Pencarian

Hamukti Palapa 11

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 11


pemimpin telah meminta dengan sangat kepada anak buahnya untuk
jangan ada yang mengambil langkah yang tidak sesuai dengan yang telah
ditentukan dan disepakati bersama.
"Ma Panji, kami butuh penjelasan, apa yang sebenarnya terjadi?"
terdengar salah seorang rakyat berteriak.
Para Bhayangkara yang menyusup di antara segenap penduduk
Keta kaget. Mereka tak menyangka cara penyampaian pertanyaan yang
diajukan rakyat kepada pimpinannya begitu lugas, demikian blak-blakan
tanpa dilandasi oleh rasa sungkan.
Para telik sandi Bhayangkara juga merasa heran karena Ma Panji
Keta sama sekali tak merasa tersinggung dengan gaya pertanyaan
yang demikian lugas itu. Bagi para Bhayangkara, yang terbiasa dengan
kehidupan gaya Majapahit, mereka terkaget-kaget melihat cara orang Keta
menyampaikan pendapatnya. Di Majapahit, terasa sulit membayangkan
ada orang yang berani bersikap tidak hormat kepada raja. Di sini, raja
bisa diajak bicara dengan nada keras.
"Benarkah saat ini Keta sedang menyelanggarakan latihan perang
di tempat yang diberi nama Alas Larang, Ma Panji?" seorang yang lain
lagi bertanya. Hamukti Palapa 553 Selanjutnya, orang-orang yang menggerombol itu saling berbicara,
saling teriak, dan menimbulkan kegaduhan melebihi suara ribuan ekor
tawon. Ma Panji Keta mengangkat tangan kanannya, meminta semua
orang untuk diam. Suara mirip tawon itu kemudian menghilang. Orang-
orang itu diam. Mereka tidak keberatan memenuhi permintaan itu.
"Segenap kawula Keta yang aku cintai!" berkata Ma Panji Keta
dengan suara amat lantang. "Hari ini, demikian pagi hari datang, kita
semua dikagetkan oleh banyak kalimat yang ditulis di beberapa tempat,
di tembok-tembok, di dinding istana, dan beberapa tempat yang isinya
merupakan ajakan untuk untuk bersatu padu membangun kekuatan
melawan Majapahit"."
Ma Panji Keta menghentikan rangkaian kalimatnya sesaat untuk bisa
mengetahui bagaimana sikap rakyatnya. Para kawula memandangnya
dengan tatapan mata membeku, sebagian besar merasa tak puas dengan
awalan ucapan itu, sebagian yang lain demikian semangat.
"Untuk semua tulisan yang isinya menghasut itu, aku tidak pernah
memerintahkan. Pelakunya adalah orang dengan maksud melempar batu
sembunyi tangan. Pelakunya pengecut yang tidak tahu diri, yang entah
punya niat macam apa di balik perbuatan itu."
Para telik sandi Bhayangkara yang berbaur dengan para penduduk
telah menduga akan ada penyangkalan dari Ma Panji Keta, tetapi tak
disangkanya akan separah itu.
Seorang kakek tua mengangkat tangannya.
"Maaf, Adipati Ma Panji, izinkan aku bertanya."
Ma Panji menoleh mencari-cari dari mana sumber suara bertanya
itu. Ma Panji Keta mengangkat tangan mempersilakan orang itu
bertanya. "Dua orang cucuku laki-laki semua," kata orang itu. "Satu cucuku
dari anakku yang pertama, seorang lagi cucuku yang berasal dari
anakku yang kedua. Mereka sudah lama pergi yang katanya untuk
memenuhi panggilan Majapahit yang membutuhkan prajurit lebih
banyak." 554 Gajah Mada "Kira-kira setahun yang lalu, di tempat ini pula, Adipati Ma Panji
melepas keberangkatan anak-anak muda yang katanya untuk digembleng
menjadi prajurit pilih tanding. Hal itu memang benar, Adipati Ma Panji.
Ketika cucu-cucuku berkesempatan pulang, mereka telah berubah
menjadi seorang prajurit pilih tanding. Tetapi, mengapa latihan perang
itu dilakukan di Alas Larang dan mengapa hasilnya tidak seperti yang
kuharap" Kulihat sikap cucuku telah berubah. Bukannya ia mencintai
Majapahit, tetapi berbalik memendam kebencian yang demikian meluap
kepada Majapahit. Mengapa?"
Agak berubah raut wajah Adipati Ma Panji Keta mendengar
pertanyaan dari kakek tua itu. Adipati Ma Panji segera memutar otak
mencari cara bagaimana menjawabnya, tetapi lagi-lagi ada banyak tangan
mengacung minta izin bertanya.
"Kami mendengar selentingan pawarta yang mengatakan Keta
memang sedang mempersiapkan diri akan berhadapan dengan Majapahit.
Sudah lama sekali aku dan banyak orang menahan diri. Setiap kali kami
tanyakan hal itu, jawabnya selalu bantahan-bantahan.
Aku punya seorang anak, yang ketika diberangkatkan bersama
rombongannya dulu, katanya menuju pusat pelatihan dan pendadaran
prajurit di Majapahit. Sampai sekarang anakku itu belum pulang, padahal
sudah setahun lebih lamanya. Benarkah anakku itu dididik menjadi
seorang prajurit untuk dihadapkan melawan Majapahit" Kalau ya,
sungguh aku tidak terima, Ma Panji Keta!
Kita ini bagian dari Majapahit. Kita ikut merasakan pahit getir
ketika bersama-sama membangun Majapahit dari bawah sekali. Mengapa
sekarang Keta dengan sembunyi-sembunyi berniat melakukan tindakan
yang ngawur macam itu?"
Ma Panji Keta masih menimbang jawaban macam apa yang harus
diberikan. Jika rencana yang telah disusun sejak lama itu masih bisa
dirahasiakan, itu lebih bagus dan ia berharap, bersama-sama dengan Sadeng,
masih memiliki waktu untuk mempersiapkan pasukan dengan matang.
Namun, jika tak mungkin lagi merahasiakan rencana melawan
Majapahit, juga tidak masalah. Mengapa tidak disampaikan secara blak-
Hamukti Palapa 555 blakan, Keta memang akan mengupayakan untuk berdiri bebas dari
cengkeraman Majapahit"
Seorang laki-laki tiba-tiba meminta perhatian.
"Namaku Mahisa Grimba!" berteriak pemuda itu sambil berkacak
pinggang. "Aku akan menjawab pertanyaan kalian semua. Aku baru saja
pulang dari pelatihan di Alas Larang."
Adipati Ma Panji terkejut melihat laki-laki dengan sikapnya yang aneh
itu. Meski tampak brangasan, pemuda itu menyempatkan memberikan
penghormatan kepada Adipati Ma Panji. Ma Panji Keta mengangguk
menerima. "Siapa yang ingin bertanya kepadaku, apa yang kami lakukan di
Alas Larang?" "Ceritakan saja apa yang kaulakukan, Mahisa Grimba!" menjawab
seseorang entah siapa. "Ceritakan dengan jujur dan blak-blakan, apa yang
diselenggarakan di Alas Larang dan apa tujuannya ke depan?"
"Di Alas Larang, kami semua sedang berlatih berperang dengan
amat keras. Bahkan, sangat keras, yang itu dilakukan untuk sebuah masa
depan yang gemilang bagi Keta, yang harus mewujudkan mimpinya
menjadi negara merdeka! Benar apa yang disebut tulisan-tulisan itu, kita
harus mempersiapkan diri untuk berperang melawan Majapahit."
Gemuruh riuh rendah rasa kaget yang dialami oleh segenap
kawula yang datang ke tanah lapang depan Istana Keta itu. Semuanya
terperangah, tidak seorang pun yang tidak terperangah. Gempa bumi
yang terjadi makin menggeratak ketika dengan berapi-api orang yang
mengaku bernama Mahisa Grimba itu membakar semangat.
"Adipati Keta," teriak Mahisa Grimba. "Untuk apa masih
disembunyikan rencana yang telah disusun" Sekaranglah saatnya untuk
menyampaikan yang sebenarnya, apa yang kita kehendaki, dan bagaimana
ke depan sikap kita."
Perhatian terpulang kembali kepada Ma Panji Keta yang merasa
telah sampai pada hanya satu pilihan tanpa pilihan lain. Satu pilihan
556 Gajah Mada itu adalah berbicara terang-terangan. Kini, telah tiba saatnya untuk
terbuka. Ma Panji Keta mempersiapkan diri sambil menebar pandang
dan mencari-cari di mana orang yang menyebut nama Mahisa Grimba
yang bertubuh kekar perkasa itu. Namun, Mahisa Grimba tidak ada. Ia
menyelinap entah ke mana.
Berdiri di sebelah Bhayangkara Riung Samudra, Bhayangkara Jayabaya
tersenyum. "Namamu bagus sekali, Mahisa Grimba," bisik Jayabaya.
Terjadi perbedaan pendapat yang sangat riuh di alun-alun depan
Istana Keta yang menghadap ke arah laut luas itu. Ketika Ma Panji Keta
memberikan penjelasan, mengapa Keta mengambil sikap menempatkan
Majapahit sebagai musuh, separuh dari rakyatnya terperangah karena
tak bisa menerima gagasan gila itu dan separuh yang lain terperangah
pula karena menganggap gagasan itu sangat bagus.
Semua rangkaian peristiwa itulah yang menjadi kenangan
Pradhabasu ketika ia memandang rembulan. Pradhabasu menghela
napas untuk menutup kenangan rangkaian peristiwa yang telah berlalu
itu. Matanya tidak berkedip dalam memandang sasadara dengan cahaya
yang benderang. Pemandangan yang sama disaksikan oleh Dyah Menur
dan Sang Prajaka di tempat berbeda. Jika Pradhabasu memerhatikan
rembulan itu dengan penuh perasaan, demikian pula dengan Dyah Menur
yang berharap rembulan akan menyambung rasa rindunya kepada lelaki
yang telah mencuri hatinya.
"Sedang apa kamu, Prajaka?" keluh lelaki perkasa itu. "Sedang apa
pula kau, Dyah Menur?"
Dan, di tempat yang amat jauh, tetapi di waktu yang sama, Dyah
Menur Sekar Tanjung meletupkan keluhan serupa.
"Di mana kau, Kakang Pradhabasu?"
Hamukti Palapa 557 35 Pasewakan yang digelar di istana kali ini berbeda dengan pasewakan
biasanya. Para tamu utusan negara bawahan merasa aneh karena biasanya
setiap digelar pertemuan besar macam itu, tidak dilakukan bersamaan
dengan latihan perang yang diselenggarakan tepat di alun-alun istana.
Meski latihan perang itu disebut sebagai suguhan tontonan, para tamu
itu tidak bodoh. Para tamu sibuk menduga ada apa latihan perang digelar
langsung di depan pertemuan itu.
Latihan perang besar-besaran itu dirancang mendadak, yang
gagasannya keluar dari benak Patih Gajah Mada. Gajah Mada mulai
tak sabar menghadapi perkembangan keadaan. Apalagi, ketika pagi
sebelumnya, masih pagi sekali, rumahnya digedor. Masih mengantuk
Gajah Mada saat membuka pintu.
"Ada apa?" tanya Gajah Mada yang masih dibayangi rasa kantuk.
"Bhayangkara Lembu Pulung dan Macan Liwung minta izin
menghadap!" prajurit yang bertugas menjaga rumahnya itu menjawab.
Gajah Mada terkejut dan bergegas keluar menemui.
"Kalian?" Lembu Pulung dan Macan Liwung serentak memberikan
penghormatannya. "Berita apa yang kalian bawa?" tanya Gajah Mada.
"Aku membawa perintah dari saudara kita, Pradhabasu, yang
memintaku menghadap Kakang Gajah Mada sekaligus menyerahkan
bukti-bukti sebagai alasan kuat menjatuhkan hukuman kepada Ma Panji
Keta. Pradhabasu juga menyarankan untuk tidak menunda waktu lagi,
segera mengirim pasukan untuk menguasai Keta dan Sadeng secara
bersama-sama, mumpung para prajurit yang berlatih perang di sebuah
tempat bernama Alas Larang belum ditarik."
558 Gajah Mada Gajah Mada merasa ada yang aneh.
"Kau diperintah Pradhabasu?" tanya Gajah Mada.
"Ya," jawab Bhayangkara Macan Liwung.
"Bagaimana bisa?" Gajah Mada memuntahkan rasa penasarannya.
"Atas kesepakatan kami, para Bhayangkara wredha yang melakukan
pengintaian di sana, kami meminta Pradhabasu untuk mau memimpin
kami dalam gerakan penculikan dan langkah-langkah terkait di Keta."
Patih Gajah Mada adalah orang yang sulit tersenyum, tetapi kali
ini jawaban itu membuat hatinya senang. Gajah Mada diam beberapa
saat lamanya. Prajurit Bhayangkara Lembu Pulung dan Macan Liwung
tahu, Gajah Mada sedang berpikir keras. Itu sebabnya, mereka tak
menyela. Gajah Mada amat percaya dengan ketajaman mata Pradhabasu.
Jika mantan Bhayangkara Pradhabasu mengirim pesan macam
itu, tentulah karena telah mengolah kenyataan yang ia lihat dan
rasakan di lapangan. Namun, mengirim pasukan dengan seketika,
juga bukanlah pekerjaan gampang. Prajuritnya mungkin siap untuk
digerakkan sewaktu-waktu, tetapi dukungan pangan perlu disiapkan
dan itu butuh waktu. "Kalian kecapekan?" tanya Gajah Mada amat menyimpang.
Pertanyaan yang dilontarkan Gajah Mada dengan membelok itu
membuat Macan Liwung dan Lembu Pulung tersenyum serentak.
Mereka merasa senang karena Gajah Mada masih sempat menanyakan
hal itu. "Sejak malam pertama kami berhasil bertemu dengan Pradhabasu,
kami berdua langsung menempuh perjalanan dengan berperahu
bersambung dengan kereta kuda untuk mengejar agar pagi ini kami
sampai di sini." "Mengapa?" tanya Gajah Mada heran.
"Bukankah hari ini digelar pasewakan?"
Hamukti Palapa 559 Gajah Mada manggut-manggut.
"Bagaimana cerita Pradhabasu sendiri" Apakah ia dan Gajah
Enggon telah berhasil menemukan dua pusaka yang hilang itu?"
Mendapat pertanyaan itu, Lembu Pulung dan Macan Liwung
serentak tersenyum. "Ada apa?" tanya Gajah Mada yang merasa heran.
"Di Keta, kami hanya bertemu dengan Pradhabasu, tetapi tidak
dengan Senopati Gajah Enggon karena Senopati Gajah Enggon masih
berbulan madu." Gajah Mada merasa tak paham memperoleh jawaban itu.
"Gajah Enggon berbulan madu?" tegasnya.
"Di Ujung Galuh, Senopati Gajah Enggon diambil menantu oleh
Kiai Pawagal." Gajah Mada benar-benar merasa terkejut. Namun, itulah kaget yang
menyenangkan hatinya mengetahui Senopati Gajah Enggon akhirnya
telah mengakhiri masa lajangnya. Dengan cermat dan saksama, Gajah
Mada menyimak semua laporan itu.
