Pencarian

Hamukti Palapa 1

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 1


Gajah Mada Hamukti Palapa Langit Kresna Hariadi TIGA SERANGKAI SOLO Gajah Mada Hamukti Palapa Langit Kresna Hariadi Editor: Sukini Desain sampul: Hapsoro Ardianto & Angga Indrawan
Penata letak isi: Nugroho Dwisantoso
Cetakan pertama: 2006 Penerbit Tiga Serangkai Jln. Dr. Supomo 23 Solo Tel. 62-271-714344, Fax. 62-271-713607
http:// www.tigaserangkai.co.id
e-mail: tspm@tigaserangkai.co.id
Anggota IKAPI Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Hariadi, Langit Kresna Gajah Mada, Hamukti Palapa/Langit Kresna Hariadi" Cet. I " Solo
Tiga Serangkai, 2006 x, 694 hlm.; 21 cm ISBN 979"33"0316"6
1. Fiksi I. Judul ?Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
All Rights Reserved Dicetak oleh PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Kata Pengantar Penerbit E ntah ilham dari mana yang merasuki jiwa dan pikiran Gajah
Mada hingga ia begitu terobsesi untuk mengikat serakan pulau yang
sedemikian banyak dan luas dalam wadah Nusantara di bawah panji-
panji Majapahit. Entah keteguhan macam apa yang dimiliki Gajah Mada hingga
tanpa keraguan sedikit pun ia berani bersumpah untuk meninggalkan
segala kesenangan hidup dan menjalani penderitaan tanpa ujung sampai
sumpahnya mewujud dalam kebesaran Majapahit.
Bahkan, Indonesia berutang pada sumpah sang Mahapatih ini
dengan mewarisi keluasan wilayah yang dulu berhasil dipersatukannya di
dalam negara Majapahit. Untaian zamrud khatulistiwa yang sekarang kita
banggakan sebagai Indonesia adalah jejak keberhasilan yang ditinggalkan
Gajah Mada. Sumpah Palapa begitu magis dan mencengangkan. Betapa tidak,
ketika ditelisik perjalanan hidupnya, Mahapatih Amangkubumi Gajah
Mada ternyata awalnya bukan siapa-siapa dan mengawali kariernya
dari tataran paling bawah. Namun, loyalitas dan totalitas pengabdian
pada negara yang bermuara pada keberaniannya mengucapkan sebuah
sumpah sekaligus mengejawantahkan sebuah gagasan yang cerdas,
progresif, dan revolusioner mengantarkannya meraih puncak pencapaian
politiknya. Gajah Mada, Hamukti Palapa, inilah kisah yang menggetarkan.
Ambisi kekuasaan bertaut dengan kisah masa silam, teka-teki, dan misteri
vi hilangnya benda-benda pusaka istana ( cihna nagara, songsong Udan
Riwis, dan mahkota yang dimitoskan sebagai sarang wahyu kedaton)
menjadikan kisah ini begitu hidup, naik turun, dan tentu saja memikat.
Selamat bertualang di padang imajinasi dalam bingkai kesejarahan.
Tiga Serangkai vii Kata Pengantar Penulis L uar biasa gangguan yang saya hadapi dalam menuntaskan tulisan
saya ini"dua kali diterjang virus"yang inilah untuk pertama kalinya,
saya berubah pikiran dari semula sering merasa kagum pada kemampuan
para hacker dalam menciptakan virus berubah menjadi jengkel luar biasa.
Tentulah karena sedikit retak dinding kepala saya ketika kehilangan data
yang nyaris 300 halaman. Semangat menulis ulang, terutama terkait
dengan kesegaran gagasan tentu tidak sedahsyat yang pertama.
Namun, alhamdulillah, meski dengan jalan terseok-seok, telah
berhasil saya tuntaskan proyek saya yang satu ini, yang antara lain
terdorong oleh banyaknya saran yang saya terima untuk menulis kisah
lanjutan Gajah Mada melalui berbicara secara langsung atau sms/
telepon dan internet. Hal-hal yang demikian itulah yang membantu
membangkitkan semangat saya menulis ulang. Seseorang dari Denpasar
menelepon ke penerbit, menanyakan sekaligus minta dikabari kapan
buku Gajah Mada berikutnya terbit. Pun pasangan suami istri dari
Ponorogo, meninggalkan pesan yang sama. Tak kurang di internet, saya
menemukan banyak pertanyaan serupa. Sungguh saya tak menyangka
opini yang muncul di jalur maya itu begitu riuhnya, seperti lalu lintas.
Lebih-lebih, hal itu telah difasilitasi oleh seseorang bernama Jay Julian,
pemilik sebuah blog yang menyediakan ruang khusus untuk pemerhati
buku serial Gajah Mada, tulisan saya.
Untuk itu, dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima
kasih kepada Saudara Jay Julian, yang telah berkenan menerima
kunjungan saya. Jadilah pertemuan di kafe Gampoeng Aceh, di bilangan
viii Dago, Bandung, itu menjadi sebuah kenangan yang sulit dilupakan. Jay
Julian ternyata tidak segemuk gambarnya. Terima kasih saya sampaikan
untuk semua pihak yang mendiskusikan buku saya lewat blog tersebut,
yang tidak bisa saya sebut satu per satu. Salah seorang di antaranya adalah
Bapak Dr. Drs. Mega Teguh Budiarto. Kepada beliau, saya sampaikan
terima kasih atas apresiasinya.
Tak kurang saya merasa sangat terkejut dan tersanjung mendapat
apresiasi dari Bapak Anand Krishna, tokoh lintas agama, pimpinan
gerakan National Integration Movement (NIM) dan Yayasan Anand
Asram yang sampai-sampai menugasi enam orang anak buahnya
untuk datang ke rumah saya. Kontak ini berlanjut dalam sebuah acara
temu kangen di Solo. Disaksikan oleh para tamu yang hadir, saya diberi
kesempatan memeluk tubuhnya yang tinggi besar. Ucapan beliau yang tidak
akan saya lupakan adalah, "Pak Langit, saya penggemar berat Anda."
Ucapan beliau itu menyebabkan mulut saya terbungkam. Padahal,
kalau saya cukup tangkas, saya seharusnya menjawab, "Sama, Pak. Saya
juga penggemar berat badan Anda." Belakangan saya sedikit bingung.
Entah oleh pertimbangan apa, Bapak Anand Krishna menjadikan buku-
buku serial Gajah Mada menjadi bacaan wajib keluarga besar NIM.
Apresiasi yang diberikan dalam diskusi secara langsung saya terima
pula dari Bapak Mayjen Purnawirawan Susanto Darus. Ucapan terima
kasih layak saya sampaikan karena beliau berkenan menyumbangkan
kata pengantarnya untuk buku Gajah Mada, Hamukti Palapa. Sumbang
sarannya juga akan mewarnai buku lanjutannya, yaitu kisah Perang
Bubat. Ini merupakan sesi yang sangat menarik karena dari peristiwa
terbunuhnya Prabu Maharaja, Raja Sunda-Galuh, dan anak gadisnya,
Dyah Pitaloka Citrasemi, menjadi ganjalan hubungan klasik antara etnis
Sunda dan Jawa. Tentu saya welcome pada semua kritik, caci maki, dan masukan dalam
bentuk apa pun, yang dapat dialamatkan ke langit_kresna_hariadi@yahoo.
com, langitkresnahariadi@yahoo.co.id, dan de_manyul@yahoo.co.id
Penulis ix Inspirasi dari Abad Tiga Belas
S ejarah sebuah bangsa adalah sebagian dari identitas bangsa
tersebut. Bangsa yang hidup jauh setelahnya mengenangnya sebagai
sebuah kebanggaan. Namun, bisa pula menganggapnya sebagai mimpi
buruk. Perang Dunia II yang terjadi belum genap seabad yang lalu
meninggalkan trauma berkepanjangan bagi para korban yang masih
menyimpan kenangannya. Andaikata sejarah bisa diulang, barangkali
orang Jerman tidak ingin ada wajah Hitler dalam catatan sejarah
bangsanya, sebagaimana orang Jepang menempatkan dua buah bom
atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki sebagai mimpi
buruk. Selebihnya, jika waktu terus berjalan menapaki tahun ke tahun,
sejarah akan menempatkan diri di bingkai kenangan dan nostalgia.
Boleh jadi, lima ratus atau seribu tahun yang akan datang, apa yang
terjadi sekarang, lakon dan pemerannya, akan terhapus karena tidak
meninggalkan catatan yang bisa dipelajari di zaman yang akan datang.
Mempelajari sejarah adalah hal yang sangat penting. Itu tidak ubahnya
seseorang yang dihantui rasa penasaran ingin mengetahui dari mana asal-
usulnya. Bagi sebuah bangsa yang besar sebagaimana Indonesia sekarang,
sungguh mengerikan jika tidak memiliki catatan mengenai asal-usulnya ke
waktu mundur hingga 2000 tahun yang lalu. Andaikata tidak ada catatan
yang ditulis oleh Prapanca dan data penunjang yang lain, boleh diyakini,
abad ke-13 boleh jadi akan menjadi blank area. Z aman itu akan menjadi
wilayah yang sulit diraba, terjadi peristiwa apa saja.
Kebesaran Majapahit dan apa yang dikerjakan Mahapatih
Amangkubumi Gajah Mada di sepanjang pengabdiannya adalah hal yang
x luar biasa untuk dikenang dan menjadi sumber semangat yang tidak ada
habisnya. Membayangkan abad tiga belas sama halnya membayangkan
suatu masa di mana teknologi tidak secanggih sekarang. Untuk menempuh
jarak dari ibu kota Majapahit di Mojokerto menuju Bali, dibutuhkan waktu
berhari-hari dengan menggunakan kuda atau perahu. Namun, di zaman
itu, ada seseorang yang mampu mempersatukan wilayah Nusantara yang
demikian luas, yang luasnya sama dengan Indonesia sekarang.
Sejarah kebesaran Majapahit pada dasarnya identik dengan sepak terjang
Mahapatih Gajah Mada, yang ia mulai sejak dikumandangkannya Sumpah
Hamukti Palapa. Dari sumpah yang ketika dikumandangkan dilecehkan
oleh beberapa pejabat Majapahit, Gajah Mada bekerja keras membangun
kekuatan prajurit, terutama armada angkatan laut. Negara Majapahit pun
kemudian berubah menjadi negara yang besar dan berwibawa. Armada
angkatan lautnya yang terus berpatroli mengelilingi wilayah kedaulatannya,
menyebabkan negara Tartar harus berpikir seribu kali sebelum mencoba
melebarkan wilayah kekuasaan mereka ke Nusantara.
Indonesia adalah tiruan nyata dari kebesaran Majapahit zaman itu,
mewarisi luas wilayahnya, juga mewarisi semangatnya. Mahapatih Gajah
Mada membutuhkan kerja keras dan semangat yang berkobar untuk
membangun Majapahit. Hal yang sama juga terjadi sekarang. Ke depan,
Indonesia banyak menghadapi tantangan, yang semua itu hanya bisa
dijawab dengan kerja keras tanpa mengenal kata lelah.
Membaca buku-buku serial Gajah Mada, setidaknya saya merasa
terbantu dalam mengenali urutan sejarah yang terjadi zaman itu. Sebagai
buku fiksi, geliat cerita novel Gajah Mada menarik dan selalu menumbuhkan
rasa penasaran. Penulis banyak sekali memasukkan cara-cara dan strategi
perang, misalnya bagaimana persiapan perang dilaksanakan, bagaimana
sebuah infiltrasi digelar, bagaimana serangan dadakan dilakukan, dan
bagaimana peliknya operasi dan kegiatan inteligen dilaksanakan.
Menurut saya, buku ini akan menggugah semangat kewiraan.
Mayjen (Purn) Susanto Darus
1 S epuluh bulan sudah waktu berlalu dari hujan terakhir, menjadikan
udara demikian kering dan sengsara. Itu berlangsung sejak Kasanga,1
terus merayap ke bulan Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karwa, melewati bulan Katelu. Namun, ketika bulan Kapat dan Kalima langit masih saja bersih tanpa selembar pun mendung, keadaan yang demikian
sungguh sangat mencemaskan. Manusia, binatang, dan pepohonan
menangis dan semua berharap segala penderitaan itu akan segera
berakhir, seperti jalan panjang ke depan selalu menjanjikan ujung meski
sebenarnya tanpa ujung. Daun kering menangis, daun beluntas meranggas. Di antara sesama
pepohonan tak lagi saling menyapa. Sepuluh bulan yang lalu, hujan
memang turun menggila di mana-mana pada bulan Kanem, Kapitu, dan
Kawwalu, menyebabkan banjir terjadi di banyak tempat. Ada saatnya
hujan demikian dirindukan, tetapi ada waktunya pula hujan yang turun
dengan jumlah air kebablasan berbuah bencana mengerikan. Hujan ada
saatnya menjadi anugerah, tetapi hujan berkesanggupan pula menjadi
bencana. Seperti api, kecil sahabat baik, jika terlalu besar namanya
bencana. Hujan menyebabkan longsor yang mengubur rumah-rumah di
lereng bukit. Hujan pula yang menenggelamkan rumah-rumah penduduk
1 Kasanga, Jawa Kuno, nama penanggalan sebagaimana dianut kaum petani untuk bulan Maret, berturut-turut selanjutnya Kasapuluh=April, Hapit Lemah=Mei, Hapit Kayu=Juni, Kasa=Juli, Karwa=Agustus, Katelu atau Katiga=September, Kapat=Oktober, Kalima=November, Kanem=Desember, Kapitu=Januari, Kawwalu=Februari
2 Gajah Mada dan memberangus nasib mereka beberapa bulan ke depan karena gagal
panen. Apalagi, jika hujan itu masih dibarengi badai dan puting beliung,
rumah sekukuh apa pun ambruk dilibas kekuatannya yang sungguh
mengerikan dan dahsyat. Puting beliung yang mampu memilin udara
dan melibas benda apa pun, rumah diterjang rumah pun berantakan,
gajah diterjang gajah pun terlempar. Apalagi, yang hanya kecil-kecil,
seperti semut, lalat, dan debu.
Namun, yang terjadi kini justru sebaliknya. Sungai-sungai tak
berair. Sumur dikeduk makin dalam dan makin dalam. Ketika air sangat
dibutuhkan dan masih terlihat mengalir di Kali Brantas, banyak orang
menggagas bagaimana cara mengangkat sisa air itu naik ke permukaan.
Gagasan yang tetap sebatas gagasan karena mustahil diwujudkan.
Membendung Kali Brantas dan mengangkat airnya sungguh gagasan
gila kecuali jika pemilik gagasan itu adalah raja yang punya kewenangan
menjatuhkan perintah kepada para kawula tanpa terkecuali untuk bekerja
bahu-membahu membendung sungai itu, seperti dulu pernah dilakukan
oleh Prabu Erlangga. Air memang masih mengalir di Kali Brantas, tetapi hanya sedikit dan
dangkal. Sia-sia dan sayang karena air itu terbuang ke laut. Andai saja air
itu bisa dinaikkan untuk dimanfaatkan membasahi sawah maka tanaman
yang meranggas akan menghijau kembali. Sawah-sawah akan kembali
menghampar bak permadani dan penderitaan karena kemarau panjang
bisa sedikit dikurangi. Setidaknya, berbagai tanaman akan terbebas dari
sesak napas yang membelit.
