Pencarian

Hamukti Palapa 6

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 6


pusaka itu?" tanya Kiai Wirota Wiragati lagi.
Gayatri merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu.
"Yang jelas, saat ini Majapahit tengah menyebar prajurit telik sandi
ke pelosok-pelosok untuk melacak lenyapnya dua benda pusaka itu.
Namun, sampai sejauh ini belum ada prajurit yang kembali membawa
jawaban." Kiai Wirota Wiragati berpikir keras.
"Berarti dua benda itu sedang berkeliaran di luar istana?"
"Ya!" jawab Gayatri.
"Kalau begitu, aku akan ikut bermain dalam permainan petak
umpet yang telah digelar orang itu. Aku harus bisa merebut kedua
benda itu." Gayatri memerhatikan kabut yang melayang di mana-mana. Tak
seperti di dalam lingkungan istana, kabut yang turun di lapangan Bubat
itu tidak begitu tebal dan masih menyisakan jarak pandang. Gayatri
tidak mengalami kesulitan memerhatikan bintang-bintang di langit.
Meski usianya sudah tua, anak Kertanegara itu masih mampu menandai
gemerlap kartika dengan baik.
"Kalau boleh aku tahu dan mencemaskan, Kakang Wirota,"
kata Gayatri. "Apakah Kakang akan berada di belakang gerakan yang
dilakukan oleh orang-orang di Keta dan Sadeng" Kalau dugaanku itu
benar, sungguh sangat aku sayangkan. Sekali lagi aku ingin mengingatkan,
kalau sampai terjadi perang, rakyat yang tak bersalah yang lagi-lagi akan
274 Gajah Mada menjadi korban. Akan banyak orang yang mendendangkan tembang
tangis." Bahwa karena dugaan Gayatri benar adanya, Kiai Wirota Wiragati
tak menjawab pertanyaan itu. Namun, Kiai Wirota memang telah bulat
niatnya dan bergeming pada apa yang telah dimimpikan. Mimpi yang
dibangun jauh sebelumnya dan harus bisa diwujudkan sebelum ketuaan
menjemput kematian. "Aku tak akan mundur selangkah pun. Aku telah berada sejauh
ini," jawab Kiai Wirota Wiragati.
"Jika demikian, sungguh sangat aku sayangkan!" kata Gayatri.
Kiai Wirota Wiragati merasa tak ada lagi masalah yang masih harus
dibicarakan. Sesuatu dikeluarkan dari dalam saku bajunya dan diserahkan
kepada Gayatri. "Ini, terimalah dan kembalilah. Aku batalkan niatku untuk
membawamu," kata laki-laki tua itu.
Gayatri menerima sebuah benda yang tak jelas wujudnya. Gayatri
terperanjat ketika mengenali benda yang berada dalam genggamannya itu.
"Kau masih menyimpan benda ini?" tanya Gayatri dengan suara
serak. "Tentu, dan aku merasa sebaiknya aku tidak menyimpan benda itu.
Sudah, semua sebaiknya berakhir sekarang dan kembalilah!"
Gayatri yang tua, yang segenap rakyat Majapahit menghormatinya
sebagai Ibu Suri, ibu kandung dua Prabu Putri, yang dihormati pula
sebagai biksuni, juga sebagai janda mendiang Raja Majapahit pertama
yang selalu berada dalam kenangan segenap rakyatnya, tetaplah seorang
manusia yang mempunyai masa lalu, pernah menjadi sekar kedaton dan
memiliki banyak kenangan, baik yang indah maupun pengalaman yang
mendebarkan. Apa yang dialaminya ketika Singasari dilibas huru-hara oleh
serangan Gelang-Gelang dan menempatkannya sebagai seorang sekar
kedaton yang ditawan, semua itu menjadi simpul kenangan yang amat
Hamukti Palapa 275 indah saat muncul seorang pemuda gagah perkasa yang tampil bak
pangeran turun dari langit meski pemuda itu seorang maling dan banyak
menyimpan cerita tindak perbuatan yang tidak terpuji.
Mengenai pekerjaannya yang tidak terpuji sebagai maling, bukankah
Sri Baginda Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabhumi juga mantan
maling, perampok, dan bahkan pemerkosa"
"Maafkan aku, Kakang," bisik Gayatri dengan suara amat serak.
"Tidak perlu ada yang dimaafkan," jawab Kiai Wirota Wiragati.
"Mungkin kamu tidak bersalah, mungkin akulah yang bersalah, atau
mungkin pepesthen yang bersalah. Kau benar, aku sekarang sudah tua. Aku
harus banyak merenung dan berpikir, simpulan apa yang aku peroleh
setelah menempuh perjalanan panjang hidupku."
Rajapatni Biksuni Gayatri memaksa menggerakkan kakinya yang
serasa enggan bergerak menerobos tebalnya kabut malam yang turun
dengan cara yang aneh. Rangkaian peristiwa yang terjadi puluhan
tahun yang lalu bagai terputar kembali mengiring langkah kakinya yang
mengayun bagai kekurangan tenaga. Namun, kesadaran bahwa dirinya
tidak boleh lagi terbelenggu urusan duniawi memberi kekuatan untuk
mengayun langkah lebih lebar.
Dengan sebuah isyarat, Kiai Wirota Wiragati memanggil para
pengikutnya. Udan Tahun, Panji Hamuk, Lanjar Manuraha, dan Bremoro
sigap menunggu perintah. "Kita pulang, ambil kuda-kuda dan aku menunggu di sini."
Manakala beberapa saat kemudian terdengar derap kuda membelah
malam dan bergerak meninggalkan kotaraja adalah bersamaan
dengan munculnya beliung meliuk kencang, yang membelit kabut dan
membuangnya entah ke mana. Langkah demi langkah Ibu Suri Gayatri
yang telah tua itu mengayun menyusuri jalan yang membawanya ke pintu
gerbang Purawaktra. Beberapa prajurit kaget ketika mengenalinya. Dengan gugup, prajurit
itu berteriak-teriak mewartakan apa yang diketahuinya. Dengan sigap,
puluhan prajurit menempatkan diri mengawal perempuan itu. Gajah
276 Gajah Mada Mada yang memacu kencang kudanya menyusur jalanan, mendapatkan
berita itu pula. 18 M eski Ibu Suri Rajapatni Biksuni telah kembali, bukan berarti
Gajah Mada boleh menganggap persoalan usai. Perintah pencarian
besar-besaran untuk memburu pembuat onar segera disalurkan melalui
anak panah sanderan berapi yang dilepas membubung ke langit dengan
nada tertentu dan warna api tertentu. Tak seekor kuda pun yang masih
ada di kandang, tak ada prajurit yang dibiarkan diam tanpa melakukan
apa pun. Dengan sigap, trengginas, dan terampil, para prajurit melakukan
pengejaran dengan berpacu di atas kuda masing-masing. Melesat bagai
membelah angin, mereka memburu pembuat onar, menyusur semua
ruas jalan yang berawal dari lingkungan istana.
Dengan lega dan kepanikannya, Prabu Putri Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi yang didampingi suaminya menemui ibunya.
Demikian pula dengan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang
didampingi Breh Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara Sang
Apanji Wahninghyun, dililit rasa ingin tahu untuk segera mengetahui
apa yang terjadi. Akan tetapi, sampai sejauh itu Ibu Suri Gayatri
masih belum mau menceritakan apa yang terjadi dan dialaminya. Di
dalam bilik pribadinya, Ibu Suri Gayatri hanya ditunggui oleh Ibu
Suri Tribhuaneswari yang menyempatkan diri menemuinya setelah
mendengar geger genjik 166 yang terjadi.
166 Geger genjik, Jawa, arti harfiahnya panik yang dialami anak babi, sebuah perumpamaan untuk kekacauan yang terjadi.
Hamukti Palapa 277 Semua pimpinan pasukan menemui Gajah Mada di Balai Prajurit.
Senopati Haryo Teleng yang memimpin pasukan Jalapati hadir
pertama di Balai Prajurit, disusul oleh Senopati Panji Suryo Manduro
yang membawahi pasukan Sapu Bayu. Gajah Mada belum membuka
pembicaraan sampai Senopati Gagak Bongol yang memimpin pasukan
khusus Bhayangkara hadir di tempat itu.
Dalam pembicaraan para pejabat penting itu tidak terlihat Mahapatih
Arya Tadah. Mahapatih Tadah sedang berada di istana kediaman Ibu Suri
Gayatri. Mapatih Arya Tadah yang berada di luar pintu bersama para
Prabu Putri sama penasarannya dan ingin segera mengetahui pengalaman
buruk macam apa yang menimpa Ibu Suri Gayatri.
Akhirnya, setelah agak lama ditunggu, Gagak Bongol muncul.
"Sudah dilakukan pemeriksaan sampai tuntas di gedung pusaka?"
Gajah Mada bertanya. "Sudah, Kakang," jawab Gagak Bongol.
"Ada benda yang hilang?" tanya Gajah Mada lagi.
"Mahkota mendiang Prabu Sri Jayanegara hilang! Selain mahkota,
tak ada benda lain yang hilang," jawabnya.
Udara bergetar di Balai Prajurit. Senopati Panji Suryo Manduro dan
Senopati Haryo Teleng menunggu diberi kesempatan untuk berbicara.
"Ibu Suri sudah memberi keterangan apa yang menimpanya?" tanya
Gajah Mada lagi. "Belum!" Senopati Gagak Bongol menjawab. "Ibu Suri saat ini
masih belum bisa dimintai keterangan dan sedang mengunci diri di
biliknya dengan hanya ditemani oleh Ibu Suri Tribhuaneswari. Laporan
yang aku terima, para Prabu Putri ditemani Paman Arya Tadah sedang
menunggu di luar. Pintu terkunci dari dalam."
Gajah Mada yang kemudian diam, menyebabkan tiga orang senopati
yang berada di depannya ikut diam.
"Apa yang terjadi ini mungkin berhubungan dengan Keta dan
Sadeng," Gajah Mada membuka pembicaraan.
278 Gajah Mada Senopati Haryo Teleng dan Panji Suryo Manduro saling lirik.
Keterangan yang diperoleh itu cukup mengagetkan mereka.
"Menurut dugaan, sebagaimana Paman Arya Tadah mengatakan
kepadaku, mereka yang membuat onar di sepanjang siang hingga tengah
malam ini dipimpin oleh Kiai Wirota Wiragati, yang namanya tentu
akan selalu berada dalam kenangan kita karena ia adalah salah seorang
pendukung Raden Wijaya yang sepak terjangnya luar biasa. Namun,
entah mengapa atau oleh alasan apa, Kiai Wirota Wiragati melakukan
tindakan yang tak bisa dibenarkan. Bahkan, andaikata mendiang
Tuanku Wijaya bangun dan hidup kembali, pastilah akan menyayangkan
perbuatannya." Gajah Mada menghentikan kata-katanya untuk mencari kesan dari
wajah-wajah senopati pimpinan pasukan itu.
"Apakah bisa diyakini orang itu adalah Kiai Wirota Wiragati?" tanya
Senopati Panji Suryo Manduro.
Gajah Mada memerhatikan wajah-wajah di depannya yang diterangi
obor mobat-mabit 167 diterjang angin.
"Aku belum yakin dan untuk mendapat kepastiannya, harus
menunggu keterangan yang akan diberikan Ibu Suri Gayatri. Akan
tetapi, jika kemungkinan itu benar dan yang hilang adalah mahkota milik
mendiang Prabu Jayanegara, arahnya jelas, ke mana lagi jika bukan Keta
atau Sadeng! Dua tempat itu sedang menghangat dan sedang marak
adanya wacana memisahkan diri dari Majapahit serta mendirikan negara
sendiri. Mungkin untuk itu, diperlukan songsong Kiai Udan Riwis dan
cihna gringsing lobheng lewih laka yang mereka anggap sebagai sarang wahyu.
Disusul kemudian sekarang ikut murca mahkota milik mendiang Baginda
Jayanegara," kata Gajah Mada.
Sejenak Gajah Mada menarik napas panjang untuk mencari kesan
dari wajah para bawahannya.
167 Mobat-mabit, Jawa, meliuk-liuk
Hamukti Palapa 279 "Semua benda itu dicuri karena diperlukan sebagai sarana
diselenggarakannya sebuah wisuda," lanjut Gajah Mada. "Oleh karena
itu, mulai sekarang juga aku perintahkan untuk segera dilakukan
persiapan-persiapan. Sasaran amat utama dan harus dikedepankan
adalah membatalkan niat orang-orang Keta dan Sadeng yang akan makar
dengan biaya semurah-murahnya dan jika perlu tanpa harus ada perang.
Namun, jika mereka bersikeras, menggelar kekuatan angkatan perang
boleh dilakukan untuk melumat mereka yang sebisa-bisa merupakan
pilihan terakhir ketika pilihan lain buntu."
Dengan saksama, tiga orang senopati pimpinan kesatuan pasukan
itu menyimak taklimat yang diberikan Gajah Mada.
Gajah Mada pun melanjutkan, "Aku yakin, tidak semua orang di
Keta dan Sadeng sependapat dengan pimpinan mereka. Orang-orang
yang tidak setuju itu yang harus kita manfaatkan. Kita bekerja sama
dengan mereka. Terkait dengan rencana itu, aku minta Pasukan Sapu
Bayu dan Jalapati mengirim telik sandi masing-masing, bekerja sama
bahu-membahu dengan telik sandi Bhayangkara melakukan gerakan
penggerogotan dan persiapan. Lakukan langkah apa pun yang dipandang
perlu, termasuk misalnya dengan melakukan penculikan. Aku amat
menghargai jika sasaran bisa diraih tanpa pertumpahan darah. Pimpinan
dan pelakunya harus bisa diseret ke Majapahit untuk diadili!"
Suasana menjadi hening. Gajah Mada memandang Gagak
Bongol. "Bagaimana perkembangan terakhir terkait Keta" Telah masuk lagi
berita dari tempat itu?"
Gagak Bongol mengangguk. "Belum lama ini," ucap Gagak Bongol, "seorang telik sandi yang
kita kirim ke Keta dan Sadeng mengirim kabar bahwa tak ada kegiatan
yang menonjol di sana. Orang Keta justru terkejut ketika ditanya
apakah akan ada pemberontakan" Rupanya rencana untuk melakukan
makar itu benar-benar dilakukan tertutup. Penggelaran latihan perang
dilakukan di tempat yang tersembunyi, yang untuk sementara diduga
280 Gajah Mada dilakukan di Alas Larang yang terletak di tanah perdikan Bondowoso.
Telik sandi Bhayangkara berhasil menemukan tempat latihan itu. Latihan
itu dilakukan di tengah hutan, yang memang dibangun khusus untuk
latihan perang. Dua orang Bhayangkara muda kini menyusup dan terlibat
dalam latihan perang yang terus berlangsung."
"Rencanamu?" tanya Gajah Mada.
"Dengan terjadinya peristiwa ini, akan kita kirim tambahan
kekuatan!" Gajah Mada mengarahkan pandangan matanya kepada Senopati
Haryo Teleng. "Bagaimana dengan pasukanmu?" tanya Gajah Mada.