Lembu Pulung dan Macan Liwung menuturkan kesulitan yang
dialami Bhayangkara untuk menyelinap ke dalam istana karena terlindung
oleh bentuk pertahanan yang aneh karena selalu dibayangi kabut. Di
bawah pimpinan Pradhabasu, para Bhayangkara sedang mengupayakan
untuk bisa menerobos tebal kabut aneh itu.
Didorong oleh laporan itulah, Gajah Mada memerintahkan Senopati
Gagak Bongol untuk mengatur latihan perang meski tidak dijadwalkan.
Para tamu yang berasal dari Daha, Wengker, Matahun, Lasem, Pajang,
Paguhan, Kahuripan, Singasari, Mataram, Blambangan, Pawanuhan,
Pamelekehan, Keta, dan juga Sadeng mengarahkan perhatiannya ke arah
geladi perang sambil menunggu Prabu Putri hadir dan menempatkan
diri duduk di Bale Witana.
"Tidak biasanya!" berbisik Patih Blambangan ditujukan kepada
Patih Paguhan yang duduk di sebelahnya.
560 Gajah Mada "Apanya?"

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di istana digelar pertemuan besar, di halaman berlangsung latihan
perang. Apakah ada semacam pesan khusus di balik diselenggarakannya
latihan perang itu?" tanya Patih Blambangan.
"Kamu ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?" tanya Patih
Paguhan. Mencuat alis Patih Blambangan.
"Latihan perang besar-besaran ini adalah sindiran atau ancaman bagi
negara wilayah yang mencoba-coba berniat mengangkat senjata."
Betapa kaget Patih Blambangan mendengar jawaban itu. Sebelah
alisnya mencuat. Apalagi, ketika Patih Paguhan membisikkan sesuatu
ke telinganya. "Sindiran dan ancaman terselubung itu ditujukan ke Keta dan
Sadeng." Patih Blambangan benar-benar terbelalak. Keta adalah wilayah terdekat
dari Blambangan, bahkan telah beberapa kali ia datang mengunjungi
sahabatnya di Keta atau yang orang Blambangan menyebutnya sebagai
Besuki. Sejauh pengamatannya, tak ada kegiatan luar biasa apa pun yang
terjadi di Kota Keta. Jadi, bagaimana bisa latihan perang itu ditempatkan
sebagai ancaman terhadap dua negara bawahan itu"
Wajah Patih Blambangan yang semula ceria, seketika berubah
menjadi tegang. Yang terlambat ia lakukan itu karena para utusan negara
bawahan yang lain lebih dulu tegang dari awal.
Di tempat duduknya, bersila, berbaur dengan para tamu dari
negara bawahan yang lain, para tamu utusan dari Keta tampak salah
tingkah, pun demikian mereka yang datang dari Sadeng. Penggelaran
kekuatan yang nggegirisi itu jelas ditujukan sebagai sindiran untuk
mereka. Selama menunggu sidang di balairung itu digelar, Patih Keta, Panji
Hyang Rogasiwi, merasakan derap jantungnya terlalu cepat berlarian.
Hamukti Palapa 561 Akhirnya, ketika dari alun-alun di depan Tatag Rambat Bale
Manguntur terdengar derap genderang berbaur suara bende yang
menggelegar, makin riuh mereka yang berlatih perang dalam gelar
Cakrabyuha melawan Bayu Bajra yang dirancang sedemikian rupa seolah
perang sebenarnya. Yang menandai bahwa apa yang terjadi itu hanya latihan adalah dari
senjata yang ditumpulkan, tak digunakan pedang besi. Yang digunakan
pedang kayu, pun semua tombak yang digunakan tombak tumpul yang
pada ujungnya dibalut dengan kain, demikian pula dengan anak panah
dan senjata-senjata yang lain.
Gemuruh latihan perang itu begitu riuh. Apalagi, penabuh genderang
yang bertugas membakar semangat dan peniup sangkakala menempatkan
diri tak jauh dari kandang macan, menyebabkan dua binatang buas itu
tidak tenang dan berjalan mondar-mandir, sekaligus hal itu didorong
oleh rasa laparnya karena tidak memperoleh makanan yang cukup untuk
mengganjal dan memenuhi semua ruang di lambungnya.
Setelah beberapa saat menunggu, para pejabat penting Majapahit
mulai masuk ke barisan tempat duduk yang disediakan. Para mahamenteri
katrini masuk ke dalam pasewakan dipimpin Menteri Hino Dyah
Janardana, disusul Mahamenteri Sirikan Dyah Mano, dan Mahamenteri
Halu Dyah Lohak. Di belakangnya, lima orang dengan jabatan dan
kedudukan penting yang berada langsung di bawah kendali Mapatih
Arya Tadah yang tergabung dalam Panca Ri Wilwatikta, termasuk
Gajah Mada berada di dalamnya. Di belakang barisan pejabat Panca Ri
Wilwatika adalah tujuh orang Upappati 227 yang disebut pameget yang
terdiri atas lima orang, yaitu pameget tirwan, kandamuhi, manguri,
jambi, dan pamwatan. Dari pintu yang lain, akhirnya keluar dengan mengenakan pakaian
kebesarannya, Sang Dharmadyaksa Kasogatan Dang Acarya Samenaka
Kanakamuni dan Dharmadyaksa Kasaiwan yang mengurusi kehidupan
orang-orang yang memeluk agama Syiwa, Dang Acarya Darmaraja.
227 Upappati, jabatan yang dipegang oleh para pejabat yang bertugas membantu para dharmadyaksa 562
Gajah Mada Di tempat yang sangat terhormat itu hadir pula para mantan pejabat
dharmadyaksa kasaiwan yang tua usianya, tetapi masih menyimpan
semangat, seperti Dang Acarya Harsaraja dan Dang Acarya Siweswara.
Akhirnya, setelah beberapa jenak menunggu, seorang tandha yang
bertugas sebagai penghubung telah memberi isyarat bahwa kedua Prabu
Putri akan memasuki pasewakan. Maka, serentak semua yang hadir
berjongkok dengan menekuk salah satu kaki bertumpu di tanah sambil
memberikan sembah. Sang Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
tampil dengan keanggunan tanpa banding, berjalan dengan tatapan mata
berwibawa, berdampingan dengan suaminya. Demikian pula dengan
Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajada, tampak cantik gilang
gemilang, bergandengan tangan dengan suaminya, Wijaya Rajasa Sang
Apanji Wahninghyun yang gagah dan tampan. Gajah Mada merasa ada
yang aneh ketika melihat Mahapatih Arya Tadah tidak keluar dari pintu
ikut mengiringi keluarnya raja putri.
"Paman Tadah sakit lagi?" tanya Gajah Mada dalam hati.
Akhirnya, semua tamu duduk bersila, kecuali dua orang yang tidak,
yaitu Dharmadyaksa Kasogatan dan Dharmadyaksa Kasaiwan. Untuk
mereka, disediakan tempat duduk tersendiri. Ada lagi sebuah dampar
tanpa sandaran yang terletak di sebelah kiri Balai Witana. Namun,
pemilik dampar itu, Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah, tak hadir
dalam pasewakan. Maka, Gajah Mada segera menduga, Mahapatih Arya
Tadah pasti jatuh sakit lagi.
Tak hanya Gajah Mada yang berpikir demikian. Segenap pejabat
utama dan pimpinan prajurit menduga ke arah sana. Gajah Mada yang
mengedarkan tatapan matanya jatuh ke raut wajah yang sebenarnya
sudah lama tidak tampak. Wajah-wajah itu adalah milik orang-orang
yang entah dengan alasan apa begitu membencinya. Mereka adalah Ra
Kembar, anak Raja Pamelekehan. Juga ada wajah culas dan celingus
milik Jabung Tarewes, yang juga sering menjelek-jelekkan namanya. Di
sebelahnya, duduk Araraman Lembu Peteng yang entah mengapa ikut
keracunan klerak. Di sebelahnya lagi, duduk bersila pemilik wajah mirip
Hamukti Palapa 563 burung gagak karena paruhnya yang melengkung dan kulitnya yang
hitam, dialah si Warak atau Mahisa Warak.
Demikianlah pasewakan berlangsung sebagaimana biasanya. Jika ada
yang berbeda adalah karena tepat di depan Bale Manguntur itu sedang
berlangsung latihan perang yang digelar dengan kekuatan penuh hingga
meluber ke alun-alun di luar pintu gerbang Purawaktra.
Suara bende yang dipukul berdentang-dentang menggetarkan
udara, apalagi ditambah terompet dan derap genderang. Suara berisik
yang demikian sejatinya sangat mengganggu pasewakan, tetapi Gajah
Mada memang telah merancangnya dan hal itu telah memperoleh izin
dari kedua Prabu Putri. Sebagai peringatan tegas bagi siapa pun yang
mencoba menggelar makar, mereka akan berhadapan dengan kekuatan
yang demikian dahsyat. Setelah Prabu Putri Sri Gitarja dan adiknya memberikan sesorah
yang tidak begitu panjang, yang dilakukan bergantian didampingi
oleh suami masing-masing, selanjutnya diberikan kesempatan kepada
masing-masing wakil negara bawahan untuk menyampaikan upeti dan
kesempatan berbicara. Satu per satu kesempatan itu diberikan kepada para raja bawahan
atau wakilnya. Tak ada yang luar biasa yang disampaikan oleh wakil
penguasa Blambangan yang mewakili rajanya yang tak bisa hadir.
Beberapa orang tandha mencatat dan mengusung upeti yang dibawa
dari Blambangan, yang ditempatkan di sebuah peti yang harus dipikul
oleh empat orang. Raja Pawanuhan yang datang secara langsung memanfaatkan
kesempatan berbicara yang diberikan kepadanya untuk mengucapkan
bakti kesetiaannya kepada Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Raja Pawanuhan juga menyampaikan salam dari segenap rakyatnya disertai
doa untuk kesehatan Ibu Suri Tribhuaneswari dan Ibu Sri Gayatri.
Beberapa orang tandha selanjutnya bergegas mengusung upeti yang
dibawa dari Pawanuhan. Upeti itu rupanya paling banyak jumlahnya
564 Gajah Mada daripada upeti yang dibawa para tamu dari negara bawahan yang lain
karena diwadahi dalam empat peti yang masing-masing dipikul oleh
empat orang. Prabu Putri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani sangat
berkenan menghadapi sikap Raja Pawanuhan. Terlebih-lebih karena
salam dan doa yang dipanjatkan segenap rakyatnya untuk keselamatan
dua Ibu Suri. Kesempatan berikutnya diberikan kepada penguasa Daha, wakil
penguasa Wengker, disambung kemudian oleh penguasa Matahun,
Lasem, dan Pajang. Wakil penguasa Kahuripan mendapat kesempatan
berikutnya disusul Singasari dan Mataram. Segenap yang hadir berdebar-
debar manakala menyadari wakil utusan dari Keta ditempatkan paling
belakang, setelah Pamelekehan usai menyampaikan setia baktinya.
"Selanjutnya, kepada utusan dari Sadeng bersama-sama Keta,
silakan!" demikian ucap seorang tandha yang diberi kewenangan mengatur
jalannya rangkaian acara itu.
Tak seorang pun yang kemudian berbicara. Semua perhatian,
tatapan mata, dan pemusatan pendengaran telinga diarahkan pada apa
yang akan disampaikan oleh utusan dari Sadeng dan Keta.
Mereka kebingungan, mengapa untuk menyampaikan bakti setianya
harus digabungkan menjadi satu. Beberapa utusan Keta bingung
beberapa jenak, demikian pula dengan beberapa orang utusan Sadeng
yang dipimpin langsung oleh Patih Gunadarma Danaraja, tidak tahu
harus mengambil sikap bagaimana. Namun, dengan isyarat tangan dan
matanya, patih utusan dari Sadeng itu mempersilakan Patih Kadipaten
Keta, Panji Hyang Rogasiwi untuk mewakili. Patih Keta bergegas
mempersiapkan diri menata napas sebelum berbicara. Gajah Mada yang
memandang lurus ke wajah orang itu dengan sangat jelas bisa membaca
bagaimana bahasa wajahnya.
"Sebelum hamba menyampaikan bakti setia dari Kadipaten Keta
mewakili beliau Ma Panji Keta, izinkanlah hamba menyampaikan sembah
dan bakti hamba, Prabu Putri," kata Panji Hyang Rogasiwi.
Hamukti Palapa 565 Entah karena telah bersepakat atau dilakukan dengan tidak
disengaja, Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi dan Prabu Putri
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tidak mengangguk. Namun, tatapan
matanya tajam tertuju kepada utusan dari Keta itu.
"Lanjutkan," kata Dyah Wiyat dengan suara terdengar sangat jelas
di telinga Panji Hyang Rogasiwi.
"Bersama kehadiran hamba kali ini, hamba membawa upeti yang
harus dihaturkan ke hadapan Paduka Tuanku Prabu Putri. Pun demikian
dengan Rakrian Patih Sadeng, menyampaikan hal yang sama mewakili
Sang Adipati Sadeng yang hari ini berhalangan hadir di pasewakan ini.
Ke hadapan dua Prabu Putri, negeri kami mempersembahkan upeti.
Mohon untuk berkenan menerimanya."
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi tersenyum. Akan
tetapi, betapa sulit menebak apa yang ada di balik senyum Sang Prabu
Putri itu. Berbeda dengan Sri Gitarja, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
memiliki kemampuan bersikap lebih tegas dan tanpa tedeng aling-aling.
Semua yang hadir terperanjat melihat Dyah Wiyat keluar dari tirai yang
menutupi Balai Witana, berupa sebuah rumah-rumahan kecil yang berada
di tengah Tatag Rambat Bale Manguntur itu.
Apalagi, Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa berjalan
mendekat dan berada pada jarak yang amat dekat dengan Patih Panji
Hyang Rogasiwi. Melihat apa yang dilakukan istrinya, Sri Wijaya Rajasa
Sang Apanji Wahninghyun bergegas bangkit menempatkan diri di
sebelahnya. "Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan, tolonglah dijawab
dengan jujur, Patih Keta Panji Hyang Rogasiwi," kata Dyah Wiyat.
Patih Keta Panji Hyang Rogasiwi bergegas merapatkan kedua
telapak tangan. "Hamba, Tuan Putri, sesembahan hamba," jawabnya.
"Pertanyaanku adalah, benarkah semua apa yang kausampaikan itu"
Bahwa Keta tetap setia bakti pada Majapahit?"
566 Gajah Mada Berdesir tajam dada Panji Hyang Rogasiwi. Perasaannya makin tidak
nyaman. "Tentu saja, Tuan Putri!" jawab Panji Hyang Rogasiwi dengan
suara agak serak, bergetar karena merasa bakal dihujani pertanyaan
bertubi-tubi. "Selama tiga tahun terakhir ini," kata Prabu Putri Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa, "setiap kali digelar sidang pasewakan, utusan
Keta selalu hadir dengan membawa semua kewajibannya. Kali ini
Keta dan Sadeng tidak ketinggalan ikut hadir meski diwakilkan
kepada para patihnya, juga dengan segala upeti yang dibawa. Hanya
saja, sewajarnyalah aku bertanya, apa benar dengan segala keikhlasan
upeti dan setia bakti itu disampaikan, mengingat ada kegiatan aneh
yang terjadi di Keta?"
