Pencarian

Kisah Si Naga Langit 4

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


akan tetapi engkau harus mencari sampai ketemu dan
membunuh seorang musuh besarku yang bernama Tiong Lee
Cin jin. Nah, sanggupkah engkau memenuhi. kedua syarat itu?"
Bi Lan yang masih berlutut itu tertegun. Syarat ke dua itu tidak
perlu ia ragukan lagi. Siapapun musuh gurunya, sudah menjadi
kewajibannya untuk menentang musuh besar gurunya. Akan
tetapi syarat pertama itulah yang berat. la ta-di mau menjadi
murid Lama itu agar ia dapat cepat diantar pulang. Akan tetapi
syarat itu menghendaki agar selama se-puluh tahun ia tidak
boleh pulang ke rumah orang tuanya! la mempertimbang-kan
syarat itu. Kalau ia menolak, ia harus pulang sendiri, padahal
Hang?chou begitu jauh, perjalanan begitu lama dan hampir
dapat dipastikan ia akan celaka di tangan orang-orang jahat di
206 sepanjang perjalanan jauh itu. Kalau ia menerinna, biarpun
selama sepuluh tahun ia berpisah dari orang tuanya, akan tetapi
setelah sepuluh tahun lewat, ia akan dapat bertemu kembali
dengan mereka. Selain itu, ia akan mendapatkan ilmu-ilmu yang
tinggi dari gurunya. "Hei, bagaimana ini" Kenapa diam saja" Kalau tidak mau,
sudahlah, pinceng inau pergi." "Mau, suhu, teecu mau dan
sanggup!" teriak Bi Lan cepat
"Benarkati engkau sanggup" Kalau begitu, bersumpahlah,
disaksikan Langit dan Bumi!"
Sejak kecil Bi Lan sudah diajar sastra oleh kedua. orang tuanya,
maka ia pernah membaca tentang orang bersumpah. Sambil
masih berlutut ia merangkap kedua tangan dan mengangkatnya
ke atas, lalu bersumpah dengan suara lantang, "Disaksikan
Langit dan Bumi, saya Han Bi Lan bersumpah akan menjadi
murid dari suhu Jit Kong Lama...." Sampai di sini Bi Lan menoleh
kepada kakek itu dan Jit Kong Lama menganggukkan kepala
membenarkan. " saya akan menaati semua perintahnya,
selama sepuluh tahun tidak akan meninggalkannya dan setelah
tamat belajnr saya akan pergl mencarl dan membunuh musuh
besar suhu yang bernama Tlong Lee Cin-jtn!"
Jlt Kong Lama tertawa dan mengang-guk-angguk dengan
gamblra sekali. Tadl dia telah meraba dan inenekan kepala dan
tubuh anak itu dan dia mendapat kenyataan bahwa Bi Lan
207 adalah seorang anak perempuan yang bertulang baik dan
berbakat sekali. la akan menjadi seorang murld yang baik
sekali. Watak datuk inl" memang aneh. Dia tidak ingin tahu
siapakah orang tua anak itu. Dia tidak perduli. Yang penting
baginya adalah anak itu, bukan orang tuanya. Maka diapun tidak
bertanya lagi siapa ayah ibu anak itu dan Bi Lan juga diam saja.
"Mari kita pergi, Bi Lan." Jit Kong Lama menggandeng tangan
anak itu dan dia berlari cepat sambil menggandeng. Bi Lan
terkejut sekali. la merasa tubuh?nya seperti melayang karena
kedua kakinya kadang tidak menginjak tanah. Saking cepatnya
mereka meluncur, Bi Lan memejamkan kedua matanya, apa lagi
kalau kakek itu membawanya melompatl jurang yang lebar dan
dalam. Jlt Kong Lama tldak berani kembali ke Tlbet dan dia membawa
Bi Lan ke sebuah di antara puncak-puncak yang terpencll di
Pegunungan Kun-lun-san. Dusun-dusun kecil di sekitar tempat
itu dihuni sedikit penduduk yang bekerja sebagai petani dan
mereka menganggap Jit Kong Lama sebagai seorang pendeta
yang bertapa di puncak itu, ditemani seorang murid perempuan.
Jit Kong Lama dan Bi Lan hidup secara sederhana di puncak itu
dan mulai hari itu dia menggembleng muridnya dengan tekun. Bi
Lan juga berlatih dengan rajin sekali. Anak perempuan kecil itu
sudah mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang pendekar
wanita agar kelak, selain dapat inembalas dendam gurunya
terhadap musuh besarnya, juga ia ingin mencari Ouw Kan untuk
membalaskan kematian neneknya, juga pelayan dan tukang
kebun mereka. Cita-cita inilah yang membuat anak itu bertahan
dan belajar dengan penuh semangat walaupun terkadang ia
merasa rindu sekali kepada ayah ibunya,
208 *** Kalau tidak diperhatikan tidak dlrasakan, sang waktu melesat
dengan amat cepatnya, lebih cepat daripada apapun Juga.
Tanpa terasa, bertahun-tahun lewat seolah baru beberapa hari
saja. Seorang tua yang mengenang masa kanak-kanaknya,
merasa seolah masa itu baru iewat beberapa hari saja, padahal
sudah pdluh-an tahun berlalu. Sebaliknya kalau diperhatikan dan
dirasakan, sang waktu merayap lebih lambat daripada siput
sehingga sehari rasanya seperti sebulan. Menanti" sesuatu atau
seseorang yang terlambat satu jam saja rasanya seperti sudah
terlambat sehari! Demikianlah, tanpa terasa sepuluh tahun telah lewat sejak Souw
Thian Liong mengikuti Tiong Lee Cin-jin sebagai murid pertapa
yang sudah berkelana itu. Tiong Lee Cln-jin mengajak Thlan
Liong pergi ke Puncak Pelangi, sebuah di antara banyak puncak
di Pegunungan Gobi. Di puncak yang indah namun sunyi ini
Tiong Lee Cln-Jin membangun sebuah pondok dari kayu dan
barnbu yang sederhana namun kokoh kuat. Dlbantu Thlan Liong,
dia membersihkan pondok itu dan bekerja mencangkul dengan
tekun setiap hari sehingga beberapa bulan kemudian di depan
dan kanan kiri pondok terdapat taman yang penuh tanaman
bunga beraneka warna dan belakang pondok terdapat sebuah
kebun yang luas. Dia mena-nam segala macam sayuran, pohonpohon buah dan juga tanaman obat-obatan.
Tiga empat tahun kemudian, karena kebiasaan dan kesukaan
Tiong Lee Cin-jin menolong dan mengobati penduduk dusun
sekitar puncak itu yang menderita sakit, dan pengobatannya itu
selalu berhasil menyembuhkan, maka dla dikenal sebagai Tabib
209 Dewa! Kemudian berdatanganlah para penduduk membawa
orang sakit ke Puncak Pelangi untuk minta obat kepada Tabib
Dewa. Setelah dibutuhkan banyak orang, Tiong Lee Cin-jin
menanam lebih banyak lagi tumbuh-tumbuhan yang
mengandung ,obat. Thian Liong digembleng ilmu silat setiap hari. Anak ini memang
rajln sekali, bukan hanya rajin berlatih silat, melainkan juga rajin
membantu suhunya sehingga diapun hafal akan semua jenis
tanaman obat. Akhirnya Thian Liong juga mempelajari ilmu
pengobatan dan suhunya yang bijaksana juga mengajarkan ilmu
sastra kepadanya. Demikianlah, setelah lewat sepuluh tahun, Thian Liong telah
menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun.
Bentuk tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya putih karena sejak
kecil tinggi di puncak bukit. Rambutnya hitam panjang dan lebat,
alisnya berbentuk golok, matanya tajam mencorong namun
bersinar lembut, hidungnya mancung dan mulut-nya selalu
membayangkan senyum penuh pengertian dan kesabaran.
Mukanya agak bulat namun dagunya runcing. Lang kahnya
tenang dengan tubuh tegak. Pa-kaian dan sikapnya yang
bersahaja dan rendah hati itu sama sekali tidak menunjukkan
bahwa pemuda ini seorang yang telah memiliki ilmu yang tinggi,
yang membuat dia menjadi seorang sakti yang lihai sekall.
Kerendahan hatinya itu wajar, sudah lahlr batin dan mendarah
daglng, karena sudah meresap benar ke dalam Jiwanya nasihat
gurunya yang beru-lang kali sejak dia pertama kali menjadi
muridnya. 210 "Ingat selalu, Thian Liong. Kita manusia ini hanya merupakan
seonggok darah daging dan tulang yang lemah dan tidak bisa
apa-apa kalau tidak ada Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam
diri kita. Karena itu ingatlah selalu bahwa apapun yang dapat
kita lakukan dalam hidup ini, baik melalui pikiran, kata-kata dan
perbuatan, semua itu hanya mungkin kare-na Kemurahan
Tuhan. Tuhanlah yang Maha Kuasa, Maha Pintar, Maha Bisa,
Maha Ada, dan Maha Segalanya sejak dahulu, sekarang, kelak
dan selama-lamanya. Kita ini hanya menjadi alatNya. Maka
ingatlah selalu agar engkau menjadi alat Tuhan yang baik,
karena kalau tidak, besar bahayanya onggokan darah daging
dan tulang ini akan diperalat oleh Iblis."
Nasihat ini sudah meresap dalam jiwa dan hati sanubari Thian
Liong, maka dia selalu merasa bahwa dirinya tidak bisa apa-apa
dan kalaupun ada yang dapat dia lakukan, hal itu dapat terjadi
karena Kekuasaan Tuhan yang membimbingnya.
Thian Liong mendapat kemajuan pesat dalam ilmu, sastra
karena gurunya memiliki banyak kitab kuno yang harus
dibacanya sampai habis. Kitab pelajaran filsafat dan agama
telah dibacanya semua dan sering kali Tiong Lee Cin-jin
mengajak dia merenungkan dan mempelajari inti pelajaran kitabkitab itu. Thian Li-ong tahu bahwa gurunya itu condong kepada
To-kauw (Agama To) dan pandangan hidupnya banyak
dipengaruhi filsafat da-lam Kitab To-tek-keng. Akan tetapi
gurunya juga tidak mengesampingkari ajaran-ajaran dari semua
agama lain. Diambilnya ajaran-ajaran yang seirama, dan ini
banyak sekali, dari agamaagama itu dan dikesampingkannya
sedikit perbedaan yang ada mengenai sejarah, kepercayaan,
dan upacara. 211 "Ketahuilah Thian Liong. Yang kita sebut Thian, Tuhan Yang
Maha Kuasa itu mutlak Maha Ada dan Maha Benar. Kalau
orang-oraog saling membicarakan dan mempertentangkan maka
akan tim-bul bentrokan dan perselisihan. Hal ini terjadi karena
mempertentangkan itu adalah hati akal pikiran kita yang sudah
diperalat nafsu. Hati akal pikiran kita terlalu kecil sekali untuk
dapat mengu-kur Keberadaan, Kebesaran, dan Kebe?naranNya.
Hati-akal-pikiran hanya akan membentuk aku ya.ng selalu minta
dibe-narkan, aku yang selalu merasa pintar, selalu merasa benar
sendiri, paling me-ngerti. Si?aku yang sesungguhnya bukan lain
adalah nafsu, kuasa iblis. Bagaimana mungkin kebenaran
hendak diperebutkan" Memperebutkan kebenaran itu sendiri
sudah jelas tidak benar! Semua agama mengajarkan manusia
untuk hidup baik dan bermanfaat bagi dunia dan manu-sia dan
semua agama itu benar adanya karena merupakan wahyu dari
Tuhan untuk membimbing manusia agar tidak tersesatdan agar
tidak melakukan kejahatan. Tbntu saja ketika wahyu dlturunkan,
manusia menerimanya disesualkan dengan jamannya,
kebudayaan bangsanya pada waktu itu, dengan tradisinya dan
segalanya. Hal ini tentu akan membuat wahyu-wahyu itu tampak
berbeda pada lahirnya. Pakaiannyg saja yang berbeda,
bahasanya, dan setelah lewat ratusan atau ribuan tahun
mungkin pula terjadi perubahan-perubahan dalam bahasa dan
penafsirannya. Kenapa mesti dicari perbedaannya" Kenapa mesti dipertentangkan" Kenapa mesti membenarkan agama sendiri
dan menyalahkan agama yang lain" Tuhan hanya satu. Bahkan
satu dl antara jutaan ciptaanNya, yaitu matahari, manfaatnya
untuk semua manusia di permukaan bumi, apalagt Tuhan
212 sendiri! Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan semua manusia,
tak perduli berbangsa atau beragama apapun, bahkan Tuhan
semua mahluk, yang tampak maupun yang tidak tampak, yang
bergerak maupun yang tidak bergerak! Lihatlah sebintik lumut.
Begitu kecil tak berarti, namun Kekuasaan Tuhan berada dalam
dirlnya, karena itu ia hldup!"
"Suhu, semua itu telah dapat teecu mengerti. Yang membuat
teecu masih belum jelas adalah ucapan suhu dahulu bahwa kita
tidak akan dapat merasakan bekerjanya Kekuasaan Tuhan
dengan jelas, tidak akan dapat mengerti kalau " menggunakan
hati akal pikiran kita. Lalu untuk mengerti kita harus
bagaimana?" "Hati akal pikiran itu hanya merupakan gudang penyimpan
segala macam pengalaman. la hanya akan mengetahui dan
rnengerti apa yang tersimpan dalam ingatannya saja. Selebihnya
ia tidak tahu apa-apa. Coba kau cari seorang yang belum pernah
kau kenal, tidak kau ketahui namanya, tidak kauketahui di mana
tinggalnya, dapatkah engkau" Tidak mungkin, bukan" Itu baru
mencari seorang manu-sia! Apalagi mencari Tuhan dan
KekuasaanNya! Bagaimana hati akal pikiran akan dapat
menemukannya" Nah, karena itu hentikanlah mencari dengan
hati akal pikiran, biarkan hening dan rohmu yang akan dapat
berhubungan dengan Tuhan. Tuhan itu ROH adanya, bukan
mahluk. Melihat kekuasaannya" Buka saja panca inderamu dan
perhatikan sekelilingmu. Dl mana-mana di luar dirimu dan di
dalam dirlmu, Kekuasaan itu tak pernah berhenti bekerja! Berkah
itu terus mengalir tiada hentinya. Lihatlah betapa sebentar saja
Kekuasaan itu, atau yang disebut To (Jalan) itu berhenti, akan
musnalah alam semesta ini! Matamu dapat melihat, hidungmu
213 dapat mencium, telingamu dapat mendengar, jantungmu
berdetik, rambutmu tumbuh dan segalanya itu, pekerjaan
siapakah" Dapatkah engkau menghentikan tumbuhnya sehelai
saja dari rambut di tubuhmu?"
Percakapan seperti inilah yang rnepi-i buat Thian Liong menjadi
rendah hati menghadap Tuhan dan menyerahkan diri
sepenuhnya dalam bimbingan KekuasaanNya.
