Pencarian

Kisah Si Naga Langit 5

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


bergulingan menjauh dan cepat dia melompat bangkit kembali.
Melihat tiga orang wanita Itu sudah hendak menerjangnya lagi
dengan pedang diputar di atas kepala, Thian Liong cepat
menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga sakti,
mendorong ke arah mereka dengan kedua telapak tangan.
"Wuuutttt....! !" Angin yang kuat sekali menerpa tiga orang wanita
itu. Mereka merasa terkejut sekali dan berusaha menahan,
namun mereka tidak kuat dan tetap saja tubuh mereka terdorong
angin dan terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan Ai Yin yang
agaknya paling lemah dl antara mereka bertiga, terguling roboh.
Walaupun mereka tldak terluka, namun mereka terkejut sekali
dan ketlka mereka memahdang ke depan, ternyata pemuda itu
telah menghilang dari sltu.
Melihat itu, Kim Lan menjatuhkan diri berlutut dl depan kaki
subonya dan menangis. "Subo, teecu (murid) dltolak seorang
iaki-laki dan teecu tidak mampu membunuhnya. Sllakan subo
menghukum dan membunuh teecu, teecu pasrah...."
Blauw In Su-thai menghela napaa panjang. tangan kanan maslh
memegang pedangnya. Pada saat itu, Ai Yin yang mencinta
suclnya Juga ikut berlutut di depan kaki Biauw In Suthai dan
berkata, "Subo, sucl tidak bersalah. Ia sudah berusaha
membunuh Souw Thlan Liong, bahkan teecu dan subo sendirl
juga sudah membantunya. Namun, orang itu terlalu tangguh."
"Hemm, menurut sumpahmu sendlri, laki-lakl itu adalah jodohmu
dan kalau dla menolak, engkau berusaha untuk membunuhnya.
275 Pergilah dan usahakanlah agar engkau dapat membunuh dia,
dan jangan sekali-kali engkau berani kembali menghadapku di
sini sebelum engkau mampu membunuhnya!" kata nenek itu,
kemudian sambil mendengus marah, ia memutar tubuhnya dan
menlnggalkan tempat itu. Kim Lan masih terisak dan mengha-pus air matanya. Mukanya
menjadi pucat dan ia memandang wajah sumoinya de-ngan
sedih. "Sumoi, selamat tinggal, aku hendak pergi dan berusaha
memenuhi sumpahku, sampai aku berhasil atau mati." Setelah
berkata demikian, Klm Lan memballkkan tubuhnya dan berlart
cepat meninggalkan sumolnya.
"Sucl, tunggu....ll" Ai Yln melompat dan melakukan pengejaran.
Klm Lan berhentl. Mereka berdlri berhadapan. "Ada apakah,
sumoi?" "Sucl, aku Ikut pergl denganmu."
Kim Lan membelalakkan matanya, kemudian mengerutkan
allsnya yang Indah bentuknya. "Ah, sumol! Engkau tidak boleh!
Subo akan marah sekali kepadamu'"
"Biarlah, suci. Aku tidak tahan lagi dihantui sumpah kita itu,
apalagi setelah melihat akibatnya kepadamu! Aku tidak mau
kelak sepertimu, suci. Dan ingat, yang disumpah subo hanyalah
kita berdua, karena itu aku harus membantu-mu dan
membelamu. Bukankah engkau akan membelaku juga kalau aku
tertimpa masalah seperti engkau sekarang ini" Suci, kita berdua
sudah yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Kita
berdua sudah seperti saudara sendiri, sejak kecil hidup
bersama. Ah, kalau aku tahu akan begini jadinya, dahulu aku
276 tidak akan mau bersumpah, biar tidak menguasai Tian-lui-kiamsut juga tidak mengapa."
"Sumoi !" Kedua orang gadis itu berangkulan dan
menangis. Tak lama kemudian, dua orang gadis Itu sudah
menuruni lereng pegunungan Kun-lun-san. Ai Yin ikut pergi
bersama sucinya untuk. membantu sucinya mencari Thian
Liong, untuk membunuh pemuda itu atau kalau: gagal mereka
yang akan dibunuh guru mereka! Tentu saja, kecuali kalau
pemuda itu mau menikahinya.
Sementara itu, dl balik sebuah batu besar, Biauw In Suthai
berdiri dan dengan punggung tangan kirinya ia mengusap kedua
matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang
membasahi pelupuk matanya. Nenek yang keras hati seperti
baja itu menangis, walaupun tak bersuara dan hanya beberapa
butir air mata membasahi pelupuk matanya! Kalau saja ada
murid Kun-lun-pai melihatnya, pasti mereka akan menjadi
gempar dan terheran-heran. Hati Biauw In Suthai terkenal keras
dan kaku, bahkan ketika ia kematian gurunyapun tak sebu-tir alr
mata keluar dari matanya yang selalu bersinar keras. Akan tetapi
pada saat itu, di mana tidak ada orang lain menyaksikannya, ia
merasa hatinya se-perti ditusuk?tusuk pedang dan ia tidak dapat
menahan ketika beberapa butir air mata membasahi kedua
matanya. Itupun cepatcepat butir-butir air mata itu dihapusnya.
Kemudlan dengan tubuh terasa lemah lunglal ia menjatuhkan dlrl
duduk dl atas tanah berumput dan berslla. Plklrannya melayanglayang ke masa la-lu.
277 Ia pernah muda. Lama sebelum menjadi pendeta dan tokoh
besar tingkat tiga Kun-lun-pal. la pernah Jatuh clnta. Bahkan tlga
kali la jatuh clnta! Namun ke tiga kallnya gagal. Selalu saja la
dlsila-siakan, ditinggal pergi suaminya yang menikah dengan
wanlta lain. la merasa seakan bunga layu yang dibuang setelah
sarl madunya dihlsap habis. la tldak pernah mempunyai anak
darl tlga kali menjadi isteri orang. Mulailah la merasa bencl
kepada laki-laki. Demiklan mendalam rasa sakit hatinya
sehingga la memperdalam ilmu silatnya dan setelah menjadi
seorang ahli silat yang pandai, ia mencari ketiga orang laki-lakl
bekas suaminya yang menyianyiakan dan membunuh mereka!
Kemudian sebagai seorang pendekar wanita, ia melanglangbuana dan selalu membunuh penjahat tanpa ampun.
Akan tetapi yang dibunuhnya selalu prial Prla yang menjadl
penjahat, terutama sekall la selalu memburu para jai-hwa-cat
(penjahat pametik bunga atau pemerkosa wanlta) dan tanpa
ampun membunuhnya dengan sadis!
la baru menghentikan kebiasaannya yang menggemparkan
dunla perailatan itu setelah ta bertemu dengan Kut Beng Thalsu
yang sekarang menjadl Ketua Umum Kun-lun-pal. la dlkalahkan
dengan mudah oleh pendeta Kun-lun-pal itu, bahkan lalu
menerlma bimblngan dalam llmu silat dan juga tentang
kerohanlan. Akhirnya, karena ia maJu sekali, bukan saja dalam
llmu sllat, melainkan juga dalam soal kerohanian sehlngga la
tldak lagi menjadl ganas dan kejam, bahkan pantang untuk
sembarangan membunuh, Kui Beng Thaisu yang melihat bakat
baik darl wanlta ini untuk menjadl pelatlh llmu sllat, alu
mengangkatnya sebagai pimpinan bagian murid Kun-lun-pai
278 wanita, menjadi pembantu Hui In Siarikouw yang menjadi ketua
bagian murld wanita. Kemudian Biauw In Suthai memlllh dua orang gadis yatlm piatu
menjadi murid pribadinya, yaitu Kim Lan dan Ai Yin. Selama
hampir sepuluh tahun ia mendidik dua orang gadis ini, bahkan
menurunkan ilmu pedang Tian-lui-kiam-sut yang tidak dapat
diajarkan kepada sembarang murid. Untuk itu, ia mengharuskan
dua orang murid ini melakukan sumpah seperti yang telah kita
ketahui. Sumpah itu menunjukkan betapa benci ia kepada kaum
pria dan sesungguhnya ia tidak rela kalau dua orang murid yang
disayangnya seperti anak-anaknya sendiri itu menjadi isteri
orang hanya dengan bahaya kelak akan mengalami nasib
seperti dirinya, yaitu disia?siakah suami dan ditinggal pergi!
Kalau ada pria yang mampu mengalahkan Thian-lui-kiam-sut,
berarti pria itu sakti dan hal ini dapat menguntungkan ia atau
pihak Kun?lun-pai. Pria yang menjadi suami muridnya itu dapat
mengajarkan ilmuilmunya yang sudah dapat mengalahkan Tianlui-kiam-sut sehingga mutu ilmu silat Kun-lunpai dapat
meningkat. Akan tetapi kalau pria itu menolak mengawini murid
yang dikalahkannya, muridwa harus membunuh laki-laki itu.
Inilah merupakan jalan baginya untuk membalas dendamnya
kepada kaum pria yang dibencinya! Juga untuk menguji
kesetiaan dua orang murid yang dikasihinya itu. Semua ilmunya
telah ia berikan dan ia menuntut agar dua orang muridnya itu
berbakti dan setia kepadanya.
Akan tetapi, ketika diam-diam ia mengintai dan melihat betapa
dua orang muridnya itu pergi meninggalkannya untuk berusaha
mengejar dan membunuh Souw Thian Liong. hati pendeta
wanita itu merasa sedih sekali.
279 Dendam sakit hati merupakan racun jahat yang akan merusak
batin sendiri. Dendam sakit hati menimbulkan kebencian dan
nafsu kebencian membuahkan kekejaman, menghilangkan
prikemanusiaan karena kebencian bagaikan api baru dapat
dipadamkan oleh tindakan buas untuk menda-tangkan siksaan
bahkan pembunuhan ter~ hadap orang yang dibenci. Namun
yang diderita oleh Biauw In Suthai bukan ha-nya dendam
kebenclan karena disia-siakan pria selama tlga kali saja,
terutama sekali dendam ini dikobarkan karena pada terakhir
kalinya, yaitu ketika ia bertemu dengan pria ke empat dan ia
jatuh cinta secara mendalam, pria itu tidak membalas cintanya
karena medgetahui bahwa ia telah menjadi janda tiga kali!
Kekecewaan ini merupakan puncak pen-deritaannya karena
harus diakuinya bah-wa pada pria ke empat ini ia benar-be-nar
jatuh cinta. Selagi Biauw In Suthai tenggelam ke dalam kesedihan, tiba-tiba
ia mendengar teguran suara yang lembut.
"Biauw In, ada apakah dengan engkau ?".
Nenek itu terkejut bukan maln. Orang datang begitu dekat dl
belakangnya dan ia tldak mengetahuinya! Hal Ini menunjukkan
betapa hebat gln-kang (llmu merlngankan tubuh) orang Itu. Akan
tetapi ketlka ia bangklt dan memutar tubuh, la mellhat bahwa dl
situ telah berdiri seorang kekek yang Jangkung kurus,
berJenggot panjang, berambut putlh, yang bukan lain adalah Kul
Beng Thaisu sendirl, Ketua Umum Kun-lun-pai, penolong dan
juga pembimbingnya. la maklum bah-wa kepada kakek ini ia
tidak dapat menyembunyikan sesuatu. Kakek iitu andah berada
di situ, tentu telah mengetahui akan kepergian dua orang
280 muridnya tadi, bahkao mungkin sudah mengetahui pula tentang
Souw Thian Liong! Maka, iapun segera menjatuhkan diri berlutut
di depan kakek itu, menahan tangisnya. Saking sedihnya, ia
tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
"Sumoi, tenangkan batlnmu dan ceritakanlah kepadaku, apa
yang telah cerja-di sehingga engkau tenggelam dalam
kesedlhan?" Kul iBeng Thalsu adalah orang yang menyadarkan
nenek itu yang dahulu maalh seorang wanlta muda berusla tlga
puluh tahun bernama Blauw In. Juga dla yang memberl
pendidlkan dan blm-blngan kepadanya. Akan tetapl karena pada
waktu Itu gurunya maslh hldup dan Blauw In diterima sebagal
murld Kun-lun-pai, mellhat tlngkat kepandaiannya sudah tinggl,
maka dia menyebut sumol (adik perempuan seperguruan)
kepada Blauw In Suthai dan nenek inl menyebutnya suheng
(kakak laki-laki seperguruan).
Dan setelah guru mereka meninggal, Kui Beng Thaisu
menggantikan kedudukan ketua dan dia mengangkat Biauw In
Suthai menjadi wakil ketua bagian murid wanita.
Biauw In Suthai menenangkan hatinya dan beberapa kali
menghirup napas panjang sambil mengheningkan cipta. Se-telah
merasa hatinya tenang, ia bangkit berdiri dengan perlahan.
"Mari duduk di sana dan engkau ke-luarkanlah semua masalah
yang merlsau-kan hatimu, sumoi," kata kakek itu. Biauw In
Suthai mengangguk dan kedua-nya lalu menghampiri
sekumpulan batu tak jauh dari situ lalu masing-masing du-duk di
atas sebuah batu. 281 "Maafkan kelemahanku, suheng. Semua itu terjadi demikiah
cepatnya dan dalam waktu singkat terjadi demikian banyak
perubahan. Mula-mula aku melihat munculnya seorang pemuda
di depan asrama puteri para murid Kun-lun-pai. Tentu saja aku
curiga kepadanya dan selain menergurnya aku juga menguji
ilmu kepandaiannya karena kulihat dia memiliki ilmu berlari cepat
yang hebat." "Sian-cai (damai) Kenapa engkau masih juga belum dapat melunakkan hatimu yang keras itu, sumoi?"
"Aku berniat mengujinya saja, suheng. Ternyata dia memang
lihai sekali. Suci Hui In Siankouw datang dan melerai. Atas
pertanyaan suci, pemuda itu mengaku bernama Souw Thian
Liong dan dia murid Tiong Lee Cin?jin."
"Murid Tiong Lee Cin-jin" Ahh, tidak aneh kalau dia lihai sekali.
Akan tetapi apa keperluan murid Tiong Lee Cin-jin datang
berkunjung?" "Tadinya dia memang hendak menghadap suheng, akan tetapi
dia tersesat ke asrama bagian puteri. Suci Hui In mewakili
suheng dan dia bercerita kepada suci, bahwa dia diutus Tiong
Lee Cin-jin untuk menyerahkan sebuah kitab kepada suheng.
Kitab itu bukan lain adalah Kitab Ngo-heng Llan-hoan Kun-hoat,"
"Siancai !" Kui Beng Thaisu berseru kagum. "Jadi
Tiong Lee Cin-jin telah berhasil menemukan kitab pusaka kita
yang telah hilang ratusan tahun yang lalu itu dan
282 mengembelikan kepade klta" Bukan malnl Sungguh beliau
seorang yang sakti den bljakaana sekali!"
"Akan tetapl kelanjutan ceritaku tidak begltu menyenangkan,
suheng. Pemuda she Souw itu mengatakan bahwa baru saja
kitab pusaka kita itu dicuri orang."
"Sian-cai;...! Slapa yang mencurinya?"
"Itulah, suheng, Dla sendiri tidak tahu slapa yang mencurinya.