Panji Hyang Rogasiwi terkejut, atau mungkin yang ia lakukan
itu berpura-pura terkejut. Gajah Mada menyimak dengan saksama
perubahan raut wajah itu.
"Kegiatan yang manakah itu, Tuan Putri?" tanya Panji Hyang
Rogasiwi. Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tidak segera membalas pertanyaan
itu. Namun, ia sempatkan melirik Patih Gajah Mada yang duduk
bersila dengan membeku tak ubahnya gupala penghias pintu gerbang
Purawaktra. "Ada kegiatan keprajuritan yang luar biasa di Keta. Telik sandi yang
dikirim ke sana melihat keanehan luar biasa. Keta membuka kesempatan
seluas-luasnya kepada segenap pemuda untuk dididik menjadi prajurit
dengan dalih kebutuhan prajurit itu adalah kebutuhan Majapahit.
Pada mulanya pelatihan perang itu digelar di alun-alun Keta. Namun,
belakangan latihan itu diselenggarakan entah di mana. Apa sebenarnya
yang dikehendaki Keta dengan perbuatannya itu?"
Panji Hyang Rogasiwi segera memutar otak.
"Semua yang dilaporkan oleh telik sandi itu tidak benar, Tuan
Putri!" jawab Panji Hyang Rogasiwi. "Jika beberapa bulan lalu memang
Hamukti Palapa 567 diselenggarakan latihan perang di alun-alun Keta, itu dalam rangka Keta
harus mendukung dan ikut memperkuat Majapahit. Namun, latihan
perang itu sekarang telah berakhir dan tidak ada lanjutannya."
Dyah Wiyat tersenyum, tetapi itulah senyum yang amat sinis.
"Jadi, tidak ada latihan perang, penggalangan kekuatan untuk
dihadapkan dengan Majapahit?" tanya Dyah Wiyat.
"Sama sekali tidak, Tuan Putri Prabu," jawab Panji Hyang Rogasiwi.
"Keta dan Sadeng tidak pernah mempunyai niat secuil pun untuk
melakukan makar. Apa yang telah dilaporkan oleh telik sandi yang dikirim
untuk mengawasi Keta maupun Sadeng sama sekali tidak sesuai dengan
kenyataan." Prabu Putri Dyah Wiyat melangkah mundur dan mengarahkan
pandangan matanya kepada empat orang utusan dari Sadeng. Patih
Sadeng, Gunadarma Danaraja, bergegas bersikap ketika pandangan
mata Prabu Putri Dyah Wiyat diarahkan kepadanya.
"Bagaimana dengan Sadeng?" tanya Prabu Putri Dyah Wiyat.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Patih Gunadarma Danaraja menyempurnakan sikap hormatnya.
"Hamba benar-benar terkejut mendapatkan dakwaan yang datangnya
bagai petir yang meledak ketika langit sedang bersih. Mewakili Adipati
Sadeng, izinkan hamba, Patih Gunadarma Danaraja, menyampaikan
bantahan. Tak betul semua berita itu. Sadeng tetap merupakan bagian
tak terpisahkan dari Majapahit sebagaimana dulu Sadeng adalah bagian
tak terpisahkan dari Singasari."
Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memandang dengan
diam dan sedikit lama. "Jadi, begitu?" tanya Prabu Putri Dyah Wiyat.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Patih Gunadarma Danaraja.
Dyah Wiyat berbalik. "Kutegaskan sekali lagi, jadi tak benar berita yang menyebut Keta
akan memberontak?" 568 Gajah Mada "Sama sekali tidak benar!" jawab Patih Keta tegas.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tersenyum dan berbalik.
"Kakang Gajah Mada!" tiba-tiba Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
menyebut nama yang mengagetkan pemiliknya.
"Hamba, Tuan Putri!" jawab Gajah Mada sambil bersikap
sebagaimana mestinya. "Giliranmu, Kakang!" kata Dyah Wiyat. "Berdirilah!"
Gajah Mada telah mendapat izin untuk berdiri.
Mantan pimpinan pasukan khusus dari kesatuan Bhayangkara itu
bangkit dari duduk bersila dan berjalan melangkah ke arah Bale Witana.
Gajah Mada segera menekuk kaki menyembah kepada Prabu Putri Sri
Gitarja Tribhuanatunggadewi dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa yang telah kembali duduk terlindung di balik tirai berwarna
putih tembus pandang. Usai memberikan penghormatannya, Gajah Mada berbalik dan
berdiri di depan semua orang yang hadir di ruangan yang sangat luas itu.
Gajah Mada masih menyempatkan memerhatikan latihan perang yang
berlangsung dengan amat dahsyatnya, sambil terus menelusuri pagar
yang membentang dari pintu gerbang utama Purawaktra, menelusuri
permukaan bangunan yang diperuntukkan bagi siapa pun yang menjabat
sebagai menteri amawa pinituha. Dari tempatnya, Gajah Mada juga
bisa melihat puluhan ekor burung kuntul yang menjadikan lima pohon
bramastana tepat di tengah alun-alun sebagai tempat tinggal. Gajah Mada
tidak memerhatikan keanehan terkait burung-burung kuntul itu yang
sama sekali tidak terganggu hiruk-pikuk geladi perang.
"Jadi, Sadeng tidak pernah mempersiapkan diri menghimpun
kekuatan melawan Majapahit" Berniat melakukan makar untuk
memisahkan diri?" Pertanyaan itu jelas ditujukan kepada Patih Gunadarma Danaraja
meski Gajah Mada tidak mengarahkan pandangan mata kepadanya.
"Sama sekali!" jawab Patih Sadeng.
Hamukti Palapa 569 "Aku ingin mengulang pula. Jadi, Keta sama sekali tidak berniat
makar?" Gajah Mada berbalik, sorot matanya sangat tajam tertuju kepada
Panji Hyang Rogasiwi. "Sama sekali, Ki Patih!" jawab Panji Hyang Rogasiwi.
Gajah Mada tersenyum sambil mengumbar pandangan matanya ke
segala penjuru, bahkan disempatkannya berbalik menatap tempat duduk
Mapatih Arya Tadah yang tidak terisi karena ketidakhadirannya akibat
terhambat sakit yang diderita. Gajah Mada kembali memutar tubuh untuk
berhadapan langsung dengan wajah Patih Hyang Rogasiwi.
"Adakah yang pernah mendengar sebuah tempat bernama Alas
Larang?" Gajah Mada bertanya dengan membelok tiba-tiba.
Bagi para tamu yang hadir, pertanyaan itu membuahkan penasaran
dan rasa ingin tahu, mengapa Gajah Mada menanyakan itu. Ada apa
dengan sebuah tempat bernama Alas Larang"
Akan tetapi, bagi Patih Panji Hyang Rogasiwi, sungguh sebuah
hantaman palu godam yang menghajar dadanya, pun demikian dengan
yang dialami Patih Gunadarma Danaraja. Dengan menyebut tempat yang
sangat dirahasiakan bernama Alas Larang itu, bisa dipastikan kegiatan
yang selama ini dirahasiakan bukan lagi rahasia. Ke depan, mereka merasa
akan mengalami kesulitan.
Tentu pertanyaan yang dilontarkan Gajah Mada itu tidak ada yang
bisa menjawab. Gajah Mada hanya berharap, orang-orang Keta dan
Sadeng itulah yang bisa menjawab.
"Pernah mendengar sebuah tempat yang ditandai dengan nama
Keta dan Sadeng?" pertanyaan itu dilontarkan dengan nada yang amat
jelas ditujukan kepada para tamu utusan dari Pawanuhan.
Yang ditanya menggeleng karena merasa tidak tahu jawabnya. Beberapa
orang lain diam karena tidak tahu ke mana arah pertanyaan itu. Sebagian
besar menunggu apa yang akan dikatakan Gajah Mada berikutnya. Gajah
Mada kemudian berbalik kembali kepada para utusan Keta dan Sadeng.
570 Gajah Mada "Kalian yang dari Keta dan Sadeng, Alas Larang itu nama apa?"
tanya Gajah Mada. Tak ada yang menjawab. Patih Panji Hyang Rogasiwi mulai kesulitan
menata degup jantungnya, pun demikian dengan Patih Gunadarma
Danaraja, makin tak nyaman berada di tempat duduknya.
Tak memperoleh jawaban, Gajah Mada mulai merasa jengkel.
"Pertanyaan yang demikian mudah, kalian tidak bisa menjawab?"
Gajah Mada menunggu beberapa jenak, tetapi tetap saja tak ada
jawaban dari orang-orang yang ditanya. Hal itu memaksa Gajah Mada
menjawab sendiri pertanyaannya. Lantang ucapan Gajah Mada terdengar
dari ujung ke ujung. "Alas Larang adalah sebuah nama yang diberikan untuk sebuah
tempat berupa alun-alun sangat luas, yang luasnya melebihi luas
lapangan Bubat, terletak tak jauh dari tanah perdikan Bondowoso. Tanah
lapang itu semula hanya dibangun oleh Keta. Namun, akhir-akhir ini
juga dibantu diperluas oleh Adipati Sadeng. Artinya, tanah lapang itu
dibuat dari kerja sama karena tujuan yang sama yang dimiliki Keta dan
Sadeng yang ingin berontak dari Majapahit. Di tempat bernama Alas
Larang itulah, penggalangan kekuatan melalui latihan perang sedang
berlangsung." Apa yang disampaikan Gajah Mada itu tidak ubahnya rentetan petir
menggelegar susul-menyusul. Semua tamu di pasewakan terkejut dan
menempatkan para utusan Keta dan Sadeng sebagai pusat perhatian.
Pun apa yang disampaikan Gajah Mada membuat pucat pasi para utusan
Keta dan Sadeng. Patih Sadeng lupa bagaimana cara membuka mulut. Sebaliknya,
Patih Keta rupanya masih menyimpan nyali, walau ia merasa berada di
kandang macan. Setidaknya, Panji Hyang Rogasiwi meyakini sebuah hal,
dalam bertarung haruslah berjuang sampai tetes darah penghabisan. Jika
masih ada celah, mengapa celah itu tidak digunakan.
"Apa yang Ki Patih Gajah Mada sampaikan itu tidak benar!" Panji
Hyang Rogasiwi menjawab dengan setengah berteriak.
Hamukti Palapa 571 Sontak Gajah Mada mencuatkan alis. Gajah Mada senang karena
Panji Hyang Rogasiwi memberi perlawanan.
"Tidak benar?" tanya Gajah Mada.
"Tidak benar!" jawab Panji Hyang Rogasiwi.
"Jadi, tidak ada sebuah tempat berupa alun-alun yang dibangun di
tengah hutan di wilayah tanah perdikan Bondowoso yang digunakan
berlatih perang?" tekan Patih Gajah Mada.
"Tidak!" "Bagus!" ucap Gajah Mada sambil berbalik mengarahkan
perhatiannya kepada Patih Sadeng untuk memberikan tekanan senada.
"Patih Sadeng!" ucap Gajah Mada, "jadi, tidak benar Sadeng sedang
menghimpun kekuatan dengan menggelar latihan gabungan dengan Keta
di sebuah lapangan yang dibangun untuk keperluan itu yang diberi nama
Alas Larang" Berpikirlah sebelum kau menjawab!"
Patih Gunadarma Danaraja melirik ke arah sejawatnya dari Keta
sebelum menjawab. Yang dilirik rupanya sedang menundukkan kepala
menenteramkan diri. "Tak ada kegiatan macam itu, Ki Patih. Kalaupun Sadeng menggelar
latihan perang, tentulah itu dilakukan dalam rangka memperkuat
pertahanan Majapahit karena Sadeng adalah bagian yang tak terpisahkan
dari Majapahit. Atau, jika apa yang Ki Patih ceritakan itu benar adanya,
aku sungguh tidak tahu. Bisa saja hal itu diselenggarakan berdasar
perintah Adipati Sadeng dan Keta yang diselenggarakan dengan
diam-diam. Apa pun yang dilakukan di tempat itu, semata-mata untuk
memperkukuh kekuatan pertahanan Majapahit."
Gajah Mada memandang tamu dari Sadeng itu dengan tajam dan
tak berkedip yang menyebabkan Patih Sadeng salah tingkah.
"Kau seorang Patih, Ki Gunadarma Danaraja, dan kau juga seorang
Patih, Ki Panji Hyang Rogasiwi. Apakah mungkin adipatimu memberi
perintah dan menyelanggarakan sebuah kegiatan yang demikian besar
di Alas Larang tanpa sepengetahuanmu?"
572 Gajah Mada Gunadarma Danaraja bingung.
"Bisa jadi," jawabnya.
Gajah Mada bertambah jengkel.
"Baiklah, aku bertanya dan tolong dijawab dengan lebih tegas.
Kegiatan latihan perang yang dilakukan di Alas Larang itu ada atau tidak,
Alas Larang itu sendiri ada atau tidak" Tujuannya untuk apa?"
Gunadarma Danaraja makin percaya diri.
"Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan itu, Patih Gajah Mada,
kalau semua yang kausebut itu tidak pernah ada."
"Baik," jawab Gajah Mada amat tegas.
Gajah Mada kemudian bertepuk tangan sebagai sebuah isyarat
yang diberikan kepada Bhayangkara Lembu Pulung dan Macan Liwung
untuk muncul dari balik pintu dan bergegas mendekati Gajah Mada
dengan masing-masing menuntun orang yang entah siapa dan bagaimana
wujudnya. Tentu tidak tampak wajahnya karena ditutup dengan secarik
kain. Dua orang itu kemudian diperintah untuk duduk menghadap ke arah
Bale Witana dan dengan sendirinya membelakangi para tamu, bahkan
membelakangi lurus para utusan dari Keta dan Sadeng.
Gajah Mada yang memperoleh izin untuk berdiri itu kemudian
mendekat ke tempat duduk kedua Prabu Putri yang masing-masing
didampingi para suaminya. Ucapan yang dilontarkan Gajah Mada
menggelegar penuh tenaga dan amat berwibawa.
"Tuanku Prabu Putri Sri Gitarja dan Raja Putri Dyah Wiyat," ucap
Gajah Mada amat garang. "Di hadapan Tuanku berdua, orang-orang yang
menjadi utusan dari Keta itu telah berani berbohong menyembunyikan
kenyataan yang sebenarnya. Mohon Tuan Putri berdua nantinya
mengambil keputusan, sikap apa yang akan diambil oleh Majapahit."
Hening terjadi di Bale Manguntur, berbalikan dengan latihan perang
yang demikian gemuruh di alun-alun yang terlahir dari upaya keras dan
mati-matian untuk bisa saling mengalahkan lawan.
Hamukti Palapa 573 "Kau harus mampu membuktikan dulu bahwa Keta dan Sadeng
memang berniat melakukan makar!" kata Prabu Putri Sri Gitarja.
