selalu memerhatikan mereka yang melakukan pepe, hal yang dilestarikan pula oleh Sri Jayanegara.
Mereka yang melakukan pepe, biasanya dipersilakan naik ke Tatag Rambat Bale Manguntur untuk ditanya mengapa melakukan pepe. Raja yang didampingi para Dharmadyaksa Kasogatan memutuskan persoalan mereka dengan adil dan bijaksana.
Para prajurit kaki tangan Ra Kuti hanya memerhatikan. Mereka tak berani melakukan sesuatu karena Ra Kuti baru saja menurunkan perintah yang tegas kepada para prajurit untuk tidak melukai hati para kawula.
Berita mengenai orang-orang melakukan pepe itu sampai pula ke telinga pimpinan Dharmaputra Winehsuka. Merah padam wajah Ra Kuti mendengar laporan itu. Ra Kuti makin jengkel. Ra Kuti merasa dikelilingi orang-orang yang bodoh, orang-orang yang tidak bisa diandalkan, yang selalu mengganggu langkahnya menjegal semua rencananya.
"Kaulihat akibat perbuatanmu?" Ra Kuti berkata sangar.
Ra Pangsa hanya bisa memamerkan wajah tolol.
Ra Kuti berjalan mondar-mandir.
Ra Pangsa yang menunduk merasa jengkel kepada Ra Tanca yang dianggapnya tumbak cucukan, mengobral cerita yang menyebabkan Ra Kuti amat marah kepadanya.
"Ternyata aku dikelilingi oleh orang-orang yang tak bisa menggunakan otak untuk berpikir dan mengendalikan diri. Orang-orang yang mestinya aku andalkan malah menyulitkanku. Goblok semua."
Bagi Ra Kuti, orang-orang yang melakukan pepe itu, apalagi jumlah mereka sangat banyak, sudah bisa dijadikan tolok ukur kesulitan macam apa yang akan dihadapinya dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Menjadi raja, benar sebagaimana dikatakan Ra Tanca, harus mengakar 314
Gajahmada kuat dengan mendapat dukungan rakyat. Jika rakyat tidak menyukainya, pemerintahan yang dilakukannya harus menggunakan tangan besi. Ra Kuti membayangkan pemerintahannya tidak akan langgeng jika menggunakan cara tangan besi, apalagi di luar sana Bhayangkara sedang mengintip, mencari celah kesempatan untuk melontarkan balasan.
Sebaliknya bagi Ra Pangsa, untuk mengusir orang yang melakukan pepe itu sangat mudah. Apalah sulitnya mengusir mereka. Ra Kuti tinggal menjatuhkan perintah atau kalau dirinya ditunjuk untuk mengusir mereka, Pangsa membayangkan akan mengerahkan prajurit untuk menghardik seperti menghardik anjing. Cukup membentak atau mengancam dengan busur terentang dan pedang telanjang, orang-orang yang melakukan pepe itu tentu akan lari terkencing-kencing tunggang-langgang.
Ra Kuti berjalan mondar-mandir. Ra Tanca yang semula berada di ruang itu beranjak akan pergi.
"Tunggu," cegah Ra Kuti, "jangan pergi."
Ra Tanca menoleh. "Berikan pendapatmu," ucap Ra Kuti. "Apa yang harus aku lakukan menghadapi orang-orang yang melakukan pepe itu?"
Ra Tanca sebenarnya enggan memberikan pendapatnya. Berulang kali Ra Tanca berbicara, tetapi selalu diabaikan. Kini setelah keadaan benar-benar buruk, barulah suaranya dibutuhkan.
"Kau telah kalah," ucap Ra Tanca, "mulai sekarang, mulailah membayangkan banjir bandang akan berbalik menggilasmu. Jangan meremehkan orang-orang yang melakukan pepe itu. Jika kaulukai perasaan mereka sebagaimana kaulukai perasaan pemuda bernama Kayun dan keluarganya, gelombang kebencian akan menghantammu.
Raja mestinya dicintai oleh rakyatnya, tetapi apa yang kauciptakan" Kau menciptakan kebencian. Semua orang menatapmu dengan mata melotot.
Jadi, apakah yang masih kauharapkan" Pemerintahanmu pemerintahan pemerkosa. Lihat apa yang dilakukan Ra Pangsa terhadap Kayun, apakah itu wujud pengayoman yang kauberikan kepada rakyat Wilwatikta.
Kurasa kau belum menanyai Ra Pangsa, apa yang dilakukannya terhadap keluarga Ki Joyo Teles, terhadap anak gadis serta menantunya."
Gajahmada 315 Ra Pangsa mendongak. Nyaris saja Ra Pangsa meloncat menghajar Ra Tanca.
Sebaliknya, Ra Kuti yang sudah terbiasa dengan cara Ra Tanca yang suka bicara blak-blakan apa adanya hanya bisa termangu. Ra Kuti jengkel, kepalanya mulai berdenyut disergap pusing yang entah datang dari mana.
Rakrian Kuti berjalan mondar-mandir. Ra Kuti harus memeras otak untuk menghitung dan mempertimbangkan berbagai hal dan kemungkinan. Ra Kuti ingin keluar menemui mereka yang melakukan pepe, tetapi Ra Kuti menyimpan ngeri membayangkan Bhayangkara menyelinap di antara mereka yang melakukan pepe. Bisa saja sebilah pisau terbang melayang deras ke arah tengkuknya. Lebih jauh Ra Kuti membayangkan kesulitan yang akan dihadapinya pada jangka panjang.
Melihat keadaan yang ada, para kawula lebih cenderung berpihak kepada Jayanegara daripada kepada dirinya. Jika rakyat membencinya, dengan mudah Jayanegara melalui Bhayangkara akan memainkan perannya. Agar langgeng menjadi raja harus dicintai dan didukung rakyatnya, sebaliknya jika kebencian dan ketakutan yang ada, apakah yang bisa diharapkan dari keadaan itu"


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manakala memusatkan perhatian akan hal itu, Ra Kuti makin jengkel kepada Ra Pangsa yang dianggapnya bodoh, tak menggunakan otak dalam bertindak. Pangsa mengumbar nafsu, dirinya yang terkena getahnya.
"Aku terima gambaran yang kauberikan, Tanca," Ra Kuti berbicara.
"Aku bisa membayangkan apa yang kaupaparkan, untuk semuanya itu aku tak menolak, perhitunganmu memang benar. Oleh karena itu, dalam keadaan seperti ini beri aku pemecahan, apa yang sebaiknya dilakukan."
Ra Tanca tersenyum sinis.
"Jika kauingin meredam mereka yang melakukan pepe itu," ucap Ra Tanca. "Penuhi saja apa yang mereka inginkan."
Bersamaan Ra Pangsa dan Ra Kuti menoleh kepada Ra Tanca.
"Apa yang mereka kehendaki?" lanjut Ra Kuti.
316 Gajahmada Ra Tanca menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis mengerti melihat Ra Kuti seperti tidak bisa berpikir lagi. Bahkan, untuk menebak apa keinginan mereka yang melakukan pepe itu harus bertanya kepada dirinya, padahal persoalannya amat jelas. Keinginan mereka amat jelas.
Tanca menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa yang mereka inginkan?" desak Ra Kuti.
"Mereka ingin siapa pun orangnya," jawab Tanca, "yang telah melakukan perbuatan keji itu harus mendapatkan hukuman. Pelaku perbuatan biadab yang menimpa Kayun dan keluarganya, juga perbuatan keji yang menimpa para penduduk, harus mendapat hukuman. Itulah tuntutan mereka."
Ra Kuti terdiam. Ra Kuti menoleh Ra Pangsa. Ra Pangsa sangat tidak senang.
"Tuntutan mereka sudah jelas," lanjut Tanca, "sekarang bergantung kepadamu bagaimana menghadapi tuntutan itu. Ada beberapa pilihan yang bisa kauambil. Bisa saja kaukerahkan pasukan untuk mengusir mereka. Mereka itu hanya rakyat jelata yang pasti akan terbirit-birit apabila di hadapkan dengan prajurit bersenjata. Pilihan yang lain, barangkali perlu kaupertimbangkan tuntutan mereka. Penuhi keinginan mereka, pelaku tindak perbuatan keji itu kauserahkan kepada mereka. Kalau dua kemungkinan itu sama-sama menyulitkanmu, masih ada pilihan lain yang bisa kauambil."
Ra Kuti merasa isi dadanya seperti akan berderak.
Dua jawaban yang diberikan Ra Tanca itu bukanlah pilihan yang menyenangkan. Mengusir mereka yang melakukan pepe di alun-alun tentu akan berakibat buruk. Untuk jangka panjang, citra Ra Kuti akan rusak karena pemerintahannya dianggap sebagai pemerintahan tangan besi.
Dengan sendirinya dukungan tidak akan diperoleh dari rakyat yang membencinya. Di sela-sela kebencian itu berbagai macam bahaya bisa menyelinap mengintai keselamatannya. Sebaliknya, apabila tuntutan mereka yang melakukan pepe itu dipenuhi, Ra Kuti akan berhadapan dengan pendukungnya sendiri. Mereka yang melakukan penjarahan dan Gajahmada 317
pemerkosaan tentu tidak bersedia dijadikan tumbal untuk memuluskan perjalanannya.
Dua-duanya sama-sama pilihan yang tidak menyenangkan, tetapi Ra Kuti tidak punya pilihan lain. Ra Kuti harus mengambil salah satu dari dua pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan itu.
Ra Kuti memandang Ra Pangsa.
Tatapan mata yang diberikan Ra Kuti benar-benar menyiratkan kekecewaan hatinya. Kecewa karena Ra Pangsa berbuat sangat bodoh, berbuat sesuatu tanpa memikirkan akibatnya. Akibat ketololan itu Ra Kuti merasa harus disudutkan di simpang pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan.
Ra Kuti berjalan mondar-mandir, Pangsa gelisah. Untuk beberapa saat lamanya suasana menjadi senyap. Semua menunggu keputusan macam apa yang akan diambil Ra Kuti. Ra Kuti berbalik, matanya melotot tertuju Pangsa.
"Kau yang berbuat, kau yang harus menyelesaikan," ucap Ra Kuti tertuju kepada Ra Pangsa. "Aku seorang raja. Tak pantas seorang raja harus turun menemui mereka yang melakukan pepe. Usir mereka."
Ra Pangsa yang menunduk itu mendongak. Tanca kaget.
"Gila," desis Ra Tanca, "kaujatuhkan perintah macam itu?"