Haryo Teleng membalas dengan tatapan mata tajam dan sigap.
"Akan kusiapkan berapa pun dukungan yang perlu dikerahkan."
Gajah Mada mengangguk. "Kuminta, kauberikan sepuluh orang telik sandi yang terbaik dan
akan bekerja bahu-membahu dengan telik sandi Bhayangkara."
"Aku siapkan," jawab Haryo Teleng sigap.
Gajah Mada masih mengarahkan perhatiannya kepada Haryo
Teleng. "Dan aku minta, kau sendiri yang memimpin."
Haryo Teleng terkejut dan mengangguk sigap.
"Aku memimpin pengintaian secara langsung?"
"Ya!" jawab Gajah Mada tegas. "Gabungan telik sandi Bhayangkara,
telik sandi Jalapati, dan aku masih minta ditambah telik sandi dari pasukan
Sapu Bayu, akan dipimpin langsung oleh Senopati Haryo Teleng.
Sementara itu, sebagai pengganti pimpinan pasukan Jalapati selama kamu
tidak ada, akan dipimpin oleh Senopati Panji Suryo Manduro yang mulai
besok harus menggelar latihan perang segelar sepapan, terutama karena kita
akan kedatangan tamu. Kita pamerkan kekuatan kita di hadapan tamu
Hamukti Palapa 281 itu. Jika sudah bisa dipastikan benda-benda yang hilang itu memang


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di Keta atau Sadeng, Gagak Bongol dan sejumlah prajurit sandi
yang diperlukan akan segera menyusul dengan aku sendiri yang nanti
mengambil alih kendali pasukan Bhayangkara. Persiapkan semua sejak
sekarang, dan besok kalian akan menerima berita terkait apa yang terjadi
pada Ibu Suri." Senopati Haryo Teleng, Senopati Panji Suryo Manduro, dan
Senopati Gagak Bongol siap melaksanakan perintah itu. Namun, masih
ada bagian yang memancing rasa ingin tahu berkaitan dengan tamu
yang akan datang. Tiga orang senopati itu sama sekali tidak memiliki
keterangan soal tamu yang disebut akan datang.
"Soal tamu, siapa tamu yang akan datang sehingga kita harus
melakukan geladi segelar sepapan?"
" Segelar sepapan dan berkekuatan penuh!" tambah Gajah Mada.
"Siapa tamu itu, Kakang Gajah?" tanya Gagak Bongol.
Gajah Mada bertolak pinggang.
"Pada saat ini, di Ujung Galuh tengah sandar sekitar sepuluh kapal
besar yang datang dari Swarnabhumi. Saudara sepupu mendiang Prabu
Jayanegara yang bernama Aditiawarman dengan seribu orang prajurit
akan datang bertamu. Kita sambut kehadiran mereka dengan tontonan
yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya. Besok akan kita gelar
geladi Cakrabyuha!"168
Para senopati itu terkejut.
"Aditiawarman datang bertamu dengan pengawalan sedemikian
banyak?" Gajah Mada masih menampakkan wajah beku.
"Mereka datang membawa sepuluh kapal besar yang masing-masing
kapal bisa memuat seratus orang. Kalau sepuluh kapal besar yang datang,
bukankah jumlah mereka mungkin seribu?"
168 Cakrabyuha, Jawa Kuno, Cakrabyuha, Diradameta, Supit Urang, Pasir Wutah, dan sebagainya merupakan taktik perang yang bersumber pada kitab Mahabarata
282 Gajah Mada "Mereka bertamu atau berniat menyerbu?" Senopati Haryo Teleng
meletup. Pertanyaan itu sejatinya mengusik rasa curiga Gajah Mada. Namun,
Gajah Mada punya kenangan yang baik tentang sosok macam apa
Aditiawarman. Ia saudara sepupu mendiang Prabu Sri Jayanegara.
Ia pernah datang setahun sebelum Sri Jayanegara terbunuh. Dalam
perkenalan itu, Aditiawarman menjadi sahabat yang baik baginya,
teman berbincang dan bertukar wawasan yang menyenangkan.
Kedatangannya kali ini tentulah karena berniat berkunjung. Terlalu dini
untuk berprasangka buruk.
"Kedatangannya aku yakin hanya untuk bertamu!" kata Gajah Mada.
"Oleh sebab itu, kita harus menempatkan diri menjadi tuan rumah yang
baik. Menurut perhitunganku, mereka akan berangkat dari Ujung Galuh
pagi. Dengan demikian, kita bisa memperkirakan pada tabuh berapa
mereka akan sampai."
Kedatangan tamu dari Swarnabhumi akhirnya menjadi bagian yang
juga penting untuk dibicarakan di sela mengupas habis langkah apa yang
harus dilakukan menyikapi gerakan yang dilakukan orang-orang Keta
yang akan melakukan makar. Ketika tidak ada lagi hal yang dibicarakan,
pertemuan empat orang perwira itu pun berakhir.
Senopati Panji Suryo Manduro dan Senopati Haryo Teleng kembali
ke bangsal kesatrian masing-masing dengan berkuda. Gajah Mada dan
Senopati Gagak Bongol memilih berjalan kaki. Dua orang prajurit
berpangkat rendahan ditugasi menuntun kuda mereka.
"Ada sebuah hal yang masih mengganjal hatiku, Kakang Gajah Mada,"
berkata Gagak Bongol. "Masalah apa?" balas Gajah Mada.
"Semua kejadian tidak masuk akal mulai petang hingga tengah
malam tadi, bagaimana menurut Kakang Gajah" Penjelasan bagaimana
yang bisa dipergunakan supaya kejadian itu bisa masuk akal dan diterima
nalar?" Hamukti Palapa 283 Gajah Mada tidak seketika menjawab. Jika Gagak Bongol merasa
penasaran oleh rangkaian peristiwa yang membingungkan itu, terlebih-
lebih dengan dirinya. "Soal maling menggunakan kemampuan sirep, menurutku itu tak
lebih dari olah batin yang diasah secara terus-menerus sehingga orang
yang menghayatinya sebagai sebuah ilmu, sebut saja ilmu maling atau
ilmu sirep atau apa pun namanya, bisa memanfaatkan untuk mengusik
rasa kantuk," kata Gajah Mada.
Gagak Bongol menyimak pendapat itu dengan penuh minat.
"Apakah kira-kira begitu?"
"Kurasa!" jawab Gajah Mada.
"Lalu, bagaimana dengan kabut tebal yang turun itu, lalu muncul
angin lesus, lalu mereka menghilang dari kepungan yang demikian rapat?"
tanya Gagak Bongol lagi. Kemunculan semua hal yang dipersoalkan Gagak Bongol memang
membingungkan dan seolah terjadi karena ada yang menciptakan.
"Sebenarnya tak ada yang aneh dengan semua kejadian itu," kata
Gajah Mada. Bukankah kita sudah sering mengalami disergap kabut.
Istana Majapahit berada tidak jauh dari gunung-gunung, di depan mata
kita ada Anjasmoro, ada Welirang. Pergolakan udara di gunung-gunung
itu bisa berpengaruh sampai ke tempat ini. Jadi, apa anehnya" Bahkan,
sampai terjadi pusaran angin lesus seperti tadi, apa anehnya?"
Senopati Gagak Bongol mengalami kesulitan menerima. Kata
hatinya menyebut adanya campur tangan entah siapa dalam semua
kejadian itu, yang hadir dan bergerak jelas untuk menyelamatkan
mereka yang terjebak. Kemunculan kabut dan beliung mungkin bisa
terjadi di mana saja dan kapan saja, tetapi bisa jadi para maling yang
tersudut itu punya kemampuan mengendalikan beberapa ilmu, seperti
mengendalikan ilmu sirep dan menghadirkan kabut. Terbukti, ketika
kabut itu menyibak, mereka pun lenyap dari gedung pusaka.
"Bongol," kata Gajah Mada.
284 Gajah Mada "Ya?" balas Gagak Bongol.
"Berpikirlah menggunakan nalar, jangan berpikir hal-hal yang tidak
masuk akal. Sebenarnyalah banyak kejadian aneh di dunia ini, yang pasti
bisa ditelusuri menggunakan akal. Demikian pula dengan kejadian tadi.
Anggap saja apa yang terjadi itu kebetulan yang luar biasa."
Bongol tak sependapat dengan cara pandang Gajah Mada. Namun,
Gagak Bongol tak ingin berdebat dengan pimpinannya itu.
"Pertanyaan dan rasa penasaranmu itu mengingatkanku pada sebuah
hal. Aku berikan perintah tambahan untuk kaulaksanakan. Cobalah
kausalurkan tugas kepada anak buahmu untuk melacak jejak dan mencari
semua keterangan terkait dengan orang-orang yang dulu membantu
Tuanku Baginda Sri Kertarajasa Jayawardhana. Siapa saja mereka dan di
mana sekarang mereka tinggal, siapa yang masih hidup dan siapa pula
yang sudah mati. Agaknya, untuk menemukan jawab sepak terjang Kiai
Wirota Wiragati, kita harus bertanya kepada orang-orang yang pernah
bersinggungan secara langsung dengan orang itu."
Senopati Bhayangkara Gagak Bongol mencerna perintah itu dengan
baik dan berusaha memahami latar belakang dan pertimbangan macam
apa sampai Gajah Mada menjatuhkan perintah itu.
"Baik, Kakang!" jawab Gagak Bongol.
"Dua kali istana dibobol maling yang agaknya secara samar kita
menangkap ada kaitannya dengan orang-orang yang mendukung Raden
Wijaya di masa silam. Untuk bisa mengetahui bagaimana cara berpikir
orang macam Kiai Wirota Wiragati, mungkin perlu mendengar apa
pendapat teman-temannya. Kalau tidak salah, ada nama Pamandana,
Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Gajah Pagon, dan sebagainya.
Himpun segala keterangan sebanyak-banyaknya terkait dengan semua
nama itu," lanjut Gajah Mada.
Nama-nama yang disebut oleh Gajah Mada itu adalah nama-nama
yang menggetarkan. Nama-nama yang telah melegenda dan sudah lama
raib bagai ditelan bumi. Sudah lama muncul pertanyaan, ke mana dan
di mana mereka sekarang, siapa yang masih hidup dan siapa pula yang
Hamukti Palapa 285 sudah mati. Kalau masih hidup, di mana mereka tinggal. Sebaliknya,
kalau sudah mati, di mana pula kuburnya.
Sebagian dari mereka ada yang langsung raib setelah Majapahit
berdiri. Akan tetapi, ada pula yang lenyap setelah perang menggempur
benteng Pajarakan, sebagian lain lenyap sejak penyerbuan ke Tuban.
"Agaknya aku harus menanyai Ibu Suri Gayatri!" jawab Gagak
Bongol. "Ya, kita menghadap bersama!" balas Gajah Mada.
19 M alam telah melampaui puncaknya dan bergulir mendekati
wilayah dini hari. Waktu yang terus bergerak sebagaimana kodratnya
itu menyajikan ruang yang gerah bagi siapa pun. Segenap penduduk,
terutama yang berada dalam dinding batas kotaraja dan wilayah di
luarnya, yang semula terpengaruh kekuatan yang merangsang kantuk,
semua terjaga dan merasakan udara yang tidak menyenangkan. Semua
orang keluar dari dalam rumah dan sibuk membicarakan atau mencari
tahu apa yang terjadi. Di langit, bintang-bintang gemerlapan dengan gugusan bima sakti
terlihat jelas. Malam yang kering menyebabkan jerit terdengar menyayat
dari ketinggian yang berasal dari mulut cataka yang kehausan. Selebihnya
adalah suasana yang tidak menentu dan membingungkan.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya seseorang.
Pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang penduduk yang bergabung
dengan orang-orang yang telah berkumpul menggerombol lebih dulu.
286 Gajah Mada "Kamu baru bangun?" jawab salah seorang dari mereka yang
berkumpul di tepi jalan itu.
"Ya," jawab orang yang baru bergabung itu.
"Kami semua belum ada yang tahu," jawab seorang yang lain. "Kami
justru akan bertanya kepadamu!"
Orang yang baru bergabung itu bingung.
"Kenapa malah akan bertanya kepadaku?"
"Bukankah kau baru saja bangun dari tidur?" jawabnya. "Mungkin
kamu sudah tahu jawabnya yang kauperoleh dari mimpi!"
Orang-orang yang yang berkumpul lebih dulu itu tertawa karena
menganggap geli. Namun, dengan segera mulut mereka terbungkam
ketika terdengar derap kuda di kejauhan. Menilik suaranya, derap kuda
itu jelas berasal dari lebih dari seekor kuda, mungkin berasal dari tiga
atau bahkan lima ekor kuda.
Apa yang dilakukan penduduk yang baru bangun tidur itu
mengagetkan para tetangganya. Orang itu mencabut obor dan mengayun-
ayunkannya sebagai isyarat agar orang-orang berkuda itu berhenti. Orang-
orang yang berkumpul lebih dulu terkejut, tetapi terlambat.
"He, apa yang kaulakukan itu?" tanya salah seorang dengan cemas.
Rombongan berkuda yang melihat isyarat obor yang diayun-ayunkan
itu berhenti dan terlihatlah dengan jelas ternyata mereka rombongan
prajurit. Dari selempang yang mereka pakai, juga dari senjata yang mereka
bawa berjenis tombak bergagang panjang, dapatlah diketahui mereka
bukan dari pasukan Bhayangkara.
"Ada apa?" tanya pimpinan prajurit itu.
"Namaku Rangga Paniti, Tuan," jawab penduduk yang memegang
obor itu. "Jika boleh kami mengetahui, kami ingin bertanya, sebenarnya
apa yang terjadi" Barangkali ada yang bisa kami lakukan untuk
membantu" Apakah ada kaitannya dengan ulah pembuat onar yang
terjadi kemarin siang, Tuan?"
Hamukti Palapa 287 Rombongan prajurit itu merasa senang dan berkenan pada tawaran
bantuan yang ditawarkan oleh penduduk yang rupanya merasa ikut
memiliki tanggung jawab terhadap keamaan dan ketenteraman.
"Kau benar, Kisanak semuanya," jawab pimpinan prajurit itu.
"Mereka pelakunya. Orang-orang yang berbuat onar itu telah berani
memasuki benteng istana dan mencuri benda-benda pusaka. Semua
terdiri atas lima orang dan masing-masing sangat berbahaya. Jika mereka
kalian pergoki lewat sini, segera beri isyarat kentongan."
Para penduduk itu menyimak dengan baik.
"Benda berharga apa saja yang dicuri, Tuan?" tanya Rangga Paniti
sekali lagi. "Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan benda apa saja yang dicuri.
Yang jelas, para maling itu telah memasuki gedung pusaka."
Keterangan yang diberikan oleh prajurit itu mengagetkan. Seorang
penduduk yang berdiri di sebelah Rangga Paniti maju dan ikut memegang
obor. "Tetapi, bagaimana yang demikian bisa terjadi, Tuan?" tanya
penduduk itu. "Jika tidak salah penalaranku, bukankah istana telah dijaga
demikian ketat" Bhayangkara telah memagari istana sampai semut pun
tak bisa masuk?" Para prajurit itu saling pandang. Oleh alasan yang tak jelas mengapa,
mereka tiba-tiba tertawa bergelak-gelak.
