Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 10

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 10


tidak bakal membuat kau terlantar, kedua, tempat tinggal ku
termasuk tempat yang indah, banyak orang yang ingin ke sana pun
belum tentu harapannya bisa kesampaian."
"Huuh, biar rumahmu lebih indah dari istana pun aku sama sekali
tidak perduli." "Ooh.... ternyata kau begitu benci denganku?"
"Bukan benci, hanya tidak suka berada bersama kau."
Mendadak Seebun Yan berkerut kening, ujarnya ketus, "Jadi kau
hanya suka berjalan bersama kakak misan ku?"
Karena memang berniat membuat jengkel gadis itu, Lan Sui-leng
sengaja berkata begini, "Sikap kakak misanmu terhadapku jauh
lebih baik ketimbang kau, tentu saja aku lebih suka jalan
bersamanya daripada berjalan bersamamu."
"Oooh, bagaimana baiknya terhadapmu?"
"Sikapnya terhadapku begitu lembut, begitu perhatian, tidak
galak seperti kau. Seperti misalnya semalam, waktu turun hujan
begitu deras, dia tidak segan berdiri basah kuyuk di tengah curahan
hujan deras, hanya untuk menjaga diriku."
Sebenarnya Seebun Yan masih menaruh sedikit kecurigaan, tapi
setelah mendengar perkataan itu, semua kecurigaannya hilang
lenyap tidak berbekas, katanya sambil tertawa, "Betul, betul, sikap
kakak misanku terhadapmu memang sangat baik, tapi sayang
sikapmu terhadapnya justru kurang baik."
"Darimana kau bisa tahu kalau sikapku terhadapnya kurang
baik?" tanya Lan Sui-leng terperanjat.
"Dipandang dari luar, kau seolah-olah percaya penuh kepadanya,
padahal dalam hati kecilmu penuh dengan kecurigaan dan praduga
tidak benar." "Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Karena aku lihat kau terburu-buru ingin pergi ke kuil Siau-limsi!"
sahut Seebun Yan. Sesudah berhenti sejenak, sambungnya, "Walaupun antara Butong-
pay dan Siau-lim-pay terganjal penyakit hati, namun kawanan
hwesio dari kuil Siau-lim-si tidak bakalan mencelakai adikmu, dalam
hal ini apakah kau tidak menaruh curiga?"
"Siau-susiok ku juga bilang begitu," Lan Sui-leng manggut
manggut. "Lantas bagaimana menurut pendapatmu sendiri?"
"Baik Siau-lim-pay maupun Bu-tong-pay sama sama merupakan
perguruan lurus yang punya reputasi tinggi, tentu saja aku percaya
penuh terhadap mereka."
"Lantas kenapa kau terburu-buru ingin pergi kuil Siau-lim-si"
Bukankah lantaran mengkhawatirkan keselamatan adikmu" Kalau
bukan, lalu karena apa?"
Tanpa menunggu jawaban kembali dia berkata, "Aku rasa hanya
ada satu penjelasannya, karena dalam hati kecilmu kau tetap
beranggapan bahwa manusia yang bernama Tonghong Liang perlu
di waspadai, kau kuatir adikmu tertipu dan masuk perangkap dia!"
Jawaban tersebut ibarat sebuah tusukan jarum yang menghujam
di ulu hati Lan Sui-leng membuatnya berdarah-darah dan
terbungkam dalam seribu bahasa. Diam-diam pikirnya dengan
perasaan menyesal, "Padahal bukan hanya menaruh curiga saja
terhadap Tonghong Liang, aku bahkan masih ingin membunuhnya."
Tiba tiba Seebun Yan berkata sambil tertawa, "Aku lihat kau
sepertinya tidak punya pendirian, tidak dapat mengambil keputusan
untuk diri sendiri, lebih gampang mempercayai perkataan orang
daripada suara hati sendiri, entah perkataan ku ini benar tidak?"
"Adikku pun pernah berkata begitu kepadaku, mungkin memang
itulah penyakitku. Eeei, tapi bukan-kah kita baru berkenalan"
Kenapa kau pun bisa menge-tahui kelemahanku?"
"Karena kau selalu suka menyebut perkataan orang lain, eei,
omong omong, siapa sih Siau-susiokmu?"
"Bouwlt-yu!" "Oooh, aku tahu Bouw It-yu, ayahnya adalah Tiong-ciu Tayhiap
Bouw Ciong-long, usianya belum terlalu tua tapi nama besarnya
dalam dunia persilatan sudah amat tersohor, bagaimana menurut
pandanganmu tentang orang ini?"
"Aku tidak terlalu dekat dengan dia."
"Tapi mustinya ada perbandingannya bukan, umpamanya kau
merasa dia lebih baik atau Tonghong Liang lebih baik?"
"Aku tidak tahu."
"Kau bukannya tidak tahu tapi tidak berani mengatakannya,
kuduga dalam hati kecilmu kau merasa Tonghong Liang jauh lebih
baik kendatipun terhadapnya kau masih menaruh perasaaan waswas
dan curiga. Cuma, kau pun merasa kalau Siau-susiok mu
berasal dari perguruan kenamaan kaum lurus, jadi 'seharusnya" dia
lebih bisa dipercaya."
Merasa "rahasia hati" nya berhasil dibongkar orang, selain kagum
Lan Sui-leng pun merasa terkejut, pikirnya, "Orang ini nampaknya
seperti susah bergaul dan judas, siapa tahu sepasang matanya
begitu lihay, sampai rahasia hatiku pun bisa terbaca olehnya."
Terdengar Seebun Yan berkata lagi sambil tertawa, "Nona Lan,
kelihatannya aku punya jodoh dengan mu, jadi tidak tahan aku ingin
memperingatkan satu hal untukmu, walaupun aku tidak terlalu
hapal dengan tabiat Bouw It-yu, tapi kau musti hati-hati
menghadapinya, jangan sampai masuk perangkap!"
"Terima kasih atas perhatianmu. Aku toh bukan bocah berusia
tiga tahun, sekalipun pengetahuanku tidak sehebat dirimu, bukan
berarti aku begitu gampang ditipu orang."
"Kalau begitu anggap saja aku banyak mulut. Tapi kaupun
jangan menyangka aku berniat mengadu domba kalian berdua.
Sesuai dengan tabiatku, kalau aku mulai suka dengan seseorang,
seringkali tidak tahan untuk menyampaikan suara hatiku."
"Watakku pun sama seperti kau, mana mungkin bisa
menyalahkan dirimu," sahut Lan Sui-leng sambil tertawa.
"Terima kasih banyak, aku amat senang kalau kau tidak marah
kepadaku." Lan Sui-leng memandang sekejap kearahnya, tiba-tiba dia
tertawa cekikikan. "Hey, apa yang kau tertawakan?" tegur Seebun Yan.
"Mentertawakan dirimu."
"Memangnya aku lucu?"
"Kau persis seperti udara dibulan ke tiga."
"Udara di bulan ke tiga?"
"Di bukit Bu-tong kami, udara di bulan ke tiga paling susah
diraba, sebentar terang sebentar hujan, bahkan terkadang matahari
muncul di langit timur, di langit barat hujan deras. Bahkan cuaca di
kedua puncaknya seringkali berbeda."
"Apa anehnya" Cuaca di tempat kami pun tidak jauh berbeda.
Ooh, mengerti aku sekarang, kau sedang mengatakan kalau
watakku tidak menentu bagai perubahan cuaca, sebentar marah
sebentar gembira, bukan begitu" Ehmm, perumpamaanmu sangat
segar dan menarik, kakak misanku hanya bisa menegur secara
langsung, belum pernah dia dapat berbicara sesegar dan menarik
seperti ini." Sambil berbicara, tidak tahan lagi ia tertawa cekikikan.
Lan Sui-leng sebagai gadis yang belum punya pendirian, begitu
orang lain bersikap baik kepadanya, dengan cepat diapun
melupakan semua kejadian sebelumnya.
Tidak selang beberapa saat kemudian dia sudah mulai banyak
bicara dan bergurau dengan Seebun Yan, bahkan hubungan mereka
makin lama semakin akrab.
Malam itu tibalah mereka di sebuah kota kecil, sang pelayan bisu
tuli itu membawa mereka menuju sebuah rumah penginapan.
Tampaknya pemilik losmen kenal sangat baik dengan Seebun
Yan, sikap dan pelayanannya amat menghormat, tanpa bertanya
apakah akan memesan kamar, dia langsung menyiapkan sebuah
kamar paling baik dan mempersilahkannya masuk.
Setelah menutup pintu kamar Lan Sui-leng baru berbisik, "Hey,
aneh sekali, tanpa bertanya apa pun kenapa dia sudah menyiapkan
sebuah kamar untukmu?"
"Kami sudah memesannya sejak awal, aku minta dia hanya
menyiapkan sebuah kamar paling bagus, tentu saja dia tidak bakal
menyiapkan kamar lebih."
"Bukan begitu maksudku, aku hanya tanya.... dari mana dia tahu
kalau aku pasti bersedia menginap satu kamar denganmu" Apakah
tidak merasa kurang leluasa?"
Seebun Yan tertawa cekikikan.
"Kau sangka dia tolol dan pikun" Hihihihi....
justru orang itu pintar dan teliti, kau sangka dandanan-mu bisa
mengelabuhi sepasang matanya" Sejak awal dia sudah tahu kalau
kau adalah seorang nona yang sedang menyaru."
Lan Sui-leng tertawa jengah.
"Kusangka penyamaranku sudah amat sempurna, apalagi
kemarin pun seharian penuh sudah belajar cara lelaki berbicara
serta bertindak...."
"Menjadi manusia lebih baik yang wajar wajar saja, buat apa
memaksakan diri menderita" Nih, kau cobalah pakaian itu, kalau
memang cocok dengan potongan tubuhmu, aku rasa lebih baik kau
tampil dengan wajah aslimu saja."
Seusai berganti pakaian, Lan Sui-leng merasakan tubuhnya
semakin nyaman, katanya kemudian sambil tertawa, "Benar juga
perkataanmu, saat berperan sebagai pria aku merasa seakan
sedang memakai baju untuk bermain opera, walaupun terkadang
terasa menarik dan lucu, tapi gerak-gerikku selalu terasa bagai
terbelenggu, sama sekali tidak bebas. Aaaai, coba tahu kalau tidak
bakalan pergi ke kuil Siau-lim, tidak bakalan sejak awal aku
menyiksa diri dengan menyaru sebagai orang laki laki."
"Kini kau gagal pergi ke kuil Siau-lim, apakah dalam hati masih
jengkel dan mendongkol kepadaku?"
"Terus terang, sepanjang perjalanan tadi aku memang masih
mendongkol dan jengkel, tapi sekarang.... semuanya sudah lenyap
bagai awan tebal yang buyar di angkasa."
"Kenapa begitu?"
"Karena sikapmu terhadapku makin lama semakin baik."
"Kalau tiba-tiba sikapku berubah, jadi jahat terhadapmu?"
Lan Sui-leng tertawa cekikikan.
"Aku tidak bakalan marah atau menyalahkan kau, karena aku
sudah tahu, tabiatmu mirip sekali dengan perubahan cuaca di bulan
ke tiga." Hubungan kedua orang gadis ini makin lama semakin cocok,
seusai bersantap malam tanpa terasa kentongan ke dua telah
berlalu. "Pergilah tidur lebih dahulu," kata Seebun Yan kemudian.
"Aku belum merasa mengantuk."
"Aku sendiripun belum mengantuk dan tidak ingin tidur, Cuma
setiap malam aku harus berlatih diri sebanyak dua kali, kini sudah
saatku untuk berlatih kembali."
"Kalau begitu silahkan saja, kau tidak perlu peduli kan aku."
"Inginkah kau membunuh aku secara diam-diam?"
tiba-tiba Seebun Yan bertanya.
Lan Sui-leng amat terperanjat, segera pikirnya, "Jangan-jangan
diapun tahu kalau aku pernah berniat membunuh kakak misannya
hingga sekarang khusus menggunakan kata kata itu untuk
menyelidiki aku?" "Hey, kenapa kau" Dibuat bodoh saking kagetnya?" tegur Seebun
Yan lagi. "Kenapa kau ajukan pertanyaan seperti itu kepadaku?"
"Tidak karena apa apa. Bila aku pernah menderita kerugian di
tangan orang lain, sampai kapanpun aku tetap akan menuntut
balas. Oleh karena itu bila kau ingin membalas dendam kepadaku,
malam ini adalah kesempatan terbaik bagimu."
Lan Sui-leng jadi marah sehabis mendengar perkataan itu,
teriaknya, "Kalau memang tidak percaya kepadaku, lebih baik aku
pindah ke kamar lain saja."
Kembali Seebun Yan tertawa.
"Kalau aku tidak percaya kepadamu, tidak nanti akan kuucapkan
perkataan seperti itu!"
Sementara rasa mendongkol Lan Sui-leng belum mereda, Seebun
Yan sudah duduk bersila di atas ranjang dan memejamkan matanya.
Beberapa kali Lan Sui-leng memanggil namanya namun gadis itu
sama sekali tidak menyahut. Sebenarnya dia masih ingin mengajak
gadis itu cekcok mulut, karena tidak digubrik maka diapun tidak
mengganggunya lagi. Tanpa berganti pakaian dia membaringkan diri di atas ranjang,
sementara pikirannya melayang ke sana kemari, membayangkan
kembali pengalaman yang dialaminya selama dua hari terakhir,
makin dipikir dia makin termenung, akhirnya biar sudah bolak balik
pun tidak juga bisa terlelap nyenyak.
Cahaya lentera di dalam kamar belum dipadamkan, tiba-tiba
secara lamat-lamat dia melihat ada dua gulung asap putih
menyembur keluar dari lubang hidung Seebun Yan.
Timbul perasaan ingin tahu dihati kecil Lan Sui-leng, pikirnya, "
"Lucu dan menarik sekali kepandaian yang sedang dia latih,
kenapa dari lubang hidungnya bisa menyem-bur keluar dua gulung
asap putih" Asap itu mirip sekali dengan dua ekor ular putih yang
sedang bermain." Sebetulnya ingin sekali diraba, namun dia tidak berani
melakukannya. Mendadak diapun menjumpai dari ujung hidung sendiri seolah
ada asap putih yang sedang bergerak, pikirnya keheranan, "Kenapa
dari lubang hidungku bisa muncul asap putih juga?"
Perlu diketahui, asap putih yang timbul dari lubang hidung
Seebun Yan bergerak mengikuti tarikan napasnya, selama
pernapasan berlangsung, asap putih itu selalu menggumpal tanpa
buyar ke mana-mana, jadi mustahil kalau ada segumpal asap yang
bisa terhembus ke hadapan mukanya.
Sementara dia masih bimbang dan tidak habis mengerti, tiba-tiba
dadanya terasa sesak diikuti kepalanya menjadi pening dan matanya
sedikit berkunang kunang.
Masih untung kemarin dia sudah belajar mengatur pernapasan
dari Tonghong Liang, ilmu pernapasan itu dapat dilatihnya setiap
waktu setiap saat tanpa harus duduk bersila, begitu latihan
dilakukan, hawa murni ditubuhnya secara otomatis bereaksi dan
mengalir mengelilingi seluruh tubuh, tidak selang beberapa saat
kemudian semua rasa sesak telah hilang tidak berbekas.
Sesudah diperiksa dengan lebih seksama, dia baru dapat melihat
dengan jelas, ternyata asap tipis yang melayang dalam ruangan itu
berasal dari celah-celah di luar jendela. Sayang waktu itu daun
jendela sudah tertutup rapat hingga tidak dapat menyaksikan
keadaan di luar. Biarpun Lan Sui-leng kurang berpengalaman, namun dia sadar,
saat ini mereka telah berjumpa dengan kaum penyakit yang sedang
meniupkan bubuk pemabok. Dia mencoba melirik ke arah Seebun Yan, tapi gadis itu masih
duduk bersila bagaikan seorang pendeta tua, bukan saja sama
sekali tidak bergerak, dua gulung asap putih yang semula muncul
dari balik lubang hidung pun kini telah lenyap.