Kemarau tak hanya meranggas di kampung-kampung pedukuhan,
di sawah-sawah, dan pekarangan, bahkan hutan demikian kering.
Penghuni hutan bingung, tidak tahu bagaimana menyikapi keadaan
yang luar biasa itu. Menjangan yang butuh air, tak tahu ke mana bisa
mendapatkan air untuk minum. Rasa haus memancing menjangan
mendekati belumbang yang masih bersisa, tetapi belumbang itu
menyembunyikan bencana. Belumbang yang airnya mulai surut yang selalu dikunjunginya
menyembunyikan bahaya karena di sana, harimau yang menunggu
Hamukti Palapa 3 bersembunyi di balik semak siap menerkam jika menjangan itu berada dalam
keadaan lena. Dalam pada itu, nun jauh tinggi di langit, helang mider anambayang
saha tangis kapanasan amalar dres ing jawuh.2 Ke arah mana pun sejauh
mata memandang, langit yang bersih justru menggelisahkan hatinya. Jika
burung kalangkyang 3 bisa demikian menderita, lalu bagaimana dengan
burung cataka, 4 yang untuk mengobati rasa hausnya hanya dengan
mendambakan tetes-tetes air hujan karena jika turun ke belumbang,
ia diusir oleh burung-burung kecil yang bersikap galak dan amat tidak
bersahabat pada dirinya. Tak hanya manusia yang berebut air. Karena rupanya duka para
syena 5 masih belum seberapa dibanding duka burung cucur 6 dan tadah asih.7
Bagi pasangan ini, kesedihan karena belum juga turun hujan masih harus
ditambah dengan rembulan yang menyusut. Masih harus menunggu lama
untuk datangnya purnama sebagai penghibur gundah hati. Cucur tadah
asih swaranya kawelas harep anangis i pangiwang ing wulan.8
Kesulitan pun menggeliat membelit kaki siapa saja. Antara ternak


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan manusia saling berbagi untuk minum, bukan untuk mandi. Bahan
makanan jauh berkurang, menjadi penyebab harga membubung. Maka
beras menjadi jenis makanan yang mewah. Orang lebih suka menjual
beras yang dimiliki untuk mendapatkan jagung yang lebih berlimpah
atau gaplek yang lebih mengenyangkan perut, setidaknya untuk bertahan
sampai musim hujan tiba. 2 Helang mider anambayang saha tangis kapanasan amalar dres ing jawuh, Jawa Kuno, burung helang berputar-putar, menangis~ia menderita karena hawa panas dan mendambakan turunnya hujan lebat~ kalimat tersebut dikutip dari Samanasantaka 7.8.
3 Kalangkyang, Jawa Kuno, burung elang
4 Cataka, Jawa Kuno, Cucculus melanoleucus
5 Syena, Sanskerta, dalam adiparwa, kata helang dipakai sebagai sinonim kata Sanskerta syena atau rajawali
6 Cucur, Sanskerta, jenis jantan dari burung tadah asih
7 Tadah asih, Sanskerta, sekarang disebut dengan nama burung kedasih (Cucculus flavus) 8 Cucur tadah asih swaranya kawelas harep anangis i pangiwang ing wulan, Sanskerta, cucur, dan tadah asih suaranya memelas menangisi susutnya rembulan, kalimat tersebut dikutip dari Samanasantaka 136.2.
4 Gajah Mada Bambu muda pun menjadi pengganjal perut sementara. Soal ada
yang keracunan, itu hanya nasib. Beberapa orang mati karena keracunan
gaplek memang sering terjadi. Jenis pohung pandesi 9 memang sering
meminta korban karena kandungan racunnya yang pekat. Padahal,
jika pohung pandesi dan yang bukan diletakkan berdampingan, orang
yang tidak awas akan kesulitan membedakan antara keduanya. Bahkan,
dalam keadaan lapar yang tidak tertahan, orang tidak peduli pada racun.
Kematian, bahkan mungkin lebih baik daripada penderitaan yang
berkepanjangan. Langit demikian bersih sepanjang hari. Tidak terlihat selembar pun
mendung yang dirindukan. Debu mudah mengepul ketika ada kuda
melintas. Pemilik kuda yang tinggal jauh dari Kali Brantas pasti akan
mengalami kesulitan mencarikan rumput. Di sepanjang bantaran sungai,
rumput masih menghijau, tetapi para pemilik kuda atau penyabit rumput
yang menjual jasa terlihat cemas membayangkan ke depan, rumput pun
akan mengering. Karena hanya tempat itu yang masih menyisakan makanan ternak,
sepanjang pagi sampai petang banyak sekali orang yang mencari rumput.
Di antaranya adalah penyabit rumput yang mencari uang dengan cara
itu. Bagi orang-orang kaya yang memiliki ternak dalam jumlah banyak
juga membutuhkan rumput yang banyak pula sehingga jasa pencari dan
penjual rumput itu sangat membantu mereka.
Kalau rumput itu pun habis, para pemilik kuda, sapi, dan kerbau,
tidak tahu lagi bagaimana bisa memberi kebutuhan makan binatang-
binatang itu. Amat mungkin sapi atau kerbau terpaksa digiring ke jagal
mumpung masih berdaging dan bisa dijual eceran.
"Kemarau kali ini terasa panjang sekali. Kapan, ya, hujan turun?"
keluh seorang perempuan. Yang mendengar keluhan itu seorang lelaki tetangganya. Orang
itu tersenyum. Tentu saja ia memiliki kerinduan sama dengan yang
dikeluhkan tetangganya itu.
9 Pohung pandesi, jenis ketela pohon yang mengandung racun sianida
Hamukti Palapa 5 "Keluhanmu itu seperti kau seorang istri yang sedang merindukan
kepulangan suami." Perempuan itu tidak merasa tersindir atau tak merasakan makna apa
pun di balik kalimat tetangganya yang bertubuh kekar itu. Belakangan
alisnya agak mencuat, senyum yang merekah terasa jengah. Perempuan
itu kemudian melotot. "Aku merindukan hujan, bukan merindukan suami. Bagaimana
merindukan suami kalau belum punya. Mbok kamu jadi suamiku!
Lamaren 10 aku!" jawabnya.
Laki-laki itu membekap mulutnya. Tiba-tiba saja guyonan itu masuk
ke benaknya. Tawanya langsung lenyap entah ke mana.
"Aku melamarmu" Apa kamu mau jadi istriku?"
Memperoleh pertanyaan yang dilontarkan dengan bersungguh-
sungguh itu membuat perempuan itu sedikit kaget, tetapi sejenak
kemudian tawanya yang mendadak melebar menyadarkan laki-laki di
sebelahnya untuk tidak berangan-angan terlalu jauh. Meski perempuan
itu belum bersuami, bukan berarti akan menjadikannya sebagai pilihan
terakhir. Menilik wajahnya yang sebenarnya cukup cantik, sulit dipahami
mengapa sampai di usianya sekarang, ia masih belum bertemu dengan
jodohnya. Mungkin karena mimpinya terlalu muluk, menyebabkan jodoh
sulit mendekat. Perempuan itu berangan-angan bersuami seorang prajurit
dan kalau bisa suaminya adalah seorang pasangguhan.11
Perempuan itu mengedarkan pandangan matanya dari ujung ke ujung
langit, tetapi warna biru kali ini adalah warna yang ia benci. Ternyata
memang ada saatnya warna gelap dan hitam justru dikangeni.
Seorang lelaki bernama Haryo Mendung pernah bingung ketika
ditanya mengapa orang tuanya memberinya nama Mendung. Mendung
10 Lamaren, Jawa, pinanglah
11 Pasangguhan, Jawa Kuno, kata ini sudah tidak ketahuan jejak maknanya, tetapi diduga merupakan jabatan yang amat tinggi yang bukan berlatar prestasi di pemerintahan, tetapi justru prestasi di bidang keprajuritan. Diduga jabatan itu diperoleh karena keberanian seseorang di medan perang.
6 Gajah Mada itu berwarna hitam lambang kegelapan. Tidak ada makna apa pun yang
bisa dibanggakan dari nama Haryo Mendung. Dalam keadaan kemarau
yang terjadi seperti kali ini, terbukti mendung memang dirindukan
melebihi merindukan kekasih hati.
Haryo Mendung sedang berada di tengah sawah ketika tetangganya
menggoda. "Ayo, Mendung, segera turun hujan."
Haryo Mendung berbalik dan segera memelorotkan celana yang
dikenakan. Tanpa sungkan, Haryo Mendung mengocori sawahnya dengan
kencing, yang itu pun tidak deras, jumlah airnya jauh dari yang dibutuhkan
kecuali jika orang senegara Majapahit dari ujung Jawa belahan timur
sampai ke ujung Jawa bagian barat dikumpulkan untuk kencing bersama-
sama, ditanggung sawahnya sudah bisa dibajak dan ditanami padi.
Orang yang berada tepat di sebelahnya tertawa terkekeh. Perbuatan
itu ditirunya. " Jopa japu tai asu, tak uyuhi sawahku muga-muga udane teka,"12
ucapnya. Kemarau panjang dan sangat kering kali ini menjadi keprihatinan
siapa pun. Untung keadaan masih belum memburuk. Lumbung-lumbung
kerajaan yang dibangun di beberapa tempat masih penuh. Bahan
makanan yang beredar di pasar masih banyak.
Menghadapi keadaan yang demikian, kerajaan telah siap siaga
menyalurkan bantuan. Pedati dan dokar disiapkan, pintu lumbung pun
dibuka. Pengendalian kegiatan ini dipimpin langsung oleh Prabu Putri
yang muda, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, dan disalurkan perintah
itu melalui Kementerian Katrini,13 didukung penuh oleh Sang Panca
12 Jopa japu tai asu, tak uyuhi sawahku muga-muga udane teka, Jawa, jopa japu tahi anjing, aku kencingi sawahku semoga hujannya turun.
13 Kementerian Katrini atau para mahamenteri katrini terdiri atas rakrian menteri hino, rakrian menteri sirikan, dan rakrian menteri halu. Jabatan-jabatan ini sudah ada sejak zaman Mataram lama dan masih berlanjut ke zaman Majapahit. Catatan atas pejabat-pejabat yang menduduki posisi tersebut, antara lain Negarakertagama pupuh X, Piagam Sidateka yang dikeluarkan Sri Jayanegara 1323, Piagam Berumbung, dan piagam O.J.O. LXXXIV yang dikeluarkan oleh Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani.
Hamukti Palapa 7 Ri Wilwatikta14 yang berada di bawah pengendalian Mahapatih Arya
Tadah. Namun, diselaraskan kegiatan yang dilakukan Sang Panca Ri
Wilwatikta itu di bawah kendali Gajah Mada yang memegang mandat
dari Arya Tadah. Di beberapa tempat yang dilanda paceklik, bantuan segera disalurkan.
Untuk pemantauan keadaan itu, ratusan prajurit dan tandha 15 disebar
ke segala penjuru. Kekeringan luar biasa yang pernah melanda wilayah
Pegunungan Kapur Utara diharapkan jangan sampai terulang kembali.
Bojonegoro memang mendapatkan perhatian melebihi wilayah
mana pun karena nasib wilayah itu yang selalu buruk. Jika hujan, sering
kebanjiran. Bahkan, tanpa hujan turun pun bisa kebanjiran. Hal itu karena
Bengawan Solo melintasi wilayah itu. Jika di wilayah pegunungan batu
di Alasgiri dan sekitarnya hujan turun sehari penuh, luapannya akan
membenamkan Bojonegoro dan sekitarnya.
Pemandangan mengerikan macam itulah yang direkam oleh
Pancaksara16 yang kemudian dilaporkan ke istana. Berkat tindakan yang
cepat, orang-orang Bojonegoro yang kelaparan tertolong. Busung lapar
di Bojonegoro teratasi. Namun, pada musim kemarau seperti ini, dijamin Bojonegoro
akan mengalami kekeringan luar biasa. Sumur-sumur tidak berair.
Sungai-sungai tidak mengalirkan air. Ternak akan banyak yang mati,
penduduk demikian juga. Busung lapar akan terjadi dan aneka macam
penyakit kulit akan bermunculan karena berhari-hari tak pernah mandi.
Daun-daun meranggas, hutan jati berubah menjadi hutan tombak
yang serba mencuat menuding langit, mencaci awan yang tidak berani
menampakkan diri. 14 Panca Ri Wilwatikta, mungkin mirip kabinet yang terdiri atas seorang patih, seorang demung, seorang kanuruhan, seorang rangga, dan seorang temenggung.
15 Tandha, abdi istana, searti dengan pegawai negeri di zaman sekarang.
16 Pancaksara, petunjuk menuju ke nama asli Empu Prapanca menurut telaah Prof. Dr. Slamet Muljono berdasar pada pupuh XXXII kakawin Negarakertagama. Penelusuran yang dilakukan Prof. Dr. Slamet Muljono sampai pada dugaan bahwa ketika menjabat sebagai dharmadyaksa kasogatan, Prapanca atau Pancaksara tak lain adalah Dang Acarya Nadendra, juga ada pendapat nama aslinya adalahWinada.
8 Gajah Mada Untunglah para pejabat Majapahit tidak melupakan wilayah
Bojonegoro dan sekitarnya yang amat menderita. Berpuluh-puluh pedati
bahan makan dikirim dan dibagi secara adil dan merata. Kiriman bahan
makanan itu setidaknya bisa mengamankan kebutuhan makanan dalam
sebulan atau dua bulan ke depan.
Perhatian istana juga menyebar ke wilayah lain yang menderita
karena kekurangan bahan makanan. Juga layak disyukuri karena dari
masa panen di tahun yang lalu, lumbung-lumbung terisi berjejal-jejal.
Gabah yang disimpan mencapai jumlah yang memadai untuk dihadapkan
pada keadaan genting, demikian juga dengan persediaan gaplek yang
terbuat dari ketela. Nun jauh di sudut pelosok Majapahit, seorang kakek tua
merenungkan keadaan itu. Kakek tua itu masih disebut buyut meski tidak
lagi menjabat buyut. Nama yang dipakainya sekarang Ajar Padmaguna.
Oleh sebuah alasan yang hanya dirinya yang mengerti, Ki Buyut telah
membuang nama aslinya jauh-jauh, seolah ada bagian dari masa silamnya
yang ingin dilupakan, mungkin karena yang terjadi di masa silam itu
terlalu pahit untuk dikenang.
Meski usianya sudah tua, Ki Buyut masih bermata tajam dan
bertelinga awas, juga mampu berpikir jernih. Dengan bertumpu pada
tongkatnya, Ki Ajar Padmaguna masih mampu berjalan mengelilingi
pedukuhannya. Pengalaman hidupnya yang panjang dan memiliki usia
paling tua di kampung itu, menempatkan Ki Ajar Padmaguna menjadi
orang yang sangat dihormati, tidak hanya oleh para tetangga sebelah,
tetapi juga orang-orang dari kampung lain.