Pada pagi hari itu, setelah melayani gurunya makan pagi dan
telah selesai mencucl peralatan makan, Tiong Lee Cin jin
memanggilnya. Suhunya sudah duduk di serambi depan pondok
mereka, duduk di atas sebuah bangku bambu Tiong Lee Cin-Jin
tampak termenung. Thian Liong menghampiri gurunya dan
duduk dl atas bangku di depan kakek itu sambil memandang
gurunya. Gurunya sekarang tampak segar dan sehat walaupun
usia-nya sudah enam puluh tahun. Sepahang matanya tajam
bersinar penuh wibawa, senyumnya tak pernah meninggalkan
bibirnya. Rambutnya sudah, dlhiasi uban, diikat dengan pita
kuning. Pakaian-nya sederhana sekali, hanya kain kuning yang
dilibatkan di tubuhnya. WaJah itu tampak jauh lebih muda dari
usia sebenarnya. Thian Liong tahu bahwa ini adalah hasil dari
ketenangan batin yang tak pernah dilanda permasalahan hidup.
Bukan berarti bahwa gurunya tidak pernah menghadapi
kesukaran-kesukaran hldup. Sama sekali bukan. Seperti ucapan
guru-nya. Manusia hidup tak mungkin terbebas daripada
masalah susah senang selama dia masih mempergunakan
pikiran ! karena susah senang ini memang perma-inan pikiran.
Apabila hati akal pikiran tidak bekerja, misalnya di waktu tidur,
maka manusia tidak akan lagi merasakan susah atau senang.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gurunya sudah memiliki batin yang kokoh kuat, tenang dan
214 seperti gunung karang, tidak tergoyahkan oleh hantaman
gelombang suka dan duka. Gurunya menghadapi semua
peristiwa yang menimpa dirinya sebagai suatu hal yang wajar
saja sehingga da-pat menerimanya sambil tersenyum, tidak
mempengaruhi perasaan batinnya. Tidak ada lagi rugi untung
bagi Tiong Lee Cin-jin. Bahkan tidak ada lagi susah senang yang
mengikuti batinnya. Semua keadaan diterima dengan tenang
dan seperti gunung karang menerima gelombang, susah senang
lewat begitu saja tanpa bekas.
"Suhu memanggil teccu"'" tanya Thian Liong.'
Tiong Lee Cin-jin memandang muridnya dengan sinar mata
penuh sayang dan tersenyum. Ada kebanggaan sedikit
memancar dari sinar matanya. Bagaimanapun juga, tentu saja
kebanggaan dalam hati kakek itu. Selama sepuluh tahun dia
menggembleng murid tunggalnya inj dan dia melihat kemajuan
yang luar biasa pada diri muridnya ini. Harus dia akui bahwa dia
sendiri di waktu muda tidak memilikjl bakat sehebat muridnya ini.
Dalam sepuluh tahun, Thian Liong hampir dapat menguasal semua ilmu yang
diajarkannya dengan baik. Bukan hanya ilmu silat lahiriah,
melainkan juga batiniah. Pemuda itu dapat menghimpun tena-ga
sakti yang amat kuat. Selain itu, ju-ga batinnya kuat,
pengetahuannya men-dalam mengenai soal kerohanian. Bagairaanapun juga, kebanggaan ini hanya ter-dorong oleh kepuasan
hatinya imelihat kemajuan muridnya, sama sekali tidak
n"embuat dia menjadi sombong atau ting-gi hati, lebih tepat
sebagai perasaan bangga dan puas dari seseorang yang melihat
hasil pekerjaannya berbuah baik dan memuaskan.
215 "Thian Liong, engkau tentu sudah dapat menduga apa
maksudku memanggilmu. Kalau engkau lupa menghitung, aku
ingatkan engkau bahwa telah sepuluh tahun engkau
mempelajari ilmu dariku."
Thian Liong menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang
berdebar. Tentu saja dia mengerti dan masih ingat akan ucapan
gurunya dahulu bahwa gurunya akan membimbingnya
mempelajari ilmu selama sepuluh tahun.
"Apakah suhu maksudkan bahwa wak-tunya telah tiba bagi
teecu untuk berpisah dari suhu?" tanyanya dengan suara tenang
dan sikap biasa saja. Gurunya mengangguk-angguk. "Benar, Thian Liong. Seperti
pepatah dahulu mengatakan bahwa ada waktu berkumpul pasti
akan tiba waktu berpisah. Tiada yang abadi di dunia ini dan
perubahan memang perlu bagi kehidupan ini. Seka-rang tiba
saatnya bagi kita untuk saling berpisah, Thian Liong. Erigkau
perlu untuk turun gunung dan mempraktekkan se-mua teori
pelajaran yang pernah engkau terima dariku. Tanpa diamalkan,
apa gu-nanya semua ilmu yang kaukuasai itu" Dan tanpa
diamalkan, sia-sia sajalah engkau bersusah payah selama
sepuluh tahun mempelajarinya, Selain itu, aku juga akan
memberi beberapa tugas untuk itu."
"Teecu akan senantiasa menaati semua perintah suhu dan
ceecu akati sela-lu ingat akan semua nasehat suhu dan akan
melaksanakannya dalam langkah ke-hidupan teecu. Tugas
apakah yang hendak suhu berikan kepada teecu?"
216 "Tentu engkau masih ingat akan tugas hidupmu setelah engkau
menguasai ilmu yang seiama sepuluh tahun ini kau pelajari
dengan tekun di sini. Tugas seo-rang pendekar yang membela
kebenaran dan keadilan, membela mereka yang lemah tertindas
dan menentang mereka yang kuat kuasa dan sewenangwenang. Terutama sekali engkau jangan lupa untuk berbakti
kepada bangsa dan kerajaan Sung, membantu kerajaan
menghadapi kemurkaan ba.ngsa Kin. Itu merupakan tugas
umum bagimu yang dapat kaulaku-kan sepanjang hidupmu. Aku
masih mem-punyai dua buah tugas untukmu. Perta-ma, ada
beberapa bingkisan kitab yang harus kauserahkan kepada Ketua
Kuil Siauw-lim-pai, Ketua Partai Kun-lun-pai, dan ketua partai
Bu-tong-pai. Kitab-kitab itu ada hubungannya dengan ilmu silat
mereka, untuk memperdalam dan mema-tangkan ilmu mereka.
Kemudian, sisa ki-tab-kitab agama dan filsafat agar kau haturkan
kepada Sribaginda Kaisar Sung Kao Tsu. Dan yang terakhir, dan
ini penting sekali, engkau harus berusaha urituk menyelamatkan
Kerajaan Sung dari pengaruh buruk Perdana Menteri Chin Kui".
"Apakah kesalahan Perdana Menterl Chin Kui maka teecu harus
menentangnya, suhu?"
"Aku belum menceritakan kepadamu terttang Jenderal Gak Hui,
patriot dan pahlawan sejati itu, Thian Liong. Ketahuilah, Jenderal
Gak Hui berhasil rnem-bujuk Sribaginda Kaisar untuk memberi
ijin kepadanya melakukan penyerbuan ke utara untuk merampas
kembali daerah Sung yang telah dikuasai bangsa Kin.
Sribaginda telah memberi ijinnya, dan Jen-deral Gak Hui telah
berhasil menyerbu ke utara dan menang dalam banyak
pertempuran. Akan tetapi apa yang terjadi" Perdana Menteri
217 Chin Kui membujuk Kaisar untuk memerintahkan Jenderal Gak
Hui agar menghentikan serbuan ke utara dan menarik mundur
pasukannya!" "Akan tetapi mengapa begitu, suhu?"
"Menurut berita rahasia yang sempat kudengar, agaknya antara
Perdana Menteri Chin Kui dan Kerajaan Kin terdapat
persekutuan rahasia. Karena itulah maka perdana meneri yang
khianat itu mem-bujuk kaisar dan karena dia memiliki pengaruh
yang amat besar maka kaisar berhasil dibujuknya.
"Akan tetapi apakah Jenderal Gak Hui mau menarik mundur
pasukannya?"tanya Thian Liong penasaran.
"Jenderal Gak Hui adalah seorang pang lima yang amat setia
dan jujur, maka apapun yang diperintahkan kaisar dia pasti tidak
mau menolaknya. Dia mema-tuhi perintah kaisar dan menarik
mundur pasukannya walaupun ditangisi rakyat yang tadinya
daerahnya dibebaskan dari cengkeraman bangsa Kin. Tentu
saja hal itu menghancurkan hati Jenderal Gak Hui sehingga dia
tidak segera membawa kembali sebagian dari barisannya ke
selatan, melainkan membuat perkemahan di perbatasan."
"Kasihan sekali rakyat yang ditinggalkan dan kasihan Jenderal
Gak Hui." kata Thian Liong sambil menarik napas panjang.
"Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, suhu?"
"Kisah selanjutnya sungguh membuat hati menjadi terharu,
Thian Liong. Setelah pasukan Jenderal Gak Hui ditarik mundur,
pasukan kerajaan Kin melampiaskan dendamnya kepada rakyat
yang tadinya menyambut pasukan Sung dengan gembira.
218 Mereka dianggap membantu pasukan Sung dan setelah mereka
ditinggalkan, pasukan Kin menghukum rakyat daerah yang telah
dibebaskan kemudian ditinggalkan itu dengan kejam dan
sewenang-wenang. Banyak rakyat tidak berdosa dibunuh. Para
serdadu Kin mendapat kesempatan untuk melampiaskan nafsu
mereka dengan alasan mereka menghajar musuh. Mereka
merampok, memperkosa dan tidak ada kekejaman yang pantang
mereka lakukan." "Hemm, begitukah kiranya kalau nafsu sudah menguasai
manusia, mengubah manusia menjadi lebih kejam daripada
binatang buas yang tidak mempunyai akal pikiran."
"Benar, Thlan Liong. Ketika Jenderal Gak Hui mendengar
laporan ini dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. ia lupa
diri bahkan berani melupakan perintah kaisar yang melarangnya
menyer-bu ke utara. Dia sendiri memimpin pasukannya dan
mengamuk, membasmi dan membunuh banyak sekali pasukan
Kerajaan Kin." "Sungguh seorang panglima yang men-cinta bangsanya dan
gagah perkasa." Thian Liong memuji dengan kagum.
"Memang begitulah. Akan tetapi akibatnya menyedihkan sekali,
Thian Liong. Perdana Menteri Chin Kui menjadl marah sekali
dan siap menghasut kaisar, mengatakan bahwa Jenderal Gak
Hui telah menentang perintah kaisar, berarti telah memberontak
dan pantas dihukum mati."
"Ah, suhu! Akan tetapi Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu
tentu tidak mudah ditangkap. Selain gagah perkasa, diapun
219 memiliki pasukan yang amat kuat dan setia, Juga didukung
rakyat yang mencintanya." kata Thian Liong penuh harapan,
Gurunya menggeleng kepala dan meng hela napas panjang.
"Kenyataannya tidak demikian, Thlan Liong. Jenderal Gak Hui di
waktu mudanya pernah disumpah oleh ibunya untuk bersetia
sampai mati, kalau perlu berkorban nyawa. Karena itu, ketika
Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Gak Hui,
dia menerinianya dengan hati-rela dan menyerahkan diri
walaupun para pendukungnya berusaha keras untuk
mencegahnya. Bahkan kawankawannya terdekat yang bertekad
hen-dak menyelamatkannya dari hukuman mati, bahkan
dibentak dan dimarahi oleh Jenderal Gak Hui sebagai orangorang yang tidak setia kepada kaisar! Demikianlah, panglima
besar yang setia dan patriotik itu, panglima yang benar-benar
seorang pahlawan, telah menemui kematiannya secara
menyedihkan, menjadi korban kelicikan Perdana Menteri Chin
Kui." Thian Liong menghela napas panjang. "Ahh, sekarang teecu
mengerti mengapa suhu menugaskan teecu untuk menentang
pembesar lalim itu dan menyela-matkan kerajaan dari tangannya
yang kotor. Teecu akan berusaha sekuat tenaga untuk
melaksanakan tugas yang suhu berikan kepada teecu."
"Sekarang kauambillah peti dari kolong pembaringanku
dan bawa peti itu ke sini." kata Tiong Lee Cin-jin. Thian Liong
mengangguk lalu memasuki kamar gurunya dan membawa
sebuah peti hitam diletakkan peti itu di depan gurunya.
220 Tiong Lee Cin-jin membuka peti kayu hitam itu. Ternyata peti itu
berisi banyak kitab yang sudah tua. Dia mengeluarkan tiga buah
kitab. "Ini adalah sebuah kitab Sam-jong Cin keng berisi pelajaran dari
Ji-lai-hud. Kitab ini harus kauserahkan kepada Ketua Siauw-limpai karena Kuil Siauw-lim yang berhak memiliki dan
merawatnya, juga mempelajari isinya. Yang ke dua ini kitab
Kiauw-ta Sin-na dan pelajaran ini sealiran dengan ilmu
cengkeraman dari Bu-tong-pai, maka harus kauserahkan Ketua
Butong-pai. Yang ke tiga ini adalah kitab inti ilmu Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat, agar
kauserahkan Ketua Kun-lun-pai. Dan ini," kakek itu
mengeluarkan sebatang pedang dan belasan buah kltab.
"Belasan kitab agama dan fllsafat ini harap kau haturkan kepada
Sribaglnda Kaisar untuk menambah pelajaran ahlak para
pejabat, sedangkan pedang ini, lihat nama pedang itu yang ter
ukir di pangkalnya."
Thian Liong mencabut pedang itu. Pedang itu ternyata tumpul,
tidak tajam dan tidak runcing! Terbuat dari baja yang berwarna
putih gelap seperti kapur. Dia melihat tiga huruf yang terukir
pada pangkal pedang itu dan memba-ca tiga huruf itu, mata
Thian Liong terbelalak lebar karena keheranan. Dia membaca
namanya sendiri di situ. Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit)!
Meng?apa pedang itu bernama presis seperti namanya" Dia
menyarungkan pedang itu kembali dan memandang kepada
gurunya dengan sinar mata mengandung pertanyaan.
221 Tiong Lee Cin-jin tersenyum, "Begitulah aku dahulu ketika untuk
pertama kali mendengar engkau menyebutkan namamu. Seperti
juga engkau sekarang ini, aku terheran-heran. Apalagl ketika itu,
ketika kita pertama kali bertemu, aku memandang ke angkasa
mellhat awan-awan membentuk seekor naga yang sedang
melayang di angkasa. Sungguh sua-tu kebetuian yang
menakjubkan. Aku telah menemukan pedang yang namanya
Thian-liong-kiam, kemudian aku mendengar namamu juga Thian
Liong dan melihat Thian-liong (Naga Langit) terbang di angkasa.
Karena itu, maka aku mengambil keputusan untuk memberikan
pedang ini kepadamu."
"Akan tetapi, untuk apakah pedang ini, suhu" Suhu selalu
mengajarkan bah-wa semua anggauta tubuh kita dapat
dimanfaatkan untuk melindungi diri, dan benda apapun juga
yang tampak dapat kita pergunakan untuk rnembantu dan
menjadi senjata kita."