Ingatan pertama yang melintas dalam benaknya adalah


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membangunkan Seebun Yan, namun gadis itu bukannya sedang
tidur melainkan sedang berlatih ilmu, dia pun kuatir bila
mengganggu berlangsungnya latihan Seebun Yan, hal ini dapat
menyebabkan kerugian bagi kesehatan tubuhnya. Tanpa terasa
pikirnya, "Aku yang hanya memiliki tenaga dalam tingkat dasar pun
tidak sampai terpengaruh oleh bubuk pemabok itu. Dia dengan
tenaga dalam yang jauh lebih sempurna seharusnya tidak bakalan
terpengaruh juga." Kemudian dia pun membayangkan kembali pembicaraan para
Suhengnya mengenai pengalaman mereka menghadapi kaum
begundal dalam dunia persilatan.
"Kaum begal yang bekerja dengan mengandalkan bubuk
pemabok biasanya hanya kaum begundal kecil kecilan yang
kebanyakan tidak berilmu tinggi."
Berpikir begitu, rasa takutnya hilang seketika, pikirnya lebih jauh,
"Bisa jadi Seebun Yan sama sekali tidak pandang sebelah mata pun
terhadap kaum begundal kecil itu, kenapa aku tidak berpeluk tangan
lebih dulu, lihat saja apa yang hendak mereka lakukan?"
Berpikir begitu, secara diam diam dia pun bersembunyi di kolong
ranjang. Sifat kekanak-kanakannya timbul kembali, dia ingin tahu
dengan cara apa Seebun Yan akan mempercundang kawanan begal
itu. Selang beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar daun jendela
di buka orang, ketika sudah terbuka sebuah celah yang agak lebar,
kembali sebutir batu kerikil dilempar masuk melalui celah itu.
"Aaah, mungkin inilah yang dimaksud 'melempar batu bertanya
jalan'...." pikir Lan Sui-leng.
Oleh karena sang begal tidak tahu apakah penghuni kamar sudah
terlelap tidur atau belum, biasanya mereka akan melemparkan dulu
sebutir batu untuk memancing reaksi.
Ke semuanya ini sudah pernah didengar Lan Sui-leng dari
penuturan orang lain, baru malam ini dia membuktikan dengan
mata kepala sendiri. Ternyata Seebun Yan seolah-olah sama sekali tidak merasa,
bukan saja tiada reaksi bahkan sepasang mata pun sama sekali
tidak dibuka. Tidak lama kemudian dari luar jendela terdengar seseorang
berbisik, "Sekarang sudah boleh masuk?"
"Kita coba sekali lagi!"
Kali ini yang dilempar masuk adalah sebiji mata uang tembaga,
"Duuuk!" sambitan itu tepat mengenai kening Seebun Yan.
Gadis itu tetap memejamkan matanya tanpa bergerak,
kelihatannya dia sudah terlelap tidur amat nyenyak.
Sekarang Lan Sui-leng baru terperanjat, pikirnya, "Berbicara dari
tabiatnya yang pemberang, bila dia masih dapat merasakan, mana
sudi dirinya dihina dan dipermainkan orang semaunya" Ehmm....
jangan-jangan dia sudah terpengaruh bubuk pemabok?"
Dalam pada itu dari luar jendela kembali ter-dengar seseorang
berkata, "Sudah kalian dengar" Mata uang tepat mengenai jidatnya,
tapi dia sama sekali tidak bergerak, berteriak pun tidak. Masa kalian
belum bernyali untuk masuk ke dalam?"
"Untuk menghindari siasat busuk, menurut aku ada baiknya kita
tunggu sampai kedatangan lotoa sebelum bertindak," ujar orang ke
dua. "Siasat busuk apa" Budak itu sudah terbiasa di manja, mana mau
dia telan kerugian dengan begitu saja?"
"Aku masih tetap meras tidak tenang, bayangkan saja putri siapa
gadis itu" Mana mungkin dia termakan bubuk pemabok kita
segampang itu?" "Hmm, kau hanya tahu satu, tidak tahu dua."
"Apa maksudmu?"
"Setiap malam, setelah tiba saat seperti sekarang, dia harus
melatih sejenis ilmu."
"Ilmu apa?" "Aku sendiri pun tidak tahu ilmu apa yang sedang dilatih,
pokoknya di saat sia sedang berlatih ilmu tersebut, budak itu bakal
berada dalam keadaan tidak sadar, tidak bisa melihat, tidak bisa
mendengar, bergerak sedikitpun tidak bisa."
"Kalau begitu dia bukan terpengaruh oleh bubuk pemabok yang
kita lepas?" "Kita tidak bisa bilang begitu, tapi lebih berhati-hati toh tidak ada
salahnya." "Menurut aku, bila ingin bertindak lebih hati-hati, ada baiknya
menunggu sampai kedatangan lotoa, bukankah keselamatan kita
lebih terjamin?" "Kalau sedikit bahaya semacam inipun tak berani kau hadapi,
tidak kuatir lotoa mengumpat kita sebagai sampah busuk yang tidak
berguna" Lotoa memang bilang mau menyusul kemari, tapi siapa
tahu sampai kapan dia baru muncul."
"Dia sepertinya telah berkata, sebelum fajar menyingsing dia
pasti sudah menyusul kemari."
"Sebelum?" orang itu tertawa dingin, "waktu yang dia maksud
bisa lama bisa sebentar. Kalau dia baru muncul selewat kentongan
ke lima, memangnya kau akan menunggu sampai kentongan ke
lima" Masa kau lupa dengan perkataan yang mengatakan: semakin
panjang tidurmu, semakin banyak mimpi mu?"
Kelihatannya perkataan itu membuat rekannya takluk, katanya
kemudian, "Baik, baiklah, kalau begitu mari kita bongkar daun
jendelanya!" Setelah mendengar tanya jawab antara kedua orang itu, Lan Suileng
baru tersadar kembali, pikirnya, "Tidak heran kalau dia berkata,
bila ingin menghabisi nyawanya, inilah kesempatan yang terbaik.
Rupanya dia benar-benar sudah kehilangan kesadaran dan bukan
hanya bergurau saja. Kalau didengar dari nada pembicaraan kedua
orang itu, rasanya mereka sudah sangat mengenal dirinya, tapi
mengapa ingin mencelakai gadis itu?"
Sayang tidak ada waktu lagi baginya untuk berpikir panjang
karena orang di luar telah menjebol daun jendela dengan sepenuh
tenaga. Biarpun kasar ternyata Lan Sui-leng cukup cekatan, dia sadar
pihak lawan masih punya bala bantuan, sementara kekuatannya
seorang belum tentu mampu mengalahkan kedua orang itu, maka
disaat daun jendela itu sedang dibongkar, cepat-cepat dia
bersembunyi di kolong ranjang.
Tidak lama kemudian, kedua orang itu sudah membuka jendela
dan melompat masuk ke dalam ruang kamar.
"Cctt, cctt, cctt.... cewek ini sungguh cantik, dia benar-benar
seperti pohon yang tertidur di musim dingin, bikin hatiku berdebar
saja," ujar lelaki yang jangkung itu sambil berdecak.
Lelaki yang berperawakan kurus pendek segera tertawa
terkekeh, sahutnya, "Hahahaha.... sungguh tidak nyana kau pun
bisa bergaya seorang seniman."
"Memang kau sangka aku hanya bisa main kasar" Hmmm, jelek
jelek begini aku masih tahu bagaimana menyayangi kaum wanita."
"Ehh, ehhh.... kau jangan sembarangan! Bocah perempuan ini
kita tangkap karena akan dipersembahkan kepada cengcu!"
"Masa hanya mencium pun tidak boleh" Asal kau tidak bilang,
memangnya cengcu bisa tahu kalau aku telah mencium dan
menggerayangi tubuhnya?" Lan Sui-leng yang bersembunyi di
kolong ranjang segera melihat ada sepasang kaki berjalan
mendekati ke sisi ranjang, kemudian tampak kakinya setengah
menekuk, kelihatannya orang itu sedang membungkukkan tubuh
siap menciumi wajah Seebun Yan.
Menyaksikan hal ini, Lan Sui-leng segera berpikir, "Aku tidak
boleh membiarkan kaum begal itu mempermalukan enci Seebun."
Waktu itu pedangnya di letakkan diatas ranjang, namun dalam
sakunya masih menggembol sebilah pisau pendek, cepat dia
mencabut pisau itu dan dibacokkan keatas kaki orang tadi.
Selama hidup belum pernah dia membacok orang, sedikit banyak
timbul juga perasaan takut dihati kecilnya, tapi pikiran lain segera
melintas, "Kalau sampai kupotong kaki sebelahnya, pasti keadaan
orang itu sangat mengerikan, lagipula dia hanya berpikiran jahat,
rasanya tidak pantas memperoleh hukuman seberat ini."
Lelaki jangkung itu sudah membungkukkan badan dan siap
memeluk tubuh Seebun Yan, mimpi pun dia tidak menyangka kalau
di bawah kolong ranjang ada seseorang sedang menyergapnya.
Belum habis hitungan kedua lewat, Lan Sui-leng dengan
menggunakan gagang pisaunya telah menghajar lutut orang itu
keras-keras. Biarpun orang itu terhindar dari bencana kehilangan kaki sebelah,
tidak urung hantaman keras itu membuat tulang tempurung kakinya
patah dan retak. Saking sakitnya orang itu menjerit ngeri sambil melompat
mundur, jeritnya, "Ada setan'"
Dengan sigap Lan Sui-leng bergulingan di atas lantai kemudian
menerobos keluar dari kolong ranjang.
Tampaknya lelaki bertubuh pendek itu jauh lebih pandai
mengendalikan diri, katanya sambil tertawa, "Loji, tidak usah gugup,
yang mengacau hanya seorang budak kecil!"
Begitu Lan Sui-leng menerobos keluar dari kolong ranjang, dia
segera menangkapnya dengan ilmu Ki-na-jiu-hoat.
Sebetulnya kalau bicara soal ilmu silat, kedua orang itu tidak
lebih hanya jagoan silat kelas teri, kemampuan yang dimiliki Lan
Sui-leng tidak nanti bisa kalah dari mereka.
Tapi sayang gadis ini belum punya pengalaman dalam
menghadapi musuh, dia jadi gugup begitu melihat tangan besar
orang itu datang menangkapnya.
Dalam paniknya, baru bergebrak beberapa jurus tahu-tahu pisau
pendek itu sudah berhasil direbut lelaki pendek itu.
Cepat-cepat Lan Sui-leng menyelinap ke samping, dari bawah
bantal dia cabut keluar pedang andalannya, lalu bentaknya, "Cepat
enyah dari sini, kalau tidak segera menggelinding, jangan salahkan
kalau aku tidak sungkan sungkan lagi!"
Lelaki pendek itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... bagus sekali, kalau ingin bergulingan, ayoh kita
guling bersama!" "Aku suruh kau yang menggelinding pergi!" seru Lan Sui-leng
agak melengak. "Hahahaha.... masa kau tidak mengerti maksudku" Biarpun
umurmu masih rada kecil, pertumbuhan tubuhmu cukup matang
dan sempurna.... hehehe.... aku rada sayang untuk kelewat awal
mencicipimu!" Sekarang Lan Sui-leng baru tahu kalau lelaki itu sedang
mempermainkan dirinya, kontan dia mengumpat, "Kurangajar,
secara baik-baik kusuruh kau menggelinding pergi, sebaliknya kau
malah berani bicara kotor dihadapanku, lihat pedang!"
Setelah berhasil merebut pisau pendeknya dalam beberapa
gebrakan, lelaki pendek itu sama sekali tidak pandang sebelah
matapun terhadap gadis ini, malah ejeknya sambil tertawa, "Bagus,
bagus sekali, mau kulihat apa yang akan kau lakukan terhadap
diriku!" Lan Sui-leng benar-benar naik pitam, kali ini dia melancarkan
serangan tanpa kenal ampun lagi.
Di dalam ruang kamar itu terdapat sebuah ranjang besar, meja
kursi serta benda lain hingga sisa tempat yang luang sangat
terbatas. Untungnya gerakan tubuh Lan Sui-leng jauh lebih ringan dan
lincah ketimbang lawannya, lagipula ilmu pedang Bu-tong yang
dipelajarinya dapat digunakan sesuai dengan ruangan yang tersedia,
baik di lapangan luas ataupun dalam ruangan sempit, semua jurus
serangan dapat menghasilkan daya kekuatan yang sama.
Lelaki pendek itu sama sekali tidak menyangka kalau si nona
secara tiba-tiba bisa memiliki kepandaian yang amat hebat, kali ini
giliran dia yang termakan sebuah babatan pedang Lan Sui-leng,
padahal perta-rungan baru berlangsung beberapa gebrakan.
Sementara itu lelaki jangkung tadi sudah berkurang rasa sakitnya
setelah seputar luka dibubuhi obat luar, dengan penuh amarah
teriaknya, "Serahkan budak cilik itu kepadaku!"
Siapa tahu baru saja selesai bicara, dia sudah melihat rekannya
melompat keluar, dengan perasaan kaget tanyanya, "Kenapa kau?"
Sebuah mulut luka memanjang muncul di lengan kiri lelaki
pendek itu, masih untung hanya luka luar yang tidak terlalu parah,
biar begitu, kejadian ini cukup membuatnya amat terperanjat,
sahutnya, "Hati-hati, budak cilik itu memiliki kungfu yang cukup
hebat, tidak boleh dipandang enteng!"
Lelaki janggung itu tertawa dingin.
"Huuh, hanya seorang budak ingusan yang masih bau kencur,
mau sehebat apa dirinya?"
Biarpun di mulut dia berkata begitu, namun sikapnya berubah
sama sekali, kini dia tidak berani pandang enteng lawannya lagi,
sambil mencabut keluar sebatang tombak kecil, orang itu berdiri di
luar pintu kamar lalu dengan senjatanya dia lancarkan tusukan
berulang kali ke tubuh Lan Sui-leng.
Dibandingkan pedang milik Lan Sui-leng, tombak pendek itu
ukurannya jauh lebih panjang, baru menangkis dua kali, nona itu
sudah merasakan pergelangan tangannya kesemutan, hampir saja
pedangnya tidak mampu digenggam kencang.
Dengan perasaan menyesal dia segera berpikir, "Tahu begini,
seharusnya kukutungi kaki anjingnya sejak tadi."
Tentu saja lelaki jangkung itu tidak bakalan teringat akan
kebaikan hatinya itu, tombak pendeknya bagaikan curahan hujan
badai, melancarkan tusukan bertubi tubi, jengeknya sambil tertawa
dingin. "Budak cilik, berani amat kau membokong aku" Hmmm, biarpun
hari ini aku tidak maui nyawamu, paling tidak akan kubetot putus
semua urat kakimu!" Mendadak satu ingatan melintas lewat dalam benak Lan Sui-leng,
pikirnya, "Suhu sering berkata, kunci dari ilmu pedang perguruan
kita adalah menggunakan lembek untuk mengatasi keras, kenapa
kulupakan hal ini?" Biarpun ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dipelajari belum
dikuasai dengan baik, namun dia telah mempelajari serangkai ilmu
pedang ajaran gurunya, rupanya dengan mengambil makna dari
Thay-kek-kiam-hoat secara khusus Put-hui Suthay telah
menciptakan serangkai ilmu pedang Ji-hun-kiam-hoat (ilmu pedang
awan lembut) untuk diwariskan kepada muridnya ini.
Dia melakukan hal ini karena pertama, dalam perguruan Bu-tong
berlaku peraturan yang melarang ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat
diajarkan secara sembarangan kepada murid preman, kedua karena
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat mengandung arti yang kelewat
mendalam hingga orang dengan dasar yang kurang baik sulit untuk
mempelajarinya. Sekalipun ilmu pedang Ji-hun-kiam-hoat tidak sehebat Thay-kekkiam-
hoat, namun kemampuannya sama saja yakni menggunakan
kelembutan untuk mengatasi kekerasan.
