Pencarian

Hamukti Palapa 12

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 12


nyaman terasa di kulit dan tarikan pernapasan. Langit terlalu bersih,
tak ada mendung selembar pun. Alun-alun istana demikian lengang dan
608 Gajah Mada berdebu karena angin berembus kencang. Entah apa yang menyebabkan
angin bisa memilin dan bergerak meliuk membelit apa pun, membelit
debu, membelit sampah, dan dedaunan dan memutarnya. Dalam siraman
cahaya bulan, Gajah Mada berhenti melangkah dan menyempatkan
memerhatikannya. Namun, beliung kecil yang besarnya tak lebih dari paha itu tidak
mampu bertahan lebih lama. Lesus itu bubar meninggalkan jejak kotor
di mana-mana. Gajah Mada kembali mengayunkan langkah kakinya dengan tujuan
istana Ibu Suri Gayatri. Para prajurit yang melihatnya berjalan mendekat,
bergegas memberikan hormat. Akan tetapi, Gajah Mada tidak menyapa
mereka. Patih Gajah Mada terus berjalan melintas halaman samping
istana Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang nantinya
akan membawanya ke bangunan lama. Bangunan yang ditempati oleh
Rajapatni. "Ki Patih," seorang tandha dan emban yang bertugas melayani Ibu
Suri menjemput. "Ya?" balas Gajah Mada.
"Tuan Putri Ibu Suri menunggu Ki Patih di alun-alun. Ia bersama
tamu-tamunya sedang menikmati cahaya bulan dari bawah pohon
bramastana." Jawaban tandha itu menyebabkan Gajah Mada terkejut.
"Ibu Suri menerima tamu?"
"Dua orang," jawab tandha itu.
"Siapa?" tanya Gajah Mada.
"Aku tidak tahu, Ki Patih," jawabnya.
Pasukan Bhayangkara yang menjalankan tugas pengamanan istana
sedang berada langsung di kendali tangannya. Sampai sejauh itu tidak
ada laporan tentang tamu yang datang mengunjungi Ibu Suri. Bagaimana
sekarang Ibu Suri bisa berada di bawah pohon beringin di tengah alun-
alun, sedang menemani tamu-tamunya"
Hamukti Palapa 609 Dengan langkah lebar, Gajah Mada bergegas ke tengah lapangan.
Rupanya apa yang disampaikan oleh tandha itu benar. Dari jauh, ia melihat
tiga orang sedang duduk-duduk di dekat pagar yang ketika makin dekat,
Gajah Mada langsung bisa mengenali salah satu dari mereka adalah Ibu
Suri Rajapatni Biksuni Gayatri. Sedangkan dua orang yang lain, dua
orang yang dari usianya sama-sama tua, Gajah Mada belum mengenal
mereka. Gajah Mada bergegas memberikan hormat melalui sembahnya, dan
memandang dengan lirikan curiga kepada dua tamu itu.
"Kau mengenal mereka, Gajah Mada?" tanya Ibu Suri yang
membalut tubuhnya dengan pakaian tebal.
"Belum, Tuan Putri!" jawab Gajah Mada.
Gayatri mengarahkan ucapannya kepada kedua tamunya.
"Kakang berdua, inilah orang yang baru saja kita perbincangkan,
Gajah Mada!" Dua orang tamu yang sudah sama tua itu manggut-manggut
bersamaan sambil tak menutupi pandangan matanya yang menyiratkan
rasa suka. Gajah Mada segera berpikir untuk mengambil simpulan
secepatnya bahwa Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri menempatkan
dua orang tamu itu sebagai sahabat yang akrab. Maka, tentulah mereka
orang-orang penting di masa lalu. Siapa"
"Gajah Mada, berilah hormat kepada mereka. Dua orang ini
kuundang kemari supaya bisa membantumu meredam sepak terjang
Kakang Wirota Wiragati. Mereka ini adalah Kakang Mahisa Pawagal
dan Kakang Medang Dangdi."
Terkejut bukan kepalang Gajah Mada mendengar penjelasan itu.
Dengan terbelalak, Gajah Mada nyaris lupa bagaimana cara memberi
hormat. Beralas tanah, Gajah Mada segera menempatkan diri duduk
bersila. "Kau akan menyampaikan apa, Gajah Mada?" tanya Ibu Suri
Gayatri. 610 Gajah Mada Gajah Mada membutuhkan waktu beberapa saat untuk bisa
menguasai diri. "Izinkanlah aku mengucapkan terima kasih, Kiai Wagal, karena
Kiai telah berkenan mengambil sahabatku, Senopati Gajah Enggon
sebagai menantu." Kiai Pawagal dan Kiai Medang Dangdi tertawa.
"Cepat sekali perjalanan sebuah berita," ucap Kiai Pawagal. "Berita
itu sudah sampai ke telingamu rupanya."
Gajah Mada mengulangi pemberian hormatnya. Ia membagi
sembahnya kepada Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri, Mahisa
Pawagal, dan Medang Dangdi. Gajah Mada yang mulai tenang tak
mampu membendung rasa takjubnya menilik orang-orang tua itu tentu
mempunyai kelebihan-kelebihan luar biasa.
Gajah Mada merasa penasaran saat mendengar Ibu Suri
Rajapatni Biksuni Gayatri mengatakan bahwa kehadiran tamu-tamu
itu karena memenuhi undangannya. Hal itu memunculkan pertanyaan
membingungkan, kapan undangan itu dikirim" Karena selama ini tidak
ada perintah apa pun yang diberikan Ibu Suri untuk menghadirkan
seseorang karena kalau ada, Gajah Mada pasti tahu. Bagaimana pula
tamu-tamu itu bisa masuk ke dalam lingkungan istana tanpa diketahui
oleh para Bhayangkara yang bertugas jaga.
"Gajah Mada, apa keperluanmu mengajukan permintaan menghadap
kepadaku?" Ibu Suri Gayatri memecah keheningan.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada. "Hamba akan menyusul
para prajurit yang saat ini sudah lebih dulu berangkat ke Keta.
Namun, telik sandi yang kembali dari Keta melaporkan adanya bentuk
pertahanan yang tidak lazim, yang agaknya berkaitan dengan apa
yang dilakukan Kiai Wirota Wiragati ketika menjebol gedung pusaka
beberapa pekan yang lalu. Para telik sandi menyebut, jika malam, istana
Keta dilindungi oleh kabut aneh yang tak mungkin ditembus dengan
cara bagaimanapun. Bahkan, telik sandi pasukan Bhayangkara tak
mampu menerobos masuk."
Hamukti Palapa 611 Gayatri mengarahkan pandangan matanya kepada Kiai Pawagal
dan Kiai Medang Dangdi. "Mereka yang akan membantumu, Gajah Mada," jawab Ibu Suri
Gayatri. Mulut Gajah Mada terbungkam.
"Kiai Medang Dangdi dan Kiai Pawagal akan ikut bersama hamba
ke Keta?" tanya Gajah Mada.
"Tidak perlu, Anakmas Gajah Mada," Kiai Medang Dangdi menjawab.
"Silakan Anak Mas Gajah Mada berangkat. Pada hari yang ditentukan
nanti, kami berdua sudah akan berada di Keta. Tugas kami hanyalah
membujuk sahabat kami, Wirota Wiragati. Selebihnya, bagaimana cara
Anak Mas menguasai Keta, bukan urusan kami berdua."
Gajah Mada termangu beberapa jenak lamanya.
"Ada lagi yang ingin kautanyakan, Gajah Mada?" tanya Ibu Suri
Rajapatni Biksuni Gayatri.
Gajah Mada bergegas merapatkan kedua telapak tangannya dan
melekatkan di depan dada.
"Hamba, Tuan Putri Ibu Suri. Hamba mohon maaf untuk pertanyaan
yang terpaksa hamba ajukan berikut ini karena hamba harus memperoleh
jawaban yang pasti sebelum menggempur Keta."
"Mengenai apa?" tanya Ibu Suri.
"Bagaimanakah hamba harus bersikap jika nanti telah berhadapan
langsung dengan Kiai Wirota Wiragati?"
Gajah Mada kembali ke sikapnya semula, dengan amat rapi duduk
bersila di atas ramput-rumput kering berdebu. Patih Gajah Mada tidak
ikut tertawa meski apa yang ia sampaikan itu menyebabkan Kiai Medang
Dangdi dan Mahisa Pawagal tertawa, yang akhirnya disusul oleh Ibu
Suri yang tersipu. Ibu Suri menyempatkan memandang rembulan sebelum menjawab
pertanyaan yang diajukan Gajah Mada. Gajah Mada sigap menerima saat
tiba-tiba Ibu Suri menyerahkan sebuah bungkusan kepadanya.
612 Gajah Mada "Kembalikan benda ini kepada Kakang Kiai Wirota Wiragati. Akan
tetapi, jika Kiai Wirota Wiragati tidak mau menerima, aku perintahkan
kepadamu untuk menyimpannya sekaligus merawatnya. Jika kau merasa
penasaran, benda inilah yang dihadiahkan Kakang Kiai Wirota Wiragati
kepadaku selain mahkota yang dimintanya kembali itu."
Gajah Mada mengamati bungkusan yang dipegangnya dengan
segala penasarannya. Dari dalam hatinya muncul dorongan yang amat
kuat untuk membuka bungkusan itu.
"Jangan sekali-sekali kau membukanya, Patih Gajah Mada, kecuali
jika Kakang Kiai Wirota Wiragati tidak mau menerimanya kembali. Jika
hal itu terjadi, boleh kaubuka."
Gajah Mada masih ingin berlama-lama berada di tempat itu. Akan
tetapi, Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri ternyata tidak menghendaki.
Gajah Mada kembali memberi hormat melalui sembahnya, tak hanya
kepada Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri, tetapi juga kepada Kiai
Pawagal dan Kiai Medang Dangdi.
Di Purawaktra, Gajah Mada tidak kuasa menahan penasarannya.
"Siapa yang memimpin penjagaan malam ini?" tanya Gajah
Mada. "Aku, Ki Patih," jawab Bhayangkara Panji Wiron sigap.
"Sejak kapan?" tanya Gajah Mada.
"Sejak sore, Ki Patih, sampai besok pagi," jawab Panji Wiron
tangkas. "Sejak sore?" ulang Gajah Mada. "Apakah sejak sore tadi tak ada
tamu yang datang untuk bertemu dengan Ibu Suri Gayatri?"
Pertanyaan itu menyebabkan Panji Wiron dan anak buahnya
terperanjat. "Tidak ada, Ki patih!"
Gajah Mada sudah menduga itu. Maka, sekaranglah saatnya Gajah
Mada melihat betapa orang-orang yang dulu menjadi pendukung
Hamukti Palapa 613 Sanggramawijaya itu benar-benar luar biasa. Medang Dangdi, Mahisa
Pawagal, Pamandana, Sora, dan lain-lainya adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan aneh-aneh, sebagaimana Kiai Wirota Wiragati,
maling luar biasa yang memiliki kemampuan luar biasa pula.
39 S ang waktu serasa bergerak sangat cepat yang dalam hitungan
hari banyak sekali terjadi peristiwa luar biasa. Adipati Keta dengan amat
tergesa-gesa menarik pasukan yang dibentuk dan digemblengnya di
Alas Larang. Separuh yang lain, terutama para prajurit yang dihimpun
oleh Sadeng, ditarik ke Sadeng. Berita akan terjadi perang dahsyat telah
menyebar ke segala penjuru. Di alun-alun Istana Keta, ada banyak orang
yang kembali berkumpul mempertanyakan perang yang akan terjadi,
khususnya mereka yang merasa kecewa melihat Keta menempatkan
Majapahit sebagai musuh. Pun demikian keadaan di Sadeng yang
bahkan berlangsung lebih buruk. Istana Sadeng telah dikepung rapat
oleh rakyatnya sendiri. Keta mulai mengalami kesulitan luar biasa. Di jalanan mulai terjadi
pertikaian yang bisa mengarah ke perang saudara. Mereka yang bertikai
adalah orang-orang yang tidak setuju Keta berperang melawan mereka
yang setuju Keta berperang. Hal yang membuat pusing itu masih
ditambah dengan laporan-laporan yang masuk mengenai asap membara
yang membubung membakar sesuatu.
"Apa yang kaulaporkan?" tanya Ma Panji Keta.
"Lapor, Adipati," jawab prajurit itu. "Lumbung padi kita di Bale
Gari dibakar orang. Lagi-lagi, tak bisa diketahui siapa pelakunya."
614 Gajah Mada "Setan alas," desis Ma Panji Keta meletupkan rasa jengkelnya.
Padahal, lumbung-lumbung itu diisi sejak lama sebagai dukungan
jika nantinya sang waktu telah tiba, Keta akan menggempur Majapahit
secara dadakan. Namun, rupanya telik sandi Majapahit telah mengendus
semua kegiatan yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi.
Apa yang dilaporkan Patih Keta, Panji Hyang Rogasiwi, tentang
bagaimana sidang di Pasewakan Agung Tatag Rambat Bale Manguntur,
bagaimana mereka dengan mata kepala sendiri melihat secara langsung
penggelaran pasukan, menyebabkan Ma Panji Keta merasa miris.
Meski Ma Panji Keta telah memperoleh laporan dari patihnya, ia
tetap bergeming dengan keputusannya. Ma Panji Keta masih merasa
yakin dengan dukungan dari orang yang dihormatinya, Kiai Wirota
Wiragati, mantan pencuri yang amat terkenal di zaman Singasari, yang
diyakini mampu membendung pasukan dengan kekuatan sebesar apa
pun. Akhirnya, dengan sikap tegas yang didukung oleh pasukan kuat
yang baru ditarik dari Alas Larang, pihak-pihak yang tidak setuju dengan
digelarnya perang bisa dibungkam mulutnya.
Sama seperti di Keta, di Sadeng, persiapan untuk berperang
bisa dilakukan dengan lebih matang. Kumpulan rakyat yang tidak
sependapat bubar semburat ketika dihadapkan dengan pasukan yang
telah disiagakan untuk berperang jika perlu dengan menggilas rakyatnya
sendiri. Dari ketinggian bukit yang menjulang di belakang kota Sadeng,
beberapa orang telik sandi gabungan dari mata-mata pasukan Bhayangkara
dan mata-mata pasukan Jalapati yang dipimpin oleh Senopati Haryo
Teleng, terus mengamati perkembangan. Dari tempat persembunyian
di titik ketinggian, bisa dilihat dengan jelas bagaimana pergerakan
pasukan yang dihimpun di alun-alun. Mereka tidak lagi berada di pihak
penyerbu, tetapi merekalah yang kini harus membangun pertahanan
karena akan diserbu. Cepat atau lambat, prajurit Majapahit akan datang
untuk menggilas. Hamukti Palapa 615 Dengan berdiri berdampingan, Bhayangkara Lembu Pulung yang
telah bergabung dengan Senopati Haryo Teleng memerhatikan lembah
di depannya. "Apa yang diperintahkan oleh Adi Gajah Mada tidak bisa aku
terjemahkan di sini," kata Senopati Haryo Teleng. "Siang hari, Adipati
Sadeng dipagari oleh sekitar dua puluh lima orang prajurit yang mengawal
ke mana pun ia pergi, dikawal depan belakang. Harapan untuk bisa
menculiknya tentulah malam hari, saat orang itu dan para pengawalnya
terlena. Namun, di malam hari, Adipati Sadeng bersembunyi. Ia tidak
tidur di istana, demikian juga dengan keluarganya."