Gajah Mada menyempurnakan sikap menyembahnya dan
kemudian berbalik. Kepada Bhayangkara Macan Liwung dan Lembu
Pulung, ia perintahkan agar membuka kain yang digunakan menutupi
jati diri orang itu. Semua tamu menahan napas. Pun tamu-tamu utusan
dari Keta dan Sadeng. Pantaslah jika dua orang yang semula diselubungi secarik kain itu
berjalan agak kesulitan, rupanya mereka terluka parah. Ada beberapa
bekas luka melintang di bagian dada. Sementara itu, yang seorang lagi
lebih mengerikan karena sebuah luka melintang di wajah, menjadikan
wujud orang itu buruk sekali. Bocah-bocah pasti akan ketakutan jika
bertemu orang itu karena akan menganggapnya sebagai hantu. Para
emban yang duduk berbaris di belakang kedua Prabu Putri terpekik
ketakutan. Gajah Mada memerhatikan wajah itu, lalu memerhatikan bagaimana
cara Panji Hyang Rogasiwi memandang, juga memerhatikan bagaimana
para anak buahnya ikut memandang. Gajah Mada kemudian mengalihkan
tatapan matanya kepada Patih Gunadarma Danaraja yang menampakkan
raut muka bingung. Tamu-tamu penting itu agaknya tidak mengenali
orang-orang itu. Entah siapa dua orang yang berada dalam keadaan
terluka itu. Pertanyaan yang menggantung itu serasa tenggelam begitu dalam.
Sebaliknya, di antara para tamu, terutama yang berada di belakang,
bahkan ada yang berusaha berdiri untuk bisa melihat lebih jelas. Semua
perhatian benar-benar sedang terpusat. Para pejabat dari Kementerian
Katrini tak berkedip, terutama Dyah Lohak dan Dyah Mano.
Di barisan para Uppapati yang terdiri atas tujuh orang dengan
pakaian yang sama sewarna, semua menyimak penuh perhatian. Pun
segenap tandha, bahkan para emban yang muda-muda dan cantik-
cantik membentuk barisan bersila panjang di belakang Bale Witana, tak
terkecuali Prabu Putri berdua. Para Pejabat Sang Panca Ri Wilwatikta
pun terkunci mulutnya. 574 Gajah Mada "Namamu siapa?" bertanya Gajah Mada kepada dua orang yang
terluka kiriman dari Keta, yang dikirim oleh Pradhabasu sebagai bukti
sekaligus saksi itu. "Namaku Baris Kiswara! Aku dari Sadeng," jawab orang dengan
wajah terluka melintang itu.
Gajah Mada mengangguk dan berjalan melingkar.
"Dan kamu?" ia tujukan pertanyaan itu kepada seorang lagi yang
dadanya terbelah oleh jejak luka memanjang, mungkin luka karena
sambaran pedang. "Namaku Guring Gandrini. Aku berasal dari Keta."
Gajah Mada memandang keduanya bergantian.
"Kau lebih dulu, Baris Kiswara. Ceritakan kampung halamanmu,
ceritakan pula siapa orang tuamu, atau kalau bisa, ceritakan seperti apa
dan bagaimana keadaan Istana Sadeng itu."
Pertanyaan yang diajukan Gajah Mada sungguh membingungkan,
terutama mereka yang menyimak dengan penuh minat.
"Tentang Istana Sadeng, tentu aku sangat mengenal. Istana Sadeng
menghadap ke lautan lepas, menghadap ke selatan dengan alun-alun
luas di depannya, yang menjadi lebih luas lagi jika laut sedang surut.
Namun, juga bisa kehilangan halamannya jika air laut naik ke daratan
sampai menjamah halaman pendapa. Sejak negara Sadeng kembali lagi
ke pangkuan negara Majapahit, setelah sebelumnya menjadi bagian
dari tiga juru yang pada mulanya menjadi hak Lumajang di bawah
pimpinan mendiang Prabu Banyak Wide, aku ingin sekali mengabdikan
diri menjadi prajurit. Maka, aku tinggalkan kedua orang tuaku dan
seorang adikku yang tinggal di sebuah tempat bernama Garakan, tak
jauh dari hutan Kumitir, menuju Sadeng untuk mencoba kesempatan
mengabdikan diri sebagai prajurit Majapahit melalui kesempatan yang
dibuka di Sadeng." Baris Kiswara yang berbicara dengan terbata itu makin terbata.
Gajah Mada diam, memberi kesempatan kepada orang itu untuk menata
Hamukti Palapa 575

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napas. Namun, Gajah Mada teringat pada sebuah pertanyaan yang harus
dilontarkan. "Kisanak Baris Kiswara," ucap Gajah Mada. "Kaukenal dengan
orang itu?" Baris Kiswara memandang ke arah yang ditunjuk Gajah Mada.
"Aku tahu namanya, aku pernah bertemu dengannya meski ia
mungkin tak merasa pernah bertemu denganku. Pertama aku bertemu
dengannya di Sadeng, berikutnya aku bertemu lagi di Alas Larang,"
jawab Baris Kiswara. Gajah Mada mengedarkan pandangan matanya menyapa semua
orang. "Jadi, Alas Larang itu ada?" tanya Gajah Mada.
"Ada," jawab Baris Kiswara.
"Sekali lagi aku ingin mengulang, kau bertemu dengan orang itu
yang kedua di Alas Larang?"
"Ya," jawabnya.
Gajah Mada melirik ke wajah Patih Sadeng yang pucat pasi. Pelan
Gajah Mada mengarahkan pandangan matanya ke raut muka Baris
Kiswara. "Di mana Alas Larang itu?" tanya Gajah Mada sekali lagi.
"Di tengah sebuah hutan, tak jauh dari bumi perdikan Bondowoso."
Gajah Mada kembali berbalik.
"Bagaimana denganmu, Patih Sadeng, kau mengenal orang ini?"
Patih Sedeng menggeleng lemah.
"Yang lain?" pertanyaan itu dilontarkan Gajah Mada kepada para
pengiring Patih Sadeng. Mereka menggeleng. Gajah Mada kembali mengalihkan perhatian
kepada Baris Kiswara. Baris Kiswara menyeringai menahan nyeri yang
576 Gajah Mada nyaris tembus ke jantung, tembus ke dalam tulang, sakitnya mengalir
terbawa aliran darah sampai ke ujung rambut.
"Jadi, kautahu namanya" Siapa nama orang itu?"
"Ia Patih Gunadarma Danaraja dari Sadeng. Pertama kali aku
bertemu dengannya adalah ketika ia sedang memberi sesorah kepada
para calon prajurit baru. Ketika masih berada di alun-alun Istana
Sadeng, ia mengatakan penerimaan calon prajurit baru adalah untuk
memenuhi kebutuhan Majapahit. Namun, berapa bulan kemudian, Patih
Gunadarma Danaraja muncul di Alas Larang. Ia menunjukkan arah yang
sebenarnya dari apa yang sesungguhnya diharapkan Sadeng dengan
membakar semangat para prajurit yang berlatih keras. Bahwa para prajurit
itu nantinya akan dibenturkan dengan kekuatan Majapahit."
Hening menggerataki ruang Pagelaran Agung Tatag Rambat
Bale Manguntur, tak memberi kesempatan seorang pun untuk tidak
kaget. Patih Keta dan Patih Sadeng pucat pasi. Kini, mereka tak memiliki
bahan apa pun untuk melakukan bantahan. Apalagi, ketika Gajah
Mada mengarahkan perhatiannya kepada salah seorang yang terluka di
dadanya. "Kalau kamu, Kisanak Guring Gandrini?" tanya Gajah Mada.
"Apakah yang bisa kauceritakan, mengapa kau terluka seperti itu,
dari mana asalmu, dan mengapa kau bisa terdampar di sebuah tempat
bernama Alas Larang?"
Guring Gandrini menyempatkan menoleh ke belakang mengarahkan
perhatiannnya kepada Patih Panji Hyang Rogasiwi yang pucat pasi.
"Aku berasal dari Tanah Arak-Arak, tempat yang tak jauh dari
tanah perdikan Bondowoso. Sebagaimana teman senasibku dari Sadeng,
aku merasa terpanggil ketika ada wara-wara yang menyebut Majapahit
membutuhkan banyak prajurit. Baru sebulan aku bergabung dengan
ribuan orang yang berlatih keras dalam ilmu keprajuritan melalui gladhi
yudha, aku tahu ke mana tujuan latihan perang itu diselenggarakan,
yaitu akan dibenturkan dengan Majapahit. Kadipaten Keta akan
Hamukti Palapa 577 memberontak dan telah mempersiapkan prajurit segelar sepapan yang
akan digunakan menyerbu melalui cara dadakan untuk merebahkan pilar
Istana Majapahit. Aku dan sahabatku dari Sadeng berusaha mencari
kesempatan untuk melarikan diri karena merasa tak sependapat dengan
rencana itu. Akan tetapi, kami berhasil ditangkap dan akan menyusul mati
sebagaimana banyak korban yang lain. Beruntung seorang prajurit sandi
dari Bhayangkara bernama Pradhabasu menyelamatkan kami berdua dan
mengirim kami kemari."
Prajurit bernama Guring Gandrini itu menyeringai, sebagai pertanda
rasa sakit yang dialami sungguh tak tertahan.
Gajah Mada mendekati orang itu dan bahkan berjongkok.
"Jadi, kamu melarikan diri karena tidak sepaham dengan apa yang
diinginkan para pemimpin Keta dan Sadeng?"
Guring Gandrini mengangguk.
"Apakah ada banyak orang yang bersikap berbeda seperti kamu?"
tanya Gajah Mada lagi. "Banyak, tetapi tak seorang pun diberi kesempatan untuk berbeda.
Mereka yang tak sepaham, dibantai. Ada ratusan jumlahnya yang
dibunuh." Gajah Mada berdiri, tetapi tetap mengarahkan pandangan matanya
kepada Guring Gandrini. "Kau mengenal siapa orang itu?" bertanya Gajah Mada sambil
tangannya teracung kepada Patih Panji Hyang Rogasiwi.
Guring Gandrini mengangguk.
"Aku mengenal semua orang itu. Dengan penggalangan kekuatan
yang digelar di lapangan Alas Larang yang nantinya akan dibenturkan
dengan kekuatan Majapahit, aku sungguh tak paham mengapa Ma
Panji Keta masih mengirim patihnya untuk kepura-puraan. Pura-pura
seolah tak terjadi apa-apa. Kelupaslah wajah Panji Hyang Rogasiwi
itu, Ki Patih. Maka, kita akan melihat wajah lain di balik wajahnya
yang sekarang." 578 Gajah Mada Bumi gonjang-ganjing. Tanah bergerak bergoyang. Menggoyang
pilar pendapa. Udara bergerak kasar merontokkan daun-daun,
menempatkan utusan Keta dan Sadeng tak tahu harus melakukan apa.
Melarikan diri" Jelas merupakan hal yang tak mungkin untuk dilakukan.
Untuk keamanan, prajurit Bhayangkara telah menempatkan diri siaga
menjaga keamanan pasewakan itu. Semua Bhayangkara telah menelanjangi
senjatanya, atau paling tidak masing-masing telah memegang gagang
pedang dan tombaknya. Bagi mereka yang memegang warastra, tangan
kirinya telah memegang langkap dengan tangan kanan telah memegang
gagang busur yang siap dilepas.
Utusan Keta dan utusan dari Sadeng pucat pasi. Sadarlah mereka bahwa
mereka tak mungkin pulang ke Keta maupun ke Sadeng. Ke depan, tersedia
pakunjaran dengan ruang yang sempit untuk mereka. Akan tetapi, bisa juga
pasewakan yang digelar itu mengambil sebuah keputusan menghukum mati
para utusan itu dengan digantung di alun-alun, atau melalui hukuman picis
yang mewajibkan kepada semua orang untuk menyumbangkan sayatan
pisau disertai siraman air garam yang akan menimbulkan rasa pedih luar
biasa. Atau, ada pula hukuman mati yang lebih mengerikan lagi, tubuh
mereka akan ditarik oleh empat ekor kuda yang berlawanan arah.
Akan sempal berantakan tubuh-tubuh itu yang mungkin mayatnya
kemudian dilempar ke dalam kerangkeng besi yang dihuni oleh dua
ekor harimau, yang sudah lama sangat mendambakan memangsa daging
manusia. Gajah Mada melangkah mundur sambil mengarahkan tatapan
kemarahannya kepada para tamu dari Keta dan Sadeng yang jelas-
jelas telah berbohong menyembunyikan sebuah rencana besar untuk
menggulingkan Majapahit. Gajah Mada akhirnya berjongkok di depan
kedua Prabu Putri untuk meminta perintah.
"Mohon petunjuk, apa yang harus hamba lakukan kepada mereka?"
tanya Gajah Mada kepada Tribhuanatunggadewi.
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
melirik adiknya. Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang diminta
pertimbangan kakaknya, menyempatkan untuk berpikir.
Hamukti Palapa 579 Akhirnya, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang mengambil
keputusan untuk menentukan nasib macam apa yang akan menimpa
mereka. "Majapahit tidak akan menghukum mereka sekarang, tetapi usir
mereka agar bisa bercerita kepada rajanya apa yang mereka lihat, mereka
dengar, dan mereka alami selama berada di Istana Majapahit. Sementara
itu, saat ini juga, siapkan pasukan segelar sepapan untuk menggilas Keta dan
Sadeng sekaligus agar menjadi contoh negara bawahan yang lain supaya
jangan coba-coba mengikuti apa yang dilakukan Keta dan Sadeng. Untuk
Kisanak Baris Keswara dan Guring Gandrini, beri perawatan terhadap
luka-luka yang mereka derita, dan Majapahit akan memberi jasa terhadap
kesetiaan mereka meyakini Majapahit tetap negara mereka."
Gajah Mada mengarahkan pandangannya kepada Prabu Putri
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani yang mengangguk sebagai
tanda setuju pada apa yang dikatakan Dyah Wiyat. Dengan susah payah
karena lukanya, Guring Gandrini dan Baris Keswara menyembah.
Gajah Mada akhirnya bangkit dan berjalan mendekat kepada para
utusan dari Keta dan Sadeng.
"Kalian lihat sendiri?" ucap Gajah Mada dengan suara penuh
tekanan. "Sia-sia apa yang kalian lakukan kali ini. Datang membawa upeti
dengan menekuk wajah amat dalam ketika menyampaikan bakti kesetiaan.
Namun, di belakang itu, benar apa yang dikatakan Kisanak Guring
Gandrini, kalian sedang mengenakan topeng. Kalian masih beruntung
Prabu Putri memerintahkan agar kalian diusir dari pasewakan ini karena
andaikata Sang Prabu Putri menyerahkan sepenuhnya keputusan itu ke
tanganku, aku jamin kalian semua akan langsung kujebloskan ke penjara.
Prabu Putri memerintahkan kalian semua pergi dari tempat ini, jangan
biarkan Prabu Putri sampai berubah sikap."