Tampaknya napsu membunuh telah menyelimuti pikiran lelaki
jangkung itu, kembali tombaknya ditusuk ke depan bertubi-tubi,
semuanya dilakukan dengan garang dan telengas.
Melihat datangnya serangan yang begitu garang, Lan Sui-leng
segera melintangkan pedangnya dan menghantam pelan diatas


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batang tombak lawan. Tiba-tiba lelaki jangkung itu kehilangan keseimbangannya, tubuh
yang sedang merangsek maju otomatis terperosok makin ke depan,
"bruukkk!" tahu tahu dia sudah roboh terjungkal di hadapan Lan
Sui-leng. "Hey, jangan menyembah dihadapanku," ejek Lan Sui-leng
sambil tertawa. Saat tubuh lelaki jangkung itu roboh terjungkal, kebetulan
tangkai tombaknya menindih di atas tulang lututnya yang terluka,
menggunakan kesempatan itu Lan Sui-leng segera menginjaknya
kuat-kuat. Akibat injakan ini, tidak ampun tulang lutut lelaki jangkung itu
hancur berantakan, saking kesakitannya dia menjerit-jerit bagaikan
babi yang mau disembelih.
Lama-kelamaan Lan Sui-leng jadi tidak tega sendiri, sambil
menendangnya hingga menggelinding keluar dari pintu, dia tertawa
dingin tiada hentinya. "Dari tadi sudah kusuruh menggelinding, siapa suruh kau mencari
penyakit buat diri sendiri?"
Kondisi lelaki pendek itu jauh lebih baik dari pada rekannya, dia
hanya terluka di lengan kirinya, luka yang tidak mengganggu gerakgeriknya.
Cepat dia menanggapi, katanya, "Sayang aku justru ingin
mencari penyakit lagi."
Sikapnya jauh lebih tenang bila dibandingkan lelaki jangkung itu,
biarpun sudah kalah satu kali, namun dari situ diapun berhasil
meraba sampai dimana taraf kemampuan yang dimiliki gadis itu.
Kali ini dia bukan menghadapi musuhnya dengan tangan kosong,
melainkan pada saat yang bersamaan menggunakan dua jenis
senjata yang berbeda. Di tangan kanannya dia mainkan sebuah martil berantai
sementara tangan kirinya yang terluka memegang sebuah tameng
baja. Martil berantai itu bisa mengancam sasaran sejauh satu depa
lebih, jauh lebih panjang bila dibandingkan senjata tombak.
Begitu dia mainkan rantai tersebut, tidak ampun semua benda
yang berada dalam ruang kamar hancur berantakan, hanya ranjang
besar saja yang tidak sampai tersentuh.
Rantai bermartil itu termasuk senjata berat, sedang ilmu pedang
Ji-hun-kiam-hoat yang dilatih Lan Sui-leng belum mencapai tingkat
kesempurnaan, dalam keadaan begini tidak mungkin lagi baginya
untuk menghadapi lawan seperti waktu dia menghadapi lelaki
jangkung itu, menghadapi lawan dengan meminjam tenaga musuh.
Serangan gencar dari lelaki pendek itu memaksa Lan Sui-leng
tidak sanggup lagi mempertahankan pintu depan, selangkah demi
selangkah dia terdesak mundur hingga nyaris menempel di atas
dinding, begitu bermaksud meluruk maju, dia baru mengangkat
tamengnya dan merangsek maju lebih ke depan.
Selama pertarungan berlangsung, beberapa kali Lan Sui-leng
berusaha menyergap musuhnya dengan menggunakan ilmu pedang
Jit-cap-ji-jiu-lian-huan-toh-beng-kiam-hoat yang terkenal akan
kecepatannya, namun setiap kali berhasil dibendung oleh tameng
lawan. Karena melihat usahanya tidak membuahkan hasil, terpaksa dia
membiarkan pihak lawan merangsek masuk.
Dalam gugup dan paniknya, tiba-tiba satu akal cerdik melintas
lewat, cepat dia memadamkan lampu penerangan di dalam kamar,
kemudian ejeknya dingin, "Ayoh, masuklah!"
Betul saja, kali ini lelaki pendek itu tidak berani menerjang masuk
ke dalam ruangan, dia tahu gerakan tubuh Lan Sui-leng jauh lebih
cepat ketimbang dia, ilmu pedang pun cepat bagaikan sambaran
kilat, bila berada dalam gelap kemungkinan terluka baginya jauh
lebih besar. Sebaliknya bila dia memutar rantai martilnya secara ngawur,
kemungkinan besar tindakannya ini akan melukai Seebun Yan yang
sedang bersemedi diatas ranjang. Padahal perintah yang diperoleh
dari majikannya adalah menangkap hidup Seebun Yan.
Untuk sesaat suasana disana jadi kaku dan sepi karena lelaki
pendek itu tidak berani maju ke depan, sedang Lan Sui-leng yang
bersembunyi di sudut ruangan pun tidak berani sembarangan
bergerak karena kuatir terkena sabetan senjata martil lawan.
Di tengah keheningan yang mencekam, tiba tiba terdengar lagi
suara manusia. Suara itu muncul dari luar kamar.
Begitu mendengar suara orang itu, lelaki pendek itu dengan
perasaan girang bercampur malu segera berseru, "Han Toako, kami
sedang mengharap kedatanganmu. Baguslah setelah kau datang
sekarang." Orang yang dipanggil 'Han Toako" itu segera mendengus dingin.
"Hmm, aku sangka kalian telah berhasil, kenapa masih berdiri
dimuka pintu" Apa yang telah terjadi?"
"Musuh agak tangguh, malah loji sudah terluka."
"Tidak mungkin orang itu membohongi kita," ujar Han Toako,
"mana mungkin Seebun Yan mampu melukai loji" Dimana dia
sekarang" Apakah sudah melarikan diri?"
"Dia masih berada dalam kamar. Tapi yang melukai loji bukan dia
melainkan si bocah perempuan yang tinggal sekamar dengannya."
"Aku juga tahu kalau ada seorang bocah perempuan
menemaninya, tapi kungfu yang dimiliki bocah itu sangat biasa,
masa kalian tidak mampu menghadapi seorang budak ingusan yang
Cuma mengerti beberapa jurus ilmu kucing kaki tiga?"
Lan Sui-leng yang mendengarkan pembicaraan itu jadi
keheranan, pikirnya, "Orang itu baru saja tiba, darimana dia bisa
tahu kalau kungfu yang kumiliki hanya kungfu kucing kaki tiga"
"Hmm, kungfu yang dimiliki kedua orang saudara pun tidak
seberapa bagus, aku yakin kemampuanmu pun tidak seberapa
hebat. Kepandaianku memang kucing kaki tiga, tapi mending
daripada adikmu si kucing kaki tunggal. Lagipula belum tentu
kungfu yang kau miliki adalah kungci kucing berkaki empat!"
Manusia memang selalu lebih suka mendengarkan kata-kata yang
bagus ketimbang mendengarkan kata jelek, demikian pula dengan
Lan Sui-leng. Untung saja dia segera mendengar ada sepatah kata
yang enak didengar bergema ditelinganya.
"Toako, ilmu pedang yang dimiliki bocah perempuan itu cukup
tangguh, kelihatannya berasal dari partai Bu-tong."
"Aku tahu," Han Toako menyahut, "budak cilik itu tidak lebih
hanya murid Bu-tong-pay yang belum diangkat secara resmi, karena
bukan murid resmi, ilmu pedangnya pun tidak bakalan hebat!"
Baru saja mendengar kata kata yang 'sedap', lagi lagi Lan Suileng
harus mendengar perkataan Han Toako yang menganggap dia
tidak masuk hitungan, perasaan hatinya jadi amat tidak senang,
namun diapun merasa keheranan.
"Kenapa dia seperti tahu segalanya?" demikian pikirnya.
Kedua orang itupun merasa tidak suka hati, kalau benar Lan Suileng
seorang jagoan yang tidak masuk hitungan, padahal mereka
sudah dikalahkan bocah perempuan itu, bukankah hal ini sama
artinya kalau mereka adalah gentong nasi yang tidak berguna"
Melihat kedua orang itu tidak berbicara, Han Toako segera
mendengus dingin, katanya lagi, "Hmm! Lihat saja kehebatanku!"
Sambil berkata dia menyulut korek api dari sakunya dan
menambahkan, "Sebelum korek api ini padam, akan kuseret budak
kecil itu keluar dari kamarnya! Bila aku sampai tidak sanggup,
selanjutnya kalian tidak usah memanggil Toako lagi kepadaku!"
Begitulah dengan tangan sebelah membawa korek api sementara
tangan lain kosong, selangkah demi selangkah dia berjalan masuk
ke dalam ruangan. Waktu itu Lan Sui-leng berdiri di sudut dinding di belakang pintu
ruangan, hati kecilnya merasa mendongkol sekali karena dipandang
enteng lawan, maka begitu Han Toako melangkah masuk, dia
langsung melancarkan tusukan kilat.
Kali ini dia menyerang dengan menggunakan ilmu pedang Lianhuan-
toh-beng-kiam-hoat, kecepatannya betul-betul luar biasa.
Entah mengapa ternyata semua serangannya gagal total, bukan
saja tidak mampu melukai lawan bahkan menyentuh tubuh
lawannta pun tidak mampu.
Han Toako segera mengibaskan korek apinya, dengan tangan
kosong dia merebut pedang di tangan bocah perempuan itu.
Ki-na-jiu-hoat yang digunakan benar-benar lihay, Lan Sui-leng
merasakan desingan angin tajam menyergap tiba, bukan saja ilmu
pedangnya tidak sanggup dikembangkan, bahkan nyaris
pergelangan tangannya kena dicengkeram lawan.
Cepat Lan Sui-leng bergeser ke samping sambil mengubah
posisinya, mata pedang sedikit miring ke samping, "Sreeeet!" dia
babat sebagian kecil korek api itu, namun gagal melukai lawan,
cahaya api pun tidak sampai padam.
Dalam pada itu Han Toako tercengang juga ketika menyaksikan
ke tiga jurus serangan ki-na-jiu-hoat nya bukan saja gagal
menangkap lawan, sebaliknya korek apinya malah terbabat
sebagian, pikirnya cepat, "Tidak heran kalau mereka menderita
kerugian besar di tangan budak kecil ini."
Sambil tertawa dingin segera ejeknya, "Ternyata dugaanku tidak
keliru, beberapa jurus ilmu pedangmu benar-benar jelek dan tidak
becus. Hati-hati, dalam jurus berikutnya aku tidak bakal mengalah
lagi." Padahal perkataan itu sengaja dia ucapkkan hanya untuk
menutupi kegagalannya membekuk si nona dalam serangannya,
sama sekali bukan ditujukan khusus untuk Lan Sui-leng.
Sebaliknya Lan Sui-leng sendiripun mulai ketakutan, terutama
setelah melihat serangan tangan sebelah yang dilakukan pihak
lawan nyaris membuat permainan pedangnya tidak sanggup
berkembang. Namun diapun enggan mengaku kalah, terpaksa sambil keraskan
kepala umpatnya, "Tidak tahu malu, kapan kau telah mengalah
kepadaku" Lebih baik kau sendiri yang berhati-hati, bacokan
pedangku tadi hanya memangkas sedikit obor apimu."
Dasar gadis pintar, begitu cepat dia berhasil mempelajari cara
mengibul orang lain, walaupun serangannya gagal memadamkan api
lawan, tapi dia berlagak seolah memang sengaja berbuat begitu.
Han Toako tidak berani mengibul lagi, kalau tadi dia masih
sesumbar dengan mengatakan akan berhasil membekuk lawannya
sebelum obor dia padam, tapi setelah mencoba beberapa gebrakan,
sadarlah lelaki itu bahwa bukan pekerjaan gampang untuk
membekuk gadis itu, kalau pun berhasil menawannya, paling tidak
dia harus bertarung puluhan jurus lagi, berarti tak ada jaminan
obornya sudah padam lebih dulu.
Dalam keadaan begini dan demi menjaga nama baiknya,
terpaksa dia buang sisa obornya ke tanah.
Sangat kebetulan lemparannya itu persis terjatuh disisi lentera
yang terletak dekat ranjang, begitu lentera itu menyala, sisa obor
pun mulai terbakar diatas meja.
Tapi berhubung sumber api berasal dari minyak dalam lentera,
kobaran api pada obor itupun melambat. Ini berarti dia memiliki
kesempatan yang cukup untuk membekuk Lan Sui-leng sebelum
obornya benar benar padam.
Lan Sui-leng jadi nekad, dalam keadaan begini buru-buru dia
keluarkan jurus Pek-hok-liang-ci yang belum lama berhasil
dipelajarinya untuk menyerang pihak lawan.
Sewaktu berada di gunung Bu-tong tempo hari, dia sudah pernah
bertarung melawan adiknya yang menggunakan jurus Pek-hokliang-
ci, kemudian setelah beberapa hari berselang, sewaktu
Tonghong Liang bertarung melawan Bouw It-yu, lagi-lagi dia telah
menyaksikan kehebatan dari jurus serangan itu, baginya
pengalaman yang berulang kali mendatangkan pemahaman yang
lebih mendalam baginya atas penggunaan jurus tadi.
Ketika Lan Sui-leng melambung sambil melancarkan bacokan,
Han Toako segera mengancam sepasang matanya dengan ke dua
jari tangan, sementara lengan kanan melingkar, lima jarinya sedikit
ditekuk bagai cakar burung elang dan mencengkeram urat nadinya.
Jurus serangan yang pertama hanya jurus tipuan, tujuannya
untuk mengacau perhatian musuh, sedang jurus serangan yang
dilepas belakangan barulah jurus yang sesungguhnya, tujuannya
hendak memaksa gadis itu melepaskan senjatanya.
Adapun jurus serangan yang digunakan adalah ilmu Ki-na-jiuhoat
andalannya, begitu hebat ilmu cengkeramannya ini, jangan lagi
musuh dengan kungfu yang lebih rendah, menghadapi orang
dengan kemampuan yang seimbang pun belum tentu mereka
sanggup menangkalnya. Dan sekarang dia telah mengeluarkan jurus andalannya untuk
menghadapi seorang 'budak cilik' yang kungfunya jauh lebih lemah
ketimbang kemam-puannya, di dalam anggapannya serangan itu
pasti akan berhasil melumpuhkan lawannya.
Kedua belah pihak sama-sama menggunakan gerakan tercepat
untuk saling menjatuhkan.
"Traaangg....!" diiringi suara dentingan nyaring, betul saja,
pedang dalam genggaman Lan Sui-leng terlepas dari
genggamannya, namun bukan berpindah ke tangan Han Toako
melainkan terbang melenceng ke samping dan menancap di atas
ranjang. Sebagaimana diketahui, Seebun Yan sedang duduk bersila diatas
ranjang, pedang itu kebetulan persis menancap tepat di
hadapannya. Dari mata pedang malah masih terlihat butiran darah
segar yang menetes ke bawah.
Rupanya niat Han Toako semula adalah ingin merampas pedang
itu dari tangan lawannya, siapa sangka daya serangan yang
terpancar dari jurus Pek-hok-liang-ci ini jauh di luar dugaannya,
meski pada akhirnya dia berhasil memaksa Lan Sui-leng untuk
melepaskan senjatanya, namun tidak urung dua jari tangannya kena
tersayat hingga putus. Waktu itu Lan Sui-leng masih belum tahu kalau sayatan
pedangnya berhasil memapas kutung dua jari tangan lawan, dia
sangka orang itu berhasil merebut pedangnya dan kini berniat
mencelakai Seebun Yan, dalam paniknya cepat ia berteriak, "Hey,
aku sedang berkelahi denganmu, buat apa kau melukai orang lain!"
Siapa sangka justru teriakan itu malah mengingatkan Han Toako.