Lembu Pulung menyimak dengan cermat.
"Mengirim orang untuk menyusup juga sulit. Dari penampilan
mungkin tidaklah masalah. Hanya saja, dari bahasa, jika orang Sadeng
bertemu dengan kita, dengan mudah mereka menebak kita bukanlah
orang Sadeng hanya dari logat kita. Agaknya, Adipati Sadeng menyadari
dirinya berada dalam bahaya. Maka, ia melindungi diri melalui cara
berlapis itu." Senopati Haryo Teleng melebarkan jelajah arah pandangnya
menyapu ke samudra luas dengan ombaknya yang susul-menyusul


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggempur pantai. Senopati Haryo Teleng mengerutkan kening ketika
mengarahkan perhatiannya ke timur, ada sesuatu yang terlihat di sana.
"Benda apa itu?" tanya Senopati pimpinan pasukan Jalapati itu.
Lembu Pulung mengalihkan pandangan mata ke arah yang sama.
"Seperti kapal," jawab Lembu Pulung.
Di kejauhan sekali memang tampak beberapa kapal yang merapat
ke tepi pantai. Sebagian terlihat, sebagian tidak karena terlindung lekuk
pesisir dengan tebing yang menjulang.
616 Gajah Mada 40 H ari ketujuh dari siasat yang telah direncanakan Gajah Mada,
pasukan Majapahit yang dipimpin Senopati Panji Suryo Manduro telah
menempatkan diri bagai di depan hidung Istana Keta. Panji Suryo
Manduro harus menyesuaikan diri dengan siasat perang yang telah
ditentukan Gajah Mada. Untuk jangan sampai kehadirannya diketahui
oleh musuh, Panji Suryo Manduro membawa perjalanannya melambung
berbelok ke kanan menerobos hutan lebat dan akhirnya melakukan baris
pendhem tepat di arah belakang Istana Keta.
Untuk membantu agar Gajah Mada bisa menyusul ke tempat yang
telah dipilih itu, beberapa orang prajurit ditinggalkan di suatu tempat
yang telah ditentukan sebagai titik temu dengan Gajah Mada dan Gagak
Bongol yang menyusul belakangan. Hampir mirip dengan apa yang
terjadi di Sadeng, dari titik ketinggian sebuah bukit yang dipilih, Senopati
Panji Suryo Manduro dapat melihat kota Keta dengan amat jelas. Dari
tempat itu terlihat istananya, terlihat alun-alunnya, terlihat pula jalan-
jalan utama yang saling silang.
Namun, menunggu merupakan pekerjaan yang menjemukan.
Melihat Keta sudah berada di depan mata, Senopati Panji Suryo Manduro
merasa gatal ingin segera menyerbu dan memberangus para pemberontak.
Akan tetapi, tak mungkin bagi Senopati Panji Suryo Manduro untuk
membelokkan perintah yang diterimanya dari Gajah Mada. Yang bisa
ia lakukan hanya memberi perintah untuk beristirahat.
"Kalian boleh tidur sampai tiga hari lamanya," ucap Senopati
Panji Suryo Manduro kepada beberapa pimpinan kesatuan kecil yang
menghadap untuk disalurkan kepada semua prajurit tanpa kecuali.
Istirahat untuk memulihkan penat memang dibutuhkan setelah
perjalanan beberapa hari lamanya itu. Maka, para prajurit pun melakukan
banyak hal untuk membuang jemu, di antaranya dengan memanfaatkan
Hamukti Palapa 617 waktu yang ada itu untuk berburu di hutan. Adalah amat kebetulan
ada banyak ayam liar di sekitar persembunyian pasukan segelar sepapan
itu. Senopati Suryo Manduro yang sedang mengamati Kota Keta
bisa melihat dengan mata telanjang kegiatan persiapan perang yang
berlangsung. Kota itu tampak lengang karena Ma Panji Keta telah
menggilas orang-orang yang tidak setuju perang tanpa ampun. Namun,
alun-alun dipenuhi ribuan orang prajurit yang siap digerakkan untuk
menghadang serbuan. Dari tempatnya pula, Senopati Panji Suryo Manduro bisa menikmati
pemandangan laut yang demikian luas di sebelah utara, yang berimpit
dengan langit dihubungkan oleh garis cakrawala yang memanjang dari
barat ke timur. Senopati Panji Suryo Manduro terlonjak, hidungnya membaui
sesuatu. "Perbuatan siapa ini?" teriak Panji Suryo Manduro. "Padamkan api
itu! Orang-orang Keta akan tahu ada kegiatan di sini dengan melihat
asap kalian." Api itu memang sudah tak dibutuhkan lagi dan tak masalah jika ada
perintah untuk memadamkan. Dengan senyum khasnya, Lembu Peteng
mendekati Senopati Panji Suryo Manduro yang sedang melotot. Meski
masih terlihat garang, raut wajah Panji Suryo Manduro berubah melihat
apa yang dibawa Lembu Peteng dan diserahkan kepadanya, seekor ayam
hutan yang telah matang dibakar dan utuh.
"Kaubumbui apa?" tanya Panji Suryo Manduro.
"Hanya bumbu sekadarnya. Garam, bawang, dan merica."
Cerobohnya Senopati Panji Suryo Manduro. Ia memaafkan
perbuatan anak buahnya yang telah lancang membuat perapian karena
di depannya telah tersaji seekor ayam hutan yang telah matang, yang
lumayan untuk dinikmati setelah berhari-hari tidak berselera. Padahal,
di mata orang Keta, munculnya asap dari perbukitan jauh di arah selatan
dengan segera memunculkan pertanyaan.
618 Gajah Mada Adipati Ma Panji Keta yang memperoleh laporan ikut mengawasi
dari mana asap terlihat membubung. Ada asap menjadi pertanda di
tempat itu ada orang. "Kakang Rogasiwi," ucap Ma Panji Keta meminta perhatian.
Rogasiwi mendekat. "Bagaimana, Ma Panji?"
Adipati Ma Panji Keta tidak menoleh, pandangan matanya masih
tetap mengarah ke tempat asap membubung di punggung bukit.
"Segera kirim orang untuk mendekati tempat itu dan mengintip ada
apa di sana. Bisa jadi, prajurit Majapahit tengah bersembunyi di tempat
itu," kata Ma Panji Keta.
"Baik," jawab Patih Panji Hyang Rogasiwi.
Apa yang diduga Ma Panji Keta dibenarkan oleh Kiai Wirota Wiragati
yang tidak pernah keluar dari dalam biliknya. Meski Kiai Wirota Wiragati
tidak bergerak sejengkal pun dari kamar yang amat pribadi itu, bukan
berarti Kiai Wirota Wiragati tidak melakukan apa-apa. Menggunakan
kemampuan yang tidak kasatmata yang bersumber dari olah batin dari
wilayah bawah sadarnya, Kiai Wiragati justru membentengi Istana Keta
dengan caranya sendiri. Kabut tebal yang diundang menggunakan bait-bait mantra
membungkus Istana Keta dengan tebalnya, menyebabkan Pradhabasu
yang terus berusaha mencari celah nyaris putus asa karena tidak
menemukan cara yang dibutuhkan untuk bisa menyelinap. Padahal,
kabut itu tak sekadar membungkus. Pradhabasu tahu, siapa pun yang
memaksa menyelinap akan ketahuan. Ibarat Kiai Wirota Wiragati sedang
tidur. Maka, jika ada orang yang tidak diundang berani masuk, akan
membangunkannya. Hanya lemparan batu sekepalan tangan ke arah
istana itu pasti ketahuan.
Bahwa Kiai Wirota Wiragati, mantan maling yang pernah
menggegerkan Istana Singasari, adalah orang yang sidik paningal terlihat
dari apa yang disampaikan kepada Ma Panji Keta.
Hamukti Palapa 619 "Mereka sudah datang," kata Kiai Wirota Wiragati yang membuka
mata. Ma Panji Keta menunggu orang yang amat dihormati itu melanjutkan
ucapannya. Namun, sampai beberapa saat lamanya, Kiai Wirota Wiragati
belum berbicara. "Di mana mereka, Kiai?" tanya Ma Panji Keta.
"Kirimlah telik sandi untuk meyakinkan pandangan mata batinku,"
kata Kiai Wirota Wiragati. "Aku melihat sesuatu di selatan. Jika
kauperhatikan, ada asap yang membubung di sana. Jika benar pasukan
Majapahit itu telah masanggrah 230 di tempat itu, akan kugilas mereka."
Ma Panji Keta diam beberapa saat untuk memuasai diri terhadap
rasa kagumnya yang makin menjadi. Sungguh Kiai Wirota Wiragati
adalah orang yang sangat langka, pemilik kemampuan yang langka.
Didukung oleh orang sakti macam itu, Ma Panji Keta merasa yakin
akan mampu menghadapi Majapahit, meski mereka menggelar kekuatan
macam apa pun. "Aku telah melihat asap itu, Kiai," jawab Ma Panji Keta. "Juga telah
kukirimkan telik sandi untuk melihat dari dekat ada apa di sana."
Kiai Wirota Wiragati mengerutkan dahi.
"Jadi, kau sudah tahu?"
"Memang ada asap dari belakang istana dan telah aku kirim orang
untuk melihat ada apa di sana."
"Kalau begitu, malam ini harus kausiapkan pasukan untuk menggilas
mereka. Aku akan membutakan mata orang-orang Majapahit itu."
Ma Panji Keta amat yakin, Kiai Wirota Wiragati adalah orang yang
berkemampuan luar biasa. Andai Kiai Wirota Wiragati mengatakan
akan membutakan mata orang-orang Majapahit yang menempatkan diri
bersembunyi di punggung bukit, mereka benar-benar akan buta semua,
mungkin dengan melalui kehilangan bola mata semua.
230 Masanggrah, Jawa, membangun pesanggrahan
620 Gajah Mada Malam yang kemudian datang adalah malam yang dijanjikan oleh
Kiai Wirota Wiragati, yang akhirnya keluar dari bilik pribadinya. Meski
buta matanya, Kiai Wirota Wiragati masih sering memerlukan bepergian
yang adakalanya harus menempuh jarak yang jauh, sebagaimana ia
lakukan beberapa pekan sebelumnya.
Ke mana-mana biasanya Kiai Wirota Wiragati dikawal oleh empat
orang kepercayaannya. Mereka adalah Udan Tahun, Panji Hamuk,
Lanjar Manuraha, dan Bremoro. Namun, empat orang berhati kejam
itu sedang tidak berada di Keta karena harus menjalankan tugas ikut
berburu songsong Kiai Udan Riwis dan cihna gringsing lobheng lewih laka
yang telah jengkar dari gedung pusaka Istana Majapahit. Meski memiliki
mata hati yang tajam, Kiai Wirota Wiragati tidak tahu salah seorang dari
empat anak buahnya telah mati.
Maka demikianlah, malam yang datang berikutnya adalah malam
yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh para prajurit Majapahit yang
melakukan baris pendhem tidak jauh dari Istana Keta. Untuk mengusir
nyamuk yang banyak sekali, Senopati Panji Suryo Manduro mengizinkan
anak buahnya membuat perapian di beberapa tempat sekaligus yang
nantinya harus dipadamkan ketika pagi berikutnya tiba.
Ada api tentu ada asap. Namun, karena malam, Senopati Panji
Suryo Manduro yakin asap itu tidak akan tampak dari Keta yang berada
di lembah. Namun, yang mengagetkan Senopati Panji Suryo Manduro
dan membuat terheran-heran anak buahnya adalah asap berada di mana-
mana. Warna putih bergerak di mana-mana, makin lama makin tebal.
"Gila!" desis Panji Suryo Manduro yang menyadari keganjilan
seperti yang pernah terjadi di Istana Majapahit terulang kembali.
Sadarlah Senopati Panji Suryo Manduro bahwa keberadaan mereka
yang melakukan baris pendhem di tempat itu telah diketahui musuh.
Dengan segera, Senopati Panji Suryo Manduro memberi perintah untuk
siaga melalui teriakan. Namun, apalah yang bisa dilakukan para prajurit Majapahit
menghadapi kebutaan yang datangnya mendadak itu. Dengan segera,
Hamukti Palapa 621 mereka merasa cemas menghadapi kemungkinan serangan akan datang
dengan tiba-tiba. Senopati Panji Suryo Manduro segera menghitung
keadaan, menghadapi serangan ketika dibelit oleh kabut yang sangat
tebal itu, gelar perang apakah yang sebaiknya disiapkan.
Senopati Panji Suryo Manduro segera mengenang tempat itu dengan
sebaik-baiknya untuk menerka dari arah mana kira-kira serangan akan
datang. "Dari arah timur," Panji Suryo Manduro menerka.
Senopati Panji Suryo Manduro merasa yakin serangan yang akan
dilakukan pasukan Keta melalui jebakan yang sangat aneh itu pasti
dilakukan dari arah timur karena dari tempat ia berada terlihat ada
sebuah jalan yang berliku ke selatan. Melalui jalan itulah serangan akan
menerjang pasukan yang dipimpinnya.
"Perang buta!" teriak Senopati Panji Suryo Manduro. "Serangan
akan datang dari arah timur, semua berlindung di balik tameng,"
Perintah yang diteriakkan Senopati Panji Suryo Manduro itu segera
disalurkan dari ujung ke ujung dan dengan susah payah karena banyaknya
pepohonan. Senopati Panji Suryo Manduro merasa layak cemas karena
akan sia-sia apa yang dilakukan, kabut tebal sekali, makin bergulung dan
menghapus jarak pandang. Sebenarnyalah, Kiai Wirota Wiragati berada di belakang kejadian
aneh itu. Mantan maling itu telah membangunkan ilmu hitamnya untuk
sebuah keperluan yang tak lazim. Jika dulu kabut tebal itu dihadirkan agar
bisa dengan leluasa menyelinap rumah yang akan dikurasnya, kini oleh
dorongan nafsu untuk membangun Keta memisahkan diri Majapahit,
ilmu hitam itu dibangun untuk menjebak pasukan segelar sepapan yang
akan menyerbu negerinya. Kiai Wirota Wiragati berjalan dengan tertatih dikawal oleh banyak
prajurit dan ditemani secara langsung oleh Ma Panji Keta. Melalui jalan
berbeda dengan jalan yang digunakan para prajurit untuk menyerang ke
persembunyian orang-orang Majapahit di punggung bukit, Kiai Wirota
Wiragati berjalan dituntun oleh Ma Panji Keta yang sama sekali tidak
622 Gajah Mada menyadari ada bayangan hantu yang bergerak membayangi ke mana pun
langkah mereka. Orang itu berjalan mengendap-endap dengan langkah
kaki ringan seperti langkah kaki kucing yang tidak menimbulkan suara.
Orang itu adalah Pradhabasu.
"Mungkin inilah saat yang aku miliki untuk menerjemahkan
keinginan Kakang Gajah Mada," berkata Pradhabasu di dalam hati.