"Pendapatmu bagus, Kisanak. Kalau boleh kami tahu, siapa
namamu?" "Namaku Suro Bugang, Tuan. Panggilanku Bugang," jawabnya.
Jawaban itu rupanya malah membuat para prajurit merasa geli.
"Kamu dipanggil dengan nama Bugang, apakah sebagian gigimu
ada yang sudah tanggal?"
Tak hanya para prajurit yang tertawa, para penduduk yang
mendengarkan juga ikut tertawa.
288 Gajah Mada "Tuan benar. Sejak aku kehilangan dua gigi depanku karena terpeleset
dan jatuh terantuk batu, namaku yang semula Suro Manggolo berubah."
Beberapa tawa masih belum larut.
"Pendapatmu benar, Kisanak Suro Manggolo, bahwa terasa aneh
istana Majapahit yang demikian megah dan dipagar betis oleh pasukan
khusus Bhayangkara ternyata bisa dibobol maling. Itu bukti kebesaran
pasukan khusus yang digembar-gemborkan selama ini ternyata omong
kosong belaka. Kelebihan pasukan Jalapati adalah kemampuannya dalam
pasang gelar perang terbuka. Jika pasukan Jalapati menggelar Cakrabyuha,
tak akan ada kekuatan mana pun yang mampu menandinginya.
Sementara itu, kelebihan pasukan Sapu Bayu adalah dalam menggelar
Diradameta. Jika Sapu Bayu telah menjelma menjadi gajah mengamuk,
tak ada kekuatan apa pun yang mampu menghadangnya. Sementara itu,
kelebihan dari pasukan Bhayangkara adalah bagaimana mereka membual.
Jika pasukan Bhayangkara membual, tak ada pasukan dari kesatuan mana
pun yang bisa menghadang dan menandingi."
Jika para penduduk yang memperoleh jawaban itu bingung,
sebaliknya para prajurit itu tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudah, Kisanak penduduk semua. Kami minta pamit, kami harus
melanjutkan perjalanan kembali."
Rangga Paniti melambaikan tangan sebagai ucapan selamat jalan.
"Jangan lupa namaku Rangga Paniti, Tuan. Jika Tuan bisa
membantu, aku ingin menjadi prajurit. Jika Tuan tidak keberatan,
bolehkah aku menemui Tuan?"
Para tetangganya terheran-heran melihat Rangga Paniti terlampau
berani. Akan tetapi, pimpinan prajurit itu merasa senang.
"Temui saja aku, namaku Ra Kembar! Kalau kamu ingin menjadi
prajurit, aku akan membantumu. Kebetulan saat ini Majapahit sedang
membutuhkan banyak prajurit."


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pimpinan serombongan prajurit yang bernama Ra Kembar itu
menarik kendali kudanya sekaligus memberi isyarat kepada para anak
Hamukti Palapa 289 buahnya untuk berpacu. Dengan tulus para penduduk melambaikan
tangan memberi ucapan selamat jalan.
Rangga Paniti mengikuti bayangan orang-orang berkuda itu sampai
lenyap tidak terlihat lagi bayangannya. Dengan bangga, Rangga Paniti
tersenyum, seolah keinginannya untuk menjadi prajurit sudah berada
dalam genggaman tangannya. Seorang prajurit bernama Ra Kembar
telah berjanji akan membantunya menjadi seorang prajurit. Pada suatu
ketika kelak, ia akan datang menemui dan menagih janji.
"Jadi, kamu ingin melamar menjadi prajurit?" tanya tetangganya.
"Ya!" jawab Paniti.
"Dengan tubuh kurus dan akan meliuk meski hanya ditiup angin,
apakah mungkin kau bisa menjadi seorang prajurit?"
"Lihat saja nanti. Aku akan menjadi prajurit Bhayangkara. Soal
tubuh kurus, mulai sekarang aku akan makan banyak. Mulai dari sekarang
hati-hati menjaga pawon.169 Siapa tahu aku akan menyelinap. Kalau aku
sudah menjadi prajurit Bhayangkara, bahkan Kang Martawuda pun
akan kutantang gelut! Aku tak akan takut lagi, para penduduk pun tak
perlu takut lagi" "Kok, Martawuda" Martayuda!"
"Orang sombong penyakit masyarakat seperti itu layak disebut
Martawuda, bukan Martayuda. Ia gemar wuda,170 bukan yuda!"171
Soal Martawuda, para tetangga sependapat, nama aslinya memang
Martayuda, tetapi kegemarannya mengganggu istri orang menyebabkan
nama itu diubah banyak orang tanpa diselenggarakan selamatan jenang
abang.172 "Tetapi, orang yang kaumintai bantuan tadi bukan orang Bhayangkara.
Mereka, bahkan kurang begitu suka dengan pasukan Bhayangkara."
169 Pawon, Jawa, dapur 170 Wuda, Jawa, telanjang
171 Yuda, Jawa, perang atau berkelahi
172 Jenang abang, Jawa, bubur merah
290 Gajah Mada "Tidak menjadi prajurit Bhayangkara tak apa-apa, asal menjadi
prajurit," jawab Rangga Paniti dengan sigap.
Namun, tidak semua penduduk seberuntung Rangga Paniti dan
para tetangga yang memperoleh jawaban atas rasa penasaran mereka.
Di tempat lainnya, para penduduk bahkan mengunci pintu dengan rapat
dibelit rasa ketakutan yang amat sangat. Itu karena mereka tak bisa
melupakan apa yang terjadi di siang sebelumnya, ketika serombongan
orang membuat onar, membakar rumah tanpa alasan yang jelas, dan
membunuh. Duduk persoalan yang sebenarnya masih belum jelas. Di halaman
istana Ibu Suri Gayatri makin banyak berkumpul para prajurit yang
ingin mendengar berita apa yang akan keluar dari pintu yang masih
tertutup. Di kursi seadanya, Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani duduk berdampingan dengan suaminya. Demikian
pula tak jauh di depannya, Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
tak berbicara apa pun. Mahapatih Arya Tadah duduk dengan kursi
disandarkan ke dinding dan kaki diselonjorkan. Sementara itu, Gajah
Mada berdiri membeku di halaman, menyendiri. Senopati Gagak Bongol
melakukan hal serupa tanpa bicara.
Jika ada orang yang mondar-mandir mencermati keadaan dan
mencatat semua yang dilihat dan dirasakan ke dalam benak, untuk pada
suatu saat kelak akan menuangkannya ke atas rontal adalah Pancaksara
yang baru saja pulang dari kegemarannya menempuh perjalanan
melanglang buana. Di sudut halaman, berada di bayang-bayang pohon kesara, tampak
Dharmadyaksa Kasogatan Samenaka sedang berbicara dengan pejabat
penanggung jawab kehidupan umat beragama Siwa, Dharmadyaksa
Kasaiwan. Menyebar memenuhi semua sudut halaman, para prajurit
melaksanakan tugasnya. Namun, mereka menumpuk dalam jumlah yang
banyak lebih didorong oleh rasa ingin tahu yang sama. Kemunculan
Hamukti Palapa 291 sirep membuat mereka penasaran, kemunculan kabut lebih membuat
mereka merasa penasaran, disusul munculnya pusaran angin yang
mengisap kabut dan lenyapnya Ibu Suri Gayatri, semua itu lebih
membuat penasaran. Apalagi, semua itu masih disempurnakan dengan
hilangnya mahkota yang biasa dipakai oleh raja. Hanya karena raja kali ini
seorang perempuan, mahkota itu disimpan di gedung perbendaharaan
pusaka. "Kamu melihat Gajah Mada?" berbisik Mapatih Arya Tadah kepada
seorang prajurit yang berjalan melintas.
"Ada, Mahapatih!" jawab prajurit itu. "Apakah sebaiknya aku
panggilkan supaya menghadap Mahapatih?"
"Jangan!" jawab Mahapatih Arya Tadah. "Tetapi, di mana ia?"
"Di halaman!" jawab prajurit itu.
Mahapatih berdiri dan berjalan dengan agak tertatih dibantu oleh
prajurit yang semula menjawab pertanyaannya. Gajah Mada berdiri
melihat Mapatih Arya Tadah dituntun mendekati dirinya. Gajah
Mada bergegas melepas selimut yang dikenakan dan diserahkan untuk
membalut tubuh Arya Tadah.
"Tinggalkan kami berdua!" kata Arya Tadah.
"Baik, Ki Patih," jawab prajurit itu.
Gajah Mada menuntun Mahapatih Arya Tadah pindah dari tempat
itu karena ada banyak prajurit yang bisa mendengar pembicaraan mereka.
Lebih dari itu, Mahapatih Arya Tadah yang sudah tua itu membutuhkan
tempat duduk. Di emper bangunan yang berseberangan dengan gedung
perbendaharaan pusaka, Gajah Mada dan Mahapatih Arya Tadah duduk
berdampingan. "Ada sesuatu yang akan Paman ceritakan kepadaku berkaitan
dengan orang-orang yang mencuri mahkota itu?" tanya Gajah Mada
langsung ke persoalan. Empu Krewes menoleh dan memerhatikan raut muka Gajah Mada
yang samar-samar tersapu cahaya obor.
292 Gajah Mada "Kau tak sabar ingin mengetahui persoalan itu?"
"Ya!" jawab Gajah Mada sigap.
"Akan aku ceritakan, tetapi sebelumnya ada persoalan lain yang
perlu aku sampaikan dan aku merasa kini telah tiba saatnya."
Gajah Mada merasa heran karena rupanya ada persoalan yang oleh
Empu Krewes dirasakan lebih penting.
"Persoalan apa, Paman?" tanya Gajah Mada.
"Aku telah mengajukan permohonan untuk lengser kepada kedua
Prabu Putri dan dikabulkan. Mulai pekan depan, aku sudah tidak akan
menjabat Mahapatih lagi," jawab Arya Tadah.
Gajah Mada terkejut. Untuk beberapa saat lamanya, Gajah Mada
dibelit pesona dan tidak mampu berbicara. Gajah Mada bahkan bangkit
dari duduknya dan menatap wajah Empu Krewes seolah baru pertama
kali melihatnya. "Paman akan lengser dari jabatan?" ulang Gajah Mada.
"Benar!" jawab Arya Tadah. "Aku sudah tua dan ingin beristirahat.
Aku merasa, kini sudah tiba waktunya bagiku untuk turun dari jabatanku
sekarang." Apa yang disampaikan Mahapatih Arya Tadah itu dengan segera
memunculkan pertanyaan atas siapa penggantinya" Meskipun demikian,
Gajah Mada tak mampu mengungkapkannya melalui bahasa lisannya.
"Oleh karena itu, bersiap-siaplah untuk memangku jabatan itu,
menggantikan aku menjadi mahapatih yang baru, Mahapatih Gajah
Mada!" Gajah Mada mendadak merasa punggungnya bagai dirambati
oleh ratusan ekor semut. Namun, dengan segera Gajah Mada berusaha
menguasai diri dan menghapus semua kesan dari permukaan wajahnya.
Apa yang kemudian terlontar dari mulut Gajah Mada adalah suara yang
bergetar dan ditahan. "Paman telah memutuskan untuk lengser dari jabatan dan
menunjukku menjadi pengganti, Paman?" tanya Gajah Mada.
Hamukti Palapa 293 "Ya!" jawab Arya Tadah.
Gajah Mada tak tahu apakah ia harus merasa jengkel berhadapan
dengan Mahapatih Arya Tadah yang tidak membicarakan masalah
penunjukan itu dengannya.
"Mengapa Paman tidak membicarakan lebih dulu denganku?" tanya
Gajah Mada lagi. Arya Tadah tersenyum melihat Gajah Mada bagai menahan
gejolak. "Apakah menurutmu ada yang salah dengan keputusan yang aku
ambil itu" Aku sudah tua dan merasa kemampuanku sudah menurun.
Aku tak melihat sosok yang layak menggantikan aku kecuali dirimu.
Oleh karena itulah, aku telah menyampaikan kepada kedua Prabu Putri
permohonan untuk beristirahat sekaligus mengajukanmu sebagai calon
penggantiku. Permohonan itu dikabulkan."
Udara yang hening oleh Gajah Mada dirasakan bergetar.
"Bagaimana sikapmu?" tanya Mapatih Arya Tadah.
Gajah Mada melangkah mondar-mandir.
"Aku merasa belum pantas, Paman. Menurutku, beberapa tahun
ke depan, Paman Empu Krewes masih layak mengemban jabatan itu.
Aku merasa belum siap dan belum pantas untuk mengemban jabatan itu.
Lebih dari itu, mengapa harus aku" Apakah tidak ada sosok lain selain
aku" Di samping aku, masih ada orang-orang di Kementerian Katrini,
masih ada Mahamenteri Hino Dyah Janardana, Mahamenteri Sirikan
Dyah Mano, lalu masih ada Mahamenteri Halu Dyah Lohak. Belum lagi
orang-orang yang lebih wredha daripada aku.
Aku juga melihat ada beberapa orang di Panca Ri Wilwatikta yang
layak. Di barisan para Uppapati juga banyak nama yang amat layak untuk
dipertimbangkan. Di barisan pimpinan prajurit, masih ada Senopati
Panji Suryo Manduro yang pengabdian serta sepak terjangnya dalam
membela negara tidak perlu diragukan lagi, sebagaimana di Jalapati ada
Senopati Haryo Teleng. Akan timbul pergolakan yang luar biasa jika
294 Gajah Mada Paman mengajukan aku. Aku merasa masih belum pantas menduduki
jabatan yang Paman tinggalkan."
Arya Tadah menggeleng. "Apa yang telah diputuskan oleh kedua Prabu Putri itu sudah harga
mati, Gajah Mada! Dan, aku tidak melihat sosok mana pun yang pantas
menggantikanku. Kau telah banyak membuat jasa. Sepak terjangmu
telah mengantarkan kembali kekuasaan ke jalur yang benar, baik ketika
kauselamatkan mendiang Prabu Sri Jayanegara ke Bedander maupun
ketika Ibu Suri Gayatri kebingungan dalam memilih, apakah Sri Gitarja
atau Dyah Wiyat yang harus diangkat menjadi Prabu Putri. Lebih dari
itu, di keprajuritan kau berada di tempat paling dituakan, tak ada lagi
yang berada di atasmu," lanjut Mahapatih Arya Tadah.
Namun, Gajah Mada juga punya kekukuhan hati. Di depan mata,
ia melihat sebuah persoalan yang sangat mendesak untuk ditangani,
bahkan bagai tak bisa ditunda lagi.
"Belum harga mati, Paman!" jawab Gajah Mada tangkas. "Aku
minta Paman Arya Tadah kembali menghadap Prabu Putri untuk
membatalkannya. Persoalan Keta dan Sadeng saat ini sedang berada di
depan mata dan sangat membutuhkan perhatianku. Jika aku berada di
kursi yang saat ini Paman lenggahi,173 aku harus mengurus wilayah yang
lebih melebar. Sedangkan sebaiknya aku harus mengerucut memusatkan
perhatian pada rencana makar yang akan dilakukan Keta dan Sadeng,
yang membutuhkan keterlibatanku secara langsung, mungkin dengan
berada dan terjun langsung di tempat itu."