Sebagaimana diketahui, lelaki she Han itu sudah kehilangan ke
dua jari tangannya, bila dia harus bertarung lagi melawan Lan Suileng,
belum tentu kemenangan bisa dia raih dengan gampang.
Apalagi jika waktu semakin berlarut, bisa jadi setiap saat Seebun
Yan akan mendusin kembali dari semedinya.
Begitu tersadar akan hal itu, Han Toako segera mengambil
langkah nyata. Rencananya sekarang: Di samping merebut pedang
musuh, dia harus secepatnya merebut pula sasarannya.
Dengan kecepatan paling tinggi dia harus merampas dulu pedang
milik Lan Sui-leng, kemudian menggunakan kesempatan di saat
Seebun Yan belum mendusin, dia akan menangkapnya sebagai
sandera. Dalam keadaan begini, dia sudah tidak perlu merasa takut lagi
menghadapi serangan balasan dari si budak kecil.
"Apalagi budak itu sudah kehilangan senjata, rasanya tidak perlu
aku turun tangan sendiripun, kemampuan lo-sam sudah cukup
untuk menghadapinya."
Perhitungan rencananya boleh dibilang bagus dan sempurna,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sayang sekali ternyata telah terjadi suatu kejadian diluar dugaan,
kejadian kecil yang membuat seluruh rencananya gagal total.
Kalau dibilang kejadian 'diluar dugaan', seharusnya dia dapat
berpikir pula sampai kesitu, yakni waktu yang dibutuhkan Seebun
Yan untuk berlatih diri. Di saat dia hendak mencabut pedang yang menancap di hadapan
Seebun Yan, saat itulah gadis itu telah menyelesaikan latihannya
dan membuka mata. Begitu membuka mata dan menyaksikan ada seorang lelaki
berdiri di depan ranjang, Seebun Yan jadi amat terperanjat, watak
nona nya langsung kambuh....
"Ploook, plook, ploook!" secara beruntun dia melayangkan
tempelengan berulang kali, membuat sepasang pipi Han Toako
kontan merah membengkak. Hardiknya, "Lelaki bau dari mana yang
berani kemari" Hmm, enyah kau dari sini!"
Kalau tadi lelaki she-Han itu sanggup menghadapi serangan
pedang Lan Sui-leng dengan tangan sebelah, maka sekarang dia
seolah gagu dan bodoh, jangankan kabur, menghindari ke empat
buah tempelengan itupun tidak sanggup, hal ini membuat Lan Suileng
yang menyaksikan dari tepi ruangan jadi berdiri melongo.
Ke empat kali tempelengan itu benar benar amat keras dan
berat, separuh wajah lelaki she-Han itu kontan merah membengkak,
giginya copot dan darah segar meleleh keluar dari mulutnya.
Begitu diperintahkan untuk menggelinding pergi, mana berani dia
tidak segera menggelinding"
Waktu itu lelaki jangkung yang tulang lututnya hancur baru saja
bangkit berdiri dengan bantuan senjata tombaknya yang digunakan
sebagai tongkat, ketika melihat 'Toako' nya kabur dengan
sempoyongan, tidak terlukis rasa terkejutnya, buru-buru dia
bertanya, "Toako, kenapa kau?"
Dalam keadaan begini, mana berani Han Toako banyak bicara,
apalagi menuturkan pengalaman yang baru saja dialami, namun
tidak urung dia berteriak juga memperingatkan saudara saudaranya.
"Waktu sudah lewat, cepat kabur, cepat kabur!"
Apa maksud 'waktu sudah lewat'" Lan Sui-leng tidak mengerti
tapi Seebun Yan tahu dengan jelas sekali.
Setelah menarik napas dalam dalam, Seebun Yan pun bertanya
kepada Lan Sui-leng, "Dalam ruang kamar ini terendus bau dupa
pemabok, apakah bajingan tengik itu yang melepaskan?"
"Benar, dua orang anteknya yang melakukan."
"Mau apa mereka datang kemari?"
"Mendengar dari perkataan mereka, kelihatannya hendak
menangkap dirimu!" Sebetulnya Seebun Yan sudah menduga beberapa bagian, tapi
begitu mendapat bukti dari mulut Lan Sui-leng, kontan hawa
amarahnya memuncak. Sambil mencabut pedang yang menancap di
hadapannya dia membentak nyaring, "Bajingan tengik, kalian masih
ingin kabur!" Di tengah bentakan keras, pedangnya dengan dilapisi cahaya
pelangi telah meluncur ke depan.
Lelaki yang bernama Han Toako itu lari paling depan menyusul di
belakangnya adalah lelaki bertubuh pendek.
Terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati bergema
memecahkan keheningan, tahu-tahu pedang itu sudah menghujam
dari belakang punggung lelaki pendek itu hingga tembus dari depan
dadanya, bukan hanya begitu bahkan pedang tersebut masih
meluncur ke depan dengan kekuatan yang sama sekali tidak
berkurang. Saat itu Han Toako sudah kabur hingga mencapai ujung
halaman, baru saja dia melompat ke atas dan kaki sebelah baru
menginjak di atas pagar, tahu-tahu pedang yang meluncur tiba itu
sudah menancap dari belakang punggungnya dan memantek
tubuhnya di atas dinding.
Dalam pada itu si lelaki jangkung yang tulang lututnya telah
dihancurkan oleh Lan Sui-leng itu sedang kabur dengan bantuan
senjata tombaknya sebagai pengganti tongkat, melihat lo-toa dan
lo-sam mati terbantai, dia jadi ketakutan setengah mati.
Sadar kalau tidak mungkin lagi baginya untuk kabur, terpaksa dia
membalikkan tubuhnya, menjatuhkan diri berlutut dan merengek
dengan penuh belas kasihan, "Nona, maafkan hamba.... maafkan
hamba.... memang hamba sudah buta matanya.... ampunilah nyawaku!"
Waktu itu Seebun Yan sudah melompat turun dari ranjang, ketika
ujung kakinya menyentuh pisau pendek yang berhasil dipukul jatuh
oleh lelaki pendek itu dari tangan Lan Sui-leng, dia segera mencukil
dengan ujung kakinya. Begitu berhasil memegang pisau pendek, dengan suara dingin
ujarnya, "Kalau matamu buta, dosamu bisa diampuni, tapi kalau
hatimu yang buta, jangan harap dosa itu bisa diampuni. Kau ingin
minta ampun dariku" Baiklah, akan kupenuhi harapanmu itu!"
Begitu pisau pendek itu meluncur ke depan, percikan darah pun
berhamburan kemana-mana, tahu tahu senjata itu sudah menancap
persis diatas tenggorokan lelaki jangkung itu.
Lan Sui-leng yang menyaksikan semua kejadian itu hanya bisa
berdiri termangu-mangu, pikirnya, "Bukankah lelaki jangkung itu
sudah berlutut minta ampun" Biar tidak kau bunuhpun dia bakalan
cacat seumur hidup, buat apa musti berbuat kejam terhadapnya?"
Kelihatannya Seebun Yan dapat membaca suara hatinya, cepat
dia berkata, "Kelihatannya kau sedang menyalahkan aku kenapa
bertindak keji terhadapnya" Padahal kenapa tidak kau bayangkan,
seandainya aku tidak sadar tepat pada waktunya, apa pula yang
bakal mereka lakukan terhadap kita berdua" Betul, mungkin saja
mereka tidak bakal membunuhmu, tapi kalau sampai diperkosa atau
dipermalukan orang-orang itu, bukankah jauh lebih tersiksa dan
mengerikan ketimbang mati terbunuh?"
Tanpa terasa Lan Sui-leng membayangkan kem-bali sepasang
mata lelaki jangkung yang cabul dan menjijikkan itu, tubuhnya
kontan bergidik. Sekalipun di hati kecilnya dia tetap tidak setuju
dengan cara keji Seebun Yan, namun kini dia tidak berani lagi
membantah. "Tampaknya mereka adalah orang orang yang kau kenal,
mengapa tidak di interogasi lebih dulu sebelum dijatuhi hukuman
mati?" tanya Lan Sui-leng.
"Dari mana kau tahu kalau mereka adalah orang orang yang
kukenal?" tanya Seebun Yan.
"Aku menduganya dari nada pembicaraan mereka, bukan saja
orang-orang itu mengetahui namamu, mereka pun tahu kalau setiap
malam pada saat seperti sekarang kau harus berlatih tenaga dalam,
mereka juga tahu setiap kali sedang berlatih maka keadaanmu tidak
bedanya dengan pendeta yang sedang bersemedi, sama sekali tidak
dapat merasakan kejadian di sekelilingmu."
"Dalam hal ini akupun merasa keheranan, tapi rasanya belum
pernah kujumpai orang orang itu sebelumnya, coba nanti kuperiksa
lagi dengan seksama, sekarang gantilah dulu pakaianmu."
Secara beruntun Lan Sui-leng telah bertempur melawan tiga
orang, kini keadaannya amat kusut, bukan saja rambutnya awutawutan,
pakaian yang dikenakan pun dipenuhi noda darah. Seebun
Yan segera memberikan satu stel pakaian baru dan memintanya
untuk tukar pakaian. Sambil menunggu rekannya tukar pakaian, kembali Seebun Yan
berkata, "Biarpun bubuk pemabok yang mereka gunakan tidak
terlalu istimewa, namun dibandingkan dengan pelbagai bubuk
pemabok yang seringkali digunakan dalam dunia persilatan, bubuk
jenis itu terhitung jenis yang cukup lihay. Benar-benar tidak
kunyana kalau kaupun tidak sampai mabok dibuatnya."
"Seandainya peristiwa ini kujumpai dua hari berselang, dapat
dipastikan aku sudah mabok sejak dulu dulu."
"Kenapa?" "Kalau dibicarakan sebenarnya merupakan satu keberuntungan
bagiku, kemarin malam, baru saja Tonghong Toako mengajarkan
sedikit ilmu mengatur pernapasan kepadaku, dia ajarkan ilmu itu
agar aku bisa melawan hawa dingin yang menggigilkan di malam
hujan badai. Tadi, dengan cara itu pula aku melawan pengaruh
dupa pemabok." "Tidak heran kalau kau selalu memujinya, ternyata dia memang
baik sekali kepadamu. Hanya saja ilmu yang dia ajarkan kepadamu
tidak lebih hanya ilmu tenaga dalam tingkat rendahan."
Lan Sui-leng sangat terkejut, serunya tidak tahan, "Baru ilmu
tenaga dalam tingkat rendah saja sudah mendatangkan manfaat
sebesar ini, apa jadinya kalau berhasil mempelajari tenaga dalam
tingkat tinggi" Enci Seebun, apakah tenaga dalam yang kau latih
sama seperti yang dilatih Tonghong Toako?"
"Persis sama." "Waaah, bukankah ilmu tenaga dalam kalian jauh lebih hebat
daripada Bu-tong-pay kami?"
"Aku tidak mengerti tentang tenaga dalam aliran Bu-tong-pay,
tapi aku tahu tenaga dalam dari Bu-tong-pay dipandang umat
persilatan sebagai ilmu kaum lurus. Apa yang kau katakan belum
tentu benar. Menurut dugaanku, Tonghong Toako memang seorang
guru yang pandai, tapi dia bisa mengajarkan murid yang hebat
seperti kau, hal ini dikarenakan dia sudah memahami lebih dulu
rahasia dan kunci dari ilmu tenaga dalam aliran Bu-tong-pay."
Setengah mengerti setengah tidak Lan Sui-leng manggutmanggut.
Kembali Seebun Yan berkata, "Untung sekali ada kau kali ini, aku
pasti akan bayar hutang budi ini. Bila ada waktu senggang, kau
boleh membeberkan semua kungfu yang pernah kau pelajari di
gunung Bu-tong serta ilmu tenaga dalam yang diajarkan Tonghong
Toako di hadapanku, nanti akan kuajarkan juga ilmu ilmu silat
tingkat tinggi agar kemampuan silatmu meningkat lebih hebat."
"Berbicara dari keadaan situasi tadi, sebetulnya kita adalah
senasib sependeritaan, jadi bukan aku berniat membantumu untuk
menghadapi kawanan begal itu, jadi kau tid ak perlu membalas budi
kepadaku." "Aku sendiripun berbuat begitu bukan karena ingin membalas
budi, kau toh sudah tahu, setiap kali sedang berlatih ilmu maka aku
akan kehilangan kesadaran, bisa jadi dikemudian hari kita bakal
menghadapi lagi kejadian kejadian semacam ini. Bila kaupun bisa
memiliki kungfu hebat, bukankah dengan kemam-puanmu, kau bisa
melindungi keselamatan jiwaku?"
Mendengar penuturan itu, timbul perasaan ingin tahu di hati kecil
Lan Sui-leng, segera tanyanya, "Aku yang berlatih ilmu pernapasan
tingkat rendahan saja dapat melawan pengaruh dupa pemabok,
sementara kau yang melatih ilmu tingkat tinggi mengapa justru
kehilangan ingatan" Lantas apa keguna-an ilmu tenaga dalam
tingkat tinggi itu?"
"Kondisi kehilangan kesadaran yang kualami hanya sementara
sifatnya, di kemudian hari tentu saja banyak sekali manfaatkan,"
kata Seebun Yan sambil tertawa, "misalkan saja diriku tadi, justru
karena aku telah mempelajari ilmu tenaga dalam ini, maka kekuatan
hawa murniku jadi amat dahsyat, aku bisa menggunakan sebilah
pedang untuk sekaligus menghabisi nyawa dua orang."
"Aku hanya ingin mempelajari ilmu kepandaian yang bisa
menaklukan musuh, bukan ingin membunuh orang."
"Budak bodoh, bila berhasil mempelajari ilmu sakti, mau
membunuh atau tidak, itu masalahmu sendiri yang bisa diatur
sesuai keinginan. Tapi bila ilmu yang kau pelajari kelewat cetek,
bukan saja kau tidak mampu membunuh lawan, malahan pihak
lawanlah yang akan membunuhmu, coba bagaimana kalau sampai
terjadi begitu?" Lan Sui-leng segera manggut-manggut.
"Masuk diakal juga perkataanmu," katanya.
"Jadi kau bersedia belajar ilmu dariku?"
Lan Sui-leng tidak langsung menjawab, dia berpikir sebentar
kemudian baru berkata, "Kalau kau ajari aku, akupun belajar. Cuma,
aku tidak mau memanggil suhu kepadamu, karena...."
Kontak Seebun Yan tertawa cekikikan, tukasnya, "Hey, siapa
yang ingin mengambil murid" Aku pun tahu kalau kau sudah
mempunyai guru lain."
"Belum pernah diangkat secara resmi, dia hanya mau mengakui
diriku sebagai murid tidak resmi."
"Usiaku hanya beberapa tahun lebih tua darimu, bila bersedia,
bagaimana kalau kita saling menyebut sebagai kakak beradik?"
Lan Sui-leng kegirangan setengah mati.
"Asal kau tidak keberatan, tentu saja aku bersedia," sahutnya.
Berbicara sampai disitu, dia seperti ada yang dipikirkan, sepasang
matanya memandang Seebun Yan tanpa berkedip.
"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" ujar Seebun Yan kemudian.
"Apakah semua orang yang sedang berlatih ilmu pernapasan
tingkat tinggi, dia bakal kehilangan kesadaran" Aku pun pernah
melihat guruku sedang berlatih ilmu pernapasan, biarpun dia tidak
suka diganggu orang lain, tapi apa pun yang orang lain bicarakan,
dia masih dapat mendengarnya dengan jelas. Usianya jauh lebih tua
ketimbang dirimu, apakah tenaga dalam yang dilatihnya masih kalah
jauh bila dibandingkan dengan ilmu pernapasan tingkat tinggi mu?"