Di pendapa rumahnya, Ki Buyut duduk bersila.
" Dhahar 17 sarapan, Kiai?" sebuah suara muncul dari belakangnya.
Tanpa menoleh, Ki Buyut menggeleng.
"Aku belum merasa lapar dan tidak ingin makan, Nyai. Tetapi,
tolong panggilkan suamimu. Aku mau bicara."
17 Dhahar, Jawa, makan Hamukti Palapa 9 Branjang Ratus, nama suami perempuan itu, adalah anak Ki
Buyut satu-satunya yang masih hidup dari yang semula berjumlah tiga.
Bhirawa, anak pertamanya yang mengabdi sebagai seorang prajurit di
Majapahit menjadi pengikut Mahapatih Nambi, mati dalam peperangan
mempertahankan benteng Pajarakan, tidak jauh dari Ywangga atau
Parabalingga. Lalu, anak kedua juga laki-laki, Banyak Tlangkas, mati dipatuk ular.
Banyak Tlangkas meninggalkan seorang istri yang untungnya tidak perlu
berlama-lama menjanda karena ada lelaki lain yang mau mengambilnya
sebagai istri. Branjang Ratus yang mengawini Inten Maharsi memberinya empat
orang cucu, dua lelaki dan dua perempuan. Keberadaan para cucu itu
merupakan hiburan yang tidak berkesudahan bagi Ki Ajar Padmaguna.
Cucu-cucu yang disayangi itu kini beranjak remaja. Kepada cucunya
sebagaimana dulu di masa muda Ki Ajar Padmaguna berangan-angan,
Ki Ajar Padmaguna bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupnya di
masa muda yang penuh dengan perjuangan dan semangat membara.
Branjang Ratus yang mengetahui ayahnya membutuhkan kehadirannya
bergegas turun dari pohon kelapa yang dipanjatnya. Untuk kebutuhan
masak istrinya, Ki Branjang Ratus harus menurunkan satu janjang kelapa
tua dan satu janjang lagi kelapa yang masih muda. Di pekarangan rumahnya
yang luas, ada hampir seratus pohon kambil,18 yang sebagian di antaranya
menjulang terlalu tinggi, menakutkan siapa pun yang akan memetik.
Ki Buyut Padmaguna membalut tubuhnya dengan kain panjang
yang dibelitkan di bagian pinggang, separuh sisanya disampirkan ke
pundak, menjadi semacam selendang sekaligus jubah. Rambutnya tak
selembar pun yang menyisakan warna hitam, tetapi masih lebat dan
panjang. Itu sebabnya, ukuran gelung kelingnya cukup besar melingkar
di atas kepala. Jenggot dan jambangnya menyatu dan panjang. Jika duduk,
rambut panjang itu menyentuh pangkuannya. Wibawa yang dimilikinya
18 Kambil, Jawa bagian timur dan tidak sering digunakan di Jawa tengahan, kelapa
10 Gajah Mada demikian besar, menyebabkan semua orang di pedukuhan tempat ia
tinggal menghormatinya dengan sangat. Untuk berbagai keperluan, para
tetangga dan penduduk pedukuhan yang lain selalu meminta petunjuk
dan restu kepada Ki Ajar Padmaguna.
"Ada apa, Ayah?" tanya Ki Branjang Ratus.
Ki Buyut Padmaguna tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Perhatiannya diobral ke langit yang lengang tanpa mega, langit dengan
udara kering kerontang yang menjanjikan kekeringan tanpa ujung.
Begitu bersihnya langit, jangankan mendung, selembar mega pun
tidak ada. Ki Buyut menoleh dan memandangi anaknya.
"Bibimu memanggilmu. Ia membutuhkanmu untuk melakukan
sesuatu." Ki Branjang Ratus mengerutkan kening. Branjang Ratus merasa
yakin, tidak ada tamu yang datang untuk keperluan itu.
"Bibi siapa, Ayah?" tanya Ki Branjang Ratus menegas.
"Bibimu, siapa lagi?"
Meski ayahnya telah mengucapkan dengan tegas, Branjang Ratus
merasa punya alasan untuk belum yakin. Bisa jadi, ayahnya yang sudah
sangat tua itu memasuki tahap pikun sehingga apa yang disampaikan
semata-mata karena otaknya yang telah tua dan tak mampu berpikir
jernih. Ketidakmampuannya berpikir utuh dan membedakan mana yang
khayal dan mana yang nyata, menyebabkan ia merasa yakin, orang yang
disebut bibi itu sedang membutuhkannya. Padahal, hubungan itu telah
terputus sangat lama. Bahkan, sudah lama sekali mereka tidak bertemu,
terhitung sejak ontran-ontran 19 Ranggalawe terjadi.
Meski tinggal di tempat yang jauh, kabar orang yang disebut bibi
itu selalu bisa dipantau.
19 Ontran-ontran, Jawa, geger
Hamukti Palapa 11 "Bibi Sri Yendra, Ayah?" tanya Branjang Ratus.
"Ya," jawab ayahnya tegas. "Berangkatlah hari ini juga. Dengan
berkuda maka dua hari yang akan datang kau akan sampai."
Manakala Branjang Ratus terbungkam, alasan utamanya adalah
karena belum mengerti bagaimana ayahnya bisa tahu, Bibi Sri Yendra
membutuhkannya. Tatap matanya menyiratkan hal itu.
"Tetapi, bukankah tidak ada utusan yang datang membawa warta
itu, Ayah?" Ki Buyut Padmaguna tidak mengalihkan pandangan matanya dari
pohon jarak yang bergerak melambai-lambai lembut digoyang angin.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andai pohon jarak punya indra pengantuk, goyangan angin itu akan
mendorongnya bablas ke alam mimpi.
Di pedukuhan dengan udara sejuk itu, pohon jarak ditanam dan
tumbuh di mana-mana sebagai pagar, bahkan dengan sengaja ditanam
di kebun karena tanpa ada pohon jarak, malam hari akan menjadi gelap
gulita. Sebagai bahan bakar penerangan, di samping getah jarak, ada
juga orang yang menggunakan lemak. Namun, karena baunya yang
menyengat, minyak lemak tidak begitu disukai anak-anak.
"Sebaiknya jangan banyak bertanya, pergilah! Kautahu bagaimana
cara yang harus kaulakukan untuk bertemu bibimu," jawab ayahnya.
Ki Branjang Ratus tidak menjawab. Dengan ikhlas akan dilaksana-
kan tugas itu karena baktinya yang tulus dan besar kepada ayahnya.
Ki Branjang Ratus ingat, ayahnya adalah orang yang sidik paningal,20
memiliki mata hati yang awas terhadap mobah mosik ing jagat.21 Maka,
jika Bibi Sri Yendra memang membutuhkannya, mungkin saja Ki Buyut
bisa mengetahuinya cukup melalui hubungan batin22 di keheningan
hati atau bisa pula melalui mimpi. Rasanya memang demikianlah cara
berhubungan antarorang tua yang berjauhan tempat.
20 Sidik paningal, Jawa, bermata tajam
21 Mobah mosik ing jagat, Jawa, segala gerak perubahan di jagat (kaitannya dengan pertanda alam) 22 Hubungan batin, yang dimaksud telepati
12 Gajah Mada Ki Branjang Ratus mempersiapkan kudanya di kandang, dibantu
dua orang anak lelakinya. Sementara itu, istrinya mempersiapkan bekal
apa saja yang harus dibawa, dibantu dua anak perempuannya.
"Berapa lama Ayah pergi?" tanya anak perempuannya setelah Ki
Branjang Ratus berada di atas kudanya.
"Ayah akan sampai di tempat tujuan dalam dua hari. Waktu yang
Ayah perlukan untuk kembali juga dua hari, mungkin bisa lebih karena
Ayah belum tahu, tugas macam apa yang akan diberikan nenekmu."
"Belikan aku baju baru, Ayah," anak perempuannya yang kedua
menyela. "Ya," jawab ayahnya.
Maka, sejenak kemudian senyap siang itu pecah oleh suara kuda
yang berderap di jalanan yang membelah pedukuhan. Demikian parah
keadaan karena kemarau panjang itu. Sepanjang jalan yang dilewati, debu
mengepul berhamburan. Keadaan yang serba kering dan kerontang
adalah pemandangan yang akan selalu dilihat oleh Branjang Ratus di
sepanjang perjalanannya. Begitu keluar dari pedukuhan, Ki Branjang Ratus akan melewati
tepian hutan. Dalam keadaan biasa hutan itu akan menghijau, tetapi kali
ini hutan itu terhapus dari warna hijau, yang tersisa hanya pohon-pohon
tanpa daun. Berbeda dengan tiga saudaranya, anak bungsu Ki Branjang
Ratus selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar. Rasa ingin tahu itu
ditumpahkan kepada kakeknya yang masih duduk bersila di pendapa.
Nala menempatkan diri di belakang, pijatan yang dilakukan ke pundak
Ki Padmaguna membuat kakek berambut putih itu sangat berkenan.
Nala yang punya otak amat cair itu diraih dan dipeluknya.
"Ke mana Ayah pergi, Mbah Kung?"23 tanya Nala.
Ki Buyut memandangi cucunya dengan rasa bangga.
23 Mbah kung, Jawa, singkatan dari simbah kakung, kakek
Hamukti Palapa 13 "Nenekmu sedang membutuhkannya. Ia pergi untuk menemuinya."
Siapa nenek yang dimaksud, Nala mengetahui cukup banyak.
Akan tetapi, kisah tentang nenek yang belum pernah dilihat wujudnya
itu selalu menarik. Kakeknya selalu punya banyak sempalan peristiwa
yang menarik untuk disimak. Jika kakeknya bercerita tentang Nenek Sri
Yendra, selalu saja ada hal baru yang diceritakan, yang akan disimaknya
cerita itu dengan penuh gairah. Meski belum pernah bertemu dengan
Nenek Sri Yendra, Nala yakin nenek yang belum pernah dilihat wajahnya
itu akan menganggap dirinya benar-benar sebagai cucunya.
"Bagaimana Kakek bisa tahu, Nenek Sri Yendra membutuhkan
bantuan Ayah?" tanya Nala terus mengejar.
Ki Buyut mengelus-elus rambut cucunya.
"Apakah Nenek Sri Yendra sedang kesusahan hingga memerlukan
bantuan?" tambah bocah itu.
"Sama sekali tidak," Ki Buyut menjawab. "Nenekmu tidak sedang
mengalami kesusahan. Nenekmu mungkin satu-satunya orang yang tidak
perlu mengalami kesusahan dalam bentuk apa pun. Namun, itu bukan
berarti nenekmu tidak butuh bantuan."
Nala merasa harus mengejar satu hal yang amat penting.
"Tolong ceritakan, Mbah Kung," pinta remaja itu, "bagaimana cara
Mbah Kung tahu Nenek Sri Yendra membutuhkan bantuan" Bukankah
tak ada orang yang datang kemari mewartakan hal itu?"
Jika yang bertanya orang lain, tamu yang datang membawa penasaran
misalnya, Ki Padmaguna tidak akan mau menjawab pertanyaan itu.
Namun, kali ini yang bertanya adalah cucu kesayangannya. Ki Padmaguna
sadar, tidak menjawab pertanyaan itu akan membuat cucunya kecewa.
" Mbah Kung semalam bertemu dengan nenekmu melalui mimpi,"
berkata Ki Padmaguna. "Di tepi pantai dengan ombak yang mengalir
deras, nenekmu mengutarakan butuh bantuan ayahmu. Itulah
karenanya, ayahmu kukirim untuk menemuinya. Ayahmu orang yang
dipilih untuk membantunya."
14 Gajah Mada "Bantuan apa?" tanya Nala.
"Nenekmu hanya mengatakan sedang butuh bantuan, tetapi tidak
dikatakan bantuan apa yang dibutuhkan."
Jawaban itu bagi Nala yang telah mampu berpikir menggunakan
nalar, terasa aneh. Namun, Nala tidak berniat mengejar untuk
memperoleh jawaban yang paling masuk akal. Ingat kelapa muda yang
telah diturunkan ayahnya dari pohon, Nala segera berlari menghambur.
Seperti apa yang dicemaskan, satu janjang kelapa muda yang telah
diturunkan dari pohon menjadi jarahan saudara-saudaranya.
Namun, Nala tak harus kecewa tidak kebagian. Soal memanjat
kelapa, Nala justru sangat mumpuni dengan kelincahan mirip seekor
beruk, binatang sejenis kera, tetapi memiliki ukuran jauh lebih besar.
Ki Buyut turun ke halaman. Kali ini perhatiannya ditujukan ke
gunung yang menjulang tinggi, dengan arah lurus di depan rumahnya.
Mata hati Ki Buyut Padmaguna membaca sesuatu pada gunung itu, hal
yang layak dicemaskan. Padahal, nun jauh di sana, di puncak gunung
itu, tidak ada asap yang mengepul terbawa angin.
Gunung itu Kampud24 namanya. Gunung itu sedang menggeliat.
Tenaga raksasa sedang mendidih di kedalamannya dan amat butuh
penyaluran. Padahal, pada waktu bersamaan, di tempat lain tak jauh dari
Pabanyu Pindah,25 sesuatu di bawah tanah tengah bergerak mengancam
keselamatan siapa pun. Jika tanah itu bergerak, boleh jadi akan merobek
celah kepundan Gunung Kampud dan menumpahkan isi perutnya yang
berupa cairan api dan melontarkan batu-batu menyala dengan ukuran
sebesar gajah. 24 Kampud, nama sebuah gunung pada zaman Majapahit yang kini tak diketahui jejaknya sebagai gunung yang mana. Penulis mengira Kampud adalah nama lain dari Gunung Kelud yang memiliki banyak riwayat ledakan dan berada pada jarak paling dekat untuk perubahan dari Kampud ke Kelud. Namun, ada banyak gunung yang tercatat berada pada jarak dekat beradius 100 hingga 150 km dari kota Mojokerto, antara lain Anjasmoro, Arjuno, Welirang, dan Kawi yang berada di dekat Blitar. Sementara itu, lebih ke timur lagi ada Gunung Bromo di Pegunungan Tengger bersebelahan dengan Gunung Mahameru di selatannya.
25 Pabanyu Pindah, nama sebuah tempat yang tercatat dilanda gempa bumi menjelang, bersamaan, atau sesudah kelahiran Hayam Wuruk
Hamukti Palapa 15 2 D ua hari kemudian. Perempuan tua berwajah bersih itu membuka matanya. Ia
mendapatkan di depannya telah duduk bersila seorang lelaki. Tidak
banyak cahaya di ruangan yang bersih berbalut bau dupa kemenyan itu.
Gelap malam di ruangan itu hanya diterangi sebuah ublik,26 yang hidup
tak hendak mati pun segan.
"Aku yang menghadap, Bibi," ucap Branjang Ratus setelah yakin
perempuan itu telah membuka mata.
Perempuan yang dipanggil dengan sebutan bibi itu tersenyum.