Arya Tadah memerhatikan wajah Gajah Mada. Cahaya obor yang
temaram tidak mampu menerangi wajah laki-laki bertubuh kekar itu
dengan cukup jelas sehingga tidak bisa dibaca bagaimana raut mukanya.
"Jadi, menurutmu belum waktunya?"
"Belum, Paman!" jawab Gajah Mada.
"Tetapi, kamu tidak keberatan menduduki jabatan itu?"
173 Lenggahi, Jawa, dari kata dasar lenggah, artinya duduk/duduki
Hamukti Palapa 295 Gajah Mada tidak segera menjawab.
"Ayolah, Gajah Mada," kata Arya Tadah, "cobalah jujur kepada
dirimu sendiri. Yang aku ketahui dan aku rasakan selama aku menjadi
prajurit adalah nafsuku untuk selalu menjadi yang terbaik dan meraih
keadaan yang lebih baik, bisa itu di pangkat atau jabatan. Pada saat kau
seorang prajurit rendahan, angan-anganmu adalah bagaimana kamu bisa
meraih kedudukan yang lebih tinggi. Ketika kau berada di pangkat lurah
prajurit, kau pun berangan-angan untuk bisa meraih jabatan lebih tinggi
dengan pangkat senopati, lalu temenggung, pasangguhan, dan seterusnya.
Maka, jika kau jujur, kedudukan mahapatih sebenarnya berada di angan-
anganmu, bukan?" Gajah Mada tidak mengelak dengan menggeleng. Apa yang
disampaikan Arya Tadah benar dan tidak ada gunanya bersikap seolah-
olah tidak pernah berangan-angan menduduki jabatan itu.
"Karena keberhasilanmu yang luar biasa, kau meraih jabatan cukup
tinggi tanpa harus melampaui tataran yang semestinya, dengan menjadi
patih di Kahuripan dan patih di Daha, menjadi pelaksana pemerintahan
para sekar kedaton saat itu. Tidak inginkah kau meraih jabatan yang
lebih tinggi lagi, berada di puncak yang bisa kau raih dengan menjadi
mahapatih amangkubumi" Jujurlah!"
Pertanyaan yang dilontarkan Arya Tadah dan semua kilahnya
memaksa Gajah Mada harus mengakui kebenarannya. Bahwa menjadi
mahapatih yang berarti berada di jabatan kedua setelah raja, sungguh
bohong besar jika ia tidak membangun mimpi mendapatkan jabatan itu.
Sekarang tawaran itu bahkan telah berada di depan mata, tinggal menerima
belaka. Jika itu yang ia lakukan, sejak pekan depan ia akan menyandang
jabatan yang sangat terhormat, mahapatih amangkubumi.
"Cepat atau lambat, jabatan itu memang akan jatuh kepadaku karena
aku tak melihat sosok siapa pun yang pantas menduduki jabatan itu
kecuali aku!" kata Gajah Mada dalam hati.
Namun, apa yang terucap berbeda warna dari apa yang berada dalam
hatinya. 296 Gajah Mada "Apakah menurut Paman, tidak ada lagi orang lain yang layak
dipertimbangkan untuk menduduki jabatan itu?" tanya Gajah Mada.
"Menurutmu, siapakah yang punya kepantasan yang kaumaksud"
Yang memiliki kelayakan yang disyaratkan?"
Hening yang lewat adalah dalam rangka memberi keleluasaan bagi
Gajah Mada untuk berpikir. Gajah Mada memiliki cita-cita yang tinggi.
Jauh ke depan, ia mempunyai angan-angan yang ingin ia wujudkan.
Namun, bagaimana ia bisa mewujudkan mimpi dan angan-angannya
jika tidak didukung kekuasaan.
"Aku bersedia, Paman, tetapi aku minta waktu. Tolong Paman Arya
Tadah bisa memahami."
Arya Tadah menyimak, tetapi Gajah Mada tidak melanjutkan kata-
katanya.

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagian mana yang harus aku pahami?" tanya Arya Tadah.
Gajah Mada kembali melangkah mondar-mandir dan kemudian
berhenti tepat di hadapan Empu Krewes yang menyimak dengan
cermat. "Belum banyak jasa dan pengabdian yang aku berikan, Paman.
Apalagi, jika dibandingkan itu dengan jabatan yang aku emban. Oleh
karena itu, mohon jangan dulu. Ke depan, aku masih harus menyelesaikan
persoalan yang timbul di Keta karena Ma Panji Keta174 sedang berulah.
Di Sadeng, Adipati Sadeng juga bikin masalah. Andai dua persoalan itu
bisa aku selesaikan dengan tuntas, apalagi sekarang Majapahit sedang
diganggu oleh persoalan yang perlu penuntasan, jika masalah-masalah
itu selesai, barulah layak kiranya aku menerima anugerah jabatan itu."
Empu Krewes mengunyah permohonan itu, lalu menimbang
menggunakan cara pandang Gajah Mada dan berusaha memahaminya.
Mahapatih Arya Tadah tersenyum dan manggut-manggut.
174 Ma Panji Keta, nama ini fiktif ciptaan penulis. Meski Keta dan Sadeng disebut-sebut melakukan pemberontakan di zaman pemerintahan Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Rajadewi Maharajasa, dari penelusuran berbagai literatur, penulis belum menemukan nama-nama penguasa di dua wilayah itu.
Hamukti Palapa 297 "Begitu?" "Benar, Paman," jawab Gajah Mada.
Mahapatih Arya Tadah menimbang dan mengunyah beberapa sisi
di balik apa yang diinginkan Gajah Mada.
"Mungkin pertimbanganmu benar," kata Arya Tadah. "Di pasewakan
pasti akan ada banyak orang yang berteriak saat kau diwisuda menjadi
mahapatih karena ada banyak pihak yang merasa kamu terlalu muda
untuk mengemban jabatan dan kedudukan itu. Padahal, menurutku
usia bukanlah hal yang penting, tetapi kemampuanlah yang penting.
Kau telah menjabat patih wilayah dua kali. Kedua Tuan Putri itu pernah
kaudampingi dan merasa sangat puas dengan pekerjaan dan pengabdian
yang kauberikan. Jadi, tidak aneh kalau dengan kamu menjadi mahapatih, kedua Prabu
Putri akan merasa sreg dan cocok. Kau pun sekarang menjabat patih
Majapahit meski belum patih utama dan amangkubumi. Kau memiliki
perbendaharaan pengalaman yang cukup dan memadai untuk menduduki
jabatan sebagai patih utama. Namun, jika kau merasa perlu melengkapi
perbendaharaan pengalamanmu dengan meredam pemberontakan Keta
dan Sadeng lebih dulu, aku tak keberatan. Aku akan sabar menunggu
dan akan aku sampaikan hal itu kepada Prabu Putri Sri Gitarja dan
Dyah Wiyat." Gajah Mada mengangguk. "Semoga para Prabu Putri berkenan. Akan tetapi, jika para Prabu
Putri tidak sependapat dan berkehendak lain, kamu tak bisa menolak
dari jabatan itu," Empu Krewes menambah.
Kembali Gajah Mada mengangguk tegas. Namun, jika benar
sebagaimana yang disampaikan oleh Mahapatih Arya Tadah, Gajah
Mada merasa siap dan sanggup melaksanakan tugas berat itu. Dalam
hatinya, Gajah Mada banyak menyimpan gagasan dan mimpi, terutama
kaitannya dengan masa depan Majapahit.
Gagasan dan mimpi itu tak mungkin diraih tanpa kekuasaan.
Dengan kekuasaan di tangannya, mimpi tentang Nusantara yang tak
298 Gajah Mada hanya sebatas Dwipantara sebagaimana dulu pernah digagas Sang Prabu
Kertanegara, akan bisa diupayakannya. Berbagai pulau dan negara yang
membentang dari timur tempat matahari muncul dan di barat tempat
matahari tenggelam akan bisa disatukan.
Seorang prajurit berjalan melintas, Gajah Mada segera melambaikan
tangan. "Ibu Suri sudah membuka pintu biliknya?" tanya Gajah Mada.
"Belum, Ki Patih," balas prajurit itu.
"Ya, sudah. Tolong beri tahu aku jika Ibu Suri Gayatri sudah
membuka pintu biliknya."
"Baik! Aku laksanakan, Ki Patih!" jawab prajurit itu.
Gajah Mada merasa telah tiba waktunya untuk bertanya hal-hal
yang berkaitan dengan Kiai Wirota Wiragati. Namun, Mahapatih Arya
Tadah mendahului. "Ada lagi sebuah saran untukmu, Gajah Mada. Sebuah hal yang
aku lihat kau tidak memerhatikan atau mengabaikan."
Gajah Mada mengerutkan kening.
"Soal apa, Paman?" tanya Gajah Mada yang merasa heran.
Dalam menyampaikan persoalan terakhir itu, Mahapatih Arya
Tadah jelas sedang menyembunyikan senyumnya. Namun, Gajah Mada
mampu membacanya. "Menurut pendapatku, boleh dibilang kamu terlambat untuk
memiliki istri. Jika tidak kausempatkan untuk berumah tangga, kelak
ketika kamu punya anak, kamu sudah kakek-kakek. Itu sangat tidak
bagus." Persoalan yang disampaikan Mahapatih Amangkubumi itu sungguh
persoalan yang tidak terduga. Karena itu, Gajah Mada tak mampu
berbicara. "Pada umumnya, para pemuda sudah berumah tangga di usia
lebih dari dua puluh tahun. Para orang tua yang memiliki anak gadis
Hamukti Palapa 299 mulai berpikir mengawinkan anaknya di usia lima belas. Jika usia
gadis sudah lebih dari dua puluh tahun, tetapi masih belum bertemu
dengan jodohnya, orang tuanya akan panik kebingungan. Sebaliknya,
tidak demikian dengan para orang tua yang beranak laki-laki. Orang
tua tidak bingung ketika anak lelakinya sudah lebih dari tiga puluh,
bahkan empat puluh tahun belum juga bertemu dengan pendamping
hidupnya. Namun demikian, menurutku amat tidak baik kalau kamu
tidak segera berumah tangga, Gajah Mada! Aku lihat selama ini sepak
terjangmu selalu bergolak. Menurutku, harus ada seorang istri yang
mampu mengimbangi dan menjadi tempat menampung kegelisahanmu.
Apa yang menyebabkan selama ini kau belum berpikir berumah tangga,
belum sempat atau bagaimana?" 175
Hening yang lewat adalah hening yang sangat larut. Mapatih
Amangkubumi Arya Tadah merasa heran karena meski waktu telah
bergeser sedikit lama, lelaki muda dan perkasa di depannya masih belum
berbicara. "Sedikit terbukalah kepadaku, Gajah Mada!" kata Arya Tadah.
Gajah Mada meliukkan badan, sebuah cara untuk menyembunyikan
warna hati. Kesatria mantan pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu
terjebak dalam suasana hati jengah dan membingungkan. Beruntung
Gajah Mada karena malam yang gelap menutup dan menyembunyikan
wajahnya yang serasa menebal. Namun demikian, Mahapatih Arya Tadah
bisa membaca. "Apakah kamu sedang menyimpan rasa tertarik kepada lawan jenis"
Berbagilah denganku, Gajah Mada. Nanti aku yang akan mewakilimu,
bahkan menjadi wakil dari keluargamu untuk meminang gadis itu.
Siapa namanya, anak siapa, dan di mana gadis itu bertempat tinggal.
Ke ujung dunia sekalipun, Arya Tadah yang sudah tua renta ini pasti
175 Amat menarik ketika muncul pertanyaan, di mana tokoh sekaliber Gajah Mada dimakamkan, ternyata tak tersedia jawaban untuk pertanyaan itu karena semua sumber sejarah, termasuk Negarakertagama tidak menyebut. Demikian pula tak ada catatan apakah Gajah Mada memiliki istri. Sebagian ahli bahkan menduga Gajah Mada tidak beristri dan mengaitkannya dengan Sumpah Palapa. Di antara para ahli sejarah menduga, bagian dari isi Sumpah Palapa termasuk tidak menikah.
300 Gajah Mada akan mendatanginya dan meminangnya. Jika lamaran itu ditolak, Arya
Tadah akan menyiapkan pasukan berkekuatan segelar sepapan untuk
merampasnya untukmu."
Gajah Mada ternyata tidak tersenyum mendengar guyonan yang
dilepas Mahapatih Arya Tadah itu. Ketika yang dibicarakan adalah pilihan
hidup yang ia ambil dan telah diputuskan melalui pertimbangan dan
pengambilan keputusan yang tak mudah dilakukannya, raut muka Gajah
Mada tampak bersungguh-sungguh.
Amat perlahan Gajah Mada menggeleng. Ia lakukan itu dengan
amat yakin. Arya Tadah yang memerhatikan raut muka Gajah Mada di
bawah siraman cahaya obor, terheran-heran. Arya Tadah menyentuh
lengan pemuda itu. "Tidak ada sebuah nama pun dalam hatimu" Nama seorang gadis,
atau seorang janda yang menarik perhatianmu?" tanya Arya Tadah.
Gajah Mada kembali menggeleng, kali ini bahkan lebih tegas dan
penuh yakin. "Apakah selama ini belum terbersit keinginanmu untuk berumah
tangga?" bertanya Mapatih Arya Tadah lagi.
Betapa sulit menjawab pertanyaan itu, terlihat Patih Gajah Mada amat
bingung. Sesungguhnya, persoalan yang dilontarkan oleh Mapatih Arya
Tadah cukup lama menjadi renungannya. Ada beberapa orang prajurit
Bhayangkara yang menggoda dan berseloroh soal itu atau mengingatkan
dengan bersungguh-sungguh supaya Patih Gajah Mada jangan terlalu
larut dengan pekerjaannya, menyarankan supaya Patih Gajah Mada segera
memiliki seorang istri sebagai penyeimbang hidupnya. Bahkan, pertanyaan
dan saran itu juga datang dari Ibu Suri Gayatri dan Prabu Putri Sri Gitarja,
seharusnya Gajah Mada menyempatkan memikirkan urusan pribadinya
untuk segera beristri agar nantinya punya keturunan.
"Aku tidak akan menikah, Paman!" jawab Gajah Mada tegas.
Jawaban yang membuat Arya Tadah benar-benar terkejut.
"Mengapa" Ada hal yang menyebabkannya?"
Hamukti Palapa 301 Gajah Mada mengalami kesulitan menjelaskan.
"Mengapa, Gajah Mada?" ulang Mapatih Arya Tadah. "Apakah kau
memiliki cerita buram di masa silam, sebuah pengalaman buruk yang
menyebabkan kau memutuskan tak akan mengawini perempuan mana
pun" Ada perempuan yang telah mengecewakanmu dengan menolak
ajakanmu untuk menikah" Perempuan mana yang telah berbuat demikian
bodoh itu?" Meski perlahan, Gajah Mada ternyata menggeleng.