"Kehebatan dari ilmu silat terletak pada pemahaman, tinggi
rendahnya tenaga dalam pun tidak berpengaruh pada besar kecilnya
usia. Cuma kau jangan salah paham, aku bukan mengatakan kalau
tenaga dalam gurumu masih kalah dibandingkan aku, semua aliran
tenaga dalam memiliki ciri masing-masing, ada sementara tenaga
dalam meski sudah dilatih hingga mencapai tingkat yang paling
sempurna pun dia masih bisa merasakan keadaan di sekelilingnya."
"Lantas tenaga dalam jenis yang mana terhitung paling tangguh
dan hebat?" "Setiap perguruan mempunyai cara yang berbeda, karena itu sulit
untuk membandingkan aliran mana yang lebih hebat."
Sebetulnya Lan Sui-leng masih belum begitu mengerti, tapi dia
merasa kurang leluasa untuk bertanya lebihjauh.
Darimana dia tahu kalau penjelasan dari Seebun Yan meski
bukanlah penjelasan yang ngawur, namun segala sesuatunya belum
tentu dia berbicara menurut fakta dan kenyataan.
Hal ini disebabkan Seebun Yan sama seperti Tonghong Liang,
menyimpan rencana pribadi yang tidak ingin diketahui orang.
Ternyata tenaga dalam yang sedang dia latih saat ini merupakan
perpaduan antara tenaga dalam aliran lurus dan aliran sesat,
walaupun cepat sekali hasilnya namun menyimpan bibit bencana
yang amat berbahaya, ketika dilatih hingga mencapai tingkatan
paling puncak, kalau sedikit saja kurang berhati-hati, niscaya akan
muncul gejala Cau-hwee-jip-mo (jalan api menuju neraka).
Dia minta Lan Sui-leng untuk menerangkan pelajaran kungfu
yang dipelajarinya dari Bu-tong-pay, tujuannya pun sama seperti
tujuan Tonghong Liang, ingin memahami seluk beluk ilmu silat aliran
Bu-tong-pay, biarpun gadis itu baru pemula, namun baginya akan
mendatangkan manfaat yang luar biasa.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Lan Sui-leng telah
berganti pakaian, maka Seebun Yan pun berkata, "Mari kita tengok
keluar." Mayat pertama yang tergeletak diatas lantai adalah mayat lelaki
jangkung itu, dia terkapar dengan wajah menghadap ke atas, pisau
pendek milik Lan Sui-leng tampak tertancap pada tenggorokannya.
Di luar halaman ada cahaya rembulan, walaupun tidak terlampau


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terang namun terlihat dengan jelas lubang luka berdarah yang
menganga diatas teng-gorokan orang itu.
Lan Sui-leng merasakan jantungnya berdebar keras, dia tidak
berani menyaksikan adegan seram yang ada dihadapannya, buruburu
kepalanya berpaling ke arah lain.
Dengan seksama Seebun Yan memeriksa wajah orang itu,
kemudian setelah mencabut pisau pendek itu dan membersihkan
noda darahnya, dia serahkan kembali kepada Lan Sui-leng sambil
berkata, "Aku tidak kenal dengan orang ini."
Mayat kedua adalah jenasah lelaki pendek itu, pedang telah
menembusi punggung hingga jebol dari dadanya, dia roboh
tertelungkup di atas tanah.
Di atas punggungnya muncul sebuah lubang luka yang
menganga lebar, darah segar masih mengalir keluar dengan
derasnya. Kali ini Lan Sui-leng menutup wajahnya rapat rapat, dia makin
tidak berani menyaksikan adegan itu.
Kembali Seebun Yan membalikkan mayat itu, setelah diperiksa
sebentar, lagi lagi dia menggeleng, "Aku pun tidak kenal dengan
orang ini." Mayat ke tiga adalah jenasah Han Toako, dia terpantek diatas
dinding pekarangan. Lan Sui-leng betul-betul merasa mual dan ingin tumpah,
pintanya, "Tolong jangan kau turunkan jenasah itu, aku takut!"
"Aku tidak perlu lagi meneliti wajah orang ini," kata Seebun Yan,
"sewaktu berada di kamar tadi aku telah melihatnya dengan jelas."
Sambil berkata dia melepaskan ikat pinggangnya, lalu dengan
gerakan Ui-hu-jiong-siau (angsa kuning menembus langit) tubuhnya
melambung ke udara, ikat pinggangnya digetarkan ke muka
menggulung pedang yang menancap ditubuh mayat itu, begitu
disentak, pedang tersebut langsung tergulung lepas.
Sambil menyerahkan kembali pedang itu ke tangan Lan Sui-leng,
katanya, "Sungguh tidak enak, aku telah menodai senjata
andalanmu." "Aku sudah hampir muntah, ayoh kita cepat tinggalkan tempat
berdarah ini." "Sewaktu untuk pertama kalinya membunuh orang dulu, hatiku
pun merasa amat takut. Tapi lama kelamaan jadi biasa juga. Budak
bodoh, tampang macam kau juga ingin belajar berkelana dalam
dunia persilatan, mana bisa kau menghadapi orang mati."
"Bagiku, lebih baik tidak ada kebiasaan seperti ini!" seru Lan Suileng
sambil buru-buru keluar dari halaman, kemudian serunya lagi,
"Aneh! Tidak seorangpun diantara mereka yang kau kenal, kenapa
mereka justru seolah kenal sekali dengan dirimu?"
"Aaah benar!" "Ada apa" "Masih ada satu kejadian lagi yang lebih aneh, sudahkah kau
berpikir sampai disitu?"
"Cepat beritahu kepadaku, aku malas untuk berpikir."
Seebun Yan gelengkan kepalanya berulang kali, katanya, "Jika
dikemudian hari kau masih ingin berkelana dalam dunia persilatan,
lebih baik cobalah untuk sering menggunakan otakmu, apa jadinya
kalau segala sesuatu malas berpikir!"
Lan Sui-leng termenung dan berpikir bentar, ujarnya kemudian,
"Beberapa orang bandit itu sudah membuat keonaran besar di
tempat ini, heran, kenapa pemilik penginapan belum juga
menampakkan diri hingga sekarang?"
"Iya, benar juga, bukankah kejadian ini malah bertambah aneh?"
"Mungkinkah dia sudah dibunuh bandit-bandit itu?"
"Aku rasa tidak mungkin, sebab walaupun kungfu yang dia miliki
tidak terhitung tinggi, namun masih jauh lebih hebat bila
dibandingkan ke tiga bandit busuk itu."
"Kalau memang begitu, mengapa hingga kau berhasil membunuh
kawanan bandit itupun belum nampak dia munculkan diri"
Bukankah kau sudah kenal lama dengan dirinya?"
"Benar juga, itulah sebabnya akupun merasa bertambah heran,
selain itu, tamu yang menginap di rumah penginapan ini kan bukan
hanya kita berdua, ke mana perginya tamu tamu yang lain" Ehmm,
daripada menduga yang bukan-bukan, lebih baik kita segera pergi
menengok." Dengan membawa penerangan dia mulai mendobrak kamar tidur
pemilik losmen, ternyata selimut diatas ranjang masih terasa
hangat, namun sang pemilik losmen sudah tidak nampak lagi batang
hidungnya. Dalam losmen itu terdapat enam, tujuh buah kamar, namun
ketika semua kamar didobrak, tidak nampak seorang tamu pun
disitu. Akhirnya tibalah gadis itu di kamar tidur yang di tempati
pembantu bisu tuli, kata Seebun Yan kemudian, "Bila dugaanku
tidak keliru, semestinya pelayan tua itupun sudah ikut kabur."
Siapa sangka begitu pintu dibuka, di luar dugaan, pelayan tua itu
masih terlihat berada dalam kamar.
Hanya sayangnya dia sudah bukan seorang yang hidup, tapi
orang mati! Tubuh pelayan tua itu terkapar dengan seluruh tubuh
berpelepotan darah, bahkan lantai pun penuh dengan noda darah.
Tapi di samping mayat terlihat ada dua huruf besar yang ditulis
dengan darah, "Lu Juan". Huruf itu ditulis miring tidak beraturan.
Kalau huruf "Lu" ditulis sangat besar maka huruf "Juan" hanya
terdiri dari tiga guratan memanjang, selain kurus garisnya pun amat
kecil, bahkan hanya setengah dari huruf "Lu" itu sendiri.
Sambil menghembuskan napas panjang gumam Seebun Yan,
"Akhirnya berhasil juga ditemukan titik terang."
"Dimana?" "Ada dihadapanmu. Makanya aku bilang apa, kalau ingin
berkelana dalam dunia persilatan, nyali kecil mah tidak bakalan
sanggup. Misalkan saja titik terang ini, kalau kau tidak berani
melihatnya, mana mungkin tulisan itu bisa kau temukan?"
"Maksudmu tulisan Lu Juan itu?"
"Bukan Lu Juan, tapi Lu Sun. Mungkin karena huruf Lu terdiri dari
banyak guratan maka sewaktu selesai menulis huruf Lu, dia sudah
kehabisan tenaga hingga tidak mampu merampungkan huruf Sun.
Ketika tertulis setengah, dia sudah keburu menghembuskan napas
terakhir." "Darimana kau bisa tahu kalau itu huruf Sun?"
"Lu Sun adalah pemilik losmen ini. Sesaat sebelum meninggal,
dia sengaja menulis nama ini, tujuannya tidak lain adalah ingin
memberitahukan kepadaku kalau pembunuh yang
ingi)$Berbicara sampai disini kembali dia menghela napas panjang,
lanjutnya, "Ternyata dugaanku keliru besar, pada mulanya aku
masih mengira dia telah bersekongkel dengan kaum pencoleng
untuk mencelakaiku. Sebab dia tahu kalau setiap malam pada saat
seperti ini aku harus berlatih ilmu pernapasan. Tapi aku tidak
mengira kalau ternyata Lu Sun pun tahu."
"Dia adalah pelayan tuamu, mengapa justru dia yang pertama
tama kau curigai?" "Karena bisu tulinya bukan dibawa dari lahir, ayahku yang
menusuk kendang telinganya hingga tuli dan melolohnya dengan
obat hingga bisu!" "Aaah!" kontan Lan Sui-leng menjerit keras dan untuk sesaat
tidak sanggup berkata-kata.
"Apakah kau merasa ayahku kelewat kejam" Padahal sikap ayah
terhadapnya sudah kelewat ramah dan penuh welas kasih," kata
Seebun Yan. "Kesalahan apa yang telah dia lakukan?"
"Sebetulnya tidak melanggar kesalahan apa-apa, hanya dulunya
dia adalah musuh bebuyutan ayahku.
Hampir semua orang yang berani bermusuhan dengan ayahku
tidak dapat lolos dari kematian, tapi dia adalah pengecualian, sebab
setelah terjatuh ke tangan ayahku, nyawanya berhasil lolos dari
lubang kematian." "Mengapa ayahmu mempunyai begitu banyak musuh?"
"Maksudmu, kau ingin tahu apa kerja ayahku?" Seebun Yan balik
bertanya. Biarpun Lan Sui-leng belum punya pengalaman berkelana dalam
dunia persilatan, namun dia sudah sering mendengar dari suheng
sucinya tentang apa yang tabu dalam dunia persilatan.
Mencari tahu asal usul keluarga orang, menyeli-diki identitas
seseorang atau jejak seseorang, bagi orang awam mungkin hal
semacam ini dianggap biasa dan lumrah, tapi bagi umat persilatan
jelas merupakan pantangan besar.
Berpikir begitu dia pun segera berkata, "Aku hanya iseng
bertanya, ingin tahu saja. Tapi kalau kau enggan menjawab, yaa
sudahlah." "Kita sudah saling menyebut saudara, apa salahnya kuceritakan
masalah ini lebih detil. Pekerjaan ayahku adalah pekerjaan paling
istimewa di antara tujuh puluh dua pekerjaan lainnya, dia adalah
nenek moyangnya kaum begal."
"Nenek moyang kaum begal?" Lan Sui-leng benar benar tidak
habis mengerti, pekerjaan seperti apakah itu.
"Lebih jelasnya, dia adalah pentolan bandit yang tinggal
menerima jatah. Selama hidup dia tidak pernah ikut merampok, tapi
para begal selalu menghantar uang kepadanya, bahkan selalu
memanggil dia nenek moyang dan takut upetinya tidak mau
diterima." "Waduh.... jadi.... jadi aku sudah naik ke perahu kaum
perompak?" teriak Lan Sui-leng amat terkejut.
Terdengar Seebun Yan melanjutkan kembali perkataannya,
"Dulunya si kakek bisu tuli itu adalah seorang perampok yang punya
nama besar di kalangan hek-to, bersama sekelompok perampok
lainnya suatu kali dia mengerubuti ayahku tapi dalam pertarungan
itu ayah berhasil menumpas rekan-rekan lainnya kecuali dia
seorang. Mengapa jiwanya bisa diampuni" Aku sendiri pun kurang
jelas. Biarpun sejak itu dia menjadi bisu tuli, namun selembar
nyawanya justru berhasil terselamatkan, untuk mengutarakan rasa
berterima kasihnya karena tidak dibunuh ayah, semenjak peristiwa
itu dia pun menjadi pembantu kami yang setia."
Lan Sui-leng hanya membungkam diri tanpa menjawab.
Agaknya Seebun Yan dapat membaca jalan pemikirannya,
ujarnya lagi, "Kau tidak usah takut, sejak ayahku meninggal dunia,
kami sekeluarga hidup mengasingkan diri di tengah gunung dan
sudah lama tidak menjadi perampok lagi."
"Ayahmu telah meninggal?"
"Benar, ketika meninggal dunia, usiaku baru tiga tahun. Konon
dia tewas di luar daerah, hingga sekarang aku sendiripun tidak tahu
dimana jenasahnya telah terkubur."
Lan Sui-leng berseru tertahan, untuk sesaat dia tak tahu apa
yang harus diucapkan. Sambil tertawa kembali Seebun Yan berkata, "Apakah kau mulai
menyesal telah berteman dengan putri seorang kepala rampok?"
"Ayah adalah ayah, anak adalah anak, apalagi ayahmu sudah
lama meninggal dunia."
"Yang menjadi perampok belum tentu semuanya orang jahat, bila
pengetahuanmu di kemudian hari semakin bertambah, akan kau
pahami apa maksud perkataanku ini."
Lan Sui-leng terbungkam, tapi dalam hati pikirnya, "Kalau orang
yang suka membunuh semacam ayahmu, aku tidak bakal percaya
kalau dia adalah orang baik."
Tentu saja perkataan semacam ini tidak bakalan diutarakan
keluar. Sementara dia membungkam, tiba tiba Seebun Yan tertawa lagi.
"Apa yang kau tertawakan?" tegur Lan Sui-leng kebingungan.
"Aku dapat melihat kalau kau tidak percaya dengan perkataanku.
Coba kalau berada dihari-hari biasa, bila kau berani menunjukkan
sikap memandang hina kaum perampok, bisa jadi aku segera akan
membunuhmu. Tapi berhubung pada malam ini kau telah menjadi
tuan penolongku, tentu saja aku tidak akan membunuhmu."
"Aku sama sekali tidak berniat melindungimu, oleh karena kaum
pencoleng itu datang menganiaya diriku, maka akupun memberikan
perlawanan dengan sekuat tenaga, oleh karenanya kau tidak perlu
membalas budi kepadaku."
"Kau kembali sedang berbohong," sela Seebun Yan sambil
tertawa, "sewaktu mendusin dari latihan tadi, dalam pandangan
pertama aku telah menyaksikan kepanikan yang terekam di
wajahmu, kau sedang mengkhawatirkan keselamatan jiwaku, hmm,
kau sangka aku tidak dapat melihatnya?"
Waktu itu Lan Sui-leng memang sangat mengkhawatirkan
keselamatan jiwanya, karena rahasianya terbongkar, terpaksa
sahutnya sambil menghela napas, "Enci Yan, bila di kemudian hari
kau tidak dapa-t merubah watak serta tingkah lakumu, aku lebih
suka mati terbunuh sekarang juga."
"Tingkah laku seperti apa?"
"Janganlah bersikap kejam terhadap orang yang memandang
hina kaum perampok."