Bersamaan dengan genderang yang ditabuh dengan berderap, amat
berderap karena terdengar juga suara sangkakala yang mengimbangi,
para utusan dari Sadeng dan Keta serentak berdiri. Dengan pucat pasi,
mereka bergerak keluar dari pasewakan di bawah tatapan mata semua yang
memenuhi Pagelaran Agung Tatag Rambat Bale Manguntur itu.
580 Gajah Mada Senopati Gagak Bongol mendekati Gajah Mada.
"Apa yang harus aku kerjakan terhadap orang-orang itu, Kakang?"
berbisik Gagak Bongol. "Biarkan mereka pulang, jangan dihalang-halangi agar mereka bisa
bercerita seperti apa kekuatan perang Majapahit yang digelar sebagai
suguhan tontonan untuk mereka. Juga supaya mereka bisa menceritakan
dengan saling melengkapi, bagaimana perjalanan sidang yang digelar hari
ini. Amankan mereka jangan sampai ada yang mengganggu."
Gagak Bongol tercenung. "Padahal, aku ingin menelikung dan memberi pelajaran kepada
mereka." Gajah Mada tidak menoleh sedikit pun.
"Kujatuhkan perintah, amankan perjalanan pulang mereka. Kita
masih punya waktu jika berkeinginan menjatuhkan hukuman kepada
mereka. Kita gempur Sadeng dan Keta secepat kilat, tanpa mereka
menyadari, mendadak telah luluh lantak."
Gagak Bongol yang telah menerima perintah sangat jelas itu segera
bertindak untuk jangan sampai ada prajurit yang mengambil langkah
sendiri, yang tidak sejalan dengan apa yang diperintahkan Prabu Putri
dan telah dipertegas oleh Gajah Mada.
Sejalan dengan utusan dari Keta dan Sadeng yang terbantai,
meninggalkan istana, Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dan adiknya saling lirik, saling memberi isyarat dan
kemudian saling mengangguk. Bersama-sama Prabu Putri Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi dan Prabu Putri Rajadewi Maharajasa berdiri
dikawal oleh suami masing-masing.
Gajah Mada terkejut melihat para Prabu Putri telah berdiri, yang itu
berarti mereka akan meninggalkan pasewakan dan menganggap sidang
itu telah usai. Gajah Mada segera mengambil sikap. Ia berjongkok dengan
bertumpu pada sebelah kaki dan menyembah. Maka, segenap tamu yang
Hamukti Palapa 581 hadir melakukan hal yang sama seolah Gajah Mada yang memimpin
mereka. Semua bersikap demikian kecuali dua orang yang tidak
melakukan, yaitu para dharmadyaksa.
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
mendekati Gajah Mada. Apa yang diucapkan Prabu Putri Sri Gitarja
cukup keras untuk bisa didengar oleh semua orang, bukan hanya Gajah
Mada yang mendengar. "Kuberikan kewenangan penuh kepadamu untuk memimpin
pertemuan selanjutnya. Akan tetapi, sebelumnya aku ingin menyampaikan
keadaan Mahapatih Arya Tadah yang hari ini berhalangan. Sebagaimana
permintaannya yang menginginkan turun dari jabatannya dan itu
harus kita hormati, ke depan, Majapahit harus menunjuk mapatih
yang baru. Bagi yang berminat, kubuka peluang untuk siapa saja untuk
mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain. Bahaslah itu dalam
acaramu selanjutnya."
"Hamba, Tuan Putri!" jawab Gajah Mada sangat tegas.
Suasana hening di Bale Manguntur. Suasana alun-alun depan
istana pun senyap karena telah tiba waktunya prajurit yang melakukan
latihan perang beristirahat yang nantinya latihan itu akan dilanjutkan
kembali. Semua yang hadir masih tetap dalam sikapnya hingga sampai
saatnya kedua raja putri itu telah lenyap di balik dinding bersama semua
pengiringnya, termasuk Dharmadyaksa Kasogatan dan Dharmadyaksa
Kasaiwan yang merasa tidak berkepentingan lagi dengan apa pun isi
dari pertemuan selanjutnya.
Akhirnya, Gajah Mada yang semula masih berjongkok itu mengakhiri
penghormatan yang dilakukannya dan berdiri tegak menempatkan diri
tepat di tengah-tengah Manguntur. Dengan demikian, ia benar-benar
sedang menjadi titik pusat perhatian. Semua orang yang hadir siap
menyimak apa yang akan disampaikan Gajah Mada.
"Apa yang terjadi pada Sadeng dan Keta adalah sebuah pelajaran
bagi kita semua," kata Gajah Mada. "Kita banyak sekali kehilangan
waktu berharga yang mestinya bisa digunakan untuk menyejahterakan
582 Gajah Mada kehidupan rakyat. Namun, rupanya hingga sekarang pun masih harus
disibukkan oleh hal-hal yang mestinya tak perlu terjadi.
Ketika semua pihak mestinya menerima satu dan bersatu sebagai
harga mati, kesatuan dan persatuan tanpa menyisakan sejengkal pun
ruang untuk perpecahan, apa yang dilakukan Sadeng dan Keta benar-
benar harus disayangkan. Apalagi, dua wilayah itu merupakan salah satu pilar utama ketika
Majapahit untuk pertama kalinya diundangkan sebagai sebuah negeri
baru. Oleh karena itu, kepada para tamu semua setelah nantinya kembali
ke wilayahnya masing-masing, harap disampaikan kepada segenap
rakyatnya untuk menjaga keutuhan dan kebersamaan, utuh dalam satu
dan utuh dalam sikap bersatu. Jika ada wilayah seperti Keta dan Sadeng
yang berniat melakukan tindakan makar, Majapahit hanya punya satu
pilihan untuk menghadapi, yaitu dengan menghancurkan mereka."
Gajah Mada menghentikan kata-katanya untuk mencari jejak kesan
macam apa yang tertinggal dari raut muka mereka yang menyimak.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gajah Mada menulusuri wajah-wajah para utusan negara bawahan.
Gajah Mada juga menggerataki wajah Rakrian Kembar yang berada
di dalam rombongan utusan Pamelekehan. Kembar memang benar
berada di tempat itu karena ia adalah anak Raja Pamelekehan. Duduk
di sebelah Ra Kembar dengan wajah ditekuk adalah Lembu Peteng,
Jabung Tarewes, dan Warak.
"Itu sebabnya, sejak sekarang juga, kita akan menggelar persiapan
perang dengan mengirim pasukan secukupnya saja. Namun, yang disebut
secukupnya itu harus diyakini mampu menghancurkan dua tempat itu
dan memaksanya kembali ke pangkuan pertiwi. Aku sendiri yang akan
memimpin penggelaran perang."
Kembali, sekali lagi Gajah Mada menebarkan pandangan matanya
menyapu semua wajah. Tatapan mata Gajah Mada kemudian terhenti ketika
berputar, jatuh ke kursi yang mestinya ada yang duduk di atasnya.
"Kepada para tamu terhormat, untuk selanjutnya aku persilakan
untuk menjalani semua kegiatan terkait kehadirannya di Majapahit.
Yang akan bertemu dan berurusan dengan Sang Panca Ri Wilwatikta,
Hamukti Palapa 583 silakan. Yang akan bertemu dengan mahamenteri katrini, silakan. Yang
akan berurusan dan memperbincangkan banyak masalah dengan para
upappati, silakan. Juga yang akan menghadap dan berbicara secara khusus
dengan para Prabu Putri, silakan melakukan sesuai dengan jadwal dan
acara masing-masing. Yang akan bertemu denganku, silakan.
Namun, sebelum aku akhiri pertemuan ini dan sebagaimana perintah
yang diberikan Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi, aku harus
menyampaikan keadaan kesehatan Mapatih Arya Tadah yang agak
terganggu dan oleh karenanya tidak bisa hadir di pertemuan ini. Akan
tetapi, yang penting dan perlu diketahui, Mahapatih Arya Tadah telah
mengajukan permohonan mengundurkan diri dari kedudukannya.
Kedua Prabu Putri berharap, ke depan, Majapahit memiliki
mahapatih yang baru. Kedua Prabu Putri membuka peluang, bagi yang
berminat, dibuka kesempatan untuk siapa saja mencalonkan diri atau
mencalonkan orang lain."
Pengumuman yang disampaikan tanpa harus melingkar-lingkar
itu mengagetkan semua orang. Namun, Gajah Mada tak merasa harus
peduli dengan wajah-wajah kaget itu, yang di antaranya menunjukkan
minat yang dalam. Gajah Mada menutup pertemuan itu.
Dari alun-alun, entah mengapa, dua ekor harimau yang dipelihara
sejak masih bayi dan kini telah tumbuh menjadi harimau besar dan sangar
memperdengarkan suaranya yang menggelegar.
36 G ajah Mada bertindak cekatan. Seiring waktu yang merambat
jengkal demi jengkal, banyak hal yang dilakukan. Meski Gajah Mada
584 Gajah Mada memberi kesempatan amat luas kepada semua tamu yang berniat
menghadap kepadanya, tetapi nyaris semua masalah yang diusung
terselesaikan tanpa ada sisa.
Gajah Mada bahkan menyempatkan menengok ke bangsal khusus yang
digunakan sebagai pesanggrahan untuk para tamu, mengarahkan para tandha
yang bertugas menjamu dan menyiapkan semua kebutuhan mereka, bahkan
Gajah Mada masih menyempatkan menengok dapur untuk memastikan
para tamu terhormat itu memperoleh jamuan yang memadai.
Gajah Mada juga masih sempat menggelar pertemuan khusus
dengan para pejabat terkait rencana penggelaran pasukan, khususnya
membahas perbekalan yang nantinya menjadi bagian sangat penting
terhadap keberhasilan penyerbuan karena apalah gunanya pasukan
dengan kekuatan segelar sepapan jika kelaparan, tidak didukung oleh
makanan sebagai sumber tenaga mereka.
Pada dasarnya kebutuhan terhadap perbekalan untuk perang tidak
menjadi masalah karena memang telah tersedia jika dibutuhkan sewaktu-
waktu. Maka, ketika keesokan harinya tiba, sejak pagi sekali, puluhan
kereta kuda telah berbaris menunggu pengisian beras dan makanan yang
lain yang akan dibawa menuju ke medan perang.
Gajah Mada yang tidak sabar ingin segera menerjemahkan hukuman
pada Keta dan Sadeng, segera menggelar pertemuan yang diikuti hanya
oleh para pimpinan prajurit dari semua kesatuan yang ada. Tidak semua
pasukan dikirim ke medan perang karena Majapahit harus belajar dari
apa yang pernah dialami Singasari, yang pernah mengalami peristiwa
pahit karena istana kosong tidak dijaga prajurit.
Menghadapi kemungkinan serangan dadakan, Gajah Mada
menjatuhkan perintah kepada semua prajurit untuk bersiaga penuh
dengan ratusan prajurit sandi disebar, juga dengan kekuatan penuh.
Maka, jika ada pasukan tak dikenal yang berniat mendekat untuk
melakukan serangan dadakan, akan dapat diketahui lebih dini dan
disiapkan pasukan sebagai penangkal.
Pertemuan terbatas itu tidak dilakukan di Balai Prajurit. Namun,
di bangsal perwira yang menyatu halamannya dengan Bale Manguntur.
Hamukti Palapa 585 Dengan tegas dan langsung berbicara pada pokok persoalan, Gajah
Mada memberikan taklimatnya.
"Kita hitung bersama-sama sepuluh hari dari sekarang," kata
Gajah Mada sambil memberi tekanan. "Serangan serentak kita lakukan
menjelang fajar!" Gajah Mada tidak langsung menguraikan rencananya. Namun,
menyempatkan lebih dulu memandangi satu per satu para perwiranya.
Tajam Gajah Mada memandang, tajam pula Senopati Gagak Bongol
membalas. Gajah Mada senang, para perwiranya sungguh orang-orang
yang bisa diandalkan. Sepuluh hari dari sekarang dirasakan Gagak
Bongol terlalu lama untuk memunculkan sifat dadakan, tetapi Gagak
Bongol harus melihat jarak dari tanah Tarik ke Sadeng dan Keta yang
amat jauh. Memenuhi permintaan Pradhabasu yang mengirim pesan
agar Keta diserang dengan serangan dadakan, secepat apa pun itu, jelas
dibutuhkan waktu berhari-hari lamanya.
"Kita akan gempur tiga tempat itu pada hari yang sama dan tabuh
sama melalui serangan mengejut karena sifat dadakan. Sebelum hari
dan tabuh yang kukehendaki itu, pasukan Bhayangkara dengan jumlah
secukupnya digerakkan mendahului. Paling tidak lima hari sebelum hari
penyerbuan, pasukan Bhayangkara harus sudah melakukan persiapan
untuk memecah belah dukungan rakyat setempat, melakukan penyusupan
hingga ke lapisan paling dalam, dan melakukan perusakan atas hal-hal
penting yang mendukung kekuatan mereka, seperti lumbung-lumbung,
bangunan-bangunan kesatrian, istana, atau jika perlu lakukan penculikan-
penculikan yang siapa tahu bisa melumpuhkan semua gerakan. Lebih
bagus menangkap kepalanya yang dengan demikian bisa mengendalikan
seluruh tubuhnya. Jika itu bisa dilakukan, perang akan bisa selesai dengan
biaya yang sangat murah."
Semua pimpinan prajurit yang mempersiapkan perang itu menyimak
dengan amat cermat. "Selanjutnya, tujuh hari dari sekarang," Patih Gajah Mada melanjutkan,
"pasukan yang akan menyerbu Keta harus sudah baris pendhem di tempat
tersembunyi. Namun, pasukan ini diberangkatkan secara rahasia sehari
586 Gajah Mada setelah pasukan pertama lebih dulu berangkat, yang dilakukan dengan
terang-terangan untuk mengecoh telik sandi Keta dan Sadeng yang saat ini
masih berkeliaran. Pasukan pertama yang berangkat adalah gabungan yang
akan menyerbu Sadeng dan Alas Larang. Akan tetapi, dengan gerakan
seolah hanya tertuju ke Sadeng. Jika telah sampai di timur Lumajang,
pasukan beristirahat dua malam secara terang-terangan. Namun, sejatinya
itu dilakukan untuk memberi kesempatan secara diam-diam pasukan
yang ke Alas Larang memisahkan diri. Supaya tidak ketahuan, lakukan
berangsur-angsur selama dua hari itu dengan titik temu di Jember, dan
sehari sebelum hari terakhir, pasukan sudah harus melakukan persiapan
terakhir dengan baris pendhem tidak jauh dari Alas Larang. Selanjutnya,
dengan sembunyi-sembunyi, pasukan yang menggempur Sadeng dibelah
lagi menjadi dua, separuh bergerak dengan sembunyi-sembunyi ke timur
Sadeng, separuh sisanya ke barat Sadeng. Kita gunakan siasat yang pernah
dilakukan Kediri ketika melumpuhkan Singasari."
Para pimpinan prajurit Majapahit menyimak petunjuk yang
diberikan Gajah Mada itu tanpa menyela sedikit pun, padahal Gajah
Mada memberi kesempatan bagi yang ingin bertanya.
"Ada yang akan bertanya?"