"Mengapa" Cobalah kaujawab, mengapa" Berilah aku penjelasan
yang paling mudah untuk memahaminya."
Gajah Mada tidak tersenyum, wajahnya tetap datar. Matanya yang
tajam menusuk mirip mata elang, luruh jatuh ke depan.
"Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika
aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan,
aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apa pun," jawab Gajah Mada.
Jawaban yang dilontarkan Gajah Mada benar-benar menyebabkan
Mapatih Arya Tadah terperanjat. Tak disangkanya, Gajah Mada akan
memberinya jawaban yang sangat aneh seperti itu, sebuah cara pandang
yang tidak lazim atau bahkan terasa berlebihan. Menganggap keberadaan
seorang istri sebagai pengganggu benar-benar berlebihan. Apa Gajah
Mada tak sadar, ia ada di dunia dengan terlahir melalui perempuan.
Ibunya seorang perempuan, neneknya juga seorang perempuan.
"Apa yang kamu nilai kurang pada sosok perempuan?" bertanya
Mahapatih Arya Tadah sambil berusaha tertatih berdiri.
Gajah Mada punya alasan untuk mengambil sebuah sikap dan ingin
menyimpan alasan itu sendiri, yang andaikata ia lontarkan keyakinan
itu, akan menyebabkan banyak orang akan tersinggung. Lebih-lebih,
jika yang mendengar itu kaum wanita. Mereka akan mencak-mencak.
Apalagi, jika kaum perempuan itu tahu, Gajah Mada menganggap mereka
hanya penghambat langkah para lelaki yang menyebabkan para lelaki
tidak perkasa dan perwira lagi.
302 Gajah Mada Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa,
membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari
tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan
tidak terikat oleh waktu.
Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan
wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan
pergi bertahun-tahun jika ia terikat oleh seorang istri, terikat oleh anak
atau keluarga. Negara yang di nginkan atas Majapahit adalah negara
yang sangat luas dan perkasa, membentang dari asal sang surya terbit
hingga ke tempat bagaskara terbenam, yang untuk bisa menggapainya
dibutuhkan otot-otot besar melingkar, kaki-kaki yang kukuh, dan dada
bidang, yang mampu mengesampingkan kepentingan pribadi demi
kepentingan yang jauh lebih besar.
Gajah Mada bahkan menggagas, mungkin dibutuhkan lebih
banyak lagi orang yang berani bersikap seperti dirinya, berani tidak
kawin sebagai landasan kerja keras mewujudkan Majapahit seluas
Nusantara, tidak hanya berkutat di wawasan Dwipantara atau sebatas
Jawa. Apalagi, yang hanya sebatas tanah Jawa di bagian tengah dan
timur. Untuk kejayaan Majapahit dibutuhkan pengorbanan. Gajah Mada
melihat, jika tak ada orang lain yang berani berkorban hingga tuntas, ia
yang akan melakukan. Ia akan memberi contoh yang kalau tak berhasil
mendorong orang lain melakukan hal yang sama, tak masalah hanya ia
sendiri yang berjalan melenggang. Untuk mewujudkan Majapahit yang
besar, jaya, dan gilang gemilang, segala hal yang bisa membuatnya terlena,
membuat mabuk, membuatnya kenyang sampai tidak mampu bergerak
harus dibuang jauh, disingkirkan.
"Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku
terganggu makhluk perempuan bernama istri, yang merengek merajuk.
Bagaimana aku bisa mewujudkan angan-angan dan mimpiku jika aku
terganggu oleh anak yang menangis. Istri atau perempuan bagiku tidak
ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan," ucap Gajah Mada
dalam hati dan hanya untuk diri sendiri.
Hamukti Palapa 303 Mahapatih Arya Tadah merasa penasaran. Mahapatih Arya Tadah
merasa belum puas jika Gajah Mada belum menjelaskan. Merasakan
adanya sesuatu yang sangat aneh, mendorong Mahapatih Arya Tadah
akan tersenyum. Namun, manakala merasa tidak ada alasan untuk
tersenyum, Mahapatih Arya Tadah membatalkannya. Pengganti
Mahapatih Dyah Halayuda itu akhirnya menggeleng-gelengkan kepala.
Arya Tadah meminta perhatian Gajah Mada.
"Pendapatmu yang demikian seolah tak masalah bagimu dunia ini
tanpa wanita. Bagaimana dan apa jadinya dunia ini tanpa perempuan"
Kelahiranmu ke dunia ini melalui perempuan, ibumu yang melahirkanmu
dan menjadi perantara keberadaanmu, seorang perempuan. Berbicaralah,
wahai Gajah Mada. Bagiku terasa sangat penting mengetahui, bagaimana
cara pandang yang kauyakini tidak ubahnya agama itu" Benarkah sudah
separah itu keadaanmu?" bertanya Mahapatih Amangkubumi Arya
Tadah. Gajah Mada berputar dan menempatkan diri berhadapan langsung
dengan Arya Tadah, Mahapatih yang dengan tulus membimbing dan
memberi dorongan yang sering pula menempatkan diri sebagai orang
tuanya. Dari tempatnya berada, Gajah Mada melihat para prajurit yang
berada di istana Ibu Suri Gayatri makin banyak. Dari tempatnya, ia
melihat suami Prabu Putri Sri Gitarja berjalan mondar-mandir.
Kembali Arya Tadah meminta perhatian Gajah Mada.
"Para lelaki ketempatan nafsu, hal yang demikian sudah merupakan
kodratnya karena melalui cara itulah manusia tumbuh, berkembang, dan
beranak pinak. Lalu, bagaimana cara pandangmu, Gajah Mada" Apakah
kamu berpikir, membangun rumah tangga tidak perlu kaulakukan"
Dengan demikian, kamu tidak harus terikat oleh perkawinan, beranak
pinak, dan berketurunan?"
Gajah Mada tidak menjawab, wajahnya tetap beku.
Mahapatih Arya Tadah melanjutkan, "Apakah kausiap tak punya
anak keturunan karena tidak beristri. Apakah kamu siap tidak memiliki
304 Gajah Mada

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

trah"176 Ketika orang-orang sibuk mengupayakan adanya garis keturunan,
kamu justru dengan sengaja memangkas wangsa- mu177 sendiri."
Untuk menjawab pertanyaan itu, Gajah Mada menggeleng dengan
tegas. "Aku tak akan menyentuh perempuan mana pun," jawabnya.
Arya Tadah makin mencuatkan alis.
"Apakah ada yang tak beres dengan dirimu, Gajah Mada" Kau
kehilangan hasrat pada kecantikan perempuan" Atau sebaliknya, seperti
yang aku dengar pada orang-orang yang tidak lumrah itu, saling tertarik
antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan tertarik dengan perempuan"
Kau menghadapi masalah seperti itu, Gajah Mada?"
Gajah Mada tersenyum, tetapi tak sampai harus tertawa.
"Tentu aku tidak seperti orang-orang itu, Paman!" jawab Gajah
Mada. "Orang berpuasa tidak makan seharian dan bahkan dilakukan
berhari-hari adalah karena adanya kesadaran atas rasa lapar. Rasa lapar
dan haus itulah yang dilawan dan dikalahkan. Aku telah banyak melihat,
merasakan, memerhatikan, dan menyimak pengalaman orang lain. Aku
melihat banyak lelaki yang mestinya punya kesempatan untuk menjadi
perkasa dan bisa berbuat sesuatu yang luar biasa, nyatanya menjadi
lembek karena perempuan. Bagiku, Paman, aku hanya bicara bagiku, dan
mungkin tidak bagi orang lain dengan tidak mengurangi rasa hormatku
kepada orang lain yang berbeda cara pandang, bahwa aku mempunyai
sebuah cita-cita, Paman. Aku ingin mengabdikan diri kepada negaraku
dengan tuntas tanpa sisa. Aku ingin mempersembahkan hidupku kepada
Wilwatikta tanpa secuil pun yang tercecer. Itulah sebabnya, aku tidak
ingin ada gangguan yang bakal menghalangi pengabdianku.
Jika aku mengawini seorang perempuan, keberadaan perempuan
yang menjadi istriku itu hanya mengganggu gerak langkahku, merupakan
perintang mimpi dan cita-citaku. Perempuan dan para istri adalah
176 Trah, Jawa, dinasti, wangsa
177 Wangsa, Jawa, dinasti
Hamukti Palapa 305 perengek yang menyita ruang dan waktu para lelaki, yang mengakibatkan
mereka tidak berotot. Ke depan, Majapahit membutuhkan orang
yang mau berkorban, termasuk untuk wadat.178 Apa salahnya jika aku
mengambil keputusan seperti itu, Paman" Tak ada yang salah karena
itu hanya sebuah pilihan dan hanya Gajah Mada saja yang melakukan,
kecuali kalau semua lelaki di dunia ini mengambil langkah yang sama
untuk tidak kawin, barulah itu salah."
Arya Tadah memandang Gajah Mada dengan takjub. Namun, Gajah
Mada masih ingin mempertegas.
"Yang melakukan hanya seorang Gajah Mada. Dunia ini tidak akan
kehilangan kesinambungan kehidupan antara mereka yang menua dan
yang muda hanya karena Gajah Mada memutuskan untuk tidak beristri.
Manakala ada orang berpuasa, sejatinya orang itu berpuasa melawan
nafsu lapar dan haus. Hidup berumah tangga bisa disebut kodrat, tetapi
bisa pula disebut nafsu. Itulah sebabnya, aku mengambilnya sebagai salah
satu pilihan dari banyak pilihan yang tersedia, bahwa aku memutuskan tak
akan pernah hamukti wiwaha.179 Aku akan tetap berprihatin di sepanjang
hidupku dengan menjauhi hamukti wiwaha. Biarlah aku mengalami lara
lapa 180 di sepanjang hidupku asal aku mampu mengantarkan negara
Majapahit ke kejayaannya yang gilang-gemilang!"
Mahapatih Arya Tadah yang terbungkam makin terbungkam
mulutnya. Jika kemudian serasa ada ribuan ekor semut yang merayapi
punggungnya adalah merupakan jejak pesona dari semua ucapan pemuda
bertubuh agak pendek, tetapi kekar itu. Untuk beberapa saat lamanya,
Mapatih Arya Tadah masih tak mampu berbicara.
"Jadi, tidak akan kawin itu merupakan kesengajaan?"
Gajah Mada mengangguk. 178 Wadat, Jawa, tidak kawin seumur hidup sebagai sebuah pilihan
179 Hamukti wiwaha, idiom Jawa untuk mereka yang benar-benar bisa menikmati hidup karena berharta dan berpangkat. Kebalikan dari idiom tersebut adalah hamukti lara lapa yang amat mungkin merupakan arti sebenarnya dari hamukti palapa, yang berarti dengan sengaja hidup prihatin.
180 Lara lapa, Jawa, prihatin, menderita
306 Gajah Mada "Kamu tidak cemas nantinya tidak punya keturunan?"
Gajah Mada kembali mengangguk mantap.
"Tak ada yang aku cemaskan."
"Kalau kamu nanti mati, habis sudah riwayatmu. Tak ada yang
menyebutmu ayah, tak ada yang memanggilmu kakek, orang-orang
di kemudian hari mungkin akan bingung menelusuri siapa saja anak
turunmu?" "Aku benar-benar siap dengan keadaan itu!" kembali Gajah Mada
menjawab amat tegas. "Aku hormati cara pandangmu itu, Gajah Mada, meski juga aku
sayangkan. Jika kaulakukan pengorbanan itu demi negaramu, aku makin
yakin untuk mencalonkanmu menjadi penggantiku. Aku rasa, aku
memang harus membicarakan kembali dengan para Prabu Putri untuk
menunda wisudamu menjadi mahapatih sambil menunggu kiprahmu
untuk yang kesekian kali dalam meredam pemberontakan Ma Panji Keta
dan Adipati Sadeng."
Gajah Mada mengangguk dan kembali seorang prajurit berjalan
melintas. Prajurit itu bergegas mendekat ketika Gajah Mada melambaikan
tangan. "Ibu Suri sudah membuka pintu?" tanya Gajah Mada.
"Belum, Ki Patih!" jawabnya.
"Ya sudah, lanjutkan tugasmu!"
" Tandya!" jawab prajurit itu dengan sigap.
Gajah Mada akhirnya merasa telah sampai ke pembicaraan awal.
"Soal kejadian tadi, Paman!" kata Gajah Mada. "Bagaimana cara
Paman menebak, orang yang berada di belakang perbuatan onar dan
upaya menerobos gedung pusaka itu didalangi oleh Kiai Wirota Wiragati"
Apakah benar, Paman menandainya dari sirep yang ditebar dan dari kabut
aneh itu" Karena orang itu memiliki kemampuan itu, Paman langsung
bisa menebak?" Hamukti Palapa 307 Arya Tadah tidak mengangguk dan tidak menggeleng, matanya lurus
memandang ke depan, tetapi kenangannya seperti terlempar kembali
ke masa silam. "Aku tidak menyaksikan secara langsung. Yang aku dengar berdasar
dari katanya dan katanya. Menurut kasak-kusuk yang riuh dibicarakan
orang, juga pernah disampaikan oleh Kiai Pamandana kepadaku, Kiai
Wirota Wiragati adalah maling yang pilih tanding, maling dengan
kemampuan yang tidak lumrah, maling yang belum sekalipun tertangkap.
Ia mampu menebar rangsang rasa kantuk ke udara yang menyebabkan
sasarannya akan disergap oleh rasa ingin tidur yang tak terlawan. Masih
menurut Kiai Pamandana, Kiai Wirota Wiragati juga mampu melarikan
diri dari keadaan terjepit macam apa pun dengan cara mengundang
kabut. Bahkan, ada juga yang menyebut ia tinggal melenyapkan tubuh
dari pandangan mata, menghilang!"
Gajah Mada menyimak dengan bersungguh-sungguh.
"Jadi, Kiai Wiragati punya kemampuan menciptakan kabut?"
Mahapatih Arya Tadah menggeleng.
"Menurutku, Maling Wirota Wiragati tidak punya kemampuan
menciptakan. Ia bukan Tuhan, ia hanya manusia. Yang ia lakukan
mungkin sekadar menghadirkan, seperti ibu-ibu yang menampi gabah
dan membutuhkan keterlibatan angin, yang dilakukan itu dengan bersiul.
Bukankah saat kamu masih kecil sering melakukan" Kamu mengundang
datangnya angin dengan bersiul, pernah kaulakukan itu, bukan?"
Gajah Mada memang punya kenangan itu. Bukan ia alami sendiri,
tetapi dari apa yang dilihat dilakukan oleh para tetangganya. Ketika padi
dipanen kemudian dijemur, untuk memisahkan padi yang bernas dengan
yang tidak berisi, perlu ditampi dan ditiup menggunakan mulut.
Tenaga angin dari mulut dirasa belum cukup memisahkan padi
bernas dari padi yang gabuk. Maka, diundanglah angin dengan cara
bersiul. Melihat seorang perempuan mengalami kesulitan bersiul karena
memang tak semua orang bisa bersiul, Gajah Mada kecil mewakili
perempuan itu melakukannya. Siulnya melengking mengagetkan
308 Gajah Mada kuda milik tetangga, tetapi angin yang diharap datang itu tak pernah
menampakkan diri, apalagi yang namanya badai.