"Benar sekali dan kenyataannya memang masih seperti itu,
Thian Liong. Akan tetapi, pedang ini sudah kutemukan dan
benda ini buatan orang sakti, merupakan benda pusaka yang
langka. Juga, melihat pedang ini tumpul, tidak taJam dan tidak
runcing, aku yakin pembuatnya dahulu tidak mempunyai maksud
agar pedang ini dipergunakan untuk melukai atau membunuh
orang. Ambillah dan engkau dapat mernanfaatkamiya bila perlu.
Ketahuilah, bahwa selain pedang ini terbuat dari batu bintang
yang lebih kuat daripada baja, juga air rendamannya dapat
menawarkan segala macam racun."
222 Terima kasih, suhu. Kapah teecu ha-rus berangkat, suhu?"
Dalam pertanyaan ini terkandung keharuan karena mengingatkan dia bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dari orang
yang selarna ini bukan saja menjadi gurunya, akan tetapi Juga
menjadi pengganti orang tuanya, menjadi satu-satunya orang
yang menyayang dan disayangnya di dunia ini. Selain merasa
berat untuk berpisah dari orang yang dihormati dan disayangnya
itu, dengan siapa selama sepuluh tahun dan hidup bersama,
juga ada perasaan iba mepyelubungi hatinya mengingat bah-wa
gurunya yang sudah tua itu akan dia tinggalkan dan hidup
seorang diri, tidak akan ada yang membantu bekerja di kebun,
tidak ada yang melayaninya lagl. Akan tetapi dengan batinnya
yang telah menjadi kokoh kuat Thlan Liong dapat menguasai
perasaannya sehingga perasaan haru itu tidak tampak pada
wajahnya dan tidak terdengar pada suaranya.
"Berkemaslah karena engkau harus berangkat hari ini juga. Hari
ini cerah, indah dan baik sekali untuk memulai perjalananmu.
Bungkus semua kitab ini dalam buntalan kain agar mudah kau
gendong. Jangan lupa bawa semua pakaianmu, juga semua
uang hasil penjualan hasil kebun dan sumbangan orang-orang
yang berobat itu boleh kaubawa sebagai bekal dalam
perjalanan." "Baik, suhu." Thian Liong segera ber-kemas, mengumpulkan
semua kitab dan pakaiannya menjadi satu buntalan kain kuning.
Juga pedang Thian-liong-kiam yang bergagang dan bersarung
sederhana itu dia masukkan dalam buntalan, demi-kian pula
uang pemberian suhunya. Sete-lah selesai, dia menggendong
buntalan kain kuning di pungungnya dan menjatuhkan dirinya
berlutut lagi di depan kaki suhunya.
223 "Suhu, haruskah teecu berangkat sekarang?" "Berangkatlah
sekarang juga, Thian Liong." "Suhu, teecu mohon pamit."
"Mendekatlah, Thian Liong. Blarkan aku memelukmu."
Pemuda itu mendekat dan Tiong Lee Cin-Jin lalu merangkulnya.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian Liong balas merangkul. Dalam rangkulan itu guru dan
murid ini merasakan betapa kasih sayang mereka menggetar
menjalar dl seluruh tubuh mereka, membuat tubuh mereka
gemetar. "Berhati-hatilah dalam perantauanmu, Thian Liong. Ingatlah
selalu kepada Tuhan dan dasari semua tindakanmu dengan
penyerahan sepenuhnya atas Kekuasaan Tuhan, waspadalah
selalu gerak-gerik la-hir batinmu sendiri."
"Akan teecu Ingat semua itu, suhu. Harap suhu menjaga dirl
baik-baik. Selamat tinggal, suhu."
"Selamat jalan, muridku."
Thian Liong bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata
gurunya. Dia melangkah terus, keluar dari pekarangan,
beberapa kali menengok dan melihat gurunya berdiri di ambang
plntu depan. Thian Liong melihat gurunya tersenyum. Diapun
tersenyum dan seketika rasa sedih dari haru karena perpisahan
itu larut dalam senyum. Dla melangkah lebar dan dengan cepat
meninggalkan Puncak Pelangi.
Tiong Lee Cin-jin memandang bayangan muridnya sampai
lenyap dltelan pohon-pohon. Dia masih tersenyum, akan tetapi
kedua matanya basah. Dia berkejap sehingga ada dua titik alr
224 mata turun di atas kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengah
tangan kanan, kemudi-an dipandangnya tangan yang basah
terkena air mata dan Tlong Lee Cln-jln tiba-tiba tertawa bergelak.
Dia mentertawakan ulah nafsu yang mendatangkan iba diri dan
mentertawakan kelemahan itu, Kemudian sambil masih tertawa
dla masuk lagi ke dalam rumah dan duduk bersila di atas
pembaringan, lalu bernyanyi dengan suara lantang.
"Setelah men genal keindahan
dengan sendirinya men genal keburukan, setelah Cahu akan
kebaikan dengan sendirinya tahu pula akan keJahatan. Sesungguhnya
ada dan tlada saling melahlrkan
sukar dan mudah saling melengkapi panjang dan pendek saling
men gadakan tinggi dan rendah saling menunjang sunyi
dan suara saling men gisi dahulu dan kemudian saling
menyusul. Itulah sebabnya para bijaksana
bekerja tanpa pamrih men gajar tanpa bicara.
Se gala terjadi tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia in gin
memilikinya berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.
Walau berjasa dia tidak menuntut
225 Justeru tidak menuntut maka takkan musna ".
Suara nyanyian Tiorig Lee Cin-jin yang mengambil ayat-ayat dari
kitab To-tek-keng ini perlahan saja, akan tetapi karena suara itu
didorong tenaga khi-kang yang amat kuat, maka suara itu
mengandung getaran kuat dan terdengar pula oleh Thian Liong
yang sedang melangkah cepat menuruni Puncak Pelangi.
Mendengar nyanyian yang sudah dikenalnya itu Thian Liong
tersenyum dan dia mempercepat langkahnya menuruni puncak.
*** Untuk memenuhi tugas dari gurunya, Thian Liong lalu
melakukan perjalanan ke Kun-lun-san. Tempat ini yang paling
jauh di antara yang lain, maka dia lebih dulu hendak pergi ke
Kunlun-pai untuk menyerahkan Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat yang berada dalam buntalan kain kuning di punggungnya.
Setelah itu, baru dia akan pergi ke Bu-tong-pai dan Siauw-limpai.
Kemudian yang dia akan pergi ke kota raja Hang-chou,
menghadap Kaisar Sung Kao Tsu dan menyerahkan tiga belas
buah kitab. Setelah semua kitab dapat dia serahkan ke-pada
mereka yang berhak menerimanya, baru dia akan menyelidiki
tentang Perdana Menteri Chin Kui dan kalau ternyata pembesar
itu masih merupakan pembesar lalim yang mengancam
keselamatan kerajaan, dia akan menentangnya sekuat
tenaganya. Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahka'n,
melalui gu-run dan pegunungan, akhirnya pada suatu hari dia
tiba di kaki pegunungan Kun-lun. Ada sebuah jalan raya yang
cukup lebar menuju ke barat dan jalan ini yang biasa
226 dipergunakan para rombongan peda?gang yang membawa
barang dagangan mereka dari dan ke daerah barat, menuju
Tibet, terus ke selatan ke Kerajaan Bhutan Nepal, dan India.
Jalan itu seringkali sunyi, baru ramai kalau musim panas tiba
dan para pedagang banyak yang rnelaku-Kari perjalanan dalam
rombongan yang dikawal dengan kuat. Pada hari-hari biasa,
yang melewati Jalan itu hanyalah penduduk dusun-dusun
sekltarnya, para petani, pemburu, dan pencari hasil hutan.
Pagi harl itu Thian Liong berJalan dlatas Jalan besar, menantinantl kalau ada orang yang dapat dla tanyal ten-tang Kun-lunpaL Dia sudah kehablsan bekal. Uangnya yang dia dapat dari
gu-runya tidak berapa banyak dan sudah ha-bis untuk membeli
makanan dalam. perjatanan selama ini. Gurunya pernah berpesan kepadanya untuk kebutuhan hidup-nya dia harua mencarl
uang dengan be?kerja. BekerJa apa SaJa asalkan tidak
merugikan orang. Tentu saJa dengan mempergunakan ilmu
kepandaiannya, de-ngan mudah dia akan dapat mengambil
uang milik orang tain, akan tetapi hal itu berarti merugikan orang
lain dan tentu saJa dia tidak akan sudi melaku-kan perampokan
atau pencurian. Akan teCap! pagi ini uangnya sudah habis sama sekali, maka dia tidak dapat membeli bekal makanan ketika
melewatl sebu-ah dusun pagi tadi.
Ketika dia tlba dl sebuah Jalan yang terletak di tempat tinggi, dia
melihat jauh di depan ada debu mengepul dan terlihat gerakan
banyak orang sedang bertempur. Mellhat adanya beberapa buah
gerobak berdlrl tak Jauh dari tempat pertempuran Itu, Thian
Liong dapat menduga bahwa sepihak dari mereka yang
bertempur Itu tentu rombongan pedagang. Teringatlah dia akan
cerita guru-nya bahwa para pedagang Jarak Jauh Itu blasanya
227 dlkawal oleh orangorang yang pandal ilmu silat karena banyak
penJahat yang berusaha untuk merampok barahg dagangan
yang berharga mahal stu. Thian Llong lalu berlari cepat
menurunl lereng Itu dan sebentar saja dia sudah tiba dl tempat
pertempuran. Dia meli-hat lima orang yang berpakalan sebagai
saudagar berdiri ketakutan dekat lima buah kereta penuh
barang, bersama lima orang kusir kereta yang Juga menon-ton
perkelahlan dengan slkap ketakutan.
Thlan Llong memandang ke arah mereka yang berkelahi.
Ternyata yang berkelahi hanya dua orang laki-laki yang
dikeroyok oleh belasan orang yang berpakaian sebagai
pengawal. Akan tetapi dua orang yang bersilat pedang itu lihai
bukan main. Dikeroyok belasan orang, mereka sama sekali tidak
terdesak, bahkan para pengeroyok yang kocar-kacir dan sudah
ada iima orang di antara mereka roboh mandi darah.
Karena tidak tahu persoalannya, Thlan Liong merasa ragu untuk
bertindak. Dia tidak tahu slapa yang berada di pihak yang jahat
sehingga dia meragu siapa yang harus dibelanya. Thian Llong
lalu menghampiri lima orang saudagar yang bersama lima orang
sais berdiri diekat kereta.
"Sobat-sobat, apakah yang terjadi?" dia bertanya. Para
saudagar yang tadinya takut melihat Thlan Liong mendekati
mereka karena mengira karena pemuda itu kawan para
perampok, menjadi lega mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi
karena pemuda itu tampak hanya seperti seorang pemuda
dusun yang bersahaja dan lemah, merekapun tldak dapat
mengharapkan bantuan darlnya.
228 "Orang muda, pergilah cepat. Dua orang itu adalah perampok
yang hendak merampas barang kami dan belasan orang itu
adalah para piauwsu (pengawal barang) yang melindungi kami."
jawab seorang kusir yang berdiri paling dekat dengan Thian
Liong. Mendengar ini, Thian Liong tldak ragu lagi pihak mana yang
harus dia bantu? Dia memandang ke arah perkelahian. Dua
orang itu memang lihai sekali. Para piauwsu yang juga
mempergunakan pedang sebagai senjata, sudah kewalahan dan
terdesak ke belakang. Dua orang itu berusia kurang lebih einpat
puluh tahun, orang pertama bertubuh tinggi kurus dengan muka
berbentuk meruncing seperti muka tikus dan orang ke dua
bertubuh pendek gendut namun gerakannya tidak kalah cepat
dibandingkan kawannya. Kedua orang itu mengenakan pakaian
yang sama, seluruhoya berwarna hitam dari sutera halus dan di
bagian dada ada, gambar seekor burung rajawali putih.
Thian Liong lari menghampiri pertempuran itu dan mengerahkan
tenaga sakti lalu berseru, "Hentikan pertempuran dan tahan
senjata!" Seruannya ini mengandung kekuatan yang memaksa mereka
yang sedang bertempur itu masing-masing menahan gerakan
dan berlompatan mundur sehingga otomatis pertempuran itu
terhenti. Dan orang berpakaian hitam itupun berlompatan ke
belakang dengan wajah terheranheran. Mereka semua kini
memutar tubuh menghadapi Thian Liong dengan sinar mata
heran dan juga penasaran.
229 Seorang di antara dua orang perampok itu, yang bertubuh tinggi
kurus dan bermuka tikus membawa sebuah kantung kain biru
yang diikatkan di punggungnya. Dia yang kini membentak
kepada Thian Liong, "Heh, orang muda! Mau apa engkau menghentikan perkelahian
kami?" Thian Liong berkata dengan sabar, "Sobat, aku mendengar
bahwa kalian berdua merampok para saudagar ini sehingga di
antara kalian semua terjadl perkelahian yang mengaklbatkan
luka bahkan mungkln kematian. Kenapa kalian berdua
melakukan kejahatan ini" Kalau memang kalian rnembutuhkan
sumbangan, saya kira kalian dapat memlntanya darl para
saudagar ini dan mereka tentu tldak akan menolak kalian untuk
memberi sumbangan." Dua orang perampok itu terbelalak keheranan, keduanya saling
pandang kemudian mereka tertawa geli melihat ulah pemuda
yang mereka anggap tolol itu. "Hei, bocah tolol!
Menggelindinglah pergi dan jangan mencampuri urusan kami.
Kami adalah orang-orang Pek tiauw-pang (Perkumpulan
Rajawali Putih) dan kami akan membunuhmu pula kalau engkau
tidak cepat pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, dua orang itu audah menerjang lagi,
menyerang pa-ra piauwsu yang tinggal berjumlah tiga belas
orang itu. Para piauwsu juga menggerakkan pedang mereka dan
kembali mereka berkelahi. Suara pedang bertemu pedang
berdentlngan dan dua orang yang mengaku sebagal orangorang Pek-tiauw-pang itu mengamuk.
230 Thian Liong tertegun, kecewa bahwa dua orang itu Udak
mendengar nasihat-nya. Akan tetapi sebelum dia turun tangan,
tiba-tiba tampak bayangan merah muda berkelebat dan tahutahu di situ telah berdiri seorang gadis yang mengenakan
pakaian serba merah muda. Gadis itu berusia kurang lebih tujuh
belas tahun, cantik jelita seperti dewi, dan sepasang matanya
mengeluarkan sinar mencorong dan mata itu jeli dan tajam
bukan main. la berdiri disitu, tangan kiri bertolak pinggang,
tangan kanan memegang sebatang ranting pohon yang masih
ada daunnya, lalu terdengar suaranya melengking.
"Sudah lama kudengar akan kejahatan Pek-tiauw-pang!