Pradhabasu terus mengikuti langkah kaki orang itu. Dengan kehati-
hatiannya, ia lolos dari ketajaman pandangan mata hati Kiai Wirota
Wiragati. Namun, sampai sejauh itu, Pradhabasu tidak bisa bertindak
apa-apa. Untuk menculik Ma Panji Keta dibutuhkan dukungan beberapa
temannya. Pradhabasu harus menemukan sebuah cara untuk bisa
menghubungi mereka. Tepat sebagaimana yang diduga Senopati Panji Suryo Manduro,
Ma Panji Keta telah mengirimkan pasukannya menyusur jalan berliku
di timur kota Keta, naik ke selatan yang jika terus lurus akan menuju ke
Arak-Arak, bahkan bisa sampai ke tanah perdikan Bondowoso dan ke
Kademangan Jember. Melalui sebuah jalan yang penuh dengan semak dan perdu, pasukan
Keta merayap dan berbelok ke kanan, siap menghabisi musuhnya yang
sedang bingung terjebak tebalnya kabut aneh. Akan tetapi....
"Suara apa itu?" bisik seorang prajurit Keta.
Pasukan Keta yang bergerak terpaksa harus berhenti. Suara
gemeresak itu sungguh sangat mengganggu dan menumbuhkan rasa
ingin tahu, bahkan bagi sebagian yang lain suara itu memunculkan rasa
takut. "Ada yang tahu itu suara apa?" bertanya seorang lainnya.
"Aku tidak tahu," terdengar sebuah jawaban.
Tak hanya para prajurit Keta yang dibingungkan oleh munculnya
suara gemeresak itu. Bagi segenap prajurit Majapahit yang dibingungkan
oleh ketakmampuan mereka memandang apa pun, suara gemeresak
itu menumbuhkan pertanyaan yang tak bisa diketahui dengan segera
Hamukti Palapa 623 jawabnya. Bahkan, tak bisa diterka dengan mudah dari mana arah
suara itu. Bahkan, Kiai Wirota Wiragati tak kalah terkejut. Kiai Wirota
Wiragati yang telah menempatkan diri pada jarak cukup dekat dengan
persembunyian pasukan musuh dengan tetap duduk di atas kuda dan
berada dalam pengawalan ketat beberapa prajurit, termasuk Ma Panji
Keta dan patihnya, benar-benar merasa menghadapi keadaan yang bisa
mengubah rencana. "Sial," desis Kiai Wirota Wiragati.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ma Panji Keta membawa kudanya mendekat dan menempatkan
diri di sebelah Kiai Wirota Wiragati.
"Ada apa, Kiai?" tanya Ma Panji Keta.
Kiai Wirota Wiragati tidak segera menjawab. Namun, dengan
ketajaman telinganya, ditambah ketajaman mata hatinya, Kiai Wirota
Wiragati memerhatikan suara yang mengaduk malam dan bahkan
berkemampuan mengisap kabut tebal yang ia hadirkan.
"Orang itu datang ke sini," desis Kiai Wirota Wiragati.
Ma Panji Keta merasa cemas.
"Siapa, Kiai?" tanya Ma Panji Keta.
Kiai Wirota Wiragati tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Sebenarnyalah tengah terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa yang
seolah menjadi jawaban dan mengimbangi apa yang dilakukan Kiai Wirota
Wiragati yang menghadirkan kabut demikian tebal dan membutakan
penglihatan. Jika Kiai Wirota Wiragati mampu mengundang datangnya
kabut, rupanya ada orang lain yang punya kemampuan tak kalah aneh,
mampu mengundang dan mengendalikan beliung.
Beliung yang berputar itulah yang menimbulkan suara gemuruh
sangat dahsyat, yang lahir dari semula kecil saja, tetapi makin lama makin
membesar dan membentuk. Jika beliung itu berputar melintas, semua benda
yang berada di lintasannya akan terisap dan terputar dengan deras. Beliung
624 Gajah Mada yang oleh Kiai Wirota Wiragati ditandai muncul di Istana Majapahit ketika
ia menggelar sirep dan kabut untuk membobol ruang pusaka.
Angin lesus itu rupanya memanjakan orang yang menghadirkannya.
Ia memanjakan diri berputar dan berputar dengan derasnya, mengisap
debu-debu, memutar dan menjebol pohon, dan bergerak mengisap kabut
yang membutakan pasukan segelar sepapan dari Majapahit yang melakukan
baris pendhem. Prajurit Keta yang terhenti gerak langkahnya baru paham
suara gemuruh itu berasal dari angin lesus karena melintas pada jarak
yang amat dekat di depan mereka.
Angin yang berputar dengan deras itu melibas apa saja, termasuk
melibas kabut tebal yang membutakan mata dan membuangnya entah
ke mana. Prajurit Majapahit yang kebingungan dan merasa mendapat
impitan tekanan mulai merasa lega. Jarak pandang yang hilang itu
kembali. Sedikit demi sedikit, jarak pandang mereka melega yang dengan
demikian ada keleluasaan untuk mempersiapkan diri.
"Gila," Senopati Panji Suryo Manduro meletup.
Keadaan berubah dengan cepat. Hal itu terjadi karena angin lesus
yang mengisap kabut bergerak berputar seperti ada yang mengendalikan.
Dengan suara mencicit bernada tinggi menimbulkan rasa nyeri di telinga,
beliung yang telah menyamai besar pohon kelapa itu melintas pada
jarak yang amat dekat dengan pasukan Keta yang menyebabkan mereka
terpaksa lari tunggang langgang menghindar. Tak ada yang memberi
perintah, pasukan itu bergerak mundur.
Adalah Kiai Wirota Wiragati yang jengkel karena merasa ada pihak
yang telah mengganggu. Setelah beberapa saat lamanya, orang yang
diperkirakan akan muncul itu akhirnya menampakkan diri. Dari bayangan
pohon lebat, muncul dua orang yang tanpa secuil pun keraguan datang
mendekatinya. Dengan berdebar-debar, Pradhabasu yang terus mengamati apa
yang dilakukan Kiai Wirota Wiragati dan Ma Panji Keta mengikuti
perkembangan yang terjadi. Pradhabasu memperoleh kesempatan
untuk menempatkan diri pada jarak yang cukup dekat karena bayangan
Hamukti Palapa 625 pohon yang lebat. Merayap bagaikan seekor kadal, Pradhabasu beringsut
mendekat. "Ada orang yang datang, Kiai," bisik Ma Panji Keta.
Kiai Wirota Wiragati berdebar-debar. Ia merasa harus bertemu
dengan teman lama, tetapi dengan keadaan yang berbeda.
Ma Panji Keta memberi isyarat kepada anak buahnya untuk siaga
mempersiapkan diri. Beberapa prajurit yang mengawal Kiai Wirota
Wiragati sigap mempersiapkan diri dengan memasang anak panah di
busur, bahkan telah direntang. Akan tetapi, Kiai Wirota Wiragati meski
mengalami gangguan penglihatan, bagai bisa melihat apa yang dilakukan
anak buahnya. Kiai Wirota Wiragati mengangkat tangannya, melarang
mereka melakukan apa pun.
"Apa kabarmu, Wiragati?" terdengar sebuah sapa.
Kiai Wirota Wiragati mencoba mengenali suara itu, warna suara
yang menyebabkan ia tersenyum.
"Kau rupanya, aku kira kau sudah mati," jawab Kiai Wirota Wiragati
dengan nada riang. Orang yang baru datang itu tertawa.
"Tua-tua keladi, rupanya makin tua makin menjadi. Apa yang
kauinginkan dari apa yang kaulakukan ini, sementara usiamu sudah
demikian tua, sahabat sejatiku Wiragati?"
Kiai Wirota Wiragati menyimak pertanyaan itu dan menelannya
dengan bulat. Ada rasa tidak nyaman ketika mendengar pertanyaan macam
itu, setidaknya karena dilontarkan oleh orang yang dahulu pernah menjadi
sahabat akrabnya. Pergaulan yang terjadi di masa lalu itu begitu eratnya.
"Medang Dangdi, meski sudah tua, tetap saja mulutnya cerewet!"
jawab Kiai Wirota Wiragati.
Orang yang disebut dengan nama Medang Dangdi tertawa terkekeh,
demikian pula dengan Kiai Pawagal yang rupanya telah berhasil
menempuh perjalanan jauh dari Ibu Kota Majapahit dan kini telah berada
626 Gajah Mada di Keta untuk memenuhi janjinya yang telah diberikan kepada Gajah
Mada. Meski hanya setetes keringat, ia akan memberikan bantuan dengan
meredam sepak terjang sahabatnya yang sedang salah arah.
Adalah Ma Panji Keta yang terkejut ketika nama itu disebut.
"Kau pernah mendengar nama Medang Dangdi, Ma Panji?"
Ma Panji diam beberapa saat sebelum menjawab.
"Pernah, Kiai," jawab Ma Panji Keta.
"Dia yang berada di belakang kemunculan lesus itu," ucap Kiai
Wirota Wiragati memberi penjelasan. "Ia sahabat baikku ketika dulu kami
berperang melawan Kediri. Namun, entah sekarang, apakah ia masih akan
menganggap aku sebagai sahabat atau tidak. Yang seorang lagi, ia seorang
pembual. Namanya Mahisa Pawagal yang juga ikut berjuang bersama-
sama denganku melawan prajurit Gelang-Gelang, yang dipimpin oleh
raja dan patihnya, Jayakatwang dan Mahisa Mundarang."
Ma Panji Keta bergegas meloncat turun dari kudanya ketika Kiai
Wirota Wiragati memberi isyarat minta dibantu turun dari kudanya. Para
pengawal Kiai Wirota Wiragati masih tetap berada dalam sikap waspada
dengan tetap mengarahkan bidikan senjatanya. Namun, yang tidak diduga
adalah apa yang diperintahkan Kiai Wirota Wiragati.
"Tinggalkan aku sendiri!"
Ma Panji Keta terkejut. "Jangan khawatirkan aku," kata Kiai Wirota Wiragati. "Mereka tidak
akan berbuat curang mencelakai aku. Tinggalkan aku karena aku tidak
ingin pembicaraanku dengan mereka ada yang mengganggu! Aku akan
kangen-kangenan dengan mereka."
Ma Panji Keta tidak memiliki pilihan lain kecuali harus menuruti
perintah itu, demikian pula dengan para pengawalnya, segera balik arah
untuk mengambil jarak. Kiai Mahisa Pawagal bergegas mendekat saat
mendapati Kiai Wirota Wiragati ternyata harus tertatih dalam berjalan.
Kiai Medang Dangdi ikut menuntunnya untuk bersama-sama duduk di
atas sebuah batu. Hamukti Palapa 627 "Apa yang terjadi denganmu?" tanya Kiai Medang Dangdi.
"Apa yang mana?" balas Kiai Wirota Wiragati.
"Apakah sekarang kau mengalami gangguan kebutaan?" tanya Kiai
Medang Dangdi dengan suara nyaris tertelan karena amat pelan.
Pertanyaan yang diajukan dengan tulus itu membungkam mulut Kiai
Wirota Wiragati. Jawaban yang nyaris lepas dari mulutnya ditelan lagi.
"Aku tidak bisa melawan kodrat," jawabnya.
"Dan kau bermimpi akan melawannya dengan berangan-angan
banyak, berangan-angan bisa hidup seribu tahun lagi, berangan-angan
akan mampu mendirikan negara baru bernama Keta, bahkan mungkin
berangan-angan bisa menobatkan diri menjadi raja yang terbaca dari apa
yang kaulakukan dengan kaucuri mahkota itu?" Kiai Mahisa Pawagal
bertanya dengan suara sangat tenang.
Namun, soal mahkota, ada sesuatu yang menyebabkan ia sontak
harus memberikan jawaban.
"Mahkota itu milikku, aku hanya mengambilnya kembali," ucapnya.
Mahisa Pawagal duduk agak mendekat sambil memandangi para
pengawal Kiai Wirota Wiragati yang mengawasi pertemuan mendebarkan
jantung itu dari kejauhan.
"Tidak pantas kau mengambil kembali mahkota yang telah
kauhadiahkan kepada kekasihmu!"
Apa yang diucapkan Mahisa Pawagal menyebabkan Medang Dangdi
tidak mampu menahan tawa. Kiai Wirota Wiragati yang semula tegang
mulai mencair, tawanya ikut berderai menyebabkan Ma Panji Keta yang
memerhatikan dari kejauhan kebingungan. Melihat itu sadarlah Ma Panji
Keta bahwa pertemuan yang terjadi itu benar-benar pertemuan orang-
orang yang dulu pernah bersahabat erat. Rupanya ada banyak kenangan
yang menyebabkan orang-orang itu tertawa.
"Sial," desis Ma Panji Keta yang merasa amat tidak nyaman atas
kemunculan orang-orang tua itu, yang bisa jadi akan mengubah sikap
Kiai Wirota Wiragati. 628 Gajah Mada Kiai Wirota Wiragati menghirup udara malam dengan mengisi
paru-parunya sampai penuh, contoh yang diikuti Kiai Medang Dangdi
dengan sukarela. "Sindiranmu benar, aku mungkin orang yang serakah dan banyak
keinginan meski sudah tua. Didorong kemarahanku melihat apa yang
aku inginkan tidak menjadi kenyataan, aku menempatkan diri berada di
belakang Ma Panji Keta. Aku masih punya hasrat menggelora seolah aku masih akan berumur
panjang, padahal tanda-tanda makin dekatku dengan kematian makin
banyak. Rambutku menjadi putih adalah tanda-tanda makin dekatnya
jarak itu, kulitku yang keriput juga merupakan tanda penuaan yang tak
mungkin dicegah. Lalu, gigiku yang tanggal satu per satu juga merupakan
tanda-tanda serupa. Aku makin tua dan orang yang makin tua itu berarti makin rusak
tubuhnya, makin dekat ke bau tanah, dan yang sekarang tak bisa kulawan
adalah mulai buta mataku. Lebih kurang lima bulan yang lalu, aku
masih mampu memerhatikan benda-benda meski berupa bayangan,
kini bayangan itu makin samar. Yang bisa kuandalkan sekarang hanya
bagaimana mempertajam mata hati. Hanya dengan ketajaman panggrahita,
aku mencoba menerka apa yang berada di depanku, menerka siapa yang
sedang berhadapan denganku. Hanya itu yang tersisa," kata Kiai Wirota
Wiragati. Kiai Mahisa Pawagal dan Kiai Medang Dangdi saling melirik.
"Jadi, kau sekarang sudah tidak mampu melihat?"
"Ya!" jawab Kiai Wirota Wiragati.
"Tetapi, apalah arti tidak mampu melihat jika dibanding dengan
kemampuan langka yang kaumiliki. Kau mampu mengundang hadirnya
kabut tebal yang mampu membuat kebingungan pasukan meski segelar
sepapan. Kau juga mampu mengundang hadirnya rasa kantuk yang
menyebabkan semua orang yang kaukehendaki tidur bergelimpangan.
Bahkan, ke depan, kau masih mampu mendirikan sebuah negara baru
bernama Keta yang terpisah dari Majapahit," sindir Kiai Mahisa Pawagal.