"Apakah ayahmu telah meletakkan sebuah tugas di pundakmu untuk
menempuh perjalanan jauh kemari?"
Branjang Ratus yang duduk bersila tak mengubah arah pandang
matanya. "Benar, Bibi. Ki Buyut mengatakan, aku harus menghadap Bibi Sri
Yendra karena Bibi membutuhkan bantuan. Apakah benar demikian?"
Perempuan yang dipanggil dengan nama Sri Yendra itu
mengangguk. "Ayahmu bermata awas. Ia tahu aku sedang butuh bantuan," ucap
perempuan tua itu. Branjang Ratus tak ingin terlalu lama menunggu jawaban dari rasa
penasarannya, yang ia lontarkan penasaran itu melalui pertanyaan yang
amat langsung ke persoalan.
"Bantuan apa yang Bibi butuhkan?"
26 Ublik, Jawa, lampu bersumbu, berbahan bakar minyak tanah.
16 Gajah Mada Sri Yendra tidak segera menjawab. Yang ia lakukan justru memejamkan
mata agak lama. Jika dibiarkan hal itu berlalu lebih lama, bisa jadi ia akan
kebablasan tertidur. Akan tetapi, Sri Yendra tidak membiarkan Branjang
Ratus merasa gelisah berlama-lama.
"Bagaimana kabar dan keadaan ayahmu, Branjang Ratus?" tanya
Sri Yendra. Branjang Ratus juga tak perlu menahan jawaban pertanyaan itu
terlalu lama. Dengan sangat santun dan penuh hormat, Branjang Ratus
mempersiapkan diri untuk menjawab.
"Keadaannya baik, Bibi," jawab Branjang Ratus.
Sri Yendra tersenyum amat sejuk menebar damai.
"Ceritakan bagaimana keadaan yang baik itu untuk orang seusia
ayahmu." Branjang Ratus yang menunduk, kemudian mendongak. Sri Yendra
tersenyum. "Ayah memang sudah tua, Bibi," jawab Branjang Ratus. "Ayah
sudah tidak mampu berjalan dengan bertumpu pada kaki sendiri.
Untuk ke mana-mana, harus ada yang menemani dan memakai tongkat.
Namun, Ayah masih mampu mengelilingi pedukuhan mengunjungi para
tetangga. Telinga dan matanya masih awas, seawas yang muda-muda,
bahkan terbukti Ayah memiliki mata yang lebih tajam yang menuntunku
menghadap Bibi sekarang ini."
Sri Yendra yang terdiam beberapa jenak sebenarnya sedang menghitung
waktu, telah berapa tahun lamanya ia tidak pernah bertemu lagi dengan
sahabatnya itu. Demikian erat hubungan persahabatan yang terjadi, eratnya
melebihi saudara kandung. Namun, pusaran cakramanggilingan 27 memisahkan
mereka. Nasib membawa masing-masing ke perjalanan hidupnya.
"Lalu, berapa jumlah anakmu?" tanya Bibi Yendra lebih lanjut.
"Empat, Bibi. Mereka sudah remaja dan beranjak mandiri menapaki
hidup masing-masing."
27 Cakramanggilingan, idiom Jawa, pusaran nasib
Hamukti Palapa 17 Ada alasan yang sangat mendasar bagi Sri Yendra untuk mengetahui
lebih banyak bagaimana kehidupan Ki Buyut Padmaguna, juga
bagaimana dengan kabar anak keturunannya. Jika dimungkinkan untuk
menengok, tentu menyenangkan sekali. Namun, hal itu tak mungkin
dilakukan. Usianya yang makin tua serta kesehatannya yang sering
memburuk menyebabkan perempuan itu harus sering berada di biliknya.
Apa yang dilakukan justru seperti menyongsong entah kapan kematian
datang menjemput. Jika Dewa pencabut nyawa itu datang, akan diterima
kehadirannya dengan penuh ikhlas. Tak ada secuil pun isi dunia ini yang
menjadi beban hingga sayang jika harus ditinggalkan, tak juga kekasih
dan permata hati. Pada satu kurun waktu, kematian bisa menakutkan, tetapi seiring
mengendapnya hati, kematian bahkan ditunggu kehadirannya.
Akhirnya, perempuan bertubuh kurus itu merasa telah tiba saatnya
berbicara langsung ke pokok persoalan.
"Ada sebuah hal penting yang harus kaukerjakan. Bantulah aku
untuk mencuri dua buah benda pusaka penting di Istana Majapahit,
masing-masing adalah cihna nagara 28 gringsing lobheng lewih laka 29, dan songsong30 Udan Riwis."31
Udara mendadak bergolak di ruangan itu. Branjang Ratus bingung.
Mungkin karena pembicaraan menyangkut masalah yang menakutkan,
empat ekor cecak yang melekat di dinding berhamburan bersembunyi.
Seekor tokek berukuran besar, yang selalu menemani perempuan itu
merenda waktu, terpancing rasa ingin tahunya.
Branjang Ratus segera mencuatkan alis. Perintah itu terasa sangat
aneh dan sulit dipahami. Permintaan bantuan itu ternyata untuk mencuri
lembaran kain dan sebuah payung"
28 Cihna nagara, Jawa, lambang negara, untuk zaman sekarang identik dengan lambang Garuda Pancasila
29 Gringsing lobheng lewih laka, Jawa Kuno, pola geringsing merah
30 Songsong, Jawa, payung
31 Udan Riwis, Jawa, hujan gerimis, nama payung berdasar imajinasi pengarang
18 Gajah Mada Cihna nagara, siapa pun punya. Orang se-Majapahit memiliki cihna
nagara yang dipasang di pendapa-pendapa rumah. Cihna Majapahit
berupa gambar buah wilwa 32 bersinar dengan latar belakang kain
bercorak gringsing lobheng lewih laka. Namun, cihna pusaka bukanlah cihna seperti pada umumnya karena memiliki nilai sejarah yang oleh
karenanya keberadaan cihna itu dianggap sebagai lambang negara yang
dikeramatkan. Hal yang demikian karena benda itu merupakan cihna yang pertama
dibuat atas perintah Raden Wijaya,33 yang tentu sangat berbeda dari
cihna yang dibuat dalam jumlah banyak yang dibagikan kepada segenap
rakyat dengan kewajiban harus memasang lambang negara itu di rumah
masing-masing. Di samping cihna nagara, para kawula juga wajib memiliki
bendera gula kelapa. Bendera berwarna merah putih itu dikibarkan pada
hari-hari penting tertentu.
Keberadaan cihna buah wilwa berlatar gringsing lobheng lewih laka
di lhami oleh semangat yang berkobar makantar-kantar, yang terjadi ketika
Raden Wijaya dan segenap anak buahnya yang hanya mengenakan cawat
bercorak gringsing lobheng lewih laka berjuang dan memberikan perlawanan
sekuat tenaga menghadapi pasukan yang dipimpin oleh Kebo
Mundarang,34 Patih Gelang-Gelang Kediri yang menyerbu Singasari
tepat ketika negara sedang dalam keadaan kosong karena segenap prajurit
dikirim ke Melayu. Kemudian, dijadikanlah kain bercorak geringsing itu
sebagai cihna melatari gambar bulat buah maja.
Songsong Udan Riwis juga bukan songsong sembarangan. Benda
berwujud payung bertingkat tiga itu pun dianggap sebagai benda pusaka.
Setidaknya, telah tercatat betapa songsong Kiai Udan Riwis telah berjasa
memayungi Narrarya Sanggramawijaya35 ketika diwisuda menjadi Raja
32 Wilwa, Jawa, nama lain buah maja
33 Raden Wijaya, pendiri dan Raja Majapahit pertama, bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
34 Kebo Mundarang, Patih Gelang-Gelang juga disebut dengan nama Mahisa Mundarang karena mahisa dan kebo mempunyai arti sama, yaitu kerbau.
35 Narrarya Sanggramawijaya, nama lengkap Raden Wijaya menurut piagam Gunung Butak bertarikh tahun saka 1216 atau Masehi 1294. Dalam Negarakertagama pupuh 45/1 hanya disebut Narrarya, justru berkat Negarakertagama diketahui ibu Raden Wijaya adalah Dyah Lembu Tal, putri dari Batara Narasinga.
Hamukti Palapa 19 Majapahit pertama pada tanggal 15 bulan Karttika dalam sengkala Ri
Purneng Karttikamasa Pancadasi 36 bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana,
yang menggelar pemerintahan selama 16 tahun mulai dari 1293 hingga
1309. Payung yang ditempatkan sebagai benda berharga milik kerajaan
itu juga digunakan untuk memayungi Sri Jayanegara37 saat dinobatkan
menjadi raja. Payung bertingkat tiga itu juga digunakan memayungi
pasangan temanten ketika digelar pahargyan 38 perkawinan Sekar Kedaton
Sri Gitarja dengan Raden Cakradara39 dan perkawinan Sekar Kedaton
Dyah Wiyat dengan Raden Kudamerta.40 Ketika Sri Gitarja dan Dyah


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiyat dinobatkan sebagai Prabu Putri bersama, wisuda yang dilakukan
dipayungi songsong yang sama, payung Kiai Udan Riwis.
Dua benda yang keberadaannya kemudian dianggap sebagai benda
pusaka itu disimpan dan disatukan dengan benda pusaka lainnya di ruang
perbendaharaan pusaka yang dijaga ketat siang malam oleh beberapa
orang prajurit, yang melakukan penjagaan secara bergilir dengan senjata
selalu siaga dan dalam keadaan terhunus. Di gedung pusaka itu juga
disimpan harta pusaka yang tak ternilai, mulai dari perhiasan sampai
kakawin yang ditulis oleh para pujangga, yang disimpan dalam sebuah
lemari besi dan kuncinya dipegang oleh Prabu Putri.
Tak jelas untuk keperluan apa Sri Yendra memberinya tugas mencuri
dua benda pusaka itu. Padahal, benda itu berada di lingkungan istana
yang dijaga dengan sangat ketat oleh pasukan yang bukan pasukan
sembarangan. Pasukan khusus Bhayangkara tidak hanya menjaga Istana
Majapahit dengan amat ketat untuk memberi jaminan keselamatan
36 Ri Purneng Karttikamasa Pancadasi, Jawa Kuno, tahun 1215 saka atau bertepatan dengan 12 November sebagaimana tertera dalam Kidung Harsa Wijaya.
37 Sri Jayanegara, pengganti Sri Kertarajasa Jayawardhana, diduga sebagai anak Raden Wijaya dari Dara Petak (Indreswari). Sumber sejarah lain menyebut Jayanegara adalah anak Permaisuri Tribhuaneswari.
Nama asli Sri Jayanegara adalah Kalagemet.
38 Pahargyan, Jawa, pesta
39 Raden Cakradara, bangsawan dari Singasari, setelah beristri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani bergelar Sri Kertawardhana.
40 Raden Kudamerta, bangsawan penguasa Wengker dan Pamotan, setelah beristri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa bergelar Wijaya Rajasa Hyang Parameswara.
20 Gajah Mada kepada dua Prabu Putri dan segenap keluarganya. Akan tetapi, juga
termasuk menjamin keutuhan semua benda pusaka yang disimpan rapi
di ruang perbendaharaan pusaka itu. Maka semut pun mustahil bisa
masuk tanpa izin. Belajar dari pengalaman masa lalu, khususnya ketika pemberontakan
yang dilakukan Ra Kuti terjadi, yang sebagian penyebabnya adalah
pengawalan terhadap istana tidak dikendalikan oleh satu tangan maka
kali ini tugas untuk mengawal istana hanya dilakukan oleh pasukan
khusus Bhayangkara. Pendek kata, semua ruang yang ada di balik dinding yang
membentang mengelilingi istana dari ujung ke ujung, berada dalam
tanggung jawab pasukan Bhayangkara. Istana tempat tinggal Prabu
Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Dyah
Wiyat Rajadewi Maharajasa dijaga paling ketat dengan pengawalan
berlapis-lapis. Demikian pula dengan pengawalan istana kediaman Ibu
Suri Tribhuaneswari dan Ibu Suri Gayatri, dikelilingi para prajurit untuk
menjamin keamanan dan ketenteraman kedua janda Raden Wijaya itu.
Beradu punggung dengan Bale Gringsing, di sanalah letak sebuah
bangunan yang dijaga tidak kalah ketat. Cihna gringsing lobheng lewih laka
dan songsong Udan Riwis disimpan di tempat itu.
Tugas yang terasa aneh itulah yang untuk beberapa saat membungkam
mulut anak Ki Buyut Padmaguna. Branjang Ratus bingung, tak tahu harus
bertanya apa. "Kamu bingung untuk alasan apa aku meminta bantuanmu
melakukan itu?" tanya Sri Yendra.
Branjang Ratus mengangguk.
"Kamu tak usah bingung, Branjang Ratus. Lakukan saja tugasmu
mencuri kedua pusaka itu. Selebihnya percayakan kepadaku. Aku akan
memberi petunjuk atas apa yang harus kaulakukan pada kedua benda itu."
Lalu, hening yang senyap datang menyelinap menyudutkan Ki
Branjang Ratus yang tak perlu mempersoalkan mengapa tugas nista itu
Hamukti Palapa 21 harus dijalaninya. Branjang Ratus tak perlu berlama-lama berhadapan
dengan bibi yang sangat dihormatinya itu. Branjang Ratus akhirnya
merasa yakin akan melaksanakan pekerjaan yang dilakukan para maling
itu walau sesulit apa pun. Jika Bibi Sri Yendra membutuhkan sesuatu
atau memerintahkan apa pun, diperintah ambyur ke lautan api pun akan
diterjuninya. 3 Kaya bhuto non daging,41 di sebuah hari pada suatu petang ketika
udara mengalir amat mencurigakan, setidaknya itu di mata orang
yang waskita, bermata tajam, mampu melihat wilayah lain yang orang
kebanyakan tidak melihat. Paling tidak dimulai hal itu dari senja dengan
candik ala 42 merah yang sangat menyilaukan. Konon, sebagian orang
percaya, kemunculan candik ala yang demikian merupakan awal dari
wabah penyakit mata, penyakit yang sangat menular melalui sentuhan
tangan, bahkan dari udara yang berembus.
Orang yang terkena penyakit itu akan merasa ada pasir di matanya,
sangat risi dan sangat pedih. Menghadapi keadaan seperti itu, siapa pun
yang terkena akan berkeinginan kuat mengusap mata. Celakanya, makin
diusap, rasa pedih itu makin menjadi.
Kemunculan candik ala itu disertai embusan angin halus. Angin yang
berembus halus itulah yang mencuri perhatian karena seperti membawa
mantra yang ditembangkan oleh dukun teluh yang pembacaan bait-
baitnya sanggup menggetarkan dedaunan.