Sekarang aku melihat sendiri dua orang Pek-tiauw?pang
merampok. Nonamu ini tidak akan mengampuni kalian!" Setelah
berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali seperti seekor
burung terbang dan ia sudah melayang dan menyerang dengan
ranting pohon itu ke arah si pendek gendut! Biarpun ranting itu
hanya sebesar ibu Jari kaki, dan panjangnya hanya satu meter,
akan tetapi ketika menyambar ke arah kepala perampok pendek
gendut, terdengar suara bercuitan dan ranting itu berubah
menjadi slnar kehijauan yang menyambar ke arah jalan darah di
leher si pendek gendut. Jagoan Pek?tiauw-pang ini terkejut
bukan main karena dia dapat, merasakan, sambaran angin
serangan yang dahsyat mengarah lehernya. Itu merupakan
serangan maut' Cepat' dia mengelak dan melompat ke belakang,
akan tetapi ada sehelai daun yang terlepas dari ran-ting itu dan
terbang menampar pipinya,
"Plakk!" Biarpun hanya sehelai daun basah yang mengehai
pipinya, akan tetapi terasa cukup nyeri, panas dan pedih. Si
pendek gendut menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan
231 gerengan dan memu-tar pedangnya, menyerang ke arah gadis
berpakaian merah muda itu. Pedangnya menjadi stnar putih
bergulung-gulung yang menyerbu ke arah gadis itu. Akan tetapi
dengan indahnya gadis itu beriompatan menghindar dan
terdengar ia mengeluarkan suara tawa merdu yang mengejek.
"Hi-hik, manusia macam katak buduk beranl melawan nonamu"
Engkau sudah boaen hldup!" Rantlng dl tangan pdii itu
membalaa, rnenyambar-nyambar, akan tetapl si pendek gendut
Itupun lihai. Dia dapat menangkls dengan pedang dan ba-las
menyerang. TerJadi perkelahian seru di antara mereka.
Sementara itu, tiga belas orang piauwsu yang melihat betapa si
pendek gendut sudah berkelahi melawan gadis baju merah
muda yang membantu mereka, kini menyerbu dan mengeroyok
si muka tikus! Perampok tinggi kurus bermuka tikus ini mengerutkan alisnya,
memutar pedang melindungi dirinya. Dia tahu bahwa ka-lau dia
seorang diri harus menghadapi pengeroyokan tiga belas orang
piauwsu itu, dirinya dapat terancam bahaya. Dia melirik ke arah
temannya dan mendapat kenyataan bahwa gadis muda itu llhai
sekali, bahkan dengafl sepotong rantlng agaknya dapat
membuat kawannya repot sekali. Tiba-tiba sl tingg! kurus
melompat Jauh ke belakang dan melarikan diri!
Terdengar teriakan yang keluar dari kelompok saudagar itu.
"Tolong! Dia membawa semua uang kami
dalam kantung biru itu! Kejar dia ! !"
Para piauwsu mengejar, akan tetapi ternyata orang tinggi kurus
itu larinya cepat sekali. Melihat dan mendengar ini, Thian Liong
232 lalu melompat ke depan dan melakukan pengejaran. Para
piauwsu menghentikan pengejaran mereka karena mereka
teringat akan keselamatan lima orang saudagar yang harus
mereka lindungi. Mereka kembali ke tempat itu dan melihat gadis
berpakaian merah muda itu masih bertanding melawan
perampok gendut pendek, mereka menonton sambil bersiapsiap. Sebagian dari mereka merawat lima orang kawan yang
terluka. Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat yang
nsenibuat tubuhnya meluncur seperti terbang ketika melakukan
pengejaran, sebentar saja Thian Liong sudah dapat menyusul
perampok tinggi kurus bermuka tikus yang melarikan diri itu.
"Perlahan dulu, sobat!"
Si tinggi kurus itu terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia melihat bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di depannya
telah berdiri pemuda yang tadi mencela dia dan temannya
karena melakukan perampokan! Tadinya dia terkejut mengira
bahwa yang dapat menyusulnya adalah gadis yang amat lihai
itu. Akan tetapi ketlka mendapat kenyataan bahwa pengejarnya
hanyalah pemuda tadi yang tampak biasa saja, dia menjadi
marah sekali. JILID 7 "Mampuslah" Bentaknya dan dia sudah menyerang dengan
bacokan pedangnya ke arah leher Thian Liong. Orang itu sudah
membacok dengan sekuat tenaga dan sudah merasa cepat
sekali. Namun bagi mata dan telinga Thian Liong yang terlatih
baik, bacokan itu datangnya lambat dan lemah saja. Maka
233 dengan mudah dia mengelak dengan miringkan tubuhnya
sehingga bacokan meluncur lewat mengenai tempat kosong.
"Sobat, aku tidak mau berkelahi denganmu. Aku hanya
menghendaki agar engkau menyerahkan buntalan biru itu. kata
Thian Liong tenang. Si tinggi kurus itu menghentikan gerakannya. "Apa" Engkau juga
menghendaki uang ini" Kalau begitu, kita adalah rekan
segolongan, mengapa engkau menggangguku" Kalau engkau
minta bagian, katakan saja dan aku pastl akan memberimu."
Thlan Liong menggeleng kepalanya. "Tldak, aku tldak
menginginkan uang itu Akan tetapi uang itu harus dlkemballkan
kepada pemlliknya yang merasa kehllangan. Serahkan buntalan
itu kepadaku dan aku tidak akan menahanmu lagi."
"Engkau minta ini" Nah, terimalah!" Si muka tikus membentak
akan tetapl bukan buntalan itu yang dia berikan, melainkan
pedangnya sudah menyambar lagi dengan cepat karena dia
mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi dengan tenang
namun jauh lebih cepat Thian Liong miringkan tubuhnya,
membuat langkah ke depan mengitari tubuh lawan, tangan
kirinya menepis tangan lawan yang memegang pedang
sedangkan tangan kanannya meraih ke arah punggung
perampok muka tikus itu. "Dukk ! Aduhh brettt'!" Tubuh perampok
itu terhuyung dan buntalan yang tadinya tergantung di
punggungnya telah berpindah ke tangan Thian Liong.
234 Perampok itu marah sekali. Tentu saja dia tidak rela buntalan
biru berisi uang emas dan perak itu direbut begitu saja. Biarpun
tangan kanannya terasa ngilu ditepis tangan Thlan Llong tadi,
namun kemarahan membuat dla tldak merasakan Ini dan dla
sudah menerjang lagi seperti kesetanan.
"Kembalikan bungkusan itu!" terlaknya.
"Benda ini bukan milikmu." kata Thian Liong dan tubuhnya
bergerak cepat mengelak dari sinar pedang yang menyambarnyambar. Sampai belasan kali pedang itu menyambar namun
tak pernah dapat menyentuh ujung baju Thian Liong. Melihat
kenekatan orang itu, Thian Liong menyadari bahwa penjahat
seperti ini sukar untuk diharapkar kesadarannya tanpa memberi
hajaran kepadanya. "Slnggg....!" Pedang menyambar lagl membabat ke arah
pinggang kiri Thian Liong. Pemuda Itu menggerakkan kaki
kirinya yang mencuat ke depan menyambut serangan itu. Ujung
kakinya menendang pergelangan tangan yang memegang
pedang. Pedang terlepas dan terpental jauh dan sebelum si
muka tikus hilang kagetnya, kaki kanan Thian Liong mencuat.
"Dukkk!" Kaki itu menyambar dada dan tubuh perampok
bermuka tikus itu terjengkang dan terbanting roboh. Sambil
meringis kesakitan dia merangkak bangun. Kini maklumlah dia
bahwa pemuda ini lihai sekali dan kalau dia melawan terus,
berarti dia mencari penyakit. Maka setelah dapat bangkit berdiri
dan kepeningan kepala serta kesesakan napasnya mereda, dia
lalu melarikan diri meninggalkan Thian Liong yang masih berdiri
dengan sikap tenang. Setelah melihat penjahat itu pergi, diapun
235 lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat di mana
terjadi perampokan tadi. Sementara itu, Bi Lan masih bertanding seru melawan perampok
yang bertu-buh gendut. Dia termasuk seorang tokoh Pek-tiauwpang dan tingkat kepandaianya sudah cukup tinggi. Ilmu
pedangnyapun lihai. Pedangnya berubah menjadi sinar putih
bergulung-gulung. Namun, dia merasa penasaran sekali karena
betapapun cepatnya dia memutar pedangnya, sama sekall tidak
pernah dapat menyentuh ujung baju gadls remaja yang menjadl
lawannya. Tentu saja dia menjadi penasaran sekali. Bagaimana
mungkln dia, seorang jagoan darl perkumpulan Pektiauw-pang,
kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis yang usianya baru
kurang lebih tujuh belas tahun dan yang hanya menghadapi
pedangnya dengan sebatang ranting kecil" Dia sama sekali
tidak tahu bahwa gadis remaja itu adalah murid manusia saktl Jit
Kong Lama? pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti dan yang
telah menggembleng murid perempuannya itu selama sepuluh
tahunl Kalau Bi Lan menghendakl, dalam satu dua jurus saja ia
tentu mampu merobohkan lawannya. Akan tetapi dasar ia
memiliki watak yang llncah gemblra, jenaka dan nakal, di
samping galak dan cerdik, gadis itu sengaja hendak
mempermainkan lawannya. "Singg !" Pedang sl gendut menyambar ke arah
lehernya. Bi Lan denganmudah mengelak ke belakang dan
ujung rantingnya menyambar.
"Brettt ! !" ujung ranting itu menebas dari atas ke
236 bawah dan rontoklah semua kancing baju si gendut sehingga
baju itu seketika terbuka memperlihat-kan dada dan perutnya
yang gendut se-kali dan berkulit putih.
"Hiiih, seperti babi kamu!" Bi Lan berkata mengejek dan belasan
orang piauwsu yang menonton perkelahian itu tak dapat
menahan tawa mereka. Si gendut menjadi marah bukan main. la
merasa dipermainkan, dihina dan dijadikan buah tertawaan
semua orang itu. "Bocah jahanam, mampus kau!" bentaknya dan kembali
pedangnya menyambar dahsyat, kini menusuk ke arah ulu hati
gadis itu. Bi Lan menekuk lutut, merendahkan tubuhnya dan
ketika pedang meluncur lewat atas kepalanya, dari bawah
ranting di tangannya meluncur ke depan.
"Bret !" Kini tali celana si gendut itu yang putus
semua dan tak dapat dicegah lagi, celana itu lepas dari perut
yang gendut dan melorot turun!
"Hihhh! Menjijikkanl" Bi Lan memejamkan mata dan memutar
tubuh membelakangi lawannya yang kini telanjang sambil
menutupl mukanya dengan tangan kiri. Suara tawa meledak
bahkan ada yang terpingkal-pingkal mellhat Si gendut kedodoran
dan repot mengangkat celananya ke atas.
Muka Si gendut menjadl merah sekali seperti kepiting direbus.
Akan tetepi ketika dia melihat Bi Lan berdiri membelakanginya,
ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan balk untuk membalas
penghinaan yang luar biasa itu, Cepat sekali dengan tangan kiri
menahan celananya agar jangan merosot turun, tangan
237 kanannya menggerakkan pedangnya hendek memenggal leher
gadis itu dari belakang. "Wuuutt crott! !" Tubuh si gendut terkulai roboh
dan darah bercucuran muncrat dari dadanya yang berlubang
tertusuk ujung ranting yang tadi secepat kilat ditusukkan Bi Lan
sambil membalikkan tubuh, tepat memasuki dada si gendut
selagi pedangnya masih terangkat ke atas. Gerakan Bi Lan
cepat bukan main sehingga lawannya tidak sempat mengelak
atau menangkis tagi. Karena ranting itu telah menembus
jantungnya, maka begitu terkulai roboh si gendut segera tewas
tanpa dapat mengeluh lagi. Bi Lan membuang rantingnya yang
berlumur darah dan sama sekali tidak melirik lagi ke arah lawan
yang telah tewas itu. Lima orang pedagang yang usianya sudah setengah tua kini
berani keluar dari dalam kereta dan mereka menghampiri Bi Lan
dengan sikap hormat. Pada saat itu Thian Liong datang berlari
cepat dan dia membawa sebuah kantung kain berwarna biru
yang tampaknya berat. Thian Liong menghampiri lima o-rang
pedagang itu. Dia dapat menduga bahwa tentu lima orang itu
yang memiliki barang-barang yang dikawal karena pakaiannya
berbeda jauh dari para piauwsu.
"Ini rnlllk kalian yang tadi dilarikan perampok, Terimalahl" Lima
orang pedagang itu tampak girang sekall. Seorang dari mereka
menerima kantung biru itu dan mereka berlima segera memberi
hormat kepada Thian Liong dan Bi Lan. Mereka semua
menyangka bahwa pemuda dan gadis itu tentu merupakan
pasangan karena mereka datang pada saat yang sama dan
238 keduanya merupakan orang-orang lihai yang telah menolong
mereka. Seorang dari lima orang saudagar itu mewakili ternan-temannya
dan berkata kepada sepasang muda mydi itu dengan sikap
hormat. "Tai-hiap (pendekar besar) dan li-hiap (pendekar wanita)
berdua telah menyelamatkan nyawa dan harta kami. Untuk itu
kami semua mengucapkan banyak terima kasih dan kami harap
tai-hiap berdua sudi menerima sedikit sumbangan dari kami ini
sebagai tanda terima kasih kami." Saudagar yang berjenggot
panjang itu membuka kantung blru dan mengeluarkan
segenggam uang emaa, dlserahkan kepada Thian Liongl
Thian Liong mengerutkan alisnya dan menggoyang tangan
kanan menolak. "Tidak, apa yang kami lakukan sudah
merupakan kewajiban kami, kami tidak mengharapkan upah!"
Akan tetapi Bi Lan sudah melangkah maju dan sekali tangannya
bergerak, ia. sudah menampar tangan yang menggenggam
uang emas itu sehingga saudagar itu berteriak kesakitan dan
uang emasnya berhamburan di atas tanah.
"Engkau ini sungguh seorang yang sama sekali tidak mengenal
budi, sudah ditolong malah balas menghina dengan
menyerahkan segenggam uang! Lupakah kalian bahwa kami
berdua bukan hanya telah menyelamatkan harta bendamu akan
tetapi juga nyawa kalian berlima dan belasan orang pengawal
kalian" Apakah nyawa kalian semua harganya hanya
segenggam uang emas ini" Betapa murahnya nyawa kalian!"
Lima orang saudagar itu terkejut sekali dan menjadi ketakutan.
Si Jenggot panjang yang agaknya menjadl pemimpln mereka,
239 cepat membungkuk-bungkuk kepada Bi Lan, memberl hormat
dan berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.
"Ampunkan kami, li-hiap. Kami memang bersalah.
Sekarang katakanlah apa yang li-hiap kehendaki dan kami pasti
akan memenuhi permintaan li-hiap untuk niembalas budi li-hiap."
"Sebetulnya kami tidak mengharapkan apa-apa seperti
dikatakan tai-hiap ini. Kami bukan pengawal kalian yang kalian
gaji. Kami membunuh dan mengusir penjahat, menyelamatkan
kalian hanya karena hal itu sudah merupakan kewajiban para
pendekar! Akan tetapi mengingat bahwa nyawa kalian telah
diselamatkan, apakah tidak sepantasnya kalau nyawa kalian
dihargai sedikitnya. Separuh dari isi kantung uang itu?"