Hamukti Palapa 629 Kiai Wirota Wiragati terdiam tak mampu menjawab. Namun,
dilontarkannya sebuah pertanyaan, "Kalian menyalahkan aku?"
Medang Dangdi yang menjawab, "Aku hanya ingin mengingatkanmu
betapa akan jatuh banyak korban. Dulu kita bersama-sama bekerja keras
bahu-membahu tidak hanya berperang melawan Gelang-Gelang, kita
juga bekerja keras bahu-membahu membangun pilar pendapa Istana
Majapahit dan mengantarkan berdirinya negara baru yang menjadi
harapan orang banyak bernama Wilwatikta. Mengapa sekarang justru
kau yang menjadi penyebab timbulnya masalah" Berpikirlah sahabatku,
Maling Wirota Wiragati, masih ada kesempatan bagimu untuk kembali
meluruskan diri. Karena hasrat nafsumu, akan banyak perempuan yang
menjadi janda kehilangan suaminya, akan ada banyak ayah yang tidak
lagi mendapati anaknya karena mati di medan peperangan."
Kiai Wirota Wiragati terdiam lama, lama sekali. Hening yang
mengalir bagai menemani Kiai Wirota Wiragati merenungkan ucapan
sahabatnya. "Aku senang saat tadi kau berbicara tentang tanda-tanda yang
menunjukkan betapa amat dekat kita yang sudah tua ini dengan pintu
gerbang kematian. Kau menyebut keriput tubuh, kau menyebut uban,
kau menyebut mata yang buta, yang semua itu menunjukkan kearifanmu
dalam menyikapi tanda-tanda alam. Hal seperti yang kaukatakan tadi, aku
bahkan tak sempat merenungkan. Yang agak aku sesalkan, mengapa kau
yang mampu menyebut semua tanda-tanda itu, mengapa justru kau tidak
menerimanya sebagai sebuah kaca benggala untuk dirimu sendiri" Kita
sudah tua, sahabatku Wirota Wiragati, apa yang masih akan kita cari?"
Tak ada jawaban apa pun dari mulut mantan maling terkenal,
Kiai Wirota Wiragati. Namun, apa yang disampaikan Medang Dangdi
dan Kiai Mahisa Pawagal amat menusuk ke relung hatinya, mengaduk
mengguncangnya. "Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Kiai Wirota Wiragati.
"Ikutlah dengan kami," balas Kiai Mahisa Pawagal. "Hiduplah
bersama kami. Kita nikmati hari tua dengan saling menertawakan karena
aku yakin ada banyak persoalan yang bisa kita ledek, kita tertawakan."
630 Gajah Mada Ajakan itu sungguh amat mengundang minat Kiai Wirota Wiragati.
Namun, kakek tua yang memiliki kemampuan mengundang datangnya
kabut dan rangsang tidur melalui kekuatan sirep itu masih tidak
bisa membulatkan hatinya. Di belakangnya, ada orang yang amat
mengharapkan dukungannya.
"Sangat aku sayangkan jika kau tak mau dan masih tetap bertahan
menjadi dalang dari makar yang dilakukan Ma Panji Keta. Cobalah
mengubah cara pandangmu meski terasa sulit, sahabatku Wirota
Wiragati. Bahwa tidak terwujudnya keinginanmu tak lepas dari kehendak
para Dewa di langit yang punya kewenangan mengatur polah tingkah
manusia di buminya. Gayatri menjadi istri Wijaya sudah menjadi
kehendak-Nya karena memang demikianlah kehendak para Dewa
yang menginginkan para Raja Majapahit berasal dari Girindrawangsa
atau Rajasawangsa, bukan dari Wiragatiwangsa," Kiai Medang Dangdi
menambah. Kiai Mahisa Pawagal tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa
karena menganggap apa yang dikatakan Kiai Medang Dangdi yang
dilontarkan dengan sungguh-sungguh itu, terasa lucu. Soal trah
Wiragatiwangsa, Kiai Wirota Wiragati yang merasa memiliki nama tidak
bisa menahan untuk tidak tertawa. Kakek tua itu terkekeh. Bagaimana
Wiragatiwangsa bisa disebut jika di sepanjang hidupnya, ia tidak punya
istri dan dengan sendirinya ia tak punya keturunan, tak ada yang bisa
disebut sebagai trah keturunan.
Di belakang sana ada Ma Panji Keta. Namun, di tempat lain ada
tawaran kehidupan yang lain yang lebih menarik dan menyenangkan. Kiai
Wirota Wiragati tiba-tiba merasa disudutkan di perempatan malakama.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia harus memilih salah satu tanpa pilihan lain.
Adalah Ma Panji Keta yang terperanjat bukan kepalang ketika
mengembalikan arah pandangnya, tidak menemukan bayangan orang-
orang yang berbincang bertiga itu. Ma Panji Keta bergegas berlari
mendekat, tetapi tidak menemukan Kiai Wirota Wiragati yang amat
dihormatinya. Yang tinggal hanya kudanya.
"Sial!" Ma Panji Keta mendengus melampiaskan kemarahannya.
Hamukti Palapa 631 Pun demikian dengan beberapa prajurit yang mengawal Kiai Wirota
Wiragati, mereka segera bergerak mengitari tempat itu. Akan tetapi, tak
menemukan secuil jejak pun. Yang dicari hilang entah ke mana.
"Kiai!" teriak Ma Panji Keta.
Teriakan itu ditelan malam.
"Kiai," para prajurit yang mengawal ikut-ikutan berteriak.
"Kita cari lagi," Ma Panji Keta menjatuhkan perintah.
Tak ada jejak apa pun. Kiai Wirota Wiragati bagai lenyap ditelan
bumi yang terbelah merekah, atau kalau tidak, Kiai Wirota Wiragati
mungkin tersesat ke dunia lain, dunia antah berantah yang dihuni oleh
para hantu dan prayangan.231
Adalah Pradhabasu yang berdebar-debar menyikapi perkembangan
itu. Agaknya kinilah saatnya bagi Pradhabasu untuk bertindak.
Untuk melakukan penyergapan dan penculikan, Pradhabasu harus
mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.
Ma Panji Keta yang berjalan kembali ke istana dengan pengawalan
penuh, bingung ketika kemudian mendengar anak panah sanderan yang
dilepas membubung ke angkasa. Namun, bagi Pradhabasu amat jelas apa
makna yang terkandung dari apa yang diperbuat. Dengan anak panah
yang melesat memanjat langit itu, Pradhabasu memanggil segenap telik
sandi Bhayangkara tanpa kecuali.
Akhirnya, beberapa saat kemudian terdengar balasan sebagai jawaban.
Beberapa jenak kemudian, terdengar siulan melengking mirip burung bence,
itulah isyarat dan pertanyaan untuk saling menandai keberadaan. Dan,
beberapa jenak setelah itu, orang-orang yang dipanggil bermunculan.
"Kini saatnya kita bergerak," kata Pradhabasu amat tegas.
231 Prayangan, jin atau makhluk halus
632 Gajah Mada 41 M a Panji Keta melampiaskan kejengkelannya dengan mengumbar
sumpah serapah. Baginya tak ada rasa sakit yang melebihi dikhianati
oleh orang yang sangat dipercayai. Apalagi, yang mengkhianati adalah
orang yang dianggapnya sebagai guru, sang sumber kekuatan yang akan
memberi tenaga dan semangat sebanyak apa pun untuk digunakan
menghadapi perang yang sudah berada di depan mata.
Kebingungan masih melanda para prajuritnya yang telah ditarik
kembali. Berpikir dengan cara bagaimanapun, mereka tidak mampu
menemukan jawaban, mengapa pada malam dengan keadaan yang
seperti itu bisa muncul beliung bagaikan bernyawa yang menghadang
gerakan mereka. "Kita akan kalah, aku yakin itu," bisik seorang prajurit.
Prajurit di sebelahnya adalah sahabatnya yang sangat dipercaya.
Jadi, tak mungkin ia akan menyampaikan ke orang lain lagi apa yang
dilontarkannya. "Kenapa?" balasnya.
"Apa yang bisa kita lakukan menghadapi musuh yang bersenjatakan
beliung?" Prajurit di sebelahnya seketika terbungkam. Ia berpikir keras.
"Benar juga," desisnya.
Entah bagaimana ceritanya, pendapat prajurit rendahan itu menular
dan kemudian menjadi pembicaraan orang banyak. Tak seorang pun
prajurit Keta yang kembali siaga di alun-alun yang tidak membicarakan
beliung yang menggagalkan serbuan mereka.
Dengan kegagalan yang terjadi itu, diyakini waktunya akan segera
tiba, Majapahit yang ternyata bersenjata beliung akan datang menyerbu.
Hamukti Palapa 633 Beliung yang mampu mencabut pohon sangat besar itu bisa muncul dari
mana saja. Apalah yang bisa dilakukan meski mereka adalah prajurit
dengan kekuatan segelar sepapan"
Dalam pada itu. "Sekarang!" seseorang memberi aba-aba.
Isyarat itu segera diterjemahkan oleh beberapa orang yang lain yang
menempatkan diri berada di bawah perintahnya. Padahal, orang itu telah
lama tidak lagi menjadi bagian dari pasukan Bhayangkara. Pradhabasu
dan segenap Bhayangkara yang dipimpinnya akhirnya memperoleh
kesempatan untuk bergerak dengan memanfaatkan kesempatan yang
terbuka karena kabut tebal yang selama ini melindungi istana tidak ada
lagi. Kiai Wirota Wiragati yang mengendalikannya telah pergi entah ke
mana. Dengan gesit, Pradhabasu yang memimpin Bhayangkara wredha yang
masih ada, antara lain Bhayangkara Panjang Sumprit, Kartika Sinumping,
Riung Samudra, dan Gajah Geneng berlari menyusuri belakang pagar
setelah sebelumnya, melalui ayunan pisau-pisau terbangnya, berhasil
melumpuhkan beberapa pengawal.
Satu per satu Bhayangkara wredha yang dipimpin Pradhabasu berhasil
melompati dinding dan mendekam beberapa saat sambil memerhatikan
keadaan. Melihat suasana sangat memadai, Pradhabasu yang telah tahu
ke mana harus bergerak, kembali mengepalkan tangan, isyarat bagi
teman-temannya untuk menerobos masuk.
Ma Panji Keta terkejut ketika dengan mendadak di depannya muncul
seseorang dengan wajah ditutup topeng. Ma Panji Keta segera mencabut
keris dari pinggangnya saat melihat beberapa orang menyelinap berlarian
tanpa suara sama sekali. "Siapa itu?" teriak Adipati Ma Panji Keta.
Yang diperolehnya bukan jawaban, tetapi sebuah tindakan. Dari
balik pintu, dari balik dinding, dan berjumpalitan dari kegelapan
bayangan pepohonan, muncul orang-orang yang tidak dikenal karena
634 Gajah Mada menutupi wajah dengan secarik kain. Ma Panji Keta bahkan tak
sempat mengayunkan keris untuk membela diri karena sebatang anak
panah diarahkan kepadanya. Dari arah lain, sebuah tombak diarahkan
kepadanya. "Buang kerismu, Adipati Ma Panji Keta, atau lehermu akan
kutembus," terdengar sebuah ancaman.
Adipati Ma Panji Keta tidak mau memenuhi perintah itu.
"Siapa kalian?" letupnya dengan segala heran.
"Dewa kematianmu!" orang yang ditanya membalas pertanyaannya.
Ketika lagi-lagi bermunculan orang-orang berselubung wajah
dengan mengarahkan berbagai macam senjata kepadanya, sadarlah
Adipati Keta bahwa tak ada gunanya ia memberikan perlawanan. Dengan
cepat dan trengginas, orang-orang itu meringkusnya. Dengan senyap
tanpa jejak suara, orang-orang itu pun kemudian menghilang.
Geger genjik terjadi beberapa saat berikutnya, saat terdengar
seseorang berteriak-teriak meminta pertolongan. Seorang prajurit
yang semula mendadak merasa semua yang dilihat menjadi gelap
gulita setelah kepalanya terhantam pukulan, kembali siuman. Suara
teriakannya mengagetkan siapa pun. Apalagi, ketika ia menggagas
memukul kentongan yang segera bersambut kentongan dengan nada
serupa dari arah lain, yang akhirnya amat cepat menjalar ke segala
penjuru. Patih Panji Hyang Rogasiwi merasa jantungnya berderak kencang.
Patih Panji Hyang Rogasiwi yang mencemaskan nasib Adipati Keta dan
sejatinya juga mencemaskan nasibnya sendiri mulai merasa kalang kabut,
bingung tak tahu bagaimana mengambil sikap. Apalagi, ketika seseorang
berlari mendatanginya dan menyampaikan laporan.
"Apa yang terjadi?" tanya Patih Hyang Rogasiwi.
"Adipati hilang!" jawab prajurit itu.
Patih Panji Hyang Rogasiwi tidak sekadar gugup melihat penggelaran
pasukan yang dilihatnya secara langsung di alun-alun Istana Majapahit.
Hamukti Palapa 635 Akan tetapi, benar-benar gelisah melihat apa yang dicemaskan itu
menjadi kenyataan. Belum lagi Patih Panji Hyang Rogasiwi berhasil
menenteramkan diri, ia terkejut melihat bayangan cahaya dari arah
belakangnya. "Barak kesatrian dan lumbung dibakar," terdengar seseorang
berteriak. Pucat pasi Patih Panji Hyang Rogasiwi menyikapi keadaan yang
berkembang amat cepat itu. Dengan tidak adanya Adipati Keta yang
jelas-jelas telah diculik, menyebabkan api semangat memberontak yang
semula berkobar, padam. Sontak Patih Keta tidak tahu bagaimana
mengambil keputusan. Untuk melanjutkan sikap menempatkan Majapahit sebagai
musuh, diperlukan seorang pemimpin, padahal tak seorang pun yang
berani tampil menjadi pemimpin, bahkan Patih Panji Hyang Rogasiwi
sekalipun. Tentu Patih Panji Hyang Rogasiwi kehilangan keberaniannya karena
dengan mata secara langsung, ia melihat bagaimana penggelaran kekuatan
dalam latihan perang yang dilakukan di alun-alun Majapahit. Pasukan
Majapahit ternyata terlampau besar untuk dilawan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Patih Panji Hyang Rogasiwi.
Tak seorang pun yang bisa menjawab.
Apa yang semula dibayangkan Pradhabasu dan teman-temannya
ternyata menjadi kenyataan. Tanpa ada yang memimpin, pasukan Keta
kehilangan api semangat. Pasukan yang dibentuk dan digembleng
berbulan-bulan di sebuah tempat rahasia bernama Alas Larang itu bubar
dengan sendirinya. Apalagi, impitan yang diberikan oleh rakyat yang
tidak menyetujui perang itu makin kuat. Orang-orang dalam jumlah
tidak terhitung kembali bergerak dan berkumpul di alun-alun, tak peduli
meski hari sedang malam. Tanpa ada yang memimpin, ribuan orang itu mengepung dua bangsal
kesatrian yang dimiliki Keta dan meminta prajurit yang berkumpul di
kesatrian itu membubarkan diri.