Wajah Ra Kuti membeku. "Ya," jawab Ra Kuti tegas.
"Sudah kaupertimbangkan keputusanmu?" desak Tanca. "Sudah kauhitung akibat macam apa yang akan terjadi jika kaulakukan itu"
Pertimbangkan sekali lagi sebelum kau menjatuhkan perintah."
Ra Kuti meradang. Ketidaksenangannya membuncah menggelegak.
"Jadi, aku harus melakukan apa?" teriak Ra Kuti dengan suara serak bergetar. "Aku harus menyerahkan Pangsa kepada mereka yang berjemur diri itu" Jika aku penuhi keinginan mereka, artinya bukan hanya Ra Pangsa yang harus kuserahkan, tetapi separuh dari jumlah prajurit yang 318
Gajahmada mendukungku. Aku hanya memiliki dua pilihan. Aku tak senang dengan pilihan yang kedua maka pilihan pertama yang terpaksa aku ambil.
Mereka yang melakukan pepe itu harus mendapatkan pelajaran pertama untuk tidak mencoba mengutik-utik kekuasaan Ra Kuti."
Ra Tanca terdiam. Napas Ra Kuti mengombak.
"Keluar kau Pangsa" teriak Ra Kuti. "Usir mereka yang mencoba menggugat kekuasaanku itu."
Ra Pangsa melirik sekilas kepada Tanca lengkap dengan perasaan tak senangnya. Pangsa kemudian bergegas keluar dari bilik itu untuk melaksanakan perintah yang baru diterimanya. Dengan langkah sigap ia meninggalkan tempat itu dengan tidak lupa menyambar senjatanya.
Senjata itu diangkat dan diacungkan ke wajah Tanca.
Ra Tanca cemas, tetapi Ra Tanca tidak bisa berbuat apa-apa.
Ra Pangsa yang menggenggam perintah segera bertindak. Pasukan disiapkan dalam pacak baris lengkap dengan tameng dan anak panah serta tombak yang mencuat bagai jatingarang. Setelah segalanya siap, Pangsa memimpin pasukan itu bergerak ke alun-alun. Tidak sekadar bergerak karena pasukan itu pasang gelar perang yang cukup mendebarkan, Diradameta atau gajah mengamuk, seolah Pangsa ingin mengatakan, jika mereka yang melakukan pepe itu tidak mau minggat, mereka akan berhadapan dengan gajah mengamuk.
Orang-orang yang melakukan pepe berdebar-debar. Semula mereka menyangka, dengan dilakukannya pepe itu Ra Kuti akan keluar menemui mereka. Namun, jawaban yang diperoleh ternyata tak seperti apa yang dibayangkan. Bukan Ra Kuti yang keluar menerima gugatan yang mereka teriakkan, tetapi justru pasukan yang bahkan dipimpin oleh orang yang selama ini dianggap harus bertanggung jawab terhadap kekejian yang menimpa Ki Joyo Teles beserta keluarganya. Lebih dari itu, pasukan itu bahkan pasang gelar perang seolah menghadapi musuh yang berbahaya.
"Gila," desis salah seorang dari mereka, "mereka menganggap kita ini sebagai apa?"
Gajahmada 319 Orang-orang yang melakukan pepe terbungkam. Tidak seorang pun yang mampu membuka mulut karena sedemikian besar pesona yang menyergap mereka. Jika selama ini Jayanegara selalu mengundang siapa pun yang melakukan pepe ke Sitinggil Bale Witana untuk didengar apa kemauannya, sebaliknya kini justru pedang dan tombak digunakan menghadapi mereka. Keadilan yang mereka tuntut berhadapan dengan busur yang direntang siap menabur anak panah.
Hanya butuh waktu yang amat singkat, Ra Pangsa telah menata pasukannya siap menghadapi apa pun. Dengan senyum sangat sinis Pangsa menabur pandangan menyapu mereka yang hadir. Ra Pangsa bahkan berpikir jika mereka yang berunjuk rasa itu tidak mau meninggalkan alun-alun maka dengan terpaksa Pangsa akan menggunakan senjata untuk mengusir mereka dari tempat itu.
"Aku membawa perintah Sang Prabu Ra Kuti," berteriak Ra Pangsa dengan suara sangat lantang, namun serak bagai burung gagak.
"Sang Prabu Ra Kuti sedang sibuk tidak bisa diganggu oleh urusan sepele seperti ini. Kalian diminta pergi meninggalkan tempat ini."
Suara Ra Pangsa yang lantang itu mampu membuat suasana yang semula hiruk-pikuk menjadi hening. Semua mata yang melakukan pepe terarah kepada Ra Pangsa, itulah orangnya yang dengan kejam membunuh Kayun. Kebencian yang ada mendadak menggelegak membutuhkan penyaluran. Walau mereka dihardik dengan ancaman, mereka memiliki keberanian yang entah datang dari mana.
Mereka bergeming di tempatnya.
"Kalian harus pergi," berteriak Pangsa dengan suara parau. "Atas nama Prabu Kuti, kuperintahkan kalian untuk meninggalkan tempat ini."
Pangsa menjadi heran. Perintah itu mestinya menyebabkan mereka takut, bahkan lari terbirit-birit berhamburan. Namun, apa yang dihadapinya tidak seperti yang diharapkannya. Mereka yang melakukan pepe itu malah memandang penuh kebencian, bahkan beringas.
"Hukum gantung pemerkosa itu," tiba-tiba terdengar teriakan lantang berasal dari tengah-tengah mereka yang melakukan unjuk rasa.
320 Gajahmada Suara itu merangsang, membakar keberanian mereka. Maka yang terjadi kemudian adalah suara gaduh. Merah padam wajah Rakrian Pangsa yang menjadi sasaran caci maki. Ra Pangsa segera memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap diri.
"Aku minta kalian mundur!" teriak Ra Pangsa.
Namun, suaranya tenggelam oleh hiruk-pikuk yang terjadi.
Ra Pangsa menjadi gugup. Ra Pangsa tak menyangka penduduk yang terluka hatinya itu sanggup mengesampingkan rasa takut, bahkan mendekatinya. Apa boleh buat, Ra Pangsa segera memberikan perintah kepada pasukan panahnya untuk mengangkat busur.
Namun, kemarahan penduduk yang merasa diinjak-injak martabat dan harga dirinya itu tak gentar oleh ancaman. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba sebuah batu melayang. Salah seorang tetangga Kayun yang tidak bisa menahan kemarahan melempar batu sekepalan tangan ke arah Ra Pangsa. Batu itu melesat tidak mengenai Ra Pangsa, tetapi menghajar salah seorang prajurit tepat mengenai keningnya. Prajurit itu terpelanting dengan luka yang sanggup mengantarnya untuk tak sadarkan diri.
Apa yang dilakukan tetangga Kayun itu menjadi gagasan yang segera ditiru oleh lainnya. Maka terjadilah hujan batu, susul-menyusul tiada henti terarah kepada Ra Pangsa dan anak buahnya. Hujan batu itu benar-benar tak terduga, membuat Pangsa kelabakan. Ra Pangsa segera memanjakan kemarahannya. Ra Pangsa mengesampingkan pertimbangan apa pun. Tanpa beban, Winehsuka berangasan itu menjatuhkan perintah untuk membalas hujan batu itu.
Maka terjadilah pembantaian itu. Anak panah berhamburan melesat memburu sasaran. Orang-orang yang melakukan pepe itu benar-benar menjadi sasaran empuk dan dibikin kalang kabut. Jerit kesakitan serta teriakan marah berbaur menjadi satu. Amat beringas Ra Pangsa dan anak buahnya dalam bertindak seolah yang mereka hadapi bukan orang yang melakukan pepe untuk menuntut keadilan, tetapi musuh yang berbahaya. Jerit kesakitan mereka yang terluka justru memancing Ra Gajahmada 321
Pangsa dan anak buahnya bertindak lebih ganas lagi. Malang benar mereka yang berunjuk rasa itu. Mereka yang melakukan pepe itu menjadi sasaran empuk. Mereka yang terkena sambaran anak panah segera jatuh bergelimpangan. Ada yang sekadar kesakitan, ada pula yang sekarat, bahkan mati. Mereka yang melakukan pepe sama sekali tidak menduga bakal mendapat sambutan yang ramah seperti itu. Beberapa di antaranya lari berhamburan berusaha menyelamatkan diri.
Malang bagi yang jatuh karena akan diinjak-injak yang lain.
"Bunuh mereka semua!" berteriak Ra Pangsa.
Hujan anak panah makin berhamburan. Bahkan, mereka yang lari dikejar. Beruntunglah yang bisa berlari cepat kemudian menyelinap di antara rumah-rumah penduduk. Sebaliknya, hal yang sangat buruk menimpa beberapa orang yang lain. Dengan kejam para prajurit petualang kaki tangan Ra Kuti membantai orang itu.
Apa yang terjadi itu sungguh tidak terduga sekaligus menjadi tontonan yang menyentak hati nurani sekelompok prajurit yang menyaksikan dari arah yang lain. Kelompok yang tidak mendapat tugas mengusir orang yang melakukan pepe itu.
"Gila. Apa yang mereka lakukan itu?"
Para prajurit yang berasal dari kesatuan Jalayuda yang telah kehilangan pimpinannya itu memandang polah tingkah Ra Pangsa dengan alis mencuat. Sebagai seorang prajurit yang mestinya berjiwa kesatria, lebih-lebih sebagai manusia yang punya hati nurani, mereka melihat perbuatan Pangsa itu benar-benar keterlaluan dan berlebihan. Meski semua diam memandang apa yang terjadi, bisa dibaca dengan jelas gejolak macam apa yang mengharu biru mengacak-acak nurani mereka. Perbuatan Ra Pangsa itu bertentangan sekali dengan nurani mereka.
"Kenapa jadi begini?" desis salah seorang dari prajurit itu.
Prajurit Jalayuda yang lain menggeretakkan gigi.
"Jelas ada yang salah," jawab lainnya. "Kita berada di tempat yang salah. Tak seharusnya kita berada di sini."
322 Gajahmada Para prajurit dari kesatuan Jalayuda yang berkelompok di sudut barat alun-alun itu terus memerhatikan apa yang terjadi tanpa bisa berbuat apa-apa. Jika mereka bergerak membela orang-orang yang melakukan pepe itu pasti bakal terjadi pertumpahan darah. Padahal, kekuatan yang mereka miliki sama sekali tidak berimbang.