Aku menganggap dia berbohong dan hendak menyembunylkan
kitab itu. Aku hendak menyerangnya dan memaksanya mengaku
dl mana kitab itu, akan tetapi sucl Hui In melarangku."
"Sucimu benar, sumoi. Pemuda Itu tidak mungkin
menyembunyikannya. Dia sudah berani datang menceritakan
tentang kehilangan kitab itu, berarti dia jujur. Apakah dia tidak
mengatakan pertanggungan-jawabnya atas kehilangan itu?"
"'Dia mengatakan bahwa dia akan mencari kitab itu sampai
dapat." "Nah, Itu sudah cukup. Kltab pusaka Itu sudah ratusan tahun
lenyap. Tlba-tlba saja ditemukan Tlong Lee Cin-Jln yang
mengutus murldnya untuk mengembalikan kepada klta. Kalau
kltab itu dlcurl orang, hal itu merupakan sebuah kecelakaan.
Tiong Lee Cln-Jin adalah seorang yang sakti dan bijak, tentu
murid-nya juga seorartg yang gagah perkasa. Lalu, apa yang
menyebabkan engkau bersedih?"
283

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biauw In Suthai menduga bahwa suhengnya tentu sudah tahu
akan kepergian dua orang muridnya, bahkan mungkin tahu pula
akan pertandingan tadl. "Ketika Souw Thian Llong turun dari puncak, aku bersama Kim
Lan dan Ai, Yin sengaja menghadangnya, suheng."
"Hemm, apa lagi yang kaulakukan bersama dua orang muridrnu
itu, sumoi?" "Aku menantang pemuda itu untuk bertanding pedang melawan
muridku Kim Lan. Muridku itu sudali dewasa, sudah berusia
sembilan belas tahun, dan pemu?da murid Tiong Lee Cin-jtn itu
memiliki ilmu kepandaian tlnggi, suheng. Aku yakin bahwa
pemuda itu pasti dapat mengalahkan Kim Lan dan aku ingin dia
menjadi jodoh Kim Lan."
Kui Beng Thaisu mengerutkan alisnya yang putih. Dia
memandang sumoinya dengan sinar mata lembut namun penuh
keheranan. "Hemm, kalau hendak menjodohkan muridmu, kenapa harus
mengadu 'mereka" Apakah maksudmu sebenarnya, sumoi?"
Nenek itu menundukkan mukanya. Terpaksa ia harus
menceritakan rahasia-nya dengan dua orang muridnya itu.
Suaranya lirih ketika ia menjawab, "Ketika dua orang muridku
berlatih Tian-lui-kiam-sut mereka telah bersumpah bahwa
mereka hanya mau menikah dengan pria yang mampu
mengalahkan ilmu pedang mereka itu."
284 "Hemm, bagaimana engkau dapat menyuruh mereka bersumpah
seperti itu" Bagaimana kalau pria yang mengalahkan mereka itu
tidak mau menikah dengan mereka?"
Suara Biauw In Suthai semakin lirih ketika menjawab, "Kalau
pria yang mengalahkan mereka tldak mau memperistri mereka,
maka mereka harus membalas penghinaan itu dengan
membunuhnya!" "Siancai !" Kui Beng Thaisu berseru dan alisnya
berkerut. "Kemudlan bagaimana?"
"Kim Lan bertanding dengan Souw Thian Liong dan la kalah.
Karena pemuda itu menolak untuk berjodoh dengannya, Kim
Lan, menyerangnya dan hendak membunuhnya memenuhi
sumpahnya, akan tetapi pemuda itu melarikan diri. Kini Kim Lan dan Ai Yin
mereka.... pergi untuk mencari dan membunuh pemuda itu...."
Kui Beng Thaisu terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya
sambil mengelus jenggotnya yang putih panjang. Kemudian dia
mengangguk-angguk. "Hemm, tidak kusangka bahwa penyakit dendammu terhadap
kaum pria ternyata telah berakar dalam batinmu sehingga diamdiam telah meracunimu. Racun itu pada akhirnya akan merusak
dirimu sendiri. Buktinya sekarang telah mengorbankan kedua
muridmu yang kausayang seperti anak-anakmu sendiri. Ah,
Biauw In sumoi, kiranya semua pelajaran yang tclah kuberikan
kepadamu sela?ma puluhan tahun ini, hanya mampu
285 menghilangkan kebuasanmu saja, akan tetapi tidak pernah
dapat melenyapkan dendanimu terhadap pria. Alangkah
sayangnya. Aku, aingguh merasa kecewa sekali, sumoi. Engkau
tega mengorbankan muridmu sendiri untuk melamplas-kan
dendam hatlmu terhadap prla."
Mendengar ucapan suhengnya yang sudah dlanggapnya
sebagal gurunya sendlri, penolongnya dan orang yang selama
kurang teblh dua puluh tahun memblm-blngnya, yang
cllkeluarkan dengan nada ledlh Itu, Biauw In Suthai
menundukkan mukanya yang menjadi pucat dari la menguatkan
perasaannya agar jangan sampal menangis.
"Maafkan aku, suheng. Maafkan aku. Setelah kedua orang
muridku pergl, baru aku menyadarl bahwa aku telah membuat
mereka menderital Aku telah membuat dua orang yang
kusayang seperti anak-anakku sendiri itu hidup merana.
Sesungguhnya, selama ini aku sudah berusaha untuk menekan
nafsu dendam kebencianku. Aku menyumpah kedua orang
muridku itu hanya untuk menjaga agar mereka berdua
memperoleh suami yang berilmu tinggi, yang lebih tangguh
daripada mereka. Aku ingin mereka mendapatkan suami
seorang pendekar. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa
Souw Thian Liong itu murid Tiong Lee Cin-jin.... ah, aku menjadi
lupa diri, terbakar oleh perasaan sakit hatiku...."
"Eh" Apa hubungan sakit hatimu dengan Tiong Lee Cin-jin?"
tanya ketua Kun-lun-pai itu dengan heran.
Biauw In Suthai tetap menundukkan mukanya dan menjawab
dengan lirih. "Tiong Lee .... Bu Tiong Lee.... dialah laki-laki
286 terakhir dalam hidupku, dialah yang mengobarkan sakit hatiku
terhadap tiga orang suamiku yang terdahulu seperti yang pernah
kucerltakan kepada suheng...."
"Siancai ! Jadl Tlong Lee Cin-jin di waktu beliau
masih muda itukah pria yang pernah membuat engkau jatuh
cinta, kemudian engkau kecewa dan patah hati karena dia tidak
membalas cintamu, bahkan meninggalkanmu begitu saja" Biauw
In, Biauw In! Sungguh engkau telah tersesat jauh. Bagaimana
mungkin engkau dapat mengharapkan seorang pemuda arif
bijaksana sepertl Tiong Lee Cin-lin untuk jatuh cinta padamu"
Beliau adafah seorang yang menyerahkan seluruh kehidupannya untuk mengembangkan pelajaran tentang agama,
tentang rohaniah, dan beliau adalah seorang manusia yang telah
mampu menundukkan semua nafsu daya rendah dalam dirinya.
Jadi, engkau ingin murid-muridmu dapat membunuh Souw Thian
Liong karena dia itu murid Tiong Lee Cin-jin, untuk
melampiaskan sakit hati dan kekecewaanmu?"
"Maafkan aku, suheng. Sesungguhnya, bukan itu satu-satunya
tujuanku. Andaikata pemuda itu menerima dan mau menJadi
suami KlmLan, berartl aku ber-besan murid dengan Tiong ! Lee
Cin-jin dan Kun-lun-pal menjadi bertambah kuat karena
mendapat tambaha'n tlmu melalui suami Kim Lan,j Akan tetapi
pemuda itu menolak sehingga Kim Lan pergi hendak mencari
dan membunuhnya, dan Ai Yin ikut sucinya untuk membantu."
"Hemm, dorongan nafsu dendam kebencianmu telah membuat
engkau men-jadi seorang wanita yang tidak berperasaan dan
tidak berperikemanusiaan lagi, membuat engkau tega untuk
287 mengorban-kan murid?murid sendiri, tega pula un-tuk menyuruh
murid-muridmu membunuh orang-orang tidak berdosa.
Sekarang nafsu jahatmu telah terlaksana, engkau membuat
murid-muridmu bermusuhan dengan murid Tiong Lee Cin-jin.
Seharusnya engkau merasa puas dan setan dalam dirimu
bersorak-sorai kegirangan, mengapa engkau malah menjadi
sedih dan menangis?"
Biauw In Suthal tidak kuat bertahan lagi. la turun dari atas batu
dan menja-tuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki Kui
Beng Thaisu sambil menangis. Kini tangisnya adalah tangis
aseli, tangis wajar seorang wanita tua yang merasa sedih dan
penuh penyesalan diri, terisakisak dan alr mata bercucuran darl
kedua matanya, mengallr di sepanjang pipinya yang pucat.
Seolah-olah bendungan yang dibentuk oleh kekerasan hatl sejak bertahun-tahun dan menjadi bepdung-an baja yang amat
kuat itu tiba-tiba pe-cah dan wanita itu menangis sampai
sesenggukan. Beberapa lamanya Kui Beng Taisu hanya
memandang sambil mengelus jeriggotnya yang putih panjang,
meng-angguk-angguk sendiri karena diam-diam dia maklum
bahwa akhirnya dia berhasil mencairkan hati yang mengeras
seperti baja itu. Dia maklum bahwa tangislah merupakan obat
yang amat manjur bagi penyakit yang diderita sumoi-nya itu.
Kalau tidak dapat menangis, terdapat ancaman bahaya besar
bagi kesehatan wanita itu. Kehancuran perasaan sehe?bat itu
dapat membuat ia jatuh sakit berat atau bahkan mendatangkan
gun-cangan dan tekanan batin yang dapat membuat ia menjadi
gila. 288 Blauw In Suthal sepuasnya menumpah-kan semua penyesalan
dan kesedihan hatlnya mclalul tanglsnya. Satelah hatlnya terasa
rlngan dan tangianyra meredo, la. mengusap mukanya yang
basah Itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah pula,
kemudian ia berkata llrih.
"Suheng, anipunkan aku, suheng...."
"Engkau tahu, sumoi bahwa engkau tidak bersalah kepadaku.
Engkau bersalah kepada Thian (Tuhan) dan kepadanyalah
engkau harus minta ampun. Akan tetapl minta ampun saja tidak
ada gunanya, sumoi. Permohonan arnpun kepada Tuhan
haruslah disertai pertaubatan dan taubat yang sesungguhnya
bukan hanya timbul dalam hati dan pikiran, bukan hanya
terucapkan oleh mulut, melainkan harus dibuktikan dalam
tindakan, dalam perbu-atan. Hati dan pikiranmu haruslah dicucl
bersih dari dendam saklt hati itu dan pertaubatanmu harus
terbukti dengan tidak mengulangi lagi plkiran dan perbuatan
yang telah kaulakukan itu. Inipun belum cukup. Kesadaranmu
dan penyesalang hatimu harus dibuktikan dengan relanya
engkau menerlma hukuman atas segala kesalahanmu Itu dalam
bentuk keprihatinan. Kalau tidak, maka semua penyesalanmu itu
tidak ada gunanya karena akar kebencian masih tetap hidup
daiarn batinmu dan sewaktu-waktu dapat menumbuhkan tunas
baru." "Aku mengerti, suheng, dan aku siap menerima hukuman
apapun yang suhertg berikan kepadaku."
"Bagus kalau begitu. Mulai hari ini engkau harus tinggal dalam
pondok peng-asingan selama tiga tahun!"
289 Biauw In Suthai menundukkan muka-nya. "Aku menerima
hukuman itu dengari rela, suheng."
"Sukurlah kalau begitu. Nah? pergilah ke pondok pengasingan'
kita dan sampai gbertemu kembali tiga tahun kemudian."
Biauw In Suthai memberi hormat lalu berjalan pergi mendaki
puncak sambil iinenundukkan mukanya. Tentu saja ia mengenal
pondok pengasingan itu. Merupakan sebuah pondok terpencil
agak jauh di belakang kompleks bangunan Kun-lun-pai, sebuah
pondok sederhana dan kosong di mana seorang murid yang
terhukum harus melewatkan hari-harinya dengan berprihatin dan
bersamadhi, tldak diperkenankan meninggalkan pondok yang
sunyi itu sebelum masa huk'umannya ha-bis. Menyepi sendiri
dan untuk makanan-nya yang sederhana, setiap pagi seorang
murid bertingkat paling rendah mengantarkan makanan itu dan
menaruhnya di depan pintu.
Kui Beng Thaisu merigikuti bayangan sumoinya dengan
pandang mata, kemu-dian dia mengelus jenggotnya dan menghela napas panjang.
"Sian-cai semoga Thian menolongnya dan
membebaskannya dari tekanan nafsu kebencian."
Thian Liong tiba di daerah Pegunungan Bu-tong-san. Karena
senja telah tiba, ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup
besar dan di sltu terdapat sebuah rumah pengihapan sederhana,
dia memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan Itu.
Tadinya dia mengira bahwa tempat Itu hanya merupakan rumah
ma kan dan dia hanya ingin makan dan bertanya-tanya di mana
290 dia bisa mendapat-kan tempat untuk bermalam. Pelayan yang
menyambutnya tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Tuan mencari tempat untuk menginap" Di sinilah tempatnya.
Kami mem-punyai beberapa buah kamar yang kartii sewakan
kepada para tamu dari luar dusun. Selain di sini tidak ada tempat
lain yang menyewakan kamar!"
Thian Liong menjadi girang. Dia tidak jadi memcuri makanan
karena hendak mandi lebih dulu, dan dia minta diantar ke
sebuah kamar yang akan disewanya untuk malam itu. Ternyata
kamar itu walaupun kecil namun, bersih dan tempat tidurnya
yang sederhana Juga cukup bersih. Ada pula karriar mandi di
situ dan Thian Liong segera mandi dan ber-ganti pakaian bersih.
Dia bersiap-siap untuk keluar dari kamar menuju ke rumah
makan yang berada di ruangan depan. Dia harus membawa
kantung uang emas dan pedangnya, karena kalau ditinggalkan
di dalam kamar, ada kemungkinan barang-barang berharga itu
akan dicuri orang. Dia mengikatkan pedang di belakang
punggungnya dan mengikatkan kantung emas di pinggangnya,
meninggalkan buntalan pakaiannya dl atas meja dalam kamar.
Pada saat itu dia mendengar suara merdu wanita di luar
kamarnya, bicara dengan suara pelayan yang telah
menerimanya tadi. Berdebar rasa jantung Thian Liong. Segera dla teringat akan
gadis yang dijumpainya di Kunlun-san dahulu Itu, maka cepat
dia membuka daun pintu kamarnya dan melangkah keluar.
Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang gadis berpakaian
serba hljau. Namun dengan gerakan ringan dan gesit sekall
gadis Itu inengelak dan mencondongkan tubuh ke klri sehlngga
291 tidak terjadl tabrakan. Thian Llong menclum bau harum bunga
mawar ketlka gadls Itu membuat gerakan menghindar.
"Ah, maafkan aku, nona!" katanya dan dia melihat bahwa gadls
ini bukan gadis yang dljumpalnya dl Kun-lun-san dahulu itu.