636 Gajah Mada "Kalian bubar saja. Keta cinta damai, tidak membutuhkan perang.
Apalagi, yang kita lawan adalah Majapahit, negara kita sendiri," teriak
seseorang. "Ya, kalian bubar saja. Kalian hanya akan membuat hidup kami
sengsara," teriak orang yang lain lagi.
Jika diperhatikan, teriakan memancing itu ternyata tak berasal
dari mulut penduduk Keta, tetapi berasal dari mulut entah siapa yang
menyelinap dan berbaur di antara mereka. Tak hanya itu yang dilakukan,
orang tak dikenal itu bahkan membakar semangat penduduk Keta untuk
berani berteriak lantang, berani menempatkan diri berlawanan dengan
apa yang dikehendaki rajanya.
Sejalan dengan tuntutan rakyat, telik sandi pasukan Bhayangkara
yang menyusup dalam pasukan yang dibentuk sejak di Alas Larang itu
segera bertindak. Dua Bhayangkara itu adalah Mahisa Urawan dan Kendit
Galih, yang memperoleh perintah langsung dari Patih Gajah Mada yang
diperkuat perintah itu oleh Senopati Gagak Bongol.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" Bhayangkara Mahisa Urawan
tiba-tiba berteriak meminta perhatian.
Para prajurit gemblengan Alas Larang yang bingung mengarahkan
perhatiannya kepada Mahisa Urawan.
"He, teman-teman semua, apa yang kita lakukan sekarang" Apakah
kita akan perang melawan rakyat kita sendiri" Lihat itu, apakah kita
harus menggempur mereka?" Mahisa Urawan berteriak keras seperti
kesetanan. Tak seorang pun yang menjawab pertanyaan yang dilontarkan
dengan suara sangat lantang itu. Semua orang gelisah dan tak tercegah,
pendapat mereka pun terbelah menjadi dua. Masih ada yang bersemangat
siap untuk melanjutkan berperang, sebagian yang lain bingung. Sebagian
yang lain lagi bahkan masih terbayang pada beliung aneh yang secara
nyata telah menghadang gerakan mereka.
"Ayo, cepat ambil keputusan," kali ini terdengar teriakan dari arah
lain, teriakan dari mulut Kendit Galih. "Kita akan terus berperang atau
Hamukti Palapa 637 tidak. Aku tak mau menjadi lelaki yang lembek. Jika harus menggilas
rakyat yang tidak setuju itu, akan aku lakukan."
Namun, apa yang diletupkan Kendit Galih itu malah menimbulkan
rasa tak nyaman. Serasa ada yang janggal dan tidak seharusnya. Para
prajurit gemblengan Alas Larang itu mulai berpikir menggunakan hati
nurani. "Aku tak mau berperang melawan rakyat Keta. Aku tidak merasa
terhormat harus menempatkan diri melawan keluarga sendiri. Banci
kalau kita berkelahi melawan orang-orang yang tak dilatih seperti kita.
Aku juga tidak mau lagi berperang melawan Majapahit tanpa Adipati
Ma Panji Keta bersama kita. Lagi pula, mana Ma Panji Keta sekarang"
Ia lari terbirit-birit bersembunyi. Jadi, mau apa lagi, ha?"
Mahisa Urawan bergegas memanfaatkan keadaan.
"Aku mundur, aku munduur," teriak Mahisa Urawan dengan suara
lebih lantang. Apa yang dilontarkan Mahisa Urawan itu rupanya menjadi pintu
gerbang pembuka hati nurani para prajurit yang lain.
"Aku juga mundur," teriak yang lain.
"Aku juga, aku pilih mundur."
Namun, rupanya ada yang masih bersikap kukuh.
"Tunggu!" teriak suara yang lain lagi, "jangan ada yang mundur!
Kita harus bertahan tetap menjalankan keinginan Adipati. Kita harus
tetap berperang sampai mati. Aku tidak keberatan untuk menjadi
pemimpin kalian. Karena Adipati telah diculik, kewajiban kita untuk
membebaskannya. Aku yang akan memimpin kalian."
Akan tetapi, tak seperti yang diharapkan, orang yang tampil itu
justru memperoleh cemooh dan disoraki.
Terjepit dalam keadaan yang membingungkan, Patih Panji Hyang
Rogasiwi tak bisa bicara. Ingar-bingar itu bahkan menenggelamkan
teriakannya. Sama sekali tak ada yang menggubris ketika patih yang baru
kembali dari kotaraja itu meminta berbicara.
638 Gajah Mada "Mumpung masih mungkin, sebaiknya aku melarikan diri saja,"
berkata Patih Panji Hyang Rogasiwi kepada diri sendiri.
Patih Hyang Rogasiwi segera bertindak. Tanpa menarik perhatian,
ia beringsut pergi, meninggalkan kekacauan itu untuk hal yang jauh lebih
penting, menyelamatkan diri.
"Kita membubarkan diri saja!" kali ini Kendit Galih mencoba
memberi tekanan yang lebih tajam. "Kita harus menggunakan otak.
Untuk berperang, kita butuh makanan. Lumbung sudah dibakar,
bagaimana kita bisa berperang" Belum lagi barisan kita sampai di
Ywangga, kita sudah kelaparan. Lebih baik bubar saja. Kita bubar!"
"Aku sependapat, kita bubar!"
Ingar-bingar para prajurit Keta gemblengan Alas Larang itu
makin menjadi. Terjadi perang mulut antara yang masih tetap ingin
berperang dan yang tidak setuju. Pun ingar-bingar para kawula yang
makin membeludak berkumpul di alun-alun. Mereka melakukan lebih
dari sekadar pepe, riuh rendah penolakan yang dilakukan menjadi biang


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hiruk pikuk karena ada yang membawa peralatan dapur yang dipukul-
pukul. Dalam keadaan yang demikian itulah, tiba-tiba dari arah timur
terlihat orang berkuda dengan amat cepat. Kedatangannya menyebab-
kan jantung milik siapa pun akan terpancing untuk berpacu lebih
kencang karena orang itu membawa bendera gula kelapa dan sebuah
lambang yang mempunyai makna tidak sembarangan. Bendera kebesaran
pasukan khusus Jalapati di tangan kiri dan bendera Bhayangkara di
tangan kanan. Tanpa rasa takut sedikit pun, orang itu menempatkan diri tepat
di depan kerumunan rakyat. Lambang Bhayangkara yang diacungkan
merupakan isyarat supaya semua orang diam.
"Namaku Macan Liwung," teriak orang itu dengan suara lantang.
"Aku membawa kuasa dari Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani bersama Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa. Aku perintahkan kepada kalian yang mencoba makar
Hamukti Palapa 639 untuk menyerah. Pimpinan kalian, Sang Adipati Ma Panji Keta, telah
menyadari kekeliruannya dan meminta kalian meletakkan senjata
semua. Yang meletakkan senjata akan diampuni, sementara yang masih
bersikukuh bertahan akan berhadapan dengan pasukan Majapahit yang
akan menggilas tanpa ampun."
Keadaan yang semula kacau itu berubah menjadi amat hening.
Tak seorang pun yang berbicara. Bahkan, seseorang yang semula
berteriak mengajukan diri mengambil alih kendali, kehilangan
nyalinya. "Sejak semula aku sudah tidak sependapat dengan arah latihan
perang yang digelar di Alas Larang. Aku mundur. Bagiku, berperang
melawan Majapahit sama halnya dengan berperang melawan ibuku
sendiri, berperang melawan saudaraku. Aku mundur, aku tak mau mati
konyol di dalam perang yang tak jelas alasannya itu. Aku patuhi perintah
Sang Prabu Putri Majapahit."
Bhayangkara Macan Liwung menoleh, berusaha mencari dari mana
arah suara itu. Ia tersenyum karena melihat ternyata Kendit Galih,
Bhayangkara yang disusupkan ke Alas Larang itu yang berteriak.
"Yang mau melanjutkan berperang, silakan menempatkan diri di
sebelah barat, yang telah menyadari kesalahannya, menempatkan diri di
sebelah timur!" terdengar lagi teriakan dari arah lain.
Bhayangkara Macan Liwung terpaksa harus menyembunyikan
senyumnya melihat Mahisa Urawan yang ikut membakar keadaan.
Apa yang diusulkan Mahisa Urawan ternyata bersambut. Seketika
prajurit segelar sepapan gemblengan Alas Larang itu bergerak, sebagian
ke arah kiri ikut mereka yang berkeinginan membatalkan perang,
yang jumlahnya ternyata jauh lebih banyak dari mereka yang masih
menginginkan perang. Akan tetapi, setelah melihat jumlah yang tidak
ingin melanjutkan perang lebih banyak, sebagian dari mereka yang semula
telah bergerak ke barat, berbalik lari ke timur.
Macan Liwung merasa senang melihat perkembangan yang tidak
terduga itu. 640 Gajah Mada "Kalian tetap merasa yakin akan melanjutkan perang?" tanya Macan
Liwung lewat suara yang amat lantang.
Kendit Galih tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan tiba-tiba,
ia berteriak sangat lantang, " Cakrabyuha!"
Perintah yang sudah terbiasa keluar dari mulutnya itu segera
diterjemahkan dengan baik. Tiga perempat atau sebagian besar
dari pasukan Keta yang menempatkan diri di timur bergerak cepat
membentuk gelar perang. Mereka yang berdiri di barat terkejut dan
kebingungan. Jumlah mereka yang berada di barat berkurang ketika
beberapa orang lari menyeberang ke timur, contoh yang ditiru oleh yang
lain dan yang lain lagi sehingga jumlah yang tersisa makin mengecil.
"Kalian masih tidak menyadari keadaan?" teriak Bhayangkara
Macan Liwung. Para prajurit Keta yang mencoba bertahan merasa tersudut dan
tak punya pilihan lagi. Ketika salah seorang dari yang tersisa akhirnya
meletakkan senjata, contoh itu dengan segera diikuti oleh para prajurit
yang lain. Keta akhirnya bisa dikuasai dengan mudah dan dengan cara murah
tanpa harus dibayar dengan harga mahal dan tumpahnya darah. Senopati
Panji Suryo Manduro yang menempatkan diri di atas bukit jauh di
belakang kota Keta, akhirnya memutuskan tak perlu menunggu Gajah
Mada karena persembunyiannya telah diketahui. Senopati Panji Suryo
Manduro membawa pasukannya turun ke kota Keta.
Akan tetapi, Senopati Panji Suryo Manduro tak perlu memeras
keringat, tak harus menggelar barisan karena sejenak kemudian telah
diterimanya sebuah laporan yang amat mencengangkan, Keta telah
berhasil dikuasai, pimpinannya telah berhasil diculik.
"Bukan main, siapa yang memimpin gerakan yang luar biasa itu?"
tanya Senopati Panji Suryo Manduro.
"Kakang Pradhabasu," jawab Bhayangkara Jayabaya.
"Pradhabasu?" balas Senopati Panji Suryo Manduro kaget.
Hamukti Palapa 641 Tentu Senopati Panji Suryo Manduro merasa layak untuk kaget.
Pradhabasu adalah nama yang telah menjadi bagian dari masa silam.
Sebagai Bhayangkara, ia telah menjadi bagian dari catatan sejarah.
"Pradhabasu yang memimpin" Mana dia?"
Akan tetapi, tidak ditemukan orang yang dicari. Para prajurit
diperintahkan untuk menyebar mencarinya, tetapi Pradhabasu tidak
pernah ditemukan. Jayabaya dan Macan Liwung penasaran.
"Dia pergi meninggalkan kita?" tanya Macan Liwung.
Bhayangkara Jayabaya hanya bisa mengangkat tangannya.
"Cari Pradhabasu. Jangan biarkan ia meninggalkan kita," teriak
Jayabaya. Namun, tak ada gunanya mengejar Pradhabasu. Tak bisa ditebak ke
mana arah yang diambilnya. Padahal, dengan ayunan derap langkahnya,
kuda Pradhabasu bergerak perlahan saja meninggalkan Keta, mengikuti
perintah tuannya untuk berjalan meski serasa tanpa tujuan.
"Prajaka anakku, Dyah Menur," Pradhabasu menggumamkan dua
buah nama yang mendadak amat dirindukannya.
42 P atih Gajah Mada dan Senopati Gagak Bongol telah sampai di Keta.
Namun, yang ia peroleh sungguh menyenangkan dan mencengangkan
hatinya. Keta jatuh tanpa harus dibayar mahal. Dari Senopati Panji Suryo
Manduro, Gajah Mada memperoleh laporan lengkap ditambah laporan
dari Bhayangkara Macan Liwung, yang mewakili para Bhayangkara
642 Gajah Mada wredha yang dilepas jauh hari sebagai telik sandi yang bertugas merintis
jalan. Gajah Mada memperoleh gambaran jasa macam apa yang telah
ditinggalkan Pradhabasu. "Jadi, Pradhabasu sudah pergi?" tanya Gagak Bongol.
"Bahkan, tanpa pamit!" jawab Jayabaya.
Patih Gajah Mada tersenyum. Ia benar-benar senang mendapati
sisa sepak terjang sahabatnya itu.
"Jangan risaukan Pradhabasu karena ia langsung pergi meninggalkan
sisa pekerjaan yang tidak seberapa ini," kata Gajah Mada. "Sekarang kita
melihat, meski berada di luar pasukan Bhayangkara, Pradhabasu tetap
memberikan pengabdiannya yang luar biasa pada bangsa dan negaranya.
Ia lakukan itu tanpa minta imbalan apa pun. Pradhabasu tetap terpanggil
ketika negerinya menghadapi sebuah masalah. Jika Pradhabasu langsung
pergi, itu karena ia merasa harus ikut mencari benda-benda pusaka
yang hilang. Percayalah, pada saatnya nanti, Pradhabasu dan Senopati
Gajah Enggon pasti akan kembali dengan membawa pulang songsong
Kiai Udan Riwis dan cihna gringsing lobheng lewih laka yang hilang lebih
dulu." Patih Gajah Mada bertambah senang karena dalam penggeledahan
yang dilakukan, mahkota yang hilang berhasil ditemukan kembali. Akan
tetapi, upaya untuk bertemu dengan Kiai Wirota Wiragati tidak menjadi
kenyataan. Dari Bhayangkara Jayabaya, Gajah Mada memperoleh laporan
yang masih samar mengenai terjadinya pertemuan antara Kiai Wirota
Wiragati dengan dua orang tak dikenal yang entah siapa. Dua orang tak
dikenal itulah yang agaknya telah berjasa mengendalikan Kiai Wirota
Wiragati sehingga terbuka peluang penculikan atas Ma Panji Keta yang
dipimpin langsung oleh Pradhabasu.
Gajah Mada segera teringat pada pesan yang diterimanya dari Ibu
Suri Gayatri. "Kembalikan benda ini kepada Kakang Kiai Wirota Wiragati,"
demikian kata Ibu Suri Gayatri beberapa hari yang lalu. "Akan tetapi, jika
Kiai Wirota Wiragati tidak mau menerima, aku perintahkan kepadamu
Hamukti Palapa 643 untuk menyimpannya sekaligus merawatnya. Jika kau merasa penasaran,
benda inilah yang dihadiahkan Kakang Kiai Wirota Wiragati selain
mahkota yang dimintanya kembali itu."