"Baiklah, mari kita sama-sama mengalah, bila di kemudian hari
ada orang bersikap begitu di hadapanku, aku tidak akan
membunuhnya, tapi sedikit banyak aku harus memberi sedikit
pelajaran kepada mereka. Sebaliknya setelah tiba di rumahku,
janganlah kau maki aku sebagai perampok ketika berhadapan
denganku." "Ibumu toh bukan perampok, buat apa tanpa sebab musabab
yang jelas aku memakimu perampok?"
Seebun Yan tertawa lebar.
"Aku ingin kau berterus terang, semisalnya sejak awal kau sudah
tahu kalau aku adalah putri seorang perampok, mungkinkah kau
akan berpikir beberapa kali sebelum turun tangan melindungi nyawa
putri seorang perampok" Apakah kau akan mempertimbangkan
dulu, patutkah kau berbuat begitu?"
"Aku tidak mengerti segala teori dan pendapat orang, bagiku
yang penting adalah perasaan hatiku tenteram, seandainya demi
keselamatan sendiri lalu kubiarkan kawanan perampok itu
menganiaya dirimu, sepanjang hidup mungkin aku tidak bakal
mengampuni diri sendiri."
Seebun Yan termangu beberapa saat, kemudian baru ujarnya,
"Bagus sekali perkataanmu itu. Aku pun akan berterus terang juga
kepadamu, sebetulnya aku tidak membunuhmu bukan lantaran ingin
membalas budi, aku hanya merasa kau cocok sekali dengan
perangaiku, entah apa sebabnya, aku hanya merasa makin lama
semakin menyukai dirimu."
"Terima kasih banyak. Eeei, tanpa terasa hari sudah terang
tanah." "Kau bisa menunggang kuda?"
"Ayahku mempunyai seekor kuda kurus, biasanya dipakai untuk
menghela kereta, tapi terkadang akupun menungganginya untuk
bermain, Cuma lingkunganku hanya seputar ladang sayur di atas
gunung, belum pernah menunggangnya hingga jalan raya."
"Apa kerja ayahmu?"
"Menanam sayuran di atas gunung Bu-tong."
"Perawakan tubuhmu halus dan putih, coba bukan mendengar
sendiri dari mulutmu, mungkin aku mengira kau adalah seorang


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siocia dari keluarga terpelajar."
Mendengar perkataan itu Lan Sui-leng jadi tidak suka hati,
kontan serunya dengan nada ketus, "Jadi kau anggap putri seorang
petani sayuran sudah seharusnya berbadan bongsor, kasar dan
bebal?" "Kau jangan berpikiran begitu," tukas Seebun Yan sambil
tertawa, "aku hanya ingin memuji kecantikanmu secara tulus,
sayang aku memang tidak pandai berbicara."
Melihat nona itu minta maaf, Lan Sui-leng jadi tidak enak sendiri,
buru-buru katanya lagi, "Bukannya perasaanku kelewat sensitip,
gampang tersinggung, tapi dalam kenyataan hidup memang ada
sementara orang yang memandang hina keluarga petani sayuran.
Ada beberapa suci ku selalu bersikap begitu terhadapku."
"Terus terang aku malah sangat mengagumi kaum petani
sayuran, berangkat pagi untuk mulai bekerja dan pulang setelah
magrib, bekerja dan bekerja terus tanpa banyak pikiran, tidak perlu
banyak risau, apa jeleknya kehidupan semacam ini" Aku malah
merasa petani sayuran itu jauh lebih hebat daripada jadi seorang
perampok. Misalkan saja aku, ayahku sudah lama meninggal, tapi
sebagai putri seorang perampok, aku justru kerap kali harus
bertemu dengan kesulitan kesulitan yang sama sekali tidak
terduga." Dalam hati Lan Sui-leng segera berpikir, "Bila orang tuaku benarbenar
bisa hidup tanpa pikiran, tanpa risau pelbagai masalah,
kehidupan mereka tentu amat bahagia."
Rupanya beberapa kali dia pernah memergoki orang tuanya
sedang duduk termangu-mangu, seakan ada masalah berat yang
sedang dipikirkan, setiap kali dia bertanya, orang tuanya selalu
menghindar dan tidak pernah mau mengaku.
Sampai belakangan ini dia baru mulai merasa kalau asal usul
adiknya sedikit mencurigakan, maka diapun menghubungkan sikap
orang tuanya itu dengan urusan adiknya.
Tentu saja persoalan semacam ini tidak leluasa baginya untuk
berbagi cerita dengan Seebun Yan.
"Hei, makin berbicara semakin melantur!" seru Seebun Yan tibatiba,
"lebih baik kita kembali ke pokok pembicaraan, tidak masalah
kalau kau tidak pandai menunggang kuda, asal kuajarkan caranya,
tanggung dengan cepat kau akan menguasainya. Mari kita
berangkat." Ternyata Han Toako serta kedua orang begundalnya
meninggalkan kuda tunggangan mereka di luar losmen.
Kembali Seebun Yan berkata, "Daripada naik kereta, lebih
nyaman bila kita menunggang kuda. Tidak disangka ke tiga ekor
kuda ini rata-rata hebat dan bagus, kalau kita menungganginya
secara bergilir, mungkin perjalanan dapat kita perpendek beberapa
hari." Pada hari pertama dia bersama Lan Sui-leng menunggang seekor
kuda secara bersama-sama, dengan memegangi tangannya dia
mengajarkan bagaimana cara mengendalikan kuda.
Pada hari kedua masing-masing sudah menunggang kuda
sendiri-sendiri. Kelihatannya ke tiga ekor kuda itu sudah lama mendapat latihan,
biarpun tanpa penunggang ternyata kuda-kuda itu tidak akan lari
memisahkan diri, bahkan mengintil terus dari belakang.
Sepanjang perjalanan Seebun Yan memilih jalanan yang sepi dan
jarang dilalui orang, Lan Sui-leng tidak tahu ke mana saja mereka
telah pergi, hanya dirasakan udara makin lama semakin dingin
sedang orang yang berlalu lalang pun makin jarang, dia tahu saat
ini mereka sedang bergerak dari selatan menuju ke utara.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah bulan lamanya,
tibalah mereka di bawah kaki sebuah gunung yang tinggi.
Sambil menghembuskan napas lega ujar Seebun Yan, "Akhirnya
sampai juga di rumah."
Lan Sui-leng mencoba mendongakkan kepalanya memandang
gunung yang tinggi itu, tampak salju putih hampir menyelimuti
seluruh tanah perbukitan, semakin ke atas dia menyaksikan awan
semakin tebal membungkus permukaan, puncak-puncak bukit
terlihat seolah mengapung di balik lautan mega, sebuah pemandangan
alam yang amat menawan. "Waaah.... gunung ini begitu tinggi!" bisik Lan Sui-leng sambil
menjulurkan lidahnya, "jadi kita akan berdiam diatas gunung itu?"
"Benar, rumahku berada di puncak bukit yang terbungkus awan
putih itu, tapi kau tidak usah takut, rumah kami bukan berada di
puncak gunung itu. Dalam setengah bulan terakhir, tenaga
dalammu telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, aku
percaya kau sanggup menghadapi udara dingin. Tapi semisal kau
benar-benar tidak kuat berjalan, aku akan membopongmu."
Kemudian sambil melompat turun dari punggung kudanya,
kembali dia berkata sambil tertawa, "Orangnya mah bisa naik
sampai atas, tapi sulit buat kuda-kuda ini. Aku tidak ingin menyiksa
beberapa ekor kuda itu."
Lan Sui-leng ikut melompat turun dari kudanya, serunya sambil
tertawa pula, "Enci Yan, betapa indahnya bila kau mau memikirkan
pula urusan lain sama seperti sikapmu terhadap beberapa ekor kuda
itu." "Mana bisa manusia disamakan kuda, kalau kuda bisa
membantumu menarik kereta, bisa kau tunggangi. Jangan lagi
hewan hewan peliharaan, sekalipun hewan liar yang hidup dialam
bebas pun tidak nanti mereka akan mengganggumu selama kaupun
tidak mengganggu mereka. Hanya manusia yang suka mengganggu
dan menyiksa sesamanya."
Kembali Lan Sui-leng tertawa.
"Usiamu paling hanya beberapa tahun lebih tua ketimbang aku,
kenapa pandanganmu begitu negatip" Aku tak percaya kalau
manusia itu sejahat apa yang kau bayangkan. Orang jahat
bukannya tidak ada, namun aku selalu merasa orang baik pasti jauh
lebih banyak jumlahnya."
Tampaknya ada sesuatu yang dipikirkan dalam hati Seebun Yan,
ujarnya hambar, "Bila kau dapat berpendapat begitu, itulah hokki
mu." Lan Sui-leng mengikutinya naik gunung, makin mendaki semakin
tinggi, udara pun makin lama semakin dingin.
Hembusan angin diatas gunung amat kencang, bukan saja dingin
bahkan serasa merasuk ke tulang sumsum.
Untung saja selama setengah bulan terakhir hampir setiap hari
Lan Sui-leng berlatih ilmu tenaga dalam yang diajarkan Tonghong
Liang, apalagi mendapat pula petunjuk dari Seebun Yan, hal ini
membuat hasil latihannya semakin cepat memberikan hasil.
Kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya saat ini boleh dibilang
sama seperti hasil latihan orang lain selama tiga tahun. Meski udara
sangat dingin, namun dia masih sanggup untuk menghadapinya.
Berjalan sampai tengah hari, Lan Sui-leng merasakan ke empat
anggota tubuhnya sudah kaku saking dinginnya, untuk
mengayunkan setiap langkah dia butuh mengeluarkan tenaga lebih
banyak, tidak tahan ujarnya kemudian sambil tertawa getir,
"Mungkin aku sudah tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Tapi
akupun merasa rikuh untuk minta gendong, bagaimana baiknya
kini" Lebih baik kita beristirahat sejenak, syukur bisa membuat api
unggun untuk menghangatkan badan."
Seebun Yan tertawa. "Kau sudah berjalan lebih jauh dari dugaanku semula, kalau kau
tidak mampu mencapai tempat ini, sejak tadi tubuhmu sudah dingin
kaku, mungkin aku benar-benar harus menggendongmu. Tapi
setelah berada disini, aku tidak usah menggendong lagi. Masih kuat
bukan untuk berjalan setengah li lagi?"
"Kenapa harus berjalan setengah li lagi?"
"Setelah melewati tanah datar itu, kondisi badanmu akan jauh
lebih segar, percaya tidak" Aku tidak bakal membohongimu,
kemukjijatan segera akan muncul!"
Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak, Lan Sui-leng
mempercepat langkahnya, setelah melewati tanah datar itu, benar
saja, perasaan tubuhnya seakan sama sekali berbeda.
Angin yang berhembus lewat terasa lebih hangat, udara untuk
pernapasan pun terasa jauh lebih lembab dan mengandung kadar
air lebih tinggi, tenggorokannya yang semula mengering kini
dirasakan lebih basah dan lembab.
Tiba-tiba pandangan matanya terasa berkilat, dia telah
menyaksikan sebuah keajaiban, keajaiban itu adalah sebuah
pemandangan alam yang luar biasa.
Yang dia saksikan adalah semburan mata air dari puncak bukit,
semburan air di tengah hembusan angin.
Mata air panas yang tersembur ke udara berubah jadi uap panas
yang menyebar di angkasa, kemudian tersebar mengikuti hembusan
angin, di bawah pancaran sinar matahari berubahlah menjadi
kuntum bunga berwarna warni bagaikan bianglala.
Selama hidup belum pernah dia menjumpai kuntum bunga
secantik ini, di hampirinya tanah datar itu, bagaikan baru saja
melangkah keluar dari pintu gerbang musim dingin, kini dia
terperosok ke dalam pelukan musim semi.
"Banyak sekali mata air semacam ini di atas gunung," Seebun
Yan menerangkan, "airnya panas sekali hingga cukup untuk
mematangkan sebutir telur. Bagaimana kalau kita coba menangkap
seekor ayam salju lalu kita rebus pakai air itu" Cuma aku musti
terangkan lebih dulu, semburan air itu mengandung belerang
hingga sewaktu di makan nanti akan muncul semacam rasa yang
aneh." Lan Sui-leng menarik napas segar, dia merasa udara yang
lembab membuat semangatnya makin berkobar, tanyanya, "Apakah
buah buahan liar yang tumbuh disekitar mata air boleh dimakan?"
"Boleh saja, buah itu adalah buah Tho liar, di balik manis terselip
rasa kecut. Dapat membangkitkan semangat yang memakannya."
Lan Sui-leng mengambil sebiji dan dimasukkan ke dalam mulut,
katanya kemudian, "Ehmm, lumayan juga rasanya. Sekarang aku
sedikitpun tidak lelah lagi, mari kita lanjutkan perjalanan, tidak perlu
banyak buang tenaga hanya untuk menangkap ayam salju."
"Ayam salju berlarian dimana-mana, kalau hanya menangkap
seekor mah tidak susah."
"Buat apa, toh aku tidak lapar. Ayam salju begitu indah dan
menawan, mending untuk tontonan daripada dibunuh, hanya akan
merusak suasana saja."
"Aaah, aku lupa kalau kau adalah nona yang penuh welas kasih,"
kata Seebun Yan sambil tertawa, "rumahku sudah tidak jauh dari
sini, ayoh jalan, setibanya di rumah tanggung ada banyak makanan
menantimu." Seebun Yan berjalan di depan menjadi petunjuk jalan, setelah
melalui jalan perbukitan yang berliku-liku, sampailah mereka di
depan sebuah mulut lembah berbentuk bulan sabit.
Rerumputan nan hijau tumbuh subur didalam lembah, aneka
bunga dan pepohonan menambah indahnya suasana. Diantara
pepohonan yang rindang terlihat beberapa buah bangunan yang
terbuat dari bata merah, jelas rumah itu merupakan tempat tinggal
orang kaya. "Tempat ini benar-benar bagaikan nirwana, kalian pandai amat
menikmati hidup," puji Lan Sui-leng sambil menghela napas.
"Hanya sayang disini agak sepi, jumlah anggota keluarga kami
hanya berempat, selain aku dan ibuku, hanya ada dua orang
dayang." Sementara pembicaraan masih berlangsung, seorang dayang
telah muncul menyambut kedatangan mereka.
Setelah mengamati Lan Sui-leng sekejap, katanya sambil tertawa,
"siocia, darimana kau menemukan seorang adik secantik itu" Wah,
kita mendapat teman baru."
Ternyata dia sangka Lan Sui-leng adalah dayang baru.
"Sebutan adik bukan untuk kalian, dia adalah adikku, jadi kalian
memanggilnya Ji-kounio (nona kedua)"
Merah jengah selembar wajah dayang itu, buru-buru dia minta
maaf, "Ji-kounio, harap kau jangan marah, aku tidak tahu!"
"Aku sama sekali tidak keberatan, kau tidak usah ambil perduli
perkataan nona mu, kita saling menyebut sebagai kakak beradik
saja." "waah, waah, waah, baru sampai di rumahku, kau sudah ajarin
dayangku untuk berontak?" sela Seebun Yan dengan nada hambar.
Wajahnya kaku tanpa perubahan emosi, sulit dibaca apakah dia
sedang gembira atau marah, juga tidak diketahui dia sedang bicara
serius atau bergurau. Tampaknya dayang itu menangkap perkataan Lan Sui-leng
sebagai arti kebalikan, dengan ketakutan cepat cepat dia berlutut
sambil memohon, "Ji-kounio, ampunilah jiwa kami. Aku tahu salah
bicara, kami sebagai orang bawahan mana berani bersikap kurang
sopan." Tidak menunggu sampai dayang itu jatuhkan diri berlutut, Lan
Sui-leng segera menariknya bangun, katanya sambil tersenyum,
"Aku hanya putri seorang petani sayur, kalau bicara soal status,
mungkin kedudukanku masih jauh lebih rendah dari seorang dayang
yang bekerja di keluarga orang kaya. Tidak usah kelewat
menghormat." Dengan kening berkerut kembali Seebun Yan menukas, "Dayang
ini bernama Ang-siau, bila kau senang, panggil saja namanya. Jadi
jangan mengacaukan soal panggilan lagi."