Mendengar ini, Thian Liong mengerutkan alisnya akan tetapi dia
tidak dapat berkata apa-apa. Sementara itu, lima orang
saudagar itu membungkuk-bungkuk dan si jenggot panjang
cepat berkata, "Tentu saja, li-hiap! Tuntutan itu lebih darl pada
pantasl" Dia lalu mengambil sebuah kantong kosong lalu
memindahkan sebaglan isi kantung biru ke kantung yang
kosong, bahkan dla sengaja memlllh emasnya saja. Setelah
emas separuh kantung biru itu dlpindahkan, dia lalu meletakkan
kantung yang teriri emas itu ke atas tanah di depan Bi Lan
sambil berkata, "Silakan, li-hlap. Bingkisan yang tldak seberapa
ini kaml berikan kepada jl-wl (kallan berdua) dengan hati rela
dan ikhlas. Sekarang kami mohon dlri hendak melanjutkan
perjaianan kami." Tergesa-gesa lima orang saudagar yang ketakutan melihat Bi
Lan marah tadi lalu memberi isarat kepada para piauwsu dan tak
240 lama kemudian kereta mereka bergerak meninggalkan tempat
itu. Thian Liong masih berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Kantung
berisi uang emas itu masih tergeletak di atas tanah, di antara
mereka. Mereka saling padang dan baru sekarang Thian Liong
dapat mengamati Wajah gadis berpakaian serba merah muda
itu. Dan dia menjadi kagum dalam hatinya walaupun kekaguman
itu tidak tampak pada wajahnya yang tetap tenang. Siapa yang
tidak kagum melihat gadis remaja yang jelita itu"
Usianya paling banyak baru tujuh belas tahun, akan tetapl ilmu
silatnya sungguh hebat! Pakaian sutera serba merah muda itu
sesuai sekali dengan tubuhnya yang ramping dan kulitnya yang
putlh mulus itu tampak semakin bersih dan lembut dlpadu
dengan sutera merah yang membungkusnya. Rambut di
kepalanya hitam lebat dan panjang, digelung dengan indahnya
dan dihias tusuk sanggul dari emas berbentuk burung kecil
bermata merah. Sinom (anak rambut) lembut halus melingkarlingkir di dahi dan pelipisnya. Sepasang telinga yang Indah
bentuknya itu terhias anting-anting membuatnya tampak lucu
dan kekanak-kanakan. Dahi yang halus putlh itu tampak
semakin mulus karena sepasang alisnya amat hitam, menjelirit
kecil melengkung, melindungi sepasang mata yang seperti
bintang kejora, pandangannya tajam dan penuh gairah hidup,
penuh semangat. Hidungnya yang mancung serasi sekali
dengan mulutnya yang menggairahkan, dengan bibir yang indah
dan kemerahan tanpa glncu, dihias pula sepasang lesung pipit di
kanan kiri. Dagunya meruncing. Kulitnya putih mulus dan tubuh
yang mulai dewasa itu seperti bunga se-dang mekar atau buah
sedang ranum, dengan lekuk lengkung yang menggiurkan.
241 Pendeknya, seorang gadis remaja yang cantik jelita! Akan tetapi
pandang mata Thian Liong tampak tak senang ketika dia melirik
ke arah kantung uang. Sungguh sayang, gadis secantik itu ternyata mata duitan!
"Memalukan," katanya lirih namun penuh teguran, "Menerima
upah untuk menolong orang. Seperti tukang pukul saja."
Gadis itu membelalakan matanya dan kini matanya tampak lebar
sekali, membuat wajahnya tampak lucu. Akan tetapi setelah
melebarkan mata, ia lalu menge-rutkan alisnya dan matanya
mencorong, bibirnya cemberut. Jelas sekali tampak bahwa ia
marah! "Apa kau bilang" Memalukan" Engkau munafik!" la memaki.
"Munafik" Aku?" Thian Ltong melongo heran dan kaget dimaki
munafik. "Ya engkau munafik. Coba Jawab, apakah engkau
memillki banyak uang?" Thlan Liong menggeleng kepalanya.
'Tldak sama sekali."


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jawab lagi, Apakah engkau tldak membutuhkan makan,
pakaian, dan tempat tinggal untuk melewatkan malam?"
"Tentu saja aku membutuhkan."
"Jawab lagi. Kalau engkau lapar, apakah engkau mengemis
makanan ataukah mencuri makanan" Kalau pakaianmu rusak,
kulihat sepatumu itu sudah butut sekali dan perlu diganti, dari
mana engkau akan mendapatkan semua itu" Mencuri" Dan
kalau engkau menginap dl rumah penglnapan, apakah setelah
bermalam paglnya engkau lalu minggat tanpa membayar" Hayo
242 jawab! Untuk semua itu engkau membutuhkan uang ataukah
tidak?" Diberondong begitu dan melihat sikap gadis itu membusungkan
dadanya seperti menantang, Thian Uong gelagapan dan
menelan ludah sebelum menjawab
"Ya.... eh, tentu saja untuk semua itu aku membutuhkan uang."
"Bagus, ya" Engkau butuh uang pada hal engkau tidak punya
uang, dan seka-rang ada orang yang memberimu uang, engkau
pura-pura menolak dan berani mengatakan i-nemalukan. Apa
lagi nama-nya itu kalau bukan inunafik?"
"Akan tetapi aku menolong mereka bukan untuk mendapatkan
bayaran uang!" Thian Liong membantah.
"Berlagak suci! Kita tidak rninta uang. Mereka yang memberikan
kepada kita karena mereka hendak membalas jasa. Uang ini
sudah sepantasnya menjadi milik kita. Apa artinya uang sebegini
dibandingkan dengan harta kekayaan dan nyawa mereka
berlima itu" Ini adalah uang halal, sama sekali tidak haram,
tahu?" Bi Lan lalu membuka kantung1 itu, menuangkan isinya ke
atas tanah la-lu membagi potongan-potongan emas itu menjadi
dua. Yang setengah bagian ia masukkan ke dalam buntalan
kuning berisi pakaiannya, dan yang setengahnya lagi ia
masukkan kembali ke dalam kantung biru.
"Nah, yang itu bagianmu. Ambillah!" katanya sambil
menudingkan telunjuk kirinya yang kecil mungil ke arah kantung
biru itu. Akan tetapi Thian Liong tidak mengacuhkan kantung itu,
melainkan menghampiri mayat perampok gendut yang tewas
243 oleh ranting di tangan Bi Lan tadi. Dia membungkuk untuk
memungut pedang milik perampok gendut yang tewas itu dan
mulailah dia menggunakan pedang itu untuk menggali tanah.
Melihat pemuda itu tidak mengacuhkannya dan malah menggali
lubang di tanah, Bi Lan menjadi penasaran. la menghampiri
pemuda itu dan menegur, "Hei, apa-apaan yang kaulakukan
ini?" Thian Liong yang sejak tadi menahan kedongkolan hatinya
terhadap gadis Itu, menghentikan pekerjaannya dan dia berdiri
menghadapi Bi Lan, memandang dengan slnar mata tajam
mengaridung marah dan berkata, suaranya maslh lirih dan
lembut, namun mengandung nada suara teguran keras.
"Nona, engkau masih amat muda namun telah memillkl llmu
kepandalan tlnggi. Sungguh sayang sekali bahwa engkau terlalu
kejam!" Kini gadis itu yang terbelalak, ka"et dan heran, lalu alisnya
berkerut dan la, inenjadi marah. "Aku kejam?"
"Ya, engkau kejam! Engkau telah memburiuh orang ini padahal
tanpa membunuhnyapun, dengan mudah engkau akan dapat
mengalahkannya!" kata Thian Uong penasaran, lalu melanjutkan
pekerjaannya menggali lubang kuburan.
"Kalau engkau bilang aku kejam, maka aku katakan engkau ini
tolol! Tolol, bodoh, munafik!" Gadis itu memaki?maki karena ia
menganggap pemuda itu memakinya kejam. "Aku membunuhnya kau katakan kejam" Apa kaukira dia itu orang
lemah-lembut dan baik hati" Ketahuilah, tolol, bahwa diapun
244 berusaha membunuh para piauwsu dan saudagar itu dan kalau
tidak ada aku, tentu semua orang itu celah dlbunuhnya! Dia itu
pembunuh kejaml" Thlan Llong menunda penggaliannya dan manoleh kepada gadis
itu, klni suaranya terdengar tegas. "Dia pembunuh orang dan
jahat" Akan tetapi engkau juga membunuhnya. Apa bedanya
antara kalian berdua" Apa kau ingin kusamakan dengan
perampok yang kau bunuh ini?"
"Jelas beda! Tolol dan bodoh sekali kalau tidak melihat bedanya!
Dia menyerang dan membunuh orang-orang yang tidak
bersalah, dia menggunakan kepandaiannya untuk melakukan
kekerasan dan mencelakai1 orang! Sedangkan aku, aku
menggunakan kepandaian untuk menentang kejahatan, aku
membunuh orang yang jahat berbahaya bagi orang-orang lain
yang tidak berdosa! Dia penjahat dan aku pendekar, itulah
perbedaannya!" Bi Lan membentak marah dan ia mem?bantingbanting kaki saking jengkelnya disamakan dengan perampok
jahat! Akan tetapi Thiah Liong juga sudati' merasa jengkel dan tidak
mau mengalah. "Engkau dapat berbuat lebih baik dari itu, nona.
Engkau akan benar-benar ber-Jasa besar kalau engkau hanya
mengha-Jar penjahat ini, 'membuatnya jera dan berhasil
menasehatlnya agar dia kembali ke jalan benar. Akan tetapl
membunuhnya" Engkau tldak mampu memberi hidup, maka
juga tldak berhak mematikan.
Setelah berkata demikian, Thian Liong melanjutkan
pekerjaannya menggali iubang kuburan. Bi Lan membantlng245
banting kaki dengan gemas, kedua tangannya terkepal akan
tetapi tidak menyerang karena ia melihat pemuda itu sibuk
bekerja. "Engkau.... cerewet dan bawel! Huh, aku muak dan
benci melihatmu!!" Thian Liong tertawa dan kembali menunda pekerjaannya, lalu
menoleh ke arah gadis itu. "Akan tetapl aku suka dan kasihan
padamu." Bl Lan mendengus dan memutar tubuhnya, terus melangkah
pergi, diikuti suara tawa Thian Liong yang dapat menguasai
perasaannya dan kini melihat betapa lucu keadaan mereka.
Baru bertemu, bekerja sama menolong rombongan saudagar
menentang penjahat, lalu bercekcok! Padahal mereka belum
saling memperkenalkan dlri, namanyapun tidak tahu. Setelah
gadls itu pergi, baru dia teringat betapa jelita dan menariknya
gadis itu dan betapa lihai ilmu silatnya. Berwatak pendekar pula,
atau setidak-nya merasa menjadi pendekar. Sayang, galaknya
bukan kepalang, seperti seekor harimau betina! Dia masih
tersenyum-senyum ketika melanjutkan pekerjaannya. Setelah
lubang itu cukup dalam, dia lalu mengubur jenazah penjahat
gendut itu, menimbuni jenazah dalam lubang, menancapkan
pedang itu di atas gun-dukan tanah kuburan, baru dia
membersihkan kedua tangannya, mengambil bun-talannya yang
tadi dia letakkan di bawah pohon tak jauh dari situ. Dia tidak
menengok ke arah kantung biru yang berisi setengah jumlah
uang emas yang ditinggalkan gadis itu. Ketika membungkuk
hendak mengambil buntalan pakaian dan kitab-kitabnya, dia
melihat buntalannya itu menonjol dan tampak lebih besar dari
biasanya. Dia merasa heran lalu membuka ujung kain buntalan
yang tadi-nya diikat. Ternyata buntalan atau kan-tung biru berisi
246 uang emas itu telah berada dalam buntalannya! Cepat dia
menoleh ke arah tempat; di inana kantung biru tadi ditinggalkan
gadis itu dafi kantung itu telah lenyap. Kiranya diam-diam
kantung itu telah dimasukkan ke dalam buntalannya oleh gadis
itu! Bukti bahwa gadis itu dapat melakukan inl . tanpa
diketahuinya, agaknya ketika dial", sedang asik menggali
lubang, menunjuk- te kan bahwa gadis itu memang lihai sekali.
Sejenaki Thian Liong termangu dan ragu-ragu apakah akan
menerima uang itu ataukah tidak. Kalau dia tidak meneri-manya
dan meninggalkan di tempat itu,y apa gunanya" Jangan-jangan
malah dlte-iK mukan orang-orang Jahat, karena yang
berkeliaran dalam tempat liar dan sunyl sepertl itu biasanya
hanyalah orang-orangSs sesat. Kalau diterimanya dan menjadi
miliknya, apa salahnya" Gadis itu benar juga. Harus diakui
bahwa dia membutuhkan uang untuk membeayai perjalanannya.
Dia butuh uang untuk membeli pengganti pakaian, untuk
membeli makan setiap hari, dan untuk membayar sewa kamar
untuk bermalam. Dan uang itu memang bukan uang haram,
melainkan pemberian para saudagar yang memberinya dengan
rela dan senang hati. Dla menghela nepas panjang lalu
menglkatkan ujung buntalannye kemball, kemudian menggendong buntalan itu dan mulai mendaki sebuah puncak
yang menurut keterangan penduduk di lereng bawah, adalah
tempat tinggal Kun-lun-pai.
Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia hendak ke Kun-lun-pal,
kemudian ke Bu-tong-pai dan ke Siauw-lim-pai untuk
menyerahkan kitab-kitab atas perintah gurunya. Kitab-kitab itu
menurut gurunya amat penting bagi ketiga partai persilatan itu.
Kitab-kitab itu dia simpan dalam buntalan pakaiannya dan tadi
247 bun-talan pakaiannya telah dibuka oleh gadls itu! Ah, siapa
tahu" Banyak tokoh persi-latan yang menginginkan kitab-kitab
itu. demikian gurunya berpesan dan agar dia berhati-hati
menjaganya karena bukan tidak mungkin akan ada tokohtokoh
kang-ouw yang lihai akan mencoba merampasnya kalau mereka
mengetahui bahwa dia membawa kitab-kitab itul Ah gadis itu!
Siapa tahu" Dengan jantung berdebar dan perasaannya tegang Thian Liong
lalu menurunkan buntalannya dan membukanya. Dia cepat
memeriksa isinya dan. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat ketika
melihat bahwa yang berada dalam buntalannya kini hanya ada
dua buah kitab, yaitu Kitab Sam-jong Cin-keng untuk diberikan
kepada ketua Siauw-lim-pai dan Kitab Kiauw-ta Sin-na untuk Butong-pai. Kitab ke tiga, yaitu Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat
untuk Kun-lunpai telah lenyap! Dia mencari-cari, membolak-balik
pakaiannya, namun tetap saja kitab kuno itu tidak dapat
ditemukan! Dia teringat bahwa tadinya kitab itu berada paling
atas di antara tiga buah kitab itu karena memang kitab itu
tadinya akan dia serahkan paling dulu kepada Kun-lun-pai!