Gajah Mada telah melihat isi bungkusan kain itu yang ternyata
sebuah kumpulan catatan yang dihimpun dan ditulis oleh Kiai Wirota
Wiragati, yang pada bagian akhir dilengkapi oleh Ibu Suri Rajapatni
Biksuni Gayatri. Gajah Mada kemudian melihat, apa yang ada dalam
catatan itu bukan sembarangan catatan karena isinya berkaitan dengan
bagaimana cara mengundang kabut, mantra-mantra yang harus dibaca
ketika seseorang berniat menggelar kekuatan sirep, dan masih ada
banyak yang lain. Dalam kesempatan yang tersisa, Gajah Mada memutuskan akan
melanjutkan perjalanan ke Sadeng dengan langsung melintas ketinggian
Arak-Arak, melewati tanah perdikan Bondowoso, terus ke selatan
sampai di Kademangan Jember, yang nantinya akan sampai di Sadeng.
Semula dari Bhayangkara Kendit Galih dan Mahisa Urawan, Gajah
Mada memperoleh laporan mengenai Alas Larang yang telah kosong.
Itu sebabnya, Gajah Mada tak perlu memikirkan Alas Larang.
"Kakang Senopati Panji Suryo Manduro," ucap Gajah Mada
meminta perhatian. Senopati Panji Suryo Manduro menoleh.
"Bagaimana, Adi?" Senopati Panji Suryo Manduro bergegas
mendekat. "Keta telah berhasil dikuasai tanpa harus mengeluarkan biaya,"
kata Gajah Mada. "Alas Larang yang aku perintahkan untuk diserang
ternyata telah kosong. Maka, yang tersisa hanyalah Sadeng. Aku dan
Gagak Bongol akan melanjutkan perjalanan ke Sadeng. Untuk mengurusi
Keta, aku perintahkan kepada Kakang membersihkan tempat ini,
jangan sampai masih ada otak yang masih tercemar. Mengenai Ma
Panji Keta, kirimkan ia ke Majapahit malam ini juga lewat laut untuk
mempertanggungjawabkan apa yang ia perbuat."
Senopati Panji Suryo Manduro sigap menerima perintah itu.
644 Gajah Mada "Aku kerjakan!" jawabnya sigap.
Maka demikianlah, malam itu sungguh merupakan malam yang amat
sibuk bagi Senopati Panji Suryo Manduro yang harus mengendalikan
keadaan Keta dengan memulihkan keamanan dan ketertibannya. Atas
perintah Senopati Panji Suryo Manduro, para prajurit Keta dilarang
meninggalkan bangsal kesatriannya. Senjata mereka dilucuti. Di jalan-
jalan, para prajurit Majapahit disebar untuk membujuk rakyat Keta agar
pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan esoknya kembali
berkegiatan sebagaimana biasa.
Melalui laut, Ma Panji Keta yang telah menjadi tahanan langsung
dikirim ke Ujung Galuh untuk nantinya melalui jalan darat akan dibawa
ke kotaraja. Ma Panji Keta tidak menyesal meski petualangannya
akan berakhir hanya sampai di situ. Yang agak sulit ia pahami adalah
bagaimana dan apa yang terjadi pada Kiai Wirota Wiragati. Mengapa
kakek tua yang semula menjadi tulang punggung dan diandalkan itu
malah pergi" Tanpa harus bermalam, Gajah Mada dan Senopati Gagak Bongol
melanjutkan perjalanan berkuda dan hanya berdua. Tawaran pengawalan
yang diberikan Senopati Panji Suryo Manduro ditolak.
Rupanya benar apa yang dikatakan prajurit Bhayangkara Kendit
Galih bahwa medan yang paling sulit dilewati adalah Arak-Arak. Untuk
melintasi ketinggian lereng gunung itu, Gajah Mada dan Senopati
Gagak Bongol harus turun dari punggung kuda-kudanya. Kuda-kuda
itulah yang justru harus dituntun agar bisa mencapai jalanan yang
lebih baik. Dengan menghitung hari kesepuluh masih dua hari lagi, Gajah Mada
yang merasa memiliki sisa waktu, menyempatkan beristirahat semalam
menjelang meninggalkan tanah perdikan Bondowoso yang memiliki
udara sejuk meninabobokan.
Hamukti Palapa 645 43 P asukan yang bergerak mendekati Sadeng telah sampai tanpa
hambatan berarti dan berlangsunglah serah terima sebagaimana
dikehendaki Gajah Mada. Kendali atas pasukan itu beralih ke tangan
Senopati Haryo Teleng yang langsung memberi perintah kepada ribuan
prajurit itu untuk beristirahat dan menghimpun tenaga.
Perjalanan dari Majapahit ke Sadeng dilakukan dengan berterang
tanpa ada yang perlu disembunyikan. Oleh karena itu, pembangunan
pesanggrahan untuk persiapan perang pun dilakukan terang-terangan.
Lagi pula, tentu sulit menyembunyikan gerakan orang dalam jumlah
ribuan itu dari mata-mata Kadipaten Sadeng.
Akan tetapi, Adipati Sadeng benar-benar percaya diri. Setelah
berhasil meredam perlawanan dari rakyatnya sendiri yang tak setuju
dengan keputusan perang yang diambil pucuk pimpinannya, pasukan
berkekuatan segelar sepapan yang selama ini telah berhasil dihimpun
dan digembleng habis-habisan dipersiapkan di alun-alun depan Istana
Sadeng. Dari ketinggian bukit, Senopati Haryo Teleng bisa melihat
bagaimana alun-alun Sadeng penuh sesak oleh prajurit.
Agaknya Adipati Sadeng memiliki persiapan yang tidak diduga.
Dari arah timur kota terlihat gerakan beberapa ekor gajah yang dibawa
mendekat ke arah kota. Senopati Haryo Teleng bisa memerhatikan
dengan saksama gajah-gajah itu dibawa masuk ke rumah-rumah
penduduk. Jelas merupakan upaya untuk menyembunyikan binatang
besar itu agar jangan sampai terlihat dari pandangan mata musuh yang
berada di ketinggian. Senopati Haryo Teleng melihat persoalan besar
ketika perang nantinya terjadi.
"Pasukan gajah?" gumamnya. "Gila, mereka memiliki itu?"
Dua puluh lima ekor gajah, hanya dua puluh lima, ketika seekor saja
bisa menjadi masalah, yang ini dua puluh lima jumlahnya.
646 Gajah Mada "Kemarin aku tidak melihat gajah-gajah itu. Agaknya binatang itu
disembunyikan di kandang-kandang khusus yang diletakkan di luar kota.
Bagaimana menurutmu, apakah gajah-gajah itu hanya gajah klangenan
atau gajah yang akan digunakan berperang?" tanya Senopati Haryo
Teleng. Bhayangkara Lembu Pulung juga terbelalak.
"Gajah-gajah itu bisa menjadi masalah. Ia bisa mengobrak-abrik
gelar perang dalam bentuk apa pun. Cakrabyuha, Dirademeta, dan Supit
Urang tidak ada artinya melawan gajah-gajah itu."


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Haryo Teleng terus mengamati dan mencoba membayangkan, gelar
apa yang nanti akan digunakan Gajah Mada yang akan datang menyusul
dan memimpin perang secara langsung. Tentu diperlukan siasat tersendiri
untuk keadaan yang tak terduga itu. Berapa pun jumlah prajurit Sadeng,
tak jadi masalah. Dua puluh lima ekor gajah yang agaknya telah disiapkan
dan dilatih perang, merekalah yang akan menjadi masalah.
Apalagi, dari ketinggian tempatnya, Senopati Haryo Teleng melihat
bagaimana gerak gajah-gajah itu. Haryo Teleng juga menerima laporan
telik sandi-nya. "Apa yang kaulihat dari dekat?" tanya Senopati Haryo Teleng.
"Gajah-gajah itu akan menjadi masalah, Senopati," jawab prajurit
telik sandi itu. "Ia dirancang tidak akan terlalu terganggu oleh hujan anak
panah, justru pasukan kita yang akan kocar-kacir diterjang mereka. Harus
ditemukan cara mengatasi."
Laporan itu membuat Senopati Haryo Teleng dan Bhayangkara
Lembu Pulung amat tegang.
"Kita menunggu kedatangan Adi Gajah Mada," akhirnya itulah
keputusan yang bisa diambil oleh Senopati Haryo Teleng. "Perang ini
biarlah dipimpin secara langsung oleh Adi Gajah Mada."
Senopati Haryo Teleng menyalurkan perintah itu dari ujung sampai
ke ujung barisan pasukan yang telah membangun perkemahan. Karena
penggelaran persiapan perang itu dilakukan di sebuah ketinggian maka
Hamukti Palapa 647 apa yang dilakukan pasukan Majapahit itu bisa dilihat dengan jelas dari
Kota Sadeng. Prajurit Sadeng pun tengah sibuk mempersiapkan diri.
Berbagai jebakan dibuat, jembatan-jembatan dihancurkan, dan juga
mempersiapkan semangat para prajurit melalui sesorah dan janji-janji
akan hamukti wiwaha jika berhasil menggilas Majapahit.
Jika Senopati Haryo Teleng memutuskan untuk bersikap menunggu,
agaknya demikian pula dengan Adipati Sadeng. Adipati Sadeng yang
dibantu oleh Patih Gunadarma Danaraja merasa senang jika waktu
jatuhnya peperangan lebih lama karena dengan demikian, persiapan yang
dilakukan akan lebih matang. Adipati Sadeng benar-benar telah bulat
keputusannya untuk menjadikan Kota Sadeng sebagai kuburan raksasa
bagi prajurit penyerbu, tak peduli meski untuk itu Kota Sadeng hancur
sebagai harga tebusannya.
Senopati Haryo Teleng berjalan berkeliling untuk melihat kesiapan
pasukannya saat seorang prajurit muda tiba-tiba menghadangnya.
"Aku minta izin untuk menyampaikan sesuatu, Senopati," kata
Kembar. Tajam Senopati Haryo Teleng dalam balas memandang wajah
Rakrian Kembar. "Apa?" balasnya.
"Kita menunggu apa lagi?" tanya anak Raja Pamelekehan yang
tidak pernah sabar itu. "Musuh telah di depan mata, kita tinggal
menggerakkan pasukan menyerbu mereka. Mengapa Senopati masih
harus menunggu?" Pertanyaan yang dilontarkan Kembar itu menyebabkan Senopati
Haryo Teleng kurang begitu senang.
"Gajah Mada memerintahkan kita untuk menunggu," ucap Haryo
Teleng. Jawaban itu menyebabkan Kembar tertawa terkekeh, amat
melecehkan, membuat Senopati Haryo Teleng merapatkan barisan
giginya. 648 Gajah Mada "Semua harus menunggu Gajah Mada, semua keberhasilan akhirnya
atas nama Gajah Mada. Mengapa Senopati tidak berani mengambil
langkah dengan menyerbu Sadeng sekarang juga" Marilah Senopati, aku
menyarankan kepada Senopati untuk menyerbu. Perang segera digelar,
Sadeng ditumpas dan selesai, habislah perkara. Nantinya, Senopati Haryo
Teleng yang akan memperoleh jasa, yang dianggap sebagai pahlawan
dan siapa tahu akan mengantarkan Senopati menduduki jabatan lebih
tinggi karena sebentar lagi akan ada pemilihan mahapatih yang baru.
Senopati Haryo Teleng adalah prajurit wredha. Apakah sebagai prajurit
yang mestinya dituakan, Senopati Haryo Teleng masih mau ditempatkan
hanya sebagai bayangan Patih Gajah Mada yang masih bocah kemarin
sore itu?" Apa yang dilontarkan Kembar dengan nada berbisik itu
menyebabkan Senopati Haryo Teleng makin terleceh. Namun, di sudut
hatinya yang paling dalam, Senopati Haryo Teleng harus mengakui
kebenaran ucapan Ra Kembar. Di kedalaman hatinya, bagaimana pun
juga, mengendap rasa tidak senang menempati kedudukan di bawah
Gajah Mada yang masih bocah kemarin sore itu.
Namun, apa pun warna perasaannya, Senopati Haryo Teleng tidak
bisa menghapus kenyataan bahwa meski Gajah Mada masih berusia
muda, ia telah banyak membuat jasa yang mengantarkannya sebagai
panglima perang dengan menggenggam kekuataan tak ubahnya kedua
Prabu Putri sendiri. "Kembalilah ke pasukanmu, Kembar, dan janganlah bicarakan soal
itu lagi jika kau tidak ingin tanganku merontokkan gigimu!"
Kembar memenuhi ancaman itu. Dengan senyum yang nyata-nyata
sinis, anak Raja Pamelekehan itu melangkah mundur dan kembali pada
kelompok kecil pasukannya.
Kembar disambut Jabung Tarewes.
"Bagaimana?" tanya Tarewes.
"Senopati Haryo Teleng ternyata seorang pengecut."
Jabung Tarewes mengerutkan dahi.
Hamukti Palapa 649 "Kenapa?" tanya Jabung Tarewes.
"Si kecil hati pengecut itu tidak berani menggelar pasukan. Ia
menempatkan diri menjadi gedibal Gajah Mada. Ia memutuskan menunggu
Gajah Mada datang. Perang ini adalah kesempatan baginya untuk menjadi
pahlawan. Namun, Senopati Haryo Teleng malah menyiapkan pasukan
untuk dan sebagai perangnya Gajah Mada. Gajah Mada nanti yang akan
disambut tepuk tangan, diarak sebagai pahlawan."
Sebagai pimpinan dari kelompok pasukan, Rakrian Kembar merasa
tak sabar untuk menunggu waktu.
"Hubungi pimpinan kelompok pasukan yang lain," bisik Ra
Kembar kepada Jabung Tarewes. "Siapa saja yang mau bergabung untuk
menyerbu, tengah malam nanti, kita turun dan menempatkan diri di
depan Kota Sadeng." Jabung Tarewes memandang ragu.
"Apakah kau akan bersikap seperti Senopati Haryo Teleng pengecut
itu?" tanya Ra Kembar dengan suara berbisik. "Ayo, tunggu apa lagi"
Segera hubungi pimpinan pasukan yang lain."
Senopati Haryo Teleng sebagai pucuk pimpinan sama sekali tidak
menyadari bahwa diam-diam telah terjadi pergerakan di lapis bawah.
Setidaknya ada beberapa kelompok pimpinan yang berhasil dipengaruhi
Ra Kembar. Malam menukik ke tengahnya ketika hampir mendekati
separuh pasukannya diam-diam bergerak turun.
Adalah bersamaan dengan kehadiran Patih Gajah Mada dan
Senopati Gagak Bongol ketika Senopati Haryo Teleng memperoleh
laporan yang mengagetkan itu.
"Ada apa?" tanya Gajah Mada.
"Kembar membuat ulah," kata Senopati Haryo Teleng dengan
wajah tegang. "Apa yang dilakukan?" tanya Gajah Mada.