Memang keduanya sebaya, kurang lebih delapan belas tahun,
sama-sama cantik jelita, wajahnya agak bulat, me-miliki daya
tarik yang kuat, terutam.a sekali sepasang matanya yang indah
dengan kerling tajam memikat dan bibirnya yang menggairahkan
dengan senyumnya yang semanis madu.
Gadis itu memandang wajah Thian Liong yang tampan dan ia
tersenyum. Manis sekali! Thian Liong memandang, dalam
hatinya merasa kagum dan juga heran bagaimana dalam
sebuah dusun di kaki pegunungan itu dia dapat bertemu dengan
seorang gadis seperti itu. Jelas bukan seorang gadis dusun yang
sederhana. Rambut yang hitam lebat itu digelung indah ke atas
dan dihias setangkai bunga mawar merah. Kalung, anting-anting
dan gelang emas bertabur permata meng-hias tubuhnya yang
padat langsing. Di punggungnya, di bawah sebuah buntalan
pakaian dari kain kuning, tampak ga-gang sepasang pedang.
"Tidak mengapa," kata gadis itu dengan suara merdu dan
senyumnya meng-hias bibir yang merah basah, "masih un-, tung
kita tidak bertabrakan!"
"Maafkan," kata lagi Thian Liong dan dia melanjutkan
langkahnya menuju ke depan. Dia mendengar pelayan itu
berkata kepada gadis tadi.
"Inilah kamar nona," kata pelayan itu.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

292 "Sunyi benar rumah penginapan ini" kata gadis itu.
"Hari ini memang sepi, nona. Tamunya hanya nona dan tuan
tadi, yang hampir bertabrakan dengan nona. Biasanya ramai,
sampai sepuluh buah karnar kami penuh semua."
"Sudah, tinggalkanlah aku."
"Baik, nona. Kalau nona hendak makan, silakan pergi ke rumah
makan kami, di bagian depan bangunan ini." kata pelayan itu
yang segera pergi. Thian Liong tidak memperdulikan mereka lagi dan memasuki
rumah makan sederhana itu. Dia duduk menghadapi meja dan
memesan nasi dan dua macam masakan sayur dan daging
ayam. Untuk mlnumnya dia memesan alr teh.
Ketika dia duduk termenung menanti datangnya makanan yang
dipesannya, ti-ba-tiba terdengar suara merdu di belakangnya.
"Wah, agaknya tamunya hanya klta berdua! Bagaimana kalau
aku juga makan di meja ini" Agar ada teman bercakap-cakap."
Thian Liong menoleh dan bangkit ber-dlri ketika melihat bahwa
yang bicara adalah gadis tadi. Buntalannya sudah ti-ak ada,
tentu ditinggalkan di dalam kamar seperti yang dia lakukan.
Siang-kiam (sepasang pedang) itu kini tergantung di
pungungnya dan di pinggangnya tergantung beberapa buah
kantung kain. Pakaiannya yang serba hijau itu bersih dan terbuat
dari sutera yang halus. Bunga mawar merah di rambutnya
,serasi sekali dengan pakaiannya yang hijau.
293 Thian Liong tercengang keheranan mendengar gadis itu ingin
duduk semeja dengan nya untuk makan dan bercakap-cakap.
Darl sikap yang berani dan tidak malu?malu ini dia dapat
mengambil kesimpulan bahwa gadis ini seorang gadis yang
biasa melakukan perjalanan di dunia per-silatan dan seorang
gadis yang sikapnya terbuka dan tidak terikat oleh segala
macam peraturan dan peradatan.
"Oh, silakan, nona. Silakan!"
Gadis itu tampak gembira sekali dan ia lalu menarik sebuah
kursi dan duduk berhadapan dengan Thian Liong, terha-lang
meja yang tldak berapa besar se" hingga mereka saling
berhadapan dalam jarak dekat, hanya satu meter lebih.
Berdebar juga rasa jantung dalam dada Thian Liong. Gadis itu
demikian dekat dengannya dan kembali hidungnya tnenang-kap
keharuman bunga mawar. Bagaima-na mungkin setangkai
bunga mawar yang menghias kepala gadis itu dapat menaburkan
keharuman demikian semerbak" Gadis itu menggapaikan tangan memang-gil pelayan yapg segera datang
meng-hampiri. "Aku memesan makanan yang sama dengan yang dipesan tuan
ini. Dan ja-ngan lupa, sediakan seguci kecil anggur yang paling
baik." Pelayan itu mengangguk dan pergi meninggalkan mereka. "Akan
tetapi aku hanya memesan minuman air teh, nona."
Gadis itu mengerling dengan matanya yang indah. Kerling tajam
memikat disertai senyum manis, alisnya bergerak tanda heran.
294 "Akan tetapi mengapa" Hawanya begini dingin, sebaiknya
minum arak atau anggur yang dapat mengha-ngatkan badan."
"Aku.... aku tidak pernah minum arak."
Sepasang alis itu kini bergerak naik bersama kedua matanya
yang terbelalak lebar. "Sungguh aneh! Baru sekarang aku
mendengar seorang laki-laki tidak pernah minum arak! Padahal
melihat engkau membawa sebatang pedang di punggungmu,
mestinya engkau seorang kangouw (dunia persilatan) yang tidak
asing dengan arak atau anggur."
Thian Liong tersenyum. "Arak dapat membuat orang mabok dan
mabok membuat orang kehilangan akal dan pertimbangan
sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang tidak baik."
"Hi-hi-hik!" Gadis itu tertawa, tawanya lepas sehlngga kedua
biblr Itu merekah, tampaklah deretan gigi yang rapl dan putih
bersih. "Orang minum arak harus dapat menyesuaikan dengan
kekuatan minumnya sehingga tidak dapat sampai mabok; Aku
sendiri selama hidupku bekum pernah mabok, beberapa
banyakpun anggur atau arak yang kuminum!"
"Silakan nona kalau hendak minum anggur, bagiku cukup air teh
hangat saja!" kata Thian Liong yang tidak ingin mencela
kebiasaan minum arak gadis itu.
Beberapa lamanya mereka hanya duduk, menanti datangnya
makanan yang dlpesan, tidak bicara apapun, Gadis itu
mengamati wajah Thian Liong dengan penuh perhatian. la
melakukan itu tanpa pura-pura dan dengan terang-terangan. Dl
lain pihak, Thian Liong yang tahu bahwa gadis itu
295 memandangnya penuh perhatian, menjadi salah tlngkah. Dia
selalu mengelak untuk beradu pandang dan diam-diam dia
memperhatikan bajunya, apakah ada yang tidak beres dengan
pakaiannya. Dia merasa rikuh, canggung dan tidak enak diamati
seperti itu. Maka, dla menghela napas lega ketika pelayan
datang membawa pesanan nasi dan masakan untuk mereka.
Melihat bahwa yang dipesan pemuda Itu hanyalah nasi dan dua
macam masakan sayur dan daging ayam, gadis itu mengerutkan
alisnya. "Hanya ini?" .tegurnya kepada pelayan.
"Itulah yang dipesan oleh tuan Inl, nona." kata pelayan.
"Hayo cepat tambah masakan Ikan sirip kuning saus tomat,
goreng burung dara, udang masak jamur, kepiting goreng telur.
Cepat, berapapun akan kubayar!"
Pelayan Itu memandang bodoh. ?"Wah, pesanan nona terlalu
mewah. Mana di dusun ada udang dah keplting" Ikan slrlp
kunlngpun tidak ada, yang ada hanya ikan lee-hl biasa. Burung
dara juga tldak ada, adanya ayam atau bebek."
"Wah, brengsek! Ya sudah, cepat sediakan segala macam
masakan yang ada di sini! Ikan lee-hi, ayam dan bebek, apa
saja. Cepat!" "Baik, nona." Pelayan itu cepat mengundurkan dirl untuk
menyampaikan pesan itu kepada tukang masak.
Melihat semua itu, Thian Liong tersenyum, kemudian berkata,
"Mari, nona, Silakan makan, selagi sayurnya masih panas."
296 "Ya, akan tetapi makannya perlahan-lahan
menunggu masakan lain yang kupesan."
saja sambil "Bagiku ini saja sudah cukup." katag Thian Liong sambil
mengambil sepasang sumpit bambu yang disediakan di atas
meja. Gadis itupun memilih sepasang sumpit dengan hati-hati,
mencari yang bersih, kemudian dia berkata.
"Tapi aku sudah memesan masakan-masakan laln untuk kita
berdua!" Thlan Llong tldak menjawab, akan tetapl diam-diam dla merasa
tldak enak juga kalau tldak ikut makan begltu banyak maaakan
yang telah dipesan oleh gadis itu. Agar jangan mengecewakan
hati gadis itu yang agaknya hendak menjamunya, diapun makan
perlahan dan sedikit-sedikit untuk menanti masakan-masakan
baru yang dipesan. Gadis itu minum anggur dengan lahap,
menuangkan anggur ke dalam cawannya dan minum minuman
keras itu seperti minum air saja. Beberapa kali ia menawarkan
kepada Thian Liong, namun pemuda itu selalu menolak. dengan
lembut dan mengucapkan terima kasih. Bau anggur yang harum
sedap itu memang merangsang seleranya, akan tetapi dla tidak
mau mencoba-coba. Gurunya, Tiong Lee Cln-jin, pernah
mengatakan bahwa minuman keras itu amat berbahaya karena
dapat membuat orang ketagihan dan menjadi pemabok. Seolah
dapat mendengar suara hatinya, tiba-tiba gadls itu berkata.
"Anggur inl merupakan minuman yang menyehatkan, asal saja
peminumnya mengenal batas kekuatannya. Kalau melampauhi
batas kekuatannya, memang dapat menjadi racun. Bahkan
semua obat yang menyembuhkan sekallpun, kalau terlalu
297 banyak dimlnum dapat menjadl racun yang membahayakan
kesehatan!" Masakan-masakan yang dipesan diantar datang dan gadis itu
mempersilakan Thian Liong makan masakan baru itu. Setelah
menghabiskan setengah guci anggur gadis itu menjadi semakin
akrab dan hangat, la kembali niinum anggur dari cawannya
sambil menatap wajah pemuda yang duduk di depannya.
Kemudian ia berkata setelah mengusap bibirnya dengan sehelai
saputangan. "Sungguh aneh sekali keadaan kita berdua ini. Tinggal di bawah
satu atap, bahkan makan bersama di satu meja, dan kita belum
mengenal nama masing-masing! Bukankah ini aneh sekali"
Kalau ada orang melihat kita dan mendengar bahwa kita tidak
saling mengenal, pasti dia tidak percaya!"
Thian Liong menghablskan makanan terakhir dalam mulutnya
lalu minum air tehnya dan mengusap bibirnya dengan ujung
lengan bajunya. Dla maklum akan apa yang terkandung dalam
ucapan gadis itu, maka dia lalu memperkenalkan namanya.
"Namaku Souw Thian Liong, seorang yatlm piatu yang sedang
mengembara." "Souw Thian Liong" Namamu gagah sekall, segagah orangnya!
Engkau tentu lebih tua beberapa tahun dari aku, maka aku akan
menyebutmu Llong-ko (ka-kak Liong). Engkau tidak
berkeberatan, bukan?"
Thian Liong tersenyum. "tentu saja tldak."
298 "Engkau datang darl mana, Liong-ko" Dl mana tempat tlnggalmu
dan kalau engkau yatlm piatu, siapa saja keluargamu" Engkau
sudah berkeluarga beristeri dan mempunyal anak, bukan" Dan
sekarang hendak pergi ke mana?"
Dlberondong pertanyaan itu, Thlan Llong tersenyum.
Gadis ini lincah, mengingatkan dia akan gadis yang dijumpatnya
di Kun-lun-san. Akan tetapi gadis berpa" kaian serba merah
muda itu galaknya bukan alang kepalang, sedangkan gadis
berpakaian serba hijau dengan setangkai bunga mawar di
kepalanya inl tampaknya leblh ramah dan tldak galak.
"Wah, harus satu demi satu aku menjawab hujan pertanyaanmu
itu. Tentang keluarga, aku sudah tidak mempunyai sanak
keluarga lagi. Aku hldup sebatang kara, tentu saja belum
mempunyai isteri atau anak. Tempat tlnggalku" Aku tidak
mempunyal tempat tinggal yang tetap. Dunta inl tempat
tlnggalku, langit atap rumahku dan bumi lantalnya! Darl mana
aku datang dan ke mana hendak pergi" Yah, katakanlah datang
dari belakang dan hendak pergi ke depan."
"Hl-hlk engkau lucu, Llong-ko! Burung mempunyal sarang, ular
mempunyal lubang, harlmau mempunyal guha, semua mahluk
memlllkl tempat tinggal. Maaa engkau aeorang manusia tidak"
Dan hari inl engkau berada dl kaki pegunungan Bu-tong-aan,
tentu mempunyai tuuan hendak ke mana?"
Thian Liong terlngat akan gadis yang dia duga telah mengambil
kitab pusaka milik Kun-lunpal. Dia harus berhati-hati. Dia belum
mengenal siapa sebenarnya gadls ini. Siapa tahu diamdiam
gadis ini berniat untuk merampas dua buah kitab yang masih
299 berada dalam kantung emas yang tergantung di pinggangnya.
Maka dia tidak menjawab dan mengalihkan perhatian.
"Ah, engkau tidak adil, nona. Engkau telah menghujaniku
dengan pertanyaan dan aku memperkenalkan diriku. Akan tetapi
engkau belum memperkenalkan dirimu sehingga namamupun
aku belum tahu." "Hemm, engkau ingin mengenal nama-ku" Aku bernama Thio
Siang In dan karena aku menyebutmu Liong-ko, maka engkau
boleh menyebutku In-moi (adik ln)."
"Thio Siang In" Wah, namamu indah, seindah.... orangnya!"
Thian Liong sengaja membalas, untuk menyenangkan hati gadis
itu dan untuk menyimpangkan per" hatian agar gadis itu tidak
banyak ber-tanya tentang dirinya.
Gadis itu tersenyum dan matanya yang indah mengerling tajam.
"Ah, kiranya engkau seorang yang pandai pula merayu, Liongko."
"Tidak, In-moi. Aku hanya bicara sejujurnya. Lalu, di mana
tempat tinggalmu dan siapa keluargamu" Ceritakanlah
selengkapnya tentang dirimu."
"Engkau benar hendak mendengar dan mengetahuinya?"
"Benar-benar, In-moi. Bukankah kita telah berkenalan dan
menjadi sahabat?" "Baiklah. Aku berusla delapan belas tahun....
dan engkau ..." "Aku berusia dua puluh tahun." sambung Thian Liong.
300 "Tepat seperti dugaanku. Engkau tentu leblh tua dariku. Aku
tinggal di sebuah dusun di Slnklang. Bersama Ibu kandungku,
seorang puterl Kepala Suku Ul-gur. Ayahku.... ayahku....
entahlah, kata Ibu ayahku telah lama pergi ketika aku masih
dalam kandungan.... ah, heran sekali!" Tlba-tiba gadls Itu bangkit
berdiri dan memandang kepada Thlan Liong dengan mata
terbelalak. "He, kenapa?" Thian Llong bertanya heran.
"Heran sekall! Kenapa beginl aneh" Ibu memesan agar aku
merahasiakan tentang ayahku, akan tetapi tiba-tiba saja aku
menceritakannyai kepadamu!"