Senopati Gagak Bongol mengangkat tangannya.
"Bagaimana?" "Untuk apa kita harus mempersiapkan pasukan menyerang Alas
Larang" Setelah para utusan dari Keta dan Sadeng itu kembali, pasukan
di Alas Larang pasti ditarik separuh ke Keta dan separuh ke Sadeng.
Pasukan yang akan menyerbu Alas Larang akan menemukan tempat itu
kosong, tak ada isinya."
Namun, Gajah Mada rupanya telah membuat hitungan-hitungan,
setidaknya hingga beberapa hari ke depan.
"Hari ini orang-orang Keta belum melintas Ujung Galuh. Yang ke
Sadeng besok baru akan berbelok ke selatan dari Ywangga. Dua hari
selanjutnya, baru mereka akan tiba di Sadeng. Untuk menarik pasukan
dari Alas Larang, Sadeng dan Keta harus bertemu dan berbicara.
Hamukti Palapa 587 Setidaknya, aku yakin pada hari ke sebelas, prajurit yang berlatih di
Alas Larang masih tetap berada di tempatnya. Kita serbu mereka saat
mereka tak menyadari. Akan tetapi, jika diyakini Alas Larang telah
kosong berdasar laporan telik sandi, pasukan yang ke Alas Larang tetap
bergabung untuk ikut menyerbu Sadeng."
Gagak Bongol tak bisa menahan diri untuk tidak menggelengkan
kepala. Ternyata Patih Gajah Mada telah menghitung sampai ke hal-hal
yang paling kecil. "Ada yang akan bertanya lagi?"
Tidak ada yang mengacungkan tangan. Maka, Gajah Mada pun
melanjutkan. "Selanjutnya, aku akan bicara siapa saja yang bertanggung jawab
atas penggelaran pasukan. Pasukan yang dikirim ke Keta dipimpin
oleh Senopati Panji Suryo Manduro. Pasukan yang bergerak ke Sadeng
dan Alas Larang, selama perjalanan, dipimpin oleh Bhayangkara Pring
Cluring. Nantinya jika telah bertemu dengan Senopati Haryo Teleng,
Bhayangkara Pring Cluring menyerahkan kepemimpinan pasukan kepada
Senopati Haryo Teleng. Lalu, hari ini pula pasukan sandi Bhayangkara yang akan bergerak
lebih dulu berangkat. Macan Liwung yang akan memimpin gerakan
mereka ke Keta, Lembu Pulung memimpin penyusupan pendahuluan
ke Sadeng, dan Bhayangkara Raga Jampi memimpin penyusupan
pendahuluan ke Alas Larang.
Para telik sandi ini harus sesegera mungkin melakukan hubungan
dengan Senopati Haryo Teleng yang telah berangkat mendahului ke
Sadeng untuk siap menerima penyerahan kepemimpinan pasukan dari
Bhayangkara Pring Cluring. Penyerbuan ke Sadeng selanjutnya dipimpin
Senopati Haryo Teleng. Jika tidak berhasil menjalin hubungan dengan
Senopati Haryo Teleng, Pring Cluring menyerahkan kepemimpinan
kepada Bhayangkara Lembu Pulung.
Akan tetapi, andaikata tidak berhasil pula, kepada Bhayangkara
Pring Cluring, aku beri kewenangan untuk memimpin gelar perang yang
588 Gajah Mada dibuka di hari ke sepuluh menjelang fajar. Terserah gelar perang apa yang
akan digunakan Bhayangkara Pring Cluring. Kurasa Pring Cluring telah
cukup memadai kemampuannya dalam olah gelar."
Bhayangkara Pring Cluring yang duduk di pojok, meluap
memperoleh kepercayaan yang demikian tinggi. Akan tetapi, Gajah Mada
bukannya tanpa perhitungan memberi kewenangan dan kepercayaan yang
demikian tinggi kepada Bhayangkara Pring Cluring. Dalam pengamatan
yang dilakukan cukup lama, Gajah Mada melihat Pring Cluring punya
bakat yang menonjol terhadap pemahaman gelar perang.
" Tandya!" balas Pring Cluring sigap.
Gajah Mada mengedarkan pandangan matanya.
"Selanjutnya, harap diperhatikan pula," lanjut Gajah Mada, "kita
memiliki beberapa telik sandi yang telah diberangkatkan lebih dulu
menyusup ke Alas Larang. Mereka adalah dua orang yuwa Bhayangkara,
Kendit Galih dan Mahisa Urawan. Saat ini mereka sedang menyusup dan
menyamar sebagai prajurit yang ikut berlatih di Alas Larang. Terakhir,
Senopati Gagak Bongol akan berangkat bersamaku. Saat ini ia masih
aku butuhkan untuk mengatur beberapa hal."
Senopati Gagak Bongol tidak menampakkan perubahan raut wajah
apa pun. "Di hari ke tujuh, aku sudah akan muncul menyusul ke Keta.
Penyerbuan atas Keta akan kupimpin secara langsung. Jangan
mendahului, jangan lakukan penyerbuan sebelum aku datang karena aku
masih akan mencoba mengupayakan agar Adipati Ma Panji Keta mau
mengubah sikap dan menyerah. Dengan demikian, siapa tahu perang
tak perlu terjadi." Senopati Panji Suryo Manduro, yang mendapat tugas memimpin
pasukan yang akan bergerak ke Keta secara sembunyi-sembunyi,
mengangguk sebagai pertanda ia setuju dan akan melaksanakan tugas
yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Ketika Panji
Suryo Manduro mengangkat tangan kanannya adalah karena ia ingin
mengutarakan pendapatnya.
Hamukti Palapa 589 "Aku minta izin untuk membawa separuh pasukan lewat laut,"
pimpinan pasukan Sapu Bayu itu berkata.
Gajah Mada terdiam beberapa jenak. Pendapat yang dilontarkan
Senopati Panji Suryo Manduro itu mendadak mengingatkannya pada
kesepakatan rahasia yang telah dibuat bersama sahabat akrabnya,
Aditiawarman. Usulan pimpinan pasukan Sapu Bayu itu amat masuk akal
dan layak untuk dipertimbangkan, tetapi Gajah Mada menggeleng,
"Laut adalah tempat terbuka dan semua nelayan di sepanjang
pesisir dari Ywangga sampai Setubondo adalah telik sandi. Aku tidak
sependapat. Meski Keta dan Sadeng tahu kita akan menyerang, gerakan
pasukan Majapahit haruslah tetap bersifat rahasia supaya bisa melakukan
serangan dadakan kapan pun dan dari mana pun."
Pimpinan pasukan Sapu Bayu, Senopati Panji Suryo Manduro, amat
bisa memahami alasan penolakan itu. Ia tidak memaksakan diri.
Pembicaraan yang dilakukan sejak sore itu bergeser ke petang dan
ternyata masih berlanjut meski malam kemudian datang, yang akhirnya
diterjemahkan dengan dilakukan penggelaran pasukan yang dipimpin
langsung oleh Gajah Mada.
Berdebar gabungan telik sandi Keta dan Sadeng yang terus
mengamati persiapan yang dilakukan Majapahit. Di bawah cahaya terang
benderang bulan di langit, alun-alun istana penuh sesak. Merinding telik
sandi Keta melihat lapangan Bubat juga penuh sesak, demikian pula
dengan alun-alun luar di depan pintu gerbang Purawaktra.
"Gila!" desis mata-mata itu. "Majapahit benar-benar akan mengilas
Keta dengan kekuatan penuh seperti ini."
"Hancurlah Keta, runtuh mimpi Ma Panji Keta."
"Sebaiknya malam ini pula aku akan mendahului menyampaikan
laporan terakhir ini agar Ma Panji Keta memperoleh gambaran yang
benar." "Lakukan, aku akan tetap bertahan di sini. Masih ada sepuluh orang
yang akan tetap bertahan sampai besok atau bahkan lusa."
590

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gajah Mada Gabungan dari para petugas sandi Keta dan Sadeng yang menyebar
di sudut alun-alun, baik di Bubat maupun di halaman istana luar dan
dalam, benar-benar memperoleh gambaran nyata kekuatan macam apa
yang akan melibas Keta dan Sadeng. Mereka sama sekali tidak menyadari
penggelaran kekuatan yang demikian besar itu hanya siasat Gajah Mada
saja karena jelas ia tak berniat memberangkatkan pasukan itu semua.
"Bagaimana pendapatmu?" bisik Gajah Mada.
"Dahsyat! Telik sandi itu pasti gemetaran. Mereka pasti mengira semua
orang ini akan dikirim. Akan ada persoalan yang memusingkan kepala jika
sebanyak ini orang yang harus diberangkatkan ke medan perang."
"Ya!" jawab Gajah Mada, "karena mereka doyan makan semua!"
Gagak Bongol tertawa menanggapi pendapat Gajah Mada yang
memancing tawa itu. Namun, Gajah Mada sendiri tidak tertawa. Dengan
cermat, Gajah Mada memerhatikan persiapan pemberangkatan pasukan
lengkap dengan pendukung kebutuhan sumber tenaga yang diangkut
dalam kereta kuda, yang meski para telik sandi dari Keta dan Sadeng
sudah berusaha menghitung, mereka tak pernah mampu menduga
berapa. Kereta kuda itu hilir-mudik, satu berangkat satu lagi muncul,
demikian seterusnya, sungguh merupakan sebuah gambaran yang
menyesatkan. Ketika tengah malam tiba, pasukan yang telah disiapkan itu
kemudian bergerak, yang menyebabkan para telik sandi Keta dan Sadeng
berdebar-debar. Sungguh kekuatan yang dilepas itu merupakan kekuatan
yang tak masuk akal. Seperempat dari semua kekuatan saja sudah luar
biasa, yang ini semuanya.
Prajurit sandi dari Keta dan Sadeng itu tidak tahu, sebagian prajurit
itu secara acak memisahkan diri, dengan cara memisahkan diri di setiap
kesempatan yang ditemukan, di jalan-jalan yang menikung, atau membaur
dengan para penonton yang menyaksikan. Itu sebabnya, jumlah kawula
Majapahit yang berbaris di sepanjang tepian jalan bertambah banyak.
Para telik sandi dari Keta dan Sadeng itu juga tidak tahu, dari
sela hiruk-pikuk yang berlangsung riuh juga telah berangkat pasukan
Hamukti Palapa 591 Bhayangkara yang bergerak dalam penyamaran penuh, yang disamarkan
dalam wujud penduduk biasa.
Pasukan khusus Bhayangkara itu nantinya akan memecah diri
menjadi tiga, masing-masing ke Keta, ke Alas Larang, dan Sadeng. Mereka
akan berusaha mencari hubungan dengan telik sandi yang dikirim lebih
dulu, terutama mencari hubungan dengan Senopati Haryo Teleng.
Pasukan khusus Bhayangkara itu berkuda secara terpisah yang
nantinya mereka akan bertemu di Ywangga yang diputuskan sebagai titik
temu terakhir sebelum masing-masing berpisah menuju tujuannya.
"Menurutmu, adakah yang masih bisa kita lakukan di sini?" berbisik
seorang mata-mata Keta kepada temannya.
"Tidak ada!" jawabnya.
"Bagaimana kalau aku mengusulkan, kita tarik semua telik sandi dan
kembali ke Keta" Di samping kita harus melaporkan perkembangan terakhir
ini, kita juga harus memberikan sumbangsih kita untuk ikut berperang."
"Ya, aku setuju. Tarik semua untuk pulang. Dua orang mendahului
lewat laut, yang lain bergerak membayangi gerak pasukan itu."
Maka demikianlah, pasukan dengan jumlah sangat besar di mata
telik sandi Keta dan Sadeng itu telah berjalan membentuk barisan
panjang makin jauh ke arah timur, meninggalkan Trowulan dengan
penuh semangat dan suara yang ingar-bingar oleh berbagai nyanyian
dan teriakan-teriakan yang menggelegakkan isi dada.
Ketika esok harinya tiba, pasukan yang bergerak dengan jalan kaki
yang di bagian depan, didahului oleh pasukan berkuda, telah melintasi
jalan lurus yang jika ke utara akan sampai ke Ujung Galuh dan jika ke
selatan akan sampai ke Singasari.
Walaupun hari bergerak ke pusat siang dengan panas yang
menyengat, pasukan itu tidak berhenti berjalan. Untuk mengisi tenaga,
masing-masing prajurit mengeluarkan bekal makanan kering dari
bungkusan kain yang menggantung di pinggangnya. Barulah jika malam
nanti tiba, kesempatan pertama untuk beristirahat diberikan.
592 Gajah Mada Ketika malam berikutnya tiba dan pasukan Majapahit memutuskan
untuk menginap beristirahat, tak seorang pun mata-mata Keta dan Sadeng
yang tahu, malam kedua itulah pasukan yang lain baru diberangkatkan
untuk menyerbu Keta. Pemberangkatannya dilakukan dengan senyap.
Tidak ada nyanyian-nyanyian penggugah semangat, tidak ada teriakan-
teriakan, tak ada suara genderang, tak ada sangkakala melengking.
Bergelombang pasukan jalan kaki yang akan bergerak lurus ke Keta
itu di bawah pimpinan senopati pilih tanding, Panji Suryo Manduro,
yang telah memiliki pengalaman perang luar biasa banyaknya. Gajah
Mada belum ikut bersama pasukan yang dilepasnya itu dan baru akan
menyusul jika beberapa persoalan khusus yang mengganggunya telah
terselesaikan. Di dalam pasukan yang bergerak sehari setelah pasukan pertama,
ikut bergabung pasukan berkuda yang berjalan mendahului sekaligus
menempatkan diri sebagai cucuk lampah,228 mengamankan dan memberi
isyarat jika ada tanda-tanda bahaya. Siapa tahu, Keta telah menggelar
pasukannya untuk menyerbu Majapahit dan mereka berpapasan di
sebuah tempat. Salah seorang penunggang kuda itu yang menempatkan diri berkuda
paling depan, yang membiarkan rambutnya terurai lepas dari gelung
kelingnya adalah Lembu Peteng, salah seorang prajurit yang belum lama
memperoleh kenaikan pangkat sebagai araraman.
Ketika hari berikutnya pasukan segelar sepapan yang dipimpin
oleh Senopati Panji Suryo Manduro telah melintas jalan lurus yang
menghubungkan Singasari dan Ujung Galuh, pada saat yang sama
pasukan yang diberangkatkan sebelumnya melakukan sebuah hal yang
menyebabkan para telik sandi Keta dan Sadeng bingung. Di Ywangga,
pasukan itu membelok ke selatan. Jika pasukan itu dipecah menjadi dua
amat masuk akal, separuh ke selatan langsung menusuk Sadeng, separuh
yang lain ke timur menuju Keta.
"Apa artinya ini?" bertanya seorang telik sandi Keta kepada rekannya.
228 Cucuk lampah, penunjuk jalan atau orang yang berjalan paling depan sebagai pemimpin Hamukti Palapa
593 "Mereka mengambil arah ke Sadeng!" balas telik sandi yang lain.
"Semuanya?" tanya orang pertama.
Para telik sandi itu merasa gelisah.