"Tolong beri aku jawaban yang tegas, Paman!" kata Gajah Mada.
"Jawaban yang mana?" balas Mahapatih Arya Tadah.
"Benarkah Kiai Wiragati mampu melakukan semua yang Paman
sebut, termasuk menghilang dari pandangan mata?" kejar Gajah Mada.
"Aku tidak pernah melihatnya secara langsung," kata Arya
Tadah. "Kita baru saja melihatnya secara langsung, bukan?"
"Mungkin yang kita lihat adalah sebuah kebetulan yang luar biasa."
Gajah Mada merasa tidak puas dengan jawaban itu. Apa yang
dilihatnya sungguh sebuah peristiwa yang tidak masuk akal, mampu
menyebar rangsang kantuk yang akan memengaruhi siapa pun, mampu
mengundang kabut, mampu mengundang angin lesus, dan mampu
menghilang. Jika kemampuan macam itu benar-benar ada, sungguh
betapa dahsyatnya. Apalagi, jika dirinya yang memiliki kemampuan
itu. "Kalau aku memiliki kemampuan-kemampuan itu, aku bisa banyak
berbuat untuk kemajuan negara. Aku bisa memaksakan kehendakku
agar semua orang dan pihak tunduk pada kehendakku. Aku akan
memanfaatkan kemampuan itu untuk melebarkan wilayah dan jajahan,"
pikir Gajah Mada. Namun, mantan pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu juga
khawatir, jika kemampuan aneh macam itu jatuh ke tangan orang yang
tak sesuai, bisa berubah menjadi sarana kejahatan yang berbahaya.
Terbukti Kiai Wirota Wiragati yang diduga mengusai kemampuan itu
telah memanfaatkannya untuk tindakan jahat.
"Baru saja kita menyaksikan peristiwa itu. Jika kita beranggapan apa
yang terjadi itu hanya sebuah kebetulan, itulah kebetulan yang luar biasa.
Sebagai pembanding supaya bisa menemukan jawabnya dan meski Paman
Hamukti Palapa 309 mengutip keterangan itu dari orang lain, setidaknya benarkah peristiwa
seperti itu mirip dengan yang terjadi di masa lalu" Apakah keterangan
Kiai Pamandana bisa dipercaya?"
Mahapatih Arya Tadah bingung, memancing Gajah Mada merasa
curiga adanya bagian yang dengan sengaja disembunyikan.
"Ketika bercerita kepadaku, Kakang Pamandana mengaku
menyaksikan sepak terjang Kiai Wirota Wiragati secara langsung. Soal
bagaimana kebenarannya, apakah Kakang Pamandana jujur atau tidak,
aku tidak tahu. Itu tanggung jawab nurani Kiai Pamandana."
Gajah Mada masih akan mengejar jawaban itu, tetapi seorang
prajurit bergegas mendatanginya. Prajurit itu datang dengan setengah
berlari. "Pintu sudah dibuka?" tanya Gajah Mada.
"Sudah, Ki Patih," jawab prajurit itu.
Gajah Mada bergegas bangkit dan menuntun Mahapatih Arya
Tadah. Ketika dua orang pimpinan terkemuka di Majapahit itu memasuki
bilik, di ruangan itu telah duduk melingkar Prabu Putri Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Prabu Putri Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa, yang masing-masing bersebelahan dengan sang
suami. Di depan pintu, melalui isyarat matanya, Senopati Gagak Bongol
meminta izin untuk bergabung. Gajah Mada mengangguk tanda tidak
keberatan. Patih Gajah Mada duduk bersila tepat di sebelah Mahapatih
Arya Tadah. Gagak Bongol ikut menempatkan diri mengapit duduk patih
tua itu. Ibu Suri Tribhuaneswari duduk dengan mata terpejam seperti
orang tidur, tetapi sejatinya tidak.
Sementara itu, bau wangi melati memenuhi ruangan itu, menemani
semua orang yang akan menyimak apa yang disampaikan oleh Ibu Suri
Rajapatni Biksuni Gayatri.
310 Gajah Mada 20 R ombongan berkuda itu tak mungkin terus berderap membelah
malam, bukan karena kuda-kuda yang mereka tunggangi membutuhkan
istirahat, tetapi justru karena salah seorang penunggangnya membutuhkan
istirahat. Kiai Wirota Wiragati tidak hanya lelah tubuhnya, tetapi rupanya
juga lelah jiwanya. Maka, ketika ditemukan tempat yang nyaman,
rombongan pembuat onar itu berhenti.
Secara merata udara memang terasa gerah, tetapi karena baru
saja melawan angin, Kiai Wirota Wiragati kedinginan. Panji Hamuk
segera membuat perapian dengan mengumpulkan ranting-ranting
kering. Dengan batu titikan, api dibuat untuk membakar sejumput
rumput kering. Kiai Wirota Wiragati duduk mencangkung, berusaha
menghangatkan diri dengan duduk lebih dekat ke api.
Sebaliknya dengan Bremoro, begitu melihat sungai dengan air jernih,
kaki tangan Kiai Wirota Wiragati itu ambyur membasahi diri, langsung
tenggelam menahan napas melawan detak jantung yang terangsang
mengayun lebih cepat. Ketika Bremoro muncul lagi ke permukaan,
entah dengan cara bagaimana ia telah menggenggam seekor ikan yang
lumayan besar. Dilemparkannya ikan itu, menyebabkan Kiai Wirota
Wiragati yang nyaris terkena terkejut. Panji Hamuk menangkap ikan itu
dan langsung melemparkannya ke dalam api.
"Di tempat ini ada banyak ikannya!" teriak Bremoro.
Diberi contoh oleh Bremoro dan mungkin karena merasa tubuhnya
risih belum dibasahi air berhari-hari, Lanjar Manuraha dan Udan Tahun
ikut ambyur membasahi diri. Rombongan orang yang membuat onar itu
agaknya tak perlu merampok makanan untuk mengganjal perut mereka.
Di sungai ada banyak ikan yang bisa ditangkap melalui ketangkasan
tangan yang luar biasa. Melihat ulah anak buahnya, Kiai Wirota Wiragati diam saja. Akan
tetapi, maling kondang yang pernah malang melintang di zaman Singasari
Hamukti Palapa 311 itu tidak menolak ketika Lanjar Manuraha menyerahkan seekor ikan
yang sudah dibakar. Kiai Wirota Wiragati yang telanjur menggigit ikan
itu mendadak membuangnya.
"Setan alas gila kamu, yang kamu berikan kepadaku ikan mentah?"
Lanjar Manuraha memungut ikan itu dan membakar ulang sampai
hangus. Ketika bau ikan itu menandakan sudah matang, Kiai Wirota
Wiragati bersedia memakannya sampai tak bersisa kecuali tulangnya.
Masalah timbul saat ikan itu habis dimakan, rasa hausnya belum terbayar.
Rupanya Kiai Wirota Wiragati harus mencontoh apa yang lakukan Panji
Hamuk yang minum air sungai.
Bintang-bintang di langit gemerlapan, Panji Hamuk yang telentang
bersandar buntalannya mempersiapkan diri untuk tidur. Di sebelahnya,
Bremoro sedang disibukkan memerhatikan mahkota yang berada dalam
genggamannya. Makin memerhatikan benda itu, Bremoro tahu betapa
mahal nilai benda itu karena terbuat dari emas, sebagian lagi bahkan
ditaburi permata. Bremoro tidak tahan untuk tidak mencobanya,
mahkota itu diangkat dan akan dikenakan di kepala.
"Jangan coba-coba kaulakukan itu atau akan pecah kepalamu!" Kiai
Wirota Wiragati mengancam.
Bremoro menoleh. Kiai Wirota Wiragati tidak sedang melihatnya,
pandangannya tertuju ke lidah api di depannya. Dengan cara
bagaimana Kiai Wiragati mengetahui apa yang akan dilakukan
Bremoro" Bremoro membatalkan niatnya dan mengembalikan mahkota itu ke
dalam buntalan. Bremoro bahkan berniat menyusul Panji Hamuk, pun


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian dengan Udan Tahun dan Lanjar Manuraha, masing-masing
mempersiapkan diri untuk tidur. Setelah kegiatan yang dilakukan yang
mengesampingkan kebutuhan tidur, kinilah saatnya untuk balas dendam
dengan tidur sepuasnya. Namun, keheningan malam itu dipecahkan
oleh Lanjar Manuraha. "Jadi, rupanya ada hubungan khusus di masa silam, Kiai?" tanya
laki-laki bermata sangar itu.
312 Gajah Mada Panji Hamuk masih tetap memejamkan mata, tetapi memasang
telinga, ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan Kiai Wirota
Wiragati. Udan Tahun yang berbaring bangkit lagi, demikian pula dengan
Bremoro. "Berceritalah, Kiai!" kata Bremoro.
Kiai Wirota Wiragati mendongak memerhatikan langit, pekerjaan
yang sia-sia karena kebutaan yang dialaminya. Namun, dari langit
terdengar suara melengking tinggi seperti menyapa. Jauh di atas sana,
seekor kalangkyang merintih dengan suaranya yang memelas.
"Apa yang harus aku ceritakan?" tanya Kiai Wirota Wiragati.
"Misalnya, hubungan macam apa yang terjadi antara Kiai Wirota
Wiragati dengan Ratu Gayatri?" pancing Panji Hamuk sambil tetap
memejam. "Benarkah pernah terjalin hubungan asmara antara Kiai dan
Sri Jayendradewi Dyah Dewi Gayatri?"
Kiai Wirota Wiragati masih membungkam diri, tetapi sejenak
kemudian orang tua yang penglihatannya kabur itu mulai terangsang
oleh keinginan untuk tertawa, makin lama tawanya makin meledak,
yang dilakukan itu mungkin untuk sesuatu yang lucu yang terjadi di
masa lalu. Ketika tawa bergelak itu bergerak mereda dan makin mereda,
pandangan mata Kiai Wirota Wiragati menerawang jauh menembus
ruang dan waktu, ke wilayah yang telah menjadi bagian dari masa
silam. Bayangan yang berasal dari ruang gelap gulita itu mewujud, makin
lama bergerak menuju nyata, dari yang semula mengombak menjadi
tenang, menjadi garis-garis yang tidak gelisah. Kalau ia kabut, ia
menyibak, dan terlempar Kiai Wirota Wiragati menerobos ke wilayah
bernama kenangan karena telah menjadi bagian dari masa yang telah
lewat. Menembus ruang dan waktu. Tembus ke suatu tempat yang di
sana ada masa lalu. Hamukti Palapa 313 21 O mbak yang berusaha menjilat pantai itu bukanlah ombak yang
terlalu besar. Demikianlah selalu yang terjadi di setiap hari. Ombak
di pesisir pantai yang membentang dari Ywangga melintasi wilayah
Keta hingga Setubondo, seperti pada umumnya Laut Jawa, tidak
menjanjikan ombak yang besar, tidak seperti pantai laut selatan Jawa
yang selalu menggemuruh, yang menyajikan gumpalan deburan besar
susul-menyusul. Belum ambyar ombak pertama menggempur tebing,
dibalap oleh ombak kedua yang lebih besar, dan belum lagi ambyar
ombak besar itu, sudah disusul lagi oleh ombak berikutnya yang jauh
lebih besar. Basah kuyup tebing dan pantai yang dihajar bertubi-tubi,
tetapi sedahsyat apa pun ombak melibas, tebing dan pantai tetap tegar
menghadapinya. Malam itu purnama. Penduduk yang tinggal di wilayah Setubondo
menggunakan ilmu titen.181 Mereka tahu bahwa laut akan rob,182 yang manakala ombak membesar, air akan menusuk sampai jauh ke daratan,
tetapi tak ada yang tahu bagaimana muasalnya. Kalau gempa bumi sudah
diketahui apa penyebabnya, tetapi rob belum.
Gempa bumi terjadi karena raksasa yang menyangga bumi benar-
benar merasa kelelahan dan merasa perlu berganti tangan. Menggunakan
cara pikir yang digunakan oleh orang yang paling berpengetahuan di
tempat itu, masuk akal bahwa tidak mungkin ada benda tanpa bertumpu.
Semua benda harus bertumpu karena tanpa bertumpu, semua benda akan
jatuh. Demikian pula dengan bumi, tempat mereka berdiri, mestinya juga
jatuh seperti kelapa jatuh dari pohon. Namun, hal itu tidak perlu terjadi
karena sebelah tangan raksasa menyangganya. Cara pikir itu memang
masuk akal, tanpa seorang pun yang sempat merenungkan, raksasa itu
sendiri bertumpu pada apa"
181 Ilmu titen, Jawa, hafal karena terbiasa melihat dan memerhatikan
182 Rob, Jawa, air laut pasang
314 Gajah Mada Lebih lanjut, jika raksasa itu kacapekan, tentu karena sebentar saja
manusia mengangkat sejanjang kelapa menggunakan sebelah tangan pasti
kecapekan. Apalagi, raksasa itu harus mengangkat bumi dalam waktu
yang lama. Raksasa pun butuh berganti tangan, menjadi penyebab bumi
bergoyang. Saat itulah orang menandainya sebagai gempa bumi.
Paling ditakutkan jika raksasa penyangga bumi itu sampai bersin.
Maka, goncangannya akan lebih parah lagi. Lebih menakutkan jika raksasa
itu marah. Orang-orang di Setubondo pernah menandai kemarahan itu
dengan munculnya ombak raksasa setinggi dua hingga tiga kali tinggi
pohon kelapa, yang menyapu tanpa sisa sepanjang daratan. Saat hal itu
terjadi beberapa tahun yang lalu, banyak orang yang mati.
Agar raksasa tidak marah, pada malam-malam tertentu disiapkan
sesaji untuknya, dari jenis makanan yang enak-enak atau kepala ternak
yang dilarung menggunakan perahu dan ditenggelamkan ke tengah
laut. Orang-orang yang melepas sesaji itu sering jengkel dan merasa
kiriman sesajinya tidak sampai ke alamat karena kepala kerbau yang
dilarung menjadi santapan ikan-ikan. Seekor ikan yang sangat besar
dan menakutkan bahkan menyantap kepala kerbau itu hanya dengan
sekali telan. Bahwa raksasa penyangga bumi itu bisa marah ada buktinya, yaitu
ketika terjadi apa yang disebut gerhana bulan. Bulan yang semula penuh
ditelan oleh raksasa sampai habis. Supaya raksasa membatalkan niatnya
menelan bulan, diganggulah raksasa itu dengan macam-macam cara,
kentongan pun dipukul bertalu-talu, semua peralatan dapur terutama
dandang183 dipukul riuh untuk menciptakan kegaduhan. Dengan
kegaduhan itu, diharap raksasa penelan bulan membatalkan niatnya.
Di tepian pantai memanjang dengan pasir berwarna putih itu ada
sebuah rumah yang sangat megah yang dimiliki oleh lelaki kaya raya,
yang dengan bangga mengaku masih berdarah bangsawan. Rumah
yang megah itu dijaga oleh puluhan orang pengawal bersenjata yang
siap melayani jika ada maling atau perampok berniat mengganggu.