41 Kaya butho non daging, Jawa Kuno, seperti raksasa melihat daging~candra sengkala tahun saka 1253
atau tahun Masehi 1338. 42 Candik ala, Jawa, warna langit merah terbakar di senja hari
22 Gajah Mada Namun, tanpa candik ala sekalipun, penyakit mata sebenarnya
sedang mewabah di beberapa tempat. Hal itu secara nalar dipicu oleh
kemarau panjang yang menyebabkan debu-debu beterbangan ringan
di udara. Sakit mata kemasukan debu rupanya menjadi awal dari sakit
mata menular karena pada debu yang masuk ke mata melekat bibit
penyakit. Lalu, getar udara yang aneh dari angin halus itu makin terasa ketika
malam datang, kehadirannya diikuti tanda-tanda yang lain.
"Kaumerasakan udara yang aneh seperti ini?" bertanya Raga
Jampi. Pring Cluring yang merasakan adanya kejanggalan segera terlonjak.
Pertanyaan itu rupanya membuatnya kaget.
"Jadi, udara?" Raga Jampi terkejut melihat Pring Cluring terkejut.
"Kamu sedang memikirkan apa?" tanya Raga Jampi.
Pring Cluring bagai orang yang tersadarkan atau mirip orang yang
memperoleh jawaban setelah sekian lama dibuat penasaran. Pring Cluring
mendongak mencari-cari sesuatu yang tak tampak.
Tentu Pring Cluring tidak menemukan apa pun karena apa yang
membuatnya penasaran itu teraba melalui kulitnya, bukan melalui tatapan
matanya. Atau, jika melalui mata, harusnya mata hati yang menangkap
keganjilan itu. "Aku merasa ada yang tidak wajar. Aku bingung berusaha menandai
apa yang tidak wajar itu. Rupanya udara. Kau benar, memang ada yang
tidak wajar dengan udara kali ini," jawab Pring Cluring.
Raga Jampi dan Pring Cluring, yang masing-masing prajurit
berpangkat bekel dari kesatuan Bhayangkara, bersama-sama memerhatikan
keadaan di sekitarnya. Raga Jampi yang dari awal diserang kantuk kembali
menguap, ditirukan perbuatan itu oleh Pring Cluring yang juga ikut
menguap. Hamukti Palapa 23 "Aku mengantuk," berkata Raga Jampi.
"Aneh," jawab Pring Cluring. "Aku juga merasakan. Jangan-jangan
udara aneh ini penyebabnya" Tak biasanya aku merasa mengantuk sejak
datangnya petang. Apalagi, aku juga tidak sedang merasa kekurangan
tidur. Kemarin aku tidak begadang."
Ucapan Pring Cluring menggiring Bhayangkara Raga Jampi untuk
merenungkan hal yang sama. Setelah memerhatikan dengan lebih
cermat, Bhayangkara Raga Jampi tertular rasa curiga, kantuk yang
dialaminya merupakan kantuk yang tidak wajar, kantuk karena ada yang
memengaruhi. "Udara yang mengalir ini mengandung kekuatan sirep," desisnya.
Pring Cluring dan Raga Jampi bergegas mengambil sikap. Bahwa
kantuk yang datang dan berusaha membelitnya adalah kantuk yang tidak
wajar, dicurigai berasal dari pengaruh kekuatan sirep maka hasrat tidur
itu harus dilawan. Kesadaran itulah yang mendorong Pring Cluring
meliuk-liukkan tubuh dan berlari-lari di tempat. Upaya yang dilakukan
itu berhasil mengusir rasa kantuk yang berusaha menyelinap dan
mengusirnya jauh-jauh. Melihat apa yang dilakukan temannya, Bhayangkara Raga Jampi
meniru. Bhayangkara Raga Jampi bahkan memerlukan lari empat putaran
mengelilingi halaman. Namun, tak hanya Bhayangkara Pring Cluring dan
Raga Jampi yang merasakan keadaan ganjil itu.
Ki Gura Gurnita yang sedang bersemadi di sanggar pamujan
terusik. Laki-laki tua penganut Syiwa itu memerhatikan keadaan di luar
rumahnya. Gura Gurnita tak hanya mengamati keadaan menggunakan
mata wadag,43 tetapi juga menggunakan ketajaman mata hati. Melalui
ketajaman mata hati itulah sesuatu yang orang lain tidak melihat, Ki
Gura Gurnita melihat. "Akan terjadi peristiwa apa ini?" tanya Ki Gura Gurnita dalam
hati. 43 Wadag, Jawa, lahiriah 24 Gajah Mada Melihat suaminya keluar dari sanggar pamujan, Nyai Gura Gurnita
menyusul. Perbedaan usia antara Ki Gura dan istrinya terpaut jauh. Ki
Gura berusia lebih dari empat puluh tahun ketika mengawini Nyai Pudak
Jene yang ketika itu berusia dua puluh tahun.
Perkawinan yang telah dijalani lebih dari dua puluh tahun nyatanya
Hyang Widdi belum berkenan memberi keturunan. Kini, Ki Gura
berusia enam puluh tahun surya, usia yang pantas disebut telah
kakek-kakek. Sementara itu, istrinya yang kini berusia empat puluh
tahun tampak masih muda. Kemampuan merawat diri perempuan itu
menjadikannya tampak seperti baru berusia tiga puluh tahun, usia yang
sedang penuh gelegak geliat. Sebaliknya, Ki Gura justru mulai menurun.
Sesuai kodratnya, dua orang dengan selisih usia amat jauh itu tengah
bergerak ke arah berbeda. Ki Gura makin meredup, Nyai Pudak Jene
justru makin membara. "Ada apa?" tanya Nyai Pudak Jene.
Ki Gura Gurnita belum menjawab pertanyaan itu. Pusat perhatian
Ki Gura masih tertuju pada upaya mencari jawab keadaan janggal yang
mengalir bersama udara. Tepat di depan rumahnya, pasar Daksina44
sudah tak ada jejak geliatnya sejak siang menjelang sore.
Pasar itu sepi. Biasanya di depan pasar masih ada orang yang
berjualan penganan, di antaranya berjenis-jenis makanan yang digoreng.
Namun, sejak malam ini orang yang biasanya berjualan itu tidak bisa
berjualan lagi. Penyakit yang tidak jelas apa namanya menyebabkan
tubuhnya lumpuh sebelah. Banyak orang bertanya-tanya, ke mana
perginya, banyak pula yang merindukan.
"Kau merasakan ada sesuatu yang aneh?" tanya Ki Gura Gurnita.
Nyai Gura memandang suaminya dengan tatapan mata larut.
"Apakah ada yang aneh dengan udara ini?" balas Nyai Pudak
Jene. 44 Daksina, Jawa, selatan
Hamukti Palapa 25 Ki Gura menengadah memerhatikan bintang-bintang yang
gemerlapan di langit. Langit memang bersih dan tak ada rembulan.
Itu sebabnya, gugusan bima sakti terlihat amat jelas. Tak sulit untuk
menemukan bintang waluku 45 dan menandai bintang yang disebut lintang
panjer sore 46 yang berada jauh di langit barat siap untuk tenggelam itu. Di
bentang langit yang luas tanpa batas, Ki Gura Gurnita tidak menemukan
bintang yang dicarinya. Ki Gura berharap jangan sampai bintang itu muncul karena
andaikata lintang kemukus 47 pemilik ekor memanjang bercahaya itu
muncul, Ki Gura meyakini hal itu sebagai pertanda bakal muncul sebuah
bencana. Kisah di masa silam, Ki Gura meyakini. Adalah tanah Jawa masih
berada dalam kekuasaan negeri Medang Kahuripan ketika lintang kemukus
itu muncul di tengah malam. Pengaruh buruk dan jahat dari bintang
berekor itu dimanfaatkan dengan baik oleh seorang perempuan penyihir
dari Desa Ghirah. Perempuan itu tak hanya dari perbuatannya yang
mengerikan, penampilannya juga.
Tersinggung karena anak semata wayangnya belum laku kawin, Nyai
Calon Arang menyebar tenung. Kekuatan sihir yang mengalir bersama
udara menjelma menjadi gugusan penyakit yang mematikan. Siapa yang
sakit sore hari akan mati pagi harinya. Yang jatuh sakit pagi akan mati
sore harinya. Yang sakit siang akan mati malam harinya dan yang tertular
penyakit itu malam akan mati pada siang harinya. Yang sekadar batuk
bisa menjadi malapetaka. Prabu Erlangga dan Patih Narottama kewalahan. Namun, Empu
Barada mampu menolong dan mengatasi keadaan. Melalui salah seorang
muridnya yang bernama Empu Bahulu, yang diperintah menyelinap,
bahkan mengawini Ratna Manggali, berhasil diketahui rahasia kekuatan
45 Waluku, Jawa, arti harfiahnya alat untuk membajak sawah, sebagai nama bintang sebenarnya merupakan gabungan dari beberapa bintang yang membentuk bajak. Posisi dan kemunculan bintang ini menjadi pedoman bagi petani dalam menentukan saat bercocok tanam.
46 Lintang panjer sore, Jawa, planet Mars
47 Lintang kemukus, Jawa, bintang berekor/komet
26 Gajah Mada Nyai Calon Arang yang ternyata berasal dari kitab tenung yang
dimilikinya. Melalui kekuatan rahasia itu, Nyai Calon Arang berhasil
dihancurkan. Bersamaan dengan kematian Nyai Calon Arang, udara kembali
bersih, matahari kembali berseri, candik ala tak perlu berkunjung dengan
warna menyilaukan, dan lintang kemukus yang menakutkan tak tampak
lagi. Ki Gura Gurnita tak perlu resah karena bintang yang dicemaskan
kemunculannya itu tak menampakkan diri. Namun, udara yang mengalir
kali ini benar-benar membuatnya curiga. Keadaan yang mampu
membangkitkan semua bulu kuduknya.
"Akan terjadi peristiwa apakah di istana?" tanya Ki Gura Gurnita.
Semula Nyai Pudak Jene menemani suaminya berdiri memerhatikan
malam yang hitam. Tak kuat berdiri terlalu lama karena lelah terperas
tenaganya di siang sebelumnya, Nyai Gura Gurnita berbaring di lincak.
Perempuan itu telentang sambil menghitung ada berapa jumlah bintang
atau mengumbar khayal. Nyai Gura Gurnita membaringkan diri sambil mengumbar angan-
angan. Akhir-akhir ini Nyai Gura Gurnita memang sering mengumbar
angan-angan. Jarak usianya yang terlalu jauh dari suaminya itulah yang
menyebabkan ia sering mengumbar angan-angan. Padahal, meski angan-
angan, jika itu menyangkut lelaki lain, mengangankan orang lain yang
bukan suaminya, hal yang demikian sudah bisa dianggap perselingkuhan.
Akan tetapi, senyampang masih manusia, manusiawi manusia melakukan
kesalahan. Ki Gura Gurnita yang melihat istrinya menguap sejenak setelah
berbaring, mencuatkan alisnya tanda curiga.
"Belum terlalu lama kamu sudah mengantuk, Nyai?" tanya sang
suami. "Banyak sekali yang kukerjakan tadi siang. Aku lelah sekali," jawab
Nyai Pudak Jene. Hamukti Palapa 27 Untuk memuasi rasa curiganya, Ki Gura Gurnita turun ke jalan di
depan rumah. Di arah barat terlihat barisan obor yang ditancapkan di tepi
sepanjang jalan. Demikian pula di arah timur, barisan obor memanjang


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinyalakan untuk menerangi jalan. Bahan baku obor itu adalah cairan
minyak kental yang diambil dari sebuah sumur di daerah Tuban.
Minyak kental kehitam-hitaman macam itu banyak dijual di pasar.
Untuk keperluan menyalakan obor yang dibutuhkan dalam jumlah yang
banyak, biasanya digunakan minyak lemak atau minyak jarak. Namun,
sejak minyak hitam ditemukan dengan sengaja dari sebuah sumur
di wilayah Bojonegoro dan Tuban atau bahkan menusuk lebih jauh
ke Cepu, penggunaan minyak lemak dan minyak getah pohon jarak
dihentikan. Pembuatan minyak jarak membutuhkan pohon jarak yang
banyak. Sementara itu, bau minyak lemak amat menyengat di hidung,
pembuatannya pun dirasa menjijikkan.
"Akan terjadi peristiwa apakah malam ini" Keadaan demikian
mencurigakan?" Hari memang senyap sejak dari awal. Kotaraja langsung sepi
demikian senja lewat. Biasanya masih ada orang lalu-lalang yang dapat
ditandai dengan obor yang dibawanya atau derap kuda yang ditunggangi
para prajurit yang melakungan tugas nganglang.48
Akan tetapi, udara aneh yang menyelimuti seluruh wilayah di atas
kotaraja menyebabkan semua orang menjadi malas. Mereka yang sudah
tidur merasa makin lelap dengan mimpi yang indah. Sementara itu, yang
bertugas jaga harus berusaha melawan rasa kantuk yang datang dengan
mati-matian. Di lingkungan istana, beberapa prajurit bergelimpangan disergap
kantuk yang amat kuat dan beberapa yang lain dengan sekuat tenaga
memberikan perlawanan. Prabu Putri Tribhuanatunggadewi telah lelap
di pelukan suaminya yang tidur mendengkur. Tidur itu datangnya bahkan
lebih awal dari biasanya.
48 Nganglang, Jawa, berkeliling meronda menjaga keamanan wilayah
28 Gajah Mada Pun demikian dengan keadaan Prabu Putri Rajadewi Maharajasa
yang telah merambah luasnya wilayah mimpi dengan berbantal pelukan
sang suami yang juga mendengkur keras. Rangsang kantuk yang demikian
kuat itu juga menyergap para prajurit yang menjaga keamanan Ibu Suri
Tribhuaneswari, semuanya bergelimpangan tanpa daya. Akan tetapi, sekuat
apa pun serangan kekuatan sirep itu, tak mampu menjebol pertahanan
Ibu Suri Gayatri yang demikian larut dalam pemusatan semadi.
Ibu Suri Gayatri yang semula memejamkan mata, tetapi tidak
sedang tidur justru terbangun. Dengan penuh perhatian, Ibu Suri Gayatri
memerhatikan keadaan. Tak jelas apa alasan yang ia punya, rasa penasaran
itu menggiring Ibu Suri Gayatri termangu. Di biliknya, tak seorang pun
menemani Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri.
Rasa penasaran itu mendorong Ibu Suri Gayatri bangkit dan berjalan
keluar dari sanggar pamujan untuk melihat apa yang terjadi. Ibu Suri
Gayatri segera mengerutkan kening melihat para prajurit Bhayangkara
yang melaksanakan tugas menjaga keamanan bergelimpangan, tak satu
pun yang tidak. Tidak perlu waktu terlampau lama bagi Ibu Suri Gayatri untuk
menandai adanya sesuatu yang tidak wajar. Namun, boleh jadi Ibu Suri
Gayatri tak tahu harus bagaimana menyikapi keadaan itu atau karena
alasan lain, janda mendiang Raden Wijaya itu tidak melakukan apa pun
menyikapi keadaan yang tidak wajar itu.
Di pendapa rumahnya, Ki Gura membutuhkan istrinya untuk
diajak berbincang, setidaknya sebagai lawan bicara mengupas keadaan
yang ganjil itu. Akan tetapi, cepat sekali kantuk itu menyergap. Hanya
sejenak, Nyai Gura sudah lelap dibuai mimpi.