"Apa artinya ini?"
Orang-orang Keta dan Sadeng yang terus mengikuti perjalanan
pasukan itu segera berpikir untuk menemukan jawaban yang paling
masuk akal. "Pasukan itu, aku yakin akan dipecah menjadi dua entah di mana,
separuh menusuk Sadeng, separuh sisanya akan bergerak menuju Keta,
di suatu tempat yang dirahasiakan. Aku yakin itu," kata telik sandi yang
kumisnya lucu. Agaknya jawaban itulah yang paling masuk akal. Namun, pimpinan
mata-mata yang bertubuh kecil itu punya pendapat sendiri.
"Kemungkinan itu ada, tetapi ada kemungkinan lain, Majapahit akan
menggempur Sadeng lebih dulu, barulah setelah itu mereka bergerak
ke Keta." Namun, pemilik kumis lucu itu menyimpan pertanyaan yang butuh
jawaban masuk akal. "Mengapa bukan Keta lebih dulu" Keta berada pada jarak yang
lebih dekat." Pimpinan telik sandi itu mengerutkan kening.
"Mungkin itu bagian dari siasat."
Apa pun pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan untuk diolah,
para telik sandi dari Keta tetap bingung melihat pasukan Majapahit itu
ternyata membelok ke selatan. Jika semula mereka berpikir Keta akan
langsung digilas, hal itu sungguh membuat para telik sandi Keta sulit
memahami. Akan tetapi, dengan cekatan pimpinan telik sandi itu kembali
membagi tugas. Seorang telik sandi ditugaskan untuk melaporkan
594 Gajah Mada perkembangan tak terduga itu ke Keta, sedangkan ia dan segenap anak
buahnya yang tersisa terus bergerak ke selatan, membayang-bayangi
perjalanan pasukan yang diduga pasti akan membelah diri di suatu tempat
entah di mana. Atau, mungkin benar dugaan pimpinan mata-mata itu,
Sadeng diserang lebih dulu, barulah setelah menguasai Sadeng, Keta akan
digempur. Telik sandi itu merasa agak lega karena dengan demikian, Keta
masih memiliki banyak kesempatan untuk mempersiapkan diri.
37 I ngar-bingar latihan perang telah dilupakan dan kotaraja pun
menjadi sepi karena tidak lagi ada jadwal untuk menggelar geladi. Namun,
ingar-bingar itu kini telah berubah bentuk ke ingar-bingar lain, kasak-
kusuk yang nyaris dilakukan oleh siapa saja.
Semua perhatian setidaknya tertuju ke istana kepatihan dengan
segala bentuk cara pandang yang tidak sama dari setiap orang. Itu tentu
karena pengumuman yang disampaikan di istana sehubungan dengan
akan diangkatnya mapatih yang baru, menggantikan Mapatih Arya Tadah
yang telah mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri.
Siapa orang yang diangkat menggantikan Arya Tadah, sungguh
pertanyaan itu amat kuat dalam menumbuhkan rasa penasaran, tak
ubahnya ketika dulu Sri Jayanegara tewas terbunuh, juga memunculkan
pertanyaan serupa, siapa yang akan diangkat menggantikan Kalagemet
sebagai raja yang baru. Saat itu ada yang menduga Sri Gitarja yang akan diangkat, ada pula
yang menduga Dyah Wiyat yang akan diangkat. Apalagi, jika dikaitkan
semua itu dengan segala upaya perebutan kekuasaan yang dilakukan
Hamukti Palapa 595 pendukung Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Akan tetapi,
rupanya yang diangkat menjadi raja adalah dua-duanya, menempatkan
Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa bersama-sama menduduki takhta kembar.
"Cepatlah mati, Arya Tadah yang tua," berdoa seseorang yang
berharap Arya Tadah segera mati. Dengan demikian, akan terbuka
peluang untuk mewarisi jabatannya. Doa itu tentu dipanjatkan pihak-
pihak yang berkepentingan atas segera dipilihnya mahapatih yang
baru. Istana kepatihan selalu ramai oleh orang yang berdatangan
menjenguk Mapati Arya Tadah. Mapatih Arya Tadah benar-benar
berada dalam keadaan sakit, yang oleh karenanya kedua Prabu Putri
telah memerintahkan kepada beberapa orang juru usada 229 untuk
berusaha mengobatinya. Upaya yang dilakukan oleh para juru usada
itu membuahkan hasil karena Mapatih Arya Tadah yang semula harus
terbaring itu, bisa duduk kembali.
Di pembaringannya, Arya Tadah menerima tamu-tamunya.
"Kau harus sembuh kembali, Kakang Tadah!" berbisik Ibu Suri
Gayatri yang datang menengoknya.
Mahapatih Arya Tadah berusaha menyembah. Namun, Ibu Suri
Rajapatni Biksuni Gayatri memintanya untuk tetap berbaring.
"Apa yang kaurasakan dengan sakit yang kauderita kali ini,
Kakang?" Arya Tadah tersenyum, berusaha mengusir warna pucat di
wajahnya. "Hamba merasakan semua sakit, Tuan Putri," jawabnya sambil
berusaha tertawa. Gayatri memberi senyum sejuk.
229 Juru usada, Jawa Kuno, orang yang punya ilmu pengetahuan pengobatan/tabib/dokter 596
Gajah Mada "Agaknya memang demikianlah kodrat perjalanan hidup manusia
itu, Kakang Arya Tadah. Manusia dilahirkan sebenarnya hanya
untuk dimatikan. Ketika masih muda dulu, kita seperti akan sanggup
menghadapi tantangan dalam bentuk apa pun. Padahal, begitu melintas
di usia empat puluh tahun, itulah saatnya berbagai penyakit mulai
datang mendekat. Tak ada semangat dan kekuatan apa pun yang bisa
dibenturkan pada penuaan. Kau beruntung di usia menua tidak banyak
diganggu oleh sakit gigi, sungguh sakit gigi bagiku merupakan sakit yang
tak ada bandingnya."
Arya Tadah terpaksa tertawa, walau tertawa itu menyebabkan nyeri
di lambungnya. "Siapa bilang hamba tidak pernah mengalami masalah dengan gigi,
Tuan Putri," jawab Arya Tadah. "Barisan gigi belakang hamba sudah
habis, tinggal yang di depan ini. Namun, menurut hamba, Tuan Putri
lebih beruntung daripada hamba. Tuan Putri justru masih memiliki gigi
lengkap dan rapi. Tuan Putri masih cantik seperti remaja."
Gayatri tak bisa untuk tidak tertawa sambil meraba kepalanya yang
gundul. "Hanya kau yang berani menyanjungku dengan cara seperti itu,
Kakang," jawab Ibu Suri Gayatri. "Kalau orang lain yang melakukan,
aku akan meminta Prabu Putri untuk menghukumnya dengan hukuman
mati." Orang-orang yang berada di luar pintu terheran-heran mendengar
Ibu Suri Gayatri tertawa, apalagi Arya Tadah yang sedang sakit itu
tertawa lebih keras. "Tentu sesuatu yang lucu, mungkin peristiwa yang terjadi di masa
silam, berupa sebuah kenangan yang dialami bersama oleh Mapatih dan
Ibu Suri," kata seorang juru usada yang ditugasi melayani Arya Tadah
dalam hati. Ibu Suri Gayatri merasa sudah cukup menengok Arya Tadah dan
beranjak bangkit untuk kembali ke istana kediamannya. Akan tetapi, tiba-
tiba Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri berhenti dan menoleh ke belakang.
Hamukti Palapa 597 "Aku dengar Kakang akan meletakkan jabatan?" tanya perempuan
biksuni itu. Arya Tadah mengangguk. "Aku setuju, kau sudah tua dan sudah sepantasnya beristirahat.
Biarlah yang muda-muda yang menggantikan tampil di panggung
sandiwara, lengkap dengan segala macam ingar-bingarnya. Kini,
letakkan pantatmu di kursi istirahat yang empuk sebagai penonton yang
menyaksikan kiprah mereka. Jika itu kaulakukan, Kakang, kau akan
merasa betapa nikmat sebenarnya menjadi orang tua."
Arya Tadah terdiam, tak tahu apakah ia sebaiknya sependapat atau
tidak sependapat. Tamu berikutnya setelah Ibu Suri Gayatri adalah juga bukan
tamu sembarang tamu karena orang itu adalah pejabat terpenting
di Kementerian Katrini, Mahamenteri Hino Dyah Janardana yang
kedatangannya dilengkapi dengan sekeranjang buah tangan. Ada buah
jeruk pilihan, ada pula buah manggis, dan belimbing yang matang
semua. Buah itu dibawa oleh seorang tandha yang ke mana-mana selalu
mendampingi Mahamenteri Janardana. Namun, tandha yang nyaris
menjadi bayangan Mahamenteri Hino itu harus keluar ruang karena
majikannya mengusirnya melalui isyarat pandangan mata.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang Mapatih?" bertanya Dyah
Janardana. Arya Tadah berusaha bangkit, Dyah Janardana membantunya untuk
bisa duduk bersandar dinding dengan beralas bantal.
"Lumayan, Adi Mahamenteri Hino. Oleh-oleh apa saja yang
kaubawa itu?" balas Arya Tadah.
"Buah-buahan, dengan harapan akan membantu mempercepat


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyembuhanmu," jawab Mahamenteri Dyah Janardana.
Arya Tadah menyeringai. "Terima kasih," jawabnya. "Akan tetapi, aku tidak tahu apakah bisa
menghabiskan buah sebanyak itu. Mestinya kau tak perlu repot."
598 Gajah Mada Mahamenteri Hino Dyah Janardana tidak hanya bermaksud
menjenguk Arya Tadah dalam kunjungannya itu, tetapi ada kepentingan
lain yang diusungnya. Mahamenteri Hino yang sangat berminat mewarisi
jabatan yang akan ditinggalkan Arya Tadah, melihat hanya Arya Tadah
yang bisa mengantarkannya menduduki kursi orang paling penting
setelah raja. "Apakah kau benar-benar merasa telah tidak sanggup lagi
mengemban jabatanmu dan membutuhkan istirahat, Kakang Tadah?"
tanya Dyah Janardana dengan suara datar.
Arya Tadah orang yang sangat peka. Ia tahu pertanyaan yang
dilontarkan dengan nada bersahabat itu menyembunyikan sesuatu.
Itu sebabnya, Arya Tadah tidak terburu-buru menjawab. Arya Tadah
memilih menyeringai menahan sakit.
"Padahal menurutku, tenaga dan pikiran orang semacam Kakang
masih dibutuhkan oleh Majapahit. Kakang masih mampu mengemban
jabatan sebagai mahapatih."
Arya Tadah menggeleng. Mahamenteri Hino bergegas membantu
saat Arya Tadah berusaha menggapai kendi. Dyah Janardana bahkan
segera menolong menuangkan air ke dalam sebuah gelas. Dua teguk Arya
Tadah minum, yang dilakukan itu dengan amat bersusah payah.
"Dengan keadaan yang seperti ini," kata Mapatih Arya Tadah, "apa
yang bisa aku persembahkan pada Majapahit. Aku malah akan menjadi
beban karena ketika aku telah tua dan jompo, aku akan menjadi orang
tak berguna. Ke depan, waktuku makin dekat, tak seperti mereka yang
masih muda. Itu sebabnya, mumpung hal itu belum terjadi, aku harus
mempersiapkan penggantiku."
Dyah Janardana yang semula agak menunduk itu mengarahkan
perhatiannya. "Bolehkah aku tahu, siapa orang yang akan Kakang calonkan?"
tanya Dyah Janardana penuh minat.
Hampir saja Arya Tadah menyebut nama Gajah Mada sebagai
pengganti yang akan dia ajukan kepada kedua Prabu Putri. Namun,
Hamukti Palapa 599 Arya Tadah bergegas menelan ucapan yang nyaris lepas dari rongga
mulut itu. "Aku serahkan sepenuhnya hal itu kepada Prabu Putri karena
merekalah yang berhak untuk memutuskan siapa yang layak menggantikan
aku. Kalau Adi berminat ingin tahu atau berkeinginan memberi saran
kepada Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Pabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, sampaikan saja hal itu
secara langsung kepada mereka berdua," ucap Arya Tadah.
Dyah Janardana terdiam dan mengalami kesulitan untuk bicara.
Pandangan matanya yang jatuh ke halaman melalui jendela yang terbuka,
menandai Sang Mahamenteri itu sedang berpikir. Dyah Janardana akan
menyampaikan pendapatnya, tetapi ia bingung tidak menemukan jalan
untuk mengutarakan. "Kau berminat menduduki jabatan itu?" tanya Arya Tadah tiba-
tiba. Terkejut Dyah Janardana, ia menoleh.
"Apa?" balasnya dengan suara amat rendah.
"Kalau kau berminat mewarisi jabatan yang akan aku lepas, aku
akan menolongmu menyampaikan kepada kedua Prabu Putri."
Dyah Janardana kembali menutup mulut, matanya berputar
menggerataki seluruh benda.
"Kakang akan mendukungku?" tanya Dyah Janardana.
Pertanyaan itu agak membingungkan Mapatih Arya Tadah
untuk memberi jawaban yang paling pas, tetapi Mapatih Arya Tadah
memperoleh cara untuk memberikan jawaban.
"Ada banyak calon yang masing-masing mempunyai kemampuan
di atas memadai untuk bisa diangkat menjadi mahapatih menggantikan
aku," kata Arya Tadah. "Aku akan memberikan dukungan bagi siapa
saja yang ingin mencalonkan diri. Kalau Adi berminat, silakan. Aku
akan sampaikan kepada kedua Prabu Putri. Demikian pula andaikata
ada calon yang lain, aku juga memberi dukungan. Untuk selanjutnya,
600 Gajah Mada para Prabu Putri yang nanti akan menentukan siapa yang bakal terpilih
menjadi mahapatih." Dyah Janardana kurang begitu senang menerima yang hanya itu.
Inginnya jika bisa, Mapatih Arya Tadah hanya menjagokan dirinya, hanya
mendukungnya tanpa memberikan dukungan calon yang lain.
"Sejujurnya aku memang menginginkan jabatan itu. Aku menghadap
Kakang untuk meminta restu yang kalau bisa, restu itu hanya untukku,
tanpa ada calon lain. Jika Kakang bisa mengatur supaya aku bisa
menduduki kursi kepatihan, aku tidak akan pernah melupakan Kakang!"
ucap Dyah Janardana. Mapatih Arya Tadah terdiam beberapa jenak.
"Aku minta maaf, Adi. Mungkin aku bisa menjagokanmu seutuhnya
tanpa pesaing lain, tetapi keputusan terakhir, kedua Prabu Putri yang
mempunyai hak, bukan aku. Yang bisa aku lakukan hanya sekadar
menyampaikan keinginanmu kepada Prabu Putri dan memberikan
dukungan sepenuhnya. Namun, jika ada pula yang datang untuk maksud
yang sama, aku akan memberikan dukungan pula."