Mereka yang melakukan pepe pergi meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Beberapa orang yang terluka dan sedang sekarat diperlakukan dengan semena-mena oleh Ra Pangsa. Dengan bertolak pinggang, Rakrian Pangsa memandang wajah pemuda yang tengah meregang nyawa oleh anak panah yang menancap tepat di tengah dada.
Ra Pangsa meludahi wajah itu.
"Kau tidak suka denganku ha?" teriak Pangsa. "Kau akan menggugat apa yang telah kulakukan terhadap Kayun" Aku melakukan karena Kayun dan keluarganya berani melawan kekuasaan yang baru. Melawan Ra Pangsa berarti melawan Ra Kuti. Melawan Ra Kuti sama halnya dengan melawan Majapahit. Kalau kauberani tidak mengakui keberadaan Majapahit maka Majapahit tidak membutuhkan orang-orang macam kamu dan yang lain-lain itu. Jadi, untuk apa aku harus merasa kasihan kepadamu" Daripada kau terlalu lama kesakitan seperti itu, aku tidak keberatan untuk mempercepat kematianmu."
Mengakhiri kata-katanya, Pangsa memungut sebuah tombak yang tergeletak. Dengan sekuat tenaga Ra Pangsa membenamkan tombak itu ke leher hingga tembus ke dalam tanah.
Sekali lagi, Ra Pangsa meludahinya.
Apa yang dilakukan Pangsa memang sangat membantu pemuda yang sekarat itu untuk tidak terlalu lama menderita.
"Ini pelajaran bagi semuanya," berteriak Pangsa, "bagi mereka yang mencoba-coba melawanku, melawan kekuasaan Ra Kuti, dan tidak mengakui pemerintahan yang baru. Aku tidak akan segan-segan bertindak tegas atas nama negara."
Suara Pangsa terdengar jelas sampai ke sudut alun-alun, didengar dengan jelas oleh sekelompok prajurit yang semula berasal dari pasukan Jalapati yang cerai-berai. Juga sekelompok prajurit lainnya yang berasal
Gajahmada 323 dari pasukan Jalayuda, bahkan pasukan Jala Rananggana yang semula jelas-jelas memihak Ra Kuti. Mereka yang masih memiliki hati nurani mulai bertanya, manusia macam apa yang kini menduduki kekuasaan Majapahit itu.
35 Dalam pada itu, di sudut alun-alun di sebelah barat dan keberadaannya tidak menarik perhatian siapa pun, seseorang terlihat termangu. Dengan hati yang sangat pedih orang itu juga memerhatikan apa yang terjadi seolah setiap luka dan kematian yang menimpa orang-orang yang melakukan pepe itu menjadi hantaman alugora yang menerjang dadanya. Akan tetapi, orang yang menyelubungi wajahnya dengan caping lebar itu mampu menguasai diri dengan baik. Dari raut wajahnya tidak kelihatan ombak, dari tatapan matanya tidak terlihat api amarah, meski satu hal yang tak bisa dihindarinya, kesedihan yang mendalam melihat keadaan Majapahit yang porak-poranda.
Orang dengan caping lebar itu menyapu setiap sudut alun-alun, bahkan puncak menara di samping istana dengan pandangan matanya.
Tatapan matanya yang memendam kepedihan terus menyebar seolah memang ada sesuatu yang dicarinya. Tetapi, wajah Ra Kuti tentu tidak ditemukannya di halaman istana di antara para prajurit yang mendapat tugas mengusir mereka yang melakukan pepe itu. Untuk urusan semacam itu Ra Kuti mungkin merasa cukup mewakilkan kepada Dharmaputra Winehsuka yang lain yang menerjemahkan perintah itu dengan kekejian sempurna.
Orang bercaping lebar itu terus menebar pandangan, menyapu ke setiap sudut alun-alun. Sampai kemudian tatapan wajahnya berhenti ke 324
Gajahmada sebuah arah. Ada seseorang di sana yang menarik perhatiannya. Orang itu juga memerhatikan peristiwa yang sedang berlangsung.
Rupanya ada pula orang lain yang memiliki keberanian menyaksikan pembantaian yang terjadi selain dirinya. Justru karena itulah orang bercaping lebar itu terpancing rasa ingin tahunya.
Orang lain itu diperhatikannya dengan saksama. Setelah memerhatikan beberapa saat, ada yang membuatnya sedikit heran.
Ditilik dari usianya orang itu belum tua, bahkan masih sebaya dengan dirinya, tetapi orang itu menggunakan tongkat untuk menuntun langkahnya. Orang yang melindungi wajahnya dari matahari dengan menggunakan caping lebar itu berdesir tajam, ia merasa mengenal seseorang dengan kebiasaan menggunakan tongkat seperti itu.
Orang itu berpakaian amat sederhana, rambut digelung keling dengan tongkat yang selalu setia mengikuti ke mana pun dia pergi.
Dengan penuh minat orang itu memerhatikan hiruk-pikuk yang terjadi di alun-alun. Korban yang berjatuhan serta mereka yang berhamburan menyelamatkan diri tidak lepas dari perhatiannya.
Orang yang bercaping lebar akhirnya mengenali dan meyakini siapa sebenarnya orang itu. Dengan bergegas ia mengayun langkah mendekatinya. Akan tetapi, di saat yang sama orang bertongkat itu justru bangkit dan bermaksud pergi meninggalkan tempat itu. Orang bercaping lebar mengikuti ke mana pun langkahnya.
Setelah melalui beberapa sudut jalan. Orang bercaping itu berhasil menyusul. Mendengar langkah bergegas dibelakangnya orang yang mengenakan tongkat itu pun berhenti. Beberapa saat lamanya mereka saling pandang. Orang yang memakai tongkat memerhatikan lebih saksama.
Keduanya berusaha saling mengenali. Orang bertongkat itu mencuatkan alis.
Merasa ternyata dugaannya benar, orang yang bercaping lebar itu tersenyum. Demikian pula orang yang menggunakan tongkat itu, senyumnya segera merekah setelah yakin siapa yang berada di depannya.
"Kau rupanya," berucap orang yang memakai tongkat, "ini benar-benar sebuah pertemuan yang mengejutkan. Aku mengira kau sudah mati atau tersapu terbawa angin."
Gajahmada 325 Orang yang mengenakan caping lebar tersenyum.
"Dan, kau Prapanca," jawabnya, "ke mana pun selalu membawa rontal dan alat tulis. Aku mengira kau sedang berada di ujung barat tanah Jawa Dwipa ini atau ke arah timur menyeberang ke Bali atau malah sampai Lombok untuk memuasi rasa ingin tahumu. Apa yang kaucatat dari kejadian ini?"
Laki-laki yang disebut dengan panggilan Prapanca itu membuang senyum makin lebar. Dengan langkah tenang ia mendekati orang yang mengenakan caping lebar. Mereka berjabat tangan.
"Meski kauubah wujudmu seperti ini, aku masih mengenalimu dengan baik, Bekel Gajahmada."
Orang yang mengenakan caping lebar seperti layaknya seorang petani itu memang Bekel Gajahmada yang melakukan penyusupan kembali ke kotaraja. Lelaki dengan tongkat itu adalah Prapanca, seorang juru warta yang dengan penuh pengabdian dan didorong oleh kemauannya sendiri melanglang buana dari satu tempat ke tempat lain.
Yang dilakukan oleh Prapanca bukan sekadar melangkah tanpa tujuan, tetapi juga mendengar dan melihat untuk kemudian dicatatnya. Pada suatu kali pernah terjadi Prapanca menyaksikan bencana kelaparan yang menimpa penduduk di Pegunungan Kapur Utara, apa yang dilihatnya itu kemudian dibawanya ke kotaraja dan disampaikan kepada Bekel Gajahmada. Gajahmada selanjutnya menyampaikan berita itu kepada Sri Jayanegara untuk kemudian diambil sebuah keputusan segera mengirim bahan makanan dan bantuan ke Pegunungan Kapur Utara.
Atas jasa Prapanca semacam itulah kawula Majapahit yang terletak di tempat yang terpencil seperti di pegunungan kapur utara tertolong.
Melalui pandangan mata dan pengalaman langsung karena selalu berada di tengah-tengah kancah peristiwa, Prapanca memiliki perbendaharan pengalaman yang luar biasa. Semuanya itu dicatatnya dengan baik dan adakalanya dituturkan kembali kepada siapa pun yang membutuhkan tuturannya, dicatatnya dalam bentuk kakawin atau seloka.
Kini Prapanca harus menyaksikan dan mencatat sebuah kejadian dalam bentuk lain. Kejadian itu amat membahayakan kelangsungan 326
Gajahmada kehidupan negara. Sekelompok orang berjiwa petualang yang tidak bertanggung jawab melakukan tindakan makar, mengguncang tatanan dan sendi kehidupan Majapahit.
"Kebetulan sekali aku bertemu denganmu, Gajahmada," kata Prapanca. "Banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Rasa ingin tahuku benar-benar butuh pemuasan."
Gajahmada tersenyum. "Ra Kuti melakukan pemberontakan. Dan, aku adalah sasaran kedua yang sangat dicari olehnya setelah Tuanku Jayanegara. Itu sebabnya, aku merasa tak cukup aman. Jika kauingin mendengar penuturanku, mari ikut aku. Aku punya tempat yang tenang untuk membicarakan hal ini."
"Dengan senang hati!" jawab Prapanca.
Bekel Gajahmada dan Prapanca kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan melewati jalan-jalan sempit yang memisahkan sebuah rumah dengan rumah lainnya. Adakalanya mereka harus menyelinap di pategalan, bahkan pekarangan milik penduduk.
Prapanca dan Bekel Gajahmada melihat betapa senyap kotaraja.
Tidak seorang pun yang berani menampakkan diri. Apalagi, setelah dengan cepat tersiar kabar pembantaian dan tindak kekerasan yang dilakukan kaki tangan Ra Kuti terhadap mereka yang berani melakukan pepe. Ketakutan yang ditimbulkan benar-benar mencekam.
Pendek kata, di balik suasana yang tidak menentu itu bersembunyi ketidakpastian dan ketakutan. Prapanca hanya bisa terpana melihat keadaan itu.
Setelah sampai di tempat yang dimaksud, di tepi sungai yang airnya mengalir jernih, Gajahmada duduk di atas sebuah batu. Di air terlihat benih-benih ikan gabus yang dengan tenang berenang, tidak terusik oleh apa pun. Anak-anak kecil yang biasanya gemar berenang dan mencari ikan tidak terlihat sama sekali di sungai itu. Masih di aliran sungai itu pula, tetapi lebih ke hilir, terdapat sebuah gorong-gorong yang tembus ke luar dinding. Melalui gorong-gorong itulah sehari sebelumnya Bekel Gajahmada menyelundupkan Jayanegara ke luar dinding.