"Jika ini kekuatan sirep, sungguh jenis sirep yang luar biasa kuatnya,
wilayah kekuatannya sangat luas. Maling mana yang berniat mencuri di
istana?" berucap Ki Gura Gurnita untuk diri sendiri.
Sirep adalah jenis kekuatan tidak kasatmata yang konon terlahir
melalui olah batin. Sirep dilepas ke udara mempunyai pengaruh terhadap
wilayah kekuatan di sekitarnya. Rasa kantuk akan menyergap siapa pun
Hamukti Palapa 29 yang berada di wilayah itu. Karena memiliki ciri yang amat khas macam
itulah, ilmu sirep banyak dipelajari maling. Maling yang ingin berhasil
amat berkepentingan memiliki ilmu macam itu.
Konon, maling juga mempelajari ilmu menghilang yang orang
menyebut kemampuan itu panglimunan. Benar adakah kemampuan
macam itu, sejauh ini tak seorang pun yang mampu memberi bukti.
Ki Gura melepas kain penghangat tubuh yang dipakainya dan
diselimutkan ke tubuh istrinya. Ki Gura tidak berniat membangunkan
meski Ki Gura berniat pergi ke jalan untuk memerhatikan keadaan aneh
itu lebih cermat. Namun, di jalan atau bahkan yang ia rasakan ketika
sampai di depan Purawaktra tetaplah sama. Udara aneh itu mengalir di
mana-mana bagaikan sulur gurita yang merayap dan bergerak, membelit
apa pun. Meski Ki Gura mampu menandai keadaan yang aneh itu, ia tetap
tidak mampu menebak peristiwa apa yang akan datang. Ke depan, ia
melihat gelap tanpa cahaya.
"Sepi sekali," kata Ki Gura Gurnita dalam hati.
Meski biasanya setelah malam sedikit menukik memang sepi, sepi
kali ini terasa berbeda. Suara burung bence yang melengking menyayat
terdengar di mana-mana serasa terjemahan sebuah kegaduhan. Ki
Gura Gurnita mengelus-elus janggutnya yang putih panjang sambil
mencuatkan alis setelah sekali lagi mendengar suara ayam terdengar
gaduh di kejauhan. "Burung bence di langit dan ayam yang gaduh itu justru lebih peka.
Mereka lebih dulu tahu sesuatu akan terjadi. Jika akan terjadi gempa,
binatang-binatang justru bisa membaca lebih awal daripada manusia,"
batin Ki Gura Gurnita. Ki Gura Gurnita terus mengayunkan langkah kakinya sambil
memuaskan rasa ingin tahunya. Ketajaman mata batin kakek tua itu
berbenturan dengan temuan-temuan yang makin membuatnya penasaran.
Makin sempurna rasa heran Ki Gura Gurnita ketika kembali ke
rumah. Tiga ekor sapi piaraannya melenguh cemas. Ki Gura Gurnita
30 Gajah Mada yang bergegas ke kandang mendapatkan sapi-sapinya memamerkan
kecemasannya yang secara lugas terbaca dari lenguhan dan gerakannya
ke sana kemari. Dengan obor Ki Gura Gurnita menerangi tanah karena
mungkin ada ular yang menyebabkan sapi-sapinya gelisah. Namun, ular
yang dicurigainya tak tampak geliatnya.
Ki Gura Gurnita menenangkan sapi-sapinya. Elusan di punggung
yang dilakukan pada sapi-sapi itu membuat mereka tenang. Kehadiran
Ki Gura Gurnita setidaknya menenteramkan hati mereka.
Menyadari benar ada yang tak wajar dengan kehadiran malam itu,
adanya serangan rasa kantuk yang mengalir di udara yang dicurigai
merupakan kekuatan sirep yang amat besar, juga atas nama kecurigaannya
pada tanda-tanda aneh yang ditunjukkan para binatang, Ki Gura Gurnita
dengan sengaja menunggu sesuatu yang belum diketahui, tetapi mampu
memberangus sebagian keberaniannya.
Ki Gura Gurnita cemas. Di pendapa rumahnya yang sederhana, Ki
Gura Gurnita menempatkan diri duduk di dekat istrinya yang lelap di
atas dingklik 49 panjang. Ki Gura berusaha membangunkan, tetapi Nyai
Pudak Jene seperti orang mati. Dikilik-kilik telapak kakinya sekalipun,
istrinya tidak bangun, padahal telapak kaki dan pinggang merupakan
daerah yang peka geli. Dan, malam bergerak menukik kian tajam. Ki Gura Gurnita sama
sekali tidak terpancing oleh aliran udara yang mengandung kekuatan
sirep. Kecurigaan yang begitu kuat menyebabkan Ki Gura makin
kuat pula dalam memberikan perlawanan. Makin kuat rasa kantuk itu
menekannya, makin kuat pula Ki Gura melawan.
Rupanya tak hanya Ki Gura Gurnita yang menandai keadaan sangat
ganjil itu. Empu Krewes50 yang telah tidur justru terbangun. Jika bagi
orang lain kekuatan semacam sirep yang mengundang rasa kantuk akan
49 Dingklik, Jawa, kursi panjang terbuat dari bambu
50 Empu Krewes, nama lain dari Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah. Empu Krewes menggantikan Mahapatih Dyah Halayudha. Sementara itu, sebelum Dyah Halayuda atau Kala Yuda, jabatan tersebut dipangku oleh Mahapatih Nambi. Sebagian ahli sejarah menduga Dyah Halayudha tak lain adalah Mahapati.
Hamukti Palapa 31 melelapkan dan membenamkan orang yang telanjur tidur, sebaliknya
bagi Empu Krewes. Aliran udara itu malah mencurigakan. Simpul saraf
dan mata hatinya yang peka segera membangunkan tidurnya. Mahapatih
Arya Tadah serentak bangkit.
Empu Krewes adalah orang yang sangat kenyang makan asam
garam kehidupan. Perjalanan hidup sekaligus pengalaman hidupnya
yang panjang menjadikan Empu Krewes bermata hati peka. Sesuatu
yang mengalir di udara itu dengan segera dicurigainya. Empu Krewes
bergegas menuju halaman untuk memerhatikan keadaan dengan lebih
cermat. Arya Tadah mencuatkan alis melihat tidak seorang pun prajurit
yang bertugas menjaga keamanan wisma kepatihan yang terjaga. Semua
bergelimpangan bagai mayat.
Dalam keadaan yang demikian, jika ada pihak yang datang berniat
jahat, akan bisa berbuat apa pun dengan leluasa, bahkan jika keadaan
yang mencurigakan itu bagian dari rencana negara lain yang berniat
menyerbu. Andaikata hal itu benar terjadi, sungguh Majapahit bisa
dengan mudah digilas. Sekuat apa pun bala tentara yang dimiliki jika
sedang dalam keadaan terlena, akan mudah digilas.
Namun, Arya Tadah tidak berprasangka sejauh itu. Terlalu
berlebihan jika keadaan alam yang agak aneh itu berkaitan dengan
serangan musuh yang akan menyerbu negara. Sebagaimana Ki Gura
Gurnita, Arya Tadah juga curiga sesuatu entah apa akan terjadi.
Langit begitu bersih ketika peristiwa yang ditunggu itu akhirnya
datang. Ki Gura Gurnita sama sekali tidak menyadari sesuatu mengancam
rumahnya. Lampu ublik yang diletakkan di atas lemari bergerak liar
menggeliat-geliat seperti lidah ular yang terjulur dalam upaya menandai
udara dan memindai letak calon mangsanya. Bukan hanya lidah apinya
yang mengombak, tetapi wadahnya juga mengombak bergerak. Tentu
karena lemari tempat ia diletakkan di atasnya bergerak. Begitu keras
kekuatan yang menggoyang itu hingga lemari itu ambruk.
"Gempa bumi," Ki Gura Gurnita berteriak.
32 Gajah Mada Dengan sekuat tenaga, Ki Gura Gurnita membangunkan istrinya.
Pesona kantuk itu begitu kuat, membuat Nyai Pudak Jene seperti orang
mati. Barulah ketika suaminya berteriak dengan amat keras, Nyai Pudak
Jene terkejut dan bingung karena goyangan kuat yang menerpanya. Nyai
Pudak Jene mengira goyangan itu berasal dari suaminya yang sudah amat
dikenalinya. Ternyata bukan, goyangan itu bukan goyangan yang lembut
dan menggugah, tetapi goyangan yang kasar dan makin kasar.
"Ada apa?" tanya Nyai Pudak Jene.
"Gempa bumi!" teriak Ki Gura Gurnita.
Beruntung dan sekaligus bernasib sial Ki Gura dan istrinya.
Beruntung karena punya waktu sejenak untuk menyelamatkan diri karena
sejenak kemudian, pendapa yang telah lapuk itu ambruk menimbulkan
suara berderak-derak. Tanah yang bergoyang itu ternyata masih
berkelanjutan, menggoyang lebih keras, menyebabkan Ki Gura Gurnita
dan istrinya terjerembab di halaman rumahnya.
Sebuah pohon kelapa yang tidak mampu mengatasi goyangan
itu patah tepat pada pangkalnya. Pohon kelapa itu ambruk dengan
memberikan sapuan yang membahayakan jiwa. Masih beruntung Ki
Gura Gurnita punya kesempatan untuk berguling menghindar sambil
menyeret istrinya. Dan, bibit api mulai bekerja. Api dari lampu ublik yang diletakkan
di atas lemari ambruk jatuh ke amben, minyaknya tumpah membasahi
kasur dan bantal yang berisi kapas randu. Dengan segera api itu bergerak
membakar bantal, membakar kasur, menyambar atap, dan memberangus
apa pun yang dijumpainya. Apalagi, rumah Ki Gura Gurnita beratap
rumbia, bahan yang amat mudah terbakar.
Ketika panik melanda, Ki Gura Gurnita berusaha keras menyelamat-
kan sapi-sapi di kandang. Bersamaan dengan itu, secara serentak tidur
lelap yang melanda seluruh sudut kota terbangun. Ada banyak orang
yang mengalami nasib buruk, bahkan lebih buruk dari Ki Gura Gurnita.
Rumah ambruk terjadi di beberapa tempat, sebagian disempurnakan
dengan terjadinya kematian. Sebagian penduduk yang lain ada yang
kebingungan, tak paham pada apa yang terjadi.
Hamukti Palapa 33 Dan di kejauhan, kejauhan sekali yang sebenarnya tidak tampak
dari ibu kota. Dua buah peristiwa berlangsung berurutan, bahkan masih
berada dalam tabuh 51 yang sama.
Adalah penduduk di Pabanyu Pindah yang terkejut bukan alang
kepalang ketika tidak ada hujan tidak ada angin, tanah tempat berpijak
bergoyang amat kasar, menyebabkan tubuh-tubuh limbung dan
berjatuhan, tanah-tanah merekah, dan tiang saka ambruk.
"Gempa bumi, ada gempa, ada gempa," teriak seseorang.
" Lindu!52 Awas lindu!"
Pontang-panting semua orang menyelamatkan diri. Ada yang
beruntung bisa selamat, ada pula yang celaka karena tak punya
kesempatan bahkan untuk menyadari apa yang terjadi. Ketika benak
belum sadar sepenuhnya, rumah yang didiami roboh menimpa.
Sebuah sungai semula mengalirkan air dengan tenang, tetapi gempa
yang terjadi telah merobek tanah di bawahnya, membelah sangat panjang.
Seketika air yang semula berlimpah tersedot dalam waktu sangat cepat,
membingungkan para ikan dan binatang lain yang tinggal di dalamnya.
Ikan-ikan yang kehilangan air sontak menggelepar dan merasakan sakit
tidak terkira. Hal itu karena kebutuhan akan air untuk bernapas tidak
diperoleh, sebagaimana orang yang dicekik lehernya, kebutuhan udara
yang tidak diperoleh sakitnya tiada terkira.
Kadya gabah den interi,53 kepanikan terjadi di mana-mana. Apalagi,
ketika gerak goyangan itu masih berlanjut beberapa lama. Rumah renta
ambruk, rumah yang kukuh pun ambruk.
Gempa amat dahsyat itu rupanya juga menggoyang kepundan
Gunung Kampud dan menyobek sebuah celah. Akibatnya, desakan
kekuatan yang mendorong-dorong dari dalam bagai menemukan
51 Tabuh, Jawa, pukul (jam). Penunjuk waktu zaman itu adalah bende dipukul, jika dipukul tujuh kali maka kira-kira sama dengan sekarang jam menunjukkan pukul 7 pagi.
52 Lindu, Jawa, gempa 53 Kadya gabah den interi, pepatah Jawa, bagaikan gabah ditampi~gambaran tingkah polah orang yang kebingungan.
34 Gajah Mada celahnya. Ledakan gemuruh terjadi, melontarkan penyumbat, dan
batu-batu beterbangan. Bukan sekepalan batu-batu yang melesat ke
udara itu. Juga bukan sebesar kelapa, pun bukan seukuran kambing.
Batu-batu itu bahkan sebesar kerbau yang berubah menjadi benda
amat ringan. Maka, bayangkanlah nasib seekor harimau dengan ukuran paling
besar dan mengaku sebagai raja hutan, nasib sial menimpa harimau
itu karena batu membara yang melesat ke langit jatuh tepat menimpa
tubuhnya. Ambyar tubuh harimau itu menyemburatkan apa pun isi
perutnya. Warna merah meleleh keluar dari puncak Kampud. Kekuatan
mahadahsyat dari dalam bumi berhasil menjebol kepundan dan
melontarkannya hingga berserakan ke segala penjuru. Udara panas,
jauh lebih panas dari api yang mampu mendidihkan air, melesat turun
bersama lelehan bubur api dan membakar apa pun, membakar tanah,
membakar pohon-pohon, membakar sepasang ular besar yang tak pernah
bermimpi akan mati terbakar, juga landak, juga harimau yang mengintai
kijang. Harimau mati, kijangnya juga, semut-semut, luwing.
Batu-batu sebesar sapi dan gajah yang melesat ke angkasa menjadi


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukti betapa besar kekuatan itu. Debu mengepul membumbung tinggi
ke udara, menyemburkan apa saja yang berada dalam perut gunung yang
sedang murka dan hangus memberangus hutan di sepanjang lereng yang
dilewati oleh lahar merah membara. Warna merah yang mengalir tampak
sangat indah dari kejauhan, memberi gagasan bagi para kawi menulis
keadaan itu melalui bait-bait syair.
Dari pendapa wisma kepatihan, Mapatih Amangkubumi Arya Tadah
merasakan denyut jantungnya berhenti berdetak. Dengan tertatih-tatih,
Arya Tadah menuju penjagaan di depan. Beberapa orang terbangun
kebingungan, beberapa yang lain masih lelap. Terjebak antara sadar
dan tidak, beberapa prajurit terlihat berjalan terhuyung-huyung bagai
orang mabuk. "Gempa bumi," Arya Tadah memberi penjelasan.