"Aku telah memerintahkan pasukan untuk menunggu sampai
kaudatang. Akan tetapi, Kembar telah menghasut beberapa temannya,
650 Gajah Mada mengajak nyaris separuh pasukan diam-diam turun untuk melakukan
penyerbuan. Aku telah teledor tak menyikapi kemungkinan macam
ini." Gajah Mada yang baru datang setelah menempuh perjalanan
amat jauh itu mencoba mencermati laporan yang diterimanya. Melalui
paparan singkat, Senopati Haryo Teleng melaporkan keberadaan pasukan
gajah yang tidak diperkirakan sebelumnya. Pasukan itu akan menjadi
masalah. "Apa yang kita lakukan?"
"Sudah lama mereka berangkat?" tanya Gajah Mada.
"Belum lama," jawab Senopati Haryo Teleng.
"Kalau begitu, perintahkan beberapa orang untuk menyusul
Kembar, perintahkan mereka untuk membatalkan serangannya."
"Boleh aku yang menyusul?"bertanya Bhayangkara Lembu Pulung.
"Aku ikut," tambah Senopati Gagak Bongol.
"Baik, hati-hatilah," jawab Gajah Mada.
Dengan bergegas, Senopati Gagak Bongol dan Bhayangkara Lembu
Pulung menuju kuda masing-masing dengan meninggalkan jejak debu
yang mengepul tebal saat berderap turun menyusul pasukan yang telah
bergerak lebih dulu. Kembar ternyata memang tidak main-main dengan
ulahnya. Di sebuah tempat yang oleh penduduk setempat diberi nama
Wot Gantung, Kembar dan para pimpinan kelompok pasukan telah
membuka gelar perang Cakrabyuha, sebuah pilihan yang akan digunakan
menggilas Sadeng. Kembar bertolak pinggang ketika Senopati Gagak Bongol dan
Bhayangkara Lembu Pulung berhasil menyusul. Gagak Bongol dan
Lembu Pulung melompat turun dan segera mendekatinya. Senopati
Gagak Bongol yang benar-benar marah itu akan melampiaskan melalui
mengayunkan tangannya. Namun, Gagak Bongol terpaksa membatalkan
niatnya melihat para prajurit bawahan Ra Kembar itu serentak mengangkat
anak panah ditujukan kepadanya.
Hamukti Palapa 651 "Kembar!" Senopati Gagak Bongol menggeram. "Kamu sadar apa
yang akan kamu lakukan?"
Kembar tertawa. Dari pinggangnya, ia mencabut sebuah senjata yang
tidak lazim, berupa sebuah cambuk berjuntai panjang yang dipasangi
gelang-gelang besi sebagai gerigi, yang pasti akan meninggalkan jejak
luka menyakitkan jika mengenai wajah.
"Gajah Mada lagi yang harus menjadi pahlawan?" tanya Kembar
dengan suara parau. Senopati Gagak Bongol dan Lembu Pulung terpaksa melangkah
mundur ketika Ra Kembar mengayunkan cambuknya.
"Atas nama kedua Prabu Putri dan atas nama panglima perang, Patih
Gajah Mada, aku perintahkan kepadamu untuk membatalkan niatmu.
Kembali ke induk pasukan."
"Kembalilah, pengecut yang tidak berani menggelar perang hari ini
juga!" teriak Ra Kembar dengan suara lantang. "Ayo, teman-teman, jangan
pedulikan apa pun. Kita turun, kita gilas Sadeng untuk menunjukkan
pada mata siapa saja bahwa kita pun bisa menjadi pahlawan."
Maka, tak ada yang bisa dilakukan Senopati Gagak Bongol dan
Bhayangkara Lembu Pulung. Nyaris separuh dari pasukan yang dibawa
dari Majapahit bergerak turun dalam gelar perang Cakrabyuha, siap
menggilas Kota Sadeng dan menghancurkannya menjadi kota mati.
Ra Kembar membawa pasukannya dengan gagah berani, ditandai
dengan suara tambur yang berderap, bende yang dipukul susul-menyusul,
dan lengking sangkakala. Dalam malam yang gelap dan hanya diterangi bintang-bintang,
sungguh sembrono pilihan yang diambil Ra Kembar itu, sekaligus cara
perang yang tidak dibenarkan. Dalam tatakramanya, perang tidak boleh
dilakukan di malam hari. Sebagaimana aturan perang yang tertulis dalam
kitab Mahabarata, jika malam datang, perang harus berakhir.
Dari ketinggian bukit, Gajah Mada berdebar-debar menyaksikan
gerak pasukan yang dipimpin Kembar makin mendekati Sadeng, tempat
di mana ada pasukan gajah yang siap menggilasnya.
652 Gajah Mada Langit timur belum menampakkan bayangan merah. Itu pertanda
masih beberapa tabuh lagi pagi akan tiba, tetapi itulah saat yang dipilih
oleh Ra Kembar untuk meniup sangkakala dan menabuh genderang
perang. Bagaikan banjir bandang, pasukan Majapahit yang memisahkan
diri dari ikatan di bawah pimpinan Ra Kembar bergerak turun makin
mendekati Sadeng. Dengan jantung berdebar, Adipati Sadeng yang
benar-benar telah bulat akan memberikan perlawanan, telah menyiagakan
pasukannya. Pertemuan yang amat berdarah akan segera terjadi.
Jarak kedua pasukan yang siap berbenturan itu makin lama makin
dekat. Dengan menahan degup jantung, Ra Kembar yang menempatkan
diri di tengah-tengah pasukan menyalurkan perintah-perintah
gerakannya yang dibantu oleh Warak, Banyak, dan Jabung Tarewes yang
menempatkan diri sebagai gerigi-gerigi tajam pasukan itu.
Pasukan Sadeng yang berada di pihak yang akan diserbu menyiagakan
pasukan. Dari kejauhan, Kembar melihat pasukan musuh telah berada
di depan mata, memanjang menjadi pagar betis yang siap menyongsong.
Ra Kembar merasa heran karena pasukan Sadeng tak berada dalam sikap
gelar apa pun, tidak Cakrabyuha, tidak pula Diradameta. Yang dilakukan
prajurit Sadeng itu hanya sekadar berbaris memanjang sambil memegang
bermacam-macam senjata. Akhirnya, makin lama pasukan di bawah pimpinan Kembar itu
makin dekat. Tanpa diduga atau dibayangkan oleh Kembar dan segenap
anak buahnya, barisan dengan bentuk pagar betis itu mendadak membuka
diri menjadi beberapa buah pintu. Terperanjat Kembar melihat gajah-
gajah yang keluar dari belakang barisan prajurit yang menyibak itu.
Apa yang terjadi adalah bencana bagi pasukan di bawah pimpinan
Ra Kembar karena apa pun gelar perang yang mereka buat, apalah artinya
ketika digilas binatang dengan ukuran besar dan bertenaga amat besar
itu. Gelar perang Cakrabyuha yang dibangun langsung bubar mawut
berantakan, yang dengan seketika meminta korban dalam jumlah yang
amat banyak. Tak ada gunanya hujan anak panah dan nyaris tak ada
artinya lemparan tombak karena gajah-gajah itu berkulit tebal.
Hamukti Palapa 653 Seorang prajurit bernasib malang ketika terjebak oleh kekagetan
yang tak segera disadari. Kesadaran itu pulih ketika tubuhnya dibelit
dengan belalai dan dilemparkan ke atas. Ketika melayang jatuh, nasibnya
lebih sial lagi karena langsung diterima oleh gading yang dipasangi senjata
lancip, tembus ke tubuh yang melayang turun itu untuk langsung mati
seketika. Rupanya gajah-gajah itu memang telah dilatih dengan cara seperti
itu, musuh dibelit, lalu dilempar ke atas dan ketika jatuh diterima gadingnya
karena terbukti beberapa gajah yang lain melakukan gerakan serupa.
Terbelalak Ra Kembar dihadapkan dengan cara perang yang tidak
terduga itu. Dirangsang oleh nafsu yang entah berasal dari mana, pasukan gajah
itu mengamuk sejalan dengan kehendak penunggangnya. Nasib sial bagi
prajurit Majapahit yang jatuh dan tak berhasil mengambil jarak dari gajah
yang kemudian menginjaknya.
Bertambah deras tekanan yang diterima pasukan Majapahit ketika
barisan pasukan Sadeng menyusul dari belakang dengan menghujani
anak panah. Ra Kembar tak mampu lagi menguasai pasukannya.
"Mundur!" teriak Ra Kembar yang harus menerima keadaan itu
sebagai sebuah kenyataan yang sangat pahit.
Patih Gajah Mada yang menyaksikan perang yang berkecamuk
dengan amat tidak seimbang itu segera menghitung langkah apa yang akan
dilakukan. Benar apa pendapat yang disampaikan Senopati Haryo Teleng,
pasukan gajah yang dimiliki Sadeng itu akan menimbulkan masalah.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapkan pasukan, agaknya kita harus menggelar perang sekarang
juga karena kebodohan anak Raja Pamelekehan yang sombong itu,"
perintah Gajah Mada. "Gelar perang apa yang akan kaupilih?"
" Supit Urang, kita menyerbu dari arah utara," jawab Gajah Mada.
Dengan bergegas, Senopati Haryo Teleng menyiagakan pasukannya.
Oleh karena semua prajurit Majapahit telah berada dalam kesiagaan tinggi,
654 Gajah Mada Senopati Haryo Teleng tinggal menggerakkan mereka sebagaimana
keinginan Gajah Mada. Tak ada waktu bagi Kembar untuk menyesali diri. Yang ia rasakan
adalah impitan luar biasa dari pasukan Sadeng yang tidak terduga akan
menggunakan pasukan gajah untuk menghadapinya. Maka, gelar perang
Cakrabyuha yang dipimpinnya langsung pecah tidak bisa dibenahi lagi.
Kocar-kacir pasukan yang dikirim dari Majapahit itu berusaha mencari
selamat. "Mati aku!" kalang kabut Kembar berusaha menyelamatkan diri.
Adipati Sadeng yang memimpin langsung pasukannya merasa
gembira melihat hasil dari pilihan pertahanan yang diambilnya.
Saat sang waktu bergeser oleh datangnya pagi yang makin
benderang, terlihatlah betapa mengerikan akhir dari benturan yang terjadi
dalam waktu singkat itu. Ada banyak mayat yang bergelimpangan, baik
tertembus oleh anak panah maupun terinjak-injak gajah yang semua
berasal dari pihak Majapahit. Sebaliknya, sedikit sekali prajurit Sadeng
yang menjadi korban. Akan tetapi, Adipati Sadeng yang duduk di atas salah satu gajah
berdampingan dengan Patih Gunadarma Danaraja, sama sekali tidak
menyadari sesuatu yang luar biasa akan terjadi dan langsung menjadi
penyebab timbulnya masalah yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Andaikata Adipati Sadeng menyempatkan menoleh ke arah laut, ia akan
melihat sepuluh buah kapal besar telah merapat amat dekat.
Di tanah berpasir, Aditiawarman telah menggelar pasukannya.
"Kita lebih mendekat lagi. Jika sudah cukup dekat, bakar!" perintah
Aditiawarman. Puluhan orang prajurit sekaligus telah memegang rentengan
peledak. Itulah benda-benda yang diperoleh ketika Aditiawarman
menjelajah sempai ke daratan Tartar. Peledak adalah benda aneh yang
jika dibakar sumbunya, akan menimbulkan suara gemuruh menggelegar.
Apalagi, petasan-petasan yang siap dibakar itu berukuran besar-besar.
Hamukti Palapa 655 Ketika berkunjung naik ke kapal, Gajah Mada dibuat terheran-heran
oleh benda yang bisa menimbulkan suara mengerikan itu.
Ketika bayangan pagi sedikit agak terang, Patih Gajah Mada yang
siap menggelar pasukan, berdebar jantungnya ketika melihat dengan
jelas bayangan kapal-kapal besar dari Dharmasraya.
"Kalian lihat kapal-kapal itu?" tanya Gajah Mada.
Lembu Pulung berdesir, pun Senopati Haryo Teleng.
"Aku meminta mereka ikut melibatkan diri. Tamu-tamu Dharmasraya
yang pamit pulang itu sebenarnya ke sini."
Tegang Haryo Teleng dalam mengarahkan pandangan matanya ke
laut, ke kapal-kapal yang telah merapat.
Akhirnya, terjadilah peristiwa yang tidak pernah diduga itu. Adipati
Sadeng merasa jantungnya nyaris meledak ketika gendang telinganya
tidak sanggup menerima getaran suara yang luar biasa kerasnya dan tak
pernah terbayangkan ada suara yang demikian gemuruh, beruntun, dan
susul-menyusul. Ledakan-ledakan dari petasan yang menggemuruh itu menyebabkan
gajah-gajah yang digelar dalam perang itu panik, ketakutan, dan berlarian.
Demikian pula dengan prajurit Sadeng yang tidak memahami apa
yang terjadi, berlarian kebingungan. Benda berasap yang dilemparkan
mendekat mereka ternyata benar-benar menakutkan.
Apalagi, ketika terjadi sebuah contoh nyata. Seorang prajurit dari
Dharmasraya melempar peledak petasan sebesar lengan yang telah
dibakar sumbunya dengan sekuat-kuatnya ke seorang prajurit Sadeng.
Prajurit Sadeng itu sigap menangkap peledak itu dan memerhatikan
dengan terheran-heran. Malang nasib prajurit Sadeng yang pemberani itu
karena benda itu meledak meninggalkan suara memekakkan telinga.
Prajurit Sadeng itu langsung ambruk dengan tubuh bersimbah
darah. Wajahnya yang semula sangar, berubah menjadi merah berbalut
darah. Orang itu berkelejotan amat keras untuk kemudian mati dengan
cara paling mengerikan. 656 Gajah Mada Akibat nyata dari mercon selengan itu menjadi pelajaran nyata bagi
prajurit Sadeng untuk tidak main-main dengan benda itu. Bagi gajah-
gajah yang menjadi sasaran, ledakan gemuruh itu benar-benar membuat
mereka tak lagi bisa dikendalikan.
Gerakan gajah yang memutar mencari selamat itu justru mengacau-
kan pasukan Sadeng sendiri. Apalagi, ketika Aditiawarman akhirnya
menyalakan puluhan peledak yang direnteng menjadi satu, menimbulkan
dentuman berderap susul-menyusul, membuat pasukan Sadeng
mengalami kepanikan yang tak mungkin diperbaiki. Para prajurit Sadeng
yang berlarian menjadi sasaran empuk anak panah yang dilepas pasukan
Dharmasraya. Dengan gerakan cepat dan memanfaatkan rasa terkejut dan takut
yang mendadak menyergap pasukan Sadeng, pasukan Aditiawarman
memburu prajurit Sadeng yang berlarian.
"Menyerah, menyerahlah kalian! Yang menyerah, jongkok!" teriak
Aditiawarman. Beberapa prajurit Sadeng yang ketakutan terus berlari menyelamatkan
diri. Namun, sebagaian yang lain segera membuang senjata dan berjongkok,
memenuhi perintah dari penyerbu pemilik senjata mengerikan itu.
Berdebar-debar Gajah Mada yang memerhatikan cara perang orang
Dharmasraya itu dari ketinggian bukit di belakang kota Sadeng.