Gajahmada 327 Dengan gamblang Gajahmada menuturkan apa yang terjadi dan disimak dengan saksama oleh Prapanca. Seolah Prapanca tidak ingin ada secuil pun dari cerita itu yang terlewatkan dari telinganya. Meskipun demikian, Bekel Gajahmada masih menyisakan hal-hal yang penting yang sifatnya sangat rahasia, seperti di mana Sri Jayanegara saat ini berada.
Wajah Prapanca menegang. Tidak disangkanya sepak terjang Ra Kuti memang benar-benar kelewatan. Apalagi, dengan mata dan telinga sendiri Prapanca melihat bagaimana para prajurit pemberontak bersikap dan memperlakukan orang-orang yang melakukan pepe di alun-alun.
Pepe adalah bagian dari tatanan kehidupan untuk menegakkan kebenaran. Pepe justru dihidupkan oleh Raden Wijaya. Bahkan, saat negara masih bernama Singasari dengan ibu kota di Tumapel tidak jauh dari Padang Karautan, pepe telah menjadi bagian dari desah napas kehidupan.
Namun, kini Ra Kuti menjungkirbalikkan keadaan. Orang-orang yang berani melakukan pepe digilas tanpa ampun. Hal ini bagi siapa pun terasa amat janggal.
Sejenak setelah Bekel Gajahmada mengakhiri ceritanya suasana menjadi senyap hening. Prapanca larut dalam gejolak perasaannya sendiri, Bekel Gajahmada membuang pandangnya ke langit barat.
"Bagaimana menurutmu?" akhirnya bertanya Bekel Gajahmada.
Prapanca belum menjawab. Prapanca memilih memuasi rasa takjubnya.
"Tindakan makar sebelum dialami Majapahit ini," bercerita Prapanca, "Kediri dan Singasari pernah mengalami. Kediri di masa pemerintahan Kertajaya banyak melakukan kesalahan, di antaranya yang kemudian dijadikan alasan utama oleh Ken Arok yang memberontak adalah karena Sri Kertajaya tidak menghormati para pertapa, para resi, atau brahmana. Kertajaya mempunyai permintaan yang dianggap berlebihan oleh para pemuka agama saat itu, mereka diminta untuk mengesahkan pengakuan atau semacam pembenaran, di mana Kertajaya adalah titisan para dewa. Bahkan, Kertajaya meminta kepada para kawula dan pemuka agama untuk menyembahnya bagai layaknya dewa. Ken Arok mampu menangkap kegelisahan rakyat Kediri lalu mengolahnya 328
Gajahmada menjadi sebuah kekuatan untuk menggempur Kediri. Terjadilah saat itu perang yang amat berdarah di Ganter."
Gajahmada menyimak kisah itu dengan cermat. Baginya tuturan sejarah seperti itu menjadi sebuah hal yang sangat penting. Bagi Gajahmada yang memang mempunyai minat luar biasa terhadap kejadian-kejadian penting dalam sejarah masa lampau, apa yang disampaikan Prapanca itu sungguh menarik perhatiannya.
"Setelah perjalanan sejarah Kediri berakhir," lanjut Prapanca,
"dimulailah babak baru. Konon dipercaya orang, siapa pun yang bisa mengawini Ardhanareswari, darinya akan lahir raja-raja besar turun-temurun sampai akhir zaman."
Bekel Gajahmada mencuatkan alis. Nama Ardhanareswari baru kali itu didengarnya.
"Siapa Ardhanaiswari itu?" potong Gajahmada yang penasaran.
"Arti kata Paramaiswari itu istri raja, sama dengan permaisuri atau prameswari. Ardhanaiswari itu nama julukan yang diberikan kepada seorang wanita mulia, yang darinya lahir raja-raja besar yang menyelenggarakan pemerintahan turun-temurun di tanah Jawa ini. Nama Ardhanaiswari itu sama dengan Ardhanareswari. Siapakah wanita mulia yang mendapat julukan itu" Tidak ada dua di dunia ini kecuali Putri Ken Dedes, anak empu Purwa dari Panawijen."
Gajahmada membeku. "Di samping apa yang dialami Kediri, masih ada kejadian berikutnya yang bisa dianggap makar pula. Adalah Sri Kertanegara yang sama sekali tidak menduga Kediri yang adem ayem sanggup melakukan tindakan yang tidak terduga. Para prajurit Singasari dikirim ke seberang lautan dalam rangka Pamalayu. Pada saat Singasari sedang suwung, tidak ada prajurit yang mengamankan istana, Kediri di bawah Jayakatwang bangkit melakukan tusukan. Sri Kertanegara tewas dalam peristiwa itu."
Tidak berkedip Bekel Gajahmada menyimak kisah itu.
Gajahmada 329 Dulu, pada saat menjalani masa pendadaran sebagai prajurit baru yang mendapat kesempatan mengabdikan diri pada negara, Gajahmada mendapat gemblengan wawasan kesejarahan, utamanya saat awal Majapahit berdiri di bumi Tarik Tralaya Antahwulan. Bagaimana sepak terjang Wijaya yang mampu membalas menggusur Jayakatwang dengan memanfaatkan pasukan Tartar, serta dilanjutkan dengan penggusuran pasukan Tartar itu sendiri. Tidak habis-habisnya Gajahmada mengagumi kisah itu.
"Sekarang aku punya pertanyaan untukmu, Gajahmada," lanjut Prapanca. "Apakah menurutmu tubuh Ra Kuti dan teman-temannya itu dialiri darah keturunan Ken Dedes?"
Pertanyaan sederhana yang dilontarkan Prapanca itu menyentakkan hati Bekel Gajahmada. Seolah dari pertanyaan itu Gajahmada menemukan mata rantai jawaban yang sangat diperlukan untuk menjungkirbalikkan Ra Kuti dari tempat duduknya. Ra Kuti tidak berhak duduk di singgasana Majapahit, bukan hanya karena Ra Kuti bukan keturunan Raden Wijaya, tetapi lebih jauh dari itu di tubuh Rakrian Kuti sama sekali tidak mengalir garis keturunan Ardhanareswari. Padahal, bagi para kawula Majapahit yang asal mulanya berasal dari Singasari, siapa pun orangnya asal pada tubuhnya mengalir darah Ken Dedes, masih bisa dimengerti jika ikut berebut dampar singgasana.
Sedang Ra Kuti" Gajahmada tersenyum. Dengan tulus Bekel Gajahmada mengakui betapa besar makna sumbangan wawasan yang diberikan Prapanca itu.
"Artinya apa Gajahmada?" lanjut Prapanca. "Dari sudut keyakinan banyak orang, Ra Kuti tidak akan langgeng menduduki dampar kencana karena ia tidak memiliki darah Ardhanaiswari. Lebih-lebih dari sepak terjangnya, apa menurutmu Ra Kuti layak menjadi raja?"
Gajahmada termangu. "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Gajahmada.
"Ahh," potong Prapanca, "aku ini bukan seorang prajurit. Mengenai
330 Gajahmada apa yang harus kaulakukan, sebagai seorang prajurit tentunya kau sudah memiliki gambaran langkah apa yang akan kauambil."
Kembali suasana menjadi hening. Gajahmada membiarkan angannya terbang melayang menjelajahi ruang tanpa batas. Berbagai hal ditimbang-timbang dengan saksama karena Bekel Gajahmada merasa di pundaknyalah kelangsungan hidup Majapahit saat ini berada. Di saat negara dalam keadaan kacau oleh ulah para pengacau, Bekel Gajahmada harus berjuang keras menyelamatkan Jayanegara dari perburuan besar-besaran yang dilakukan Ra Kuti. Jika hal itu nantinya berhasil dilaksanakan dengan baik, masih ada pekerjaan yang lebih besar lagi menghadang dirinya, yaitu mengembalikan kekuasaan Sri Jayanegara dan memberikan hukuman kepada mereka yang telah melakukan tindakan makar itu.
Prapanca tersenyum. "Apa pun yang akan kaulakukan, Gajahmada," kembali kata Prapanca, "kau sudah memiliki bekal yang menguntungkan. Kita melihat saat ini Ra Kuti melalui bawahannya melakukan tindakan yang sangat bodoh dengan melukai perasaan rakyat. Hati kawula terluka berat oleh ulah mereka yang amat tidak menghormati mereka yang melakukan pepe itu. Sebagai pohon, Ra Kuti tidak memiliki akar yang kuat. Dengan sekali dorong, itu pun tidak membutuhkan tenaga yang besar, Ra Kuti akan tumbang. Percayalah."
"Terima kasih," balas Gajahmada, "aku sangat menghargai pendapat dan wawasanmu. Setidak-tidaknya hal itu akan menjadi tambahan semangat bagiku dalam mengambil langkah selanjutnya."
Bekel Gajahmada dan Prapanca masih terlibat dalam pembicaraan seru hingga tidak terasa hari beranjak menjamah sore. Gajahmada dan Prapanca mengakhiri pembicaraan mereka dan masing-masing mengambil jalan memisah.
Gajahmada 331 36 Suasana kotaraja saat itu menjadi makin tidak menentu. Setiap sudut kota dijaga ketat oleh prajurit yang mendapat perintah langsung dari Ra Kuti. Sebaliknya, tidak seorang pun penduduk yang berani keluar dari rumah. Tindakan brutal yang dilakukan prajurit kaki tangan Ra Kuti terhadap penduduk yang berani melakukan pepe menjadi sebuah pengalaman dengan aroma mengerikan. Ketakutan itu menjadi penyakit mengerikan, seolah membayangi siapa pun dan bisa menimpa siapa pun. Bahkan, bagi mereka yang keluarganya terbunuh di saat melakukan pepe, untuk sekadar menangis meratapi sanak saudaranya yang mati, mereka tidak punya keberanian, takut suara tangis itu terdengar oleh kaki tangan Ra Kuti, bisa menjadi bencana yang lebih menakutkan lagi.
Di Rimbi, kegelisahan yang terjadi di kotaraja terasa pula di tempat itu. Di dalam bilik pamujannya, istri terakhir mendiang Raden Wijaya menerima kehadiran ketiga kakak kandungnya yang juga menjadi istri Raden Wijaya. Saudaranya yang tertua, Ratu Tribuaneswari duduk bersebelahan dengan Ratu Prajnaparamita serta Ratu Narendraduhita.