"Kalau tidak kauceritakan juga tidak mengapa. Bagaimanapun
juga, aku tidak suka mendengar seorang suami meninggalkan
isterinya begitu saja selagi anak-nya berada dalam kandungan!"
"Tidak! Engkau salah sangka! Ayah kandungku itu pergi karena
dia terpaksa. Menurut cerita ibuku, kalau ayahku tidak pergi
melarikan diri, dia dan ibuku tentu akan mati."
"Eh! Kenapa begitu?"
Siang In menghela napas panjang dan 'memandang wajah Thian
Liong dengan heran. "Sungguh mati, tak tahu aku me-ngapa aku
harus menceritakan semua ra-hasia ini kepadamu yang baru
saja kuke-nal" Liong-ko, tak perlu kau tahu segalanya, cukup
kalau kau ketahul bahwa ibuku adalah seorang puteri bangsa
Ulgur den ayahku seorang Han. Nah, aku tlnggal dengan Ibuku
dan aku menjadi murid darl paman tua (uwa), kakak ibu sendirl.
Akan tetapl biarpun aku maslh mempunyal seorang ibu pada
301 saat inl aku juga sebatang kara karena aku sudah pergi
merantau meninggalkan kampung halam-an di Sin-kiang
setahun yang lalu. Jadi, kita ini ada persamaan, sama-sama perantau, beratap langit berlantai bumi." Gadi ini tertawa lepas dan
mau tidak mau Thian Liong ikut pula tertawa karena tawa yang
wajar terbuka dan mengandung getaran gembira seperti itu amat


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menular! Tiba-tiba ada sinar menyambar ke arah mereka. Thian Liong
dapat melihat dengan jelas bahwa benda berkilat itu meluncur
dan menyambar ke arah meja di depan mereka. Dia yakin benar
bahwa benda yang ternyata sebatang hui-to (pisau terbang) kecil
itu tidak mengarah tubuh mereka, melainkan menuju ke arah
meja. Akan tetapi Thio Slang In sudah menggunakan sepasang
sumpit di tangan kanannya untuk menjepit pisau terbang itu!
Gerakannya demikian cepat sehing-ga Thian Liong merasa
kagum bukan main. Gadis peranaan Uigur ini ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga dalam yang
amat kuat. Kalau tidak demikian, tidak munglkin ia mampu
menangkap pisau terbang itu hanya dengan jepitan sepasang
sumpitnya. Dengan tenang Siang In mengambil sehelai kertas yang
tertancap pisau itu, lalu melempar pisau itu dengan gerakan
tangan kiri ke atas. Matanya hanya mengerling sebentar ketika
ia menggerakkan tangan kiri.
"Wuuuttt.... capppp!" Pisau kecil itu terbang meluncur ke atas
dan menancap di tiang kayu, tepat mengenai perut sebuah
cecak yang sedang merayap di Uang itu. Tubuh cecak itu
terpaku pada tiang! 302 Thian Liong memejamkan matanya, merasa ngeri melihat perut
cecak itu tertusuk pisau dan terpantek pada tiang. Walaupun
yang terbunuh itu hanya seekor cecak, namun dia merasa ngeri
dan betapa kejamnya gadis cantik ini mem-bunuh seekor cecak
yang tidak bersalah apaapa.
Ketika Thian Liong membuka mata-nya memandang kepada
Siang In gadis itu tampak terseyuffl Jnepgejek dan
melempapkan kertas itu ke atas meja.
'Hemm, orang-orang Bu-tong-pai som-bong! Dikiranya aku
gentar menghadapi Thai-kek Sinkiam mereka?" Ketika ia melihat
Thian Liong memandang ke arah kertas di atas meja itu, Siang
In berkata. "Bacalah, tidak ada rahasia. Bahkan kalau engkau
mau, engkau boleh ikut dan menjadi saksiku."
Biarpun kejadian itu amat menarik hati Thian Liong, dia tidak
akan berani membaca surat yang dikirim secara isti-mewa itu,
tidak mau mencampuri urus-an prbadi orang kalau saJ'a gadis
itu ti-dak menyuruhnya membaca. Dia mengam-bil kertas putih
itu dan membaca tulisan yang bergaya gagah itu. Dia dapat
men-duga bahwa penulis surat itu sengaja memamerkan tenaga
dalamnya melalui tulisannya sehingga gaya tulisannya amat
kuat, coretan-coretan itu tajam dan run-cing sehingga tarnpak
indah dan gagah. Ang-hwa Sian-li, kami tidak ingln membuat keributan di tempat
umum. Kalau engkau berani, datanglah besok pagi-pagi di hutan
cemara sebelah utara dusun ini dan kita mengadu kepandaian.
Kalau engkau tidak datang, berarti engkau hanya seorang
pengecut! 303 Bu-tong-pai Setelah membaca surat itu, Thian Liong memandang wajah
Slang !n dan bertanya, "In-moi, siapakah itu Ang-hwa Sian-li?"
Siang In tersenyum dan tnenggunakan tangan kirinya untuk
menyentuh bunga mawar merah di kepalanya. Thian Liong
memandang ke arah bunga itu dan mengertilah dia mengapa
Siang In mempunyai julukan Ang-hwa Sian-li (Dewl Bunga
Merah). Memang gadis itu cantik jelita seperti gambar dewi dan
agaknya selalu menghias rambutnya dengan se-tangkai bunga
mawar merah. "Akulah yang dimaksudkan. Karena aku Jarang memperkenalkan namaku yang sesungguhnya, dan selama inl
baru kepadamulah aku memberltahukan namaku, maka
orangorang yang pernah berurusan denganku menyebutku Anghwa Sian-li."
Thian Liong mengambil kesimpulan. "In-moi, kalau orang-orang
menyebutmu Dewi Bunga Merah, hal itu tentu karena engkau
telah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk
menolong orang. Sebutan Dewi itu merupakan pujian. Ka-lau
orang suka melakukan kejahatan, tentu akan diberi julukan Iblis
atau Silu-man." Gadis itu tersenyum. "Terima kasih kalau engkau berpendapat
begitu, Liong-ko. Aku tidak tahu apakah aku ini jahat atau baik.
Yang jelas, kalau ada orang lemah tertindas membutuhkan
pertolongan, tentu aku akan menolongnya. Sebaliknya kalau ada
orang mengandalkan ke-kuatannya untuk menindas orang lain,
304 pasti aku akan menentangnya dan tidak akan segan untuk
membunuh dan inem-basmi mereka!"
Thian Liong dapat menduga bahwa Ang-hwa Sian-li ini tentulah
seorarig ga-dis yang berwatak pendekar. "Akan tetapi, tnengapa
pihak Bu-tong-pai meniusuhi dan menantangmu" Menurut apa
yang kudengar, Bu-tong-pai adalah perguruan silat kaum
pendekar. Padahal engkau sendiri, menurut perkiraanku, adalah
seorang pendekar wanita."
"Aku tidak tahu apakah aku ini seorang pendekar atau bukan
dan akupun tidak perduli apakah Bu-tong-pai itu perguruan silat
kaum pendekar atau bukan Akan tetapi yang kutahu, ada orangorang Bu-tong-pai yang sombong dan karenanya aku
menentang mereka. Setelah aku mengalahkan mereka, agaknya
mereka merasa penasaran dan mengirim surat tantangan ini.
Huh, tak tahu malu!" Gadis itu mengambil cawannya yang diisli
penuh anggur lalu meminumnya.
Thian Liong berpikir sejenak. Memang, tidak semua pendekar
bersikap baik. Tentu ada pula yang kasar dan ada pula yang
tinggl hatl dan sombong. Dia ter-Ingat akan slkap Biauw In
Suthai, tokoh Kun-lun-pai itu. Kun-lun-pal, seperti juga Bu-tongpai, dikenal sebagai sebuah perguruan silat kaum pendekar
Karena itu mungkin, maka gurunya mau bersusah payah
mendapatkan kembali kitab-kitab mereka dan mengembalikannya ke-pada mereka. Ternyata Biauw In Suthai
juga tidak bersikap baik, melainkan ga-lak dan angkuh bukan
main. 305 "In-moi, maukah engkau menceritakan kepadaku sebab-sebab
pertentangan itu" Apakah yang telah terjadi?"
Gadis itu meletakkan cawan yang te-lah kosong ke atas meja.
Kedua pipinya kemerahan, tanda bahwa minuman itu telah mulai
mempengaruhinya. "Sungguh aku merasa heran sekali,
mengapa terhadapmu aku seakan tidak dapat meraha-siakan
sesuatu. Aku bahkan ingin menceritakan segalanya kepadamu.
Terjadinya siang tadi di sebuah lereng." Siang In lalu
menceritakan pengalamannya.
Pada siang hari itu Thio Siang In yang melakukan perjalanan
perantauan-nya dari Sin-kiang menuju ke timur, tiba di luar
sebuah dusun di sebuah lereng pegunungan Bu-tong-san, Telah
setahun lebih ia meninggalkan rumah ibunya di Sin-kiang untuk
merantau dan di sepanjang jalan ia selalu membela yang lemah
tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang.
Karena kelihaiannya, sepak terjangnya
menggegerkan dunia kang-ouw di sebelah barat dan segera
orang-orang yang tidak pernah mendengar ia memperkenalkan
nama, memberi julukan Ang-hwa Sian-li kepadanya kare-na
gadis jelita dan gagah perkasa ini selalu memakai setangkai
bunga merah pa-da rambutnya. Setelah mendengar julukan ini,
Siang In menerimanya, bahkan ia lalu memperkenalkan dirl
kalau hal ini diperlukan, sebagai Ang-hwa Sian-li!
Selagi ia berjalan santai di lereng itu, dan tiba di luar sebuah
dusun, ia melihat seorang lakilaki berusia sekitar empat puluh
tahun, berlutut dan me-nangis minta-minta ampun kepada dua
306 orang pemuda yang berusia kurang leblh dua puluh lima tahun
dan tampak gagah perkasa.
"Ampun, tai-hlap (pendekar besar).... Ampunkan
saya ! Semua ini saya laku-kan karena terpaksa.... saya
harus membeayai, anak yang sedang sakit parah...."
"Alasan! Dasar pencuri hina!" bentak seorang di antara dua
pemuda itu yang bertubuh tinggi besar, lalu sekali kakinya
menendang, orang yang berlutut itu terpental dan bergulingan.
"Aduh?" ampun - biarlah saya kem-ballkan
semua ini...." Orang itu mengeluarkan beberapa buah benda
terbuat da-n perak, yaitu cawan piring dan alat?alat
sembahyang. "Saya kembalikan semua inidan ampunilah
saya...." kembali orang itu berlutut, merintih dan mulutnya
mengeluarkan darah. Pemuda ke dua yang tubuhnya tinggi kurus melangkah maju
menghampiri. Pencuri busuk! Tidak mengenal budi! betelah
bertahun-tahun kami beri makan dan upah, masih juga mencuri
dan mencoba minggat! Orang seperti engkau ini harus dihajar!"
Dia sudah mengangkat tangan kanannya untuk memukul.
Siarig In yang melihat semua ini mem-bentak nyaring, "Tahan!
Jangan pukull" Pemuda tinggi kurus itu menahan pukulannya dan memutar
tubuhnya. Demi-kian pula pemuda tinggi besar itu juga menoleh.
Keduanya memandang dan ter-cengang melihat seorang gadis
307 cantik sekali berdiri di situ. Siang In adalah seorang gadis yang
cantik jelita, maka ti-dak aneh kedua orang pemuda itu terpesona dan sikap mereka berubah sama se-kali. Kalau tadi mereka
kelihatan galak, kini keduanya tersenyum dan menghampiri
Siang In. Siang In memandang kepada dua o-rang pemuda yang
menghampirinya itu dengan alis berkerut. Setelah dua orang itu
berhadapan dengannya, Siang In menegur dengan ketus.
"Lagak kalian ini seperti orang-orang gagah, membawa pedang
dan berpakaian seperti pendekar! Akan tetapi yang kuli-hat
ternyata kalian hanya orang-orang yang suka mempergunakan
kekuatan un-tuk menindas dan menghina yang lemah!"
Pemuda tinggi besar itu segera meng-angkat kedua tangan
depan dada memberi hormat, diturut oleh pemuda tinggi kurus.
"Maaf, nona. Agaknya engkau salah paham. Kami berdua
adalah pendekar-pendekar yang selalu menentang penjahat.
Orang ini adalah seorang maling jahat, seorang yang tidak
mengenal budi. Selama beberapa tahun dia menjadi tukang
kebun perguruan kami, diberi upah dan makan, akan tetapi apa
yang dia lakukan" Dia minggat dan membawa lari alat-alat
sembahyajng yang terbuat dari perak. Karena itu, kami
menghajarnya!" Siang In mencibirkan bibirnya yang merah. "Huh, pendekar
macam apa itu" Memukuli orang yang lemah! Aku mendengar
sendiri bahwa dia melakukan pencurian itu karena terpaksa,
karena ingin membeayai pengobatan anaknya yang sakit.
308 Sepantasnya sebagai pendekar, kalian menolongnya, bukan
memukulinya. Tak tahu malu!"
"Nona!" Pemuda tinggi kurus memprotes. "Kami adalah muridmurid Bu-tong-pai'"
"Aku tidak perduli kalian Inl murld-murid Bu-tong-pai atau murid
perguruan apapun juga. Kalau jahat dan sewenang-wenang
tentu akan kutentang!"
"Nona, dia itu pencuri! Apa engkau hendak membela pencuri?"
tanya yang tinggi besar, mulai marah.
Kehormatannya tersinggung karena gadis itu tidak menghargai
Bu-tong-pai dan kekagumannya akan kecantikan gadis itu mulai
memudar, terusir oleh kemarahan.
"Bagiku dia orang lemah tertindas dan kaiian orang-orang kuat
yang sewenang-wenangl Aku pasti membelanya dan menentang
kalian!" "Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami
murid-murid Bu-tong-pai?" bentak yang tmggi kurus.
Siang In terseyum mengejek. "Orang menyebutku Ang-hwa
Sian-li, dan kalian cepatlah pergi dari sini, tinggalkan orang itu
kalau kalian tidak ingin kuhajar!"
"Engkau gadis usil, suka mencampuri urusan orang lain dan
sombong! Kalau aku memukuli pencuri itu, engkau mau apa?"
bentak pula si tinggi kurus dan dia sudah melompat ke depan
dan tal! ngannya terayun memukul ke arah tukang kebun itu.
309 "Dukk!" Lengannya tertangkis oleh lengan Siang In. Lengan
yang mungil berkulit halus dari gadis itu ternyata mengandung
tenaga sinkang kuat sehlngga pemuda tinggi kurus merasa
tulang lengannya seperti patah dan terasa nyeri sekali. Dia
menj'adi marah. "Berani engkau melawan aku'?" "Kenapa tidak?" Siang In
mengejek. "Biar ada sepuluh orang macaniengkau, aku tidak
akan takut!" "Kami orang-orang Bu-tong-pai bukan pengecut yang suka main
keroyok! Sam-but seranganku!" Pemuda tinggi kurus itu
membentak dan dia menyerang dengan dahsyat, kedua
tangannya bergerak hampir berbareng, susul menyusul, yang klri
menyambar ke pelipis kanan Siang In dan yang kanan menonjok
ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali, datangnya cepat
dan mendatangkan angin pukulan kuat.