Dyah Janardana merasa tidak nyaman. Jawaban Arya Tadah yang
demikian sama sekali tidak seperti yang ia harapkan. Jika muncul rasa
tidak puas adalah karena sebagai mahamenteri hino, ia telah bekerja keras,
telah melaksanakan semua pekerjaan yang diberikan Arya Tadah dengan
sebaik-baiknya. Dengan semua yang telah dilakukan itu, ia merasa pantas
memperoleh warisan jabatan yang ditinggalkan Arya Tadah, tetapi Arya
Tadah tidak membantunya sampai tuntas. Pengabdiannya yang diberikan
selama ini sia-sia. "Atau, apakah Kakang telah mempunyai calon?"
Pertanyaan yang mengerucut itu membuat Arya Tadah tidak enak
hati. "Aku melihat ada banyak sekali calon, dan aku akan memberikan
pertimbangan jika Sang Prabu Putri berdua meminta pertimbanganku."
"Gajah Mada calon Kakang itu?" bertanya Dyah Janardana.
Hamukti Palapa 601 Kaget Mapatih Arya Tadah mendengar pertanyaan itu.
"Kau mendengar dari mana aku mencalonkan Gajah Mada?" tanya
Mapatih Arya Tadah. "Aku mendengar dari sebuah sumber yang bisa aku percaya."
Arya Tadah tertawa. "Kalau begitu aku tak perlu menjawab apa pun. Di luar sana ada
banyak desas-desus, yang adakalanya benar adakalanya tak benar. Aku
sama sekali tidak keberatan ada yang mengabarkan aku mendukung
Patih Gajah Mada untuk menggantikan aku. Pendek kata, aku hanya
berpedoman pada apa yang diputuskan kedua Prabu Putri. Aku tidak
akan memihak siapa-siapa. Semua calon, termasuk dirimu, aku dukung
penuh." Dyah Janardana akhirnya membawa pulang jawaban Mapatih
Arya Tadah itu dengan kurang begitu bulat. Namun, Dyah Janardana
melihat, dukungan untuk bisa meraih jabatan mahapatih itu tak hanya
berasal dari Arya Tadah. Dukungan Arya Tadah memang sangat penting,
tetapi penggalangan suara dari pihak mana pun pasti akan didengar
oleh Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan adiknya. "Penggalangan," ucap Dyah Janardana dalam hati. "Aku harus
melakukan penggalangan dukungan. Aku sudah memperoleh dukungan
Dyah Lohak. Aku juga harus mendapatkan dukungan Dyah Mano dan
mereka yang berada di tujuh Uppapati serta di Panca Ri Wilwatikta.
Kalau bisa, aku bahkan harus mendekati Gajah Mada. Aku harus
mengingatkannya agar ia tahu diri."
Orang berikutnya setelah Mahamenteri Hino Dyah Janardana
adalah Mahamenteri Sirikan Dyah Mano. Kunjungan itu mengagetkan
Arya Tadah, terutama jika diingat, Mahamenteri Sirikan Dyah Mano
secara pribadi kurang menyukainya, yang ditandai oleh adanya banyak
hal yang diperdebatkan dalam pertemuan-pertemuan yang dipimpinnya.
Mahamenteri Sirikan Dyah Mano selalu menyimpan bahan untuk
berbantah, berdebat, atau berusaha menampakkan dirinya lebih pintar.
602 Gajah Mada Beberapa bulan yang lalu, beberapa kali ia jatuh sakit, tetapi tak
sekalipun Mahamenteri Sirikan itu mengunjunginya. Namun, kali ini
Dyah Mano datang dengan buah tangan yang lebih banyak dari tamu
sebelumnya. Tak hanya itu, Dyah Mano bahkan mampu bersikap
beda. "Agaknya akan ada banyak tamu yang menengokku sambil
membawa keperluan yang sama," kata Tadah dalam hati.
Dyah Mano duduk di tepi pembaringan sambil berupaya mengatur
permukaan raut wajahnya agar tampil sewajar mungkin.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang?" tanya Dyah Mano sebagai
pembuka percakapan. Arya Tadah tersenyum. Ia tidak perlu menjawab pertanyaan itu
karena keadaannya telah bercerita. Dyah Mano kebingungan mencari
pertanyaan berikutnya. "Buah apa yang kaubawa itu?" tanya Arya Tadah membantu
memecah canggung. Dyah Mano merasa sangat tertolong.
"Aku bawakan mangga gadung kesukaanmu, Kakang. Ini bukan
mangga gadung yang aku beli di pasar, tetapi mangga yang kupetik dari
kebunku sendiri. Aku juga bawa anggur pilihan dan manggis pilihan,
dijamin tak ada ulatnya."
Arya Tadah tertawa. "Bicara soal ulat, justru hatimu yang penuh dengan ulat!" jawab
Arya Tadah. Hanya sayang, jawaban itu hanya terucap dalam hati.
Amat berbeda dengan apa yang terucap dalam hati, Mapatih Arya
Tadah memberi senyum yang lebar yang berujung ke tawa. Mapatih
membalas dengan penuh semangat ketika Dyah Mano mengulurkan
tangan mengajak berjabat tangan.
"Terima kasih, Adi Mahamenteri Sirikan," kata Arya Tadah. "Akan
aku upayakan untuk menghabiskan tanpa memberi kesempatan kepada
siapa pun untuk ikut menikmati."
Hamukti Palapa 603 Seperti halnya Sang Mahamenteri Hino Dyah Janardana yang
kebingungan dalam membuka percakapan yang lebih mengarah,
demikian pula dengan Mahamenteri Sirikan Dyah Mano, tidak tahu
bagaimana cara memulai percakapan. Namun, sikap Arya Tadah memang
membantunya. "Apakah kedatanganmu kali ini juga dengan niat memperoleh
dukungan?" bertanya Mapatih Arya Tadah langsung menohok ke
persoalan. Pertanyaan itu membuat Dyah Mano mengerutkan kening.
"Aku ke sini untuk beberapa keperluan."
"Sebut saja!" jawab Tadah.
"Pertama, aku datang untuk menengok Kakang Tadah. Aku terkejut
ketika Kakang tak hadir dalam pasewakan kemarin."
"Terus?" lanjut Arya Tadah.
"Yang kedua, dengan akan ditunjuknya mahapatih yang baru
menggantikan Kakang Arya Tadah, aku ingin tahu bagaimana sikap
Kakang?" Arya Tadah mulai menampakkan raut wajah bersungguh-
sungguh. "Sikap yang mana?" tanya Tadah.
"Kakang akan mendukung siapa" Kakang tentu telah menyodorkan
sebuah nama kepada para Prabu Putri. Aku akan menempatkan diri
mengamankan calon yang akan kautunjuk."
Arya Tadah memandang orang di depannya dengan sedikit bingung.
Namun, Arya Tadah sangat mengenali tamunya. Arya Tadah yakin apa
yang terucap dari mulut belum tentu sama dengan apa yang ada dalam
hati. Sebagaimana Mahamenteri Hino, omong kosong kalau Dyah Mano
tak menyimpan keinginan menduduki kepatihan, sebuah jabatan yang
hanya selapis di bawah raja. Boleh dikata, raja hanya duduk manis di
dampar-nya, patihlah yang menggelar pemerintahan.
604 Gajah Mada Di zaman Mataram, bahkan ada banyak cerita tentang orang yang
semula menjabat sebagai patih bisa menggantikan rajanya. Siapa tahu,
terjadi sebuah keajaiban yang luar biasa. Dengan menduduki jabatan
mahapatih, akan bisa mengantarkan ke kedudukan yang paling tinggi
sebagai raja. Bukan hal yang tidak masuk di akal jika para Batara di langit
menghendaki. "Dyah Janardana meminta restu kepadaku. Ia minta dukunganku.
Kuberikan restuku, kuberikan dukunganku untuk siapa saja yang layak.
Aku kira kau pun layak diperhitungkan sebagai orang yang pantas
dicalonkan. Aku bahkan yakin kau berminat mewarisi. Ayolah, jangan
kau merasa sungkan."
Dyah Mano tertawa datar. "Aku tak akan mencalonkan diri, Kakang Arya Tadah. Kedatanganku
kemari hanya ingin tahu siapa orang yang Kakang calonkan."
Arya Tadah makin tidak paham.
"Kenapa?" "Aku harus tahu siapa orang yang Kakang calonkan menjadi
mahapatih. Aku akan menakar, apakah calon yang Kakang ajukan layak
atau tidak. Kalau ia sangat kuat, aku akan menonton dan mungkin ikut
mengamankan. Sebaliknya, kalau tidak kuat, siapa tahu aku akan muncul
mencalonkan diri untuk menyainginya."
Mahapatih Arya Tadah merasa senang dengan penyampaian isi hati
yang dilakukan dengan cara blak-blakan itu. Justru karena itu, ia tidak
merasa keberatan untuk menjawab dengan cara blak-blakan pula.
"Gajah Mada!" jawab Arya Tadah yang ternyata mampu membuat
Mahamenteri Dyah Mano terkejut.
Mahamenteri Sirikan Dyah Mano memang layak untuk merasa
kaget karena tidak membayangkan sebelumnya. Dyah Mano melihat
beberapa orang yang layak mewarisi jabatan kepatihan, nama-nama
itu bisa dari hino, dari dirinya di Kementerian Sirikan, dan bisa pula
dari Kementerian Halu. Dyah Janardana di matanya merupakan calon
Hamukti Palapa 605 yang amat kuat. Dyah Mano merasa dirinya juga layak diperhitungkan
sebagaimana Dyah Lohak yang menempel pada jarak dekat dari dirinya.
Tetapi, Gajah Mada" Sungguh nama itu tak pernah terbayang.
"Kenapa?" tanya Mapatih Arya Tadah melihat Dyah Mano bingung.
"Kakang mencalonkan Gajah Mada?"
"Ya," jawab Arya Tadah. "Dia jagoku yang menurutku paling
layak menjadi patih amangkubumi menggantikanku. Ia masih muda
dan gagah perkasa. Ia mempunyai cara pandang ke depan yang
berbeda dari siapa pun. Jika ada yang menyebut Gajah Mada belum
memiliki banyak pengalaman, aku menjawab ya dari sisi usia. Namun,
mengenai pengabdian dan sepak terjangnya, aku tidak melihat ada
orang yang bisa menandangi. Ia dengan perjuangan amat gigih


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menyelamatkan mendiang Prabu Jayanegara dari ancaman
pembunuhan Ra Kuti. Meski pontang-panting, ia berhasil membalas.
Rakrian Kuti yang sempat duduk di singgasana itu dibungkam mulutnya
untuk selamanya." Uraian yang disampaikan Mapatih Arya Tadah itu terpaksa dikunyah
dan menjadi renungan bagi Sang Mahamenteri Sirikan Dyah Mano, yang
sejenak setelahnya manggut-manggut, bahkan dilengkapi pandangan
mata terbelalak. "Bagaimana?" tanya Tadah.
"Benar juga," jawab Dyah Mano. "Betapa buta mataku selama ini.
Tiba-tiba aku melihat, Gajah Masa sangat memadai untuk memangku
jabatan itu." "Lalu?" "Apakah Kakang Tadah telah menyampaikan hal itu kepada Prabu
Putri?" Tadah merasa tidak pantas memberikan jawaban, mengingat tiba-
tiba selain nama Gajah Mada yang diusulkannya, masih ada nama lain
yang bermunculan. Namun, Arya Tadah juga tidak menemukan cara
untuk tidak menjawab pertanyaan yang menyudutkan itu.
606 Gajah Mada "Aku punya jagoku, tetapi selain Gajah Mada, masih ada nama
lain yang diusulkan untuk dipertimbangkan di hadapan kedua Prabu
Putri, yaitu Mahamenteri Hino Dyah Janardana. Setelah dua nama itu,
mungkin akan muncul nama lain lagi yang mengajukan diri," kata Arya
Tadah dengan napas yang agak tersengal.
"Dyah Lohak!" jawab Dyah Mano.
Sedikit berubah wajah Arya Tadah.
"Dyah Lohak?" letupnya.
"Tadi Dyah Lohak menemuiku meminta dukunganku. Di luar sana,
ia sedang sibuk menggalang suara untuk memberikan tekanan kepada
kedua Prabu Putri agar memilihnya sebagai pengganti Kakang Tadah."
"Aku pikir sebaiknya aku ikut meramaikan keadaan. Aku berencana
ikut mencalonkan diri sebagai pengganti Kakang Tadah. Namun, setelah
aku tahu Kakang mencalonkan Gajah Mada, aku memutuskan mundur.
Aku sangat setuju dengan pilihan Kakang dan akan mengamankannya."
jelas Dyah Mano kemudian.
Aku tidak akan melihat Gajah Mada itu masih muda. Aku tak akan
menganggap soal usia itu sebagai bentuk kekurangan. Ia telah amat
berjasa menyelamatkan mendiang Sang Prabu Jayanegara ke Bedander.
Ia diangkat menjadi patih di Kahuripan. Ia pernah pula menjadi patih
di Daha. Jika dilihat dari sisi itu, pengalaman mana yang kurang dimiliki
Gajah Mada?" lanjutnya.
Sikap Arya Tadah kepada Dyah Mano agak berubah, setidaknya
penilaian yang semula berlepotan prasangka telah berubah.
"Aku minta diri, Kakang. Kudoakan semoga Kakang kembali
sembuh dan sebaiknya Kakang harus sembuh agar bisa mengatur
pergantian kekuasaan itu sebaik-baiknya, yang kalau bisa, jangan sampai
meninggalkan gejolak."
"Terima kasih," balas Arya Tadah.
Masih ada banyak tamu yang datang menjenguk Mahapatih
Arya Tadah. Hampir semua pejabat Sang Panca Ri Wilwatikta datang
Hamukti Palapa 607 menjenguk, yang kehadirannya diatur langsung oleh Gajah Mada. Hal
ini terlihat dari mereka yang datang secara bersama-sama, demikian
pula dengan para Uppapati yang tujuh orang jumlahnya. Demikian
pentingkah arti sakit yang diderita Mahapatih Arya Tadah sampai-sampai
para dharmadyaksa turun mengunjungi pula" Pejabat utama yang juga
berkunjung adalah Mahamenteri Halu Dyah Lohak. Ia berkunjung saat
hari petang. "Bagaimana keadaanmu, Kakang Mapatih?" tanya Dyah Lohak
lugas. "Beginilah, Adi Dyah Lohak," jawab Arya Tadah.
Tidak sebagaimana para tamu sebelumnya yang kedatangannya
membawa buah tangan apa saja, Dyah Lohak tak membawa apa pun.
Dengan santai, ia bahkan mengambil buah untuk dimakan sendiri.
"Aku kemari untuk mendoakanmu semoga cepat sembuh," kata
Dyah Lohak. "Terima kasih," balas Mahapatih Tadah.
"Yang kedua, secara lugas dan blak-blakan, aku ingin Kakang Arya
Tadah memberi dukungan kepadaku. Dengan dukungan semua pihak
dan terutama dukungan dari Kakang Arya Tadah, aku mencalonkan diri
menjadi mahapatih yang baru."
38 M alam menukik dengan membawa udara dingin yang tidak
Pukulan Si Kuda Binal 4 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Senopati Pamungkas I 8
^