Mestinya bila lengkap, masih ada seorang perempuan lagi yang dengan rukun akan ikut berkumpul di tempat itu, ia adalah Dara Petak, putri boyongan dari Melayu yang diperistri oleh mendiang Raden Wijaya.
Meski Dara Petak berusia lebih muda dari empat putri Kertanegara, usia Dara Petak tidak panjang. Berselang beberapa tahun sepeninggal Raden Wijaya, Dara Petak menyusul.
Gayatri yang memperoleh gelar Rajapadni telah berserah diri menjadi seorang biksuni dan melayani umat Buddha. Dengan pandangan yang teduh dan sejuk, Biksuni Gayatri memandang wajah dua anak gadisnya, Putri Sri Gitarja yang juga disebut Tribuanatunggadewi dan anak keduanya Dyah Wiyat Rajadewi.
Suram semua wajah yang ada di ruangan itu.
332 Gajahmada Baru saja sesaat sebelumnya seorang penghubung pembawa berita telah menyampaikan laporannya bahwa raja telah meloloskan diri dari istana Majapahit dalam pengawalan pasukan Bhayangkara. Ratu Tribuaneswari tidak bisa menutupi kegelisahannya.
"Setelah ini apa, bagaimana?" pertanyaan itu dilontarkan Ratu Prajnaparamita.
Gayatri memandang kakaknya, biksuni itu tidak punya jawaban.
"Ra Kuti bukan jenis orang yang menghormati tempat seperti ini,"
kata Narendraduhita, "cepat atau lambat, ia akan datang kemari."
Semua pandangan kemudian tertuju pada dua gadis yang memiliki kecantikan yang sangat gemilang. Tribuanatunggadewi dan Dyah Wiyat Rajadewi. Kedua gadis itu memiliki kenangan yang buruk atas sosok yang sekarang sedang mengacak istana. Dalam setiap kali berpapasan, Ra Kuti tidak menyembunyikan nafsunya melalui cara memandang yang seolah akan menelan seluruh tubuhnya. Bahkan, adakalanya tanpa alasan yang jelas, Ra Kuti melakukan kunjungan ke Kahuripan dan Daha. Di sana untuk beberapa waktu kedua putri itu tinggal dan mendapat tugas madek ratu dengan gelar Breh Daha dan Breh Kahuripan. Padahal, di hati masing-masing kedua gadis itu telah bersemayam nama laki laki yang dicintai, Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Sayang sekali, telah sebulan lamanya Cakradara dan Kudamerta bersama Lembu Anabrang meninggalkan mereka melaksanakan tugas negara ke Bali.
Kini, Ra Kuti yang menakutkan itu menguasai istana.
Di sisi yang lain, ketiga saudara tua Ratu Gayatri Rajapadni sangat menyadari, sasaran Ra Kuti untuk melanggengkan kekuasannya mencengkeram Majapahit adalah melalui kedua gadis cantik jelita itu.
"Breh Daha dan Kahuripan harus segera diungsikan," berkata Ratu Tribuaneswari. "Perburuan yang akan Ra Kuti lakukan tidak hanya atas Sri Jayanegara, tetapi juga pada Daha dan Kahuripan. Itu sebabnya, Dyah Buana dan Dyah Wiyat harus segera diungsikan."
Gayatri memandang kakak sulungnya, "Ke mana?"
Gajahmada 333 Ratu Tribuaneswari dan Ratu Narendraduhita saling memandang.
Ratu Prajnaparamita termangu beku.
37 Adalah pada saat yang demikian itu, di saat hari beranjak mendekati sore, manakala matahari di langit terlihat doyong ke arah barat dan timbul tenggelam di antara mega-mega, kegelisahan mulai dirasakan oleh salah seorang Bhayangkara. Salah seorang itu adalah kaki tangan Ra Kuti, telik sandi yang memang disusupkan untuk memata-matai gerak-gerik pasukan Bhayangkara dan berupaya mengetahui di mana Jayanegara. Ketika Kalagemet seperti lenyap ditelan bumi, harapan satu-satunya untuk bisa menemukan keberadaan Sri Jayanegara hanya berada di tangan orang itu.
"Keparat sial," gumam telik sandi itu, "hari mulai menjamah sore, tetapi semua masih berdiam di sini, belum bergerak menuju Krian.
Ada apa ini?" Telik sandi itu resah, tetapi dengan sekuat tenaga berusaha menyembunyikan ketidaktenangannya. Walau dalam dadanya berdentang-dentang gema teriakan yang serasa tidak tertahankan lagi untuk ditumpahkan, kesadaran yang dimilikinya masih mampu digunakan untuk mengendalikan diri. Jangan sampai kegelisahan itu memancing rasa ingin tahu teman-temannya. Namun, bahwa hari makin sore dan mereka belum bergerak menuju tempat pertemuan yang disepakati, hal itu sungguh membuatnya penasaran dan melahirkan berbagai pertanyaan.
"Ada sesuatu yang aneh," telik sandi Ra Kuti itu berbicara kepada diri sendiri. "Apa di balik perintah yang diberikan Gajahmada masih 334
Gajahmada ada perintah yang lain. Kenapa Gagak Bongol dan Lembang Laut tidak segera memberi perintah untuk bergerak. Ada apa ini?"
Telik sandi itu makin gelisah. Beban yang mengimpit itu harus disangganya sendiri. Meski Gagak Bongol dan Lembang Laut tidak melakukan sesuatu, hanya tidur-tiduran di rumput, keduanya dengan saksama memerhatikan wajah rekan-rekannya dan mencoba membaca raut wajahnya untuk menemukan warna hati macam apa di dalam dadanya. Diperhatikannya wajah teman-temannya itu satu per satu.
Gagak Bongol dan Lembang Laut merasa sangat tidak enak ketika harus mencurigai teman-temannya sendiri. Dalam pergaulan yang sekian lama terbangun, dalam suka dan duka yang dialami bersama, terjalinlah hubungan akrab yang melebihi eratnya hubungan saudara. Jika salah seorang terluka, yang lain ikut merasakan sakitnya.
Namun kini ada tengara, di antara mereka ada yang berkhianat, mau menjadi kaki tangan Ra Kuti dan berkehendak menjungkalkan Sri Jayanegara. Jika pengkhianat itu benar-benar ada, hal itu sungguh menyakitkan sekali. Bagi Bhayangkara yang lain, hanya yang punya otak tidak waras yang sanggup menjadi pengkhianat macam itu.
Sejauh itu Gagak Bongol dan Lembang Laut belum berhasil menemukan orang yang dicarinya. Beberapa orang temannya malah memanfaatkan kesempatan itu untuk tidur. Yang tidur tidak merasa cemas karena salah seorang dari mereka ada yang bertugas mengamankan keadaan, mengamati bulak panjang di depan dari pohon nyamplung. Apabila ada sesuatu yang mencurigakan, dengan mudah akan bisa diketahui kehadirannya.
Sang waktu bergerak menemani mereka.
Akhirnya, matahari benar-benar doyong ke arah barat walaupun masih sepenggalah sudut yang terbentuk terhadap bayangan tubuh.
Pradhabasu menggeliat bangun dari tidurnya. Tidur sejenak yang diperoleh itu benar-benar mampu membayar keletihannya, walau belum mengusir kantuk yang mengganjal di sudut matanya. Pradhabasu menggeliat, diperhatikannya matahari.
Gajahmada 335 Pandangan Pradhabasu lalu tertuju ke arah Lembang Laut dan Gagak Bongol. Gagak Bongol balas menatapnya.
"Apakah ada yang masih harus ditunggu?" tanya Pradhabasu sambil meliukkan tubuh. "Bukankah kita harus menjumpai Kakang Bekel di Krian?"
Lembang Laut dan Gagak Bongol saling pandang. Setelah matahari bergulir ke arah barat, Pradhabasulah orang pertama yang mempersoalkan perjumpaan yang harus dilakukan di Krian. Singa Parepen dan Riung Samudra yang termangu seperti melamun menoleh.
Singa Parepen yang mengantuk, tetapi tidak bisa tidur, melenguh membuang napas dengan keras.
Mulutnya terbuka lebar. Singa Parepen yang menguap menulari lainnya. Pradhabasu yang baru bangun kembali menguap. Sisa kantuk itu bahkan menyebabkan langkahnya agak terhuyung. Melihat Gagak Bongol hanya diam tak menanggapi pertanyaannya, Pradhabasu duduk di sebelahnya. Rumput tebal memancingnya kembali berbaring, bahkan memejamkan mata.
"Apa pun yang akan kalian lakukan," ucap Singa Parepen, "jangan tinggalkan aku sendirian di sini."
Lagi-lagi Gagak Bongol dan Lembang Laut saling pandang. Menilik keadaannya, ucapan Pradhabasu itu sangat mungkin memang keluar dari nuraninya, tidak terlahir dari kegelisahan yang lain. Lebih-lebih sejenak kemudian terdengar Singa Parepen mendengkur.
Bersamaan Lembang Laut dan Gagak Bongol menggeleng kepala.
Telik sandi kaki tangan Ra Kuti yang berhasil menempatkan diri berada di antara pasukan Bhayangkara itu makin gelisah.
"Ada permainan apa sebenarnya?" telik sandi itu gelisah.
Sejengkal demi sejengkal matahari merendah, menyebabkan bayangan benda apa pun yang dilintasinya memanjang ke arah timur.
Sejauh itu Gagak Bongol dan Lembang Laut masih belum mengambil keputusan, seolah ada sesuatu yang memang sedang ditunggu.
336 Gajahmada "Gila," berbicara telik sandi itu untuk diri sendiri, "pasti ada sesuatu yang tidak wajar. Jangan-jangan pertemuan di Krian itu bohong."
Telik sandi itu membuang wajah ke arah lain agar tak menarik perhatian. Kecurigaan yang datangnya mendadak itu sungguh amat mengganggunya. Tiba-tiba saja, telik sandi yang berpihak kepada Ra Kuti merasa yakin kecurigaannya itu pasti benar. Apalagi, terlihat Lembang Laut dan Gagak Bongol tenang-tenang saja, seolah-olah pertemuan yang akan dilakukan di Krian tidak penting bagi mereka.
"Keparat sial," umpat telik sandi itu. "Betapa bodohnya aku yang masih terjebak permainan Gajahmada. Permainan ini tak ada bedanya dengan umpan Jayanegara palsu yang dimakan Ra Kuti itu. Gajahmada memang dengan sengaja menyebut Krian agar ada yang menyampaikan kepada Ra Kuti. Kini, aku yang memakan umpan itu. Telah kusampaikan kepada Ra Kuti arah yang menyesatkan. Jelas Krian adalah arah yang disengaja untuk menyesatkan. Ke mana Gajahmada itu membawa Jayanegara, hanya dua orang itu yang tahu. Gagak Bongol dan Lembang Laut yang tahu. Keparat."