Namun Siang In tenang saja menghadapi serangan dua tangan
lawan itu. Dengan tangan kirinya dia menangkis tonjokan ke
arah perutnya, dan tangan kanannya menyambar ke atas
dengan jari terbuka, menyambut tangan kiri pemuda Itu dengan
tebasan dari bawah ke arah pergelangan tangan. Pemuda itu
terkejut sekali. Tangan kanannya yang menonjok ke perut
kembali bertemu lengan yang terasa keras seperti baja, dan kini
lengan kirinya yang menyerang pelipis bahkar terancam tebasan
tangan lawan. Cepat dia menarik kembali tangan kirinya dan
kaki kanarinya menendang. Kaki itu de-ngan kecepatan kilat
mencuat ke arah dada Siang In. Gadis itu miringkan lalu
memutar tubuh dan ketika kaki menyambar lewat, didorongnya
tunut kaki itu dengan tangan kirinya. Demikian kuat do-rongan itu
310 sehingga pemuda itu tidak mampu menahan. dirlnya. Terbawa
oleh tenaga tendangannya sendlri ditambah tenaga dorongan
Siang In, tubuhnya melayang ke depan. Untung dia masih dapat
melakukan gerakan pok-sai (salto) sehingga tubuhnya tidak
sampai terbanting. Setelah dua kali lengannya tertangkis
sehingga terasa nyeri sekali dar hamplr saja tadl dla roboh


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbanting, pemuda tlnggl kurus itu mulai. terbuka matanya
bahwa gadis cantlk Itu llhal bukan main. Temannya, pemuda
tinggi besar, agaknya juga dapat melihat hal ini maka diapun
melompat ke depan dana berseru kepada pemuda tinggi kurus.
"Sute (adik seperguruan), mundurlah dan biar aku yang
menghadapi perempuan sombong ini!" Melihat suhengnya maju,
pemuda tinggi kurus lalu melangkah mundur.
JILID 9 Si Pemuda tlnggl besar melangkah maju dan mencabut
pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika pedang dicabut dan
pemuda tlnggi besar itu berkata, "Nona, suteku telah kalah
bertanding tangan kosong denganmu. Sekarang aku
menantangmu untuk mengadu ilmu pedang, tentu saja kalau
engkau berani." Slang In mencibirkan bibirnya. "Bocah Bu-tong-pai sombongl
Aku pernah mendengar bahwa Bu-tong-pal terkenal dengan ilmu
pedangnya Thal-kek Sin kiam! Akan tetapi aku tidak takut'"
Setelah berkata demikian, dua tangan gadis Itu bergerak ke arah
belakang punggung dan tampak dua sinar pedang berkelebat
ketika la sudah mencabut sepasang pedangnya yang tergantung
di punggungnya, tertindih buntalan pakaian. Sepasang pedang
311 itu kecil dan panjang, tampak ringan sekali, akan tetapi ketika
dicabutnya terdengar bunyi berdesing nyaring.
Mellhat gadis Itu sudah siap dengan siang-kiam (sepasang
pedang) di kedua tangannya, pemuda tlnggl besar itu
membentak, "Sambut pedangku!" dan dia sudah menyerang
dengan cepat dan dahsyat, Slang In menangkis pedang yang
menyambar ke arah lehernya itu.
"Crlnggg !" Tampak bunga api berpijar dan pemuda
itu segera memutar pedangnya untuk mendesak lawan dengan
serangkaian serangannya, pedang dl tangannya berubah
menjadl slnar bergulung gulung. Akan tetapl dengan tenang
sekali Siang In menyambut serangan Itu dengan gerakan kedua
pedangnya yang membentuk dua lingkaran sinar yang dapat
menghadang dan menangkis semua serangan lawan. Gadis itu
telah memainkan Toat?beng Siang-kiam (Pedang Pasangan
Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Dari dua lingkaran sinar
kuning itu terkadang tampak sinar kilat mencuat dan
menyambar?nyambar. Melihat ini, pemuda tinggi besar itu
terkejut bukan main dan sebentar saja, dalam belasan jurus
kemudlan, dia telah terdesak hebat sehlngga kini hanya dapat
memutar pedang melindungl dlrlnya dan tldak mampu balas
menyerang. "Hallllttt.... !l" Tiba-tiba gadis membentak, dua llngkaran slnar
pedangnya Itu membuat gerakan mengguntlng.
"Tranggg.... trakkkl" Pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main
karena pedangnya telah digunting oleh sepasang pedang lawan
312 dan patah menjadi dua potong! Sebelum hilang rasa kagetnya,
kaki Siang In mencuat dan menendang dadanya.
"Dess...l" Tubuh pemuda tinggi besar itu terjengkang roboh!
Sutenya segera membantunya untuk bangkit berdirl dan mereka
memandang gadls itu dengan sinar mata marah dan penasaran.
Siang In mencibirkan blbirnya dan sekall dua tangannya
bergerak ke belakang punggung, sepasang pedangnya sudah
tersimpan kemball. "Hemm, sepertl itu sajakah Thal-kek Sin-kiam yang digembargemborkan oleh Bu-tong-pai?" ia mengejek.
"Ang-hwa Sian-li! Tingkat kami masih terlampau rendah untuk
mempelajari Thai-kek Sinkiam. Tunggu sajalah. Sekali Thai-kek
Sin-kiam dimainkan, engkau akan dihajar dan semua
kesombonganmu akan terhapus!" Setelah berkata demikian,
pemuda tinggi besar itu menarik tangan sutenya dan diajak
pergl. Laki-lakl yang tadl dihajar dua orang murld Bu-tong-pai itu lalu
menghamplrl Siang In dan memberl hormat. "Terima kaslh atas
pertolongan Lihlap. Nama Ang-hwa Sian-Li takkan saya lupakan
selamanya. Akan tetapi saya memang bersalah, Lihiap
(pendekar wanita). Saya kinl menyadarl bahwa sebetulnya saya
tldak perlu mencurl. Kalau saya berterus terang mlnta bantuan,
tentu para plmpinan Bu-tong-pai akan menolong saya. Saya
harus mengembalikan semua Ini kepada BU-tong-pai!" Setelah
berkata demikian, orang itu membungkus kembali barangbarang itu dalam kain dan hendak pergi meninggalkan Siang In.
313 "Tunggu dulu, paman!"' Siang In ambil sepotong emas dari
kantung uangnya dan memberikan kepada orang itu.
"Ini, pergunakan emas ini untuk membiayai pengobatan
anakmu." Orang itu menerima pemberian itu dengan terharu dan berulang
kall dia memberl hormat dan membungkuk-bung-kuk. "Terima
kasih, lihiap, terima kasih." Lalu dla pergl untuk mengembalikan
barang-barang yang dicurinya itu kepada Bu-tong-pai.
Siang In menghentikan ceritanya dan mlnum anggur terakhir
darl gucinya yang kinl telah kosong. "Demlklanlah, Liong-ko. Aku
melanjutkan perjalanan dan tiba di dusun ini, kebetulan bertemu
denganmu dan tadl tentu mereka yang melontarkan surat
dengan pisau Itu." Sejak tadi Thian Llong mendengarkan dengan penuh perhatian
dan dia dapat menarlk kesimpulan bahwa dua orang rnurid Butong-pai itu bukan orang-orang jahat, hanya sikap mereka
terhadap tukang kebun yang mencuri benda-benda perak itu
terlalu keras. Dia khawatir kalau kesalah-pahaman inl menjadi
permusuhan yang meruncing, maka dia lalu berkata, "In-moi,
kukira semua itu hanya merupakan kesalah-pahaman saja.
Sikap dua orang murid Bu-tong-pai itu memang terlalu keras dan
mereka patut ditegur. Akan tetapi urusan sekecil itu tldak
semestlnya kalau dijadikan sebab permusuhan antara engkau
dengan mereka. Kebetulan sekali akupun ada urusan untuk
menemul para plmplnan Bu-tong-pai, maka biarlah besok pagl
aku menemanimu dan aku akan menjadi penengah untuk
mendamaikan kallan."
314 "Akan tetapi aku ditantang, Liong-ko, dan aku tldak takut
melawan mereka!" kata Slang In penasaran. "Kalau engkau
mendamaikan kaml, jangan-jangan mereka menglra bahwa aku
takut!" Thlan Liong tersenyum. "Tldak, In-moi. Aku tldak akan
mendatangkan kesan seolah-olah engkau takut."
"Sudahlah, kita llhat saja besok. Aku Ingln berlstlrahat, ingin
mandl yang segar kemudian tidur yang nyenyak, tldak
memikirkan apa-apa lagi. Soal besok bagalmana besok sajalah.
la menggapal pelayan. "In-mol, blarkan aku yang membayarnya." kata Thian Liong.
"Ah, aku tahu bahwa engkau mempunyal banyak emas dalam
kantungmu itu, Llong-ko. Akan tetapi masakan ini sebagian
besar aku yang memakan, maka harus aku yang
membayarnya." Pelayan datang. Siang In membayar harga makanan dan
mlnuman, lalu mereka masuk ke dalam dan menuju ke kamar
masing-masing. Thian Liong duduk dalam kamarnya dan
termenung. Dalam waktu singkat, secara berturut-turut dia
bertemu dengan wanita-wanita yang terlibat urusan dengan
dirinya. Baru saja tamat belajar dan turun gunung melaksanakan
tugas yang diberikan gurunya, dia mengalami hal-hal aneh dan
serius dengan tiga orang wanita! Pertama, dengan gadis
berpakalan merah muda di kaki Pegunungan Kun-lun-san itu,
gadis yang dta hampir yakin tentu yang telah mengambil kitab
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia serahkah
kepada pimpinan Kun-lun-pai. Gadis yang tldak dia ketahui
315 namanya, namun yang harus dia cari untuk minta kembali kitab
itu sebagai pertanggungan jawabnya terhadap Kun-lun-pai.
Kemudian, pertemuannya dengan Biauw In Suthai yang
kemudian melibatkan diri gadis ke dua, Kim Lan, dengannya
karena oleh pendeta wanita itu, Kim Lan diharuskan menjadi
isterinya dan kalau dia menolak, gadis itu harus membunuhnya!
Dan ketiga, pertemuannya dengan Thio Siang In yang berjuluk
Ang?hwa Sian-li ini. Pertemuan inl agaknya Juga melibatkan
dlrlnya karena gadis itu hendak bertandlng dengan pihak Butong-pal dan dia tldak mungkin tinggal diam saja! Alangkah
anehnya semua pengalaman Itu.
Malam Itu Thian Llong hanya duduk borsamadhi.
Dengan demlkian, sungguh pun tubuhnya mengaso seluruhnya,
namun kesadaran dan kewaspadaannya selalu siap. Dia
khawatir kalaukalau terjadl sesuatu yang tidak baik atas dlrl
gadls yang tidur dl kamar sebelah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Thian Liong sudah membuka
pintu kamarnya. Dia melihat Siang In sudah bangun. Ketika dia
keluar dari kamar, dia mehhat gadis itu duduk di atas bangku
depan kamar dan ternyata gadis itu sudah tampak segar. Sudah
mandi dan bertukar pakaian, rambutnya disisir rapi dan
setangkai bunga mawar merah segar menghias rambutnya.
Bunga itu baru mekar setengahnya dan masih segar sekali,
tampaknya baru saja dipetiknya.
la mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Baru bangun,
Liong-ko" Cepatlah mandi, aku menantimu untuk sarapan pagi.
316 Aku sudah memesan kepada pelayan agar dipersiapkan bubur
ayam panas dan lezat!"
Diam-diam Thian Llong merasa kagum. Gadis itu sama sekali
tidak tampak tegang, bahkan santai saja seperti orang
menghadapi hari yang penuh suka cita, Padahal ia menghadapi
tantangan yang berat dari Bu-tong-pai! Dla mengangguk lalu
pergi ke kamar mandi membawa pakaian pehgganti.
Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk santai di dalam
ruangan depan." yang biasanya dipergunakan untuk nnpah
makan. Akan tetapi hari masih terlalu pagi. Ruangan itu bahkan
bagian depannya masih ditutup dan belum ada yang bekerja.
Hanya rnereka berdua ,yang duduk di situ dan pelayan tua yang
tadi terpaksa memasakkan bubur ayam berada di dapur setelah
menghidangkan ma-kanan itu di atas meja mereka. Mereka
berdua makan tanpa banyak cakap.
Sehabis makan, baru Siang In berkata. "Nah, sekarang aku
berangkat. Apakah engkau jadi ikut?" Pertanyaannya datar saja,
seolah tidak ada bedanya baginya apakah Thian Liong hendak
menemaninya ataukah tidak,
"Tentu saja aku ikut karena tanpa ada urusanmupun pagi ini aku
harus berkunjung ke Butong-pai untuk sebuah urusan penting."
"Urusan penting?" Siang In mengamatl wajah pemuda itu penuh
selldik. Ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata
Thian Liong, ia berkata, "Sudahlahl Kalau itu merupakan rahasia
tidak perlu diberitahukan kepadaku. Mari kita berangkat!"
317 Seperti halnya Siang Iri, Thian Llong juga membawa semua
barangnya, dimasukkan dalam buntalan pakaian lalu
menggendongnya dan kembali gadis itu memaksa untuk
membayar harga bubur dan sewa kamar mereka. Thian Liong
tidak dapat membantah. Mereka lalu meninggalkan dusun itu,
menuju ke Bukit Cemara yahg sudah tampak dari luar dusun itu,
di sebelah utara, Di bukit itu tampak sebuah hutan cemara yang
sunyi. Bukit itu sudah termasuk daerah Bu-tong-pai.
Baru saja kedua orang muda itu memasuki hutan cemara,
tampak dua orang pemuda, seorang tinggi besar dan seorang
lagi tinggi kurus, sudah berada di situ. Melihat dua orang
pemuda itu, Siang In cepat menghampiri dan setelah ia berdlri di
depan mereka, ia tertawa mengejek
"Kallan berdua masih berani muncul" Apakah kalian yang
hendak maju menandinigi aku, dan sekarang kalian hendak maju
mengeroyokku" Hemm, kalian berdua belajarlah dengan tekun
selama sepuluh tahun lagi baru agak pantas untuk
menandingiku!" Thian Liong mengerutkan alisnya. Siang In
terlalu memandang rendah dua orang pemuda itu dan sikap
seperti itu amat tidak baik.
Pemuda tinggi besar itu menjawab dengan ketus. "Perempuan
sombong! Kami bukan golongan pengecut yang suka main
keroyok! Engkau kemarin memandang rendah ilmu pedang Thaikek Sin-kiam dari perguruan kami. Sekarang kami
mendatangkan orang yang telah mem-pelajari ilmu pedang itu
untuk menghadapimu." Pemuda Itu lalu memutar tubuhnya dan
berseru nyaring. "Supek (uwa guru)! Harap supek datang ke sinl.
Gadis sombong itu telah datang!"
318 Tiba-tiba tampak bayangan putlh berkelebat dan tahu-tahu di
sltu telah berdiri seorang lakilaki berusia kurang leblh enam
puluh tahun. Alis, kumis dan jenggotnya yang panjang masih
hitam, akan tetapi rambut di kepalanya sudah putih semua!