"Celaka!" Dia berseru dan mengepal tinju. Siapa lagi kalau
bukan gadis galak itu yang mengambilnya" Agaknya ketika
membuka buntalan dan memasukkan kantung uang, ia melihat
kitab itu berada paling atas dan gadis itu lalu mengambilnya dan
membawanya pergi. "Bocah liar! Kalau bertemu, akan kutampari pinggulnya
sedikitnya sepuluh kali!" kata Thian Liong gemas. Akan tetapi dia
lalu tertegun. Bagaimana mungkin bisa bertemu" Ke mana dia
harus mencari" Gadis itu asing sama sekali. Dia tidak
248 mengetahui namanya, apalagi tempat tinggalnya! Sialan! Tiga
tugas pertama telah gagal satu! Apa yang akan dikatakan
kepada gurunya" Ah, dia merasa kecewa dan malu. Akan tetapi
dia harus bertanggung jawab! Dia harus mencari gadis itu dan
merampas kembali kitab untuk Kun-lun-pai, tidak lupa
menghukum gadis itu dengan sepuluh kali tamparan pada
pinggulnya! Sekarang, tugas utamanya, dia harus menemui
Ketua Kun-lun-pai dan melaporkan tentang kehilangan kitab itu.
Dia harus bertanggung jawab dan siap menerima celaan dan
teguran dari ketua Kun-lunpai. Dia memang bersalah, tidak hatihati dan lengah sehingga kitab yang amat penting dan berharga
itu dapat dicuri orang. Dia mengikatkan kembali buntalannya,
menggendongnya dan mengerahkan tenaga mempergunakan
ilmu berlari cepat sehingga larinya seperti terbang mendaki
puncak menuju ke kompleks kuil dan bangunan Kun-lun-pai
yang berada di puncak itu.
Karena Thian Liong menggunakan gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) untuk berlari cepat mendaki puncak sebentar saja dia
sudah tiba di puncak dan dia melihat sekumpulan bangunan
besar yang luas, dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan
kokoh. Dia lalu berlari ke depan, di mana terdapat sebuah pintu
gerbang yang besar. Baru saja dia berhenti berlari, tibatiba
terdengar bentakan nyaring di belakangnya.
"Siapa kau" Mau apa kau berkeliaran di sini?"
Thian Liong terkejut. Dia tidak mendengar ada orang datang. Ini
membuktikan bahwa orang itu tentu memiliki ginkang hebat.
Cepat dia memutar tubuh dan berhadapan dengan seorang
wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun. Rambutnya sudah
249 bercampur uban dan digelung ke atas diikat kain kumng yang
lebar hampir menutupi seluruh kepalanya.
Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang pertapa atau
pendeta. Juga pakaiannya terbuat dari kain kuning yang kasar
dan murah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya,
pedang dengan ronce-ronce berwarna putih.
Thian Liong yang selain menerima pendidikan ilmu silat tinggi
juga menerima pendidikan kerohanian yang mendalam disertai
tata susila tinggi, cepat memberi hormat karena dia maklum
bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita sakti.
"Locianpwe (orang tua gagah), maafkan saya. Saya sengaja
datang berkunjung untuk menghadap Ketua Kun?lun-pai." Dia
merangkap kedua tangan depan dada sambil membungkuk
hormat. Akan tetapi wanita itu, yang wajahnya membayangkan
kegalakan dan sinar matanya mencorong masih mengerutkan
alisnya. "Huh, kamu seorang laki-laki berani mendatangi bagian
asrama wanita, tentu mengandung niat kurang sopan. Kamu
mengandalkan kepandaianmu untuk berlaku kurang ajar, ya"'
"Ah, tldak lama sekali, locianpwe!" seru Thian Liong dengan
kaget. "Saya tldak tahu bahwa ini asrama
wanlta !" "Bohong! Hendak kulihat sampai dl mana kelihaianmu maka
kamu berani muncul di depan asrama kami! Sambutlah!" Setelah
berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu sudah menyerang
250 dengan tamparan tangan kirinya. Tamparan tangan terbuka itu
cepat sekali dan membawa angin pukulan yang kuat, mengarah
pelipis Thian Liong sehingga merupakan serangan berbahaya
yang dapat mendatangkan maut!
Diam-diam Thian Liong merasa heran dan juga penasaran.
Bagaimana seorang wanita yang berpakatan seperti pertapa
atau pendeta, tabiatnya demikian keras, berprasangka buruk
dan menyerang orang tak bersalah dengan serangan maut"
diapun cepat mengelak mundur sehingga tamparan itu luput.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Locianpwe, saya bukan musuh dan tldak berniat buruk." Thian
Liong mencoba untuk mengingatkan wanita itu.
"sambut ini ! !" Wanita itu bahkan menyerangnya
lagi, kini menggunakan pukulan yang mengandung sin-kang
(tenaga aakti). Pukulan jarak Jauh ini cukup dahsyat. Angin
menyambar dan hawa pukul-an yang kuat menerpa ke arah
Thian Liong. Melihat bahaya ini, terpaksa pe-muda itu
mengerahkan tenaga dan mendorong ke depan untuk
menyambut serangan lawan.
"Syuuuuttt.... dessss
! !" Dua tenaga yang kuat
bertemu di udara dan akibatnya, tubuh pendeta wanita itu
terdorong ke belakang dan la terhuyung-huyung, sedangkan
Thian Llong maslh berdlri tegak.
Wanita Itu terkejut. la adalah tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga,
kepandaiannya hanya di bawah tingkat ketua dan wakil ketua.
Akan tetapi dalam adu tenaga sakti melawan seorang pemuda,
251 ia terdorong dan terhuyung! la terkenal berwatak, keras, maka
kekalahan dalam adu tenaga ini bahkan membuatnya penasaran
dan semakin marah. "Sratt " tampak sinar putih berkelebat
menyilaukan mata dan sebatang pedang mengkilat telah berada
di tangan kanan wanita itu. Cara ia mencabut pedang dari
punggung sedemikian cepatnya, menunjukkan bahwa ia adalah
seorang ahli pedang yang pandai.
"Cabut pedang atau senjatamu yang lain! Mari kita mengadu
kemahiran memainkan senjata!" kata wanita itu dengan ketus.
"Locianpwe, sekali lagi saya harap jlocianpwe tidak salah
sangka. Saya bukan musuh Kunlun-pai. Kalau locianpwe masih
berkeras hendak menyerang dan membunuh orang tidak
bersalah, silakan!" Setelah berkata demikian, Thian Liong berdiri tegak,
memejamkan mata, menenggelamkan segala kegiatan jasmani
ke dalam kehampaan, hati akal pikirannya tidak bekerja, lahir
batin menyerah kepada Kekuasaan Tuhan seperti yang telah
dilatihnya bertahun-tahun di bawah bimbingan Tiong Lee Cin-jin.
"Engkau menantang maut" Apa kau kira aku tldak berani
membunuh orang luar yang melanggar pantangan, mengunjungi
asrama murid-murid wanita Kun lun-pai" Sambut ini! Nenek itu
menerjang maju dan pedangnya berkelebat ke arah leher Thlan
Llong. 252 "Slnggg....!" saklng kuatnya pedang dlgerakkan, terdengar suara
berdesing ketika senjata Itu menyambar ke arah leher Thian
Llong. "Wuuutt !" Wanita itu terkejut bu-kan main karena
ketika pedangnya me-nyambar ke arah leher pemuda itu, tibatiba pedangnya terpental sepertl tertolak tenaga tak tampak yang
lentur dan kuat sehingga tenaganya yang mendorong
pedangnya itu memballk! Pemuda itu masih berdiri sambll
menundukkan muka dan kedua matanya terpejam, mulutnya
tersenyum dan wajahnya tampak demiklan tenang dan tenteram,
seperti wajah orang yang sedang tidur pulaa. la merasa
penasaran sekali dan mepyerang lagi dengan pedangnya.
Namun setiap kali membacok atau menusuk, pedangnya selalu
terpental. Makiri kuat ia menyerang, semakin kuat lagi tenaga
yang membuatnya terpental karena tenaga membalik.
Tiba-tiba terdengar seruan lembut.
seperguruan ke lima), hentikan itu!"
"Ngo-sumoi (adik Mendengar seruan im, nenek itu melompat mundur, napasnya
terengah dan wajahnya merah sekali. Thian Liong membuka
matanya memandang dan dia melihat seorang pendeta wanita
berpakalan serba putih berdlri di depannya. Wanita ini usianya
sudah enam puluh lebih, namun wajahnya masih tampak segar
dan slnar matanya lembut. Begitu bertemu pandang, Thian Liong
merasa tunduk dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan
seorang nenek yang sakti dan yang telah mampu
mengendalikan nafsu-nafsunya sendirl. Maka dia cepat memberi
hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada.
253 "Loclanpwe, saya mohon maaf sebanyaknya kalau kunjungan
saya kesini hanya mendatangkan keributan dan gangguan."
Pendeta wanita itu tersenyum dan wajahnya tampak jauh leblh
muda ketl" ka la tersenyum. "Ah, slcu (orang muda gagah),
kamilah yang sepatutnya mlnta maaf atas slkap sumol Biauw In
yang keras terhadapmu tadi. Akan tetapi siapakah engkau, sicu"
Dan ada keperluan apakah engkau datang ke tempat kaml ini?"
"Nama saya Souw Thian Liong dan kedatangan saya ini untuk
memenuhl perintah guru saya."
"Hemm, kaml melihat tadl bahwa engkau telah mencapal tingkat
tertinggl dari tenaga sakti. Siapakah gurumu?"
"Suhu disebut Tiong Lee Cin-jin."
"Sian-cai (damai) !" Nenek itu berseru dan
wajahnya tampak terkejut dan berseri. "Kiranya Tiong Lee Cin-jin
yang bijaksana yang mengutus muridnya datang berkunjung?"
Nenek itu menoleh kepada sumoinya yang galak tadi. "Biauw In
Su.moi, lihat apa yang telah kau lakukan tadi" Engkau
menyerang murid Tiong Lee Cin-jin'"
Wanita galak itu tampak kaget dan wajahnya menjadi agak
pucat. "Aku.... aku tidak tahu...."
"Loclanpwe, kejadian tadi harap dilupakan saja, Sayalah yang
bersalah dan mlnta maaf." kata Thlan Liong yang merasa tldak
enak mendengar teguran itu.
254 "Souw-sicu, sikapmu ini menunjukkan bahwa engkau pantas
menjadi murid Tiong Lee Cinjin yang bijaksana. Katakanlah,
tugas apa yang diberikan gurumu kepadamu sehingga engkau
datang ke slni?" "Maaf, loclanpwe. Sesual dengan perintah suhu, saya hanya
dapat membicarakan urusan itu kepada para pimpinan Kun-lunpai, yaitu Kui Beng Thai-su atau Hui In Slan-kouw saja."
Nenek itu tersenyum. "Kui Beng Thai-su adalah ketua umum
Kun-lun-pai dan Hui In Siankouw adalah sumoinya yang
memimpin para murid wanita. Akulah Hui In Siankouw dan ia ini
seorang sumoiku bernama Biauw In Suthai."
"Ah, kiranya locianpwe adalah Hui In Sian-kouw. Terimalah
hormat saya." Thian Liong memberi hormat lagi,
Hul ln Sian-kouw tersenyum dan berkata. "Souw-sicu, harap
kelak sampaikan maaf kami kepada suhumu dan jangan
menertawakan kami. Kami rnempunyai peraturan bahwa laki-laki
tidak boleh memasuki asrama para murid wanita Kun-lun-pai.
Oleh karena itu, terpaksa kami tidak dapat mempersilakan
engkau memasuki asrama dan hanya dapat menyambutmu di
sini saja." "Tidak mengapa, locianpwe. Saya menghormati peraturan itu."
"Kalau begitu, mari kita duduk dan bercakap-cakap di sana." Hui
In Sian-kouw menunjuk ke arah kiri di mana terdapat
sekumpulan batu yang putih bersih. Agaknya batu-batu itu
memang dira-wat dan dijadikan tempat untuk duduk bersantai.
255 Thian Liong mengikuti dua orang pendeta wanita itu dan mereka
lalu duduk di atas batu sallng berhadapan.
"Nah, sekarang sampaikan pesan Tiong Lee Cln-Jln itu
kepadaku, Souw-sicu. Aku yang akan menyampaikan kepada
suheng (kakak seperguruan) Kui Beng Thaisu."
Thian Llong menghela napas panjang "Sungguh! sayang sekali.
Saya yang semesiinya membawa kabar gembira untuk
locianpwe, karena kelalaian saya, telah membuat kabar itu
berubah menjadi tldak menyenangkan."
Hul In Slankouw tetap tersentum. "Apapun yang terjadl,
terjadilah, Souw-slcu. Tidak ada kejadian baik atau buruk,
sebelum pikiran kita menilai didasari kepentingan pribadi.
Ceritakanlah tanpa ragu. Kaml siap menerima yang ,dianggap
paling buruk sekallpun."'
Thian Libng mengangguk kagum. Tak salah penilaiannya
tentang pendeta wani-ta ini. Seorang yang arlf bijaksana. Maka
diapun bercerita dengan lapang dada. "Saya dlutus suhu untuk
mengantarkan sebuah kltab untuk Kun-lun-pal yeng harus saya
serahkan sendlri kepada Kui Beng Thai-su atau kepada Hui In
Slan-kouw dan kebetulan sekall kini saya berhadapan dengan
locianpwe sendiri." "Ah, sebuah kltab dari Tiong Lee Cin-Jin untuk Kun-lun-pai"
Souw-sicu, apakah nama kitab itu?" Tiba-tiba Biauw In Suthai
bertanya dengan nada suara gembira. Agaknya ia tetah
melupakan kemarahannya tadi dan kini merasa gembira sekali
mendengar bahwa Kun-lun-pai akan mendapatkan sebuah kitab
256 dari Tiong Lee Cin-jin yang namanya terkenal di antara semua
tokoh besar dunia persilatan itu.
"Nama kitab Itu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat." kata Thian
Liong. "Alhh! Itu kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang khusus diciptakan
untuk murid wanita dan kitab itu lenyap ratusan tahun yang lalu,
kabarnya dicuri seorang pertapa sakti yang jahat!" seru Hui In
Sian-kouw kagum. "Dan sekarang Tiong Lee Cin-jin dapat
menemukannya kembali dan hendak mengembalikan kepada
Kun-lun-pai" Betapa bijaksananya Tiong Lee Cin-jin."
"Souw-sicu, cepat keluarkan kitab itu dan berikan kepada Hui In
Suci (kakak perempuan seperguruan Hui In)!" kata Biauw In
Suthai tidak sabar lagi karena ingin segera melihat kitab pusaka
Kun luni-pai itu. "Bersabarlah, sumoi. Berilah waktu kepada Souw-sicu, agaknya
dia masih hendak bercerita." kata Hui In Sian?kouw dengan
tenang dan sabar. "Sesungguhnya banyak yang harus saya ceritakan, locianpwe.
Akan tetapi yang terpenting unluk saya beritahukan adalah
bahwa kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu, ketika saya
berada dl lereng bawah pegunungan Kun-lun-san ini lenyap
dicurl orang." "Apa....?"" Biauw In Suthal melompat berdiri. "Tidak mungkin!"