Hamukti Palapa 35 Namun, bersamaan dengan itu, warta tentang hadirnya gempa itu
dengan segera menjalar. Kentongan yang dipukul berasal dari dekat
rumah Ki Gura. Itulah sebabnya, yang terdengar kentongan bernada
isyarat kebakaran. Isyarat kentongan itu dengan segera menjalar. Gayung
bersambut, warta itu merata ke seluruh sudut kota dan dengan cepat
pula menyebar ke luar dinding batas kotaraja, sahut-menyahut saling
balas. "Ada apa?" seseorang berteriak.
"Ada kebakaran," seseorang berteriak.
Namun, orang yang lain meneriakkan kata-kata berbeda.
"Gempa bumi, ada gempa bumi. Semua keluar, jangan ada yang
masih berada di dalam. Ayo, semua lari keluar."
Patih Gajah Mada54 adalah salah satu dari mereka yang terjebak di
dalam pusaran kekuatan sirep yang membuatnya pulas. Gajah Mada
beruntung. Meski rumahnya ambruk, derak yang gemuruh menjelang
roboh memberinya kesempatan untuk lolos keluar. Ia lakukan itu tidak
melewati pintu, tetapi langsung menjebol dinding. Jika Gajah Mada
keluar menyelamatkan diri lewat pintu, bisa diyakini ia tidak akan selamat.
Dengan takjub, Gajah Mada mencermati apa yang baru terjadi. Kekuatan
yang mampu menggoyang pilar rumahnya sampai berantakan macam
itu tentulah kekuatan yang tak bisa diukur.
Gajah Mada yang memerhatikan rumahnya, dilibas rasa cemas.
Bukan rumahnya yang membuatnya cemas, tetapi keadaan istana. Gajah
Mada berlari kencang ke kandang kuda yang tidak ikut roboh. Sejenak
kemudian, Gajah Mada membalapkan diri membawa kudanya berderap
menyusur jalan di luar benteng yang akan membawanya langsung ke
istana. 54 Patih Gajah Mada, pada masa pemerintahan bersama yang diselenggarakan Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, Gajah Mada ditarik ke Kotaraja Majapahit dari kedudukannya yang semula sebagai Patih di Daha, menjadi salah seorang patih di Majapahit, tetapi masih belum patih utama atau mahapatih amangkubumi. Hingga pemberontakan Sadeng dan Keta berhasil ditumpas, jabatan patih utama atau mahapatih amangkubumi masih dipegang oleh Arya Tadah.
36 Gajah Mada Gajah Mada merasa lega melihat tak banyak rumah yang ambruk.
Setidaknya dari rumahnya berada menuju ke istana, ia hanya melihat sebuah
rumah yang ambruk. Dengan rumahnya sendiri, Gajah Mada menghitung
dua rumah. Gajah Mada merasa lega jika kemalangan yang terjadi itu
hanya kemalangan yang menimpa dirinya, tidak menimpa istana.
"Kenapa dengan rumahku?" desis Gajah Mada. "Mengapa hanya
rumahku yang ambruk dan rumah-rumah yang lain tidak, padahal
rumahku bukan rumah yang jelek, bahan bangunan rumahku terbuat
dari kayu pilihan." Yang membuat Gajah Mada merasa tenang adalah Tatag Rambat
Bale Manguntur55 masih utuh. Gajah Mada merasa lebih lega lagi setelah
melihat Prabu Putri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Prabu
Putri Rajadewi Maharajasa56 dalam keadaan selamat, masing-masing
berdiri didampingi suaminya. Tribhuanatunggadewi digandeng Sri
Kertawardhana. Sedangkan, Rajadewi Maharajasa berdiri berdampingan
dengan suaminya, Wijaya Rajasa Hyang Parameswara.
Hampir tiga tahun setelah kematian Jayanegara, masing-masing
Prabu Putri masih belum dikaruniai putra. Kehamilan yang diangankan
belum datang juga. Dengan segala kesabaran, Prabu Putri berharap
Hyang Widdi akan segera mengaruniai momongan.
Di sekitar mereka, para prajurit Bhayangkara di bawah pimpinan
Senopati Gajah Enggon berada dalam kesiagaan tertinggi, yang ditandai
dari masing-masing telah menggenggam langkap di tangan kiri.
Senopati Gajah Enggon sedang menyimpan resah, tak hanya
karena terjadinya gempa, tetapi juga masalah-masalah lain yang tidak
kalah gawat. Oleh alasan itulah, Senopati Gajah Enggon merasa perlu
memerintahkan pasukan pengawal raja untuk merapatkan barisan dan
55 Tatag Rambat Bale Manguntur, sebutan untuk Balairung Istana Majapahit.
56 Ratu Tribhuanatunggadewi dan Ratu Rajadewi, masing-masing bernama asli Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, adalah anak Raden Wijaya dari Gayatri. Prof. Dr. Slamet Muljono dalam bukunya Menudju Puntjak Kemegahan, berpendapat bahwa setahun setelah kematian Jayanegara, atas saran Patih Daha, Gajah Mada, kakak beradik itu diangkat sebagai ratu menjalankan pemerintahan bersama. Akan tetapi, para ahli lain berpendapat pemerintahan itu hanya dipegang oleh Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani.
Hamukti Palapa 37 sebagian lain diminta untuk menyebar. Di sebelah Senopati Gajah
Enggon, prajurit Bhayangkara Raga Jampi dan Pring Cluring berdiri
mengapitnya dengan sikap tegak.
"Telah terjadi gempa, Kakang Patih. Namun, kami semua selamat
tak kurang suatu apa. Demikian juga dengan di keputren, tidak ada yang
perlu Kakang cemaskan. Para Ibu Suri juga dalam keadaan selamat,"
ucap Prabu Putri Tribhuanatunggadewi.
Gajah Mada bergegas memberikan penghormatan.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada sigap. "Hamba bersyukur
karena Tuan Putri Prabu berada dalam keadaan selamat. Namun, hamba
melaporkan, rumah hamba sendiri ambruk. Tiang-tiang yang dirancang
kuat itu ternyata tidak mampu menahan goyangan."
Prabu Putri Tribhuanatunggadewi dan Prabu Putri Rajadewi
Maharajasa memberikan perhatiannya. Sri Kertawardhana tidak berbicara
apa pun, tetapi menyimak pembicaraan istrinya. Demikian pula dengan
Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun, ikut menyimak apa yang akan
disampaikan oleh Gajah Mada dengan cermat.
"Tidak ada yang mengalami celaka di rumahmu?" tanya Rajadewi.
Gajah Mada merapatkan kedua telapak tangannya ditujukan kepada
Rajadewi. "Kebetulan tidak ada siapa pun di rumah hamba, Tuan Putri.
Hamba layak bersyukur karena Hyang Widdi masih memberi umur
panjang. Hamba bisa meloloskan diri melalui menjebol dinding," jawab
Gajah Mada. Ratu Tribhuanatunggadewi dan Ratu Rajadewi mengarahkan
perhatiannya ke langit sisi selatan yang sedikit kemerahan. Namun, Sri
Kertawardhana segera memberi penjelasan.
"Ada rumah yang terbakar!"
Gajah Mada yang juga melihat warna merah di langit bergegas
menyembah. 38 Gajah Mada "Hamba mohon ampun, Tuan Putri," kata Gajah Mada. "Hamba
tak perlu cemas lagi terhadap keadaan dan keselamatan Tuan Putri.
Selanjutnya, hamba mohon izin untuk segera melihat kerugian macam
apa saja yang diderita rakyat Majapahit setelah gempa bumi ini. Hamba
akan berkeliling dari sudut ke sudut untuk melihat keadaan."
"Baik," jawab Tribhuanatunggadewi. "Segera laporkan apa pun
yang kautemukan dan kuberi kewenangan kepadamu untuk mengambil
langkah penyelamatan. Jika rakyat perlu dibantu, keluarkan dana yang
mereka butuhkan. Juga segera cari tahu apa penyebab gempa bumi kali
ini, barangkali ada gunung yang meletus. Jika gempa bumi ini terjadi
oleh gunung meletus, tentu banyak sekali kawulaku yang hidup di lereng-
lerengnya yang menderita. Berikan bantuan kepada mereka. Segenap
kawula harus tahu, Majapahit memberi perhatian pada kesengsaraan
yang terjadi macam itu. Sampaikan perintahku kepada para yuwa mantri 57
untuk menyiapkan pertolongan."
Gajah Mada bertindak cekatan dan tak mau bertele-tele. Setelah
menyembah, Patih Gajah Mada berjalan mundur. Namun, Gajah Mada
masih menyempatkan bertemu dengan Senopati Gajah Enggon yang
menggelar kesiagaan tertinggi.
Di sekitar Gajah Enggon ada lebih kurang lima belas Bhayangkara
yang ikut menyimak pembicaraan yang akan terjadi. Masing-masing
Bhayangkara siaga dan memegang langkap di tangan kiri dan warastra 58
di tangan kanan, hal itu memaksa Gajah Mada terheran-heran.
"Ada sebuah hal sangat penting yang ingin kusampaikan, Kakang
Gajah," kata Senopati Gajah Enggon.
"Masalah apa?" balas Gajah Mada.
"Istana kecurian," ucap Senopati Gajah Enggon. "Kami para
Bhayangkara yang bertugas menjaga keamanan istana telah teledor.
57 Yuwa mantri, mantri yunior. Di samping mantri wredha (senior) termasuk di antaranya mahamenteri katrini yang terdiri atas sirikan, halu, dan hino, terdapat pula jabatan menteri muda yang berasal dari para tandha yang sangat berprestasi atau berasal dari prajurit.
58 Warastra, Jawa, anak panah
Hamukti Palapa 39 Kecurian ini membuatku bingung, tak tahu bagaimana melaporkan
kepada Tuan Putri Ratu."
Gajah Mada makin mencuatkan alis.
"Istana kecurian apa?"
" Cihna pusaka dan songsong Kiai Udan Riwis. Ruang perbendaharaan
pusaka dibobol orang."
Jika ada biang rasa kaget, itulah yang dirasakan Gajah Mada
mendengar laporan itu. Gajah Mada yang mundur selangkah adalah karena
sulit menerima. Raut muka Gajah Enggon tak pernah setegang itu.
"Kamu yakin ada yang mencuri?"
"Sebaiknya mari silakan Kakang melihatnya."
Gajah Mada bergegas menuju Bale Biru yang melekat dengan
Tatag Rambat Bale Manguntur. Itulah gedung yang juga disebut gedung
pusaka. Bangunan berdinding tebal itu sangat kuat dan memang
dirancang agar jangan sampai bisa dimasuki oleh siapa pun. Itulah
sebabnya, dindingnya dibuat lebih tebal dengan jeruji besi sebesar
jempol kaki di jendelanya.
"Pelaku memasuki gedung pusaka dengan merusak pintu yang
diungkit dengan linggis," kata Gajah Enggon.
Gajah Mada sependapat dengan apa yang disampaikan Gajah
Enggon, pelaku yang bisa jadi lebih dari satu orang, menjebol pintu
menggunakan linggis. Namun, dengan segera hal itu mengundang
pertanyaan lain. Gajah Mada tidak berniat menahan-nahan, pertanyaan
itu langsung dilontarkan.
"Siapa yang mendapat giliran bertugas menjaga gedung ini malam
ini?" tanya Gajah Mada.
Dua orang Bhayangkara maju mendekat. Bhayangkara Haryo
Muncar dan Kebo Windet siap didamprat.
"Kami yang melakukan tugas itu, Ki Patih," jawab Bhayangkara
Haryo Muncar. 40 Gajah Mada Gajah Mada memerhatikan wajah Haryo Muncar yang gelisah
karena merasa amat bersalah. Di sebelahnya, Bhayangkara Kebo Windet
berada dalam keadaan yang sama.
"Kami tertidur," ucap Kebo Windet pasrah.
Namun, Pring Cluring dan Raga Jampi memiliki kisahnya sendiri.
Laporan mereka menyelamatkan dua Bhayangkara yang tertidur itu.
Gajah Mada memberikan perhatian pada tambahan keterangan yang
disampaikan dua prajurit Bhayangkara itu. Laporan yang sebenarnya
sulit dinalar. "Pelakunya, siapa pun orang itu, menggunakan sirep," kata Pring
Cluring. "Bahkan, sirep yang sangat kuat karena cakupan wilayahnya
yang sangat luas. Aku merasa sirep itu hadir sejak petang, Ki Patih."
Gajah Mada memerhatikan wajah Pring Cluring. Gajah Mada merasa
alasan itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Namun, ternyata Gajah
Enggon juga mengangguk. Gajah Enggon memiliki catatan sendiri atas
kemunculan sirep yang menyebabkan semua orang terlena itu. Gajah
Enggon bergeser. "Dari senja kami merasa curiga, Ki Patih," Pring Cluring bertutur.
"Didorong oleh rasa curiga itulah kami berdua menggagas nganglang
untuk mencermati keadaan yang kami rasakan benar-benar aneh.
Kecurigaan kami itu ternyata benar karena di mana-mana para prajurit
tertidur. Kekuatan sirep itu tidak hanya sebatas di istana, tetapi terasa
sampai ke dinding luar batas kota. Pada akhirnya kecurigaan kami
bakal ada maling itu terbukti benar karena beberapa saat sebelum
gempa terjadi, kami memergoki orang melompati dinding dan berlari
melintas alun-alun. Orang itu berlari cepat sekali dan kami makin jauh
tertinggal di belakang. Pengejaran kami terhenti ketika tubuh kami
mendadak bergoyang. Itu saat gempa terjadi. Tanah yang bergoyang
kuat menyebabkan kami membatalkan pengejaran."
Gajah Mada menyimak. "Sayang sekali wajah orang itu tidak jelas," tambah Raga Jampi.
"Aku bahkan curiga orang yang berlari membawa benda panjang itu
Hamukti Palapa 41 menutupi wajahnya dengan topeng atau kain hitam. Benda panjang itu
ternyata songsong yang hilang."
Hening yang merayap selanjutnya sangat menyita ruang, membekap
semua mulut untuk tidak berbicara. Semua menunggu apa yang akan
disampaikan Patih Gajah Mada. Keterangan yang disampaikan Pring
Cluring dan Raga Jampi mengingatkan Gajah Mada untuk tidak bertindak
gegabah menyalahkan prajurit Bhayangkara Haryo Muncar dan Kebo
Windet. Senopati Gajah Enggonlah yang akhirnya memecah keheningan.
"Kalau aku tidak salah menebak, Kakang Gajah Mada juga tidur
lebih awal?" Pertanyaan yang diajukan kepadanya memaksa Gajah Mada
mengenang apa yang ia lakukan di sepanjang waktu, terutama sesaat
setelah petang datang hingga terbangun oleh guncangan gempa bumi.
Gajah Mada berdesir, tetapi masih berkeyakinan bahwa tidur pulas
yang dialaminya masih merupakan tidur yang lumrah, bukan tidur karena
dilibas ilmu sirep, jenis ilmu batin yang sering digunakan para maling
untuk memperdayai pemilik rumah para calon korbannya.
"Dari awal aku telah curiga ada sirep yang dilepas ke udara.