Pakalannya darl kain katun sederhana seperti pakaian pertapa.
Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce
kuning. Melihat cara orang ini muncul, Thian Liong maklum
bahwa, dia memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
tinggi dan tentu orang ini lihai sekali. Tubuhnya sedang namun
tegap dan wajah yang berbentuk persegi dengan jenggot
panjang itu juga tampak berwibawa. Akan tetapi Siang In tetap
tersenyum dan memandang ringan.
"Apakah nona yang berjuluk Ang-hwa Slan-li dan yang
memandang rendah ilmu pedang Thal-kek Sln-klam kaml?"
Orang berambut dan berpakalan serba putih itu bertanya,
sikapnya tenang dan agaknya dia seorang penyabar.
"Benar, akulah yang disebut Ang-hwa Slan-11. Dan engkau inl
slapakah" Apakah engkau ketua Bu-tong-pai dan siapa
namamu?" tanya Siang In, slkapnya blasa saja seolah ia
berhadapan dan bicara dengan .orang seusia dan setingkat
dengan nya. "Locianpwe, saya Thian Liong hendak menjadi penengah dan
mendamalkan. "Liong-ko! Biarkan aku menyelesaikan dulu urusanku dan jangan
engkau mencampuri. Setelah aku aelesai, baru engkau boleh
berurusan dengan mereka!" Siang In berseru keras sehingga
kata-kata Thian Liong terpotong.
319 "Siancai, nona yang berwatak keras!" kata tokoh Bu-tong-pai itu
dengan senyum sabar. "Aku bukan Ketua Bu?tong-pai, aku
hanyalah pembantunya yang nomor tiga saja dan aku hanya
ingat nama julukanku, yaitu Pek Mau San-jin (Orang Gunung
Berambut Putih). Aku baru berhasil menguasai ilmu pedang
Thai-kek Sin-kiam sepertiga baglan saja, akan tetapi aku ingin
mencoba kehebatan Sepasang pedangmu yang menurut murid
keponakanku ini hebat sekali." Setelah berkata demikian, Pek
Mau San-jin mencabut pedang beronce merah dari
punggungnya. Slnar berkilat ketika pedarig itu tercabut. Dia
berdiri tegak dan pedang itu dipegang oleh tangan kirinya,
gagang di bawah dan ujung pedang menempel pundak kirinya.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas berbareng
menurunkan kedua tangan kakl kiri melangkah ke depan,
pedang di tangan kiri tetap di bawah lengan, telunjuk dan jari
tangan kanan menunjuk ke depan. Inilah gerakan pembukaan
yang dinamakan Sian?jin Ci-lu (Dewa Menunjuk Jalan)
kemudian dia melangkah dengan kaki kanan ke depan memutar
tubuh ke kanan pienghadapi Siarig In, kedua lengan
dikembangkan lalu kaki kilri ditekuk berlutut, kedua tangan tetap
dikembangkan. "Ang-hwa Sian-Li, aku sudah, silap menandingi ilmu sepasang
pedangmut" kata Pek Mau San-jin tenang.
Melihat pembukaan yang sederhana ini, Siang ln tersenyum
mengejek. Kedua tangannya meraih ke belakang dan tampak
dua sinar kllat ketlka siang-kiam (sepasang pedang) itu telah
berada dl kedua tangannya. la memasang kuda-kuda yang
kokoh, kedua kaki menyilang, pedang kiri diangkat ke atas
320 belakang kepala, pedang kanan mellntang depan dada.
Slkapnya gagah dan indah.
Akupun telah siap. Perlihatkan ilmu pedangmu, Pek Mau San
jlnl" Slang In menantang,
"Engkau adalah tamu. Persilakan menyerang leblh dulu!" kata
Pek Mau San-lin, kini bergerak berdiri, kedua tangan bertemu di
depan leher dan gagang pedang itu dari tangan kiri sudah
berpindah ke tangan kanan. Thian Liong memperhatikan semua
gerakan tosu itu dan dia merasa kagum. Biarpun gerakan
pembukaan tadi hanya sederhana, namun gerakan itu dennkian
lembut dan lentur, sambung menyambung seperti gelombang
lautan, isi mengisi dan dia tahu bahwa dl dalam kelembutan itu
terkandung kekuatan yang amat dahsyat! Dia mengkhawatirkan
Siang In. Sekali ini, gadis ini benar-benar berhadapan dengan
seorang ahli silat tingkat tinggi dan yang paling berbahaya
adalah bahwa agaknya gadis itu tidak mengetahui akan hal itu
sehingga memandang ringan. Diapun membayangkan ilmu
pedang yang hebat itu. Kalau tosu yang baru memiliki sepertiga
bagian saja sudah mampu bergerak seperti itu, apalagi yang
telah menguasai sepenuhnya!
"Baiklah! Sambut serangan pedangku!" Siang In membentak dan
sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar yang
menyambar-nyambar. Serangan gadis itu memang hebat dan hal ini sudah diduga
sejak semula oleh Thian Liong. Gadis itu agaknya telah
digembleng oleh seorang guru yang sakti. Akan tetapi yang
membuat dia heran, kagum dan terkejut adalah ketika melihat
321 sambutan tosu itu atas semua serangan gadis itu. Tosu itu
bergerak begitu lembut bahkan tampak lambat, matanya seperti
setengah terpejam, namun gerakan pedangnya itu mendatangkan hawa dahsyat dan kuat sehingga semua
serangan sepasang pedang Siang In selalu tertangkis dan
terpental. Dia melihat betapa gerakan seluruh tubuh tosu itu
seperti otomatis, seperti tidak dikendalikan lagi oleh pikiran,
seolah-olah seluruh bagian tubuhnya menjadi peka sekali seperti
memillki mata di manamana. Gerakan-nyapun sambungmenyambung dengan lembut dan lenturnya. seperti orang
menari saja, menari di angkasa, di antara awan. tampaknya
sama sekali tidak mempergunakan tenaga kasar. Seolah-olah gerakan tubuh tosu itu digerakkan oleh tenaga yang amat lembut
namun amat dahsyat. Dan diapun mengerti! Tosu itu seperti
bersilat dalam keadaan samadhi, atau bersamadhi dalam silat!
Hati akal pikiran tidak berulah dan gerakannya dipimpln oleh
kekuasaan gaib, seperti kalau dia berada dalam puncak
penyerahannya kepada Tuhan, seperti yang diajarkan oleh
Tiong Lee Cin-jin! Ilmu yang amat hebat, pikirnya.
Thian Liong mengikuti seiriua gerak-?n perkelahian itu dengan
seksama. Pertandingan yang hebat dan seru. Gadls itupun
ternyata seorang yang memillkl llmu pedang pasangan yang lihai
sekall, berbahaya dan ganas sehingga setlap sambaran
pedangnya merupakan cengkeraman maut. Dan tosu Itu
ternyata tidak berbohong ketlka mengatakan bahwa dia hanya
menguasai sepertlga saja darl ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam.
Jurusnya tidak banyak dan diulang-ulam, akan tetapi anehnya,
dengan jurus yang tidak banyak itu dia sudah mampu menahan
semua serangan Siang In. Dan karena gerakannya seperti
322 gelombang lautan, begitu lentur lembut dan otomatis seolah
tidak mengeluarkan tenaga, setelah lewat lima puluh jurus,
Siang In mulai berkeringat dan lelah, sebaliknya lawannya yang
jauh lebih tua itu masih bergerak dengan tenang seperti pada
permulaannya. Tahulah Thian Liong bahwa kalau pertandingan itu dilanjutkan,
akhirnya Siang In tentu akan kalah. Dia lapat membayangkan
betapa marah dan penasaran hati gadis yang keras ini kajau
sampai kalah. Mungkin ia akan menjadi nekat dan mengadu
nyawa! Tiba-tlba Slang In yang mulai kelelahan itu mengebutkan sehelai
saputangan merah yang tergantung dl gagang pedangnya dan
slnar-sinar kecil hitam meluncur ke arah lawannya. Thian Mong
yang sejak tadi memperhatikan pertandingan itu, terkejut dan
cepat dia menggerakkan tangannya mendorong ke arah sinarsinar hitam itu.
Pek Mau San-jin juga terkejut dan dia sudah secara otomatis
merribuang diri ke belakang. Narnun, dia akan tetap menjadi
korban jarum beracun kalau saja tidak ada sambaran angin yang
kuat dari samping yang meruntuhkan semua jarum halus itu.
Thian Liong yang telah menyelamatkan tOsu itu segera
melompat di tengah, antara niereka dan berseru nyaring dan
penuh wibawa, "Tahan, hentikan perkelahian!"
Dalam suara Thian Liong terkandung wibawa yang amat kuat
sehinga Siang In yang biasanya keras hati dan tidak dapat
menurut kemauan sembarang orang itu, entah bagaimana,
menghentikan gerakannya dan bahkan mundur lima langkah ke
323 belakang. Demikian pula, Pek Mau San-jin yang maklum bahwa
hampir saja dia menjadi korban senjata rahasia, melompat ke
belakang. Thian Liong menghampiri dan berhadapan dengan Pek Mau
San-jin, lalu memberl hormat dan berkata, "Totiang (bapak
pendeta), apa gunanya semua pertikaian ini" Saya klra di antara
Butong-pai dan Ang-hwa Sian-li hanya terdapat kesalahpahaman belaka."
Pek Mau San-jin mengerutkan alisnya dan memandang pemuda
itu penuh selidik. Dia tidak mcngenal pemuda itu dan tidak tahu
apakah pemuda itu kawan atau lawan. Karena pemuda itu
muncul bersama Ang-hwa Sian-li, maka dia tentu saja menaruh
curiga. "Orang muda, siapakah engkau dan mengapa mencampuri
urusan kami dan Ang-hwa Sianli?"
"Saya bernama Souw Thian Liong dan saya diutus suhu untuk
menghadap Ketua Bu-tong-pai untuk urusan yang amat penting."
"Siapa gurumu yang mengutusmu kesini?"
Biarpun dl situ ada Siang In, terpaksa dia memperkenalkan
gurunya. "Suhu adalah Tiong Lee Cln-jin...."
"Wah, Liong-ko! Suhumu Tiong Lee Cin-jin yang amat terkenal
itu" Kenapa tldak kau katakan kepadaku?" seru Siang In dengan
heran. Dalarn perantauannya yang baru setahun itu, sejak dari
Sin-kiang, ia sudah mendengar banyak tentang Tlong Lee Cin-jin
yang disebutsebut sebagai seorang yang sakti dan bijaksana,
324 bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang
manusia dewa! Juga Pek Mau San-jin terbelalak. "Murid Tiong Lee Cin-jin" Ah,
kalau begitu kata-katamu patut didengar, Souw-sicu. Akan tetapi
engkau tadi mengatakan bahwa antara kami dan Anghwa Slan-li
hanya terjadi kesalah-pahaman. Kami tidak menganggapnya
demikian karena gadis ini telah memandang rendah ilmu pedang
Thai-kek Sin-kiam kami."
"Siapa bilang aku memandang rendah" Mellhatpun baru
sekarang ketika engkau memalnkannya. Bagaimana aku bisa
memandang rendah ilmu pedang yang belum pernah kulihat"
Setelah kulihat tadi, biarpun engkau baru menguasai
sepertiganya, harus kuakui bahwa Thai-kek Sin-kiam memang
hebat seperti yang pernah kudengar." kata Siang In. Pek Mau
San-jin menoleh ke arah dua orang murid keponakannya yang
berdiri sambil menundukkan muka mereka. Kemudian dia
memandang kepada Siang In dan berkata, "Akan tetapi engkau
telah rnenantang Bu-tong-pai untuk mengadu ilmu pedang!"
Siang In melangkah maju mendekat dan menudingkan
telunjuknya ke arah muka Pek Mau San-jin. "Hei, Pek San-jin,
jangan engkau sembarangan menuduh tanpa bukti. Itu namanya
fitnah, tahu?" Thian Liong berkata kepada tosu itu. "Ang-hwa Sian-li berkata
benar, totiang. la tidak menantang, melainkan dltantang. Inllah
buktinya." Setelah berkata demikian, Thlan Llong mengeluarkan
pisau terbang dan surat tantangan Itu, diberikan kepada Pek
Mau San-jin. Siang In sendiri memandang heran, tldak tahu
325 bahwa pemuda itu ternyata telah mengambil surat dan pisau
yang sudah ia buang. Pisaunya ia lempar menancap di tiang
membunuh seekor cecak dan surat itu ia buang begitu saja.
Kiranya Thian Liong mengambil dan menyimpannya, dan
sekarang dapat dijadikan bukti kebenaran omongannya!
Pek Mau San-jin menerima surat dan pisau itu, alisnya berkerut
dan dia lalu memutar tubuh menghadapi dua orang murid
keponakannya yang berdiri di belakangnya.
"Kalian berdua, ke sinilah dan berlutut!" perintahnya. Suaranya
masih lembut akan tetapi sekarang mengandung nada yang
penuh penyesalan dan teguran. Dua orang murid itu melangkah
maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Mau San-jin,
wajah mereka pucat dan mereka rnenundukkan muka.
Pek Mau San-jin menghadapi Ang-hwa Sian-li dan Thian Liong,
lalu berkata, "Maafkan pinto yang mudah terbujuk dan salah
sangka, nona. Sekarang harap ceritakan apa yang telah terjadi
antara engkau dan dua orang murid keponakan kaml Inl."
Siang In tersenyum mengejek. "Cerita mereka tentu lain lagi
Dengarkan baik-baik, Pek Mau San-jin. Ketika aku sedang
berjalan, aku mellhat seorang laki-laki lemah dipukuli oleh dua
orang ini. Aku lalu maju melerainya, akan tetapi mereka marah
dan mengatakan aku membela pencuri. Aku bukan membela
pencuri, hanya membela orang lemah yang dipukuli orangorang
yang mengandalkan kekuatan mereka. Kami lalu bertanding dan
aku mengalahkan mereka berdua. Tukang kebun yang mencuri
barang-barang perak untuk membiayai anaknya yang sakit itu
menyatakan penyesalannya dan berjanji hendak mengembalikan
326 barangbarangnya yang dicurinya. Aku lalu pergi dan bermalaml
di dusun sebelah selatan itu. Akan tetapi malah tadi ada yang
melempar pisau dan surat itu ke atas meja makanku. Nah, itulah
yang terjadi, Pek Mau San-jin."
Pek Mau San-jin kembali menghadapi dua orang murid
keponakan yang masih berlutut di depannya itu. "Hemm, murid
Bu-tong-pai rnacam apa kalian ini" Kalian bertindak kejam
memukuli tukang kebun yang terpaksa mencuri barang-barang
perak itu! Tahukah kalian" sebelum aku datang ke sini, pangcu
(ketua) memberitahukan bahwa semalam tukang kebun itu
datang menghadap dan mengembalikan barang-barang yang
dicurinya sambil mohon ampun! Apakah kalian dapat
mengembalikan dan menebus apa yang telah kalian lakukan
kepada dia" Memukuli dan menyiksanya" Itu kesalahanmu yang
pertama!" "Ampun, supek, teecu (murid) berdua terburu nafsu, terdorong
kemarahan karena dia telah melakukan pencurian." kata murid
yang bertubuh tinggi kurus.