Tentu engkau bohong dan ingin menguasai kitab itu untukmu
sendiri!" 257 "Sumoi, Jangan sembarangan bicara!" Hui In Sian-kouw
menegur adik seperguruannya.
"Suci, semua laki-laki di dunia ini mana ada yang dapat
dipercaya" Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, mana mungkin
kitab itu dicuri orang" Coba kuperiksa buntalannya!" Biauw In
Suthai melompat ke arah buntalan pakalan Thian Liong yang
tadi diturunkan pemuda itu ketlka hendak duduk di atas batu.
Melihat ini, Thian Liong membiarkan saja. Hui In Sian?kouw juga
tidak keburu melarang sumolnya yang sudah membuka buntalan
pakaian itu. "Suci ini ada dua buah kitab!" seru Biuaw In Suthai sambil
memperlihatkan dua buah kitab tua yang diambilnya dari
buntalan itu. "Itu adalah Kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dan
kitab Kiauw-ta Sin-na milik Bu-tong-pai. Kedua kitab itu harus
saya serahkan kepada pemilik masing-masing, seperti juga kitab
milik Kun-lun-pai yang hilang."
"Sumoi, kembalikan dua buah kitab itu. Kita tidak berhak
menyentuhnya." perintah Hui In Sian-kouw dan Blauw In Suthai
mengembalikan dua buah kitab itu. Akan tetapi ia terus mencari
dan membuka kantung biru.
"Hei, lihat, suci! Banyak emas di sini, Tentu dia telah menjual
kitab klta itu dan mendapatkan banyak emas. Hayo kau
mengaku saja! Kepada siapa kltab kami itu kau jual!" Biauw In
Suthai sudah mencabut lagi pedangnya dan mengancam Thian
Liong. 258 "Sumoi, sirnpan pedangmu dan mundur!" Hui In Sian?kouw
menegur sumoinya dan Biauw In Suthai menyarungkan lagi
pedangnya dan melangkah mudur dengan mulut cemberut dan
matanya mencorong galak memandang Thian Liong. Hui In
Sian-kouw memandang pemuda Itu. "Souw-sicu, apakah
penjelasanmu tentang ini semua?"
Thian Liong menghela napas panjang. "Saya tadi belum selesai
bercerita, loclanpwe. Tadi ketika saya melakukan perjalanan dan
tiba di jalan raya di lereng bukit sebelah bawah, saya melihat
serombongan lima orang saudagar dlkawal belasan orang
piauwsu sedang diganggu dua orang perampok. Dua orang
perampok ttu lihai dan para piauwsu agaknya akan kalah dan
terbunuh semua. Saya lalu membela mereka yang dlrampok dan
pada saat itu muncul pula aeor.ang gadls yang llhai, la Juga
membantu para piauwsu dan menewaskan seorang di antara
dua perampok itu. Perampok ke dua melarikan sekantung emas
dan saya mengejarnya dan berhasil mengambil kembali kantung
yang dibawanya lari. Ketika saya mengembalikan kantung emas
itu kepada para saudagar, mereka lalu menyerahkan setengah
isi kantung itu kepada kami berdua, yaitu saya dan nona itu.
Setelah para saudagar dan rombongannya meninggalkan
tempat itu, saya lalu mengubur mayat perampok yang terbunuh
oleh gadis itu. Di antara kami terjadi perselisihan paham karena
saya mencelanya yang telah membunuh perampok itu. la marahmarah dan pergl membawa separuh uang yang ditinggalkan
saudagar, yang separuh lagi ia berikan kepada saya. Nah, ketika
saya sibuk menggali lubang untuk mengubur jenazah itulah,
saya lengah. Tahu-tahu kantung uang emas yang tadinya saya
tolak itu telah berada dalam buntalan pakaian inl dan kitab Ngo259
heng Lian-hoan Kun?hoat yang berada di tumpukan paling atas,
telah lenyap." "Gadis Itu tentu cantik jelita, bukan?" Tiba-tiba Biauw In Suthai
bertanya, nadanya mengejek.
"Memang ia cantik jelita dan usianya kurang lebih tujuh belas
tahun," kata Thian Liong sejujurnya.
"Nah Itulah, laki-laki semua mata keranjang! Tentu mellhat gadis
cantlk itu, dia tergila-gila dan untuk menyenangkan hatinya, dia
memberikan kitab itu kepadanya. Suci, pemuda ini harus
bertanggung jawab, dia harus mengembalikan kitab itu kepada
kita!" "Sumoi, tidak malukah engkau berkata seperti itu"
Kitab itu memang millk Kun-lun-pai, akan tetapi telah ratusan
tahun hilang dan kita tldak dapat menemukannya kembali. Tlong
Lee Cinjin berhasil mendapatkannya kembali dan hendak
menyerahkan kepada kita. Souw?alcu kehilangan kitab itu, dlcuri
oleh orang laln. Bagalmana kita dapat menimpakan tanggung
jawab kepadanya untuk mengemballkan kitab itu kepada kita"


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudahlah, aku melarangmu bicara lagi"
Mendengar teguran keras dari Hui In Siankouw, Biauw In Suthai
mengerutkan alishya dan mukanya menjadi buruk sekali karena
ia cemberut. "Suci terlalu membela laki-laki ini. Biar aku melapor
kepada toa-suheng (kakak seperguruan pria tertua)!" Setelah
berkata demikian, pendeta wanita yang galak itu lalu
meninggalkan tempat itu untuk pergi ke asrama baglan putera di
balik bukit. 260 Hui In Siarikouw menghela napas panjang. "Souw-sicu, maafkan
sikap sumoi Biauw In Suthai. la memang keras hati. Sungguh
aku merasa tidak enak kepadamu, sicu."
"Tidak mengapa, locianpwe. Memang sudah sewajarnya kalau ia
marah karena saya memang bersalah. Saya telah le-ngah
sehingga kitab itu lenyap dicuri orang. Sudah semestinyalah
kalau saya bertanggung jawab. Saya berjanji akan mencari kitab
itu sampal dapat dan setelah saya temukan, tentu akan saya
serahkan kepada locianpwe di slni."
Pendeta wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Dari
sikapmu sebagai murid, kami dapat menilai betapa bijaksananya
Tlong Lee Clnjln, Souw-sicu, Siapakah nama gadis yang
mencuri kiiab itu?" "Saya tidak tahu namanya, locianpwe,
berkenalan. Akan tetapi sayapun tidak
bahwa ia yang mencuri kitab itu karena
Bagaimanapun juga, saya akan berusaha
saya untuk mencari kitab itu."
kaml tidak sempat berani mengatakan tldak ada buktlnya. sekuat kemampuan "Kami percaya bahwa engkau akan berhasil, sicu, dan
sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas usahamu
mencari kitab itu. Tldak lupa, sampaikan terima kasih Kun-lunpai yang sebesar-besarnya kepada gurumu Tiong Lee Cin-Jln
yang sudah menemukan kttab kaml yang hilang itu dan
berusaha mengembalikannya kepada kami. Sampaikan hormat
ku kepada beliau." "Baik, loclanpwe, akan saya sampaikan kalau saya sudah
menyelesaikan tugas-tugas saya dan bertemu lagi dengan suhu.
261 Sekarang, saya mohon pamit dan terima kaslh atas pengertlan
locianpwe yang sudah memberl maaf atas kelengahan saya
sehingga kltab untuk locianpwe itu sampai hilang."
"Selamat jalan, sicu, dan berhati-hatilah dalam perjalanan.
Semua prang mengetahui bahwa para datuk dan tokoh kangouw ingin sekali merampas kitab-kitab yang didapatkan oleh
Tiong Lee i! Cin-jin dari dunia barat. Sicu yang masih membawa
dua kitab, tentu tidak akan terlepas dari incaran mereka."
"Terima kaslh, loclanpwe, atas nasihat itu. Selamat tinggal."
Thian Liong menggendong buntalan-nya? memberi hormat lalu
pergi menuruni puncak itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di lereng
gunung ke dua dari'puh-cak, dia melihat Biauw In Suthai menghadang perjalananh^a dan pendeta wanita itu ditemani dua
orang gadis yang berpa?kaian serba kuning. Dua orang gadis itu
berusia kurang lebih delapan belas tahun, keduanya bertubuh
rarnping berkulit pu-tih mulus dan keduanya cantik manis. Hanya
bedanya, yang seorang lebih jang-kung dengan wajah bulat dan
yang kedua agak lebih pendek dan lebih muda dengan wajah
bulat telur. Rambut mereka di gelung ke atas dengan kain
berwarna kuning yang lebar. Di panggung mereka tergantung
sebatang pedang. Blarpun Blauw In Suthal tadl berslkap galak kepadanya, Thian
Liong tidak mendendam dan mellhat nenek Itu berdirl
menghadang perjalanan bersama dua orang gadis itu, dla cepat
menghampirl dan memberi hormat.
"Locianpwe, saya mohbn diri hendak meninggalkan Kun-lun-san,
harap locianpwe suka memberi jalan."
262 Akan tetapl Biauw In Suthal bertolak pinggang dan memandang
pemuda itu dengan marah. "Souw Thian Liong, engkau sudah
tahu akan kesalahanmu! Engkau sebagai seorang laki-laki telah
berani lancang datang ke asrama puteri Kun lun-pai. Karena itu
sebelum kami menguji kepandaianmu, kami tidak akan
membiarkanmu pergi. Tadi kami melihat sebatang pedang dalam
buntalanmu. Hayo keluarkan pedangmu. Kami menantangmu
untuk mengadu silat pedang!" Nenek itu menantang.
Thian Liong mengerutkah alisnya. "Akan tetapi, loclanpwe, saya
tidak ingin bertanding dengan siapapun, saya tidak ingin
bermusuhan dengan siapapun."
"Enak saja! Engkau melanggar daerah terlarang bagi prla, dan
engkau telah membikin lenyap kttab pusaka Kun-lun-pai Engkau
harus menerima tantangan kaml ini. Aku tldak ingln dlanggap
sebagai orang tua yang menghina anak muda. Karena itu,
muridku inl akan mewaklll aku mengujl llmu pedangmu. Kim Lan,
bersiaplah engkau!" Gadis yang lebih tinggi bermuka bulat itu tiba-tiba menjadi merah
wajahnya dan ia tampak semakin cantik. Ia mengangguk
menerima perintah gurunya dan sekali tangan kanannya
bergerak, tampak sinar berkelebat dan Thian Liong segera
mengenal pedang itu sebagai pedang bersinar putih yang tadi
dipergunakan Biauw In Suthai. Dengan gerakan indah dan
gagah gadis cantik bernama Kim Lan ini menggerakkan
pedangnya menunjuk ke atas, lalu pedangnya berkelebat seperti
kitat menyambar, menjadi sinar menyilaukan dan ia sudah
rnemasang kuda-kuda dengan pedang bersenibu-nyi di bawah
263 lengan kanan, tangan kiri melingkar depan dada. Gayanya indah
dan gagah sekali. "Sicu, silakan!" kata Kim Lan, suaranya merdu namun
mengandung tanteng-an dan kekerasan hati, sinar matanya
tajam menyambar ke arah wajah Thian Liong. Tentu saja
pemuda itu menjadi ragu. Dia tidak ingin berkelahi, apa lagi
melawan seorang gadis yang tidak dikenalnya sama sekali, yang
tidak mempunyai urusan apapun juga dengan dirinya. Melihat
keraguan ini, Biauw In Suthai segera berkata nyaring.
"Souw Thian Liong, engkau mengaku murid Tiong Lee Cin-jin
yang terkenal, akan tetapi engkau pengecut kalau tidak berani
menghadapi tantangan muridku Klm Lan. Ambil pedangmu dan
coba kita sama mellhat apakah engkau mampu menandingi
Tian-lui-kiam-sut , (Ilmu Pe-dang Kilat Guntur)! Kalau engkau
dapat menang melawan Kim Lan, berarti engkau pantas
berkunjung ke markas puteri Kun-lun-pai karena engkau menjadi
keluarga sendiri. Akan tetapi kalau engkau kalah, kami akan membiarkan engkau
pergi dan ternyata nama besar Tiong Lee Cin-jin hanya kosong
belaka!" Wajah Thian Liong berubah agak merah. Terlalu sekali nenek
ini, pikirnya! Dia dipaksa untuk melawan karena kalau tidak, dia
akan dianggap sebagai pe-ngecut dan berarti dia akan
merendahkan nama besar gurunya yang amat dihormat di dunia
kang-ouw. Dia terpaksa, mau tidak mau, harus melayani
tantangan itu. Dia merasa serba salah. Dilayani, dia merasa
tidak semestinya karena dia tidak mempunyai permusuhan
264 dengan mereka dan tidak ingin menghina Kun-lun-pai dengan
mengalahkannya. Kalau tidak dllayani, dia dianggap pengecut
dan na-ma besar gurunya terseret turun. Selain itu, dia juga ingin
sekali melihat sampai di mana kehebatan Ilmu Pedang Kilat
Guntur itu. Dia pernah mendengar dari gurunya bahwa ilmu
pedang Itu merupakan llmu puiaka dan andalan Kun-lun-pai dan
bahwa hanya murldmurld tertinggl saja yang berhak menguasal
llmu pedang itu. Gadis ini masih amat muda paling banyak
sembilan belas tahun usianya, akan tetapi sudah menguasai
Tian-lui-kiam-sut, berarti ia seorang murid Kun-lun-pai yang
sudah tinggi tingkatnya. Timbul keinginannya untuk menguji
kehebatan ilmu pedang itu!
Setelah menghela napas panjang, Thian Liong melepaskan
gendongannya ke atas tanah, membuka buntalan, mengambil
pedangnya dan mengikatkan lagi buntalan itu dengan teliti
karena dia tidak mau lagi kehilangan dua buah kitab untuk
Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai itu, kemudian ia mencabut
pedangnya, melempar sarung pedang di atas buntalan pakaian
dan menghampiri Kim Lan dengan pedang di tangan. Pedang
Thian-liong-kiam itu adalah sebatang pedang kuno, berbentuk
seekor naga gagangnya merupakan ekornya. Dia berdiri santai,
pedang di tangan kanan itu tergantung ke bawah. Sama sekall
dla tldak membu-at pasangan kuda-kuda,
"Baiklah, kalau locianpwe memaksa. Sllakan, nona, saya sudah
slap melayani nona." katanya.
Biauw In Suthai dan gadis ke dua melangkah mundur dan
menonton di pinggir. Melihat Thian Liong sudah mencabut
265 pedang dan mengatakan siap wa-laupun sikapnya masih santai,
Kim Lan lalu membentak dengan suara nyaring.
"Lihat serangan pedangku!" Setelah memberi peringatan,
barulah ia bergerak. Dan serangannya memang hebat sekali.