Kecurigaanku itu yang menyebabkan aku melawan dan berusaha
bertahan jangan sampai mengantuk. Aku telah berkeliling, di mana-mana
para prajurit bergelimpangan tidur di tempat masing-masing. Apa yang
aku lakukan ternyata dilakukan pula oleh Bhayangkara Pring Cluring dan
Raga Jampi. Ternyata mereka menyimpan kecurigaan yang sama, sejak
petang kecurigaan itu muncul," Senopati Enggon menambah.
Gajah Mada berjalan mondar-mandir sambil tangannya memegang
dagu dan tangan kiri berada di pinggang.
"Aku memang tidur lebih awal," katanya. "Kurasa kantukku adalah
kantuk yang wajar. Taruh kata kecurigaanmu benar, jika demikian lantas
siapa pelaku pencuriannya" Untuk kepentingan apa sampai ada orang
yang harus mencuri benda itu" Apakah ada benda yang lain yang juga
hilang?" 42 Gajah Mada Pertanyaan itu dijawab Senopati Gajah Enggon dengan mengajak
Gajah Mada masuk ke dalam gedung pusaka.
Menggunakan obor yang dicabut dari halaman, semua benda pusaka
diteliti. Sebuah peti masih terkunci di sudut ruang. Pusaka-pusaka yang
lain juga masih tersimpan di dinding dan di tempat masing-masing.
Secara nilai jual ada banyak benda yang lain yang lebih berharga, antara
lain setidaknya ada dua keris pusaka yang sangat bagus dan sangat mahal
karena berwarangka emas mengilat. Dua buah keris masing-masing
buatan Empu Sada yang hidup sezaman dengan Empu Gandring dan
Empu Purwa, yang telah diganti warangkanya dengan warangka yang


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh lebih bagus, bahkan bersalut emas. Keris itulah yang dikenakan
Raden Cakradara dan Raden Kudamerta pada perhelatan perkawinannya
dengan para sekar kedaton.
Benda bernilai mahal itu masih tersimpan di tempatnya. Sementara
itu, cihna yang hanya terbuat dari selembar kain dan songsong yang juga
tidak ada harganya, benda-benda macam itu justru yang dicuri. Entah
siapa orang gila yang menganggap kedua benda itu sangat berharga.
Apalagi, untuk mencurinya sang maling menggunakan cara yang tak
sembarangan, pelakunya sampai harus menggelar kekuatan sirep segala.
Jauh hari Gajah Mada memang pernah mendengar tentang ilmu sirep
itu, tetapi yang ia peroleh selalu keterangan yang tidak jelas, selalu dari
katanya dan katanya. Tidak seorang pun yang bisa menunjukkan dan
memberi bukti, ilmu penidur itu benar-benar ada. Gajah Mada tidak
pernah berurusan dengan orang yang menguasai ilmu macam itu.
Gajah Mada berbalik. "Kauyakin pencurian ini memanfaatkan ilmu macam itu?" Gajah
Mada masih merasa penasaran.
"Aku sangat mencurigai hal itu, Kakang," jawab Gajah Enggon.
"Sebagaimana aku yakini dari awal, aku sudah curiga. Aku pikir udara
yang mengalir aneh itu berjawab gempa yang terjadi, ternyata salah.
Pencurian dan terjadinya gempa bumi merupakan dua hal yang berbeda
sama sekali." Hamukti Palapa 43 Hening datang merayap, menyelinap di antara semua orang, lalu
membelit dengan sangat buas, seperti belitan ular sanca sebesar pohon
kelapa terhadap seekor kerbau besar yang ternyata menyebabkan terputus
aliran napasnya. Gajah Mada memerhatikan raut muka Bhayangkara Haryo Muncar
dan Kebo Windet dengan pandangan yang sulit ditebak. Akan tetapi,
apa yang selanjutnya dikatakan lebih diarahkan kepada Senopati Gajah
Enggon yang dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab
terhadap hilangnya benda pusaka itu. Jika anak buah melakukan
kesalahan, cara pandang keprajuritan menempatkan pimpinan sebagai
pihak yang harus bertanggung jawab.
"Benda-benda yang dicuri itu harus ditemukan," ucapnya tegas.
"Benda itu bisa jadi tidak memiliki harga dilihat dari nilai, tetapi
menggunakan cara pandang lain, benda yang dicuri itu justru tidak ternilai
harganya karena peran yang diberikan oleh masing-masing benda itu.
Benda-benda itu menyimpan riwayat dan sejarah. Itu sebabnya, cihna
pusaka dan songsong itu menjadi tidak ternilai harganya. Lebih dari itu,
semua benda itu harus ditemukan agar orang tak merendahkan martabat
gedung perbendaharaan pusaka."
Gajah Enggon mengangguk. "Telah aku perintahkan kepada para prajurit Bhayangkara untuk
menyebar, Kakang Gajah," jawab Senopati Gajah Enggon. "Aku
berharap maling aneh itu bisa ditangkap dan benda-benda yang dicuri
bisa ditemukan kembali. Dengan demikian, akan terkuak apa yang
menjadi latar belakangnya."
"Juga mintalah bantuan kepada telik sandi 59 pasukan Jalapati dan
Sapu Bayu untuk mendukung pencarian benda pusaka yang hilang
itu." "Sudah aku lakukan, Kakang!"
59 Telik sandi, Jawa, mata-mata
44 Gajah Mada Gajah Enggon telah menjawab dengan tegas, tetapi sejatinya
Senopati Gajah Enggon tidak merasa yakin dengan janji yang dilepas.
Konon, kata orang, yang entah benar entah tidak, orang yang menguasai
ilmu sirep biasanya juga menguasai ilmu menghilang, lenyap dari
pandangan mata. Tentu akan sulit berurusan dengan orang yang punya kemampuan
seperti itu. Andaikata ilmu menghilang itu benar ada dan ia seorang lelaki
cabul maka para gadis akan berada dalam bahaya.
4 P agi yang datang esok harinya adalah pagi dengan warna
putih di mana-mana, di atas genting, mengotori dedaunan, dan
secara nyata melekat di daun-daun pisang. Seorang perempuan merasa
bernasib malang karena jemuran pakaian yang lupa diangkat menjadi
kotor kembali. Seseorang yang terbangun dari tidur di halaman
karena sedang menjalani laku prihatin dengan tidur semalaman
di halaman kebingungan mendapati tubuhnya putih semua penuh
dengan abu. Supaya bersih pakaian itu harus dicuci kembali, padahal untuk
mencuci baju itu bukan perkara gampang. Musim kemarau yang
berlangsung lebih panjang dari biasanya menyebabkan sumur-
sumur menjadi asat. Untuk keperluan mandi harus ke sendang yang
jaraknya lumayan jauh sambil dibayangi kemungkinan sendang itu
akan asat. Dalam keadaan biasa kolam pengaman di depan Purawaktra selalu
penuh. Namun, kemarau yang terjadi kali ini benar-benar tidak peduli
Hamukti Palapa 45 kolam siapa pun. Kolam di depan istana asat, bahkan kolam Tambak
Segaran60 yang masih dalam taraf pembuatan dan sedang dikeduk juga
asat. "Gempa semalam rupanya karena gunung meletus," kata perempuan
itu sambil menyeduh wedang jahe kesukaan suaminya.
Suaminya yang masih bermalas-malasan di tempat tidur memandangi
istrinya. "Apa tadi kamu bilang?"
"Gempa semalam karena gunung meletus," ulang sang istri. "Di
luar penuh abu yang melapisi tanah, menempel dan melapisi daun-daun,
juga atap rumah." Laki-laki itu berpikir keras, terlihat dari keningnya yang berkerut.
"Gunung Kampud meletus?"
Memastikan kebenaran ucapan istrinya, laki-laki bercambang lebat
yang masih berkemul sarung itu lari ke halaman dan mendapati sejauh
mata memandang berwarna putih, warna abu yang turun merata.
Namun, laki-laki bercambang itu segera berpikir dan merasa ada yang
aneh, sedahsyat apa pun gunung meledak, gempa hanya akan terasa di
sekitarnya. Jika gempa itu terasa sampai ke ibu kota Majapahit, tentunya
berasal dari gunung dekat-dekat saja.
Di istana, keadaan itu juga menjadi perhatian kedua Prabu Putri dan
suaminya. Di istana kiri, Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
memandangi keadaan itu dari balik jendela. Warna putih di mana-mana
itu sangat mencemaskan. Jika hari makin siang, abu yang berasal dari
gunung meletus itu akan mengotori udara dan mengotori pernapasan.
Diyakini pasti akan banyak orang sakit tenggorokan dan pernapasan,
juga sakit mata. 60 Tambak Segaran, nama kolam peninggalan Majapahit yang masih utuh hingga sekarang, berupa kolam buatan berdinding bata dengan panjang lebih dari 1,5 kilometer dan lebar lebih dari 500 meter sebagai tempat berlatih armada laut Majapahit, terletak ke arah utara dari Balai Prajurit yang telah dipugar oleh Kodam Brawijaya.
46 Gajah Mada "Jika gempa yang menimpa semalam ada hubungannya dengan
gunung yang meletus, mungkin ada orang yang membutuhkan bantuan,"
ucap Wijaya Rajasa Hyang Parameswara, suami Dyah Wiyat.
Dyah Wiyat tidak memberi jawaban, perhatiannya masih tertuju
pada hamparan alun-alun istana yang terlihat kotor merata. Prabu Putri
Dyah Wiyat membalikkan badan dan memerhatikan suaminya.
"Menurut Kakangmas," tanya Dyah Wiyat, "gunung apakah yang
meletus kali ini?" Kudamerta mencatat ada beberapa buah gunung yang menyimpan
riwayat ledakan, termasuk gunung yang berada jauh di arah timur masuk
ke kawasan Blambangan bernama Raung. Gunung itu juga sering batuk
dan mengeluarkan dahak. Berada di dekat dan terlihat jelas dari Simping, Gunung Kampud
juga sering bersin-bersin mengeluarkan lahar membara yang berleleran
seperti besi cair yang dituangkan ke dalam cetakan. Terasa sangat aneh
karena yang mengalir itu cairan api, panasnya melebihi biang panas yang
mampu melelehkan besi. Sri Wijaya Rajasa Hyang Parameswara juga mencatat, di Jawa
wilayah tengah, terlihat jelas jika arah pandang ditujukan lurus dari
Candi Borobudur ke timur, gunung bernama Merapi mengepulkan
asap sepanjang waktu. Jika Gunung Merapi yang bersebelahan dengan
Merbabu itu meledak, suara gemuruhnya terdengar hingga ke lereng-
lereng. Gulungan asapnya mampu membakar apa pun untuk meranggas.
Jika yang dilewati adalah hutan pinus, hutan pinus itu berubah menjadi
barisan tombak jati ngarang.61
"Aku menerima banyak laporan gunung-gunung yang batuk,
Gunung Raung di bumi Blambangan katanya berasap banyak. Namun,
mungkin juga Kampud yang berulah. Namun, gunung apa pun yang
meledak dan melemparkan abunya jatuh sampai ke ibu kota, tentulah
menyengsarakan wilayah yang berada pada jarak dekat dengan gunung
61 Jati ngarang, Jawa, perumpamaan untuk pepohonan yang kering kerontang tanpa daun Hamukti Palapa
47 itu. Penderitaan luar biasa pasti dialami mereka yang tinggal di lereng-
lereng, para pertapa yang mencari ketenangan hati di gua-gua, atau
perkampungan yang dilewati lahar. Yang perlu dilakukan adalah segera
dan secepat-cepatnya mengirim orang untuk mengetahui gunung apa
yang meledak agar bisa segera dilakukan pertolongan. Menurutku,
utamakan mengarahkan perhatian ke Gunung Kampud. Gunung itu
yang selama ini banyak berulah."
Rajadewi Maharajasa mengangguk.
"Telah diperintahkan kepada Kakang Gajah Mada untuk mengatasi
hal itu. Aku yakin, melihat tebalnya abu ini, Kakang Gajah Mada pasti
telah bertindak," jawab Prabu Putri Rajadewi Maharajasa.
Sebenarnyalah Gajah Mada telah bertindak cekatan. Pengambilan
langkah yang dilakukan terpaksa harus melibatkan Senopati Gajah
Enggon yang memimpin pasukan khusus Bhayangkara, lalu Senopati
Haryo Teleng, pucuk pimpinan pasukan Jalapati, dan Senopati Panji
Suryo Manduro yang membawahi pasukan Sapu Bayu.
"Kalian melihat sendiri pagi ini Majapahit dilabur abu?" kata Gajah
Mada. Gajah Enggon, Haryo Teleng, dan Panji Suryo Manduro menyimak.
"Ya," Haryo Teleng satu-satunya yang menjawab.
"Jika gunung berapi meletus meninggalkan jejak gempa bumi dan
menyebabkan rumahku yang kukuh bisa ambruk, tentulah ada banyak
korban di wilayah kaki gunung yang meletus itu. Mungkin saja ada
penduduk yang tinggal di lereng gunung tersapu banjir lahar panas atau
tersapu hujan abu yang tebal dan pekat. Sayang, kita belum tahu gunung
apa yang meletus itu."
Bagai bersepakat, ketiga senopati membalikkan badan dan
memerhatikan raut wajah Gunung Welirang di arah selatan sedikit ke
timur. Tampilan gunung itu hingga ke lekuk-lekuknya cukup jelas dan
sama sekali tidak ada jejak ledakan, tak ada asap dan warnanya tetap
biru sejuk. 48 Gajah Mada "Oleh karena itu," lanjut Gajah Mada, "aku berikan tugas kepada
Senopati Haryo Teleng dan Gajah Enggon untuk mengirim orang
secepat-cepatnya guna mencari tahu apa yang terjadi. Kirim orang untuk
memeriksa Gunung Anjasmoro, Gunung Arjuno, Gunung Bromo,
Gunung Mahameru di dekat Lumajang, juga Gunung Raung dan
Argopuro, termasuk Welirang yang terlihat jelas itu. Kirim laporannya
secepatnya dengan menggunakan burung dara."
" Tandya,62 Adi Gajah, perintahmu aku laksanakan," jawab Senopati
Haryo Teleng. "Sementara itu, tugasmu," lanjut Gajah Mada ditujukan kepada
Senopati Panji Suryo Manduro, "siapkan pengiriman bantuan berupa
apa pun yang diperlukan. Begitu berita tentang di mana bencana
terparah itu terjadi, bantuan bisa langsung dikirim. Untuk tugas itu,
hubungi pengalasan yang mengatur urusan beras dan palawija. Hubungi
dan minta Rakrian Menteri Halu Dyah Lohak untuk kebersamaan
kerja!" Panji Suryo Manduro mengangguk.
"Aku kerjakan."
Gajah Mada kemudian mengarahkan pandangan matanya ke raut
muka Gajah Enggon yang berubah menjadi pendiam. Lingkungan
istana sampai dibobol maling masih meninggalkan jejak di wajah Gajah
Enggon. Lencana Pembunuh Naga 11 Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Pisau Terbang Li 10
^