"Hemmm, kapan para gurumu di Bu-tong-pai mengajar kalian
untuk bertindak kejam" Apa lagi terhadap seorang pembantu
yang miskin, yang terpaksa melakukan pencurian untuk
membeayai pengobatan anaknya! Dan kesalahanmu yang ke
dua. Kalian melapor kepadaku bahwa Ang-hwa Sian-Li telah
menghina Bu?tohg-pal dan memandang rendah ilmu pedang
Thai-kek Sin-kiam, padahal ia tidak melakukan hal itu. Kalian
berani membohongiku!"
327 "Supek, teecu berdua melakukan itu agar supek mau membela
teecu berdua dan membalas kekalahan kami." Kata pemuda
tinggi besar. "Huh, kalian mengaku mund Bu-tong-pai yang gagah perkasa,
akan tetapi setelah kalah kalian tidak mau secara jantan
mengakui kekalahan kalian. Sebaliknya berbohong untuk
memanaskan hatiku dan sekarang kalian hanya membikin malu
kepadaku! Dan yang ketiga, lebih membuat aku malu lagi. Kalian
telah mengirim tantangan kepada Ang Hwa Sian-li. akan tetapi
kepadaku kalian melapor bahwa pagi ini Ang-hwa Sian Li yang
menantangku! Murid macam apa kalian ini".
Dua orang itu sambil berlutut memberi hormat dan dengan suara
berbareng mereka berkata, "Ampunkan teecu, supek ...".
Thian Liong berkata kepada Pek Mau San Jin, "Sudahlah,
locianpwe, saya harap urusan ini dianggap tidak ada saja.
Bagaimanapun, locianpwe maupun Ang hwa Sian Li tidak
terluka. Harap locianpwe mengampuni dua orang saudara inl...."'
"Apa" Siang In membentak dengan suara nyaring. "Kesalahan
mereka bertumpuk tiga lapis dan engkau mintakan ampun"
Sebagai guru yang baik, sudah sepantasnya menghukum
muridmurid yang bersalah. Kalau tidak, bagaimana sang guru
aktin mempunyai wibawa terhadap murid-muridnya" Dia akan
dicemooh dan para murid akan menjadi semakin berani dan
kurang ajar!" Pek Mau bun-jin tersenyum akan tetapi kedua pipinya menjadi
agak merah. Dia merasa malu sekali. "Kalian cepat kembali dan
328 masuklah ke ruangan hukuman menanti keputusan Pang-cu
(Ketua) dan jangan keluar dari ruangan itu sebelum diperintah!"
"Baik, supek." kata dua orang pemuda itu dan mereka lalu
memberi hormat, berdiri dan pergi dari situ dengan kepala
ditundukkan. Pek Mau San-jin lalu mengangkat kedua tangan
depan dada, berkata kepada Siang In.
"Ang-hwa Sian-li, engkau masih muda akan tetapi sudah
memiliki kepandaian tinggi dan juga berpemandangan jauh.
Ucapanmu tentang dua murid kami itu memang benar, dan kami
minta maaf atas kesalahan mereka terhadapmu."


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarpun wataknya keras dan liar, namun puteri cucu kepala Suku
Uigur ini selain ilmu Silat, juga mendapat pendidikan
kebudayaan yang cukup dari ibunya. la, pandai membawa diri
dan kalau orang bersikap baik dan lembut kepadanya iapun
tidak kalah lembut akan tetapi kalau ada yang mengasarinya, ia
pandal juga bermain kasar dan keras. Siang In membalas
penghormatan tokoh Bu-tong-pai itu dan berkata sambil
tersenyum manis.. "Totiang terlalu memuji. Saya yang muda mendapat pelajaran
dan pengalaman yang baik sekall dengan bertanding melawan
totlang. Yang bersalah sudah dihukum, itu sudah cukup bagi
saya, tidak ada yang perlu dimaafkan, totiang."
"Akan tetapi, kaml mengundang Souw Sicu sebagal murid Tiong
Lee Cin-jin untuk bertemu dengan ketua kami, dan kami juga
mengundang engkau, nona."
329 "Akan tetapl, aku tidak mempunyai urusan dengan Ketua Butong-pai seperti halnya saudara Souw Thian Liong ini!" kata
Siang In, dan ucapan ini hanya untuk pemanis bibir saja karena
sebetulnya di dalam hatinya ia ingin sekali ikut Thian Liong
menemui ketua Bu-tong-pai untuk mengetahui keperluan apa
yarig membawa pemuda itu menemuinya. Biarpun baru
menduga, Siang In yakin bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat
yang" tinggi. Hal ini terbukti ketika pemuda itu memukul runtuh
jarum?jarum beracunnya sehingga menyelamatkan Pek Mau
San-jin. Hanya orang yang memiliki sin-kang (tenaga sakti) amat
kuat saja yang mampu memukul runtuh jarum-jarumnya dari
jauh, menggunakan sambaran hawa pukulan.
"Kami sungguh mengundangmu, Ang-hwa Sian-li. Kalau ketua
kami mendengar akan perbuatan tak terpuji dari dua orang murid
kami kepadamu, lalu aku tidak mengundangmu, tentu beliau
akan marah dan menegurku sebagai tidak mengenal sopan
santun. Karena itu, deml menjaga agar aku tldak mendapat
teguran dari ketua kaml, kuharap engkau suka menerima
undanganku untuk bersama Souw-sicu menemui Pangcu kami."
Siang In menoleh kepada Thian Liong dan tersenyum, seolah
hendak mengatakan melalui pandang mata dan senyumnya
bahwa ia "terpaksa" ikut berkunjung ke Bu-tong-pal! "Wah, kalau
begitu, baiklah, totiang. Kalau aku tidak menerima undanganmu,
berarti aku yang tidak mengenal sopan santun."
Tosu itu tertawa dan mereka bertiga lalu berjalan mendaki lereng
menuju ke sebuah puncak bukit di maha perkampungan Butong-pai berada.
330 Pada waktu itu. yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah seorang
kakek berusia tujuh puluh tahun yang biasa disebut Ciang Losu.
(Guru Tua Ciang). Nama lengkapnya adalah Ciang Sun dan
hanya dia seoranglah yang menguasai Thai-kek Sin-kiam
sebanyak delapan bagian. Sebelum dia juga tidak ada yang
dapat menguasai Thai-kek Sin-kiam secara lengkap karena kitab
pusaka pedang itu hilang tak tentu rlmbanya hampir seratus
tahun yang lalu. Namun akhirakhlr ini kesehatan Ciang Losu
amat mundur. Kekuatan tubuhnya dlgerogotl usia sehingga dia
lebih banyak bersamadhi dari pada melakukan kegiatan
mengurus perguruan Bu-tong-pai. Untuk itu dia menugaskan
para sutenya, di antaranya Pek Mau San-jin yang merupakan
sutenya yang paling muda. Maka tidak aneh kalau Pek Mau
San-jin hanya mencapai tingkat ke tiga saja di perguruan itu.
Ketika Ciang Losu yang tua itu mendengar bahwa murid Tiong
Lee Cin-jin diutus gurunya untuk mengunjunginya, dia merasa
gembira dan segera keluar menyambut. Sudah lama dia merasa
kagum sekali mendengar nama Tiong Lee Cin-jin dan biarpun
yang datang sekarang hanya seorang muda, akan tetapi karena
dia menjadi murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin yang sengaja
datang berkunjung, dia merasa girang sekali.
Thian Liong dan Siang In yang mengikuti Pek Mau San-jin
memasuki bangun-an induk dari perkqinpungan Bu-tong-pai
melihat munculnya seorang kakek tinggl kurus, rambut dan
jenggotnya yang panjang sudah berwarna putih seperti benang
perak, pandang matanya lembut dan mulutnya terhias senyum
sabar, segera memberi hormat. Mereka menduga bahwa kakek
ini tentu ketua Bu-tong-pai dan dugaan mereka benar. Pek Mau
San-jin yang tadi menyuruh seorang murid yang dijumpainya di
331 pintu gerbang. untuk melapor kepada Ciang Losu akan
kunjungan murid Tiong Lee Cin-jin, segera memperkenalkan.
"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), ini adalah sicu (orang
gagah) Souw Thian Liong murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin,
dan yang ini adalah Ang-hwa Sian-li. Souw-sicu dan Ang-hwa
Sian-li, inilah ketua Bu-tong-pai kami, suheng Ciang Losu."
"Harap 'loclanpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan kalau
kedatangan kami mengganggu ketenangan toclanpwe." kata
Thian Liong dengan slkap hormat.
"Sian-cai, sikap Souw-sicu saja cukup menjadi bukti betapa
bijaksananya Tiong-Lee Cin-jin yang kami hormati. Mari, orangorang muda gagah, silakan masuk, kita bicara di dalam." 'kata
Ciang Losu dengan wajah ceria.
Mereka berempat masuk dan duduk di ruangan dalam yang
tertutup. Seorang murid menyuguhkan air teh lalu keluar lagi.
"Nah sekarang kita dapat bicara de-ngan leluasa di sini.
Ceritakanlah, apa yang membawa kalian berdua orang-orang
muda gagah datang berkunjung ke Bu-tong-pai dan menemui
pinto (saya)." "Saya tidak mempunyai keperluan apa-apa, locianpwe. Saya
datang untuk memenuhi udangan Pek Mau San-jin." kata Siang
In sambil memandang kepada pembantu ketua Bu-tong-pai itu.
Pek Mau San-jin segera menerangkan kepada suhengnya.
"Suheng, Souw-sicu datang dan minta menghadap suheng
karena dia diutus oleh gurunya untuk memblcarakan sesuatu
332 yang penting dengan suheng. Adapun nona Ini, ada sesuatu
terjadi antara Ang-hwa Sian-li ini dan dua orang murid kita yang
membuat merasa tidak enak dan mengundangnya." Dengan
singkat Pek Mau San-jin lalu menceritakan tentang peristiwa
yang di alami Siang In dan dua orang murid Bu-tong-pai yang
menjadi gara-gara bentrok-aTi antara Pek Mau San-jin dan gadis
perkasa itu. "Saya telah menyuruh dua orang murid itu menanti di ruangan
hukuman, menanti keputusan suheng." Pek Mau San-jin
mengakhiri ceritanya. Ciang Losu mengangguk-angguk. Wajah yang penuh kesabaran
itu sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan hatinya. "Anakanak itu harus dihukum. Laksanakan hukuman itu sekarang
juga, sute. Mereka harus melakukan samadhi selama tiga bulan.
hanya berhenti seharl sekali untuk makan. Dengan demikian kita
harapkan mereka akan dapat menghilangkan kekejaman dari
hati mereka. "Baik, suheng, akan saya laksanakan sekarang juga." Pek Mau
San-jin memberl hormat lalu menlnggalkan ruangan itu.
Setelah sutenya pergi, Ciang Losu berkata kepada Slang In dan
Thian Liong "Kalian lihat, betapa sulitnya mengalahkan musuh utama dalam
hidup ini. Musuh utama itu adalah dirinya sendiri, nafsu-nafsunya
sendiri. Ang-hwa Sian-li...."
333 "Locianpwe, nama saya adalah Thio Siang In, saya merasa malu
kalau lo-cianpwe yang menyebut saya dengan julukan kosong
itu." kata Siang In.
Ciang Losu tersenyum lebar memperlihatkan rongga mulut yang
sudah tidak ada giginya lagi. "Nona Thio Siang In, pinto lihat
bahwa di balik kekerasan hatimu terdapat kerendahan hati dan
kejujuran. Maafkanlah ulah kedua orang mu-rid Bu-tong-pai
kami." "Tidak mengapa, locianpwe. Mereka sudah dihukum dan kalau
mereka dapat mengubah sikap, saya ikut merasa girang."
"Sekarang, pinto ingin mendengar darimu, Souw-slcu. Tiong Lee
Cin-Jln mengutus engkau datang menemul plnto, sebetulnya
membawa keperluan apakah?"
"Locianpwe, saya diutus suhu untuk menyerahkan sebuah kitab
kepada lecianpwe, karena menurut suhu, kitab itu adalah hak
milik Bu-tong-pal." Setelah berkata demikian, Thian Llong
menurunkan buntalan pakalannya dari punggung dan membuka
buntalan itu. "Ah, bukan main! Tiong Lee Cin-jin menemukan kitab kami dan
mengembalikan kepada kami" Sungguh mulia, sungguh
bljaksana!" kata Ciang Losu dengan wajah berseri, tampaknya
gembira sekali. Thian Liong mengambll Kitab Kiauw-ta Sin-na dari dalam
buntalan. Kitab ini agak tebal dan sudah tua sekali.
"Inilah kitab itu, locianpwe, harap sudi menerimanya."
334 "Terima kasih !" Kakek itu menerima kltab, lalu
dibuka. Setelah melihat islnya, dia berkata, "Sian-cai
Kiranya Kitab Kiauw-ta Sin-na yang hilang lima puluh tahun yang
lalu!" "Loclanpwe telah menerima kembali kltab yang telah lama
hilang, kenapa malah tampak kecewa?" tiba-tiba Siang In
bertanya. "Eh.... ahh...." Nona Thio Siang In sungguh memiliki penglihatan
yang amat tajam!" seru Clang Losu sambil tersenyum dan
memandang kagum. "Sesungguhnyalah, pinto merasa kecewa
melihat bahwa yang dikirim oleh Tiong Lee Cin-jin adalah Kitab
Kiauw-ta Sin-na, bukan Kitab Thal-kek Sin-kiam yang hilang
seratus tahun yang lalu sepertl yang tadi kusangka dan
harapkan." "Suhu pernah bercerita kepada saya, locianpwe, bahwa dalam
perjalanannya, suhu jUga berusaha mendapatkan kembali kitab
pusaka milik Bu-tong-pai itu, akan tetapi menurut suhu, tidak ada
seorangpun di dunia barat yang tahu tentang Kitab Thai-kek Sinkiam itu." Kata Thian Liong.
"Ah, tidak mengapa, Souw-sicu. Kitab Kiauw-ta Sin-na ini juga
merupakan kitab pusaka kami yang penting. Harap sampaikan
ucapan terima kasih dan seluruh anggauta dan pipipinan
Butong-pai." "Baik, locianpwe, akan saya sampaikan kepada suhu pesan
locianpwe." Kata Thian Liong.
335 "Bu-tong-pai tidak dapat membalas apa-apa atas kemuliaan hati
dan kebijaksanaan Tiong Lee Cin-jin. Kami hanya dapat
mendoakan semoga Tiong Lee Cin jin berusia panjang dan
hidup penuh kebahagiaan." kata pula kakek itu.
"Terima kasih, lo-cian-pwe." Dua orang muda itu laki berpamlt
dari Ketua Bu-tong-pai yang sudah tua itu. Di pintu depan
mereka disambut oleh Pek Mau San-jin yang mengantar mereka
sampai keluar pintu gerbang Bu-tong?pai. Setelah mengucapkan terima kasih atas sambutan Bu-tong-pai yang
baik, Thian Liong dan Siang In lalu meninggalkan perguruan silat
yang terkenal itu dah menuruni puncak bukit.
Setelah tiba di kaki bukit, Siang In mengajak pemuda itu berhenti
dan la bertanya. "Liong-ko, urusan di Bu-tong pai sudah beres.
Sekarang, engkau hendak pergi ke manakah?"