Sejujurnya Lan Sui-leng sangat tak senang dengan tabiat nona
yang diperlihatkan Seebun Yan, tapi ketika teringat kalau tempat itu
adalah rumahnya, lagipula dia tak ingin temannya kehilangan muka
dihadapan dayang nya, maka diapun membungkam diri.
"Mana Ci-giok?" kembali Seebun Yan bertanya.
"Kebetulan ada beberapa orang tamu sedang menyambangi Lo-
Hujin, dia sedang mengambilkan air teh untuk para tamu."
"Aneh," gumam Seebun Yan tercengang, "di tempat kami jarang
kedatangan tamu dari luar, kenapa...."
Belum habis dia berkata. Terlihat seorang dayang berbaju ungu
sedang berjalan keluar dari dalam ruangan.
"Baru sebut Cho-cho, ternyata Cho-cho sudah tiba. Ci-giok, baru
saja siocia menanyakan tentang dirimu."
"Siapa saja tamu tamu itu?" tanya Seebun Yan kemudian.
"Aku sendiripun tidak tahu," sahut Ci-giok, "selama ini belum
pernah melihat mereka datang kemari. Mereka berjumlah tiga
orang, seorang hwesio, seorang tosu...."
"Memang ada nikou nya"' sela Seebun Yan sambil tertawa.
"Tidak ada," jawaban Ci-giok amat serius, "orang ke tiga adalah
seseorang berpotongan siucay yang mengenakan topi kain, setelah
memerintahkan aku menyuguhkan air teh, lo Hujin bilang aku tidak
perlu melayani lagi."
Kelihatannya dia sedang mengingatkan siocia nya agar masuk
setelah tamunya pulang. Timbul rasa ingin tahu di hati kecil Seebun Yan, tiba-tiba ujarnya,
"Biar kutengok siapa yang telah datang. Adik Sui-leng, ayoh ikut
aku!" Lan Sui-leng termasuk gadis yang kurang begitu tahu soal aturan
pergaulan, dia segera mengikuti dari belakang.
Ci-giok berniat menghalangi, namun tidak berani. Ang-siau yang
melihat itu buru-buru kedipkan matanya berulang kali, minta


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rekannya tidak usah banyak urusan.
Baru melangkah masuk ke dalam halaman, Seebun Yan sudah
mendengar suara ibunya sedang berkata, "Sejak tadi aku sudah
berkata, urusan yang menyangkut pertikaian dunia persilatan tidak
pernah kucampuri. Jadi kalian tidak usah banyak bicara lagi."
Tampaknya nada ucapan itu sudah mengandung hawa amarah.
Rupanya Seebun Yan masih juga tahu diri. Begitu mendengar
ibunya sedang marah, dia segera menghentikan langkahnya.
Selanjutnya dia pun menyembunyikan diri di belakang gunung
gunungan. Tampak salah seorang diantara ke tiga orang tamu itu, seorang
tosu bangkit berdiri seraya berkata, "Pertikaian ini bukan timbul
karena perbuatan kami, kalau dirumitkan seharusnya merupakan
satu kasus yang ditimbulkan Seebun San-cu dahulu dan belum
sempat diselesaikan hingga tuntas."
"Ooh, jadi maksud kalian, karena urusan itu ulah suamiku maka
sebagai istri aku harus menanggung hutangnya?" dengus ibu
Seebun Yan ketus. "Tidak berani, tidak berani!" buru-buru tosu itu membungkukkan
badan memberi hormat, "kami hanya berharap Lo-Hujin mau
melanggar kebiasaan satu kali saja."
"Kalau memang masalahnya yang belum terselesai kan,
sehamsnya kalian memohon kepadanya, bukan memohon
kepadaku!" Sang hwesio ikut berdiri, katanya pula, "Sayang Seebun Sancu
sudah lama meninggal dunia, kalau tidak, memandang pada
kesetiaan kami yang telah puluhan tahun berbakti kepadanya, kami
yakin dia pasti bersedia tampilkan diri untuk menyelesai kan
persoalan ini." Siapa pun dapat mendengar kalau dibalik perkataannya sudah
mengandung nada gusar. Seebun Yan yang mendengar perkataan itu tanpa terasa berpikir,
"Ibu juga kebangetan, toh ayah sudah mati, masa suruh mereka
memohon kepada ayah" Bukankah sama artinya sedang
mempermainkan mereka semua?"
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, mendadak...."duuuk!"
ibunya telah membanting cawan air teh ke meja sambil berseru,
"Bagus, bagus sekali, kau pun sudah tahu kalau suamiku telah mati,
tolong tanya masih tersisa hubungan apa antara kalian dengan
diriku" Dia adalah pentolan perampok, tapi aku bukan! Semasa
masih hidup dulu, belum pernah kucampuri urusannya, apalagi
setelah dia mati, aku lebih-lebih tidak mau terlibat urusan!
Pembicaraan ini cukup sampai disini, selamat tinggal!"
Bicara sampai disitu, dia segera kebaskan ujung bajunya,
segulung angin tajam segera menggulung ke tiga cawan air teh
yang berada dihadapan ke tiga tamunya itu dan memindahnya ke
atas nampan. Padahal air teh yang berada dalam ke tiga cawan itu masih
penuh, karena para tamu belum sempat meneguknya, walau begitu,
di saat tergulung oleh kebutan ujung baju hingga melayang balik ke
atas nampan, tak setetes air pun yang tumpah keluar.
Demonstrasi kepandaian silat yang demikian hebat itu kontan
saja membuat ke tiga orang tamunya tertegun, tanpa terasa mereka
berpikir, "Tidak nyana tenaga dalam yang dimilikinya begitu hebat
dan sempurna, rasanya Seebun sancu sendiripun belum tentu
memiliki kemampuan sehebat ini."
Pada umumnya apabila sang tuan rumah sudah mengangkat
cawannya sejajar dengan dada, ini berarti sang tamu sudah saatnya
untuk mengundurkan diri. Tapi kini, bukan saja para tamu belum
pergi, sang tuan rumah telah menarik kembali cawan cawan air teh
nya, jelas sikap seperti ini mengartikan kalau dia sedang mengusir
para tetamunya. Kejadian ini benar benar membuat ke tiga orang itu mendongkol
bercampur gusar, pikir mereka, "Sialan, biarpun kau bukan pentolan
perampok, tapi sekarang kau bisa menikmati hidup bagaikan di
surgawi, bukankah kesemuanya ini merupakan hasil upeti yang
pernah kami persembahkan kepada suami mu?"
Namun berhubung mereka telah menyaksikan demonstrasi
kepandaian silat yang baru saja diperlihatkan Seebun-hujin, maka
tidak seorang pun berani banyak bicara lagi.
Diam-diam Seebun Yan berbisik, "Sstt, kau tunggu aku sebentar."
Begitu para tamunya berpamitan, gadis itu segera masuk ke
dalam ruangan dan berkata sambil tertawa, "Ibu, darimana
datangnya tamu-tamu itu" Tampak nya kehadiran mereka telah
membuatmu marah?" "Beberapa orang itu adalah bekas anak buah ayahmu di masa
lampau," sahut Seebun-hujin, "tidak nanti aku akan marah garagara
urusan mereka, aku hanya muak mendengar perkataan orangorang
itu. Aaai, tidak usah disinggung lagi, bagaimana" Sudah kau
temukan kakak misanmu?"
"Sudah!" "Mana orangnya" Kenapa tidak kembali bersamamu" Apakah dia
akan pulang dulu untuk menjumpai gurunya?"
Dari nada suara Seebun-hujin, kedengaran kalau dia merasa
tidak suka hati. Seebun Yan segera tertawa.
"Ibu, kau tidak usah minum cuka gara-gara gurunya. Dia
memang belum kembali," katanya.
"Oooh, dia telah pergi ke mana?"
"Aku dengar akan pergi ke kuil Siau-lim-si."
"Mau apa dia pergi ke kuil Siau-lim?" tanya Seebun-hujin
tertegun. Seebun Yan tidak ingin banyak bicara, sahutnya cepat, "Aku
sendiripun kurang tahu. Apa yang dilakukan Piauko selalu aneh dan
penuh misterius, aku cukup mengetahui wataknya, kalau dia enggan
menjelaskan, lebih baik tidak usah banyak bertanya. Hanya saja,
walaupun aku gagal membawa pulang Piauko, namun aku telah
membawakan seorang anak perempuan untukmu."
Dari balik wajah Seebun-hujin yang redup terlintas sedikit
perasaan tercengang. "Hey, kau sedang ngaco belo. Aku hanya mempunyai seorang
anak perempuan, darimana datangnya anak perempuan lain?"
Sementara dalam hatinya dia berpikir, "Jangan-jangan di tempat
luaran dia sempat mendengar isu mengenai sepak terjangku?"
Tentu saja Seebun Yan tidak tahu akan hal itu, segera katanya
sambil tertawa, "Ibu, selama ini kau amat cerdik, masa tidak bisa
menduga" Aku telah mencarikan seorang anak angkat untukmu."
"Oooh, rupanya begitu," Seebun-hujin menghembuskan napas
lega, "kau telah angkat saudara?"
"Benar, dia she-Lan bernama Sui-leng, memiliki sepasang mata
yang besar, bening, indah, cantik dan pintar, tanggung kau akan
menyukainya setelah bertemu."
Tampaknya Seebun-hujin merasa tidak terlalu tertarik, ujarnya
hambar, "Hmm, kau masih mengatakan tingkah laku Piauko mu
aneh dan tidak masuk diakal, padahal ulah setanmu sama sekali
tidak berada di bawah ulah Piauko mu."
"Ibu, saat ini dia sudah berada di luar, bagaimana kalau aku
segera memanggilnya masuk?"
Melihat Seebun-hujin tidak menampik, Seebun Yan segera
berteriak keras, "Adik Leng, ibu ingin bertemu denganmu, cepat
masuk!" Padahal Lan Sui-leng yang berada di luar dapat mendengar
semua tanya jawab antara kedua orang itu, maka sambil melangkah
masuk sapanya, "Bibi! Putri anda hanya suka bergurau saja, aku
tidak berani menerima panggilan seperti itu."
"Ibu, aku tidak bergurau," cepat-cepat Seebun Yan berseru,
"diabahkan pernah menyelamatkan jiwaku!"
Seebun-hujin tampak amat terperanjat, sambil memperlihatkan
wajah setengah percaya setengah tidak, tanyanya, "Dia telah
menyelamatkan jiwamu" Apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Secara ringkas Seebun Yan menceritakan kembali semua
pengalamannya, begitu tahu sebab musababnya, sekulum
senyuman kembali menghiasi wajah Seebun-hujin.
"Ibu, tahukah kau akan asal usul ke tiga orang itu?" tanya
Seebun Yan. Seebun-hujin tidak menjawab, kepada Lan Sui-leng katanya,
"Nona Lan, coba kau kisahkan kembali semua pengalamanmu
sewaktu bertarung melawan ke tiga orang itu, paling baik bila kau
pun masih ingat dengan jurus serangan yang mereka gunakan."
"Aku hanya mengetahui ilmu silat perguruanku, itupun hanya
terbatas pada jurus pedang," sahut Lan Siu-leng, "karenanya aku
susah untuk menerangkan jurus serangan apa yang telah mereka
gunakan. Namun aku masih teringat bagaimana situasi pertarungan
waktu itu. Lelaki yang jangkung menggunakan sebatang tombak
pendek sebagai senjatanya, si lelaki pendek memakai martil berantai
sedangkan orang yang mereka panggil sebagai Han Toako tidak
menggunakan senjata apa-apa, dia hanya menggunakan sepasang
tangan telanjangnya untuk mendesakku hingga susah bernapas."
Sambil berkata nona itu melakukan gerakan menirukan kejadian
di saat itu, bahkan menjelaskan dengan sangat terperinci.
Seusai mendengar penjelasa itu, Seebun-hujin pejamkan
matanya sambil berpikir, sejenak kemudian dia baru berkata, "Ilmu
silat yang digunakan lelaki jangkung dan lelaki pendek itu sangat
cetek, sulit bagiku untuk menyimpulkan asal perguruan mereka.
Tapi orang she-Han itu memang punya asal usul yang lumayan,
bukankah ilmu Ki-na-jiu-hoat yang digunakan sering mengancam
tiga buah jalan darah sekaligus?"
"Benar." "Tidak salah lagi, ilmu Ki-na-jiu-hoat yang dia gunakan adalah
ilmu andalan dari Toan-hun Kokcu Han Siang. Eehmm, dia pun dari
marga Han, bisa jadi orang itu adalah angkatan keponakannya Han
Siang." "Siapakah Toan-hun Kokcu Han Siang?" tanya Seebun Yan.
"Dia adalah salah satu musuh besar ayahmu yang belum sempat
dimusnahkan, yakni salah satu tokoh kalangan hek-to yang harus
dihadapi ke tiga orang tamu tadi."
"Dia telah mengutus orang untuk membunuh pelayan bisu tuli
kita, bahkan nyaris menculikku. Ibu, kau harus mewakiliku untuk
membunuhnya." "Di kalangan hek-to, dia termasuk juga seorang tokoh yang
disegani, namun masih belum cukup berharga bagiku untuk turun
tangan sendiri. Begini saja, bila Piauko mu telah kembali nanti, akan
kusuruh dia untuk mewakilimu mencari balas."
"Hanya mencari balas?"
"Mencari balaspun bisa besar bisa kecil, kau ingin membalas yang
besar atau kecil?" "Bagaimana kalau kecil" Bagaimana kalau besar?"
"Kalau menginginkan pembalasan kecil, cukup memusnahkan
ilmu silatnya; bila ingin pembalasan besar, bantai saja semua
penghuni Lembah pemutus sukma, jangan tinggalkan seorang pun!"
Diam-diam Lan Sui-leng merasa amat terkesiap, dia tidak
menyangka urusan yang menyangkut kehidupan orang banyak
hanya dibicarakan secara begitu santai dan releks.
Sambil tertawa Seebun Yan berkata, "Adikku penuh welas kasih
dan berhati baik, memandang di atas wajahnya, lebih baik kita beri
pembalasan kecil saja."
Seebun-hujin segera berpaling, ujarnya, "Nona Lan, kau bisa
bertarung seimbang melawan orang she-Han itu membuktikan kalau
kungfu mu cukup bagus. Kau berasal dari perguruan mana?"
"Aku.... aku...."
"Kalau merasa kurang leluasa untuk diutarakan, tak perlu
dipaksakan lagi," sela Seebun-hujin hambar.
"Bukan begitu maksudku...." merah jengah selembar wajah Lan
Sui-leng. Seebun-hujin jadi tak suka hati, pikirnya, "Entah dari mana Yan-ji
berkenalan dengan budak liar ini" Kalau dilihat dari sikapnya yang
lembek tidak bersemangat, jangan-jangan dia berasal dari aliran
tidak benar?" Baru saja ingatan itu melintas dalam benaknya, sambil tertawa
Seebun Yan telah berkata, "Buat apa kau malu-malu untuk
mengatakannya" Baiklah, biar aku yang mewakilimu menjawab. Ibu,
adikku ini berasal dari perguruan kenamaan, dia adalah murid Puthui
Suthay dari Bu-tong-pay."
"Oooh, rupanya berasal dari Bu-tong-pay, tidak heran kalau
dengan usiamu yang masih kecil, ternyata sanggup bertarung
seimbang melawan orang-orang lembah Toan-hun."
Kembali Seebun Yan berpikir, "Begitu mendengar kalau dia
berasal dari Bu-tong-pay, sikap ibu langsung berubah seratus
delapan puluh derajat. Tampaknya ibu pun pandai memanfaatkan
situasi." Buru-buru Lan Sui-leng berkata, "Padahal aku hanya murid tidak
resmi dari Bu-tong-pay, belum pernah angkat guru secara resmi.