Prajurit Bhayangkara yang menjadi telik sandi Rakrian Kuti itu amat kecewa. Kekecewaan itu bahkan dirasakan seperti akan memecahkan dinding kepalanya. Semula telik sandi itu berharap dengan keterangan penting yang diperolehnya, Ra Kuti dan pasukan yang telah disiapkan akan bisa menjebak Jayanegara di Krian. Akan tetapi, kecemasannya kemudian muncul saat ia membayangkan, dalam keadaan seperti itu dengan leluasa Gajahmada bisa menyiapkan jebakan. Bisa jadi, pasukan yang dikirim ke Krian untuk meringkus Gajahmada dan Jayanegara itu malah terperosok ke lubang jebakan gajah.
Telik sandi yang kecewa itu ingin sekali bangkit dan berteriak sekeras-kerasnya untuk membuang rasa kecewanya. Namun, tentu saja ia tidak berani melakukan. Apabila ia berani melakukan, akan mengundang kecurigaan teman-temannya.
Dengan menekuk wajah, prajurit itu berpikir.
"Jika aku Bekel Gajahmada, apakah yang akan kulakukan untuk menyelamatkan Jayanegara?" bisiknya dalam hati. "Jika seseorang Gajahmada 337
melemparkan umpan ke arah timur dan merasa yakin umpan di timur itu akan diterkam maka sebenarnya ia mengambil jalan ke arah sebaliknya, arah barat. Bekel Gajahmada membawa Jayanegara melarikan diri jelas-jelas ke arah barat."
Telik sandi Ra Kuti itu masih memejamkan mata.
"Ke mana ia pergi. Siapa orang yang dituju Bekel Gajahmada di arah barat?" otaknya berputar.
Dengan sekuat tenaga telik sandi itu menghitung serta mengutak-atik keadaan. Segala macam kemungkinan dipertimbangkan dan dihitung kembali. Justru karena itu tanpa sadar, wajah prajurit itu seperti ditekuk-tekuk.
"Kenapa denganmu?" bertanya Bhayangkara lain yang duduk di sebelahnya.
Mendapat pertanyaan yang tidak terduga, telik sandi itu terkejut.
Dengan gugup ia memperbaiki mimik wajahnya.
"Kau kenapa?" lanjut Bhayangkara yang duduk di sebelahnya.
Telik sandi itu menyeringai.
"Aku sedang berangan-angan," jawabnya.
"Angan-angan apa?" desak temannya.
Telik sandi itu menerawang, membuang wajahnya menggerataki langit bersih tanpa mendung selembar pun, kecuali mega-mega yang berarak di sebelah barat.
"Aku membayangkan, seandainya aku berhasil membenamkan tombak ini ke perut Ra Kuti," jawabnya.
Bhayangkara yang duduk di sebelahnya tersenyum.
"Jangan sekadar berangan-angan," ucapnya. "Sebaiknya mari angan-angan itu kita wujudkan jadi kenyataan. Kita semua menginginkan hal itu. Ra Kuti yang sombong itu harus mendapat pelajaran."
Sejenak suasana kembali hening. Matahari di barat yang kian rendah mulai memunculkan mega saga, candik ala yang berwarna kemerah-338
Gajahmada merahan, yang konon diyakini banyak orang, siapa pun yang berlama-lama memandanginya akan terkena sakit mata, belekan. Bahkan, tak sekadar penyakit belekan, tetapi juga demam, bahkan penyakit gila!
Pada saat yang demikian, tiba-tiba Bhayangkara Gajah Geneng yang bertugas mengawasi bulak panjang di depannya melihat sekelompok orang dari batas perkampungan.
"Ada orang," Gajah Geneng berteriak.
Isyarat Gajah Geneng itu membangunkan mereka. Gagak Bongol dan Lembang Laut melenting bangun, demikian juga dengan para Bhayangkara lainnya. Semua perhatian kemudian tertuju ke arah yang ditunjuk oleh Gajah Geneng.
"Tampaknya mereka bukan prajurit," gumam Lembang Laut.
Gagak Bongol memerhatikan dengan saksama.
"Belum tentu," jawab Gagak Bongol, "bisa saja mereka prajurit yang menyamar."
Lembang Laut memerhatikan lebih cermat. Ada sesuatu yang terasa janggal.
"Kita masih belum memiliki barisan prajurit wanita!" berkata Lembang Laut. "Apalagi prajurit nenek-nenek. Aku yakin mataku masih awas dan belum lamur, di antara mereka ada nenek-nenek dan wanita, bahkan wanita hamil."
Gagak Bongol tidak bisa membantah apa yang dikatakan Lembang Laut. Di antara rombongan orang yang mencoba melintasi bulak panjang itu memang terdapat wanita tua, bahkan seorang wanita yang hamil tua. Kasihan wanita itu karena harus berjalan tertatih-tatih. Seorang lelaki yang amat mungkin suaminya dengan penuh kesabaran menuntun dan memberi semangat kepada wanita hamil itu.
"Mereka pengungsi," Gagak Bongol mengambil simpulan.


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keadaan kotaraja benar-benar sudah tak memberi ruang yang aman dan lega bagi para kawula sehingga mereka memutuskan untuk mencari tempat yang aman. Apa boleh buat meski harus meninggalkan kotaraja."
Gajahmada 339 Dari tempatnya berada para Bhayangkara terus mengamati rombongan orang yang mencoba melintasi bulak panjang itu, makin lama meski terasa lamban jarak mereka makin dekat.
Bagi wanita yang sedang hamil tua, perjalanan mengungsi itu sungguh sangat menyengsarakan. Para Bhayangkara yang memerhatikan dari persembunyiannya ikut merasa cemas karena membayangkan kemungkinan wanita itu melahirkan di tengah perjalanan yang ditempuhnya.
Tertatih-tatih wanita hamil itu. Dengan sabar suaminya memberi semangat untuk terus berjalan dan berjalan. Namun, perjalanan itu malah dirasa merangsang gerakan otot-otot perut. Akhirnya, wanita hamil itu berhenti. Napasnya tersengal dan keringatnya membanjiri sekujur tubuhnya.
"Aku tak kuat lagi," ucap wanita hamil itu. "Aku tidak sanggup lagi. Rasanya aku mau melahirkan."
Sang suami yang usianya masih muda itu juga terlihat gelisah.
Tampaknya suami istri itu masih terhitung temanten baru. Belum genap setahun mereka memasuki pintu gerbang rumah tangga, Yang Kuasa berkenan memberi anugerah dengan kehamilan calon jabang bayi pertama bagi keduanya. Namun sayang, bencana tengah mengguncang kotaraja yang berakibat buruk pula bagi mereka.
Suami yang tampak amat mencintai istrinya itu bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Salah seorang dari rombongan itu, seorang wanita yang berusia mendekati paruh abad, dengan pandangan tidak kalah cemas mendekati wanita hamil itu. Tangannya yang keriput mengelus rambutnya.
"Apa yang kaurasakan?" bertanya wanita tua itu.
"Perutku melilit-lilit, Mbok. Rasanya mulas sekali," wanita hamil itu menjawab.
Sebagai wanita yang telah merasakan asam garam kehidupan, wanita tua itu tahu anak perempuannya yang hamil tua sudah tiba waktunya untuk melahirkan. Kelahiran bayi memang tidak bisa direncanakan dan 340
Gajahmada datangnya bisa sewaktu-waktu, kapan pun dan di mana pun berada.
Bisa di tempat yang salah serta di waktu yang salah pula. Rombongan itu tidak bisa memaksa diri, apalagi ketika wanita hamil itu mulai mengerang.
Gagak Bongol dan Lembang Laut yang memandang dari kejauhan tidak kalah gelisah mengamati perkembangan yang terjadi. Sebagai seorang prajurit yang dibekali jiwa luhur dan selalu mengamalkan kebajikan serta mengedepankan sikap untuk menolong mereka yang membutuhkan pertolongan, Gagak Bongol segera mengambil sikap sigap.
"Kita tolong mereka," berkata Gagak Bongol. "Kita tandu mereka ke tempat ini, yang lain cepat mencari bantuan penduduk sekitar tempat ini. Cepat."
Perintah itu tidak perlu diulangi. Para Bhayangkara segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari-lari mendekati mereka yang tengah kebingungan. Rombongan orang yang bermaksud mengungsi itu kaget dan segera dibelit rasa cemas. Mereka mengira orang-orang yang keluar dari persembunyian itu bermaksud buruk.
Namun, Gagak Bongol tangkas membaca keadaan.
"Jangan takut. Kami Bhayangkara," ucap Gagak Bongol.
Dengan cekatan Gagak Bongol dan teman-temannya segera memberikan pertolongan. Wanita hamil yang mengalami kesulitan itu segera digotong beramai-ramai.
"Cepat," Lembang Laut berteriak. "Semuanya segera menuju ke balik gerumbul itu."
Untuk beberapa saat lamanya, rombongan pengungsi itu terpana kebingungan. Namun, akhirnya mereka melihat para prajurit itu tidak bermaksud buruk kepada mereka, bahkan bermaksud menolong.
Maka demikianlah, dengan sangat cekatan wanita itu mendapat pertolongan yang dibutuhkan. Bahkan, sejenak kemudian seorang dukun telah berhasil didatangkan untuk membantu persalinan yang terjadi.
Gajahmada 341 Rombongan pengungsi yang bermaksud meninggalkan kotaraja itu benar-benar merasa bersyukur memperoleh pertolongan yang tak terduga itu, lebih-lebih suami wanita hamil itu.
"Bagaimana Nyai?" bertanya Lembang Laut kepada dukun bayi.
Dukun bayi itu memandang Lembang Laut.
"Kurasa masih ada waktu," jawab dukun itu. "Menurutku, sebaiknya wanita ini dibawa ke rumahku. Tentu tidak pada tempatnya jika wanita ini harus melahirkan di tempat seperti ini."
Lembang Laut memberi isyarat. Gagak Bongol pun memberi perintah segera dibuatkan tandu untuk mengusung wanita yang akan melahirkan itu. Para laki-laki sanak kadang wanita hamil itu terpana menyaksikan sepak terjang prajurit Bhayangkara yang tidak hanya tangkas dalam olah peperangan, tetapi juga trengginas dalam menolong orang lain.