"Aku sekarang akan pergl ke Siauw-Lim-pal." jawab Thian Liong
sejujurnya. "Wah" Bukankah kuil Siauw-Lim-pai itu jauh sekali dari sini"
Mau apakah engkau pergi ke perguruan-pergurUan silat" Tadl
ke Bu-tong-pai dan sekarang hendak ke Siauw-lim-pi. Apakah
juga engkau ke sana untuk menyerahkan kitab pusaka Siauwlim-pai?"
Thian Liong mengangguk. "Tldak salah dugaanmu, In-moi. Aku
memang sedang melaksanakan perlntah suhu untuk
menyerahkan kltab-kitab pusaka kepada pemiliknya yang
berhak." 336 "Suhumu Tiong Lee Cin-jin ttu aneh sekali! Aku sudah
mendengar bahwa dla merantau ke dunia barat selama puluhan
tahun dan berhasil mendapatkan banyak kitab penting. Kenapa
sekarang kitab-kitab itu dibagi?bagikan?"
"Bukan begitu, In-moi. Dalam perantauannya ke barat untuk
memperdalam ilmu, suhu menemukan kitab-kitab para
perguruan silat yang dulu dicuri orang. Suhu berhasil
merampasnya kembali dan karena kitab-kitab itu ada yang
berhak memiliki, maka suhu mengutus aku untuk
mengembalikan kitab-kitab itu kepada yang berhak. Bukankah
hal itu sudah wajar dan semestinya?"
"Sama sekali tidak wajar. Kalau suhumu yang menemukan dan
merampasnya kembali, semestinya kitab-kitab itu menjadi hak
milik suhumu! Enak saja para ketua perguruan silat itu menerima
kembali kitab mereka tanpa merasa bersusah payah! Ah,
sudahlah, memang aku sudah mendengar bahwa Tiong Lee
Ctn-jin itu orangnya aneh luar biasa. Tapi kulihat engkau ini
orang biasa saja, seperti juga aku. ngomong-omong, berapa
banyak sih kitab yang harus kau kembalikan kepada para ketua
perguruan silat itu, Liong-ko?"
"Hanya tiga buah kitab, In-moi. Sebuah untuk diserahkan kepada
Ketua Kun-lun-pai, sebuah untuk Ketua Bu-tong-pai dan yang
sebuah lagi harus kuserahkan kepada Ketua Siauw-lim pai."
"Hemm, baglan Bu-tong-pal gudah kauserahken. Apakah kiinb
untuk Kun-lun-pal juga sudah kauberikan kepada ketuanya?"
Thian Llong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
337 "Itulah yang merisaukan hatiku, In-mol. Kltab untuk Kun-lun-pai
Itu dicuri orang dalam perjalananku."
"Waah...! Dicuri orang" Apa namanya kitab pusaka Kun-lun-pai
itu, Liong-ko" Siapa tahu aku dapat membantumu mencarinya."
"Kitab itu berjudul Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat."
"Dan siapa pencurinya?" "Itulah yang memusingkan. Pencurinya
seorang gadis, aku akan dapat mengenal wajahnya, akan tetapi
sayang, aku tidak tahu namanya."
"Hemm, bagaimana seorang gadis mampu mencuri kitab pusaka
itu darimu" Coba gambarkan bagaimana gadis itu. Siapa tahu
aku akan dapat bertemu dengannya dan dapat merampas kitab
yang dicurinya itu!" kata Siang In penuh semangat.
"la masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya.
Pakaiannya serba merah muda. la lincah jenaka, bengal, galak
dan cerdik." "Wajahnya, bagaimana rupanya?" '
"Hemm, wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang, kalau
tertawa timbul lesung pipit di kedua pipinya...."
"la cantik?" "Cantik sekali, pinggangnya ramping, dagunya


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meruncing, kulitnya putih
" "Hemm, cantik mana kalaU dibandingkan
aku?" 338 Thian Liong menatap wajah di depannya. "Wah
sukar menilai, In-moi. Engkau juga cantik sekali, sukar
rnengatakan siapa di antara kalian yang lebih cantlk. Usia kalian
juga sebaya dan ilmu silat kalian juga sama lihainya."
"Tentu Kun-lun-pai marah sekali mendengar kitab pusaka
mereka dicuri orang. Apakah mereka sudah tahu?"
"Memang mereka tadinya marah sekali. Akan tetapi akhirnya Kui
Beng Thaisu, ketua Kunlun-pai dapat menerima kenyataan dan
akupun sudah berjanji kepadanya untuk berusaha mencari dan
menemukan kembali kitab pusaka, Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat itu."
"Kitab pusaka Bu-tong-pai tadi adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na.
Lalu sekarang tinggal sebuah, yaitu kitab pusaka yang akan
kauserahkan kepada Siauw-lim-pai. Apakah nama kitab itu,
Liong-ko?" Sepasang mata bintang itu memandang ke arah
buntalan pakaian di punggung Thian liong.
"Namanya Kitab Sam-jong Cin-keng."
Menurut keterangan suhu, kitab ini mengandung ilmu yang
diciptakan sendiri oleh Dewa Jilai-hud!"
"Wah, aku ingin sekali melihatnya! Liong-ko yang baik, tolong
perlihatkan kitab itu padaku, sebentar saja!" Gadis itu mendekat
"Wah, tidak boleh, In-moi!"
"Aih! Masa hanya melihat saja tidak boleh?"
339 "Suhu memesan agar aku jangan memberikan kitab-kitab itu
kepada siapa saja kecuali kepada para ketua yang berhak
menerimanya." "Akan tetapl aku hanya ingin pinjam sebentar, melihat?lihat
lainnya untuk menambah pengetahuan dan pengalamanku.
Sebentar saja, nantl kukemballkan,"
"Maaf, In-mol, aku tidak dapat memenuhl permlntaanmu. Suhu
berpesan agar aku menjaga kitab-kitab Itu dengan taruhan
nyawaku." Walah gadis Itu berubah merah, matanya bersinar-sinar
mengandung kemarahan. "Hemm, buktlnya sebuah di antara
tiga buah kitab itu hilang!"
"Hal itu terjadl karena aku lengah dan gadis Itu mencurlnya."
"Benarkah" Apakah tidak karena engkau tergila-gila oleh
kecantikannya dan engkau meminjamkan kltab itu kepadanya
lalu ia melarlkan diri membawa kitab itu?"
"Sama sekali tidak, In-mol. Engkau, juga cantik, akan tetapi tetap
saja aku tidak berani meminjamkan kitab ini padamu. Maafkan
saja." "Bagaimana kalau ada orang menggunakan kekerasan untuki
merampas kitab" "Tentu saja akan kulawan dan kupertahankan."
"Kalau begitu karena engkau tidak mau meminjamkannya, aku
akan merampasnya dengan kekerasan. Lawanlah aku!" Setelah
berkata demikian, dengan cepat sekall Siang In sudah
menerjang pemuda itu dan tangan kirinya menotok ke arah dada
340 sedangkan tangan kanahnya mencengkeram ke arah buntalan
yang tergantung di punggung Thlan Liong.
Thian Liong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan
loncatan ke belakang. Dia merasa kecewa dan marah. Kenapa
setiap kali bertemu dengan gadis cantik, selalu dia menghadapi
kesulitan dan persoalan" Pertama bertemu gadis Jelita
berpakaian merah muda itu yang kemudian mencuri kitab
pusaka Kun-lun-,pai dari buntalan pakaiannya sehingga dia
mengalami kesulitan. Kemudian dfa bertemu dengan Kim Lan,
murid Kun-lun-pai yang cantik itu, yang hendak memaksanya
agar dia menjadl suami gadis itu! Dan sekarang ini, dia
menghadapi Ang-hwa Sian-Ii Thlo Siang In yang ayu manls, dan
lagi-lagi dla menghadapi kesulitan karena gadis inl hendak
memaksanya meminjamkan kitab pusaka StauW-lim-pai!
"In-moi, jangan begitu! Kitab ini bukan milik klta. Kita
tidak berhak " "Cukup! Berikan kepadaku atau
merampasnya dengan kekerasan!" .
aku terpaksa akan "Tidak boleh, In-moi!" kata Thian Liong yang mulai merasa
panas juga perutnya. Hyaaaattt...." Slang In menerjang dengan cepat. Serangannya
kuat bukan main dan kedua lengannya dikembangkan dan
menyerang secara tiba-ttba dari samping, sepertl sepasang
sayap, kedua kakinya berjingkat dan berloncatan, sepertl
gerakan seekor burung. Memang gadis ini telah menyerang
dengan memainkan ilmu silat Kong-ciak Sin-kun, (Silat Sakti
341 Burung Merak). Gerakannya indah dan aneh, akan tetapl
berbahaya sekali karena kedua tangan dan kedua kaki itu
menyerang secara bergantian secara tiba-tiba dan tak
tersangkasangka! Thian Llong berslkap hati-hatl. Gerakan serangan gadis ini
dahsyat juga walaupun ketika diam-diam dia membandingkan,
belumlah sedahsyat tingkat kepandaian gadis baju merah yang
mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai Itu. Dia mengerahkan ilmu
meringankan diri dan mengelak dari semua serangan. Tubuhnya
berkelebatan, berubah menjadi bayangan yang tidak mungkin
dapat dilanda pukulan atau tendangan. Siang In terkejut. Belum
pernah la melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehebat ini.
Kedua matanya sampai menjadi kabur saking cepatnya
bayangan Thian Llong bergerak.
Siang In menjadi periasaran. Tiba-tiba ia sudah mencabut
saputangan merah dan sekali mengebut dengan saputangan,
belasan batang jarum kecil lembut menyambar ke arah tubuh
Thlan Liong. "Haiiit!" "Ahhh!" Thian. Liong mendorong dengan telapak tangannya dan
Jarum-jarum itupun runtuh semua. Akan tetapi kini gadis itu telah
menyerangnya dengan cepat dan sekali ini kedua tangannya
melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah maut di seluruh
tubuh Thian Liong. Itulah ilmu totok Im-yang Tiam-hoat, yang
dtpergunakan Siang In setelah Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa
Racun) yang dikebutkan dengan saputangan merah tadi gagal.
"Hemm !" Thian Liong menghadapi serangan baru
342 ini dengan kagum. Gadis tni memang lihai, memiliki beberapa
macam ilmu silat yang ampuh. Akan tetapi, seperti juga jarumjarum beracunnya, ilmu totok inipun bersikap kejam karena
setiap serangan merupakan serangan maut. Dia mengelak dan
terkadang menangkis dengan membatasi tenaganya sehingga
Siang In hanya merasa betapa lengannya tergetar hebat kalau
tertangkis lengan pemuda, akan tetapi ia tidak sampai cidera
patah tulang. Setelah setnua serangannya gagal sama. sekali
dan pemuda itu belum juga satu kali membalas serangahriya,
tahulah Siang In bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh.
Semua serangannya tadi gagal dan sampai sekilan lamanya
Thian Liong tidak pernah membalas. Hal ini berarti pemuda itu
mengalah terhadapnya. Akan tetapi ia memang keras hati, tidak
mau mengaku kalah begitu saja.
"Srat-sing !" Dua sinar berkelebat dan gadis itu
sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang)
tergantung di punggungnya. Dua batang pedang
Berkilauan berada di kedua tangannya.
yang yang Akan tetapi ia tidak segera menyerang.
"Hayo, cabut pedangmu! Hendak kulihat apakah engkau mampu
menandingi sepasang pedangku!" tantang Siang In sambil
mengerutkan alisnya karena ia masih marah oleh penolakan
Thian Liong yang tldak mau meminjamkan kitab pusaka Siauwlim-pai untuk dilihatnya.
"Sudahlah, In-moi, mengapa engkau berkeras menantangku
bertanding" Kita Inl bukan musuh, melalnkan sahabat, bukan"
Aku girang dan berterilma kaslh sekall atas semua slkapmu
343 kepadaku yang amat balk dan bersahabat selama ini. maka,
kuminta kepadamu, hentikanlah pertandlngan inl."
"Hemm, Souw Thtan Llongl Engkau mengaku bahwa aku
bersikap balk dan. bersahabat, akan tetapi seballknya,
bagaimana sikapmu" Engkau pelit dan tldak percaya kepadaku
seliingga memperlihatkan kitab pusaka itu engkau tolak" apakah
artinya persahabatan bagimu?"
"In-moi, kitab ini bukan milikku dan aku harus mentaati pesan
dan perintah suhu. (Bagaimana aku dapat disebut seorang
berbakti kalau aku melanggar pesan, suhu yang tidak boleh
memperlihatkan kitab ini kepada orang lain kecuali kepada
Ketua Siauw-lim-pai" In-moi, maafkan aku. Engkau boleh minta
yang lain, akan tetapi jangan minta aku melanggar larangan
suhu." "Cukup. Aku tetap ingin menguji kepandaianmu dan engkau
coba bandingkan, siapa di antara aku dan gadls yang mencurl
kitab pusaka Kun-lun-pai yang lebih lihai Pergunakan
pedangmu. Aku tldak sudi bertanding dengan orang yang
bertangan kosong melawan sepasang pedangkul"
Thian Liong menghela napas panjang. Gadis Inl sama keras
hatinya dengan gadis baju merah yang mencurl kltab pusaka
Kun-lun-pal itu. Kalau tldak dlturutl tantangannya, la tentu akan
mendesak terus. Diapun mencabut Thian-llong-kiam dan
melintangkan pedang itu di depan dadanya.
Kalau demikian kukuh kehendakmu, baiklah, In-moi. Akan
kulayani permainan pedangmu." kata Thian Liong dengan sikap
tenang. 344 "Lihat , seranganku. Haaaiiiit" Dua batang pedang di kedua
tangan Siang In itu berubah menjadi dua gulungan sinar yang
menyambar ke arah Thian Llong. Pemuda ini cepat melangkah
mundur dan mengelebatkan pedangnya, membentuk sebuah
lingkaran, sinar yang melindunginya. Dia melihat betapa gerakan
pedang di kedua tangan gadis itupun ganas sekali. Sepasang
pedang itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular cobra
yang liar dan ganas. Setiap tusukan atau bacokan mengarah
bagian tubuh berbahaya sehingga setiap serangan merupakan
ancaman maut bagl lawan. Inilah Toat-beng Siang-kiam
(Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), ilmu pedang yang amat
dahsyat dan ganas. Akan tetapi Thian Liong menghadapi serangkaian serangan
gadis itu dengan tenang. Gerakannya tenang dan mantap dan
setiap kali sinar pedangnya bertemu dengan dua gulungan sinar
pedang lawan sepasang pedang di tangan Siang In terpental.
Akan tetapi hal ini bahkan membuat Siang In menjadi semakin
penasaran dan ia mengamuk terus, menyerang dengan sekuat
tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.
Seperti tadi ketika mereka bertanding dengah tangan kosong,
kini Thian Liong juga selalu mengalah, hanya mengelak dan
menangkis saja. Tiga puluh jurus telah lewat dan selalu Siang In
yang rne-nyerang sedangkan Thian Liong hanya melindungi
dirinya. Hal ini membuat Siang In menjadl semakin penasaran. la
merasa dipandang rendah dan hal ini menyinggung harga
Si Kumbang Merah 9 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pendekar Negeri Tayli 4
^