Dipimpin oleh Aditiawarman, ribuan pasukan Sadeng berhasil
digilas hanya dalam waktu singkat. Apalagi, saat dalam ancaman anak
panah dan petasan sebesar paha, Adipati Sadeng tak punya pilihan lain
kecuali menyerah. Adalah Ra Kembar yang tertolong oleh keadaan, dengan sigap
memanfaatkan perkembangan yang tidak terduga itu. Ra Kembar
berusaha mengendalikan pasukannya yang cerai-berai, yang disalurkan
perintahnya melalui teriakan-teriakan. Selanjutnya, dengan sangat gampang
Ra Kembar menggilas sebagian prajurit Sadeng yang bingung.
Akhirnya, perang yang mestinya bisa berlangsung dalam waktu
yang lama, bahkan bisa seharian itu berakhir ketika udara mulai hangat.
Hamukti Palapa 657 Gajah Mada dan ribuan pasukannya yang turun disibukkan mengurus
pasukan Sadeng yang menyerah.
Aditiawarman menyambut sahabatnya yang turun dari atas kuda
itu dengan senyum lebar. "Perang menggunakan benda aneh itu?"
Aditiawarman mengambil sebuah petasan pemilik ukuran paling
besar, yang lalu dibakar sumbunya.
Gajah Mada segera menutup telinganya.
44 H ujan deras yang diikuti kali ini membuat Senopati Gajah
Enggon berdebar karena terjadi tak jauh dari Kotaraja Majapahit.
Gajah Enggon bahkan menandai tempat itu tidak jauh dari pedukuhan
Bulu Payaman tempat Pradhabasu tinggal. Di tengah bulak panjang,
Gajah Enggon dan istrinya yang masing-masing duduk di atas kuda,
memerhatikan arah tempat mendung terlihat membentuk diri. Dari
sana nantinya akan terlihat petir muncrat yang boleh diyakini sebagai
jejak maling pencuri songsong Kiai Udan Riwis dan cihna gringsing
lobheng lewih laka. "Aku harap ini kesempatan kita untuk bisa menangkap orang itu,"
Gajah Enggon berkata dengan suara amat dalam.
Istrinya menggamit lengannya.
"Lihat itu, Kakang," ucapnya.
Gajah Enggon menoleh ke kanan, yang menjadi arah pandang
istrinya. Jauh di sana, agaknya terdapat jalan sejajar dengan arah jalan
658 Gajah Mada yang diambil Gajah Enggon, terbukti dari adanya tiga orang yang berkuda
dengan kencang. "Mereka lagi," desis Senopati Gajah Enggon sambil menarik tali
kendali kudanya. Rahyi Sunelok sigap mengimbangi gerak suaminya dan bahkan
menempatkan diri membalap di depan. Sebagaimana suaminya, Rahyi
Sunelok tidak mengalihkan pandang matanya dari pesaing yang muncul
dari arah kanan. Di sana tiga orang anak buah Kiai Wirota Wiragati,
yang semula berjumlah empat orang dan kini tinggal tiga orang, terus
bernafsu memburu benda-benda yang diincarnya.
Benda yang entah mengapa oleh Kiai Wirota Wiragati dan Adipati
Ma Panji Keta dikeramatkan dan dianggap pula sebagai sarang wahyu.
Siapa yang bisa menguasai benda-benda itu akan bisa menjadi raja besar
sebagaimana dulu pernah diyakini, siapa orang yang bisa mengendalikan
pamor yang melekat pada keris berdarah buatan Empu Gandring, akan
menjadi raja. Gajah Enggon dan Rahyi Sunelok tidak mengurangi kecepatan laju
kudanya meski kemudian memasuki pedukuhan dengan jalan yang bagus
dan rata. Penduduk pedukuhan yang tenang itu berlarian ke luar dari
rumahnya untuk melihat siapa orang yang berkuda bagai kesetanan itu.
Namun, mereka hanya kebagian suaranya karena Gajah Enggon hanya
meninggalkan jejaknya. Tak lama kemudian, Gajah Enggon dan Rahyi Sunelok telah keluar
dari pedukuhan dan kembali menyusuri jalan panjang membelah sawah.
Dari tempat itu akhirnya terlihat seseorang yang berkuda sendirian jauh
sekali di depan. "Maling itu, Kakang!" teriak Rahyi Sunelok.
"Ya," balas suaminya sambil menarik kendali kudanya.
Namun, Gajah Enggon dan Rahyi Sunelok harus membelah perhatian
karena jauh di arah kanan, di sebuah jalan yang sejajar dengannya tampak
tiga orang berpacu amat kencang. Didorong nafsu ingin merebut dan
menguasai songsong Kiai Udan Riwis dan cihna gringsing lobheng lewih laka,
Hamukti Palapa 659 tiga orang kaki tangan Kiai Wirota Wiragati itu membelah angin bagaikan
terbang di udara. Bayangan maling payung yang berada jauh di depan, amat memancing
nafsu ketiga orang anak buah Kiai Wiragati yang tersisa itu. Di depan,
Lanjar Manuraha memimpin dengan teriakan-teriakan keras yang keluar
dari mulutnya, disusul Udan Tahun dan Bremoro. Ketiga orang itu
bukannya tidak tahu jauh di arah kiri, di arah jalan yang sejajar dengan
mereka, tampak penunggang kuda yang dianggap sebagai pesaing.
"Bagaimana kalau kita bantai mereka dulu agar tidak selalu
mengganggu kita?" tiba-tiba Bremoro berteriak.
Usulan yang dilontarkan Bremoro itu tidak berjawab. Namun,
jalan yang membelok ke arah kiri yang menjawab. Ruas jalan itu akan
bertemu dan menjadi penyebab Bremoro dan teman-temannya akan
bertemu dengan Gajah Enggon dan istrinya. Pertemuan yang tak bisa
dicegah. Menyikapi keadaan itu, Bremoro langsung mencabut senjatanya,
sebuah pedang tipis, ringan, dan panjang. Warna putih mengilat pada
bagian tepinya menjadi tanda betapa pedang tipis itu selalu diasah dan
sangat tajam. Perbuatan Bremoro itu segera disusul oleh Udan Tahun
dan Lanjar Manuraha yang masing-masing segera mencabut senjatanya.
Tiga orang itu merasa layak untuk menuntaskan hasrat kemarahannya
karena salah seorang teman mereka, Panji Hamuk, telah mati di tangan
orang yang menghadang di depannya itu.
"Kita bertemu lagi," kata Gajah Enggon sambil tangan kanannya
mencabut pedang yang bukan sembarang pedang. Namun, itulah pedang
Bhayangkara yang dibuat oleh empu dengan kemampuan khusus.
Gajah Enggon melompat turun disusul istrinya.
"Menjauhlah, aku akan hadapi mereka," bisik Gajah Enggon yang
masih ragu dengan kemampuan kelahi istrinya.
Namun, Rahyi Sunelok menolak dengan tetap bergeming di
tempatnya. Rahyi Sunelok mengambil sesuatu dari buntalannya. Gajah
Enggon sedikit mengerutkan dahi melihat istrinya telah memegang tali
660 Gajah Mada panjang sebesar cambuk, dengan sifat amat mirip dengan cambuk, tetapi
terdapat sebuah benda bulat bergerigi di ujungnya.
Gajah Enggon merasa heran karena dalam beberapa hari bergaul
dengan istrinya, terbukti Rahyi Sunelok banyak sekali menyimpan
kejutan. Gajah Enggon tidak tahu istrinya memiliki benda macam itu.
"Kauyakin dengan senjatamu itu?" bisik Gajah Enggon.
Rahyi Sunelok mengangguk.
"Sebaiknya kalian pertimbangkan untuk menyerah," kata Gajah
Enggon. "Menyerah?" balas Bremoro. "Menyerah pada siapa?"
"Aku tegaskan," balas Gajah Enggon, "aku adalah Senopati Gajah
Enggon, mantan pimpinan pasukan khusus Bhayangkara. Kuperintahkan
kepada kalian untuk menyerah dan kubawa ke Majapahit untuk
diperiksa." Bremoro tertawa. Bremoro melompat turun disusul Lanjar Manuraha.
Akan tetapi, Udan Tahun melakukan tindakan yang tidak terduga.
"Aku akan mengejar pusaka-pusaka itu," teriaknya. "Kalian hadapi
dua orang itu dan binasakan mereka, lalu susul aku."
Udan Tahun melesat meninggalkan kedua temannya. Namun, Gajah
Enggon tidak ingin kehilangan seorang pun dari orang-orang yang ikut
memburu pusaka-pusaka Istana Majapahit yang hilang. Gajah Enggon
merendahkan tubuh berancang-ancang melepas pisau yang telah turun
dari lengan dan melekat di genggaman tangannya.
Akan tetapi, Lanjar Manuraha belajar dengan baik dari pengalaman-
nya. Ia tidak ingin temannya yang mengambil jalan terus, terhadang
melalui lemparan pisau. Lanjar Manuraha segera melenting sambil
dengan deras mengayunkan pedangnya, perbuatan yang juga dilakukan
oleh Bremoro yang dengan ringan melenting sambil menebas lewat
serangan mendatar dan mematikan.
Gajah Enggon terpaksa menekuk tubuh untuk menghindar dan
jungkir balik mengambil jarak untuk menghindar lagi dari serangan
Hamukti Palapa 661 susulan. Akan tetapi, rupanya Gajah Enggon tak perlu menghindar lebih
jauh karena dengan cara sulit untuk dimengerti, istrinya melepas serangan
susul-menyusul melalui senjatanya yang ternyata mampu memaksa Lanjar
Manurahan dan Bremoro kelabakan dalam menyelamatkan diri.
"Setan alas," umpat Lanjar Manuraha.
"Iblis," tambah Bremoro.
Berdebar-debar Gajah Enggon memerhatikan sikap istrinya yang
mempersiapkan serangan susulan.
"Menyerahlah!" teriak Gajah Enggon.
Namun, Lanjar Manuraha dan Bremoro tidak menanggapi tawaran
untuk menyerah itu. Dua orang kaki tangan Kiai Wirota Wiragati
yang pilih tanding itu kembali bersiaga mempersiapkan serangan
berikutnya. "Sekali lagi aku peringatkan, menyerahlah."


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, Lanjar Manuraha telah bulat dengan serangan berikutnya.
Dengan tatapan mata tajam, ia mengarahkan perhatiannya kepada Gajah
Enggon yang tangan kanannya telah menggenggam pedang Bhayangkara
dan tangan kirinya memegang pisau yang disembunyikan. Pedang di
tangan kanan itu tidak terlampau mencemaskan Lanjar Manuraha
dan Bremoro. Sebaliknya, pisau terbang di tangan kirinya itulah yang
harus diwaspadai karena sebagaimana diketahui, pasukan Bhayangkara
sangat menguasai pisau terbang dengan tingkat akurasi bidikan yang
luar biasa. Dengan menggeram bersama, Lanjar Manuraha dan Bremoro
menyerang. Namun, yang berada di luar dugaan adalah serangan itu
ternyata ditujukan kepada Rahyi Sunelok yang dianggap merupakan
titik lemah. Terkesima Gajah Enggon oleh serangan tak terduga yang
terarah kepada istrinya. Gajah Enggon segera bergerak untuk melindungi
istrinya. Namun, Gajah Enggon terpaksa membatalkan niatnya karena
Rahyi Sunelok membutuhkan ruang gerak yang lebih lapang. Apa yang
662 Gajah Mada dilakukan Rahyi Sunelok amat mendebarkan jantung suaminya sekaligus
mengagetkan dua orang lawannya yang telah meremehkannya.
Rupanya meremehkan Rahyi Sunelok adalah kesalahan yang harus
ditebus dengan harga yang mahal. Dengan gerakan silang-menyilang
yang sulit dimengerti, ayunan terakhir dari senjata mirip cambuk
berbandul bola besi penuh duri itu menghantam wajah Bremoro tepat
di hidungnya. Terjengkang Bremoro dengan wajah seketika memerah. Barulah
Senopati Gajah Enggon terpaksa bertindak ketika melihat Lanjar
Manuraha melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa istrinya.
Ayunan pisau yang melesat dari tangan kirinya menghunjam tepat di
dada Lanjar Manuraha. Bersamaan dengan Rahyi Sunelok yang melenting mengambil
jarak, ambruk tubuh Lanjar Manuraha menyusul tubuh Bremoro yang
terjengkang. Dengan perasaan teraduk, Rahyi Sunelok menatap tubuh
Lanjar Manuraha yang mengalami kesakitan luar biasa saat nyawa akan
oncat dari tubuhnya. Rahyi Sunelok menutup wajahnya ketika melihat Bremoro
menggeliat tidak terkendali. Rahyi Sunelok bergegas menutup wajahnya
dan bahkan berlari meninggalkan tempat itu. Gajah Enggon yang bisa
menerka apa yang bergolak di hati istrinya, bergegas menyusul. Rahyi
Sunelok berhasil diraih dan segera dipeluk.
"Aku telah membunuh orang, duh Hyang Widdi, aku telah
membunuh orang," desis Rahyi Sunelok dengan segala rasa cemas.
Namun, Gajah Enggon punya cara membesarkan hati istrinya agar
tak terlalu dibelit rasa bersalah.
"Kau tak punya pilihan, Rahyi," bisik suaminya. "Kalau tidak
membunuh, kau yang akan dibunuh."
Dari celah jarinya, Rahyi Sunelok mengintip. Namun, tubuh Bremoro
yang semula menggeliat liar itu telah kembali tenang. Itu pertanda nyawa
telah oncat dari tubuhnya. Rupanya ayunan bandul bergerigi di ujung
Hamukti Palapa 663 senjata Rahyi Sunelok itu meninggalkan jejak luka yang luar biasa. Wajah
Bremoro berantakan. 45 Pasewakan agung kembali digelar di Tatag Rambat Bale Manguntur.
Kali ini dengan suasana yang amat berbeda, setidaknya pertemuan yang
dilakukan sekarang tidak diikuti oleh para utusan negara bawahan dan
hanya dihadiri oleh pejabat-pejabat penting di pura Wilwatikta untuk
menyikapi hasil akhir dari perang memaksa Sadeng dan Keta kembali
ke pangkuan Majapahit. Pun pasewakan agung kali ini memberi arti
yang khusus karena desas-desus kedua Prabu Putri akan mengangkat
mahapatih yang baru, menggantikan Mahapatih Arya Tadah yang berniat
meletakkan jabatan. Benarkah desas-desus itu, semua pejabat yang hadir sibuk menerka.
Para pejabat yang diundang telah datang semua. Dari Kementerian
Katrini, lengkap hadir para mahamenteri dari hino, sirikan, sampai halu.
Dari Panca Ri Wilwatikta, tak seorang pun yang tidak hadir. Demikian
juga dengan tujuh orang Uppapati yang meski di antara mereka tak ada
yang dicalonkan menjadi mahapatih, akan amat didengar suara dan
sarannya. Di kursi para dharmadyaksa, tidak hanya pejabat dharmadyaksa
kasogatan dan kasaiwan yang hadir. Namun, tampak pula mantan
dharmadyasa sebelumnya yang telah tua usianya, yang berkenan datang
memenuhi undangan yang diberikan kedua Prabu Putri.
Han Bu Kong 2 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Eng Djiauw Ong 23
^