Tidak membutuhkan waktu lama dan hanya menggunakan bahan-bahan yang ada, sebuah tandu telah berhasil dibuat. Wanita hamil tua itu diletakkan di atas tandu dan diusung berama-ramai menuju rumah dukun bayi yang ternyata tidak jauh dari tempat itu.
Gagak Bongol dan Lembang Laut masih menempatkan pasukannya untuk tetap mengawasi bulak panjang. Bahkan, bagi Gagak Bongol dan teman-temannya, keterangan yang mereka peroleh dari rombongan orang-orang yang bermaksud mengungsi meninggalkan kotaraja itu sangat penting bagi mereka. Ki Santun, lelaki tertua dari rombongan itu, dengan terbata-bata menceritakan segala yang terjadi di kotaraja. Para Bhayangkara menyimak dengan cermat.
"Di kota siang ini terjadi pembantaian," Ki Santun mengawali kisahnya.
Segenap Bhayangkara kaget.
"Pembantaian apa Ki?" bertanya Lembang Laut.
Pandangan Kiai Santun yang tua itu terlihat menyimpan beban yang luar biasa.
"Karena semalam penduduk kota dijarah dan diperkosa, siang tadi penduduk melakukan pepe, menggugat para pelaku pemerkosaan keji itu agar mendapat hukuman setimpal. Tetapi, para prajurit pemberontak 342
Gajahmada memperlakukan mereka yang melakukan pepe dengan keji. Tak terhitung jumlah mereka yang mati di alun-alun."
Segenap Bhayangkara saling pandang. Berita itu mengagetkan mereka. Dalam keadaan yang tidak menentu, banyak hal yang tidak terduga terjadi tanpa mereka ketahui.
Demikianlah, Ki Santun yang adakalanya dibantu temannya yang lain bertutur dengan gamblang, lengkap dari peristiwa kelam yang menimpa Kayun dan keluarganya sampai kemudian terjadinya pepe, yang rupanya sangat tidak disenangi Ra Kuti.
Gagak Bongol manggut-manggut.
"Kami mengucapkan banyak terima kasih," kata Ki Santun mewakili lainnya. "Kami yang merasa tidak aman berada di kotaraja, memutuskan untuk mengungsi. Namun, siapa mengira perjalanan itu justru merangsang cucuku untuk segera melahirkan. Kami hanya bisa mengucapkan terima kasih atas pertolongan ini."
Gagak Bongol mengangguk. "Keadaan sedang tidak tenteram, Kiai," berkata Bongol. "Keadaan sedang kacau-balau, diacak-acak oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Keadaan yang Kiai dan rombongan alami saat ini, langsung atau tidak adalah mata rantai akibat dari ulah orang yang tidak bertanggung jawab itu."
Kiai Santun mengangguk. "Benar, Kisanak Prajurit," jawab Kiai Santun. "Kami memang merasakan hal itu. Tidak tenteram, ketakutan, dan tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi hari esok karena yang berkuasa pada saat ini sangat tidak menghargai harkat dan martabat manusia. Sebagian prajurit yang mestinya menjadi pengayom berubah menjadi tunggak kemaduh. Sampai kapan keadaan seperti ini akan berlangsung Kisanak?"
"Akan berlangsung terus jika Ra Kuti tetap berkuasa," jawab Lembang Laut.
Jawaban itu membuat wajah Kiai Santun serta rombongan yang disaput mendung menjadi makin kelam. Gagak Bongol dan Lembang Laut saling melempar tatapan.
Gajahmada 343 "Akan terus berlangsung?" bertanya Kiai Santun dengan mata redup.
Lembang Laut mengangguk. "Masalahnya apakah Kiai Santun dan segenap kawula Majapahit akan menerima pemerintahan seperti itu atau tidak?"
Ki Santun dan rombongannya manggut-manggut, sejenak kemudian mereka saling menukar pandang. Dari raut wajah mereka membayang kecemasan dan ngeri yang berkepanjangan, serta gambaran keadaan yang tidak menentu. Kiai Santun yang tua itu membuang desahnya.
"Sebenarnya, bagaimana keadaan Tuanku Sri Jayanegara?"
mendadak salah seorang dari rombongan pengungsi itu bertanya.
"Kenapa dengan Tuanku Jayanegara?" Gagak Bongol balas bertanya.
"Kami mendengar kabar yang simpang siur," Lanjut orang itu.
"Ada yang mengatakan Tuanku Sri Jayanegara terbunuh. Beberapa prajurit berkuda belum lama ini menyampaikan pengumuman itu. Tetapi, juga ada yang mengatakan Tuanku Jayanegara berhasil meloloskan diri."
Gagak Bongol tersenyum. Gagak Bongol ingin mengorek hati orang itu lebih jauh.
"Kira-kira manakah berita simpang siur itu yang bisa dipercaya Kisanak?"
Orang yang mempersoalkan Jayanegara itu diam sejenak.
"Tuanku Jayanegara berhasil meloloskan diri," jawabnya. "Di mana-mana ada pengumuman, kepada siapa pun yang bisa menunjukkan tempat persembunyian Tuanku Jayanegara akan mendapat ganjaran.
Sebaliknya, apabila berani melindungi dan menyembunyikan beliau akan mendapatkan hukuman yang berat. Bukankah itu pertanda Tuanku Jayanegara masih hidup?"
Gagak Bongol dan Lembang Laut termangu diam.
Kini makin terlihat kepanikan yang dialami Ra Kuti. Di sebuah sisi, Ra Kuti menyebar pengumuman kepada para kawula untuk tidak 344
Gajahmada memberikan perlindungan kepada Jayanegara. Di sisi yang lain Ra Kuti juga menyebar berita palsu seolah Sri Jayanegara telah terbunuh. Sebuah cara yang jitu untuk memangkas angan-angan siapa pun yang memimpikan kembalinya Jayanegara.
"Kisanak semuanya," ucap Gagak Bongol, "berita yang benar adalah Tuanku Sri Jayanegara saat ini masih hidup dan berada dalam perlindungan pasukan Bhayangkara. Ra Kuti dan kaki tangannya tak akan mampu menjangkau Tuanku Sri Jayanegara, meski mereka mampu membedah istana. Mengenai sepak terjang Ra Kuti, apa yang ia lakukan itu seperti Kisanak lihat sendiri, Ra Kuti tidak mendapat dukungan dari kawula. Bahkan, apa yang dilakukannya banyak menyakiti kawula. Oleh karena itu, kita harus yakin bahwa pada saatnya nanti Ra Kuti akan bisa dijungkirbalikkan. Kekuasan Tuanku Jayanegara akan dipulihkan."
Para pengungsi menyimak pembicaraan itu dengan saksama. Mereka merasa lega karena raja yang mereka cintai ternyata masih hidup, tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh para prajurit yang menyebar wara-wara seolah Jayanegara sudah terbunuh.
Pada saat yang demikian itulah tiba-tiba seseorang berlari. Suami muda yang istrinya hamil tua itu datang dengan napas dipacu.
"Ada apa?" bertanya Kiai Santun.
"Istriku sudah melahirkan," jawab pemuda itu. "Anakku laki-laki."
Serentak segenap senyum merekah bagai kembang mekar di musim hujan. Para pengungsi mengucap syukur karena kelahiran bayi yang hampir merepotkan itu. Gagak Bongol dan Lembang Laut bergantian mengucapkan selamat diikuti pula oleh para Bhayangkara yang lain.
"Aku sangat berutang budi kepada Kisanak para Bhayangkara,"
ucap lelaki muda itu. "Oleh karena itu, aku menandai anakku itu dengan nama Putut Bhayangkara. Aku berharap kelak ia akan menjadi laki-laki yang berguna bagi Majapahit."
Ucapan yang agak terbata-bata itu mengetuk hati para Bhayangkara.
"Dan, semoga kelak ia akan menjadi bagian dari pasukan Bhayangkara ini," ucap Lembang Laut menambah.
Gajahmada 345 Tepuk tangan para Bhayangkara berderai.
Sang waktu terus bergulir menapaki kodratnya. Matahari yang doyong ke barat tidak tercegah makin rendah. Telik sandi kaki tangan Ra Kuti yang menyusup di antara pasukan khusus Bhayangkara itu gelisah. Sejauh itu ia berusaha memecahkan teka-teki, mencoba menebak apa yang dilakukan Bekel Gajahmada, tetapi jawaban yang dibutuhkannya masih belum diperoleh juga.
"Gajahmada melepas umpan ke Krian di arah timur," telik sandi itu berpikir keras. "Tidak mungkin Gajahmada berusaha menyembunyikan Jayanegara di arah timur. Yang sangat mungkin justru mengambil arah sebaliknya, barat. Bisa juga Gajahmada membawa Jayanegara ke arah utara atau selatan, tetapi kemungkinan itu kecil dibanding ke arah barat. Ada siapa di barat. Gajahmada pasti akan menitipkan keselamatan Jayanegara pada seseorang di arah barat, siapa kira-kira?"
Telik sandi itu terus mengacak-acak berbagai macam kemungkinan.
Makin larut telik sandi itu mencoba menghitung, rasa sesalnya juga makin menjadi. Ia menyesal karena merasa amat bodoh memakan umpan yang diberikan Gajahmada. Kebodohan itu agaknya berbuntut panjang, Ra Kuti telah mengerahkan pasukan dalam jumlah cukup banyak ke arah yang salah. Bisa jadi, Ra Kuti masuk perangkap lain yang diumpankan Gajahmada.
Segelisah macam apa pun, telik sandi itu berusaha menghapus berbagai kesan yang mungkin mencuat di permukaan wajahnya.
Akhirnya senja mulai membayang. Gagak Bongol memberi saran kepada para pengungsi untuk sementara beristirahat di pedukuhan itu.
Pada kenyataannya mereka tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan meninggalkan salah satu dari anggota keluarga mereka yang baru saja melahirkan.
Gagak Bongol dan Lembang Laut mengumpulkan teman-temannya.
Telik sandi kaki tangan Ra Kuti yang berada di antara mereka berdebar-debar, membayangkan perintah apa yang akan diterima dari Gajahmada melalui Gagak Bongol dan Lembang Laut.
346 Gajahmada "Jika tidak ada perintah menuju Krian," mata-mata Ra Kuti berbicara dalam hati, "bisa aku pastikan pertemuan di Krian itu hanya umpan pepesan kosong yang tak ada isinya sama sekali. Amat pintar Gajahmada."