Begitu ia menerjang maju, pedangnya berkelebatan menyambarnyambar seperti kilat dan ia telah menghujani Thian Liong
dengan serangkai serangan kilat yang dahsyat! Thian Liong
merasa kagum. Cepat dia menggunakan ginkang untuk
berkelebatan mengelak dari semua serangan. Timbul
kegembiraan hatinya. Ilmu pedang yang dimainkan gadis
bernama Kim Lan itu memang hebat sekali dan gadls Itu benarbenar telah menguasai llmu pedangnya dengan baik. Pedang
kilat itu seolah telah menyatu dengan dirlnya.
Sampai belasan jurus Thlan Liong menghindarkan dirl dari
sambaran pedang dengan elakanelakan cepat.
Namun dia tahu bahwa dla tidak mungkin meng-andalkan elakan
saja untuk menghindarkan diri dari serangan yang bertubi-subi
datangnya Itu. Maka, ketlka dla terdesak, mulallah dla
menggerakkan Thian-Liong-kiam di tangan kanannya. Akan
tetapi tentu saja dla membataal tenaganya karena dia tidak ingin
membikin rusak pedang lawan, juga tidak ingin membikin malu
gadis itu dengan tolakan tenaga saktinya. Dia menangkls
dengan tenaga terbatas. "Tranggg !" Dua pedang bertemu dan tampak
bunga api berpijar menyilaukan mata. Gadls itu cepat memeriksa
pedangnya. la merasa lega melihat pedangnya tidak rusak, juga
lega karena merasa betapa tenaganya seimbang dengan tenaga
266 lawan. Pertandingan dilanjutkan dan kini Thian Liong terkadang
membalas dengan serangan pedangnya. Pertandingan itu
tampak ramai dan seimbang. Hal ini terjadi tentu saja karena
Thian Liong banyak mengalah. Dia tidak ingin membikin malu
gadis itu maka sengaja membuat pertandingan itu tampak seru
dan ramai seolah kepandalan mereka seimbang. Tentu saja
dlapun tldak mau kalau sampai dia kalah, karena hal iu akan
merendahkan nama beaar gurunya. Tldak, dia harus menang,
akan tetapl kemenangan melalul pertandlngan yang seimbang
dan ramai. "Hailiiittt ! !" Tlba-tiba Kim Lan merendahkan
tubuhnya setengah berjong-kok dan pedangnya menyambarnyambar ke arah kedua kaki Thian Liong. Pedang itu diputarputar merupakan gulungan sinar putlh yang mengancam kedua
kaki lawan. Thlan Liong berloncatan untuk menghindarkan diri
dari serangan ke arah kedua kakinya itu. Untuk menghentikan
desakan lawan, dia menyerangkan pedang nya dari atas dan
pedang Thianliong-kiam berkelebat. Ujung kain pengikat ke-pala
Kim Lan terbabat putus dan sehelai kain kuning melayang ke
bawah. Gadis itu terkejut dan mengubah serangannya. Kini ia
berdiri lagi dan pedangnya menyambar-nyambar ke arah leher
lawan. "Trang-trang-tranggg..., tiga, kali berturut turut kedua pedang
bertemu dl udara dan keduanya melompat ke belakang. Lima
puluh jurus telah lewat dan Thlan Llong merasa bahwa sudah
cukup lama dla mengalah. Ketika pedang kilat itu meuncur
menyambar dengan tusukan ke arah dadanya, dia hanya sedikit
miringkan tubuhnya dan mengangkat lengan kirinya. Pedang itu
267 meluncur dekat sekali dengan iga kirinya dan pada saat itu,
lengan kirinya turun mengempit pedang lawan! Kim Lan terkejut
dan mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya yang
tampaknya seolah menancap di dada lawan itu. Akan tetapi tibatiba Thian Liong mengetuk siku kanannya. Seketika lengan
kanannya kehilangan tenaga dan sebelum gadis itu dapat
mengatasi keadaannya tangan Thian Liong yang memegang
pedang itu telah mendorong pundak kiri Kim Lan sehingga tubuh
gadis itu terhuyung ke belakang dan pedangnya tertinggal,
dikempit oleh lengan kiri pemuda itu!
Keadaan ini jelas membuktikan bahwa Kim Lan telah kalah.
Thian Liong cepat mengambtl pedang gadis itu, memegang
ujungnya dan menyodorkan gagangnya kepada Kim Lan.
"Terimalah pedangmu dan maafkan aku, nona." ucapannya itu
dikeluarkan dengan tulus. Kim Lan menerima pedang itu dan
tiba-tiba ia menjatuhkan diri bersimpuh di atas tanah dan
menangis tentu saja Thian Liong menjadi bengong melihat hal
ini. Anehnya, Biauw In Suthai menghampirinya. Thian Liong sudah
bersiap siaga untuk melindungi dirinya kalau diserang tiba-tiba
oleh pendeta wanita yang galak ini. Akan tetapi anehnya, Biauw
In Suthai tersenyum dan berkata dengan suara girang.
"Souw" Thian Liong, kiong-hi (selamat)! Kami mengucapkan
selamat!" "Selamat" Untuk apa?" Thian Liong bertanya, tidak
mengerti. "Selamat karena engkau telah membuktikan bahwa engkau
murid yang mengagumkan dari Tlong Lee Cln-jln, engkau telah
268 menang dalam pertandingan ini dan engkau telah memperoleh
seorang isteri yang baik dan cocok sekali bagimu."
Thian Liong terbelalak semakin heran. "Isteri" Apa.... apa
maksud locianpwe?" Nenek itu menunjuk Kim Lan yang masih
bersimpuh dan menangis menutupi muka dengan kedua
tangannya. "Lihat itu, calon isterimu menangis karena haru dan
bahagia!" "Locianpwe, apa maksudmu" Saya.... saya tidak...." dia bingung
harus berkata apa. Biauw In Suthai tertawa dan melihat nenek itu tertawa Thian
Liong merasa aneh sekali. Nenek yang galak dan keras seperti
batu karang itu dapat terta-wa, akan tetapi hanya mulutnya yang
menyeririgai tertawa, matanya sama sekali tldak ikut tertawa.
Mata itu tetap memandang dengan sinar yang keras.
"Heh-heh-hl-hl-hlk. Makaudku...." Itu urusan orang muda.
Engkau boleh bicara sendtrl dengan Klm Lan!" Setelah berkata
demikian, pendeta wanita itu melangkah pergi meninggalkan
Thian Liong yang masih berdiri bengong.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah nenek itu pergi, Thiar Liong memandang kepada gadis
yang masih du-duk bersimpuh dan menangis tanpa suara itu.
Kemudian dia memandang kepada gadis ke dua yang berdiri di
dekat gadis yang menangis dan kebetulan gadis itu juga sedang
memandang kepadanya Gadis yang bermuka bulat telur dan
bertubuh mungil ini wajahnya sama cantik dengan gadis
pertama. Bedanya, gadis yang .lebih pendek ini wajahnya tidak
membayangkan kekerasan seperti yang lain. la bahkan
269 memandang kepada Thian Liong dengan sinar mata kagum dan
lembut, dan bibirnya mengembangkan senyum. Melihat sikap ini,
Thian Liong yang tidak berani bertanya kepada gadis yang
menangis, lalu bertanya kepada gadis ke dua itu.
"Nona, apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh loclanpwe
tadi" Sungguh matl saya tldak mengertl sama sekali"
Gadis itu menoleh kepada gadls yang masih duduk bersimpuh
dan biarpun sudah tidak menangs lagi namun masih menutupi
mukanya dengan kedua tangan seperti orang yang merasa
malu. "Sucl (kakak seperguruan, bolehkah aku mewakilimu
menceritakan apa artinya semua ini kepada Souw-sicu?"
Gadis yang bernama Kim Lan mengangguk. Gadis mungil itu
lalu melahgkah maju rnenghampiri Thian Liong dan la berkata
dengan suara merdu. "Kami berdua adalah murid Kun-lun-paii di
bawah asuhan guru karni Biauw In Suthai. Inl adalah enci Kim
Lan dan aku bernama Ai Yin. Ketahuilah, sicu, kami berdua telah
disumpah oleh guru kami ketika kami menerima pelajaran ilmu
pedang Tian-lui-kiam-sut (Ilmu Pedang Kilat Gun-tur) bahwa
kami hanya boleh menikah kalau...."
"Sumoi !" Kim Lan menegur sumoinya dan ia kini
bangkit berdiri, akan tetapi tidak berani menatap wajah Thian
Liong, melainkan memandang wajah sumoinya.
"Suci, kalau aku tldak menceritakan semuanya, bagaimana
Souw-sicu akan dapat mengertl persoalannya" Karena dia
merupakan orang yang tersangkut, tiada salahnya dia
mengetahui rahasia kita."
270 Sejenak Kim Lan termangu-mangu, lalu melirik malu-malu ke
arah Thian Liong, kemudlan mengangguk dan berkata lirih,
"Balk, teruskanlah."
Thian Llong merasa tidak enak. "Nona, kalau kalian mempunyai
rahasia, tidak perlu kalian ceritakan padaku. Akupun tidak ingin
mendengar tentang rahasia orang lain."
"Souw-slcu, rahasia kami ini sekarang telah melibatkan dirimu,
maka engkau harus mendengarnya."
"Hemm, kalau engkau dengan suka rela hendak menceritakan
kepadaku, silakan." kata Thian Liong yang sebetulnya ingin
sekali tahu akan sikap 8iauw In Suthai tadi.
"Seperti kukatakan tadi, kami berdua telah disumpah oleh guru
kami. Kami tidak boleh berhubungan dengan pria, bahkan tldak
boleh berdekatan. Subo (ibu guru) mungkin akan rnembunuh
kami kalau melihat kami akrab dengan pria. Kami disumpah
bahwa kami hanya boleh menikah kalau ada pria yang dapat
mengalahkan Ilmu Pedang Kilat Guntur kami. Pria yang dapat
mengalahkan kami harus menjadi suami kami. Karena itu, ketika
engkau mengalahkan suci Kim Lan, berarti engkau menjadi
jodoh atau calon suami suci Kim Lan, Souw?sicu."
Thlan Liong terbelalak, terkejut dan heran. "Akan
tetapi bagaimana mungkln ada aturan sepertl itu"
Pernikahan tidak dapat dipaksakan oleh satu pihak, harus ada
persetujuan kedua pihak. Sedangkan aku.... aku sama sekali
271 belum mempunyai keinginan bahkan belurn pernah berpikir
untuk menikah!" JILID 8 "Akan tetapi engkau harus menerima suci Kim Lan menjadi
isterimu, sicu. Harus!" kata Ai Yin. Kata terakhir itu mengandung
tekanan kuat sekali. "Harus?" Thian Liong mengerutkan alisnya yang tebal dan
memandang Ai Yin dengan sinar mata mengandung rasa
penasaran. "Siapa yang mengharuskan?"
"Sumpah , kami yang mengharuskan. Tidak ada pllihan lain bagi
suci Kim Lan. Menurut sumpah kaml, kami harus menikah
dengan lakl-lakl yang mampu mengalahkan llmu pedang kami!"
"Aturan gila! Sumpah macam apa itu" Bagaimana kalau laki-laki
yang mengalahkan kalian itu sudah tua dan sudah beristeri?"
"Itu merupakan kekecualian. Sumpah kami hanya menyangkut
pria yang belum berkeluarga, tua muda tidak masuk hitungan.
Dan kami percaya bahwa eng-kau belum berkeluarga, sicu."
"Hemm, aneh. Bagaimana kalau pria yang mengalahkan kalian
Itu tidak bersedia menikah dengan kalian?"
"Menurut sumpah kaml, kalau begltu masalahnya, kaml harus
membunuh pria itu! Jadi tldak ada pilihan laln bagl suci Kim Lan.
la harus menlkah denganmu atau kalau sicu menolak, la harus
mem-bunuhmu!" kata Ai Yln.
272 Thian Llong terkejut sekall. "Gila be-narl Belum pernah aku
mendengar aturan yang leblh gila darl pada Inl. Aku sama sekall
tldak ada kelnglnan untuk menlkah, bagalmana mungkln aku
dlpaksanya" Tentu aaja aku menolak untuk memenuhl aturan
glla-gilaan Ini. Aku tldak mau menlkah dengan siapapun!"
Tlba-tlba Klm Lan memandangnya dan berkata, suaranya
mengandung kekerasan. "Kalau engkau menolak, Souw Thian
Liong, berartl penghinaan yang tlada taranya bagiku. Aku akan
membunuhmu atau engkau harus membunuhku karena engkau
telah menodai dan mencemarkan nama dan kehormatankul"
Thian Llong membelalakkan matanya. "Aih! Apa pula ini" Aku
tidak pernah menyentuhmu, bagalmana engkau dapat
mengatakan bahwa aku menodal dan mencemarkan
kehormatanmu?" "Ini sudah menjadl sumpahku. Tidak ada plllhan lain baglku. Aku
harus menjadl isterimu atau terpaksa aku akan mengadu nyawa
denganmu!" Setelah berkata demikian Kim Lan mencabut
pedangnya. "Wah. ini gllal Nona Klm Lan. engkau tldak aan memang
melawan aku, dan aku dapat lari meninggalkanmu dengan
mudah. Engkau tldak akan dapat mengejar atau membunuhku."
"Aku akan terus mencarlmu, memperdalam llmuku dan selalu
berusaha untuk membunuhmu!" kata Kim Lan.
"Dan aku akan membantu suci untuk membunuhmul" kata pula
Ai Yin sambil inencabut pedangnya.
273 "Wah-wah, kalian inl sudah tidal waras lagl. Nona-nona, kalian
adalah, orang-orang muda, bagaimana berpendirian begini
kolot" Perjodohan hanya ditentukan oleh cinta atau kesepakatan
kedua pihak, sama sekali tidak boleh main paksa."
"Kita diikat oleh sumpah!" jawab kedua orang gadis cantik itu
berbareng. "Kalau engkau tetap gagal dalam usahamu untuk membunuhku,
bagaimana, nona Kim Lan?" Thian Liong bertanya.
"Kalau selalu tetap gagal, tidak ada jalan lain bagiku kecuali
membunuh diri atau dibunuh guruku."
"Gila ! Thian Liong berteriak. "Kalian gadis-gadis
muda sudah menjadi korban keganasan seorang nenek gila!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Biauw In Suthai
sudah berada di depan Thlan Llong. "Bocah she Souw! Engkau
berani memaki aku nenek glla" Murld-muridku memenuhi
sumpahnya, berarti mereka adalah orang-orang gagah sejatl
yang setia kepada gurunya. Akulah yang akan membantu Kim
Lan membunuhmu kalau engkau menolak menjadi suaminya!"
"Dunia sudah miring! Kalian orang-orang tidak waras!" Thian
Liong berseru sambil menyambar buntalan pakaiannya dengan
tangan kiri dan siap membela dlri dengan pedang Thlan-llongklam di tangan kanan.
"Bunuh Jahanam ini" Biauw In Suthai berteriak dan tlga orang
wanlta itu menggerakkan pedang di tangan mereka. Tampak tiga
sinar kilat menyambar dengan dahsyat ke arah Thian Liong.
274 Demikian cepat seperti kilat menyambarnya tiga pedang itu
sehingga Thian Liong terpaksa membuang diri ke belakang lalu
Pendekar Sakti 17 Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Panji Tengkorak Darah 11
^