183 Dandang, Jawa, alat masa tradisional yang masih menggunakan kukusan yang terbuat dari anyaman bambu.
Hamukti Palapa 315 Keresahan bangsawan itu cukup beralasan karena akhir-akhir ini banyak
beredar cerita tentang maling yang malang melintang memasuki rumah
orang-orang kaya. Maling yang justru dikagumi dan dipuja para jelata
karena kedermawanannya. Orang-orang kaya yang geram membentuk
pengawalan yang kuat, tetapi tetap saja sampai sejauh itu maling yang
membuat resah itu masih belum berhasil ditangkap.
Rumah membelakangi pantai dan langsung menghadap jalan besar
di depannya itu berdinding bata tinggi, yang dibangun mungkin setelah
melihat Istana Kediri. Atau, barangkali bangsawan itu masih menyimpan
kenangan terhadap wujud Istana Kediri yang belakangan berubah nama
menjadi Gelang-Gelang. Dengan dinding yang tinggi melingkar dan hanya menyediakan
satu pintu di depan, bangsawan itu berharap orang tidak bisa masuk
dengan memanjat dinding itu, sekaligus untuk menghadapi rob yang jika
menggila, bisa sampai ke jalan di depan rumahnya. Pagar tinggi itu juga
dimaksudkan sebagai perintang terhadap binatang buas.
Meski tidak ada buaya, sering muncul ular besar yang sangat
berbahaya. Harimau yang sering terdengar gelegar aumnya sering
pula berkeliaran di tempat itu. Bahkan, ketika belum dibangun pagar
tinggi, seekor harimau telah menerkam kuda di kandang dan berusaha
menyeretnya pergi. Tak seorang pun yang mempunyai keberanian
menghalau kucing besar itu.
Pada sepanjang pantai yang membelok penuh pohon bakau, dihuni
oleh binatang kegemarannya, yaitu kepiting dan rajungan yang amat
berdaging menggiurkan, juga kerang berukuran besar-besar yang hanya
dengan direbus dan ditambah sambal, lezatnya bukan main.
Jenis-jenis makanan itulah yang menyebabkan denyut jantung
bangsawan itu melaju tinggi dan malah sakit-sakitan. Namun demikian,
ketertarikan bangsawan itu terhadap kecantikan lawan jenis sungguh
layak diacungi jempol. Kawin dan cerai dilakukannya berulang kali.
Gadis-gadis dikawini, janda dikawini, dan bahkan istri orang. Seorang
janda beranak kecil dikawini dan mati di usia perkawinan belum lagi dua
tahun. Kini, anak kecil yang semula benar-benar diperlakukan seperti
316 Gajah Mada anak itu beranjak dewasa dan mulai terlihat wujud kecantikannya. Justru
karena itu, gadis itu berada dalam bahaya.
Bangsawan itu rupanya juga penikmat pemandangan indah yang
membentang di belakang rumahnya. Untuk menikmati pemandangan amat
indah di belakang rumah itu, dibuatlah sebuah anjungan yang sekaligus
untuk menikmati cahaya bulan. Apalagi, bulan penuh seperti malam ini,
tak secuil pun Poh Wangi berniat bergeser meninggalkannya.
Bulan di langit terlihat demikian cantik dan cemerlang. Namun,
Poh Wangi tidak kalah cantik dan gemilang. Dengan rambut panjang
terurai sampai menyentuh tanah, gadis cantik anak bangsawan kaya
raya itu bagai tengah terpenjara dan menunggu datangnya pangeran.
Sebenarnyalah Poh Wangi yang telah beranjak dewasa dari remaja
itu mulai berangan-angan tentang pangeran yang akan membawanya
pergi dari tempat itu, dari rumah yang dianggapnya penjara. Poh Wangi
berharap, pangeran itu akan menyelamatkannya karena akhir-akhir ini
ayahnya sering memandangnya dengan cara yang aneh. Padahal, belum
lama ia mengawini seorang gadis yang layak dianggap sebagai anak atau
cucunya. Manakala Poh Wangi amat berangan-angan akan datangnya seorang
pangeran, berbeda dengan ayahnya yang memagarinya dengan ketat.
Bangsawan kaya raya dari Kediri itu berpikir, kelak satu atau dua tahun
lagi Poh Wangi akan menjelma menjadi seorang gadis yang memiliki
kecantikan amat sempurna. Karena merasa telah menanam pohon
serta merawatnya, bangsawan itu merasa memiliki hak memetiknya. Itu
sebabnya, bangsawan itu akan melotot jika ada pemuda yang tinggal di
sekitar situ coba-coba dan berani menggoda Poh Wangi.
Dan, suara seruling itu memang mengagetkan. Poh Wangi bangkit
dari duduknya dan mencari-cari dari mana suara seruling itu. Demikian
juga dengan para pengawal yang menjaga pintu gerbang rumah itu,
tergoda rasa ingin tahunya.
Suara seruling itu bukannya mendorong mereka untuk menikmati.
Namun, justru menjadi penyebab mereka mencabut senjata dari
pinggang masing-masing. Hal itu karena sebelumnya mereka telah
Hamukti Palapa 317 memiliki keterangan bahwa maling yang menggegerkan dan malang
melintang di sepanjang bulan ini mempunyai kebiasaan aneh. Maling
itu bisa disebut datang dengan berterang, yang selalu ditandai dengan
suara serulingnya. Dengan sigap, para pengawal yang dengan sengaja menunggu
kehadiran maling itu melaksanakan tugas. Seorang di antaranya segera
membangunkan majikannya. "Ada apa?" tanya Ma Panji Raung, pemilik rumah itu yang keluar
dari kamar dengan istrinya yang cantik jelita.
Kecantikan istri Ma Panji Raung memang luar biasa, yang kalau
dilihat dari sisi umur, layak ditempatkan sebagai anak. Kecantikan Dyah
Manggari itu sangat bertolak belakang dengan wujud suaminya yang
jelek dengan muka totol-totol penuh bekas luka cacar, mirip buah nanas
dengan tubuh gendut. Karena gendutnya, Ma Panji Raung selalu merasa
gerah dan jarang berpakaian.
Matahari pesisir yang ganas menyebabkan kulit tubuh laki-laki
gendut itu gosong menghitam. Hanya bagian yang terlindung oleh apa
yang dipakai yang berwarna putih.
Pengawal rumah itu tidak menjawab dengan mulut. Ia mengangkat
jari tangannya seperti sedang menunjuk sesuatu. Wajah Ma Panji Raung
menegang. "Kamu jangan keluar, maling itu akan mencurimu," perintah Ma
Panji Raung kepada istrinya.
Dyah Manggari mengangguk dan bergegas menutup pintu.
Ma Panji Raung benar-benar tegang. Cukup lama Ma Panji Raung
mengikuti sepak terjang maling yang meresahkan para orang kaya di
cakupan wilayah yang amat luas itu. Nyaris semua orang kaya yang
tinggal di sepanjang pesisir antara Probolinggo hingga ke Setubondo
mendengar sepak terjang maling, yang dalam bertindak selalu menguras
habis harta kekayaan yang mereka miliki.
Ma Panji Raung merasa hanya soal waktu, cepat atau telat maling
itu pasti akan datang. Kinikah saatnya"
318 Gajah Mada "Maling itukah yang meniup seruling?" tanya Ma Panji Raung.
Pengawal itu mengangguk. "Jaga rumah ini rapat-rapat dan mari kita tangkap maling itu! Kalau
tertangkap, kita jebloskan ke dalam kerangkeng yang di dalamnya kita
masukkan ratusan kepiting berukuran besar-besar."
Para pengawal itu segera menyebar melaksanakan tugasnya. Bergegas
mereka menempatkan diri mengelilingi dinding dengan bersembunyi di
balik rimbunnya belukar. Dengan jarak yang rapat, tidak akan ada orang
yang bisa masuk ke rumah itu tanpa diketahui.
Namun, suara seruling itu masih tetap mengalun dan sulit ditebak
dari arah mana asalnya. Dengan sabar, para pengawal rumah bangsawan
itu menempatkan diri menunggu hingga maling itu menampakkan diri.
Namun, rupanya persoalannya bukan sekadar siapa yang bisa lebih
sabar, para pengawal itu atau maling yang meledeknya lewat alunan
seruling yang bergerak mengombak seperti riak pantai utara yang
berbuih karena ada muatan aneh yang menumpang pada suara yang
mengalun. Dari arah laut sebenarnya suara itu berasal. Seorang pemuda tampan
meniupnya dengan mengapung-apung di atas perahu kecil. Alunan
suaranya mendayu-dayu mewakili warna hatinya. Jika maling itu sedang
senang, alunan serulingnya terdengar riang. Sebaliknya, jika maling itu
terkenang pada ibunya yang mati belum lama, suaranya terdengar sendu
memelas. Muatan aneh pada suara yang mengalun itu menyebabkan tangan
Poh Wangi yang semula masih memegang sandaran kursi tempat
duduknya, jatuh terkulai. Lalu, gadis cantik anak bangsawan itu bablas
tenggelam ke wilayah mimpi.
Saat para pengawal itu mulai menguap, tergoda oleh rasa kantuk,
sungguh mereka tidak menyadari kantuk itu merupakan kantuk yang
tidak wajar. Demikian kuat rangsang kantuk itu menggoda mereka hingga
akhirnya pengawal yang menjaga bagian belakang rumah bangsawan itu
ambruk duluan, disusul kemudian oleh dua orang pengawal yang menjaga
Hamukti Palapa 319 pintu gerbang. Seorang demi seorang dari mereka tak mampu melawan
serangan kantuk yang menumpang alunan seruling itu.
Ketika penumpang perahu yang mengapung di belakang rumah
itu menggerakkan perahunya menepi dan kemudian meloncat ke
tanah, bersamaan dengan pengawal terakhir yang berusaha menahan
diri akhirnya jatuh terkulai. Demikian pula dengan Ma Panji Raung,


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak mampu menahan hasrat tidurnya. Semua lelap dan tersesat di alam
mimpi masing-masing. Dengan gesit, maling itu masuk ke dalam rumah dan memasuki
setiap bilik yang ada untuk menemukan benda berharga yang dicari.
Maling itu tersenyum ketika berhasil menemukan sebuah peti yang
disembunyikan di bawah tempat tidur, yang disamarkan di bawah
sebuah bilah papan. Ketika dibuka, isinya benar-benar gemerlap. Ada
kalung, gelang, bahkan binggel 184 berteretes berlian. Di dalam peti itu juga
tersimpan keris yang pasti berharga sangat mahal. Namun, maling itu
masih merasa kurang, ada sesuatu yang belum ditemukan.
Mirip kucing dalam melangkah, gesit tanpa suara, maling yang
masih muda dan berwajah tampan itu naik ke lantai dua yang merupakan
bangunan tak terpisah, untuk menikmati pemandangan laut. Di tempat
itu, maling tampan itu terpesona oleh wajah cantik yang terkulai tak
sadarkan diri. Ketika disentuh lengannya, terbangun dan betapa terkejut
gadis itu. "Siapa kau?" tanya Poh Wangi.
Maling itu tidak menjawab, tetapi dipandanginya pemilik wajah
cantik itu dengan rasa takjub yang tak perlu ditutup-tutupi.
"Siapa kau?" kembali bertanya Poh Wangi.
Maling itu tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih
bersih dan wajah yang tampan.
"Namaku Wirota Wiragati," jawab maling itu.
184 Binggel, Jawa, perhiasan gelang kaki
320 Gajah Mada Poh Wangi terjebak antara rasa takut sekaligus penasaran karena pemuda
yang kini berada di depannya ternyata memegang sebuah seruling.
"Kau peniup seruling itu?" tanya Poh Wangi.
"Ya," jawab Wirota Wiragati.
"Bagaimana kau bisa masuk" Apakah ayahku mengizinkanmu
menemui aku di sini?"
Maling Wirota Wiragati tersenyum pendek.
"Semua orang di rumah ini, termasuk ayahmu, sedang tidur pulas,"
jawab Wirota Wiragati. "Ayahmu yang bertubuh gemuk itu, bukan?"
Poh Wangi mengangguk dengan tak bisa menyembunyikan rasa
herannya. Para pengawal dibayar untuk menjaga rumah itu siang malam.
Jika malam, tak boleh ada yang tidur. Namun, bagaimana semua orang
bisa tidur pulas" "Apa yang Kakang lakukan di rumahku?" tanya Poh Wangi lagi.
Sebutan "kakang" membuat Wirota Wiragati senang. Gadis itu
bersikap ramah kepadanya. Wirota Wiragati tak keberatan untuk
menjawab blak-blakan tanpa ada bagian sekecil apa pun yang perlu
disembunyikan. "Apakah kamu akan marah kalau aku katakan, aku seorang maling"
Kedatanganku ke rumahmu kali ini karena aku berniat mencuri semua
harta milik ayahmu."
Poh Wangi terdiam, beberapa jenak ia kebingungan.
"Ayahku pasti marah hartanya kaucuri. Harta itu dikumpulkan
dengan bersusah payah," kata Poh Wangi dengan nada khawatir.
Tidak ada perubahan di wajah Wirota Wiragati, tidak merasa kasihan
dan perlu peduli. Senyumnya menggambarkan hatinya yang ringan tanpa
terganggu beban. "Harta itu dikumpulkan bertahun-tahun dengan cara tidak terpuji.
Orang di sekitar tempat ini tidak seorang pun yang bisa kaya karena
Hamukti Palapa 321 peluang itu diserap habis oleh ayahmu yang lintah darat, pengisap darah
melalui pinjaman dengan bunga yang mencekik leher. Nah, salahkah
apa yang kukatakan" Bagaimana penilaianmu pada jenis pekerjaan yang
digeluti orang tuamu selama ini?"
Gadis cantik itu terbungkam mulutnya. Ia tak bisa menjawab.
Jika ia harus jujur, ia harus mengakui pekerjaan ayahnya memang tak
terpuji. Bahkan, kepada pengemis pun Ma Panji Raung tak segan-segan
menawarkan pinjaman uang berbunga.
"Di mana mahkota itu disimpan?" tanya Wirota Wiragati berbelok
dengan tiba-tiba. Poh Wangi bingung. "Katakan di mana benda pusaka itu disimpan?"
Poh Wangi meletup, "Mahkota apa yang kaumaksud?"
Wirota Wiragati yang memandang laut berbalik dan menempatkan
wajah amat dekat dengan gadis itu. Wirota Wiragati mengubah suaranya
menjadi lebih rendah, matanya dengan sengaja dibuat melotot. Dalam
jarak yang sedekat itu, Poh Wangi melihat pemuda maling di depannya
itu memiliki wajah tampan.
"Kautahu apa yang aku maksud. Kedatanganku ke sini untuk
mendapatkan benda itu. Katakan di mana, atau kalau kamu tak mau
menjawab, aku akan bersikap amat kasar kepadamu!"