Gagak Bongol menebar pandangan matanya. Merayapi satu per satu wajah teman-temannya. Dalam pertempuran sangat berdarah yang berkecamuk di istana, semua Bhayangkara masih utuh. Jumlah yang ada hanya berkurang satu oleh kematian Panji Saprang di lorong bawah tanah yang karena perbuatannya amat mencurigakan, dengan terpaksa Gajahmada membunuhnya. Empat orang Bhayangkara lain, Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, dan Jayabaya mendapat tugas dari Bekel Gajahmada untuk mengamankan para sekar kedaton, Breh Kahuripan dan Breh Daha, mengungsi bersama-sama para ratu.
Jika ada seorang saja pengkhianat di antara empat orang itu maka sekar kedaton benar-benar berada dalam bahaya.
Sangat sulit bagi Gagak Bongol dan Lembang Laut menebak, siapa pengkhianat yang berada di antara mereka itu. Singa Parepen yang suka menyendiri cenderung pendiam, sangat tidak mungkin mau berkhianat.
Riung Samudra memiliki sifat yang nyaris sama, agak pendiam, namun berjiwa lurus, suka menolong sesama. Sulit membayangkan Bhayangkara Riung Samudra mau berkhianat menjadi kaki tangan Ra Kuti. Kemudian, Gajah Geneng sedikit berangasan. Gagak Bongol mengenal dengan baik sosok macam apa Gajah Geneng. Tidak mungkin Gajah Geneng mau menjadi kaki tangan Ra Kuti. Masih ada lagi Gajah Pradamba atau Enggon. Meskipun usianya masih muda, dia memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi. Juga kecil kemungkinan Gajah Pradamba mau mengkhianati teman-temannya sendiri.
Risang Panjer Lawang yang ringan tangan, dari sepak terjangnya selama menjadi bagian dari Bhayangkara, sudah banyak menunjukkan bukti kesetiaan dan pengabdiannya yang luar biasa bagi negara.
Masih ada lagi Pradhabasu, Macan Liwung, dan Mahisa Kingkin, juga kecil kemungkinan sosok-sosok ini mau menjadi kaki tangan Gajahmada 347
petualang pemberontak, yang dengan kasar mengacak-acak tatanan kehidupan yang berlaku di Majapahit. Amat sulit mencari mereka, tetapi jelas ada.
"Senja telah tiba," Gagak Bongol membuka pembicaraan, "dan malam hari adalah wilayah kekuasaan kita. Kita persiapkan permainan yang lebih mengasyikkan, kita bikin Ra Kuti pusing tujuh keliling."
Para Bhayangkara memerhatikan Gagak Bongol.
Gagak Bongol melanjutkan.
"Kita akan menyusup ke istana. Ada banyak sasaran yang bisa kita kail. Jumlah Winehsuka hanya enam. Kita semua tahu siapa mereka.
Mereka tidak mungkin bisa melindungi diri terus-menerus, suatu saat pasti lengah juga. Saat itulah anak panah kita harus berbicara."
Beberapa Bhayangkara yang lain saling pandang. Rupanya, ada yang kurang sependapat terhadap gagasan itu.
"Bukankah kita harus melaksanakan perintah Kakang Bekel Gajahmada?" bertanya Macan Liwung.
Pertanyaan Macan Liwung itu ternyata mewakili teman-temannya.
Beberapa yang lain melangkah maju.
"Ya," sahut Gajah Geneng. "Bukankah Kakang Gajahmada memberi perintah kepada kita untuk menyusul ke Krian?"
Gagak Bongol tersenyum. Dengan cermat Lembang Laut mengamati wajah teman-temannya. Telik sandi kaki tangan Ra Kuti justru diam. Ia tak merasa perlu ikut-ikutan mempersoalkan, mengapa tidak segera diambil keputusan pergi ke Krian. Justru dengan cerdik telik sandi itu memerhatikan perdebatan yang terjadi. Mata-mata itu bahkan menyimpulkan bahwa pertemuan di Krian sekadar umpan untuk menyesatkannya.
"Kita akan ke Krian," jawab Gagak Bongol tegas. "Akan tetapi, aku mempunyai gagasan, sebelum ke Krian kita harus membawa oleh-oleh untuk Kakang Bekel Gajahmada, setidak-tidaknya berupa 348
Gajahmada keterangan keadaan terakhir kotaraja malam ini. Kita menyusup ke kotaraja dan menunjukkan kepada Ra Kuti bahwa kita masih ada.
Bhayangkara masih ada dan akan tetap ada. Siang hari boleh saja Ra Kuti mengacak-acak keadaan, sebaliknya kita harus tunjukkan, malam hari bukan lagi wilayah kekuasaannya, tetapi kekuasaan kita."
Gagak Bongol menebar pandangan, mencari jejak kesan.
"Apa ada yang tak sependapat denganku?" bertanya Gagak Bongol.
Beberapa saat semua diam, seolah memberi kesempatan kepada diri masing-masing untuk mencerna tawaran itu. Mahisa Kingkin mengacungkan tangannya. Mahisa Kingkin yang meminta perhatian itu melangkah mendekat dan meminta perhatian yang lain.
"Aku sependapat dengan gagasan Kakang Gagak Bongol," kata Mahisa Kingkin. "Akan tetapi, aku mencemaskan hal yang lain, keselamatan Kakang Bekel Gajahmada dan Sri Baginda. Sebelum ini kita menyaksikan pergerakan pasukan yang mencurigakan. Pasukan itu dikirim diam-diam dan disamarkan. Jumlah mereka cukup banyak dan bergerak ke arah timur. Bagaimana kalau mereka ke Krian?"
Gagak Bongol dan Lembang Laut saling melirik. Bersamaan keduanya mencuatkan alisnya. Beberapa Bhayangkara yang lain membenarkan pendapat itu.
"Kurasa benar apa yang dikatakan Mahisa Kingkin," Pradhabasu menambah. "Kita akan disalahkan apabila kita tidak menuju tempat yang telah disepakati bersama Kakang Bekel Gajahmada. Lebih-lebih jika benar terjadi, Kakang Bekel Gajahmada dan Sri Baginda berada dalam bahaya."
Semua mata memerhatikan wajah Gagak Bongol. Sebaliknya, Gagak Bongol dan Lembang Laut harus mengakui, sangat sulit menemukan kesan tak wajar dari wajah teman-temannya. Bisa saja Mahisa Kingkin mengutarakan pendapatnya atas dasar kepentingannya, seandainya ia benar mata-mata itu. Akan tetapi, sebaliknya mungkin pula Mahisa Kingkin mengutarakan pendapat itu benar-benar dari dasar hati nuraninya.
Gajahmada 349 "Jadi, kalian berpendapat gerakan para prajurit kaki tangan Ra Kuti yang diselubungi penyamaran itu sangat mungkin menuju Krian, begitu?"
desak Gagak Bongol. "Aku tak tahu apakah kecurigaan itu benar atau tidak," Mahisa Kingkin menjawab. "Akan tetapi, apa salahnya jika kita berjaga-jaga terhadap kemungkinan paling buruk. Kita berharap, moga-moga gerakan pasukan itu tidak tertuju ke Krian. Namun, bagaimana jika dugaan itu salah. Padahal, kita mengetahui Kakang Bekel dan Tuanku Sri Jayanegara sedang menunggu kita di sana."
Gagak Bongol termangu. Gagak Bongol kemudian merasa seperti berada di simpang jalan yang merepotkan. Haruskah Gagak Bongol membuka cerita yang sebenarnya bahwa Bekel Gajahmada dan Baginda Jayanegara tidak berada di Krian.
Melalui tatapan matanya Gagak Bongol meminta pertimbangan kepada Lembang Laut. Lembang Laut menggeleng memberi isyarat untuk tidak buru-buru membuka cerita itu. Lembang Laut berharap masih ada kemungkinan untuk memancing telik sandi itu agar muncul ke permukaan. Namun, Lembang Laut dan Gagak Bongol mengalami kesulitan mencari alasan yang sesuai. Lembang Laut ingin melihat ada Bhayangkara yang ngotot memaksakan kehendaknya menuju Krian.
Siapa pun orangnya, jelas ia patut dicurigai.
"Aku mengerti dengan alasan itu," Gagak Bongol bicara. "Namun, aku yakin Kakang Bekel Gajahmada tidak kurang akal untuk melindungi Baginda. Biarpun pasukan segelar sepapan dikerahkan ke Krian, kita tak perlu cemas. Aku yang mewakili Kakang Bekel tetap pada keputusanku.
Kita menyusup ke kotaraja sesuai rencanaku. Kita akan memberi Rakrian Kuti pelajaran menghargai harkat dan martabat manusia."
Tidak biasanya Gagak Bongol berbicara tanpa memberikan kesempatan untuk tawar-menawar. Justru karena itu, para Bhayangkara lainnya merasa heran. Sebagian menerima saja apa yang dikehendaki Gagak Bongol, tetapi sebagian yang lain sulit menerima gagasan yang dipaksakan itu.
350 Gajahmada "Aneh sekali," suara Mahisa Kingkin bergetar. "Tak merasakah kau, dengan keputusan yang kauambil itu kau sedang berjudi" Kaupertaruhkan keselamatan Tuanku Jayanegara dengan cara seperti itu" Bagaimana kaubisa memastikan Kakang Bekel pasti mampu melindungi Tuanku Jayanegara" Kakang Bekel dan Sri Baginda saat ini berada di Krian tengah menunggu kita. Sementara, kita melihat ada gerakan prajurit yang mencurigakan menuju Krian. Lalu, bagaimana kaubisa beranggapan Baginda dan Kakang Bekel pasti dalam keadaan aman?"
Mahisa Kingkin menggeleng-gelengkan kepala. Dia sulit menerima dan mengerti keputusan Gagak Bongol yang dinilainya bodoh.
Gagak Bongol dan Lembang Laut terdiam. Mereka menemukan sebuah kenyataan, Mahisa Kingkin yang ternyata sangat menggebu-gebu memaksakan kehendak segera bergerak ke Krian. Gagak Bongol berdesir oleh pertanyaan, Mahisa Kingkinkah jawaban yang sedang dicari itu"
Bukan pekerjaan gampang bagi Gagak Bongol dan Lembang Laut untuk mengambil simpulan yang benar. Padahal, mereka merasa yakin Mahisa Kingkin bukan orang yang mereka cari. Mahisa Kingkin benar-benar sedang berusaha menyuarakan kata hatinya.
Tokoh Besar 3 Tokoh Besar Karya Khu Lung Pantang Berdendam 1
^