Dan lagi dalam kenyataan akupun tidak sanggup mengalahkan
orang she-Han itu...."
"Kita semua adalah orang sendiri, kau tidak perlu sungkansungkan
lagi. Bila kau belum menjadi murid Bu-tong-pay secara
resmi, hal ini jauh lebih baik lagi."
Lan Sui-leng melengak, dia tidak habis mengerti dengan maksud
ucapan itu. Dengan wajah penuh senyuman kembali Seebun-hujin berkata,
"Di dalam dunia persilatan berlaku peraturan yang mengatakan, bila
ingin belajar ilmu silat aliran lain, diharuskan minta persetujuan
terlebih dulu dari guru sebelumnya, kalau tidak dia akan dicap
sebagai murid yang telah menghianati perguruan. Thio Cinjin sang
pendiri Bu-tong-pay mempunyai jiwa yang besar, pandangannya
tentang peraturan tetek bengek pun tidak terlalu ketat, hanya saja
anak murid generasi berikutnya tidak mampu meniru sikapnya itu,
jadi susah untuk dikatakan. Berbeda sekali dengan murid yang
belum resmi, oleh karena itu...."
Belum habis perkataan itu diucapkan, Seebun Yan sudah
memahami maksud ibunya, sambil tertawa dia segera berseru, "Ibu,
rupanya kau ingin menerima adik Leng menjadi muridmu, benar
bukan?" Kembali Seebun-hujin tertawa.
"Nona Lan, kau telah menyelamatkan jiwa putri-ku, untuk
membalas budimu ini, bersediakah kau menjadi anak angkatku"
Akan kuajarkan ilmu silat kepadamu atas nama seorang ibu, jadi
tidak perlu mengubah status perguruanmu dan kita bisa melakukan
kesemuanya ini secara resmi dan terang-terangan."
"Bibi, soal ini...."
"Kau tidak bersedia?" tanya Seebun-hujin agak tertegun.
"Aku khawatir tidak pantas untuk menerima semuanya itu."
Kontan saja Seebun-hujin tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... bagus, bagus sekali, bila kau tidak keberatan mulai
hari ini kau adalah putriku. Jadi tidak usah panggil aku dengan
sebutan bibi lagi." Lan Sui-leng merasa benar-benar tidak berdaya, setelah
mendengar perkataan itu diapun tidak menam-pik lagi, setelah
berlutut memberi penghormatan dia pun memanggil, "Gibo!"
Beberapa saat kemudian Seebun-hujin kembali berkata, "Ada


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu masalah sebenarnya ingin kutanyakan kepada Yan-ji, tapi aku
rasa mungkin kau jauh lebih mengerti dalam hal ini ketimbang
dirinya." "Apakah gibo ingin mengetahui hasil pertanding-an pedang yang
dilakukan Tonghong Liang di bukit Bu-tong-san?"
"Benar, tentunya kau pun sudah tahu bukan kalau dia adalah
keponakanku." "Enci Yan telah beritahu kepadaku. Ilmu pedang Tonghong
Toako sangat bagus, berapa orang jagoan dari Bu-tong-pay telah
menderita kekalahan ditangannya."
"Lantas siapa yang kemudian berhasil mengalahkan dirinya?"
"Eeei, darimana ibu bisa tahu kalau belakangan Piauko
dikalahkan orang?" tanya Seebun Yan keheranan.
Seebun-hujin tersenyum. "Nama besar Bu-tong-pay sudah berjalan hampir dua ratus
tahunan, bersama Siau-lim-pay mereka disebut tulang punggungnya
dunia persilatan, memangnya nama besar mereka hanya nama
kosong saja" Kungfu yang dimiliki Piauko mu memang termasuk
hebat, tapi bagaimana pun kematangannya masih jauh dari
sempurna, bila dengan mengandalkan sedikit kemampuan itu dia
ingin mengalahkan semua jagoan tangguh dari Bu-tong-pay,
bukankah sama artinya partai Bu-tong tidak pantas disebut sebuah
partai besar?" Diam-diam Lan Sui-leng merasa sangat gembira, terutama
setelah mendengar Seebun-hujin memuji kehebatan Bu-tong-pay,
katanya, "Dugaan gibo tepat sekali, dalam pertarungan terakhir dia
menderita kekalahan. Hanya saja kekalahannya diraih secara
terhormat, karena orang yang dapat mengalahkan ilmu pedangnya
bukan lain adalah Bu-beng Cinjin, tokoh yang menjabat Ciangbunjin
Bu-tong-pay saat ini."
"Siapakah Bu-beng Cinjin itu?" tanya Seebun-hujin agak
melengak, "kenapa aku belum pernah mendengar nama ini disebut
orang" Dia memakai istilah "Bu" berarti seharusnya satu angkatan
dengan Bu-siang Cinjin, paling tidak masih saudara seperguruannya,
tapi menurut apa yang kuketahui, diantara saudara seperguruan Busiang
Cinjin hanya Bu-si tojin seorang yang memiliki ilmu pedang
paling bagus." "Dulunya dia adalah seorang murid dari golongan preman, baru
menjadi pendeta dihari saat Tonghong Toako naik ke Bu-tong."
"Sewaktu masih orang preman, siapa namanya?"
"Rasanya dia bernama Bouw.... BouwCong...."
Belum sampai kata "Liong" disebut, Seebun-hujin sudah berseru
sambil menukas, "Aaaah, rupanya dia adalah Tiong-ciu Tayhiap
Bouw Ciong-long! Padahal tanpa diberitahu pun seharusnya aku
teringat akan dirinya. Dalam kolong langit saat ini, kecuali dia
mungkin tiada lagi orang kedua yang sanggup menangkan
keponakanku itu." Tanpa disadari perasaan terkejut bercampur girang tercermin
diwajahnya. "Ibu," seru Seebun Yan kemudian, "ternyata sejak lama kau
sudah mengetahui orang yang bernama Bouw Ciong-long itu"
Kenapa aku seperti belum pernah mendengar kau
menyinggungnya?" "Itu cerita yang sudah berlangsung lama sekali, waktu itu aku
belum menikah dengan ayahmu. Saat itu aku dan ayahmu adalah
sahabat karib." Ayah Seebun Yan meninggal di luar daerah di saat dia masih
berusia tiga tahun, tentu saja mustahil baginya untuk menceritakan
kisah masa lalunya dengan sang putri.
Dalam hati Seebun Yan pun berpikir, "Mungkin ibu khawatir akan
menimbulkan rasa sedihnya, maka dia selalu enggan membicarakan
masa lalu ayah." Dalam pada itu Seebun-hujin telah bertanya lagi, "Aku dengar
Bouw Ciong-long mempunyai seorang putra yang tersohor juga
namanya dalam dunia persilatan, benarkah itu?"
"Benar, dia bernama Bouw It-yu. Hari itu diapun berada di
gunung Bu-tong." "Bouw It-yu" Ehmrn, apakah kau kenal akrab dengannya?"
"Sebetulnya dia melakukan perjalanan bersama Bouw It-yu, coba
bayangkan saja apakah dia akrab atau tidak?" sela Seebun Yan
sambil tertawa. Tampaknya Seebun-hujin menjadi sangat tertarik, kembali
ujarnya sambil tertawa, "Ternyata kalian sering bersama-sama?"
Merah jengah selembar wajah Lan Sui-leng.
"Aku tidak lebih hanya seorang murid tidak resmi, selama berada
di gunung Bu-tong, jarang sekali kami mendapat kesempatan untuk
berbicara. Kali inipun hanya secara kebetulan bersuanya di tengah
jalan, belum lama melakukan perjalanan bersama, kami telah
bertemu dengan Tonghong Toako."
"Apakah mereka sempat bertarung?" tanya Seebun-hujin dengan
perasaan terperanjat. Lan Sui-leng enggan memberi penjelasan secara terperinci,
katanya sepintas, "Kelihatannya mereka sempat bertarung berapa
jurus." "Lantas siapa yang menang?"
"Tentu saja Piauko yang menang," sela Seebun Yan cepat.
"Ooh, apakah saat itu kau hadir di arena?" tanya Seebun-hujin.
"Biarpun aku tidak hadir di lapangan, tapi setelah kemudian
bertemu Piauko, masa aku tidak tahu?"
"Aku tidak percaya kalau Piauko mu segampang itu bisa
menangkan Bouw It-yu."
"Tapi memang begitulah kejadiannya!" tegas Lan Sui-leng, "pada
saat yang bersamaan mereka sama-sama menggunakan jurus Pekhok-
liang-ci dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, tapi sayang jurus
yang dimainkan Bouw-susiok sedikit di bawah kedahsyatan dan
kehebatan Tonghong Toako."
"Tonghong Liang bisa menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat?"
"Benar. Akupun tidak tahu darimana dia berhasil
mempelajarinya," Lan Sui-leng mengangguk.
Padahal dia tahu dengan jelas, hanya saja enggan
mengutarakannya keluar. "Adik bodoh," seru Seebun Yan, "aku saja dapat menebaknya,
masa kau yang hadir di arena belum tahu" Piauko mu sangat
cerdas, toh dia pernah naik ke Bu-tong untuk menantang berduel,
tentu saja semua rahasia ilmu pedang Bu-tong-pay tidak bisa lolos
dari pengamatannya."
"Aaah, kau selalu suka memuji-muji Piauko mu, padahal menurut
pendapatku, dia hanya kebetulan saja menemukan peluang emas.
Atau mungkin juga Bouw It-yu memang sengaja mengalah
kepadanya." "Kenapa Bouw It-yu harus sengaja mengalah kepadanya?"
"Ayahnya telah berhasil mengungguli Piauko mu, sebagai
seorang yang tulus dan jujur, tentu saja dia enggan membuat
Piauko mu kehilangan muka."
"Eeei, darimana ibu bisa tahu kalau dia orangnya jujur dan
berhati tulus?" "Biarpun aku belum pernah bertemu dengannya, tapi kalau
bapaknya hebat anaknya pasti hebat juga. Bapaknya disebut orang
pendekar besar dari daratan, masa nama besar itu diperoleh secara
gampang dan ngawur" Gelar Tayhiap bukan saja harus diperoleh
atas dasar ilmu silat yang hebat, sebagai pendekar besar diapun
harus berjiwa ksatria dan mengutamakan kebajikan,
kesetiakawanan dan kebijaksanaan. Bila orang sudah bajik, sudah
setia kawan dan bijaksana, dapat dipastikan jiwanya pasti jujur,
tulus dan setia." "Ooh, rupanya begitu cara ibu menganalisa?"
"Apa salahnya" Toh aku menganalisa berdasarkan fakta?"
"Betul, betul sekali," Seebun Yan tertawa cekikikan.
"Ehmm, caramu tertawa rada aneh, aku tahu di hati kecilmu pasti
kau menyalahkan aku."
"Ibu, kali ini dugaanmu keliru besar," kata Seebun Yan masih
tertawa, "aku hanya merasa agak geli."
"Apa yang geli?"
"Aku jadi teringat dengan pepatah kuno yang mengatakan, lilin
setinggi satu kaki delapan depa hanya bisa menerangi orang lain
tapi tidak dapat menerangi diri sendiri."
"Kau maksudkan aku?"
"Benar. Ibu, biasanya kau pun suka memuji-muji kehebatan
Piauko, tapi secara tiba-tiba hari ini kau malah membantu orang
luar. Tidak masalah kalau hanya membantu, kau malah sempat
memberi pelajaran habis habisan kepadaku."
Seebun-hujin segera tertawa.
"Bouw It-yu adalah susiok adikmu," katanya, "jadi tidak bisa
dikatakan sebagai orang luar. Sudahlah, jangan menukas melulu,
aku masih ada urusan penting lain yang akan dibicarakan dengan
adikmu." Kemudian sambil berpaling ke arah Lan Sui-leng, tanyanya,
"Bagaimana selanjutnya?"
Sementara Lan Sui-leng masih mempertimbangkan seberapa
banyak yang boleh diberitahukan, lagi-lagi Seebun Yan menukas,
"Setelah Piauko berhasil mengungguli Bouw It-yu, adikku pun ikut
pergi bersama Piauko."
Seebun-hujin tertegun, tanpa terasa dia membelalakkan matanya
lebar-lebar. "Ibu, tidak usah terkejut!" seru Seebun Yan sambil tertawa, "kau
sangka dia dibawa lari Piauko?"
"Siapa bilang aku berpendapat begitu," Seebun-hujin pura-pura
gusar, "aku hanya ingin tahu sebabnya saja."
"Tentu saja ada sebab musababnya, adiknya berada di kuil Siaulim,
kebetulan Piauko juga akan ke kuil Siau-lim, maka mereka pun
melakukan perjalanan bersama."
"Bukankah adiknya murid Bu-tong" Mau apa dia pergi ke kuil
Siau-lim" Mau apa pula Piauko mu pergi ke kuil Siau-lim?"
"Ibu, lebih baik kau tanya sendiri bila Piauko sudah kembali nanti.
Tahunya adik dia di kuil Siau-lim pun karena diberitahu Piauko,
karena apa" Piauko tidak menjelaskan, malah mungkin dia
sendiripun tidak tahu."
"Terus kenapa dia bisa pergi bersamamu?"
"Karena akulah yang merebutnya dari tangan Piauko," sahut
Seebun Yan sambil tertawa cekikikan, "aku bilang begini kepadanya,
kuil Siau-lim toh melarang kaum wanita memasukinya, daripada kau
ikutan ke sana, mending suruh Piauko saja yang mencarikan berita
untukmu. Begitulah, akupun mengundang dia untuk berkunjung ke
rumah kita." Mendengar putrinya menggunakan istilah "merebut", tanpa
terasa Seebun-hujin mengerutkan dahinya, dia cukup tahu watak
putrinya, maka segera dia berpikir, "Jangan-jangan anak Yan
menemukan gejala tidak beres, khawatir cinta Piauko nya beralih ke
orang lain?" Namun persoalan semacam ini kurang leluasa baginya untuk
ditanyakan langsung kepada putrinya, terlebih bertanya kepada Lan
Sui-leng. Tiba-tiba Seebun-hujin bertanya, "Anak Leng, bagaimana
menurut pendapatmu tentang Bouw It-yu?"
Kembali paras muka Lan Sui-leng berubah jadi merah jengah,
sahutnya agak tergagap, "Aku.... aku tidak tahu. Aku hanya pernah
melakukan perjalanan bersamanya, itupun hanya sebentar."
"Tapi kau pasti bisa menjelaskan soal perasaan sendiri bukan?"
ucap Seebun-hujin sambil tertawa, "misalnya, apakah kau merasa
muak kepadanya" Benci kepadanya" Atau justru merasa gembira
dan senang selama berkumpul dengannya?"
"Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu," bisik Lan Sui-leng
lirih, paras mukanya berubah makin merah.
Seebun Yan yang menyaksikan itu kontan saja tertawa cekikikan,
serunya, "Kalau kau malu bicara, biar aku saja yang menjawab
mewakilimu. Ibu, baru saja aku berkenalan dengannya, dia sudah
selalu memuji muji siau susioknya di hadapanku, bikin hatiku jadi
tidak senang saja!" "Kalau dia yang memuji-muji siau susioknya, kenapa justru kau
yang tidak suka hati?"
"Dia melukiskan siau susioknya seolah jauh lebih bagus dan lebih
hebat daripada Piauko ku, tentu saja aku tidak senang hati."
Seebun-hujin segera tertawa terbahak-bahak, serunya,
"Hahahaha.... bagimu, Piauko mu seolah hebat segala-galanya.
Sedang bagi dia, siau susioknya seolah jauh lebih hebat ketimbang
Piauko mu, lantas apa salahnya" Kenapa kau musti iri dan julas?"
Bukit Pemakan Manusia 11 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Pedang Kiri Pedang Kanan 15
^