Poh Wangi terbungkam untuk beberapa jenak lamanya. Ketika ia
memutar tubuh, berbalik membelakangi Wirota Wiragati, ia lakukan
itu sambil menimbang. Ibunya sudah tidak ada. Kecantikan yang kini
dimilikinya justru menjadi sumber bahaya karena pada suatu ketika kelak,
ayahnya pasti akan menerkam dan mencabik-cabik tubuhnya.
"Aku akan tunjukkan tempatnya, tetapi aku punya sebuah permintaan,"
jawab gadis itu. Wirota Wiragati mengangguk.
"Katakan apa permintaanmu?"
322 Gajah Mada "Bawalah aku pergi!" Poh Wangi menjawab.
Sebuah jawaban yang benar-benar mengagetkan. Wirota Wiragati
merasa tidak cukup dengan terbelalak, matanya yang melotot serasa
nyaris lepas dari kelopaknya. Jawaban yang diterimanya itu sungguh
amat aneh, sulit diterima nalar.
"Coba kauulangi!" kata Wirota Wiragati.
"Aku akan tunjukkan, tetapi bawalah aku pergi. Selamatkan aku!"
Wirota Wiragati mencuatkan alis. Gadis itu minta diselamatkan
dari apa" Taruh kata benar gadis itu memang butuh diselamatkan dari
sebuah bahaya mengancam, apakah itu bukan berarti lepas dari mulut
harimau jatuh ke mulut buaya" Wirota Wiragati buayanya.
"Kamu merasa terancam dari bahaya apa?" tanya maling berseruling
itu dengan segenap rasa herannya.
Poh Wangi dililit rasa ragu. Poh Wangi memandang ke belakang.
"Tak ada yang perlu dicemaskan, semua orang sedang pulas," kata
Wirota Wiragati. Ucapan itu lagi-lagi membuat Poh Wangi bingung.
"Semua orang sedang tidur?"
"Ya, sangat pulas," jawab pemuda tampan itu.
"Bagaimana bisa?"
"Apa yang bagaimana bisa?"
"Bagaimana mereka bisa tidur bersamaan" Ayahku memerintahkan
jangan sampai ada yang ketiduran. Mereka semua harus berjaga-jaga
untuk menangkap maling yang akan datang ke sini. Bagaimana semua
bisa tertidur?" Wirota Wiragati hanya tersenyum. Namun, ia merasa tidak perlu
menjelaskan mengapa orang-orang itu bisa bergelimpangan seperti itu.
Wirota Wiragati juga merasa tidak terlalu terhormat dan tersanjung,
meskipun untuk kedatangannya kali ini sampai dibentuk panitia
penyambutan segala. Hamukti Palapa 323 "Kamu belum menjawab pertanyaanku, mengapa kamu merasa
harus pergi dari rumahmu yang megah ini?" tanya Wirota Wiragati.
"Mengapa pula kau memilih aku untuk menyelamatkanmu?"
Poh Wangi menjawab dengan kepala menunduk.
"Aku harus segera pergi karena ayahku nantinya akan mengawiniku."
Wirota Wiragati terbelalak disergap rasa takjub yang bukan kepalang.
Dengan terheran-heran, pemuda tampan itu memandang gadis di
depannya. "Jadi, ayahmu adalah harimau bagimu?"
Poh Wangi mengangguk. "Bagaimana mungkin ada seorang ayah yang sanggup melakukan
itu?" "Ia bukan ayahku yang sesungguhnya!" jawab Poh Wangi. "Ayahku
merebut ibuku dari suaminya ketika aku masih kecil. Meski aku masih
berusia lima tahun, aku masih memiliki kenangan itu. Sekarang ketika aku
beranjak dewasa, cara ayahku memandangku berubah. Yang kurasakan
tak lagi menyayangiku, tetapi begitu lapar serasa akan menelanku bulat-
bulat." Wirota Wiragati mengangguk-angguk.
"Kamu berniat menyelamatkan diri dari terkaman seekor harimau,
harimau itu adalah ayahmu sendiri. Akan tetapi, sadarkah kamu bahwa
dengan minta tolong kepadaku, itu sama halnya dengan lepas dari mulut
harimau jatuh ke mulut buaya?"
Gadis itu terbungkam, tetapi dengan saksama memerhatikan wajah
pemuda di depannya yang menyebut diri sebagai buaya yang akan
menerkam itu. Selama ini ia berangan-angan akan hadirnya seorang pangeran
yang turun dari langit yang akan menolong dan menyelamatkannya.
Pangeran itu kini telah datang meski mengaku sebagai buaya yang
menjanjikan bahaya karena bisa menerkamnya. Akan tetapi, bukankah
324 Gajah Mada diterkam oleh buaya tampan itu jauh lebih baik daripada diterkam ayah
angkatnya. "Tidak apa-apa, aku tak keberatan kauterkam," jawabnya.
Wirota Wiragati kian terbelalak, senyumnya mewakili bingungnya.
"Bawalah aku pergi. Dengan ketulusan dan senang hati, aku akan
mengabdikan diri kepadamu sebagai seorang istri," lanjut Poh Wangi.
Senyum yang semula mewakili rasa bingung itu berubah kembali ke
mata yang makin terbelalak. Soal istri, selama ini Wirota Wiragati belum
pernah berpikir akan memilikinya. Kini di depannya, berdiri gadis cantik
yang mau menjadi istrinya.
"Ayah kandungmu masih ada?" tanya Wirota Wiragati.
Gadis itu mengangguk. "Di mana ayah kandungmu itu?" tanya maling itu lagi.
"Ayahku tinggal di Keta!"
Jawaban itu jelas mengagetkan karena Wirota Wiragati berasal dari
Keta. "Di Keta?" gumam Wirota Wiragati. "Siapa nama ayahmu?"
"Ayahku tinggal di belakang Istana Keta, namanya Jalu Para."
Serasa tidak ada yang luar biasa pada nama yang baru disebut itu.
Maka, tidak ada perubahan apa pun di wajah Wirota Wiragati.
"Aku akan membawamu keluar dari rumah ini, tetapi tidak untuk
kujadikan istri. Maafkan aku karena aku belum pernah berangan-
angan memiliki seorang istri. Akan tetapi, aku akan menolongmu
mempertemukan kamu dengan ayahmu, bagaimana?"
Poh Wangi terdiam beberapa saat lamanya, perlahan ia mengangguk.
Maka, ketika Ma Panji Raung terbangun dari tidurnya adalah untuk
terkejut bukan alang kepalang. Ia terkejut mendapati dirinya tertidur
di halaman. Ia terkejut mendapati para pengawalnya tertidur. Ia lebih
terkejut lagi ketika kehilangan besar-besaran. Satu peti emas perhiasan
yang dimilikinya lenyap. Tak hanya itu, Poh Wangi juga ikut lenyap.
Hamukti Palapa 325 Sebuah mahkota yang tiada tara harganya ikut lenyap dari tempat
penyimpanannya. Maka, retak tengkorak pelindung otak bangsawan
yang semula kaya raya itu dan kini mulai meyakini dirinya sudah jatuh
melarat. Berlarian kebingungan bangsawan gendut itu.
"Mati aku, mati aku!" orang itu mengeluh sambil menjambak-
jambak rambutnya yang tak seberapa sambil berharap semua itu hanya
mimpi. Namun, Ma Panji Raung tak sedang bermimpi. Peti besi di bawah
tempat tidurnya telah terbuka. Kalau sekadar harta emas perhiasan yang
dibawa, kalau hanya sekadar Poh Wangi yang lenyap, semua itu masih
bisa ditahannya, tetapi sebuah mahkota pusaka ikut murca, lenyap dari
penyimpanannya, sebuah mahkota yang nilainya tidak terkira.
Manakala darah mendidih dengan kepala serasa akan pecah, Ma
Panji Raung bisa tiwikrama.185 Tempat tidur ditendang menggunakan
kaki kanannya, tak peduli hal itu akan menyebabkan kakinya terluka.
Dyah Manggari yang terbangun terkejut bukan kepalang.
"Ada apa?" tanya Dyah Manggari yang masih kebingungan.
"Ada apa" Matamu ke mana?" bentak Ma Panji Raung amat kasar.
Dyah Manggari belum pernah mendapati suaminya dalam kemarahan
seperti itu. Pandangan matanya mewakili rasa takutnya.
Namun, tak hanya Dyah Manggari yang kena damprat. Para
pengawal yang berlarian datang pun terkena semburan sumpah serapah
yang langsung menusuk jantung harga diri mereka.
"Apa saja yang kalian lakukan" Kalian hanya mau uang dan upah
yang kuberikan, tetapi tak becus bekerja."
Para pengawal itu hanya bisa saling pandang di antara mereka. Marah
dan gugup Ma Panji Raung menyadari keadaan yang demikian buruk.
185 Tiwikrama, Jawa, dicontohkan dalam kisah Mahabarata, Kresna yang menjadi duta pandawa meminta kembalinya Astina yang dikuasai Kurawa, berubah menjadi raksasa karena kemarahan yang tidak tertahan oleh penolakan Kurawa. Kondisi yang demikian disebut Kresna melakukan tiwikrama.
326 Gajah Mada Dengan semua harta itu lenyap, kini ia bukan siapa-siapa, tak memiliki
apa-apa. Ia kini akan sama melaratnya dengan para tetangga.
"Mana Poh Wangi, cari Poh Wangi sampai ketemu!" ucapnya dengan
suara amat terbata. Namun, tak mungkin mendapatkan kembali harta yang hilang
digondol maling itu, sebagaimana mustahil menemukan Poh Wangi
dengan mengubek sekitar tempat itu. Para pengawal yang memburu
dengan berkuda tidak menemukan yang dicari karena Wirota Wiragati
mengayuh dayungnya lurus ke utara, ke arah laut lepas. Dan, manakala
dirasa jarak cukup, layar dinaikkan. Dengan layar terkembang, perahu
kecil itu melesat ke arah barat. Para pengawal itu tak ada yang menduga
maling mendatangi tempat itu menggunakan perahu.
Dengan takjub, Poh Wangi memandang lelaki di depannya yang
sibuk mengatur arah perahu sambil tidak pernah berhenti berharap,
pemuda tampan yang menggeluti pekerjaan sebagai maling itu adalah
pangeran yang dirindukan dan mau mengambilnya sebagai istri.
"Apakah kau sudah beristri?" tanya Poh Wangi.
Wirota Wiragati yang memandang ke depan itu menoleh. Maling
itu lalu menggeleng. "Belum," jawabnya. "Selama ini aku sedang riuh berpikir, apakah
nantinya aku memerlukan seorang istri atau tidak. Untuk saat ini, masih
banyak pekerjaan yang harus aku lakukan."
Poh Wangi tergoda rasa ingin tahunya.
"Pekerjaan apa?" tanya gadis itu.
"Kamu akan melihatnya nanti, sebentar lagi, tak jauh lagi."
Layar yang mengembang membawa perahu itu terus bergerak naik,
turun, mendaki, dan melembahi gelombang yang tak seberapa besar.
Poh Wangi menikmati ketakutannya. Selama ini ia dibuat penasaran
dan selalu dipenuhi oleh rasa ingin tahu, bagaimana rasa naik perahu
dan berada di tengah lautan yang sangat luas.
Hamukti Palapa 327 Cahaya bulan purnama yang terang benderang menjadikan
permukaan laut amat luas bagai benggala 186 retak. Dengan keadaan yang
demikian, para nelayan justru tidak memasang layar. Sebaliknya, jika


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam gelap gulita, gerak dan polah tingkah ikan akan terlihat dengan
jelas. Ikan-ikan bercahaya di dalam air, tak hanya kunang-kunang yang
bisa mengeluarkan cahaya, sebagian ikan di dalam air juga mengeluarkan
cahaya. Poh Wangi takut tenggelam, tetapi menikmati perjalanan menuju
kebebasannya itu. Dengan takjub, Poh Wangi memandangi tepian pantai
yang terlihat abu-abu di arah selatan. Sebaliknya, ketika ia menoleh
ke utara, di sana hanya menjanjikan garis panjang cakrawala yang
membentang tanpa ujung. Jika ada kerlap-kerlip jauh di utara, biasanya itu
lampu obor milik nelayan. Namun, juga bisa hantu laut sedang berulah,
terutama jika jumlahnya banyak dan bergerak cepat.
"Apakah kautahu, bagaimana kisah mahkota ini?" tanya Wirota
Wiragati. Poh Wangi kembali membalikkan mukanya. Pandangan matanya
tertuju ke benda gemerlap penuh berlian di genggaman si maling tampan.
"Apakah memang benar, ayahmu adalah seorang bangsawan?"
lanjut pemuda itu. Poh Wangi mengangguk. "Ayahku mengaku begitu, benda itu dimiliki dengan cara turun-
temurun." "Bangsawan dari mana?" kejar Wirota Wiragati.
"Menurut pengakuan ayahku, ia bangsawan keturunan Kediri."
Siapakah pemilik mahkota berharga mahal itu" Apakah milik
Kertajaya, Raja Kediri terakhir yang terbunuh dalam peperangan
melawan Ken Arok, pendiri Girindrawangsa187atau Rajasawangsa"
Pertanyaan itu sangat menggoda rasa ingin tahu Wirora Wiragati.
186 Benggala, Jawa, kaca 187 Girindrawangsa, dinasti Ken Arok
328 Gajah Mada Akhirnya, waktu sebentar lagi yang dimaksud oleh Wirota Wiragati
telah sampai. Ketika tampak gemerlap lampu-lampu di bagian pesisir
memanjang ke barat, Wirota Wiragati segera membelokkan arah
perahunya. Dorongan kuat dari angin yang berasal dari arah belakang
membawa perahu itu melesat cepat membelah ombak yang bergerak
timbul tenggelam. "Ayo, kita turun sebentar. Nanti kita melanjutkan perjalanan lagi
setelah urusan kita di tempat ini selesai."
"Urusan apa?" tanya Poh Wangi.
"Kita mengurangi jumlah muatan! Aku harus mengunjungi rakyatku
dan para pengagumku."
Poh Wangi mencari-cari, tetapi tak ada muatan apa pun dalam
perahu itu. Poh Wangi sibuk menduga, di antara para nelayan pasti ada
yang kaya raya dan perlu dijebol dinding rumahnya.
Poh Wangi tidak peduli meski kain panjang yang dikenakannya
basah kuyup ketika turun dari perahu yang telah di kat. Ia bergegas
mengikuti langkah Wirota Wiragati yang lebar dan seperti kekurangan
waktu. Poh Wangi sibuk bertanya-tanya dalam hati ketika melihat lelaki
itu mengenakan topeng sebelum mengetuk pintu, tentu maksudnya
supaya wajahnya tidak dikenali.
"Siapa?" terdengar pertanyaan, suara yang berasal dari mulut
perempuan tua. "Ini aku, Wiragati."
Tidak berapa lama terdengar pintu berderit. Seorang perempuan
keluar tanpa harus membawa lampu ublik. Cahaya bulan purnama yang
benderang menyebabkan wajah tamu di tengah malam itu terlihat amat
jelas, yang seorang gadis yang sangat cantik, sementara yang seorang lagi
Pedang Bunga Bwee 2 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Rahasia 180 Patung Mas 4
^